PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI GUGAT ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI ATASAN/KOMANDAN SATUAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal)
S K R I P S I Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Hukum Islam
Oleh : MUJAIDIN NIM : 21210005
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
PUTUKEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA FAKULTAS SYARI’AH Jl.Nakula Sadewa V No.9 Telp.(0298) 3419400 Fax 323433 Salatiga 50722 Website :www.iainsalatiga.ac.id E-mail :
[email protected] PENGESAHAN Skripsi Berjudul: PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI GUGAT ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI ATASAN/KOMANDAN SATUAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal) Oleh : Mujaidin NIM : 21210005 telah dipertahankan di depan siding munaqasyah skripsi Fakultas Syari‟ah, Institut Agama islam Negeri (IAIN) Salatiga, pada hari Sabtu, tanggal 18 April 2015, dan telah dinyatakan memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam hokum Islam
Dewan Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang
: Dra. Siti Zumrotun, M.Ag.
………………....……………..
Sekretaris Sidang
: Luthfiana Zahriani, SH.MH.
………………………………..
Penguji I
: Haryo Aji Nugroho, S.Sos., M.A
………………………………..
Penguji II
: Farkhani, S.HI., M.H
……………………………….. Salatiga, 2015 Dekan Fakultas Syari‟ah
Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. NIP.19670115 199803 2 002
ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN “Hidup selalu Berusaha Taqwa kepada Allah SWT, Taat kepada Rasulullah Muhammad SAW dan Loyal kepada Ulil Amri serta Takut akan kemiskinan (Miskin Ilmu, Miskin Harta, Miskin Amal)”
Skripsi ini kami persembahkan kepada yang terhormat: 1. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku sejawat di Kodim 0714/Slg yang telah mendukung dan mentolerir aktifitasku. 2. Emakku dan kedua mertuaku yang selalu mendukung, berdoa, dan merestui aktifitasku. 3. Wabilkhusus istriku yang tercinta dan putraku yang saya banggakan yang selalu menemani, mendukung, merelakan, mendoakan dengan penuh kesabaran demi suksesnya cita-cita saya dalam menitih ilmu. 4. Temen-temen sekelasku baik Non Reguler maupun Reguler angkatan 2010 yang telah menjadi inspirator, motivator dan penyemangat.
iii
NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar Hal
: Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth. Dekan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga Di Salatiga Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasisawa: Nama
: Mujaidin
NIM
: 21210005
Judul
: PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI GUGAT ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI ATASAN/KOMANDAN SATUAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0333 / Pdt.G/2010 /PA.Sal).
Dapat diajukan kepada Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga untuk diujikan dalam sidang munaqasyah. Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan digunakan sebagaimana mestinya. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salatiga,
2015
Pembimbing,
Luthfiana Zahriani SH, MH NIP. 197608762000032007
iv
PERNYATAAN KEASLIAN Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama
: Mujaidin
NIM
: 21210005
Jurusan
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Fakultas
: Syari‟ah
Judul Skrpsi
: PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI GUGAT ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI ATASAN/ KOMANDAN SATUAN
(Studi
Putusan Pengadilan
Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal).
menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, Yang menyatakan,
Mujaidin NIM: 21210005
v
2015
ABSTRAK Mujaidin. 2015. Putusnya Perkawinan Akibat Cerai Gugat Istri TNI Tanpa Surat Ijin Dari Atasan/Komandan Satuan (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal). Skripsi. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyyah. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Luthfiana Zahriani SH, MH. Kata kunci: Cerai Gugat dan Surat Ijin Atasan Penelitian ini merupakan upaya menganalisis putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal tentang pengajuan gugat cerai seorang istri TNI kepada suami tanpa adanya surat ijin dari atasan/komandan satuan di Salatiga pada tahun 2010. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah prosedur cerai gugat istri terhadap suami anggota TNI di lingkungan kementerian pertahanan?, (2) Apakah akibat hukum yang timbul dan sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama dalam kasus cerai gugat tanpa memperhatikan surat ijin cerai dari atasan/komandan?, (3) Apakah pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara cerai gugat istri (warga sipil) terhadap suami (anggota TNI) tanpa memperhatikan tidak adanya surat ijin cerai dari atasan/komandan satuan? Metode penelitian yang digunakan peneliti untuk menjawab rumusan masalah tersebut adalah memakai jenis penelitian kajian pustaka. Adapun pendekatan yang digunakan dengan pendekatan yuridis normatif yakni suatu analisis untuk mengetahui apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Teknik pengumpulan data dengan cara, yakni: observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis hasil temuan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, Putusan Nomor 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2010 diperoleh hasil bahwa Prosedur cerai gugat istri terhadap suami anggota TNI diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Perpang TNI Nomor/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 BAB IV tentang cara perceraian yaitu Pasal 11. Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara cerai gugat tanpa ada surat ijin dari atasan/komandan satuan institusi TNI ini sudah sesuai dengan prosedur. Surat ijin cerai dari komandan/satuan institusi TNI adalah merupakan hannya sebagai syarat administratif saja. Akibat hukum yang timbul dan sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga adalah mantan suami (anggota TNI) melaporkan ke atasan/institusi sebagai syarat administrasi. Institusi TNI menerima adanya putusan cerai gugat yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Agama, setelah adanya putusan tersebut tergugat (anggota TNI) diwajibkan untuk mengurus syarat-syarat administrasi yang telah diberlakukan di institusi TNI dengan segala sanksi yang akan dijatuhkan sebagai konsekuensi disiplin militer.
vi
ihi KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‟alamiin puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, dan pengikut beliau pada sampai akhir zaman. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran penulis harapkan untuk sempurnanya penelitian ini. Keberhasilan penyusun penelitian ini, selain atas ridho dari Allah SWT, juga tak lepas dari bantuan, dorongan, dan bimbingan dari semua pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 5. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Ag., selaku Rektor IAIN Salatiga. 6. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari‟ah. 7. Bapak Sukron Ma‟mun, S.Hi., M.Si. selaku Ketua Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga. 8. Ibu Luthfiana Zahriani SH, MH., Selaku dosen pembimbing dalam penulisan Skripsi. 9. Bapak dan Ibu dosen serta para civitas akademika lingkungan jurusan Syari‟ah yang telah dengan sabar dan ikhlas membagi ilmunya. 10. Para Dosen serta karyawan IAIN Salatiga yang telah memberikan jalan ilmu dan pelayanan. 11. Komandan dan para pimpinan serta teman-temanku sejawat di Kodim 0714/Slg yang telah mendukung dan mentolerir aktifitasku. 12. Emakku dan kedua mertuaku yang selalu mendukung, berdoa, dan merestui aktifitasku.
vii
13. Wabilkhusus istriku yang tercinta dan putraku yang saya banggakan yang selalu menemani, mendukung, merelakan, mendoakan dengan penuh kesabaran demi suksesnya cita-cita saya dalam menitih ilmu. 14. Temen-temen sekelasku baik Non Reguler maupun Reguler angkatan 2010 yang telah menjadi inspirator, motivator dan penyemangat. Illahi nasyiku ana fina maruman nantahi bihi ila husnil khitam
Penulis
Mujaidin
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….
i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….…..
ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN.……………………….…………………..
iii
NOTA PEMBIMBING ……………………..…………………………….…..
iv
PERNYATAAN KEASLIAN …………. .………………………..…………..
v
ABSTRAK…………………..………………………………………………… vi KATA PENGANTAR………………………………………………………… viii DAFTAR ISI…....……………………………………………………………..
ix
PENDAHULUAN …….…………………….………………..
1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………….
1
B. Penegasan Istilah .…….…………………………………..
6
C. Rumusan Masalah……..…………………………………..
7
D. Tujuan dan Kegunaan
8
BAB I.
Penelitian….………………………..
8
E. Telaah Pustaka ……………………………………………. 11
BAB II.
F. Metode Penelitian…………..……………………………..
16
G. Sistematika Penulisan …………………………………….
18
TEORI PERCERAIAN.…………………….………………..
18
A. Perceraian Menurut Fiqh…….……………….…………....
36
B. Perceraian Menurut Perundang-undangan….…………….. C. Prosedur Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk bagi anggota
42
TNI/POLRI…………….………………………………….. 49 BAB III.
HASIL PENELITIAN...…………………….………………..
49
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga..................
63
B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga ... C. Ringkasan
Putusan
Pengadilan
Agama
No. 67
0333/Pdt.G/2010/PA.Sal..................................................... D. Prosedur Cerai Gugat Istri Terhadap Suami Anggota TNI Menurut PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 Tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai Di 71 Lingkungan Departemen Pertahanan……………………... E. Pertimbangan
Hakim
Pengadilan
ix
Agama
Dalam
Menjatuhkan Putusan Mengabulkan Permohonan Cerai 77 Gugat………………………………………………….….. F. Akibat Hukum Yang Timbul Dari Sikap Institusi TNI Terhadap
Putusan
Hakim
Pengadilan
Agama
No.
0333/Pdt.G/2010/PA.Sal Dalam Kasus Cerai Gugat Tanpa ix Memperhatikan Surat Ijin Cerai Dari 78 Atasan/Komandan………………………..………………. BAB IV.
ANALISIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI GUGAT
ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI
ATASAN/KOMANDAN SATUAN……………………………....
80 80
A. Prosedur Cerai Gugat Istri Terhadap Suami Anggota TNI.. B. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Salatiga Dalam Memutus Perkara Cerai Gugat Istri (Warga Sipil) Terhadap Suami (Anggota TNI) Tanpa Memperhatikan Tidak Adanya
Surat
Ijin
Cerai
Dari
Atasan/Komandan 84 Satuan…………………………………………………….. C. Akibat Hukum Yang Timbul dan Sikap Institusi TNI Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Dalam Kasus Cerai Gugat Tanpa Memperhatikan Surat Ijin Cerai Dari 92 Atasan/Komandan…………………………………… 96 BAB V.
PENUTUP………….....…………………….………………..
96
A. Kesimpulan ……………………………………………….
97
B. Saran ……………………………………………………... DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
98
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan hal yang sakral dan diagungkan oleh keluarga yang melaksanakannya. Perkawinan merupakan perpaduan instink manusiawi antara laki-laki dan perempuan di mana bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani,
lebih
tegasnya
perkawinan
adalah
suatu
perkataan
untuk
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara diridhoi oleh Allah SWT. Sebagai firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum Ayat 21 :
Artinya : “Dan diantara tanda-tanda (Kemaha Besaran)-Nya adalah bahwa dia menciptakan jodoh-jodohmu sendiri agar merasa tenang bersama mereka dan Dia menciptakan rasa cinta kasih diantara kamu. Sesungguhnya di dalam hal itu terdapat tanda-tanda kemaha besaran Allah SWT bagi orangorangyang mau berfikir” (Departemen Agama RI,2000) Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis yang diangankan, pada kehidupan kenyataan.Bahwa memelihara, kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami isteri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan.Bahkan banyak di dalam hal kasih sayang dan kehidupan harmonis antara suami isteri itu tidak dapat diwujudkan.Kadang kala pihak isteri tidak mampu
1
2
menanggulangi kesulitan-kesulitan tersebut, sehingga perkawinan yang didambakan tidak tercapai dan berakhir dengan perceraian. Di dalam melakukan perceraian seorang suami mempunyai hak talak sepihak secara mutlak.Pengadilan juga menerima gugatan perceraian yang disebut cerai gugat, hal ini atas inisiatif isteri bukan karena ditalak suaminya.Sedangkan cerai talak adalah percerian atas kehendak suami dan bukan atas inisiatif isteri. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI), menyebutkan alasan perceraian dari huruf a sampai huruf f, kecuali tambahan dua huruf g dan h, ada hal yang menyebutkan, bahwa alasan yang dapat dijadikan istri dalam mengajukan gugatan perceraian adalah salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihak lain yang juga merupakan salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga dan dapat menjadi penyebab dari perselisihan dan percekcokkan beda pendapat yang terjadi dalam rumah tangga. Selain itu, suami jarang memberikan nafkah uang belanja kepada istrinya tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang baik dalam membina rumah tangga harmonis. Bagi Pegawai Negeri Sipil atau TNI yang akan melakukan perceraian telah diatur dalam PP Nomor 10 tahun 1983 dan PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang ijin perkawinan dan perceraian bagi PNS. Mahkamah Agung RI juga sudah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.5 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No.10 Tahun 1983.SEMA tersebut memberi
waktu
selama
6
bulan
bagi
PNS
untuk
meminta
ijin
3
atasannya.Apabila tenggang waktu itu berakhir dan PNS tersebut melanjutkan perkaranya, maka hakim diharuskan memberi peringatan kepada yang bersangkutan merujuk pada PP No.10 Tahun 1983 yang memuat sanksi-sanksi pemberhentian sebagai PNS. Bagi anggota TNI telah dikeluarkan edaran Peraturan Panglima TNI No.Perpang/11/VII/2007 tentang Tata Cara Pernikahan, Perceraian dan Rujuk bagi Prajurit.Dalam peraturan tersebut tidak memberikan tenggang waktu, namun ijin atasan bagi prajurit TNI merupakan suatu keharusan.Saat ini Mahkamah Agung RI belum mengambil sikap untuk mengganti SEMA Nomor 5 Tahun 1984 tersebut.Persoalan cerai prajurit memang mendapat perhatian
khusus.Pasalnya,
perceraian
seorang
prajurit
TNI
dapat
mempengaruhi performa yang bersangkutan di lapangan. Keutuhan rumah tangga akan berpengaruh pada kinerja prajurit, hal ini yang kerap menjadi pertimbangan komandan ketika akan memberikan ijin perceraian. Pada dasarnya, prosedur perkawinan dan perceraian bagi anggota militer/Tentara Nasional Indonesia (TNI) ditegaskan dalam Pasal 63 ayat 1 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Sehingga, apabila pasangan tersebut beragama Islam, maka permohonan cerai dimohonkan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 66 ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan, apabila beragama selain Islam gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat.
4
Untuk dapat melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak lagi dapat hidup rukun sebagai suami isteri sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain alasan tersebut, khusus bagi Pegawai (Pegawai Negeri Sipil/PNS dan anggota TNI) yang hendak bercerai, sebenarnya harus mendapat ijin dari Pejabat yang berwenang (Pasal 9 ayat 1 Peraturan Menteri Pertahanan No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan). Dalam hal istri warga sipil yang ingin mengajukan gugatan perceraian, maka gugatan perceraian terhadap suami disampaikan langsung ke Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama (Pasal 14 ayat 1 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008).Apabila suaminya sebagai anggota TNI wajib menyampaikan kepada pejabat yang berwenang perihal adanya gugatan cerai yang diajukan terhadapnya (Pasal 14 ayat 2 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008). Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat 3 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 dinyatakan bahwa dalam hal pegawai digugat melalui pengadilan, atasan yang berwenang wajib memberikan pembelaan. Mendasarkan pada Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam perkara perceraian dinyatakan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman mengenai perkara perdata tertentu, termasuk dalam menangani perkara perceraian maka tidak ada lagi masalah tentang kewenangan, hukum acara maupun susunan peradilan agama (www.hukumonline.com). Sesuai dengan
5
asas hukum acara peradilan agama, hakim wajib menggali setiap perkara yang diajukan kepadanya dan hakim tidak boleh menolak perkara dengan dalih hukum
kurang atau
tidak jelas,
melainkan
wajib memeriksa
dan
mengadili.Dalam perkara perceraian hakim dapat memutus lebih dari yang diminta oleh pemohon karena jabatannya (Arto, 1998:13). Penelitian pendahuluan yang dilakukan penulis pada tanggal 14 Mei 2014 di Pengadilan Agama Salatiga diperoleh keterangan, bahwa amar putusan perceraian Pengadilan Agama Salatiga hanya berisi : 1. Mengabulkan gugatan penggugat sebagaian. 2. Menjatuhkan talak satu bain sughro tergugat. 3. Menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat mut‟ah sunah berupa uang. 4. Menetapkan anak penggugat dan tergugat berada dalam asuhan dan pemeliharaan penggugat sebagai ibunya. 5. Menghukum tergugat untuk membayar nafkah anak yang diasuh penggugat setiap bulan sampai anak tersebut dewasa. 6. Tidak dapat diterima gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya. Komposisi amar putusan cerai talak/cerai gugat yang diputus oleh Pengadilan Agama Salatiga di atas hanyalah murni sebagai putusan perceraian sehingga
cakupan
putusan
yang
menetapkan
adanya
perlindungan
hukum akibat perceraian. Menelaah Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010 mengenai perkara cerai gugat yang ditetapkan pada tanggal 17 Februari 2011 sebenarnya permohonan yang diajukan oleh penggugat di Pengadilan Agama Salatiga tanpa adanya surat ijin dari atasan /
6
komandan satuan. Berawal dari sinilah penulis tertarik untuk membahas dengan judul PUTUSNYA PERKAWINAN
AKIBATCERAI GUGAT
ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI ATASAN/KOMANDAN SATUAN (Studi Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal)
B. Penegasan Istilah Agar tidak terjadi kesalahan dalam pemahaman, maka penulis akan menguraikan mengenai maksud atau arti dari istilah yang dipakai oleh penulis dalam penulisan judul skripsi ini, antara lain: 1. Putusnya perkawinan yaitu istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan “Perceraian” atau berakhirnya hubungan antara seorang laki – laki dengan perempuan yang selama ini hidup sebagai suami istri. Dalam fiqh menggunakan istilah furqah. Penggunaan istilah putusnya perkawinan harus hati – hati, karena untuk pengertian perkawinan yang putus itu dalam istilah fiqh digunakan kata ba-in, yaitu satu bentuk perceraian yang suami tidak boleh kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dengan melalui akad yang baru. Ba-in merupakan satu bagian atau bentuk dari perceraian, sebagai lawan pengertian dari perceraian dalam bentuk raf‟iy, yaitu bercerainya suami dengan istrinya namun belum dalam bentuknya yang tuntas, karena dia masih mungkin kembali kepada mantan istrinya itu tanpa akad nikah baru selama istrinya masih berada dalam iddah atau masa tunggu. Setelah habis masa tunggu itu ternyata dia tidak kembali kepada mantan istrinya, baru perkawinannya dikatan putus dalam arti sebenarnya, atau yang disebut ba‟in (Soemiyati,
7
1986:128). Jadi Perceraian yaitu perpisahan, putusnya hubungan suami istri (Kartasapoetra, 1992:119). 2. Akibat yaitu sesuatu yang menjadi kesudahan atau hasil dari pekerjaan (W.J.S. Poerwadarminta, 1982:15). 3. Cerai gugat yaitu perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan lebih dahulu oleh salah satu pihak kepada Pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan Pengadilan. Adapun tata cara gugatan perceraian ini ketentuannya diatur dalam Peraturan Pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 di dalam pasal 20 sampai dengan pasal 36 (Soemiyati, 1986:131-134).
