Kajian Utama
Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014 Leo Agustino
abstract This article analyzes three aspects, among many more, of the legislative elections in 2014, (i) the process and results of the legislative elections in Indonesia, (ii) analysis of the ups and downs of the contending parties number of votes in the 2014 legislative election, and (iii) analysis of the possibilities of a coalition of political parties before the presidential elections on July, associated with the national leaders in 2014-2019. Some issues occurred on the legislative election 2014, e.g. logistic problems such as the delay in ballot paper distribution due to distance, many people that wasn’t been registered in the fixed list of voters, the utilization of the Single Identity Number (SIN) through ID card or via e-ID cards, the electoral system that is still considered difficult by voters and the problem of discrepancies in counting between The General Elections Commission in the Provincial level and the lower level such as districts level. The leader figures also becoming important. In fact, the failure of a government is the result of bad cooperation amongs actors who did not feel as an integral part of the country.
Pengenalan
I
Leo Agustino Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten
ndonesia adalah negara ketiga terbesar di dunia yang dikategorikan sebagai negara demokratik. Meskipun selama 32 tahun berada di bawah kekuasaan rejim otokratik Soeharto, tetapi negara ini dapat keluar dari kukungan otoritarianisme dengan cara melakukan reformasi politik pada tahun 1998. Hasil yang dianggap gilang gemilang dari reformasi politik di Indonesia adalah transformasi yang amat luar biasa terhadap sistem pemilihan umum (Pemilu) dari sistem terkontrol (berpihak kepada pemerintah) menjadi sistem yang bebas, jujur dan adil. 7
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
Sejak berhasil mengubah sistem pemilihan umum ke arah yang lebih bebas, jujur dan adil, Indonesia telah menyelenggarakan empat kali pemilihan umum yang demokratik yaitu pada tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014. Uniknya, pemilihan umum tersebut berubah drastis pada tahun 2004 ketika presiden Republik Indonesia tidak lagi dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melainkan oleh rakyat secara langsung. Impaknya, pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan dalam dua tahap yakni (i) pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen (pemilihan legislatif, Pileg) dan pemilihan umum untuk memilih presiden dan wakilnya (pemilihan presiden, Pilpres).1 Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dilaksanakan pada waktu yang berbeda, di mana pemilihan legislatif dilaksanakan lebih dahulu berbandingan pemilihan presiden (berjarak tiga bulan). Merujuk paragraf di atas, artikel ini tidak mendiskusikan kedua pemilihan itu sebab pemilihan presiden baru akan dilaksanakan pada bulan Juli yang akan datang (artikel ini 1
Mengikut Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (yang kemudian diamandemen menjadi UU No. 8 tahun 2012), tidak semua partai politik yang diijinkan mencalonkan kandidatnya pada pemilihan umum presiden. Hanya partai politik yang memiliki 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah pemilih tingkat nasional sajalah yang dibenarkan untuk mencalonkan kandidat presiden. Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi syarat tersebut, mereka diarahkan untuk membentuk koalisi politik untuk memenuhi tersebut di atas. 8
dibuat pada April 2014). Oleh karena itu, artikel ini hanya menganalisis pemilihan legislatif di Indonesia (yang telah diselenggarakan pada 9 April 2014 lalu). Beberapa persoalan seperti, adakah perubahan suara yang signifikan dalam pemilihan umum legislatif? Bagaimanakah dampak perolehan suara pemilihan umum tersebut terhadap konstelasi kekuatan partai politik di Indonesia (terutama dalam konteks persiapan memilih calon presiden pada 9 Juli yang akan datang)? Dan, pemimpin seperti apakah yang muncul dari konstelasi politik pasa pemilihan umum legislatif? Untuk menjawab persoalan di atas, artikel ini menganalisis tiga aspek dari pemilihan legislatif 2014, yaitu (i) proses dan hasil pemilihan umum legislatif di Indonesia, (ii) analisis turun-naiknya suara partai yang bersaing pada pemilihan legislatif tahun 2014, dan (iii) analisis kemungkinan koalisi partai politik menjelang pemilihan umum presiden pada bulan Juli mendatang dikaitkan dengan pemimpin nasional tahun 2014-2019.
Proses dan Hasil Pemilihan Umum Legislatif Secara umum pemilihan umum legislatif di Indonesia pada 9 April 2014 berjalan aman dan tertib, meski masih terjadi berbagai kekurangan dalam penyelenggaraannya. Pertama, masalah logistik; mulai dari belum sampainya surat suara, surat
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
suara kurang atau bahkan hilang, tidak lengkap, surat suara rusak, hingga surat suara yang tertukar dengan Tempat Pemungutan Suara (TPS) lain. Keterlambatan logistik pemilihan umum mengakibatkan pemilihan legislatif tidak dilaksanakan sesuai dengan jadual yang telah ditetapkan oleh KPU, seperti yang berlaku di Kabupaten Yakuhimo (Provinsi Papua).2 Lambatnya pelaksanaan pemlihan umum di Yakuhimo disebabkan oleh jauhnya lokasi sehingga menghambat jalannya penyelenggaraan Pemilu di Yakuhimo. Menurut Komisioner KPU Arief Budiman pengiriman ke Yakuhimo sudah dilaksanakan sesuai jadual namun, “... karena cuacanya buruk jadi baru terkirim
2
Mengikut Undang-undang No. 12 tahun 2003 tentang Pemilihan umum (kemudian diamandemen menjadi UU No. 8 tahun 2012), terlambatnya surat suara merupakan perkara yang melanggar undangundang. Ini karena Pasal 45 Ayat (3) UU No. 12 tahun 2003 menyatakan, surat suara beserta kelengkapan lain dalam pelaksanaan Pemilihan Umum mesti sudah diterima Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum pemilihan umum dilaksanakan. Namun, untuk menghindari agar KPU tidak disalahkan dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum terutama dalam penyediaan surat suara dan kelengakapan pemilihan umum, maka pemerintah Indonesia memformulasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 2 tahun 2004 untuk melengkapkan lagi UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu. Berdasar Perppu tersebut, klausul dalam Pasal 45 Ayat (3) yang menyatakan 10 (sepuluh) hari sebelum pemungutan suara diubah menjadi 1 (satu) hari sebelum pemungutan suara. Dengan demikian, KPU terhindar dari tindakan yang menyalahi undang-undang. Namun, pada UU No.8 tahun 2012, klausul mengenai hal tersebut sama sekali tidak disentuh.
