ISSN 1997-293X Vol. VII No. 1, Juni 2015 TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Ir. Pryo Handoko, MM (Ketua STIA Banten)
Pembina
: Dr Dirlanudin, M.Si (Wakil Ketua I STIA Banten) : Ihin Solihin, S.AP, M.Si (Wakil Ketua III STIA Banten)
Mitra Bestari
: Prof. Dr. Drs. H. Sam’un Jaja Raharja, M.Si (Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP Universitas
Padjadjaran)
Pemimpin Umum
: Prof. Dr. H. Ahmad Sihabudin, M.Si (Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya Universitas Sultan Agung Tirtayasa) : Dra. Atik Atiatun Nafisah, MM (Ketua LPPM STIA Banten)
Dewan Editor Ketua Anggota
: : : : : :
Dr. Dirlanudin, M.Si Dr. Agus Lukman Hakim, S.E., M.Si. Dr. Agus Sjafari, M.Si Leo Agustino, Ph.D Dra. Atik Atiatun Nafisah, MM Juliannes Cadith, S.Sos, M.Si
Ketua Sekretaris Bendahara Tata Usaha dan Kearsipan Distribusi dan Sirkulasi
: : : : :
Ade Hadiono, ST, M.Si Samsul Ode, S.Sos, M.Si Herawati Litono, SP Adi Purwanto, S.AP
Alamat Redaksi
: LPPM STIA Banten Jl Raya Serang Km. 2 No. 42 Kadumerak Pandeglang 42251 Telp. (0253)5500250 – 5207579 – 5207577 Website: http//www.stiabanten.ac.id. Email :
[email protected] [email protected]
Redaksi Pelaksana
Jurnal Niagara merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan dua kali setahun oleh Lembaga Penellitian dan Pengabdian Masyarakat berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.
i
PENGANTAR REDAKSI
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi, Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 dapat kembali hadir dan sampai pula ditangan Anda, baik dari komunitas ilmuwan, praktisi dan pemerhati ilmu administrasi. Terbitan edisi pertama tahun ini, berisikan tulisan dari rekan-rekan dosen di Fisip Untirta dan di lingkungan STIA Banten yang dengan setia selalu mengisi agar konsistensi penerbitan jurnal ini tetap terjaga. Redaksi berharap semua artikel dalam jurnal kali ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi dan wawasan pengetahuan, baik dalam bidang administrasi ataupun lainnya. Kami menyadari dalam penyajian materi jurnal edisi kali ini tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, Untuk itu kami mohon maaf dan mohon masukan untuk penyempurnaaan edisi mendatang. Selamat membaca, dan terima kasih atas partisipasi dan dukungannya.
Pandeglang, Juni 2015
Redaktur Pelaksana
ii
DAFTAR ISI TIM REDAKSI .............................................................................................................. PENGANTAR REDAKSI .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
ii iii
ANALISIS PERAN MAJELIS TAKLIM SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN NONFORMAL PEREMPUAN (Studi di Majelis Taklim At-Taqwa Ciwaktu Kota Serang) Oleh: Hj. Ima Maisaroh dan Titi Stiawati .............................................................
1
PRIORITAS KEBUTUHAN MASYARAKAT PADA PELAYANAN PUBLIK DI KECAMATAN TAKTAKAN KOTA SERANG Oleh: Juliannes Cadith .............................................................................................
8
SINERGITAS ANTARA PEMERINTAH DAERAH, PELAKU USAHA DAN MASYARAKAT DI DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PROVINSI BANTEN Oleh: Rina Yulianti ....................................................................................................
26
AKTIVITAS KADER PEREMPUAN DALAM KOMUNIKASI POLITIK (Studi Kasus di PDI Perjuangan DPD Banten) Oleh: Mia Dwianna W., Andin Nesia, Amelia Utami Putri ................................
33
MANAJEMEN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBASIS SOSIAL DAN BUDAYA PADA ANGGOTA PKK (PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA) DI KECAMATAN CIBEBER KOTA CILEGON Oleh: Titi Stiawati .....................................................................................................
42
PEMBERDAYAAN GENERASI MUDA UNTUK MEWUJUDKAN PERTAHANAN NEGARA Oleh: Rurry Andryanda ...........................................................................................
50
MENYEMBUHKAN PENYAKIT BIROKRASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA Oleh: Hj. Jumanah .....................................................................................................
56
iii
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 ANALISIS PERAN MAJELIS TAKLIM SEBAGAI MODEL PENDIDIKAN NON FORMAL PEREMPUAN ( Studi di Majelis Taklim At Taqwa Ciwaktu Kota Serang ) Oleh : Hj. Ima Maisaroh dan Titi Stiawati Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Majelis Taklim At Taqwa adalah sebuah lembaga pelaksana dan pengelola serta sekaligus sebagai media pendidikan non-formal yang diselenggarakan oleh masyarakat dan telah dirasakan manfaatnya baik oleh jamaahnya, masyarakat umum maupun lembaga-lembaga eksternal yang pernah bekerjasama dengan Majelis Taklim ini. Lembaga ini diselenggarakan sebagai media layanan pendidikan non-formal bagi kaum perempuan guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang mencakup peribadatan (ubudiyah), sikap, perilaku dan pergaulan yang baik (‘amaliyah), serta kaidah-kaidah hukum dalam Islam (syar’iyyah). Bahkan dari pengamatan yang peneliti lakukan, kini majelis-Majelis Taklim juga diselenggarakan dan dikelola oleh partai-partai politik sebagai salah satu strategi “marketing” dan penjaringan konstituen dan kepentingan politik partai. Pengelola maupun sumber belajar pada Majelis Taklim tidak lagi hanya oleh orang-orang yang sudah “sepuh” dan “ringkih” dengan kepala dililit sorban lusuh. Kini sudah banyak Majelis Taklim yang dikelola oleh orang-orang yang masih belia dan berpenampilan “kelimis” dengan muatan dan metoda pengajaran yang sudah lebih beraneka ragam namun tetap terkait erat dengan visi dan misi keberadaan sebuah Majelis Taklim. Minat masyarakat untuk belajar dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saat ini sudah semakin meningkat namun sayangnya biaya pendidikan baik pendidikan formal maupun non-formal semakin hari semakin tinggi. Pada hal, untuk mengakses pendidikan mestinya memang lebih mudah karena Undang-Undang Dasar telah mengamanatkan bahwa 20% dari total nilai APBN dan APBD dialokasikan untuk biaya pendidikan. Program Pendidikan Paket A, Paket B dan Paket C yang mestinya bisa diakses dengan mudah dan murah oleh masyarakat, saat ini masih menjadi bahan pidato belaka karena pada kenyataannya untuk mengakses program-program pendidikan tersebut masih sulit dijangkau. Terlebih dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) yang telah menyebabkan semua harga bahan kebutuhan pokok melonjak dan membuat rendahnya daya beli masyarakat, termasuk biaya untuk pendidikan menjadi relative rendah.
Kata Kunci : Majelis Taklim, Model Pendidikan Non formal, Perempuan
4
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 ANALYSIS OF THE ROLE MAJELIS TAKLIM AS NON FORMAL MODEL EDUCATION FOR WOMEN (Study at Majelis Taklim At Taqwa Ciwaktu District Serang) By : Hj. Ima Maisaroh dan Titi Stiawati Faculty of Social and Politic Science Untirta ABSTRACT Majelis Taklim At Taqwais an implementing agency, media managers and non-formal education organized by the community and has been well perceived benefits by the congregation, the general public and external agencies who have worked with this Majelis Taklim.The institute is organized as a media service non-formal education for women in order to improve knowledge and understanding of the religious that includes worship (ubudiyah), attitudes, behavior and social relationships ('amaliyah), as well as rules of law in Islam (syar'iyyah).Even from the observation that researchers do, now Majelis Taklim also organized and managed by political parties as a strategy of "marketing" and crawl constituents and party political interestsManager and learning resources at Majelis Taklim no longer just by those who are already old and fragile with a head wound turban worn. Now many Majelis Taklim managed by people who are young and looking "clean-shaven" to the charge of teaching and learning methods that are more diverse but still closely linked to the vision and mission of the existence of a Majelis Taklim.Interest of the community to learn and improve their knowledge and skills is now increasing, but unfortunately the cost of education both formal and non-formal increasingly high.In the case, access to education should indeed be easier because the Constitution has mandated that 20% of the total value of national and regional budgets allocated for education.Education Program Package A, Package B and Package C that should be accessed easily and inexpensively by the community, is still a matter of mere speech due to the fact that access to educational programs is still difficult to reach.Moreover, with the rising price of fuel oil (BBM) which has led to all basic commodities soared and made the low purchasing power of the community, including the cost of education is relatively low. Keywords: Assembly Taklim, Model Non-formal Education, Women
5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 A. PENDAHULUAN Dalam Sisitem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan masyarakat. Dalam konteks itu, pendidikan secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan non-formal, atau pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah, yang antara satu dengan lainnya memiliki keterkaitan fungsional saling melengkapi. Pendidikan informal adalah aktivitas dan proses pendidikan paling dasar yang dilakukan oleh masyarakat secara mandiri di dalam lingkungan keluarga oleh orang yang telah dewasa terhadap orang yang belum dewasa. Biasanya dilakukan oleh orang tua terhadap anak-anaknya. Di dalam pendidikan informal ini, tidak dikenal Sistem dan pola penyelenggaraan pendidikan secara terstruktur dan baku seperti kurikulum, metoda maupun evaluasi, melainkan dilakukan secara lentur dan sangat variatif. Sangat tergantung pada latar belakang dan kondisi Sosial ekonomi orang tua. Namun demikian, pendidikan informal atau pendidikan keluarga ini memiliki urgensi sangat tinggi terhadap masa depan dan kepribadian si anak kelak maupun kehidupan Sosial suatu komunitas masyarakat. Di dalam kehidupan keluarga inilah dinamika dan proses pendidikan dalam arti yang sesungguhnya terjadi. Majelis Taklim adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang bergerak dalam transformasi dan transmisi pelajaran dan nilai-nilai agama Islam. Lembaga keswadayaan masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan luar sekolah ini tersebar baik di lingkungan masyarakat perdesaan maupun di perkotaan. Biasanya dilaksanakan di rumah-rumah ulama, pesantren, masjid ataupun balai pertemuan dan dikelola oleh ulama sebagai nara sumber ataupun oleh pengasuh pesantren yang dilakukan secara swadaya dan swakelola, dan oleh organisasi kemasyarakatan sebagai salah satu bentuk layanan kepada para anggotanya. Bahkan dari
pengamatan yang peneliti lakukan, kini majelis-Majelis Taklim juga diselenggarakan dan dikelola oleh partai-partai politik sebagai salah satu strategi “marketing” dan penjaringan konstituen dan kepentingan politik partai. Terlepas dari siapa ataupun lembaga apa yang melaksanakan dan mengelola Majelis Taklim ini, peneliti melihat bahwa Majelis Taklim – karena muatan “kurikulumnya” dan pola penyelenggaraannya yang lentur ini – telah menjadi fakta Sosial yang ada dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, baik remaja maupun dewasa, dengan latar belakang yang variatif dari kalangan yang tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan formal maupun oleh kalangan masyarakat yang telah memperoleh pendidikan yang cukup tinggi. Sebagai salah satu sub-sistem pendidikan nasional dan upaya pengembangan mutu sumber daya manusia yang banyak diminati masyarakat – terutama oleh kaum perempuan, Majelis Taklim perlu memperoleh perhatian dan dukungan serius dari lembaga pemerintah terkait dan semua stake holder pendidikan termasuk Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dengan memperoleh perhatian dan dukungan yang serius, diharapkan peranan, fungsi dan manfaat keberadaan Majelis Taklim dapat ditingkatkan dan optimal. Namun agar perhatian dan dukungan tepat sasaran maka perlu dilakukan studi/penelitian yang komprehensif. B. METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002:136). Untuk mengetahui masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini menggunakan metode dengan pendekatan kualitatif. C. HASIL DAN PEMBAHASAN Di Kota Serang sebagai ibukota Propinsi Banten terdapat banyak Majelis Taklim, baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga
6
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 pesantren, pemerintah, swasta maupun masjid. Masjid-masjid yang menyelenggarakan kegiatan Majelis Taklim pada umumnya adalah masjid yang dikelola dengan baik oleh organisasi pengelola yang dikenal dengan istilah Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), salah satu diantaranya adalah Masjid At-Taqwa dengan nama Majelis Taklim At-Taqwa yang menjadi obyek penelitian ini. Majelis Taklim Masjid At-Taqwa terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani RT 001 / RW 002 Kampung Ciwaktu Lor, Desa Sumur Pecung, Kecamatan Serang, Kota Serang. Majelis Taklim At-Taqwa adalah salah satu program kegiatan DKM Masjid At-Taqwa yang diselenggarakan secara rutin dan memiliki jamaah yang sangat banyak, baik jamaah perempuan maupun laki-laki. Namun sesuai dengan judul penelitian ini maka pembahasan hasil penelitian ini difokuskan pada Majelis Taklim dengan jamaah kaum perempuan. Kegiatan Majelis Taklim At Taqwa bagi kaum perempuan dipimpin oleh Ibu Hudaefah dengan seorang narasumber tetap bernama Ustadz Jakaria. Dalam satu bulan dilaksanakan 4 (empat) kali kegiatan Pengajian, yaitu setiap hari Minggu Sore mulai jam 16.00. Jumlah jamaah yang hadir dalam setiap kegiatan ratarata sekitar 70 orang. Selain berasal dari lingkungan Ciwaktu Lor, kegiatan pengajian juga dihadiri oleh jamah yang berasal dari tempat lain di Kota Serang. 1. Pelajaran dan Pengetahuan Kegiatan pembelajaran pada Majelis Taklim pada umumnya dikenal dengan istilah atau sebutan Pengajian. Sebagaimana layaknya pembelajaran pada Pengajian umumnya, materi pokok yang diajarkan adalah pelajaran keagamaan, terutama pelajaran Fikih secara umum yang meliputi ubudiyah, amaliah dan syar’iyah.Pelajaran Ubudiyah adalah pelajaran tentang ketuhanan (aqidah) dan tata cara beribadah. Pelajaran ‘Amaliyah adalah pelajaran mengenai sikap dan perilaku sopan santun atau amal perbuatan manusia (adab dan akhlak), baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Sedangkan pelajaran Syar’iyah adalah
pelajaran tentang hukum dalam Islam, serta sejarah keislaman (tarikh). Di luar Pengajian yang merupakan kegiatan pokok, jamaah Majelis Taklim At Taqwa juga sering kali memperoleh berbagai ilmu pengetahuan yang bersifat umum. Antara lain pengetahuan yang terkait dengan masalah perawatan dan pendidikan anak (PAUD), penanggulangan dan pencegahan tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hak-hak dan kewajiban perempuan, pengetahuan tentang gizi keluarga, kesehatan rumah tangga dan lingkungan, keluarga berencana, ekonomi keluarga, pemilihan umum kepala daerah, dan lain-lain. Materimateri tersebut diberikan oleh lembagalembaga / institusi yang bekerja sama dengan Majelis Taklim untuk sosialisai programprogram mereka. Oleh karenanya kegiatankegiatan tambahan ini bersifat insidental, sewaktu-waktu sesuai dengan jadwal pelaksanaan program lembaga-lembaga tersebut. Berkenaan dengan gambaran tersebut di atas, Majelis Taklim At Taqwa memiliki nilai guna yang besar baik dipandang dari sisi masyarakat sebagai jamaah dan subyek penerima manfaat maupun dari sudut pandang lembaga-lembaga yang bekerjasama dan mendayagunakan Majelis Taklim untuk merealisasikan program-program mereka. Dari sudut pandang masyarakat, jamaah Majelis Taklim At Taqwa memperoleh pelajaran ilmu pengetahuan keagamaan yang mereka butuhkan dengan biaya murah dan waktu yang relatif lentur, sedangkan dari sudut pandang lembaga-lembaga eksternal yang mendayagunakan Majelis Taklim at Taqwa, mereka memiliki mitra strategis sebagai “obyek” pelaksanaan program yang bisa mereka “gunakan” kapan pun dengan biaya yang sangat murah, tanpa harus mengumpulkan orang yang biasanya harus dilakukan melalui persiapan yang rumit. Dengan demikian, kerjasama antara lembaga-lembaga eksternal penerima manfaat dengan Majelis Taklim sesungguhnya potensi “modal sosial” yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut bagi
7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 peningkatan mutu layanan Majelis Taklim bagi masyarakat. 2. Metodologi Pembelajaran Metodologi pembelajaran yang digunakan di Majelis Taklim pada umumnya menggunakan Metode Klasikal, begitu pula metodologi pembelajaran yang digunakan di Majelis Taklim At-Taqwa Ciwaktu Lor Serang. Dalam setiap kegiatan pembelajaran pada pengajian, metode yang dipakai cenderung monoton, yaitu Ceramah dan Tanya Jawab. Pengajian di Majelis Taklim At Taqwa terdiri dari empat mata acara, yang terdiri dari: 1) Shalawatan, yaitu pembacaan Shalawat Nabi yang dipimpin oleh salah seorang jamaah, dilakukan oleh jamaah sambil menunggu Kiai atau Ustadz sebagai narasumber; 2) Tadarus, yaitu pembacaan salah satu Surat Al qur’an yang dipimpin oleh Ustad; 3) Ceramah, yaitu penyampaian materi pengajian yang dilakukan langsung oleh Ustad sebagai satusatunya narasumber; 4) Tanya Jawab, yaitu suatu sessi pengajian yang dilaksanakan setelah Ustadz menyampaikan materi pokok pengajian. Tahapan ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada jamaah guna menyampaikan pertanyaan atau pendapat terkait terkait dengan materi; 5) Doa Penutup, dilakukan setiap akhir dari pengajian Dalam pembelajaran di Majelis Taklim At-Taqwa, selain digunakan metodologi pembelajaran yang masih klasikal (dengan segala kekurangan dan kelebihannya), proses belajar mengajar memiliki tingkat ketergantungan yang sangat tinggi kepada Kiai sebagai satu-satunya narasumber. Oleh karenanya seringkali kegiatan pengajian tidak berlangsung utuh jika karena satu dan lain hal narasumber berhalangan hadir. Akibatnya, jika narasumber tidak datang pengajian tidak berlanjut. Inilah salah satu kekurangan yang menurut hemat peneliti perlu diperbaiki dan
disempurnakan supaya proses pembelajaran dan transformasi bisa berlangsung efektif dan efisien. 3.Media Pendidikan Yang Digunakan Sebagaimana metodologi pembelajaran, Media Pendidikan yang dipergunakan di Majelis Taklim At Taqwa pun masih relatif sederhana dan cenderung apa adanya – bahkan asal ada. Dari pengamatan selama proses penelitian, media pendidikan yang digunakan di Majelis Taklim At Taqwa Ciwaktu Lor tidak lebih dari 4 (empat) jenis media, yaitu sound system sederhana (mikropon, amplyfier dan speaker), papan tulis dan spidol, kitab suci Al Qur’an dan buku-buku kumpulan doa. Mengingat perkembangan kemajuan teknologi dan media pendidikan saat ini serta kompleksitas materi pembelajaran yang diberikan di Majelis Taklim, ke depan perlu dilakukan pebaikan dan penyempurnaan yang menyangkut ketersediaan dan kelengkapan media pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan materi yang disampaikan agar terlaksana kegiatan belajar mengajar yang optimal, efektif dan efisien. 4. Manfaat Majelis Taklim At-Taqwa Baik dipandang dari sudut masyarakat umum, jamah, maupun pemerintah dan lembaga-lembaga lain yang pernah bekerjasama dengan Majelis Taklim At Taqwa, keberadaan Majelis Taklim At-Taqwa memiliki peranan, fungsi, dan manfaat yang besar. Dari sudut pandang masyarakat, mereka memperoleh manfaat dengan meningkatnya pemahaman ilmu agama sebagai bekal ibadah dan meningkatnya pengetahuan umum kaum perempuan bagi kebaikan keluarga dan rumah tangga. Dari sudut pandang jamaah, mereka memperoleh peningkatan ilmu agama dan pengetahuan umum yang bisa mereka dedikasikan baik untuk dirinya dalam beribadah, melayani keluarga maupun pergaulan di masyarakat. sementara bagi lembaga-lembaga pemerintah maupun lainnya, mereka memiliki target audience yang sudah matang tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk melakukan 8
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 pengumpulan orang dan pembentukkan maupun pembinaan kelompok sasaran.
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya kaum permpuan.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
2 Saran
1. Kesimpulan
Sebagai lembaga dan media pendidikan non-formal bagi kaum perempuan yang dirasakan dan dibutuhkan keberadaannya, kepada Majelis Taklim At Taqwa secara kelembagaan perlu diberikan empowerment. Yaitu upaya terencana dan dan sistematis guna mereduksi kekurangannya dan meningkatkan kelebihannya dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada kaum perempuan. Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan non-formal bagi kaum perempuan, para pengelola Majelis Taklim AtTaqwa perlu memperoleh peningkatan kapasitas pengetahuan dan keterampilan tata-laksana organisatoris dalam merancang program dan penyelenggaraan layanan pendiidikan bagi kaum perempuan. Sebagai media pendidikan non-formal bagi kaum perempuan maka sarana dan prasarana Majelis Taklim At Taqwa perlu dilengkap seoptimal mungkin sehingga peranan dan fungsinya dapat terlaksana dengan optimal, efektif dan efisien. Hal-hal yang perlu disempurnakan antara lain penatalaksanaan organisasi, penyiapan dan penambahan SDM Pengelola dan Sumber Belajar, program dan kurikulum pelajaran serta nilai-nilai keislaman maupun pengetahuan umum yang akan ditransformasikan, dan berbagai alat bantu penunjang pendidikan baik yang berupa hardware maupun software yang dibutuhkan.
Majelis Taklim At Taqwa adalah sebuah lembaga pelaksana dan pengelola serta sekaligus sebagai media pendidikan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat dan telah dirasakan manfaatnya baik oleh jamaahnya, masyarakat umum maupun lembaga-lembaga eksternal yang pernah bekerjasama dengan Majelis Taklim ini. Lembaga ini diselenggarakan sebagai media layanan pendidikan non-formal bagi kaum perempuan guna meningkatkan pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang mencakup peribadatan (ubudiyah), sikap, perilaku dan pergaulan yang baik (‘amaliyah), serta kaidahkaidah hukum dalam Islam (syar’iyyah). Selain sebagai media pendidikan nonformal untuk meningatkan pengetahuan dan pemahaman keagamaan, Majelis Taklim At Taqwa juga sekaligus berfungsi sebagai Media Pendidikan Non-formal bagi kaum perempuan yang strategis bagi lembaga-lembaga pemerintah untuk mengedukasi masyarakat sesuai dengan program-program yang mereka canangkan. Baik dalam peranannya sebagai lembaga penyelenggara dan pelaksana maupun dalam fungsinya sebagai Media Pendidikan Non-formal Bagi Kaum Perempuan, Majelis Taklim At-Taqwa adalah modal sosial yang dihimpun dari potensi dan kearifan masyarakat Ciwaktu Lor guna meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Hal ini mencakup dalam konteks peningkatan mutu spiritualitas keberagamaannya sebagai syi’ar Islam; maupun dalam konteks pembentukan masyarakat warga negara yang baik (good cityzenship). Baik dalam konteks peranan maupun fungsinya Majelis Taklim At-Taqwa memiliki kekurangan dan kelebihan sehingga perlu memperoleh perhatian dari stake holder pendidikan dan kemasyarakatan agar Majelis Taklim ini lebih optimal efektif dan efisien
9
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 DAFTAR PUSTAKA Asrohah, Hanun, 2001, Sejarah Pendidikan Islam, Ciputat, Logos, Cetakan II. Bakhtiar, Wardi, 1990, Laporan Penelitian Perkembangan Pesantren di Jawa Barat, Bandung, Balai Penelitian IAIN Sunan Gunung Djati. Dhofier, Zamakhsyari, 1982, Tradisi Pesantren, Jakarta, LP3ES. Kamal Hasan, Muhammad. 1987. Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan Muslim, Jakarta, Lingkaran Studi Indonesia. Kania Kurniawati, Rd. Nia dan Hj. Ima Maisaroh. 2012, Pola Komunikasi Pembangunan Kesehatan Berbasis Majelis Taklim Di Kota Serang – Banten, Jakarta, Jurnal ASPIKOM, Edisi April 213. Langgulung, Hasan. 2001, Pendidikan Islam Dalam Abad Ke 21. Jakarta, PT Al Husna Zikra. Madjid, Nurcholis, 1995, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam Dalam Sejarah, Jakarta, Paramadina. Mastuhu, 1994, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, Seri XX. Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT Remaja Rosda Karya, Cetakan ke 11. Postman, Neil, 2002, Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah, Yogyakarta, Jendela, Cetakan II. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1995,Metode Penelitian Survai, Jakarta, LP3ES, Edisi Revisi, Cetakan II. Soegiyono. 2000. Metode Penelitian Administrasi Negara. Bandung: Alfabeta. Tafsir, Ahmad, 2004, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, Cetakan Ke-4, Wan Daud, Wan Mohd Nor, 2003, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib AlAttas, Bandung, Mizan.
