IDEALISME PENDIDIKAN PLATO AB. Musyafa’ Fathoni Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo
Abstract: Plato is one well-known Greek philosopher. His philosophical thoughts was strongly influenced by the ideas of Socrates because of his teacher. The essence of Plato’s teachings is about the idea (the world of idea). In his view, there are two kinds of the world. The first, this world, which is observed with the senses. The second, the world of idea, a world that has no change, no plurality (in the term of the good is only one, and beauty is only one). It is eternal. The concepts of these ideas eventually affect Plato’s ideas about education. Kata kunci : Plato, idealisme, pendidikan
Pendahuluan Pemikiran para filosof Yunani tentang alam dan manusia seringkali dijadikan sebagai pangkal rujukan gagasan-gagasan filosofis. Pengaruh pemikiran filsosf Yunani juga tampak dalam pemikiran para filosof Muslim.1 Hal ini wajar, karena pada waktu itu di Yunani telah muncul para pemikir yang mencoba menerka teka-teki alam dan isinya. Dari sinilah mulai muncul apa yang disebut dengan filsafat. Salah satu tokoh yang sangat terkenal di masa itu ialah Plato. Dia adalah tokoh aliran idealisme. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa. Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan yaitu dunia ide. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata hanyalah ide. Ide sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan 1 W. Montgomery Watt, Islamic Philosophy and Theologi (Edinburgh : Edinburgh University Press, 1985), hlm. 37.
Idealisme Pendidikan Plato
serta penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan ide seorang filosof yang sangat menekankan kepada dunia ide. Dunia ide inilah yang dianggap oleh Plato sebagai realitas asli dari seluruh benda. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini berupaya menelusuri pemikiran Plato tentang ide dan bagaimana implikasinya terhadap dunia pendidikan, dan analisis kritis terhadap pemikiran idealisme pendidikan Plato. Sekilas Biografi Plato Tempat dan kelahiran Plato yang sesungguhnya tidak diketahui dengan pasti. Ada yang mengatakan ia lahir di Athena, ada pula yang mengatakan ia lahir di pulau Aegina. Demikian halnya dengan tahun kelahirannya, ada yang mengatakan ia lahir pada tahun 428 SM, 2 ada juga yang mengatakan ia lahir tahun 427 SM.3 Plato dilahirkan di penting dalam politik di Athena. Ayahnya bernama Ariston, seorang bangsawan keturunan Raja Kordus, raja terakhir Athena yang dikagumi oleh rakyatnya. Ibunya bernama Periktione keturunan Solon, tokoh legendaris dan negarawan agung Athena.4 Nama Plato yang sebenarnya adalah Aristokles. Karena dahi dan bahunya amat lebar, maka ia mendapatkan julukan “Plato” dari seorang pelatih senamnya. Julukan ini cepat populer dan menjadi panggilannya sehari-hari, bahkan kemudian diabadikannya lewat seluruh karya-karyanya.5 Pada awalnya, Plato ingin menjadi seorang politikus, akan tetapi kematian Sokrates, gurunya dalam mempelajari filsafat selama delapan tahun, memadamkan cita-citanya tersebut.6 Kematian Sokrates menjadi awal pengembaraan Plato yang cukup lama sampai di Italia dan Sisilia. Setelah kembali dari pengembaraannya ia mendirikan sekolah “Akademi” (dekat kuil pahlawan Akademos). Maksud Plato 2 Howard A. Ozmon and Samuel M.Craver, Philosophical Foundation of Education (Toronto : Meril Publishing Company, 1986), hlm. 3. 3 Mohammad Hatta, Alam Pikiran Yunani (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hlm. 87. 4 J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato (Jakarta: Rajawali Press, 1996), hlm. 41. 5 Ibid. 6 Harun Hadiwiyono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 38.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
