Makna Modernitas bagi Seniman Seni Rupa Modern Indonesia 1 Iwan Meulia Pirous (Universitas Indonesia) Abstract In this article, the author assumes that the clear-cut distinction between modern and traditional arts is merely a form of scientific construction which needs to be re-examined. The political, social and cultural problems underlying the development of modern art, in particular in developing countries are quite different from those in Euro-American countries. Therefore, the artistic expressions are also different and cannot be analysed in terms of aesthetical standard as developed in the West. The author provides evidences that the modern art in Indonesia has its own discourse. An ‘intensive dialogue’ between the traditional and the modern elements is going on. Three cases drawn from three artists are discussed in this article as the example of the ongoing dialogue.
Orientalisme dalam Antropologi Seni Literatur tentang kesenian dari sudut pandang antropologi umumnya memfokuskan diri pada kesenian tradisional yang menjadi milik suatu sukubangsa tertentu, atau suatu komunitas etnis tertentu. Minimnya penelitian antropologi terhadap fenomena seni modern disebabkan oleh adanya suatu sikap dalam disiplin Antropologi Kesenian sendiri yang menganggap bahwa fenomena kesenian modern hanya berpusat di ’Barat’ dan oleh karena itu tidak menarik untuk diteliti. Konsekuensinya, fenomena kesenian apa pun di luar 1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang dipresentasikan dalam Sesi ‘Karya Antropologi dalam Seni dan Dokumentasi’ dalam Seminar ‘Menjelang Abad ke-21: Antropologi Indonesia menghadapi Krisis Budaya Bangsa’, 6-8 Mei 1999, Pusat Studi Jepang, Kampus Universitas Indonesia, Depok. Materi dari tulisan ini berasal dari skripsi S1 penulis berjudul: Makna Modernitas bagi Seniman Modern Indonesia: Studi Kasus terhadap Tiga Seniman di Surabaya, Jogyakarta dan Bandung (1997).
42
peradaban Barat yang membawa elemenelemen modern menjadi tidak signifikan, dianggap sebagai bayangan atau bahkan merupakan anomali dari kesenian modern. Edward Said dalam Orientalism mengemukakan bahwa peradaban Barat (Occident) memiliki suatu angan-angan akan peradaban yang memiliki sifat-sifat oposisi yang tidak dipunyai oleh mereka: suatu dunia lain yang memikat, eksotis, misterius sekaligus barbar yang perlu dikelola dan diberi pencerahan. Kawasankawasan demikian diberi label sebagai kawasan Orient yang dipelajari secara akademis, dan melembaga dalam sistem pengetahuan Barat menjadi suatu isme besar: Orientalisme. Gagasan Orientalisme adalah sekumpulan kosakata yang disediakan kacamata Barat untuk memandang dunia di luar mereka (Said 1994:6). Teori-teori kesenian Barat tidak luput dari cakupa Orientalisme tadi. Secara epistemologis, bangunan teori tentang kesenian modern tidak pernah menyertakan kesenianANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
kesenian di luar Barat sebagai kesenian yang sejajar dengan kesenian Barat. Secara apriori, seniman Barat atau kritikus seni Barat menyerahkan kesenian di luar peradaban Barat pada antropolog, untuk diperlakukan sebagai seni etnis (ethnoart). Antropolog sendiri tidak begitu tertarik pada fenomena kesenian kecuali yang bermuatan etnis dan bersifat tradisional, sehingga bahasan kesenian modern di negara berkembang relatif tidak terlalu tersentuh. Cara pandang seperti ini menjadi wacana dominan dalam pembahasan tentang kesenian, dan sedikit banyak menghegemoni dalam kurikulum ilmiah.
Modernisme, modernisasi, modernitas dan seni rupa modern Penekanan modernisme adalah pada cara berpikir, suatu ide dan bukan materi. Secara historis ia terkait dengan sejarah panjang perkembangan kebudayaan dan peradaban Barat yang bermula semenjak Eropa Barat memasuki Zaman Renaissance pada awal abad ke -14 sampai abad ke-15. Pada saat itu seakanakan terjadilah suatu pemberontakan pikiran melawan dominasi nilai-nilai lama warisan gereja Katholik dan kerajaan yang memang dianggap tidak pantas lagi dipertahankan. Ada suatu kegairahan baru untuk menggali kembali ilmu pengetahuan yang telah dikembangkan oleh nenek moyang mereka jauh pada masa peradaban Yunani Kuno. Intinya sesudah masa Renaissance, dunia masuk dalam babak modern. Sastrawan, ilmuwan, pelukis, pematung, filsuf dan sebagian rohaniwan sama-sama menggulirkan bola dunia yang disebut orang modern itu (Awuy 1995:40). Modernisasi diartikan sebagai serangkaian proses perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan ilmiah yang menyebabkan dunia berubah dari keadaan sebelumnya. Modernisasi mengacu pada pertumbuhan ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