10
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 PRIORITAS KEBUTUHAN MASYARAKAT PADA PELAYANAN PUBLIK DI KECAMATAN TAKTAKAN KOTA SERANG Juliannes Cadith
[email protected] Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Abstract Public expectations in the period of seven years after Serang became an autonomous region have not shown satisfactory results. It was clear from some parameters such as the number GRDP (gross regional domestic product, infant mortality, poverty and the spread of poor households in Serang, as well as the geographically heterogeneous conditions, it needs a development plan to improve the welfare of society in general and the improvement of the apparatus performance in particular in providing services to people in Serang. Therefore, we need a strategic effort in the formulation of regional planning of Serang. One of the ways is through public aspirations to know the needs of the community. This study examines: (1). Priority Needs of Communities in the public services in Taktakan district, Serang, (2) The level of public satisfaction in the public services in the City district Taktakan, Serang (3). Public Service Agency's performance in the district town Tatkakan Serang. This research uses survey method with quantitative approach. The population that will be the object of the research is the whole community that is located in the District of Taktakan. The sampling is determined using a slovin formula with the standard error of 10%. The distribution of samples will be done with proportional area random sampling method. The results showed: 1. The level of the need for public service in the urgent category is 9 (25.71%), quite urgent as much as 18 (51.42%), and less urgent as much as 8 (22, 86%) types of public service that must be done by the government. 2. The assessment of the Taktakan district society is quite satisfactory (the mean score is 1.75) with the services provided by the government. The results of public satisfaction level questionnaire in Taktakan showed a satisfactory assessment of one type of public service (2.86%), were quite satisfied for 13 types of services (37.18%), and not satisfied with 23 types of service (65.71%), (3). As a whole, Taktakan’s society assess the performance of public service institutions is still lacking (themean score is 1:57). Public perception of government agencies that receive sufficient assessment was 10 (28.57%), and not as well 25 (71.43%). Keywords: Aspiration, Apparatus Performance.
11
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 A. Pendahuluan Kota Serang merupakan wilayah baru hasil pemekaran Kabupaten Serang Provinsi Banten pada tahun 2007. Sebagai ibukota provinsi. Terdiri dari 6 (enam) kecamatan yaitu; Kecamatan Serang, Kecamatan Kasemen, Kecamatan Walantaka, Kecamatan Curug, Kecamatan Cipocokjaya dan Kecamatan Taktakan, Kota Serang memiliki luas wilayah 266,77 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 713,380 jiwa (BPS Kota Serang tahun 2012) dan Batas wilayah. Sebelah Utara yaitu Teluk Banten Sebelah Timur yaitu Kecamatan Pontang, Kecamatan Ciruas dan Kecamatan Kragilan Kabupaten Serang, Sebelah Selatan yaitu Kecamatan Cikeusal, Kecamatan Petir dan Kecamatan Baros Kabupaten Serang, serta Sebelah Barat yaitu Kecamatan Pabuaran, Kecamatan Waringin Kurung dan Kecamatan Kramatwatu Kabupaten Serang. Dari 6 (enam) kecamatan tersebut terdiri dari 20 Kelurahan dan 46 Desa. Kehadiran kota serang sebagai daerah baru hasil pemekaran diikuti dengan munculnya harapan masyarakat akan keadaan yang lebih baik . adanya peningkatan kualitas pelayanan publik diasumsikan akan lebih efektif dan efisien dibandingkan daerah induk. Luasnya cakupan wilayah pelayanan daerah induk menjadi penyebab dari kurang efisiennya pelayanan publik yang tersedia. Melalui proses perencanaan pembangunan daerah baru yang lebih terbatas, maka pelayanan publik yang tersedia akan sesuai dengan kebutuhan lokal. Jarak dan rentang kendali yang lebih singkat dan pendek antara birokrasi dan masyarakat akan menciptakan interaksi yang lebih intensif baik bagi pemerintah maupun masyarakat sehingga kebutuhan akan pelayanan publik terpenuhi dengan baik. Harapan masyarakat juga pada aspek Percepatan pertumbuhan ekonomi Pemekaran daerah diasumsikan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah melalui pemanfaatan potensi lokal. Dengan dikembangkannya daerah baru, pemerintah setempat memiliki peluang untuk menggali berbagai potensi ekonomi daerah yang selama ini tidak tergali. Pemekaran daerah juga memungkinkan terciptanya usaha-usaha
baru yang mampu menyerap tenaga kerja baik dari sektor formal maupun informal. Penciptaan usaha-usaha baru diharapkan mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan mendukung proses pemerataan dalam pembangunan. Arus demokratisasi yang makin luas berpengaruh terhadap perubahan kehidupan tata pemerintahan secara paradigmatik. Hampir seluruh aspek tata pemerintahan di pusat hingga daerahmenjadi fokus perhatian segenap elemen masyarakat, terutama yang menyangkut aspek keberpihakan dan pertanggungjawaban publik (accountability) pada keseluruhan mekanisme peran pemerintah dalam pembangunan, yang mencakup seluruh mekanisme input, process, maupun output yang dihasilkannya. Dalam kaitan dengan inilah maka partisipasi publik menjadi sebuah keniscayaan guna membangun akuntabilitas tersebut, di samping transparansi dalampenyelenggaraan pemerintahan. Ekspektasi masyarakat dalam masa tujuh tahun setelah kota serang menjadi daerah otonom belumlah menunjukan hasil yang memuaskan, ini merupakan tantangan bagi pemerintah daerah kota serang berbagai upaya terus dijalankan untuk memberikan pelayanan dasar kepada masyarakat tetapi hasilnya belumlah sesuai dengan harapan sebagian besar masyarakat. Penilaian secara objektif harus kita lakukan untuk menilai capaian pemerintah kota serang, berikut ini beberapa parameter untuk menilai kinerja pemerintah kota serang; 1. Dilihat dari Produk Regional Bruto Produk regional domestic brutu adalah angka total pendapat perkapita disuatu wilayah merupakan konsep yang paling sering dipakai sebagai tolak ukur tingkat kesejahteraan ekonomi penduduk disuatu wilayah . berikut ini data PDRB kota serang.
12
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Di Kota Serang Tahun 2008-2011 (Juta Rupiah) No Tahun PDRB PDRB Perkapita 1
2008
4.354.137
8,827
2
2009
4.806.605
9,653
3
2010
5.420.248
9,381
4.
2011
6.441.733
10,870
Sumber : Kota Serang Dalam Angka Jika dilihat dari data di atas memang terjadi peningkatan PDRB dari tahun ketahun, rata-rata kenaikannya adalah sebesar 9.68%. 2. Angka Kematian Bayi Salah satu parameter untuk mengukur tingkat pembangunan kesehatan masyarakat adalah dengan mengetahui angka kematian bayi. Indikator ini dipergunakan untuk melihat perkembangan kota/daerah/wilayah dari kondisi harapan hidup bayi, berikut ini data tingkat angka kematian bayi dikota serang. Tabel 2 Angka Kematian Bayi per 1000 Kelahiran Hidup Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2009 Kabupaten/Kota No
Nama Kabupaten/kota
% Angka Kematian Bayi
1
Kabupaten Serang
56.51
2
Pandeglang
54,64
3
Lebak
55,96
4
Kota Serang
50,03
5
Tangerang
45,87
6
Kota Tangerang
34,68
7
Kota Tangerang Selatan
34,31
8
Kota Cilegon
33,93
Sumber : Kota Serang dalam Angka Dari data diatas kita bisa melihat bahwa tingkat persentase angka kematian bayi di provinsi banten berkisar antara 33,93% 56,51 % , suatu kondisi yang masih cukup memprihatinkan dan harus mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah, dan kondisi juga terjadi dikota serang dimana persentase angka kematian bayi dikota serang sebesar 50.03%. 3. Tingkat kemiskinan Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan disuatu negara/daerah/wilayah sangat tergantung pada tingkat pendapatan dan lebar sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan, jelas setinggi apapun tingkat pendapat perkapita yang dicapai suatu wilayah selama distribusi pendapatannya tidak merata maka kemiskinan di suatu wilayah/daerah tidak akan bisa diatasi. Berikut jumlah keluarga miskin dikota serang. Tabel 3 Jumlah Keluarga Fakir Miskin dan Angka Kemiskinan di Kota Serang Tahun 2008-2011 No Tahun
Keluarga Miskin
Angka Kemiskinan (%)
1
2008
7.765
1,57
2
2009
20.644
4.14
3
2010
20.315
3.51
4.
2011
20.315
3.43
Sumber: kota serang Dalam Angka Jumlah keluarga miskin dan angka kemiskinan dikota serang cenderung meningkat dari tahun ketahun, dan peningkatan terbesar terjadi ditahun 2009 dengan jumlah keluraga miskin 20.644 atau terjadi kenaikan sebesar 12.879 rumah tangga miskin dan angka kemiskinan naik sebesar 2.57%
13
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Tabel 4 Jumlah dan Sebaran Rumah Tangga Miskin Di Kota Serang
21.215
Jumlah Rumah Tangga Miskin 4.904
23.12
68.298
11.225
2.557
22.78
Kasemen
81.695
23.502
6.180
26.30
4
Tattakan
63.763
6.465
1.985
30.70
5
Walantaka
61.451
9.144
2.557
27.96
6
Curuq
47.346
12.134
2801
23.07
Total
497.910
83.685
20.984
25.07
No
Kecamatan
Jumlah Penduduk
Jumlah Rumah Tangga
1
Serang
180.055
2
Cipocok Jaya
3
Sumber : Kota Serang Dalam Angka Jika dilihat dari data diatas sebaran rumah tangga miskin di kota serang kecamatan yang tertinggi Jumlah Rumah Tangga miskin adalah kecamatan kasemen (6180 RTM) sedangkan yang terendah yaitu kecamatan taktakan (1.985 RTM). Sedangkan dari sisi Persentasi dari keseluruhan jumlah rumah tangga dimasing kecamatan, persentasi yang tertinggi adalah kecamatan tatakan (30,70%) dan yang terendah adalah kecamatan Curuq sebesar 26%. Melihat kondisi sosial ekonomi masyarakat dan kondisi geografis yang heterogen maka dibutuhkan sebuah perencanaan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan demi peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan peningkatan kinerja aparatur pada khususnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat Kota Serang. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya strategis dalam perumusan perencanaan daerah Kota Serang. Salah satu cara yang dapat ditempuh melalui penjaringan aspirasi masyarakat untuk mengetahui kebutuhan masyarakat. Hal ini sangat penting mengingat dalam proses pembangunan penyerapan aspirasi/keinginan/kebutuhan masyarakat mutlak diperlukan . tanpa pemanfaatn partisipasi masyarakat secara baik dan
%
terarah partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sulit diharapkan. B. Fokus Penelitian Penelitian ini mengkaji : (1). Prioritas Kebutuhan Masyarakat pada pelayanan publik di kecamatan Taktakan kota serang?, (2) Tingkat Kepuasaan Masyarakat pada Pelayanan publik di kecamatan Taktakan Kota serang? kinerja Instansi Pelayanan Publik di kecamatan Tatkakan kota serang. C. Tinjauan Pustaka 1. Peran Publik sebagai manifestasi dari paradigma new public services Secara teoritis penguatan peran publik dalam pemerintahan di satu sisi, atau orientasi kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan publik di sisi lain, dikenali sebagai manifestasi dari paradigma new public services sebagaimana diintroduksi oleh Denhart dan Denhart (2007:45-63) yang menempatkan warga negara (the citizen) sebagai focus of interest-nya dengan cara ”serving citizens, not customers; seeking the public interest; value citizenship over entrepreneurship; thinking strategically, acting democratically; recognizing that accountability isn’t simple; serving rather than steering; dan value people, not just productivity.”
14
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Konsep NPS merupakan kritik terhadap NPM atau disebut dengan nama lain seperti post-Bureucratic paradigm (Barzeley,1992) dan reinventing government dengan 10 prinsip – prinsip dalam membangun birokrasi yang berjiwa entreprenur1 (Osborne dan Gaebler, 1992) yang menekankan perubahan perilaku pemerintah menjadi lebih efektif dan efesien dengan prinsip the invisible handnya adam smith yaitu mengurangi peran pemerintah, membuka peran swasta dan pemerintah lebih berfokus pada kepentingan public yang lebih luas. tema pokok dalam new public manajement antara lain bagaimana mengunakan mekanisme pasar di sektor publik2. Dengan mentransformasikan kinerja pasar akan menganti atau mereform kebiasaan kinerja sektor publik dari tradisi berlandaskan aturan (Rule Based) dan proses yang mengantungkan pada otoritas pejabat (authority driven process) menjadi orentasi pasar (market-based), dan dipacu untuk berkompetisi sehat (competition-driven tactics) Dunia mengalami transisi besar dari negara kuat menjadi pasar kuat, tata kelola publik yang sebelumnya di kuasai negara tiba-tiba di serah terima kepada swasta – the business entity, apakah negara bisa lepas, tidak terkait dan menjauh dari kegiatan ekonomi? Pertanyaan ini terus diajukan selama puluhan tahun bahkan berabad –abad sejak adam smith menegaskan kredonya bahwa negara harus keluar dari kegiatan ekonomi. Ekonomi akan berjalan efesien jika negara tidak melakukan intervensi. Meskipun demikian, mekanisme pasar bukan problem solver untuk menyelesaikan masalah-masalah di dalam sistem ekonomi. Pasar sering tidak bekerja secara efektif di dalam berbagai keadaan.
(kegagalan pasar3). Adanya fakta tersebut maka terdapat ruang bagi peran pemerintah untuk terlibat. Kegagalan pasar seringkali ,menuntut campur tangan (intervensi) pemerintah. Dalam new public service semua pihak ikut berperan disini pemerintah harus menjamin hak –hak warga negara dan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga negara. Isu justice, equity, participation dan juga leadership harus mendapatkan perhatian utama (Denhard & Denhard, 2003). Dalam new public service semua pihak ikut berperan disini pemerintah harus menjamin hak –hak warga negara dan memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat dengan mengutamakan kepentingan warga negara. Isu justice, equity, participation dan juga leadership harus mendapatkan perhatian utama (Denhard & Denhard, 2003). Ide dasar dari new public service dibangun dari konsep – konsep berikut ini; 1). Teori democtatic citizenship; 2). Model komunitas dan civil society ;3 organisasi humanism; 4). Post modern ilmu administrasi public. Yang kemudian melahirkan prinsip- prinsip sebagai berikut ; 1) Serve citizens, not customers. 2) Seek the public interest; 3) Value citizenship over entrepreneurship; 4) Think Strategically, act democratically; 5) Recoqnize that accountability processes; 6) Serve rather than steer; berorentasi pada pelayanan 7) Value people, not just productivity 2. Partisipasi Pembangunan
Dalam
Partisipasi memiliki konotasi yang berbeda-beda dalam pandangan para ahli.
1
Reinventing governance pada hakekatnya adalah upaya untuk mentrasformasi jiwa dan kinerja dan kinerja entrepreneurship ke dalam birokrasi pemerintah melalui Prinsip – prinsip mewirausahakan birokrasi yang terdiri dari ; 1). Steering rather than rowing; 2). Empowering rather than serving;3). Competition in service delivery; 4). Mission driven organization; 5). Result oriented, not inputs;6). Customer driven, not bureaucracy;7). Earning rather than spending; 8). Prevention rather cure; 9). Decentralized government and participation;10). Market oriented government 2 Miftha Toha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer hal 74
Masyarakat
3
Kegagalan pasar adalah suatu keadaan atau kondisi di mana pasar tidak bisa bekerja secara efektif. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal seperti ; a). adanya barang Publik (Publik Goods), ekternalitas (Externality), informasi yang tidak sempurna (incomplete Information), Daya monopoly (Monopoly Power) dan adanya barang Altruisme, prathama rahardja dan mandala manurung dalam bukunya Pengantar Ilmu Ekonomi
15
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Janabrota Bhattacharyya (Ndraha, 1990 : 102) mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Slamet M. memaknai partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut serta dalam kegiatankegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut. Mubyarto (1984:35) dalam Sugihen (2007:142) mendefinisikan partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti mengorbankan diri sendiri. Dalam rangka pembangunan bangsa yang meliputi segala aspek kehidupan, partisipasi masyarakat memainkan peranan penting, bahkan Tjokroamidjojo dalam Kaho (2006:125) menegaskan bahwa pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan, politik, ekonomi dan sosial budaya itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat di dalam suatu Negara. Menurut Paul (1987 : 24) dalam Makmur (2008 : 156) : “Participation refers to an active process whereby benefictartes influences the direction and execution of development projects rather than receive a share of projects benefits”. Berdasarkan definisi di atas, menjelaskan bahwa partisipasi melihat pada keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan keputusan, dan evaluasi. Konsep tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam diri setiap orang sehingga menghasilkan konsep partisipasi yang aktif dan kreatif. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan memengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan “power” atau kekuatan yang dimiliki dalam setiap diri
individu sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan central theme atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Partisipasi dapat diartikan sebagai sumbangan, keterlibatan keikutsertaan warga masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan. Menurut Davis dalam Ndraha (1990:102) keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan dapat disebut sebagai partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok dapat disebut partisipasi individual. Bertolak dari berbagai macam pengertian partisipasi, Slamet M. dalam Sugihen (2007:145-146), menyederhanakan pemahaman tentang partisipasi atas 5 jenis, yaitu: a. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya. b. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya. c. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung. d. Tidak memberi input tapi menikmati dan memanfaatkan hasil pembangunan. Tjokroamidjojo (1984:220), berhasilnya pencapaian tujuan-tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat pada umumnya. Keterlibatan aktif ini juga disebut partisipasi, ada tiga aspek dalam partisipasi, yaitu: a. Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi, dan kebijaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. b. Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan.
16
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 c. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan, pembangunan, serta pelayanan publik tidak akan berjalan tanpa partisipasi masyarakat. Pemerintah daerah memerlukan aspirasi masyarakat untuk melaksanakan kegiatannya secara partisipatif. Tanpa itu semua pembanguann yang direncanakan oleh pemerintah akan bersifat elitis dan tidak memihak pada masyarakat, hasilnya adalah adanya keleluasaan bagi penyelenggara pemerintahan untuk melakukan penyalahguanaan kebijakan. Partisipasi dalam otonomi daerah memberikan peran yang besar bagi media dan LSM untuk ikut andil dalam controling penyelenggaraan pemerintahan. 3. Proses dan Mekanisme Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah Mekanisme perencanaan menyangkut dengan dengan prosedur pelaksanaan,instansi yang terlibat,jadwal pelaksanaannya dan penjabat yang berwenang menetapkan dokumen perencanaan. Mekanisme ini diperlukan sebagai pedoman bagi aparat perencanaan dalam melaksankan penusunan dokomen berikut penetapannya. Kepala Bappeda menyiapkan rancangan RPJPD kemudian dijadikan bahan utama Bagi musyawarah pembangunan daerah (Musrenbangda) . Proses musrenbangda mengikut sertakan pemuka dan tokoh masyarakat, pemuka adat, cerdik pandai, LSM dan lain - lainnya dalam rangka menyerap aspirasi masyarakat guna memberikan masukan dalam penyusunan dokomen perencanaan. Dengan demikian akan terdapat 3 bentuk musrengbangda yaitu musrenbang jangka panjang dalam rangka penyusunan RPJPD,musrenbang jangka menengah dalam rangka penyusunan RPKMD dan musrenbangda Tahunanan tahunan dalam rangka penyusunan RKPD. Aspirasi Mansyarakat yang berkembang selanjutnya dijadikan masukan utama
untuk perbaikan dokomen perencanaan pembangunan sebelum difinalkan. UU SPPN 2004 mengamantkan bahwa dasar utama RAPBN bukan Restrada tetapi adalah RKPD yang merupakan dokumen perencanaan tahunan. Sebagai sebuah perencanaan tahunan RKPD merupakan perencanaan yang lebih opersional dan rinci yang berisikan program sampai tingkat kegiatan. 4. Pelayanan Publik Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu bahwa pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Melayani masyarakat baik sebagai kewajiaban maupun sebagai kehormatan, merupakan dasar terbentuknya masyarakat yang manusiawi (Tjosvold dalam Sadu wasistiono, 2003:42). Karenanya birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan yang baik dan profesional. Rasyid (Rasyid, 1997:3) berpendapat mengenai pelayanan publik yang berkualitas serta kaitannya dengan pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh aparat pemerintah yaitu: Manfaat yang diperoleh dari optimalisasi pelayanan yang diberikan organisasi pemerintah yaitu secara langsung dapat merangsang lahirnya respek dari masyarakat atau sikap profesionalisme para birokrat sebagai masyarakat secara tulus akan mendorong terpeliharanya iklim kerja keras, disiplin, dan komprehensif.Dari pendapat Rasyid tersebut dapat dikatakan bahwa dengan pelayanan yang baik dari pemerintah selain bermanfaat bagi masyarakat juga bermanfaat terhadap peningkatan citra pemerintah di mata masyarakat. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik tadi adalah merupakan 17
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan (welfare state). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu, kondisi masyarakat saat ini telah terjadi suatu perkembangan yang sangat dinamis, tingkat kehidupan masyarakat yang semakin baik, merupakan indikasi dari empowering yang dialami oleh masyarakat. Hal ini berarti masyarakat semakin sadar akan apa yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masyarakat semakin berani untuk mengajukan tuntutan, keinginan dan aspirasinya kepada pemerintah. Masyarakat semakin kritis dan semakin berani untuk melakukan kontrol terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintahnya. Secara teoritis sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayan masyarakat (public service function), fungsi pembangunan (development function) dan fungsi perlindungan (protection function). Hal yang terpenting kemudian adalah sejauh manapemerintah dapat mengelola fungsi-fungsi tersebut agar dapatmenghasilkan barang dan jasa
(pelayanan) yang ekonomis, efektif, efisien dan akuntabel kepada seluruh masyarakat yang membutuhkannya. Meskipun pemerintah mempunyai fungsi-fungsi sebagaimana di atas, namun tidak berarti bahwa pemerintah harus berperan sebagai monopolist dalam pelaksanaan seluruh fungsi-fungsi tadi. Beberapa bagian dari fungsi tadi bisa menjadi bidang tugas yang pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada pihak swasta ataupun dengan menggunakan pola kemitraan (partnership), antara pemerintah dengan swasta untuk mengadakannya. Pola kerjasama antara pemerintah dengan swasta dalam memberikan berbagai pelayanan kepada masyarakat tersebut sejalan dengan gagasan reinventinggovernment yang dikembangkan Osborne dan Gaebler (1992:343). Dalam konteks pelayanan publik, dikemukakan bahwa pelayanan umum adalah mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan publik, mempersingkat waktu pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan kepada publik (publik=umum). Senada dengan itu, Moenir (2006:45) mengemukakan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Dalam versi pemerintah, definisi pelayanan publik dikemukakan dalam Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yaitu segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bentuk barang dan atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan
18
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 ketentuan undangan.
peraturan
perundang-
Berangkat dari persoalan mempertanyakan kepuasan masyarakat terhadap apa yang diberikan oleh pelayan dalam hal ini yaitu administrasi publik adalah pemerintah itu sendiri dengan apa yang mereka inginkan, maksudnya yaitu sejauhmana publik berharap apa yang akhirnya diterima mereka. Dengan demikian dilakukan penilaian tentang sama tidaknya antara harapan dengan kenyataan, apabila tidak sama maka pemerintah diharapkan dapat mengoreksi keadaan agar lebih teliti untuk peningkatan kualitas pelayanan publik. Selanjutnya dipertanyakan apakah terhadap kehendak masyarakat, seperti ketentuan biaya yang tepat, waktu yang diperhitungkan dan mutu yang dituntut masyarakat telah dapat terpenuhi.Andaikata tidak terpenuhi, pemerintah diharapkan mengkoreksi keadaan, sedangkan apabila terpenuhi dilanjutkan pada pertanyaan berikutnya, tentang berbagai informasi yang diterima masyarakat berkenaan dengan situasi dan kondisi, serta aturan yang melengkapinya. D. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif digunakan guna mencapai tujuan tersebut. sampel penelitian digunakan untuk menjaring data kuantitatif yang dibutuhkan pada tahap pertama penelitian. Dan tahap selanjutnya menggunakan wawancara untuk menjaring data kualitatif. Dalam penelitian, populasi yang akan menjadi obyek penelitian adalah seluruh masyarakat yang berada di wilayah
Kecamatan Taktakan . Metode survei digunakan untuk memperoleh data dari sumber primer yang dipilih secara sampling. Dengan menggunakan formula slovin, jumlah sampel direncanakan minimal sebesar 100 pada taraf kesalahan 10%. Adapun distribusi sampel akan dilakukan dengan metode proportional area random sampling, sehingga akan diperoleh distribusi sampel berdasarkan kelurahan Tabel 5 Distribusi Sampel Berdasar kelurahan di kecamatan Taktakan No
Kelurahan
Populasi
%
Sampel
1
Cilowong
7.286
9,30
9
2
Sayar
5332
6,80
7
3
Sepang
7570
9,66
10
4
Pancur
4192
5,35
5
5
Kalang Anyar
4,13
4
3239
6
Kuranji
3672
4,68
5
7
Panggungj ati
7,96
8
6242 22
17166
21,9 0 8,75
9
5,53
5
8.