99
AB. Musyafa’ Fathoni
mendirikan sekolah itu ialah untuk memberikan pendidikan yang intensif dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia memegang pimpinan akademi itu selama 40 tahun.7 Banyak karya Plato yang masih utuh dan lengkap. Di antara karyanya adalah : Apologia, Politeia, Shophistes, dan Timaios, serta dua karyanya yang terkenal “Republik” dan “Laws”.8 Dari seluruh karyanya dapat diketahui bahwa Plato kenal dengan para filosof pendahulunya seperti Herakleitos, Phytagoras, para filosof Elea, dan terlebih-lebih kaum Sophis.9 Filsafat Plato Sumber Filsafat Plato Pemikiran filsafat Plato banyak bersumber dari gurunya yaitu Sokrates. Ia adalah guru yang sangat dihormati, dikagumi serta dicintai. Bagi Plato, Sokrates adalah guru dan sahabat. Rasa hormat dan kecintaannya terhadap Sokrates terlihat dalam karya-karya filsafatnya. Hampir seluruh karya filsafatnya menggunakan “Metode Sokratik” yaitu metode yang dikembangkan oleh Sokrates yang dikenal dengan nama “metode dialektis”10 atau disebut juga dengan “elenkhus”. Metode ini kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Plato dengan menuliskan dialog-dialognya ke dalam suatu bentuk kesusastraan yang mampu mempesona umat manusia dari abad ke abad. 11 Selain Sokrates, Plato juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filosof sebelum Sokrates seperti Heraklitos, Parmanides, dan ajaran Orphisme yang sering disebut sebagai Misteri Orphik.12 Plato juga 7
Ibid. Ozmon, Philosophical Foundation, hlm. 3. 9 Ibid., hlm. 39. 10 Dialektika berasal dari bahasa Yunani dialektos, dalam bahasa Inggris dialectic (Pidato, pembicaraan, perdebatan). Meskipun Dialektika digunaka mulai sebelum Sokrates namun dialah yang memberikan bentuk klasik dialektika, yang kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh Plato dalam usahanya untuk menyiapkan jalan naik kepada realitas yang asli, yakni ide-ide. Karena itu, bagi Plato dialektika merupakan metode metafidika yang mendatangkan atau menghasilkan pengetahuan tertinggi. Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 161-163. 11 J.H.Rapar, Plato, hlm. 47. 12 Ibid., hlm. 49. 8
100
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Idealisme Pendidikan Plato
mengenal konsep Pythagoreanisme tentang tubuh dan jiwa sebagai soma-sema yang artinya tubuh (soma) adalah kubur (sema) bagi jiwa, walaupun akhirnya ia menolak konsep tersebut dengan mengatakan tubuh adalah penjara jiwa.13 Idealisme Plato Intisari ajaran Plato adalah pendapatnya tentang ide (alam ide).14 Ajaran Plato ini merupakan ajaran yang sulit untuk dipahami karena selalu berkembang.15 Pada awalnya, ide dikemukakan sebagai teori logika, kemudian meluas menjadi pandangan hidup, menjadi dasar umum bagi ilmu politik dan sosial serta mencakup pandangan tentang pendidikan. Dalam Pandangan Plato, ide adalah realitas yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada dan dapat dikenal lewat panca indera. 16 Pohon, bunga, manusia, hewan dan lain sebagainya akan mati dan berubah, tetapi ide tentang pohon, bunga, manusia, dan hewan tidak akan pernah berubah. Bagi Plato, ide bukanlah gagasan yang hanya terdapat di dalam pikiran manusia saja, yang bersifat subjektif. Ide ini bukan gagasan yang dibuat manusia, yang ditemukan manusia, sebab ide ini bersifat objektif; artinya berdiri sendiri, lepas daripada subjek yang berpikir,
13