mesin-mesin dan pembangunan industri yang dipelopori oleh peradaban Eropa. Modernitas ini adalah suatu kondisi sosial dan kultural yang diakibatkan oleh perubahan-perubahan akibat modernisasi. Modernitas menitikberatkan pada pengalaman manusia, baik itu pengalaman pribadi (inner experience) ataupun ‘pengalaman sosial’ berupa timbulnya kesadaran akan perubahan dan adaptasi yang dilakukannya terhadap perubahan itu. Kondisi modernitas adalah aspek pengalaman yang direpresentasikan oleh nilai-nilai modernisme (Harrison dan Wood 1993:127). Seni Rupa Modern secara konseptual, sesuai dengan cara berpikir modernisme, selalu berjalan menjauhi tradisi. Hal ini berkaitan dengan sejarah kemunculan gagasan modernisme sendiri yang memang menolak elemen-elemen tradisi yang dikaitkan dengan tirani kerajaan pada zaman sebelum Renaissance. Munculnya Seni Rupa Modern di Eropa tidak dapat diperkirakan dengan pasti karena ada berbagai pendapat dengan argumentasinya masing-masing. Menurut Arnold W. Hauser (1957:9), periode Renaissance (14001520) di Florence (Italia) adalah bahan bakar bagi gerakan Seni Rupa Modern pada masa selanjutnya. Asumsinya adalah bahwa pada masa Renaissance telah terjadi revolusi dalam cara pandang para seniman yang tidak lagi terpaku pada hal-hal dogmatis dari agama Katholik pada masa Abad Kegelapan. Pendapat lain mengatakan bahwa Seni Rupa Modern lahir di Barat pada masa Impresionisme tahun 1874. Hal yang paling mendasar pada Seni Rupa Modern, menurut Sarah Newmeyer (1955: 3), bertumpu pada cara memandang seniman (vision) terhadap dunianya. Hal yang hendak dituangkan dalam karya seniman haruslah merupakan impresi pertama dari obyek yang dilihatnya, dan bukan impresi tentang suatu obyek berdasarkan karya orang lain. Seniman haruslah pergi mengamati 43
obyeknya dari dekat seakan-akan obyeknya itu baru saja tercipta pada saat dia melihatnya, bukan pengulangan. Kutipan sinis dari Gustave Courbet (pelukis Perancis yang dianggap radikal pada akhir abad ke-19) tepat sekali menggambarkan apa yang dimaksudkan di atas: ‘The museum should be closed for twenty years so that todays painters may begin to see the world with their own eyes (Newmeyer 1955:3).’ Jelas bahwa modernitas yang dialami oleh masyarakat Barat, dalam hal ini para seniman, dapat dicirikan dengan sikap membelakangi tradisi dan kolektivitas serta mengedepankan teknologi dan individualitas. Indonesia memiliki seniman-seniman yang sebenarnya hidup dalam dua dunia: di satu pihak ia adalah bagian dari masyarakat urban perkotaan yang terbentuk karena modernisasi pola Barat; namun di pihak lain, mereka juga adalah bagian dari masyarakat yang masih berpegang pada tradisi. Hal ini secara konseptual terlihat kontradiktif. Modernisasi menurut hakekatnya selalu menjauhi hal-hal yang bersifat tradisional yang dianggap menghambat. Atau, dengan kata lain, antara modern dan tradisional secara konseptual bersifat asimetris (Suwarsono dan So 1991:24). Ketika fenomena seni rupa modern memunculkan begitu banyak elemen-elemen yang berasal dari tradisi seperti yang ditemukan dalam perkembangan kesenian modern di luar kawasan Barat, lahirlah kebingungan dan pertanyaan tentang bagaimana mengklasifikasikan kesenian tersebut. Dengan otoritas standar akademis seni rupa modern yang dikembangkan Barat, tradisi dianggap sebagai kotoran bagi perkembangan kesenian modern dan hanya ‘layak’ bagi kesenian-kesenian tradisional. Tetapi justru di sini letak persoalannya. Kekayaan tradisi justru ditemukan di kawasankawasan luar Eropa yang pernah dikolonisasi oleh bangsa Barat. Apabila sebagai seniman modern mereka menggunakan elemen tradisi, 44
apakah berarti kesenian mereka menjadi rendah, atau dianggap anomali?
Mencari modernisme lewat tradisi Tidak seperti di Barat, kemunculan seni rupa modern di Indonesia (modernisme dalam kesenian rupa) tidak dapat dilepaskan dari peranan kolonialisme yang pernah terjadi hampir di seluruh bagian dunia, termasuk Asia Tenggara (kecuali Thailand). Gagasan seni rupa modern turut menyebar bersama dengan kolonialisme itu (Supangkat 1993). Perbedaan historis ini membentuk seni rupa modern Indonesia menjadi suatu fenomena yang berdiri sendiri, terlepas dari perkembangan sejarah seni rupa Barat (Wright 1994:2). Pembagian dikotomi modern-tradisional dalam fenomena kesenian sebetulnya banyak merupakan wacana besar hasil konstruksi ilmiah yang dituturkan untuk kepentingan bangsa Barat. Problematika (politik, sosial, kebudayaan) yang melatari perkembangan kesenian modern— khususnya seni rupa di kawasan bekas kolonialisme— sangat jauh berbeda dengan problematika di Eropa-Amerika, sehingga ekspresi keseniannya menjadi berbeda, dan tidak dapat diukur dengan standar estetika yang sama. Seni rupa modern bukanlah wacana tunggal milik peradaban Barat saja, karena di belahan dunia lain terjadi pergolakanpergolakan yang melahirkan modernitas yang lain (different modernity). Hal itu terekspresi dalam kesenian modern yang ’berwarna lain’ pula. Adanya pengalaman sebagai korban kolonialisme, keanekaragaman budaya serta tradisi, seharusnya membentuk suatu wajah modernisme lain yang melahirkan modernitas berupa inner-experience yang berbeda pula. Tradisi justru menjadi elemen esensial dalam proses para seniman modern bekerja. Antara ‘dunia modern’ dan ‘dunia tradisi’ bukanlah merupakan dunia hitam-putih. Tradisi ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
selalu bersifat aktual, selalu ditemukan kembali (invented) dan disesuaikan dengan perkembangan dalam alam modern. ‘Invented tradition’ is taken to mean a set of practises normally governed by overtly or tacitly accepted rules and of a ritual or symbolic nature, which seek to inculcate certain values or norms of behavior by repetition which automatically implies continuity with the past (Hobsbawm 1988:1).
