11. TINJAUAN PUSTAKA
Kerban sebagai Ternak Kerja Kerbau merupakan ternak yang mempunyai peranan yang penting dalam bidang pertanian. Di Indonesia pemeliharaan kerbau sebagian besar ditujukan sebagai sumber tenaga keja untuk mengolah lahan pertanian, sehingga perhatian terhadap pertumbuhan dan kualitas dagingnya kurang tampak. Kerbau dapat dianggap sebagai suatu traktor hidup yang tidak memerlukan banyak modal untuk dibeli serta tidak memerlukan bahan bakar yang mahal. Keistimewaan lain dari kerbau adalah dapat bekerja pada lahan yang sempit atau lereng yang agak curam. Di samping itu kerbau dapat bekej a selama 10 tahun, bahkan ada yang umurnya mencapai 20 tahun, dan selama masa tugasnya itu, ia tidak memerlukan penggantian suku cadang seperti yang sering tejadi pada traktor dan alat mekanisasi yang lain. Usahatani di negara-negara berkembang pada umumnya lebih banyak menggunakan tenaga ternak dan tenaga manusia dari pada menggunakan tenaga mesin, sementara di negara-negara maju lebih banyak menggunakan tenaga mesin (Tabel 1). Sebagian besar kerbau digunakan sebagai ternak kerja untuk mengolah tanah dan menarik beban. Penggunaan kerbau sebagai ternak kerja pada umumnya 3 - 5 jamlhari. Hardiyan (1989) menyatakan bahwa kerbau pada
umumnya digunakan pada dua musim tanam dimana untuk setiap musim tanam dipekerjakan sekitar 25 - 30 hari, dengan waktu kerja pada pagi hari pukul6.00 - 10.00 dan sore hari pukul15.00 - 18.00. Tabel 1. Pencurahan Tenaga Kerja dalam Usaha Tani (dalam jutaan) Sumber tenaga kerja Negara
Luas
Manusia
Ternak
Mesin
1. Negara berkem bang
479
125
26
250
52
104
22
2. Negara maju
644
44
7
63
11
537
82
Sumber: Ramaswamy (1985) Kerbau mempunyai kemampuan yang terbatas, oleh karena itu beban kerja yang diberikan perlu disesuaikan. Pada umumnya kekuatan kerbau menarik beban berbanding lurus dengan massa tubuhnya. Menurut Goe (1983) kekuatan tarik kerbau antara 10 -14% dari masa badannya pada
-
kecepatan 25 4 km/jam. Teleni dan Hogan (1989) mendapatkan bahwa sapi dan kerbau dapat menarik beban yang beratnya 11%dari masa badamya dengan kecepatan 2,s km/jam selama 3 jam. Di Thailand kerbau digunakan untuk kerja selama 60 - 146 hariltahun atau rata-rata 122 hari, dengan waktu kej a 5 jam setiap hari dan dapat mengerjakan lahan 0,02
- 0,06 hektar/jam.
Kerbau yang dipekerjakan selama 7 jam/hari dapat mengolah lahan 3,7
hektar selama 3 bulan atau rata-rata 1 hektar selama 24 hari kerja (Falvey,
1987). Santosa et al. (1987) melaporkan bahwa kerbau yang dipekerjakan pada pagi hari selama 1,5 - 3,5 jam/hari dalam satu musim tanam, akan dapat mengerjakan sawah seluas 2,28 hektar, tetapi bila dipekerjakan pagi dan sore hari selama 2,5 - 6 jam/ hari dapat mengerjakan sawah rata-rata 3,18 hektar. Matthews dan Pullen (1977) menyatakan bahwa ada beberapa ha1 yang dapat mempengaruhi kemampuan kerja kerbau, antara lain umur, temperatur lingkungan, terik matahari, kelembaban serta tipe dan kekerasan tanah. Di samping jenis ternak, jenis kelamin juga mempengaruhi kemampuan kerja. Kerbau jantan pada umumnya lebih kuat dan lebih lincah dibandingkan kerbau betina.