kemarin (13 April 2013, penulis) (www.bbcin/1jE8Kp7 15 April 2014).” Tidak se-rentaknya penyelenggaraan Pemilu legislatif ini tentu melanggar Pasal 148 Ayat (1) UU No. 8 tahun 2012 yang mengamanatkan: “Pemungutan suara Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota diseleng-garakan secara serentak.” Sementara itu, terkait dengan tertukar atau hilangnya surat suara di beberapa daerah membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) terpaksa menggelar Pemungutan Suara Susulan (PSS) setidaknya di lebih 500 TPS di seluruh Indonesia.3 PSU ini diselenggarakan di 0,09% TPS dari 545 ribu TPS seluruh Indonesia. Oleh karenanya, KPU menganggap bahwa hal ini masih dalam batas kewajaran karena kurang dari 1-2%. Pandangan KPU tersebut justru tidak sejalan dengan sebagian rakyat Indonesia sebab hal tersebut dianggap sebagai ke-
3
Keterlambatan logistik pemilihan umum menyebabkan pemilihan umum legislatif 9 April tidak bisa dilaksanakan serentak. Sebagai solusinya, maka KPU menyelenggarakan pemungutan suara susulan atau pemilihan umum susulan. Pemilihan susulan tersebut berlaku di beberapa lokasi antaranya di Kabupaten Sikka, Flores Timur, Sumba Timur, Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur, NTT), Kabupaten Jayawijaya (Papua), Kabupaten Maluku Tengah, dan banyak lagi (www.bbcin/1jE8Kp7 15 April 2014; www.kom.ps/AFfjdY17 April 2014). Sementara itu, suara suara yang tertukar hampir berlaku di banyak TPS. Misalnya di Kota Tangerang (Banten), Kabupaten Karanganyar dan Sragen (Jawa Tengah), Kota Makassar (Sulawesi Selatan), Kota Denpasar (Bali) (Kompas 10 April 2014:5). Akibatnya, pemilihan umum tidak dapat dilaksanakan secara serentak seluruh Indonesia. 9
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
tidakseriusan KPU dalam mempersiapkan segalanya. Pada 15 April 2014, Kepala Bagian Inventarisasi Sarana dan Prasarana Biro Logistik KPU, Susila Hery Prabowo, mengoreksi jumlah TPS yang harus menyelenggarakan pemilihan susulan; bukan 500 TPS, tetapi 770 TPS. Lanjutnya, 770 TPS yang melaksanakan pemilihan susulan tersebar di 107 kabupaten/kota di 30 provinsi di seluruh Indonesia (www.kompas/ AFfjdY 17 April 2014). Kedua, lebih kurang 0,5% dari 186 juta orang yang memiliki hak memilih belum terdaftar sebagai pemilih, dan sebilangan lainnya yang sudah terdaftar, tetapi tidak mendapat kartu pemilih.4 Malah sepekan sebelum Pileg pun masih ada pemilih yang belum terdaftar sebagai pemilih tetap (Kompas 20 Maret 2014:1). Kejadian ini dinilai sebagai cerminan kerja kurang serius KPU terutama dalam proses pelaksanaan pemilihan umum, khususnya dalam menegakkan kedaulatan rakyat. Selain itu, hilangnya hak memilih pemilih di anggap sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Masalah hilangnya hak memilih telah terasa jauh sebelum pemilihan umum dilak-
4
Wawancara dengan seorang narasumber dari Kementerian Pemuda dan Olah Raga (yang tidak bersedia identitasnya dicantumkan dalam artikel ini) di Bandung pada 23 April 2014. Narasumber melakukan pemantauan Pemilu di dearah Jawa Tengah dan Yogyakarta sebelum dan selama pemilihan umum legislatif berlangsung dan menemukan pelanggaran tersebut. 10
sanakan, yakni pada saat verifikasi Daftar Pemilih Tetap (DPT). Terjadinya perbedaan antara daftar yang dibuat oleh KPU dengan pemilih di beberapa daerah tentu saja membuat lembaga pelaksana pemilihan umum ini dianggap tidak profesional dalam menjalankan amanat undangundang. Celakanya lagi, DPT KPU juga tidak sama dengan data di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terutama semasa kementerian ini melakukan program Single Identity Number (SIN) melalui Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP. Kritik keras dilayangkan oleh partai politik karena menganggap celah perbedaan jumlah pemilih dapat dimanfaatkan oleh partai tertentu (baca: partai berkuasa) untuk bermain curang dengan cara memanipulasi data perolehan suara pada saat pemilihan legislatif maupun presiden berlangsung. Ketiga, sistem pemilihan masih dianggap sulit oleh pemilih.5 Ini karena pemilih harus memilih empat calon anggota parlemen secara sekaligus, yaitu calon anggota parlemen di (i) tingkat nasional, (ii) tingkat provinsi, (iii) tingkat kabupaten/kota dan (iv) calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Kesulitan pemilih menjadi bertambah karena terlalu banyaknya calon yang harus ‘diperhatikan dan dinilai’ oleh para 5
Merujuk UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu, suara dianggap sah jika pemilih mencoblos (i) lambang partai, (ii) calon anggota parlemen, atau (iii) kedua-duanya (lambang partai dan calon anggota parlemen).
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
pemilih sehingga membuat rumit para pemilih. Malah pada pemilihan umum tahun 2009, sebanyak 59% pemilih di Indonesia tidak memilih calon anggota parlemen yang seharusnya mereka pilih, tetapi menyoblos atau menyentang lambang partai saja. Ini semua dilakukan oleh pemilih karena terlalu rumit memadumadankan antara calon anggota parlemen dengan lambang partai. Keempat, masalah ketidaksinkronan penghitungan suara di tingkat KPU Provinsi dengan kelompok pemungutan suara di tingkat bawahnya. Berdasarkan UU No. 8 tahun 2012, Bab XI tentang Penghitungan Suara (bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus dilakukan secara manual mulai dari tingkat KPPS/KPPSLN, PPS, PPK, KPU kabupaten/kota, KPU provinsi hingga KPU pusat.6 6
KPPS kependekan dari Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara yang dibentuk oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk melaksanakan pemungutan suara di TPS. KPPSLN kependekan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri yang dibentuk oleh Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) untuk melaksankaan pemungutan suara di TPS luar negeri. PPS kependekan dari Panitia Pemungutan Suara yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk mrlaksankaan Pemilu di desa atau kelurahan. Sedangkan PPK kependekan dari Panitia Pemilihan Kecamatan yang dibentuk oleh KPU kabupaten/kota untuk melaksanakan Pemilu di kecamatan atau nama lain. Tata urutan penghitungan perolehan suara adalah sebagai berikut: KPPS/ KPPSLN membuat berita acara dan sertifikat hasil penghitungan suara di tingkat TPS dan dikirimkan ke PPS. PPS kemudian membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat desa/kelurahan berdasarkan seluruh sertifikat hasil penghitungan