Kontinyuitas dengan masa lalu selalu dipelihara dengan cara menyusunnya dari kepingan-kepingan tradisi yang merupakan juga bagian dari pengalaman.
Menggali tradisi melalui sequence pengalaman Tradisi tidak statis seperti yang ditemukan dalam konsep ‘generik’ seni rupa modern di Barat yang telah menjadi wacana besar dalam khazanah teori mengenai kesenian modern. Kasus-kasus dalam tulisan ini menggambarkan bagaimana para informan, yang merupakan seniman modern, memaknai modernitas melalui pengalaman-pengalaman mereka. Sejarah kehidupan seorang seniman sebagai bagian dari suatu komunitas etnis tertentu menjadi sangat vital artinya. Sejarah itu dapat memberikan gambaran tentang proses sosialisasi dari kecil yang erat hubungannya dengan penanaman nilai-nilai tradisi dari suatu kebudayaan etnis tertentu. Pengalaman bukan hanya tindakan dan perasaan, melainkan juga refleksi terhadap perasaan dan tindakan tersebut. Hal itu merupakan ‘pengalaman dalam’ yang tidak pernah dialami oleh peneliti. Peneliti hanya terbatas pada memahami eskpresi dari informan dan dari situ dilakukan tafsiran terhadap pengalamannya. Bruner (1986:5) mengatakan bahwa selalu ada proses 2
Bruner (1986:6) mengatakan bahwa: ‘...the relation between experience and its expression is always problematic.... The relationship is clearly dialogic and dia-
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
dialogis yang saling mengisi. Harus disadari oleh peneliti bahwa ekspresi informan menstrukturkan pengalaman, dan pengalaman pun menstrukturkan ekspresi.2 Setidaknya terungkap bahwa tradisi yang justru ditabukan dalam seni rupa modern menurut cara pandang Barat justru menjadi basis pemikiran dalam bekerja sebagai seniman.
AR3 : mencari keseimbangan, menghadapi dunia yang berubah, mengingat tradisi AR mewakili tipologi seniman yang memang tidak pernah mendalami teori-teori kesenian melalui jalur pendidikan formal modern. Baginya modernitas dihayati terlepas dari pergolakan-pergolakan teori akademis. Melukis baginya adalah salah satu media ekspresi paling tepat untuk menuangkan kembali apa yang dialami selama hidupnya. Ia tidak melakukan suatu kritik sosial terang-terangan terhadap kondisi masyarakat. Hal itu membuat karyakarya AR terasa sangat polos, walaupun di sana tersimpan catatan-catatan penting tentang bagaimana dirinya menghadapi hidup yang senantiasa berubah. Modernitas direfleksikan sebagai suatu perubahan-perubahan yang harus dihadapi dengan bijaksana seiring dengan perjalanan usia yang bertambah. Pengalaman masa kecil di pedesaan pinggir Surabaya memberkas dalam, tidak terlupakan. Aktivitas masyarakat desa yang masih logical for experience structures expression, in that we understand other people and their expressions on the basis of our own experience and self understanding .... But experience also structure experience in that dominant narratives of a historical era, festivals and classic art.’ 3
AR (lahir di Ampel, 1931) adalah pelukis dan sastrawan paling senior di Surabaya. Selama ini ia aktif membina kesenian tradisional di kotanya, turut mendirikan Akademi Seni Rupa Surabaya (AKSERA) tahun 1967 dan Dewan Kesenian Surabaya tahun 1971. AR aktif mengikuti pameran-pameran, baik di negeri sendiri maupun manca negara.
45
mengikuti pola tradisi adalah bagian dari masa kecil AR. Serangkaian upacara-upacara masa panen, suara-suara nyanyian bocah Madura puluhan tahun silam adalah sesuatu yang menjadi bagian dari tradisi masyarakatnya. Modernitas bagi AR adalah sesuatu yang memang harus dihadapi dan bukan sesuatu yang mengandung konflik. Seperti yang dikatakannya: Dalam perjalanan sayanggak ada konflik atau sesuatu yang patah karena semua jalannya linear. Dari hidup di kota, hidup di desa kemudian di kota kemudian Surabaya, lalu Madura yang setengah besar. Saya hidup sinkron. Saya nggak pernah mempertentangkan kota dan desa. Saya pernah hidup di kota besar dan juga desa dan itu ternyata tidak bertentangan (dalam Pirous 1997: 135).
