KEWENANGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM PEMBERANTASAN MONEY LAUNDERING HASIL TINDAK PIDANA NARKOTIKA Oleh: R. Dea Rhinofa, S.H.(BNN)
A.
KEJAHATAN MONEY LAUNDERING DI INDONESIA Masalah pencucian uang sebagai jenis tindak pidana baru dalam referensi hukum pidana dan keuangan, serta hukum perbankan, cukup menarik perhatian masyarakat nasional termasuk mereka yang terlibat dalam aktivitas perbankan dan pasar modal. Pembangunan ekonomi nasional akan terhenti ketika iklim investasi dalam negeri menurun drastis dan ketentuan mengenai rahasia bank tidak lagi diperketat, terutama bagi pelaku-pelaku bisnis dan pasar modal. Yang psati dikehendaki oleh pelaku bisnis dan pasar modal, ialah kepastian hukum dalam berusaha, kenyamanan dan perlindungan hukum dalam berusaha, serta menghindar sejauh mungkin dari keterlibatan dalam perkara pidana sekecil apapun kesalahannya. Hal yang terakhir sejak dahulu, kalangan ini sangat sensitif dan terkadang menjadi fobia terhadap “campur tangan” dan “intervensi” Negara dalam bentuk apa pun dan untuk tujuan sebakik apapun. Keberadaan Money Laundering sebagaimana dikatakan Bambang Poernomo:1 Sejak masyarakat bangsa-bangsa beradab (1939) dan setelah para ahli bertaraf dunia mengintroduksi “blue collar crime” berkembang menjadi “white collar crime” telah tumbuh gejala meluasnya hukum sosial-ekonomi yang meliputi “development, quality of life” yang terkandung potensi perbuatan kejahatan “crime against development, crime against social welfare, crime against quality of I life”. H. Sutherlands mulai menunjuk bentuk kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat Negara dan dari pengusaha yang merugikan masyarakat dan Negara (1955/1960). Lebih jelas lagi ketika terbit
1
Bambang Poernomo. Money Laundeering Persepsi Hukum Nasional. Jakarta, FH Jayabaya, 2001., hal. 1
1
“Handbook on White Collar Crime” di Amerika Serikat 1974. Nama istilah tersebut dikembangkan lagi oleh UNAFEI dalam Seminar in the Prevention and Control of Social and Economic Offences (1978), sehingga lebih terkenal dengan bentuk “social-economic offences” yang menjadi bagian dari kejahatan dalam hokum social-ekonomi.2 Kejahatan dalam hukum social-ekonomi terkait dengan upaya tatanan sosial dan tatanan ekonomi di lingkungan regional, nasional, dan internasional sehingga dapat diartikan suatu bentuk kejahatan yang sangat luas dan dapat melampaui batas-batas territorial Negara menjadi bentuk kejahatan transnasional atau internsaional. Karakteristik kejahatan sosial-ekonomi bersifat: (1) perbuatannya diimplementasikan secara terselubung, misalnya berupa fasilitas dan kesempatan bagi si pemberi terhadap si penerima dalam hal penyuapan; (2) keahlian si pembuat kejahatan untuk memanfaatkan si korban baru merasakan menjadi viktimisasi setelah berselang beberapa lama sesudah kejadian kejahatan (credit card fraud); (3) kejahatan yang dilakukan dalam rangka perdagangan, perbankan, pemerintahan, kelembagaan keuangan lainnya misalnya “banking violations by bank officer employers” dan “money laundering”; (4) kejahatan sebagai usaha business atau sebagai aktivitas penyalahgunaan kredit bank. Kongres ke-7 PBB di Milan, Italia 1965 telah merekomendasikan tumbuhnya jenis “industrial crime” dan economic penalties” dengan kebijakan “social policy” dan “criminal policy” menurut konsepsi hukum “bersifat represif yang menggunakan tindakan penal dalam system peradilan pidana”, dan konsepsi hukum prevensi upaya kemasyarakatan “bersifat prevention without punishment”, serta “usaha penyalahgunaan opini masyarakat atau melalui mass media untuk sosialisasi hukum tentang
anti
kejahatan
sosial-ekonomi”
secara
multiguna
dalam
masyarakat modern.3
2 3
Bambang Poernomo, Ibid., hal. 3 Supanto. Kejahatan Ekonomi Global dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Alumni 2010., hal. 131
2
Kejahatan money laundering sebagaimana telah disebutkan di atas termasuk berkarakter kejahatan sosial-ekonomi itu memperoleh label kriminalisasi perbankan dan sosialisasi anti money laundering dengan sarana Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003. Pengertian money laundering dalam keputusan belum terdapat definisi yang jelas, terjemahan bahasa Indonesia “pencucian uang”, dan hanya untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan hukum diperoleh batasan, bahwa: “money laundering, adalah perbuatan, menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atau harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hsail tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah”. Penjelasan seperti tersebut di atas apa yang dinamakan money laundering dapat mengandung paling sedikit lima unsur, yaitu: 1.
Seseorang atau organisasi yang melakukan perbuatan
2.
Uang haram berasal dari tindak pidana
3.
Dengan maksud untuk menyembunyikan uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang untuk menindak terhadap tindak pidana
4.
Dengan cara memasukkan uang ke dalam sistem keuangan suatu negara
5.
kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan yang dimaksud menjadi uang yang sah.
Sumber sejarah money laundering ada hubungannya dengan nama Al Capone, seorang tokoh kejahatan bersindikat dan lalu lintas perdagangan illegal drug trafficking, namun kemudian berkembang money laundering juga berasal dari uang kejahatan lainnya ”financial crime”.
3
Dalam istilah ”Dirty Money” disebutkan bahwa telah beredar 500 milyar dolar sampai 1 triliun dolar, bahkan ada pula yang menyebutkan lebih dari 2,5 – 5,0 triliun dolar dari berbagai jenis kejahatan dirty money sudah memasuki sirkulasi di Bank Amerika Serikat, dan sumber lain di Kanada setiap tahunnya sekitar 5 – 14 milyar dolar pencucian uang ke bank sampai tahun 1996.4 Informasi tentang kegiatan money laundering seperti tersebut di atas terdapat kesan hanya negara-negara pembangunan perbankan sudah maju saja yang dilanda kejahatan money laundering, sedangkan bagi negara-negara yang sedang berkembang (under developing) seolaholah tidak tersentuh kejahatan money laundering. Pro dan kontra untuk menyelenggarakan anti money laundering masih berkembang di dunia, kurang lebih ada 20 negara tidak setuju atau ragu-ragu untuk bersikap money laundering dengan berbagai alasan kondisi nasional perekonomian maupun perbankan ataupun kondisi keuangan (APBN) yang seringkali mengalami defisit sangat membutuhkan dana
untuk
menutup
keuangan
negara
dengan
cara
membuka
penanaman modal dari segala sumber keuangan. Dalam keadaan yang demikian di Indonesia tidak perlu ketat menghadapi keuangan yang terkait dengan money laundering. Sinyalemen dari sudut pandang politik yang belum dapat dibuktikan secara hukum bahwa P. Marcos beserta keluarga di Filipina diprasangka menjadi pelaku money laundering. Demikian pula mantan Presiden Soeharto di Indonesia yang mendapat prasangka money laundering di luar negeri berhadapan dengan tim pelacakan pun tidak berhasil membuktikan secara hukum. Reaksi mantan Menteri Keuangan RI kurang setuju bahwa Widjojo Mitisastro berpendapat Indonesia masih dapat mengikuti kelompok negara kontra money laundering walaupun terdapat tekanan dari kelompok pro money laundering.5
4 5
Bambang Poernomo., op.cit., hal. 4 Ibid.
4
Berbagai asalan dari berbagai kelompok negara anti money laundering antara lain, bahwa: (1) money laundering memungkinkan para pengedar narkoba dan para pedagang yang melakukan kegiatan penyelundupan dapat memperlancar kegiatan dan gerakan kejahatannya; (2) money laundering mempunyai potensi untuk meningkatkan kejahatan korupsi karena peredaran uang berjumlah banyak merangsang para koruptor; (3) money laundering mengurangi pendapatan pajak negara karena peredaran uang yang tidak legal; (4) money laundering dapat menggerakkan tindak pidana lain menurut cara-cara tersembunyi misalnya penipuan, pemalsuan, dan lain-lainnya yang dapat membuat kesibukan
berkepanjangan
petugas
penegak
hukum;
(5)
dapat
mengakibatkan biaya sosial yang tinggi; (6) membahayakan usaha-usaha privatisasi dari perusahaan negara; (7) merongrong sektor swasta yang sah dan integrasi pasar keuangan karena kegiatan bank-bank dimsauki unsur-unsur kejahatan yang terselubung, dan (8) pada akhirnya menimbulkan
ketidakstabilan
ekonomi
negara
dan
atau
ekonomi
masyarakat.6 Amerika Serikat sebagai negara besar yang sangat berkepentingan dengan pemberantasan money laundering membuat undang-undang yang pertama
”Money
Laundering
Control
Act
1986”
di
dunia
agar
menghentikan para penjahat yang menikmati pencucian uang hasil kejahatan dengan menginvestasikan uang di bank teristimewa dari hasil perdagangan gelap narkoba dan hsail korupsi pejabat negara. Sedangkan negara-negara lainnya (negara kontra) anti money laundering masih mentolerir peredaran money laundering dalam batas-batas tertentu sepanjang tidak mengganggu bank negara lain dan bank internsaional.7 Perbuatan
kejahatan
money
laundering
tidak
sedemikian
tertutupnya tidak mudah diketahui oleh pemerintah atau oleh masyarakat institusi keuangan karena proses tiga tahap, yaitu: (1) tahap ”placement:
6 7
Ibid., hal. 7 Ibid., hal. 11
5
dari uang hasil kejahatan itu didepositokan atau masuk rekening bank, kemudian ditarik keluar lagi dari bank dan seterusnya berganti dimasukkan ke bank lain berikutnya, maka uang tersebut sudah menjadi legal; (2) tahap ”layering” dengan cara sesudah tahap placement uang bank tersebut dipindahkan lagi dari bank satu ke bank yang lainnya pada negara yang menyelenggarakan rahasia perbankan yang ketata atau dengan cara seolah-olah melakukan transaksi business terpecah-pecah supaya tidak mencurigakan petugsa negara; (3) tahap ”integration” bahawa uang yang telah dicuci itu mondar-mondir di wilayah lembaga keuangan resmi pada suatu saat yang tepat menjadi uang halal dan bahkan sudah masuk dalam dunia perpajakan, maka kembali dalam jalur sirkulasi uang yang bersih untuk dipergunakan dalam investasi kegiatan real estate atau perusahaan lainnya. Sedemikian hebatnya gerakan money laundering, sehingga banyak negara di dunia tertarik untuk memasuki kelompok money laundering, manakala negara yang bersangkutan tidak mengalami kelemahan uang negara atau uang bank. Tumbuh kritik dari negara Meksiko bahwa gerakan money laundering justru menguntungkan Bank Amerika Serikat dengan mengalirnya banyak jumlah uang di bank, maka modal uang bank di Bank Amerika Serikat semakin besar yang terbuka masuk uang tidak sah kemudian oleh para penjahat diproses menjadi uang sah. Demikian pula banyak yang menentang terhadap gagasan ”penghapusan untuk membuka rahasia bank yang sudah ratusan tahun menjadi perlindungan terhadap privat nasabah bank dan pengamanan kekayaan uang di bank.
Adapun model dan Perundang-undangan Money Laundering masyarakat, adalah sebagai berikut:8 1.
8
Model Money Laundering
Bambang Poenomo., Ibid.
6
Cara-cara para pembuat money laundering melakukan kegiatannya dan hasil kejahatan itu supaya tidak dilacak asal usul uang oleh penegak hukum melalui lima kesempatan, yaitu: a.
Menyalahgunakan bisnis yang sah, dan menyembunyikan ke dalam bisnis yang dikendalikan oleh organisasi kejahatan yang terkait untuk mencegah kebocoran informasi dan kalangan dalam maupun dari luar perusahaan agar tidak diketahui oleh penegak hukum.
b.
Menembus melalui sektor perbankan atau sektor non perbankan, karena lewat bank perusahaan mekanisme yang paling dijadikan persembunyian uang hasil kejahatan, atau transaksi melalui jalur non perbankan di sektor money changer yang masih ada kebebasan sirkulasi uang.
c.
Upaya investasi di bidang real estate, dan atau di bidang asuransi oleh para pencuci uang untuk menanamkan uang pro-perusahaan yang sangat dibutuhkan msayarakat atau program
asuransi
yang
jaminan
hidup
lebih
murah.
Selanjutnya kedua proyek dan program tersebut untuk beberapa lama lalu dijual lagi dengan sisa uang sudah menjadi uang sah. d.
Penyelundupan melewati batas negara (banyak dilakukan di Asia) dengan berbagai cara terselubung sehingga money laundering telah dilakukan pencucian menjadi sah.
e.
menembus melalui industri sekuriti (perdagangan efek-efek saham dan obligasi) yang menjadi sararan untuk para penjahat money laundering yang wilayah opersaionalnya mencapai taraf internasional.
Tujuan dan maksud money laundering menikmati manfaat yang diperoleh uang kejahatan untuk menyulitkan petugas dalam penuntutan, dan selanjutnya menginvestasikan kembali untuk
7
kegiatan kriminal di masa yang akan datang, atau untuk kegiatan usaha yang sah dalam jumlah uang besar supaya diserap peredaran investsai di sektor perbankan atau perusahaan bisnis lainnya. Manfaat kegiatan money laundering itu memperoleh kesempatan dari negara seperti Swiss yang menganut pendapat bahwa
penempatan money laundering banyak memberikan
keuntungan bagi pendapatan negara Swiss. Demikian pula negara Meksiko menganut pendirian bahwa uang hsail kejahatan tersebut diperlukan untuk menutup defisit perdagangan dan justru di Amerika Serikat penampungan kejahatan money laundering menjadi sumber keuntungan yang besar bank-bank besar di Amerika Serikat. Apabila mencermati informasi mengenai money laundering seperti tersebut di atas tampak terjadi keadaan kontroversial kegiatan kejahatan money laundering di dunia, sehingga sulit diberantas tanpa kebersamaan antar bangsa.
2.
Perundang-undangan Money Laundering Bersifat Lex Specialis Ciri umum dari hukum ”lex specialis” dalam undang-undang money laundering ditentukan oleh pengecualian, yaitu bahwa penyidikan,
penuntutan dan
pemeriksaan
sidang
ditentukan
menurut aturan KUHAP, kecuali ditentukan lain oleh undangundang yang bersangkutan dalam Undang Undang Money Laundering 2002. Memang banyak memuat aturan pengecualian atau penyimpangan dibandingkan dengan aturan umum yang bersifat lex generalis.
Paling sedikit terdapat 17 prinsip penyimpangan hukum dalam aturan tentang money laundering guna memperlancar penegakan hukum
8
dari Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 dan Undang Undang nomor 25 Tahun 2003:9 a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Kualifikasi delik pada pembuat disamakan dengan delik percobaan, pembantuan, permufakatan sehingga delik selesai maupun delik tidak selesai disamakan terhadap ancaman pidananya. Dalam waktu 3 hari sejak ada kecurigaan money laundering oleh petugsa Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) wajib melaporkan kepada petugsa penyidik. Penyidik, penuntut, hakim berwenang memeintahkan kepada Penyedia Jasa Keuangan untuk memblokir apabila diketahui atau patut diduga terdapat uang sebagai hsail kejahatan dalam jumlah tertentu. Penyidik, penuntut, hakim berwenang minta keterangan kepada Penyedia Jasa Keuangan mengenai uang hasil kejahatan yang dilaporkan oleh PPATK, dengan ketentuan seperti itu maka perbuatan tersebut tidak akan terjadi pelanggaran rahasia bank. Alat bukti perkara money laundering tidak dibatasi seperti KUHAP melainkan yang berkaitan dengan alat elektronik atau optik yang menjadi sumber informasi dapat dipakai menjadi alat bukti. Mengandung limitasi minimum pidana dan maksimum pidana (5 – 15 tahun) dan denda paling sedikit lima milyar dan lima belas milyar. Perkara money laundering mengenal perdailan in absentia walaupun terdakwa tidak hadir tetap diputus pengadilan yang tidak bertentangan dengan hak asasi manusia, sepanjang sudah dipanggil secara layak dengan tujuan perkara menyelamatkan hasil kejahatan yang menjadi money laundering. Mengenal sistem pembuktian terbalik dengan cara terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Ketentuan pembuktian terbalik di sini agak berbeda dari cara pembuktian terbalik dari Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, karena pembuktian terdakwa diperlukan apabila dapat menguntungkan terdakwa. Perintah hakim untuk melakukan penyitaan harta kekayaan karena sejak tingkat penyidikan belum ada tindakan penyitaan harta kekayaan. Hakim dapat membuat penetapan tentang perampasan harta kekayaan ketika terdakwa sudah meninggal sebelum sampai pada putuan hakim dijatuhkan dengan syarat pada tingkat persidangan telah terbukti yang meyakinkan sebelum putusan hukuman karena dinyatakan bersalah (presumption of innocent). Money laundering merupakan merupakan kejahatan uang berasal dari sejumlah kejahatan (+ 25 jenis kejahatan lain) dan menjadi
9
Setelah disahkan UU No.8 Tahun 2010, maka terdpat 26 ketentuan yang dikategorikan dalam tindak pidana pencucian uang. Lihat Pasal 2 ayat (1) sebanyak 26 ketentuan.
