LAPORAN MENGIKUTI SIDANG SBSTA DAN SBI-22 KONVENSI PERUBAHAN IKLIM (Twenty-second Sessions of Subsidiary Bodies of the United Nations Framework Convention on Climate Change) Bonn, Jerman, 19 – 27 May 2005
Oleh Dr. Sunaryo Staf Ahli Ment eri Kehutanan IV Bidang Kemitraan/ Ketua Tim CDM Kehutanan e-mail :
[email protected] Dr. Joko Prihatno Kasubdit Pemanfaatan Jasa lingkungan-Direktorat WAPJL Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/ Anggota Tim CDM Kehutanan e-mail :
[email protected]
DEPARTEMEN KEHUTANAN 2005
1
PENGANTAR 1. Sidang SBSTA dan SBI-22 diselenggarakan di Bonn-Jerman, pada tanggal 1927 May 2005 membahas agenda yang ditugaskan oleh Conference of Parties (COP) ke-10 atas berbagai pending matters yang hasilnya akan dilaporkan pada COP-11 dan Meeting of Parties of the Protocol (MOP-1) di MontrealCanada pada tanggal 28 November – 9 Desember 2005. 2. Sidang diikuti oleh 157 negara dengan jumlah partisipan 1.589 peserta, terdiri dari delegasi Pemerintah 926 peserta, Badan Internasional 105 peserta, Lembaga Swadaya Masyarakat 511 peserta, media masa 39 peserta, dan pengamat 8 orang. Delegasi Indonesia pada sidang SBSTA dan SBI-22 sebanyak 11 orang terdiri dari wakil Departemen Luar Negeri/Kedutaan Besar RI di Berlin (1 orang), Kementerian Lingkungan Hidup (2 orang), Departemen Luar Negeri (1 orang), Departemen Kehutanan (2 orang), BPMIGAS (1 orang)), PT. PLN (1 orang), PT. Indonesia Power (1 orang) dan WWF-Indonesia (1 orang), dan Pelangi (1 orang). 3. Laporan ini disusun sebagai pertanggung-jawaban atas penugasan kami sebagai anggota DELRI 1 dalam Sidang SBSTA dan SBI-22 Konvensi Perubahan Iklim (Twenty-second Sessions of Subsidiary Bodies of United Nations Framework Convention on Climate Change), di Bonn-Jerman, 19-27 May 2005. Karena masalah administrasi kami baru bisa berangkat pada tanggal 22 Mei 2005, sehingga kami tidak dapat mengikuti event Carbon Expo, Seminar on Governmental Expert (SOGE), dan in-session workshop tentang Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim, namun demikian ada beberapa anggota delegasi lain yang mengikuti pada minggu pertama yang dapat melengkapi laporan ini. 4. Diharapkan juga bahwa laporan ini merupakan sosialisasi hasil sidang kepada pihak terkait untuk mendapat masukan atas hasil-hasil sidang penting khususnya di sector LULUCF untuk kepentingan Indonesia. Dilampirkan juga hasil sidang SBSTA -22 sebanyak 14 laporan dan SBI-22 sebanyak 13 laporan berikut hasil keputusan sidang COP-10, COP-9 dan COP-7 terkait, dengan harapan bahwa siapapun calon DELRI dari Departemen Kehutanan di COP-11 dan COP/MOP 1 dapat mempersiapkan diri dengan baik untuk kepentingan Departemen Kehutanan Indonesia. 5. Secara garis besar, laporan ini menyajikan jalannya persidangan, hasil laporan yang telah diadopsi dalam sidang pleno SBSTA dan SBI-22 (khusus untuk agenda yang relevan dan penting terhadap LULUCF) dan saran tindak lanjut di sektor LULUCF. Saran tindak lanjut disusun berdasarkan hasil adopsi 1
Dasar : Usulan Direktur Direktur WAPJL No. ND. 403/¯/WA-5/05 dan usulan Direktur Jendral PHKA melalui surat No. S/297/¯-WAPJL/2005 tanggal 12 Mei 2005 dan persetujuan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan tanggal 17 Mei 2005, Persetujuan Deputi Sekretaris Negara Bidang Administrasi No. Kl.0703/UMPL/1874 tanggal 18 Mei 2005. Surat penetapan DELRI dari Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup No. B-2424/SES/LH/05/2005 tanggal 12 Mei 2005.
