Kajian Utama
Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia Suyatno
abstract Mapping the relationship between democracy and national leadership, it important to find the national leaders who are capable to answer the demands of society and at the same time able, to responds to the challenges from the world. The challenges from the world that will be discussed here is neoliberalism. History proves that the failure of a national leader to respond to neoliberalism led to a national crisis and it will bring failure to the leaders. One of the example is the fall of Soeharto in the 1998. Democracy uphold individual freedom but recognizes the need for a strong leader whose wisdom is important to keep the order and rules to protect individual freedom. The phenomenon of neoliberalism is so fascinating today because not only it becomes the phenomenon that can make drastic changes in the world but also a phenomenon that is intensely discussed. Some condemn it because of its negative impact to the society, such as economic inequality, poverty, and so on. Some Love it because it can become an effective medium to reach prosperity in a short period, such as an increase in income per capita.
Pendahuluan
D
Suyatno, Ph.D School Of Government Colgis
Universiti Utara Malaysia yatno.ladiqi @gmail.com
emokrasi sudah menjadi pilihan sistem politik sejak berdirinya Negara Indonesia. Meski dengan berbagai ragam kualitas, tetap saja demokrasi menjadi sentra utama dalam mengatur kehidupan politik Indonesia sejak tahun 1945 hingga di masa sekarang, khususnya mengatur hubungan masyarakat dan negara. Hanya saja kepemimpinan yang mengelola bekerjanya sistem demokrasi memberikan bobot kualitas demokrasi yang berbeda-beda mulai dari kepemimpinan Soekarno, Soeharto hing27
Suyatno: Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia
ga ke masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara kepemimpinan dan demokrasi sangatlah erat karena kepemimpinan bisa menentukan derajat kualitas demokrasi yang diusung oleh sebuah negara, termasuk Indonesia. Tentu semua itu tergantung kepada tantangan yang dihadapi oleh negara sehingga seorang pemimpin memerlukan jenis atau gaya kepemimpinan yang dirasa efektif untuk menggerakkan roda negara mencapai tujuan yang dicita-citakan. Tantangan yang dihadapi Soekarno tentunya berbeda dengan tantangan yang dihadapi oleh Soeharto, demikian juga dengan tantangan yang dihadapi oleh SBY. Namun begitu kepemimpinan yang efektif tentunya juga ditentukan oleh sejauh mana seorang pemimpin mampu meracik tantangan luar dan tuntutan dari dalam negara itu sendiri. Untuk itu seorang pemimpin akan memberikan tekanan yang berbeda ketika mencoba usaha racikan mengatasi problema guna mencapai skala prioritas tujuan negara. Soekarno barangkali lebih menitik beratkan kepada pembangunan bangsa (nation building) karena kemerdekaan Indonesia memerlukan pemantapan kebangsaan yang layak dipromosikan ke tatanan kehidupan internasional agar tidak saja dikenali tetapi juga bisa menggapai martabat berbangsa dunia. Soeharto barangkali lebih memikirkan pentingnya sta-
28
bilitas ekonomi politik untuk mampu menggapai tujuan bersama yaitu pembangunan nasional di sektor ekonomi dan kestabilan politik yang efektif. Belajar dari berbagai kelemahan Soekarno yang abai terhadap pembangunan ekonomi dan politik yang stabil, titik berat rezim Soeharto menjadi berbeda secara drastis jika dibandingkan dengan rezim sebelumnya. Lagi-lagi tuntutan zaman dan pengaruh luar sangat kuat mempengaruhi kepemimpinan nasional. Pada akhirnya globalisasi menjadi tuntutan dan tantangan kepimimpinan Soeharto sehingga berdampak kepada kegagalan ekonomi ketika strategi pembangunan nasional yang dicanangkan gagal merespon perubahan zaman akibat meruyaknya korupsi yang menggerogoti struktur ekonomi nasional. Kejatuhan Soeharto menandai era baru dimana demokrasi menjadi media penting untuk memberikan jalan kepada masyakarat agar terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik ka-rena partisipasinya bisa merepresentasikan tingkat tuntutan dari bawah secara efektif berbanding dengan model hubungan masyarakat dan negara di masa kepemimpinan Soeharto yang bersifat “top-down”. Hal ini dikarenakan globalisasi mendorong pemerintah untuk rela menggandeng masyarakat terlibat aktif memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan dalam rangkaian persoalan yang kian kompleks
