ISSN 1997-293X Vol. VII No. 1, Juni 2014 TIM REDAKSI Penanggung Jawab
: Ir. Pryo Handoko, M.M. (Ketua STIA Banten)
Pembina
: Dr Dirlanudin, M.Si. (Wakil Ketua I STIA Banten) : Ihin Solihin, S.AP., M.Si. (Wakil Ketua III STIA Banten)
Mitra Bestari
: Prof. Dr. Drs. H. Sam’un Jaja Raharja, M.Si. (Guru Besar Ilmu Administrasi FISIP Universitas Padjadjaran) : Prof. Dr. H. Ahmad Sihabudin, M.Si. (Guru Besar Komunikasi Lintas Budaya Universitas Sultan Agung Tirtayasa)
Pemimpin Umum
: Dra. Atik Atiatun Nafisah, M.M. (Ketua LPPM STIA Banten)
Dewan Editor Ketua Anggota
Redaksi Pelaksana Ketua Sekretaris Bendahara Tata Usaha dan Kearsipan Distribusi dan Sirkulasi Alamat Redaksi
: : : : : :
Dr. Dirlanudin, M.Si. Agus Lukman Hakim, S.E., M.Si. Dr. Agus Sjafari, M.Si. Leo Agustino, Ph.D. Dra. Atik Atiatun Nafisah, M.M. uliannes Cadith, S.Sos., M.Si.
: : : : :
Ade Hadiono, ST., M.Si. Samsul Ode, S.IP., M.Si. Herawati Litono, S.TP. Adi Purwanto, S.AP.
: LPPM STIA Banten Jl Raya Serang Km. 2 No. 42 Kadumerak - Pandeglang 42251 Telp. 0253-5207577 Fax. 0253-5207579 Website: http//www.stiabanten.ac.id. Email :
[email protected] [email protected]
Jurnal Niagara merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan dua kali setahun oleh Lembaga Penellitian dan Pengabdian Masyarakat, berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.
ii
PENGANTAR REDAKSI
Alhamdulillah, dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Illahi Rabbi, Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014 dapat kembali hadir dan sampai pula ditangan Anda, baik dari komunitas ilmuwan, praktisi dan pemerhati ilmu administrasi. Terbitan edisi pertama tahun ini, berisikan tulisan dari hasil riset rekan dosen Fisip UNTIRTA, Politeknik LP3I Jakarta dan dosen di lingkungan STIA Banten yang dengan setia selalu mengisi agar konsistensi penerbitan jurnal ini tetap terjaga. Redaksi berharap semua artikel dalam jurnal kali ini dapat bermanfaat untuk menambah informasi dan wawasan pengetahuan, baik dalam bidang administrasi ataupun lainnya. Kami menyadari dalam penyajian materi jurnal edisi kali ini tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, Untuk itu kami mohon maaf dan mohon masukan untuk penyempurnaaan edisi mendatang. Selamat membaca, dan terima kasih atas partisipasi dan dukungannya.
Pandeglang, Juni 2014
Redaktur Pelaksana
iii
DAFTAR ISI
TIM REDAKSI ........................................................................................................ PENGANTAR REDAKSI ........................................................................................... DAFTAR ISI ............................................................................................................
i ii iii
TAX HOLIDAY SEBUAH KEBIJAKAN UNTUK MENINGKATKAN INVESTASI DI INDONESIA Oleh : Juliannes Cadith .........................................................................................
1-14
PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR SEMBILAN TAHUN OLEH PEMERINTAH DAERAH Oleh : Rina Yulianti dan Titi Stiawati ....................................................................
15-23
ANALISIS PENERAPAN MODEL ORGANISASI POST BIROKRASI DI KANTOR IMIGRASI SERANG PROPINSI BANTEN TAHUN 2012 Oleh : Arenawati ..................................................................................................
24-35
LEADERSHIP AND DEMOCRACY: RECONCILABLE OR ANTITHETIC? TAKING CUES FROM THE EXPERIENCES OF INDONESIAN PUBLIC AGENCIES Oleh : Riswanda ...................................................................................................
36-43
ANALISIS MINAT MENJADI NASABAH TABUNGAN BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) AN-NUR CIBALIUNG Oleh : Nana Suandana .........................................................................................
44-50
PENGARUH CUSTOMER SERVICE TERHADAP LOYALITAS NASABAH DI PT. AIA FINANCIAL JAKARTA Oleh : Rahayu Tri Utami .......................................................................................
51-66
PELAYANAN AKADEMIK DAN KINERJA DOSEN SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEPUASAN MAHASISWA STIA BANTEN Oleh : Ade Hadiono ..............................................................................................
67-94
iv
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
TAX HOLIDAY SEBUAH KEBIJAKAN UNTUK MENINGKATKAN INVESTASI DI INDONESIA
Juliannes Cadith
[email protected] Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ABSTRAK TAX HOLIDAY A Policy TO INCREASE INVESTMENT IN INDONESIA Abstract Foreign investment is an option to fulfil the needs of domestic investment. Tax holiday is one of the incentives provided by the government to attract foreign investors. In this regard, this article would like to explain; 1. The mechanisms and requirements to apply for hax holiday; 2. The effectiveness of tax holiday implementation in Indonesia. The results showed that tax incentive policy is not the main factor considered by foreign investors to invest in Indonesia, and the provision of tax holidays to a particular taxpayer violates the principles of fairness, simplicity and neutrality. The author gives the following suggestions: the need for a clear criteria in the provision of tax holiday, and the need to expand the recipients of tax holiday not only by the category of industry but also by the lack of investment and industrial conditions in a region. Besides that, tax sparing provision rules should also be considered. Keywords: holiday Tax, Fiscal Policy
PENDAHULUAN Dalam memulai pembangunan, hampir dikatakan semua negara berkembang mengalami persoalan dalam pembiayaan pembangunan, negara-negara berpendapatan rendah memiliki dua Kendala sekaligus dalam pembiayaan pembangunan ekonominya. (teori two gap Model) Pertama, tidak mempunyai tabungan domestik yang cukup untuk membiayai investasi yang dibutuhkan agar dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan. Kedua rendahnya pendapatan devisa untuk membiayai Import barang mentah dan barang modal yang diperlukan dalam investasi. Negara – negara yang berada dalam tahap awal pembangunan secara difinisi adalah negara miskin. Ketidak
mampuan menutup gap tersebut menyebabkan negara – negara miskin tidak memiliki kesempatan untuk memicu kemajuan ekonominya dan kemiskinan akan tetap menjadi lingkaran setan. Utang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri yang dilakukan pemerintah dijadikan solusi untuk menutupi dua kekurangan tersebut. Di awal tahun-tahun 1990-an, telah timbul suatu fenomena baru di negaranegara pengutang besar untuk mulai mengalihkan perhatian kepada bentuk alternative lain bagi pembiayaan pembangunan yang berasal dari utang (pihak asing). Tidak terkecuali Indonesia, Penanaman Modal Asing Langsung (FDI) bisa menjadi pilihan Menyadari kenyataan 1
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
tersebut, pemerintah telah melakukan berbagai upaya deregulasi untuk menciptakan iklim investasi di Indonesia yang kondusif. Karena timbul kecenderungan para investor hanya mau menanamkan modalnya di tempat yang paling menguntungkan. Negara-negara seperti China, Vietnam, Bangladesh, Thailand, dan Malaysia, belakangan terbukti menjadi pesaing Indonesia dalam berlomba menarik modal asing. Masuknya perusahaan asing dalam kegiatan investasi di Indonesia dimaksudkan sebagai pelengkap untuk mengisi sektor – sektor usaha dan industri yang belum dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh pihak swasta nasional, baik karena alasan teknologi, manajemen, maupun alasan permodalan. Modal asing juga diharapkan secara langsung atau tidak langsung dapat lebih merangsang dan menggairahkan iklim/kehidupan dunia usaha, serta dapat dimanfaatkan sebagai upaya menembus jaringan pemasaran internasional melalui jaringan yang mereka miliki. Selanjutnya masuknya modal asing diharapkan secara langsung maupun tidak langsung dapat mempercepat proses pembangunan ekonomi Indonesia. faktor-faktor yang mempengaruhi investasi dapat dilihat dari dua faktor, yaitu factor dalam negeri dan faktor luar negeri. Faktor dalam negeri yang mempengaruhi besarnya investasi antara lain stabilitas politik dan ekonomi yang mantap, kebijakan deregulasi dan debirokrasi yang mengairahkan iklim investasi, fasilitas perpajakan yang diberikan, tersedianya sumber daya alam yang melimpah dan tersedianya upah sumberdaya manusia yang kompetitif (murah). Sedangkan faktor luar negeri yang mempengaruhi perkembangan investasi antara lain apresiasi nilai tukar negara investor berasal. Tax Holiday sebagai salah satu fasilitas perpajakan yang diberikan merupakan instrument dalam kebijakan fiskal Tax holiday merupakan salah satu bentuk fasilitas Perpajakan yang diberikan kepada
penanam modal yang menanamkan modal di Indonesia ini merupakan kebijakan pemerintah Ketentuan ini diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Bentuk fasilitas ini selain yang telah diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Fasilitas ini berupa pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan bagi perusahaan industri pionir yang melakukan penanaman modal baru di Indonesia yang telah diatur dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan. Pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan diharapkan dapat meningkatkan realisasi penanaman modal asing (investasi) di Indonesia dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian secara riil. meski dalam jangka pendek ada potensi pendapatan pajak berkurang, pemerintah bisa mendapatkan manfaat lebih besar dalam jangka panjang,karena berkembangnya investasi baru. Selain itu, ketika Indonesia kini menghadapi defisit neraca perdagangan, dibutuhkan insentif khusus agar terjadi investasi baru di sektorsektor prioritas, seperti hilirisasi hasil tambang dan penciptaan lapangan pekerjaan dan mempengaruhi minat investor luar negeri untuk berinvestasi di Indonesia. Implementasi Undang-undang tersebut membutuhkan peraturan turunan untuk mewujudkannya, Kemudian pemerintah dalam hal ini kementerian keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, Kementerian perindustriian menerbitkan prosedur untuk memperoleh fasilitas tax holiday diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 93 Tahun 2011 Tentang Penerbitan Pedoman dan Tata Cara Pengajuan Fasilitas 2
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau dikenal tax holiday di sektor Industri. Dan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 tahun 2011 tentang pedoman dan tata cara pengajuan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan PPH badan.
FOKUS PENELITIAN Penelitian ini untuk mengkaji : 1). Menjelaskan mekanisme dan pensyaratan dalam pengajuan Tax Holiday; 2). Efektivitas Penerapan Tax Holiday di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal pada dasarnya merupakan kebijakan yang mengatur penerimaan dan pengeluaran negara, penerimaan negara bersumber dari pajak, penerimaan bukan pajak dan bahkan penerimaan yang berasal dari pinjaman/bantuan dari luar negari, Kebijakan fiskal adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan mempergunakan instrumen pemungutan dan belanja negara. Dengan demikian kebijakan fiskal sebenarnya merupakan kebijakan pengelolaan keuangan negara dan terbatas pada sumber – sumber penerimaan dan alokasi dan pengeluaran negara yang tercantum dalam APBN. Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Pengeluaran dan penerimaan negara dipastikan akan mempunyai pengaruh terhadap berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat, apakah yang berkaitan dengan jumlah uang yang beredar, kesempatan memperoleh pendapatan dan memupuk kekayaan maupun iklim investasi. Pengeluaran negara mempunyai pengaruh yang bersifat manambah atau memperbesar pendapatan nasional (expansionary), sedangkan penerimaan negara mempunyai
pengaruh yang bersifat mengurangi atau memperkecil pendapatan nasional (contractionary), Sehingga mengurangi atau menambah pengeluaran dan memperkecil atau memperbesar pendapatan yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai kestabilan ekonomi. Secara umum, kebijakan fiskal ditujukan untuk memelihara stabilitas ekonomi sehingga pendapatan nasional secara nyata terus meningkat sesuai dengan pengunaan sumber daya (Faktor – factor produksi) dan efektivitas kegiatan masyarakat dengan tidak mengabaikan redistribusi pendapatan/kekayaan dan upaya kesempatan kerja. Hal ini selaras dengan pendapat John . F. Due (1968) bahwa kebijakan fiskal ditujukan untuk ; 1). Untuk meningkat produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi atau memperbaiki ekonomi; 2). Untuk memperluas lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran atau mengusahakan kesempatan kerja; 3). Untuk menstabilkan harga-harga secara umum, khususnya mengatasi inflasi. Dengan kata lain, kebijakan fiskal mengusahakan peningkatan kemampuan pemerintah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan cara menyesuaikan pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Pajak sebagai salah sumber penerimaan negara mempunyai dua fungsi yaitu budgetair dan regulerand, sebagai fungsi budgetair artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Pajak sebagai sumber keuangan negara pemerintah berupaya memasukan uang sebanyaknya – banyaknya untuk kas negara upaya tersebut di tempuh dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi pemunggutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak. Saat ini sekitar 70% APBN Indonesia dibiayai oleh pajak. Dua pajak penyumbang penerimaan terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sedangkan fungsi regulerend mempunyai arti pajak sebagai alat untuk 3
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial, ekonomi dan mencapai tujuan – tujuan tertentu diluar bidang keuangan . Sebagai fungsi mengatur (regulerend) dalam hal ini di bidang ekonomi pajak mempunyai peran cukup penting dalam mempengaruhi iklim investasi di sebuah negara .Dalam kondisi kompetisi ekonomi global saat ini, banyak negara mempromosikan keunggulan kompetitif maupun komparatifnya dengan berbagai insentif bagi masuknya Penanaman Modal Asing Langsung (FDI). Penggunaan insentif pajak merupakan strategi yang paling populer dalam usaha untuk mempromosikan FDI. insentif – insentif perpajakan terdiri dari Tax Holiday, Tax Amnesty, Invesment Tax Credit dan Free Trade Area/ Free Trade Zone. Kebijakan untuk memberikan berbagai fasilitas perpajakan tersebut di tujukan pada usaha –usaha yang dapat mendorong pembangunan dengan jalan mendorong investasi serta produksi. Beberapa literatur yang mencoba memberikan defenisi menyangkut Tax Holiday :A tax holiday is a temporary reduction or elimination of a tax. Governments usually create tax holidays as incentives for business investment. The taxes that are most commonly reduced by national and local governments are sales taxes. In developing countries, governments sometimes reduce or eliminate corporate taxes for the purpose of attracting Foreign Direct Investment or stimulating growth in selected industries. Tax holiday is given in respect of particular activities, and sometimes also only in particular areas with a view to develop that area of business. Dari pengertian tersebut diketahu bahwa tax holiday merupakan pengurangan atau penghapusan pajak untuk sementara waktu bagi seorang wajib pajak. Hal ini oleh pemerintah di negara-negara berkembang digunakan sebagai insentif atau fasilitas guna menarik investor asing. Pembebasan ini biasanya diberikan untuk jangka waktu beberapa tahun untuk merintis industri
baru. Pemerintah biasanya membuat tax holiday sebagai insentif bagi investasi bisnis. Tax holiday telah diberikan oleh pemerintah pada tingkat nasional, sub-nasional, dan lokal, dan termasuk Pajak Penghasilan, properti, penjualan, PPN, dan pajak lainnya. Di negara berkembang, pemerintah terkadang mengurangi atau menghilangkan pajak perusahaan untuk tujuan menarik PMA atau merangsang pertumbuhan industri terpilih. Pengaruh Insentif Pajak Penanaman modal Asing (PMA)
terhadap
Penanaman Modal Asing memainkan peranan penting dalam kebijakan pembangunan, dan insentif pajak bisa digunakan untuk menyalurkannya sedemikian rupa sehingga memberi manfaat maksimum bagi keseluruhan negara. Dari sudut pandang nasional, peranan insentif pajak bagi PMA berbeda dengan insentif pajak bagi modal domestik. Insentif pajak bagi modal domestik hanyalah melibatkan transfer pemerintah ke investor, tetapi insentif yang diberikan kepada PMA mengurangi seluruh pendapatan negara atas laba yang dihasilkan oleh PMA tersebut. Karena itu, kerugian ini harus dikompensasikan dengan keuntungan yang diperoleh akibat pelipat gandaan modal tersebut agar insentif pajak tersebut bisa diterima. Sehingga dalam merancang insentif pajak bagi PMA perlu mengarahkan investasi mereka kepada sektor-sektor yang menguntungkan bagi negara tuan rumah. Keuntungan tersebut berupa kenaikan penghasilan faktor-faktor produksi domestic akibat adanya PMA. Tidak ada manfaat yang dapat diperoleh mendatangkan modal asing lengkap dengan sumberdayanya, jika negara tuan rumah memperlakukan mereka sebagai peminjam lokasi saja. Dengan demikian, pemberian insentif pajak harus dikaitkan dengan nilai tambah domestik yang dapat diperoleh negara tuan rumah sebagai akibat adanya PMA tersebut. Lebih jauh lagi insentif pajak tersebut, harus dirancang sedemikian rupa sehingga mendorong 4
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
dilakukannya reinvestasi dan operasi permanen dan menghambat investasi yang hanya ingin mengeruk keuntungan sesaat. Apapun masalahnya, Indonesia membutuhkan kerja sama dari negara asal investor asing agar insentif pajak yang diberikan bisa efektif. Jika negara sumber modal asing tersebut memajaki pendapatan yang diperoleh dari luar negeri dengan tarifnya sendiri sambil tetap memberikan kredit pajak luar negeri, maka pajak yang lebih rendah di Indoensia hanya akan menjadi transfer ke negara lain tanpa adanya manfaat bagi investor yang mengirimkan labanya ke negara asalnya. Akan tetapi, penundaan pajak akan sangat penting. Hal ini tidak hanya berfungsi sebagai penarik PMA ke Indonesia yang menawarkan insentif pajak tetapi juga mendorong terlaksananya reinvestasi di Indonesia. Karena itu cukup beralasan penundaan pajak untuk mempertahankan atas investasi di Indonesia dan meniadakannya untuk investasi di negara maju. Cara lain untuk membuat insentif pajak menjadi lebih efektif bagi investor asing yang akan mengirimkan labanya ke negara asal adalah apa yang disebut sebagai kesepakatan pajak bersama (taxsparing arrangement). Dengan pendekatan ini, negara asal modal akan memberikan kredit atas laba yang direpatriasi sebesar pajak yang dikenakan di Indonesia meskipun tidak ada pajak yang dibayar menurut kesepakatan insentif tersebut. Akan tetapi, pendekatan ini tidak mengairahkan reinvestasi dan karena tekanan politik akan menuntut agar insentif tersebut diberlakukan secara umum yang tidak hanya bagi investasi asing saja tetapi juga investasi domestik, maka pengenaan insentif pajak dalam pemajakan laba secara umum harus dipertimbangkan. Pembahasan Pemberlakuan kembali pemberian fasilitas tax holiday kepada investor. Fasilitas tax holiday memang bukan hal yang baru di Indonesia, karena sejak UU No. 1 Tahun
1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri kepada investor yang menanamkan modalnya di bidang yang diprioritaskan Pemerintah mendapat tax holiday dasar dua tahun dan dapat ditingkatkan menjadi enam tahun jika memenuhi syarat--‐‑syarat tertentu. Adapun dalam undang – undang penanaman modal no Nomor 25 Tahun 2007 diatur beberapa hal sebagai berikut : 3.1. Fasiltas ,mekanisme dan pensyaratan dalam pengajuan Tax Holiday. 3.1.1. Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Pemberian bentuk fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan dapat meliputi: a. Pembebasan Pajak Penghasilan badan dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Tahun Pajak dan paling singkat 5 (lima) Tahun Pajak, terhitung sejak Tahun Pajak dimulainya produksi komersial. b. Setelah berakhirnya pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan terutang selama 2 (dua) Tahun Pajak. c. dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat memberikan fasilitas pembebasan dengan jangka waktu melebihi 10 (sepuluh) Tahun Pajak atau pengurangan Pajak Penghasilan badan dengan jangka waktu melebihi 2 (dua) Tahun Pajak. 3.1.2. Persyaratan Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau 5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
pengurangan Pajak Penghasilan Badan adalah Wajib Pajak Badan baru yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. merupakan Industri Pionir; b. mempunyai rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); c. menempatkan dana di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal sebagaimana dimaksud pada huruf b, dan tidak boleh ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal; dan d. harus berstatus sebagai badan hukum Indonesia yang pengesahannya ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku atau pengesahannya ditetapkan sejak atau setelah berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini. Industri Pionir mencakup Industri logam dasar; Industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam; Industri permesinan; Industri di bidang sumberdaya terbarukan; dan/atau Industri peralatan komunikasi. Namun, dengan mempertimbangkan kepentingan mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu, Menteri Keuangan dapat menetapkan Industri Pionir yang diberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, selain cakupan Industri Pionir yang telah disebutkan. Fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan dapat
dimanfaatkan oleh Wajib Pajak yang telah memenuhi empat kriteria tersebut, sepanjang memenuhi persyaratan: a. telah merealisasikan seluruh penanaman modalnya dengan jumlah paling sedikit sebesar Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); dan b. telah berproduksi secara komersial. Saat dimulainya berproduksi secara komersial didasarkan pada saat seluruh penanaman modal direalisasikan dan saat penjualan hasil produksi ke pasaran dilakukan. Saat dimulainya berproduksi secara komersial ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan untuk tujuan lain atas permohonan tertulis Wajib Pajak. c. Permohonan tertulis diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dengan melampirkan: 1. Fotokopi akta pendirian; 2. Fotokopi keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan; 3. Laporan Keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit; 4. Surat kuasa khusus dalam hal permohonan disampaikan oleh kuasa Wajib Pajak; dan 5. Dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan hasil produksi sekurang – kurangnya terdiri dari faktur penjualan. faktur pajak, dan bukti pengiriman barang. 6
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak. Apabila jangka waktu 2 (dua) bulan telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penetapan saat dimulainya berproduksi secara komersial diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu tersebut berakhir. 3.1.3 Pengajuan Permohonan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Untuk memperoleh fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau Menteri Perindustrian. Berikut ini akan dibahas mengenai proses pengajuan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Wajib Pajak mengajukan permohonan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan kepada Kepala BKPM melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) BKPM dengan tembusan kepada Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal. Permohonan tersebut wajib dilengkapi dengan: 1. Fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
2. Surat persetujuan penanaman modal baru yang diterbitkan oleh Kepala BKPM; 3. Surat Pernyataan Kesanggupan untuk menempatkan dana paling sedikit 10% (sepuluhpersen) dari total rencana penanaman modal di perbankan di Indonesia apabila permohonan disetujui oleh Menteri Keuangan; 4. Dokumen pengesahan badan hukum perusahaan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 5. Surat Pernyataan adanya ketentuan mengenai tax sparing di negara domisili, yang dilengkapi dengan dokumen peraturannya; 6. Formulir permohonan yang telah diisi oleh pemohon sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2011. 3.1.4. Persetujuan Pemberian Fasilitas Pembebasan Atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Berdasarkan usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang disampaikan oleh Kepala BKPM atau Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk membantu melakukan penelitian dan verifikasi dengan mempertimbangkan dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional. Komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan tersebut dibentuk oleh Menteri Keuangan dengan susunan keanggotaan sebagai berikut: A. Pengarah Komite: 1. Wakil Menteri Keuangan I 2. Wakil Menteri Keuangan II 7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
B. Anggota Komite: 1. Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Ketua Kementerian Keuangan 2. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Sekretaris Penerimaan Negara, Kementerian merangkap Anggota Keuangan. 3. Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Anggota Keuangan. 4. Deputi Menteri Bidang Ekonomi Makro Anggota dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian 5. Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Anggota Modal, Badan Koordinasi Penanaman Modal. 6. Kepala Badan Pengkajian Kebijakan Anggota Iklim dan Mutu Industri, Kementerian Perindustrian Komite Verifikasi Pemberian Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan mempunyai tugas sebagai berikut: a. meneliti dan memverifikasi pemenuhan kriteria dan persyaratan Wajib Pajak yang diusulkan oleh Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan kelengkapan dokumen usulan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan; b. mengkaji dampak strategis Wajib Pajak yang diusulkan untuk diberikan pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, bagi perekonomian nasional; c. melakukan konsultasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dalam rangka melakukan penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, serta melakukan kajian mengenai dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional
d.
e.
f.
g.
h.
sebagaimana dimaksud pada huruf b, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011 tentang Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan; menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi serta hasil kajian mengenai dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada Menteri Keuangan, disertai dengan pertimbangan dan rekomendasi, termasuk rekomendasi mengenai jangka waktu pemberian fasilitas pembebasan Pajak Penghasilan badan; melakukan koordinasi dalam rangka pelaksanaan konsultasi Menteri Keuangan dengan Presiden terkait dengan pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011; menyusun dan menyampaikan konsep Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan, dalam hal fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan telah disetujui Menteri Keuangan; menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak Badan dengan tembusan kepada Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dalam hal Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan; mengevaluasi laporan berkala yang disampaikan oleh Wajib Pajak 8
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
penerima fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan; i. menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan dalam rangka pencabutan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan, dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan kriteria dan persyaratan serta ketentuan mengenai penyampaian laporan berkala; j. menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan yang melebihi jangka waktu, sesuai kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011, dengan disertai kajian mengenai kepentingan untuk mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu; dan k. menyampaikan rekomendasi kepada Menteri Keuangan mengenai cakupan Industri Pionir yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau pengurang Pajak Penghasilan badan, sesuai kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.011/2011, dengan disertai kajian mengenai kepentingan untuk mempertahankan daya saing industri nasional dan nilai strategis dari kegiatan usaha tertentu. Hasil penelitian dan verifikasi serta hasil kajian mengenai dampak strategis Wajib Pajak bagi perekonomian nasional disampaikan
oleh Komite kepada Menteri Keuangan dalam jangka waktupaling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak usulan Menteri Perindustrian atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal diterima secara lengkap. 3.1.5. Pengawasan Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan Pengawasan atas Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan melalui penyampaian laporan secara berkala kepada Direktur Jenderal Pajak dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang terdiri atas: a. laporan penggunaan dana yang ditempatkan di perbankan di Indonesia paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari total rencana penanaman modal baru yang telah mendapatkan pengesahan dari instansi yang berwenang; dan b. laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit. Laporan penggunaan dana tersebut harus disampaikan secara triwulanan sejak triwulan saat dana tersebut mulai digunakan sampai dengan triwulan dana digunakan seluruhnya yang dilampiri dengan fotokopi rekening koran atas dana tersebut. Laporan penggunaan dana tersebut disampaikan dengan menggunakan format yang ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2011 Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana dan Realisasi Penanaman Modal bagi Wajib Pajak Badan yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.
9
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit tersebut harus disampaikan secara tahunan sejak Tahun Pajak saat penanaman modal mulai direalisasikan sampai dengan Tahun Pajak penanaman modal direalisasikan seluruhnya yang dilampiri dengan surat pernyataan akuntan publik yang menyatakan bahwa laporan realisasi penanaman modal telah diaudit dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Selain menyampaikan laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit Wajib Pajak juga harus menyampaikan laporan realisasi penanaman modal yang tidak wajib diaudit secara triwulanan. Laporan triwulanan tersebut disampaikan sejak triwulan saat penanaman modal mulai direalisasikan sampai dengan triwulan penanaman modal direalisasikan seluruhnya. Laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit dan laporan realisasi penanaman modal yang tidak wajib diaudit disampaikan dengan menggunakan format yang telah ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2011 Tata Cara Pelaporan Penggunaan Dana dan Realisasi Penanaman Modal bagi Wajib Pajak Badan yang Mendapatkan Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Batas waktu penyampaian laporan-laporan yang terkait dengan Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan adalah sebagai berikut: a. Laporan penggunaan dana dan laporan realisasi penanaman modal yang tidak wajib diaudit disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur
Pemeriksaan dan Penagihan dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan paling lama tanggal 5 (lima) bulan berikutnya setelah berakhirnya periode triwulanan bersangkutan. b. Laporan realisasi penanaman modal yang wajib diaudit disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. Dalam hal penanaman modal direalisasikan seluruhnya pada bagian tahun berjalan maka laporan realisasi penanaman modal yang wajib diaudit disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan komite verifikasi pemberian pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan badan paling lama 4 (empat) bulan setelah bulan penanaman modal direalisasikan seluruhnya. Dalam hal batas akhir penyampaian laporan bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Penyampaian laporan tersebut dilakukan dengan cara disampaikan langsung dan kepada pengurus/kuasa Wajib Pajak diberikan tanda bukti penerimaan; atau dikirimkan melalui pos atau jasa ekspedisi dengan tanda bukti pengiriman surat. Tanggal dan tanda bukti pengiriman surat tersebut dianggap sebagai tanggal dan tanda bukti penerimaan sepanjang laporan tersebut telah lengkap.
10
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
3.2 Efektivitas Penertapan TAX Holiday di Indonesia : Sebagaimana sering dikemukakan dalam pembahasan literatur terkait, keberadaan Tax Holiday memang selalu melibatkan trade-off antara potensi penerimaan negara yang dapat dihasilkan dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara. Meskipun dalam jangka pendek Hilangnya potensi perpajakan merupakan satu hal yang sudah pasti bagi negara, namun seiring dengan meningkatnya volume investasi asing di Indonesia yang dapat dijaring, disertai lapangan kerja yang mampu diciptakannya, maka pemberian fasilitas Tax Holiday ini diyakini dapat
menunjang perekonomian Indonesia.
pertumbuhan jangka panjang
Berdasarkan tujuannya untuk menarik investasi baru pada sektor – sektor prioritas efektivitas penerapan Tax Holiday dapat dipertanyakan Sebagai catatan, sejak fasilitas tax holiday diterbitkan pada 2010, dan di terapkan sejak Agustus 2011 tetapi kenapa hanya sedikit perusahaan yang memperoleh tax holiday, "Apakah memang hanya Empat perusahaan ini yang memenuhi kriteria mendapat tax holiday. Keempat perusahaan adalah sebagai berikut :
Tabel I Perusahaan Penerima Tax Holiday No
Nama Perusahaan
Lokasi Investasi
Jmh Investasi
1
PT Petrokimia Butadiene Indonesia PT Unilever Oleochemical Indonesia
Cilegon-Banten
1,3 Trilyun
2.