2
laporan dan perkembangan sidang sektor LULUCF sampai akhir sesi (tanggal 27 Mei 2005) serta perkembangan penanganan bidang tersebut di Departemen Kehutanan, dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait. JALANNYA PERSIDANGAN Sidang SBSTA dan SBI-22 ini didahului oleh serangkaian kegiatan seperti Carbon Expo, Seminar on Governmental Expert (SOGE), dan In-session Workshop tentang Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim. A. Carbon Expo dilaksanakan pada tanggal 11–12 Mei 2005, diikuti oleh 14 organisasi dengan menampilkan berbagai publikasi terkait dengan Perubahan Iklim, seperti IPCC publication and information, International emission trading, the potential of forest and plantation for carbon sequestration and information for COP 11 participation in Montreal-Canada. B. Pertemuan koordinasi G77/China pada tanggal 15 Mei 2005. C. Seminar of Governmental Expert (SOGE) dilaksanakan pada tanggal 16-17 Mei 2005. Seminar dibagi dalam 2 topik seminar yaitu hal-hal yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi untuk membantu negara anggota melakukan tindakan yang sesuai dan efektif untuk merespon perubahan iklim. D. In-session Workshop tentang Adaptasi dan Mitigasi terhadap Perubahan Iklim dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2005, yang diarahkan sebagai pertukaran pandangan dalam suasana yang informal. Sidang pokok dibagi menjadi 2 kelompok persidangan yaitu sidang Subsidiary Body on Scientific and Technical Advise (SBSTA) dan Subsidiary Body on Implementation (SBI) yang kebanyakan berjalan secara parallel. A. Persidangan SBSTA terbagi kedalam 11 agenda yaitu : (1) Opening of the session, (2) Organizational matters (adoption of the agenda and organization of the work of the session), (3) Scientific, technical and socio-economic aspects of impacts of, and vulnerability and adaptation to, climate change, (4) Scientific, technical and socio-economic aspects of mitigation of climate change, (5) Methodological issues, (6) Development and transfer of technologies, (7) Good practices in policies and measures among Parties included in Annex I to the Convention, (8) Research needs relating to the Convention, (9) Cooperation with relevant international organizations, (10) Other matters, and (11) Report on the session. Sidang ini dilakukan secara efektif mulai tanggal 19-27 Mei 2005 dan menghasilkan 14 laporan. Dari 14 laporan yang perlu mendapat perhatian khusus dari Departemen Kehutanan adalah agenda item 3 (Scientific, technical and socio-economic aspects of impacts of, and vulnerability and adaptation to, climate change), agenda item 4 (Scientific, technical and socio-economic aspects of mitigation of climate change), agenda item 5b (Implications of the implementation of project activities under the clean development mechanism, referred to in decision 12/CP.10, for the achievement of objectives of other environmental
3
conventions and protocols) dan agenda item 6 ( Development and transfer of technologies). B. Persidangan SBI terbagi kedalam 9 agenda yaitu : (1) Opening of the session, (2) Organizational matters (adoption of the agenda and organization of the work of the session), (3) National Communication from Parties included in Annex I to the Convention, (4) Financial mechanism of the Convention (special Climate Change Fund), (5) implementation of Article 4, paragraph 8 and 9, of the Convention, (6) Arrangements for intergovernmental meetings, (7) Administrative and financial matters, (8) Other matters, and (9) Report on the session. Agenda ini dibahas mulai tanggal 19-27 Mei 2005 dan menghasilkan 13 laporan. Dari 13 laporan yang perlu mendapat perhatian khusus dari Kehutanan adalah: agenda item 3 (National communication from Parties not included in Annex I to the Convention), agenda item 4 (Financial mechanism for Special Climate Change Fund/SCCF), dan agenda item 6 (a) (Eleventh session of the COP). Adopsi hasil laporan sidang akan digunakan sebagai bahan pembahasan di SBSTA dan SBI-23 serta akan diputuskan pada COP 11 yang akan diselenggarakan di Montreal-Canada pada tanggal 28 November-9 Desember 2005. Konferensi para Anggota (COP) ke 11 UNFCCC akan dilangsungkan secara bersama dengan COP/MOP 1 setelah Kyoto Protokol diberlakukan (inter into force) pada tanggal 16 Februari 2005. COP/MOP 1 merupakan pertemuan para pihak Protokol Kyoto dalam rangka mengupayakan terjadinya implementasi Protokol secara efektif. Oleh karena itu sidang COP 11 dan MOP 1 di Montreal pada akhir tahun 2005 ini mempunyai peranan penting karena akan memutuskan upaya-upaya untuk efektifitas pelaksanaan protokol maupun konvensi perubahan iklim baik melalui mitigasi maupun adaptasi. Disamping mengikuti sidang formal di plenary dilakukan juga pertemuan informal baik dalam bentuk informal consultation, friends of the chair, contact group, maupun drafting group. Beberapa pertemuan penting dari DELRI antara lain pertemuan dengan Delegasi dari United Kingdom, Delegasi dari Australia, dan konsultasi ke Sekretariat UNFCCC tentang kemungkinan penyelenggaraan COP 13 di Indonesia.
