HASIL LITBANG 2016 PUSLITBANG HASIL HUTAN
BUKU II
BOGOR, JANUARI 2017 i
KATA PENGANTAR Buku Hasil Litbang 2016 Puslitbang Hasil Hutan memberikan gambaran atas hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3HH) selama tahun 2016 yang disajikan dalam bentuk ringkasan. Pada buku ini disajikan ringkasan hasil penelitian dari 13 judul/kegiatan penelitian yang mencakup 3 penelitian terintegrasi yaitu: RPPI 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan, RPPI 8 Pengolahan Hasil Hutan dan RPPI 9 Teknik Pemanenean Hutan. Hasil-hasil penelitian yang disajikan diharapkan menjadi media diseminasi dan distribusi informasi kepada pengguna. Selain itu, diharapkan dapat menjadi salah satu sarana efektif bagi para pengguna dan pengambil kebijakan untuk memanfaatkan informasi hasil penelitian sebagai dasar pengambilan kebijakan. Kepada seluruh pihak terkait, disampaikan ucapan terimakasih dan apresiasi yang tinggi atas kerjasama dan kontribusinya dalam penyusunan buku ini.
Bogor,
Januari 2017
Kepala Pusat,
Dr.Ir. Dwi Sudharto, M.Si. NIP 19591117 198603 1 003
ii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ......................................................... DAFTAR ISI ....................................................................... RPPI 7. REVITALISASI PEMANFAATAN HASIL HUTAN 1. Teknik Pemanfaatan Resin dan Getah untuk Biocosmetik dan Biomedicine................................................................. 2. Tehnik Pengolahan HHBK sebagai Bahan Pangan............. 3. Teknik Pengolahan Biometanol dari bahan lignoselulosa... 4. Teknik Pengolahan Bioetanol dari bahan Berlignoselulosa 5. Teknik Pengolahan Bio-Oil dari bahan Berlignoselulosa.... RPPI 8. PENGOLAHAN HASIL HUTAN 1. Sifat Dasar Rotan dan Bambu.............................................. 2. Sifat Dasar dan Penyempurnaan kayu................................. 3. Paleobotani Fosil Tumbuhan Hutan Tropis........................ 4. Teknik Pengolahan dan Diversifikasi Produk Serat dan Partikel Bambu.................................................................... 5. Inovasi Teknik Pengolahan Rotan...................................... 6. Formulasi Perekat Nabati dari Kulit Kayu......................... 7. Formulasi Bahan Impregnan dan Finishing Kayu.............. RPPI 9. TEKNIK PEMANENAN HUTAN 1. Teknik Pemanenan Kayu di hutan Rakyat......................... RPPI PENGEMBANGAN PILOT IPTEK PENINGKATAN NILAI TAMBAH HASIL HUTAN LAINNYA 1. Teknologi Pemanfaatan Jamur (Pilot Project KPH)............ 2. Pengelolaan sampah dengan model 3 in 1 untuk nano fertilizer dalam rangka mitigasi dan adaptasi lingkungan)... 3. Pengembangan teknologi ramah lingkungan untuk peningkatan produktivitas tanaman...................................... 4. Pengembangan Alat Pengolah bio etanol............................. 5. Pengembangan penerapan teknologi pelengkungan kayu untuk peningkatan nilai tambah dan efisiensi bahan baku... 6. Pengembangan Alat Ukur diameter Wesyan Generasi 2..... 7. Evaluasi pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia.............................................................................. iii
ii iii
1 9 13 21 26 31 48 55 69 79 86 92 98
103 106 113 115 122 129 135
iv
Judul Kegiatan
:
Jenis kegiatan RPPI
: :
Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : :
Teknik Pemanfaatan Resin dan Getah Untuk Biocosmetic dan Biomedicine Penelitian Integratif 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Ir. Totok Kartono Waluyo, MSi. Pusat Litbang Hasil Hutan Ir. Totok Kartono Waluyo, MSi; Gunawan Pasaribu, S.Hut. MSi.; Dr. Ina Winarni, S.Hut. MSi.; Novitri Hastuti, S.Hut. MSc.; R. Esa Pangersa Gusti, S.Hut.
ABSTRAK Potensi hasil hutan bukan kayu (HHBK) belum dikelola dan dimanfaatkan secara maksimal. Jenis-jenis HHBK potensial antara lain tumbuhan obat, resin dan getah. Tujuan penelitian untuk mendapatkan informasi kandungan senyawa aktif 10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Sumatera; isolasi α pinena dari minyak terpentin; uji aktivitas antiinflamasi dan antikanker resin getah jelutung dan gaharu; formulasi parfum dari kemenyan. Metode yang digunakan adalah ekstraksi, uji fitokimia, toksisitas, distilasi kering, Edema assay dan MTT assay. Hasil penelitian 10 jenis tumbuhan berpotensi sebagai obat ternyata 10 jenis tersebut berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiimflamasi, antialergi, antikanker dan antioksidan, 2 jenis berpotensi sebagai antiinflamasi, hepatoprotektif, analgesik dan antimikroba yaitu Baccaurea tetrandra (Baill.) Müll. Arg. dan Cinnamomum iners Reinw. Ex Blume., 1 jenis Hymenophyllum sp.yang mengandung senyawa hidroquinone berpotensi sebagai bahan kosmetik khususnya obat pemutih kulit, penghilang flek dan 1 jenis tumbuhan yang tidak berpotensi sebagai antikanker yaitu Rhodomyrtus tomentosa(Anton) Hossk. Isolasi α pinena dari minyak terpentin menghasilkan rendemen distilat 93,77% pada suhu 170 ºC. Resin getah jelutung berpotensi sebagai antiinflamasi (setara dengan natrium diklofenak) dan antikanker pencernaan WiDr (IC50 288,40 ppm). Resin gaharu Gyrinops berpotensi sebagai antikanker payudara MCF-7 dan antikanker paru-paru A549. Formula parfum berbahan kemenyan yang paling disukai adalah odorant green tea 0,5 mL, minyak nilam 0,2 mL, kemenyan 1 mL dan etanol 2 mL. Kata kunci : Tumbuhan obat, resin getah jelutung dan gaharu, antiinflamasi, antikanker, kemenyan
1.
LATAR BELAKANG Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui senyawa aktif tanaman obat
dari hutan, isolasi α pinena untuk menghasilkan produk turunan minyak terpentin, pemanfaatan resin dari getah jelutung sebagai obat antiinflamasi dan
1
antikanker, resin gaharu sebagai obat antikanker dan resin kemenyan sebagai bahan parfum (biocosmetic).
2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan penelitian ini mendapatkan informasi kandungan senyawa aktif
10 (sepuluh) jenis tumbuhan obat hutan asal Sumatera, mengetahui kadar α pinena hasil isolasi derivat minyak terpentin, mengetahui aktivitas antiinflamasi dan antikanker resin dari getah jelutung dan gaharu dan mendapatkan formula ekstrak kemenyan sebagai bahan parfum (biocosmetic) Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi
senyawa
aktif
tumbuhan obat hutan asal Sumatera, rendemen dan kadar α pinena minyak terpentin, aktivitas antiinflamasi, antikanker resin dari getah jelutung dan gaharu serta formula parfum dari ekstrak kemenyan. 3.
METODE PENELITIAN Tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai obat di Sumatera, minyak
terpentin dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, getah jelutung dari Kalimantan Tengah, gaharu dari NTB dan kemenyan dari Sumatera Utara dan dilakukan pengujian di Bogor dan Bandung. Bahan yang digunakan adalah 10 jenis tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai obat,minyak terpentin, getah jelutung, sampel kayu gaharu jenis Gyrinops (3 kualitas) dan kemenyan.
Bahan kimia yang diperlukan
aseton, etanol, metanol, kloroform, heksana, KOH, MgSO4, HCl, dietilmeter, NaHCO3 dan NaOH.
Alat yang digunakan adalah soxhlet, rotary vacuum
evaporator, erlenmeyer, gelas kimia, gelas ukur, buret, kompor gas, spatula, ekstraktor, magnetic stirrer, penyaring, timbangan, termometer, GC
dan
GCMS. Prosedur Kerja yaitu Tumbuhan obat dilakukan ekstraksi, Uji fitokimia Isolasi α pinena dari minyak terpentin dengan cara distilasi menggunakan suhu 160 ºC, 165 ºC dan 170 ºC.. Aktivitas Antiinflamasi dan Antikanker Resin
2
Getah
Jelutung dan Gaharu Resin getah jelutung (Aktivitas antiinflamasi)
menggunakan metode ekstrak aseton mengacu pada ASTM D 297-93 (Standard Test Methods for Rubber Ptroducts-Chemical Analysis) dan
Uji aktivitas
antiinflamasi resin (Edema assay) Resin getah jelutung (Aktivitas antikanker pencernaan) dengan uji aktifitas antikanker. Resin gaharu (Aktivitas antikanker payudara dan paru-paru): Gaharu yang digunakan adalah dari jenis Gyrinops verstegii dengan 3 kualitas kamedangan yaitu kamedangan alam, kamedangan 1 budidaya dan kamedangan II budidaya. Uji aktifitas antikanker menggunakan sel kanker payudara MCF 7 (ATCC HTB 22) dan sel kanker paru-paru A549 (ATCC CCL 185), konsentrasi resin Gaharu diekstrak dengan pelarut metanol dan selanjutnya ekstrak gaharu (resin) diuji dengan konsentrasi 800 ppm, 400 ppm, 200 ppm, 100 ppm, 50 ppm, 25 ppm, 12.5 ppm dan 6,25 ppm dengan menggunakan pelarut DMSO. Kemenyan (Formulasi parfum) dengan Fraksinasi dan Formulasi parfum Analisis data dilakukan pada tumbuhan obat dengan menggunakan analisis Fitokimia dan komponen kimia tumbuhan berpotensi obat dan Analisis toksisitas, Isolasi α pinena yaitu Rendemen α pinena dianalisis dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap 2x3x3, 2 faktor asal minyak terpentin (Jabar dan Jateng), 3 perlakuan (suhu destilasi 160 °C; 165 °C dan 170 °C) dengan ulangan sebanyak 3 kali. Aktivitas Antiinflamasi dan Antikanker Resin Getah Jelutung dan Gaharu
Resin dari getah jelutung dilakukan analisis Uji
antiinflamasi. Untuk mengetahui daya antiinflamasi terbaik adalah persentase tertinggi daya antiinflamasi (% DAI). Uji aktifitas antikanker dengan sel kanker pencernaan WiDr (ATCC CCL 218). Persen daya hambat ekstrak (daya inhibisi) terhadap sel pada setiap konsentrasi dibuat grafik linier, selanjutnya dapat ditentukan konsentrasi ekstrak yang dapat menghambat perkembangan sel sebesar 50% (IC50). Uji aktivitas antikanker resin gaharu dengan menggunakan sel kanker payudara MCF 7 (ATCC HTB 22) dan sel kanker paru-paru A549 (ATCC CCL 185). Selanjutnya analisa pengujian aktivitas antikanker sama dengan uji aktivitas antikanker pada resin dari getah jelutung. Kemenyan
3
(Formulasi parfum) data kuantitatif hasil pengujian organoleptik dianalisa secara statistika non parametrik dengan uji Kruskall Wallis (Steel & Torrie, 1995). 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Sebanyak 10 (sepuluh) sampel bahan tumbuhan obat dilakukan
ekstraksi dengan pelarut metanol untuk keperluan informasi rendemen ekstrak, fitokimia, toksisitas dan kandungan komponen kimia. Rendemen ekstrak tertinggi adalah jenis modang kulim dan sae-sae hitam (22,07% dan 17,34%), sedangkan terendah ekstrak solfa dan rugi-rugi (6,90% dan 3,56%). Hasil uji fitokimia, 10 jenis tumbuhan mengandung tanin. Dengan demikian semua jenis tumbuhan berpotensi sebagai antivirus, antibakteri, antitumor, penurun tekanan darah tinggi, antikarsinogen dan antimutasigen. Seluruh tumbuhan obat mengandung saponin. Berdasarkan hasil uji fitokimia, hanya 1 jenis yang tidak mengandung senyawa flavonoid yaitu Cinnamomum iners Reinw. Ex Blume. Dengan demikian terdapat 2 jenis tumbuhan obat yang mempunyai
potensi
manfaat
antiimflamasi,
hepatoprotektif,
analgesik,
antimikroba yaitu Baccaurea tetrandra (Baill.) Müll. Arg. dan Cinnamomum iners Reinw. Ex Blume. Terdapat 7 jenis tumbuhan yang mengandung alkaloid berdasarkan uji Dragendorf yaitu Baccaurea tetrandra (Baill.) Müll. Arg.; Glochidion macrocarpum Blume.; Gaulteria leucocarpa; Saurauia bracteosa DC.; Rhodomyrtus tomentosa (Anton) Hossk.; Melastoma sanguineum Sims. dan Desmodium adscendens (sw.) DC. Uji fitokimia senyawa hidroquinon hasilnya menunjukkan bahwa hanya 1 jenis tumbuhan yang mengandung senyawa hidroquinon yaitu Hymenophyllum sp. Hidrokuinon adalah zat pemutih yang paling sering digunakan untuk pengobatan kasus pigmentasi seperti kulit kusam dan flek (Sarah, 2014). Dengan demikian jenis tumbuhan tersebut berpotensi sebagai bahan kosmetik khususnya obat pemutih kulit, penghilang flek dan lain-lain. Hasil uji toksisitas tumbuhan obat terdapat 1 jenis yang bersifat tidak toksik yaitu Rhodomyrtus tomentosa (Anton) Hossk, sedangkan jenis lainnya 4
bersifat toksik sehingga berpotensi sebagai bahan baku obat herbal. Alfatokoferol
merupakan senyawa yang memiliki aktivitas Vitamin E
bermanfaat sebagai antioksidan dan stimulasi sistim imun. Demikian halnya dengan senyawa gamma sitosterol dan kelompok sitosterol lainnya merupakan senyawa yang baik sebagai antioksidan dan antikolesterol. Destilasi minyak terpentin berdasarkan perbedaan suhu destilasi (160 ºC; 165 ºC dan 170 ºC ) menghasilkan rendemen distilat. Rendemen terbesar kedua sampel minyak terpentin adalah pada suhu 170C, yaitu sebesar 92,9% untuk terpentin asal Jawa Tengah dan 93,77% untuk terpentin asal Jawa Timur. Kemurnian alpha pinene hasil distilasi juga diukur/dianalisis menggunakan Gas Chromatography yang dibandingkan dengan standar alphapinene. Hasil pengukuran tingkat kemurnian diketahui bahwa tingkat kemurnian alpha-pinene paling tinggi ada pada suhu distilasi 160C. Pada suhu yang lebih tinggi tingkat kemurnian semakin rendah dikarenakan pada suhu ini senyawa lain dengan titik didih yang lebih tinggi kemungkinan bercampur dengan
alpha-pinene.
Daya
antiinflamasi
meningkat
seiring
dengan
peningkatan dosis resin getah jelutung yang diberikan. Selanjutnya hasil perhitungan sidik ragam menunjukkan bahwa nilai DAI resin getah jelutung tidak berbeda nyata dibanding kontrol yaitu pemberian natrium diklofenak yaitu bahan antiinflamasi. Dengan demikian resin getah jelutung berpotensi sebagai obat antiinflamasi, hal ini dimungkinkan karena resin mengandung senyawa taraxasterol di mana senyawa tersebut berfungsi sebagai antiinflamasi. Aktivitas antikanker pencernaan dengan sel WiDr (ATCC CCL 218) makin tinggi konsentrasi resin semakin tinggi persen inhibisi yang berarti makin kuat menghambat pertumbuhan sel WiDr. Selanjutnya, nilai IC50 hasil perhitungan dari regresi linier sebesar 288,40 ppm. Nilai IC50 menunjukkan konsentrasi yang diperlukan untuk inhibisi 50% yaitu merupakan ambang batas kemampuan bahan untuk menghambat pertumbuhan sel kanker. Gaharu yang digunakan dalam penelitian ini adalah gaharu jenis Gyrinops verstegii dengan 3 kualitas yaitu kamedangan alam (A), kamedangan 5
I budidaya (B1)
dan kamedangan kelas II budidaya (B2). Hasil ekstraksi
gaharu dengan pelarut metanol menghasilkan rendemen sebesar ekstrak metanol gaharu 9,5% (A), 12,45% (B1) dan 15,34% (B2). Aktivitas antikanker payudara dengan sel MCF-7 (ATCC HTB 22), semakin tinggi konsentrasi resin (A, B1 dan B2) maka semakin tinggi pula daya hambat pertumbuhan sel MCF7. Nilai IC50 resin A, B1 dan B2 berturut-turut 52,12 ppm, 83,18 ppm dan 51,29 ppm. Nilai IC50 ketiga resin gaharu (A, B1 dan B2) tersebut masih lebih tinggi dibandingkan nilai IC50 minyak gaharu Aquilaria yaitu konsentrasi 44 ppm (Hashim,et al., 2014). Selanjutnya bila dibandingkan dengan minyak gaharu Aquilaria crassna (nilai IC50 110 ppm), maka IC50 resin gaharu Gyrinops masih lebih rendah (Dahham, 2015). Meskipun demikian, nilai IC50 ketiga resin gaharu masih di bawah 1.000 ppm, sehingga berpotensi digunakan sebagai pilihan terapi antikanker. Aktivitas antikanker paru-paru dengan sel A549 (ATCC CCL 185) nilai IC50 resin A, B1 dan B2 berturut-turut 56,23 ppm, 66,07 ppm dan 63,10 ppm. Nilai IC50 ketiga resin gaharu (A, B1 dan B2) tersebut masih lebih tinggi dibandingkan nilai IC50 ekstrak etil asetat daun sirsak sebesar 5,06 ppm (Moghadamtousi, et al., 2014) tetapi lebih rendah dibanding ekstrak rebusan bawang putih sebesar 300 p pm (Munawir, 2015). Meskipun demikian, nilai IC50 ketiga resin gaharu masih di bawah 1.000 ppm, sehingga berpotensi digunakan sebagai pilihan terapi antikanker. Fraksinasi bertingkat kemenyan diawali dengan pelarut heksana dengan maksud melarutkan senyawa-senyawa berupa minyak dan lemak. Rendemen ekstrak pelarut heksana sebesar 1,40%, hal ini menandakan kemenyan sedikit menyandung minyak atau lemak.
Selanjutnya residu
kemenyan diekstrak kembali dengan pelarut yang bersifat semi polar (etil asetat)
menghasilkan
rendemen
sebesar
30,25%.
Ekstraksi
terakhir
menggunakan pelarut bersifat polar (metanol) menghasilkan rendemen sebesar 52,42%. Ekstrak metanol ini digunakan sebagai bahan pembuatan parfum.
6
Hasil
analisa
statistik
menggunakan
metode
Kruskall-Wallis
menunjukkan perlakuan formula memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesukaan responden terhadap parfum. Formula parfum F1 adalah odorant green tea o,5 ml, minyak nilam 0,2 ml, kemenyan 1 ml dan etanol 2 ml. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN Skrining fitokimia 10 jenis tumbuhan hutan yang berpotensi sebagai
obat, seluruhnya jenis berpotensi sebagai antibakteri, antivirus, antiinflamasi, antialergi, antikanker dan antioksidan yaituCananga odorata (Lam) Hook.f. & Thomson; Ziziphus horsfieldii Miq.; Vitex pinnata L.; Dillenia excelsa (Jack) Martelli ex Gilg.; Mitragyna speciosa (Korth.) Havil.; Tristaniopsis obovata (Benn.) Peter G. Wilson & J.T. Waterh. dan Eurycoma longifolia Jack. Terdapat 2 jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai antiinflamasi, hepatoprotektif, analgesik dan antimikroba yaitu Baccaurea tetrandra (Baill.) Müll. Arg. dan Cinnamomum iners Reinw. Ex Blume. Jenis Hymenophyllum sp. yang mengandung senyawa hidroquinone sehingga hanya jenis tersebut berpotensi sebagai bahan kosmetik khususnya obat pemutih kulit, penghilang flek dan lain-lain. Jenis Baccaurea tetrandra (Baill.) Arg; Cinnamomum inners Reinw.Ex Blume; Garcinia lateriflora Blume; Glochidion marcrocarpum Blume; Gulteria leucocarpa; Saurauia bracteosa DC; Hymenophyllum sp.; Melastoma sanguineum Sims dan Desmodium adscendens (sw) berpotensi sebagai antikanker. Isolasi α pinena dari minyak terpentin bahwa suhu distilasi minyak terpentin 170 ºC menghasilkan rendemen distilat tertinggi yaitu 92,90% 93,77%. Kemurnian α pinena tertinggi dihasilkan dengan suhu distilasi 160 ºC yaitu 73,97 % - 88,22%. Aktivitas Antiinflamasi dan Antikanker Resin Getah Jelutung dan Gaharu. Resin getah jelutung: Peningkatan dosis resin getah jelutung 100 mg/kg BB dan 100 mg/kg BB dapat meningkatkan daya antiinflamasi berturut-turut 40,22%; 44,17% dan 62,19%. Daya antiinflamasi resin getah jelutung relatif sama atau setara dengan obat antiinflamasi standar 7
yaitu natrium diklofenak. Penambahan konsentrasi resin getah jelutung meningkatkan daya hambat aktivitas pertumbuhan sel kanker pencernaan WiDr (ATCC CCL 218). Nilai IC50 resin getah jelutung sebesar 288,40 ppm dan berpotensi sebagai obat antikanker. Resin gaharu : Penambahan konsentrasi resin 3 kualitas gaharu jenis Gyrinops (kamedangan alam, kamedangan budidaya I dan kamedangan budidaya II) meningkatkan daya hambat aktivitas pertumbuhan sel kanker payudara MCF-7 (ATCC HTB 22). Nilai IC50 sel kanker payudara menggunakan resin gaharu kamedangan alam 50,12 ppm, kamedangan budidaya I 83,18 ppm dan kamedangan budidaya II 51,29 ppm dan berpotensi sebagai obat antikanker. Penambahan konsentrasi resin 3 kualias gaharu jenis Gyrinops (kamedangan alam, kamedangan budidaya I dan kamedangan budidaya II) meningkatkan daya hambat aktivitas pertumbuhan sel kanker paru-paru A549 (ATCC CCL 185). Nilai IC50 sel kanker paru-paru menggunakan resin gaharu kamedangan alam 56,23 ppm, kamedangan budidaya I 66,07 ppm dan kamedangan budidaya II 63,10 ppm dan berpotensi sebagai obat antikanker. Kemenyan (Formula parfum): Formula memberikan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesukaan responden terhadap parfum. Pada tingkat kesukaan terhadap parfum, parfum dengan formula 1 yaitu odorant green tea 0,5 ml, minyak nilam 0,2 ml, kemenyan 1 ml dan etanol 2 ml. Tumbuhantumbuhan yang berpotensi untuk obat perlu dikembangkan secara terstruktur untuk menjamin kelestarian dan ketersediaan di alam. Perlu lebih didalami untuk diketahui secara pasti senyawa aktif resin getah jelutung yang berperan aktif sebagai antiinflamasi dan antikanker pencernaan dan senyawa aktif resin gaharu berpotensi sebagai sebagai antikanker payudara dan paru-paru.
8
Judul Kegiatan
:
Jenis Kegiatan Judul RPI
: :
Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : :
Teknik Pengolahan HHBK sebagai Bahan Pangan (Porang): Optimasi Teknik Pemurnian Glukomanan Sebagai Sumber Pangan Rendah Kolesterol Penelitian Integratif 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Ir. Totok K. Waluyo, M.Si Puslitbang Hasil Hutan Gunawan Pasaribu, Ir. Totok K. Waluyo, MSi., Prof.Dr. Gustan Pari,M.Si., Novitri Hastuti, S.Hut.MSi dan Lisna Eviyanti, S.Si.MSi. ABSTRAK
Porang (Amorphophallus muelleri Blume) merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang mampu hidup di bawah tegakan dan memiliki prospek untuk dikembangkan di Indonesia. Permasalahan dalam pengolahan pasca panen adalah tingginya kadar oksalat dan teknologi mendapatkan kadar glukomanan maksimal. Untuk itu, teknologi pengolahan pasca panen merupakan hal penting yang harus dikuasai untuk meningkatkan mutu porang.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pemurnian glukomanan sebagai sumber pangan rendah kolesterol. Metode yang dilakukan dalam pencucian dengan etanol menggunakan chip porang dicuci/ direndam dengan etanol teknis 30%, 40% dan 50% dengan penambahan natrium bisulfit p.a (2%, 3% dan 4%). Waktu pencucian dilakukan selama 4 jam dan dilakukan pengadukan selama prosesnya. Sementara untuk pengujian antikolesterol dilakukan secara in vivo menggunakan tikus Sprague Dawley. Hasil penelitian pencucian dengan etanol bertingkat pada tepung porang ini dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 32,65% menjadi 83,96%. Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum perlakuan berturut-turut 8,758% dan 21,910%. Sementara kandungan Fe dan Ca tepung porang setelah perlakuan berutut-turut 9,115% dan 21,892%. Kandungan Fe dan Ca tidak jauh berbeda, sehingga proses pencucian dengan etanol tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Pemberian tepung porang pra/pasca perlakuan dan campuran nano karbon pada hewan uji memberikan efek terhadap penurunan kolesterol. Kata kunci: porang, etanol, glukomanan, kolesterol
1. LATAR BELAKANG Salah satu jenis HHBK pangan yang potensial dikembangkan adalah porang karena berbagai kelebihan dalam hal budidaya dan pengolahannya.
9
Umbi porang bisa dibuat chips, setelah dimurnikan jadi tepung dibuat beraneka makanan, antara lain mie, tahu dan beras tiruan rendah kalori, campuran bahan baku industri, bahan dasar industri perfilman, hingga diolah menjadi minuman penyegar tubuh. Permasalahan dalam pengolahan pasca panen adalah tingginya kadar oksalat dan teknologi mendapatkan kadar glukomanan maksimal. Perendaman dengan Etanol merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kadar glukomanan. Selanjutnya untuk meningkatkan kadar keputihan dari tepung porang dapat dilakukan dengan perendaman dengan natrium bisulfit. 2. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan penelitian tahun 2016 adalah mengetahui teknik pemurnian glukomanan sebagai sumber pangan rendah kolesterol. 3. METODE PENELITIAN Chip porang dilakukan proses penepungan kemudian dikarakterisasi sesuai kriteria bahan pangan seperti kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat/ nilai kalori, kandungan Fe dan Ca serta kadar glukomanannya (BSN, 2013). Pencucian dengan Etanol 30%, 40% dan 50% dengan penambahan natrium bisulfit (2%, 3% dan 4%). Waktu pencucian dilakukan selama 4 jam dan dilakukan pengadukan. Pengujian kararakter tepung porang pasca perlakuan meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat/ nilai kalori, kandungan Fe dan Ca serta kadar glukomanan, Pengujian aktivitas antihiperkolesterolemia dilakukan pada tikus Sprague Dawley dewasa jantan dengan bobot 200-300 g sebanyak 42 ekor berumur 10 minggu. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri atas 7 ekor (n minimal berdasarkan rumus frederer = 4 ekor). Pembagian hewan uji berdasarkan kelompok sebagai berikut: kelompok normal (N), kelompok kontrol positif, dicekok dengan simvastatin dosis 18 mg/kgBB (K+), kelompok kontrol negatif, dicekok aquades 1 cc (K-), kelompok tepung porang sebelum perlakuan, dosis 350 mg/kgBB (F1), kelompok tepung porang 10
pasca perlakuan, dosis 350 mg/kgBB (F2), kelompok campuran glukomanan (90%) + nanokarbon (10%), dosis 350 mg/kgBB (F3). Tahapan kerja dalam pengujian in vivo yaitu tahap adaptasi, tahap induksi pakan tinggi lemak, tahap perlakuan. Selanjutnya dilakukan analisa biaya dalam produksi tepung porang dengan glukomanan kemurnian tinggi. Dilakukan kajian komponen-komponen biaya meliputi harga chip/ tepung porang, biaya utilitas (listrik), tenaga kerja dan biaya bahan kimia. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum perlakuan berturut-turut 8,758% dan 21,910%. Sementara kandungan Fe dan Ca tepung porang setelah perlakuan berutut-turut 9,115% dan 21,892%. Kandungan Fe dan Ca tidak jauh berbeda, sehingga proses pencuciandengan etanol tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Pada karakteristik tepung porang terlihat penurunan
persentase karbohidrat, tetapi terjadi peningkatan kadar lemak dan kadar protein. Penambahan etanol pada perlakuan diduga sebagai penyebab bertambahnya kadar lemak pada tepung porang. Peningkatan kadar air pada tepung setelah perlakuan diakibatkan penambahan air pada larutan etanol saat pencucian. Hasil penelitian perendaman dengan etanol dapat meningkatkan kadar glukomanan dari 32,65% menjadi 83,96%. Hasil ini menunjukkan teknik pencucian yang dilakukan berpengaruh sangat signifikan. Persentase penurunan kadar total kolesterol tepung porang pra perlakuan, pasca perlakuan, dan campuran glukomanan-nanokarbon dengan dosis 350 mg/kgBB secara berturut-turut adalah 18, 16, dan 17%. Ketiga perlakuan memberikan efek terhadap penurunan kolesterol lebih besar jika dibandingkan dengan kontrol negarif (14%) dan pemberian F1 memberikan efek yang sama dengan simvastatin (obat kolesterol yang biasa digunakan masyarakat). Harga glukomanan kadar 80-90% berada pada kisaran Rp.1.000.000 per kg. Jika dibandingkan dengan biaya produksi dan harga jual tepung
11
glukomanan kadar 80%, diperoleh margin keuntungan yaitu Rp.100.000 – Rp. 36.380 = Rp. 63.620 per 100 gram. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Teknik pemurnian glukomanan sebagai sumber pangan rendah kolesterol dilakukan melalui pencucian dengan etanol 50% dan NaHSO3 2% . Teknik dimaksud mampu meningkatkan kadar glukomanan tepung porang dari 32,65% menjadi 83,96%. Aktivitas antikolesterol tepung porang deangan menggunakan tikus percobaan menunjukan bahwa tepung porang dapat menurunkan kadar kolesterol hewan uji sampai 18%. Kandungan Fe dan Ca tepung porang sebelum dan setelah perlakuan tidak jauh berbeda, sehingga proses pencucian dengan etanol tidak akan mengurangi kadar zat besi dan kalsium dari tepung porang. Jika dibandingkan dengan biaya produksi dan harga jual tepung glukomanan kadar 80%, diperoleh margin keuntungan yaitu Rp.100.000 – Rp. 36.380 = Rp. 63.620 per 100 gram. Dari hasil penelitian ini disarankan adanya pengembangan produk pangan fungsional berbahan dasar tepung porang.
12
Judul Kegiatan
:
Jenis Kegiatan RPPI
: :
Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: :
Teknologi Pengolahan Biometanol dari Bahan Berlignoselulosa Penelitian Integratif 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-Obatan Ir. Totok K. Waluyo, M.Si Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Djeni Hendra,M.Si., Prof.Dr. Gustan Pari,M.Si., Ir. Nining Sudini Ningrum, Lisna Efiyanti S.Hut.MSi, Heru Satrio Wibisono, S.Hut ABSTRAK
Saat ini Indonesia masih menjadi pengimpor BBM dan masih bergantung pada bahan bakar fosil, sedangkan Indonesia memiliki potensi bahan baku untuk pengembangan bioenergi. Salah satu bioenergi yang sedang dikembangkan adalah biometanol. Pengolahan biometanol dapat memanfaatkan bahan baku atau limbah yang mengandung lignoselulosa. Penelitian biometanol yang telah dilakukan masih memerlukan penyempurnaan guna meningkatkan rendemen dan kadar biometanolnya. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan informasi penyempurnaan teknik pengolahan biometanol dari limbah kayu melalui penyempurnaan komposisi katalis dan jenis katalis. Sasarannya adalah tersedianya informasi penyempurnaan teknik pengolahan biometanol dari limbah kayu melalui penyempurnaan komposisi katalis dan jenis katalis. Bahan baku yang digunakan adalah serbuk kayu Acacia mangium yang berasal dari Malingping, Banten. Proses pengolahan biometanol menggunakan reaktor hidrotermal dengan suhu reaksi 300oC. Setelah itu, dilakukan fraksinasi pada 3 (tiga) tingkatan suhu yaitu 28-150oC, 150-200oC dan 200-300oC. Katalis yang digunakan antara lain laterit Fe, sulfur, fenol sedangkan pelarutnya adalah asap cair kayu campuran. Konsentrasi Sulfur sebesar 6% dan Laterit 1,5% sedangkan Fenol menggunakan variasi konsesntrasi 0,5%, 1% dan 1,5%. Proporsi asap cair yang ditambahkan adalah 1:4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi katalis sulfur 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% menghasilkan rendemen tertinggi sebesar 19,94% dan kadar biometanol 72,40%dengan berat jenis 0,8084 dan pH sebesar 3,10. Kata kunci: Biometanol, penyempurnaan, katalis, rendemen, kadar biometanol
1.
LATAR BELAKANG Indonesia memiliki biomassa dalam jumlah besar yang dapat
dimanfaatkan untuk pengolahan biometanol. Suntana et. al (2009) menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi biomassa sebagai bahan baku pembuatan biometanol. Selain itu, Direktorat Jenderal Pemanfaatan Listrik dan Energi (2005) menyakan bahwa sekitar 35% dari total konsumsi energi di Indonesia
13
berasal dari biomassa. Hal ini dapat menjadi dasar potensi penelitian biometanol di Indonesia. Pengolahan biometanol berbasis biomassa hutan dapat bersumber dari kayu atau limbah. Pemanfaatan biometanol memiliki keunggulan antara lain jika digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil dapat mengurangi total emisi karbon sebesar 22,8% sampai 80,7% (Vogt, 2009). Penggunaan biometanol dari kayu (biomasa hutan) juga akan mengurangi potensi kebakaran hutan dan sekaligus dapat menjadi alternatif menarik untuk penyediaan listrik murah di pedesaan serta alternative yang prospektif untuk mengganti ketergantungan bahan baku fosil (Anderson et al., 2014). Penelitian ini memanfaatkan limbah serbuk kayu dari industri penggergajian. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah kayu. Proses pengolahan biometanol dilakukan dengan cara mengadopsi dan memodifikasi reaksi pirolisis sederhana dan menggunakan katalis laterit (Ningrum et al., 2001). Penambahan senyawa fenol sebagai katalis diharapkan lebih mudah dan efisien dibanding menggunakan bantuan katalis logam transisi.
2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan kegiatan adalah untuk memperoleh informasi penyempurnaan
teknik pengolahan biometanol dari limbah kayu melalui penyempurnaan komposisi katalis dan jenis katalis. Sasaran kegiatan adalah tersedianya informasi penyempurnaan teknik pengolahan biometanol dari limbah kayu melalui penyempurnaan katalis dan jenis katalis.
3.
METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Pengolahan Kimia, Energi dan
Hasil Hutan Bukan Kayu, Pusat Litbang Hasil Hutan dan di Laboratorium Teknologi Mineral dan Batu Bara (TekMira) Bandung. Pengambilan bahan utama dilakukan di daerah Banten. Bahan baku yang digunakan dalam
14
penelitian ini adalah limbah kayu Acacia mangium dan asap cair dari kayu campuran. Bahan kimia yang digunakan antara lain laterit, sulfur,fenol, etanol pa, benzena, asam asetat, asam klorida dan asam sulfat. Peralatan yang digunakan antara lain saringan serbuk kayu, reaktor hidrotermal, labu/corong pemisah, alat distilasi, kompor listrik, pengaduk (stirer), desikator, pH meter, alkohol meter, piknometer, erlenmeyer tutup asah, neraca sartorius, oven, GC dan GC-MS. Limbah serbuk A. mangium terlebih dahulu dikeringkan sampai kering udara dengan menjemurnya di bawah matahari. Setelah tercapai kadar air kering udara kemudian
serbuk dimasukkan ke dalam mesin penggiling.
Limbah serbuk A. mangium digiling dan diseragamkan ukurannya yaitu yang lolos 80 mesh tertahan 100 mesh. Proses hidrotermal: Serbuk kayu ditambahkan campuran katalis laterit dengan konsentrasi laterit 6% (b/b), sulfur 1,5% dan penambahan fenol 0,5 ; 1 dann 1,5% (b/b). Penelitian ini juga menggunakan pelarut berupa asap cair dari kayu campuran dengan perbandingan 1:4. Katalis dan pelarut dicampurkan dan diaduk sampai merata, kemudian dimasukkan ke dalam reaktor dan ditutup rapat. Setelah itu, dipanaskan secara bertahap dari suhu 28 - 3000C. Ketika mencapai suhu 300oC kemudian ditahan selama 1 jam. Setelah itu suhu diturunkan sampai 1500C kemudian pemanasan dihentikan dan didinginkan sampai suhu 280C. Tahap selanjutnya proses fraksinasi dengan cara destilasi dimulai pada suhu 28-1500C dan 150-2000C dan 200-3000C. Pengujian kualitas dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu : berat jenis, kadar metanol, uji GC dan GCMS. Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah konsentrasi katalis laterit 6% dan sulfur 1,5% serta penambahan fenol dengan konsentrasi 0,5%; 1% dan 1,5%. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 kali ulangan sedangkan parameter yang diukur adalah kadar biometanol.
