Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008
KINERJA BEBERAPA INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI PADI 2008 DI PEDESAAN KABUPATEN KARAWANG oleh
Ikin Sadikin dan Kasdi Subagyono
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN
2008
KINERJA BEBERAPA INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI PADI 2008 DI PEDESAAN KABUPATEN KARAWANG Ikin Sadikin1 dan Kasdi Subagyono2 1 Peneliti BPTP Jawa Barat, 2 Kepala BPTP Jawa Barat Jalan Kayuambon No.80 Lembang, Bandung Barat, 40391
ABSTRAK Dinamika perubahan ekonomi yang terjadi di pedesaan tidak terlepas dari pengaruh sistem perekonomian di tingkat pusat. Karenanya, perubahan-perubahan yang terjadi di tingkat pusat turut mewarnai perkembangan ekonomi dan sosial di tingkat pedesaan Jawa Barat. Dalam struktur perekonomian Jawa Barat, nampak bahwa sektor pertanian masih menjadi andalan sumber pendapatan petani, meskipun diikuti oleh kecenderungan menurunnya peranan sektor pertanian, khususnya tanaman pangan. Seiring dengan itu, tingkat kesejahteraan masyarakat pun cenderung menurun. Berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan/pendapatan petani antara lain, lambannya peningkatan harga jual produk pertanian dibanding peningkatan harga input produksi dan barang konsumsi. Dengan demikian, maka data/informasi mengenai beberapa indikator pembangunan pedesaan yang berkaitan langsung dengan tingkat kesejahteraan petani dipandang pernting untuk diteliti/dikaji. Tujuan penenilitian ini adalah: (a) Mengidentifikasi dan menganalisis variabel yang membentuk indikator pembangunan pedesaan dan kesejahteraan petani, dan (b) Membuat rumusan bahan kebijakan pembangunan pedesaan berdasarkan indikator kesejahteraan ekonomi petani yang telah diidentifikasi. Metode pendekatan yang digunakan adalah survei di tingkat rumahtangga dan lembaga harga dan upah ditingkat desa, dengan memakai kuesioner terstruktur. Lokasi pengakjian dilakukan di dua desa Kabupaten Karawang yang memiliki agroekosistem lahan basah/sawah, yaitu di Desa Citarik dan Desa Kertawaluya. Analisis data dilakukan denagan metode deskriptif dan statistik sederhana. Dari hasil analisis diketahui bahwa, Variabel yang membentuk indikator ekonomi kesejahteraan petani dan pembangunan ekonomi pedesaan adalah, tingkat pendapatan, pengeluaran rumahtangga, daya beli, tingkat ketahanan pangan keluarga, dan nilai tukar petani. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah, Secara relatif keseluruhan kinerja indikator kesejahteraan petani padi di daerah pedesaan Kabupaten Karawang tahun 2008 adalah relatif baik. Hanya saja dari sisi kualitas, kesejahteraan di Desa Citarik lebih baik dari Desa Kertawaluya. Sebagai penyebab utamanya adalah tingkat aksesibilitas di Desa Citarik lebih baik dari Desa Kertawaluya, Disamping itu, Desa Citarik adalah sebagai desa binaan program Prima Tani yang dilakukan oleh Litbang Pertanian. Kata Kunci: Indikator kesejahteraan petani, pendapatan, pengeluaran, daya beli, ketahanan pangan, nilai tukar petani, Karawang.
1
PENDAHULUAN
Fenomena krisis ekonomi global, memanasnya suhu bumi dan dinamika lonjakan harga pangan dunia yang terjadi belakangan ini, adalah sebagaian kecil dari suatu peristiwa sunatullah (fenomena alam) yang siapa pun tidak bisa mengelak dari kehadirannya. Karena itu, kita harus bersama-sama menghadapinya dengan bijak secara realistis, positif dan optimis, agar risikonya ke depan dapat dieliminir seminimal mungkin, terutama terhadap risiko jangka panjang yang berpotensi dapat mengancam kesejahteraan ekonomi masyarakat. Justru membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat termasuk petani, adalah sisi lain dari sunatullah yang lebih penting dan perlu disadari oleh kita, baik sebagai ilmuwan/peneliti, penyumbang dan perumus kebijakan yang sejak dibangku sekolah, bercita-cita ingin memperbaiki kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat, termasuk petani di pedesaan. Secara empiris, banyak indikator variabel ekonomi yang berkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat/petani telah meningkat, disamping juga telah terjadi penurunan di beberapa daerah pada waktu belakangan ini, termasuk di Jawa Barat (Jabar). Dinamika kinerja tingkat kesejahteraan ekonomi di daerah Jabar, diindikasikan terus menurun sejak 10-15 tahun yang lalu. Indikator penurunan tersebut terlihat seperti pada kinerja indek pembangunan manusia (IPM-tanpa seutuhnya), tingkat pendapatan, daya beli dan nilai tukar petani (NTP). Pada bulan Juni 2008, kinerja NTP Jabar mencapai 95,82 sebagai peringkat ke-tiga terendah dari 32 provinsi secara nasional [(posisi ke-1 dan ke-2 terendah adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Maluku, dengan nilai NTP 93,26 dan 95,28 (BPS, 2008)]. Padahal di tahun 1983, NTP Jabar adalah 100,0 dan pada April 2004 mencapai angka 156,10 dimana saat itu secara nasional menjadi peringkat ke-enam tertinggi. Di sisi lain, tingkat pendapatan riil masyarakat Jabar pada tahun 1996 (pra krisis ekonomi) mencapai Rp.591.600/kap./tahun, kemudian menurun menjadi Rp.584.200/ kap./tahun pada tahun 1999 (pasca krisis). Begitu juga secara relatif, Indek pembangunan manusia (IPM), pada tahun 2002 angka IPM Jabar adalah 65,8 sebagai peringkat ke-17. Kemudian posisi tersebut menurun dari pada IPM tahun 1999 dan 1996, yaitu masing-masing 64,6 dan 68,2 dan peringkat ke-15 dan ke-14 [bandingkan dengan IPM Jateng dalam periode yang sama adalah meningkat dari peringkat ke-17 (1996) menjadi ke-14 (1999) dan terus meningkat lagi menjdi peringkat ke-13 pada tahun 2002 (BPS, 2006)]. Meskipun pencapaian angka IPM Jabar pada tahun 2006 2
belum mencapai target (75,60). Tapi nampaknya iklim perubahan telah menunjukkan arah perbaikan, yaitu dengan pencapaian IPM sebesar 70,28, dengan indeks daya beli masyarakat sebesar 60,34 (Bapeda dan BPS Jabar, 2007, dan PR, 2008). Gambaran dinamika beberapa indikator kesejahteraan masyarakat ditingkat regional Provinsi Jabar tersebut tidak lain adalah sebagai pencerminan dari hasil kinerja pembangunan ditingkat lokal, 35 kabupaten/kota, sampai ke daerah berbasis pertanian dan non pertanian yang berjumlah 5.799 desa/kelurahan. Untuk menganalisis kinerja pembangunan keseluruhan daerah yang beraneka ragam persoalan adalah suatu kemustahilan yang beralasan; terlebih lagi bila yang ingin dituju adalah parameter kesejahteraan yang sifatnya azasi bagi setiap indivu, termasuk petani, karena berkait langsung dengan kendala dimensi waktu, tenaga akhli, biaya, dlsb. Makalah ini dibatasi hanya akan membahas hasil kajian dan analisis kinerja beberapa indikator kesejahteraan petani padi di dua desa Kabupaten Karawang yang memiliki tingkat aksesibitas berbeda, sebagai bagian dari kajian dinamika indikator pembangunan ekonomi di pedesaan Jawa Barat yang dilakukan pada periode tahun 2008. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa kinerja beberapa indikator ekonomi kesejahteraan petani di pedesaan yang beraksesibilitas baik (non remote area) dan beraksesibilitas kurang baik (remote area) adalah cukup tinggi, sebagaimana ditunjukkan oleh tingkat perolehan pendapatan, proporsi pengeluaran konsumsi, ketahanan pangan rumahtangga, daya beli dan nilai tukar petani. Lebih dari itu, akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat petani padi di lokasi penelitian akan lebih baik, lebih mandiri dan berdaya saing bila saja peningkatan harga padi/beras dunia cepat ditransmisikan ketingkat produsen padi di pedesaan Kabupaten Karawang dan perdesaan Indonesia lainnya, disamping perlu adanya terobosan program revitalisasi peraturan/UU peradilan perdagangan yang mengatur kesama rataan share keuntungan bagi pelaku agribisnis.