Drangong
9
Taktakan
6858
10
Umbul Tengah
4331
11 Lialang
5262
6,71
7
12 Tamanbaru
7234
9,23
9
19
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 E. Hasil Penelitian 1. Tingkat Sosial Ekonomi Responden di di kecamatan Taktakan Grafik 1
KEADAAN SOSIAL EKONOMI RESPONDEN 93.75 89.58
Spd Motor 66.67 62.50 62.50
Radio Tanah Produktif Komputer TV Telpon Rmh
35.42 16.67 14.58 14.58 13.14 12.50 12.50 0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Sumber : Hasil Survey Kebutuhan Masyarakat Di Kota Serang Tahun 2014 Berdasarkan dari grafik 4.1 diatas kita bisa simpulkan beberapa hal : 1) Responden dalam penelitian ini yang terdiri dari ketua RT/RW/Ketua Posyandhu masuk katagori menengah keatas dilihat dari kepemilikannya barang-barang sekunder dan tersier. 2) Responden dapat mengakses informasi dengan mudah di lihat dari kepemilikan barang- barang seperti Radio, HP, computer televise dan tlp rumah. 3) Responden mempunyai akses yang mudah berpindah dari satu tempat di lihat dari kepemilikan Sepeda motor mobil 2. Kepuasan Pelayanan Publik di Kecamatan Taktakan Tingkat kepuasan terhadap pelayanan public mengambarkan kesenjangan antara tingkat harapan masyarakat di bandingkan dengan apa yang didapatkan/dirasakan. Tingkat kepuasan masyarakat di kecamatan taktakan terhadap pelayanan publik yang meraka rasakan mulai dari rentang penilaian sangat puas sampai kurang puas. Berdasarkan grafik 4.2 Penilaian masyarakat Kecamatan taktakan pada umumnya
mengambarkan masyarakat cukup puas (skor rerata 1.75) terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Dari hasil Angket tingkat kepuasan Masyarakat Taktakan memberikan penilaian yang memuaskan hanya pada 1 jenis pelayanan (2.86%) yaitu ketersediaan/penanganan rumah ibadah, dan memberikan penilaian cukup puas untuk 13 jenis pelayanan( 37,18%) seperti ketersediaan/ penanganan banjir, irigasi, TPU, listrik, SD, PAUD, Postel, puskesmas, taman kota, smp , perumahan, PBB, akte/KTP, sedangkan yang mendapat penilaian kurang puas sebanyak 23 jenis pelayanan (65.71%) untuk ketersedian/penanganan pertanahan, budaya, perizinan, KIP, gedung pertemuan, sarana olah raga, Pekat, pariwisata, sma, perkoperasian, jalan dan jembatan, penerangan jalan umum (PJU), sanitasi, transportasi, terminal, RSUD, PDAM, parker,pasar, sampah dan damkar. Jadi masih ada sekitar 65,71% jenis pelayanan yang tidak memenuhi harapan masyarakat Taktakan. Sudah semestinya pemerintah memprioritas perbaikan pelayanan public di kota serang.
20
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Grafik 2
kepuasan pelayanan publik Masyarakat kecamatan Taktakan Rerata Rumah Ibadah Banjir Irigasi TPU LISTRIK SD Paud Postel Puskesmas Taman kota SMP Perumahan PBB Akta/KTP Pertanahan Budaya Perijinan KIP Gedung… Sarana olah… Pekat Pariwisata SMA Perkoperasian Jln. & Jembatan PJU Sanitasi… Transportasi Terminal RSUD PDAM Parkir Pasar Sampah Damkar 0.00
1.75 3.06 2.38 2.27 2.15 2.13 2.10 2.08 2.06 2.04 1.92 1.88 1.79 1.79 1.79 1.71 1.71 1.69 1.67 1.67 1.63 1.63 1.63 1.58 1.54 1.52 1.5 1.48 1.42 1.40 1.35 1.35 1.35 1.33 1.31 1.23 0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
Sumber : Hasil Survey Kebutuhan Masyarakat Di Kota Serang Tahun 2014 Justifikasi Penelitian : 1,00 – 1,74 = Kurang; 1,75 – 2,50 = Cukup; 3,25 – 4,00 = Sangat Baik
2,51 – 3,24 = Baik;
21
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 3. Prioritas Kebutuhan Pada Pelayanan Publik di Kecamatan Taktakan Kota Serang. Otonomi daerah memberikan kewenangan dan kewajiban yang luas kepada daerah untuk melakukan pembangunan di daerahnya masingmasing. kegiatan pembangunan adalah suatu kegiatan untuk mencapai cita-cita suatu masyarakat untuk memperbaiki kehidupan, serta secara sadar dan terencana telah dan akan terus berlansung. Sudah seharusnya pemerintah daerah mengidentifikasikan kebutuhan atau permasalahan yang harus diprioritaskan dalam rencana pembangunan. Kebutuhan adalah keinginan/harapan yang ingin diwujudkan oleh seseorang atau sekelompok warga negara. Berdasarkan survey yang dapat dilihat pada grafik 4.3 yang dilakukan terhadap tingkat kebutuhan masyarakat kecamatan Taktakan terhadap pelayanan publik mulai dari rentang sangat mendesak, mendesak,cukup mendesak dan kurang mendesak secara rata – rata di rasakan oleh masyarakat kacamatan taktakan cukup mendesak (skor 2.15). Tingkat
kebutuhan yang masuk katagori mendesak adalah 9 (25.71%) jenis pelayanan publik yang harus dilakukan oleh pemerintah seperti ketersediaan/penanganan RSUD, Sanitasi Lingkungan, Transportasi, Penerangan jalan Umum (PJU), Jalan dan jembatan, sampah,pasar,SMA dan PDAM, dan yang mendapat penilaian yang cukup mendesak sebanyak 18 (51,42%) jenis pelayanan publik yaitu penanganan/ketersediaan Puskesmas, Listrik, SMP, SD,Terminal, Irigasi, PAUD, Postel, Parkir, Sarana olah Raga, Gedung Pertemuan, TPU, Akte/KTP, Pekat, perkoperasian, perizinan, perumahan dan banjir. Dan yang mendapatkan penilaian kurang mendesak sebanyak 8 (22,86) jenis kebutuhan adalah ketersedian/ penanganan taman kota, Damkar, pertanahan, PBB, KIP, Rumah Ibadah, Parawisata dan Budaya. Bisa kita simpulkan bahwa pemerintah daerah kota serang harus memperhatikan ada 9 jenis pelayanan yang dinilai mendesak, ke -9 jenis pelayanan ini harus diprioritaskan untuk masuk kedalam agenda pemerintah.
22
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Grafik 3
PRIORITAS KEBUTUHAN MASYARAKAT KECAMATAN TAKTAKAN 2.15 RSUD
2.98 2.94 2.88 2.88 2.85 2.79 2.67 2.56 2.52 2.44 2.44 2.33 2.27 2.25 2.23 2.17 2.17 2.13 1.98 1.92 1.9 1.9 1.85 1.85 1.83 1.79 1.75 1.73 1.71 1.69 1.67 1.6 1.56 1.5 1.38
Transportasi
Jalan & Jembatan Pasar PDAM Listrik SD Irigasi Postel sarana Olah Raga TPU Pekat Perijinan
Banjir Damkar PBB Rumah Ibadah Budaya 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Sumber : Hasil Survey Kebutuhan Masyarakat Di Kota Serang Tahun 2014 Justifikasi Penelitian : 1,00 – 1,74 = Kurang;
1,75 – 2,50 = Cukup;
2,51 – 3,24 = di mendesak
3,25 – 4,00 = Sangat mendesak
4. KINERJA PEMERINTAH
Kinerja adalah adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau 23
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika”. Penilaian kinerja ini dilakukan untuk mengetahui sejauhmana masyarakat menilai kinerja pemerintah di berbagai level atau tingkatan pemerintahan , hasil survey mengambarkan secara keseluruhan masyarakat Taktakan sudah menilai
cukup baik (skor 2,01) terhadap kinerja pemerintah di berbagai tingkatan atau level. Masyarakat taktakan memberikan penilaian tertinggi kepada level pemerintahan di kelurahan dan kecamatan dengan penilian cukup baik , kemudian level pemerintahan kota dan provinsi dengan penilaian kurang baik. Semakin dekat jarak antara pemerintah dengan masyarakat maka semakin terbuka peluang untuk menghasilkan kebijakan publik yang benar – benar dibutuhkan oleh masyarakat.
Grafik 4
KINERJA PEMERINTAH MENURUT MASYARAKAT TAKTAKAN Rerata
2.01
Kelurahan
2.44
Kecamatan
2.27
kota
1.71
Provinsi
1.63 0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Sumber : Hasil Survey Kebutuhan Masyarakat Di Kota Serang Tahun 2014 Justifikasi Penelitian : 1,00 – 1,74 = Kurang; 1,75 – 2,50 = Cukup; 3,25 – 4,00 = Sangat Baik
2,51 – 3,24 = Baik;
24
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 5. KINERJA INSTANSI PELAYANAN PUBLIK. Penilain kinerja ini tidak membedakan antara level atau tingkatan pemerintahan, tetapi penilaian yang dilakukan oleh masyarakat didasarkan pada kinerja masing- masing Instansi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, adapun penilain kinerja instansi pelayanan Publik dapat digambarkan sebagai berikut ; secara keseluruhan masyarakat taktakan menilai kinerja instansi pelayanan public masih kurang (Skor Rata – rata 1.57) Persepsi masyarakat terhadap instansi pemerintah yang mendapatkan penilain cukup ada 10(28,57%) instansi seperti Disdikcap, Satpol PP, Puskesmas, BPMPKB, Distan, Dishubkom, Polres, Kecamatan,
Disporaparbud dan dindik sedangkan yang mendapat penilaian kurang baik sebanyak 25 (71.43%) instansi seperti DPKD,Dinkes, Disperindagkop, Dinsos DPU, BKD, Polsek, BPBD, Disnakertras, DTK, Kejari, BPTPM, BLHD, Kejati, PT, PN, PDAM, RSUD, Bappeda, Kesbangpol, Inspektorat, setwan, KPAD, Setda, DPRD. Berdasarkan hasil survey tersebut sudah waktunya pemerintah kota memperbaiki kinerja SKPD dan perangkat lainnya dan dimulai dengan memprioritaskan pada Instansi yang mendapatkan penilaian kurang baik yaitu peningkatan kinerja untuk 25 Instansi. Sepak terjang Gubernur Joko Widodo perlu di contoh dengan memulai menilai ulang pimpinan SKPD/camat atau perangkat lainnya dengan lelang jabatan.
25
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Grafik 5
KINERJA INSTANSI PELAYANAN PUBLIK MENURUT MASYSARAKAT TAKTAKAN Rerata disdukcap Satpol PP Puskesmas BPMPKB Distan DishubKon Polres/Da Kecamatan Disporaparbud Dindik DPKD Dinkes Disperindagkop Dinsos DPU BKD Polsek BPBD Disnakertrans DTK Kejari BPTPM BLHD Kejati PT PN PDAM RSUD Bappeda Kesbangpol Inspektorat Setwan KPAD Setda DPRD
1.57 2.15 2.02 1.98 1.94 1.94 1.94 1.92 1.85 1.83 1.81 1.73 1.67 1.65 1.65 1.65 1.63 1.60 1.58 1.54 1.54 1.46 1.44 1.44 1.40 1.38 1.38 1.33 1.31 1.29 1.25 1.25 1.17 1.13 1.10 1.08 0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
Sumber : Hasil Survey Kebutuhan Masyarakat Di Kota Serang Tahun 2014 Justifikasi Penelitian : 1,00 – 1,74 = Kurang;
1,75 – 2,50 = Cukup;
2,51 – 3,24 = Baik;
3,25 – 4,00 = Sangat Bai F. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan 26
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 1) Tingkat kebutuhan terhadap pelayanan publik yang masuk katagori mendesak adalah 9 (25.71%) jenis pelayanan publik yang harus dilakukan oleh pemerintah seperti ketersediaan/penanganan RSUD, Sanitasi Lingkungan, Transportasi, Penerangan jalan Umum (PJU), Jalan dan jembatan, sampah, pasar, SMA dan PDAM, dan yang mendapat penilaian yang cukup mendesak sebanyak 18 (51,42%) jenis kebutuhan seperti penanganan/ketersediaan Puskesmas, Listrik, SMP, SD, Terminal, Irigasi, PAUD, Postel, Parkir, Sarana olah Raga, Gedung Pertemuan, TPU, Akte/KTP, Pekat, perkoperasian, perizinan, perumahan dan banjir. Dan yang mendapatkan penilaian kurang mendesak sebanyak 8 (22,86) jenis pelayanan public yaitu adalah ketersedian/penanganan taman kota,Damkar, pertanahan, PBB,KIP,Rumah Ibadah, Parawisata dan Budaya. 2) Penilaian masyarakat Kecamatan taktakan pada umumnya mengambarkan masyarakat cukup puas (skor rerata 1.75) terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Dari hasil Angket tingkat kepuasan Masyarakat Taktakan memberikan penilaian yang memuaskan pada 1 jenis pelayanan public (2.86%) yaitu ketersediaan/penanganan rumah ibadah,dan memberikan penilaian cukup puas untuk 13 jenis pelayanan (37,18%) seperti ketersediaan/penanganan banjir, irigasi, TPU, listrik, SD, PAUD, Postel, puskesmas, taman kota, smp, perumahan, PBB, akte/KTP, sedangkan yang mendapat penilaian kurang puas sebanyak 23 jenis pelayanan (65.71%) untuk ketersedian/penanganan pertanahan, budaya, perizinan,KIP,
gedung pertemuan, sarana olah raga, Pekat, pariwisata, sma, perkoperasian, jalan dan jembatan, penerangan jalan umum(PJU), sanitasi, transportasi, terminal, RSUD, PDAM, parker, pasar, sampah dan damkar. 3) secara keseluruhan masyarakat taktakan menilai kinerja instansi pelayanan public masih kurang (Skor Rata-rata 1.57) Persepsi masyarakat terhadap instansi pemerintah yang mendapatkan penilain cukup ada 10(28,57%) instansi seperti Disdikcap, satpol PP, Puskesmas, BPMPKB, Distan , Dishubkom,Polres, Kecamatan, Disporaparbud dan dindik sedangkan yang mendapat penilaian kurang baik sebanyak 25 (71.43%) instansi seperti DPKD, Dinkes, Disperindagkop, Dinsos DPU, BKD, Polsek, BPBD, Disnakertras, DTK, Kejari, BPTPM, BLHD, Kejati, PT, PN, PDAM, RSUD, Bappeda, Kesbangpol, Inspektorat, setwan, KPAD, Setda, DPRD. 2. Saran 1) Secara umum gejala ketidakpuasan terhadap pelayanan publik tertentu berkaitan erat dengan kinerja pemerintah maka sudah seharusnya pemerintah memperbaiki kinerja dengan memprioritaskan pada jenis pelayanan public yang paling tidak tidak memuaskan masyarakat. 2) Demikian pula dengan kebutuhan yang dipersepsi prioritas, yang merupakan efek terbalik dari ketidakpuasan tersebut.
27
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Daftar Pustaka 1. Abe Alexander, Perencanaan Daerah Partisipatif. Pembaharuan. Yogyakarta.2005 2. Rusli Budiman, Isu-isu krusial Administrasi Publik Kontemporer, Lepsindo, 2014 3. Thoha Miftha, Ilmu Administrasi Kontemporer, Kencana 2011. 4. Riyadi, Deddy Supriyadi Bratakusumah, Perencanaan Pembangunan Daerah”, Gramedia. Jakarta. 2005. 5. Prahama Rahardja Dan mandala manurung, Pengantar Ilmu ekonomi.