Ibid., hlm. 50. Agar tidak terjebak dalam ambiguitas pengertian ide, perlu dipahami bahwa ide yang dimaksud oleh Plato tersebut bukanlah ide yang bersifat kognitif yang berarti suatu gambaran (kesan) mental atau satu rencana kegiatan (gagasan), sebagai contoh dikatakan : “Anda memiliki ide (gagasan) yang cemerlang. Ide yang dimaksud Plato dalam teori filsafatnya lebih bersifat metafisik. Dan karena toeri ide Plato berisi segala sesuatu yang sempurna (idel) maka filsafatnya dikategorikan dalam aliran filsafat Idealisme, yaitu suatu doktrin falsafi yang memisahkan dan mempertegas pentingnya jiwa diatas benda-benda materiil. Lihat James P.Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini-Kartono (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 236. James Prever, Kamus Psikologi, terj. Nanci Simanjutak (Jakarta: Bina Aksara,1980), hlm. 209-210. Lihat pula Godwin Watson, “Idealisme”, The Warld Book Encyclopaedia, vol. 10 (Chicago : World Book Inc), hlm. 38-39. 15 Hatta, Yunani, hlm. 97. 16 Rapar, Filsafat Politik Plato, hlm. 51. 14
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
101
AB. Musyafa’ Fathoni
tidak tergantung pada pemikiran manusia, akan tetapi sebaliknya ide yang memimpin pikiran manusia.17 Dari sini tampak bahwa dalam pandangan Plato terdapat dua macam dunia. Pertama, dunia ini, yang serba berubah dan serba jamak di mana tiada hal yang sempurna, dunia yang diamati dengan inderawi. Kedua, dunia ide, dimana tiada perubahan, tiada kejamakan (dalam arti ini, bahwa yang baik hanya satu, dan yang indah hanya satu), yang bersifat kekal.18 Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada dan yang nyata di alam ini hanya ide. Dunia ide merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar, sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas. Tumpuan yang paling akhir dari ide adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia ide dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan. Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami bahwa secara metafisis, pikiran barulah berupa gerakan-gerakan rohaniah untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani ini, akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Dengan demikian, sumber pengetahuan itu terletak pada kenyataan rohani dan kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan ide. Berangkat dari teorinya tentang ide, Plato meneruskan penjelasannya tentang pengetahuan sejati (true knowledge). Ia percaya bahwa segala sesuatu yang kita lihat di sekeliling kita di alam ini, segala sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun, sebab tidak 17
Hadiwijono, Sari Sejarah, hlm. 40. Lihat pula Bernard Delfauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, terj. Soejono Soemargono (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992), hlm. 22. 18 Ibid., hlm. 41.
102
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Idealisme Pendidikan Plato
ada sesuatupun di dunia inderawi yang abadi. Manusia dan hewan lambat laun akan mati dan membusuk bahkan balok marmer pun lambat laun akan hancur. Sehingga Plato berkesimpulan bahwa kita tidak akan dapat memiliki sesuatu pengetahuan yang sejati (true knowledge) dari segala sesuatu yang selalu berubah. Kita hanya akan mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dipahami oleh akal kita.19 Menurut Plato yang dapat menunjukkan pengetahuan sejati (true knowledge) adalah matematika, karena matematika itu tidak pernah berubah dan selalu benar.20 Sebagai contoh bila seorang guru menanyakan pada murid-muridnya tentang warna pelangi apakah yang paling indah, barangkali dia akan mendapatkan banyak jawaban yang berlainan. Tapi jika ditanya berapakah 8 X 3, maka seluruh murid akan memberikan jawaban yang sama. Sebab kini akal yang berbicara bukan perasaan, dan akal hanya akan mengungkapkan keadaan yang kekal dan universal. Dari teori dualisme dunia yang dikemukakannnya, Plato juga percaya bahwa semua fenomena alam itu hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal. Tapi