4
HASIL PERSIDANGAN YANG RELEVAN DI BIDANG KEHUTANAN (LULUCF/LAND USE, LAND USE CHANGE AND FORESTRY) A Hasil sidang SBSTA-22 yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut dari bidang kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF) adalah sebagai berikut: 1. [Agenda item 3: Scientific, Technical and Socio-economic aspects of impacts vulnerability and adaptation to climate change.] COP, dalam Keputusan 1/COP10, menugaskan SBSTA untuk merumuskan program kerja 5-tahunan SBSTA mengenai Scientific, Technical and Socioeconomic aspects of impacts vulnerability and adaptation to climate change. Hasil pembahasan SBSTA -22 untuk agenda item 3 dalam bentuk draft keputusan No. FCCC/SBSTA/2005/L.14 tentang “the five year programme of work of impacts, vulnerability and adaptation to climate change” belum diselesai di bahas sampai kepada program adaptasi selama 5 tahun. Program 5 tahun adaptasi tersebut akan di bahas secara lebih detail dan lebih jauh pada SBSTA-23 dan COP 11, dimana sebelumnya kepada Sekretariat UNFCCC diminta untuk mengorganisasi informal workshop. Kepentingan Indonesia dalam hal ini adalah agar program kerja adaptasi untuk 5 tahun tersebut dapat juga dimanfaatkan Indonesia. Pada kesempatan tersebut, saran Indonesia agar sektor yang dicakup ini tidak dibatasi dan menyesuaikan dengan prioritas dan kebutuhan nasional telah diterima. Dengan demikian, nantinya program seperti konservasi hutan dan avoiding deforestation dan lainnya dapat dimasukkan dalam program kerja SBSTA sesuai dengan kebutuhan dan prioritas nasional. Disamping itu ada beberapa isu yang perlu mendapat pencermatan khusus bagi Indonesia, diantaranya adalah: § Draft program kerja 5 tahun untuk adaptasi, baru dapat menyelesaiakan isu-isu tentang tujuan, ruang lingkup pekerjaan, proses dan aktivitas, yang sebagian besar masih bertanda bracket. Hal ini terjadi sebagai akibat perbedaan pandangan antara negara non Annex 1 khususnya kelompok Afrika dan AOSIS (sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim) dan negara Annex 1 khususnya berkaitan dengan tujuan dan ruang lingkup, sehingga pembahasan berjalan lambat dan berlarut-larut. Untuk isu tentang proses dan aktivitas, baru menyelesaian tahap pertama dari program kerja 5 tahun. Elaborate lebih detail dan lebih jauh tentang program kerja 5 tahun ini diantaranya adalah “Gaps, problems, and needs; Opportunities and options for solutions; and additionalities to be undertake as a part of the programme of work” akan dibentuk Ad Hock Expert Group. Badan tambahan yang akan dibentuk pada COP11 ini akan diarahkan untuk adopsi program 5 tahun adaptasi. Tugas Ad Hock Expert Group akan dituangkan dalam TOR yang jelas kapan pelaksanaannya, oleh siapa dan apa yang akan dikerjakan.
5
§
§
§
Lampiran draft keputusan FCC/SBSTA/2005/l.14, article I paragraph 1 tentang objectives, terdapat pernyataan tentang “the most vulnerable” to adaptation, posisi Indonesia lebih aman jika menghapus kata-kata “the most” sehingga cukup dengan kata-kata “vulnerability to adaptation”. Article II paragraph 3, pernyataan tentang “isu-isu yang terkait dengan metodologi, data dan modeling, penilaian adaptasi dan vulnerability, perencanaan adaptasi, measures and actions, serta keterpaduan kepada sustanaible development, dilakukan berdasarkan kebutuhan dan prioritas nasional dan regional” masih bertanda kurung. Pernyataan ini menguntungkan Indonesia, maka perlu dipertahankan. Indonesia perlu mempersiapkan posisi terkait dengan program 5 tahun adaptasi yang mencakup seluruh sector terkait yang seharusnya dikoordinir oleh Kementerian Lingkungan Hidup atu BAPPENAS.
2. Agenda item 5b Implications of the implementation of project activities under the clean development mechanism, referred to in decision 12/CP.10, for the achievement of objectives of other environmental conventions and protocols dalam pembahasan ini SBSTA belum mencapai kesepakatan. Oleh karena itu SBSTA mengundang Para Pihak untuk memasukkan proposal tentang implikasinya paling lambat tanggal 5 Agustus 2005. Sekretariat akan mengkompilasi proposal dari parties tersebut dan dimasukan dalam dokumen misc. untuk dipertimbangkan dalam psesi SBSTA -23 bulan Desember 2005. 3. Agenda Item 6, Development and transfer of technologies dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan antara Annex I dan Non-Annex I tentang mandat SBSTA kepada EGTT, namun akhirnya dicapai kesepakatan. SBSTA menyambut baik hasil evaluasi awal yang dilakukan oleh UNEP terhadap kegiatan EGTT, selain itu SBSTA juga sangat menghargai atas kesediaan negara-negara UK, USA, EC, Canada, dan Jepang dalam mensupport kegiatan EGTT. Follow up workshop on inovative options for financing the development and transfer of technologies, direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2005 dengan peserta dari negara berkembang dan negara maju serta negara donor. Dengan demkian diharapkan dapat diidentifikasi potensial project selama pelaksanaan technology needs assessment. EGTT akan menyelenggarakan seminar pada tanggal 14 - 16 Juni 2005 di Trinidad dan Tobago dengan judul Technologies for adaptation to climate change. Hasil seminar ini akan dilaporkan pada sesi ke 23. 