Permasalahan muncul ketika penghitungan perolehan suara di Formulir C1 (di tingkat KPPS) tidak sama dengan penghitungan di tingkat KPU provinsi. Dalam arti kata lain, ada penggelembungan dan penggembosan suara di tiap tingkatan penghitungan suara. Kasus Roy Suryo (Menteri Pemuda dan Olah Raga) yang merasa dicurangi oleh kawan satu partainya adalah cerminan dari permasalahan penghitungan bertingkat ini. Penggelembungan dan penggembosan suara pada saat proses penghitungan suara juga bisa terjadi karena mekanisme jual-beli suara. Mekanisme ini berbeda dengan manipulasi data yang berjenjang mulai dari KPPS/ KPPSLN hingga KPU provinsi sehingga terjadi penggelembungan suara. Mekanisme jual-beli suara jauh lebih sederhana berbanding penggelembungan atau penggembosan dengan cara manipulasi suara. Sebab manipulasi suara selalu menimbulkan keretakan dalam internal partai. Manakala jual-beli suara biasanya dilakukan oleh ‘pemilik suara kecil’ dan
suara di tingkat TPS yang terdapat di wilayahnya dan menyerahkannya kepada PPK. Berdasarkan seluruh sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara PPS yang terdapat di wilayahnya, PPK membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kecamatan dan menyerahkannya kepada KPU Kabupaten/Kota. Kemudian KPU Kabupaten/ Kota membuat sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara di tingkat kabupaten/kota dan menyerahkannya kepada KPU Provinsi dan KPU. KPU Provinsi membuat sertifikat rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi dan menyerahkannya ke KPU. 11
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
‘pemilik suara sedang’ (yang tahu suaranya tidak bisa mengantarkannya ke mana-mana) yang menjual suaranya kepada ‘calon-calon setengah jadi.’ Penambahan suara dari ‘pemilik suara kecil’ dan ‘pemilik suara sedang’ tentu saja merubah konfigurasi suara ‘calon-calon setengah jadi.’ Akibatnya, transaksi antara ‘pemilik suara kecil’ dan ‘pemilik suara sedang’ dengan ‘calon-calon setengah jadi’ menjadi bagian yang integral dalam permasalahan proses penghitungan suara. Semua mekanisme ini tentu melibatkan panitia pemungutan suara di semua tingakatan sehingga bisa saja Pemilu 2014 melahirkan rejim baru yakni ‘rejim kejahatan Pemilu.’ Kendati terdapat masalah di sanasini, pemilihan umum legislatif 9 April 2014 secara umumnya bisa dikatakan berhasil. Ini kerana terjadi peningkatan keterlibatan pemilih berbanding pemilihan umum lima tahun sebelumnya. Meski pada pemilihan umum tahun 2004, keterlibatan pemilih pada pemilihan umum legislatif berada pada angka 84,07%. Namun demikian, angka tersebut menurun pada Pemilu 2009 menjadi 70,96% (Tempo 14-20 April 2014:40). Penurunan yang amat drastis pada tahun 2009 terobati oleh animo pemilih yang meningkat pada Pemilu legislatif April lalu yang meningkat menjadi 72-73,30% (berdasar hitungan cepat) dari 186 juta pemilih (Kompas 10 April 2014:1; Tempo 14-20 April 2014:40). Persentase voterturnover 12
yang lebih tinggi berbanding Pemilu sebelumnya disebabkan oleh meningkatnya angkapelibatan pemilih pemula (yang berjumlah 30% dari seluruh pemilih terdaftar). Pada Pemilu 2009, pemilih pemula bisa dikatakan lebih apati berbanding pemilih legislatif kali ini. Peningkatan partisipasi pemilih pemula disebabkan oleh beberapa faktor: (i) turut serta dalam perubahan kepemimpinan nasional, (ii) Joko Widodo (Jokowi) effect, dan (iii) pembalasan atas pemerintahan sebelumnya yang dianggap korup.7 Naiknya angka partisipasi politik pemilih tentu saja meningkatkan legitimasi pemilihan umum tahun 2014, sehinga kekurangan yang wujud pada Pemilu tahun ini seolah-olah terbayar oleh peningkatan partisipasi politik publik pada Pemilu tahun 2014. Pemilihan umum legislatif yang tidak dilaksanakan secara serentak pada 9 April 2014 memang belum ada keputusan resminya. Ini karena hasil penghitungan suara di tingkat nasional baru akan dilaksanakan dan diumumkan pada awal Mei 2014. Kendati begitu, pada 9 April 2014, pukul 19.00 WIB, beberapa lembaga survei seperti Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kompas (Litbang Kompas), Indokator Politik Indonesia, LSI (Lingkaran Survei Indonesia), CSIS (Centre for Strategic and Inter7
Hasil wawancara penulis dengan beberapa pemilih pemula (terutama mahasiswa) di Kota Bandung pada 9, 10, 11 dan 14 April 2014.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Tabel 1. : Penghitungan Cepat Pemilihan Umum Legislatif 2014 PARPOL
KOMPAS
Indikator Politik Indonesia
LSI
CSIS & Cyrus Media
Nasdem
6,7
6,91
6,42
PKB
9,13
8,89
PKS
6,99
PDI-P
RRI
LSN
SMRC
6,8
6,72
6,48
6,6
9,03
9,3
9,49
8,51
9,1
6,93
6,59
6,9
6,62
7,24
6,9
19,24
18,9
19,63
19,1
18,6
19,64
19
Golkar
15,03
14,65
14,64
14,4
14,82
14,2
15
Gerindra
11,75
12,26
11,88
11,9
11,46
11,96
12
Demokrat
9,42
9,88
9,72
9,6
10,23
9,7
10
PAN
7,49
7,34
7,48
7,4
7,63
7,87
7,7
PPP
6,7
6,41
6,98
6,6
6,45
6,75
6,3
Hanura
5,1
5,36
5,27
5,4
5,42
5,2
5,22
PBB
1,5
1,54
1,39
1,6
1,59
1,55
1,4
PKP
0,94
0,94
0,99
1,1
0,96
0,9
1
Sumber: Diolah dari pelbagai sumber Keterangan: Hitungan cepat di atas dalam persentase dan dalam artikel ini penulis lebih banyak merujuk kepada hasil penghitungan cepat Litbang Kompas.
national Studies) & Cyrus Media, RRI (Radio Republik Indonesia), LSN (Lembaga Survei Nasional) dan SRMC (Saiful Mujani Research & Consulting) sudah mengumumkan hasil penghitungan cepat (quick count) mereka (lihat Tabel 1). Meskipun penghitungan cepat lembaga-lembaga survei menunjukkan hasil angka yang berbeda satu dengan lainnya, tetapi kecenderungan PDIP menjadi pemenang Pemilu legislatif 2014 sepertinya tidak terbantahkan. Sebab, dari tujuh lembaga survei yang dikutip oleh penulis, angka hitungan cepat LitbangKompas, Indokator Politik Indonesia, LSI, CSIS & Cyrus Media, RRI, LSN,
dan SMRC menunjukkan kemenangan partai berlambang kepala banteng tersebut. Kalaupun ada kesalahan hitung (naik atau turun) di kemudian hari, kesalahan tersebut tidak lebih dari 2% dari angka hitungan cepat (sampling error 2%) yang tertera pada Tabel 1. Dengan demikian (jika merujuk ketujuh lembaga survei di atas), urutan lima besar Pemilu legislatif 2014 adalah sebagai berikut: (i) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), (ii) Partai Golongan Karya (Golkar), (iii) Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), (iv) Partai Demokrat (PD), dan (v) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) (lihat Tabel 1). Ini artinya terjadi keseimbangan
13
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
baru pada Pemilu 2014. Sederhananya, PD tidak lagi mendominasi peta politik legislatif Indonesia dan boleh jadi PDIP kini menerajui pemerintahan yang selama 10 tahun sebelumnya selalu menjadi partai oposisi. Persoalannya, bagaimanakah keseimbangan baru tersebut dianalisis? Bagian selanjutnya menjelaskan hal tersebut.
