KOMERSIALISASI SENI VERSUS IDEALISME SENIMAN
Esai Seni Rupa oleh Seruni Bodjawati di koran Kedaulatan Rakyat Di era sekarang ini, tatkala konsumen didudukkan sebagai maharaja yang harus dilayani, karya seni lebih dipandang sebagai produk budaya yang dinilai secara kasat mata. Pembicaraan cenderung mengarah pada teknik pembahasaan, tingkat kesulitan pengerjaan, daya pukau yang dimiliki dan ujungnya adalah nilai nominal pasar. Sebuah karya lebih dicermati badannya dan bukan ruhnya. Bukan soal tema dan pemikiran yang diusung tapi kecanggihan penggarapan dan kekuatan sensasinya. Seni sebagai media ekspresi psikologis terabaikan. Estetika seolah dipisahkan dari emosi.
Sewajarnyalah, arus deras komersialisasi selalu menggendong kemerosotan mutu. Produksi yang melimpah ruah meminggirkan kontemplasi. Mengejar aktualitas. Melahirkan keserbatergesagesaan. Muaranya hanya pada motivasi tunggal yaitu kepentingan ekonomi. Bagaimana karya bisa lancar diperdagangkan hingga menghasilkan keuntungan materi. Apa akibatnya kalau para penyair over produktif semata-mata hanya guna menumpuk honor segunung? Para novelis kebutkebutan seperti sopir bus kota hanya demi mengejar uang setoran? Untuk apa film kacangan dibuat bergudang-gudang banyaknya? Di seni rupa lebih menyedihkan, pendangkalan mutu biasa terjadi saat pasar sedang booming. Lantas epigonisme, pemalsuan, pencurian ide, ketidakjujuran berkarya dihalalkan akibat keserakahan akan uang.
Memang, sebagai ekspresi paling individual karya seni bersifat nisbi. Sesuatu yang bernilai bagi seseorang belum tentu bernilai bagi yang lain. Lain kepala lain pandangan. Inilah istimewanya sebuah karya seni. Semuanya tergantung dari kemampuan dan selera dalam mengapresiasinya. Namun terlepas dari kenisbiannya sebuah karya seni haruslah memancarkan keindahan dan kegairahan. Bahasa filsafatnya: Koenst ist passie artinya seni adalah keindahan dan kegairahan. Jadi sifat kerohanian sepantasnya mendasari proses kreatif penciptaan. Kalau kecondongannya ke arah pengertian yang bersifat rohani dikaburkan maka bisa diduga hal apa yang bisa terjadi.
Karya I Nyoman Masriadi di Paul Kasmin Gallery, New York, Amerika Serikat. Karya yang hebat mampu menghubungkan masa lalu, masa kini dan masa depan. Kreatornya berkemampuan menyelam ke dalam samudera kehidupan yang telah lenyap, menapaki keberadaannya sendiri dengan mantap, dan berpikir lebih maju dari masyarakat sezamannya. Sungguh benar yang dikatakan almarhum penyair besar Rendra; tak seorang pun kuasa menghapus masa silam dan masa depan adalah masa kini yang dihayati. Maka perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Repotnya, penilaian terhadap karya seni acapkali bersifat situasional. Suasana politik dan tatanan sosial sangat memberi pengaruh. Ernest Hemingway di masa lalu dianugerahi hadiah Nobel Sastra, belum tentu kalau dinilai saat ini akan memenangkannya. Komposisi musik Johan Sebastian Bach dianggap kuno dan ketinggalan
zaman semasa hidupnya tapi seratus tahun sesudah komponis tersebut wafat malahan dianggap sangat kontemporer. Di masa Orde Baru, orang tergetar hebat membaca karya sastra Pramoedya Ananta Toer karena dilarang pemerintah. Sesudah reformasi terasa biasa-biasa saja membacanya. Karya Mochtar Lubis dan Ahmad Tohari lebih dirasakan kekuatan literernya. Sekarang ini orang lebih ingin tahu dan tertarik membaca karya Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dan Joko Pinurbo. Sepuluh tahun lalu lukisan Djoko Pekik sangat mahal di pasaran. Sementara karya pelukis muda Nyoman Masriadi masih sangat murah. Sekarang ini karya Nyoman Masriadi yang dibuat sepuluh tahun lalu nilainya di pasaran puluhan kali lipat dibanding karya Djoko Pekik. Keanehan semacam ini bisa terjadi karena kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki konsumen, sebagai maharaja konsumen memiliki pengaruh besar dalam memposisikan kedudukan sosial perjalanan karya seni. Bahkan para ahli seni, kritikus, budayawan seringkali tak berdaya, lunglai, di hadapan para konsumen sang raja uang. Yang paling parah tentu saja bila para seniman juga takluk di bawah telapak kaki para konsumen. Berkarya bukan berdasar hati nuraninya sendiri tapi sekadar menuruti kemauan pasar. Bahkan berani mengkhianati intuisinya sendiri dan menjilat pasar agar supaya karyanya dikonsumsi. Betapa tak gampangnya menjaga keseimbangan antara idealisme dengan kebutuhan menjaga asap dapur terus mengepul.
Konsumen selalu bergerak. Pilihan, penilaian dan seleranya cepat bergeser. Yang disayang hari ini bisa dibuang esok hari. Kebosanan dan kejenuhan kapan saja bisa segera menerkam. Kondisi dan situasi pergaulan sosial budaya memberi pengaruh vital dalam pola belanja. Gaya hidup hedonis, cenderung bernikmat-nikmat dengan kekinian, tentulah melahirkan pemujaan terhadap aspek-aspek popularitas. Apa saja yang tengah populer perlu dirangkul sebab diyakini mampu meninggikan gengsi dan mempertebal harga diri. Sesuatu yang menimbulkan shock effect, yang berbeda dari yang biasa ditemui, dengan cepat akan merebut pasar. Dengan rakus para konsumen segera melahapnya. Seni yang mendobrak acapkali sukses memaksa konsumen berpaling untuk setidaknya menatapnya.
Kaum kapitalis selalu sigap merespon keadaan. Apa yang tengah populer dieksploitasi habishabisan. Seniman dirangsang dengan jejalan uang, didorong untuk produktif sampai kehabisan daya. Saat kebosanan dan kejenuhan konsumen menyergap maka sang seniman dibiarkan
tercampak dalam kesepian yang menakutkan. Sedangkan konsumen sebagai makhluk raksasa yang selalu kelaparan hanya perlu dicarikan mainan baru. Lihatlah grup band seperti Peterpan, Raja, Sheila on 7, Letto, Kangen dan lainnya. Atau biduan dangdut seperti Lilies Karlina, Ira Swara, Cici Paramida, Ridho Rhoma dan para penyanyi KDI. Saat jaya dipuja-puja bagai dewa dan dewi. Hanya dalam waktu singkat pesta pun usai. Sang Dewa dan sang Dewi segera dilupakan pelan-pelan. Simak jugalah kehidupan seni rupa Yogya. Saat jenis karya kontemporer ala China tengah digilai maka sebagian besar perupa hanyut oleh arus gaya kontemporer ala China itu. Jati diri hilang, karakter individual menguap. Penyeragaman gaya terjadi amat menyedihkan. Pendangkalan nilai dihalalkan hanya dengan tujuan menyerbu pasar. Hanya dalam hitungan tahun dengan jari tangan kejenuhan pasar tercipta. Kesepian menohok ulu hati.