kebanyakan manusia sudah puas hidup di tengah bayang-bayang. Mereka tidak memikirkan bayang-bayang itu. Mereka mengira bahwa hanya bayang-bayang itulah yang ada, tanpa menyadari bahwa bayang-bayang itu hanyalah sekedar bayang-bayang.21 Plato menjelaskan hal ini dalam sebuah alegori “manusia gua” berikut : “Bayangkan beberapa orang berada dalam sebuah gua yang gelap dan duduk membelakangi mulut gua. Tangan dan kaki mereka terikat sehingga tidak dapat bergerak sedikitpun dan hanya dapat melihat dinding gua dihapan mereka. Suatu saat mereka melihat di dinding gua bayangan benda di luar gua. Mereka barada dalam posisi ini sejak ia dilahirkan, sehingga ia mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada. Bayangkan bila salah seorang dari mereka berusaha untuk melepaskan belenggu. Hal pertama yang ingin diketahuinya adalah ingin mengetahui dari manakah asal bayang-bayang tersebut. Dan yang terjadi adalah mula-mula ia silau 19
Jostein Gardner, Dunia Sophi, terj. Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 106. Ozmon. Philosophical Foundation, hlm. 3. 21 Gardner, Sophi, hlm. 109. 20
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
103
AB. Musyafa’ Fathoni
karena cahaya di luar gua yang terang. Dia juga terpesona ketika melihat benda-benda yang asli. Penghuni gua yang kegirangan tersebut teringat akan teman-temannya yang masih ada dalam gua, kemudian ia kembali ke gua untuk meyakinkan bahwa bayangbayang tersebut hanyalah refleksi dari benda-benda yang sebenarnya, akan tetapi mereka tidak mempercayainya dan akhirnya mereka membunuhnya. 22 Dari alegori tersebut tersirat bahwa, sebenarnya kita hidup dalam sebuah gua dan terbelenggu oleh ketidaktahuan dan kebodohan. Bila kita berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut, itulah awal dari sebuah pendidikan. Dan usaha kita mendaki gua tersebut sebagai representasi dari dialektik yang akan membawa kita dari dunia yang serba berubah menuju dunia ide. Perlu diperhatikan pula bahwa, dari alegori tersebut seorang filosof tidak hanya berurusan dengan pemikirannya sendiri, tapi juga harus membagi (mengajarkan) pengetahuannya pada orang lain walaupun kematian sebagai taruhannya.23 Idealisme Plato sebagai Filsafat Pendidikan Tujuan Pendidikan Dari pendapatnya tentang ide, maka tujuan pendikan menurut Plato harus diarahkan untuk menemukan kebenaran sejati (true knowledge). Selain itu pendidikan juga harus diarahkan untuk pengembangkan watak (character development).24 Dalam usahanya untuk menemukan kebenaran siswa harus lebih diarahkan untuk menemukan konsep-konsep tentang ide dari pada dunia materi yang serba berubah. Dunia materi bukanlah dunia yang hakiki akan tetapi hanyalah sebuah bayang-bayang dan ilusi sebagaimana dilihat oleh manusia gua. Dalam pandangan Plato hikmah filsafat (philosophic wisdom) atau konsep tentang ide yang hakiki merupakan kebenaran tertinggi yang harus dijadikan tujuan pendidikan.25 22
Ibid., hlm. 110. Ozmon, Philosphical Foundation, hlm. 4. 24 Ibid., hlm. 13. 25 Ibid. 23
104
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Idealisme Pendidikan Plato
Mengenai pengembangan karakter (character development), Plato memandang siswa sebagai seorang yang sangat potensial untuk berkembang dari aspek moral maupun intelektual26. Oleh sebab itu, sekolah harus mengembangkan potensi tersebut. Dalam hal ini guru menempati posisi penting untuk mendorong sisiwa berani mengemukakan pertanyaan-pertanyaan dan harus menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar. Metode Pendidikan Di samping tujuan pendidikan, Plato juga menaruh perhatian khusus terhadap metode pendidikan. Plato tidak hanya memberi perhatian terhadap apa yang harus