TESIS
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES
MADE DWI KURNIAHARTAWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
TESIS
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES
MADE DWI KURNIAHARTAWAN NIM: 1290561024
PROGRAM MAGISTER PROFRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015
KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
MADE DWI KURNIAHARTAWAN NIM 1290561024
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAHDISETUJUI PADA TANGGAL 12 JANUARI 2015
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH NIP. 19570709 198610 1 001
Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH NIP. 19590325 198403 1 002
Mengetahui Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.,LLM Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji Pada 12 Januari 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 102/UN.14.4/HK/2015 Tanggal 12 Januari 2015
Ketua
: Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH.,MH
Sekretaris
: Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH
Anggota
: 1. Dr. I Gede Artha, SH.,MH 2. Dr. Made Suartha, SH.,MH 3. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.,M.Hum
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: Made Dwi Kurniahartawan
Program Studi
: Ilmu Hukum
Judul Tesis
: Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN)
Terhadap
Pengedar
Narkotika
New
Psychoactive Substances Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 2 Januari 2015 Yang Menyatakan
Made Dwi Kurniahartawan
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga Tesis yang berjudul "KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP
PENGEDAR
NARKOTIKA
NEW
PSYCHOACTIVE
SUBSTANCES" dapat dilesaikan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, baik dari isi maupun teknis penulisannya. Oleh karenanya, kritik yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari berbagai pihak. Adapun pada kesempatan ini, ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya diucapkan kepada yang terhormat: 1. Dosen Pembimbing I, Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., MH. 2. Dosen Pembimbing II, Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH. 3. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-K.E.M.D. 4. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). 5. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. 6. Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana sekaligus Dosen Penguji III, Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, S.H., M.Hum., L.LM.
vi
7. Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, S.H., M.Hum. 8. Dosen Penguji I, Dr. I Gede Artha SH., MH. 9. Dosen Penguji II, Dr. Dewa Made Suartha, S.H.,M.H 10. Dosen Pembimbing Akademik, Prof. Dr. I Ketut Rai Setia Budhi, SH., MS. 11. Para Dosen di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu dan arahan dalam proses menyelesaikan tesis ini. 12. Para pegawai administrasi di sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana (Bapak Made Mustiana, Ibu Agung Yun, Ibu Agung, Dyva dan Dandy). 13. Orang tua yaitu Made Muliawan dan Ni Nengah Ardhani. 14. Kakak yaitu Letnan Satu Pelaut I Komang Sukrawan dan Arjun Komisaris Polisi Putu Diah Kurniawandari, SH. 15. Keluarga Besar Bulutangkis Universitas Udayana (Justitia Badminton Club). 16. Teman-teman Magister Hukum angkatan 2012 beserta sahabat lainnya
:
Kristyanti, Pasek Pramana Putra, Edi Gordo, Gung Mas, Ratih Kumala Dewi, Ditha Nomia, Ayu Prami, Bapak Made Gelgel, Bapak, Akp Arta Ariawan, Komang Trisna, Pratama Wijaya, Bapak Dewa Anom, Ibu Sinaryati, beserta teman-teman Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana angkatan 2012 yang lainnya. 17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga Ida Sang Hyang
vii
Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.
Denpasar, 7 September 2014
Penulis
viii
ABSTRAK Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum. Kekosongan norma hukum dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan I, II, dan III Undang-Undangan No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika New Psychoactive Substances (NPS) belum diatur dalam daftar berbagai jenis narkotika serta golongan dan turunannya didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika juncto Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika. Narkotika New Psychoactive Substances (NPS) salah satunya terdapat dalam kasus Raffi Ahmad dan sesuai Asas Legalitas dalam hukum pidana berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Penelitian ini juga membahas keabsahan kewenangan penyidikan dalam tindak pidana narkotika oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dikaji berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional (BNN). Penelitian ini menggunakan peraturan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan kasus. Kesimpulan dari penelitian ini adalah keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap dalam tindak pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada ketentuan Pasal 149 UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena belum diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan)
Kata Kunci : Kewenangan Penyidikan, Narkotika, Badan Narkotika Nasional.
ix
ABSTRACT This research is a normative legal research based on the emptiness of legal norms or legal principles, as can be seen from what is stipulated in Article 6 appendixes I, II, and III of the Act Number 35 of 2009 Concerning Narcotics. Narcotics of Psychoactive Substances (NPS) has not been listed under various types of narcotics and its derivations included in the Act Number 35 of 2009 Concerning Narcotics in connection with the Governmental Regulation Number 44 of 2010 Concerning the Precursor of Narcotics. Narcotics of New Psychoactive Substances (NPS) could be found in the case of Raffi Ahmad according The legal principle of the Criminal Law is based on what is stipulated in Article 1 clause (1) of the Criminal Law in which it is stated that any act cannot be made into a criminal case, except it is based on what is stipulated in the existing regulations of the Criminal Law. This research also discusses the validity of the authority of the narcotic crime investigation by the National Narcotics Board (BNN) assessed pursuant to Presidential Decree Number 23 of 2010 concerning the National Narcotics Board (BNN).The approach of rules and regulations, the approach of the analysis of legal concept, and the approach of case are used in the present study. The conclusion of this research is the validity of the investigative authority of the National Narcotics Board (BNN) to dealers in narcotic crime is not valid because the National Narcotics Board established pursuant to Presidential Decree No. 23 of 2010 concerning National Narcotics Board (BNN) reference to Article 149 of Law No. 35 of 2009 Concerning Narcotics. As the Administration Act contains criminal punishment regarding labeling narcotics and narcotic precursor procurement procedures of Act No. 35 Year 2009 concerning Narcotics can not delegate authority to the establishment of the National Narcotics Board (BNN) National Narcotics Board (BNN) should be established through implementing regulations such as government regulations. The validity of the investigation of the National Narcotics Board (BNN) to the case Raffi Ahmad is not valid and can not be criminally accountable because it is not fulfill the elements of criminal liability in particular the objective elements can be punished because it is not strictly regulated in terms of legislation applicable accordance with the principle of legality and the principle of lex certa legislators (legislative) must be formulated clearly and in detail about the actions called with a criminal offense (crime) Keywords : Authority Investigations , Narcotics , National Narcotics Board
x
RINGKASAN TESIS Tesis ini berjudul : " Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Terhadap Pengedar Narkotika New Psychoactive Substances ", yang terdiri dari 5 bab, antara lain sebagai berikut : Bab I merupakan bab pendahuluan di dalamnya terdapat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori dan konsep serta metode penelitian. Pada latar belakang diuraikan mengenai permasalahan tentang tidak diaturnya narkotika New Psychoactive Substances beserta golongan dan turunannya dalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Penulis juga memberikan beberapa contoh kasus salah satu diantaranya adalah kasus narkotika Raffi Ahmad yang jenis narkotikanya masuk kedalam klasifikasi New Psychoactive Substances dengan jenis Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Efek samping menggunakan Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu diwaspadai peredarannya. Sebagai pisau analisa untuk mengkaji permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini pada landasan teoritis digunakan Teori Principles Of Legality, Teori Kewenangan, Teori Sistem Hukum, Teori Kebijakan Hukum Pidana, Konsep Negara Hukum, Asas Legalitas, Konsep Pertanggungjawaban Pidana, Konsep Due Process Model, dan Konsep Politik Hukum Pidana. Bab II merupakan bab yang memuat tinjauan umum tentang Kewenangan Penyidikan Narkotika oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang membahas tentang pengertian wewenang, penyalahgunaan wewenang, pertanggungjawaban wewenang, penyidikan narkotika serta tugas, wewenang, dan fungsi Badan Narkotika Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Bab III merupakan pembahasan atas permasalahan pertama, yaitu Keabsahan Kewenangan Peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Tindak Pidana Narkotika. Dari kajian keilmuan ilmu hukum berkaitan dengan keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika sesuai dengan ketentuan UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah tidak sah karena wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dibentuk berdasarkan atas Peraturan Presiden. Sebagai undang-undang administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. Bab IV ialah bab yang berisikan pembahasan atas permasalahan kedua, yakni kasus narkotika Raffi Ahmad dalam kaitannya dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan ketentuan UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dengan mengelaborasi teori, konsep, dan asas hukum adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung
xi
jawabkan secara pidana. Sesuai dengan konsep hukum pidana yang menganut doktrin asas legalitas serta tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Unsur pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur subyektif dan unsur obyektif dan penghukuman harus didasarkan pada ketentuan tertulis dalam undang-undang (lex certa). Secara umum dapat penulis simpulkan unsur tersebut terdiri dari (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana. Bab V merupakan bab terakhir atau bab penutup dalam penulisan tesis ini. Pada bab ini ditulis mengenai simpulan dan saran dari penulisan tesis ini. Simpulan pertama dalam penelitian tesis ini adalah keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada Pasal 149 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai undangundang administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor narkotika Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. Simpulan kedua pada penelitian tesis ini adalah keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana. Mengenai saran dalam penelitian ini saran pertama adalah disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden jika masih menghendaki adanya Badan Narkotika Nasional hendaknya membentuk suatu undang-undang agar memberikan kewenangan yang sah kepada Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika. Untuk saran kedua dalam penelitian ini guna mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika jenis baru disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan membentuk klausula pasal progresif yang menyatakan penyidikan tindak pidana narkotika yang jenisnya tidak tencantum dalam ketentuan undang-undang, penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil uji laboratorium forensik.
xii
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ...................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ...............................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.................................................
v
HALAMAN UCAPAN TERIMAKASIH...................................................... .
vi
HALAMAN ABSTRAK..................................................................................
ix
HALAMAN ABSTRACT................................................................................
x
RINGKASAN TESIS.......................................................................................
xi
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xiii
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah............................................................
1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................
12
1.3 Ruang Lingkup Masalah ...........................................................
12
1.4 Tujuan Penelitian .....................................................................
13
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................
13
1.4.2 Tujuan Khusus ...............................................................
13
1.5 Manfaat Penelitian ...................................................................
14
1.5.1 Manfaat Teoritis ............................................................
14
1.5.2 Manfaat Praktis ..............................................................
14
1.6 Orisinalitas Penelitian ...............................................................
15
xiii
BAB II
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir ................................
19
1.8 Metode Penelitian .....................................................................
45
1.8.1 Jenis Penelitian ..............................................................
45
1.8.2 Jenis Pendekatan ............................................................
45
1.8.3 Sumber Bahan Hukum...................................................
47
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .............................
48
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum......................................
49
TINJAUAN PENYIDIKAN
UMUM
TENTANG
NARKOTIKA
KEWENANGAN OLEH
BADAN
NARKOTIKA NASIONAL (BNN) 2. 1 Pengertian Wewenang, Penyalahgunaan Wewenang, dan PertanggungjawabanWewenang ..............................
51
2. 2 Penyidikan Narkotika................................................ ......
63
2. 3 Tugas, Wewenang, dan Fungsi Badan Narkotika Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ......................................
BAB III
KEABSAHAN KEWENANGAN PEYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
xiv
71
3.1 Kedudukan Badan Narkotika Nasional Menurut KUHAP Dalam Penyidikan Peredaran Narkotika Jenis New Psychoactive Substances................................................. ..
77
3.2 Keabsahan Kewenangan Peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Tindak Pidana Narkotika ...........
83
BAB IV PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG
TIDAK
TERMASUK
DALAM
KETENTUAN
UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 4.1 Kasus Posisi Raffi Ahmad ..................................................
108
4.2 Keabsahan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Terhadap
Kasus
Narkotika
Raffi
Ahmad
Dikaji
Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. ...................................................
BAB V
109
PENUTUP 5.1 Kesimpulan ........................................................................
143
5.2 Saran ...................................................................................
144
DAFTAR PUSTAKA
xv
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah. Cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk
mencapai
cita-cita
tersebut
dan
menjaga
kelangsungan
pembangunan nasional dalam suasana aman, tenteram, tertib, dan dinamis baik dalam lingkungan nasional maupun internasional, perlu ditingkatkan pengendalian terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kestabilan nasional antara lain terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika saat ini sudah sampai pada tingkat yang memprihatinkan dan mengancam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Persoalan narkotika lambat laun ada tendensi akan menjajah bangsa ini. Betapa tidak, banyak lapisan masyarakat yang terjerumus dalam penggunanaan narkotika. Sampai saat ini diprediksikan lebih dua juta penduduk Indonesia mengkonsumsi narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba) atau narkotika, psikotropika serta zat adiktif lainnya (naza). Bangsa ini terlihat dalam “drug abused” pada tingkat yang sudah membahayakan.
1
2
Masalah penyalahgunaan narkotika ini bukan saja merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian bagi negara Indonesia, melainkan juga bagi dunia Internasional. Memasuki abad ke-20 perhatian dunia internasional terhadap masalah narkotika semakin meningkat, salah satunya dapat dilihat melalui Single Convention on Narcotic Drugs pada tahun 1961.1 Masalah ini menjadi begitu penting mengingat bahwa obat-obat (narkotika) adalah suatu zat yang dapat merusak fisik dan mental yang bersangkutan, apabila penggunanya tanpa resep dokter. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dijelaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan/adiktif (kecanduan). Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 dijelaskan beberapa jenis golongan narkotika yaitu: Huruf a - Yang dimaksud “Narkotika Golongan I” adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
1
Kusno Adi, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, h. 30
3
Huruf b - Yang dimaksud dengan “Narkotika Golongan II” adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
tinggi
mengakibatkan
ketergantungan. Huruf c - Yang dimaksud dengan“Narkotika Golongan III” adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Bahaya narkotika terberat untuk kesehatan adalah efek ketergantungan yang disebabkan oleh obat itu sendiri. Efek buruk yang ditimbulkan bagi pecandu narkotika adalah keinginan untuk selalu memakainya secara berulang. Bila tidak memakainya kembali akan timbul rasa sakit yang dialami para penderita dan rasa ketergantungan pada narkotika. Penggunaan narkotika dalam bidang kesehatan adalah legal apabila peruntukannya digunakan untuk pengobatan. Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Narkotika umumnya dipakai dalam rangka terapi karena senyawa-senyawa psikotropika yang terdapat di dalamnya dipakai untuk membius (anastesi) pasien saat hendak dilakukaan operasi (pembedahan) atau obat-obatan untuk penyakit
4
tertentu. Hal ini juga harus dilakukan oleh pihak medis dengan menggunakan dosis dan cara pemakaian yang tepat. Penggunaan narkotika apa bila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan lagi apabila disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional. Ada beberapa macam jenis narkotika diantaranya yaitu : 1. Opium (candu) atau biasa dikenal dengan opiate. Opium merupakan candu kasar atau mentah yang didapat dari getah buah tanaman papaver samniterum yang dihisap/digores dan dibiarkan mengering. Opium merupakan golongan narkotika alami yang sering digunakan dengan cara dihisap. 2. Morpin. Jenis obat narkotika ini adalah zat aktif yang diperoleh dari candu melalui pengolahan secara kimia. Cara penggunaanya disuntikan ke tubuh (injeksi). 3. Putaw Heroin. Golongan narkoba sejenis ini akan lebih mudah menembus otak sehingga lebih kuat dari morfin itu sendiri. 4. Kanabis (Ganja). Inilah yang seringkali menjadi kasus narkoba yang paling banyak diberitakan dan menyerang semua kalangan di masyarakat kita. Ganja adalah merupakan jenis tanaman kanabis yang biasanya dipotong, dikeringkan, dipotong kecil-kecil dan digulung untuk dijadikan rokok yang disebut joints.2 Ilmu pengetahuan yang semakin berkembang pada dewasa ini dengan diikuti pula perkembangan tehnologi yang semakin berkembang menyebabkan adanya dampak positif dan negatif. Dampak negatif terjadi khususnya dalam hal rekayasa obat-obatan narkotika yang disebabkan karena kecanggihan tekhnologi 2
Mardani, 2008, Penyalah Gunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.81
5
dan ilmu pengetahuan digunakan untuk hal yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan untuk menghindar dari jeratan hukum. Kreasi manusia dalam rekayasa obat-obatan telah memunculkan zat-zat baru yang ditengarai sebagai jenis narkotika baru dan sangat berdampak negatif pada kesehatan manusia apabila disalahgunakan atau digunakan secara salah. Kreasi manusia dalam hal rekayasa obat-obatan dikatakan baru karena zat-zat tersebut serta narkotika yang ditimbulkan dari zat tersebut belum diatur atau masuk dalam daftar berbagai jenis golongan narkotika yang diatur dalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan narkotika pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam perkembangannya di Indonesia, Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menemukan 17 zat baru atau Narkotika jenis baru melalui pemeriksaan laboratorium. Zat yang disebut sebagai Narkotika baru tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 3
Benzylpiperazine Para-methoxymethamphetamine Methylone Methcathinone Mephedrone Pentedrone 4-methyl-N-methylcathinone N-ethyl-cathinone MDPV (3,4-methylenedioxypyrovalerone) Chat plant (cathinone and cathine) JHW-018 XLR-11 2-CB (4-bromo-2,5 dimethoxymethamphetamine DOC (4-chloro-2,5-dinethoxyamphetamine Mytragyna plant DMA (N, N, α-trimethyl-benzeneethanamine) Penazepam. 3
Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Phsycoactive Substances-NPS), Alvalaible at http://bnnp-diy.com/posting-117-narkoba-baru-nps.html. Diakses 22 November 2013
6
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menyebut zat-zat serupa narkotika baru tersebut sebagai New Psychoactive Substances (NPS). NPS dikenal di pasaran dengan berbagai istilah, yang antara lain: “designer drugs” , “legal highs” , “herbal highs” , “bath salts”. Istilah-istilah tersebut telah meluas dan termasuk di dalam sebutan other psychoactive substances yang dibuat dengan mengubah zat-zat yang telah dilarang dengan cara memodifikasi struktur kimianya, dengan tujuan menghindari ketentuan dalam peraturan perundangundangan.4 Berkaitan dengan Narkotika New Psychoactive Substances beberapa contoh kasus dapat penulis uraikan dalam relevansinya mendukung penyusunan penelitian ini yaitu : a. Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri Memaparkan Hasil Temuan Narkotika Jenis Baru Beredar Di Indonesia. Berdasarkan pada data yang penulis peroleh melalui artikel dalam format elektronik (internet) petugas Direktorat Tindak Pidana Narkotika Mabes Polri berkoordinasi dengan petugas Bea dan Cukai menangkap sejumlah tersangka pelaku sindikat peredaran narkotika internasional, jaringan Hongkong, Malyasia, dan Indonesia. Narkotika yang ditemukan adalah narkotika jenis baru yang terdiri dari Metilon, Kratom, Piperazine atau dikenal jenis narkoba ekstasi herbal, dan LSD atau yang juga biasa disebut Smile. Keempat jenis narkotika ini diketahui belum pernah ditemukan di Indonesia dua di antaranya Kratom dan LSD digunakan dengan cara yang cukup berbeda dengan jenis lainnya.
4
Ibid
7
Arman Depari selaku Direktur IV Tindak Pidana Narkoba melalui konferensi persnya yang bertempat di Gedung Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Mabes Polri, Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur, ia menjelaskan Kratom berbentuk daun (narkotika alami), bisa diseduh seperti teh atau juga dibakar seperti ganja, sedangkan LSD bentuknya menyerupai kertas, pemakaiannya dapat ditempelkan secara langsung di lidah.5 Arman Depari juga menjelaskan bahwa berkaitan dengan Metilon dan Piperazine bahwa Metilon dan Piperazine berbentuk pil dan digunakan dengan cara yang sama seperti narkotika berbentuk pil lainnya. Untuk jenis LSD jika dilihat dari bentuknya, narkotika ini terlihat tidak berbahaya. LSD berbentuk stiker kertas dengan gambar flying dragon atau naga terbang di bagian atasnya. Satu lembar LSD biasanya berukuran sekitar 10x10 cm. Dalam satu lembar tersebut terdapat 100 potongan kecil berukuran 1x1 cm yang dapat dirobek untuk digunakan. Sobekan-sobekan kecil berukuran 1x1 cm itu cukup diletakkan di bawah lidah. Ini artinya penggunaan narkotika tersebut terbilang mudah. LSD atau narkotika sintetis tersebut didapat pihaknya dari seorang Ibu rumah tangga yang bertugas sebagai kurir bernama inisial HM di halaman Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur dengan barang bukti empat lembar LSD.6 Narkotika jenis Kratom merupakan narkotika dari sejenis tumbuhan yang digunakan sesuai bentuk aslinya. Bagian daunnya diambil, sama seperti ganja.