Komersialisasi dalam seni memang merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak. Perdagangan karya seni bukanlah sesuatu yang negatif. Tentu asal masing-masing pihak berdiri di wilayahnya masing-masing. Tidak saling mengintervensi. Pemilik modal jangan mendikte proses kreatif penciptaan seniman. Jangan karena merasa lebih tahu tentang kemauan konsumen lantas menjejalkan ide-ide penciptaan kepada seniman. Biarkan seniman begelut dengan dunianya sendiri. Berenang di genangan mimpi-mimpinya sendiri yang penuh teka-teki. Setelah karya seni tercipta silakan para pedagang memainkannya dengan siasat-siasat bisnis yang elegan dan beretika.
Seniman juga tak perlu terlalu bernafsu sengaja mengarahkan karyanya untuk menuruti selera pasar. Menghamba kepada pasar berarti mempercepat proses kematianya sendiri. Seniman yang baik pasti menyatu secara sosial dan spiritual dengan masyarakatnya dalam kehidupan seharihari. Berpijak di bumi dan tidak duduk di puncak menara gading. Jika seniman telah benar-benar menyelami nafas masyarakatnya maka tak perlu khawatir karyanya tidak terbaca oleh selera konsumen. Sesulit apa pun puisi karya seorang penyair tak perlu dicemaskan tidak bakal menyentuh langit-langit imajinasi pembacanya. Serumit apa pun sebuah lukisan akan tertangkap juga oleh mata batin penikmatnya. Sebab seniman yang berpijak di bumi tak akan bicara dengan bahasa langit.
Kematangan pedagang seni dan konsumen jika berjalan seiring dengan kedewasaan seniman pastilah menguntungkan perkembangan kebudayaan. Puncak menara prestasi kian hari akan kian menjulang tinggi. Tapi bila pedagang seni dan konsumen tak juga mau mematangkan diri maka bukan alasan bagi seniman untuk terus menjadi kanak-kanak. Ya, para pesohor bilang: seniman harus lebih maju dari zamannya! -Seruni Bodjawati
SENIRUPA ANTARA IDEALISME DAN PASAR (Perkembangan senirupa dua kota, Bandung dan Jogja) Bandung dan Jogja adalah dua kota yang menjadi tolak ukur perkembangan senirupa kontemporer Indonesia saat ini. Predikat ini memang pantas disandang oleh dua kota ini karena kedinamisan kreatifitas para senimannya, tapi yang membuat dua kota ini menjadi pusat perhatian para pencita seni adalah perbedaan pemikiran dan komitmen mereka di dunia senirupa, ini hal yang menarik untuk dikupas. Perbedaan ini juga yang menimbulkan kembalinya ‘wacana blok barat dan timur’ kembali menguang ke permukaan. Jogja sebaga kota kebudayaan memang banyak mencetak seniman-seniman handal di negeri ini. Belum selesai masa jayanya Djoko Pekik sudah lahir sederetan nama seniman muda, seperti Entang Wiharso, Nyoman Sukardana, Nasirun, Heri Dono dan banyak lagi nama yang berlombalomba muncul di kota Gudeg ini, tidak salah kalau kota ini disebut sebagai kota yang memproduksi seniman. Nama-nama diatas hampir setiap hari menjadi pembincangan publik pencinta seni. Hasil Pendidikan Kelahiran para seniman muda yang berkesinambungan ini memang tidak lepas dari segi pendidikan seni di kota pelajar ini. Hampir semua seniman yang bermunculan adalah lulusan atau minimal pernah mengecam pendidikan di ISI (Institut Senirupa Indonesia) atau ASRI (Akademi Senirupa Indonesia). Apakah ini hasil dari pendidikan senirupa di Indonesia berhasil?. Pertanyaan ini bisa dijawab iya atau tidak. Menurun Raihul Fadjri, kelahiran para seniman muda dari ISI bukan berarti 100% itu hasil dari pendidikan seni di Indonesia. “Kebanyakan para seniman muda tidak semua lulusan dari ISI, mereka biasanya hanya mengambil dasar-dasarnya saja setelah itu mengembangkan sendiri, kalau kita mau jujur mahasiswa yang lulusan dari ISI jarang yang berhasil menjadi seniman,”ujar pengamat senirupa, yang juga wartawan senior Majalah Tempo. Tapi sebenarnya keberhasilan para seniman itu titik tekannya pada nilai kreatifitas yang mereka kembangkan sendiri tanpa itu mereka belum tentu bisa menuai keberhasilan. Ini bisa dipandang dari realitas yang ada bahwa lulusan ISI tidak semua berhasil menciptakan karya-karya yang memberikan kontribusi besar bagi dunia seni di tanah air bahkan kebanyakan dari mereka masih duduk di bangku kuliah sudah mampu memberikan warna bagi dunia senirupa.