15
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rendemen dihitung berdasarkan perbandingan berat awal bahan baku
dengan hasil akhir biometanol. Rendemen biometanol terbesar terdapat pada perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C), yaitu sebesar 19,94% sedangkan rendemen terkecil terdapat pada perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% (Kontrol/A) yaitu sebesar 18,13%. Rendemen biometanol yang dihasilkan dari seluruh perlakuan masih relatif kecil. Serbuk gergaji kayu cedar (Cyptomeria japonica) yang diproses gasifikasi menghasilkan rendemen biometanol sebesar 56% (Nakagawa et al., 2007). Perbedaan jenis dan ukuran bahan baku diduga memberikan hasil yang berbeda. Nakagawa et al. (2007) menambahkan bahwa untuk memperoleh hasil yang lebih baik dari proses gasifikasi diperlukan mengkoversi bahan baku menjadi serbuk dengan ukuran 0,1-0,9 mm (micro-crushing).
Namun,
rendemen biometanol serbuk kayu A.mangium yang dihasilkan masih lebih besar daripada biometanol dari “beech wood”. Demirbas (2005) menyatakan “beech wood” yang dipirolisis menghasilkan rendemen biometanol berkisar antara 6,44-8,75%. Berdasarkan perhitungan, rendemen perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 0,5% meningkat sebesar 5,35% terhadap kontrol, perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% meningkat sebesar 9,97% terhadap kontrol dan perlakuan laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1,5% meningkat sebesar 7% terhadap kontrol. Namun, perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1,5% memperlihatkan adanya penurunan rendemen jika dibandingkan dengan perlakuan laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1%. Hal ini diduga dengan penambahan fenol 1 % merupakan komposisi tepat dalam pembentukan biometanol. Hasil uji ANOVA menyatakan bahwa perlakuan penambahan fenol memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen. Berdasarkan hasil uji ANOVA tersebut, dilakukan uji lanjut BNt dengan tujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antar perlakuan.
16
Hasil uji lanjut BNt menyatakan bahwa perlakuan kontrol (A) berbeda nyata terhadap perlakuan B,C, D. Perlakuan C yang memiliki rendemen tertinggi memberikan hasil yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan B dan D. Dengan demikian, adanya variasi konsentrasi katalis fenol sebesar 0,5; 1 dan 1,5% tidak berdampak signifikan terhadap rendemen. Biometanol yang dihasilkan diukur kadarnya dengan menggunakan GC. Masing-masing perlakuan dibedakan kadar biometanolnya berdasarkan suhu fraksinasi. Kadar biometanol tertinggi berada pada suhu fraksinasi 28150oC sedangkan pada suhu 150-200oC adalah kadar sisa biometanol. Kadar biometanol terbesar terdapat pada perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C) yaitu sebesar 72,40% sedangkan kadar biometanol terendah pada perlakuan kontrol (A) yaitu sebesar 65,52%. Perlakuan B,C dan D menghasilkan kadar biometanol yang lebih baik daripada kontrol (A). Perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 0,5% (B) memberikan peningkatan kadar biometanol sebesar 10,30% terhadap kontol, sedangkan perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C) meningkat sebesar 10,51%. Perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1,5% (D) memberikan peningkatan sebesar 3,62% terhadap kontrol. Perlakuan D memberikan hasil rendemen lebih kecil jika dibandingkan dengan perlakuan B dan perlakuan C. Hal ini diduga bahwa penambahan fenol 1% yang dapat mengoptimalkan reaksi kimia pembentukan biometanol sedangkan penambahan fenol 1,5% justru tidak menghasilkan reaksi yang optimal terhadap pembentukan biometanol. Jadi terlihat jelas bahwa, komposisi dan jenis katalis serta jenis proses pengolahan biometanol berpengaruh pada hasil kadar biometanol. Hasil uji ANOVA menyatakan bahwa perlakuan penambahan fenol tidak berpengaruh nyata terhadap kadar biometanol. Hal ini mengindikasi bahwa penambahan fenol dengan tingkat konsentrasi berapun tidak menaikkan kadar biometanol secara signifikan.
17
Pengujian komponen kimia biometanol menggunakan GC-MC. Pengukuran komponen kimia bertujuan untuk mengetahui senyawa kimia penyusun biometanol. Hasil analisis perlakuan kontrol menyatakan bahwa terdapat 35 komponen kimia. Komponen kimia didominasi oleh Acetic acid (CAS) Ethylic acid, yaitu sebesar 32,03% diikuti Phenol, 4-methoxy-(CAS) Hqmme (13,33%) dan Phenol (CAS) Izal (11,48%). Analisis komponen kimia perlakuan B (Fenol 0,5%) menghasilkan 35 komponen kimia yang didominasi oleh Trideuteroacetonitrile (CAS) methyl-d3 Cyanide sebesar 22,65%, Phenol, 4-methoxy-(CAS) Hqmme sebesar 15,90% dan Phenol (CAS) Izal sebesar 11,63%. Pada perlakuan C dihasilkan 25 komponen kimia dari hasil analisis GC-MS. Komponen kimia terbesar adalah 2(H3)-Benzofuranone, hexahydro-3methylene- (CAS) 6-Hydroxycyclo- yaitu sebesar 24,78%. Selain itu, Benzenaminne (CAS) Aniline juga memiliki konsentrasi yang tinggi sebesar 24,30%
diikuti
2-Cyclopenten-1-one,
2-methyl-
(CAS)
2-methyl-2-
cyclopentenone (10,22%), 2-Methoxy-4-methylphenol (8,20%), 5-Hydroxy-2heptanone (5,42%) dan Cyclopentanone (CAS) Dumasin (4,40%). Analisis GC-MS perlakuan D menghasilkan 25 komponen kimia yang didominasi oleh Acetic acid (CAS) Ethylic acid sebesar 41,69%, Carbamic acid, phenyl ester (CAS) Phenyl carbamate 20,04%, Phenol, 4-methoxy- (CAS) Hqmme 12,43%, (2R,3R)-4-Chloro-3-methyl-2-butanol 7,63% dan 5-Hydroxy2-heptanone 2,99%. Hasil analisa menunjukkan bahwa berat jenis biometanol berkisar antara 0,8084-0,8305. Berat jenis metanol teknis sebesar 0,86. Berat jenis perlakuan kontrol sebesar 0,8282. Berat jenis tertinggi terjadi pada perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1,5% (D) sebesar 0,8305 sedangkan berat jenis terendah pada perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C), yaitu sebesar 0,8084.
18
Perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C) memiliki berat jenis yang mendekati berat jenis metanol pa, yaitu 0,79. Hal ini mengindikasikan bahwa biometanol dari serbuk A.mangium perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C) memiliki kemurnian yang baik. Hasil analisa menyatakan bahwa pH biometanol berkisar antara 3,083,37. pH terendah pada perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 0,5% (B) dan perlakuan kombinasi laterit 6%, sulfur 1,5% dan fenol 1% (C) yaitu sebesar 3,08 sedangkan pH tertinggi pada perlakuan kontrol (A) yaitu sebesar 3,37. Hasil perhitungan di laboratorium bahwa pH metanol pa sebesar 6 sehingga
biometanol dari serbuk A. mangium masih berbeda jauh dan
tergolong asam karena memiliki pH sekitar 3. Hal ini diduga asam asetat didalam serbuk kayu belum terpecahkan secara sempurna pada saat reaksi pemecahan rantai karbon. Hal ini terbukti pada hasil analisa komponen kimia yang diketahui mengandung asam asetat yang masih tinggi.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN Teknik
pengolahan
biometanol
dapat
disempurnakan
dengan
penyempurnaan komposisi dan jenis katalis. Teknik pengolahan biometanol dari serbuk kayu A. mangium dengan perlakuan kombinasi katalis sulfur 6%, laterit 1,5% dan fenol 1% yang dipanaskan pada suhu 300oC memberikan hasil paling baik dengan menghasilkan rendemen dan kadar biometanol tertinggi. Sebanyak 500g serbuk A. mangium dalam 1 kali percobaan menghasilkan biometanol sebanyak 99,7 ml. Biometanol A.mangium memiliki karakteristik antara lain berat jenis sebesar 0,8084; pH sebesar 3,10; kadar biometanol sebesar 72,40% dan tersusun dari 25 jenis komponen kimia. Teknik pengolahan biometanol dari serbuk kayu A. mangium dengan perlakuan kombinasi 3 (tiga) jenis katalis, yaitu sulfur 6%, laterit 1,5% dan
19
fenol 1% memberikan hasil paling baik sehingga dapat dijadikan sebagai acuan untuk kegiatan pemurnian biometanol.
20
Judul Kegiatan
:
Jenis Kegiatan RPPI
: :
Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: :
Teknologi pengolahan Bioetanol dari Bahan Berlignoselulosa Penelitian Integratif 7. Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen Untuk Energi, Pangan dan Obat-obatan Alternatif dari Hutan Ir. Totok Kartono Waluyo, MSi Pusat Litbang Hasil Hutan Dr. Ina Winarni, S.Hut, M.Si., Teuku Beuna Bardant, S.T, M.Sc., Djeni Hendra, MSi, Prof. Riset Gustan Pari, M.Si.
ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki industri pengolahan kayu yang cukup banyak, sehingga akan menghasilkan limbah yang banyak pula. Limbah kayu merupakan limbah lignoselulosa yang pada umumnya akan menumpuk dan kurang dimanfaatkan, sehingga akan menyebabkan pencemaran. Untuk meningkatkan nilai tambah limbah kayu/lignoselulosa, pembuatan bioetanol merupakan salah satu cara optimalisasi limbah tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi penggunaan metode respon surface methodology untuk pembuatan model persamaan kadar bioetanol dari limbahkayu sengon. Hasil penelitian menunjukkan, persamaan kuadratik polinomial dan kurva 3D dengan menggunakan RSM dapat mengetahui kadar etanol optimum (18,39%) dengan penambahan substrat 37,15% dan konsentrasi enzim sebesar 13,8 FPU/g substrat. Kata kunci: Limbah kayu, lignoselulosa, RSM, kadar etanol.
1. LATAR BELAKANG Biomassa yang digunakan untuk memproduksi bioetanol dapat diperoleh
dari
limbah
pertanian,
penjarangan
atau
limbah
industri
penggergajian kayu atau bahan baku yang mengandung lignoselulosa. Pemanfaatan lignoselulosa sebagai bahan baku bioenergi telah banyak diteliti oleh peneliti khususnya di bidang energi.
Hidrolisis menggunakan enzim
dengan bahan baku selulosa yang dikonversi menjadi gula merupakan faktor utama yang harus diperhatikan untuk memperoleh proses yang efektif pada penelitian konversi selulosa.
21
Penelitian yang dilaksanakan tahun 2015 menghasilkan kadar etanol yang belum optimal, sehingga pada tahun ini dilakukan optimasi perlakuan, yaitu selain pretreatment, aplikasi respon surface methodology (RSM) yang digunakan pada penelitian tahun ini adalah salah satu cara untuk mengoptimalkan proses hidrolisis sebagai salah satu tahapan yang sangat penting untuk pengembangan yang efisien dan strategi pembiayaan hidrolisis yang efektif dalam memproduksi bioetanol.
Metode lama yang digunakan
(one-factor at-a-time approach) membutuhkan waktu yang lama dan tidak mempertimbangkan interaksi antara independen variabel.
Sehingga dengan
menggunakan metode RSM, dapat mengoptimalkan secara efektif beberapa faktor dan interaksinya yang dapat mempengaruhi respon yang dihasilkan dengan jumlah perlakuan yang lebih sedikit. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, RSM banyak digunakan pada reaksi enzimatik
( Lai et al.,
2016; Neifar, et al., 2013; Bardant et al., 2012) Metode ini direkomendasikan karena kemampuannya untuk menjawab permasalahan yang mengandung beberapa variabel perlakuan dalam suatu penelitian. RSM merupakan metode statistika yang efektif untuk menjawab proses penelitian yang kompleks. Tujuan utama dari penggunaan RSM adalah untuk mengurangi jumlah eksperimen yang dilakukan dalam pembuktian informasi hasil yang akurat secara statistik. 2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan penelitian tahun ini adalah untuk mendapatkan informasi
penggunaan aplikasi respon surface methodology (RSM) untuk produksi bioetanol secara enzimatik dari limbah kayu sengon. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk memperoleh teknik pembuatan bioetanol yang menghasilkan kadar etanol yang tinggi. 3. METODE PENELITIAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah kayu sengon yang berasal dari Industri Penggergajian kayu di Garut, Jawa Barat.
22
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah industri penggergajian kayu berupa sebetan. Bahan kimia yang digunakan adalah enzim selulase dan beta-glukosidase, ragi Sacharomycescerevisiae dari merk komersial Fermipan, zeolit, kapur, urea, NPK. Peralatan yang digunakan antara lain alat hidrolisis, reaktor fermentasi, unit distilator, alat pengaduk, neraca, hot plate, buret, brix meter, pH meter, alat gelas / kaca dan lain-lain. Tahapan kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut proksimat, persiapan bahan baku
yaitu uji
yaitu limbah sebetan dipotong menjadi
serpih, dipulping dengan metode sulfat sampai menjadi pulp, proses sakarifikasi menggunakan enzim selulase (10 ,12 dan 15 FPU/g substrat) dan 0, 1, 2% surfaktan Tween 20 dan konsentrasi subrat (20, 27 dan 35%).
Kontrol
disiapkan tanpa penambahan surfaktan. Kemudian dimasukkan substrat dan dihidrolisa pada suhu ruangan selama 48 jam, Proses fermentasi yaitu gula yangdihasilkan diambil sedikit dan dianalisa kadar gula pereduksi dengan metode DNS (Miller, 1959).
Sedangkan sisanya difermentasi dengan
penambahan urea, NPK dan ragi (Saccharomyces cerevisae).
Fermentasi
berlangsung selama 3-4 hari. Analisa kandungan etanol pada sampel menggunakan mesin Gas Chromatography (GCMS). Analisa data yang dilakukan pada penelitian ini adalah CCRD (central composite rotable design) polinomial 3 tingkat dengan 3 faktor; dan 9 perlakuan. Variabel perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi tween 20 (02%), konsentrase selulase (10-20 FPU/g substrat dw) dan substrat yang dihidrolisis (30-40%). Data-data yang dihasilkan dianalisa dengan persamaan polinomial kuadrat. 4.
HASIL DAN PEMBAHSAN Kadar selulosa bahan baku adalah sebesar 52,82%; pentosan 15,38%;
holoselulosa 73,17%; alpha selulosa 47,40% dan hemiselulosa 25,77%. Setelah dilakukan delignifikasi, kadar selulosa akan meningkat seiring dengan menurunnya kadar lignin (73,17%). Sehingga, pulp limbah kayu berpotensi tinggi untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol. Hasil kadar selulosa 23
dan lignin tersebut sesuai dengan hasil penelitian kadar selulosa dan lignin yang dilakukan oleh Ina Winarni et al. (2015), yaitu sebesar 51,8% dan 26,6%. Hasil konversi selulosa menjadi etanol tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi glukosa terbesar terdapat pada perlakuan 9 tersebut, sehingga diharapkan etanol yang dihasilkan setelah proses fermentasi akan tinggi juga, karena fermentasi untuk mengkonversi glukosa menjadi etanol secara spesifik dengan bantuan ragi S. Cerevisiae. Perlakuan no. 9 menunjukkan kadar etanol tertinggi (15,2%) dan perlakuan no 2 (14,2%).
Sedangkan kadar etanol terendah berasal dari
perlakuan no 6 (8,4%) dan no. 1 (8,8%). Semua perlakuan yang dilakukan menghasilkan kadar etanol lebih dari 4% (v/v) yang merupakan persyaratan minimal produksi etanol secara ekonomis (Koppram et al., 2014). Sumber lain menyatakan ketika konsentrasi etanol dari lignoselulosa setelah fermentasi lebih rendah dari 7% (v/v), maka diperlukan energi yang lebih besar pada proses destilasi untuk pemurnian (dehidrasi) (Madson, 2009).
5. KESIMPULAN DAN SARAN Analisa fisiko kimia (proksimat) bahan baku dan pulp limbah sengon menunjukkan pengurangan yang cukup signifikan pada kadar lignin, yaitu 29,28% (bahan baku) menjadi 1,56% (pulp); aplha selulosa bahan baku 47,40% menjadi 82,22%. Hasil aplikasi model adalah dapat diketahui berapa konsentrasi enzim atau substrat yang digunakan apabila ingin memperoleh kadar etanol tertentu. Konversi selulosa tertinggi adalah sebesar 89,7% pada perlakuan konsentrasi substrat 35% dan selulase 15 FPU/g substrat dan 1% Tween 20. Kadar etanol tertinggi sebesar 15,2% pada perlakuan konsentrasi substrat 35%; selulase 15 FPU/g substrat dan 1% Tween 20. Rendemen etanol tertinggi adalah sebesar 54,12% pada perlakuan substrat 20% dw; selulase 12 FPU/g substrat; dan surfaktan sebanyak 1%.
24
Pretreatment limbah kayu sengon sebelum sarafikasi menghasilkan kadar lignin yang signifikan menurun dari sebelum perlakuan, yaitu 29,28% (bahan baku) menjadi 1,56% (pulp); alpha selulosa bahan baku 47.40% menjadi 82,22%. Disarankan bahwa perlakuan pretreatment harus dilakukan untuk delignifikasi bahan baku, sehingga kadar etanol yang dihasilkan dapat optimal. Penggunaan metode RSM sebaiknya dilakukan karea dapat mengurangi biaya produksi bioetanol dari limbah kayu sengon dengan diketahui prediksi etanol yang akan dihasilkan dengan perlakuan yang lebih sedikit.
25
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI
: : :
Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: : :
Teknologi Pengolahan Bio-Oil Dari Bahan Berlignoselulosa Penelitian Integratif RPPI 7 Revitalisasi Pemanfaatan Hasil Hutan Pasca Panen untuk Energi, Pangan dan Obat-Obatan Alternatif dari Hutan Ir. Totok Kartono Waluyo, M.Si Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan Santiyo Wibowo, STP, M.Si, Lisna Efiyanti, S.Si, M.Si Prof Riset Gustan Pari, M.Si ABSTRAK
Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi sifat fisiko-kimia perengkahan katalitik bio-oil dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan katalis Ni/NZA. Sasaran penelitian adalah tersedianyadata dan informasi sifat fisiko-kimia perengkahan katalitik bio-oil dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan katalis Ni/NZA. Hasil penelitian menunjukkan penambahan 4% katalis Ni/NZA dan suhu 300 o C memberikan hasil optimal yaitu yaitu rendemen upgrading bio-oil 25,622%, pH 3,53, berat jenis 1,0451, viskositas 11,17 cSt, nilai kalor 29,49 MJ/kg, dan daya nyala kategori cepat. Upgradingbio-oil yang dihasilkan didominasi senyawa phenol, methyl laurat, asam laurat dan teridentifikasi senyawa hidrokarbon alkanatridecane (C13H28) 0,68% dan hexadecane (C16H34) 10,18%. Kata kunci: Bio-oil, lignoselulosa, tandan kosong kelapa sawit, upgrading, BBN, katalis.
1. LATAR BELAKANG Permasalahan bahan bakar minyak bumi adalah tidak dapat diperbaharui (non renewable), karena pembentukannya membutuhkan waktu yang lama.Untuk itu perlu disubstitusi dengan bahan bakar yang dapat dipulihkan antara lain yang berasal dari tanaman pertanian atau kehutanan. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006, memuat rencana pengelolaan energi hingga tahun 2025 dan Indonesia memberikan porsi 17% untuk energi baru terbarukan (EBT). Salah satu cabang dari EBT itu adalah bioenergi (National Geograpic Indonesia, 2014). Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (2013) proyeksi pengembangan kapasitas produksi bioenergi bio-oil untuk biokerosene akan terus ditingkatkan, untuk tahun 2017 kapasitas produksi diharapkan pada 0,17 juta kilo liter dan pada tahun 2025 dapat mencapai 0,54 juta kilo liter.
26
Salah satu bioenergi yang berpotensi dikembangkan adalah bio-oil. Biooilatau dikenal juga sebagai pyrolysis oiladalah bahan bakar sejenis solar yang memiliki berat jenis,viskositas yang tinggi dan pH rendah. Bio-oil dapat diproduksi dari bahan baku biomassa seperti limbah sawit (tandan kosong atau cangkang kelapa sawit) dan limbah serbuk gergaji menggunakan teknologi pirolisis. Untuk memperbaiki mutu bio-oil perlu dilakukan upgrading dengan cara cracking thermal dan katalis. 2. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi sifat fisikokimia perengkahan katalitik bio-oil dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan katalis
Ni/NZA.
Sasaran dari penelitian ini
adalah
tersedianyadata dan informasi sifat fisiko-kimia perengkahan katalitik bio-oil dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan katalis Ni/NZA. 3. METODE PENELITIAN Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dari daerah Jawa Barat. Bahan kimia yang digunakan antara lain metanol, etanol, air suling, asam klorida (HCl), amonium klorida (NH4Cl),
natrium
sulfat(Na2SO4)
anhidrat,
dan
kristalNi(NO3)2.6H2O.
Peralatan yang digunakan antara lain mesin pembuat serbuk kayu, saringan, reaktor cracking,refluks, penampung larutan bio-oil, penampung partikulat, alat distilasi, pengaduk (stirer), desikator, pH meter, piknometer, erlenmeyer asah, neraca, dan oven. Tahapan penelitan terdiri dari persiapan bahan baku, pembuatan katalis dan pembuatan bio-oil dan upgrading bio-oil.
Persiapan bahan;
serbuk
diseragamkan ukurannya menggunakan mesin pembuat serbuk kayu disaring pada40-60 mesh dan dipirolisis suhu 550 oC.
dan
Pembuatan katalis;
katalis yang digunakan adalah zeolit alam dengan impregnasi nikel. Proses pembuatan katalis menggunakan modifikasi prosedur yang telah dilakukan oleh Tadeus et al., (2013) dan Irvantino (2013). Penelitian perengkahan bio-oil
27
menggunakan reaktor rengkah sistem fixed bed dengan Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu : faktor persentase berat katalis (A) dengan 4 level yaitu 0% (A1), 4% (A2), 6% (A3), 8% (A4) dan faktor suhu (B) dengan 2 level yaitu 250 oC (B1) dan 300 oC (B2). Pengujian statistik menggunakan rancangan percobaan acak lengkap faktorial, 3 kali ulangan. Jumlah total kombinasi perlakuan adalah 4 x 2 x3
= 24. Pengujian dilakukan terhadap sifat fisiko-kimia yaitu:
rendemen, berat jenis (metode piknometer),pH (pH meter), viskositas (viskometer Brookfield), nilai kalor (bomb calorimetry), daya nyala dansifat kimia menggunakan GCMS.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis keasaman total katalis Ni/zeolit alam aktif menunjukkan
nilai keasaman sebesar 3,82 mmol/g zeolit. Hasil analisis XRD menunjukkan di dalam katalis Ni/zeolit alam aktif terdapat beberapa jenis mineral diantaranya jenis mineral klinoptilonit (Kl) yang
muncul pada 22,35 dan 27,87,jenis
mineral modernit (M) ditemukan pada nilai d 3,33; 3,37; 3,45; 3,77; 4,51 dan 6,52;. Jenis mineral kuarsa juga terdapat pada katalis zeolit yang dianalisis, ditunjukan pada nilai 3,33 ;4,43. Hal ini sesuai dengan standar kuarsa d 3,33 dan 4,45 pada data JCPDS (ICDD, 2001). Hasil FTIR juga menunjukkan bahwa katalis nikel sudah terimpregnasi di dalam pengemban zeolit. Dari hasil penelitian diperoleh rendemen upgrading bio-oil berkisar antara 1,518 - 26,424%. Rendemen terbesar diperoleh dari katalis 6% dengan suhu 300 oC (A3B2) yaitu sebesar 26,424% dan yang terkecil dihasilkan dari sampel tanpa penambahan katalis dengan suhu 250 oC sebesar 1,518%. Hasil penelitian menunjukkan kadar pH upgradingbiooil antara 2,86 3,53. pH terendah diperoleh pada perlakuan tanpa katalis yaitu sebesar 2,86 dan pH tertinggi diperoleh pada sampel dengan perlakuan penambahan katalis 6% yaitu sebesar 3,54. Terdapat kecenderungan penambahan katalis pada bahan baku meningkatkan pH liquid.
28
Hasil penelitian berat jenis atau densitas up grading bio-oil antara 1,0139 - 1,0447. Hasil ini lebih tinggi dari penelitian Zhang et al., (2009) yang menghasilkan densitas bio-oil tongkol jagung dengan penambahan katalis HZSM-5 sebesar 0,95 g/cm3. Hasil ini menunjukkan bahwa bio-oil hasil perengkahan masih banyak terdapat senyawa dengan berat molekul tinggi. Hasil uji viskositas (Tabel 1) berkisar antara 9,5 - 21,3 cSt. Viscositas terendah ada pada perlakuan tanpa katalis suhu 250 oC yaitu 9,5 cSt dan tertinggi pada perlakuan tanpa katalis suhu 300 oC yaitu 21,3 cSt. Nilai kalor pembakaran menunjukkan energi kalor yang dikandung dalam tiap satuan massa bahan bakar menunjukkan nilai kalor upgrading biooil tandan kosong sawit yaitu antara 17,22-30,85 MJ/kg. Pengujian daya nyala dilakukan untuk mengetahui kemampuan bio-oil untuk menyala bila diberi sumber api. Hasil pengujian menunjukkan bahwa semua perlakuan mempunyai daya nyala yang cepat. Hal ini menunjukkan bahwa upgrading bio-oil menggunakan suhu dan katalis sudah membentuk senyawa hidrokarbon alkana dengan jenis dan konsentrasi yang berbeda untuk setiap perlakuan seperti hexane (C6H14), octane (C8H18), nonane (C9H20), tridecane (C13H28) octadecane (C18H38) dan hexadecane (C16H34), sehingga memudahkan terbakarnya sampel upgrading bio-oil. Dari hasil GCMS dapat dilihat bahwa penambahan katalis dan suhu pada bahan baku berpengaruh terhadap komponen senyawa kimia yang terbentuk. Terdapat kecenderungan dengan peningkatan konsentrasi katalis dan suhu, senyawa yang dihasilkan juga meningkat dan terjadi perubahan komponen senyawa kimia sebagai akibat dari proses cracking senyawa kimia berberat molekul tinggi terpecah menjadi senyawa berberat molekul lebih rendah. Senyawa hidrokarbon alkana yang terbentuk pada proses upgrading diantaranya octane(C8H18), nonane (C9H20), dodecane (C12H26), tridecane (C13H28) tetradecane (C14H30) hexadecane (C16H34) octadekane (C18H38) dan pentacosane (C25H52)
29
5. KESIMPULAN DAN SARAN Proses perengkahan crudebio-oil menggunakan katalis dan suhu menghasilkan sifat fisiko kimia yang lebih baik dibandingkan perangkahan yang hanya menggunakan suhu saja dan tanpa katalis. Perengkahan crude biooil dari tandan kosong kelapa sawit menggunakan katalis dan suhu diperoleh sifat fisiko kimia bio-oil;rendemen upgrading bio-oil 1,518-26,424%, pH 2,863,54, berat jenis 1,0139-1,0451, viskositas 9,5-21,3 cSt, nilai kalor 17,22-30,85 MJ/kg dan daya nyala semua perlakuan adalah katagori cepat. Bio-oil hasil perengkahan didominasi oleh phenol, asam asetat dan asam laurat, serta teridentifikasi beberapa senyawa golongan hidrokarbon alkana seperti nonane (C9H20),
dodecane
(C12H26),
tridecane
(C13H28),
tetradecane
(C14H30),hexadecane (C16H34), octadekane (C18H38) dan pentacosane (C25H52). Perlakuan yang optimal untuk perengkahan crude bio-oiladalah dengan penambahan 4% katalis Ni/NZA dan suhu 300oC dengan karakteristik yaitu rendemen upgrading bio-oil 25,66%, pH 3,53, berat jenis 1,0451, viskositas 11,17 cSt, nilai kalor 29,49 MJ/kg, dan daya nyala pada 1 detik (kategori cepat). Berat jenis dan viskositas upgradingbio-oil yang dihasilkan masih tinggi, sehingga belum dapat digunakan sebagai bahan bakar campuran biosolar untuk mesin. Kemungkinan pemanfaatannya adalah sebagai bahan bakar biokerosene atau oil burner (minyak bakar) pada alat burner. Untuk dapat digunakan sebagai campuran solar perlu dilakukan perbaikan sifat fisiko-kimia tersebut melalui teknik hydrocracking menggunakan hidrogen dan tekanan (pressure).
30
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: : : : : :
Sifat Dasar Dan Kegunaan Kayu Sumatera Penelitian Integratif 8. Pengolahan Hasil Hutan Ir. Jamal Balfas, M.For.Sc. Pusat Litbang Hasil Hutan Drs.Djarwanto,M.Si.PhD.,Krisdianto,S.Hut.MSi.PhD., Ir.Jamal Balfas,M.Sc., Drs. Achmad Supriadi,MM,., Abdurachman, ST. Dra.Jasni, M.Si. Dra. Sihati Suprapti, Karnita Yuniarti, S.Hut. MSc. PhD. Prof.Dr.Gustan Pari, M.Si. Dian Anggraeni, S.Hut. MM. Ir. MI Iskandar,MM., Drs. Agus Ismanto
ABSTRAK Pengetahuan sifat dasar kayu kurang dikenal, dapat menentukan penggunaannya yang tepat sehingga pemanfaatannya lebih optimaldan dapat meningkatkan diversifikasi penggunaan kayu. Lima jenis kayu dari Sumatera yaitu punak (Tetrameristaglabra Miq.), meranti bunga (Shoreateysmanniana Dyer. ex Brandis), mempisang (Diospyroskorthalsiana Hiern.), suntai (Palaquiumburckii H.J.L.), dan pasak linggo (Aglaiaargentea Blume, diteliti struktur anatomi dan dimensi serat, fisis dan mekanis, keawetan terhadap serangga, jamur, penggerek di laut, keterawetan, pengeringan, pemesinan, venir dan kayu lapis, kimia dan destilasi kering serta pulp dan kertas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan nilai turunan serat kelima jenis kayu termasuk kelas II untuk pulp dan kertas. Kelima jenis kayu harus dikeringkan dengan bagan pengeringan berbeda. Keawetan kayu terhadap serangga (Coptotermessp): punak kelas I; mempisang dan pasak linggo kelas II, meranti bunga kelas III dan suntai kelas V. Kayu pasak linggo termasuk kelas kuat III, punak dan suntai termasuk kelas kuat II-III, meranti bunga dan mempisang termasuk kelas kuat III-IV. Kelima jenis kayu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan baik untuk kayu lapis, panel, daun meja, pelapis dinding, langit-langit, lantai, moulding, barang ukiran, sambungan pasak, jeruji (fence) atau barang bubutan, dan arang aktif dan Pulp. Kata kunci: Kayu Sumatera, sifat anatomi, pemesinan, diversifikasi jenis, keawetan kayu, pulp, arang
1.
LATAR BELAKANG Permasalahan yang ada adalah belum adanya data yang pasti mengenai
potensi dari jenis kayu. Selain dari pada itu hanya sebagian kecil saja dari jenis kayu tersebut yang sudah diketahui sifat-sifatnya dan kegunaannya secara tepat. Aspek yang diteliti adalah struktur anatomi dan dimensi serat, sifat fisis dan mekanis, sifat pemesinan, sifat keawetan terhadap serangga, sifat keawetan terhadap jamur, sifat keawetan terhadap penggerek di laut, sifat 31
keterawetan, sifat pengeringan, sifat venir dan kayu lapis, sifat kimia dan nilai kalor, serta sifat dan pengolahan pulp untuk kertas. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam pemanfaatan kayu, sehingga dapat terjadi diversifikasi penggunaan jenis kayu.
2.
TUJUAN DAN SASARAN Menyediakan informasi ilmiah sifat dasar 5 jenis kayu Sumatera,
sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku untuk berbagai tujuan pemakaian dalam rangka efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan. Sasarannya adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar lima jenis kayu Sumatera,dan kemungkinan penggunaannya.
3.
METODE PENELITIAN Struktur anatomi dan dimensi serat kayu berupa karakteristik anatomi
serta susunan sel-sel penyusun yang dimiliki setiap jenis kayu mengacu prosedur Keating 1994 dan PROSEA 5 (1). Sifat fisis dan mekanis kayu berupa pengujian contoh kayu yang diteliti mengacu standar ASTM D143-942006. Sifat pemesinan dilakukan untuk mengetahui karakter kayu dalam proses pengerjaan mengacu standar ASTM D-1666-64 -1982. Sifat keawetan kayu berupa pengujian terhadap organisme perusak mengacu standar SNI 7207:2014. Sifat keterawetan kayu berupa pengujian terhadap kemampuan kayu ditembus bahan pengawet mengikuti standar IUFRO. Sifat pengeringan kayu dilakukan pengujian melalui metode pengeringan secara alami dan buatan mengacu prosedur Terazawa-1965. Sifat venir dan kayu lapis dilakukan untuk mengetahui karakter kayu jika dikupas, atau direkat, dalam proses pembuatan venir dan kayu lapis mengacu pada SNI 01.5008.2 :2002) dan JAS :2013. Sifat kimia dan nilai kalor dilakukan dengan menganalisis kandungan kimia dalam kayu mengacu pada ASTM
(1980,2001,2006). Sifat dan pengolahan pulp
untuk kertas dilakukan pengujian terhadap sifat pengolahan dan pulp yang dihasilkan.
32
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Punak (Tetramerista glabra Miq.),Famili Theaceae Ciri umum: kayu teras berwarna jerami, pada saat segar tidak tampak bedanya dengan gubal , namun setelah kering tampak perbedaan kayu gubal yang berwarna lebih muda dan kayu teras yang berwarna lebih gelap. Serat lurus, kadang berpadu. Tekstur kasar dan merata. Kilap sedikit mengkilap. Kesan raba agak kasar. Kekerasan agak keras Ciri anatomi:lingkar tumbuh tidak tampak; Pembuluh tersusun difus, ukuran sedang, sebagian besar berganda radial 2 – 5 sel per utas. Panjang pembuluh 1.521,11 ± 265,4 µm; diameter 174,47 ± 44,86 µm. Frekuensi 10 ± 2 pembuluh per mm2. Bidang perforasi sederhana. Noktah antar pembuluh berseling, berbentuk oval, kecil ukuran 3,8 ± 0,61 µm.Noktah antara pembuluh dan jarijari hampir sama dengan noktah antar pembuluh berhalaman sebagian. Parenkima difus, 4 – 8 sel per utas. Jari-jari dua macam ukuran, endapan merah terdapat pada jari-jari, dengan tinggi jari-jari besar 2.376,66 ± 1.257,38 µm. Frekuensi 4 – 8 per mm. Serat tidak bersekat, dengan noktah sederhana sampai berhalaman sempit, dinding sel tebal, panjang 2.960,05 ± 292,29µm, diameter 38,92 ± 7,23µm, tebal dinding 9,7 ± 2,03µm.Saluran interseluler tidak dijumpai. Raphides dijumpai pada sel jari-jari.Kristal dijumpai dalam sel yang membesar.
B. Meranti Bunga(Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis), Famili Dipterocarpaceae. Ciri umum: Kayu teras berwarna merah, dipisahkan secara jelas dengan bagian gubal yang berwarna merah muda. Serat bergelombang dan berpadu. Tekstur agak kasar dan merata. Kilap kusam. Kesan raba agak kasar. Kekerasan agak keras. Ciri anatomi:lingkar tumbuh tidak tampak; Pembuluh tersusun difus, ukuran sedang, sebagian besar soliter, ada yang berganda radial 2 – 4 sel per utas.
33
Panjang pembuluh 544,65 ± 103,91 µm; diameter 217,55 ± 36,15 µm. Frekuensi 6 ± 2 pembuluh per mm2. Bidang perforasi sederhana. Noktah antar pembuluh berseling, berumbai, ukuran 9,14 ± 2,59 µm.Noktah antara pembuluh dan jari-jari sama dengan noktah antar pembuluh. Parenkima apotrakeal tipis kadang membentuk garis pendek. Jari-jarimultiseriate, 3-4 sel, tinggi 683,39 ± 233,2 µm.Serat tidak bersekat, dengan noktah sederhana sampai berhalaman sempit, dinding sel tebal, panjang 1.523,1 ± 145,41µm, diameter 28,14 ± 2,05µm, tebal dinding 4,2 ± 0,74µm. Saluran interseluler dijumpai. Kristal dijumpai dalam sel parenkima.