4. Agenda Item 4, Scientific, technical and socio-economic aspects of mitigation of climate change, SBSTA memperhatikan masukan dari Parties yang terdapat dalam dokumen FCCC/SBSTA/2005/MISC.2 dan Add.1-2. Untuk itu SBSTA menyambut baik atas pertukaran pendapat peserta in-
6
session workshop, untuk itu sekretariat diminta membuat laporan lengkap dengan arahan ketua SBSTA, sampai 15 Juli 2005. Laporan tersebut harus mencakup GRK, sektor, teknologi, region, aspek socio-ekonomi, dan hal lain yang terkait dan disajikan. B Hasil sidang SBI-22 yang perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut dari bidang kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry/LULUCF) adalah sebagai berikut: 1. Agenda Item 4 mengenai Special Climate Change Fund (SCCF) merupakan topik yang sensitifitasnya cukup tinggi di mana terdapat perbedaan kepentingan yang cukup prinsipil di antara Negara Pihak dari kelompok Annex-1 (Negara maju yang mempunyai tanggung jawab pembiayaan SCCF) dengan kelompok non-Annex-1 (negara berkembang yang dimotori oleh G77/Cina). Sebagai akibatnya SBI dalam keputusannya No. FCCC/SBI/2005/L.13 memutuskan bahwa masalah ini akan dibahas lebih lanjut pada SBI berikutnya. Dalam annex dari dokumen tersebut terdapat beberapa isu yang belum dapat disetujui dan perlu dicermati serta tindak lanjut khususnya sebagai persiapan posisi delegasi Indonesia yang akan menghadiri COP-11/MOP-1 pada bulan November-Desember 2005. Hal-hal tersebut terutama menyangkut: - Pertimbangan mengenai pengaitan komunikasi nasional dengan kegiatan yang dapat dibiayai lewat SCCF. - Pembiayaan lewat SCCF untuk kegiatan seperti yang diatur dalam Keputusan 7/CP.7 paragraf 2c yaitu di bidang transportasi dan industri. Negara-negara pihak mengajukan tiga opsi yang perlu diputuskan pada pertemuan SBI berikutnya. - Afforestasi dan reforestasi dalam penggunaan tanah marjinal merupakan kegiatan yang akan dibiayai dari SCCF, perlu diidentifkasi kegiatan lain di sektor LULUCF yang perlu mendapat pembiayaan dari SCCF. - Pembiayaan lewat SCCF untuk kegiatan seperti yang diatur dalam keputusan 7/CP.7 paragraf 2d yang menjadikan SCCF sebagai dana pelengkap dari dana GEF. Negara-negara Annex1, dimotori oleh Jepang dan Norwegia, menghendaki agar SCCF dapat juga membiayai bantuan teknis. Negara berkembang, khususnya G-77/Cina, berpandangan bahwa bantuan teknis tidak perlu dimasukkan dalam skema SCCF. 2. Agenda item 6 tentang Eleven session of the Conference of the Parties, COP 11 dan COP/MOP 1 akan diselenggarakan di Montreal-Canada pada tanggal 28 November-9 Desember 2005, dimana tanggal 7-9 Desember merupakan forum High level segment yang akan dihadiri oleh pejabat setingkat Menteri atau Ketua Delegasi lainnya. 3. Agenda item 3 (a) tentang National Communication, dalam keputusannya SBI nomor FCCC/SBI/2005/L.9 paragraf 2 diatur bahwa negara Pihak nonAnnex1 harus mengajukan proposal pendanaan untuk komunikasi nasional
7
selanjutnya antara tiga sampai lima tahun dari pembayaran pertama, kecuali untuk Pihak yang telah menyerahkan komunikasi nasional tersebut lebih dari 5 tahun, maka harus mengajukan permohonan tersebut sebelum 2006. Implikasinya adalah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah aktual dan mempersiapkan National Communication selanjutnya selambat-lambatnya Desember 2005. PERTEMUAN TERKAIT Pertemuan G77+China Selama SB-22, Pertemuan G77+China diselenggarakan 2 kali setiap harinya (9.00-10.00 dan 14.00-15.00 waktu setempat), yang dimaksudkan untuk ‘updating’ negara anggota tentang proses negosiasi dan menyusun posisi bersama terutama yang menyangkut kepentingan negara berkembang secara umum. Pertemuan juga dimaksudkan untuk menggalang pengertian untuk isuisu yang tidak dapat melahirkan posisi bersama, seperti agenda 3 SBSTA dan agenda 6 SBSTA serta agenda 4 SBI. Pertemuan informal 1. Di sela-sela persidangan, Delri juga melakukan pertemuan bilateral dengan beberapa pihak. Pihak Sekretariat telah melakukan pendekatan kepada Delri untuk menjajaki kemungkinan Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan lokakarya pelatihan untuk kawasan Asia Pasifik di bidang modeling untuk kerentanan dan adaptasi (Vulnerability and Adaptation). Lokakarya direncanakan akan diikuti oleh 50 orang dan diharapkan dapat dilaksanakan pada pertengahan tahun 2006. Pihak Sekretariat menyampaikan bahwa pendanaan untuk kegiatan ini akan diupayakan dari kontribusi sukarela. Sejauh ini didapat informasi bahwa Australia telah memberikan indikasi untuk memberikan bantuan. Pengumuman rencana pelaksanaan workshop ini akan dilakukan pada COP11 di Montreal. Sehubungan itu, Indonesia (Kementerian LH) perlu segera memutuskan tanggapannya terhadap usulan ini . 