KEPEMIMPINAN ELIT LOKAL DI PEDESAAN PADA ERA DESENTRALISASI Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang
AHMAD TARMIJI ALKHUDRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada Era Desentralisasi: Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2013
Ahmad Tarmiji Alkhudri NIM: I353100111
SUMMARY AHMAD TARMIJI ALKHUDRI. Local Leadership in Rural Era Decentralization: Study Leadership of Jawara in Tangerang Coastal Village. Supervised by RILUS A. KINSENG and SAID RUSLI. The research was motivated by the dynamics in the implementation of regional autonomy at the grass roots. The dynamics of the open space and the emergence of new growth of local institutions that enliven the democratization of Indonesia during the past decade. One of them was a jawara who is an important entity in the map of the history of Banten. Related to that, the purpose of this study seeks to explain the political leadership of kejawaraan Tangerang on the coastal communities. Above objectives outlined by the spirit of the analysis of the implementation of regional autonomy in a more practical level. First, the context of the historical, social, and networking of jawara in Tangerang Coastal Village. Second, the leadership and the consolidation of power in Tangerang Coastal Village of jawara who originally non-governing elite (the rulled class) a governing elite (the rulling class). Third, leadership style, policy programs, and leadership implications for the welfare of rural coastal communities in Tangerang. Of these is expected to obtain a preliminary design of the implications of local leadership in rural elites. In addition, the study sought to analyze and provide solutions that are born of the implications inherent dynamics of leadership for the creation of a new civic space in rural communities in coastal Tangerang. The methodology in this study using the critical paradigm, qualitative research methods to approach the case, by selecting one case in which the dynamics of coastal rural development under the leadership of the new champion of the elite of society. The data collection techniques using literature studies, field observations, and in-depth interviews. The results showed that the jawara is a social entity of the Banten. Jawara is a product of social struggle. The study also found that social networking is to jawara the unity that binds the ties of kinship, seguruseelmu, cultural values, eclecticism, trusts, and mass organizations. Meanwhile, the leadership style of jawara, in the context of the rural local village chief in three areas of research, the results varied. Rsd, head of the village of Tanjung Burung tend to display an authoritative style. Gnwn, head of the village of Tanjung Pasir located at the intersection of exploitative-authoritative style. Meanwhile, Spr have authoritative consultative leadership style. Implications of leadership of jawara on one side open and egalitarian attitudes inkusif growth in managing government. On the other hand showed spontaneous attitude and proinstant capitalists who, in turn, led to the marginalization of the community. Keywords: autonomous decentralized, leadership of Jawara, and rural
RINGKASAN AHMAD TARMIJI ALKHUDRI. Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada Era Desentralisasi: Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG dan SAID RUSLI. Penelitian ini dilatari oleh adanya dinamika dalam implementasi otonomi daerah di akar rumput. Dinamika tersebut membuka ruang baru tumbuh dan bermunculannya institusi-institusi lokal yang meramaikan demokratisasi Indonesia dalam kurun satu dasawarsa terakhir. Salah satunya ialah jawara yang merupakan entitas penting dalam peta sejarah Banten. Terkait hal itu, tujuan penelitian ini berusaha untuk menjelaskan kepemimpinan politik kejawaraan pada masyarakat pesisir Tangerang. Tujuan di atas dijelaskan melalui semangat dalam analisa implementasi otonomi daerah pada tataran yang lebih praksis. Pertama, konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang. Kedua, kepemimpinan dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling class). Ketiga, gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir Tangerang. Dari ketiga hal tersebut diharapkan dapat diperoleh desain awal tentang implikasi kepemimpinan elit lokal di pedesaan. Selain itu, penelitian ini berusaha menganalisa dan memberikan solusi dari implikasi bawaan yang dilahirkan dari dinamika kepemimpinan tersebut terhadap terciptanya ruang kewargaan baru pada masyarakat pedesaan di pesisir Tangerang. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan paradigma kritis, metode riset kualitatif dengan pendekatan kasus, yaitu dengan memilih satu kasus di wilayah pedesaan pesisir yang dinamika pembangunannya di bawah kepemimpinan jawara sebagai elit baru masyarakat. Adapun teknik pengumpulan data menggunakan kajian kepustakaan, observasi lapangan, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jawara merupakan entitas sosial dari masyarakat Banten. Jawara adalah produk pergumulan sosial. Penelitian ini juga menemukan bahwa jejaring sosial yang mengikat kesatuan jawara ialah ikatan kekerabatan, seguru-seelmu, nilai budaya, eklektisisme, trust, dan organisasi massa. Sementara itu, gaya kepemimpinan jawara, dalam konteks lokal pedesaan yang menjadi kepala desa di tiga wilayah penelitian, hasilnya variatif. Rsd, Kepala Desa Tanjung Burung cenderung menampilkan gaya otoritatif. Gnwn, Kepala Desa Tanjung Pasir berada pada persinggungan gaya eksploitatif-otoritatif. Sementara itu, Spr memiliki gaya kepemimpinan otoritatif-konsultatif. Implikasi dari kepemimpinan jawara di satu sisi membuka tumbuhnya sikap egaliter dan inkusif dalam menata pemerintahan. Di sisi lain menunjukkan sikap spontaninstan dan pro pemodal yang pada gilirannya memunculkan marginalisasi masyarakat. Kata kunci: otonomi-desentralisasi, kepemimpinan jawara, dan pedesaan
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar dari IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KEPEMIPINAN ELIT LOKAL DI PEDESAAN PADA ERA DESENTRALISASI Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang
AHMAD TARMIJI AKHUDRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Lala M. Kolopaking, Ph.D
Judul Tesis
Nama NIM
: Kepemimpinan Elit Lokal di Pedesaan pada Era Desentralisasi: Studi Kepemimpinan Jawara di Pesisir Tangerang : Ahmad Tarmiji Alkhudri : I.353100111
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Ketua
Ir. Said Rusli, MA Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 4 Maret 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dharul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT. Puja-puji, yang terungkap dan tak terungkap lewat bahasa, baginya yang membuat lembaranlembaran ini hadir ke dunia, dan selaksa lipat aksara yang tertatah di dalamnya. Shalawat dan salam semoga tercurah untuk utusan-Nya, Rasulullah Muhammad SAW., keluarga, sahabatnya, juga kita semua. Aamiin. Selaur garis panjang, terlalu panjang malah, sudah terlewati. Seperti laiknya, ketika perjalanan menyusur sebuah garis telah tiba di satu titik, dan harus digores lagi sebuah garis baru untuk dijelajah, selalu terbetik bermacam rasa yang terpadu: bangga, bahagia, dan haru, tapi juga galau, gelisah, dan sendu. Maka, tak ada pilihan selain menegak-negakkan kepala dan menegap-negapkan langkah saat meninggalkan garis yang penuh jejak dan kenangan, dan memulai segores garis yang perawan dan menantang. Pun tak tersedia pilihan kecuali memberaniberanikan hati, meneguh-neguhkan semangat, dan meyakin-yakinkan diri bahwa bekal yang dipulung senyampang perjalanan silam niscaya berguna di petualangan mendatang. Dalam perjalanan yang terlalu panjang menuju titik ini, tesis ini, ada banyak tangan yang menuntun, ada banyak kaki yang mengantar, ada banyak telinga yang mendengar, ada banyak mulut yang menghibur, ada banyak hati yang mengerti. Ucapan terima kasih, betapapun ditatah dengan aksara emas, atau katakata berhias, takkan pernah membayar semuanya dengan lunas dan tuntas. Tapi hanya kata sederhana inilah yang bisa diberikan, beserta seuntai doa tulus nan bersahaja: Dia Yang Tak Buta dan Tak Pelupa yang akan mengganjar dengan selaksa kali, saat ini dan nanti. Terima kasih ini, penulis sampaikan kepada semua pihak yang membantu memudahkan penyusunan tesis ini. Untuk Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr., (Ketua Mayor Sosiologi Pedesaan), Dr. Ir. Lala M. Kolopaking (Penguji). Komisi Pembimbing: Dr. Ir. Rilus A. Kiseng, MA., dan Ir. Said Rusli, MA, yang telah memberikan bimbingan, memberikan nasehat, meminjamkan bahan-bahan referensi, dan motivasi yang tak mengenal ruang, batas, dan waktu. Dengan tulus kepada keduanya, penulis ucapkan banyak terima kasih seraya memohonkan kepada Allah SWT agar diberikan balasan kebaikan, ketulusan dan keikhlasan yang telah dicurahkan selama ini. Selanjutnya, untuk seluruh dosen Program Studi Sosiologi Pedesaan, Departemen SKPM, Dekanat, serta seluruh sivitas akademika Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan kemudahan selama masa-masa perkuliahan, penulis haturkan terima kasih. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya terutama kepada Dr. Komarudin, M.Si (Dekan FIS-UNJ), Dra. Evy Clara. M.Si, Dr. Eman Surachman, MM., Dian Rinanta Sari, S.Sos. (Pimpinan Jurusan Sosiologi, FIS-UNJ), Dr. Muhammad Zid, M.Si. dan Asep Suryana, M.Si., yang telah banyak membantu memberikan nasehat, arahan, dan spirit untuk studi S2. Tak lupa juga untuk para informan, aparatur pemerintah, tokoh, dan masyarakat di tiga desa penelitian, penulis ucapkan terima kasih. Terima kasih juga untuk sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan 2010, pemicu gagasan dan pemacu semangat, kebersamaan kita walaupun singkat tapi sangat berarti. Kepada
para pustakawan Perpustakaan IPB, FEMA, DOKIIS; Pustakawan Labsosio UNJ; Perpustakaan Nasional; Perpustakaan LIPI; Perpustakaan FISIP-UI; Perpustakaan Somantri Brodjonegoro; yang sangat banyak menyediakan dan menyumbangkan berbagai bahan bacaan. Dan, akhirnya untuk Ayahanda dan Ibunda, dua kaki yang menopang paling kokoh, dua tangan yang menuntun paling lembut, dan dua hati yang mengerti paling dalam. Juga untuk Teh Subaikah dan Teh Kokom, keduanya adalah tangan-tangan yang membukakan mata bahwa belajar dan belajar adalah kebutuhan asasi dalam hidup. Dan, untuk kemenakanku Kiki, Fachri, dan si kecil Zahira, yang beranjak besar dan mulai belajar terbang. Terima kasih atas semua yang telah diberikan selama perjalanan hidup ini. Untuk pamungkas prakata ini, Milan Kundera pernah berujar bahwa menjadi penulis bukanlah untuk mengkhutbahkan kebenaran, namun untuk menggali dan menemukan kebenaran, kendati hanya seserpih. Maka, melalui tesis ini ku gali dalam-dalam kebenaran tersebut. Namun, tesis ini bukanlah tanpa cacat, kekurangan sejatinya sudah pasti ada. Oleh karena itu, “Jika aku sesat, maka kesesatan itu buat diriku sendiri, dan jika aku terpimpin, maka itulah wahyu dari Tuhanku. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar lagi Maha Dekat (QS. Saba‟: 50)” “Wamataufiqi illa billah, ilaihi tawakkaltu wa ilaihi unibu” (hanya kepada Allah kami memohon taufik, dan hanya kepada-Nya kami berserah diri dan kembali). Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2013
Ahmad Tarmiji Alkhudri
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAN BOX DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
xiii xiv xiv 1 1 3 4 5
TINJAUAN PUSTAKA 6 Memahami Jawara: dari non Governing Elite menjadi Governing Elite 6 Gaya Kepemimpinan 9 Demokratisasi di Pedesaan dan Politik Kekerabatan/Keluarga 11 Kajian-Kajian Tentang Jawara (Local Strongmen): Mengawali Kritik, Menemukan Signifikansi Penelitian 12 Kerangka Konseptual 15 METODOLOGI PENELITIAN Paradigma, Pendekatan, dan Metode Penelitian Lokasi, Waktu, dan Tahapan Periodeisasi Penelitian Peran Peneliti Informan Penelitian Fokus Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Prosedur Pengumpulan Data dan Analisa Data Strategi Validasi Temuan Penelitian
16 16 17 18 18 19 21 22
PESISIR TANGERANG DALAM POTRET TIGA DESA Pengantar Deskripsi Sosiografis dan Geopolitik Kewilayahan Karakteristik Kultur dan Pendidikan Masyarakat Pesisir Potensi SDA dan Sosial-Ekonomi Pesisir Pesisir Tangerang dalam Transisi dan Tarik-Menarik Kepentingan Jakarta – Banten Ikhtisar
23 23 24 27 31
MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI TANGERANG: Dialektika Budaya Lokal Banten-Betawi-China Pengantar Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir Silat Pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi Tradisi-Tradisi Jawara Pesisiran Kedudukan dan Jaringan Sosial Jawara Pesisir Pra Otonomi – Desentralisasi Ikhtisar
34 36 37 37 37 43 44 47 51
KEPEMIMPINAN DAN KONSOLIDASI KEKUASAAN JAWARA PESISIR Pengantar Sumber Kekuasaan dan Ideologi Politik Jawara Strategi Politik Jawara: Pragmatisme dalam Balutan Golok, Putaran Tasbih, dan Kepentingan Corporate Mengkonsolidasikan Pemerintahan Ikhtisar
52 52 52 55 59 61
GAYA, KEBIJAKAN, DAN IMPLIKASI KEPEMIMPINAN JAWARA PESISIR Pengantar Gaya Kepemimpinan dan Kebijakan Jawara Pesisir Persepsi Masyarakat Implikasi Kepemimpinan Jawara Ikhtisar
63 63 63 64 66 72
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
74 74 75
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
76 80 85
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 4.1 Tabel 4.2 Tabel 4.3 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10 Tabel 4.11 Tabel 4.12 Tabel 5.1 Tabel 5.2 Tabel 5.3 Tabel 5.4 Tabel 5.5 Tabel 5.6 Tabel 5.7 Tabel 5.8 Tabel 5.9 Tabel 6.1 Tabel 6.2 Tabel 6.3 Tabel 6.4 Tabel 6.5 Tabel 6.6 Tabel 7.1 Tabel 7.2 Tabel 7.3 Tabel 7.4 Tabel 7.5 Tabel 7.6
Empat Jenis Gaya Kepemimpinan Informan Penelitian Kontekstualisasi Fokus Penelitian Kompisisi Penduduk Pesisir Teluk Naga Tingkat Pendidikan Masyarakat Pesisir Teluk Naga Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Teluk Naga Fasilitas Pendidikan Karakter Masyarakat Pesisir Pembangunan Sosial dan Ekonomi Infratruktur dan Sanitasi Sarana Kesehatan Jenis Tangkapan Ikan Tangkapan Dominan Kalender Musim Penangkapan Ikan Sumber Potensi Pesisir Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif Konstruksi jawara atribut/symbol Konstruksi jawara psikologi mitos Grup Musik Gambang Kromong Pesisir Teluk Naga Grup Kondangan Kedudukan dan Peran Jawara di Pesisir Tangerang Kepemimpinan Tokoh Jawara dalam Ranah Kekuasaan Politik Formal Potret Politik Kekerabatan/Keluarga Praktik Sosial Pragmatisme Jawara Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Burung Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Pasir Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Muara Pencitraan Elit Jawara (Kepala Desa) di Tiga Desa Penguasaan Aset Pesisir oleh Pemodal dalam Kuasa Kepemimpinan Jawara Kebijakan Kepemimpinan Jawara di Teluk Naga Persepsi Stakeholders Pesisir Terhadap Kepemimpinan Elit Jawara Persepsi Masyarakat Pesisir Terhadap Kepemimpinan Pandangan Keluarga Miskin Tentang Pendidikan dan FaktorFaktor Penghambatnya Kredensialisme Pendidikan Per Tahun
10 19 19 27 28 28 29 30 31 31 31 32 33 33 33 42 42 42 42 42 45 46 48 50 53 56 59 60 60 61 63 64 64 66 71 72
DAFTAR GAMBAR DAN BOX
Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Gambar 4.1 Gambar 5.1 Gambar 5.2 Gambar 5.3 Gambar 5.4 Gambar 6.1 Gambar 7.1 Gambar 7.2 Gambar 7.3
Box 5.1 Box 5.2 Box 6.1
Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Pra Desentralisasi Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Desentralisasi Kerangka Konseptual Tesis Peta Teluk Naga Tarian cokek diiringi Musik Gambang Kromong Potret Pesta Hajatan di Pedesaan Faktor-Faktor yang Mempersatukan Jaringan Jawara Pesisir Teluk Naga dan Banten Peta Kepemimpinan Jawara dari Propinsi – Pedesaan Pola Hubungan Patronase Jawara Pesisiran Potret Marginalisasi Masyarakat Pesisir Teluk Naga Kapitalisasi Lahan Tambak Potret SMP BKP Tanjung Burung (Salah Satu Wilayah Penelitian)
7 8 15 26 45 47
Cerita Heroik Ayub dari Teluknaga Beberapa Mantra Jawara Sketsa Terpilihnya Rsd
38 39 53
48 51 54 67 68 72
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3
Lima Konstruksi Sosial Jawara Persepsi Masyarakat Pesisir Gambar-Gambar Penelitian
80 82 84
1
PENDAHULUAN Latar Belakang
Reformasi politik yang terjadi pada tahun 1998 membuka keran baru dalam konteks ketatanegaraan dan pembangunan nasional di Indonesia. Pembangunan yang pada masa Orde Baru mengusung sentralisasi bergeser menjadi desentralisasi. Momentum otonomi daerah yang dilegalisasi melalui UU No. 32 Tahun 2004 menjadi tonggak peralihan kebijakan tersebut. Dari sinilah kemudian agenda pembangunan nasional yang diidealisasikan mengakar ke bawah, mengedepankan kearifan lokal dan mengusung kepentingan masyarakat disemaikan. Dalam konteks ini pembangunan daerah diarahkan untuk kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya. Dalam perjalanannya saat ini, kebijakan otonomi daerah yang sudah memasuki lebih dari satu dasawarsa telah memunculkan dialektika pembangunan nasional. Struktur sosial dan organisasi sosial birokrasi ketatanegaraan berubah, terdistribusikan dari pusat ke daerah. Kepemimpinan politik pun sudah berpindah dari pusat menuju daerah. Namun, pertanyaannya sudahkah implementasi dari otonomi daerah dengan kebijakan desentralisasinya tersebut mampu mengintrodusir pembangunan yang berkeadilan. Sudahkah kebijakan tersebut menyejahterakan masyarakat atau hanya memindahkan kekuasaan plus kesejahteraan elit dari tingkat pusat ke raja-raja kecil di daerah. Kedua pertanyaan tersebut menjadi proposi penting yang sering muncul dalam wacana dan penelitian tentang demokratisasi-desentralisasi, yang dalam kurun 2005-2007 melalui Pilkada telah berlangsung 282 kali pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota (Sudiarto: 2011). Terkait hal itu, mengutip beberapa penelitian, seperti Abrori (2003), Choi (2007), Buehler (2007), Yusoff (2010), dan Alamsyah (2010) menjelaskan bahwa desentralisasi di Indonesia pasca Orde Baru telah memunculkan “orang-orang kuat lokal”. Mereka memasuki berbagai aspek kehidupan di daerah dan memberi pengaruh signifikan terhadap perubahan di tingkat lokal. Dalam konteks ini, kebijakan otonomi-desentralisasi tidak hanya membuka ruang baru bagi sirkulasi elit lokal dalam kancah politik pembangunan saat ini, namun juga mempengaruhi munculnya oligarki kekuasaan dan politik kekerabatan/ kekeluargaan di dalam ruang demokratisasi. Salah satu elit lokal yang menjadi “orang kuat lokal” tersebut adalah “jawara”. Kemunculan jawara sebagai elit lokal memiliki sejarah sendiri dan selalu berupaya untuk beradaptasi dengan konteks sosial, politik, dan ekonomi yang berubah-ubah. Menurut Ekadjati (1995: 223-224) kemunculan jawara sebagai elit lokal tak lepas dari sifat legendaris dan kharismatis yang melekat pada diri jawara yang lambat laun menjadikan kelompok masyarakat ini dipandang sebagai sebuah lembaga adat dan mereka dipandang sebagai kelompok elit dalam stratifikasi sosial masyarakat Banten (Ekadjati, 1995: 223-224). Sebagai kelompok sosial yang telah dipandang menjadi sebuah elit lokal, tentunya kelompok jawara memiliki sumber kekuasaan. Dalam konteks budaya lokal, sumber kekuasaan
2
yang dimiliki jawara dapat menjadi faktor integrasi dan dapat pula menjadi faktor konflik. Keduanya tidak dapat dilepaskan dari empat hal, yakni kesaktian, keberanian, kepemimpinan informal, dan perintah (Sunatra, 1997: 217). Dalam konteks kekinian, sumber kekuasaan Jawara tidak hanya ditentukan dan identitik dengan kesaktian semata, namun dapat juga berupa pengakuan simbolisasi identitas kejawaraan dan faktor penguasaan ekonomi, termasuk di dalamnya penguasaan jaringan, dan posisi-posisi penting dalam bidang bisnis. Alamsyah (2010) dalam kajiannya tentang Bantenisasi Demokrasi menguraikan bahwa dominasi kekuasaan politik Jawara di Serang telah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang khas. Dari tingkat propinsi hingga desa-desa kekuasaan pemerintahan didistribusikan dan dipegang oleh jawara. Identitas jawara menjadi instrumen dan ciri penting dari peta politik demoktatisasi lokal yang tumbuh di Banten pasca-Soeharto. Dalam konteks ini menurut Alamsyah (2010) telah terjadi proses polarisasi Bantenisasi kekuasaan politik jawara. Sementara itu, kajian Hidayat (dalam Nordholt dan Klinken 2009: 267303) berupaya menjelaskan kekuasaan dari keluarga X (penguasa Banten), menguraikan bagaimana keluarga ini meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya pasca-Soeharto. Kombinasi antara jaringan sosial, politik uang, intimidasi, penguasaan atas proyek-proyek pembangunan pemerintah adalah beberapa faktor yang memungkinkan keluarga X dapat meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya. Tuan Besar, begitu istilah yang diberikan Hidayat untuk orang paling berkuasa dalam keluarga X, berperan besar dalam mengendalikan sepak-terjang keluarga ini. Tuan Besar tak memiliki kekuasaan formal – non governing elite, tetapi ia berperan penting dalam mengendalikan pemerintahan lokal di belakang layar, yang dikonseptualisasikan Hidayat sebagai shadow-state (Hidayat dalam Nordholt dan Klinken 2009: 303). Kajian lainnya dilakukan oleh Abrori (2003), yang menjelaskan bahwa Keberadaan jawara sebagai elit sosial berpengaruh dan cenderung mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun daerah. Orientasi politik jawara memperlihatkan perilaku yang tidak lepas dari kepentingan ekonomi. Untuk itu, mereka berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka. Pengejaran nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisionalnya itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu menguasai lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik, seperti Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah, Kadin Daerah dan lain sebagainya (ekonomi) dan wakil gubemur, walikota, lurah, dan kepala desa (politik), serta beberapa organisasi kepentingan lainnya. Dengan penguasaan tersebut perilaku politik jawara akhirnya mendapat legitimasi struktural. Sementara itu, mereka pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti birokrat, partai dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembaga-lembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembagalembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang
3
berseberangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis. Kekuasaan yang dipegang oleh segelintir jawara dengan jaminan kekuatan fisik (magi dan persilatan) dan kemampuan ekonomi, mereka sebenarnya menerapkan sistem pemerintahan oligarki. Sistem ini semakin tumbuh subur karena selain mendapat dukungan dari mitra-mitranya, juga karena pola interaksi yang mereka kembangkan adalah model patrimonial di mana ketua jawara diakui sebagai patronnya. Dengan model ini, upaya kontrol (pengawasan) terhadap lembagalembaga berseberangan dan kelompok-kelompok kritis menjadi sangat efektif karena para jawara, dengan partisipasi bentuk kaula partisipan, mudah untuk memobilisasi massa yang mereka miliki. Dengan sistem pemerintahan yang menganut sistem oligarki dan kondisi Banten yang demikian, maka perkembangan demokrasi dan civil society di Banten menjadi persoalan yang sangat serius. Pada tingkat tertentu, proses yang berlangsung malah memunculkan terjadinya decivilisasi yang membuat masyarakat Banten tidak berdaya, tidak mandiri, tak tercerahkan, dan dikuasai oleh ketakutan menyuarakan hak individunya. Dari beberapa kajian tersebut, terdapat beberapa “kekosongan analisa” yang menjadi celah dan titik signifikansi kebaruan kajian ini. Baik Alamsyah, Hidayat, maupun Abrori, pertama, gagal melihat aspek-aspek kesejarahan jawara secara komprehensif, di mana akar keberadaan jawara berada di pedesaan dan salah satunya berawal dari pesisir. Kedua, dalam penelusuran penulis hampir tidak ada satupun literatur mengkaji tentang elit jawara di pesisir Tangerang – padahal kejawaraan di Tangerang memiliki ciri yang unik antara persinggungan budaya Banten, Betawi, dan China. Ketiga, Alamsyah, Hidayat, dan Abrori fokus melihat kepemimpinan jawara pada konteks makro, dan meninggalkan analisis pada konteks mikro. Keempat, pilihan wilayah pesisir menjadi penting sebab masyarakat pesisir merupakan kelompok yang paling marginal sekaligus merupakan basis massa jawara. Keempat hal di atas menjadi poin penting yang signifikan dan relevan untuk dikaji lebih mendalam. Oleh karena itu, pada titik inilah, tulisan ini bermaksud untuk mengisi “kekosongan-kekosongan kajian dan analisa” tentang kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang pada masa desentralisasi, seperti yang nampak kosong pada kajian Alamsyah, Hidayat, dan Abrori.
Permasalahan Penelitian
Secara empiris pedesaan pesisir merupakan ruang sosial yang signifikan pada era desentralisasi sebagai lokus kajian sosiologi pedesaan. Terlebih lagi bagi pedesaan pesisir Tangerang yang merupakan pinggiran dari kawasan metropolitan Jakarta. Keberadaannya tidak hanya dilihat dari potensi sumberdaya alam yang dimiliki, tetapi juga dilihat sebagai instrumen politik negara. Pada posisi ini secara keseluruhan, ruang sosial pesisir Tangerang memiliki dinamikanya yang mendalam sebagai produk kontestasi negara, pasar, dan masyarakat yang menetap di area tersebut. Dalam konteks ini, peran signifikan desentralisasi-otonomi pesisir berkelitkelindan dengan dinamika kepemimpinan kuasi pemerintahan lokal, elit lokal, dan kemunculan orang kuat lokal dalam hal ini “Jawara”.
