MODEL KOMERSIALISASI HASIL LITBANG BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Dalam era globalisasi, tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia semakin berat karena
harus mampu bersaing dengan negara-negara lain di semua bidang. sektor industri yang selama ini di harapkan menjadi tulang punggung pembangunan nasional mengalami penurunan karena krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Apabila pada tahun 1996 kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB sebesar 25 persen, maka pada tahun 1998 diperkirakan menurun karene krisis ekonomi tersebut. Oleh karena itu perlu memanfaatkan semua keunggulan yang dimiliki baik di sektor industri maupun pemerintah untuk melakukan kemitraan agar mampu bertahan dalam pasar bebas. Dalam kondisi persaingan yang ketat, hal utama yang harus diprioritaskan oleh industri manufaktur adalah meningkatkan kualitas produk serta
meningkatkan
inovasi
melalui
litbang.
Kemampuan
bersaing
dengan
mengandalkan
keunggulan kompetitif yang didasarkan pada penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) merupakan pendekatan yang tepat untuk pengembangan inovasi di sektor industri. Dari hasil survei industri yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, pada tahun 1996 dari 1.553 perusahaan yang mengembalikan kuesioner ternyata hanya 454 perusahaan (29 persen) yang melakukan inovasi. Permasalahan yang dihadapi sektor industri di Indonesia dalam melakukan inovasi adalah belum didukung oleh unit penelitian dan pengembangan (Litbang). Sebagian industri di Indonesia beranggapan bahwa penelitian dan pengembangan membutuhkan investasi yang relatif besar dan resiko yang tinggi berbeda dengan industri di negara-negara maju dimana alokasi dana Litbang mendapat perhatian cukup besar misalnya Jepang mengalokasikan dana penelitian 2,8 persen dari GNP, sedangkan Indonesia baru 0,2 persen dari GNP. Kontribusi sebesar 0,2 % dari GNP tersebut hampir 80% dibiayai oleh sektor pemerintah, sedangkan sisanya oleh sektor lainnya. Hal tersebut menggambarkan bahwa industri dan sektor lainnya di negeri kita sulit berkembang karena tidak didukung oleh sumberdaya (dana, tenaga dan fasilit as) penelitian dan pengembangan yang memadai. Dilain pihak di sektor pemerintah telah memiliki unit-unit penelitian yang sudah didukung oleh sumber daya yang terdiri dari dana, tenaga dan fasilitas. Namun hasil-hasil penelitian dan pengembangan yang dihasilkan belum dimanfaatkan secara optimal oleh industri atau
masyarakat
ilmiah
lainnya.
Hal
ini
terlihat
1
dari
sedikitnya
hasil
penelitian
dan
pengembangan yang sudah dikomersialisasikan. Komersialisasi hasil litbang diartikan tidak saja yang memberikan keuntungan finansial, tetapi juga yang penggunaanya memberikan nilai tambah pada institusi dan tenaga litbang; seperti penggunaan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah serta perumusan kebijakan sosial, ekonomi dan politik.
Globalisasi ekonomi memberikan tekanan ekonomi dan politik pada institusi litbang di sektor pemerintah agar dapat lebih mandiri secara finansial, lebih komersial dalam pelaksanaan kerjanya, lebih bertanggungjawab dan mulai menerapkan prinsip dan praktek bisnis. Di dunia yang semakin kompetitif, industri harus dapat menghasilkan produk-produk baru, atau produk lama yang diperbarui, dengan kualitas tinggi dengan lebih cepat, memenuhi kebutuhan,
disukai
dan
pendorong
percepatan
dibeli proses
oleh
konsumen.
industrialisasi,
institusi
mendapat
litbang
sebagai
tekanan
untuk
menghasilkan litbang yang penerapannya dapat memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat. Dari institusi litbang yang hasilnya bersifat lunak (soft) diharapkan pula untuk memberikan hasil dengan kualitas tinggi, tepatwaktu dan tepatguna, untuk perumusan dan pelaksanaan kebijaksanaan, perencanaan pembangunan, maupun untuk pemecahan berbagai masalah sosial, ekonomi dan politik. 1.2
Masalah Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan permasalahan yang di bahas adalah
sebagai berikut :
a) Sampai
sejauh
mana
alokasi
dana
litbang
sektor
pemerintah
telah
dimanfaatkan secara optimal. b) Apakah sektor industri manufaktur telah memanfaatkan atau bermitra dengan sektor pemerintah dalam melakukan litbang. c) Strategi kemitraan yang bagaimana yang harus dilakukan oleh industri untuk meningkatkan inovasi.
2
d) Alternatif kebijakan apa yang akan digunakan dari hasil kemitraan litbang agar hasil-hasilnya dapat dipasarkan/dikomersialisasikan. 1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : (a) Melihat seberapa besar kekuatan dan kelemahan yang dimiliki litbang pemerintah untuk melakukan komersialisasi hasil litbang. (b) Melihat
seberapa
besar
peluang
dan
tantangan
industri
untuk
mengkomersialisasikan hasil litbang. (c) Menyusun model komersialisasi hasil litbang 1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini mencakup unit litbang pemerintah, industri manufaktur dan perguruan tinggi. Variabel yang ingin dilihat adalah tenaga kerja, anggaran litbang dan fasilitas litbang.
BAB II KONSEP DAN KERANGKA PIKIR
2.1
Tinjauan Pustaka Adanya persaingan pasar sehingga diperlukan sikap antisipatif, terutama bagi dunia
industri. Disamping itu perlu digalang komunikasi yang lebih intens antara pemerintah dengan sektor industri, karena hasil-hasil litbang pemerintah selama ini dianggap belum menyentuh pasar (Pengembangan Sistem Informasi RUK, PAPIPTEK -LIPI, 1997). Dalam era globalisasi, setiap pelaku ekonomi diharuskan meningkatkan kemampuannya untuk bersaing, baik dalam memproduksi dan memasarkan suatu produk maupun menerobos pasar yang batas -batasnya semakin tidak jelas, atau dengan perkataan lain harus mampu bersaing dalam perekonomian kompetitif (Perberdayaan Investasi Dalam Rangka Memulihkan Kegiatan Sektor Industri dan Perdagangan oleh Dr. Rosediana Suharto, 1999)
3
Adanya kendala dalam menerapkan semua hasil terbatas yang dicapai oleh lembaga penelitian dan pengembangan dengan segera dilapangan, karena belum siapnya penataan semua sistem Ipteknas untuk mengisi fungsi yang sesuai dengan relungnya. Sedangkan di lingkungan
industri
perkembangannya
belum
sepenuhnya
bergantung
pada
dukungan
hasil
kegiatan Iptek, Kantor MNRT, 1999) Meningkatkan
peran
penelitian,
pengembangan
dan
rekayasa
dalam
pembangunan
nasional dalam suatu sistem inovasinasional yang produktif dan efisien. (Meningkatkan Peran Riset dan Teknologi Dalam Memacu Investasi di Indonesia dan Meningkatkan Kemampuan Jual Industri, Drs. Komarudin MA, 1999) Komersialisasi hasil litbang kini diartikan dengan luas. Tidak saja yang penggunaanya memberikan keuntungan finansial, tetapi juga yang penggunaanya memberikan nilai tambah pada institusi dan tenaga litbang seperti penggunaan dalam perencanaan pembangunan nasional dan daerah, perumusan dan pelaksanaan sosial, ekonomi dan politik (Antologi Pengelolaan Litbang, A.S. Luhulima, 1996).