5
Arman Depari, 2013, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri Memaparkan Hasil Temuan Narkotika Jenis BaruBeredar di Indonesia, Alvalaible at http:// sinarharapan.co/index.php/news/read/27868/empat-narkoba-jenis-baru-beredar-di indonesia.html. Diakses 14 Februari 2014 6
Ibid
8
Namun, selain dibakar ini bisa diseduh seperti teh. Kratom, Metilon, maupun LSD memiliki efek yang sama, yakni sebagai halusinogen. Pemakainya akan mengalami efek halusinasi. Piperazine memiliki efek sebagai stimulant. Penggunanya akan dirangsang untuk bersemangat. Sebagai narkotika jenis baru, penyalahgunaan keempat jenis narkotika tersebut belum diatur dalam UU No 23 Tahun 2009 tentang Narkotika.7 b. Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba (UPT) Oleh Badan Narkotika Nasional. Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba Badan Narkotika Nasional (BNN) kembali menemukan dua narkotika jenis baru yang dikenal dengan New Psychoactive Substance (NPS) dalam pil berwarna krem berlogo "channel", dan pil berwarna cokelat muda berlogo "double ring". Berdasarkan sumber data yang penulis peroleh melalui artikel dalam format elektronik (internet), Kepala Bagian Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumirat Dwiyanto menyebutkan kedua zat dalam yang terkandung di dalam narkotika tersebut adalah MPHP dan Methoxetamine (3-MeO-2-Oxo-PCE). Tim Laboratorium BNN menerima sampel zat tersebut dari masyarakat pada tanggal 18 Desember 2013 tahun lalu. MPHP ialah zat yang memiliki efek stimulan dan dapat menyebabkan kerusakan hati jika dikonsumsi berlebih pada tubuh manusia. MPHP merupakan turunan dari Katinon dan terkelompok didalam golongan Syntetic Cathinone. Katinon adalah zat Monoamina Alkaloid yang
7
Ibid
9
banyak terkandung dalam tumbuhan semak Catha Edulis (Khat). Secara kimiawi, Katinon mirip dengan zat Amphetamine (ekstasi).8 Sumirat Dwiyanto menambahkan keterangannya bahwa penggunaan katinon yang berlebihan dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna (discolorisation) pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, halusinasi, gelisah, lekas marah, insomnia dan serangan panik. Pengguna kronis beresiko terhadap gangguan kepribadian, menderita Infark Miokard (serangan jantung) hingga kematian. Infark Miokard yaitu matinya sekelompok otot jantung karena penyumbatan mendadak dari arteri koroner. Hal ini biasanya disertai dengan nyeri dada luar biasa dan sejumlah kerusakan jantung.9 Methoxetamine (3-MeO-2-Oxo-PCE) berdasarkan data UNODC (Global Smart Program 2013) masuk kedalam golongan lain narkotika yang belum dikelompokkan jenis zatnya. Senyawa yang pertama kali ditemukan pada November 2010 lalu ini secara kimiawi merupakan turunan dari Ketamin dan memiliki efek menenangkan (antidepresan). Ketamin adalah senyawa sintetik sejenis dengan PCP (Phenencyclidine) yang biasa dipakai sebagai obat anesthetic. Dalam ilmu kedokteran anesthetic biasa digunakan pada pasien sebagai obat penekan rasa sakit. Efek Ketamin
8
Sumirat Dwiyanto, 2013, Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba (UPT) Oleh Badan Narkotika Nasional, Alvalaible at http://www.tribunnews.com /nasional/2013/12/30/bnn-temukan-narkotika-jenis-baru. Diakses 11 Februari 2014 9
Ibid
10
biasanya hanya berlangsung antara 45-90 menit. Akan tetapi jika digunakan melebihi dosis dan terus menerus, dapat menyebabkan kecanduan. Ketamin merupakan zat yang bersifat halusinogen dan sangat dissociative, bahkan delirium (tidak bisa sama sekali membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak). Hingga saat ini telah ditemukan 26 Narkotika jenis baru beredar gelap di Indonesia dan 251 Narkotika baru yang beredar di dunia. Narkotika baru tersebut terbagi menjadi 7 kelompok, yakni Synthetic Cannabinoids, Synthetic Cathinones, Phenetylamines, Piperazines, Plant-based substances, Ketamine, dan Miscellaneous.10 c. Kasus Raffi Ahmad Badan Narkotika Nasional (BNN) menetapkan Raffi Ahmad dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus narkotika yang dilakukan di rumah Raffi Ahmad di Jalan Gunung Balong Kavling VII Nomor 16 I Lebak Bulus Jakarta Selatan pada penggerebekan yang dilakukan pada hari Minggu 27 Januari 2013. Bersama ke-17 orang yang diamankan, pihak BNN juga menemukan barang bukti berupa dua linting ganja dan 14 butir kapsul yang diduga berisi MDMA. Ganja ditemukan didalam kamar dekat tempat pajangan (bufet) di kamar RA (Raffi Ahmad) dan MDMA di dalam laci di ruang makan. BNN melakukan penggerebekan di kediaman pembawa acara televisi Raffi Ahmad yang menurut BNN sedang menggelar pesta ganja dan ekstasi. Selain Raffi Ahmad ada beberapa aktris dan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Wanda 10
Ibid
11
Hamidah serta pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar juga turut dibawa ke BNN untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. BNN menemukan narkotika jenis Cathinone dalam kasus Raffi Ahmad cs, yakni 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Staf Ahli Kimia Farmasi BNN Mufti Djusnir mengatakan efek samping menggunakan Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu diwaspadai peredarannya. Struktur dasarnya adalah MDMA, yakni 3,4 Methylene Dioxy Metacathinone. Bahaya dari zat tersebut jika dikonsumsi akan mengalami psikoaktif dan siapa pun yang menggunakan tanpa takaran jelas mengakibatkan overdosis sehingga kejang, keram, dan berakhir dengan kematian. 11 Selain dari beberapa contoh kasus yang telah diuraikan diatas dalam penelitian ini penulis juga mengidentifikasi adanya tumpang tindih dalam konsep hukum yakni asas legalitas dalam hukum pidana dan norma hukum yang mengatur tentang kewenangan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap pengedar narkotika jenis New Psychoactive Substances. Makna asas legalitas diatur didalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP yakni suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Narkotika yang termasuk kedalam klasifikasi jenis New Psychoactive Substances secara tegas belum diatur golongan dan turunannya. Sedangkan kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pemberantasan tindak pidana narkotika telah diatur secara tegas
11
Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Bahan Jenis Narkoba Kasus Raffi Ada di Puncak, 2013, Alvaliable at http://www.tempo.co/read/news/2013/02/03/064458701/BNN-Bahan-Jenis-NarkobaKasus-Raffi-Ada-di-Puncak. Diakses 11 Februari 2014
12
dalam ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam penelitian ini juga terdapat permasalahan dalam hal dasar hukum terbentuknya Badan Narkotika Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional dengan merujuk pada Pasal 67 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sebagai undang-undang administratif bersanksi pidana. Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, menarik bagi penulis untuk menulis penelitian yang berjudul “KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA
NASIONAL
(BNN)
TERHADAP
PENGEDAR
NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES”.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas adapun rumusan masalah yang dapat penulis uraikan adalah: 1. Apakah sah kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika? 2. Apakah sah penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus narkotika Raffi Ahmad dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
1.3. Ruang Lingkup Masalah Untuk membatasi ruang lingkup masalah dalam penelitian ini agar sifatnya lebih spesifik
dalam rumusan masalah pertama dibahas mengenai keabsahan
13
kewenangan peyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika. Rumusan masalah kedua dibahas permasalahan tentang keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan umum Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah : Tujuan umum (het doel van het onderzoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma sience as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandek (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang obyeknya masing-masing. Pengembangan ilmu hukum dalam penelitian ini adalah dibidang hukum pidana dalam hal keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap jenis narkotika baru yang tidak diatur dalam ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 1.4.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus (het doel in het onderhoek) dari penelitian ini adalah mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan penelitian yaitu :
14
1. Untuk mendeskripsikan dan melakukan analisis secara komperhensif tentang pengaturan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika. 2. Untuk mengetahui keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika terhadap kasus Raffi Ahmad.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan untuk pembenahan dalam kajian akademis tentang keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika serta terhadap narkotika jenis New Psychoactive Substances dimana pengaturan klasifikasi mengenai jenis golongan serta turunannya belum diatur didalam Undang-Undang Narkotika No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. 1.5.2 Manfaat Praktis Manfaat khusus atau manfaat praktis penelitian ini adalah penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para akademisi hukum, praktisi hukum, mahasiswa dan peneliti khususnya dibidang hukum dan sistem peradilan pidana tentang narkotika jenis New Psychoactive Substances dalam kaitannya dengan keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam penyidikan tindak pidana narkotika dikaji berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
15
1.6 Orisinalitas Penelitian. Orisinalitas penelitian dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat dalam dunia pendidikan di Indonesia mewajibkan kepada setiap mahasiswanya untuk mampu menunjukan sisi orisinalitas dari penelitian yang sedang ia kerjakan. Adapun tiga judul penelitian tesis atau disertasi terdahulu sebagai pembanding yang pembahasannya berkaitan dengan narkotika adalah: 1. Tahun 2012, tesis karya I Putu Darma (mahasiswa magister ilmu hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar) dengan judul penelitian “Upaya Penanggulangan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar serta hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar. Kesimpulan dari penelitian ini adalah upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar dilakukan melalui kebijakan non penal dan kebijakan penal. Dalam upaya menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika hendaknya lebih mengutamakan kebijakan non penal daripada kebijakan penal sebab kebijakan non penal pada dasarnya mengarah pada upaya-upaya pencegahan. Hambatan-hambatan dalam penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar berasal dari faktor penegak hukum, sarana dan prasarana dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya.
16
2. Tahun 2012, tesis karya A.A. Istri Mas Candra Dewi (mahasiswa magister ilmu hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar) yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang relevansi perlindungan hukum melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika serta pelaksanaan pengawasan atas putusan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika. Hasil dari penelitian ini menunjukkan perlindungan hukum bagi korban penyalahguna narkotika tidak dapat terlepas dari gagasan yang mendasari perlindungan hukum terhadap korban pelaku narkotika dalam bentuk Rehabilitasi. Ketentuan hukum yang mengatur tindakan rehabilitasi pecandu narkotika diatur dalam Pasal 54, 56,103, dan dikaitkan dengan pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, SEMA Nomor 4 Tahun 2010 sebagai Pedoman Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Narkotika. Sedangkan dalam upaya pelaksanaan pengawasan terhadap putusan hakim terhadap tindakan rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika diperlukan suatu pengaturan tersendiri mengenai pengawasan putusan rehabilitasi sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia sehingga tujuan hukum berupa kemanfaatan dapat tercapai. 3. Tahun 2012, tesis karya Ida Bagus Putu Swadharma Diputra (mahasiswa magister ilmu hukum program pasca sarjana Universitas Udayana Denpasar dengan judul penelitian “Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
17
Narkotika”. Dalam penelitian tesis ini membahas tentang kebijakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika serta apakah pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang wajib. Kesimpulan dari penelitian ini mengkaji tentang kebijakan penjatuhan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Penjatuhan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah tindakan penting karena disatu sisi penyalahguna narkotika merupakan korban dari tindak pidana narkotika, namun disatu sisi lainnya pelaku juga merupakan pelaku dari tindak pidana yang ia lakukan. Penjatuhan pidana kiranya kurang tepat diberikan kepada mereka dan tindakan rehabilitasi merupakan salah satu jalan yang lebih baik. Kebijakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika telah diatur secara khusus pada bab IX. Kebijakan ini memberikan kewenangan kepada hakim untuk dapat menjatuhkan sanksi rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika disamping sanksi pidana. Selain mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat juga surat edaran SEMA No.4 tahun 2010 sebagai acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika. Sanksi rehabilitasi merupakan tindakan yang wajib diberikan apabila seorang pelaku tindak pidana narkotika terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika melalui putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pada bagian ahir dari penelitian tesis ini sebagai saran kedepannya
18
diperlukan pemisahan pengaturan tentang penjatuhan sanksi rehabilitasi baik terhadap penyalahguna narkotika, korban penyalahgunaan narkotika serta pecandu narkotika agar tidak menimbulkan kerancuan dalam penjatuhan sanksinya serta diharapkan aparat penegak hukum harus dapat lebih baik dalam merumuskan status seorang pelaku tindak pidana narkotika agar ia dapat dijatuhi hukuman yang tepat sesuai dengan kesalahannya. Berdasarkan kerangka orisinalitas diatas dapat dilihat perbedaan pada fokus permasalahan yang dibahas oleh masing-masing peneliti terdahulu dalam penelitiannya. Tesis
karya
I
Putu
Darma
dengan
judul
penelitian
“Upaya
Penanggulangan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika Di Wilayah Hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar” mengkaji permasalahan tentang upaya penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian
Resor
Kota
Denpasar
serta
hambatan-hambatan
dalam
penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana narkotika di wilayah hukum Kepolisian Resor Kota Denpasar. Tesis karya A.A. Istri Mas Candra Dewi dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Terhadap Korban Penyalahguna Narkotika Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” membahas permasalahan tentang relevansi perlindungan hukum melalui rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika serta pelaksanaan pengawasan atas putusan rehabilitasi terhadap korban penyalahguna narkotika.
19
Tesis karya Ida Bagus Putu Swadharma Diputra dengan judul penelitian “Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika” membahas permasalahan tentang kebijakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika serta apakah pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika adalah suatu tindakan yang wajib. Penelitian pada tesis ini lebih memfokuskan pada keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika serta terhadap narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) yang terdapat didalam kasus Raffi Ahmad yang golongan dan turunannya tidak diatur didalam ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir A. Landasan Teoritis Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa, “Kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan”.12 Lebih lanjut, mengutip pendapat Gijssels menyatakan bahwa, “Kata teori dalam Teori Hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat, dan pengertian-pengertian yang sehubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dapat dikaji”. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa, teori hukum adalah teori-teori mengenai hukum yang merupakan suatu pernyataan atau pandangan yang untuk sementara 12
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, h. 4
20
ini disepakati kebenarannya dan merupakan suatu teori baku yang disepakati para ahli hukum. 13 Konsep
(concept)
adalah
kata
yang
merupakan
abstraksi
yang
digeneralisasikan dari gejala-gejala tertentu.14 Ilmu hukum memiliki banyak konsep hukum diberbagai bidangnya. Selanjutnya, “Asas hukum adalah suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya suatu norma hukum”.15 J. J. H Bruggink dalam terjemahan Arief Sidhartha menyatakan bahwa, “Asas hukum adalah kaidah yang memuat ukuran (kriteria) nilai”.16 Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa asas-asas hukum sangatlah penting yang menjadi landasan berpijak serta pedoman yang menjiwai suatu Peraturan Perundang-undangan. Teori, asas dan konsep hukum yang penulis gunakan sebagai pisau analisis untuk membahas rumusan masalah pertama adalah: 1. Teori Principles Of Legality In The Morality of Law, Fuller identifies eight requirements of the rule of law: Laws must be general (#1), specifying rules prohibiting or permitting behavior of certain kinds. Laws must also be widely promulgated (#2), or publicly accessible. Publicity of laws ensures citizens know what the law requires. Laws should be prospective (#3), specifying how individuals ought
13
Ibid, h. 5
14
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Cetakan Keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 47. 15
M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya, h. 56. 16
J. J. H Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Arief Sidhartha, cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 123.
21
to be have in the future rather than prohibiting behavior that occurred in the past. Laws must be clear (#4). Citizens should be able to identify what the laws prohibit, permit, or require. Laws must be non-contradictory (#5). One law cannot prohibit what another law permits. Laws must not ask the impossible (#6). Nor should laws change frequently; the demands laws make on citizens should remain relatively constant (#7). Finally, there should be congruence between what written statute declare and how officials enforce those statutes (#8).17 Berdasarkan uraian teori hukum dari Loan Fuller diatas dengan mengartikan secara bebas terhadap apa yang diuraikan dalam teorinya “Principles Of Legality”, Fuller mengidentifikasi adanya delapan persyaratan dari peraturan perundang-undangan yaitu: 1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu. 2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas 3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang harus bersifat prospefektif. 4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus jelas. 5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif). 6. Suatu Undang-Undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundangundangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya. 7. Undang-undang tidak boleh sering berubah; apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap. 8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut.
17
Lon Fuller, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press), p. 39.
22
Teori hukum dari Lon Fuller diatas dengan mengelaborasi ide yang tertuang dari pemikirannya agar kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pembentukan dan penerapan undang-undangnya berjalan dengan baik, perlu kiranya mempertimbangkan beberapa aspek dari teori principles of legality yakni yang terdapat didalam poin ke 3, 4 dan poin ke 8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Makna hukum harus jelas pada poin ke 3 teori Principles Of Legality diatas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum dan undang-undang harus bersifat prospefektif. Konsep pemikiran dari teori ini dalam relevansinya membahas permasalahan dalam penilitian ini adalah dalam hal undang-undang yang dibentuk harus memberikan sifat yang prospektif dalam arti menjangkau persoalan-persoalan hukum yang akan terjadi di massa depan dan masyarakat mengetahui tentang apa yang disyaratkan oleh undang-undang. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum menjangkau hal tersebut karena adanya kesalahan prosedur dalam hal terbentuknya Badan Narkotika Nasional berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional serta belum ada klausula pasal yang menyatakan bahwa Badan Narkotika Nasional (BNN) dapat melakukan penyidikan tindak pidana narkotika khususnya narkotika jenis baru yang tidak diatur didalam
23
ketentuan undang-undang narkotika dengan
berdasarkan atas hasil
uji
laboratorium forensik Badan Narkotik Nasional. Makna hukum harus jelas pada poin ke 4 teori Principles Of Legality diatas memberi penjelasan sabagai suatu konsep pemikiran bahwa pembentuk undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Teori ini berfungsi memberikan makna berkaitan dengan kejelasan keabsahan kewenengan penyidikan Badan Narkotika Nasional dikaji melalui Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Undang-undang ini adalah undang-undang administrasi bersanksi pidana yang didalam ketentuannya memuat teknis tata cara kerja pemerintah dalam hal pengadaan prekursor narkotika dan pelabelan narkotika sehingga tidak dapat mendelegasikan wewenangnya untuk membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan merujuk pada ketentuan Pasal 67 melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional yang kemudian melahirkan wewenang penyidikan. Makna apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menetapkan statuta/atau peraturan-peraturan pada poin ke 8 sejalan dengan prinsip asas legalitas yang dianut dalam konsep hukum pidana dan oleh Von Feurbach. Dalam pandangannya Von Feurbach menjelaskan bahwa bahwa prinsip asas legalitas adalah sebagai berikut : 1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege) 2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine)
24
3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undangundang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).18 Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan disetiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum dalam sistem Kontinental. Dalam bidang hukum adminitrasi negara asas legalitas merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan. Asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek negatif (het negative aspect), aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect) dan aspek materiil-positif (het materieel-positieve aspect). Aspek negatif
menentukan bahwa tindakan
pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak sah apabila bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materiil-positif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa kewenangan itu harus memiliki dasar perundang-undangan dan juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-undang.19
18
Von Feurbach dalam Marwan Effendy, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta Selatan, h. 84 19
Ridwan HR II, Op.Cit, h. 91-92
25
2. Teori Kewenangan Teori kewenangan ini berfungsi untuk mengkaji persoalan kebasahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika. Adapun Teori Kewenengan ini terdiri dari beberapa bagian yaitu : a. Definisi Kewenangan Mengenai wewenang H.D. Stout mendefenisikan arti kewenangan adalah sebagai berikut : "Bevoegdheid is een begrip uit het bestuurlijke organisatierecht, wat kan worden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heeft op de verkrijging en uitoefening van bestuursrechtelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke rechtssubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer" (Wewenang adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik).20 H.D. Stout dengan menyitir pendapat Goorden mengatakan bahwa wewenang adalah keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan oleh pembuat undang-undang kepada subjek hukum publik).21 Menurut F.P.C.L. Tonnaer, "Overheidsbevoegdheid wordt in dit verband opgevat als het vermögen om positief recht vast te stellen en aldus rechtsbetrekkingen tussen burgers
20
H.D. Stout, 1994, “Betekenissen van de Wet” dalam Ridwan H.R (ed), 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, (Selanjutnya disebut Ridwan HR II), h.98 21
Ibid
26
onderling en tussen overheid en te scheppen" (Kewenangan pemerintah dalam kaitan ini dianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif, dan dengan begitu, dapat diciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara).22 Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Kewenangan di dalamnya terkandung hak dan kewajiban. P. Nicolai mendefinisikan arti kewenangan sebagai berikut : "Het vermögen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen (handelingen die op rechtsgevolg gericht zijn en dus ertoe strekken dat bepaalde rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke handeling te verrichten of na te laten, of de (rechtens gegeven) aanspraak op het verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten of na te laten". (Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu {yaitu tindakantindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum}. Hak berisi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu).23 Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam definisi hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan
22
F.P.C.L. Tonnaer, 1986, Legaal Besturen: het Legaliteitbeginsel of struikelblok, Dalam Ridwan H.R (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, h 99 23
P. Nicolai dalam Ridwan H.R, 2008, Hukum Administrasi Negara, cetakan keempat, Rajawali Pers, Jakarta, (Selanjutnya disebut Ridwan H.R I), h. 99-100
27 mengelola sendiri (zelfbesturen) 24, sedangkan makna kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara keseluruhan. Negara Hukum dalam konsepnya menempatkan asas legalitas sebagai sendi utama penyelenggaraan pemerintahan, wewenang pemerintahan (bestuurs bevoegdheid) berasal dari peraturan perundang-undangan. R.J.H.M. Huisman menyatakan pendapat berikut ini: "Een bestuursorgaan kan zich geen bevoegdheid toeeigenen. Slechts de wet kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan een bevoegdheid niet alleen attribueren aan een bestuursorgaan, maar ook aan ambtenaren (bijvoorbeeld belastinginspecteurs, inspecteur voor het milieu enz.) ofaan speciale colleges (bijvoorbeeld de kiesraad, de pachtkamer), of zelfs aan privaatrechtelijke rechtspersonen" . (Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat memberikan wewenang pemerintahan tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai {misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan, dan sebagainya} atau terhadap badan khusus {seperti dewan pemilihan umum, pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah}, atau bahkan terhadap badan hukum privat).25 Pemerintahan
dalam
setiap
penyelenggaraan
kenegaraan
dalam
pelaksanaannya harus memiliki legitimasi yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Seiring dengan pilar utama negara hukum asas legalitas, berdasarkan prinsip ini tersirat
24
Bagir Manan, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Fakultas Hukum, Univeristas Padjajaran, Bandung 13 Mei. 25
R.J.H.M. Huismandalam Ridwan H.R II, Loc.Cit
28
bahwa wewenang pemerintahan berasal dari Peraturan Perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah Peraturan Perundangundangan. b. Cara Memperoleh Wewenang Secara teoritis kewenangan yang bersumber dari Peraturan Perundangundangan diperoleh melalui tiga cara yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.26 Ridwan HR menterjemahkan teori kewenangan dari H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mengenai definisi atribusi, delegasi dan mandat sebagai berikut : a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever aan een bestuursorgaan (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan). b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya). c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem uitoefenen door een ander, (Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh orang lain atas namanya).27 Wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari Peraturan Perundang-undangan. Organ pemerintah memperoleh kewenangan secara langsung dari pasal tertentu dalam suatu Peraturan Perundang-undangan. Dalam atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada dengan tanggungjawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang (atributaris). Pada delegasi, tidak ada penciptaan wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya.