diajarkan tetapi juga bagaimana menyampaikan apa yang harus diajarkan itu dengan sebaik-baiknya sehingga pendidikan itu dapat berhasil semaksimal mungkin. Menurut Plato metode pendidikan yang paling baik di tingkat dasar adalah metode permainan (game), permainan peran (role playing), atau simulasi dan permainan (simulation and game). Hal tersebut terlihat dalam ungkapan Plato: “…di dalam mendidik anak-anak, didiklah mereka dengan semacan permainan…”.27 Dari sini tampak bahwa plato tidak hanya berfikir idealis tapi juga berfikir praktis. Apa yang disampaikan Plato tentang belajar sambil bermain tampaknya terus dikembangkan oleh para praktisi pendidikan sampai sekarang ini. Melalui proses pembelajaran dengan kegiatan yang menyenangkan bagi anak-anak yaitu melalui bermain, diharapkan dapat merangsang dan memupuk kreativitas anak sesuai dengan potensi yang dimilikinya untuk pengembangan diri sejak usia dini. Adapun metode pendidikan untuk tingkat atas adalah dialektika.28 Melalui metode berfikir kritis ia percaya bahwa individu dapat melihat sesuatu secara menyeluruh. Karyanya yang bertema Republik merupakan hasil dialektika yang berusaha untuk mengintegrasikan batasan pendidikan yang luas ke dalam suatu pengertian yang menyeluruh. Dengan metode ini Plato yakin bahwa kita dapat mengembangkan ide kita untuk membentuk sebuah sintesa dan konsep yang 26
Ibid. Rapar, Filsafat Politik Plato, hlm. 118 28 Ibid. 27
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
105
AB. Musyafa’ Fathoni
universal. Walaupun metode ini merupakan dapat dipelajari akan tetapi membutuhkan sikap kritis, kemampuan dalam bidang matematika, dan studi yang mendalam. Oleh karena itu, dialektika merupakan puncak untuk mendapatkan pengetahuan, dan hanya mereka yang mempunyai kemampuan istimewa yang dapat mempelajarinya. Yang dimaksud kemampuan istemewa yaitu kemampuan untuk melepaskan diri dari belenggu dan ikatan realitas yang ada di dunia inderawi dan beralih menuju realitas hakiki yang ada di dunia ide.29 Pendidikan dalam pandangan Plato dan kaum idealisme merupakan proses untuk menemukan kebenaran sejati. Oleh karena itu, guru dalam sistem pengajaran harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) guru adalah personifikasi dari kenyataan si anak didik; (2) guru harus seorang spesialis dalam suatu ilmu pengetahuan dari siswa; (3) Guru haruslah menguasai teknik mengajar secara baik; (4) Guru haruslah menjadi pribadi terbaik, sehingga disegani oleh para murid; (5) Guru menjadi teman dari para muridnya; (6) Guru harus menjadi pribadi yang mampu membangkitkan gairah murid untuk belajar; (7) Guru harus bisa menjadi idola para siswa; (8) Guru harus rajin beribadah, sehingga menjadi insan kamil yang bisa menjadi teladan para siswanya; (9) Guru harus menjadi pribadi yang komunikatif; (10) Guru harus mampu mengapresiasi terhadap subjek yang menjadi bahan ajar yang diajarkannya; (11) Tidak hanya murid, guru pun harus ikut belajar sebagaimana para siswa belajar; (12) Guru harus merasa bahagia jika anak muridnya berhasil; (13) Guru haruslah bersikap demokratis dan mengembangkan demokrasi; (14) Guru harus mampu belajar, bagaimana pun keadaannya.30 Kurikulum Walaupun pada waktu itu belum muncul istilah kurikulum sebagaimana pendidikan modern, akan tetapi Plato telah membuat rencana dan program pendidikan yang dapat kita kategorikan sebagai kurikulum. Akan tetapi rencana dan program pendidikan tersebut 29
Ibid, hlm. 120. dan Trisnahada. Idealisme dalam Filsafat Pendidikan. http://akhmadsudrajat.wordpress. com. 30Wahudin
106
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Idealisme Pendidikan Plato