3 4
di Kawasan Ekonomi 1,2 triliun Khusus (KEK) Sei Mangke PT Energi Sejahtera Mas Dumai 3 triliun PT Sulawesi Mining Di Morowali US$1 miliar Investment Sumber : Di rangkum dari berbagai sumber. Sedikitnya jumlah perusahaan penerima tax holiday mengambarkan bahwa insentif tax holiday belum dapat di jadikan daya tarik investor untuk berinvestasi di bidang prioritas yang di tentukan, kebijakan ini ternyata belum mampu mengarahkan (Fungsi Regularend) investasi di bidang-bidang yang di jadikan prioriras pemerintah yaitu industri logam dasar, industri pengilangan minyak bumi dan/atau kimia dasar organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam, industri permesinan, industri di bidang sumberdaya terbarukan, dan/atau industry telekomunikasi. Saat ini sebenarnya telah tersedia insentif perpajakan untuk menarik
Waktu Tax Holiday 5 tahun 5 Tahun
5 Tahun 5 Tahun
investor baru seperti diatur dalam Pasal 31 A ayat (1) UU Nomor 17/2000 tentang PPh yang menyebutkan, wajib pajak yang menanamkan modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu dapat diberikan fasilitas perpajakan. Fasilitas pertama adalah investment allowance, dimana investor diperkenankan untuk mengurangi net income sebelum diterapkan tarif pajak penghasilan dengan suatu jumlah sebesar 5% dari total investment selama enam tahun. Fasilitas pengurangan penghasilan neto a 5% tersebut dapat dilakukan paling tinggi selama enam tahun. Fasilitas kedua, adalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dengan 11
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
fasilitas ini, Wajib Pajak yang menanamkan modal dapat “memperbesar biaya penyusutan” dari 12,5% menjadi 25% dari harga perolehan. Demikian pula dengan amortisasi harta tak berwujud. Fasilitas ketiga adalah fasilitas kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun, tapi tidak lebih dari 10 tahun. Dari berbagai perhitungan simulasi yang telah dilakukan oleh beberapa kelompok pemerhati atau konsultan, dengan memperhatikan bahwa tahuntahun awal perusahaan selalu menderita rugi, maka secara substansif pada hakekatnya investor yang bersangkutan tidak akan membayar pajak penghasilan badan selama lima sampai tujuh tahun, yang pada hakekatnya atau seolah-olah menikmati fasilitas tax holiday. Fasilitas keempat adalah fasilitas reduced rate, yang penurunan tarif pajak penghasilan terhadap dividen yang dibayarkan ke luar negeri. Tarif umum adalah 20% dari dividen yang dibayarkan, akan tetapi berdasarkan fasilitas ini, maka tarif diturunkan menjadi 10% saja. Dari empat macam fasilitas tersebut, yang sebenarnya mulai berlaku sejak reformasi pajak tahun 1994 yang kemudian lebih diperinci pada reformasi tahun 2000,belum dihitung Analisis keuntungan dan biaya (cost – benefit analysis )dari insentif perpajakan tersebut yang diumumkan ke publik. Belum dihitung , atau paling tidak belum diumumkan backward looking tentang keberhasilan atau kegagalan pemberian empat macam fasilitas tersebut. Sehingga tidak/belum diperoleh informasi tentang antara lain jumlah minimal: berapa dolar investasi yang akan masuk, berapa jumlah industriyang akan dibangun, berapa jumlah tenaga kerja yang akan terserap dan berapa jumlahtax expenditure/forgone tax yang akan dipikul. Berdasarkan hal tersebut maka pembuat keputusan untuk
memperlakukan kembali fasilitas tax holiday tersebut laksana seorang yang shooting in dark. Dampak dari kondisi tersebut maka kebijakan dengan model elit yang digunakan. Efektivitas Perpajakan juga dapat diukur dengan memperhatikan asasasas pemunggutan pajak seperti yang dikemukakan oleh Adam smith (four maxim’s canons) terdiri dari Keadilan (equity), Kepastian (certainty), Kenyamanan (convenience) dan Netralitas ekonomi (economy), Pada dasarnya pemberian fasilitas tax holiday kepada Wajib Pajak tertentu melanggar asas keadilan, kepastian dan netralitas. Itulah sebabnya rezim pajak antara tahun 1984 sampai dengan 2010 tidak pernah membuka peluang dalam pasal Undang‑Undang Pajak Penghasilan tentang fasilitas tax holiday tersebut. Fasilitas tax holiday mempunyai potensi melanggar asas keadilan bagi para pengusaha yang telah melakukan investasi karena kepada Wajib Pajak tertentu dibebaskan dari pengenaan PPh Badan selama sekian sekian tahun, sedangkan Wajib Pajak lainnya yang (mungkin) dalam bidang bisnis yang sama tetap membayar PPh Badan sesuai dengan tarif yang berlaku. Sesuai dengan tujuan hukum pada umumnya, hukum pajak pun bertujuan menciptakan keadilan dalam pemunggutan pajak. Berdasarkan hal itu mestinya tidak ada perbedaan perlakuan diantara wajib pajak. Prosedur tax holiday yang diterapkan pemerintah tidak mampu memberikan jaminan kepastian waktu proses pengurusan Fasilitas Tax Holiday lambatnya kinerja birokrasi, sehingga Proses permohonan tax holiday berjalan satu tahun lebih, waktu pemerosesan sebetulnya tidak memerlukan waktu lama bila pemerintah punya standar operasional prosedur dan evaluasi perhitungan.
12
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Fasilitas tax holiday melanggar asas netralitas, karena Wajib Pajak pasti akan mempunyai preferensi ke bidang tertentu yang menawarkan fasilitas tax holiday untuk menanamkan modalnya.
perlunya perluasan cakupan penerima tax holiday tak hanya berdasarkan kategori industry tapi juga berdasarkan kondisi minimnya investasi dan industri di suatu wilayah. “Kalau hanya berdasarkan industri, investasi hanya akan berkembang di Pulau Jawa. Data realisasi Investasi bisa di lihat pada tabel berikut :
Untuk meningkatkan Efektivitas dan meminimalkan rasa ketidak adilan dari adanya Tax Holiday maka perlunya adanya kriteria yang jelas dalam pemberian fasilitas tax holiday.dan juga
Tabel III, Laporan realisasi PMA berdasarkan Lokasi 2010 No 1 2
Lokasi P I P 359 Sumatera 747,1 667 Jawa 1.973 11.49,8 2.632 Bali / 3 NTT/NTB 372 502,7 474 4 Kalimantan 254 2.011,4 331 5 Sulawesi 80 859,1 146 6 Maluku 10 248,9 31 7 Papua 28 346,8 61 Sumber : di Modifikasi dari Data BPKM 2013 Perluasan cakupan penerima Tax Holiday yang didasarkan pada kondisi minimnya investasi dan industri di suatu wilayah di harapkan dapat memeratakan penyebaran innvestasi di Indonesia. Sudah seharusnya berdasarkan minimnya investasi dan industri di suatu wilayah, misalnya di daerah-daerah tertinggal seperti di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Daerahdaerah tertinggal dinilai lebih membutuhkan insentif yang lebih besar untuk merangsang datangnya investasi. Daerah-daerah ini butuh banyak dana untuk membangun infrastruktur, seperti jembatan, telekomunikasi, dan listrik. pemberian tax holiday untuk investor ke daerah-daerah tertinggal sejalan dengan semangat hilirisasi dalam UU Minerba No. 4 2009. Pasalnya, sebagian besar daerah-daerah tertinggal tersebut justru kaya akan sumber daya alam, memiliki tambang-tambang mineral dan
2011
2012
2013
I 2.076.6 12.324.5
P 655 2.807
I 3729.3 13.659,9
P 181 6.059
I 3.395,3 17.326
952,7 1.918,8 715,3 141,5 1.345,1
477 355 187 19 39
1.126,6 3.208,6 1.507 98,8 1.234,5
932 849 343 94 154
889,9 2.773,4 1.498,2 321,2 2.414,2
gas alam, namun sangat tertinggal dari sisi infrastruktur dan kesejahteraan. Menurut data Hipmi, pada 2014, sejumlah daerah yang kaya akan sumber daya alam (SDA) termasuk mineral, batu bara, dan migas yakni Papua, Riau, Kalimantan Timur dan Aceh justru mengalami pertumbuhan ekonomi paling rendah sebab harga komoditas di pasar internasional mengalami ketidakstabilan. “Hilirisasi tidak jalan didaerah-daerah ini. Dia jual bahan mentah yang harganya jatuh. Kalau industrilisasi jalan di daerah ini ekonominya akan tumbuh pesat,”. Untuk meningkatkan Efektivitas Tax holiday juga diperlukan juga ada tidaknya ketentuan tax sparing rules, yaitu aturan tax holiday hanya dapat dinikmati oleh investor bila penghasilan yang dibebaskan dari pihak di Indonesia juga tidak dipajaki di negara domisilinya. "Diskriminasi akan terjadi 13
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
atas investor yang datang dari negara yang mempunyai tax sparing rules dengan non-tax sparing rules. Karena fasilitas ini hanya menguntungkan investor dari negara yang mempunyai tax sparing rules dengan Indonesia, sehingga negara kita akan menghadapi kompetisi pajak yang tidak sehat. Simpulan - Kebijakan Insentif Pajak bukan factor utama yang dipertimbangkan oleh investor asing dalam menanamkan modalnya Indonesia, Keberadaannya pada prinsipnya merupakan pelengkap bagi kebijakan menarik investasi permanen lainnya, yang secara bersamasama, ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi di Indonesia - Pada dasarnya pemberian fasilitas tax holiday kepada Wajib Pajak tertentu melanggar asas keadilan, kemudahan dan netralitas. - Untuk meningkatkan Efektivitas dan meminimalkan rasa ketidak adilan dari adanya Tax Holiday maka perlunya adanya kriteria yang jelas dalam pemberian fasilitas tax holiday.dan juga perlunya perluasan cakupan penerima tax holiday tak hanya berdasarkan kategori industry tapi juga berdasarkan kondisi minimnya investasi dan industri di suatu wilayah. dan juga diperlukan ada tidaknya ketentuan tax sparing rules
Conference Foreign Direct Investment In South East Europe: Dornsbusch, Rudiger and Fischer, Stanley. (1989), Macroeconomic, (terj) Julius A.Mulyadi,PT. Erlangga, Jakarta. Dye, Thomas R. (1978), Understanding Public Policy, Prentice Hall. Englewood Cliff, New Jersey. Hill,
Hal, (1991), Investasi Asing dan Industrialisasi, LP3ES, Jakarta.
Hill, Hal, (1996), Transformasi Ekonomi Indonesia Sejak 1966, Sebuah Studi Kritis dan Komprehensif, Tiara Wacana, Yogyakarta. Jhingan,M.L., (1988), Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Rajawali Press, Jakarta. Mardiasmo, Pengantar Pajak , Jakarta Mansury, Kebijakan fiskal,(1999), Jakarta, Yayasan Pengembangan dan penyebaran pengetahuan perpajakan (YP4) Musgrave, Richard dan Peggy B Musgrave, (1984), Publik Finance in Theory and Practice, McGraw-Hill Analisis Pengaruh Kebijakan Tax Holiday terhadap Perkembangan Penanam Modal … (Kesit BambangPrakosa) Sukirno, S., (1981), Pengantar Ekonomi Makro, Rajawali Press, Jakarta. Suparmoko, (1987), Keuangan Negara, Dalam Teori dan Praktek Edisi 5, BPFE, Yogyakarta
DAFTAR PUSTAKA Anoraga, Panji., (1995) Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Pustaka Jaya, Jakarta. Arsyad, L., (1992), Ekonomi Pembangunan, Penerbit AMP YKPN, Yogyakarta. Culahovic, Besim, (2000), “FDI, Fiscal Incentives and The Role of Development policy”, dalam OECD
Radius Prawiro, Boediono, bambang sudibyo dkk, 2004, Kebijakan Fiskal, pemiliran dan konsep, kompas, Jakarta Rahayu, Ani sri (2010), Pengantar Kebijakan Fiskal, PT Bumi Aksara, Jakarta. prathama rahardja dan mandala manurung dalam bukunya Pengantar Ilmu Ekonomi, Jakarta.
14
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
PENUNTASAN WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR SEMBILAN TAHUN OLEH PEMERINTAH DAERAH Rina Yulianti Titi Stiawati Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, e-mail:
[email protected]
Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (Sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 12 Sekolah Menengah Atas (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah(MTs) Di dalam wajib belajar ini kita mengajak orangtua agar berpartisipasi didalam mendukung pemerintah daerah dalam dunia pendidikan dengan menyekolahkan anak mereka. Apalagi pendidikan merupakan jembatan kehidupan bagi anakanak. Banten sebagai provinsi yang baru berumur 14 tahun masih memiliki masalah dengan partisipasi masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang rendah yaitu 56 %. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan. Oleh karena itu hendaknya pemerintah daerah betul-betul memperhatkan dengan serius pendidikan, karena anak adalah penerus bangsa.
A. Pendahuluan Dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, ini berarti pemerintah memiliki tanggung jawab yang sangat mendasar untuk mencerdaskan bangsanya seoptimal mungkin. Berdasarkan amanat konstitusi tersebut disebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan minimal pada jenjang pendidikan dasar, yaitu pendidikan SD sampai SMP yang kemudian hal ini menjadi program pemerintah dengan nama program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang disingkat Wajar Dikdas 9 Tahun. Pendidikan adalah faktor penting dalam menciptakan manusia berkualitas, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin banyak dan luas pengetahuan yang diperoleh. Keluasan dan banyaknya ilmu yang diperoleh akan berpengaruh terhadap
pola pikir manusia dan bagaimana mereka bersikap. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun adalah program yang digalakkan oleh pemerintah sebagai amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Wajar Dikdas 9 Tahun juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena masyarakat adalah modal pembangunan. Dengan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, seorang anak wajib untuk mengikuti proses belajar selama 9 tahun, 6 tahun pada Sekolah Dasar dan 3 tahun pada SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Dengan mengikuti pendidikan di sekolah selama 9 tahun diharapkan seseorang sudah memiliki cukup bekal untuk berusaha di masyarakat dan persyaratan minimal untuk dapat bekerja sebagai buruh. Pendidikan Wajib Belajar 9 tahun sejalan dengan semangat untuk 15
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Pada batang tubuh pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Kemudian, pada masa reformasi diamandemen dan ditambah ayatnya, yakni: (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Pendidikan Wajib Belajar 9 tahun sejalan dengan semangat untuk membebaskan bangsa Indonesia dari kungkungan kebodohan dan kemiskinan, jalan satu-satunya adalah dengan pendidikan. Pada batang tubuh pasal 31 UUD 1945 lebih tegas lagi menyatakan”(1) setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”, dan ” (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.
B. Pembahasan
Kemudian, pada masa reformasi diamandemen dan ditambah ayatnya, yakni: (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang, (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara
Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik bersifat konseptual maupun masalah faktual. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi implementasi kebijakan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintegrasi bangsa. Itulah sebabnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan kebijakan desentralisasi pemerintahan untuk mewujudkan otonomi daerah. Dengan otonomi daerah ini diharapkan masyarakat mendapatkan Iayanan publik yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih bertanggungjawab dalam urusan pemerintahan. Salah satu bidang pemerintahan yang didesentralisasikan adalah bidang pendidikan. Pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan di Indonesia masih menghadapi sejumlah masalah baik bersifat konseptual maupun masalah faktual. Jika permasalahan tersebut tidak segera ditangani maka dikhawatirkan bahwa desentralisasi pengelolaan pendidikan akan membawa dampak negatif yang lebih kompleks seperti masalah disintegrasi bangsa. Itulah sebabnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasiunal (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 16
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
memberikan dukungan yang tegas dan jelas dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang pendidikan dengan tetap berpegang pada satu sistem pendidikan nasional dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
mengimplementasikan programprogramnya. Implikasinya, setiap program di tingkat sekolah harus dilakukan melalui koordinasi dengan Pemda, atau khususnya Dinas Pendidikan kabupaten/kota.
Selain itu adanya komitmen pemerintah terhadap anggaran pendidikan tertuang pada pasal 31 ayat 4, yaitu anggaran pendidikan minimal harus 20% dari APBN dan APBD. Selain itu komitmen pemerintah dipertegas lagi dengan adanya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional yaitu pasal pasal 46;
Definisi Pendidikan
1. Pendanaan
pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. 2. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3. Ketentuan mengenai tanggung jawab pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Pembiayaan SD dan SLTP dilakukan melalui Kanwil Depdiknas (di tingkat propinsi) dan Kandepdiknas (di tingkat kabupaten/kota). Setelah diberlakukannya otonomi daerah, seluruh pengelolaan sekolah dari SD hingga SLTP menjadi tanggung jawab Pemerintah daerah. Konsekwensinya, tidak ada lagi Kanwil dan Kandepdiknas, yang ada hanyalah Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota yang berada di bawah kendali Pemerintah daerah, dan Dinas Pendidikan propinsi yang berada di bawah kendali Pemprop. Antara Dinas Pendidikan kabupaten/kota dengan Dinas Pendidikan propinsi tidak ada hubungan hierarkhis, sedangkan propinsi masih tetap mengemban amanat sebagai perwakilan pemerintah pusat. Dengan konfigurasi kelembagaan seperti itu, jelas bahwa Pusat tidak lagi punya “tangan” di daerah untuk
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Pendidikan biasanya berawal saat seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan musik dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia bisa mengajar bayi mereka sebelum kelahiran. Bagi sebagian orang, pengalaman kehidupan sehari-hari lebih berarti daripada pendidikan formal. Seperti kata Mark Twain, "Saya tidak pernah membiarkan sekolah mengganggu pendidikan saya. Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam, sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka, walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi. Fungsi Pendidikan Menurut Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata (manifes) berikut: a. Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mencari nafkah. b. Mengembangkan bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat. c. Melestarikan kebudayaan.
17
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
d. Menanamkan keterampilan yang perlu
bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi lain dari lembaga pendidikan adalah sebagai berikut. a. Mengurangi pengendalian orang tua. Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam mendidik anak kepada sekolah. b. Menyediakan sarana untuk pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka. c. Mempertahankan sistem kelas sosial. Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya untuk menerima perbedaan prestise, privilese, dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya. d. Memperpanjang masa remaja. Pendidikan sekolah dapat pula memperlambat masa dewasa seseorang karena siswa masih tergantung secara ekonomi pada orang tuanya. Menurut David Popenoe, ada empat macam fungsi pendidikan yakni sebagai berikut: a. Transmisi (pemindahan) kebudayaan. b. Memilih dan mengajarkan peranan sosial. c. Menjamin integrasi sosial. d. Sekolah mengajarkan corak kepribadian. e. Sumber inovasi sosial. Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun, tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah jaminan pemerintah dan pemerintah daerah bagi
setiap warga negara yang sudah berusia enam tahun untuk memperoleh pelayanan pendidikan, minimal pada jenjang Pendidikan Dasar tanpa dipungut biaya. Wajar Dikdas 9 tahun meliputi jenjang pendidikan SD, MI, SMP, MTs. Wajib Belajar adalah program respons pemerintah terhadap amanat konstitusi yang dituangkan dalam aneka peraturan dan program pemerintah yang intinya adalah bahwa Pendidikan ditetapkan sebagai salah satu prioritas dalam agenda utama pembangunan nasional, yakni sebagai berikut: a. Amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945: “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”. b. Amanat Pasal 31 UUD 1945 a) Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan; b) Setiap warga Negara wajib mengikuti Pendidikan Dasar dan pemerintah wajib membiayaninya; serta… c) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu Sistem Pendidikan Nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur oleh undangundang; d) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; e) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia;
18
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
f) Amanat Undang-undang No: 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. Wajib belajar merupakan salah satu program yang gencar digalakkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah(MTs). Seperti yang telah kita ketahui bahwa kualitas pendidikan di Indonesia ini cukup buruk. Banyak sekali anak-anak yang seharusnya masih dalam masa pembelajaran di sekolah, tapi mereka memilih untuk menjadi penyanyi jalanan atau pengemis. Hal itu merupakan salah satu faktor mengapa pendidikan di Indonesia ini cukup buruk. Pada usia semuda itu, mereka sudah diwajibkan oleh orangtuanya untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan primernya. Menurut mereka, pendidikan bukanlah hal yang utama yang harus diperoleh. Pendidikan hanya dianggap sebagai kebutuhan sekunder, bukan primer. Tapi ada pula, anak-anak yang sangat ingin bersekolah namun tidak memiliki biaya. Atau bahkan, tidak ada sarana pendidikan di sekitar lingkungan tempat mereka tinggal. Pemerintah kini telah memberikan sebuah solusi, yaitu dengan program ‘Wajib Belajar 9 tahun’. Dengan program itu, pemerintah akan memberikan subsidi di bidang pendidikan selama 9 tahun, dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Hal tersebut bertujuan untuk mengurangi kebodohan yang ada di Indonesia ini. Nilai positif dari program ini adalah dapat melepaskan rasa kekhawatiran
masyarakat yang menganggap ‘pintar’ itu harus mahal. Sebenarnya, yang dibutuhkan agar menjadi insan bangsa yang cerdas hanyalah ‘kemauan’. Jika ada rasa kemauan dalam diri, maka hal itu akan memacu kerja otak untuk memotivasi kita dalam meraih sebuah impian. Dan apabila kita sudah memiliki motivasi diri, maka setiap masalah yang menghalangi kita dalam meraih impian, pasti akan terselesaikan, hal itu dikarenakan timbul semangat dari dalam diri untuk mencari solusi. Pemerintah hanya membantu secara material agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Selebihnya, seperti faktor internal dari dalam diri, itu menjadi kesadaran masing-masing warga Negara untuk memajukan Tanah Air. Mungkin banyak warga Negara Indonesia yang tidak menyadari bahwa pendidikan adalah salah satu faktor yang penting dalam kemajuan bangsa. Buktinya adalah pada masa sebelum merdeka, kita dijajah bertahun-tahun oleh negara lain karena tidak ada pendidikan. Kita hanya dijadikan budak oleh bangsa lain. Semua harta dan kekayaan bangsa Indonesia dirampas. Sampai pada akhirnya para pahlawan bangsa memberi sebuah pemahaman kepada rakyat, agar mau melepaskan diri dari pembodohan monopoli penjajah. Dan terbukti, kini bangsa Indonesia dapat terlepas dari penjajahan dan dapat menikmati kemerdekaannya karena pendidikan. Bukti lainnya adalah Indonesia dapat mengikuti perkembangan globalisasi dunia karena sebuah pendidikan. Untuk itu pendidikan amatlah penting untuk kemajuan bangsa Indonesia. Kewajiban kita sebagai insan muda bangsa adalah ikut membantu memajukan Negara Indonesia agar tidak dipandang remeh oleh Negara lainnya. Program wajib belajar 9 tahun belum sesuai harapan karena saat ini rata-rata lama belajar baru 7,9 tahun. Karena itu, pada tahun 2010, wajib belajar 9 tahun ditargetkan bisa mencapai 100 persen. Tahun ini pula, pemerintah mulai merintis wajib belajar 12 tahun. Salah satu langkah 19
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
yang ditepuh adalah memberikan dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk semua siswa SD-SMP di perkotaan dan pedesaan serta bantuan untuk siswa SMA/SMK. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun adalah program yang digalakkan oleh pemerintah sebagai amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Wajar Dikdas 9 Tahun juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, karena masyarakat adalah modal pembangunan. Dengan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, seorang anak wajib untuk mengikuti proses belajar selama 9 tahun, 6 tahun pada Sekolah Dasar dan 3 tahun pada SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama). Dengan mengikuti pendidikan di sekolah selama 9 tahun diharapkan seseorang sudah memiliki cukup bekal untuk berusaha di masyarakat dan persyaratan minimal untuk dapat bekerja. Wardiman Djojonegoro, (1992) mengemukakan alasan-alasan yang melatar belakangi dicanangkannya program pendidikan wajib belajar 9 tahun bagi semua anak usia 7-15 mulai tahun 1994 adalah: 1. Sekitar 73,7% angkatan kerja Indonesia pada tahun 1992 hanya berpendidikan Sekolah Dasar atau lebih rendah, yaltu mereka tidak tamat Sekolah Dasar, dan tidak pernah sekolah. Jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, seperti Singapura. 2. Dan’sudut pandang kepentingan ekonomi’, pendidikan, dasar 9 tahun merupakan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang dapat memberi nilal tambah lebih tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan rata-rata pendidikan dasar 9 tahun, dimungkinkan bagi mereka dapat memperluas wawasannya dalam menciptakan kegiatan ekonomi secara lebih beranekaragam. 3. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar peluang untuk lebih mampu berperan serta sebagai pelaku ekonomi dalam sektor-
sektor ekonomi atau sektor-sektor industri. 4. Dari segi kepentingan peserta didik, peningkatan usia wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun akan memberikan kematangan yang lebih tinggi dalam penguasaan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan. Dengan meningkatnya penguasaan kemampuan dan keterampilan, akan memperbesar peluang yang lebih merata untuk meningkatkan martabat, kesejahteraan, serta makna hidupnya. 5. Dengan semakin meluasnya kesempatan belajar 9 tahun, maka usia minimal angkatan kerja produktif dapat ditingkatkan dari 10 tahun menjadi 15 tahun. Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan programprogram pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar pertumbuhan ekonomi, peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan untuk semua. Program Wajib Belajar 9 Tahun belumlah tuntas. Untuk mensukseskan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun perlu dibangun kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan supaya masyarakat dapat diberdayakan dalam usaha mengembangkan dan mensukseskan Wajar Dikdas 9 tahun. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional BAB III Pasal 4 ayat (6) yang menyatakan bahwa : “Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan”. Belum terwujudnya sinergitas Program Wajib Belajar 9 Tahun 20
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
pada semua lini dapat disebabkan beberapa masalah, yaitu : Tingkat pemahaman masyarakat terhadap pendidikan masih rendah (pendidikan belum dianggap sebagai investasi) Daya tampung sekolah yang terbatas Kondisi Geografis (Penyebaran penduduk yang terpencar, terpencil dan terisolir) Kemapuan Orang tua dan masyarakat untuk membiayai pendidikan relatif masih rendah Masih tingginya angka DO dan Tinggal Kelas Masih rendahnya angka melanjutkan SD/MI/Setara ke SMP/MTs/Setara Belum optimalnya kinerja Organisasi Tim Sukses Wajar Dikdas 9 Tahun Keterbatasan Pemerintah Daerah untuk membantu anak dari keluarga miskin untuk melanjutkan pendidikan Untuk itu ada beberapa strategi yang diperlukan, yaitu : Memotivasi siswa yang sedang sekolah di SD/MI, SMP/MTs dan Setara khususnya kelas VI SD/MI dan setara Sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak melalui berbagai media cetak dan elektronik, dakwah, pengajian. Membuka layanan pendidikan alternatif (Kelas Jauh, SD-SMP satu atap, paket A dan B, SMP Terbuka) Rehabilitasi gedung sekolah Memberikan dukungan/bantuan biaya pendidikan kepada anak miskin Konsolidasi Tim Sukses Wajar Dikdas yang dilegalisasi dengan Keputusan Bupati tingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Komitmen dari pemerintah daerah, dan Partisipasi masyarakat (Stakeholders) Selain itu, Program percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun ini dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan jalur pendidikan nonformal. Jalur formal ditempuh melalui SD/MI dan SMP/MTs, sedangkan jalur pendidikan nonformal ditempuh melalui program Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SMP.
Termasuk pelayanan pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus perlu ditingkatkan. Selama ini pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus lebih banyak diselenggarakan d kota. Sementara itu lokasi SLB pada umumnya berada di Ibukota Kabupaten, padahal anakanak berkebutuhan khusus itu tak hanya di Ibukota kabupaten saja, namun tersebar hampir di seluruh Kecamatan dan Desa. Akibatnya sebagian besar Anak Berkebutuhan Khusus tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB yang jauh dari tempat tinggalnya, sedangkan sekolah reguler terdekat belum memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menerima Anak Berkebutuhan Khusus. Akibat dari itu, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun akan sulit tercapai. Untuk itulah perlu kesempatan dan peluang yang luas kepada Anak Berkebutuhan Khusus untuk memperoleh pendidikan baik di sekolah reguler dalam bentuk pendidikan Inklusi.
Contoh Kasus: Program wajib belajar yang di buat oleh pemerintah tidak akan berjalan dengan lancar kalau tidak adanya peran serta dari orangtua. Dimana peran orangtua sangat penting dikarenakan anak tumbuh pertama kali dilingkungan keluarga dimana mereka akan melihat dan meniru perilaku orang tuanya. Mengingat begitu pentingnya peran orangtua terhadap kelangsungan pendidikan anaknya, maka harus ada pemahaman yang diberikan oleh pemerintah dalam hal ini kepala lurah cikerai terkait pelaksanaan pendidikan sembilan tahun ini. Karena masih ada yang beranggapan sekolah tidak begitu penting, bagi mereka yang penting bisa mencari uang itu sudah cukup walaupun tidak sekolah. Bagaimana anak-anak ini bisa menghadapi tantangan hidup kedepan yang semakin sulit, apalagi dengan pendidikan yang rendah atau seadanya. Tentunya hal ini juga harus menjadi pertimbangan orangtua
21
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
agar anak mereka kelak dapat menghadapi kehidupan kedepannya yang semakin keras. Banten sebagai provinsi yang baru berumur 14 tahun masih memiliki masalah dengan partisipasi masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS) yang rendah yaitu 56 %. Hal ini menunjukkan bahwa hampir setengah dari anak usia sekolah tidak mengenyam pendidikan. Kelurahan Cikerai adalah salah satu kelurahan yang merupakan bagian dari kecamatan Cibeber Kota Cilegon. Keberadaan Kelurahan Cikerai secara geografis sangat jauh dengan pusat pemerintahan dan pusat kota. Lokasi Kelurahan Cikerai kurang lebih 6 Km dari Pusat Pemerintahan Kota Cilegon . Rendahnya partisipasi sekolah di kelurahan Cikerai ditandai dengan tingginya angka putus sekolah pada Sekolah Dasar, dan rendahnya minat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP. Di Cilegon sendiri diketahui bahwa terdapat dua kampung yaitu kampung Pasir Angin dan Jeruk Nipis memiliki partisipasi pendidikan yang relatif rendah. Dari jumlah anak yang lulus SD tidak ada setengahnya yang melanjutkan ke jenjang SLTP. Padahal lokasi SLTP Negeri 14 tidak jauh dari kampung tersebut. Selain itu juga ditemukan bahwa motivasi belajar anak-anak di kedua kampung tersebut sangat rendah, mereka cenderung cukup jika sudah dapat baca tulis. Faktor biaya juga kerap menjadi alasan mereka untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTP. Dengan kondisi seperti ini, maka perlu sosialisasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun untuk memotivasi orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang pendidikan SLTP. TABEL 1 Klasifikasi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Jumlah / Persentase Pendidikan Jiwa (%) TK 99 0,15 SD / MA 132 0,20
SLTP / MTS 105 0,16 SLTA / MA 67 0,10 Diploma / S1 24 0,4 Tidak Lulus 225 0,35 SD JUMLAH 652 100 % Sumber : Kelurahan Cikerai 2013 Dari tabel 1 tersebut, diketahui bahwa pendidikan yang paling banyak di tempuh masyarakat Kelurahan Cikerai adalah SD, SLTP, dan SLTA. Karena di Kota Cilegon telah memberlakukan penggratisan Sekolah dari SD hingga SMA/SLTA. Sehingga masyarakat akan lebih mudah untuk menerima pendidikan. Namun dalam kenyataannya dari jumlah tersebut, tidak sebanding dengan jumlah penduduk Kelurahan Cikerai yaitu sebanyak 2.907 jiwa. Dan seperti yang ditujukan pada tabel, ternyata masih banyak yang tidak lulus SD. Oleh karena itu di Kelurahan Cikerai masih ada yang buta huruf atau sama sekali tidak bisa membaca bahkan menulis.
