BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Karya seni, seniman dan penikmat adalah ketiga hal yang tidak dapat dipisahkan, karena masing-masing memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Tanpa seniman maka tidak akan ada karya seni dan tanpa ada penikmat, karya seni tidak ada artinya. Perkembangan karya seni didukung dari banyaknya penikmat, apabila penikmat tidak ada, maka karya seni seakan hanya milik seniman itu sendiri. Dalam menciptakan berbagai karya seni, adaptasi sering sekali dilakukan oleh para seniman, seperti adaptasi dari puisi ke dalam musik, cerpen ke dalam komik, dari novel ke dalam film, ataupun sebaliknya. Dalam perfilman dunia, khususnya Hollywod, 90% karya skenario film dan televisi berasal dari adaptasi. Sebut saja misalnya, Harry Potter (adaptasi novel), Madison (artikel), Malcom X (autobiografi), dan Spiderman (komik).1 Beberapa kurun waktu terakhir ini banyak film yang diadaptasi dari sebuah novel. Perubahan dari novel ke film merupakan sebuah bentuk resepsi penulis skenario dan sutradara film terhadap novel yang dijadikan acuan film yang dibuat. Proses adaptasi menjadi bagian yang sering dilakukan oleh pekerja film karena hal ini lebih memudahkan mereka dalam 1
Richard Krevolin. Rahasia Sukses Skenario Film-film Box Office.terj. Ibnu Setiawan. Kaifa. Bandung, 2003.
1
2
penggarapan maupun dalam pemasaran filmnya. Bermacam-macam alasan mendasari proses adaptasi dari novel ke film, karena film dan novel memiliki kesamaan yaitu sama-sama menyampaikan cerita yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang serupa seperti penokohan, alur cerita, setting dan unsur intrinsik lainnya. Film menyampaikan cerita menggunakan media gambar dan suara, sementara novel menyampaikan cerita melalui media bahasa.2 Alasan lain yaitu karena biasanya novel tersebut sudah terkenal sehingga masyarakat pada umumnya sudah tidak asing lagi terhadap cerita tersebut yang pada akhirnya mendukung aspek komersial pada filmnya, ada juga yang menitikberatkan pada ide cerita yang dianggap bagus, selain itu ada yang memandang dari segi pembaca ataupun produser atau penulis skenario yang ingin mengetahui lebih lanjut bagaimana jika novelnya difilmkan. Menurut Krevolin, seorang penulis skenario Hollywood, bahwa ketika seorang penulis skenario mengadaptasi sebuah novel, maka ia tak mempunyai hutang terhadap karya asli. Tugas seorang penulis skenario ketika mengadaptasi suatu karya ke dalam skenario film bukanlah mempertahankan sebanyak mungkin kemiripan dengan cerita asli, tapi membuat pilihan terbaik dari materi untuk menghasilkan skenario sebaik mungkin. Dengan demikian penulis skenario berhak mengambil keputusan lain berdasarkan interpretasinya.
Hal
tersebut
bisa terjadi dalam
menentukan tokoh utama. Dalam film Shawshank Redemption misalnya, 2
Sumarno. Dasar-dasar Aperseiasi film. Grasindo. Jakarta, 1996.
3
tokoh utama bukan Red seperti dalam novel, melainkan Andi. Sedangkan dalam film Shiloh terdapat tokoh Samantha yang dimunculkan dalam film tetapi tidak terdapat dalam novel. Selain itu penulis skenario juga dapat menafsirkan ulang sejarah, seperti dalam film O, Brother, Where Art You?, atau membubuhi fantasi sejarah seperti dalam film The Patriot.3 Di Indonesia, proses adaptasi dari novel ke film baik layar lebar maupun sinetron walaupun tidak terlalu sering namun terus dilakukan, seperti pada film layar lebar Ca Bau Kan karya sutradara Nia Dinata yang diangkat dari novel Ca Bau Kan karya Remy Sylado, film Eiffel I'm In Love karya Nasry Chepy yang diangkat dari novel Rachmania Arunita, film Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang difilmkan oleh Riri Riza dan film keduanya yaitu Sang Pemimpi karya Andrea Hirata yang juga difilmkan oleh Riri Riza dan film Ayat Ayat Cinta yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo diadaptasi dari novel best seller karya Habiburrahman El Shirazy yang berjudul Ayat Ayat Cinta. Di Negara lain, proses adaptasi dari novel ke film juga banyak dilakukan, antara lain Harry Potter yang difilmkan oleh Steven Kloves diadaptasi dari novel karya J.K Rowling, The Da Vinci Code karya Dan Brown yang difilmkan oleh Ron Howard, novel Lord of The Ring karya J.R.R Tolkien yang kemudian difilmkan oleh Peter Jackson dan yang belum lama ini dirilis yaitu Eat Pray Love, film yang disutradarai oleh Ryan Murphy diadaptasi dari novelnya Elizabeth Gilbert yang berjudul Eat Pray Love.