Teknik-teknik unhdc Mengukur Produksi Panas/Energi Penggunaan energi biasanya dihitung dari pengukuran di dalam bilik respirasi, yaitu dengan mengukur konsumsi oksigen dan produksi karbon dioksida serta prociuk-produk akhir dari metabolisme seperti metan dan nitrogen urin, dan menghitungnya dengan menggunakan rumus-rumus Weir atau Brouwer (McLean dan Tobin, 1987). Sementara itu bilik respirasi hanya dapat memberikan hasil yang berguna untuk ternak yang dikandangkan, cara itu tidak dapat mencerrninkan kondisi lapangan dimana keadaan iklim dan
lingkungan sosial dapat memberi darnpak, karena hewan lebih banyak melakukan kerja otot dalarn aktifitasnya. Untuk memperoleh nilai kebutuhan energi dalam keadaan hidup bebas dalam kondisi tertentu seperti pada saat kerja, diperlukan teknik-teknik yang memungkxnkan pengukuran tanpa kekangan dalam keadaan hidup bebas. Metode Faktorial Lawrence (1985) mengembangkan teknik yang didasarkan atas pengukuran-pengukuran mekanik untuk mengukur pengeluaran energi untuk kerja. Teknik ini disebut metode faktorial. Teknik ini didasarkan atas pengukuran energi untuk berjalan, energi untuk membawa beban dan energi untuk menarik beban. Metode ini melibatkan pengukuran-pengukuran gaya tarik, massa tubuh ternak, jarak berjalan dan sudut tarikan. a. Energi untuk berjalan dihitung dengan:
dimana: Ea: energi untuk berjalan (KJ) W :massa tubuh ternak (kg) L :jar& berjalan (krn) a : 2,l joule
b. Energi untuk membawa beban dihitung dengan:
dimana: Eb: energi untuk membawa beban (KJ) F :beban0
a : susut tarikan L :jarak (krn) b :4,2 joule
c. Energi untuk menarik beban dihitung dengan: Ec = (F cos a)L/c
....................................................................
3
diamana: Ec: energi untuk menarik beban (KJ) c : 0,35 yaitu efisiensi kerja mekanik Total energi untuk kerja adalah:
Teknik Masker Di Stuttgart, oleh Clar et el. (1992) dikembangkan teknik masker untuk mengukur produksi panas pada hewan kerja. Teknik ini didasarkan atas pengukuran gas-gas respirasi seperti mengukur konsumsi 02 dan produksi
COz dan
a. Pengukuran
dilakukan dengan memakai masker yang
dipasang pada mulut ternak dan dihubungkan dengan sebuah gasmekr untuk mengetahui volume gas ekspirasi. Sarnpel gas ekspirasi ditarnpung dalam sebuah kantong yang selanjutnya siap dianalisis kandungan CH4 dan
COz dengan infrared-gus analyzer, sedangkan kadar 02 dianalisis dengan pararnagnetik oxygen analyzer. Produksi panas ditentukan dengan menggunakan formula PP = 20,5
V02
(McLean, 1986). Pada teknik masker ini
pengukuran hanya memungkinkan dalam waktu yang singkat (3 menit) yang
selanjutnya dikalikan dengan lama aktifitas. Ini merupakan salah satu kelemahan teknik itu, terutama sekali bila diinginkan pengukuran dalam waktu yang lama. Air Berat Berlabel Ganda Nolet et RZ. (1992) melakukan percobaan untuk mengukur produksi panas untuk aktifitas pada angsa dengan teknik perunutan dengan air yang berlabel ganda (DLW). Teknik ini sebenarnya memberikan pendekatan yang terbaik untuk menjawab masalah penggunaan energi dalam keadaan hidup bebas seperti pada saat kerja. Teknik ini didasarkan atas observasi bahwa pembaharuan oksigen air pada tubuh hewan Iebih besar dari hidrogen air. Kedua unsur tersebut keluar tubuh sebagai air, tetapi oksigen juga keluar sebagai CO2. Dengan merunut air tubuh dengan H2 dan 0 1 8 serta melakukan observasi secara diferensial, dirnungkinkan mengukur produksi
C02. Metode
ini telah diketahui mempunyai akurasi yang sangat tinggi. Namun DLW sangat mahal dan memerlukan alat analisis yang sangat canggih untuk isotop stabil, oleh karena itu dalam aplikasi sangat sulit dilakukan, kecuali sebagai rnetode untuk validasi.
