ISSN 1997-293X Vol. VII No. 2, Desember 2015 Penanggung Jawab
TIM REDAKSI : Ir. Pryo Handoko, MM (Ketua STIA Banten)
Pembina
: Dr Dirlanudin, M.Si (Wakil Ketua I STIA Banten) : Ihin Solihin, S.AP., M.Si (Wakil Ketua III STIA Banten)
Mitra Bestari
: Prof. Dr. Drs. H. Sam’un Jaja Raharja, M.Si (Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP Universitas Padjadjaran) : Prof. Dr. H. Ahmad Sihabudin, M.Si (Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya Universitas Sultan Agung Tirtayasa)
Pemimpin Umum
: Dra. Atik Atiatun Nafisah, MM (Ketua LPPM STIA Banten)
Dewan Editor Ketua Anggota
Redaksi Pelaksana Ketua Sekretaris Bendahara Tata Usaha dan Kearsipan Distribusi dan Sirkulasi
: : : : : :
Dr. Dirlanudin, M.Si Agus Lukman Hakim, S.E., M.Si. Dr. Agus Sjafari, M.Si Leo Agustino, Ph.D Dra. Atik Atiatun Nafisah, MM Juliannes Cadith, S.Sos., M.Si
: : : : :
Ade Hadiono, ST., M.Si Samsul Ode, S.Sos., M.Si Herawati Litono, SP Adi Purwanto, S.AP
Alamat Redaksi
: LPPM STIA Banten Jl Raya Serang Km. 2 No. 42 Kadumerak Pandeglang 42251 Telp. (0253)5500250 – 5207579 – 5207577 Website: http//www.stiabanten.ac.id. Email :
[email protected] [email protected] Jurnal Niagara merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan dua kali setahun oleh Lembaga Penellitian dan Pengabdian Masyarakat berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.
ii
PENGANTAR REDAKSI
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi, Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015 dapat kembali hadir dan sampai pula ditangan Anda, baik dari komunitas ilmuwan, praktisi dan pemerhati ilmu administrasi. Terbitan edisi kedua tahun ini, berisikan tulisan dari rekan-rekan dosen di UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Fisip Untirta dan di lingkungan STIA Banten yang dengan setia selalu mengisi agar konsistensi penerbitan jurnal ini tetap terjaga. Redaksi berharap semua artikel dalam jurnal kali ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi dan wawasan pengetahuan, baik dalam bidang administrasi ataupun lainnya. Kami menyadari dalam penyajian materi jurnal edisi kali ini tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, Untuk itu kami mohon maaf dan mohon masukan untuk penyempurnaaan edisi mendatang. Selamat membaca, dan terima kasih atas partisipasi dan dukungannya.
Pandeglang, Desember 2015
Redaktur Pelaksana
iii
DAFTAR ISI TIM REDAKSI ..............................................................................................................
ii
PENGANTAR REDAKSI .............................................................................................
iii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
iv
MEWUJUDKAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA ANTI KORUPSI MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER (Sebuah Upaya Mengikis Sikap Toleransi Permisif Terhadap Korupsi) Oleh: Harrys Pratama Teguh, S.HI., M.H. .............................................................
1-14
ETIKA DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Oleh: Agus Widiarto ................................................................................................
15-25
PENGARUH KUALITAS PELAYANAN FISKUS, SANKSI DAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DI LINGKUNGAN KPP PRATAMA CIKARANG UTARA KABUPATEN BEKASI Oleh: Atik Windaryati, Andi ...................................................................................
26-67
EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DI ERA GLOBALISASI Oleh: Nabil Ahmad Fauzi .........................................................................................
68-75
PELAKSANAAN RETRIBUSI PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) KARANGANTU SEBAGAI FUNGSI DISTRIBUSI DALAM KEUANGAN PUBLIK DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KOTA SERANG Oleh: Ipah Ema Jumiati ............................................................................................
76-85
EVALUASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA CILEGON Oleh: Rahmawati, M.Si. ...........................................................................................
iv
86-95
MEWUJUDKAN SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA ANTI KORUPSI MELALUI PENDIDIKAN KARAKTER (Sebuah Upaya Mengikis Sikap Toleransi Permisif Terhadap Korupsi) 1 Harrys Pratama Teguh, S.HI.,M.H ABSTRACT Harrys Pratama Teguh,S.HI.,M.H Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung Alamat: Jalan A. Haji Nasution No. 105, Bandung, Jawa Barat 40614 Email :
[email protected] Abstrak Sikap toleransi permisif terhadap korupsi muncul akibat pengaruh perilaku administrasi dalam birokrasi yang cenderung menyimpang. Perilaku administrasi seringkali mengabaikan rasionalitas dan nilai-nilai etis normatif sehingga membuat aparatur negara kerap kehilangan orientasi dan tidak jarang secara terpaksa melakukan korupsi. Perilaku aparatur negara yang erat dengan korupsi menular pada pola pikir masyarakat ketika ia bersentuhan dengan pemenuhan kepentingan publik, sikap permisif masyarakat ditandai dengan adanya rasa keengganan untuk melaporkan korupsi yang terjadi secara kasat mata, mereka justru terjebak dalam arus patronalistik demi kelancaran urusan dan menghindari konflik dengan penguasa. Pendidikan karakter diharapkan menjadi dasar yang dapat mengikis budaya toleransi permisif terhadap korupsi dan menumbuhkan kembali daya tahan moralitas serta nilai-nilai normatif dalam masyarakat agar kedepannya tercipta masyarakat dan aparatur pemerintahan yang anti terhadap tindakan korupsi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan peran pendidikan karakter dalam mengikis budaya toleransi permisif terhadap korupsi melalui pembentukan manusia yang berkarakter serta menjunjung tinggi nilai normatif dalam setiap pemikiran, sikap dan tindakannya. Tulisan ini dibuat mengacu pada metode deskriptif eksploratif dengan menggunakan studi literatur dan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber yang mampu membantu memaparkan dan menggambarkan upaya mengikis budaya toleransi permisif terhadap korupsi melalui pendidikan karakter. Perilaku korupsi mampu menghancurkan keberanian seseorang untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai normatif dan moralitas yang tinggi. Birokrasi yang masih erat dengan kultur patrimonial membuat korupsi semakin mengakar dalam perilaku aparatur negara. Hal tersebut akan diikuti rasa permisif masyarakat sehingga menganggap korupsi sebagai hal yang wajar. Oleh sebab itu, penanaman, penghayatan dan penerapan menjunjung tinggi nilai normatif dan melakukan kebaikan harus dilatih sejak dini. Melalui pendidikan karakter dapat dilakukan pengembangan kualitas manusia yang memiliki keutuhan karakter, yang hidup sesuai asas nilai normatif yang konsisten, dan tidak mudah menyelewengkan kebajikan moral.
Kata kunci : toleransi-permisif, korupsi, pendidikan karakter. 1
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
PENDAHULUAN Korupsi di Indonesia sudah mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Pengaruh negatif korupsi beserta efek destruktifnya tidak lagi hanya dirasakan sebatas pada bidang ekonomi, lebih jauh lagi korupsi telah merusak berbagai bidang kehidupan mulai dari sosial, budaya, politik, hukum hingga menyebabkan krisis moral. Tidak heran apabila predikat negara dengan tingkat korupsi paling tinggi selalu melekat dengan negara kita dan seakan sulit dipisahkan. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2006, 2008, 2009 serta yang terakhir pada 2010 masih menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup di Asia. Pada tahun 2008, Indonesia menduduki posisi ke-3 dengan nilai tingkat korupsi 7.98 setelah Filipina dengan tingkat korupsi 9.0 dan Thailand dengan tingkat korupsi 8.0. Pada tahun 2009, Indonesia ‘berhasil’ menyabet prestasi sebagai negara terkorup dari 16 negara surveilances dari PERC 2009. Indonesia mendapat nilai korupsi 8.32 disusul Thailand (7.63), Kamboja (7,25), India (7,21) and Vietnam (7,11), Filipina (7,0). Pada tahun 2010, predikat negara terkorup kembali diperoleh Indonesia. Hasil survei PERC ini menyebutkan Indonesia mencetak nilai 9.07 dari angka 10 (Rentang skor dari nol sampai 10, di mana skor nol adalah mewakili posisi terbaik, sedangkan skor 10 merupakan posisi skor terburuk.).1 Diluar indikator penilaian dalam survei-survei terkait korupsi di Indonesia, masyarakat dapat dengan jelas menyaksikan bagaimana perilaku korupsi yang telah berkembang beraneka ragam bentuknya berlangsung secara sporadis hampir di seluruh tingkatan pemerintahan. Mulai dari tingkatan seperti pembuatan kartu tanda penduduk, pengurusan ijin mengemudi, jual beli proyek, anggaran fiktif hingga penggelapan pajak
dan korupsi demi kedudukan politis menjadi fenomena yang jelas terlihat mengakar di berbagai instansi pemerintah. Kondisi birokrasi yang masih membudayakan patrimonialistik dan sarat kepentingan membuat individu didalamnya terbawa dalam perilaku para aparatur negara. Tidak jarang aparatur negara terpaksa melegalkan korupsi karena melemahnya rasionalitas dan nilai moral akibat pertentangan antara rasa idealisme dengan seperangkat aturan dalam sistem birokrasi. Tereduksinya nilai-nilai normatif yang dalam perilaku birokrat sehingga secara sadar melakukan tindakan korupsi membuat masyarakat ikut tertular budaya korupsi ketika terjadi interaksi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan layanan memiliki posisi yang lemah dibanding birokrat yang memiliki kewenangan dan legitimasi kekuasaan sehingga apapun yang dilakukan oleh aparat tersebut, masyarakat cenderung akan menerima dan menuruti demi mendapatkan kelancaran dalam pemberian layanan. Korupsi yang semakin mengakar kuat dan mengembangkan efek destruktifnya hingga taraf rusaknya moralitas masyarakat tidak hanya meruntuhkan kepercayaan publik terhadap kinerja aparat pemerintah dan birokrasi, tetapi juga telah “berhasil” menggeser nilai normatif yang dianut dalam masyarakat. Masyarakat semakin permisif terhadap tindakan korupsi yang dilakukan oleh birokrat. Masyarakat tidak lagi mau dan berani untuk melaporkan korupsi yang terjadi secara kasat mata, mereka justru terjebak dalam arus patronalistik demi kelancaran urusan kepentingan mereka dengan menganggap korupsi sebagai balas jasa sosial. Bila masyarakat memberikan toleransi kepada tindakan korupsi, maka pada akhirnya korupsi akan mendarah daging dan membudaya dalam kehidupan masyarakat. Jika telah mencapai tahap itu, maka telah muncul yang dinamakan “budaya korupsi” seperti yang diungkapkan oleh Robert Klitgaard (2001). 2
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Istilah budaya yang dimaksud Klitgaard bukanlah merujuk pada semua orang Indonesia melakukan korupsi, tetapi lebih mengarah pada keengganan mayoritas warga masyarakat untuk melaporkan oknum pejabat, birokrat, oknum aparat hukum yang melakukan korupsi.2 Fenomena tersebut merupakan suatu bentuk ketidakberdayaan rasa frustasi masyarakat menghadapi korupsi yang tidak kunjung bisa diatasi. Korupsi telah menghancurkan keberanian warga masyarakat untuk berpegang teguh pada nilai-nilai moral yang tinggi. Nilai-nilai normatif menjadi lemah dan moralitas masyarakat menjadi merosot menyikapi parahnya perilaku korupsi. Untuk mencegah masyarakat semakin bersikap permisif yang dapat menimbulkan budaya korupsi dan berujung pada kleptokrasi, maka diperlukan upaya-upaya secara intensif membangun kembali karakter warga masyarakat melalui penanaman nilai nilai normatif dan moralitas. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendidikan karakter sejak dini di masyarakat dengan harapan dapat menemukan pranata-pranata pembangunan yang berwatak, bermoral serta mendapatkan bentuk interaksi yang ideal antara aparatur negara dengan warga negara. Sehingga pada akhirnya dapat menghapus budaya toleransi permisif terhadap korupsi sekaligus melahirkan generasi yang rasional sekaligus memiliki acuan moral dan naluri etis normatif yang tinggi. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana korupsi yang terjadi pada tingkat birokrasi mampu merusak nilai normatif dan moralitas yang dianut oleh warga masyarakat sehingga menimbulkan
sikap masyarakat yang cenderung toleransi permisif terhadap korupsi ? 2. Bagaimana peran pendidikan karakter dalam membentuk warga masyarakat yang menjunjung tinggi nilai normatif dan moralitas sebagai upaya mewujudkan Indonesia bebas korupsi ? TUJUAN PENULISAN Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui bentuk korupsi yang terjadi pada tingkat birokrasi mampu merusak nilai normatif dan moralitas yang dianut oleh warga masyarakat sehingga menimbulkan sikap masyarakat yang cenderung toleransi permisif terhadap korupsi. 2. Mengetahui peran pendidikan karakter dalam membentuk warga masyarakat yang menjunjung tinggi nilai normatif dan moralitas sebagai upaya mewujudkan Indonesia bebas korupsi. KAJIAN PUSTAKA A. Toleransi Permisif Toleransi merupakan salah satu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formil. Kadang-kadang toleransi timbul secara tidak sadar dan tanpa direncanakan, hal mana disebabkan karena adanya watak orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia, untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari suatu perselisihan (Soekanto,1982:71).3 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mengartikan toleransi sebagai sikap saling menghormati, saling menerima, dan saling menghargai di tengah keragaman budaya, kebebasan berekspresi, dan karekter manusia. Singkatnya toleransi setara dengan bersikap positif dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia. Permisif adalah sifat yang tidak berani mengemukakan keinginan dan
3
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
pendapat sendiri, tidak ingin terjadi konflik karena takut akan tidak disukai atau menyakiti perasaan orang lain. Salah satu alasan orang melakukan permisif adalah karena adanya perasaan takut, malas atau sebagai upaya untuk menghindari konflik. Toleransi permisif merupakan suatu sikap dimana individu atau kelompok memberikan persetujuan secara tidak langsung terhadap suatu tindakan walaupun tindakan tersebut melanggar nilai normatif dan moralitas yang ada di dalam masyarakat, sehingga cenderung tidak peduli dan menganggap wajar tindakan tersebut. Sikapa toleransi permisif dapat muncul dikarenakan dua hal yakni sebagai bentuk penghindaran konflik dan sebagai bentuk rasa frustasi dan ketidakberdayaan masyarakat menghadapi suatu fenomena masalah yang tidak kunjung bisa dipecahkan. Roderic C. Meredith menggambarkan kondisi masyarakat modern dewasa ini sebagai masyarakat serba boleh (permissive society). Keberadaan permissive society digambarkan dengan suatu masyarakat yang beranggapan bahwa tidak mengakui adanya kebenaran abadi (eternal truth). Dengan demikian, seseorang bebas berbuat apa saja sesuka hatinya. Karena persoalan baik buruk, salah benar, dan berbagai persoalan kemanusiaan lainnya adalah urusan manusia sendiri, tidak ada kaitan sama sekali dengan Tuhan. Manusialah yang berhak menafsirkan sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah. Sehingga kriteria kebaikan dan keburukan, serta kebenaran dan kesalahan itu bersifat relatif.4 B. Korupsi Setiap tindakan korupsi selalu bersumber pada kekuasaan yang didelegasikan oleh karenanya pelaku korupsi adalah orang-orang yang memperoleh kekuasaan dan wewenang. Korupsi mengandung arti adanya penyelewengan kepentingan umum/negara demi memenuhi kepentingan pribadi. Tindakan korupsi erat
kaitannya dengan perilaku administrasi, asumsinya adalah selama kegiatan administrasi dilaksanakan oleh manusia dan pengambilan keputusan juga dilakukan oleh manusia, maka akan selalu terdapat peluang akan terjadinya perilaku korupsi. Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman. Juniadi Suwartojo (1997) menyatakan bahwa korupsi ialah tingkah laku atau tindakan seseorang atau lebih yang melanggar norma-norma yang berlaku dengan menggunakan dan/atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan pungutan penerimaan atau pemberian fasilitas atau jasa lainnya yang dilakukan pada kegiatan penerimaan dan/atau pengeluaran uang atau kekayaan, penyimpanan uang atau kekayaan serta dalam perizinan dan/atau jasa lainnya dengan tujuan keuntungan pribadi atau golongannya sehingga langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan dan/atau keuangan negara/masyarakat. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia korupsi diartikan sebagai penyelewengan atau penggelapan (uang negara, perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.5 Sementara Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa korupsi merupakan tindak kejahatan yang menggunakan kekuasaan dan kewenangan sebagai alat untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat, perusahaan maupun negara. Dari beberapa pengertian diatas, dapat ditemukan beberapa unsur-unsur
4
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
tindakan korupsi yaitu suatu pengkhianatan terhadap kepercayaan, penipuan terhadap badan pemerintah, lembaga swasta atau masyarakat umumnya, dengan sengaja melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus yang dilakukan dengan rahasia kecuali dengan keadaan dimana orang-orang berkuasa atau bawahannya menganggapnya tidak perlu melibatkan lebih dari satu orang atau pihak, adanya kewajiban dan keuntungan bersama dalam bentuk uang atau yang lain. Terpusatnya kegiatan (korupsi) pada mereka yang menghendaki keputusan yang pasti dan mereka yang dapat mempengaruhinya, adanya usaha untuk menutupi perbuatan korup dalam bentukbentuk pengesahan hukum, menunjukkan fungsi ganda yang kontradiktif pada mereka yang melakukan korupsi serta melanggar norma-norma tugas dan tanggung jawab dalam aturan-aturan sipil.6 Pada dasarnya praktek korupsi dapat dikenal dalam berbagai bentuk umum yaitu : a) Bribery (penyuapan) yaitu pembayaran (dalam bentuk uang atau sejenisnya) yang diberikan atau diambil dalam hubungan korupsi. Sehingga esensi korupsidalam konteks penyuapan adalah baik tindakan membayar maupun menerima suap.7 b) Embezzlement (penggelapan/pencurian) Jadi, ini merupakan tindakan kejahatan menggelapkan atau mencuri uang rakyat yang dilakukan oleh pegawai pemerintah atau aparat birokrasi. Penggelapan ini juga bisa dilakukan oleh pegawai di sektor swasta.8 c) Fraud (penipuan) adalah kejahatan ekonomi yang berwujud kebohongan, penipuan, dan perilaku tidak jujur. Jenis korupsi ini merupakan kejahatan ekonomi yang terorganisir dan 9 melibatkan pejabat.
d) Extortion (pemerasan) jenis korupsi yang melibatkan aparat yang melakukan pemaksaan atau pendekatan koersif untuk mendapatkan keuntungan sebagai imbal jasa atas pelayanan yang diberikan.10 Adapun faktor penyebab sekaligus penghambat upaya pemberantasan korupsi antara lain korupsi sebagai warisa kolonial, perumusan perundang-undangan masih memiliki celah penyelewengan, administrasi yang lamban, mahal, dan berbelit-belit, tradisi untuk menambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap, lemahnya penegakan hukum, kondisi dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi (budaya permisif). C. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendidikan karakter, seseorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena dengannya seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis (Russell T. William & Ratna Megawangi, 2007). Adapun menurut Doni Koesoema (2007: 194), pendidikan karakter merupakan usaha yang dilakukan secara individu dan sosial dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri. Lebih dalam Suprapto (2007) menjelaskan bahwa pendidikan
5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik sehingga siswa didik menjadi paham, mampu merasakan, dan mau melakukan hal baik. Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang mental dan moral action atau perbuatan moral. Hal ini diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan11 seperti : a) Moral knowing adalah hal yang penting untuk diajarkan, terdiri dari enam hal, yaitu kesadaran moral, mengetahui nilainilai moral, sudut pandang dalam bertindak, alasan moral, pengambilan keputusan dan pengetahuan diri. b) Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi yang harus mampu dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yakni nurani, percaya diri, empati/merasakan penderitaan orang lain, mencintai kebenaran, mampu mengontrol diri dan kerendahan hati. c) Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Perbuatan tindakan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter lainya. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik (act morally) maka harus dilihat tiga aspek lain dari karakter, yaitu kompetensi keinginan dan kebiasaan.
METODE PENELITIAN A. Metode Penulisan Pada penulisan karya tulis ilmiah yang kami gunakan adalah penelitian korelatif, yang dimaksud dengan penelitian korelatif adalah penelitian yang menghubungkan data-data yang ada. Sesuai dengan pengertian tersebut kami menghubungkan data-data yang kami dapat antara yang satu dengan yang lain. Selain itu kami juga menghubungkan data-data yang ada dengan landasan teori yang kami gunakan. Sehingga diharapkan penelitian kami bisa menjadi penelitian yang benar dan tepat. B. Sumber Data Sumber data yang kami peroleh pada tulisan ini adalah hasil observasi lapangan yang dibuktikan dengan surat tugas penelitian dan dokumen yang tidap lepas dengan judul penelitian yang dihimpun dari beberapa perpustakaan yang ada di provinsi banten yang disertai dengan interview bersama pakar Hukum, dan Politik dan beberapa media lainnya. Selain dari pada itu penulis juga mengambil data dari media internet, namun dalam etika penulisan tetap mencantumkan footnoot pada setiap tulisan yang dihimpun dari berbagai buku referensi. C. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan yang penulis lakukan dalam pengumpulan data, penulis mengumpulkan berbagai tulisan yang ada kaitannya dengan judul penelitian sambil memastikan bahwa data yang diambil adalah benar. D. Teknik Analisis Data Cara kami dalam menganalisis data yang kami dapat yaitu pertama-tama memastikan bahwa semua data dan landasan teori yang diperlukan telah diperoleh dengan baik. Lalu kami mulai mengingat kembali hasil observasi dari lembaga penegak hukum yang sama-sama mempunyai tugas untuk menyelamatkan uang Negara seperti KPK, BPK, PPATK, dan lain sebagainya. setelah itu penulis 6
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
melakukan penganalisaan yang tidak lepas dari judul tulisan. Langkah berikutnya sesuai dengan jenis penelitian, kami menghubungkan dokumen terkait masalah korupsi disertai peminjaman buku perpustakaan Provinsi Banten. Langkah terakhir, kami menuangkannya sumber referensi pada karya tulis ini. PEMBAHASAN A. Meluasnya Sikap Permisif Masyarakat Terhadap Korupsi Korupsi yang tumbuh berkembang di Indonesia tidak pernah habis dibahas baik secara yuridis, sosiologis, politis maupun ekonomi karena efek korupsi sendiri telah merusak seluruh bidang kehidupan, menetap dan menjadi bagian sistem yang ada. Dalam prakteknya, korupsi sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin dapat diberantas, hal ini disebabkan sulitnya memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak serta sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Secara sadar maupun tidak, bahaya laten korupsi telah menyebar dalam segala urusan pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi dimulai dengan semakin mendesaknya usaha-usaha pembangunan yang diinginkan, sedangkan proses birokrasi relatif tidak efisien, sehingga setiap orang atau badan menginginkan jalan pintas yang cepat dengan memberikan imbalan. Praktek ini akan berlangsung terus menerus sepanjang tidak adanya kontrol dari pemerintah dan masyarakat sehingga terlanjur mengakar dalam berbagai instansi. Suatu kenyataan bahwa korupsi selalu dilakukan oleh manusia yang punya itikad kurang baik, dan manusia sebagai subjek tidak pernah kehabisan cara untuk mencapai tujuannya tersebut. Tidak heran apabila korupsi berkembang menjadi model dan modus baru yang sulit untuk dilacak. Asumsinya adalah selama kegiatan administrasi dilaksanakan oleh manusia dan pengambilan keputusan juga dilakukan oleh
manusia, maka akan selalu terdapat peluang akan terjadinya perilaku korupsi.12 Efek birokratisasi merupakan salah satu sumber penyebab meluasnya korupsi. Umumnya setiap kali mendapat satuan tugas, biasanya birokrat akan membentuk satuan kerja baru dan merekrut orang-orang baru (Parkinsonisasi). Hal ini mengakibatkan membesarnya jumlah satuan dan jumlah pegawai, karena sumber penghasilan yang bisa digali oleh aparatur tersebut semakin terbatas akibat semakin besarnya jumlah pegawai, maka mereka akan terdorong untuk memanfaatkan celah yang ada untuk melakukan korupsi. Hal tersebut diperparah dengan personil baru yang direkrut idealisme dan semangat kerjanya justru melemah akibat tekanan lingkungan organisasi. Apabila gejala korupsi skala kecil diatas dibiarkan meluas di dalam masyarakat dan membudaya dalam pola-pola kegiatan administrasi publik, maka korupsi akan menjadi subsistem yang akan sulit diubah. Sikap toleransi permisif terhadap korupsi tidak hanya terjadi di tingkat masyarakat, aparatur negara dan birokrat terkadang melakukan hal serupa akibat tekanan lingkungan organisasi yang pada kenyataannya telah menganggap lazim korupsi. Munculnya ungkapan ungkapan yang mengkategorikan korupsi antara “korupsi yang jujur”, korupsi yang dibenarkan”, atau “korupsi karena terpaksa” merupakan indikasi hal tersebut. Sumberdaya manusia aparatur negara yang berkualitas baik segi intelektual maupun moralitas seringkali terjebak didalam sistem kerja dalam suatu instansi yang menganggap wajar tindakan korupsi. Orang yang masuk kedalam sistem dan lingkungan kerja yang korup akan sangat sulit menyesuaikan diri dengan interaksi formal yang terdapat didalamnya karena hampir semua hal mengandung perilaku yang tidak jujur.13
7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Begitu kuatnya tekanan yang ada dalam organisasi tersebut cenderung membuat keterbatasan rasionalitas dan lunturnya moralitas aparatur negara. Terbatas rasionalitas didasarkan pada kenyataan bahwa rasionalitas individu dibatasi oleh informasi yang mereka miliki, keterbatasan kognitif dari pikiran mereka, dan jumlah waktu yang terbatas mereka harus membuat keputusan. Kebiasaan ini berubah menjadi pola umum dan dapat menjalar ke satuan-satuan lain yang sebelumnya tidak tersentuh oleh korupsi. Akibat paling nyata dari merajelelanya perilaku korupsi di tingkat teknis operaional adalah membudayanya perilaku dan lingkungan yang penuh kecurangan dalam setiap urusan administrasi. Sebagai contoh, warga masyarakat harus memberikan pembayaran agar pembuatan KTP dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat, Kelulusan ujian SIM ditentukan ada tidaknya uang yang diberikan kepada pihak kepolisian, Pelayanan STNK menjadi semakin lama dan berbelit-belit apabila tidak ada upeti yang diserahkan, Penjualan tiket kereta api beredar ditangan calo, namun di tempat penjualan resmi justru menyatakan habis, Pelayanan rumah sakit menjadi lamban ketika uang administrasi terlambat dibayarkan dan lain sebagainya. Artinya peraturan dalam administrasi senantiasa dapat disalahgunakan oleh perilaku birokrat yang tercemar oleh perilaku korup. Perilaku aparatur negara yang korup baik karena permisif akibat tekanan sistem kerja maupun hasrat untuk memperoleh keuntungan dari tindakan curang demi kepentingan pribadi, juga mencemari sikap dan cara pandang masyarakat terhadap korupsi. Dalam birokrasi, karena wewenang dan jabatan dapat digunakan sebagai alat untuk melegalkan tindakan korupsi, maka terdapat kecenderungan perilaku aparat pemerintah secara sengaja memperlambat dan mempersulit dalam pemberian layanan kepada publik sebagai cara mendapat pembayaran yang memang diharapkan.
Hal ini memaksa masyarakat permisif terhadap demi kepentingannya. Warga masyarakat yang memberikan pembayaran yang diluar persyaratan yang diatur oleh undang-undang sebenarnya tidak menginginkan adanya pelanggaran peraturan, yang diinginkan hanyalah kepentingannya dilayani dengan baik, cepat dan tidak berbelit-belit. Namun karena masyarakat sebagai pihak yang membutuhkan layanan dalam hal ini kedudukannya lemah, maka tidak ada jalan lain kecuali menutup mata dari korupsi yang tengah terjadi, hal ini diperparah dengan lemahnya pemberian sanksi atas perilaku korup tersebut, sehingga menjelma sebagai bagian dari sistem birokrasi. Melihat fenomena korupsi yang merajalela dan usaha pemberantasan korupsi yang seakan menemui jalan buntu, memicu munculnya rasa frustasi dan ketidakberdayaan sehingga menimbulkan sikap toleransi-permisif di masyarakat. Kondisi ini tergambar melalui suvei yang dilakukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait sikap permisif masyarakat terhadap korupsi. Hasilnya Sebanyak 43,7% responden bersikap tidak melaporkan korupsi yang terjadi; 29,9% responden hanya bersikap menegur dan 26% lainnya melaporkan. Ketidakberdayaan dan frustasi masyarakat melawan korupsi membuat adanya pergeseran nilai-nilai normatif dan moralitas yang dianut oleh masyarakat sehingga cenderung tidak peduli dan menganggap wajar korupsi yang dilakukan oleh birokrat atau aparatur pemerintah. Masyarakat menjadi tidak lagi teguh memegang prinsip moralitas dengan tidak berani dan mau mengungkapkan bahwa korupsi merupakan tindakan yang salah dan melanggar aturan. Hal tersebut dilakukan masyarakat untuk menghindari adanya konflik kepentingan dengan dengan pihak pemangku kewenangan. Sebagai contoh, korupsi yang terjadi dalam tingkatan operasional manajemen publik pemerintah. Dalam menjalankan 8
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
aktivitas administratif sebagian aparat sering meminta uang ekstra/ biaya tambahan dari layanan yang diberikan kepada warga masyarakat. Biaya tambahan ini disebut pungutan liar yang sebenarnya digunakan untuk kepentingan pribadi dan tidak ada dalam dasar hukum. Ironisnya sebagian besar masyarakat justru permisif dengan memenuhi permintaan biaya tambahan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kesepakatan timbal balik antara oknum petugas dan pengguna jasa publik untuk saling membebaskan diri dari perbuatan melanggar hukum dan tidak etis.14 Fenomena korupsi yang secara kasat mata dapat dilihat adalah pada saat mengurus KTP, SIM, STNK, proses tilang yang dilakukan polisi lalu lintas kepada pelanggar, menjadi sebagian kecil contoh nyata pola hubungan korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintah dengan sikap toleransi permisif masyarakat. Dari transaksi tersebut oknum aparat pemerintah akan mendapat uang pembayaran yang akan masuk ke kantong pribadi dari hasil korupsinya sementara warga masyarakat dengan sikap permisifnya mendapat “jalan pintas” untuk memperlancar urusannya. Jelaslah bahwa perilaku korupsi mampu menghancurkan keberanian seseorang untuk tetap berpegang teguh pada nilai-nilai normatif dan moralitas yang tinggi. Moralitas dan akhlak warga masyarakat menjadi semakin menurun, hal tersebut dikarenakan masing-masing individu menganggap mengapa hanya dirinya yang harus menjunjung moralitas yang tinggi, sementara yang lain justru melanggar batasan nilai-nilai normatif . Unsur nilai-nilai moralitas manusia yang dimilikinya merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya mendorong pencegahan dan pemberantasan korupsi. Oleh karena itu sikap konsisten untuk menjujung tinggi nilai normatif dan moralitas
merupakan modal utama untuk melawan korupsi. Gejala korupsi baik dilevel atas maupun bawah tidak boleh didiamkan saja melalui sikap permisif masyarakat, membiarkannya berkembang sama dengan memperbesar kejahatan tersembunyi dalam tubuh masyarakat. Apabila masyarakat telah terbias dengan pola-pola perilaku yang korup, maka akan sangat sulit menemukan kekuatan untuk memberantas yang terlanjur menggurita di Indonesia. Dalam situasi seperti ini, kepercayaan diri masyarakat yang jujur secara perlahan akan luntur sehingga menyebabkan rasa frustasi yang berujung pada hilangnya keberanian masyarakat untuk berkata tidak pada korupsi. Agar toleransi permisif terhadap korupsi yang mulai merasuki warga masyarakat tidak semakin meluas, masyarakat harus selalu diingatkan bahwa tindakan korup adalah tindakan yang bertentangan dengan nilai normatif dan moralitas. Karena bagaimanapun baiknya suatu sistem, jika didalamnya terdapat individu yang tidak menjiwai nilai kejujuran, moralitas dan harkat manusia, maka perilaku korup akan selalu ada. Untuk itu perlu upaya sejak dini untuk menanamkan, memelihara dan membentengi setiap diri individu dengan nilai-nilai etis normatif serta moralitas. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui penerapan pendidikan karakter dalam setiap jenjang pendidikan. Tujuannya adalah agar nantinya terbentuk suatu masyarakat dan seperangkap aparatur negara yang loyal menjunjung tinggi nilai normatif dan moralitas. B. Mekanisme Pendidikan Karakter dalam Membangun Ketahanan Moral Pendidikan karakter sebagai upaya penanaman budi pekerti luhur dalam diri seseorang dengan melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dalam membangun ketahanan moral terhadap korupsi, pendidikan karakter menggunakan nilai etis normatif dan moralitas sebagai dasar dalam 9
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
mengarahkan membentuk karakter individu untuk mengenal, menghayati dan membiasakan diri untuk menghindari perilaku korupsi. Nilai-nilai etis normatif dan moralitas tersebut ditanamkan sedini mungkin sebagai bentuk upaya preventif dalam rangka menciptakan kebiasaan berperilaku, bersikap dan bertindak anti korupsi sebagai cerminan kekuatan moral. Moralitas yang kuat dibangun berdasarkan empat komponen utama15 : a) Kemampuan penafsiran situasi dan identifikasi masalah moral. b) Menentukan arah tindakan terbaik yang memenuhi ide moralitas. c) Pengambilan keputusan berdasarkan tujuan yang benar-benar dituju dengan membuat pilihan berdasarkan perimbangan nilai. d) Pelaksanaan suatu rencana tindakan.
dan sanksi moral dikomplementasikan dengan norma dan sanksi hukum.