6. Sjafrizal, Prof. “Teknik Praktis Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah”. Baduose Media. Jakarta. 2009 7. Keban, Yeramis T. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, konsep,teori dan isu, Gava media, Yogyakarta. 2008 8. Jenet V Denhard dan Robert B Denhard, new public Service, M.E Sharpe, new york,200. 9. Nugroho Riant D, Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi”. Elex media Komputindo, Jakarta. 2004
28
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 SINERGITAS ANTARA PEMERINTAH DAERAH, PELAKU USAHA DAN MASYARAKAT DI DALAM PENGEMBANGAN PARIWISATA DI PROVINSI BANTEN Rina Yulianti Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Sinergitas yang terjalin antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat akan membuat pariwisata di Provinsi Banten akan semakin maju, baik dari segi ekonomi dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat di sekitar objek wisata, dan terpeliharanya objek wisata tersebut. Pemerintah daerah dalam hal ini berkepentingandi dalam kebijakan yang berkaitan pariwisata, dimana pengelolaan dan pengembangan pariwisata dapat dilakukan pemerintah daerah dengan mengajak pelaku usaha agar dapat berinvestasi di dalam pengembangan pariwisata. Sedangkan masyarakat dapat melakukan berbagai usaha ekonomi di sekitar objek wisata, dengan demikian masyarakat juga dapat diberdayakan dengan membuka usaha dan dapat membantu perekonomian masyarakat tersebut. Selain itu pemerintah daerah juga dapat melengkapi sarana dan prasarana agar wisatawan yang datang merasa nyaman, sedangkan tugas pelaku usaha dengan melakukan promosi ke seluruh Indonesia dan dunia melalui semua media, dan masyarakat sekitar harus bisa menjaga agar semua sarana dan prasarana yang ada tidak rusak serta keamanan dan kenyamanan wisatawan yang datang tetap terjaga. Kata Kunci : Pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat
ABSTRACT Synergy that exists between local governments, businesses and people will make tourism in Banten province will be more advanced, both in terms of the economy can raise the welfare of communities around the attraction, and preservation of tourist attraction. The local government in this case the interest in tourism-related policies, where the management and development of tourism can be done by the local government in order to encourage businesses to invest in the development of tourism. While people can do a variety of economic activities in the vicinity of the object, so that communities can also be empowered to open a business and can help the economy of the community. In addition, local governments can also be complementary facilities and infrastructure so that tourists who come to feel comfortable, while the task of businesses with promotions throughout Indonesia and the world through all the media, and society must be able to keep all the facilities and infrastructure that is not broken and security and the convenience of tourists who come to stay awake. Key Words : Local Government, Business, community
29
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Pendahuluan Dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, pariwisata merupakan salah satu sektor utama yang di galakkan oleh pemerintah. Pariwisata mempunyai peranan penting dalam pembangunan fisik dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Melalui pariwisata, masyarakat lokal dapat terbantu secara langsung maupun tidak langsung dalam taraf perekonomiannya, begitu juga dengan dunia usaha yang akan semakin mengeliat dengan banyaknya wisatawan yang datang. Sinergi pemerintah daerah, Swasta dan masyarakat dalam mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good governance) dewasa ini menjadi salah satu agenda menuju reformasi birokrasi dan administrasi publik. Pemerintah akan menghadapi masyarakat yang semakin cerdas dan masyarakat yang banyak menuntut akan pelayan publik yang lebih baik. Didalam masyarakat yang heterogen, peran pemerintah akan semakin menyempit serta tidak lagi mendominasi dan monopoli tetapi lebih kepada memberdayakan (empowering) peran serta masyarakat terutama dalam menggerakkan sektor-sektor ekonomi dalam hal pariwisata. Seperti diketahui pariwisata di Provinsi Banten semakin dilirik oleh para pelaku usaha untuk menamkan modalnya. Dan hal ini harus di lihat oleh pemerintah daerah sebagai peluang untuk memajukan daerahnya. Seperti diketahui pariwisata merupakan salah satu asset daerah untuk pendapatan asli daerah. Tetapi pemerintah daerah juga harus bisa menyeimbangkan dengan kegiatan masyarakat yg ada di sekitar tempat wisata tersebut. Masyarakat juga harus di berdayakan dengan mengajak mereka untuk menjaga objek wisata dan memberikan mereka tenpat untuk berwirausaha. Peranan pemerintah daerah sebagai stabilisator dan fasilitator juga sangat diperlukan sebagai penguasa wilayah untuk menjembatani dan menyeimbangkan antara keinginan pelaku bisnis dan kepentingan masyarakat agar tidak menimbulkan konflik di dalam pengelolaan pariwisata. Seperti kita ketahui, Industri pariwisata sebagai salah satu
mata rantai perekonomian dalam pengelolaannya tidak akan terlepas dari ketiga aktor tersebut, namun dalam menjalankan perannya tidak akan terlepas dari kondisi sosial budaya didaerah. Kerjasama pola kemitraan antara pemerintah daerah, swasta dan masyarakat di Banten dalam mengembangkan industri pariwisata dan untuk memahami peran dari masing-masing pelaku serta mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pola kemitraan. Kerjasama kemitraan antara pemerintah daerah dan pelaku usaha beberapa pola yang digunakan pola waralaba dan pola keagenan dalam pengembangan industri pariwisata sepenuhnya belum berjalan efektif, kontribusi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hanya berasal dari pajak perhotelan dan restoran, sedangkan kontribusi sektor pariwisata khususnya obyek dan daya tarik wisata belum mencapai hasil yang optimal. Koordinasi yang lemah antara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan instansi lain dalam kerjasama lintas sektoral belum berjalan harmonis, penerapan strategi belum tepat sasaran, sehingga kurang optimal. Sumber daya manusia untuk promosi pariwisata masih lemah, kesiapan produk dan peluang pasar belum terorganisir dengan baik. Kerjasama kemitraan dalam pengembangan industri pariwisata masih dilakukan dengan sistim kontraktual. Efek rembesan (trickle down effect) dari kerjasama pola kemitraan tersebut secara langsung belum memberikan dampak yang positif bagi perkembangan ekonomi masyarakat. Sebaiknya pemerintah daerah membuat kebijakan tentang Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah dan Rencana Induk Pengembangan Obyek Wisata sebagai detail perencanaan pembangunan sektor pariwisata yang berkelanjutan. Kemudian lebih meningkatkan pariwisata sebagai sektor andalan dengan membuat kebijakan seperti Peraturan daerah tentang kepariwisataan daerah, kerjasama pola kemitraan dan kebijakan anggaran yang pro “pariwisata”, sehingga masyarakat akan
30
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 diuntungkan dengan adanya efek imbasan kebawah dari implementasi sebuah kebijakan. Tinjauan Pustaka Pariwisata merupakan industri jasa memberikan sumber devisa bagi negara yang sedang berkembang. Pariwisata dapat diharapkan menjadikan perekonomian dapat diandalkan bagi peningkatan PAD dan membuka lapangan kerja, salah satu upaya pemerintah daerah untuk mengembangkan pariwisata adalah dengan penyederhanaan izin dalam usaha kawasan pariwisata karena usaha kawasan pariwisata telah banyak menarik investor maupun pemerintah daerah untuk mempercepat perkembangan daerahnya. Oleh karena itu pengembangan pariwisata adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mempromosikan wilayahnya sebagai daerah wisata untuk meningkatkan penjualan barang dan jasa kepada orang non lokal. Pengertian Pengembangan Pariwisata Menurut Yoeti (2003:16), pengembangan pariwisata sebagai salah satu industri diperlukan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, perbaikan jembatan dan jalanjalan menuju objek wisata, pembangunan hotel dengan segala fasilitasnya perlu diciptakan secara baik, serta sarana komunikasi yang teratur perlu disediakan. Pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung akan kelangsungan pengembangan pariwisata (Swarbrooke, 1998:99) Berdasarkan berbagai pendapat di atas,dapat dipahami bahwa dalam upaya pengembangan pariwisata perlu adanya kerjasama antara pemerintah pelaku wisata dan masyarakat. Pengembangan pariwisata merupakan segala kegiatan dan usaha yang terkoordinir untuk menarik wisatawan, menyediakan sarana, prasarana, barang dan jasa, dan fasilitas yang diperlukan guna
melayani kebutuhan wisatawan. Dengan demikian, pengembangan pariwisata bertujuan memberikan keuntungan baik bagi wisatawan maupun warga setempat. Pariwisata dapat memberikan kehidupan yang standar kepada warga setempat melalui keuntungan ekonomi yang didapat dari tempat tujuan wisata. Terdapat beberapa jenis pengembangan pariwisata Swarbrooke (1998:9), yaitu : 1. Keseluruhan dengan tujuan baru, membangun atraksi di situs yang tadinya tidak digunakan sebagai atraksi 2. Tujuan baru, membangun atraksi pada situs yang sebelumnya telah digunakan sebagai atraksi 3. Pengembangan baru secara keseluruhan pada keberadaan atraksi yang dibangun untuk menarik pengunjung lebih banyak dan untuk membuat atraksi tersebut dapat mencapai pasar yang lebih luas, dengan meraih pangsa pasar yang baru 4. Pengembangan baru pada keberadaan atraksi yang bertujuan untuk meningkatan fasilitas pengunjung atau mengantisipasi meningkatnya pengeluaran sekunder oleh pengunjung. 5. Penciptaan kegiatan-kegiatan baru atau tahapan dari kegiatan yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dimana kegiatan tersebut memerlukan modifikasi bangunan dan struktur. Hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan pariwisata yaitu : 1. Lingkungan, Pariwisata harus ramah lingkungan, bukan sebaliknya lingkungan yang menjadi korban eksploitasi bisnis pariwisata. 2. Kebudayaan, Pariwisata untuk budaya, bukan budaya untuk pariwisata. Jangan sampai warisan-warisan budaya in-situ maupun ex-situ dikomersialkan untuk kepentingan pariwisata. Kegiatan pariwisata justru harus mendukung konservasi dan presentasi kebudayaan lokal. 3. Manusia, Peningkatan dan pengembangan SDM melalui pendidikan dan latihan sehingga mampu berkompetisi global. 31
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Perlu juga diberikan kampanye kesadaran kepada masyarakat untuk semakin mencintai kebudayaan serta mampu memfiltrasi pengaruh inkulturasi,akulturasi ataupun asimilasi sebagai dari kegiatan pariwisata. 4. Ekonomi Sosial, Pariwisata harus mampu meningkat kesejahteraan dan taraf hidup orang banyak. 5. Objek dan daya tarik wisata, Objek dan atraksi wisata diidentifikasi Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu objek wisata (Yoeti, 2003 :45) : 1. Objek wisata itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai ‘something to see” artinya ditempat tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang dapat dilihat terutama yang berbeda dengan yang dimiliki tempat lain. 2. Dilokasi objek wisata itu harus tersedia dengan apa yang disebut “something to do”, artinya dilokasi tersebut harus pula ada kegiatan yang dilakukan, contohnya fishing, tracking, dan lain-lain. 3. Dilokasi objek wisata tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan “something to buy”, artinya dilokasi tersebut harus terdapat fasilitas untuk berbelanja (shopping) terutama souvenir sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang. Dengan demikian dalam pariwisata perlu mengetahui apa yang bisa dilihat, apa yang bisa dilakukan dan apa yang bisa dibeli oleh seorang wisatawan. Selain itu dengan pengembangan pariwisata di negeri sendiri, kita dapat menyaksikan keanekaragaman kekayaan negara kita, baik kebudayaan bangsa, sifat dan tata cara beraneka suku bangsa dan lain sebagainya. Pemerintahan Daerah dan Masyarakat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Daerah sebagai salah satu dinas daerah adalah organisasi pariwisata daerah yang merupakan bagian dari dinas daerah dan bertugas sebagai unsur pelaksanaan daerah dalam menjalankan roda pembangunan dan pemerintah daerah di sektor pariwisata.
Pariwisata di Banten pada dasarnya banyak sekali yang indah, kaya akan kesuburan tanah dan air. Hanya saja, kurang dibekali rasa memiliki untuk mengembangkan segala keindahan alam yang kita punya. Pemerintah daerah, merupakan yang paling memiliki hak untuk mengubah, melestarikan, untuk menjadi lebih indah dan pastinya mengembangkan agar objek wisata yang kita miliki dapat berkembang pesat, dan banyak dikenal orang. Pemerintah daerah harus dapat bertindak tegas dan memiliki rasa peduli terhadap pariwisata yang ada agar dapat mewujudkan sebuah pariwisata yang cantik dan dapat dinikmati oleh semua orang yang datang ke Banten. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, Pasal 1 angka 3 Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, dan Pemerintah Daerah. Peran Serta masyarakat dalam mengembangkan objek wisata daerah di Banten sangat penting dibutuhkan peran aktif dari masyarakat sekitar. Karena secara tidak langsung upaya pengembangan pariwisata daerah akan berdampak juga pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar itu sendiri. Untuk meningkatkan peran serta masyarakat tersebut, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banten melakukan beberapa langkah yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat sekitar, yaitu: 1. Mengadakan pembinaan, penyuluhan kepada masyarakat sekitar objek wisata untuk menciptakan masyarakat yang sadar wisata 2. Ikut serta masyarakat dalam melestarikan dan menjaga objek wisata 3. Mengajak masyarakat sekitar untuk menjaga kebersihan di lokasi wisata dengan mungkin mengadakan kerja bakti bersama-sama 4. Ikut melestarikan budaya adat-istiadat yang di sekitar objek wisata, budaya kuliner, dan lain-lain 5. Keindahan, dan keramahan terhadap pengunjung
32
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Pembahasan
6. Lapangan Golf &Driving Range
Pariwisata pada hakekatnya merupakan suatu fenomena lokal sehingga prospek pengembangan pariwisata akan mempengaruhi perkembangan daerah. Dari segi ekonomi ia cukup signifikan sebagai basis sumber devisa negara dan pendapatan daerah. Oleh sebab itu keterkaitan nilai ekonomi pada sektor pariwisata akan mendorong timbulnya kegiatan-kegiatan baru di sekitar wiiayah pariwisata dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi sektor informal masyarakat lokal.
Provinsi Banten dengan segala potensi alamnya merupakan salah satu sasaran investasi bagi para investor, baik lokal maupun internasional dengan menawarkan peluang bisnis yang sangat menguntungkan, baik bidang manufaktur maupun kepariwisataan. Jika dikaitkan dengan keharusannya suatu konsep pengembangan kepariwisataan sebagai salah satu andalan kegiatan perekonomian, dan apabila dilihat perkembangan penunjang kepariwisataan daerah di kabupaten/kota Provinsi Banten seperti halnya dalam sektor perhotelan, restoran, dan pengembangan tempat atau objek-objek wisata, sebagian besar mengalami stagnasi atau kemandegan, hal ini terlihat dengan semakin menurunnya pendapatan pemerintah daerah dari sektor kepariwisataan.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan ± 18.110 pulau yang dimilikinya dengan garis pantai sepanjang 108.000 km. Negara Indonesia memiliki potensi alam, keanekaragaman flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, serta seni dan budaya yang semuanya itu merupakan sumber daya dan modal yang besar artinya bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan. Modal tersebut harus dimanfaatkan secara optimal melalui penyelenggaraan kepariwisataan yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bertolak dari pemikiran di atas, maka diperlukan suatu kerjasama diantara para stakeholder (Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat) dalam rangka mengembangkan kepariwisataan. Tentunya peran terpenting dipegang oleh pemerintah daerah, karena pemerintahlah yang mengeluarkan kebijakankebijakan tentang pengembangan kepariwisataan. Diantaranya adalah perizinan dan penyelenggaraan pelayanan publik di sektor pariwisata. Adapun objek wisata unggulan yang terdapat di Provinsi Banten, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5.
Taman Nasional Ujung Kulon Masyarakat Baduy Gunung Krakatau Banten Lama Pantai yang indah dan menarik, yaitu: Pantai Tanjung Lesung, Pantai Anyer, Pantai Carita, Pantai Karang Bolong, Pantai Salira Indah
Selanjutnya berdasarkan pengamatan peneliti, Banyak faktor yang menjadi penyebab menurunnya jumlah kunjungan wisatawan ke Provinsi Banten, seperti aspek koordinasi antar instansi yang terkait masih lemah, fasilitas penunjang kepariwisataan yang kurang, sumber daya manusia pariwisata yang masih jarang, dan yang paling pokok adalah lemahnya perencanaan, khususnya perencanaan strategi kepariwisataan yang dilakukan pemerintah daerah Provinsi Banten yang mengakomodir sejumlah kabupaten/kota yang ada yang masih belum optimal mengenai berbagai hal tentang pengembangan kepariwisataan. Pariwisata pada dasarnya adalah suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal tolak pada perjalanan atau dengan kata lain pariwisata tersebut merupakan manusia dalam perjalanan artinya mereka yang mencari suatu keindahan dan kenyamanan untuk mengisi kehidupan mereka. Oleh karena itu pariwisata merupakan suatu bentuk kegiatan manusia yang berpangkal pada perjalanan, maka dari kegiatan itu akan menimbulkan dua hal, yaitu: 1. Timbul berbagai kebutuhan fisik seperti kebutuhan akan sarana transportasi, akomodasi, makanan-minuman, hiburan dan lain-lain. Dilihat dari sisi wisatawan, 33
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 maka pariwisata sebenarnya merupakan suatu kegiatan yang bersifat konsumtif dimana mereka akan membelanjakan uang mereka di objek wisata tersebut, sedangkan dari sisi penyediaan sarana dan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan dapat bersifat produktif. Oleh sebab itu pariwisata merupakan suatu kegiatan yang mempunyai nilai ekonomis atau komersial, sehingga dapat dijadikan sumber pendapatan, penyediaan lapangan kerja bagi penduduk sekitar, mendorong timbulnya bidang-bidang usaha baru ( pemberdayaan masyarakat ). Dengan demikian sektor pariwisata dapat dijadikan wahana pemerataan pendapatan. 2. Terjadi interaksi sosial budaya antara wisatawan sebagai tamu dangan masyarakat yang menjadi tuan rumah, dari interaksi ini masyarakat akan berkesempatan memperoleh pengalaman dan pengetahuan dari wisatawan, meskipun di sisi lain ada dampak negatifnya dari kegiatan kepariwisataan ini. Karena hal-hal itulah maka pariwisata mempunyai dampak yang luas sekali, baik dampak ekonomi, dan sosial budaya sehingga menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap keseluruhan pengembangan pariwisata. 3. Sementara itu jika dikaitkan dengan perkembangan perspektif birokrasi pemerintahan, akan terlihat relasi dan korelasi dari peranan pemerintah di dalam menyediakan fasilitas-fasilitas, sarana dan prasarana pariwisata bagi wisatawan dimana antara kebutuhan pengadaan infrastruktur pariwisata dengan objeknya.
pariwisata mengajak para pelaku usaha untuk berinvestasi dalam dunia pariwisata dengan menanamkan modalnya dan memberikan kemudahan dalam perizinan walaupun harus tetap sesuai dengan peraturan yang sudah di tetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Selain itu juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi di dalam menjaga kelestarian budaya yang ada serta memberikan tempat bagi masyarakat untuk mengerakkan perekonomian terkait dengan pengembangan pariwisata, sehingga mensejahterakan kehidupan mereka sendiri. Penutup Pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah provinsi Banten. Di dalam pengelolaan dan pengembangan pariwisata peran pemerintah sangat penting terkait dengan kebijakan. Begitu juga dengan pelaku usaha yang akan bekerja sama dengan pemerintah daerah di dalam pengembangan industri pariwisata dengan membantu mempromosikan objekobjek wisata di Provinsi Banten serta mengajak investor asing untuk menanamkan modalnya, selain itu pemerintah daerah dan pelaku usaha juga membantu masyarakat dalam perekonomian dengan membuat lapaklapak untuk mereka berjualan makanan dan souvenir khas daerahnya. Selain itu masyarakat juga mempunyai peranan penting di dalam menjaga objek wisata di tempatnya masing-masing. Keterlibatan dunia usaha dan masyarakat merupakan bentuk kepedulian dan kebersamaan dalam memajukan dunia pariwisata, dan budaya Banten. Sinergitas dapat terjadi kalau antara pemerintah daerah, pelaku usaha dan masyarakat dapat memahami perannya masing-masing.
Dilihat dari pengembangannya Banten merupakan termasuk provinsi yang mempunyai tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi, hanya memang perlu dilakukan pembenahan terutama terkait dengan sarana prasarana. Dimana kenyaman dan keamanan pengunjung merupakan hal yang penting di dalam pariwisata. Oleh karena itulah pemerintah daerah yang memiliki kewenangan di dalam pengembangan 34
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 DAFTAR PUSTAKA Swarbrooke.1998. Sustainable Tourismn Management London : Cabi Publishing Tangkilian. 2005. Manajemen Publik. Jakarta: PT. Gramedia Wahab. 1975. Manajemen Pariwisata, Bandung : Alfabet Winardi.2005. Pemikiran Sistemik dalam Bidang Organisasi dan Manajemen. Jakarta : Raja Grafindo Persada Yoeti, A. Oka. 1996. Anatomi Pariwisata, Bandung : Angkasa
___________2003. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita ___________ 2003. Tours and Marketing, Jakarta Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. UU No. 10 Kepariwisataan.
Tahun
1999
tentang
35
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Aktivitas Kader Perempuan dalam Komunikasi Politik (Studi Kasus di PDI Perjuangan DPD Banten) Oleh: Mia Dwianna W., Andin Nesia, Amelia Utami Putri
ABSTRAK Keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30% mendorong seluruh partai politik berlombalomba untuk memenuhi kuota tersebut, namun yang menjadi pertanyaan apakah kader perempuan yang dikirim untuk bersaing di parlemen adalah yang terbaik dan memang memiliki kemampuan yang baik dalam melaksanakan aktivitas komunikasi politik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas kader perempuan anggota partai politik dalam aktivitas komunikasi politik di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Banten. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Anggapan bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki sebagian besar disebabkan oleh kostruksi sosial melalui sosialisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan peran antara anggota lakilaki dan perempuan. Akan tetapi yang membedakan pembagian kerja adalah pembatasan diri dalam hal ruang gerak yang dilakukan oleh perempuan itu sendiri, sehingga membuat stereotype anggota laki-laki terhadap anggota perempuan di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Kata kunci: Aktivitas Perempuan, Komunikasi Politik, Partai Pendahuluan Kebijakan kuota 30% bagi perempuan untuk duduk di legislatif, merupakan apresiasi terhadap keberadaan perempuan yang selama ini dianggap kaum lemah. Di sisi lain, kebijakan ini mengakibatkan partai politik berlomba-lomba untuk memenuhi kuota tersebut. Bahkan, kuota 30% ini lebih banyak dipakai parpol sebagai ajang memenuhi persyaratan untuk bisa mengikuti pemilu daripada menjaring kader perempuan yang berkualitas. Realitas menunjukkan bahwa partai politik belum sepenuhnya mendukung peningkatan peran signifikan kaum perempuan dalam politik. Selama ini, parpol menerima siapa saja anggota masyarakat yang ingin menjadi kader partai. Seperti sebuah ungkapan survival of the fittest, siapa yang kuat, maka dialah yang menang. Belum semua parpol memberi perhatian khusus untuk menjaring dan mengader perempuan sebagai anggota. Namun demikian, apresiasi terhadap partai politik yang telah memberikan kesempatan kepada para perempuan untuk berkiprah di parlemen
layak diberikan. Dan yang perlu untuk diketahui adalah aktivitas para perempuan yang telah menjadi anggota partai. Tulisan ini akan membahas mengenai aktiivitas perempuan dalam politik, khususnya peran perempuan sebagai komunikator politik. Eksistensi Komunikator Politik Dalam sebuah proses politik, Keberadaan komunikator politik menjadi suatu bagian yang penting. Hal ini karena komunikator politik merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas komunikasi. Pada peristiwa komunikasi yang manapun, faktor komunikator merupakan suatu unsur yang penting sekali peranannya. Kendati demikian, keberhasilan komunikasi secara menyeluruh bukan hanya ditentukan oleh sumber, namun mengingat fungsinya sebagai pemrakarsa dalam aktifitas politik tersebut, maka bagaimana pun juga dapat dilihat betapa menentukannya peran tersebut. Komunikator politik harus dapat mengemas pesan yang efektif dan mendesain sebuah pesan sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku seperti yang diinginkan komunikator. Dengan 36
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan komunikator politik pada saat melakukan proses komunikasi politik dengan audiensnya adalah pada saat dimana audiens bersedia memberikan suaranya dalam pemilihan umum. Komunikator politik dalam komunikasi politik dibedakan ke dalam tiga jenis (Nimmo, 2011, p. 30): 1. Politikus sebagai komunikator politik Politikus sebagai komunikator politik dicirikan dengan beberapa hal (1) politikus mewakili kepentingan kelompok (partisan) dimana pesan-pesan politiknya mengajukan atau melindungi tujuan kepentingan kelompok; (2) politikus yang bertindak sebagai ideology lebih menyibukkan diri untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas , mengusahakan reformasi, dan bahkan mendukung perubahan yang revolusioner. 2. Komunikator professional dalam politik. Komunikator professional menjual keahliannya dalam memanipulasi, menjualkan, menghubungkan, dan meninterpretasikan kepada para politikus dan yang lain. Beberapa diantaranya bekerja hanya untuk para politikus dari partai politik atau ideology tertentu. 3. Aktivis atau komunikator paruh waktu (part timer) Komunikator politik tipe ini biasanya bertindak sebagai saluran organisasi dan interpersonal. Karena itu dalam mengamati proses komunikasi politik, perlu sekali terlebih dahulu memahami karakteristik masingmasing komunikator tersebut, setidaktidaknya secara umum, guna mendapatkan gambaran tentang bagaimana kelak kemungkinan-kemungkinan yang timbul baik dalam berlangsungnya proses komunikasi itu sendiri, maupun dalam keseluruhan hasil komunikasi yang dilakukan. Aktivitas Komunikasi Politik Komunikasi politik merupakan komunikasi persuasi yang selalu dilakukan oleh politikus maupun partai politik untuk mencapai tujuan politiknya. Dalam hal ini, kegiatan komunikasi politik kegiatan persuasi dan hampir tidak ada