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
yang cukup berat bagi pemerintah dihadapi sendiri. Di era yang serba terbuka pengaruh revolusi informasi, komunikasi dan teknologi, mendorong seorang pemimpin dituntut untuk senantiasa transparan, akuntabel dan partisipatif dalam memenuhi tuntutan dalam dan luar negara. Titik tekan ini sangatlah berbeda dialami oleh pemimpin nasional pada era sebelumnya. Tidak hanya lebih kompleks tetapi juga lebih massif dan memerlukan keterlibatan masyrakat secara intensif dalam menerjemahkan keperluan guna mencapai tujuan bersama. Dengan argumen pendahulan di atas, makalah ini mau mencoba memetakan hubungan demokrasi dan kepemimpinan nasional yang bagaimana yang semestinya dikembangkan di Indonesia. Ini penting untuk menemukan kepemimpinan nasional yang mampu menjawab tuntutan masyarakat dan sekaligus sanggup merespon tantangan dunia luar yang mengintai sepanjang masa. Tantangan dunia luar tak lain adalah neoliberalime. Sejarah membuktikan kegagalan kepemimpinan nasional merespon neoliberalisme dengan baik maka membuahkan krisis nasional dan berimbas kepada kegagalan kepemimpinan nasional itu sendiri, yaitu jatuhnya rezim Soeharto tahun 1998. Untuk itu menguraikan tantangan neoliberalisme juga akan diketengahkan dalam tulisan ini. Kepemimpinan yang efektif sangat
diperlukan tidak saja sebagai wujud pengelakkan kegagalan mencapai tujuan bersama tetapi juga memanfaatkan peluang yang ada baik dari potensi dalam negeri maupun luar negeri agar bersama-sama sukses menggapai cita-cita nasional, yaitu kesejahteraan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Demokrasi dan Kepemimpinan Sudah sejak lama disadari hubungan simbiotik mutualisma antara demokrasi dan kepemimpinan menjadi sangat penting karena tidak saja demokrasi memberi jalan kepada bekerjanya kepemimpinan yang efektif tetapi juga kepemimpinan akan mencorakkan dan menentukan derajat kualitas demokrasi sesebuah negara. Demokrasi dan kepemimpinan menjunjung tinggi kebebasan individu akan tetapi mengakui perlunya hikmah pimpinan kebijaksanaan untuk digunakan apabila perlu untuk ketertiban dan keselamatan masyarakat untuk melindungi kebebasan individu. Demokrasi tanpa kepemimpinan akan menimbulkan anarki yang dapat menimbulkan bahaya terhadap masyarakat. Sebaliknya kepemimpinan tanpa demokrasi akan menimbulkan penindasan antar manusia. Matthew Trachman menyatakan bahwa di satu sisi wacana kepemimpinan dibentuk oleh munculnya demokrasi modern. Di sisi lain demokrasi modern itu sendiri juga dibentuk oleh munculnya wacana kepemimpinan. 29
Suyatno: Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia
Keduanya memiliki ruang yang sama untuk saling mempengaruhi satu sama lain dan berkembang secara bersamaan (Trachman, 2000:1-7). Lebih jauh Mohtar Pabottingi menjelaskan hubungan demokrasi dan kepemimpinan dengan memberikan argument asas bahwasanya demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang: 1) berpatokan kepada kolektivitas politik bernama bangsa atau nasion, sebab memang ada simbiosis antara nasion dan demokrasi; 2) menekankan prinsip-prinsip kemerdekaan dan/atau kebebasan (independence, freedom, liberty), keadilan dan/atau kesetaraan (justice, equality, fairness); 3) menerapkan prinsip keabsahan cara/prosedur dan keabsahan tujuan/substansi di dalam segenap mekanisme atau penyelenggaraan kenegaraan; 4) menghormati keberagaman atau pluralitas dalam nasion; 5) menjunjung hak-hak perorangan dan komunitas/ masyarakat di dalam keberagaman senasion (mengindahkan rangkaian hajat material dan hajat nilai setiap warga negara); 6) melaksanakan pemerintahan menurut ketentuan prinsip saling-imbang –saling kontrol, yang dipergilirkan secara berkala melalui pemilihan umum; dan 7) bersandar sepenuhnya pada patokanpatokan konstitusi sebagai sebuah bangunan politik/hukum yang progresif dan komprehensif. Pada ketujuh persyaratan demokrasi di atas jelas terbaca komplementaritas kepemimpinan, yaitu dalam rangkaian 30