C. Rumusan Masalah Mendasarkan pada beberapa permasalahan yang timbul, penulis dapat merumuskan masalah yang akan dijadikan sebagai pokok pembahasan, sebagai berikut: 1. Bagaimanakah prosedur cerai gugat istri terhadap suami anggota TNI di lingkungan kementerian pertahanan ? 2. Apakah pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara cerai gugat istri (warga sipil) terhadap suami (anggota TNI) tanpa memperhatikan tidak adanya surat ijin cerai dari atasan/komandan satuan? 3. Apakah akibat hukum yang timbul dan sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama dalam kasus cerai gugat tanpa memperhatikan surat ijin cerai dari atasan/komandan?
8
D. Tujuan dan Kegunaan Sesuai dengan pokok permasalahan di atas maka tujuan dari penelitian ini, sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui prosedur cerai gugat di lingkungan TNIdi lingkungan kementerian pertahanan. 2. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dan sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama dalam kasus cerai gugat tanpa memperhatikan surat ijin cerai dari atasan/komandan. Adapun kegunaan dari penyusunan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis untuk menambah wawasan di bidang hukum, khususnya dalam hal tata cara permohonan perceraian lingkungan TNI melalui Pengadilan Agama Salatiga. 2. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana di bidang Hukum Islam (Syari'ah).
E. Telaah Pustaka Penelitian yang kami lakukan berlokasi di Kantor Pengadilan Agama Salatiga dan Korem 073/Mkt Salatiga, menguraikan dan menjelaskan tentang putusnya perkawinan akibat cerai gugat yang diajukan oleh istri TNI tanpa surat ijin dari atasan/komandan satuan. Dalam hal ini membahas tentang prosedur cerai gugat di lingkungan TNI, akibat hukum yang timbul dan sikap institusi TNI terhadap putusan hakim tanpa memperhatikan surat ijin dari atasan/komandan.
9
Penelitian yang sedang dikaji sebenarnya pernah diteliti oleh peneliti lain sebelumnya. Adapun penelitian yang setara dengan peneliti sebelumnya adalah sebagai berikut : Penelitian yang dilakukan oleh Sulistyowati NIM 21100027 Progdi Ahwalul Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga, yang berjudul Putusnya Hubungan Perkawinan Atas Gugatan Cerai Pihak Istri (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Temanggung Tahun 2002-2003) Penelitian ini berisi tentang tujuan penelitian, metode penelitian dan hasil penelitian.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan perceraian di Pengadilan Agama Temanggung, melalui Tiga fokus penelitian yaitu pertama tentang bagaimana perceraian menurut hukum Islam. Kedua, Bagaimana proses penyelesaian perkara gugat cerai pihak istri di Pengadilan Agama Temanggung. Ketiga, Bagaimana pandangan hokum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Temanggung mengenai cerai gugat.Metode penelitian yang digunakan adalah yurisprudensi dengan pendekatan normatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa proses penyelesaian permohonan gugat cerai pihak istri di Pengadilan Agama Temanggung dilakukan sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, dalam melakukan prosesitu sampai pada memutuskan perkara dan pandangan Hukum Islam terhadap putusan Pengadilan Agama Temanggung mengenai cerai gugat yaitu bahwa istri yang meminta talak kepada suami tanpa alasan yang dibenarkan adalah perbuatan tercela sebagai dinyatakan dalam suatu hadits yang artinya “ Manakala istri menuntut cerai dari suaminya, maka haram baginya bau surga”. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurul Midayanti tahun 2012 Progdi Ahwalul Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga, yang berjudul Implementasi
10
PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010. Penelitian ini berisi tentang tujuan penelitian, metode penelitian dan hasil penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010, melalui Tiga fokus penelitian yaitu Pertama tentang bagaimana gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010. Kedua, apakah alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga. Ketiga, bagaimana implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris, Dengan hasil penelitian bahwa Surat Ijin dari atasan yang termuat dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga bisa diganti dengan Surat Keterangan yang dibuat oleh penggugat PNS. Surat ini berisi tentang kesediaannya menanggung segala resiko yang akan ia dapat setelah terjadinya perceraian. Penelitian yang dilakukan oleh Tri Yunianto NIM.21209004 Progdi Ahwalul Al Syakhsiyyah STAIN Salatiga 2014, yang berjudul Proses Perceraian Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat / TNI-AD (Studi
Kasus
di
Korem
073/Makutarama
Salatiga
Tahun
2010-
2012).Penelitian ini berisi tentang tujuan penelitian, metode penelitian dan hasil penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di lingkungan TNI AD dan untuk mengetahui kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses perceraian anggota Korem 073/Mkt, dengan melalui Tiga fokus penelitian yaitu Pertama
11
tentang bagaimana tata cara mengajukan permohonan ijin cerai di lingkungan TNI AD, bagaimana kebijakan Danrem 073/Mkt terkait dengan proses perceraian anggota Korem 073/Mkt dan bagaimanakah jika praktek perceraian anggota Korem 073/Mkt ada yang menyimpang dari peraturan yang ada. Adapun hasil penelitiannya adalah dengan adanya dua tindakan istri prajurit yang mengajukan gugatan perceraian langsung ke Pengadilan Agama, hal ini menimbulkan kesan bahwa yang bersangkutan tidak menghargai pimpinan dan bertentangan dengan Peraturan Panglima TNI No. 11/VII/2007 Bab IV pasal 11.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan memakai pendekatan normatif-yuridis.Pendekatan normatif adalah suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum Islam yaitu Al-Qur‟an dan Hadits serta fenomena yang terjadi di lapangan.Pendekatan yuridis adalah pendekatan dengan didasarkan pada tata aturan perundangundangan yang berlaku di Indonesia. Jenis
penelitian
yang
digunakan
adalah
penelitian
yurisprudensi.Penelitian yurisprudensi termasuk dalam jenis penelitian kajian pustaka. Penelitian yurisprudensi adalah penelitian yang mengkaji tentang putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan
12
hukum tetap. Tidak semua putusan hakim tingkat pertama atau tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi. 2. Sumber Data a. Data Primer Data primer adalah data utama yang diperoleh dari sumber-sumber primer, yaitu sumber asli yang memuat informasi atau data tersebut berupa kata-kata, tindakan, selebihnya sumber data tertulis seperti dokumen (Moleong. 2008:157). Macam-macam data primer sebagai berikut: 1) Dokumen Dokumen artinya barang-barang tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto, 2010:201).Dokumen biasanya dibagi atas dokumen pribadi dan dokumen resmi (Moleong, 2008:217). Dalam penelitian ini setiap tahun tertulis data-data di Pengadilan Agama Salatiga yang berkaitan dengan penelitian seperti : buku register perkara perceraian, berita acara perceraian dan putusan perceraian. Dokumen utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah putusan perceraian yang di mana putusan tersebut merupakan putusan
Pengadilan Agama sebagai Tingkat I dan
13
suadh incrah karena setelah putusan,
tidak
ada
lagi
upaya
banding. 2) Informan atau Responden Informan
atau
responden
adalah
orang
yang
bisa
memberikan informasi dan keterangan tentang suatu fakta atau pendapat dalam bentuk tulisan (Arikunto, 2010:188), yaitu berupa jawaban lisan melalui wawancara atau jawaban tertulis melalui angket (Arikunto, 2010:172). Informan dalam penelitian ini adalah Ketua majelis hakim Pengadilan Agama Salatiga dan Wakil Penitera Pengadilan Agama Salatiga. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang bukan asli memuat informasi atau data dalam penelitian.Sumber data sekunder dapat berupa buku atau majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi (Moleong, 2008:159). 3. Prosedur Pengumpulan Data a. Observasi Observasi adalah suatu cara pengumpulan data dengan jalan pengamatan secara langsung mengenai obyek penelitian dengan menggunakan seluruh alat indra. Observasi dapat dilakukan dengan tes,
kuesinoer,
2010:199).Obyek
rekaman yang
gambar,
diteliti
rekaman
adalah
lokasi
suara
(Arikunto,
penelitian
yaitu
14
Pengadilan Agama Salatiga dan khususnya pada ketua Pengadilan Agama Salatiga. b. Dokumentasi Dokumentasi adalah mengumpulkan data mengenai hal-hal atau variable yang berupa buku-buku, majalah, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian (Arikunto, 2010:201), benda-benda peninggalan seperti prasasti dan simbol-simbol (Arikunto, 2010: 202). Dokumentasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengambilan data tentang perceraian oleh majelis hakim di Pengadilan Agama Salatiga dengan perkara pengajuan cerai gugat seorang istri TNI yaitu dalam salinan putusan No. 0333/Pdt.G/2010/PA.SAL 0356/Pdt. G/2011/PA.SAL. c. Wawancara (Interview) Wawancara (interview) adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan
dan
terwawancara
(interviewee)
yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2008:186)untuk memperoleh informasi dari terwawancara atau interviewee (Arikunto, 2002:132).Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan Ketua Pengadilan Agama, Ketua majelis hakim, Wakil Panitera Pengadilan Agama Salatiga. 4. Analisis Data
15
Analisis data adalah suatu cara yang dipakai untul menganalisa (data analysis) dan mengolah data yang sudah terkumpul, sehingga dapat diambil suatu kesimpulan yang kongkrit tentang permasalahan yang diteliti dan dibahas (Arikunto. 2010:278). Metode
analisis
data
yang
digunakan
adalah
metode
komparatif.Metode komparatif disebut juga penelitian komparasi yaitu menemukan
persamaan-persamaan
dan
perbedaan-perbedaan
dan
membandingkan persamaan atau perbedaan tersebut terhadap pandangan orang, group atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa ataupun ide-ide (Arikunto, 2010:310). Dalam penelitian ini yang dikomparatifkan adalah putusan-putusan Hakim atau Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung yang sudah berkekuatan hukum tetap. Sebagai bahan analisis data adalah UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; KHI; PP No. 9 tahun 1975; UU No. 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50 tahun 2009 jo Pasal 14 s.d 36 PP No. 9 tahun 1975. 5. Tahap-Tahap Penelitian Setelah peneliti menentukan tema dan judul yang akan diteliti, kemudian peneliti melakukan tahapan observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga yaitu memperoleh salinan putusan perkara.
16
Selanjutnya bertanya pada panitera tentang perkara perceraian khususnya perkara cerai gugat istri TNI
di Pengadilan Agama Salatiga secara
praktek. Tahapan berikutnya adalah melakukan wawancara dengan Ketua majelis hakim perkara tersebut.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pembahasan dan pencapaian ide serta tema dalam penelitian ini maka penulis menyajikan skripsi ini dengan sistematika, sebagai berikut: Bab I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan BAB IIberisi teori perceraian meliputi: Perceraian menurut fiqh yang diantaranya membahas tentang pengertian, dasar hukum, bentuk-bentuk perceraian, sebab-sebab terjadinya perceraian, serta akibat perceraian. Kemudian perceraian menurut perundang-undangan baik menurut UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, PP No. 9 tahun 1975, KHI dan PERMENHAN
No. 23 Tahun 2008 yang diantaranya membahas tentang
pengertian, sebab dan alasan perceraian, tata cara perceraian serta akibat perceraian. Bab III Penelitian di Pengadilan Agama Salatiga yang berisi tentang prosedur
cerai
gugat
istri
terhadap
suami
anggota
TNI
menurut
PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 tentang perkawinan, perceraian dan rujuk bagi pegawai di lingkungan departemen pertahanan, akibat hukum yang
17
timbul dari sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal dalam kasus cerai gugat tanpa memperhatikan surat ijin cerai dari atasan/komandan, pertimbangan permohonan perkara perceraian: alasan permohonan perceraian, bantuan hukum, amar putusan Pengadilan Agama Salatiga. Bab IV Analisis putusnya perkawinan akibat cerai gugat istri terhadap suami TNI yang berisi tentang upaya-upaya menurut hukum Islam dan peraturan lain yang bersangkutan, upaya perlindungan hukum akibat perceraian diwujudkan dalam putusan pengadilan agama Salatiga dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam menegakkan upaya permohonan cerai gugat. Bab V Penutup yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup. Daftar Pustaka dan Lampiran.
18
BAB II TEORI PERCERAIAN A. Perceraian menurut Fiqh 1. Pengertian Perceraian Secara bahasa talak (perceraian) bermakna melepas, mengurai, atau meninggalkan, melepas atau mengurangi tali pengikat, baik tali pengikat itu riil atau maknawi seperti tali pengikat perkawinan (Supriatna, 2009:19). Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitab Al-Fiqh „ala alMadzahib Al-Arba‟ah ) )الفقه على المذاهب االربعةtalaq menurut istilah adalah:
ٍظ
اِا َزسالَزةُة اللِّن َز َزا أْو ُة ْوق َز ُةا َز لًل ِاه بِالَز ْوف ٍظ َز ْو ُة ْو
“Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus” (Al-Jaziri, 1972:861)
Menghilangkan akad perkawinan maksudnya mengangkat akad perkawinan sehingga istri sudah tidak halal lagi bagi suami, seperti talak yang sudah tiga kali.Mengurangi pelepasan ikatan perkawinan maksudnya berkurangnya hak talak yang berakibat berkurangnya pelepasan istri, yaitu dalam talak raj‟i dapat mengurangi pelepasan istri (Supriatna, 2009:20). Perceraian adalah kata-kata Indonesia yang umum dipakai dalam pengertian yang sama dengan talak dalam istilah fiqh yang berarti bubarnya hubungan nikah (Harjono, 1987:234). Oleh karena itu, jiwa peraturan tentang perceraian dalam hukum Islam senantiasa mengandung pendidikan, yakni pendidikan untuk tidak mempermudah perceraian.Moral Islam menghendaki untuk menjadikan 18
19
perkawinan sesuatu yang berusia kekal dan abadi untuk selama hidup.Hanya kematian sajalah hendaknya satu-satunya sebab yang menjadi alasan bagi berpisahnya laki-laki dan wanita yang sudah menjadi satu kesatuan sebagai suami istri.Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami istri dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami istri tersebut. 2. Dasar Hukum Perceraian Tentang hukum perceraian ini para ahli fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Pendapat yang paling benar di antara semua itu adalah yang menyatakan bahwa perceraian itu “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali. Alasannya yaitu:
ا قَز َزل َزر ُةس ْو ُةل هللاِا َز ا ِا ْو َز ٍظ لَز َزع َز هللاُة ُة َّل َز َّلأا ٍظ: صلَزى هللا َزعلَز ْوٍ ِاه َزأ َزسلَز َزم Rasulullah saw. bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai.” (Maksudnya: suka kawin dan cerai).
Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah.Sedangkan kawin adalah salah satu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram.Jadi tidak halal bercerai, kecuali karena darurat.Darurat yang membolehkan cerai yaitu bila suami meragukan kebersihan tingkah laku istri, atau sudah tidak memiliki cinta dengan suami.Tetapi jika tidak ada
20
alasan apapun berarti kufur terhadap nikmat Allah dan jahat kepada istri, maka karena itu dibenci dan terlarang. Golongan Hambali menjelaskan secara terperinci tentang hukum talak dalam Islam adalah wajib, haram, mubah dan
sunnah (Thalib,
1993:99): a. Talak wajib Hukumnya talak wajib ada dua macam yaitu pertama talak yang dijatuhkan oleh hakam (penengah) karena perpecahan antara suami istri sudah sedemikian rupa dan menurut hakam talaklah jalan keluar yang paling baik sebagai upaya penyelesaian perselisihan antara suami istri (Sabiq, 1980:9). Kedua, talak wajib dijatuhkan oleh hakim ketika suami bersumpah illa‟ dan telah berlalu empat bulan tetapi suami tidak mau kembali kepada istrinya dengan membayar kafarah sumpah lebih dahulu dan istri akan mendapatkan madharat (Supriatna, 2009:24). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah: 226-227
226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
b. Talak sunnat
21
Talak sunnat yaitu dikarenakan istri mengabaikan kewajiban kepada Allah, seperti shalat dan sebagainya padahal suami tidak mampu memaksanya agar istri menjalankan kewajibannya atau istri kurang rasa malunya. Dalam hal keadaan seperti ini suami tidak salah untuk bertindak keras
kepada
istrinya,
agar
ia
mau
menebus
dirinya
dengan
mengembalikan maharnya untuk bercerai. Sesuai dengan firman Allah SWT yang terdapat dalam Q.S An-Nisa:19
19. Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu. Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. Hukumnya sunnat yaitu jika suami tidak sanggup lagi membayar dan mencukupi kewajibannya (nafkah), atau perempuan tidak menjaga kehoramatan diri (Rasjid, 1986:402). c. Haram Yaitu jika dilakukan tanpa alasan yang dibenarkan, sedangkan istri dalam keadaan suci atau keadaan haid tetapi pada masa suci tersebut istri sudah digauli (Saleh, 2008:320).Diharamkan karena merugikan bagi suami dan istri, dan tidak adanya kemashlatan yang mau dicapai dengan
22
perbuatan talak itu.Jadi talaknya haram, seperti haramnya merusakkan harta benda (Sabiq, 1990:10). Sesuai dengan sabda Rasulullah saw sebagai berikut:
ِا َزز ا َزر
صلَزى ا ُة َزعلَز ْوٍ ِاه َزأ َزسلَّل َزم الَز َز َزز َزر َزأ َزال قَز َزل َزر ُةس ْو ُةل ا ِا َز
Rasulullah saw bersabda: “Tidak (boleh) berbuat membahayakan dan tidak (boleh) membalas dengan bahaya.”
d. Makruh Yaitu hukum asal dari talak (Rasjid, 1986:403). Jika suami menjatuhkan talak kepada istri yang salehah dan berakhlak yang baik, karena hal yang demikian dapat mengakibatkan istri dan anak terlantar serta akan menimbulkan kemadharatan. Atas dasar alasan ini yang menjadikan hukum talak menjadi makruh. Dalam riwayat lain dikatakan talak serupa ini dibenci
ُة ا ْول َز َز ِال ا لَّلى ا ِا ْوال َز َز ُة ا
صلَزى ا ُة َزعلَز ْوٍ ِاه َزأ َزسلَز َزم اَز ْوب َز َز
قَز َزل َزر ُةس ُةل ا
Nabi saw bersabda: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
3. Bentuk-Bentuk Perceraian Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami istri atau yang disebut dengan perceraian.Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada 4 kemungkinan sebagai berikut:
23
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salah seorang suami istri. Dengan kematian ini dengan sendirinya berakhir pula hubungan perkawinan. Walaupun dengan kematian, hubungan suami istri tidak dimungkinkan disambung lagi, namun bagi istri yamg suaminya telah meninggal tidak boleh segera melaksanakan perkawinan baru dengan laki-laki lain sebelum masa iddahnya telah habis. b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut talaq )ا
)ال. Talaq adalah perbuatan yang halal
tapi paling dibenci oleh Allah swt, hukum talaq lebih terperinci sudah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur‟an Q.S AlBaqarah:231
231. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
24
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. Di antara bentuk-bentuk perceraian (talak) adalah sebagai berikut: 1) Perceraian ditinjau dari segi boleh tidaknya suami kembali kepada istri setelah ditalak. (a) Talak Raj‟i yaitu talak dimana suami masih memiliki hak untuk kembali kepada istrinya (rujuk) sepanjang istri dalam masa iddah, baik istri bersedia dirujuk maupun tidak tanpa akad nikah baru (Wasman, 2011:92). (b) Talak Ba‟in adalah talak yang tidak diberikan hak kepada suami untuk rujuk terhadap istrinya.Apabila suami ingin kembali kepada mantan istrinya, harus dilakukan dengan akad nikah
yang baru
yang memenuhi
unsur
dan
syarat
pernikahan.Talak ba‟in menghilangkan tali ikatan suami istri. 2) Bentuk perceraian yang ditinjau dari waktu ikrar talak sebagai berikut: (a) Talak Sunni adalah talak yang sesuai dengan perintah Allah SWT dan Rasulullah SAW, yaitu talak yang dilakukan ketika istri dalam keadaan suci dan belum disetubuhi kemudian dibiarkan sampai selesai menjalankan masa iddahnya (Wasman, 2011:95).
25
(b) Talak Bid‟i adalah talak yang dilarang dan menyalahi ketentuan agama, yaitu seperti mentalak tiga kali secara terpisah-pisah dalam satu tempat atau satu waktu, atau juga talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam keadaan suci namun sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Wasman1, 2011:96). 3) Bentuk perceraian ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap istrinya. (a) Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan
ucapan
lisan
di
hadapan
istrinya
dan
istri
mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu. (b) Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan suami secara
tertulis lalu disampaikan kepada istrinya dan istri
memahami isi dan maksud dari tulisan tersebut. Menurut Sayyid Sabiq syarat sah talak secara tertulis bahwa tulisan harus jelas, tegas dan nyata ditunjukkan oleh suami terhadap istri secara khusus. (c) Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukan oleh suami yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan. Para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat sah bagi tuna wicara.
26
(d) Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada istri melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak tersebut (Sabiq, 1980:27). c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena si istri melihat sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan suami tidak berkehendak. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan si istri dengan cara tertentu ini diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan perkawinan itu. Putus perkawinan dengan cara ini disebut khulu‟ ((ال لع. Hukumnya khulu‟ menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur‟an Q.S AlBaqarah:229
229. Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
27
menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya.Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim. d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami dan atau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya
perkawinan
dalam
bentuk
ini
disebut
fasakh)()الفسخSyarifuddin, 2006:197). Sebagaimana yang tercantum dalam Hadist Nabi saw yang diriwiyatkan oleh Imam Bukhari, yang isinya sebagai berikut:
َزأ َزع ْو َزع اِا َز ةَز َزر ِا َزً َز ٌ ( ُة ٍ َزَّلز ْو بَز ِاز َزر ُة َزعلَزى سَز أْو ِا َز ِا ْوٍ َز َزع َزقَز ْو ) ُة َّلفَز: هللاُة َزع ْول َز قَز لَز ْو ق ث َز : ( َز َّلا سَز أْو َز َز َز اَز َزع ْوبدًلا) َزأفِاً ِار َزأاٌَز ِاة َزع ْول َز: ط ِا ْوٌ ِا َزألِا ُةم ْوسلِا ِام َزع ْول َز َزعلَز ْوٍ ِاه فِاً َز ِاد ٌ ِا س ِاع ْولد ْوَزالبُة َز ِاريِّن َز َّلهُة َز اَز َزع ْوبدًلا ( َز اَز ًلُةزا) َزأ ْواْلَز َّلأ ُةل َز ْوثبَز ُةث َزأ َز ص َّلح َزع ِا ا ْوب ِا َزعبَّل ِا
“Aisyah
Radiyallahu „anhu berkata: Barirah disuruh memilih untuk melanjutkan kekeluargaan dengan suaminya atau tidak ketika ia merdeka. Muttafaq Alaihi dalam hadits panjang. Menurut riwayat Muslim tentang hadits Barirah bahwa suaminya adalah seorang budak. Menurut riwayat lain, suaminya orang merdeka. Namun yang pertama lebih kuat Ibnu Abbas Radiyallahu „anhu riwayat Bukhari membenarkan bahwa ia adalah seorang budak”. (Tim Pustaka Hidayah, 2008:1035).
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan hubungan suami istri yang dihalalkan oleh agama tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan perkawinan itu secara hukum syara‟. Terhentinya hubungan perkawinan dalam hal ini ada dalam tiga bentuk antara lain sebagai berikut:
28
a.
Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kaffarah. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar ( )الظ ر. Hukumnya zhihar adalah haram sesuai dengan firman Allah swt Q.S Al-Mujadilah:2
2. orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
b. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa tertentu, sebelum ia membayar kaffarah atas sumpahnya itu; namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan dalam bentuk kini disebut ila‟.Hukumnya ila‟ adalah boleh atau mubah. Secara terperinci ada dua macam hukum ila‟ yaitu hukum ukhrawi yaitu berdosa jika tidak kembali kepada istrinya, dan hukum duniawi yaitu perceraian setelah empat bulan menunggu sejak mengucapila‟ (Supriatna, 2009:36). Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur‟an Q.S Al-Baqarah:226227
29
226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227.dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. c.
Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhan terhadap istrinya yang berbuat zina, sampai proses li‟an dan perceraian di muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut li‟an (Syarifuddin, 2006:198). Dasar hukumnya adalah Al-Qur‟an Q.S An-Nur:6-10
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar. 7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030]. 8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
30
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar. 10. dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan). 4. Sebab-Sebab Terjadinya Talaq (Putusnya Perkawinan) Ada tiga hal yang menjadi penyebab putusnya suatu perkawinan di mana apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka kemudharatan akan terjadi. Akan tetapi, Allah menjelaskan beberapa usaha yang harus dilakukan menghadapi kemelut dari tiap penyebab tersebut agar tidak sampai terjadi perceraian. Sebab-sebab terjadinya talak atau perceraian adalah sebagai berikut: a. Nusyuz Istri Nusyuz adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti meninggi atau terangkat.Secara definitif nusyuz diartikan dengan kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya (Syarifuddin, 2006:191). Nusyuz menjadi awal penyebab perceraian karena istri yang demikian telah lalai akan kewajiban dalam rumah tangga atas kehidupan suami dan istri. Atas perbuatan itulah pelaku mendapat ancaman diantaranya
gugur
haknya
sebagai
istri
dalam
masa
nusyuz
tersebut.Nusyuz itu haram hukumnya karena menyalahi sesuatu yang telah ditetapkan agama melalui Al-Qur‟an dan Hadits. Allah menetapkan
31
beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuznya seorang istri dalam Q.S An-Nisa:34
34. kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanitawanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
b. Nusyuz suami Nusyuz suami yaitu pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istri.Nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya, baik yang bersifat materi atau nafaqah dan atau yang bersifat non materi di antaranya mu‟asyarah bi al-ma‟ruf yaitu menggauli istrinya dengan baik. Tidak menggauli istri dengan baik maksudnya adalah segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental istri, tidak melakukan
32
hubungan badaniyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang yang bertentangan dengan asas pergaulan baik (Syarifuddin, 2006:193). Nusyuz suami merupakan salah satu penyebab perceraian karena pihak istri dirugikan dan jelas di sini keharmonisan rumah tangga tidak akan terwujud dan mengarah pada perceraian. Adapun tindakan istri apabila menemukan pada suaminya sifat nusyuz, dijelaskan oleh Allah dalam Q.S An-Nisa:128
128. dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
c. Syiqaq Syiqaq
mengandung
arti
pertengkaran,
kata
ini
biasanya
dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami dan istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya.Syiqaq ini timbul apabila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya.
33
Syiqaq merupakan tahap perselisihan antara suami dan istri yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perceraian.Bila terjadi konflik keluarga
seperti
ini
Allah
swt
memberikan
petunjuk
untuk
menyelesaikanny. Hal ini terdapat dalam firman Allah swt Q.S ANNisa:35
35. dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
Yang dimaksud dengan hakam dalam ayat tersebut adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut 5. Akibat Perceraian Bila hubungan perkawinan putus antara suami dan istri dalam segala bentuknya, maka hukum yang berlaku sesudahnya sebagai akibat dari perceraian tersebut antara lain: a. Hubungan antara keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah, tidak boleh memandang apalagi bergaul sebagai suami istri, sebagaiman yang berlaku antara dua orang yang saling asing. Dengan kata lain mengembalikan status semula yang berarti haram ketika masih bergaul.
34
b. Keharusan memberi mut‟ah, yaitu pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. Hal ini berbeda dengan mut‟ah sebagai pengganti mahar bila istri dicerai sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan, tidak wajib suami memberi mahar, namun diimbangi dengan suatu pemberian yang disebut mut‟ah.Mengenai hukum mut‟ah sendiri berbeda pendapat antara golongan Zahiriyah dan golongan ulama Malikiyah. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mut‟ah itu hukumnya sunnah. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa mut‟ah itu wajib, dasar wajibnya adalah Q.S AlBaqarah:241
241. kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.
c. Melunasi hutang yang wajib dibayarnya dan belum dibayarnya selama masa perkawinan, baik dalam bentuk mahar atau nafaqah, yang menurut sebagian ulama wajib dilakukannya bila pada waktunya didak dapat membayarnya. Begitu pula mahar yang belum dibayar atau dilunasinya, harus dilunasi setelah bercerai. d. Berlaku ketentuan iddah atas istri yang dicerai. Iddah berasal dari kata adda-wa‟uddu – „idatan dan jamaknya adalah „iddad.Secara (etimologi) berarti menghitung atau hitungan. Secara istilah berarti nama bagi suatu masa bagi seorang wanita menunggu untuk perkawinan selanjutnya setelah wafat suaminya atau karena perpisahan (perceraian hidup)
35
dengan suaminya. Dasar hukum „iddah sendiri telah diatur dalam Q.S Al-Baqarah:228 dan 234, Ath-Thalaq:4 (Supriatna, 2009:68). e. Hadhanah yaitu pemeliharaan terhadap anak. Secara bahasa hadhanah berarti erat, secara istilah berarti memelihara, mengasuh, mendidik anak-anak yang masih kecil untuk menjaga kepentingannya dan melindunginya dari bahaya yang mengancamnya karena dia belum bisa berdiri sendiri. Dasar ajaran tentang hadhanah adalah Q.S An-Nisa:9
9. dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
B. Perceraian Menurut Perundang-undangan 1. Pengertian Perceraian Dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena a. kematian, b. perceraian dan c. atas putusan pengadilan. Kematian sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan adalah jika salah satu pihak baik suami atau istri meninggal dunia. Sedangkan untuk sebab perceraian, UUP memberikan aturan-aturan yang telah baku, terperinci, dan sangat jelas. Adapun putusnya perkawinan
36
dengan keputusan pengadilan adalah jika kepergian salah satu pihak tanpa kabar berita untuk waktu yang lama. Dalam KHI juga disebutkan tentang putusnya perkawinan pada pasal 113 yaitu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan.Kemudian pada pasal 114 yaitu bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian. Dilanjutkan pada pasal 115 yaitu disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Menurut PP No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP No. 1 tahun 1974 dalam pasal 18 disebutkan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan. 2. Sebab dan Alasan Perceraian UUP No. 1 tahun 1974 dan KHI memiliki persamaan dari hal sebab putusnya perkawinan, hanya saja di dalam KHI alasan-alasan perceraian lebih dijelaskan secara terperinci. UUP No. 1 tahun 1974 pasal 38 dan dalam KHI Pasal 113 sebab putusnya perkawinan ada tiga yaitu kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Sedangkan untuk alasan perceraian dalam KHI terdapat pasal 116, perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
37
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. g. Suami melanggar taklik talak. h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Alasan perceraian yang terdapat pada PP No. 9 tahun 1975 diatur dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, pemadat, dan sebagainya yang sukar disembuhkan. b. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain. e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri. f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
3. Tata Cara Perceraian Tata cara perceraian diatur di dalam UUP No. 1 tahun 1974 pasal 39 dan pasal 40. Dalam pasal 39 disebutkan bahwa:
38
a) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak b) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antar suami dan istri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. c) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri. Selanjutnya dalam pasal 40 disebutkan sebagai berikut: a) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan b) Tata cara menjalankan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan perundangan tersendiri
Dalam KHI diatur tentang tata cara perceraian di bagian kedua dari pasal 129 sampai dengan pasal 148. Pasal 129 menyebutkan bahwa seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan atau tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri atau disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Pasal 130 menyebutkan bahwa Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi. Pasal 131 menjelaskan secara terperinci tentang tata cara perceraian yaitu sebagai berikut: a) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak. b) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan, untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup dalam rumah tangga.
39
Pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak. c) Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh istri atau kuasanya. d) Bila suami tidak mengikrarkan talak dalam tempo enam bulan terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikar talak baginya mempunyai kekuatan hukm yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yang telah utuh, e) Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian baik bekas suami dan istri.
Pasal 132 berisi tentang tata cara gugatan yang dilakukan oleh pihak istri. Pasal 133 berisi tentang gugatan perceraian berdasarkan alasan pasal 116 huruf b. Pasal 134 tentang tata cara gugatan perceraian berdasarkan pasal 116 huruf f. Pasal 135 dijelaskan tentang gugatan perceraian yang dimaksud dalam pasal 116 huruf c. Pasal 136 berisikan tentang hal-hal sebagai berikut: a) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan Pengadilan Agama dapat mengizinkan suami istri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. b) Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat: 1) menentukan nafkah yang harus ditanggungkan oleh suami. 2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atas barang-barang yang menjadi hak milik suami atas barang-barang yang menjadi hak istri.