C. Mempisang(Diospyros korthalsiana Hiern.), FamiliEbenaceae. Ciri umum: Kayu teras berwarna kuning pucat, tidak dipisahkan secara jelas dengan bagian gubalnya. Serat lurus atau agak berpadu. Tekstur halus. Kilap agak mengkilap. Kesan raba halus. Kekerasan lunak. Ciri anatomi:lingkar tumbuh samar-samar ditunjukan oleh adanya serat padat yang mengumpul membentuk garis hitam; Pembuluh tersusun difus, ukuran sedang, sebagian besar soliter, ada yang berganda radial 2 – 3 sel per utas. Panjang pembuluh 903,63 ± 127,92 µm; diameter 293,12 ± 70,58 µm. Frekuensi 4 ± 1 pembuluh per mm2. Bidang perforasi sederhana. Noktah antar pembuluh berseling, ukuran 7,32 ± 0,81 µm.Noktah antara pembuluh dan jarijari sama dengan noktah antar pembuluh. Parenkima paratrakeal selubung, paratrakeal membentuk garis tipis antar jari-jari membentuk susunan jaring. Jari-jari uniseriat, tinggi 2.376,66 ± 1.257,38 µm. Serat tidak bersekat, dengan noktah sederhana, dinding sel tebal, panjang 2.065,43 ± 248,99µm, diameter 51,52 ± 8,51µm, tebal dinding 6,21 ± 1,05µm.Saluran interseluler dijumpai. Kristal dijumpai dalam jari-jari dan parenkima berbilik.
D. Suntai (Palaquium burckii H.J.L.), Famili Sapotaceae. Ciri umum: kayu teras berwarna coklat kemerahan, dipisahkan secara jelas dengan bagian gubalnya. Dalam kondisi segar, warna kayu gubal lebih gelap
34
dari kayu terasnya, dalam kondisi kering, kayu gubal hampir sama warnanya dengan kayu teras. Serat bergelombang sampai agak berpadu. Tekstur agak halus dan merata, Mengkilap. Kesan raba agak licin. Kekerasan agak keras. Ciri anatomi:lingkar tumbuh samar-samar dibentuk oleh parenkim pita yang mengumpul; Pembuluh sebagian besar berganda radial 2 – 6 sel, sebagian kecil soliter, ukuran sedang. Panjang pembuluh 980,58 ± 156,7 µm; diameter 166,71 ± 38,11 µm. Frekuensi 9 ± 2 pembuluh per mm2. Bidang perforasi sederhana. Noktah antar pembuluh berseling, ukuran 4,72 ± 1,09 µm.Noktah antara pembuluh
dan
jari-jari
sama
dengan
noktah
antar
pembuluh.
Parenkimaapotrakeal garis-garis tipis bersusun lurus atau bergelombang membentuk susunan jaring. Jari-jarimultiseriate, 2-3 sel dengan bagian ekornya uniseriat, tinggi 707,72 ± 204,17 µm.Serat tidak bersekat, dengan noktah sederhana sampai berhalaman sempit, dinding sel tebal, panjang 2.250,76 ± 262,72µm, diameter 32,26 ± 2,44µm, tebal dinding 4,98 ± 1,16µm. Kristal dijumpai dalam jari-jari.
E. Pasak Linggo (Aglaia argentea Blume), Famili Meliaceae. Ciri umum: Kayu teras berwarna coklat gelap kemerahan, dipisahkan secara jelas dengan bagian gubal yang berwarna lebih muda. Serat lurus sampai agak berpadu. Tekstur agak halus sampai agak kasar. Kilap agak mengkilap. Kesan raba agak licin. Kekerasan agak keras. Ciri anatomi:lingkar tumbuh tidak dijumpai; Pembuluh difus, sebagian besar soliter, dan dijumpai berganda radial 2 – 4 sel. Panjang pembuluh 866,08 ± 140,77 µm; diameter 182,31 ± 26,23 µm. Frekuensi 4 ± 1 pembuluh per mm2. Bidang perforasi sederhana. Noktah antar pembuluh berseling, ukuran 4,61 ± 0,47 µm.Noktah antara pembuluh dan jari-jari sama dengan noktah antar pembuluh. Parenkima paratrakeal selubung, sebagian aliform, apotrakeal difus. Jari-jari multiseriate, 2-3 sel, tinggi 698,51 ± 185,21 µm.
Serat bersekat,
dengan noktah sederhana sampai berhalaman sempit, dinding sel tebal, panjang
35
1663,53 ± 126,62µm, diameter 30,51 ± 3,71µm, tebal dinding 5,03 ± 0,75µm. Kristal dijumpai dalam parenkima aksial berbilik. Berdasarkan nilai turunan dimensi serat, kelima jenis kayu asal Sumatera tersebut termasuk kelas kualitas II untuk penggunaan sebagai pulp dan kertas. Kayu pasak linggo memiliki kadar air basah terendah (51,45%) namun juga memiliki kadar air kering udara tertinggi (14,72%). Kadar air basah tertinggi (103,87%) pada kayu mempisang dan kadar air kering udara terendah (13,47%) pada kayu meranti bunga. Kerapatan yang paling tinggi berdasarkan berat basah terhadap volume basah adalah kayu punak (1,033 gr/cm3) dan berdasarkan berat kering udara terhadap volume kering udara tertinggi pada kayu pasak linggo (0,883 gr/cm3). Kerapatan terendah pada kayu mempisang baik berdasarkan berat basah terhadap volume basah (0,805 gr/cm3) maupun berdasarkan berat kering udara terhadap volume kering udara terendah (0,057 gr/cm3). Penyusutan terendah pada arah radial dan tangensial baik dari basah ke kering udara maupun dari basah ke kering oven yaitu pada kayu mempisang. Ditinjau dari sifat mekanisnya, kayu pasak linggo memiliki Nilai MPL, MOE dan MOR tertinggi yaitu sebesar 361,350 kg/cm2 (MPL), 136.288,023 kg/cm2 (MOE), dan 700,062 kg/cm2 (MOR). Nilai MPL dan MOR terkecil dimiliki kayu mempisang yaitu sebesar 182,054 kg/cm2 (MPL) dan 421,744 kg/cm2 (MOR), sedangkan nilai MOE terkecil pada kayu meranti bunga yaitu sebesar 66.394,503 kg/cm2. Hal ini menunjukkan bahwa kayu pasak linggo lebih elastis dibandingkan dengan kayu punak, kayu suntai, kayu meranti bunga dan kayu mempisang. Pasak linggo memiliki kekerasan sisi dan ujung terbesar baik saat kondisi basah maupun kering. Kayu dengan kekerasan sisi dan ujung terkecil yaitu kayu mempisang baik saat kondisi basah maupun kondisi kering. Sedikit berbeda pada keteguhan pukul bidang radial dan tangensial dimana nilai tertinggi kondisi basah pada kayu suntai dan nilai tertinggi kondisi kering pada
36
kayu pasak linggo, sedangkan nilai terendah kondisi basah pada kayu mempisang dan kondisi kering bidang radial pada kayu meranti bungadan kondisi kering bidang tangensial pada kayu suntai. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kayu pasak linggo lebih tahan terhadap keteguhan pukul dan pengausan kayu dibandingkan dengan kayu punak, kayu suntai, kayu meranti bunga dan kayu mempisang. Berdasarkan data sifat mekanis pada kondisi kering udara secara umum, kayu pasak linggo memiliki nilai keteguhan tertinggi dari empat jenis kayu lainnya kecuali keteguhan tarik sejajar serat (kayu mempisang). Secara umum kayu mempisang memiliki sifat mekanis dengan nilai keteguhan terendah dari empat jenis kayu lainnya. Kayu pasak linggo baik kondisi basah maupun kering lebih unggul dibandingkan dengan empat jenis kayu lainnya. Berdasarkan kerapatan, keteguhan lentur patah (MOR) dan keteguhan sejajar serat (keteguhan tekan mutlak) pada kondisi kering udara, kelima jenis kayu tersebut dapat dikelompokkan ke dalam kelas kuat I-II (kayu pasak linggo), kelas kuat II-III (kayu punak dan suntai) dan kelas kuat III-IV (kayu meranti bunga dan mempisang). Hasil pengujian Sifat Pemesinan menunjukkanbahwa ke lima jenis kayu menghasilkan kualitas jelek, sedang,baik sampai sangat baik. Persentase bebas cacat terendah terjadi pada hasil pengerjaan pemboran pada kayu meranti bunga dan mempisang serta pengerjaan pembentukan pada kayu mempisang. Sedangkan persentase bebas cacat tertinggi terjadi pada hasil pengerjaan pembentukan kayu punak dan pasak linggo. Cacat serat berbulu (fuzzy grain) merupakan jenis cacat yang paling banyak ditemukan pada hasil pengerjaan kayu. Kayu punak dan pasak linggo termasuk kelas pemesinan 1-II, kelas II-III (kayu suntai), dan kelas II-IV (meranti bunga dan mempisang). Keawetan kayu terhadap serangga(Coptotermes sp.) menunjukkan bahwa
kayu suntai (Palaqium burckii)termasuk kelas V, kayu punak
(Tetramerista glabra) termasuk kelas I, kayu meranti bunga (Shorea
37
tyesmanniana) termasuk kelas III, kayu mempisang (Diospiros korthalsiana) dan jenis kayu pasak linggo (Aglaia argentea) termasuk kelas II. Berdasarkan klassifikasi ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk pada masa inkubasi 8 minggu maka kayu meranti bunga (Shorea teysmanniana)dan suntai (Palaquium burkii) termasuk kelompok kayu tahan (kelas II), kayu punak(Tetramerista glabra)dan pasak linggo (Aglia argentea) termasuk kelompok kayu agak tahan - tahan (kelas II-III), dan kayumempisang (Diospyros korthalsianan) termasuk kelompok kayu agak tahan- tidak tahan (kelas III-IV). Kayu punak dan pasak lingo termasuk kelas keterawetan kayu II (sedang) dan kayu suntai, meranti bunga dan mempisangtermasuk kelas III terhadap tembaga-khrom-boron (CCB) 3% melalui proses vakum tekan (sel penuh). Retensi dan penetrasi pada meranti bunga, mempisang dan suntai sudah memenuhi standar SNI 01-5010-1999 pengawetan untuk digunakan di bawah atap atau di dalam ruangan dan dapat diawetkan bersama-sama. Sedangkan untuk punak dan pasak linggo belum memenuhi standar, oleh karena itu masih perlu penambahan waktu vakum dan tekan sehingga retensi dan penetrasinya dapat bertambah tinggi sesuai keperluan penggunaan. Dalam pengamatan selama dua bulan kayu yang dipasang ditempat terbuka tampak bahwa secara alami (tanpa perlakuan finishing), kayu mengalami perubahan warna menjadi semakin pucat. Hal ini disebabkan terjadinya proses pencucian oleh air hujan secara alami yang dilanjutkan dengan proses pemanasan air dalam kayu selama penyinaran dengan sinar matahari, sehingga zat ekstraktif terdistribusi di dalam kayu menjadikan kayu berwarna lebih pucat. Tanpa perlakuan, pengamatan selama dua bulan menunjukkan kayu meranti bunga memiliki perubahan paling tinggi, sedangkan kayu suntai memiliki perubahan warna paling rendah. Perubahan warna pada kayu yang telah mendapat perlakuan anti UV relatif sangat sedikit, sehingga pengamatan akan dilanjutkan dalam waktu 10 bulan, untuk mengetahui perubahan warna yang terjadi.
38
Dalam pengamatan selama dua bulan, belum terjadi cracking, kecuali pada pasak linggo. Retak tampak mulai pada bulan pertama pengamatan dan diukur untuk mendapatkan data keretakan kayu pasak linggo selama satu tahun. Serangan jamur dan bakteri secara visual tampak pada kayu mempisang. Bercak-bercak warna hitam mulai teridentifikasi pada pengamatan bulan pertama dan semakin menyebar pada pengamatan bulan kedua. Pengamatan selama dua bulan menunjukkan persentase retakan dan daerah serangan jamur masih dibawah 10%, sehingga belum bisa disimpulkan kualitas kayu di luar ruangan. Pengamatan akan dilanjutkan untuk sepuluh bulan ke depan. Sifat pengeringan alami 5 jenis kayu dalam kurun waktu 83 hari, kadar air akhir terendah dicapai oleh Mempisang, tetapi ternyata dengan dengan kadar air awal rata-rata 46.48%. Jenis-jenis kayu yang memiliki kadar air awal ratarata relatif sama adalah Punak dan Meranti bunga (sekitar 94-97%). Diantara keduanya, Punak mencapai kadar air akhir rata-rata lebih rendah 3%.cepat dibandingkan kayu Meranti bunga dalam kurun waktu pengeringan alami selama 83 hari. Akan tetapi, dilihat dari laju pengeringannya, Meranti bunga mengering lebih cepat, sekitar 0.95%/hari, dibandingkan Punak. Meranti bunga juga mengering alami lebih cepat dibandingkan ke-3 jenis kayu lainnya. Di sisi lain, Mapisang memiliki laju pengeringan terendah (0.38%/hari) walaupun kadar air awalnya terendah (46.48%) diantara ke 5 jenis kayu tersebut. Cacat pengeringan berupa retak-retak di permukaan papan ditemukan pada kayu Pasaklinggo (sebanyak 1 papan). Jenis kayu lain tidak mengalami cacat apapun. Sifat
Pengeringan
Dalam
Dapur
Pengering
Tenaga
Surya
menunjukkan bahwa kayu meranti bunga dan suntai memerlukan waktu pengeringan terlama (rata-rata 21.20 hari) untuk mencapai kadar air akhir ratarata 10% dari kondisi basah (79.52-95.47%). Disisi lain, kayu punak memiliki laju pengeringan tercepat (rata-rata 6.08%/hari) diantara ke 5 jenis tersebut. Cacat pengeringan berupa memangkuk dengan kedalaman < 1 cm ditemukan pada sebagian papan kayu punak, meranti bunga dan mempisang (masing-
39
masing 2 papan). Cacat berupa pecah ujung dan pecah permukaan ditemukan pada kayu pasaklinggo (sebanyak 1 papan). Suntai tidak mengalami cacat apapun. Sifat pengeringan suhu tinggi(100°C) menampilkan bahwa kayu pasak linggo mengalami retak/pecah permukaan dan pecah dalam dengan level terparah akan tetapi dengan deformasi teringan diantara ke 5 jenis kayu tersebut. Sebaliknya, Punak dan Mempisang sama-sama mengalami deformasi terparah tetapi dengan level retak/pecah permukaan dan pecah dalam teringan diantara ke 5 jenis kayu tersebut. Suhu dan kelembaban minimum dan maksimum yang dapat ditentukan berdasarkan cacat pengeringan terparah yang dialami setiap jenis kayu. Kayu punak dan pasaklinggo dapat dikeringkan dengan kondisi suhu maksimum 65°C, terendah diantara ke 5 jenis tersebut; akan tetapi dengan kelembaban tertinggi (sekitar 88%). Suntai, walaupun dapat dikeringkan dengan suhu maksimum tertinggi di antara ke 5 jenis kayu (77°C), tetapi hanya memerlukan kelembaban maks 80%. Mempisang dapat dikeringkan dengan suhu maksimum 70°C dan kelembaban maksimum 80%, sedangkan Meranti bunga dikeringkan dengan suhu maksimum 73°C dan kelembaban maksimum 84%. Berdasarkan nilai suhu dan kelembaban minimum-maksimum untuk setiap jenis kayu, maka disusun bagan pengeringan dugaan untuk masingmasing jenis Kayu punak dan pasak lingo dapat dikeringkan dengan bagan yang sama. Kayu mempisang dan suntai terlihat memiliki tahapan pengeringan yang sama sampai dengan kadar air titik jenuh serat, dan mulai berbeda setelah itu degan kayu Suntai dikeringkan pada suhu yang relatif lebih tinggi. Bagan ini masih merupakan bagan dasar dan perlu diujicoba dahulu sebelum dipraktekkan secara komersial. Sayangnya, peralatan yang tersedia di Laboratorium pengeringan belum memadai untuk melakukan ujicoba bagan dimaksud.
40
Sifat Venir dan Kayu Lapis lima jenis kayu asal Sumatera. Jenis kayu yang diteliti yaitu punak (Tetramerista glabra Miq.), meranti bunga (Shorea teysmaniniana Dyer ex Brandis), mempisang (Diospyros korthalsiana Hiern), suntai (Palaqium burkii H.J.L.) dan pasak linggo (Aglaia argentea Blume), dapat dikupas dalam keadaan dingin dengan sudut kupas berkisar antara 900 – 910. Keragaman venir cukup baik. Penyusutan venir dari basah ke kering mutlak rata-rata 4,7%. Pengujian keteguhan rekat kayu lapis tipe II dengan perekat Urea Formaldehida (UF) cair dilakukan menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Jepang (JAS). Hasil pengujian menunjukkan bahwa kelima jenis yang diteliti tersebut keteguhan rekatnya memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia karena keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kgf/cm2 dan memenuhi syarat standar Jepang karena karena keteguhan rekatnya tidak kurang dari 7 kgf/cm2. Hasil analisis komponen kimia disajikanKadar selulosa berkisar antara 40,61-57,69%. Kadar selulosa yang rendah memberi gambaran bahwa bubur kayu yang dihasilkan akan rendah. Apabila dilihat dari kadar selulosa saja, maka semua jenis kayu yang diteliti baik untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan pulp, karena kadar selulosanya relatif tinggi. Kadar lignin berkisar antara 28,23–34,41%. Kadar lignin terendah terdapat pada mempisang dan yang tertinggi terdapat pada suntai. Tingginya kadar lignin akan berpengaruh pada banyaknya pemakaian bahan kimia. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia untuk kayu daun lebar,maka semua jenis kayu termasuk ke dalam kelas sedang, kecuali suntai, karena kandungan ligninnya ada diantara 18%-33%, sedangkan suntai termasuk tinggi. Didasarkan atas kandungan lignin yang dikaitkan dengan proses pengolahan pulp, maka kayu dengan kadar lignin lebih dari 30% lebih baik menggunakan proses mekanik dalam pembuatan bubur kayunya, apabila kadar ligninnya kurang dari 30%
proses pembuatan bubur kayu
sebaiknya menggunakan semi kimia atau kimia.
41
Kadar pentosan berkisar antara 12,96–16,44%. Kadar pentosan yang terendah terdapat pada mempisang dan yang tertinggi terdapat pada punak. Kadar pentosan yang rendah sangat diharapkan dalam pembuatan pulp untuk rayon dan turunan selulosa. Kandungan pentosan yang tinggi dapat menyebabkan kerapuhan benang rayon yang dihasilkan. Apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia, maka semua jenis kayu yang diteliti termasuk ke dalam kelas dengan kandungan pentosan yang rendah karena kadarnya kurang dari 21%, sehingga semua jenis kayu cukupbaik untuk dijadikan sebagai bahan baku untuk pembuatan pulp. Komponen yang terlarut dalam air dingin adalah tanin, gum, karbohidrat dan pigmen, sedangkan yang terlarut dalam air panas adalah sama dengan yang terlarut dalam air dingin tetapi dengan kadar zat yang terlarut lebih besar. Khusus untuk kelarutan dalam alkohol benzen, apabila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia daun lebar Indonesia maka semua jenis kayu termasuk ke dalam kelas sedang. Kelarutan dalam NaOH 1% berkisar antara 6,73%–15,90%. Kelarutan dalam NaOH 1 % ini memberikan gambaran adanya kerusakan kayu yang diakibatkan oleh serangan jamur pelapuk kayu atau terdegradasi oleh cahaya, panas dan oksidasi. Semakin tinggi kelarutan dalam NaOH, tingkat kerusakan kayu juga meningkat dan dapat menurunkan rendemen pulp. Kelarutan dalam NaOH 1 % terendah terdapat pada kayu ki acret dan yang tertinggi terdapat pada kayu pasang. Kadar abu yang terendah terdapat pada ki pasang, sedangkan kadar abu yang tertinggi terdapat pada pasak linggo, kadar silika terendah terdapat pada pasak linggo, bila dihubungkan dengan klasifikasi komponen kimia kayu daun lebar Indonesia, maka jenis kayu yang diteliti termasuk ke dalam kelas dengan kandungan abu sedang, karena kadarnya ada diantara 0,2%-6 %. Komponen yang terdapat dalam abu diantaranya adalah K2O, MgO, CaO dan Na2O. Kadar abu yang tinggi tidak diharapkan dalam pembuatan pulp, karena dapat mempengaruhi kualitas kertas. Sedangkan besarnya kadar silika dalam kayu dapat mempercepat proses penumpulan bilah mata gergaji kayu. 42
Rendemen arang berkisar antara 29,93%–33,92%. Rendemen arang terendah terdapat pada kayu punak dan yang tertinggi pada kayu pasaklinggo. Rendemen ter berkisar antara5,81%-7,04% . Rendemen ter terendah terdapat pada meranti bunga, sedangkan tertinggi pada punak. Komponen utama yang terdapat dalam ter adalah phenol dan turunannya seperti guaiacol; cresol; 2,6xylenol; 3,5-xylenol; 4-propil syrtingol yang dapat digunakan sebagai insektisida. Rendemen cairan destilat berkisar antara 45,59%-63,81%. Rendemen cairan destilat terendah terdapat pada bungbulang dan yang tertinggi pada hamirung. Tingginya kandungan cairan destilat ini disebabkan oleh besarnya kandungan hemiselulosa dari kayu tersebut. Komponen kimia yang pertama terurai secara radikal adalah selulosa yaitu pada suhu 2000 C menghasilkan produk utama asam asetat. Selain itu besarnya kandungan cairan destilat mungkin disebabkan oleh besarnya kadar air dari kayu tersebut yang selama proses pemanasan akan menguap dan mengembun kembali ke dalam kondensor, sehingga volume cairan destilat yang dihasilkan akan bertambah. Selain itu besarnya kadar cairan destilat ini menggambarkan banyaknya asam asetat dalam kayu tersebut. Komponen utama yang terdapat dalam cairan destilat adalah asam asetat, asam butirat, asam crotonat, etil phenol, acetovanilon, furfural, pentan-5-olide. Berat jenis kayu berkisar antara 0,470–0,950 g/cm3. (Berat jenis terendah terdapat pada punak dan yang tertinggi pada pasaklinggo. Besar kecilnya berat jenis sangat dipengaruhi oleh umur, topografi tempat tumbuh dan komposisi kimia dari kayu tersebut yang kesemuanya akan sangat mempengaruhi kualitas arang semakin tinggi berat jenis kayu, kualitas arang yang dihasilkan akan lebih baik. Kadar air terendah terdapat pada punak dan yang tertinggi pada mempisang. Besar kecilnya kadar air ini banyak dipengaruhi oleh sifat higroskopis dan porositas dari arang tersebut, juga dipengaruhi oleh lamanya proses pendinginan dalam retor selama 24 jam.
43
Sifat pengolahan pulp untuk kertas yang diamati dalam penelitian ini meliputi konsumsi alkali dan bilangan kappa . Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin. Kalau konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang bahan kimia. Dalam penelitian ini, konsumsi alkali yang tinggi adalah kayu punak dan pasak linggo, sedangkan konsumsi alkali terendah terjadi pada kayu suntai, meranti bunga dan mempisang. Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut memiliki berat jenis tinggi, kadar lignin tinggi dan ekstraktif tinggi. Bilangan kappa menunjukkan indikasi sisa lignin dalam pulp. Untuk pembuatan kertas, bilangan kappa yang dikehendaki adalah serendah mungkin, karena terkait dengan kebutuhan bahan pemutih. Bilangan kappa tinggi indikasi kadar lignin dan ekstraktif tinggi. Dalam penelitian ini, rata-rata bilangan kappa kayu mempisang lebih rendah dibandingkan dengan bilangan kappa kayu yang lain. Pulp dengan bilangan kappa tinggi berindikasi kondisi proses pulping kurang kuat (konsentrasi kurang tinggi, waktu kurang lama, suhu pemasakan kurang tinggi, atau kombinasi ketiga faktor tersebut kurang keras). Ini mungkin disebabkan kayunya memiliki berat jenis tinggi, berkadar lignin dan ekstraktif tinggi. Pulp dengan bilangan kappa tinggi (>35) lebih sesuai untuk pembuatan kertas tidak diputihkan atau memang dikehendaki kekakuannya tinggi (akibat sisa lignin). Juga pulp dengan bilangan kappa > 35, kalau diputihkan jangan dengan bahan pemutih seperti Cl2 atau CLO2 (di mana kestabilan warna putih pulp tinggi untuk kertas2 tujuan tulis menulis/cetak/penggunaan permanen), tetapi lebih baik diputihkan dengan bahan pemutih untuk stabilisasi gugusan warna saja (misal H2O2, Na2O2, Na2SO3, NaBH4) misal untuk kertas koran pamflet, kertas pengumuman yang sifatnya temporer. Konsumsi alkali adalah banyaknya pemakaian bahan kimia pemasakan selama proses pemasakan (dengan sulfat atau soda). Konsumsi alkali yang dikehendaki diusahakan serendah mungkin. Kalau konsumsi alkali tinggi perlu dipertimbangkan melakukan daur ulang bahan kimia. Konsumsi alkali tinggi biasanya disebabkan karena kayu tersebut memiliki berat jenis tinggi, kadar
44
lignin tinggi dan ekstraktif tinggi. Dalam penelitian ini, rata-rata konsumsi alkali memiliki nilai yang hampir sama, . Rendemen yang dikehendaki adalah yang tertinggi. Kandungan selulosa yang tinggi berpotensi memiliki rendemen yang tinggi (dalam hal kondisi pemasakan yang sama). Dalam penelitian ini, rata-rata rendemen kayu mempisang lebih tinggi dibandingkan rendemen kayu yang lain. Rendemen pulp kimia tersaring (tidak diputihkan) sekitar 40-45%. Kalau rendemen pulp terlalu rendah (<40%) dengan reject rendah pula, indikasi bahwa pengolahan pulp (kondisi pemasakan kayu) terlalu keras, sehingga banyak fraksi karbohidrat (selulosa & hemiselulosa) terdegradasi.
Sebaliknya kalau
rendemen pulp terlalu rendah (<40%), tetapi rejectnya terlalu tinggi, indikasi pulpnya kurang matang (kondisi pemasakannya kurang keras). Nilai rendemen pulp berpengaruh pada operasi komersial pabrik pulp/kertas, semakin tinggi rendemen tersaring & reject rendah, maka mutu pulp/kertas semakin baik & keuntungan finansial pabrik makin besar Dalam penelitian ini, sampel kayu yang cukup bagus untuk dijadikan kertas berdasarkan pengujian konsumsi alkali, bilangan kappa dan rendemen adalah kayu mempisang karena memiliki nilai rata-rata bilangan kappa yang lebih rendah (<35) yaitu 21,80 dan rendemen yang lebih tinggi yaitu 44,18. Walaupun nilai bilangan kappa belum masuk kedalam kisaran yaitu bilangan kappa kayu daun yang mudah diputihkan biasanya berkisar 13-15 (Mimms dalam Tjahjono& Sudarmin, 1993) akan tetapiuntuk rendemen masuk dalam rentang rendemen pulp tidak diputihkan yang dimasak dengan proses kraft yaitu berkisar 40-45%. Untuk melihat pulp yang baik untuk dibentuk lembaran harus diuji juga sifat fisik lembarannya, tidak cukup hanya melihat data bilangan kappa, konsumsi alkali dan rendemennya.
45
5.
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan nilai turunan dimensi serat, kelima jenis kayu termasuk
kelas kualitas II untuk penggunaan sebagai pulp dan kertas. Kayu punak dan pasak linggo masuk kelas pemesinan I-II, kayu suntai masuk kelas pemesinan II – III , kayu mempisang dan meranti bunga masuk kelas pemesinan II – IV. Kayu punak dan pasak linggo tergolong kelas baik sampai sangat baik, kayu suntai tergolong sedang sampai baik, kayu mempisang dan meranti bunga tergolong jelek sampai baik. Berdasarkan sifat pemesinan jenis kayu yang memiliki sifat pengetaman dan pengamplasan termasuk baik penggunaannya dapat untuk panel, daun meja, pelapis dinding dan lain-lain. Untuk jenis kayu yang sifat pembentukannya termasuk baik penggunanaannya dapat untuk molding dan bahan ukiran. Jenis kayu yang sifat pemborannya baik dapat digunakan untuk sambungan pasak. Jenis yang sifat pembubutannya baik dapat digunakan untuk jeruji atau barang bubutan lainnya. Secara umum kayu pasak linggo tergolong kelas kuat I-II dapat digunakan sebagai bahan konstruksi berat dan tidak terlindung, kayu punak dan kayu suntai tergolong kelas kuat II-III dapat digunakan sebagai bahan konstruksi berat dan terlindung (di bawah naungan), kayu meranti bunga dan kayu mempisang tergolong kelas kuat III-IV dapat digunakan sebagai konstruksi ringan. Keawetan kayu terhadap serangga(Coptotermes sp.) menunjukkan bahwa
kayu suntai (Palaqium
burckii)termasuk kelas V, kayu punak (Tetramerista glabra) termasuk kelas I, kayu meranti bunga (Shorea tyesmanniana) termasuk kelas III, kayu mempisang (Diospiros korthalsiana) dan jenis kayu pasak linggo (Aglaia argentea) termasuk kelas II. Berdasarkan klassifikasi ketahanan kayu pada masa inkubasi 8 minggu maka kayu meranti bunga (Shorea teysmanniana)dan suntai (Palaquium burkii) termasuk kelompok kayu tahan (kelas II), kayu punak(Tetramerista glabra)dan pasak linggo (Aglia argentea) termasuk kelompok kayu agak tahan - tahan (kelas II-III), dan kayumempisang (Diospyros korthalsianan) termasuk kelompok kayu agak tahan- tidak tahan (kelas III-IV). Dalam penelitian ini, sampel kayu yang cukup bagus untuk
46
dijadikan kertas berdasarkan pengujian konsumsi alkali, bilangan kappa dan rendemen adalah kayu mempisang karena memiliki nilai rata-rata bilangan kappa yang lebih rendah (<35) yaitu 21,80 dan rendemen yang lebih tinggi yaitu 44,18. Untuk memastikan apakah 5 kayu tersebut baik untuk pulp setelah dibentuk lembaran harus diuji juga sifat fisik lembarannya, tidak cukup hanya melihat data bilangan kappa, konsumsi alkali dan rendemennya.
47
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: : : : : :
Sifat Dasar dan Penyempurnaan Rotan dan Bambu Penelitian Integratif 8. Pengolahan Hasil Hutan Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Pusat Litbang Hasil Hutan Dra. Jasni, M.Si., Dra. Titi Kalima, M.Si., Dr. Krisdianto, M.Sc., Abdurachman, ST., Prof,Ris. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dr. Ratih Damayanti, S.Hut, M.Si., Dr.Ir. I.M. Sulastiningsih, M.Sc., Ir. Efrida Basri, M.Sc., Dr. Djarwanto, M.Si., Dra. Sri Komarayati, Dra, Sihati Suprapti, Rohmah Pari, S.Hut., Esti Rini Satiti, S.Hut ABSTRAK
Di Indonesia tercatat terdapat 8 genera dengan 314 species rotan. Dari jumlah tersebut sekitar 51 sudah dikenal dalam perdagangan (komersial), sedangkan yang lain belum dimanfaatkan. Selain rotan, Indonesia juga memiliki sumber daya bambu. Tercata lebih dari 120 jenis bambu namun beberapa jenis saja yang baru dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya rotan dan bambu dari jenis-jenis yang belum digunakan. Sasaran kegiatan adalah memperoleh data dan informasi sifat-sifat rotan dan bambu sebagai dasar pemanfaatannya. Dalam kegiatan ini, sifat dasar rotan yaitu struktur anatomi, kimia, fisi mekanis, ketahanan dan peengkungan diteliti, sedangkan untuk sifat dasar bambu yang diteliti adalah struktur anatomi, fisis-mekanis, kimia, keawetan dan keterawetan. Untuk menunjang sifat pengolahannya dilakukan penelitian terhadap pengeringan dan perekatnnya. Jenis rotan yang dipelajari ada 4 jenis rotan yaitu rotan tunggal (Calamus laevigatus Martius), udang (Korthalsia flageris Miquel), getah (Daemonorops micrantha (Griff). Beccari), dan buruk hati (Calamus insignis Griff. Var longipinosus Dransfield). Jenis bambu yang digunakan ada dua yaitu bambu manggong (Gigantochloa manggong) Widjaya) dan bambu peting (Gigantochloa leavis). Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat jenis rotan baik digunakan untuk bahan baku pembuatan komponen mebel, kerangjang dan anyaman. Sedangkan hasil penelitian bambu menunjuukan bahwa kedua jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku pulp dan kertas, alat rumah tangga, bahan konstruksi ringan dan papan lamina serta asap cair sebagai biopestisida Kata kunci: Rotan, bambu, sifat dasar, kegunaan, produk
1.
LATAR BELAKANG Saat ini masih banyak jenis rotan dan bambu yang belum dimanfaatkan, untuk itu, perlu dilakukan penelitian dan pengembangan bagi rotan dan bambu yang belum dikenal, sehingga dapat dimanfaatkan. Untuk merangsang
48
pemanfaatan jenis-jenis rotan dan bambu yang selama ini belum dimanfaatkan (lesser used species), maka perlu dilakukan penelitian yang komprehensif dan holistic. Karena penelitian rotan akan mencakup botani, sifat dasar (anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan), pengolahan (pelengkungan) rotan dan bambu (anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan, keterawetan, pengeringan, perekatan dan cuka bambu) sehingga dapat diketahui nama jenis, peruntukkan dan kualitas secara lebih tepat untuk masing-masing jenis rotan maupun bambu. 2.
TUJUAN DAN SASARAN Mendapatkan informasi sifat dasar dan kemungkinan penggunaan 4
jenis rotan dan 2 jenis bambu sebagai dasar diversifikasi penggunaan bahan baku rotan dan bambu untuk berbagai tujuan pemakaian. Sasaran penelitian ini tersedianya informasi ilmiah mengenai sifat dasar dan penyempurnaan 4 jenis rotan dan 2 jenis bambu. 3.