Pengulcuran Denyut Nadi Penentuan kebutuhan energi dari monitoring
denyut jantung
dianggap mernuaskan untuk berbagai aplikasi lapangan pada manusia. Di
masa lalu korelasi denyut jantung dengan penggunaan energi pada sapi dan kerbau dianggap rendah (Richards dan Lawrence, 1984). Kajian di Stuttgart dan Mali, denyut jantung dan pengeluaran energi berkorelasi tinggi (r=0,94) (Rometsch dan Becker, 1993; Holmes et a]., 1976), namun estimasi yang lebih tepat dari pengeluaran energi dalam kondisi lapangan perlu ditetapkan. Ceesay et nl. (1989) melakukan penelitian dengan membandingkan pengu kuran prod u ksi panas dengan tekni k pengukuran denyu t nadi dengan produksi panas yang diukur dengan kalorimetri. Didapatkan bahwa kedua teknik ini mempunyai korelasi yang cukup tinggi (R2=0,88,
n = 20).
Pengukuran Keseimbangan Pakan dan Komposisi Tubuh Metode lain yang bisa dikembangkan untuk menentukan produksi panas pada hewan yang hidup bebas adalah dengan melakukan pengukuran perubahan komposisi tubuh. Dalam metode ini disertai dengan melakukan pengukuran energi metabolis (ME) dengan percobaan neraca energi. Pada hewan kecil prosedur yang bisa dikerjakan adalah dengan mengorbankan contoh jaringan-jaringan yang representatif dari hewan pada permulaan pemobaan untuk menentukan kadar lernak, protein dan energi tubuh. Segera setelah itu percobaan makanan dilakukan. Pada akhir perlakuan hewan dipotong dan jaringan tubuhnya dianalisa protein lemak dan energinya untuk mengetahui perubahan zat-zat tersebut selama pemobaan. Produksi
panas dapat dihitung dengan mengurangi ME dengan perubahan energi tubu h.
Pada hewan besar masalahnya adalah kesulitan untuk mendapatkan contoh jaringan yang representatif di samping pemotongan pada hewan besar menuntut biaya yang cukup mahal. Masalah ini akan dapat diatasi bila kadar protein, lemak dan energi jaringan dapat ditentukan dengan metode tanpa merusak tubuh hewan (kaedah non-invasif). Rule et al. (1986) telah mengembangkan teknik penentuan komposisi tubuh hewan dengan mengukur kadar air tubuh dengan ruang distribusi Namun formula yang dikembangkan oleh Rule untuk sapi perah
urea.
memberikan hasil yang kurang memuaskan pada beberapa percobaan di Indonesia jika diterapkan pada ternak kambing dan domba (Sastradipradja et al., 1995). Di samping metode itu, telah banyak pula dikembangkan metodemetode pengukuran komposisi tubuh seperti pelarutan isotop, Total Body electrical Conductivity (TOBEC), Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) serta Skinfold Thickness (Power and Howley, 1991). Namun teknik-teknik tersebut relati f mahal dan memerlukan peralatan yang harus distandarisasi terlebih dahulu.