Sedangkan pasal 137 yaitu gugatan perceraian gugur apabila suami atau istri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.Pasal 138 berisi tentang aturan tempat tinggal baik
40
penggugat ataupun tergugat. Untuk tata cara pemeriksaan gugatan dan sidang perceraian diatur dalam pasal 141, 142, 143, 144 dan 145. Pembacaan putusan dan penjelasan tentang salinan putusan diatur dalam pasal 146, 147, dan pasal 148. Menurut pasal 14 PP No. 9 tahun 1975 menjelaskan tentang perihal tata cara perceraian sebagai berikut seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan istrinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Dilanjutkan pada pasal 15 bahwa Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang dimaksud dalam pasal 14, dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan juga istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu. Pasal 16 dan pasal 17 menjelaskan tentang ketentuan sidang di Pengadilan.Untuk gugatan perceraian dan jalannya sidang di Pengadilan diatur lebih terperinci pada pasal 20 sampai dengan pasal 36. 4. Akibat Perceraian Ditinjau dari UUP No. 1 tahun 1974 pasal 41, akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
41
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Ditinjau dari KHI BAB XVII bagian kesatu pasal 149 yaitu bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib: a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul. b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separoh apabila qobla al dukhul. d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Selanjutnya menurut PP No. 9 tahun 1975 pasal 24 ayat 2, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat: a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barangbarang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri. C. Prosedur Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk bagi anggota TNI/POLRI Mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 / PP. No.9 Tahun 1975, INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, HIR., PP No. 10 Tahun 1983 / PP No. 45 Tahun 1990 dan Ketentuan-Ketentuan Khusus Perkawinan dan
42
Perceraian Bagi Anggota TNI/POLRI sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Peraturan Panglima TNI Nomor PERPANG/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007. Adapun prosedur cerai gugat menurut peraturan di lingkup TNI, sebagai berikut: a. Apabila Pemohon/Gugatan Cerai diajukan oleh anggota TNI (aktif), maka persyaratan administratifnya harus dilengkapi dengan surat izin untuk melakukan perceraian dari Atasan/Komandan yang bersangkutan (Langsung dapat diproses lanjut) ; b. Apabila Permohonan/Gugatan Cerai tersebut belum dilengkapi dengan SURAT IZIN, Majelis Hakim dalam persidangan lansung memerintahkan kepada yang bersangkutan untuk mendapatkan izin tersebut keatasan/komandannya, perintah tersebut dimuat dalam Berita Acara Persidangan (sidang pertama ditunda/belum dapat di mediasi); c. Penundaan persidangan minimal 6 bulan, terhitung sejak Tanggal Surat Permohonan Izin Cerai diajukan keatasan/komandannya (bukan
dihitung
sejak
penundaan
persidangan), karena
memungkinkan penundaan telah 5 bulan sementara permohonan izin ke atasan/komandannya bari 1 bulan) maka kemungkinan proses penerbitan izin pada atasan sedang berlangsung majelis telah
menyidangkannya
dapat
mengakibatkan
pertentangan/
43
komplik antar instansi/lembaga atau Pengadilan Agama dengan Komando; d. Apabila penundaan telah berjalan 6 bulan, kemudian masa permohonan izin atasan/komandannya belum cukup 6 bulan, maka seharusnya ditunda lagi untuk mencukupi 6 bulan (masa proses pada atasan/komandannya); e. Apabila, tetap hendak melanjutkan perkara tanpa memenuhi syarat 6 bulan dan atau tanpa surat izin dari atasan/komandannya maka (demi perlindungan hukum atas majelis hakim), yang bersangkutan harus/wajib membuat surat menerima pernyataan resiko akibat perceraian
tanpa
izin,
lalu
mejelis
hakim
lebih
dahulu
memberitahukan/menasehatkan kemungkinan resiko baik yang sifatnya
teringan
seperti;
sanksi
admnistratif,
pemindahan,penurunan/penundaan kenaikan pangkat, gaji dll., dan atau resiko terburuk dengan sebuah pemecatan, kalau sudah mengerti dan tetap hendak diproses lanjut, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan, dengan memerintahkan untuk menempuh MEDIASI (Perma No. 1 Tahuin 2008), kemudian selanjutnya (memasuki ranah hukum), biaya, upaya perdamaian, selanjutnya memeriksa pokok perkara. f. Apabila Gugatan Cerai diajukan oleh ISTERI (Bukan Anggota TNI/POLRI), karena ia (ISTERI) tersebut menikah dengan anggota TNI/POLRI maka secara otomatis telah terikat sebagai Keluarga
44
Besar TNI/POLRI, maka Penggugat harus menghargai Institusi TNI/POLRI,
meskipun
ia
telah
membenci
Suaminya yang
TNI/POLRI sehingga tetap harus melakukan tindakan, sebagai berikut: 1) Isteri
tersebut,
melaporkan
keadaan
rumah
tangganya kepadaatasan/komandan suami dengan rencana gugatan perceraiannya tersebut; 2) Kalau perkara sudah terdaftar, sementara Majelis Hakim
telah
mengetahui
bahwa
Tergugatnya
(suaminya) itu adalah anggota TNI/POLRI, maka harus memerintahkan kepada penggugat untuk melaporkan hal tersebut, sesuai maksud huruf (a) di atas, dengan memberi kesempatan selama 6 bulan (kentuan administratif) ketentuannya konkordan dengan ketentuan PP.No.10 Tahun 1983); 3) Perintah kepada Tergugat tersebut harus dimuat dalam Berita Acara Persidangan dan dapat dibuat dalam bentuk Putusan Sela (melokalisir keadaan perkara); 4) Perintah Majelis Hakim tersebut disampaikan kepada Pimpinan pengadilan (Ketua/Wakil Ketua) Pengadilan Agama karena (Majelis hakim tidak
45
boleh bersurat langsung kepada atasan/komandan suaminya); 5) Pimpinan Pengadilan memberikan SURAT perintah pengatar kepada Penggugat isteri tersebut untuk MENGHADAP atasan/komandan suami, minta surat keterangan, (Jiwa PP.No.45 Tahun 1990) atau bentuk surat lainnya dari Kantor TNI/POLRI yang isinya membenarkan atau tidak membenarkan mengajukan proses ke pengadilan (Semua surat tersebut hanyalah persyaratan administrative saja) kalau tidak dapat diperoleh surat tersebut dengan berbagai hambatan di Kantor Suami kemudian lewat 6 bulan (dihitung sejak pelaporan), maka tidak ada halangan umum lagi, bagi majelis hakim untuk melanjutkan pemeriksaan perkara, maka perkara tetap berlanjut dan harus diputus. Putusan No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal yang mengadili perkara cerai gugat di daerah Salatiga dalam isi amar putusannya memperlihatkan bentuk jaminan perlindungan hukum.Kenyataan terjadi ada prosedur yang tidak dipenuhi oleh pemohon, selain aturan tersebut khusus bagi aparatur negara ditambah lagi dengan aturan “wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat”. Bagi Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disingkat PNS) ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 pasal 3 ayat
46
(1) yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 pasal 3 ayat (1) dan bagi anggota Tentara Nasional Indonesia (selanjutnya TNI) diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 Tahun 2008 yang sebelumnya diatur dengan Peraturan Panglima TNI No. 3 Perpang/11/VII/2007. Meskipun ketentuan mengenai tenggang waktu pengurusan izin atasan/pejabat sebagaimana tersebut di atas tidak diatur, selama ini Majelis Hakim khususnya Hakim Pengadilan Agama tetap memberikan toleransi kepada Penggugat atau Pemohon yang merupakan anggota TNI/POLRI untuk mengurus izin atasan/pejabat dimaksud paling lama 6 (enam bulan). Pertimbangan waktu 6 (enam) bulan tersebut pada prinsipnya bukan karena berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No.5 Tahun 1984 karena SEMA tersebut untuk Pegawai Negeri Sipil, akan tetapi karena pertimbangan asas kepatutan dimana jika Penggugat atau Pemohon yang notabenenya Anggota TNI/POLRI beritikat baik untuk menghormati institusinya, maka waktu 6 (enam) bulan tersebut tentu akan cukup untuk kepengurusan izin yang dimaksud. Sebaliknya jika anggota TNI/POLRI termasuk juga Pegawai Negeri tersebut tidak memiliki sikap hormat atau tidak berkeinginan untuk menghargai aturan institusinya maka meskipun waktu yang diberikan sepuluh kali lipat dari 6 bulan tersebut di atas tentulah tidak akan cukup, apalagi bila dari awal persidangan yang bersangkutan sudah mengatakan tidak akan mengurus surat izin tersebut serta menyatakan sanggup menanggung segala
47
resikonya. Kebijakan yang diambil oleh Majelis tersebut ternyata tidak diterima oleh institusi TNI, Panglima TNI pada 20 September 2010 telah mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang isinya antara lain menghimbau agar hakim-hakim di peradilan agama tidak mempermudah proses cerai dan poligami para anggota TNI. Sebelumnya pada tahun 2006 Institusi TNI juga telah mengeluarkan BUKU PETUNJUK TEKNIS tentang NIKAH TALAK CERAI DAN RUJUK (Diberlakukan dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Darat Nomor Skep /491/XII/2006 21 Desember 2006). Berdasarkan SEMA No. 5 tahun 1984 diinstruksikan agar sebelum memulai pemeriksaan di pengadilan hakim memerintahkan lebih dahulu kepada pegawai negeri sipil yang mengajukan gugatan cerai atau permintaan ijin beristri lebih dari seorang, untuk melampirkan surat ijin mengajukan gugatan cerai atau permintaan ijin beristri lebih dari seorang dari pejabat. Selain itu, hakim juga diharuskan memberikan peringatan kepada yang bersangkutan dengan menunjuk ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 yang memuat sanksi-sanksi pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil (hal ini hanya diberlakukan khusus PNS sedangkan bagi anggota TNI/POLRI telah memiliki peraturan tersendiri).
48
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Salatiga 1.
Profil Lembaga Pengadilan Agama Salatiga. Pengadilan Agama Salatiga terletak di Jl. Raya Lingkar Salatiga,
Dusun Jagalan Kelurahan Cebongan, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga, Jawa Tengah.Nomor telepon layanan publik yang dapat dihubungi adalah (0298) 325243.Website resmi dan akun resmi Pengadilan
Agama
Salatiga
adalah
www.pa-salatiga.go.id
dan
49
[email protected] Pengadilan Agama Salatiga memiliki luas bangunan 1300m2 dan berdiri di atas tanah seluas 5425m2. Batasbatas wilayah Pengadilan Agama Salatiga sebelah utara adalah Kabupaten Semarang, sebelah timur Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Boyolali, kemudian sebelah selatan adalah Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Magelang, sebelah barat adalah Kabupaten Semarang dan Kota Semarang (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63). Sumber hukum formil dalam pembentukan Pengadilan Agama Salatiga adalah Staatblad 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama
Agama/penghulu
di
Jawa
Landraad.
dan
Tentang
Maduradengan perubahan
nama
wilayah
Raad hukum
Pengadilan Agama di Salatiga juga didasarkan pada KMA RI (Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia) No. 76 tanggal 10 Nopember 1983 tentang Penetapan Perubahan Wilayah Hukum Pengadilan Agama. Wilayah yurisdiksi atau daerah hukum Pengadilan Agama Salatiga 49 meliputi wilayah Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga
(Tim
Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63). Kompetensi atau kewenangan Pengadilan Agama di Salatiga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kompetensi relatif dan kompetensi absolut.Kompetensi relatif adalah kekuasaan atau dasar wilayah hukum dan tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan Pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan. Kompetensi relatif dijelaskan dalam pasal 4 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang berbunyi, “Pengadilan Agama
50
berkedudukan di kotamadya atau Ibu Kota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau Kabupaten”. Adapun kewenangan relatif Pengadilan Agama Salatiga meliputi Pemerintahan Daerah Kabupaten Semarang yang terdiri dari 13 Kecamatan dan 169 Desa. Wilayah Kota Salatiga terdiri dari 4 Kecamatan yaitu Kecamatan Sidorejo, Kecamatan Sidomukti, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Tingkir. Jumlah penduduk sebanyak 177.088 orang, dengan rincian penduduk beragama Islam sebanyak 136.870 orang, penduduk beragama Kristen Protestan sebanyak 30.193 orang, penduduk beragama Katolik sebanyak 9.035 orang, penduduk beragama Hindu sebanyak 98 orang, penduduk beragama Budha sebanyak 882 orang dan yang menganut berdasarkan kepercayaan sebanyak 10 orang. Wilayah Kabupaten Semarang terdiri dari 9 kecamatan yaitu Kecamatan Bringin, Kecamatan Bancak, Kecamatan Tuntang, Kecamatan Getasan, Kecamatan Tengaran, Kecamatan Susukan, Kecamatan Suruh, Kecamatan Pabelan dan Kecamatan Kaliwungu. Jumlah penduduk sebanyak 578.845 orang, dengan rincian penduduk beragama Islam sebanyak 423.347 orang, penduduk beragama Kristen Protestan sebanyak 100.452 orang, penduduk beragama Katolik sebanyak 43.252 orang, penduduk beragama Hindu sebanyak 7.216 orang, penduduk beragama Budha sebanyak 5.578 orang dan yang menganut berdasarkan kepercayaan sebanyak 114 orang. Masing-masing jumlah desa dalam setiap kecamatan diperinci sebagai berikut wilayah Kecamatan Argomulyo terdapat 6
51
kelurahan, Kecamatan Bancak terdapat 9 desa, Kecamatan Bringin terdapat 16 desa, Kecamatan Getasan terdapat 14 desa, Kecamatan Kaliwungu terdapat 11 desa, Kecamatan Pabelan terdapat 17 desa, Kecamatan Sidomukti terdapat 4 desa, Kecamatan Sidorejo terdapat 6 desa, Kecamatan Suruh terdapat 17 desa, Kecamatan Susukan terdapat 13 desa, Kecamatan Tengaran terdapat 15 desa, Kecamatan Tingkir terdapat 5 desa dan Kecamatan Tuntang terdapat 16 desa (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:68). . Untuk lebih dijelasnya disajikan dalam tabel 3.1 Tabel 3.1 Wilayah Yurisdiksi atau Wilayah Hukum Pengadilan Agama Salatiga
No 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Wilayah Kec. Argomulyo Kec. Bancak Kec. Bringin Kec. Getasan Kec. Kaliwungu Kec. Pabelan Kec. Sidomukti Kec. Sidorejo Kec. Suruh Kec. Susukan Kec. Tengaran Kec. Tingkir Kec. Tuntang Jumlah
Jumlah/Desa 6 Desa 9 Desa 16 Desa 14 Desa 11 Desa 17 Desa 4 Desa 6 Desa 17 Desa 13 Desa 15 Desa 5 Desa 16 Desa 149 Desa dan Kelurahan
Sumber :Buku Profil Peradilan Agama Se-Jawa Tengah
Selanjutnya kompetensi kedua di Pengadilan Agama Salatiga adalah kompetensi absolut yaitu wewenang suatu Pengadilan yang bersifat mutlak dan dapat diartikan kekuasaan Pengadilan yang berhubungan
52
dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau tingkat Pengadilan, sebagai contoh Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan kompetensi absolut. Artinya apa yang telah ditegaskan menjadi porsi setiap lingkungan peradilan, secara mutlak menjadi kewenangan peradilan tersebut untuk memeriksa dan memutus perkara. Lingkungan peradilan yang lain tidak berwenang untuk mengadili. Kompetensi absolut diatur dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 tahun 2006 di mana dibagun atas azaz Personalitas Keislaman. Dalam pasal 2 disebutkan, “peradilan agama merupakan salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang sudah diatur dalam pasal 49 ayat 1 UU No. 3 tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari‟ah. Visi Pengadilan Agama Salatiga adalah mewujudkan Pengadilan Agama Salatiga sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang mandiri, bersih, bermartabat dan berwibawa. Sedangkan misi Pengadilan Agama Salatiga adalah
53
a. Mewujudkan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan jujur sesuai ddengan hati nurani. b. Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independen bebas dari campur tangan pihak lain. c. Meningkatkan pelayanan di bidang peradilan kepada masyarakat sehingga tercapai peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. d. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia aparat peradilan sehingga dapat melakukan tugas dan kewajiban secara profesional dan proporsional. e. Mewujudkan institusi peradilan
yang efektif, efisien dan