Kerangka Pemikiran dan Dasar Pertimbangan Pembangunan pedesaan sangat berkaitan dengan pembangunan pertanian. Karenanya setiap aktivitas pembangunan pertanian akan berpengaruh langsung terhadap dinamika ekonomi masyarakat pedesaan. Sampai saat ini usaha sektor pertanian masih menjadi andalan sumber mata pencaharain dan pendapatan utama bagi sebagian besar masyarakat pedesaan, meskipun belum mampu mengangkat kesejahteraan ekonomi petani ke tingkat lebih tinggi, disamping perlu mengurangi ketimpangan diantara 3
wilayah pedesaan dan ketimpangan share keuntungan diantara pelaku agribisnis yang terus berlanjut sampai sekarang. Ketimpangan di pihak on-farm misalnya, dipicu oleh perbedaan tingkat aksesibilitas desa, produktivitas lahan dan tenagakerja/upah, senjangnya penguasan dan penerapan teknologi, dsb. yang kesemua itu berujung pada efisiensi usaha yang rendah. Salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian di pedesaan adalah melalui penerapan inovasi teknologi khususnya teknologi pertanian. Karena perubahan sistem perekonomian
pedesaan
akibat
inovasi
teknologi
akan
merangsang
inovasi
kelembagaan, perubahan sistem nilai, inovasi institusi, dsb yang mengarah kepada perputaran inovasi Iptek (Arifin, 2005). Dalam upaya mengoptimalkan penggunaan sumberdaya pertanian melalui inovasi teknologi guna meningkatkan perekonomian di pedesaan, Badan Litbang Pertanian sejak tahu 2005 merintis dan melakukan aksi program/kegiatan “Prima Tani”. Dimana, sasarannya adalah untuk dapat mempercepat terjadinya proses diseminasi teknologi pertanian. Melalui program/kegiatan Prima Tani tersebut diharapkan dapat meningkatkan produktivitas usahatani, optimalisasi sumberdaya, dan peningkatan nilai tambah produk melalui kegiatan agribisnis. Karena tujuan akhir dari program tersebut adalah, terjadinya aktivitas pembangunan ekonomi yang berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan riel per kapita penduduk desa secara berkelanjutan. Sehingga dengan pencapaianbpertumbuhnya ekonomi desa, cepat atau lambat akan terjadi trickle down effect sehingga tercapai pemerataan distribusi pendapatan, termasuk di pedesaan Jawa Barat. Disisi lain, dalam pola dasar pembangunan Jawa Barat disebutkan bahwa, visi Pemerintah Provinsi Jawa Barat adalah “sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara Tahun 2010”, dimana yang menjadi tolok ukur keberhasilannya adalah tercapai IPM sebesar 80 pada tahun 2010. Dan yang menjadi komponen penting dalam IPM tersebut, salah satunya adalah aspek daya beli masyarakat, disamping kualitas pembangunan aspek pendidikan dan kesehatan. Visi Pemda Jawa Barat 2010” yang kemudian menjadi tekad visi pengelolaan pemerintahan untuk kurun waktu 2003-2008 yang kemudian dijabarkan menjadi lima aspek, dimana salah satunya adalah Mengembangkan Struktur Perekonomian Regional yang Tangguh. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008, melalui delapan sasaran, yaitu:
(1)
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi (LPE) minimal menjadi 4,5% per tahun, (2) 4
mengurangi kemiskinan penduduk dari 9 juta jiwa, (3) mengurangi pengangguran sehingga mencapai kisaran 6,5%-7,5%, (4) meningkatkan serapan tenagakerja sebesar 18 juta orang, (5) tetap bertahannya kegiatan investasi yang sudah ada dan pulihnya minat dan realisasi investasi baru dengan laju pertumbuhan pada kisaran 10%-12% per tahun, (6) meningkatnya kontribusi peran koperasi, usaha kecil dan menengah terhadap PDRB, (7) Indeks Gini berada di bawah 0,20%, dan (8) meningkatnya kualitas infrastruktur wilayah. Dalam rangka untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut diperlukan adanya himpunan informasi/data dasar variabel-variabel indikator pembangunan ekonomi ditingkat rumah-tangga desa yang cukup memadai dan bersinambung, sehingga perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari berbagai kegiatan program pembangunan di pedesaan Jawa Barat dapat dipantau secara periodik. Secara periodik data/informasi beberapa indikator ekonomi/pembangunan telah dikumpulkan sejak lama oleh Badan Pusat Statistik (BPS), seperti: data PDB/PDRB (produk domestik/regional bruto), penyerapan tenaga kerja, tingkat inflasi, struktur harga, dan sebagainya. Namun indikator-indikator tersebut hanya bersifat agregat dan makro, sehingga belum dapat menggambarkan indikator pembangunan ekonomi pedesaan yang spesifik lokasi dengan keanekaragaman agro-ekosistem dan basis komoditas pertanian unggulan utama. Dalam realitas, indikator pembangunan ekonomi dan kesejahteraan di pedesaan Jabar, selain dinamis juga sangat beragam. Dari aspek aksesibilitas, dapat bervariasi menurut tingkat aksesibilitas baik versus kurang, dari aspek kewilayahan juga bervariasi menurut daerah perkotaan versus perdesaan. Di daerah pedesaan yang umumnya berbasis pertanian, dinamika pembangunan ekonomi dapat bervariasi menurut tipe agroekosistem dan jenis komoditas pertanian utama yang dikembangkan. Mengingat sampai sejauh ini informasi yang dikumpulkan oleh BPS tersebut belum dapat menggambarkan indikator pembangunan ekonomi pedesaan yang rinci menurut tipe agroekosistem dan basis komoditas pertanian. Maka untuk dapat mengetahui kinerja hasil-hasil pembangunan dalam rangka penajaman kebijakan pembangunan pedesaan/pertanian kedepan, diperlukan kegiatan untuk menghimpun dan menganalisis variabel-variabel data/informasi indikator ekonomi yang menunjukkan arah terjadinya pembangunan kesejateraan pada unit rumah-tangga petani di wilayah pedesaan Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Berlandaskan pemikiran dan pertimbangan tersebut, penelitian ini dipandang penting untuk dilakukan. 5
METODOLOGI PENELITIAN
Pemilihan Lokasi dan Prosedur Penelitian Untuk dapat merepresentasikan ”wilayah pedesaan Kabupaten Karawang”, pemilihan kecamatan dan desa dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek sebagai berikut: (1) Kabupaten Karawang dipilih secara purposive sebagai salah satu lokasi sentra daerah produsen beras di Provinsi Jawa Barat, dimana pada tahun 2007 berkontribusi 12,56 % terhadap produksi beras Provinsi Jawa Barat, (2) Pemilihan lokasi desa dilakukan dengan mempertimbangkan aspek tingkat aksesibitas (akses baik, Non Remote Area-NRA), dan kurang baik (remote area-RA), sehingga terpilih Desa Citarik dan Desa Kertawaluya (Kec.Tirtamulya), sebagai lokasi contoh desa RNA dan RA, dimana pada setiap desa lokasi contoh selanjutnya ditentukan dua atau lebih blok dusun/kampung sentra padi untuk dilakukan sampling petani responden, (3) Penentuan responden dilakukan dengan cara stratified random sampling, dimana Petani dibagi kedalam tiga (3) strata pemilikan/penguasaan lahan, yaitu pemilikan lahan luas (> 1,00 ha), sedang (0,51-1,00 ha), dan pemilikan lahan sempit (≤ 0,50 ha). Dalam ha ini strata pemilikan lahan akan ditentukan secara proporsional sesuai dengan rataan pemilikan lahan oleh petani setempat, (4) Setiap strata pemilikan lahan dipilih lima orang petani respoden, sehingga total responden berjumlah 30 orang petani yang kemudian diagregasi untuk menggambarkan keragaan rumahtangga petani pedesaan di tingkat Kabupaten. Untuk mengidentifikasi indikator-indikator utama pembangunan pedesaan diperlukan pengumpulan variabel-variabel data/informasi yang relevan dan dapat menunjukkan arah pembangunan ekonomi pedesaan/pertanian secara kuantitatif, karena tidak semua
variabel data/informasi pembangunan ekonomi pedesaan dapat
dikuantifisir, di mana waktu pelaksanaan kegiatan dilakukan dalam periode bulan Januari sampai Desember 2008. Dalam penelitian ini digunakan dua jenis data kuantitatif, yaitu data primer dan data skunder yang bersumber dari kantor BPS, Dinas pertanian/peternakan, dan Lembaga/Dinas terkait, mulai intansi tingkat Provinsi, Kabupaten sampai Desa. Data skunder tingkat provinsi/kabupaten yang akan dikompilasi mencakup delapan variabel indikator, yaitu: (a) Tingkat pendapatan masyarakat (PDRB), (b) Kontribusi sektor pertanian terhadap sektor perekonomian, (c) Aspek ketenaga kerjaan/ penyerapan tenaga kerja, (d) Nilai Tukar Petani, (e) Aspek kecukupan/ketahanan pangan (produksi 6
komoditas tanaman pangan/perkebunan/ternak strategis), (f) Penggunaan/pemilikan (luas) lahan, (g) Harga saprodi dan produksi hasil pertanian, dan (h) Harga barang konsumsi startegis. Sementara itu, data primer yang dikumpulkan adalah variabelvariabel yang tercakup dalam Indikator Produksi dan Indikator Kesejahteraan, yaitu sebagai berikut: (1) Data input-output usahatani komoditas pertanian utama dan dominan yang dilakukan oleh responden rumahtangga di lokasi desa contoh, (2) Data pendapatan seluruh anggota keluarga yang diterima selama satu tahun terakhir yang bersumber dari seluruh kegiatan sub-sektor ekonomi (di sini diambil dalam kurun waktu MK-2 tahun 2007/2008, MH dan MK-1 tahun 2008), (3) Data produksi dan penerimaan dari setiap cabang usaha pertanian, (4) Data pengeluaran/konsumsi rumah-tangga, (5) Data harga sarana produksi dan hasil produksi yang berlaku di lokasi desa contoh, (6) Data harga barang konsumsi utama dan stategis yang berlaku di pusat desa atau di sekitar lokasi desa contoh, dan (7) Data harga upah tenaga kerja pertanian dan non pertanian yang berlaku di lokasi desa contoh. Semua jenis data primer tersebut dikumpulkan melalui kuesioner), yaitu kuesioner Modul A (upah dan harga), kuesioner Modul B (input-output usaha tani, struktur pendapatan dan pengeluaran), dan kuesioner modul C [(Focus Group Discussionterhadap informan kunci (Pejabat Lembaga Dinas terkait, Lembaga pemasaran, Penggilingan padi, Aparat desa, Tokoh masyarakat, Kelompok tani, dll)]. Khusus untuk pengisian kuesioner modul A yang mencatat data poin (5) samai (7) dilakukan secara berkala dwi Mingguan/hari pasaran desa oleh petugas khusus yang sudah permanen menetap di desa lokasi contoh dan diberikan pelatihan sebelumnya oleh tim peneliti. Selanjutnya, analisis data dilakukan secara deskriptif (tabulasi, grafis) dengan membangun/mengidentifikasi variabel-variabel indikator ekonomi spesifik yang bisa dipakai untuk menjawab tujuan dan keterkaitan antar tujuan penelitian. Data input– output usahatani diolah dengan analisis finansial untuk melihat profitabilitas usahatani, efisiensi usahatani, struktur biaya, distribusi penggunaan tenaga kerja berdasarkan sumber tenaga keluarga luar keluarga dan jenis kelamin, nilai imbalannya terhadap tenaga keluarga serta menganalisis tingkat teknologi usahatani yang sedang dilakukan. Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani dianalisis secara tabulasi, untuk melihat jumlah dan struktur pendapatan dan pengeluaran rumah tangga serta sumbangan masing-masing sumber pendapatan keluarga terhadap total pendapatan. Setelah peubah penjelas (variabel) indikator ekonomi tersebut teridentifikasi, analisis kemudian dilanjutkan untuk menentukan indikator atau penciri terjadinya 7
pembangunan pedesaan. Meskipun variabel-variabel indikator pembangunan ekonomi pedesaan tersebut dibagi ke dalam dua indikator, Indikator Produksi dan Indikator Kesejahteraan. Namun untuk penyederhanaan bahasan, dalam makalah ini hanya akan mendiskusikan empat aspek Indikator ekonomi yang berkait langsung dengan kesejahteraan petani. Dalam hal ini, paling kurang ada lima aspek yang bisa menunjukkan indikator (penciri atau penanda) kesejateraan petani, yaitu (Sudana, at.al.,2008): (1) struktur pendapatan rumah-tangga (on farm, off farm, dan non farm), (2) struktur pengeluaran rumahtangga, (3) keragaan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (4) keragaan daya beli rumahtangga petani, dan (5) Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). Karena itu analisis akan dilakukan terhadap performa kelima aspek indikator tersebut.