4
Kekuasaan jawara sebagai orang kuat lokal dalam prosesnya hadir dan beradaptasi dengan konteks sosial, ekonomi, dan politik. Otoriterianisme dan industrialisasi (pembangunan) menjadi titik penting yang mengubah posisi jawara dari sekedar buruh, petani, petambak, nelayan, dan penjaga keamanan (security informal), non pemerintahan (non-governing), kelas yang dikuasai (the rulled class) menjadi kepanjangan tangan rezim yang hidup dari rente proyek-proyek pemerintah dan pemodal swasta. Pola relasi sosial jawara dengan jaringannya dari patron-klien menjadi hubungan fungsional yang kemudian bersifat pragmatisopportunis. Dengan posisinya tersebut, pada masa otoritarianisme jawara dan keturunannya mengakumulasi beragam sumberdaya yang dimilikinya tersebut sebagai modal untuk meraih dan mengkonsolidasikan kekuasaannya pada masa desentralisasi. Sumber kekuasaan jawara diperoleh melalui basis ekonomi, di samping pola lama yaitu melalui kharisma/citra, keturunan, dan jaringan yang disesuaikan dengan iklim demokrasi-desentralisasi. Karena tumbuh dan ditopang oleh rente dari proyek-proyek pemerintah dan pemodal swasta, maka kekuasaan jawara lebih banyak ditujukan untuk menguasai sektor-sektor strategis dan melayani pemodal. Posisi yang strategis tersebut dalam konteks geopolitik Tangerang semakin menjadikan posisi jawara kian mapan dan signifikan. Dalam kenyataan ini, politik pembangunan dan kebijakan jawara sebagai pemimpin di pedesaan pesisir Tangerang perlu ditinjau dan di analisa. Apakah kedekatannya dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemodal membawa perbaikan dan signifikansi bagi pembangunan masyarakat pesisir Tangerang, atau sebaliknya politik pembangunan semakin membuat masyarakat pesisir tak berdaya. Berdasarkan uraian di atas, maka ada tiga pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini: 1. Bagaimana konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang? 2. Bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan munculnya kepemimpinan dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling class)? 3. Bagaimana gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir Tangerang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian di atas, maka tujuan yang akan dicapai penelitian ini ialah: 1. Mengkaji konteks historis, sosial, dan jaringan jawara di pesisir Tangerang; 2. Menganalisa kemunculan kepemimpinan jawara yang semula non governing elite (the rulled class) menjadi governing elite (the rulling class);
5
3. Mengkaji gaya kepemimpinan, program kebijakannya, dan implikasi kepemimpinan terhadap kesejahteraan masyarakat di pedesaan pesisir Tangerang.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau signifikansi dari penelitian ini secara umum diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan tentang dinamika otonomi daerahdesentralisasi yang ternyata mampu membuka ruang bagi munculnya kepemimpinan entitas lokal “jawara” menjadi elit baru dipanggung demokratisasi Indonesia. Dinamika otonomi-desentralisasi ini secara lebih kongkret akan dilihat dari kepemimpinan dan politik pembangunan yang dilakukan oleh Jawara dalam setting desa – memiliki pengaruh signifikan bagi berlangsungnya hegemoni jawara di Banten – tingkat propinsi. Selain itu, secara khusus tulisan ini dapat menjadi bahan diskusi tentang: a. Kajian awal mengenai kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang. b. Sudut pandang otonomi daerah-desentralisasi dan ruang sosial pedesaan pesisir Tangerang yang merupakan penyangga ibukota Jakarta, menjadi kekhasaan dialektika kejawaraan di Tangerang dalam tarik-menarik kontestasi Negara (Jakarta) dan Banten. c. Membaca dan memahami realitas sistem bantenisasi birokrasi yang berwajah oligarki-monarkhi kejawaraan dan politik kekerabatan, yang ironisnya hadir dalam ruang demokratisasi Indonesia. d. Membangun tesis tentang adanya gejala theatrical leadership (kepemimpinan teater) di pedesaan pesisir Tangerang khususnya, dan Banten pada umumnya. Teathrical leadership ialah suatu epifenomena di mana dalang kepemimpinan adalah orang tua; tokoh utamanya sebagai pemimpin adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, panggungnya adalah desa, banten; penulis skenarionya para pemodal; sementara rakyat sebagai pemilih adalah penonton; sistem politiknya, politik keluarga/kekerabatan; pemerintahannya, oligarki; dan demokrasinya, demokrasi kontekstual/bantenisasi demokrasi.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Memahami Jawara: dari Non Governing Elite menjadi Governing Elite
Jawara merupakan entitas penting dalam sejarah dan realitas masyarakat Banten. Jawara sering diidentikkan sebagai seorang yang memiliki keberanian, agresif, sompral (tutur kata yang keras dan terkesan sombong), dan terbuka/blakblakan (Hudaeri, 2002: 2). Versi tentang munculnya jawara beragam, pertama sebutan jawara hadir pada masa kerajaan Sunda. Kedua, ada yang mengatakan bahwa kelompok jawara itu muncul seiring dengan berdirinya Kesultanan Banten tahun 1552 (Halwany dan Chudari, 1993: 69-70; Sunatra, 1997: 184). Ketiga, jawara merupakan organisasi tukang pukul, yang awalnya berasal dari istilah orok lanjang “bayi menjelang dewasa” (Ekadjati, 1995: 223). Keempat, kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Mereka adalah golongan yang dilahirkan oleh Kiayi yang kemudian disebut jawara (Sunatra, 1997: 185). Kelima, pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-19 memaknai jawara sebagai kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum jawara dipersamakan dengan kelompok “bandit sosial”. Istilah ini disematkan kepada orang-orang yang mengacau dan memberontak terhadap pemerintah Kolonial Belanda terutama pada masa Daendels (Sunatra, 1997: 180-181). Keenam, dalam perkembangan selanjutnya, jawara diartikan sebagai orang yang berani merampok (jalma wani rampog) atau pembohong atau penipu (jalma wani rahul) (Kartodirdjo, 1984: 43). Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Banten. Umumnya, masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik. Bahkan kemudian, ada yang menggunakan istilah bandit lokal untuk menggambarkan betapa citra jawara itu begitu negatif. Buruknya citra jawara mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk mengembalikan citra positif kaum jawara dengan mengemukakan bahwa bahasa kirata jawara itu adalah jagoan yang berani tetapi ramah (jalma wani ramah). Mereka sebenarnya pelindung masyarakat pedesaan dan sangat patuh kepada kaum ulama. Mereka tidak melakukan kejahatan untuk keuntungan dirinya sendiri, karena jawara bukanlah pencuri atau perampok (Adimihardja dalam Sunatra, 1997: 181). Keenam versi tentang jawara di atas menjadi penanda dialektika Jawara. Pun demikian menjadi proses periodeisasi eksistensi jawara. Era Kerajaan Sunda, Kesultanan Banten, dan Pra kemerdekaan, jawara dan segala atributnya dicitrakan sebagai pejuang rakyat. Era awal kemerdekaan, Orde Lama, dan Orde Baru citra jawara mengalami pasang surut dan terdikotomikan antara negatif dan positif. Dalam dua periodeisasi tersebut posisi jawara adalah sebagai kelas yang dikuasai (the rulled class) dan non-governing class.
7
Gambar 2.1 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Pra Desentralisasi
Penguasa (The Rulling Class)
Yang dikuasai (The Rulled Class)
Elit Penguasa
Kaum Jawara
Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Momentum otonomi daerah menjadi titik balik pemanfaatan perbaikan citra jawara di mata masyarakat. Pemberlakuan sistem otonomi daerah yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 membuka ruang baru bagi sirkulasi politik kejawaraan di daerah. Menurut pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan” (UUD 1945, pasal 18). Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut. “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”
UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut. “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Terbukanya peluang dan ruang sosial politik pada era otonomidesentralisasi seperti nampak dalam penjelasan di atas membuka kesempatan Jawara untuk mengisi dan mengkonsolidasikan kekuatan politik di daerah dan pedesaan. Pada periodeisasi desentralisasi ini posisi sosial Jawara daerah dan pedesaan naik menjadi kelas elit, kelas penguasa (the rulling class), dan governing class.
8
Gambar 2.2 Piramida Kekuasaan Jawara Periodeisasi Desentralisasi
Penguasa (The Rulling Class)
Yang dikuasai (The Rulled Class)
Elit Jawara
Masyarakat/Rakyat
Sumber: Diadaptasikan dari Soejono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar
Menurut Pareto, yang disebut dengan elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto menggolongkan masyarakat ke dalam dua kelas, lapisan atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak memerintah (non-governing elite). Pareto menjelaskan antara governing elite dan non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elit. Setiap elit yang memerintah, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elit akan tetap berjalan karena secara individual baik elit keturunan maupun elit yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis (Varma, 2007: 204). Gaetano Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah (the rulling class) dan kelas yang diperintah (the rulled class). Kelas yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan menggunakan kekerasan (Varma, 2007: 206-207). Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemudian didukung oleh Robert Michel (dalam Niel, 1984: 35) yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Sementara itu, bila merujuk pada dasar pandangan Weber, transformasi kedudukan jawara dari the rulled class menjadi the rulling class – istilah Mosca atau dari non governing elite menjadi governing elite – istilah Pareto, tentunya meniscayakan terjadinya transformasi otoritas atau kedudukan jawara. Kedudukan jawara yang semula bersifat karismatik-tradisional mengalami pergeseran ke arah legal-formal.1 Pergeseran dipengaruhi oleh terbukanya ruang politik desentralisasi 1
Konsep kharismatik (charismatic) atau kharisma (charisma) menurut Weber lebih ditekankan kepada kemampuan pemimpin yang memiliki kekuatan luar biasa dan mistis. Menurutnya, ada lima faktor yang muncul bersamaan dengan kekuasaan yang kharismatik, yaitu: adanya seseorang yang memiliki bakat yang luar biasa, adanya krisis sosial, adanya sejumlah ide
9
yang terjadi di masyarakat. Dalam posisi ini, jawara mampu memanfaatkan basis massa untuk melakukan konsolidasi politik dengan memainkan keran kekuasaan dan gaya kepemimpinan politiknya.2 Realitas inilah yang menjadi sisi menarik dari dinamika demokrasi Indonesia saat ini.
Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan muncul dalam wujud kemampuan untuk memimpin, mengajak dan menggerakkan orang lain guna melakukan sesuatu demi pencapaian tujuan tertentu. Menurut Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2006) kepemimpinan merupakan proses sosial yang diartikan sebagai segala tindakan yang dilakukan seseorang atau badan untuk menggerakan warga masyarakat. Dengan demikian kepemimpinan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk menggerakan orang lain untuk mencapai suatu tujuan. Selain sebagai proses sosial, Koentjaraningrat (dalam Komarudin, 2011: 60) memberi pengertian kepemimpinan sebagai kedudukan. Dalam konteks ini kepemimpinan merupakan suatu kompleksitas dari sekumpulan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh seseoarang atau badan. Menurut Locke (1997) konsepsi kepemimpinan terkait pada tiga hal utama, yaitu: Pertama, kepemimpinan menyangkut „orang lain‟, bawahan atau pengikut, kesediaan mereka untuk menerima pengarahan dari pemimpin. Jika tidak ada pengikut, maka tidak akan ada pula pemimpin. Tanpa bawahan semua kualitas kepemimpinan seorang atasan akan menjadi tidak relevan. Terkandung makna bahwa para pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan menjalin relasi dengan pengikut mereka. Kedua, kepemimpinan merupakan suatu „proses‟. Agar bisa memimpin, pemimpin mesti melakukan sesuatu, kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu posisi otoritas. Walaupun posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses kepemimpinan, tetapi sekadar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat seseorang menjadi pemimpin. Ketiga, kepemimpinan harus „membujuk‟ yang radikal untuk memecahkan krisis tersebut, adanya sejumlah pengikut yang percaya bahwa seseorang itu memiliki kemampuan luar biasa yang bersifat transendental dan supranatural, serta adanya bukti yang berulang bahwa apa yang dilakukan itu mengalami kesuksesan. Konsep otoritas tradisional bersumber atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi. Kekuasaan yang legal formal atau berdasarkan hukum adalah kekuasaan yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah. (Schaft, 1995: 206; Albrow 1996: 38; dan Wrong (Ed.), 2003: 299-230). 2 Amitai Etzioni (1961) yang membagi masyarakat atau massa ke dalam tiga kategori besar. (1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif. Massa moral adalah yang potensial terikat secara politik pada suatu organisasi sosial-politik, karena loyalitas normatif yang dimilikinya. Massa moral bersifat tradisional, cenderung kurang atau tidak kritis terhadap krisiskrisis empirik. Massa kalkulatif adalah massa yang memiliki sifat-sifat yang amat peduli dan kritis terhadap krisis-krisis empirik yangdihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrab dengan modernitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Sementara itu, massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu bagianya dan bagi proses politik secara umum.
10
orang-orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk para pengikutnya lewat berbagai cara seperti menggunakan otoritas yang terlegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukuman, restrukturisasi organisasi, dan mengkomunikasikan sebuah visi. Dari beberapa definisi di atas, pada dasarnya ”kepemimpinan adalah masalah nilai antara pemimpin dan yang dipimpinnya.” Karena ia masalah nilai maka setidaknya ada tiga hal utama yang dapat mengukur efektifitas dan keberhasilannya. Pertama, kepercayaan (trust). Sebagaimana dijelaskan oleh Fukuyama (1995) kepercayaan ialah harapan yang tumbuh di dalam suatu masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap pemahaman ini. Kedua, program kerja dan kebijakan publik. Ketiga, partisipasi masyarakat. Sementara itu, gaya kepemimpinan merupakan dasar dalam pengklasifikasian tipe kepemimpinan, gaya kepemimpinan memiliki tiga pola dasar yaitu, mementingkan pelaksanaan tugas, mementingkan hubungan kerja, dan mementingkan hasil yang dapat dicapai. Moenir AS (1988: 255) mengelompokkan gaya kepemimpinan dalam dua kubu yaitu gaya dominatif dan gaya persuasif. Gaya dominatif adalah gaya yang “keras”, di sini pemimpin menunjukkan kekuasaannya dengan kekuatan dan kekerasan agar keberhasilan kepemimpinan tercapai. Dengan gaya ini terlihat unsur kemanusiaan kurang dihargai. Sebaliknya kubu kedua yaitu gaya persuasif adalah gaya yang berlawanan dengan gaya pertama, di mana kepemimpinan menyelaraskan tingkah laku kepemimpinannya dengan situasi lingkungan dalam arti pemimpin menciptakan perpaduan yang serasi untuk mencapai tujuan. Dalam gaya ini faktor manusiawi menjadi pertimbangan utama dalam pencapaian tujuan. Di antara dua kubu yang bertentangan itu terdapat dua sub kubu, yang dapat dipandang sebagai kubu peralihan. Dengan demikian gaya kepemimpinan ada empat jenis, yang masingmasing dapat berdiri sendiri, atau rangkaian tahap dari yang lain. Keempat gaya tersebut oleh Rensis Likert disebut dengan Leadership`s Systems. Tabel 1.1 Empat Jenis Gaya Kepemimpinan Gaya Kepemimpinan Kubu Dominasi
Persuasif
Dimensi Tujuan Organisasi Jenis
1. Eksplotatif-Otoritatif
Dimensi Satu (Jangka Pendek)
2. Otoritatif
Dimensi Dua (Jangka Menengah)
3. Konsultatif 4. Partisipatif
Dimensi Tiga (Jangka Panjang)
Gaya eksploitatif-otoritatif adalah gaya kepemimpinan yang ditandai dengan sikap pemimpin yang cenderung memeras kelompok orang yang dipimpinnya, tidak menghargai pendapat atau saran. Mitos ketakutan yang diciptakan menjadi bagian dari gaya kepemimpinan ini. Kedua, gaya kepemimpinan otokratif lebih lunak dari gaya pertama, namun pengambilan keputusan masih tetap berada pada pemimpin dan ciri lainnya seperti sedikit memberi kelonggaran untuk memberi pendapat dan saran sedikit sekali memberikan pelimpahan dalam pengambilan keputusan, peranan sanksi atas
11
pelanggaran masih ditonjolkan untuk menegakkan disiplin. Kemudian pemberian penghargaan masih kurang. Ketiga, Gaya konsultatif. Gaya ini memberikan kemudahan dan ruang pendapat atau saran sudah mulai terbuka. Keempat, gaya partisipatif, yaitu gaya kepemimpinan yang menekankan tumbuhnya ide partisipatif dan adanya keterbukaan program-program kepemimpinan yang memihak kepada masyarakat sebagai kelompok yang dipimpinnya.
Demokratisasi di Pedesaan dan Politik Kekerabatan/Keluarga Demokratisasi di pedesaan sesudah bergulirnya reformasi sejak tahun 1998, memasuki era baru. Aktor, institusi, dan budaya lokal bermunculan, memainkan peran di dalam politik pedesaan hingga arena politik daerah. Aktoraktor lokal atau orang kuat lokal (local strongmen/bossism) yang terorganisasi dan memiliki simbol kultural lokal–jawara, berada dipanggung politik. Kemunculannya tidak terlepas dari adanya jaringan atau ikatan kekuarga (clan), kesatuan geneologis yang mempunyai kesatuan tempat tinggal dan menunjukkan adanya integrasi sosial, kelompok kekerabatan yang besar, kelompok kekerabatan yang berdasarkan asas unilinear. Bangunan ikatan keluarga (clan) tidak terlepas dari siapa patron awal yang membangun pondasi yang kuat. Klan tersebut mampu berada pada level kekuatankekuatan yang mapan untuk kemudian dikonsolidasikan pada tataran elit yang kemudian menjadi kekuatan pada tingkat lokal dan nantinya pada tingkatan skala nasional. Klan atau jaringan keluarga pada ranah pangung politik sangat berperan besar, di mana nantinya dapat mempengaruhi proses politik atau sebuah kebijakan dan efek sosial politik dari opini politik klan yang dibangun. Politik klan (keluarga/kekerabatan) muncul di era reformasi seiring perubahan peta pembangunan lokal, regional, dan global. Secara pararel konteks pembangunan3 daerah telah memunculkan dinamika perubahan arah pembangunan (Pike, at.al, 2006). Politik kekerabatan merupakan salah satu impact dari logika pembangunan tersebut. Politik kekerabatan merupakan pola hubungan politik yang terbangun lebih didasarkan kesatuan garis keturunan (unilineal discent associations). Formasi sosial dan aliansi politik yang terbentuk juga bertumpu pada pertalian perkawinan dan hubungan darah (Kurtz 2001). Struktur politik kekerabatan itu bersifat tertutup di mana elemen-elemen penyangganya (keluarga, suku, klan, faksi) merupakan entitas yang saling melekat dan menyatu. Mereka dituntut saling mendukung dan menopang guna mempertahankan struktur dan menjaga tradisi politik kekerabatan yang dianut 3
Ide foucault yang melakukan kritik terhadap wacana modernisme dengan pendekatan poststruktural melalui pembongkaran hubungan antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan digunakan oleh Arturo Escobar dan Mansur Faqih untuk membongkar hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dibalik wacana teori pembangunan sebelumnya, yaitu teori–teori modernisasi yang hadir di dunia ketiga semasa perang dingin dalam bentuk wacana developmentalisme. Pendekatan ini telah melahirkan teori pembangunan baru, yang melihat pembangunan bukan pesoalan kebijakan, tetapi juga sebagai masalah wacana yang dapat kita sebut dengan teori pembangunan poststruktural (Escobar, 2005; Rhicard Peet dan Hartwick Elaine, 2009). Wacana inilah yang kemudian menjadi diskursus yang menyentuh ranah praktis, termasuk dalam hal ini kepemimpinan politik jawara.
12
bersama. Politik kekerabatan merupakan penjelmaan paling nyata dari sentimen primordialitas dan politik pragmatisme. Menurut Colin Hay (2007) dalam “Why We Hate Politics”, ketika arena politik bekerja melayani kepentingan pragmatis personal elit-elit politik, maka kepentingan personal dalam arena politik hanya akan menghasilkan irasionalitas kolektif. Kuatnya praktik politik kekerabatan dalam proses demokratisasi di Indonesia menandakan elit-elit penguasa ingin memelihara geneologi politik dan kekuasaan di kalangan anggota keluarganya sendiri. Bagi para elit berkuasa, menjaga geneologi kekuasaan itu amat perlu, terutama berkaitan dengan dua kepentingan strategis, yaitu: (1) merawat trah kekuasaan dan menjaga keberlangsungan karier politik; (2) mempertahankan penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi dan finansial. Kondisi ini diperkuat oleh otonomi daerah yang kembali ke atas panggung (Philip McCann and Frank van Oort, 2009). Oleh karena itu, untuk menjaga kedua kepentingan strategis itu, mereka tak mungkin menyerahkan kepada orang lain, kecuali kepada kerabat dan keluarga sendiri. Dengan kata lain, elit yang memerintah lebih menaruh kepercayaan kepada orang yang terikat hubungan darah. Dalam tradisi politik kekerabatan ada ungkapan yang amat masyhur, “blood is thicker than water” atau “darah lebih kental dari air”. Dengan demikian, sirkulasi kekuasaan hanya akan berputar di kalangan anggota keluarga sendiri dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kondisi ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Cliford Geertz (2000) negara teater lahir dari partai milik keluarga. Dalam sebuah Negara teater, tokoh utamanya adalah anak, menantu, suami, istri, keponakan, sementara rakyat sebagai pemilih, adalah penonton. Menurut Eisenstadt dan Roniger (1984) dalam bukunya Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society, ada empat alasan utama mengapa politik kekerabatan lebih disukai elit-elit penguasa di suatu Negara: pertama, kepercayaan (trust) ini lebih disebabkan karena kerabat lebih dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburu kekuasaan. Kedua, loyalitas, kerabat akan jauh memiliki loyalitas tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas politik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabat besar ketimbang orang lain. Ketiga, solidaritas (solidarity) kerabat dipastikan jauh memiliki tingkat solidaritas yang tangguh terutama dalam menolong klan keluarga besar dari kebangkrutan kekuasaan dan kekayaan ketimbang mereka yang bukan dari kalangan kerabat. Keempat, proteksi (protection) ini terkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatan keluarga besar. Mereka yang berasal dari klan yang sama akan cenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki keluarga ketimbang orang lain. Keempat hal itu merupakan faktor elementer pola relasi politik, yang bermuara pada apa yang disebut Meyer Fortes (1978) sebagai amity yang menjadi jantung dalam hubungan kekerabatan. Istilah ini merujuk pola hubungan yang melahirkan perasaan damai, aman, dan nyaman bagi elit politik. Kajian-Kajian Tentang Jawara (Local Strongmen): Mengawali Kritik, Menemukan Signifikansi Penelitian Secara sederhana, pemikiran-pemikiran tentang local strongmen (orang kuat lokal/aktor lokal) dapat kita pelajari dengan memahami pemikiran Migdal
13
dan Sidel.4 Menurut Migdal (2001) struktur masyarakat merupakan faktor utama yang mendorong lahirnya “orang kuat lokal” (local strongmen). Local strongmen tumbuh dalam struktur masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok otonom di bawah penguasaan para tuan tanah dalam ikatan patron-klien. Ini menjadi basis kekuatan mereka sekaligus membuat kontrol sosial terpecah-pecah. Dengan kekuatan yang dimilikinya local strongmen dapat mengendalikan kekuatan negara di tingkat lokal, terutama ketika negara dalam keadaan lemah (weak state). Migdal (2001), menyebutkan strategi triangle of accommodation sebagai strategi local strongmen untuk bertahan. Dengan demikian, Kehadiran local strongmen merupakan refleksi dari kuatnya masyarakat. Migdal (2001: 256) mengemukakan local strongmen bisa sukses karena pengaruh mereka dan bukan aturan resmi yang dibuat: “why local strongmen have, through their success at social control often effectively captured parts of third world states”. Mereka sukses dalam menguasai posisi-posisi penting dan memastikan alokasi sumber daya karena pengaruh mereka (own rules) dan bukan karena aturan yang secara resmi dibuat. Ada tiga argumen yang menjelaskan fenomena keberhasilan orang kuat lokal menurut Migdal (2001: 238-258): 1. Local strongmen telah mengembangkan “weblike societies” melalui organisasi otonom yang dimiliki, dalam kondisi masyarakat yang terfragmentasi secara sosial. 2. Local strongmen melakukan kontrol sosial melalui distribusi komponen yang disebut “strategies of survival” dari masyarakat lokal. Ini menghasilkan pola personalism, clientalism, dan relasi patron – client. 3. Local strongmen menguasai “state agency” dan sumber daya, sehingga agenda kebijakan merupakan hasil kompromi dengan kepentingan local strongmen. Local strongmen melakukan kontrol dan limitasi atas otonomi dan kapasitas negara, dan berhasil melemahkan negara dalam proses pencapaian tujuan perubahan sosial. Oleh karena itu, Migdal menilai bahwa kekuasaan local strongmen tersebut merugikan sebab mereka berfokus pada kepentingan dirinya dan dengan pengaruh yang dimilikinya mereka dapat mengabaikan aturan formal dan menghambat pembangunan ekonomi. Sementara itu, Sidel (dalam Harris, Stokke, dan Tornquist, 2004: 51-74) dalam tulisannya tentang bossism5, melihat bahwa local strongmen merupakan produk dari struktur Negara. Menurut Sidel, negara yang otoriter dan sentralistik pada masa Soeharto menjadi lahan subur bagi lahirnya para “boss lokal”, baik yang berasal dari militer, birokrat, maupun masyarakat sipil. Dengan berbasiskan pada “kapitalisme primitif” yang digerakkan oleh negara, mereka menjalankan aneka fungsi negara yang meluas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Demokratisasi dan desentralisasi pasca-Soeharto mengalihkan genggaman atas 4
Pandangan Migdal tentang jawara “orang kuat lokal” difokuskan kepada structure of society. Sementara itu, pandangan Sidel lebih menitikberatkan perhatian pada structure of the state (Sidel dalam Harris, Stokke, dan Tornquist, 2004: 51-74). 5 Sidel mendefinisikan bossism sebagai calo kekuasaan yang memiliki monopoli atas kontrol terhadap sumberdaya kekerasan dan ekonomi dalam suatu wilayah yang berada di bawah yuridiksinya. Bos-bos inilah yang memanipulasi negara sehingga memiliki kekuatan dan mampu melakukan penetrasi ke dalam masyarakat, mengatur relasi sosial, dan mengeksploitasi sumber daya alam.