kegiatan komunikasi politik yang tidak berusaha untuk mempersuasi orang atau khalayak maupun pemilih yang bertujuan mengubah atau mempertahankan persepsi, perasaan, pikiran, maupun pengharapan agar mereka bersikap dan berperilaku sesuai dengan keinginan komunikator politik. Dalam hal ini Dan Nimmo menyebutkan persuasi merupakan suatu pembicaraan politik yang bertujuan mengubah persepsi, pikiran, perasaan, dan pengharapannya. Karena itu, manuver-manuver politik yang sering keluar dari sejumlah elite dan aktor politik pada umumnya, pada gilirannya dapat berimplikasi pada pembentukan perilaku individu dan kelompok yang terlibat dalam proses tersebut. Pesan-pesannya akan menjadi rujukan penting dalam mengambil tindakan-tindakan formal ataupun informal khususnya berkenaan dengan aktivitas politik.98 Beberapa bentuk komunikasi politik sebagai aktivitas komunikasi politik yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam dunia politik adalah retorika politik, propaganda politik, public relation politik, lobi-lobi politik, periklanan politik, dan sebagainya. (Muhtadi, 2008) Teori Nurture Perbedaan perempuan dan laki-laki pada dasarnya merupakan hasil dari konsepsi budaya yang tercipta melalui sosialisasi dan internalisasi dengan lingkungannya. Perbedaan ini dikonstruksi melalui sistem pranata sosial yang melingkupinya. Menurut Fakih proses sosialisasi dan internalisasi konsep perbedaan gender tersebut berakumulasi dalam ruang dan waktu yang sangat lama, diwariskan pada generasi selanjutnya dan juga diperkuat oleh negara dan agama sehingga perbedaan gender tersebut sesungguhnya „dilekatkan‟ secara kultural dianggap sebagai sesuatu yang „dikodratkan‟ oleh Tuhan atau alamiah. Pembagian tugas dalam keluarga kemudian menempatkan perempuan sebagai individu yang tertindas. Randall Collin (1987) beranggapan keluarga adalah wadah tempat pemaksaan, suami sebagai pemilik dan wanita sebagai abdi. Margrit Eichlen beranggapan keluarga dan agama adalah sumber 37
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 terbentuknya budaya dan perilaku diskriminasi gender. Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Anggapan bahwa perbedaan psikologis antara perempuan dan laki-laki sebagian besar disebabkan oleh kostruksi sosial melalui sosialisasi. (Murniati, 2004, p. XVIII). Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kostruksi sosial menetapkan lakilaki dan perempuan dalam perebedaan kelas. Laki-laki di identikkan dengan kelas borjuis dan perempuan sebagai kelas proletar. (Salatalohy, 2004, p. 71). Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis) yang cenderung mengejar “kesamaan” atau fiftyfifty yang kemudian dikenal dengan istilah kesamaan kuantitas (perfect equality). Perjuangan tersebut sulit dicapai karena berbagai hambatan, baik dari nilai agama maupun budaya. Oleh karena itu, aliran nurture melahirkan paham sosial konflik yang memperjuangkan kesamaan proporsional dalam segala aktivitas masyarakat seperti di tingkatan manajer, menteri, militer, DPR, partai politik, dan bidang lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, dibuatlah program khusus (affirmatif action) guna memberikan peluang bagi pemberdayaan perempuan yang kadangkala berakibat timbulnya reaksi negatif dari kaum laki-laki karena apriori terhadap perjuangan tersebut. Pembagian kerja secara seksual seringkali dikonstruksi berdasarkan gender. Kegiatankegiatan ekonomis cenderung terklasifikasikan menurut jenis kelamin. Beberapa peran dilihat sebagai maskulin atau feminin. Namun fakta semakin menguatkan bahwa peran sosial laki-laki dan perempuan merupakan hasil konstruksi masyarakat, sehingga mengakibatkan adanya sebuah peran yang di suatu tempat dianggap maskulin tetapi di tempat lain dianggap feminin. Pembagian kerja secara seksual
merupakan pembagian yang berdasarkan seksisme atau stereotipe. Secara ilmiah para ahli telah membuktikan bahwa kemampuan otak perempuan sama dengan laki-laki. Bahwa perempuan cenderung lebih emosional, hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan kemampuan otak, melainkan sebagai kekhasandari makhluk perempuan. (Siregar, 2001, p. 67). Politik yang kita pahami saat ini masih bersifat bias gender dan sangat berorientasi maskulin. Segala aktivitas politik masih didominasi oleh kaum lelaki. Hal tersebut mengakibatkan pandangan terhadap isu-isu politik masih berorientasi pada pandangan, pengalaman, dan sensitifitas lelaki. Hal ini, mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup dan pemenuhan hak-hak asasi manusia sera kesetaraan adalah dampak dari maskulinitas yang terjadi. Aktivitas Perempuan dalam Komunikasi PolitikEksistentsi perempuan di ranah politik seringkali diragukan oleh banyak pihak, berkaitan dengan sejumlah anggapan bahwa wanita itu adalah kaum yang lemah, kendati demikian terdapat sejumlah perempuan yang saat ini aktif di ranah politik dan menjadi motor partai politik di daerah. Dalam kaitanya dengan Komunikasi Politik,aktivitasperempuan. Di PDI Perjuangan DPD Banten tidak berbeda dengan laki-laki. Kendati jumlah perempuan lebih sedikit dari laki-laki mereka memilki hak yang sama untuk melakukan aktivitas politik. Dalam menjalankan aktivitas komunikasi politik, hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki juga sama. Hak dipilih dan memilih pada anggota PDI-P baik perempuan dan laki-laki juga sama, dapat dibuktikan melalui banyaknya anggota perempuan yang menjadi pemimpin atau menjabat jabatan strategis di partai dan di parlemen. Sesuai AD pasal 14 tentang anggota poin 1 adalah mendapat perlakuan yang sama di dalam partai. Artinya setiap anggota partai berhak mendapatkan perlakuan yang sama baik anggota laki-laki maupun perempuan. Hal ini dibenarkan oleh informan penelitian: “Sesuai AD/ART ataupun undangundang urutan hirarkinya ada itu berlaku untuk semua, tidak ada 38
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 diskriminasi di dalam peraturan undang-undang itu. Termasuk juga AD/ART partai bahwa tidak ada diskriminasi laki-laki memiliki domain hak dan kewajibannya yang berbeda dengan perempuan gak ada.”4 Oleh karena dalam hal aktivitas pun tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, termasuk aktivitas komunikasi politik. Aktivitas komunikasi politik adalah salah satu hal yang harus dilakukan untuk keberlangsungan karir dan eksistensi seorang politisi. Untuk itu peneliti membahas hal ini untuk mengetahui apakah informan-informan kunci sudah melakukan hal-hal tersebut. Beberapa bentuk komunikasi politik yang sudah lama dikenal dan dilakukan dalam dunia politik adalah retorika dan agitasi politik, propaganda politik, public relation politik, lobi-lobi politik, periklanan politik, dan sebagainya 1. Retorika Retorika atau dalam bahasa Inggris rhetoric berasal dari kata latin rehtorica yang berarti ilmu bicara. Aristoteles menyebutkan retorika sebagai seni persuasi yaitu uraian yang singkat, jelas dan menyakinkan dengan menggunakan keindahan bahasa dalam penyampaiannya. Kebanyakan dari politisi melakukan retorika pada saat berkampanye dalam hal ini untuk kepentingan pemilihan legislatif. Retorika merupakan komunikasi dua arah, satu kepada satu. Dalam pengertian bahwa seseorang berbicara kepada beberapa orang atau seseorang berbicara kepada seorang lainnya, yang masing-masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lainnya, melalui tindakan timbal balik satu sama lain. 5 Aktivitas Retorika, ini dipahami oleh para informan sebagai sebuah kegiatan berbicara di muka umum menyampaikan programprogram yang berkaitan dengan organisasi 4
Wawancara dengan Sri Hartati SH, Tanggal 6 Oktober 2014 Pukul 14.00 WIB 5 Wawancara dengan Ikhsan Ahmad, S.Ip, M.Si, Tanggal 7 Oktober 2014 Pukul 13.15
kepartaian. Seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan “Saya melakukan hal itu saat saya berkampanye, menyampaikan kebijakan-kebijakan partai maupun 6 pemerintah kepada masyarakat.” . 2. Propaganda Politik Propaganda merupakan usaha yang dilancarkan berkesinambungan dengan tujuan menggalang dukungan bagi suatu pendapat, kredo (paham), atau kepercayaan tertentu.163 Propaganda merupakan suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi. Sehingga Scott M. Cutlip dan H. Center menyebut persuasi sebagai upaya menyampaikan informasi lewat cara tertentu yang membuat orang menghapus gambaran lama dalam benaknya atau memori pikirannya dan menggantikannya dengan gambaran baru sehingga berubalah perilakunya. (Djamaluddin Malik, 1994). Pemahaman akan istilah propaganda diimplementasikan oleh para kader perempuan ini dalam aktivitaas berupa pemasangan papan identitas partai . Propaganda yang dilakukan oleh para kader perempuan informan adalah propaganda politik kepada masyarakat, kemudian propaganda sosiologi dilakukan oleh PDI-P kepada anggotanya pada saat pengkaderan, yaitu menanamkan ideologi PDI-P sehingga dapat diterapkan dalam jangka panjang oleh seluruh anggotanya. 3. Public Relations Public relations adalah suatu bentuk komunikasi yang berlaku untuk semua jenis organisasi, baik itu yang bersifat komersial mupun non-komersial, di sektor publik (pemerintah) maupun privat (pihak swasta). Terdapat begitu banyak definisi PR. Namun pada intinya, PR senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatankegiatan tersebut diharapkan akan muncul perubahan yang berdampak. Usaha penyebaran informasi dan mempersuasi khalayak, tak jarang PR melakukan tindakan6
Wawancara dengan Sri Hartati SH, Tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 12.00 WIB
39
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 tindakan spin doctor yaitu suatu upaya untuk mengubah gambaran/pandangan buruk (Jefkins, 2004) Usaha penyebaran informasi dan mempersuasi khalayak, tak jarang PR melakukan tindakan-tindakan spin doctor yaitu suatu upaya untuk mengubah gambaran/pandangan buruk menjadi baik atas suatu produk maupun institusi di tengah-tengah masyarakat. Tindakan spin doctor tersebut dapat dikatakan merupakan kegiatan utama public relations. Sebagai anggota partai, para kader perempuan ini akan menjaga citra dan nama baik partai sesuai yang tertuang dalanm AD/ART PDI-P. Mereka juga akan berusaha meyakinkan orang-orang untuk masuk ke dalam partai dan kemudian diberikan pemahaman melalui ilmu yaitu suatu seminar ataupun pengkaderan sehingga muncul perubahan persepsi terhadap partai dalam hal ini adalah PDI-P. Para Kader inii juga melakukan kegiatan spin doctor yaitu upaya-upaya mengubah padangan buruk masyarakat terhadap PDI-P menjadi pandangan baik. Seperti yang dikatakan Sri Hartati : “Komunikasi politik menjadi penting karena itu bagian dari memPR-kan diri kita, dan mem-PR-kan partai.”7 Apalagi ditengah-tengah permasalahan kubu merah putih (lawan dari koalisi PDI-P) dan kubu indonesia hebat (kubu koalisi PDI-P) anggota partai wajib melakukan kegiatan spin doctor tersebut untuk meluruskan dan membentuk opini public yang baik untuk partai. Public relations berfungsi sebagai "jembatan komunikasi" antara suatu organisasi dan lembaga lain serta berbagai elemennya. Tujuannya supaya terjadi saling pengertian antara kedua belah pihak, dan akhirnya terciptanya citra positif serta dukungan publik terhadap keberadaan organisasi . (Ardianto, 2009, p. 27). Sementara politik itu sendiri berkaitan dengan masalah kekuasaan, termasuk mempertahankan kekuasaan. Hal ini yang harus dilakukan oleh anggota partai bagaimana mereka melakukan kegiatan PR
untuk mencapai tujuan yang sama dan saling pengertian, namun tidak melupakan bahwa mereka juga harus mempertahankan kekuasaan. Yang paling penting dalam kegiatan PR adalah citra positif serta dukungan publik terhadap keberadaan organisasi, jika publik sudah memberikan citra positif secara tidak langsung itu akan memberikan efek yang baik karena publik akan memilih kembali partai tersebut dengan kata lain partai dapat merebut atau mempertahankan kekuasaaanya. Tercapai sudah tujuan kegiatan PR dan kegiatan politik dari partai tersebut. 4. Lobby-Lobby Politik konsep lobi merupakan suatu keharusan untuk memecahkan berbagai persoalan yang ada, internasional. Penggunaan lobi (lobbying) dalam sistem politik telah menjadi fenomena umum sejak lahirnya politik itu sendiri. Bagaimanapun kebijakan publik diformulasikan akan selalu ada kecenderungan dari mereka yang sangat terpengaruh untuk mempengaruhi hasil. Seperti yang dikatakan Suparmi ST: “Tentu saja melakukan itu semua, karena kita duduk di legislatif, lobi-lobi politik harus jalan pada saat voting menentukan keputusan di parlemen.”8 Kemudian Sri Hartati juga menyatakan: “Melakukan lobi-lobi politik untuk menyamakan persepsi dan pendapat orang dengan apa yang kita mau.”9 Hal ini menunjukan bahwa memang benar lobi-lobi politik sangat dibutuhkan dan wajib dilakukan untuk mencapai tujuan atau kesepakatan tertentu dalam tataran sistem pemerintahan atau orang-orang yang duduk di parlemen. 5. Periklanan Politik Periklanan politik, menurut H.B. Widagdo (1999) merupakan usaha untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada khalayak dengan mengetengahkan berbagai 8
7
Wawancara dengan Sri Hartati SH, Tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 12.00 WIB
Wawancara dengan Suparmi ST, Tanggal 1 Oktober 2014 Pukul 15.30 WIB 9 Wawancara dengan Sri Hartati SH, Tanggal 9 Oktober 2014 Pukul 12.00 WIB
40
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 pertimbangan dan alasan kuat perlunya masyarakat mendukung keberadaan partai politik maupun kandidat yang akan dipilih dalam kegitan pemilihan umum. Pesan-pesan tersebut disampaikan dan disebarluaskan melalui media massa baik cetak maupun elektronik, seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, media iklan, internet, dan sebagainya. Para kader Perempuan melakukan periklanan politik melalui pamflet, banner, dan spanduk pada saat kampanye dan perayaan hari besar keagamaan melalui surat kabar atau radio. “Adapun umpamanya, kegiatan yang sifatnya akbar memberikan ucapan lewat baner atau spanduk itu kan hal-hal yang wajar, semua juga pasti ada. Nah kalau momen yang besar seperti pemilu itu harus seperti pamflet gitu ya, hanya tidak berlebihan.” 10 Iklan dibuat sebagai alat memengaruhi dukungan publik. Namun, karena realitas keterisolasian iklan dengan preferensi pemilih, tujuan ini tidak efektif untuk memperluas dukungan suara. Kecuali, memperteguh pendapat pemilih yang telah mengikatkan emosinya. Jadi, iklan bukan pada posisi untuk memengaruhi, melainkan menguatkan pendirian-pendirian. Dapat kita lihat pada penelitian ini, bahwa pencitraan yang dilakukan anggota DPRD dalam hal ini Suparmi dan Sri Hartati yang mengiklankan diri mereka melalui ucapan-ucapan tertentu dihari besar dengan gambar atau foto wajah mereka disamping ucapan tersebut, sedikit banyak membuat orang mengenal dan mengingat, kemudian menetapkan pilihan dan meperkuat pendirian pemilih terhadap para informan untuk dipilih kembali dalam pemilihan legislatif 2014. Dan cara ini berhasil, karena para informan ini terpilih kembali menjadi anggota dewan untuk DPRD Kota Tangerang dan DPRD Provinsi Banten pada periode 2014-2019. Sosialisasi dan Internalisasi Kader Perempuan dalam Aktivitas Komunikasi Politik
Apapun profesi dan bidang pekerjaan yang dipilih, kemampuan sosialisasi sangat mutlak diperlukan. Sekalipun pekerjaan itu tidak mengharuskan untuk bertemu dengan banyak orang, sebagai makluk sosial kita tetap dituntut untuk mampu bersosialisasi. Sekecil apapun lingkungan kerja, tetap perlu berinteraksi dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Kemampuan sosialisasi memang selalu diidentikkan dengan kemampuan berkomunikasi dengan lingkungan. Namun tentu saja bukan hanya sekedar komunikasi biasa yang harus dilakukan. Dengan memiliki kemampuan bersosialisasi yang baik, maka dapat dengan mudah diterima dilingkungan tempat kerja. Begitu juga menjadi seorang yang terjun dalam dunia politik dan duduk sebagai anggota legislatif, yang sehari-hari harus bertemu dengan banyak orang dan ditempat yang berbeda-beda. Kemampuan berkomunikasi yang baik dapat mempermudah untuk diterima oleh orangorang baru yang ditemui. Berdasarkan buku Sosiologi Suatu Pengantar yang ditulis oleh Soerjono Soekanto, “sosialisasi adalah suatu proses, dimana anggota masyarakat yang baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat di mana dia menjadi anggota”. (Soekanto, 2009, p. 59). Berdasarkan observasi peneliti, para kader perempuan melakukan sosialisasi sekunder, dimana informan melakukan proses sosialisasi lanjutan setelah sosialisasi primer yang memperkenalkan individu sebagai kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini mereka sebagai anggota PDI-P kepada masyarakat. Dalam proses sosialisasi baik sesama anggota partai maupun sesame politisipun berdasarkan hasil pengamatan berjalan dengan baik, hal ini didukung dengan penyataanDra. Hj. Amah Suhamah M.Si : “Dengan yang lain ibu komunikasi biasa aja, Insya Allah untuk komunikasi dengan teman tidak ada masalah.”11 Suparmi, ST. juga menyatakan hal yang serupa yaitu:
10
Wawancara dengan Dra. Hj. Amah Suhamah M.Si dan Suparmi ST, Tanggal 8 Oktober 2014 Pukul 16.30 WIB
11
Wawancara dengan Dra. Hj. Amah Suhamah M.Si, Tanggal 1 Oktober 2014 Pukul 08:30 WI
41
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 “Kalau dengan politisi itu kan paling sifatnya hanya silahturahmi ya, tapi kalau dengan internal kita itu konsilidasi, itu sudah ada ketetapannya dalam AD/ART partai. Jadi kalau tingkat provinsi itu kita harus rapat di struktural DPD itu seminggu sekali, Karena itukan diatur dalam AD/ART partai, terus kalau di tingkat DPP itu misalkan ini seminggu 2 kali terus saat kita maunturun ke bawah ke PAC, DPC untuk tingkat provinsi itukan adamomen-momen tersendiri gitu. Apa dalam rangka ulang tahun partai, atau apa, jadi gak harus juga tiap saat”12 Berdasarkan hasil pengamatan peneliti tipe sosialisasi yang dilakukan oleh informan kunci 1 adalah sosialisasi formal ketika acara rapat partai, paripurna,rapat fraksi,dsb. Dan sosialisasi informal pada saat silahturahmi antar kader dan obrolan diluar dari kegiatan partai maupun pekerjaan. Dan sosialisasi informal pada saat silahturahmi antar kader dan obrolan diluar dari kegiatan partai maupun pekerjaan. Sedangkan pola sosialisasi yang dilakukan key informants menurut hasil observasi peneliti adalah pola sosialisasi represif. Sosialisasi represif igunakan untuk orang-orang tertentu saja yang menjadi pembicara pada saat pengkaderan atau pendidikan kader partai, dikarenakan mereka sudah menjadi guru kader dan berhak berbicara dan mengisi materi pada saat pengkaderan berlangsung, sedangkan pola yang paling sering dilakukan dari semua informan adalah pola partisipatoris yang menekankan pada interaksi dan komunikasi lisan yang bersifat dua arah. Hukuman dan imbalannya bersifat simbolik. Pada proses sosialisasi ada beberapa tahapan yang dilalui oleh para kader perempuan ini. Hal ini dilihat dari analisis lapangan atau observasi peneliti, dan jawaban-jawaban yang relevan dengan tahap-tahap tersebut: a. Tahap persiapan (preparatory stage) Tahap ini dialami saat seorang caleg mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk memperoleh 12
Wawancara dengan Suparmi ST, Tanggal 1 Oktober 2014 Pukul 15.30 WIB
pemahaman tentang dirinya, mengenal dunia politik. b. Tahap meniru (play stage) Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang politisi menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang yang lebih dulu terjun kedalam dunia politik (senior). Kemampuan untuk menempatkan diri padaposisi orang lain mulai terbentuk, politisi juga sadar bahwa dunia sosial dan politik manusia berisi banyak orang. Sebagian dari orang tersebut adalah orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yaitu dari mana politisi menyerap norma dan nilai yang berlaku dikalangan politisi dan dunia politik. c. Tahap memainkan (game stage) Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan diganti oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuan menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bekerja secara bersama-sama. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks. d. Tahap penerimaan (generalized stage)
norma
kolektif
Pada tahap ini seseorang telah dianggap matang dalam dunia perpolitikan. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Dan dengan bekal tahapan yang begitu panjang dalam dunia politik, maka pada tahap ini politisi sudah diakui baik kemampuan dan keberadaannya di dunia politik. Sejumlah sosiolog menyebut sosialisasi sebagai teori mengenai peranan (role theory), karena dalam proses sosialisasi diajarkan peran-peran yang harus dijalankan oleh individu. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai anggota partai, anggota legislatif, pengacara, 42
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 dokter, guru, orangtua, anak, wanita, pria, dan lain sebagainya, diharapkan agar orang tersebut berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Melalui interaksi dengan orang lain, seseorang memperoleh identitas, mengembangkan nilai-nilai dan aspirasiaspirasi. Artinya sosialisasi diperlukan sebagai sarana untuk menumbuhkan kesadaran diri. Dengan demikian, perempuan yang terjun dalam dunia politik harus mampu menunjukkan perannya dalam statusnya sebagai politisi. Anggota perempuan pada PDI-P harus mampu menunjukkan perannya yang selama ini mendapatkan stereotipe dalam bidang politik, konstruksi masyarakat yang masih belum percaya dengan kemampuan perempuan. Dengan begitu, pelabelan negatif perempuan dalam dunia politik pun akan hilang. Selain itu citra negatif yang diciptakan masyarakat pun akan hilang seiring peran yang dilakukan oleh perempuan dalam lingkungan masyarakat. “Hanya saja memang, ada kendala, ada sedikit hsambatan nilai budaya misalnya yang masih menempatkan perempuan pada peran-peran yang identik seperti peran domestik partai politik misalnya. Kalau di acara formal penerima tamu itu pasti perempuan, kemudian MC itu perempuan, dirijen juga perempuan, nah itukan stereotype gender yang tidak mudah dilepaskan begitu saja” 13 Dalam perkembangan sosiologi, menurut dalil teori nurture bahwa pembagian kerja disebabkan karena faktor pembiasaan dari lingkungan sangat tepat. Citra seorang perempuan memang dibentuk oleh masyarakat dan bukan didapat secara alamiah.Berdasarkan penelitian ini, dapat diketahui bahwa dalam bersosialisasi saat melakukan sosialisasi berjalan dengan baik. Hal itu terjadi karena sikap yang ditunjukkan oleh anggota perempuan lebih luwes, sabar, ramah dan sopan, berbeda dengan anggota laki-laki yang lebih tak acuh. Informan ahlipun
memperkuat hasil observasi peneliti diatas: “Perempuan seharusnya lebih bisa berperan sesuai dengan kodratnya, sebagai seorang ibu, dia pasti punya kesabaran, lebih idealis, lebih berpegang pada prinsip, dibandingkan lakilaki.”14 Dari hasil percakapan dan observasi peneliti dengan key informants dapat disimpulkan bahwa agen sosialisasi para kader perempuan dalam aktivitas mereka dalam komunikasi politik adalah keluarga, rekan se profesi (politisi), dan masyarakat. Simpulan 1. Aktivitas perempuan sebagai anggota partai politik dalam aktivitas komunikasi politiksamadengan laki-laki, dikarenakan perempuan memiliki kesempaan yang sama untuk melakukan aktivitas komunikasi politik seperti retorika, propaganda, public relations, lobi-lobi politik, dan periklanan politik. Anggota perempuan juga diberikan kesempatan yang sama untuk menjabat dalam jabatan struktural dan jabatan penting. 2. Dalam bersosialisasi dan berinternalisasi anggota perempuan lebih banyak melakukan pembicaraan pada saat bertemu dengan anggota lainnya di rapatrapat, baik itu rapat partai atau rapat legislatif. Jenis sosialisasi yang dilakukan anggota perempuan adalah sosialisasi sekunder yaitu tahap lanjutan dari sosialisasi primer yaitu memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu dalam masyarakat , kemudian tipe sosialisasi formal dan informal digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berlangsung. Anggota perempuan di PDI-P juga mengikuti tahap-tahap dalam proses sosialisasi yaitu tahap persiapan (preparatory stage), tahap meniru (play stage), tahap memainkan (game stage), dan tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage). Adapun yang termasuk dalam agen sosialisasi informan-informan kunci adalah keluarga, masyarakat dan 14
13
Wawancara dengan Gandung Ismanto,S.Sos., MM, Tanggal 30 September 2014 Pukul 09:30 WIB
Wawancara dengan Ikhsan Ahmad, S.Ip, M.Si, Tanggal 7 Oktober 2014 Pukul 13.15
43
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 sesama politisi. Dalam struktur partai sebagai agen sosialisasin informaninforman kunci adalah DPP,DPD,DPC, ranting, anak ranting. Daftar Pustaka Ardianto, E. (2009). Metode Penelitian untuk Public Relations Kuantitatif Dan Kualitatif. Bandung: Simbioasa Rekatama Media. Djamaluddin Malik, D. d. (1994). Komunikasi Persuasif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhtadi, A. S. (2008). Komunikasi Politik Indonesia:Dinamika Islam Politik PascaOrde Baru.2. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Murniati, A. N. (2004). Getar Gender. Jakarta: Yayasan Adikarya. Salatalohy, F. R. (2004). Nasionalisme Kaum Pinggiran. Yogyakarta: LKiS. Siregar, H. (2001). Hetty Siregar. Menuju Dunia Barum Komunikasi, Media , dan Gender. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Soekanto, S. (2009). Pengantar.