(1) Struktur pendapatan Rumah-tangga Petani Struktur pendapatan menunjukan sumber pendapatan utama keluarga petani dari sektor mana, apakah dari sektor pertanian atau sebaliknya yaitu dari non pertanian. Bagaimana peran sektor pertanian dalam pembangunan pedesaan ke depan. Secara sederhana struktur pendapatan rumah tangga petani dari sektor pertanian dapat ditentukan sebagai berikut: PPSP = ∑(TPSP /∑TP) x 100% Di sini:
PPSP = Pangsa pendapatan sektor pertanian (%) TPSP = Total pendapatan dari sektor pertanian (Rp/th) TP
= Total pendapatan rumah tangga petani (Rp/th)
(2) Struktur Pengeluaran/konsumsi pangan rumahtangga. Dalam hal ini akan dilakukan analisis perkembangan struktur pengeluaran/ konsumsi rumahtangga, dan pangsa pengeluaran untuk barang pangan pokok keluarga. Sebab perkembangan pangsa pengeluaran untuk pangan dapat dipakai salah satu indikator keberhasilan pembangunan pedesaan. Semakin besar pangsa pengeluaran untuk pangan menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga tani masih terkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan dasar. Demikian sebaliknya, semakin besar pangsa pengeluaran sektor sekunder (non pangan), mengindikasikan telah terjadi pergeseran posisi petani dari subsisten kekomersial. Artinya kebutuhan primer telah terpenuhi, kelebihan pendapatan dialokasikan untuk keperluan lain misal pendidikan, kesehatan 8
dan kebutuhan sekunder lainnya. Secara sederhana pangsa pengeluaran untuk pangan dapat dihitung sebagai berikut: PEP = ∑(PPn / ∑TE) x 100% Disini :
PEP
= Pangsa pengeluaran untuk pangan (%),
PEn
= Pengeluaran untuk pangan (Rp/th)
TE
= Total pengeluaran rumah tangga petani (Rp/th)
(3) Keragaan Tingkat Ketahan Pangan Rumahtangga Dalam hal ini akan dilakukan analisis perkembangan tingkat kecukupan konsumsi pangan rumah-tangga, yaitu proporsi pangan pokok yang dihasilkan sendiri terhadap kebutuhan pangan pokok keluarga. Sebab perkembangan tingkat ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dapat menunjukkan indikator kesejahteraan petani. Semakin tinggi tingkat subsistensi pangan (berasal dari produksi sendiri), semakin kuatnya pemenuhan kebutuhan atau semakin banyak stock pangan, sehingga menjadi indikator semakin sejahtera rumahtangga petani yang bersangkutan. Keragaan tingkat subsistensi pangan rumahtangga petani secara sederhana dapat ditentukan sebagai berikut: TSP = PUB/KSB Disini: TSP
= tingkat susbsistensi pangan; (TSP =1: subsisten;
TSP>1: surplus; dan TKP < 1: defisit) PUB
= produksi dari usahatani sendiri setara beras
KSB = kebutuhan setara beras
(4) Keragaan Tingkat Daya Beli Rumahtangga Petani Dalam hal ini akan dilakukan analisis perkembangan tingkat daya beli rumahtangga petani, karena daya beli rumahtangga petani dapat juga dipakai sebagai indikator kesejahteraan. Bagi petani yang sumber pendapatan utamanya dari sektor pertanian, tingkat daya beli petani dapat ditentukan sebagai berikut: DBPP = TP/(TE – BU) Disini: DBPP = Daya beli rumahtangga petani TP
= Total pendapatan rumah tangga petani (Rp/th) dari seluruh sumber
TE
= Total pengeluaran rumah tangga petani (Rp/th)
BU
= Biaya usahatani
9
Sementara bagi rumah tangga petani yang sumber pendapatan utamanya dari non pertanian, daya belinya dapat ditentukan sebagai berikut: DBPNP = UNP /HB Disini: DBPNP = Daya beli rumah tangga non petani UNP
= Tingkat upah di non pertanian (Rp/hari)
HB
= Harga beras (Rp/kg)
(5) Perkembangan Nilai Tukar Petani Dalam hal ini akan dilakukan analisis perkembangan nilai tukar petani (NTP), sebab secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi dan keperluan dalam memproduksi usahatani (Rachmat M.,2000, Supryati, dkk, 2001, Simatupang P.,2005). NTP merupakan nisbah antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB) yang dapat dirumuskan sebagai berikut (BPS.,2002, Nurmanaf R.,dkk.,2004, Irawan B.,dkk.2007, Sudana W.,dkk.2007): NTP HT HB aiPTi
Disini: HT
bxPBx
= harga yang diterima petani
HB
= harga yang dibayar petani
PTi
= harga komoditas i yang diproduksi petani
PBx
= harga produk yang dibeli petani
ai
= pembobot komoditas i
bx
= pembobot produk x
Untuk menggambarkan dinamika nilai tukar petani antar waktu, harga yang diterima dan harga yang dibayar petani diukur dalam nilai Indeks sebagai berikut: INTP
IT IB
Disini: INTP = Indeks Nilai Tukar Petani IT
= Indeks harga yang diterima petani
IB
= Indeks harga yang dibayar petani
10
Sementara, indeks harga yang diterima (IT) dan yang dibayar petani (IB) dihitung dengan menggunakan Indeks Laspeyers sebagai berikut: m
In
ir
Pni P( n 1 ) i Qoi P( n 1 ) i m
PoiQoi i 1
Disini: In Pni P(n-1)i
= Indeks harga bulan ke n (IT atau IB) = Harga bulan ke n untuk jenis produk i = Harga bulan ke n-1 untuk jenis produk i
Pni/P(n-1)i = Harga relatif bulan ke n untuk jenis produk i Poi
= Harga produk tahun dasar untuk jenis produk i
Qoi
= Kuantiítas pada tahun dasar untuk jenis produk i
m
= Banyaknya jenis produk
HASIL DAN PEMBAHASAN SEMENTARA Gambaran Umum Lokasi Penelitian Secara fisik, Kabupaten Karawang memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang secara potensial dapat memberikan keuntungan-keuntungan dalam rangka menwujudkan kesejahteraan masyarakat. Stigma yang melekat sebagai lumbung padi nasional adalah bukti bahwa Karawang merupakan daerah pertanian yang subur. Selain itu, dengan adanya alokasi kawasan-kawasan industri memberikan nilai tambah tersendiri dalam menarik minat dunia usaha untuk berinvestasi yang secara langsung/ tidak langsung telah berkontribusi dalam perekonomian masyarakat pedesaan. Komoditas pertanian tanaman pangan di Karawang sebagian besar merupakan tanaman padi sawah, Palawija dan Hortikultura, dengan rincian potensi berdasarkan luasan sawah Luas baku sawah sebesar 92.786 Ha. Produktivitas padi sawah di Kabupaten Karawang telah mengalami peningkatan, pada tahun 2005 rata-rata sebesar 64,34 Kw GKP per-Hektar menjadi 64,35 Kw GKP/hektar pada tahun 2006 (Muchtar D., 2007, Bapeda Jawa Barat 2007). Mengingat potensi alamiah yang sangat besar maka kebijakan pengembangan perekonomian daerah Kabupaten Karawang diarahkan pada upaya pemanfaatan kekayaan alam sebagai daya tarik daerah (comparative advantage) serta peningkatan 11
kemampuan dalam mengembangkan potensi alam menjadi komoditas yang berdaya saing (competitive advantage). Dengan kombinasi tersebut diharapkan dapat dijadikan faktor kunci baik dalam menentukan keberhasilan otonomi daerah maupun keunggulan dalam menghadapi era globalisasi perdagangan bebas. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karawang saat ini masih ditopang oleh pertumbuhan sektor industri yang berkontribusi terhadap PDRB rata-rata di atas 40%. Namun apabila dibandingkan dengan capaian LPE tahun 2005 sebesar 6,46%, terlihat kinerja perekonomian tahun 2006 relatif lebih rendah. Namun demikian, hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi perekonomian berangsur pulih setelah terjadinya shock akibat adanya kebijakan kenaikan harga BBM pada bulan Maret dan Oktober 2005 lalu dan periode setelahnya. Tidak hanya ditingkat kabupaten. Gambaran umum daerah kabupaten yang dipaparkan tersebut, ternyata tidak jauh beda dan bereflikasi terhadap kinerja dan aktivitas pembangunan ditingkat daerah lokal pedesaan di lokasi penelitian, yaitu Desa Citarik dan Desa Kertawaluya yang secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Tirtamulya. Pola penggunaan lahan oleh masyarakat, diproiritaskan untuk lahan sawah sehingga usahatani padi menjadi sumber pendapatan sebagian besar masyarakat di kedua desa tersebut. Dari luasan kepemilikan secara umum, sebagian besar penduduk memiliki lahan sawah yang relatif sempit, kurang dari 0,51 hektar. Hal ini berimplikasi terhadap relatif sulitnya untuk pengembangan agribisnis perberasan, sehingga penggabungan beberapa kelompok tani perlu diwujudkan guna mempermudah sistem pengusahaan lahan secara bersama-sama dalam rangka memdukung terbentuknya kelembagaan usaha indutrial agribisnis di pedesaan, dimana Desa Citarik telah dijadikan sebagai salah satu desa binaan dalam kegiatan Prima tani diantara ratusan desa yang dibidani oleh Litbang Pertanian (Deptan, 2004, PSE, 2005). Pola tanam dominan di sawah irigasi adalah padi-padi-sayuran dan padi-padibera, dimana penanaman padi dilakukan pada musim hujan (bulan Oktober sampai Maret) dan musim kemarau (bulan April sampai September), Komoditas utama yang diusahakan petani di lahan sawah adalah padi dan palawija (jagung,kedelai) atau sayuran (cabai, mentimun, kacang panjang, dll), Padi diusahakan pada musim hujan (rendeng) yaitu antara bulan Oktober– Februari dan musim kemarau I (gadu) antara bulan Maret–Juni, Musim kemarau II (Juli–Oktober) biasanya ditanami palawija/ sayuran dengan total luasan 10-50 persen dari total luasan yang dimiliki petani dan sebagian lainnya diberakan, Varietas padi yang umum diusahakan petani adalah VUTW 12