14
fungsi negara yang meluas tersebut dari negara otoriter dan sentralistik yang berpusat di Jakarta kepada para pejabat yang dipilih di tingkat lokal. Banyak dari pejabat yang dipilih itu adalah para boss lokal yang memiliki modal (ekonomi, jaringan, dan sebagainya), yang dibangun pada masa Soeharto, untuk mempengaruhi proses pemilihan melalui politik uang, kekerasan, dan lain-lain. Menurut Sidel para boss lokal itu, baik sebagai pemain utama, mitra junior, maupun penjaga bisa membawa efek positif terhadap perkembangan kapitalisme (industrialisasi pembangunan) di wilayah sekitar mereka. Pada konteks ini, Sidel berkesimpulan bahwa eksistensi dan keberlangsungan “boss” merupakan refleksi kekuatan negara. Hal ini berlawanan dengan tesis Migdal “strong societies and weak states”. Orang kuat lokal melanggengkan kekuasaannya dengan cara-cara berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah, melakukan stationary bandit dan rowing bandit (kriminalitas). Migdal menyatakan bahwa local strongmen dapat bertahan asalkan ia berkolaborasi dengan negara dan partai politik pemerintah, berdasar hal tersebut maka terbentuklah “triangle of accomodation”. Ironisnya triangle ini mengijinkan sumber daya negara untuk memperkuat local strongmen dan organisasinya yang mengatur the game conflict. Lebih lanjut Migdal (2001: 256) mengemukakan bahwa keberlangsungan local strongmen juga tergantung pada kekuatan negara untuk mengatur kontrol mereka; mereka belajar mengakomodasi pemimpin yang populis untuk menangkap organisasi negara pada level yang lebih rendah. Sidel menyatakan, penggunaan coercive violence merupakan strategi yang digunakan para bos untuk bertahan. Dua pemikiran tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana local strongmen atau jawara tumbuh dan mengkonsolidasikan kekuasaannya. Pemikiran Migdal lebih tepat digunakan untuk menguraikan jawara pada masa kesultanan hingga pra-Soeharto ketika negara lemah: kesultanan runtuh; kendali kekuasaan kolonial terbatas; dan negara baru Indonesia hingga orde Soekarno belum stabil. Sedangkan pemikiran Sidel lebih cocok untuk menggambarkan jawara pada masa Soeharto tatkala negara dengan proyek pembangunannya (industrialisasi) begitu kuat dan memerlukan partner di luar struktur resmi negara demi mengimbangi oposisi Islam serta menjaga aneka kepentingan negara di daerah. Kelemahan pemikiran Migdal adalah tidak melihat bahwa local strongmen seperti yang digambarkannya dapat mengalami dinamika seiring dengan perubahan konteks politik, ekonomi, dan sosial, yang melingkupinya. Dalam kasus Indonesia, konteks tersebut ialah otoriterianisme Soeharto, industrialisasi, dan modernisasi. Konteks tersebut mengubah pola hubungan dan sifat jawara dari patron yang melindungi basis massanya (masyarakat pesisir) berdasarkan nilai-nilai ideal tertentu menjadi “preman” yang melayani klien utamanya, yaitu negara dan modal, serta menjalin hubungan berlandaskan kepentingan pragmatis-opportunis. Pada sisi lain, pemikiran Sidel, luput dalam melihat sejarah panjang jawara yang jejak-jejaknya berurat-berakar dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Banten, khususnya pesisir Tangerang hingga saat ini. Baik Migdal maupun Sidel tidak secara spesifik menjelaskan pengaruh local strongmen terhadap kelompok paling marginal di daerah dan sebaliknya. Tetapi secara umum, Migdal menilai negatif keberadaan local strongmen tersebut,
15
sedangkan Sidel sebaliknya menilai positif. Keduanya tidak melihat karakter pragmatis dari local strongmen, yang bisa berperan positif maupun negatif, tergantung pada apakah yang dihadapinya menguntungkan dirinya atau tidak. Kerangka Konseptual Jawara di pedesaan pesisir Tangerang memiliki varian yang khas dalam persinggungan budaya antara Banten dan Betawi. Persinggungan posisi kewilayahan dan potensi SDA yang strategis menjadi penanda kontestasi kekuasaan dan marginalisasi masyarakat pesisir Tangerang, pinggiran metropolitan Jakarta. Penguasaan dan kepemilikan asset SDA menjadikan posisi sosial jawara mengalami transformasi terutama seiring terbukanya ruang politik di era desentralisasi. Jawara yang sebelumnya merupakan kelas yang dikuasai (the rulled class) menjadi kelas penguasa (the rulling class), elit yang memerintah (governing elite). Praktik kepemimpinan dan politik kejawaraan ditandai oleh adanya ciri politik kekerabatan/keluarga, trah kejawaraan dan kekuasaan keturunan jawara menjadi realitas politik pembangunan masyarakat di pedesaan. Kondisi ini secara serius membawa dampak bagi marginalisasi masyarakat pesisir di bidang ekonomi, politik, dan pendidikan. Secara teoretis mengindikasikan bahwa wajah pembangunan demokrasi politik kejawaraan bersifat oligarkhi-monarki. Berdasarkan penjelasan tersebut, kerangka konseptual tesis ini dapat dilihat melalui gambaran di bawah ini. Gambar 2.3 Kerangka Konseptual Tesis 2)
Fokus Penelitian dan kajian sejenis
1) Kepemimpinan “ Orang Kuat Lokal” Jawara di Pedesaan
Bentukan Masyarakat 4)
Konseptualisasi
3) Bentukan Negara
5)
non governing elite – governing elite
Gaya kepemimpinan Jawara Pedesaan 1. Otoritatif 2. eksploitatif – otoritatif 3. Otoritatif – konsultatif
1. Orla 2. Orba 3. Reformasi:
6) Politik Kekerabatan /Keluarga 1. Ascribed status 2. Legitimasi kharisma – tradisional 3. Neopatrimonialism
Refleksi Empiris
1. Kuat dan mengakarnya kelembagaan jawara; 2. Episentrum politik kekerabatan dan oligarkhimonarki kejawaraan di Banten mengakar dari pedesaan; 3. Marginalisasi masyarakat pesisir Teluk Naga
Refleksi Teoretis
7)
Teathrical Leadership
Sumber: Kerangka konseptual diformulasikan dari (1) Hudaeri; Michrob dan Chudari; Sunatra; dan Kartodirdjo, (2) Migdal, (3) Sidel, (4) Pareto, (5) Komarudin; Etzioni; Moenir, (6) Kurtz; Hay, (7) Formula peneliti.
16
METODOLOGI PENELITIAN
Paradigma, Pendekatan, dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan paradigma kritis6. Penggunaan paradigma kritis, dimaksudkan agar dapat menelusuri lebih mendalam dimensi struktur pengetahuan, kepemimpinan, dan kekuasaan jawara yang meyebabkan ketimpangan implementasi politik pembangunan pada suatu komunitas di pedesaan pesisir Tangerang. Harapan yang disemaikan ialah mendorong munculnya kesadaran kolektif (collective conscious-ness) tineliti untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang termarginalkan. Dalam penelitian ini hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional dalam arti terjalin interaksi dan dialog, realitas dan temuan diletakkan dalam kerangka pemikiran dunia peneliti dan tineliti. Perspektif dan pendekatan emik (kualitatif) lebih menonjol daripada etik/kuantitatif (Kaplan dan Manners, 1999). Namun demikian, kekuatan data kuantitatif tetap dibutuhkan sebagai instrumentasi melengkapi keterwakilan cara pandang, sikap, dan respon tineliti. Dari segi pendekatan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang ditopang oleh data kuantitatif. Sesuai dengan konsepsi paradigma kritis yang mengedepankan perspektif dan pendekatan emik (kualitatif) lebih menonjol daripada etik/kuantitatif, maka, botot kualiatif lebih besar dibanding kuantitatif. Pada penelitian ini pendekatan kuantitatif sederhana digunakan untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang kepemimpinan jawara. Sementara itu, untuk menggali faktor munculnya kelembagaan dan kepemimpinan elit lokal jawara di di pedesaan pesisir Tangerang; varian; kondisi sosial, jaringan politik jawara di pedesaan pesisir Tangerang; kebijakan kepemimpinan, keberpihakan, dan pengaruhnya terhadap komunitas masyarakat pesisir digunakan pendekatan kualitatif, yang memfokuskan pada perwujudan satuan-satuan gejala atau polapola yang ada dalam subyek yang diteliti, dan peneliti akan terlibat dalam melakukan investasi data serta mengembangkan penafsiran-penafsiran terhadap informasi atau data yang ditemukan (Newman, 2001: 9-10). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah studi kasus7. Metode studi kasus dipilih untuk mengungkap, mempelajari, menerangkan, 6
Secara ontologi, teori kritis memaknai realitas dibentuk oleh sejarah sosial, politik dan ekonomi. Epistimologi teori kritis memaknai hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional, termediasi nilai dan aksiologinya memandang ilmu tidak bebas nilai, etika dan pilihan moral menentukan pilihan penelitian. Dalam istilah Habermas, ilmu terkait dengan kepentingan, kepentingan berada dibalik dan memandu setiap sistem pengetahuan dan tugas ilmuan adalah mengungkapnya (Akhyar Lubis, 2004). 7 Yin (2002: 20) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan salah satu metode atau strategi penelitian kualitatif yang muncul pada masa keemasan penelitian kualitatif yang bersifat spesifik, khusus dan berskala lokal, sehingga sangat pas dengan momentum post-modernisme yang menjadi acuan paradigma baru dalam penelitian kualitatif masa kini. Denzin dan Lincoln (2000) mengungkapkan kelebihan dan kekurangan dari studi kasus. Kelebihan studi kasus antara lain bisa mengungkap banyak hal yang amat mendetail, melihat hal-hal yang tidak bisa diungkap oleh
17
bahkan menginterpretasikan implementasi otonomi daerah melalui munculnya kepemimpinan elit politik lokal di pedesaan. Penggunaan studi kasus berlaku untuk bisa menjawab “bagaimana (how)” dan “mengapa (why)” mengenai seperangkat peristiwa masa kini yang tidak dapat atau hampir tidak dapat dijangkau oleh pengendalian peneliti (Yin, 2002:20).
Lokasi, Waktu, dan Tahapan Periodeisasi Penelitian Penelitian dilakukan di desa pesisir Teluknaga, tepatnya Desa Tanjung Burung, Desa Tanjung Pasir, dan Desa Muara, Kecamatan Teluknaga Kabupaten Tangerang. Ketiga desa ini dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa: 1. Desa Tanjung Burung, Muara, dan Tanjung Pasir merupakan desa yang kaya potensi SDA-nya dan kelembagaan lokal jawaranya cukup kuat. Di tiga desa ini para pemimpinannya merupakan keturunan Jawara. 2. Desa Tanjung Burung mengalami marginalisasi aksesibilitas fisik dan pendidikan. Desa ini merupakan kantong masyarakat asli Teluk naga (nelayan dan petambak), China Benteng, dan Nelayan Jawa. Secara geografis desa ini berada di Muara Daerah Aliran Sungai Cisadane. 3. Desa Tanjung pasir, khususnya wilayah garapan mengalami marginalisasi di bidang ekonomi. Di desa ini hampir sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai buruh tambak. Desa ini merupakan kantong nelayan dan petambak yang masih menjaga kearifan lokalnya. 4. Desa Muara mengalami marginalisasi aksesibilitas fisik (baru masuk lampu akhir tahun 2009) dan politik. Partisipasi bidang politik dan pengikutsertaan masyarakat di desa ini sangat rendah. Desa ini merupakan basis nelayan dan petambak keturunan betawi yang mengalami marginalisasi. 5. Secara keseluruhan masyarakat pesisir Teluk Naga adalah orang Betawi Pesisir, yang posisinya terkontestasikan antara Jakarta dan Banten. Secara budaya berurat berakar betawi, tetapi secara kewilayahan berada di wilayah Banten paling Utara. Sementara itu, terkait dengan waktu penelitian, penelitian ini diawali pada bulan Oktober 2010 dan selesai pada Agustus 2012 melalui tiga tahap periodeisasi. Tahap pertama persiapan dan pemetaan sosial penelitian berlangsung pada bulan Oktober 2010 – Juni 2011. Tahap pemetaan sosial digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, potensi sumberdaya yang dimiliki di tiga desa, kebudayaan masyarakat, dan peta permasalahan umum masyarakat. Tahap kedua dilakukan pada bulan September – Desember 2011, kegiatan penelitian difokuskan di tiga desa yakni Desa Tanjung Burung, Desa Tanjung Pasir, dan Desa Muara. Dalam rentang waktu September – Desember 2011 kegiatan penelitian tidak dilakukan secara kontimun di lokasi, tetapi secara berkala setiap sabtu – minggu. Tahap ketiga dilakukan pada bulan Januari – Agustus 2012. Tahap ini merupakan pendalaman, pemaknaan, dan kritisisme atas metode lain, dan dapat menangkap makna yang ada di belakang kasus dalam kondisi objek secara natural.
18
fakta dan data untuk memahami kedalaman dan ketajaman analisa. Pada tahap ini juga dilakukan penulisan laporan dan bimbingan diintensifkan. Tahap keempat September 2012 – Maret 2013 persiapan seminar dan Sidang Tesis.
Peran Peneliti
Pesisir Teluk Naga, Tangerang atau Banten secara umum, bukanlah wilayah yang asing bagi peneliti. Tempat tinggal peneliti masih dalam satu kecamatan dengan tiga desa yang diteliti. Kedekatan jarak dan sisi emosional tentunya menjadi faktor pendorong, sekaligus tantangan tersendiri dalam menghadirkan obyektivasi penelitian. Dari sisi studi, penulis pernah melakukan beberapa kali penelitian yang berkaitan dengan konteks masyarakat Tangerang dan Banten, seperti studi tentang upacara pesta laut antara tradisi dan komersialisasi budaya (studi kasus pada masyarakat Tanjung Pasir, Kec. Teluknaga) tahun 2005; sejarah kabupaten Tangerang (bersama Tim Peneliti Pasundan) tahun 2005; Tangerang dalam persimpangan: membaca arah transformasi pendidikan dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri; sejarah sosial masyarat pesisir Tangerang, tahun 2010-2011 bersama Persada Nusantara Institute; dan pembangunan pertanian di Banten era desentralisasi, tahun 2011 bersama Labsosio, FISIP UI. Dari beberapa penelitian tersebut, ada empat hal yang peneliti peroleh, yang memungkinkan penelitian ini menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Pertama adalah informasi tentang konteks sosial, budaya, dan kehidupan masyarakat pesisir Tangerang. Kedua, informasi tentang keberadaan entitas jawara dan jaringannya yang signifikan dalam ranah politik pedesaan pesisir Tangerang pasca Orde Baru. Ketiga, informasi tentang kuatnya tarik-menarik penetrasi Jakarta dan Banten dalam perebutan potensi SDA di pedesaan pesisir Tangerang. Keempat, kedekatan peneliti secara pribadi dengan akademisi (pakar jawara), organisasi mahasiswa, dan LSM yang aktif melakukan advokasi pendidikan. Beberapa dari aktifis mahasiswa tersebut membantu peneliti dalam mengumpulkan sharing informasi dan membangun relasi dengan informan. Sedangkan beberapa dari akademisi dan aktifis LSM menjadi informan dalam penelitian ini.
Informan Penelitian
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive snowball sampling yang terdiri dari 27 orang. Kriteria dasar pemilihan informan adalah mereka yang menjadi bagian paling signifikan dan mengetahui masalah yang diteliti. Informan terpilih berasal dari latar belakang sosial yang beragam yaitu: (nelayan dan petambak, tokoh masyarakat kelompok nelayan dan petambak, LSM Pantura Tangerang dan Ormas Kaisar, pengamat jawara, jawara dan elit jawara, dan sejarawan. Banyaknya jumlah informan dapat dilihat pada tabel berikut:
19
Tabel 3.1 Informan Penelitian No.
Kategori
1.
Stakeholder masyarakat pesisir (Informan Kunci)
Jumlah
Keterangan
nelayan dan petambak Tokoh Masyarakat Kelompok Nelayan dan Petambak LSM Pantura Tangerang dan Ormas Kaisar
30 orang
Representasi tokoh masyarakat/ tokoh kunci di tiga desa Representasi 3 desa
2 orang
Representatif
5.
Pengamat Jawara
3 orang
6.
Jawara dan Elit Jawara
5 orang
9.
Sejarahwan Jumlah
1 orang 54 orang
2. 3. 4.
10 orang
3 orang
Keterwakilan pengurus LSM Pesisir M. Hudaeri, Suhaedi, dan Andi Rahman Pengurus organisasi kejawaraan dari tingkat daerah sampai desa; dan elit jawara desa M. El-Hatta Kurdi (alm)
Seperti disinggung di awal, bahwa penelitian ini ditopang oleh instrumentasi kuantitatif berupa survei persepsi masyarakat pesisir terhadap kepemimpinan jawara di pedesaan. Survei dilakukan untuk menunjang representasi persepsi masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu, sampling dalam penelitian ini adalah rumah tangga nelayan dan petambak, yang diambil di tiga desa setelah melalui tahapan prosedur penelitian dan ketentuan pengambilan sampel.
Fokus Penelitian dan Metode Pengumpulan Data Fokus penelitian ini mencakup konteks historis, sosial, dan jaringan jawara pedesaan pesisir, faktor dan mekanisme munculnya kepemimpinan jawara di pedesaan, pola kepemimpinan, relasi kekuasaan, dan kebijakannya. Selain itu, penelitian ini juga fokus untuk menganalisa dampak kebijakan dan persepsi masyarakat terhadap kepemimpinan jawara, terakhir proyeksi kepemimpinan ideal. Masing-masing fokus dan cara pengumpulan datanya lihat tabel 3.2. Tabel 3.2 Kontekstualisasi Fokus Penelitian No. 1.
Fokus
Indikator
Sketsa Geografis Kewilayahan 1. Luas wilayah, letak geografis, dan Potensi Alam keadaan jalan raya dan letak strategis, topografi tanah, iklim, dan cuaca. 2. Potensi alam (Pesisir/fokus utama, potensi laut, tambak, hutan mangrove, dan pariwisata). 3. Geopolitik Pesisir Tangerang dalam Penetrasi Jakarta dan Banten
Sumber 1. Dokumen 2. Arsip 3. Monografi Desa 4. Pengamatan berperan serta 5. Wawancara mendalam
20
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Konteks sosial dan masyarakat pesisir
budaya 1. Jumlah Penduduk dan latar sosial masyarakat 2. Sarana Prasarana Umum (pendidikan, kesehatan, dll), tingkat Pendidikan, ragam mata pencaharian, kepemilikan lahan, dan SSE. 3. Ciri khas, ikatan sosial dan norma masyarakat, struktur masyarakat (perubahan fisik dan sosial/transformasi) 4. Kelembagaan adat (Kelompok adat/jawara, kiayi, santri, intelektual, dll) 5. Potensi kearifan lokal (local knowledge) Konteks historis, sosial, dan 1. Sejarah keberadaan jawara di jaringan jawara pedesaan pesisir pesisir Tangerang; mendalami cerita tokoh pendekar Cisadane Ayub dari Teluknaga 2. Geneologi, varian, dan daerah basis jawara pesisir Tangerang 3. Aliran silat yang berkembang 4. Posisi dan kondisi sosial jawara di pesisir Faktor dan mekanisme 1. Kondisi tiga desa sebelum munculnya kepemimpinan kepemimpinan jawara jawara di pedesaan 2. Faktor pendorong munculnya kepemimpinan jawara 3. Sumber kekuasaan jawara 4. Ikatan dan Jaringan sosial kejawaraan dalam masyarakat pesisir Gaya kepemimpinan, relasi 1. Pola kepemimpinan jawara di kekuasaan, dan kebijakannya pesisir 2. Politik keluarga (cara-cara dalam melanggengkan kekuasaan) 3. Afiliasi politik elit jawara 4. Program kerja dan kebijakan pembangunan pedesaan 5. Keberpihakan pembangunan Persepsi masyarakat terhadap 1. Persepsi masyarakat terhadap kepemimpinan jawara kepemimpinan jawara di pedesaan 2. Dampak-dampak kepemimpinan jawara (bidang politik, ekonomi, dan pendidikan) Kepemimpinan Transformatif- 1. Menyegarkan dan mengkaji Kolektif: Proyeksi Politik ulang kepemimpinan jawara Pembangunan Tangerang 2. Elaborasi ruang emansipasi politik pesisir dari tiga entitas, akademisi, kiaya, dan jawara. 3. Refleksi teoretis dan implikasi kebijakan
1. Susenas & monografi Desa 2. Dokumen 3. Pengamatan berperan serta 4. Wawancara mendalam
1. life history 2. Wawancara mendalam 3. FGD
1. life history 2. Wawancara mendalam
1. Wawancara mendalam 2. Dokumen dan kearsipan
1. Penyebaran kuesioner 2. Wawancara mendalam 3. FGD
Teoretisasi dan Implikasi kajian: Catatan penutup
21
Prosedur Pengumpulan dan Analisa Data
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah studi pustaka, wawancara mendalam (indepth-interview), penyebaran kuesioner, wawancara kelompok (group- interview) berupa focus grup discussion (FGD), pengamatan berperan serta (participant observation), life history, studi arsip dan dokumen serta studi pustaka. Wawancara mendalam dilakukan kepada informan/narasumber perorangan baik kepada elit jawara maupun informan/narasumber lainnya. Wawancara kelompok berupa FGD akan dilakukan dengan beberapa informan untuk memperoleh informasi yang lengkap, saling berbagi informasi, pengalaman antar sesama tokoh jawara dan elit lokal lainnya. Pengamatan berperan serta menunjuk kepada riset yang dicirikan adanya interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan masyarakat yang diteliti di dalam sebuah mileu masyarakat yang diteliti. Peneliti mencoba masuk dalam kehidupan masyarakat, bergaul dan menggunakan bahasa mereka, bergurau dengan mereka, menyatu dengan mereka, dan samasama terlibat dalam pengalaman yang sama. Penyebaran kuesioner dimaksudkan untuk mengetahui dan menjaring persepsi masyarakat nelayan dan petambak terhadap kepemimpinan jawara. Dari kuesioner tersebut akan diketahui persepsi masyarakat atas kepemimpinan jawara di pedesaan pesisir Tangerang, Banten. Sementara itu, studi dokumentasi dan studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai berbagai hal yang terkait kebijakan otonomi daerah, kelembagaan lokal dan kepemimpinan jawara dalam dinamika pembangunan pedesaan di pesisir Tangerang. Bahan dokumen dan pustaka diperoleh dari arsip, hasil penelitian, buku-buku, berbagai penerbitan, jurnal ilmiah yang terkait dengan objek penelitian. Peneliti melakukan studi dokumentasi dan studi pustaka di DOKIIS Departemen SKPM, Perpustakaan IPB, Perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Perpustakaan Nasional, Perpustakaan FISIP UI, Labsosio UNJ, dan Perpustakaan Somantri Brodjonegoro.
Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif memahami makna, kedalaman, dan kritik terhadap gejala sosial yang ada. Pemaknaan, kedalaman, dan kritik yang dihadirkan dibantu oleh adanya data kuantitatif sederhana. Sementara itu, data kualitatif dihimpun melalui dept interview atau wawancara mendalam, FGD, dan life story terhadap beberapa informan kunci dan narasumber di sejumlah lokasi penelitian. Analisis data kualitatif lebih dikenal sebagai analisis data model interaktif. Dalam penelitian kualitatif, analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasinya ke dalam suatu pola kategori dan satuan uraian dasar. Pengkategorian data disesuaikan dengan rumusan pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini dan dimaksudkan untuk
22
memberikan kemudahan interpretasi, seleksi, dan penjelasan dalam bentuk deskripsi analisis. Strategi Validasi Temuan Penelitian Strategi validasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi (Neuman, 2001: 137-138). Hal ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari sumber-sumber yang berbeda dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang juga berbeda, yaitu wawancara mendalam, pengamatan, penelusuran dokumen, dan studi pustaka. Dengan cara demikian, data yang diperoleh diharapkan valid dan saling berkaitan secara sinergis.
23
PESISIR TANGERANG DALAM POTRET TIGA DESA
Pengantar
Membahas Banten dulu dan kini tak dapat dilepaskan dari 4 hal, yaitu keislaman yang plural, kejawaraan, potensi maritim, dan pertanian (Tb. Muhammad El-Hatta Kurdi, 2011)8. Empat hal di atas menjadi starting point bagi para peneliti dalam mengkaji khasanah Banten. Pertama, dari segi keislaman Banten dikenal plural. Pluralitas ini terbukti dari sejumlah historiografi lokal yang bercorak budaya kosmopolit dan multikultural (Halwany dan Chudari, 1993). Sementara itu, dari sisi etnis sejak tahun 1676 ribuan orang Cina sudah tinggal di Banten. Orang Arab, India, Jawa, Sunda, Melayu, Makassar, Bugis, dan Bali, juga turut menjadi penanda multi-etnisitas masyarakat Banten.9 Kedua, keberadaan entitas jawara. Jawara menjadi sub kultur yang tak terpisahkan dari masyarakat Banten (Hudaeri, 2002). Keberadaannya menjadi penanda sejarah dan setting sosial Banten hingga saat ini. Oleh karena itu, rasanya tak lengkap jika mengkaji Banten tanpa membahas aspek kejawaraannya. Ketiga, Banten kaya akan potensi maritim dan mengandalkan perdagangan laut dalam menopang perekonomiannya.10 Tome Pires (1512-1515) dalam catatannya pernah menyebut "Bantam" sebagai salah satu pelabuhan penting Kerajaan Sunda, di samping “Pongdam” (Pontang), “Cheguide” (Cigading), “Tamgaram” (Tangerang), “Calapa” (Sunda Kelapa) dan “Chemano” (Cimanuk). Keempat, dari sisi pertanian, Banten merupakan sentra produsen beras di Pulau Jawa. Realitas sosiohistoris dan geopolitik tersebut sudah sepatutnya memosisikan Banten sebagai salah satu pemain penting dalam peta pembangunan Nasional, terlebih bagi wilayah bagian utara “pesisir Tangerang” yang terhubung langsung dengan Teluk Jakarta, Ibukota Negara. Namun demikian, kedekatan geografis yang hanya “sepelemparan tombak” dan lanskap fisik yang dekat itu tak berarti melekat (memiliki kesamaan, daya tarik dan pertautan yang kuat). Jakarta dan Banten sejatinya seperti dua kutub dengan perbedaan mencolok. Kuatnya oligarki kejawaraan dalam peta politik banten, penguasaan SDA, dan tertinggalnya pembangunan pesisir Tangerang menjadi parameter dan indikasi real lemahnya SDM Banten. Sementara, posisi Jakarta memandang Banten bagai lawan, bukan kawan. Sinisme politik berikut ini: “Tak boleh ada Kerajaan di depan 8
Wawancara tanggal 4 September 2011, pukul 13.30 – 15.30 WIB (Satu bulan sebelum narasumber wafat). Narasumber adalah sejarahwan Banten dan Mantan Ketua Pusat Kepurbakalaan Banten. 9 Perkembangan dari pluralitas etnis kemudian memunculkan beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan Kampung Pecinan (Cina). 10 Dalam sejarahnya monopoli atas perdagangan lada di Lampung, pernah menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara, sehingga Kesultanan Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masanya. Lihat Heriyanti Ongkodharma Untoro. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten: Kajian Arkeologi-Ekonomi. Depok: FIB UI. Lihat juga Yoneo Ishii. 1998. The Junk Trade from Southeast Asia: Translations from the Tôsen Fusetsu-gaki 1674-1723, Institute of Southeast Asian Studies.
24
halaman Istana Negara…”
11
menjadi bahasa generik untuk merangkum nuansa
perbedaan karakter dua wilayah yang bertetangga ini. Banten dan Jakarta hari ini sejatinya saling tarik-menarik kepentingan. Posisi pesisir Tangerang yang menjadi titik koordinat di antara keduanya, tentunya menjadi yang utama dan sangat penting untuk dikaji secara lebih mendalam. Berangkat dari konteks tersebut, pembahasan pada bab ini akan mengetengahkan: (1) dialektika setting sosial Pesisir Tangerang dalam lanskap sosiografis dan geopolitik kewilayahan; (2) karakteristik kultur dan pendidikan masyarakat Pesisir; (3) potensi SDA dan sosial-ekonomi Pesisir; dan (4) Pesisir Tangerang dalam transisi dan tarik-menarik kepentingan Jakarta – Banten.
Deskripsi Sosiografis dan Geopolitik Kewilayahan Pesisir Tangerang memiliki sejarah panjang. Berdasarkan data arkeologis, masa awal masyarakat Tangerang dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang membawa keyakinan Hindu-Budha dan Islam, seperti Tarumanagara, Kerajaan Sunda, dan Banten (Ekajati, 2004). Secara sosiografis Pesisir Tangerang tidak bisa dilepaskan dari empat hal utama yang saling terkait. Keempat hal itu adalah peranan Sungai Cisadane; peranan pesisir; lokasi Tangerang di tapal batas antara Banten dan Jakarta; dan bertemunya beberapa etnis dan budaya dalam masyarakat Tangerang. Sungai Cisadane membujur dari selatan di daerah pegunungan ke utara di daerah pesisir. Sungai ini berperan penting dalam kehidupan masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) hingga dewasa ini.12 Sementara itu, keragaman etnis dan sosial budaya pesisir Tangerang ditandai oleh berbagai bukti akulturasi dan asimilasi beberapa kebudayaan. Misalnya, perpaduan antara China dan budaya asli Tangerang melahirkan sub etnis Cina Benteng. Perpaduan Beladiri Kuntao dan Silat melahirkan jenis silat Beksi – silat khas Tangerang. Potensi ini mengakar dan menjadi salah satu ciri masyarakat pesisir Tangerang. Secara administratif pesisir Tangerang membentang sepanjang wilayah Utara Banten-Teluk Jakarta. Dari aspek kewilayahan ia melingkupi 13 kecamatan sepanjang Kronjo (yang berbatasan dengan kecamatan Tanara, Banten) hingga, Teluk Naga dan Kosambi (yang berbatasan dengan Jakarta). Dua wilayah tersebut menjadi penanda penting yang mempertautkan Tangerang, Banten – Jakarta. Dan, Teluk Naga melalui tiga desa di wilayah pesisir menjadi fokus dalam setting 11
Endi Biaro, “Pilkada Banten, Harga Diri Tangerang” 25 April 2011 dalam http://endibiaro.blogdetik.com/?p=290 Diakses 28 Desember 2011. 12 Hulu sungai Cisadane berasal dari lerang sebelah Utara G. Kendeng (+ 1764 m), G. Perbakti (+ 1699 m), dan G. Salak (+ 2211 m), mengalir ke utara melalui pegunungan di wilayah jawa barat, melewati kota bogor, kota tangerang, dan bermuara di laut jawa. Panjang sungai sekitar 140 km dengan luas DAS ± 1.411 km2. Menurut penuturan Wa Salam (120 tahun) seorang sesepuh tertua dan Mantan Juru Kunci Situs Muara Cisadane, di Muara Sungai Cisadane, Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga. Pada masa lalu lebar Sungai Cisadane lebih besar dibandingkan kondisi saat ini. Ketika itu pedagang bambu sering melintas dan pemandangannya masih menarik. Aroma mistis pun tidak bisa lepas dari sungai Cisadane. Konon sering dikabari terdapat siluman buaya putih di sungai ini. Sampai pertengahan 80-an nuansa mistis masih kuat di kalangan masyarakat (Wawancara dengan Wa Salam (120), 10 Oktober 2011, pukul 14.00 – 16.00).