Uniknya perkembangan senirupa di Jogja yang banyak melahirkan seniman tapi sepi dari pengamat seni, hanya satu orang saja yang dianggap sebagai pengamat seni di Jogja yaitu Dr. Dwi Marianto, selain itu tidak terdengar nama-nama pengamat lain yang memberikan pemikirannya bagi perkembangan senirupa, jadi tidak aneh lagi kalau kita mendatangi seminarseminar yang bertajuk seni maka pembicara dari Jogja sudah bisa ditepak siapa dia. Yang sering menjadi pertanyaan, apakah wacana seni di Jogja tidak berkembang?. Inilah perbedaannya dengan Bandung, di kota parahiyangan ini dengan mudah kita akan menemukan para pengamat seni, seperti Hery Dim, Mamanoor, TH. Aminudin Siregar dan banyak lagi nama. Tapi disisi lain kelahiran seniman muda tidak sepopuler di Jogja melainkan seniman tuanya yang lebih dikenal di publik Bandung, nama-nama seperti Jehad Sukamto, A.D Pirous, Sunaryo, Barli Sasmita dan banyak lagi. Apakah perkembangan senirupa di Bandung tidak berjalan berkesinambungan?. Hery Dim membantah bahwa regenerasi senirupa antara angkatan tua dan mudanya tidak berjalan berkesinambungan. Menurut dia Bandung juga melahirkan seniman muda yang berbobot, ia menjelaskan, setelah generasi Jehad Sukamto lahir Umar setelah itu Trisna Sanjaya berlanjut sampai Nandang Gawe. “Hanya saja di mata media seniman Bandung kurang menyolong berbeda dengan Jogja, yang senimannya mengusai media,”bantah pengelola Gallery Kita ini. Mengamati perkembangan senirupa dua kota ini terlihat benang merah yang jelas, Jogja banyak melahirkan seniman muda berbakat sedangkan di Bandung kebalikkanya banyak melahirkan pegamat. Apakah perbedaan ini disebabkan oleh pendidikan?. Menurut Mamanoor, pendidikan memberikan andil yang sangat besar mempengaruhi perkembangan senirupa. Dalam pandangan Mamanoor penyebab perbedaan dua kota senirupa ini disebabkan oleh pendidikan. “Di Jogja pendidikan memberatkan kepada ‘segi tehnis’ tapi di Bandung lebih menitik beratkan kepada ‘konseptual’,”ujar Direktur STIS ( Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia) ini. Mamanoor menambahkan, pendidikan seni di Bandung lebih menekankan mahasiswanya menjadi pemikir dibandingkan menjadi seniman. Ia juga mengakui dari delapan puluh mahasiswa yang mengambil jurusan senirupa murni hanya lima orang saja yang benar-benar mendalami seni lukis sedangkan yang lainnya lebih memilih bekerja di perusahaan advesting. “Berbeda dengan Jogja yang memang mempunyai kultur seni yang sangat kental, selain itu pendidikannya memang lebih menekankan kepada praticall skill,”ujar dosen ITB ini. Penjelasan tadi menurut pespektif pengamat, bagaimana seniman memandang perkembangan seni ini. Bagi Nandang Gawe sebagai seniman muda Bandung berjalan berkesinambungan. “Tapi bedanya di sini persaingannya keras sehingga tidak mudah untuk pameran,”ujar seniman muda yang telah melakukan pameran tunggal sebanyak lima kali. “Karena persaingan itulah, seniman muda yang tidak sungguh-sungguh berkarya akan terlempar dari dunia seni,”tambah seniman yang lukisannya terjual paling tinggi seharga Rp 8 juta.
Tapi Nandang mengakui bahwa di Bandung lebih menekankan kepada dataran wacana. “Disini memang lebih menitik beratkan kepada wacan, ini dibuktikan dengan lahirnya ide-ide segar dikalangan seniman, seperti mengadakan event-event internasional,”ungkap seniman lulusan STIS ini. Pandangan Nandang Gawe diperkuat dengan pendapat Abdul Djalil Pirous, seniman tua ternama di Bandung. Menurut Pirous, perkembangan senirupa Bandung antar generasi merupakan kompetisi yang wajar. “Karena setiap seniman mempunyai perkembangannya sendiri dan kita harus menghargai perkembangan tersebut,”ujar seniman yang akan melangsungkan pameran tunggal pada tanggal 11 Maret tepat di hari ulang tahunnya ke 70 tahun. Menanggapi kreatifitas generasi muda yang lebih arogan dibandingkan generasinya. Pirous beranggapan itulah konsekuwensi kreatifitas. “Saya menyebutnya sebagai spirit of time,”ujar seniman asal Aceh ini. Tapi Pirous mengingatkan kepada generasi muda agar tetap belajar dari generasi sebelumnya, menurut dia munculnya generasi sekarang disebabkan ada sesuatu yang datang dari terdahulu. “Hasil yang sekarang juga berasal dari yang lalu,”ujar Pirous mengingatkan. Di kalangan seniman Jogja kompetisi berjalan sangat terbuka sehingga ruang bagi generasi muda sangat lebar bahkan mahasiswa semester pertamapun bisa berpameran di kota ini. Bagi Djoko Pekik perkembangan senirupa berjalan baik dan berkesinambungan. “Banyak tempat yang bisa digunakan oleh seniman muda untuk memamerkan karyanya,”ujar seniman yang saat ini sedang melukis untuk cover bukunya Dr. Ibrahim Arfian, yang berjudul “Jas Merah”. Nasirun sependapat dengan Djoko Pekik bahwa banyak ruang yang bisa dipakai seniman muda untuk menyalurkan karya-karyanya. “Seniman muda memiliki kesempatan yang baik untuk menyalurkan semua karya-karyanya,”ujar seniman asal Cilacap ini. Tapi Nasirun mengakui keberhasilan Jogja melahirkan seniman-seniman muda yang handal ini disebabkan oleh kultur dan pendidikan yang mendukung. “Kultur disini mau menerima suatu yang baru dan pendidikan disini juga mendukung seniman untuk terus berkreatifitas,” ujar seniman yang mengisi waktu longgarnya dengan memelihara tanaman bonsai dan kias, ia memiliki puluhan tanaman Bonsai dan Kias. Pendidikan memang sangat mempengaruhi kehidupan senirupa Indonesia tapi bukan berarti pendidikan seni di tanah air sudah berhasil 100% melainkan masih banyak terdapat kekurangannya maka yang harus dilakukan adalah membenahi kembali pendidikan seni agar bisa mengisi kekurangan yang ada saat ini. Selain itu pendidikan juga harus memberi ruang kepada seniman-seniman yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengecam pendidikan secara formal. Menciptakan Pasar Ideologis Dalam senirupa kontemporer sekarang ini adalah istilah yang sangat populer yaitu “gorengmengoreng”. Istilah ini diungkapkan pertama kali oleh Adi Wicaksono, seorang pengamat seni