26
Ridwan H.R I, Op.Cit, h. 100-102
27
Ibid, h. 104-105
29
Tanggung jawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi (delegataris). Selanjutnya, pada mandat, penerima mandat (mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat (mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada mandans.28 c. Pertanggung Jawaban Wewenang Pejabat dalam setiap penggunaan wewenangnya selalu disertai dengan tanggung jawab sesuai dengan prinsip “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban”
29
Pertanggungjawaban terhadap pelaku dalam hal terjadi
penyalahgunaan wewenang didasarkan atas pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility) sebagaimana berlaku sebagai prinsip dalam hukum pidana. 30 Prinsip pertanggungjawaban dalam hal penyalahgunaan wewenang pertanggungjawaban hukumnya terbagi atas pertanggungjawaban pribadi yang berfokus pada pendekatan fungsional atau perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya
tindakan
penyalahgunaan
dalam
bentuk
maladministrasi
dan
pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada pendekatan legalitas (keabsahan) mengenai
penggunaan
pertanggungjawaban
28
wewenang,
pribadi
dan
prosedur,
dan
susbtansi.
pertanggungjawaban
jabatan
Perbedaan membawa
Ibid, h.108-109
29
Julista Mustamu, 2011, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni, h.6 30
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 80
30
konsekwensi pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi. Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab pribadi, pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan baik tanggung jawab pribadi maupun tanggung jawab jabatan dan pertanggung jawaban administrasi berkaitan dengan tanggung jawab jabatan.31 Pertanggungjawaban hukum dalam hal siapa yang harus bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang) harus dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang. Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum "geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no authority without responsibility". Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Dalam konsep Hukum Administrasi Negara sumber lahirnya wewenang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.32 Wewenang melekat pada jabatan dalam implementasinya dijalankan oleh manusia selaku wakil atau fungsionaris jabatan. Siapa yang harus memikul tanggung jawab hukum ketika terjadi penyimpangan harus dilihat secara kasuistik karena tanggung jawab itu dapat berupa tanggung jawab jabatan dan dapat pula berupa tanggung jawab dan tanggung gugat pribadi.33
31
H. Muhamad Syarif Nuh, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar, h.50 32
Julista Mustamu, Loc.Cit.
33
Julista Mustamu, Loc.Cit.
31
d. Penyalahgunaan Wewenang Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Hukum Adminitrasi Negara adalah diartikan sebagai melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum, menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya, dan menyalahgunakan suatu prosedur.34 Pendapat Indriyanto Seno Adji yang mengutip dari W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dapat dilihat dengan menggunakan parameter sebagai berikut: 1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif. 2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.35 Penyalahgunaan kewenangan pada hakekatnya sangat erat kaitannya dengan terdapatnya ketidakabsahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan tindakan penyelenggara negara. Philipus M. Hadjhon mengemukakan bahwa cacat yuridis tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut pada hakekatnya menjadi penyebab timbulnya penyalahgunaan kewenangan.36
34
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Peran Pegawai Pemerintah Sebagai Partisipan Membangun Budaya Bangsa , Availaible at www.kejaksaan.go.id, h.6. Accesed 14 Februari 2014 35
Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Palangkaraya, h.75-76 36
Philipus M. Hadjhon , 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Pertama, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, h. 100 (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjhon I)
32
Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi negara dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu: 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.37 3. Konsep Negara Hukum Konsep yang paling universal sebagai landasan untuk menganalisis permasalahan dalam penelitian ini digunakan konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl. Konsep negara hukum ini selanjutnya menjadi fondasi atau sebagai acuan dalam mengetahui tentang keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) serta pengaturan narkotika jenis New Psychoactive Susbtances di kaji menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Konsep Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtsstaat atau Rule of Law. Paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, sedangkan paham Rule of Law bertumpu pada sistem hukum Anglo Saxon atau Common Law System. Paham rechtsstaat ini dikembangkan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental seperti Immanuel Kant dan Friedrich Julius Stahl. Sedangkan paham
37
Indriyanto Seno Adji, 1997, Korupsi, Kebijakan, Kebijakan Aparatur Negara Dan Hukum Pidana, Diadit Media, Jakarta, h. 427
33
Rule of Law mulai dikenal setelah Albert Vann Dicey pada tahun 1885 menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The Law of The Constitution.38 Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, bahwa paham rechtsstaat pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental. Dalam penelitian ini, digunakan konsep negara hukum dari Friedrich Julius Stahl, karena Indonesia menganut sistem hukum yang sama yakni sistem hukum Eropa Kontinental, sehingga terdapat persesuaian atau persamaan-persamaan terkait dengan penerapan sistem hukum Eropa Kontinental. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebutnya Rechtsstaat mencakup 4 (empat) elemen, yaitu : a. Perlindungan hak asasi manusia; b. Pembagian kekuasaan; c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;39 d. Peradilan tata usaha negara. Teori, asas, dan konsep hukum yang penulis gunakan untuk menganalisis rumusan masalah kedua adalah : 1. Teori Sistem Hukum Sistem hukum menurut H.L.A. Hart dalam gagasannya dibagi menjadi dua yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum.
38
Bahder Johan Nasution, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama, CV. Mandar Maju, Bandung, h. 3 39
Ibid
34
Primery rules lebih menenkankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law).40 Mengenai primary rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (sosial rule) yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi; Pertama adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitik beratkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota (masyarakat) itu merasakan bahwa aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek internal).41 Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang dapat dilihat atau memiliki sudut pandang masing-masing aturan menyatakan apa yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-
40
H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96
41
Ibid, h. 96-99
35
duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai suatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan prilaku yang sesuai merupakan jelmaan prilaku dari aspek eksternal dengan hal yang sama. Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules, yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) yang apa bila di rinci meliputi, pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih jauh maka (rules of ajudication). Rules of ajudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.42 Relevansi teori ini dalam membahas permasalahan kedua dalam penelitian tesis ini adalah berkaitan dengan primary rules dan secondary rules yang harus ada dalam setiap peraturan perundang-undangan. Pengaturan narkotika jenis baru harus diatur secara seragam dan spesifik didalam perundang-undangan sebagai konsep dari primary rules. Konsep secondary rules dalam kaitannya dengan kasus narkotika Raffi Ahmad adalah berkaitan dengan oleh siapa aturan itu dapat dilaksanakan, oleh siapa dapat ditegakan dan dapat dirubah. Sebagai element inti dari sistem hukum keduanya harus ada pada hukum yang membentuk suatu peraturan perundang-undangan.
42
Ibid
36
2. Teori Kebijakan Hukum Pidana Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kejahatan adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat. Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu : a. Tahap kebijakan legislatif (formulatif) yaitu menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana.43 Teori ini memilki relevansi untuk menajawab rumusan masalah kedua dalam kaitannya dengan kebijakan formulasi narkotika jenis baru yang tidak daiatur didalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
43
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PL Citra Aditya Bakti Bandung, h. 30 (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief I)
37
Pengaturan penjatuhan sanksi pidana jenis narkotika baru dapat dimulai pada tahap formulasi yang dilakukan oleh lembaga legislatif dengan membentuk dan mengesahkannya kedalam undang-undang. Pada tahap kebijakan legislatif ditetapkan sistem pemidanaan yang pada hakekatnya sistem pemidanaan merupakan sistem kewenangan/kekuasaan menjatuhkan pidana. Pidana tidak hanya dapat dilihat dalam arti sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/ material. Penjatuhan pidana dalam
arti
sempit/formal
berarti
kewenangan
menjatuhkan/mengenakan sanksi pidana menurut undang-undang oleh pejabat yang berwenang (hakim). Sedangkan dalam arti luas/material, penjatuhan pidana merupakan mata rantai proses tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan, penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana. Hal ini merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral. Oleh karena itu keseluruhan sistem/proses/kewenangan penegakan hukum pidana harus terwujud dalam satu kesatuan kebijakan legislatif yang integral. 3. Konsep Pertanggungjawaban Pidana. Konsep pertanggungjawaban pidana sebagai pisau analisis permasalahan dalam penelitian ini memberikan fungsi tentang tolak ukur dalam kasus narkotika jenis baru yang melibatkan Raaffi Ahmad dalam hal kapan suatu perbuatan pidana dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Doktrin hukum pidana dikenal adanya pertanggungjawaban pidana. Doktrin ini menjelaskan bahwa untuk dapat dipidananya suatu perbuatan pidana
38
tentunya harus memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana. Dalam unsur pertanggung jawaban pidana terdapat beberapa indikator atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsurunsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur perbuatan pidana itu tidak dipenuhi, orang tersebut tidak dapat dipidana.44 Para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana yaitu: Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum. Dari definisi Simons tersebut dapat disimpulkan bahwa unsurunsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung jawab.45 Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan
44
Johny Krisnan, 2008, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, h. 22 45
Simons dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid
39
ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Adapun unsur-unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana terdiri dari : a. b. c. d. e.
Kelakuan dan akibat (perbuatan). Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Unsur melawan hukum yang objektif. Unsur melawan hukum yang subjektif.46
4. Konsep Due Process Model Secara teoritis didalam sistem peradilan pidana indonesia menganut sistem “Due Procces Model”. Karakteristik due proses model yaitu: a.
b.
c. d.
e.
46
47
Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau human error menyebabkan model ini menolak informal fact finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan adversary fact finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan, sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt. Doktrin “Legal-Guilty” menjadi dasar atas dasar : 1. Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu. 2. Penetapan kesalahan hanya dapat ditetapkan oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak.47 Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law” lebih diutamakan.
Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid, h. 24
Eva Achjani Ulfa Zulfa, Agung, Bandung, h. 27
2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk
40
f.
Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction).48
Due process model merupakan tipe negatif model yang selalu menekankan pada batasan kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan tersebut yang dominan dalam model ini adalah kekusaan yudikatif dan selalu mengacu kepada konstitusi. 49 Konsep ini memiliki relevansi terkait dengan permasalahan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam kasus narkotika Raffi Ahmad. Fungsi dari Due process model dalam kaitannya dengan penyidikan (BNN) adalah model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan, sehingga model ini memegang teguh doktrin legal guilt yakni seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu serta menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan. 5. Konsep Politik Hukum Pidana. Politik hukum pidana adalah merupakan bagian dari politik hukum pada umumnya. Menurut Sudarto politik hukum pidana pengertiannya dapat dilihat dari politik hukum pada umumnya, yang meliputi: (1) kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwewenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang
48
Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung, h.42 49
Ibid, h. 44
41
terkandung dalam masyarakat untuk mencapai apa yang dicita-citakan, (2) usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.50 Politik hukum sebagai bagian dari politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundangundangan pidana yang baik. Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemulihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Politik hukum pidana (penal policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.51 Mulder berpendapat bahwa politik hukum pidana (strafrechts politiek) ialah garis kebijakan untuk memutuskan; (1) seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui, (2) apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana, (3) cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan pidana dilaksanakan.52
50
Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung, h. 113-11
51
Barda Nawawi Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Penerbit P.T Citra Aditya Bakti, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief IV ) Bandung, h.1 52
Mulder dalam M. Hamdan, 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja Grafindo, Persada, Jakarta, h. 20
42
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Dengan demikian kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, atau dengan kata lain politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. Politik kriminal menurut Sudarto diartikan dalam 3 (tiga) pengertian yaitu: (1) dalam pengertian yang sempit, dimana politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana, (2) dalam arti luas, dimana politik kriminal merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk di dalamnya cara kerja dari polisi dan pengadilan, (3) dalam arti yang lebih luas, politik kriminal merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Politik hukum pidana (politik kriminal) dalam pengertian yang praktis adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan aparat yang terkait dengan eksekusi pemidanaan. Aktivitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.53 Politik hukum pidana (politik kriminal) tidak hanya berdiri sendiri tetapi mencakup kebijakan penegakan hukum yang bisa mencakup, baik oleh hukum 53
Barda Nawawi Arief, 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II) h. 59
43
pidana,
hukum
perdata
maupun
hukum
administrasi
negara.54
Usaha
penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana, oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik hukum pidana atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang-undang (hukum pidana) merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social defence), oleh karena itu pula kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).55 Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional
untuk
mencapai
kesejahteraan masyarakat
sekaligus
mencakup
perlindungan masyarakat. Tujuan akhir (tujuan utama) dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
54
55
Indrianto Seno Adji, 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media Jakarta, h. 10
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya bakti, Bandung, (Selanjutnya di Sebut Barda Nawawi Arief III ) h. 99
44
B. Kerangka Berpikir KEWENANGAN
PENYIDIKAN BADAN
NARKOTIKA
NASIONAL
(BNN) TERHADAP PENGEDAR NARKOTIKA NEW PSYCHOACTIVE SUBSTANCES Latar Belakang Masalah :
Rumusan Masalah :
- Kreasi manusia dalam rekayasa obat-obatan telah memunculkan zat-zat baru yang ditengarai sebagai jenis Narkotika New Psychoactive Susbtances yang belum diatur dalam daftar berbagai jenis golongan dan turunan narkotika dalam ketentuan UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .
1. Apakah sah kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika? 2. Apakah sah penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus narkotika Raffi Ahmad dikaji berdasarkan ketentuan UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?
Metode Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Hukum Normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundangundangan (The statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach) dan pendekatan kasus.
Landasan Teoritis
1. Rumusan Masalah 1: a. Teori Principles Of Legality b. Teori Kewenangan c. Konsep Negara Hukum d. Asas Legalitas
2. Rumusan Masalah 2: a. Teori Sistem Hukum b. Teori Kebijakan Hukum Pidana c. Konsep Pertanggungjawaban Pidana d. Konsep Due Process Model e. Konsep Politik Hukum Pidana
Sasaran Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengkaji keabsahan kewenangan penyidikan BNN terhadap Narkotika yang masuk kedalam klasifikasi New Psychoactive Substances: 1. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika adalah tidak sah. Kewenangan yang sah adalah kewenangan yang berasal dari kekuasaan legislatif yang diberikan oleh undang-undang. 2. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara hukum pidana karena tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena belum diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
45
1.8. Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Hukum Normatif yakni beranjak dari adanya kekosongan norma hukum atau asas hukum.56 Kekosongan norma hukum dalam penelitian ini terdapat didalam ketentuan Pasal 6 serta lampiran golongan I, II, dan III Undang-Undangan No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Narkotika New Psychoactive Substances (NPS) belum diatur dalam daftar berbagai jenis narkotika serta golongan dan turunannya didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 Tentang Narkotika junctoPeraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika. Penelitian ini juga dilengkapi oleh data sebagai bahan hukum penunjang yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang diperoleh melalu penelitian hukum dengan lokasi penelitian bertempat di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali. 1.8.2 Jenis Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (The statute Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach) dan pendekatan kasus (The Case Approach).57 Pendekatan peraturan perundang-undangan (The Statute Approach) adalah penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan. Yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
56
Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, h. 284
57
H. Zainudin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h.24
46
penelitian. Peneliti harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 1. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis. 2. All-inclussive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum. 3. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.58 Pendekatan analisis konsep hukum (Analitical & Conseptual Approach) adalah analisis terhadap bahan hukum untuk mengetahui makna yang terkandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional. Hal ini dilakukan dengan melalui dua cara: Pertama, sang peneliti berusaha memperoleh makna baru yang terkandung dalam aturan hukum yang bersangkutan. Kedua, menguji istilah-istilah hukum tersbut dalam praktik melalui analisis terhadap putusan pengadilan.59 Pendekatan kasus (The Case Approach) dalam penelitian hukum normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
58
Jhony Ibrahim, Op.Cit, h.302
59
Jhony Ibrahim, Loc.Cit
47
1.8.3 Sumber Bahan Hukum Berdasarkan atas penggunaan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif, masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut dibawah ini : Bahan Hukum Perimer terdiri dari : - Asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum dalam kaitannya dengan karya tulis ilmiah ini terdiri dari: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances,
1988
(Konvensi
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
tentang
Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 367); c. Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143); d. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60); e. Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 12); f. Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Pengujian Narkoba Pada Badan
48
Narkotika Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 670 Tahun 2011) Bahan Hukum Sekunder terdiri dari : 1. Buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam dalam media masa, kamus dan enslikopedi hukum (beberapa penulis hukum menggolongkan enslikopedi hukum kedalam bahan hukum tersier) dan ; 2. internet dengan menyebut nama dan situsnya. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).60 Adapun metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus menerus yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier di inventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian dengan mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang dianalisis dan disusun secara sistematis.
60
I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
49
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum. Teknik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik deskripsi dan tehnik penemuan hukum (Rechtsvinding). Teknik deskripsi adalah menguraikan adanya suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau
non
hukum.61
Teknik
penemuan
hukum
(Rechtsvinding)
menggunakan teknik konstruksi hukum. Dalam teknik konstruksi hukum penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu: 1. Analogi : Adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya suatu pasal dari aturan hukum atau Undang-Undang terhadap peristiwa hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum dimaksud. 2. Argumentum a contrario: Adalah penalaran ini sama juga dengan analogi tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam Undang-Undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut. 3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum: Oleh Sudikno Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya berlawanan dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan hukum yang dikhususkan.62
61
M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 43 62
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga. h. 48
50
Penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah proses penemuan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa yang konkret. Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret tertentu. Apabila terjadi kekosongan hukum maka hukum harus dicari dan ditemukan melalui penemuan hukum.63
63
Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta, h. 56
51
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEWENANGAN PENYIDIKAN NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) 2.1
Pengertian Wewenang, Penyalahgunaan Wewenang, dan Pertanggung jawaban Wewenang.
2.1.1 Pengertian Wewenang Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi. Pentingnya kedudukan wewenang ini sehingga E.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menyatakan: "Het begrip bevoegdheid is dan ook een kernbegrip in het staats-en administratief recht".
64
Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum administrasi. Istilah wewenang atau kewenangan disejajarkan dengan "authority" dalam bahasa Inggris dan "bevoegdheid" dalam bahasa Belanda. Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau bertindak, hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik (bevoegdheid). Dalam istilah Hukum Belanda Phillipus M. Hadjon memberikan catatan berkaitan dengan penggunaan istilah "wewenang" dan "bevoegdheid". Istilah "bevoegdheid" digunakan dalam konsep
64
F. A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 65
51
52
hukum privat dan hukum publik, sedangkan "wewenang" selalu digunakan dalam konsep hukum publik.65 Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) komponen, yaitu: a. pengaruh; b. dasar hukum; c. konformitas hukum. Komponen pengaruh adalah penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum
adalah
wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya. Komponen konformitas mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum (semua jenis wewenang) dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).66 Asas legalitas merupakan unsur universal konsep negara hukum apapun tipe negara hukum yang dianut suatu negara. Dalam hukum pidana asas legalitas dalam wujudnya "nullum delictum sine lege" dewasa ini masih diperdebatkan asas berlakunya. Dalam hukum administrasi asas legalitas dalam wujudnya "wetmatigheid van bestuur" sudah lama dirasakan tidak memadai.67 Tidak memadainya asas legalitas (wetmatighid van bestuur) pada dasarnya berakar pada hakikat kekuasaan pemerintah. Kekuasaan pemerintahan di 65
Phillipus M. Hadjon,1997, Tentang Wewenang, Yuridika, h.1 (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II) 66
67
Ibid., h. 1-2.
Philipus M. Hadjon,Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Artikel Ilmiah, disampaikan pada Seminar Nasional "Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004, h. 1. (Selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III).
53
Indonesia sangat populer disebut dengan eksekutif dalam prakteknya tidaklah murni sebuah kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang). Dalam kaitan dengan hal tersebut, Philipus M. Hadjon menyatakan dengan menyitir pendapatnya N.E. Algra bahwa: "pada kepustakaan Belanda jarang menggunakan istilah "uitvoerende macht", melainkan menggunakan istilah yang populer "bestuur" yang dikaitkan dengan "sturen" dan "sturing". "Bestuur" dirumuskan sebagai lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial".68 Konsep "bestuur" membawa implikasi kekuasaan pemerintahan tidaklah semata sebagai kekuasaan terikat, tetapi juga merupakan suatu kekuasaan bebas (vrij bestuur, Freies Ermessen, discretionary power).69 Menurut Ten Berge, seperti yang dikutip Philipus M. Hadjon, kekuasaan bebas itu meliputi kebebasan kebijakan dan kebebasan penilaian.70 Kebebasan kebijakan (wewenang diskresi dalam arti sempit) artinya bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintah, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat bagi pengggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) adalah hak yang diberikan organ pemerintah untuk menilai secara mandiri dan eklusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah terpenuhi.