2. Penawaran pihak Sekretariat kiranya dapat ditanggapi secara positif mengingat pelatihan tersebut secara teknis akan bermanfaat bagi para ahli Indonesia khususnya dalam mengembangkan model kerentanan dan adaptasi yang dapat diterapkan di Indonesia. Sejauh ini salah satu kebutuhan yang diperlukan adalah cara pengembangan model kerentanan dan adaptasi yang diharapkan akan juga mencakup aspek asesmen dan perencanaan upaya-upaya di bidang ini. Penyelenggaraan workshop ini akan dikoordinasi Deplu dengan melibatkan KLH, Kehutanan, dan sektor terkait. Saat ini sekretariat sedang menunggu persetujuan sekretariat PBB di New York yang menyangkut masalah security clearance, apabila sudah ada
8
informasi dari New York pihak sekretariat UNFCCC akan segera menginformasikan ke Pemerintah Indonesia melalui Focal Point atau Deplu. 3. Pihak Delri juga melakukan pertemuan dengan Delegasi Belanda (Regie Harnus) yang membahas khususnya mengenai perkembangan BCPA (Bilateral CER Purchase Agreement) untuk sektor industri. VROM minta penjelasan mengapa sampai saat ini, belum dapat ditunjuk konsultan yang akan membantu proses manejemen kegiatan CDM yang bisa berkoordinasi dengan Pemerintah Indonesia, VROM, dan pihak swasta sebagai implementasi kegiatan. Pihak Indonesia menginformasikan bahwa kesulitan ini disebakan karena belum ada kepastian jumlah dana yang tersedia untuk menyewa konsultan. Oleh karenanya, pada diskusi nasional sendiri timbul pertanyaan siapa yang akan menandatangani persetujuan tersebut. VROM menghendaki agar penandatangan dari pihak Indonesia adalah Pemerintah RI dalam hal ini KLH dengan pihak konsultan. Dalam hal ini, VROM tak bisa menjadi pihak yang mengkontrak nasional konsultan, karena tidak diizinkan oleh kebijakan EU yang harus melalui international bidding dan lewat persetujuan parlemen. Indonesia mengusulkan kemungkinan VROM ikut menandatangani sebagai saksi dan dimasukannya klausal dalam kontrak tersebut yang menjamin implikasi pembiayaannya ditanggung oleh VROM. VROM secara tentative dapat setuju dan akan mengkonsultasikan usulan ini dengan penasihat hukumnya. Menyangkut biaya, VROM tak bisa memberikan info dana yang pasti tersedia karena belum jelas kemungkinan rencana tersebut terwujud. Konsultan terpilih harus segera memberikan proposal dengan mengajukan biaya untuk kemudian dikonsultasikan dengan VROM. Tindak lanjut dalam rangka mempercepat proses ini dapat dilakukan konsultasi informal lewat email dengan VROM untuk membantu finalisasi seleksi konsultan. VIROM mengharapkan agar paling tidak bulan Agustus 2005 program ini sudah dapat diluncurkan, karena apabila sampai dengan tahun anggaran ini tidak ada dana yang dapat dimanfaatkan (cairkan) maka posisi VROM sangat kritis dan dapat mengakibatkan BCPA tidak terwujud. 4. Delri juga telah melakukan pembicaraan bilateral dengan delegasi Inggris (United Kingdom-UK) dan diterima oleh Henry Derwent (Utusan Khusus Perubahan Iklim - Ketua Delegasi UK). Isu-isu yang dibahas dalam pertemuan bilateral tersebut adalah kebijakan energi kaitannya dengan lingkungan hidup, mekanisme Konvensi dan KP khususnya CDM, serta areaarea kerjasama di bidang lingkungan hidup yang dapat dijajagi antara ke dua negara. Mengenai kebijakan energi, UK tertarik untuk mengetahui penanganan kebijakan energi di Indonesia dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Indonesia menyampaikan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia adalah diversifikasi sumber energi dan terutama sumber energi terbarukan. Namun dalam pengembangannya banyak kendala antara lain sumber pendanaan dan juga sumber renewable energi terletak di daerah terpencil sehingga dibutuhkan investasi yang cukup besar. Oleh karena itu, Delri mengharapkan pihak UK dapat membantu pengembangan industri
9