METODOLOGI Pemilihan rotan yang masak tebang dari jenis-jenis rotan yang belum
dimanfaatkan dan bambu yang sudah tua dengan metode eksploratif. Jenis rotan ada 4 jenis yaitu: rotan tunggal (Calamus laevigatus Martius), rotan udang (Korthalsia flagrllaris Miquel), rotan getah (Daemonorops micracantha (Griff.) Beccari) dan rotan buruk hati (Calamus insignis Griff.var.longispinosus Dransfield). Jenis bambu ada 2 yaitu bambu manggong (Gigantotochloa manggong Wijaya) dan bambu peting (Gigantochloalevis). Rotan dan bambu yang sudah dipanen kemudian di bawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian. Untuk mengetahui nama ilmiah dari jenis-jenis rotan yang ditemukan dilapangan digunakan metode Comparativea dengan specimen herbarium. Rotan diteliti (anatomi, fisis mekanis, kimia dan keawetan), pengolahan (pelengkungan), sedangkan bambu (anatomi, fisis mekanis, kimia, keawetan, keterawetan, pengeringan, perekatan dan cuka bambu)
49
Rotan dan bambu dibuat komponen produk sesuai dengan peralatan yang ada dan jenis produk yang akan dibuat disesuaikan dengan sarana dan prasarana industri. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian 4 jenis rotan, mempunyai ukuran panjang sel
serabut, dan tebal dinding serabut yang berbeda. Ternyata dari ke empat jenis rotan yang diteliti tebal dinding sel serabut terendah 3,4µm (rotan getah) dan tertinggi rotan buruk hati 5,0 μm, kemudian rotan udang 4,7 µm dan rotan tunggal 4,2 µm. Berdasarkan hal tersebut diatas keempat jenis rotan ini mempunyai kekuatan yang baik karena tebal dinding > 2 μm Berdasarkan sifat fisis mekanis rotan, dari empat jenis rotan yang diteliti, berat jenis (BJ) yang tertinggi pada rotan buruk hati (0,73/kelas I), rotan tunggal (0,72/kelas I),rotan udang (0,43/kelas IV) dan rotan getah (0,42/kelas IV). Berdasarkan modulu elastis (MOE),rotan getah MOE 31.310 Kg/cm2 (kelas III) dan rotan udang 36.949 Kg/cm2 (kelas II). Berdasarkan komponen kimia
dari 4 jenis rotan yang diteliti,
kandungan selulosa rotan tunggal (50,80%), rotan getah (55,20 %), rotan udang (54,68%) dan rotan buruk hati (54,61%), lignin terdapat dalam rotan tunggal (26,52%), rotan getah (20,43%), rotan udang (25,07%) dan rotan buruk hati (26,95%) dan pati pada rotan tunggal (19,48%), rotan getah (20,74%), rotan udang (17,17%) dan rotan buruk hati (21,51 %). Untuk ketahanan rayap tanah, rotan getah termasuk kelas III, sedangkan tunggal dan udang termasuk kelas II, sedangkan rotan buruk hati kelas I. Berdasarkan demikian rotan yang mempunyai kelas ketahanan I dan II tidak perlu diawetkan untuk memperpanjang umur pakai bahan baku rotan untuk tujuan penggunaanya tersebut. Berdasarkan proses pengolahan, rotan getah, udang dan buruk hati untuk pelengkungan menghasilkan radius lengkung terkecil yang berkisar 3,5 – 9 cm, dengan demikian dapat dilengkungkan pada acuan lengkung berdiameter 10 50
cm. Berdasarkan kelas mutu pelengkungan, keempatrotan tersebut termasuk dalam kategori sangat baik (kelas 1). Penyempurnaan rotan akan dilakukan berdasarkan sifat yang dimiliki rotan misalnya terkait dengan ketahanan rotan terhadap organisme perusak rotan (OPR). Rotan yang mempunyai kelas awet rendah (Kelas III,IV dan V) perlu dilakukan pengendaliannya terhadap OPR, antara lain dengan proses pengawetan. Pengawetan rotan penting dilakukan untuk meningkatkan umur pakai produk tersebut, terutama material furniture dan barang kerajinan. Cara yang dilakukan mencegak kumbang bubuk rotan Dinoderus minutus (Sumarni, 1994 dalam Rachman & Jasni 2013), adalah perendaman dalam bahan pengawet antara lain
perendaman selama 30 menit dalam cairan bahan
pengawet permetrin 36,8%, dilarutkan dalam air pada konsentrasi berkisar 0,15-1,5%. Struktur anatomi batang bambu manggong dan peting memiliki ikatan pembuluh tipe III yaitu ikatan pembuluh terdiri dari dua bagian: ikatan pembuluh pusat dan ikatan serat yang terpisah atau dikenal dengan istilah broken-waist type (tipe pergelangan patah). Selain itu juga ditemukan ikatan pembuluh tipe IV. Berdasarkan modulus elastisitas (MOE) menunjukkan tingkat kekakuan suatu bahan, semakin tinggi nilai MOE maka bahan tersebut semakin kaku sebaliknya semakin rendah MOE maka bahan tersebut semakin lentur (elastis). MOE terbesar (61.605 kg/cm2) bambu peting dan terendah pada bambu manggong (48.105 kg/cm2). Dalam hal bambu menahan beban lentur ditunjukkan oleh nilai modulus patah (MOR), semakin besar nilai MOR maka semakin kuat/tahan terhadap beban lentur. Nilai MOR terbesar pada bambu peting (363 kg/cm2) dan terkecil adalah bambu manggong (286 kg/cm2). Ketahanan terhadap rayap tanah, berdasarkan prosentase kehilangan berat,
bambu manggong pengurangan (24,10%) lebih tinggi dibandingkan
bambu peting (13,02%). Sedangkan natalitas (jumlah rayap yang hidup) juga lebih banyak pada bambu manggong (84,6%) sedangkan bambu penting 51
natalitas (79,3%).Ketahanan rayap kayu kering, prosentase kehilangan berat bambu manggong pengurangan berat 13,6% lebing tinggi dibandingkan bambu peting (11,8%). Sedangkan natalitas juga lebih tingga bambu manggong (60%) dibandingkan bambu peting (53%). Berdasarkan hal tersebut bambu peting lebih baik (tahan) dari bambu manggong. Selanjutnya berdasarkan ketahanan terhadap jamur bambumanggong dan peting termasuk kelas IV (III-IV) Kadar selulosa tertinggi pada bambu manggong (54,40%) dan terendah bambu peting (46,33%). Lignin bambu manggong (23,47%) dan bambu peting (25,79%) Kelarutan dalam alkohol benzen bambu manggong (4,36 %) dan bambu peting (5,97%). Pati bambu manggong (14,84%) dan bambu peting (14,62%). Pengeringan dua jenis bambu,bambu peting pada batang pangkal mengalami pecah dan mengeriput yang cukup parah, sehingga sifat pengeringannya termasuk kelas 4
(kurang baik), namun tingkat kerusakan
pada batang tengah karena pecah dan mengeriput termasuk sedang, sehingga klasifikasi sifat pengeringannya termasuk kelas 3. Bambu manggong pada batang pangkal mengalami pecah dan mengeriput termasuk sedang, sehingga sifat pengeringannya termasuk kelas 3. Walaupun tingkat pecah bambu manggong pada batang tengah termasuk baik (kelas 2), namun tingkat mengeriputnya termasuk sedang (kelas 3), maka klasifikasi pengeringannya tetap kelas 3 (sedang). Sifat perekatan bambu manggong dan bambu peting terhadap perekat urea formaldehida (UF) cukup baik yang ditunjukkan oleh nilai rata-rata keteguhan rekat dengan uji geser blok dimana nilainya lebih dari 55 kg/cm 2 dan persentase kerusakan bambunya lebih dari 70%. Keteguhan rekat tipe interior (UF) bambu manggong 87,7
kg/cm2 dan persentase kerusakan bambunya
100% dan keteguhan rekat tipe interior (UF) bambu peting 69,03 kg/cm2 dan persentase kerusakan bambunya 97%.
52
Hasil retensi bahan pengawet pada bambu peting dengan konsentrasi 5% rata-rata 2,5 kg/m3 dan bambu manggong rata-rata 3 kg/m3. Penetrasi kedua jenis bambu ini mencapai 100. Produksi asap cair bambu peting dan bambu manggong yang dihasilkan adalah 31,00 liter dan 17,00 liter. pH asap cair bambu peting 4,52 dan bambu manggong 4,07 tidak memenuhi standar mutu asap cair Jepang ( 1,50- 3,70). Sedangkan berat jenis asap cair bambu peting dan manggong 1,06 dan 1,05 telah memenuhi standar Jepang . Begitu juga warna dan transparansi berbeda dengan standar Jepang. Kandungan komponen kimia asap cair bambu peting dan manggong terdiri dari asam asetat 9,44% dan 3,83%; metanol6,41% dan2,01%, total phenol3,02% dan 2,00%. Asam asetat dapat berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan dan pencegah penyakit, metanol untuk memacu pertumbuhan dan fenol sebagai pencegah hama dan penyakit. Berdasarkan hasil penelitian ternyata secara alami kedua jenis bambu termasuk yang kurang awet., maka untuk memperpanjang umur pakainya perlu dilakukan pengawetan dengan menggunakan bahan pengawet. Febriana (2012) menyatakan bambu yang tidak awet seperti bambu ampel dan petung, dilakukan proses pengawetan dengan merendam bambu dengan bahan pengawet boraks dan asam borat dengan konsentrasi diatas 5 %, dan dimungkin pula diawetkan pada jenis bambu manggong maupun peting.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN Sifat-sifat dasar keempat jenis rotan yang dipelajari mirip dengan rotan
komersial, ditinjau dari sifat anatomi, kimia fisis mekanis, keawetan dan pelengkungan.Ketahanan rotan terhadap rayap tanah, rotan tunggal (Calamus laevigatus Martius) dan rotan udang (Khortalsia flagelaris Miquel) termasuk kelas ketahanan II, rotan getah (Daemonorops micracantha (Griff.) Becc.) termasuk
kelas
III
dan
rotan
buruk
hati
(Calamus
insignis
Griff.var.longispinosus Dransfield) termasuk kelas ketahanan I. Pelengkungan 3 jenis rotan yang diteliti
rotan getah, rotan udang dan rotan buruk hati
53
termasuk dalam kelompok sangat baik dilengkungkan dengan radius lengkung dibawan 10 cm dan termasuk kelas I. Produk dari keempat
jenis rotan (getah, udang, buruk hati dan tunggal)
termasuk mudah dikerjakan dan dapat disetarakan dengan rotan tohiti (Calamus inops Becc. Ex.Heyne), lambang (Calamus ornatus var celebius Becc.), sega (Calamus caecius) dan rotan irit (Calamus trachycoleus). Jenis rotan hati (Calamus insignis Griff.var.longispinosus Dransfield) yang mempunyai warna alami abu-abu diminati para pengrajin. Jenis rotan ini dapat disosialisasikan kepada pengguna karena sifat-sifat rotan ini mirip rotan komersial, sehingga jenis rotan ini dapat digunakan pengganti rotan komersial yang sudah langgka dilapangan, seperti manau, batang, lambang, tohiti, sega dan irit. Jenis bambu yang diteliti dapat disarankan sebagai material bahan baku kontruksi dan mebel.
54
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: : : : : :
Paleobotani (Fosil Kayu) Hutan Tropis Penelitian Integratif 8. Pengolahan Hasil Hutan Ir. Jamal Balfas, M.Sc. Pusat Litbang Hasil Hutan Andianto, S.Hut. M.Si., Drs. Agus Ismanto., Drs. Dominicus Martono ABSTRAK
Salah satu daerah yang memiliki banyak kekayaan alam berupa fosil kayu adalah Provinsi Jambi. Terhadap 8 sampel bongkahan fosil kayu yang berasal dari wilayah Kabupaten Bangko dilakukan pengamatan struktur anatomi serta analisis perkiraan umur. Irisan tipis bidang lintang, radial dan tangensial fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya dengan menggunakan mikroskop Carl Zeiss-Axio Imager A1m. Diskripsi ciri anatomi mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA (International Association of Wood Anatomists). Analisis umur fosil dilakukan berdasarkan peta Geologi (skala 1 : 100.000) lembar Sarolangun, Sumatera. Ciri-ciri natomi yang berhasil teridentifikasi menunjukkan bahwa fosil-fosil kayu tersebut adalah jenis-jenis kayu anggota famili Dipterocarpaceae, yaitu Shoreoxylon sp. (Meranti), Dryobalanoxylon sp. (Kapur), Cotylelobioxylon sp. (Giam/Resak), dan Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.).Perkirakan umur fosil kayu bervariasi mulai dari 254-252 juta tahun lalu (zaman Permian/Perem akhir), 7,245,33 juta tahun lalu (kala Miosen akhir), 2,58-1,80 juta tahun lalu (kala Plistosen awal) hingga 11.700 tahun-masa kini (kala Holosen). Kata kunci: Fosil kayu, Bangko, Shoreoxylon, Dryobalanoxylon, Hopeoxylon
1. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki banyak wilayah yang di dalamnya terdapat gunung berapi. Wilayah sekitar gunung berapi umumnya memiliki lapisan-lapisan sedimen akibat adanya endapan magma/erupsi. Abu yang berasal dari gunung serta perbukitan yang ter-erosi menghasilkan pasir dan lumpur dalam jumlah besar, yang selanjutnya dibawa oleh aliran sungai dan mengendap di dasar sungai, danau dan laut membentuk lapisan sediman (Aziz & Kurniawan, 2014). Selama proses demikian, sisa hewan dan tumbuhan terkubur dalam sedimen sehingga ter-awetkan dan termineralisasi menjadi fosil. Fosil-fosil tersebut dapat ditemukan apabila sedimen ini tererosi dan tersingkap di permukaan tanah (Aziz & Kurniawan, 2014).
55
Bidang anatomi kayu memiliki keterkaitan yang luas dan dapat mendukung cabang-cabang ilmu lain seperti Arkeologi, Forensik, Ethnologi, Dendrochronologi, dan Paleobotani. Penelitian tentang fosil kayu ini termasuk ke dalam bidang ilmu Paleobotani. Kajian bidang ilmu Paleobotani merupakan ilmu yang meliputi aspek fosil tumbuhan, rekonstruksi taksa, dan sejarah evolusi dunia tumbuhan.
Diperlukan
penguasaan
bidang-bidang
ilmu
pendukung untuk memahami ilmu Paleobotani seperti ilmu Geologi, Anatomi tumbuhan, dan Taksonomi tumbuhan (Susandarini, 2016). Sehingga ilmu Paleobotani bermanfaat dalam memahami identitas jenis botani (ilmu anatomi), umur fosil (geologi), serta dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah persebaran (Fitogeografi) dan kepunahan dari taksa tumbuhan tertentu (Dewi, 2013.). Salah satu daerah di Indonesia yang terkenal sebagai sumber keragaman fosil tumbuhan yang sudah dikenal dunia sebagai Geodeversity adalah Kabupaten Merangin di provinsi Jambi. Kawasan ini berada dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Diinformasikan bahwa fosil flora dan fauna yang terdapat di area sepanjang aliran sungai Batang Merangin dan Batang Mengkarang (Bangko) terdapat fosil flora dan fauna berumur 250 hingga 290 juta tahun (zaman Parem atas/akhir-Jura awal). Berdasarkan hasil penelitian Badan Geologi bekerja sama dengan ahli dari Belanda (Geological Research Institute-Naturalis Leiden, Netherlands) di sepanjang aliran sungai ini terdapat fosil batang pohon Araucarioxylon (Abdurahman, 2015). Keberadaan fosil-fosil kayu di Indonesia termasuk yang ditemukan di wilayah
kabupaten
konservasi/perlindungan
Merangin
mengindikasikan
perlunya
upaya
terhadap sumber daya alam fosil kayu. Sejalan
dengan ini, maka penggalian informasi identitas fosil kayu seperti jenis, lokasi keberadaan, serta data perkiraan umur perlu dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan pengambilan sejumlah fosil kayu yang berasal dari kabupaten Merangin (Kecamatan Bangko Barat dan Nalo Tantan) untuk diamati ciri-ciri
56
anatominya guna mengetahui jenis fosil kayu tersebut, serta dilakukan pengukuran perkiraan umurnya. 2.
TUJUAN DAN SASARAN Penelitian tahun 2016 bertujuan untuk mendapatkan informasi ilmiah
mengenai fosil-fosil kayu yang terdapat di sekitar wilayah Sumatera. Sebagai perwakilan wilayah dilakukan pengambilan sampel di Provinsi Jambi. Sasaran penelitian adalah tersedianya informasi ilmiah mengenai identitas botanis, persebaran serta umur fosil kayu yang berasal dari Provinsi Jambi. 3.
METODA PENELITIAN Lokasi pengambilan bahan utama penelitian dilakukan di wilayah
Provinsi Jambi. Pembuatan preparat iris guna pengamatan anatomi fosil dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional - Pusat Teknologi Bahan Galian Nuklir, Jakarta serta Museum Geologi, Bandung. Pengamatan struktur anatomi fosil kayu untuk penentuan jenis dilakukan di Puslitbang Hasil Hutan-Bogor. Bahan utama penelitian adalah fosil kayu yang masih tertimbun di dalam tanah yang dikumpulkan dari Kecamatan Bangko barat dan Kecamatan Nalo Tantan Kabupaten Merangin. Bahan kimia yang dipakai di antaranya yaitu carborundum
dan canada balsam. Peralatan yang digunakan antara lain
pemotong batu (gergaji mesin), mikrotom, mikroskop cahaya, kamera, hot plate. Sedangkan bahan gelas kaca yang diperlukan antara lain object glass, cover glass danlup. Kegiatan yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan penelitian, yaitu : Survey dan pengumpulan fosil kayu, Pengamatan struktur anatomi. Bidang lintang, radial dan tangensial dari setiap fosil kayu diamati ciri-ciri anatominya pada preparat iris dengan bantuan mikroskop Carl Zeiss-Axio
Imager
A1m.
Pembuatan
preparat
iris
dimulai
dengan
memotong/mengiris sebongkah fosil kayu berukuran 3 cm x 3 cm x 6 cmpada tiga bidang/penampang yaitu lintang, radial, dan tangensial. Permukaan pada setiap penampang irisan ditipiskan dengan menggunakan mesin gosok batuan 57
yang sudah ditaburi serbuk carborundum 100 mesh. Selanjutnya setiap irisan fosil dicuci dengan air, dan digosok kembali dengan kaca ketebalan 5 milimeter yang sudah ditaburi serbuk carborundum 320 mesh. Kemudian dicuci kembali dan selanjutnya digosok pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 600 mesh agar lebih halus. Selanjutnya masing-masing irisan fosil kayu beserta object glass dipanaskan pada hot plate hingga suhu 70-800C. Setelah dipanaskan selanjutnya masing-masing irisan fosil direkatkan pada object glass yang sudah diolesi canada balsam dengan menekan hingga tidak nampak gelembung udara. Diamkan hingga dingin dan melekat dengan baik. Setiap irisan fosil yang sudah melekat pada object glass selanjutnya digosok kembali pada plat gosok batuan hingga terlihat tipis (bayang-bayang) dengan melihatnya di bawah mikroskop. Untuk mendapatkan ketipisan sesuai yang diinginkan, irisan fosil selanjutnya dibersihkan dengan air dan digosok kembali pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 320 mesh. Apabila belum sesuai dengan ketipisan yang diinginkan, digosok kembali pada kaca yang ditaburi serbuk carborundum 600 mesh. Jika ketipisan sudah sesuai, selanjutnya dikeringkan sebentar dan beri entelan serta tutup dengan cover glass hingga kering selama lebih kurang 2 jam. Selanjutnya preparat iris siap untuk dilakukan pengamatan. Diskripsi ciri anatomi guna penentuan jenis fosil kayu mengacu kepada daftar ciri mikroskopis untuk identifikasi kayu daun lebar IAWA (Wheeler, Baas & Gasson, 1989). Jumlah pengamatan ciri-ciri kuantitatif sel disesuaikan dengan jumlah sel yang dapat dilihat pada slide/preparat pengamatan. Ciri-ciri anatomi hasil pengamatan selanjutnya dibandingkan dengan ciri-ciri anatomi kayu masa kini yang sejenis melalui program (software) identifikasi kayu Xylarium Bogoriense (Mandang, Dimas P. & Kurniawan, 2005). Perkiraan umur fosil kayu ditelusuri dan dianalisis dengan bantuan data yang terdapat pada peta Geologi (skala 1 : 100.000). Peta Geologi merupakan peta yang di dalamnya berisi stratigrafi (formasi) batuan dengan perkiraan informasi umurnya. Keberadaan fosil kayu yang tertimbun di dalam lapisan tanah diasumsikan memiliki usia yang sama dengan lapisan tanah itu sendiri.
58
Perkiraan umur fosil dianalisis berdasarkan lapisan sedimen dimana fosil-fosil tersebut ditemukan. Lapisan sedimen pada peta tersebut digambarkan dengan sejumlah warna yang berbeda. Setiap warna yang terdapat di dalam peta tersebut
meng-informasikan
formasi
batuan
dan
perkiraan
umurnya.
Selanjutnya informasi warna di sesuaikan dengan warna pada peta grafik perkiraan umur fosil. Pengujian umur fosil berdasarkan pentarikhan unsur karbon pada lembaga Survei Geologi Bandung hanya bisa dilakukan terhadap fosil kayu dengan hasil perhitungan umur maksimal 50.000 tahun, dimana kondisi fosil harus masih dalam kondisi rapuh dan belum sempurna membatu (masih banyak mengandung unsur karbon (C) yang cukup. Dikarenakan fosil-fosil kayu yang ditemukan di wilayah Jambi sudah benar-benar menjadi fosil (membatu/keras), maka umur fosil kayu diperkirakan di atas 50.000 tahun. Pengujian umur fosil kayu yang diperkirakan di atas 50.000 tahun dengan kondisi fosil yang sudah membatu (tidak ada unsur karbon) dapat dilakukan perhitungan umurnya melalui pendekatan analisa peta geologi. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Salah satu kabupaten di provinsi Jambi yang dikenal sebagai penghasil
fosil kayu adalah kabupaten Merangin. Fosil-fosil kayu banyak ditemukan di lahan perkebunan kelapa sawit dan karet milik masyarakat setempat. Keberadaan fosil-fosil kayu terletak di beberapa desa, yaitu desa Bukit beringin, Kec. Bangko Barat; desa Danau (daerah suku asli), Kec. Nalo tantan, dan DesaTelun (Dekat sungai Tantan, anak sungai merangin). Hasil pengamatan struktur anatomi terhadap 6 spesimen fosil kayu yang berbeda diperoleh ciri-ciri anatomi sebagai berikut: Spesimen A : Pembuluh : Porositas baur (5), pengelompokkan pembuluh hampir seluruhnya soliter (9); bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat sangat tebal (70). Parenkim: aksial
59
apotrakea tersebar (76), tersebar dalam kelompok (77), vaskisentrik (79); panjang untai empat (3-4) sel per untai (92). Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), jarijari besar umumnya 4-10 seri (98), tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel parenkim aksial berbilik (142); dijumpai butir-butir silika (159) dalam sel jari-jari (160) dan sel parenkim aksial (162). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari
genus
Dryobalanops
sp.
(kamper/kapur)
anggota
dari
famili
Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah fosil kayu kamper/kapur (Dryobalanoxylon sp.). Spesimen B : Pembuluh : Porositas baur (5), pengelompokkan pembuluh hampir seluruhnya soliter (9), bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat sangat tebal (70). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (76), tersebar dalam kelompok (77), vaskisentrik (79); panjang untai empat (3-4) sel per untai (92). Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), jarijari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel parenkim aksial berbilik (142); dijumpai butir-butir silika (159) dalam sel jari-jari (160) dan sel parenkim aksial (162). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini juga serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Dryobalanops sp. (kamper/kapur) anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil kayu ini juga merupakan fosil dari jenis kayu kamper/kapur (Dryobalanoxylon sp.). Spesimen C :
60
Pembuluh : Porositas baur (5); bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat tipis sampai tebal (69). Parenkim: aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (77), vaskisentrik (79), konfluen (83). Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106); tubuh jari-jari sel baring umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (137), dalam sel baring (138), berderet radial dalam sel baring jari-jari (139), dan dalam parenkim aksial berbilik (142). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Hopea sp. (Merawan/Hopea) anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah fosil dari jenis kayu Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.). Spesimen D : Pembuluh : Porositas baur (5), bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat tipis sampai tebal (69). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (76), aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (77), aksial paratrakea jarang (78), vaskisentrik (79), konfluen (83). Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jarijari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (137). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Shorea sp. (Meranti) anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah fosil dari jenis kayu meranti (Shoreoxylon sp.).
61
Spesimen E : Pembuluh : Porositas baur (5), bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat tipis sampai tebal (69). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (76), aksial apotrakea tersebar dalam kelompok (77), aksial paratrakea jarang (78), vaskisentrik (79), konfluen (83). Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jarijari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (137). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini juga serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Shorea sp. (Meranti) anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah juga merupakan fosil dari jenis kayu meranti (Shoreoxylon sp.). Spesimen F : Pembuluh : Porositas baur (5), pengelompokkan pembuluh hampir seluruhnya soliter (9), bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat sangat tebal (70). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (76), tersebar dalam kelompok (77), vaskisentrik (79); panjang untai empat (3-4) sel per untai (92). Jari-jari: Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), lebar jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel parenkim aksial berbilik (142); terdapat butir-butir silika (159) dalam sel jari-jari (160) dan sel parenkim aksial (161). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari
genus
Dryobalanops
sp.
(kamper/kapur)
62
anggota
dari
famili
Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah fosil dari kayu jenis kamper/kapur (Dryobalanoxylon sp.). Spesimen G : Pembuluh : Porositas baur (5), pengelompokkan pembuluh hampir seluruhnya soliter (9), bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat sangat tebal (70). Parenkim: aksial apotrakea tersebar (76), tersebar dalam kelompok (77), vaskisentrik (79); panjang untai empat (3-4) sel per untai (92). Jari-jari: Jari-jari: lebar 1-3 seri (97), lebar jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: terdapat kristal prismatik dalam sel parenkim aksial berbilik (142); terdapat butir-butir silika (159) dalam sel jari-jari (160) dan sel parenkim aksial (161). Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini juga serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Dryobalanops sp. (kamper/kapur) anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini juga merupakan fosil dari jenis kamper/kapur (Dryobalanoxylon sp.). Spesimen H : Pembuluh : Porositas baur (5), pengelompokkan pembuluh hampir seluruhnya soliter (9), bidang perforasi sederhana (13), susunan ceruk antar pembuluh selang-seling (22). Serat: dinding serat sangat tebal (70). Parenkim: aksial apotrakea tersebar(76), tersebar dalam kelompok (77), vaskisentrik (79); Jarijari: lebar 1-3 seri (97), jari-jari besar umumnya 4-10 seri (98); tubuh jari-jari sel baring dengan 1 jalur sel tegak dan/sel bujur sangkar marjinal (106), umumnya dengan 2-4 ja jalur sel tegak/sel bujur sangkar marjinal (107). Saluran interselular: saluran aksial dalam baris tangensial panjang (127). Kandungan mineral: dijumpai kristal prismatik dalam sel tegak atau sel bujur sangkar marjinal (137).
63
Ciri-ciri anatomi fosil kayu ini serupa dengan ciri-ciri anatomi kayu dari genus Cotylelobium sp. (resak/giam) anggota dari famili Dipterocarpaceae, sehingga berdasarkan ciri-ciri demikian maka fosil ini adalah fosil dari kayu jenis resak/giam (Cotylelobioxylon sp.). Berdasarkan peta grafik perkiraan umur fosil (Cohen, Finney, Gibbard, & Fan, 2013) diketahui bahwa skala waktu geologi terbagi dalam 2 kurun waktu, yaitu Precambrian/Kriptozoikum (4.6 milyar - 540 juta tahun yang lalu) dan Panerozoicum (540 juta - saat ini). Precambrian terbagi ke dalam era Arkeozoikum (Arkean) dan Proterozoicum, sedangkan Panerozoicum terbagi dalam era Paleozoikum, Mesozoicum, dan terakhir yang termuda adalah zaman Cenozoicum. Arkeozoikum berlangsung sekitar 4 hingga 2,5 milyar tahun lalu. Zaman Proterozoicum berlangsung antara 2,5 milyar hingga 542 juta tahun lalu. Paleozoikum berlangsung sekitar 542 hingga 251 juta tahun lalu. Mesozoikum berlangsung sekitar 251 hingga 65 juta tahun lalu dan Cenozoicum berlangsung antara 65,5 juta tahun lalu hingga sekarang. Bumi yang kita diami ini memiliki tahapan dalam pembentukannya, terbentuk sekitar 4.600.000.000 tahun lalu bersamaan dengan terbentuknya tata surya. Sejarah kehidupan di bumi ditandai dengan munculnya mikro organisme sederhana seperti bakteri dan ganggang dimulai pada sekitar 3.500.000.000 tahun lalu. Organisme bersel banyak mulai muncul sejak 1.000.000.000 tahun lalu. Selanjutnya pada sekitar 540.000.000 tahun lalu secara bertahap kehidupan di bumi lebih kompleks yang ditandai dengan munculnya pteridofita (tumbuhan paku), gimnosperma (tumbuhan berbiji terbuka) seperti jenis pohon berdaun jarum atau "konifer" dan terakhir angiosperma (tumbuhan berbiji tertutup/berbunga) yang anggotanya termasuk tumbuhan berdaun lebar (Museum Geologi, 2016). Selanjutnya dijelaskan bahwa masa 4 - 2,5 milyar tahun lalu dinamakan dengan masa/era Arkeozoikum, yaitu dimana pembentukan batuan dimulai yang kemudian berkembang menjadi masa Proterozoikum (2,5 milyar - 590 juta tahun lalu) yang merupakan masa perkembangan hidrosfer dan atmosfer. Pada masa ini kehidupan mulai
64
berkembang dan organisme bersel tunggal menjadi bersel banyak. Selanjutnya dimulai zaman Kambrium (590 - 500 juta tahun lalu) yang ditandai dengan munculnya hewan invertebrata, dan hampir seluruh kehidupan berada di lautan. Dilanjutkan berturut-turut dengan zaman Ordovisum (500 - 440 juta yahun lalu), zaman Silur (440 - 410 juta tahun lalu), zaman Devon (410 - 360 juta tahun lalu). Zaman Karbon dimulai dari 360 - 290 juta tahun lalu, dan disusul dengan zaman Perm/Permian (290 - 250 juta tahun lalu) yang ditandai dengan meningkatnya jumlah hewan reptil dan munculnya serangga modern, serta tumbuhan Konifer dan Ginkgo primitif. Pada zaman Perm, hewan amfibi jadi kurang berperan dan zaman ini diakhiri dengan kepunahan massa dalam skala besar. Terjadi pergerakan bumi dimana terbentuk satu massa daratan, lapisan es menutup benua Amerika selatan, Antartika, Australia dan Afrika yang menyebabkan menurunnya permukaan air laut. Diinformasikan juga bahwa pada zaman ini iklim kering dengan kondisi gurun pasir mulai terbentuk di bagian utara bumi. Munculnya hewan Dinosaurus dan reptilia laut berukuran besar mulai muncul pertama kali di zaman Triassic (250 - 210 juta tahun lalu). Zaman Jura terjadi pada 210 - 140 juta tahun lalu. Pada saat itu Reptilia meningkat jumlahnya, Dinosaurus menguasai daratan, burung mulai berevolusi, buaya banyak berkembang, Konifer umum tumbuh dimana-mana dan Ginkgo berlimpah. Pada masa itu bagian bumi di Amerika utara memisahkan diri dari Afrika sedangkan Amerika selatan melepaskan diri dari Antartika dan Australia. Selanjutnya berturut-turut muncul zaman Kapur (140 - 65 juta tahun lalu), zaman Tersier (65 - 1,7 juta tahun lalu), dan zaman Kuarter (1,7 sekarang). Zaman Tersier terbagi ke dalam Kala Paleosen (65 - 56.5 juta tahun lalu), Eosen (56,5-35,5 juta tahun lalu), Oligosen (35,5 - 23,5 juta tahun lalu), Miosen (23,5 - 5,2 juta tahun lalu) dan Pliosen (5,2 - 2,5 juta tahun lalu). Zaman Kuarter dimulai dari Kala Plistosen (2,5 - 0,01 juta tahun lalu) dan Holosen (0,01 - masa kini). Berdasarkan peta geologi lembar Sarolangun, Sumatera (Gambar 9.), lapisan sedimen pada peta (sesuai masing-masing koordinat lokasi temuan)
65
menyediakan informasi mengenai formasi batuan dengan perkiraan umurnya. Derah lokasi temuan fosil-fosil kayu ini berada dalam 4 formasi, yaitu: 1. Formasi Palepat Formasi ini termasuk ke dalam batuan gunung api yang terdiri dari jenis andesit, dasit dan diabas, sisipan tuf, breksi gunung api serpih, batu lanau, batu pasir, batu lempeng, setempat konglomerat dan batu gamping. Jenis-jenis fosil kayu yang ditemukan pada dearah ini adalah meranti (Shoreoxylon sp.), kamper/kapur (Dryobalanoxylon
sp.), dan giam/resak
(Cotylelobioxylon sp.) dengan kode spesimen E, G dan H. Masing-masing fosil tersebut terletak pada koordinat LS (S) 02°00'453 "- BT (E) 102010’648’’, LS (S) 02°01'329" - BT (E) 102010’047’’ dan LS (S) 02°01'639" -
BT (E)
102010’133’’. Berdasarkan analisis terhadap peta geologi ini, diperoleh perkiraan umur ketiga fosil ini antara 298 hingga 252 juta tahun lalu (zaman Permian). 2. Formasi Air Benakat Formasi ini termasuk ke dalam batuan sedimen dan malihan yang terdiri dari perselingan batu lempeng dan batu pasir; sisipan konglomerat gampingan, batu lanau, napal dan batu bara. Jenis fosil kayu yang ditemukan pada dearah ini belum diketahui dikarenakan hasil preparat yang kurang baik sehingga tidak dapat teramati ciriciri anatominya (kode spesimen F), fosil ini terletak pada koordinat LS (S) 01°59'333" - BT (E) 102011’055’’. Berdasarkan analisis terhadap peta geologi, perkiraan umur kedua fosil ini adalah antara 7,2 hingga 5,3 juta tahun lalu (kala Miosen akhir). 3. Formasi Kasai Formasi ini juga termasuk ke dalam batuan sedimen dan malihan yang terdiri dari tuf, tuf berbatu apung sisipan batu pasir tufan, batu lempung tufan; setempat konglomeratan; kayu terkersikkan. Jenis-jenis fosil kayu yang ditemukan pada dearah ini semuanya adalah kamper/kapur (Dryobalanoxylon sp.) dengan kode spesimen A dan B. Masing-
66
masing terletak pada koordinat LS (S) 02°13'865" - BT (E) 102016'511’’ dan LS (S) 02°13'990" - BT (E) 102016'503’’. Berdasarkan analisis peta geologi, perkiraan umur kedua fosil ini adalah antara 3,6 hingga 2,5 juta tahun lalu (antara kala Pliosen akhir hingga Plistosen awal). 4. Formasi Breksi Gunung Api-Tuf Formasi ini termasuk ke dalam batuan gunung api yang terdiri dari tuf, lahar, breksi gunung api, breksi tuf dan lava. Jenis-jenis fosil kayu yang ditemukan pada dearah ini adalah Merawan/Hopea (Hopeoxylon sp.) dan meranti (Shoreoxylon sp.) dengan kode spesimen C dan D. Masing-masing terletak pada koordinat LS (S) 02°14'008" BT (E) 102016'505’’ dan LS (S) 02°14'096" - BT (E) 102016'531’’. Berdasarkan analisis, perkiraan umur kedua fosil ini adalah 11.700 tahun lalu hingga sekarang (kala Holosen). Fosil kayu yang ditemui di desa Danau (daerah suku asli), Kec. Nalo tantan dan DesaTelun (Dekat sungai Tantan, anak sungai merangin) adalah fosil kayu meranti (Shoreoxylon sp.), kamper (Dryobalanoxylon sp.) dan giam/resak (Cotylelobioxylon sp.). Ketiga fosil kayu ini diperkirakan memiliki umur yang paling tua, hidup pada zaman Permian (290-250 juta tahun lalu). Selain itu juga terdapat fosil kayu yang berumur antara 7,2 hingga 5,3 juta tahun lalu (kala Miosen akhir) yang termasuk ke dalam zaman yang lebih muda yaitu zaman Tersier. Jenis fosil kayu yang berumur kala Miosen akhir ini belum dapat diketahui jenisnya dikarenakan hasil preparasi yang tidak dapat teramati ciriciri anatominya. Temuan fosil kayu berumur 290-250 juta tahun lalu ini hampir sama dengan yang diinformasikan oleh Badan Geologi (2015), berupa temuan fosil kayu purba pada sedimen berumur Perem, kurang lebih 300-250 juta tahun yang lalu. Periode Permian merupakan masa dimana sudah terdapat reptil dan serangga modern muncul serta tumbuhan konifer dan ginkgo primitif. Periode ini diakhiri dengan kepunahan massa dalam skala besar. Sedangkan kala Miosen adalah masa dimana pertama kali berlimpahnya hewan mamalia memamah-biak, dan pertama kalinya kera muncul (Museum Geologi, 2016).
67
Sedangkan fosil kayu yang ditemukan di Desa Bukit Beringin, Kec. Bangko Barat adalah jenis kamper/kapur (Dryobalanoxylon sp.) dengan perkiraan umur antara 3,6 hingga 2,5 juta tahun lalu (kala Pliosen akhir hingga Plistosen awal). Zaman ini adalah zaman dimana terdapat hewan karnivora besar dan muncul kehidupan manusia purba (Museum Geologi, 2016). Selain itu pada daerah lokasi yang sama ditemukan juga fosil kayu jenis Hopea (Hopeoxylon sp.) dan meranti (Shoreoxylon sp.) yang diperkirakan berumur 11.700 tahun lalu hingga di bawahnya (kala Holosen). 5. KESIMPULAN DAN SARAN Sejumlah fosil kayu yang diperoleh dari wilayah Kabupaten Merangin (Kecamatan Bangko Barat dan Nalo Tantan) telah berhasil diambil langsung dari lokasi keberadaannya guna pengamatan ciri-ciri anatomi serta analisis perkiraan umurnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fosil-fosil kayu tersebut adalah jenis Shoreoxylon sp. (Meranti), Dryobalanoxylon sp. (Kapur), Cotylelobioxylon sp. (Giam/Resak), dan Hopeoxylon sp. (Merawan/Hopea). Analisa pengukuran umur fosil berdasarkan data peta geologi, diperkirakan terdapat fosil kayu yang berumur 254-252 juta tahun lalu (zaman Permian/Perem akhir). Selain itu juga terdapat fosil kayu yang berumur 7,245,33 juta tahun lalu (kala Miosen akhir), 2,58-1,80 juta tahun lalu (kala Plistosen awal) dan 11.700 tahun (kala Holosen). Banyaknya fosil kayu yang ditemukan di wilayah Kabupaten Merangin mengindikasikan bahwa wilayah ini memiliki potensi sebagai salah satu sumber keragaman jenis fosil kayu di Indonesia. Sehingga untuk menjaga keberadaannya diperlukan upaya konservasi. Temuan jenis fosil kayu di beberapa wilayah Indonesia umumnya adalah anggota famili Dipterocarpaceae. Diduga jenis kayu anggota famili ini memiliki kemampuan bertahan dengan kondisi lingkungan di jamannya. Kondisi ini dapat menjadi sumber bahan kajian/penelitian yang menarik di kemudian hari.