Pada kenyataannya banyak faktor yang mempengaruhi moralitas seseorang goyah sehingga melakukan tindakan menyimpang, dalam konteks korupsi dalam birokrasi, goyahnya moralitas seseorang diakibatkan oleh tekanan lingkungan birokrasi yang patronalistik.
Pergeseran nilai-nilai moralitas di masyarakat dengan semakin permisif terhadap korupsi merupakan suatu indikasi hilangnya karakter manusia Indonesia yang menjunjung nilai-nilai etis normatif dan moralitas. Mengingat hal tersebut, pendidikan karakter menjadi hal yang semakin urgen diterapkan sedini mungkin. Hal ini sebagai usaha membentuk masyarakat yang memiliki kepekaan dan kecerdasan secara intelektual, emosional dan tindakan sehingga mampu membedakan dan melakukan tindakan yang benar sesuai aturan, etika dan moralitas. Karena pada dasarnya sikap permisif masyarakat terhadap korupsi merupakan pencerminan bahwa masyarakat telah kehilangan pegangan nilai dalam dirinya sehingga tidak lagi mampu dan untuk berperilaku baik.
Oleh sebab itu upaya preventif saja tidak akan cukup untuk membangun ketahanan moral, diperlukan upaya represif yakni penegakan sanksi baik sanksi moral maupun hukum untuk memberikan efek jera bagi para pelanggar dan mengembalikan ketaatan terhadap nilai etis normatif dan moralitas. Penerapan sanksi juga merupakan alat kontrol apakah penanaman nilai tersebut telah berhasil membentuk perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai normatif. Pada hakekatnya sanksi dari hukum dan sanksi moral mempunyai lingkungan yang berbeda, akan tetapi pada beberapa hal dapat diintegrasikan dalam arti substansi nilai-nilai hukum itu memperkokoh substansi nilai etika supaya mempunyai kekuatan berlaku secara normatif sebagai bagian dari hukum positif, atau dapat dikatakan bahwa norma
Para ahli hukum berpendapat bahwa perbuatan melawan hukum bukan sekedar perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundangan lainnya, tetapi dapat merupakan perbuatan tercela, anti sosial, sehingga dalam batas tertentu jugs dapat perbuatan amoral dan perbuatan tidk beritka. Oleh sebab itu, penegakan norma beserta pemberian sanksi secara tegas juga merupakan bagian dari pendidikan karakter itu sendiri karena sifatnya yang menuntut adanya kepatuhan. C. Mengikis Sikap Permisif Terhadap Korupsi Melalui Pendidikan Karakter
Persoalan yang sesungguhnya adalah tidak semua orang sadar dan mengerti akan dasar tindakan yang bermoral dan oleh sebab itu seringkali mereka menyimpang dari kaidah dalam sistem nilai tersebut. Untuk melakukan hal itu, pemahaman dan penghayatan tentang logika dan landasan berpikir secara etis normatif haruslah dibiasakan dan dilatih sejak usia dini. Disinilah arti penting pendidikan karakter 10
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
dalam rangka membentuk manusia yang cerdas dalam berpikir, bernurani dan beretika dalam sikap dan tepat dalam bertindak. Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa ilmu dapat dipelajari oleh segala orang yang cerdas dan tajam otaknya, tetapi manusia yang berkarakter tidak diperoleh begitu saja. Pangkal segala pendidikan karakter adalah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar. Melihat pada tujuan pendidikan nasional sebagaimana termuat dalam UU-RI No.2 tahun 1989 pasal 4, yakni pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Untuk itu perlu dikembangkan 5 aspek pengembangan manusia dalam pengembangan kualitas manusia melalui pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut : a) Pengembangan sosial, yaitu bertujuan untuk meningkatkan berbagai keahlian dan keterampilan dalam membina hubungan baik antarpersonal. b) Pengembangan emosional, yaitu bertujuan untuk membina kesadaran diri yang lebih besar dan membentuk ketangguhan emosi. c) Pengembangan intelektual, yaitu untuk memajukan tingkat pengetahuan, kearifan, dan berbagai keterampilan praktis. d) Pengembangan watak, yaitu bertujuan untuk menyempurnakan perilaku manusia-manusia agar selalu sejalan dengan moral dan nilai-nilai etika. e) Pengembangan spiritual, yaitu usaha untuk memupuk kesadaran yang lebih besar terhadap kehidupan dan makna kemanusiaan. Dengan memadukan kelima pengembangan diatas diharapkan mampu
menghasilkan manusia-manusia yang memiliki keutuhan karakter,yang hidup dan berperilaku sesuai dengan asas-asas nilai yang konsisten dan tidak mudah menyelewengkan kebajikan moral dengan pertimbangan keuntungan, keinginan dan perasaan pribadi dalam hal ini untuk bertindak korup dan mentolerir segala bentuk korupsi. Manusia yang bermoral dan berwatak tidak akan mau berbuat korupsi maupun mentolerir perbuatan korupsi walaupun lingkungan membuka celah untuk itu, tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya walaupun tidak ada yang mengetahui, dan tidak akan menyelewengkan amanat walaupun tidak ada sanksi yang menyertainya. Melalui pendidikan karakter seseorang yang menghindari tindakan dan perilaku korup didasarkan karena kesadaran penuh dalam dirinya bahwa tindakan korup memang tidak dibenarkan secara moral, bahwa tindakan korup akan menurunkan maratabat sebagai manusia dan memerosotkan harkat maupun integritasnya. Konteks pendidikan karakter hendaknya menyentuh nilai-nilai tersebut, jika dalam diri administrator, birokrat dan masyarakat tertanam karakter anti korupsi, maka toleransi permisif terhadap korupsi tidak akan terjadi. Untuk mencapai pembentukan karakter yang mampu menciptakan pola pikir, sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi nilai etis normatif serta moralitas, pendidikan karakter dapat berperan dengan mewujudkan sasaran dibawah ini : a) Mampu merangsang gambaran moral sehingga dapat membantu peserta didik untuk memahami bahwa setiap pilihan moral membawa reaksi atau akibat bagi orang lain, untuk memahami bahwa setiap tindakan manusia dapat dipandang dari titik tinjauan moral dan bahwaa tidak ada satupun keputusan yang benar-benar profesional secara murni.
11
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
b) Membimbing untuk memahami persoalan etis, membantu peserta didik untuk membedakan persoalan-persoalan etis dari persoalan politis dan ekonomis dalam keadaan tertentu karena segala sesuatu yang menyangkut manusia akan menyertakan persoalan etis yang harus dipecahkan berdasarkan pertimbangan etis normatis dan nilai-nilai moral. c) Mengembangkan keterampilan untuk menganalisis suatu permasalahan, fenomena maupun situasi. Hal ini dilakukan untuk menilai dan menempatkan konsep-konsep seperti keadilan, martabat, kebebasan, kebajikan, kebenaran, kebaikan dan prinsip-prinsip etika lainnya. d) Menanamkan rasa tanggung jawab dengan menggugah kesadaran peserta didik untuk mempertimbangkan nilai-nilai normatif, harkat, martabat manusia sangat ditentukan oleh nilai-nilai yang dianut dan ketaatannya terhadap moralitas. e) Menanamkan pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang mental (moral feeling )dan perbuatan moral (moral action). Hal ini diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan dan mengerjakan sekaligus nilai-nilai kebajikan. Pendidikan karakter dalam peranannya mengikis budaya permisif terhadap korupsi hendaknya difokuskan pada kaitan antara pemikiran rasional dan bermoral, sikap yang menjunjung nilai-nilai etis normatif dan tindakan bermoral. Konsepsi karakter dan moralitas perlu di Integrasikan dengan pengalaman dalam kehidupan nyata. Pemikiran rasional dan bermoral dapat dikembangkan antara lain melalui pembelajaran dilema moral yang menuntut peserta didik mengambil keputusan dalam kondisi yang sangat dilematis. Karena perlu diingat bahwa tindakan moral yang selaras dengan pemikiran moral dalam rangka membangun karakter hanya mungkin dicapai
dengan pencerdasan emosional dan spiritual serta pembiasaan. Apabila masyarakat menghadapi kondisi lingkungan diwarnai ketidakadilan termasuk perilaku korupsi, maka harus memiliki kemampuan untuk mengatasinya melalui sinkronisasi pola pikir, sikap dan tindakan yang mencerminkan karakternya sebagai manusia bermoral dan beretika, pengembangan karakter perlu disertai dengan pengembangan komponen afektif. Dalam proses perkembangan moral, komponen kognitif dan afektif sama pentingnya. Aspek kognitif memungkinkan seseorang untuk menentukan pilihan moral secara tepat, sedangkan afektif akan meningkatkan kepekaan hati nurani yang akan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan bermoral. PENUTUP A.
Kesimpulan Perilaku korupsi yang mengakar pada tiap tingkatan pemerintah telah menghancurkan keberanian seseorang untuk berpegang teguh pada nilai-nilai etis normatif dan moral. Korupsi yang terjadi atas dasar kebutuhan (corruption by need) dan atas dasar keserakahan (corruption by greed)) semakin memperburuk lingkungan kerja aparat pemerintah sehingga membentuk sistem yang membudayakan korupsi. Sistem birokrasi yang korup bersifat melemahkan moralitas dan rasionalitas tidak hanya individu yang bekerja didalamnya tetapi juga masyarakat penggunanya sehingga memaksa keduanya untuk permisif. Masyarakat “terpaksa” meninggalkan nilai-nilai moral yang seharusnya dijunjung tinggi ketika harus berhadapan dengan birokrasi yang korup. Masyarakat terdorong untuk bersikap permisif akibat ketidakberdayaan dan lemahnya kedudukannya ketika harus menghadapi birokrat yang memiliki kewenangan dan legitimasi kekuasaan dalam hal pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu pendidikan karakter berperan menanamkan kembali 12
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
nilai-nilai etis normatif sehingga dapat menumbuhkan kembali keberanian masyarakat untuk berpikir rasional untuk mengatakan tidak pada korupsi.
penghayatan dan implementasinya dalam perilaku sehari-hari, sementara sanksi digunakan sebagai kontrol atas kepatuhan terhadap nilai-nilai tersebut.
Melalui pendidikan karakter dapat dilakukan pengembangan kualitas manusia yang memiliki keutuhan karakter, yang hidup sesuai asas nilai normatif yang konsisten, dan tidak mudah menyelewengkan kebajikan moral.Penanaman, penghayatan dan penerapan perilaku yang menjunjung tinggi nilai normatif dan melakukan kebaikan harus dilatih sejak dini.
Dengan demikian, masyarakat yang memiliki moralitas dan nilai normatif yang dijunjung tinggi tidak akan memiliki posisi yang lemah terhadap birokrasi yang korup karena keberaniannya untuk mengatakan tidak pada korupsi sementara disisi lain pejabat birokrasi akan terkoreksi melalui perbaikan moralitas dan penegasan nilainilai etis normatif. Masing-masing pihak secara sadar akan mempertimbangkan adanya sanksi sosial dan hukum yang telah siap menjatuhkan sanksi bagi siapa saja yang mentolerir dan permisif terhadap korupsi.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan pedagogi (membimbing dan mengajarkan) baik dilingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka mempersiapkan generasi masa depan yang mampu mempertimbangkan nilai etis normatif dan rasionalitas dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Sementara bagi individu yang telah mengenal nilai-nilai moral (dewasa) dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan andragogi (kegiatan belajar mandiri yang bertumpu kepada warga belajar itu sendiri). Tujuannya adalah memperteguh kekuatan seseorang untuk terus berpegang pada nilai etis normatif dan moralitas selama hidupnya. Jika kedua hal ini dapat dilaksanakan secara terintegrasi, konsisten dan efektif maka akan lahir masyarakat yang cerdas secara intelektual, cerda emosi dan nurani serta cerdas dalam berperilaku dengan selalu mengutamakan kebajikan. Pendidikan karakter akan menyelamatkan aparat birokrasi dan masyarakat pada umumnya dari proses identifikasi diri kedalam tindakan yang korup. Pendidikan karakter sebagai yang bersifat preventif seperti penanaman nilaiilai etis normatif dan moralitas perlu disinergikan dengan pendidikan karakter yang bersifat represif berupa penegakan sanksi sosial, moral dan sanksi hukum. Hal ini dimaksudkan setelah adanya penanaman nilai-nilai moral, akan berlanjut pada
B.
Rekomendasi
Berdasarkan hasil kesimpulan, ada beberapa saran yang perlu diperhatikan seperti : 1. Pendidikan karakter hendaknya dilakukan tidak hanya sebatas indoktrinasi, akan tetapi lebih mengarah untuk memberikan kesempatan bagi peserta didik mencerna, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai moral disertai bukti dan alasan pembenaran yang kuat dalam perilakunya sehari-hari (diseminasi). 2. Pendidikan karakter yang preventif yakni berupa penanaman nilai budi pekerti luhur agar mampu mewujudkan pola pikir, sikap dan tindakan yang sesuai nilai etis normatif dalam menyikapi perilaku korupsi, harus disertai dan disinergikan dengan adanya penegakan sanksi sebagai pembelajaran untuk membentuk adanya kepatuhan sebagai wujud pendidikan karakter yang bersipat represif. 3. Pendidikan karakter hendaknya dibuat sedemikian rupa kedalam kegiatan nyata baik lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan kerja yang mendukung penghayatan nilai-nilai tersebut yang disesuaikan dengan pendekatan pedagogi maupun andragogi yang tepat sesuai kondisi peserta didik sebagai bahan pertimbangannya. 13
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
4. Dalam membentuk aparatur negara dan masyarakat yang memiliki ketahanan moral terhadap korupsi diperlukan adanya dasar standar moral yang jelas dan konsisten serta ditunjang sanksi yang pasti baik sanksi moral, sosial maupun hukum sehingga ada alat kontrol terhadap perilaku-perilaku yang menyimpang. FOOTNOTE : 1. Students Criminal Of Law (Pascasarjana) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia.
[email protected] 2. Sumber: Disarikan dari berbagai publikasi Political and Economic Risk Consultancy (PERC),Corruption In Asia, tahun 2006, 2008, 2009 dan 2010 3. Robert Klitgaard (2001). “Controlling Corruption” dalam Marwan Mas, Mencermati Pemberantasan Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm. 4. 4. Dalam Abu Hanifah, Toleransi Dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial,2009, hlm. 45. 5. Didi Junaedi, Menjawab Tantangan
Masyarakat Permisif, 2007, Http:// didijunaedihz.wordpress.com/2007/06/2 1/menjawab-tantangan-masyarakatpermisif/ 6. Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988. 7. Syed Hussain Alatas, Korupsi: sifat, sebab dan fungsi, 1987, LP3ES 8. Inge Amundsen. Corruption: Definitions and Concepts, Chr. Michelsen Institute Development Studies and Human Rights, 2000 hlm. 2. 9. Inge Admunsen, Ibid, hlm. 3. 10. Inge Admunsen, Ibid, hlm. 3. 11. Inge Admunsen, Ibid, hlm. 4. 12. Ratna Megawangi, Pendidikan Karakter 3M (Moral Knowing, Moral Feeling, Moral Action) 13. Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008, hlm. 208. 14. Wahyudi kumorotomo,ibid, hlm.236 15. M.Jaspan, “Toleransi dan Penolakan atas Hambatan Budaya terhadap Pertumbuhan Ekonomi”, dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi,LP3ES, 1988, hlm.35. 16. James R. Rest, The Major Component of Morality, dalam William M. Krtinez & Jacob L. Gewirtz, Morality, Moral Behavior and Moral Development,
John Wiley & Sons, 1984, hlm 24, Tersaji dalam Wahyudi Kumorotomo, Op cit, hlm 18.
DAFTAR PUSTAKA Albrow, Martin, 1989, “Birokrasi”, Yogyakarta: Tiara Wacana Departeman Pendidikan dan Kebudayaan. 1988, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Hanifah, Abu, “Toleransi Dalam Masyarakat Plural Memperkuat Ketahanan Sosial”, 2009 Hussain Alatas,Syed. 1987, “Korupsi: sifat, sebab dan fungsi”, Jakarta: LP3ES Junaedi, Didi, “Menjawab Tantangan Masyarakat Permisif”, 2007. Tersedia dalam Http:// didijunaedihz.wordpress.com/2007/0 6/21/menjawab-tantanganmasyarakat-permisif/.Diakses pada 19/5/2010.Kartasasmita, Ginandjar. Etika Administrasi Negara dalam Pembangunan. Orasi Ilmiah Dies Natalis ke -41 FISIPOL UGM Yogyakarta, 19 September 1996 Kumorotomo, Wahyudi.1992, Administrasi Negara”, Rajawali Pers
“Etika Jakarta:
Litbang, Faisal, 2009, “Berantas Korupsi Lewat Pendidikan”, Tersedia dalam http://www.endradharmalaksana.com /content/view/210/46/lang,en/. Diakses pada 19/5/2010 Zuriah, Nurul, 2007, “Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan”, Jakarta: Bumi Aksara Zuchdi, Darmiyati. 2008, “Humanisasi Pendidikan”, Jakarta: Bumi aksara
14
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
ETIKA DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Agus Widiarto1 Ringkasan Eksekutif
menyiratkan kepada kita bahwa bangsa ini tengah menghadapi persoalan yang sangat luar biasa dalam etika kehidupan berbangsa dan bernegara di semua bidang, mulai dari bidang pemerintahan, hukum, dan ekonomi.
Banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para penyelenggara Negara adalah salah satu potret buram dalam etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Kasus yang menimpa mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penyuapan oleh KPK, membuat publik terhenyak. Sebelumnya, KPK juga menangkap tangan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini. Kasus terakhir yang berhasil diungkap oleh KPK pada bulan Oktober tahun ini adalah kasus suap proyek di sebuah provinsi yang melibatkan salah satu anggota DPR.
Kita juga menyaksikan dengan nyata bahwa kegiatan ekonomi publik pun tidak lagi dilandasi dan berpihak pada kepentingan publik. Perilaku pelaku bisnis dan ekonomi lebih didasari oleh pencapaian untung sebanyak-banyaknya, dengan menaikkan harga setinggi-tingginya. Naiknya harga sejumlah komoditas, mulai dari pangan, sandang, papan yang merupakan hajat hidup orang banyak, mengindikasikan bahwa tindakan ekonomi lebih “mendewakan” mekanisme pasar yang “kebablasan”. Sehingga, kalimat “pemenuhan bagi kepentingan orang banyak” tak terbumikan.
Dalam kasus tertangkap tangannya Ketua MK, sebagai ikon lembaga penegakkan hukum di Negara ini, justru terjadi di rumah dinas pejabat Negara yang seharusnya steril dari aktivitas di luar kedinasan. Masyarakat yang sudah jengah dengan perilaku penyelenggara negara yang tersangkut kasus korupsi pun menjadi semakin skeptis terhadap potret kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang dilakukan oleh pejabat publik.
Kita pun disuguhi oleh drama-drama penegakkan hukum yang dibumbui oleh negosiasi-negosiasi di belakang layar yang semakin membentuk struktur ekonomi biaya tinggi. Struktur itulah yang menciptakan ongkos politik yang semakin mahal. Pada akhirnya, ongkos politik itu harus diperhitungkan sebagai nilai investasi yang harus diperoleh kembali atas nama “daulat rakyat”.
Karena, ironisnya, perilaku korup dilakukan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, mulai dari soal pengurusan SIM, KTP, sampai kepada hal-hal penerimaan CPNS yang ditengarai marak di berbagai instansi pemerintah.
Permasalahan
Kita bisa berasumsi bahwa maraknya kasus korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tersebut mengindikasikan adanya persoalan etika yang kronis. Perilaku tidak etis yang seringkali dipertontonkan oleh banyak kalangan mulai dari masyarakat bawah sampai penyelenggara Negara, 1 Penulis adalah Alumni Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Alumni Graduate School of Government, Sydney University. Dapat dihubungi di
[email protected].
Ada beberapa persoalan yang dapat dijabarkan untuk merekonstruksi persoalan terkait dengan etika kehidupan bernegara dan kesejahteraan rakyat. 1. Bagaimana hubungan perilaku tidak etis dan perilaku korup masyarakat? 2. Tindakan tidak etis apa sajakah yang membuka peluang terjadinya perilaku korupsi? 3. Bagaimana perilaku tidak etis berpengaruh terhadap tindakan korupsi yang merugikan keuangan Negara? 4. Bagaimana perilaku etis penyelenggara Negara mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara? 5. Bagaimana perilaku etika penyelenggara Negara yang baik mendorong pencapaian kesejahteraan rakyat? 15
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Tujuan dan Kegunaan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pentingnya suatu etika dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyat. Tulisan ini juga hendak menggambarkan kaitan antara etika dan kesejahteraan rakyat, serta mengetahui potensi kerugian yang dialami bangsa Indonesia jika tidak menjalankan perekonomian dengan menggunakan etika yang baik. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan agar dapat merumuskan kebijakan etika yang komprehensif yang mendasari kebijakankebijakan yang diambil dapat mensejahterakan rakyat Indonesia. Teori atau Definisi Etika Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata Yunani ETHOS yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik. Menurut para ahli etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk. Para ahli merumuskan etika seperti berikut ini. Drs. O.P. Simorangkir merumuskan etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Sementara, Drs. Sidi Gajalba menyatakan bahwa etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Lain halnya, Drs. H. Burhanudin Salam yang menyatakan bahwa etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya. Etika dalam perkembangannya sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika
memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Itu berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang perlu kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, Dengan demikian, kita pun bisa berargumentasi bahwa etika adalah sejenis perangkat yang dapat mengikat erat masyarakat. Etika adalah salah satu norma sosial yang memiliki daya ikat erat bagi masyarakat dalam berperilaku dan bertindak. Kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika saja kita tidak memiliki kepercayaan bahwa orang-orang di sekitar kita berlaku jujur, mustahil akan tercapai komunikasi yang efektif dan mencapai tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian, etika tidak hanya bicara soal perilaku individu, tetapi juga terkait dengan kepentingan kolektif masyarakat yang lebih luas. Jika etika itu dilekatkan kepada penyelenggara Negara, maka etika harus dimaknai sebagai refleksi tentang standar atau norma yang menentukan baik buruk dan benar salah suatu perilaku, tindakan, dan keputusan yang mengarahkan kebijakan publik dalam menjalankan tanggung jawab untuk kepentingan masyarakat. Landasan Norma Etika Berbangsa dan Bernegara
Kehidupan
Sudah jauh-jauh hari, para elit bangsa ini telah menyepakati sebuah formulasi berupa TAP MPR MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Tap MPR itu dijabarkan tentang prinsip-prinsip etika yang perlu di kedepankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta 16
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
martabat diri sebagai warga bangsa. Dalam Tap MPR itu juga diuraikan pokok-pokok etika, mulai dari etika sosial budaya, politik pemerintahan, ekonomi dan bisnis, penegakkan hukum yang berkeadilan, keilmuan, dan lingkungan. Dalam kerangka berfikir tujuan penyelenggaraan Negara, jelaslah bahwa TAP MPR ini menjadi salah satu instrumen yang memperkuat pencapaian tujuan bangsa ini, yaitu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Jelaslah bahwa muatan amanat yang terkandung dalam TAP MPR ini menunjukkan adanya korelasi yang kuat antara etika kehidupan berbangsa dan bernegara dan kesejahteraan rakyat. Sebenarnya, telah banyak regulasi yang mengatur etika penyelenggaraan negara, misalnya UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Korupsi, dan Nepotisme, UU Nomor 20 tentang Pemberantasan Korupsi, dan sebagainya. Akan tetapi, regulasi itu merupakan muara dari persoalan yang sebenarnya berasal dari persoalan etika, karena menjadi hulu dari persoalan yang kini mendera bangsa ini. Perilaku Tidak Etis Dan Korupsi Jika perilaku etis digambarkan sebagai nilai-nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportifitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan serta martabat diri sebagai warga bangsa, maka perilaku tidak etis digambarkan sebagai sikap berbohong, tidak amanah, pelanggaran nilai-nilai publik, diskriminatif, tidak transparan, yang pada akhirnya berujung pada pengabaian atau merugikan kepentingan publik. Sikap dan perilaku yang tidak etis inilah yang menjadi pintu masuk tindakan atau perilaku korupsi, baik secara individu maupun kelompok. Beberapa perilaku tidak etis para penyelenggara Negara
1. Mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompok Ketika para penyelenggara Negara lebih mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka potensi ketidakmampuan mengelola konflik kepentingan menjadi suatu keniscayaan. Misalnya, seorang penyelenggara Negara yang menggunakan kekuasaannya untuk memutuskan suatu hal yang menguntungkan pribadi/kelompok yang tidak ada sangkut pautnya dengan urusan Negara, maka ia cenderung akan berperilaku korup. Ketika seorang penyelenggara Negara menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan di luar kedinasan, maka ia telah menyalahgunakan fasilitas yang diberikan oleh Negara. 2. Perilaku tidak jujur (dishonesty) yaitu suatu tindakan dari para penyelenggara negara yang menutupi kebenaran. Misalnya; mengambil uang dan barang publik untuk kepentingan sendiri, menerima uang suap dari langganan (client) atau pihak-pihak yang terkait dengan kewenangannya, menarik pungutan liar, dan sebagainya. Perilaku tidak jujur ini sangat berbahaya dan menimbulkan ketidak-percayaan (distrust), serta merugikan kepentingan Negara dan masyarakat. 3. Perilaku yang buruk (unethical behaviour) Pegawai (administrator publik) mungkin saja melakukan tindakan dalam batasbatas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, sehingga secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, kecenderungan pegawai untuk memenangkan perusahaan koleganya dalam tender proyek; seorang pembesar minta kepada kepala personalia supaya keluarganya diluluskan dalam seleksi pegawai. Tindakan ini jelas tidak etis karena mengabaikan objektivitas 17
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
penilaian. Akan tetapi, perilaku tersebut sangat berpotensi membuka jalan bagi perilaku korup, karena, di sinilah peluang terjadinya transaksi illegal bertajuk rent seeking yang dilakukan para pemburu rente (keuntungan), baik yang dilakukan atas nama calo, ataupun pejabat yang mempunyai otoritas pengambil keputusan. 4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum Pejabat atau pegawai di suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya “gubernur” sebagai pembina politik di wilayahnya harus bersikap netral, namun dalam pemilu sebagai kader partai A merasa terpanggil memenangkan partai tersebut. 5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai Pegawai diperlakukan secara tidak adil. Misalnya bos menghambat pegawai yang berprestasi karena merasa disaingi. 6. Perlakuan diskriminatif dan tebang pilih dalam hal penegakan hukum Misalnya ketika aparat hukum bersikap diskriminatif, memperlakukan secara berbeda suatu kasus dibandingkan dengan kasus lain. Ketika ada seorang pejabat atau anak pejabat yang terlibat kasus hukum, maka perlakuan yang diterima oleh kerabat pejabat publik itu pun begitu istimewa. Sebaliknya, jika yang terkena kasus adalah rakyat biasa, maka perlakuan yang berbeda dilakukan oleh aparat hukum. Kita juga masih menyaksikan, banyaknya pelanggaran etika yang dilakukan oleh penegak hukum yang melakukan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi. Terhadap kasus-kasus korupsi yang diduga terkait dengan penguasa, maka berbagai dalih dikemukakan sebagai pembenaran
tindakan yang dinilai publik diskriminatif tersebut. Alhasil, penanganan kasus tersebut dinilai lamban dan bertele-tele. Sehingga, hal ini menimbulkan opini yang kuat bahwa aparat penegak hukum justru menjadi perpanjangan tangan pihak penguasa untuk menghancurkan lawanlawan politiknya. Sebaliknya, Jika kasus tertentu merupakan kasus yang menimpa lawan penguasa, maka secepat kilat, aparat penegak hukum akan memprosesnya. 7. Inefisiensi bruto (gross inefficiency)2 Betapapun bagus maksudnya, jika suatu instansi tidak mampu melakukan tugas secara memadai, para administrator di situ dinilai gagal, misalnya pemborosan dana secara berlebihan. 8. Gagal menunjukkan inisiatif. Sebagian pegawai gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi (keleluasaan/kelonggaran) yang diberikan hukum kepadanya3. Berbagai perilaku tidak etis di atas membuka peluang terjadinya praktek korupsi yang akhir-akhir ini marak dilakukan oleh sebagian masyarakat, baik para penyelenggara Negara, pegawai pemerintah, pihak swasta. Sejatinya, seorang penyelenggara Negara tidak dibenarkan mengadakan pertemuan dengan pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan tugas dan fungsinya di luar tempat pekerjaannya. Misalnya, seorang hakim, tidak dibenarkan bertemu dengan pengacara seorang terdakwa di 2 Joko Widodo. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya, hal.259 3 Nigro dan Nigro dalam opcit. Widodo. Hal. 259-262.
18
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
restoran sambil mengobrol. Jika tindakan tidak etis ini dilakukan, maka besar kemungkinan ada upaya mempengaruhi keputusan hakim dalam penentuan vonis. Kemudian, pepatah “tidak ada makan siang yang gratis” tentu saja berlaku. Inilah yang menjadi modus sebuah perilaku korupsi. Dalam kasus lain, perilaku tidak etis berupa tidak jujur dan transparan dalam mengelola dana BOS. Jika seorang kepala sekolah berlaku tidak jujur dalam pelaporan penggunaan dana BOS, maka tindakannya membuat laporan palsu akan disebut sebagai perilaku korup. Jika terbukti ada penyelewengan penggunaan anggaran BOS, maka, tindakan tersebut telah layak disebut sebagai tindakan korupsi. Perilaku tidak etis lain yang bermuara pada perilaku korup adalah relasi diam-diam penguasa dan pengusaha. Jika seorang penguasa menyalahgunakan jabatannya untuk mengistimewakan kolega, kerabat, dan rekan yang menjadi pebisnis untuk mendapatkan berbagai proyek di instansi pemerintah, maka dipastikan akan terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Penguasa menggunakan pengaruhnya, sementara pengusaha akan memberikan keuntungan financial bagi penguasa tersebut. Dengan demikian, terjadinya degradasi perilaku etik sangat berpengaruh dan memiliki kaitan yang sangat erat dengan perilaku korup masyarakatnya. Perilaku tidak etis masyarakat menjelma menjadi perilaku Korup, dan perilaku korup telah menjelma menjadi kerusakan pikiran, perasaan, moral, mental dan akhlak sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang sering kali tidak masuk akal. Banyaknya pungutan liar dan komersialisasi jabatan membuat daya saing kita lemah. Dalam pembuatan kebijakan dengan didasari dengan logika yang dibolak
balik dengan pembelaan yang gigih. Berbagai praktek korup itulah yang sangat merugikan Negara, terutama kerugian keuangan Negara. Menurut Hasil Penelitian Universitas Gadjah Mada bahwa estimasi total biaya eksplisit akibat praktik korupsi sepanjang 2001-2012 mencapai Rp 168,19 triliun. Hal itu diperolehnya melalui penelitian terhadap basis data korupsi yang didasarkan pada kasus-kasus korupsi yang telah diputus Mahkamah Agung (MA) sepanjang 20012012. Estimasi total biaya eksplisit korupsi didasarkan pada kasus-kasus yang telah diputus oleh MA periode 2001-2012 mencapai Rp62,76 triliun jika didasarkan pada harga berlaku, atau Rp168,19 triliun berdasarkan perhitungan harga konstan tahun 2012. Selama ini pelaku koruptor hanya didenda atau harus mengganti sebesar 8,97 persennya saja, atau senilai Rp 6,27 triliun pada harga berlaku atau Rp 15,09 triliun pada harga konstan 2012. Total hukuman finansial itu diperoleh berdasarkan penjumlahan dari denda, biaya pengganti dan perampasan barang bukti berupa uang. Sehingga selisih antara biaya eksplisit korupsi dengan total hukuman finansial yang harus dibayar koruptor sebesar Rp 153,1 triliun. Selisih tersebut dibayar oleh rakyat selaku pembayar pajak. Sekali lagi, perilaku tidak etik yang menjelma menjadi perilaku korup berimplikasi secara luas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Etika dan Kesejahteraan Rakyat Konversi Biaya Korupsi Jika secara aggregat estimasi biaya akibat korupsi sepanjang tahun 2001-2012 yang mencapai Rp. 168,19 triliun maka berdasarkan belanja pemerintah pusat, dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai kesehatan, pendidikan serta perumahan dan fasilitas umum yang pada akhirnya dapat membuat kesejahteraan masyarakat meningkat. 19
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Tabel Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, 2010-2013 (miliar rupiah) Fungsi/ Subfungsi 2010 2011 2012 Kesehatan 18.793,0 14.088,8 15.376,1 Obat dan Perbekalan Kesehatan 1.329,3 1.528,4 2.726,1 Pelayanan Kesehatan Perorangan 12.086,0 8.188,2 8.729,1 Pelayanan Kesehatan Masyarakat 3.165,6 1.319,3 1.215,0 Kependudukan dan Keluarga Bencana 794,8 2.353,3 2.131,9 Litbang Kesehatan 257,6 341,4 324,2 Kesehatan Lainnya 358,2 249,9 Perumahan dan Fasilitas Umum 20.053,2 22.937,8 29.454,2 Pengembangan Perumahan 1.358,8 1.393,3 4.395,3 Pemberdayaan Komunitas Permukiman 2.693,2 3.573,5 4.085,0 Penyediaan Air Minum 2.972,7 3.022,3 3.730,5 Penerangan Jalan Litbang Perumahan dan Fasilitas Umum Perumahan dan Fasilitas Umum Lain 13.028,5 14.948,,7 17.243,5 Pendidikan Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Non Formal dan Informal Pendidikan Kedinasan Pendidikan Tinggi Pelayanan Bantuan thdp Pendidikan Pendidikan Keagamaan Libang Pendidikan Pembinaan Kepemudaan dan Olahraga Pengembangan Budaya Pendidikan dan Kebudayaan Lainnya
90.818,3 1.225,2 33.301,5 7.133,5 1.100,0 188,6 27.230,8 17.467,0 725,7 609,3 1.836,7 -
97.854,0 20.477,6 8.457,0 4.448,0 554,9 35.694,5 8.048,1 2.998,4 1.140,9 1.921,3 14.113,2
114.962,7 263,7 32.427,5 9.256,8 3.695,1 621,1 41.940,1 4.564,5 3.309,6 1.288,4 935,4 1.122,1 15.538,4
2013 17.493,0 2.838,3 10.014,2 1.351,5 2.601,9 435,0 252,2 30.722,1 4.128,5 3.776,8 5.532,7 17.284,1 118.467,1 1.206,1 28.969,3 8.154,4 3.664,3 835,2 38.168,8 11.871,1 2.763,3 1.170,4 1.103,5 1.254,6 19.306,0
Sumber: Kementerian Keuangan, 20131.