asal Jogja. Adi melontarkan ini di dalam tulisannya di sebuah Katalog senirupa. Adi mengkritisi pemasaran lukisan yang tidak lagi memakai Gallery melainkan langsung kepada para pembeli, Adi beranggapan bila sistem pemasaran seperti ini membuat masyarakat tidak lagi bisa menikmati hasil seni dan menjadikan nilai estetika seni hilang. Selain itu Adi dengan keras mengkritisi seniman yang bisa dipesan dalam proses berkarya, bagi Adi seniman seperti ini adalah seniman yang tidak berpegang teguh kepada nilai –nilai seni dan mudah dididekte pasar. Seniman yang kerap kali di sebut sebagai seniman “goreng-menggoreng” salah satunya adalah Nasirun, seniman yang lulus ASRI (Akademi Senirupa Indonesia) tahun 1994 seangkatan dengan Entang Wiharso. Nasirun mengakui bahwa dalam berkarya ia bisa dipesan. Bagi Nasirun bila ada kolektor atau Kolekdol yang datang kepadanya dan minta dipesan suatu gambar adalah hal yang sah-sah saja. “Tapi itu semua harus sesuai dengan imajinasinya,”ujar seniman yang saat ini sudah mempunyai rumah seharga Rp 300 juta sebanyak dua buah dan mobil Suzuki Katana keluaran baru. Bagi Nasirun mengikuti kemauan pemesan hanya sebuah refrensi dia dalam proses berkarya. “Kadang dalam berkarya kita butuh refrensi, saya berpikir kenapa para kolektor itu tidak kita jadikan masukan dalam berkarya dan saya rasa sah saja bila kita mengambil ide dari kolektor tapi penentunya imajinasi saya,” ujar pelukis yang saat ini mempunyai dua orang anak ini. Nasirun dalam proses kreatifitasnya bergantung kepada “kegondrongan imajinasinya”, bagi dia melukis adalah menyalurkan “kegondrongan imajinasi” yang dimilikinya dan ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikannya hal istimewa kepada dirinya. “Saya beranggapan bahwa pelukis kerjaannya adalah menggambar, sedangkan siapa yang membeli, baik itu penjahat maupun koruptor, itu bukan urusan pelukis,”ujar seniman yang saat ini telah memproduksi lukisannya hampir 300 lukisan. Banyak kalangan pencinta seni beranggapan bahwa Nasirun dalam proses berkreatifitas tidak berani berubah karena khawatir ditinggal pasar. Nasirun membantah pendapat ini, menurutnya dalam proses berkarya sesuai dengan imajinasinya. “Bila dalam proses berkreatifitas menuntut saya berubah maka pasti juga ia akan mengikuti perubahan imajinasi tersebut,”ujar seniman yang sebagian uangnya diinvestasikan di tanah, ia memiliki tanah di Cilacap seluas satu hektar, Sidoarum dan Prambanan, yang rencananya akan menjadi studionya. Nasirun beranggapan apa yang dihasilkan selama ini adalah merupakan proses hidupnya yang panjang, sejak sekolah di SMSR tahun 1982 dengan hanya membawa uang Rp.75.000, hasil menjual pintu rumahnya, menjual kartu lebaran dan melukis kain batik. “Kalau sekarang saya sering digosipin orang yang tidak-tidak, saya hanya beranggapan ini merupakan proses panjang manusia menjadi bijak,”ujar pelukis yang masih beranggapan baru berproses menjadi seniman karena merasa belum memberikan warna bagi dunia senirupa. Bagi Nasirun tawar-menawar dalam menjual lukisan adalah suatu yang wajar dan manusiawi. ”Saya sejak kecil diajarkan menghormati tamu, bila ada yang datang menawar lukisan, itu saya anggap sebagai silaturahmi tapi tawar menawar itu hanya bisa sekali saja. Ini managemen ala tukang gambar dan saya sebut sebagai idealisme linear,”kelakar seniman yang mempunyai istri bernama Illah.
Nasirun mengajak publik senirupa Jogja untuk tidak terjebak berbicara pasar terus-menerus, ia memberikan masukan agar kita memikirkan untuk mendirikan semua museum di Jogja. Ia menyayangkan Jogja sampai sekarang belum mempunya museum walaupun dipredikatkan sebagai kota budaya. “Ini penting bagi warisan bagi generasi akan datang,”ujar seniman yang baru saja merampungkan lukisannya yang berjudul “Mangkatnya Sang Umbul Karno”, yang berukuran 2×4 meter dan sudah dibeli oleh Museum Gadjah di Singapura seharga Rp 140 juta. Djoko Pekik sebagai seniman tua yang telang melalang buana di dunia seni dengan keras menolak telah diintervensi pasar bahkan ia beranggapan bahwa pasar yang ikut dengan dia. “Banyak pengamat yang mengatakan bahwa sayalah yang menciptakan pasar,”ujar seniman yang suka mendengar gamelan ini bahkan ia mempunyai gamelan satu set lengkap seharga ratusan juta di rumahnya. Pendapat Djoko Pekik ini didukung oleh temannya sesama seniman yang berasal dari Lekra yaitu Miscbah Thamrin. Menurut Misbah, Djoko Pekik sejak dulu dalam proses berkarya tidak berubah. “Djoko Pekik sudah teruji komitmenya dalam berkesenian,”ujar seniman asal Kalimantan Selatan ini. Dalam berkarya Djoko Pekik selalu merasa “sakit” melihat realitas sosil-politik bangsa yang sekarang terjadi karena itulah ia bisa berkarya. Selain itu pengalaman hidupnya yang getir di masa kecil dan penjajahan yang membentuknya menjadi sekarang ini. ”Menurut ibu saya, waktu balita saya sekarat,”ujar seniman yang mempunyai cucu banyak ini. Djoko Pekik mengakui bahwa ia sering didatangi oleh para kolektor atau kolekdol yang memburu lukisannya tapi Djoko Pekik tidak begitu saja melepas karyanya, ia memilih kolektor yang menurutnya pantas membeli lukisannya. “Saya selalu melihat kolektor yang datang, bila menurut saya cocok baru saya lepas karya saya itu tapi kalau tidak cocok tidak akan saya lepas,”ungkap seniman yang karyanya terjual dan termahal saat ini seharga Rp 1 Miliar berjudul “Indonesia 1998 memburu Celeng” dan dibeli oleh Siswanto pemilik Mirota Kampus tinggal di Jogja. Apakah Djoko Pekik berkeinginan berubah?, pertanyaan ini yang selalu menghantui para pecinta seni. Menjawab pertanyaan ini Djoko Pekik mengungkapkan bahwa ia sebenarnya ingin sekali berubah tapi ia selalu merasa “sakit” melihat realitas sosial sekarang, yang menyebabkan dia tidak bisa berubah. “Karena itulah saya tidak bisa berubah tapi bukan berarti saya sudah terbeli oleh pasar, bagi saya harta benda bukan suatu yang harus diburu,”tegasnya seniman yang dulunya adalah penjahit yang digelutinya selama 17 tahun. Sebagai seniman yang sangat menghargai nilai seni, Djoko Pekik dalam menentukan harga tidak pernah berhitung secara ekonomi tapi sesuai dengan hati nuraninya. “Saya dalam menentukan harga sehendak hati saya,”ungkap seniman yang sekarang ini mempunyai rumah bertingkat dua di Bantul, dan tanah seluas 20 hektar yang ditumbuhi perpohonan sehingga menurut Miscbah, Djoko Pekik mempunyai kerajaan yaitu ‘kerajaan Djoko Pekik’.
Seniman Bandung berbeda dengan seniman Jogja, di Bandung para senimannya seakan-akan tidak peduli, apakah lukisannya laku atau tidak, bagi seniman Bandung yang berpegang kepada nilai seni dan wacana sehingga mereka tidak peduli dengan pasar bahkan menurut Nandang Gawe para seniman muda Bandung sudah sepakat untuk tidak menjual lukisannya sebelum dipamerkan. “Itulah penyebab kenapa para kolekdol tidak bisa beraksi disini,”jelas seniman yang sudah lima kali menyelenggarakan pameran tunggal. Tapi Nandang mengakui bahwa aksi goreng-mengoreng juga terjadi di Bandung tapi bedanya di Bandung aksi itu dilakukan secara tertutup dan para seniman yang lainnya juga tidak peduli dengan perilaku seniman yang melakukan hal tersebut. “Tapi kami tidak peduli bila ada yang melakukan hal tersebut,”ungkap seniman yang pernah sekolah SMSR di Jogja. Ketidakpedulian Nandang Gawe sama dengan Pirous yang tidak peduli dengan aksi goreng-menggoreng yang dilakukan oleh para seniman Bandung. “Itu bukan urusan saya, itu urusan mereka secara pribadi,”ungkap seniman yang mempunyai gallery, yang diberi nama “Serambi Pirous”. ”Itu terngantung si senimannya apakah ia mau mengorbankan nilai yang ada pada karyanya didikte pasar,” tambah seniman yang dalam proses berkarya tidak mau terpaku pada satu aliran saja tapi sejak tahun 1970, ia lebih sering melukis kaligrafi.