Kleiber (1961) mengulas teknik pengukuran lemak dan protein tubuh yang didasarkan atas pengukuran berat jenis tubuh. Hal ini didasarkan pada
suatu kenyataan bahwa tubuh terdiri dari lemak dan bagian bukan lemak (lean). Lemak mempunyai masa jenis yang lebih kecil dari bagian bukan lemak (lean). Bila masa jenis tubuh diketahui maka berat lemak dapat dihitung. Pengukuran masa jenis tubuh dilakukan dengan prinsip Hukum Archimedes yai tu dengan menimbang berat ternak dan mengukur volume tubuh hewan. Volume tubuh hewan dapat diukur dengan menimbang ternak di dalam air atau dengan memasukan ternak ke dalam air kemudian diukur perubahan permukaan air atau jumaiah air yang keluar dari bak tersebut. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh jenis ternak, umur dan makanan yang dimakan. Secara umum komposisi tubuh hewan dewasa adalah 59% air, 16% protein, 20% lemak, 4% abu dan kurang dari 1% karbohidrat (Tillman et al., 1986). Komponen yang paling banyak berubah dari komposisi tersebut adalah air dan lemak. Kedua komponen tersebut sangat dipengaruhi oleh umur dan makanan yang dimakan. Kadar air cenderung mengalami penurunan dengan meningkatnya umur, tetapi kadar lemak akan meningkat dengan meningkatnya umur hewan. Jadi ada suatu hubungan negatif antara air dan lemak. Karkas sapi jantan yang diketahui mengandung 20% lemak, kandungan airnya 60%, sedangkan sapi jantan yang gemuk yang mengandung 40% lemak airnya hanya 42% (Tillman et al. 1986).
Kadar protein tubuh relatif tetap pada berbagai umur. Kadar protein sangat dipengaruhi oleh jenis hewan
Kebutuhan Energi untuk Kej a . Kebutuhan energi untuk ternak kej a dipengaruhi oleh intensitas dan lama keja, kondisi lingkungan dan jenis pekejaan serta masa badan ternak tersebut (Bamualim dan Kartiarso, 1985). Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan bahwa energi total yang digunakan oleh ternak untuk bekej a dipengaruhi oleh beban keja. Pada umumnya beban kej a diklasifikasikan dalam tiga kelas yaitu keja ringan, medium dan berat. Oleh karena itu perhitungan energi sebaiknya didasarkan pada intensitas kej a (persentase beban keja terhadap masa badan ternak) dan produksi tenaga yang dihasilkan (Goe dan McDowell, 1980). Besaran yang biasa digunakan untuk menentukan kebutuhan energi untuk kej a adalah dengan menyatakan berapa kali kebutuhan energi untuk keja dibandingkan dengan
kebutuhan energi istirahat. Leng (1985)
menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk ternak yang bekej a
ringan
(bejalan tanpa beban 6 jam/hari) adalah 1,5 kali kebutuhan energi untuk istirahat dan meningkat sampai 2 kali kebutuhan energi untuk istirahat untuk ternak yang bekej a berat (membajak 6 jam/hari). Di lain pihak Goe dan McDowell (1980) menyatakan bahwa kebutuhan energi untuk keja pada
kerbau sebesar 2/7 kali kebutuhan energi untuk hid up pokok, sedangkan hasil penelitian Lawrence (1985) mendapatkan bahwa sapi memerlukan 1/67 kali kebutuhan energi istirahat
Pengarub Kerja terhadap Nilai-nilai Fisiologis
Komarudin et al. (1991)
meneliti pengaruh beban kerja terhadap
denyut jantung, laju pernapasan, temperatur rektal dan temperatur kulit pada sapi Bali, sapi Ongole dan sapi Madura. Dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa ketiga sapi yang diberikan beban kerja 11,8% dari massa tubuhnya mempunyai denyut jantung berturut-turut 60; 56 dan 58 kali permenit sedangkan laju respirasinya 66; 39 dan 50 kali permenit Tidak ada perbeciaan temperatur kulit dan temperatur rektal dari ketiga sapi tersebut Pengaruh radiasi matahari terhadap keadaan fisiologis sapi Bali, Ongole dan Madura diteliti oleh Kamarudin dan Teleni (1991). Radiasi matahari akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, laju respirasi dan temperatur kulit, tetapi tidak berpengaruh terhadap temperatur rektal. Teleni et al. (1991) melaporkan bahwa penggunaan tern& untuk keja akan mempengaruhi metabolit-metahlit
di dalam darah (Tabel 2).