2.2
Kerangka Pemikiran
Berdasarkan permasalahan dan tinjauan pustaka diatas, perlu melihat potensi sumberdaya yang ada di sektor pemerintah. Misalnya anggaran litbang yang telah dialokasikan oleh pemerintah, perlu dilihat kecenderungannya dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya. Dengan menggunakan model regresi Y = α + βX1 + δX2 , dimana : Y = alokasi anggaran litbang X1 = tabungan pemerintah X2 = bantuan luar negeri Kemudian perlu melihat potensi sumber daya manusia sektor pemerintah, apakah sudah dimanfaatkan secara optimal. Disamping itu dengan menggunakan studi literatur, ingin di kaji peran litbang di sektor industri. Dengan melihat kondisi tersebut di atas perlu dibangun kemitraan litbang dengan strategi yang bagaimana, agar hasilnya dapat dipasarkan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik yang mengungkapkan informasi yang relevan yang terkandung dalam data litbang sektor pemerintah, industri manufaktur dan instansi terkait lainnya. Variabel yang akan di kaji terdiri dari anggaran, tenaga kerja dan variabel lain yang mempengaruhi kemitraan litbang dalam rangka komersialisasi hasil litbang.
4
2.3
Metode Pengumpulan Data
Data yang dipergunakan berasal dari studi pustaka dan instansi yang terkait seperti BPS, Departemen Keuangan, BAKN dan LIPI. Sehingga sebagian besar masih merupakan data sekunder. Disamping itu juga dilakukan studi
pustaka untuk memperoleh model-model komersialisasi di beberapa
negara. 2.4
Analisis Data
Analisis
data
perlu
dilakukan
dalam
upaya
penelusuran
dan
pengungkapan informasi yang relevan yang terkandung dalam data dan penyajian hasilnya dalam bentuk yang lebih ringkas dan sederhana, yang pada akhirnya mengarah kepada keperluan adanya penyelesaian dan penafsiran (Aunuddin, 1988). Metode statistik yang digunakan dalam proses analisis menggunakan model time series untuk
melihat
seberapa
besar
pengaruh
Bantuan Luar Negeri dan anggaran pemerintah
mempengaruhi pembiayaan litbang. Disamping itu analisis diskriptif juga dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang model komersialisasi yang sesuai dengan kondisi di Indonesia. Dalam menyusun Model Komersialisasi Hasil Litbang, pendekatan yang diharapkan adalah penelitian
dasar
yang
dilakukan
oleh
lembaga-lembaga
penelitian
baik
di
lingkungan
Departemen, Non Departemen dan Perguruan Tinggi dapat ditingkatkan sampai komersialisasi. Padahal
selama
ini
hasil
penelitian
lembaga
penelitian
tersebut
banyak
yang
belum
dimanfaatkan oleh masyarakat. Hambatan lain karena belum adanya kemitraan penelitian dan pengembangan antara sektor industri dengan lembaga penelitian pemerintah untuk melakukan inovasi yang sesuai dengan permintaan pasar. Pola pikir tersebut digambarkan sebagai berikut:
5
BAB III POTENSI SUMBERDAYA
3.1
Sektor Pemerintah Sektor pemerintah telah memberikan kontribusi dana yang cukup tinggi
untuk kegiatan Iptek di Indonesia dan hampir 80% dana kegiatan Iptek berasal dari sektor pemerintah, dan sisanya dilakukan sektor swasta. Kegiatan Iptek yang dibiayai oleh pemerintah tersebut digunakan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D), pendidikan dan training, dan jasa ilmiah (Scientific Services). Alokasi
pembiayaan
kegiatan
pembangunan
pemerintah
sebagian
besar
bersumber
disamping
Bantuan
Luar
Negeri
dari
yang
dan
Penerimaan digunakan
rutin Dalam
sebagai
sektor Negara,
pelengkap
pembangunan. Penerimaan utama pemerintah berasal dari pajak ditambah minyak dan gas bumi. Penerimaan ini selanjutnya dibelanjakan untuk mendukung kegiatan proyek dalam sektor Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek) dan sektor P e n e litia n D a s a r Lembaga P en e l i t i an Pemerintah
P e n e litia n T e r a p a n
Pengembangan Teknologi Implementasi Teknologi
Industri
Inovasi
Keperluan Masyarakat
lainnya (ada 20 sektor). Selain itu pinjaman dari luar negeri digunakan untuk mendukung proyek-proyek tersebut.
6
Pada tahun 1970/71 jumlah anggaran Iptek sebesar 20,7 milyar rupiah meningkat menjadi 3.209 milyar rupiah pada tahun 1998/99. Peningkatan anggaran Iptek tersebut juga diikuti meningkatnya Bantuan Luar Negeri, jika pada tahun 1970-71 hutang luar negeri sebesar 91 milyar rupiah, meningkat menjadi
12.413,6
milyar
rupiah
pada
tahun
1996/97.
Keadaan
ini
menggambarkan bahwa selama pelita I sampai dengan Pelita VI, pembangunan Indonesia sangat bergantung pada Bantuan Luar Negeri bukan sebagai pelengkap pembangunan yang selama ini diharapkan. Dari 20,7 milyar anggaran Iptek pada tahun 1970/71 yang digunakan untuk kegiatan R&D sebesar 10,2 milyar rupiah atau sebesar 0,3% dari GNP. Sedangkan pada tahun 1998/99 alokasi anggaran R&D sebesar 648 milyar atau 0,12% dari GNP. Persentase R&D/GNP tersebut cenderung menurun, hal ini mengindikasikan
bahwa
rekomendasi
CASTASIA
II
yang
mengharapkan
negara-negara berkembang memiliki anggaran R&D/GNP sebesar 1% sulit tercapai. Tulisan
ini
memperlihatkan
gambaran
secara
diskriptif
alokasi
anggaran Iptek tahun 1994/95 dan 1998/99. Kondisi tersebut juga dapat dilihat berapa besar pengaruh penerimaan Dalam Negeri dan Bantuan Luar Negeri terhadap anggaran R&D. Dengan melihat trend dan pengaruh variabel-variabel yang terkait, dapat disimpulkan berapa implikasi untuk meningkatkan alokasi anggaran R&D. Dalam menggambarkan keadaan dan alokasi anggaran R&D di pemerintah, penulis mengumpulkan informasi yang bersumber dari lembaga-lembaga penelitian Departemen dan Non Departemen baik yang dibiayai dari anggaran rutin maupun anggaran pembangunan.