membawa masyarakat sebangsa kea lam kemakmuran dan kebahagiaan (Prisma, 2013:7-8). Argumen tersebut jelas menunjukkan betapa hubungan keduanya sangatlah erat sehingga perubahan yang terjadi tentu amat berbeda dengan masa sesudahnya. Indonesia sedari awal sudah menggunakan demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang resmi, hanya derajat kualitas demokrasi yang diusung sangat dipengaruhi oleh corak kepemimpinan yang ada. Hal ini bisa dilihat bagaimana Soekarno di awal kemerdekaan memimpin Indonesia dengan begitu kuat mencorakkan warna demokrasi parlementer yang berbeda dengan negara lain maupun dengan rezim-rezim sesudahnya. Perkembangan wacana kepemimpinan Soekarno dan perkembangan demokrasi Indonesia itu sendiri mengalami proses saling mempengaruhi hingga membentuk demokrasi yang berbeda dan tuntutan kepemimpinan yang berbeda seperti sekarang ini. Tentu saja SBY tidak akan mudah menggalang rakyat dengan corak kepemimpinan a la Soekarno yang sentralistik dan otoriteristik karena perkembangan demokrasi Indonesia dewasa ini menuntut transparansi dan kemitraan yang kuat antara pemerintah dan masyarakat dalam proses berbangsa dan bernegara. Kepemimpinan dewasa ini juga dituntut untuk lebih memberikan ruang partisipasi masyarakat lebih luas ketimbang bersi-
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
fat dari atas ke bawah (top-down approach) seperti dulu. Pada masa sebelumnya, pemimpin yang baik adalah mereka yang sanggup melihat kepentingan masyarakat dan bertindak atas nama masyarakat. Ini yang dipahami selama ribuan tahun bahwa sudah semestinya pemimpin bertindak demikian. Apa yang dilakukan Soekarno dan Soeharto juga berdasarkan keyakinan ini dan secara umumnya disetujui oleh masyarakat. Namun kini apa yang terjadi dalam perubahan hubungan kepemimpinan di Amerika juga berdampak kepada kepemimpinan yang semestinya dan malahan sudah menjadi tuntutan masyarakat yaitu kepemimpinan yang mampu mendorong usaha pemberdayaan masyarakat sebagai wacana mutakhir kepemimpinan nasional (Wranp, 2007:162). Penglibatan masyarakat dalam partisipasi aktif proses pengambilan keputusan adalah sebuah kebutuhan yang sulit dielakkan oleh pemimpin. Termasuk Indonesia juga sulit menghindar dari tuntutan dewasa ini. Demokrasi yang berkembang di Indonesia juga menuntut kepemimpinan yang mampu memberikan titik tekan kepada konsep pemberdayaan masyarakat melalui ruang partisipasi. Ini yang menjelaskan kenapa dewasa ini banyak kisah sukses pengelolaan daerah yang dilakukan oleh pemimpin lokal di Indonesia menjadi ilham bagi pembuat keputusan di tingkat nasional. Kabupaten Jembra-
na, Solok, Tanah Datar, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya dan lain-lainnya sudah menunjukkan bagaimana hubungan demokrasi lokal dan kepemimpinan lokal memiliki hubungan yang besifat simbiotik mutualisme dimana interaksi demokrasi dan kempimpinan lokal mampu mewujudkan kebaikan bersama dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan lapisan masyarakat. Perkembangan ini tentu akan jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa sebelumnya, seperti masa Orde Baru. Jika demokrasi sudah menjadi sistem yang disepakati sejak lama di Indonesia dan memiliki hubungan simbiotik mutualisma dengan kepemimpinan nasional, maka tantangan yang mutakhir dewasa ini yang tentu berbeda dengan tantangan yang harus dihadapi oleh pemimpin sebelumnya adalah tak lain berupa tantangan neoliberalisme. Untuk itu penjelasan dibawah bisa membantu pemahaman yang baik untuk menemukan hubungan kepemimpinan nasional dengan tuntutan ataupun tantangan neoliberalisme dewasa ini.