Peningkatan packed cell volume (PCV) selama bekerja disebabkan karena adanya peningkatan pembuangan metahlit-metabolit dari tubuh, sedangkan
peningkatan asam laktat disebabkan karena jalur glikolisis merupakan tapak jalan yang penting dalam penggunaan glukosa rnenjadi energi. Pemberian makanan yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sangat penting untuk ternak kerja. Hal ini disebabkan karena tenaga yang dihasilkan untuk kerja tidak lain berasal dari makanannya. Pemberian makanan yang kurang akan menyebabkan gangguan-gangguan pada ternak itu sendiri. Mengingat masih lebih banyaknya penggunaan ternak betina sebagai tenaga kerja, maka sangat perlu diperhatikan bahwa beban kej a yang diberikan tidak melampaui kemampuan ternak tersebut, serta makanan yang diberikan mencukupi untuk keperluan produksi dan reproduksi. Tabel 2. Rata-rata konsentrasi metabolit di dalam darah sebelum dan sesudah kerja. Variabel -
-
Sebelum kerja -
- -
Kerja
Recovery
-
1. Asam lemak bebas (mM)
0,806
1,227
0,925
2. Glukosa (mM)
3,229
3,600
3,202
3. Asam laktat (mM)
0,844
1,121
1,048
4. Urea (mM)
1,607
1,777
2,022
5. PCV (%) ---
25 ---
- -
Sumber: Teleni et al. (1991).
27
23
Konsumsi pakan kerbau yang masanya 300 - 350 kg akan meningkat dari 5,26 kg menjadi 6,26 kg DM/hari bila beban kerjanya ditingkatkan dari tan pa beban menjadi bekerja dengan beban 50 kg yang dipekerjakan selama 14 hari, namun tidak ada perbedaan kenaikan masa badan dari kedua kerbau tersebut (Bakrie et al., 1989). Di lain pihak Borton (1987) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi pakan dari sapi yang dipekejakan 2 jam/hari dengan yang dipekerjakan 3 jam/hari.
Hal ini sejalan dengan pendapat
Bamualim (1987) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan konsumsi pakan antara kerbau yang menarik beban 80 kg selama 2 jam/hari dengan kerbau yang tidak dipekejakan, namun kenaikan masa badannya jauh lebih tinggi pada kerbau yang tidak dipekejakan. Ternak yang frekuensi bekejanya Iebih berat mengkonsumsi pakan lebih banyak dibandingkan dengan ternak yang frekuensi bekejanya lebih ringan. Namun pertambahan masa badan/hari tidak menunjukkan perbedaan
(Usri, 1988). Hal ini
menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi pakan pada ternak yang bekej a Iebih berat tidak dipergunakan untuk pertumbuhan tetapi digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi untu k keja. Pieterson dan Teleni (1991) mendapatkan bahwa kerbau yang dipekejakan dengan menarik beban 33 kg (11% dari massa tubuhnya) dan bejalan dengan kecepatan 2,5 km/jam konsumsi pakannya akan lebih rendah
dari kerbau yang tidak dipekejakan, bila diberikan makanan yang berkualitas jelek (jerami padi). Metabolisme Karbohidrat Lemak dan Protein. Pada ternak ruminansia karbohidrat makanan dirubah menjadi asam asetat, propionat dan butirat Asam propionat diserap dari rumen ke sirkulasi darah dan dibawa ke hati membentuk glukosa. Asam butirat dirubah menjadi P-hidroksibutirat kemudian bersama asam asetat dipakai oleh jaringan sebagai sumber energi dan sintesa lemak. Glukosa mengalami katabolisme melalui dua jalur jaitu jalur glikolitik dan siklus asam sitrat. Jalur glikolitik tejadi dalam sitoplasma dimana glukosa mengalami degradasi menjadi asam piruvat (Gambar 1). Meskipun glikolisis dapat berlangsung dengan atau tanpa oksigen, hasil energi untuk reaksi seluler lebih tinggi dalam keadaan aerobik Dua rnol
ATP dihasilkan dari tiap gula triose dalam reaksi dari l,3-difosfogliserat menjadi 3-fosfogliserat dan dari fosfoenolpiruvat menjadi piruvat, sehingga jumlahnya 4 mol ATP. Namun dua rnol ATP terpakai sehingga hasil netto fosforilasi tingkat substrat adalah dua mol ATP. Biia kadar oksigen tinggi,
NADH yang disintesa dapat mengalami oksidasi melalui sistem transport elektron dalam mitokondria. Fosforilasi oksidatif ini akan menghasilkan 6 rnol ATP, sehingga jalur glikolisis menghasilkan 8 rnol ATP.