Pengakuan bahwa di Bandung juga terjadi aksi goreng-mengoreng juga diakui oleh pengamat senirupa Bandung tapi menurut Mamanoor aksi itu tidak bisa terbuka seperti di Jogja karena ‘budaya akademik’ yang sangat kuat di Bandung. “Sehingga terkesan hipokrit yang membentuk budaya elittis, karena elittis itu menciptakan budaya tidak perduli terhadap seniman yang melakukan aksi tersebut,”tegasnya. Selain itu menurut MamaNoor, di Bandung kompetisi yang berlangsung lebih mengarah kepada ideologis. Pengakuan bahwa aksi goreng-mengoreng juga terjadi di Bandung juga diakui oleh pengamat muda Bandung TH. Aminudin Siregar. Ia bahkan bangga dengan teman-teman Jogja yang mengembangkan iklim keterbukaan didalam berkesenian. “Sebenarnya saya salut dengan temanteman Jogja yang berani membudayakan keterbukaan seperti itu kalau di Bandung ini banyak “sampahnya”, mereka melakukannya secara diam-diam,”tegas pengamat yang juga sering menulis di media Nasional ini. Bahkan Ucok, nama panggilannya menantang pers untuk membongkar aksi goreng-mengoreng di Bandung. Bagi Ucok menjual lukisan adalah suatu hal yangwajar tapi kalau pasar sampai mengendalikan seniman dia akan menentangnya.”Saya sangat prihatin kalau seniman sampai dikendalikan pasar maka imbasnya pada proses berkreatif tidak bisa berkembang,”tegasnya. Ucok akan bertindak bila seniman-seniman yang bisa dikendalikan pasar masuk dalam sejarah.”Saya akan menjegal bila nama-nama mereka masuk sejarah senirupa Indonesia,”ujarnya dengan nada mengancam. Dalam pengamatan Mamanoor pasar tidak berpihak kepada kepentingan seni, “mereka lebih mementingkan kepentingan ekonomi,”ungkap dosen ITB asal Garut ini. Mamanoor beranggapan bahwa aksi goreng-menggoreng tidak bisa dianggap sebagai melecehkan seni. Bagi Mamanoor
realitas ini harus diperbaiki dengan memberikan pemahaman kepada pasar terhadap nilai senirupa, walaupun dia mengetahui langkah ini sudah dilakukan oleh Jim Supangkat tapi menurut MamaNoor itu belum cukup. “Perbaikan ini merupakan tugas semua elemen pekerja seni dan masyarakat untuk menciptakan ‘ideologi pasar’,”jelasnya. MamaNoor menambahkan bila seorang seniman sudah terngantung pasar maka si seniman itu tinggal menunggu nasib kehancurannya. “Hal itu yang menjadikan seniman Bandung takut melakukannya,”jelasnya. Menurut MamaNoor, seniman Bandung mungkin akan melakukan bila nilai itu sudah bisa ditegakkan. MamaNoor juga menambahkan, “pendidikanlah yang menjadi faktor utama untuk memperjuangkan nilai,”tambahnya. Melihat kenyataan ini A.D. Pirous mengajak para pembeli untuk belajar dalam belanja sedangakan para seniman harus belajar kepada masyarakat. “Seniman dan pembeli harus samasama belajar,”jelas seniman yang menyatakan bahwa karya yang dibuatnya adalah catatan perjalan hidupnya. Mamanoor memberikan solusi agar nila seni itu bisa ditegakkan dengan merubah konsep pendidikan seni. Menurut dia pendidikan seni harus seimbang dengan konseptual skill dan praktical skill. “Bila pendidikan kita sudah mencapai kesana barulah perhargaan nilai terhadap senirupa bisa ditegakkan,”ujarnya. Bila ada yang mengatakan pertanggung jawaban terhadap sebuah karya itu tergantung kepada kesadaran seorang seniman. Menurut MamaNoor itu pendapat kuno. “Itu bisa dilakukan bila infrastrukturnya sudah jelas seperti di barat,”tegasnya. Ia juga menambahkan di Indonesia infrastruktur itu belum terbentuk secara sempurna maka tugas semua elemen masyarakat seni untuk menyempurnakannya Nasib Gallery Salah satu elemen yang terkena imbas positif dari perkembangan senirupa di Indonesia adalah gallery. Di jogja banyak bermunculan gallery baru yang berorientasi komersil. Gallery komersil ini memang hanya akan memamerkan seni lukis saja, mereka tidak berani memamerkan karya seni yang lainnya karena dianggap belum dilirik pasar. Saat ini sudah hampir tiga puluh gallery bermunculan di kota pelajar ini. Mamanoor menyesalkan bahwa permunculan gallery di Jogja hanya semata-mata berorientasikan bisni belaka, menurut Mamanoor, gallery adalah sebuah perniagaan yang dibentuk secara sengaja dalam dunia seni dan berpikir kearah jangka pendek. “Tapi seharusnya gallery jangan hanya menekankan kepada segi komersil belaka tapi mereka juga harus memberi ruang kepada seni lainnya,”ujar seniman yang juga akan menulis biografi A.D. Pirous ini. Tapi di Jogja tidak semua gallery berorientasikan bisnis masih ada gallery yang mempunyai idealisme terhadap seni. Gallery seperti ini tidak hanya memamerkan seni lukis saja bahkan sebagian besar mereka memamerkan karya seni lainnya, seperti extalasi, patung, poster dan lainnya.
