KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
13 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI I. KESIMPULAN laporan ini, maka berdasarkan hasil-hasil kajian yang telah diuraikan pada Mengakhiri bab-bab terdahulu dapat ditarik beberapa kesimpulan umum, yaitu : (1)
Areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) yang terdapat di Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Aceh dengan luas 60.657,29 hektar merupakan suatu wilayah ekosistem rawa bergambut yang memiliki berbagai keanekaragamn hayati dan masih terdapat beberapa jenis flora dan fauna yang khas. Jenis fauna yang ditemukan di wilayah ekosistem TPSF ini sebanyak 91 jenis, 18 jenis diantaranya memiliki nilai ekonomi dan ekologi serta terdapat 14 jenis memiliki nilai endemik dan dilindungi. Keberadaan flora fauna dalam ekosistem TPSF ini berada dalam daerah yang terisolir dan terfragmentasi di sepanjang pantai.
(2)
Areal dengan vegetasi hutan primer (hutan rawa) yang masih tersisa hanya sekitar 12.455,45 hektar atau 20,53 persen sedangkan selebihnya telah dibuka menjadi lahan usaha perkebunan /pertanian. Vegetasi hutan rawa gambut meliputi tumbuhan spesies palem, pandan, Podocarpus dan wakil kebanyakan familia yang biasa ditemukan di hutan tropis basah, termasuk familia Dipterocarpaceae. Banyak spesies yang khas pada hutan rawa gambut.
(3)
Biodiversitas biota akuatik teridentifikasi sebanyak 30 spesies makrozoobenthos, dengan komposisi 18 spesies dari Kelas Gastropoda, 6 spesies dari Kelas Bivalvia (Filum Mollusca), 5 spesies dari Kelas Crustacea (Filum Arthropoda) dan 1 spesies dari Kelas Insekta (Filum Arthropoda). Spesies makrozoobentos yang paling dominan dari segi jumlah individu adalah Faunus ater dari Kelas Gastropoda yaitu sebanyak 1734 individu, sedangkan yang paling sedikit adalah Brotia costula, Lophiotoma indica, dan Nerita atramentosa dari Kelas Gastropoda dan Progomphus obscurusdari Kelas Insekta. Makrozoobentos yang paling dominan adalah kelas Gastropoda. Indeks keragaman makrozoobentos berkisar 0,43-1,63, yaitu kategori rendah sampai sedang.
(4)
Wilayah ekosistem Rawa Tripa terdapat tiga sungai utama yaitu Krueng Tripa, Krueng Batee dan Krueng Seumayam serta terdapat satu sungai kecil yaitu Krueng Seneuam. Krueng Seumayam memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap banjir di Rawa Tripa. Limpasan banjir dari sungai ini sangat mempengaruhi sistem imbangan air rawa dan kualitas air rawa. Sungai-sungai tersebut selain berfungsi sebagai penyangga air untuk lahan rawa juga berfungsi sebagai habitat ikan-ikan air tawar yang menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat sekitar. Tidak kurang dari 75 spesies ikan air tawar dan 4 spesies ikan air payau ditemukan di wilayah ini.
495
496 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
(5)
Kondisi areal TPSF saat ini tidak ada lagi areal yang tergenang sebagai rawa karena hutan rawa yang ada telah berubah karena telah dibuat sistem drainase permukaan yang sangat intensif. Genangan hanya terjadi di tempat tertentu apabila areal tersebut mengalami banjir. Lebih dari 80 persen areal TPSF ini telah dibuka menjadi lahan pertanian /perkebunan sehingga vegetasi hutan rawa yang masih tersisa hanya sekitar 12.455,45 hektar. Penggunaan lahan saat ini adalah hutan rawa seluas 11.809,54 ha, kebun campuran 29.074,19 ha, lahan terbuka 3.216,83 ha, perkebunan kelapa sawit 16.556,72.