bermartabat dalam melaksanakan tugas. Dalam struktur organisasi di Pengadilan Agama Salatiga, yang menjabat sebagai Ketua yakni Drs. H. Umar Muchlis, sebagai Wakil Ketua adalah Drs. Muhdi Kholil, SH. MH kemudian yang menjadi fungsional hakim adalah H. Suyanto, SH. MH; Muhsin, SH; Drs. Jaenudi, MH dan Drs. M. Muslim. Panitera Sekretaris adalah Drs. H. Jamali, Wakil Panitera Drs. Farkhan dan sebagai Wakil Sekretaris H. M. N. Agus A., SH. Selanjutnya
Panitera Muda permohonan yakni Handayani, SH,
Panitera Muda Hukum adalah Drs. Widad, sedangkan Panitera Muda gugatan adalah Mamnukin, SH. Kemudian dilanjutkan Kasubag kepegawaian adalah Mi‟ratul Hidayah S.Hi, Kasubag Keuangan Ruli
54
Arista W., S. Kom dan Kasubag Umum yakni M. Azim Rozi. Untuk kelompok Kepaniteraan Panitera Pengganti antara lain dijabat oleh Miftan Jaunnara, SH; Imam Yasykub, SA; Hj. Wasilatun, SH; Fitri Ambarwati, SH; dan terakhir H. Fadlan Nasyim, S.Ag. Untuk kelompok Jurusita atau Jurusita Pengganti antara lain Khalim Mudrik, M. S.Sy; M. Nawal Annaji dan Danang P. N (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:72). 1. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga a. Masa Sebelum Penjajahan Awal mula Pengadilan Agama Salatiga tidak telepas dari sejarah awal peradilan di Indonesia.Sebelum datangnya agama Islam, Indonesia mempunyai dua jenis peradilan yaitu Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.Peradilan Pradata menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi urusan raja, sedangkan Peradilan Padu menyelesaikan perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja.Dua jenis peradilan tersebut muncul karena adanya pengaruh budaya Hindu yang masuk ke Indonesia. Masuknya agama Islam ke Indonesia pada abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung oleh saudagar-saudagar dari Makkah dan Madinah, masyarakat mulai melaksanakan dan menerapkan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fiqih.Kemudian hal ini memberikan pengaruh kepada tata hukum di Indonesia.Sejarah mencatat bahwa Sultan Agung (Raja Mataram) yang pertama kali mengadakan perubahan dalam tata hukum dengan pengaruh agama Islam. Perubahan ini awalnya diwujudkan khusus dalam nama pengadilan, yaitu pengadilan
55
yang semula bernama pengadilan Pradata diganti dengan pengadilan Surambi. Begitu juga dengan tempat pelaksana pengadilan, yang semula pengadilan Pradata diselenggarakan di Sitinggil dan dilaksanakan oleh raja, kemudian dialihkan ke serambi masjid agung dan dilaksanakan oleh para penghulu yang dibantu oleh para alim ulama‟. Perkembangan berikutnya yaitu pada masa akhir pemerintahan Mataram, terdapat 3 majelis pengadilan di daerah periangan, yaitu Pengadilan Agama, Pengadilan Drigama dan Pengadilan Cilaga. Pengadilan Agama Salatiga yang kita ketahui sekarang sudah ada sejak Agama Islam masuk ke Indonesia.Pengadilan Agama Salatiga mulai ada bersamaan dengan perkembangan kelompok masyarakat yang beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang. Pada masa itu masyarakat beragama Islam di Salatiga dan Kabupaten Semarang yang terjadi sengketa, mereka menyelesaikan perkara melalui Qadli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan atau Raja. Kekuasaannya merupakan tauliyah dari Waliyul Amri yaitu penguasa tertinggi.Qadli (Hakim) yang diangkat oleh Sultan adalah alim ulama‟ yang ahli di bidang Agama Islam (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63) b. Masa Penjajahan Belanda sampai dengan Jepang Ketika penjajah Belanda masuk ke Pulau Jawa khususnya di Salatiga
dijumpai
masyarakat
Salatiga
telah
berkehidupan
dan
menjalankan syari‟at Islam.Demikian pula dalam bidang Peradilan umat Islam Salatiga dalam menyelesaikan perkara dengan menyerahkan
56
keputusan kepada para hakim sehingga sulit bagi Belanda menghilangkan atau menghapuskan aturan yang telah ada. Kemudian karena kesulitan tersebut, oleh pemerintah kolonial Belanda diterbitkan pasal 134 ayat 2 IS (Indische Staatregaling) sebagai landasan formil untuk mengawasi masyarakat Islam di bidang Peradilan yaitu berdirinya Raad Agama. Pemerintah kolonial Belanda juga menginstruksikan kepada para Bupati yang termuat dalam Staatsblaad No. 22 tahun 1980 yang menyatakan bahwa perselisihan mengenai pembagian warisan di kalangan rakyat hendaknya diserahkan kepada alim ulama‟. Sejarah Pengadilan Agama Salatiga terus berjalan sampai tahun 1940.Kantor yang digunakan masih berada di serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga.Ketua dan Hakim Anggota adalah dari alumnus Pondok Pesantren. Pada struktur organisasi berjumlah 3 orang yaitu K. Salim sebagai ketua, K.Abdil Mukti sebagai Hakim Anggota, Sidiq sebagai Sekretaris merangkap Bendahara serta seorang pesuruh. Wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga meliputi Salatiga dan Kabupaten Semarang.Adapun perkara yang ditangani dan diselesaikan yaitu perkara waris, perkara gono-gini, gugat nafkah dan cerai gugat. Masa penjajahan Jepang pada tahun 1942 sampai dengan 1945 keadaan Pengadilan Agama Salatiga atau Raad Agama Salatiga masih belum ada perubahan yang karena pemerintahan Jepang hanya sebentar dan dihadapkan dengan berbagai pertempuran. Dari struktur organisasi, Ketua
57
beserta stafnya juga masih sama (Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang, 2014:63-64). c. Masa Kemerdekaan `Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Pengadilan Agama Salatiga berjalan dengan aturan seperti pada masa penjajahan Belanda sampai dengan Jepang.Kemudian pada tahun 1949 ada perubahan dalam struktur organisasi yaitu K. Salim sebagai Ketua digantikan oleh K. Irsyam dan dibantu oleh 7 pegawai.Kantor yang digunakan masih di serambi Masjid Al-Atiq Kauman Salatiga yang tepat bersebelahan dengan KUA Kecamatan Salatiga. Keduanya menggunakan serambi Masjid sebagai kantor. Pada tahun 1953 terjadi perubahan struktur organisasi yaitu ketua sebelumnya digantikan oleh K. Moh Muslih.Kemudian pada tahun 1963 Ketua dijabat oleh KH.Musyafa'.Selanjutnya pada tahun 1967 Ketua dijabat oleh K. Sa'dullah.Semua ketua yang pernah menjabat serta pegawai adalah alumnus Pondok Pesantren. Kantor Pengadilan Agama Salatiga pindah dari serambi Masjid AlAtiq ke kantor baru di Jl. Diponegoro No.72 Salatiga hingga tanggal 30 April 2009. Kemudian pada tanggal 1 Mei 2009 kantor berpindah lagi di Jl. Lingkar Selatan, Jagalan, Cebongan, Argomulyo, Salatiga. Kantor lama digunakan sebagai arsip dan rumah dinas (Tim Dirjen Badan Peradilan Agama, 2014:64). d. Masa Berlakunya UU No. 1 tahun 1974
58
Sejak berlakunya UU No. 14 tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tanggal 17 Desember 1970 kedudukan dan posisi Peradilan Agama semakin jelas dan mandiri termasuk Pengadilan Agama Salatiga. Akan tetapi umat Islam Indonesia masih harus berjuang karena belum mempunyai UU yang mengatur tentang keluarga muslim. Pada tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan dan diundangkan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam pasal 68 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan pengadilan dalam UU ini adalah: 1) Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam 2) Pengadilan Umum bagi lainnya Adapun peraturan pelaksanaannya diterapkan dalam PP No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Dengan berlakunya PP No. 9 tahun 1975 secara efektif UU perkawinan telah diterapkan. Pengadilan Agama Salatiga dilihat dari sektor fisik masih tetap seperti peradilan agama sebelum masa berlakunya UU No. 1 tahun 1974.Akan tetapi fungsi dan peranan semakin luas karena banyak perkara yang masuk menjadi wewenang Pengadilan Agama Salatiga. Pada perkembangan berikutnya sehubungan dengan peranan Pengadilan Agama dalam periode 1974 sampai dengan 1989 adalah dikeluarkan PP No. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan pemerintah ini berpengaruh terhadap wewenang Pengadilan Agama yang semakin luas dan mantap (Pengadilan Tinggi Semarang, 2014:65).
59
e. Masa Berlakunya UU No. 7 tahun 1989 Sejak diundangkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
Pengadilan
Agama
Salatiga
berwenang
menjalankan
keputusannya sendiri tidak perlu lagi melalui Pengadilan Negeri. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di Pengadilan Negeri. Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 yang diperjelas dalam Penjelasan Umum angka 2 alinea ketiga tentang kewenangan Pengadilan Agama Salatiga meliputi bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan shadaqah. UU No. 7 tahun 1989 memberikan kewenangan penuh kepada Pengadilan Agama Salatiga untuk menangani perkara yang menjadi kompetensi absolutnya.Pengadilan Agama tidak lagi menjadi quasi dari Pengadiilan
Negeri.Undang-Undang
ini
masih
menberikan
ruang
intervensi bagi eksekutif dalam bentuk pembinaan kepegawaian di bawah Kementrian Agama.Undang-undang inilah yang dianggap sebagai titik bangkit Peradilan Agama menjadi peradilan sesungguhnya. Sesuai dengan UU, Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan bimbingan
dan
pembinaan
dari
Mahkamah
Agung
Republik
Indonesia.Sejak Pengadilan Agama Salatiga mendapatkan pembinaan dari Mahkamah Agung RI, mulai diadakan pemisahan jabatan antara kepaniteraan dan kesekretariatan.Jabatan antara jurusita dan panitera pengganti dirangkap menjadi satu tugas.Jabatan Ketua Pengadilan Agama
60
Salatiga
bertugas
mengawasi
dibidang
upaya
pembenahan
dan
peningkatan kinerja di Pengadilan Agama Salatiga. f. Masa berlakunya UU No. 3 tahun 2006 Sebelum UU No. 3 tahun 2006 diberlakukan, Pengadilan Agama secara
administrasi
dan
finansial
berada
dibawah
Departemen
Agama.Akan tetapi sejak Undang-undang tersebut diberlakukan pengaruh dalam pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial adalah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. UU No. 3 tahun 2006 yang berisi 42 perubahan atas UU N0 7 tahun 1989 kemudian dirubah lagi dengan UU No, 50 tahun 2009 merupakan landasan kuat akan kokohnya kedudukan Peradilan Agama berikut dengan kewenangan yang dimilikinya. Pada tanggal 20 Maret 2006 telah disahkan UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan telah disahkannya UU tersebut terjadi perubahan-perubahan mendasar yaitu memperkuat dan memperluas kewenangan Peradilan Agama. Sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat muslim, Pengadilan Agama selain menangani perkara dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah juga berwenang menangani
perkara dalam bidang ekonomi
Syari‟ah.
Dijelaskan dalam pasal 49 UU No. 3 tahun 2006 bahwa penanganan dalam hal
ekonomi
syari‟ah
menjadi
kewenangan
Pengadilan
Agama.
Kewenangan baru lainnya dari UU No. 3 tahun 2006 adalah dalam hal
61
penyelesaian sengketa hak milik dan pemberian itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun Hijriah, pemberian keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu sholat. Secara bertahap sejak Peradilan Agama berada dalam satu atap bersama dibawah Mahkamah Agung, secara administrasi Pengadilan Agama Salatiga mulai mendapat perhatian.Salah satunya dengan pembangunan gedung baru.Kantor Pengadilan Agama Salatiga yang semula di Jl. Diponegoro No. 72 Salatiga berpindah di Jl. Lingkar Selatan, Argomulyo, Kota Salatiga. Kemudian kantor lama digunakan sebagai penyimpanan arsip-arsip dan rumah dinas Ketua, Wakil Ketua, para Hakim serta pegawai lainnya. Selain itu pada masa ini adalah momentum paling bersejarah bagi perkembangan Pengadilan Agama dengan perluasan kewenangannya dalam perkara ekonomi syari‟ah (wawancara Bpk. Kholil selaku Wakil Ketua Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 13 Oktober 2014). Setelah UU No. 3 tahun 2006 kemudian dilanjutkan masa UU No. 50 tahun 2009. Mengenai perkembangan Peradilan Agama pada masa ini ada empat aspek perubahan yaitu pertama berkenaan dengan kedudukan Peradilan dalam tatanan hukum dan Peradilan Nasioal.Kedua, berkaitan dengan susunan Badan Peradilan yang mencangkup hierarki dan struktur organisasi Pengadilan termasuk komponen sumber daya manusia di dalamnya.Ketiga, berkenaan dengan kewenangan Pengadilan baik kewenangan absolut maupun
62
kekuasaan relatif.Keempat, berkenaan dengan hukum acara yang dijadikan landasan dalam menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara. Dari masa UU No. 7 tahun 1989, UU No. 3 tahun 2006 dan UU No. 50 tahun 2009 adalah bentuk eksistensi dari hukum Islam. Persamaan ketiga UU ini adalah sama-sama membahas tentang tugas dan wewenang Peradilan Agama untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di tingkat pertama.Sedangkan perbedaannya adalah pada bidang perkara yang ditangani. Di masa UU No 50 tahun 2009 memuat perubahan dan tambahan yang baru yaitu Pengadilan Agama khusus di lingkungan Peradilan Agama, pengawasan internal oleh MA (Mahkamah Agung) dan eksternal oleh KY (Komisi Yudisial), seleksi pengangkatan Hakim dilakukan oleh MA dan KY, pemberhentian Hakim, tunjangan Hakim sebagai pejabat negara ( Pengadilan
Tinggi Semarang, 2014:67). Selanjutnya dipaparkan pejabat Ketua PA Salatiga dari tahun 1949 sampai dengan tahun sekarang.. Tabel 3.2 Daftar Nama Ketua Pengadilan Agama Salatiga sejak berdirinya sampai dengan sekarang
No
Nama
Periode
63
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
K. Irsyam KH. Muslih KH. Musyafak K. Sa‟dullahmron Drs. H. Imron Drs. H. Samsudi Anwar Drs. H. Ali Muhson, MH Drs. H. Nuh Muslim Drs. H. Fadhil Sumadi, SH, M.Hum Drs. H. Izzudin Mahbub, SH Drs. H. Arifin Bustam, MH Drs. H. M. Fauzi Humaidi, SH, MH Drs. H. Ahmad Ahrory, SH Drs. H. Masruhan Ms, SH, MH Drs. H. Umar Muchlis
Tahun 1949-1952 Tahun 1953-1962 Tahun 1963-1966 Tahun 1967-1974 Tahun 1975-1980 Tahun 1981-1985 Tahun 1986-1988 Tahun 1989-1993 Tahun 1994-1998 Tahun 1999-2002 Tahun 2002-2004 Tahun 2004-2005 Tahun 2006-2008 Tahun 2009-2011 Tahun 2011-sekarang
Sumber :Buku Profil Peradilan Agama SeJawa Tengahditerbitkan oleh PTA Semarang.
B. Administrasi Berperkara di Pengadilan Agama Salatiga Administrasi
di
Pengadilan
Agama
dikenal
dua
bentuk
administrasi, yaitu administrasi umum (bidang kesekretariatan) dan administrasi
perkara
yang
disebut
administrasi
perkara
bidang
kepaniteraan. Berdasarkan pasal 43 UU No. 7 tahun 1989 administrasi umum meliputi administrasi kepegawaian, persuratan, keuangan yang berkaitan dengan penerimaan dan penyelesaian perkara. Pelaksana dan penanggung jawab bidang ini adalah Wakil Sekretaris dan Kepala Bagian Sub. Menurut pasal 26 UU No. 7 tahun 1989 administrasi bidang kepaniteraan adalah bidang yang meliputi seluruh proses penyelenggaraan yang teratur dalam melakukan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bidang pengelolaan kepaniteraan perkara yang menjadi bagian tugas Pengadilan. Prosedur administrasi di Pengadilan Agama Salatiga mengacu
64
pada aturan yang telah ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 24 Januari 1991 No. KMA/001/SK/1991 Tentang Ketentuan Pola Pembinaan dan Pengendalian Administrasi Perkara yang disebut Pola Bindalmin (Pembinaan dan Pengendalian Administrasi) meliputi lima bidang: a. Pola prosedur penyelenggaraan administrasi perkara tingkat pertama, banding, kasasi dan peninjauan kembali (PK) adalah prosedur penerimaan perkara. b. Pola register perkara. c. Pola keuangan perkara d. Pola pelaporan perkara e. Pola
kearsipan
perkara.
(Pedoman
Pelaksanaan
Tugas
dan
Administrasi Pengadilan Buku II:40- 62). Penggugat yang belum bisa membuat surat gugatan atau permohonan diterima oleh petugas di bagian prameja dan dibantu membuat surat gugatan/permohonan. Bagi yang sudah memiliki surat gugatan sesuai dengan ketentuan tidak perlu melewati prameja surat gugatan/permohonan yang sudah ditandatangani oleh penggugat atau pemohon diserahkan ke meja pertama untuk ditaksir biaya perkaranya dan dibuatkan
Surat
Kuasa
Untuk
Membayar
(SKUM)
kemudian
dikembalikan kepada penggugat atau pemohon. Penggugat atau pemohon membayar panjar biaya perkara dikasir dan menyerahkan berkas gugatan atau permohonan yang sudah dilengkapi
65
SKUM bagian kasir menerakan nomor perkara sesuai nomor SKUM, menandatangani SKUM, memberi cap pembayaran, memasukkan perkara ke dalam jurnal dan menyerahkan kepada meja kedua. Bagian meja kedua memasukkan berkas perkara ke buku register, memberikan salinan berkas kepada penggugat/pemohon dan Wakil Panitera mencatat berkas ke buku pantauan dan menyerahkan kepada Panitera. Selanjutnya, Panitera menyampaikan
berkas
perkara
kepada
Ketua
Pengadilan.