C. Kesimpulan Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama tidak bisa dibebankan kesalah satu pihak. Pendidikan yang dilandasi oleh kebersamaan dalam penyelenggaraannya akan terjamin keberlangsungan, mutu serta hasil dari pada proses belajar mengajar yang diharapkan. Masyarakat selaku pengguna jasa lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk mengembangkan serta menjaga keberlangsungan penyelenggaraan proses pendidikan. Selain itu, Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk bersekolah selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah(MTs). Begitu juga dengan pemerintah khususnya pemerintah daerah dimana mereka harus lebih memperhatikan kondisi 22
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
pendidikan tidak hanya mewajibkan sembilan tahun pendidikan dasar tanpa di tunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai. Sudah sepatutnya negara kita memperhatikan dan melaksanakan apa yang menjadi hak warganegara untuk memperoleh pendidikan yang layak. Daftrar Pustaka
Lingkungan Hidup Pasca Sarjana (S-2) Universitas Siliwangi. Naisbit, John, 1996, Megatrends Asia: Delapan Megatrends Asia yang Mengubah Dunia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, Postman, Neil, 2002, Matinya Pendidikan: Redefinisi Nilai-Nilai Sekolah, Yogyakarta, Jendela, Cetakan II,
Ahmadi, Drs. H. Abu,2007, Psikologi Sosial, PT. Rineka Cipta, Jakarta Mutakin, Awan. 2001, Masyarakat Industri dan Kecenderungan Pendidikan, Tasikmalaya, Program Studi Pendidikan Kependudukan dan
Dokumen : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2005
23
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
ANALISIS PENERAPAN MODEL ORGANISASI POST BIROKRASI DI KANTOR IMIGRASI SERANG PROPINSI BANTEN TAHUN 2012 Oleh : Arenawati
[email protected] Prodi Administrasi Negara FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
ABSTRAK Model Organisasi Post Birokrasi adalah pembaruan model organisasi birokrasi yang dirasakan tidak efesien pada saat ini. Dengan menerapakan model organisasi post birokrasi diharapakan terdapat perubahan dalam struktur, prosedur dan sasaran organisasi sehingga kinerja birokrasi semakin baik efesien, dan efektif Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan model organisasi post birokrasi di Kantor Imigrasi Serang. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode survai. Populasi penelitian ini adalah semua pegawai di Kantor Imigrasi Serang. Teknik analisis data yang digunakan adala deskriptif kuantitatif. Dari hasil analisis diketahui penerapan model organisasi post birokrasi sebesar 0,7639. Saran dalam penelitian ini perlu internalisasi nilai-nilai organisasi, visi, misi dan tujuan organisasi, dibentuk organisasi informal,pengembangan sistim informasi terpadu dengan instansi terkait,pemilihan pegawai berprestasi. Kata Kunci : Birokrasi, Efesiensi, Post Birokrasi
ABSTRACT Post Bureaucracy Model is the correction of bureaucracy model that we considered inefficient today . Implementation of Post Bureaucracy models should change in organization structure, procedure dan organization goals. This research aims to determine how the implementation of post-bureaucratic organization model. This research is a quantitative survey method. The study population is all employees in the Office of Immigration Serang. the implementation of the postbureaucratic organization of 0.7639. Suggestions in this study need to internalize the organization's values, vision, mission and goals of the organization, formed an informal organization, the development of integrated information systems with relevant agencies, the selection of outstanding employees. Keywords: Bureaucracy, Efficiency, Post Bureaucracy
I.
PENDAHULUAN Pemerintah sebagai pilar utama penyelenggaraan negara yang nota bene penyelenggara pelayanan publik semakin dihadapkan pada tuntutan masyarakat dan lingkungan luar yang dinamis.Pemerintah dituntut harus
mampu dan cermat mengakomodasi segala bentuk perubahan. Kondisi objektif dan iklim kerja pemerintah saat ini masih dipengaruhi oleh model birokrasi klasik yang lebih menitikberatkan pada struktur, hirarki, otoritas dan sentralisasi. Meskipun 24
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
model ini memkasimumkan nilai efesiensi dan efektifitas ekonomi, tetapi kenyataannya teori tersebut tidak memberikan jawaban atas kondisi saat ini. Kantor Imigrasi adalah salah satu instansi vertikal yang melaksanakan tugas administrasi pemerintah pusat di daerah. Kantor Imigrasi Serang memiliki kedudukan yang penting dan strategis, karena kewenangan yang dimilikinya dalam menerbitkan Surat Perjalan Luar Negeri yang biasa dikenal dengan paspor. Pekerjaan kantor Imigrasi tidak hanya berhadapan dengan warga negara Indonesia saja tetapi juga berhadapan dengan warga negara asing (WNA). Oleh karenanya kantor imigrasi Serang dituntut untuk berkinerja baik dan professional. Maka kantor Imigrasi sebagai bagian dari birokrasi tidak boleh berpaku pada aturan yang kaku, berbelit-belit, lamban sebagaimana cirri birokrasi pada umumnya. Kantor Imigrasi Serang harus memiliki budaya organisasi yang mendukung pada professionalisme, cepat tanggap, mementingkan pelanggan atau warga negara dan dapat dipercaya. Dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan dan kinerja organisasi kantor Imigrasi menerapkan model post Birokrasi. II. METODE PENELITIAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian adalah metode penelitian survai. Menurut Singarimbun (1989 : 3) penelitian survai adalah penelitian yang mengambil variabel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian ini bermaksud untuk melakukan penjelasan (explanatory) . Penelitian ini dilakukan di Kantor Imigrasi Serang, yang bertempat di Jalan Warung Jaud, Kota Serang. Sumber Data penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil kuesioner, wawancara serta observasi. Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari dokumen yang berupa catatan-catatan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pagawai pada Kantor Imigrasi Serang. Penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh ( total sampling), jadi keselurahan pegawai dijadikan responden. Analisis data menggunakan SPSS.16 (Statistic Programms for Sosial Sciences). III. PEMBAHASAN 1. Pengertian Organisasi Stephen Robbins : “ Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relative dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relative terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan “. ( Stephen Robbins, 1994 : 4 ) Dari definisi Robbins tersebut kata dikoordinasikan dengan sadar mengandung pengertian manajemen. Kesatuan sosial berarti bahwa unit itu terdiri dari orang atau kelompok orang yang berinteraksi satu sama lain. Batasan yang relative dapat diidentifikasi artinya bahwa batasan ini dapat berubah dalam kurun waktu tertentu. Bentuk organisasi, desain ataupun strategi organisasi bersifat fleksibel. Ciri-ciri Organisasi Dengan berdasar pada definisi organisasi yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli maka dapat disimpulkan cirri-ciri organisasi adalah sebagai berikut : 1) Organisasi adalah lembaga sosial yang terdiri atas sekumpulan orang dengan berbagai pola interaksi yang ditetapkan.
25
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
2) Organisasi dikembangkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. 3) Organisasi secara sadar dikoordinasikan dan dengan sengaja disusun. Organisasi adalah instrument sosial yang mempunyai batasan secara relative dapat diidentifikasikan. 2. Organisasi Publik Wheleen dan Hunger mendefinisikan “Organisasi Publik sebagai badan-badan pemerintah yang memungut pajak dan semacamnya, yang memberikan pelayanan dan sebagainya.” Pendapat Ansoff tentang organisasi publik adalah organisasi yang menjalankan aktivitas di sektor publik, seperti pendidikan, kesehatan, pelayanan jaminan sosial, transportasi, ekologi dan penggunaan ruang. Ansoff berpendapat bahwa organisasi bisnis dan non bisnis mempunyai tugas yang sama yakni melayani lingkungan, maka ia menyebutnya ESO ( Enviromental Serving Organization). Yang tercakup dalam ESO adalah perusahaan bisnis, rumah sakit, perguruan tinggi, organisasi keagamaan, rumah yatim piatu, badan-badan pemerintah yang memberikan pelayanan umum seperti kantor pos dan air minum. Jadi dapat saja organisasi publik bersifat bisnis. Ada beberapa ahli yang menyatakan bahwa organisasi publik sama dengan organisasi non profit. Koteen(1991) mencoba mengidentifikasikan Non Profit Organization (NPO) sebagai berikut : 1. Badan-badan pemerintah yang dibentuk dengan kewenangan undang-undang dan diberi wewenang untuk memberi pelayanan dan memungut pajak. 2. Organisasi non-profit swasta atau sector independent yang biasanya beroperasi sebagai organisasi bebas pajak, tetapi diorganisir di luar kewenangan pemerintah dan perundang-undangan. Organisasi ini mungkin bergerak di bidang pendidikan, pelayanan kemanusiaan, perdagangan atau perhimpunan profesi.
3. Organisasi swasta kuasi-pemerintah yang dibentuk dengan wewenang legislative dan biasanya diserahi monopoli yang terbatas untuk memberikan pelayanan atau menyediakan barang kebutuhan tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat. Organisasi ini umumnya bergerak di bidang utilitas seperti listrik, air dan gas. ( Salusu: 2005: 19-23) 3. Organisasi Post Birokrasi Perkembangan teori organisasi dan pelayanan publik telah membawa implikasi yang luas. Salah satunya adalah dengan berubahnya konsep birokrasi menjadi post birokrasi. Perubahan yang terjadi saat ini di organisasi sektor publik sangat berkaitan dengan gerakan New Public Management (NPM). NPM berusaha melakukan perbaikan organisasi sektor publik dengan menerapkan pendekatan ,prinsip-prinsip, dan pengalaman yang terjadi di sektor swasta kedalam sektor publik. Seiring dengan perubahan Old Public Administration menjadi New Public Management maka model birokrasi yang klasik berubah menjadi post birokratik. Kenneth Kernaghan dalam tulisannya yang berjudul “The post bureaucratic organization and public service values” menjelaskan perubahan karakteristik dari organisasi birokrasi kearah post birokratik. Perubahan karakteristik tersebut meliputi 3 (tiga) pokok perhatian, yaitu dilihat dari sisi Kebijakan dan Budaya Manajerial, Struktur dan Orientasi Pasar. Pertama , dari sisi kebijakan dan budaya manajerial (Policy and Managerial Culture).terdapat perubahan karakteristik, sebagai berikut : 1) Organization centered to citizen centered. Pada birokrasi klasik pusat perhatian adalah organisasi sehingga penekanannya adalah lebih pada pemenuhan kebutuhan organisasi itu sendiri, maka pada post birokratik harus dirubah bahwa pusat perhatian adalah warga negara, sehingga penekannanya lebih pada peningkatan kualitas pelayanan kepada warga negara. 26
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
2) Position Power to Participative leadership. Karakteristik Birokrasi yang memandang bahwa kekuatan seseorang adalah karena posisi, maka penggunaan pengawasan , perintah dilakukan untuk membuat pegawai patuh. Pandangan ini harus dirubah dengan menciptakan kepemimpinan partsipatif, dimana terjadi pembagian nilai-nilai dan pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan. 3) Rule centered to People centered. Birokrasi memiliki focus perhatian pada aturan, prosedur dan ketatnya batasanbatasan yang mengatur perilaku anggotanya. Kondisi seperti ini harus dirubah dengan lebih memperhatikan aspek manusia. Pegawai harus diberdayakan dan organisasi harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap anggotanya. 4) Independent action to Collective action. Bila birokrasi klasik pola kerjanya lebih pada bekerja secara individual, hal ini ditampakkan dengan sedikit konsultasi, kerjasama ataupun koordinasi. Maka pada organisasi post birokrasi yang diperlukan adalah bekerja secara kolektif atau tim. Sehingga konsultasi, kerjasama dan koordinasi perlu dibangun dengan baik. 5) Status Quo oriented to Change oriented. Birokrasi berorientasi pada mempertahankan status quo dan cenderung anti perubahan. Birokrasi lebih menekankan pada mempertahankan kekuasaan dan dalam kondisi selalu menghindari resiko dan kesalahan. Hal ini harus dirubah, agar birokrasi lebih responsive maka birokrasi harus terbuka dengan perubahan. Birokrasi harus melakukan terobosan-terobosan baru, berani mengambil resiko dan melakukan pengembangan terus menerus (continuous improvement). 6) Process oriented to Result oriented. Birokrasi dengan formalisasinya lebih berorientasi pada proses, dalam arti pertanggung jawaban pada proses menjadi hal yang mutlak, sehingga semua harus procedural. Jika birokrasi hanya
berkutat pada proses maka seringkali mengabaikan pada hasil. Hal inilah yang harus dirubah, tutuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan dan kinerja birokrasi yang harus semakin baik dari hari kehari, maka birokrasi harus lebih beorientasi pada hasil ketimbang pada prosesnya. Kedua, pada sisi struktur (structure). Dilihat dari strukturnya maka terdapat dua karakteristik perubahan : 1) Centralized to Decentralized . pemusatan kekuasaan atau sentralisasi yang ada dalam birokrasi harus dirubah menjadi desentralisasi. Kekuasan disharekan kepada bawahannya dan mereka diberikan kewenangan untuk mengatur bagiannya sendiri. 2) Departemental Form to Non Departemental Form. Bentuk departemen yang terdapat dalam birokrasi yang sebagian besar program dilaksanakan oleh departemen pelaksana , maka pada post birokratik dirubah menjadi non departemen. Dengan demikian program dapat dijalankan tidak harus oleh departemen pelaksana tetapi juga oleh pihak lain yang memiliki kompetensi dan profesional untuk pekerjaan tersebut. Ketiga adalah dari sisi Orientasi Pasar (Market Oriented). Terdapat dua perubahan karakteristik pada sisi ini, yaitu : 1) Budget Driven to Revenue Driven. Pada Birokrasi dalam pengendalian biaya bahwa pembiayaan program-program pemerintah sebagian besar didanai dari APBN/APBD atau dana-dana pemerintah. Sementara pada post birokratik pembiayaan program-program sedapat mungkin berdasarkan pada dana-dana di luar APBN/APBD, jadi instansi harus kreatif mencari sumber pendanaan bagi operasioanlisasi dan pelaksanaan programnya. 2) Monopolistic to Competitives. Sifat monopoli yang dimiliki oleh birokrasi dalam penyaluran program membuat birokrasi diatas angin. Hal ini mengakibatkan kinerja birokrasi tidak 27
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
maksimal, oleh karena post birokratik menginginkan adanya kompetisi. Post birokrasi membuka kesempatan pada pihak swasta untuk turut andil dalam penyaluran program. Birokrasi harus
dapat bersaing dengan sektor swasta dalam penyaluran program. Gambaran perubahan karakteristik birokrasi kea rah post birokrasi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1 Dari Organisasi Birokrasi menuju Ke Organisasi Post Birokratik Karakteristik Organisasi Birokratik Karakteristik Organisasi Post Birokratik Kebijakan dan Budaya Manajerial Pusat perhatian : Organisasi Pusat perhatian : Warga Negara Penekanan pada kebutuhan Kualitas pelayanan kepada warga negara organisasi itu sendiri (pelanggan atau pengguna) Kekuatan karena Posisi Kepemimpinan partisipatif Pengawasan, perintah dan Pembagian nilai-nilai dan partisipasi kepatuhan dalam pengambilan keputusan Fokus : Aturan Fokus : Manusia Aturan-aturan, prosedur dan Pemberdayaan dan kepedulian pada batasan-batasan tenaga kerja Bekerja secara Individu Bekerja secara kolektif Sedikit konsultasi, kerjasama atau Konsultasi, kerjasama dan koordinasi koordinasi Orientasi : Mempertahan kekuasaan Orientasi : Perubahan Menghindari resiko dan kesalahan Inovasi, berani mengambil resiko dan pengembangan terus menerus Orientasi pada Proses Pertanggungjawaban terhadap Orientasi pada Hasil proses Pertanggungjawaban pada hasil Struktur Sentralisasi Berjenjang dan memusatkan pada pengawasan Bentuk : Departemen Sebagian besar program di jalankan oleh departemen pelaksana Orientasi Pasar Pengendalian Biaya Pembiayaan program sebagian besar dibiayai dari persediaan dana.
Desentralisasi Desentralisasi kekuasaan dan pengawasan Bentuk : Non Departemen Program dijalankan dengan variasi dan mekanisme yang luas
Pengendalian pendapatan Pembiayaan program sedapat mungkin berdasarkan pada biaya-biaya yang diperbaiki. Monopolistik Kompetitif Pemerintah memiliki monopoli Bersaing dengan sector swasta dalam dalam penyaluran program penyaluran program. Sumber : Diadaptasi dari Kernaghan, International Review of Administrative Science, 2000.
28
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Metode Penelitian
Orientasi pada warga negara
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode penelitian adalah metode penelitian survai. Menurut Singarimbun (1989 : 3) penelitian survai adalah penelitian yang mengambil variabel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian ini bermaksud untuk melakukan penjelasan (explanatory). Penelitian ini dilakukan di Kantor Imigrasi Serang, yang bertempat di Jalan Warung Jaud, Kota Serang. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil kuesioner, wawancara serta observasi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pagawai pada Kantor Imigrasi Serang. Penelitian ini menggunakan teknik sampling jenuh ( total sampling), jadi keselurahan pegawai dijadikan responden. Sehingga jumlah responden adalah 34 pegawai. PENERAPAN MODEL ORGANISASI POST BIROKRASI
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah Dari diagram diatas dapat dijelaskan bahwa Kantor Imigrasi Serang dalam pelayanan sudah berorientasi pada warga negara. Hal ini dapat dilihat dari jawaban sangat setuju dan setuju sebanyak 97 % . Dengan demikian ,Kantor Imigrasi Serang sebagai salah satu instansi vertikal di daerah yang bertugas memberikan pelayanan publik dalam bentuk surat ijin untuk bepergian ke luar negeri ,benar-benar telah berkomitmen untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Hal ini sesuai dengan motonya “Melayani dengan Tulus”.
1) Orientasi pada warga negara
2)
Kepemimpinan Partisipatif
Perhatian organisasi pada warga negara, sehingga penekanannya lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada warga negara. Indikator ini dituangkan dalam pernyataan bahwa kepuasan masyarakat pengguna pelayanan atas pelayanan yang diberikan pegawai merupakan tujuan organisasi. Hasil penelitiannya dapat dilihat pada diagram berikut :
Kepemimpinan partisipatif diartikan sebagai pelibatan anggota dalam pengambilan keputusan sehingga terjadi pembagian nilai-nilai dan tanggung jawab. Kepemimpinan partisipatif dituangkan dalam pernyataan bahwa pimpinan dalam organisasi memberi kesempatan pada bawahannya untuk memberikan masukan sebelum membuat satu keputusan. Hasil penelitian kepemimpinan partisipatif ini dapat dilihat pada tabel berikut:
Diagram 1 29
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Diagram 2. Kepemimpinan Partisipatif
Diagram 3 Orientasi Pada Manusia
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah
Berdasarkan diagram diatas dapat dijelaskan bahwa kepemimpinan di Kantor Imigrasi Serang dapat dikatakan sudah partisipatif. Hal ini terlihat dari jawaban responden yang menjawab setuju dan sangat setuju mencapai 97 %. Dari nilai tersebut dapat dijelaskan bahwa pimpinan di kantor Imigrasi Serang melibatkan bawahannya dalam membuat kebijakan atau membuat keputusan.
Berdasarkan pada diagram diatas dapat dijelaskan bahwa 91% menyetujui dan sangat setuju bahwa Kantor Imigrasi Serang dalam pelaksanaan pekerjaannya memperhatikan aspek-aspek sisi manusiawi pegawai. Pegawai di kantor Imigrasi Serang sudah mendapat perhatian yang baik dari pimpinan dan organisasi.
3) Orientasi pada Manusia
4) Kegiatan Bersama
Orientasi pada manusia dapat diterjemahkan bahwa organisasi lebih memperhatikan aspek psikologis pegawai. Pegawai harus diberdayakan dan organisasi harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap bawahan. Orientasi kepada manusia dituangkan dalam pernyataan bahwa pimpinan sangat memperhatikan dan peduli akan kondisi bawahannya. Hasil penelitian dapat terlihat dalam diagram berikut:
Kegiatan bersama diartikan bahwa organisasi post birokrasi diperlukan kerja kolektif atau tim sehingga konsultasi, kerjasama dan koordinasi perlu dibangun dengan baik. Hasil penelitian dituangkan dengan pernyataan pimpinan dan pegawai yang saling berkonsultasi dan berkoordinasi dalam pekerjaan. Jawaban responden dapat terlihat dalam digram berikut ini: Diagram 4 Kegiatan Bersama
Sumber : hasil penelitian tahun 2012 diolah
30
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Dari diagram diatas dapat dijelaskan bahwa di Kantor Imigrasi Serang koordinasi dan konsultasi sudah berjalan dengan baik dimana sebanyak 94 % responden menjawab setuju dan sangat setuju. Koordinasi antar bagian sudah berjalan dengan baik, hal ini dilakukan dengan diadakan rapat koordinasi yang dilakukan rutin setiap minggunya. 5) Orientasi pada Perubahan Orientasi pada perubahan adalah tingkat sejauhmana organisasi melakukan terobosan-terobosan baru, berani mengambil resiko dan melakukan pengembangan terus menerus (continuous improvement). Hal ini dituangkan dalam pernyataan bahwa setiap tahun selalu ada kebijakan baru yang inovatif dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Hasil penelitian dapat dilihat pada diagram berikut:
kepastian waktu pelayanan dan kepastian biaya pelayanan. 6) Berorientasi pada Hasil Berorientasi pada hasil maksudnya bahwa organisasi tidak lagi berkutat pada proses tetapi lebih berorientasi kepada produk (output). Indikator Orientasi pada hasil dapat ditunjukkan pada pernyataan bahwa organisasi lebih mengutamakan hasil yang berkualitas daripada proses. Hasil penelitian dapat dilihat pada diagram berikut ini: Diagram 6 Orientasi pada Hasil
Diagram 5 Orientasi pada Perubahan
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah Berdasarkan diagram diatas dapat dijelaskan bahwa Kantor Imigrasi Serang sudah inovatif. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang sudah menunjukkan 94 % menyatakan setuju dan sangat setuju.Kantor Imigrasi Serang telah banyak melakukan banyak perbaikan dalam sistem dan prosedur pelayanan. Kantor Imigrasi juga telah mengubah kesan pelayanan yang berbelit dengan janji pelayanan yang disampaikan seperti
Berdasarkan diagram diatas dapat dilihat bahwa di Kantor Imigrasi Serang masih belum berorientasi pada hasil karena baru mencapai 68 % menjawab setuju dan sangat setuju. Dan masih banyak responden yang belum menyatakan kesetujuannya yaitu menjawab tidak setuju sebanyak 26 % dan sangat tidak setuju sebanyak 6 %. Ini menunjukkan bahwa Kantor Imigrasi Serang masih berpedoman pada prosedur yang telah ditetapkan, hal ini semata untuk menjaga kehati-hatian agar tidak terdapat paspor ganda. Apalagi dengan maraknya aksi terorisme, koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. 7) Desentralisasi Desentralisasi diartikan sebagai pembagian (sharing) kekuasaan kepada bawahan dan mereka diberi kewenangan 31
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
untuk mengatur bagiannya sendiri. Hal ini dirumuskan dalam pernyataan terdapat pembagian tugas dan kekuasaan yang jelas dan tepat dari pimpinan kepada bawahannya. Hasil penelitian dapat dilihat dalam diagram berikut: Diagram 7 Desentralisasi
Sumber : Hasil peneltian tahun 2012 diolah 8). Bentuk Non Departemen Bentuk non departemen maksudnya pada post birokrasi program yang dijalankan tidak harus dilaksanakan oleh departemen pelaksana tetapi juga oleh pihak lain yang memiliki kompetensi dan profesional untuk pekerjaan tersebut. Dituangkan dalam pernyataan program-program yang ditetapkan oleh pemerintah dijalankan dengan cara yang bervariasi. Dapat dilihat dalam diagram berikut: Diagram 8 Bentuk Non Departemen
terdapat program yang dilaksanakan namun kurang variatif (kaku) sebanyak 21 % dari jawaban responden yang menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Hal ini disebabkan karena Kantor Imigrasi Serang sebagai instansi vertikal , yaitu wakil pusat di daerah menerapkan asas sentralisasi, jadi semua yang berkaitan dengan SOTK adalah berasal dari Pusat. Sementara Kantor Imigrasi Serang dapat melakukan inovasi pada sudut manajerialnya saja. 9) Pengendalian Pendapatan Pengendalian pendapatan dapat diterjemahkan sebagai pembiayaan program-program sedapat mungkin pada dana diluar APBN atau APBD. Jadi instansi harus kreatif mencari sumber pendanaan bagi operasionalisasi dan pelaksanaan program. Pengendalian pendapatan dituangkan dalam pernyataan bahwa pembiayaan operasional kantor tidak hanya mengandalkan anggaran dari pemerintah. Hasil penelitian dapat dilihat pada diagram berikut : Diagram 9 Pengendalian Pendapatan
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah `Dapat dilihat bahwa dalam diagram diatas di Kantor Imigrasi Serang masih
Dari diagram diatas dapat dijelaskan bahwa Kantor Imigrasi Serang dalam pembiayaan operasional kantor sudah menggunakan sumber-sumber dana lain diluar APBN dan APBD. Kantor Imigrasi Serang kreatif mencari sumber pendanaan. Hal ini dapat dilihat dari jawaban responden yang setuju dan sangat setuju sebanyak 91 %. 10) Kompetitif
32
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Kompetitif, dalam hal ini diterjemahkan dengan adanya persaingan dengan sektor swasta dalam penyelenggaraan pelayanan. Kompetitif dituangkan dalam pernyataan bahwa organisasi melakukan pemilihan pegawai berprestasi secara periodik. Hasil penelitian dapat dilihat pada diagram berikut : Diagram 10 Kompetitif
Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah Dari diagram diatas dapat dijelaskan bahwa Kantor Imigrasi sudah melakukan pemilihan pegawai berprestasi secara periodik. Hal ini dapat dilihat pada jawaban responden yang menjawab setuju dan sangat setuju yaitu 79 %. Tetapi pemilihan pegawai berprestasi belum melibatkan semua pegawai, sehingga masih terdapat 21% pegawai yang menjawab tidak setuju dan sangat tidak setuju. Berdasarkan perhitungan statistik Skor Total Penerapan Model Post Birokrasi adalah sebesar 1039, sedangkan skor ideal adalah 1360, maka nilai penerapan model organisasi post birokrasi adalah 1039/1360 = 0,7639 . Maka dapat dikategorikan bahwa Penerapan model organisasi post birokrasi dalam kategori baik. Tabel 7 Kategori Penilaian Variabel Skor Kategori 0,1 - 0,20 Tidak Baik 0,21 - 0,40 Kurang Baik 0,41 - 0,60 Cukup Baik 0,61 - 0,80 Baik 0,81 - 1,00 Sangat Baik
Penerapan organisasi Post Birokrasi di Kantor Imigrasi Serang secara rinci dapat dilihat dari hasil penerapan perindikator. Untuk itu dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 1 Penerapan Model Organisasi Post Birokrasi di Kantor Imigrasi Serang Berdasarkan Indikator No Indikator Persentase 1 Orientasi Warga 88,97 % Negara 2 Kepemimpinan 81,61 % Partisipatif 3 Orientasi pada 82,35 % manusia 4 Kegiatan bersama 77,20 % 5 Orientasi pada 81,61 % perubahan 6 Orientasi pada hasil 68,38 % 7 Desentralisasi 80,14 % 8 Bentuk Non 69,85 % Departemen 9 Kompetitif 62,50 % 10 Pengendalian Biaya 71,32 % Sumber : Hasil penelitian tahun 2012 diolah Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa bebrapa indikator masih terdapat indikator yang tingkat penerapannya masih kurang baik, dalam hal ini belum mencapai 70 %. Seperti pada indikator kompetitif (62,50%), penerapan bentuk non departemen (69,85%), dan orientasi pada hasil (68,38%). Iklim kompetitif belum diterapkan dengan baik di Kantor Imigrasi Serang, walaupun sudah terdapat remunerasi. Belum ada inisiatif penilaian yang dilakukan oleh jajaran pimpinan di kantor Imigrasi Serang untuk menjaring pegawai teladan setiap tahun. Masih banyak pula pegawai yang beranggapan bahwa bekerja rajin atau malas toh gajinya sama saja. Padahal Taylor menegaskan perlunya upah individual di luar upah kelompok untuk memotivasi karyawan agar produktivitasnya meningkat.
33
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Orientasi pada hasil, orientasi pada hasil merupakan pra syarat mutlak bagi organisasi post birokrasi, pelayanan tidak hanya mementingkan prosedural semata tetapi bagaimana hasil yang ditampilkan. Orientasi pada hasil sudah dilakukan oleh Kantor Imigrasi serang, hal ini ditunjukkan dengan mengurangi tingkat kesalahan penulisan nama, alamat, tanggal dan alamat lahir, gelar dan lain-lain yang tetrtera pada paspor. Untuk menjaga keaslian dan kebenaran inilah, maka Kantor Imigrasi Serang berhati-hati dalam memeriksa setiap berkas kelengkapan yang diajukan. Jumlah berkas yang banyak dan harus dikoreksi satu persatu, tentunya membuat pekerjaan menjadi agak berbelit dan terkesan prosedural. Apabila sudah ada sistem pengarsipan Data Kependudukan yang lengkap, akurat dan terkini tentunya hal ini tidak perlu memakan waktu dan berkas yang banyak.Sehingga tidak lagi berorientasi pada proses. Bentuk non departemen mengharapkan adanya pelaksanaan program tidak hanya dilakukan oleh instansi terkait, tetapi juga dilakukan oleh instansi diluar lembaga yang memang memiliki keahlian khusus di bidang tersebut. Bila melihat pada struktur organisasi Kantor Imigrasi Serang, maka 100% pekerjaan dilakukan oleh pegawai dengan status PNS. Tidak ada tenaga ahli yang bekerja untuk melakukan program tertentu di Kantor Imigrasi Serang. Seperti di Puskesmas dalam penerapan sisitim komputerisasi data dilakukan oleh ahli yang berasal dari kontraktor IT. Tetapi dapat dimaklumi hal ini tidak dilakukan oleh Kantor Imigrasi serang, karena fungsi strategisnya dan karena faktor kerahasiaan, maka tidak semua orang dapat dipercaya melakukan tugas-tugas di Kantor Imigrasi. Faktor lain yang diprediksi berpengaruh dalam Penerapan Model Organisasi Post Birokrasi menurut Kernaghan (2000) adalah penerapan nilainilai pelayanan publik. Perubahan Birokrasi menuju Post Birokrasi disertai dengan
perubahan nilai-nilai.Kerangka kerja post birokrasi dicerminkan dalam nilai-nilai : 1) Akuntabilitas (Pertanggungjawaban). Pertanggungjawaban menjadi nilai dominan dalam administrasi publik bersifat kontemporer, dimana pertanggungjawaban telah lama menjadi pusat perhatian pada nilai-nilai pelayanan public. 2) Partnership (kemitraan), kemitraan termasuk dalam organisasi publik dan semua jenis organisasi non pemerintah (khususnya organisasi bisnis). Kemitraan memperkenalkan lebih luas pada focus perhatian warga negara sebagai pusat perhatian pelayanan, kolaborasi, desentralisasi dan membentuk organisasi non departemental dan pemulihan biaya. Kemitraan juga berfungsi memelihara nilai-nilai profesionalisme seperti efesiensi, tim kerja dan inovasi. 3) Restrukturisasi, perubahan pada struktur adalah instrument lain yang dengan keleluasaannya digunakan untuk menggerakkan organisasi publik kearah model post birokrasi. Restrukturisasi dapat memperkenalkan objectivitas sebagai peningkatan pelayanan, desentralisasi dan pemulihan biaya. Hal ini sangat penting khususnya untuk mengubah bentuk organisasi menjadi non departemen. Pengaturan struktur baru biasanya berperan sebagai pemelihara nilai-nilai profesionalisme seperti efektifitas dan pelayanan. Perhatian muncul sekitar pengaturan dalam pertanggungjawaban. Perhatian diutamakan pada kedudukan pemerintah yang dapat menumbuhkan pertanggungjawaban demokrasi terutama pada organisasi pemerintah pada executif politik dan mengarah pada bagian yang lebih kecil pada sektor publik.