1
Data Pokok Apbn 2007–2013 Kementerian Keuangan http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Data%20Pokok%20APBN%202013.pdf
Republik
Indonesia
20
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Estimasi biaya korupsi tersebut selain dipergunakan untuk sektor-sektor tersebut di atas, dapat juga dipergunakan untuk menutupi sebagian besar biaya subsidi BBM. Sehingga skenario terhadap kenaikan
harga BBM tidak perlu terjadi yang pada akhirnya beban dari masyarakat tidak bertambah. Ini berarti, social cost yang harus ditanggung oleh rakyat miskin akibat dampak kenaikan BBM, tidak terjadi.
Tabel Subsidi, 2010-2013 (miliar rupiah) Jenis Subsidi Energi BBM
2010
2011
2012
2013
82.351,3
165.161,3
137.379,8
193.805,2
Sumber: Kementerian Keuangan, 20131
1 Data Pokok Apbn 2007–2013 Kementerian Keuangan Republik Indonesia http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/acontent/Data%20Pokok%20APBN%202013.pdf
21
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Estimasi biaya yang telah diperoleh melalui Penelitian dari Universitas Gadjah Mada belum termasuk biaya, biaya implisit korupsi, biaya antisipasi tindak korupsi, dan biaya akibat reaksi terhadap korupsi yang pastinya membuat nilai tersebut semakin membesar. Ini berarti, jumlah kerugian Negara akibat kasus korupsi dan perilaku korup masyarakat bisa lebih besar dari biaya eksplisit tersebut. Ini berarti juga, anggaran Negara yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat bisa lebih dioptimalkan. Etika dan Kesejahteraan Rakyat Jika dalam pembahasan sebelumnya, perilaku tidak etis berkontribusi terhadap praktek korupsi yang dilakukan oleh banyak penyelenggara Negara, maka sejatinya perilaku yang sesuai dengan etika, akan berkontribusi terhadap pencapaian kesejahteraan rakyat. Jika para penyelenggara Negara amanah dalam memanfaatkan seluruh anggaran Negara untuk kepentingan rakyat banyak, maka sudah pasti akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi rakyat. Apabila seluruh anggaran Negara disalurkan secara optimal, maka segala aktivitas ekonomi Negara akan berjalan secara efektif dan efisien, tidak terjadi kebocoran dimana-mana seperti yang selama ini terjadi. Oleh karena itu, perlu dibangun dan dikembangkan kesadaran public bahwa praktek etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan berimplikasi secara positif terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Beberapa Nilai etika yang dapat menjadi praktek etika public antara lain sebagai berikut : 1. Selalu memelihara dan melindungi harta milik Negara dan tidak menggunakannya untuk kepentingan pribadi, kepentingan politik, dan kepentingan lain yang bertentangan dengan kepentingan Negara
2. Melindungi informasi yang bersifat rahasia dan mencegahnya dari kehilangan, penyalahgunaan, kebocoran, dan pencurian 3. Membuat catatan yang akurat dan lengkap tentang harta Negara dan harta intelektual Negara yang ada dalam pengawasannya. 4. Menjunjung tinggi norma hukum, moral, dan memiliki harga diri tinggi dan disiplin yang kuat 5. Menjaga integritas pribadi dan memiliki komitmen untuk menjaga citra dan reputasi Negara 6. Menyandarkan segala sesuatu dan perilaku kepada hati nurani 7. Mencegah praktik diskriminasi dan menghindari pelecehan terhadap harga diri dan kondisi fisik 8. Menghindarkan diri dari segala bentuk benturan kepentingan 9. Menghindari terjadinya misinterpretasi dalam berhubungan dengan pihak lain 10.Menerapkan prinsip profesionalisme dalam menjalankan tugas dan menghindari favoritism terhadap kelompok atau pihak tertentu 11.Menolak setiap pemberian hadiah dari pihak lain atau sebaliknya memberikan hadiah kepada pihak lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan 12.Melaporkan dan menyerahkan setiap pemberian hadiah yang diberikan kepadanya kepada pejabat berwenang. Jika sikap etik public di atas menjelma menjadi praktek public secara luas, maka akan mempengaruhi secara menyeluruh praktek kehidupan berbangsa dan bernegara. Implikasinya pun bisa terbaca pada efisiensi, optimalisasi, efektivitas penggunaan keuangan Negara untuk kesejahteraan rakyat. Nilai dan Praktek Etika Negara OECD Di Negara-negara OECD (Organization of Economic Cooperation and Development), kelompok Negara dengan standar kesejahteraan rakyat yang tinggi, nilai-nilai etika menjadi dasar dalam penyelenggaraan 22
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Negara. Ada korelasi linier antara penerapan etika dalam penyelenggaraan Negara dengan kemajuan suatu Negara. Banyak Negara membangun perilaku etis penyelenggara Negara melalui pengembangan infrastruktur etis atau rezim integritas, yang memiliki tiga komponen penting, yaitu penentuan standar etika, kerangka legal, dan pembaharuan institusi yang harus dibangun secara terarah.
Diagram Nilai-nilai yang dikembangkan di Negara-negara OECD
Di negara-negara maju, nilai-nilai etika telah ditransformasi dan dikonkritkan menjadi norma etika (code of conduct), misalnya : Amerika Serikat (Ethics in Government Act of 1978): Jerman (Amts Delicte Virhalten. 1975): Belanda (Standard Ethics of Government Official Act.I960): Australia (Public Servant Ethics Act 1994 jo Public Sector Ethics Act - amendment 1999). Bahkan negara Thailand, kode etik masuk dalam konstitusi negara (Section 77 of Constitution of The Kingdom of Thailand, K.E. 2540, 1997). Dalam United Nation Convention Against Corruption, 2003. Resolusi No. 57/169 merekomendasikan agar setiap negara membuat "Code of Conduct for Public Officials" (UN General Assembly Resolution A/RES/51/59 of 12 Dec. 1996). The Ethics in Government Act of 1978 adalah hukum federal Amerika Serikat yang disahkan setelah skandal Nixon Watergate dan kasus Saturday Night Massacre. Hukum ini mewajibkan, pengungkapan kepada
publik mengenai sejarah keuangan dan kerja para pejabat publik dan juga keluarga mereka. Aturan ini juga membatasi upaya lobi oleh pejabat publik untuk jangka waktu yang ditetapkan setelah meninggalkan jabatan publik. Kemudian didirikan sejenis Kantor Penasihat Independen AS (U.S. Office of Independent Counsel) yang bertugas menyelidiki pejabat pemerintah. Internalisasi nilai-nilai etik juga terwujud dalam berbagai kasus yang melibatkan beberapa pejabat publik di beberapa Negara berikut : 1. Kasus pengunduran diri Kanselir Jerman dan Presiden Honduras karena ketidakpercayaan publik atas gelar pendidikannya dalam isu plagiat disertasi, jika dipertimbangkan bukanlah masalah pelanggaran serius dalam hukum masyarakat, namun ini berkaitan dengan etika, yaitu kebohongan publik. 2. Pengunduran diri pemimpin Korea akibat bermain golf di saat masyarakat dalam belitan masalah, atau kasus dimana salah satu Perdana Menteri Jepang mundur hanya karena kurang fasih berbahasa leluhur sebagai indikasi rendahnya kecintaan terhadap bangsa dan negaranya, menunjukkan sebuah tanggungjawab yang tinggi dalam soal menjaga kehormatan dan etika seorang pejabat publik. 3. Seorang Menteri Selandia Baru mundur dari jabatannya karena merasa bersalah menggunakan fasilitas pembiayaan negara untuk membeli dua botol anggur yang harganya sekitar Rp 6,4 juta, padahal fasilitas itu memang disediakan untuknya. Selain mengembalikan uang tersebut, sang menteri juga meminta maaf dan menyatakan penyesalannya. 4. Di negara-negara lain, seorang pemimpin atau pejabat negara yang berperilaku tidak senonoh, tidak perlu menunggu keputusan hakim menjatuhkan vonis. Dengan kesadaran sendiri dan juga tekanan publik, pemimpin/pejabat tersebut akan mengundurkan diri dari jabatannya. Karena memang sudah 23
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
seperti menjadi kesepakatan bersama, tak mundur dari jabatan memang tidak melanggar hukum, tetapi hal tersebut sudah melanggar etika publik. Inggris adalah contoh dimana hukum tak tertulis (unwriter constitution) tetap berlaku dan menjadi fondasi kuat bagi hukum tertulis. Dengan demikian, seorang pelanggar bisa jadi tidak masuk penjara, tetapi mengundurkan diri dari sebuah jabatan sudah cukup menjadi hukuman sosial yang jauh lebih membekas seumur hidup. 5. Di Singapura, Negara yang memiliki standar etik tinggi, jika seorang penyelenggara Negara diketahui makan malam satu meja bersama dengan pihak swasta yang memiliki keterkaitan urusan publik, maka sanksi pemecatan adalah konsekuensi dari perilaku tidak etik tersebut. Kesimpulan dan Rekomendasi Dalam situasi dan kondisi dunia yang semakin kompetitif dan terbuka, maka landasan etika yang tangguh sangat diperlukan dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, etika memiliki posisi yang sangat vital dalam menentukan arah dan tujuan untuk mensejahterakan rakyat. Etika menjadi pangkal persoalan, baik individu maupun kelompok untuk bertindak baik dan buruk. Jika para penyelenggara Negara memiliki etika yang baik, maka akan berkorelasi secara positif terhadap optimalisasi, efisiensi, dan efektivitas penggunaan anggaran Negara untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, jika perilaku penyelenggara Negara lebih mengedepankan tindakan tidak etis, maka tindakan itu akan bermuara pada perilaku korup yang bisa merugikan Negara, terutama keuangan Negara, karena korupsi berarti adanya penyimpangan penggunaan keuangan Negara, inefisiensi, dan kebocoran. Sehingga, optimalisasi penggunaan keuangan Negara yang seharusnya untuk kepentingan publik dan
mensejahterakan tercapai.
rakyat
menjadi
tidak
Di Negara-negara maju, persoalan etika menjadi hal mendasar dan vital bagi penyelenggara Negara dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sebagai salah satu syarat tercapainya tujuan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu menjamin kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, dari paparan di atas, ada sejumlah rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti. 1. Perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama yang dilakukan oleh penyelenggara Negara yang tidak sesuai dengan etika penyelenggaraan negara 2. Membuat pedoman baru tentang etika penyelenggara Negara sesuai dengan situasi dan kondisi kekinian yang dapat mengantisipasi berbagai perubahan dan tantangan ke depan sebagai pegangan bagi penyelenggara Negara dalam menjalankan tugasnya guna mencegah terjadinya tindakan yang mengarah pada perilaku korupsi. 3. Dalam jangka waktu menengah ke depan, perlunya undang-undang terkait etika yang memiliki daya ikat yang kuat sebagai pedoman bagi penyelenggara Negara dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan adanya formulasi regulasi yang jelas, seorang penyelenggara Negara akan bertindak benar atau salah karena adanya konsekuensi dari tindakannya yang berkaitan dengan reward dan punishment yang ia terima, baik dalam institusinya maupun masyarakat.
24
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
BIBLIOGRAFI Buku Agus Dwiyanto. et.all. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK), UGM., Yogyakarta.
Budhi
Masthuri. 2005. Mengenal Ombudsman Indonesia. Jakarta: PT Pradjnya Paramita.
Hartono, et.al. 2003. Panduan Investigasi Untuk Ombudsman Indonesia. Jakarta: Komisi Ombudsman Indonesia. Joko Widodo. 2001. Good Governance, Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia, Surabaya. Hal. 245. Sedarnawati Yasni. 2010. Citizenship. Jakarta Media Aksara Jurnal Drucker, P., 1980. “The Deadly Sins in Public Administration.” Public Administration Review, Vol. 40 (March/April). Caiden, Gerald. 1991. “What Really Is Public Mall Administration”, in Public Administration Review, Vol. 51 (Nov/Dec) Dokumen Resmi yang diterbitkan
Dalam Pemerintahan: Suatu Upaya Membangun Etika Untuk Mencegah Fraud Pada Pemerintah Daerah”, diunduh dari http://www.bpkp.go.id/index.php?idu nit=11&idpage=599. Data Pokok Apbn 2007–2013 Kementerian Keuangan Republik Indonesia http://www.anggaran.depkeu.go.id/dj a/acontent/Data%20Pokok%20APBN% 202013.pdf Laporan Tahunan Ombudsman, www.ombudsman.go.id Artikel http://diklatpimlan.files.wordpress.com/201 0/04/reformasi-birokrasi-ka-lan.pdf. http://www.transparansi.or.id/2012/12/pela yanan-publik-masih-buruk Makalah Seminar/Diskusi Agus Dwiyanto, Prof, “Etika Penyelenggara Negara dari Perspektif administrasi/kebijakan public”. Jakarta, 20 Juni 2013 Arys Hilman,”Menegakkan Etika, Melawan Birokorupsi”. Jakarta 8 Juli 2011 Yunus Husein, “Krisis Etika Pejabat public” (membumikan 4 pilar kebangsaan untuk Membangun etika public), Jakarta, 8 Juli 2011
BPKP. 2005. “Laporan Hasil Penelitian Etika Dan Kewaspadaan Terhadap Fraud
25
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
PENGARUH KUALITAS PELAYANAN FISKUS, SANKSI DAN SOSIALISASI PERPAJAKAN TERHADAP KEPATUHAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI DI LINGKUNGAN KPP PRATAMA CIKARANG UTARA KABUPATEN BEKASI Oleh: Atik Windaryati, Andi ABSTRACT This research explained about The Influance of Quality Service Tax Authorities, Tax Sactions, and Tax Socialization for Individual Taxpayer at KPP Pratama Cikarang Utara to Taxpayer Compliance. The research purposed to search empirical evidence that support the estimate that Quality Service Tax Authorities, Tax Sactions, and Tax Socialization had role as variable influencing to TaxPayer Compliance. This study uses quantitative research methods, where the data obtained from questionnaires with convenience sampling methods. Test statistic used is multiple linear regression test, and data obtained were processed using SPSS statistical software. The result of this research showed that Quality Service Tax Authorities, and Tax Socialization doesn't influence to Taxpayer Compliance, while Tax Sactions had positive influence to Taxpayer Compliance. Keywords: Quality Service Tax Authorities, Tax Sactions, and Tax Socialization, Taxpayer Compliance, Individual Taxpayer 1. Pendahuluan Untuk menjalankan pemerintahan dan pembangunan, pemerintah membutuhkan dana yang sangat besar. Dana tersebut bersumber dari berbagai sektor, baik sektor internal maupun eksternal. Salah satu sumber penerimaan negara dari sektor internal adalah pajak, sedangkan sumber penerimaan eksternal misalnya pinjaman luar negeri.
mengamankan anggaran negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Hal ini dapat dilihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun anggaran 2007 sampai dengan tahun anggaran 2013 dimana proporsi penerimaan yang berasal dari sektor pajak merupakan penerimaan dalam negeri yang paling besar terhadap seluruh pendapatan negara yaitu dijelaskan pada tabel sebagai berikut:
Bagi Indonesia, penerimaan pajak sangat besar peranannya dalam
Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Tabel 1.1 Proporsi Penerimaan Pajak, tahun 2007-2013 (Dalam Milliar Rupiah) Penerimaan Penerimaan Perpajakan Negara Bukan Jumlah Pajak 490.988 215.120 706.108 658.701 320.604 973.305 619.922 227.174 847.096 723.307 268.942 992.249 878.685 286.568 1.165.253
Proporsi penerimaan pajak 70% 68% 73% 73% 75% 26
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
2012 1.019.333 272.720 1.292.053 2013 1.192.994 332.195 1.525.189 Sumber : Departemen Keuangan dikutip dari www.bps.go.id Data tersebut menunjukkan bahwa proporsi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara sangat besar pada tahun 2013 mencapai 78%. Mengingat pentingnya peranan pajak, maka pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan berbagai upaya untuk memaksimalkan penerimaan pajak. Langkah pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan dari sektor pajak yaitu dengan melakukan reformasi perpajakan. Reformasi perpajakan yang dilakukan oleh suatu negara merupakan suatu cara untuk memperbaiki dan meningkatkan perekonomian global melalui pajak. Salah satunya dengan perubahan mendasar sistem pemungutan pajak dari official assessment system menjadi self assessment system, Rahayu (2010:98 dan 100). Mardiasmo (2011:7) menyatakan official assessment system merupakan suatu system pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak Sedangkan self assessment system merupakan suatu system pemungutan pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Perubahan sistem perpajakan dari official assessment menjadi self assessment, memberikan kepercayaan wajib pajak untuk mendaftar, menghitung, membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya sendiri. Hal ini menjadikan kepatuhan dan kesadaran wajib pajak menjadi faktor yang sangat penting dalam hal untuk mencapai keberhasilan penerimaan pajak. Self assessment system menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.
79% 78%
Kepatuhan memenuhi kewajiban pajak secara sukarela merupakan tulang punggung dari self assessment system (Supadmi, 2010 dalam Arum, 2012). Namun, pada kenyataannya belum semua potensi pajak yang ada dapat terpenuhi. Sebab masih banyak yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya pemenuhan kewajiban perpajakan baik bagi negara maupun bagi mereka sendiri sebagai warga negara yang baik. Berdasarkan data Ditjen Pajak, rasio kepatuhan wajib pajak dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2013 masih tercacat rendah, dari 24 juta wajib pajak yang terdaftar, hanya mencapai 45% untuk wajib pajak orang pribadi dan 56% untuk wajib pajak badan (Harian Bisnis Indonesia, 10 Maret 2014). Beberapa fenomena kasus-kasus yang terjadi dalam dunia perpajakan Indonesia belakangan ini membuat masyarakat dan wajib pajak khawatir untuk membayar pajak. Seperti kasus money loundring yang dilakukan DW (pegawai dinas pelayanan pajak DKI Jakarta) melalui perusahaan otomotif MMM dengan vonis 10 tahun penjara, kasus suap Rp.280 juta dari pegawai PT BI kepada TH (pegawai pelayanan pajak Sidoarjo Selatan) dengan vonis 10 tahun penjara, ada juga kasus pemerasan yang dilakukan PR (pejabat pemeriksaan pajak madya di kantor wilayah Jakarta Pusat) terhadap pengusaha otomotif AH Rp.125 juta, kasus suap Rp.2 Milyar yang dilakukan karyawan PT TMS terhadap MDI dan ED (penyidik dan pemeriksa pajak kantor pajak Jakarta Timur) (Tempo 3 November 2013 dikutip Kompasmania 10 September 2014). Jika dilhat dari fakta yang ada bahwa kasus pajak masih tinggi, seperti dalam tabel berikut (kurun waktu tahun 2007 sampai 2012) :
27
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
1. Berkas kasus pajak yang telah diserahkan ke kejaksaan 2007 2008 Berkas 17 11 Kerugian Negara (Miliar Rupiah) 514 131 Tersangka 21 11
2009 24 329 18
2010 19 509 16
2011 24 169 18
2012 27 144,7 25
Sumber: Kompasiana dikutip dari Suplemen Pajak 2013, Tempo 3 November 2013
2. Berkas Kasus yang sudah divonis Berkas Kerugian Negara (Miliar Rupiah) Denda Pidana Miliar Rupiah) Terdakwa
2007 8 100 6,8 9
2008 13 463 115 17
2009 18 288 633 14
2010 13 409 301 11
2011 15 58 42 14
2012 26 1,55 T 3,27 T 19
Sumber: Kompasiana dikutip dari Suplemen Pajak 2013, Tempo 3 November 2013
Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, karena para wajib pajak tidak ingin pajak yang telah dibayarkan disalahgunakan oleh aparat pajak itu sendiri. Oleh karena itu, beberapa masyarakat dan wajib pajak berusaha menghindari pajak. Pelayanan fiskus yang baik diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Menurut Risnawati dan Suhayati, 2009 dalam Faudi, 2013, Direktorat Jendral Pajak perlu meningkatkan pelayanan pajak yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, agar menunjang kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan tercapainya tujuan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan roda pemerintah berjalan dengan baik. Pelayanan fiskus yang baik akan memberikan kenyamanan bagi wajib pajak. Keramahtamahan petugas pajak dan kemudahan dalam sistem informasi perpajakan termasuk dalam pelayanan perpajakan tersebut. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan persamaan dan perbedaan hasil penelitian. Penelitian yang dilakukan oleh Arum (2012) menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari kualitas pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian yang dilakukan Pradanata (2014) menunjukkan kualitas pelayanan pajak berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Begitupula penelitian yang
dilakukan Faudi (2013) mengemukakan bahwa kualitas pelayanan petugas pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM. Sementara hasil penelitian yang dilakukan Winurengan (2013) menemukan bahwa tidak adanya pengaruh kualitas pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Ketentuan umum dan tata cara peraturan perpajakan telah diatur dalam Undang-Undang, tak terkecuali mengenai sanksi perpajakan. Pengenaan sanksi perpajakan pada dasarnya digunakan untuk menciptakan kepatuhan wajib pajak dalam menciptakan keputusan untuk melaksanakan kewajiban pajaknya. Peran pengetahuan pajak sangat penting bagi Wajib Pajak karena memiliki kewajiban memahami peraturan perundang-undangan mengenai sanksi perpajakan. Pengetahuan menurut Widayati dan Nurlis (2010) mengungkapkan bahwa pengetahuan adalah hasil kerja pikir (penalaran) yang merubah tidak tahu menjadi tahu dan menghilangkan keraguan terhadap suatu perkara. Apabila wajib pajak memiliki pemahaman mengenai pengetahuan akan sanksi pajak maka diharapkan wajib pajak mampu mengetahui konsekuensi hukum yang akan diterima atas tindakan yang dilakukannya. Penelitian yang dilakukan Winerungan (2013) menemukan bahwa tidak adanya pengaruh sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan penelitian yang telah dilakukan
28
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
oleh Arum (2012) menunjukkan adanya pengaruh yang positif dan signifikan dari sanksi pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Penelitian yang dilakukan Pradanata (2014) menyatakan sanksi pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi. Dan penelitian yang dilakukan Faudi (2013) menyatakan bahwa terdapat pengaruh perpajakan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap peningkatan kepatuhan wajib pajak UMKM. Sosialisasi perpajakan dalam bidang perpajakan merupakan hal penting dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Sosialisasi perpajakan merupakan suatu upaya Direktorat Jenderal Pajak untuk memberikan pengertian, informasi, dan pembinaan kepada masyarakat pada umumnya dan wajib pajak pada khususnya mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan dan perundangundangan. Sosialisasi ini dapat dilakukan melalui media komunikasi, baik media cetak seperti surat kabar, majalah maupun media audio visual seperti radio atau televisi (Sulistianingrum, 2009:3). Penelitian yang dilakukan Dharma (2014) menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikan positif terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian yang dilakukan Rohmawati (2013) menyatakan bahwa sosialisasi perpajakan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Begitupula dengan penelitian yang dilakukan Widiastuti (2013) menyatakan bahwa sosialisi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Sementara hasil penelitian yang dilakukan Winurengan (2013) menemukan bahwa tidak terhadapat pengaruh sosialisasi terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
Tahun 2008 2009
Penelitian ini ingin meneliti pengaruh kualitas pelayanan fiskus, sanksi perpajakan dan sosialisasi perpajakan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi di Lingkungan KPP Pratama Cikarang Utara. Penelitian tentang kepatuhan wajib telah banyak dilakukan dan memberikan hasil penelitian yang berbeda khususnya tentang pengaruh kualitas pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan, oleh karena itu penelitian kali ini ingin menguji kembali variabelvariabel tersebut, serta penambahan variable sosialisasi perpajakan, pemilihan variable ini karena mengikuti saran dari penelitian terdahulu untuk meneliti tentang sosialisasi perpajakan. Dan yang membedakan dengan penelitian terdahulu adalah lokasi penelitian. Penelitian ini berlokasi di KPP Pratama Cikarang Utara. Peneliti memilih lokasi penelitian di KPP Pratama Cikarang Utara karena beberapa faktor utama yang cukup yang memadai untuk diteliti berkaitan tentang kepatuhan wajib pajak orang pribadi. KPP Pratama Cikarang Utara merupakan salah satu kantor pelayanan pajak yang mempunyai potensi penerimaan pajak yang cukup besar, karena KPP Pratama Cikarang Utara berada di kawasan industri (Jababeka) Cikarang, dimana jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar sampai tahun 2012 mencapai 93.643. Namun besarnya jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi tidak diiringi dengan besarnya jumlah wajib pajak yang menyampaikan SPT. Dari tahun ke tahun KPP Pratama Cikarang Utara selalu mengalami penurunan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Data tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.2 Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cikarang Utara Jumlah WP OP Jumlah WP OP yang Tingkat Kepatuhan WP Terdaftar (a) melaporkan SPT (b) OP (b/a x 100%) 32.274 24.335 75,46% 54.516 27.569 50,57%
29
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
2010 2011 2012
65.911 80.735 93.643
29.155 23.944 23.060
44,23% 29,66% 24,63%
Sumber : Seksi Pelayanan Data dan Informasi KPP Pratama Cikarang Utara
Dari tabel di atas dapat dilihat tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi dari tahun 2008 hingga 2012. Pada tahun 2008 tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi 75,46%, terus menurun hingga tahun 2012 tingkat kepatuhan wajib pajak orang pribadi hanya mencapai 24,63%. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kepatuhan wajib pajak orang pribadi masih rendah dan semakin menurun. Berdasarkan hasil wawancara dengan dengan beberapa wajib pajak, kualitas pelayanan di KPP Pratama Cikarang Utara dirasa masih kurang, petugas TPT setelah jam istirahat biasanya yang melayani hanya beberapa orang, pelayanan untuk laporan dan pembuatan npwp digabung, sehingga wajib pajak yang ingin wajib pajak yang hanya ingin membuat npwp mendapat antrian yang sama dengan wajib pajak yang ingin melapor dan ada beberapa petugas TPT yang kurang ramah. Dari segi sosialisasi perpajakan di KPP Pratama Cikarang Utara, menurut wajib pajak masih kurang, karena jarang sekali wajib pajak diberitahukan adanya sosialisasi perpajakan. Berdasarkan pendapat salah seorang Account Representative di KPP Pratama Cikarang Utara, mengungkapkan bahwa terjadinya penenurunan tingkat kepatuhan di KPP Pratama Cikarang Utara karena ringannya sanksi perpajakan yang diberikan bagi wajib pajak orang pribadi terlalu ringan sehingga masih banyak wajib pajak orang yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya. Hal tersebut didukung dengan data jumlah wajib pajak yang terkena sanksi pajak tahun 2008-2014 hanyalah sanksi pajak 40 wajib pajak dengan. jumlah 68 SPT (Seksi Pelayanan Data dan Informasi KPP Pratama Cikarang Utara). Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah kualitas pelayanan fiskus berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak? 2. Apakah sanksi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak? 3. Apakah sosialisasi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak? 2. Landasan Teori 2.1.1 Kualitas Pelayanan Fiskus Kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berpengaruh dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2007 dalam Santi, 2012).Fiskus merupakan petugas pajak. Jadi, pelayanan fiskus dapat diartikan sebagai cara petugas pajak dalam membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang yang dalam hal ini adalah wajib pajak (Jatmiko, 2006 dalam Arum, 2012). Rahayu (2010:28) menyatakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah sebagai wujud nyata kepedulian pada pentingnya kualitas pelayanan adalah memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Tujuan pelayanan prima ini adalah: 1. Tercapainya tingkat kepatuhan sukarela wajib pajak yang tinggi 2. Tercapainya tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan yang tinggi 3. Tercapainya produktifitas aparat perpajakan Direktur Jendral Pajak mengatur mengenai pelayananan prima dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE84/PJ/2011, seluruh pimpinan/kepala kantor pelayanan pajak agar melakukan hal-hal sebagai berikut: 30
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Kantor Pelayanan Pajak: 1. Pimpinan harus memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan perhatian kepada kinerja pelayanan di unit kerjanya. 2. Melaksanakan pelayanan kepada wajib pajak dengan berpedoman pada: a. Waktu pelayanan di TPT (Tempat Pelayanan Terpadu) adalah pukul 08.00 sampai dengan 16.00 waktu setempat. Selisih waktu antara jam kerja dengan waktu pelayanan digunakan untuk persiapan dalam memberikan layanan (doa dan spirit pagi, pengarahan, merapihkan tata ruang dan administrasi serta persiapan bagi petugas TPT) dan persiapan tutup layanan (melakukan evaluasi layanan yang dilakukan, merapikan dan menyelesaikan administrasi layanan pada hari tersebut). Pada jam istirahat, pelayanan tetap diberikan dengan cara mengatur secara bergilir petugas yang beristirahat dan menambah jumlah petugas jika TPT terlihat antrian panjang; b. Jadwal petugas di TPT dan petugas di bagian konseling (helpdesk) diatur oleh Kepala Kantor sesuai kondisi dan situasi setempat; c. Kepala kantor menunjuk supervisor harian yang bertanggungjawab atas pemberian layanan di TPT dan helpdesk secara bergiliran; d. Memperhatikan beberapa hal mengenai Pelayanan Prima sebagai berikut: i. Area kantor dibagi menjadi 2 (dua) yaitu area umum (public area) dan area terbatas (restricted area). Pada area umum, Wajib Pajak boleh dengan bebas keluar masuk tanpa menggunakan atribut tertentu untuk mendapatkan pelayanan perpajakan yang baik sesuai dengan standar mutu pelayanan. Pada area terbatas, pihak-pihak yang tidak berkepentingan tidak diperbolehkan secara bebas keluar masuk dalam
area tersebut untuk mendapatkan pelayanan perpajakan, Wajib Pajak yang memerlukan pelayanan pada restricted area harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Mengisi buku tamu dengan menyatakan tujuan secara jelas tujuannya; 2. Meninggalkan KTP atau kartu identitas lain untuk ditukar dengan kartu tamu; 3. Ada petugas yang menunjukan/mengantar Wajib Pajak melalui petugas yang dituju. ii. Pegawai yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak harus menjaga sopan santun dan prilaku, ramah, tanggap, cermat, dan cepat, serta tidak mempersulit pelayanan dengan cara: 1. Bersikap hormat dan rendah hati terhadap tamu; 2. Petugas selalu berpakaian rapi dan bersepatu; 3. Selalu bersikap ramah, memberikan 3S (senyum, sapa, salam); 4. Mengenakan kartu identitas pegawai di dada; 5. Menyapa tamu yang datang dengan menanyakan (misalnya “selamat pagi/siang/sore, apa yang dapat kami bantu Pak/Bu?”); 6. Mendengarkan dengan baik apa yang diutarakan oleh Wajib Pajak, tidak melakukan aktivitas lain misalnya menjawab panggilan telepon, makan dan minum atau mendengarkan musik (melalui headphone/earphone) saat memberikan pelayanan; 7. Apabila masih terdapat layanan yang perlu dilakukan konfirmasi sehingga Wajib Pajak tidak menunggu terlalu lama, petugas dapat meminta nomor telepon tamu untuk dapat dihubungi kembali;
31
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
8. Tidak mengobrol atau bercanda berlebihan dengan sesama petugas, atau Wajib Pajak yang dilayani saat memberikan pelayanan; 9. Menata waktu konsultasi dengan efektif dan efisien; 10.Menyerahkan dokumen/tanda terima kepada Wajib Pajak dengan cara yang sopan. Petugas TPT adalah pegawai DJP (termasuk satpam yang ditugaskan) Pegawai yang tidak bertugas tidak diperkenankan berada di area TPT, Pegawai yang ditempatkan di TPT harus memiliki kriteria sebagimana butir d.ii tersebut di atas; Petugas TPT dan pegawai DJP yang berhubungan langsung dengan wajib pajak apabila ada panggilan penting dan terpaksa harus meninggalkan Wajib Pajak, petugas mohon maaf kepada Wajib Pajak dan agar diganti oleh petugas lain; Petugas konseking (helpdesk) siaga melayani pertanyaan Wajib Pajak. Apabila ada pertanyaan yang tidak dapat dijawab, petugas meminta waktu untuk menghubungi supervisor/atasannya atau apabila tingkat persoalan agak kompleks dapat diminta menuggu di ruang konsultasi untuk ditangani oleh petugas yang kompeten (misalnya Account Representative (AR)/Pemeriksa Pajak/Kepala Seksi); Dalam hal petugas konseling adalah AR yang pada saat bersamaan menerima tamu yang merupakan Wajib Pajak tanggung jawabnya, maka tamu lain ditangani ole AR atau petugas lain; Petugas pada KPP yang melayani Wajib Pajak Orang Asing agar memiliki kemampua bahasa Asing; Dalam merespon permasalahan dan memberikan informasi kepada Wajib Pajak, seharusnya: 1. Petugas memberikan informasi/ penjelasan secara lengkap dan
jelas sehingga Wajib Pajak dapat mengerti dengan baik; 2. Untuk lebih meyakinkan Wajib Pajak, petugas dapat menggunakan brosur/leaflet/buku petunjuk teknis pelayanan; 3. Minimal satu software peratura perpajakan (Tax Knowledge Base) telat diinstal dikomputer TPT); 4. Apabila petugas belum yakin terhadap permasalahan yang ditanganinya, jangan memaksakan diri. Segera informasi ke petugas lain, supetvisor atau atasan yang bersangkutan dan memberitahukan permasalahan yang disampaikan Wajib Pajak agar Wajib Pajak tidak ditanya berkali-kali. 5. Apabila petugas TPT belum bisa memberrikan jawaban yang memadai dan Wajib Pajak harus menemui petugas lain dalam menuntaslan permasalahannya, petugas TPT diharapka untuk meminta maaf (misalnya dengan pernyataan “Mohon maaf, saya belum dapat membantu Bapak/Ibu saat ini. Oleh karena itu permasalahan ini akan saya teruskan kepada rekan kami/atasan saya yang lain untuk membantu Bapak/Ibu”); 6. Jika dimungkinkan, jabatlah tangan wajib pajak dan mengucapkan terima kasih saat tamu akan meninggalkan tempat; ix. Setiap tamu yang datang ke TPT, harus ada petugas keamanan (tenaga satuan pengamanan) yang menyambut, menanyakan keperluan dan mempersilahkan tamu dengan sopan untuk mengambil nomor antrian; x. Apabila antrian cukup panjang dan waktu menunggu lebih lama maka petugas harus memberikan penjelasan dengan baik, sopan dan
32
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
tetap ramah, (misalnya dengan menggunakan kalimat seperti: “Maaf Bapak/Ibu, mohon menunggu sebentar karena kami akan menyelesaikan pekerjaan sementara waktu”) xi. Akan lebih baik bila petugas dapat menjelaskan berapa lama wajib pajak harus menunggu, (misalnya dapat menggunakan kalimat seperti: “Kami akan menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 5-10 menit, setelah itu Bapak/Ibu kita panggil kembali, terima kasih”) xii. Apabila aliran listrik padam atau sistem sedang rusak/terganggu yang mengakibatkan petugas TPT tidak dapat melayani dengan baik, sehingga Wajib Pajak menjadi tidak sabar/marah, maka yang harus diperharikan antara lain adalah: 1. Petugas minta maaf atas situasi tersebut; 2. Memberikan informasi bahwa listrik padam atau sistem sedang rusak; 3. Memberikan informasi lamanya waktu yang dibutuhkan bila pekerjaan dilakukan secara manual (biasanya lebih lama dari pekerjaan by sistem); 4. Menanyakan kesedian Wajib Pajak untuk menunggu; 5. Menanyakan nomor telepon yang bisa dihubungi apabila Wajib Pajak memilih untuk meninggalkan KPP untuk sementara waktu; 6. Memberitahukan Wajib Pajak saat suasana sudah kembali normal dan proses sudah selesai; 7. Jika memungkinkan, agar disediakan minuman ringan kepada Wajib Pajak yang sedang menunggu (misalnya dengan pengadaan dispenser dan lain-lain). Ilyas dan Burton (2010) menjelaskan bahwa meskipun kampanye dan penyuluhan perpajakan telah dilaksanakan Ditjen Pajak, cara yang dirasa paling baik untuk bisa mengubah sikap masyarakat yang masih
kontra dan belum memahami pentingnya membayar pajak, dan akhirnya mau mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP adalah melalui pelayanan. Masih dalam Ilyas dan Burton (2010) dijelaskan bahwa sikap atau pelayanan fiskus yang baiklah yang harus diberikan kepada seluruh wajib pajak, karena dalam membayar pajak seseorang tidak mempunyai kontraprestasi yang langsung. Jika dalam dunia perdagangan ada ungkapan “Pembeli adalah Raja”, maka ungkapan “Wajib Pajak adalah Raja” juga perlu dimasyarakatkan, sehingga wajib pajak bersemangat dalam membayar pajak. Dalam hal untuk mengetahui bagaimana pelayanan terbaik yang seharusnya dilakukan oleh fiskus kepada wajib pajak, diperlukan juga pemahaman mengenai hak dan kewajiban sebagai fiskus. Hak-hak dan kewajiban fiskus yang diatur dalam UU Perpajakan Indonesia adalah sebagai berikut (Ilyas dan Burton, 2010:210): 1. Hak Fiskus a. Hak menerbitkan NPWP atau NPPKP secara jabatan b. Hak menerbitkan surat ketetapan pajak c. Hak menerbitkan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan d. Hak melakukan pemeriksaan dan penyegelan e. Hak menghapuskan atau mengurangi sanksi administrasi f. Hak melakukan penyidikan g. Hak melakukan pencegahan h. Hak melakukan penyanderaan 2. Kewajiban Fiskus: a. Kewajiban untuk membina wajib pajak b. Kewajiban menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar c. Kewajiban merahasiakan data wajib pajak d. Kewajiban melaksanakan Putusan e. Beberapa penelitian sebelumnya juga telah menjelaskan mengenai pentingnya pelayanan fiskus. Karanta et al, 2000
33
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
(dalam Suryadi, 2006) menekankan pada pentingnya kualitas aparat (SDM) perpajakan dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak. Forest dan Sheffrin (2002) yang dikutip oleh Suryadi (2006) meneliti pentingnya sistem perpajakan yang simplifying. Hal ini karena kompleksitas dari sistem perpajakan akan berpengaruh pada ketidakpatuhan wajib pajak, meskipun sistem perpajakan yang sederhana juga tidak menjamin wajib pajak akan patuh (Suryadi, 2006). Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel kualitas pelayanan fiskus didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE-84/PJ/2011, yaitu, melaksanakan pelayanan di TPT pukul 08.0016.00, dan memperhatikan beberapa hal mengenai pelayanan prima. 2.1.2 Sanksi Perpajakan Mardiasmo (2011:56) menyatakan Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Selama ini ada anggapan umum dalam masyarakat bahwa akan dikenakan sanksi perpajakan hanya bila tidak membayar pajak. Padahal, dalam kenyataannya banyak hal yang membuat masyarakat atau wajib pajak terkena sanksi perpajakan, baik itu
berupa sanksi administrasi (bunga, denda, dan kenaikan) maupun sanksi pidana. Secara konvensional, terdapat dua macam sanksi yaitu sanksi positif dan sanksi negatif. Sanksi positif merupakan suatu imbalan, sedangkan sanksi negatif merupakan suatu hukuman (Ilyas dan Burton, 2010). Namun pemberian imbalan apabila wajib pajak patuh dan telah memasukan Surat Pemberitahuan tepat pada waktunya belum diperhatikan. Saat ini Ditjen Pajak masih berfokus pada pemberian sanksi negatif dalam menuntut wajib pajak agar patuh terhadap peraturan perpajakan. Apabila dikaitkan dengan UU Perpajakan yang berlaku, menurut Ilyas dan Burton (2010) terdapat empat hal yang diharapkan atau dituntut dari para wajib pajak, yaitu: 1. Dituntut kepatuhan (compliance) wajib pajak dalam membayar pajak yang dilaksanakan dengan kesadaran penuh 2. Dituntut tanggung jawab (responsibility) wajib pajak dalam menyampaikan atau memasukan Surat Pemberitahuan tepat waktu sesuai Pasal 3 Undang-undang Nomor 6/1983 3. Dituntut kejujuran (honesty) wajib pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan sesuai dengan keadaan sebenarnya 4. Memberikan sanksi (law enforcement) yang lebih berat kepada wajib pajak yang tidak taat pada ketentuan yang berlaku. Dari keempat hal di atas, paling efektif menurut Ilyas dan Burton (2010) adalah dengan menerapkan sanksi (law enforcement) tanpa pandang bulu dan dilaksanakan secara konsekuen. Wajib pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Oleh sebab itu, sanksi perpajakan diduga akan berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak. Mardiasmo (2011: 59), Dalam Undang-Undang Perpajakan
34
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
dikenal dua macam sanksi, yaitu admistrasi dan sanksi pidana.