3.2
Pembiayaan Litbang Pembiayaan Litbang Sektor Pemerintah, ada yang bersumber dari
anggaran pembangunan dan yang bersumber dari Rutin. Selama Pelita VI alokasi anggaran litbang yang bersumber dari Rutin cukup besar bila
7
dibandingkan dari yang bersumber dari pembangunan. Sebagaian besar yang bersumber dari anggaran Rutin dipergunakan untuk gaji/upah. (Tabel. 1).
Tabel 1
Anggaran Pemerintah Sektor Iptek Menurut Sumber Dana, Tahun 1994/95-1998/99
Tahun 1994/95 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99
Pembangunan Litbang Iptek 192 830 181 1017 149 1060 258 1728 217 1061
Litbang 186 239 236 344 431
(Milyar Rupiah) Rutin Iptek 967 1103 1390 2029 2148
Sumber : Data Bappenas & Dep. Keuangan yang diolah kembali oleh PAPIPTEK -LIPI
Persentase pembiayaan litbang terhadap APBN cenderung menurun, jika pada tahun 1994/95 pembiayaan litbang terhadap APBN sebesar 0,62% maka
pada
tahun
1998/99
turun
menjadi
0,52% .
Penurunan
tersebut
diakibatkan pengeluaran rutin yang cukup besar, khususnya pembayaran hutang-hutang luar negeri, sedangkan alokasi pembiayaan litbang pada tahun tersebut mangalami penurunan (Tabel. 2). Tabel 2 Perkembangan Rasio Anggaran Litbang
Terhadap GNP dan APBN Tahun 1994/95-1998/99 Tahun
Litbang
APBN
GNP
8
(Milyar Rupiah) Persentase Litbang/APBN Litbang/GNP
1994/95 1995/96 1996/97
431 483 524
69.749 78.024 90.616
371.971 444.148 518.358
0,62 0,62 0,59
0,11 0,11 0,10
1997/98 1998/99
602 648
101.087 124.591
605.219 544.697
0,59 0,52
0,10 0,12
Sumber : Data Bappenas & Dep. Keuangan yang diolah kembali oleh PAPIPTEK -LIPI
Prosentase anggaran Litbang (R&D) terhadap GNP relatif stabil selama periode 1994/95 - 1998/99 yaitu sebesar 0,11%. Sehingga untuk mencapai prosentase R&D/GNP sebesar 1% berarti harus meningkatkan pembiayaan R&D kita sebesar 10 kali yang rasanya tidak mungkin dapat dicapai, terlebih pada saat kondisi krisis moneter sekarang. Pembiayaan R&D kita saat ini sangat tergantung dari pembiayaan pemerintah. Sedangkan pemerintah lebih mengandalkan kepada Penerimaan Dalam Negeri dan Bantuan Dalam Negeri. Seberapa besar kontribusi dua variabel
tersebut
mempengaruhi
anggaran
Litbang,
maka
perlu
dihitung
koefisiennya berdasarkan data series yang kita miliki. Berdasarkan data yang ada, anggaran Litbang akan meningkat apabila tabungan pemerintah (pembiayaan proyek) meningkat (a=0,0248). Begitu pula sebaliknya anggaran Litbang akan menurun apabila tabungan pemerintah berkurang. Sedangkan koefisien Bantuan Luar Negeri terhadap anggaran Litbang adalah sebesar (b=-0,005), artinya kenaikan Bantuan Luar Negeri akan berakibat menurunnya anggaran Litbang yang bersumber dari pemerintah. Alokasi anggaran R&D pada tahun 1998/99 sebesar Rp. 648 milyar diantaranya sebesar 12,6% dipergunakan untuk biaya capital yaitu peralatan dan mesin, alat-alat laboratorium dan sarana fisik sedangkan sisanya 87,4% di alokasikan untuk biaya operasional (current expenditional), (Tabel.3)
9
Tabel. 3
Anggaran R&D di Klasifikasikan Berdasar Sumber Dana dan Jenis Pengeluaran Tahun 1998/99 (Milyar Rupiah) Jenis Pengeluaran
Sumber Dana Rutin
Current expenditure 135,1 Capital expenditure 81,9 Jumlah 217,0 Dengan menggunakan Model Regresi :
Jumlah
Pembangunan 431,0 431,0
566,1 81,9 648
AL = a + b PP + c BLN Dimana :
AL
= Anggaran R&D
PP
= Pembiayaan Proyek DN
BLN
= Bantuan Luar Negeri
a
= Konstanta
b
= Koefisien PP
c
= Koefisien BLN
Berdasarkan data dari tahun 1970 – 1997/98 diperoleh : AL = 51,26 + 0,0248 PP – 0,0051 BLN Dari model tersebut dapat disimpulkan bahwa alokasi anggaran litbang sangat dipengaruhi oleh Pembiayaan Proyek DN (Tabungan Pemerintah). Dengan menggunakan tingkat keyakinan 95% (∝ = 5%), dari uji hipotesa diperoleh hasil bahwa pengaruh Pembiayaan Pemerintah sangat signifikan (tabel ± 2,048 & t hitung 8,852). Sedangkan pengaruh BLN tidak signifikan walaupun dari model terlihat bahwa makin besar BLN, makin kecil Alokasi Anggaran R&D. Tetapi karena dari pengujian t, dengan ∝ = 5% diperoleh hasil bahwa pengaruh BLN terhadap alokasi anggaran R&D tidak signifikan. 3.3
Tenaga Iptek Sektor Pemerintah −
Tenaga Kerja di Pemerintah
10
Walaupun ada keterbatasan didalam menggunakan data pegawai negeri pada laporan ini, misalnya tidak terdapatnya informasi yang lengkap mengenai jumlah ilmuwan dan rekayasawan yang melakukan Litbang. Setiap Departemen, LPND dan Pemda hanya mampu melaporkan jumlah Tenaga Kerja menurut disiplin ilmu yang bekerja di lembaga penelitian dan lembaga bukan penelitian. Oleh karena itu dalam laporan ini tenaga yang bekerja di unit penelitian dianggap sama dengan jumlah tenaga yang melakukan Litbang. Data yang tersedia adalah berdasarkan jumlah pekerja, tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, bidang ilmu pada waktu pertama kali bekerja di pemerintah. Keadaan per Agustus 1995, terdapat 766.356 pegawai negeri bekerja mempunyai kualifikasi D3 keatas. Dari jumlah ini, 355.505 orang berpendidikan Sarjana (S1) ; kurang dari 15.000 orang berpendidikan Master (S2) atau Doktor (S3). Selanjutnya dari 355.505 yang bergelar sarjana tersebut, 25 persen berasal dari lulusan di bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebesar 197.659 orang. Kemudian pada tahun 1998 terjadi pergeseran kualitas dan kuantitasnya. Secara makro