Ketua
Pengadilan menunjuk Hakim Ketua Majelis dan dua anggota Majelis Hakim beserta Panitera Pengganti. Majelis hakim bertugas menentukan hari sidang.Hari sidang dapat diketahui oleh para pihak setelah dilakukan panggilan oleh pihak Pengadilan tiga hari sebelum sidang berlangsung.Majelis Hakim terlebih dahulu melakukan mediasi antara Penggugat dan Tergugat. Pada saat hari sidang, tahap-tahap yang dilakukan dalam persidangan sebagai berikut: 1. Membuka sidang, memanggil para pihak dengan bertanya identitas penggugat dan tergugat. 2.
Mengumumkan hasil mediasi yang dilakukan oleh orang yang ditunjuk sebagai mediator sesuai pilihan Kuasa Hukum pihak yang berperkara atau dengan pilihan dari Pengadilan Agama Salatiga. Jika mediasi berhasil maka penggugat wajib mencabut gugatan dan isi putusannya perkara nomer yang telah tertera. Setelah dicabut perkara tersebut, apabila hasil mediasi adalah sebuah perdamaian maka perdamaian di atas wajib ditaati oleh para pihak. Bukti perdamaian
66
wajib ditandatangani oleh para pihak dan mediator, apabila mediasi gagal maka sidang dilanjutkan. 3. Pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik dan duplik. 4. Pembuktian oleh para pihak dan yang harus dibuktikan adalah dalildalil penggugat yang tidak diketahui oleh tergugat. Selain itu juga harus menghadirkan saksi yang melihat dan mendengarkan hal itu minimal 2 orang. 5. Kesimpulan yaitu menjatuhkan putusan bagi para pihak yang terlibat. Selanjutnya setelah ada putusan dari Majelis Hakim yang sudah tetap dan berkekuatan hukum, maka dilanjutkan dengan pembacaan putusan. Bentuk amar putusan cerai gugat karena alasan adanya kekejaman atau kekerasan suami adalah menjatuhkan talak satu ba‟in sughra Tergugat terhadap Penggugat. Amar putusan cerai gugat dengan alasan pelanggaran taklik talak adalah menjatuhkan talak satu khul‟i tergugat terhadap penggugat
dengan jumlah iwadh yang telah ditentukan.
Besar jumlah iwadh ditulis dengan huruf. Kemudian setalah adanya putusan dari Majelis Hakim, Penggugat kembali ke kasir untuk mengecek biaya perkara. Salinan putusan akan disampaikan ke meja 3 dan meja 3 akan memberikan kepada penggugat, tergugat dan instansi terkait (Hasil wawancara dengan Ibu Widad selaku Panitera Muda 2 Oktober 2014).
C. Ringkasan Putusan Pengadilan Agama No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal
67
Pengadilan Agama Salatiga yang mengadili perkara perdata dalam tingkat pertama, persidangan Majelis hakim telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara cerai gugat antara: NH bin HP, umur 49 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta (buruh), bertempat tinggal di Jl. Imam Bonjol Gg. Durian Rt. 03/01, Kel, Sidorejo Lor, Kec. Sidorejo, Kota Salatiga sekarang bertempat tinggal di Jl. Arjuna II/4 Rt. 01/08 Lingkungan Grogol Baru, Kel. Dukuh, Kec. Sidomukti, Kota Salatiga, dalam hal ini berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 31 Maret 2010 telah memilih domisili hukum dan memberi kuasa kepada Tri Budiyono, SH, MH dan Sigit Tri Waskito, SH Advokat yang berkantor di Low Office dan Legal Consultan “ABDi KEADILAN” Jalan Diponegoro No. 27 Salatiga, sebagai Penggugat; Melawan SY bin S, umur 48 tahun, Agama Islam, pekerjaan TNI AD, bertempat tinggal di Jl. Imam Bonjol Gg. Durian Rt. 03/01, Kel, Sidorejo Lor, Kec. Sidorejo, Kota Salatiga, dalam hal ini berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 30 Mei 2010 telah memilih domisili hukum dan memberi kuasa kepada MM. Samuel Ngefak, SH dan Soetopo, SH Advokat/Penasehat Hukum yang berkantor di Perum Candirejo Permai Jl. Asoka 47-49 Desa Jombor, Kec. Tuntang, Kab. Semarang sebagai Tergugat; Tentang Duduk Perkaranya Menimbang,
bahwa
penggugat
berdasarkan
surat
gugatannya
tertanggal 26 April 2010, yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan
68
Salatiga Nomor: 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal, tanggal 27 April 2010 mengajukan alasan, sebagai berikut: 1. Bahwa penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada tanggal 5 Agustus 2001, sebagaimana Kutipan Akta Nikah Nomor: 208/II/VIII/2001 tanggal 5 Agustus 2001, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang, setelah menikah penggugat mengucapkan taklik talak sebagaimana tersebut dalam kutipan akad nikah; 2. Bahwa setelah menikah Penggugat berstatus perawan sedangkan tergugat berstatus duda dengan 2 (dua) orang anak (hasil perkawinan dengan isteri sebelumnya) usia 17 tahun bernama NDL dan 22 tahun bernama AK. Tergugat tinggal bersama di Jl. Imam Bonjol Gg. Durian Rt. 03/01, Kel, Sidorejo Lor, Kec. Sidorejo, Kota Salatiga dalam keadaan ba‟da dukhul dan telah dikarunia seorang anak laki-laki yang diberi nama YAP; 3. Bahwa kemudian selama hidup berumah tangga antara Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan adanya campur tangan kakak perempuan dari Tergugat dalam rumah tangga penggugat dan tergugat yang selalu menjelek-jelekan penggugat di mata tetangga dan tidak tegasnya sikap tergugat dalam melindungi dan mengayomi penggugat selaku isteri dari campur tangan kakaknya, sikap, kata dan perbuatan tergugat sangat kasar pada penggugat dan tergugat telah mempunyai wanita idaman lain;
69
4. Bahwa setiap terjadi percekcokan tergugat sering mengancam akan memukul dan pernah melakukan pemukulan terhadap penggugat dan sebagai perempuan penggugat tidak berdaya apa-apa. 5. Bahwa puncak percekcokan dan pertengkaran terjadi pada kamis 4 Maret 2010 yaitu penggugat pergi dari kediaman bersama sampai sekarang dengan mengajak anaknya yang belum mummmayiz bernama YAP menumpang di rumah kakak nya bernama H. A di Jl. Arjuna II No. 4 Rt. 01/08 Lingkungan Grogol Baru, Kel. Dukuh, Kec. Sidomukti, Kota Salatiga dikarenakan merasa terancam keselamatan jiwanya. 6. Bahwa tergugat anggota TNI AD yang masih aktif maka sesuai dengan kehendak Pasal 10 huruf (a) dan (b) KEPMENHANKAM/Pengab No. Kep/01/I/1980 tentang Peraturan Perkawinan Perceraian dan Rujuk Anggota ABRI, Majelis hakim telah memerintahkan tergugat untuk melampirkan surat keterangan di gugat cerai dari atasan yang berwenang namun tergugat menyatakan bahwa sudah mengurusnya tetapi belum terbit surat dimaksud 7. Bahwa objek perkara adalah gugat cerai sehingga termasuk dalam bidang perkawinan dengan subjek antara orang yang beragama Islam maka sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf a vide penjelasan pasal 49 huruf a angka 8 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama Salatiga berwenang secara absolut untuk menyelesaikan perkara ini; 8. Bahwa sesuai dengan bukti penggugat bertempat tinggal dalam wilayah hukum Pengadilan Agama Salatiga maka sesuai dengan ketentuan Pasal
70
73 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan diubah lagi dengan UU No. 50 Tahun 2009 maka Pengadilan Agama Salatiga berwenang secara relatif untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut; 9. Bahwa tergugat sudah diberi kesempatan dalam waktu yang cukup sesuai dengan permohonannya untuk mengurus surat ijin bercerai dari atasan, namun belum berhasil maka majelis menyatakan persidangan dilanjutkan sebagaimana prosedur biasa; 10. Bahwa sesuai dengan fakta hukum antara penggugat dan tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tanpa melihat penyebab dan siapa yang salah, sudah sulit untuk didamaikan. Bahkan telah pisah rumah dengan demikian gugatan penggugat dinilai telah cukup beralasan sebagaimana ketentuan Pasal 19 huruf f PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam sehingga gugatan penggugat tersebut patut dikabulkan. Mengadili 1. Mengabulkan permohonan penggugat sebagian, 2. Menjatuhkan talak satu bain sughro tergugat SY bin S terhadap penggugat NH Binti HP dihadapan Pengadilan Agama Salatiga. 3. Menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat mut‟ah sunah berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,4. Menetapkan anak penggugat dan tergugat yang bernama YAP berada dibawah asuhan dan pemeliharaan pengguggat sebagai ibunya,
71
5. Menghukum tergugat untuk membayar nafkah anak yang diasuh penggugat minimal sebesar Rp. 300.000,- setiap bulan sampai anak tersebut dewasa, 6. Tidak dapat diterima gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya. 7. Memerintahkan panitera Pengadilan Agama Salatiga untuk mengirimkan salinan putusan perkara ini yang telah berkekuatan hukum tetap kepada pegawai pencatat nikah kantor urusan agama Kec. Sidorejo, Kota Salatiga untuk dicatat dalam daftar yang disediakan untuk hal tersebut. 8. Menghukum
penggugat
untuk
membayar
biaya
perkara
sebesar
Rp. 391.000,Demikian putusan ini dijatukan pada Kamis tertanggal 17 Februari 2011 M bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul Awal 1432 H.
D. Prosedur Cerai Gugat Istri Terhadap Suami Anggota TNI Menurut PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 Tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai Di Lingkungan Departemen Pertahanan Hasil wawancara dengan Pakurem 073/Mkt Bapak Mayor Chk Munadi, SH pada tanggal 10 September 2014 diperoleh keterangan prosedur nikah, talak, cerai dan rujuk bagi anggota TNI sudah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Peraturan Panglima TNI Nomor PERPANG/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007. Sedangkan proses cerai gugat isteri terhadap suami anggota TNI telah diatur oleh Perpang TNI
72
Nomor/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 BAB IV tentang cara perceraian yaitu Pasal 11 disebutkan bahwa 1. Permohonan talak/gugatan perceraian terhadap prajurit oleh suami/isteri yang bukan prajurit disampaikan langsung oleh yang berkepentingan kepada pengadilan setelah memberitahukan kepada atasan prajurit yang bersangkutan. 2. Setiap prajurit yang menerima pemberitahuan tentang telah diajukannya gugatan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini segera menyampaikan laporan tentang hal tersebut kepada atasan yang berwenang memberi ijin perceraian. 3. Atasan yang berwenang memberikan ijin perceraian setelah menerima laporan tersebut dalam ayat 2 pasal ini, segera mengadakan usaha-usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak. Adapun langkah-langkah satuan terhadap anggota yang di gugat cerai oleh istrinya, antara lain: 1. Memanggil penggugat maupun tergugat untuk dimintai keterangan sebagai berita acara dan sebagai bahan pertimbangan atasan/komandan dalam memberikan keputusan. 2. Memberikan nasehat dan berusaha mendamaikan agar perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh dan jangan sampai terjadi. 3. Memberikan ijin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ijin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila
73
pernikahan
yang
telah
dilakukannya
tidak
memberikan
manfaat
ketentraman jiwa dan kebahagian hidup sebagai suami-isteri. Peneliti menambahkan gugatan cerai diajukan oleh isteri (bukan anggota TNI/POLRI), karena isteri tersebut menikah dengan anggota TNI/POLRI maka secara otomatis telah terikat sebagai keluarga besar TNI/POLRI, maka penggugat harus menghargai Institusi TNI/POLRI, meskipun ia telah membenci suaminya yang TNI/POLRI maka tetap harus melakukan tindakan, sebagai berikut : 1. Isteri
tersebut,
melaporkan
keadaan
rumah
tangganya
kepada
atasan/komandan suami dengan rencana gugatan perceraiannya tersebut; 2. Kalau perkara sudah terdaftar, sementara Majelis Hakim telah mengetahui bahwa Tergugatnya (suaminya) itu adalah anggota TNI/POLRI, maka harus
memerintahkan
kepada
penggugat
untuk
melaporkan
hal
tersebut, dengan memberi kesempatan selama 6 bulan (ketentuan administratif) ketentuannya konkordan dengan ketentuan PP No. 10 Tahun 1983); 3. Perintah kepada Tergugat tersebut harus dimuat dalam Berita Acara Persidangan dan dapat dibuat dalam bentuk Putusan Sela (melokalisir keadaan perkara); 4. Perintah Majelis Hakim tersebut disampaikan kepada Pimpinan pengadilan (Ketua/Wakil Ketua) Pengadilan Agama karena (Majelis hakim tidak boleh bersurat langsung kepada atasan/komandan suaminya);
74
5. Pimpinan Pengadilan memberikan surat perintah pengatar kepada penggugat isteri tersebut untuk menghadap atasan/komandan suami, minta surat keterangan jiwa, (PP No.45 Tahun 1990) atau bentuk surat lainnya dari
Kantor
TNI/POLRI
yang
isinya
membenarkan
atau
tidak
membenarkan mengajukan proses ke pengadilan (semua surat tersebut hanyalah persyaratan administratif saja) kalau tidak dapat diperoleh surat tersebut dengan berbagai hambatan di kantor Suami kemudian lewat 6 bulan (dihitung sejak pelaporan), maka tidak ada halangan hukuman lagi, bagi majelis hakim untuk melanjutkan pemeriksaan perkara maka perkara tetap berlanjut dan harus diputus. Pasal 9 ayat 1 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan, dinyatakan bahwa 1. Pegawai yang akan melaksanakan perceraian harus mendapat izin dari Pejabat yang berwenang. 2. Izin perceraian diberikan apabila : 2. T idak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya; dan 3. Tidak memberikan manfaat, ketentraman jiwa dan kebahagiaan hidup sebagai suami istri. 3. Permohonan izin perceraian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diajukan secara tertulis.
75
4. Permohonan izin perceraian sebagaimana dimaksud pada
ayat (3)
harus dilengkapi dengan pernyataan tertulis dari Pejabat yang bertanggung jawab dalam bidang kepegawaian di kesatuannya. Kewenangan pemberian izin perceraian bagi Pegawai di lingkungan Departemen Pertahanan menurut Pasal 16 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008, sebagai berikut: 1. Presiden untuk Pejabat Menteri Pertahanan. 2. Menteri Pertahanan untuk Pejabat : a. Pejabat Eselon I dan II PNS di lingkungan Departemen Pertahanan; dan b. PNS Golongan Ruang IV/d sampai dengan IV/e di lingkungan Departemen Pertahanan. 3. Panglima TNI untuk Pejabat Perwira Tinggi yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan. 4. Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan untuk Pejabat : a. Pejabat Eselon III dan IV PNS di lingkungan Departemen Pertahanan; b. Prajurit TNI berpangkat Letnan Kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan; dan c. PNS Golongan Ruang IV/a sampai dengan IV/c di lingkungan Departemen Pertahanan. 5. Kepala Staf Umum TNI untuk Pejabat Perwira menengah berpangkat Kolonel di lingkungan Departemen Pertahanan.
76
6. Ka Satker/Sub Satker Dephan untuk : a. PNS Golongan Ruang III/d ke bawah di lingkungan Departemen Pertahanan; dan b. Prajurit TNI berpangkat Kapten ke bawah yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan. Mengenai pemberian ijin, tindakan yang dilakukan oleh satuan kepada suami yang di gugat cerai oleh istrinya di pengadilan tergantung pada penyebab perceraiannya. Kalau gugatan perceraiannya masalah asusila, punya wanita idaman lain atau KDRT anggota diberikan sanksi oleh satuan berupa sanksi hukuman disiplin jika tidak ada delik aduan pihak lain. Jikalau ada aduan pihak lain maka diberikan sanksi pidana sesuai peraturan perundanganundangan yang berlaku. Namun, dalam hal istri warga sipil yang ingin mengajukan gugatan perceraian maka gugatan perceraian terhadap suami disampaikan langsung ke Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama (Pasal 14 ayat 1 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008).Suaminya sebagai anggota TNI wajib menyampaikan kepada Pejabat yang berwenang perihal adanya gugatan cerai yang diajukan terhadapnya (Pasal 14 ayat 2 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008). Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat 3 PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 dinyatakan bahwa dalam hal Pegawai digugat melalui pengadilan, atasan yang berwenang wajib memberikan pembelaan. Jadi, sang istri dapat menggugat cerai suaminya yang berstatus anggota TNI melalui Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri dengan alasan
77
telah melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), menelantarkan istri dan anak-anaknya selama bertahun-tahun, masalah asusila. Namun, perceraian sebaiknya menjadi upaya terakhir karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan).
E. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Dalam Menjatuhkan Putusan Mengabulkan Permohonan Cerai Gugat Secara umum pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan Putusan perceraian, hasil dari penelitian di Pengadilan Agama Salatiga yang difokuskan pada perkara-perkara yang telah diputus diperoleh bahwa pengabulan permohonan perceraian harus memenuhi salah satu dari ketentuan yang ada dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Adapun isi pasal tersebut : 4. Salah satu berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. 5. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain salama 2 (dua) tahun berturutturut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuanya. 6. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
78
7. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. 8. Salah pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami dan isteri. 9. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
F. Akibat Hukum Yang Timbul Dan Sikap Institusi TNI Terhadap Putusan Hakim Pengadilan Agama Salatiga No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal Dalam Kasus Cerai Gugat Tanpa Memperhatikan Surat Ijin Cerai Dari Atasan/Komandan Putusan hakim sudah menjadi keputusan yang berkekuatan hukum tetap sebagai penentuan status janda dan duda, penetapan pembayawan mut‟ah, penetapan hak asuh dan pemberian nafkah anak, penetapan harta gono-gini dan pencabutan tunjangan isteri. Akan tetapi, bagi anggota TNI AD yang digugat oleh isterinya masih berkewajiban mengurus syarat administrasi berupa surat ijin cerai dari atasan/komandan satuan dengan dilampiri, antara lain: 4. Akte cerai dari pengadilan. 5. Nota dinas pendapat hukum dari periwa hukum (pakum). 6. Surat pernyataan pendapat pejabat agama TNI-AD (SPPPA). 7. Surat permohonana ijin cerai. 8. Surat keterangan personalia. 9. Surat keterangan dokter.
79
10. Surat pernyataan kesanggupan di cerai dari isteri. 11. Surat persetujuan dari bapak/wali isteri. 12. Surat persetujuan dari bapak/wali suami. 13. Berita acara pemeriksaan (BAP) dari satuan. 14. Surat ijin kawin dari satuan. 15. Salinan putusan dari pengadilan. 16. Fotocopy kutipan akta nikah. 17. Resume atau berita acara pendapat dari staf intelijen. Sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama No. 0333/Pdt.G/2010/PA.Sal dalam kasus cerai gugat tanpa memperhatikan surat ijin cerai dari atasan/komandan antara lain: 1. Memanggil suami dan istri yang melaksanakan perceraian untuk dimintai keterangannya yang ditulis berupa berita acara perkara (BAP) sebagai bahan pertimbangan Komandan/atasan dalam menentukan kebijakan selanjutnya. 2. Komandan Korem 073/Mkt memerintahkan saran dan pendapat dari Perwira bagian Hukum (Pakum) yang berkenaan dengan perkara cerai gugat tanpa surat ijin dari atasan/komandan tersebut. 3. Memberikan Sanksi berupa hukuman Disiplin bagi personel TNI yang terbukti melanggar hokum yang berkenaan dengan gugatan istrinya dan memerintahkan suami (tergugat) untuk mengurus surat ijin cerai dari satuan.
BAB IV
80
ANALISIS TENTANG PUTUSNYA PERKAWINAN AKIBAT CERAI GUGAT ISTRI TNI TANPA SURAT IJIN DARI ATASAN/KOMANDAN SATUAN
A. Prosedur Cerai Gugat Istri Terhadap Suami Anggota TNI Perceraian tidak mudah untuk dilakukan, karena harus ada alasanalasan kuat yang mendasarinya.Dalam konteks pemutusan hubungan perkawinan, ada tiga metode dan istilah yang dipakai dalam fiqih Islam yaitu cerai talak (talaq), gugat cerai (khuluk), dan fasakh.Cerai talak adalah pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh suam sedangkan gugat cerai adalah permintaan pemutusan hubungan perkawinan yang dilakukan oleh istri. Dalam literatur kitab fiqih klasik, gugat cerai disebut juga dengan khulu‟. Gugat cerai dari seorang istri pada suami hukumnya boleh dan sah dilakukan kapan saja baik dalam damai atau karena konflik rumah tangga.Karena faktor kesalahan suami atau karena istri tidak lagi mencintai suami. Dengan syarat adanya kerelaan suami dan dapat dilakukan di depan pengadilan atau di luar pengadilan. Pembahasan skripsi ini terbatas pada gugat cerai yang dilakukan istri (warga sipil) terhadap suami (anggota TNI). Oleh karena itu, peneliti akan memaparkan mengenai prosedur cerai gugat menurut peraturan yang berlaku di lingkungan TNI. Prosedur perceraian sebenarnya sama dengan perceraian pada umumnya yang membedakan hanya adanya surat ijin atasan khusus bagi anggota TNI. 80
81
Mengacu pada UU No. 1 Tahun 1974 / PP. No.9 Tahun 1975, INPRES No. 1 Tahun 1991 tentang KHI, HIR., PP No. 10 Tahun 1983 / PP No. 45 Tahun 1990 dan Ketentuan-Ketentuan Khusus Perkawinan dan Perceraian Bagi Anggota TNI/POLRI sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen
Pertahanan
dan
Peraturan
Panglima
TNI
Nomor
PERPANG/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007. Adapun prosedur cerai gugat menurut peraturan di lingkup TNI, sebagai berikut: f) Apabila Pemohon/Gugatan Cerai diajukan oleh anggota TNI (aktif), maka persyaratan administratifnya harus dilengkapi dengan surat izin untuk melakukan
perceraian
dari
Atasan/Komandan
yang
bersangkutan
(Langsung dapat diproses lanjut) ; g) Apabila Permohonan/Gugatan Cerai tersebut belum dilengkapi dengan SURAT IZIN, Majelis Hakim dalam persidangan lansung memerintahkan kepada
yang
bersangkutan
untuk
mendapatkan
izin
tersebut
keatasan/komandannya, perintah tersebut dimuat dalam Berita Acara Persidangan (sidang pertama ditunda/belum dapat di mediasi); h) Penundaan persidangan minimal 6 bulan, terhitung sejak Tanggal Surat Permohonan Izin Cerai diajukan keatasan/komandannya (bukan dihitung sejak penundaan persidangan), karena memungkinkan penundaan telah 5 bulan sementara permohonan izin ke atasan/komandannya bari 1 bulan) maka kemungkinan proses penerbitan izin pada atasan sedang berlangsung
82
majelis telah menyidangkannya dapat mengakibatkan pertentangan/ komplik antar instansi/lembaga atau Pengadilan Agama dengan Komando; i) Apabila penundaan telah berjalan 6 bulan, kemudian masa permohonan izin atasan/komandannya belum cukup 6 bulan, maka seharusnya ditunda lagi untuk mencukupi 6 bulan (masa proses pada atasan/komandannya); j) Apabila, tetap hendak melanjutkan perkara tanpa memenuhi syarat 6 bulan dan atau tanpa surat izin dari atasan/komandannya maka (demi perlindungan hukum atas majelis hakim), yang bersangkutan harus/wajib membuat surat menerima pernyataan resiko akibat perceraian tanpa izin, lalu
mejelis
hakim
lebih
dahulu
memberitahukan/menasehatkan
kemungkinan resiko baik yang sifatnya teringan seperti ; sanksi admnistratif pemindahan,penurunan/penundaan
kenaikan
pangkat,
gaji dll., dan atau resiko terburuk dengan sebuah pemecatan, kalau sudah mengerti dan tetap hendak diproses lanjut, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan, dengan memerintahkan untuk menempuh MEDIASI (Perma No. 1 Tahuin 2008), kemudian selanjutnya (memasuki ranah hukum), biaya, upaya perdamaian, selanjutnya memeriksa pokok perkara. k) Apabila
Gugatan
Cerai diajukan
oleh
ISTERI
(Bukan
Anggota
TNI/POLRI), karena ia (ISTERI) tersebut menikah dengan anggota TNI/POLRI maka secara otomatis telah terikat sebagai Keluarga Besar TNI/POLRI, maka Penggugat harus menghargai Institusi TNI/POLRI, meskipun ia telah membenci Suaminya yang TNI/POLRI sehingga tetap harus melakukan tindakan, sebagai berikut:
83
a. Isteri
tersebut,
melaporkan
keadaan
rumah
tangganya
kepadaatasan/komandan suami dengan rencana gugatan perceraiannya tersebut; b. Kalau perkara sudah terdaftar, sementara Majelis Hakim telah mengetahui bahwa Tergugatnya (suaminya) itu adalah anggota TNI/POLRI, maka harus memerintahkan kepada penggugat untuk melaporkan hal tersebut, sesuai maksud huruf (a) di atas, dengan memberi kesempatan selama 6 bulan (kentuan administratif) ketentuannya konkordan dengan ketentuan PP.No.10 Tahun 1983); c. Perintah kepada Tergugat tersebut harus dimuat dalam Berita Acara Persidangan dan dapat dibuat dalam bentuk Putusan Sela (melokalisir keadaan perkara); d. Perintah Majelis Hakim tersebut disampaikan kepada Pimpinan pengadilan (Ketua/Wakil Ketua) Pengadilan Agama karena (Majelis hakim tidak boleh bersurat langsung kepada atasan/komandan suaminya); e. Pimpinan Pengadilan memberikan SURAT perintah pengatar kepada Penggugat isteri tersebut untuk MENGHADAP atasan/komandan suami, minta surat keterangan, (Jiwa PP.No.45 Tahun 1990) atau bentuk
surat
lainnya
dari
Kantor
TNI/POLRI
yang
isinya
membenarkan atau tidak membenarkan mengajukan proses ke pengadilan (Semua surat tersebut hanyalah persyaratan administrative saja) kalau tidak dapat diperoleh surat tersebut dengan berbagai
84
hambatan di Kantor Suami kemudian lewat 6 bulan (dihitung sejak pelaporan), maka tidak ada halangan umum lagi, bagi majelis hakim untuk melanjutkan pemeriksaan perkara, maka perkara tetap berlanjut dan harus diputus. Hal tersebut diatas sepaham dengan penjelasan Pakumrem 073/Mkt Bapak Munaji, SH yang menegaskan bahwa prosedur cerai gugat istri terhadap suami anggota TNI telah diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Perpang TNI Nomor/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 BAB IV tentang tata cara perceraian yaitu pasal 11 dan Peraturan Menteri Pertahanan No. 23 tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan. Berdasarkan uraian diatas peneliti menambahkan bahwa prosedur perceraian sama dengan prosedur perceraian pada umumnya (masyarakat umum), yang membedakan disini adalah pada surat ijin cerai (meskipun hanya syarat administratif) karena tergugat adalah anggota TNI maka harus tunduk pada peraturan yang diberlakukan di lingkungan TNI sebagai laporan untuk penentuan pemberian tunjangan.
B. Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Salatiga Dalam Memutus Perkara Cerai Gugat Istri (Warga Sipil) Terhadap Suami (Anggota TNI) Tanpa
Memperhatikan
Atasan/Komandan Satuan
Tidak
Adanya
Surat
Ijin
Cerai
Dari
85
Suatu gugatan perceraian akan diakui negara dan akan memiliki kekuatan legal formal apabila dilakukan di Pengadilan Agama dan diputuskan oleh seorang Hakim. Untuk mengajukan gugatan cerai atau khulu‟, seorang istri atau wakilnya dapat mendatangi Pengadilan Agama (PA) di wilayah tempat tinggalnya.Bagi yang tinggal di Luar Negeri, gugatan diajukan di PA wilayah tempat tinggal suami.Bila istri dan suami sama-sama tinggal di luar negeri maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama di wilayah tempat keduanya menikah dulu atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Secara umum, dalam situasi tertentu Hakim di Pengadilan Agama dapat meluluskan gugat cerai tanpa persetujuan atau bahkan tanpa kehadiran suami apabila berdasarkan pertimbangan tertentu Hakim menganggap bahwa perceraian itu lebih baik bagi pihak penggugat yaitu istri. Misalnya, karena terjadinya konflik yang tidak bisa didamaikan atau suami tidak bertanggung jawab, terjadi KDRT yang membahayakan istri dan lain sebagainya. Dalam konteks ini maka hakim dapat menceraikan keduanya bukan dalam akad khuluk tapi talak biasa. Dalam Al-Mausuah Al-Fiqhiyah dinyatakan:
مل ىصل ىطنع عً الثقات ّغريٍه أىُ ٓضازٍا فٔطلقَا علُٔ احلاكه:ّْبضسز شّج لصّجتُ – حن Artinya: Disebabkan perilaku suami yang membahayakan istri, misalnya ada berita dari sejumlah sumber terpercaya bahwa suami melakukan kekerasan pada istri, maka hakim dapat menceraikan keduanya. Apabila suami tidak memiliki kesalahan signifikan pada istri, hanya istri kurang menyukai suami dan kuatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami dan kewajibannya sebagai istri maka istri dapat mengajukan khuluk dan sunnah bagi suami untuk meluluskannya. Apabila suami tidak rela dan tidak
86
mau maka ada dua pendapat ulama.Pendapat pertama, hakim tidak boleh memaksa suami.Konsekuensinya, hakim tidak dapat menceraikan mereka.Ini pandangan mayoritas ulama, termasuk madzhab Syafi‟i.Pendapat kedua, hakim boleh memaksakan kehendak istri untuk bercerai walaupun suami tidak rela. Pandangan ini terutama berasal dari madzhab Hanbali. Al-Mardawi dalam Al-Inshaf: menyatakan:
أٌ ال تقٔه حدّد اهلل يف حقُ فال بأس أٌ تفتدٖ ىفطَاّٙإذا كاىت املسأٗ مبغض٘ للسجل ّختص الصخٔح مً املرٍب ّعلُٔ أكثس األصخاب ّجصوٙ فٔباح للصّج٘ ذلك ّاحلال٘ ٍرِ عل،ُمي ُٔ ّأما الصّج فالصخٔح مً املرٍب أىُ ٓطتخب لُ اإلجاب٘ إلُٔ ّعل،احللْاىٕ باالضتخباب ّألصو بُ بعض.ُٔ ّاختلف كالو الصٔخ تقٕ الدًٓ زمحُ اهلل يف ّجْب اإلجاب٘ إل.األصخاب حكاو الصاو املقادض٘ الفضالء Artinya: Apabila istri marah pada suami dan takut tidak dapat menjalankan perintah Allah dalam memenuhi hak-hak suami maka istri boleh melakukan gugat cerai. … Al-Halwani menyatakan gugat cerai dalam konteks ini sunnah. Adapun suami maka menurut pendapat yang sahih adalah sunnah mengabulkan permintaan istri. Syekh Taqiuddin dan sebagian hakim Suriah menyatakan bahwa suami wajib memenuhi permintaan istri. Ibnu Uthaimin, ulama Hanbali kontemporer, menyatakan:
ٙ ّأبت ٍٕ أٌ تبق، أٌ ٓطلقٙ فأب،لْ أىيا ما متكيا مً اجلنع بني الصّجني بأٖ حال مً األحْال ذٍب،ً فرٍب بعض أٍل العله إىل ّجْب اخللع حٔيئر بصسط أٌ تسد علُٔ املَس كامال،ِعيد ّشٔخ اإلضالو،٘إىل ٍرا بعض علناء احليابل Artinya: Seandainya kita tidak memungkinkan mendamaikan kedua suami istri, lalu suami menolak untuk menceraikan istri, sedang istri menolak hidup bersama suami, maka ulama berpendapat atas wajibnya khuluk dengan syarat istri harus mengembalikan mahar
87
secara penuh. Ini juga pendapat sebagian ulama madzhab Hanbali, termasuk Ibnu Taimiyah. Dari pandangan di atas, maka Abdullah bin Baz, salah satu ulama madzhab Hanbali saat ini, berpendapat bahwa hakim boleh mengabulkan permintaan istri walau tanpa persetujuan dan kehadiran suami di pengadilan seperti dinyatakan dalam salah satu fatwanya berikut.
ً احلاكه فطدَا مّٙإذا امتيع الصّج عً احلضْز مع املسأٗ املركْزٗ إىل احملكن٘ ّجب عل ُ الرٖ جاءت بٙ إذا طلبت ذلك ّزدت علُٔ جَاشِ للخدٓثني الطابقني ّللنعي، ُعصنت الصسٓع٘ ّاضتقس مً قْاعدٍا Artinya: Apabila suami menolak untuk hadir ke pengadilan bersama istri yang mengajukan gugat cerai, maka wajib bagi hakim untuk menceraikannya apabila istri meminta hal itu dengan mengembalikan maharnya dengan dasar dua hadits di atas dan karena makna dan ketetapan yang terkandung dalam syariah dan tujuannya. Hakim
Pengadilan
Agama
Salatiga
dalam
menentukan
dan
mencakupkan kaidah hukum untuk menyelesaikan perkara perceraian didasarkan pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No.1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam maka masalah perlindungan perceraian menjadi hukum positif di Indonesia. Pengadilan Agama diberikan kewenangan untuk memeriksa dan menyelesaikan setiap perkara perceraian beserta akibat hukumnya.