sanksi
2.1.2.1 Sanksi Pidana Menurut ketentuan dalam undangundang perpajakan ada tiga macam sanksi pidana, yaitu (Mardiasmo, 2011:59) : 1. Denda Pidana Berbeda dengan sanksi berupa denda administrasi yang hanya diancam/dikenakan kepada wajib pajak yang melanggar ketentuan peraturan perpajakan, sanksi berupa denda pidana selain dikenakan kepada wajib pajak ada juga yang diancamkan kepada pejabat pajak atau kepada pihak ketiga yang melanggar norma. Denda pidana dikenakan tindak pidana yang bersifat pelanggaran maupun bersifat kejahatan. 2. Pidana Kurungan Pidana kurungan hanya diancamkan kepada tindak pidana yang bersifat pelanggaran. Dapat ditunjukan kepada wajib pajak, dan pihak ketiga. Karena pidana kurungan diancamakan kepada si pelannggar norma itu ketentuannya sama dengan yang diancamkan dengan denda pidana, maka masalahnya hanya ketentuan mengenai denda pidana sekian itu diganti dengan pidana kurungan selama-lamanya sekian. 3. Pidana Penjara Pidana penjara seperti halnya pidana kurungan, merupakan hukuman pereampasan kemerdekaan. Pidana penjara diaancamkan terhadap kejahatan. Ancaman pidana penjara tidak ada yang ditujukan kepada pihak ketiga, adanya kepada pejabat dan kepada wajib pajak. Berikut ini beberapa sanksi pidana yang dibidang perpajakan yang diatur/ditetapkan dalam KUP: a. Pasal 38 Setiap orang yang karena kealpaannya: tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya
tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. b. Pasal 39 Ayat (1) Setiap orang dengan sengaja: Tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan NPWP/NPPKP, tidak menyampaikan SPT, menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap, menolak untuk dilakukan pemeriksaan, dan hal-hal lain sebagaimana dimaksud pasal 39 KUP. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. c. Pasal 39 ayat (2) Pengulangan perbuatan pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi tindak pidana d. Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan : menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP, menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak, sanksi pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 2 tahun dan denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali jumlah restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak. 2.1.2.2 Sanksi Administrasi Menurut ketentuan dalam undangundang perpajakan ada tiga macam sanksi pidana, yaitu (Mardiasmo, 2011:59), berupa denda, bunga dan kenaikan.
35
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
1. Sanksi Denda a. Pasal 7 ayat (1) Sanksi denda diberikan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4). Denda Rp 500.000,00 untuk SPT Masa PPN, denda Rp 100.000,00 untuk SPT Masa lainnya, denda Rp 1.000.000,00 untuk SPT Tahunan PPh Badan, denda Rp 100.000,00 untuk SPT Tahunan PPh OP. 2. Sanksi Bunga 1. Pasal 8 Ayat (2) Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. 3. Sanksi Kenaikan a. Pasal 8 Ayat (5) Atas kekurangan pajak sebagai akibat adanya pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% dari pajak yang kurang dibayar, dan harus dilunasi oleh WP sebelum laporan pengungkapan tersendiri disampaikan. Namun, pemeriksaan tetap dilaksanakan. b. Pasal 13A WP yang karena kealpaan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tidak dikenai sanksi pidana apabila kealpaan
tersebut pertama kali dilakukan oleh WP dan WP tersebut wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang bayar yang ditetapkan melalui SKPKB. Indikator yang digunakan untuk mengukur sanksi perpajakan, berdasarkan dua macam sanksi perpajakan yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana (Mardiasmo, 2011: 59). 2.1.3 Sosialisasi Perpajakan Direktorat Jendral Pajak mengatur mengenai penyeragaman kegiatan sosialisasi perpajakan bagi masyarakat dalam Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE22/PJ./2007. Media Informasi yang dapat digunakan dalam melakukan sosialisasi perpajakan meliputi media televisi, koran, spanduk, flyers (poster dan brosur), billboard/mini billboard, dan radio. Penyampaian informasi perpajakan dapat dilakukan dengan cara kontak langsung kepada masyarakat misalnya melalui seminar, diskusi dan sejenisnya. Dalam penyampaian informasi tersebut sebaiknya menggunakan bahasa sesederhana mungkin dan bukan bersifat teknis, sehingga informasi tersebut dapat diterima dengan baik. Informasi tentang pajak dirasa masih sangat kurang oleh masyarakat. Sumber informasi yang dinilai informatif dan dibutuhkan secara urut adalah : call center, penyuluhan, internet, petugas pajak, televisi, iklan bus. Materi sosialisasi yang disampaikan lebih ditekankan pada manfaat pajak, manfaat NPWP, dan pelayanan perpajakan di masing-masing unit. Dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan terdapat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan meliputi metode media materi dan pembicaraan dalam penyuluhan. Metode yang digunakan dalam proses penyuluhan adalah metode diskusi. Biasanya dalam penyuluhan perpajakan digunakan media seperti proyektor dan materi yang 36
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
disampaikan berupa simulasi pengisian SPT serta pengetahuan perpajakan. Dalam melakukan penyuluhan perpajakan, penyuluh/ pembicara yang dipilih merupakan pihak-pihak yang menguasai materi perpajakan yang akan disosialisasikan. Harapan perbaikan dalam kegiatan penyuluhan pajak adalah agar dalam penyajian materi harus mudah dimengerti oleh peserta dan dalam pelaksanaannya diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat. Direktorat Jendral Pajak juga mengatur pembentukan tim sosialisasi untuk memberikan sosialisasi perpajakan bagi masyarakat dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-114/PJ./2005. Kepada tim sosialisasi perpajakan ini dibebankan empat tugas penting antara lain: 1. Menyiapkan metode dan materi sosialisasi perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyarakat wajib pajak 2. Mealakukan sosialisasi perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyarakat wajib pajak 3. Meningkatkan pemahaman pelajar, mahasiswa, dan masyarakat wajib pajak tentang perpajakan 4. Tugas-tugas lain sebagaimana yang ditetapkan Direktur Jendral Pajak. Segala biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan tugas tim berdasarkan Keputusan Direktur Jendral Pajak ini dibebankan pada Daftar Alokasi Biaya Pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Direktorat Jendral Pajak. Indikator yang digunakan untuk mengukur sosialisasi perpajakan berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-114/PJ./2005, yaitu, menyiapkan metode dan materi sosialisasi, menyelenggarakan sosialisasi, meningkatkan pemahaman tentang perpajakan. 2.1.4 Kepatuhan Pajak Rahayu (2010:139) mengatakan bahwa “pada prinsipnya kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”. Terdapat dua macam kepatuhan menurut Rahayu (2010:138), yakni: 1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan. 2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantive atau hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Menurut Rahayu (2010:140) kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara, pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan tarif pajak. Wajib pajak dengan kriteria tertentu yang sering dikenal sebagai wajib pajak patuh dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila wajib pajak dapat memenuhi kriteria tertentu. Dalam KUP Pasal 17C ayat 2 menegaskan adanya wajib pajak dengan kriteria tertentu. Kriteria inilah yang menjadi acuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.74/PMK.03/2012. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 Pasal 2, untuk dapat ditetapkan sebagai wajib pajak dengan kriteria tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
37
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Kepatuhan wajib pajak merupakan sikap yang sangat penting bagi para objek pajak untuk melaporkan apa saja yang menjadi kewajiban para wajib pajak. Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel kepatuhan wajib pajak didasarkan pada Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 Pasal 2, yaitu, tepat waktu dalam menyampaikan SPT, tidak mempunyai tunggakan pajak, tidak pernah dipidana dibidang perpajakan. 2.1.5 Pemahaman Mengenai Pajak Untuk dapat memahami pentingnya pemungutan pajak dan alasan yang mendasari mengapa wajib pajak diharuskan membayar pajak dan memenuhi kewajibannya sebagai wajib pajak, tentunya perlu terlebih dahulu dipahami apa yang dimaksud dengan pajak dan beberapa pemahaman megenai pajak. 2.1.5.1 Definisi Pajak Ada beberapa definisi mengenai pajak diantaranya: Pajak menurut (Pasal 1 UU KUP) adalah kontribusi kepada negara yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pajak menurut Soemitro, pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan
undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Mardiasmo:2011). Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur (Mardiasmo, 2011:1), jadi dapat disimpulkan bahwa:
1. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang bukan barang. 2. Berdasarkan Undang-Undang. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 3. Tanpa jasa timbal atau kontra prestasi dari negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak atau tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual oleh pemerintah. 4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara yakni pengeluaranpengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2.1.3.2 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2011:1) terdapat dua fungsi pajak yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgetair) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. 2. Fungsi Mengatur (Regulator) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. 2.1.5.3 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dibagi menjadi tiga (Mardiasmo, 2011:7) 1. Official Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada (fiskus) untung menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya:
38
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
a) Wewenang untuk menentukan pajak yang terutang ada pada fiskus. b) Wajib pajak bersifat pasif. c) Hutang pajak timbul setelah dikeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. 2. Self Assesment System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Ciri-cirinya: a) Wewenang untuk menentukan pajak terhutang ada pada wajib pajak sendiri. b) Wajib pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. c) Fiskus tidak campur tangan dan hanya mengawasi. 3. With Holding System Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan wajib pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri: Wewenang menentukan pajak ada pada pihak ketiga. 2.1.5.4 Pengelompokan Pajak Pembagian pajak menurut Mardiasmo (2011:5) dapat digolongkan menurut golongannya, sifat, dan lembaga pemungutnya. Lebih rincinya adalah sebagai berikut: 1. Menurut golongannya a) Pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan (PPh) b) Pajak tidak langsung adalah yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: pajak pertambahan nilai ( PPN). 2. Menurut sifatnya
a) Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: pajak penghasilan b) Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan sendiri wajib pajak. Contoh: PPN dan PPnBM. 3. Menurut lembaga pemungutnya a) Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b) Pajak daerah adalah yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. 2.1.5.5 Wajib Pajak Menurut Diana dan Setiwati (2009:163) “Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif”. Pengertian Wajib Pajak termuat dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu : Wajib Pajak dalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak ada 2 jenis, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Wajib Pajak mempunyai nomor identitas berupa NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebagai penanda dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan. 2.1.6 Theory of Reasoned Action (TRA) Teori yang mendasari psikologi sosial ini dikembangkan oleh Fishbein dan Ajzen (1975). Ajzen (1980) dalam Yogatama (2014) menyatakan bahwa niat menentukan 39
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Ajzen (1980) dalam Yogatama (2014) mengemukan bahwa niat seseorang dipengaruhi oleh dua penentu utama yaitu: a. Sikap, merupakan keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut. b. Norma subjektif, merupakan kepercayaan-kepercayaan mengenai harapan-harapan normatif yang muncul karena pengaruh orang lain dan motivasi untuk menyetujui harapan-harapan tersebut. Relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa seseorang dalam menentukan perilaku patuh atau tidak patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dipengaruhi rasionalitas dalam mempertimbangkan manfaat dari pajak dan juga pengaruh orang lain yang mempengaruhi keputusan dalam patuh pajak. Kemudian ketika individu akan melakukan sesuatu, dorongan atau motivasi yang berasal dari luar diri seseorang (orang lain) akan mempengaruhi perilaku seseorang tersebut (norma subjektif). Hal tersebut relevan dengan pelayanan fiskus, dan sosialisasi dalam perpajakan. Dengan pelayanan yang baik dari petugas pajak, kemudahan dan pemahaman yang didapat dari sosialisasi seputar perpajakan, akan memberikan persepsi yang baik dari para wajib pajak. Hal tersebut akan mempengaruhi dan memotivasi seorang wajib pajak untuk berperilaku taat pajak. 2.1.7 Social Learning Theory (Teori Pembelajaran Sosial)
Teori pembelajaran sosial mengatakan bahwa seseorang dapat belajar lewat pengamatan dan pengalaman langsung (Jakmiko, 2006). Menurut Bandura (1977) dalam Jamiko (2006), proses dalam teori pembelajaran sosial meliputi: a. Proses perhatian (attentional) b. Proses penahanan (retention) c. Proses reproduksi motorik d. Proses penguatan (reinforcement) Proses perhatian yaitu orang hanya akan belajar dari seseorang atau model, jika mereka telah mengenal dan menaruh perhatian pada orang atau model tersebut. Proses penahanan adalah proses mengingat tindakan suatu model setelah model tidak lagi mudah tersedia. Proses reproduksi motorik adalah proses mengubah pengamatan menjadi perbuatan. Sedangkan proses penguatan adalah proses yang mana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model (Bandura, 1977 dalam Jatmiko, 2006). Jatmiko (2006) menjelaskan bahwa teori pembelajaran ini relevan untuk menjelaskan perilaku wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak. Seseorang akan taat membayar pajak tepat pada waktunya, jika lewat pengamatan dan pengalaman langsungnya, hasil pungutan pajak itu telah memberikan kontribusi nyata pada pembangunan di wilayahnya. Seseorang juga akan taat pajak apabila telah menaruh perhatian terhadap pelayanan pajak, baik fiskus maupun sistem pelayanan pajaknya. Terkait dengan proses penguatan, dimana individu-individu disediakan rangsangan positif atau ganjaran supaya berperilaku sesuai dengan model, tampaknya cukup relevan apabila dihubungkan dengan pengaruh sanksi pajak terhadap kepatuhan pajak.
40
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
3. Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No Peneitian 1 Arum (2012)
Variable Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Alat Analisis Analisis Regresi Linier Berganda
Hasil Penelitian Kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
2
Dharma (2014)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kesadaran wajib pajak, sosialisasi perpajakan, dan kualitas pelayanan, sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analisis Regresi Liner Berganda
Kesadaran wajib pajak, sosialisasi perpajakan, dan kualitas pelayanan berpengaruh yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
3
Faudi (2013)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan, sdangkan variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analisis Regresi Linier Berganda
Kualitas pelayanan, sanksi perpajakan, dan biaya kepatuhan secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
4
Jatmiko (2006)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi perpajakan denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan, sedangkan variabel
Analisis Regresi Linier Berganda
Sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi perpajakan denda, pelayanan fiskus dan kesadaran perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
41
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
terikat adalah kepatuhan wajib pajak
5
Pradanata (2014)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pahamanan wajib pajak, kualitas pelayanan perpajakan, pelaksanaan sanksi pajak, variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak.
Analisis Regresi Liner Berganda
Pahamanan wajib pajak,tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan kualitas pelayanan perpajakan, pelaksanaan sanksi pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
6
Putra (2014)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sanksi administrasi, sosialisasi perpajakan, dan kesadaran wajib pajak, variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analisis Regresi Linier Bergannda
Sanksi administrasi, sosialisasi perpajakan, dan kesadaran wajib pajak berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
7
Putri (2014)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sosialisasi perpajakan dan helpdesk, variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analisis Regresi Linier Berganda
Sosialisasi perpajakan dan helpdesk tidak berpengaruh positif antara pengaruh help desk terhadap kepatuhan wajib Pajak
8
Rahmadian (2013)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kesadaran wajib pajak, pelayanan fiskus dan sanksi perpajakan, variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analis Regresi Linier Berganda
Kesadaran wajib pajak, dan sanksi perpajakan berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
42
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
9
Rohmawati (2013)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Sosialisasi dan pengetahuan perpajakan,variabel intervening dalam penelitian ini adalah kesadaran wajib pajak, dan variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analisis Path
Sosialisasi perpajakan memiliki hubungan yang negatif dan signifikan terhadap kesadaran wajib pajak. Pengetahuan perpajakan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kesadaran wajib pajak. Sosialisasi perpajakan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Pengetahuan perpajakan memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Kesadaran wajib pajak memiliki hubungan yang positif dan tidak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sosialisasi dan pengetahuan perpajakan secara bersama-sama berpengaruh terhadap kesadaran wajib pajak. Sosialisasi, pengetahuan dan kesadaran wajib pajak secara bersamasama berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
10
Utama (2012)
Variabel babas dalam penelitian ini adalah kualitas pelayanan, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan, sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak.
Analisis Regresi Linier Berganda
Kualias pelayanan dan sanksi perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan biaya kepatuhan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.
43
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
11
Winurengan (2013)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sosialisasi perpajakan, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak
Analisis Regresi Liner Berganda
Sosialisasi, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak tidak berpengaruh kepatuhan wajib pajak
12
Widiastuti (2014)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sosialisasi, motivasi dan pemahaman wajib pajak sedangkan variabel terikat adalah kepatuhan wajib pajak Sumber: Penelitian Terdahulu
Analisis Regresi Liner Berganda
Sosialisasi, motivasi dan pemahaman wajib pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak
2.3 Pengembangan Hipotesis H1: Kualitas Pelayanan fiskus berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. H2 : Sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak. H3 : Sosialisasi perpajakan berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak
Gambar 2.1 Model Penelitian Kualiatas Pelayanan Fiskus
Sanksi Perpajakan
H1+ H2+
Kepatuhan Wajib Pajak
H3+ Sosialisasi Perpajakan Sumber: Arum (2012), Rohmawati (2013)
44
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
3. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif yaitu dalam penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel-variabel dalam bentuk angka (Quantitatif), dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik dan atau permodelan matematis. Penelitian yang digunakan adalah metode eksplanasi, yaitu jenis penelitian dimana variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini diolah dan hasilnya dijelaskan secara jelas mengenai pengaruh masingmasing variabel. 3.2 Populasi dan Sampel Populasi adalah kelompok elemen yang lengkap, yang biasanya berupa orang, objek, transaksi, atau kejadian dimana kita tertarik untuk mempelajarinya atau menjadi objek penelitian (Kuncoro, 2009: 118). Populasi dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang pribadi di KPP Pratama Cikarang Utara. Jumlah populasi wajib pajak orang pribadi tercatat terdapat 93.643 orang. Guna efisiensi waktu dan biaya, maka tidak semua wajib pajak tersebut menjadi obyek dalam penelitian ini. Oleh karena itu dilakukanlah pengambilan sampel. Populasi dalam penelitian ini adalah wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Cikarang Utara. Teknik pengambilan sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Convenience Sampling, dengan metode Slovin, dengan responden yang digunakan adalah wajib pajak orang pribadi dalam lingkungan pengawasan KPP Pratama Cikarang Utara. Jumlah minimal sampel ditentukan dengan menggunakan rumus Slovin (Burhan Bugin, 2008) sebagai berikut:
n=
N 1 + N(e)²
Keterangan: n = Jumlah sample N = Polulasi e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sample yang masih dapat ditolerir, dalam penelitian ini 0,1 n =
93.643 1 + 93.643(0,1) = 99,89 = 100 Jadi jumlah minimal responden penelitian ini adalah 100 responden.
pada
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang merupakan data penelitian yang diperoleh langsung dari sumbernya (Sekaran, 2006). Sumber data primer pada penelitian ini diperoleh dari pengisian kuisioner yang telah di jawab oleh para wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Cikarang Utara.
45
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
3.4 Variable Penelitian dan Operasionalisasi Tabel 3.1 Oprerasionalisasi Variabel No.
Variabel
1.
Variabel Dependen : Kepatuhan Wajib Pajak (Y)
2.
Variabel Independen :1.Kualitas Pelayanan Fiskus (X1)
Keterangan
Operasionalisasi Indikator Pengukuran 1. Tepat waktu Skala Ordial dalam menyampaikan SPT 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak 3. Tidak pernah dipidana dibidang perpajakan
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 Pasal 2, untuk dapat ditetapkan sebagai wajib pajak dengan kriteria tertentu, Wajib Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturutturut; dan d. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Direktur Jendral Pajak 1. Melaksaakan mengatur mengenai pelayanan di TPT pelayananan prima dalam pukul 08.00Surat Edaran Direktur 16.00 Jendral Pajak Nomor SE2. Memperhati
Skala Ordinal
46
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
84/PJ/2011, seluruh pimpinan/kepala kantor pelayanan pajak agar melakukan hal-hal sebagai berikut: Kantor Pelayanan Pajak: 1. Pimpinan harus memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pelayanan dan memberikan perhatian kepada kinerja pelayanan di unit kerjanya. 2. Melaksanakan pelayanan kepada wajib pajak dengan berpedoman pada: a. Waktu pelayanan di TPT adalah pukul 08.00 sampai dengan 16.00 waktu setempat. Selisih waktu antara jam kerja dengan waktu pelayanan digunakan untuk persiapan dalam memberikan layanan (doa dan spirit pagi, pengarahan, merapihkan tata ruang dan administrasi serta persiapan bagi petugas TPT) dan persiapan tutup layanan (melakukan evaluasi layanan yang dilakukan, merapikan dan menyelesaikan administrasi layanan pada hari tersebut). Pada jam istirahat, pelayanan tetap diberikan dengan cara mengatur secara
kan beberapa hal mengenai pelayanan prima
47
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
2. Sanksi Pepajakan (X2)
bergilir petugas yang beristirahat dan menambah jumlah petugas jika TPT terlihat antrian panjang; b. Jadwal petugas di TPT dan petugas di bagian konseling (helpdesk) diatur oleh Kepala Kantor sesuai kondisi dan situasi setempat; c. Kepala kantor menunjuk supervisor harian yang bertanggungjawab atas pemberiaan layanan di TPT dan helpdesk secara bergiliran; d. Memperhatikan 1. Sanksi beberapa hal Administrasi mengenai 2. Sanksi Pidana Pelayanan Prima
1. Menyiapkan Mardiasmo (2011: 59), metode dan Dalam Undang-Undang materi sosialisasi 3. Sosialisasi Perpajakan dikenal dua 2. Menyelenggarak Perpajakan macam sanksi, yaitu sanksi an sosialisasi (X3) admistrasi dan sanksi pidana 3. Meningkat kan pemahaman tentang perpajakan Direktorat Jendral Pajak juga mengatur pembentukan tim sosialisasi untuk memberikan sosialisasi perpajakan bagi masyarakat dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP114/PJ./2005. Kepada tim sosialisasi perpajakan ini dibebankan empat tugas penting antara lain: 1. Menyiapkan metode dan materi sosialisasi perpajakan kepada pelajar,
Skala Ordinal
Skala Ordinal
48
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
mahasiswa, dan masyarakat wajib pajak 2. Mealakukan sosialisasi perpajakan kepada pelajar, mahasiswa, dan masyarakat wajib pajak 3. Meningkatkan pemahaman pelajar, mahasiswa, dan masyarakat wajib pajak tentang perpajakan 4. Tugas-tugas lain sebagaimana yang ditetapkan Direktur Jendral Pajak. Variabel dependen dalam peneitian ini adalah kepatuhan wajib pajak. Kepatuhan wajib pajak mengarah pada Simon James et al dalam Santoso (2008) yang menjelaskan bahwa kepatuhan pajak (tax compliance) adalah kesediaan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administratif. Variabel kepatuhan diukur dengan menggunakan indikator sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2012 Pasal 2, yaitu, tepat waktu dalam menyampaikan SPT, tidak mempunyai tunggakan pajak, tidak pernah dipidana dibidang perpajakan. Pengukuran variabel kepatuhan wajib pajak menggunakan skala ordinal dengan teknik pengukuran skala likert dimulai dari sangat tidak setuju (STS) skor 1, tidak setuju (TS) skor 2, Netral(N) skor 3, setuju (S) skor 4, sangat setuju (SS) skor 5. Berikut ini adalah jenis pertanyaan penelitian mengenai kepatuhan wajib pajak: 1. Anda selalu tepat waktu dalam menyampaikan SPT 2. Anda tidak mempunyai tunggakan pajak 3. Anda tidak pernah dipidana dibidang perpajakan Variable Independen pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Kualitas Pelayanan Fiskus
Fiskus merupakan petugas pajak. Jadi, pelayanan fiskus dapat diartikan sebagai cara petugas pajak dalam membantu, mengurus, atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan seseorang yang dalam hal ini adalah wajib pajak (Jatmiko, 2006 dalam Arum, 2012). Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel kualitas pelayanan fiskus didasarkan pada Surat Edaran Direktur Jendral Pajak Nomor SE84/PJ/2011, yaitu, melaksanakan pelayanan di TPT pukul 08.00-16.00, dan memperhatikan beberapa hal mengenai pelayanan prima. Pengukuran variabel kualitas pelayanan fiskus menggunakan skala ordinal dengan teknik pengukuran skala likert dimulai dari sangat tidak setuju (STS) skor 1, tidak setuju (TS) skor 2, netral (N) skor 3, setuju (S) skor 4, sangat setuju (SS) skor 5. Berikut ini adalah jenis pertanyaan penelitian mengenai kualitas pelayanan fiskus: a. Melaksanakan pelayanan di TPT pukul 08.00-16.00: 1. Petugas pajak memberikan pelayanan pada pukul 08.00-16.00 b. Memperhatikan beberapa hal mengenai pelayanan prima: 1. Petugas pajak selalu bersikap sopan, ramah, tanggap, cermat dan tanggap, serta tidak mempersulit anda dalam memberikan pelayanan.