Ciherang, Cigeulis, padi hibrida dan sebagian dari hasil penangkaran petani dengan nama Cilamaya Muncul yang berasal dari varietas Cisadane, Benih tersebut mudah diperoleh dari kios pertanian yang ada di desa atau kios di Cikampek dimana petani membeli benih dari kios untuk MH dan benih untuk musim berikutnya (MK) berasal dari hasil panen MH sebelumnya.
Kinerja Indikator Kesejahteraan Petani Dalam penelitian ini kinerja indikator kesejahteraan (ekonomi) petani akan digambarkan melalui lima aspek yang bisa menunjukkan penciri atau penanda kesejateraan petani, yaitu: (1) struktur pendapatan rumah-tangga (on farm, off farm, dan non farm), (2) struktur pengeluaran rumahtangga, (3) keragaan tingkat ketahanan pangan rumahtangga, (4) keragaan daya beli rumahtangga petani, dan (5) perkembangan Nilai Tukar petani (NTP). Karena itu pembahasan ke depan akan mendiskusikan mengenai performa kelima aspek indikator tersebut. 1. Indikator Pendapatan Rumahtangga Pendapatan keluarga petani padi dilokasi pedesaan Kabupaten Karawang yang dijadikan sampel dalam penelitian ini, diperoleh dari banyak sumber yang beragam, dimana jumlah sumber tersebut relatif lebih banyak dari pada sumber pendapatan kebanyakan pegawai negeri (peneliti). Sumber pendapatan rumahtangga petani di desa Citarik dan Desa Kertawaluya sebagai lokasi penelitian dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) kegiatan yang berasal dari kegiatan usaha pertanian (on-farm), (2) pendapatan dari kegiatan di luar usaha pertanian (off-farm), dan (3) pendapatan dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm). Pendapatan Onfarm antara lain mencakup hasil dari usahatani tanaman pangan, palawija, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Pendapatan Of farm diantaranya meliputi buruh tani dan menyewakan lahan/ternak/alat mesin pertanian. Sementara itu pendapatan Non farm berhubungan dengan bidang-bidang non pertanian seperti perdagangan, industri, jasa, dan subsidi/bantuan/kiriman dari pihak dalam dan luar keluarga, termasuk pemerintah. Dilihat dari sumber daya manusia, struktur rumahtangga petani responden di lokasi kajian, pada dasarnya menunjukkan dinamika dan aktivitas anggotanya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga struktur rumahtangga dapat dijadikan indikator untuk membentuk struktur pendapatan dan pengeluaran, baik dalam aktivitas usahatani, maupun dalam usaha lainnya. Produktivitas usahatani padi yang dicapai di kedua lokasi kajian termasuk tinggi, yaitu masing-masing pada MH 2007/2008 sekitar 62,28 kw/ha 13
di Desa Kertawaluya dan 73,62 kw GKP/ha di Desa Citarik, dan produksi padi pada MK 2008 masing-masing 63,85 dan 68,03 kw GKP/ha. Ini adalah suatu prestasi sangat baik, melampaui di atas produktivitas rata-rata provinsi dan kabupaten yang mencapai 57,15 kw GKP/ha dan 64,35 kw GKP/ha. Kinerja pencapaian tingkat produksi padi di desa Citarik ternyata lebih tinggi dibanding dengan produktivitas padi di Desa Kertawaluya, adalah cukup logis, sebab desa Citarik memiliki aksesibilitas ekonomi lebih baik dibanding dengan di Desa Kertawaluya. Karena itu wajar dan tidak aneh, bila pasilitas sarana produksi lebih mudah diperoleh dan lembaga pemasaran padi pun lebih banyak pilihan. Lebih dari itu, pembinaan petani melalui kelompok di desa ini sedang dikembangkan melalui program Prima Tani oleh petugas dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian) Jawa Barat bersama dengan petugas dari dinas pertanian setempat. Ditinjau dari segi pendapatan relatif antar sumber selama satu tahun nampak bahwa, pendapatan dari usahatani padi sawah adalah sebagai basis perolehan pendapatan keluarga di kedua desa contoh, yaitu mencapai 65,36%, sebagai penyumbang terbesar bagi pendapatan sektor pertanian rumahtangga petani padi, yang mencapai Rp.35,75/tahun di desa Kertawaluya dan Rp.23,126 juta/tahun di Citarik (Tabel 1). Dengan demikian terbukti, bahwa sektor pertanian masih tetap menjadi tulang punggung perolehan pendapatan rumahtangga di lokasi contoh Kabupaten Karawang dengan sumbangan mencapai 71,85 persen dari total seluruh sumber pendapatan rumahtangga, masing-masing Rp.48,32 juta/tahun di Kertawaluya dan Rp.33,84 juta di desa Citarik. Tingkat pendapatan petani tersebut jauh melampaui tingkat upah minimu regional Jawa Barat (UMR Rp.56.193,4/bulan). Sebab dengan penyederhanaan rata-rata 4 orang/keluarga, berarti pendapatan petani padi di Desa Kertawaluya dan Desa Citarik, masing-masing mendapat sekitar Rp.1.006,74 dan Rp.705.02 per orang per bulan, atau 124 sampai 177 persen lebih tinggi dari standar UMR Jawa Barat. Hal ini ada peningkatan pendapatan keluarga petani tahun 2008 dibanding dengan tingkat pendapatan petani di tahun sebelumnya, sebagaimana diungkapkan pada laporan hasil penelitian pada tahun 2007 (BPTP Jawa Barat, 2007, BBP2TP Bogor, 2007). Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan kinerja variabel indikator pendapatan keluarga petani padi di kedua desa contoh yang cukup tinggi, maka tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan kabupaten Karawang
adalah
tergolong baik. Artinya dengan terjadi peningkatan pembangunan ekonomi pedesaan 14
berimplikasi terhadap perbaikan pendapatan dan kesejahteraan rumahtangga petani di daerah pedesaan Kabupaten Karawang. Tabel 1. Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Padi Berdasarkan Sumber di Dua Desa Kabupaten Karawang, 2008 No A. 1 2 3 4
Sumber Pendapatan On Farm Padi/Palawija Hortikultura Perkebunan/Lain Ternak/ikan
B. Of Farm 1 Buruh Pertanian 2 Menyewakan asset
C. 1 2 3 4 5 6 7
Non Farm Perdagangan Usaha angkutan Jasa Usaha Industri Buruh non pertanian Kiriman/bantuan Lainnya Total Pendapatan
Kertawaluya (Rp.000) ( % )
Citarik (Rp.000) ( % )
35,752.85 73.99 23,125.74 35,439.52 73.34 17,668.44 130.00 0.27 1,869.23 0.00 0.00 3,499.62 183.33 0.38 88.46 1,434.67 1,101.33 333.33
2.97 2.28 0.69
546.15 176.92 369.23
11,136.00 23.04 10,169.23 5,360.00 11.09 4,588.46 240.00 0.50 2,307.69 3,989.33 8.26 2,215.38 0.00 0.00 46.15 0.00 0.00 0.00 510.00 1.06 0.00 1,036.67 2.15 1,011.54 48,323.52
100 33,841.13
Aggregat (Rp.000) ( % )
68.34 29,890.27 52.21 27,188.66 5.52 937.50 10.34 1,624.82 0.26 139.29 1.61 0.52 1.09
71.85 65.36 2.25 3.91 0.335
1,022.14 672.14 350.00
2.46 1.62 0.84
30.05 10,687.14 13.56 5,001.79 6.82 1,200.00 6.55 3,165.71 0.14 21.43 0.00 0.00 0.00 273.21 2.99 1,025.00
25.69 12.02 2.88 7.61 0.052 0.00 0.66 2.46
100 41,599.55
100
Sumber : Data primer (2008)
2. Struktur Pengeluaran Konsumsi Pangan Struktur pengeluaran rumahtangga petani padi di Desa Citarik dan Desa Kertawaluya, Kabupaten Karawang diltampilkan pada Tabel 2 dan tabel 3. Secara agregat persentase pengeluaran untuk pangan (41,74 %) lebih rendah dari pengeluaran non pangan (54,31 %). Kalau dilihat antara dua desa di lokasi kajian adalah berbeda, terlihat derajat proporsi pengeluaran untuk pangan Desa Kertawaluya lebih tinggi dari pengeluaran non pangan, yaitu sebesar 45,32% dan 36,56%. Dengan begitu tersirat bahwa kebutuhan non pangan yang sifatnya sekunder dikedua desa kajian sudah diperhatikan dengan baik. Hal ini wajar bagi masyarakat yang berpenghasilan cukup baik/tinggi, sebab tuntutan zaman mengharuskan pentingnya peningkatan sumberdaya manusia, terutama melalui perbaikan kualitas pendidikan dan kesehatan seluruh