jumlah
pegawai
negeri
tidak
bertambah
dengan
adanya
kebijaksanaan
“Zero
Growth”, tetapi secara proporsional ada pergeseran yang berpendidikan D3 keatas. Untuk
yang
berpendidikan
S3
dan
S2
pada
tahun
1998
meningkat
6,8%
dibandingkan dengan tahun 1995, yang berpendidikan S1 meningkat 43% dan yang berpendidikan S0 meningkat sebesar 20%. Menurut survei PAPIPTEK-LIPI pada tahun 1998, terdapat sekitar 987.506 pegawai negeri yang berpendidikan Diploma (D3) keatas dalam tahun 1998. Selanjutnya sebanyak 508.954 lulusan S1 dimana 24% berasal dari bidang IPA (123.339). Selain itu 14.568 tenaga terdiri dari 10.884 orang berpendidikan S2 dan 4.794 orang berpendidikan S3. Partisipasi tenaga kerja dalam kegiatan Iptek adalah penting untuk mengenalkan ideide baru, dengan melakukan usaha berkesinambungan yang mengarah pada pendidikan pada pasca sarjana yang menekankan pada bidang yang diinginkan untuk profesional muda, serta adanya kecenderungan penurunan jumlah orang yang berpendidikan pasca sarjana pada proses pergantian orang-orang yang terlibat dalam Iptek dimasa yang akan datang.
3.4
Sektor Pendidikan Tinggi
11
Iptek di Perguruan Tinggi (PT) pada prinsipnya tersebar di tiga kelompok kegiatan, yaitu; kegiatan yang berhubungan dengan kependidikan, kegiatan
penelitian
dan
kegiatan
pengabdian
kepada
masyarakat.
Ketiga
kegiatan tersebut di lingkungan Perguruan Tinggi merupakan kegiatan yang di samping
bersifat
kelembagaan,
juga
merupakan
kegiatan
yang
menjadi
tanggung jawab bagi setiap pengajar/dosen di Perguruan Tinggi bersangkutan (TRIDHARMA PERGURUAN TINGGI). Selanjutnya ketiga kegiatan tersebut juga merupakan komponen-komponen yang digunakan untuk memberi wadah bagi kegiatan yang kemudian dari kegiatan tersebut dapat dihitung perolehan angka kredit bagi setiap dosen untuk keperluan kenaikan jenjang akademiknya. a.
Tenaga Di lingkungan Pendidikan Tinggi (PT), dikenal adanya beberapa kriteria tentang tenaga pengajar/Dosen; dosen tetap, tidak tetap dan dosen luar biasa. Dosen tetap di PTS terdiri dari dosen yayasan dan dosen PNS yang diperbantukan. Beberapa kriteria yang lain seperti; dosen
berdasarkan
jenjang
pendidikan,
bidang
ilmu,
kepangkatan
akademik dan sebagainya, akan lebih memberikan gambaran terhadap kemampuan potensi SDM (terutama tenaga dosen) yang ada di Pendidikan Tinggi. Di lihat dari jumlahnya, dosen yang ada di PTN maupun di PTS, baik tenaga tetap maupun tidak tetap, mengalami kenaikan yang cukup besar, terutama di tahun 1996 dan tahun 1997. Berdasarkan tingkat pendidikan dan persentase Tenaga Pengajar di Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) dan Pendidikan Tinggi Swasta (PTS), dapat dilihat pada tabel 4 dibawah ini:
Tabel 4 Persentase Tenaga Pengajar di PTN dan PTS
12
Menurut Jenjang Pendidikan Tertinggi Tahun 1996-1997 Jenjang Pendidikan
Persentase 1997 10.35 60.40 23.39 5.15
S0 S1 S2 S3
1996 10.90 63.27 20.51 4.67
Lain-lain Jumlah
0.65 187.959 (100%)
Perubahan -0.55 -3.1 15.95 0.51
0.62 201.524 (100%)
-0.04
Sumber: data Pusat Informasi Balitbang P&K dan PTS yang diolah oleh PAPIPTEK-LIPI
Mengamati tabel di atas, memberikan gambaran kepada kita bahwa ada beberapa
penurunan
jumlah
di
beberapa
jenjang
(D3,
S1),
tetapi
ada
penambahan yang cukup baik di jenjang S2 dan S3. Kalau di asumsikan bahwa penurunan
tersebut
terjadi
karena
beberapa
dosen
mengikuti
program
peningkatan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi, maka penurunan jumlah yang ada di beberapa jenjang tersebut merupakan hal yang positif, kerena diikuti oleh peningkatan jumlah program-program yang ada di atasnya, S2 dan S3. Sebagai
kelengkapan
gambaran
tentang
kemampuan
dosen
yang
terdapat di Perguruan Tinggi, maka jenjang kepangkatan akademik dosen pun juga menjadi tolok ukur daripada performance Perguruan Tinggi tersebut. Di bawah ini gambaran dosen berdasarkan jenjang jabatan akademik dan bidang ilmu pada tahun 1997/1998 di PTN dan PTS. Total Tenaga Pengajar pada tahun 1993 adalah 79.331 orang (PTN 45.178 orang dan PTS 34.153 orang) dan pada tahun 1995 sebesar 98.137 orang, terdiri dari dosen PTN 46.807 orang dan PTS 51.330 orang. Dari data tersebut secara kuantitatif tahun 1993, 1994 dan 1995 meningkat, walaupun dari masing - masing disiplin ilmunya secara prosentase beberapa mengalami penurunan, kecuali disiplin Teknik yang terus menaik. Dari masing - masing
13
tahun, terlihat bahwa bidang IPSK merupakan bidang mayoritas, hal ini akibat dari jumlah mayoritas mahasiswa IPSK yang terdaftar di PTN maupun PTS. b.