Dari sekian galllery yang berani seperti itu, salah satunya gallery Cemeti, yang berada di selatan kota Jogja. Gallery yang diresmikan pada tahun 1982 dan diresmikan oleh Fadjar Sidiq ini kelola oleh Mella Jasman seniman wanita asal Belanda. Menurut Mella, Cemeti tidak berorientasikan hanya lukisan semata bahkan selama ini cemeti hanya 20% memamerkan seni lukis selebihnya memamerkan extalasi, seni patung dan lainnya. Ia memberikan contoh Trisana Sanjaya, seniman muda Bandung, yang memamerkan “Drawing football”. Pameran ini berbentuk pertandingan bola yang dilakukan dua club sepakbola, masingmasing mereka membawa tanaman dan bendera masing-masing kesebelasan. Tanaman dan bendera-bendera tersebut di pamerkan di Gallery, setelah itu mereka disuruh main bola di lapangan sebelah Galllery. Contoh lain yang unik dilakukan oleh Bambang Toto, yang bertingkah laku sebagai tukang Makelar barang-barang bekas di Gallery. Menurut Mella, gallery ini diperuntukkan untuk seniman muda yang membutuhkan ruang untuk memamerkan karya-karyanya. Cemeti mempunyai syarat bahwa karya-karya yang dipamerkan mempunyai daya tarik dan mempunyai visi dan misi serta membawa hal yang baru. “Yang terpenting karya itu melahirkan karya-karya baru bagi dunia senirupa,”jelasnya. Mella mengakui bahwa galeri juga menjual karya-karya para seniman itu dan setiap karya yang terjual di potong sebesar 30%. “Potongan ini digunakan untuk operasional galeri yang setiap bulannya menghabiskan dana Rp 3 juta,” ungkap seniman lulusan IKJ ini. Gallery cemeti tidak hanya memamerkan karya-karya seniman saja tapi juga menjual karyakarya seniman itu ke luar negeri bahkan Gallery ini juga mencarikan beasiswa bagi seniman muda yang berbakat. “Ini salah satu kontribusi yang bisa kami berikan kepada seniman,”ujar seniman yang sudah fasih berbahasa Indonesia ini. Kegairahan permunculan gallery di Bandung memang tidak sedahsyat di Jogja tapi sekarang ini muncul gallery yang berbeda dengan Gallery yang ada saat ini, yaitu ‘Gallery Kita’, galeri ini dibuka pada tanggal 20 Februari 2002 oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dengan ditandai Pameran Lukisan bersama 18 seniman yang betajuk “Cakwala Asali 2001” dan pageralan Panggung Pakalangan Seni. Gallery ini memakai gedung Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemda Bandung, sebagai pengelola gallery ini adalah Hery Dim, yang terkenal dengan seniman idealis. Ketika ditanya kenapa ia mulai berdekatan dengan birokrasi, Henry menjawab bahwa ia mengansumsikan uang yang dipakai oleh pemerintah daerah adalah uang rakyat.”Maka tidak salah kalau uang itu kita pakai untuk kegiatan berkesenian,”kilahnya. Dia juga menyanggah bahwa bekerjasama dengan pemerintah daerah ia mudah dinterpensi oleh birokrat, “coba anda lihat acara ini semuanya diserahkan ke saya dan tidak ada campur tangan pemda,”sanggah seniman yang berpostur pendek dan berbadan kurus ini. Henry Dim juga mengatakan bahwa bila Gallerynya mendapatkan keuntungan maka uang itu dipakai untuk mengelola gallery, tidak masuk kekas daerah. Menurut Herry Dim, rencananya Gallery ini tidak hanya dipakai untuk pameran lukisan saja tapi akan memamerkan semua hasil karya seni, seperti
kerajinan, extarasi, patung dll. Herry Dim juga menambahkan bahwa Gallery memotong karya yang dijual sebesar 30 %. Ia juga memandang bahwa perkembangan Gallery di Bandung tidak bagus, itu ditandai dengan sedikitnya Gallery yang ada di Bandung. “Sekarang Padi Gallery terpaksa gulung tikar,”ujarnya. Tapi menurut Herry Dim, Gallery di Bandung tidak semua bertujuan Komersil. Ia memberi contoh Pabrik Gallery yang tidak berorientasi bisnis belaka. “Gallery ini juga akan memamerkan karya seni lainnya,” jelasnya. Perbedaan dua kota ini dalam perkembangan senirupa di Indonesia harus memberikan arti sendiri dalam memberi warna bagi dunia senirupa, perbedaan yang besar ini jangan dijadikan benteng yang memisahkan antara keduanya, tapi bagaiman perbedaan itu diterjemahkan sebagai dinamika dalam berkesenian dan saling mengisi sesama seniman di dua kota tersebut, dan biarkan perbedaan itu tetap menjadi ciri khas di dua kota tersebut, tapi yang terpenting dan harus dilakukan oleh semua elemen pekerja seni adalah menciptakan dunia seni yang dekat dengan masyarakat sehingga menumbuhkan rasa cinta masyarakat terhadap dunia seni. Dengan menumbuhkan rasa cinta itu dengan sendirinya nilainilai seni akan terbentuk dan dijunjung tinggi oleh para pekerja seni. Ini merupakan tugas berat para pekerja seni tapi ini harus ada yang siap memulainya. Sekarang inilah waktu yang tepat untuk melakukan tuga mulia tersebut?. Machmud N.A
Pasar Seni Rupa dan Komoditi OLEH: IBRAHIM Hasrat pemenuhan kebutuhan dengan karya seni tidaklah keliru jika dipandang sebagai kondisi alamiah bahkan suatu yang didambakan. Seiring dengan perkembangan di segala aspek kehidupan, seni juga turut aktif memengaruhi kondisi sosial ke sebuah peradaban modern yang ditandai pada pemanfaatan seni itu sendiri dalam memenuhi dan membentuk kebutuhankebutuhan yang semakin kompleks. Ini bisa kita baca dari proses penciptaan kebutuhankebutuhan ”baru” yang dimanifestasikan melalui karya seni, baik dalam bentuk produk maupun pencitraan. Begitu juga halnya ketika berbicara komoditi yang sarat dengan pemanfaatan seni rupa sebagai produk komoditi maupun untuk pencitraan. Sehingga ini menjadikan pembicaraan akan seni rupa juga semakin luas dan tak terbatas. Untuk lebih lebih lanjut ada baiknya dilihat dulu sebisanya apa kira-kira kriteria dari komoditi. Berbicara komoditi tidak ada ubahnya seperti kita melihat sebuah objek. Dalam masalah yang lebih konkret objek di sini adalah objek yang dapat mempengaruhi subjek. komoditi juga tidak bisa dilepaskan pada keterkaitannya dengan manusia sebagai subjek. Keterkaitan antara objek dan subjek ini, mau tidak mau harus melalui hubungan-hubungan tertentu yang berperan sebagai predikat, sehingga objek/komoditi nantinya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tertentu subjek, entah kebutuhan itu bersifat fisik maupun psikologis.