49
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
2. Petugas pajak selalu siaga dalam melayani pertanyaan anda 3. Petugas pajak selalu memberikan informasi secara lengkap dan jelas 4. Petugas pajak selalu merespon dan memberikan jawaban mengenai permasalahan perpajakan anda 5. Bila laporan/surat yang akan anda sampaikan tidak dapat diterima, petugas pajak selalu memberikan penjelasan yang jelas dan ramah, misalnya karena kurang lengkap. 2) Sanksi Perpajakan Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/dipatuhi/ditaati, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan Mardiasmo (2011). Wajib pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Semakin tinggi atau beratnya sanksi, maka akan semakin merugikan wajib pajak. Indikator yang digunakan untuk mengukur sanksi perpajakan, berdasarkan dua macam sanksi perpajakan yaitu sanksi administrasi dan sanksi pidana (Mardiasmo, 2011: 59). Pengukuran variabel sanksi perpajakan menggunakan skala ordinal dengan teknik pengukuran skala Likert dimulai dari sangat tidak setuju (STS) skor 1, tidak setuju (TS) skor 2, netral (N) skor 3, setuju (S) skor 4, sangat setuju (SS) skor 5. Berikut ini adalah jenis pertanyaan penelitian mengenai sanksi perpajakan: a. Sanksi Administrasi 1. Menurut anda tidak menyampaikan SPT dikenakan sanksi denda Rp 100.0000
2. Menurut anda sanksi bunga 2% per bulan dikenakan untuk wajib pajak yang melakukan pembetulan sendiri surat permberitahuan 3. Menurut anda kealpaan tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar, atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, maka wajib melunasi kekurangan pembayaran jumlah pajak yang terutang beserta sanksi kenaikan sebesar 200% dari jumlah pajak yang kurang bayar yang ditetapkan melalui SKPKB. b. Sanksi Pidana 1. Menurut anda sanksi pidana yang diberikan kepada pelanggar cukup berat 2. Menurut anda sanksi pidana akan menurunkan tindakan wajib pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yang berlaku 3) Sosialisasi Perpajakan Sosialisasi perpajakan merupakan upaya yang dilakukan Dirjen Pajak untuk memberikan informasi, pengertian, dan pembinaan kepada masyarakat khususnya wajib pajak mengenai perpajakan dan perundang-undangannya. Dengan adanya sosialisasi diharapkan wajib pajak akan memperoleh pemahaman dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Indikator yang digunakan untuk mengukur sosialisasi perpajakan berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-114/PJ./2005, yaitu, menyiapkan metode dan materi sosialisasi, menyelenggarakan sosialisasi, meningkatkan pemahaman tentang perpajakan. Pengukuran variabel sosialisasi perpajakan menggunakan skala ordinal dengan teknik pengukuran skala Likert dimulai dari sangat tidak setuju (STS) skor 1, tidak setuju (TS) skor 2,
50
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
netral (N) skor 3, setuju (S) skor 4, sangat setuju (SS) skor 5. Berikut ini adalah jenis pertanyaan penelitian mengenai sanksi perpajakan: 1. Metode yang digunakan dalam sosialisi metode diskusi 2. Materi yang disampaikan mengenai pengisian SPT dan pengetahuan perpajakan 3. Kantor pelayanan pajak pratama cikarang utara sering mengadakan sosialisasi perpajakan 4. Dengan mengikuti sosialisasi dapat meningkatkan pemahaman perpajakan anda. 3.5 METODE ANALISIS DATA Metode yang digunakan untuk menguji adalah analisis regresi linier berganda dengan program SPSS 20.0. Beberapa langkah yang dilakukan dalam analisis regresi linier berganda adalah sebagai berikut: 3.5.1 Analisis Statistik Deskriptif Analisis deskriptif gunakan untuk menggambarkan atau mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan menjadi sebuah informasi. 3.5.2 Uji Kualitas Data 3.5.2.1 Uji Validitas Validitas adalah kecermatan suatu item atau instrumen data dalam mengukur apa yag ingin diukur. Item dikatakan tidak valid jika terjadi kolerasi yang kuat dengan skor totalnya. Hal ini menunjukan adanya dukungan item tersebut dalam mengungkapkan suatu yang ingin diungkapkan. Uji Validitas dilakukan untuk menguji apakah pertanyaan dalam kuesioner dapat mengukur konstruk sesuai dengan harapan peneliti. Uji validitas pada penelitian ini menggunakan teknik corrected item total colleration dan koreksi pearson, yaitu dengan cara mengkolerasikan skor total item. Kemudian pengujian signifikasi dilakukan ddengan kriteria menggunakan r tabel pada tingkat signifikasi 0,05 dengan uji
2 sisi. Jika nilai positif dan r hitung > r tabel, maka item dapat dinyatakan valid. Jika r hitung < r tabel, maka item dinyatakan tidak valid (Priyanto, 2009) 3.5.2.2 Uji Reliabilitas Reliabilitas adalah alat untuk mengukur kuesioner yang merupakan indikator dari variabel atau konstruk. Kuesioner yang reliabel atau andal jika jawaban dari responden atas pertanyaan adalah konsisten dari waktu ke waktu. Tingkat reliabel suatu variabel penelitian dilihat dari hasil uji statistik Cronbach Alpha (α). Variabel dikatakan reliabel apabila nilai Cronbach Alpha > 0,70. Semakin nilai α mendekati satu, maka nilai reliabilitas data semakin terpercaya untuk masing-masing variabel (Ghozali, 2011: 48). 3.5.3 Uji Asumsi Klasik 3.5.3.1 Uji Normalitas Uji normalitas ini bertujuan untuk menguji apakah model regresi, variabel bebas dan variabel terikat keduanya memiliki distribusi normal atau tidak (Ghozali, 2011: 160). Model regresi yang baik adalah memiliki data berdistribusi normal. Untuk menguji apakah terdapat distribusi yang normal atau tidak dalam model regresi maka dilakukan kolmogrof-smirnov dan analisis grafik. Data uji ini, jika dihasilkan taraf signifikansi lebih besar dari 5%, hal ini berarti data yang akan diolah memiliki distribusi normal, sebaliknya jika taraf signifikansi yang dihasilkan lebih kecil dari 5% maka data tidak berdistribusi secara normal. Selain itu juga digunakan analisis grafik, dalam grafik yang dihasilkan jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi normalitas data dan sebaliknya jika data menyebar jauh daru garis diagonal atau tidak mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi normalitas.
51
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
3.5.3.2 Uji Multikolinieritas Jika nilai Variance Inflation Factor (VIF) tidak lebih dari 10 dan nilai Tolerance (TOL) tidak kurang dari 0,1, maka model dapat dikatakan terbebas dari multikolineritas VIF = 1/Tolerance, jika VIF = 10 maka Tolerance = 1/10 = 0,1. Semakin tinggi VIF maka semakin rendah Tolerance (Ghozali, 2011: 105). 3.5.3.3 Uji Heteroskedastisitas Deteksi adanya heteroskedastisitas yaitu dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik; dimana sumbu X adalah Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah residual dari (Y prediksi–Y sebelumnya) yang telah di studentized (Ghozali, 2011:142).
Pengujian ini bertujuan untuk menguji apakah di dalam suatu model regresi linear terdapat korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (Ghozali, 2011: 110). Model regresi yang baik adalah regresi yang bebas dari autokorelasi. Pendeteksian ada atau tidaknya autokorelasi menggunakan Uji Durbin – Watson. Uji ini hanya digunakan untuk autokorelasi tingkat satu (first order autocorrelation) dan mensyaratkan adanya intercept (konstanta) dalam model regresi dan tidak ada variabel lagi diantara variabel bebas. Pengambilan keputusan dapat dilihat memalui tabel autokorelasi berikut ini :
3.5.3.4 Uji Autokolerasi Tabel 3.2 Kriteria Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi Hipotesis Nol Tidak ada autokorelasi positif Tidak ada autokorelasi negatif Tidak ada korelasi positif Tidak ada korelasi negatif Tidak ada autokorelasi positif atau negatif
Keputusan Tolak No decision Tolak No decision Tidak ditolak
Jika 0 < d dl dl ≤ d ≤ du 4 – dl < d < 4 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl du < d < 4 – du
3.5.4 Analisis Regresi Linier Berganda
3.5.5 Uji Hipotesis
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda yaitu model regresi untuk menganalisis lebih dari satu variablel independen. Persamaan regresi liner berganda yang dirumuskan berdasarkan hipotesis yang dikembangkan adalah sebagai berikut: Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3+ e Keterangan: Y : Kepatuhan Wajib Pajak X1 : Kualitas Pelayan Fiskus X2 : Sanksi Perpajakan X3 : Sosialisasi Perpajakan β1,β2,β3 : Koefisien Regresi e : error
3.5.5.1 Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi (R2) adalah untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel independen. Nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan adalah antara nol sampai dengan satu. Nilai adjusted R2 yang mendekati satu berarti kemampuan variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen. Nilai adjusted R2 yang kecil atau di bawah 0,5 berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variabel dependen sangat terbatas. Apabila terdapat nilai adjusted R2 bernilai negatif maka dianggap bernilai 0 (Ghozali, 2011:97).
52
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
3.5.5.2 Uji Signifikasi Simultan (Uji Statistik F) Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen/terikat. Uji F dilakukan dengan cara membandingkan nilai F hitung dengan F tabel. Harga koefisien Fhitung kemudian dibandingkan dengan F tabel pada tingkat alpha yang ditetapkan yaitu 5%, dengan dk pembilang adalah k, dan dk penyebut adalah (n – k – l) (Ghozali, 2011). Jika F hitung> F tabel maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen mempunyai hubungan atau pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. 3.5.5.3 Uji Signifikasi Parameter Individual (Uji Statistik t) Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen (Ghozali, 2011:98). Pengujian dilakukan dengan menggunakan significance level 0,05 (α=5%). Penerimaan atau penolakan hipotesis dilakukan dengan kriteria sebagai berikut : 1. Jika nilai signifikansi t > 0,05 maka hipotesis ditolak (koefisien regresi tidak signifikan). Ini berarti bahwa secara parsial variabel independen tersebut tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. 2. Jika nilai signifikansi t ≤ 0,05 maka hipotesis diterima (koefisien regresi signifikan). Ini berarti secara parsial variabel independen tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. 4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Statistik Deskriptif Dalam penelitian ini kuesioner disebar kepada Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Cikarang Utara, jumlah kuesioner yang disebar sebanyak 138
kuesioner. Dari jumlah tersebut kuesioner yang kembali berjumlah 122 kuesioner atau hanya 88,4% responden yang mengembalikan. Kuesioner yang tidak kembali berjumlah 16 kuesioner atau 11,6% kuesioner, dan hanya 100 kuesioner atau 72,46% kuesioner dari penelitian ini yang digunakan. Secara lengkap dapat dilihat pada table 4.1. Tabel 4.1 Persentase Pengiriman dan Pengembalian Kuesioner No Keterangan Jumlah Persentase 1 2
3
5
Kuesioner yang disebar Kuesioner yang kembali Kuesioner yang tidak kembali Kuesioner yang dapat diolah
138
100%
122
88,4%
16
11,6%
100
72,46%
Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
4.2.1 Usia Tabel 4.2 Tabel Usia Responden Keterangan Jumlah Persentase 20 – 30 Tahun 53 53% 31 – 40 Tahun 32 32% 41 – 50 Tahun 10 10% 51 – 60 Tahun 5 5% Jumlah 100 100% Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
Berdasarkan tabel diatas terlihat jumlah responden berdasarkan Usia dari 100 responden. Jumlah responden yang berusia 20-30 tahun sebanyak 53 orang (53%), berusia 31-40 tahun sebanyak 32 0rang (32%), berusia 41-50 tahun sebanyak 10 orang (10%), dan yang berusia 51-60 tahun sebanyak 5 orang (5%). 53
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
4.2.2
Jenis Kelamin Tabel 4.3 Presentasi Jenis Kelamin Responden Keterangan Jumlah Persentase Laki-laki 61 61% Perempuan 39 39% Jumlah 100 100 % Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
Data yang tersaji dalam tabel diatas menunjukan bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 61 orang atau 61%, dan sisanya adalah responden yang berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 39 orang atau 39%. 4.2.3
Pendidikan Terakhir
Tabel 4.4 Presentasi Pendidikan Terakhir Responden
Keterangan SD SMP SMA D3 S1 S2 S3 Jumlah
Jumlah 0 0 30 36 33 1 0 100
Persentase 0% 0% 30% 36% 33% 1% 0% 100%
Berdasarkan tabel diatas terlihat jumlah responden berdasarkan Pendidikan Terakhir dari 100 responden, 30 0rang (30%) adalah SMA, 36 orang (36%) adalah D3, 33 orang (33%) adalah S1, dan 1 orang (1%) adalah S2. 4.3 Uji Kualitas Data 4.3.1 Uji Validitas Pengujian validitas instrumen dengan menggunakan software SPSS, nilai validitas dapat dilihat pada kolom Corrected ItemTotal Correlation. Uji Validitas pada penelitian ini dilakukan dengan membandingkan nilai r hitung dengan r tabel, dimana r tabel (α; n-2) dan n= jumlah sampel. Oleh karena n = 100, maka derajat bebasnya degree of freedom (df) adalah n - 2 = 98, dengan nilai r tabel dua sisi pada degree of freedom (df) = 98 dan alpha 0,05 adalah 0,917. Pengujian validitas variabel Kualitas Pelayan Fiskus (X1), Sanksi Perpajakan (X2), Sosialisasi Perpajakan (X3) dan Kepatuhan Wajib Pajak (Y) adalah sebagai berikut:
Sumber: Data Primer yang diolah, 2015
Tabel 4.5 Hasil Uji Validitas Kualitas Pelayanan Fiskus (X1) Item-Total Statistics Scale Mean if Scale Variance Corrected Squared Item Deleted if Item Item-Total Multiple Deleted Correlation Correlation X1_1 X1_2 X1_3 X1_4 X1_5 X1_6
18,61 18,63 18,64 18,78 18,63 18,61
6,725 7,104 7,869 6,557 7,104 6,725
,668 ,633 ,421 ,541 ,633 ,668
Cronbach's Alpha if Item Deleted . . . . . .
,776 ,785 ,825 ,811 ,785 ,776
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel diatas maka Corrected ItemTotal Correlation untuk butir pertanyaaan variabel Kualitas Pelayanan Fiskus memiliki nilai > 0,197 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan dalam kuesioner ini nyatakan valid.
54
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
X2_1 X2_2 X2_3 X2_4 X2_5
Tabel 4.6 Hasil Uji Validitas Sanksi Perpajakan (X2) Item-Total Statistics Scale Mean if Scale Variance Corrected Squared Cronbach's Item Deleted if Item Item-Total Multiple Alpha if Item Deleted Correlation Correlation Deleted 13,51 8,535 ,743 ,557 ,832 13,58 9,216 ,721 ,546 ,838 13,50 9,727 ,748 ,580 ,836 13,59 8,729 ,757 ,602 ,828 13,54 9,988 ,542 ,303 ,880
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel diatas maka Corrected ItemTotal Correlation untuk butir pertanyaaan variabel Sanksi Perpajakan memiliki nilai > 0,197 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan dalam kuesioner ini nyatakan valid.
X3_1 X3_2 X3_3 X3_4
Tabel 4.7 Hasil Uji Validitas Sosialisasi Perpajakan (X3) Item-Total Statistics Scale Mean if Scale Variance Corrected Squared Cronbach's Item Deleted if Item Item-Total Multiple Alpha if Item Deleted Correlation Correlation Deleted 10,06 5,471 ,676 ,475 ,819 10,09 4,911 ,728 ,547 ,794 10,15 4,795 ,673 ,458 ,821 10,05 5,119 ,697 ,496 ,808
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel diatas maka Corrected ItemTotal Correlation untuk butir pertanyaaan variabel Sosialisasi Perpajakan memiliki nilai > 0,197 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan dalam kuesioner ini nyatakan valid.
Y_1 Y_2 Y_3
Tabel 4.8 Hasil Uji Validitas Kepatuhan Wajib Pajak (Y) Item-Total Statistics Scale Mean if Scale Variance Corrected Squared Cronbach's Item Deleted if Item Item-Total Multiple Alpha if Item Deleted Correlation Correlation Deleted 6,41 3,275 ,639 ,409 ,812 6,54 3,281 ,708 ,520 ,738 6,51 3,505 ,715 ,525 ,737
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukan pada tabel diatas maka Corrected ItemTotal Correlation untuk butir pertanyaaan variabel Kepatuhan Wajib Pajak memiliki nilai > 0,197 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua pertanyaan dalam kuesioner ini nyatakan valid.
55
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
4.3.2 Uji Reliabilitas Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur apakah jawaban responden terhadap pernyataan dalam kuesioner konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Pada penelitian ini uji reabilitas dilakukan dengan uji statistik Cronbach Alpha. Menurut Nunnaly (1994), suatu variabel atau konstruk dikatakan reliabel apabila nilai Cronbach Alpha masing-masing variabel >0,70 (Ghozali, 2011). Pengujian reabilitas variabel Kualitas Pelayan Fiskus (X1), Sanksi Perpajakan (X2), Sosialisasi Perpajakan (X3) dan Kepatuhan Wajib Pajak (Y) adalah sebagai berikut:
Tabel 4.9 Hasil Uji Reliabilitas Kualitas Pelayanan Fiskus (X1) Reliability Statistics Cronbach's Cronbach's N of Alpha Alpha Based Items on Standardized Items ,822 ,825 6 Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan pada tabel diatas nilai Cronbach Alpha sebesar 0,822 yang menurut kriteria Nunnally (1994) bisa dikatakan reliabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa butirbutir pertanyaan pada variabel Kualitas Pelayanan Fiskus dinyatakan reliable (andal). Tabel 4.10 Hasil Uji Reliabilitas Sanksi Perpajakan (X2) Reliability Statistics Cronbach's Cronbach's N of Alpha Alpha Based Items on Standardized Items ,871 ,873 5
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan pada tabel diatas nilai Cronbach Alpha sebesar 0,871 yang menurut kriteria Nunnally (1994) bisa dikatakan reliabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa butirbutir pertanyaan pada variabel Sanksi Perpajakan dinyatakan reliable (andal). Tabel 4.11 Hasil Uji Reliabilitas Sosialisasi Perpajakan (X3) Reliability Statistics Cronbach's Cronbach's N of Items Alpha Alpha Based on Standardized Items ,851 ,853 4 Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan pada tabel diatas nilai Cronbach Alpha sebesar 0,851 yang menurut kriteria Nunnally (1994) bisa dikatakan reliabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa butirbutir pertanyaan pada variabel Sosialisasi Perpajakan dinyatakan reliable (andal). Tabel 4.12 Hasil Uji Reabilitas Kepatuhan Wajib Pajak (Y) Reliability Statistics Cronbach's Cronbach's N of Alpha Alpha Based Items on Standardized Items ,828 ,830 3 Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan hasil perhitungan yang ditunjukkan pada tabel diatas nilai Cronbach Alpha sebesar 0,828 yang menurut kriteria Nunnally (1994) bisa dikatakan reliabel. Sehingga dapat disimpulkan bahwa butirbutir pertanyaan pada variabel Sosialisasi Perpajakan dinyatakan reliable (andal).
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
56
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
4.4 Uji Asumsi Klasik 4.4.1 Uji Normalitas Pengujian normalitas data penelitian adalah untuk menguji apakah dalam model statistik variabel-variabel penelitian berdistribusi normal atau tidak normal. Model regresi yang baik adalah memiliki distribusi normal atau mendekati normal. Untuk menguji apakah distribusi data normal atau tidak, salah satunya dengan menggunakan analisis grafik. Cara yang paling sederhana adalah dengan melihat histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati normal sebagaimana gambar berikut: Gambar 4.1 Grafik Histogram Normalitas
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Dengan melihat tampilan grafik histogram dapat disimpulkan bahwa grafik histogram memberikan pola distribusi yang mendekati normal. Namun demikian dengan hanya melihat histogram, hal ini dapat memberikan hasil yang meragukan khususnya untuk sampel kecil. Metode yang handal adalah dengan melihat normal probability plot, dimana pada grafik normal plot terlihat titik-titik menyebar disekitar garis diagonal serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal, sebagaimana ditampilkan pada gambar berikut:
Gambar 4.2 Grafik Normal Plot
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan grafik histogram dan grafik normal plot, dapat dikatakan menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai dalam penelitian ini karena memenuhi asumsi normalitas. Untuk menentukan data dengan uji KolmogrovSmirnov, nilai signifikansi harus diatas 0,05 atau 5% (Imam Ghozali, 2011). Adapun hasil dari kolmogrof-smirnov untuk uji normalitas data adalah sebagai berikut: Tabel 4.13 Tabel Kolmogrov-Smirnov One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardi zed Residual N 100 Normal Mean 0E-7 Parametersa,b Std. Deviation 1,91484544 Absolute ,053 Most Extreme Positive ,051 Differences Negative -,053 Kolmogorov-Smirnov Z ,526 Asymp. Sig. (2-tailed) ,945 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Output SPPS yang diolah, 2015
Hasil uji normalitas dengan menggunakan uji kolmogrov-smirnov adalah dengan melihat nilai kolmogrov-smirnov dan signifikan dari data yang telah diolah. Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa besarnya nilai kolmogrov-smirnov adalah 0.526 dan 57
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
signifikan pada 0,945, hal ini berarti data residual terdistribusi secara normal karena signifikannya berada di atas 0,05 atau 5%. 4.4.2 Uji Multikolinieritas Model regresi yang baik seharusnya tidak terjadi korelasi di antara variabel independen. Jika variabel independen saling berkolerasi, maka variabel-variabel ini tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen yang nilai korelasi antarsesama variabel indpenden sama dengan nol. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinearitas di dalam model regresi berganda dapat dilihat dari Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF), jika nilai tolerance di atas 0,1 dan nilai VIF di bawah 10, maka tidak terjadi masalah multikolinearitas, artinya model regresi tersebut baik. (Ghozali, 2011).
Tabel 4.14 Hasil Multikolinieritas Model
Unstandardize d Coefficients B
(Constant -,711 ) X1 ,100 1 X2 ,436 X3 ,062 a. Dependent Variable: Y
Coefficientsa Standardized Coefficients
Std. Error
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Toleranc e
1,672 ,063 ,073 ,093
T
,118 ,618 ,069
-,425
,672
1,586 5,990 ,670
,116 ,000 ,504
VIF
,992 1,008 ,516 1,937 ,519 1,927
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan tabel 4.14 hasil uji multikolonearitas di atas, hasil perhitungan nilai tolerance menujukkan tidak ada variabel bebas yang memiliki nilai tolerance diatas 0,1 (10%). Hasil perhitungan nilai VIF juga menunjukkan hal yang sama tidak ada satu variabel bebas yang memiliki nilai VIF kurang dari 10. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolonearitas antar variabel bebas dalam model regresi.
4.4.3 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka hal tersebut disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik
58
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
adalah tidak terjadi heteroskedastisitas. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedastisitas dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot. Jika ada pola tertentu, seperti titik – titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit) maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik – titik menyebar di atas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedatisitas (Ghozali, 2011). Gambar 4.3 Scatterplot Heteroskedastisitas
Tampilan gambar 4.3 memperlihatkan bahwa titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di atas maupun dibawah angka 0 pada sumbu Y. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas sehingga model regresi layak untuk digunakan. 4.4.4 Uji Autokolerasi Uji autokolerasi digunakan untuk menguji asumsi klasik regresi berkaitan dengan adanya autokolerasi yaitu Durbin Watson (DW), yaitu dengan membandingkan nilai DW statistik dengan DW tabel. Apabila nilai Dw statistik terletak pada daerah no autocoleration berarti telah memenuhi asumsi klasik regresi.
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Model
R
1
,687a
Tabel 4.15 Hasil Uji Autokolerasi Model Summaryb R Square Adjusted R Std. Error of Square the Estimate ,472
,456
1,945
DurbinWatson 1,955
a. Predictors: (Constant), X3, X1, X2 b. Dependent Variable: Y Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Tabel diatas menunjukan bahwa nilai Durbin Watson sebesar 1,955 akan dibandingkan dengan nilai tabel dengan menggunakan derajat kepercayaan 5%, jumlah sample 100 dan jumlah variabel
independen 3. Dari tabel 4.15 terlihat bahwa nilai DW lebih besar dari batas atas 1,736 (dU) dan kurang dari batas bawah 4-1,736 (4-dU), maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokolerasi positif atau negatif.
59
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
4.5 Uji Hipotesis 4.5.1 Analisis Regresi Berganda Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan diperoleh nilai-nilai sebagai berikut: Tabel 4.16 Uji Koefisien Persamaan Regresi Linier Berganda Coefficientsa Model Unstandardized Standardized t Sig. Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) -,711 1,672 -,425 ,672 X1 ,100 ,063 ,118 1,586 ,116 1 X2 ,436 ,073 ,618 5,990 ,000 X3 ,062 ,093 ,069 ,670 ,504 a. Dependent Variable: Y Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Berdasarkan output diatas bisa kita lihat hasil persamaan regresi linier berganda dalam sebuah model sebagai berikut: Y = α + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3+ e Keterangan: Y : Kepatuhan Wajib Pajak X1 : Kualitas Pelayan Fiskus X2 : Sanksi Perpajakan X3 : Sosialisasi Perpajakan β1,β2,β3 : Koefisien Regresi e : error Nilai-nilai pada output pun kemudian dimasukkan ke dalam model maka terbentuk menjadi model sebagai berikut:
3. Nilai koefisien regresi variabel pengetahuan dan pemahaman sanksi perpajakan, (β2) bernilai positif, yaitu 0,436 yang artinya pengetahuan dan pemahaman peraturan pajak sebesar 1 akan meningkatkan tingkat kepatuhan sebesar 0,436 dengan asumsi variabel lain nilainya tetap, 4. Nilai koefisien regresi variabel persepsi atas sosialisasi perpajakan (β3) bernilai positif, yaitu 0,062 yang artinya peningkatan persepsi atas efektifitas sistem perpajakan sebesar 1 akan meningkatkan tingkat kepatuhan sebesar 0,062 dengan asumsi variabel lain nilainya tetap.
Y = -0,711 + 0,100 X1 + 0.436 X2 + 0,062 X3+ e
Berdasarkan persamaan diatas, dapat disimpulkan bahwa : 1. Nilai konstansta (α) adalah -0,711, artinya jika kualitas pelayanan fiskus, sanksi perpajakan dan sosialisasi perpajakan 0, maka kepatuhan wajib makan menurun sebesar -0,711. 2. Nilai koefisien regresi variabel kualitas pelayanan fiskus (β1) bernilai positif, yaitu 0,100 yang artinya peningkatan kesadaran kepatuhan wajib pajak sebesar 1 akan meningkatkan tingkat kepatuhan sebesar 0,100 dengan asumsi variabel lain nilainya tetap,
4.5.2 Uji Koefisien Determinasi (R2) Nilai koefisien determinasi ditunjukkan dengan nilai adjusted R-Square dari model regresi yang digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kinerja manajerial dapat menerangkan variasi variabel-variabel bebasnya. Selain itu, pengujian ini bertujuan untuk menguji tingkat keeratan hubungan antara variabelvariabel independen terhadap variabel dependen. Hasil uji determinasi menghasilkan output sebagaimana dalam tabel sebagai berikut:
60
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
nilai adjusted R2 sebesar 0,456. Hal ini berarti bahwa 45,6% kepatuhan wajib pajak dapat dijelaskan oleh kualitas pelayanan fiskus, sanksi perpajakan, sosialisasi perpajakan. Sedangkan sisanya 54,4% (100% - 45,6%) dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar penelitian.
Tabel 4.17 Uji Koefisien Determinasi (R2) Model Summary Model R R Adjusted Std. Square R Square Error of the Estima te 1
,687
a
,472
,456
1,945
a. Predictors: (Constant), X3, X1, X2 Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
4.5.3 Uji Signifikasi Simultan (Uji F) Uji F bertujuan untuk menunjukkan apakah semua variabel bebas yang dimaksudkan dalam model mempunyai pengaruh atau hubungan secara simultan terhadap variabel dependen.
Tabel di atas menunjukkan bahwa koefisien determinasi yang menunjukkan
Model
Tabel 4.18 Uji F ANOVAa df
Sum of Squares 324,713 362,997 687,710
Regression 1 Residual Total a. Dependent Variable: Y b. Predictors: (Constant), X3, X1, X2
3 96 99
Mean Square 108,238 3,781
F 28,625
Sig. ,000b
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Dari uji ANOVA atau F test didapat nilai F hitung sebesar 28,625 dengan probabilitas 0,000. Karena probabilitas jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi kepatuhan wajib pajak atau dapat dikatakan
bahwa kualitas pelayanan fiskus, sanksi perpajakan, dan sosialisasi perpajakan secara bersama-sama berpengaruh atau mempunyai hubungan dengan kepatuhan wajib pajak.
61
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
4.5.4 Uji Signifikansi Parameter Individual (Uji Statistik t) Tabel 4.19 Uji Statistik t Coefficientsa Model Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Error Beta (Constant) -,711 1,672 X1 ,100 ,063 ,118 1 X2 ,436 ,073 ,618 X3 ,062 ,093 ,069 a. Dependent Variable: Y
T
-,425 1,586 5,990 ,670
Sig.
,672 ,116 ,000 ,504
Sumber: Output SPSS yang diolah, 2015
Dari tabel 4.19 diatas dapat disimpulkan:
1) Pengujian Koefesien Variabel Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan output diatas dapat dilihat bahwa nilai t hitung sebesar 1,586 yang nilai tersebut lebih kecil dari nilai t tabel yaitu 1,985. Kualitas Pelayanan Fiskus tidak signifikan, hal ini dapat dilihat bahwa nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu senilai 0,116. Maka dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis pertama ditolak.
2) Pengujian Koefesien Variabel Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan output diatas dapat dilihat bahwa nilai t hitung sebesar 5,990 yang nilai tersebut lebih besar dari nilai t tabel yaitu 1,985, menjelaskan tentang pengaruh positif antara sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu senilai 0,00, maka dapat disimpulkan hasil ini menunjukan hubungan antara sanksi perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak adalah positif dan signifikan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis kedua dapat diterima.
3) Pengujian
Koefesien Variabel Sosialisasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Berdasarkan output diatas dapat dilihat bahwa nilai t hitung sebesar 0,670 yang nilai tersebut lebih kecil dari nilai t tabel yaitu 1,985. Sosialisasi Perpajakan tidak signifikan, hal ini dapat dilihat bahwa nilai signifikansi lebih besar dari 0,05 yaitu senilai 0,504. Maka dapat disimpulkan bahwa sosialisasi perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis ketiga ditolak.
4.6 Pembahasan 4.6.1 Pengaruh Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dari pengujian hipotesis yang dilakukan sebelumnya, didapatkan hasil yaitu hipotesis pertama ditolak dimana kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Rahayu (2010:28) menyatakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan pemerintah sebagai wujud nyata kepedulian pada pentingnya kualitas pelayanan adalah memberikan pelayanan prima kepada wajib pajak dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Kualitas pelayanan fiskus memang penting dalam meningkakan kepatuhan wajib pajak. Namun jika melihat kembali arti dari pajak itu sendiri. Pajak adalah iuran
62
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Soemitro dalam Mardiasmo, 2011). Karena iuran pajak bersifat dapat dipaksakan, maka suka tidak suka mau tidak mau wajib pajak harus tetap membayar kewajiban perpajakankan, meskipun kualitas pelayanan yang diberikan fiskus kurang memuaskan atau memuaskan, sehingga dapat dinyatakan bahwa kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil Penelitian ini mendukung penelitian Winurengan (2013) dan Rahmadian (2013) yang hasilnya menunjukan bahwa kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. 4.6.2 Pengaruh Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dari pengujian hipotesis yang dilakukan sebelumnya, didapatkan hasil yaitu hipotesis kedua diterima dimana sanksi perpajakan memiliki hubungan yang positif dan signifikan dengan kepatuhan wajib pajak Menurut Jatmiko (2006) wajib pajak akan memenuhi pembayaran pajak bila memandang sanksi pajak akan lebih merugikannya, berdasarkan hal ini dan juga hasil penelitian dapat diartikan bahwa wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakan dikarenakan wajib pajak berpikir bahwa sanksi pajak sangat merugikannya. Apabila wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, maka hukuman berupa denda atau pidana akan dihadapi oleh wajib pajak. Hal ini tentu sangat merugikan bagi wajib pajak, sehingga wajib pajak akan takut untuk melanggar peraturan perpajakan yang berlaku dan akan cenderung patuh memenuhi kewajiban perpajakannya.
yang hasilnya menunjukan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. 4.6.3 Pengaruh Sosialisasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dari pengujian hipotesis yang dilakukan sebelumnya, didapatkan hasil yaitu hipotesis ketiga ditolak dimana sosialisasi perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Kegiatan Penyuluhan atau sosialisasi perpajakan secara intensif dapat meningkatkan pengetahuan wajib pajak melalui pendidikan formal maupun non formal akan berdampak positif terhadap pemahaman dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak sehingga jumlah wajib pajak akan meningkat, Rahayu (2010:141). Sosialisasi yang diberikan kantor pelayanan pajak memang dapat memberikan dampak yang positif terhadap pemahaman dan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak Namun jika melihat kembali arti dari pajak itu sendiri. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undangundang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. (Soemitro dalam Mardiasmo, 2011). Karena iuran pajak bersifat dapat dipaksakan, maka suka tidak suka mau tidak mau wajib pajak harus tetap membayar kewajiban perpajakankan, meskipun sering atau tidaknya sosialisasi yang diberikan kantor pelayanan pajak, sehingga dapat dinyatakan bahwa kualitas pelayanan fiskus tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Hasil Penelitian ini mendukung penelitian Winurengan (2013) dan Putri (2014) yang hasilnya menunjukan bahwa sosialisasi perpajakan tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.
Hasil Penelitian ini mendukung penelitian Arum (2012) dan Utama (2012),
63
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian serata pembahasan bab sebelumnya tentang Pengaruh Kulaitas Pelayanan Fiskus, Sanksi dan Sosialisasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Di Lingkungan KPP Pratama Cikarang Utara mempunyai beberapa kesimpulan sebagai berikut:
c. Memperbanyak referensi dengan topik penelitian yang sama. DAFTAR PUSTAKA , 2014. “Kepatuhan Pelaporan SPT Pajak 2013 Rendah”. http://finansial.bisnis.com/read/20 140310/10/209487/kepatuhanpelaporan-spt-pajak-2013-rendah. Diakes pada tanggal 15 Mei 2014. , 2014. “Data Pokok APBN 2013”. http://www.anggaran.depkeu.go.id /dja/acontent/Data Pokok APBN 2013.pdf. Diakes pada tanggal 15 Mei 2014.