Pembangunan fisik perkotaan memang memiliki sisi gelap, yaitu menciptakan suatu keadaan keterasingan. Itu dirasakan AR. Namun, baginya, tidak ada jalan lain untuk menghadapi segala perubahan, kecuali menerimanya dan belajar untuk hidup di tengah-tengahnya. Teknologi, mekanisasi, penggusuran dan pembangunan gedung tinggi tidak dapat dihindari. Tradisi semakin hilang dan tidak diwariskan kepada anak cucu. Segala permainan anak-anak rakyat tidak lagi dipertunjukkan, karena memang tidak diperlukan. Keadaan ini menciptakan manusiamanusia yang tidak memiliki akar budaya. AR belajar untuk menerimanya sebagai sesuatu yang memang harus terjadi. Menghadapi dunia yang berubah cepat ini, terdapat suatu kebutuhan untuk mencari keseimbangan dalam diri AR. Surabaya yang merupakan kota metropolitan menuntut segalanya untuk berpacu dengan waktu. Kata ‘pem-bangunan’ memiliki makna ideologis tertentu tentang suatu perubahan yang cepat. Pem-bangunan adalah idea of progress berdimensi waktu linear yang berjalan sangat 46
laju. Keseimbangan menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh manusia. Sebaliknya, alam tradisi memang memiliki konsep waktu yang dianggap sirkuler. Bagi AR, pengertian waktu berjalan sirkuler, berlawanan dengan konsep umum. Baginya, pengalaman masa kecil, masa kini dan pengalaman masa datang adalah sesuatu yang tampil dalam ruang waktu yang sama, yaitu masa kini. Tidak adanya jarak waktu dengan kejadian masa lalu membuat dirinya tetap merasa utuh dan tidak kehilangan jati diri, walaupun segalanya berubah. Perjalanan waktu yang memutar ini membuktikan bahwa pengertian waktu bagi AR adalah sesuatu yang sudah ‘jadi’, sesuatu yang statis seperti yang dimaksudkan oleh Walter Benjamin (dalam Anderson 1988:31) tentang Messianic Time. Messianic Time adalah konsep waktu di mana masa lalu, masa kini dan masa depan hadir dalam suatu saat yang sama. Perjalanan ke alam tradisi hadir lewat ikon bulan purnama. Bulan menurut AR, mengacu pada pengalaman-pengalaman masa kecilnya tentang permainan tradisional anak-anak Madura yang dilakukan pada malam hari. Tidak seperti matahari yang terlalu terik dan membakar, bulan memiliki cahaya yang teduh, bersifat melindungi dan memberi penerangan di malam yang gelap. Bulan seperti sebuah magnet yang mengikat anak-anak untuk bermain dan mengeluarkan fantasi-fantasinya. Makna bulan purnama yang dimiliki oleh generasi AR tentunya sangat lain dengan anakanak sekarang yang hidup di kota-kota besar berlampu listrik. Malam hari menjadi terang sehingga bulan tidak penting lagi. Dalam gambar 1, terlihat adegan permainan di bawah bulan purnama yang menjadi tema utama lukisan-lukisan AR. Selain menyajikan objek-objek figuratif manusia, AR juga melukis kaligrafi Arab. Ciri khas kaligrafi AR adalah selalu menjadikan teksANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
teks Al-Qur’an sebagai bidang pembentuk gambar. Spiritualitas Islam juga menjadi ciri khas beberapa pelukis modern Indonesia seperti A.D. Pirous dan Achmad Sadali. Islam sebagai agama yang masuk ke Indonesia memang menjadi identitas budaya. Dalam kasus AR, tradisi Islam dikenalnya melalui pendidikan di madrasah, cerita-cerita Islami dan dakwah ayahnya ketika berdagang kelontong ke desadesa. Kala itu, AR sering diajak ayahnya dalam perjalanan dagang dan dakwah dengan membonceng di sepedanya. Lukisan-lukisan AR senantiasa menampilkan suasana sepi lewat bidang-bidang luas berwarna biru atau hijau, bahkan ketika menggambarkan adegan permainan anak-anak yang seharusnya hiruk-pikuk. Pola ini dominan hampir pada setiap karyanya. Ada suatu ‘warna sufistik’ dalam pikiran AR mengenai kehidupan ini. Ia merasakan nikmatnya kesendirian di tengah hiruk-pikuk keramaian. Sebaliknya, Ia merasakan keramaian dalam keadaan sunyi. Biru dan hijau menurutnya adalah sebuah suasana yang akan ditemukan di sorga setelah manusia meninggal dunia. Pada suatu hari puluhan tahun lalu, ketika AR berada dalam gendongan kakeknya, terjadilah percakapan antara keduanya: ‘Kakek, sorga itu seperti apa?’ Kakeknya menjawab bahwa sorga itu suatu tempat yang teduh dengan warna biru kehijauhijauan. AR kemudian bertanya lagi: ‘Apakah warnanya seperti birunya laut Kamal?’ Kakeknya menjawab bahwa birunya sorga bukan seperti biru yang kita kenal dan hijaunya pun bukan hijau yang pernah kita lihat. Jawaban kakek yang imajinatif itu selalu menjadi obsesi AR dalam melakukan pewarnaan. ‘Biru yang bukan biru dan hijau yang bukan hijau.’ Seperti apakah itu? Warna biru dan hijau identik dengan alam kematian atau kehidupan setelah kematian. Tidak pernah ada yang bisa menyingkapkan apa yang ada di balik kata kematian itu. ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Ketidakmampuan manusia untuk mengerti kematian membuktikan kelemahan manusia yang paling mendasar. AR menganggap kematian sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidup. Hidup menjadi bermakna karena adanya kematian. Dalam beberapa lukisan termasuk lukisan kaligrafinya, AR selalu membuat gambargambar lubang yang berwarna hitam (lihat gambar 2). Ada sebuah lukisan yang menggambarkan dirinya duduk bersila memegang tongkat yang ujungnya membuat lubang. Menurut AR, lubang adalah sesuatu yang misterius dan gelap. Manusia mempunyai lubang lahatnya sendiri. Secara simbolik, warna biru-hijau dan lubang itu hadir menyimbolkan rahasia terbesar: kematian. Dua hal yang sering muncul dalam setiap karya AR yaitu permainan tradisional anak-anak Madura dan kaligrafi Al-Qur’an. Hal itu direpresentasikan dalam simbol-simbol estetika oleh AR dalam setiap karyanya. Baginya, modernitas adalah refleksi dari tradisi-tradisi yang diterimanya dan disesuaikan dengan kepentingan sekarang menghadapi zaman industrial penuh mekanisasi-mekanisasi. Manusia mengalami alienansi, tercerabut dari akar tradisinya. Sebagai manusia dan seniman, AR mengalami suatu krisis akibat modernisasi yang direspons dengan memperkuat akar-akar tradisi yang dimilikinya dengan cara mengingatingatnya sambil berkarya.