(6)
Dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) dengan luas areal 60.657,29 ha terdapat lahan bergambut seluas 34.552.09 ha, dan tanah mineral (campuran alluvial dan gambut) seluas 26.105,20 ha. Berdasarkan hasil pemetaan lapangan, wilayah TPSF menurut Taksonomi Tanah USDA (2008), dapat dibagi atas tiga ordo tanah, yaitu Entisol, Inceptisol dan Histosol. Entisol terdiri atas dua jenis/subgroup yaitu Aluvial Eutrik (Typic Tropofluvent) dan Aluvial Distrik (Typic Dystropepts), sedangkan Inceptisol hanya satu jenis/subgroup yaitu Aluvial Gleik (Typic Tropaquent). Ordo Histosol atau tanah Gambut mempunyai tiga jenis/subgroup yaitu Typic Tropofibrist, Typic Topohemist, dan Typic Troposaprits. Tanah gambut tersebut dapat dibedakan atas tiga kedalaman, yaitu 50-200 cm seluas 2.844,46 ha, 201-300 cm seluas 19.411,40 ha, dan lebih dari 300 cm seluas 12.296,22 ha.
(7)
Total cadangan karbon (C) di areal TPSF dengan menggunakan luas penggunaan lahan menghasilkan nilai 76.206.098 ton, sedangkan total cadangan C di bawah permukaan tanah pada hutan primer menurun hampir 19.627.165 ton, pada hutan sekunder C menurun hingga 6.765.395 ton, pada kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering meningkat hingga 21,241,959 Mg, dan lahan terbuka menjadi 908.740 ton dari tahun 2007 hingga 2013. Penambahan cadangan C di bawah permukaan tanah untuk kebun kelapa sawit/kebun campuran/pertanian lahan kering diakibatkan oleh penambahan luas lahan hampir 17,091.33 ha. Total cadangan C di bawah permukaan tanah yang hilang dari seluruh ekosistem TPSF dari tahun 2007-2013 adalah 4,241,861 ton.
(8)
Cadangan karbon total pada pemukaan tanah atas pada Tahun 2013 seluruh areal Hutan Rawa Gambut Tripa mencapai 2.469.310,02 ton C atau setara dengan 9.054.136,75 ton CO2-e. Emisi CO2 yang terjadi di Kawasan Gambut Rawa Tripa dipengaruhi temperatur gambut, kadar air gambut, kedalaman muka air gambut dan electrical conductivity gambut. Perkiraan total emisi yang terjadi pada Tahun 2013 di seluruh Kawasan Rawa Gambut Tripa mencapai 96.322.647,79 ton CO2-e atau setara dengan 26.269.813,03 ton C.
(9)
Status lahan dalam di areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) merupakan areal yang termasuk ke dalam Areal Penggunaan Lain (APL). Saat ini sebagian besar wilayah ini merupakan lahan Hak Guna Usaha (HGU) beberapa perusahaan perkebunan yang telah terdaftar pada Kantor Pertanahan setempat. Dalam areal TPSF terdapat lahan-lahan warga yang digunakan sebagai areal perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran.