9
l.
m.
n.
o.
p.
q.
obyek pencucian pada Jasa Pelayanan Uang yang apabila berhasil menjadi uang sah. Alur pemikirannya, harus seperti uang dari tindak pidana tertentu, lalu diproses melalui pencucian uang (process of crime, beralih ke pridicate crime/ predicate offences). Badan public participation dan posisi yang independent dengan tugas interogatif, tetapi lebih mendekati tugas financial intellegence membantu penyidik untuk tugas peradilan perkara money laundering. Sebagai tugas pelajar badan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan harus menjalankan tugas yang cermat demi kepentingan hukum keuangan. Perbuatan asal kejahatan (+ 25 kejahatan) yang tersalur ke kejahatan money laundering sebagai hukum Indonesia yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah Indonesia dalam arti ”double criminal system”. Kejahatan yang dilakukan teori fiksi oleh korporasi atau atas nama korporasi sebagai subyek delik untuk perluasan delik dalam kejahatan money laundering Suatu ketentuan yang mewajibkan petugas tertentu tidak boleh memberitahukan kepada nasabah tentang suatu laporan transaksi keuangan yang ada hubungannya dengan nasabah yang dimaksud ”tipping off” yang memungkinkan nasabah melarikan diri atau mengubah siasat untuk mengelabui penyidik. Perbuatan pembocoran oleh patugas kepada pembuat delik money laundering ini dikategorikan pelanggaran hukum berat. Aturan mengenai wajib laporan transaksi keuangan oleh pihak Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam waktu tiga hari. Hal ini pun petugas tidak melanggar kerahasiaan bank. Perlindungan saksi dan pelapor mewajibkan penyidik, penuntut, hakim dilarang menyebut saksi dan pelapor yang tidak membahayakan keselamatan dari ancaman pembuat delik. Apabila terjadi pembocoran tersebut, berakibat tuntutan ganti rugi dari saksi atau pelapor kepada petugas hukum yang terbukti membocorkan. Praktek kegiatan kejahatan money laundering tidak mudah untuk
diberantas disebabkan ada beberapa faktor, yaitu: (1) globalisasi kejahatan internsaional dan organized crime perdagangan narkoba yang menghasilkan uang untuk dicuci dalam jasa pelayanan keuangan melalui bank pemerintah maupun bank swasta yang membutuhkan investasi; (2) kemajuan teknologi informasi/ internet yang mendorong kemajuan kajahatan lintas batas negara sebagai kejahatan yang bersifat lintsa batas atau kejahatan transnasional; (3) himbauan internasional tentang ketatnya
10
rahasia bank mneimbulkan pengawasan bank menjadi sulit seperti di negara Luxemburg dan Austria yang mengikuti sistem bank Swiss; (4) Perkembangan Cyberlaundering melalui kemajuan elektronik bank atau electronic money mempermudah transfer uang
yang mengatasi
kecurigaan pencucian uang bagi para pelaku kegiatan money laundering; (5) Kemungkinan kerjasama antara Lawyer yang memberanikan diri menggantikan nama pemilik uang sebenarnya dalam arti tugas pengacara mewakili klien sehingga terjadi transfer berlapis, dan (6) masih banyak negara yang enggan mengikuti gerakan anti money laundering secara diam-diam. Pendekatan anti money laundering diperkenalkan Perserikatn Bangsa Bangsa (PBB) sejak dengan disahkannya konvensi Wina tentang Perdagangan Gelap Narkotika dan Prikotropika pada tahun 1988. Definisi yang komprehensif dan baku mengenai money laundering tidak ada, namun secara populer money laundering (pencucian uang) didefinisikan sebagai
perbuatan
memindahkan,
menggunakan
atau
melakukan
perbuatan lainnya atas hasil dari suatu tindak pidana yang seringkali dilakukan oleh organization crime maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal dan tindak pidana lainnya dengan tujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut, sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut dari hasil kegiatan yang ilegal. Defisi formal dicantumkan dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu pencucian uang adalah
perbuatan
menempatkan,
menstransfer,
membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau perlu diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
11
harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Dengan demikian, ada suatu tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan,
kemudian disembunyikan dan disamarkan asal-usulnya
sehingga seolah-olah sebagai harta kekayaan sah. Upaya untuk menjauhkan atau menyamarkan itu dilakukan dengan cara menjauhkan antara pelaku dan harta kekayaan hasil pidana tersebut. Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakni placemen, layering dan integartion:10
a.
Placement,
merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan
dari suatu
aktivitas kejahatan misalnya dengan pemecahan
sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank atau dipergunakan untuk membeli sejumlah instrumen keuangan (cheques, money order) yang akan ditagihkan dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada di lokasi lain. Placement, dapat pula dilakukan dengan
pergerakan
fisik
dari
uang
tunai
baik
melalui
penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hsail kegiatan yang sah.
b.
Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui serangkaian transaksi
yang
kompleks
yang
didesain
untuk
menyamarkan/menyembunyikan sumber uang yang tidak sah atau
10
Yunus Husein. Money Laundering dan Kebijakan Pemerintah dalam Mengantisipasi Kejahat. Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2005., hal. 21.
12
”haram”
tersebut.
Layering,
dapat
pula
dilakukan
melalui
pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaanperusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. c.
Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ”legitimate explanation” bagi hasil kejahatan. Di sini uang yang dicuci melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan–kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di laundery. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Proses integration ini terjadi apabila proses layering berhasil dengan baik.
Pendekatan money laundering berusaha melacak harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana, kemudian direkomendasikan dari mana harta kekayaan itu dan tindak pidana apa yang melahirkan kekayaan itu. Ini dapat disebut dengan metode follow the money. Pada umumnya pendekatan
ini
lebih
mudah
dibandingkan
dengan
pendekatan
konvensional yang mengejar pelaku tindak pidana karena hasil tindak pidana adalah mata rantai paling lemah dari tindak pidana. Dengan mengejar hasil tindak pidana ini kita menggempur “lifeblood of the crime” dan
menghilangkan
motivasi
orang
untuk
melakukan
kejahatan.
Pendekatan ini dilakukan dari hilir ke hulu.
Perkembangan Pembangunan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia. Pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia dimulai sejak diberlakukannya Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang pada tanggal 17 April 2002, yang dalam perkembangannya dalam undang-undang ini direvisi dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Keseriusan upaya Pemerintah dan DPR dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
13
pencucian uang ini merupakan langkah nyata dan dimasukkannya Indonesia dalam daftar Negara/teritori yang dinilai tidak kooperatif di dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang (Non-Cooperative Countries and Territotories – NCCT’s) pada bulan Juni 2001 oleh the Financial Action task Force (FATF) on Money Laundering. Indonesia dimasukkan ke dalam daftar NCCTs tersebut karena memiliki 4 (empat) discrepensies
terhadap
Laundering. Ke-empat
40
Recommendation
FATF
on
Money
discrepancies tersebut adalah: 1) tidak adanya
ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana; 2) tidak adanya ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer-KYC) untuk lembaga keuangan non-bank; 3) rendahnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang, dan 4) kurangnya
kerjasama
internasional
dalam
penanganan
kejahatan
pencucian uang.11 Dalam rangka menyikapi kelemahan-kelemahan tersebut berbagai upaya telah dilakukan antara lain mengesahkan UU TPPU, membentuk Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai Financial Intellegence Unit (FIU) dan Focal point penanganan money laundering di Indonesia, regulator dan pengawas Penyedia Jasa Keuangan (PJK) mengeluarkan ketentuan mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer-KYC), PPATK melakukan kerjasama dengan FIU Negara lain, membentuk Komite Koordinasi Nasional Pemberantasan TPPU (National Coordination Committee-NCC), mengikut sertakan aparat terkait untuk mengikuti pelatihan / workshop / seminar dalam rangka meningkatkan capacity building baik di dalam maupun di luar negeri, mewajibkan kepada setiap PJK untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) atau suspiction transaction report – STR dan laporan transaksi keuangan tunai (LTKT) yang nilainya limaratus juta keatas atau cash transaction report (CTR) kepada PPATK.12
11 12
Ibid., hal. 31 Ibid., hal. 39
14
Canggihnya transaksi bisnis internasional telah memfasilitasi berbagai bentuk money laundering yang akhirnya mengaburkan semua uang-uang haram itu. Sebagian besar uang haram, misalnya hasil korupsi di Indonesia disembunyikan atau disamarkan ke berbagai Negara penadah hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan dan transaksi bisnis yang kompleks dengan cara penempatan, pentransferan, pelapisan dan pengintegrasian maupun bentuk lainnya. Oleh karena itu diperlukan adanya kerjasama dengan FIU Negara lain. Sampai saat ini PPATK telah menandatangani 11 Memorandum of Understanding (MoU) dengan FIU negara lain. Selain itu, dengan diterimanya keanggotaan Indonesia di dalam Egmond Group yang merupakan paguyuban financial intellegence unit (FIU) sedunia dengan anggota 101 anggota akan sangat mendukung
pencapaian
misi
ini,
karena
memungkinkan
PPATK
mengakses segala informasi yang ada di dalam jejaring intelejen keuangan dunia yang difasilitsai Egmond Group itu.13 Upaya-upaya yang telah dilakukan akhirnya membuahkan hasil dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar NCCTs pada tanggal 11 Februari 2005. Walaupun telah dikeluarkan dari blacklist, namun FATF tetap meminta Indonesia untuk melanjutkan pembangunan rezim anti pencucian uang dan akan dilakukan monitoring selama 1 (satu) tahun terhadap upaya-upaya yang dilakukan dalam memenuhi 40 + 9 recommendations, dengan memfokuskan pada 6 (enam) hal berikut:14 a.
Mendorong agar small banks (seperti BPR dan bank-bank umum berskala kecil lainnya) menyampaikan laporan transaksi keuangan mencurigakan.
b.
Meningkatkan capacity building terutama kepada para penegak hukum yang melakukan penanganan perkara tindak pidana pencucian uang.
13 14
Supanto. Op.cit., hal. 131 Yunus Husein. Op.cit., hal. 34
15
c.
Menigkatkan pelaksanaan penanganan kasus tindak pidana pencucian uang dengan tepat waktu.
d.
Melaksanakan pemeriksaan terhadap PJK dan mengenakan sanksi secara tegas.
e.
Melaksanakan kewajiban bantuan hukum timbal balik (mutual legal assistance) serta melaksanakan kerjasama internsaional di bidang penegakan hukum, dan
f.
Memenuhi komitmen untuk mendukung operasional PPATK (penyediaan anggaran, gedung perkantoran, sistem penggajian dan kewenangan pengangkatan pegawai tetap).
Keenam hal tersebut di atas, sejalan dan merupakan bagian dari arah kebijakan pembangunan rezim anti pencucian uang nasional, sehingga pelaksanaannya menjadi komitmen bersama seluruh instansi pemerintah terkait.
Kendala Penerapan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia dan Upaya ke Depan Pendekatan dengan rezim anti pencucian uang dalam mencegah dan mengurangi tingkat kriminalitas di Indonesia merupakan paradigma baru sehingga dalam pelaksanaan menimbulkan berbagai kendala. Secara umum kendala tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu:15
Pertama, pemahaman aparat penegak hukum dan masyarakat terhadap UU TPPU masih perlu ditingkatkan agar penerapan rezim anti pencucian uang berjalan lebih baik. Masih rendahnya tingkat pemahaman aparat
penegak
hukum
dan
masyarakat
terhadap
UU
TPPU
menyebabkan banyaknya kasus pencucian uang yang masih lolos dari jeratan hukum. Dalam upaya mengatasi permasalahan ini, PPATK 15
Yunus Husein. Op.cit., hal. 41
16
bersama instansi terkait telah banyak melakukan sosialisasi, seminar / workshop, training baik kepada aparat penegak hukum maupun masyarakat secara luas. Kedua, kepatuhan PJK sebagai ujung tombak dalam rezim anti pencucian uang masih belum optimal, terutama bagi PJK non bank. Berdasarkan statistik jumlah PJK yang menyampaikan laporan kepada PPATK baru 143 PJK (109 bank dan 34 non bank) padahal kita tahu jumlah PJK di Indonesia sekitar empat ribuan. Guna telah meningkatkan kepatuhan PJK, PPATK bekerjasama dengan otoritas lembaga keuangan (Bank Indonesia, Bank Pengawas Pasar Modal dan lembaga Keuangan, Departemen Keuangan) terus mendorong PJK untuk meningkatkan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer) dan merupakan internal policy termasuk audit internal system. PPATK juga telah mengeluarkan beberapa pedoman bagi PJK seperti Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan, Pedoman Tata Cara Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan Tunai, PPATK juga melakukan audit atas kepatuhan melaksanakan kewajiban pelaporan dan terus meng-encourage PJK untuk mau melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Kami menyadari baha PJK masih menemui banyak hambatan di dalam melaksanakan kewajiban pelaporan kepada PPATK. Ketiga,
koordinasi
dengan
berbagai
instansi
terkait
untuk
berhasilnya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang masih perlu ditingkatkan. Koordinasi antar penegak hukum masih kurang maksimal dan kurang harmonis. Keempat, secara internal PPATK menghadapi permasalahan kepegawaian dan kantor yang permanen. PPATK belum memiliki pegawai tetap sebagai pegawai inti karena kepala PPATK belum ditetapkan sebagai
pejabat
pembina
kepegawaian
sehingga
belum
memiliki
kewenangan mengangkat pegawai tetap. Selama ini pegawai berasal dari
17
instansi terkait seperti Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Bapepam, Kepolisian, Kejaksaan dan beberapa pegawai kontrak.