25
sosial pesisir Tangerang. Teluk Naga adalah kecamatan penting yang berada di Kabupaten Tangerang bagian utara. Berdasarkan data susenas 2010, jumlah penduduk Teluk Naga mencapai 171.630 jiwa. Sebagian besar penduduknya beragama Islam (90%), Protestan (7%), Katolik (1,7%), Budha (2%), dan Hindu (0,3%). Sementara itu dari segi pendidikan sebagian besar masyarakat Teluk Naga hanya sampai sekolah dasar. Bahkan dalam laporan program keaksaaraan fungsional tahun 2009 masih tercatat sekitar 600-an penduduk yang buta aksara. Dengan kata lain, dari sisi pendidikan masyarakat Teluk Naga masih tergolong rendah. Secara geografis letak Teluk Naga sangat strategis. Bila ditinjau dari wilayah laut (bagian utara), Teluk Naga berada pada jalur pembangunan maritim (pariwisata pantai Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara – tiga desa utama yang menjadi fokus kajian) yang menghubungkan dengan Kepulauan Seribu. Dari wilayah daratan bagian timur merupakan zona perhubungan antara kawasan industri Tangerang dengan Ibukota DKI Jakarta. Di bagian Barat merupakan sentra pertanian, perkebunan, dan home industry. Sedangkan bagian selatan berbatasan langsung dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kondisi geografis ini, menempatkan Teluk Naga sebagai daerah penting dan wilayah penyangga (hinterland) bagi ibukota DKI Jakarta. Luas Teluk Naga sekitar 4.763,198 Ha. Luas ini belum termasuk luas wilayah lautnya yang jauh lebih besar dari luas daratan. Secara administratif Teluk Naga terbagi atas 13 desa. Ketiga belas desa tersebut antara lain desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Muara, Lemo, Tegalangus, Kampung Besar, Pangkalan, Kampung Melayu Barat, Kampung Melayu Timur, Babakan Asem, Kebon Cau, Teluk Naga, dan Bojong Renged. Sebagai besar masyarakat Teluk Naga merupakan etnis Betawi. Kemudian disusul etnis Sunda, Tionghoa (Cina Benteng), Jawa, dan sebagian kecil etnis Minang. Mata pencaharian masyarakat Teluk Naga cukup beragam dari bertani, nelayan, wiraswasta, pegawai/pekerja, PNS, dan buruh. Namun, mayoritas dari masyarakat Teluk Naga dewasa ini bermata pencaharian sebagai pekerja. Lantaran Teluk Naga dalam kurun waktu dua dekade terakhir tengah mengalami dinamika menjadi sentra industri penting penyuplai tenaga kerja bagi pengembangan industri di wilayah Tangerang dan Ibukota DKI Jakarta. Pada konteks ini dinamika yang terjadi pada masyarakat Teluk Naga inheren dengan dinamika yang terjadi pada masyarakat Tangerang secara keseluruhan. Posisi sentral dan dinamika tersebut tak lepas dari sejarah panjang Teluk Naga dulu dan kini. Sejak jaman Taruma Nagara, Kesultanan Banten, Kolonial Belanda, masa pergerakan nasional, dan masa kekinian. Teluk naga 13 merupakan 13
Konon nama Teluk Naga berasal dari cerita Sunan Gunung Jati yang hendak berkunjung ke Banten melalui jalur Sungai Cisadane. Ketika itu, sunan Gunung Jati menggunakan perahu berkepala naga milik istrinya putri Ong Tin. Sunan Gunung Jati sempat beristirahat di muara sungai Cisadane yang kebetulan secara geografis lanskap wilayah tersebut menyerupai sebuah Teluk. Dari sinilah kemudian muncul istilah Teluk Naga. Versi kedua dalam kitab Tina Layang Parahyang (Catatan dari Parahyang) diceritakan bahwa pada tahun 1407 telah terjadi gelombang migrasi pertama dari Cina menuju Tangerang yang dipimpin Tjen Tjie Lung alias Halung. Mereka melakukan pendaratan pertama di muara Sungai Cisadane, yang sekarang berubah nama menjadi Teluk Naga. Sementara gelombang kedua kedatangan orang Tionghoa ke Tangerang diperkirakan terjadi setelah peristiwa 1740. Mereka mendapat restu dan perbekalan dari Kaisar Qing dengan
26
pintu gerbang masuk para saudagar dari kerajaan-kerajaan di nusantara, China, India, dan Arab yang masuk melalui pelabuhan Tamgaram.14 Jalur sungai Cisadane yang melintasi sepanjang wilayah Teluk Naga menjadi lalu lintas yang ramai dikunjungi para saundagar menuju pelabuhan tersebut. Dari sini cerita-cerita menarik tentang Teluk Naga dalam mata rantai sejarahnya memberi warna pada karakteristik khas masyarakatnya. Dari setiap jaman tersebut memunculkan banyak tokoh besar tak terkecuali munculnya kaum jawara. Gambar 4.1 Peta Teluk Naga
Sumber: Koleksi Pribadi
Kaum jawara pesisir Tangerang. Pada era kerajaan rakyat. Di era orde lama dan security informal dan di era
mengisi pos dalam ruang publik masyarakat dan kolonial mereka menjadi pejuang bersama orde baru bersama pemerintah mereka menjadi desentralisasi mereka menjadi elite penguasa.
janji bahwa mereka akan tetap loyal terhadap kaisar. Mereka datang bersama-sama dengan kapal dagang Belanda (Ekadjati, 2004). Karena mereka datang menggunakan perahu-perahu berkepala naga, wilayah ini kemudian dikenal dengan istilah Teluk Naga, tempat bersandarnya perahu naga. 14 Nama Tangerang di ambil dari istilah Tamgaram, sebuah nama pelabuhan di wilayah Kronjo (sekarang). Pelabuhan ini dahulu merupakan penghasil garam, rumput laut, dan hasil ikan yang melimpah. Namun sayangnya saat ini pelabuhan tersebut hanya tinggal nama. Bahkan tak banyak orang yang mengetahui nama Tamgaram tersebut. Versi kedua, menurut Ekajati (2004) dalam tradisi lisan yang menjadi pengetahuan masyarakat Tangerang, nama daerah Tengerang dulu dikenal dengan sebutan Tanggeran yang berasal dari bahasa Sunda yaitu tengger dan perang. Kata “tengger” dalam bahasa Sunda memiliki arti “tanda”. Sedangkan istilah “perang” menunjuk pengertian bahwa daerah tersebut dalam perjalanan sejarah menjadi medan perang antara Kasultanan Banten dengan tentara VOC. Hal ini dibuktikan dengan adanya keberadaan benteng pertahanan kasultanan Banten di sebelah barat Cisadane dan benteng pertahanan VOC di sebelah Timur Cisadane.
27
Transformasi sosial ini setidaknya ditopang oleh kelembagaan jawara yang kian menguat di level pedesaan hingga propinsi, kultur politik yang mendukung, penguasaan atas SDA, dan posisi wilayah yang strategis sebagai penyangga Ibukota.
Karakteristik Kultur dan Pendidikan Masyarakat Pesisir Keempat realita di atas menjadi parameter semakin menghegemoninya kekuasaan elit jawara. Dalam konteks pedesaan hegemoni tersebut tak lepas dari kondisi sosial, kultural, dan ekonomi masyarakat pesisir yang masih rentan. Ketergantungan kehidupan masyarakat pesisir pada ketersedian sumberdaya laut dan budidaya ikan menjadi kualitas ekosistem sangat menentukan peningkatan kesejahteraan mereka. Di samping itu, problematika pengentasan kemiskinan semakin kompleks karena dimensi yang dihadapi tidak hanya sekedar ekologi dan ekonomi, tapi juga politik. Fakta tersebut nampak terlihat pada masyarakat di tiga lokasi penelitian. Secara historis mereka merupakan nelayan dan pembudidaya tambak asli etnis betawi yang mengalami marginalisasi15, di samping para nelayan pendatang asal Demak, Jepara, dan Parean (Indramayu).16 Terpuruknya kondisi masyarakat pesisir, seperti ditengarai di atas tentunya tidak terlepas dari kondisi ekologis di mana mereka berada. Pada umumnya nelayan dan pembudidaya tambak berada dan menjadi penghuni desa pesisir. Pendidikan formal yang di terima masyarakat pesisir secara umum jauh lebih rendah dari pada non-pesisir lainnya. Persentase total jumlah penduduk di tiga desa penelitian tidak tamat SD masih sangat besar. Lihat data berikut ini. Tabel 4.1 Kompisisi Penduduk Pesisir Teluk Naga Desa Tanjung Burung Tanjung Pasir Muara
Jenis Kelamin Laki Perempuan 3,390 3,369 2,740 2,860 1,845 1,935
KK 1,845 2,018 801
Sumber: Monografi Desa, 2011. 15
Menurut Shahab (2000), Masyarakat Nelayan Teluk Naga berdasarkan kawasan tempat tinggalnya dapat dikategorikan sebagai Betawi Pesisir. Selengkapnya, penggolongan orang Betawi berdasarkan tempat tinggalnya terdiri dari: Betawi Tengah, Betawi Pinggir, Betawi Udik, dan Betawi Pesisir. (1) Betawi Tengah, mendiami wilayah sekitar Gambir, Menteng, Senen, kemayoran, Sawah Besar, dan Taman Sari. (2) Betawi Pinggir, mendiami wilayah sekitar Pasar Rebo, Pasar Minggu, Pulo Gadung, Jatinegara, Kebayoran, dan Mampang Prapatan. (3) Betawi Udik, mendiami kawasan sekitar Cengkareng, Tangerang, Batu Ceper, Cileduk, Ciputat, Sawangan, Cimanggis, Pondok Gede, Bekasi, Kebon Jeruk,Kebayoran Lama, Cilandak, Kramat Jati, dan Cakung (4). Betawi Pesisir, mendiami wilayah sekitar Teluk Naga, Mauk, Japad, Tanjung Priok, Marunda, Kalapa, dan Kepulauan Seribu. 16 Di Desa Tanjung Burung mayoritas nelayan pendatang berasal dari Demak dan Jepara. Hasil tangkapan mereka tidak hanya di jual ke tempat pelelangan ikan, tetapi banyak juga yang langsung di kirim ke restoran-restoran besar di Jakarta, bahkan ada juga yang di ekspor ke Negaranegara tetangga, seperti ke Singapura, terutama hasil laut jenis udang. Sementara itu, di Desa Tanjung Pasir mayoritas nelayan pendatang berasal dari Parean (Indramayu).
28
Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat Pesisir Teluk Naga17 No.
Tingkat Pendidikan Belum Sekolah Usia 7-45 thn tidak sekolah Tidak tamat SD/Sederajat/Buta Huruf SD/Sederajat SMP/Sederajat SMA/Sederajat Akademi/Sarjana
1 2 3 4 5 6 7
Desa Tanjung Burung 1017 1703 1.126
Desa Tanjung Pasir 1.976 145 234
680 680 521 49
3.789 1.653 954 41
Desa Muara 215 752 450 520 65 40 12
Sumber: Monografi Desa, 2011.
Sementara itu, bila dilihat dari sektor perekonomian, mayoritas masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang dewasa ini bermata pencaharian sebagai buruh/karyawan swasta. Realitas ini berbanding lurus dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Padahal idealitanya, pendidikan memiliki urgensi yang esensial sebagai jembatan kehidupan “life is education, education is life” (Rupport C. Lodge dalam Zuhairini, 2004:10). Secara umum pendidikan dapat meningkatkan pembangunan dan mobilitas sosial suatu masyarakat, kesejahteraan keluarga, dan status atau kelas sosial seseorang, sehingga mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tabel 4.3 Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Teluk Naga No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Mata Pencaharian Buruh Swasta PNS Pengrajin Tukang Batu Pedagang Penjahit Peternak Petani Nelayan Montir Dokter Sopir Pengemudi Becak TNI/Polri Pengusaha
Desa Tanjung Burung 3.017 20 16 0 320 16 1 0 68 11 1 53 8 1 6
Desa Tanjung Pasir
Desa Muara
65 15 5 62 1.213 0 6 176 2.331 0 0 30 0
1.220 5 20 6 63 5 25 143 420 4 0 5 0
0 0
1 2
Sumber: Monografi Desa, 2011.
17
Ada dua faktor yang menjadi penghambat pendidikan pada masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan di tiga desa tersebut antara lain: (1) pandangam atau pola pikir dari keluarga miskin; (2) kemauan anak untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan; (3) penghasilan orang tua; dan (4) penghasilan orangtua. Sementara itu, faktor eksternal yang mempengaruhi rendahnya tingkat pendidikan di tiga desa tersebut antara lain: (1) biaya dan keperluan sekolah; (2) jarak yang ditempuh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas; (3) faktor geo-ekologi; dan (4) faktor politik (rendahnya kesempatan dan aksesibilitas pendidikan).
29
Mengenai fasilitas penunjang pendidikan di pesisir Teluk Naga harus diakui masih jauh dari kategori memadai, di mana pada Desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara hanya terdapat beberapa fasilitas pendidikan saja. Untuk mengetahui fasilitas pendidikan yang ada pada wilayah ini, lihat tabel berikut: Tabel 4.4 Fasilitas Pendidikan Sarana/Prasarana Tanjung Pendidikan Burung 2 PAUD 1 TK 3 SD/Sederajat 2* SLTP/Sederajat Sumber: Monografi Desa, 2011.
Tanjung Pasir
Muara
5 4 1*
1 3 1**
Keterangan: *) sekolah swasta, swadaya masyarakat/kualitasnya rendah **) SMP Terbuka
Fasilitas pendidikan di atas, keadaannya sangat memprihatinkan. Di SD Tanjung Pasir II, misalnya, sebanyak 270 murid SDN Tanjung Pasir II, belajar dalam kondisi khawatir dan resah karena harus belajar di bangunan sekolah yang nyaris roboh. Jakfar Sidik (kepala sekolah), mengatakan, bila ada tiupan angin kencang dan hujan deras, pihaknya terpaksa meliburkan siswa lantaran khawatir tertimpa bangunan. Pada bagian atap ruang kelas, sudah tidak memiliki plafon karena hancur beberapa tahun lalu. Demikian pula, tiang penyangga bangunan bagian dalam sudah reot dimakan usia (Wawancara, 26 Oktober 2010). Kondisi yang tak jauh berbeda juga terjadi di SMP Bhakti Karya Pantura, Tanjung Burung. Sekolah yang hanya memiliki 12 siswa ini (8 orang kelas 07 dan 4 orang kelas 08) keadaan fisik dan sarana pendukungnya tidak memadai. Pun demikian yang terjadi di SMP Terbuka di Desa Muara. Tidak memadainya fasilitas pendidikan tersebut sangat berpengaruh terhadap akseptabilitas masyarakat setempat terhadap pendidikan. Secara historis kendala tersebut muncul sebagai akibat terjadinya birokratisasi dan politisasi pendidikan oleh pemerintah. Secara sosiologis-kultural kendala tersebut muncul sebagai akibat dari perilaku pelaksana pendidikan sendiri yang umumnya cenderung kurang menunjukkan sikap beradaptasi dan kurang menyatu dengan masyarakat sekitar sekolah. Secara ekologis pembangunan pendidikan belum sepenuhnya menjadi "wadah sosial" di mana setiap anggota masyarakat secara terbuka dapat mengambil dan melakukan peran-peran pendidikan, serta melakukan proses adaptasi-diri sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing bagi optimalisasi daya-daya dan potensi-potensi ubah-diri yang dimiliki. Simak pandangan berikut ini. “Anak ibu mah pada ga sekolah de, ibu juga dulu ga sekolah. Anak ibu mentok cuma sampe kelas 3 SD doang, ya kalo menurut ibu mah „pendidikan ga penting‟, ngabisinin duit aja, ntar ujung-ujungnya kerjanya mah sama aja ngangon kebo. Emang dasar anaknya juga pada ga mau sekolah, katanya mah pada mau kerja aja de. Kebetulan juga ibu ga punya uang kalo mau sekolah mah. (Ibu Rohani, wawancara, 20 April 2012).”
30
Cara pandang pesimistis tersebut menjadi protipe bahwa pendidikan belum sepenuhnya menjadi institusi sosial yang memungkinkan terciptanya kohesikohesi sosial dan nilai transformatif di kalangan masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Maka relevansi pendidikan dan setting pembelajaran sudah seharusnya disesuaikan dengan kehidupan masyarakat pesisir kita. Untuk itu, perlu adanya transformasi budaya yang dapat membangun keadaban pesisir – keadaban yang transformatif, tangguh, dan mandiri, bukan keadaban yang lemah, pasif, dan destruktif (Mubyarto, et. al. 1984: 10). Tabel 4.5 Karakter Masyarakat Pesisir Aspek Karakter Gaya Hidup Partisipasi Politik Afiliasi Politik Budaya dan seni Corak keagamaan
Kehidupan sosial Etnik
Tanjung Pasir Lugas dan spontan Konsumtif, suka pamer, mewah Pasif Politik keluarga/kekerabatan vulgar (dangdut dan tarling) - Nahdiyin, Islam Tradisional
Egaliter Betawi dan Sebagian kecil nelayanPembudidaya Tambak Asal Parean, Indramayu Pantai
Tanjung Burung Lugas dan spontan Konsumtif, suka pamer Pasif Politik keluarga/kekerabatan vulgar (dangdut, cokek, dan lenong) - Nahdiyin, Islam Tradisional - Plural (secara umum) Egaliter Betawi dan Sebagian kecil nelayanPembudidaya Tambak asal Jawa (Demak)
Muara Cisadane (Sungai) Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012. Basis peradaban
Muara Lugas dan spontan Konsumtif, suka pamer Pasif Politik keluarga/kekerabatan vulgar (dangdut, cokek, dan lenong) - Nahdiyin, Islam Tradisonal - Plural (secara umum) Egaliter Betawi
Pantai
Karakter di atas, bagi masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang terbentuk dari proses yang panjang. Misalnya, gaya hidup konsumtif terjadi karena adanya dorongan ”gengsi sosial” yang kini semakin tampak menggejala dan merupakan ”kompensasi psikologis” dari kesengsaraan hidup yang cukup lama menimpa. Dengan kata lain gaya hidup yang dianggap ”boros” itu merupakan upaya menyenangkan diri sesaat dalam menikmati kehidupan yang selayaknya. Streotipe ini sering dianggap menjadi penyebab kemiskian nelayan. Padahal kultur masyarakat pesisir, jika dicermati pada dasarnya memiliki etos kerja yang handal. Bayangkan mereka pergi subuh pulang siang, kemudian menyempatkan waktunya pada waktu senggang untuk memperbaiki jaring, dan seterusnya. Kondisi tersebut lambat tapi pasti membentuk dan menjadi identitas mereka (Ginkel, 2007). Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang secara kultur-pendidikan lemah dan pasif. Secara struktural mereka termarginalisasi dalam sistem. Menurut Sunarto (2004) marjinalisasi hanyalah satu di antara banyak masalah yang timbul sebagai akibat ketimpangan (Sunarto, 2004). Di mana ketimpangan ketersediaan sarana sosial ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sarana infrastruktur publik. Marjinalisasi mengabaikan hakekat pemberdayaan masyarakat partisipatif (Ife, 2002), cenderung mengakibatkan keadaan komunitas pedesaan menjadi semakin
31
tidak berdaya dalam beradaptasi terhadap perubahan struktural dan ekologis. Lihat data realitas lemahnya pembangunan sosial ekonomi berikut ini. Tabel 4.6 Pembangunan Sosial dan Ekonomi Desa
Tanjung Burung Tanjung Pasir Muara
Pelatihan Keterampilan
Modal Usaha
Padat Karya
Perbaikan Rumah
Rehabilitasi Kampung
Tidak
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Rehabilitasi Ling Kumuh Tidak
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ada
Tidak
Tidak
Sumber: Monografi Desa, 2010.
Tabel 4.7 Infratruktur dan Sanitasi Desa
Infrastruktur Sudah Non Sampah TPS Listrik PLN (KK) (KK) 1645 0 Timbun 0 Tanjung angkut Burung dan sungai 1618 200 Timbun 0 Tanjung angkut Pasir dan sungai 480 270 Timbun 0 Muara angkut dan sungai Sumber: Monografi Desa, 2010.
Air Sungai Baku Irig minu asi m 5 7
BAB
Ma ndi
Minu m
Transport asi
Bukan jamban
1
4
Jamban Umum
2
4
6
7
4
Jamban Umum
1
4
6
7
4
Kemuda han
Terse dia
Mudah
4
Tabel 4.8 Sarana Kesehatan Desa
Tanjung Burung Tanjung Pasir Muara
Bersalin
Poliklinik
Puskesmas
Tersed ia
Akses Jarak
Kemud ahan
Terse dia
Akse Jarak
Kemud ahan
Terse dia
Tidak
6.00
Mudah
Tdk
7.00
Mudah
Tdk
Akse s Jarak 7.00
Tidak
9.00
Mudah
Tdk
9.00
Mudah
Tdk
10.00
Tidak
12.00
Sulit
Tdk
13.00
Sulit
Tdk
12.00
Puskesmas Pembantu Kemuda han
Tak
Akse s Jarak 10.00
Mudah
Tdk
5.00
Mudah
Sulit
Tdk
6.00
Sulit
Mudah
Sumber: Monografi Desa, 2010.
Keadaan tersebut berbanding terbalik dengan kekayaan potensi SDA yang dimiliki masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang.
Potensi SDA dan Sosial Ekonomi Pesisir
“Tak kan ada ikan di meja makan, tanpa ada jerih payah nelayan........” Lirik tersebut mengandaikan bahwa sumbangsih nelayan dalam menopang kehidupan kita sangat besar (Widodo, 2007). Pun, demikian mengandaikan
32
kepada kita bahwa potensi sumber daya alam pesisir juga begitu melimpah. Dalam potret masyarakat pesisir Tangerang, kondisi luas wilayah 301,62 Km2 dan panjang garis pantainya ± 51 Km, secara geografis dan ekologi menyajikan kekayaan alam yang melimpah dan beragam.18 Khusus untuk Desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir dan Muara, potensi pariwisata pesisir, pemancingan19, dan budaya pesisir menjadi andalan utama. Dari potensi pariwisata, pantai Tanjung Pasir merupakan salah satu andalan utama masyarakat sekitar Jabodetabek. Ia menjadi salah satu pintu masuk menuju Kepulauan Seribu. Jaraknya strategis sekitar 10 km dari Bandara Soekarno-Hatta. Sementara itu, dari sisi potensi hasil laut, terutama ikan dari tiga desa di pesisir Teluk Naga, Tangerang sangat melimpah. Lihat tabel jenis ikan dan teknologi tangkap berikut ini: Tabel 4.9 Jenis Tangkapan Ikan No. 1.
Jenis Teknologi Tambak
Jenis Ikan Ikan Mujair (Tilapia mossambica ); Kepiting (the mangrove crab) Scylla serrata; Udang Putih (prawn); grouper); Ikan Bandeng (milk fish), dan ikan kakap. Serok Muara Sungai Udang Putih (prawn); Udang Galah; Ikan Kerapu 2. (Greasy grouper) Serok di Laut Ikan Kurisi, dll 3. Pancing dan Jaring Ikan Pari, Tengkek, Talang, kurisi, sembilang, 4. como, kakap merah, kuwe, manyung, kerapu, Kembung, Samge, cumi, dll. Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Ikan-ikan itu dibawa ke TPI yang terdapat di Tanjung Pasir. TPI ini merupakan salah satu dari lima TPI yang masih aktif di kabupaten Tangerang. 20 Karena nelayan pesisir Teluk Naga biasa menangkap ikan secara one day fishing, maka
18
Secara administratif jarak wilayah perairan pesisir Tangerang dari garis pantai (batas antara laut dan darat) sampai ke perairan tengah (laut) adalah 4 mil atau 6,4 km. Wilayah pesisir pantainya berada di bagian Utara yang meliputi 7 kecamatan pantai yaitu: Kronjo, Mauk, Kemiri, Pakuhaji, Teluknaga, Kosambi dan Sukadiri (DKP Kab. Tangerang, 2006). 19
Tambak-tambak ikan yang ada di tiga desa tersebut luasnya mencapai sekitar 1.200 ha, umumnya hanya digunakan untuk wisata mancing. Sistem pemancingan di sini adalah jumlah ikan yang didapat pemancing dibayar oleh pemacingnya sebesar Rp. 20.000/kg untuk ikan bandeng, ikan mujair seharga Rp 15.000/kg, ikan mas seharga Rp 20.000/kg, dan 35.000/kg untuk ikan kakap. Soal lama sebentarnya memancing diserahkan ke pemancing sesukanya. Asal ikan yang didapat – dibayar (Wawancara dengan Dawi/buruh tambak, 20 April 2012). 20
Struktur organisasi yang ada di pelelangan ikan di TPI Tanjung Pasir terdiri dari, Kepala Pelelangan (Suryadi, Amd), ada Bakul atau biasa disebut juga Pelele. Ada orang yang menunjuk ikan, pencatat, dan Juru Lelang. Juru lelang fungsinya sebagai penentu harga ikan.
33
TPI Tanjung Pasir aktif dalam melakukan transaksi pelelangan ikan setiap hari.21 Berikut tangkapan dominan nelayan pesisir Teluk Naga.
Tabel 4.10 Tangkapan Dominan No. 1. 2. 3. 4. 5.