(10) Analisis finansial studi kelayakan usaha kelapa sawit pada kawasan ini menunjukkan bahwa usaha perkebunan kelapa sawit memberikan keuntungan yang cukup besar. Harga CPO yang cenderung terus meningkat membuat pengusahaan tanaman kelapa sawit lebih menguntungkan daripada pengusahaan
LAPORAN UTAMA
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI | 497
tanaman lainnya. Kondisi ini mendorong masyarakat sekitar untuk melakukan pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit dalam wilayah TPSF. (11) Walaupun usaha perkebunan kelapa sawit di areal TPSF memberikan beberapa keuntungan secara ekonomi, akan tetapi dalam jangka panjang akan memberikan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan. Hasil kajian biofisik menunjukkan bahwa konversi hutan rawa di areal TPSF menjadi lahan perkebunan/pertanian telah menyebabkan terjadinya degradasi lahan yang ditandai dengan menurunnya ketebalan gambut dan kemampuan menambat air (water holding capacity) serta perubahan pada karakteristik biofisik gambut yaitu perubahan pada profil horizon, ketebalan, tingkat dekomposisi, kadar air, kadar abu, pH, C-organik dan biomassa tanaman serta meningkatnya emisi CO2 akibat percepatan dekomposisi bahan organik/gambut. (12) Lahan rawa gambut di TPSF yang telah lama digunakan untuk pertanian/perkebuan karakteristiknya telah terjadi perubahan yang ekstrim dari sifat aslinya sehingga sulit untuk dikembalikan kepada kondisi semula. Dampak lain dari konversi rawa gambut menjadi areal budidaya adalah terjadinya degradasi hutan yang ditandai dengan menurunnya tingkat keanekaragaman hayati, meningkatnya emisi karbon ke atmosfir akibat dekomposisi aerobik yang sangat pesat, menurunnya permukaan air tanah dan subsidensi serta dapat membuat gambut mudah terjadi kebakaran. (13) Perubahan penggunaan lahan tersebut tentu saja akan berdampak pada manfaat lingkungan, ekonomi dan sosial di wilayah ekosistem Rawa Tripa ini. Berdasarkan hasil perhitungan biaya dan manfaat terhadap hasil perkebunan dan jasa lingkungan menunjukan bahwa biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lebih besar dibandingkan dengan manfaat langsung yang akan diperoleh, namun dalam jangka panjang akan diperoleh keuntungan yang lebih besar dan dapat menjaga kelestarian ekosistem. (14) Pengaturan muka air tanah pada lahan gambut dapat menghambat laju degradasi biofisik lahan gambut di areal TPSF khususnya pada lahan yang dikelola untuk perkebunan kelapa sawit dan kebun campuran. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat sistem drainase yang sesuai dengan karakteristik lahan setempat misalnya dengan membuat canal blocking di areal TPSF. Sistem drainase yang telah dibuat oleh perusahaan perkebunan di areal Rawa Tripa untuk tahap awal bisa digunakan sebagai sarana lingkungan dalam mendukung usaha reklamasi lahan rawa. Pembuatan saluran drainase dapat dilanjutkan pada Tahap Menengah dengan mengaplikasikan sistem tata air yang benar dan disempurnakan pada Tahap Akhir dengan menyediakan suplai recharge water pada sistem saluran yang telah dibangun. (15) Secara yuridis formal, areal Hutan Rawa Gambut Tripa belum ditetapkan sebagai kawasan lindung walaupun dari aspek geofisik telah memenuhi kriteria yang ditentukan dalam ketentuan perundang-undangan untuk ditetapkan sebagai kawasan lindung. Namun pada usulan RTRWA kawasan lindung/konservasi telah diusulkan hanya seluas sekitar 12.000 hektar.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala
498 | SCIENTIFIC STUDIES FOR THE REHABILITATION AND MANAGEMENT OF THE TRIPA PEAT-SWAMP FOREST