Ans 4 : perjalanan ke alam tradisi, mencari identitas lokal di tengah era global Modernitas adalah pengalaman yang lain bagi Ans, seorang seniman patung lulusan 4
Setelah lulus dari ASRI dan menjadi staf pengajar, Ans melanjutkan pendidikan magister di Pratt University, New York atas biaya AMINEF. Saat ini informan aktif mengikuti pameran-pameran baik di dalam maupun di luar negeri.
47
ASRI Jogyakarta. Tidak seperti AR yang dibentuk secara otodidak, Ans dibentuk secara formal melalui perguruan tinggi. Walaupun demikian, Ans dibesarkan dalam lingkungan pedesaan yang juga penuh dengan permainanpermainan tradisional yang lazim dilakukan oleh anak usia sebayanya. Kehidupan polos rakyat desa di Munjul (di sekitar Cibubur) terekam dalam ingatannya untuk kemudian hadir kembali pada saat dia berkarya membuat patung di usia dewasa. Permainan-permainan yang sudah terlupakan olehnya ketika dia menginjak masa dewasa, muncul kembali pada saat dia berada di New York, Amerika Serikat ketika ia belajar untuk meraih gelar masternya. Dia merasakan bahwa karya-karya yang dibuatnya pada saat sekolah di Yogyakarta tidak mencerminkan identitasnya. Pengalaman masa kecil Ans yang selalu berpindah-pindah karena tuntutan pekerjaan orang tua tidak sempat memberikan suatu pengalaman budaya yang intensif dan cukup mengakar. Bersekolah di ASRI pun diakuinya sebagai suatu proses pembaratan diri, karena apa yang diajarkan adalah cara-cara berkesenian orang Eropa dan bukan cara berkesenian Indonesia. Berikut ini adalah kutipan dari hasil wawancara dengan Ans: Saya rasa, pendidikan di ASRI itu sendiri, pada dasarnya memang Barat. Misalnya sejarah seni rupa Barat, teori estetika pun Barat, sampai pada prakteknya pun dengan metode Barat. Mulai dengan patung-patung realistik. Jadi memang pengaruh Barat itu bukan lagi dominan, tapi memang dasarnya. Tapi kemudian ada saat setelah beberapa tahun, mulai timbul keinginan untuk mencari ciri khas, paling enggak , kalau bukan ciri pribadi, pada waktu itu adalah identitas nasional. Identitas 5
Pernyataan ini menjadi menarik karena dalam literatur yang saya temukan, biasanya senimanseniman Yogyakarta menganggap bahwa Institut Teknologi Bandung sebagai tempat ‘pembaratan’ para seniman. Bahkan ada ungkapan populer: ITB adalah pusat laboratorium Barat.
48
nasional lagi banyak diperbincangkan. Terus apa bedanya karya orang-orang kita dengan karya orang Eropa? Di situ mulai pencarian identitas (lihat Pirous 1997:73).