Jenis Ikan Dominan Pari Tengkek Manyung Kembung Samge
Jumlah
Nilai Produksi (Rp) 67.093.000 64.920.000 53.074.500 108.784.000 38.686.000
11,847 8,074 6,993 8,907 6,103
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010)
Tabel 4.11 Kalender Musim Penangkapan Ikan Musin Ikan
Bulan 1 2 3
Penangkapan Tinggi Penangkapan Sedang Penangkapan Rendah
√
√
4
5
√
√
6 √
7 √
8 √
√
9
10
11
12
√
√
√
√
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Selain potensi pariwisata pantai Tanjung Pasir dan potensi tangkapan ikan, berikut disajikan beberapa potensi sumberdaya alam yang dimiliki masyarakat di tiga desa pesisir Teluk Naga, Tangerang. Tabel 4.12 Sumber Potensi Pesisir Jenis Potensi Kerajinan tradisional
Tanjung Burung Sapu lidi dan agaragar rumput laut
Tanjung Pasir Keripik sukun dan agar-agar rumput laut
Home industry22
Warung perlengkapan memancing, hio dan bengkel,
warung, bengkel, toko, dan pengolahan rajungan dan ikan asin
21
Muara Keripik sukun dan agar-agar rumput laut warung, dan pengolahan ikan asin dan koperasi masyarakat mandiri
Berdasarkan data KKP (2010), jumlah armada kapal perikanan yang mendaratkan ikan di TPI Tanjung Pasir didominasi oleh kapal motor tempel sebanyak 79 unit; 38 Jenis alat penangkap ikan; 22 unit Jaring Rampus dan sebanyak 57 unit Pancing Rawe. 22 Secara historis perkembangan home industry hasil kerajinan tradisional masyarakat pesisir Tangerang pernah mencapai kejayaannya antara tahun 1913-1931. Saat itu industri kerajinan topi dari anyaman bambu dan pandan, menjadi primadona dan kualitas ekspor. Konon, topi-topi tersebut dikenal sangat baik kualitasnya sehingga mampu menembus pasar dunia. Produk kerajinan topi diekspor ke Amerika dan Eropa (terutama Perancis) melalui pelabuhan Tanjung Priuk. Topi-topi tersebut dianyam oleh kaum pribumi dan diperdagangkan di dalam negeri oleh orang Tionghoa sedangkan pemasaran ke luar negeri banyak dilakukan oleh pedagang Eropa. Kejayaan topi Tangerang baru berakhir sekitar tahun 1931 dan hingga kini tak mampu bangkit kembali. Kemunduran tersebut diawali dengan merosotnya ekspor akibat adanya perubahan mode yang diminati pasar dunia dan saingan mode topi dari pengrajin di Amerika Selatan. Selain itu karena adanya krisis ekonomi tahun 1930 di mana menghantam ekspor-impor dunia. Bahkan akibat krisis tersebut perusahaan tenun di Balaraja, Tangerang "gulung tikar" (Ekajati, 2004: 120 dan Brousson, 2007: 72-74).
34
Holtikultura pesisir Potensi Alam
Kelapa dan sukun
-
-
Pasir laut, tambak, dan sungai
Pasir, tambak, dan pantai
Industri
Peternakan sapi TUM, Industri Kapal (PT. Andromeda), dan pupuk Sungai cisadane dan pemancingan Alam
Pabrik skala kecil
Pasir, tambak, minyak bumi, dan pantai Pabrik skala kecil
Wisata Bahari
Wisata Budaya
Cina Benteng dan komunitas betawi pinggiran
Resort Tanjung Pasir23, Taman Penangkaran Buaya, pemancingan, dan pariwisata Pantai Tanjung Pasir Pesta laut dan komunitas betawi pinggiran
Taman mangrove, pemancingan, dan kali buntu
Cina benteng dan komunitas betawi pinggiran
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Di antara kekayaan sosial dan budaya, selain sub kultur Cina Benteng, peninggalan budaya yang menjadi potensi dan perlu dikembangkan kembali adalah batik khas Tangerang. Kekhasan batik asal Tangerang terletak pada ragam ornamen, guratan corak dan dibuat oleh warga di pinggiran pesisir. Kedua, kolaborasi kebudayaan masyarakat Tangerang dengan Tionghoa, misalnya, perlu tetap dilestarikan. Termasuk melestarikan hasil sejarah percampuran kedua kebudayaan ini seperti Klenteng Teluknaga di pesisir pantai utara, wayang potehi, gambang kromong, tarian cokek dan lainnya. Pengembangan kembali potensi ini penting, untuk mengentaskan kemiskinan24, menciptakan keadaban, dan kemandirian masyarakat pesisir Teluk Naga Tangerang. Pesisir Tangerang dalam Transisi dan Tarik-Menarik Kepentingan Jakarta – Banten Potensi sumberdaya alam pesisir Teluk Naga, Tangerang merupakan aset yang memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup masyarakatnya, baik dari aspek ekonomi, sosial, hukum maupun politik. Masyarakat mempunyai kepentingan bahwa masalah ekonomi mereka bergantung pada sumberdaya alam tersebut. Dalam kondisi ini, kontestasi antara pihak-pihak yang terkait terhadap penguasaan sumberdaya alam tak dapat dipungkiri. Negara dalam hal ini, Jakarta begitu berkepentingan terhadap wilayah ini, pun demikian dengan Banten. 23
Menurut sumber dari masyarakat setempat, Resosrt Tanjung Pasir dimiliki oleh TW (Wawancara dengan Irvan Yusna, 20 Juli 2011) 24 Kemiskinan masyarakat Pesisir Teluk Naga, Tangerang dalam kondisi hari telah membuat beberapa ibu rumah tangga nekat menjadi TKI. Setiap tahunnya paling sedikitnya 5 orang warga dari setiap desa di Tangerang bagian Utara berangkat ke Arab Saudi untuk mengundi nasib. Sejumlah warga nekad menjadi tenaga kerja ke luar negeri untuk meraup real. Maklum di kawasan yang terletak di pinggir pantai utara Tangerang ini lapangan kerja minim, apa lagi tingkat pendidikan sebagian warga juga rendah. Sementara, bak gayung bersambut sejak 4 tahun terakhir di perbatasan Teluk Naga – Selapajang, Tangerang Kota, telah berdiri tempat Penampungan TKI. (Pos Kota, 25 November 2010).
35
“Bagai di persimpangan jalan……” frase ini cocok untuk menggambarkan tarikmenarik antara kedua wilayah tersebut. Bila ditelusuri persaingan kedua wilayah sudah berlangsung lama. Secara historis kontestasi politis dan bernilai strategis ini terjadi sejak Batavia (Jakarta kala itu) dan Banten terjadi peperangan. 10 Juli 1659 atas inisiasi Sultan Jambi, terjadi kesepakatan damai yang dilanjutkan dengan perjanjian bahwa tapal batas wilayah Kesultanan Banten dengan wilayah Batavia adalah Sungai Cisadane. Sejak itu, daerah Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane menjadi daerah kekuasaan Batavia, sedangkan daerah Tangerang sebelah barat sungai tetap merupakan wilayah Kesultanan Banten (Ekajati, 2004:91-92). Akan tetapi, kesepakatan batas wilayah kekuasaan di atas tidak bertahan lama. Seluruh daerah Tangerang baik sebelah timur maupun sebelah barat Sungai Cisadane jatuh ke dalam kekuasaan VOC setelah kekuasaan di Kesultanan Banten beralih dari tangan Sultan Ageng Tirtayasa kepada puteranya, Sultan Haji. Untuk mengatur wilayah kekuasaannya secara administratif, pada awalnya VOC menempatkan daerah Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane menjadi sebuah distrik militer dalam wilayah Batavia bagian barat. Wilayah itu dipimpin oleh seorang komandan pasukan serdadu VOC, mengingat relatif belum aman dari serangan musuh dan juga dalam rangka pembinaan masyarakat yang tinggal di pemukiman yang baru terbentuk. Namun setelah keadaan berangsur-angsur tertib, status daerah administrasi pemerintahan Tangerang sebelah timur Sungai Cisadane diubah menjadi sebuah regentschap (kabupaten) di wilayah Batavia (Suryana dkk., 1992: 10,13,54). Konteks historis tersebut menjadi penanda yang tak terpisahkan dari menguatnya episentrum politik kedua wilayah hingga dewasa ini. Menguat lantaran pesisir Teluk Naga, Tangerang menyimpan sumberdaya alam yang melimpah. Pesisir Teluk Naga, Tangerang menjadi akar tunjang perekonomian, locus activity (lokasi pergerakan) perekonomian Banten. Namun, memiliki karakter demografis yang “mendekati” Jakarta, dalam berbagai aspek. Di sinilah dilema itu terjadi, akar tunjang perekonomian ini seperti tak kelihatan. Kekuatan daya kebangkitan yang terkumpul, seperti tersaput oleh Banten dan dikebiri oleh Jakarta. Faktanya, terlihat jelas bahwa aset-aset sumberdaya alam pesisir Teluk Naga, Tangerang dikuasai oleh pengusaha Jakarta. Dari penguasaan atas agraria/pertanahan, industri, hingga pariwisata. Selain itu, puluhan industri berskala kecil dan menengah juga dikuasi mereka. Dengan penguasaan sumberdaya tersebut menjadi cermin bahwa magnet Tangerang lebih mengarah kepada kutub Jakarta. Namun demikian, bukan berarti juga menolak diri atas kekuasaan Banten, karena secara admistratif Pesisir Teluk Naga, Tangerang masih menjadi bagian dari wilayah Banten yang sah. Yang terjadi adalah, pembagian atas sumber daya ekonomi tersebut. Jakarta, menjadi investor dan penanam modal tunggal, sedangkan Banten menjadi penyedia wilayah. Pada titik inilah dibutuhkan pemegang kuasa atau pihak ketiga yang menjadi pengelola, pelestari, penjaga, dan pengontrolnya. Kondisi ini, menempatkan keberadaan jawara sebagai pemeran baru dalam mengisi ruang sosial politik yang strategis dan kaya sumber ekonomis tersebut. Realitas ini menjadikan babak baru yang turut mendorong transformasi Jawara menjadi salah
36
satu lapisan kelas menengah-atas sebagai pengusaha (sejumlah perguron atau perguruan silat bertransformasi menjadi organisasi ekonomi seperti Gapensi dan Kadin) dan penguasa. Transformasi jawara dari “jagoan” praktisi pencak silat menjadi pengusaha, disebabkan jawara mendapat banyak proyek dari pemerintah sebagai bentuk “terima kasih” atas dukungan mereka dalam menjaga stabilitas negara – Orde Baru. Jawara menjadi pengusaha yang sebagian besar berbisnis di proyekproyek milik pemerintah seperti pengadaan lahan, pembangunan jalan dan sebagainya. Ketika rezim Orde Baru runtuh dan Banten menjadi Provinsi, para Jawara dengan modal jaringan dan finansial, menjadi aktor yang paling siap memasuki dan mendominasi arena politik lokal Banten. Sistem demokrasi dan otonomi daerah membuka ruang bagi pembentukan klan politik di Banten, klan politik a la jawara.
Ikhtisar
Konsekuensi logis atas penguasaan aset-aset sumberdaya pesisir dan tumbuhnya elit jawara secara anatomis melahirkan tiga ruang sosial baru. Pertama, penguasa/investor - korporatokrasi pesisir, ditandai oleh dibangunnya kawasan wisata pesisir, taman penangkaran buaya, resort, industri kapal, dan rencana tata kota pesisir. Pada kawasan ini terdapat permukiman penduduk yang berkategori menengah, bawah, bahkan kumuh. Jelas penetrasi negara dan pasar sangat besar di area ini. Kedua, ruang sosial jawara, ruang ini tersegmentasi secara kelas sosial, informal, dan formal. Kedudukan sosial jawara bertransformasi menjadi elitis, penguasa desa lantaran posisi stategisnya sebagai pemegang hak kuasa atas investasi para pengusaha atau pemilik modal. Ketiga, Pada aras yang lebih mikro, secara bersamaan muncul juga ruang “kontestasi wong cilik”. Hal tersebut mereka lakukan pada arena “sisa”, antara ruang yang dikelola negara-korporatokrasi dan elit jawara. Mereka misalnya, coba mencari nafkah sebagai nelayan pinggir, buruh tambak, buruh pabrik, dan pesuruh. Mereka yang tidak terserap pada kategori ini memilih menjadi TKI, karena Negara menyediakan alternatif ini. Sebagian yang lain menduduki secara ilegal tanah negara, tanah timbul/garapan – tanpa sertifikat. Misalnya terjadi pada masyarakat Kampung Garapan, Tanjung Pasir dan masyarakat Kampung Beting, Tanjung Burung. Inilah paradoksal masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang, berwatak politis, sosial ekonomis dan strategis. Sungguh pun terjadi pergeseran sosiospasial yang signifikan, pondasi awal kawasan ini selayaknya dilihat sebagai keberlanjutan hal yang sama sejak era kolonial. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa struktur sosio-spasial pesisir Teluk Naga, Tangerang merupakan kelanjutan pesisir Jakarta yang memiliki karakter post-kolonial.
37
MELACAK PEMBENTUKAN TRADISI KEJAWARAAN DI TANGERANG: Dialektika Budaya Banten-Betawi-China
Pengantar
Melacak akar istilah jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang secara historis bukan perkerjaan studi yang mudah. Tantangan terberatnya adalah peneliti harus mampu membongkar literasi “history” atau “geschiedenis” yang membutuhkan ketekunan dan ketelitian. Instrumen sejarah perlu dibentangkan agar satu demi satu informasi yang diharapkan dapat ditampilkan. Signifikansinya tentu bahwa penulisan sosio-historis jawara pesisir dapat menjadi khasanah di tengah kekosongan studi tentang jawara pesisiran. Untuk itu, pembahasan pada bagian ini menjadi parameter penting untuk diketengahkan sebagai ruang pengetahuan dan diskusi keilmuan sosial. Pada bagian ini akan dibahas mengenai (1) konteks sosio-historis jawara pesisir; (2) silat pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi; (3) tradisi-tradisi jawara pesisiran; dan (4) kedudukan dan jaringan sosial jawara pesisir pra otonomi – desentralisasi.
Konteks Sosio-Historis Jawara Pesisir
Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang adalah masyarakat yang multikultural. Setidaknya ada tiga kultur yang dominan yaitu pertautan antara kultur Banten, Betawi, dan China. Ketiga kultur tersebut memberi sumbangsih warna kejawaraan di pesisir Teluk Naga Tangerang hingga menyediakan cetak biru keturunan-keturunan jawara hari ini. Sketsa identitas sosial kejawaraan tersebut, bila ditelusuri kebelakang mulai terbentuk dan melembaga sejak awal abad ke-19. Pada masa ini di daerah Banten, Betawi, Tangerang dan sekitarnya terus-menerus dilanda perlawanan, kerusuhan sosial, dan pemberontakan rakyat terhadap penjajah Belanda. Dalam keadaan seperti itu, para pemimpin perlawanan secara mutlak harus memiliki kekuatan fisik, pandai bela diri “maenpukulan” atau pencak silat, dan memiliki ilmu kesaktian, mereka itulah para jawara 25 (Suhartono, 1995: 4; Sunatra, 1997: 180-181; Shahab, 2002: 1).
25
Menurut Abdur Rozaki (2004: 9) terdapat berbagai istilah dalam penyebutan orang kuat lokal, di Banten dikenal dengan istilah jawara-Banten, di Madura ada “Blater“,di Jawa pada umumnya disebut “Bandit“ atau “Kecu“,di Sumatera Utara dikenal dengan sebutan “preman”, di Jakarta ada jagoan-Betawi, dan di Bali dikenal dengan istilah pecalang . Semua istilah ini merujuk kepada satu kata yaitu “jagoan” atau “champion”. Menurut Ong Hok Ham (2002: 102) pada masa prakolonial organisasi jago merupakan satu-satunya alat penguasa. Bahkan seorang Raja seringkali dinisbatkan pada sosok seorang jago, meskipun ia harus memiliki wahyu kedaton sebagai legitimasi. Tapi dalam praktik kekuasaan politik seorang penguasa diukur dari jumlah kekuatan yang dimiliki dan raja tidak lain adalah seorang jago.
38
Istilah jawara bagi masyarakat pesisir Teluk Naga Tangerang berangkat dari istilah potong letter26 lidah natif Betawi yaitu juware atau juara27 yang tidak terkalahkan dalam hal bela diri “maenpukulan” atau pencak silat. Nama-nama seperti Ki Puun dan Ayub bin Sa‟ari atau yang lebih populer dengan panggilan Ayub dari Teluk Naga adalah dua legenda Jawara Pesisiran, Tangerang. Keduanya mewakili prototipe jawara pejuang di garda terdepan bersama rakyat dalam melawan Belanda dan Tuan Tanah. Box 5.1 Cerita Heroik Ayub dari Teluknaga Ayub dari Teluk Naga Jero adalah jagoan Pasar Ikan yang sedang ngamuk hingga membuat seisi kampung Teluk Naga dibuat kalang kabut. Jero dilaporkan kepada Meneer Marsose. namun sebelum kaki tangan Meneer datang, Jero yang ingin mengganggu Nyi Dimah berhasil dilumpuhkan terlebih dahulu oleh Ayub. Setelah Jero menyerah, datanglah anak buah Wan Abud, Betok dan Kaisan. Keduanya menangkap Jero dan menyerahkannya pada Tuan Fran De Break seorang Meneer Marsose. Betok dan Kaisan mengarang cerita bahwa dirinyalah yang mampu melumpuhkan Jero sehingga Wan Abud (Tuan Tanah Teluk Naga) dan Meneer Marsose merasa senang. Akhirnya Jero pun dimasukkan ke dalam sel. Sementara kalahnya Jero oleh membuat penasaran para jagoan di kampung tersebut. Ayub adalah seorang yatim piatu yang sejak kecil ikut Koh Asiong, dan di ajarkan ilmu silat Kun Tao hingga dewasa. Ketika Koh Asiong pulang ke negeri leluhurnya di tanah Tiongkok, Ayub diserahkan ke saudara angkatnya Koh Asiong yaitu Nyi Dimah dan dijadikan anak angkatnya. Ayub di ajarkan ilmu bela diri Seliwa, Beksi, dan juga belajar mengaji oleh suami Nyi Dimah. Suatu hari Ayub disuruh Nyi Dimah memetik kelapa di kebon, namun tiba-tiba dikejutkan oleh teriakan seorang perempuan yang meminta tolong karena hendak di perkosa oleh Tatang dan kawan-kawan jagoan dari Pintu Air. Ayub mampu menyelamatkan perempuan tersebut dan mengantarkan ke pulang. Perempuan tersebut adalah Rogayah. Sementara itu di penjara Marsose, Jero akhirnya bebas. Dalam perjalanan pulang, Jero bertemu kembali dengan Ayub. Jero ingin membalas dendam, namun sayang akhirnya ia juga kalah lagi. Sumber: Sinopsis Film, 1979
Selain Ayub, nama jawara pembela rakyat yang juga cukup dikenal adalah Kaiin bapak Kayah. Lahir pada 1884 di Kampung Pangkalan, Tangerang, sejak kanak-kanak Kaiin termasuk pendiam dan taat kepada kedua orang tuanya. Dia 26
Varian dalam bahasa Betawi untuk mempercepat pengucapan atau penuturan suatu kata, dalam konteks ini kata jawara dituturkan menjadi juware atau juara. 27 Jika istilah jawara pesisir Teluk Naga Tangerang dipersamakan dengan istilah jagoan “jago” yang menurut Ridwan Saidi (2007: 43) merupakan kata pinjaman (loanword) dari bahasa Portugis “Jogo” berarti “champion” atau juara, maka istilah ini sudah dikenal sejak abad ke-16 ketika Portugis berkuasa di Malaka dan Sunda Kelapa (Shahab, 2002:1). Versi lain, menurut Robert Bridson Cribb (1990: 30) sejak tahun 1620 belanda sangat rajin menghadiahkan tanah kepada abdi, sahabat, dan pendukungnya. Dari sinilah kemudian lahir feodalisme, tuan tanah yang berimbas kepada lahirnya para centeng/jawara atau jagoan yang menjadi abdi tuan tanah. Sementara itu, menurut Irwan Sjafe‟i (dalam Sahab, 2002: 1) pada abad ke-19 yang disebut jago betawi adalah semacam jawara kampung yang menjadi palang dada atau benteng penghalang orang yang datang dari luar dan mencoba mengganggu keamanan kampung. Para jawara tersebut, biasanya menggunakan senjata golok yaitu golok betok dan golok ujung turun.
39
belajar mengaji sambil belajar main pukulan (silat) dan kesaktian. Tanggal 10 Februari 1924 ia memimpin pemberontakan melawan Tuan Tanah28 Kampung Pangkalan, Kampung Melayu, Teluk Naga dan Tanah Tinggi (Shahab, 2008). Box 5.2 Beberapa Mantra Jawara Mantra kekebalan (senjata tajam) Alloh ya Rosululloh terang hirup……. (sebutkan namanya) Diraksa Alloh moga djauhkeun balai-balaina jangan sampai terjadi di manamana Alloh ya Rosulullah segala segali sakti bumi ……… (sebutkan namanya) Minta saciduh metu seucap nyata asal rapet kudu rapet……. (sebutkan namanya) Tetep lempeng nyembah ke Alloh sareng taat ke rasululloh Mantra braja musti (pukulan berapi) Golok tapel braja musti Aku bernama sitengan besi guluntungan Sing digenggam remek remuk Remek remuk kulunapsin djaikotul maut Sumber: Wawancara dengan Kong Sabu, 24 maret 2012
Sementara itu, Qosim ”Macan Sepatan” dan Tatang ”Jawara Pintu Air”, menjadi protipe jawara yang menjadi pembela Tuan Tanah dan Belanda. Mereka bekerja sebagai pengumpul pajak (debt collector), mengawasi kerja rodi, dan menjadi kepanjangan tangan para Tuan Tanah (bandingkan dengan Onghokham, 1981). Citra negatif jawara tersebut terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Umumnya, masyarakat memandang bahwa jawara itu memiliki sifat yang buruk. Mereka selalu ingin menang sendiri dan untuk mewujudkan keinginannya itu, mereka melakukannya dengan kekerasan fisik, mereka juga dikenal tukang kawin, dan berperilaku destruktif. Buruknya citra jawara mendorong sebagian besar jawara berupaya untuk mengembalikan citra positif kaum jawara, seperti dengan membangun slogan jawara pelindung masyarakat pedesaan, patuh kepada kaum ulama, dan membangun kelembagaan afiliasi jawara dan santri. Contohnya, membentuk ormas gabungan sejenis “Kaisar” (kiayi, santri, dan jawara) se-Pantura, Tangerang.29 Konteks keberadaan jawara atau juware dalam natif betawi seperti dijelaskan di atas, bila dikaji dari asal-usul sosialnya dengan mengacu pada sistem 28
Pada jaman partikelir, lahan persawahan mayoritas dimiliki Tuan Tanah Cina. Sampai awal abad 20, tanah partikelir Tangerang dan daerah sekitar Batavia dikuasai oleh 304 tuan tanah. Banyaknya jumlah Tuan Tanah itu, menurut Kartodirdjo (1984) menunjukkan bahwa daerah Tangerang adalah salah satu daerah pusat pemilikan partikelir di tanah Jawa. Praktek tidak manusiawi yang terjadi di tanah partikelir seperti cuke, contingenten (penyerahan hasil panen yang berlebihan), termasuk heerendiensten (kerja bakti), dan hoofdgeld belasting (pajak kepala) mengakibatkan makin buruknya kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Sistem ini terus berlangsung hingga tahun 1942 (Ekadjati, 2004). 29 Kaisar merupakan Ormas gabungan “kiayi, santri, dan jawara” yang didirikan tahun 2006 oleh KH. Zaki Mubarok. Kaisar bertempat di Desa Muara, Teluk Naga Tangerang. Selain sebagai ormas kaisar juga mengajarkan silat sejenis Tjimande dan Seliwa.
40
ekologis pesisir Teluk Naga, Tangerang, maka tak bisa dilepaskan dengan ekosistem pesisir. Pesisir, dengan area lahan yang sangat sedikit, tandus, gersang, dan tidak produktif untuk sistem pertanian.30 Kondisi ini diperparah pula oleh adanya curah hujan yang sangat terbatas membuat masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam kondisi kemiskinan dan ketertinggalan. Selain itu, karakter kolonial dan kehidupan jaman partikelir juga turut andil dalam men-support sebagian kaum jawara untuk bekerja sebagai tukang pukul, centeng, perampok, dan pemeras rakyat. Sebagai pembenaran, kondisi ini ditengarai sebagai bagian dari strategi bertahan kaum jawara akibat kemiskinan dan penjajahan yang telah berlangsung lama dan berurat-berakar. Dalam kondisi ini, karakter religius masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kultur keislaman Banten – Betawi yang kuat, seolah “terbelah” oleh kondisi basis material ekologis ini. Sebab, dalam konteks sosioekologis, tidak semua orang atau masyarakat di pesisir “terserap” ke dalam wacana dan ritual keagamaan yang dibawa oleh kiai sebagai agen sosial di desa. Jawara, yang menurut Tihami (dalam Hudaeri, 2002; lihat juga Kartodirdjo, 1984). merupakan kelompok sosial yang dilahirkan dari pesantren juga tak luput dari dinamika sosial ini.31 Dalam dinamika ini, struktur ekologi pedesaan pesisir juga melahirkan proses sosiologis yang tidak selalu merujuk pada keberagamaan yang dikembangkan oleh para kiai. Sebab, dalam realitas berikutnya muncul proses sosial lain yang dibangun oleh basis sosial lainnya yakni kaum jawara – di sinilah awal “perpisahan” jawara dan kiayi. Bila di masa awal pembentukan identitas kejawaraan ini, dilatari oleh ekspresi spontanitas untuk mengatasi problem hidup akibat kondisi kemiskinan dan penjajahan, maka pada tahap perkembangan selanjutnya identitas kejawaraan mengalami fase ideologisasi. Dalam arti, dengan menjadi jawara atau juware/juara dapat memberi jalan guna mengatasi kesulitan hidup yang menghimpitnya. Dengan menjadi jawara dan bergabung dengan kelembagaannya (peguron) dapat membangun previlage diri sebagai „pendekar‟ atau jagoan yang disegani di 30 Gambaran tidak produktifnya lahan pertanian di pesisir Teluk Naga, Tangerang dapat dilihat dari asal-usul penamaan Tegalangus yang berarti“tegalan yang hangus”, “kering kerontang”. Tegalangus saat ini adalah salah satu desa di Kecamatan Teluk Naga. Dahulu desa Tanjung Pasir merupakan bagian dari desa tersebut, sebelum akhirnya dimekarkan menjadi desa mandiri. 31 Tihami mengungkapkan: “Kyai sejak zaman sultan dulu punya murid yang belajar ngaji sama Kyai. Di antara muridnya itu ada yang punya angleh (bakat) pada ilmu pengetahuan agama. Tapi, ada juga di antara murid Kyai yang punya bakat pada kecenderungan yang bernuansa kejuangan. Lalu pada akhirnya yang cenderung pada ilmu agama itu namanya Santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa hikmah (magi) adalah Jawara. Dua-duanya murid Kyai. Oleh karena itu, Santri disebut pembela agama, kalau Jawara bertindak dalam perjuangan kemerdekaan dan perjuangan lain. Jadi, Kyai mempunyai dua pasukan kekuatan, yaitu Santri dan Jawara. Jawara ini, meskipun kecenderungannya mempunyai kekuatan fisik, tetapi karena murid Kyai, maka diisi dengan yang disebut ilmu hikmah. Jadi Jawara itu bukan hanya memiliki kekuatan lahir, tapi juga kekuatan batin. Santri, mengandalkan ilmu agama, tetapi ia juga ikut berjuang bersama kiai. Karena itu, ia juga harus punya kemampuan mempertahankan fisik, meskipun porsinya kecil dibandingkan Jawara, tetapi kekuatan hikmahnya besar. Jawara kekuatan hikmahnya lebih kecil ketimbang santri. Kekompakan Santri dan Jawara di bawah pimpinan kyai inilah sebetulnya kunci kemenangan dalam memperjuangkan masyarakat Banten. Pada waktu dulu, kemudian pada kurun berikutnya, kalau saya baca di tulisan orang Belanda, ada semacam perpecahan.” (Mansur, 2000: 269-270).