hanya diperuntukkan pada kelas-kelas golongan penjaga31 tanpa memberikan alasan mengapa ada “pengkhususan” seperti itu.32 Rencana dan program pendidikan bagi kelas-kelas dalam golongan penjaga dibagi kedalam tiga tahap sesuai dengan usia tanpa membedakan pria dan wanita. Ketiga tahap pendidikan tersebut adalah : Tahap pertama ialah pendidikan yang diberikan kepada taruna hingga berusia dua puluh tahun. Pelajaran yang diberikan terdiri dari dua bagian pokok yaitu musik dan gimnastik yang diberikan satu persatu. Dari proses pendidikan tahap pertama ini Plato mengharapkan terbentuknya manusia yang bermoral tinggi dan siap menerima pengetahuan yang lebih luas. Tahap kedua ialah pendidikan yang diberikan dari usia dua puluh tahun hingga usia tiga puluh tahun. Yang diperkenankan mengikuti program ini ialah mereka yang telah lulus pendidikan tahap pertama melalui seleksi yang sangat ketat. Pelajaran yang diajarkan adalah ilmu-ilmu eksakta seperti : matematika, astronomi, geometri dan sebagainya. Pelajaran pada pendidikan tahap kedua ini memiliki sasaran ganda yaitu keperluan profesional seperti menyusun pasukan di pertempuran, perdagangan dan sebagainya dan sebagai latihan intelektual dan berfikir sistematis. Tahap ketiga ialah pendidikan tahap ketiga ini dimulai dari usia tiga puluh tahun hingga usia tiga puluh lima tahun, dan diperuntukkan bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tahap ke dua dengan gemilang. Materi yang diajarkan adalah filsafat dengan metode dialektika. Inilah puncak dari semua pelajaran. Setelah mereka menyelesaikan pendidikan ini mereka harus kembali ke gua agar mereka dapat belajar memimpin di bawah bimbingan para pemimpin yang telah berpengalaman. Proses bimbingan ini memerlukan waktu lima belas tahun. Setelah berusia lima puluh tahun, barulah mereka 31
Dalam konsep negara idealnya, plato membayangkan negara dibangun seperti tubuh tubuh manusia yang terdiri dari kepala, dada, dan perut. Oleh karena itu negara juga terdiri dari tiga bagian yaitu pemimpin, pembantu, dan pekerja. Ketiga kelas tersebut pada dasarnya berasal dari dua golongan yang tidak boleh di sejajarkan yaitu golongan penjaga yang terdiri dari kelas pemimpin dan pembantu dan golongan karya yang terdiri dari kelas pekerja. Lihat Gardner, Shophi, hlm. 111 dan Rapar, Filsafat Politik Plato, hlm. 77. 32 Ibid., hlm. 112.
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
107
AB. Musyafa’ Fathoni
diperkenankan ikut memerintah negara, yaitu bagi mereka yang benar-benar cakap memimpin, memiliki karakter yang terpuji dan memiliki moralitas yang tinggi.33 Dalam semua tahap pendidikan yang diprogramkan, aspek penting yang harus mendapatkan perhatian adalah mengajarkan pada siswa cara berfikir34. Dari sini terlihat bahwa Plato menekankan penggunan akal untuk berfikir. Dari penggunaan akal inilah akhirnya seseorang dapat naik ke dunia ide yang diyakini sebagai kebenaran sejati (true knowledge). Untuk menghasilkan siswa yang terampil mengunakan fikirannnya, kurikulum yang digunakan dalam pendidikan yang beraliran idealisme lebih memfokuskan pada isi yang objektif. Pengalaman haruslah lebih banyak daripada pengajaran yang textbook. Agar supaya pengetahuan dan pengalamannya senantiasa aktual. Penutup Bila kita cermati tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Plato, yang tidak hanya mengembangkan atau menumbuhkan, melainkan mengarahkan pada penemuan kebenaran yang hakiki yang bersifat kekal, sebenarnya konsep tersebut mempunyai pendekatan yang sama dengan filsafat pendidikan Islam. Titik perbebedaan antara idealisme Plato dan idealisme Islam terletak pada sanksi sebagai konsekwensi.35 Menurut Idealisme Plato, bila suatu perbuatan itu sesuai dengan susunan dunia moral maka berguna bagi kehidupan, dan bila tidak sesuai akan berakibat pada kerusakan diri sendiri. Sedangkan menurut Islam sanksi bagi perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan moral adalah siksa dari Allah swt. Bagi aliran idealisme, anak didik merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke 33