15
individu keluarga demi untuk mencapai tingkat kesejahteraan rumahtangga yang lebih baik. Jenis pengeluaran rumahtangga responden di kedua desa lumbung padi Kabupaten Karawang cukup beragam. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa pengeluaran terbesar ditujukan untuk kebutuhan pokok seperti beras dan lauk pauk (Tabel 3). Seperti halnya dengan daerah pedesaan lain di Indonesia, dimana bagian pengeluaran untuk konsumsi beras cukup besar. Begitu juga terjadi di kedua lokasi pedesaan kabupaten Karawang. Karena beras masih merupakan konsumsi pokok rumahtangga petani, maka berimplikasi terhadap pengeluaran untuk beras mencapai 13,33 sampai 19,83 persen dari total pengeluaran pangan. Di sisi lain, pengeluaran rumahtangga untuk konsumsi lauk-pauk mendapat porsi yang layak di kedua lokasi kajian, terlihat dari relatif tingginya pangsa pengeluaran lauk-pauk melebihi pengeluaran beras, yaitu berkisar antara 21,25 sampai 21,60 persen. Dalam hal ini mengisyaratkan, bahwa dalam pengeluan konsumsi pangan petani padi di pedesaan Karawang sudah memperhatikan nutrisi gizi keluarganya secara lebih baik, meskipun reltif kurang konsisten dengan dengan masih besarnya pengeluaran untuk rokok, khususnya di Desa Kertawaluya. Selanjutnya pengeluaran pangan yang besar ketiga diantara seluruh pengeluaran konsumsi pangan adalah pengeluaran untuk bahan minuman seperti gula, kopi dan teh, mencapai 10,78 sampai 11,96 persen. Menurut pendapat Pakpahan et al. (1993). Pangsa pengeluaran pangan dapat digunakan sebagai ukuran ketahan pangan. Dalam tulisannya mengatakan bahwa ketahanan pangan memiliki hubungan negatif dengan pangsa pengeluaran yaitu semakin besar pangsa pengeluaran pangan rumahtangga, maka semakin rendah ketahanan rumahtangga yang bersangkutan. Apakah rumusan ini konsisten dengan tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani padi di kedua desa kabupaten Karawang ? Hal ini dapat disimak pada bahasan yang bertopik ketahanan pangan rumahtangga petani padi. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan kinerja variabel indikator proporsi pengeluaran konsumsi pangan rumahtangga petani padi di kedua desa lokasi kajian cukup baik, maka tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan kabupaten Karawang juga bertambah baik. Dengan demikian, terlaksananya peningkatan pembangunan ekonomi dibidang pertanian terbukti berimplikasi terhadap membaiknya pendapatan rumahtangga sehingga berpengaruh terhadap membaiknya proporsi pengeluaran
konsumsi
pangan
rumahtangga
melalui
revitalisasi
peningkatan
pengeluaran konsumsi non pangan. 16
Tabel 2. Struktur Pengeluaran Rumahtangga Petani Berdasarkan Sumber di Karawang, 2008 No
Jenis Pengeluaran
A. 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pangan Beras Non Beras Lauk Sayuran dan Buah Minuman Rokok Minyak goreng Bumbu Lainnya
B. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Kertawaluya (Rp.000) ( % )
Citarik (Rp.000) ( % )
Karawang (Rp.000) ( % )
13,706.80 1,827.73 1,399.60 2,913.33 1,011.33 1477.33 1,320.00 748.13 513.33 2496.00
45.32 6.04 4.63 9.63 3.34 4.88 4.36 2.47 1.70 8.25
8,827.96 36.56 11,441.63 1,750.85 7.25 1,792.04 318.46 1.32 897.64 1,906.92 7.90 2,446.07 1,325.69 5.49 1,157.29 1055.38 4.37 1281.43 810.88 3.36 1,083.63 566.38 2.35 663.75 678.00 2.81 589.79 415.38 1.72 1530.00
41.74 6.54 3.27 8.92 4.222 4.675 3.953 2.421 2.152 5.582
Non Pangan 15,216.23 Pakaian 1,306.67 Pendidikan 4,516.67 Kesehatan 508.00 Listrik, air 817.33 Bahan bakar masak 984.80 Kesehatan/Perlengkaan 905.33 alat mandi Rehab rumah 2,566.67 Kegiatan sosial 796.67 Bantu keluarga 406.67 Transportasi 1,585.33 Pajak 377.10 Rekreasi 445.00 Iuran lainnya 0.00 30,243.03 Total Pendapatan
50.31 4.32 14.93 1.68 2.70 3.26
14,505.65 60.08 14,886.32 992.31 4.11 1,160.71 4,576.92 18.96 4,544.64 785.85 3.25 637.00 1,121.54 4.65 958.57 586.15 2.43 799.71
54.31 4.23 16.58 2.32 3.497 2.92
2.99
1,019.23
4.22
958.21
3.50
8.49 2.63 1.34 5.24 1.25 1.47 0.00 100
384.62 1,142.31 673.08 1,036.92 729.04 565.38 892.31 24,144.50
1.59 4.73 2.79 4.29 3.02 2.34 3.70 100
1,553.57 957.14 530.36 1,330.71 540.50 500.89 414.29 27,411.57
5.67 3.49 1.93 4.85 1.97 1.83 1.51 100
Sumber : Data primer (2008)
Tabel 3. Struktur Pengeluaran Pangan Rumahtangga Petani di Pedesaan Karawang, 2008 Jenis Pengeluaran Pangan Beras Non Beras Lauk-pauk Sayuran dan Buah Minuman Rokok Minyak goreng Bumbu Lainnya
Kertawaluya (Rp.000) Proporsi 13,706.80 1.00 1,827.73 13.33% 1,399.60 10.21% 2,913.33 21.25% 1,011.33 7.38% 1,477.33 10.78% 1,320.00 9.63% 748.13 5.46% 513.33 3.75% 2,496.00 18.21%
Citarik (Rp.000) Proporsi 8,827.96 1.00 1,750.85 19.83% 318.46 3.61% 1,906.92 21.60% 1,325.69 15.02% 1,055.38 11.96% 810.88 9.19% 566.38 6.42% 678.00 7.68% 415.38 4.71%
Karawang (Rp.000) Proporsi 11,267.38 1.00 1,789.29 15.88% 859.03 7.62% 2,410.13 21.39% 1,168.51 10.37% 1,266.36 11.24% 1,065.44 9.46% 657.26 5.83% 595.67 5.29% 1,455.69 12.92%
Sumber : Data primer (2008) 17
3. Perkembangan Daya Beli Rumahtangga Petani Daya beli rumahtangga petani dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan. Secara umum daya beli rumahtangga petani pada umumnya masih rendah terutama daya beli petani untuk keperluan usahataninya. Hal ini tergambar dari masih banyaknya petani yang meminjam modal untuk usaha taninya. Dalam studi ini tingkat daya beli petani dengan sumber pendapatan utama dari sektor pertanian merupakan rasio antara total pendapatan rumahtangga dengan total pengeluaran rumahtangga petani yang sudah dikurangi dengan biaya usahatani. Konsep daya beli ini mirip dengan konsep nilai tukar petani. Pada Tabel 4 disajikan tingkat daya beli petani padi di Desa Citarik dan Desa Kertawaluya, Kabupaten Karawang. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa rata-rata daya beli petani padi padi di lokasi kajian relatif tinggi yaitu masing-masing 2,16 di Desa Kertawaluya dan 1,27 di Desa Citarik, dan secara aggregat kinerja daya beli rumahtangga petani padi di pedesaan karawang cukup baik, yaitu mencapai 1,75. Bila dibandingkan dengan tingkat daya beli petani padi di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, ternyata daya beli petani di Karawang, cukup berimbang, sebab daya beli petani di Grobogan relatif sama, yaitu 1,75 (BPTP Jawa Tengah, 2008). Dengan melihat komparasi daya beli di dua provinsi yang berbeda tersebut, berarti bahwa total pendapatan rumahtangga yang diperoleh dari berbagai sumber sudah dapat mencukupi kebutuhan hidup rumahtangga selama setahun, baik untuk pengeluaran pangan maupun pengeluaran non pangan. Kisaran daya beli di Karawang terendah adalah -16,68, berada di Desa Citarik, dan tertinggi mencapai 8,21. Hal ini menandakan masih relatif timpangnya daya beli rumahtangga antara petani kaya (berlahan luas) dengan rumahtangga petani kecil (berlahan sempit). Penyebabnya adalah kaidah hukum kausalita ekonomi, dalam arti sejajar dan sepadan, dimana sumberdaya lahan, modal kapital dan pendapatan (bahkan pengeluaran konsumsi) petani orang kaya relatif lebih tinggi dari pada yang dimilki oleh orang/petani miskin. Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan kinerja variabel indikator daya beli rumahtangga petani padi di kedua desa kajian yang cukup baik, maka tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan kabupaten Karawang adalah cukup tinggi alias membaik. Artinya dengan telah terjadi peningkatan pembangunan ekonomi di pedesaan berimplikasi terhadap perbaikan daya beli masyarakat petani, karena produktivitas pertanian (padi sawah) meningkat yang diiringi dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga petani. 18
Tabel 4. Daya Beli Rumahtangga Petani Padi di Lokasi Kajian Kab.Karawang, 2008 Desa
Rataan
Kertawaluya - RA Citarik - NRA Kab.Karawang
Daya Beli Petani Median Terendah Tertinggi
2.16 1.27 1.75
2.70 1.80 2.22
-5.85 -16.86 -16.86
7.50 8.21 8.21
Sumber : Data primer (2008)