1. Kualitas Pelayanan Fiskus tidak berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, sehingga baik atau buruknya kualitas pelayanan yang diberikan fiskus kepada wajib pajak tidak menjamin apakah wajib pajak akan patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 2. Sanksi Perpajakan berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat pemahaman wajib pajak tentang sanksi pajak maka tingkat kepatuhan pajak akan semakin tinggi. 3. Sosialisasi Perpajakan tidak berpengaruh terhadap Kepatuhan Wajib Pajak, sering atau tidaknya kantor pelayanan pajak melakukan sosialisasi perpajakan tidak menjamin wajib pajak akan melaksanakan kewajiban perpajakannya. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian, peneliti ingin memberikan saran bagi peneliti selanjutnya sebagai berikut: a. Diharapkan untuk melakukan penelitian dengan ruang lingkup yang lebih luas tidak terpaku pada satu wilayah. b. Pada penelitian-penelitian mendatang disarankan untuk melakukan pengujian terhadap model penelitian ini dengan menambahkan beberapa variabelvariabel lain yang mungkin berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak, misalnya pelaksanaan tindakan penagihan pajak. Diharapkan model penelitian selanjutnya akan menjadi lebih baik dari penelitian ini
, 2015. “Implementasi Pelayanan Perpajakan”. http://www.kpppmb.depkeu.go.id/ page4.html. Diakes pada tanggal 12 Januari 2015. , 2015. “Kaitan antara penyalahgunaan pajak dengan sifat negatif manusia” http://ekonomi.kompasiana.com/ moneter/2014/09/10/kaitanantara-kasus-penyalahgunaanpajak-dengan-sifat-negatif-manusia 673579.html. Diakes pada tanggal 25 Maret 2015. Arum, Harjanti Puspa. 2012. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Fiskus Dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha Dan Pekerjaan Bebas (Studi Di wilayah KPP Pratama Cilacap). Dharma, Gede Pani Esa dan Ketut Alit Suardana. 2014. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Sosialisasi Perpajakan, Kualitas Pelayanan Pada Kepatuhan Wajib Pajak. Fuadi,
Arabella Oentari dan Yeni Mangonting. 2013. Pengaruh Kualitas Pelayanan Petugas Pajak, Sanksi Perpajakan dan Biaya Kepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib
64
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Pajak UMKM. Tax & Accounting Review, Vol 1, No.1. Ghozali, Imam. 2011. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gunadi, 2007. Akuntansi Pajak, Edisi Ketiga, Cetakan Pertama, PT. Gramedia Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton. 2010. Hukum Pajak. 5 ed. Salemba Empat, Jakarta Jatmiko, Agus Nugroho. 2006. Pengaruh Sikap Wajib Pajak pada Pelaksanaan Sanksi Denda, Pelayanan Fiskus, dan Kesadaran Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Tesis. Semarang: Program Studi Magister Akuntansi Universitas Diponegoro. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP114/PJ/2003 tentang Pembentukan Tim Sosialisasi Perpajakan. (1 Juli 2005). Kuncoro, M. 2009. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi Bagaimana Menulis dan Meneliti?. Edisi 3. Erlangga: Jakarta. Mardiasmo. 2011. Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta: Andi. Muliari, N.K. dan P.E. Setiawan. 2010. “Pengaruh Persepsi tentang Sanksi Perpajakan dan Kesadaran Wajib Pajak pada Kepatuhan Pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur”. Jurnal Akuntansi dan Bisnis : Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Nugroho, Yohanes Anton. 2011. It’s Easy Olah Data dengan SPSS. Yogyakarta: Skripta media creative. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Pradanata, I Gede Putu. 2014. Pengaruh Pemahaman Wajib Pajak, Kualitas Pelayanan Perpajakan, dan Pelaksanaan Sanksi Pajak, Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Pada KPP Pratama Batu. Universitas Brawijaya. Priyanto, Duwi. 2009. SPSS : Paham Analisis Statistik Data dengan SPSS. Yogyakarta: Mediakom. Putra, Risky Riyanda Rama, Siti Ragil Handayani, Topowijono 2014. Pengarh Sanksi Administrasi, Sosialisasi Perpajakan, dan Kesadaran Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Singosari, Kabupaten Malang). Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya. Putri,
Dwi Purnama. 2014. pengaruh sosialisasi perpajakan dan helpdesk terhadap kepatuhan wajib pajak (Studi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Cianjur). Universitas Telkom.
Rahayu, Siti Kurnia. 2010. Perpajakan Indonesia Konsep & Aspek Formal. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahmadian Rika, Murtedjo. 2013. Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak, Pelayanan Fiskus Dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Di KPP Prtama Jakarta Kembangan. Universitas Bina Nusantara. Rohmawati, Lusia, Prasetyono, dan Yuni Rimawati. 2013. Pengaruh Sosialisasi dan Pengetahuan Perpajakan Terhadap Kesadaran dan Kepatuhan Wajib Pajak (Studi pada Wajib Pajak Orang Pribadi yang Melakukan Kegiatan Usaha dan Perkerjaan Bebas pada KPP Pratama Gresik Utara). Universitas Trunojoyo Madura Santi,
Anisa Nurmala. 2012. Analisis Pengaruh Kesadaran Perpajakan, Sikap Rasional, Lingkungan, Sanksi
65
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Denda dan Sikap Fiskus Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Universitas Diponegoro.
Undang-Undang Republik Indonesia, Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Santoso, Wahyu. 2008. Analisis Rasio Ketidakpatuhan Wajib Pajak Sebagai Dasar Peningkatan Kepatuhan Wajib Pajak (Penelitian Terhadap Wajib Pajak Badan di Indonesia.
Utama, I Wayan Mustika. 2012. Pengaruh Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan dan Biaya Kepatuhan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Sekaran, Uma. 2006 Metode Penelitian Bisnis, Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat
Widiastuti, Diana, Endang Siti Asututi, dan Heru Susilo, 2014. Pengaruh Sosialisasi, Motivasi dan Pemahaman Wajib Pajak (Studi Kasus Pada Pengusaha Kena Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Utara). Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya.
Simanjuntak Hamonangan Timbul, dan Mukhlis Imam. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan dan Pembangunan Ekonomi, Raih Asa Sukses, Jakarta. Sugiyono. 2010.Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta. Surat Edaran Dirjen Pajak - SE-22/PJ./2007 tentang Penyeragaman Sosialisasi Perpajakan Bagi Masyarakat. (7 Mei 2007) Suryadi. 2006. Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kapatuhan Wajib Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak: Suatu Survei di Wilayah Jawa Timur. jurnal Keuangan Publik Vol.4 No.1 Sulistianinggrum, 2009. Kualitas Pelayanan Administrasi dan Sosialisasi Perpajakan terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus pada KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jakarta.
Widodo, Widi, Djefris, Deddy dan Wardhani, Eka Aryani (2010). Moralitas, Budaya, dan Kepatuhan Pajak. Bandung : Alfabeta. Winerungan, Oktaviane Lidya. 2013. Pengaruh Sosialisasi Perpajkan, Pelayanan Fiskus dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan WPOP di KPP Manado dan KPP Bitung. Universitas Sam Ratulangi Manado.
Yogatama, Arya. 2014. Analisis FaktorFaktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi (Studi di Wilayah KPP Pratama Semarang Candisari). Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro.
66
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
EKSISTENSI KEDAULATAN NEGARA DI ERA GLOBALISASI Nabil Ahmad Fauzi Program Studi Ilmu Administrasi Publik/Negara Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
[email protected] Abstrak Negara dan kedaulatan adalah dua entitas integral yang tak terpisahkan dalam struktur politik global kontemporer. Kedaulatan menjadi konsep dan praktik vital yang memberikan kekuasaan otoritatif bagi negara untuk mengatur, mengontrol dan menguasai rakyat beserta seluruh sumber daya yang ada di dalam teritori tertentu. Seiring dengan perkembangannya, kedaulatan negara menghadapi tantangan dan ancaman yang serius. Terdapat dua ancaman utama terhadap kedaulatan Negara, yakni arus deras Globalisasi dan dorongan Regionalisme yang semakin menguat. Globalisasi membuat negara kehilangan kemampuannya dalam mengontrol penuh kekuasaannya. Sementara Regionalisme memaksa negara untuk membagi kedaulatannya kepada institusi diluarnya. Tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan dampak dari tantangan dan ancaman utama tersebut pada eksistensi kedaulatan negara hari ini. Kata Kunci : Negara, Kedaulatan, Globalisasi, Regionalisme
PENDAHULUAN Peradaban modern memposisikan negara sebagai elemen penting dalam struktur politik global. Konsep negara berkaitan erat dengan konsep kedaulatan (sovereignty) yang memberikan hak penguasaan penuh institusi negara (melalui pemerintahan) terhadap rakyat dan teritori di dalamnya. Kedaulatan inilah yang menjadikan negara berbeda dibandingkan organisasi lainnya. Seiring dengan perkembangan kontemporer, konsep dan praktik kedaulatan mulai menghadapi dalam ancaman serius. Arus globalisasi dan berkembangnya kerjasama negara-negara di kawasan yang mengarah kepada regionalisme menjadi dua faktor yang secara signifikan mempengaruhi konstelasi politik global. Sebagai sebuah konsep dan praktik, globalisasi maupun regionalisme memberi tantangan besar terhadap daya survival negara serta kedaulatan yang menjadi bagian inherennya. Perkembangan globalisasi, yang dimaknai sebagai kemajuan teknologi dan informasi, peranan aktor-aktor non-negara (non-state actor), konsep saling
ketergantungan (interdependence), Hak Asasi Manusia (HAM) dan isu-isu lingkungan, inilah yang membawa ancaman serius bagi konsep dan praktik kedaulatan negara. Sementara regionalismee mengancam kedaulatan negara dari aspek penyerahan sebagian kedaulatan negara kepada suatu organisasi kerjasama multilateral, sebagaimana yang dipraktikan oleh Uni Eropa hingga saat ini. Berdasarkan pada pemaparan awal tersebut, muncul berbagai pertanyaan mengenai kedaulatan ini, seperti; apakah kedaulatan negara mampu bertahan dari berbagai ancaman tersebut? Jika bertahan, sejauhmana ancaman-ancaman tersebut memberi dampak pada perubahan konsep dan praktik kedaulatan di era kontemporer? Atau mungkinkah berbagai ancaman tersebut mampu menghapus konsep kedaulatan? KONSEP KEDAULATAN NEGARA Untuk menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut, maka sangat diperlukan pembahasan mengenai konsep kedaulatan itu sendiri. Jean Bodin dalam 67
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
karyanya Six Books of the Commonwealth (1576) dan Thomas Hobbes dalam buku Leviathan (1651) merupakan tokoh yang pertama kali mengelaborasikan konsep kedaulatan ini pada abad ke-16 dan 17 di Eropa. Karenanya kedaulatan ini merupakan konsep yang cukup tua. Konsep Bodin dan Hobbes memfokuskan pada eksistensi legitimasi hirarki tunggal dalam otoritas domestik. Meskipun keduanya menerima eksistensi ketuhanan dan hukum alam, mereka juga (khususnya Hobbes) mempercayai bahwa kata tertinggi atau berkuasa (sovereign) adalah hukum. Tunduk artinya tidak berhak untuk memberontak. Baik Bodin maupun Hobbes menyadari bahwa; “imbuing the sovereign with such overweening power invited tyranny, but they were predominately concerned with maintaining domestic order, without which they believed there could be justice” (Stephen Krasner dalam Karen Mingst dan Jack Snyder, 2004: 143-144). Kedua filsuf tersebut menyadari bahwa memberi penguasa kekuasaan yang berlebihan akan mengundang tirani, tetapi hal tersebut dibutuhkan untuk menjaga ketertiban domestik yang ditopang oleh keadilan hukum. Karena itu, konsep keduanya bersumber pada prinsip kuasa absolut yang tidak dapat dibagi-bagi, tetapi tetap berasaskan hukum. Dalam perkembangannya, konsep awal kedaulatan ini berkembang melalui arus pembagian kekuasaan politik (political authority). Sehingga mulai muncul gugatan terhadap klaim kekuasaan dan sumber legitimasi para raja di masa. Karena itu, pada akhir abad ke-17, otoritas politik di Inggris telah dipisahkan antara raja dan parlemen. Sedangkan para pendiri Amerika Serikat menerapkan konsep trias politika berupa pembagian kuasa eksekutif, legislatif dan yudikatif dengan sistem check and balance yang juga mengatur pembagian kedaulatan antara kepentingan lokal dan nasional (Krasner, 2004: 144). Sedangkan dalam konsep yang lebih jelas mengenai negara modern yang juga
memunculkan konsep kedaulatan negara bermula dari perjanjian Peace of Westphalia tahun 1648 sebagai hasil dari perang Tiga Puluh Tahun melawan hegemoni kekuasaan Paus dan Kerajaan Tahta Suci Katolik di Roma. Perjanjian Westphalia ini, yang terdiri dari dua perjanjian, yakni Munster dan Osnabruck, melahirkan sistem Westphalian berupa konsep negara modern yang bersifat autonomous (otonom). Melalui perjanjian ini, kekuasaan Paus dan Tahta Suci Katolik di Roma kehilangan legitimasi internasionalnya sekaligus menjadikan praktik hubungan internasional berbasis prinsip otonomi kekuasaan dan teritori. Salah satu pencapaian terpenting dari Westphalia ini adalah konsep otoritas atau kekuasaan dari setiap wilayah kerajaan untuk mengatur urusan hubungan agama secara domestik, sehingga melahirkan konsep toleransi antar agama (Krasner, 2004: 143-144). Sistem Westphalian ini melahirkan beberapa konsep yang menjadi asas dari tata kelola politik internasional dewasa ini yang dikenali sebagai The Westphalian Constitution (Anthony McGrew dalam John Baylis, Steve Smith dan Patricia Owens, 2008: 23), yakni: “1) Territoriality, humankind is organized principally into exclusive territorial (political) communities with fixed borders. 2) Sovereignty, within its borders the state or government has an entitlement to supreme, unqualified, and exclusive political dan legal authority. 3) Autonomy, the principle of self determination or self governance constructs countries as autonomous containers of political, social, and economic activity in that fixed borders separate the domestic sphere from the world outside.” Karena itu, sistem Westphalian tersebut bertumpu pada 3 elemen utama, yakni pertama, wilayah di mana manusia yang berada dalam teritori tertentu diatur oleh negara yang berdaulatatas wilayah tersebut. Kedua, kedaulatan negara yang bersifat otoritas tertinggi, tanpa terkecuali 68
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
dan eksklusif berlaku di dalam teritorinya. Ketiga, otonomi yang berarti Negara berhak mengatuur dan mengurus pemerintahannya sendiri dalam berbagai aktivitas, seperti politik, sosial, dan ekonomi selama di dalam batas kedaulatanya. Ketiga elemen tersebutlah yang membentuk konstruksi sistem politik global kontemporer.
sebagai negara berdaulat, seperti Taiwan, Palestina, Abkhazia dan Ossetia Selatan. Sementara itu, kasus Somalia menjadi unik karena tetap diakui sebagai negara berdaulat meskipun wilayahnya sudah terpecah belah, dikategorikan sebagai negara gagal (failed state) serta tidak lagi mempunyai pemerintahan pusat yang berkuasa penuh.
Begitu juga dalam pandangan Krasner (2004: 144) yang menyatakan kedaulatan negara berkaitan dengan ide bahwa suatu negara adalah otonom dan independen dari negara yang lainnya. Dalam wilayah perbatasannya sendiri, para anggota dari negara tersebut bebas untuk memilih dan menentukan bentuk dari pemerintahan mereka sendiri. Adapun prinsip terpentingnya adalah non-intervention (nonintervensi) yakni suatu negara tidak berhak untuk mengintervensi urusan domestik negara lain.
Sebagai perbandingan dalam memposisikan konsep kedaulatan ini, perlu melihat bagaimana pendekatan-pendekatan utama dalam politik internasional, yakni Realisme, dan Liberalisme memandang kedaulatan. Pertama, Realisme memposisikan Negara berdaulat sebagai aktor utama di dalam sistem politik global. Kedaulatan berarti “…there is no actor above the state that can compel it to act in specific ways. Other actors, such as multinational corporations or international organizations, all have to work within the framework of inter-state relations” (Steve Smith dalam Baylis, Smith dan Owens, 2008: 5). Karena itu, Realisme berpandangan bahwa sebagai aktor utama, maka negaralah yang mengendalikan globalisasi, bukan sebaliknya.
Selain itu, kedaulatan juga biasanya disamakan dengan otoritas atau kompetensi dan kapasitas, bukan dianggap sebagai ide untuk legitimasi kekuasaan negara (F. H. Hinsley, 1986: 1). Karena itu, kedaulatan merupakan otoritas final dan elemen yang absolut dari sebuah negara, sehingga memiliki posisi yang sangat vital. Bahkan disebutkan bahwa bahwa “sovereignty meant that only sovereigns had legal standing ini international agreements. States were the main unit of the international system” (Maryann Cusimano Love, 2003: 13). Karena itu, negara berdaulat menjadi aktor utama dalam sistem politik internasional. Secara umum, terdapat empat karakteristik utama dari kedaulatan negara yakni, 1) teritori (wilayah), 2) populasi (rakyat), 3) pemerintahan yang mengontrol secara penuh, dan 4) pengakuan internasional. Dari keempat karakteristik tersebut, hanya pengakuan internasional lah yang tidak dapat di tawar-tawar untuk bisa diakui sebagai Negara berdaulat (Cusimano Love, 2003: 3). Banyak contoh entitas yang sudah berwujud negara, namun tidak mendapatkan pengakuan internasional
Kedua, Liberalisme memposisikan negara bukan sebagai actor utama yang terpenting dalam sistem politik global, akan tetapi terdapat aktor-aktor lain seperti multinational corporations, transnational actors dan international organizations yang turut menjadi actor penting. Pendekatan ini berpendapat bahwa ”states may be legally sovereign, but in practice they have to negotiate with all shorts of other actor, with the result that their freedom to act as they might wish is seriously curtailed. Interdependence between states is a critically important feature of world politics” (Smith, 2008: 5). Liberalisme melihat bahwa dalam situasi global kontemporer, negara tidak dapat mengatur sistem internasional secara eksklusif. Karenanya, negara harus berbagi peran dengan actor-aktor selain Negara.
69
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
KEDAULATAN KONTEMPORER Selepas Perang Dunia II tahun 1945 dan Perang Dingin tahun 1990, muncul berbagai tantangan terhadap konsep kedaulatan yang datang dari perubahan dan fenomena hubungan internasional yang semakin kompleks. Politik global ditandai dengan semakin beragamnya aktor dan faktor yang mampu mengikis dominasi peran negara. Dalam tulisan ini, penulis akan membahas dua faktor yang secara dominan mempengaruhi konsep dan praktik kedaulatan negara kontemporer, yakni Globalisasi dan Regionalisme. 1. Globalisasi Sejak era Perang Dingin dan selepasnya, Globalisasi menjadi fenomena besar dalam politik global yang semakin berkembang pesat sampai hari ini. Globalisasi dimaknai sebagai “…made up of the accumulation of links across many domains of activity” (David Held and Anthony McGrew dalam Mingst dan Snyder, 2004: 462). Secara sederhana, Globalisasi dapat didefinisikan sebagai “the widening, deepening and speeding up of worldwide interconnectedness” (John Baylis, 2008: 16). Konktivitas dunia akibat globalisasi menjadi semakin meluas, mendalam dan cepat. Namun demikian, Globalisasi bukanlah sebuah proses tunggal, tetapi melibatkan empat tipe perubahan (Held dan McGrew, 2004: 462), yakni; ”1) it stretches social, political and economic activities across political frontiers, regions and continents, 2) it intensifies our dependence on each other as flows of trade, investment, finance, migration, and culture increase, 3) it speeds up the world. New systems of transport and communication mean that ideas, good, information, capital, and people move more quickly, 4) it means that distant events have a deeper impact on our lives. Even the most local developments may come to have enormous global consequences. The boundaries betweeendomestic
matters and global affairs can become increasingly blurred.” Globalisasi membuat kegiatan sosial, politik dan ekonomi membentang melintasi batas politik, daerah dan benua. Selain itu, turut mengintensifkan ketergantungan kita satu sama lain dalam bidang perdagangan, investasi, keuangan, migrasi, dan peningkatan budaya. Dunia juga semakin cepat akibat Globalisasi. Wujudnya sistem baru transportasi dan komunikasi membawa penyebaran ide-ide, baik, informasi, modal, dan orang-orang bergerak lebih cepat. Akibatnya, dampak suatu peristiwa yang jauh akan memiliki dampak yang lebih dalam pada kehidupan kita. Globalisasi membuat batas-batas antara yang lokal dan global menjadi bias. Globalisasi mendorong dunia yang semakin saling ketergantungan. Dalam 200 tahun terakhir, teknologi berubah yang kemudian menumbuhkembangkan pergerakan manusia, barang-barang, modal dan ide-ide (Krasner, 2004: 145). Hal ini menjadikan batas-batas negara menjadi semakin bias. Salah satu dampak besar dari globalisasi ini adalah kemampuan negara untuk mengontrol international capital movement, international trade dan monetary policy (Krasner, 2004: 146). Sebabnya adalah karena ketiga elemen tersebut telah menjadi domain yang sebagian besarnya sudah dikendalikan oleh rezim atau insitusi internasional seperti World Bank, IMF (International Monetary Fund) dan WTO (World Trade Organizations). Menurut Krasner (2004: 146), “monetary policy is an area where state control expanded and then ultimately contracted.” Negara kini semakin kesulitan untuk mengontrol kebijakan moneternya. Hal ini sangat berbeda dengan kondisi sebelum abad ke-20 sampai dengan pertengahan abad ke-20, di mana negara masih mampu untuk membuat kebijakan moneter yang independen. Oleh karena itu, problem ini turut menyebabkan lahirnya krisis status kewarganegaraan pada saat ini. Semakin banyak orang yang memiliki 70
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
kewarganegaraan ganda karena menilai hal tersbeut hanya sebagai status yang tidak terlalu penting, sehingga dampaknya dapat mempengaruhi loyalitas terhadap negara, termasuk juga dalam bidang moneter dan modal (Krasner, 2004: 146). Meski menghadapi ancaman serius dari Globalisasi, tidaklah serta merta menjadi sinyal akan segera berakhirnya konsep dan praktik kedaulatan negara. Globalisasi memang telah mengganggu hubungan antara teritori nasional, kedaulatan, otoritas politik, dan komunitas politik demokratis (Held dan McGrew, 2004: 470). Globalisasi juga mampu memaksa negara untuk merubah cakupan kontrolnya yang tidak lagi absolut, di mana terdapat bagian-bagian yang tidak lagi terjangkau oleh control dan otoritas negara, terhadap kebijakan moneter, keuangan dan perdagangan bebas internasional. Bahkan melalui kemajuan teknologi dan informasi yang juga semakin susah dikendalikan, Negara telah kehilangan kontrol absolutnya terhadap informasi yang masuk ke dalam wilayah kedaulatannya. Meskipun berada dalam ancaman, Krasner (2004: 145) berpendapat bahwa ancaman serius terhadap kedaulatan negara ini tidaklah berarti bahwa struktur konstitusional negara ikut lenyap. Sampai saat ini, kedaulatan adalah satu-satunya otoritas politik yang dapat terlibat dalam berbagai perjanjian internasional serta tetap bebas untuk melakukan berbagai kontrak atupun perjanjian-perjanjian antar negara tanpa paksaan. Oleh karena itu, walaupun peran aktor non-negara dalam politik internasional semakin meningkat, negara berdaulat masih menjadi jangkar bagi struktur hubungan bangsa secara umum. 2. Regionalisme Kerjasama antar negara yang berada di dalam suatu kawasan untuk mencapai tujuan bersama adalah salah satu faktor pendorong munculnya Regionalisme. Dalam makna lainnya, Regionalisme ini membuat negara-negara dalam kawasan tersebut
untuk mendistribusikan sebagian kekuasaannya di antara mereka untuk mencapai tujuan bersama. Perihal distribusi sebagian kekuasaan inilah yang menyebabkan adanya pro dan kontra, yakni antara tuntutan kedaulatan yang harus dipertahankan dan tuntutan untuk menciptakan tindakan bersama. Terlepas dari itu, Regionalisme telah menjadi fenomena politik internasional kontemporer yang tak bisa dielakkan, di mana Barry Buzan (1991: 80) mengklasifikasikan Regionalisme sebagai jembatan untuk menganalisa hubungan antara negara dengan sistem internasional. Sebagai sebuah ancaman terhadap konsep kedaulatan negara, maka contoh terbaiknya adalah Uni Eropa (European Union). Konsep Regionalisme Uni Eropa ini berbentuk supranational governance di mana negara-negara anggotanya ini membentuk supranational institution dengan cara menyerahkan sebagian dari kekuasaan dan kedaulatan negaranya di bidang moneter, politik, pemerintahan, keamanan dan hukum dalam mekanisme yang disepakati bersama (Krasner, 2004: 148). Eropa merupakan satu kawasan yang memiliki karakteristik keberagaman yang besar dalam bahasa, budaya, tradisi negara dan bangsa (John Loughlin dalam Ekavi Athanassopoulau, 2008: 187). Bentuk integrasi Uni Eropa dinamakan sebagai integrasi mendalam (deep integration) yang bertujuan untuk mencapai kesatuan ekonomi dan fiskal secara menyeluruh. Pembentukan Uni Eropa berawal dari Schuman Plan tahun 1950 yang mengatur pasar bersama batu bara dan besi baja di bawah suatu badan independen di Eropa. Berlanjut dengan pembentukan ECSC (European Coal and Steel Community) yang beranggotakan Jerman, Italia, Belgia, Belanda dan Luksemburg. Lalu, ECSC ini kemudian membentuk EURATOM (European Atomic Energy Community) pada 25 Maret 1957 melalui Traktat EURATOM dan Traktat Roma. EURATOM inilah yang menjadi dasar 71
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
bagi pembentukan EEC (European Economic Community) yang dibentuk pada 1 Januari 1958. EEC bertujuan untuk membangun pasar bersama yang dicapai melalui penghapusan tarif bea masuk dalam perdagangan antar keenam negara anggota tersebut (A. A. B. Perwita dan Yanyan M. Yani, 2005: 111-112). Pada tanggal 1 Juli 1967, dibentuklah European Community (EC) yang menyatukan ECSC, EURATOM dan EEC. Sejak itu, Inggris, Irlandia, Denmark, Yuanani, Spanyol dan Portugal mulai bergabung menjadi anggota EC. Dengan semakin luasnya keanggotaan EC ini, maka melalui Traktat Maastricht yang ditandatangani pada tanggal 7 Februari 1992, secara resmi diberlakukan Pasar Tunggal Eropa mulai tanggal 1 Januari 1993 dengan nama baru Uni Eropa (Perwita dan Yani, 2005: 111-112). Hingga kini jumlah negara anggota Uni Eropa menjadi 27 negara. Salah satu pencapaian fenomenal dari Uni Eropa adalah adalah penggunaan European Monetary Union melalui penerapan mata uang tunggal, yakni Euro (Loukas Tsoukalis dalam Ekavi Athanassopoulau, 2008: 231). Menurut Perwita dan Yani (2005: 112), untuk melihat bahwa Regionalisme versi Uni Eropa ini mengancam konsep kedaulatan, dapat dipahami dari 3 pilar pendiriannya. 1) Pilar Ekonomi, pasar tunggal Eropa menuju Kesatuan Ekonomi dan Moneter (Economic and Monetary Union). 2) Pilar Politik, berdasarkan kebijakan luar negeri dan keamanan bersama (Common Foreign and Security Policy). 3) Pilar Sosial-Hukum, berkaitan dengan peradilan dan masalah domestik (Justice and home affairs). Berdasarkan ketiga pilar tersebut, maka negara anggota Uni Eropa terkesan menyerahkan sebagian besar kekuasaan dan kedaulatannya ke dalam badan-badan di dalam instutusi bersama tersebut. Pertama, dalam pilar ekonomi terdapat Europen Central Bank (ECB) yang juga mengatur kebijakan moneter melalui mata uang bersama Euro. Selain itu ada juga European
Investation Bank serta lembaga lainnya. Kedua, dalam pilar politik terdapat European Union Council yang beranggotakan kepala pemerintahan dan kepala negara, European Parliament dengan kekuasaaan sama seperti parlemen nasional. Lalu sebagai badan eksekutif, dibentuk European Comission (EC) yang menjalankan sistem kelembagaan Uni Eropa melalui kepemimpinan President dan General Secretary, yang merumuskan kebijakan internasional. Ketiga, pilar sosial dan hukum melahirkan European Court of Justice, Ombudsman Eropa serta European Economic and Social Committee (EECS) (Perwita dan Yani, 2005: 112). Walaupun memiliki institusi-institusi yang mengelola sebagian dari kedaulatan negara anggotanya, Uni Eropa tetaplah produk dari kedaulatan negara karena organisasi tersebut dibentuk berdasarkan kerelaan dan kesepakatan di antara negara berdaulat yang menjadi anggotanya. Fenomena Uni Eropa ini juga menampilkan kontradiksi yang mendasar dalam pengertian kedaulatan konvensional disebabkan mereka memiliki kesepakatan-kesepakatan bersama yang juga membawahi otonomi peradilan dan sistem hukum dari masing-masing anggotanya (Krasner, 2004: 148). Padahal, konsep kedaulatan konvensional memposisikan kedaulatan sebagai otoritas final dengan sifatnya yang tidak boleh dibagi-bagi. Dalam memahami Uni Eropa dan konteks kedaulatannya harus diakui bahwa sebagian dari kedaulatan itu telah diserahkan kepada institusi bersama. Tetapi, pada hakikatnya Uni Eropa tidak akan berjalan efektif tanpa negara-negara anggotanya, karena merekalah yang merupakan actor utamanya. Berdasarkan konteks ini, Uni Eropa tidak akan mungkin menghapuskan kedaulatan anggotanya. Uni Eropa memang unik dan menjadi ancaman serius bagi kedaulatan, utamanya karena menjadi role model bagi arus Regionalisme internasional kontemporer. Namun, apakah konsep Uni Eropa ini 72
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
kompatibel untuk diaplikasikan di kawasan lainnya? Menurut Krasner (2004: 148), “the European Union, however, is not a model that others parts of the world can imitate.” Sebabnya, Uni Eropa merupakan sebuah rangkaian panjang yang sangat kompleks karena berkaitan dengan faktor-faktor peradaban Greeco-Roman, budaya, ekonomi, politik, agama, sejarah, dan geografi. Karena itulah Regionalisme model Uni Eropa belum tentu sukses diterapkan di kawasan lainnya. PENUTUP Sebagai bentuk upaya bertahan (survival) dan beradaptasi, maka terdapat upaya untuk mendefinisian ulang (redefinition) konsep kedaulatan ini. Salah satunya upaya tersbeut berasal dari Abram dan Antonio Chayes yang menyatakan di dalam The New Sovereignty, bahwa sebenarnya kedaulatan kontemporer adalah “status-the vindication of the state’s existence in the international system”. Kedaulatan diposisikan sebagai sebuah status pembenaran bagi eksistensi negara di dalam sistem internasional kontemporer. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa di dalam politik internasional kontemporer, kedaulatan telah didefinisikan ulang sebagai; ”membership…in the regimes that make up the substance of international life” (AnneMarie Slaughter dalam Mingst dan Snyder, 2004: 156). Konteksnya adalah menempatkan kedaulatan dalam pola relasi dengan sistem internasional, sehingga peranannya adalah sebagai pertahanan negara dalam hubungan internasional. M.J. Peterson dalam karyanya Transnational Activity, International Society, and World Politics (1992) berpendapat bahwa melalui Globalisasi, negara telah kehilangan kontrol penuhnya atas ruang publik (Margaret E. Keck dan Kathryn Sikkink dalam Mingst dan Snyder, 2004: 156). Melalui pandangan ini maka negara tidak lagi dipandang sebagai sebagai sebuah entitas tunggal, karena semakin
meningkatnaya peran dan keterlibatan aktor non-negara dan institusi internasional. Meski semakin terancam, Realisme tetap menempatkan negara dengan kedaulatannya sebagai aktor utama politik global. Dalam pandangan Realisme, hubungan antaranegara kontemporer tetaplah berada dalam situasi anarki di mana tidak ada jaminan bahwa institusi internasional yang ada (seperti PBB atau Uni Eropa) mampu melindungi kepentingan nasional negara serta dapat terbebas dari pelanggaran kedaulatan dari negara atau institusi lainnya. Selain faktor tersebut, juga terdapat faktor-faktor lain yang membuktikan eksistensi kedaulatan sebagai jangkar politik global. Krasner (2004: 143) berpendapat, salah satu bukti mengenai eksistensi kedaulatan ini adalah masalah konflik perbatasan yang merupakan bagian dari prinsip kedaulatan teritori. Contohnya adalah konflik Israel-Palestina dan IndiaPakistan mengenai Kashmir serta konflik perbatasan Ethiopia-Eritrea. Sedangkan contoh lainnya yang semakin meningkat kontelasinya adalah konflik akibat sengketa klaim kepemilikan wilayah kepulauan Spratly dan Paracel di Laut Tiongkok Selatan yang melibatkan Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Kesemua contoh tersebut menjadi bukti eksistensi kedaulatan negara. Memposisikan perdebatan terkait eksistensi konsep dan praktik kedaulatan kontemporer terdapat dalam tiga kasifikasi. Pertama, kedaulatan telah hilang. Kedua, kedaulatan tetaplah eksis tanpa adanya perubahan. Ketiga, kedaulatan tetap eksis, namun terdapat beberapa perubahan penting. Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini, penulis memposisikan bahwa kedaulatan itu tetaplah eksis, meskipun mengalami proses perubahan dan adaptasi yang penting sebagai upaya keras untuk bertahan dalam menghadapai berbagai tantangan dan ancaman yang muncul.