68
Ibid., h. 2
69
Ibid, h. 3
70
Ibid
54
Philipus M. Hadjon menyatakan untuk memudahkan memberikan pemahaman tentang kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi dengan cara melihat ruang lingkupnya. Kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi meliputi: 1. kewenangan untuk memutus sendiri 2. kewenangan interpretasi terhadap norma-norma tersamar (vage normen).71 Kekuasaan bebas (vrij bestuur) asas "vjetmatigheid" tidaklah memadai. Kekuasaan bebas di sini tidak dimaksudkan kekuasaan yang tanpa batas, tetapi tetap dalam koridor hukum (rechtmatigheid), setidak-tidaknya kepada hukum yang tertulis atau asas-asas hukum. Badan hukum publik yang berupa negara, pemerintah, departemen, pemerintah daerah, institusi untuk dapat menjalankan tugasnya mereka memerlukan kewenangan. Pemberian kewenangan terhadap badan hukum publik tersebut dapat dilihat pada konstitusi masing-masing negara. Perihal kewenangan tidak terlepas dari Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi karena kedua jenis hukum itulah yang mengatur tentang kewenangan. Hukum Tata Negara berkaitan dengan susunan negara atau organ dari negara (staats, inrichtingrecht, organisatierecht) dan posisi hukum dari warga negara berkaitan dengan hak-hak dasar (grondrechten). Dalam organ atas susunan negara diatur mengenai: 1. Bentuk negara 2. Bentuk pemerintahan 3. Pembagian kekuasaan dalam Negara.
71
Ibid, h. 6.
55
Pembagian kekuasaan dalam negara terdiri atas pembagian horisontal yang meliputi: kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, dan vertikal terdiri atas pemerintah pusat dan daerah. Pembagian kekuasaan dalam negara secara horisontal dimaksudkan untuk menciptakan keseimbangan dalam negara dan saling melakukan kontrol. Adapun pembagian tugas secara vertikal maupun horisontal, sekaligus dengan pemberian kewenangan badan-badan negara tersebut, yang ditegaskan dalam konstitusi. Negara
Indonesia
dalam
sistem
ketatanegaraannya
memberikan
pengaturan tentang pembagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pemberian wewenang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 17, Pasal 18 dengan amandemen Pasal 18 A dan Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 yang diamandemen dengan Pasal 20 A, dan Pasal 24 yang diamandemen dengan Pasal 24 A, Pasal 24 B, dan Pasal 24 C. Tatiek Sri Djatmiati dalam disertasinya menguraikan hubungan antara hukum administrasi dengan kewenangan. Hukum administrasi atau hukum tata pemerintahan ("adminis-tratiefrecht" atau "bestuursrecht") berisikan normanorma hukum pemerintahan. Norma-norma pemerintahan tersebut menjadi parameter yang dipakai dalam penggunaan kewenangan yang dilakukan oleh badanbadan pemerintah. Adapun parameter yang dipakai dalam penggunaan wewenang itu adalah kepatuhan hukum ataupun ketidakpatuhan hukum sehingga apabila
56
terjadi penggunaan kewenangan dilakukan secara tidakpatuhan hukum maka badan pemerintah yang berwenang tersebut harus mempertanggungjawabkan.72 Hukum administrasi hakikatnya berhubungan dengan kewenangan publik dan cara-cara pengujian kewenangannya serta hukum mengenai kontrol terhadap kewenangan tersebut.73 2.1.2 Penyalahgunaan Wewenang Penyalahgunaan wewenang menurut Leden Marpaung diartikan sebagai menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan serta yang bersangkutan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hak dan kewajibannya.74 Menurut pendapat Indrianto Seno Adji bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang kriterianya dengan menggunakan parameter sebagai berikut : 1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif. 2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan atau zorgvuldigheid ini ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun asas kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.75
72
Tatiek Sri Djatmiati, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, h. 62-63 73
Ibid
74
Leden Marpaung, 2004, Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Leden Marpaung II), h. 45 75
Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit
57
Pertanggungjawaban terhadap pelaku dalam hal terjadi penyalahgunaan wewenang didasarkan atas pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dengan prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu (personal responsibility) sesuai dengan prinsip yang berlaku dalam hukum pidana. 76 Prinsip-prinsip tanggung jawab dalam pertanggungjawaban hukum terdiri dari pertanggungjawaban pribadi yang berfokus pada pendekatan fungsional atau perilaku yang dapat mengakibatkan terjadinya tindakan penyalahgunaan dalam bentuk maladministrasi dan pertanggungjawaban jabatan yang berfokus pada pendekatan legalitas (keabsahan) mengenai penggunaan wewenang, prosedur, dan susbtansi. Perbedaan pertanggungjawaban pribadi dan pertanggungjawaban jabatan membawa konsekwensi pada pertanggungjawaban pidana, perdata, dan administrasi. Pertanggungjawaban pidana hanya berkaitan dengan tanggung jawab pribadi, pertanggungjawaban perdata berkaitan dengan baik tanggung jawab pribadi maupun tanggung jawab jabatan dan pertanggung jawaban administrasi berkaitan dengan tanggung jawab jabatan.77 Penyalahgunaan wewenang pertanggungjawabannya secara kasuistis dapat dilihat dari sumber atau lahirnya wewenang dalam hal siapa yang harus bertanggung jawab secara yuridis terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan wewenang). Hal tersebut sesuai dengan konsep hukum "geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid atau there is no
76
Nur Basuki Minarno, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 80 77
H. Muhamad Syarif Nuh, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar, h.50
58
authority without responsibility". Dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang bersangkutan. Dalam konsep Hukum Administrasi Negara sumber lahirnya wewenang diperoleh dengan cara atribusi, delegasi, dan mandat.78 Konsep atribusi adalah wewenang pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang, tergantung pada si penerima wewenang melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan adalah pemberian mandat maka si mandans (pemberi wewenang/penerima wewenang dalam atribusi) tetap bertanggungjawab. Hal tersebut berbeda kalau dengan cara delegasi, maka pemberi wewenang tidak bertanggungjawab, pertanggungjawaban sudah beralih pada delegatoris.79 Delegasi dalam maknanya dijelaskan bahwa pekerjaan yang didelegasikan diserahkan sebagian atau seluruh wewenang kepada penerima delegasi (delegataris) untuk bertindak melaksanakan pekerjaan tersebut atas namanya sendiri. Pada delegasi disertai dengan penyerahan wewenang, oleh karenanya jika terjadi penyalahgunaan wewenang oleh delegatoris maka yang bertanggungjawab adalah delegatoris. Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang, karena wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak untuk dan atas nama mandans. Pada mandat tidak terjadi penyerahan wewenang, artinya
78
Ibid
79
Ibid
59
mandans tetap dapat bertindak sendiri atas namanya. Tidak adanya penyerahan wewenang pada mandat maka yang bertanggungjawab secara yuridis tetap pada mandans (pemberi wewenang).80 Konsep atribusi, delegasi, dan mandat dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban hukum dinyatakan oleh J.G. Brouwer dan A.E.Schilder, bahwa: 1. With attribution, power is granted to an administrative authority by an independent legislative body. The power is intial (originair), which is to say that is not derived from a previously non existent powers and assigns them to an authority. 2. Delegations is the transfer of an acquired attribution of power from one administrative authority to another, so that the delegate (the body that has acquired the power) can exercise power in its own name. 3. With mandate, there is no transfer, but the mandate giver (mandans) assigns power to the other body (mandataris) to make decisions or take action in its name.81 Brouwer berpendapat pada "atribusi", kewenangan diberikan kepada suatu badan administrasi oleh suatu badan legislatif yang independen. Kewenangan ini asli, yang tidak diambil dari kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan kewenangan mandiri dan bukan putusan kewenangan sebelumya dan memberikannya kepada yang berkompeten. Delegasi ditransfer dari kewenangan atribusi dari suatu badan administrasi yang satu kepada lainnya, sehingga delegator/delegans (badan yang telah memberikan kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya.
80
81
Ibid, h. 76
Brouwer J.G dan Schilder, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama, h. 74
60
Pada mandat tidak terdapat suatu transfer kewenangan, tetapi pemberi mandat (mandans) memberikan kewenangan pada badan yang lain (mandataris) untuk membuat suatu keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya. Ada perbedaan mendasar yang lain antara kewenangan atribusi dan delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang siap ditransfer, tidak demikian dengan delegasi. Dalam kaitan dengan asas legalitas kewenangan tidak dengan didelegasikan secara besar-besaran, akan tetapi hanya mungkin di bawah kondisi bahwa peraturan hukum menentukan mengenai kemungkinan delegasi.82 2.1.1 Pertanggungjawaban Wewenang. Perlu dibedakan tanggung jawab menurut hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Dalam hukum administrasi setiap penggunaan wewenang di dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun demikian harus pula dipisahkan tentang tata cara memperoleh dan menjalankan wewenang oleh karena tidak semua pejabat yang menjalankan wewenang pemerintahan itu secara otomatis memikul tanggung jawab hukum. Pejabat yang memperoleh dan menjalankan wewenang secara atribusi dan delegasi adalah pihak yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan pejabat yang melaksanakan tugas atau pekerjaan atas dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum.
82
Ibid.
61
Hal terpenting penentuan kewajiban tanggung jawab yuridis di dasarkan pada cara memperoleh wewenang/kewenangan. Perlu juga ada kejelasan tentang siapa "pejabat" tersebut dan yang kedua, bagaimana seorang itu disebut dan dikategorikan sebagai pejabat. Hukum publik dalam perspektifnya dijelaskan bahwa yang berkedudukan sebagai subyek hukum adalah jabatan yakni suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Pihak yang ditunjuk dan bertindak sebagai wakil adalah seseorang yang di satu sisi sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan di sisi lain sebagai pejabat. Pejabat adalah seseorang yang bertindak sebagai wakil dari jabatan, yang melakukan perbuatan untuk dan atas nama jabatan. Seseorang dikategorikan sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangan untuk dan atas nama jabatan. Dalam kaitan dengan tanggungjawab jabatan, jika perbuatan tersebut masih dalam tahapan "beleid", hakim tidak dapat melakukan penilaian.83 Berbeda halnya dalam pembuatan "beleid" tersebut ada indikasi penyalahgunaan wewenang, misalnya menerima suap, maka perbuatan pejabat tersebut yang dapat dituntut pidana. Sebagai ilustrasi dapat diketengahkan contoh sebagai berikut: "anggota DPRD mengesahkan Perda Tata Ruang". "Beleid" yang dalam hal ini dituangkan dalam bentuk Perda, hakim tidak dapat melakukan penilaian. Akan tetapi jika terbukti pengesahan yang dilakukan oleh anggota dewan tersebut dikarenakan telah menerima suap, maka penerimaan suap itulah yang menjadi obyek pemeriksaan.
83
Philipus M.Hadjon I, Op.Cit, h. l24-125.
62
Hukum administrasi dalam konsepnya di uraikan tentang setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat administrasi negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberinya wewenang itu. Sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan "tujuan dan maksud" diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan "tujuan dan maksud" pemberian wewenang itu maka dapat disebut telah terjadi penyalahgunaan wewenang. Parameter "tujuan dan maksud" pemberian wewenang dalam menentukan terjadinya penyalahgunaan wewenang dikenal dengan asas spesialitas Secara substansial asas spesialitas mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Dalam hukum administrasi disebut asas ketajaman arah atau tujuan. Menyimpang dari asas ini akan melahirkan penyalahgunaan wewenang "détournement de pouvoir". Asas spesialitas (specicdialiteits beginsel) oleh Tatiek Sri Djatmiati diterjemahkan dalam bahasa hukum Indonesia yakni asas tujuan.84 Penggunaan istilah asas tujuan tersebut belum terlalu popular, oleh karenanya sependapat dengan Tatiek Sri Djatmiati dalam kaitan pembahasan ini masih dipergunakan istilah asas spesialitas. Asas spesialitas ini merupakan suatu asas yang menjadi landasan bagi kewenangan pemerintah untuk bertindak dengan mempertimbangkan pada suatu tujuan. Setiap kewenangan pemerintah (bestuursbevoegdheid) diatur oleh
84
Tatiek Sri Djatmiati, Op.Cit, h. 108
63
peraturan perundang-undangan dengan suatu tujuan tertentu yang pasti. Dari sudut hukum administrasi Specicdialiliteitsbeginsel tersebut dinyatakan sebagai suatu rangkaian peraturan yang berkaitan dengan kepentingan umum tertentu.85 2.2 Penyidikan Narkotika Pengertian Penyidik diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang terdapat pada Pasal I butir I yang berbunyi sebagai berikut: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangundang untuk melakukan penyidikan Penyidik dari makna penjelasan ketentuan undang-undang diatas disimpulkan mengenai pejabat yang berwenang untuk melakukan penyidikan adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (POLRI) dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Dalam peraturan pelaksana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana No. 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP dalam Ketentuan Pasal 2 telah ditetapkan syarat kepangkatan pejabat Polisi sebagai penyidik adalah sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi. 86 Selain penyidik dalam ketentuan KUHAP dikenal pula penyidik pembantu. Ketentuan mengenai hal ini terdapat pada Pasal 1 ayat 3 KUHAP yang menyebutkan bahwa:
85
Nur Basuki Minarno, Loc.Cit
86
Andi Hamzah, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, h. 81
64
Penyidik pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang tertentu dapat melakukan penyidikan yang diatur dalam undang-undang ini. Selanjutnya mengenai pengertian penyidik pembantu diatur dalam Pasal I ayat 12 Undang-undang No. 2 tahun 2002 menyatakan bahwa : Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) KUHAP bahwa: Yang dimaksud dengan penyidik dalam ayat ini adalah misalnya pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutanan yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Penyidik dalam kaitannya dengan penyidikan tindak pidana narkotika secara normatif diatur dalam ketentuan Pasal 81, 82, 83, 84, dan 85 UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pasal 81 Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini.
65
Pasal 82 (1) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. (2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang: a. memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. memeriksa orang yang diduga melakukanpenyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. memeriksa bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; e. menyita bahan bukti atau barang bukti perkara penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; f. memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; g. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan h. menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pasal 83 Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pasal 84 Penyidik
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia
dalam
melakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
66
Prekursor Narkotika, memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Pasal 85 Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana Berkaitan dengan ketentuan perundang-undangan mengenai penyidik dan penyidik pembantu dapat diketahui bahwa untuk dapat melaksanakan tugas penyidikan harus ada pemberian wewenang. Mengenai pemberian wewenang tersebut menurut Andi Hamzah berpendapat bahwa : Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya, dengan demikian kewenangan yang diberikan disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab penyidik.87 Tugas penyidikan yang dilakukan oleh penyidik POLRI adalah merupakan penyidik tunggal bagi tindak pidana umum, tugasnya sebagai penyidik sangat sulit dan membutuhkan tanggung jawab yang besar karena penyidikan merupakan
87
Andi Hamzah dalam dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung. h. 79
67
tahap awal dari rangkaian proses penyelesaian perkara yang nantinya akan berpegaruh bagi tahap proses peradilan selanjutnya.88 Pasal I ayat 2 KUHAP menjelaskan mengenai pengertian penyidikan sebagai berikut: Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya". Yahya Harahap berkaitan dengan hal diatas memberikan penjelasan mengenai penyidik dan penyidikan sebagai berikut: Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal I ayat I dan 2 merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan penyidik adalah pejabat Polri atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sedangkan penyidikan berarti serangkaian tindakan yang dilakukan pejabat penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya. 89 Andi Hamzah kembali menguraikan bahwa Penyidikan ialah suatu istilah yang dimaksud sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda), dan investigation (Inggris) atau Penyiasatan/siasat (Malaysia). Definisi penyidikan dalam KUHAP, menurut bahasa Belanda adalah sama dengan opsporing. Menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh
88
89
Ibid
M. Yahya Harahap dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia) Cet. I Widya Padjajaran, Bandung. h, 79
68
undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum.90 Penyidikan merupakan aktivitas yuridis yang dilakukan penyidik untuk mencari dan menemukan kebenaran sejati (membuat terang, jelas tentang tindak pidana yang terjadi. Penyidikan dikatakan sebagai aktivitas yuridis maksudnya adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus dapat di pertanggung jawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang menjadi dasar (basic) bagi dilakukannya suatu tindakan dan peraturan yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum acara pidana.91 Tujuan utama penyidikan adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu dapat membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal I butir 2 KUHAP. Penyidik dalam melaksanakan tugas penyidikan untuk mengungkap suatu tindak pidana karena kewajibannya mempunyai wewenang sebagaimana yang tercantum di dalam isi ketentuan Pasal 7 ayat (I) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Jo Pasal 16 ayat (I) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa wewenang penyidik adalah sebagai berikut:
90
91
Ibid
Nyoman Sarikat Putra Jaya, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, h.61
69
1. menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak pidana; 2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; 3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; 4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; 5. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; 6. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 7. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 8. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 9. mengadakan penghentian penyidikan; 10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penyidikan yang dilakukan harus didahului dengan pemberitahuan kepada penuntut umum bahwa penyidikan terhadap suatu peristiwa pidana telah mulai dilakukan. Secara formal pemberitahuan tersebut disampaikan melalui mekanisme Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 109 KUHAP. Namun kekurangan yang dirasa sangat menghambat adalah tidak ada ketegasan dari ketentuan tersebut kapan waktunya penyidikan harus diberitahukan kepada Penuntut Umum.92 Penyidik melakukan tugas dalam lingkup wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 KUHAP tanpa mengurangi ketentuan dalam undang-undang, harus selalu dibuat berita acara tentang pelaksanaan tugas tersebut. Hukum pidana mensyaratkan apabila dalam penyidikan tidak ditemukan bukti yang cukup atau peristiwa tersebut bukanlah peristiwa pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik mengeluarkan Surat Perintah
92
Soeparno Adisoeryo, Lembaga Pengawas Sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Siatem Peradilan Terpadu. Jakarta, 16 Juli 2002), h. 13.
70
Penghentian penyidikan. Dalam hal ini apabila surat perintah penghentian tersebut telah diterbitkan maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Apabila korban atau keluarganya tidak dapat menerima penghentian penyidikan tersebut, maka korban atau keluarganya, sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan cerajat ketiga, dapat mengajukan praperadilan kepada ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme keberatan tersebut diatur dalam Pasal 77 butir a KUHAP tentang Praperadilan. Penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara apabila penyidikan telah selesai dilakukan kepada penuntut umum. Penuntut umum dalam hal berkaitan dengan penyidikan berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi. Apabila pada saat penyidik menyerahkan hasil penyidikan dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas tersebut maka penyidikan dianggap selesai. Penyidikan “dianggap selesai” mengandung arti secara materiil, belum secara pasti selesai, tetapi walaupun demikian diperkirakan telah selesai. Hal ini sebagai pegangan bagi penyidik, agar memiliki kepastian hukum dalam hal pekerjaan yang telah dilakukannya. Dari aspek normatif perundang-undangan hal ini dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar pembuatan berkas dalam
71
proses penyidikan tersebut sungguh-sungguh dilaksanakan dan dapat diselesaikan dengan cepat sesuai dengan prosedur hukum acara pidana.
93
Rumusan kata “penyidikan dianggap selesai” diatur didalam ketentuan Pasal 110 Ayat (4) yang berbunyi : Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. 2.3 Tugas, Fungsi dan Wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) Berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Berkaitan dengan tugas, fungsi dan wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) terdapat didalam beberapa ketentuan pasal-pasal yang termuat didalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pasal 70 Badan Narkotika Nasional (BNN) mempunyai tugas : a. menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; e. memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
93
Leden Marpaung, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan, & Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi) Sinar Grafika, Jakarta, h. 9
72
f. memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; g. melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; h. mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika; i. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan j. membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang. Pasal 71 Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pasal 72 1. Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilaksanakan oleh penyidik BNN. 2. Penyidik BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN. 3. Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNNsebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala BNN. Pasal 80 BNN juga memiliki kewenangan yaitu : a. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum; b. memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait; c. untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa; d. untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; e. meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang
73
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan h. meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. Secara yuridis eksistensi Badan Narkotika Nasional diatur didalam ketentuan Pasal 64 dan 65 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Ketentuan Pasal 64 memberikan penjelasan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN. BNN merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. Pasal 65 1. BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. 2. BNN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di daerah provinsi dan kabupaten/kota. 3. BNN provinsi berkedudukan di ibukota provinsi dan BNN kabupaten/kota berkedudukan di ibukota kabupaten/kota. Pasal 66 BNN provinsi dan BNN kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3) merupakan instansi vertikal.