Pendanaan Kegiatan Penelitian Selama tiga tahun (1989-1991) dana penelitian yang jumlahnya cukup besar (US$ 6,5
juta) dibiayai melalui pinjaman Bank Dunia dalam 1st slice. Sekarang dana pinjaman untuk 2nd slice (1991-1994) telah disetujui. Dalam 2nd slice pengelolaan dana penelitian akan mencakup semua dana yang penyalurannya dilakukan secara kompetitif termasuk dana penelitian Pusat Antar Universitas dan MIPA. Selain sumber dana pinjaman dari Bank Dunia, penelitian dari perguruan tinggi khususnya untuk bidang Ilmu Kelautan, Basic Science di Indonesia Timur dan Penelitian Lingkungan tersedia pula dana yang dapat digunakan. Selain dana di atas tersedia juga dana dari hasil kerjasama antara DIKTI dengan Badan Litbang Pertanian, yaitu AARP (Applied Agricultural
Research
Project),
yang
berlangsung
dari
tahun
1987-1992
dan
ARMP
berlangsung dari tahun 1989-1994. Penyaluran dana AARP dan ARMP juga dilakukan secara kompetitif, tetapi pengelolaanya sepenuhnya dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian. Dalam dana pembangunan melalui DIP di DP3M terdapat sejumlah kecil dana untuk kegiatan Pengabdian pada Masyarakat. Dalam rangka membantu kegiatan PPM, maka usul penelitian yang diajukan melalui 2nd slice dapat juga berbentuk Action Research). Untuk mengantisipasi kegiatan baik penelitian maupun pengabdian pada masyarakat, dana di masing-masing perguruan tinggi yang berasal dari SPP/DPP ternyata merupakan jumlah yang sangat berarti untuk kegiatan tersebut. Memang terdengar keluhan tentang kecilnya
biaya,
namun
dana
SPP,
dan
DPP
ini
lebih
diarahkan
untuk
latihan
meneliti/meningkatkan kemampuan peneliti. Sumber dana lain yang sering dimanfaatkan oleh para peneliti adalah bantuan dana dari Yayasan Supersemar untuk membantu penyelesaian penelitian program S1 sampai S3. Setiap tahun sekitar 500 program S1 dan 50 program S2 diberi rekomendasi oleh DIKTI.
3.5
Sektor Industri
a.
Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan salah satu unsur sumberdaya yang sangat penting dalam
memanfaatkan alih teknologi dari negara lain, memaduhkan teknologi yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk bermutu sesuai dengan permintaan pasar.
14
Tenaga kerja yang mempunyai pendidikan S1 keatas pada industri manufaktur yang melakukan penelitian dan pengembangan (Litbang) pada tahun 1994 berjumlah 51.363 orang yang tersebar di 3.403 perusahaan besar dan menengah. Tenaga kerja yang berpendidikan ilmu pengetahuan alam dan teknik
sebanyak 27.638 orang atau 53,8% dan sisanya sebesar 46,2%
berpendidikan ilmu-ilmu sosial. Tingkat pendidikan tersebut merupakan salah satu ukuran untuk melihat kualitas tenaga kerja yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kemampuan industri manufaktur dalam melakukan kegiatan litbang dan transfer teknologi.
b.
Anggaran Litbang dan Rekayasa Produksi Pada tahun 1994, jumlah dana yang digunakan untuk membiayai
kegi atan litbang dan
rekayasa produksi pada sektor industri manufaktur mencapai Rp. 758,10 milyar, dengan alokasi untuk kegiatan litbang 32,30% dan untuk kegiatan rekayasa produksi 67,70%. Dana kegiatan litbang
65,18% berasal dari perusahaan sendiri, 15,86% berasal dari pemerintah,
11,25% dari perusahaan lain, 7,18% dari luar negeri dan 0,53% berasal dari sumber lainnya. Dilihat dari jenis pengeluaran, pada umumnya pengeluaran current (current expenditure) untuk litbang yang berasal dari perusahaan sendiri, pemerintah,
perusahaan lain dan dari luar negeri
lebih besar dibandingkan dengan untuk rekayasa produksi. Hal ini menunjukan adanya perhatian dari pihak penyandang dana terhadap kegiatan litbang sektor industri. Sedangkan pengeluaran current untuk rekayasa produksi terbanyak berasal dari sumber lainnya yaitu 71,35 % dan terkecil hanya 0,08% yang berasal dari bantuan luar negeri. Pada tahun 1995, jumlah dana untuk kegiatan litbang dan rekayasa produksi pada sektor industri manufaktur hanya sebesar Rp.178,08 milyar, dengan alokasi 17,78 % kegiatan litbang dan sisanya 82,22% untuk kegiatan rekayasa produksi. Sedangkan seluruh
kegiatan
litbang
94,15%
berasal
dari
perusahaan
sendiri,
4,74%
untuk
dana untuk berasal
dari
pemerintah, 0,92% berasal dari sumber lainnya, 0,19% berasal dari luar negeri, dan tidak ada dana penelitian litbang dari perusahaan lain (0%). Berdasarkan jenis pengeluarannya, current expenditure untuk litbang terbanyak berasal dari perusahaan sendiri yaitu 94,08% dari pemerintah 4,68%, 1,06% berasal dari sumber lainnya, 0,18% berasal dari luar negeri, dan tidak ada kegiatan penelitian yang dibiayai oleh perusahaan lain. Hal ini menunjukan adanya perhatian dari pihak penyandang dana terhadap kegiatan litbang sektor industri. Persentase anggaran litbang di industri manufaktur 1994-1995 yang dirinci berdasarkan pengeluaran operasional (current) dan modal (capital).
15
BAB IV PERANAN PEMERINTAH DALAM MENDORONG PERKEMBANGAN TEKNOLOGI DAN KEUNGGULAN KOMPETITIF UNTUK KOMERSIALISASI
4.1
Peranan Pemerintah Dalam beberapa kasus perekonomian, peranan pemerintah terutama berkisar sebagai
pemasok
barang
kelihatannya umumnya,
dan
sekarang sektor
pelayan
publik
terlibat
dalam
mengarah
pada
semakin
meluasnya
swastalah
yang
paling
berperan
aktivitas
dalam
produksi
peranan
sektor
menjalankan
spesifik,
tetapi
swasta.
Pada
aktivitas
ekonomi
sekarang ini. Pemerintah boleh saja menyediakan bantuan lewat pengadaan sarana penunjang dan pengawasan, tetapi pada akhirnya sektor swastalah yang harus berkompetisi secara internasional, dan yang menyediakan sejumlah investasi dan upaya dalam meningkatkan daya saing
internasional.