Tantangan Neoliberalisme Fenomena neoliberalisme begitu menakjubkan dewasa ini karena tidak hanya merupakan fenomena yang menghasilkan perubahan drastik dunia tetapi juga sebuah fenomena yang dibincangkan sangat intens dengan semangat kebencian dan semangat kerinduan yang tumbuh menjadi 31
Suyatno: Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia
satu. Dibenci karena dampak negatifnya sangat merugikan masyarakat, seperti ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan sebagainya. Dirindui karena menjadi medium efektif untuk menggapai kemakmuran dalam masa singkat, seperti peningkatan pendapatan per kapita, penumpukan kapital dan pembangunan ekonomi yang tinggi. Semangat yang menggelora memuja ‘kekuatan pasar’ seolah meyakini tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk kepadanya tetapi juga seluruh kehidupan. Bukan hanya mekanisme pasar harus digunakan untuk mengatur ekonomi sebuah negara, tetapi juga untuk mengatur ekonomi global. Friedrich Hayek bersama Milton Friedman, George Stigler, Karl Popper, Lionel Robbins, Wilhem Ropke, Ludwig von Mises, Michael Polanyi, Salvador di Madariga, Walter Euchen dan lain-lain adalah pakar-pakar yang memelopori neoliberalisme global. Dalam bukunya yang sangat terkenal The Road to Serfdom (1944), Hayek (dalam Deliarnov, 2002) mengatakan, “Dengan membiarkan jutaan individu melakukan reaksi terhadap harga pasar yang terbentuk secara bebas, akan terjadi optimalisasi alokasi modal, kreatifitas manusia dan tenaga kerja dengan cara yang tak mungkin ditiru oleh perencanaan terpusat, sehebat apapun perencanaan itu”. Sedangkan Friedman menambahkan bahwa optima-lisasi itu sendiri hanya akan terjadi bila barang, jasa dan modal dimiliki sekaligus dikuasai 32
oleh orang-perorangan yang akan digerakkan untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Ada satu, dan hanya satu, tanggung jawab sosial perusahaan atau bisnis, yaitu menggunakan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mengumpulkan laba sebanyak-banyaknya (Friedman dalam Capitalism and Freedom, 1962). Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya neoliberalisme (Wibowo, 2003:3-5). Pertama, munculnya perusahaan multinasional sebagai kekuatan yang nyata dan bahkan memiuliki asset kekayaan yang lebihbesar daripada negara-negara kecil didunia. Kedua, munculnya organisasi atau ‘rezim internasional’ yang berfungsi sebagai surveillance system. Ketiga, sebagai variable independen dari semuanya ini adalah revolusi di bidang teknologi, komunikasi dan transportasi yang amat dahsyat selama 20 tahun terakhir ini. Dan keempat, bagaimana negaranegara kuat (umumnya negara-negara maju) memakai kekuatan yang dimilikinya untuk menaklukkan negara yang lebih lemah (umumnya negara-negara berkembang). Sudah menjadi perbincangan yang jamak bahwa neoliberalisme menimbulkan implikasi negatif yang serius mengancam kehidupan masyarakat. Pakar seperti Noreena Hertz, Paul Krugman maupun Joseph Stiglitz mengkritisi bahwa dunia bukannya semakin makmur karena neoliberalisme, tetapi justru sebaliknya ketimpangan malahan menjadi realita baru
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