74
Selain berdasarkan ketentuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dasar hukum pembentukan Badan Narkotika Nasional (BNN) juga mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut dengan BNN adalah lembaga nonstruktural yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui kordinasi Kepala Kepolisian Republik Indonesia. Tugas Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional adalah: a. Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; c. Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan Prekursor narkotika f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan dan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan peredaran gelap memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika h. Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekusor Narkotika i. Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang
75
Pasal 2 ayat (2) Selain tugas sebagaimana yang dimaksud ayat (1), BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif fi tembakau dan alkohol. Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal (2) juga menyelenggarakan fungsi yang diatur dalam ketentuan Pasal 3 yaitu : a. Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN; b. penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan prosedur P4GN; c. penyusunan perencanaan, program, dan anggaran BNN; d. penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang P4GN; e. pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan teknis P4GN di bidang Pencegahan, Pemberdayaan Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi, Hukum, dan Kerja Sama; f. pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN; g. pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN; h. penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN; i. pelaksanaan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta masyarakat; j. pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; k. pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol; l. pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah;
76
m. pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; n. peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya; o. pelaksanaan penyusunan, pengkajian, dan perumusan peraturan perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN p. pelaksanaan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang P4GN; q. pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN; r. pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN; s. pelaksanaan penegakkan disiplin, kode etik pegawai BNN, dan kode etik profesi penyidik BNN; t. pelaksanaan pendataan dan informasi nasional, penelitian dan pengembangan, dan pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN; u. pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol; v. pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol; w. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN. Pasal 4 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional (BNN) ditentukan bahwa dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
77
BAB III KEABSAHAN KEWENANGAN PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA
3.1 Kedudukan Badan Narkotika Nasional Menurut KUHAP Dalam Penyidikan Peredaran Narkotika New Pshycoactive Susbtances. Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, Badan Narkotika Nasional diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika. Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap, psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam mekanisme penyidikan tindak pidana narkotika memiliki payung hukum dalam pelaksanaanya (hukum formal) yang mengacu pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
77
78
Ketentuan Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana memberikan penjelasan bahwa ruang lingkup berlakunya undang-undang ini adalah untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada semua tingkat peradilan. Penyidikan tindak pidana narkotika dalam prosesnya didahului dengan tahap penyelidikan. Secara normatif penyelidikan diatur didalam ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelidik menurut ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a meyatakan bahwa Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena kewajibannya mempunyai wewenang : 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; 2. Mencari keterangan dan barang bukti; 3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; 4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 5 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan penyitaan; 2. pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. mengambil sidik jari dan memotret seorang; 4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
dan
Pasal 5 ayat (2) menyatakan bahwa Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat (1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
79
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) juga secara tegas mengatur mengenai penyidik. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia serta pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam ketentuan ayat (2) syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam ketentuan Pasal 81 memberikan penjelasan tentang penyidikan yakni Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini. Pasal 84 ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika memberikan penjelasan tentang perlunya kordinasi secara kelembagaan dalam hal penyidikan tindak pidana narkotika. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya. Ketentuan Pasal 85 juga menjelaskan tentang teknis penyidikan dalam melakukan penyidikan tindak pidana narkotika. Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
80
Wewenang Penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana diatur didalam ketentuan Pasal 7 KUHAP. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang : a. Menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Pasal 7 ayat (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. Pasal 7 ayat (3) Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2),. Pasal 8 ayat (1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam PasaI 75 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam undang-undang ini.
81
Pasal 8 ayat (2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Pasal 8 ayat (3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan: a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Badan Narkotika Nasional (BNN) berkaitan dalam melakukan penyidikan terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika selain berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara normatif ketentuannya juga diatur didalam ketentuan Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun ketentuan Pasal-Pasal yang mengatur tentang penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana : Pasal 1 ayat (10) Penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 1 ayat (11) Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyaiwewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Pasal 1 ayat (12)
82
Penyidik Pembantu adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam undang-undang. Pasal 14 ayat (1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas : a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum danperaturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuaidengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
83
Pasal 14 ayat (2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 3.2 Keabsahan Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional Dalam Tindak Pidana Narkotika Penyelenggaraan peradilan pidana merupakan mekanisme bekerjanya aparat penegak hukum pidana yang dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, penuntutan, sampai pemeriksaan di sidang pengadilan. Atau dengan kata lain bekerjanya polisi, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan, yang berarti pula berprosesnya atau bekerjanya hukum acara pidana. Usaha-usaha ini di lakukan demi untuk mencapai tujuan dari peradilan pidana. Kepolisian, Jaksa, dan Hakim memiliki tugas yang berbeda-beda pada setiap proses sistem peradilan pidana. Untuk mencapai tujuan dalam sistem peradilan pidana mereka harus bekerja dalam satu kesatuan sistem. Bekerja dalam satu kesatuan sistem artinya adalah kerja masing-masing aparatur penegak hukum harus berhubungan secara fungsional. Penyelengaaran peradilan pidana adalah merupakan suatu sistem yang keseluruhannya terangkai dan terdiri dari atas unsur-unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Peradilan pidana di pandang sebagai suatu sistem karena dalam peradilan pidana terdapat beberapa lembaga penegak hukum (Institusi) yang masing-masing mempunyai wewenang dan tugas sesuai dengan bidang dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam peradilan pidana terdapat berbagai
84
komponen akan tetapi sasaran semua lembaga tersebut adalah menanggulangi kejahatan (Over coming of crime) dan pencegahan kejahatan (Prevention of crime). Oleh karena itu sistem peradilan pidana harus di bangun dari prosesproses sosial di dalam masyarakat. Artinya sistem peradilan pidana dalam hal ini harus memperhatikan perkembangan dalam masyarakat.94 Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil dimana hukum pidana formil merupakan hukum pelaksanaan pidana. Kelembagaan ini harus dilihat juga dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya kepentingan hukum saja akan membawa bencana berupa keadilan. Muladi menegaskan bahwa makna “integrated criminal justice system” adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam : 1. Sinkronisasi struktural (structural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antara lembaga penegak hukum. 2. Sinkronisasi substansi (substansial syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif 3. Sinkronisasi kultural (cultural syncronization) adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghadapi pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh dan mendasari jalannya sistem peradilan pidana.95 Tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh
94
Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Op.Cit, h. 33
95
Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citrabaru, Jakarta, h.30
85
aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.96 Sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) untuk dapat mencapai tujuan bekerjanya subsistem peradilan pidana secara maksimal harus didukung dengan sistem yang tersinkronisasi secara substansial serta kelembagaan antar susbistem peradilan pidana yang dimulai dari tahap penyidikan dan berahir pada tahap putusan hakim. Penyidikan tindak pidana apabila dalam prosesnya sudah sesuai aturan yang berlaku maka tidak akan terjadi hambatan pada tahap penuntutan dan akan memiliki dampak yang signifkan terhadap putusan hakim nantinya yakni menghasilkan putusan yang obyektif. Sistem peradilan pidana dalam kaitannya pada penelitian ini penulis menemukan adanya permasalahan dalam hal keabsahan terbentuknya kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) secara kelembagaan. Dasar hukum pembentukan Badan Narkotika Nasional adalah mengacu pada Pasal 67 dan Pasal 149 ketentuan peralihan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika sehingga dipandang perlu membentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan Perpres No. 87 Tahun 2003 yang kemudian diganti dengan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Kewenangan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) diatur didalam ketentuan Pasal 4 Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional. Fuller dalam teorinya Principles Of Legality menjelaskan adanya delapan persyaratan dari peraturan perundang-undangan yang baik yaitu:
96
Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, h. 6
86
1. Undang-undang/peraturan hukum harus bersifat umum. Tidak boleh berlaku khusus atau untuk individu tertentu. 2. Peraturan hukum ditetapkan untuk melarang atau mengijinkan berbagai jenis tingkah laku tertentu. Hukum juga harus diumumkan secara luas 3. Atau dapat diakses oleh publik. Publisitas hukum menjamin warga menjadi tahu tentang yang dipersyaratkan oleh hukum. Undang-undang harus bersifat prospefektif. 4. Undang-undang harus menetapkan bagaimana individu-individu harus berprilaku kedepannya dari pada melarang perilaku yang telah terjadi di massa lalu (hukum tidak boleh berlaku surut). Peraturan hukum harus jelas. 5. Para warga negara harus mampu mengidentifikasi apa yang dilarang oleh undang-undang, apa yang diijinkan oleh undang-undang, atau apa yang dipersyaratkan oleh undang-undang. Undang-undang tidak boleh bertentangan satu dengan lainnya. (Sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang kontradiktif). 6. Suatu Undang-Undang tidak bisa melarang tetapi peraturan perundangundangan yang lainnya mengijinkan. Hukum harus tidak meminta atau menyuruh hal yang tidak mungkin dilakukan. Hukum harus menjangkau kesanggupan warga negara untuk memenuhinya. 7. Undang-undang tidak boleh sering berubah; apa yang diminta oleh undang-undang terhadap warga harus bersifat relatif tetap. 8. Terahir, disana harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum dan bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Teori hukum dari Lon Fuller diatas dengan mengelaborasi ide yang tertuang dari pemikirannya agar kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam pembentukan dan penerapan wewenang penyidikan dalam undang-undang berjalan dengan baik, perlu kiranya mempertimbangkan beberapa aspek dari teori principles of legality yakni yang terdapat didalam poin ke 3, 4 dan poin ke 8 yakni hukum harus memberikan prospek kedepan, hukum harus jelas dan harus terjadi kesesuaian antara apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menegakan statuta atau peraturan-peraturan tersebut. Prospektif dalam poin ke 3 memberikan makna tentang suatu peraturan perundang-undangan harus mampu menjangkau kedepan serta harus memiliki
87
nilai yang progresif. Dalam gagasan progresif berarti hukum adalah untuk manusia. Kendatipun berhukum itu dimulai dari teks namun selanjutnya pekerjaan berhukum diambil alih oleh manusia. Artinya manusia itulah yang akan mencari makna lebih dalam dari teks undang-undang dan membuat putusan. Berhukum secara progresif juga dapat diartikan sebagai menguji batas kemampuan hukum.97 Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika belum mencerminkan progresifitas hukum mengingat masih terdapat kelemahan dari faktor ketidakjelasan lahirnya wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan karakteristiknya undang-undang administrasi bersanksi pidana yang tidak dapat mendelegasikan wewenang penyidikan serta belum adanya satu klausula pasal yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana narkotika khususnya narkotika yang mengandung zat-zat baru yang tidak diatur didalam lampiran golongan dan turunan narkotika berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dapat dilakukan penyidikan berdasarkan hasil uji laboratorium forensik oleh tim unit pelayanan terpadu laboratorium forensik Badan Narkotika Nasional. Makna hukum harus jelas dalam teori Fuller diatas terkait dengan penelitian ini memberikan arti bahwa suatu peraturan hukum/undang-undang yang dibentuk harus jelas. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang memberikan wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 adalah tidak tepat. Sebagai
97
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta, h. 3
88
Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang didalamnya memuat ketentuan tentang pelabelan narkotika, perijinan narkotika untuk kesehatan dan pengadaan prekursor narkotika, pembentukan Badan Narkotika Nasional hendaknya harus melalui Peraturan Pemerintah (PP) karna undang-undang adminitrasi bersanksi pidana tidak dapat mendelegasikan kewenangannya. Hal ini merupakan kesalahan dalam cara memperoleh wewenang dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan mengacu pada ketentuan Pasal 67 UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pembentuk undang-undang harus jelas dalam membuat undang-undang. Badan Narkotika Nasional (BNN) agar kewenangan penyidikannya sah idealnya harus dibentuk melalui Peraturan Pemerintah sesuai dengan undangundang organik dalam hal tata cara pelaksanaannya yang tidak diatur dalam undang-undang lebih lanjut diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah. Makna apa yang ditulis dan ditetapkan oleh hukum serta bagaimana cara pemerintah menetapkan statuta/atau peraturan-peraturan pada poin ke 8 sejalan dengan prinsip asas legalitas yang dianut dalam doktrin hukum pidana di Indonesia dan oleh Von Feurbach dinyatakan bahwa : 1. Setiap penggunaan pidana hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum pidana (nulla poena sine lege) 2. Penggunaan pidana hanya mungkin dilakukan jika terjadi perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine) 3. Perbuatan yang diancam dengan pidana menurut undang-undang membawa akibat hukum bahwa pidana yang diancamkan oleh undangundang yang diancamkan (nullum crimen sine poena legali).98
98
Von Feurbach dalam Marwan Effendy, 2011, Loc.Cit
89
Asas legalitas berfungsi sebagai standarisasi dalam penegakan hukum pidana. Berkaitan dengan penyidikan ditentukan didalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan undang-undang. Dalam proses penyelidikan dan penyidikan ini termasuk juga di dalamnya penyadapan. Wewenang penyidikan yang terdapat didalam ketentuan pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Narkotika tidak dapat menimbulkan akibat hukum dalam penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional karna hanya undang-undang yang dapat menimbulkan akibat hukum dengan mengacu berdasarkan ketentuan normatif Pasal 7 Undang-Undang 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan makna asas legalitas. Hukum pidana dalam kajian tentang keabsahan suatu persoalan hukum tentang kewenangan penyidikan harus berdasarkan pada asas legalitas apa yang ditetapkan harus sejalan dengan pelaksanaanya. Asas legalitas merupakan perlindungan kepada perorangan terhadap kesewenang-wenangan yang mungkin dilakukan penguasa terhadap rakyatnya. Asas legalitas merupakan asas yang sifatnya esensial di dalam penerapan hukum pidana. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP di didefenisikan asas legalitas adalah “Tiada suatu perbuatan
90
dapat dipidana kecuali atas ketentuan-ketentuan pidana dalam perundangundangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Hukum dalam penerapannya adalah menciptakan keadilan dalam masyarakat, maka berhukum adalah upaya untuk mewujudkan keadilan tersebut. Berhukum dengan teks semata tidak otomatis menciptakan keadilan. Ada dua keadilan yaitu keadilan menurut teks (Formal/legal Justice) dan keadilan sebenarnya (substansial justice). Paul Scholten mengatakan bahwa keadilan itu memang ada didalam undang-undang, tetapi masih harus ditemukan. Dengan demikian berhukum itu tidak persis sama dengan menerapkan undang-undang, melainkan suatu usaha untuk memunculkan keadilan yang tersimpan didalamnya. Itulah makna menguji batas kemampuan hukum.99 Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental mengutamakan adanya asas legalitas dan pengesahan dalam bentuk tertulis sering menyebabkan hukum itu tertinggal dari peristiwanya. Hukum
administrasi
negara
mengenal
tiga
sumber
kewenangan
pemerintah yaitu “atribusi”, “delegasi”, dan “mandat”. Ketiga sumber wewenang tersebut dipaparkan dibawah ini: a. Atribusi Kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan undang-undang disebut “atribusi”. H.D. van Wijk memberikan pengertian bahwa atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah. Pembentukan perundang-undangan yang dilakukan baik oleh 99
Paul Scholten dalamSatya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta, h. 5
91
pembentuk undang-undang orisinil (originaire wetgevers) maupun pembentuk undang-undang
yang
diwakilkan
(gedelegeerde
wetgevers)
memberikan
kekuasaan kepada suatu organ pemerintah yang dibentuk pada kesempatan itu atau kepada organ pemerintah yang sudah ada. Hal ini dinyatakan sebagai berikut: “een wetgever schept een (nieuwe) bestuursbevoegdheid en kent die toe aan een bestuursorgaan. Dat kan een bestaand bestuursorgaanzijn, of een voor de gelegenheid nieuw geschapen bestuursorgaan”. “ Pembuat undang-undang menciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru dan menyerahkannya kepada suatu lembaga pemerintahan. Ini bisa berupa lembaga pemerintahan yang telah ada, atau suatu lembaga pemerintahan baru yang diciptakan pada kesempatan tersebut”.100 Senada dengan rumusan H.D van Wijk, Indroharto mengemukakan bahwa “atribusi” adalah pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan dalam perundang-undangan baik yang disediakan oleh original legislator ataupun delegated legislator.101 b. Delegasi Delegasi menurut H.D. van Wijk adalah “Overdracht van een bevoegdheid van het ene bestuur organ een onder” Penyerahan wewenang kepada pemerintahan dari suatu badan atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat
100
H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, 2004, Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 49 101
Pengawasan Peradilan Administrasi
Indroharto, 1991, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, h. 91
92 pemerintah yang lain.102 Setelah wewenang diserahkan, pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi. Penjelasan berkaitan dengan delegasi ditegaskan kembali : "Van delegatie van bestuursbevoegdheid is spreke wanneer een bevoegdheid van een bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander orgaan, dat die bevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het oorspronkelijk bevoegde orgaan. Delegatie impliceert dus overdracht: wat aanvankelijk bevoegdheid van A was, is voortaan bevoegdheid van B (en nietmeer van A)" (Kita dapat berbicara tentang delegasi wewenang pemerintahan bilamana suatu wewenang lembaga pemerintahan diserahkan kepada lembaga lain, yang menjalankan wewenang tersebut dan bukannya lembaga yang semula berwenang. Dengan demikian, Delegasi disimpulkan sebagai penyerahan: apa yang semula merupakan wewenang A, sekarang menjadi wewenang B [dan bukan lagi A]).103 c. Mandat Wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan apabila pejabat yang memperoleh wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. H.D. van Wijk menjelaskan arti dari "mandat" yaitu: "een bestuursorgaan laat zijn bevoegdheid namens hem uitoefenen door een ander") (suatu organ pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya). Lebih lanjut dikatakan: "Is het orgaan dat officieel een bepaalde bestuurs-bevoegdheid bezit (krachtens attributie of delegatie) in feite niet in staat die beveboegdheid ook persoonlijk te hanteren, dan zal aan dat orgaan ondergeschikte ambtenaren
102
H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 51
103
H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Loc.Cit
93
kunnen opdragen, de bevoegdheid uit te oefenen namens het eigenlijk bevoegde orgaan. In dat geval is er sprake van mandaat. u) (Bila organ yang secara resmi memiliki wewenang pemerintahan tertentu [karena atribusi atau delegasi] tidak dapat menangani sendiri wewenang tersebut, para pegawai bawahan dapat diperintahkan untuk menjalankan wewenang tersebut atas nama organ yang sesungguhnya diberi wewenang. Dalam hal ini kita bisa berbicara tentang mandat).104 Berbeda dengan "delegasi", pada "mandat", mandans atau pemberi mandat tetap berwenang untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya. Mandan tetap bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. Sebagaimana dikatakan H.D. van Wijk: "Bij mandaat is er geen sprake van een bevoegdheids-verschuiving in juridische zin; nu gehandeld wordt namens het betrokken bestuursorgaan, worden de handelingen ook aan dat orgaan toegerekend; het blijven, juridische gesproken, besluitenvan het orgaan zelf. Er is hier sprake van een vorm vetegenwoordiging van het bestuursorgaan. De mandaatgever (mandans) blijft dan ook bevoegd de bevoegdheid zelf te hanteren indien hij dat wensf; hij kan zijn mandatarissen alle aanwijzingen geven die hij nodig acht; hij is geheel verantwoordelijk voor de krachtensmandaat genomen besluiten, Juridisch gesproken is de mandataris niet sen anderdan de mandans". ) (Pada mandat kita tidak bisa berbicara tentang pemindahan kekuasaan/wewenang di dalam arti yuridis; sekarang setelah ditangani atas nama lembaga pemerintahan yang bersangkutan, penanganannya juga diserahkan kepada lembaga tersebut; berbicara secara yuridis, ini tetap merupakan keputusan lembaga itu sendiri. Disini kita bisa berbicara tentang suatu bentuk perwakilan lembaga pemerintahan. Pemberi mandat [mandans] juga tetap berwenang untuk menangani sendiri wewenang bilamana ia kehendaki; ia bisa memberikan kepada para mandatarisnya segala petunjuk
104
H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 53
94
yang dianggapnya perlu; ia seluruhnya bertanggung jawab atas keputusan yang diambil berdasarkan mandat. Secara yuridis, perkataan mandataris tidak lain dari pada perkataan mandans).105 Indroharto menambahkan bahwa pada "mandat" tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama dan atas tanggung jawab mandan.106 H.D. van Wijk menjelaskan tentang pengertian "mandat kepada bukan bawahan". Apabila tidak ada ketentuan hukum yang jelas, mandat yang demikian hanya sah jika dipenuhi tiga syarat: "1. de mandataris aanvaardt het mandaat, 2. de gemandateerde bevoegdheid ligh in de sfeer van de normale bevoegdheden van de mandataris, en 3. de betrokken wettelijke regeling verzet zich niet tegen (deze vorm van) mandatering".7 (1.mandataris menerima pemberian mandat, 2. wewenang yang diberikan adalah wewenang sehari-hari dan mandataris, 3. ketentuan perundangundangan tidak menentang pemberian mandat).107 Teori kewenangan dalam mengkaji permasalahan pada penelitian ini memberikan penjelasan tentang cara memperoleh wewenang. Cara memperoleh wewenang dalam hukum administrasi negara dikenal ada tiga cara yakni melalui atribusi, delagasi, dan mandat.
105
H.D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Op.Cit, h. 54
106
Indroharto, Loc.Cit
107
D van Wijk dalam Irfan Fachrudin, Loc.Cit
95
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika berdasarkan analisis penulis dengan menganalisis terbentuknya kewenangan Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah tidak sah. Hukum Administrasi Negara mengenal tiga cara memperoleh wewenang yakni melalui atribusi, delegasi dan mandat. Kakarakteristik Undang-Undang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah undang-undang administratif bersanksi pidana. Hal ini memberikan pengertian bahwa konsep dari undang-undang administratif bersanksi pidana adalah tidak dapat mendelegasikan kewenangan penyidikan melalui Peraturan Presiden sebagai pelaksana ketentuan Pasal 67. Untuk membentuk wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) idealnya harus melalui peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. Prajudi Atmosudirjo dalam konsep kewenangan dan wewenang dalam Hukum Adminitrasi Negara dijelaskan bahwa kewenangan adalah : Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/administratif. Kewenangan adalah merupakan kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindakan hukum publik. Kewenangan adalah kekuasaan tehadap golongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan pemerintahan tertentu yang bulat). 108 Konsep kewenangan diatas tersirat makna bahwa secara teknik perundangundangan kekuasaan untuk melahirkan wewenang dalam hal ini wewenang penyidikan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) adalah kekuasaan yang berasal
108
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, h. 29.