Turun-Naiknya Suara Partai pada Pemilu 2014 Hasil penghitungan suara resmi oleh KPU memang belum ada, tetapi data dari beberapa lembaga survei (lihat Tabel 1 di atas) bisa digunakan oleh penulis untuk menganalisis sirkulasi suara pada pemilihan umum legislatif 2014. Hasil perolehan suara berdasar hitungan cepat beberapa lembaga survei sangat menarik diperhatikan. Ini karena politik Indonesia selalu gagal memunculkan partai dominan yang bersuara mayoritas mutlak. Sejak pemilihan umum pertama pasca Orde Baru tidak satupun partai yang mendapatkan suara di atas 50% (mayoritas mutlak), bahkan kecenderungan kemenangan partai yang memenangi pemilihan umum legislatif semakin hari semakin menurun persentasenya. Pada tahun 1999 misalnya, PDIP hanya memperoleh 33,73% suara saja (Leo Suryadinata 2002:103). Manakala pada Pemilu tahun 2004 dan 2009, Golkar dan PD hanya memeroleh 23,27% dan 20,85% (Leo Agustino & Mohammad 14
Agus Yusoff 2009:574, 575). Dan, pada Pemilu legislatif tahun 2014, persentase mayoritas sederhana partai kembali menurun menjadi 19,24 (lihat kembali Tabel 1). Sebelum banyak mengulas turunnya masyoritas sederhana partai pemenang Pemilu legislatif, bagian ini akan membincangkan naik-turunya atau sirkulasi suara partai yang bersaing dalam pemilihan umum legislatif 2014. Setidaknya terdapat 12 partai politik yang bersaing di tingkat nasional untuk meraih dukungan rakyat pada Pemilu 2014. Ketigabelas partai tersebut adalah Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat (PD), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Dari ketigabelas partai peserta Pemilu 2014 hanya Partai Nasdem sajalah yang merupakan partai baru—awalnya sebuah organisasi masyarakat yang diprakarsai oleh Surya Paloh (pemilik MetroTV dan Media Grup). Hasil penghitungan cepat Litbang Kompas menunjukkan perolehan suara sebagai berikut Nasdem 6,7%, PKB 9,13%, PKS 6,99%, PDIP 19,24%, Golkar 15,03%, Gerindra 11,75%, PD
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
9,42%, PAN 7,49%, PPP 6,7%, Hanura 5,1%, PBB 1,5% dan PKPI 0,94% (lihat Tabel 1 di atas). Dilihat dari persentase yang diperoleh oleh masingmasing partai, maka dapatlah dikembangkan beberapa analisis menarik pasca Pemilu legislatif 2014. Pertama, PD gagal mempertahankan (atau bahkan menaikkan lagi) perolehan suaranya berbanding pada Pemilu 2009 (ketika itu PD memperoleh 20,81% suara). Tidak dapat dipungkiri bahwa PD adalah partai penuai banyak suara pada Pemilu tahun itu. Terjadi peningkatan 13% berbanding Pemilu 2004 di mana pada pemilihan umum pertama PD mereka hanya memeroleh 7,45% (Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:575). Tetapi pada pemilihan umum legislatif 2014, PD justru terpuruk di angka 9,42%. Ini artinya terjadi penurun hingga 11% lebih suara (lihat Tabel 2). Satu hal yang bisa menjawab penurunan drastis PD adalah kasus rasuah yang tengah menimpa partai berlambang tiga berlian ini. Selain itu, penurun dukungan rakyat kepada PD mengindikasikan ketidakpuasan rakyat terjadap kinerja kabinet yang dibentuk oleh PD selama ini. Dan, mencuatnya peningkatan dukungan terhadap Gerindra dan PDIP memperkuat indikasi rasa kecewa rakyat terhadap PD. Ini karena Gerindra dan PDIP merupakan partai oposisi terhadap pemerintahan SBY sekaligus menjadi pilihan alternatif karena menjanjikan perbaikan.
Terkait dengan penurunan perolehan suara, ternyata bukan hanya menimpa PD tetapi juga PKS dan PBB. Kendati PKS dan PBB mengalami penurunan persentase, namun turunnya tidak lebih dari 1%. PKS misalnya, pada Pemilu 2009 mendapat 7,89% suara sedangkan pada Pemilu 2014 mendapat 6,99% (selisih 0,9%). Manakala PBB hanya turun 0,29%, dari 1,79% pada Pemilu 2009 menjadi 1,5% pada Pemilu 2014. Penurunan 0,9% bagi PKS boleh dikatakan akibat pemberitaan buruk yang tengah melanda partai ini, terutama terkait dengan impor daging sapi sehingga menurunkan angka pilihan simpatisan PKS kepada partai berasaskan Islam dan Pancasila ini. Kendati begitu, PKS kelihatannya akan stabil diangka 7% karena angka ini adalah captive voters partai berlambang bintang dan padi. Ini karena sepanjang pemilihan umum era Reformasi, PKS selalu bertahan di angka 7%. Pada Pemilu 2004 contohnya, PKS memeroleh 7,34%, lima tahun kemudian memeroleh 7,89% dan hasil penghitungan cepat Pemilu 2014, PKS memeroleh 6,99%. Sementara itu, turunnya persentase PBB disebabkan oleh tidak ada lagi pemilih setia dan simpatisan partai berlambang bulan dan bintang selain pemilih yang ada pada saat ini. Sehingga perolehan suara mereka (jika ikut lagi pada Pemilu tahun 2019) sepertinya akan tetap bertahan di angka 1-1,5%. Kedua, terdapat banyak partai politik yang memerolehan suara le15
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