Daya
saing sangat diperlukan oleh unit -unit yang akan melakukan
komersialisasi hasil litbang. Namun demikian, hal ini tidak berarti bahwa peran pemerintah tidak penting. Sebab dalam negara-negara industri baru di Asia, peran dan intervensi pemerintah yang tepat dalam mendorong perkembangan teknologi dan keunggulan kompetitif, justru merupakan salah satu faktor kunci bagi keberhasilan pembangunan industri di negara-negara tersebut. Empat tingkat peranan pemerintah dalam mendukung daya saing internasional adalah: pada
tingkat
perekonomian
pertama: yang
kebijakan
merangsang
pemerintah peningkatan
harus
mampu
investasi
dan
menciptakan pertumbuhan
suatu ekonomi.
kondisi Pada
tingkat kedua: pemerintah perlu menciptakan suatu kondisi pengawasan yang tepat, sehingga mampu
merangsang
perusahaan-perusahaan
untuk
memperbaiki
kinerjanya
masing-masing.
Pada tingkat ketiga: pemerintah mempunyai peranan penting dalam menyediakan berbagai macam infrastruktur, meliputi infrastruktur fisik dan pelayanan serta infrastruktur institusional.
16
Pada tingkat keempat: pemerintah bisa dibenarkan untuk mentargetkan jenis teknologi, industri dan perusahaan-perusahaan tertentu guna meningkatkan daya saing internasional. Hal ini dikaitkan pula dengan tujuan pemerintah dalam mendorong upaya peningkatan kemampuan sumber
daya
manusia
dalam
menguasai
teknologi
yang
ada
kaitannya
dengan
kegiatan
perekonomian. Pada bab ini akan dikemukaan dasar pertimbangan suatu intervensi pemerintah dalam mendorong perkembangan Iptek baik secara teoritis maupun empiris, kemudian dibahas pula rasional intervensi (kebijaksanaan) teknologi di Indonesia, dan pada bagian yang akan dibahas peranan
pemerintah
pengembangan:
dalam
teknologi,
mendukung R&D,
inovasi
difusi
dan
inovasi,
keunggulan sistem
kompetitif
informasi,
dalam
suatu
pendidikan
dan
pengembangan sumber daya manusia. 4.2
Perkembangan Teknologi dan Kompetisi Dalam dua dekade terakhir ini, perkembangan teknologi dan arus globalisasi makin
besar
pengaruhnya
terhadap
dunia
ekonomi.,
dan
memacu
dinamika
perdagangan
di
kebanyakan negara. Dengan kecenderungan globalisasi ini, kompetisi internasional nampak meningkat dan melebar. Demikian juga halnya dengan perkembangan teknologi terasa kian cepat, yang pada gilirannya, akselerasi perkembangan teknologi itu sendiri terutama di bidang transportasi, telekomunikasi dan informatika telah membantu mempercepat proses globalisasi. Meningkatnya dinamika kompetisi internasional ini menimbulkan beberapa masalah yang berkaitan dengan peranan dan interkasi antara pemerintah dengan sektor swasta, dalam upaya meningkatkan daya saing suatu negara. Dalam hal ini, peranan pemerintah dan sektor swasta
dalam
memelihara
daya
saing
internasional
sesungguhnya
amat
beragam.
Namun
demikian, peranannya yang paling tepat akan sangat tergantung pada: kompetisi dan kekuatan para pengusaha swasta dan pejabat pemerintah, luas jangkauan
keterlibatan pemerintah dalam
bidang ekonomi, serta tahap perkembangan ekonomi negara yang bersangkutan. Berkaitan dengan masalah yang telah disebutkan tadi, satu hal yang perlu diperhatikan bahwa daya saing internasional yang berkembang sekarang ini semakin disadari tidak lagi bersandar hanya pada biaya produksi yang rendah karena upah buruh yang murah, tetapi karena sebagain besar produk saat ini telah menyusut sangat cepat, diambil alih oleh masukan teknologi yang lebih otomatis. Sehingga timbul suatu kecenderungan sebagian besar persentase biaya total produksi lebih banyak digunakan untuk biaya litbang, desain, pemasaran dan distribusi. Dengan demikian, yang menjadi tumpuan daya saing saat ini sangat tergantung pada upaya untuk terus menerus memperbaiki kualitas produk, cara menggunakan waktu secara efisien, penngiriman yang tepat waktu, layanan purna jual, daya tanggap terhadap kebutuhan
17
pelanggan, kebaharuan dalam desain produk, diferensiasi produk, agresivitas pemasaran, dan jaringan distribusi yang efisien, yang kian penting artinya dalam rangka menguasai pasar. Dengan pertimbangan hal ini, beberapa aspek daya saing amat ditentukan oleh kondisi internal
perusahaan,
sementara
yang
lainnya
berhubungan
erat
dengan
lingkungan
luar
perusahaan. Lingkungan ini meliputi, efisiensi industri penunjang yang menyediakan input bahan produksi dan layanan, infrastruktur fisik dasar (seperti sarana telekomunikasi, energi, persediaan air dan transportasi), infrastruktur institusional (seperti sistem hukum legal dan peraturan lainnya, serta manajemen dan organisasi perusahaan atau perindustrian), infrastruktur penunjang teknologi (seperti standarisasi, perpustakaan, S&T park) dan kualitas sumber daya manusia yang mempengaruhi sejumlah harga.
4.3
Dasar Pertimbangan Intervensi Pemerintah untuk Mendorong
Perkembangan
Teknologi Ada beberapa dasar pertimbangan pemerintah melakukan intervensi dalam tujuan mendorong perkembangan teknologi. Pemerintah mendorong perkembangan teknologi karena alasan
ekonomis,
dengan
cara
menggalakan
kemampuan
teknologi
industri
untuk
meningkatkan produktivitasnya agar mampu menghadapi persaingan di pasar dalam negeri dan internasional.
Pemerintah
juga
melakukan
intervensi
tersebut
karena
alasan
politis, seperti memelihara ketahanan nasional dan kebanggaan nasional.
pertimbangan
Alasan lainnya,
pemerintah juga memiliki perhatian dalam pengembangan teknologi yang menyangkut masalah sosial dan kepentingan masyarakat. Dilain hal, pemerintah memang berminat mengembangkan dan
mendorong
kemajuan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
namun
pada
waktu
yang
bersamaan, pemerintah juga berkepentingan mengawasi akibat -akibat dari pengembangan atau penggunaan Iptek yang mungkin tidak diingini oleh masyarakat. Beberapa alasan ini akan dibahas dibawah ini. a.
Pertimbangan Ekonomi Berdasarkan
kajian welfare
economics,
dasar
pertimbangan
pemerintah
melakukan
intervensi dalam upaya mendorong perkembangan teknologi dapat diperjelas dengan teori kegagalan pasar (market failure). Teori ini berpendapat bahwa mekanisme pasar pada suatu derajat tertentu tak mampu menyiapkan informasi, fasilitas atau produk yang diperlukan untuk mendorong timbulnya invensi atau inovasi. Bila keterbatasan atau ketidak-mampuan pasar ini tidak dibantu oleh pemerintah, maka dimasa depan, kondisi ini dapat menyebabkan orangperoranga n atau perusahaan-perusahaan mengalami kelesuan dalam melakukan aktivitas R&D.