3
Richard Krevolin. Op, Cit.
4
Setelah menonton film The Lord of the Rings yang diadaptasi dari novel Tolkien tahun 1954, Krevolin menyatakan bahwa The Lord of the Rings benar-benar merupakan adaptasi yang sempurna. Namun adaptasi tersebut bukan karena betul-betul mirip dengan novel aslinya, melainkan karena sukses menangkap esensi, ruh dan jiwa novel asli. Bukan melakukan transkripsi secara harfiah dan setia terhadap materi sumber, yang dalam banyak hal mustahil untuk dilakukan, melainkan menangkap kebenaran dari karya asli dan membawanya ke layar lebar.4 Menurut Dwight V Swain dan Joye R Swain yang dikutip Maroeli Simbolon, ada tiga cara utama untuk mengadaptasi karya sastra ke film, yaitu mengikuti buku, mengambil konflik-konflik penting, dan membuat cerita baru. Selanjutnya ia melanjutkan bahwa dari ketiga cara tersebut, cara ketiga adalah yang sering dilakukan.5 Perubahan ini tentu menimbulkan perubahan yang menyebabkan perbedaan antara novel dan film. Ketika film ditayangkan, akan sangat mungkin timbul pula rasa kecewa terhadap hasil pengadaptasiannya. Hadirnya kekecewaan ini diakibatkan oleh ketidakpuasan antara film yang ditonton dengan cakrawala harapan yang hadir pada pembaca, karena pembaca novel mempunyai kebebasan untuk berimajinasi tentang tokoh, latar, dan kejadian-kejadian yang diceritakan dalam novel tesebut, sedangkan penonton film tidak mempunyai kebebasan semacam itu.
4 5
Richard Krevolin. Op, Cit. Maroeli Simbolon. Sastra dalam Film, Sebuah Dimensi Tanda. Jakarta, Republika. 2004.
5
Imajinasi penonton film sangat dibatasi oleh gambar-gambar yang dihadirkan film, karena itu seringkali seorang penonton memiliki ekspetasi yang berbeda pada film yang diadaptasi dari novel atau bahkan novelis merasa kecewa ketika melihat novel kesayangannya diangkat ke layar lebar. Penyebabnya adalah pengalaman-pengalaman individual yang berkesan bagi pembaca pada saat menikmati (membaca) novel, tidak selalu dapat ditemukan dalam film hasil adaptasi suatu novel. Hadirnya kekecewaan atau sebaliknya akan menjadi hal yang sangat biasa dalam proses adaptasi karena proses ini selalu menimbulkan suatu perubahan sebagai akibat dari perubahan media dan pemaknaan (interpretasi). Teeuw mengungkapkan bahwa tidak ada sebuah tekspun yang sungguh- sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain.6 Oleh karena itu dalam menciptakan sebuah teks, proses saling mempengaruhi menjadi sebuah kelaziman. Salah satu proses seperti ini ada yang mengistilahkan adaptasi dan transformasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah adaptasi dijabarkan sebagai penyesuaian, sedangkan transformasi adalah perubahan rupa. Untuk memudahkan pengistilahan ini dan merujuk pada definisi tersebut, istilah adaptasi lebih sesuai dipakai dalam tulisan ini.
6
A Teeuw. Sastra dan Ilmu Sastra. Pustaka Jaya. Jakarta, 2003, 120.