4. Perkembangan Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani adalah tingkat ketahanan pangan di tingkat rumahtangga. Tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani (TKP) diperoleh dari rasio antara total hasil produksi usahatani sendiri selama setahun setara beras dengan kebutuhan konsumsi rumahtangga selama setahun setara beras. TKP rumahtangga merupakan kemampuan rumahtangga dalam memenuhi kebutuhan pangan dan non pangan dari pendapatan usahataninya. Nilai TKP lebih kecil dari satu artinya produksi usahatani yang dihasilkan tidak dapat memenuhi kebutuhannya. TKP sama dengan satu artinya produksi usahatani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhannya. sedangkan apabila TKP lebih besar dari satu artinya terdapat surplus produksi yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai TKP berarti semakin besar tingkat ketahanan pangan rumahtangga dan semakin sejahtera rumahtangga petani tersebut. Ketahanan pangan yang tinggi diindikasikan dengan tingginya stok pangan yang dimiliki keluarga tani. Data pada Tabel 5 menunjukkan tingkat ketahanan pangan rumahtangga petani di lokasi kajian di Desa Citarik dan Desa Kertawaluya, Kabupaten Karawang. Dari tabel tersebut dapat disimak bahwa ketahanan pangan rumahtangga di petani lokasi kajian cukup tinggi, terlihat dari TKP dimana nilainya lebih besar dari satu, masing-masing 2,60 di Desa Citarik dan 2,59 di Desa Kertawaluya. Hal ini mengindikasikan total pendapatan rumahtangga petani padi di kedua desa kajian, Kabupaten Karawang sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangganya. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartini et al (2008) dan Saliem et al (2005). Saliem et al (2005) menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Jonsonn dan Toole (1991) untuk mengukur derajat ketahanan pangan rumahtangga. Pengukuran ini 19
menggabungkan dua indikator silang antara pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan energi. Batasan kecukupan energi adalah 80 persen dari anjuran. dan batasan pangsa pengeluaran adalah 60 persen dari total pengeluaran rumahtangga. Hasil studi yang dilakukan dengan menganalisa data SUSENAS 1999 mendapatkan bahwa proporsi rumahtangga rentan pangan dan rawan pangan di NTB masing-masing sebesar 55.40 persen dan 32.78 persen. Artinya di NTB terdapat 55.40 persen rumahtangga yang secara ekonomi kurang baik tetapi konsumsi energi cukup dan 32.78 persen rumahtangga kurang beruntung karena baik secara ekonomi maupun konsumsi energi masih kurang. Selanjutnya derajat ketahanan pangan rumahtangga petani dalam pengkajian ini akan dilihat dari pangsa pengeluaran pangan tanpa menggunakan indikator kecukupan energi. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa secara agregat pangsa pengeluaran rumahtangga petani padi di pedesaan Karawang sebesar 256 persen. Artinya tingkat atau derajat ketahanan pangan rumahtangga petani boleh dikata cukup tinggi. Namun demikian derajat ketahanan pangan rumahtangga petani kecil/berlahan sempit mendekati batas rendah, sebab pangsa pengeluaran pangan 36 - 70 persen. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa berdasarkan kinerja variabel indikator Ketahanan pangan rumahtangga petani padi di kedua desa contoh, maka tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan kabupaten Karawang adalah cukup tinggi alias membaik. Halini disebabkan oleh adanya peningkatan pembangunan ekonomi di pedesaan, sehingga berimplikasi terhadap perbaikan tingkat ketahan pangan rumahtangga petani sebagai pengaruh dari peningkatan pendapatan rumahtangga dan revitalisasi proporsi pengeluaran non pangan keluarga. Tabel 5. Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani Padi di Pedesaan Kabupaten Karawang, 2008 No Desa Produksi Kebutuhan 1 Kertawaluya - Rataan 6.74 2.58 - Median 3.85 2.19 - Minimal 0.79 1.44 - Maksimal 25.91 7.91 2 Citarik - Rataan 4.86 1.86 - Median 3.59 1.80 - Minimal 1.26 0.73 - Maksimal 17.78 3.42 Agregat 5.87 2.25
TKP 2.59 2.06 0.36 9.76 2.60 2.02 0.70 7.35 2.59
Keterangan: TKP=1. subsisten, TKP>1. surplus, TKP <1.defisit, Sumber : Data primer (2008) 20
5. Nilai Tukar Petani Nilai tukar petani (NTP) didefinisikan sebagai rasio atau nisbah antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani (dalam persentase), merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, relatif semakin sejahtera tingkat kehidupan petani (BPS Jawa Barat, 2008). Dengan demikian nilai tukar petani merupakan ukuran kemampuan daya tukar barang (produk) pertanian yang dihasilkan petani dengan barang dan jasa yang dikonsumsi. Semakin tinggi nilai tukar petani berarti semakin tinggi tingkat daya beli petani, dan kondisi ini akan meningkatkan gairah petani dalam berproduksi. Paling kurang ada lima konsep nilai tukar (Rachmat et al., 1999), yaitu: (1) Nilai Tukar Barter, (2) Nilai Tukar Faktorial, (3) Nilai Tukar Penerimaan, (4) Nilai Tukar Subsisten dan (5) Nilai Tukar Petani. Dalam hal ini harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga-harga komoditas pertanian yang dihasilkan/ dijual di tingkat petani. Dalam analisis kinerja indikator kesejahteraan petani padi disini akan menggunakan konsep Nilai Tukar Pendapatan Petani (NTPP) dan Nilai Tukar Petani (NTP). Sebab menurut Rachmat M. (2000) dan Simatupang P. (2005), berdasarkan analisis perilaku berbagai nilai tukar komoditas pertanian, maka yang lebih realistis dan lebih bagus untuk menakar NTP di Indonesia adalah nilai tukar pendapatan petani (NTPP), karena NTTP adalah merupakan nisbah antara total pendapatan rumahtangga dengan total pengeluaran rumahtangga petani. Dalam kajian ini ada sedikit perbedaan yang penting untuk diketahui, yaitu pada konsep NTP mengunakan indeks harga-harga bulan tahun 2008 terhadap harga-harga bulan September 2007 pada level tingkat desa yang dikumpulkan dwi-mingguan, baik harga produksi, faktor produksi, maupun harga barang konsumen. Sedangkan pada NTIPP memakai nilai total pendapatan bersih rumahtangga petani responden selama satu tahun (2007/2008) terhadap total biaya produksi dan pengeluaran konsumsi dalam unit rumahtangga petani (responden). Dalam hal ini faktor produksi (IHBp) yang dibayar petani adalah benih padi, pupuk kimia dan tenaga kerja (upah traktor dan upah buruh pertanian). Faktor non produksi (IHBk) yang dibayar petani adalah barang konsumen strategik (beras, gula pasir, telur/daging ayam, minyak sayur, minyak tanah); dimana indeks harga yang dibayar petani (IHB) merupakan indeks harga tertimbang dari harga-harga IHBp dan IHBk. Sedangkan harga yang diterima petani padi (IHT) disini adalah harga produksi padi GKP. Dengan demikian NTPP merupakan ukuran kemampuan daya tukar 21
pendapatan (total on farm, of farm, non farm) yang dihasilkan keluarga terhadap faktor produksi (input usaha pertanian) dan pengeluaran konsumsi rumahtangga petani responden. Sebelum mendiskusikan kinerja nilai tukar petani (NTP) di daerah kajian pedesaan kabupaten karawang. Ada baiknya disampaikan kinerja NTP secara provinsial pada beberapa bulan terakhir Provinsi di Jawa Barat . Berdasarkan hasil pemantauan harga-harga pedesaan di 16 kabupaten di Provinsi Jawa Barat (Jabar), BPS melaporkan hasil sebagai berikut: NTP di Jabar pada bulan April 2008 turun 3.08 persen dibanding bulan Maret 2008, dan bila dibandingkan dengan April 2007 (year-on-year) penurunan NTP tersebut ternyata lebih besar, yaitu mencapai 4,82. Sementara NTP bulan Maret 2008 turun 4,09 persen dibanding bulan Februari 2008, yaitu dari 116,22 menjadi 111,47. Dan secara year-on-year, NTP pada bulan Maret tersebut turun sebesar 10,30 persen. Selanjutnya bagaimana kinerja NTP dan NTPP di daerah pedesaan Kabupaten Karawang, apa terjadi penurunan atau malah terjadi sebaliknya. Dengan kata lain apakah kinerja indikator kesejahteraan proksisitas nilai tukar petani tersebut cukup atau kurang baik? Hasil analisi pada Tabel 6 dan Tabel 7 dapat menjawab pertanyaan tersebut. Kinerja indikator ”kesejahteraan” petani tahun 2008 di kedua desa sentra lumbung beras tersebut relatif baik. Dilihat dari kemampuan nilai tukar pendapatan petani empat faktor kunci, biaya produksi usahatani dan total pengeluaran konsumsi rumahtangga (pangan dan non pangan) adalah relatif baik, yaitu NTP masing-masing sebesar 1,92; 1,13; 2,00 dan 2,61. Tetapi bila diterhadap total pengeluaran rumahtangga (total biaya usahatani dan total konsumsi) adalah tergolong rendah, yaitu hanya mencapai 0,70. Jadi dengan membandingkan NTP Jabar secara provinsial yang mengalami penurunan (BPS, 2008), adalah sejalan dengan hasil analisis NTP di kedua desa lokasi kajian Kabupaten Karawang yang menunjukkan agak rendah, terlebih lagi di Desa Kertawaluya yang tergolong desa kurang baik tingkat aksesibilitasnya, meskipun tersirat bahwa NTP secara faktorial di Jabar cukup baik, seperti yang dilaporkan dalam penelelitiannya (BBP2TP, 2008). Relatif kurang baiknya kinerja kesejahteraan petani dari sisi NTPP di ke dua desa lokasi kajian ini, diduga paling kurang dipengaruhi oleh dua faktor internal dan faktor eksternal. Penyebab faktor eksternal adalah karena terjadinya fluktuasi dan lambannya harga produksi (padi) dan konsitensinya lonjakan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh rumahtangga petani, sehingga menyebabkan indeks harga yang dibayar 22