Glukose darah
. =
Glukose-6-fosfat
Fruktose- 1.6-difosfat
Triose fosfat
Fosfoenol-piruvat
-
Gliserd
Badan keton
a s p a r t a t e Oksaloasetat
Asam propionat
Gambar 1. Skema glikolisis dan siklus asam sitrat (Harper, et al., 1979).
21
Hasil akhir jalur glikolitik berupa asam piruvat dalam keadaan aerobik dioksidasi
menghasilkan energi, COz dan Hz0 melalui jalur siklus asam
sitrat. Oksidasi satu rnol asam piruvat menghasilkan 15 rnol ATP, sehingga produksi netto dari oksidasi satu rnol glukosa adalah 38 ATP (Harper et RI.,
1979) dengan perincian: Satu rnol glukosa ->
2 rnol piruvat = 8 ATP.
Dua rnol piruvat ->
C02 + Hz0
Total
=
30 ATP.
=
38 ATP.
Simpanan lemak dalam tubuh merupakan sumber energi utama bagi tubuh. Depo lemak berupa trigliserida akan dihidrolisa menjadi gliserol dan asam lemak bebas. Gliserol dapat dirubah menjadi glukosa melalui proses glukoneogenesis Glu kosa yang di hasilkan masu k siklus gli kolisis dan siklus asam sitrat untuk menghasilkan energi. Satu rnol gliserol akan menghasilkan
21 rnol ATP dengan perician:
2 mol gliserol -> fosfat.
2 mol dehidro aseton
=
4ATP
=
38 ATP
=
42 ATP
2 rnol dehidroaseton fosfat -> 1 mol glukosa 1 mol glukosa ->
COz + HzO
2 mol gliserol
Tiga asam lemak yang dibebaskan dari hidrolisa trigliserida akan didegradasi menghasilkan energi, C02 dan H a . Oksidasi yang tejadi pada
asam-asam lemak berantai panjang adalah suatu reaksi bertahap yang meliputi pemindahan dua atom karbon dari ujung cincin asam lemak alifatik yang dikenal dengan nama reaksi beta oksidasi. Hasil dari beta oksidasi adalah molekul-molekul asetil yang dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat untu k menghasilkan energi.
Sistin Sis t ein Hidroksiprolin Melionin hsetil Co A
Tirosin Lisin Leusin
[ ~ s a ma s p a r t a l p Oksaloasetat 4
b1-
Fenilalanin Tirosin
Ketoglutarat
I Furnaia; Suksinil Co A
d"
Valin
Garnbar 2. Jalur oksidasi dari asam amino (Harper et nl., 1979).
Asam glulamat Histidin
Asam amino dapat pula dioksidasi untuk menghasilkan energi, terutama pada saat persediaan glukosa dan lemak yang terbatas. Keadaan ini biasanya terjadi pada objek-objek yang bekej a keras dalam waktu yang lama. Tahap pertama dari degradasi asam amino adalah deaminasi, dimana gugus amino dipindahkan sehingga menghasilkan gugus alfa-keto. Gugus alfa-keto akan masuk dalam siklus asam sitrat menghasilkan energi (Gambar 2), sedangkan amonia yang dihasilkan dibawa ke hati untuk diubah menjadi urea yang kemudian dikeluarkan melalui urine.