Berbeda dengan AR, pertentangan lebih menjangkau pada isu Oriental-oksidental, persoalan-persoalan perbedaan antara ‘Barat’ dan ‘Timur’.5 Kesenian modern Indonesia ‘berakar’ di Eropa dan ini adalah kondisi yang menyakitkan hati Ans. Pada tahapan ini, dimulai suatu pemberontakan di dalam hatinya. Ia merasa kosong dan tidak berdaya. Ia merasa harus mulai dari nol lagi dan memutuskan untuk pergi ke Amerika Serikat. Citra keras New York dengan suara sirene polisi menjadi kehidupan sehari-hari. Perampokan dan pembunuhan mahasiswa adalah berita buruk yang harus dihadapi. Karyakaryanya pada tahap awal adalah patungpatung kursi berduri dari bahan besi cor yang dibentuk dalam panasnya api bengkel. Hal itu adalah pencerminan dirinya menghadapi perasaan takut. Pada saat memasuki periode akhir pendidikan, Ans menemukan identitasnya sebagai seorang seniman. Pengalamanpengalaman masa kecil yang telah dilupakannya seakan-akan muncul kembali dalam kesendiriannya di New York. Dia memutuskan untuk mulai melakukan penggalian inspirasi ke arah sana. Karya-karya Ans saat ini (sesudah periode ‘besi cor’) tidak lagi menggambarkan kekerasan urban. Ia beralih ke imajinasi-imajinasi masa kecilnya ketika bermain dengan kehidupan rakyat jelata. Ans tidak berusaha untuk membangun sebuah karya yang teksturnya halus. Hal ini mengingatkan pada perabot sehari-hari orang desa yang tidak pernah terlalu dihias. Ada suatu kesengajaan untuk memunculkan suasana tradisi desa dalam patung-patungnya melalui proses invention of tradition. Secara keseluruhan karya Ans menyimbolkan kehidupan rakyat desa yang ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
polos dan tidak gemerlapan. Ans boleh jadi melakukan suatu kritik terhadap keadiluhungan kebudayaan Jawa dengan memperlihatkan suatu kehidupan rakyat Jawa sederhana (kehidupan bahasa n g o k o) melalui media kesenian yang mengacu pada ‘estetika rakyat’. Dalam karya patung berjudul ‘The Ritual is Over’, Anusapati mengingatkan kita pada bentuk lesung untuk menumbuk padi (lihat gambar 3). Terlihat bahwa tekstur kasar tetap dipertahankan. Tidak ada penghalusan pada permukaan bahan dan tidak ada ornamen rumit, selayaknya suasana pedesaan tradisional. Modernitas bagi Ans adalah suatu penggalian ke masa kecil untuk kemudian direfleksikan pada pengalaman-pengalaman aktual pada masa sekarang. Cara berpikir seperti ini mirip seperti yang dilakukan oleh AR dengan sedikit perbedaan. Ans merasakan pentingnya suatu kesadaran akan identitas lokal yang bersumber dari tradisi sebagai tameng dalam menghadapi globalisasi.
TS6 : kritik pada pola modernisasi yang represif, gila teknologi dan antitradisi TS adalah seniman yang mewakili kelompok masyarakat yang dibungkam oleh pembangunan. Pembangunan Orde Baru terlalu mengejar target raksasa tanpa terlalu mempedulikan bagaimana dampak buruknya. Menurut pandangan penulis, apa yang dilakukan TS adalah kritik terhadap proyek modernisasi pemerintah Indonesia yang mengacu pada paradigma pembangunan monolinear. TS membawa wacana tandingan 6
TS lahir tahun 1958. Setelah menyelesaikan S1 di FSRD-ITB, TS melanjutkan S2-nya di Hochschule für Bildende Künste, Braunschweig, Jerman. Pengaruh aliran neo-ekspresionisme Jerman yang dipopulerkan oleh George Grosz dan para pengikutnya pada awal abad ke-20, nampak membekas pada karyanya yang bernada komikal dan satir.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
bagi wacana dominan pembangunan yang bersifat satu arah dan represif. Karya-karya TS bercerita tentang adanya satu ideologi politik yang menekan di segala bidang, termasuk kebebasan warganegara untuk mengeluarkan suara hati dan pikiranpikiran alternatif. Simbol-simbol estetik yang digunakan dalam karya bersifat melawan simbol-simbol politik slogan produksi ideologi Orde Baru. Kata ‘pembangunan’ perlahan-lahan mengalami perluasan makna menjadi semakin politis selama 30 tahun kekuasaan Orde Baru. Negara menciptakan suatu hegemoni melalui serangkaian simbol-simbol politik baru serta retorika-retorika bahasa dengan satu tujuan yaitu untuk menjaga status-quo. Sloganslogan pembangunan, akronim-akronim pembangunan dan penciptaan suatu Bahasa Indonesia yang steril melalui Ejaan yang Disempurnakan, membuktikan adanya usaha pemerintah untuk tidak saja menciptakan keteraturan, tetapi juga ketertiban dalam berpikir. Bahasa Indonesia yang ditemukan di koran-koran serta pidato-pidato kenegaraan Orde Baru terasa semakin ‘dihaluskan dan didatarkan’ dari segala ‘potensi emosi’. Politik sterilisasi pemikiran yang dijalankan dengan cara represif ala militer, tercermin lewat adegan kekerasan dalam setiap karyanya. Pembantaian itu hadir kembali dengan tingkatan simbolis yang berhubungan dengan ingatan tradisi dari masa lalu. Pengalaman masa kecilnya ketika membantu ayah bekerja di pasar ayam membuatnya terbiasa dengan pembantaian dan darah. TS melihat bagaimana sebuah ideologi negara dapat menyembelih pikiran-pikiran yang tidak sesuai dengan kemauan pemerintah. Dalam karya, kandangkandang ayam yang menutupi kepala menyimbolkan bagaimana sebuah pikiran ‘lain’ harus dibelenggu karena mengganggu stabilitas politik. 49