96
dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) bukan perundang-undangan. Untuk menyatakan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) tersebut sah kewenangan harus dibentuk melalui undang-undang karna hanya undang-undang yang dapat menjatuhkan sanksi hukum atau menimbulkan akibat hukum. Kewenangan yang sah adalah kewenangan terhadap segolongan orang tertentu terhadap satu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Tindak Pidana Narkotika merupakan tindak pidana umum bukan tindak pidana khusus yang mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap golongan orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu, sehingga dalam hal ini tidak boleh ada penyimpangan terhadap hukum pidana materiil dan pidana formiil dalam hal ini KUHP dan KUHAP dan tunduk pada pasal 103 KUHP kecuali kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. KUHAP telah menentukan secara tegas didalam ketentuan pasal 6 KUHAP. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Tindak pidana narkotika sebagai tindak pidana khusus telah dicabut kekhususannya. Pada saat berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1976 dicabut dengan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus dan kemudian pada masa sekarang diganti dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Secara tegas yang menjadi bagian tindak pidana khusus
97
adalah Hukum Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana Terorisme.109 Terbentuknya Perpres ini tidak terlepas dari adanya Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang memiliki karakteristik tersendiri yakni undang-undang yang mengandung hukum administrasi bersanksi pidana. Selain mengatur tentang sanksi pidana kejahatan narkotika yang diatur dalam ketentuan Pasal 111-148 juga mengatur urusan dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintah sehingga undang-undang ini memiliki karakteristik tersendiri dalam hal ini Badan Narkotika Nasional bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden dan dilengkapi dengan adanya Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 serta Pasal 50 berkaitan dengan kebutuhan pengadaan prekursor narkotika dalam industri farmasi. Wewenang pemerintahan terkait dengan karakteristiknya dibagi menjadi wewenang terikat, fakultatif, dan bebas terutama dalam kaitannya dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-keputusan (beschikkingen) oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan yang bersifat terikat dan bebas. Wewenang pemerintahan bersifat terikat terjadi apabila peraturan dasarnya menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang semacam itu merupakan wewenang terikat. 109
Purnama Rani, 2014, Hukum Tindak https://www.academia.edu. Diakses 22 Agustus 2014
Pidana
Khusus,
Avalaible
at
98
Wewenang fakultatif terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam halhal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditemukan dalam peraturan dasarnya.110 Wewenang bebas yakni terjadi ketika peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. Wewenang bebas dibagi menjadi dua kategori yaitu kebebasan kebijaksanaan dan kebebasan penilaian. Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) bila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan, sedangkan organ tersebut bebas untuk (tidak) menggunakannya meskipun syarat-syarat penggunaanya secara sah dipenuhi. Kebebasan penilaian (wewenang diskresi dalam arti yang tidak sesungguhnya) ada sejauh menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan ekslusif apakah syarat-syarat bagi pelaksanaan suatu wewenang secara sah telah dipenuhi.
110
Ridwan H.R. II, Op.Cit, h. 107-108
99
Berdasarkan pengertian ini dapat dismpulkan ada dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi yaitu: Pertama, kewenangan untuk memutus secara mandiri. Kedua, kewenangan interprestasi terhadap norma-norma tersamar.111 Lawrence Meir Friedman dalam sudut pandangnya menjelaskan bahwa idealnya susatu sistem hukum itu harus memenuhi beberapa komponen yang terdiri dari : Stuktur (Stucture), Subtansi (Subtance), dan Kultur Hukum (Legal Culture). Pertama sistem hukum mempunyai stuktur, dalam hal ini sistem hukum terus berubah, namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda, dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya, ada pola jangka panjang yang berkesinambungan stuktur sistem hukum, dengan kata lain adalah kerangka atau rangkaian, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Kedua sistem hukum mempunyai substansi, yang dimaksud dengan substansi adalah aturan, norma, dan pola perilaku manusia yang nyata dalam sistem hukum. Ketiga, yang merupakan bagian ahir adalah sistem hukum harus mempunyai kultur (budaya hukum) adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, didalamnya terdapat kepercayan, nilai, pemikiran, serta harapannya. 112 Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika erat kaitannya dengan penyalahgunaan wewenang.
111
112
Ibid
Lawrence Meir Fridman dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia ), Cet. 1, Widya Padjajaran, Bandung, h. 31
100
Mengkaji tentang keabsahan adalah berhubungan dengan sah atau tidak sahnya kewenangan yang dimiliki oleh penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN). Keabsahan tolak ukurnya adalah ada atau tidaknya penyalahgunaan wewenang atau adanya cacat prosedur. Penyalahgunaan wewenang dalam konsep Hukum Administrasi Negara diartikan sebagai melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum, menyimpang dari tujuan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau peraturan lainnya dan menyalahgunakan suatu prosedur.113 Indriyanto Seno Adji dengan mengutip dari pendapat W. Konijnenbelt menyatakan bahwa untuk mengukur penyalahgunaan wewenang dapat dilihat dengan menggunakan parameter sebagai berikut: 1. Unsur menyalahgunakan kewenangan dinilai ada tidaknya pelanggaran terhadap peraturan dasar tertulis atau asas kepatutan yang hidup dalam masyarakat dan negara ini. Kriteria dan parameternya bersifat alternatif. 2. Asas kepatutan dalam rangka melaksanakan suatu kebijakan ditetapkan apabila tidak ada peraturan dasar ataupun Asas Kepatutan ini diterapkan apabila ada peraturan dasar, sedangkan peraturan dasar (tertulis) itu nyatanya tidak dapat diterapkan pada kondisi dan keadaan tertentu yang mendesak sifatnya.114 Penyalahgunaan kewenangan pada hakekatnya sangat erat kaitannya dengan terdapatnya ketidaksahan (cacat yuridis) dari suatu keputusan tindakan penyelenggara negara. Philipus M. Hadjhon mengemukakan bahwa cacat yuridis tindakan penyelenggara negara dapat diklasifikasikan kedalam 3 macam yaitu
113
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Loc.Cit
114
Indrianto Seno Adji dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit
101
yakni cacat wewenang, cacat prosedur, dan cacat substansi. Ketiga hal tersebut pada hakekatnya menjadi penyebab timbulnya penyalah gunaan kewenangan.115 Indriyanto Seno Adji memberikan pengertian penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi negara dengan mengutip pendapat Jean Rivero dan Waline. Penyalahgunaan wewenang dapat diartikan dalam 3 (tiga) wujud yaitu: 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar diajukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.116 Mengenai persoalan pertanggungjawaban terhadap pejabat dalam hal penyalahgunaan wewenang menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu: 117 a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi. b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.
115
Philipus M. Hadjhon , 2008, Loc.Cit
116
Indriyanto Seno Adji, 1997, Loc.Cit
117
Ridwan HR, Op.Cit, h. 365
102
Hans Kelsen menguraikan tentang teori pertanggungjawaban dalam hukum
yaitu
suatu
konsep
terkait
dengan
konsep
kewajiban
hukum
(responsibility) adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggung jawab untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatan yang berlawanan. Normalnya, dalam suatu kasus sanksi dikenakan terhadap pelaku adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut harus bertanggung jawab.118 Pertanggungjawaban dapat dituntut jika hukum menghendaki dan berdasarkan atas undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat 3 UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia ditentukan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Makna yang terkandung dari kata Indonesia adalah negara hukum menurut Wiryono Prodjodikoro adalah para penguasa atau pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam melaksanakan tugas kenegaraan terikat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku dan tidak boleh sewenang-wenang. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap pengedar dalam tindak pidana narkotika analisis dan kajiannya tidak terlepas dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Mohamad Yamin mendefenisikan negara hukum sebagai suatu negara yang menjalankan pemerintahan yang tidak menurut kemauan orang-orang yang memegang kekuasaan, melainkan menurut aturan tertulis yang dibuat oleh badanbadan perwakilan rakyat yang membentuk secara sah, sesuai dengan asas “the laws and not menshall goverll”. Joeniarto memberi defenisi atau pengertian 118
Hans Kelsen, 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Cet. ke-2, terjemahan Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa'at, Konstitusi Press, Jakarta) h. 56
103
tentang negara hukum sebagai negara dimana tindakan penguasanya harus dibatasi oleh hukum yang berlaku. 119 Sudargo Gautama menyatakan bahwa paham negara hukum berasal dari ajaran kedaulatan hukum, ia memberi pengertian tentang negara hukum sebagai negara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum. Sementara itu sarjana lainya seperti Seodiman Karto Hadi Prodjo mendefenisikan negara hukum sebagai negara dimana nasib dan kemerdekaan orang-orang didalamnya dijamin sebaik-baiknya oleh hukum. 120 Konsep Negara hukum sering diterjemahkan dengan istilah rechtstaats atau rule of law. Paham rechstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum eropa kontinental, sedangkan paham rulle of law bertumpu pada sistem hukum anglo saxon atau common law system. Ide tentang rechstaats mulai populer pada abad ketujuh belas sebagai akibat dari situasi sosial politik eropa yang didominir oleh absolutisme raja. Paham rechtstaats dikembangkan oleh ahli-ahli hukum eropa kontinental seperti Emanuelkan dan Friederih Julius Sthal. Paham rulle of law mulai dikenal yang dipelopori oleh Albert Vann Dicey pada tahun 1885 dengan menerbitkan bukunya yang berjudul Introduction to Study of The law of The Constitution. Melalui bukunya Albert Vann Dicey menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang konsep the rulle of law.
119
120
Mohamad Yamin dalam Nur Basuki Minarno, 2009, Loc.Cit
Sudargo Gautama dalam Bahder Johan Nasution, 2012, NegaraHukum Dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung. h. 20
104
Albert Vann Dicey dalam bukunya Introduction to Study of The law of The Constitution menjelaskan elemen-elemen yang terdapat didalam konsep the rulle of law yaitu: 1. Supremasi absolute atau predominasi dari regular law untuk menentang pengaruh dari abrytary power dan meniadakan kesewenang-wenangan, jadi berupa discretionary authority yang luas dari pemerintah. 2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court ; ini berarti bahwa tidak ada orang yang berada diatas hukum, baik pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum yang sama, jadi tidak perlu ada peradilan administrasi negara; 3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the lend, bahwa hukum konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan; 121 Konsep rechtstaat dan rulle of law dalam kaitannya dengen sistem hukum yang berlaku di Indonesia mengarah pada sistem hukum eropa kontinental yang diaktualisasikan melalui konsep rechtstaat yang dikembangkan oleh ahli-ahli hukum eropa kontinental seperti Emanuel Kant dan Friederich Julius Sthal. Konsep rechtstaat menurut Emanuel Kant dan Friederich Julius Sthal adalah: 1. Adanya pengakuan akan hak-hak dasar manusia 2. Adanya pembagian kekuasaan 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang (wetmategheid vanbestuur) 4. Adanya peradilan tata usaha negara. 122 Konsep Negara Hukum dalam mengkaji keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional adalah memberikan penjelasan bahwa 121
Albert Vann Dicey dalam Bahder Johan Nasution, 2012, NegaraHukum Dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, h.3 122
Bahder Johan Nasution, Loc.Cit
105
penyidikan yang dilakukan oleh Badan Narkotika dalam menjalankan tugasnya dibidang hukum harus berdasarkan undang-undang. Undang-undang yang dibentuk harus jelas secara substansial dan jelas dalam penerapannya. Dalam karakteristik negara hukum yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental selain pemerintahan harus berdasarkan undang-undang, asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan. Hukum adminitrasi negara
dalam bidangnya menyebut asas legalitas
merupakan prinsip negara hukum yang sering dirumuskan dengan ungkapan “Het beginsel van wetmatigheid van bestuur” yakni prinsip keabsahan pemerintahan.123 Prinsip keabsahan dalam asas legalitas memuat 3 aspek yakni aspek negatif (het negative aspect), aspek formal-positif (het formeel-positieve aspect) dan aspek materiil-positif (het materieel-positieve aspect). Aspek negatif menentukan bahwa tindakan pemerintahan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Tindakan pemerintah adalah tidak sah apabila bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Aspek formal positif menentukan bahwa pemerintah hanya memiliki kewenangan tertentu sepanjang diberikan atau berdasarkan undang-undang. Aspek materiilpositif menentukan bahwa undang-undang memuat aturan umum yang mengikat tindakan pemerintahan. Hal ini berarti bahwa kewenangan itu harus memiliki
123
Ridwan HR II, Loc.Cit
106
dasar perundang-undangan dan juga bahwa kewenangan itu isinya ditentukan normanya oleh undang-undang.124 Hukum pidana dalam ruang lingkup kajiannya berpegang teguh pada doktrin asas legalitas yang digunakan untuk menentukan suatu perbuatan termasuk dalam kategori perbuatan pidana yang dalam bahasa latin disebut dengan “Nullum delictum nullapoena sina praevia lege poenale” artinya adalah tidak ada hukuman tanpa undang-undang. Asas legalitas mengandung pengertian yaitu tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum diatur dalam undangundang, dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi dan aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut (non retroaktif).125 Menurut aliran klasik makna asas legalitas dalam hukum pidana adalah aliran ini menghendaki hukum pidana yang tersusun secara sistematis dan bertitik berat pada kepastian hukum. Aliran klasik dalam hukum pidana berpijak pada tiga tiang. Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang, tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang, dan tidak ada penuntutan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau akibat kesalahan semata. Ketiga, yang terakhir adalah asas pembalasan yang sekuler
124
125
Ridwan HR II, Loc.Cit
M. Yahya Harahap, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, h. 122-123
107
yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat atau ringannya perbuatan yang dilakukan.126
126
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni Bandung, h. 25.
108
BAB IV PENYIDIKAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG TIDAK TERMASUK DALAM KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA 4.1 Kasus Posisi Raffi Ahmad Badan Narkotika Nasional (BNN) menetapkan Raffi Ahmad dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus narkotika yang dilakukan di rumah Raffi Ahmad di Jalan Gunung Balong Kavling VII Nomor 16 I Lebak Bulus Jakarta Selatan pada penggerebekan yang dilakukan pada hari Minggu 27 Januari 2013. Bersama ke-17 orang yang diamankan, pihak Badan Narkotika Nasional (BNN) juga menemukan barang bukti berupa dua linting ganja dan 14 butir kapsul yang diduga berisi MDMA. Ganja ditemukan didalam kamar dekat tempat pajangan (bufet) di kamar RA (Raffi Ahmad) dan MDMA di dalam laci di ruang makan. Badan Narkotika Nasional (BNN) melakukan penggerebekan di kediaman pembawa acara televisi Raffi Ahmad pada saat sedang menggelar pesta ganja dan ekstasi. Selain Raffi Ahmad ada beberapa aktris dan salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Wanda Hamidah serta pasangan Irwansyah dan Zaskia Sungkar juga turut dibawa ke Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Badan
Narkotika
Nasional
(BNN)
menemukan
narkotika
jenis Cathinone dalam kasus Raffi Ahmad cs, yakni 3,4 Methylene Dioxy
108
109
Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Staf Ahli Kimia Farmasi Badan Narkotika
Nasional
(BNN)
Mufti
Djusnir
mengatakan
efek
samping
menggunakan Cathinone lebih berbahaya dari sabu-sabu maupun ekstasi sehingga perlu diwaspadai peredarannya. Struktur dasarnya adalah MDMA, yakni 3,4Methylene Dioxy Metacathinone. Bahaya dari zat tersebut jika dikonsumsi akan mengalami psikoaktif dan siapa pun yang menggunakan tanpa takaran jelas mengakibatkan overdosis sehingga kejang, keram, dan berakhir dengan kematian.127 4.2 Keabsahan Penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) Terhadap Kasus Raffi Ahmad (BNN) Dikaji Berdasarkan Ketentuan UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Negara adalah suatu organisasi masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama. Untuk mencapai tujuan bersama disusunlah suatu tatanan pemerintahan sebagai sarana pelaksana tugas negara beserta pembagian tugas dan batas kekuasaan. Pemerintah atau administrasi negara adalah suatu abstraksi yang oleh hukum dipersonifikasi dan diangkat sebagai realita hukum. Sebagai suatu abstraksi, pemerintah tidak dapat melakukan tindakan-tindakannya tanpa melalui organnya. Hukum administrasi dalam ketentuan hukum positif di Indonesia tepatnya pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 digunakan istilah “badan” atau "pejabat" untuk menyebut organ itu. Dikatakan bahwa: "badan atau pejabat tata usaha negara adalah pelaksana urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku".
127
Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Loc. Cit
110
Pengertian "badan" menurut pengertian bahasa adalah sekumpulan orang yang merupakan kesatuan untuk mengerjakan sesuatu. Padanan kata "badan" dalam bahasa Belanda antara lain adalah "orgaan". Pengertian "orgaan" sebagai istilah hukum adalah sebagai alat perlengkapan, artinya adalah "orang" atau "majelis" yang terdiri dari orang-orang yang berdasarkan undang-undang atau anggaran dasar berwenang mengemukakan dan merealisasikan kehendak badan hukum. Dengan perantaraan alat perlengkapan itu badan hukum ikut mengambil bagian dalam lalu lintas hukum.128 Pengertian "pejabat" menurut pengertian bahasa adalah pegawai pemerintah yang memegang jabatan penting (unsur pimpinan). Dalam bahasa Belanda istilah "pejabat" disalin antara lain menjadi "ambtdrager", yang diartikan sebagai orang yang diangkat dalam dinas pemerintah (negara, propinsi, kotapraja dan sebagainya). Frederick Robert Bohtlingk menguraikan pendapatnya tentang pengertian "orgaan" adalah: "verstaat men; ieder persoon of college, met enig openbaar gezag bekleed, of; ieder persson die bevoegd is de overheid door rechtshandelingen te verbinden, of iets dergelijks" 129
128
129
Teeuw, A, 1999, Kamus Indonesia-Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. h. 50
Frederick Robert Bohtlingk dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 55
111 “ kita maksudkan adalah setiap orang atau badan, yang memiliki kekuasaan umum: atau setiap orang yang berwenang untuk menghubungkan kekuasaan melalui tindakan hukum, atau yang mirip dengan itu.” Lebih lanjut Frederick Robert Bohtlingk menjelaskannya dengan suatu ilustrasi: "Wanneer de heer P minister Is, dan maakt de hier besproken gangbare opvatting een scheiding tussen de heer P in prive en de heer P in kwaliteit. Deze laatste meneer noemt men "orgaan". Men kent dus aan de ene mens P twee persoonlijkheden toe: enerzijds de personificatie van P 'm prive (de privepersoon), anderzijds de personificatie van P in kwaliteit (de minister), en noemt deze laatste personificatie orgaan. 'Orgaan' is niet ambt en niet ambtdrager". (bila Tuan P adalah seorang menteri, disini berlaku pandangan adanya pemisahan antara Tuan P secara prive dan dalam kualitas. Tuan P dalam kualitas adalah seorang menteri disebut badan yang dipersonifikasi di dalam kualitas sebagai pejabat. Sedangkan Tuan P secara prive (orang pribadi) yakni personifikasi Tuan P sebagai manusia individu. Dengan demikian, Tuan P memiliki dua kepribadian, yakni personifikasi sebagai manusia individu dan personifikasi Tuan P sebagai pejabat). 130 E. Utrecht mengungkapkan bahwa "jabatan" adalah sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sebagai subjek hukum (persoon) berwenang melakukan perbuatan hukum (rechtshandelingen) baik menurut hukum publik maupun menurut hukum privat. Ditambahkan bahwa jabatan dapat menjadi pihak dalam suatu perselisihan hukum (process party) baik di luar maupun pada pengadilan perdata dan administrasi. Agar wewenang dapat dijalankan, "jabatan" sebagai personifikasi hak dan kewajiban memerlukan suatu perwakilan yang disebut "pejabat" yaitu "manusia" atau "badan", dengan kata lain disebut "pemangku jabatan".
130
Ibid, h. 56
112
Pelaksanaan hak dan kewajiban hukum dapat dilakukan dengan perantaraan "pejabat", melalui "jabatan".131 Logeman menempatkan "jabatan" dari aspek negara sebagai organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yang saling berhubungan dalam suatu totalitas lingkungan kerja tertentu, sehingga negara disebut sebagai suatu perikatan fungsi-fungsi. Negara sebagai organisasi jabatan yang melahirkan otoritas dan wewenang, dan jabatan adalah bagian dari fungsi atau aktivitas pemerintahan yang bersifat tetap atau berkelanjutan. Jabatan muncul sebagai pribadi (persoon) atau subjek hukum yang dibebani kewajiban dan dijadikan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, tetapi untuk melakukan tindakan harus melalui "pejabat" atau "pemangku jabatan". Dalam hal ini harus ada pemisahan mutlak antara pribadi pemangku jabatan selaku "pejabat" dan selaku manusia sebagai prive.132 Badan sebagai pejabat yang mengikat administrasi dari sudut pandang yang berbeda dinyatakan bahwa untuk menentukan seseorang atau suatu badan sebagai pejabat yang mengikat administrasi tidak ditentukan semata-mata dari kedudukan dalam struktur pemerintahan.
Mengenai hal ini
Indroharto
menjelaskan arti "badan" atau "pejabat" (jabatan) tata usaha negara menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagai berikut: "Untuk menangkap yang dimaksud dengan badan atau jabatan tata usaha negara sebagai organ dari suatu lembaga hukum publik dapat kita dekati dengan dua cara: Pertama, sebagai organ-organ dari suatu lembaga hukum publik yang menjadi induknya; Kedua, sebagai jabatan-jabatan tata usaha negara yang memiliki wewenang-wewenang pemerintahan. Dalam banyak hal antara keduanya adalah identik satu dengan yang lain, tetapi tidak selalu
131
E. Utrecht dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 57 132
Logemann dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 57
113
demikian. Untuk hukum tata usaha negara cara pendekatan kedualah yang mempunyai arti penting, karena menurut pendekatan kedua tersebut, badan atau jabatan tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki wewenang pemerintahan". Indroharto mengambil kesimpulan bahwa ukuran yang harus dipakai adalah masalah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa badan atau pejabat tata usaha negara adalah apa dan siapa saja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan yang dikerjakan itu berupa kegiatan urusan pemerintahan tanpa memandang aparat resmi dalam struktur hierarkhis pemerintahan ataupun badan swasta. Dalam menetapkan suatu badan atau jabatan sebagai badan atau jabatan tata usaha negara adalah tidak relevan dengan mencari landasan pada masalah kedudukannya dalam struktur hierarkhis pemerintahan.133 Kedudukan pejabat dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana di Indonesia keberadaannya sangat penting dalam menjalankan tugas negara dibidang hukum. Kewenangan seorang pejabat memiliki standarisasi dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta diatur oleh aturan-aturan yang ketat didalam peraturan perundang-undangan yakni undangundang hukum acara pidana (KUHAP). Pembatasan secara ketat tersebut bertujuan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam melaksanakan tugasnya dan terwujudnya penegakan hukum yang adil.