II. REKOMENDASI (1) Hutan primer dan hutan skunder yang ada dalam ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) perlu dijaga dan dipertahankan karena selain berfungsi sebagai habitat bagi pelestarian flora dan fauna yang dapat memberikan jasa ekologi yang terkandung di dalamnya juga terdapat lapisan tanah gambut yang dalam (> 300 cm) yang berfungsi sebagai cadangan karbon dan tempat penyerapan air. (2) Pembukaan lahan baru untuk dijadikan areal perkebunan dalam areal Hutan Rawa Gambut Tripa (TPSF) perlu dihentikan (dihindarkan) untuk mencegah terjadinya degradasi lahan/hutan yang lebih luas. Pada lahan rawa gambut dalam dianjurkan mempertahankan kondisi hutan yang ada dan apabila vegetasi hutan telah tiada, maka dianjurkan untuk melakukan penanaman baru dengan menggunakan jenis tumbuhan hutan asli setempat seperti jelutung, ramin, semantok, meranti dan jenis–jenis lainnya. (3) Lahan yang diperioritaskan sebagai lahan konservasi di Ekosistem Hutan rawa gambut Tripa (TPSF) dapat dibedakan atas empat subekosistem yaitu : (1) areal konservasi hutan rawa gambut dan konservasi flora dan fauna seluas 8.318,91 ha, (2) areal konservasi hutan pantai dan sempadan pantai seluas 5.639,90 ha, (3) areal konservasi hutan mangrove seluas 748,96 ha, dan (4) areal konservasi sempadan sungai seluas 4.549,76 ha dengan total luas areal adalah 19.257,53 ha atau 31,75 persen dari luar areal TPSF. Secara menyeluruh, areal Hutan Gambut Rawa Tripa (TPSF) berdasarkan keunikan ekosistemnya disarankan untuk dijadikan kawasan ekowisata dan laboratorium alam yang bermanfaat bagi penelitian, dan pendidikan. (4) Diperlukan segera pembentukan kawasan perlindungan satwa untuk menampung fauna terutama mamalia dan burung (aves) yang masih tersisa dalam areal hutan rawa gambut Tripa ini dan ada peluang pembentukan koridor satwa di sepanjang wilayah Hutan Rawa Tripa yang terdiri dari koridor I dan Koridor II. (5) Untuk menjaga ekosistem rawa gambut, maka diperlukan tindakan penutupan saluran drainase (blocking canal) dan revegetasi dengan jenis–jenis tumbuhan yang sesuai dengan habitat lahan rawa bergambut. (6) Untuk mendapatkan informasi yang lebih detail dan lebih akurat terhadap rencana aksi rehabilitasi dan konservasi TPSF, maka diperlukan kajian lanjut untuk penyusunan dokumen master plan dan rencana detilnya, khususnya dalam menetapkan batas-batas wilayah konservasi, teknis pembangunan canal blocking dan pengelolaan tata air secara komprehensif melalui rekayasa aliran air sungai Krueng Seumayam dengan pembuatan bendung sederhana yang dapat mengendalikan recharge dan discharge di lahan rawa TPSF yang didukung oleh kajian mengenai hasil air (water yield) berdasarkan pola penggunaan lahan di TPSF. (7) Upaya konservasi lahan gambut rawa Tripa harus melibatkan ketiga komponen utama secara seimbang dan proporsional, yaitu Pemerintah Daerah, Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit, dan masyarakat lokal serta melibatkan pihak Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM dan Perguruan Tinggi untuk pengawasan, penelitian dan pengembangan. (8) Monitoring dan evaluasi kondisi lahan TPSF perlu dilakukan untuk mengetahui tindak lanjut dari hasil kajian ini dan mengevaluasi secara lebih mendalam tentang
LAPORAN UTAMA
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI | 499
kondisi kekinian areal TPSF pada tahap implementasi rencana aksi restorasi dan rehabilitasi termasuk kajian dampak positif dan negatifnya terhadap lingkungan dan masyarakat di TPSF. (9) Perlu dibentuk suatu lembaga yang bersifat otonom yang memiliki authoritas untuk mengorganisir implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan areal TPSF. Lembaga tersebut dapat berperan dalam melaksanakan fungsi koordinasi, pengawasan, dan pengontrolan agar program yang dilaksanakan di areal TPSF tidak tumpang tindih melainkan saling bersinergi. Selain itu juga perlu segera pembentukan Forum Rawa Tripa yang berfungsi sebagai penyeimbang dalam proses sosialisasi dan pengawasan implementasi program di lapangan.
Project Implementation Unit - Studi Ekosistem Rawa Tripa Universitas Syiah Kuala