Dalam karya berjudul ‘Aura Ideologi, Aura Seniman’ (lihat gambar 4), TS tidak memberikan ketenangan dan kepuasan estetik dalam pengertian umum. Karya-karya TS bukanlah lukisan yang berwarna-warni. Suasana dibuat mencekam, gelap, dan pengap. Obyek-obyek berupa sarung tangan karet, lambang negara Pancasila dan guntingan koran berpadu dengan karya grafis, membentuk lukisan. Semua obyek-obyek ini tersusun menjadi serangkaian tanda yang ada di luar pengertian estetika formal. Ada pancaran kode-kode bagi pemirsa yang melihatnya: ketegangan dan pemaksaan cara berpikir (simbol sarung tangan dan Pancasila). Adapun lampu merah kelap-kelip pada bingkai berhasil memberikan tambahan efek ‘terror’ bagi yang melihatnya. Kelembutan dan keseimbangan adalah pesan dalam salah satu karya instalasi TS berjudul ‘Instalasi Tumbuh’ (lihat gambar 5).7 Karya ini menawarkan peringatan kepada setiap orang bahwa modernisasi yang sedemikian cepat telah mengikis kemampuan spiritual manusia dan membuatnya seperti robot-robot yang tidak berperasaan. Berbekal pengalaman masa kecil menanam pohon, TS ingin mengajak orang-orang untuk kembali belajar kepada ritme kehidupan alam sebagai penyeimbang percepatan modernisasi. Pembangunan gedung-gedung dan fasilitas publik memakan pohon-pohon sebagai korban. Hutan hijau menjadi hutan beton. Teks-teks yang disertakan pada setiap bibit 99 pohon melinjo dan mahoni merupakan 7
Instalasi adalah ekspresi kesenian modern dengan cara memasang-masang obyek menjadi suatu karya dan memakan ruang tiga dimensi. Dalam instalasi, seorang seniman bisa bebas tanpa terpaku oleh standar estetika formal seni rupa. Instalasi bisa merupakan gabungan dari obyek audio, visual, citra dua dimensi, tiga dimensi, performance art. Apa saja. Hal yang terpenting dari instalasi adalah bagaimana menyampaikan pesan moral pada masyarakat umum lewat segala media yang bisa diterima alat sensorik manusia.
50
wacana rakyat jelata, tentang apa saja yang dirasakan mendesak untuk diungkapkan. Teksteks itu bisa berupa sindiran terhadap kebijakan politik ataupun kemarahan-kemarahan terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Teksteks itu berasal dari semua golongan masyarakat seperti mahasiswa, guru, opsir polisi, pelaku bisnis, tukang ikan, tukang sayur di pasar, pegawai negeri kantoran dan bahkan dari pekerja-pekerja seks di Surabaya. Setiap orang boleh menyumbangkan teks dengan syarat mau memelihara pohon yang diberikan TS secara gratis itu. Angka 99 berasal dari asmaul-husna, nama-nama suci bagi Tuhan dalam ajaran Islam. Pohon melinjo dan mahoni juga mewakili suatu citra tentang pasangan yang menikah (melinjo dimaknai sebagai sesuatu yang feminin dan mahoni dimaknai sebagai sesuatu yang maskulin). TS menginterpretasi hubungan melinjo dan mahoni bagaikan perkawinan. Ada dialog antara melinjo dan mahoni. Masingmasing membawa teksnya sendiri-sendiri. Bibitbibit pohon ini disebarkan ke kota-kota besar dengan jalan kaki. Apa yang dicita-citakan TS dan karyawan 'Instalasi Tumbuh' adalah membangun suatu jembatan antara pikiranpikiran rakyat di Surabaya, Solo dan Bandung melalui media teks yang ditempelkan pada pohon-pohon tersebut. TS menginginkan adanya suatu komunitas 'Instalasi Tumbuh' yang anggotanya adalah para pemilik pohon. Interaksi antara anggota komunitas ini terjalin melalui teks-teks yang dipertukarkan. Komunitas 'Instalasi Tumbuh' di tiga kota hadir sebagai entitas imagined. Mereka tidak pernah bertemu secara fisik. Satu hal yang perlu dicatat dari TS adalah pemberontakannya terhadap nilai-nilai estetika yang pernah dipelajarinya di sekolah. TS meyakini bahwa kesenian miliknya tidak mencari sesuatu yang indah-indah. Estetika bukanlah tujuan dari kesenian. Apa yang selalu ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
berkecamuk dalam hati TS adalah pertanyaanpertanyaan menyangkut kesenian itu untuk siapa dan dapat diperbuat oleh sebuah kesenian? TS bereaksi keras terhadap estetika dengan cara meninggalkannya. TS sengaja mengotori karya-karyanya sehingga jauh dari kesan estetika. Seperti kutipan hasil wawancara: Sekolah mengajarkan secara teoretis. Di sana diajarkan tentang sejarah seni rupa dan filsafat kesenian. Dalam pelajaran Tinjauan Seni hal tersebut diberikan, termasuk pengenalan terhadap berbagai cabang-cabang kesenian.... Namun kadang-kadang dalam prakteknya, ketika mahasiswa ingin membuat suatu karya instalasi, atau juga performing art , kurikulumnya tidak memuat permasalahan itu. Dalam arti kata permasalahannya dikembalikan pada yang formal lagi. Kamu sebagai orang Grafis kenapa membuatperforming? Performing ‘kan urusannya teater...!’ Apapun istilahnya, seniman kontemporer mungkin berangkat dari permasalahanpermasalahan konteks yang ada....apalagi bentuk seni instalasi, karena sulit diukur dengan bentuk-bentuk formalisme yang biasa. Maksudnya biasa adalah cara pandang bahwa melukis itu harus begini, tekstur harus begitu. Sekarang sudah ada bocoran-bocoran pada karya yang biasanya formal itu. Seperti kita lihat di sini (tangannya menunjuk karya dalam gedung). Tiba-tiba ada kain. Tiba-tiba ada tempelan (found objects). Menurut orang-orang formalisme itu dikotori. Menurut orangorang formalisme ini terlalu rame. Begitulah kalau akademis, selalu memusat dan bersifat struktural, padahal (sambil menunjuk jalan raya) (kenyataannya) tidak ada struktur. (Pirous 1997:161).