Kondisi di atas dapat dilihat dari persoalan yang sederhana. Katakanlah saat seseorang membuat pembersih telinga dengan tujuan untuk ia pakai sendiri, jelas ini tidak dikatakan komoditi. Akan tetapi, ketika ia membuat pembersih telinga dengan tujuan untuk dikonsumsi oleh orang lain maka itu bisa menjadi komoditi beserta asas pemindahan tangan yang biasa disebut jual beli (predikat). Tidak lepas dari hal tersebut, dalam penciptaan komoditi tergambar juga usaha untuk melakukan penelusuran kegunaan. Dengan kata lain, apa yang akan ditawarkan memiliki nilai guna bagi orang lain. Seperti dari sisi produsen, bagaimana komoditi yang akan ia hadirkan dapat memenuhi kebutuhan bahkan keinginan konsumen, sehingga dalam menguasai atau menghadirkan komoditi, kebutuhan atau keinginan merupakan sasaran yang harus selalu dijungkirbalikkan dengan bermacam tawaran kegunaan (pendekatan antropologis). Peran seni di sini bisa berfungsi ganda alias menjadi objek komoditi, dan lebih ekstrem ia sekaligus sebagai kekuatan yang bisa menciptakan kebutuhan dan keinginan akan komoditi itu sendiri (sebagai media pencitraan). Seni rupa, jika dihubungkan dengan masalah komoditi tidak heran ia dinamai seni terapan atau seni kerajinan dan industrial, sebab kegunaannya jelas sangat dekat dengan transposisi penunjang aktivitas fisik serta pemenuhan hasrat dan pasar. Di samping itu, seni terapan juga menjadikan keindahan objektif sebagai ciri ”wajib” tanpa mengenyampingkan nilai-nilai kegunaanya. Sehingga dalam membaca seni kerajinan lebih kurang berda dalam wilayah profan atau seni yang siap di sulap menjadi komoditi. Lebih lanjutnya, dalam seni kerajinan juga tak tertutup kemungkinan menghadirkan karya-karya yang berda pada tataran yang lebih ”tinggi” dari seni industrial/kerajinan lainya yang di kenal dengan High craf. Namun ciri yang tak lekang dari seni ini adalah keberadaanya dalam wilayah kerajinan/carf, sehingga kedekatannya dengan persoalan komoditi tidak dilihat terlau ektrem. Menilik persoalan diatas berdasarkan pertimbangan pada persepsi lain, kontroversi bisa saja muncul ketika kondisi antropologis yang digunakan untuk menciptakan komoditi dan pasar telah berlaku untuk seni rupa yang lebih menekankan pada realitas metafisik. Ini menggejala ketika seni rupa yang hobi berbicara nilai-nilai, pesan sosoial, atau makna-makna, dan pembentukan kondisi metaforis (bahasan pribadi), malah melakukan pendekatan antropologis komoditi. Apa kira-kira akan yang terjadi dengan kondisi ini? Apalagi ketika karya tersebut telah diproteksi oleh kebutuhan dan keinginan dari kekuatan eksternal lainya. Keadaan yang di paparkan tersebut bisa menjadi bumerang saat terjadinya kekaburan atau kesalahfahaman pembedaan pendekatan antropologis karya seni rupa (seni murni-seperti lukis, patung, grafis dengan seni terapan/komoditi). Sebab salah satu oposisi yang terkonstruksi dalam pemahaman seni (seni murni) tidak akan setara secara hakikatnya ketika nilai/makna yang akan menjadi pembentuk kondisi metaforis telah menjadi komoditi. Di sini tentu bukan masalah baik atau tidak baik, benar atau salah, namun untuk mengurai persoalan komoditi di tubuh seni rupa dan pembedaan pendekatan demi memposisikan wilayah bahasan serta pemahaman akan seni rupa itu sendiri. Kendati demikian, dalam praktek seni rupa pembedaan masalah seni anti komoditi atau seni yang dikomoditaskan sampai kini tetap masih menuai kontroversi di antara proses kreativitas yang terus berjalan. Ini dimulai dari seniman yang tidak setuju jika karya-karya yang pada hakikatnya lebih mengutamakan perwujudan nilai-nilai atau makna berubah menjadi komoditi apalagi kejar
pasar. Reaksi kecurigaan juga bisa saja muncul pada seniman yang karya-karyanya tidak dikomoditikan oleh pihak yang bisa menggeser karyanya menjadi komoditi, katakanlah galeri komersil atau balai lelang dan kolektor. Sehingga menjadikan momen ini sebagai ajang pergulatan atau lebih gawatnya untuk saling menjatuhkan dalam mengarungi dunia seni yang sebenarnya multi-interpretasi. Kolektor dan Kepentingan Kalau diamati secara terbuka adakalanya bicara kepentingan akan berhadapan dengan konsekuensi perbedaan kepentingan. Baik kepentingan–kepentingan yang selalu mengitari proses berkesenian maupun kepentingan dalam pemanfaatan karya seni itu sendiri. Begitu juga menilik fungsi dan tujuan seni rupa, jelas tidak lepas dari kepentingan yang kalau tidak salah selalu berkembang. Pun demikian, juga tidak bisa dielakkan dengan perkembangan kepentingan menjadikan perbincangan tentang seni rupa itu sendiri turut (harus) berkembang hingga ke wilayah politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Katakanlah dalam penciptaan sitem ekonomi/pasar yang nantinya seniman akan berhubungan dengan kolektor. Bagi kolektor karya seni jelas suatu yang penting dan harus dimiliki. Kemudian, pentingnya karya seni bagi kolektor tentu diintegrasikan juga dengan kepentingan lainnya. Apakah itu untuk memenuhi kebutuhan spiritual, intelektual, transendental, atau untuk kepentingan investasi/pasar. Dalam pembacaan pasar seni rupa, kepentingan sepihak (kolektor) seperti diatas memang sering terabaikan saat di proyeksikan bersamaan dengan kepentingan seniman, sehingga bagi sebagian yang mengamati dan menjalani proses kesenian, melihat kepentingan akan karya seni terkadang menuai kebingungan atau dihadapkan pada persimpangan. Salah satunya adalah kecemasan pada penciptaan komoditi yang disinyalir masih dilihat sebagai dampak pemerosotan nilai dari karya seni. Kecemasan lain terhadap kolektor juga tampak dari potensialitasnya dalam mengarahkan perkembangan kesenian itu sendiri. Seperti apa pengaruh kolektor dalam mengarahkan perkembangan kesenian akan dibahas setelah ini. Kritisnya pandangan terhadap kolektor disadari sebagai realitas yang telah berjalan di dunia seni rupa Indonesia. Kondisi ini lebih menonjol sejak booming-nya seni lukis Indonesia sekitar tahun 1980-an, dengan ditandai terjadinya transaksi jual beli di hampir setiap pameran seni rupa di beberapa kota, terutama Jakarta. Saat itu juga, mulai membiak kolektor-kolektor atau kolektor yang berstatus kolekdol dan broker. Pemalsuan karya seni dengan modus pengelabuan kolektor yang memang pada saat booming tersebut sangat minim akan pengetahuan tentang seni rupa juga marak terjadi. Babak inilah yang menjadikan kolektor sebagai paradoks di setiap perbincangan dan pencitraan kesenian itu sendiri. Tidak hanya sampai di situ, persaingan yang sangat ketat antara seniman juga mulai berkecamuk. Baik itu sesama seniman Indonesia maupun dengan seniman mancanegara terutama seniman Cina. Sampai saat sekarang, kritisnya penilaian terhadap sosok kolektor tidak ayal menelurkan salah satu pernyataan “melacurkan kesenian” “woow…bisa tuuuh?!”. Pernyataan yang jauh dari kebenaran ini tentu akan mencari tempat dalam pemahaman seni ketika karya seni yang lahir dari kreativitas disamakan seperti memaknai kehormatan kodrat manusia. Kendatipun pembedaan pemaknaan seni seperti ini bisa ditampakkan ke permukaan, hal lain yang akan muncul setelah itu adalah pembenturan kepentingan-kepentingan akan proses dan pemanfaatan karya seni itu sendiri. Katakanlah seni yang diwarisi dengan pemahaman pada penghargaan kebutuhan