yang tidak hanya dihadapi oleh negara-negara berkembang dan miskin, tetapi justru kini dihadapi oleh negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat. Kebijakan pemulihan krisis ekonomi di AS, baik kebijakan talangan (bail out) saat krisis kredit perumahan (subprime mortgage) 2009 maupun kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing) pada krisis kali ini, hanya dinikmati 1 persen penduduk dan 99 persen selebihnya tak mendapat faedah (Stiglitz, 2012). Tantangan terberat yang harus dihadapi oleh pemimpin nasional yaitu kenyataan bahwa neoliberalisme adalah sebuah keniscayaan. Fenomena yang tidak bisa dihindari karena akan dihadapi dan dijalani oleh semua negara di dunia karena keterikatannya dengan struktur internasional dalam sektor ekonomi, politik dan sosial serta budaya. Hidup secara global tentunya menjadi konsekuensi kehidupan modern dewasa ini. Kenyataan yang riil di depan mata adalah erosi terhadap peran negara dalam melindungi kepentingan masyarakat di level bawah. Sinyalemen Fukuyama tentang pentingnya mengetengahkan peranan negara ditengah terpaan neoliberalisme sudah dikabarkan sejak lama. Dalam bukunya State-Building: Governance and World Order (2004), Fukuyama menyatakan bahwa kehadiran negara yang kuat sangat diperlukan terutama dalam membuat dan memberlakukan aturan dan menjaga efisiensi birokrasi
untuk menghindari terjadinya penyuapan, korupsi, kolusi, dan sebagainya serta menjamin adanya transparansi dan akuntabilitas sektor publik maupun swasta. Untuk itu Erhad Erppler meyakini bahwa kehadiran negara pada tingkat “necessary” (sebatas diperlukan) semakin penting. Gagasan “necessary state” menurut Eppler menampilkan negara dalam wajah yang lembut dan mengembakan nilai-nilai kenegaraan yang esensial seperti demokrasi, konstitusionalisme, penegakan hukum, dan penghargaan terhadap hak azasi manusia (hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan budaya). Dengan merujuk pada sistem negara federal Jerman, Eppler menyatakan bahwa “necessary state” hendaknya menjalankan sekurang-kurangnya empat macam peran. Pertama, negara harus memegang monopoli pemungutan pajak kepada rakyat dalam rangka distribusi kesejahteraan, terutama untuk melakukan subsidi silang dari kelompok kaya kepada kelompok yang miskin. Kedua, negara harus menegakkan kedaulatan hukum di dalam wilayah teritorialnya tanpa harus mencampuri wilayah hokum dan teritori negara lain untuk menjaga ketertiban internasional. Ketiga, negara harus membentuk dan terus mengembangkan identitas nasional sehingga penduduk yang tinggal dalam suatuwilayah tertentu dan berada dalam suatu entitas bangsa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari komunitas negara-bangsa 33
Suyatno: Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia
yang berdaulat. Keempat, negara harus terus-menerus berupaya untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama bagi seluruh warganya dan melakukan intervensi seperlunya dalam kerangka “social interventionist state” untuk menjamin terjadinya keadilan sosial dan politik bagi seluruh warga (Hadiwi-nata, 2009:xixii). Dengan begitu tantangan neoliberalisme menjadi penting untuk dihadapi oleh pemimpin nasional karena tidak saja ia memang sebuah keniscayaan kehidupan modern, melainkan juga berimplikasi serius terhadap perkembangan ekonomi dan stabilitas politik. Krisis moneter tahun 1997 sudah menjadi bukti sejarah ketika pemimpin nasional masa itu gagap merespon dampak neoliberaslisme, sehingga krisis ekonomi berbuntut delegitimasi politik sebagai harga yang harus dibayar. Kejatuhan Soeharto boleh disederhanakan karena implikasi negatif neoliberalisme yang merusak pembangunan nasional dan meruntuhkan legitimasi politik yang sudah dibangunnya selama 32 tahun lamanya.