34
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
KESIMPULAN Kesimpulan dari Analisis Penerapan Organisasi Model Post Birokrasi di Kantor Imigrasi Serang adalah sebagai berikut : Tingkat penerapan Model Organisasi Post Birokrasi di Kantor Imigrasi Serang adalah sebesar 0,7639 atau dapat dikategorikan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Keban, Yeremias T, 2008, Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori dan Isu, Gavamedia, Yogyakarta Kernaghan, Kenneth, 2000, The Post Bureaucratic Organization and Public Service Values, International Review of Administration Sciences.HAS SAGE Publication. London Robbins, Stephen P, 1994, Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi, Arcan , Jakarta Sugiyono, 2006, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung
35
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Leadership and democracy: reconcilable or antithetic? Taking cues from the experiences of Indonesian public agencies Riswanda Department of Public Administration The Faculty of Social and Political Sciences Sultan Ageng Tirtayasa University
‘Leadership is more of an art, a belief, a condition, of the heart, than a set of things to do’ (De Pree 2001, pp. 10-13)
Abstrak Studi ini adalah sebuah analisis kritis-diskursif terhadap literatur kepemimpinan dalam kaitannya dengan demokrasi. Kepemimpinan sektor publik dalam ranah politik Indonesia menjadi telaahan kasuistik dalam mengkaji dua sisi argumen yaitu bahwa gaya kepemimpinan yang sering diterapkan di sektor publik adalah berlawanan dengan substansi dari demokrasi itu sendiri. Penelitian ini mengkaji perkembangan dan pergeseran paradigma kepemimpinan di aras politik melalui pendekatan manajemen publik. Artikel ini berargumen bahwa lensa klasik situational leadership dari Hersey and Blanchard (1977), secara teoritis, masih relevan untuk membeikan rangka pikir praktis diskusi kepemimpinan di sektor publik.
Introduction
There have been critics of leadership in diverse literature written by scholars from various backgrounds. One of them is Sartre’s ‘existential critiques of situation leadership’ (Sartre 1963). Sartre came up with three points that he called ‘ecstatic dilemmas of temporarily and nihilation’. To put his own words: ‘the leader nihilates the present style of being to not-be what the leader is being and the to be flight from their style of being, to become some other characters, yet they are themselves being and not being’ (Sartre 1963, p. 137). It is valuable for leaders to always go in line with their followers as well as adjusting the leader’s behaviour to either meet the followers’ expectations or organization objectives. But, it is also critical to still explore natural character of the leader that might be more valuable to be
used in a certain situation or another public agency. As an example, it is not wise to put a person, who has charismatic inspiration to attractively motivate others, on a situation with low leader-follower interaction and push that person to change his or her behaviour. This might be a circumstance which Sartre called as ‘to be what the leader is not being’ (Sartre 1963, 138). This study is to critically analyse more recent critics within growing discourse on leadership studies mentioning leadership as ‘fundamentally anti-democratic and antithetical to nonleader’s rights of expression and power sharing’ (Bass 1990, p. 913). In doing so, this essay brings in Indonesian public agencies experiences to discuss leadership that has been criticized as counter to democracy. Further, in discussing the critics, complexities faced by publicsector leaders are explored since these 36
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
complexities would possibly give impacts on their leadership styles. In turn, the impacts touch on the way they treat their followers, namely in democratic or non-democratic manner. Leadership in public sector discourses First of all, it is worth to combine and select various sources, ways and paradigms in exploring phenomenon on public sector people when talking about the critics of leadership as a barrier to democracy and thereon obstructs followers’ rights to express what they want, think and feel including to get their share of power. In ‘Rethinking leadership for the public sector’, role of leadership has correctly been explored by Dunoon (2002, pp. 3-18) as integral part of public sector management. His ‘four dimensions of learning-centered leadership’ are comprehensively developed to illustrate ideal applied-perspective of public sector leadership. The next several paragraphs will explore leadership in public sector based on Dunoon’s ideas to give sense of potential and critic of leadership studies in public agencies. Mode of management is likely to solve problems exist in an organization using technical-oriented approach. Dunoon is unmistaken to say that leadership concept is needed to cope with cultural and sensitive issues like ‘trust’, ‘cynicism’ and ‘diversity’ (Dunoon 2002, p. 7). Indeed, these kinds of issues need more than just, for example, a good reward system. As case in point, local autonomy era in Indonesia is marked by demands on having leaders, such as governor of a province and city mayor, who know local culture very well (Suryaningtyas 2005). Dunoon’s critiques of charismatic leadership, as an instance, are correct particularly when he says that it makes followers can not openly suggest and disagree with the leader. The leader, in turn, might dominate every decision making without involving its followers. In worst case scenario, the followers can turn into people without initiatives or leave the organization
to find more freedom. From the latter point, the organization may either lost valued people who could give a lot of contributions, regarding their skills and knowledge, or otherwise keep useless people who could only take parts as yes-men. This critic is in similar with critics revealing leadership as ‘fundamentally antidemocratic and antithetical to nonleader’s rights of expression and power sharing’ (Bass 1990, p. 913). Only in Dunoon’s view, he is to a certain extent over simplified in emphasizing his idea about ’learningcentered leadership’ (Dunoon 2002, pp. 814). Perhaps, Dunoon implicitly states that the idea of charismatic leadership is somewhat outdated. In cultures which making a cult of a leader is still dominant, role of charismatic leadership can not be disregarded. In other words, strongindividual leadership is still believed and effectively used in systems of countries where followers need directions more than freedom. But, of course, the term effective here should not be seen from whether it is right or wrong and assuming that leadership can not be totally free from political values. For examples, leaders like Benito Mussolini (Italy), Adolf Hitler (Germany), Mao Tze Dong (China), Kim Il Sung (North Korea), Ante Pavelic (Croatia), Joseph Stalin (Soviet Union) and so on (Wikipedia contributors 2006, pp. 2-3). This study argues that shifting from one leadership style to another according to different eras can not be avoided in some developing countries. Soekarno era (194566), for instance, had failed to implement parliamentary system in Indonesia when people are not ready to be independent both in their political and social life. Soeharto era (1966-98), with its militarism and dictatorship, had effectively suited the not-ready character for so many years. But, then people realize that they can not freely protest or even talk about their government policies. The leadership style, marked by the on-going political reform, has changed into 37
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
more democratic style. This style is now suitable because people are more independent along with increasing number of well-educated people and better level of people’s ‘maturity’ in general. Those factors make leader is more likely to be ‘guidance’ (Hersey and Blanchard 1977, 159-188). In context of organizational behaviour, Dunoon’s ‘learning-centered’ is in line with many leadership scholars’ ideas on how to create more people-oriented approach in management. Just like Evans and House’s idea (1996) about meeting subordinates’ needs with leadership style and tasks types. Those ideas basically try to gain as many contributions as possible from the subordinates. Donoon’s outlook is also in line with Abraham Zalenik (1977) and Warren Bennis (1989) ideas which put forward leaders as people who should concern more about substance as visionaries rather than process as planners. The ideas argue that leaders ought to be more trustgainer rather than controlling people to do what they want definitely. ‘Group-level learning’ (Dunoon 2002, p. 9-10) is similar to what was pointed out by Paul Birch (1999) regarding ‘support from others’ as a key factor in determining whether leadership is successful or not. On the other hand, Dunoon’s critique to rigidity of managerial perspective which often value people’s problem using technical aspects (Dunoon 2002, p. 6) is perhaps influenced by James MacGregor Burns’s point of view (1978, pp. 454-55). He stated that Leadership is ‘causative’, ‘morally purposeful’ and ‘elevating’. The first point is to say that leadership can positively cause change both individual and group motivation to go along with organization goal. The second point is about developing same vision between leaders and followers to achieve the goal. ‘Elevating’ is to create and increase moral principle in organization live. Therefore, it can be synthesized that the way employees feel about their leaders is likely interchangeable with their feeling about the jobs and organization that they engage in.
However, deciding suitable approaches related to a particular situation or timeframe is a necessity. Leadership perspectives thereof can be explored more because managing an organization is not just about making sure things work out well. It is more likely about determining what managerial styles best fit in a certain situation. Leadership style, again, is not always about either democratic or non-democratic. Democratic leaders do not necessarily bring employees’ happiness in workplace inasmuch as leadership itself does not necessarily a counter to democracy or a barrier for followers to rights of the followers to express their wants and have share of power in an organization. Instead, leaders who can treat their followers, namely employees in certain organizational context, based on what they really need in particular situations would get more respects from the followers. Discussion From the former discussion, it is clear that leadership can be a way to enhance democratization process in workplace as well as to articulate followers’ rights of expressions together with their share of power. So, points discussed formerly show that leadership can also be compatible with, instead of counter to democracy. This study puts forward a claim that leadership can be counter to democracy and antithetic in terms of rights of followers to articulate their interests, wants, needs in addition to apportioning of powers. But, on the one hand, leadership can also reconcilable with democracy in as much as followers’ voicing rights and their share of power. What follows will explain this claim. Firstly, the extent to which leadership can turn into counter or support to democracy is pretty much leaned on organizational politics where a leader exists in. In terms of public sector, it is worth noting that employees seeing their organization’s character to be political in nature, with 38
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
which unfair system just promotes the interests of those having commanding position, seemingly abandon other members of the organization either physically or psychologically (Cropanzano et.al 1997, pp. 159-180). The latter point happens in Indonesian public agencies oftentimes. Public officials physically attend everyday office hours but put their mind somewhere else such as showing less attention to citizens’ needs in providing public service and looking after organizational properties in inappropriate manner. This circumstance is due to feeling of being incapable to participate in the organizational policy making, for instance, makes them become uncreative people and act according to what requires to be a pen pusher. This sort of problem is tied up with seniority culture seeing senior officials as people that know best about making decision for the sake of all agency members (Smith 1975, pp. 719738). An organizational-level decision is likely to be decided by particular senior officials though it goes through a formal decision making process, while every member of the agency gets effects of the decision after all. Organizational politics, accordingly, can be seen based on what people presume about it rather than what it acts as in reality. It means that the agency members have formal rights to get involve in the decision making process but they presumably think that seniority gives people power to both lead the process and decide what is best for all other members, which then turns into informal authority to be obeyed. In this particular situation, leadership seems to be antithetical to both democracy and non-leaders’ rights to get across their wants, needs and such since ‘this kind of ”informal power” might not give them spaces to do so. Furthermore, another alternative view of human behaviour and motivation suggest that employees’ performance, namely lazy and unproductive can be improved by ‘Creating a Culture for Engagement’ (Wellins and Whitney 2005, pp. 1-7). This idea
basically argues that affectivity, committal and additional attempt represent employee engagement determining employee’s degree of performance. Desirable outcomes of organizational goals are correlated to the high degree of employee engagement. According to this view, ‘engaged employees’ are people willing to work more than normal working hours, showing more efforts to deal with difficulties in their job, finishing more tasks and having positive thinking about their organization. Employee’s trustworthiness and sense of belonging are also vital aspects of this engagement. From this viewpoint, leadership role in creating this culture is vital. A leader can be a role model to change the culture to become mindset of employee so that expected goals of an organization would possibly be achieved. Still based on this viewpoint, in terms of increasing employee level of motivation, an appropriate model should be used to enable managers to measure employees’ awareness and mindset about their job and organization. As an instance, a survey method correlating employee’s views with various organizational outcomes can be conducted by managers in both measuring and building up the level of motivation. In doing so, this view recommends three basic measuring frameworks which are ‘focused work’, ‘interpersonal values’ and ‘individual values’. The first framework refers to manager’s ability to align organizational plans and its attempts to achieve those plans. The employees could be asked questions such as recognition of their work expectation and routine information about possible changes influencing their work. Freedom to manage their work and involvement in internal policymaking is also included. Meanwhile, the second framework puts forward trust and conflict avoidance as major elements to be measured by managers. For example, employees need to be asked about whether they trust their working peers and found conflict to do teamwork. The last framework highlights the 39
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
importance of giving employee opportunities to express ideas, opinions as well as taking on personal differences that might exist among them. Continuing feedback on their performance is highlighted likewise. For instance, the survey should include questions like if there are chances to assert their opinions related to the performance feedback as they might not unhappy or disagree with it. Thirdly, this study takes example from Henry Mintzberg (1973) work, that has correctly reviewed ideas on manager’s work. Some of his ideas such as ‘POSDCORB’, ‘The Great Man School’, ‘The Entrepreneurship School’, ‘The Decision Theory School’ and ‘The Leader Effectiveness School’ have been used by Indonesian public agencies as core concepts in defining what are expected from managers. In terms of Indonesian public agencies, West Java Promotion and Investment Agency (2003) conducted trainings and seminars on how to internalize entrepreneurship values in its employees’ mindset. In similar, the Agency (2004) put its key managers (head divisions) in a training on how to create qualified decision makers to promote investment opportunities to
other countries in West Java. The most recent training conducted by the Agency (2005) was about developing effective leadership skills regarding relationship between leadership style and employees performance. Thusly, this study argues that to say about whether leadership is reconcilable or antithetic to democracy by which influence nonleader’s rights to speak out would be very much depend on circumstantial aspects of organizations where leaders exist in. As an instance, situational leadership theory argues that leader should have capacity to understand “maturity level” of their followers (Hersey and Blanchard 1977, p. 161). According to this theory, a way of creating effective style of leadership is by knowing characteristics of employees. In managerial context, a way manager sets organizational goals or a particular task should be based on the employee’s characteristics. In doing so, the manager needs to asses the “maturity level (M)” of each employee. Hersey and Blanchard (1977, pp. 164-170) points out assessing standards with which effective style of leadership can be developed.
40
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
(Supportive Behaviors) RELATIONSHIP BEHAVIOR
(HIGH)
THE SITUATIONAL THEORY OF LEADERSHIP Participating1 Share Ideas and facilitate in Decision Making S3
Selling2 Explain decisions, and provide opportunity for clarification S2
S4
S1
Delegating3 Turn over responsibility for decisions and implementation
Telling4 Provide specific instructions and closely supervise performance
(LOW)
(HIGH) TASK BEHAVIOR (Guidance) Follower Readiness HIGH M4
MODERATE M3
MODERATE M2
Able and willing or Confiden t
Able but unwilling or insecure
Unable but willing or confident
LOW M1 Unable and unwilling or insecure
Source: Simplified from Hersey & Blanchard 1977, Management of Organizational Behavior, Prentice-Hall Inc., New Jersey, pp. 159-188
1
S3: Leader is more likely to be a guide.
2
S2: Employees are given explanations and changes to do clarification in each decision making
3
S4:When employees show independency and confidence in doing their tasks leaders should give them more change to take responsibility 4
S1: Employees are supervised just like they have no capacity to do their tasks.
41
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
According to the illustration above, a way the manager determines when and to what extent the managerial style should be changed or shifted is by observing the employees performance. If the performance goes down and employees show unwillingness to take responsibility, for instance, the manager might need to give specific instructions as well as to do high supervision. By contrast, if the performance goes up and employees show high need for achievement, the manager should delegate more responsibility to do decision making and implement some tasks without close supervision. On the one hand, the ‘maturity level’ can be assessed by matching employees educational background and working experience with tasks given to them. So, in terms of public agencies, for those public officials looking for less possible work they could escape without penalty need leaders who would be able to both maintain definitive work instructions and overlook the employees’ performance in more careful manner. On the contrary, leaders should apply ‘participating’ or ‘delegating’ style since to officials that already show highmotivation to do their job and willingness to shape up their performance. Thus, these employees do not need, for instance head department, to hold over and stick to them all over the time. Above all, there is no best managerial approach for all situations. The suitable approach depends on what is actually expected by either the organization or the employee. And again, it might be varied from one to another situation. Meanwhile, the situation itself can be changed from time-to-time and required different managerial approached. For public manager, in particular, it is also critical to consider who gets what, how, when and where other than profit-based decision.
Last but not least, leadership can be a counter to democracy as well as antithetical to non-leaders’ voicing rights as regard to shared-power environment. In context of public agencies, this occurs when leadership is influenced by political culture of a regime which thereon shapes organizational politics and culture of the agencies. Leaders treat their followers and adjust their leading style accordingly. This can give either positive or negative impacts to the agencies depending on circumstantial factors exist in those agencies like follower’s readiness.
References Bass, B M. 1985, Leadership and performance beyond expectation, Free Press, New York. Bennis, W 1989, On becoming a leader, Addison Wesley, New York. Burns, JM 1978, Leadership, Torchbooks, New York.
Harper
Crawford, F 2007 ‘Researcher in consumer behavior looks at attitudes of gratitude that affect gratuities’, Cornell Chronicle, vol. 32, no. 1
.
Cropanzano, R, Howes, JC, Grandey, AA and Toth, P 1997, ‘The relationship of organizational politics and support to work behaviours, attitudes and stress, Journal of Organizational Behaviour, vol. 18, pp. 159180. Donoon, D 2002, ‘Rethinking leadership for the public sector’, Australian Journal of Public Administration, September, pp. 3-18. De Pree, M 2001 ‘Creative Leadership’, Leader to Leader, vol. 20, Spring 2001, pp. 10-13. 42
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Hersey & Blanchard 1977, Management of organizational behavior, Prentice-Hall Inc., New Jersey, pp. 159-188. House, B 1996, ‘Path-goal theory of leadership: lessons, legacy and reformulated theory’, Leadership Quarterly vol. 7, no. 3. Israeli, AA and Barkan, R 2004, ‘Developing a framework for rewards in combined production/service businesses: the case of tipping in the restaurant industry’, International Journal of Service Industry Management, vol. 15, no. 5, pp. 444-459.
Public Service Commission of Canada 2006, ‘Assessing Leadership and Management Talent’, viewed 7 March 2006, .
Development and Cultural Change, Vol. 23, No. 4, pp. 719-738. Suryaningtyas, T 2005, ‘Pilkada di bawah Bayangan Primordialisme’, KOMPAS, viewed 22 April 2006 . Wikipedia contributors 2006, ‘Leadership’, Wikipedia, the Free Encyclopedia, viewed 16 April 2006 . Wellins, R and Whitney, K 2005, ‘Creating a culture of engagement’, Workforce performance solutions: the business of talent management, .
Sartre, Jean-Paul 1963, Search for a Method, Vintage Books, New York.
Wessels, WJ 1997, ‘Minimum wages and tipped servers’, Economic Inquiry, vol. 35, no. 2, pp. 334-349.
Smith, TM 1975, ‘Stimulating performance in the Indonesian bureaucracy: gaps in the Administrator's tool kit’, Economic
Zalenik, A 1977, ‘Managers and leaders: Is the
43
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
ANALISIS MINAT MENJADI NASABAH TABUNGAN BAITUL MAAL WATTAMWIL (BMT) AN-NUR CIBALIUNG OLEH : NANA SUANDANA
PENDAHULUAN Seiring dengan semakin pesatnya kemajuan ekonomi dunia pada umumnya dan ekonomi masyarakat Indonesia khususnya, sehingga masyarakat membutuhkan lembaga keuangan sebagai tempat menyimpan uang atau menabung dan sekaligus bisa dijadikan sebagai tempat berinvestasi yang dianggap aman oleh masyarakat. Jika masyarakat kota sering menggunakan jasa bank, dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya. Maka masyarakat kampung juga bisa menggunakan jasa lembaga keuangan lain yang dekat dan mudah didapatkan sehingga bisa memenuhi kebutuhan mereka. Seperti halnya Baitul Maal Wattamwil (BMT) merupakan sebuah lembaga keuangan yang akan mampu membantu mereka dalam melakukan penyimpanan uang dari hasil kegiatan ekonominya. Baitul Maal Wattamwil (BMT) salah satu lembaga keuangan yang menyedikan jasa tabungan, dimana Baitul Maal Wattamwil (BMT) dalam kegiatan perekonomiannya menggunakan sistem ekonomi Syariah. Badan Hukum dari Baitul Maal Wattamwil (BMT) dapat berupa Koperasi untuk Baitul Maal Wattamwil (BMT) yang telah mempunyai kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan koperasi dan baik (Thayyiban) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan para pengurus yang telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan hukum koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi. Tujuan Wattamwil
berdirinya Baitul (BMT), adalah
Maal guna
meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi Baitul Maal Wattamwil (BMT) berada pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan, maka sudah seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan Baitul Maal Wattamwil (BMT) sebagai lembaga yang menghimpun masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga Perbankan Syariah , yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam sebuah bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan pengembangan perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama pendanaan dan pembiayaan. Keberadaan Baitul Maal Wattamwil (BMT) tentu saja bisa membantu masyarakat yang ingin menabungkan uang miliknya dan sekaligus ingin berinvestasi, karena Baitul Maal Wattamwil (BMT) menggunakan pola perbankan syariah atau yang biasa dikenal dengan sistem mudharobah (bagi hasil), maka atas dasar sistem tersebut tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan. Baitul Maal Wattamwil (BMT) ANNUR, adalah salah satu BMT yang berdiri di tengah-tengah masyarakat Kecamatan Cibaliung. Keberadaan BMT AN-NUR ini telah memiliki aneka usaha lain berupa BMT (Baitul Maal Wattamwil) Baitul Maal adalah Rumah/ tempat penitipan dan penyaluran Zakat, Infaq, dan Shodakoh. Sedangkan Baituttamwil adalah Rumah atau tempat
44
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
bermu’amalat (kegiatan usaha) atau dikenal dengan SPS (Simpan Pinjam Pola Syari’ah). Sebagai lembaga keuangan yang menyediakan layanan tabungan, Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR telah lama berjalan dan mempunyai nasabah tidak sedikit dan terdiri dari berbagai kalangan masyarakat. Baik masyarakat yang ada disekitar perusahaan maupun dari luar daerah perusahaan. Dengan tingkat tabungan yang bervariasi, mulai dari yang paling rendah sampai paling tinggi. Sejauh ini, BMT AN-NUR Cibaliung mampu bersaing dengan lembaga keuangan yang lain disekitarnya, karena nasabah yang ada pada saat ini sangat banyak dan tidak kalah banyak jika dibanding dengan yang lain. Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR merupakan lembaga keuangan yang menyediakan jasa tabungan mempunyai usia yang relatif lebih muda jika dibandingkan dengan lembaga keuangan lain seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI), akan tetapi pada Tabel data Nasabah Tahun Jumlah Nasabah 2005 1708 2006 1865 2007 2010 2008 2142
kenyataannya Nasabah yang dimiliki Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR tidak kalah banyak jika dibanding dengan lembaga keuangan yang lain, yang ada di sekitar perusahaan tersebut. Nasabah disini bisa diberi pengertian sebagai konsumen yang menggunakan produk yang disediakan oleh Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung, produk jasa tabungan ini ternyata sangat diminati oleh masyarakat yang ada di sekitar perusahaan. Akan tetapi sejauh ini belum diketahui secara pasti aspek apa yang mendorong masyarakat sehingga mempunyai minat menjadi nasabah tabungan di Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung, dan akhirnya tertarik untuk menggunakan produk jasa tabungan yang ada diperusahaan ini. Berikut adalah data Nasabah Tabungan Baitul Maal Wattamwil (BMT) ANNUR Cibaliung, selama kurun waktu empat tahun terakhir:
Ket Nasabah tabungan terdiri 132 (6.16%) dari: 145 (7.22%) Pegawai Negeri = 15% 157 (8.41%) Pegawai Swasta = 25% Pedagang = 60% Sumber: Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung 2009
Setelah melihat data diatas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang kecenderungan masyarakat yang memilih menjadi nasabah tabungan di Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung. Karena pada dasarnya sejauh ini banyak terdapat bank konvensional yang tersebar di berbagai wilayah pelosok tanah air, akan tetapi pada kenyataannya BMT AN-NUR Cibaliung masih bisa mendapatkan nasabah tabungan bahkan tiap tahunnya mengalami peningkatan. Maka dari itu penulis merasa, harus ada langkah khusus untuk mencari tahu faktor apa yang mendorong masyarakat sehingga mempunyai minat menjadi nasabah tabungan di BMT AN-Nur Cibaliung
Peningkatan (%)
tersenut. Tentu saja pihak-pihak yang telah terlibatlah yang menjadi sasaran dalam langkah ini, yaitu nasabah yang telah ada. KAJIAN PUSTAKA Konsep Minat Pengertian minat Nasabah/Konsumen Menurut Philip Kotler (2007:213) dijelaskan bahwa berkaitan dengan keinginan konsumen untuk membeli dikenal istilah minat beli. Minat beli merupakan bagian dari proses menuju kearah tindakan pembelian yang dilakukan oleh seorang konsumen. 45
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Menurut James F. Engel dalam Ristiayanti (2001:3), menjelaskan bahwa: “Minat beli adalah tindakan yang langsung terlibat dalam mendapatkan, menkonsumsi, dan menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan menyusuli tindakan ini.” Menurut Schiffman dan Kanuk yang dikutif oleh Rirtiyanti Prasetjo (2005:9), dijelaskan bahwa: “Minat beli konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak mengkonsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya”. Dari definisi minat nasabah diatas maka dapat dikatakan bahwa minat konsumen adalah proses menuju pembelian suatu produk oleh konsumen. Menurut Sofjan Assauri (2007:124) mengidentifikasi 4 (empat) tingkatan mental (mental stages) yang dilalui calon pembeli sehingga terjadi transaksi pembelian yaitu: 1) Perhatian (attention) 2) Minat (interest) 3) Keinginan (desire) 4) Tindakan (action) Menurut Sofjan Assauri (2007:127) menjelaskan bahwa motif mendorong orang untuk melakukan pembelian akan suatu produk. Motif pembelian dapat dibedakan atas: 1. Motif pembelian emosional (emotional buying motives), 2. Motif pembelian rasional (rational buying motive), yaitu dengan mempertimbangkan untung ruginya membeli produk tersebut terdiri dari: a. Kemudahan dan efisien dalam penggunaannya b. Ketahanan atau jangka waktu penggunaan yang lama c. Dapat menguntungkan karena luwes dalam penggunaannya
d. Hemat dalam penggunaan atau pemakaiannya, sehingga menimbulkan penghematan biaya e. Murah harga pembeliannya f. Tersedianya beberapa pilihan atas produk yang ditawarkan g. Ketepatan waktu penyerahan produk yang dibeli Faktor-faktor konsumen a. Kepuasan b. Kepercayaan c. Kebutuhan d. Keinginan e. Motivasi f. Persepsi
yang
mempengaruhi
Faktor yang mempengaruhi dalam memilih produk
konsumen
Menurut Engel, yang dikutif oleh Zulkifli : (2003:39) Seorang nasabah bank, sebelum memutuskan tindakannya menjadi nasabah pada sebuah lembaga keuangan/bank. Harus memperhatikan faktor-faktor dibawah ini: a. Lokasi b. Luas dan Kedalaman keragaman c. Iklan dan Promosi Penjualan d. Pelayanan e. Personel f. Kualitas Manajemen DESAIN PENELITIAN Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode penelitian Survey dengan langkah terjun langsung ke lapangan tempat penelitian, dengan sebelumnya mempelajari teori-teori yang ada. Objek Penelitian Objek atau sasaran dari penelitian ini adalah masyarakat yang menjadi nasabah produk tabungan yang ada di Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung, karena sesuai dengan judul dan permasalah pada penelitian ini yang ingin mencari tahu apa 46
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
faktor dominan yang mendorong masyarakat menjadi nasabah tabungan di Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung, dengan jumlah nasabah tabungan sebanyak 2142 orang sebagai bahan perolehan data. Dengan mengambil sampel dari jumlah populasi yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 96 orang responden (dibulatkan). ANALISIS DAN PEMBAHASAN Tanggapan Responden Menjadi Nasabah Tabungan 1. Perhatian dari masyarakat sangat kuat. Perusahaan dan konsumen merupakan dua faktor yang mempunyai hubungan sangat erat, sehingga satu sama lain mempunyai ketergantungan yang tinggi. Perusahaan tanpa konsumen akan sangat sulit untuk berkembang, begitu juga konsumen tanpa perusahaan akan merasa sulit untuk memenuhi kebutuhannya. Maka dari itu keduanya saling mempunyai perhatian yang besar, sehingga dengan perhatian yang tinggi pada sebuah perusahaan maka konsumen bisa menggunakan produkproduk yang ada pada perusahaan tersebut. Hal ini terlihat pada masyarakat yang menjadi nasabah tabungan di BMT AN-Nur Cibaliung, dengan jumlah responden 96 memberi pernyataan 21 orang menyatakan sangat setuju, dan 75 menyatakan setuju, sehingga didapat angka rata-rata 4.21 yang berarti Setuju. 2. Menjadi Nasabah Karena Keinginan sendiri Untuk menjadi konsumen/nasabah pada sebuah produk dari perusahaan, bisa timbul atas kehendak sendiri. Begitu juga dengan masyarkat yang menjadi nasabah tabungan di BMT AN-Nur Cibaliung, untuk menjadi nasabah mereka bisa atas keinginan sendiri dan tanpa ada pengaruh dari pihak manapun. Dimana bisa dilihat dari 96 responden, menyatakan bahwa untuk menjadi nasabah tabungan di BMT AN-Nur Cibaliung atas keinginan sendiri: 25 orang
sangat setuju, 59 orang menyatakan Setuju, 12 orang menyatakan ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata sebesar 4.17 yang berarti Setuju. 3. Menjadi Nasabah Tabungan Karena Transaksi mudah Sebagai konsumen atau nasabah, apalagi pengguna produk jasa tentunya konsumen akan memilih produk yang dalam penggunaanya mudah. Seperti halnya BMT AN-Nur Cibaliung, harus memberikan sistem transaksi yang sangat mudah bagi nasabah sehingga masyarakat akan tertarik untuk menjadi nasabah. Maka dari 96 responden memberi pernyataan, 17 0rang sangat setuju, 73 orang setuju, 6 orang menyatakan Ragu-ragu. Sehingga didapar rata-rata jawaban responden sebesar 4,11 yang berarti Setuju. 4. Menjadi Nasabah Tabungan Karena Transaksi Hemat Pada sebuah lembaga keuangan, yang bergerak dalam bisnis jasa tentu saja harus memiliki sistem transaksi yang sehemat mungkin sehingga akan menjadi daya tarik bagi para nasabah baru. Begitu juga dengan BMT AN-Nur Cibaliung harus memberikan layanan transaksi yang hemat supaya nasabah merasa tertarik menjadi nasabah. Adapun 96 Responden memberikan pernyataannya terkait indikator ini yaitu; 13 0rang Sangat Setuju, 72 orang Setuju, 11 orang Ragu. Sehingga didapat angka rata-rata jawaban responden sebesar 4,02 yang berarti Setuju. 5. Menjadi Nasabah karena Rekening Tidak diblokir meskipun tidak melakukan transaksi dalam waktu yang lama Mempunyai produk yang umur penggunannya panjang merupakan keinginan semua konsumen, apalagi pada pruk tabungan. Begitu juga dengan rekening tabungan di BMT AN-Nur mempunyai sistem yang tidak memblokir rekening tabungan meskipun nasabah tidak melakukan transaksi dalam kurun waktu yang panjang. Maka dari itu 96
47
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
responden menyatakan sebagai berikut, 15 orang Sangat Setuju, 49 orang Setuju, 32 orang Ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata jawaban responden sebesar 3,82 yang berarti Setuju. 6. Menjadi Nasabah Tabungan karena Produk yang tersedia ada beberapa pilihan Keragaman produk yang tersedia akan membuat nasabah tertarik untuk menggunakan produk yang ada, begitu juga dengan produk tabungan yang ada di BMT AN-Nur Cibaliung akan menggugah minat nasabah. Maka dari itu 96 responden memberikan pernyataannya sebagai berikut; 5 orang menyatakan Sangat Setuju, 81 orang Setuju, 10 orang Ragu-ragu. Sehingga didapat angka ratarata jawaban responden sebesar 3,94 yang artinya Setuju. 7. Menjadi Nasabah Tabungan karena produk yang ada sesuai dengan yang diminati nasabah Tersedianya produk yang sesuai harapan dan minat konsumen pada sebuah perusahaan bisa menjadi faktor yang mendorong konsumenmemilih produknya. Seperti halnya 96 respondeng nasabah tabungan BMT AN-Nur Cibaliung memberi pernyataan sebagai berikut; 15 orang Sangat Setuju, 67 orang Setuju, 14 Setuju. Sehingga didapat angka rata-rata jawaban responden sebesar 4,01 yang berarti Setuju. 8. Menjadi Nasabah Tabungan karena Waktu Transaksinya Cepat Konsumen pada produk perbankan akan sangat memperhatikan sistem transaksi yang cepat, untuk memilih tempat menabung. Karena dengan transaksi yang cepat, nasabah tidak menghabiskan waktu yang sia-sia hanya untuk bertransaksi. Maka dari itu, 96 responden yang jadi nasabah tabungan di BMT ANNur Cibaliung memberi pernyataan sebagai berikut; 11 orang Sangat Setuju, 74 Setuju, 11 orang Ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata jawaban
responden sebesar 4,00 yang berarti Setuju. 9. Untuk Membuat Rekening Bisa Ditunggu Proses pembuatan sebuah produk. Baik barang ataupun jasa, dituntut untuk cepat dan tepat waktu. Begitu juga halnya dengan pembuatan rekening tabungan pada BMT AN-Nur Cibaliung, akan menjadi daya tarik bagi masyarakat untuk menggunakan produk tersebut. Seperti halnya nasabah tabungan BMT AN-Nur yang responden sebanyak 96 orang masing-masing menyatakan; 16 orang Sangat Setuju, 80 orang Setuju. Maka diperoleh angka rata-rata jawaban responden sebesar 4,16 yang berarti Setuju. 10. Lokasi BMT Dekat dengan Jalan Raya Dalam rangka memudahkan nasabah untuk datang ke likasi perusahaan, maka BMT AN-Nur Cibaliung harus dekat dengan jalan raya, sehingga mudah dikunjungi oleh nasabah yang datang dari berbagai arah. Adapun dari 96 responden menyatakan tentang lokasi yaitu; 15 orang Sangat Setuju, 66 orang Setuju, 15 orang Ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata jawaban responden sebesar 4,00 yang bearti Setuju. 11. Iklannya Menarik Minat Nasabah Iklan merupakan alat promosi yang tidak kalah penting dengan alat promosi lain. Iklan justru sangat baik apabila penyampaiannya tepat, iklan biasanya berisikan program-program marketing yang sangat menarik. Adapun dari 96 responden tentang iklan, 6 orang sangat setuju, 36 orang setuju, 54 orang raguragu. Sehingga didapat angka rata-rata jawaban responden sebesar 3,50 yang bearti Setuju. 12. Promosinya Sesuai Kenyataan Kegiatan dari promosi pada sebuah perusahaan bisa dilakukan juga lewat iklan atau program khusus lain sejenisnya, didalam promosi biasanya berisikan janji atau sejenisnya dengan tujuan menarik simpatik dari konsumen. 48
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
13.