18
Dikarenakan peranan mekanisme pasar tak dapat menjamin keuntungan yang penuh bagi perusahaan atau innovator yang telah berhasil menemukan penemuan baru dari R&D, intervensi pemerintah diperlukan untuk memantaskan keuntungan yang diharapkan oleh sang penemu tersebut. Pemerintah melakukan ini antara lain dengan menciptakan undang-undang hak milik intelektual dalam bentuk paten dan/atau hak cipta. Namun demikian, paten dan hak cipta tak dapat melindungi seluruh hasil penemuan karena masih ada beberapa keterbatasannya: (i) paten memiliki batas waktu, dimana setelah kadaluarsa
masa
berlakunya,
kompetitor
masih
dapat
memanfaatkan
kerahasiaan
hasil
penemuan tersebut, (ii) ketika hasil penemuan diregistrasikan ke kantor paten, kerahasiaan penemuan perlu dijelaskan nilai kebaharuannya, sehingga produser ini bisa membocorkan kemungkinan
kompetitor
mengkajinya,
dan
(iii)
tidak
semua
negara
mengakui
dan
menghormati peraturan paten. Disamping pembahasan tersebut diatas peraturan paten sendiri bisa memblok perusahaan lain untuk menghasilkan teknologi dan produk yang lebih baik dari pada yang sudah dipatenkan. Ini bisa mengurangi kesempatan optimasi keuntungan masyarakat dalam menikmati hasil penemuan untuk pengembangannya yang lebih inovatif. Kompleksi dan tingginya biaya untuk mengembangkan suatu teknologi pada industri tertentu memungkinkan industri tersebut memerlukan bantuan dari pemerintah. Paten mungkin efektif untuk industri farmasi dan kimia tertentu dengan menggunakan mesin-mesin prosedur pembuatan yang relatif tidak berapa mahal. Pada jenis industri ini, produk baru dengan mudah dapat ditiru oleh kompetitor bila produk tersebut tidak dilindungi oleh paten. Namun demikian, dalam
mengembangkan
semikonduktor,
dan
superkomputer,
memproduksi pesawat
peralatan
terbang
dan
elektronik produk
yang
canggih
telekomunikasi,
seperti
perlindungan
paten kurang signifikan karena upaya imitasi untuk produk-produk tersebut memerlukan biaya investasi yang tinggi, dan hampir dana biayanya dengan produsen produksi yang orsinil. Oleh karenanya disamping paten, produsen dari produk-produk elektronik
baru tersebut., juga
memerlukan subsidi pemerintah. Misalnya melalui pembelian oleh pemerintah untuk produkproduk tersebut, agar perusahaan dapat mencapai percepatan difusi inovasi dalam pasarnya. Ketidakpastian (uncertainty) berkaitan dengan karakteristik yang inherent dari riset, dimana upaya-upaya tersebut mungkin atau tidak mungkin memberikan hasil yang bersifat komersial dan menguntungkan. Resiko kegagalan sangat tinggi, perusahaan-perusahaan dapat mengurangi investasi R&D-nya, karena hasil-hasil riset tersebut membutuhkan waktu dan uang untuk mencapai taraf inovasinya di pasar komersial. Ada dua sumber ketidak-pastian dalam mendorong timbulnya inovasi teknologi: ketidak -pastian teknologis dan ketidak -pastian pasar. Yang pertama berkaitan dengan modal dan waktu yang diperlukan untuk melengkapkan proses invensi ke proses inovasi. Ketidakpastian yang kedua berkaitan dengan sifat risk aversion dalam investasi yang menyebabkan
19
perusahaan mengurangi anggaran untuk penelitian, karena kompetitor yang tak diketahui mungkin juga melakukan upaya riset yang sama sehingga akan meningkatkan kompetisi. Hal ini juga berkaitan dengan kemungkinan, bahwa setiap hasil riset bisa saja mendapatkan penemuan yang layak secara teknologis, namun tidak layak dalam pemasarannya secara ekonomis. Ketidakpastian yang lain, terutama dalam proyek-proyek pengembangan teknologi yang besar, berkaitan dengan faktor kagagalan tak langsung (indirect failure) karena perubahan politik dalam pemerintah yang memberhentikan atau menarik anggaran R&D, atau akibat resiko politik dengan negara lain. Di negara berkembang, faktor ketidak-pastian dalam R&D yang berkaitan dengan resiko tinggi untuk menghasilkan proses atau produk baru, ialah keterbatasan dana dalam biaya riset. Kelesuan ini juga berkaitan dengan masih lemahnya perlindungan hukum hak milik intelektual.
Faktor
indivisibility
bisa timbul pada proyek teknologi yang besar dimana
pelaksanaanya tidak dapat dibagi pada perusahaan kecil maupun besar, seperti reaktor nuklir atau riset ruang angkasa. Faktor indivisibility juga bisa timbul pada petani atau perusahaan kecil yang saling berkompetisi satu sama lain, namun tak mampu untuk melaksanakan riset secara sendirian. Dengan pertimbangan efisiensi biaya, investasi R&D itu bila dilaksanakan sendiri menjadi tidak efisien dan memerlukan upaya riset bersama yang terorganisir. Ini memerlukan peranan pemerintah dalam pelaksanaannya. Alasan lain untuk pemerintah merasa perlu menunjang kegiatan R&D ialah dalam penetapan pengukuran standar, yang diperlukan oleh industri untuk berkembang. Lemahnya standarisasi dapat menghambat perkembangan inovasi teknologi dan difusinya, yang kelak juga dapat melemahkan minat investasi melalui R&D. Perusahaan swasta atau laboratorium universitas sebenarnya bisa menetapkan standarisasi dari produk temuannya, namun demikian selain masalah waktu dan biaya dalam menetapkan standar baru, proses standarisasi juga melibatkan perjanjian antara penghasil dan pembeli dari produk-produk penemuan-penemuan. Standarisasi, bila dilakukan oleh perusahaan swasta, akan sulit dianggap netral. b.