133
Indroharto dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung, h. 58
114
Fungsi dan tujuan hukum acara pidana (KUHAP) yang disebut sebagai hukum pidana formil adalah terciptanya tertib proses hukum dan menjamin penegakan
hukum
pidana
materiil
seperti
KUHP
dan
undang-undang
nonkodifikasi pidana lainnya dilakukan secara tepat. Ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP) lebih dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan hukum sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum dan pengadilan. Hukum pada sisi lain memberikan kewenangan kepada negara cq. pemerintah melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya yang melanggar hukum.134 Hukum Acara Pidana juga merupakan sumber kewenangan dari aparat penegak hukum dan hakim serta pihak penegak hukum lainnya seperti penasihat hukum (advokat), Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), serta lembaga pemasyarakatan. KUHAP sebagai hukum acara pidana dalam penyidikan tindak pidana narkotika diatur didalam ketentuan Pasal 85 dan mengalami perluasan makna tentang alat bukti yang diatur didalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pasal 85 BNN dalam penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika dalam pelaksaanaanya berkordinasi kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
134
M. Sofyan Lubis, 2010, Prinsip”Miranda Rule”Hak Tersangka Sebelum Pemerikasaan Jangan Sampai Anda Menjadi Korban Peradilan, Tim Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 64
115
Pasal 86 1. Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana. 2. Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: 1. tulisan, suara, dan/atau gambar; 2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau 3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang. Ketentuan pasal diatas memberikan penjelasan secara tegas bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berfungsi sebagai hukum acara (hukum formal) mengenai tatacara penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam fungsinya sebagai pelaksana hukum pidana materiil dalam korelasinya dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu: 1. Asas Legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik. 2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan. Wewenang untuk tidak melakukan penuntutan demi kepentingan umum
116
dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan ketentuan Pasal 34 huruf c UndangUndang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 135 Asas Legalitas dan Asas Oportunitas merupakan hal yang sifatnya kontra diktif dalam KUHAP. Asas legalitas memberikan arti bahwa penyidikan hanya dapat dilakukan atas dasar undang-undang dan tanpa diskriminasi dengan asas kesamaan dihadapan hukum (asas equality before the law) sedangkan asas oportunitas memberikan keistimewaan dalam hal penuntutan dapat dikesampikan apabila merugikan kepentingan umum.
Mewujudkan proses hukum yang adil (due procces of law) memiliki relevansi keterkaitan yang erat dengan keabsahan kewenangan serta tidak terlepas dari tujuan hukum yang terdiri dari nilai kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan dalam pelaksanaanya. Penelitian ini terkait dengan hal tersebut, permasalahan yang terjadi dalam proses penegakan hukum adalah dalam hal sah atau tidaknya penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus narkotika Raffi Ahmad dalam hal tidak diaturnya jenis golongan narkotika yang digunakan pada ketentuan Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tidak adanya peraturan yang menetapkan secara tegas memiliki arti bahwa perbuatan tersebut tidak dapat dipidana berdasarkan asas legalitas. Ketentuan Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila tidak ada ketentuan yang mengatur secara tegas ketentuan tersebut.
135
Osman Simanjuntak, 1995, Tehnik Penuntutan Dan Upaya Hukum, PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, h. 90.
117
Makna asas legalitas memiliki makna yang jelas dan tegas sebagai suatu barometer dalam domain hukum pidana. Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur (asas legalitas). Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Prinsip asas legalitas maknanya secara tersirat terkandung didalam teori sitem hukum yang dikemukakan oleh Hart yang penulis gunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan penelitian ini. Asas legalitas dengan mengelaborasi Teori Sistem Hukum Hart mengandung makna tentang aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Teori yang dikemukakan oleh Hart menurut pandangan penulis mensyaratkan ketegasan dalam menjalankan aturan dan menerapkan asas legalitas secara proporsional. Narkotika yang terdapat didalam kasus Raffi Ahmad adalah narkotika jenis Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon atau biasa disebut Methylone. Jenis narkotika ini tidak diatur didalam ketentuan UndangUndang Nomor. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Tidak adanya ketentuan yang mengatur memberikan arti bahwa asas legalitas serta aturan mana yang dianggap sah seperti yang diuraikan H.L.A Hart dalam teori sistem hukum tidak terpenuhi,
118
sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan cacat prosedural. H.L.A. Hart dengan teorinya Teori Sistem Hukum dalam gagasannya sistem hukum dibagi menjadi dua yang disebut dengan primary rules dan secondary rules. Kedua bagian tersebut merupakan pusat dari sistem hukum dan keduanya harus ada dalam sistem hukum. Primary rules lebih menekankan kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Hal ini akan ditemukan dalam seluruh bentuk dari hukum (forms of law).136 Mengenai primary rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang pertama adalah primary rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan sosial (sosial rule) yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi; Pertama adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. Untuk tercipta situasi/kondisi demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek eksternal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota (masyarakat) itu merasakan bahwa aturan hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi prilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek internal).137
136
H.L.A. Hart, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford, p. 96
137
Ibid, h. 96-99
119
Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan aspek eksternal yang dapat dilihat atau memiliki sudut pandang masing-masing aturan menyatakan apa yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan dan ini juga sekaligus merupakan suatu pernyataan tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart keduaduanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting. Kewajiban sebagai suatu jelmaan dari hal yang bersifat internal dan prilaku yang sesuai merupakan jelmaan prilaku dari aspek eksternal dengan hal yang sama. Model yang kedua apa yang disebut oleh hart dengan secondary rules, yang dapat disebut “aturan tentang aturan” (rules about rules) yang apa bila di rinci meliputi, pertama; aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat di anggap sah (rules of recognition), Kedua; bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan ketiga; bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan, dipaksakan/ditegakan (rules of ajudication). Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of ajudication lebih efisien, sedangkan rules of change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.138 Posner mengemukakan ada dua kegunaan teori hukum yaitu pertama, teori hukum berhasil mengungkapkan ruang gelap (dark corners) dari suatu sistem hukum dan menunjukan arah jalan perubahan konstruktif yang sangat bernilai tentang unsur-unsur konsep hukum. Kegunaan kedua teori hukum membantu menjawab pertanyaan mendasar tentang sistem hukum yang intinya adalah pengetahuan sistem yang berbeda maknanya dari sekedar mengetahui bagaimana
138
Ibid
120
menjalankannya dalam suatu sistem dimana praktisi hukum telah biasa melakukannya.139 Ian Mc Leod juga memberikan penjelasannya bahwa kegunaan teori hukum khususnya bagi praktisi hukum adalah sebagai dasar berpikir untuk apa yang mereka sedang kerjakan. Teori hukum juga memiliki nilai tersendiri sebagai suatu bagian dari sebuah hasil pemikirian-pemikiran study.140 Hukum pidana dalam konsep untuk dapat dipidananya suatu perbuatan harus memenuhi unsur pertanggung jawaban pidana. Dalam unsur pertanggung jawaban pidana terdapat beberapa indikator atau tolok ukur dalam memutuskan apakah perbuatan seseorang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana atau tidak. Apabila perbuatan seseorang telah memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, tentu ia dapat dipidana. Demikian pula sebaliknya, jika unsur-unsur perbuatan pidana tidak dipenuhi, orang tersebut tidak akan dipidana.141 Para ahli hukum mencoba memberikan pengertian dan unsur-unsur dari perbuatan pidana yaitu: Simons mengartikan perbuatan pidana (delik) sebagai suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.
139
Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press, p.14-15
140
Ian McLeod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall University, p. 11
141
Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit
121
Pendapat Simons dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsurunsur perbuatan pidana terdiri dari (1) perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat); (2) diancam dengan pidana; (3) melawan hukum; (4) dilakukan dengan kesalahan; dan (5) oleh orang yang mampu bertanggung jawab.142 Moeljatno mendefinisikan perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Larangan ditujukan kepada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Adapun unsur-unsur atau elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana terdiri dari : a. Kelakuan dan akibat (perbuatan). b. Hal atau keadaan yang menyertai perbuatan c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. d. Unsur melawan hukum yang objektif. e. Unsur melawan hukum yang subjektif.143 Lima unsur atau elemen tersebut di atas pada dasarnya dapat diklasifikasikan ke dalam dua unsur pokok, yaitu unsur pokok objektif dan unsur pokok subjektif.144
142
Simons dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit
143
Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit.
144
Moeljatno dalam Johny Krisnan, 2008, Ibid, h. 25
122
a. Unsur Pokok Objektif. 1. Perbuatan manusia yang termasuk unsur pokok objektif adalah sebagai berikut: a) Act ialah perbuatan aktif yang disebut juga perbuatan positif, dan b) Ommission, ialah tidak aktif berbuat dan disebut juga perbuatan negatif. 2. Akibat perbuatan manusia Hal itu erat hubungannya dengan kausalitas. Akibat yang dimaksud adalah membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/ harta benda, atau kehormatan. 3. Keadaan-keadaan Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat
dapat
dihukum
itu
berkenaan
dengan
alasan-alasan
yang
membebaskan terdakwa dari hukuman. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. b. Unsur Pokok Subjektif Asas pokok hukum pidana ialah “tidak ada hukuman jika tidak ada kesalahan” (an act does not make guilty unless the mindis guilty, actus not facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan dimaksud di sini adalah sengaja (intention/dolus/opzet) dan kealpaan (negligent/schuld). 1. Kesengajaan.
123
Menurut para pakar, ada tiga bentuk kesengajaan, yaitu : a. Kesengajaan sebagai maksud. b. Kesengajaan dengan sadar kepastian c. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis). 2. Kealpaan. Kealpaan adalah bentuk kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan. Ada dua bentuk kealpaan, yaitu: a. Tidak berhati-hati; dan b. Tidak menduga-duga akibat perbuatan itu. Van Hamel menguraikan perbuatan pidana sebagai perbuatan manusia yang dirumuskan oleh undang-undang, melawan hukum (patut atau bernilai untuk dipidana) dan dapat dicela karena kesalahan. Dari definisi tersebut dapat dilihat unsur-unsurnya, yaitu (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undangundang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana.145 Vos memberikan definisi singkat mengenai perbuatan pidana yang disebutkan straafbaarfeit, yaitu kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. Unsur-unsurnya adalah (1) kelakuan manusia; dan (2) diancam pidana dalam undang-undang. Pompe memberikan dua macam definisi terhadap perbuatan pidana, yaitu yang bersifat teoritis dan yang bersifat perundang-undangan. Bersifat teoritis adalah perbuatan pidana pelanggaran normal/ kaidah/ tata hukum yang diadakan
145
Van Hammel dalam dalam Johny Krisnan2008, Op.Cit, h. 25
124
karena kesalahan pelanggar yang harus diberikan pidana. Pemberian pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Perbuatan Pidana menurut hukum positif adalah perbuatan pidana sebagai suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung perbuatan dan pengabaian atau tidak berbuat. Tidak berbuat biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan yang merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta itulah yang disebut uraian delik. 146 Penulis mengelaborasi dengan mengutip pendapat pompe yakni perbuatan Pidana menurut hukum positif inilah yang tidak terpenuhi untuk dapat dipertanggungjawabkannya jenis narkotika raffi ahmad sehingga untuk dapat dituntut secara pidana tidak memiliki keabsahan. Selain harus memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana untuk dapat dipidananya suatu perbuatan berkaitan dengan syarat pemidanaan juga harus memenuhi kriteria, yaitu: a. Actus Reus yaitu berupa kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederrechtelijke); b. Mens Rea yaitu berupa perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Unsur Mens Rea sebagai syarat pemidanaan ini tidak terpenuhi didalam kasus narkotika Raffi Ahmad dengan jenis narkotika baru dan mengandung jenis Methylone sehingga secara legalitas ia tidak dapat dijatuhkan pidana. Indrianto Senoadji dalam sistem hukum anglo-saxon menjelaskan bahwa syarat pemidanaan adalah harus memenuhi syarat adanya actus reus dan mens 146
Pompe dalam Johny Krisnan, 2008, Loc.Cit
125
rea, sehingga dalam pemidanaan yang harus digunakan adalah unsur melawan hukum formal, artinya ada atau tidak dalam perbuatan tersebut hal-hal yang bertentangan dengan hukum positif tertulis.147 Tradisi civil law mensyaratkan secara lex Scripta adalah penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana, ia menjadi penting dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak pidana yang dirumuskan oleh undang-undang terebut. Hukum harus didasarkan pada undang-undang memiliki kaitan dengan asas lex certa bahwa pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidak pastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena
147
Indrianto Seno Adji dalam Marwan Effendy, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana : Perkembangan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta, h. 84.
126
warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman perilaku. 148 Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad dengan mengelaborasi teori, konsep, dan asas hukum yang telah penulis uraikan diatas adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Kewenangan Badan Narkotika Nasional tidak sah karena UndangUndang Nomor. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah undang-undang administrasi
bersanksi
pidana
sehinga
ia
tidak
dapat
mendelegasikan
wewenangnya melalui Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional yang berdasarkan ketentuan pasal 4 melahirkan wewenang penyidikan kepada Badan Narkotika Nasional. Kasus Rafii Ahmad tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana sesuai dengan konsep hukum pidana yang menganut doktrin asas legalitas serta tidak terpenuhinya unsur-unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur secara tegas didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni didalam ketentuan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Unsur pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur subyektif dan unsur obyektif dan penghukuman harus didasarkan pada ketentuan tertulis dalam undang-undang (lex certa). Secara umum dapat penulis simpulkan unsur tersebut
148
Roelof H. Heveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, h. 50.
127
terdiri dari (1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang; (2) melawan hukum; (3) dilakukan dengan kesalahan; dan (4) patut dipidana. Berkaitan dengan kewenangan yang sah (legalitas) memiliki relevansi dengan Teori Keabsahan. Hadjhon berdasarkan pandangannya dalam Teori Keabsahan mensyaratkan keabsahan tindakan pemerintah didasarkan aspek kewenangan
yaitu setiap tindakan pemerintahan harus bertumpu
pada
kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun mandat). Aspek prosedur dari teori keabsahan bertumpu atas asas Negara Hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Aspek substansial menyangkut “apa” dan “untuk apa”. 149 Teori keabsahan memberikan suatu penjelasan bahwa pengunaan wewenang tidak bisa sewenang-wenang harus jelas menyangkut apa dan untuk apa dalam pelaksanannya. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam proses penegakan hukum dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor procedural justice dan faktor substantive justice. Menurut Bagir Manan dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum adalah tata cara penegakan hukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice).150 Tata cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan.
149
Philipus M. Hadjhon dalam I Made Muliawan Subawa, 2013, Fungsi Notaris dalam Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan CapJempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan, (tesis) Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Udayana, h. 10 150
Bagir Manan, 2005, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Varia Peradilan, Tahun ke-XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, h. 10
128
Seiring dengan berkembangnya jaman sifat yang prosedural sering menyebabkan hukum menjadi statis dan tertinggal dari peristiwanya. Untuk menengahi permasalahan ini diperlukan adanya suatu konsep keadilan. Konsep keadilan dalam penelitian ini oleh penulis digunakan konsep keadilan Jhon Rawls. Keadilan
menurut
Jhon
Rawls
pada
dasarnya
adalah
keadilan
yang
mengutamakan kebebasan individual yang bertanggung jawab.151 John Rawls dalam teorinya keadilan prosedural murni menjelaskan : The procedure for determining the just result must actually be carried out; for in these cases there is no independent criterion by reference to which a definite outcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a particular state of affairs is just because it could have been reached by following a fair procedure. This would permit far too much and would lead to absurdly consequences.152 John Rawls berpendapat bahwa prosedur untuk menentukan hasil yang adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut disebutkan John Rawls kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat. Hukum harus sesuai atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta berdasarkan pada kewenangan yang sah (legalitas).
151
Jhon Rawls dalam M. Syukri Akub Dan Baharuddin Baharu, 2012, Wawasan Due Proses Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, h.19 152
John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, h. 86
129
Tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.153 Berkaitan dengan pendapat Bagir Manan maupun Wayne La Favre, dalam pandangan Satjipto Rahardjo ketika membicarakan tentang penegakan hukum pada hakikatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak.154 Dikatakan demikian karena pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. 155 Menarik pendapat Gustav Radbruch, Satjipto Rahardjo mengelompokan yang abstrak tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.156 Dalam rumusan lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan, dan proses perwujudan ide-ide itu merupakan hakikat dari penegakan hukum. Hukum pidana dalam penegakannya secara faktual terdapat tiga jenis penegakan hukum. Joseph Goldstein dalam teorinya teori penegakan hukum
153
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 7 154
Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,Yogyakarta, h. 12. 155
Ibid
156
Ibid
130
pidana membaginya menjadi 3 yaitu Total Enforcement, Full Enforcement, dan Actual Enforcement.157 Total Enforcement adalah ruang lingkup hukum pidana sebagaimana dirumuskan dalam hukum pidana substantif. Namun demikian Total Enforcement tidak dapat dilakukan sepenuhnya, karena penegak hukum dibatasi oleh aturanaturan yang ketat yang ada didalam hukum acara pidana seperti aturan-aturan penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Disamping itu hukum pidana substantif
itu
sendiri
juga
memberikan
pembatasan-pembatasan
seperti
diperlukannya aduan terlebih dahulu untuk menuntut suatu perkara (delik aduan).158 Full Enforcement adalah para penegak hukum menegakan hukumnya secara maksimal. Namun oleh Goldstein harapan ini dianggap harapan yang tidak realistis karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personal, financial, dan sarana-sarana dalam penyidikan dan sebagainya. Kesemuanya ini mengakibatkan keharusan untuk dilakukan diskresi. 159 Actual enforcement adalah penegakan hukum harus dilihat secara realistis sehingga penegakan hukum secara aktual harus dilihat sebagai bagian diskresi yang tidak dapat dihindari karena keterbatasan-keterbatasan.160
157
Joseph Goldstein dalam Yesmil Anwar dan Adang,2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung, .h.60 158
Loc.Cit
159
Loc.Cit
160
Loc.Cit
131
Sejak diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) guna melaksanakan penegakan hukum yang adil (due procces of law) konsep yang dianut dalam sistem peradilan pidana di Indonesia adalah mengarah pada konsep Due Process Model. Konsep ini lebih cenderung mengarah pada Adversary System yang menganggap tersangka atau terdakwa bukan sebagai objek. Packer dalam bentuk pendekatan normatif sistem peradilan pidana membedakan menjadi dua model yaitu crime control model dan due proses model.161 Crime control model dan due proses model memiliki perbedaan karakteristik tersendiri dalam fungsinya. Nilai- nilai yang melandasi crime control model adalah : 1. Tindakan-tindakan represif terhadap satu tindakan kriminal merupakan suatu fungsi terpenting dari suatu proses peradilan. 2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya. 3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat, (speedy) dan tuntas (finality) dan model yang dapat mendukung proses penengakan hukum tersebut adalah model administratif dan menyerupai model manajerial. 4. “Asas praduga bersalah” Presumption of guilt” menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien; dan 5. Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuantemuan fakta administratif oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah: a. Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan b. Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.
161
Hebert Packer, 1968, The Limits Of Criminal Santion, Stanford University Press, California, p. 152-153
132 Nilai-nilai yang melandasi “Due Procces Model” dalam bentuk pendekatan normatif sistem peradilan pidana terdapat beberapa macam karakteristik dalam penerapannya, yaitu : 1. Kemungkinan adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusia atau human error menyebabkan model ini menolak informal fact finding process sebagai cara untuk menetapkan secara definitif factual guilt seseorang. Model ini hanya mengutamakan formal-adjudicative dan adversary fact finding. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya. 2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan. 3. Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan utama didalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang diaanggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses peradilan dianggap sebagai Coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan martabat (Demeaning). Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara; 4. Model ini bertitik tolak dari nilai bersifat anti terhadap kekuasaan, sehingga model ini memegang teguh doktrin “legal guilt”. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut: - Seseorang dianggap bersalah bila kesalahannya dibuktikan secara prosedural dan oleh mereka yang memiliki otoritas untuk itu. - Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat ditetapkan oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak. 5. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the law” lebih diutamakan. 6. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana (criminal sanction).162
162
Ibid
133
Karakteristik dari masing-masing model diatas terlihat jelas perbedaannya. Crime control model merupakan tipe affirmatif model yang menekankan pada eksistensi penggunaan kekuasaan formal pada setiap tahapan dari prosedur peradilan pidana serta kekuasaan legislatif yang sangat dominan. Sedangkan Due process model merupakan tipe negatif model yang menekankan pada batasan kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan model kekuasaan yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif yang selalu mengacu pada konstitusi. 163 Due Proses Model merupakan suatu rangkaian yang menjadi standarisasi bagi penegak hukum dalam hal ini Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad, serta penegak hukum lainnya dalam melakukan penangkapan, penahanan, penuntutan dan mengadili serta mempersalahkan pelaku kejahatan. Konsep Due Process Model menganut asas praduga tidak bersalah dimana seseorang baru dapat dinyatakan bersalah oleh suatu autoritas yang sah melalui peradilan. Due Process Model sebagai paradigma sistem peradilan pidana akan membawa sistem tersebut pada pencapaian tujuan proses yang wajar, menempatkan pelaku kejahatan sebagai subyek, sehingga mempunyai posisi hukum yang seimbang misalnya dengan aparat penegak hukum. Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penegakan hukum akan dirumuskan terutama untuk melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan
163
Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, h. 44
134
aparat. Dengan demikian berlaku apa yang menurut Fletcher sebagai negative principle of legality.164 Ketentuan undang-undang dipandang sebagai “pembatasan” kewenangan negara (aparat penegak hukum) dan bukan sebagai dasar dari “pemberian” kewenangan untuk merepresi suatu perbuatan. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) akan menjadi fundamen utama seluruh perangkat (substance, structure dan culture) penegakan hukum. Konsep Due Process Model relevan dalam mendukung adanya pembatasan wewenang secara formal terhadap Penyidik Badan Narkotika Nasional guna menghindari adanya kesalahan mekanisme administrasi peradilan dalam hal penyalahgunaan wewenang dan menerapkan asas “equality before the law” (kesamaan dihadapan hukum) sehinga terwujud penegakan hukum yang adil (due process of law). Penegakan hukum yang adil (due process of law) untuk mewujudkannya harus mencakup beberapa kriteria: pertama, perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara. Kedua, bahwa pengadilan berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Ketiga, bahwa sidang pengadilan harus bersifat terbuka. Keempat, bahwa tersangka dan terdakwa harus diberikan jaminan-jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya.165 Berkaitan pada kriteria diatas dalam proses peradilan pidana lembaga peradilan dituntut bukan saja prosesnya dilakukan secara jujur, bersih dan tidak
164
George P. Fletcher, 1998, Basic Concept of Criminal Law, Oxford: Oxford University Press,
p, 207 165
I Gusti Ketut Ariawan, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM Dalam KUHAP, Bahan Pendalaman Materi Perkuliahan Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana Program MagisterIlmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, h. 8
135
memihak, akan tetapi juga harus dilandasi prinsip-prinsip yang sifatnya terbuka, korektif dan rekorektif.166 Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang sudah tercapai, tetapi dilain pihak juga memperlihatkan
usaha
untuk
mendorong
dan
mengarahkan
perubahan.