14.
15.
16.
Adapun 96 responden tentang promosi, 44 orang menyatakan setuju, 52 orang menyatakan ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata pwrnyataan responden sebesar 3,44 yang berarti Ragu-ragu. Pelayanan Memuaskan Nasabah Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa, modal utamanya ialah kualitas pelayanan yang baik pada nasabah sehingga akan menjadi nilai jual dari perusahaan tersebut. Adapun 96 orang responden tentang pelayanan, 10 orang Sangat Setuju, 62 orang Setuju, 24 orang ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata pernyataan responden sebesar 3,85 yang berarti Setuju. Pelayanan yang Tepat pada Nasabah Selain pelayanan yang baik dan berkualitas, perusahaan penyedia produk jasa juga harus memberi pelayanan yang tepat pada konsumen. Sehingga pelayanan yang diberikan tepat sasaran dan tidak sia-sia. Adapun 96 orang responden tentang pelayanan tepat, 18 orang Sangat Setuju, 78 orang Setuju. Sehingga didapat angka ratarata pernyataan responden sebesar 4,18 yang berarti Setuju. Produknya Memenuhi Kebutuhan Nasabah Sebagai perusahaan yang menyediakan berbagai produk, baik barang atau jasa. Tentu saja produk yang disediakan harus bisa memenuhi kebutuhan para konsumennya, karena jika kebutuhan para konsumen terpenuhi akan tercipta konsumen yang loyal. Adapun 96 responden tentang produk memenuhi kebutuhan nasabah, 82 orang Setuju, 14 orang ragu-ragu. Sehingga didapat angka rata-rata pernyataan responden sebesar 3,85 yang berarti Setuju. Kebutuhan mencari Lembaga Keuangan Berbasis Syariah Terpenuhi Seiring perkembangan dunia perbankan, sistem keuangan yang dulunya hanya menggunakan sistem konvensional. Sekarang muncul sistem
perbankan dengan pola syariah sehingga masyarakan bisa memilih mana yang akan mereka gunakan dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Adapun 96 orang responden tentang kebutuhan mencari lembaga keuangan berbasis syariah terpenuhi, 49 orang Sangat Setuju, 41 orang Setuju, 6 orang ragu. Sehingga didapat angka rata-rata pernyataan responden sebesar 4,50 yang berarti sangat Sangat Setuju. Rekapitulasi Pernyataan Responden tentang Minat Menjadi Nasabah Tabungan Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-Nur Cibaliung No Indikator Ratarata 1 Perhatian dari masyarakat 4,21 sangat kuat 2 Karena keinginan sendiri 4,17 menjadi nasabah 3 Transaksi mudah 4,11 4 Transaksi hemat 4,02 5 Rekening tabungan tidak 3,82 di Blokir meskipun tidak melakukan transaksi dalam waktu yang lama 6 Produk yang ditawarkan 3,94 ada beberapa pilihan 7 Produknya sesuai yang 4,01 diminati nasabah 8 Waktu untuk Transaksi 4,00 cepat 9 Untuk membuat rekening 4,16 bisa ditunggu 10 Lokasi BMT AN-NUR 4,00 berada dekat dengan jalan raya 11 Iklannya menarik minat 3,50 nasabah 12 Promosinya sesuai 3,44 kenyataan 13 Pelayanan memuaskan 3,85 nasabah 14 Pelayanan yang tepat 4,18 pada nasabah 15 Produknya memenuhi 3,85 kebutuhan Nasabah 49
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
16
Kebutuhan Lembaga Berbasis Terpenuhi
mencari Keuangan Syariah
4,50
DAFTAR PUSTAKA
4,00
Anoraga, Pandji. 2004. Manajemen Bisnis. Cetakan Ketiga. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Total Rata-rata
KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil pernyataan responden tentang faktor yang mendorong masyarakat mempunyai minat menjadi nasabah tabungan di Baitul Maal Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung didapat faktor yang paling dominan yaitu faktor Kebutuhan Masyarakat Mencari Lembaga Keuangan yang Berbasis Syariah dengan angka rata-rata pernyataan responden sebesar 4.50 yang berarti sangat setuju. 2. Selain dari itu, didapat juga faktor yang paling lemah dalam mendorong masyarakat mempunyai minat menjadi nasabah tabungan di Baitul Mall Wattamwil (BMT) AN-NUR Cibaliung. Yaitu faktor iklan dan promosi, dimana didapat angka rata-rata pernyataan responden sebesar 3,44 yang berarti ragu-ragu.
Cholid
Narbuko, Abu Achmad. 2008. Metodologi Penelitian, Cetakan kesembilan. PT. Bumi Aksari. Jakarta
Moleong, Lexy J., 2006. Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan keduapuluhdua, PT.Remaja Rosda Karya. Bandung Nugroho, Adi. 2002. Perilaku Konsumen. Cetakan Pertama. Studia Press. Jakarta Prasetijo Ristiyanti& John.J.Ihalauw. 2004. Perilaku Konsumen. Andi Offset. Yogyakarta Shiffman. Leon & kanuk. 2007. Perilaku Konsumen. Cetakan Kedua. PT. Indeks. Siagian, 2004. Filsafat Administrasi,Cetakan kedua. PT. Bumi Aksara. Jakarta Siswanto. 2008. Pengamtar Manajemen, Cetakan Keempat. PT. Bumi Aksara. Jakarta Sugiyono. 2007. Metode Administrasi. Alfabet. Bandung Sugiyono,
Penelitian
2000, Metode Penelitian Administrasi, Edisi ketujuh, Alfabetis, Bandung
Winardi, 2001.Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Zulkifli. S, 2003. Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah. Zikrul Hakim. Jakarta
50
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
PENGARUH CUSTOMER SERVICE TERHADAP LOYALITAS NASABAH DI PT. AIA FINANCIAL JAKARTA Oleh : Rahayu Tri Utami
ABSTRACT The Background of the research based on the reality that happens in AIA Financial ltd.co. Jakarta in line with the observation. This research aims to gain the valid and reliable knowledge in order to know the in fluence of customer service to customer loyalty. The data used in this study are primary data. The primary data obtained from the questionnaires to the costomer AIA Financial ltd.co. Jakarta. This research was conducted at AIA Financial ltd.co. Jakarta for four months. This study aims to determine the effect of customer service on customer loyalty. This Study used a descriptive quantitative method. In addition, the population in this study is the costumer AIA Financial ltd.co. Jakarta. Which numbers 100 People.Sampling technique using saturated sampel or cwnsus that is using all the population to be sampled. Form the results of the questionnaire to the costumer AIA Financial ltd.co. Jakarta then the interpretation of the figures obtained is 2.76 which means less agreed with the statement of the information given by the customer service less good at customer service variable (variable X). And the customer loyalty variable (variable Y) obtained figures interpretation of 3.18, which means and one still works fine. So it can be concluded that customer service has the positive and signification fluence toward customer loyalty in AIA Financial ltd.co. Jakarta. Keyword : AIA Financial ltd.co. Jakarta, Customer Service, Customer Loyalty.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan seseorang jasmani maupun rohani tidak terlepas dari risiko yang mungkin akan terjadi, baik risiko datangnya dari unsur ketidaksengajaan maupun dari unsur kecerobohan dari seseorang itu sendiri. Manusia tidak ingin menderita kerugian dan ia selalu berusaha untuk mencegahnya, ataupun setidaktidaknya mengalihkan risiko yang mungkin akan dihadapinya. Usaha mengalihkan risiko itu baru dirasakan sasarannya setelah tujuan mengalihkan risiko itu dilakukan melalui
suatu perjanjian yang khusus diadakan untuk itu, perjanjian pertanggungan atau dalam praktek perusahaan pertanggungan lebih banyak dikenal dengan istilah asuransi atau pertanggungan yang akan dibantu oleh customer service. Pengaruh customer service dalam dunia asuransi hendaknya memberikan dampak positif dalam perkembangan dunia asuransi saat ini dan untuk selanjutnya menjadi penopang kemajuan asuransi. Dengan pelayanan yang diberikan oleh customer service pastinya akan lebih banyak masyarakat yang tertarik menggunakan jasa asuransi tersebut. Saat ini dapat diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan 51
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
dan teknologi berdampak pada persaingan dunia usaha yang semakin meningkat, baik perusahaan yang bergerak bidang industri, perdagangan maupun jasa, terlebih-lebih pada perusahaan asuransi. Kesuksesan dalam persaingan akan dapat dipenuhi apabila perusahaan bisa menciptakan dan mempertahankan nasabah. Untuk mencapai tujuan tersebut maka perusahaan asuransi memerlukan berbagai usaha agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai. Salah satu usaha untuk memanjakan nasabahnya adalah melalui pelayanan yang diberikan oleh customer service nasabah dibuat senyaman mungkin dengan keramahtamahan dan sopan santun serta tutur kata yang baik dari para customer service. Loyalitas Pelanggan adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Loyalitas pelanggan adalah kunci sukses suatu usaha dalam menjalin hubungan jangka panjang antara perusahaan dengan pelanggannya. maka hal ini perlu diperhatikan oleh perusahaan yakni perusahaan yang bergerak dibidang asuransi. Fenomena yang penulis lihat selama ini masih ada kekurangan atau masalah dalam hal pengaruh customer service terhadap nasabah diantaranya adalah customer service yang kurang tanggap akan permasalahan yang sedang dialami oleh nasabah, sarana dan prasarana yang masih kurang, penyelesaian masalah yang tidak tepat waktu, pelayanan yang masih kurang memuaskan (pemberian informasi yang tidak sampai tuntas hingga menimbulkan miscommunication antara nasabah dan customer service) dan customer service yang kurang ramah menjadi salah satu faktor nasabah bisa pindah ke asuransi lain. Tidak hanya dari internal dari eksternal juga sangat mempengaruhi pengaruh customer service
salah satunya Nasabah hard complain dan nasabah yang sulit untuk memahami informasi yang diberikan oleh customer service menjadi permasalahan yang dialami oleh customer service. Untuk membantu perusahaan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi, maka penulis melakukan penelitian dengan judul “PENGARUH CUSTOMER SERVICE TERHADAP LOYALITAS NASABAH DI PT. AIA FINANCIAL JAKARTA” B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 1. Identifikasi Masalah Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama mengadakan penelitian, terlihat adanya masalah yang menggambarkan bahwa kondisi pengaruh customer service yang masih kurang untuk membuat nasabah menjadi loyal terhadap perusahaan, customer service yang kurang tanggap akan permasalahan yang sedang dialami oleh nasabah, sarana dan prasarana yang masih kurang, penyelesaian masalah yang tidak tepat waktu, pelayanan yang masih kurang memuaskan. Untuk itu penulis membatasi masalah pada pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial Jakarta. 2. Pembatasan Masalah Berdasarkan uraian masalah pada latar belakang masalah, pembahasan penelitian terbatas hanya pada seberapa besar pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah di Bulan September pada Tanggal 14 s/d 18 September 2013 di PT. AIA Financial Jakarta. C. Rumusan Masalah Bertitik dari latar belakang tersebut maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: Seberapa besar pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial Jakarta?
52
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Pelayanan Sebagian di antara kita ada yang masih belum bisa mengartikan apa yang dimaksud dengan pelayanan. Bahkan tidak sedikit yang tidak mampu memaknai arti pelayanan sehingga tidak heran kalau beberapa perusahaan yang ada di engara kita mampu mengomunikasikan dengan tepat antara apa yang diinginkan oleh pelanggan dengan apa yang kita berikan. Untuk itu, hal yang paling utama adalah kita harus memahami dengan baik arti pelayanan itu sendiri: Menurut Kasmir (2011:15) Pelayanan adalah tindakan atau organisasi untuk memberikan kepuasan pelanggan Menurut Kasmir (2011:26) Pelayanan di artikan sebagai tindakan atau perbuatan seseorang atau organisasi untuk memberikan kepuasan kepada pelanggan. Berdasarkan beberapa definisi di atas, Layanan atau Service adalah serangkaian kegiatan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain yang tidak berwujud dan bertujuan memberikan kepuasan kepada pihak yang dilayani. Menurut Moenir (2011:197), Agar layanan memuaskan kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka pelaku dalam hal ini petugas, harus dapat memenuhi 4 persyaratan pokok yaitu yang harus di jalankan: 1. Tingkah laku yang sopan, cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan. 2. Waktu penyampaian yang tepat. 3. Keramahtamahan. 2. Pengertian Customer Service Customer Service berperan dalam memberikan pelayanan jasa yang optimal kepada nasabah sehingga dapat memberikan kepuasan kepada nasabah dan mempertahankan nasabah dengan membujuk nasabah untuk terus membeli
atau mengonsumsi produk (jasa) yang ditawarkan kepada nasabah. Menurut Kasmir (2011:178) Pelayanan nasabah dapat diberikan oleh berbagai pihak baik customer service, teller atau kasir. Namun, istilah customer service digunakan secara khusus untuk dunia perbankan dan asuransi. Artinya memang ada bagian yang khusus melayani nasabah dengan nama customer service. 3. Pengertian Loyalitas Secara harfiah loyal berarti setia, atau loyalitas dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan. Kesetiaan ini timbil tanpa adanya paksaan, tetapi timbul dari kesadaran sendiri pada masa lalu. Usaha yang dilakukan untuk menciptakan kepuasaan konsumen lebih cenderung mempengaruhi sikap konsumen. Sedangkan konsep loyalitas konsumen lebih menekankan kepada perilaku pembeliannya. Menurut Ratih Hurriyati (2011:129) “Loyalitas berasal dari kata dasar “Loyal” yang berarti setia, atau loyalitas dapat diartikan sebagai suatu kesetiaan. Loyalitas nasabah memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan, mempertahankan mereka berarti meningkatkan kinerja keuangan dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, hal ini menjadi alasan utama bagi sebuah perusahaan untuk menarik dan mempertahankan mereka. Usaha untuk memperoleh nasabah yang loyal tidak bisa dilakukan sekaligus, tetapi melalui beberapa tahapan, mulai dari mencari nasabah potensial sampai memperoleh rekan kerjasama”. Menurut Ratih Hurriyati (2011:132) “Loyalitas nasabah atau pelanggan adalah komitmen pelanggan bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa terpilih secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan usaha-usaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Berdasarkan pengertian di atas, dapat dijelaskan bahwa loyalitas lebih mengacu
53
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
pada wujud perilaku dari unit-unit pengambilan keputusan untuk melakukan pembelian secara terus menerus terhadap barang/jasa suatu perusahaan yang dipilih”. Menurut Ali Hasan (2008:81) menjelaskan loyalitas sebagai berikut: 1. Sebagai konsep generic, loyalitas merek menujukkan kecenderungan konsumen untuk membeli sebuah merek tertentu dengan tingkat konsistensi yang tinggi. 2. Sebagai konsep perilaku, pembelian ulang kerap kali dihubungkan dengan loyalitas merek (brand loyality). Perbedaannya, bila loyalitas merek mencemirkan komitmen psikologis terhadap merek tertentu, perilaku pembelian ulang menyangkut pembelian merek yang sama secara berulang kali. 3. Pembelian ulang merupakan hasil dominasi (1) berhasil membuat produknya menjadi satu-satunya alternative yang tersedia, (2) yang terus – menerus melakukan promosi untuk memikat dan membujuk pelanggan membeli kembali merek yang sama. Menurut Amin Widjaja Tunggal (2008:6) “Customer loyalty atau loyalitas konsumen adalah kelekatan pelanggan pada suatu merek, took, pabrikan, pemberi jasa, atau entitas lain berdasarkan sikap yang menguntungkan dan tanggapan yang baik, seperti pembelian ulang. Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada unsur perilaku dan sikap dalam loyalitas pelanggan”. Kotler (2008:560) bahwa : “Konsumen yang loyal tidak diukur dari berapa banyak dia membeli, tapi dari berapa sering dia melakukan pembelian ulang, termasuk disini merekomendasikan orang lain untuk membeli.” 4. Pengertian Nasabah Menurut R. Lupiyoadi (2009 :12) Definisi nasabah adalah seseorang yang secara continue dan berulang kali datang ke tempat yang sama untuk memuaskan
keinginannya dengan memiliki suatu produk atau mendapatkan suatu jasa dan membayar produk atau jasa tersebut. Menurut R. Lupiyoadi (2009:143) dalam perusahaan yang bergerak di bidang jasa, nasabah adalah orang yang menggunakan jasa pelayanan. Nasabah adalah orang yang berinteraksi dengan perusahaan setelah proses produksi selesai, karena mereka adalah pengguna produk. Nasabah adalah Seseorang yang beberapa kali datang ke tempat yang sama untuk membeli suatu barang atau peralatan. Dalam praktiknya, nasabah dibagi dalam tiga kelompok: a. Nasabah baru Nasabah jenis ini baru pertama kali datang ke perusahaan, yang kedatangannya hanya sekedar untuk memperoleh informasi atau sudah mau melakukan transaksi. Jika semula kedatangannya hanya mau untuk memperoleh informasi namun karena sikap kita yang baik bukan tidak mungkin nasabah akan melakukan transaksi. b. Nasabah biasa Artinya nasabah yang sudah pernah berhubungan dengan kita, namun tidak rutin. Jadi kedatangannya sudah untuk melakukan transaksi. Hanya saja frekuensi melakukan transaksi dan kedatangannya belum terlalu sering. c. Nasabah utama (primer) Artinya nasabah yang sudah sering berhubungan dengan kita pelanggan atau nasabah primer selalu menjadikan kita nomor satu dalam berhubungan. Pelanggan ini tidak lagi diragukan loyalitasnya dan sikap kita terhadap mereka harus selalu dipupuk. Berikut ini ada beberapa sikap yang harus diperhatikan customer service dalam melayani nasabah yang datang, agar nasabah merasa puas dan nyaman dengan pelayanan customer service: 1. Beri kesempatan nasabah berbicara Seorang Customer Service harus memberikan kesempatan kepada 54
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
2.
3.
4.
5.
6.
7.
nasabah untuk mengemukakan keinginannya, dalam hal ini seorang Customer Service harus dapat menyimak dan berusaha memahami keinginan dan kebutuhan nasabah. Dengarkan baik-baik Selama nasabah mengemukakan pendapatnya Customer Service dengar dan menyimak baik-baik tanpa membuat gerakan yang dapat menyinggung nasabah terutama gerakan tubuh yang dianggap kurang sopan. Jangan menyela pembicaraan Sebelum nasabah selesai bicara seorang customer service dilarang memotong atau menyela pembicaraan usahakan nasabah sudah benar-benar selesai bicara baru seorang Customer Service menanggapinya. Ajukan pertanyaan setelah nasabah selesai berbicara Pengajuan pertanyaan kepada nasabah baru dilakukan apabila nasabah sudah selesai bicara. Pengajuan pertanyaan hendaknya dengan bahasa yang baik, singkat dan jelas. Jangan marah dan jangan mudah tersinggung Cara bicara, sikap, atau nada bicara jangan sekali-kali menyinggung nasabah kemudian Customer Service jangan mudah marah terhadap nasabah yang bertemperamen tinggi, Usahakan tetap sabar dalam melayaninya Jangan mendebat nasabah Jika ada hal-hal yang kurang disetujui usahakan beri penjelasan dengan sopan dan jangan sekali-kali berdebat atau memberikan argument yang tidak dapat diterima oleh nasabah Jaga sikap sopan, ramah, dan selalu berlaku tenang Dalam melayani nasabah sikap sopan santun, ramah tamah harus selalu dijaga, Begitu pula dengan emosi harus tetap terkendali dan selalu berlaku tenang dalam menghadapi nasabah yang kurang menyenangkan.
8. Jangan menangani hal-hal yang bukan merupakan pekerjaannya Sebaiknya Customer Service tidak menangani tugas-tugas yang bukan menjadi wewenangnya, serahkan kepada petugas yang berhak, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam memberikan informasi. 9. Tunjukkan sikap perhatian dan sikap ingin membantu Nasabah yang datang ke bank pada prinsipnya ingin dibantu. Oleh karena itu berikan perhatian sepenuhnya dan tunjukkan bahwa memang kita ingin membantu nasabah. B. Kerangka Pemikiran Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yang akan diteliti, yaitu variabel tidak terikat (variabel independen) dan variable terikat (variable dependen). Variabel independen sering disebut sebagai variabel stimulus, predictor, antecedent, dalam Bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel bebas. Variabel bebas adalah merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat). Variabel dependen sering disebut dengan variabel output, kriteria, konsekuen. Dalam Bahasa Indonesia sering disebut sebagai variabel terikat. Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2010:59). Peneliti membatasi kerangka pemikiran pada pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah. Variabel yang digunakan dalam kerangka pemikiran ada dua variabel, yaitu variabel bebas independen (X) dan variabel terkait atau dependen (Y), dimana variabel (X) yaitu customer service dan variabel (Y) loyalitas adapun kerangka kerja pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut :
55
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pemikiran
Customer Service (X)
Loyalitas (Y)
1. Satisfaction (Kepuasan)
1. Survive (Bertahan)
2. Service (Pelayanan)
2. Subscribe (Berlangganan)
3. Desire (Keinginan) 4. Needs (Kebutuhan) Sumber:Kasmir
Sumber: Ratih Hurriyati (2011:132)
(2011:179)
C. Hipotesis Sugiyono (2010:93) Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya di susun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru disadarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi Hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik.
Hipotesis digunakan untuk menguji dan menganalisis kebenaran suatu tanggapan. Perumusan hipotesis sbegai berikut: H0 = Tidak ada pengaruh yang positif dan signifikan dari pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial. Hα = Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial.
56
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam rangka membahas masalah ini adalah metode Asosiatif. Adapun metode ini bertujuan untuk mengetahui hubungan atau pengaruh antara dua variabel atau lebih. Penggunaan metode ini dengan menilai dan mengitung pengaruh customer service (X) terhadap loyalitas nasabah (Y). Dari setiap pernyataan-pernyataan yang berhubungan dengan kedua variabel (variabel bebas dan variabel terikat) tersebut, diukur dengan menggunakan skala likert. Pengertian skala likert menurut Sugiyono (2009:93) adalah sebagai berikut: “Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan presepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial”. Ada pun menurut dari beberapa ahli mengenai desain penelitian yaitu: Menurut Nursalam (2011:93) desain penelitian pada hakikatnya merupakan suatu strategi untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan dan berperan sebagai pedoman atau penuntun peneliti pada seluruh proses penelitian. Menurut Sarwono (2012:110) desain penelitian bagaikan sebuah peta jalan bagi peneliti yang menuntun serta menentukan arah berlangsungnya proses penelitian secara benar dan tepat sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, tanpa desain yang benar seorang peneliti tidak dapat melakukan penelitian dengan baik karena yang bersangkutan tidak mempunyai pedoman arah yang jelas. Menurut Sukardi (2012:72) desain penelitian dilihat secara luas dan secara sempit. Secara luas, desain penelitian adalah semua proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian.
Menurut kerlinger (1973) yang dikutip oleh Sugiyono (2011:7) mengemukakan bahwa: “Penelitian survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang di pelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan kejadian-kejadian relative, distribusi, dan hubungan-hubungan Antara variabel sosiologis maupun psikologis” Dari pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa skala likert dapat digunakan untuk menukur sikap seseorang dengan menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap subjek, objek atau kejadian tertentu. Untuk menilai variabel X dan variabel Y, maka analisis yang digunakan berdasarkan rata-rata ini diperoleh dengan menjumlahkan data keseluruhan dalam setiap variabel, kemudian dibagi dengan jumlah responden. B. Jenis Data Menurut Sugiyono (2007:156) Data ialah segala sesuatu yang diketahui dan dirasa bisa memberikan gambaran tentang suatu keadaan dan persoalan. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan data Primer. 1. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari penelitian di lapangan dengan pengamatan langsung pada instansi yang menjadi objek penelitian, serta melakukan tehnik penelitian yang dilakukan. Data Primer dalam penelitian ini berupa identitas responden yang meliputi umur, alamat pendidikan, pekerjaan dan pendapat responden tentang variabel penelitian yaitu customer service. Sumber data primer yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner kepada nasabah PT. AIA Financial Jakarta.
57
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Menurut sugiyono (2010:115): “populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga objek dan bendabenda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek atau subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu. Dan dalam penelitian ini penulis ingin menegtahui pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah, maka yang menjadi populasi (N) dalam penelitian ini adalah para nasabah prioritas di PT. AIA Financial Jakarta, pada tanggal 14 s/d 18 September, sejumlah 20 nasabah prioritas dikalikan 5 hari masa kerja, maka jumlah populasi 100 responden. 2. Sampel Menurut sugiyono (2010:115): “sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Teknik sampling adalah untuk menetukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik sampel jenuh (Sugiyono, 2010:119) mengatakan bahwa : “Sampling jenuh adalah teknik penentuan sampel bila anggota populasi digunakan sebagai sampel. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus”.
Dalam penelitian ini semua nasabah prioritas dijadikan responden yang berjumlah 100 responden. D. Teknik Pengumpulan Data Data merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam suatu penelitian karena dengan data yang ada dan selanjutnya diproses dengan analisis data akan menajwab permasalahaan serta dapat membuktikan hipotesis yang di rumuskan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer, Data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari objek penelitian atau yang berhubungan dengan objek penelitian data primer diperoleh dari: 1. Metode Observasi Peneliti menggunakan metode ini dengan melakukan observasi di PT. AIA Financial, untuk mengetahui informasi dan data-data sebagai bahan atau data yang dapat digunakan dalam penelitian. 2. Metode Kuesioner (Angket) Data yang diperoleh dengan cara menjabarkan suatu daftar pertanyaan yang cukup terperinci dan lengkap tentang objek yang diteliti kepada responden. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah data primer yang selanjutnya akan diolah dan dianalisis sehingga ditarik kesimpulan. Skala pengukuran yang di pakai adalah Skala Likert menurut sugiyono (2010:107), yaitu digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, presepsi, seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Penulis memperoleh data-data yang dibutuhkan berdasarkan dari keterangan dan informasi yang diberikan responden melalu angket (kuesioner) yang telah disebarkan dengan metode nilai atau skor.
58
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Tabel 3.1 Jawaban Pertanyaan Berdasarkan Skala Likert Jawaban Pertanyaan Nilai atau Skor A. Sangat Setuju 5 B. Setuju 4 C. Kurang Setuju 3 D. Tidak Setuju 2 E. Sangat Tidak Setuju 1 Sumber: Sugiyono (2010:107) 3.
E.
Studi Pustaka Yaitu pengumpulan data-data dengan cara mempelajari berbagai bentuk bahanbahan seperti buku-buku yang berkaitan dengan kajian penelitian, catatan-catatan maupun referensi lain yang bersifat tertulis.
Variabel dan Definisi Operasional Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Customer Service (X) Variabel
Dimensi
Satisfaction (Kepuasan) (Variabel X) Customer Service Sumber: Kasmir (2011:179)
Service (Pelayanan)
Desire (Keinginan)
Needs (Kebutuhan)
Indikator 1. Memberikan Pelayanan kepada nasabah hingga tuntas. 2. Berbicara dengan sopan dan ramah dalam memberikan informasi. 3. Memberikan informasi produk secara akurat dan mudah di pahami 1. Sikap dalam menunjukan respon positif, perhatian atas permasalahan yang sedang dihadapi 2. Melayani nasabah dengan cepat dan tepat 3. Selalu tersenyum dalam melayani pengunjung dan menggunakan Bahasa yang mudah dimengerti 1. Mengetahui mengenai produk & informasi secara detail 2. Penampilan diri Customer Service bersih, rapi, dan tidak berlebihan, serta mengenakan pakaian kerja yang sesuai dan sopan 1. Dapat memberikan solusi yang terbaik untuk masalah yang sedang di hadapi 2. Sikap melayani nasabah tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain
Item
1 2 3
4 5 6
7 8
9 10
59
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Tabel 3.3 Definisi Operasional Variabel Loyalitas (Y) Variabel
Dimensi
Survive (Bertahan) (Variabel Y) Loyalitas Sumber: Ratih Hurriyati (2011:132) Subscribe ( Berlangganan)
Indikator 1. Akan menjadi Loyal terhadap perusahaan 2. Senang terhadap pelayanan yang diberikan 3. Antusias dalam melayani keluhan nasabah 4. Mendahulukan kepentingan nasabah 5. Sarana dan prasarana telah berfungsi dengan baik 1. Nasabah secara continue ke perusahaan kembali 2. Tidak akan pernah pindah ke asuransi lain 3. Kebutuhan nasabah terpenuhi 4. Keluhan teratasi 5. Tepat waktu dalam penyelesaian masalah
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Deskritif Objek Penelitian 1. Sejarah PT. AIA Financial AIA Financial Merupakan salah satu perusahaan asuransi jiwa patungan terkemuka di indonesia dan pelopor dan pelaku bisnis Bancassurance yang dominan serta peraih berbagai penghargaan dalam industri asuransi jiwa. AIA Financial menawarkan beragam produk asuransi termasuk asuransi jiwa, asuransi kesehatan asuransi kecelakaan diri dan asuransi yang di kaitkan dengan investasi serta produk dana pensiun yang di pasarkan melalui kantor- kantor pemasaran dan layanan yang terbesar di berbagai kota di seluruh Indonesia. Cikal bakal AIA Financial adalah PT. Asuransi Lippo Jiwa Sakti kemudian berganti nama menjadi PT. Asuransi Lippo Life. Dengan nama baru tersebut perusahaan yang berada dalam manajemen Lippo Grup ini mulai
Item
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10
beroperasi pada 28 Mei 1983, dan ijin pemerintah tersebut adalah ijin pertama yang di keluarkan setelah pemerintah membekukan perijinan untuk perusahaan asuransi jiwa selama beberapa tahun. Sekarang fokus AIA hanya tertuju pada PT. AIG LIFE, dan karena tidak ada nama lagi di AIA Indonesia maka bergantilah nama PT. AIG LIFE menajdi PT. AIA Financial pada tanggal 1 juni 2009. Hal ini di lakukan untuk memastikan kesesuaian operasi dan bisnis kami, serta agar lebih fokus dalam memberikan produk dan layanan yang terbaik kepada masyarakat. a. Visi Menjadi penyedia jasa keuangan yang paling di butuhkan dan terpecaya di indonesia. Kami akan menjadi pemimpin di setiap jalur usaha dengan menawarkan beragam produk & layanan yang fleksibel, inovatif dan bernilai tinggi, melalui berbagai jalur distribusi yang terbaik di indonesia. 60
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
b. Misi Untuk meningkatkan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat indonesia dengan memenuhi kebutuhan financial mereka yang senantiasa berubah sambil memahami harapan para pemegang polis, mitra perusahaan, dan pemegang saham.
B. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas Untuk mengetahui pengaruh Customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial, instrument yang digunakan adalah kuesioner dalam
bentuk skala likert. Dengan jumlah pertanyaan sebanyak 20 pertanyaan yang diambil berdasarkan indikator yang telah dibuat.
1. Hasil Uji Validitas Uji Validitas merupakan alat ukur yang digunakan untuk menghitung valid tidaknya data yang diukur. Dari hasil perhitungan validitas oleh penulis dengan menggunakan MS. Excel tentang pengaruh Customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial sebagai berikut :
Tabel 4.1 Hasil Uji Validitas Variabel (X) no item pertanyaan
koefesien korelasi
harga t hitung
harga t tabel
keputusan
1
0.41
3.77
1.65
valid
2
0.80
6.19
1.65
valid
3
0.77
6.05
1.65
valid
4
0.42
3.80
1.65
valid
5
0.75
5.96
1.65
valid
6
0.53
4.64
1.65
valid
7
0.71
5.72
1.65
valid
8
0.60
5.11
1.65
valid
9
0.77
6.05
1.65
valid
10 0.66 5.47 Sumber : hasil pengolaan variabel,2013
1.65
valid
Dari hasil uji coba instrument penelitian diperoleh kesimpulan bahwa 10 item alat ukur dinyatakan valid sebanyak 10 item yaitu: item pernyataan pada no.1 sampai dengan no.10.
61
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Tabel 4.2 Hasil Uji Validitas Variabel (Y) no item pertanyaan
koefesien korelasi
harga t hitung
harga t tabel
keputusan
1
0.78
5.89
1.65
valid
2
0.49
4.20
1.65
valid
3
0.75
5.75
1.65
valid
4
0.18
1.74
1.65
valid
5
0.60
4.95
1.65
valid
6
0.34
3.05
1.65
valid
7
0.83
6.11
1.65
valid
8
0.33
3.00
1.65
valid
9
0.77
5.84
1.65
valid
10 0.30 2.79 Sumber : hasil pengolaan variabel,2013
1.65
valid
Dari hasil uji coba instrument penelitian diperoleh kesimpulan bahwa 10 item alat ukur dinyatakan valid sebanyak 10 item yaitu: item pernyataan pada no.1 sampai dengan no.10.
2.
Hasil Uji Reliabilitas Pengujian reliabilitas dilakukan dengan internal consistency melalui teknik belah dua (split half) yang dianalisis menggunakan rumus Sperman Brown. Tabel 4.3 Hasil Uji Reliabilitas Variabel (X) no item pertanyaan
koefesien korelasi (rb)
harga r11 atau rumus spearman brown
1 0.41 2 0.80 3 0.77 4 0.42 5 0.75 6 0.53 7 0.71 8 0.60 9 0.77 10 0.66 Sumber : hasil pengolaan variabel,2013
0.58 0.89 0.87 0.59 0.86 0.69 0.83 0.75 0.87 0.80
harga r tabel
keputusan
0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202
Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
62
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Dari hasil uji coba instrument penelitian diperoleh kesimpulan bahwa 10 item alat ukur dinyatakan reliabel sebanyak 10 item yaitu: item pernyataan pada no.1 sampai dengan no.10 Tabel 4.4 Hasil Uji Reliabilitas Variabel (Y) no item pertanyaan
koefesien korelasi (rb)
harga r11 atau rumus spearman brown
1 0.78 2 0.49 3 0.75 4 0.18 5 0.60 6 0.34 7 0.83 8 0.33 9 0.77 10 0.30 Sumber : hasil pengolaan variabel,2013
0.87 0.66 0.86 0.31 0.75 0.50 0.90 0.50 0.87 0.47
harga r tabel
keputusan
0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202 0.202
Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel
Dari hasil uji coba instrument penelitian diperoleh kesimpulan bahwa 10 item alat ukur dinyatakan reliabel sebanyak 10 item yaitu: item pernyataan pada no.1 sampai dengan no.10.
C.
Analisa Data dan Pembahasan 1. Analisis Data Deskritif Berdasarkan hasil analisa kuesioner, maka berikut ini merupakan jawaban dari pertanyaan yang diajukan penulis kepada responden pada variabel pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah. Adapun jumlah responden adalah sebanyak 100 responden yang merupakan nasabah PT. AIA Financial.
Tabel 4.6 Rekapitulasi Indikator Loyalitas (Y) No
Pertanyaan
Nilai
Interprestasi
1
Nasabah menjadi loyal terhadap perusahaan
3.58
Setuju
2
Senang terhadap pelayanan yang diberikan
3.47
Setuju
3
Customer service antusias dalam melayani keluhan nasabah
3.26
Kurang Setuju
4
Mendahulukan kepentingan nasabah
3.61
Setuju
5
Sarana dan prasarana yang berfungsi dengan baik
3.18
Kurang Setuju
63
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
6
Nasabah secara continue akan kembali kepada perusahaan
3.74
Setuju
7
Tidak akan pernah pindah ke asuransi lain
3.36
Kurang Setuju
8
Kebutuhan nasabah telah terpenuhi
4.75
Sangat Setuju
9
Tepat waktu dalam penyelesaian masalah
3.31
Kurang Setuju
10
Keluhan nasabah teratasi
3.84
Setuju
Jumlah
3.61
Sumber : Hasil pengolahan data,2013 Dari hasil rekapitulasi pada tabel 4.6 diatas dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan terkait dengan indikator variabel Loyalitas (variabel Y) didapat angka rata-rata sebesar 3.61 dengan penilaian setuju, artinya Loyalitas nasabah pada PT. AIA Financial baik dan sudah bisa ditafsirkan setuju 2. Uji Signifikasi (Uji T) Untuk menguji signifikasi koefisien korelasi yaitu hubungan yang ditemukan itu berlaku untuk keseluruhan populasi, maka perlu diuji signifikasi dengan uji t:
Thitung Thitung
r n2 1 r2 0,773 100 2
1 0,773 2 Thitung 12.061
Dari hasil perhitungan diatas diketahui nilai t hitung sebesar 12.061 kemudian dibandingkan dengan harga t tabel untuk kesalahan 5 % uji dua fihak dan dk = n-2, dk = 100-2 = 98, maka diperoleh t tabel = 1.65. Dari hasil perhitungan ternyata t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 12.061> 1.65 3. Kriteria Pengujian Hipotesis Hasil konsultasi t hitung dengan t tabel, didapatkan pertanyaan sebagai berikut: a. Ho diterima jika: t hitung < t tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak. b. Ha diterima jika: t hitung > t tabel maka ho ditolak dan ha di terima. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti T hitung > t tabel Ha diterima dan Ho ditolak, artinya terdapat pengaruh signifikan dari customer service terhadap loyalitas nasabah,ini berarti pengaruhnya signifikan. Pernyataan diatas dapat dengan kurva dibawah ini :
64
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Gambar 4.2 Kurva Penerimaan dan Penolakan Ha/Ho
Berdasarkan criteria pengujian diatas diketahui t tabel 1.65 maka: 12.061> 1.65 Ho ditolak dan Ha diterima.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis kepada nasabah PT.AIA Financialdengan menggunakan kuesioner sebagai alat bantu penetitian untuk mengumpulkan data dan mengolah data menjadi suatu informasi dan juga menjadi suatu pembahasan yang bertujuan untuk menjawab suatu permasalahan yang diteliti, pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah di PT. AIA Financial Jakarta, maka dapat di simpulkan sebagai berikut : 1. Berdasarkan perhitungan analisis deskriptif untuk customer service (variabel X) diperoleh indikator yang rendah pada X3 terhadap memberikan informasi secara akurat dan mudah dipahami didapatkan angka penafsiran 2.76, angka ini menunjukan angka kriteria kurang setuju. Hal ini menunjukan bahwa pemberian informasi yang diberikan oleh customer service kurang baik. 2. Berdasarkan perhitungan analisis deskriptif untuk loyalitas nasabah (Variabel Y) di peroleh indikator rendah pada Y5 Sarana dan prasarana
yang berfungsi dengan baik didapatkan angka penafsiran 3.18, angka ini menunjukan angka kriteria kurang setuju. Hal ini menujukan bahwa sarana dan prasarana masih belum berfungsi dengan baik. 3. Berdasarkan perhitungan diatas diperoleh koefisien korelasi sebesar 0.773 termasuk korelasi kuat. Jadi terapat hubungan korelasi yang kuat antara customer service terhadap loyalitas nasabah di PT.AIA Financial. 4. Berdasarkan hasil perhitungan koefisien determinasi dihasilkan nilai koefisien determinasi adalah 59.75% artinya kontribusi pengaruh customer service terhadap loyalitas nasabah adalah 59.75% sedangkan sisanya sebesar 40.25 % dipengaruhi oleh faktor lain seperti pelayanan. 5. Bersasarkan hasil perhitungan hasi t hitung 12.061 selanjutnya dibandingkan dengan harga t tabel. Untuk kesalahan 5% uji dua fihak dan dk = n-2 =98, maka diperoleh t tabel = 1.65, hasil konsultasi t hitung dengan t tabel, didapatkan pernyataan sebagai berikut: t hitung > t tabel maka Ha diterima dan Ho ditolak, ini berarti pengaruhnya signifikan.
65
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
6. Berdasrkan hasil perhitungan regresi linier sederhana Y = 16.692 + 0.508 X terdapat pengaruh signifikan antara variabel X (customer service) terhadap variabel Y (loyalitas).
B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hasil akhir dari penulisa skrispi ini penulis mencoba menyampaikan beberapa saran yang kiranya dapat bermanfaat dan sebagai bahan pertimbangan serta masukan antara customer service dengan loyalitas nasabah pada PT. AIA Financial. Adapun saran-saran yang diberikan penulis adalah sebagai berikut: 1. Untuk memberikan informasi harus secara akurat dan mudah dipahami oleh nasabah agar tidak terjadi miscommunication antara nasabah dan customer service, agar nasabah terus menjadi loyal terhadap perusahaan. 2. Customer service haruslah antusias dalam melayani keluhan nasabah, agar nasabah merasa kebutuhanya terpenuhi dan akan secara berulang datang ke perusahaan. 3. Sarana dan prasarana yang harus lebih ditingkatkan agar bisa berfungsi dengan baik, guna membuat nasabah menjadi nyaman saat berada dalam ruangan customer service, hai ini bertujuan untuk meningkatkan loyalitas nasabah. 4. Pelayanan yang diberikan haruslah lebih ramah dan lebih peduli terhadap permasalahan yang sedang dialami nasabah, karena pelayanan yang ramah akan membuat nasabah aman dan nyaman bahkan betah dan akan datang kembali ke perusahaan. 5. Pengaturan waktu dalam penyelesaian masalah harus lebih dikoordinasikan antara bagian terkait agar tidak menimbulkan hard complain dan nasabah tidak perlu menunggu lama dengan permasalahan yang dialami.
DAFTAR PUSTAKA Dewi,
Lira Chrisyanti, Pengantar Ilmu Administrasi, Cetakan Pertama. Pustaka Publiser. 2011 Hasibuan, S P, Melayu, Dasar-Dasar Perbankan, Bumi Aksara, Jakarta. 2010. Hurriyati, Ratih. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen. Bandung, ALFABETA. 2010. Kasmir, Etika Customer Service, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2011. Lupiyoadi, Rambat, Manajemen Pemasaran Jasa, Penerbit Salemba Empat, Jakarta. 2009. Majid, Suharto Abdul, Customer Service dalam bisnis Jasa Transportasi, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2009. McGee, Frank, Customer Service Great Ideas Inspiration, Penerbit PT. Prestasi Pustakarya, Jakarta. 2008. Moenir, A S, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta. 2011. Rahmayanty, Nina, Manajemen Pelayanan Prima ,Edis, Penerbit Graha Ilmu, Jakarta. 2013. Rangkuti, Freddy, Customer Service Satisfaction & Call Center Berdasarkan ISO 9001, PT. Gramedia Pustaka Utama. 2013. Riduwan. Metode dan Teknik Menyusun Tesis. Alfabeta CV. Bandung. 2009. Solihin, Ismail. Pengantar Manajemen Erlangga. Jakarta. 2009. Sujarweni, Winarta, Metodologi Penelitian, PT. Pustaka Baru, Yogyakarta. 2013. Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi dilengkapi dengan metode R & D, Cetakan ke -15. Bandung: CV Alfabeta. 2011. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & D, Cetakan ke -15. Bandung: CV Alfabeta. 2011. Wright Edelmen, Marian, Instant Quotations On Customer Service Excellence, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2010. 66
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
PELAYANAN AKADEMIK DAN KINERJA DOSEN SEBAGAI FAKTOR PENENTU KEPUASAN MAHASISWA STIA BANTEN Oleh : Ade Hadiono Abstrak Pokok masalah penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar pelayanan akademik dan kinerja dosen secara bersama-sama terhadap kepuasan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten. Dengan menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan rumusan masalah assosiatif dengan dua variabel independen yaitu pelayanan akademik dan kinerja dosen serta satu variabel dependen yaitu kepuasan mahasiswa. Subjek penelitian ini adalah seluruh mahasiswa aktif STIA Banten. Data penelitian diperoleh dari sebaran kuesioner terhadap 198 orang mahasiswa dari dua jurusan (Administrasi Negara dan Niaga) angkatan tahun 2009/2010, 2010/2011, 2011/2012 dan tahun 2012/2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelayanan akademik dan kinerja dosen secara bersama-sama memiliki pengaruh yang kuat dan signifikan terhadap kepuasan mahasiswa, hal ini diperoleh dari koefisien korelasi R sebesar 0,713 dan hasil persamaan Y = 9.203 + 0.389 X 1 + 0.430 X 2. Diperoleh Koefisien Determinasi (R Square) sebesar 0,508, artinya kontribusi pelayanan akademik dan kinerja dosen terhadap kepuasan mahasiswa sebesar 50,8% dan sisanya 49,2% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak dianalisis lebih lanjut dalam penelitian ini Kata kunci : Pelayanan, Kinerja dan Kepuasan.
A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hak individu setiap warga negara, dan sekaligus menjadi kewajiban negara untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan serta memfasilitasi setiap warga negaranya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Karena pendidikan merupakan salah satu kunci dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, dan memiliki karakter serta dapat menggali potensi yang ada dalam tiap individu. Pelaksanaan pendidikan bisa berhasil apabila individu tersebut mempunyai keinginan untuk maju, mendapat dukungan keluarga, serta berada di lingkungan masyarakat yang sadar akan pendidikan serta adanya fasilitas pendidikan yang disediakan oleh pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, bahwa pendidikan merupakan kebutuhan yang utama untuk dapat berkembangnya suatu negara. Oleh karena itu peningkatan pendidikan perlu dilakukan agar tercipta
sumber daya manusia yang berkualitas, beriman, bertaqwa dan bertanggungjawab sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Bab II pasal 3, bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten (STIA Banten) adalah lembaga pendidikan tinggi ternama di wilayah Kabupaten Pandeglang dan sekitarnya yang 67
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
berdiri sejak tahun 2002, terus berupaya untuk meningkatkan sistem dan kualitas pendidikan dan pengembangan kemahasiswaan dengan fokus untuk dapat menghasilkan lulusan yang berkompeten di bidang Ilmu Administrasi Negara dan Ilmu Administrasi Niaga, serta dapat bersaing dengan lulusan dari perguruan tinggi lain. Berdasarkan data yang dipublikasikan dalam situs resmi perguruan tinggi swasta on-line (http://www.pts.co.id), jumlah perguruan tinggi swasta yang ada di Provinsi Banten sebanyak 95 PTS. Dari 95 PTS tersebut, hanya ada 2 (dua) PTS yang membuka program studi ilmu administrasi, yang salah satunya adalah Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten (STIA Banten). Bila melihat tabulasi data tersebut di atas, peluang untuk mendapatkan mahasiswa baru cukup tinggi. Hal ini didasarkan pada pilihan yang ingin kuliah dengan mengambil program studi administrasi cukup besar yaitu 29,13%. Untuk itu STIA Banten harus berusaha untuk bersaing dengan perguruan tinggi lainnya dalam memperebutkan calon mahasiswa baru dengan jalan memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya pada para siswa SMA/SMK mulai dari cara proses pendaftaran, pembiayaan perkuliahan, kurikulum, proses pembelajaran, serta fasilitas pendukung lainnya. Untuk mengetahui berbagai kekurangan dalam segi pelayanan, maka setiap awal semester pihak manajemen, akademik dan jurusan selalu melakukan pertemuan dengan seluruh staf dosen. Pertemuan tersebut selain sebagai ajang silaturahmi, juga didapat informasi yang saling melengkapi dan sebagai bahan evaluasi atas pelayanan yang diberikan oleh seluruh civitas akademika. Dengan harapan kekurangan dalam pelayanan dan proses belajar mengajar dapat diperbaiki dan ditingkatkan pada semester berikutnya. Namun demikian, apakah hasil evaluasi tersebut telah dijalankan sepenuhnya baik oleh manajemen, akademik, jurusan serta dosen? Sehingga dalam pelayanan bisa ditingkatkan kembali dan bisa membuat mahasiswa sebagai pelanggan dari pendidikan tinggi tersebut merasa puas akan
layanan yang diberikan? Nampaknya belum diungkap secara mendalam. Ibarat pepatah klasik, ‘pembeli adalah raja’. Maka mahasiswa adalah raja di lingkungan kampus STIA Banten. Dimana raja harus dilayani dan diperlakukan dengan baik, salah satunya adalah dengan mendapatkan pelayanan akademik yang baik, maupun fasilitas penunjang lainya sebagai kelengkapan dari proses belajar mengajar. Memberikan pelayanan yang dapat memberikan kepuasan terhadap mahasiswa bukanlah hal yang mudah, seringkali ditemukan masalah yang membuat mahasiswa menjadi tidak nyaman. Oleh karena itu dibutuhkan perencanaan yang matang dan fasilitas penunjang pendidikan yang memadai. Ada hubungan yang erat antara kualitas pelayanan dengan kepuasan mahasiswa. Kualitas pelayanan yang baik, dapat membuat mahasiswa merasa nyaman, dan dari hubungan tersebut bagian akademik dapat mengidentifikasi keinginan dan kebutuhan mahasiswa, sehingga bagian akademik dapat meningkatkan hal yang dapat membuat mahasiswa senang atau puas terhadap pelayanan yang diberikan. Hasil penelitian terhadap kepuasan mahasiswa telah banyak diungkap oleh para peneliti terdahulu dengan waktu dan lokasi penelitian yang berbeda. I Made Suardana (2007,57-69) melakukan penelitian terhadap Kepuasan dan Pelayanan Jasa Pendidikan di STIE Mataram dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menjunjukkan bahwa mahasiswa STIE Mataram secara umum tergolong sangat puas yakni sebesar 62.50%. Adapun 13.75% tergolong puas dan 23.75% merasa tidak puas. Mahasiswa yang tidak puas memiliki harapan yang lebih tinggi daripada kinerja aktual yang diberikan oleh STIE Mataram. Permasalahan dianalisis dengan analisis IPK (Indeks Kepuasan Konsumen) dan diagram cartesius. Analisis IPK yakni pengukuran kepuasan dengan cara membandingkan kinerja aktual dibagi harapan konsumen. Sementara itu, hasil penelitian Sri Winarsih (Tesis) terhadap Persepsi Mutu Pembelajaran dan Kepuasan Mahasiswa di 68
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Prodi Kebidanan Magelang, dengan jenis penelitian observational dan pendekatan waktu cross sectional. Sampel yang digunakan dengan proportional sampel sebanyak 168 mahasiswa. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah persepsi mahasiswa tentang kehandalan, daya tanggap, kepastian empati dan wujud dalam PBL, sedangkan variabel terikatnya adalah kepuasan mahasiswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi wujud mempunyai pengaruh terhadap kepuasan mahasiswa, maka Prodi Kebidanan Magelang harus meningkatkan wujud (bukti fisik) untuk meningkatkan kepuasan mahasiswa dalam pembelajaran praktek laboratorium kebidanan meliputi pengaturan ruang laboratorium yang luas, terang dan nyaman, pemenuhan alat yang mencukupi, dan penempatan alat yang rapi. Sementara itu, Indah Dwi Prasetyaningrum (Tesis, 2009) meneliti tentang Pembelajaran, Kualitas Pelayanan, Kepuasan Mahasiswa dan Loyalitas Mahasiswa. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei, data diperoleh dengan penyebaran kuesioner kepada 170 responden. Data dianalisis dengan menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) dengan program AMOS 4.0 dengan maximum likelihood estimation. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa loyalitas mahasiswa dapat dibangun dari variabel pembelajaran melalui kepuasan mahasiswa. Loyalitas mahasiswa juga dapat dibangun dari variabel kualitas pelayanan melalui variabel kepuasan mahasiswa. Sementara hasil penelitian Zurni Zahara Samosir (2005: 28-36) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan secara serempak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan mahasiswa, yang berarti dimensi kualitas pelayanan beserta indikator-indikatornya memberikan pengaruh yang nyata terhadap kepuasan mahasiswa. Dari hasil beberapa hasil penelitian terdahulu di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan mahasiswa itu dapat terbentuk dengan adanya pelayanan yang baik, serta dapat memenuhi harapan dan kebutuhan mahasiswa. Sementara berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap kepuasan
mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi banten, dapat diungkap sebagai berikut : (1) Mahasiswa masih merasa kurang puas atas pelayanan yang diberikan oleh bagian akademik maupun terhadap kinerja dosen, hal ini terlihat dari beberapa tulisan karya mahasiswa yang ditempel di mading, yang mengungkapkan rasa kecewa terhadap pelayanan yang diterima lewat tulisan; (2) banyaknya coretan ataupun gambar di kursi kuliah ataupun di dinding kamar mandi; (3) mengubah tampilan wallpaper di komputer lab, yang sedikit banyak mencerminkan rasa kekurang puasan mereka. Sementara hasil wawancara penulis dengan mahasiswa yang telah mendapatkan pelayanan tenaga administrasi akademik, pada tanggal 20 April 2013 terungkap hasil berikut : (1) Petugas sering tidak ada di tempat; (2) Petugas kadang kurang ramah dalam melayani mahasiswa; (3) Dalam pembuatan surat keterangan, kadang membutuhkan waktu berhari-hari; (4) Petugas kurang handal dalam memberikan pelayanan; dan (5) Pencetakan kartu hasil studi (KHS) mahasiswa yang kadang membutuhkan waktu sampai berhari-hari baru beres, hal ini dikarenakan dosen banyak yang belum menyerahkan hasil ujian ke bagian akademik. Banyaknya keluhan dari mahasiswa atas pelayanan akademik dan kinerja dosen yang mengajar di STIA Banten, maka menunjukkan pelayanan akademik dan kinerja dosen belumlah maksimal. Diperkirakan pelayanan petugas akademik baru mencapai sekitar 30%, sementara kinerja dosen di STIA Banten baru mencapai sekitar 40%, dan rata-rata tingkat kepuasan mahasiswa baru mencapai 50%. Hal ini harus menjadi perhatian yang serius dan perlu kesadaran dari semua unsur untuk terus berupaya meningkatkan pelayanan untuk bisa mewujudkan kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan. Alma (2005:38) mengatakan bahwa tenaga administrasi sebenarnya merupakan trade mark dari perguruan tinggi itu sendiri. Lancar atau tidaknya, ramah atau tidaknya tenaga administrasi dalam memberi pelayanan kepada mahasiswa atau masyarakat, akan memberi kesan yang 69
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
mendalam bagi yang menerima pelayanan. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, tenaga administrasi di fakultas melakukan berbagai layanan mendukung kelancaran pelaksanaan kegiatan akademik. Dengan demikian, untuk meningkatkan mutu pendidikan, baik dosen maupun tenaga administrasi harus memberikan nilai tambah dalam hal meningkatkan pelayanan akademik dan non akademik (administratif). Hal itu memberi implikasi kepada setiap dosen dan tenaga administrasi di berbagai unit kerja harus lebih memahami dan mengutamakan kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan sehingga peningkatan mutu pendidikan dapat dirasakan tidak hanya oleh stake holder melainkan juga para pelanggan (customer) STIA Banten. Mahasiswa sebagai pelanggan tentunya memiliki harapan dan kriteria tersendiri sehingga memutuskan untuk kuliah di STIA Banten. Oleh karena itu, lembaga harus bisa menjaga dan memenuhi harapan yang mahasiswa inginkan, dengan jalan pemberian pelayanan harus dimulai dari kebutuhan mahasiswa akan pelayanan dan berakhir pada persepsi mahasiswa terhadap mutu pelayanan yang diberikan. Kepuasan mahasiswa tidak terlepas dari pelayanan tenaga administrasi dan dosen. Kepuasan mahasiswa dapat terwujud ketika apa yang didapatkannya telah sesuai dengan apa yang diharapkannya. Jadi tingkat kepuasan merupakan fungsi dari perbedaan antara kinerja yang dirasakan dengan harapan. Apabila kinerja di bawah harapan, maka mahasiswa akan kecewa. Jika kinerja telah sesuai dengan harapan, mahasiswa akan puas. Dan jika kinerja melebihi harapan, mahasiswa akan sangat puas. Kepuasan mahasiswa dapat terbentuk pula dari faktor budaya yang ada di lembaga pendidikan tempat mahasiswa tersebut kuliah, karena budaya dapat mempengaruhi hampir segala sesuatu yang terjadi. Apalagi kejadian tersebut dilakukan berulang terusmenerus. Menurut Deal & Peterson (2009:9) budaya mempengaruhi dan membentuk cara-cara guru, siswa, dan administrator berpikir, merasa, dan bertindak. Budaya
adalah ritual kuat dan tradisi, norma dan nilai-nilai yang mempengaruhi setiap sudut kehidupan sekolah (kampus). Fokus penelitian ini adalah mengukur tingkat kepuasan mahasiswa sebagai pelanggan dari sebuah lembaga pendidikan, atas pelayanan tenaga administrasi akademik serta berdasarkan kinerja dosen yang mengajar. Sampel yang digunakan untuk mengetahui kualitas layanan akademik dan kinerja dosen ini adalah pelanggan internal, yaitu mahasiswa STIA Banten itu sendiri. B. Landasan Teori 1. Konsep Administrasi Pendidikan Administrasi pendidikan sering diartikan sebagai proses pengembangan kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu untuk mencapai tujuan pendidikan. Proses pengendalian kegiatan kelompok berkenaan dengan kegiatan perencanaan (planning); pengaturan (organizing); menggerakkan (actuating); pengawasan (controlling) sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan. Pengertian administrasi pendidikan telah diungkapkan oleh beberapa ahli, dipandang dari fokus yang berbeda sesuai konsep teoretis yang melandasinya. Knezevich (1984:9) dalam buku Administration of Public Education mendefinisikan bahwa : Educational administration is a specialized set of organizational functions whose primary purposes are to insure the efficient and effective delivery of elevant educational service as well as implementation of legislative policies through planning, decision making, and leadership behavior that keeps the organizations focused on predetermined objectives, provides for optimum allocation and most productive uses, stimulates and coordinated professional and other personnel to produce a coherent social system and desirable organizational climat, and facilitates
70
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
determination of essential changes to satisfy future and emerging needs of student and society. Makna dari uraian tersebut, menunjukkan kompleksitas aktivitas yang saling ketergantungan. Administrasi pendidikan merupakan sekumpulan fungsi-fungsi organisasi yang memiliki tujuan utama untuk menjamin efisiensi dan efektivitas pelayanan pendidikan, sebagaimana pelaksanaan kebijakan melalui perencanaan, pengambilan keputusan, perilaku kepemimpinan, penyiapan alokasi sumber daya, stimulus dan koordinasi personil, dan iklim organisasi yang kondusif, serta menentukan perubahan esensial fasilitas untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan masyarakat di masa depan. Administrasi pendidikan, menurut Hadari Nawawi (1981:11) adalah rangkaian kegiatan atau keseluruhan proses pengendalian usaha kerjasama sekelompok orang untuk mencapai tujuan pendidikan, secara berencana dan sistematis yang diselenggarakan di lingkungan tertentu, terutama lembaga pendidikan formal. Sementara itu Engkoswara (1987:1) berpendapat bahwa Garapan Fungsi
“administrasi pendidikan dalam arti seluas-luasanya adalah suatu ilmu yang mempelajari penataan sumber daya untuk mencapai tujuan pendidikan secara produktif”, yang digambarkan seperti pada gambar 2.1. Gambar tersebut mengilustrasikan keterpaduan antara fungsi administrasi pendidikan sebagai penjabaran dari istilah penataan yang dikemukakan pada definisi di atas, dan garapan kerja administrasi pendidikan sebagai penjabaran dari sumber daya. Fungsi utama penataan administrasi pendidikan adalah perencanaan (planning), pelaksanaan (implementing), dan pengawasan (evaluating) pendidikan yang menyangkut tiga sumberdaya/bidang garapan utama yaitu: (1) Sumber daya manusia (SDM) yang terdiri atas peserta didik, tenaga kependidikan, dan masyarakat pemakai jasa pendidikan; (2) Sumber belajar (SB) adalah alat atau rencana kegiatan yang akan dipergunakan sebagai media, di antaranya kurikulum dan (3) Sumber fasilitas dan dana (SFD) sebagai faktor pendukung yang memungkinkan pendidikan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
SDM
SB
Perencanaan
SFD TPP
Pelaksanaan Pengawasan Kelembagaan
Gambar 1 : Penataan Sumberdaya dalam Administrasi Pendidikan
71
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Semua fungsi dan sumber daya administrasi pendidikan ini merupakan media (teknologi pendidikan) atau perilaku berorganisasi yang diharapkan dapat mencapai tujuan pendidikan secara produktif (TPP) baik untuk kepentingan perorangan maupun untuk kelembagaan. Tujuan pendidikan yang produktif berupa prestasi yang efektif, dan suasana atau proses yang efisien. Selanjutnya keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan yang produktif dapat dilihat dari sudut administratif, psikologis, dan ekonomis. Hal ini didasarkan pada pendapat Thomas (1972:12-23) bahwa pendidikan yang produktif memiliki tiga fungsi yaitu; (1) the administrator’s production function (PF1), (2) the psychologist production function (PF2) and the economist’s production function (PF3). Sutisna (1989:19) mengemukakan administrasi pendidikan adalah “keseluruhan proses dengan mana sumber-sumber manusia dan materi yang cocok dibuat tersedia dan efektif bagi pencapaian maksud-maksud organisasi secara efisien”. Sears (1950) sebagaimana dikutip oleh Daryanto (2005:8) mengemukakan “Education administration is the process as including the following activities planning, organizing, directing, coordinating, and control. Daryanto (2005:8) mengemukakan administrasi pendidikan adalah “suatu cara bekerja dengan orang-orang, dalam rangka usaha mencapai tujuan pendidikan yang efektif”. Selanjutnya Soepardi (1988:25) menjelaskan administrasi pendidikan adalah semua aspek kegiatan untuk mendayagunakan berbagai sumber (manusia, sarana dan prasarana, serta media pendidikan lainnya) secara optimal, relevan, efektif, dan efisien guna menunjang pencapaian tujuan pendidikan. Sagala (2005:27) mengemukakan bahwa administrasi pendidikan adalah penerapan ilmu administrasi dalam dunia pendidikan atau
sebagai penerapan administrasi dalam pembinaan, pengembangan, dan pengendalian usaha dan praktek-praktek pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa administrasi pendidikan adalah proses memanfaatkan sumber daya pendidikan melalui kerjasama sejumlah orang dengan melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi, untuk mencapai tujuan pendidikan secara efektif dan efisien. 2. Konsep Layanan Akademik dalam Kajian Administrasi Pendidikan a. Pengertian Layanan Kata pelayanan banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pelayanan publik, pelayanan administratif, pelayanan yang memuaskan dan sebagainya. Layanan tidak dapat dilepaskan dengan hak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Layanan diartikan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang), atau jasa. Pelayanan juga diartikan sebagai kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa (2001: 571). Layanan merupakan sebuah kegiatan yang memberikan manfaat bagi pelanggan pada waktu dan tempat tertentu, sebagai akibat dari perubahan yang diinginkan. Layanan berasal dari kata service, Kotler (2008:444) mendefinisikan service is any act or performance that one party can offer to another that is essentially intangible and does not result in the ownership of anything. Its production may or may not be tied to a physical product. (layanan adalah setiap tindakan atau kinerja yang satu pihak dapat menawarkannya kepada pihak yang lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun, produksinya mungkin tidak terikat dengan suatu produk fisik).