Implikasi Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Profesi Hukum Pencucian uang merupakan kejahatan terorganisir (organized crime) yang seringkali dilakukan dengan modus operandi yang semakin berkembang dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang
cukup canggih. Pelaku seringkali melakuan transaksi keuangan
yang rumit sehingga diperlukan suatu pengetahuan khusus dalam menelusuri dan menilai kewajaran transaksi tersebut. Beberapa modus operandi pencucian uang yang telah terjadi antara lain penggunaan pihak ketiga (nominee) sebagai perantara untuk mencuci uang (smurfing), penggunaan traveler cheque untuk menyuap pejabat pemerintah, penggunaan identitsa palsu untuk membuka rekening di bank, penggunaan warkat/dokumen palsu untuk membobol rekening nasabah, memecah-mecah nilai transaksi (structuring). Selain pencucian uang melalui lembaga keuangan, ada kecenderungan pelaku melakukan pencucian uang dengan cara menggunakan transaksi perdagangan internasional (trade based money laundering). Seperti pernah terjadi di Amerika Serikat, di mana sindikat bandar narkoba memindahkan dan menyimpan dana-dana yang diperoleh dari hasil perdagangan narkoba dari suatu negara ke negara lain dengan transaksi eksport-import emas. Pelaku biasanya menggunakan false infoicing (invoice yang berasal dari perusahaan fiktif di negaralain), atau double invocing (pelaku membuat invoice ganda disertai dokumen pendukungnya untuk setiap transaksi dengan nilai yang berbeda-beda (over/under valuation).16 Tindak pidana pencucian uang dilacak berdasarkan laporanlaporan dan informasi yang diterima PPATK. Ada tiga macam laporan yang diterima PPATK, yaitu LTKM, LTKT untuk transaksi tunai senilai lima
16
Bruce Miller (2005). Trade Based Money Laundering and the ICE Trade Transparancy Unit. Makalah disampaikan pada Asia Pacific Typologies Workshop, 2005, Nadi, Fiji, 25-26 Oktober 2005
18
ratus juta rupiah atau lebih, dan Laporan Pembawaan Uang melalui Wilayah Pabean untuk nilai sebesar seratus juta rupiah atau lebih. Di samping itu PPATK juga menerima informasi dari masyarakat. Laporanlaporan yang diterima ini dianalisis dan diperdalam dengan menggunakan ilmu dan konsep-konsep akutansi dan auditing serta pengetahuan lainnya untuk dapat mengidentifikasikan adanya indikasi tindak pidana pencucian uang. Ilmu akutansi dan auditing ini juga digunakan oleh Penyedia Jasa Keuangan
dalam
mengidentifikasi
adanya
tranaksi
keuangan
mencurigakan. Oleh karena itu dalam membantu mengidentifikasi transaksi keuangan yang tidak wajar / mencurigakan di dalam penyedia jasa keuangan tenaga in house lawyer diharapkan mengerti dan menguasai secukupnya ilmu akutansi, sehingga dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Bahkan peran in-house lawyer dan external professional lawyer juga diperlukan untuk memastikan, apakah penyedia jasa keuangan yang sedang menjalani legal audit atau legal due diligence diauditnya telah melaporkan transaksi yang memenuhi kriteria transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK. Selanjutnya dalam melakukan analisis dan pembuktian terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana di bidang keuangan terkait lainnya seperti tindak pidana perbankan, kejahatan di bidang pasar modal, dan korupsi, diperlukan seorang investigator dan prosecutor yang mempunyai keahlian dalam forensic accounting dan commercial skill guna mentransir hasil kejahatan dan pengumpulan bukti-bukti transaksi. Peran sebagai saksi ahli (expert witnesses), seorang sarjana hukum dapat memberikan keterangan ahli terutama yang berkaitan dengan penerapan Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Keterangan ahli ini seringkali digunakan sebagai pertimbangan oleh pengadilan dalam memutuskan kasus perdata maupun pidana. Pada tahun 2003 FATF telah merivisi rekomendasinya, antara lain dalam rekomendasi nomor 12 dan 16 menyatakan agar cakupan pihak pelapor transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan memasukkan
19
non-financial business dan prafession seperti lawyer, notaris, akuntan publik, pedagang permata dan agen real estate. Sama halnya dengan perusahaan wali amanat (trust and company services provider), profesi lawyer,
notaris
dan
akuntan
berpean
seperti
penjaga
gawang
(gatekeeper), karena sesuai dengan sifat aktivitasnya mereka dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya pencucian uang melalui penggunaan perjanjian-perjanjian legal, seperti trsut dan corporate vehicles.17 Pelaku kriminal mungkin juga akan berusaha menggunakan jasa profesional untuk melakukan transaksi illegal, sehingga menyulitkan mendeteksinya atau dengan menggunakan rekening lawyer, akuntan publik, notaris untuk memasukkan dana haramnya ke dalam sistem perbankan. Misalnya dalam kasus yang terjadi di Spanyol beberapa tahun yang lalu banyak melibatkan pengacara dan notaris yang menanamkan hasil tindak pidananya dengan membeli property di kawasan Laut Tengah. Nantinya dalam rancangan UU TPPU, profesi seperti lawyer, notaris, akuntan Publik dan konsultan keuangan lainnya akan diwajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK apabila untuk dan atas nama kliennya mereka melakukan transaksi keuangan terkait dengan aktivitas: •
jual beli
•
mengelola dana, sekuritas dan aset lainnya
•
mengelola rekening bank, simpanan dan sekuritas
•
mendirikan,
menjalankan
operasional
atau
manajemen
suatu
perusahaan •
jual beli entitsa bisnis Sementara itu, hubungan rahasia antara advokat atau pengacara
dengan kliennya sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Advokat, tetap dirahasiakan. Dengan demikian tidak perlu ada kekhawatiran bagi para advokat untuk menyampaikan laporan
17
IMF/World Bank. Financial Intellegence Units: An Overview, 2004
20
transaksi keuangan yang sangat dibutuhkan untuk mendeteksi tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya. Guna dapat melaporkan transaksi keuangan mencurigakan kepada PPATK sama halnya yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan, profesi-profesi di atas juga diwajibkan melakukan revord keeping dan customer due diligence atau lebih dikenal dengan penerapan ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah (KYC) seperti melakukan identifikasi dan verifikasi identitas kliennya sebelum menjalin hubungan bisnis, mengidentifikasi beneficial owner, melakukan pencatatan transaksi dan lain-lain. Hanya saja hasil kewajiban melakukan pelaporan ini tidaklah sebanyak laporan dari Penyedia Jasa Keuangan, mengingat advokat atau pengacara tidaklah terlalu sering melakukan transaksi keuangan atas nama nasabahnya. Dalam praktek di beberapa negara seperti Rumania, laporan transaksi keuangan yang disampaikan oleh advokat atau pengacara hampir tidak ada. Pendekatan dengan rezim anti money laundering merupakan paradigma baru dalam mengejar hasil tindak pidana. Dengan pendekatan ini diharapkan semua hsail tindak pidana dapat dirampas untuk negara sehingga angka kriminalitas diharapkan berkurang dan sistem keuangan lebih stabil dan terpecaya. Dalam upaya pembentukan rezim anti pencucian uang di Indonesia,
peranan
seorang
advokat
atau
pengacara
memiliki
pengetahuan di bidang hukum sangat diperlukan karena dapat membantu dalam mengidentifikasi dan melaporkan transaksi keuangan yang tidak wajar / mencurigakan, memberikan jasa litigasi dan jasa investigasi. Oleh karena itu seorang sarjana hukum perlu juga memiliki pengetahuan mengenai modus operandi atau tipologi-tipologi pencucian uang dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Dalam melaksanakan tugasnya para sarjana hukum sebaiknya mempertimbangkan
kemungkinan
21
klien/
instansi/
perusahaannya
digunakan sebagai sarana dan sasaran kegiatan pencucian uang dan berupaya menghindari terlibat tindak pidana pencucian uang. Adanya dukungan dan kerjasama dari profesi hukum seperti pengacara, notaris, lawyer (termasuk in-house lawyer) serta konsultan hukum bersama-sama Penyedia Jasa keuangan, otoritas pengawas Penyedia
Jasa
Keuangan,
aparat
penegak
hukum,
PPATK
dan
masyarakat diharapkan indonesia bersih dari tindak pidana pencucian uang. Untuk dapat mencapai pemerintahan yang demokratis dan bersih sudah barang tentu diperlukan pengorbanan dan partisipasi berbagai pihak. Dalam hal ini partisipasi dan pengorbanan dari kalangan profesi hukum sangat diperlukan untuk menyampaikan laporan transaksi keuangan yang akan diwajibkan oleh undang-undang pada masa yang akan datang.
B.
KEWENANGAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA Sebelum membahas mengenai kewenangan dalam penggagasan Narkotika, maka terlebih dahulu yang harus diperhatikan adalah Peraturan Presiden RI Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional, di mana dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang mengatur mengenai tugas dan ketentuan bahwa: 1.
BNN mempunyai tugas: a.
b. c.
menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dengan Kepala Kepolisian Republik Negara Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
22
d.
e.
f.
g.
h. i.
j.
2.
meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; memberdayakan masyarakat dalam pencegaha penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika. melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan tehadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Sedangkan fungsi dari BNN sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 3 adalah sebagai berikut: a.
b. c. d.
e.
penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN; penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria, dan prosedur P4GN; penyusunan perencanaan, program, dan anggaran BNN; penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerja sama di bidang P4GN; pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakan teknis P4GN di bidang Pencegahan, Pemberdayaan Masyarakat, Pemberantasan, Rehabilitasi, Hukum, dan Kerja Sama;
23
f. g.
h. i. j. k.
l.
m.
n.
o.
p. q. r. s. t. u.
pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN; pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN; penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN; pelaksanaan fasilitasi dan pengoordinasian wadah peran serta masyarakat; pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol; pengkoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen masyarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah; pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya; pelaksanaan penyusunan, pengkajian, dan perumusan peraturan perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN; pelaksanaan kerja sama nasional, regional, dan internasional di bidang P4GN; pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN; pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN; pelaksanaan penegakkan disiplin, kode etik pegawai BNN, dan kode etik profesi penyidik BNN; pelaksanaan pendataan dan informasi nasional, penelitian dan pengembangan, dan pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN; pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol;
24
v.
w.
pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika, dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol; pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN. Di lain pihak dikatakan dalam Undang Undang Nomor 35 Tahun
2009 Pasal 80 tentang Kewenangannya adalah sebagai berikut: Penyidik BNN sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 75 juga berwenang: Pasal 80 Penyidik BNN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, juga berwenang: a.
mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti, termasuk harta kekayaan yang disita kepada jaksa penuntut umum;
b.
memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait;
c.
untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
d.
untuk mendapat informasi dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
e.
meminta secara langsung kepada instansi yang berwenang untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
f.
meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g.
menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada
25
hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa; dan h.
meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri.
Disamping itu pula diatur tentang ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 81 Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang
melakukan
penyidikan
terhadap
penyalahgunaan
dan
peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan UndangUndang ini.
Pasal 82 (1)
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
(2)
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di lingkungan kementerian atau lembaga pemerintah non kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Narkotika dan Prekursor Narkotika berwenang: a.
memeriksa kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
b.
memeriksa orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
26
c.
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
d.
memeriksa
bahan
bukti
atau
barang
bukti
perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; e.
menyita
bahan
bukti
atau
barang
bukti
perkara
penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; f.
memeriksa surat dan/atau dokumen lain tentang adanya dugaan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika;
g.
meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
h.
menangkap orang yang diduga melakukan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 83 Penyidik dapat melakukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pasal 84 Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia memberitahukan secara tertulis dimulainya penyidikan kepada penyidik BNN begitu pula sebaliknya.
Pasal 85 Dalam melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, penyidik pegawai negeri sipil tertentu berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana.
27
Pasal 86 (1)
Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana.
(2)
Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a.
informasi
yang
diucapkan,
dikirimkan,
diterima,
atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b.
data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
(3)
1.
tulisan, suara, dan/atau gambar;
2.
peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 87 (1)
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia atau penyidik BNN yang melakukan penyitaan Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang diduga Narkotika dan Prekursor Narkotika, atau yang mengandung Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat: a.
nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b.
keterangan mengenai tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c.
keterangan
mengenai
pemilik
atau
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
28
yang
menguasai
d.
tanda
tangan
dan
identitas
lengkap
penyidik
yang
melakukan penyitaan. (2)
Penyidik
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(1)
wajib
memberitahukan penyitaan yang dilakukannya kepada kepala kejaksaan negeri setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya
disampaikan
kepada
ketua
pengadilan
negeri
setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pasal 88 (1)
Penyidik pegawai negeri sipil tertentu yang melakukan penyitaan terhadap Narkotika dan Prekursor Narkotika wajib membuat berita acara penyitaan dan menyerahkan barang sitaan tersebut beserta berita acaranya kepada penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada kepala kejaksaan negeri setempat, ketua pengadilan negeri setempat, Menteri, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(2)
Penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari jika berkaitan dengan daerah yang sulit terjangkau karena faktor geografis atau transportasi.
Begitu besar kewenangan penyidik BNN dalam menangani proses penyidikan, maka ke depan diharapkan akan dapat menyelesaikan persoalan penyidikan Narkotika dengan tertib dan baik.
Selain sebagai penyidik, BNN dapat melakukan pemblokiran terhadap rekening seseorang yang telah diperiksa berdasarkan pada
29
ketentuan Pasal 80 ayat c, ayat d, ayat e, dengan cara memintakan fatwa kepada Mahkamah Agung agar dapat melakukan pemeriksaan terhadap uang (procusor) yang disimpan di bank dan dilanjutkan kepada Bank Indonesia yang akan memberikan keterangan yang diperlukan oleh penyidik BNN sebagaimana tertera dalam Pasal 80. Dalam ketentuan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Pasal 29 ayat (2) dan ayat (3) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah dapat ditetapkan. Adapun dasar Mahkamah Agung RI memberikan pertimbangan hukum, dengan materi ketentuan sebagai berikut: 1.
Bahwa rezim Undang Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009, tentang Narkotika, kedudukan Badan Narkotika Nasional (BNN) telah ditingkatkan menjadi Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK)
dan
kewenangannya
diperkuat
untuk
melakukan
penyelidikan dan penyidikan, selain itu ditinjau dari aspek kelembagaan BNN berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. 2.
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 80, 81 dan 82 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dilakukan oleh penyidik BNN, penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Suipil (PPNS) tertentu, Dengan merujuk pada Pasal 80 huruf b, c, f, dan g Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, penyidik BNN memiliki wewenang sebagai berikut: b.
memerintahkan kepada pihak bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga dari hasil penyalahgunaan
dan
30
peredaran
gelap
Narkotika
dan
Prekursor Narkotika milik tersangka atau pihak lain yang terkait; c.
untuk mendapat keterangan dari pihak bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka yang sedang diperiksa;
f.
meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka kepada instansi terkait;
g.
menghentikan transaksi
sementara
perdagangan,
suatu dan
transaksi
perjanjian
keuangan,
lainnya
atau
mencabut sementara izin, lisensi, serta konsesi yang dilakukan
atau
dimiliki
oleh
tersangka
yang
diduga
berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang sedang diperiksa 3.
Berkaitan dengan kerahasiaan Bank, Pasal 40 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menggariskan bahwa:
Ayat (1) Bank
wajib
merahasiakan
keterangan
mengenai
Nasabah
Penyimpanan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A;
Selanjutnya Pasal 42 ayat (1) menegaskan bahwa untuk kepentingan peradilan pidana pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin, kepada Polisi, Jaksa atau Hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.
31
Ayat (2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atsa permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian RI, Jaksa Ang atau Ketua Mahkamah Agung.
Penegasan yang menyiratkan sebagai ketentuan yang bersifat ”kekecualian” sebagaiamana tersebut di dalam Pasal 42 A dengan menggunakan frasa ”wajib” serta perumusan sebagai berikut: ”Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A dan Pasal 42”
4.
Ketentuan yang senafas dan serupa dengan Pasal 42 Undang Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 jo Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut di muka dapat dibaca di dalam Pasal 33 ayat (2) Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaiman telah diubah dengan Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 33 ayat (1) Undang Undang TPPU ”untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, Tersangka atau Terdakwa.
Pasal 33 ayat (2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim ”tidak berlaku ketentuan Undang Undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya”, ketentuan mana
32
harus dimaknai sebagai pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
5.
Sekalipun Penyidik
Badan Narkotika Nasional (BNN) tidak
berwenang melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang, tetapi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang huruf (I) dan (J) (tindak pidana narkotika dan psikotropika) termasuk di dalam cakupan tindak pidana asal (predicate crime) dan Pasal 74 beserta penjelasannya, lagi pula Undang-Undang khusus Narkotika telah secara tegas memberikan kewenangan kepada penyidik BNN, maka dengan merujuk pada dasar hukum sebagaimana diuraikan di atas, menurut hemat Mahkamah Agung, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dapat meminta keterangan yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan berdasarkan Pasal 80 huruf b, c, f, dan g Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut dan pada sisi lain pihak Bank wajib memberikannya. Hal ini dimaksud agar Penyidik BNN dapat bekerja efektif dan optimis.