41
desanya. Pun demikian, hal ini pada gilirannya dapat membangun kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan dengan bekerja sebagai nelayan, buruh tambak, buruh tani dan sejenisnya yang tidak memberikan penghasilan yang mencukupi. Seperti dijelaskan sebelumnya, berbagai bentuk kesulitan dan keprihatinan hidup masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang saat jaman penjajahan, tidak saja karena kondisi sistem ekologis pesisiran yang kurang memberikan keuntungan ekonomis. Akan tetapi, juga diakibatkan oleh struktur kekuasaan penjajah Belanda dan Tuan Tanah yang tidak mempedulikan kondisi hidup masyarakatnya. Masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang sejak masa lalu secara turun-temurun mengalami eksploitasi oleh „kekuasaan bersaudara‟, yakni penjajah Belanda yang menjalankan birokrasi kekuasaan dengan Tuan Tanah yang kerap kali memeras secara ekonomi, fisik, dan psikologis masyarakat. Proses feodalisasi yang berlangsung di Teluk Naga, Tangerang ini semakin memarginalisasikan penduduk desa, sebaliknya memberikan keuntungan pada pihak Belanda dan Tuan Tanah. Dalam kondisi demikian, tidak jarang muncul pemberontakan sepihak dari golongan rakyat, melalui kaum jawara yang memiliki jiwa kepahlawanan. Seiring berjalannya waktu pemberontakan, kekerasan, bahkan pembunuhan, pencurian, perampokan dan pembakaran terutama yang digerakkan oleh kaum jawara kepada Tuan-Tuan Tanah di Tangerang mulai marak. Pemerintah kolonial tentu sangat gelisah dengan kondisi tersebut, untuk mengatasinya Belanda memerintahkan para jawara yang bekerja kepada mereka dan tuan tanah. Menangkap jawara dengan jawara, itulah strategi yang paling sering digunakan pihak penjajah Belanda. Hal itu dilakukan karena pemerintah kolonial tidak cukup mampu menerapkan tertib hukum. Bahkan pemerintah kolonial Belanda memanfaatkan para jawara pendukungnya sebagai alat pengintai (informan) yang membuat eksistensi “jawara” seolah terlindungi oleh kekuasaan formal yang ada. Saling tukar menukar jasa untuk penguatan masing-masing kekuasaan yang dimiliki secara tidak langsung merupakan bentuk saling mengakomodasi kekuasaan yang dimilikinya. Dengan demikan, eksisnya entitas sosial jawara inheren dengan lemahnya institusionalisasi dan penegakan hukum secara adil di masyarakat. Bertemunya realitas sosio-kultural masyarakat dengan struktur kekuasaan negara yang saling mengakomodasi unsur-unsur kejawaraan yang destruktif membuat entitas kejawaraan memiliki elastisitas, kelenturan sehingga dapat hadir di berbagai posisi kultural dan struktural. Terkait konteks tersebut, asal usul sosial kejawaraan di Teluk Naga, Tangerang ini, sangat terkait dengan struktur ekologis dan gerak sosiologis masyarakat dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya. Tumbuhnya entitas sosial jawara sebagai suatu kekuatan sosial masyarakat, terutama di kawasan pedesaan dengan demikian merupakan produk dari pergumulan sosiologis masyarakat tersebut. Pada perkembangan dewasa ini, pemaknaan citra jawara dalam konstruksi sosial masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut tak lepas dari dinamika politik dan konteks historis yang melingkupinya. Bila dipetakan setidaknya ada lima konstruksi sosial jawara saat ini, yaitu: (1) jawara struktural/bentukan, (2) status asli/kultur; (3) persepsi subyektif; (4) simbol; dan (5) psikologi mitos.
42
Tabel 5.1 Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena diciptakan untuk menjaga stabilitas wilayah Centeng, Keamanan atau security informal, bodigard lurah/kepala desa Kelas Bawah Pragmatis Mengikut kepada Boss/Tuan Negatif-Positif Negara dan corporate
Tabel 5.2 Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena equel dari sistem sosial budaya masyarakat Juara kampung/jago, jaro atau kepala dusun Kelas Menengah Transformatif Memihak rakyat Positif Civil society
Tabel 5.3 Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya atribut subyektif yang disematkan kepada seorang jawara Orang yang ingin kesohor, berwatak sompral, gengsi sosial tinggi, pandai bergaul dengan komunitas jawara. Kelas Bawah-Menengah Pragmatis Memihak kepentingan Negatif Negara
Tabel 5.4 Konstruksi jawara atribut/simbol Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya atribut/simbol yang menunjukkan nilai kejawaraan Banyak istri, suka main judi dan sawer, bisa berantem/silat, memiliki magic Kelas Bawah-Menengah Pragmatis Memihak kepentingan Negatif Negara-Korporate
Tabel 5.5 Konstruksi jawara psikologi mitos Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya mitos kejawaraan yang diturunkan melalui kharisma kekuatan dari orangtua dan guru. Keturunan elite jawara, orang kuat lokal yang memiliki status, Kelas Menengah-Atas Pragmatis-Populis Memihak kepentingan, elitis Positif Negara-Korporate
Sumber: Diolah dari Data Lapangan, 2010-2012.
43
Kelima konstruksi jawara di atas merupakan pergeseran pemaknaan jawara secara empirik dalam pandangan masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang. Seperti ditengarai diawal pergeseran tersebut, erat kaitannya dengan dinamika politik, struktur ekologis, dan gerak sosiologis masyarakat pesisir dalam merespon kondisi sosial yang dihadapinya.
Silat Pesisir: Tjimande, Seliwa, dan Beksi
Silat secara sosiologis adalah salah satu wujud identitas kejawaraan. Di samping itu, silat juga menjadi simbol dokrin perjuangan jawara – “bela diri, bela bangsa, dan bela negara”. Silat pesisiran Teluk Naga Tangerang memiliki karakter yang khas, karena mengalami akulturasi dengan budaya Betawi dan China. Budaya Banten tetap ada, walaupun tidak dominan. Setidaknya ada tiga aliran silat yang cukup membumi di pesisir Teluk Naga yaitu Tjimande, Seliwa, dan Beksi. Silat Tjimande berasal dari Kebon Djeruk Hilir, Bogor. Silat ini banyak dikembangkan di daerah Bogor dan Banten. Tjimande memiliki 5 aspek dalam maenpo (pencak silat Sunda) yaitu aspek olahraga, seni budaya (tradisi), bela diri, spiritual dan pengobatan. Menurut Wahyudin (Wakil Sekjen TTKKDH)32, Tjimande banyak dilatih di kampung-kampung. Tak terkecuali di pesisiran Teluk Naga Tangerang (Wawancara, 24 April 2011). Sementara itu, aliran seliwa mengandalkan ketangkasan bermain golok. 33 Sebab, pelajaran untuk peguasaan golok adalah yang utama. Namun demikian, pada tahap awal seorang pemula akan diajarkan terlebih dahulu ilmu tangan kosong beberapa jurus, sebagai dasar dari permainan Golok Seliwa. Setelah menguasai jurus tangan kosong, sang murid baru diperbolehkan memegang golok dalam berlatih. Jurus Seliwa terdiri dari 6 pohon (pu’un), 6 jurus kembang, dan 1 jurus gabungan. Di dalam jurus-jurus tersebut terdapat cara memegang senjata pada berbagai posisi, mencabut golok dari sarungnya, cara memutar, melipat, menyerang, berpindah tangan, dan memulangkan kembali golok ke sarungnya tanpa melihat proses ini dengan pandangan mata. Itulah silat golok seliwa. Lain halnya dengan beksi34, silat khas China ini, gerakan dan jurusnya murni kekuatan fisik dan kecepatan berpikir untuk melumpuhkan musuh. Menurut Bapak Enyon (65), guru silat beksi, Tanjung Burung:
32
Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir, merupakan salah satu organisasi massa terbesar di Banten, dan menyebar ke berbagai wilayah di Indonesia. Ketua Umum TTKKDH saat ini adalah H. Maman Rizal. Sementara kantor Pusat TTKKDH berada di Serang, Banten. 33 Secara historis silat aliran seliwa telah dipergunakan sejak lama oleh orang betawi. Guru pertama seliwa adalah Satim dari Tigaraksa, Tangerang yang melarikan diri ke Jakarta dengan menggunakan rakit melintasi saluran sungai mookervart (sungai buatan yg dibangun tahun 1681, berupa sebuah kanal yg menghubungkan sungan cisadane dan kali angke). Lihat Irvan Setiawan, “Silat Betawi Tempo Dulu dan Sekarang” dalam Jurnal Penelitian Vol. 40 No. 1 April 2008. 34 Silat Beksi merupakan hasil akulturasi budaya China dan Betawi pesisir. Silat Beksi diciptakan Lie Cheng Oek, warga keturunan China yang tinggal di Kampung Dadap, Teluk Naga Tangerang, Banten.
44
Istilah Beksi berasal dari bahasa China yaitu “bek” berarti pertahanan dan “si” berarti empat. Sehingga Beksi berarti empat pertahanan. Dalam Beksi ada ada 9 formasi, 12 jurus dan 6 jurus kembangan yang harus dikuasai setiap jawara pesilat (Wawancara, 20 April 2012).
Lanjutnya, silat aliran Beksi ini adalah aliran silat yang paling berat dan tertutup untuk umum. Latihannya pun dilakukan pada pukul 19.00 sampai 01.00 dini hari, setiap harinya. Aliran silat beksi memiliki 12 tingkatan, di mana tiap tingkatan memiliki kerumitan gerakan tersendiri. Karena aliran ini merupakan aliran silat yang cukup sulit, maka banyak murid dari Enyon (65) yang tidak sampai pada tingkat 12. Jika ada 20 murid, hanya 2 sampai 3 orang yang bisa sampai pada tingkat 12. Rata-rata muridnya hanya bertahan pada tingkat 1, 3 atau 5. Hal ini disebabkan mereka tidak serius dalam berlatih baik secara mental maupun fisik. Jurus-jurus dalam aliran silat beksi antara lain, janda berias (menyisir rambut), jandu renda (menggunakan tenaga dalam), dan teripang (seperti hewan laut teripang yang tak tahu ujungnya, antara kepala dan buntut serupa), bandrong (gerakan yang menggunakan kaki), jurus tancep (untuk melawan musuh), rompes (gerakan dengan menggunakan kepala, tangan, dan kaki), nunjang pisang (pukulan yang paling keras). Selain menggunakan kekuatan fisik, silat juga membutuhkan kekuatan magic untuk lebih melindungi pesilatnya, sang jawara. Di samping ketiga aliran tersebut, di pesisir Teluk Naga juga terdapat sebagian kecil jawara silat Trodon. Masing-masing aliran silat ini mempunyai ciri gerak dan keampuhannya dalam memberikan dampak luka kepada lawannya. Sejarah mencatat, bagaimana para jawara masa lalu dan kini disegani lantaran kemampuan “maenpukulnya” dan kesaktian yang dimiliki. Artinya silat dan jawara bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Silat merupakan salah satu instrumen yang mengantarkan jawara sebagai entitas sosial yang mempunyai pengaruh kuat di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Epistemologi khas Jawara seperti gertak ancaman, main pukul, perang urat syaraf, dan selesai oleh upeti, tak akan berpengaruh, bagai “macan ompong”, tanpa kemampuan bermain silat dan kesaktian. Di sinilah silat menjadi since quanon vision bagi jawara, atribut kekuasaan, dan imagology yang, bahkan secara politis menjadi dimistifikasikan sebagai simbol kharisma, politik pencitraan, dan identitas ketokohan yang merujuk pada kedigdayaan dan kesaktian seorang jawara. Dialektika silat kemudian menjadi penanda perilaku politik jawara, hingga jawara desa. Dikemas secara menarik, tetapi sama sekali tak meninggalkan praktek-praktek pembenar kekuasaan yang sudah lazim.
Tradisi-Tradisi Jawara Pesisiran
Eksistensi kejawaraan merupakan produk pergumulan sosiologis masyarakat. Untuk melanggengkannya ia ditopang oleh tradisi-tradisi yang dikembangkan. Selain silat, tradisi kejawaraan pesisiran Teluk Naga, Tangerang
45
ialah hiburan cokek.35 Cokek merupakan hiburan khas masyarakat pesisiran perpaduan etnis China dan Betawi yang disukai para jawara sejak awal abad ke-19 hingga saat ini. Cokek berasal dari bahasa Hokkian, Cio Kek yang berarti penari wanita. Para penari cokek berdiri berjejer sambil menari mengikuti irama gambang kromong. Penari cokek mengajak tamu untuk menari bersama secara berpasangan dengan berhadap-hadapan. Bila tamu tersebut bersedia ikut menari, maka mulailah mereka ngibing. Ngibing inilah yang sangat disukai para jawara. para jawara biasanya ngibing sambil minum tuak (dan sejenisnya) dan nyawer. Gambar 5.1 Tarian cokek diiringi Musik Gambang Kromong
Sumber: Koleksi Pribadi
Sepintas, bila diamati lebih mendalam tarian cokek memiliki persamaan dengan sintren dari Cirebon atau sejenis ronggeng di Jawa Tengah. Tarian ini dalam beberapa aspek mengundang keerotisan para penarinya, hal inilah yang kemudian masih dianggap tabu oleh masyarakat. Berikut ini beberapa grup musik gambang kromong – tari cokek yang masih eksis di Teluk Naga, Tangerang. Tabel 5.6 Grup Musik Gambang Kromong Pesisir Teluk Naga No. 1. 2. 3. 4.
Nama Grup Naga Sakti Sinar Rembulan Shinta Nara Cahaya Mustika
Pemimpin/Pengurus Teng Suek (Alm) Mamat Koh Wie Tiang Picis dan Sabar
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012. 35
Dalam beberapa keterangan cokek berasal dari Teluk Naga, Tangerang. Menurut versi ini, pada saat itu, daerah Tanjung Kait dikuasai oleh tuan tanah bernama Tan Sio Kek. Tan Sio Kek mempunyai sebuah kelompok musik. Pada suatu hari, datang tiga orang bercocing, yaitu rambut yang dikepang satu. Diduga berasal dari daratan China. Ketiga orang ini membawa tiga buah alat musik yaitu, Tehiyan, Su Khong dan Khong ahyan. Ternyata ketiga orang itu juga mahir bermain musik. Ketika malam tiba, ketiga orang tersebut berkenan memainkan alat-alat musiknya. Tiga alat musik yang mereka bawa itu kemudian dimainkan bersama-sama alat musik kampung yang dimiliki oleh grup musik milik tuan tanah Tan Sio Kek. Dari perpaduan bunyi berbagai alat musik yang dimainkan oleh para pemusik tersebut, lahirlah musik Gambang Kromong. Sedangkan para gadis yang menari dengan iringan irama musik itu, kemudian disebut sebagai cokek, yang diartikan anak buah Tan Sio Kek (Ruchiyat, 2003).
46
Selain tarian cokek yang diiringi musik gambang kromong, tradisi hiburan jawara pesisir Teluk Naga dewasa ini, ialah hiburan “Orgen Tunggal dan “Dangdut”.36 Dalam penampilannya orgen tunggal maupun dangdut sering diikuti dengan acara joget dan saweran oleh kaum keturunan jawara, tokoh masyarakat, atau elit desa. Hal ini menjadi penanda bahwa hiburan cokek, dangdut, dan orgen tunggal erat kaitannya dengan pesta-pesta hiburan yang erotis. Dalam skala kecil hiburan “Layar Tancap” juga masih menjadi pilihan alternatif sebagian kecil masyarakat pesisiran Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara. Semua tradisi dan hiburan tersebut ditampilkan dalam acara-acara besar dan pesta hajatan/perkawinan yang sangat massif dilakukan oleh masyarakat pesisiran Teluk Naga Tangerang. Menurut Lepai (salah satu ketua umum grup kondangan di Teluk Naga) kegiatan pesta hajatan/perkawinan di tiga desa penelitian massif dilakukan, terutama setiap akhir pekan, Sabtu dan Minggu. Sedikitnya ada 15-20 keluarga yang melakukan pesta hajatan/perkawinan setiap minggunya. Menurut Lepai, karena banyaknya jumlah keluarga yang menyelenggarakan pesta hajatan/perkawinan, maka untuk memudahkan menjangkau semuanya dibuatlah grup kondangan di setiap desa, sebagai bentuk ikatan solidaritas grup dan mobilisasi massa.37 Berikut ini disajikan grup-grup kondangan yang terdapat di Tanjung Burung, Tanjung Pasir, Muara dan desa lainnya di Teluk Naga, Tangerang. Tabel 5.7 Grup Kondangan No. Nama Grup Pemimpin/Pengurus Paguyuban Aristanada Calon 1. Famili 2 Nisur Cs 2. Muara Bersatu Naji 3. Muara Awal Setia Sumarno Juta 4. Putra Pantai Nasan 5. Elang Laut Mdr. Masin Goak 6. Putra Cisadane Kusum 7. Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Alamat Muara Muara Muara Muara Muara Tanjung Pasir Tanjung Burung
Massifnya penyelenggaraan pesta hajatan tidak hanya semata wujud ikatan tradisi, namun juga adanya kepentingan kapital. Tradisi hajatan memiliki kepentingan uang. Untuk melaksanakan prosesi tersebut masyarakat rela meminjam uang, menggadaikan apa yang dimiliki, serta menjual harta keluarga. Timbulnya hutang, hidup dalam pas-pasan menjadi konsekuensi logis dari penyelengaraan hajatan. Akhirnya terbangun image bahwa hajatan adalah sebuah fiesta-extravagansa berlebihan yang lebih mengarah kepada tradisi hura-hura dan pesta pora. Ironisnya, hal ini terjadinya di tengah realitas sosial-ekonomi masyarakat pesisir yang senantiasa miskin dan marginal – the poorest on the poor.
36
Tradisi jawara yang memiliki ekses negatif dalam kehidupan sehari-hari di pedesaan Banten, selain saweran dalam hiburan cokek dan dangdut, juga masih didapati ramainya sabung ayam, ajang judi dadu dan main kartu. 37 Wawancara dengan Guru Lepai, di kediamannya pada tanggal 20 Maret 2012, pukul 13.0015.00.
47
Gambar 5.2 Potret Pesta Hajatan di Pedesaan
Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2012.
Kondisi ini secara sosiologis membuka ruang tumbuh suburnya eksistensi kejawaraan pesisir. Tradisi hajatan menjadi lokomotif untuk menguatkan kekuasaan, konsolidasi politik, dan membangun jaringan jawara pesisiran. Arena hajatan mengukuhkan peran signifikan elit jawara dalam mengontrol dan mengendalikan kondisi sosial masyarakat pesisir. Namun sebaliknya, menjadikan masyarakat semakin terpuruk, marginal, dan tak berdaya. Selain itu, massifnya hajatan di pesisir Teluk Naga, Tangerang menyebabkan tinggi angka putus sekolah, pernikahan dini, dan perceraian. Kondisi ini dapat dianoligikan seperti “sudah jatuh tertimpa tangga pula…..”, itulah frase yang tepat untuk mengungkapkan keterpurukan masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang. Meminjam bahasa Onghokham (2002: 102), dialektik problem kesejahteraan masyarakat menisbatkan kekuasaan legitimit bagi jawara – dalam logika ini, sosok jawara tidak lain adalah seorang superjago dalam teater kehidupan masyarakat pesisir. Kedudukan dan Jaringan Sosial Jawara Pesisir Pra Otonomi – Desentralisasi
Kedudukan dan peran sosial jawara tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari adanya hubungan emosional yang melekat, yakni melalui jalur kekerabatan38, hubungan 38
Relasi kekerabatan secara historis mengukuhkan dan menjadikan jawara memiliki modal sosial yang besar. Dengan demikian modal-modal kekuasaan jawara dapat dikonversikan satu dengan yang lainnya supaya tetap kompatibel dan adaptif dengan berbagai situasi dan kondisi zaman. Selain itu, kuatnya jalur hubungan kekeluargaan/kekerabatan secara politik menjadi penanda semakin menguatnya politik kekerabatan trah jawara. Menurut banyak kalangan hal ini dikatakan sebagai gejala “neopatrimonialisme” (Varma, 2007). Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit system, dalam menimbang prestasi. Kini disebut neopatrimonial, karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. "Dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural," Anak atau keluarga para elit masuk
48
guru-murid (seguru; seelmu) dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Ketiganya turut membentuk kekuatan jawara pesisir Teluk Naga. Selain itu, secara lokalitas kuatnya jaringan jawara pesisir Teluk Naga juga tak lepas dari faktor pertautan nilai budaya Banten, Betawi, dan Cina; kepercayaan (trust); dan eklektisisme39 yang muncul seiring perkembangan kejawaraan di pesisir Teluk Naga. Ketiga ciri khas itulah yang belakang membuat jawara pesisiran menjadi kekuatan baru sebagai elit formal dalam struktur sosial masyarakat Teluk Naga. Gambar 5.3 Faktor-Faktor yang Mempersatukan Jaringan Jawara Pesisir Teluk Naga dan Banten Kekerabatan
Seguru-Seelmu
Organisasi Massa
Nilai Budaya
Trust
Eklektisisme Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Kedudukan dan kekuasaan jawara yang diperoleh saat ini, secara sosiologis melalui berbagai proses periodeisasi sebagai penanda eksistensi kejawaraan (lihat tabel 5.3. tentang kedudukan jawara). Tabel 5.8 Kedudukan dan Peran Jawara di Pesisir Tangerang Aspek Status Sosial
Peran
Era Kolonial dan Orde Lama The rulled class
Patron petani dan nelayan; pejuang rakyat bersama para santrikiayi; centeng-centeng perkebunan, dan pemimpin tradisional/informal (non governing elite) di masyarakat pedesaan
Era Orde Baru The rulled class dan sebagian kecil menjadi ruling class (kepala desa) Security informal; mitra junior swasta/pengusaha; pedagang; dan instrumen stabilitas yang diciptakan oleh Negara
Era Reformasi The rulling class
Pemimpin lokal dan daerah (governing elite); pemodal dan mitra pemodal (swasta dan Negara);
institusi yang disiapkan: partai politik, lembaga perwakilan, birokrasi, kelompok penekan, LSM, Ormas, asosiasi profesional, paguyuban kedaerahan maupun etnis dan sebagainya. 39 Sifat lentur jawara, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan pergumulan zaman.
49
Sumber power
Legitimasi mitos, magic, penguasaan beladiri
Legitimasi mitos, magic, penguasaan beladiri, dan uang
Tipe Kepemimpinan (sumber legitimasi) Posisi terhadap Negara Pola Hubungan dengan Stakeholders Persepsi Masyarakat
KharismatikTradisional
KharismatikTradisional
Independen
Dependen
Idealis (membela rakyat)
Fungsional dan pragmatis
Positif
Negatif
Legitimasi mitos, magic, uang, jaringan dan org. sosial Kombinasi antara kharisma-tradisional dan legal formal Mempengaruhi Negara Fungsionalpragmatis dan 40 monopolistik Awal positif, sesudah berkuasa 41 cenderung negatif
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Periodeisasi fase orde lama, kedudukan sosial jawara tidaklah seberuntung dan sebaik saat reformasi. Hingga kekuasaan Soekarno berakhir, jawara lebih banyak memainkan “peran tradisional” dengan menjadi patron bagi petani dan nelayan di pedesaan pesisir Teluk Naga. Ia bertindak sebagai pemimpin tradisional/informal – non governing elite – karena anggapan masyarakat tentang kesaktiannya dan kemampuan beladiri yang dikuasainya. Adapula jawara yang menjadi centeng (keamanan) di pasar, menjadi pedagang, dan syahbandar. Sebagai patron, jawara mengikat kliennya dengan nilai-nilai perlindungan, kesetiaan, stabilitas, dan nasionalisme. Pada saat itu, jawara relatif independen dari Negara. Ia tidak terlalu banyak bersentuhan dengan politik elit, jaringan sosialnyapun terbatas. Otoriterianisme Soeharto dan proyek-proyek pembangunannya (industrialisasi) mengubah peran, pola hubungan, dan sifat jawara. Jawara dikooptasi oleh rezim Orde Baru sebagai instrumen yang menjamin kepentingan Soeharto di daerah dan di pedesaan. Pada era ini, jawara hanya dijadikan warga Negara kelas bawah – the rulled class – yang memiliki peran sebagai security informal. Keberadaan tersebut diciptakan untuk menjaga stabilitas Jakarta dan wilayah satelit di sekitarnya. Pada saat Orde Baru konfigurasi politik lokal di pesisir Teluk Naga, Tangerang didominasi oleh kepentingan otoriterianisme Soeharto yang berkolaborasi dengan elit lokal dan elit ekonomi (pengusaha China/Tionghoa). Sepanjang sejarah politik Orde Baru masyarakat pesisir Teluk Naga selalu berada dalam posisi yang lemah dan termarjinalisasi secara politis. Sementara itu, 40
Relasi elit jawara dengan stakeholder di tiga daerah penelitian bersifat ambigu, di mana mereka ditakuti sekaligus dihormati. Hubungan yang ambigu ini ditandai dengan ambiguitas makna “Jawara” itu sendiri. Jawara bisa berarti jahat-wani (berani) - rampog (rampok) – rampog uang rakyat/korupsi, bisa juga berarti jago-wani-ramah. 41 Persepsi masyarakat tersebut didasarkan pada konteks bahwa elit jawara yang meminpin di pedesaan – propinsi inkonsisten dalam menjalankan roda pembangunan, irrasional dalam mengambil keputusan, cenderung mempertahankan trah kekuasaan (status qua) dan belum mengakomodasi pertisipasi rakyat. Meminjam bahasa politik telah terjadi gejala Incrementalism. Yaitu kondisi di mana keputusan ditetapkan tidak melalui proses rasional tetapi melalui penyesuaian - penyesuaian kecil dalam status quo kenyataan politik.