72
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Layanan merupakan suatu tindakan yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak yang lain. Meskipun prosesnya tidak terikat dengan suatu produk fisik, tindakannya pada dasarnya tidak berwujud dan biasanya tidak menghasilkan salah satu faktor produksi. b. Pengertian Layanan Akademik Berbicara masalah layanan akademik maka tentu tidak akan terlepas dari berbicara tentang layanan yang diberikan oleh lembaga pendidikan terhadap konsumennya, karena layanan akademik menyangkut pelayanan publik dalam bidang yang sifatnya khusus. Menurut Moenir (1995:26) pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur, dan metode tertentu dalam rangka usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya. Dari definisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan pengertian pelayanan publik yaitu suatu usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang atau institusi tertentu untuk memberikan kemudahan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelayanan akademik adalah pelayanan yang berkaitan dengan kegiatan pendidikan di perguruan tinggi. Berdasarkan pengertian tersebut maka layanan akademik dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk memberikan kemudahan pada pemenuhan kebutuhan mahasiswa dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan akademik. Layanan akademik merupakan kegiatan dalam memberikan manfaat kepada para mahasiswa sebagai salah satu pelanggan lembaga pendidikan tinggi dalam hal penggunaan fasilitas seperti perpustakaan, konseling, bank, layanan administrasi, proses belajar mengajar, layanan fasilitas olahraga, dan lain sebagainya. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa layanan akademik mengandung rangkaian kegiatan yang sistematik yang menempatkan hal tersebut sebagai sebuah sistem. c. Dimensi Layanan Dalam mengukur kualitas sebuah layanan khususnya dalam hal ini layanan akademik, penulis menggunakan lima dimensi pelayanan yang dikemukakan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Leonard L. Berry dalam ”A Conceptual Model of Service Quality and Its Implication for Future Research” (Journal of Marketing (Fall:1985)) yang dikutip Kotler (2003:455) mencakup: (1) reliability, (2) responsiveness, (3) assurance, (4) empathy, (5) tangible yang harus diperbaiki sebagai salah satu pendorong keunggulan bersaing. 1) Reliability (Keandalan) Reliability yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan terpercaya dan akurat, konsisten dan adanya kesuaian pelayanan. Di lingkungan pendidikan tinggi hal ini dapat dilihat dari segi prosedur pelayanan administrasi mahasiswa yang cepat dan cepat, pelayanan bimbingan dan konseling antara mahasiswa dan dosen dengan cepat dan tepat. Jadwal belajar mengajar yang dijalankan dengan tepat waktu, pelayanan akademis antara mahasiswa dan bagian administrasi yang tidak berbelit-belit, dan lain sebagainya. 2) Responsiveness (Kemampuan Reaksi) Responsiveness yaitu kemauan dari dosen ataupun pegawai bagian akademik untuk membantu pelanggannya yaitu mahasiswa dan memberikan layanan dengan cepat serta mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukannya. Dalam lingkungan pendidikan tinggi hal ini dapat dilihat dari segi kemampuan dosen ataupun pegawai bagian akademik untuk 73
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
dengan cepat tanggap menyelesaikan keluhan mahasiswanya. Dosen ataupun para pegawai lembaga pendidikan memberikan informasi yang jelas, dan mudah dimengerti, dan bertindak cepat saat mahasiswa membutuhkan. 3) Assurance (Kepastian) Assurance yaitu berupa kemampuan pegawai untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan kepada konsumen. 4) Empathy (Empati) Empathy adalah kesediaan pegawai untuk lebih peduli memberikan perhatian secara pribadi kepada pelanggan. Misalnya menempatkan diri sebagai pelanggan, jika pelanggan mengeluh maka harus dicari solusinya dengan menunjukkan rasa peduli yang tulus. 5) Tangibles (Bukti Fisik) Tangibles adalah berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan, dan berbagai materi komunikasi. Dalam lingkungan pendidikan tinggi fasilitas fisik bisa dilihat dari kebersihan, kerapian, dan kenyamanan ruangan belajar. Juga penataan ruangan baik secara interior maupun eksterior. Peralatan belajar mengajar yang memadai, kesiapannya saat akan digunakan seperti fasilitas presentasi, alat komunikasi multimedia, dan lain sebagainya. Sebagaimana dijelaskan juga oleh Zeithaml, Bitner & Gramler (2005:107) yang menggambarkan persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan dan hubungannya dengan kepuasan pelanggan. Memberikan layanan yang baik kepada konsumen bertujuan untuk memenuhi harapan dan kebutuhan konsumen, sehingga tercapai suatu kepuasan. Kepuasan itu sendiri terdiri atas dua hal yaitu layanan dan produk kegiatan
layanan. Keduanya harus memenuhi syarat agar dapat memberikan kepuasan kepada penerima layanan. Untuk pelayanan harus berkualitas. Kualitas pelayanan adalah kesesuaian antara pelayanan yang diharapkan konsumen dengan pelayanan yang diberikan organisasi. Dalam pelaksanaannya sebuah lembaga nirlaba termasuk lembaga pendidikan harus selalu menjaga kualitas layanan yang diberikan sehingga konsumen merasa terpuaskan dan tidak merasakan kekecewaan terhadap layanan. Namun, Parasuraman, Zethaml dan Berry dalam buku Kotler (2003:445) mengungkapkan 5 gap (kesenjangan) yang dapat menimbulkan kegagalan dalam layanan, yaitu: (1) Kesenjangan harapan konsumen dengan persepsi manajemen, (2) Kesenjangan persepsi manajemen dengan kualitas layanan, (3) Kesenjangan kualitas layanan dengan penyampaian layanan, (4) Kesenjangan penyampaian layanan dengan komunikasi eksternal, (5) Kesenjangan layanan yang dipersepsi dengan layanan yang diharapkan. 3.
Konsep Efektivitas Kinerja Dosen a. Pengertian Kinerja Faktor individu dalam manajemen merupakan faktor yang menentukan dalam keseluruhan proses manajemen. Oleh karena itu, faktor individu harus diatur, dikendalikan dan dikembangkan secara efisien agar dapat meningkatkan aktivitasnya dalam mewujudkan kerja yang terarah untuk mencapai target dan sasaran organisasi. Keberhasilan individu dalam mencapai target atau sasaran tersebut merupakan kinerja. Berbicara tentang kinerja dosen sebagai tenaga kependidikan, erat kaitannya dengan cara mengadakan penilaian terhadap pekerjaan seseorang sehingga perlu ditetapkan standar kinerja atau standard performance. Sayles dan Strauss (1977:47), mengungkapkan bahwa: 74
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
“Managers expected to be held to standard of accountability and most managers prefer to have their established unambiguously, so they know where to carry out their energies. In effect the standard established a target, and at the end of the target periode (week, month or year) both manager and boss can compare the expected standard of performance with the actual level or achievement. Kutipan di atas menunjukkan bahwa standar kinerja perlu dirumuskan sebagai tolok ukur untuk melakukan perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan yang diharapkan terhadap seseorang berkaitan dengan pekerjaan yang telah dipercayakan kepadanya. Standar kinerja dapat juga dijadikan ukuran pertanggungjawaban terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Dari pandangan di atas jelas bahwa kinerja itu hanya dapat diketahui dengan baik berdasarkan suatu proses penilaian jika semua tugas yang akan dilaksanakan oleh seseorang benar-benar dapat dijabarkan dengan baik, dan dapat menggambarkan suatu keseluruhan tugas organisasi yang bersangkutan. Dengan kata lain, bahwa kinerja bukan saja menggambarkan suatu bagian saja dari organisasi, tetapi secara keseluruhan. b. Proses Penilaian Kinerja Penilaian kinerja terdiri dari tiga langkah, yaitu: mendefinisikan pekerjaan, menilai kinerja, dan memberikan umpan balik (Gary, 1997:3). Di pihak lain, Schuler dan Jackson (1999:11) berpendapat bahwa dalam penilaian kinerja terdiri dari tiga jenis kriteria kinerja, antara lain: (1) Kriteria berdasarkan sifat, yaitu memusatkan diri pada karakteristik pribadi seorang
karyawan, loyalitas, keandalan, kemampuan berkomunikasi, dan keterampilan memimpin. Jenis kriteria ini memusatkan diri pada bagaimana seseorang, bukan apa yang dicapai atau tidak dicapai seseorang dalam pekerjaanya. (2) Kriteria berdasarkan perilaku, yaitu fokus pada bagaimana pekerjaan itu dilaksanakan. Kriteria ini penting bagi pekerjaan yang membutuhkan hubungan antar personal. (3) Kriteria berdasarkan hasil. Kriteria ini menitikberatkan pada apa yang telah dicapai atau dihasilkan ketimbang bagaimana sesuatu dicapai atau dihasilkan. Kriteria ini sering dikritik karena meninggalkan aspek kritis pekerjaan yang penting, seperti kualitas. Selanjutnya Mondy dan Noe (1990) dalam Marwansyah dan Mukaram (2000:108) mengemukakan lima langkah proses Penilaian Unjuk Kerja (PUK), yaitu: (1) Mengidentifikasi tujuan spesifik penilaian unjuk kerja. Sebagai contoh: mempromosikan karyawan, mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan, mendiagnosis masalahmasalah yang dialami karyawan. (2) Menentukan tugas-tugas yang harus dijalankan dalam suatu pekerjaan (analisis jabatan). Jika analisis jabatan sudah dilakukan, pada tahap ini cukup dilakukan upaya untuk memutakhirkan atau melengkapi informasi hasil analisis jabatan. (3) Memeriksa tugas-tugas yang dijalani. Penilai pada tahap ini memeriksa tugas-tugas yang dilaksanakan oleh setiap pekerja dengan berpedoman pada deskripsi jabatan. (4) Menilai unjuk kerja. Setelah memeriksa tugas-tugas, penilai memberikan nilai untuk tiap-tiap unsur jabatan yang diperiksa atau diamati. (5) Membicarakan hasil penilaian dengan karyawan. Pada tahap ini penilai menyampaikan dan 75
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
mendiskusikan hasil penilaian kepada karyawan yang dinilai. Karyawan yang bersangkutan dapat mengklasifikasikan hasil penilaian dan, bila perlu, bisa mengajukan keberatan atas hasil penilaian tersebut. Penilaian kinerja ini dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki kesempatan untuk mengamati perilaku secara langsung. Marwansyah dan Mukaram (2000:108) mengemukakan bahwa ada beberapa kemungkinan tentang siapa yang dapat melakukan penilaian kinerja, antara lain; atasan langsung, bawahan, rekan kerja, penilaian kelompok, penilaian oleh diri sendiri, dan kombinasi dari setiap penilai tersebut. Sedang menurut Schuler dan Jackson (1999:15) sumber-sumber data penilaian kinerja dapat diperoleh dari: penyelia, karyawan itu sendiri (yang bersangkutan), rekan sejawat atau anggota tim, bawahan, pelanggan, dan melalui hasil pantauan komputer. Merujuk hal di atas, maka penilaian kualitas kinerja dosen dapat diperoleh dari: (1) pimpinan Fakultas/Jurusan/Program Studi sebagai atasan; (2) dosen yang bersangkutan; (3) dosen dan staf lainnya yang ada di kampus; (4) mahasiswa; (5) orang tua mahasiswa; dan (6) hasil pantauan melalui data (dokumentasi) Program Studi/Jurusan/Fakultas yang bersangkutan. c. Menilai Kinerja Dosen Dosen memiliki tugas utama sebagai pelaksana Tri Darma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Beban kerja dosen dinyatakan dalam bentuk Ekuivalensi Waktu Mengajar Penuh (EWMP) sebanyak 12 SKS. Satu SKS setara dengan tiga jam kerja per minggu
atau 48 jam kerja per semester. EWMP tersebut tersebar ke dalam tugas-tugas institusional yang meliputi (1) pendidikan, (2) penelitian dan pengembangan ilmu, (3) pengabdian kepada masyarakat, (4) pembinaan kreativitas akademik, dan (5) administrasi dan manajemen. Berdasarkan uraian tersebut dosen mempunyai posisi penting dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga kemampuan dosen menjadi salah satu yang menentukan mutu pendidikan. Oleh karena itu, penilaian terhadap kinerja dosen sangat diperlukan sebagai umpan balik untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sebagai upaya melacak kemajuan kinerja dosen, mengidentifikasi kendala, dan memberi informasi dalam suatu lembaga pendidikan tinggi, diperlukan adanya komunikasi kinerja yang berlangsung terus menerus, sehingga dapat mencegah dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Karena alasan sebenarnya mengelola kinerja adalah untuk meningkatkan produktivitas dan efektivitas, serta merancang-bangun kesuksesan bagi setiap dosen. Berkaitan dengan hal tersebut, Bernardin & Russell (dalam Ruky, 2001:8) menyatakan bahwa: “perlu diadakan penilaian kinerja, untuk mengelola dan memperbaiki kinerja karyawan, untuk membuat keputusan staf yang tepat waktu dan akurat dan untuk mempertinggi kualitas produksi dan jasa perusahaan secara keseluruhan”. Dengan demikian penilaian terhadap kinerja dosen merupakan kegiatan penting yang harus dilakukan oleh setiap lembaga pendidikan tinggi. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan informasi sejauhmana tingkat kompetensi profesional dan motivasi 76
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
kerja dosen dalam melaksanakan tugasnya. Selain itu, umpan balik yang diperoleh akan bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan serta pengembangan kinerja dosen di masa mendatang. Penilaian kinerja di lingkungan lembaga pendidikan dibedakan menjadi dua kelompok pegawai, yaitu: (a) tenaga teknis atau tenaga profesional atau tenaga edukatif, yakni personal yang melaksanakan proses pengajaran dan kegiatan kependidikan lainnya; dan (b) tenaga administratif yang meliputi pegawai tata usaha, pegawai laboratorium, keuangan, sopir, pesuruh, pegawai perpustakaan dan lain-lain, yakni personal yang bertanggung jawab menunjang proses pengajaran. d. Dimensi Kinerja Dosen Dalam proses pembelajaran di kelas terdapat tiga unsur dominan yang saling berkaitan, saling mempengaruhi dan saling menunjang satu sama lainnya. Ketiga unsur dominan tersebut, yaitu dosen, mahasiswa dan bahan ajar. Tiga bidang yang menjadi tanggung jawab dosen dalam proses belajar mengajar menurut Bob Powers (1992:14–15) dalam Sartika (1999:100-101), yaitu: (1) Mempersiapkan pengajaran, bidang ini mencakup seluruh kegiatan yang harus dilaksanakan seorang dosen sebelum memberikan atau menyampaikan materi pengajaran; meninjau kembali materi pengajaran; mengembangkan batas-batas pelatihan atau perencanaan; memastikan bahwasannya seluruh bahan-bahan, alat bantu latihan, dan ruang kelas telah dipersiapkan; mempersiapkan daftar nilai untuk menentukan tingkatan keterampilan dan
pengetahuan peserta latihan dan lain-lain. (2) Melaksanakan pengajaran, tanggung jawab ini meliputi pemberian partisipasi yang besar, dengan menggunakan landasan keterampilan, pemahaman materi dan urutan pengajaran, pelaksanaan teknikteknik pertanyaan yang efektif dan menggunakan alat bantu latihan dalam rangka peningkatan proses belajar. (3) Menilai hasil-hasil pengajaran tersebut, tanggung jawab ini meliputi penilaian prestasi peserta secara objektif, mengumpulkan data materi pengajaran dan bahan-bahan serta memperkirakan kinerja dosennya itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dimensi kinerja mengajar dosen meliputi kinerja mengajar dosen dalam merencanakan perkuliahan, melaksanakan perkuliahan, dan mengevaluasi perkuliahan. 1) Merencanakan Perkuliahan Proses belajar mengajar dalam konteks perguruan tinggi disebut dengan perkuliahan, perlu direncanakan agar dalam pelaksanaannya pembelajaran berlangsung dengan baik dan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Perencanaan proses belajar mengajar ini memperkirakan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan pada saat melaksanakan perkuliahan. Setiap dosen harus mengetahui unsur-unsur perencanaan perkuliahan agar dapat membuat perencanaan perkuliahan yang baik dan menyelenggarakan proses pembelajaran yang ideal. Unsur-unsur tersebut, yaitu: (1) mengindentifikasi kebutuhan mahasiswa, (2) menetapkan tujuan yang hendak dicapai, (3) merancang 77
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
berbagai strategi dan skenario yang relevan digunakan untuk mencapai tujuan, dan (4) membuat kriteria evaluasi hasil belajar. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang amat penting dalam perencanaan perkuliahan adalah apa yang akan diajarkan, bagaimana mengajarkannya, dan bagaimana mengevaluasi hasil belajarnya. a. Merumuskan Tujuan Pembelajaran Tujuan pembelajaran, dalam hal ini perkuliahan merupakan tujuan yang berbentuk tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dimiliki siswa setelah proses belajar mengajar (Sudirman, dkk., 1991:53). Pada intinya, tujuan dan sasaran merupakan harapan dari apa yang dapat dilakukan mahasiswa di akhir pembelajaran. Tujuan pembelajaran ditentukan baik oleh dosen maupun perancang kurikulum dalam silabus dan rencana pembelajaran untuk menyatakan apa yang akan dicapai oleh perkuliahan tersebut. Tujuan pembelajaran dibedakan dengan sasaran pembelajaran. Sasaran pembelajaran lebih bersifat spesifik dan lebih dapat diukur secara langsung, sedangkan tujuan tidak begitu dapat diukur secara langsung. Tujuan pembelajaran hendaknya spesifik atau khusus, operasional, dan dapat diukur (Sagala, 2005:167). Dengan demikian dosen hendaknya menyusun rumusan tujuan dengan tepat, spesifik, operasional, lengkap, dapat diukur dan sistematis. b. Memilih dan Mengembang-kan Bahan Pengajaran Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan bahan pengajaran, yaitu bahan pengajaran harus berpedoman pada yang tecantum dalam kurikulum,
pemilihan bahan perkuliahan harus tepat dan sesuai dengan karakteristik siswa serta menyusun bahan perkuliahan sesuai dengan taraf kemampuan berpikir siswa (Usman, 1994:112). Sagala (2003:162) mengemukakan ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pelajaran, yaitu: (1) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan atau dapat menunjang tercapainya tujuan instruksional, (2) materi pelajaran hendaknya sesuai dengan tingkat pendidikan dan perkembangan siswa pada umumnya, (3) materi pelajaran hendaknya terorganisir secara sistematik dan berkesinambungan, dan (4) materi pelajaran hendaknya mencakup ha-hal yang bersifat faktual maupun konseptual. c. Merumuskan Kegiatan Belajar Mengajar Kegiatan proses pembelajaran diarahkan untuk memberdayakan semua potensi peserta didik agar dapat menguasai kompetensi yang diharapkan. Kegiatan pembelajaran ini perlu: (1) berpusat pada peserta didik, (2) mengembangkan kreativitas peserta didik, (3) menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menantang, (4) bermuatan nilai, etika, estetika, logika, dan kinestetika, dan (5) menyediakan pengalaman yang beragam (Pusat Kurikukum (2004:13) dalam Majid (2005:24). Menurut Usman (1994:52-53) merumuskan kegiatan belajar mengajar meliputi kegiatan menentukan metode yang digunakan, langkah-langkah kegiatan belajar mengajar, merencanakan alat dan sumber belajar. d. Merencanakan Metode Pembelajaran yang akan Digunakan 78
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Metode merupakan suatu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan pembelajaran, metode diperlukan oleh dosen dengan penggunaan yang bervariasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Sagala (2003:169) mengemukakan, metode mengajar adalah cara yang digunakan guru dalam mengorganisasikan kelas pada umumnya atau dalam menyajikan bahan pelajaran pada khususnya. Sedangkan Surakhmad (1979:75) mengemukakan metode adalah cara yang di dalam fungsinya merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan. Metode apapun yang direncanakan oleh guru menurut Majid (2005:136) hendaknya dapat mengakomodasi menyeluruh terhadap prinsip-prinsip KBM. Pertama, berpusat pada anak didik (student oriented). Kedua, belajar dengan melakukan (learning by doing). Ketiga, mengembangkan kemampuan sosial, Keempat, mengembangkan keingintahuan dan imajinasi. Kelima, mengembangkan kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah. e. Merencanakan Langkah-langkah Kegiatan Belajar Mengajar Sudirman dkk. (1991:73) menjelaskan, menentukan kegiatan belajar merupakan langkah penting yang dapat menunjang keberhasilan pencapaian tujuan. Kegiatan ini harus disesuaikan dengan tujuan. Dalam kegiatan pembelajaran, pendidik dan peserta didik terlibat dalam sebuah interaksi dengan materi pelajaran sebagai mediumnya. Oleh karena itu, lebih lanjut Usman (1994:74) menegaskan langkah-langkah kegiatan belajar hendaknya terintegrasi antara kegiatan siswa dengan kegiatan guru. Setiap langkah harus
mempunyai sasaran yang jelas, mudah dipahami siswa, dapat mengembangkan kreativitas dan memungkinkan dilakukan penilaian hasilnya. f. Merencanakan Media dan Sumber Belajar Media merupakan segala sesuatu yang dapat digunakan dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran (Sutikno, 2009:39). Menurut Usman (1994:26) media pengajaran adalah “alat-alat yang digunakan oleh guru ketika mengajar untuk membantu memperjelas materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa dan mencegah tejadinya verbalisme pada diri siswa”. Beberapa faktor yang harus diperhatikan agar media pengajaran yang dipilih tepat, yaitu objektivitas, program pengajaran, sasaran program, situasi dan kondisi, kualitas teknik, kefektivan dan efisiensi penggunaan (Sudirman, dkk, 1991:213). Ditambahkan oleh Burton dalam Usman (1994:27) bahwa dalam memilih media yang akan digunakan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1) Alat-alat yang dipilih harus sesuai dengan kematangan dan pengalaman siswa serta perbedaan individu dalam kelompok. (2) Alat yang dipilih harus tepat, memadai dan mudah digunakan. (3) Harus direncanakan dengan teliti dan diperiksa lebih dahulu. (4) Penggunaan alat peraga disertai kelanjutannya seperti diskusi, analisis dan evaluasi. (5) Sesuai dengan batas kemampuan biaya. g. Merencanakan Penilaian Evaluasi merupakan aspek 79
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
2)
yang penting, yang berguna untuk mengukur dan menilai seberapa jauh tujuan pembelajaran telah tercapai atau hingga mana kemajuan siswa. Sudirman (1991:72-73) menjelaskan penilaian berfungsi untuk mengukur keberhasilan pencapaian tujuan. Oleh karena itu menurut Majid (2005:187) dalam perencanaan penilaian perlu memperhatikan beberapa prinsip berikut: (1) Proses penilaian harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses pembelajaan, bukan bagian terpisah dari proses pembelajaran (a part of, not a part from instruction). (2) Penilaian harus mencerminkan masalah dunia nyata (real world problems) bukan masalah dunia sekolah (school workkind of problem). (3) Penilaian harus menggunakan berbagai ukuran, metode dan kriteria yang sesuai dengan apa yang hendak diukur. Melaksanakan Perkuliahan a) Membuka Perkuliahan Pada saat membuka perkuliahan dosen harus mengupayakan untuk mengulangi materi perkuliahan pertemuan sebelumnya dengan memberi beberapa pertanyaan kepada mahasiswa. Selain itu, dosen dapat menanyakan tugas yang sebelumnya harus dikerjakan oleh mahasiswa. Pada intinya, dosen harus dapat membaca situasi kelas apakah mahasiswa siap mengikuti pembelajaran atau belum. b) Menyampaikan Materi Perkuliahan Pemberian partisipasi yang besar dengan menggunakan landasan keterampilan, pemahaman materi dan urutan perkuliahan, pelaksanaan teknik-teknik
pertanyaan yang efektif dan menggunakan alat bantu latihan dalam rangka peningkatan proses belajar. c) Menutup Perkuliahan Agar mahasiswa memperoleh intisari dari materi yang telah dijelaskan atau topik yang telah dipelajari, maka sebaiknya dosen selalu mengupayakan untuk menyimpulkan atau memberi ringkasan materi setiap akhir kegiatan pembelajaran. Ringkasan materi yang diberikan dapat diambil dari penjelasan dosen, simpulan hasil diskusi kelompok atau interaksi mahasiswa saat memecahkan masalah. 3) Mengevaluasi Perkuliahan Penilaian merupakan usaha untuk memperoleh informasi tentang perolehan belajar mahasiswa secara menyeluruh, baik pengetahuan, konsep, sikap, nilai, maupun proses. Penilaian proses didefinisikan Usman (1994:38) sebagai “penilaian terhadap proses belajar yang berlangsung, yang dilakukan oleh guru dengan memberikan umpan balik secara langsung kepada seorang siswa atau kelompok siswa”. Selanjutya Usman (1994:126) menjelaskan dalam melatih keterampilan proses sekaligus dikembangkan sikap-sikap yang dikehendaki seperti kreatif, kerja sama, bertanggung jawab, dan sikap berdisiplin sesuai dengan penekanan bidang studi yang bersangkutan. Dengan demikian, keterampilan proses merupakan pendekatan belajar mengajar yang mengarah kepada pengembangan kemampuan mental, fisik dan sosial yang mendasar sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam diri individu siswa. Menurut Usman (1994:126) guru perlu memperhatikan hal-hal sebagai 80
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
berikut: jenis penilaian sesuai dengan kegiatan belajar mengajar yang telah diberikan, sesuai dengan tujuan, sesuai dengan bahan pelajaran, dan hasilnya ditafsirkan. Berkaitan dengan hal itu, menurut Majid (2005:236) ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru, antara lain: melaksanakan pengajaran perbaikan, pengajaran pengayaan, program akselerasi, pembinaan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dan peningkatan motivasi belajar. 4. Pengukuran dan Indikator-indikator Kinerja Dosen Menurut Nana Sujana, A. Muri Yusuf, dan Rochman Natawidjaja dalam Barizi (2009:150) ada sepuluh kompetensi dasar yang harus melekat pada guru sebagai “kuli pendidikan” yang profesional, yaitu menguasai bahan yang diajarkan, mengelola program belajar mengajar, mengelola kelas, menggunakan media/sumber belajar, menguasai landasan kependidikan, mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi mahasiswa, mengenal fungsi dan program bimbingan dan penyuluhan, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, serta memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian. Operasionalisasi kompetensi dasar di atas menekankan pentingnya kinerja terpadu seorang guru dalam melaksanakan profesinya. Seperti digambarkan pada piramida berikut ini: A
B
D
C
E
F Gambar: Graphic Representation of a Professional Teaching Competency Sumber: Johnson (1974:6) dalam Riduan (2000:71)
Keterangan : A : Performance component, yaitu unsur kemampuan penampilan kinerja yang nampak sesuai dengan bidang keprofesiannya. B : The teaching subject component, yaitu unsur kemampuan penguasaan bagian/substansi pengetahuan yang relevan dengan bidang keprofesiannya sebagai prasyarat (enabling competencies) bagi penampilan komponen kinerjanya. C : Professional component, yaitu unsur kemampuan penguasaan subtansi pengetahuan dan keterampilan teknis sesuai dengan bidang keprofesiannya sebagai prasyarat bagi penampilan kinerjanya. D : Process component, yaitu unsur kemampuan penguasaan proses mental (intelektual) mencakup proses berfikir (logis, kritis, rasional, kreatif) dalam pemecahan masalah, pembuatan keputusan, dsb. sebagai prasyarat bagi terwujudnya penampilan kinerjanya. E : Adjustment component, yaitu unsur kemampuan penyerasian dan penyesuaian berdasarkan karakteristik pribadi pelaku dengan tugas penampilan kinerjanya. F : Attitudes component, yaitu unsur komponen sikap, nilai, kepribadian pelaku sebagai prasyarat yang fundamental bagi keseluruhan perangkat komponen kompetensi lainnya bagi terwujudnya komponen penampilan kinerja keprofesiannya (Abin Syamsuddin Makmun, 2007:72). Keenam komponen yang merupakan perangkat kompetensi dalam suatu bidang pekerjaan/profesi. Pada dasarnya keenam komponen tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua gugus kompetensi, yaitu: (1) Generic Competencies (Performance Competencies) dan (2) Enabling Competencies. Generic Competencies merupakan perangkat kompetensi yang harus ada pada suatu bidang pekerjaan profesional tertentu, sehingga dengan 81
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
adanya perangkat kompetensi ini dapat dibedakan dengan bidang profesional lainnya. Gugus kompetensi ini akan diperoleh dan terbina serta tumbuh kembang melalui praktek pengalaman lapangan (field training) yang terstruktur dan terawasi (supervised) secara memadai dalam kurun waktu tertentu (sekitar 1-2 tahun). Sedangkan Enabling Competencies merupakan prasyarat untuk memungkinkan dapat dilakukannya Generic Competencies. Tanpa menunjukkan penguasaan secara memadai atas perangkat Enabling Competencies itu mustahil dapat menguasai Generic Competencies. Mitchel, T. R. dan Larson (1987:343) mengemukakan area of performance, tentang aspek-aspek performance yaitu: (a) kualitas hasil kerja (quality of work); (b) kemampuan (capability); (c) prakarsa/inisiatif (initiative); (d) komunikasi (communication), dan (e) ketepatan waktu (promtness). Kelima sub variabel kinerja dosen tersebut dapat dijadikan patokan dalam mengkaji tingkat kinerja mengajar dosen. 5.