bih tinggi berbanding pemilihan umum lima tahun sebelumnya—di luar Nasdem tentunya. Mereka adalah Gerindra yang naik 7,29% dari 4,46% pada Pemilu 2009 ke 11,75% pada Pemilu 2009; PDIP naik 5,23% dari 14,01% ke 19,24%; PKB naik 4,18% dari 4,95% ke 9,13%;PAN naik 1,46% dari 6,03% ke 7,49%; PPP naik 1,37% dari 5,33% ke 6,7%; Hanura naik 1,33% dari 3,77% ke 5,1%; Golkar naik 0,58% dari 14,45% ke 15,03%; dan PKPI naik 0,04% dari 0,90% ke 0,94% (lihat Tabel 2). Jika melihat angka ini, maka kenaikan signifikan dapat disimpulkan terjadi pada Gerindra, PDIP dan PKB. Analisis awal mengenai kenaikan perolehan suara Gerindra dapat diarahkan pada sosok pimpinan mereka, Prabowo Subianto. Rakyat Indonesia mayoritas begitu merindukan sosok pemimpin yang tegas yang mampu menciptakan kestabilan ekonomi dan politik.8 8
Tendensi untuk menciptakan kestabilan ekonomi dan politik terlihat pada platform partai Gerindra yang tertuangkan dalam Enam Program Aksi Transformasi Bangsa Partai Gerindra (2014-2019). Keenam program aksi tersebut meliputi: (i) membangun ekonomi yang kuat berdaulat, adil dan makmur, (ii) melaksanakan ekonomi kerakyatan, (iii) membangun kedaulatan pangan dan energi serta pengamanan sumber daya air, (iv) meningkatkan kualitas pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan, kesehatan, soaisla dan budaya serta olahraga, (v) membangun infrastruktur dan menjaga kelestarian alam serta lingkungan hidup, dan (vi) membangun pemerintahan yang bebas korupsi, kuat, tegas dan efektif. Selain itu, derivasi kegiatan dari enam program aksi Partai Gerindra yang arahnya sesuai dengan kehendak rakyat (kembali ‘ke masa lalu’ menciptakan kehidupan yang lebih mudah dan stabil seperti era Orde Baru) menjadi pembeda Gerindra berbanding partai politik lain yang sepertinya tidak memiliki platform yang jelas. 16
Rakyat awam pada umumnya menghendaki turunnya harga bahan pangan, naiknya subsidi bagi rakyat kecil termasuk petani dan nelayan, gelontoran yang deras dalam bentuk subsidi bagi bahan bakar minyak, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, sosok Prabowo yang identik dengan ketegasan (berasal dari latar belakang militernya) dan masih ada hubungan dengan ‘keluarga Cendana’ (meski telah bercerai dengan Titiek Soeharto) menjadi daya tarik pemilih di Indonesia (atau oleh pemilih disering disebut dengan istilah Prabowo efek). Di luar itu, meski slogan ‘Rindu Orde Baru’ dilontarkan oleh Golkar, tetapi sosok Aburizal Bakrie (ARB) sebagai pemimpin partai berlambang pohon beringin tersebut justru tidak merepresentasikan kepemimpinan Orde Baru. Rakyat kebanyakan mengidentifikasi ARB sebagai pengusaha yang selalu memainkan logika homo economicus. Oleh sebab itu, slogan ‘Rindu Orde Baru’yang digaungkan oleh Golkar selama masa kampanye tidak berbuah manis terhadap perolehan suara Golkar. Golkar sepertinya berhenti di angka 14-15% saja, sedangkan suara pemilih justru mengalir kepada Prabowo Subianto yang dieluelukan pemilihnya dapat mengembalikan kejayaan Indonesia seperti pada era Orde Baru. Dampak positif bagi Gerindra atas kenaikan suara mereka tentu saja masuknya partai berlambang kepala garuda ini menjadi partai papan atas.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Tabel 2.: Perbandingan Perolehan Suara Partai Pada Pemilu 2009 dan 2014 Perolehan Suara Pemilu (%) No.
PARPOL
1
Nasdem PKB
2 3 4 5 6 7 8
PKS PDI-P Golkar Gerindra Demokrat PAN
Perubahan Suara (%)
2009
2014
0
6,7
+ 6,7
4,95 7,89
9,13 6,99
+ 4,18 - 0,9
14,01 14,45
19,24 15,03
+5,23 +0,58
4,46 20,81
11,75 9,42
+ 7,29 -11,39
6,03
7,49
+1,46
Sumber: Diolah dari pelbagai sumber
Peningkatan suara PDIP sudah diprediksikan sebelumnya oleh banyak lembaga survei setelah partai berkuasa (PD) menuai banyak masalah terutama kasus korupsi wisma atlet di Hambalang Bogor. Kekecewaan rakyat begitu terasa ketika mereka tidak memilih PD pada Pemilu legislatif 2014, apalagi sosok SBY tidak dapat dimajukan lagi sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 karena terbentur syarat masa jabatan (beliau telah dua periode menjadi presiden Indonesia yaitu pada 20042009 dan 2009-2014). Akibat dari kekecewaan inilah kemudiannya mendorong pemilih untuk menolak memilih PD. Limpahan suara besar PD pada Pileg ini nampaknya adalah Gerindra, PDIP dan Nasdem.9 Ini karena
9
Partai nasionalis yang dimaksud adalah partai politik yang tidak memiliki hubungan dengan organisasi Islam, memperjuangkan tegaknya negara dan pemerintahan yang netral dari pengaruh agama, dan menolak formalisasi syariah dalam hukum negara. Penjelasan lebi lanjut mengenai partai nasionalis, partai Islamis atau partai Islam-inklusif dan sebagainya, rujuk Luthfi Assyaukanie (2009).