50
kaum jawara tetap berada dalam posisi the rulled class. Namun demikian, dalam skala yang sedikit, jawara tetap diberikan keleluasaan untuk terlibat dalam proyek-proyek pemerintah dan mitra junior modal swasta yang berinvestasi di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Kooptasi rezim Orde Baru berhasil mengubah jawara dari patron yang melindungi petani dan nelayan di pedesaan pesisir Teluk Naga, Tangerang menjadi pelayan Orde Baru dan modal swasta. Pola hubungan yang dibangun menjadi fungsional dan pragmatis. Pada masa reformasi terjadi dinamika elit lokal yaitu memperebutkan arena politik dan ekonomi lokal dalam rangka mempengaruhi kebijakan pembangunan. Arena politik dan ekonomi didominasi oleh jawara (governing elite) yang bertransformasi dari elit tradisional menjadi elit legal formal dalam struktur sosial masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang pada khususnya dan Banten pada umumnya. Kekuasaan jawara sebagai elit legal formal secara substansial dapat diteropong dari penguasaan modal material terhadap kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset tanah dan penguasaan pesisir. Kondisi sosial ini secara sistemik setidaknya ditopang oleh kelembagaan jawara yang kian menguat di level pedesaan hingga propinsi, kultur politik yang mendukung, penguasaan atas sumberdaya alama, dan posisi wilayah yang strategis sebagai penyangga Ibukota. Oleh karena itu, era reformasi menunjukkan perluasan arena politik jawara, dari ranah kultural ke struktural. Dari tingkatan politik pedesaan – kepala desa – hingga kepala daerah. Peristiwa politik ini ditandai dengan terpilihnya 13 kepala desa di pesisir Teluk Naga, yang merupakan keturunan jawara (termasuk kepala desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara). Hal ini semakin menegaskan bahwa pola perkembangan dan jaringan jawara massif dan mapan dari tingkat desa hingga propinsi. Hari ini, Banten yang tersisa adalah tanah untuk para jawara. Mereka, elit jawara pesisir Teluk Naga berafiliasi dengan elit ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa), elit militer, dan elit lokal lainnya dalam mengukuhkan kekuasaannya. Tabel 5.9 Kepemimpinan Tokoh Jawara dalam Ranah Kekuasaan Politik Formal Komponen Tokoh Elit
Propinsi Hj. Ratu Atut (Gub Banten/ putri alm. H. Tb. Chasan Sochib) Propinsi, Kab/Kota masuk trah kekuasaan Tb. Cs. dan 13 kepala desa di Teluk Naga masuk dalam jaringan ini – Monarkhi Banten
Kabupaten/Kota Jayabaya (bupati lebak) Heryani (Wakil Bupati Pandeglang) Ismet Iskandar (Bupati Tangerang/keturunan jawara) – Zaki putra Ismet menjadi bupati pengganti Ismet yang didukung oleh Ratu Atut Airin Rachmi D (Walikota Tangsel) Tb. Khaerul Zaman (Wk. Walikota Serang) Ratu Tatu Chasanah (Wk. Bupati Serang)
Kecamatan Teluk Naga Seluruh kepala desa dari 13 kecamatan di Teluk Naga merupakan para Jawara
51
Sumber Kekuasaan Tipe Kepemimpinan Saluran Politik
Legitimasi mitos, magic, org. silat, Uang, dan jaringan dari tradisional ke legal formal Golongan Karya
Legitimasi mitos, magic, org. silat, Uang, dan jaringan dari tradisional ke legal formal PDI-P Golongan Karya Golongan Karya Golongan Karya Golongan Karya Golongan Karya
Legitimasi mitos, magic, uang, dan jaringan dari tradisional ke legal formal PDI-P, Golkar, dan Demokrat
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Gambar 5.4 Peta Kepemimpinan Jawara dari Propinsi – Pedesaan Propinsi Kabupaten
Kecamatan
Desa Desa
Desa PEMUDA
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Ikhtisar
Setiap pergantian struktur kekuasaan pada level elit selalu berekses pada perubahan-perubahan sosial, politik, bahkan perubahan budaya masyarakat yang bersangkutan. Hal itu dapat dilihat dari realitas transformasi jawara di ranah pedesaan – banten. Jawara yang dalam natif dialek betawi dikenal dengan sebutan juware atau juara mengalami periodeisasi dan proses pergumulan sosialnya sejak orde lama hingga era reformasi. Jawara tengah bermetamorfosa dan memainkan peran yang signifikan dalam ruang demokratisasi banten. Realitas empirik ini merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah yang kemudian melahirkan corak baru perpaduan antara nilai demokrasi universal dan lokal a la banten – Bantenisasi demokrasi.
52
KEPEMIMPINAN DAN KONSOLIDASI KEKUASAAN JAWARA PESISIR
Pengantar
Pasca reformasi seiring dengan diberlakukannya politik desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia, politik lokal menampakkan ragam dinamika. Salah satu di antaranya adalah munculnya orang kuat di tingkat lokal dalam mengakses kekuasaan. Orang kuat lokal (local strongmen, bossism) tumbuh dengan memanfaatkan kran demokratisasi dan keterbukaan politik. Begitu pula dengan kemunculan elit jawara di pesisir Teluk Naga, Tangerang Banten. Bila di masa penjajahan dan awal kemerdekaan jawara mengisi peran Negara yang belum hadir dalam masyarakat, sedangkan pada masa Orde Baru jawara mengisi peran civil society yang lemah – jawara sebagai produk struktur Negara otoriterianis, maka di era desentralisasi jawara hadir sebagai elit formal yang massif dari tingkat desa hingga propinsi. Meminjam bahasa Pareto, jawara di era desentralisasi mengalami transformasi dari non governing elite menjadi governing elite – dari the rulled class menjadi the rulling class (Mosca). Kenyataan empiris ini menunjukkan era baru kedudukan sosial jawara di masa otonomi-desentralisasi. Berangkat dari realitas tersebut, tesis penting yang menjadi arah pertanyaan kemudian ialah bagaimana otonomi daerah dan desentralisasi memungkinkan munculnya kepemimpinan formal dan konsolidasi kekuasaan jawara di Pedesaan Pesisir Tangerang? Ada dua poin penting sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, pertama, sumber kekuasaan jawara dijastifikasi melalui pewarisan secara turun temurun dalam frame legitimasi karisma-tradisional. Kedua, strategi politik jawara memungkinkan hadirnya kepemimpinan formal. Ketiga, peta konsolidasi memungkinkan kuatnya konsolidasi pemerintahan dan dinamika pemerintahan jawara pedesaan. Terkait tiga poin penting tersebut, maka bab 6 ini akan menjelaskan (1) sumber kekuasaan dan ideologi jawara; (2) strategi politik jawara: pragmatisme dalam balutan golok, putaran tasbih, dan kepentingan corporate; dan (3) konsolidasi kekuasaan jawara.
Sumber Kekuasaan dan Ideologi Politik Jawara
Kekuasaan jawara sebagai kepala desa di pesisir Teluk Naga, Tangerang merupakan pewarisan secara turun temurun. Hal ini terjadi lantaran jawara memiliki tipe legitimasi karisma dan tradisional. Elit dengan tipe legitimasi tradisionalnya memiliki hak untuk berkuasa didasarkan atas dasar keturunan yang dimilikinya. Jabatan tersebut didasarkan pada prinsip primogenitur patrilineal. Implikasinya bahwa kedudukan pemimpin atau kepala desa di atas bersifat pewarisan, ascribed status. Dia legitimate untuk memerintah karena keyakinankeyakinan lama yang ada dan masih berlaku di masyarakat yang bersangkutan
53
mengharuskan begitu. Anggota masyarakat lainnya yang diperintah menerima keadaan seperti ini sebagai kewajaran yang memang dibenarkan secara moral. Box 6.1 Sketsa Terpilihnya Rsd42 Tahun 2010 jabatan kepala desa pegang oleh Rusdiyono (putra Buang Muhadi/local strongmen). Terpilihnya Rusdiono tak lepas dari pengaruh bawaan atau kharisma-tradional orangtuanya yang merupakan tokoh kuat lokal (local strongmen), mantan kepala desa. Suksesi Rusdiono merupakan potret rutinisasi kekuasaan yang terjadi di pedesaan. Menurut Rusdiyono, pada awalnya “menjadi kepala desa bagaikan mimpi”, karena lulusan SMA yang baru berusia 25 tahun ini hanya bekerja di pabrik tas dan koper, bukan seorang politisi desa, intelektual partai, ataupun tokoh lokal. Kharisma-tradisonal orangtua yang membawa ia muncul dipentas perpolitikan desa. Figuritas orangtuanya menjadikan masyarakat berharap banyak agar ia mampu meminpin desa Tanjung Burung agar lebih baik dan sejahtera. Sebab, selama menjadi kepala desa Buang Muhadi mampu menjadi seorang pemimpin yang baik di mata masyarakat, ia menjadi pemimpin yang disegani oleh masyarakat karena pengaruh kejawaraannya. Kapital sosial dari masyarakat ini yang kemudian membuat Rusdiyono memberanikan diri untuk mengikuti pemilihan kepala desa.
Sumber: wawancara 21 April 2012.
Kekuasaan yang turun-temurun itu melahirkan politik klan yang berbasis pada jejaring politik keluarga. Politik keluarga akan lebih mudah untuk dikonsolidasikan untuk kepentingan politik jangka panjang melalui solidaritas kekeluargaan. Maka, para elit politik dari pedesaan-pusat dewasa ini secara massif mengusung anggota keluarga menjadi pemimpin di berbagai lini kekuasaan. Tabel 6.1 Potret Politik Kekerabatan/Keluarga No.
Keluarga Birokrat
1. 2.
Presiden RI Gubernur Banten
Hubungan Kekerabatan Anak Suami Anak Ipar
3.
Bupati Tangerang
Anak
4.
Camat Teluk Naga
5.
Kepala Burung
Kerabat Bupati Tangerang Kerabat
6.
Kepala Desa Tanjung Pasir 42
Desa
Tanjung
Kerabat
Posisi
Parpol
Anggota DPR RI Anggota DPR RI Anggota DPD RI Walikota Tangerang Selatan, Kota/Kab. Serang Anggota DPR RI (Sekarang baru menjadi Bupati menggantikan Ayahnya) -
Demokrat Golkar
Sekdes, kaur, kadus Mandor Rw dan Rt Sekdes, kaur, kadus
-
Golkar
-
-
Kasus Gnwn dan Spr, juga tak jauh berbeda dengan Rsd. Gnwn naik menjadi kepala desa dikarenakan pewarisan kekuasaan dari bapaknya, Lurah Madi. Dalam kasus Gnwn, bahkan ada unsur pemaksaan dari orang tua, karena Gnwn blm menikah, ia terpaksa harus menikah. Sementara itu, Spr mewarisi kekuasaan dari kakeknya yang mantan kepala desa.
54
Kepala desa Muara
7.
Kerabat
Mandor Rw dan Rt Sekdes, kaur, kadus Mandor Rw dan Rt
-
Sumber: Diolah dari data lapangan 2010-2012.
Selain faktor keturunan, jawara memiliki sejumlah modal yang kuat yang kemudian dikelola bagi kepentingan dirinya maupun bagi kelompoknya. Modalmodal kekuasaan itu antara lain modal sosial, modal material, dan modal simbolik. Modal-modal itu ter-cover dari sumber-sumber kekuasaannya, sehingga merupakan bagian yang terintegratif tidak terpisah satu sama lainnya. Modal sosial yang dimiliki jawara terlihat dari adanya saling percaya (trust) dengan komunitasnya dalam aktifitas kesehariannya. Saling kepercayaan ini semakin mengukuhkan organisasi dan jaringan sosial kejawaraan. Kekuasaan jawara sebagai elit formal secara substansial dapat diteropong dari penguasaan modal material terhadap kepemilikan sumber daya alam lokal di antaranya adalah aset tanah dan pesisir. Sementara itu, modal simbolik menjadi penanda eksistensi kekuasaan jawara yang tidak terpisahkan dari konteks magic dan atribut kejawaraan yang dimilikinya. Untuk melanggenggkan kekuasaannya dilakukan cara-cara: seperti pertama, melakukan kriminalitas dalam apresiasi kekuasannya, contoh: yang dilakukan oleh Kepala desa muara, Spr yang menjual lahan tambak milik tentara. Kepala desa Tanjung Burung yang melegalisasi judi sabung ayam, dan kepala desa Tanjung Pasir yang menjual lahan tanah garapan dan jalan kepada perusahaan Tanjung Pasir Resort. Kedua, penggunaan coersive violence atau kekerasan fisik dalam memerintah, seperti mengancam dan sejenisnya. Ketiga, menciptakan ketergantungan masyarakat dan elit lainnya seperti pengusaha, politisi, dan broker politik dalam relasi patron-client. Gambar 6.1 Pola Hubungan Patronase Jawara Pesisir Birokrasi (B)
Politisi (P)
B
B
B
B
B
B
P
B
B
B
B
PB
PB
P
P
P
P
BP KK
KK
KK
Kroni Kapitalis (KK) Keterangan:
P B
: Politisi : Birokrasi
KK: Kroni Kapitalis BP: Broker Politik
PB: Politisi-peBisnis
PB
BP
P
55
Selain dengan ketiga cara di atas, dalam usaha melanggengkan kekuasaannya terkadang elit jawara juga berusaha menampilkan sikap-sikap populis, seperti: (a). berusaha menjadi populis – mendekatkan diri kepada masyarakat; (b). hadir takziyah dan tahlilan di masyarakat, dan (c) menghadiri acara hajatan masyarakat. Dalam konteks ini, ideologi para elit pemerintah desa di Pesisir Teluk Naga Tangerang Banten dapat dikategorikan, “neopatrimonialisme”. Neopatrimonialisme adalah personalisasi kekuasaan oleh penguasa tertinggi, dalam hal ini penguasa desa yang menciptakan jalinan pertukaran sumber daya material dengan loyalitas yang memungkinkan penguasa (diktator) pribadi mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka panjang (Brown, 2004; Drake, 2002). Penguasa pribadi selalu menganggap sumber daya negara adalah milik pribadi. Di sisi lain pemimpin rezim neopatrimonial tidak pernah menjanjikan demokrasi dan partisipasi pada rakyatnya, sebaliknya dia malah memberengus elemen-elemen demokrasi yang tumbuh, mengenggam erat lembaga lembaga bentukan masyarakat, mematikan kekuatan oposisi, menyingkirkan pejabat yang tidak loyal, membelenggu kebebasan politik publik, tidak toleran perbedaan, menciptakan konflik antar kelompok dengan cara politik adu domba dan sebagainya. Kokohnya penguasa pribadi dalam rezim neopatrimonial merupakan penghambat utama bagi jalan menuju demokrasi.
Strategi Politik Jawara: Pragmatisme dalam Balutan Golok, Putaran Tasbih, dan Kepentingan Corporate
Strategi politik merupakan instrumen penting bagi setiap aktor politik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, tak terkecuali bagi kaum jawara pesisir. Ada beberapa strategi yang dilakukan oleh Jawara pesisir Teluk Naga, Tangerang untuk menjadi elit formal di pedesaan. Pertama, menumbuhkan mitos power politics melalui simbol pragmatisme golok. Kedua, membangun kedekatan dengan Kiyai. Ketiga, berafiliasi dengan pemodal (corporate).
Pragmatisme dalam Balutan Golok Golok merupakan simbol entitas kejawaraan yang melegitimasi dan merepresentasikan jatidiri jawara. Selain itu, dalam praksis politik, golok merupakan simbol mitos power politics, di mana warna kekerasan mengejawantah dalam simbol golok. Konsekuensi ini, memunculkan praksis politik jawara yang cenderung menuntut kepatuhan, memaksakan kehendak, dan tak segan-segan untuk melakukan kekerasan, demi meneguhkan kepemimpinan dan kekuasaannya. Pada sisi ini, golok menjadi simbol strategi politik pragmatis kaum jawara. Dalam praksis politik pragmatis ini, logika politik yang lebih menonjol ialah pencapaian tujuan, bukan proses. Dalam bahasa yang lebih lugas, elit jawara cenderung menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan.
56
Tabel 6.2 Praktik Sosial Pragmatisme Jawara Komponen Sumber Legitimasi
Elite Rsd Elite Gnwn Kharisma orangtua Kharisma orangtua (mantan (mantan incumbent) incumbent) Pragmatis Pragmatis (berafiliasi Tujuan Politik (berafiliasi dengan dengan pemodal dan pemodal dan jawara lokal) jawara lokal) Masyarakat Militer (laten) Kontra Politik pendatang/etnik Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Elite Spr Kharisma kakek (mantan incumbent) Pragmatis (berafiliasi dengan pemodal dan jawara lokal) Militer (Manifest)
Terkait pola politik uang, strategi ini erat kaitannya dengan penyelenggaraan Pilkades untuk memenangkan kandidat jawara sebagai elit formal di pedesaan. Hal ini dapat didekati secara objektif melalui pembacaan atas komponen-komponennya antara lain komponen pelaku, strategi, dan sistem nilai yang menggerakkannya. Aktor praktik politik uang dapat dikategorikan pada dua bagian; yakni pelaku langsung (direct actor) dan pelaku tidak langsung (indirect actor). Pelaku langsung politik uang dalam Pilkades terdiri dari Tim Sukses Calon Kades dan Bandar judi. Sedangkan pelaku tidak langsung terdiri dari Calon Kepala Desa dan Bandar/Pemain judi. Pelaku langsung politik uang terjun langsung ke lapangan dengan membagi-bagikan sejumlah uang kepada beberapa kelompok sasaran. Tim Sukses ini dibentuk oleh Calon Kepala Desa. Kepentingan orang-orang yang tergabung dalam Tim Sukses ini beragam, antara lain kepentingan sangat materialistis, seperti harapan imbalan sejumlah uang yang tidak selalu dalam nominal besar. Bahkan seorang informan penelitian ini menyatakan bahwa dia mendapatkan uang hanya sebesar 100.000 sebagai “imbalan” untuk aktivitas menyukseskan pemenangan calon Kades tertentu. Di samping itu, juga ada motivasi pragmatis dalam jangka panjang, antara lain; agar yang bersangkutan beserta keluarganya dimudahkan dalam urusan-urusan formal di desa seperti pengurusan KTP atau sertifikat tanah. Selain itu, mereka juga merapat ke lingkaran dalam calon penguasa politik desa agar mendapatkan keuntungan-keuntungan (benefits) dalam jangka panjang, seperti keterlibatan dalam proyek-proyek desa. Calon Kades merupakan pelaku tidak langsung yang sangat mempengaruhi maraknya politik uang dalam Pilkades. Calon Kades menyediakan sejumlah uang yang kemudian dicairkan kepada anggota Tim Sukses untuk dibagi-bagikan kepada warga. Sumber dana yang dimiliki oleh Calon Kades berasal dari Calon Kades itu sendiri dan orang kaya yang “meminjamkan” sejumlah uang untuk membeli suara warga dengan “imbalan” komitmen dari Calon Kades untuk melindungi kepentingan-kepentingan bisnis dan keamanan (business and human security) orang kaya tersebut. Kenyataan money politics atau serangan fajar ini nampak jelas dari kemenangan tiga elit keturunan jawara yang memimpin desa pesisiran Teluk Naga. Berikut penuturan warga 3 dari desa. “Pak Rusdiono menang dalam pilkades ya karena ngelakuin serangan fajar (Wawancara ibu Isah, 22 April 2012 pukul 10.12)”
57
“Gunawan itu melakukan kecurangan dalam Pilkades, bapaknya bermain di belakang, makanya dia menang. Dia, melakukan serangan fajar dan memainkan suara dengan panitia (Wawancara dengan Irvan Yusna, 20 Juli 2011).43 “Di desa Muara, kemenangan lurah (baca: kepala desa) yang saat ini menjabat, salah satu faktornya karena dapat dukungan dari Pak Nasan, selain juga faktor serangan fajar (Wawancara bapak Bule, 5 Maret 2010).
Satu lagi aktor yang menempatkan uang menjadi faktor sebagai dorongan yang sangat menentukan pilihan pemilih dalam Kepala Desa adalah Bandar atau pemain judi. Mereka menggelontorkan uang untuk pemenangan calon Kades yang dipilihnya dalam aktivitas perjudian. Mereka berani mengeluarkan uang untuk memastikan kemenangannya dalam maen, selama masih dalam rasio costsbenefits yang menguntungkannya. Pada aspek strategi, politik uang dalam Pilkades di tiga desa penelitian berlangsung dalam beberapa strategi. Pertama, dengan cara membeli ratusan kartu suara yang disinyalir sebagai pendukung calon Kades lawan dengan harga yang sangat mahal oleh panitia penyelenggara. Strategi permainan uang seperti ini memunculkan dua kemungkinan penggunaan kartu; kartu dibiarkan tidak digunakan atau kartu suara dicobloskan oleh panitia atau “orangnya” calon Kades yang membeli suara. Dua kemungkinan ini mengindikasikan rendahnya netralitas dari Panitia Pemilihan Kepala Desa. Kedua, menggunakan tim sukses yang dikirim langsung kepada masyarakat untuk mencairkan dana yang bahasa mereka uang tersebut sebagai uang saku, dengan besaran antara 10.000 sampai 50.000. Bisa juga berupa Pemberian Hadiah, makan gratis pada saat pilkades, dan pemberian rokok. Para anggota tim sukses bisa mendapatkan lebih dari itu. Strategi ini digunakan kepada dua sasaran; 1) pemilih netral yang belum menentukan pilihan, dan 2) pemilih potensial. Ketiga, serangan fajar. Strategi pembagian uang sebelum atau pada saat fajar menyingsing pas hari pencoblosan dilakukan oleh anggota Tim Sukses dengan sasaran warga yang kemungkinan besar pendukung calon Kades lawan. Dengan nominal yang lebih besar dibandingkan dengan yang diberikan oleh calon Kades lawan, diharapkan pendukung calon Kades lawan berubah pikiran dan mengalihkan dukungan kepada calon Kades yang bersangkutan, atau paling tidak menggunakan hak pilihnya sehingga potensi suara calon Kades lawan berkurang. Keempat, pembagian uang besar-besaran secara sporadis oleh pihak di luar kubu calon Kepala Desa. Strategi ini bertujuan untuk pemenangan satu calon tertentu, yang menjadi pilihan penggelontor uang dalam sebuah aktivitas perjudian. Permainan uang seperti ini ikut mempengaruhi preferensi politik warga dalam arena Pilkades. Permisivitas publik atas permainan uang dalam Pilkades sangat mengakar, sehingga sebagian besar masyarakat tidak mempersoalkan bahwa politik uang merupakan faktor negatif yang mendestruksi tatanan prosedur demokrasi. Fenomena politik uang dalam Pilkades digerakkan oleh sistem nilai yang sama antara publik atau masyarakat bawah dan para elit politik di desa, yaitu nilai non 43
Dalam pelaksanaan Pilkades di Desa Tanjung Pasir terdapat enam calon yang bertarung. Mereka adalah Surman yang meraih 1.623 suara, Masdi dengan 502 suara, Ahmad Sugiro dengan 202 suara, Sukari 280 suara, dan Masti meraih 719 suara. Sementara peraih suara terbanyak adalah Gunawan dengan 1.733 suara. Gunawan adalah anak mantan kades yang sebelumnya menjabat.
58
demokratis, yang meruntuhkan tidak saja demokrasi prosedural (procedural democracy), akan tetapi juga menyulitkan perwujudan demokrasi substantif (substantive democrarcy). Politik uang yang berlangsung ekstensif menunjukkan bahwa voluntarisme atau kesukarelawanan politik yang ideal a ala Weberian yang mengidealkan politik sebagai profesi sejati atau sebagai panggilan jiwa (politics as calling) belakangan sama sekali tidak tampak dalam pemilihan Kepala Desa di Pesisir Teluk Naga Tangerang. Praktek politik uang di dalam Pilkades tidak saja mengamini fenomena menipisnya voluntarisme politik sebagai fenomena jamak dalam konteks politik yang lebih luas, akan tetapi juga merupakan fenomena degradasi kualitas demokrasi di tingkat desa. Dalam konteks masyarakat pedesaan pesisir Teluk Naga, logika simbolisme pragmatis jawara kian mengukuhkan warna politik uang tersebut. Dari sinilah kemudian transformasi elitis jawara pedesaan berurat berakar, dibalik pragmatisme politik yang dimainkan.
Dibalik Strategi Putaran Tasbih Selain memanfaatkan mitos power politics “pragmatisme golok – logika kekerasan dan politik uang”, strategi politik jawara pesisir Teluk Naga untuk menjadi elit ialah dengan melakukan pendekatan kepada ulama atau Kiayi. Strategi politik ini, erat kaitannya dengan dua hal, pertama kultur Banten yang memosisikan Ulama/Kiyai sebagai sosok yang berperan signifikan dalam pergumulan sosial politik masyarakat. Kedua, geneologi jawara itu sendiri yang merupakan “khodim kiyai” (Tihami, 1992). Singkatnya, Kiyai dan jawara merupakan sub-kelompok masyarakat yang memainkan peran penting di Banten hingga saat ini. Keduanya, dalam masyarakat Banten memiliki pengaruh yang melewati batas-batas geografis karena kharisma yang dimilikinya. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa, apa yang digagas oleh Clifford Geertz (1960) tentang peran kiyai sebagai pialang politik (political broker) tetap menguat, walaupun masa berganti. Secara sosiologis peran dan fungsi kiai sangat vital, termasuk dalam ranah politik. Ia memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam. Kiai dengan segala kelebihannya, serta betapa pun kecil lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagai figur ideal karena adanya kedudukan kultural dan struktural yang tinggi (Horikoshi, 1987). Oleh karena itu, kedekatan jawara kepada Ulama/Kiyai untuk dapat memperoleh kepercayaan politik masyarakat menjadi sebuah keniscayaan. Artinya menggandeng Kiai dalam memperebutkan kekuasaan struktural menjadi strategi politik bagi jawara pesisiran Teluk Naga untuk menduduki kekuasaan struktural sebagai elit Kepala Desa.
Berafiliasi dengan Pemodal (Corporate) Strategi ketiga yang dilakukan oleh jawara pesisiran untuk menjadi elit formal dalam pemerintahan ialah membangun afiliasi dengan pemodal/elit ekonomi. Para jawara pesisiran Teluk Naga berafiliasi dengan elit ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa) yang berasal dari Kota Tangerang dan Jakarta.
59
Dalam hubungan dengan pemodal jawara berperan sebagai pemegang kuasa dan kontrol atas investasi aset. Strategi ini menempatkan bahwa perilaku politik jawara tidak lepas dari kepentingan ekonomi pragmatis. Hal ini dapat dilihat dari makna bela diri yang difahami sebagai jalan untuk mengejar kepentingan materi. Dengan demikian nilai (value) yang mereka kejar sebenamya adalah kepentingan ekonomi. Untuk kepentingan ekonomi tersebut, elit jawara berusaha mempertahankan legitimasi kepemimpinan mereka yang diperoleh dari budaya lokal, sebab sumber legitimasi kepemimpinannya berasal dari budaya lokal, maka tipe kepemimpinan mereka bisa digolongkan kepada tipe otoritas tradisional. Pengejaran nilai ekonomi dan adanya otoritas tradisional itu menjadi semakin kuat karena mereka mampu mengontrol lembaga-lembaga strategis di bidang ekonomi dan politik. Dalam konteks di tiga desa penelitian penguasaan dan kontrol jawara atas aset akhirnya mendapat legitimasi struktural dan menempatkan posisi sosial mereka sebagai elit formal desa. Elite jawara pesisiran pun kuat secara internal karena mendapatkan dukungan dari anak buahnya yang mudah dimobilisasi. Pola hubungan mereka yang bersifat patrimonial menjadikan anak buah terikat dengan pemimpin jawara. Selain itu, jawara juga berusaha menjalin hubungan baik dengan elit-elit lain, seperti dengan Kiyai, birokrat pemerintah daerah, Ormas, dan NGO. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Dengan budaya politik, otoritas tradisional, penguasaan pada lembagalembaga strategis, legitimasi struktural, patrimonialisme pemimpin, dan hubungan simbiosis dengan elit lain, kekuasaan jawara adalah sangat kuat untuk konteks politik lokal. Dengan kekuasaannya itu, mereka berusaha mengontrol terhadap lembaga-lembaga yang dikuasainya, terhadap lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang bersebrangan dengannya dan terhadap kelompok-kelompok kritis.
Mengkonsolidasikan Pemerintahan
Membangun Tradisi Kepatuhan pada figur sental Kepemimpinan atau kekuasaan a la jawara bersifat paternalistik dengan seorang figur sentral (tokoh) yang dikelilingi para anak buah dan orang lain yang mengakui kekuasaannya. Kepatuhan pada figur sentral adalah hal yang mutlak demi menjaga soliditas sistem kekuasaan dalam peta konsolidasi kejawaraan. Bahkan, bila perlu, hal itu ditegakkan dengan cara-cara kekerasan. Begitulah konsepsi kepemimpinan atau kekuasaan jawara. Berikut ini gambaran mengenai kepatuhan anak buah terhadap Jawara elit (kepala desa): Tabel 6.3 Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Burung Kategori Tinggi
Frekuensi 17
Subyek Persentase (%) 44.74
60
14 Sedang 7 Rendah 38 Jumlah staf desa Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
36.84 18.42 100
Tabel 6.4 Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Tanjung Pasir Kategori Frekuensi 33 Tinggi 29 Sedang 5 Rendah 67 Jumlah staf desa Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Subyek Persentase (%) 49.25 43.29 7.46 100
Tabel 6.5 Kepatuhan Anak Buah Terhadap Jawara Elit (Kepala Desa) Muara Kategori Frekuensi 21 Tinggi 19 Sedang 4 Rendah 44 Jumlah staf desa Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Subyek Persentase (%) 47.73 43.18 9.09 100
Dari tabel 6.3, 6.4, dan 6.5, di atas, kepatuhan anak buah terhadap elit jawara (kepala desa) sebagian besar pada tingkat yang tinggi dan sedang. Hal ini mencerminkan bahwa anak buah – yang menjadi staf desa, masih memiliki kecenderungan untuk percaya pada pimpinannya, dapat menerima sikap dan tingkahlakunya, serta melaksanakan perintah atau permintaannya. Dengan demikian, anak buah elit jawara tersebut memiliki kecenderungan untuk mengubah sikap dan tingkahlakunya untuk mengikuti perintah atau permintaan pimpinan sebagai bentuk rasa hormat dan kepatuhan kepada figur sentral itu.