Sosiologi
Suatu
Jefkins, F. (2004). Public Relation edisi ke-5. Jakarta: PT Gelora AKsara Pratama.
44
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 MANAJEMEN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN MELALUI PEMBELAJARAN KETERAMPILAN BERBASIS SOSIAL DAN BUDAYA PADA ANGGOTA PKK (PEMBINAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA) DI KECAMATAN CIBEBER KOTA CILEGON Oleh : Titi Stiawati Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, e-mail:
[email protected] ABSTRAK Fokus penelitian ini pada manajemen pemberdayaan perempuan melalui pembelajaran keterampilan berbasis sosial dan budaya pada anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di Kecamatan Cibeber Kota Cilegon. Tujuan penelitian ini Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan anggota PKK dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya lokal untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan beserta keluarganya serta memberdayakan lembaga PKK agar mampu mengembangkan inovasi-inovasi dalam mendorong masyarakat yang menjadi binaannya secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan kelompok masyarakat sasaran.adapun manfaatnya Memberikan gambaran tentang Pembinaan dan Kesejahteraan Keluarga di Kecamatan Cibeber dengan 10 Program Pokok PKK sebagai pedoman pelaksanaan kegiatannya. Adapun permasalahan yang terjadi antara lain masalah kesulitan permodalan, belum optimalya pendampingan usaha dan rendahnya sumber daya manusia. Hasil dalam penelitian ini yaitu bahwa pemberdayaan perempuan yang dilakukan PKK kecamatan Cibeber melalui pemberikan keterampilan seperti tata boga, membuat kue-kue yang mudah untuk dijual, membuat kacang sangrai , membuat emping melinjo, menjahit, tata rias dan membuat aksesoris membuat bros. Kegiatan yang dilaksanakan oleh PKK kecamatan Cibeber ini sangat bermanfaat bagi anggotanya dan mereka dapat mengoptimalkan waktu luangnya untuk meningkatkan pendapatan keluarganya. Saran yang kami berikan dalam penelitian ini adalah Program PKK yang sudah ada sebaiknya lebih ditingkatkan lagi khususnya yang menyentuh kepada masyarakat, dilaksanakannya hubungan dengan pihak swasta untuk mendukung program PKK Kata Kunci : Pemberdayaan Perempuan , Keterampilan, PKK
45
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 MANAGEMENT OF WOMEN EMPOWERMENT LEARNING THROUGH SKILLS BASED ON THE SOCIAL AND CULTURAL PKK (THE PROMOTION OF FAMILY WELFARE) IN THE CITY DISTRICT CIBEBER CILEGON By: Titi Stiawati Faculty of Social and Politic Science Untirta
ABSTRACT This research focus on the empowerment of women through the learning management based on social and cultural skills to members of the Family Welfare Guidance (PKK) in Cibeber District Cilegon.The purpose of this study is to increase the knowledge and skills of members of PKK in managing and utilizing local resources for improving quality life of women and their families, empowering the institution PKK in order to develop innovations in encouraging people who become surrogate participatory, which approach methods oriented to the needs of the target communities.As for the benefits Provide an overview on Development and Family Welfare in Cibeber District 10 Principal Program PKK as guidance activities.As for problems that occur among other difficult issues of capital, yet optimalya business mentoring and low human resources. The results in this study is that the empowerment of women by PKK districts Cibeber through pemberikan skills such as cookery, making cakes that are easy to sell, make a peanut roaster, makes chips melinjo, sewing, cosmetology and make accessories make brooches.Activities carried out by the PKK Cibeber districts is very useful for their members and they can optimize their spare time to increase family income.The advice we give in this study is the PKK that existing programs should be further enhanced especially touching to the community, the implementation of relations with the private sector to support the PKK. Keywords: Women's Empowerment, Skills, PKK
PENDAHULUAN Kalau kita berbicara mengenai pemberdayaan perempuan, kita harus berangkat kepada sejarah mengapa perempuan ini kemudian menjadi suatu topik yang selalu banyak dibicarakan di dalam seminar-seminar. Kita akan berangkat kepada dasawarsa untuk perempuan tahun 1975 sampai dengan 1985 sebagai dasar pijak di mana hasil keputusan dari konferensi perempuan yang pertama di Mexico City telah mendorong PBB sebagai badan tertinggi di dunia untuk memasukkan urusan perempuan, tidak hanya masuk menjadi urusan komisi sosial dan kemanusiaan saja, tetapi didiskusikan pada komisi kerjasama dan pembangunan.
Kata pemberdayaan sendiri tentunya harus memberdayakan kaum perempuan, memberdayakan bukan memperdayai. Pendekatan pemberdayaan itu sendiri sebetulnya sangat positif, lahir dari ketidakpuasan terhadap semua pendekatan yang ada, yang didasarkan pada asumsi bahwa memperbaiki posisi perempuan harus berpusat pada upaya-upaya penghapusan sub-ordinasi perempuan. Pemberdayaan Perempuan adalah upaya pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya, agar perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep diri. 46
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Keberhasilan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh perempuan. Perempuan mempunyai andil besar dalam membentuk sebuah keluarga yang bermartabat. Lebih dari itu, perempuan juga mempunyai andil besar dalam kegiatan penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat dan kelompok. Salah satu buktinya, bahwa perempuan mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya dengan melakukan kegiatan usaha produktif rumah tangga.
Untuk mengetahui masalah dan tujuan penelitian, maka dalam penelitian ini menggunakan metode dengan pendekatan kualitatif.
Salah satu wadah organisasi perempuan dimasyarakat Desa dan Kelurahan adalah PKK. PKK merupakan sebuah gerakan yang tumbuh dari bawah dengan perempuan sebagai penggerak dan dinamisatornya dalam membangun, membina, dan membentuk keluarga guna mewujudkan kesejahteraan keluarga sebagai unit kelompok terkecil dalam masyarakat.
Dengan makin berkembangnya pembangunan, dimana dalam kenyataannya perempuan mempunyai peranan di dalamnya. Sementara di beberapa tempat masih adanya diskriminasi yang kurang proporsional terhadap wanita. Oleh karena persamaan hak antara laki-laki dan perempuan merupakan hak asasi manusia dan merupakan prasarat bagi terciptanya keadilan sosial dan juga merupakan prasarat mutlak diperlukan bagi persamaan hak, pembangunan dan perdamaian. Perhatian pemerintah tidak pernah surut mengusung pentingnya pemberdayaan perempuan yang kemudian menjadi sasaran program pemberdayaan perempuan yang di bina oleh PKK Cibeber adalah keluarga yang rentan dan perempuan rawan social ekonomi, meskipun keluarga dalam keadaan rentan dan perempuan dalam keadaan rawan social ekonomi namun mereka memiliki potensi dalam dirinya sehingga perlu diberikan penguatan kapasitas diri dan usahanya.
Kesejahteraan keluarga menjadi tujuan utama PKK. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan unit terkecil masyarakat yang akan berpengaruh besar terhadap kinerja pembangunan. Dari keluarga yang sejahtera ini, maka tata kehidupan berbangsa dan bernegara akan dapat melahirkan ketentraman, keamanan, keharmonisan, dan kedamaian. Dengan demikian, kesejahteraan keluarga menjadi salah satu tolok ukur dan barometer dalam pembangunan. PKK merupakan wadah bagi perempuan untuk mengembangkan kemampuan dan potensi yang dimiliki perempuan agar secara mandiri mempunyai ketrampilan dan keahlian dalam mengatasi masalah yang mereka hadapi secara mandiri melalui peningkatan kapasitas dan kualitas hidup. Oleh karena itu, PKK dibentuk untuk menumbuhkan, menghimpun, mengarahkan, dan membina keluarga guna mewujudkan keluarga sejahtera.
METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya (Arikunto, 2002:136).
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Manajemen Pemberdayaan Perempuan Melalui Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial dan Budaya Pada Anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di Kecamatan Cibeber Kota Cilegon
Adapun pemberdayaan perempuan yang dilakukan PKK kecamatan Cibeber adalah dengan memberikan pelatihan keterampilan usaha seperti tata boga, membuat kue-kue yang mudah untuk dijual, membuat kacang sangrai , membuat emping melinjo, menjahit, tata rias dan membuat aksesoris membuat bros. Kegiatan yang dilaksanakan oleh PKK kecamatan Cibeber ini sangat bermanfaat bagi anggotanya dan mereka dapat
47
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 mengoptimalkan waktu luangnya dengan membuat dan menjual kue-kue camilan, menjahit, membuat emping melinjo, kacang sangrai dan aksesoris bros dan lain sebagainya untuk menambah pendapatan keluarga. Dilihat dari unsur managemen pemberdayaan perempuan di Kecamatan Cibeber sebagai berikut : a. Perencanaan Dari perencanaan program yang telah dilakukan oleh PKK Kecamatan Cibeber dalam kegiatannya memberikan ketarampilan kepada anggota PKK berupa kegiatan tata boga, tata rias , menjahit dan emping melinjo. Program kerja tersebut merupakan bagian dari program PKK yang ditangani oleh Kelompok Kerja (POKJA) II dan III. Program kerja ini disusun setiap tahun sekali, dalam rangka memenuhi program kerja PKK Kecamatan Cibeber dan juga untuk memenuhi program yang dicanangkan oleh PKK Tingkat Kota Cilegon. Program ini dibuat berdasarkan usulan dari PKK Tingkat kelurahan yang disesuaikan potensi dan kemampuan dari anggota Kelurahan masing-masing. Dari usulan tersebut pengolahan program ketarampilan yang diberikan kepada anggota PKK tingkat kelurahan dibuat prioritas program apa yang betul-betul bermanfaat bagi anggota PKK tersebut akan dilaksanakan. Setelah dibuat prioritas program kemudian diusulkan jumlah anggota yang akan mengikuti kegiatan ketarmpilan. Dalam program tersebut diharapkan adanya peningkatan peran perempuan yang mempergunakan pola pendekatan lintas bidang pembangunan secara terkoordinasi dengan upaya yang diarahkan pada peningkatan kesejahteraan hidup keluarga guna mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Program ini merupakan salah satu upaya untuk
mengembangkan sumber daya manusia dan sumber daya alam serta lingkungan untuk mewujudkan dan mengembangkan keluarga sehat sejahtera dan bahagia untuk pembangunan masyarakat desa dan/atau kelurahan, dengan perempuan sebagai penggeraknya. b. Pengorganisasian Dalam pelaksanaan kegiatan PKK Kecamatan Cibeber mengacu pada perencanaan atau program kegiatan yang telah dibuat konsisten dengan apa yang telah direncanakan sehingga kegaiatan yang berjalan tidak asal jadi. Prioritas kegiatan yang direncanakan merupakan kegiatan yang harus betulbetul menjadi kegiatan utama, maka tujuan pemberdayaan oleh PKK Kecamatan akan berhasil. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut PKK Kecamatan Cibeber menggandeng beberapa Dinas/Instansi terkait dengan pelaksanaan kegiatan tersebut. Hal ini untuk lebih baik hasil yang akan didapatkan oleh para peserta kegiatan dimaksud. Pada kegiatan tersebut dibantu oleh Dinas/instansi terkait melalui segi ketrampilan, pengolahan, sampai dengan pemasaran serta pembiayaannya. c. Pengarahan Untuk keberhasilan pelaksanaan kegiatan ketrampilan PKK Kecamatan Cibeber ada beberapa unsur yang terlibat dari mulai camat Cibeber, ketua pkk kecamatan Cibeber ketua-ketua pokja, mereka semua terlibat dalam memberikan petunjuk, motivasi dan juga bimbingan kepada seluruh unsur pengurus ,anggota PKK secara keseluruhan sehingga semua program kegiatan berjalan dengan semestinya sehingga tujuan yang telah direncanakan oleh PKK kecamatan Cibeber berhasil mencapai tujuannya. Secara keseluruhan program kegiatan yang dicanangkan hampir seluruhnya berhasil dilaksanakan.
48
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 d. Pengendalian keberhasilan kegiatan ditentukan oleh salah satunya adalah pengendalian yang baik. Pengendalian dilaksanakan tidak hanya diakhir kegiatan akan tetapi pengendalian yang baik adalah dilaksanakan sejak perencanaan atau program kerja itu dibuat. Oleh karena itu apabila pengendalian dilaksanakan sejak perencanaan dibuat maka program yang akan dilaksanakan akan tetap dapat dipantau sehingga apabila ada kesalahan yang dibuat akan cepat diketahui karena semua kegiatan yang akan dilaksanakan akan terpantau dengan pengendalian yang selalu mendampinginya. Jadi siapa sebenarnya unsur pengendali tersebut maka yaitu salah satu unsur pengendali adalah para pimpinan dalam hal ini adalah ketua PKK kecamatan Cibeber, yang diketua oleh camat Cibeber sendiri dan ketua pokja yang akan menentukan jalannya program kegiatan PKK kecamatan Cibeber. B. Faktor Penghambat Dalam Manajemen Pemberdayaan Perempuan Melalui Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial dan Budaya Pada Anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di Kecamatan Cibeber Kota Cilegon. Sebenarnya ketrampilan yang sudah diberikan dapat dikembangkan di Kecamatan Cibeber namun ada beberapa kendala yang dihadapi oleh para anggota PKK antar lain : 1. Kesulitan Dalam Permodalan Setelah mendapatkan pelatihan keterampilan dan mempunyai keahlian dalam membuat sesuatu bukan berarti selesai, ibu-ibu PKK yang telah mendapatkan pelatihan tersebut harus dapat mengembangkannya dan memajukan hasil dari buah ketarampilan tersebut. Maka disinilah letak persoalannya ketika mereka bermaksud untuk mengembangkan dan memajukan keahlian ketrampilan
tersebut meraka kesulitan untuk mendapatkan bahan-bahan ketarmpilan karena ketiadaan modal. Mereka bisa saja bermaksud mengembangkan dan antusias untuk membuat kemajuan tetapi apa daya bahwa mereka tidak memiliki modal atau dana untuk pembelian peralatannya. Sebenarnya inilah titik lemah ketika PKK Kecamatan mengadakan beberapa kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya melalui kegiatan keterampilan kadang setelah pelatihan tersebut tidak berjalan lagi, akibat dari tidak ada ketersediaan permodalan. Sehingga kadang-kadang pelatihan tersebut dianggap mubazir, padahal keterampilan yang diajarkan itu sangatlah penting untuk memajukan kesejahteraan keluarga atau untuk menambah pendapatan keluarga. Maka untuk itulah pemerintah daerah Kota Cilegon diharapkan membuat program yang dapat menyentuh persoalanpersoalan diatas ataupun pemerintah Kecamatan Cibeber dapat membuat satu upaya baik berupa memohon bantuan ke pemerintah tingkat kota dapat bekerjasama melalui instansi swasta. 2. Belum Usaha
Optimalnya
Pendampingan
Biasanya setelah selesainya pelaksanaan pelatihan ketrampilan kepada ibu-ibu PKK tidak ada kelanjutannya lagi, hal ini sangat disayangkan karena ibu-ibu PKK terrsebut yang ingin megembangkan ketrampilannya tidak ada pengarahan lagi bagaimana cara nya agar pengembangan ketrampilan tersebut dapat berjalan baik. Misalnya mulai dari produksi, pengemasan sampai dengan pemasarannya kegiatan tersebut tidak ada pengarahan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Sehingga pengembangan keterampilan yang dilaksanakan oleh ibu-ibu PKK tersebut tidak berjalan optimal akibatnya adalah 49
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 ibu-ibu PKK tersebut tidak dapat meneruskan sehingga berhenti sama sekali. Hal ini sangat disayangkan karena keinginan mereka tidak terwujud karena tidak adanya pengarahan lanjutan mengenai keterampilan tersebut. Dengan demikian kegiatan keterampilan yang dilaksanakan kadang dianggap tidak ada hasilnya hanya membuang waktu saja yang sebenarnya maksudnya adalah untuk menuingkatkan kesejahteraan keluarga dengan cara meningkatkan pendapatan keluarga dengan keterampilan yang diperoleh melalui pelatihan keterampilan tersebut. 3. Rendahnya Sumber Daya Manusia Perempuan juga dapat menjadi pelaku pembangunan ekonomi dalam menggerakkan masyarakat untuk memerangi kemiskinan. Namun dalam kenyataannya perempuan di Kecamatan Cibeber masih banyak yang tidak memiliki keahlian tertentu. Sehingga perempuan di Kecamatan Cibeber sebagian besar memiliki pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga biasa, bahkan banyak yang menjadi buruh tani di perkebunan orang lain. Hal itu yang menjadi pokok persoalan yang dihadapai kaum perempuan berkaitan dengan kualitas dan mutu sumber daya manusia yang masih rendah. Oleh karenanya, yang menjadi akar permasalahan kemiskinan yaitu masalah pada ketertinggalan kaum perempuan dalam mengakses, berpartisipasi serta memanfaatkan hasil-hasil pembangunan. Untuk itu, pemberdayaan perempuan khususnya di bidang sosial dan ekonomi menjadi hal prioritas yang dapat dilakukan untuk mencapai kesejahteraan khususnya dalam keluarga. Dengan pemberdayaan tersebut diharapkan akan menjadi suatu daya dukung bagi perempuan untuk mengembangkan diri dan kaum perempuan itu sendiri.
C. Solusi Untuk Mengatasi Hambatan Manajemen Pemberdayaan Perempuan Melalui Pembelajaran Keterampilan Berbasis Sosial dan Budaya Pada Anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di Kecamatan Cibeber Kota Cilegon 1. Pemberian Modal Bergulir Dalam mengatasi kesulitan untuk mendapatkan modal para anggota PKK dalam mengembangkan hasil pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh maka PKK Kecamatan Cibeber bekerjasama dengan BPMKP untuk meminjamkan modal kepada setiap anggota PKK yang sudah mengikuti pelatihan keterampilan yang telah dilaksanakan oleh PKK kecamatan Cibeber. Adapun besaran yang diberikan yaitu minimal Rp. 500.000,- perorang dengan cara pengembalian jangka waktu 10 bulan dan apabila usaha mereka berkembang maka pihak BPMKP akan menambahkan jumlah pinjaman yang lebih besar untuk membantu pengembangan usaha. 2. Adanya Pendampingan Para peserta pelatihan ketarampilan setelah mendapatkan pelatihan seharusnya mendapatkan pendampingan artinya bahwa mereka selalu mendapatkan arahan apabila mereka ingin mengembangkan hasil dari pelatihan ketarampilan tersebut. Kegiatan pendampingan ini sangatlah penting untuk dilaksabnakan karena anggota PKK yang telah mendapatkan pelatihan dan ingin memajukan ketarmpilannya tersebut serta untuk mengembangkannya sebaiknya mendapatkan pendampingan secara terus menerus manfaatnya pertama adalah bahwa mereka akan mendapatkan pengetahuan ketrampilan tersebut secara terus menerus sehingga akan menambah ilmu pengetahuan ketrampilannya dan juga bagaimana hasil dari ketrampilan tersebut untuk dijual misalnya maka
50
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 pendampingan akan memberikan suatu cara memasarkan produk hasil dari ketarampilan tersebut. Kemudian juga bagaimana pengemasannya agar produk yang dihasilkan akan terlihat sangat menarik oleh orang yang akan membelinya kegiatan tersebut dapat diberikan melalui program pendampingan. Maka program pendampingan dapat dilakukan mulai dari produk itu dibuat kemudian pengemasan produk sampai denga pemasaran produk. 3. Peningkatan Sumber Daya Manusia Membuat dan mengutamakan kegiatan yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) Perempuan. Dengan cara menambah waktu pelatihan yang ada dan membuat kegiatan seperti membentuk kelompok usaha emping melinjo perempuan, maupun usaha-usaha lainnya agar dapat membantu perekonomian keluarga dan lebih meningkatkan peran perempuan yang tidak sekedar menjadi Ibu rumah tangga biasa. Untuk lebih meningkatkan Sumber daya manusia yang handal di anggota PKK memang harus secara terus menerus membuat dan melaksanakan program pelatihan yang membuat pengetahuan ibu-ibu PKK semakin meningkat, dengan cara mendatangkan para pemberi materi atau yang memberikan pelatihan orangorang yang berkualitas dan serta mampu memberikan materinya dapat dimengerti oleh Ibu-ibu PKK, sehingga pelatihan tersebut benar-benar bermanfaat bagi anggota-anggota PKK.
bukan menjadi subjek dari suatu pembangunan. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu pemberdayaan khusus untuk perempuan, dilihat dari manjemen pemberdayaan perempuan dari segi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian. 2. Faktor penghambatnya antara lain kesulitan dalam permodalan, belum optimalnya pendampingan usaha dan rendahnya sumber daya manusia. 3.Solusi dalam mengatasi hambatan antara lain pemberian modal bergulir, adanya pendampingan usaha, dan peningkatan sumber daya manusia. B. Saran 1. Program PKK yang sudah ada sebaiknya lebih ditingkatkan lagi khususnya yang menyentuh kepada masyarakat langsung yaitu program-program pembinaan keluarga yang mempunyai tujuan meningkatkan kesejahteraan keluarga. 2. Pembinaan ini tidak saja hanya dilakukan dari pihak pengurus PKK tingkat kecamatan tetapi dari pihak pengurus PKK tingkat kota atau yang lebih tinggi lagi. 3. Dilaksanakan hubungan dengan pihak swasta untuk mendukung program PKK, karena pihak swasta juga mempunyai program yang menyentuh langsung ke masyarakat dilingkungannya melalui program CSR (Corporate Social and Responsibility) dengan demikian program akan sejalan dan saling mendukung untuk kelancaran program PKK itu sendiri dan tujuannya adalah kesejahteraan masyarakat akan tercapai.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Bahwa perempuan adalah makhluk yang mempunyai multi peran, namun karena tradisi dan agama perempuan masih dianggap lemah dan diremehkan. Sehingga dalam pembangunan perempuan selalu menjadi objek dan 51
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2006. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung : Alfabeta Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Musdah, Mulia Siti. 2008. Menuju Kemandirian Politik Perempuan (Upaya Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia). Yogyakarta : Kibar Press Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. _______________. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. PT Remaja Rosda Karya. Notopuro,H, 2003, Peranan Wanita dalam masa Pembangunan di Indonesia, Jakarta Timur, Ghalia Indonesia.