ketiganya bernuansa sama seperti PD yang bercorak partai nasionalis. Tentu saja ada sirkulasi suara PD ke PDIP. Selain itu, peningkatan suara PDIP juga disebabkan oleh pencalonan Jokowi (Gubernur DKI Jakarta) sebagai calon presiden dari partai yang dimpin oleh Megawati Soekarnoputri. Manakala peningkatan perolehan suara PKB pada Pemilu 2014 tidak sepenuhnya dapat dibaca sebagai pulihnya kepercayaan rakyat terhadap partai yang diprakarsai oleh Abdurrahmad Wahid (Gus Dur) almarhum, tetapi juga ada faktor pendorong lain yaitu keberadaan Mahfud MD. (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)) dan Rhoma Irama—yang keduanya dicalonkan sebagai presiden dari PKB. Pada Pemilu 1999, suara PKB berada pada angka 12,66% dan mereka menduduki peringkat ketiga setelah PDIP dan Golkar. Dan pada Pemilu 2004 dan 2009, suara PKB kembali turun menjadi 10,57% dan 4,98% (Leo Suryadinata 17
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
2002:103; Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:574, 575). Penyebab utama turunnya suara PKB pada pemilihan-pemilihan umum era Reformasi disebabkan oleh keterbelahan partai ini menjadi dua kubu (kubu Muhaimin Iskandar dan kubu Yeni Wahid). Akibatnya, suara mereka jatuh pada Pemilu 2009. Ketiga, Nasdem yang diprediksi banyak lembaga survei tidak akan mendapatkan suara pada Pemilu 2014 ternyata memeroleh 6,7% suara (dalam penghitungan cepat). Kemunculan Nasdem lebih kurang sama persis dengan kehadiran PD pada Pemilu 2004. PD ketika itu langsung mendapatkan 7,45% yang mendapatkan limpahan suara dari terjun bebasnya suara PDIP dari 33,73% (pada Pemilu 1999) ke 18,53% (pada Pemilu 2004). Semasa itu PD bukanlah partai yang diperhitungkan, tetapi dengan mengedepankan sosok Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai calon presiden, maka partai ini pun melejit. Ketika itu SBY menjadi lambang ‘penindasan oleh penguasa’ setelah beliau dikucilkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dari kabinet. Peminggiran SBY dari kabinet justru membuat SBY mendapat simpati yang luar biasa dari pemilih sehingga melonjakkan suara PD ke angka 7,45%. Keadaan ini sebenarnya merupakan pengulangan sejarah di mana dalam pemerintahan Soeharto, Megawati pernah juga mengalami peminggiran dan penindasan sehingga beliaupun 18
menjadi simbol ‘penindasan oleh penguasa’ yang pada akhirnya membuatnya mendapat simpati dan dukungan rakyat setelah rejim Orde Baru Soeharto runtuh—dan di kemudian hari mengantarkannya menjadi presiden Indonesia pada tahun 2001. Kendati Surya Paloh tidak identik dengan ‘penindasan oleh penguasa,’ tapi keadaan politik pada Pemilu 2014 persis sama seperti pada Pemilu 2004 di mana PDIP tengah diadili oleh rakyat akibat kebijakan tidak popular yang diambil oleh Megawati. Kali ini PD-lah yang menjadi bulan-bulanan rakyat akibat tindakan rasuah yang dilakukan oleh anggota-anggotanya.Impaknya suara PD pun meluncur turun dari 20,81% pada Pemilu 2009 ke 9,42% pada Pemilu 2014. Dan sirkulasi aliran suara PD sepertinya banyak mengalir ke Nasdem. Ini karena Nasdem adalah partai nasionalis yang sama seperti PD dan dianggap sebagai partai baru yang belum terkontaminasi virus rasuah yang telah banyak menjalar pada partai-partai lama.10 Keempat, merujuk pada persyaratan ambang batas parlemen (parliament threshold), maka terdapat 10 partai yang bisa diperkenankan masuk ke Senayan untuk mewakili rakyat Indonesia lima tahun mendatang yaitu PDI-P, Golkar, Gerindra,
10
Hasil wawancara penulis dengan beberapa pemilih pemula (terutama mahasiswa) di Kota Bandung pada 9, 10, 11 dan 14 April 2014.
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
PD, PKB, PAN, Nasdem, PKS, PPP, dan Hanura. Sedangkan PBB dan PKPI tidak lolos ambang batas parlemen. Kenyataan ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia masih terfragmentasi secara politik. Bertahannya fragmentasi politik sejak Pemilu pertama Reformasi berdampak negatif terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia. Ini karena tidak adanya kekuatan politik mayoritas mutlak di legislatif. Akibatnya, tidak ada satupun partai yang ‘berani’ menjalankan pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Inilah yang menyebabkan lahirnya kartelisasi dalam sistem kepartaian di Indonesia (Kuskridho Ambardi 2008). Persoalannya kemudian, bagaimanakah kerangka koalisi partai politik pada Pilpres 2014? Akankah kartelisasi tetap berwujud? Dan, sosok seperti apakah yang diajukan oleh masing-masing koalisi partai pada Pilpres 2014? Inilah beberapa persoalan yan dibahas pada bagian selanjutnya. Koalisi Partai dan Kepemimpinan Nasional Baru Merujuk kepada hasil penghitungan cepat pada bagian sebelumnya, tidak ada satupun partai politik yang memenuhi syarat ambang batas minimum pencalonan presiden (presidential threshold). Ini karena UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mensyaratkan setiap partai yang hendak mengajukan wakilnya sebagai
calon presiden, maka perolehan suara nasional mereka minimal 25% atau 20% jumlah kursi di parlemen. Akibatnya, tidak satupun partai yang bisa mengajukan calon mereka secara mandiri. Ini artinya partai politik harus berkoalisi untuk memenuhi persyaratan yang diamanatkan oleh undang-undang. Koalisi partai bukan saja jalan keluar bagi kurangnya suara partai untuk mengajukan calonnya dalam bursa pemilihan presiden, tetapi juga sebagai area bagi menciptakan kestabilan politik di pemerintahan. Mengapa demikian? Sejak Indonesia melaksanakan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan multi-partai, sebenarnya negara ini sudah masuk ke dalam arena minority government. Di mana pemerintah yang terbentuk tidak pernah menjadi pemenang mayoritas mutlak sebab suara pemilih terfragmentasi kepada banyaknya partai peserta pemilihan umum. Pemilihan umum tahun 1999 misalnya, menghasilkan pemenang yang hanya memeroleh 33,73% suara saja; demikian juga dengan Pemilu tahun 2004 dan 2009, di mana partai pemenang mendapat 23,27% dan 20,85% (Leo Agustino & Mohammad Agus Yusoff 2009:574, 575). Kalau saja partai lain berkumpul pada sisi oposisi, maka pemerintah berkuasa menjadi pemerintah minoritas (minority government) yang selalu diterpa prahara. Sebab, partai oposisi bisa mencapai 70-80%. Dampaknya, setiap kebijakan yang dimajukan pe19
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
merintah bisa ditolak oposisi sehingga menimbulkan political deadlock. Oleh sebab itulah, jalan keluar agar tidak terjadinya goncangan atau ketidakpastian politik, maka partai politik pemenang pemilihan umum mesti melakukan kolaborasi politik dalam bentuk koalisi. Pada Pemilu 1999, kolaborasi itu wujud dalam bentuk Poros Tengah dan pada Pemilu 2004 dan 2009 koalisi PD (dengan PAN, PKB, PPP, PKS dan Golkar) menjadi solusi atas kemungkinan terjadinya turbulensi politik. Setidaknya sampai artikel ini di buat, terdapat tiga partai politik yang tengah menyusun strategi untuk membentuk koalisinya masing-masing. Mereka terus bertahan dengan idealismenya untuk memajukan jagonya pada pemilihan presiden Juli mendatang. Ketiga partai tersebut adalah PDIP yang mengajukan nama Jokowi, Golkar memajukan Aburizal Bakrie (ARB) dan Gerindra memajukan Prabowo Subianto. Konstelasi penamaan calon presiden ini berbeda dengan masa kampanye, di mana pada masa tersebut ada beberapa nama lain yang muncul ke permukaan seperti Hatta Rajasa (dari PAN), Wiranto (Hanura), Surya Paloh (Nasdem), Rhoma Irama (PKB), Anis Matta, Hidayat Nurwahid atau Ahmad Heryawan (PKS). Sementara itu, Jusuf Kalla dan Akbar Tandjung dari Golkar juga santer namanya disebut-sebut pantas untuk diajukan sebagai calon presiden. Mahfud MD dan Abraham Samad pun turut mewarnai pencalo20