68
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: Teknologi Pengolahan dan Diversifikasi Produk Serat dan Partikel Bambu : Penelitian Integratif : 8. Pengolahan Hasil Hutan : Ir. Jamal Balfas, M.Sc. : Pusat Litbang Hasil Hutan : Dr. Ir. I.M. Sulastiningsih, M.Sc., Prof. Riset. Dr. Drs. Adi Santoso, M.S., Prof. Riset. Dr. Gustan Pari, M.Si., Dian Anggraini Indrawan, S.Hut., MM., Ir. M.I. Iskandar, BSc.F., MM., Drs. Achmad Supriadi, MM., Drs. Agus Ismanto, Rossi M. Tampubolon, S.Si. ABSTRAK
Sumberdaya bambu Indonesia melimpah, tetapi pemanfaatannya terbatas, karena itu perlu ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu. Untuk meningkatkan efisiensi, maka bambu harus diolah lebih lanjut menjadi produk panel berupa papan partikel dan papan serat hardboard yang lebih fleksibel penggunaannya dibanding bambu bulat. Papan untai bambu adalah salah satu produk pengolahan bambu yang dapat memenuhi persyaratan sebagai bahan pembuatan komponen mebel dan bangunan karena sifat dan dimensinya dapat diatur sesuai dengan tujuan penggunaannya. Sedangkan papan seratsebagai salah satu produk rekonstitusi bahan berserat ligno-selulosa selain kayu memiliki berbagai kegunaan seperti untuk bahan isolasi, dinding penyekat, produk furniture, bagian peralatan listrik, dan konstruksi ringan hingga berat. Tujuan kegiatan penelitian ini adalah penyempurnaan teknologi pembuatan papan untai berbasis bambu dan tersedianya data penyempurnaan proses dan finishing hardboard berbasis bambu. Papan untai bambu homogen dan OSB bambu yang dibuat memiliki kerapatan ratat-rata 0,753 g/cm3. Keteguhan lentur papan untai bambu homogen dan OSB bambu sangat dipengaruhi oleh jenis bambu dan ukuran untai serta interaksi kedua faktor tersebut. Papan untai bambu homogen dan OSB bambu yang dibuat dari bambu andong memiliki nilai keteguhan lentur lebih tinggi (760,5 dan 612,4 kg/cm2) dibanding papan yang dibuat dari bambu tali (672,2 dan 556,1 kg/cm2). Papan untai bambu homogen yang dibuat dengan berbagai perlakuan setara dengan kayu kelas kuat III hingga II, sedangkan OSB bambu setara dengan kayu kelas kuat III. Untuk penyempurnaan sifat fisis-kekuatan hardboard dilakukan modifikasi aditif menggunakan TRF (8%), arang aktif (4%), tanpa atau dengan pengawet imidacloprid (1-5%) terhadap serangan rayap, dan perlakuan miyak diterapkan pada sebagian hasil hardboard. Penggunaan aditif berpengaruh negatif terhadap sifat fisik-kekuatan hardboard, dibandingkan sifat hardboard kontrol, kecuali aditif yang melibatkan imidacloprid 1%. Penyempurnaan sifat hardboard dengan melibatkan perlakuan minyak berhasil dan penggunaan pengawet imidacloprid 1% cukup efektif mengatasi serangan rayap. Kata kunci: Teknik pengolahan, diversifikasi produk, bambu, OSB, papan serat.
69
1. LATAR BELAKANG Sumberdaya bambu yang cukup melimpah di Indonesia perlu ditingkatkan pemanfaatannya agar dapat memberi sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Pemanfaatan bambu di Indonesia saat ini masih belum optimal karena masih dikelola secara tradisional. Oleh karena itu perlu ditingkatkan diversifikasi produk pengolahan bambu dengan menyertakan teknologi pengolahan khususnya untuk produk bambu yang dapat digunakan sebagai substitusi kayu pertukangan. Untuk tujuan tersebut maka pembuatan produk bambu komposit merupakan salah satu pilihan yang dapat diterapkan. Kegiatan penelitian teknik pengolahan dan diversifikasi produk serat dan partikel bambu telah dilakukan pada tahun 2015 dengan membuat papan serat bambu tipe hardboard dari bambu tali (Gigantochloa apus) dan bambu ampel (Bambusa vulgaris), serta papan partikel berupa papan untai bambu berarah dari bambu tali (Sulastiningsih et al., 2015). Namun demikian teknologi pembuatan papan untai dan papan serat yang telah diterapkan tersebut masih perlu disempurnakan dengan menerapkan variabel proses lainnya agar diperoleh produk yang lebih baik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. 2. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan dari penelitian ini adalah penyempurnaan teknologi pembuatan papan untai berbasis bambu dan tersedianya data penyempurnaan proses dan finishing hardboard berbasis bambu. 3. METODE PENELITIAN Pembuatan Papan Partikel Bambu dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Kegiatan pengumpulan bambu sebagai bahan utama penelitian dilakukan di Jawa Barat. Bahan utama bambu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bambu tali (Gigantochloa apus) danbamboo andong (Gigantochloa pseudoarundinacea) perekatnya adalah fenol formaldehida. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan pembuat partikel (gergaji
70
potong, golok, pisau), masker, sarung tangan, blender, cetakan, mesin kempa panas, mesin uji universal, oven, timbangan, kaliper, desikator, peralatan gelas lainnya, dan peralatan keselamatan kerja.
Pembuatan Partikel Bambu
yaitu Bambu tali dan andong dibuat
partikel berbentuk untai atau strand dengan target ukuran/dimensi yaitu: tebal sekitar 0,5 – 0,8 mm, lebar sekitar 2 – 2,5 cm dan panjangnya 3 macam yaitu 7,5 cm, 10 cm dan 15 cm. Partikel bambu yang dihasilkan selanjutnya dikeringkan dalam oven hingga kadar airnya mencapai ± 4%. Pembuatan Papan Partikel Bambu yaitu Papan partikel bambu berupa papan untai bambu homogen dan papan untai bambu berarah atau Oriented Strand Board (OSB). Papan untai bambuberukuran 30 cm x 30 cm x 1,2 cm dengan kerapatan 0,75 g/cm3. Papan untai bambu yang dibuat terdiri atas papan untai homogen (susunan untai acak ) dan papan untai bambu berarah yang terdiri atas 3 lapis dimana lapisan tengah atau lapisan 2 disusun tegak lurus atau menyilang terhadap lapisan luar (lapisan 1 atau atas dan lapisan 3 atau bawah) dengan perbandingan untai untuk lapisan atas : lapisan tengah : lapisan bawah adalah 25%:50%:25%. Papan untai dibuat dengan kadar perekat 7% dari berat kering untai bambu dan dibuat dari masing-masing untai atau strand dengan ukuran panjang yang sama (homogen). Emulsi parafin sebanyak 1% dari berat kering untai ditambahkan ke dalam perekat fenol formaldehida.Untuk membuat papan untai homogen maka untai bambu yang sudah dicampur perekat dan emulsi parafin secara merata kemudian dimasukkan dalam cetakan dengan susunan untai secara acak. Hamparan bahan papan untai kemudian dikempa panas pada suhu 180ºC dengan tekanan spesifik 25 kg/cm2 dan 30 kg/cm2 selama 6 menit. Untuk setiap perlakuan dibuat papan untai bambu sebanyak 3 papan. Untuk membuat papan untai bambu berarah (OSB), untai bambu tali atau bambu andong yang sudah dicampur perekat dan emulsi parafin secara merata dibagi menjadi 3 bagian, satu bagian untuk lapisan tengah (50%), satu
71
bagian untuk lapisan atas (25%) dan satu bagian untuk lapisan bawah (25%)dalam satu cetakan. Lapisan tengah tegak lurus atau menyilang terhadap lapisan atas dan lapisan bawah. Hamparan tersebut selanjutnya dikempa panas pada suhu 180ºC dengan tekanan spesifik 25 kg/cm2 dan 30 kg/cm2 selama 6 menit. Papan yang dihasilkan selanjutnya dikondisikan selama 1 minggu sebelum dilakukan pengujian sifat fisis dan mekanisnya. Untuk setiap perlakuan dibuat papan untai bambu berarah (OSB bambu) sebanyak 3 papan. Pengujian sifat fisis dan mekanis papan untai bambu dan papan untai bambu berarah (OSB bambu) meliputi kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, pengembangan lebar, penyerapan air, keteguhan rekat internal, kuat cabut sekrup, dan keteguhan lentur
dilakukan menurut Standar Jepang(Japanese
Industrial Standard, 2003b). Analisis data untuk papan untai bambu homogen dilakukan secara terpisah dari papan untai bambu berarah (OSB). Data hasil pengujian sifat fisis dan mekanis papan untai bambu homogen dan OSB masing-masing dianalisis secara statistik dengan menggunakan rancangan percobaan faktorial 2x3x2. Pembuatan Papan Serat (Hardboard) Bambu dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Kegiatan pengumpulan bambu sebagai bahan utama penelitian dilakukan di Jawa Barat.
Bahan utama bambu yang
digunakan dalam penelitian ini adalah bambu ampel (Bambusa vulgaris) dan bambu tali (Gigantochloa apus), perekat tanin resorsinol formaldehida, arang aktif serbuk gergaji dan bahan pengawet imidacloprid. Sedangkan peralatan yang akan digunakan dalam penelitian adalahketel pemasak,Hollander beater, fiberboard-mat former (deckle box), mesin pengempa dingin dan panas. Penyiapan Serpih Bambu , bambu dijadikan serpih berukuran panjang 2-3 cm, lebar 2-2,5 cm, dan tebal 2-3 mm secara manual, dan selanjutnya dikeringkan di tempat terbuka (di bawah atap) hingga mencapai kadar air kering udara. Pemasakan Bambu Serpih bambu dimasak dengan kondisi pemasakan nilai banding bahan baku serat dengan larutan pemasak sebesar 1:8 (b/v), dan
72
suhu maksimum pemasakan (100oC) selama 2 jam Konsentrasi alkali (soda api) untuk pemasakan bambu dibuat dalam 1 variasi yaitu 10,5%.Serpih lunak hasil pencucian selanjutnya diceraikan beraikan hingga mencapai derajat kehalusan pulp 650-700 ml CSF (12-15oSR) (Casey, 1980) Pembentukan Lembaran Papan Serat Tipe Hardboard dilakukan dengan cara basah. Pulp hasil pemasakan dicampurkan dengan tanin resorsinol formaldehida (TRF) dengan konsentrasi 8%, arang aktif serbuk gergaji (A) 4% dan bahan pengawet imidacloprid (P) 1% dan 5% kemudian dicetak pada alat deckle box dengan target kerapatan 1,0 g/cm3 dan dimensi hardboard 30 cm x 30 cm x 0,5 cm, kemudian dikempa dingin pada suhu ruangan dan tekanan 5 kg/cm2, dilanjutkan dengan pengempaan panas (suhu 170oC, tekanan 30 kg/cm2, selama 10 menit). Hardboard yang terbentuk selanjutnya dikondisikan pada suhu ruangan selama 24 jam, dan siap diuji sifat fisik dan kekuatan/mekaniknya. Selanjutnya dicoba ulang pembuatanya untuk keperluan perlakuan minyak (oil tempering).
Prosedur pembuatan tersebut serupa seperti telah
diuraikan sebelumnya. harboard yang dihasilkan dimasukkan dengan segera ke dalam minyak goreng (kelapa sawit) mendidih, selama 30 menit.Selesai penggorengan, hardboard dibersihkan dari sisa-sisa minyak, lalu dikondisikan pada suhu dan kelembaban tertentu serupa seperti sebelumnya (24 jam), kemudian diuji sifat fisik dan kekuatannya. Segala tahapan prosedur perlakuan minyak tersebut juga mengacu pada JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a). Pengujian sifat pemasakan (pengolahan) pulp mencakup rendemen pulp dan waktu mencapai derajat giling mencapai 650-700 ml CSF (12-15oSR), yang dilakukan menurut standar Technical Association of the Pulp and Paper Industry (2007). Pengujian sifat fisik dan kekuatan (mekanik) hardboardmengacu pada JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a)danInternational Organization for Standardization (2013), yang mencakup kerapatan riil,
73
keteguhan lentur (modulus patah/MOR dan modulus elastisitas/MOE),kadar air, daya serap air, pengembangan tebal, keteguhan rekat internal (internal bond/IB), konduktifitas panas (daya hantar panas) dan ketahanan panas. Sejumlah contoh representatif dari masing-masing keseluruhan lembaran hardboard yang terbentuk diambil guna keperluan pengujian ketahanannya terhadap serangan rayap tanah dan rayap kayu kering, mengacu pada Standar Nasional Indonesia (2014) yaitu SNI 7207:2014yang mencakup penurunan berat hardboard, tingkat kematian rayap (baik rayap tanah atau rayap kayu kering), dan derajat serangan rayap. Pengujian mencakup sifat fisis dan mekanis hardboard, mengacu pada JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a) dan International Organization for Standardization (2013). Untuk menelaah data sifat pemasakan (pengolahan) pulp untuk hardboard, digunakan rancangan acak lengkap satu faktor. Sedangkan data hasil pengujian sifat fisis-kekuatan (mekanis) harboard ditelaah dengan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) berpola faktorial. Lebih lanjut untuk memperoleh indikasi lebih meyakinkan yaitu proporsi campuran mana (pulp bambu tali + pulp bambu ampel) yang paling berprospek; dan juga bagaimana peranan aditif/perekat TRF terhadap mutu/kualitas produk hardboard, maka dilakukan telaahan lebih lanjut dengan mencermati sifat sifat pengolahan pulp dan sifat hardboard secara menyeluruh menggunakan analisis diskriminan berikut koefisien korelasi kanonik (R) (Statistical Analysis System, 1997; Morrison, 2003).Data sifat ketahanan hardboard terhadap serangan rayap (rayap tanah dan rayap kayu kering) yaitu penurunan berat dan tingkat kematian rayap juga ditelaah dengan RAL berpola faktorial. Dan telahan data sifat fisiskekuatan hardboard terkait dengan perlakuan minyak (oil tempering) dilakukan dengan uji beda t (atau uji beda F untuk 2 taraf faktor).
4. HASIL DAN PEMBAHSAN A. Papan Untai Bambu Homogen dan Papan Untai Bambu Berarah
74
Secara keseluruhan, kadar air dan kerapatan papan untai bambu homogen dan bambu berarah telah memenuhi persyaratan SNI 03-2105-2006 untuk papan partikel (Standar Nasional Indonesia, 2006) dan memenuhi persyaratan JIS A 5908:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003b) karena nilai kadar airnya tidak lebih dari 13% dan nilai kerapatannya berada dalam kisaran 0,40 g/cm³ – 0,90 g/cm³. Penyerapan air dan pengembngan lebar tidak dipersyaratkan dalam Standar Nasional Indonesia dan Standar Jepang untuk papan partikel. Papan untai bambu homogen dan bambu berarah yang dibuat dengan berbagai perlakuan semuanya memenuhi persyaratan pengembangan tebal papan partikel menurut Standar Nasional Indonesia dan Standar Jepang karena nilainya tidak lebih dari 25%. Dan secara keseluruhan, pengembangan tebal OSB bambu ini memenuhi persyaratan produk papan partikel menurut SNI 03-2105-2006 (Standar Nasional Indonesia, 2006),dan JIS A 5908:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003b), karena nilainya tidak lebih dari 25%. Secara keseluruhan,kuat pegang sekrup papan dan keteguhan rekat internal papan untai bambu homogen dan bambu berarah memenuhi persyaratan produk papan partikel menurut SNI 03-2105-2006 (Standar Nasional Indonesia, 2006),dan Standar JIS A 5908:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003b)karena nilainya tidak kurang dari 51 kg untuk kuat pegang sekrup dan nilainya tidak kurang dari 3,1 kg/cm2untuk keteguhan rekat internal. Secara keseluruhan, modulus patah dan modulus elastisitas papan untai bambu homogen dan bambu berarah yang dibuat dengan berbagai perlakuan memenuhi persyaratan produk papan partikel menurut SNI 03-2105-2006 (Standar Nasional Indonesia, 2006),dan JIS A 5908:2003 karena nilainya tidak kurang dari 245 kg/cm2 untuk modulus patah dan tidak kurang dari 40.800 kg/cm2 untuk modulus elastisitas. Papan Serat (Hardboard) Bambu bahwa untuk sifat Pengolahan Pulp bahwa Rendemen pulp kedua jenis bambu terebut (72,174-72,391%) terletak dalam selang rendemen yang umum untuk pengolahan pulp semi-kimia yaitu
75
60-85%(Smook, 2002).Derajat kehalusan awal pulp 2 macam bambu tersebut (665-685 ml CSF), masih terletak pada selang derajat kehalusan pulp yang (12-15oSR atau 600-700 ml CSF)
umum untuk papan serat/hardboard
(Suchsland & Woodson, 1986; Smook, 2002). Untuk Sifat Fisis-Mekanis Hardboard bahwa kadar air hardboard hasil percobaan (9,4580-12,1580%), seluruhnya (100%) memenuhi persyaratan JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a); tetapi untuk pengembangan tebal (22,63045,470%) hanya 8,33% yang memenuhi syarat, sedangkan dalam hal penyerapan air (61,850-91,058%) keseluruhannya (0%) tidak memenuhi persyaratan JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a). Seluruh nilai daya hantar panas hasil tahun 2016 dibawah persyaratan International Organization for Standardization (2013). Dan dibanding hasil tahun lalu, hasil percobaan tidak banyak mengalami perubahan dalam hal daya tahan panas dan ketahanan panas. Dibanding hasil sebelumnya (2015), ditinjau dari keempat sifat kekuatan hardboard pada percobaan tahun ini (2016), kerapatan tidak mengalami perubahan, MOE dan MOR cenderung sedikit menurun (sepertinya ini akibat dilibatkannya aditif arang aktif), sedangkan pada IB terjadi peningkatan sedikit lebih besar.Dengan demikian hasil percobaan 2016 menunjukkan sedikit perbaikan Tingkat kematian rayap tanah tertinggi terdapat pada hardboard dari campuran pulp bambu ampel (75%) +
bambu tali (25%). Selanjutnya
berdasarkan telaahan nilai TS (hasil manipulasi uji BNJ, yang didukung hasil uji Kruskal Wallis), ternyata nilai skor tertinggi (TS = 8) adalah pada hardboard yang juga memiliki nilai diskriminan tertinggi (Y-diskr = 152,9150), yaitu hardboard dengan campuran imidacloprid 1%. Penggunaan aditif dengan melibatkan pengawet imidacloprid (1-5%) berakibat pula lebih sedikitnya pengurangan-berat hardboard, meningkatnya tingkat kematian rayap kayu kering, dan penurunan derajat serangan rayap. Dikaitkan dengan hasil analisis diskriminan, hardboard dengan mutu tertinggi
76
atau sifat fisis-kekuatan terbaik (Y-diskr = 152,9150) ternyata memiliki ketahanan terhadap rayap kayu kering pada urutan kedua (TS = 7,5), di mana digunakan imidacloprid 1%. Hardboard yang dipilih untuk perlakuan minyak kelapa sawit adalah dari pulp bambu ampel (100%), tanpa aditif, karena setelah pengujian menunjukkan nilai MOE dan MOR yang memenuhi persyaratan JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a) dan International Organization for Standardization (2013). Sifat hardboard dengan perlakuan minyak lebih banyak memenuhi persyaratan JIS A 5905:2003 (Japanese Industrial Standard, 2003a) dan International Organization for Standardization (2013) dibandingkan hardboard kontrol. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN Teknologi
pembuatan
papan
untai
berbasis
bambu
berhasil
disempurnakan dalam hal pembuatan OSB bambu dengan penambahan emulsi parafin, penambahan emulsi parafin terbukti meningkatkan kestabilan dimensi OSB bambu, pemberian variasi tekanan pada pembuatan OSB bambu. Semakin besar tekanan yang diterapkan, keteguhan lentur (MOR) OSB bambu tali semakin tinggi, pemberian variasi tekanan pada pembuatan papan untai bambu dalam proses perekatan. Semakin besar tekanan yang diterapkan, keteguhan rekat internal papan untai bambu semakin tinggi. Uji coba laboratorium pembuatan papan untai bambu homogen dan OSB bambu dari bambu tali dan bambu andong dengan teknologi yang telah disempurnakan menunjukkan hasil yang cukup bagus dan memenuhi standar yang ada: pengembangan tebal:papan untai bambu homogen 3,63 - 4,42%; OSB bambu 3,14 - 3,30%, kuat pegang sekrup: papan untai bambu homogen 56,5 - 61 kg; OSB bambu 56,6 - 67,4 kg, keteguhan rekat internal: papan untai bambu homogen 5,63 - 5,87 kg/cm2; OSB bambu 5,68 - 6,17 kg/cm2., keteguhan lentur (MOR): papan untai bambu homogen 672,2 - 760,5 kg/cm2;
77
OSB bambu 556,1 -612,4 kg/cm2. kekuatan: papan untai bambu homogen dan OSB bambu setara dengan kayu kelas kuat III-II. Penyempurnaan sifat Papan Serat (Hardboard) Bambu dilakukan melalui perlakuan minyak, penggunaan aditif bersama dengan imidacloprid
pengawet
(1-5%). Hardboard dari 100% pulp bambu ampel meningkat
sifatnya dan memenuhi persyaratan JIS A 5905:2003 dan ISO 2013, yaitu sifat kadar air, kerapatan, pengembangan tebal, daya hantar panas, modulus patah, modulus elastisitas dan keteguhan rekat internal. Uji coba laboratorium pembuatan hardboard bambu ampel dan bambu tali dengan berbagai perlakuan menunjukkan perbaikan dan penyempurnaan sifat hardboard yaitu peningkatan ketahanan hardboard terhadap serangan rayap tanah dan rayap kayu kering: aditif pengawet imidacloprid (1-5%), perlakuan minyak menghasilkan hardboard dengan sifat yang lebih banyak memenuhi persyaratan JIS A 5905:2003 dan ISO untuk kerapatan, kestabilan dimensi (penurunan pengembangan tebal dan penyerapan air), modulus patah (MOR) dan modulus elastisitas (MOE) Saran agar bambu berdiameter kecil dan limbah industri pengolahan bambu dapat ditingkatkan nilai tambahnya dengan dibuat menjadi bambu komposit khususnya papan untai dan papan serat. Teknik pengolahan papan untai dan papan serat dapat disosialisasikan kepada masyarakat dan diadopsi oleh industri pengolahan bambu untuk diversifikasi produk.
78
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI Koordinator RPPI
Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: : : : : :
Teknologi Pembuatan Rotan Komposit Penelitian Integratif 8. I Rotannovasi Teknik Pengolaha Ir. Jamal Balfas Pusat Litbang Hasil Hutan Prof Dr Drs. Adi Santoso M.Si, Dr Ir. IM Sulastiningsih, M.Sc, Dra. Jasni, M.Si, Abdurachman ST, Rohmah Pari, S.Hut, Prof. Dr. Tantra Telu, M.Si ABSTRAK
Pemanfaatan rotan oleh pengrajindi Indonesia untuk dijadikan produk umumnya yang berdiameter < 30 mm dari jenis tertentu, dan masih terbatas untuk mebel dengan rangka dari rotan bulat, bangunan tradisional, alat rumah tangga, dan barang kerajinan.Padahal rotan, khususnya yang berdiameter > 30 mm berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk komposit dengan memanfaatkan teknologi perekatan seperti halnya bambu dan kayu. Laporan ini menyajikan hasil penelitian tentang teknologi pembuatan rotan komposit dengan tujuan mendapatkan informasi teknologi pembuatan papan rotan lamina dari jenis rotan berdiameter besar (>30 mm) dengan menggunakan beberapa jenis perekat. Rotan batang berdiameter besar (>30 mm) diberi perlakuan pendahuluan (proses penggorengan) dan diawetkan, kemudian diaburi dengan perekat, dirakit membentuk papan lamina rotan, dan diuji kualitasnya. Aspek yang diteliti pada tahun 2016 ini adalah uji coba aplikasi dari beberapa jenis perekat hayati (bioadhesive) produk penelitian dari P3HH, dan perekat sintetis komersial (impor), dalam skala laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rotan batang berdiameter besar (> 30 mm) dapat diolah menjadi papan rotan lamina dengan menggunakan perekat berbasis fenol dari sumberdaya nabati seperti kulit kayu (mangium, mahoni), serbuk kayu gergajian merbau, maupun perekat sintetis komersial seperti isocianat, resorsinol formaldehida, dan poliuretan, masing-masing dengan bobot labur perekat 200 g/m2 permukaan. Kualitas papan rotan terbaik tipe interior diperoleh dari kombinasi perlakuan cara penggorengan dengan campuran minyak tanah dan air 80:20 dengan menggunakan perekat dari ekstrak kulit kayu mangium, sementara untuk tipe eksterior diperoleh dangan menggunakan perekat komersial poliuretan dan isocianat. Kata kunci:Rotan, Perekat, Teknologi, Lamina, Batang.
1. LATAR BELAKANG Rotan merupakan jenis tanaman monokotil yang merupakan salah satu sumber alam hayati asli dari Indonesia yang bernilai ekonomi sangat berarti bagi pendapatan negara, karena 80% dari seluruh kebutuhan rotan dunia
79
dipasok oleh Indonesia, di mana 90% berasal dari rotan alam, dan10% berasal dari tanaman (Departemen Perindustrian, 2005). Pada pertemuan Pemimpin Ekonomi APEC di Beijing (Mega Putra Ratya-detik News, 2014), Presiden Joko Widodo menekankan keinginan Indonesia agar rotan dimasukkan dalam Development Goods, selain kelapa sawit, karet alam, kertas dan produk perikanan (detikcom;11/11/2014). Development Goods adalah produk-produk yang mendukung proses pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif. Fasilitas perdagangan terhadap produk-produk tersebut akan sangat membantu upaya-upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan petani dan pembangunan baru. Pemanfaatan rotan di Indonesia masih terbatas untuk mebel dengan rangka dari rotan bulat, bangunan tradisional, alat rumah tangga, dan barang kerajinan. Sampai saat ini rotan yang banyak digunakan oleh pengrajin untuk dijadikan produk umumnya rotan yang berdiameter < 30 mm dari jenis tertentu (4 – 5 jenis), dan yang kualitasnya bagus sudah mulai langka, serta untuk mendapatkannya relatif sulit karena keberadaannya sudah jauh terdapat dalam hutan. Di pihak lain banyak jenis rotan (20 – 30 jenis) yang tidak dimanfaatkan, termasuk yang berdiameter > 30 mm, dan dibiarkan di hutan sebagai limbah. Padahal rotan sebagai bahan lignoselulosa dengan komponen kimia terdiri atas holoselulosa (71 – 76%, selulosa (39 - 58%), lignin (18 – 27%) , silika (0,54 – 8,0%), dan pati (18 – 23%)(Departemen Perindustrian, 2005), berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi produk komposit dengan memanfaatkan teknologi perekatan seperti halnya bambu dan kayu. Kemajuan dalam teknologi perekatan diharapkan dapat memberikan alternatif pengolahan sumberdaya rotan sehingga meningkatkan diversifikasi produk pengolahannya, serta dapat digunakan sebagai bahan substitusi kayu pertukangan. Dengan menggunakan perekat tertentu, rotan yang bentuk aslinya bulat dapat diolah menjadi produk perekatan berupa rotan lamina atau rotan komposit, yang antara lain dapat berbentuk papan rotan atau balok rotan. Teknologi ini sudah mulai dirintis olehPusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNAS)
80
di Palu, dengan mengolah rotan diameter > 30 mm menjadi produk papan rotan (Tellu, 2014 a). Kendala yang dihadapi dalam pengolahan rotan tersebut di atas antara lain mahalnya biaya produksi karena masih menggunakan perekat impor, dan produknya tidak awet karena rotan mudah diserang kumbang bubuk. Dalam upaya mengatasi hal di atas, maka dilakukan penelitian teknologi pembuatan rotan lamina,
setelah rotan digoreng, serta dalam pembuatan produk
perekatannya meggunakan beberapa jenis perekat sintetis dan alami, serta 2. TUJUAN DAN SASARAN Mendapatkan informasi teknologi pembuatan papan rotan lamina dari jenis rotan berdiameter besar (>30 mm) dengan menggunakan beberapa jenis perekat. Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi karakteristik produk perekatan dalam bentuk papan rotan laminadari jenis rotan berdiameter besar (>30 cm). 3. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan di Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH), Bogor. Kegiatan pengumpulan bilah rotan sebagai bahan utama penelitian dilakukan di Pusat Inovasi Rotan Nasional (Pirnas), Palu (Propinsi Sulawesi Tengah) dan pembuatan produk serta pengumpulan informasi yang mendukung penelitian ini dilakukan di daerah Jawa Barat dan Banten. Diagram alir pendekatan pelaksanaan kegiatan disajikan pada Gambar di bawah ini.
81
digoreng
Rotan Ø > 30 mm
Pengolahan data Pembuatan bilah
Contoh Produk
Pengujian mutu Contoh
Pengempaan
Pelaburan perekat
Pengawetan
Pemilahan & penyusunan bilah
Gambar 1. Skema proses penelitian teknologi pembuatan rotan komposit
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik perekat golongan fenolik yang disintesis dari bahan baku
hayati seperti merbau, mangium, dan mahoni yang merupakan produk penelitian dari P3HH memiliki sifat yang relatif serupa satu dengan yang lain, namun berbeda dengan perekat sintesis komersial impor (isocianat dan poliuretan) yang biasa digunakan di industri pengolahan kayu. Perbedaan yang sangat mencolok terutama pada kadar padatan dan waktu tergelatinasinya. Sementara kadar formaldehida bebas dalam perekat hayati produk P3HH ini seluruhnya masih dalam batas aman karena kurang dari 3% seperti yang disyaratkan bagi perekat yang mengandung formaldehida (SNI, 1998). Produk yang dibuat di laboratorium P3HH adalah dalam bentuk papan lamina 5 lapis berukuran 60 cm x 10 cm x 2 cm, menggunakan 4 jenis jenis perekat yang disintesis dari sumber daya hayati dan 2 jenis perekat sintetis komersial, sementara dalam skala pilot di PIRNAS adalah dalam bentuk panel
82
lamina berukuran 400 cm x 60 cm x 6 cm, menggunakan satu jenis perekat sintetis komersial dari golongan resorsinol yang biasa digunakan di industri pengolahan kayu. Perlu dikemukakan bahwa dalam uji pendahuluan diperoleh kenyataan penggunaan bobot labur perekat sebanyak 100 g/cm2 tidak mencukupi karena rotan sangat porous (kerapatan rata-rata 0.26 g/cm3) sehingga banyak menyerap perekat. Oleh karena itu selanjutnya digunakan bobot labur minimal 150 g/cm2. Produk papan rotan yang dibuat dalam skala laboratorium memiliki kerapatan antara 0.26–0.28 g/cm3, setara dengan kerapatan papan lamina berperekat tanin mahoni, yang berbahan baku dari jenis kayu tanaman seperti sengon dan jabon yang berkisar antara 0.25–0.37 g/cm3, sementara kadar airnya berkisar antara 9,46–10.63%. Kadar air produk ini memenuhi standar JAS 2342003 karena <15%. Nilai rataan keteguhan rekat papan rotan dengan berbagai jenis perekat, yang dibuat dalam skala laboratorium di P3HH pada kondisi contoh pengujian kering 27.81- 46.16 kg/cm2, sementara produk serupa yang dibuat dalam skala pilot di PIRNAS-Palu dengan perekat komersial (isocianat) rata-rata 35.49 kg/cm2. Nilai keteguhan rekat papan rotan ini setara dengan papan lamina berbahan baku dari bilah bambu andong, mayan dan betung, yang masing-masing menggunakan perekat dari ekstrak serbuk kayu merbau (21,4633,52 kg/cm2) namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada produk lamina dari jenis kayu campuran kecapi dan sengon (18,99 kg/cm2) yang menggunakan perekat komersial isosianat (P.I. Bond). Secara umum nilai keteguhan rekat papan rotan yang tertinggi pada hampir semua jenis perekat adalah yang berbobot labur 200 g/cm2. Hasil uji keteguhan rekat pada kondisi basah (uji siklus) papan rotan yang menggunakan jenis perekat berbasis hayati (bioadhesive) mengalami delaminasi 100%, sementara produk yang menggunakan perekat komersial berkisar antara 2.28-26.33 kg/cm2, dan keteguhan rekat produk yang dibuat dalam skala pilot di PIRNAS 8.70 kg/cm2. Kualitas rekat papan rotan ini setara dengan papan lamina bambu andong, mayan dan betung, yang masing-masing
83
menggunakan perekat dari ekstrak serbuk kayu merbau (11,87-18,67 kg/cm2). Emisi formaldehida pada produk papan rotan yang menggunakan bioadhesive rata-rata berkisar antara 0,022 - 3,216 mg/l yang berarti tergolong pada klasifikasi produk rendah emisi (F* - F****). Papan rotan yang menggunakan bioadhesive teraman dalam hal emisi formaldehidanya dan nilai keteguhan rekatnya, yang terbaik adalah papan rotan yang dibuat dengan bobot labur 200 g/m2 permukaan. Nilai keteguhan patah, Modulus of Rupture (MOR) produk perekatan ini berkisar 220- 316 kg/cm2,di mana nilaitertinggi rata-rata diperoleh dari papan rotan yang menggunakan perekat tanin dari ekstrak kulit kayu mangium. sementara MOR papan rotan buatan PIRNAS berkisar 260 - 268 kg/cm2. Produk ini relatif sebanding dengan papan lamina flooring composite yang face-nya menggunakan jenis kayu mangium, core-nya kayu karet dan back-nya kayu sengon (179 kg/cm2) yang diproduksi di Semarang-Jawa Tengah dengan perekat dari ekstrak serbuk kayu merbau, namun lebih rendah bila dibandingkan dengan produk bambu lamina (429- 537 kg/cm2) dengan jenis perekat yang sama. Nilai keteguhan lentur, Modulus of elasticty (MOE) papan rotan ini berkisar 9.970 – 16.821 kg/cm2, sementara MOE papan rotan buatan PIRNAS: 15.362-18.597 kg/cm2 (Tabel 3). Bila dibandingkan terhadap rotan utuh, nilai MOR maupun MOE papan rotan terbaik diperoleh dari kombinasi perlakuan cara penggorengan dengan campuran minyak tanah dengan air 80:20 (80 minyak tanah : 20 air), serta menggunakan perekat dari ekstrak kulit kayu mangium. 5. KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa rotan batang berdiameter besar (> 30 mm) dapat diolah menjadi papan rotan lamina dengan menggunakan perekat berbasis fenol dari sumberdaya nabati seperti kulit kayu (mangium, mahoni), serbuk kayu gergajian merbau, maupun perekat sintetis komersial seperti isocianat, resorsinol formaldehida, dan poliuretan, masing-masing dengan bobot labur perekat 200 g/m2 permukaan. Kualitas papan rotan terbaik
84
diperoleh dari kombinasi perlakuan cara penggorengan dengan campuran minyak tanah dan air (80:20) dengan menggunakan perekat dari ekstrak kulit kayu mangium (produk tipe interior), dan perekat komersial poliuretan (untuk tipe eksterior). Proses penggorengan dengan campuran minyak tanah dan air (80:20) dapat disosialisasikan ke masyarakat untuk dapat diadopsi.
85
Judul Kegiatan Jenis Kegiatan RPPI Koordinator RPPI
Satker Pelaksana Tim Pelaksana
: Formulasi Perekat Nabati dari Kulit Kayu : Penelitian Integratif : 8 . Pengolahan Hasil Hutan Kayu : Ir. Jamal Balfas, M.Sc
: Pusat Litbang Hasil Hutan (P3HH) : Abdurachman, ST., Prof. Dr. Drs. Adi Santoso.MSi., Ir. M.I.Iskandar, MM.
ABSTRAK Kebutuhan perekat kayu berbasis fenolik dalam negeri tetap tinggi sedangkan bahan tersebut sampai saat ini merupakan bahan impor. Untuk memenuhi kebutuhan perekat terutama di dalam negeri perlu dilakukan penelitian karakteristik tanin mahoni dan formulasi efektif perekat berbahan baku ekstrak kulit pohon mahoni dengan ekstender tepung tapioka dan terigu industri untuk diaplikasikan pada produk komposit atau produk rekatan. Tujuan dan sasaran dari kegiatan penelitian ini adalah mendapatkan dan menyediakan data dan informasi formulasi perekat dan aplikasinya pada produk komposit berupa balok laminasi dan balok lamina bersilang (CLT). Kulit kayu mahoni dipotong sampai berukuran 2,0 cm x 1,0 cm x 0,1 cm, diekstraksi dengan air panas (70-80oC) pada perbandingan bahan:air = 1:3 selama 3x3 jam. Setelah produk ekstraksi disaring, filtratnya dikopolimerisasi dengan resorsinol dan formaldehida pada kondisi basa dan suhu kamar untuk menghasilkan resin tanin resorsinol formaldehida.(TRF). Campuran tepung tapioka dan terigu industri (1:1) sebagai ekstender digunakan dalam aplikasi TRF pada pembuatan produk komposit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak cair kulit pohon mahoni ini dapat dikopolimerisasi membentuk resin yang dapat diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin. Formula optimum perekat yang diperoleh adalah menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol dan formaldehida 1 mol, dengan ekstender 15%, serta katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot ramuan perekat. Kayu komposit menggunakan perekat tanin dari kulit kayu mahoni dari jenis jabon dan produk CLT dari kayu sengon, jabon, kelapa serta campuran dari ketiga jenis kayu tersebut. Hasilnya memenuhi standarJepang (JAS, 2003) dan tergolong ke dalam kelas mutu L100, L110, L125, L140 dan L160. Kata kunci: limbah kulit kayu mahoni, ekstraksi, formulasi, tapioka, terigu industri.