Pemositifan hukum dalam perundang-undangan menjadikan hukum itu terbatas dan sering tertinggal oleh dinamika perkembangan masyarakat. Menurut Khudzaifah Dimyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadikan sistem hukum positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapkan kepadanya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (ius constituendum), konstruksi hukum, penafsiran analogi, penghalusan hukum, adalah contoh-contoh untuk itu.167 Penemuan hukum dan perbaikan melalui peraturan perundang-undangan secara kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN) perlu dilakukan. Penemuan hukum perlu dilakukan berkaitan dengan jenis narkotika Cathinone dengan senyawa 3,4 Methylene Dioxy Methcathinon dalam kasus Raffi Ahmad yang secara tegas tidak diatur didalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Perbaikan
secara
perundang-undangan
dalam
hal
pembentukan
kelembagaan yang berpengaruh pada lahirnya wewenang penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN). Eksistensi Badan Narkotika Nasional (BNN) masih
166
167
Ibid, h. 12
Khudzaifah Dimyati, 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta, h. 65
136
dibutuhkan dalam hal mengantisipasi kejahatan narkotika yang dapat mengancam sendi-sendi kehidupan bernegara. Agar sumber hukum wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) seimbang secara hierarkhi peraturan perundangundangan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 29 Tentang Narkotika idealnya Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional perlu diganti dengan undang-undang layaknya lembaga negara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau dengan Peraturan Pemerintah mengingat undang-undang administrasi bersanksi pidana tidak dapat mendelegasikan wewenangnya. Penulis mengutip pendapat Indroharto yang menjelaskan bahwa hanya undang-undang yang dapat menimbulkan akibat hukum serta sesuai dengan penjelasan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “kekuasaan yang sah” adalah aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan undang-undang. Penemuan hukum perlu dilakukan agar mampu memberikan solusi atas perkembangan kejahatan narkotika yang terjadi. Penemuan hukum oleh Sudikno Merto Kusumo diartikan sebagai sebuah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat penegak hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum yang konkrit. Penemuan hukum sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret tertentu.168 Definisi ini juga tidak jauh berbeda dengan pengertian penemuan hukum dengan apa yang dikemukakan oleh
168
Sudikno Mertokusumo dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Loc.Cit
137
Loudoe, bahwa penemuan hukum bukan suatu proses yang logis belaka melalui proses subsumsi dari fakta pada ketentuan undang-undang, akan tetapi juga merupakan penilaian dari fakta untuk kemudian menemukan hukumnya. Penemuan hukum dalam hal terjadi kekosongan hukum dapat dilakukan dengan teknik konstruksi hukum. Melalui teknik ini penemuan hukum (Rechtsvinding) dapat dibentuk melalui 3 jenis metode yaitu: 1. Analogi : Adalah suatu bentuk penalaran dengan memperluas berlakunya suatu pasal dari aturan hukum atau undang-undang terhadap peristiwa hukum yang eksplisit (jelas-jelas) tidak disebut dalam aturan hukum dimaksud. 2. Argumentum a contrario: Adalah penalaran ini sama juga dengan analogi tetapi sampai pada hasil yang berlainan yakni aturan hukum dalam undang-undang hanya berlaku pada kejadian-kejadian yang secara eksplisit disebut, dan tidak berlaku bagi kejadian yang tidak disebut. 3. Rechtsverfijning atau penghalusan hukum: Oleh Sudikno Mertokusumo dinamakan “penyempitan hukum” karena itu penalarannya berlawanan dengan analogi, pada penghalusan hukum yang terjadi adalah aturan hukum yang dikhususkan.169 Paul scholten memberikan penjelasannya dalam hal terjadinya kekosongan hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan. Pada intinya hukum itu ada, tetapi masih harus ditemukan. Adalah sesuatu yang khayal apabila sesorang beranggapan bahwa undang-undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas.
169
I Dewa Gede Atmadja, 2009, Loc.Cit
138
Penemuan hukum berbeda dengan penerapan hukum. Dalam penemuan hukum ditemukan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan, baik lewat penafsiran hukum, analogi, maupun penghalusan hukum. Penegakan hukum tidak hanya dilakukan dengan logika penerapan hukum yang mengandalkan penggunaan logika, melainkan melibatkan penilaian dan memasuki ranah pemberian makna. 170 Berdasarkan wawancara penulis dengan I Gede Artawan selaku Kepala Bidang Pemeberantasan Badan Narkotika Nasional Propinsi Bali berkaitan dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional terhadap narkotika yang masuk termasuk kedalam kategori New Psychoactive Substances dijelaskan bahwa Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika secara tegas tidak mengatur ketentuan tersebut. I Gede Artawan juga menyarankan agar para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat besama Presiden dalam merumuskan peraturan perundangundangan yang baru atau merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika guna mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika jenis baru untuk membuat satu klausula Pasal yang memberikan kewenangan kepada Penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) bahwa penyidikan tindak pidana narkotika dapat dilakukan apabila telah membuktikannya melalui hasil laboratorium. Penemuan
hukum
adalah
sebuah
reaksi
terhadap
sistuasi-situasi
problematik yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hukum
170
Paul scholten dalam Eddy O.S Hiariej, 2009, Loc.Cit
139
yang ditimbulkan oleh kejadian-kejadian konkret. Ada dua unsur penting didalam penemuan hukum yaitu pertama adalah hukum/sumber hukum dan kedua adalah fakta.171 Fakta hukum yang terjadi dalam kasus narkotika Raffi Ahmad menunjukan bahwa terjadinya kekosongan hukum secara normatif. Untuk itu diperlukan
adanya
pemositifan
hukum
agar
kedepannya
tidak
terjadi
permasalahan berkaitan dengan keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap narkotika yang termasuk kedalam klasifikasi New Psychoactive Substances. Pemositifan hukum terkait dengan narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) dapat dilakukan melalui kebijakan formulasi hukum pidana yang sesuai dengan teori kebijakan hukum pidana dan kebijakan hukum pidana ini diambil berdasarkan pada arah politik hukum pidana. Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling terkait antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional, pendekatan ekonomis dan fragmatis, serta pendekatan yang berorientasi pada nilai. Kejahatan adalah penunjukan, yang berarti kejahatan yang didefinisikan oleh selain penjahat. Kejahatan adalah perilaku tunduk pada penilaian lainnya. Sehingga kebijakan penegakan hukum sangat diperlukan untuk menanggulangi kejahatan. Kebijakan penegakan hukum pidana merupakan serangkaian proses yang terdiri dari tiga tahap kebijakan yaitu :
171
J.A. Pontier, 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Shidarta, Jendela Mas Pustaka, Bandung, h. 1
140
a. Tahap
kebijakan
legislatif
(formulatif)
yaitu
menetapkan
atau
merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan oleh badan pembuat undang-undang. b. Tahap kebijakan yudikatif/aplikatif yaitu menerapkan hukum pidana oleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. c. Tahap kebijakan eksekutif/administratif yaitu melaksanakan hukum pidana secara konkrit, oleh aparat pelaksana pidana. 172 Kebijakan formulasi narkotika jenis baru yang terdapat didalam kasus narkotika Raffi Ahmad dengan jenis metilon yang diklasifikasikan sebagai narkotika jenis baru (New Psychoactive Substances) kepastian hukumnya dapat dicapai dalam tataran kebijakan legislatif. Pada tataran ini adalah tahapan terpenting dimana penormaan suatu rumusan delik dalam undang-undang dilakukan oleh lembaga terkait yang memiliki otoritas untuk itu. Pembuat undangundang menetapkan atau merumuskan perbuatan apa yang dapat dipidana dan sanksi apa yang dapat dikenakan. Ketika undang-undang telah terbentuk pelaksanaannya kemudian dilaksanakan oleh lembaga yudikatif dan eksekutif untuk melaksanakan hukum pidana secara konkrit. Kebijakan penegakan hukum pidana harus sesuai dengan arah politik hukum yang dibutuhkan dalam hal penanggulangan kejahatan yang dilakukan oleh Negara melalui pembentukan undang-undangnya. Dalam kasus Raffi Ahmad konsep politik hukum pidana diperlukan dalam hal pengertian yang praktis yakni politik hukum pidana adalah segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
172
Barda Nawawi Arief, 1998, Loc. Cit
141
menanggulangi kejahatan dan usaha tersebut meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan aparat yang terkait dengan eksekusi pemidanaan. Aktifitas dari badan-badan tersebut tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai dengan fungsinya masing-masing.173 Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, "Politik Hukum" adalah: a. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Bertolak dari pengertian demikian Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan bahwa melaksanakan "politik hukum pidana" berarti, "usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Politik hukum pidana dilihat sebagai bagian dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Usaha dan kebijakan untuk membuat
173
Barda Nawawi Arief II, Loc.Cit
142
peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian "kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana". Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum) pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian "social policy", sekaligus tercakup di dalamnya "social welfare policy" dan "social defence policy". Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal dan di bidang hukum pelaksanaan pidana.
143
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari hasil penelitian tesis ini yang dapat penulis uraikan adalah : 1. Keabsahan kewenangan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam tindak pidana narkotika adalah tidak sah karena Badan Narkotika Nasional dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 dengan mengacu pada Pasal 149 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sebagai Undang-Undang Administrasi bersanksi pidana yang memuat tentang pelabelan narkotika dan tatacara pengadaan prekursor narkotika UndangUndang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika tidak dapat mendelegasikan kewenangan pembentukan Badan Narkotika Nasional. Badan Narkotika Nasional hendaknya dibentuk melalui peraturan pelaksana seperti peraturan pemerintah. 2. Keabsahan penyidikan Badan Narkotika Nasional (BNN) terhadap kasus Raffi Ahmad adalah tidak sah dan tidak dapat dipertanggung jawabkan secara pidana karena tidak memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana khususnya unsur obyektif yakni sifat dapat dihukum karena tidak diatur didalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan asas legalitas dan asas lex certa yaitu pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan tindak pidana.
143
144
5.2 Saran/Rekomendasi Rekomendasi yang dapat penulis berikan terkait dengan pembahasan permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama presiden jika masih menghendaki adanya Badan Narkotika Nasional hendaknya membentuk suatu undang-undang agar memberikan kewenangan yang sah kepada Badan Narkotika Nasional dalam penyidikan tindak pidana narkotika. 2. Untuk mengantisipasi perkembangan prekursor narkotika dan narkotika jenis baru disarankan bagi para legislator yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden untuk merevisi Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan membentuk klausula pasal progresif yang menyatakan penyidikan tindak pidana narkotika yang jenisnya tidak tencantum dalam ketentuan undang-undang, penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil uji laboratorium forensik.
DAFTAR PUSTAKA I. Buku. Adi, Kusno, 2009, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang. Atmosudirjo, S. Prajudi , 1994, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta. Ali, H.Zainudin 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung. Arief, Barda Nawawi, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung. __________________ , 2002, Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti Bandung. __________________, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, P.T. Citra Aditya bakti, Bandung. Atmadja, I Dewa Gede, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga. Atmosudirjo, Prajudi, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia. Brouwer J.G dan Schilder, Dalam Nur Basuki Minarno (ed), Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama. Bruggink, J. J. H, 1999, Refleksi Tentang Hukum, terjemahan Sidhartha, Arief cetakan kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Dimyati, Khudzaifah , 2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990, Muhammadiyah University Press, Surakarta. Effendy, Marwan, 2011, Kapita Selekta Hukum Pidana: Perkembangan dan IsuIsu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta Selatan. Fuller, Lon, 1969, Morality of Law, rev. ed. (New Haven: Yale University Press). Goldstein, Joseph dalam Anwar, Yesmil dan Adang,2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelasanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Cet.I, Widya Padjajaran, Bandung. Logemann dalam Fachrudin, Irfan, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. Hadjhon, Philipus M, 2008, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Cetakan Pertama, LaskBangPRESSindo, Yogyakarta. Hadjon, Phillipus M, 1997, Tentang Wewenang,Yuridika, Surabaya. Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Hamzah, Andi dalam dalam Anwar, Yesmil dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung Harahap, M. Yahya, 2005, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya dalam Yesmil Anwar dan Adang, 2009, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Cet. I Widya Padjajaran, Bandung. Hart, H.L.A, 1961, The Concept of law, Oxford University Press, Oxford. H.R, Ridwan, 2008, Hukum Administrasi Negara, Cet.ke-4, Rajawali Pers, Jakarta. ____________, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ian Mc.Leod, 1999, Legal Teori, Departemen Of Law, London Guildhall University
Iqbal Hasan, M, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta. Ibrahim, Jhony, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya. Kusumaatmadja, Mochtar dalam Atmasasmita, Romli 2012, Teori Hukum Integratif : Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Yogyakarta. Kelsen, Hans 2012, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Cet. ke-2, terjemahan Asshiddiqie, Jimly dan Safa'at, M. Ali Konstitusi Press, Jakarta). M. Marwan dan Jimmy. P, 2009, Kamus Hukum; Dictionary Of Law Complete Edition, cetakan pertama, Reality Publisher, Surabaya. Marpaung, Leden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan, & Pengadilan Negeri, Upaya Hukum & Eksekusi) Sinar Grafika, Jakarta. Marpaung, Leden, 2004, Tindak Pidana Pencegahan, Edisi Revisi, Djambatan.
Korupsi
Pemberantasan
dan
Mardani, 2008, Penyalah Gunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Pidana Nasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Muladi dan Nawawi Arief, Barda 1992, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Penerbit Alumni Bandung Minarno, Nur Basuki, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama. Muladi, 1994, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citrabaru, Jakarta. Mulder dalam Hamdan, M 1999, Politik Hukum Pidana, Penerbit PT Raja Grafindo, Persada, Jakarta. Nasution, Bahder Johan, 2011, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, cetakan pertama, CV. Mandar Maju, Bandung. Nicolai, P dalam H.R, Ridwan,2008, Hukum Administrasi Negara, cetakan keempat, Rajawali Pers, Jakarta. Packer, Hebert, 1968, The Limits Of Criminal Santion, Stanford University Press, California.
Pontier, J.A. 2008, Penemuan Hukum, Penerjemah B. Arief Shidarta, Jendela Mas Pustaka, Bandung. Putra Jaya, Nyoman Sarikat, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Di Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Rahardjo, Satjipto 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,Yogyakarta. Rawls, Jhon, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts. Rawls, Jhon, dalam Syukri Akub, M dan Baharu, Baharuddin, 2012, Wawasan Due Proses Of Law Dalam Sistem Peradilan Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta Richard A Posner, 2001, Frontiers Of Legal Theory, Harvard University Press. Roelof H. Heveman, 2002, The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta. Robert Bohtlingk, Frederick dalam Fachrudin, Irfan 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. Scholten, Paul dalam Arinanto, Satya dan Triyanti, Ninuk, 2011, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, Raja Wali Perss, Jakarta. Seno Adji, Indrianto 2009, Korupsi Dan Penegakan Hukum, Diadit Media Jakarta. Seno Adji, Indrianto dalam EfFendy, Marwan, 2012, Kapita Selekta Hukum Pidana : Perkembangan Isu-Isu Aktual Dalam Kejahatan Finasial Dan Korupsi, Referensi, Jakarta Seno Adji, Indrianto dalam Basuki Minarno, Nur, 2009, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, Laksbang Mediatama, Palangkaraya. Sinaga, Patuan dalam S.F Marbun dkk, 2001, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta. Soekanto, Soerjoeno, 2011, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Stroink, F. A.M. dan J.G. Steenbeek, Dalam Minarno, Nur Basuki (ed), Penyalahgunaan Wewenang Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah Yang Berimplikasi Tindak Pidana Korupsi, Laksbang Mediatama. Stout, H.D, 1994, “Betekenissen van de Wet” dalam HR, Ridwan (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada. Sudarto, 1993, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni, Bandung. Manan, Bagir 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit IND-HILL.CO, Jakarta. Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum, cetakan keenam, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno dalam Hiariej, Eddy O.S, 2009, Asas Legalitas Dan Penemuan Dalam Hukum Dalam Hukum Pidana, Penerbit Erlangga, Jogjakarta Teeuw, A, 1999, Kamus Indonesia-Belanda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tonnaer, F.P.C.L, 1986, Legaal Besturen: het Legaliteitbeginsel of struikelblok, Dalam HR, Ridwan (ed), Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada. Utrecht, E, dalam Irfan Fachrudin 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. Van Wijk, H.D, dalam Irfan Fachrudin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Alumni, Bandung. Ulfa Zulfa, Eva Achjani, 2011, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, Penerbit Lubuk Agung Bandung.
II. Peraturan Perundang-Undangan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Peraturan Hukum Acara Pidana, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Trafficin Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988)
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 367). Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143). Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2010 Tentang Prekursor Narkotika (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60). Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 12). Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pelayanan Laboratorium Pengujian Narkoba Pada Badan Narkotika Nasional (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 670 Tahun 2011).
III. Jurnal /Artikel Ilmiah. Adisoeryo, Soeparno, Lembaga Pengawas sistem Peradilan Pidana Terpadu Dan Administrasi Peradilan sistem Peradilan Terpadu, (Makalah disampaikan pada Semiloka II: Administrasi Peradilan: Lembaga Pengawas Siatem Peradilan Terpadu. Jakarta, 16 Juli 2002. Ariawan, I Gusti Ketut, 2008, Eksistensi Konsep “Due Process of Law” HAM Dalam KUHAP, Bahan Pendalaman Materi Perkuliahan Bantuan Hukum dan Penyantunan Terpidana Program MagisterIlmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar. Djatmiati, Tatiek Sri, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya. M. Hadjon, Philipus, Discretionary Power dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), Artikel Ilmiah, disampaikan pada Seminar Nasional "Aspek Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kebijakan Publik Dari Tindak Pidana Korupsi", Semarang, 6-7 Mei 2004. Mustamu, Julista, 2011, Diskresi Dan Tanggungjawab Administrasi Pemerintahan, Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April-Juni. Manan, Bagir, 2000, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional Fakultas Hukum, Univeristas Padjajaran, Bandung 13 Mei.
Manan, Bagir, 2005, Penegakan Hukum Yang Berkeadilan dalam Varia Peradilan, Tahun ke-XX, Nomor 241, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta. Syarif Nuh, Muhamad, 2012, Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, Jurnal MMH Jilid 41, No.1, Makasar Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung R.I, 2014, Peran Pegawai Pemerintah Sebagai Partisipan Membangun Budaya Bangsa, Availaible at www.kejaksaan.go.id. Diakses 14 Februari 2014.
IV. Tesis. Muliawan Subawa, I Made, 2013, Fungsi Notaris dalam Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan CapJempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan, (tesis) Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Udayana Johny Krisnan, 2008, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, (tesis)Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang Wahyu Chandra Satriana, I Made 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
V. Artikel Dalam Format Elektronik (Internet). Arman Depari, 2013, Direktorat Tindak Pidana Narkoba Mabes Polri memaparkan hasil temuan narkotika jenis baru yang beredar di Indonesia, Alvalaible at http://sinarharapan.co/index. php/news/read/27868/empat-narkoba-jenis-baru-beredar-diindonesia.html. Diakses 14 Februari 2014. Badan Narkotika Nasional, 2013, Zat Psikoaktif Baru (New Psychoactive Substances-NPS), Avalaible at, http://bnnp-diy.com/posting-117narkoba-baru-nps.html. Diakses 22 November 2013.
Badan Narkotika Nasional (BNN), 2013, Bahan Jenis Narkoba Kasus Raffi Ada di Puncak, 2013, Avaliable at http://www.tempo.co/read/news/2013/02/03/ 064458701/BNN-Bahan-Jenis-Narkoba-Kasus-Raffi-Ada-di-Puncak. Diakses 11 Februari 2014.
Sumirat
Dwiyanto, 2013, Penemuan Narkotika Oleh Unit Pelayanan Laboratorium Uji Narkoba Oleh Badan Narkotika Nasional, Avalaible at http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/30/bnn-temukan narkotika-jenis-baru. Diakses 11 Februari 2014.