73
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Proses perubahan dan adaptasi pemaknaan terhadap kedaulatan ini merupakan bagian dari perubahan The Westphalian System menjadi apa yang disebut sebagai The Post-Westphalian Order (McGrew, 2008: 24), yakni: “1) Territoriality, borders and territory still remain important, not least for administrative purpose. Under conditions of globalization, however, a new geography of political organization and political power is emerging which transcends territories and borders. 2) State sovereignty, the sovereign power and authority of national governmentthe entitlement of states to rule within their own territorial space-is being transformed but not necessarily eroded. Sovereignty today is increasingly understood as the shared exercise of public power and authority between national, regional and global authorities. 3) State Autonomy, in more interdependent world, simply to achieve domestic objectives national governments are forced to engage in extensive multilateral collaboration and co-operation…” Karena itu, sistem Post-Westphalian menekankan perubahan pada konsep teritorial, di mana kedualatan terhadap wilayah dan perbatasan masih tetap penting. Meskipun akibat pengaruh globalisasi, batasbatas tersebut mampu dilampaui oleh pengaruh organisasi atau insititusi internasional. Konsep dan praktik kedaulatan Negara kini dipahami sebagai suatu proses latihan bersama mengelola kekuasaan dan otoritas publik di antara otoritas nasional, regional dan global. Sementara konsep otonomi negara di tengah situasi yang saling bergantung menjadi tetap relevan untuk terlibat dalam kerjasama multilateral. Pada akhirnya, penulis setuju pada pendapat Krasner (2004: 143) yang menyatakan bahwa pihak yang berpendapat kedaulatan sudah hilang adalah sebuah kesalahan besar dalam membaca sejarah. Betul bahwa ide-ide mengenai negara yang
otonom dan independen secara absolut absolut telah runtuh di bawah serangan gencar dari kebijakan moneter tunggal, CNN, internet, dan Institusi Non-Negara. Namun, negara beserta kedaulatannya tetap bertahan dan sejauh ini mampu beradaptasi terhadap berbagai ancaman serius. DAFTAR PUSTAKA Athanassopoulau, Ekavi, ed. 2008. United in Diversity ?: European Integration and Political Cultures. London: I.B. Tauris & Co.Ltd. Baylis, John, Steve Smith and Patricia Owens, eds. 2008. The Globalization of World Politics: An Introduction to th International Relations, 4 edition. Oxford: Oxford University Press. Buzan, Barry. 1991. People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post- Cold War Era. Hempstead: Harvester Wheatsheaf. Cusimano Love, Maryann, ed. 2003. Beyond Sovereignty: Issues for a Global Agenda, 2nd edition. Belmont: Thomson Learning. Ferguson, Yale H., and Richard W. Mansbach, “The Myths of State Sovereignty”, dari Error! Hyperlink reference not valid. Krasner, Stephen. 2001. “Think Again: Sovereignty.” Foreign Policy 121 (January/ February): 20-29. Mingst, Karen A., and Jack L. Snyder, eds. 2004. Essential Readings in World Politics, 2nd edition. New York: W.W. Norton & Company. Perwita, A.A.B., dan Yanyan M. Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.
74
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
PELAKSANAAN RETRIBUSI PENGELOLAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) KARANGANTU SEBAGAI FUNGSI DISTRIBUSI DALAM KEUANGAN PUBLIK DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA (PPN) KOTA SERANG Ipah Ema Jumiati Prodi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected] ABSTRAK Fungsi dan tujuan kebijaksanaan anggaran belanja pemerintah dibedakan atas 3 jenis, yaitu Allocation Branch, Distribution Branch, dan Stabilization Branch. Yang menjadi fokus penulis adalah bagaimana pelaksanaan retribusi pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangantu Sebagai fungsi distribusi dalam keuangan publik di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kota Serang. Latar belakang masalah dalam artikel ini yaitu pendapatan Retribusi pemungutan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangantu belum maksimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fungsi distribusi dalam fungsi ekonomi pemerintah adalah sangat terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah yang bersangkutan dan terdistribusi secara proporsional. Dengan pengertian bahwa daerah yang satu dimungkinkan tidak sama tingkat kesejahteraannya dengan daerah yang lainnya karena akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan daerahnya masingmasing. Dalam hal ini fungsi distribusi dalam pengelolaan TPI Karangantu berjalan melalui mekanisme Pemungutan hasil lelang tersebut dipungut sebanyak 5% dari harga lelang, yang terdiri dari : 2% dipungut dari nelayan dan 3% dipungut dari bakul. Harga lelang yang dipungut dari keduanya dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar, sehingga mereka dapat memperoleh keuntungan yang layak dari hasil pemungutan retribusi ini. Adapun hasil dari pemungutan retribusi ini 3% nya langsung disetorkan ke kas daerah dan 2% nya digunakan untuk operasional. Mengingat hasil retribusi yang minim, walaupun fungsi distribusi berjalan, maka perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan dalam pengelolaan retribusi Tempat Pelelangan Ikan Karangantu yang lebih baik, agar sisi positif fungsi distribusi dalam mendorong keadilan yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan nelayan tangkap di PPN Karangantu Kota Serang tercapai. Kata Kunci: Retribusi, Fungsi Distribusi, Keuangan Publik
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam, salah satunya yaitu sumber daya ikan yang merupakan pemberian atau berkah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karenanya diamanahkan pada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran Rakyat Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan
wawasan nusantara (Kusumaatmaja, 1958), pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudi daya ikan, dan atau pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan, serta terbinanya kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Sebagai negara maritim yang berbasis kepulauan sektor kelautan dan perikanan adalah merupakan salah satu prioritas pemerintah dalam 75
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
kebijakan pembangunan nasional, karena sektor ini menyimpan kekayaan alam yang sangat besar nilainya, baik kandungan lautnya maupun sisi bisnis kelautan.
yang sebagian besar warga di sekitarnya bermata pencaharian sebagai nelayan dan sebagai pusat pengelolaan perikanan di Karangantu.
Namun, dewasa ini wujud perdagangan bebas dan globalisasi ekonomi sudah menyebar dimana-mana, maka perlu ada kebijakan pemerintah dalam mempertahankan perekonomian nasional dan mengantisipasi hal tersebut adalah dengan cara memberikan kewenangan otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah dimana didalamnya mengatur mengenai perimbangan keuangan pusat dan daerah yang tertuang dalam undang-undang no 32 dan 33 tahun 2004 telah membuka wacana daerah untuk mengoptimalkan peluang sumber-sumber pendapatan dan potensi daerahnya. Kewenangan sepenuhnya merupakan persoalan yang perlu dikaji sehubungan dengan sumber daya alam, manajemen, dan sumber daya manusia di daerah guna meningkatkan perekonomian melalui pertumbuhan industri-industri yang dapat dikembangkan di daerah tersebut. Industri dan perdagangan yang merupakan sentra perekonomian nasional secara otomatis memerlukan sarana dan prasarana transportasi dalam mendistribusikan hasilhasil produksi ke seluruh daerah, baik antar pulau maupun antar negara. Sarana dan prasarana transportasi tersebut dapat berupa jalur darat, udara, maupun laut.
Dinas Pertanian Kota Serang Bidang Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas pokok melaksanakan pengelolaan, pembinaan teknis, pengembangan teknologi sarana prasarana, dan pengembangan usaha kelautan dan perikanan. Adapun Seksi sumberdaya Kelautan mempunyai tugas pokok melaksanakan pembinaan, penyusunan petunjuk teknis kebijakan eksplorasi, eksploitasi dan konservasi serta standarisasi teknis pengawasan dan pengendalian sumberdaya kelautan. Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud tersebut, Seksi Sumberdaya Kelautan menyelenggarakan fungsi yaitu Melaksanakan penyusunan rencana kegiatan pengelolaan wilayah dan sumber daya kelautan, Melaksanakan penyusunan tata ruang laut di wilayah laut daerah sesuai dengan potensi laut, Melaksanakan peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di bidang kelautan, Memberikan bimbingan teknis konservasi pengelolaan sumberdaya kelautan, Melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian kegiatan pengelolaan sumberdaya kelautan, Melaksanakan pendekatan hukum dan jalur-jalur penangkapan, Melaksanakan koordinasi dan konsultasi pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dengan instansi terkait, Melaksanakan sosialisasi kebijakan kelautan dan perundang-undangan bidang kelautan, Membuat laporan pelaksanaan tugas dan fungsinya, dan Melaksanakan tugas lain yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Banten, provinsi termuda yang dibentuk berdasarkan undang-undang no. 23 tahun 2000, yang secara geografis, Provinsi Banten mempunyai letak yang strategis bagi lalu lintas perdagangan, khususnya melalui lintas transportasi laut, karena terdapat pintu masuk dari Pulau Sumatera (Pelabuhan Merak) dan antar pulau lainnya (Pelabuhan Ciwandan, Karangantu, Bojonegara,dan Kronjo). Pelabuhan sebagai jaringan transportasi laut yang berfungsi untuk membuka daerah terisolasi, melayani daerah dan pulau terpencil serta merupakan fasilitas pelayanan umum yang sangat dibutuhkan, Khususnya seperti Pelabuhan Karangantu
Keberadaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu yang kaitannya terhadap kebijakan pemerintah dalam mengelola hasil tangkap ikan, bagaimana memahami secara mendalam tentang pengelolaan dari kebijakan tersebut, dan menciptakan keuntungan nelayan yang tinggi dalam pengelolaannya untuk kesejahteraan rakyat. 76
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Dinas Pertanian Kota Serang Bidang Kelautan dan Perikanan dalam mengambil Kebijakan tentang pengelolaan ikan hasil tangkap yaitu berdasarkan Undang-undang No.45 tahun 2009 tentang perikanan dan Peraturan daerah kota serang No.13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah yang dipakai oleh Dinas Pertanian kota serang bidang kelautan dan perikanan. Dimana peraturan daerah ini bertujuan untuk pembangunan Kota Serang yang dikhususkan untuk Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu dalam bantuan sarana prasarana, penambahan pengetahuan serta bertujuan demi kesejahteraan masyarakat nelayan. Adapun kebijakan-kebijakan yang ada dalam dinas pertanian kota serang bidang Kelautan dan Perikanan mengenai hasil tangkap ikan dalam pemungutan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di karangantu yaitu seperti tidak boleh menangkap ikan dengan bahan peledak, setiap penangkap ikan harus mendarat ketempat pelelangan ikan terlebih dahulu harus mengikuti sistem lelang yang sudah diterapkan oleh pemerintah daerah. semua hasil tangkapan ikan masyarakat nelayan wajib dikenakan retribusi jika melakukan langsung transaksi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu. Pemungutan hasil lelang tersebut dipungut sebanyak 5% dari harga lelang, yang terdiri dari : 2% dipungut dari nelayan dan 3% dipungut dari bakul. Harga lelang yang dipungut dari keduanya dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar, sehingga mereka dapat memperoleh keuntungan yang layak dari hasil pemungutan retribusi ini. Adapun hasil dari pemungutan retribusi ini 3% nya langsung disetorkan ke kas daerah dan 2% nya digunakan untuk operasional. Namun, kebijakan-kebijakan yang ada masih belum dapat berjalan dengan baik karena selain masyarakat nelayan tidak semuanya yang mengikuti sosialisasi disebabkan dana dan tempat yang terbatas. Beberapa Kegiatan Sosialisasi tiap tahun yang pernah diadakan, adalah sosialisasi tentang pembinaan kepada masyarakat nelayan dan para pembeli mengenai
pemungutan retribusi di tempat pelelangan ikan, kajian optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan dengan tujuan agar terwujudnya peningkatan mutu pengolahan dan pemasaran perikanan KUB dan TPI, dan sosialisasi khusus buat para nelayan tentang pemakaian alat bantu, keselamatan di laut, dan lain sebagainya. Dimana sosialisasi ini hanya diwakili oleh ketua-ketua kelompok nelayan (1 kelompok 1 orang) dari 61 kelompok dari total 2481 orang di tahun 2012 dan sebanyak 2452 orang di tahun 2013, baik yang termasuk nelayan pemilik yaitu nelayan yang memiliki perahu maupun buruh yaitu nelayan yang ikut dengan perahu masyarakat nelayan lainnya. Dalam melakukan aktivitasnya, Nelayan tergabung dalam KUB (Kelompok Usaha Bersama), yaitu suatu kelompok yang dibentuk oleh petani ikan/ petani tambak/ pengolah/ pembudidaya/ nelayan berdasarkan kesepakatan seluruh anggotanya KUB juga merupakan salah satu wadah kerja sama sesama para nelayan untuk belajar manajemen hasil tangkapan ikannya, mengambil keputusan dan juga bertanggung jawab atas pelaksanaanya. Melalui KUB ini para nelayan dapat memperoleh pembinaan berupa latihan keterampilan dan manajemen untuk mengembangkan suatu usaha ekonomi produktif, disamping memperoleh dana bergulir untuk dijadikan sebagai modal usaha, akan tetapi tidak semua nelayan yang aktif menjadi anggota dan ketua berhasil dengan apa yang di harapkan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pembentukan KUB itu sendiri berawal atas permohonan para nelayan untuk pembentukan dan mendapatkan Surat Pendaftaran dan Surat Pengukuhan Kelompok Usaha Bersama (KUB) Perikanan yang diajukan kepada instansi pemerintah daerahnya dengan syarat mengisi surat permohonan, memiliki anggota kelompok minimal 10 orang, memiliki jenis usaha yang sama, dan berada dalam satu wilayah yang sama. KUB harus dilandasi oleh keinginan bersama untuk berusaha bersama dan 77
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
dipertanggungjawabkan bersama guna meningkatkan pendapatan anggotanya. Namun pada kenyataannya, ini semua belum sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pemerintah daerah, dengan bantuanbantuan yang telah diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat nelayan khususnya yang memiliki keanggotaan KUB seharusnya dalam penjualan tangkapan ikan haruslah segera masuk ke tempat yang telah disediakan oleh pemerintah yaitu Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu, akan tetapi ikatan kekerabatan, keakraban, utang piutang, simpan pinjam antara nelayan dengan big boss/juragan/tengkulak yang ada di daerahnya membuat nelayan yang seharusnya mendaratkan perahunya dan menjual ikan hasil tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu, justru mendarat dan menjual ikan hasil tangkapannya tersebut di lokasi-lokasi yang sudah ditentukan pemiliknya untuk menghindari retribusi. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu pengelola TPI Karangantu, diketahui sekitar 90 % Nelayan memiliki ikatan hutang kepada juragan sejak lama dan berjalan secara turun temurun. Pada awalnya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu di kelola oleh pihak ketiga, yaitu Manajemen Koperasi Genau Bahari tapi pada pertengahan 2012 koperasi kehabisan modal karena banyak nelayan yang menunggak membayar pinjaman ketika setelah mendapatkan jasa mengikuti kegiatan lelang kepada koperasi. Saat ini Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tersebut diambil alih oleh Dinas Pertanian Kota Serang bidang Kelautan dan Perikanan Seksi
Bina Usaha, yang pada tahun 2013 ini akan di kelola langsung oleh UPTD khusus yang menangani tentang Perikanan dan Kelautan dari Dinas Pertanian Kota Serang yang menjadi pembina langsung dari UPTD tersebut. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara diketahui terdapat permasalahan yaitu pendapatan Retribusi pemungutan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangantu belum maksimal. Hal ini terbukti pada saat peneliti melakukan wawancara langsung dengan kepala seksi sumberdaya kelautan dan kepala seksi bina usaha Dinas Pertanian Kota Serang, karena masih banyaknya masyarakat nelayan yang dimobilisasi oleh para tengkulak sehingga banyak masyarakat nelayan yang tidak menjual hasil tangkapan ikannya di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangantu dan tentu saja jika tidak melalui Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak dipungut biaya retribusi. Menurut kepala seksi sumberdaya kelautan Dinas Pertanian Kota Serang (2013), ukuran standar Pendapatan Asli Daerah dalam menentukan Target PAD dalam kegiatan Retribusi TPI tiap tahunnya dapat dilihat dari evaluasi pada tahun sebelumnya. Dalam kegiatan Retribusi TPI dikatakan optimal jika pada pelaksanaannya sesuai target yang ditentukan dan lebih baik lagi jika itu melebihi target, sebab jika dalam pelaksaannya tidak mencapai 100% maka dapat dikatakan belum optimal dilihat dari kinerja pegawai ataupun masalah-masalah yang terjadi di lapangan. Berikut adalah pencapaian PAD pada kegiatan retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tahun 2010-2012:
Tabel 1.1 Pencapaian PAD pada kegiatan retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tahun 2010 2011 2012
Pencapaian PAD pada kegiatan retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Target Rp. 11.000.000 Rp. 9.809.600 Rp. 30.695.000
Realisasi Rp. 10.360.000 Rp. 12.219.562 Rp. 34.275.250
Presentase 94,18 % 124,57 % 111,66 %
(Sumber: Data Diolah, Dinas Pertanian Kota Serang Bidang Kelautan dan Perikanan, 2013)
78
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Dari tabel 1.1 diatas terlihat bahwa dari tahun 2010 hingga 2012 selalu terjadi peningkatan dalam realisasi pemungutan retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Adapun penjelasan perbandingan dari tiap-tiap tahunnya adalah sebagai berikut: Pada tahun 2010 sampai dengan 2011 terjadi peningkatan dalam realisasi pemungutan retribusi Tempat Pelelangan Ikan sebesar Rp. 1.859.562 atau sekitar 18%, dan pada tahun 2012 juga masih terjadi peningkatan dalam realisasi pemungutan retribusi Tempat Pelelangan Ikan sebesar Rp. 23.915.250 atau sekitar 231% jika dibandingkan dengan kegiatan realisasi pemungutan retribusi Tempat Pelelangan Ikan pada tahun 2010, serta pada tahun 2011 sampai dengan 2012 terjadi peningkatan dalam realisasi pemungutan retribusi Tempat Pelelangan Ikan sebesar Rp. 22.055.688 atau sekitar 180,5%. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan dengan baik oleh para pengelola maupun pelaksana yang ada, yaitu dengan memberikan bantuan alat bantu penangkap, bantuan dari dinas kelautan dan perikanan provinsi banten dengan memberikan kapal 30 GT, dan melakukan sosialisasi mengenai pembinaan pada para tengkulak/ pembeli ikan. Banyaknya unit penangkapan ikan menurut jenisnya, Alat tangkap yang dipergunakan nelayan di kota serang adalah payang 10, dogol 16, jaring klitik 120, jaring lainnya 130, bagan perahu 35, dan lainnya 246 dengan jumlah keseluruhan 557 buah. Adapun Jumlah kapal/ perahu adalah 557 buah dengan rincian motor tempel sebanyak 390 buah dan kapal motor 167 buah. Dalam menghitung potensi retribusi pemungutan tempat pelelangan ikan di Karangantu, maka (rata-rata jumlah kapal yang masuk ke Tempat Pelelangan Ikan per hari x [(rata-rata pendapatan per hari x tarif retribusi Tempat Pelelangan Ikan) x rata-rata jumlah jasa Tempat Pelelangan Ikan per hari] x 1 Tahun).
Jadi, potensi Retribusi Tempat Pelelangan Ikan di karangantu adalah = (557 x [(10.000.000 x 5%) x 1] x 365 hari), maka hasilnya adalah Rp. 1.931.397.500.000. pada kurun waktu 2012 saja realisasi retribusi pemungutan tempat pelelangan ikan di karangantu sebesar Rp. 34.275.250, sehingga selisihnya sebesar Rp. 1.931.363.224.750 atau sekitar 0,00177% penerimaan retribusi pemungutan tempat pelelangan ikan yang baru terealisasi dari total perhitungan potensi retribusi pemungutan tempat pelelangan ikan di karangantu. Dengan demikian maka perlu adanya suatu kebijakan yang tegas dan berkelanjutan dalam mengatur dan menangani segala macam tentang perikanan termasuk pengelolaan sumber daya ikan di dalamnya, demi kesejahteraan masyarakat nelayan dalam meningkatkan perekonomian hidupnya dan untuk pembangunan Kota Serang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalahnya adalah : Bagaimana Pelaksanaan Retribusi Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangantu Sebagai Fungsi Distribusi Dalam Keuangan Publik di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kota Serang ? II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi Pemerintah Menurut Musgrave (1984) Menurut Musgrave dalam bukunya Public Finance In Theory And Practice, bahwa fungsi dan tujuan kebijaksanaan anggaran belanja pemerintah dibedakan atas 3 jenis, yaitu : 1. Allocation Branch. Merupakan fungsi untuk menyediakan pemenuhan terhadap public want/kebutuhan publik. Dengan latar belakang kebaikan mekanisme pasar pada fungsi alokasi 79
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
secara optimal, juga dengan kekurangankekurangan mekanisme pasar tampil peranan pemerintah dalam allocation branch ini. Jadi, tugas pemerintah adalah mengisi kelemahan atau kekurangan mekanisme pasar dengan menyediakan apa yang dinamakan keinginan publik atau public want. Jadi fungsi alokasi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan penyediaan dan pelayanan barang-barang publik yang diperuntukkannya secara komunal dan tidak dapat dimiliki secara perorangan. 2. Distribution Branch. Merupakan fungsi politik anggaran belanja yang termasuk fungsi klasik dimana pengeluaran dan penerimaan pemerintah ternyata memiliki efek sosial ekonomi. Pertimbangan tentang kekayaan dan distribusi pendapatan, kesempatan memperoleh pendidikan, mobilitas sosial, macam-macam warga Negara dengan berbagai bakatnya termasuk tugas cabang distribusi tersebut. Jadi fungsi distribusi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan perataan kesejahteraan masyarakat dalam arti proporsional tetap menjadi perhatian dalam rangka mendorong tercapainya pertumbuhan yang optimal. 3. Stabilization Branch. Merupakan fungsi alokasi distribusi menyangkut hubungan antara swasta atau pribadi dengan pemerintah atau publik, sehingga cabang stabilisasi ini menyangkut usaha untuk mempertahankan tingkat penggunaan faktor-faktor produksi yang tinggi dengan kestabilan nilai uang. Jadi fungsi stabilisasi memiliki keterkaitan erat dengan fungsi mengatur variabel ekonomi makro dengan sasaran untuk stabilitas ekonomi secara nasional. 2.2. Pengertian Retribusi Pengertian retribusi menurut Siahaan (2005) adalah pembayaran wajib dari penduduk kepada Negara karena adanya jasa tertentu yang diberikan oleh Negara bagi penduduknya secara perorangan. Jasa tersebut dapat dikatakan bersifat langsung,
yaitu hanya yang membayar retribusi yang menikmati balas jasa dari Negara. Merujuk pada pendapat Suparmoko dalam buku Ekonomi Publik, Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah (2002:85), menjelaskan bahwa retribusi adalah: “Suatu pembayaran dari rakyat kepada pemerintah, dimana kita dapat melihat adanya hubungan balas jasa yang langsung diterima dengan adanya pembayaran retribusi tersebut. Sumitro dalam buku Kaho, Prospek Otonomi Daerah (2003 : 170) mendefinisikan Retribusi secara umum adalah pembayaranpembayaran kepada Negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa Negara. Sementara pengertian retribusi daerah dapat ditelusuri dari pendapatpendapat sebagai berikut : Nasrun, dalam Kaho (2003 : 171) merumuskan Retribusi Daerah sebagai berikut :“Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik Daerah untuk kepentingan umum, atau karena jasa yang diberikan oleh Daerah baik langsung maupun tidak langsung.” Lain halnya dengan Mardiasmo dalam buku Perpajakan (2003 : 100) mendefinisikan retribusi daerah adalah : “Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan”. Pengertian Retribusi Daerah menurut Peraturan Kepala Daerah Kota Serang No. 13 Tahun 2011 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sedangkan penghitungannya adalah : Retribusi Terutang = Tarif Retribusi X Tingkat Penggunaan Jasa
80
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Tingkat Penggunaan Jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya berapa kali masuk tempat pemungutan. Akan tetapi, ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Tarif retribusi adalah nilai rupiah atau presentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi daerah yang terutang, dan terdapat perbedaan golongan/kelompok dan sebagainya, sasaran dan prinsipnya. Dari pendapat-pendapat di atas, dapat diintisarikan ciri-ciri pokok Retribusi Daerah sebagai berikut : 1. Retribusi dipungut oleh daerah 2. Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang diberikan daerah yang langsung dapat ditunjuk 3. Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang memanfaatkan atau mengenyam jasa yang disediakan daerah. 2.3. Deskripsi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah Mengenai Pemungutan Tempat Pelelangan Ikan di Karangantu Dalam teori kebijakan dikatakan, bahwa setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah haruslah memiliki landasan hukum yang digunakan sebagai dasar acuan dalam bertindak. Selain itu, dengan adanya landasan hukum tersebut menunjukkan adanya legitimasi dari masyarakat kepada pemerintah untuk dapat melaksanakan fungsinya sebagai penyelenggara pemerintahan. Tujuan landasan hukum dalam kegiatan pemerintahan adalah agar tidak terjadi tindakan menyimpang yang dapat merugikan masyarakat. Demikian juga halnya dalam pemungutan retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu. Pemungutan
retribusi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Karangantu di atur oleh Peraturan Daerah (Perda) Kota Serang Nomor 13 Tahun 2011 tentang retribusi daerah. Secara umum, Peraturan Daerah ini berisi tentang segala hal yang berhubungan dengan proses pemungutan retribusi tempat pelelangan yang ada di Kota Serang. Peraturan daerah yang digunakan saat ini merupakan peraturan perubahan kedua yang sebelumnya adalah peraturan daerah Kabupaten Serang Nomor 9 Tahun 2001 tentang pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan. Kemudian peraturan daerah kota Serang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah menjadi peraturan daerah kota Serang yang digunakan untuk pemungutan tempat pelelangan ikan sampai saat ini. Retribusi tempat pelelangan ikan dipungut sebagai pembayaran atas setiap pelayanan tempat pelelangan ikan yang diberikan oleh pemerintah daerah. Sedangkan yang menjadi subyek retribusi adalah orang pribadi/badan yang memperoleh jasa tempat pelelangan. Prinsip dan sasaran dalam penetapan retribusi tempat pelelangan ikan didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak, dimana keuntungan yang layak tersebut diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. Adapun besarnya tarif retribusi tempat pelelangan ikan ditetapkan kepada setiap transaksi lelang di tempat pelelangan ikan dikenakan pemungutan sebesar 5 % dari harga lelang, yang terdiri dari : 1. Sebesar 2 % dari nelayan; 2. Sebesar 3 % dipungut dari bakul. III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS Pelaksanaan Retribusi Pengelolaan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Karangantu Sebagai Fungsi Distribusi Dalam Keuangan Publik Di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Serang Banten 81
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Retribusi pengelolaan tempat pelelangan ikan (TPI) Karangantu merupakan salah satu implementasi fungsi distribusi dalam keuangan publik. Musgrave (1984) mengatakan bahwa Ilmu Keuangan Publik secara tradisional adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah-masalah komplek yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran Negara. Terkait pemasukan dan pengeluaran oleh Negara tersebut, fungsi distribusi dalam fungsi ekonomi pemerintah adalah sangat terkait erat dengan pemerataan kesejahteraan bagi penduduk di daerah yang bersangkutan dan terdistribusi secara proporsional. Dengan pengertian bahwa daerah yang satu dimungkinkan tidak sama tingkat kesejahteraannya dengan daerah yang lainnya karena akan sangat dipengaruhi oleh keberadaan daerahnya masing-masing. Sisi positif distribusi pendapatan dan kekayaan Negara yang lebih merata adalah : 1. Dari segi moralitas (mentalitas), distribusi yang lebih merata akan mengurangi rasa cemburu, iri hati dan rasa kurang simpati. Dengan demikian akan mendorong ke arah kerja sama dan ke arah kemajuan, berarti tidak akan menimbulkan berbagai macam kejahatan termasuk pencurian, perampokan, penipuan, dan lain-lain. 2. Distribusi pendapatan yang lebih merata akan lebih menggambarkan kesejahteraan maksimum/optimum bagi seluruh masyarakat. Sisi negatif distribusi pendapatan dan kekayaan yang lebih merata adalah :
No. 1 2 3
1. Kekayaan menunjukkan bahwa manusia hidup di dunia ini meskipun secara yuridis formal diakui dan secara falsafah hidup dianggap sama, akan tetapi kenyataan selalu menunjukkan adanya perbedaan dalam mentalitas kerja, tingkat pendidikan, kecerdasan, dan lain-lain. Jadi, apabila penyamarataan pendapatan dan kekayaan tentu akan bertentangan dengan bakat, motivasi serta sifat-sifat dan kenyataan hidup manusia yang berbeda-beda. 2. Hingga pada suatu titik tertentu perbedaan pendapatan dan kekayaan merupakan sumber kemajuan kebudayaan suatu bangsa. Majunya ilmu pengetahuan, kesenian, musik dan bentuk-bentuk kebudayaan lain seperti teknologi dan sebagainya. Dengan tingkat konsumsi pendapatan rendah sebagai lingkungan hidup, maka golongan yang berpenghasilan dan kekayaan tinggi memanfaatkan surplusnya untuk meningkatkan kepuasan lain di bidang seni budaya dan teknologi. Kecilnya wewenang dan dukungan yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat dalam fungsi distribusi ini adalah didasarkan pada asumsi bila pelimpahan menimbulkan masalah yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang seragam di beberapa daerah, karena akan kurang memberikan inovasi dan rangsangan untuk mengembangkan potensi sumber daya yang dimiliki atau yang tersedia di daerahnya.
Berikut Tabel 3.1. Perkiraan Potensi Pemasukan Retribusi Nelayan Berdasarkan Kategori 3 Jenis Alat Tangkap Perbulan Rata-rata RataProduksi Hasil Total Perahu Tangkap Jumlah Jangka rata Tangkap rataPendapatan/ Menurut Jenisnya Kapal Waktu trip/bul rata/Trip bulan (PP) an Bagan Congkel 35 2.000.000 1-2 hari 10 trip 700.000.000 Cantrang/Dogol 10-12 16 2.000.000 1-2 hari 320.000.000 Mini Troul/Payang trip Mini Troul / Payang 10 10.000.000 1-5 hari 4 trip 400.000.000 Jumlah 1.420.000.000 Sumber : Penulis, dari data yang diolah, 2013. 82
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Dari Tabel 3.1 di atas dapat dianalisis bahwa potensi retiribusi yang bisa didapat dalam meningkatkan PAD Kota Serang pada setiap bulannya adalah : 1.420.000.000 x 5%
= Rp. 71.000.000
Realisasi pendapatan tahun 2012 Selisih
= Rp. 34.275.250 = Rp. 36.724.750
Namun potensi yang seharusnya dicapai tersebut, dalam pelaksanaanya terkendala berbagai permasalahan yang telah dikemukakan penulis pada latar belakang masalah, sehingga perlu dilakukan usaha-usaha perbaikan dalam pengelolaan retribusi Tempat Pelelangan Ikan Karangantu yang lebih baik. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Beberapa hal yang menjadi perhatian penting yang dihadapi dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut : Masih perlu ditingkatkan koordinasi dan mekanisme administrasi dalam penyusunan perencanaan dan pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya perairan laut, karena selama ini masih terdapat banyak tumpang tindih kewenangan dan tanggungjawab lembagalembaga pemerintah dan non pemerintah yang terkait. Disamping itu terdapat isu-isu strategis dalam pengelolaan sumberdaya perairan laut ke depan, yaitu : 1. Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) terutama pada masyarakat bahari. 2. Lemahnya kemampuan kelembagaan pada sektor pemerintah dan masyarakat. 3. Belum dikelolanya potensi sumber daya kelautan khususnya perikanan secara optimal sebagai suatu usaha yang dapat memberikan kontribusi yang besar
terhadap peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat. 4. Belum dikembangkannya secara optimal potensi pariwisata sebagai salah satu sektor andalan dalam pembangunan daerah. 5. Kurang memadainya pembangunan di wilayah kepulauan, baik dalam pembangunan prasarana sosial maupun prasarana fisik. 5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran berupa rekomendasi bahwa untuk mengantisipasi dinamika perkembangan lingkungan eksternal (baik secara nasional maupun global) yang cenderung semakin cepat laju pertumbuhannya, maka perlu dilakukan penyusunan rencana tindakan yang dianggap sangat esensial dan urgen adalah penyusunan model pengelolaan sumberdaya perairan laut secara komprehensif. Potensi dan kondisi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya perairan laut serta pemanfaatan dan pengelolaan yang terjadi selama ini yang dianggap kurang optimal, kurang efektif dan efisien, sehingga perlu ditempuh berbagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil gunanya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perairan laut untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Adisasmita, Rahardjo. 2006. Pembangunan Kelautan dan Kewilayahan. Yogyakarta : Graha Ilmu. Kaho, Josef Riwu. 2003. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Mardiasmo. 2003. Perpajakan. Yogyakarta : ANDI. Musgrave, Richard A. & Peggy B. Musgrave. 1984. Public Finance In Theory And 83
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Practice : Fourt Edition. Singapore : McGraw-Hill Book Co. Peraturan Daerah Kota Serang No. 13 Tahun 2011 Tentang Retribusi Daerah Mengenai Pemungutan Tempat Pelelangan Ikan di Karangantu.
Siahaan, Marihot P. 2005. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah. Yogyakarta : ANDI.