Personifikasi hukum Mahkamah Agung dilakukan dalam berbagai bentuk, baik melalui fatwa atau pernyataan langsung kepada public. Pernyataan langsung bisa terjadi dalam seminar-seminar di mana Pimpinan Mahkamah Agung berbicara, pidato, atau dalam wawancara sekalipun. Personifikasi hukum tersebut dilandasi oleh ketentuan Pasal 37 Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung menjadi dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk memberikan pendapat hukumnya kepada pemerintah maupun lembaga Negara lainnya, baik diminta maupun tidak diminta. Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi Mahkamah Agung untuk menjalankan inisiatifnya sebagai personifikasi hukum untuk memberikan pendapat hukum mengenai hal-hal yang
33
dianggapnya penting dan mengatasi silang pendapat yang menarik perhatian masyarakat. Tetapi terdapat juga contoh di mana Mahkamah Agung melalui Ketuanya memberikan pendapat hukum. Dalam beberapa kasus silang pendapat tentang apakah perubahan UUD 1945 perlu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara untuk mengakui keabsahannya. Dalam sebuah wawancara tidak resmi, Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan pendapat bahwa perubahan UUD 1945 tidak perlu dimasukkan ke dalam Lembaran Negara, karena UUD sebagai sumber hukum memiliki kedudukan lebih tinggi dan Undang Undang. Dengan adanya pernyatan tersebut dari Ketua Mahkamah Agung, maka masalah silang pendapat tersebut telah menemukan kepastian hukum. Silang pendapat terhadap sebuah fatwa atau silang pendapat mengenai suatu masalah hukum seringkali menjadi semakin tajam dan bisa menimbulkan pertentangan hukum. Pemberian fatwa tidak bisa dipersamakan dengan pemberian opini hukum yang dilakukan oleh praktisi hukum kepada kliennya. Dalam era reformasi maka fungsi Mahkamah Agung sebagai personifikasi hukum, misalnya mengenai masalah tersebut di atas, Mahkamah Agung dapat saja mengeluarkan fatwa hukum karena dalam hal ini Mahkamah Agung bukan memberikan suatu yurisprudensi dalam suatu masalah, tetapi memberikan suatu penjelasan berdasarkan ketentuan perundag-undangan. Dalam kasus di atas, terdapat pertentangan mengenai kedudukan harta kekayaan suatu perusahaan yang tunduk kepada ketentuan hukum public ataukah kepada hukum perdata. Jika Mahkamah Agung tidak menjalankan fungsinya sebagai personifikasi hukum, maka Mahkamah Agung justru telah mengingkari visinya, yaitu mewujudkan Supremsai Hukum. Selain itu sejalan dengan misi Mahkamah Agung untuk membuat system peradilan yang lebih efisien dan efektif. Apabila Mahkamah Agung tidak menggunakan wewenangnya sebagai personifikasi hukum dan membiarkan saja masalah ini diputuskan melalui suatu perkara, maka
34
proses tersebut akan memakan waktu yang panjang dan tidak efektif. Selain itu tidak pada tempatnya juga jika Mahkamah Agung ikut terjun dalam berbagai silang pendapat paraahli hukum yang tidak ada akhirnya, sebab setiap ahli hukum dapat berpendapat lebih dari satu dan ditinjau dari berbagai sudut. Kenyataannya, tantangan terbesar bagi Mahkamah Agung dalam menjalankan wewenangnya sebagai personifikasi hukum di
Indonesia
adalah masalah internal, di mana Mahkamah Agung sendiri kurang tegas untuk menyatakan dirinya sebagai personifikasi hukum di Indonesia. Padahal selama ini sebetulnya Mahkamah Agung sudah menjalankan wewenang tersebut tanpa disadari oleh Mahkamah Agung sendiri. Hal ini tercermin dari pernyataan Ketua Mahkamah Agung dalam menanggapi silang pendapat fatwa mengenai kedudukan BUMN. Sekalipun fatwa tersebut bukanlah suatu aturan hukum tertulis (hukum positif), tetapi fatwa yang diberikan oleh Mahkamah Agung tersebut sudah menyebar kepada masyarakat dan dijadikan pedoman oleh masyarakat kuat. Dengan demikian pelaksanaan personifiksai hukum Mahkamah Agung dapat ditempuh melalui perkara – perkara yang diputuskan oleh Mahkamah Agung. Pelaksanaan personifikasi Mahkamah Agung tersebut berkaitan dengan fungsi mengadili dan pembentukan hokum melalui yurisprudensi. Personifikasi Mahkamah Agung juga dapat dilaksanakan melalui fungsi-fungsi lain, berupa wewenang eksplisit maupun implicit dalam undang-undang untuk mengambil inisiatif dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu: (i) Dalam hal terjadi kekosongan hukum yang dikaitkan dengan fungsi “mengatur”; (ii) Dalam hal terjadi keadaan darurat ketatanegaraan. Masalah penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang (TPPU) jelas bukan masalah hukum dan penegakan hukum sematamata melainkan juga merupakan masalah yang berkaitan langsung dan berdampak terhadap masalah-masalah perbankan dan perkeonomian negara terutama masalah investasi nasional
35
Masalah penegakan hukum terhadap TPPU memiliki efek significan terhadap kondisi perkeonomian nasional di indonesia yang sampai saat ini Sangay labil dan fluktuatif sifatnya. Adapun disisi lain sarana hukum yang berhubungan dengan masalah keuangan dan perbankan serta pasar modal telah diatur tata cara penyelesaian tersendiri dengan diperkuat dengan
ketentuan
bervarasi
dari
mengenai
sanksi
sanksi.
administratif,
Ketentuan
mengenai
sanksi
keperdataan,
hingga
pidana,
penerapannya menggunakan fungís sanksi pidana yang bersifat ultimum remedium. Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) telah diubah dengan undang Undang Nomor 25 Tahun 2003, dan di antaranya memuat ketentuan baru yaitu larangan pembocoran kerahasiaan informasi/ dokumen tentang transaksi keuangan mencurigakan atau rekening seseorang di bank (pasal 10ª) baik oleh pejabat/pegawai PPATK, penyidik, penutut umum, maupun hakim dan siapapun. Ketentuan ini sesungguhnya merupakan pengalihan tanggung jawab menjaga kerahasiaan dari bank lepada para pejabat tersebut karena ketentuan mengenai rahasia bank tidak berlaku dalam penegakan hukum TPPU. Keberhasilan PPATK Sejas didirikannya pada tahun 2003 memang Belum cukup meyakinkan terutama dalam kacamata internsaional sebagaimana diuraikan dalam analisis hukum. Data statistik perkara TPPU hingga 2010 hanya berhasil menjatuhi hukuman dalam 30 kasus Sejak pembentukan PPATK hingga saat ini. PPATK mengemukakan bahwa ada tujuh kelemahan mengapa pemberantasan TPPU melemah sebagai berikut: 1. Kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretatif, banyaknya unsur yang harus dipenuhi, ataudibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. 2. Kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifiksai perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya.
36
3. Masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis laporannya. 4. Tidak adanya landasan hukum mengenai perlunya penerapan prinsip mengenai pengguna jasa (customer due diligence) oleh pihak pelador. 5. terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penafsiran serta penyitaan aset hsail kejahatan. 6. terbatasnya
kewenangan
PPATK
dan
penyidikan
TPPU.
Dimasukkannya wewenang tambahan kepada penyidik tindak pidana asal yaitu untuk menghilangkan hambatan dalam pencegahan dan pemberantaan TPPU dan mengurangi beban polri dan PPATK, Namun demikian ketentuan ini rentan menimbulkan konflik wewenang antar penyidik dan penyidik PPNS satu sama lain. Untuk mencegah ini, RUU P2TPPU telah mengantisipasi dengan pembentukan satgas gabungan penyidik Namun pembentukan satgas ini pun dalam praktek tidak ada jaminan merupakan solusi terbaik bahkan bisa jadi merupakan bagian dari masalah baru. Yang harus dipertimbangkan dalam pembahasan RUU ini ahíla kepentingan pemangku kepentingan (store holder) yang terbesar yaitu para pelaku bisnis sekalipun langkah pencegahan dan pemberantasan TPPU merupakan salah satu tugsa penting dalam menciptakan
kenyamanan berinvestasi tetapi bukan satu-satunya
tugas terpenting dalam penegakan hukum di Indonesia. Tugas penting perlindungan hukum dan kepastian hukum dalam berinvestasi dan berbisnis baik oleh orang asing maupun pengusaha nasional di Indonesia. Semakin banyak tangan penegak hukum baik dari lembaga penegak hukum konvensional maupun PPNS dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang, maka semakin rentan terhadap penyalahgunaan wewenang bahkan konflik wewenang serta semakin jauh dari kepastian hukum dan keadilan dalam penegakann hukum yang merugikan kepentingan pelaku bisnis yang beritikad baik.
37
Tiga ketentuan strategis dalam penegakan hukum terhadap TPPU yaitu: (1) Ketentuan mengenai Pemidanaan Transaksi Keuangan oleh lembaga Penyedia Jasa Keuangan. (2) Ketentuan bahwa PPATK dapat melakukan tindakan penghentian sementara transaksi atas beban rekening yang diketahui atau diduga untuk menampung salí tindak pidana pencucian uang dan seluruh atau sebagian harta kekayaan yang diketahui atau diduga merupakan hasil tindak pidana (3) Ketentuan bahwa PPATK dapat melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
Tindakan hukum penundaan transaksi keuangan dan pemblokiran juga dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum dan hakim. Pendapat hukum atas ketiga ketentuan strategis tersebut sebagai berikut: (1) Langkah
hukum
tersebut
dalam
praktek
rentan
terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dan ekses negatif lainnya yang sangat merugikan kepentingan seseorang yang diduga memiliki harta kekayaan yang berasall dari tindak pidana. Dalam status terperiksa bukan tersangka, yang dibolehkan berdasarkan Pasal 23 RUU ini kepada Lembaga Penyedia Jasa Keuangan, jelas tindakan hukum ini melanggar hukum dan prinsip praduga tak bersalah kerane LPJK bukan lembaga penegak hukum sehingga tindakan projustisia yang dilakukannya bertentangan dengan prinsip Rule of Law dan standar internsaional mengenai penegakan hukum. (2) Selain itu dalam UU ini tidak diatur sama sekali kebebasan dari pihak nasabah atas keputusan penundaan transaksi oleh LPJK, dan sanksi yang diberikan jika LPJK tidak dapat membuktikan tiga alasan penundaaan transaksi sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 23. Tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme keberatan
38
yang ditunda transaksinya dan sanksi terhadap kelalaian LPJK merugikan
kepentingan
nasabah
yang
bersangkutan
dan
melanggar hak asasi setiap nasabah yang dicurigai memiliki harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. (3) Batas waktu lima hari penundaan status transaksi keuangan sudah tentu sangat berarti bagi kepentingan pelaku bisnis dan tidak adanya mekanisme gugat ganti kerugian akan menimbulkan tindakan sewenang-wenang oleh LPJK.
39
Kejahatan Money Laundering dalam Perkembangan Ekonomi Global Berdasarkan laporan Kongres PBB VI tentang The Prenvention of Crime and the Treatment of Offender (1980 di Caracas), diidentifikan bentuk-bentuk penyimpangan di bidang ekonomi (economic abuse).18 Guiding principles for Crime Prevention and Criminal Justice in the Context of Development and a New international Economi Order (United Nation Congres VII on the Prevention of Crime and Treatment of Offenders) menentukan protection against industrial crime, economic crime.19 Pada 1991 diselenggarakan Kongres PBB: The Preventin of the Treatmen of Offenders ke VIII,20
yang dalam rekomendasinya mengenai Crime prevention and criminal
justice in the context of development. Dalam Kongres PBB VIII tersebut dirumuskan problem corruption in public administration menyebabkan kerusakan dan melemahnya ekonomi. Keprihatinan dikemukakan Kongres PBB VIII mengenai the increase in the abuse of computers, pengakuan secara serius terhadap kejahatan transnational crimes, yang merusak the political and economical stability of nation, yang perkembangannya sophisticated and dynamic. Kongres PBB IX tahun 199521 yang menyepakati perlunya memerangi organized
crime.
Pada
tahun
2000
diselenggarakan
Kongres
PBB22
menentukan International Cooperation in Combating Treatment Crime: New Challenges in the Twenty-first Century. Pengelompokkan oleh Trasman mengenai economic crime terdiri dari dua kategori. Kategori pertama, meliputi the illegal forms of economic activity, illegal gambling, concealing stolen goods, organized procuring among them. Jadi 18
Report of The United Nation Congreso VI., hal. 67. Rinciannya sbb: (a) tax evasion; (b) credit and custom fraud; (c) embezzlement of public funds; (d) misappropriation of public funds; (e) violation of currency regulation; (f) speculation and swinding in land transaction; (g) environmental offences; (h) over pricing; (i) over involving; (j) labour exploitation; (k) export and import of sub-standard and even dangerously unsafe product. 19 The Secretariat. Seven United Nations Congress of the Prevention of Crime and the Treatmen of Offenders, 26 August – 6 September 1985 (New York: united Nations, 1986)., hal. 9. 20 Eighth United Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, 27 August -7 September 1990 (New York: United Nations, 1991). 21 Ninth United Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (Cairo 29 April – 8 May 1995). 22 Tenth United Nations Congress on The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (Vienna, 1017 April 2000).
40
merupakan keseluruhan kegiatan yang bersifat illegal. Kategori kedua, mencakup
tindak pidana yang dilakukan dalam perusahaan yang bersifat
ekonomis (the economic enterprice). Tindak pidana tersebut adalah: (1) the abuse of invested capital and acts causing damage to economic partners, shareholders, etc; (2) the abuse of deposited capital and acts causing damage to creditors, guarantors, etc; (3) (the abuse of labour, directed against employers and workers, the violation of consumers rights; (4) acts against competition; (5) the illegal exploitation of nature and acts damaging the environment, dan (6) offences violating the interests of the state. Sue Titus reid meggunakan istilah business-related crime, yang ketika membicarakan WCC dikaitkan dengan corporate crime dan kejahatan ekonomi lainnya. Corporate crime merupakan salah satu bentuk WCC dan bercirikan sebagai organizational crime.23 Richard Quenny menyebutkan adanya crime of the economy, yang terdiri dari crime against the worker, occupational and professional crime, corporate crime, dan organized crime.24 Jaringan pengaturan global serta hubungan kelembagaan negara nasional dalam relasi birokrasi internasional, ternyata melibatkan pula peran dari non-state source yang mempunyai kekuasaan mengalokasikan nilai dan pengaruh pembagian sumber pendapatan, seperti: outlaw business (such as drug cartel, the mafia), professional association, transnational social, political, and religious movements.25 Menyangkut mafia berbentuk kejahatan terorganisasi, sindikat, sindikat kejahatan, berasal dari orang-orang China, Rusia, Jamaica dan latar belakang etnik lainnya. Usahanya mengalahkan bisnis legal masyarakat, dengan dilakukannya siasat godaan mencari keuntungan secara cepat dan meluas dalam investsai maupun bidang lainnya
yang mengancam kehidupan dana
tabungan investor. Sumber pendapatan Negara kecil mudah diserang dan menjadi korban. Uang hasil kejahatannya dilakukan money laundering yang 23
Sue Titus Reid. Crime and Criminology (USA: McGraw Hill Higher Education, 2000)., hal. 248-268. Richard Quenny. Criminology (Boston: Little Brown and Company, 1979)., hal. 191 25 Nocola Yeates. Social, politic, and Policy in Era of Globalisation: Critical Reflection, SOCIAL, POLICY & ADMINISTRATION Vo. 33, No. 4, December (USA: Blackwell Publisher Ltd, 1999)., hal. 382-383 24
41
dipergunakan untuk memasuki dan merongrong bisnis yang sah, menyuap pemerintahan dan membiayai terorisme.26 Penyalahgunaan computer untuk kejahatan bersamaan meluasnya pemakaian computer yang hamper universal, untuk memenuhi kebutuhan kemudahan international computer world wide. Ini menimbulkan dua tipe kejahatan computer, yakni: (1) tujuan profit, namanya computer fraud, dan (2) tujuan terorism or mischief, namanya the creation of computer virues or rub-outs (computer sabotage).27 Berkembangnya teknologi informasi ditandai maraknya aplikasi internet di dunia bisnis mendorong percepatan globalisasi perdagangan, berdampak pula terhadap perkembangan kejahatan transnasional. Bentuk dan dimensinya membuat sulit penanganannya dalam system peradilan pidana nasional. Kejahatan tersebut secara berurutan disebutkan: (1) the international drug trade; (2) environmental criminality; (3) transnational economic criminality, including international organized criminality, money laundering and computer criminality; (4) maritime crime; (5) plitical aggression, suppression, and corruption, dan (6) terrorism.