1. LATAR BELAKANG Diantara produk pengolahan kayu adalah produk rekatan, hal ini memicu produsen perekat kayu yang sampai saat ini masih didominasi oleh perekat
sintetis
sehingga
perlu
dilakukan
upaya-upaya
untuk
dapat
menghasilkan perekat alternatif yang dapat menggantikan perekat sintetis yang
86
ada saat ini.Oleh karena itu, perlu berbagai upaya untuk memperoleh bahan perekat lokal yang relatif murah dan ramah lingkungan (Santoso, 2011). Tanin yang terdiri atas senyawa fenolik diketahui banyak terdapat dalam kulit pohon dan dapat dijadikan bahan pengganti fenol atau resorsinol. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan telah berhasil meneliti perekat substitusi barbasis tanin dari kulit pohon mangium (Acacia mangium Wild) yang setara kualitasnya dengan produk impor, sehingga pemakaian bahan baku seperti fenol atau resorsinol dalam komposisi perekat hanya sekitar 15–18% dari total formulanya (Santoso, 2011). Namun demikian, guna mencegah ketergantungan bahan baku tanin terhadap kulit dari jenis pohon tertentu perlu dilakukan penelitian terhadap tanin dari kulit pohon mahoni (Swietenia mahagoni Jack) sebagai alternatif. Hasil formulasi perekat diaplikasikan pada kayu komposit dari jenis kayu cepat tumbuh.
2. TUJUAN DAN SASARAN Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi formulasi perekat dari kulit kayu mahoni dan tepung tapioka/terigu industri, serta aplikasinya pada produk komposit berupa balok laminasi dan balok lamina bersilang (CLT). Sasarannya adalah tersedianya data dan informasi formulasi perekat dari kulit kayu mahoni dan tepung tapioka/terigu industri, serta aplikasinya pada produk komposit berupa balok laminasi dan balok lamina bersilang (CLT). 3. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian terdiri atas kegiatan lapangan dan laboratorium yang dilaksanakan di beberapa lokasi, yaitu Jawa Barat sebagai lokasi pengumpulan bahan baku dan data/informasi penunjang dan Banten sebagai tempat eksperimen (analisis dan pengujian).
87
Bahan utama yaitu limbah kulit kayu mahoni berupa potongan atau cacahan sebanyak 2 m3 yang diperoleh dari industri penggergajian kayu dan papan lamina dari 3 jenis kayu (sengon, jabon dan kelapa). Bahan kimia yaitu resorsinol untuk aditif dan larutan NaOH 50%, formaldehida serta aquades sebagai pelarut dan untuk mengatur pH. Bahan Penunjang yaitu kertas saring, pH universal, kertas label, dan air,ampelas roll, klem, baut + murdan lain-lain. Peralatan yang dipergunakan yaitu penangas air, beaker glass, gelas ukur, stopwatch, timbangan, viskometer Ostwald, oven, saringan 40 mesh, cawan petri, piknometer dan kamera. Prosedur kerja ekstraksi kulit kayu mahoni sebagai bahan perekat nabati diringkas dalam bentuk diagaram alir sebagai berikut:
PenentuanKadar Padatan
Ektraksi Kulit Kayu Mahoni
Pengukuran Viskositas
Formulasi Ekstrak Kulit Kayu Mahoni Sebagai Perekat Kayu
Bobot Jenis Formaldehida bebas
Pengujian Sifat Fisiko-kimia Perekat
Visual, benda asing dan pH Differential Scanning Calorimetri (DSC)
Analisis Data
Aplikasi perekat tanin pada produk kayu komposit (CLT)
Gambar 1. Diagram alir proses formulasi kulit kayu mahoni Produk komposit yang dibuat berupa berupa baloklamina dan CLT dengan lima garis rekat (enam lapis bilah) seperti Gambar 2.
88
7 cm 5 cm
a. Kayu laminasi
b. Cross Laminated Timber (CLT) 120 cm
Data hasil pengamatan ditabulasi dan dirata-ratakan. Analisis dilakukan secara deskriptif sehingga menghasilkan karakteristik tanin mahoni yang diketahui dari puncak-puncak grafik hasil analisis py-GCMS dan formulasi perekat berdasarkan ketuguhan rekat kering serta aplikasinya pada balok laminas berupa Cross LaminatedTimber (CLT). Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan percobaan faktorial A x B, di mana faktor A adalah perbandingan mol T : R : F = 1 : (0,1-0,5) : 1, faktor B adalah pencampuran dengan tepung tapioka antara (0,5–20)%. Model rancangannya adalah: Yijk = + i + j + ()ij + ijk dimana: i = 1,2,3, dan 4 j = 1,2,3,4,5 dan 6 k = 1,2,3 Keterangan: Yijk = nilai formulasi ke k yang diberi perlakuan tanin, resorsinol dan formaldehida ke-i dengan pencampuran tepung tapioca ke-j; = rata-rata nilai formulasi sesungguhnya; i = pengaruh perlakuan level perbandingan T:R:F ke-i; j = pengaruh pencampuran tepung tapioka ke-j; ()ij = pengaruh interaksi perlakuan ke-I dank e-j ijk = pengaruh galat perlakuan ke-I dank e-j pada satuan percobaan ke-k
89
Bila perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diuji maka dilanjutkan dengan uji beda dengan cara Turkey (Steel dan Torrie, 1992).
4. HASIL DAN PEMBAHSAN Ekstrak kulit kayu mahoni yang mengandung senyawa tanin (derivat katekin) dapat direaksikan dengan formaldehida dan aditif (katalis dan ekstender) membentuk kopolimer untuk aplikasi perekat kayu. Tolok ukur pencapaian formula optimum ramuan perekat tanin mahoni dengan tepung tapioka dilakukan terutama dengan pendekatan nilai solid content, formaldehida bebas dari ramuan perekat, dan
keteguhan rekat produk
perekatannya, Untuk mengetahui pengaruh dari setiap perlakuan dan interaksi antar perlakuan terhadap parameter yang diuji dilakukan analisis keragaman, yang hasilnya dicantumkan dalam Tabel 2. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa kadar resorsinol dan ekstender memberikan pengaruh nyata terhadap parameter uji (keteguhan geser rekat, kadar air, kerapatan, solid content dan formaldeiha bebas). Berdasarkan nilai keteguhan rekat hasil uji kering dapat ditentukan komposisi formula optimum perekat tanin dari ekstrak kulit pohon mahani ialah formula a3b5 yaitu menggunakan 0,25 ml resorsinol teknis dengan ekstender tepung tapioca dan terigu industri masing-masing 15%, 1 mol formalin teknis dan katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. ). Komposisi bahan perekat pada formula optimum dalam 1000 g perekat adalah 716 g ekstrak tanin, 66 g resorsinol, 194 g formalin dan 25 g ekstender.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Ekstrak cair kulit pohon mahoni ini dapat dikopolimerisasi membentuk resin dan dapat diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin. Karakteristik perekat ini menyerupai perekat golongan fenolik tipe
90
eksterior dan berbeda dengan bahan bakunya baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Formula optimum perekat dari ekstrak kulit kayu mahoni adalah yang menggunakan campuran 0,25 mol resorsinol teknis dengan ekstender berupa tapioka dan terigu industri (1:1) sebanyak 15%, serta formaldehida 1 mol, dengan katalis (NaOH 40%) sebanyak 4% dari total bobot perekat. Komposisinya dalam 1000 g perekat pada formula optimum adalah 716 g ekstrak cair tanin, 66 g resorsinol teknis, 194 g formalin dan 25 g ekstender. Berdasarkan nilai keteguhan rekat, kayu laminasi jabon memenuhi persyaratan standar Jepang (JAS, 2003). Demikian pula produk Cross laminated Timber (CLT) yang dibuat menggunakan perekat ekstrak kulit kayu mahoni memenuhi standar Jepang dan tergolong ke dalam kelas mutu L100, L110, L125, L140 dan L160. Formula perekat dapat diaplikasikan sebagai perekat kayu dengan proses kempa dingin.
91
Program Judul RPI Koordinator RPI Judul Kegiatan Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan 8. Pengolahan Hasil Hutan Ir. Jamal Balfas, MSc. Formulasi Bahan Impregnan dan Finishing Kayu Ir. Efrida Basri, M.Sc., Ir. Jamal Balfas, M.Sc., Djeni Hendra, MSi., Dra. Jasni, M.Si., Prof. Riset. Dr.Adi Santoso, M.Si, Karnita Yuniarti, S.Hut., MWoodSc., PhD ABSTRAK
Kegiatan tahun 2016 bertujuan mendapatkan data dan informasi : 1) Formula impregnan dari dua komposisi resin dan dua pelarut serta uji coba ke dalam struktur kayu jabon menggunakan metode vakum-tekan, 2) Formula dempul (wood putty) dengan berbagai komposisi resin dan hasil uji coba pada kayu karet dan tusam. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Kestabilan dimensi, kerapatan, dan kekuatan kayu jabon tertinggi diperoleh pada formula campuran destilat dengan kak konsentrasi 10%, 2) Formula campuran destilat maupun air dalam berbagai konsentrasi kak tidak bersifat racun terhadap rayap kayu kering maupun rayap tanah, 3) Komposisi formula dempul organik yang efektif adalah komposisi campuran 5% (LM3) dan 10% (SM3) sirlak dengan serbuk kayu jati dan tepung dempul dalam porsi 10-30% bobot/volume, 4) Kedua formula dempul organik tersebut yang diaplikasikan ke permukaan kayu tusam dan karet memiliki soliditas, kerataan dan pewarnaan yang lebih baik dibanding dempul komersil/sintetis yang menggunakan resin epoksi dan piroksilin dengan pelarut thinner. Kata kunci: Formula impregnan, formula dempul, konsentrasi resin, kayu tanaman, kualitas
1.
LATAR BELAKANG Peningkatan sifat dan kualitas kayu inferior (mutu rendah) dapat
dilakukan dengan berbagai macam cara, di antaranya dengan mengimpregnasi formula campuran ekstrak serbuk kayu jati tua atau campuran destilat dengan resin atau bahan pengikat ke dalam struktur kayu umur muda sehingga kerapatan, kekuatan, keawetan, dan stabilisasi dimensinya meningkat (Basri & Balfas, 2014 dan 2015).
92
Tahapan pekerjaan finishing kayu diawali dengan menghaluskan permukaan kayu sebelum diberi lapisan akhir (top coating). Pada tahapan ini biasa dilakukan pengisian setiap rongga kosong pada permukaan kayu, seperti lubang paku dan bekas mata kayu dengan bahan yang disebut dempul (Forest Products Laboratory, 2010). Dempul kayu komersil yang terdapat di pasaran umumnya menggunakan resin dan pelarut yang bisa menyebabkan kanker pada manusia (Darmono, 2010; Kim, 2010). Oleh karena itu perlu dicari sumber material organik yang memiliki potensi untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan impregnan dan dempul yang aman terhadap manusia. 2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan penelitian adalah mendapatkan data dan informasi formula
impregnan organik dan uji coba ke dalam struktur kayu jabon dengan metode vakum-tekan serta formula dempul organik dan uji coba ke permukaan kayu karet dan tusam. Sasaran penelitian adalah diperolehnya data maupun informasi formula impregnan dan dempul dengan berbagai komposisi resin. 3.
METODE PENELITIAN Bahan kayu yang diujicobakan dalam penelitian adalah jabon, karet, dan
tusam yang diambil di Jawa Barat. Sebetan dan kulit kayu sengon untuk bahan destilat diambil dari Jawa Barat dan serbuk kayu jati umur 60 tahun untuk bahan ekstrak dari Cepu (Jawa Tengah). Kegiatan formulasi bahan impregnan diawali dengan pembakaran sebetan dan kulit kayu sengon. Asap dari proses pembakaran menghasilkan destilat. Formula impregnan, terdiri atas destilat murni dan campurannya: 8% kak berat/volume dalam larutan destilat; 8% kak berat/volume dalam air; 10% kak berat/volume dalam larutan destilat; 10% kak berat/volume dalam air; 8% kak berat/volume dalam larutan destilat ditambah 4% asam boraks; 10% kak berat/volume dalam larutan destilat ditambah 4% asam boraks.
93
Contoh
uji
stabilisasi
dimensi
1cm
(tangensial/T)
x
1cm
(longitudinal/L) x 10 cm (radial/R) dan 1 cm (R) x 1cm (L) x 10 cm (T); kerapatan kayu 3 cm (T) x 3 cm (R) x 3 cm (L), dan contoh uji kristalinitas kayu dalam bentuk serbuk. Uji stabilisasi dimensi kayu melalui perhitungan nilai ASE, mengacu pada Mantanis (1994) dalam Basri & Balfas (2014), kerapatan kayu mengacu pada ASTM D143-94 (ASTM, 2012) dan keawetan kayu terhadap rayap mengacu pada SNI 7207-2014 (Standar Nasional Indonesia, 2014). Jumlah setiap perlakuan 5 buah. Serbuk kayu jati tua diekstrak dengan pelarut metanol dalam perbandingan 1:8. Formula bahan dempul terdiri dari larutan ekstrak jati dan sirlak dengan beberapa variasi: 5% sirlak bobot/volume (b/v) dalam larutan ekstrak jati standar (E1S1); 10% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati standar (E1S2); 5% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi duplo (E2S1); 10% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi duplo (E2S2); 5% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi triplo (E3S1); 10% sirlak b/v dalam larutan ekstrak jati konsentrasi triplo (E3S2). Pengujian fungsi bahan dempul dalam hal penolakan air menggunakan contoh uji kayu 1 cm (T) x 1 cm (L) x 10 cm (R) dan 1 cm (R) x 1 cm (L) x 10 cm (T) yang direndam dan yang dibasahkan dengan larutan finishing. Pengujian pengembangan contoh uji yang direndam dalam air pada beberapa periode waktu, sebagaimana diuraikan dalam Basri dan Balfas (2014), sedangkan pengujian pembasahan contoh uji pada ruangan lembab dilakukan dalam desikator tertutup berisi air yang kelembabannya dijaga antara 90-95% dan suhu antara 25 – 30 oC. Pengujian aspek mekanis dan kimia bahan dempul dilakukan dengan melaburi permukaan contoh uji berukuran (30 x 10 x 1) cm dengan masing-masing komposisi. Pengujian ketahanan gores pada permukaan film finishing menggunakan metode ASTM D4366-95 (ASTM, 1995), terhadap senyawa asam, basa serta berbagai pelarut dengan metode ASTM D1308-02 (ASTM, 2002), dan efektifitas warna bahan wood stain hasil formulasi maupun yang komersil terhadap warna kayu jati dengan sistem 94
Cielab, pengukuran warna dengan Precise Color Reader, WR-10 menggunakan standar iluminan D65 dan sudut observasi 10°, meliputi nilai kecerahan (lightness, L*), nilai kemerahan (green-red, a*), dan nilai kekuningan (blueyellow, b*), sebagaimana diuraikan dalam Krisdianto (2013). 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai ASE beragam menurut arah orientasi serat, konsentrasi Kak, dan
pelarut yang digunakan. Nilai penahanan pengembangan ASE pada arah tangensial bisa mencapai di atas 100% dan pada arah radial di atas 70%. Dalam penelitian ini, nilai ASE jabon tertinggi pada kedua arah tangensial dan radial kayu dicapai dengan menggunakan formula campuran kak 10% dengan pelarut destilat. Kerapatan kayu kontrol 0,34 g/cm3 naik menjadi 0,47 g/cm3 sampai 0,52 g/cm3 setelah dimpregnasi dengan formula yang mengandung kak, baik dengan pelarut air maupun destilat. Kerapatan kayu jabon tertinggi (0,52 g/cm3) diperoleh setelah diimpregnasi dengan formula campuran kak 10% dalam destilat. Penggunaan formula kak dengan pelarut destilat dalam peningkatan kerapatan kayu juga lebih baik dibanding pelarut air, sekalipun hanya kecil. Formula yang mengandung kak 8%, baik dengan pelarut destilat maupun air, ketika ditambahkan asam borak 4%, bisa menaikkan kerapatan kayu jabon yang cukup signifikan. Penambahan asam borak 4% pada formula kak 8% dengan pelarut air menaikkan kerapatan kayu jabon dari 0,47 g/cm3 menjadi 0,51 g/cm3, sedangkan dengan pelarut destilat dari 0,49 g/cm3 menjadi 0,53 g/cm3, sehingga kayu menjadi lebih padat. Kekuatan kayu jabon naik dari III-IV (kontrol) menjadi III setelah diimpregnasi menggunakan formula kak 8% (pelarut destilat atau air), dan menjadi II – III dengan formula kak 10% (pelarut destilat atau air). Formula yang mengandung kak 8% (pelarut destilat atau air) bisa menaikkan kekuatan kayu jabon menjadi kelas II – III, jika ditambahkan asam borak 4%.
95
Penambahan borak 4% pada formula campuran kak 8% dalam larutan destilat dapat menaikkan kelas ketahanan kayu jabon terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah menjadi I, sedangkan dengan pelarut air hanya kelas II untuk rayap kayu kering dan kelas III untuk rayap tanah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua bahan dempul mampu memberikan perlindungan penetrasi air pada semua contoh uji, meskipun nilai efektifitas tertinggi terdapat pada penggunaan bahan dempul komersil, yaitu epoksi (DK1) dan piroksilin (DK2). Namun, lubang kayu yang diisi dempul organik tampak memiliki kesan padatan dan kerataan lebih baik daripada lubang yang diisi dempul komersil. Warna dempul yang mendekati warna kayu kontrol tusam dan karet adalah dempul kelompok organik dan dempul komersil piroxilin (DK2). Dempul organik memiliki kedekatan warna lebih baik daripada dempul komersil. Bahkan beberapa komposisi dempul organik, seperti LM1 dan LM2 memiliki nilai kecerahan, kemerahan dan kekuningan yang mendekati nilai kayu kontrol, baik tusam maupun karet. Pada penelitian ini digunakan serbuk halus kayu jati dalam komposisi dempul organik, berbeda jenis dengan objek aplikasi (tusam dan karet). Penggunaan serbuk kayu sejenis pada komposisi dempul organik dengan objek aplikasi, diperkirakan dapat meningkatkan kualitas warna dempul yang mendekati warna objek. Bahan dempul yang digunakan untuk mengisi rongga pada kayu harus memiliki stabilitas fisis terhadap bahan kimia atau cairan rumah tangga. Komposisi dempul organik memiliki ketahanan sangat terbatas terhadap silen, HCl 5% dan air. Oleh karena itu penggunaan dempul organik memerlukan tambahan proteksi film dari kontak terhadap bahan kimia dan cairan rumah tangga. Dalam penelitian ini digunakan pelapisan permukaan (top coat) dengan bahan sintetik (melamin) selain penggunaan bahan organik (sirlak). Nilai ketahanan gores tertinggi pada kelompok dempul organik diperoleh pada aplikasi film 100 mikron dengan komposisi SM3, yaitu campuran sirlak 10% dengan bahan tambahan sebanyak 30%.
96
Meskipun beberapa sifat fisis dan mekanis bahan dempul komersil (DK1 dan DK2) lebih unggul daripada bahan dempul organik, namun bahan dempul organik memiliki keunggulan dalam hal soliditas, kerataan, pewarnaan, dan aman terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN Formula bahan impregnan campuran kak 10% dengan destilat 90%
yang diaplikasikan dengan metode vakum tekan pada kayu jabon, dapat meningkatkan
kerapatan, kekuatan, dan kestabilan dimensi kayu tersebut.
Kerapatan kayu meningkat dari 0,34 g/cm3 menjadi 0,52 g/cm3 dan kekuatan dari kelas III-IV menjadi II-III. Formula bahan impregnan campuran kak minimal 8% yang ditambahkan borak 4% dengan pelarut destilat 88% dapat meningkatkan nilai keawetan kayu tersebut dari kelas IV menjadi kelas I terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah, sedangkan dengan pelarut air hanya meningkatkan nilai keawetan kayu tersebut menjadi kelas II terhadap rayap kayu kering dan kelas III terhadap rayap tanah. Komposisi formula dempul organik yang efektif adalah formula yang mengandung bahan tambahan serbuk kayu halus dan tepung dempul 30% atau lebih, dan 5 – 10 % sirlak Formula dempul organik tersebut yang dilarutkan dengan alkohol memiliki soliditas, kerataan dan pewarnaan terbaik dibanding kedua bahan dempul komersil dari bahan epoksi dan pirosilin.
97
Judul Kegiatan
:
Jenis Kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Teknik Pemanenan Kayu Di Hutan Rakyat (Potret Teknik Pemanenan Kayu Di Hutan Rakyat Studi Kasus Di satu Daerah Di Jawa) Penelitian Integratif 9. Teknik Pemanenan Hasil Hutan Ir. Soenarno, M.Si Pusat Litbang Hasil Hutan Dr. Sukadaryati, S.Hut., MP; Ir. Zakaria Bashari, BScF.; Prof Ir. Dulsalam, MM; Yuniawati, STP, M.Si ABSTRAK
Pemanenan kayu di hutan rakyat yang tepat guna dapat memberikan efisiensi pemanfaatan sumberdaya hutan di satu pihak dan memberikan keuntungan finansial bagi pengelola hutan rakyat di pihak lain. Penelitian pada tahun pertama ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi kegiatan pemanenan kayu hutan rakyat studi kasus di daerah Jawa Barat berupa aspek penebangan, pengeluaran kayu dan efisiensi pemanfaatan kayu. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata produktivitas penebangan dan penyaradan kayu di plot 1, masing-masing sebesar 4,880 m3/jam dan 0,698 m3/jam (jarak sarad 115 m). Efisiensi pemanfaatan kayu rata-rata sebesar 99,14%. Rata-rata produktivitas penebangan dan penyaradan kayu di plot 2, masing-masing sebesar 3,392 m3/jam dan; 0,506 m3/jam (jarak sarad 161 m). Efisiensi pemanfaatan kayu rata-rata sebesar 98,72%. Teknik pemanenan kayu di hutan rakyat dilakukan secara semi mekanis. Kata kunci: hutan rakyat, pemanenan kayu, produktivitas, efisiensi 1.
LATAR BELAKANG Pemanfaatan potensi hutan rakyat melalui kegiatan pemanenan kayu
sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan pola pengelolaan hutan rakyat. Teknik pemanenan yang digunakan pada lahan milik rakyat berbeda dengan teknik pemanenan di hutan alam ataupun hutan tanaman industri. Perbedaan ukuran dimensi kayu yang dipanen, luas lahan dan pola pengelolaan menjadi dasar pertimbangan utama. Namun demikian informasi tentang teknik pemanenan di hutan rakyat masih sangat kurang. Lebih lanjut Mohns (2009) mengungkapkan bahwa informasi tentang penerapan pemanenan di hutan skala kecil (hutan rakyat) di negara-negara Asia sejauh ini masih sangat terbatas. 98
Bertitik-tolak dari permasalahan tersebut, penelitian teknik pemanenan kayu di hutan rakyat perlu dilakukan. Luas kepemilikan lahan yang kecil dan tersebar, kondisi lapangan dengan topografi bervariasi, pola tanam yang beragam dan keterbatasan teknologi pemanenan serta faktor teknis, sosial dan ekonomi dalam kegiatan pemanenan kayu menjadi tantangan pemanfaatan kayu di hutan rakyat. Pemanenan kayu di hutan rakyat yang efektif dan efisien dapat mendukung pengelolaan hutan rakyat yang berkelanjutan. 2.
TUJUAN DAN SASARAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi
kegiatan pemanenan kayu hutan rakyat studi kasus di daerah Jawa Barat berupa aspek penebangan, pengeluaran kayu dan efisiensi pemanfaatan kayu. 3.
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian teknik pemanenan kayu di hutan rakyat dilakukan di
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, yaitu di areal hutan rakyat di dua desa yaitu desa Kertabumi, Kecamatan Cijeungjing dan desa Bojonggedang, Kecamatan Rancah. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tegakan di areal hutan rakyat di Jawa, alat tulis, alat ukur diameter pohon dan kamera Lokasi penelitian ditentukan secara purposif di areal hutan rakyat Jawa Barat dengan tujuan untuk mendapatkan informasi areal hutan rakyat yang sedang melakukan kegiatan pemanenan kayu. Mengamati kegiatan pemanenan hutan rakyat yang selama ini dilakukan, meliputi kegiatan penebangan, pembagian batang dan pengeluaran kayu.Data yang dikumpulkan berupa ukuran kayu (panjang dan diameter), jenis kayu, waktu kerja (menit), hasil kerja (m3), efisiensi pemanfaatan kayu (kayu yang dimanfaatkan dan kayu sisa). 1) Volume kayu yang dipanen dihitung dengan rumus : V = 1/4 π D2 x L dimana : V = Volume kayu (m3); D = Diameter rata-rata (pangkal dan ujung) dalam meter; L= Panjang sortimen (m)
99
2) Produktivitas penebangan atau pengeluaran kayu dihitung dengan rumus: P= V/W dimana P = Produktivitas (m3/jam), V= volume kayu (m3), w = waktu (jam) 3) Efisiensi pemanfaatan kayu dihitung dengan rumus: E= (Ve/Vt) x 100% dimana E = efisiensi pemanfaatan (%), Ve = volume batang yang dimanfaatkan (m3), Vt = volume batang yang seharusnya dapat dimanfaatkan (m3) Data kegiatan pemanenan kayu yang sudah dikumpulkan terlebih dahulu ditabulasikan kemudian dianalisis. Untuk membandingkan setian aspek kegiatan pemanenan kayu (produktivitas penebangan, produktivitas penyaradan dan efisiensi pemanfaatan kayu) yang diperoleh di areal penelitian dilakukan dengan uji T (Steel dan Torrie, 1980). 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas penebangan pohon gmelina yang dihasilkan di plot 1
berkisar antara rata-rata sebesar 1,327–9,573 m3/jam dengan rata-rata 4,880 m3/jam. Volume kayu yang ditebang berkisar antara 045–0,450 m3 dengan ratarata 0,220 m3. Waktu tebang berkisar antara 0,007–0,119 jam dengan rata-rata 0,040 jam per pohon. Waktu bucking berkisar antara 0,001–0,099 jam dengan rata-rata 0,025 jam per pohon. Waktu penebangan terdiri dari waktu tebang dan waktu bucking. Waktu tebang yang dicatat berupa waktu persiapan (perencekan ranting/dahan, pemasangan tali tambang, pembersihan semak dan menyalakan mesin chainsaw). Waktu bucking yang dicatat berupa waktu persiapan, pemotongan dan lain-lain (mesin mati mendadak atau hambatan lainnya) Kemampuan operator chainsaw mempengaruhi produktivitas penebangan. Proses penyaradan batang kayu keluar hutan yang dilakukan regu penyarad menghasilkan produktivitas penyaradan rata-rata sebesar 0,753 m3/jam. Volume kayu yang dapat dikeluarkan per rit rata-rata sebesar 0,054
100
m3dengan jumlah batang rata-rata 9 batang per rit. Waktu penyaradan yang dicatat berupa waktu sarad kosong (tanpa muatan), memuat dan mengatur kayu ke motor sarad, waktu sarad isi (ada muatan) dan lain-lain (adanya hambatan seperti slip atau mesin motor mati mendadak). Waktu yang digunakan untuk menyarad kayu sejauh 115 rata-rata selama 0,074 jam/jam. Efieinsi pemanfaatan kayu gmelina dari hutan rakyat di plot 1 rata-rata sebesar 99,14%. Plot 2 Produktivitas penebangan pohon rimba campuran di plot 2 berkisar antara rata-rata sebesar 1,061–6,461 m3/jam dengan rata-rata 3,392 m3/jam. Volume kayu yang ditebang berkisar antara 0,057–0,082 m3 dengan rata-rata 0,277 m3. Waktu tebang berkisar antara 0,003–0,073 jam dengan rata-rata 0,056 jam per pohon. Waktu bucking berkisar antara 0,004–0,082 jam dengan ratarata 0,025 jam per pohon Efisiensi pemanfaatan kayu rimba campuran dari hutan rakyat di plot 2 rata-rata sebesar 98,72%. Berdasarkan uji t bahwa produktivitas penebangan yang dihasilkan di plot 1 berbeda nyata dengan di plot 2. Produktivitas penebangan di plot 1 lebih besar daripada di plot 2, yaitu masing-masing sebesar 4,880 m3/jam dan 3,392 m3/jam. Kerapatan pohon yang lebih rendah di plot 1 dibandingkan di plot 2 menyebabkan kegiatan penebangan pohon lebih mudah dilakukan. Produktivitas penyaradan kayu di plot 1 lebih tinggi dibandingkan di plot 2, yaitu masing-masing sebesar 0,753 m3/jam dan 0,506 m3/jam. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh jarak sarad yang berbeda, dimana jarak sarad di plot 1 lebih pendek (115 m) sedang di plot 2 (161 m) hal ini berpengaruh terhadap waktu tempuhnya. Efisiensi pemanfaatan kayu antara plot 1 dan plot 2 tidak berbeda nyata jika diuji t dengan nilai efisiensi masingmasing sebesar 98,63% (plot 1) dan 98,72% (plot 2). 5.
KESIMPULAN DAN SARAN Rata-rata produktivitas penebangan dan penyaradan kayu di plot 1,
masing-masing sebesar 4,880 m3/jam dan 0,698 m3/jam (jarak sarad 115 m).
101
Efisiensi pemanfaatan kayu rata-rata sebesar 99, 14%.Rata-rata produktivitas penebangan dan penyaradan kayu di plot 2, masing-masing sebesar 3,392 m3/jam dan; 0,506 m3/jam (jarak sarad 161 m). Efisiensi pemanfaatan kayu rata-rata sebesar 98,72%. Perbedaan produktivitas penebangan dan penyaradan kayu disebabkan oleh faktor kerapatan tegakan dan kondisi topografi lapangan sedang efisiensi pemanfaatan kayu tidak dipengaruhi oleh kerapatan tegakan. Teknik pemanenan kayu di hutan rakyat dilakukan secara semi mekanis, yaitu menggunakan perpaduan antara alat mesin dan tenaga manusia. Teknologi alat pengeluaran kayu yang tepat guna, murah, mudah dan ramah lingkungan diperlukan terutama untuk kondisi lapangan yang licin ataupun bertopografi agak curam hingga curam.
102
Judul Kegiatan
:
Jenis Kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Teknologi Pemanfaatan Jamur (Pilot Project KPH) Pilot Litbang Di KPHP Unit VI Lakitan Pengembangan Ir. Adang Sopandi, MSc. Pusat Litbang Hasil Hutan Dra. Sihati Suprapti, Drs. Djarwanto, MSi., Ph.D,.Drs. Mardiansyah
Pengarusutamaan kegiatan berbasis KPH diterapkan pula dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan kehutanan. Badan Litbang dan Inovasi LHK selaku pemegang otoritas ilmiah mendukung pembangunan KPH melalui kegiatan penelitian yang dilakukan konvergen di area kerja KPH dan membangun pilot-pilot penerapan IPTEK di KPH. Di sisi lain, Badan Litbang dan Inovasi juga telah menghasilkan berbagai paket IPTEK di bidang pengolahan hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu, keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan. Pilot Project Teknologi Hasil Hutan telah dilakukan di KPH Lakitan untuk memberikan informasi kepada pengelola KPH tentang paket teknologi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan KPH serta membangun plot percontohan aplikasi IPTEK hasil hutan. di KPHP Unit VI Lakitan, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan. Salah satu alih iptek tersebut adalah pemanfaatan limbah kayu untuk budidaya jamur pangan te4rutama jamur kayu. Jamur kayu merupakan salah satu jenis sumber daya hutan yang potensial untuk sumber pangan yang sehat serta ramah lingkungan. Untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, dapat dilakukan dengan memberikan alternatif lapangan pekerjaan yang terkait dengan hutan, yang dapat memberikan nilai tambah dan nilai efisiensi pemanfaatan hasil hutan. Adapun tujuan pengembangan Pilot Project Teknologi Hasil Hutan di KPH Unit VI Lakitan adalahm menerapkan IPTEK pengolahan hasil hutan dalam pengelolaan KPHP Unit VI Lakitan melalui alih teknologi, dan mencari
103
umpan balik tentang aplikasi paket-paket IPTEK hasil hutan dari masyarakat, pengguna, dan pemangku kepentingan di lapangan. Prosedur Kerja meliputi desain pilot project dan tahapan pelaksanaan. Pilot Project Teknologi Hasil Hutan di KPH dirancang untuk memberikan informasi kepada pengelola KPH tentang paket-paket teknologi yang dapat diterapkan dalam pengelolaan KPH serta membangun plot percontohan aplikasi IPTEK hasil hutan di KPH. Pelaksanaan Pilot Project Teknologi Hasil Hutan tahun 2016 mengikuti tahapan kegiatan antara lain: penetapan tim pelaksana, penyusunan Rencana Pelaksanaan Pengembangan (RPP), koordinasi dengan pihak KPHP Unit VI Lakitan dan pihak terkait lainnya, baik di pusat maupun di daerah, penjajakan pendahuluan ke lapangan dalam rangka identifikasi calon lokasi, calon sasaran kelompok penerima IPTEK, dan inventarisasi potensi pendukung, menetapkan waktu pelaksanaan Pilot Litbang Budidaya Jamur budidaya jamur kayu, persiapan materi, peralatan dan bahan penunjang Pilot Project Litbang Budidaya Jamur Kayu, menetapkan lokasi Pilot Project Budidaya Jamur, ealuasi proses aplikasi budidaya jamur, dan penyusunan laporan pelaksanaan Alih iptek tersebut pemanfaatan limbah kayu untuk budidaya jamur pangan dilaksanakan pada tanggal 6-7 Oktober 2016 bertempat di Megangsakti Kantor KPHP Unit VI Lakitan ,Kabupaten Musi Rawas Provinsi Sumatera Selatan, yang diikuti 63 orang, yang berasal dari Hutan Desa Megang I, Hutan Desa Jajaran Baru I, Desa Bamasco, Desa Lubuk Rumbai, Desa Jajaran Baru II, KTH Karang Panggung, Hutan Desa Campur sari, UPT Selangit, Bappeluh Kabupaten Musi Rawas. Materi yang disampaikan terdiri dari teori dan praktek, teori teknik budidaya jamur kayu pada media serbuk gergaji kayu dilaksanakan di Kantor KPHP Unit VI Lakitan Teori yang disampaikan tersebut meliputi pengenalan jamur pangan, cara membiakkan jamur di lapangan, cara membuat bibit jamur, teknik budidaya jamur, teknik pemanenan dan teknik pengolahan pasca panen. Sedangkan praktek Pilot Project Budidaya Jamur ditetapkan di Desa Muara Megang I, Kecamatan Megangsakti Kabupaten Musi Rawas.
104
Praktek tersebut meliputi cara pembiakan kultur (biakan) murni, pembuatan bibit, pembuatan dan pengemasan media produksi, sterilisasi media produksi, inokulasi (penularan bibit) pada media, menyusun media yang telah ditulari bibit jamur dalam kumbung (rumah jamur), inkubasi media, pemeliharaan media dalam rangka penumbuhan jamur pangan, pemanenan jamur, mencicipi jamur pangan goreng. Secara umum teknis pelaksanaan Pilot Project Litbang di KPHP Unit VI Pemanfaatan Limbah Kayu untuk Budidaya Jamur di lapangan berjalan dengan baik dan lancar.Kelompok Tani yang bertanggung jawab dalam pengembangan Pilot Project di KPHP Unit VI Lakitan adalah Kelompok Tani Hutan Desa Muara Megang I yang diketuai oleh Bapak Suwarno. Di akhir kegiatan alih teknologi dilakukan serah terima bahan dan peralatan praktek budidaya jamur. Barang tersebut adalah terdiri dari log produksi jamur tiram, log dan botol berisi bibit jamur, seperangkat dasar alat sterilisasi media atau steamer dilengkapi alat inokulasi bibit jamur. Kesan dan pesan peserta latihan: waktu dua hari terasa belum cukup waktu untuk menyerap semua materi secara utuh. Rasa penasaran bercampur keraguan dari kurang percaya diri nampak dari acara diskusi dan evaluasi. Sehingga atas prakarsa Kepala KPHP perlu dilanjutkan dengan pelatihan khusus pembuatan bibit/biang jamur kepada staf KPHP atau penyuluh kehutanan untuk dilatih singkat menjadi trainer bagi petani. Selanjutnya pada bulan Desember 2016, tiga peserta telah mendapat pendidikan khusus teknik pembuatan bibit jamur di Laboratorium Mikologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Bogor.