petani (IHTP) mengalami penurunan, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Sedangkan penyebab faktor internal adalah faktor teknis rekording ”dimensi waktu” pengambilan data. Dalam haini, pertama: pencatan data struktur pendapatan keluarga petani dilakukan sejak periode MK-2 tahun 2007/2008 sampai MK-1 tahun 2008 (September/Oktober), kedua: belum memperhitung kan perolehan pendapatan dari bantuan Pemerintah (raskin, biaya kesehatan, beasiswa anak, dsb) bunga/tabungan di Bank, dan pinjaman pada orang lain atau famili keluarga petani, sehingga tersirat adanya penciutan atau minimisasi dalam nominal besaran pendapatan keluarga. Itu dari satu sisi, di sisi lain pendataan pengeluaran rumahtangga menggunakan periode selama satu tahun dengan proksisitas harga minggu terakhir disaat enumerasi (Mei/Juni), sehingga tersirat adanya penggelembungan atau markup dalam nominal besaran pengeluaran rumahtangga. Dan selebihnya adalah faktor kelemahan peneliti itu sendiri. Faktanya lain yang berkaitan dengan apa yang diduga tersbut, yaitu terjawab oleh NTP seperti yang diimpormasikan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Berdasarkan tabel tersebut nampak, bahwa indeks NTP di kedua desa yang dikaji adalah cukup tinggi, masingmasing NTP di Desa Citarik adalah 103,94 dan di Desa Kertawaluya 102,54. Begitu juga rataan indeks NTP selam tahun 2008 adalah terbukti cukup baik, yaitu mencapai 100,1. Memang sedikit menuru bila dibandingkan dengan NTP pada semester I tahun 2007, yaitu 102,4 (BBP2TP, 2008), Tapi lebih baik dari NTP di pedesaan Kalimantan Barat (Desa Semayang dan Desa Sungai Itik), yaitu 0,82 dan 0,90, (BPTP Kalimantan Barat, 2008). Disamping itu, bila dibandingkan dengan NTPP, terbukti bahwa NTP di ke dua desa kajian, Kabupaten Karawang reltif lebih tinggi dari NTPP. Hal ini menyimpulkan bahwa, kinerja indikator kesejahteraan petani padi dari sisi nilai tukar petani tahun 2008 di Desa Citarik dan Kertawaluya adalah cukup baik.
23
Tabel 6. Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani di Pedesaan Kab. Karawang 2008 Uraian A. Pendapatan (Rp 000) I. Pendapatan Pertanian 1a. Usaha Tani-Persil Utama 1b. Usaha Pert. non Persil Utama 2. Berburuh Tani II.Pendapatan Non Pertanian 1. Usaha Non Pertanian 2. Berburuh Non Pertanian 3. Lain-lain B. Biaya Produksi (Rp 000)
Kertawaluya 35,752.85 35,752.85 35,439.52 313.33
Desa Citarik 23,125.74 23,125.74 17,668.44 5,457.31
Agregrat 29,890.27 29,890.27 27,188.66 2,701.61
11136.00 9589.33 0.00 1546.67 19473.54 28989.20 13706.80 15282.40 48462.74
10169.23 9157.69 0.00 1011.54 11081.87 23427.31 8827.96 14599.35 34509.18
10687.14 9388.93 0.00 1298.21 15577.41 26406.89 11441.63 14965.27 41984.30
0.74 1.84
0.67 2.09
0.71 1.92
2.61 2.34 1.23
2.62 1.58 0.99
2.61 2.00 1.13
C. Konsumsi I. Pangan 2. Non Pangan D. Total Pengeluaran (B+C) (Rp 000) E. Nilai Tukar Pendapatan 1. Terhadap Total Pengeluaran 2. Terhadap Biaya Produksi 3. Terhadap Konsumsi Pangan 4. Terhadap Kons.Non Pangan 5. Terhadap Total Konsumsi
Tabel 7. Nilai Tukar Petani Padi di Dua Desa Lokasi Penelitian Kabupaten Karawang 2008 Desa Kertawaluya
Desa Citarik
Periode
IHT
IHB-p
IHB-k
IHB
NTP
IHT
IHB-p
IHB-k
IHB
NTP
Jan-II Jan-IV Feb-II Feb-IV Mar-II Mar-IV Apr-II Apr-IV Mei-II Mei-IV Jun-II Jun-IV Jul-II Jul-IV
104 108 92 94 78 84 92 112 120 120 108 96 106 106
629.49 647.56 647.56 650.26 647.56 607.86 639.11 662.91 659.58 659.58 690.15 690.15 690.15 696.4
603.58 588.64 583.22 599.06 635.72 624.06 572.27 642.21 627.69 627.69 632.09 656.4 662.95 662.95
112.1 112.38 111.89 113.57 116.66 111.99 110.13 118.65 117.02 117.02 120.2 122.41 123.01 123.58
92.78 96.1 82.22 82.77 66.86 75.01 83.54 94.4 102.54 102.54 89.85 78.42 86.17 85.78
117.39 113.04 95.65 113.04 73.91 82.61 91.3 100 119.57 119.57 115.22 117.39 117.39 117.39
608.93 608.93 608.93 608.93 608.93 608.93 608.93 608.93 614.48 614.48 614.48 614.48 614.48 603.37
543.73 570.08 570.5 598.67 563.11 581.66 592.77 588.09 650.97 650.97 650.42 657.57 627.64 627.64
104.79 107.18 107.22 109.78 106.55 108.23 109.24 108.82 115.04 115.04 114.99 115.64 112.92 111.91
112.03 105.47 89.21 102.97 69.37 76.32 83.58 91.89 103.93 103.93 100.2 101.51 103.96 104.9
668.41 610.57 658.78 610.57 658.78 667.26 629.6
124.07 118.25 122.63 118.25 122.63 123.46 118
93.49 84.57 84.81 84.57 84.81 87.48 86.9
126.09 126.09 126.09 126.09 126.09 119.57 112.2
603.37 603.37 614.48 614.48 614.48 614.48 610.6
639.72 639.72 660.04 660.04 660.04 670.75 620.2
113.01 113.01 115.87 115.87 115.87 116.84 111.9
111.57 111.57 108.82 108.82 108.82 102.33 100.1
Agu-II 116 696.4 Agu-IV 100 690.15 Sep-II 104 690.15 Sep-IV 100 690.15 Okt-II 104 690.15 Okt-IV 108 690.84 Rata-rata 102.6 668.3 Sumber : Data primer (2008)
24
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN
1. Kinerja kesejahteraan petani dalam penelitian ini digambarkan oleh lima indikator yaitu: tingkat Pendapatan, Proporsi pengeluaran pangan keluarga, Indeks daya beli petani, Ketahanan pangan, dan Nilai tukap (Opendapatan) petani. Dari kelima indikator kesejahteraan petani tersebut secara keseluruhan kinerja kesejahteraan petani padi di dua desa yang dikaji (Desa Kertawaluya dan Desa Citarik, Kabupaten Karawang, Jawa Barat) menunjukkan tergolong baik/cukup tinggi . 2. Sampai saat ini sektor pertanian masih memegang peranan penting dalam perolehan pendapatan rumahtangga petani di lokasi ke dua daerah pedesaan Kabupaten Karawang tersebut, yaitu mencapai 65,36 persen dari seluruh sektor pendapatan keluarga petani. Produksi padi pada MH 2007/2008 mencapai 62,28-73,62 kw GKP/hektar dan pada MK 63,62-68,03 kw/hektar. Adapun besaran total pendapatan petani pada tahun 2008 mencapai sekitar Rp.23,126 juta sampai Rp.35,75 juta per tahun; lebih tinggi 177,18 persen samapi 124,06 persen dari tingkat upah minimum regional (UMR 2008,Rp.568.193,4/bulan) Jawa Barat. 3. Berdasarkan kinerja indikator variabel pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga petani padi di kedua desa lokasi kajian cukup baik, dimana proporsi pengeluaran pangan mencapai 36,56-45,32 persen dari nilai total pengeluaran konsumsi rumahtangga. Karena itu tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan kabupaten Karawang juga tergolong baik. 4. Berdasarkan kinerja indikator indeks daya beli rumahtangga petani padi di kedua desa kajian adalah cukup tinggi, mencapai sekitar 1,27 sampai 2,16, maka tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan kabupaten Karawang termasuk cukup tinggi alias baik. 5. Kinerja indikator indeks ketahanan pangan rumah tangga petani (TKP) di kedua desa kajian adalah termasuk cukupkuat/ tinggi, mencapai sekitar 2,59 sampai 2,60. Oleh sebab itu tingkat kesejahteraan petani padi di pedesaan Kabupaten Karawang termasuk cukup bagus/tinggi. 6. Berdasarkan kinerja perkembangan indikator indeks nilai tukar petani (NTP) rumahtangga petani padi di kedua desa kajian yang mencapai sekitar 102,54 sampai 103,94, maka tingkat kesejahteraan petani padi di ke dua desa lokasi kajian termasuk cukup relatif tinggi/baik. Begitu juga kinerja indeks indikator nilai tukar pendapatan (berseih) petani (NTP-P) terhadap indeks pengeluaran faktor produksi dan konsumsi 25