84
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
EVALUASI KEBIJAKAN PENGENDALIAN PEDAGANG KAKI LIMA DI KOTA CILEGON Rahmawati, M.Si. Program Studi Ilmu Administrasi Negara FISIP Untirta
[email protected] Abstrak Pertumbuhan kota yang pesat menjadi salah satu daya tarik penduduk untuk datang pada suatu wilayah, demikian juga halnya dengan Kota Cilegon. Urbanisasi yang tinggi tanpa disertai dengan kemampuan dan keterampilan untuk bekerja pada sector formal, membuat pilihan menjadi pedagang kaki lima menjadi satu solusi. Pertumbuhan PKL yang tinggi tanpa disertai dengan pengaturan yang baik memberikan dampak kurang bagik bagi keindahan dan ketertiban suatu kota. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pengendalian PKL di Kota Cilegon. Teori yang digunakan adalah evaluasi kebijakan menurut Nurcholis yaitu input, proses, output, outcome. Obyek penelitian ini adalah PKL, Dinas Ketertiban, Masyarakat, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Cilegon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa evaluasi kebijakan tentang pengendalian pedagang kaki lima di Kota Cilegon belum berjalan secara optimal dikarenakan terkonsentrasinya pusat kegiatan ekonomi Kota Cilegon di sepanjang jalan protocol dan penataan PKL belum dilakukan sesuai dengan jenis usaha yang ada. Saran yang dapat disampaikan antara lain penataan PKL berdasarkan jenis dagangan sehingga memudahkan bagi pembeli untuk mendatangi lokasi berjualan, pembatasan waktu berjualan yang tegas dengan pemberian sanksi bagi yang melanggar, pemerintah Kota Cilegon harus membangun atau memperluas daerah yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan pedagang dan pemerintah Kota Cilegon seharusnya memperluas jangkauan angkutan umum untuk mempermudah masyarakat menjangkau lokasi berjualan. Kata kunci : Evaluasi, Kebijakan, Pengendalian, Pedagang Kaki Lima
A. Latar Belakang Masalah Pembangunan pada hakekatnya adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sesuai dengan pernyataan yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia keempat sebagai tujuan Negara yang harus dicapai pemerintah. Oleh karena itu, pembangunan nasional tidak bisa ditawar lagi dan telah menjadi putusan politik rakyat Indonesia yang dikukuhkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Menurut UU No. 5 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, pembangunan nasional yang dilakukan pemerintah bertujuan : “mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung
oleh manusia Indonesia yang mandiri, beriman, bertakwa, berahlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum, dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin” Kota Cilegon merupakan daerah industri dan perdagangan di ujung barat Pulau Jawa menyebabkan urbanisasi penduduk untuk mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan jumlah penduduk Kota Cilegon meningkat dengan pesat. Akibat penduduk bertambah dengan sangat cepat, kebutuhan akan ruang untuk tempat tinggal/perumahan semakin banyak. Hal ini diperkuat oleh pendapat Watt (1973) yang dikutip Dahlan (1992) yaitu bahwa peningkatan jumlah penduduk akan menuntut penambahan lahan permukiman, jaringan jalan, pusat perbelanjaan dan 85
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
hiburan. Peningkatan laju pertambahan penduduk yang sangat tinggi akibat urbanisasi dapat mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang untuk perumahan, perbelanjaan, hiburan dan sebagainya. Namun demikian Pemerintah Cilegon tidak mampu menyediakan ruang bagi seluruh masyarakat ekonomi khususnya ekonomi lemah. Dalam hal ini, sektor informal Pedagang Kaki Lima (PKL) ternyata keberadaannya sesuai dengan masyarakat golongan ekonomi lemah sehingga pertumbuhan sektor informal ini semakin cepat. Pembangunan daerah Kota Cilegon merupakan rangkaian pembangunan yang berkesinambungan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pertanggungjawaban. Tujuan pembangunan Kota Cilegon merupakan upaya untuk mencapai visi dan misi Kota Cilegon. Visi Kota Cilegon adalah Kota Mandiri dan Berwawasan Lingkungan bertujuan menciptakan kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatkan kualitas hidup yang layak dan manusiawi dengan focus utama tercukupinya kebutuhan dasar yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta hidup dalam suasana nyaman. (Bappeda Kota Cilegon, 2010). Salah satu makna dari kata “MANDIRI” yaitu huruf I adalah sebagai kota yang bersih, nyaman, asri dan tertata dengan baik. Tetapi makna dari kota yang bersih, nyaman, asri dan tertata dengan baik cukup sulit diwujudkan mengingatkan pertumbuhan sektor informal (PKL) di Kota Cilegon semakin cepat. Pedagang kaki lima yang selanjutnya disebut PKL adalah “pedagang yang di dalam usahanya menggunakan sarana dan perlengkapan yang mudah dibongkar pasang / dipindahkan atau mempergunakan tempat usaha yang menempati lahan yang dikuasai pemerintah daerah atau pihak lainnya.” PKL ini mudah dikenali karena dalam pelaksananya banyak menganggu ketertiban,
kebersihan dan keindahan kota terutama karena PKL selalu beroperasi pada sarana/fasilitas yang tidak diperbolehkan untuk berdagang seperti trotoar, taman dan terutama bahu jalan. Bahu jalan dan trotoar sebenarnya digunakan untuk pejalan kaki sehingga tidak menimbulkan kemacetan dan tidak membahayakan bagi pejalan kaki sendiri. Tetapi sering kali dijumpai bahu jalan dan trotoar malah digunakan untuk berjualan bagi pedagang kaki lima.Hal ini tentu saja menimbulkan suasana kota yang tidak tertib dan aman. Keberadaan PKL di tempat tersebut bukan hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga telah menimbulkan kesemerawutan yang mengakibatkan daerah tersebut menjadi kurang nyaman untuk dilalui karena kemacetan yang ditimbulkannya, namun di sisi lain, sebagai kelompok golongan ekonomi lemah, PKL mempunyai nilai strategis, karena mampu menjadi peredam kesenjangan sosial ekonomi bahkan sebagai salah satu sektor informal, PKL dipandang sebagai pemasok kebutuhan rakyat kecil yang dapat diperoleh secara murah/praktis dan familiar. Pedaganga kaki lima di Kota Cilegon dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu PKL permanen dan PKL sementara/musiman. Pedagang kaki lima yang musiman biasanya terjadi ketika menjelang hari raya, biasanya mulai ramai pada awal ramadhan dan awal liburan sekolah yang menjual pakaian seragam serta perlengkapan sekolah. Pedagang musiman ini akan dengan sendirinya berhenti ketika ramadhan selesai atau satu bulan setelah masuk sekolah. Lain halnya dengan pedagang yang permanent. Mereka membuat lapak-lapak dan menempati ruas jalan sepanjang jalan protocol, terutama di sekitar Ramayana, masjid agung cilegon, simpang tiga dan halaman masjid Al-hadid. Untuk mewujudkan Kota Cilegon MANDIRI, Pemerintah Daerah Kota Cilegon mengeluarkan Peraturan Daerah No. 5 Tahun 2003 tentang Keindahan, Ketertiban dan Keamanan dan Peraturan Daerah No. 6 86
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Tahun 2003 yaitu tentang Pengendalian Pedagang Kaki Lima. Tujuan dikeluarkannya Perda tersebut adalah untuk melaksanakan ketertiban, kebersihan dan keindahan (K3) di Kota Cilegon. Dalam mengimplementasikan kedua perda tersebut, Pemerintah Kota Cilegon melakukan penertiban terhadap pedagang kaki lima menitikberatkan pada 3 wilayah yaitu 1) zona jalan protokol yaitu Jl Jend Sudirman, mulai dari depan kantor walikota Cilegon sampai dengan Pondok Cilegon Indah, 2) Jalur Hijau yaitu mulai dari ADB KS atau helly pad sampai dengan grogol dan 3) Eks pertamina yaitu area pelabuhan merak. Bentuk implementasi Perda No. 5 dan No. 6 Tahun 2003 antara lain pemerintah Kota Cilegon sendiri telah menyediakan lokasi bagi para pedagang yaitu di belakang Mall Ramayana Cilegon yaitu arah ke pasar Kranggot Cilegon. PKL yang menempati lapak-lapak tersebut merupakan eks pedagang kaki lima yang ada di depan matahari Cilegon, pedagang di eks terminal Cilegon/depan rumah dinas Walikota Cilegon yang sekarang dijadikan taman kota, masjid Agung Cilegon dan Simpang Tiga. Sebelum dilakukan pemindahan, pemerintah daerah dalam hal ini adalah dinas ketertiban dan dinas perindustrian dan perdagangan melakukan pendataan terhadap para PKL. Pemerintah daerah telah menetapkan batas lapak-lapak bagi para pedagang kaki lima. Luas lapak tersebut adalah 2 x 2.5 m dan pemerintah sudah memberikan batas dengan menggunakan tali rapia sementara pedagang sendiri yang harus membangun dan membuat lapaknya. Sebelumnya pemerintah memanggil para pedagang tersebut untuk mengambil nomor undian yang akan menentukan dilapak nomor berapa mereka akan berjualan. Namun sayangnya antara lapak yang disediakan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah PKL. Upaya penertiban PKL cukup sering dilakukan oleh petugas satuan polisi pamong praja dan upaya pembinaan dilakukan dengan mendata ulang PKL serta
memberikan tempat atau lokasi yang baru di belakang Ramayana mall Cilegon serta dengan memberikan batas waktu untuk bisa berjualan di sekitar jalan protocol Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rina Yulianti dan Rahmawati pada tahun 2004, pedagang kaki lima di Kota Cilegon dapat dikelompokkan menjadi 4 jenis perdagangan, yaitu : Jasa (tamban ban, reparasi jam & kunci, stempel dan plakat, reparasi/sol sepatu & sandal); Makanan dan minuman (makanan pokok, makanan suplemen, minuman dan jamu); Non makanan (mainan anak, aksesoris, sandal & sepatu, pakaian, tas, bensin eceran, majalah & surat kabar, kaset, VCD & CD) dan Buahbuahan. Berdasarkan paparan di atas, maka peneliti merumuskan permasalahan yaitu bagaimana evaluasi kebijakan tentang pengendalian pedagang kaki lima di Kota Cilegon. B. Tinjauan Pustaka Sejalan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka teori-teori dalam penelitian ini berkaitan dengan kebijakan publik. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk memenuhi kepentingan publik. Studi mengenai pembuatan kebijakan publik merupakan studi yang penting dalam administrasi negara. prinsip tersebut akan ditinjau lebih lanjut dari pengertian kebijakan dan kebijakan publik sendiri menurut para ahli. Kebijakan publik (public policies) menurut Frederich (1963) dalam Wicaksono (2006: 63) diartikan sebagai: “suatu arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu”.
87
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Batasan lain dari kebijakan publik menurut Rose dalam Dunn (2003:109) adalah : “rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak), yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, diformulasikan di dalam bidang-bidang isu sejak pertahanan, energy dan kesehatan sampai ke pendidikan, kesejahteraan dan kejahatan”. Dalam Nurcholis (2005: 159) dituliskan pengertian menurut Dye, kebijakan publik adalah “apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Jadi menurutnya, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah termasuk kebijakan Negara karena “sesuatu yang tidak dilakukan” oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh yang sama besarnya dengan “sesuatu yang dilakukan pemerintah”. Dari kegiatan analisis kebijakan, prosedur yang paling berguna untuk memecahkan masalah adalah kegiatan evaluasi. Suatu kebijakan publik tidak selalu berhasil bahkan sering kali diikuti dengan masalah, karenanya kegiatan evaluasi sangat penting untuk dapat menghasilkan kebijakan publik yang baik. Melalui evaluasi akan diketahui apakah kebijakan yang ditetapkan berhasil mencapai tujuannya atau tidak. Evaluasi menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang benar-benar dihasilkan. Evaluasi membantu kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Dalam konteks kebijakan publik, evaluasi merupakan sebuah landasan atau alasan untuk menciptakan (secara tidak langsung) perbaikan atau kemajuan sosial. Weiss menggambarkan evaluasi sebagai suatu upaya dimana didalamnya mencakup beberapa pendekatan alternative dan kegiatan-kegiatan. Sedangkan Lembaga
Administrasi Negara dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (2000) menyatakan istilah evaluasi dapat disamakan dengan penilaian (assesment), pemberian angka (rating) ataupun penaksiran (appraisal), dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat kebijakan. Scriven (1993) mengidentifikasi Big Six P’s sebagai hal-hal yang dapat dievaluasi, yaitu Programs, Policies, Products, Personnel, Performance, dan Proposals. Sementara itu Mark et al (2000). Mempersempit focus evaluasi hanya pada kebijakan dan program sosial (Faozan: 2003: 104). Secara berbeda Nurcholis (2005: 167) dalam bukunya Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah, mengartikan evaluasi kebijakan “sebagai penilaian secara menyeluruh meliputi input, proses, output dan outcome dari kebijakan pemerintah daerah.” Dari paparan tentang definisi evaluasi di atas, dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah suatu kegiatan meberikan penilaian terhadap suatu kebijakan dengan tujuan memberikan alternative perbaikan bagi kebijakan tersebut. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya oleh Nurcholis (2005: 167) dalam bukunya Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, bahwa evaluasi merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap input, proses, output dan outcome dari kebijakan pemerintah daerah. Teori itulah yang dijadikan indikator dalam penelitian tentang evaluasi penataan dan pembinaan pedagang kakilima di Kota Cilegon. Berikut ini sub variabel dan indikator dari evaluasi kebijakan. a. Input yaitu masukan yang diperlukan untuk pelaksanaan kebijakan. Untuk itu dikembangkan instrument yang meliputi indikator-indikator : 1. Sumber daya manusia 2. Sarana dan prasarana 3. Peralatan 4. Teknologi
88
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
b. Proses yaitu bagaimana sebuah kebijakan diwujudkan dalam bentuk pelayanan langsung kepada PKL dan masyarakat. Untuk itu dikembangkan instrument dengan indikator-indikator : a. Penyuluhan b. Pelatihan c. Pemberian sanksi d. Pemberian modal bergulir c. Output (hasil) yaitu perwujudan nyata atau hasil dari pelaksanaan kebijakan public dan seringkali berupa benda. Output kebijakan dapat diartikan sebagai apa yang telah dikerjakan oleh pemeirntah atau hasil kebijakan yang biasanya dititikberatkan pada masalahmasalah. Apakah pelaksanaan kebijakan menghasilkan produk sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Untuk itu dikembangkan instrument dengan indikator-indikator sebagai berikut : a. Ketaatan pada aturan b. Kemudahah berusaha d. Outcome (dampak) yaitu apakah suatu pelaksanaan kebijakan berdampak nyata terhadap kelompok sasaran sesuai dengan tujuan kebijakan atau konsekuensi yang timbul dari suatu kebijakan. Untuk itu dikembangkan istrumen dengan indikator-indikator : a. Keindahan kota b. Ketertiban kota c. Keteraturan d. Kemandirian usaha PKL C. Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Sugiyono (2005: 11) dilakukan secara deskriptif yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain.
Yang menjadi obyek penelitian dari penelitian ini adalah Pedagang Kaki Lima yang berada di sepanjang Jl. Jenderal Sudirman yaitu mulai dari perempatan lampu merah Pondok Cilegon Indah sampai dengan Simpang Tiga depan masjid Al-Hadid. Yang menjadi subyek penelitian adalah Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Ketertiban, Satuan Polisi Pamong Praja, masyarakat. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif model interaktif dari miles dan Hubberman (1992:15), yang mengemukakan aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh meliputi. Reduksi data (data reduction), penyajian data dan penarikan kesimpulan. D. Hasil dan Pembahasan Pedagang kaki lima sebagai salah satu penggerak perekonomian sektor informal memiliki dua sisi mata uang yang dianggap saling bertentangan. Dari sisi keindahan dan ketertiban kota, keberadaan PKL jelas dianggap sebagai sisi yang merugikan karena membuat kota terlihat tidak indah dan semerawut. Sementara dari sisi yang lain, terutama dari sisi konsumen, keberadaan PKL memberikan kontribusi yang positif karena keberadaan PKL mempermudah transaksi ekonomi yang lebih hemat dan murah. Hal ini disebabkan kebanyakan barang dagangan yang ditawarkan oleh PKL harganya terjangkau oleh masyarakat yang berdaya beli rendah. Berikut ini jumlah pedagang kaki lima di Kota Cilegon tahun 2015
89
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Kelompok pedagang Makanan dan minuman Buah-buhan Rokok Majalah dan Koran Mainan anak Pakaian Sepatu, sandal dan tas
Jumlah 298 79 57 26 43 68 51
Kelompok pedagang Aksesoris Reparasi jam dan kunci Stempel dan plakat Reparasi sepatu Tambal ban Kaset/VCD Bensin eceran
Jumlah 42 53 29 20 25 44 15
Sumber : Hasil penelitian 2015
Penelitian evaluasi pengendalian pedagang kaki lima di Kota Cilegon ini menggunakan instrument penelitian menurut terdiri dari Input berupa sumber daya manusia, sarana dan prasarana, peralatan dan teknologi. Indikator proses terdiri dari penyuluhan, pelatihan, pemberian sanksi dan pemberian modal bergulir. Dari indikator output terdiri dari ketaatan pada aturan dan kemudahan berusaha. Outcome terdiri dari keindahan kota, ketertiban kota, keteraturan dan kemandirian usaha PKL. Berdasarkan indikator input, bahwa penataan pedagang kaki lima terbentur masalah sarana dan prasarana. Hal ini dikarenakan luas wilayah Kota Cilegon yang tidak begitu besar dengan pusat keramaian hanya ada di sepanjang jalan protocol, sehingga konsentrasi keramaian dan pusat perbelanjaan masyarakat ada di daerah tersebut. Dengan terpusatnya kegiatan pemerintahan dan perekonomian di sepanjang jalan protokol, maka banyak sekali pedagang kaki lima yang memilih berjualan di daerah tersebut. Mereka berjualan di emperan toko, trotoar dan bahu jalan. Sementara itu, dalam Perda No. 5 Tahun 2003 disebutkan bahwa trotoar adalah bagian dari badan jalan yang disediakan untuk pejalan kaki. Jadi fungsi trotoar adalah untuk pejalan kaki dan bukan untuk berjualan. Namun karena ramainya jalan protokol, maka banyak pedagang yang memilih tetap berjualan di trotoar dan bahu jalan. Sebelum dilakukan pemindahan, pemerintah daerah dalam hal ini adalah
dinas ketertiban dan dinas perindustrian dan perdagangan melakukan pendataan terhadap para PKL. Pemerintah daerah telah menetapkan batas lapak-lapak bagi para pedagang kaki lima. Luas lapak tersebut adalah 2 x 2.5 m dan pemerintah sudah memberikan batas dengan menggunakan tali rapia sementara pedagang sendiri yang harus membangun dan membuat lapaknya. Sebelumnya pemerintah memanggil para pedagang tersebut untuk mengambil nomor undian yang akan menentukan dilapak nomor berapa mereka akan berjualan. Ketika terjadi pengambilan nomor tersebut ternyata banyak pedagang kaki lima yang tidak kebagian nomor undian. Dalam rangka mendukung pemindahan tersebut, pemerintah daerah juga memutuskan untuk memindahkan jalur angkot baik angkutan kota Merak, Anyer, Pondok Cilegon Indah dan Serang melewati Jl. Kh Wasid. Angkutan kota yang sebelumnya menggunakan jalur yang lurus yaitu setelah perempatan matahari bisa langsung lurus ke arah mal Ramayana diharuskan untuk berbelok ke kiri melewati Kampung Telu, jalan Kh. Wasid melewati lokasi PKL dan keluar dari perempatan Sukmajaya. Namun sayangnya pemindahan jalur angkot tersebut tidak sampai malam hari. Para sopir angkot hanya berbelok mulai dari pagi sampai sore hari, itupun jika ada petugas DLLAJRnya, tetapi jika tidak ada mereka lebih memilih untuk langsung jalan lurus. Dengan adanya pemindahan tersebut, maka jalan di depan matahari cilegon tidak lagi macet dan semerawut.
90
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
Dengan pemindahan ini baik pedagang kaki lima dan jalur angkutan kota, maka masyarakat yang ingin berbelanja atau mencari kebutuhannya harus berbelanja ke lokasi tersebut. Semula masyarakat tidak berkeberatan dan mau berbelanja, namun karena angkutan kota pada malam hari tidak melewati jalan tersebut, lama kelamaan masyarakat enggan dan malas untuk datang ke lokasi tersebut. Jika malam hari, maka masyarakat naik angkutan kota kemudian turun di perempatan Ramayana dan jalan masuk ke dalam ke lokasi pedagang. Panjang jalan Kh. Wasid sekitar 400 m. Pada awalnya omzet penjualan dan keuntungan pedagang masih tetap besar, tapi lama kelamaan semakin berkurang dengan semakin berkurangnya masyarakat yang berbelanja disana karena jalur angkot yang tidak masuk Jl. Kh. Wasid sampai malam hari. Karena banyaknya pedagang sementara jumlah lapak yang disediakan oleh pemerintah kurang, maka pedagang yang tidak kebagian lapak memilih tetap berjualan ditempat lama. Akibatnya lapaklapak mereka dihancurkan dan barang dagangan mereka disita petugas. Pedagang kaki lima hanya mampu bertahan selama 3 bulan di tempat yang baru karena omzet penjualan mereka terus menurun sehingga banyak yang mengalami kerugian, selanjutnya para pedagang tersebut memilih kembali ke lokasi semula. Kerugian paling besar dirasakan oleh para pedagang yang menempati lapak-lapak yang cukup jauh dari jalan utama Kota Cilegon. Dari hasil wawancara dengan seorang bapak yang berjualan sandal dan sepatu mengatakan bahwa selama dipindahkan atau selama menempati lokasi yang baru omzet penjualannya turun cukup besar, kerugiannya mencapai 6 juta rupiah. Keuntungan yang diperoleh per hari tidak mencukupi untuk biaya transportasi membawa barang-barang dagangannya. Menurut bapak fahrizal seorang pedagang pakaian menjelaskan bahwa PKL mau dipindahkan ke lokasi yang baru jika lokasi tersebut memang ramai pengunjung
sehingga omzet mereka tidak berkurang. Sementara itu selama ini penataan PKL di di Kota Cilegon terbentur lokasi yang memang pusat keramaian terkonsetrasi pada daerah depan saja yaitu sepanjang jalan protocol. Apa yang disampaikan oleh bapak fahrial didukung juga oleh ibu Ida penjual makanan yaitu uduk khas cilegon, dimana ibu Ida berjualan di depan rumah dinas walikota cilegon atau di daerah sekitar masjid agung Cilegon. Menurut ibu Ida, “saya itu jualan sudah 10 tahunan, semua pelanggan saya taunya saya dagang disini teh, kalo tempat ini ga boleh ada orang dagang, terus dipindahinnya kemana. Langganan saya juga pada ga mau kalo mesti pindah. Susah katanya nyari te Idanya. Udah seh la.. biarin aja dagang disini, wong sama-sama cari makan” Ketika dicrosscek dengan petugas dari dinas ketertiban tentang penataan PKL di Kota Cilegon memang terbentur atau terkendala masalah lahan jika PKL dipindahkan ke lokasi yang baru. Di samping itu pula keterbatasan aparat Dinas Ketertiban untuk memantau secara rutin PKL yang ada di Kota Cilegon. Selama ini penataan PKL sudah dilakukan dengan memberikan batas waktu boleh berjualan. Kalau pagi hari PKL tidak boleh berjualan di sepanjang jalan protocol karena mengganggu arus lalu lintas. Mereka/PKL boleh berjualan mulai dari jam 14 – malam, dan tetap harus menjaga kebersihan dengan tiap PKL menyediakan sendiri tempat sampahnya atau sampah sisa dagangannya. Sementara untuk pedagang yang berjualan di Simpang Tiga mereka tidak dipindahkan kemana dan tetap berjualan dilokasi mereka. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan diantara para pedagang. Kota Cilegon dengan luas lahan hanya 17.355 Ha dengan keramaian kota terpusat di jalan protocol menghadapi kesulitan dalam rangka melaksakan penertiban terhadap pedagang kaki lima dalam hal keterbatasan lahan. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini adalah Pemerintah Kota Cilegon melakukan kerja 91
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
sama dengan PT. Kratatau Steel dalam penyediaan lahan yang digunakan bagi pedagang kaki lima. Untuk mengatasi masalah pedagang kaki lima di kawasan Simpang Tiga khususnya yang berjualan dipelataran masjid agung Al-Hadid yang berada di lahan milik PT. Krakatau Steel, PT. KS menyediakan lahan kosong miliknya yang berada di jalan Sumampir Desa Ramanuju. Pemerintah Kota telah membuat batas tembok. Di lahan tersebut telah dibangun 74 lapak dan secara formal pedagang yang akan menempati lahan tersebut tidak dipungut bayaran, mereka tinggal menempati dan membayar iuran listrik yang mereka gunakan. Dalam pengamatan peneliti, lokasi tersebut belum digunakan oleh para pedagang dari kawasan simpang tiga. Hal ini dikarenakan jalan tersebut merupakan jalan menuju stadiun sumampir yang kurang ramai dilewati masyarakat. Dalam pengamatan peneliti baru ada 5 pedagang makanan dan minuman yang membangun lapaknya disana. Dan meskipun sudah disediakan tempat, masih banyak pedagang dipelataran masjid Al-Hadid yang tidak pindah dan membongkar lapaknya. Menurut mereka omzet penjualan mereka pasti akan berkurang dan jika ditempat baru tersebut, maka akan banyak kehilangan pelanggan. Di lokasi tersebut (depan pelataran masjid AlHadidi) merupakan halte pemberhentian bus, menurut pedagang rokok dan koran, mereka akan kehilangan pelanggan dan pembeli yang sambil menunggu bis, mereka/penumpang bisa membeli koran dan rokok tanpa harus jauh-jauh jalan ke sumampir. Masih menurut pedagang, pasti pembeli akan enggan dan malas untuk berjalan jauh jika hanya ingin membeli rokok, minuman dan ringan dan surat kabar atau majalah. Sebaiknya jika pemerintah sudah menyediakan lahan dan tempat, pemerintah juga harus menerapkan sanksi yang tegas kepada para pedagang yang tidak mau pindah lokasi dan mereka tenang-tenang saja meskipun ada petugas tantib yang ada.
Biasanya pada hari senin atau awal minggu, petugas tantib datang dan para pedagang yang sudah mengerti jadwal dan jam kedatangan mereka, pedagang biasanya menggelar dagangannya lebih menjorok lagi ke pelataran masjid bahkan ada yang beberapa jam menutup dahulu dagangannya untuk kemudian membuka lagi jika petugas tantib sudah pergi. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 pada Bab VI pasal 9 menyebutkan mengenai sanksi administrasi, Bab VII pasal 10 tentang Ketentuan Pidana dan Bab VIII pasal 11 tentang Ketentuan Penyidikan. Dalam bab tersebut terdapat dua sanksi yang dapat diterapkan kepada para pedagang kaki lima yaitu sanksi adminstrasi dan sanksi tindak pidana. Dalam sanksi administrasi, maka pedagang yang tetap membandel dengan menggelar dagangannya di trotoar jalan, maka barang dagangannya akan disita dan lapaknya akan dihancurkan. Dan dalam pelaksanaan Perda No. 6 Tahun 2003 ini paling banyak menggunakan sanksi yang berupa sanksi administrasi. Ketika terjadi penertiban, maka para pedagang yang membandel akan disita barang dagangannya dan lapaknya akan dihancurkan, untuk kemudian barang dagangan mereka dikumpulkan pada lahan di belakang kantor secretariat pemerintah Kota Cilegon. Kemudian dinas ketertiban akan memanggil pada pedagang tersebut dan dikumpulkan pada dinas ketertiban untuk kemudian diberi pengarahan dan penjelasan. Baru kemudian jika para pedagang mau menempati lokasi yang baru, barang dagangannya akan dikembalikan, tetapi jika tidak, maka barang dagangannya akan tetap disimpan. Dari hasil wawancara dengan para pedagang yang cukup sering terkena aksi penertiban, mereka lebih memilih untuk tidak mengambil barang dagangannya yang disita dan menganggap itu sebagain bagian dari kerugian dagang mereka karena mereka enggan berurusan dengan hal-hal seperti itu. Menurut Dinas Ketertiban setelah mereka melakukan aksi penertiban, maka beberapa hari kemudian mereka akan memanggil para 92
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
pedagang kaki lima menurut jenis dagangannya dan diberikan pengarahan. Contohnya pada bulan Juli lalu, Dinas Ketertiban memberikan pengarahan kepada para pedagang kembang di daerah Cibeber yang meletakkan dagangannya di trotoar jalan yang sangat mengganggu dan menghalangi pejalan kaki. Sanksi yang selama ini digunakan adalah sanksi administrasi, sementara sanksi yang berupa sanksi pidana tidak pernah dilakukan. Dalam Bab V pasal 8 dijelaskan mengenai pembinaan pedagang kaki lima yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Bentuk pembinaan yang selama ini dilakukan adalah dengan melakukan pendataan dan menempatkan pada lokasi yang baru. Namun sayangnya pembinaan ini kurang berhasil, karena dinas perindustrian dan perdagangan hanya melakukan pemindahan lokasi saja, tidak disertai dengan pembinaan yang lainnya. Dari hasil wawancara dengan bagian Pasar Diperindag Kota Cilegon baru tahap wacana akan ada dana bergulir yang diberikan kepada para pedagang kaki lima. Sejak tahun 2011 Kota Cilegon terdapat program Satu Milyar Satu Kecamatan yang merupakan salah satu bentuk pemberdayaan ekonomi masyarakat untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Kota Cilegon. Program Satu Milyar Satu Kecamatan sendiri sebenarnya merupakan program kemitraan antara pemerintah dengan beberapa perusahaan swasta yang ada di Kota Cilegon. Dana program satu milyar satu kecamatan salah satunya bersumber dari dana CSR perusahaan Kota Cilegon yang kemudian dikelola oleh lembaga yang disebut dengan Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Ketika ditanyakan kepada pedagang tentang program tersebut banyak pedagang yang menjawab tidak mengetahuinya. Ketika ditanyakan kepada bapak Fahrizal, beliau menjawab “ program apa itu? Kalo diiklan saya emang pernah denger, Cuma gimana
bisa dapet dana itu saya ga tau. Selama ini saya dagang pake modal sendiri bu’. Saat peneliti bertanya kepada bapak Udin pedagang asongan berupa rokok dan minuman di depan masjid Al-Hadid tentang adanya dana bantuan dari program CCSR, bapa Udin menjawab “ga tau teh soal program itu. Kalo emang bisa dapet bantuan modal mah saya juga pengen, biar dagangan sayanya lebih banyak lagi. Sekarang ini modal saya pas-pasan. Jadi ga bisa banyak. Kebutuhan banyak, kalo ga jualan bisa ga makan anak istri saya. Harusnya wong gede itu memperhatiin masyarakat miskin kaya saya teh. Pengen banget saya kalo bisa dapet bantuan dana itu.” Program dana bergulir yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat melalui Program Satu Milyar Satu Kecamatan memang belum menyentuh seluruh masyarakat, terutama bagi pedagang kaki lima. Berdasarkan kajian pustaka yang peneliti lakukan, Sasaran program Satu Milyar Satu Kecamatan adalah rumah tangga sasaran yang dikategorikan miskin tetapi memiliki kemampuan berwirausaha atau pemberian modal tersebut bertujuan untuk menumbuhkan jiwa berwirausaha pada masyarakat. Program ini bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di Kota Cilegon. Menurut bapak M Satiri menyatakan bahwa penataan dan pembinaan PKL di Kota Cilegon selama ini masih terkendala lokasi pemindahan dan pembinaan yang kurang berkelanjutan, terutama di sekitar masjid agung Cilegon bertujuan untuk menata kota lebih baik dan rapi. Selain itu juga keberadaan masjid agung seharusnya digunakan untuk kegiatan beribadah, bukan berjualan. Karena keberadaan PKL di sekitar masjid menggangu lahan parker masyarakat yang akan beribadah. Keberadaan pedagang kaki lima yang menjadi solusi dari sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal membuat keberadaan pedagang kaki lima di hampir
93
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 2, Desember 2015
seluruh daerah sulit untuk dibatasi jumlahnya. Hal ini menjadi suatu hal yang dilematis karena satu sisi PKL dapat menjadi solusi untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran, di sisi lain, keberadaan PKL lebih banyak menggunakan tempat-tempat public yang seharusnya digunakan untuk fasilitas umum masyarakat bukan untuk berdagang atau kegiatan ekonomi. Keberadaan PKL dapat memberikan kontribusi positif bagi peningkatan pendapatan asli daerah jika ditata dan dibina dengan baik, bahkan dapat menjadikan ikon atau cirri suatu daerah, seperti pedagang kaki lima di daerah Malioboro Yogyakarta. Bahkan turis atau wisatawan dianggap belum ke Yogyakarta jika belum mengunjungi malioboro. Hal ini tentu seharusnya menjadi pemicu pemerintah Kota Cilegon untuk lebih serius menata dan membina pedagang kaki lima agar dapat menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah dan mengurangi pengangguran di Kota Cilegon.
Saran 1. Penataan PKL berdasarkan jenis dagangan sehingga memudahkan bagi pembeli untuk mendatangi lokasi berjualan 2. Pembatasan waktu berjualan yang tegas dengan pemberian sanksi bagi yang melanggar 3. Pemerintah Kota Cilegon harus membangun atau memperluas daerah yang mudah dijangkau oleh masyarakat dan pedagang 4. Pemerintah Kota Cilegon seharusnya memperluas jangkauan angkutan umum untuk mempermudah masyarakat menjangkau lokasi berjualan. Daftar Pustaka Dunn, William. 2002. Evaluasi Kebijakan Publik. Gajahmada Press, Yogyakarta Islamy, M. Irfan. 2000. Kebijakan Publik. Karunia, Jakarta Wicaksana, Kristian. 2001. Kebijakan Publik. Bandung
E. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan temuan di lapangan dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan tentang pengendalian pedagang kaki lima di Kota Cilegon belum berjalan optimal. Dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah PKL di Kota Cilegon. Upaya penataan dan pembinaan PKL juga belum berjalan dengan baik.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung Peraturan Daerah Kota Cilegon No. 6 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pedagang Kaki Lima Peraturan Daerah Kota Cilegon No. 5 Tahun 2003 tentang Keindahan, Ketertiban dan Keamanan Rina
Yulianti dan Rahmawati. 2004. Implementasi Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2003 tentang Pengendalian Pedagang Kaki Lima
94