105
Judul Kegiatan
:
Jenis kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Pengelolaan sampah dengan model 3 in 1 untuk nano fertilizer dalam rangka mitigasi dan adaptasi lingkungan) Pengembangan Integratif Pengembangan Ir. Adang Sopandi, M.Sc Pusat Litbang Hasil Hutan Dra. Gusmailina, M.Si., Prof. Dr. Gustan Pari, M.Sc., Dra. Sri Komarayati, Djeni Hendra, M.Si., N. Jaojah, Mad Ali
ABSTRAK Upaya pengurangan sampah yang bertujuan untuk membatasi volume tumpukan sampah sangat perlu dilakukan. Selain bertujuan untuk kebersihan, keindahan dan kesehatan, pengolahan sampah perlu dilakukan agar dapat mencegah emisi GRK dari tumpukan sampah ke atmosfir. Salah satu alternatif yang dapat diterapkan adalah teknologi arang terpadu dengan memanfaatkan sampah organik menjadi produk arang, asap cair dan arang kompos bioaktif yang dapat digunakan sebagai bio-nanofertilizer pengganti pupuk kimia, sekaligus mendukung keberhasilan budidaya organik. Bio-nanofertilizer merupakan produk pupuk masa depan hasil pengembangan bioteknologi yang diaplikasikan pada budidaya tanaman. Teknologi sangat bermanfaat untuk mempercepat pertumbuhan produksi pangan dengan penggunaan sedikit atau beberapa tetes pupuk nano bila berbentuk cairan dapat meningkatkan produksi pangan dibandingkan dengan teknologi pertanian saat ini, sehingga lebih efisien dan tepat sasaran. Kegiatan pengembangan tahun 2016 ini merupakan kegiatan lanjutan yang telah dilakukan pada tahun 2015, dengan tujuan untuk mengaplikasi bionanofertilizer yang diperoleh pada tahun 2015 pada beberapa jenis tanaman di lapangan, antara lain tanaman padi, lahan agroforestry tanaman kehutanan dan palawija/pertanian. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Aplikasi arang kompos bioaktif bersamaan dengan asap cair pada tanaman padi sawah, tanaman tidak terserang hama dan tikus, bulir padi lebih padat dan berisi, tidak mudah roboh, tanah bekas panen padi yang menggunakan arkoba dan asap cair meninggalkan bekas tanah yang lebih lembut kehitaman dan tidak mudah keras dan rengkah, walau sudah terpapar sinar matahari selama 2 hari. Secara finansial lebih menguntungkan dibanding padi yang ditanam secara non organik. Demikian juga peningkatan pertambahan tinggi dan diamater 4 jenis pohon yang ditanam pada lahan agroforestri di Desa Babakan Karet, Kabupaten Cianjur menunjukkan hasil yang sangat bagus setelah pemberian arkoba dan asap cair, baik tinggi maupun diameter batang. Oleh sebab itu Teknologi arang terpadu dengan produk arang kompos bioaktif (arkoba) dan asap cair, perlu direkomendasikan untuk diterapkan dalam rangka pemanfaatan limbah/sampah organik. Apalagi jika dilanjutkan menjadi bionanofertilizer yang lebih efisien dalam penggunaannya. Kata kunci : sampah, teknologi 3 in 1, pengkayaan, bionanofertilizer, aplikasi
106
1.
LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara salah satu negara yang mempunyai penduduk
terbanyak di dunia, dengan total penduduk sebanyak 237 juta. Diperkirakan jumlah penduduk ini akan bertambah menjadi 270 juta pada tahun 2025. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, diperkirakan akan dihasilkan sampah sebanyak 130.000 ton/hari (Khamdi, 2014). Ini merupakan potensi yang besar sebagai sumberdaya (bahan yang dapat di daur ulang), namun sebaliknya akan menjadi sumber polusi dan emitter jika dibiarkan tanpa pengelolaan yang benar. Karena sampah adalah salah satu sektor yang berkonstribusi dalam pemanasan global. Sampah yang tertimbun dalam jangka waktu tertentu akan mengalami dekomposisi sehingga melepaskan gas-gas rumah kaca ke atmosfir dalam bentuk gas metana (CH4) dan gas karbondioksida (CO2). Gas metana yang dilepaskanke atmosfir memiliki efek GRK lebih besar dibanding CO2 yaitu 21 kali lebih buruk dari CO2. Berdasarkan laporan IPCC tahun 2006, sektor limbah (waste sector) turut menyumbang GRK ke atmosfer dimana khusus dari TPA sampah yang ada berkontribusi antara 3 – 4 % dari emisi GRK global. Walau terdapat banyak jenis GRK dari sektor persampahan ini, namun yang dianggap dominan dan harus ada dalam setiap laporan National GHGs Inventory adalah CO2, CH4 dan N2O (Eggleston, 2006). Indonesia sudah meratifikasi Protocol Kyoto via UU No.17 Tahun 2004, dan tidak termasuk dalam negara yang harus mengurangi emisi tetapi dapat berperan dalam mitigasi pemanasan global melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) sebagai host country bagi proyek-proyek pengurangan GRK. Karena itulah, sangat penting bagi Indonesia untuk mengkaji berapa besar kemampuan alam maupun berbagai aktivitas sektoral di Indonesia dalam menyumbang (source) maupun menyerap (sink) GRK, termasuk dari sektor sampah. Upaya pengurangan sampah yang bertujuan untuk membatasi volume tumpukan sampah sangat perlu dilakukan. Selain bertujuan untuk kebersihan,
107
keindahan dan kesehatan, pengolahan sampah perlu dilakukan agar dapat mencegah emisi GRK dari tumpukan sampah ke atmosfir. Salah satu alternatif yang dapat diterapkan adalah teknologi arang terpadu dengan memanfaatkan sampah organik menjadi produk arang, asap cair dan arang kompos bioaktif yang dapat digunakan sebagai bio-nanofertilizer pengganti pupuk kimia, sekaligus mendukung keberhasilan budidaya organik. Bio-nanofertilizer merupakan istilah suatu produk pupuk masa depan, merupakan pengembangan bioteknologi yang diaplikasikan pada budidaya tanaman. Teknologi nanofertilizer
ini akan sangat bermanfaat untuk
mempercepat pertumbuhan produksi pangan di Indonesia dan negara berkembang lainnya. Dengan penggunaan sejumlah kecil atau beberapa tetes pupuk nano bila berbentuk cairan dilaporkan dapat meningkatkan produksi pangan dibandingkan dengan teknologi pertanian saat ini. Dengan teknologi nano memungkinkan pemanfaatan bahan organik ini lebih efisien dan tepat sasaran. Kegiatan pengembangan tahun 2016 ini merupakan kegiatan lanjutan yang telah dilakukan pada tahun 2015, dimana karena keterbatasan waktu hanya bionano-fertilizer
tahap awal (tingkat dasar) yang diperoleh yaitu
Arkoba yang diperkaya melalui beberapa treatmen, dan asap cair yang diperkaya dengan beberapa treatmen, kesemuanya berbahan baku sampah organik yang didukung oleh hasil analisis laboratories. Pada Tahun 2015, kegiatan bertujuan untuk mengaplikasikan teknologi arang terpadu 3 in 1 sampah organik menjadi bio-nanofertilizer. Diharapkan dari kegiatan ini dapat membantu mengurangi permasalahan sampah, khususnya sampah organik;
sekaligus ikut mendukung program Gerakan
Indonesia Peduli Sampah Menuju Masyarakat Berbudaya dalam rangka Menuju Indonesia Bersih 2020, serta mitigasi emisi gas rumah kaca yang bersumber dari sektor sampah.
Untuk tahun 2016 kegiatan yang akan dilakukan adalah
aplikasi bionanofertilizer yang diperoleh pada tahun 2015 pada beberapa jenis tanaman di lapangan.
108
2. TUJUAN DAN SASARAN Kegiatan bertujuan untuk mengaplikasikan bionanofertilizer (arkoba+asap cair) pada beberapa jenis tanaman di lapangan dalam bentuk Demplot di lapangan. Selain itu mengolah sampah organik menjadi arang, asap cair dan bionanofertilizer tetap kontinyu dilakukan di laboratorium. Sasaran yang ingin dicapai yaitu untuk mengetahui dampak penggunaan arkoba dan asap cair secara bersamaan terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi padi sawah.
3.
METODE PENGEMBANGAN
Membuat demplot percontohan untuk tanaman padi sawah di Kertajaya, Ciranjang, Kabupaten Cianjur milik Bapak Ade. Demplot untuk tanaman kehutanan/perkebunan di lahan agroforestri di Desa Babakan Karet, Kabupaten Cianjur milik Bapak Uhe. Metode yang diterapkan adalah bekerjasama dengan kelompok tani untuk mengaplikasikan produk arkoba+asap cair pada tanaman padi sawah dan 4 jenis tanaman kehutanan/perkebunan milik ketua kelompok tani. Arkoba dan asap cair masing-masing di drop ke lokasi demplot. Adapun cara dan teknik aplikasi dilakukan secara bersama-sama dengan petani, yang diterapkan yaitu sesuai dengan kebiasaan yang dilakukan oleh petani tersebut.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Aplikasi Pada Demplot Tanaman Padi Hasil pertumbuhan semaian padi varitas Ciherang ditabur selama 2 minggu mempunyai daya tumbuh lebih dari 80 % . Setelah ditanam di sawah, rata-rata jumlah anakan per pohon mencapai 23-33 anakan/rumpun, jumlah malai padi per rumpun = 7 malai, jumlah bulir gabah per malai mencapai 160 bulir gabah. Panen dilakukan setelah padi berumur 3 bulan. Rendemen beras yang menggunakan Arkoba+Asap cair lebih tinggi yaitu 75kg/100 kg gabah, sedangkan rendemen beras yang ditanam secara anorganik hanya 65kg/100 kg.
109
Menunjukkan bahwa beras yang dihasilkan lebih bernas, padat dan berisi penuh serta tidak mudah patah. Tanaman padi yang ditanam menggunakan Arkoba+Asap cair tidak terserang hama dan tikus, sementara tanaman yang ditanam secara anorganik di lokasi yang sama terserang hama tikus. Tanah bekas panen padi yang menggunakan Arkoba dan asap cair meninggalkan bekas tanah yang lebih lembut kehitaman dan tidak mudah keras dan rengkah, walau sudah terpapar sinar matahari selama 2 hari, sementara tanah bekas panen tanaman padi yang menggunakan secara kimia, dengan waktu sama sudah keras dan rengkah Bertanam padi organik dengan menggunakan arkoba + asap cair sangat menguntungkan jika dibanding dengan non organik.
Kelebihan
keuntungan bertanam padi menggunakan Arkoba+asap cair dibanding non organik mencapai Rp. 10.525.000/ha, jika harga jual Rp. 11.500,-. Jika harga jual padi organik Rp. 15.000 saja (umumnya harga jual padi organik cianjur mencapai Rp.20.000-22.000) maka keuntungan yang akan diperoleh mencapai Rp. 20.900.000/ha/3 bulan. Dengan demikian bertanam padi organik dengan arkoba + asap cair adalah solusi yang menguntungkan. Selain menambah pendapatan, juga solusi sehat baik kesehatan manusia, juga kesehatan lingkungan. Oleh sebab itu sangat dianjurkan bertanam padi atau bertanam tanaman lainnya dengan menggunakan arkoba + asap cair. B. Aplikasi pada Tanaman Kehutanan Aplikasi akroba dan asap cair pada lahan agroforestri seluas kl 1 ha, dengan komposisi tanaman tahunan (kehutanan/perkebunan) seperti Mahoni, Sengon, Rambutan dan Durian, menunjukkan hasil yang sangat bagus pertumbuhannya baik tinggi maupun diameter batang tanaman. Rata-rata peningkatan pertambahan tinggi dan diamater pohon mahoni setelah pemberian arkoba dan asap cair secara terpadu meningkat 5 kali. Rata-rata peningkatan pertambahan tinggi pohon rambutan mencapai 10 kali, dengan pertambahan diameter 7 kali. Rata-rata peningkatan pertambahan tinggi dan diamater pohon sengon 17 kali, peningkatan pertambahan diameter 6 kali. Rata-rata peningkatan pertambahan
110
tinggi dan diamater pohon durian 3 kali, peningkatan pertambahan diameter 5 kali. 5.
KESIMPULAN DAN SARAN Aplikasi arang kompos bioaktif dan asap cair pada tanaman padi sawah
yang ditanam dengan Arkoba+Asap cair tidak terserang hama dan tikus, bulir padi lebih padat dan berisi, tidak mudah roboh, tanah bekas panen padi yang menggunakan rkoba dan asap cair meninggalkan bekas tanah yang lebih lembut kehitaman dan tidak mudah keras dan rengkah, walau sudah terpapar sinar matahari selama 2 hari. Secara finansial lebih menguntungkan dibanding padi yang ditanam secara non organik. Rata-rata peningkatan pertambahan tinggi dan diamater 4 jenis pohon yang ditanam pada lahan agroforestri di Desa Babakan Karet, Kabupaten Cianjur menunjukkan hasil yang sangat bagus setelah pemberian arkoba dan asap cair, baik tinggi maupun diameter batang yaitu: • peningkatan pertambahan tinggi pohon mahoni 5 kali, • peningkatan pertambahan tinggi pohon rambutan 10 kali, diameter 7 kali, • peningkatan pertambahan tinggi pohon sengon 17 kali, diameter 6 kali; • peningkatan pertambahan tinggi dan diamater pohon durian 3 kali, Berdasarkan hasil yang diperoleh maka Teknologi arang terpadu dengan produk arang kompos bioaktif (arkoba) dan asap cair, perlu direkomendasikan untuk diterapkan dalam rangka pemanfaatan limbah/sampah organik. Apalagi jika dilanjutkan menjadi bionanofertilizer yang efisien dalam penggunaannya, dengan pertimbangan antara lain: Pembuatan dan aplikasi arkoba + asap cair adalah solusi pemanfaatan limbah; bertanam secara organik yang lebih menguntungkan; sehat & higienis; memperbaiki kondisi lahan; murah & mudah; serta peluang usaha. Pembuatan dan aplikasi arang kompos menunjang program CDM, karena : (1) dengan memanfaatkan arang sebagai sumber karbon, dapat mencegah peningkatan pelepasan jumlah karbon ke atmosfir sehingga karbon 111
akan tersimpan dalam batas waktu tertentu dalam arang di dalam tanah; (2) arang sebagai sumber karbon di dalam tanah dapat merangsang perkembangan mikroorganisme tanah, sehingga dapat membangun kondisi biologis tanah, meningkatkan pH tanah, memperbaiki kondisi fisik dan kimia tanah, sehingga meningkatkan produktivitas tanah dan tanaman. Meningkatnya pertumbuhan tanaman hutan memperbesar jumlah sink atau rosot CO2 dan selanjutnya akan dicapai net-source penyerapan > dari emisi; (3) mengurangi pelepasan emisi berbagai gas rumah kaca dari tumpukan sampah & TPA. Penerapan pengolahan sampah organik dengan metode 3 in 1, menjadi bionanofertilizer + asap cair penting untuk mendukung program pengurangan tumpukan sampah dan emisi, mendukung program Gerakan Indonesia Peduli Sampah Menuju Masyarakat Berbudaya dalam rangka “Menuju Indonesia Bersih 2020”, serta mendukung program budidaya organik dan ketahanan pangan yang sehat.
112
Judul Kegiatan
:
Jenis kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Pengembangan Teknologi Ramah Lingkungan untuk peningkatan produktivitas tanaman Pengembangan Integratif Pengembangan Ir. Adang Sopandi, MSc. Pusat Litbang Hasil Hutan Dra.Sri Komarayati, Dra.Gusmailina, M.Si., Prof.Dr.Gustan Pari, M.Si, Djeni Hendra, M.Si.
Telah dilakukan kegiatan Alih Teknologi Pemanfaatan Limbah di desa Siosar, desa Sugihen dan desa Munthe di Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Tujuan kegiatan pengembangan yaitu alih teknologi pemanfaatan limbah organik menjadi produk yang berguna bagi masyarakat. Sasaran dari kegiatan ini adalah tersedianya paket teknologi pengolahan dan pemanfaatan limbah organik menjadi arang, arang kompos bioaktif dan asap cair. Optimalisasi pemanfaatan limbah dengan teknologi inovatif yang mudah dan murah, merupakan salah satu solusi yang perlu diterapkan serta dikembangkan. Salah satu teknologi yang cukup strategis untuk diterapkan adalah teknologi pemanfaatan limbah untuk dibuat arang, arang kompos bioaktif dan asap cair. Kegiatan pengembangan ini menggunakan teknologi dan peralatan yang sederhana, mudah dan aplikatif. Bahan baku yang digunakan merupakan limbah organik seperti potongan kayu, ranting, kulit jagung, serasah, tempurung kelapa dan lain-lain yang terdapat disekitar wilayah tersebut. Melalui teknologi sederhana limbah organik dapat dirubah menjadi produk yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Melalui kegiatan alih teknologi, masyarakat dapat menyerap ilmu dan teknologi yang diberikan. Selanjutnya masyarakat dapat mengembangkan sendiri dan memproduksi arang, arang kompos bioaktif dan asap cair. Arang atau Biochar diketahui sebagai pembangun kesuburan tanah, karena biochar mempunyai pori-pori yang dapat menyerap dan menyimpan air dan hara, kemudian air dan hara tersebut akan dikeluarkan kembali sesuai kebutuhan. Arang dapat meningkatkan pH, KTK dan dapat memperbaiki sifat
113
kimia, fisik dan biologi tanah sehingga apabila tanaman diberi arang maka pertumbuhan akan meningkat, antara lain tinggi, diameter dan produksi Sedangkan asap cair adalah
cairan organik/destilat yang diperoleh dari
kondensasi asap pada proses karbonisasi. Cairan tersebut berwarna kuning kecoklatan – hitam.
Cairan asap cair ini multi manfaat, dapat digunakan
sebagai obat penyakit kulit, biopestisida, pemacu pertumbuhan tanaman, pengawet makanan, pengawet kayu, pembersih ruangan, penyerap racun dalam tubuh, anti oksidan, anti mikroba, koagulan dan menghilangkan bau pada getah karet. Selanjutnya adalah Arang kompos bioaktif yaitu salah satu produk lanjutan dari arang. Merupakan gabungan antara arang dan kompos yang dihasilkan melalui proses pengomposan. Dari beberapa uji coba pemberian arang kompos pada tanah selain dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah, juga dapat meningkatkan pH tanah dan nilai KTK tanah, sehingga cocok digunakan untuk rehabilitasi/reklamasi
lahan-lahan kritis, masam yang makin meluas di
Indonesia. Dari beberapa aplikasi arang kompos yang telah diuji cobakan, baik di laboratorium, maupun di lapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diberi arang kompos meningkat hingga 2 kali lipat dibanding dengan yang tidak diberi arang kompos. Dari kegiatan Alih Teknologi ini selain diperoleh ilmu dan teknologi, juga akan didapat produk organik yaitu arang, asap cair dan arang kompos yang dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanah/ lahan, meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman, juga dapat dijual untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Mudah-mudahan apa yang telah kita lakukan dapat terus berlangsung secara berkesinambungan.
114
Judul Kegiatan
:
Pengembangan Alat Pengolah bio etanol
Jenis kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Pengembangan Integratif Pengembangan Ir. Adang Sopandi, M.Sc Pusat Litbang Hasil Hutan Djeni Hendra, M.Si, Prof. Dr. Gustan Pari, M.Si. Dr.Ina Winarni, S.Hut., M.Si., Heru Satrio Wibisono, S.Hut.
ABSTRAK Saat ini pengembangan bahan bakar alternatif berbahan nabati sudah cukup banyak dilakukan baik di lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi dan swasta. Salah satunya adalah bioetanol yang merupakan bahan bakar pencampur premium yang berasal dari minyak nabati berbagai macam tumbuhan. Dalam proses pembuatan bioetanol akan dihasilkan pupuk cair sebagai produk samping yang masih dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomi sebagai pengganti pupuk kimia. Tujuan kegiatan pengembangan ini adalah membuat alat/mesin produksi bioetanol. Sasaran kegiatan ini adalah tersedianya alat/mesin produksi etanol yang praktis, ekonomis dan efisien. Kegiatan pengembangan ini meliputi pembuatan alat produksi dan aplikasi pada bahan baku nira. Diharapkan dengan adanya alat ini dapat membantu mempercepat proses produksi dan dapat mengurangi biaya produksi dengan cara menggunakan pemanas dari kompos gas/kayu bakar. Kata kunci : Alat/mesin, bioetanol, bahan bakar nabati, pengembangan.
1. LATAR BELAKANG Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil seperti kerosine (minyak tanah), premium dan pertamax dengan rumus molekul adalah C2H5-OH, sehingga pemakaiannya akan menghemat devisa. Penelitian bioetanol sebagai pengganti minyak tanah pernah dilakukan pada tahun 2003. Merdjan dan Matione (2003) menyatakan bahwa bioetanol gel memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan bakar alternatif lainnya yaitu selama pembakaran gel tidak berasap, tidak berjelaga, tidak mengemisi gas berbahaya, non karsinogenik dan non korosif. Bentuknya yang gel memudahkan dalam pengemasan dan dalam pendistribusian. Bioetanol gel
115
sangat cocok digunakan untuk memasak, dibawa pada saat berkemah dan lainlain. Bioetanol dapat dihasilkan dari aren, tetes tebu, singkong, jagung, maupun sorghum, sehingga merupakan energi yang dapat diperbaharui. Selain itu gas buang dari mesin yang menggunakan bioetanol mempunyai emisi yang lebih rendah dibanding dengan minyak premium maupun pertamax. Pada umumnya mesin yang bisa memproses bahan bakar ethanol disebut Flex-Fuel dan mesin yang menggunakan bahan bakar minimal nilai octan 90 dapat juga dikonversi pemakaian bahan bakarnya dengan komposisi Premium 80%-90% (perkiraan nilai octan 88) ditambah etanol 10%-20% (dengan nilai octan 129) sehingga dapat menghasilkan nilai octan 91-93. Saat ini di Indonesia telah dibangun beberapa pabrik bioetanol plant dengan kapasitas mulai dari 300 liter/hari dengan system batch sampai dengan 600 ton/hari dengan system kontinyu sebagai langkah awal
untuk
pengembangan selanjutnya ke skala komersial. Keputusan kebijakan untuk menentukan kelayakan penggunaan bioetanol secara umum perlu dilandasi suatu kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan penguasaan teknologi, nilai ekonomis, kontinuitas suplai dan manfaat lain dari penggunaan bioetanol tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, bioetanol merupakan energi alternatif yang layak untuk dikembangkan. Oleh karena itu, untuk mendukung keberhasilan produksi bioetanol diperlukan alat pengolah yang praktis, aplikatif guna menghasilkan remdemen bioetanol yang tinggi.
2. TUJUAN DAN SASARAN Tujuan kegiatan pengembangan alat adalah membuat alat/mesin produksi bioetanol yang praktis, ekonomis dan efisien. Sasaran kegiatan adalah tersedianya alat/mesin produksi bioetanol.
3. METODE PENGEMBANGAN A. Pengerjaan pembuatan alat pengolah bioetanol
116
1. Rancang bangun reaktor/tabung untuk proses pasteurisasi, yang menggunakan sumber panas dari kompor gas LPG atau atau bisa dengan kayu bakar dan dilengkapi dengan pengaduk yang meng-gunakan tenaga manual. 2. Rancang bangun reaktor/tabung untuk proses fermentasi yang dilengkapi dengan pengaduk dan termometer manual. 3.
Rancang bangun reaktor/tabung dentilasi dengan dua kondensor untuk mendinginkan uap etanol menjadi cairan.
4. Pengerjaan pengelasan dan perakitan rangka meja reaktor untuk pemasakan (pasteurisasi), fermentasi dan reaktor untuk destilasi yang dilengkapi dengan dua alat pendingin (condensor). 5. Reaktor pasteurisasi : Pengerjaan pembentukkan plat stainless steell 304 menjadi bentuk tabung, tabung dengan ukuran Ø 380 mm, tinggi 650 mm. 6. Pengerjaan pengelasan tutup atas reaktor, pemasangan kran pada corong masuknya bahan baku, pemasangan kran untuk mengeluarkan bahan baku dan perakitan dudukan alat pengaduk manual untuk pengadukkan bahan baku. 7. Pembuatan dan pemasangan tungku dan cerobong asap direaktor 1 (satu) untuk pemanasan pasteurisasi. 8. Reaktor fermentasi : Pengerjaan pembentukkan
plat stainless steell
menjadi bentuk tabung, tabung dengan ukuran Ø 380 mm dan tinggi 650 mm. 9. Pengerjaan pengelasan tutup atas reaktor, pemasangan kran pada corong masuknya bahan baku, pemasangan kran untuk mengeluarkan bahan baku dan perakitan dudukan alat pengaduk manual untuk pengadukkan bahan baku. 10. Pengerjaan pembentukkan 2 plat stainless steell menjadi bentuk tabung dalam dengan ukuran Ø 380 mm, tinggi 650 mm dan tabung luar dengan
117
ukuran Ø 450 mm, tinggi 650 mm sesuai dengan gambar rancang bangun 11. Pembuatan, pengerjaan pengelasan dan perakitan 2 tabung pendingin uap etanol panas (condensor) yang dilengkapi dengan temperatur kontroler manual di tabung ke 1.
B. Uji coba alat pengolah bioetanol 1. Cairan nira aren segar sebanyak 50 liter, diukur pH dan kadar gula, kemudian di masukkan ke dalam reaktor pemasakan (Reaktor 1) melalui tempat pemasukan bahan cairan. 2. Reaktor dipanaskan dalam keadaan tertutup selama 10 menit pada suhu 60-700C, kemudian didinginkan kembali sampai suhu 280C. 3.
Dilakukan pengaturan pH dengan penambahan larutan amonium hingga pH 5,5 sambil diaduk (jika diperlukan).
4. Cairan sebanyak 75% dimasukkan ke dalam reaktor fermentasi (reaktor 2), sedangkan sisanya (25%) ditambahkan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) dengan rasio 2 g/100 ml untuk 1 reaktor fermentor tergantung dari kadar gula niranya yaitu berkisar antara 1-3% (w/v), NPK 1% (w/v) dan Urea 0,5% (w/v). 5. Nira aren dalam Reaktor fermentor, difermentasi pada kondisi suhu 280C dan sambil dilakukan pengadukan setiap 6-8 jam sekali selama 2 menit. 6. Setelah 62-72 jam, nira aren disaring dan kemudian dipindahkan ke dalam reaktor destilasi (reaktor III) yang dilengkapi dengan dua alat pendingin (condensor). 7. Reaktor destilasi dipanaskan pada suhu 78-800C. 8. Destilat etanol yang dihasilkan diukur volume, data pH dan kadar etanol.
118
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Alat pengolah bioetanol hasil rekayasa type P3HH-2 diuji coba pada nira aren. Nira aren yang diuji coba sebanyak 40 liter, diukur pH serta kadar gula. Berdasarkan hasil pengukuran, didapat data cairan nira awal yang tersaji pada Tabel 1. Tabel 1. Data awal bahan baku nira aren Data bahan baku nira aren Volume
pH
Kadar Gula
Kadar Alkohol
40 liter
6
15%
0%
Nira aren
dengan pH 6,00 dan kadar gula 15% tersebut dipanaskan
(pasteurisasi) pada suhu 600C. Pasteurisasi bertujuan membunuh organisme yang merugikan (bakteri, virus, protozoa dan lain-lain). Setelah mencapai suhu pasteurisasi, kemudian didinginkan sampai suhu 280C dan ditambahkan ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) sebanyak 2% (b/v), NPK 1% (b/v) dan urea 0,5% (b/v), kemudian
di fermentasikan selama 72 jam.
Proses fermentasi
dimaksudkan untuk mengkonversi glukosa (gula) menjadi etanol. Pada proses fermentasi ragi yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae karena jenis ini dapat berproduksi tinggi, toleran terhadap alkohol yang cukup tinggi (12-18% v/v), tahan terhadap kadar gula yang tinggi dan tetap aktif melakukan fermentasi pada suhu 24-32oC. Setelah proses fermentasi, tahapan selanjutnya dilakukan destilasi. Destilasi bertujuan memisahkan air dan etanol berdasarkan titik didihnya. Titik didih etanol murni adalah 78oC sedangkan titik didih air adalah 100oC. Dengan memanaskan larutan pada suhu rentang 78–100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap. Dari hasil uji coba pembuatan bioetanol dengan reaktor hasil rekayasa, ternyata menunjukkan hasil kadar etanol yang beragam, berkisar
119
antara 75-96,5% , akan tetapi ada kenaikan kadar etanol tertinggi pada pengambilan sampel ke 1 yaitu 96,5%. Etanol mencapai kadar tertinggi tersebut diduga bahwa suhu pada pendingin 1 berada pada suhu optimum dimana etanol dapat terpisah dengan uap air secara maksimal. Pada pengambilan sampel terahir kadar bioetanol yang dihasilkan hanya sebesar 75%. Nilai ini mengindikasikan bahwa laju alir uap etanol ke kondensor 1 terpengaruh oleh suhu yang terlalu tinggi sehingga proses pemisahan etanol dengan uap air tidak berjalan optimal. Dapat diketahui bahwa kadar etanol 75% terdapat kandungan air yang terbawa oleh etanol pada saat proses pemisahan. Untuk mengatasi suhu laju alir uap etanol terlalu tinggi hal ini perlu segera diturunkan suhuya dengan cara mengalirkan air ke kondensor 1 agar suhu pada kondensor 1 tersebut berada di-bawah suhu 900C, sehingga akan di peroleh kadar etanol yang maksimal. Kadar bioetanol hasil uji coba belum mencapai standar untuk substitusi bahan bakar premium, akan tetapi dapat ditingkatkan kadarnya melalui proses dehidrasi. Prinsip proses dehidrasi tidak jauh berbeda dengan cara destilasi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, secara umum kadar bioetanol mengalami kenaikan setelah dilakukan dehidrasi. Untuk bioetanol awal dengan kadar 80% setelah didehidrasi naik menjadi 90%. Selain itu, sampel dengan kadar etanol 96,5% jika di dehidrasi akan naik kadarnya menjadi 99,5%. Berdasarkan uraian tersebut, maka alat pengolah bioetanol type P3HH-2 memungkinkan untuk diaplikasikan dalam skala lebih besar.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Alat rekayasa pengolah bioetanol terdiri dari 3 reaktor. Reaktor 1 berfungsi sebagai alat pasteurisasi, reaktor 2 sebagai alat fermentasi, sedangkan reaktor 3 berfungsi sebagai alat destilasi. Alat pengolah bioetanol type P3HH-2 telah diaplikasikan di Cirebon dengan bahan baku nira aren dan dapat menghasilkan bioetanol dengan kadar 80-90%. Dengan rendemen 17%.
120
Nira aren bersifat cepat berubah menjadi asam, sehingga setelah pemanenan perlu segera diproses (diolah) menjadi bioetanol. Pengaturan suhu
reaktor pada proses fermentasi, pastuerisasi dan
destilasi memerlukan tingkat ketelitian dan kecermatan tinggi agar rendemen dan kadar bioetanol yang dihasilkan lebih baik.
121
Judul Kegiatan
:
Jenis kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Pengembangan penerapan teknologi pelengkungan kayu untuk peningkatan nilai tambah dan efisiensi bahan baku Pengembangan Integratif Pengembangan Ir. Adang Sopandi, M.Sc Pusat Litbang Hasil Hutan Abdurachman, ST, Karnita Yuniarti,S.Hut.M.Sc., Ph.D, Ir. Adang Sopandi, M.Sc.Mardiansah, S.E
Abstrak Perkembangan disain mebel saat ini seringkali memerlukan bagian komponen lengkung seperti sandaran kursi, lengan kursi, kaki meja dan lainlain untuk menambah nilai artistik dan nilai jual yang lebih tinggi. Oleh karena itu diperlukan teknologi untuk memproduksi mebel yang memiliki komponen lengkung sesuai dengan pesanan konsumen. Teknologi pelengkungan kayu atau 'wood bending' saat ini sudah mulai berkembang dan semakin banyak diminati oleh produsen furniture kayu. Selain karena hasilnya yang secara visual lebih baik daripada kayu hasil potongan melengkung. Teknologi ini relatif mudah dilakukan,hanya saja perlu investasi mesin kempa dan 'mould' nya yang tergolong cukup besar.Pelengkungan kayu atau ‘wood bending’ adalah proses melengkungkan kayu secara mekanis menggunakan teknologi yang tidak rumit sehingga mudah difahami oleh masyarakat pengguna terutama pengrajin mebel kayu. Banyak teknologi pelengkungan kayu yang dapat diterapkan pada industri mebel, namun harus mempertimbangkan biaya produk yang relative terjangkau. Tujuan dari kegiatan ini antara lain memberikan informasi ilmiah tentang metode pembuatan komponen mebel kayu berstruktur lengkung untuk meningkatkan nilai tambah bagi pengrajin atau industri mebel kayu dengan cara pengukusan (steam). Pada kegiatan ini akan diberikan metoda atau cara melengkungkan kayu dengan cara pengukusan berikut perangkat yang menyertainya mulai dari pembuatan kotak pengukus (steam box), mal lengkung, bending strap dan cara pemakaiannya. Kata kunci: Mebel kayu, teknologi, pelengkungan, pengukusan
122
1.
LATAR BELAKANG Pelengkungan
kayu
atau
‘wood
bending’
adalah
proses
melengkungkan kayu secara mekanis menggunakan teknologi yang tidak rumit sehingga mudah difahami oleh masyarakat pengguna terutama pengrajin mebel kayu. Hasil dari pelengkungkan kayu banyak digunakan sebagai komponen produk mebel untuk menambah nilai artistik dan kenyamanan produk sehingga dapat meningkatkan nilai jual yang dapat bersaing di pasar domestik maupun ekspor. Secara konvensional pelengkungan kayu bisa dilakukan dengan cara membuat pola (mal) lengkung kemudian digergaji. Cara ini tidak mendapatkan hasil yang baik dan menyebabkan pemborosan bahan baku. Banyak metode yang dapat digunakan untuk membuat kayu berstruktur lengkung antara lain dengan cara pengukusan (steambending), perlakuan panas (heating/hot pipe), perlakuan kimia (chemical treatment), kerf bending dan lain-lain. Diantara metode pelengkungan tersebut yang paling memungkinkan untuk diterapkan di industri kerajinan mebel kayu adalah metode pengukusan (steam bending) karena teknologinya sederhana dan investasinya lebih murah dari yang lainnya. Dalam rangka memberikan kontribusi ilmiah kepada pengguna khususnya pengrajin mebel di Indonesia khususnya di Jawa Barat, P3HH akan mengembangkan beberapa metode pelengkungan kayu bekerjasama dengan Dinas Perindustrian setempat.
2.
TUJUAN DAN SASARAN Kegiatan penelitian ini bertujuan memberikan informasi ilmiah dan
petunjuk praktis tentang metode pembuatan komponen mebel kayu berstruktur lengkung untuk meningkatkan nilai tambah bagi pengrajin atau industri mebel kayu dengan cara pengukusan (steaming).
123
Sasarannya adalah tersedianya paket teknologi pembuatan komponen mebel kayu berstruktur lengkung yang dapat diterapkan di masyarakat pengrajin mebel kayu. 3.
METODE PENGEMBANGAN Lokasi kegiatan pengembangan di Kantor Sub Unit Pengembangan
IKM Perkayuan Sumedang yang terletak di Jalan Raya Legok Conggeang KM 1, Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. Secara struktural Sub Unit Pengembangan
IKM
Perkayuan
ini
di
bawah
Balai
Pengembangan
Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. Bahan Utama: Berbagai jenis kayu yang dapat digunakan untuk komponen mebel/furnitur berikut batas radius lengkungnya seperti terlampir, MDF, plywood, perekat. Bahan penunjang: baut, sekrup, pelat baja, thermometer, pressure gauge, selang karet. Peralatan: mesin gergaji belah/potong, klem, kunci pas, bor tangan, mata bor besi dan kayu, kompor gas, tabung gas, ketel, alat tulis dan lain-lain. a. Stakeholder Terlibat 1. Pemangku kebijakan : a. Kepala Balai Pengembangan Industri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat. b. Kepala Sub Unit Pengembangan IKM Perkayuan Sumedang. c. Dinas Perindustrian, Perdagangan dan IKM Kabupaten Sumedang. 2. Pemangku kepentingan: a. Pembina/sesepuh masyarakat pengrajin mebel kayu Sumedang. b. Pengrajin/pengusaha mebel kayu Kabupaten Sumedang. b.
Prosedur Kerja
1.
Persiapan pelatihan pelengkungan kayu dengan cara pengukusan. a. Penyusunan rencana kegiatan pengembangan. b. Persiapan bahan pelatihan berupa penyusunan modul pelatihan.