Kepimimpinan Nasional Masa Kini Demokrasi sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia sejak merdeka, dan menjadi medium perkembangan kepemimpinan nasional yang beragam corak dan pengaruhnya. Suka atau tidak demokrasi adalah gagasan poli34
tik yang paling sukses pada abad 20 sebagaimana Freedom House melaporkan. Karena kini mayoritas negara di dunia mengamalkan demokrasi dengan berbagai kualitas yang beragam. Setidaknya pemilihan umum menjadi instrumen yang wajib dalam penyelenggaraan negara di dunia. Namun begitu berharap dengan demokrasi sepenuhnya akan menuai kekecewaan jika tidak disertai kepemimpinan nasional yang merawat dan menjaga sekaligus mengembangkan lebih baik. Sudah banyak contoh kasus betapa demokrasi dapat melahirkan pemimpin yang otoriter, sektarian, korup, atau inkompeten, yang pada gilirannya melemahkan sendi-sendi berbangsa dan bernegara (Karman, 2013), bahkan pemimpin fasis sekalipun. Hitler adalah salah satu pemimpin fasis yang dipilih melalui proses yang demokratis. Kini perkembangan demokrasi dan kepemimpinan ditantang sepenuhnya untuk sukses berhadapan dengan implikasi neoliberalisme global. Fukuyama (2011) mengingatkan bahwa di masa sekarang demokrasi modern baru bisa tumbuh kalau mempunyai tiga unsur, yaitu negara kuat, rule of law, dan pemerintahan yang akuntabel. Sementara Hertz (2002) menyoratkan hal senada yaitu dibutuhkan pemimpin yang cerdas secara politik untuk menjinakkan kapitalisme agar manfaat demokrasi tidak diambil alih oleh para kapitalis. Rangkaian kritikan para pakar sebagaima-
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
na penulis jelaskan diatas, baik itu Stiglitz, Erppler, Fukyama maupun Hertz menjadi penting untuk meletakkan kepemimpinan nasional yang menyadari pentingnya menempatkan negara ke posisi “necessary” (sebatas diperlukan). Memang perlu kuat tetapi negara juga perlu menjalankan akuntabilitas yang tentunya memerlukan keterlibatan partisipasi masyarakatnya secara aktif yang diperlukan untuk mengawal demokrasi agar tidak dibajak oleh para kapitalis yang bergerak dengan perusahaan multinasionalnya. Terlebih penilaian rezim internasional terhadap Indonesia yang menggembirakan hati para pemimpin nasional bisa menjerumuskan ekonomi sekiranya tidak ditanggapi secara cerdas. International Monetary Fund/ IMF (2011) memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi jawara di dunia, di mana pada tahun 2050 “kue” ekonomi Indonesia akan mencapai US $ 7 Milyar dan berada pada ranking ke-7 dunia, setelah Amerika Serikat dan BRIC (Brazil, Russia, India, China). World Bank (2011) pun tidak ketinggalan, mereka memperkirakan bahwa hingga 2025, Indonesia akan menjadi satu dari 6 negara yang mempunyai kontribusi terbesar bagi pertumbuhan ekonomi dunia. McKinsey (2012) lebih optimis dengan memproyeksikan bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara terbesar ke-7 serta akan menggeser posisi Jerman dan Inggris. Price Waterhouse Cooper (2013) mempu-
nyai pandangan yang tak kalah positif dan memperkirakan bahwa pada tahun yang sama Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar ke-8 dunia, dengan kekuatan ekonomi senilai US$ 6,3 Milyar (Indonesiasetara.org, 2014). Statistik menunjukkan bahwa di sela-sela prestasi gemilang itu, ketimpangan ekonomi di Indonesia pun melebar dengan cepat. Sebagai gambaran, pada tahun 1990, 10% orang terkaya di Indonesia mempunyai pendapatan setara dengan 5,9 kali pendapatan 10% orang termiskin; pada tahun 2005 dan 2011, proporsi tersebut naik menjadi 7,8 kali dan 9,5 kali. Suatu fenomena yang kurang menggembirakan. Apabila diukur menggunakan penguasaan aset (wealth) dan penguasaan tanah, maka ketimpangan itu akan lebih mencolok lagi (Indonesiasetara.org, 2014). Ketimpangan di Indonesia mengalami peningkatan pesat pada periode 2002–2013, seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Ada korelasi kuat antara pertumbuhan dan ketimpangan ekonomi. Trend tersebut mengindikasikan adanya keterkaitan sistemik antara keduanya. Terlepas dari perbaikan sederet indikator makro ekonomi, saat ini masih banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Mereka tidak mendapatkan fasilitas dasar untuk sekedar hidup layak. Jika kita meluangkan waktu sejenak untuk melihat beberapa propinsi di Indonesia, fenomena itu sangat kasat 35