Profil Kecamatan Cibeber Tahun 2012 Tim Penggerak Pembinaaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Banten, 2007, Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Provinsi Banten, Serang, PKK Provinsi Banten. Tim Penggerak Pembinaan kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi Banten, 2007, Penjabaran Pedoman Pelaksanaan Usaha Peningkatan pendapatan Keluarga (UP2K – PKK), Serang, PKK Provinsi Banten. Vitayala, S. Hubeis, Aida. 2010. Pemberdayaan Perempuan Dari Masa Ke Masa. Bogor : PT. Penerbit IPB Press Sumber lain : http://www.wrp-diet.com/pemberdayaanwanita-untuk-perkembangan-ekonomi/
52
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 PEMBERDAYAAN GENERASI MUDA UNTUK MEWUJUDKAN PERTAHANAN NEGARA Oleh: Rurry Andryanda Dosen Kebijakan Publik dan Administrasi Pembangunan STIA Banten Abstrak -Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong proses globalisasi yang semakin cepat, meluas, dan mendalam ke segala penjuru dunia. Salah satu dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terdapat pada perubahan manajemen keamanan dan karena itu semua negara di dunia harus siap menyikapinya. Penyikapan secara komprehensif dilandaskan pada filosofi, sejarah, budaya, jati diri, dan kemampuan sumber daya manusia masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari kondisi interdependensi dan perubahan lingkungan yang dinamis. Konsepsi ancaman terhadap keamanan yang bersifat multi dimensional menyadarkan kembali pemerintah tentang pentingnya Pertahanan Negara. Oleh karena itu peran generasi muda sangat penting guna mendorong Indonesia menjadi negara yang kuat, berdaulat, adil, dan makmur. Kata kunci: pemberdayaan,generasi muda,pertahanan negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
I. Pendahuluan Globalisasi yang membawa nilai-nilai demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah membangkitkan kesadaran universal untuk menyelamatkan umat manusia dari ancaman perang antarnegara, perang saudara, ethnic cleansing, konflik komunal, serta berbagai ancaman fisik maupun non fisik lainnya yang membahayakan hidup dan kehidupan umat manusia. Keselamatan umat manusia kemudian menjadi isu universal yang diperjuangkan oleh negara-negara di semua belahan dunia. Oleh karena itu keamanan tidak lagi hanya berorientasi pada keamanan negara untuk menghadapi ancaman tradisonal yang mengandalkan kekuatan militer semata, akan tetapi ditujukan untuk melindungi keamanan dan keselamatan umat manusia dari situasi dan kondisi insecurity yang disebabkan oleh faktor-faktor nonmiliter baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Akhir-akhir ini situasi dan kondisi insecurity lebih banyak disebabkan oleh ancaman-ancaman non tradisional akibat ketidakmampuan atau kegagalan negara maupun dunia internasional dalam mengelola
aspek-aspek politik, ekonomi, militer, dan lingkungan. Sejak semangat demokrasi berkembang pesat, sebagian besar negara-negara yang semula menganut sistem totaliter ataupun otoriter kini mengadopsi sistem demokrasi dan melakukan redefinisi bahkan reformasi sektor keamanan. Sektor keamanan tidak lagi dipandang sebagai ranah militer semata, akan tetapi telah menjadi ranah multisektor. Sektor keamanan tidak hanya bertujuan mengamankan negara, tetapi sekaligus juga mengamankan keselamatan warga negara dan umat manusia. Karenanya konsep keamanan lebih dipandang sebagai satu kesatuan yang menyeluruh mencakup pertahanan negara (defence), keamanan dalam negeri (internal security), keamanan publik (public security), dan keamanan insani (human security) (Kemnas, 04:2010). Berubahnya sistem pertahanan keamanan sebuah negara merupakan sesuatu hal yang niscaya terjadi. Strategi dan sistem keamanan bukanlah sesuatu hal yang statis melainkan bersifat dinamis dikarenakan perubahan sistem pertahanan negara sangat di pengaruhi dari dinamika lingkungan 53
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 strategis yang terus berkembang dan terus berubah.Era Reformasi yang dimulai tahun 1998 menjadi awal perubahan mendasar di berbagai aspek kehidupan bernegara di Indonesia. Aspek bela negara juga tak luput dari semangat perubahan itu, sehingga peran serta masyarakat kembali diatur sesuai dengan semangat demokrasi yang berkembang dewasa ini di Indonesia. Wujud komitmen terhadap reformasi di sektor keamanan (security sector reform) di antaranya adalah disahkannya UndangUndang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (UU No 3/2002). Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 (UU No.20/1982) yang bernuansa Dwi Fungsi ABRI. Salah satu bahasan yang diatur dalam Undang Undang ini adalah bagaimana peran masyarakat di bidang pertahanan, khususnya melalui Komponen Cadangan Pertahanan Negara (KCPN). Komponen Cadangan adalah sumber daya nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komponen utama. Wacana pembentukan KCPN pertama kali mengemuka pada tanggal 26 Maret 2003 ketika Menteri Pertahanan yaitu H. Matori Abdul Djalil membuka seminar tentang Rancangan Undang-Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN). Hal ini sejalan dengan tanggung jawab yang dimandatkan dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dimana Pemerintah melalui Kementerian Pertahanan telah mengajukan draft RUU KCPN untuk masuk ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) sejak tahun 2008. Masuknya draft Rencana Undang Undang Komponen Cadangan Pertahanan Negara (RUU KCPN) dalam Prolegnas ditanggapi beragam oleh berbagai komponen bangsa. Dalam pandangan berbagai kalangan, khususnya pihak Kementerian Pertahanan, keberadaan KCPN sudah saatnya dipersiapkan dalam rangka mewujudkan sistem pertahanan semesta sebagaimana diamanatkan oleh
Undang Undang Dasar 1945. Namun demikian, tidak semua kalangan menyambut positif wacana pembentukan KCPN ini. Reaksi penolakan umumnya berasal dari kalangan non pemerintah, di antaranya beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Adanya pro dan kontra menanggapi masuknya RUU KCPN dalam Prolegnas sudah berjalan lebih dari tujuh tahun, suatu jangka waktu yang cukup panjang untuk merumuskan kebijakan yang pada prinsipnya sudah diamanatkan dalam konstitusi. Dalam konteks demokrasi, perbedaan pendapat tentu merupakan hal yang wajar sepanjang masih berjalan dalam koridor aturan yang disepakati oleh seluruh elemen bangsa. Yang menjadi persoalan adalah manakala pihakpihak yang berbeda pendapat terjebak dalam pemahaman sempit dan mengabaikan kepentingan bangsa yang lebih besar. Baik pihak yang mendukung maupun yang menentang, tentu memiliki berbagai argumen untuk mendukung pendiriannya. Dalam hal ini terlihat bahwa alasan mengapa keberadaan komponen cadangan perlu segera direalisasikan adalah untuk membangun pertahanan negara sesuai dengan konsep perang semesta di mana partisipasi masyarakat sipil dalam upaya pertahanan negara menjadi sangat menentukan terutama generasi muda. Presiden pertama Indonesia Ir. Soekarno pernah mengatakan bahwa jangan sekali-kali melupakan sejarah, tentunya generasi muda harus paham bagaimana sejarah perjuangan untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan memahami sejarah perjuangan para pendiri bangsa generasi muda akan sadar bahwa di tangan pemudalah masa depan suatu negara akan di teruskan sehingga pemahaman akan pentingnya membela negara dan cita-cita luhur para pendiri bangsa dapat direalisasikan. II. Pembahasan Sistem pertahanan Negara Indonesia adalah sistem pertahanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) yang melibatkan 54
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya. Sistem Pertahanan Negara Indonesia perlu dipersiapkan pemerintah secara dini, diselenggarakan secara total, terpadu, dan terarah, sehingga berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dari segala ancaman. Sistem ini diimplementasikan melalui unsur kekuatan pertahanan. Unsur kekuatan pertahanan tersebut terdiri dari komponen utama dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan komponen cadangan yakni semua warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama serta komponen pendukung. Sebagai negara yang sedang berjalan dalam proses transformasi dari sistem otoritarian ke sistem yang lebih demokratis, pengelolaan sektor pertahanan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi sendiri dapat diartikan sebagai suatu sistem yang bertumpu pada pembagian kekuasaan (sharing of power) dan/ atau pembagian tanggungjawab (sharing of responsibility). Berkaitan dengan proses transisi menuju demokrasi maka permasalahan di sektor pertahanan dan keamanan yang umumnya dialami oleh negara–negara demokratis yang baru saja beralih dari rezim komunis maupun otoriter adalah sebagai berikut: bentuk hubungan sipil-militer yang bersifat konfrontasional daripada kooperatif;adanya anggapan bahwa keamanan rezim dan keamanan negara adalah sama; legislator yang secara teoritis memiliki kekuasaan untuk melakukan cek terhadap eksekutif tetapi tidak pada tataran pelaksanaan; kebijakan pertahanan yang sudah ketinggalan zaman; pejabat sipil siapapun mereka, yang tidak mampu memberikan arahan secara obyektif maupun dukungan berarti kepada
pembuat keputusan dikarenakan mereka telah dipolitisasi atau dimiliterisasi; ketidakpercayaan terhadap politisi, kalangan militer, pejabat sipil, media dan masyarakat sipil itu sendiri. Konsep keamanan nasional menjadi penting untuk diperhatikankarena ia tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip tata pemerintahanyang baik (good governance), aturan hukum (Rule of Law) danpengawasan yang seimbang (check and balances). Penekanan inipenting mengingat bahwa kepentingan keamanan nasional bisamemunculkan ekses politik dan sosial yang tidak diharapkan publik. Prinsip-prinsip Good Governance Dalam Penyelenggaraan Keamanan Nasional meliputi: 1. Aktor keamanan haruslah akuntabel dan operasi mereka harus diawasioleh otoritas sipil dan berbagai organisasi masyarakat sipil. 2. Operasi aktor keamanan harus sejalan dengan sistem hukum nasional dan internasional. 3. Ketersediaan semua informasi mengenai perencanaan, penganggarandan operasi para aktor keamanan yang dapat diakses oleh publiksecara luas serta pengadopsian sebuah pendekatan yang komprehensif dan disiplin atas semua sumber daya yang ada. 4. Badan legislatif dan eksekutif harus mempunyai kapasitas untukmelakukan kontrol politik terhadap berbagai kebijakan, penganggarandan operasi para aktor di bidang keamanan. Sejalan denganprinsip ini, masyarakat sipil juga harus mempunyai kapasitasuntukmengawasi dan berpartisipasi secara konstruktif kebijakan, penganggaran, dan operasi aktor keamanan. 5. Hubungan sipil-militer harus didasarkan pada hierarki yang jelas dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. 6. Kesetaraan individu harus dijamin di depan hukum maupun dalam proses hukum
55
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 berdasar tata transparan.
cara
yang
adil
dan
Pada penerapan komponen pendukung pertahanan negara dengan kondisi good governance, berarti pemerintah bertumpu pada kompatibilitas dan komponen serta kekuatan yang ada dalam negara. Di dalam pemerintahan yang governence maka akan dituntut adanya sinergi ketiga aktor yang ada ialah pemerintah itu sendiri (public), masyarakat (Community atau civil society) dan pihak swasta. Sehingga dalam pemerintahan yang governance, terdapat peran berbagai aktor di luar pemerintah atau pihak-pihak lainnya yang lebih luas untuk mensukseskan komponen pendukung pertahanan negara. Di dalam nuansa yang lain, pemerintah dituntut lebih demokratis dengan lebih memperhatikan dan mengikutsertakan komponen-komponen atau unsur-unsur lainya. Manakala terjadi sinergi di antara pemerintah, masyarakat (community), dan swasta maka pembentukan pertahanan negara akan lebih mudah terlaksana yang kesemuanya mengarah tercapainya tujuan negara serta masing-masing aktor mengetahui jelas perannannya dan arahannya (purpose, role, direction) dalam tata pemerintahan (governance) dalam wujud keharmonisan sistem, proses, prosedur, fungsi, kestrukturan, pengorganisasian, dan etik serta keterkaitan ketiga komponen tersebut untuk menciptakan rasa keadilan (rule of law) untuk masyarakat dan swasta, mampu bertanggung jawab dan mempertangungjawabkan semua aktifitas (akuntabilitas) dalam pelaksanaan tata pemerintahan, transparant sehingga mekanisme menjadi lebih jelas dan profesionalisme yang mengarah pada kemampuan potensi yang dimiliki semua elemen bangsa untuk mendukung komponen pendukung cadangan negara (Utomo, 2009:185). Pemberdayaan elemen masyarakat yaitu generasi muda sebagai komponen pertahanan dalam sejarah Indonesia merdeka sesungguhnya sudah berlangsung sejak awal berdirinya republik hingga hari ini terutama, meskipun dengan berbagai sebutan istilah dan dasar peraturan perundangan yang berbeda
dari waktu ke waktu. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa periode masa yang sudah dilalui oleh bangsa ini. Pada periode Orde Lama (1945-1966), kondisi keamanan dalam negeri Indonesia masih terus bergolak pasca Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi yang masih bergolak itu dapat timbul karena, pertama, adanya konflik di antara partai-partai politik yang ada pada saat itu di dalam negeri. Kedua, adanya ancaman eksternal yaitu kembalinya pasukan pendudukan Belanda dengan membonceng pasukan Sekutu. Ditengah pergolakan ini terjadi peristiwa penculikan Perdana Menteri Syahrir yang membuat Presiden Soekarno mengeluarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya, yang menjadi dasar dibentuknya Dewan Pertahanan Negara (DPN). DPN mengeluarkan Peraturan Dewan Pertahanan No. 13/1946 tentang kewajiban bekerja untuk Kepentingan Pertahanan dan Pembangunan Negara. Sebagai langkah implementasi dari peraturan tersebut, maka pada tanggal 19 September 1946 DPN mengeluarkan Peraturan Dewan Pertahanan Nomor 19 tahun 1946. Pasca penyerahan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 Pemerintah Indonesia melaksanakan program demobilisasi nasional yang bertujuan untuk menata ulang organisasi Angkatan Perang. Melalui demobilisasi nasional yang diberlakukan mulai tanggal 1 Desember 1950, para mantan anggota badan-badan perjuangan bersenjata yang didirikan antara tanggal 17 Agustus 1945 dan 27 Desember 1949 kemudian dimasukkan dalam suatu organisasi Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada kurun waktu yang sama, pemerintah mengeluarkan peraturan perundangundangan yang mengatur pelibatan warga negara dalam rangka pertahanan negara melalui Wajib Militer. Hal ini diatur dalam Undang Undang Nomor 66 Tahun 1958 tentang Wajib Militer. Pengembangan sumber daya manusia secara makro penting dilakukan dalam rangka mencapai tujuan komponen pendukung pertahanan nasional secara efektif dan 56
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 efisien. Pengembangan sumber daya manusia yang terarah dan terencana disertai pengelolaan yang baik akan dapat menghemat pemakaian sumber daya alam, atau setidaknya pengelolaan sumber daya alam dapat berdaya guna dan berhasil guna (Tangkilisan, 2005:11). Barry Buzan mendefinisikan lima sektor utama yang dicakup dalam pengertian pertahanan dan keamanan yakni : (1) the military security yang mencakup dua tingkat pengelolaan kapabilitas persenjataan negara baik secara ofensif maupun defensif dan persepsi negara terhadap intensitas satu dengan yang lainnya; (2) the political security yang menaruh perhatian pada stabilitas organisasi negara, sistem ideologi dan ideologi yang memberi legitimasi kepada pemerintahan; (3) the economic security yang mencakup pada akses terhadap sumberdaya, keuangan dan pasar yang untuk menopang tingkat kesejahteraan dan kekuatan negara yang akseptabel; (4) societal security yang mencakup kelangsungan pola tradisi dari bahasa, budaya, agama, identitas nasional dan adat termasuk di dalamnya kondisi evolusi yang bisa diterima; dan (5) environmental security yang menaruh perhatian pada pemeliharaan lingkungan baik secara lokal maupun global sebagai sebuah dukungan penting terhadap sistem tempat kehidupan manusia bergantung. Dan masingmasing sektor tidak berdiri sendiri melainkan memiliki ikatan kuat satu sama lain. Paradigma pertahanan dan keamanan ”lama” didasarkan pada pemahaman bahwa negara adalah pihak yang paling memiliki otoritas dan bertanggung jawab dalam mengatur kehidupan nasional. Oleh karenanya negara pula yang paling bertanggung jawab mewujudkan pertahanan dan keamanan bagi keberlangsungan hidup negara itu sendiri maupun keamanan bagi warga negara. Tanggung jawab ini relatif dapat dijalankan dengan baik ketika ancaman yang dihadapi masih bersifat militer. Namun ketika sifat ancaman berubah menjadi semakin kompleks karena dapat pula mencakup ancaman terhadap setiap aspek kehidupan, tanggung jawab keamanan tidak
dapat lagi hanya diemban oleh negara. Terlebih lagi ketika arus globalisasi berhasil mengangkat nilai-nilai demokrasi dan penghormatan hak azasi manusia ke segala pelosok dunia. Muncul kesadaran bahwa generasi muda atau warga negara bukan semata-mata hanya menjadi obyek, tetapi juga subyek tatanan kehidupan nasional. Oleh karena itu peran generasi muda sangat penting diharapkan muncul kesadaran bahwa pertahanan dan keamanan adalah juga milik masyarakat. Keamanan adalah barang publik (public goods) sehingga harus dapat dinikmati secara bersama-sama oleh seluruh warga masyarakat. Oleh sebab itu maka masyarakat, termasuk para individu, juga harus ikut memikul tanggung jawab pertahanan dan keamanan. Ketika negara masih dianggap sebagai pihak yang paling memiliki otoritas dan tanggung jawab atas tata kehidupan nasional. Konsep pertahanan dan keamanan yang terfokus kepada negara menghendaki pengabdian total seluruh warga negara kepada negara. Sebagai akibat dari berkembangnya sifat ancaman, konsep keamanan nasional yang semula hanya terfokus pada TNI dan Polri kini mencakup pula keikutsertaan warga negara dalam komponen pendukung cadangan negara. Secara menyeluruh perubahan aspekaspek keamanan di atas telah mengakibatkan revolusi konsep pertahanan dan keamanan. Konsep pertahanan dan keamanan tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer semata sudah jauh ditinggalkan oleh semua bangsa di dunia. Kekuatan militer, walau tetap penting adanya, bukan lagi menjadi satu-satunya kekuatan untuk menjamin kepentingan nasional atau untuk mempertahankan eksistensi negara dan bangsa. Seiring dengan semakin meningkatnya hubungan internasional dan kesamaan kepentingan antar negara, berkembang konsep keamanan kolektif (collectivesecurity). Konsep keamanan kolektif bertumpu pada kerja sama keamanan antar negara, sehingga masing-masing negara mendapat jaminan keamanan secara bersama-sama. Pada dasarnya, keamanan kolektif masih mengandalkan perimbangan 57
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 kekuatan militer di kawasan untuk menciptakan stabilitas pertahanan dan keamanan di kawasan tersebut. Namun berkembangnya sifat, asal, dan jenis ancaman serta respon-respon terhadapnya telah menyadarkan para pengambil keputusan dan para ahli bahwa konsep pertahanan dan keamanan kolektif tidak dapat lagi menjawab tantangan zaman. Untuk itu maka berkembang konsep keamanan baru yang komprehensif (comprehensive security).
pertahanan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip demokrasi. Konsep keamanan nasional menjadi penting untuk diperhatikankarena ia tidak bisa dilepaskan dari prinsip-prinsip tata pemerintahanyang baik (good governance), aturan hukum (Rule of Law), danpengawasan yang seimbang (check and balances).