energi ini. Delegasi UK menyampaikan bahwa, pemerintah UK hanya dapat mempunyai kendali efektif atas badan nasionalnya dan tidak mencakup sektor swasta. Namun demikian, UK mempunyai Climate Change Process Office (CCPO) yang membantu bisnis untuk berpartisipasi dalam proyek CDM. Diinformasikan juga bahwa perusahaan-perusahaan UK merupakan potential buyer CER dan Pemerintah UK akan mengusahakan untuk mengarahkan pembelian tersebut ke Indonesia. Mengenai perkembangan pelaksnaan CDM, ke dua pihak sepaham bahwa saat ini proses CDM ini masih sangat lambat dan juga rumit bagi negara berkembang untuk mengimplementasikannya. Pihak UK telah menerima berabgai masukan dan akan melakukan penilaian dan studi lebih lanjut mengenai CDM. Pihak Indonesia menyampaikan bahwa selain KP, negara Pihak juga perlu menangani isu-isu yang termuat dalam Konvensi khususnya: capacity building, public awareness dan penelitian. Delegasi UK menyatakan ketertarikannya terhadap masalah-masalah tersebut dan kemungkinan penanganannya. Ke dua pihak juga melakukan tukar informasi mengenai area kerjasama yang dapat dijajagi dalam bidang lingkungan hidup. Pihak Indonesia menyampaikan bahwa salah satu bidang yang dapat digarap adalah masalah kehutanan . Hal ini mendapat tanggapan positif dari pihak UK. Ke dua pihak sepakat untuk menindaklanjuti pembicaraan ini dalam bentuk kerjasama khususnya secara bilateral. Tindak lanjut pertemuan ini, pihak UK akan mempelajari lebih lanjut hasil pembicaraan ini dan seandainya ada rencana kerjasama akan menghubungi focal point yang akan difasilitasi oleh Kedutaan Inggris di Jakarta. Di sisi lain, Pihak UK juga terbuka untuk menerima masukan atau usulan kerjasama dari Indonesia. 6. Pertemuan Kelompok Asia telah diselenggarakan disela-sela pertemuan SBSTA/SBI-22. Pertemuan membahas antara lain pencalonan anggota Biro COP11/MOP1 mendatang serta anggota Compliance Committee. Untuk anggota Biro terdapat dua posisi wakil ketua sementara untuk Compliance Committee, Asia diharapkan dapat mengajukan dua calonnya. Negara anggota diminta untuk mengajukan pencalonannya paling lambat pada minggu pertama penyelenggaraan COP11/MOP1. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, jika tidak ada pertimbangan lain, Indonesia kiranya dapat mengajukan usulan untuk menduduki posisi wakil presiden COP11/MOP1 mengingat selama ini Indonesia belum pernah menduduki jabatan keanggotaan biro di COP Konvensi Perubahan Iklim. Berkaitan dengan keanggotaan Committee Compliance, Indonesia kiranya dapat pula mengajukan nominasi, apabila tidak ada negara-negara lain yang berminat. Mengingat Komite ini akan mempunyai peran strategis khususnya dalam memantau kepatuhan negara-negara Annex I dalam memenuhi komitmennya, keterlibatan Indonesia sebagai anggota akan memberikan kontribusi bagi pencapaian tujuan Konvensi.
10
Hal-Hal Lain : Pertemuan dengan sekretariat untuk penjajagan sehubungan dengan kemungkinan menjadi penyelenggara COP, diperoleh gambaran kasar tentang jumlah yang harus ditanggung oleh tuan rumah sekitar Rp. 40 – 50 milyar. Selain pendanaan tersebut juga masih ada pertimbangan UNFCCC bahwa tuan rumah perlu diteliti terlebih dahulu oleh UN tentang keamanan kota yang akan digunakan sebagai tempat penyelenggaraan dengan skala UN dari 1 - 5. Informasi sementara Jakarta merupakan skala 1 dan Bali sekala 3, semakin besar skala semakin besar pula resiko keamanannya. Berdasarkan informasi tersebut untuk menjadi tuan rumah COP agar dipertimbangkan secara cermat, sehingga benar-benar mendapat manfaat sebagai tuan rumah. JICA menginformasikan bahwa dalam rangka membantu meningkatkan pengetahuan sumber daya manusia dari anggota para pihak tentang pemahaman isu perubahan iklim. Untuk tujuan tersebut JICA akan menyelenggarakan Training Workshop di Tsukuba, 9 Januari – 2 Maret 2006, dengan judul Development of Strategies on Climate Change. Pencalonan peserta paling lambat tanggal 6 Oktober 2005, ke Kantor JICA atau kedutaan Jepang. Peserta harus dicalonkan oleh Pemerintah dan harus membuat Paper tentang kebijakan Pemerintah dalam menangani isu perubahan iklim. Dalam intergovernmental meeting, Papua New Guinea (PNG) menyampaikan pandangan negaranya atas kegiatan avoiding deforestation. PNG memberikan usulan atas pentingnya menjadikan kegiatan avoiding deforestation sebagai bagian dari kegiatan mitigasi, dimana kegiatan penurunan deforestasi yang dilakukan secara voluntary tersebut tidak eligible untuk Kyoto Protokol. Padahal bagi negara yang memiliki hutan hujan tropika luas, kegiatan ini dapat menjadi industri perdagangan karbon yang potensial. Mekanisme yang diusulkan adalah menjadikan kondisi deforestation yang terjadi pada saat ini dan prediksi selama satu periode proyek sebagai baseline. Additionality dihitung berdasarkan kemampuan penurunan deforestasi yang dihitung berdasarkan luasan hutan yang tetap dapat dipertahankan sebagai hutan dalam menyerap karbon. Presentasi ini mendapat sambutan positip dari berbagai negara dan juga organisasi internasional termasuk World Bank. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropika yang sangat luas perlu melakukan aliansi dengan negara-negara yang memperjuangkan avoiding deforestation dan kegiatan konservasi untuk diperhitungkan dalam mekanisme pembiayaan atau kompensasi dari negara maju.