Pertimbangan Politik
Dasar
pertimbangan
kebijaksanaan
intervensi
untuk
mendorong
inovasi
teknologi
tidak hanya didasarkan oleh pertimbangan ekonomi, seperti yang dikemukakan dalam teori kegagalan pasar, tetapi juga dari kepentingan suatu negara memelihara tujuan politiknya. Pertimbangan politik lainnya untuk pemerintah melakukan intervensi pengembangan inovasi teknologi ialah dalam tujuan menjaga kebanggaan nasional. Misalnya saja, proyek Apollo oleh Amerika Serikat yang dilakukan secara drastis karena terhinanya nasionalisme
20
Amerika Serikat oleh keberhasilan teknologi Rusia dalam meluncurkan Sputnik di tahun 1960an. Untuk negara-negara berkembang, tujuan politis dari pemerintah untuk mendorong inovasi teknologi adalah memelihara kedaulatan bangsa, dimana pemerintah memimpin upaya pengembangan teknologi dalam negeri agar terlepas dari ketergantungan impor teknologi asing secara terus menerus. Kemampuan meningkatkan kemampuan teknologi dalam negeri akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya kekuatan pembangunan ekonomi
akan
memperkuat
ketahanan
ekonomi
nasional
dan
kedaulatan
bangsa.
Jepang
misalnya kini, dengan kemampuan teknologi dan perekonomiannya mulai berpengaruh dalam percaturan politik nasional. Untuk
kebanyakan
negara
berkembang,
strategi
pembangunan
teknologi
diinternalisasikan kedalam strategi pembangunan nasional. Pendapat ini, khususnya dekade 1970-an, kebanyakan diupayakan melalui kebijaksanaan pemerintah untuk membantu program teknologi tepatguna. Program teknologi tepatguna yang dimaksud berkarakteristik; rendah dalam biaya modal;
sedapat
menggunakan
mungkin
tenaga
ahli
masyarakat
pedesaan
melibatkan
paten,
menggunakan dalam
dimana
royalties,
material
negeri
lokal
dan
sebanyaknya;
saja;
teknologi
yang
biaya
konsultan,
biaya
skala
menciptakan
lapangan
kecil
dapat
digunakan impor;
dan
yang
kerja;
dijangkau
dikembangkan
perencanaan
praktis
tidak dalam
penggunaan teknologi bisa didapat gratis atau biaya yang rendah dan tak ada beban biaya setelah itu. Pemerintah
dalam
hal
ini
menyediakan
dana
riset
untuk
mendukung
program
teknologi tepatguna itu, khususnya dalam pembangunan desa. Namun demikian, belakangan ini konsep tersebut mengalami kritik karena sifat teknologinya yang “inferior” dan rendah dalam produktivitasnya. Konsep lain dari teknologi tepat guna berkaitan dengan konsep welfare economics, dimana teknologi tepatguna pada penggunaan waktunya, tempat dan lingkungannya yang tepat. Dalam hal ini upaya pengembangan teknologi tepatguna bisa melalui
kebijaksanaan
makroekonomi,
alokasi
investasi,
perdagangan
internasional,
sistem
politik dan ekonomi yang tepat, seperti yang kini ditempuh oleh negara-negara industri baru dalam memanfaatkan dampak era globalisasi ekonomi.
c.
Pertimbangan Sosial
21
Pemerintah juga berkepentingan pada masalah-masalah kesejahteraan masyarakat. Ini merupakan justifikasi bagi pemerintah untuk melindungi masyarakat dari masalah resiko teknologi yang diinginkan dan mungkin tak diingini oleh masyarakat. Masalah ini bisa termasuk masalah lingkungan, deplesi sumber daya alam, kesehatan dan keselamatan kerja dan gangguan pribadi akibat dampak negatif teknologi informasi yang bisa menelusuri data pribadi orang-perorang dalam eksploitasi bisnis pemasaran. Masalah lain yang timbul dari perkembangan teknologi juga bisa berkaitan dengan masalah sensitif yang didasari oleh pertimbangan etis dan agama. Misalnya saja dalam penelitian
kedokteran,
dapatkah
jaringan
sel
dari
janin
manusia
yang
baru
meninggal
ditransplantasikan untuk orang dewasa yang menderita kelumpuhan parkinson. Bila temuan riset ini dikabulkan pemerintah tanpa mempertimbangkan cara teknologi lain dan industri farmasi secara bebas memproduksinya dengan cara memesan janin manusia pada siapa saja yang mau menjualnya, dapatkah jual beli janin manusia itu dibenarkan pemerintah dan masyarakat. 4.4
Alternatif Kebijaksanaan Ada
lima
macam
cara
pemerintah
melakukan
intervensi
untuk
mendorong
perkembangan inovasi teknologi: (i) misi pemerintah yang dibiayai langsung melalui anggaran pemerintah
namun
tak
langsung
bertujuan
untuk
pengembangan teknologi yang bersifat
komersial; (ii) misi pemerintah yang dibiayai langsung dengan ditujukan khusus pada maksud komersial. (iii) misi pemerintah tanpa pembiayaan langsung; dan (iv) intervensi secara tidak langsung. Kebijaksanaan pertama mendorong inovasi melalui misi pemerintah dengan tujuan tak langsung pada maksud komersial dilakukan dengan membiayai program riset baik dalam tingkat riset murni (basic research), riset terapan (applied research) dan tahap uji coba pengembangan. Kebijaksanaan kedua ialah kebijaksanaan yang langsung dibiayai pemerintah untuk melakukan riset dalam mendorong perkembangan teknologi untuk perindustrian dan bertujuan komersial.
Kebijaksaan
instrumennya Contoh
dapat
intervensi
berkembang
ini
dikenal
sebagai
picking
winner
policy.
Kebijaksanaan
ini
dilakukan dalam kebijaksanaan teknologi atau kebijaksanaan industri. pemerintah
lainnya.
Untuk
ini,
sering
Indonesia,
dilakukan
oleh
program-program
Jepang
atau
pengembangan
negara-negara dan
tujuan
penguasaan teknologi dalam kebijaksanaan ini dapat dicontohkan seperti program-program pengembangan teknologi yang dilakukan oleh Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS).
22
Kebijaksanaan
ketiga
dalam
mendorong
inovasi
teknologi
bisa
juga
dilaksanakan
langsung oleh pemerintah namun tidak dibiayai oleh pemerintah dalam bentuk dana yang khusus dialokasikan untuk kegiatan riset. Kebijaksanaan ini bisa diwakili oleh pemerintah yang membuat undang-undang dalam melindungi hak milik intelektual, atau kebijaksanaan yang memperkenankan adanya kerjasama riset antar perusahaan yang sebenarnya terbatas oleh Undang-Undang Anti Monopoli di Amerika Serikat. Kebijaksanaan terakhir adalah kebijaksanaan yang dilaksanakan secara tidak langsung mendorong timbulnya upaya inovasi teknologi. Ini misalnya dapat diwakili oleh kebijaksanaan pemerintah yang bersifat insentif, misalnya memberi potongan pajak secara khusus bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan riset dan pelatihan, bunga yang relatif rendah, stabilnya sistem devisa, pinjaman khusus, proteksi dalam perdagangan dan lain-lain.
23