Daftar Pustaka III. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat disimpulkan: Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bisa berdampak negatif bagi generasi muda dalam mencintai tanah air karena itu menumbuhkan nasionalisme dapat dilakukan dengan wajib militer untuk mengisi kekosongan cadangan pertahanan negara. Pemberdayaangenerasi muda untuk mewujudkan pertahanan negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 dapat dimuai dengan memberikan pemahaman akan sejarah berdirinya NKRI dimulai dari pendidikan karakter di keluarga, lingkungan, di tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Sistem pertahanan negara Indonesia adalah sistem pertahanan yang bersifat menyeluruh(komprehensif) yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya. Sebagai negara yang sedang berjalan dalam proses transformasi dari sistem otoritarian ke sistem yang lebih demokratis, pengelolaan sektor
Barry Buzan, People. 1991.an Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War. Lynne Rienner Publisher. Tangkilisan, Hassel Nogi S. 2005. Manajemen Publik. Grasindo, Pt Gramedia Widiasarana Indonesia: Jakarta. Tim Sekertariat Jendral Dewan Ketahanan Nasional. 2010. Keamanan Nasional Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Pertahanan Negara No. 3 / 2002, UU TNI No. 34 / 2004, maupun Undang-Udang Polri No. 2 / 2002 Utomo, Warsito. 2009. Administrasi Publik Baru Indonesia: Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
58
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 MENYEMBUHKAN PENYAKIT BIROKRASI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA Hj. Jumanah S.Sos, M.Si Dosen STIA BANTEN
[email protected]
ABSTRAK Patologi birokrasi merupakan penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal. Fakta bahwa pelayanan publik di Indonesia belum menunjukan kinerja yang efektif sering menjadi bahasan, baik dalam berbagai tulisan maupun penelitian. Permasalahan pelayanan publik yang tidak efektif ini dipicu oleh berbagai hal yang kompleks, mulai dari budaya birokrasi yang masih bersifat paternalistic, lingkungan kerja yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman, rendahnya system reward dalam birokrasi di Indonesia, lemahnya mekanisme punishment bagi aparat birokrasi, rendahnya kemampuan aparat birokrasi untuk melakukan tindakan diskresi, serta kelangkaan komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan pelayanan publik yang responsive, akuntabel, dan transparan. Patologi birokrasi dapat dicegah perkembangannya dengan menegakan prinsip-prinsip good governance dengan menerapakan prinsip-prinsipnya meliputi: (1) partisipasi, (2) rule of law, (3) transparansi, (4) responsivitas, (5) efektivitas dan efesiensi, (6) akuntabilitas, (7) strategi visi. Selain itu untuk melengkapi hal tersebut meliputi; pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Sehingga penerapan prinsip good governance, hal ini kemudian mengacu pada model rekomendasi yang ditawarkan, diharapkan mampu menyembuhkan patologi birokrasi dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik di Indonesia. Kata Kunci: Birokrasi, Pelayanan Publik, Patologi Birokrasi
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak kebijakan otonomi daerah dicanangkan, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah daerah untuk memperbaiki kinerja birokrasi dan kualitas pelayanan publik yang lebih transparan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kehadiran UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang merupakan tonggak awal pelaksanaan desentralisasi dan dekonsentrasi bukan saja mendorong pemerintah daerah untuk lebih peka pada kebutuhan lokal, tetapi juga berharap dapat bekerja lebih efesien dan efektif, khususnya dalam upaya memberikan pelayanan kebutuhan
dasar kepada warga masyarakat yang sesuai dengan standar pelayanan minimal yang telah ditetapkan. Pelayanan publik di Indonesia masih sangat rendah. Demikian salah satu kesimpulan Bank Dunia yang dilaporkan dalam World Development Report 2004 dan hasil penelitian Governance and Desentralization Survey (GDS) 2002 (Dwiyanto & Kusumasari, 2003). Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak menunjukkan hal ini. GDS 2002 menemukan tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yaitu pertama, besarnya
59
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih amat dipengaruhi oleh hubungan per-konco-an, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama. Fenomena semacam ini tetap marak walaupun telah diberlakukan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN yang secara tegas menyatakan keharusan adanya kesamaan pelayanan, bukannya diskriminasi. Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan kepastian dan kualitas pelayanan. Dan ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ini merupakan konsekuensi logis dari adanya diskriminasi pelayanan dan ketidakpastian tadi (keterangan lebih lanjut tentang hasil GDS 2002 bisa di lihat di Dwiyanto., dkk, 2003). Fakta bahwa pelayanan publik di Indonesia belum menunjukan kinerja yang efektif sering menjadi bahasan, baik dalam berbagai tulisan maupun penelitian. Permasalahan pelayanan public yang tidak efektif ini dipicu oleh berbagai hal yang kompleks, mulai dari budaya birokrasi yang masih bersifat paternalistic, lingkungan kerja yang tidak kondusif terhadap perubahan zaman, rendahnya system reward dalam birokrasi di Indonesia, lemahnya mekanisme punishment bagi aparat birokrasi, rendahnya kemampuan aparat birokrasi untuk melakukan tidnakan diskresi, serta kelangkaan komitmen pimpinan daerah untuk menciptakan pelayanan publik yang responsive, akuntabel, dan transparan. Dimasa otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi bagi setiap Kabupaten/Kota untuk menjalankan pemerintahan atas dasar kebutuhan dan kepentingan daerah sendiri ternyata juga
belum mampu mewujudkan pelayanan public yang efektif. Kegagalan birokrasi pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan public yang menghargai hak dan martabat warga Negara sebagai pengguna pelayanan tidak hanya melemahkan legitimasi pemerintah dimata publiknya. Namun hal itu juga berdampak pada hal yang lebih luas yaitu ketidakpercayaan pihak swasta dn pihak asing untuk menanamkan investasinya di suatu daerah karena ketidakpastian dalam pemberian pelayanan publik. Kegagalan birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik ternyata menimbulkan dampak pada terjadinya diskriminasi pelayanan dan praktek rente atau pemberian uang rokok yang semakin menggurita pada setiap sendi pelayanan. Kedua hal tesebut menjadi budaya baru dalam pelayanan publik di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan patologi birokrasi dan pelayanan publik? 2. Apa penyebab terjadinya patologi Birokorasi? 3. Bagaimana menyembuhkan patologi birokrasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik 1.3 Tujuan Penulisan 1. Untuk mengetahui pengertian patologi birokrasi dan pelayanan publik 2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya patologi birokrasi 3. Untuk mengetahui upaya menyembuhkan patologi birokrasi dalam meningkatkan pelayanan publik II. PEMBAHASAN 2.1 Kajian Pustaka Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang penyakit”. Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an 60
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 organisation with a certain position and role in running the government administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah agar dapat diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia. Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh birokrasi pemerintahan Negara mampu mengahadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosiokultur dan teknologikal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Patologi birokrasi adalah penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal. Terdapat lima jenis patologi birokarasi yang dikenal, yaitu: 1. Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Diantara patologi jenis ini antara lain, penyalahgunaan wewenag dan jabatan, menerima suap, arogansi dan intimidasi, kredibilitas rendah, dan nepotisme. 2. Patologi yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana birokrasi. Diantara patologi jenis ini antara lain, ketidaktelitian dan ketidakcekatan, ketidakmampuan menjabarkan kebijakan pimpinan, rasa puas diri, bertindak tanpa pikir, kemampuan rendah, tidak produktif, dan kebingungan. 3. Patologi yang timbul karena tindakan para birokrat yang melanggar norma hokum dan peraturan perundangundangan. Diantara patologi jenis ini
antara lain, menerima suap, korupsi, ketidakjujuran, kleptokrasi, dan mark up anggaran. 4. Patologi yang dimanifestasikan dalam perilaku para birokrat yang bersifat disfungsional. Diantara patologi jenis ini antara lain, bertindak sewenangwenang, konspirasi, diskriminatif, dan tidak disiplin. 5. Patologi yang merupakan akibat situasi dalam berbagai analisis dalam lingkungan pemerintahan. Diantara patologi jenis ini antara lain, eksploitasi bawahan, motivasi tidak tepat, beban kerja berlebihan, dan kondisi kerja kurang kondusif. Adapun Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Pada hakikatnya, pemerintah adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama (Rasyid, 1998). Oleh karena itu, birokrasi publik berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan profesional. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik merupakan salah satu perwujudan dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat di samping sebagai abdi negara. Pelayanan publik (public services) oleh birokrasi publik dimaksudkan untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara). Pelayanan umum oleh Lembaga Administrasi Negara (1998) diartikan sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/Daerah dalam bentuk barang dan 61
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik dengan demikian dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sebagaimana Asas Pelayanan Publik Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 A. Transparansi Bersifat terbuka, mudah dipahami dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. B. Akuntabilitas Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan. C. Kondisional Sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan publik dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas. D. Partisipatif Mendorong peran serta msayarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. E. Kesamaan Hak Tidak diskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi F. Keseimbangan Hak dan Kewajiban Pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Sedangkan Prinsip Pelayanan Publik Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003:
A. Kesederhanaan Proseduran pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. B. Kejelasan 1. Persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik 2. Unit kerja/pejabat yang berwenang bertanggung jawab dalammemberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan/sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik 3. Rincian biaya pelayanan publik tata cara pembayaran C. Kepastian Waktu Pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. D. Akurasi Produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah E. Keamanan Proses dan produk pelayanan publik rasa aman dengan kepastian hukum. F. Tanggung Jawab Pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik. G. Kelengkapan Sarana dan Prasarana Tersedianya sarana dan prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang termasuk penyediaan sarana teknologi telekomunikasi dan informatika. H. Kemudahan Akses Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat, dan dapat memanfaatkan teknologi dan informatika. I. Kedislipinan, Kesopanan, Dan Keramahan
62
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Tempat dan lokasi serta sarana pelayanan disiplin,sopan dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan ikhlas. J. Kenyamanan Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan, seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lainlain. Adapun Standar Pelayanan Publik Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 meliputi: 1. Prosedur Pelayanan Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan. 2. Waktu Penyelesaian Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan. 3. Biaya Pelayanan Biaya/tarif pelayanan termasuk rinciannya yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan. 4. Produk Pelayanan Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. 5. Sarana dan Prasarana Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai oleh penyelenggara pelayan publik. 6. Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan Petugas pemberi pelayanan harus memiliki pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan. 2.2 Patologi Birokrasi dan Potret Pelayanan Publik di Indonesia Justifikasi pelayanan publik di Indonesia adalah buruk ada beberapa
alasan justifikasi tersebut dilakukan. Pertama, sebuah survey mengenai governance desentralisasi pada tahun 2012 dengan cakupan wilayah 150 kabupaten/kota di Indonesia menemukan tiga masalah besar dalam pelayanan publik, yaitu besarnya masalah diskriminasi pelayanan, tidak adanya kepastian pelayanan dan rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan publik. Diskriminasi pelayanan sering kali muncul karena persepsi mengenai hak dan kewajiban antara penyedia layanan dan pengguna layanan belum mencapai titik temu. Misalnya saja adalah hak bagi setiap pengguna layanan untuk mendapatkan pengaduan yang wajar dan ramah dari penyedia layanan. Hal tersebut jarang sekali dipenuhi bahkan terjadi hal yang sebaliknya, yaitu justru pengguna layanan yang harus bersikap ramah terhadap penyedia layanan agara urusannya menjadi cepat dan lancar. Kewajiban untuk memberikan senyum dan bersikap ramah dari penyedia layanan masyarakat tampaknya menjadi hal yang sulit sekali untuk diwujudkan. Namun anehnya sikap penyedia layanan tersebut menjadi berubah ketika yang dilayaninya adalah kelompok orang dengan status sosial dan ekonomi yang tinggi, yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penyedia layanan atau dilihat dari besarnya uang rokok yang diterima. Faktor-faktor diatas pada akhirnya turut menentukan sikap dan perlakuan penyedia layanan. Contoh lainnya adalah hak warga Negara untuk mendapatkan informasi mengenai peruntukan biaya bagi suatu layanan dan hak untuk menyalurkan saran yang dalam banyak hal tidak dicoba untuk diadopsi oleh birokrasi pelayanan public. Akibatnya banyak masyarakat menilai pelayanan publik tidak transparan terhadap pengguna layanan. Oleh Karena itu, banyak sekali ditemukan praktek buruk
63
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 dalam pelayanan publik daripada praktek baiknya. Masalah lain yang berkaitan dengan ketidakpastian pelayanan dapat dilihat dari dua hal yaitu adanya ketidakpastian waktu dan biaya pelayanan. Ketidakpastian waktu dan biaya pelayanan sudah dianggap sebagai suatu hal yang wajar ketika berurusan dengan birokrasi pelayanan public di Indonesia. Keadaan ini dimanfaatkan oleh berbagai pihak, baik yang sifatnya profesional maupun tidak, untuk membantu pengguna layanan mempercepat urusannya. Dari sinilah kemudian munculah tradisi uang rokok atau rente dalam birokrasi pelayanan public. Akibatnya banyak pengguna layanan yang kemudian lebih suka membayar ekstra diluar biaya yang resmi agar mereka memperoleh kepastian pelayanan. Hal tersebut menyebabkan biaya pelayanan menjadi jauh lebih besar dibanding dengan biaya yang semestinya. Berbagai kasus yang sering muncul dan ditemukan, baik dari hasil penelitian maupun surat kabar, menyiratkan bahwa masyarakat pengguna layanan belum merasa puas terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, budaya birokrasi di Indonesia banyak mengadopsi budaya jawa yang hierakis, tertutup, sentralistis dan mempunyai nilai untuk menempatkan pimpinan sebagai pihak yang harus dihormati. Selain itu bawahan juga dituntut untuk mematuhi semua aturan resmi kepentingan pribadi pimpinan. Dalam konteks birokrasi pelayanan publik di Indonesia, hubungan tersebut diterjemahkan oleh bawahan sebagai mendahulukan kepentingan pimpinan diatas segalanya. Kondisi seperti inilah yang kemudian melahirkan perilaku disfungsional para pemimpin dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan untuk kepentingan pribadi. Budaya mohon petunujuk lebih mewarnai keseharian pekerjaan aparat
birokrat, terlebih dalam semua pelayanan dengan acuan penting petugas dalam memberikan pelayanan adalah atas dasar instruksi atasan. Ketiga, tidak adanya system insentif yang secara efektif mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk bekerja secara efesien dan professional ikut member konstribusi terhadap kegagalan birokrasi dalam penyelenggaraan pelayanan public membuat birokrasi gagal mengembangkan budaya dan tradisi kompetisi. Akibatnya, birokrasi kehilangan dorongan dan insentif untuk meningkatkan efesiensi dan kualitas pelayanan. Pada tataran individu, rendahnya gaji dan langkanya sumber insetif lainnya yang diperoleh secara wajar oleh para pejabat birokrasi membuat mereka sering menyalahgunakan kekuasaan untuk menambah penghasilan mereka. Apalagi ketika kemampuan control masyarakat sangat lemah, kecenderungan pejabat birokrasi untuk meyalahgunakan kekuasaan semakin besar. Keempat, kecilnya kewenangan untuk mengambil diskresi membuat pejabat birokrasi tidak mampu mengembangkan inisiatif dn kreatifitas dalam penyelenggaraan pelayanan public. Keharusan pejabat birokrasi untuk taat prosedur kendatipun prosedur sudah tidak relevan dengan misi membuat birokrasi pelayanan public di Indonesia menjadi sangat rule driven, dan gagal dalam merespon dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Tidak adanya rule sunset dan reinventing laboratory dalam kehidupan birokrasi membuat para pejabat birokrasi public tidak memiliki peluang untuk mengembangkan inovasi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Akibatnya, pelayanan public di Indonesia cenderung menjadi rutin dan gagal mengakomodasi aspirasi masyarakat yang cenderung menjadi semakin kompleks. 64
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 Tabel. 1 Aspek-aspek Kendala Terhadap Tugas Pokok Birokrasi Bidang Kekuasaan yang besar Efek Negatif Kendala Politik Kekuasaan yang besar Penyalahgunaan wewenang Monopoli Kewenangan Arogansi Sikap Tak ada control yang seimbang Sentralisasi Ketergantungan bawahan pada atasan Orientasi tidak pada masyarakat Tidak berkembang potensi local Sulit mengatasi masalah yang tepat dan cepat Berpotensi menimbulkan efek negative yang berantai Organisasi tertutup tidak ada control langsung Timbul KKN Pola rekruitmen tidak rasional Kendala Administratif Regulasi yang kaku Kinerja yang tidak fleksibel Mengutamakan formalitas daripada esensi Prosedur berbelit-belit Peran birokrasi ditinggalkan masyarakat Struktur Organisasi Tidak efesien berjenjang High cost economy Pertentangan antar unit Metode kerja yang top-down Anggaran yang terbatas Ketidaknyamanan kerja pegawai Markup anggaran dan pungli Semangat kerja rendah Keterbatasan gerak birokrasi Kendala Sosial-Budaya Mentalitas social yang Tidak ada profesionalisme kerja buruk Mendorong berbagai penyelewengan Perkembangan local Kinerja birokrasi menjadi out of dan global date Masyarakat tidak puas Budaya Politik Tertutupnya partisipasi dan tradisionla-feodal control public Sumber: Budi Setiono, 2001 Dari beberapa kasus yang ada, dapat dilihat bahwa hal tersebut juga menunjukkan adanya patologi dalam birokrasi khususnya di daerah DKI Jakarta. Dari penjabaran jenis-jenis patologi yang ada pada konsep dasar
maka apa yang terjadi dalam sejumlah kasus yang terjadi dipemerintahan dapat dilakukan analisis sebagai berikut: 1. terkait beberapa isu penyakit di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di DKI Jakarta dapat dilihat beberapa
65
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 diantaranya masuk dalam kategori patologi birokrasi Patologi yang timbul karena persepsi dan gaya manajerial para birokrat. Misalnya dalam hal penyakit “Kudis ( Kurang Disiplin)”, dan “Ginjal ( Gaji Ingin Naik Tapi Kinerja Lamban)”, dari kedua penyakit tersebut terlihat bahwa salah satu masalahnya adalah pada kredibilitas terhadap kinerja yang rendah. 2. Kemudian penyakit berikutnya antara lain “TBC (Tidak Bisa Komputer)” dan “Kram (Kurang Terampil)”, dalam hal ini keduanya dapat dikelompokkan menjadi jenis patologi akibat kurangnya pengetahuan dan keterampilan. Tidak jauh berbeda dengan poin sebelumnya pada dasarnya penyakit ini menunjukkan lemahnya penerapan asas proporsionalitas dan profesionalitas. Khususnya untuk “TBC”, hal ini cukup krusial dan ironis jika dihubungkan dengan jenis penyakit lainnya seperti “Flu ( Facebookan Melulu )”, jika penyelenggara Negara bias menggunakan fasilitas online seperti situs jejaring Facebook sementara disisi lain mereka kurang terampil dalam menggunakan computer tentunya akan sangat memprihatinkan. Era komputerisasi sudah lama berjalan dan penguasaan teknologi ini sudah sewajarnya menjadi keharusan yang dimiliki oleh para birokrat, tidak hanya bernilai sebagai poin tambahan dalam kualifikasi para birokrat akan tetapi perlu dilihat dengan tugas utama mereka sebagai pelayan masyarakat, jika penguasaan computer tidak dilakukan maka fungsi pelayanan masyarakat sudah tentu akan sangat terganggu mengingat pelayanan masyarakat saat ini sebagian besar sudah berbasis komputerisasi.
2.3 Menyembuhkan Penyakit Dalam Meningkatkan Pelayanan Publik
Birokrasi Kualitas
2.3.1 Good Governance, sebagai upaya menyembuhkan patologi birokrasi Patologi birokrasi dapat dicegah perkembangannya dengan menegakan good governance. Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada. Jadi ada disperse of power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi publik. Sehingga prinsip good governance perlu untuk menekan penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan korupsi. Dan corrupt itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good governance, korupsinya semakin tinggi. Dari penyataan di atas tergambar dengan jelas betapa prinsip-prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk lebih detailnya prinsip-prinsip good governance dapat merubah patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut: 1. Participation Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan. Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak
66
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 yang ingin pemerintah.
memanfaatkan
2. Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa takut dengan ancaman hukum. 3. Transparancy. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai ketentuan dan perundangundangan, karena bila tidak sasuai masyarakat pasti mengetahui dan melakukan penututan. 4. Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan kepada stakeholders. 5. Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini. Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah. 6. Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik
pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang kinerjanya secara keseluruhan. 7. Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapanharapan organisasi dan negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini akan memberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi. 2.3.2 Model Rekomendasi dalam Rangka Memperbaiki Kinerja Birokrasidan Kualitas Pelayanan Publik Dengan menerapkan prinsip good governance untuk mengatasi Patologi Birokrasi diperlukan upaya yaitu: Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat, bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari keuntungan. Kedua, pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan, termasuk kejahatan dan penyakaitpenyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara: 1. Kepemimpinan yang adil dan kuat 2. Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik 67
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 3. Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan pemerintahan dalam birokrasi. Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal yang semstinya dilakukan.
Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat akuntabilitas para birokrat.
Tabel. 2 Perbandingan Model Lama dan Model Baru yang ditawarkan Aspek Pola Lama Model yang ditawarkan Kekuasaan dan kewenangan Pemusatan kekuasaan dan Segregasi kekuasaan dan kewenangan kewenangan Hubungan eksekutif-legislatif Hubungan kerja eksekutif Hubungan kerja eksekutif dan legislative yang asimetris dan legislative yang dan diametral simetris dan sinergis Orientasi kerja Pola kerja birokrasi sebagai Pola kerja birokrasi regulator sebagai fasilitator dan pelayanan masyarakat Pembagian TUPOKSI Pembagian kerja antar dinas Pembagian kerja antar sebagai bentuk pemilahan dinas sebagai bentuk kekuasaan, kewenangan dan pembagian kepentingan ekonomi tanggubgjawab yang saling bersinergi Control dan peran lembaga Lemahnya control dan Pemberdayaan control local dukungan lembaga local dan kuatnya dukungan dalam kegiatan pelayanan lembaga local dalam public kegiatan pelayanan public Prakarsa Tidak atau kurangnya Terbuka dan tumbuhnya prakarsa dari bawah prakarsa dari bawah Acuan kerja Kerja berdasarkan juklak Kerja berdasarkan tujuan atau petunjuk Perencanaan dan Program terjebak pada Program berkelanjutan kelangsungan program aktivitas proyek tahunan dan berdasarkan pada yang kurang berkelanjutan misi yang jelas Resvonsivitas aparat birokrasi Lemahnya responsivitas Kuatnya responsivitas aparat birokrat aparat birokrat Transparansi Tidak adanya transparansi Transparansi Suyanto: Penataan birokrasi dan upaya peningkatan kualitas pelayanan publik Berdasarkan hal tersebut diatas dalam upaya meningkatkan kinerja birokrasi dan kualitas pelayanan model kemudian direkomendasikan yang ditawarkan meliputi: Pertama, mengembangkan model layanan “inti berganda” yang dibarengi
dengan penyebarluasan kewenangan pada tingkat yang lebih bersentuhan dengan kepentingan public secara langsung. Kedua,menerapkan pola intensifikasi kinerja pelayanan publik. Berbeda dengan model ektensifikasi yang lebih banyak menuntut dukungan 68
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 sumber dana yang lebih besar dan lebih menuntut adanya penambahan infrastruktur, untuk model intensifikasi prinsipnya adlah bagaiamana meningkatkan manfaat dari infrastruktur yang sudah ada untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas pelayanan. Ketiga,mengembangkan pendekatan optimalisasi fungsi birokrasi, dalam arti target perubahan yang ingin dicapai bukan sekedar meningkat satu atau dua tingkat dari tahun sebelumnya tetapi yang lebih penting bagaimana meningkatkan target perbaikan kinerja birokrasi yang dimiliki. Agar model yang ditawarkan di atas benar-benar terimplementasi dan efektif dilapangan, maka sejumlah prasyarat yang seharusnya dipenuhi terlebih dahulu meliputi: 1. Dari segi kuantitas, tindakan melakukan perampingan struktur birokrasi yang sekaligus mencoba memangkas jumlah pegawai karena penumpukan atau kelebihan pegawai sebetulnya hanya terjadi di pos-pos structural dan dan pada bagian-bagian yang sebetulnya kurang bersentuhan langsung dengan kebutuhan public. 2. Berkaitan dengan prasyarat yang direkomendasikan diatas, dalam tahap atau proses transisi, meminta dan mendistribusikan pegawai ke tugas-tugas yang lebih bersentuhan dengan kepentingan publik. Dan untuk mengeliminimalisir agar pendistribusian dan penyebaran pegawai ke publik malah melahirkan hasil yang kontradiktif seperti pegawai menjadi lebih sering bolos dan sebagaianya, maka yang perlu dirancang dan dipersiapkan sejak awal adalah system insentif, baik dalam bentuk kemudahan jenjang karir maupun tunjangan dana kesejahteraan yang layak. 3. Selain dibutuhkan SPM (Standar Pelayanan Minimum) sebagai acuan
kerja aparat birokrat dalam memberikan pelayanan kepada publik, bagian yang tak kalah penting adalah kewajiban dari masing-masing dinas dan badan untuk segera dirumuskan “mascot program” pelayanan publik dilembaganya sendiri. III. Penutup 3.1 Kesimpulan Dapat disimpulkan bahwa Patologi birokrasi merupakan penyakit dalam birokrasi Negara yang muncul akibat perilaku para birokrat dan kondisi yang membuka kesempatan untuk itu, baik yang menyangkut politis, ekonomis, social cultural dan teknologikal. Patologi birokrasi dapat dicegah perkembangannya dengan menegakan prinsip-prinsip good governance yang diterapkan pada pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global kedua, pembentukan kekuatan hukum dan perUndang-Undangan yang jelas. Sehingga melahirkan model rekomendasi yang ditawarkan untuk menyembuhkan patologi birokrasi dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik di Indonesia. Ketiga, ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi. Maka model yang direkomendasikan adalah Pertama, mengembangkan model layanan “inti berganda” yang dibarengi dengan penyebarluasan kewenangan pada tingkat yang lebih bersentuhan dengan kepentingan publik secara langsung. Kedua,menerapkan pola intensifikasi kinerja pelayanan publik. Berbeda dengan model ektensifikasi yang lebih banyak menuntut dukungan sumber dana yang lebih besar dan lebih menuntut adanya penambahan infrastruktur, untuk model intensifikasi prinsipnya adlah bagaiamana meningkatkan manfaat dari infrastruktur yang sudah ada untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas pelayanan. Ketiga,mengembangkan pendekatan optimalisasi fungsi birokrasi, dalam arti 69
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2015 target perubahan yang ingin dicapai bukan sekedar meningkat satu atau dua tingkat dari tahun sebelumnya tetapi yang lebih penting bagaimana meningkatkan target perbaikan kinerja birokrasi yang dimiliki. 3.2 Saran Berdasarkan permasalahan kinerja birokrasi dan buruknya kualitas pelayanan publik dii Indonesia, maka kami menyarankan untuk saling bekerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat dalam melakukan control mengenai penyelenggaraan pelayanan, penerpapan good governance danmodel yang direkomendasikan yang ditawarkan harus dianalisis sesuai dengan kebutuhan pemerintah dan benar-benar diimplementasikan bukan berdasar pada kepentingan pribadi. Sehingga diharapakan pelayanan di Indonesia memiliki kualitas pelayanan yang baik dan berdampak pada kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan.
Sumber Internet: http://katasederhana.blogspot.com/2011/07/pato logi-birokrasi.html http://gudangilmuadministrasinegara.blogspo t.com/2010/12/patologi-birokrasi.html http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/10/ pengertian-pelayanan-publik.html http://xpresipena.blogspot.com/2011/04/pat ologi-birokrasi.htm
DAFTAR PUSTAKA Ismail. 2009. Politisasi Birokrasi. Malang: Ashs hiddiq Press --------. 2009. Etika Birokrasi dalam prespektif Manajemen Sumber Daya Manusia. Malang: Ash-s hiddiq Press Dirjosuseno, Priyatmoko. 2008. Pembaharuan Pemerintah Lokal. Jawa Timur: Dewan Pakar Provinsi Jawa Timur Purwanto, Erwan agus. 2005. Birokrasi Publik dalam semi politik semi-parlementer. Yogyakarta: Gava Media Thoha, Miftah. 2007. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Utomo, warsito. 2005. Administrasi Public Baru. Yogyakarta: Pustaka pelajar Wicaksono, kristian widya. 2006. Administrasi dan birokrasi pemerintah. Yogyakarta. Graha Ilmu 70