11
SARAN TINDAK LANJUT 1. Persiapan SBSTA-23/COP-11 dan COP/MOP 1 di Montreal-Canada, tanggal 28 November-9 Desember 2005: a) Melakukan pencermatan dari aspek hukum, teknis dan kelembagaaan terhadap dokumen SBSTA dan SBI-22 sebagai bahan negosiasi di SBSTA dan SBI-23 serta COP- 11, antara lain: Agenda item 3 SBSTA (adaptasi): - Objectives: [all] Parties, particularly the [most] vulnerable, ]...: perlu dikaitkan dg article 4.1e; 4.4; 4.4; 4.8 dan 4.9 - Scope of work paragraph 1: [and taking into account dec 1/CP.10]: lebih fokus kepada tindak lanjut dari dec 1/CP.10 - Scope of work paragraph 2:[take into account regional and national priorities and needs by] : dipertahankan untuk ditentukan berdasarkan prioritas nasional, tingkat kerentanan di setiap negara berbeda (untuk kehutanan: avoiding deforestation dan conservation activities). agenda item 4 (a) SBI (SCCF): - [Pengaitan komunikasi nasional, program adaptasi nasional, atau informasi relevan lainnya dengan kegiatan yang dapat dibiayai lewat SCCF]. - Paragrap 2 bis [menjadikan SCCF sebagai dana pelengkap dari GEF untuk mendukung pembiayaan kegiatan asistensi teknis]. b) Berkaitan dengan butir 1a) tersebut, mengingat sejumlah paragraph masih dalam tanda kurung (square bracket) sebagai akibat dari perbedaan pendapat diantara negara annex 1 dan negara non annex 1 khususnya G77/China dan Kelompok Afrika serta AOSIS. Pencermatan lebih dalam diperlukan pada paragraph-paragraph tersebut untuk pembahasan lebih lanjut dalam SABSTA-23 dan negosiasi di COP-11 dan COP/MOP 1. 2. Untuk isu adaptasi agar dapat lebih dicermati dan bila memungkinankan untuk mendorong para pakar disektor non-energi (Kehutanan, Pertanian, Sumber Daya Air, Perikanan, dan Kesehatan) membuat makalah tentang usaha yang selama telah dilakukan di Indonesia. Hasil tersebut dituangkan dalam posisi paper Indonesia untuk program 5 tahun adaptasi perubahan iklim. Sehingga kita bisa menyusun prioritas negara agar dapat diakomodir dalam program prioritas kerja SBSTA ke-23 yang akan datang. Program konservasi dan avoiding deforestasi merupakan tindakan yang terkait dengan protection and rehabilitation area sebagaimana dituangkan dalam artikel 4 paragraph 1 (e) Konvensi Perubahan Iklim, sehingga perlu mendapat prioritas dalam 5 tahun program adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
12
3. Sekretariat mengundang Para Pihak untuk memasukkan proposal tentang implikasi pelaksanaan kegiatan CDM paling lambat tanggal 5 Agustus 2005. 4. Dalam Pengembangan transfer teknologi, EGTT akan menyelenggarakan workshop tentang inovative options for financing the development and transfer of teknologies pada bulan Oktober 2005 . Peserta dari negara berkembang, negara maju serta negara donor. Perlu diidentifikasi potensial project selama pelaksanaan technology needs assessment. 5. Untuk isu mitigasi SBSTA meminta sekretariat membuat laporan in-session workshop paling lambat tanggal 15 Juli 2005. Laporan tersebut mencakup GRK, Sektor yang dicakup, teknologi, aspek sosio-ekonomi, pendapat peserta pada saat workshop. 6. Isu utama yang menjadi perbedaan pandangan dalam SCCF adalah kegiatan apa saja yang dapat di danai oleh SCCF terutama kegiatan bantuan teknis. Negara Non-Annex menolak bantuan teknis dibiayai oleh SCCF. Sebagaimana Dec 7/COP 7 tentang kegiatan yang didanai dari SCCF, kegiatan aforestasi dan reforestasi di tanah marjinal disetujui untuk didanai dari SCCF. Disamping itu program 5 tahun adaptasi perubahan iklim yang isunya akan ditentukan berdasarkan prioritas dan kebutuhan negara yang bersangkutan (diusulkan termasuk konservasi dan avoiding deforestation), perlu diposisikan untuk dapat didanai juga dari SCCF. 7. Sesuai pembahasan Nasional komunikasi, maka National Communication ke dua untuk Indonesia harus sudah diusulkan sebeleum tahun 2006. Hal ini berarti proposal yang sedang disiapkan harus segera dilaksanakan sehingga pengajuan pendanaan dapat diusulkan paling lambat Dersember 2005. 8. Sekretariat UNFCCC menawarkan Pemerintah Indonesia untuk menyelenggarakan training workshop untuk modeling kerentanan dan adaptasi dari CGE yang direncanakan pertengahan tahun 2006. Saat ini UNFCCC menunggu approval dari UN New York sehubungan dengan masalah keamanan di Indonesia. 9. Pemerintah Belanda melalui VROM mengharapkan agar proses BCPA dapat dipercepat khususnya dalam pemelihan konsultan dan diharapkan sudah dapat selesai bulan Agustus 2005. 10. Pemerintah Inggris juga menunjukkan keinginan untuk mengadakan kerjasama dengan Indonesia baik melalui bilateral maupun multilateral. Kerjasama ini bisa mencakup implementasi maupun capacity building, public awareness, maupun reasearch tergantung persiapan pemerintah masingmasing. Untuk itu agar di nasional juga lebih disebarluaskan kesemua sektor yang interes dalam rangka mengatasi isu perubahan iklim.