psikologis atau intelektualitas dibedah atau dibenturkan dengan seni yang ditarik untuk kepentingan pemanfaatan material (pasar) yang hanya sekadar menjual hasil dari kreativitas seniman. Apa yang kira-kira terjadi? Apalagi benturan yang telah ada tersebut dibenturkan lagi dengan segerombolan orang yang memanfaatkan dan membela seni untuk kepentingan alat komunikasi komersial kapitalis, tentu ini akan semakin seru lagi. Di manakah posisi kolektor dalam masalah tersebut? Di antara benturan segitiga tersebut jelas kolektor menjadi salah satu gunjingan dan dituduh berperan dalam mengonstruksi benturan pemahaman di atas. Seperti dikatakan sebelumnya, kolektor cukup berpotensi menggeser arah perkembangn kesenian itu sendiri. Alasan yang bisa menopang pernyataan ini bisa dilihat ketika seniman sebagai pembuat karya seni telah berlomba-lomba “mengekori” selera kolektor dalam menawarkan gagasannya. Apalagi kolektornya hobi investasi dan memiliki mekanisme pasar yang bersifat substansif. Kolektor semacam ini tentu tidak sembarangan dalam memilih karya seniman yang akan ia koleksi, alias yang dicari adalah karya yang banyak digemari pasar seni. Konsekuensinya adalah karya-karya yang akan terbaca di sini tak lain adalah karya-karya yang telah berjalan di “rel-rel semu” buatan kolektor. Sehingga proses kreativitas metaforis terindikasi telah berjalan di luar kealamiahan proses perkembangan kesenian itu sendiri, matinya gagasan personal, menguapnya identitas, dan hilangnya terobosan. Inilah dampak pengaruh kolektor dalam mengarahkan proses kesenian yang saya maksud. Bagaimana Sumbar? Bagaimana Sumbar? Maksudnya bagaimana di sini jangan-jangan Sumbar (Sumatera Barat) khususnya Padang, apakah terlibat dalam meracik bumbu untuk membangun jalur penuh benturan “indah” tersebut atau hanya sekadar mendengar dari kejauhan tanpa merasakan langsung benturan tersebut? Yaa…, awalnya sih demikian, tapi sejak booming dunia seni lukis tahun 1980-an yang diwakili secara simbolis oleh beberapa kota di Indonesia, jelas keadaan di Sumbar tidaklah sekompleks yang terjadi di Jakarta misalnya. Oleh sebab itu, bagi sebagian seniman Sumbar, kolektor terkadang sangat dinanti-natikan kedatangannya. Jika persoalan ini kita lihat secara lebih terbuka, mungkin pertanyaan yang pas untuk Sumbar saat ini adalah apakah kolektor atau pecinta seni sudah tumbuh di Sumbar? Mengapa ini harus dipertanyakan? Yaa…, kalau masalah kolektor yang mengoleksi karya seniman Sumbar jelas praktek tesebut sudah berjalan hingga tulisan ini selesai. Namun anehnya, yang meminati karya seniman Sumbar itu bukanlah kolektor lokal (masyarakat Sumbar) yang telah sadar bahwa praktek simbolis yang dilakukan seniman Sumbar harus diinventarisasi agar tidak kehilangan karya seni yang suatu saat bisa saja menjadi artefak penting. Sehingga di masa mendatang, masyarakat Sumbar tidak perlu repot-repot pergi ke Belanda atau kemanalah untuk melihat karya nenek moyang mereka saat ingin membaca sejarah. Lalu, siapakah yang telah membawa karya seniman Sumbar sekarang? Jawabannya jelas kolektor yang datang dari luar Sumbar yang tanggap melihat proses krativitas di Sumbar. Sehingga mereka dengan “leluasa” menjelajahi proses kretivitas seniman Sumbar di antara keterlenaan masyarakat Sumbar yang siap terperangah karena suatu saat akan merasa kehilangan. Dalam hal ini, kenapa Sumbar seperti memosisikan kolektor sebagai sesuatu yang penting dan harus ada? Ya, seperti yang belum saya tulis diatas, di beberapa sisi kolektor memang sangat terasa memberikan dampak “positif dan negatif”. Namun pengaruh lainya di dunia seni rupa
adalah perannya dalam membantu rumah seniman agar tidak menjadi tempat tumpukan karya seni. Kemudian, kolektor mampu memperlancar roda perekonomian seniman dalam perwujudan kreativitas. Namun, hal yang sangat substansial, kolektor juga merupakan bagian dari infrastruktur seni rupa di antara infrastruktur lainya seperti galeri, museum, kurator, atau kritikus dan institusi pendidikan. Dengan demikian, tinggal bagaimana masyarakat meletakkan dan memosisikan kepentingan dalam mengafirmasi (melakukan penguatan) pilihannya untuk memaknai realitas. Disamping itu seniman juga tidak kehilangan ekspresi sosial dan kemampuan kritisnya ketika telah berada dalam simulasi pasar seni. Dengan kata lain tidak merasa nyaman, adem ayem dengan “pra prestasi” yang di capai. Sehingga melihat pasar seni yang telah merambah ke wilayah Sumatera Barat tidak menjadikan pembacaan akan kondisi kesenian Sumbar seperti melihat jejeran toko yang hanya menjual karya seni. Sebab jika terjadi kekeliruan dalam mensiasatinya akan berdampak negatif untuk genersi selanjutnya. Catatan kecil, jika kita ditarik kembali benturan diatas, jelas akan tetap menjadi benturan jikalau kepentingan yang berbeda masih saling dihadapkan. Persoalan ini sama saja dengan main perang-perangan ideologi dalam memaknai realitas. Di samping itu, hal yang mungkin selama ini menuai perbedaan yang kadang tidak berkeselesaian adalah ketidakmampuan mengenyampingan idealisme. Dengan kata lain, saat kita mengatakan, mendengarkan, menerima, atau mengerjakan sesuatu pandangan atau persepsi orang lain, seolah-olah kita menuduh idealisme kita telah terjajah. Ketakutan inilah yang sebenarnya menegakkan jejeran “pagar-pagar tinggi” dan menghalangi pemahaman akan pendapat lain. Hal yang mungkin bisa dicoba adalah bagaimana mencari ruang gerak di antara perbedaaan kepentingan tersebut dalam rangka mengembangkan diri (idealisme) yang kalau bisa diintegrasikan pula dengan kondisi sosial. Dengan begitu, keselarasan proses kreativitas seniman dengan kepentingan lainnya (kolektor) bukan menghadirkan bumerang, tapi berjalan selaras dan berkontribusi pada kultur sosial. Padang, 26 februari 2008