Suyatno: Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia
mata. Jalan yang rusak, angkutan umum tak layak, jembatan yang membahayakan penyebrang, bangunan sekolah nyaris roboh, rumah sakit jauh dari memadai merupakan contoh konkret. Fenomena yang sama semakin mudah ditemui ketika kita berkunjung ke kawasan timur, atau di daerah terluar Indonesia. Dengan realita demikian, kepemimpinan nasional Indonesia dituntut untuk melakukan beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh pemimpin sebagai berikut; pertama, haruslah sosok yang bisa membuat perjalanan demokrasi di Indonesia berjalan mundur. Kasus demokrasi berjalan mundur sudah terjadi dewasa ini di Libya, Mesir, Venezuela, Irak, dan Ukraina. Demokrasi sudah terbuklti memberikan ruang yang memadai bagi keterlibatan masyarakat untuk terlibat secara partisipatif dalam proses pengambilan keputusan, dan itu sudah berjalan baik di Indonesia selama ini. Pemilu sudah terbukti berjalan damai dan lancar selama ini khususnya setelah tahun 2004. Keterlibatan masyarakat untuk mendukung kebijakan pemerintah sudah berjalan, baik dalam tingkat nasional maupun tingkat lokal. Ini berarti kepemimpinan nasional benar-benar dituntut untuk menjaga dan membangun demokrasi kearah yang lebih baik. Kedua, diperlukan pemimpin yang cerdas secara politik untuk memahami neoliberalisme secara menyeluruh, baik implikasi positif 36
maupun negatif. Implikasi positif neoliberalisme tentu saja sepatutnya bisa diusahakan dengan baik. Investasi asing dan pertumbuhan ekonomi menjadi kebutuhan mendesak agar masyarakat memiliki pendapatan per kapita yang lebih baik. Namun begitu mengetengahkan implikasi negatif adalah hal yang mutlak harus disadari oleh pemimpin nasional. Ketimpangan adalah buah neoliberalisme yang riil dan menjadi pekerjaan rumah banyak pemimpin nasional di dunia. Amerika Serikat saja mengalami hal yang demikian, jika pemimpin Indonesia mengabaikan hal ini maka akan dipastikan demokrasi akan ‘menghukum’ pemimpin tersebut untuk tidak dipilih kembali dalam pemilu berikutnya. Citra pemimpin yang korup dan kurang peka serta terlalu elitis kini lebih mudah terpublikasi karena transparansi menjadi keniscayaan akibat kemajuan teknologi media. Ketiga, ditengah gugatan peranan negara oleh neoliberalisme dimana keberadaannya dianggap mengganggu ‘hukum pasar’ maka dibutuhkan pemimpin yang mampu meracik tantangan ini dengan kebutuhan yang paling mendasar yang diamanahkan demokrasi, yaitu melindungi kepentingan rakyat. Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer, dan Theda Skocpol mengedit sebuah karya fenomenal berjudul Bringing the State Back In (1985) yang menunjukkan peran penting negara dalam melakukan investasi sektor publik (infrastruktur,
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
pendidikan, pelayanan publik, sumberdaya alam, dll.), distribusi kesejahteraan melalui sistem perpajakan, dan membuat dan mengimplementasikan kebijakan sosial (pelayananan kesehatan, tunjangan hari tua, jaminan sosial, dll.) dengan merujuk pada pengalaman berbagai negara Eropa, Asia dan Amerika Latin. Ini adalah peranan dasar negara yang tidak boleh digerus oleh neoliberalisme. Kecerdasan politik pemimpin untuk tidak tergiur memperkuat negara dengan kepemimpinan otoriter dan tidak lengah dan lemah akan tuntutan rakyat bawah yang anarkis menjadi taruhan penting kepemimpinan nasional yang sukses menggerakkan negara ke posisi “necessary” (sebatas diperlukan) atau akuntabel.
gan ekonomi semata, yang pada gilirannya meminggirkan posisi rakyat dalam menikmati kue pembangunan yang semestinya.