13
11. Saat ini ada lowongan untuk Biro MOP dan Komisi Kepatuhan, maka apabila Indonesia berminat agar dapat mempersiapkan dan mengajukan pencalonan ke sekretariat dan perlu lobi ke negara ASIA atau G77/China untuk dukungan kepada calon Indonesia saat berlangsungnya SB ke-23 yang akan datang. 12. Perlu melakukan aliansi dengan negara-negara yang memiliki pandangan sama terhadap avoiding deforestation dan kegiatan konservasi untuk mendapat kompensasi pembiayaan dari negara annex 1 melalui mekanisme adaptasi maupun mitigasi. Negara yang telah memberikan pandangannya antara lain Papua New Guinea, Brazil dan Ghana. 13. Perlu membentuk tim penyusun materi sidang SBSTA/SBI 23 dan COP 11 , yang bertugas mempersiapkan materi teknis sebagai posisi Indonesia. Proses komunikasi antar tim dan proses penyusunan materi perlu dirumuskan dalam program pertemuan yang jelas tata waktu dan agendanya. 14. Identifikasi data kegiatan LULUCF terkait kegiatan adaptasi perubahan iklim seperti dampak dan tingkat kerentanan masyarakat, satwa dan ekosistem sebagai akibat dari perubahan lahan dan penggunaan lahan kehutanan; upaya illegal logging, perambahan dan pencegahan kebakaran; dampak negative akibat kekeringan/banjir dan dan hubungannya dengan peningkatan suhu. LAMPIRAN 1. Draft Laporan SBSTA ke 22 “Draft report of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice on its twenty-second session” (dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.1). 2. “Technical guidance on methodologies for adjustments under Article 5, paragraph 2, of the Kyoto Protocol” (dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.2 dan dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.2/Add.1). 3. “Implications of the implementation of project activities under the clean development mechanism referred to in decision 12/CP.10” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.3). 4. “Good practices” in policies and measures among Parties included in Annex I to the Convention, dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.4. 5. “Issues relating to the implementation of Article 2, paragraph 3, of the Kyoto Protocol” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.5). 6. “Research needs relating to the Convention” (dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.6 dan dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.6/Add.1). 7. “Registry systems under the Kyoto Protocol” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.7). 8. “Special report of the Intergovernmental Panel on Climate Change on safeguarding the ozone layer and global climate system: issues relating to hydrofluorocarbons and perfluorocarbons” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.8).
14
9. “Reports from the secretariate of the Global Climate Observing System” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.9). 10. Dokumen tentang mitigasi “Scientific, technical and socio-economic aspects of mitigation of climate change” (dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.10)∗ . 11. “Emissions from fuel used for international aviation and maritime transport” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.11). 12. “International meeting to Review the implementation of the Programme of Action for Sustainable Development of Small Island Developing States” (Dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.”12) 13. Draft Keputusan tentang “Development and transfer of technologies” (dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.13)∗ . 14. Dokumen tentang adaptasi “Scientific, technical and socioeconomic aspects of impacts, vulnerability and adaptation to climate change” (dokumen dokumen FCCC/SBSTA/2005/L.14)*. 15. “Draft report of the Subsisiary Body for Implementation on its twenty-second session” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.1). 16. “Implementation of the Headquarters Agreement” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.2). 17. “Flexibility for Croatia under Article 4, paragraph 6, of the Convention” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.3). 18. “Arrangements for intergovernmental meetings” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.4)*. 19. “Budget performance for the biennium 2004-2005” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.5). 20. “Internal review of the activities of the secretariat” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.6 dan dokumen FCCC/SBI/2005/L.6/Add.1). 21. “Provision of financial and technical support” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.7). 22. “Compilation and synthesis of initial national communications” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.8). 23. “Submission of second and, where appropriate, third national communications” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.9)*. 24. “Implementation of paragraph 7 © of the financial procedures of the Convention concerning the financial support for participation in the UNFCCC process” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.10). 25. “Work of the Consultative Group of Experts on National Communications from Parties not included in Annex I to the Convention” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.11). 26. “Climate neutral UNFCCC meetings” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.12) 27. Draft Keputusan tentang “Special Climate Change Fund (SCCF)” (dokumen FCCC/SBI/2005/L.13)*. 28. Keputusan 1 COP-10 tentang “Boenos Aires programme of work on adaptation and response measures”. ∗
Draft keputusan yang secara langsung berkaitan dengan sector LULUCF.
15
29. “A Five-Year Program on the Scientific, Technical and SocioEconomic Aspects of Impacts, Vulnerability and Adaptation to Climate Change” (posisi Departemen Kehutanan, sebagai bahan sidang SBSTA dan SBI-22)*. 30. “Views on the five-year programme of work of the Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice on the scientific, technical and socio-economic aspects of impacts of, and vulnerability and adaptation to, climate change” (Submission from Parties)*. 31. Pandangan dari Pemerintah Papua New Guinea tentang Avoiding Deforestation “Statement by H.E. Robert G. Aisi Ambassador of Papua New Guinea to the United Nations”*.
Jakarta, 29 Mei 2005 1. Dr. Sunaryo 2. Dr. Joko Prihatno