nan presiden di masa kampanye lalu. Tetapi, semua itu hanyalah cara atau gimmick partai untuk mendapatkansuara dari pemilihyang bersimpati kepada masing-masing tokoh yang diajukan oleh partai politik. Yang paling beruntung tentu saja PKB. Kepiawaian Muhaimin Iskandar menggabungkan nama Rhoma Irama dan Mahfud MD sebagai calon presiden yang mereka usung pada masa kampanye pemilihan legislatif lalu membuahkan hasil manis dengan perolehan suara yang tidak terduga (lihat Tabel 2). Konfigurasi nama-nama calon presiden di atas berubah seiring dengan hitungan cepat beberapa lembaga survei beberapa jam setelah semua TPS menyudahi pemilihan. Menariknya, kendati suara pemilih tersebar di beberapa partai politik, PDIP, Golkar dan Gerindra tetap memajukan kandidatnya dalam bursa pemilihan presiden. Untuk kepentingan itu, maka lobi-lobi politik intensif dilakukan oleh ketiga partai. Tujuannya adalah menggenapi syarat 20% kursi parlemen atau 25% suara sah nasional. Sementara itu, sembilan partai politik lainnya (Nasdem, PKB, PKS, PD, PAN, PPP, Hanura, PBB, dan PKPI) belum berani mendeklarasikan kandidat mereka untuk maju dalam kompetisi pemilihan presiden. Seminggu setelah pemilihan legislatif, satu ide muncul ke permukaan di mana partai-partai Islam berencana untuk membangun koalisi Poros
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Islam. Jika semua partai Islam (PKB, PKS, PPP, PBB dan PAN) bergabung dan membentuk koalisi, maka suara mereka adalah 31,81% dan ini memenuhi syarat bagi koalisi koalisi ini untuk memajukan nama calon presidennya sendiri. Tetapi, kendala muncul ketika Suryadarma Ali (Ketua Umum PPP) jauh-jauh hari telah menyatakan kecenderungannya untuk berkoalisi dengan Gerindra. Akibatnya, terjadi ketegangan dalam tubuh PPP yang berakhir dengan islah pada 24 April 2014 (Kompas 25 April 2014:1).12 Ayunan langkah Suryadarma Ali yang mendahului elit-elit partai Islam membuat koalisi Poros Islam agak sukar untuk terbentuk. Impaknya, PKB juga sudah mulai bergerak ke PDIP. Malah yang lebih menarik, beberapa elit PKS berniat untuk
12
Ketegangan dalam tubuh PPP mencuat karena Suryadarma Ali hadir dalam kampanye Partai Gerindra di Gelora Bung Karno. Bagi sebagian besar elit PPP langkah Suryadarma hadir dalam kampanye partai lain telah merontokkan wibawa dan karisma parati berlambang Ka’bah ini. Oleh karena itu, ketika Suryadarma mengatasnamakan PPP akan berkoalisi dengan Gerindra, elit-elit PPP yang berseberangan dengannya menentang hal itu sebab dianggap inkonstitusional (merujuk AD/ART PPP). Akibat lanjutan pada 16 April 2014, Suryadarma Ali memecat beberapa elit PPP seperti Emron Palupi (Wakil Ketua Umum DPP PPP), Romahurmuziy (Sekjen PPP), Rahmat Yasin (Ketua DPW Jawa Barat), Amir Uskara (Ketua DPW Sulawesi Selatan), Fadli Nursal (Ketia DPW Sumatera Utara) dan lainnya yang beroposisi dengannya. Sebaliknya, elit PPP yang menentang Suryadarma Ali pun mencopot jabatan Suryadarma dari ketua umum PPP. Namun, kisruh itu menenang setelah pada Mukernas III PPP, Suryadarma Ali mengakui kesalahannya (Kompas 25 April 2014).
menggerakkan partai ini untuk menjadi oposisi bagi pemerintah berkuasa pada periode 2014-2019. Apa arti dari ini semua? Poros Islam memang menjadi satuide yang menarik untuk diwacanakan, tapi agaksukar untuk direalisasikan karena ‘kepentingan’Islam belum bisa menjadi perekat partai-partai Islam di Indonesia. Sementara itu, melalui lobi-lobi panjang paling tidak satu koalisi sudah terbangun yaitu pakatan PDIP dengan Nasdem—dan kecenderungan untuk semakin besar sangat mungkin terjadi. Gabungan suara kedua partai ini telah mencecah angka 25,94%, di mana mereka dapat melenggang mulus pada kontestasi pemilihan presiden akan datang. Di luar itu semua (lobi politik yang masih terus berlangsung), persoalannya sekarang, sosok pemimpin seperti apakah yang sebaiknya mengambil tongkat estafet kepempinan nasional? Jelas persoalan ini tidak mudah untuk dijawab, tapi setidaknya merujuk argumen beberapa scholars dapatlah diuraikan beberapa perkara Pertama, pemimpin yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk membangun negara ini. Menurut Acemoglu & Robinson (2012), jatuhnya sebuah bangsa lebih banyak disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam memberikan argumen atau alasan yang kuat kepada warga-negaranya untuk bekerja bersama dan 21
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
melihat diri mereka sebagai bagian yang integral dari sebuah negara. Bangsa kita sepertitelah terbelah atas banyak irisan, mulai agama, putera daerah, etnik, bahkan Jawa-non-Jawa dan banyak lagi. Keterbelahan ini semakin menguat ketika pemilihan kepala daerah diperkenalkan pada tahun 2005. Sumber daya alam (SDA) dan pelbagai aset daerah seolah-olah menjadi hak milik penguasa yang membuat pemimpin terpisah dari rakyatnya. Ini semua terjadi karena pemimpin tidak memiliki visi dan misi yang jelas mengenai pembangunan bangsa. Visi dan misi juga menyangkut dalam konteks reformasi birokrasi di Indonesia yang belum banyak bergerak—untuk tidak mengatakan belum bergerak ke mana-mana. Reformasi birokrasi bukan hanya perkara renumerasi belaka, tetapi juga memberikan pelayanan prima kepada warga dan ramah terhadap investasi yang tidak mengkeploitasi. Selain itu, pemimpin visioner juga mampu menghadirkan konsep kedaulatan dan ketahanan pangan yang jelas dan berpola yang berasal dari kemandirian bangsa. Perluasan lapangan kerja, bantuan kepada rakyat miskin dan lainnya juga wajib menjadi misi seorang pemimpin ke depan. Penghapusan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sepertinya menghilangkan arak kebijakan atau visi negara 25, 30 atau 50 tahun ke depan. Oleh sebab itu, pemimpin ke depan bagi Indonesia bukan saja menyediakan ruang 22
bagi koalisi partai (yang memang diperlukan dalam konteks minority government (presidensialisme yang disandingkan dengan sistem multipartai)), tetapi juga memiliki pandangan dan gagasan jauh ke depan. Kedua, pemimpin yang mau bekerja dan turun ke tengah-tengah masyarakat. Selama ini pemimpin nasional kita sekadar duduk di meja, dan jauh dari aksi yang menjadi teladan serta contoh bagi rakyat dalam bekerja. Di tingkat daerah, setidaknya negara ini punya beberapa nama seperti Jokowi (Gubernur DKI Jakarta), Tri Rismaharini(Wali Kota Surabaya), Yusuf Wally (Bupati Keerom), La Tanro La Tunrung (Bupati Enrekang), Amran Nur (Bupati Sawah Lunto), Muda Handerawan (Bupati Kubu Raya), Abdul Kholoq Arif (Bupati Wonosobo), dan Herman Sutrisno (Wali Kota Banjar) yang bekerja bersama rakyatnya.13 Untuk menjadi pemimpin yang bisa bekerja dan menjadi teladan bagi rakyat, Zenger & Folkman (2003) mensyaratkan lima hal: (i) karakter pemimpin yang kuat, (ii) kemampuan personal pemimpin yang aktif, (iii) keupayaan interpersonal pemimpin yang mumpuni, (iv) fokus pemimpin pada hasil, dan (v) pemimpin memiliki keinginan kuat untuk mentransformasi organisasi ke arah organisasi modern dan demokratik. Hal ini se-
13
Ulasan tujuh nama terakhir, lihat Tempo Edisi Khusus Kepala Daerah Pilihan 2012 (10-16 Desember 2012).