Perhatian khusus yang berhubungan dengan kejahatan ekonomi
perlu diuraikan. Pertama, kejahatan ekonomi mengadopsi cara bekerja yang sulit dibedakan dengan kegiatan komersial yang normal. Kedua, kejahatan ekonomi melibatkan individu yang seca ekonomi sukses keberadaannya di mata masyarakat. Ketiga, banyak kehadiran kejahatan ekonomi merupakan tantangan khusus bagi aparat penegak hukum, sistem peradilan, dan kebebasan masyarakat.28 Kejahatan ekonomi dilihat bentuknya (style of economic crime) ada dua: Pertama, kejahatan yang dilakukan oleh kalangan pengusaha beramaan kegiatan bisnis yang biasa dilakukannya. Tanggung jawab pengusaha mengandung kesempatan untuk melakukan kejahatan, misalnya penggelapan, 26
Gerhard O.W. Mueller. The Globalization of Life and Earth, of Crime, and of Crime Prevention, dalam Albin Eser & Otto Lagodny, Principles Procedures for a New Transnational Criminal Law, (Frelburg: MaxPlank-Institute, 1992., hal. 353. 27 Gerhard O.W. Mueller., ibid. 28 Edmund W. Kitch. Economic Crime Theory, dalam Leonardo Orland (ed), Corporate and White Collar Crime: An Anthology (USA: Anderson Publishing Co, 1995)., hal. 14
42
pelanggaran peraturan mengenai kegiatan bidang bisnis, penyimpangan kewajiban pajak. Inilah yang sering disebut white collar crime. Kedua, perbuatan perdagangan/produksi barang dan jasa yang dilakukan dengan cara-cara yang illegal/tidak sah. Perbuatan ini dikoordinasikan ke dalam kegiatan ekonomi yang bisa secara normal, namun di dalamnya digunakan cara-cara yang bersifat kejahatan. Hal ini sering dinamakan organized crime. Kejahatan ini memerlukan koordinsai sebagai kegiatan ekonomi diluar hukum dengan formasi kerjsama secara organisatoris dalam prakteknya terdiri dari kelompok-kelompok penjahat, dan sudah menjadi kebiasaan.29 Dengan demikian, dapat dideskripsikan mengenai kejahatan di bidang ekonomi global, dari segi pelakunya merupakan WCC tidak lagi perseorangan melakukan
oleh
korporasi,
maka
dinamakan
corporate
crime,
segi
pengelolaannya sebagai organzed crime, dan lingkup beroperasinya tidak hanya secara nasional melainkan melampaui batas-batas negara terkait globalisasi ekonomi sebagai transnational crime, dan modusnya menfaatkan kemajuan IPTEK sebagai high-tech crime. Tindak pidana di bidang ekonomi yang bersifat global oleh karena itu melingkup antarnegara/transnasional, dilakukan oleh organized crime group, dalam hal ini bisa ditunjukkan seperti La Cosa Nostra sebagai kelompok organisasi kejahatan yang beroperasi di Amerika Serikat, mereka mengekalkan dan terus menerus melakukan berbagai berbagai tindak kejahatan, dan diorganisasi secara khierarhis. The Boryokudan merupakan organisasi kejahatan yang lahir dan berkembang di Jepang,
selanjutnya meluas sampai Amerika
Serikat. Triads beroperasi pusatnya di Hongkong, Republik Rakyat Indonesia, dan Taiwan. Italian Organized Crime Group beroperasi di Italia dan merambah ke seluruh Eropa. Kelompok ini bisa disebutkan the Sicillian Mafia or Sicillian Coosa Nostra, the Camorra, the Ndrangheta and the united Sacred Crown. South American Drug Cartels seperti the Call and Medillin Drug Cartels, banyak pengaruhnya dengan peluasan kegiatan peredaran obat terlarang dan jaringan
29
Edmund W. Kitch. Economic Crime Theory, dalam Leonardo Orland (ed), Corporate and White Collar Crime: An Anthology (USA: Anderson Publishing Co, 1995)., hal. 14
43
money laundering, Russian Organized Crime Groups beroperasi di Rusia dan tersebar ke luar.30 Sehubungan dengan organized crime, sebagaimana Mafia, dijelaskan Reymond P Green,31
bahwa dalam perundang-undangan Amerika Serikat
disebutkan United State of America Code (US Code), ada pengaturan yang disebut Racketeer influenzed and Corrupt Organization (RICO) Act. Pengaturan ini ditujukan untuk memerangi organzed crime dengan tindakan baik secara hokum pidana maupun hokum perdata, agar dapat memecah kekuatan organisasi kejahatan seperti mafia, dari berbagai perusahaan yang sah maupun yang terlarang. Peningkatan kejahatan terorganisasi menjadi dikenal berkaitan dengan korporsai, atau sebagai “a continuing criminal enterprice”. Yang dijelsakan bahwa organized crime merupakan pelanggaran hukum yang direncanakan untuk mencari untung atau meraih kekuasaan yang masing-masing tindak pidananya, atau bersama-sama, atau yang paling pokok dilaksanakan oleh lebih dari dua pekerja yang bekerjsama dalam pembagian pekerjaan untuk rentang waktu yang panjang dan tidak terbatas, yang menggunakan “commercial or commercial-like structures, atau violence or other means of intimidation”, atau “influence or politics, media, public administration, justice and the legitimate economy”. Kejahatan korporasi merupakan alah satuu bentuk WCC yang mewujud dalam berbagai jenis kejahatan ekonomi. Yang dibedakan: 1) crime for corporation; 2) crime against corporatin, dan 3) criminal corporations. Yang pertama, sebagai kejahatan dalam korporasi dalam arti sesungguhnya (corporate 30
Frank J. Marine. The Threat Posed by Transnational Crimes and Organized Crime Group, Resource Material Series No.54 (Tokyo:UNAFEI, September 1999)., hal. 35-37. Di Jepang, the Boryokudan istilah resmi untuk menunjuk organized crime group. Terdapat pengaturan “Legislation relating to prevention of unjust Acts by Boryokudan Members”, dalam Pasal 2 didefinisikan the Boryokudan as follows: a group whose members are prone and and encouraged to perpetrate violent illegal acts collectively or chronically. Boryokudan umumnya disebut YAKUZA yang tradisional mempunyai sejarah panjang. Dalam pengertian modern YAKUZA termasuk Ba-Ku-To (yang lebih pada penjahat dalam perjudian), dan Te-Ki-Ya lebih merupakan kelompok penjahat pada umumnya, beserta kelompok kejahatan lainnya, sering disebut SanGo-Ku-Jin, yakni orang-orang dari tiga bangsa (China, Taiwan, korea) di Jepang. Lihat Hisao Katoh, Prohibition of the Money Laundering as A Countermeasure against Organized Crime Group (Yakuza or Baryokudan) in Japan, KEIO LAW REVIEW No.7-1994, The Association for the Study of Law and politics, Faculty of law (Keio university, Japan)., hal. 26-28. 31 Raymond P. Green. The Application of RICO to Labour-Management and Employment Dispute, St THOMAS LAW REVIEW, 309, Spring 1995, http//www.stthomas.ed/law (17 Juli 2008)., hal. 1
44
crime). Yang kedua, sering disebut sebagai employee crime, dan yang ketiga merupakan korporasi yang sengaja dibentuk dan dikenalkan untuk melakukan kejahatan. Dilihat motivasi timbulnya kejahatan korporasi, terletak pada tujuan organisai yang berupa pengutamaan perolehan keuntungan sebesar-besarnya dengan cirri-ciri individual sebagai anomie success, serta konytradiksi antara tujuan-tujuan korporasi dengan kepentingan pesaing, Negara, staf, konsumen dan masyarakat. Kejahatan korporsai pada hakekatnya nerupakan WCC yang mencakup tindakan illegal yang dilakukan secara akal bulus, penipuan, penyembunyian dan tidak digantungkan pda penindakan paksaan fisik maupun ancaman kekerasan. Dalam hal ini lebih sering disebut sebagai economic crime sebagai perbuatan pelanggaran hukum dalam arti luas terhadap kehidupan perekonomian. Organized crime memasuki kehidupan ekonomi bisnis yang kelihatannya tampak legal, namun tidak meninggalkan wataknya berupa tindakan pemalsuan, pengancaman
ataupun
pemerasan.
Yang
diwujudkan
dalam
bentuk
menjalankan, di antara kategori ini: Pertama, secara langsung atau tidak langsung melakukan investasi dalam perusahaan yang bergerak di bidang bisnis, uangnya yang berasal dari kegiatan yang termasuk dalam formula racketeering, atau yang berasal dari penagihan utang yang legal (unlawful debt). Kedua, mendapatkan keuntungan dari suatu perusahaan melalui cara-cara yang termasuk ke dalam kegiatan dengan formula racketeering atau yang termasuk kedalam penagihan utang yang illegal. Ketiga
menjalankan perusahaan/
berpartisipsai dalam kegiatan perusahaan melalui formula racketeering atau penagihan terhadap utang yang illegal. Keempat, ikut berkonspirasi dalam melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan racketeering. Potensi Indonesia bagi perkembangan organized crime, Adrianus Meliala menjelaskan bahwa, dalam memenuhi kebutuhan dunia akan narkoba, sindikat narkoba internsaional memisahkan tempat-tempat untuk kultivasi dari produksi. Untuk itu mereka mencari tempat yang dikategorikan sebagai soft state, yakni Negara-negara yang pemerintahannya lemah, aparat penegak hukum dan birokrasinya mudah ditembus, serta administrasi kependudukannya kacau.
45
Indonesia dapat masuk ke dalam kategori ini. Kemudian paparan Robby Nitibaskoro, bahwa di Indonesia telah hidup jaringan sindikat narkoba yang sangat sistematis, yang menyerupai organisasi organisasi kejahatan yang selama ini dikenal di berbagai negara, seperti Mafia Sisilia, Triad China, Yakuza Jepan atau Kartel-kartel di Kolombia. Organisasi kejahatan itu juga dijalankan oleh warga negara Indonesia yang jadi kepanjangan dan binaannya yang bermarkas besar di negara lain. Transnasionalisasi orgaanisasi kejahatan itu didukung juga oleh perdagangan bebas, sistem keuangan global, kemudian transportasi, dan teknologi komunikasi.32 Sehubungan dengan ini, Mardjono Reksodiputro mengetengahkan adanya kejahatan terorganisasi berdimensi global (KTO Global) yang harus diwaspadai karenamerupakan kelompok yang bisa jadi menguasai kekusaan ekonomi maupun politik pada msayarakat yang sedang dalam masa transisi demokrasi. Mereka menginfiltrasi pemerintahan dan menyuap para pejabat, hakim dan penegak hukum lainnya. Dan juga di Indonesia bisa mengobarkan konflik antargolongan, mempersenjatai kelompok yang bertikai melalui penjualan senjata ilegal, mencari dana dengan menjual narkoba, trafficking, korupsi (penyuapan pejabat public) serta membantu melarikan asset korupsi ke luar negeri (money laundering).
Pendayagunaan Hukum Pidana Hukum pidana merupakan salah satu alat kontrol sosial yang formal, meliputi aturan-aturan yang ditafsirkan dan ditegakkan oleh peradilan, dan secara umum dibuat oleh pembentuk undang-undang. Fungsinya membuat batasan-batasan perilaku warga Negara, dan menjadi tuntutan aparat serta menetapka keadaan penyimpangan atau perilaku yang tidak dapat diterima.33 Upaya penanggulangan kejahatan, termasuk bagian pembangunan manusia yang terkait dengan a new international economic order. Dalam konteks ini, kebijakan penanggulangan kejahatan harus memperhitungkan aspek 32
Ibid. Ditambahkan di dini adanya mafia penggundulan hutan (illegal loging) seperti di Kalimantan yang melibatkan para pejabat; penegak hukum dan para cukong luar negeri (Malaysia). Laboran Utama Tempo Edisi 14-20 April 2008., hal. 102-111. 33 Jay A. Sigler. Understanding Criminal Law. Boston Little, Brown, and Company, 1981.,
46
structural, yang meliputi sebab-sebab keadilan social-ekonomi, termasuk kejahatan, namun sering merupakan suatu gejala (account the structural including socio-economic causes of justice, of which criminality is often but a symptom).34
Kemunculan kejahatan baru perlu didefinisikan dalam peraturan
perundang-undangan, seperti money laundering, organized fraud, computer crime, dan masih ditambahkan pembaruan perundang-undangan keperdataan, keuangan, dan aministrasi (there is a need for reform civil, fiscal, and regulatory legislation…).35 Oleh karena itu disebutkan oleh Jeane-Germain Gros, bahwa secara kelembagaan dalam penanggulangan kejahatan tidak bias tunggal, megingat kompleksitas kejahatan. Jelasnya dinyatakan no single institution should be given the task of combating criminality, some the problem itself is multifaceted.36
Pembangunan harus tercakup terbebasnya manusia dalam
kehidupan yang nir-kejahatan, baik individu, masyarakat, maupun Negara. Hukum pidana membutuhkan pengembangan dalam kerangka strategi global, dan menuntut peningkatan konsep hukum secara totalitas baik nasional, internasional maupun supranasional. Kalau dalam penanggulangan kejahatan hanya mengandalkan hokum pidana, dikatakan sebagai the cosmopolitan model. Di sini perlukan tidak hanya memelihara the national public order, tetapi juga memperkuat a global public order. Hal ini berhubungan dengan secara obyektif kejahatan yang berkembang bersifat menyerang values reorganized as universal, dan guna merespons perkembangan global crime sebagai global war.37 Sehubungan dengan perkembangan teknologi informasi yang dihadapi, keranga hukum siber Indonesia menjadi strategis untuk menjamin rasa aman, keabsahan informasi, dan jaminan/insentif bagi para investor. Hak asasi manusia harus ditegakkan untuk menjamin hak kebebasan berkomunikasi, dan hak untuk berpartisipasi dalam masyarakat informasi global tanpa dibatasi dimensi fisik, 34
UN Secretariat, Guiding…..1985,. op.cit., hal. 6, UN General Assembly, Guiding…..1995,. op.cit., hal.1136, 36 Jean – Germain Gros, Trouble …....., op.cit., hal. 76, 37 Mireille delmas – Marty, Global Crime Calls for Global Justice, EUROPEAN JOURNAL OF CRIME, CRIMINAL, ALW, AND CRIMINAL JUSTICE., Vol.10/4, Netherlands: Kluwer Law International, 2002., hal. 293. 35
47
ruang, waktu dan institusi. Revisi beberapa kerangka hokum dan kebijakan pemerintah perlu dilakukan untuk mengantisipasi hilangnya batas dimensi ruang, waktu dan mempercepat transaksi dunia maya.38 Masalah dunia cyber seperti domisili pengajuan gugatan, dan procedural lainnya berbeda dengan yang terjadi di dunia maya nyata. Hal ini mengharuskan para penegak hukum untuk secara aktif mempelajari dan mendalami pengetahuan berkaitan dengan media cyber. Untuk penyelesaian kasus-kasus tersebut perlu dilakukan penyesuaian atau undang-undang yang berlaku agar dapat menampung transaksi di meda cyber.39 Tindak pidana di bidang ekonomi sebagai perwujudan perbuatan penyimpangan dalam kehidupan ekonomi, penyalahgunaan praktek bisnis, melibatkan pelaku orang-orang bisnis maupun korporasinya itu sendiri sehingga penting pembenahan dan perbaikan aspek manajelem organisasi yang menyangkut perbaikan kinerja, peningkatan integritas para personel dari yang paling tinggi hingga yang terendah, kepatuhan terhadap peraturan perusahaan. Dalam hal diperlukan tindakan yang efektif untuk menanganinya, dikemukakan oleh Djokosantoso Moeljono, dengan membangun budaya korporat (corporate culture) yakni system nilai-nilai yang diyakini oleh semua anggota organisasi dan yang dipejari, diterapkan, serta dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai system perekat dan dijadikan acuan perilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan.40
Selanjutnya
diperoleh penjelasan, budaya korporat ini, antara lain berfungsi mempermudah timbulnya peningkatan komitmen pada sesuatu yang lebih lusa daripada kepentingan individu. Dengan demikian, dapat menumbuhkan perasaan identitas dan menambah komitmen organisasi, sebagai alat pengorganisasi, anggota, menguatkan nilai-nilai dalam organisasi, serta menjadi mekanisme control terhadap perilaku. Dengan demikian, fungsi budaya korporat sebagai perekat social
dalam
mempersatukan
anggota-anggota
dalam
mencapai
tujuan
organisasi berupa ketentuan-ketentuan atau nilai-nilai yang harus dikatakan dan 38
Onno W. Purbo. Perkembangan Kejahatan Internacional, Yogyakarta Center, 2000. Asril Sitompul. Hukum Internet......, hal.24. 40 Djokosantoso Moeljono. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta PT Alex Media Komputerindo, 2003., hal. 21-22 39
48
dilakukan oleh para karyawan. Di samping itu berfungsi pula sebagai control perilaku para karyawan. Oleh karena itu diharapkan dapat mencegah berbagai penyimpangan
kegiatan
perkonomian
dan
praktek-praktek
illegal
dalam
menjalankan bisnis.