Gerakan anti-akademis ini juga terjadi pada Ans, namun pada TS terlihat lebih ekstrem. Upayanya untuk meninggalkan estetika sebenarnya mirip dengan apa yang dilakukan oleh seniman-seniman di Eropa dan Amerika pada tahun 1960-an. Namun, TS tidak melakukan pemberontakan terhadap infrastruktur kesenian yang telah menjadi komoditi dagang di Barat. Pemberontakan estetika ini bertujuan menghadapi kurikulum kesenian di Fakultas Seni Rupa ITB yang ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
menurutnya tidak mengalami perkembangan. Terjadilah kesenjangan antara kurikulum dan kenyataan perkembangan masyarakat.
Penutup Ketiga seniman yang menjadi informan saya membawa gagasan-gagasan khas yang hanya ditemukan di kawasan-kawasan pasca kolonial. Perasaan keterasingan sama-sama dimiliki oleh mereka, walaupun dengan intensitas yang berbeda-beda. Pada AR, modernitas dimaknai sebagai proses mekanisasi, industrialisasi yang mengancam. Karena itu, perlu ada strategi dengan cara mempertahankan tradisi dalam berkarya. Tradisi diolah melalui pengembaraan ke masa lalu dan menjadi ‘benteng kultural’. Bagi Ans, modernitas dimaknai sebagai persoalan menyangkut identitas kultural yang terus digali dalam menghadapi era globalisasi. Tradisi harus ditemukan kembali, kalau perlu diciptakan kembali dari kepingan-kepingan pengalaman masa lalu yang berantakan. TS adalah sosok seniman yang hidup dalam keadaan kontradiktif, keadaan jungkir-balik akibat pola modernisasi negara yang secara konseptual tidak memperhatikan kemajemukan budaya. Pembangunan adalah modernisasi fisik tergesagesa yang dijalankan lewat kekuasaan dan kekerasan. Modernitas dimaknai sebagai suatu protes keras terhadap hal represif dengan cara kembali menerapkan nilai-nilai kelembutan yang diperoleh dari kearifan-kearifan di masa lalu. Makna modernitas bagi seniman seni rupa Indonesia adalah suatu refleksi dari modernisme yang menghargai nilai-nilai yang berasal dari tradisi. Kepingan-kepingan pengalaman selalu disusun kembali dengan satu tujuan mengingat-kan kita semua akan pentingnya suatu identitas menghadapi krisis kebudayaan sendiri akibat dari pembangunan berkecepatan tinggi dan globalisasi yang mencabut manusia dari akar budayanya. 51
Gambar 1: Permainan di Bawah Bulan bahan: cat minyak di atas kanvas Koleksi pribadi AR.
Gambar 2: Lubang bahan: cat minyak di atas kanvas. Koleksi AR
52
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Gambar 3: The Ritual is Over bahan: kayu, ukuran 20 x110 x 28 cm. Tahun pembuatan: 1993. Koleksi Ans.
Gambar 4: Aura Ideologi, Aura Seniman bahan: kayu, ukuran 135 x 120 x 5 cm. Tahun pembuatan: 1995. Koleksi pribadi TS
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
53
Gambar 5: Salah satu sudut karya ‘Instalasi tumbuh’ oleh TS dengan teks: ‘perbaiki birokrasi’ yang ditanam di Surabaya
Kepustakaan Anderson, B.R.O’G 1988 Imagined Communities, Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London, New York: Verso. Awuy, T.F. 1994 Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Jogyakarta: Jentera Wacana Publika. Harrison, C. dan P. Wood 1993 ‘Introduction’, dalam C. Harrison dan P. Wood (peny.) Art in Theory 1900-1990 An Anthology of Changing Ideas. Cambridge: Blackwell. Hal. 127. Hauser, A. 1958 The Social History of Art . New York: Alfred Knopff, Inc. Hobsbawm, E. 1992 ‘Introduction: Inventing Traditions’, dalam E. Hobsbawm dan T. Ranger (peny.) The Invention of Tradition Cambridge. Great Britain: University Press. Hal. 1-14. Newmeyer, S. 1955 Enjoying Modern Art. New York: Reinhold Publishing Coorporation. Pirous, I.M. 1997 Makna Modernitas bagi Seniman Seni Rupa Modern Indonesia: Studi Kasus terhadap Tiga Seniman di Surabaya, Yogya dan Bandung. Skripsi S1 Jurusan Antropologi FISIP UI tidak dipublikasikan. Jakarta: Universitas Indonesia.
54
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
Said, E.W. 1994 Orientalism. New York: Random House, Inc. Supangkat, J. 1993 ‘A Brief History of Indonesian Modern Art’, dalam C. Turner (peny.) Tradition and Change, Contemporary Art of Asia and the Pacific. Queensland: University of Queensland. Hal. 47-57. Suwarsono dan A.Y. So 1991 Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: LP3ES. Wright, A. 1993 Soul, Spirit and Mountain Preoucupattions of Contemporary Indonesian Painters. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
ANTROPOLOGI INDONESIA 62, 2000
55