6
Film yang diadaptasi dari novel merupakan proses kreatif yang dapat dilakukan
oleh
sutradara
dengan
cara
mengadakan
penambahan,
pengurangan dan pemunculan variasi-variasi alur cerita. Bermacam-macam penambahan, pengurangan dan pemberian varias-variasi tersebut adalah sebagai akibat medium yang berbeda antara film hasil transformasi dengan novel yang diadaptasi, sehingga mengakibatkan pula terjadinya perubahan fungsi khususnya dalam alur cerita. Dan resiko lain adalah harus mengorbankan bagian-bagian dari novel yang dianggap sutradara tidak penting ditampilkan tetapi disisi lain justru pembaca menganggap bagian itu penting. Tidak mudah untuk mengadaptasi film yang sama bagus dengan novelnya, apalagi melebihi novelnya sendiri. Karena film yang diadaptasi dari novel biasanya mengalami banyak digresi, penyimpangan cerita dan terlalu banyak bagian-bagian yang dibuat-buat karena kehendak produser atau sutradara maupun mengikuti kehendak selera pasar. Hal ini cukup sulit karena pengadaptasian dari novel yang ratusan halaman menjadi sebuah film yang hanya berdurasi maksimal 2x60 menit. Seperti yang dikatan penulis skrip film Twilight, Melissa Rosenberg dalam interviewnya dengan www.twilightlexicon.com7 “I’ve always said writing an original script is much harder than writing an adaptation. And now that I’ve done it, I’m absolutely sure of it. Facing the blank page that’s the hardest thing anyone has to do in this business. Coming up with the idea, shaping it into an actual story, with characters that arc, etc. 7
http://www.twilightlexicon.com/?p=917
7
Nearly impossible. An adaptation will at the very least give you a title, or a character name, or a general milieu in which to set the story. Even those little things are more than you have with an original. Of course, Stephenie Meyer gave me a great deal more than that. I feel extremely fortunate to have had the honor of adapting so rich a story. She made my job easy, or easier, comparatively ”. Asumsi adanya perbedaan tersebut menjadi objek formal dalam penelitian ini. Proses diatas muncul pada alur cerita film Twilight yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karya Stephenie Morgan Meyer yang dibukukan menjadi 520 halaman dalam bahasa Indonesia. Setelah novel tersebut
diangkat
kelayar
lebar,
fakta
menunjukan
bahwa
untuk
menguraikan alur cerita yang panjang pada novel, ketika setelah difilmkan hanya berdurasi 122 menit. Twilight merupakan sebuah film drama, fantasi dan romantik dengan tokoh-tokoh utamanya diperankan oleh Kristen Stewart (Bella Swan) dan Robert Pattinson (Edward Cullen). Penulis mengambil novel Twilight karya Stephenie Morgan Meyer yang diterbitkan pada tahun 2005 dan film Twilight karya Catherine Hardwicke pada tahun 2008 karena beberapa alasan, pertama karena terdapat perbedaan penceritaan, alur/latar dan waktu antara kedua sastra tersebut. Kedua, novel tersebut merupakan karya pertama dari Catherine Hardwicke tetapi sudah mendapatkan respon positif dari pembaca dan mendapatkan pujian dari sana sini dan berkat kesuksesan Twilight, Meyer dinobatkan sebagai "one of the most promising new authors of 2005"
8
(Publishers Weekly). Ketiga, Twilight termasuk salah satu novel Best Seller di Amerika dan beberapa di Negara lain. Alasan terakhir adalah bahwa film hasil adaptasi Twilight merupakan lima film teratas dalam penjualan DVD dalam sepanjang dua
tahun
terakhir, dan
mendapatkan
berbagai
penghargaan. 8
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahannya yang telah diuraikan di atas, permusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah perbandingan unsur-unsur dalam cerita novel dan film yang diadaptasi dari novel Twilight ? 2. Bagaimanakah struktur penceritaan antara novel dan film yang diadaptasi dari novel Twilight?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisa perbandingan unsur-unsur cerita dan proses penceritaan didalam novel Twilight yang diadaptasi kedalam media film, dengan memperhatikan data kesamaan dan perbedaan antara novel dan film.
1.4 Signifikansi Penelitian 1.4.1 Signifikansi Akademis Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, perkembangan dan pendalaman bagi peminat studi 8
http://www.imdb.com/title/tt1099212/awards
9
komunikasi khususnya dalam kajian sebuah film yang diangkat dari sebuah novel. 1.4.2 Signifikansi Praktis Untuk memberikan kontribusi pada industri perfilman agar dapat menyajikan film-film yang berkualitas dan untuk para film maker agar dapat membuat film-film yang lebih baik lagi, khususnya film yang diadaptasi dari media cetak (novel).