Kebijakan Perundang-undangan Bidang Ekonomi Bersanksi Pidana Pencarian tolak ukur sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana sebagai the designation of certain harms as public harms, di samping itu, criminal law was limited to behavior that was cherly socially injurious.41 Ditambahkan tolok ukur immoral dan merugikan pihak lain, dikatakan oleh Herbert L. Packer: only conduct generally considered immoral should be treated as criminal, di samping itu, harm to others to include risk of damages to interest of others, and it is usually possible to make a more or less plausible agreement that any given form conduct involves that risk in some way.42 Perbuatan immoral bukan dalam arti daya pembeda benar atau salah, adil atau tidak adil dalam diri seseorang,melainkan keseluruhan orang-orang dalam masyarakat yang selalu berkembang dan berubah. Dengan demikian bersifat melukai masyarakat, merugikan atau mencelakakan pihak lain. Terkait dengan tindak pidana ekonomi, perbuatan tersebut bertentangan dengan moral di bidang ekonomi dan meugikan kehidupan ekonomi yang merusak sistem ekonomi suatu masyarakat, sudah tentu berdampak secara individual kepada anggota masyarakat menderita kerugian. Tolak ukur penentuan tindak pidana terkait dengan ideologi atau sistem nilai yang dianut oleh kekuasaan Negara, dan ini dinyatakan dalam ketentuan
41
Charles W. Thomas dan Donna M. Bishop. Criminal Law. California: Sage Publication, 1987., hal. 39 Herbert L. P, The limit of the Criminal Sanction, California: Stndard University press, 1968., hal. 262266. Dalam hal ini kaitannya dengan moral, perbuatan melanggar hokum berarti perbuatan melanggar moral sehingga tndak pidana yang dilakukan bermakna melakukan tindakan yang bertentangan dengan moral karena hokum selalu didasarkan pada moral. Roeslan Saleh menyatakan bahwa adanya aturan-aturan hukum tertinggi yang merupakan asas-asas hokum, yaitu ukuran nilai dari sebagian terbesar antara tingkat yang lebih rendah. Ukuran-ukuran nilai ini merupakan bagian dari moral. Asas-asas hukum adalah aturanaturan hukum tertinggi, dan karenanya pula mempunyai sifat moral. Dalam arti demikian kita dapat menyatakan bahwa hukum selalu didasarkan pada moral. Lihat Roeslan Saleh. Perkebangan Asas-asas Hukum Pidana. Makalah Penataran Asosiasi Nasional Pengajar Hukum Pidana, 11-22 November, FH UNDIP, 1989., hal. 28
42
49
hukum pidana. Oleh karenanya dapat dikatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana dikarenakan bertentangan dengan ideologi atau sistem nilai suatu Negara. Penentuannya adalah pembentuk undang-undang yang berkehendak kepentingan atau nilai-nilai yang ingin dilindungi dan ditegakan dengan hukum pidana.43 Dengan demikian, penentuan tindak pidana di Indonesia bertolak ukur apabila perbuatan bertentangan dengan ideology Pancasila, yang nilai-nilainya dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undang, termsauk dalam bidang ekonomi. Nilai-nilai Pancsaila menyangkut system ekonomi yang dikehendaki, sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945 pada Pasal 33, khususnya ayat (4). Terpaut dengan tindak pidana di bidang ekonomi berarti melawan atau mengganggu ideologi atau sistem nilai di bidang ekonomi yang dikehedaki kekuasaan politik negara untuk diterapkan.
C.
Pemberantasan Money Laundering Hasil Tindak Pidana Narkotika Ditinjau dari Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, maka terdapat korelasi antara Undang Undang Nomor 8 tahun 2010 dengan Undang Undang Nomor 35 tahun 2009, di mana dikatakan bahwa dalam ketentuan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 2 ayat (1) menyatakan: a.
Korupsi
b.
Penyuapan
c.
Narkotika
d.
Psikotropika
e.
Penyelundupan tenaga kerja
f.
Penyelundupan Migrasi
g.
Di bidang Perbankan
h.
Di bidang Pasar Modal
43
Stephen Schafer. The Political….loc.cit., hal. 21.
50
i.
Di bidang Perasuransian
j.
Kepabeanan
k.
Cukai
l.
Perdagangan orang
m.
Perdagangan senjata api
n.
Terorisme
o.
Penculikan
p.
Pencurian
q.
Penggelapan
r.
Penipuan
s.
Pemalsuan uang
t.
Perjudian
u.
Prostituís
v.
di Bidang kehutanan
w.
di Bidang Perpajakan
x.
di Bidang Lingkungan Hidup
y.
di Bidang Kelautan dan perikanan, atau
z.
Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum pidana Indonesia.
Sedangkan dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa harta kekayaan yang diketahui atau dapat diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untum kegiatan Terorisme, organisasi teroris, atau Teororis perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. Apabila melihat secara keseluruhan isi Pasal 8 tersebut, maka terdapat 2 (dua) bagian yang menjadi fokus dari pembahasan dalam penerapan pencucian
51
uang yaitu menyangkut Narkotika dan Psikotropika (Pasal 8 ayat (1) angka c dan z). Apabila melihat perkembangan kejahatan di bidang perdagangan narkotika, maka terlebih dahulu harus dilihat bahwa hasil penjualan tersebut, adalah dapat dijadikan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana baik langsung maupun tidak langsung, serta dapat berdampak pada Terorisme. Dalam Disertasi DR. Yenti Goenarsih, di mana beliau membahas dengan judul Kriminalitas Pencucian Uang secara garis besarnya beliau menyatakan bahwa : Desakan internasional terhadap Indonesia, antara lain ketika pada tahun 2001 Indonesia dimasukkan dalam daftar hitam oleh FATF sebagai Non Cooperative Countries and Territories (NCCT) dalam memberantas pencucian uang. Bahkan kemudian indonesia bersama 17 negara lainnya dimsaukkan dalam daftar hitam (blacklist) sebagai negaratempat pencucian uang oleh FATF.44 Berkaitan dengan msauknya Indonesia dalam daftar hitam tersebut, maka pada bulan Juni 2001 dilakukan peninjauan team FATF untuk melihat kesiapan memberantas pencucian uang dan Bank Indonesia telah diminta untuk menyiapkan perangkat hukum yang sifatnya sementara, sambil menunggu kriminalisasi pencucian uang. Menyikapi rencana pemeriksaan tersebut, Bank Indoesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/10/2001
tentang Penerapan Prinsip Mengenai nasabah (Know Your Customer).45 Peraturan tersebut pada intinya berisi ketentuan mendorong bank-bank untuk lebih mengenal nasabahnya dan mewaspadai kemungkinan terjadinya transaksi yang mencurigakan.46
44
Indonesia Termsauk Daftar Hitam. Suara Pembaruan, Jakarta 21 Juni 2001., hal. 6. Ke 17 negara tersebut adalah Rusia, Filipina, Kepulauan Nauru, Kepulauan Cook, Dominika, Mesir, Guatemala, Hongaria, Indonesia, Israel, Lebanon, Kepulauan Marrshall, Myanmar, Nigeria, Nieu, St Kitt and nevis dan St Vincent and Granadines. 45
Bank Indonesia keluarkan Aturan Soal Pencucian Uang. Suara Pembaruan, Jakarta 27 Juni 2001., hal. 4.
46
DR Yanti Goenarsih. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering). Jakarta: FH UI, 2003.
52
Kemudian yang sangat penting adalah berkenaan dengan Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) yaitu suatu lembaga yang independen yang berfungsi sebagai Financial Intellegence Unit (FIU) yang dibentuk untuk memberantas pencucian uang. Keberadaan lembaga ini sangat penting
di mana tugsanya antara lain
mengumpulkan, menyimpan,
menganalissis, mengevaluasi informasi yang diperolehnya berkaitan dengan transaksi tertentu yang diatur oleh Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Selain itu membuat pedoman tentang tatacara pelaporan transaksi keuangan yang berindikasikan terjadinya praktek pencucian uang dan lain-lain. Mengingat cara-cara yang digunakan pelaku menggunakan cara-cara yang canggih, maka aparat penegak hukum juga dituntut untuk mempunyai profesionalitas yang tinggi dan didukung pula dengan sarana yang harus memadai. Pengadaan sarana untuk penanggulangan pencucian uang ini tentunya juga memerlukan dana yang tidak sedikit. Pencucian uang dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara tradisional dan cara modern.47 Praktek pencucian uang tradisional dilakukan di China, India dan Pakistan. Cara tersebut dilakukan melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat rahasia. Di China praktek pencucian uang dilakukan dengan memanfaatkan semacam bank rahasia atau disebut Hui (Hoi) atau disebut juga sebagai The Chinesis Chit (Chop). Sedangkan di India pencucian uang dilakukan melalui sistem pengiriman uang tradisional yang disebut Hawala. Cara pencucian uang yang sama di Pakistan disebut Hundi.48 Pengiriman uang dengan cara tradisional tersebut telah dilakukan selama berabad-abad, dengan menggunakan cara yang sangat unik dan melampaui batas negara. Para pelaku menjalankan praktek pencucian uang dengan dilandasi rasa saling percaya yang kuat dan tanpa
menggunakan
pembukuan,
sehingga
transaksi
tersebut
tidak
meninggalkan jejak. Hal ini menyebabkan pemantauan menjadi sangat sulit, jika tidak mau dikatakan mustahil. Uang yang dicuci pada umumnya 47
uang hasil
The Financial Action Ask Force on Money Laundering, Annual Report (1997).
48
Barry A.K. Rider “The Wages of Sin – Taking the Profit our of Corruption – a British Perspective” Dick J. Int’l. L., vol. 13 (1990)., hal. 404.
53
penjualan obat bius dan sejenisnya seperti opium dan heroin, yang mana ketiga negara tersebut terkenal sebagai negara produsen obat-obat bius terbesar di dunia.49 Pengumpulan rekening (collection account) meupakan metode lain yang biasanya digunakan para imigran yang membawa uangnya ke Amerika Serikat dan menyimpan uangnya di bank. Kemudian yang bersangkutan mengirimkan kembali uang tersebut ke negeri asalnya. Cara ini ditempuh pula oleh para pelaku pencuci uang yang menyamar sebagai imigran. Sejumlah orang secara individu menyetorkan uang mereka dalam jumlah yang relatif kecil untuk dihimpun agar mencapai jumlah yang besar dan kemudian disimpan ke dalam bank domestik yang kemudian dikirimkan kembali ke negara asalnya.50 Selain melalui tahap placement, layering dan integration terdapat cara yang termasuk modern, yaitu melalui teknik tertentu dengan bebarapa tahap: (1) consoldation; (2) externalization; (3) agitation; (4) legitimation; (5) repatriation.51 Proses dimulai pada saat pelaku kejahatan menggabungkan uang dari bermacam-macam sumber.52 Pada tahap kedua pelaku membuat simpanan pribadi di bank. Dana tersebut kemudian melalui wire transfering dikirim ke bank lain di luar Amerika Serikat.53 Dengan mudah pelaku dapat memanipulasi dana dan terhindar dari jangkauan penyelidik Amerika Serikat dan penyelidik negara
49
Senthif Ratnasabapathi, Drugs-Afganistan: Plant Somthing Else U.N. Tells Growers (Inter Press Servis, Nov 18, 1996), Westlaw 1996 WL 13589229. 50
By using this method, launderes can wire transfer larger amount out of the US, even if CTR flag is raised, the authorities will not authomatically attribute the funds to money account for express purpose of sending to funds of out the country. By keeping such information unconcealed, launderes minimize susopections and undesired attention is avoided. Although both the currency exchange houses and the collection accounts provide much desired anominity to launderes, collection account allow for larger volumes per transaction. Lihat Money Laundering Trends., hal. 78.
51
Baldwin “Wire Transfer”, hal. 418-419. Lihat juga Jeffrey Robinson “The Laundryman: Inside Money Laundering”, The World Third-Largest Business (1996)., hal. 10-11. 52
Ibid., hal. 419.
53
Wire Transfer, juga dikenal dengan transfer dana melalui elektronik adalah metode umum pemindahan dana dari bank ke bank and melewati batas-batas internasional. Lihat Wyrsch ”Money Laundering”., hal. 515-517.
54
lain yang telah mengundangkan anti pencucian uang. Tahap berikutnya agitation meliputi penggunaan uang tadi dengan berselubung bisnis yang sah agar dapat ditempatkan di mana saja. Misalnya dalam hubungan bisnis antara Miami dan Florida, yang kemudian dana tersebut ditransfer ke Roma (Italia). Transfer itu nampak sebagai perilaku wajar dalam kerangka bisnis yang sah. Setelah beberapa kali transaksi akan sulit mengikuti jejak uang tersebut karena tidak dapat dibedakan dari uang yang beredar. Ketika mencapai tahap ini uang akan menjadi halal dan aman tanpa jejak yang jelas dari mana sumbernya. Dalam praktek para pelaku menggunakan teknologi tinggi dalam bisnis internasional melalui bank multinasional di luar negeri. Pencucian uang bisa terjadi di mana-mana baik pada sektor swasta maupun pemerintah , pada negara dengan sistem politik kapitalis maupun sosialis. Selain itu pencucian uang tidak saja terjadi di dalam suatu negara tetapi juga antarnegara. Dengan demikian pencucian uang termasuk sebagai kejahatan yang berdimensi internasional, yang mempunyai jaringan sangat luas hampir di semua negara. Perusahaan multinasional adakalanya melakukan pencucian uang dalam rangka menyembunyikan kejahatan penyuapan atau pembayaranpembayaran tertentu yang tidak sah pada petugas pemerintah negara asing, untuk mendapatkan kontrak-kontrak yang besar. Kegiatan pencucian uang dalam konsep akutansi internasional ternyata menimbulkan defisit neraca transaksi berjalan.
Perkembangan
pasar
keuangan
internasional
memungkinkan
terbukanya peluang untuk menampung rekening yang sulit dilacak pemiliknya, keadaan ini ditandai dengan maraknya International Offshore Banking Centers di berbagai belahan dunia, kemudian mencari bank yang peraturannya lunak tetapi dengan kerahasiaan bank yang ketat. Selain itu pelaku menggunakan counterbalancing bank loans terhadap dana-dana ilegal yang disimpan di offshore bank, sehingga sulit untuk dilacak. Cara ini terungkap ketika operasi penyamaran petugas Bea Cukai terhadap Bank of Commerce & Credit International atau lebih dikenal dengan BCCI. Permasalahan pencucian uang internasional tidak terbatas di Amerika Serikat dan negara-negara kecil di Kepulauan Caribia, Australia dan Cook Island
55
saja, tetapi juga mencapai negara-negara maju seperti Canada, Jerman, Inggris, Italia, Spanyol dan Jepang. Semua negara itu menghadapi permasalahan mendasar yang sama seperti yang dihadapi Amerika Serikat yaitu kecanggihan teknologi dalam melakukan pencucian uang antarnegara dengan menggunakan lembaga bank dan pusat-pusat keuangan bukan bank. Menghadapi permasalahan tersebut tiap-tiap negara ternyata mempunyai hambatan yang berbeda. Misalnya langkah-langkah yang lemah terhadap ketentuan pergerakan uang internasional, adanya masalah lain berkaitan dengan ketentuan kewajiban pelaporan transaksi, bervariasinya ketentuan tentang rahasia bank atau ketentuan pajak serta adanya penentuan ketentuan pencucian uang yang bersifat sempit. Seharusnya dalam menghadapi permasalahan skala internasional ini perlu adanya kesamaan-kesamaan tertentu dalam peraturan yang relevan. Lahirnya Regim Internasional untuk memberantas
pencucian uang
sebenarnya dimulai pada saat masyarakat internasional merasa gagal dalam upaya memberantas kejahatan yang berkaitan dengan obat bius dengan segala jenisnya. Oleh karenanya masyarakat internasional maju selangkah lagi, dengan stratyegi yang tidak diarahkan
pada kejahatan yang berkaitan dengan obat
bisunya, tetapi diarahkan pada upaya membarantas hasil kejahatannya melalui ketentuan pencucian uang. Lahirnya United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988, dipandang sebagai puncak dari upaya internasional untuk menetapkan International Anti Money Laundering Legal Regime. Regim ini pada intinya dibentuk untuk memerangi drugs trafficking dan mendorong agar negera-negara segera
melakukan kriminalisasi pencucian
uang. Selain itu berupaya untuk memantau dan mengatur aktivitas dan hubungan internasional tertentu, menetapkan norma-norma, peraturan dan prosedur yang disepakati dalam rangka mengatur ketentuan anti pencucian uang. Regim ini juga sebagai jembatan untuk mengurangi disparitas di antara perbedaan sistem hukum yang ada di antara negara-negara.