Keempat, diperlukan sosok pemimpin yang sukses membangun dan membentuk identitas nasional sehingga penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dan berada dalam suatu entitas bangsa menyadari bahwa mereka merupakan bagian dari komunitas negara-bangsa yang berdaulat. Ini selari dengan gagasan Eppler yang mengingatkan kekuatan neoliberalisme yang mampu menggerus identitas nasional dan melemahkan nasionalisme rakyat. Jika seorang pemimpin gagal membangun kekuatan ini bisa dipastikan dukungan rakyat akan melemah dan serbuan kapitalisme global menjadi mudah masuk karena hilangnya rasa nasionalisme dan kebangsaan yang digantikan oleh pengejaran keuntun-
Memilih pemimpin melalui mekanisme demokrasi telah berlangsung lebih dari satu dekade sejak tumbangnya rezim otoritarian Orde Baru. Demokrasi Indonesia bisa melahirkan pemimpin yang kuat sekiranya rangkaian kebutuhan diatas terus disadari oleh para elit politik yang bersiap-siap menjadi pemimpin nasional. Namun begitu diperlukan pemimpin dengan empat syarat di-atas yang bisa membawa negara ke arah posisi yang semestinya ditengah tuntutan neoli-beralisme yang wujud dewasa ini. Jika sukses dengan syarat-syarat diatas, demokrasi Indonesia akan berkembang secara konsolidatif (matang), ekonomi tumbuh dengan daya reduksi ketimpangan yang signifikan, kesejahteraan rakyat bisa dicapai dan ke-
Penutup Ini adalah konsekuensi logis jika menginginkan kempimpinan nasional yang kuat yang sukses membawa peranan negara memenuhi kebutuhan raykat, yaitu kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur. Juga merupakan konsekuensi logis dari hubungan antara demokrasi dan kepemimpinan nasional yang semestinya berlaku hubungan simbiosis mutualisma ditengah terpaan neoliberalisme sebagai sebuah keniscayaan kehidupan modern dewasa ini.
37
Suyatno: Demokrasi, Neoliberalisme dan Kepemimpinan Nasional Indonesia
banggaan nasional sebagai identitas bangsa Indonesia yang disegani di
dunia akan muncul secara membanggakan.++
DAFTAR PUSTAKA Bob Sugeng Hadiwinata. (2009). “Refleksi Historis Kembalinya Peran ‘Negara’: Pengantar”. Erppler, Erhard. (2009). Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal. Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia.Jakarta. Deliarnov. (2002). Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: Penerbit UI Press. Jakarta Erppler, Erhard. (2009). Melindungi Negara dari Ancaman Neoliberal. Friedrich-Ebert-Stiftung Kantor Perwakilan Indonesia.Jakarta. Evans, Peter. Dietrich Rueschemeyer, dan Theda Skocpol. (1985). Bringing the State Back In (eds.). University Press. Cambridge. Fukuyama, Francis. (2004). State-Building: Governance and World Order.Cornell University Press. New York. Fukuyama, Francis. (2011). The Origins of Political Order: From Prehuman Times to the French Revolution. Farrar, Straus and Giroux. Hertz, Noreena. (2002). Silent Takeover and the Death of Democracy. William Heinemann. London. I. Wibowo. (2003). “Pendahuluan”. I. Wibowo dan Francis Wahono. (eds.). Neoliberalisme. Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.Yogyakarta. Indonesiasetara.org. (2014).”Pertumbuhan Ekonomi Untuk Siapa?”.http:// indonesiasetara.org/mengurangi-ketimpangan-meluruskan-esensipembangunan-i.html. Muat turun 10 Juli 2014. Matthew Trachman. (2000). “Historicizing Leadership/Democratizing Leadership Studies”. Paper delivered at the annual meeting of the International Leadership Association, Toronto, Canada, November 2000), 1, 3, 7 Milton Friedman. (1962). Capitalism and Freedom. University Chicago Press. Chicago. Mohtar Pabottingi (2013). “Kepemimpinan dan Demokrasi Kita: Akar-akar Kebangkrutan Kepemimpinan di Era Reformasi dan Jalan Menuju Kebangkitan”. Prisma, Vol. 32, 2013. Stiglitz, Joseph E. (2012).The Price of Inequality. W.W. Norton & Company. New York. Yonki Karman. (2014). “Merawat Demokrasi”. Kompas, Sabtu, 12 Juli 2014.
38