88
Akibat perceraian ditinjau dari segi hukum secara global dalam Undang-Undang Perkawinan telah memberi aturan tersebut yaitu Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Penerapan ketentuan tersebut pada substansinya dirangkaikan dengan akibat putusnya sebuah perkawinan karena perceraian. Langkah dan pertimbangan hakim Pengadilan Agama Salatiga memang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perundang-undangan dalam penelitian secara formal akibat perceraian praktiknya sangat berbeda. Pertimbangan Pengadilan Agama sebenarnya secara teori dalam upaya untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan pembayaran mut‟ah sunnah kepada istri. Sebagian besar, Pengadilan Agama bersikap simpatik terhadap anak akibat perceraian tetapi kewenangan dalam menentukan pertimbangan sangat terbatas. Oleh karena itu, Pengadilan Agama berwenang memutuskan masalah perlindungan anak akibat perceraian dan pembayaran mut‟ah sunnah dalam amar putusannya. Implikasi yuridis yang timbul dari perceraian Mahkamah Agung berpendapat dalam pertimbangannya sesuai dengan ketentuan Pasal 73 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan di ubah dengan UU No. 50 Tahun 2009 maka Pengadilan Agama Salatiga berwenang secara relatif untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Kemudian dalam peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 tertanggal 31 Juli 2008 tentang mediasi majelis hakim telah memerintahkan kepada penggugat dan tergugat menempuh mediasi namun
89
berdasarkan surat nomor:0333/Pdt.G/2010/PA.Sal tertanggal 27 April 2010 mediasi tersebut dinyatakan gagal. Menurut pasal 7 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah maka harus dinyatakan terbukti bahwa antara penggugat dan tergugat telah terikat dalam perkawinan yang sah, sehingga penggugat mempunyai alasan
untuk mengajukan gugatan. Berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku perkara perceraian yang diajukan pemohon kepada Pengadilan secara formal hanya melihat isi gugatan pemohon, sehingga amar putusan Pengadilan Agama mencakupkan hak anak dan istri akibat perceraian. Menelaah dari beberapa hal tersebut, Pengadilan Agama hanya menggariskan langkah dan pertimbangan pada ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR atau Pasal 189 ayat (3) Rgb, yakni pengabulan gugatan tidak boleh melebihi petitum dalam gugatan. Oleh karena itu, kalau gugatan perceraian hanya
murni
pengasuhan
tentang ataupun
putusnya
perkawinan
nafkah,
seperti
tanpa
halnya
diikuti dalam
gugatan putusan
Nomor0333/Pdt.G/2010/PA.Sal yang memperlihatkan bahwa isi gugatan pemohon Nur Hayati binti Harjo Pranoto mencakupkan tentang hak anak maka hakim bisa mengabulkan dalam amar putusan mereka. Adapun alasan hakim mengabulkan gugatan cerai gugat, sebagaimana dalam Putusan Nomor0333/Pdt.G/2010/PA. Sal, antara lain: 1. Dalam perkara gugat cerai istri terhadap suami anggota TNI, sesuai dengan Pasal 10 huruf (a) dan (b) KEMENHANKAM/Pangab No. Kep/01/1/1980 hakim telah memerintahkan kepada suami (tergugat) untuk
90
melampirkan surat keterangan di gugat cerai dari atasan yang berwenang namun tergugat menyatakan sudah mengurusnya tetapi belum terbit surat yang dimaksud dan menyatakan secara lisan bahwa tergugat sanggup menerima segala resiko berkaitan dengan kedinasan tergugat akibat dari perceraian.
Mendasarkan
hal
tersebut
maka
hakim
memutuskan
melanjutkan persidangan dengan prosedur biasa. 2. Terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tanpa melihat penyebab dan siapa yang salah, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 116 huruf (f) KHI. 3. Adanya perbuatan pidana KDRT dialami penggugat yang dilakukan oleh anak tergugat buah perkawinan sebelumnya. 4. Adanya campur tangan keluarga tergugat jika terjadi perselisihan, dimana tergugat menggunakan kata-kata kasar dan melakukan penganiayaan. 5. Antara penggugat dengan tergugat telah pisah rumah dan ranjang + 1 tahun lamanya. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan
gugatan
dikabulkan
berdasarkan Pasal 119 huruf (e) KHI. Disamping itu berdasarkan Pasal 159 KHI istri boleh meminta mut‟ah sunnah dari bekas suami meskipun perceraian terjadi atas kehendak penggugat. Mendasarkan pasal 156 huruf (a) KHI anak buah pernikahan penggugat-tergugat di bawah asuhan dan pemeliharaan penggugat. Oleh karena itu, demi menciptakan rasa keadilan yang tidak berat sebelah, maka
91
hakim di Pengadilan Agama harus mampu mempertimbangkan dampak yang akan timbul dalam memutus perkara perceraian. Kemudian, apabila ditinjau dari fiqih tentang amar putusan Pengadilan Agama Salatiga yang mengabulkan gugat cerai istri kepada suami anggota TNI tanpa adanya surat ijin atasan/komandan satuan maka Majelis Hakim Pengadilan Agama Salatiga menerapkan kaidah fiqhiyah yaitu
اذا ادعت الزو جة اضر ار الزوج هبا مبا ال يستطاع معه دو ام العشرة بني امثا هلما جيو ز هلا ان تطلب من القاضى التفريق و حينئذ يطقها ا لقاض طلقة بائنة لوثبت الضر ر و عخز عن االصالح بينهما Artinya: “Apabila istri menggugat kemadlorotan suami karena tidak dapat melangsungkan kehidupan berkeluarga di antara keduanya, istri boleh meminta kepada Hakim untuk dipisahkan/diceraikan seketika itu juga, maka hakim dapat menjatuhkan thalaqnya dengan thalaq bain apabila terbukti kemadlorotan tersebut dan tidak tercapainya perdamaian di antara keduanya”. Mendasarkan pada uraian diatas peneliti menambahkan pertimbangan hakim perceraian termasuk bidang perkawinan, maka untuk menghindari permasalahan-permasalan yang timbul akibat ketidak sepahaman antara pihak laki-laki dan perempuan juga telah diupayakan dengan berbagai cara untuk menyatukan dan mendamaikan kedua pihak tidak ada perkembangan yang baik maka dengan segala upaya dan prosedur dalam hukum beracara telah di tempuh maka hakim menyimpulkan perkawinan antara pihak penggugat dan tergugat harus diceraikan demi menghindari sesuatu hal yang akan menjadi preseden buruk dalam kehidupan berumah tangga. Dalam proses persidangan hakim telah mempertanyakan mengenai surat ijin cerai dari atasan/komandan menurut keterangan dari para pihak surat
92
ijin sudah diajukan dalam proses dan sanggup menanggung sanksi yang kelak akan dikeluarkan oleh institusi, maka hakim tetap meneruskan proses persidangan berdasarkan peraturan peradilan umum. Adapun yang dijadikan alasan menjatuhkan putusan bahwa hubungan antara penggugat-tergugat tidak dapat dipersatukan lagi (sering terjadi percekcokan) dan perlindungan keselamatan keluarga.
C. Akibat Hukum Yang Timbul dan Sikap Institusi TNI Terhadap Putusan Hakim
Pengadilan
Agama
Dalam
Kasus
Cerai
Gugat
Tanpa
Memperhatikan Surat Ijin Cerai Dari Atasan/Komandan Sebagai warga negara yang baik maka kita harus taat kepada peraturan perundang-undangan. Karena segala apa pun tindakan warga negara yang melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi (hukum public). Begitu juga dengan perkara perceraian.Saat ini banyak anggapan dari masyarakat, terutama bagi umat Islam bahwa perceraian di bawah tangan itu sudah sah.Karena talak sudah dijatuhkan oleh suami di luar pengadilan. Bagi anggota TNI telah dikeluarkan edaran Peraturan Panglima TNI No.Perpang/11/VII/2007 tentang Tata Cara Pernikahan, Perceraian, dan Rujuk bagi Prajurit.Namun dalam aturan tersebut tenggat waktu enam bulan dalam SEMA itu dikesampingkan bagi prajurit TNI.Namun izin atasan bagi prajurit TNI merupakan suatu keharusan.Namun saat ini Mahkamah Agung RI belum mengambil sikap untuk mengganti SEMA Nomor 5 Tahun 1984 tersebut. Mengutip pendapat Mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto menilai seharusnya Panglima TNI tak perlu mengirim surat kepada MA terkait cerai
93
prajurit itu. Ia mengatakan bila memang ada prajurit yang bercerai tanpa izin atasan, maka Panglima TNI dapat menindak prajurit yang bersangkutan. Berdasarkan
hasil
penelitian
yang
dilakukan
peneliti
dapat
menyimpulkan bahwa akibat hukum terhadap putusan hakim dalam perkara cerai gugat tanpa memperhatikan surat ijin cerai dari atasan/komandan dari institusi TNI yaitu bahwa putusan hakim sudah berkekuatan hukum tetap sebagai status janda maupun duda, penetapan mut‟ah, penetapan hak asuh dan pemberian nafkah anak, penetapan harta gono-gini dan pencabutan tunjangan istri. Akan tetapi bagi anggota TNI yang digugat istri masih berkewajiban mengurus syarat administrasi surat ijin cerai dari atasan/komandan satuan dengan dilampiri akte cerai dari Pengadilan Agama dan bahan administrasi lainnya. Apabila hal itu tidak dilaksanakan akan dipandang sebagai pelanggaran (disiplin militer) dan apabila anggota TNI tersebut akan nikah lagi surat ijin cerai merupakan persyaratan utama yang harus dipenuhi. Peneliti menambahkan adanya putusan cerai yang sudah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Agama tanpa ada surat ijin Komandan/atasan satuan tersebut, sikap institusi TNI mengakui dan menerima putusan tersebut, meskipun prosedur perceraian tidak ada ijin dari komandan/atasan dan menyayangkan Putusan tersebut disebabkan tidak selaras dengan upaya institusi
TNI
dalam
pembinaan
personel
yang
dijadikan
alasan
Komandan/atasan kenapa Komandan/atasan tidak memberikan ijin cerai. Komandan/atasan
akan
memberikan
Hukuman
Disiplin
dan
sanksi
administrasi apabila ternyata anggotanya terbukti melakukan pelanggaran
94
yang berkenaan dengan perceraian tersebut, juga mewajibkan para pihak khususnya suami TNI harus melaporkan sebagai syarat administrasi mengenai tanggungan nafkah. Peneliti juga menjelaskan alasan komandan/atasan tidak memberikan ijin cerai dalam kasus ini, yaitu menurut keyakinan Komandan/atasan anggota tersebut tentang perselisihan dalam keluarga yang terjadi masih dapat dipersatukan dapat hidup rukun kembali dalam berumah tangga, dan dalam rangka upaya pembelaan dan perlindungan kepada anggota barangkali terjadi kebohongan dalam memberikan alasan istri kepada suami yang dalam kenyataan sebenarnya tidak sesuai. Disini seolah-olah suami sebagai anggota TNI dipandang sebagai penyebab kesalahan sehingga terjadi perceraian. Adapun langkah-langkah satuan terhadap anggota yang di gugat cerai oleh istrinya sebagaimana tercantum dalam Buku Petunjuk Teknik tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) yang disahkan dengan Surat Keputusan Kasad No. SKEP/491/XII/2006 Tanggal 21 Desember 2006, antara lain: 1. Memanggil penggugat maupun tergugat untuk dimintai keterangan sebagai berita acara dan sebagai bahan pertimbangan atasan/komandan dalam memberikan keputusan. 2. Memberikan nasehat dan berusaha mendamaikan agar perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh dan jangan sampai terjadi. 3. Memberikan ijin cerai hanya diberikan apabila perceraian yang akan dilakukan itu tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh kedua belah pihak yang bersangkutan dan peraturan perundang-undangan
95
yang berlaku. Ijin cerai pada prinsipnya diberikan kepada prajurit apabila pernikahan
yang
telah
dilakukannya
tidak
memberikan
ketentraman jiwa dan kebahagian hidup sebagai suami-isteri.
manfaat
96
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pada paparan bab sebelumnya, maka peneliti dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Prosedur cerai gugat istri terhadap suami anggota TNI diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, PERMENHAN No. 23 Tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Peraturan Panglima TNI Nomor PERPANG/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007. Sedangkan proses cerai gugat isteri terhadap suami anggota TNI telah diatur oleh Perpang TNI Nomor/11/VII/2007 tanggal 4 Juli 2007 BAB IV tentang cara perceraian yaitu Pasal 11. 2. Hakim Pengadilan Agama Salatiga dalam memutus perkara cerai gugat tanpa ada surat ijin dari atasan/komandan satuan institusi TNI ini sudah sesuai dengan prosedur, dengan pertimbangan: a. Terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus tanpa melihat penyebab dan siapa yang salah, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 19 huruf (f) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 116 huruf (f) KHI. b. Adanya perbuatan pidana KDRT dialami penggugat yang dilakukan oleh anak tergugat buah perkawinan sebelumnya. c. Adanya campur tangan keluarga tergugat jika terjadi perselisihan, dimana tergugat menggunakan kata-kata kasar dan melakukan penganiayaan. 96
97
d. Antara penggugat dengan tergugat telah pisah rumah dan ranjang dan 1 tahun lamanya. e. Hakim berpedoman bahwa surat ijin cerai dari komandan/satuan institusi TNI adalah merupakan hannya sebagai syarat administratif saja. 3. Akibat hukum yang timbul dan sikap institusi TNI terhadap putusan hakim Pengadilan Agama Salatiga adalah mantan suami (anggota TNI) melaporkan ke atasan/institusi sebagai syarat administrasi. Institusi TNI menerima adanya putusan cerai-gugat yang telah berkekuatan hukum tetap dari Pengadilan Agama, setelah adanya putusan tersebut tergugat (anggota TNI) diwajibkan untuk mengurus syarat-syarat administrasi yang telah diberlakukan di institusi tersebut dengan segala sanksi yang akan dijatuhkan sebagai konsekuensi disiplin militer.
B. Saran 1. Hendaknya sebagai institusi TNI mensosialisasikan aturan dan kebijakan institusi tersebut kepada Hakim Agama yang berlaku untuk anggota TNI, khususnya dalam hal pemberian ijin cerai di lingkungan TNI. 2. Diharapkan hakim mengambil putusan dalam perkara cerai gugat yang diajukan istri (warga sipil) terhadap suami (anggota TNI) untuk berkoordinasi
dengan
institusi
TNI
dimana
ditugaskan
dengan
menghadirkan atasan di Pengadilan. 3. Institusi TNI hendaknya mengklasifikasi masalah gugat cerai untuk kasus KDRT berat perempuan/istri.
dipermudah prosedurnya untuk
melingdungi
harkat
98
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur'an dan Terjemahnya, Departemen Agama, RI CV. Toha Putra, Semarang, 1989. Undang-Undang No. 1 tahun 1974Tentang Perkawinan. 2012. Yogyakarta: Tim New Merah Putih. Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 23 tahun 2008 tentang Perkawinan, Perceraian, dan Rujuk Bagi Pegawai di lingkungan Departemen Pertahanan, 2008 Kompilasi Hukum Islam.2011. Bandung: CV Nuansa Aulia. Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/11/VII/2007 tentang Tata Cara Pernikahan, Perceraian dan Rujuk Bagi Prajurit TNI. Tanggal 4 Juli 2007. Surat Keputusan Kasad Nomor : Skep/491/XII/2006 Buku Petunjuk Teknik tentang Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk (NTCR) Prajurit TNI AD. Tanggal 21 Desember 2006. Arto, Mukti. 1998. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, cet. II). Salinan Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor : 0333/Pdt.G/2010/Pa.Sal, 2010 Kartasapoetra, G., Kamus Sosiologi Kependudukan, Bumi Aksara, Jakarta, cet.I, 1992. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pusaka, Jakarta, 1982. Soemiyati. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan Undang – Undang Perkawinan (Yogyakrta : Liberty). Moleong, Lexy J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT Rineka Cipta. Harjono, Anwar. 1987. Hukum Islam Keluasan dan Keadilannya. Jakarta: PT. Bulan Bintang. Rasyid, Sulaiman. 1986. Fiqh Islam. Bandung: CV Sinar Baru.
99
Sulistyowati. 2005. Putusnya Hubungan Perkawinan Atas Gugatan Cerai Pihak Isteri (Studi Putusan Pengadilan Agama Temanggung Tahun 2002-2003). Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Widayanti, Siti Nurul. 2012. Implementasi PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Temanggung Tahun 2010.Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Yunianto, Tri. 2014. Proses Perceraian Anggota Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat / TNI AD (Studi Kasus di Korem 073/Makutarama Salatiga Tahun 2010-2012. Skripsi tidak diterbitkan. Salatiga: Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh as Sunnah jilid 3. Terjemahan oleh Moh.Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 6.Terjemahan oleh Moh.Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 7.Cetakan kedua.Terjemahan oleh Moh.Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟rif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 8.Terjemahan oleh Moh.Thalib. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT Al-Ma‟Arif. Tim Pustaka al-Hidayah. 2008. Bulughul Mahram, Versi 2.0. (http://alquransunnah.com/kitab/bulughul mahram/source/8. Kitab Nikah, diakses 6 februari 2015). Tim Pengadilan Tinggi Agama Semarang.2014. Profil Peradilan Agama Se-Jawa Tengah. Yogyakarta: Aditya Media. Wabsite: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ccebc4dd388a MAnyatakan prajurit TNI bisa bercerai tanpa izin komandan Wabsite: www.Pa.Salatiga.go.id.
:
Ketua
100