56
Upaya internasional untuk memberantas masalah yang berkaitan dengan obat-obat bius dan sejenisnya tersebut sudah dimulai sejak tahun 1912, yang kemudian diikuti dengan 13 instrumen internasional lainnya dan berpuncak pada Konvensi Wina 1988. inisiatif tersebut dimulai dengan disahkannya International Opium Convention of 1912, yaitu ketika muncul fakta di mana sepuluh juta orang China menjadi pencandu opium. Pada saat itulah masyarakat internasional kemudian memberikan perhatian yang sangat serius terhadap masalah opium terutama dalam peredaran dan penggunaannya di Amerika Serikat dan negaranegara Eropa Barat. Namun demikian dengan segala upaya pemberantasan opium tersebut ternyata gagal,
maka muncullah instrumen lainnya tentang
pengawasan penanaman dan produksi mengenai opium, yaitu Suppression of the Manufacture of, Internal Trade in and use of, Prepared Opium, Geneva, 11 February 1925 dan International Opium Convention 19 February 1925. Konvensi pertama dan kedua ini merupakan konvensi yang diselenggarakan oleh Liga Bangsa Bangsa. Karena masih belum optimal untuk memberantas masalah opium dan bahkan muncul penekanan lain tentang penggunaan opium, maka dilanjutkan dengan berbagai konvensi, yaitu Convention of 1931, Suppression of Opium Smoking, Bangkok, 27 November 1931, Convention for the Suppress of the Illicit Traffic in Dangerous Drygs, Geneva, 26 June 1946. Kemudian dikeluarkan Protokol International Opium Convention of 1912, Protokol International Opium Convention, 1925 dan Protokol Convention Suppression of Opium Smoking, 1931. Protokol-protokol tersebut memperluas jangkauan Konvensi 1931 tentang Limiting the Manufacture and Regulating the Distribution of Narcotic Drugs yang kemudian diamandemen lagi oleh Protokol Paris 1946. Protokol lain yaitu untuk membatasi dan mengatur mengenai The Cultivation of Poppy Plan, The Production of, International and Wholesale Trade in and use of Opium 12 June 1942. Sejak konvensi tahun 1912 sampai dengan konvensi 1942 upaya pemberantasan difokuskan pada masalah opium, terutama dalam peredarannya di Amerika Serikat dan Eropa yang merupakan Negara-negara konsumen.
57
Namun nampaknya keempat konvensi tersebut belum dapat mengatasi masalah opium, bahkan kemudian permasalahan makin meluas meliputi jenis-jenis lain yang merupakan sifat dasar dari Drugs, seperti coca dan turunannya dan berbagai jenis dari cannabis saniva seperti marijuana, hashish, quat, dan Indian hamp. Permasalahan baru ini kemudian semakin mayakinkan masyarakat internasional bahwa kerjasama internasional perlu lebih digalakkan. Selain itu ditekankan pula agar Negara-negara dengan sukarela mengaturnya dalam sistem hukum nsaional. Selanjutnya menghadapi maraknya perdagangan maupun pemakaian berbagai obat bius tersebut maka masyarakat internasional merasa perlu untuk mengembangkan berbagai organisasi internasional. The United Nations Commission on Narcotic Drugs yangd dibentuk tahun 1946 oleh The Economic and Social Council sebagai The Policy-Making Body of the United Nations yang memutuskan perhatian pada masalah produksi, perdagangan gelap dan penggunaan obat bius. Badan ini terdiri dari 40 anggota yang dipilih dan tugasnya mneinjau peredaran global mengenai obat bius serta mempersiapkan
kebijakan-kebijakan
penanggulangan
sebagaimana
yang
ditentukan oleh konvensi. Badan ini dilengkapi dengan badan administratif, secretariat dan eksekutif yang disebut sebagai The United Nations Division of Narcotic Drugs yang tugsanya memberkan informasi kepada anggotaanggotanya tentang implementsai berbagai jenis konvensi dan juga memberikan pelayanan dan fasilitsa pada Commission on Narcotic Drugs tersebut. Selain itu lembaga ini juga mempublikasikan dan membuat analisis laporan-laporan tahunan yang diminta oleh berbagai Negara di bawah koordinasi World Health Organization (WHO) dan United Nations. Pada tahun 1961 diselenggarakan suatu konvensi yang disebut Single Convention on Narcotic Drugs 1961 (Konvensi 1961) di mana konvensi ini dianggap yang paling bersifat universal dalam pengawasan obat bius. Konvensi ini meliputi perjanjian multilateral dengan sejumlah besar Negara-negara anggota PBB. Berdasarkan konvensi 1961 dibentuk The International Narcotic Control Board (INCB). Badan ini dibentuk untuk membatasi produksi, penyebaran, manufaktur dan penggunaan obat bius kecuali untuk keperluan di bidang
58
kesehatan dan ilmu pengetahuan.. Anggotanya terdiri atas tigabelas orang yang dipilih dari anggota negara peserta. INCB bekerjasama dengan
The United
Nations Commission on Narcotic Drugs, WHO dan United Nations Foundation for Drugs Abuse Control. United Nation Foundation for Drugs Abuse Control (UNFDAC) adalah badan multilateral yang memberikan bantuan teknis dan dana. Awalnya bantuan teknis tersebut sangat terbatas pada hal-hal tertentu, tetapi sekarang sudah diperluas sampai dengan semua bentuk penyalahgunaan perdagangan gelap obat bius termasuk menjangkau masalah penegakan hukum. UNFDAC bersifat sukarela dan kontribusinya tergantung pada Negara-negara yang membutuhkan. Namun konvensi ini kemudian dianggap tidak cukup keras sehingga pada tahun 1970 diperkuat agar lebih efektif dengan Protokol Amendement 1961 Single Convention. Pada saat ang sama msayarakat internsaional meralisasikan pengawasan mengenai
chemical
and
pharmaceutical
drug
seiring
dengan
upaya
pengembangan konvensi lain yaitu Convention on Psychotropic and Substances 1970. Konvensi ini muncul karena adanya situasi yang berlawanan antara negara konsumen di barat dan produsen di negara
dunia ketiga, yang
memunculkan Protokol 1972 yang antara lain berisi pengawasan yang khusus terhadap obat-obat kimia dan farmasi. Langkah ini juga gagal karena Negara maju dianggap tidak konsisten. Pelaksanaan Undang Undang Anti Pencucian Uang di Indonesia kemungkinan akan mendapat hambatan dari kelemahan substansi, aparatur dan budaya hukum. Substansi dalam sistem hukum adalah norma-norma yang terdapat dalam undang-undang dan putusan pengadilan, Aparatur dan organ dapat diumpamakan sebagai mesin yang menghasilkan produk hukum tersebut, dalam hal ini badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selanjutnya yang amat menentukan berjalannya suatu sistem hukum adalah budaya hukum (legal culture) masyarakat. Budaya hukum masyarakat ditentukan oleh sub-culture.
59
Sub culture tersebut dipengaruhi antara lain oleh agama, pendidikan, posisi, kepentingan dan nilai-nilai yang dianut.54
A.
Undang Undang Nomor 15 Tahun 2002 Memiliki Beberapa Kelemahan Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang (Lembaran Negara 2002 Nomor 30) sedikitnya mengandung empat kelemahan. Pertama Undang Undang ini menyebutkan hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang berjumlah Rp 500.000.000,- atau lebih atau nilai yang setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari 15 kejahatan, sebagaimana dicantumkan pada pasal 2. hal ini dapat ditafsirkan bahwa kejahatan yang menghasilkan harta kekayan di bawah jumlah tersebut tidak merupakan tindak pidana pencucian uang. Padahal berapapun jumlah hasil kejahatan dari pencucian uang yang dicanyumkan dalam pasal 2 bahkan hsail kejahatan selain 15 jenis yang disebutkan itu harus tetap dinyataan sebagai hsail kejahatan. Dengan demikian tujuan undang-undang ini untuk memberantas pencucian uang, tidak akan menjangkau kejahatan-kejahatan di luar 15 jenis kejahatan yang telah disebutkan. Kedua, kelemahan yang paling menonjol adalah penentuan batas jumlah uang yang harus dilaporkan sebesar Rp 500.000.000,- dipanadang terlalu tinggi. Hal ini juga menyebabkan Indonesia masih dimasukkan ke dalam daftar negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang oleh FATF dan Organzation for Economic Cooperation and Development (OECD). Filipina telah menentukan jumlah uang yang harus dilaporkan setara dengan US $ 80.000. Akibatnya Filipina harus mengamendemen Undang Undang Anti pencucian Uang, karena mendapat ancaman dari FATF. Dalam ancaman tersebut mengatakan bahwa FATF akan menjatuhkan sanksi karena undang undang anti pencucian uang Filipina dianggap tidak memenuhi standar internsaional. Menurut pejabat moneter Filipina, FATF memberikan waktu 12 bulan untuk mengamandemen ketentuan anti pencucian uang Filipina, dan apabila tidak 54
Lawrence M. Friedman. American Law (New York-London: WW. Norton & Company, 1984)., hal. 6-7.
60
dipatuhi FATF akan memberikan asanksi yang bisa berimbas kepada sanksi OECD.55 Kekhawatiran Filipina tersebut dapat dan bisa dimengerti, karena FATF walaupun bukan kegiatan dari OECD, tetapi antara keduanya mempunyai hubungan yang sangat baik dan saling melengkapi terutama dalam hal tukar menukar informasi berkaitan penanganan korupsi, suap menyuap dan sistem keuangan internsaonal termasuk pencucian uang. Sekretariat FATF ditempatkan pada Kantor OECD di Paris.56 Dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah terlebih dahulu mengatur anti pencucian uang, penentuan jumlah uang yang harus dilaporkan berkisar atau setara US $ 10.000, misalnya Amerika, atau Australia sebesar AUS$10.000. Penentuan jumlah yang terlalu tinggi pada undang undang Nomor 15 Tahun 2002 yaitu sebesar Rp 500.000.000,- akan lebih banyak dampak negatifnya. Hal ini berarti banyak transaksi keuangan yang dibawah Rp 500.000.000,- yang dilakukan secara tunai tidak akan dilaporkan ke PPATK, sehingga tidak akan diketahui asal usul dana tersebut dan seterusnya. Indonesia sebagai negara yang sangat tinggi angka korupsinya, dan peredaran ilegal narkoba yang juga sangat besar justru mematok angka pelaporan yang tinggi, menimbulkan kecurigaan bahwa Indonesia tidak sungguh-sungguh ingin memberantas pencucian uang. Seharusnya Indonesia lebih berhati-hati dalam menentukan jumlah angka transaksi yang harus dilaporkan dan harus membandingkan dengan standar yang rata-rata dipakai oleh negara lain yang dianggap
wajar.
Namun
bila
dihubungkan
dengan
keseriusan
untuk
memberantas tindak pidana pencucian uang, maka lembaga keuangan harus lebih bekerja keras. Kerepotan tersebut bisa diatasi dengan penambahan karyawan bank dan menggunakan teknologi informasi yang sudah computerized. Ketiga, kelemahan lain dalam ketentuan anti pencucian uang Indonesia, yaitu walaupun ada larangan pemecahan transaksi oleh individu (pasal 13 ayat 55
Indonesia belum bebas dari Pencucian Uang Haram, Mustahil Memberantas Money Laundering. Media Indonesia, 12 Agustus 2002., hal. 10 56
Cerita Uang Haram di Dunia, Indonesia Dikategorikan Sebagai Negara Rawan. Kompas, 03 Oktober 2002., hal. 7.
61
(1) huruf b) untuk menghindari pelaporan, namun sanksi hanya dijatuhkan kepada penyedia jasa keuangan yang tidak melapor kepada PPATK. Individu atau badan hukum yang melakukan tidak ada sanksinya. Dalam RUU yang diajukan Pemerintah sebelumnya (Pasal 6 lama) pemecahan transaksi tersebut pernah diatur secara tegas, dan masuk pada Bab II tentang Tindak Pidana Pencuain Uang. Pemecahan transaksi atau structuring oleh individu ada kemungkinan akan dilakukan untuk menghindari kewajiban pelaporan. Hampri semua negara yang telah melakukan kriminalisasi pencucian uang mengatur mengenai structuring ini. Dalam ketentuan Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Indonesia mengenai larangan pemecahan transaksi hanya bagi Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk melaporkannya apabila terdapat transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp 500.000.000,atau lebih, atau yang setara, baik yang dilakukan dalam satu transaksi maupun beberapa transaksi dalam satu hari. Jelas dalam pasal ini bukan untuk pelaku pemecahan transaksi
keuangan tersebut, tetapi hanya untuk Penyedia Jasa
Keuangan (PJK) yang harus melaporkan apabila terjadi transaksi keuangan secara tunai yang dilakukan berkali-kali sampai jumlah kumulatif Rp 500.000.000 (limaratus juta rupiah) atau lebih dalam satu hari kerja. Ketentuan Pasal 6 lama, sebetulnyasudah baik, terbukti pada waktu dimintakan komentar kritik dan saran dari berbagai pihak seperti FATF, Technical Assistance Management Facility (TAMP), Aus AID, The Asian Development Bank, the US Treasury and Dewey Ballantine LLP (United States). Rumusan ini hampir tidak mendapat kritikan karena dianggap sudah baik. Kembali pada permasalahan kendala yang mungkin akan muncul dari penerapan Undang Undang Nomor 15 tahun 2002. Kelemahan keempat yang dipandang berasal ketentuan undang-undang adalah, mengenai tugas dan wewenang PPATK (pasal 26 dan 27). PPATK sebagai perwujudan Financial Intellegence Unit (FIU) merupakan motor untuk penegakkan hukum atas pelanggaran ketentuan pencucian uang. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pencucian uang keberadaan PPATK sangat penting. Namun demikian dalam undang-undang ini kewenangan PPATK nampaknya tidak terlalu
62
bisa diharapkan dapat mencegah atau memberantas pencucian uang. Undang undang telah merumuskan kewenangan yang sekedar sebagai lembaga yang meganalisis laporan yang diterima dan tugsanya pun tidak seperti yang dilakukan badan yang sama di negara-negara lain
Pasal 26 menyebutkan tugas-tugas PPATK meliputi: ”Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan undang-undang ini; memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh penyedia jasa keuangan (PJK); membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan mencurigakan; memberi nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK; mengeluarkan pedoman dan publikasi kepada penyedia jasa keuangan (PJK) tentang kewajiban yang ditentukan dalam undang-undang ini; membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan; memberi rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; melaporkan hsail analisis transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang kepada kepilisian dan kejaksaan serta membuat dan memberikan laporan mengenai hsail analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secara berkala 6 bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK)” Selanjutnya kewenangan PPATK diatur pada Pasal 27, meliputi meminta dan menerima laporan dari PJK, meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum dan melakukan audit kepada PJK tentang kepatuhan kewajiban mengenai pedoman pelaporan transaksi keuangan; memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) (b). PPATK semestinya memegang peranan yang sangat penting dan sentral sebagai otak, mata, telinga dan jantung dalam sistem pemberantasan tindak pidana pencucian uang.57 Dengan tugas dan wewenang dalam dua pasal 57
“Upaya Pemberantasan dan Pencegahan Pencucian Uang Masih Kedodoran serta Lamban”. Media Indonesia, 23 September 2002., hal. 8
63
tersebut di atas PPATK dinilai tidak mempunyai daya. Kewenangan yang dimiliki PPATK seharusnya mengikuti standar internsaional tentang kewenangan yang harus dimiliki suatu FIU, yaitu tidak sekedar mengumpulak data tentang transaksi keuangan dan menganalisisnya tetapi lain meliputi: (1) the ability to enforce compliance with reporting requirements; (2) the ability to conduct inquiries to assure accurate, complete and relevant information is obtained, store and accessible to appropriate foreign agencies; and (3) the ability to obtain cooperation with on other domestic agency.58 Ketentuan tersebut sebetulnya hanya merupakan standar mnimum kewenangan yang harus dimiliki oleh suatu seperti PPATK, sehingga tanpa kewenangan tersebut sulit sekali bagi PPATK dapat efektif melaksanakan fungsinya yang sangat sentral tersebut. Berkenaan sebagai pusat informasi bagi FIU Negara lain, baru saja dilakukan kerjasama antara PPATK dengan Money Laundering Office (AMLO) of Kingdom of Thailand pada tanggal 24 Maret 2003 di Bangkok. Namun demikian denga Negara lain belum ada kerjsaama antar FIU dan apabila tidak segera dilakukan kerjsama tersebut mungkin sekali akan menghambat pelaksanaan ketentuan pencucian uang. Kewenangan PPATK yang terdapat dalam Pasal 27 tidak bisa memaksa atau melakukan tindakan tertentu pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) untuk misalnya memperbaiki laporannya karena mungkin kurang akurat atau tidak lengkap. Berkaitan dengan masalah itu yang dapat dilakukan hanyalaj melakukan analisis terhadap pelaporan tersebut. Kalau PPATK merasa ada hal yang tidak sesuai maka dia tidak bisa bebruat apa-apa, misalnya melakukan penyelidikan
lanjutan
untuk
mendapatkan
laporan
yang
lebih
akurat.