Tingkat Kepuasan Mahasiswa dalam Kajian Administrasi Pendidikan
Untuk mencapai kesuksesan, lembaga pendidikan harus mampu memberikan kepuasan kepada customernya melalui layanan yang diberikan. Pernyataan Clark Kerr (Kotler dan Fox, 1985:18) yang dikutip El Hariri (2008:86) menyatakan: …the university president in the unites states is expected to be friend of the students, a colleague of the faculty, a good fellow with the alumni, a sound administrator with the trustees, a good speaker with the public, an astute bargainer with the foundations and the federal agencies, a politician with the state legislature,… a persuasive diplomat with donors, (and) a champion od education generally. Setiap pimpinan Perguruan Tinggi harus berusaha mengembangkan citra positif dengan menjalin relasi yang baik dengan publik. Akan tetapi terkadang ada perguruan
tinggi yang tidak responsif terhadap mahasiswa dan publiknya, atau lembaga tersebut cukup responsif namun tidak didukung oleh sumber daya yang memadai. Lembaga harus mengambil langkah strategis dalam memahami aspirasi publik dan memuaskan kebutuhannya karena kepuasan merupakan refleksi dari citra lembaga. Setiap perguruan tinggi diharapkan mampu melakukan analisa lingkungan baik secara ekternal maupun internal organisasinya, hal ini berkaitan dengan harapan untuk tercapainya tingkat kepuasan mahasiswa melalui layanan akademik dan merupakan wujud dari terciptanya manajemen yang baik dalam lingkungan organisasi pendidikan. a. Pengertian Kepuasan Kata kepuasan berasal dari bahasa latin “satis” (berarti cukup) dan “facio” (melakukan atau membuat), sehingga kepuasan dapat diartikan sebagai upaya pemenuhan sesuatu atau membuat sesuatu memadai. Dengan kata lain Luck (2006) menyatakan bahwa kepuasan tidak hanya tergantung kepada pasar, penjualan, atau pengalaman pelanggan, hal yang lebih mendasar, memerlukan suatu organisasi yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. “Satisfaction is the consumer’s fulfillment response. It is a judgment that a product pleasurable level of consumption related fulfillment” (Zeithaml, 2000:75). Satisfaction adalah respon konsumen yang sudah terpenuhi keinginannya (dalam Alma, 2005:32). Mahasiswa sebagai salah satu elemen pelanggan pendidikan menjadi kontrol untuk merasakan layanan pendidikan yang mereka terima. Kepuasan mahasiswa, di sisi lain, adalah bagaimana mereka menerima layanan yang diberikan lembaga pendidikan tersebut. Ini adalah persepsi dan respons emosional, dan pengelola lembaga tidak memiliki kontrol langsung atas hal tersebut. Hal ini sering memerlukan perubahan budaya, dan semua elemen yang menciptakan budaya harus disejajarkan.
82
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Seperti dinyatakan oleh Resnick (2006) Organisasi harus memiliki budaya yang didasarkan pada kejujuran, keterbukaan dan kepercayaan. Pengukuran kepuasan siswa dapat bermanfaat untuk institusi pasca sekolah menengah, untuk membantu mereka menentukan kekuatan mereka dan mengidentifikasi kekurangan yang mereka miliki untuk melakukan perbaikan. Tingkat kepuasan melampaui penilaian mengajar, yang memiliki fokus sempit, namun untuk mencakup aspekaspek yang lebih luas dari pengalaman belajar siswa. Untuk memahami kompleksitas dari pengalaman belajar, tidak cukup untuk mengetahui sejauh mana siswa puas, hal itu penting untuk memahami faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kepuasan siswa. Pengukuran tingkat kepuasan mahasiswa dapat membantu mempromosikan, meningkatkan fokus pada hasil, merangsang perbaikan dalam pekerjaan, dan mempraktekkan proses yang digunakan dalam sebuah lembaga. Pentingnya pelanggan telah disorot oleh banyak peneliti dan akademisi. Zairi (2000) dikutip Singh (2006) mengatakan ‘Pelanggan adalah tujuan dari apa yang kita lakukan dan bukan mereka yang tergantung pada kami, namun kami sangat tergantung pada mereka’. Itulah alasan utama mengapa banyak lembaga saat ini fokus pada kepuasan pelanggan, loyalitas dan retensi. Hal ini menunjukkan tentang perasaan seseorang mengenai kesenangan atau kekecewaan yang diperoleh dengan membandingkan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan harapannya. Hoyer (2001) dalam Singh (2006) mengatakan kepuasan dapat terkait dengan perasaan penerimaan, kebahagiaan, relief, excitement, dan delight. Ada alasan mendasar yang baik untuk mengukur tingkat kepuasan pelanggan yakni memahami kebutuhan pelanggan, dan untuk tingkatan yang lebih tinggi dengan memberikan jaminan kepuasan pelanggan untuk mencapai loyalitas pelanggan tingkat
tinggi, dan ini dalam gilirannya dapat meningkatkan keuntungan bagi lembaga. Untuk organisasi sektor publik seperti pendidikan, loyalitas pelanggan merupakan ukuran kunci kerja mereka. Sektor publik yang memberikan pelayanan prima kepada pelanggan, akan memenuhi suatu prinsip kunci pelayanan publik secara philosophy kontemporer. Kepuasan pelanggan dengan produk jasa sering dilihat sebagai kunci sukses sebuah organisasi dan memiliki daya saing jangka panjang. Dalam konteks hubungan pemasaran, kepuasan pelanggan sering dipandang sebagai penentu utama retensi pelanggan. b. Dimensi Tingkat Kepuasan Mahasiswa Pengukuran kepuasan siswa dapat berguna untuk institusi pasca sekolah menengah, untuk membantu mereka menentukan kekuatannya dan mengidentifikasinya untuk selanjutnya dilakukan perbaikan. Kepuasan pada dasarnya melampaui penilaian mengajar, yang fokusnya sempit, namun dapat memasukkan aspek yang lebih luas untuk pengalaman belajar para siswanya, hal inilah yang lebih penting untuk memahami faktor yang berkontribusi terhadap kepuasan mahasiswa. BC College & Institute Student Outcomes Vol 3 No 1 (2003) menjelaskan enam dimensi yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat kepuasan mahasiswa yaitu: (1) curriculum; (2) teaching; (3) analytical skills; (4) communication skills; (5) social skills; (6) personal growth. C.
KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka pikir penelitian akan memberikan arah yang dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan penelitian. Dalam penelitian ini, kerangka pikir penelitian diawali dengan memperhatikan budaya kerja (yang diasumsikan sebagai budaya kampus) yang menjadikan watak dan pola di bagian akademik STIA Banten yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah organisasi dalam melayani dan memenuhi kebutuhan dosen sebelum dan 83
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
sesudah mengajar, sehingga diharapkan dapat memberikan aspek positif terhadap layanan yang diberikan dan timbul kepuasan pada mahasiswa sebagai pelanggannya. Sementara kinerja seorang dosen yang dalam melaksanakan tugasnya akan dipengaruhi oleh karakteristiknya. Dalam penelitian ini hanya terfokus pada aspek-aspek yang mempengaruhi layanan akademik dan kinerja dosen serta dampaknya pada tingkat kepuasan mahasiswa. Aspek-aspek tersebut dapat dilihat dalam dimensi-dimensi sebagai berikut: 1) Pelayanan Akademik (X1) : Dalam bidang akademik merupakan bantuan untuk memfasilitasi peserta didik (mahasiswa) untuk memiliki kesiapan, keterampilan, dan kebiasaan belajar efektif sehingga dapat memiliki kemandirian akademik yang kokoh. Pengukuran kualitas pelayanan akademik, dilakukan dengan lima dimensi yang mencakup: (1) tangible, (2) empathy, (3) reliability, (4) responsiveness, (5) assurance.
2) Kinerja Dosen (X2) : Ada tiga tiga dimensi untuk mengukur kinerja dosen, yaitu: (1) mempersiapkan pengajaran; (2) melaksanakan pengajaran; (3) menilai hasil-hasil pengajaran tersebut. 3) Kepuasan Mahasiswa (Y) : Kepuasan merupakan perasaan yang muncul dari seseorang baik itu kesenangan maupun kekecewaan, yang diperoleh dari perbandingan kinerja yang dirasakan sesuai dengan harapannya. Jika kinerja tersebut jatuh, maka tidak akan diperoleh kepuasan pelanggan, namun jika kinerja tersebut sesuai dengan harapan yang diinginkan, maka akan diperoleh kepuasan pelanggan, dan jika melebihi harapannya maka pelanggan puas dan merasa senang. Ada enam dimensi yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat kepuasan mahasiswa, yaitu : (1) curriculum; (2) teaching; (3) analytical skills; (4) communication skills; (5) social skills; (6) personal growth. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diuraikan kerangka berpikir sebagai berikut :
Kerangka Berpikir
Pelayanan Akademik
Budaya Kerja
1. Reliability 2. Resonsiveness 3. Assurance 4. Empathy 5. Tangible Parasuraman et al. dalam Kotler (2003)
Kepuasan Mahasiswa
(1) curriculum; (2) teaching; (3) analytical skills; (4) communication skills; (5) social skills; (6) personal growth.
Kinerja Dosen
Karakteristik Dosen
1. Mempersiapkan Pengajaran 2. Melaksanakan Pengajaran 3. Menilai hasil-hasil pengajaran
BC College & Institute Student Outcome Vol. 3 No. 1 (2003)
Bob Powers (1992:14–15) dalam Sartika (1999:100-101)
Keterangan Gambar : Garis putus-putus : merupakan aspek yang tidak diteliti
84
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
D.
Dimensi Penelitian
Dalam penelitian ini difokuskan pada pengukuran kualitas layanan akademik dan kinerja dosen sebagai faktor utama kepuasan mahasiswa STIA Banten yang terdiri dari tiga buah variabel, yaitu layanan akademik (X1), kinerja dosen (X2), dan kepuasan mahasiswa (Y). Seluruh data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari kuesioner yang diajukan kepada sampel, yang kesemuanya adalah mahasiswa aktif STIA Banten. E.
Operasionalisasi Variabel Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Layanan akademik (X1) dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi untuk memberikan kemudahan pada pemenuhan kebutuhan mahasiswa dalam hal yang berkaitan dengan kegiatan akademik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa layanan akademik mengandung rangkaian kegiatan yang sistematik dari sebuah sistem yang meliputi reliability (keandalan), responsiveness (kemampuan reaksi), assurance (keamanan), empathy (empati), tangible (yang terukur). 2. Kinerja dosen (X2), dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan oleh seorang dosen dalam memberikan pengajaran yang diawali dengan: merencanakan perkuliahan, melaksanakan perkuliahan, dan mengevaluasi perkuliahan. 3. Tingkat kepuasan mahasiswa (Y) dalam penelitian ini merupakan pemenuhan terhadap kebutuhan customer (mahasiswa). Untuk mencapai kesuksesan tersebut, bagian akademik dan dosen harus mampu memberikan kepuasan kepada customernya terhadap hal-hal yang terkait dengan curriculum; teaching; analytical skills; communication skills; social skills; personal growth dalam mengukur tingkat kepuasan mahasiswa.
F. Hasil Penelitian 1. Uji Normalitas Data Uji normalitas dilakukan untuk melihat tingkat kenormalan data yang digunakan, apakah data berdistribusi normal atau tidak. Tingkat kenormalan data sangat penting, karena dengan data yang terdistribusi normal, maka data tersebut dianggap dapat mewakili populasi. Uji normalitas data menjadi prasyarat pokok dalam analisis parametrik seperti korelasi Pearson, uji perbandingan rata-rata, analisis varian, dan sebagainya, karena data-data yang akan dianalisis parametrik harus terdistribusi normal. a) Uji One Sample Kolmogorov Smirnov Test Uji ini digunakan untuk mengetahui kenormalan distribusi beberapa data. Uji ini membandingkan serangkaian data pada sampel terhadap distribusi normal serangkaian nilai mean dan standar deviasi yang sama. Tabel di bawah ini, secara berturut-turut merupakan hasil pengujian normalisasi data menggunakan metode Kolmogorov Smirnov Test dengan bantuan program SPSS Versi 17 terhadap ketiga variabel penelitian: Pelayanan Akademik (X1), Kinerja Dosen (X2) dan Kepuasan Mahasiswa (Y) berdistribusi normal. b) Uji Multikolinieritas Uji Multikolinieritas bertujuan untuk menguji ada tidaknya hubungan yang linier antar variabel bebas (independen) satu dengan variabel bebas lainnya. Tabel di bawah ini memperlihatkan hasil uji multikolinieritas dengan menggunakan bantuan software SPSS versi 17, sebagai berikut :
85
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Tabel : Hasil Uji Multikolinieritas
Berdasarkan perhitungan SPSS versi 17, diperoleh angka tolerance untuk masingmasing variabel yaitu: Pelayanan Akademik sebesar 0,698 > 0,10 dan Kinerja Dosen sebesar 0,698 > 10. Begitu juga dengan angka pada VIF yang berada di bawah 10 untuk masing-masing variabel dependen. Sehingga dengan melihat model regresi di atas, dapat dikatakan tidak terjadi multikolinieritas. Sementara analisi yang disajikan dalam tabel Correlations menunjukkan bahwa nilai korelasi antara semua variabel bebas sebesar 0,50 lebih kecil dari 0,60 sehingga dapat disimpulkan bahwa antara variabel bebas tidak ada yang berkorelasi secara sempurna atau tidak terjadi multikolinieritas.
86
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
c) Uji Heteroskedastitas Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah yang Homokedastisitas atau tidak terjadi Heteroskefastisitas. Berikut adalah hasi uji Heteroskedastisitas dengan bantuan program SPSS versi 17 : Tabel : Hasil Uji Heteroskedastisitas
Dari hasil output pengujian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa nilai signifikansi variabel independen lebih dari 0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. d)
Uji Autokorelasi dengan Uji dhitung Durbin-Watson Uji Autokorelasi bertujuan menguji apakah model regresi linier ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1 (sebelumnya). Dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 17, maka didapat hasil untuk mendeteksi apakah terjadi Autokorelasi atau tidak dengan melihat tabel Model Summary sebagai berikut: Tabel : Hasil Uji Autokorelasi
Dari hasil perhitungan di dapat nilai DW = 1,629 sementara berdasarkan tabel Durbin-Watson dengan n = 198 dan k = 3, didapat nilai dL = 1,74698 dan dU = 1,75719 dengan nilai dhitung = 4-dU = (4–1,75719) = 2,2428. Ternyata nilai dhitung > dL > dU. Sehingga dapat dikatakan bahwa data yang yang diperoleh valid, dan tidak terjadi autokorelasi.
e)
Analisis Koefisien Korelasi Sederhana Seperti yang telah diutarakan di Bab III, korelasi sederhana dipergunakan untuk menguji hipotesis pertama dan hipotesis ke dua, yaitu hubungan pelayanan akademik dengan kepuasan mahasiswa dan hubungan antara kinerja dosen dengan kepuasan mahasiswa. Dengan menggunakan rumus korelasi Product Moment dari Karl’s Pearson (Sugiyono, 2012) nilai r hitung dibandingkan dengan r tabel korelasi product moment, pada taraf kesalahan 5%. Berikut adalah hasil dari analisa korelasi sederhana yang dihitung menggunakan bantuan program SPSS Versi 17:
87
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Tabel : Tabel Analisa Korelasi Linier Sederhana – Product Moment
Berdasarkan output di atas, dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Koefisien Korelasi parsial antara pelayanan akademik dengan kepuasan mahasiswa dengan asumsi bahwa kinerja dosen dianggap konstan atau tetap. Dari hasil perhitungan dengan SPSS di atas, menunjukkan terdapat hubungan Pelayanan Akademik dengan Kepuasan mahasiswa sebesar 0,599 menunjukkan mempunyai hubungan yang kuat antara kedua variabel tersebut. Hubungan yang terjadi adalah positif. Sedangkan untuk mengetahui koefisien determinasi parsial antara variabel pelayanan akademik (X1) dan kepuasan mahasiswa (Y), dapat digunakan rumus berikut: KD = r2 x 100% = (0,599)2 x 100% = 0,3588 x 100% = 35,88% Berdasarkan nilai KD parsial di atas, berarti pelayanan akademik (X1) mempengaruhi Kepuasan Mahasiswa (Y) sebesar 33,76%. Sedangkan sisanya sebesar 64,12% dipengaruhi oleh faktor lain.
2. Koefisien Korelasi parsial antara kinerja dosen dengan kepuasan mahasiswa dengan asumsi pelayanan akademik dianggap konstan atau tetap. Berdasarkan tabel output di atas, diperoleh nilai korelasi sebesar 0,634. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan antara Kinerja Dosen dengan Kepuasan Mahasiswa, dengan hubungan yang terjadi adalah kuat dan positif. Untuk mengetahui koefisien determinasi antara variabel kinerja dosen (X2) dan kepuasan mahasiswa (Y), dapat digunakan rumus berikut: KD = r2 x 100% = (0,634)2 x 100% = 0,40196 x 100% = 40,196% = 40,20% Berdasarkan nilai KD parsial di atas, berarti kinerja dosen (X2) mempengaruhi Kepuasan Mahasiswa (Y) sebesar 40,20%. Sedangkan sisanya sebesar 59,80% dipengaruhi oleh faktor lain f) Analisa Koefisien Berganda
Korelasi
Linier
Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat hubungan secara simultan antara variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y, yang dalam hal ini pengaruh yang diteliti adalah pengaruh pelayanan akademik dan kinerja dosen terhadap kepuasan mahasiswa.Hal ini dapat dilihat dari hasil
88
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
perhitungan dengan menggunakan SPSS versi 17 adalah sebagai berikut: Tabel : Analisa Koefisien Korelasi Berganda
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut di atas, diketahui bahwa nilai R adalah koefisien korelasi yang mengukur arah dan keeratan hubungan antara variabel X1 (pelayanan akademik) dan X2 (kinerja dosen) dengan variabel Y (kepuasan mahasiswa). Hasil perhitungan tersebut menunjukkan terdapat hubungan yang kuat dan positif antara Pelayanan Akademik dan Kinerja Dosen terhadap Kepuasan Mahasiswa sebesar 0,713.
g) Analisa Koefisien Determinasi Koefisien determinasi menunjukkan berapa persen dari variasi (naik turunnya) variabel dependen dapat diterangkan atau dijelaskan oleh variasi variabel independen. Hal ini dapat dilihat dari model summary yang dihasilkan dengan menggunakan SPSS versi 17 sebagai berikut: Tabel : Analisa Koefisien Determinasi
Dari tabel di atas, nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,508. Maka dapat diperoleh keterangan bahwa Kepuasan Mahasiswa dapat dipengaruhi oleh Pelayan Akademik dan Kinerja Dosen sebesar 50,8%, sedangkan sisanya 49,2% dijelaskan oleh variabel lain di luar penelitian.
89
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
h) Analisis Regresi Linier Berganda Analisa regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Hubungan antar variabel dinyatakan dalam bentuk persamaan, sehingga nilai variabel Y dapat ditentukan atau diramalkan apabila nilai variabel X diketahui. Adapun hasil perhitungan regresi linier berganda dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 17 sebagai berikut:
2.
Nilai koefisien 1 = 0,389 berarti bahwa apabila pelayanan akademik (X1) naik sebesar 1%, sementara variabel independen lainnya tetap maka kepuasan mahasiswa akan mengalami peningkatan sebesar 38,9% dan sebaliknya apabila pelayanan akademik (X1) terjadi penurunan sebesar 1%, sementara variabel independen lainnya tetap maka kepuasan mahasiswa akan mengalami penurunan sebesar 33,9%.
Tabel : Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Berdasarkan hasil output tersebut di atas, dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: Y = 9.203 + 0.389 X1 + 0.430 X2 Dengan mengacu pada persamaan regresi yang diperoleh, maka model regresi tersebut dapat diinterprestasi-kan sebagai berikut: 1. Nilai koefisien konstanta (a) sebesar 9,203 hal ini berarti bahwa apabila nilai pelayanan akademik (X1) dan kinerja dosen (X2) sama dengan nol, maka tingkat atau besarnya kepuasan mahasiswa (Y) sebesar 9,203.
3. Nilai koefisien 2 = 0,430, hal ini menerangkan apabila kinerja dosen (X2) naik sebesar 1%, sementara variabel independen lainnya tetap maka tingkat kepuasan mahasiswa akan mengalami kenaikan sebesar 43,0% dan apabila kinerja dosen (X2) menurun sebesar 1%, sementara variabel independen lainnya tetap maka kepuasan mahasiswa akan mengalami penurunan sebesar 43,0%.
90
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
1)
Uji Parsial (Uji t)
Uji t digunakan untuk membuktikan apakah variabel pelayanan akademik dan kinerja dosen secara parsial/individu mempunyai pengaruh terhadap kepuasan mahasiswa. Untuk menguji apakah hipotesis yang ditetapkan semula diterima atau ditolak, dengan cara membandingkan antara nilai thitung dengan nilai ttabel. Setelah memperoleh nilai thitung selanjutnya dibandingkan dengan ttabel pada taraf kesalahan atau = 5% dan derajat kebebasan (dk) adalah n – 1 = 198 – 1 = 197. Maka didapat ttabel dua arah sebesar 1,960. Adapun perhitungan uji hipotesis dengan menggunakan program SPSS versi 17, didapat hasil perhitungan berikut : Tabel : Hasil Uji t
pelayanan akademik berpengaruh signifikansi terhadap kepuasan mahasiswa. 2. Pengujian untuk koefisien Kinerja Dosen Dari hasil tabel coefficients di atas, diperoleh nilai thitung sebesar 7,686 sedangkan nilai ttabel dengan tingkat signifikansi 5% dan derajat kebebasan (dk) n – 1 = 198 – 1 = 197 adalah sebesar 1,960. Dalam hal ini, nilai thitung (7,686) > ttabel (1,960), maka thitung berada di daerah penerimaan Ha atau H0 ditolak artinya secara parsial terdapat pengaruh dari kinerja dosen terhadap kepuasan mahasiswa. Selain itu dari tabel di atas, dapat dilihat besar probability value yaitu sebesar 0,000 yang berarti angka ini lebih kecil dari tingkat signifikansi (0,000 < 0,05), berarti bahwa secara parsial kinerja akademik berpengaruh signifikansi terhadap kepuasan mahasiswa.
Berdasarkan tabel di atas, maka data tersebut dapat diinterpretasikan sebagai berikut : 1. Pengujian untuk koefisien Pelayanan Akademik Dari hasil tabel coefficients di atas, diperoleh nilai thitung sebesar 6,491 sedangkan nilai ttabel dengan tingkat signifikansi 5% dan derajat kebebasan (dk) n – 1 = 198 – 1 = 197 adalah sebesar 1,960. Dalam hal ini, nilai thitung (6,491) > ttabel (1,960), maka thitung berada di daerah penerimaan Ha atau H0 ditolak artinya secara parsial terdapat pengaruh dari pelayanan akademik terhadap kepuasan mahasiswa. Selain itu dari tabel di atas, dapat dilihat besar probability value yaitu sebesar 0,000 yang berarti angka ini lebih kecil dari tingkat signifikansi (0,000 < 0,05), berarti bahwa secara parsial
91
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
G. Kesimpulan Berdasarkan perhitungan dan analisis terhadap variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni Pelayanan Akademik (X1) dan Kinerja Dosen (X2) serta Kepuasan Mahasiswa (Y) dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pelayanan Akademik di STIA Banten Hasil penelitian menyatakan bahwa pelayanan akademik di STIA Banten termasuk dalam kategori baik. Hal ini berdasarkan rekapitulasi jawaban responden terhadap variabel X1 (tabel 4-27) didapat rata-rata angka penafsiran jawaban responden mengenai Pelayanan Akademik di STIA Banten didapat angka sebesar 2,77. Berdasar pada pedoman skala interval (tabel 4-10) angka tersebut termasuk dalam kategori baik karena berada dalam rentang skala 2,51 – 3,25. 2. Kinerja Dosen di STIA Banten Hasil penelitian menyatakan bahwa kinerja dosen di STIA Banten termasuk dalam kategori baik. Hal ini berdasarkan rekapitulasi jawaban responden terhadap variabel X2 (tabel 4-44) didapat rata-rata angka penafsiran jawaban responden mengenai kinerja dosen di STIA Banten didapat angka sebesar 2,96. Berdasar pada pedoman skala interval (tabel 4-10) angka tersebut termasuk dalam kategori baik karena berada dalam rentang skala 2,51 – 3,25. 3. Pengaruh Pelayanan Akademik terhadap Kepuasan Mahasiswa Dari hasil perhitungan dengan bantuan program SPSS versi 17, didapat nilai r sebesar 0,599, hal ini menunjukkan bahwa Pelayanan Akademik terhadap Kepuasan Mahasiswa memiliki hubungan yang kuat dan positif. Sementara berdasarkan nilai dari koefisien determinasi (KD) ternyata pelayanan akademik dapat mempengaruhi kepuasan mahasiswa sebesar 33,76%. Sedangkan sisanya sebesar 64,12% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti, seperti budaya organisasi, budaya
kerja dan lain-lain. sehingga jelas H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Pelayanan Akademik mempunyai pengaruh yang positif terhadap Kepuasan Mahasiswa Pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten. 4. Pengaruh Kinerja Dosen terhadap Kepuasan Mahasiswa Dari hasil perhitungan dengan bantuan program SPSS versi 17, didapat nilai r sebesar 0,634, hal ini menunjukkan bahwa Kinerja Dosen terhadap Kepuasan Mahasiswa memiliki hubungan yang kuat dan positif. Sementara berdasarkan nilai dari koefisien determinasi (KD) ternyata pelayanan akademik dapat mempengaruhi kepuasan mahasiswa sebesar 40,20%. Sedangkan sisanya sebesar 59,80% dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti, seperti budaya organisasi, budaya kerja dan lain-lain. sehingga jelas H0 ditolak dan H1 diterima. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa Kinerja Dosen mempunyai pengaruh yang positif terhadap Kepuasan Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten. 5. Pengaruh Layanan Akademik dan Kinerja Dosen secara bersama-sama terhadap Kepuasan Mahasiswa Dari hasil pengolahan data penelitian dengan bantuan perhitungan program SPSS versi 17 diperoleh nilai R2 sebesar 0,508 dengan nilai Fhitung sebesar 100,662 sedangkan Ftabel dengan tingkat signifikansi 5% diperoleh derajat pembilang k = 2 dan df =n-k-1 = 198-2-1 = 195, maka diperoleh nilai Ftabel sebesar 1,9722. Hasil Fhitung (100,662) > Ftabel (1,9722), dengan demikian Ha diterima dan Ho ditolak. Maka dengan demikian bahwa pelayanan akademik dan kinerja dosen secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang positif terhadap Kepuasan Mahasiswa Pada Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten.
92
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
DAFTAR PUSTAKA Alma, Bukhori, 2005, Pemasaran Stratejik Jasa Pendidikan, Bandung: Alfabeta Barizi, Ahmad, 2009, Menjadi Guru yang unggul: Bagaimana Menciptakan Pembelajaran Yang Produktif dan Profesional, Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia. College, BC. 2003, BC College & Institute Student Outcome: Issue Paper, Vol. 3 No. 1. Daryanto, M., 2005, Administrasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Deal, K. D & Peterson, 2009, The Shaping School Culture Fieldbook, San Francisco: Jossey-Bass. Dessler, Gary, 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia Jilid I, Alih Bahasa: Benyamin Molan, Jakarta: Prenhallindo. Engkoswara & Komariah, Aan, 2010, Administrasi Pendidikan, Bandung: Alfabeta. Hadari Nawawi, 1981, Manajemen Pendidikan, Jakarta: Gunung Agung ____________, 2003, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: UGM Press, Yogyakarta. Knezevich, K. Stephan, 1984. Administration of Public Education, New York: Harper & Row Publisher, Inc. Kotler, Philip. 2003, Marketing Management, International Edition. New Jersey: Prentice Hall. Kotler, Philip; Armstrong, Garry. 2008, Prinsip-prinsip Pemasaran, Jilid 1, Jakarta: Erlangga. Marwansyah & Mukaram, 2000, Manajemen Sumber Daya Manusia. Bandung: Pusat Penerbit Administrasi Niaga Politeknik Negeri Bandung. Moenir. 1995, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara. Parasuraman, Zeithaml, dan Leonard L. Berry, 1985: ”A Conceptual Model of
Service Quality and Its Implication for Future Research” (Journal of Marketing (Fall) 41-50. Parasuraman, A; V.A. Zeithaml; LL. Berry. 1988. “Servqual: A Multiple Items Scale for Measuring Consumer Perceptions of Service Quality”. Journal of Retailing. Vol. 49 (Spring): Page 12-40. Ruky, Achmad s., 2001, Sistem Manajemen Kinerja: Panduan Praktis untuk Merancang dan Meraih Kinerja Prima, Jakarta: Gramedia. Sagala, Syaiful. 2005, Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Sartika, Ikke Dewi, 1999: Mutu Total STPDN: Pengaruh Budaya Organisasi Yang berorientasi Manajemen Mutu Total, Kepuasan Kerja dan Tahapan Mutu terhadap Kinerja Pengelolaan Dosen Tetap STPDN, Disertasi, FPS IKIP Bandung, tidak diterbitkan. Sayles, Leonar R.; George Strauss, 1977, Personal the Human Problems of Management, New Delhi: Rrentice-Hall. Syamsuddin, Abia Makmun, 2007: Perencanaan Pendidikan: Suatu Pendekatan Komprehensif, Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta. ________, 2012, Statistika untuk Penelitian, Bandung: Alfabeta. Sutikno, 2009, Strategi Belajar Mengajar, Bandung: Jemmars Sutisna, Oteng. 1989, Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa. Singh, H., 2006, The Imfortance of Customer Satisfaction in Relation to Customer Loyality and Retention. UCTI Working Paper. Kuala Lumpur.
93
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
Soepardi, Imam, 1988, Dasar-dasar Administrasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Schuler, Randall, Jackson E. Susan, 1999, MSDM Jilid 2: Menghadapi Abad ke-21. Terjemahan: Abdul Rosyid, Penerbit: Erlangga. Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Usman, Moh. Uzer, 1994, Menjadi Guru Profesional – Edisi Kedua, Bandung: Remaja Rosdakarya. Thomas, J. Allan, 1972, The Productive School A System Analysis Approach to Educational Administration. John Wiley & Sons. JNC. Canada. Zeithaml, V., Bitner, & Gramler. 2005. Service Marketing 4th edition. New York: The McGraw - Hill Companies.
Website: Prasetyaningrum, Indah Dwi, 2009. Analisis Pengaruh Pembelajaran Dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Mahasiswa Dan Loyalitas Mahasiswa (Studi Kasus Pada Undaris Ungaran). Tesis pada Program Magister Manajemen Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. [Online] Tersedia: http://www.eprints.undip.ac.id/17785/ 1/Indah_Dwi_Prasetyaningrum.pdf [19 September 2013] Suardana, I Made, 2007, Analisis Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan Jasa Pendidikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi amm (STIA amm) Mataram. Dalam Jurnal Valid [Online], Volume 4 No. 1, hal. 57-69. Tersedia: http://www.jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/ jurnal/41075769.pdf [19 September 2013] Zurni Zahara Samosir (2005: 28-36)Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol. 1, No. 1, Juni 2005, Universitas Sumatera Utara.
94
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VII No. 1, Juni 2014
95