Lihat Rapar, Filsafat Politik Plato, hlm. 113-120. Ozmon, Philosophical Foundation, hlm. 20. 35 M.Arifin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Bumi Aksara, 1997), hlm. 150. 34
108
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
Idealisme Pendidikan Plato
dalam sistem pengajaran dalam kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa adanya spiritual. Aspek lain yang perlu kita cermati dari pemikiran idealisme Plato adalah pengkhususan pendidikan pada golongan penjaga dan melupakan golongan pekerja. Konsekwensinya pendidikan tidak diperuntukkan untuk masyarakat luas akan tetapi khusus bagi mereka yang mempunyai strata sosial yang tinggi di masyarakat. Hal ini bertentangan dengan program pemerintah saat ini yaitu perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Selain itu pendidikan yang menekankan pada upaya untuk menemukan kebenaran sejati yang sempurna dan abadi sebagaimana keyakinannya, dapat menimbulkan sifat statis dalam dunia pendidikan. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa, jika kebenaran itu bersifat abadi maka kebenaran tersebut telah ditemukan dalam karya-karya terdahulu dan hanya itu yang akan diajarkan pada generasi berikutnya. Konsekwensi dari pemikiran ini, dapat melemahkan semangat untuk meneliti kebenaran dan dapat memangkas sikap kreatif dan inofatif manusia. Walaupun demikian pemikiran filosofi Plato tentang pendidikan telah banyak memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan pemikiran pendidikan. Akan tetapi di abad informasi ini, pemikiran tersebut tampaknya sulit untuk diaplikasikan dalam dunia pendidikan modern, dan sulit untuk menemukan suatu sekolah yang secara murni menerapkan prinsip filsafat pendidikan Plato. Beberapa faktor yang menyebabkan pemikiran idealis Plato sulit untuk diterapkan di abad ini antara lain : berkembangnya industrialisasi dan teknologi, dan kuatnya pemikiran filosofi realisme dan naturalistik yang berujung pada kehidupan yang materialistik yang bertolak belakang dengan aspek kehidupan idealis. Wa Allâh a’lam bi alShawâb.*
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010
109
AB. Musyafa’ Fathoni
Daftar Pustaka Arifin, H.M. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Bumi Aksara, 1996. Bagus, L. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Chaplin, J.P. Kamus Lengkap Psikologi. Ter.Kartini-Kartono. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993. Delfgaauw, B. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Ter. Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992. Gardner, J. Dunia Sophi. Ter.Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1997. Hatta, M. Alam Pikiran Yunani. Jakarta: Tinta Mas, 1986. Hadiwijono, H. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Ozmon, H dan Samuel. M.C. Philosophical Foundation of Education. Sydney, Meril Publishing Company. Poejawijatna. Pembimbing Ke arah Alam Filsafat. Jakarta: Rieneka Cipta, 1994. Prever, J. Kamus Psikologi. terj. Nanci Simanjutak. Jakarta: Bina Aksara,1980. Rapar, J.H. Filsafat Politik Plato. Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Wahudin dan Trisnahada. Idealisme dalam Filsafat Pendidikan. http:/ /akhmadsudrajat.wordpress.com. Watson, G. “Idealisme”. The Warld Book Encyclopaedia. Vol. 10. Chicago: World Book Inc. Watt, W. Montgomery. Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh : Edinburgh University Press, 1985.
110
Tadrîs. Volume 5. Nomor 1. 2010