124
c. Persiapan kayu yang akan digunakan dalam praktek pelengkungan d. Pembuatan peralatan peragaaan dan praktek c. Koordinasi dengan instansi terkait yaitu Dinas Perindustrian Propinsi Jawa Barat, Balai Pengembangan Perindustrian Provinsi Jawa Barat,Sub Unit Pengembangan IKM Perkayuan di Sumedang, Dinas Perindustrian Kabupaten Sumedang. d. Pendataan calon peserta pelatihan e. Penentuan jadwal pelatihan f. Pelaksanaan pelatihan 2. Prosedur pelaksanaan penerapan teknologi pelengkungan kayu dengan cara pengukusan a. Pembuatan steam box dari plywood. b. Pembuatan mal lengkung dari bahan plywood. c. Persiapan kayu yang akan digunakan dalam praktek pelengkungan. d. Ketel diisi air dan dihubungkan dengan selang ke steam box. e. Air dididihkan menggunakan kompor gas sampai mencapai suhu 100ºC. f. Masukkan papan kayu yang akan dilengkungkan ke dalam steam box selama ± 2 jam. g. Keluarkan papan dari steam box dan lengkungkan di meja mal lengkung. h. Kencangkan papan menggunakan strap yang terbuat dari logam (plat baja). i. Pasang klem pada bagian-bagian yang sudah di atur pada mal lengkung. j. Biarkan selama ± 30 menit, kemudian diberi palang kayu pada komponen yang sudah dilengkungkan sebelum klem dibuka. k. Klem dibuka dan komponen yang sudah dilengkungkan
dibiarkan
(conditioning) selama ± 4 jam untuk menghindari terjadinya springback yang berlebihan.
125
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dari lebih kurang 176 pengusaha/perajin mebel di Kabupaten
Sumedang yang diundang untuk mengikuti kegiatan alih teknologi berjumlah 25 orang yang terpilih mewakili pengrajin yang lain. Mereka tergolong ke dalam pengrajin binaan dan mandiri berbadan hukum UD dan CV. Produk furnitur kayu yang diusahakan antara lain lemari, tempat tidur, meja, kursi dan handicraft. Kegiatan alih teknologi pelengkungan kayu ini dilaksanakan pada tanggal 22-24 Juni 2016 dengan susunan acara kegiatan sebagai berikut: 1. Pembukaan Kegiatan secara resmi oleh Bapak Kapuslitbang Hasil Hutan. 2. Pengantar Toeri Pelengkungan disampaikan oleh Dr. Karnita Y., M.Sc. 3. Pemberian materi pelatihan pelengkungan kayu disampaikan oleh Abdurachman, ST. dilanjutkan dengan praktek yang dibantu oleh sdr. Aires Sembiring. 4. Praktek dimulai dengan mempelajari kinerja steam box yang telah disiapkan sebelumnya oleh P3HH. 5. Setelah kegiatan alih teknologi berakhir dilanjutkan dengan diskusi antara instruktur dengan peserta. a. Hasil Evaluasi Kegiatan Alih Teknologi Pelengkungan Kayu Berdasarkan laporan dari peserta pelatihan yang diwakili oleh Bpk Aca Sugiatna bahwa beberapa perajin mebel tertarik dengan teknologi pelengkungan kayu dan telah mencobanya dengan peralatan yang diberikan oleh P3HH di UPT/SUP Perkayuan Sumedang, namun menemukan beberapa kendala. Kendala yang dialami oleh perajin mebel antara lain sulit mencari jenis kayu yang cocok dan dapat dilengkungkan dengan teknologi yang diberikan. Telah dicoba melengkungkan kayu nangka dan mahoni oleh perajin. Kendala lain adalah peralatan belum lengkap seperti klem penjepit di mana saat ini P3HH belam dapat menyubangkannya.
126
Respon yang diberikan oleh Tim adalah: kemungkinan perajin tidak melakukannya sesuai teori yang diberikan seperti kadar air awal, persyaratan teknis kayu yang akan dilengkungkan yang meliputi ukuran, arah serat dan cacat kayu. Diskusi tentang potensi sumber daya alam Kabupaten Sumedang yang disampaikan oleh Bapak Aca: Perlu tambahan teknologi pengolahan kayu antara lain teknologi kayu laminasi, pengolahan limbah penggergajian dan produk rekatan dari limbah industri kerajinan. Dikemukakan bahwa di Kabupaten Sumedang banyak potensi bambu yang hingga kini pemanfaatannya tidak/belum maksimal. Oleh Karena itu masyarakat Sumedang menginginkan diberikan teknologi pengolahan bambu agar dapat meningkatkan pemanfaatanya yang berdaya saing tinggi dan meningkatkan nilai jual bambu yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat Sumedang. Menurut informasi jenis-jenis bambu yang terdapat di Kabupaten Sumedang adalah bambu tali, bambu bitung, bamu surat/gombong dan bambu mayan. Bahwa
P3HH
tidak
berkeberatan
untuk
memberikan
pelatihan/workshop atau apapun bentuknya mengenai teknologi perekatan dan teknologi pengolahan bambu antara lain bambu laminasi atau bambu komposit. Tim memberikan peluang kepada masyarakat Sumedang untuk merealisasikan keinginnnya tetapi harus melalui prosedur yang benar yang dibantu oleh Instansi Pemerintah seperti Dinas Perindustrian, UPT Mebel Kayu dan Instansi lain yang berwenang.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pengembangan dapat disimpulkan bahwa masyarakat perajin atau pelaku usaha mebel kayu di Kabupaten Sumedang pada dasarnya menyambut baik kegiatan ini bahkan
127
mereka berkeinginan untuk melanjutkan kegiatan pelatihan lain baik pengembangan teknologi pelengkungan kayu maupun teknologi pengolahan kayu dan bamboo dalam waktu yang tidak terlalu lama. Terdapat beberapa kendala (menurut mereka) antara lain kesulitan mendapatkan jenis kayu yang dapat dengan mudah dilengkungkan dengan teknologi yang diberikan. Rekomendasi untuk perajin mebel kayu di Kabupaten Sumedang agar dapat menggunakan peralatan penunjang yang mudah diperoleh di Sumedang. Disarankan untuk mencoba melengkungkan kayu pada jenis kayu yang ada di Kabupaten Sumedang antara lain mahoni, nangka, suren dan kayu buah yang sudah tidak produktif.
128
Judul Kegiatan
:
Jenis kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Pengembangan Alat Ukur diameter Wesyan Generasi 2 Pengembangan Integratif Ir. Adang Sopandi, MSc. Pusat Litbang Hasil Hutan Wesman Endom, M.Sc; Ir. Soenarno, MSi;Ir. Sona Suhartana; Yayan Sugilar;Sahro Abdul Sukur ABSTRAK
Pengukuran diameter dapat dilakukan menggunakan berbagai alat ukur seperti phi band, garpu apitan, atau meteran gulung, yang masing-masing alat memiliki kelebihan dan kekurangan. Selama ini pita ukur (phi-ban) dipakai untuk mengukur diameter pohon. Cara pengukuran ini sering mengalami kesulitan, khususnya pada hutan alam yang komposisi tegakannya memiliki banyak pohon berdiameter besar (ø ≥ 50 cm) dan berbanir tinggi (≥ 1,8 m). Selain itu, pengukuran diameter dengan phi-ban pada pohon berdiameter tersebut tidak dapat dilakukan hanya oleh satu orang, bahkan pada kondisi pohon dan topografi yang ekstrim, kadang diperlukan lebih dari 2 orang. Terkait dengan permasalahan kesulitan pengukuran dan pentingnya akurasi penghitungan volume tebangan tahunan, maka pada tahun 2016 dicoba dilakukan penyempurnaan alat ukur Wesyan menjadi Wesyano dan sekaligus diuji penggunaannya dalam kepraktisan serta keakurasiannya. Wesyan merupakan sebuah alat ukur diameter pohon hasil kegiatan rekayasa sederhana yang dibuat dari bahan pipa alumunium. Beberapa komponen wesyan diperbaiki antara lain pada tongkat ukur, roda penunjuk posisi ukur, pemasangan laher pada as putar, dudukan posisi penempatan alat ukur yang bisa dibuka dan dikunci. Akurasi validasi alat wesyano dalam pengukuran diameter pohon untuk sekali pengukuran diperoleh nilai keeratan hubungan terhadap pita ukur sebesar r = 0,978 dengan koefisien determinasi R2 sebesar 0,957. Pada dua kali pengukuran diperoleh nilai r semakin baik dengan keofisien r sebesar 0,982 dan koefisien determinasi R2 sebesar 0,964. Sedangkan untuk efisiensinya, nilai bobot pengukuran dengan wesyano diperoleh antara 1-4 kali lebih cepat dibanding pengukuran pita ukur, dengan kecenderungan semakin besar diameter pohon semakin tinggi efisiensi alat ukur, tergantung besar diameter pohon. Kata Kunci : Alat ukur, diameter pohon, efektif, efisien, Wesyan.
1.
LATAR BELAKANG Selama ini alat ukur diameter pohon yang digunakan yakni pita ukur
(phi-ban). Pemakaian alat ukur ini di lapangan menuntut cara pengukuran yang
129
hati-hati akibat kesulitan khususnya pohon berdiameter besar (ø ≥ 60 cm) dan berbanir tinggi (≥ 1,8 m). Karena itu, waktu yang dibutuhkan relatif lama. Bahkan, pada kondisi pohon dan topografi yang ekstrim, pengukur diperlukan lebih dari 2 orang. Hasil ITSP yang akurat ini menjadi keniscayaan dengan dikeluarkannya
peraturan
nomor:
P.43/Menlhk-Setjen/2015,
tentang
peñatausahaan hasil hutan kayu dari hutan alam, khususnya terkait dengan pasal 3 ayat (2), yaitu pemberian label ID barcode pada tegakan hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan. Terkait dengan permasalahan akurasi
tersebut,
dalam
kegiatan
tahun
2016
dicoba
dilakukan
uji
penyempurnaan alat ukur Wesyan menjadi Wesyano yang diharapkan lebih praktis digunakan di lapangan, dengan tingkat akurasinya tetap tinggi. 2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan penyempurnaan alat ukur diameter pohon prototipe Wesyan
menjadi “Wesyano” adalah untuk mendapatkan perangkat alat ukur yang lebih praktis tetapi memiliki akurasi dan efisiensi yang tinggi. 3.
METODE PENGEMBANGAN
A. Lokasi dan waktu Lokasi uji coba dilakukan di n areal kerja hutan tebangan tahun 2016 PT Central Kalimantan Abadi. Waktu kegiatan dilakukan pada bulan Oktober 2016. B. Bahan dan Alat Bahan yang dipakai pipa aluminium kosong dan isi berbagai ukuran, pipa besi, lembaran aluminium untuk pembuatan skala, tongsi, mur dan baut, kawat las, ampelas, gerinda potong dan penghalus dan bor besi. Bahan lainnya spidol, plastik labelling dan lembar pencatatan. Alat yang dipakai diameter pita dan prototipe wesyan yang diperbaiki (wesyano), stop watch, clino meter, kompas dan kamera. C. Pengembangan Beberapa perbaikan yang dilakukan antara lain pada:
130
1) Skala ukur sebaiknya bisa dilipat dan dikunci sehingga mudah dalam penyimpanan dan saat dibawa-bawa 2) Pengubahan as putar untuk kemudahan dan keluwesan pergerakan tongkat 3) Kekuatan pada saat ditarik dan ditekan untuk memperpendek dan memperpanjang tongkat ukur. 4) Menambah skala ukur agar jangkauan pengukuran diameter lebih besar dibdaning pada alat ukur Wesyan. D. Validasi Alat Validasi atau pengujian alat dilakukan di PT Central Kalimantan Abadi (PT CKA). Validasi dilakukan pada sejumlah pohon dengan pertama-tama melakukan pengukuran menggunakan alat ukur Wesyano, selanjutnya pengukuran keliling pohon dengan pita diameter sebagai control yang dilakukan pada kelas diameter 20 cm up. E. Analisis Data 1. Pengolahan Data Perhitungan volume batang menggunakan rumus empiris Brereton (Ditjen Pengusahaan Hutan, 1993) sebagai berikut: VL = ¼
½ Dp + Du 2 100
XP
Di mana : VL = Volume (m3); Dp = Diameter pangkal (cm); Du = Diameter ujung (cm); P = Panjang (m); = Konstanta (3,14) Perhitungan akurasi and efisiensi hasil pengukuran diameter dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Soenarno, 2016) Ad = (Dws/Dpb) x 100
dan
Ed =(Tws/Tpb) x 100
Di mana : Ad = Akurasi alat Wesyano; Dws = Diameter pohon dengan alat Wesyano (cm); Dpb = Diameter pohon dengan alat phi-ban (cm). Ed = Efisiensi waktu pengukuran; Tws = Waktu pengukuran diameter pohon dengan alat Wesyano (detik); Dpb = Waktu pengukuran diameter pohon dengan alat phi-ban (detik).
131
Hasil pengukuran dikelompokkan menurut kelas diameter hasil ukur pita yakni 20-49 cm, kelompok diameter 50-79 cm dan kelompok diameter ≥ 80 cm . Untuk mengetahui tingkat keeratan
reliabilitas antara pengkuran
konvensional dengan wesyano dilakukan analisis regresi korelasi baik terhadap akurasi maupun efisiensi menggunakan program SPSS.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Alat ukur diameter pohon Wesyano merupakan perbaikan dan pengembangan dari alat wesyan, yang sebelumnya alat ini masih kaku (rigid) tongkat ukurnya tidak bisa diperpendek atau diperpanjang. Mengingat sebaran pengukuran sangat bervariatif jumlah contoh ukurnya tidak berimbang, pohon berdiameter besar sangat sedikit dibanding kedua kelas diameter lainnya maka untuk mendapatkan nilai yang bisa mewakili kondisi alat atas penggunaannya di lapangan, dilakukan pembobotan. Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa nilai bobot akurasi alat wesyano yang diperoleh sebesar 0,98 untuk yang dilakukan dengan satu kali pengukuran, sedangkan dengan dua kali pengukuran diperoleh nilai bobot sebesar 0,99.
Dengan demikian keakurasian pengukuran dengan dua kali
pengukuran sedikit lebih tinggi dibanding dengan satu kali pengukuran. Untuk efisiensi, nilai bobot pengukuran dengan wesyano diperoleh sebesar 1,98 kali
lebih cepat dibanding
dengan pengukuran pita ukur,
sedangkan dengan dua kali pengukuran diperoleh nilai bobot sebesar 2,72 kalinya. Hal ini memberikan informasi bahwa terdapat kecenderungan semakin besar diameter semakin efektif pengukuran menggunakan diameter dengan alat wesyano. Lebih lanjut
hasil analisis memperlihatkan nilai koefisien r dan
kefisien diterminasi (R2) hasil pengukuran dengan wesyano antara 0,978-0,982. Koefisien determinasi R2 sebesar 0,957-0,964. Menurut Ghozali (2009), uji validitas digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan untuk mengukur apa yang diukur dan
132
dinyatakan valid apabila r hitung atau korelasinya lebih besar dari r tabel. Spurr (1952) dan Husch (1963) menyebutkan bahwa model pendugaan volume pohon yang baik, bisa diperoleh berdasarkan hasil pengukuran diameter batang tertentu, dengan persamaan yang mempunyai simpangan agregat (SA) kurang dari 1% dan simpangan rata-rata (SR) kurang dari 10%. Pernyataan ini mengungkapkan bahwa batas toleransi yang dapat digunakan untuk menduga besarnya volume pohon masih dapat dikategorikan cukup baik bila simpangan rata-rata kurang dari 10%.
Untuk
persamaan
regresi
antara
waktu
pengungukuran diameter menggunakan phi band diperoleh Y = 26,706 – 0,109 X ; dan persamaan regresi untuk waktu pengukuran dengan wesyano diperoleh Y = -0,138 + 0,606 X dimana X = diameter pohon. Pengertiannya yaitu bahwa alat wesyano akan dapat dirasakan tingkat efektifitasnya untuk pengukuran diameter batang dimulai pada diameter 40 cm and ke atas hingga maksimum 100 cm. Kecenderungan penggunaan alat ukur wesyano dan phi-band, dengan kecenderungan pada alat ukur phi-ban semakin besar diameter maka semakin banyak waktu yang diperlukan, sementara pada alat ukur wesyan terjadi sebaliknya, makin besar makin sedikit waktu diperlukan. Dari hasil yang diperoleh maka wesyano dapat digunakan sebagai alternatif pengganti alat ukur pita ukur diameter yang telah cukup terbukti cukup tinggi akurasinya, sementara efisiensinya secara umum juga cukup baik dengan kisaran 1-4 kali tergantung besar diameter.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN Nilai bobot akurasi alat wesyano antara 0,97-0,99 dengan efisiensi
penggunaan antara 1-4 kali lebih cepat dibanding dengan pengukuran pita ukur, tergantung besar diameter pohon. Alat ukur wesyano dapat digunakan sebagai pengganti alat pita ukur tegakan di hutan alam yang masih memiliki tegakan berdiameter cukup besar.
Tingkat efektifitasnya wesyano sangat
dirasakan untuk pengukuran diameter batang pohon di hutan alam yang umumnya berbatang besar mulai pada diameter 40 cm and ke atas hingga 133
maksimum 100 cm . Memperhatikan hasil penelitian yang diperoleh maka disarankan agar pada kegiatan inventarisasi hutan sebaiknya digunakan alat ukur diameter pohon wesyano yang telah terbukti cukup efektif and efisien.
134
Judul Kegiatan
:
Jenis kegiatan RPPI Koordinator Satker Pelaksana Pelaksana Kegiatan
: : : : :
Evaluasi Pengelompokan Perdagangan Indonesia Pengembangan Integratif
Jenis
Kayu
Ir. Adang Sopandi, MSc. Pusat Litbang Hasil Hutan Dr.Drs. Djarwanto, MSi.;Ir. Jamal Balfas, MSc.; Ir. Efrida Basri, MSc.; Dr. Ratih Damayanti, S.Hut, MSi. Dra. Jasni, MSi.Dr. I.M. Sulastiningsih, MSc.Dr. Krisdianto, S.Hut, MSc. Andianto, S.Hut. MSi.Drs. D. Martono Prof.Dr. Gustan Pari, MSi.Ir. Adang Sopandi, MSc.Mardiansyah, SE. ABSTRAK
SK Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan perlu disempurnakan diantaranya mengenai kriteria keindahan kayu yang kurang jelas, adanya pencampuran antara kayu dengan berat jenis dan keawetan tinggi dikelompokkan bersama jenis kayu dengan kelas rendah, pengelompokan jenis meranti yang terlalu umum, belum mengikuti perubahan taksonomi dan nama botani, dan belum mengakomodir jumlah jenis kayu yang diperdagangkan saat ini. Tujuan kegiatan adalah melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap substansi SK Menteri Kehutanan Nomor 163/KptsII/2003, serta menetapkan kriteria pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia berdasarkan status konservasi, nilai komersialitas (keindahan), dan nilai kualitas kayu (berat jenis dan keawetan). Hasil kajian menunjukkan bahwa pengelompokan kayu perdagangan dapat dilakukan secara efektif menggunakan sistem skoring dengan memasukkan nilai keindahan dan kualitas (berat jenis dan kelas awet), sehingga semua jenis kayu Indonesia memiliki nilai komersial, dan dapat dipetakan pengelompokannya berdasarkan kriteria yang ada. Kata kunci: Kriteria, pengelompokan, jenis kayu perdagangan, komersialitas, keindahan, kualitas, berat jenis, kelas awet
1.
LATAR BELAKANG Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 tentang
Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan sampai saat ini masih tetap berlaku, dan hanya terbatas pada 121 kelompok dagang yang terdiri dari 186 jenis dan atau kelompok jenis. Jumlah ini masih sedikit
135
bila dibandingkan dengan jumlah jenis kayu nasional yang mencapai 4.000 jenis (Kartasujana & Martawijaya, 1979). Amar kedua Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/KptsII/2003 menjelaskan bahwa terhadap jenis kayu yang belum ditentukan sebagai salah satu dari kelompok yang telah ditetapkan, maka jenis tersebut dimasukkan ke dalam Kelompok Rimba Campuran/Komersial Dua. Hal ini berarti lebih dari 90% jumlah jenis kayu Indonesia masih tergolong dalam kelompok Jenis Kayu Rimba Campuran, yang nilai iuran kehutanannya sangat rendah (Direktorat Iuran dan Peredaran Hasil Hutan, 2015). Hasil penelitian sifat dasar jenis kayu kurang dikenal oleh Pusat Litbang Hasil Hutan menunjukkan bahwa banyak jenis kayu Indonesia yang saat ini masih dikelompokkan sebagai Kayu Rimba Campuran, berpotensi untuk masuk sebagai kelompok kayu indah. Beberapa jenis diantaranya adalah kayu mimba (Azadirachta indica A. Juss), gopasa (Vitex cofassus Reinw. ex Blume), tembesu (Fagraea fragrans Roxb), dan kayu penggal buaya (Zanthoxylum rhetsum St. Lag). Mengingat beberapa jenis kayu yang selama ini dikelompokkan sebagai kayu rimba campuran ternyata memiliki penampilan yang indah, yang semestinya bisa dimasukkan ke dalam Kelompok Kayu Indah Satu atau Indah Dua, serta semakin bertambahnya jumlah jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia yang saat ini tercatat dalam License Information Unit (LIU) (data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada awal Bulan November 2016, http://silk/dephut.go.id) sudah mencapai 2.146 komoditi (1.047 jenis kayu), maka sudah saatnya dilakukan penyesuaian terhadap Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003.
2.
TUJUAN DAN SASARAN Tujuan kegiatan kajian isu aktual pengelompokan jenis kayu perdagangan
ini adalah untuk mengevaluasi Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
136
163/Kpts-II/2003 tentang pengelompokan jenis kayu sebagai dasar pengenaan iuran kehutanan disesuaikan dengan kondisi perdagangan kayu saat ini. Sasaran kegiatan pengelompokan jenis kayu
Indonesia adalah
melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Kpts-II/2003 serta mengembangkan penyusunan kriteria pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia berdasarkan parameter yang terukur. 3.
METODE PENGEMBANGAN
Prosedur kerja kegiatan pengelompokan jenis kayu perdagangan adalah sebagai berikut: - Melakukan evaluasi substansi SK Menteri Kehutanan Nommor 163/KptsII/2003 -
Menetapkan kriteria parameter penggolongan kayu perdagangan Indonesia
-
Menilai komersialitas kayu berdasarkan keindahan meliputi: corak, warna, orientasi serat, tekstur, dan kilap kayu
-
Menilai kualitas kayu berdasarkan berat jenis dan kelas awet
-
Mengelompokkan jenis kayu perdagangan berdasarkan nilai komersialitas dan kualitas kayu
-
Memaparkan kiteria dan pengelompokan jenis kayu perdagangan kepada pihak terkait Analisis data kegiatan kajian isu aktual pengelompokan jenis kayu
perdagangan adalah: -
Melakukan studi pustaka terhadap substansi SK Menteri Kehutanan 163/Kpts-II/2003 dan permasalahan yang mungkin muncul
-
Melakukan studi pustaka untuk menetapkan kriteria parameter penggolongan kayu perdagangan Indonesia
-
Menilai komersialitas kayu berdasarkan keindahan meliputi: corak, warna, orientasi serat, tekstur, dan kilap kayu terhadap koleksi kayu Xylarium Bogoriense 1915
137
-
Melakukan studi pustaka untuk menilai kualitas kayu berdasarkan berat jenis dan kelas awet
-
Memformulasikan kriteria pengelompokan jenis kayu perdagangan Indonesia
-
Mengelompokkan jenis kayu perdagangan berdasarkan kriteria yang sudah dibangun dari daftar jenis yang terekam dalam License Information Unit (LIU) dan jenis tambahan lainnya hasil penelitian sifat dasar kayu (di luar daftar LIU)
-
Memaparkan hasil pengelompokan jenis kayu perdagangan kepada pihak terkait
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinjauan terhadap SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003
menunjukkan terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan: a. Sistem perdagangan kayu di pasar domestik maupun internasional mengelompokkan jenis kayu menurut karakteristik umum yang dianggap penting dan dimiliki oleh kelompok jenis bersangkutan, terutama dari segi penampilan
atau
dekoratif
(appearance),
kekuatan
dan
keawetan
(Boampong, Effah, Antwi, Asamoah, & Asante, 2015). Berdasarkan pada berbagai parameter penampilan kayu tersebut, maka akan banyak jenis kayu Indonesia yang dapat dimasukkan pada kategori kayu indah yang sampai saat ini baru 35 jenis kayu, sebagaimana tercantum pada SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003. b. Sebagaimana ditegaskan oleh Panshin, Zeeuw, & Brown (1964); Saranpää, Roberts, & Usherwood (2003) and Boampong et al. (2015), kualitas kayu ditentukan oleh sifat kekuatan dan keawetan kayu, sehingga kedua variabel tersebut harus menjadi dasar dalam pengelompokan jenis kayu perdagangan. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 terdapat banyak jenis yang memiliki kekuatan dan keawetan tinggi dikelompokkan bersama jenis yang memiliki kekuatan dan keawetan rendah.
138
c. Dalam SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 terdapat kelompok jenis meranti yang memuat tiga kelompok meranti secara terpisah, yaitu meranti merah, meranti kuning, dan meranti putih. Pada masing-masing kelompok meranti tersebut dijumpai banyak jenis meranti yang memiliki sifat kekuatan dan keawetan berbeda secara ekstrim, sehingga tidak tepat jika jenis kayu meranti yang keras dan awet dikenakan tarif iuran yang sama dengan jenis meranti yang lunak dan kurang awet. Hal ini menunjukkan perlunya dilakukan pengelompokan lebih spesifik menurut kualitas kayu. d. Selain pengelompokkan jenis kayu, nama botani jenis kayu juga mengalami perubahan berdasarkan perubahan taksonominya. Nama botani yang tercantum pada
SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 belum
diperbaharui, seperti misalnya penulisan marga Eugenia sp. untuk kayu jambu-jambu atau kelat telah berubah menjadi Syzygium sp. Selain itu, kayu sengon atau jeungjing yang memiliki nama botani Paraserianthes falcataria telah berubah menjadi Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J.W. Grimes. Kayu giam yang termasuk kelompok komersial satu dengan nama lokal resak batu dan resak gunung, lebih dikenal di perdagangan internasional dengan nama resak (Cotylelobium sp.), sedangkan giam merujuk pada kayu-kayu berat dari marga Hopea. e. Jumlah jenis kayu yang diperdagangkan di Indonesia dan tercatat dalam LIU (License Information Unit) pada Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) mencapai sekitar 200 jenis pada tahun 2013, 400 jenis pada tahun 2014, dan tercatat sekitar 700 jenis pada tahun 2015. Jenis yang diperdagangkan terus bertambah dan mencapai 2.146 pada awal Bulan November 2016. Dari jumlah tersebut, diperkirakan hanya terdapat 1.047 jenis kayu saja, karena pencatatan jenis kayu pada LIU memungkinkan untuk perekaman ganda dan tercampur dengan jenis kayu impor, bambu, dan rotan. Penambahan jenis kayu pada data LIU mengindikasikan bahwa jumlah kayu yang diperdagangkan semakin hari semakin bertambah. Saat ini, jenis kayu yang diperdagangkan dari dokumen LIU sudah di luar daftar jenis yang ada pada
139
SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003. Fenomena ini dapat menjadi koreksi terhadap kebijakan Pemerintah agar dapat memberi ruang yang memadai terhadap perubahan konsumsi kayu yang akan terus berlangsung di masa mendatang. Dengan kata lain, pertambahan ragam jenis kayu akan terus berlangsung hingga suatu saat mencapai penggunaan secara totalitas jenis-jenis kayu Indonesia. Fakta lapangan menunjukkan bahwa dalam dekade terakhir beberapa jenis kayu dari kelompok pohon pionir, seperti mahang (Macaranga spp.) dan beringin (Ficus spp.) telah dikonsumsi industri kayu untuk pembuatan beberapa produk panel. f. Secara umum pendapatan negara dari Provisi Sumber Daya Hutan yang mengacu pada implementasi SK Menteri Kehutanan No. 163/Kpts-II/2003 kurang optimal. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.68/Menhut-II/2014, nilai iuran untuk jenis kayu indah dua lebih tinggi sekitar 400% dari nilai iuran untuk jenis rimba campuran. Dari hasil kajian, terdapat 313 jenis kayu rimba campuran yang berdasarkan pengelompokan baru naik ke kelas indah dua, maka pendapatan negara dari PSDH kayu bulat dan dana reboisasi akan lebih optimal bila SK 163/Kpts-II/2003 disesuaikan. Dalam penetapan kriteria pengelompokan jenis-jenis kayu perdagangan, status konservasi jenis tersebut merupakan kriteria awal untuk menentukan suatu jenis kayu dapat diperdagangkan atau tidak. Jenis kayu yang jarang ditemukan dan telah masuk Apendix I CITES akan dikeluarkan dari pengelompokan kayu perdagangan, demikian juga untuk jenis-jenis kayu dengan larangan tebang seperti Shorea spp. penghasil tengkawang. Di Indonesia, kayu ramin dan gaharu masuk dalam Appendix II CITES sehingga masih dapat diperdagangkan meski dengan berbagai pengaturan untuk mencegahnya dari kepunahan. Selanjutnya, jenis kayu akan dikelompokkan melalui dua tahap, pertama diseleksi berdasarkan tingkat keindahan (Kelas Komersil I dan II), kemudian kayu yang tidak masuk kelompok indah akan dinilai berdasarkan Berat Jenis
140
(BJ) dan keawetan untuk dikelompokkan dalam kelas komersial lainnya (Kelas Komersil III, IV dan V). Keindahan merupakan parameter pertama yang digunakan dalam menilai suatu jenis kayu karena menentukan tingkat komersialitas kayu tersebut. Kriteria keindahan kayu didasarkan pada keberadaan dan ketegasan corak kayu, kerataan warna, orientasi serat, tekstur, dan kesan kilap. Nilai keindahan suatu kayu semakin tinggi jika memiliki corak yang indah dan tegas. Homogenitas atau kerataan warna juga menentukan suatu kayu disebut indah dimana semakin homogen atau semakin merata warnanya, nilai keindahan semakin tinggi. Ciri penunjang keindahan lainnya, yaitu arah serat lurus dengan tekstur yang halus dan mengkilap. Batas penilaian untuk tiap pengelompokan jenis kayu perdagangan adalah sebagai berikut: -
Indah I (kelas komersial I) nilai 40 – 50, berat jenis dan keawetan tinggi, nilai gabungan minimal 56
-
Indah II (kelas komersial II) nilai keindahan minimal 30
-
Kelas komersial lain, nilai keindahan < 30; dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan berat jenis dan kelas awet Selama proses penilaian, jika tidak memenuhi kriteria dalam kelas
komersial I dan II, maka kayu tersebut akan dinilai berdasarkan berat jenis dan kelas awet, untuk selanjutnya diklasifikasikan ke dalam tiga kelas komersial lainnya, yaitu: nilai ≥ 16
-
Kelas komersial III,
-
Kelas komersial IV, nilai 10-15
-
Kelas komersial V,
nilai ≤ 9
Berat jenis merupakan salah satu sifat kayu yang memberikan pengaruh pada kekuatan kayu. Dalam kriteria yang telah ditetapkan, berat jenis kayu dikelompokkan dalam tiga kelas yaitu tinggi (>0,75); sedang (0,40-0,75), dan rendah
(<0,40)
mengikuti
kombinasi
klasifikasi
Association of Wood Anatomist (Alfonso et al., 1989).
141
dalam
International
Dari 1.049 jenis kayu (dua kayu tambahan di luar LIU), 823 jenis kayu telah dikelompokkan berdasarkan kriteria parameter komersialitas dan kualitas, sedangkan 226 jenis kayu belum dapat dikelompokkan karena datanya belum lengkap. Contoh kayu jenis tersebut tidak ditemukan di koleksi kayu Xylarium Bogoriense 1915, dan selain itu, data dari pustaka yang ada belum mencakup 226 jenis kayu tersebut. Hal ini kemungkinan disebabkan 226 jenis kayu tersebut termasuk kayu impor yang belum diberi keterangan dan/atau adanya jenis kayu sinonim. Total sebanyak 823 jenis kayu yang telah dikelompokkan, yaitu 320 jenis kayu yang termasuk dalam Kelas Komersial II dan 40 jenis kayu yang termasuk dalam Kelas Komersial I. Dari pencermatan hasil penilaian tampak bahwa 40 jenis kayu yang termasuk dalam Kelas Komersial I merupakan kayu yang memiliki nilai corak keindahan tinggi dan berat jenis serta kelas awet juga tinggi. Tiga ratus dua puluh jenis kayu yang termasuk Kelas Komersial II memiliki nilai corak keindahan lebih rendah dari Kelas Komersial I atau keindahan tinggi tapi ratarata berat jenis dan kelas awet sedang sampai rendah. Jenis kayu Kelas Komersial III yang berjumlah 53 jenis kayu memiliki nilai berat jenis dan kelas awet tinggi, namun keindahan kurang. Dua ratus delapan jenis kayu yang termasuk kelompok Kelas Komersial IV memiliki nilai berat jenis dan kelas awet sedang, dan 202 jenis kayu termasuk dalam kelompok Kelas Komersial V dengan nilai berat jenis dan kelas awet rendah. Perbandingan hasil penilaian pengelompokan jenis kayu perdagangan berdasarkan komersialitas dan kualitas dengan klasifikasi dalam SK 163/KptsII/2003 menunjukkan bahwa terdapat 313 jenis (38,03% kayu naik kelas dari rimba campuran menjadi Kelas Komersial I, II atau III. Kenaikan kelompok klasifikasi ini mengindikasikan adanya potensi peningkatan PNBP dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dari jenis yang sebelumnya masuk rimba campuran menjadi Kelas Komersial I, II atau III. Selain kenaikan tingkat klasifikasi, terdapat juga 185 jenis kayu (22,48%) yang berubah dari kelas komersial tinggi (Indah Satu, Indah Dua atau Komersial Satu) berdasarkan SK
142
163/Kpts-II/2003 menjadi kelas komersial lebih rendah, yaitu kelas komersial IV dan V. Penurunan kelas ini disebabkan beberapa jenis kayu yang pada awalnya masuk dalam kelas indah turun ke kelas klasifikasi yang lebih rendah dimana nilai keindahannya dianggap kurang. Hasil pencermatan terhadap hasil penilaian juga menunjukkan bahwa 325 jenis kayu (39,49%) memiliki klasifikasi yang setara.
5.
KESIMPULAN DAN SARAN Evaluasi SK 163/Kpts-II/2003 menunjukkan bahwa Surat Keputusan
tersebut sudah saatnya diperbaiki, karena beberapa hal sebagai berikut: kriteria keindahan kurang jelas, kayu dengan berat jenis dan keawetan tinggi dikelompokkan bersama dengan kayu yang mempunyai kelas rendah, pengelompokan meranti terlalu umum, belum mengikuti perubahan taksonomi dan
nama
botani,
belum
mengakomodir
jumlah
jenis
kayu
yang
diperdagangkan saat ini, dan kurang optimalnya potensi pendapatan negara dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Pengelompokan kayu perdagangan Indonesia dapat dilakukan secara sederhana dengan sistem skoring, dengan memasukkan nilai komersialitas keindahan dan kualitas (berat jenis dan keawetan) kayu. Dengan sistem skoring, kayu yang memiliki nilai komersial dapat dipetakan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Sebanyak 823 jenis kayu yang terdaftar dalam License Information Unit (LIU) telah dinilai, dengan pengelompokan sebagai berikut: 40 jenis kayu Kelas Komersial Satu (Keindahan, berat jenis dan keawetan tinggi), 320 jenis Kelas Komersial Dua (Indah), 53 jenis kayu Kelas Komersial Tiga (Berat jenis dan keawetan tinggi namun keindahan kurang), 208 Kelas Komersial Empat (Berat jenis dan keawetan sedang namun keindahan kurang), dan 202 Kelas Komersial Lima (Keindahan, berat jenis dan keawetan rendah). Perbandingan hasil penilaian pengelompokan jenis kayu perdagangan berdasarkan komersialitas dan kualitas dengan klasifikasi dalam SK 163/Kpts-
143
II/2003 menunjukkan terdapat 313 jenis (38,03%) kayu naik kelas dari rimba campuran menjadi Kelas Komersial I, II atau III; 185 jenis kayu (22,48%) yang berubah dari kelas komersial tinggi (Indah Satu, Indah Dua atau Komersial Satu) berdasarkan SK 163/Kpts-II/2003 menjadi kelas komersial lebih rendah, yaitu kelas komersial IV dan V; dan 325 jenis kayu (39,49%) memiliki klasifikasi yang setara. Pengelompokan jenis kayu perdagangan yang sudah disusun dengan kriteria yang telah ditetapkan diharapkan dapat mengoptimalkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor kehutanan. Pengelompokan jenis kayu perdagangan berdasarkan komersialitas dan kualitas yang telah ditetapkan dalam kajian ini selanjutnya dapat dijadikan bahan masukan untuk penyusunan Surat Keputusan Menteri tentang Pengelompokan Jenis Kayu Perdagangan Indonesia untuk menyempurnakan SK. Menteri Kehutanan No.163/Kpts-II/2003. Untuk 226 jenis kayu yang belum lengkap datanya dan jenis lainnya di luar 823 jenis yang telah diklasifikasikan, perlu dilakukan penelitian sifat dasar terlebih dahulu sehingga dapat diklasifikasikan pengelompokan jenisnya. Contoh kayu dapat dikirim ke Pusat Litbang Hasil Hutan untuk dilakukan penelitian dan pengklasifikasian.
144
146