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
mua menurut mereka bermuara pada kompetensi kepemimpinan dalam mewujudkan gagasan menjadi kenyataan melalui serangkaian aksi yang berkelanjutan. Pemimpin yang mau bekerja bersama rakyat memang sukar dicari saat ini. Kebanyakan pemimpin kita akhirakhir ini seolah-olah berada atau menjadi struktur sosial sendiri yang berbeda dengan rakyatnya. Ini semakin mengental ketika birokrasi masih mengelu-elukan jargon ‘Abdi Negara’ daripada ‘Abdi Masyarakat’ sehingga pemimpin susah bekerjasama dengan rakyatnya. Pemimpin tipe ini juga harus mau mendengar keluh, kesah dan jeritan rakyat dan bukan memanfaatkan rakyat sebagai objek penderita bagi kekayaannya. Blusukan adalah satu metode yang bisa digunakan pemimpin untuk memahami rakyatnya. Maknanya, pemimpin tidak melulu percaya ke atas laporan yang dibuat oleh kementerian atau lembaga pemerintahan lainnya karena boleh jadi laporan tersebut bersifat ABS (asal bapak senang). Ketiga,pemimpin yang mampu menegakkan hukum. Tidak disangkal bahwa sebagian besar masyarakat kita merindukan kehadiran negara yang mampu menciptakan kestabilan ekonomi dan politik. Tetapi kerinduan itu semestinya tidak dipropagandakan dengan cara ‘Rindu Orde Baru,’ tetapi semestinya diarahkan kepada sebuah negara yang efektif dalam menjalankan pemerintahan,
mempunyai legitimasi yang kuat, akuntabel, demokratik dan menjamin tegaknya hukum. Pemimpin ke depan harus mampu menciptakan negara efektif yang kuat, namun tidak otoriter. Oleh sebab itu, penegakan hukum harus menjadi penyangga utama dalam melembagakan negara kuat ke depan. Sebenarnya usaha penegakan hukum sudah dijargonkan oleh PD semasa kampanye Pemilu 2009 lalu (menolak korupsi) dan memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga antikorupsi di Indonesia. Malangnya, elit politik partai berkuasa itu gagal mengawal elit-elitnya untuk tidak melakukan rasuah. Dalam arti kata lain, pemimpin ke depan harus bersedia memimpin pemerintahannya agar mampu kedap dari tindak rasuah dan berani menegakkan hukum seadiladilnya.
Penutup Artikel ini telah membincangkan tiga hal sekaligus yaitu proses dan hasil Pileg 2014, analisis turun-naiknya suara partai peserta pemilihan umum, dan mengurai kemungkinan koalisi partai politik menjelang Pilpres dihubungkan dengan pemimpin nasional pada periode 2014-2019. Satu yang tidak dapat dihindarkan pada setiap penyelenggaraan Pemilu ialah Pemilu selalu mendapatka kritik karena pelaksanaan pemilihan umum itu sendiri. Kritik itu bisa berasal dari masalah logistik, daftar pe23
Leo Agustino: Pemilihan Umum Legislatif dan Kepemimpinan Nasional Tahun 2014
milih, ataupun manipulasi penghitungan suara (perbedaan hasil suara pada Formulir C1 dengan penghitungan di KPU Provinsi). Pun demikian, menariknya, pemilihan umum legislatif 9 April 2014 lalu telah melahirkan pemenang baru meskipun bukan pemenang mayoritas mutlak. Mereka adalah PDIP yang menggantikan posisi PD di puncak pemerolah suara terbanyak pada Pileg kemarin. Walau PDIP menjadi pemenang Pileg 2014, tetapi Gerindra dan Nasdem-lah yang berhasil melonjakkan suaranya lebih dari 6% (lhat kembali Tabel 2). Lonjakan PDIP hanya 5% lebih atau di bawah perolehan Gerindra dan Nasdem sedangkan suara PD mengalami erosi akut sebesar 11,39%. Hasil hitungan cepat pelbagai lembaga survei mencerminkan sebaran suara
pemiih sekaligus fragmentasi yang terus terjadi di Indonesia. Akibatnya, konsolidasi demokrasi di Indonesia berjalan perlahan. Selain itu, sebaran suara juga menandakan bahwa pemerintahan ke depan tidak dapat membentuk majority government sebagai syarat tumbuh kuatnya sebuah pemerintahan dominan. Impaknya, partai pemenang Pemilu harus melakukan koalisi. Padahal sejak reformasi terbentuk, koalisi partai hanya menguntungkan partai peserta pakatan dan meminggirkan rakyat. Oleh sebab itu, akhir artikel ini paling tidak mensyaratkan beberapa kriteria pemimpi Indonesia ke depan meski mereka tetap melaksanakan koalisi antarpartai.
DAFTAR PUSTAKA Acemoglu, D. & Robinson, J.A. 2012. Why nations fail: The origins of power, prosperity and poverty. London: Profile Books. Kompas 20 Maret 2014. Kompas 10 April 2014. Kompas 25 April 2014. Kuskridho Ambardi. 2008. The making of the Indonesian multiparty system: A cartelized party system and its origin. Disertasi PhD. The Ohio State University. Leo Agustino& Mohammad Agus Yusoff. 2009. Pemilihan umum dan perilaku pemilih: Analisis pemilihan presiden 2009 di Indonesia. Poelitik 5(10): 555-582. Leo Suryadinata. 2002. Elections and politics in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Luthfi Assyaukanie. 2009. Islam and the secular state in Indonesia. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
24
Jurnal Politika Vol. 10 No. 1 Tahun 2014 Menimbang Kepemimpinan Politik
Tempo10-16 Desember 2012. Tempo 14-20 April 2014. Zenger, J.H. & Folkman, J. 2003. The extraordinary leader: Turning good managers into great leader. New York: MacGraw Hill.
25