termasuk cukup tinggi. Meskipun kemampuan daya tukar pendapatan terhadap total seluruh pengeluaran rumahtangga petani masih relatif rendah. 7. Berdasarkan kinerja lima indikator kesejahteraan petani pada tahun 2008 di ke dua desa lokasi penelitian yang mengindikasikan derajat cukup baik/tinggi, itu baru kuantitas kesejahteraan ekonomi, dan belum sampai ke kualitas kesejahteraan petani yang hakiki (tidak termasuk variabel yang dikaji). Karena itu maka untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kesejahteraan petani ke masa depan, nampaknya masih diperlukan akselerasi revitalisasi pertanian, terutama kearah perbaikan struktur pemilikan lahan usaha (reforma agraria) dan pentingnya revitalisasi peraturan atau pemikiran undang-undang perlindungan petani, agar tercipta “kesama-rataan” distribusi sharring keuntungan bagi pelaku agribisnis pertanian berdasarkan profesi dan proporsional korbanan waktu (misalnya antara pendapatn usaha petani yang waktunya bersiklus musiman dengan pedagang yang waktunya lebih singkat dari petani). Sehingga diharapkan perbaikan dan peningkatan kesejahteraan petani khususnya di pedesaan akan lebih efektif dan lebih efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Bustanul. 2000. Pembangunan Pertanian: Paradigma. Kinerja dan Opsi Kebijakan. Pustaka Indef. Jakarta Arifin Bustanul. 2003. Dekomposisi Pertumbuhan Pertanian Indonesia. Makalah pada Seminar Khusus Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. 14 November 2003. Bogor. Arifin Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Kompas. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Mei 2004. Bapeda Jawa Barat. 2007. Perkembangan Perekonomian Kabupaten Karawang. Makalah (Hand Out) disampaikan dalam Semiloka Kebijakan Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi di Aula Magister Manajemen Universitas Padjajaran Bandung. 4 Juli 2007. Badan Litbang Pertanian. 2004. Rancangan Dasar: Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. BALITBANGDA Jawa Barat. 2002. Pengkajian Sumber-Sumber Potensi Ekonomi Di Jawa Barat. Kerjasama Antara Badan Penelitian Dan Pengembangan Daerah Propinsi Jawa Barat Dengan Laboratorium Penelitian. Pengabdian Pada Masyarakat Dan Pengkajian Ekonomi (LP3E). Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Bandung. November 2002. (http://www.balitbang da-Jabar.go.id /bidang/ekeu/showkegiatan.php?faq=1&fldAuto=7&page=1:16 Oktober 2007) 26
BPTP. 2008. Pengkajian Dinamika Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Wilayah Pedesaan Jawa Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Barat. BPTP. 2008. Pengkajian Dinamika Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Wilayah Pedesaan Jawa Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Jawa Tengah. BPTP. 2008. Pengkajian Dinamika Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Wilayah Pedesaan Kalimantan Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kalimantan Barat. BPTP. 2008. Pengkajian Dinamika Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Wilayah Pedesaan Nusa tenggara Barat. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Nusa Tenggara Barat. BBP2TP. 2007. Pengkajian Dinamika Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Wilayah Pengembangan Prima Tani. BBP2TP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. BBP2TP. 2008. Pengkajian Dinamika Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Wilayah Pedesaan. BBP2TP. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. BBP2TP. 2007. Pengkajian Indikator Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Nusa Tenggara Barat. Hermanto dan Andriati. 1985. Pola Konsumsi di Daerah Pedesaan Jawa Timur. Dalam: Kasryno. F. dkk (Eds). Struktur Pendapatan dan Konsumsi Rumah Tangga di Jawa Timur. Prosiding Hasil Seminar ke II. Puslit Agro Ekonomi. Badan Litbang Pertanian. Hal 40 – 67. BPS. 2008. Nilai Tukar Petani Bulan Juni Menurun. Berita Resmi Statistik Provinsi Jawa Barat No. 21/08/32/Th. X, Agustus 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. BPS. 2008. Berita Resmi Statistik Provinsi Jawa Barat No. 18/06/32/Th. X, 2 Juni 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Irawan Bambang. 2004. Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (PRIMA TANI). Dalam Edi Basuno.dkk (penyunting). Aspek Kelembagaan dan Aplikasi Dalam Pembangunan Pertanian. Monograph Series No. 25. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Irawan. B. at.all. 2007. Panel Petani Nasional (PATANAS): Analisis Indikator Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Kasryno F. 2000. Sumberdaya Manusia dan Pengelolaan Lahan Pertanian di Pedesaan Indonesia. FAE. Vol. 18 No.1 dan 2. Pp. 25-51. Loekman Soetrisno dan Faraz Umaya. 1995. Liberalisasi Ekonomi. Pemerataan dan Kemiskinan. Penerbit kerja sama P3PK. Universitas Gajah Mada dan PT Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta. Muchtar D. 2007. Pembelajaran Dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Di Kabupaten Karawang. Makalah (Hand Out) disampaikan dalam Semiloka Kebijakan Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi, di Aula Magister Manajemen Universitas Padjajaran Bandung. 4 Juli 2007. 27
Mulyana B. S. 1987. Beberapa Pengertian dan Masalah Mengenai Pembangunan Ekonomi. Dalam Hendra Esmara (penyunting). Teori Ekonomi dan Kebijaksanaan Pembangunan. Kumpulan Esei Untuk Menghormati Sumitro Djojohadikusumo. Penerbit PT Gramedia. Jakarta. Pakpahan, Agus, Handewi P Saliem dan Sri H Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan Masyarakat Berpendapatan Rendah. Monograph Series No. 14. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rachmat, Muchjidin, Jeferson Situmorang, Supriati dan Dery Hidayat. 1999. Perumusan Kebijakan Nilai Tukar Petani dan Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rachmat M. 2000. Analisis Nilai Tukar Petani Indonesia. Disertasi. Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rusastra I.W. dan T. Sudaryanto. 1998. Dinamika Ekonomi Pedesaan dalam Perspektif Pembangunan Nasional. Prosiding Dinamika Ekonomi Pedesaan dan Peningkatan Daya Saing Sektor Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Saliem, Handewi P, Mewa Ariani dan TB Purwantini. 2005. Distribusi Provinsi di Indonesia Menurut Derajat Ketahanan Pangan Rumahtangga. Dalam Erizal Jamal dkk (penyunting). Penguatan Ketahanan Pangan Rumatangga dan Wilayah Sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional. Monograph Series No. 26. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Simatupang Pantjar. 2005. Prima Tani Sebagai Langkah Awal Pengembangan Sistem dan Usaha Agribisnis Industrial. Paper Disampaikan pada Seminar Nasional BPTP NTT. 13 -15 Juni. 2005. Ende. Sudaryanto T., dan B. Hutabarat. 1993. Perkembangan Harga Komoditas Pertanian di Pasar Dunia dan Implikasinya bagi Indonesia. Dalam T. Sudaryanto et al.(Eds). Prosiding: Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Penyunting. E. Pasandaran dan A. Djauhari. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Sudaryanto T., I.W. Rusastra dan P. Simatupang. 1999. The Impact of Economy Crisis and Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Economic Globalization. Paper Presented on ”Round Table Discussion on Food and Nutrition Task Force I: Food and Agriculture” Pra-WNPG VII. 8 November 1999. Center For Agro-Socio Economic Research Bogor. Supriyati, M. Rachmat, K. Suci, T. Nurasa, R.E. Manurung dan R. Sajuti. 2000. Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Syafaat Nizwar. 2006. Indikator Makro Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2005–2006: Fakta Statistik. Analisis Kebijakan Pertanian. Vol.4. No.4. September 2006. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
28