Kelengkapan laporan yang ditindaklanjuti oleh PPATK ini penting sekali dilaukkan, karena seharusnya PPATK dan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) semestinya lebih tahu tentang kegiatan transaksi. Namun demikian keberadaan PPATK tidak sekali-kali dimaksudkan untuk diarahkan pada penyidikan apalagi untuk penuntutan. Penyelidikan lanjutan ini
58
Reineke, Without Government, hal. 146-147
64
sebaiknya ada paa PPATK bukan pada kepolisian, karena PPATK seharusnya lebih memahami seluk beluk transaks keuangan dibandingkan kepolisian. Jika setelah dilakukan penyelidikan lanjutan, terdapat petunjuk yang meyakinkan telah terjadi tindak pidana maka informasi dan hasil analisis yang diperoleh baru diberikan kepada polisi untuk dilakukan penyidikan. Berkaitan dengan terdapat kecurigaan transaksi, peran bank atau juga PPATK harus diberikan lebih banyak. Penilaian adanya transaksi yang mencurigakan yang terlalu cepat dan kemudian polisi mengambil alihnya dalam rangka penyelidikan, belum tentu merupakan keputusan yang baik. Bahkan apabila terlalu dini polisi masuk dalam penyelidikan justru bisa mendatangkan dampak negatif. Misalnya bila transaksi yang mencurigakan tersebut ternyata tidak terbukti, karena terlalu cepat ditindaklanjuti oleh polisi, dalam hal ini bank dapat dituntut oleh nasabah. Apabila hal tersebut sering terjadi, tidak mneutup kemungkinan bank akan kehilangan kepercayaan dan akhirnya ditinggalkan nasabah. Adanya PPATK diharapkan dapat mengurangi beban polisi, lebih mendorong
keberhasilan
dalam
pengungkapan
pelanggaran
ketentuan
pencucian uang. Kepercayaan nasabah pada bank memegang peranan penting.59 Sebagai
perbandingan
misalnya
FinCEN
dan
AUSTRAC
dapat
mengirimkan informasi tentang pelaporan ke pemerintah, yang kemudian membandingkannya dengan laporan ini yang ada seperti daftar pajak, atau laporan mengenai orang-orang yang berpotensi sebagai penjahat (potentionally criminal) atau kegiatan-kegiatan yang mencurigakan (suspicius activity).60 Selain itu PPATK tidak dapat mengumumkan sebuah bank atau lembaga keuangan lainnya yang tidak melaporkan transaksinya. Karena Undang Undang Nomor 15 tahun 2002 tidak memberikan kewenangan mengenai hal itu. Bernbeda dengan FinCEN yang bisa mengumumkan, jika bank tidak melaporkan transaksinya. Kelemahan selanjutnya PPATK tidak bisa memberikan sanksi apapun terhadap 59
Oey Hoey Tiong. Deputi Ditektur Direktorat Hukum Bank Indonesia. Wawancara tanggal 9 April 2003
60
Zagaris and Castilla “Enforcement Subregime”., hal. 908-909.
65
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang berkewajiban melaporkan transaksi keuangan. B.
Budaya Hukum Masyarakat Belum Mendukung Anti Pencucian Uang Perkiraan munculnya kendala dalam penerapan ketentuan Undang
Undang Nomor 15 tahun 2002 dalam pemberantasan pencucian uang berasal juga dari budaya hukum masyarakat Indonesia. Faktor ini sangatlah menentukan apakah peraturan perundang-undangan dapat efektif, sekaligus misalnya substansi undang-undang sudah baik dan aparaturnya sudah memadai. Indonesia sangat memerlukan dana, karena perkeonomian Indonesia yang terpuruk sejak krisi ekonomi tahun1997 dan semakin diperparah lagi dengan terjadinya tragedi bom Bali 12 Oktober 2002. Arus investasi yang terus menurun karena iklim investasi yang tidak kondusif juga memperburuk perekonomian. Sejumlah investor bahkan meninggalkan Indonesia pindah ke RRC, Vietnam atau Malaysia. Nilai persetujuan Penanaman Modal Asing (PMA) selama semester I saja turun 42 persen dibanding periode yang sama pada tahun 2001 yaitu dari 4,312 milyar dollar menjadi 2,520 milyar dollar.61 Sementara itu total pinjaman luar negeri pemerintah dan swasta Indonesia saat ini diperkirakan meningkat dari 130 milyar dollar Amerika pada tahun 1997 menjadi sekitar 140 milyar dollar Amerika pada tahun 2001. Khusus pinjaman luar negeri pemerintah termasuk yang berasal dari IMF tahun 2001 mencapai 72 milyar dollar Amerika.62 Dalam keadaan seperti ini sulit diharapkan masyarakat bisnis bersungguhsungguh mau melaporkan transaksi-transaksi bisnis yang mencurigakan, karena pelaku usaha sangat memerlukan dana yang menjadi prioritas mereka.63 Kendala penerapan ketentuan anti pencucian uang kemungkinan akan berasal dari kinerja dan kesungguhan para Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Penerapan yang ketat terhadap undang-undang ini bisa dipandang oleh para PJK 61
akan
menyebabkan
larinya
uang,
sementara
mereka
sangat
Diskorelasi Indikator Makro dan Sektor Ril. Kompas, 20 Desember 2002.
62
Ketergantungan Indonesia terhadap Utang Luar Negeri Akan Semakin Membesar. Kompas, 19 Desember 2002. 63
Wawancara dengan Faisal Basri, Pengamat Ekonomi/Penulis CSIS. Jakarta, 08 Januari 2003.
66
membutuhkannya. Budaya hukum lain yang bisa menjadi kendala dalam pemberantasan
tindak
pidana
penucian
uang
adalah
ketidakpercayaan
masyarakat atas kinerja para penegak hukum. Sampai saat ini reputasi penegakan hukum di Indonesia masih jauh dari harapan (tidak memuaskan). Hal ini dapat dilihat dari upaya pemberantasan korupsi, yang sebenarnya dari sudut substansi hukum cukup memadai dengan lahirnya berbagai undang-undang misalnya Undang Undang Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001) dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Namun demikian hampir selalu berhadapan dengan kendala yang dimensinya berada pada sikap dan budaya dari para penegak hukum yang berada di luar bidang hukum. ` Kemungkinan
lain
yang
berkaitan
dengan
budaya
hukum,
yaitu
keengganan karyawan bank untuk menanyakan secara detail tentang bisnis nasabahnya.64 Hal ini sangat berkaitan dengan kebiasaan sebelumnya di mana dipandang tidak pantas untuk menanyakan sumber dana yang diperoleh nasabah. Berkaitan dengan transaksi yang mencurigakan, paling tidak ada tiga hal yang harus ditanyakan yaitu asal negara dalam hal pengiriman, jenis bisnis dan identitas nasabah itu sendiri. Setiap bank yang menerima transaksi semacam itu harus menanyakan sumber dana tersebut dan kegunaannya.65 Di pihak lain nampaknya belum ada pemahaman pada nasabah tentang perlunya identitas dan asal dana, bahkan tidak jarang nasabah akan menolak untuk menerangkan asal-usul uang mereka.66 Masalah yang sama juga pernah dialami oleh Australia. Ketika Financial Transaction Report Act (FTR Act) pertama kali disahkan, terdapat penolakan dari lembaga keuangan,karena hal-hal yang
64
Wawancara dengan beberapa karyawan bank seperti BNI, BTN, Bank Mandiri. Jakarta, 12 – 13 April 2003. 65
Transaksi Bank yang Dicurigai sebagai Praktek Pencucian Uang. Kompas, 12 Juni 2002., hal. 15. 66
Wawancara dengan beberapa karyawan bank seperti BNI, BTN, Bank Mandiri, Rotan Chatra Valutama Money Changer dan 4 Delta Money Changer.
67
dibebankan kepada mereka dan adanya pembatasan-pembatasan pada kebebasan tradisional mereka. Kebanyakan bank pada awalnya menentang gagasan bahwa orang harus menjelaskan tentang jati dirinya pada saat mereka membuka rekening.67 Survey
yang
dilakukan
Price
Waterhouse
Coopers
(PWC)
atas
permintaan Bank Indonesia pada 22 Maret 2002, menyatakan bahwa kepatuhan pihak bank terhadap dua peraturan bank Indonesia (BI) mengenai pencegahan pencucian uang dinilai cukup baik. Penilaian kepatuhan tersebut berdasarkan 8 (delapan) kriteria kritis mengenai pengenalan nasabah dan transaksi yang mencurigakan.68 Delapan kriteria tersebut adalah kelengkapan petunjuk pengenalan nasabah, adanya unit atau unit khusus, pengenalan nasabah, identifikasi nasabah baru, nasabah tetap, memperbarui profil dan data nasabah lama, kesiapan melaporkan transaksi yang dicurigai, program pelatihan pencegahan pencucian uang, dan kesiapan sistem informasi. Namun demikian survey tersebut baru dilakukan terhadap 15 bank dari 145 bank yang beroperasi saat ini dan skor rata-rata hanya 5,5 dari skor maksimal 8. Hasil survey juga menyatakan bahwa, unit kerja pengenalan naabah atau staf pada 33% dari 15 bank sample tidak memonitor proses pembaharuan data maupun profil nasabah lamanya. Selain itu juga diketahui 80% dari sample, ternyata tidak pernah menerima transaksi yang patut dicurigai. Bahkan sampai dengan bulan Agustus 2002 baru 7 bank dari 145 bank yang sudah melaporkan transaksi yang jumlahnya Rp 500.000.000,- (limaratus juta rupiah). Sedangkan sebelumnya berdasarkan catatan Bank Indonesia, diketahui bahwa 142 bank (98%) telah memenuhi persyaratan kritis pengenalan nasabah. Sebagian besar dari 142 bank itu telah mengirimkan laporan pemenuhan persyaratan kritis itu kepada Bank Indonesia sebelum 13 Februari 2002.69 Menyusul adanya sejumlah bank 67
Gray “Pencucian Uang”., hal. 8- 9.
68
Indonesia Belum Bebas Dari Pencucian Uang Haram, Mustahil Memberantas Money Laundering. Media Indonesia, 12 Agustus 2002., hal. 10 69
40 Transaksi Bank yang Dicurigai Sebagai Praktek Pencucian Uang. Kompas, 12 Juni 2002., hal. 15.
68
yang melaporkan transaksi yang mencurigakan bahkan muncul spekulasi bahwa ada pula bank-bank yang terlibat dalam transaksi yang mencurigakan tersebut.70 Spekulasi tersebut tentu saja tidak jauh dari keadaan di mana bank tersebut masih memilih untuk mencari dana daripada melakukan kepatuhan atas Peraturan Bank Indonesia dan Ketentuan Undang Unang Nomor 15 Tahun 2002. Pada akhirnya kendala yang mungkin juga muncul dalam penerapan undang-undang ini berkaitan dengan persepsi nasabah mengenai pencucian uang. Nasabah bank seharusnya memberikan informasi yang dinamis oleh bank dengan
sebesar-besarnya.
Pemahaman
masyarakat
mengenai
praktek
pencucian uang sangat penting. Tidak mustahil upaya pemberantasan dan pencegahan pencucian uang ini akan menghadapi kegagalan bila masyarakat tidak, atau belum mempunyai pandangan bahwa praktek pencucian uang adalah suatu tindakan yang dapat merugikan perekonomian. Keadaan tersebut juga dialami beberapa negara pada waktu pertama kali mengundangkan anti pencucian uang, apalagi permasalahan pencucian uang bukanlah permasalahan yang sederhana.71 Regim Anti Pencucian Uang pada dasarnya merupakan regim kerjasama internsaional dalam hukum pidana, antara lain mengharuskan kerjasama antara pemerintah suatu negara dengan organisasi internasional dalam hal investigasi, ajudikasi dan eksekusi dalam perkara pidana. Tujuan regim internsaional adalah mengatur dan mengawasi transaksi tertentu dan
kegiatannya dengan
mengadakan prosedur internasional, hukum dan kelengkapannya. Regim ini mempunyau
subregim
yang
bertugas
mengatur
arus
perputaran
dana
internasional termsauk di antaranya ketentuan anti pencucian uang, Financial Action Task Force on Money Laundering dan Carribean FATF on oney Laundering (CFATF) adalah contoh sub regim yang diawali dalam bentuk informasi dan secara bertahap ditingkatkan menjadi regim yang formal.
70
Bank, Money Laundering dan Suspicious Transaction, Membatasi Ruang Gerak Pencucian Uang. Media Indonesia, 23 September 2002., hal. 10
71
Chaikin “Money Laundering”., hal. 473
69
KESIMPULAN Pencucian uang atau money laundering secara sederhana sebagai suatu proses yang menjadikan hsail kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, pengelakan pajak, judi, penyelundupan dan lain-lain yang dikonversi atau diubah dalam bentuk yang nampak sah agar dapat digunakan dngan aman.72 Hukum anti pencucian uang bagi Indonesia paling sedikit Karena tiga alasan: mengatasi masalah narkotika dan korupsi, menjaga hubungan dengan lembagalembaga keuangan internasional dan penegakan undang-undang itu sendiri. Pertama, Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang berguna untuk memberantas hasil perdagangan gelap dan penggunaan secara illegal narkotika (narkotika
dan
obat-obat
berbahaya)
di
Indonesia
sudah
sangat
mengkhawatirkan dan berbagai upaya teah dilakukan pemerintah antara lain dengan dibentuknya Badan Narkotika Nasional (BNN) untuk dapat lebih efisien dalam upaya penanggulangan kejahatan Narkotika serta dampaknya pada hukum lainnya akibat begitu maraknya prosedur Narkotika tersebut.
72
Sarah N. Welling “Smurf, Money Laundering, and The U.S. Fed Criminal law: The Crime of Structuring Transaction”, Flo L. Rev., vol 41 (1989)., hal. 290. Lihat Rajeev Savena “Cyber Laundering: The Next Step for Money Laundering”. St Thomas Law rev, vol. 10 (1998)., hal. 686. Lihat juga Neil Jensen (AUSTRAC) & Rick Mc. Donald (FATF) “Recent International Agreement”, Money Laundering dan Kewajiban Pelaporan Transaksi Keuangan. Makalah Seminar, Hotel Regent, Jakarta, 29 Juli 1999, AS-8/45. Lihat juga David A. Chalkin ”Money Laundering: An Investigatory Perspective”, Crime I Forum, vol.2 No.3 (Spring, 1991)., hal. 472. Lihat juga Ross Grontham “Civil Liability for Money Laundering”, New Zealand Univ. Int’l & Com.Reg, vol 19 (1994)., hal. 437. Bandingkan dengan Dauncan E. Alford “Anti Money Laundering: A Burden on Financial Intitutions”, N.C.J. Int’l & Com.Reg., vol.19 (1994)., hal. 437.
70