Membangun Citra Pencitraan ketokohan jawara pedesaan dikemas dan diusung secara cantik di tengah masyarakat pedesaan pesisir Tangerang. Ketika ia dicalonkan sebagai kandidat elit formal desa, citranya ditawarkan dalam kemasan yang cantik, sehingga terlihat menarik di mata masyarakat pemilih. Para intermediaris (broker) mengangkat kemasan berupa track record/latar belakang jawara calon kades yang dilebih-lebihkan, gambaran awal visi-misi calon mengenai rencana kesiapannya untuk menjadi kades dan sederetan program kebijakan yang dipoles untuk berorientasi kepada masyarakat banyak. Selain itu, proses pembangunan pencitraan elit jawara dilakukan melalui saluran-saluran kegiatan sosial masyarakat seperti: gotong royong, menghadiri peringatan keagamaan, pesta hajatan, menjenguk masyarakat yang sakit, dan takziyah.
61
Tabel 6.6 Pencitraan Elit Jawara (Kepala Desa) di Tiga Desa Elit
Intensitas Kemunculan dari Beberapa Saluran Citra Gotong Kegiatan Pesta Menjenguk Takziyah royong keagamaan hajatan masyarakat yang sakit Rendah Rendah Tinggi Sedang Sedang Rsd Rendah Rendah Tinggi Sedang Sedang Gnwn Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sedang Spr Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Dari tabel 6.6 di atas, saluran citra yang tinggi dari masing-masing elit adalah melalui pesta hajatan. Hal ini terjadi karena massifnya penyelenggaraan pesta hajatan di tiga desa pesisir Teluk Naga, Tangerang tersebut. Kondisi ini secara sosiologis membuka ruang tumbuh suburnya eksistensi kejawaraan pesisir. Tradisi hajatan menjadi lokomotif untuk menguatkan citra, kekuasaan, konsolidasi politik, dan membangun jaringan jawara pesisiran. Di sini, arena hajatan mengukuhkan peran signifikan elit jawara dalam mengontrol dan mengendalikan kondisi sosial masyarakat pesisir.
Membangun Komunikasi dan Jaringan Pada masyarakat modern, tugas utama adalah memperbesar dunia kehidupan dengan membangun kekuasaan komunikatif (communicative power). Kekuasaan komunikatif ini ada ketika kekuasaan jaringan dan popularitas hadir ke dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks jawara, kekuatan komunikasi dan jaringan menjadi penanda penting dalam mengikat konsolidasi pemerintahan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Para elit jawara desa (kepala desa) dalam membangun hubungan dengan anak buahnya, baik yang menjadi aparatur desa maupun yang bukan (non formal) mengedepankan soliditas jaringan yang khas. Salah satu yang khas adalah kuatnya ikatan emosional, rasa kebersamaan, kekerabatan, pertemanan dan sebagainya. Jaringan yang dibentuk oleh mereka kini mewujud menjadi basis konsolidasi kekuasaan yang tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga mewujud menjadi organisasi massa yang tersendiri. Di sinilah otoritas tradisional elit jawara menjadi semakin kuat. Di samping menguatkan komunikasi dan jaringan secara internal, jawara pun berusaha menjalin hubungan baik dengan e!itelit lain, seperti birokrat, partai, dan militer. Hubungan ini bersifat simbiosis yang sangat menekankan keuntungan bagi masing-masing pihak. Mereka menyebut elit-elit tersebut sebagai “mitra”.
Ikhtisar
Potret kejawaraan pedesaan pesisir Teluk Naga, Tangerang yang dominan dalam penguasaan ranah politik-ekonomi menjadikan desa pada era otonomidesentralisasi menjadi contested. Proyek eksploitasi ekonomi-politik terhadap desa membuat hancur otonomi desa dan kesejahteraan masyarakat desa. Desa
62
menjadi ajang perebutan tarik-menarik kepentingan sosial-politik dan ekonomi yang menjadikan eksistensinya tidak selalu bebas dalam menentukan arah perkembangannya ke depan. Dengan kondisi seperti ini, banyak pihak pesimistis bahwa kebijakan desentralisasi dan otonomi akan dapat meningkatkan kesejahteraan publik masyarakat pedesaan. Pesimistis ini beralasan, karena dalam konteks masyarakat pedesaan pesisir Teluk Naga Tangerang makna desa hari ini sudah tercerabut oleh kepemimpinan jawara yang simbolis dan karikatif. Kepemimpinan yang minus partisipasi politik aktif-partisipasi semu. Partisipasi demikian akan melahirkan apa yang disebut Larry Diamond (2003) sebagai demokrasi semu (pseudo democracy), di mana keberadaan mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi sebenarnya (hakiki). Melihat fenomena politik jawara pedesaan ini, jelas diperlukan berbagai telaah lebih mendalam mengenai demokratisasi desa. Meski sarat persoalan di satu sisi, demokratisasi desa di sisi lain merupakan keharusan untuk membangun kesejahteraan komunal di level rakyat paling bawah tersebut.
63
GAYA, KEBIJAKAN, DAN IMPLIKASI KEPEMIMPINAN JAWARA PESISIR
Pengantar
Gaya kepemimpinan dan kebijakan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan dari konsepsi dan proses kepemimpinan. Sementara itu, kepemimpinan sangat ditentukan oleh kualitas kerja dan produktivitasnya dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, bab ini akan menjelaskan tentang kepemimpinan jawara di pedesaan pada era desentralisasi. Sub bagian yang akan dijelaskan ialah: (1) gaya kepemimpinan dan kebijakan; (2) persepsi masyarakat pesisir; dan (3) implikasi kepemimpinan jawara ”kepala desa” di pesisir Teluk Naga, Tangerang. Gaya Kepemimpinan dan Kebijakan Jawara Pesisir
Legitimasi mitos dan magic, beladiri/org. silat, uang dan akses ekonomi lainnya menjadi sumber kekuasaan jawara. Para jawara pesisir Teluk Naga dan keturunannya yang menjadi kepala desa berafiliasi dengan elit ekonomi (pengusaha keturunan Tionghoa) dan elit pedesaan lainnya yang menjadi klienya dalam melaksanakan program kebijakan pembangunan. Dalam melaksanakan kepemimpinannya di ranah mikro (pedesaan) para elit jawara memiliki gaya masing-masing. Rsd, Kepala Desa Tanjung Burung cenderung menampilkan gaya otoritatif. Gnwn, Kepala Desa Tanjung Pasir berada pada persinggungan gaya eksploitatif-otoritatif. Sementara itu, Spr memiliki gaya kepemimpinan otoritatifkonsultatif. Gaya kepemimpinan yang ditampilkan para jawara desa ini memiliki implikasi terhadap program kebijakannya. Ketiganya pro dan terbuka terhadap pemodal. Tabel 7.1 Penguasaan Aset Pesisir oleh Pemodal dalam Kuasa Kepemimpinan Jawara Jenis Aset
Agraria/Tanah Tambak Minyak Bumi Tambang Pasir Industri Berat (TUM dan Galangan Kapal) Industri
Hak Kuasa Dominan
Pengusaha Cina Kota Tangerang dan Jakarta Pengusaha Cina Kota Tangerang dan Jakarta PT. Pertamina (Negara) Pengusaha Cina Jakarta Pengusaha Cina Kota Tangerang dan Jakarta Pengusaha Jakarta (TW) dan
Tanjung Burung √
Wilayah Tanjung Pasir √
√
√
√
√ √
√ -
√ √ -
-
√
-
Muara √
64
Parisiwisata (Resort Tanjung Pasir dan Pantai Tanjung Pasir) Perikanan
TNI AL
Pengusaha Cina Kota Tangerang, Jakarta, dan Pedagang Besar dari Kamal Muara
√
√
√
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
Selain pro dan terbuka terhadap pemodal, kebijakan public lainnya yang dilahirkan oleh elit jawara di Teluk Naga adalah mengakomodir dan memberikan pekerjaan kepada “jawara-jawara jalanan” untuk turut andil dalam pembangunan. Elit jawara mengisi pos-pos penting di ruang publik, dari sekedar security informal sampai tingkat birokrasi. Oleh karena itu, birokrasinya pun melekat dengan istilah birokratisasi jawara. cirinya “kalau mudah ngapain dipersulit”. Akan tetapi mudahnya di sini sangat kentara warna nepotisme antara sesama jawara dan keluarga jawara. Di bawah ini beberapa kebijakan dari birokratisasi jawara di Teluk Naga. Tabel 7.2 Kebijakan Kepemimpinan Jawara di Teluk Naga Komponen Aktor/Pelaku yang Dominan Keberpihakan Kebermanfaatan Kontrol Evaluasi
Pembangunan Infrastruktur Jawara-Pemilik modal
Pengelolaan dan Pemanfaatan SDA Jawara-Pemilik modal
Jawara
Masyarakat umum
Elit Jawara dan pemilik modal Minim Minim Minim
Masyarakat umum Ada Ada Ada
Minim Minim Minim
Keamanan
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012
Persepsi Masyarakat Menurut pandangan beberapa tokoh masyarakat pesisir Teluk Naga, kemampuan Rsd, Gnwn, Spr dalam memimpin desa belum nampak dan membangkitkan roda perekonomian warga, padahal sudah memasuki 3 tahun masa kepemimpinannya. Hal ini terbukti dari banyaknya keluhan masyarakat mengenai kepemimpinannya. Mereka dianggap tidak memiliki dasar pengetahuan dan pengalaman sebagai seorang pemimpin. Masyarakat yang semula menyimpan harapan besar kepada ketiganya untuk memimpin desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara yang lebih maju dan baik ternyata hanya memperoleh hasil yang nihil. Harapan itu belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dari persepsi stakeholders masyarakat pesisir Teluk Naga terhadap kepemimpinan elit jawara di bawah ini. Tabel 7.3 Persepsi Stakeholders Pesisir Terhadap Kepemimpinan Elit Jawara Stakeholders Nelayan
Persepsi Terhadap Kepemimpinan Elit Jawara “……kami nelayan di sini sangat prihatin dalam hidup. Harus bekerja dengan sekeras-kerasnya untuk mencari ikan dan udang. Kerja keras kita berbeda dengan dulu, saat ini harus lebih kerja keras lagi karena sumber
65
Petambak
Pemuda/aktifis lingkungan
Tokoh Masyarakat
ikan dan udang telah sulit dicari. Limbah pabrik, polusi dari pembuangan bahan kimia pabrik, sampah yang terus menerus bertambah membuat kita harus bekerja lebih keras lagi.” Wawancara dengan Jafar, 20 April 2012 “Nelayan kian terhimpit, solar mahal dan biaya hidup sulit. Belum pernah nerima bantuan dari pihak pemerintah, kepala desa hanya datang saat-saat kampanye saja. Kepala desanya anak muda, beda dengan bapaknya. Ia tdk bisa bergaul. Kalau kata orang mah “mau minta tolong, minta tolong sama siapa” kalau kata ibarat pribahasa anak ayam ga ada induknya. Itu nasib nelayan sekarang pak….. Terserah bapak mau nembak saya juga, saya ngomong apa adanya. Si lurahnya aja begitu hah….. ga mau datangin rakyat….. nelayan mah ga diliat. Yang didatengin orang-orang gedean. Liat nelayan pak…..nyungsep.” Wawancara dengan Yunus (60 th), 24 Maret 2012 “aduh dek, kalo seluruh air Cisadane terkena limbah dan tambak di sekitar sini tercemar semua orang yang ada di sini tinggal tunggu matinya aja. Pemerintah boro-boro mikirin”, wawancara dengan Dawi (50 th), 23 Maret 2012. “Kehidupan keluarga buruh tambak sangat jauh dari kata sejahtera. Dengan gaji Rp.500.000,00 per bulan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk menutup kekurangan yang ada, ya dengan meminjam uang kepada saudara, tetangga, atau berhutang kepada pemilik tambak dengan sistem cashbon. Tidak ada bantuan dari pemerintah desa.” Wawancara dengan Suramin (52 th), 22 April 2012 “Kehidupan masyarakat di wilayah pesisir utara Tangerang dan Banten belum mendapatkan perhatian optimal.” Wawancara dengan M. Yusuf, 20 Maret 2012. “Eksplotasi pasir laut dan pencemaran laut merupakan masalah yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah. Jangan biarkan nasib rakyat terutama nelayan tradisional semakin termarginalkan. Sampai saat ini, kita belum melihat ada upaya kongkrit dari pemerintah untuk mengatasi persoalan ini. Usaha memulihkan kerusakan tidak ada, usaha menghentikan sumber pencemar pun tidak dilakukan,…. orang-orang atas (elit desa) yang dapet hasilnya. Tapi, kita gak dapet apa-apa.” Mohamad Guntur, wawancara, tanggal 20 April 2012, pukul 23.45-24.35. “Awalnya kami berharap Rsd dapat memimpin desa seperti alm. bapaknya. Ternyata dia tidak punya pengalaman dan kemampuan. Sudah beberapa tahun dia memimpin tapi belum ada perubahan.” Wawancara dengan ust. Sarnubi, 22 April 2012).” “Masalah utama nelayan garapan adalah pendangkalan sungai, pendidikan, dan air bersih, termasuk akses jalan. Adanya resort milik Tomy CS mematikan akses jalan utama masyarakat garapan.” Wawancara dengan RT. Dawih, 18 Maret 2012.
Perempuan
“Nelayan sekarang ini agak sulit, ada kemunduran karena adanya limbah dari anak kali cisadane dan limbah dari teluk Jakarta.” Wawancara dengan Buang, 12 Februari 2012. “Pak Rsd itu orangnya baik mas kayanya jadi saya milih dia, ya meskipun dia juga ngelakuin serangan fajar itu. Tapi sebelum jadi Kades dia banyak ngebantuin warga kok ya meskipun setelah jadi Kades belum terasa apa manfaatnya dia.” Wawancara denga Ibu Isah, 22 April 2012.
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012.
66
Pandangan stakeholders pesisir di atas, sejalan dengan persepsi sebagian besar masyarakat, bahwa kepemimpinan elit jawara dalam pembangunan pedesaan pesisir belum membawa kesejahteraan hajat hidup mereka. Lihat tabel 7.4 berikut. Tabel 7.4 Persepsi Masyarakat Pesisir Terhadap Kepemimpinan Jawara (Kepala Desa) No.
1.
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
Persepsi
Program kebijakan kepala desa (elit jawara) belum berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir belum dirasakan secara merata oleh masyarakat Pembangunan Inprastruktur desa belum optimal Pelayanan administrasi publik lemah Partisipasi dan pelibatan warga dalam pembangunan masih minim Prioritas kebutuhan nelayan dan petambak belum diperhatikan Sarana dan prasarana pendidikan masih terbatas Partisipasi perempuan dalam kegiatan PKK minim
Kategori S TS Total Jmlh % Jmlh % Jmlh % 113 88.98 14 11.02 127 100
117 92.13
10
7.87
127
100
108 85.04
19 14.96
127
100
96 75.59 115 90.55
31 24.41 12 9.45
127 127
100 100
104 81.89
23 18.11
127
100
109 85.83
18 14.17
127
100
107 84.25
20 15.75
127
100
Keterangan: T = Setuju; TS = Tidak Setuju Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012
Implikasi Kepemimpinan Jawara
Pandangan masyarakat di atas mengisyaratkan bahwa kepemimpinan jawara membawa banyak implikasi dalam kehidupan masyarakat pesisir Teluk Naga. Kebijakannya yang terkesan instan dan kurang perencanaan yang matang menyebabkan munculnya reaksi dari beberapa kalangan cendikia dan masyarakat pesisir pada umumnya. Selain itu, kedekatannya kepada pemilik modal menjadikan kebijakan mereka lebih pro kepada pasar/pemodal. Konsekuensinya, terjadinya eksploitasi sumberdaya alam pesisir oleh para investor pemilik modal menjadikan sumberdaya alam yang seharusnya dimanfaatkan sebagai sebesarbesarnya kemakmuran rakyat menjadi jatuh ke tangan sebagian orang. Pada konteks ini masyarakat pesisir Teluk Naga, Tangerang yang pada umumnya sudah tak berdaya menjadi semakin terpuruk dan termarginalisasikan. Beberapa contoh terjadinya marginalisasi masyarakat di Desa Tanjung Burung, Desa Tanjung. Pasir, dan Desa Muara sebagai implikasi kepemimpinan yang pro kapital yaitu: marginalisasi nelayan, kapitalisasi lahan tambak dan kemiskinan dan marginalisasi sektor pendidikan. Berikut ini penjelasan masingmasing berbagai implikasi dari kepemimpinan jawara di pesisir Teluk Naga, Tangerang.
67
Gambar 7.1 Potret Marginalisasi Masyarakat Pesisir Teluk Naga
Potret Lokasi Desa Muara
Potret Lokasi Desa Tanjung Burung
Potret Pesisir Tanjung Pasir
Potret Rumah di Desa Tj. Burung
Sumber: Dokumentasi Lapangan, 2012.
Marginalisasi Nelayan Pesisir Teluk Naga Kehidupan nelayan di pesisir Teluk Naga sangat memprihatinkan. Mereka terlihat sederhana, tak nampak kemewahan yang tercipta. Hanya gubuk dari bilik bambu yang telah menua. Pencahayaan dari lampu bohlam yang remang-remang terpancarkan, serta televisi kecil yang setia untuk menghibur mereka. Kesan nelayan hidup termarginalkan itu memang riil adanya, kesan hidup apa adanya itu bukan sebuah penipuan tapi memang sebuah kenyataan. Dewasa ini mereka harus bekerja lebih keras lagi karena sumber ikan dan udang telah sulit dicari. Limbah pabrik, polusi dari pembuangan bahan kimia pabrik, sampah yang terus menerus bertambah membuat mereka harus bekerja lebih keras lagi. Boeke (dalam Sayogyo dan Pudjiwati Sayogyo, 2002: 24) mengatakan “desa itu bukan tempat untuk bekerja, tetapi tempat ketentraman. Ketentraman itu adalah pada hakekatnya hidup yang sebenarnya bagi orang timur”. Namun pernyataan dari Boeke tidak dapat digunakan ketika studi kasusnya adalah pesisir Teluk Naga, di sini para nelayan bekerja keras dengan giatnya, ketentraman memang ada tapi tak mutlak mereka cicipi. Konsep yang mereka gunakan adalah ketentraman hadir setelah kerja keras telah mereka jalani. Dibalik para nelayan tetap teguh dan tidak mengeluh dalam menerima cobaan seperti itu. Sementara mengharap bantuan dari pemerintah, seakan menunggu hujan uang dari indahnya pelangi. Entah bagaimana nasib nelayan nantinya. Keberanian mereka memang takkan pernah hilang, laut yang tak jelas kondisinya tetap akan mereka terjang demi peruntungan hidup.
68
Kapitalisasi Lahan Tambak dan Kemiskinan Status pemilikan lahan tambak dan pengontrak yang sebagian besar dipegang oleh pengusaha Tionghoa, pengusaha militer asal Kota Tangerang dan Jakarta menjadi penanda terjadinya kapitalisasi di area tambak. Contoh: lahan tambak yang dikelola oleh Nadawi, pemiliknya adalah pengusaha asal BSD (Bumi serpong damai). Tambak yang dikelola Kuncang, juga milik pendatang. Ada juga Pak Pai, pemilik asal Kampung Melayu. Tambak Pak Pai dikelola oleh Jumadi yang merupakan seorang buruh tambak asli desa Tanjung Burung. Terakhir, tambak yang dimiliki oleh Lurah Belimbing, Kosambi Tangerang. Dari keempat pemilik tambak tersebut luas tambak mereka masing-masing 5-6 hektar. Sekali panen pemilik tambak (yang sekaligus pembudidaya – tidak dikontrakkan) mendapatkan 6 ton sekali panennya, dari rata-rata 3000 ekor bibit bandeng yang ditebarkan. Gambar 7.2 Kapitalisasi Lahan Tambak
Sumber: Dokumentasi lapangan, 2012.
Kenyataan tersebut membuat pemilik tambak memperoleh keuntungan yang besar dari hasil budidaya tambak. Sedangkan buruh tambak, memperoleh penghasilan yang kecil sehingga tidak mampu mengangkat dirinya dari kemiskinan. Potret ini menjadi penanda bahwa kekayaan alam pesisir Teluk Naga hanya dapat dimanfaatkan dan menyejahterakan para pemilik modal. Sementara, buruh tambak malah sebaliknya. Mereka selalu terjerat hutang dengan para pemilik tambak, karena mereka tidak mampu membayar hutang-hutang tersebut. Akibatnya adalah gaji mereka tiap bulan dipotong untuk membayar hutang. Bahkan, ada pemilik tambak yang tidak membayarkan gaji buruh tambak satu rupiah pun untuk melunasi hutang mereka. Hal itulah yang menyebabkan para buruh tambak terikat dengan pamilik tambak (patron). Penambangan Pasir Laut dan Kerusakan Ekosistem Potensi sumber daya alam pesisir Tanjung Burung jika dapat dikelola tentu menjanjikan keuntungan berlimpah. Pantai, hutan bakau, DAS Muara Cisadane yang eksotis, hamparan tambak, dan tambang pasir menjadi potensi utama Desa. Terkait penambangan pasir sejak tahun 80-an – sekarang eksplorasi terus berlangsung. Realitas ini memunculkan berbagai spekulasi dan kontroversi. Benturan-benturan kepentingan seringkali terjadi dan menjadi alasan utama
69
munculnya kontroversi tersebut. Kepentingan ekonomi, keberlangsungan ekologi, maupun politik menjadi beberapa aspek penanda. Kontroversi yang terjadi tentu tak luput dari perhatian masyarakat desa. Disadari atau tidak, masyarakat tentu dapat merasakan dampak negatif dari penambangan pasir yang ada di sepanjang DAS Muara Cisadane. Penambangan pasir di pesisir Teluk Naga hadir seiring hilangnya mata pencaharian penduduk sebagai pembudidaya udang windu. Ia juga massif lantaran semakin menguatnya bisnis properti di wilayah Tangerang. Para penambang menjual pasir yang merupakan hasil pengerukan tambak ke orang yang membutuhkan pasir untuk membangun gedung/rumah. Kegiatan penambangan pasir ini melanggar ketentuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), karena terlalu banyak pasir yang diambil di tepian sungai dan laut. Hal ini dapat berakibat pada intrusi air laut (asin) dan air payau ke dalam tanah. Di sisi lain, penambangan pasir dapat berdampak pada melebarnya tepian sungai Cisadane di sepanjang jalan desa Tanjung Burung, meningkatnya tingkat kerusakan akibat abrasi di bagian utara desa Muara dan Tanjung Pasir. Dalam arti lain, tiap tahunnya, 3 desa penelitian ini mengalami penyempitan wilayah daratan, dan terancam longsor pada daerah-daerah di sepanjang tepian sungai dan laut. Penambangan pasir ini, tidaklah terlepas dari pengaruh kebijakan para elit pemerintah desa. Keterlibatan elit desa menjadi faktor yang menyebabkan kegiatan penambangan terus berlangsung. Besarnya “royalty” yang diterima dapat memback-up dan meredam gelombang penolakkan dari warga maupun dari aktivis lingkungan yang ada. Royalti per bulan yang diberikan pemilik tambang kepada elit desa, disinyalir sebagai bukti yang kuat dan jadi penyebab utama dari tumpulnya mata pisau pemerintah saat berhadapan dengan ilegalisasi pasir yang terjadi di desa-desa pesisir Teluk Naga. Padahal nominal yang diterima para elit pun hanya berkisar puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah saja. Sebuah nominal yang tentu saja tak sebanding dengan keuntungan yang diterima pemilik tambang serta kerusakan alam yang terjadi akibat penambangan tersebut. Alhasil kondisi ini membuat masyarakat pesisir Teluk Naga kian terjerembab dalam pusara kemiskinan. Marginalisasi Pendidikan Selain mengalami marginalisasi sumberdaya alama, masyarakat pesisir Teluk Naga juga mengalami marginalisasi di bidang pendidikan. Di sini masih terdapat keluarga miskin yang masih belum mendapatkan dan mengakses pendidikan untuk anak-anak mereka. Ada dua faktor yang menjadi penghambat pendidikan anak keluarga miskin, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin, antara lain: a) Pandangam atau pola pikir dari keluarga miskin Pandangan atau pola pikir orang tua terhadap pentingnya pendidikan. Pandangan keluarga yang menganggap pendidikan itu penting, bisa meningkatkan status sosial keluarga, seperti menurut pandangan ibu Sumrah dan ibu Kartini. Namun ada juga keluarga yang berpandagan bahwa pendidikan itu tidak begitu penting, yaitu
70
keluarga ibu Rohani, karena hanya membuang-buang uang saja, jadi lebih baik bekerja, karena nantinya semua orang pasti akan bekerja. b) Kemauan si anak untuk bersekolah atau mendapatkan pendidikan Kemauan anak, maksudnya adalah seperti pada kasus keluarga ibu Kartini, beliau menganggap pendidikan itu penting. Namun sayangnya anaknya tidak mau melanjutkan sekolahnya setelah dia tamat SD, karena anak tersebut berpikiran bahwa sekolah itu terlaau berat dan pelajarannya semakin banyak dan susah. c) Penghasilan orang tua Penghasilan orang tua juga berperan penting dalam mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak. Seperti halnya keluarga ibu Sumrah yang harus rela berhutang pada tetangganya demi membiayai sekolah anaknya hingga tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas). Ini juga terjadi pada keluarga ibu Kartini, suaminya yang hanya bekerja sebagai buruh di Cengkareng, bekerja keras demi memenuhi kebutuhan keperluan sekolah anaknya di SD. Namun karena penghasilan orang tua yang rendah ini juga yang mengakibatkan keluarga ibu Rohani lebih memilih mementingkan bekerja dan membantu orang tua, dibandingkan dengan bersekolah. Berikut ini terdapat data mengenai rumah tangga miskin yang diperoleh melalui balai desa Tanjung Burung. d) Pendidikan orang tua Pendidikan orang tua juga mempengaruhi, dua keluarga, yaitu keluarga ibu Sumrah dan ibu Kartini merupakan keluarga yang berpendidikan rendah, namun mereka berpikiran bahwa pendidikan itu penting. Mereka juga berharap anak-anak mereka dapat meneruskan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi dan memperbaiki status sosial mereka. Namun hal ini berbeda dengan pemikiran ibu Rohani yang juga berasal dari keluarga berpendidikan rendah, namun seperti yang sudah di jelsakan sebelumnya bahwa keluarga ini tidak mementingkan pendidikan.
Sementara itu, faktor ekstern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin, yaitu a) Biaya dan keperluan sekolah Biaya dan keperluan sekolah yang semakin meningkat, menjadi salah satu faktor ekstern yang mempengaruhi marjinalisasi pendidikan anak pada keluarga miskin. Apalagi ditambah penghasilan orang tua yang tidak mencukupi. Walaupun di tingkat SD biaya sekolah itu gratis, namun tetap saja untuk keperluan anak selama sekolah juga tetap tidak gratis. Hal ini juga yang dialami oleh ibu Sumrah yang rela berhutang demi anaknya. b) Jarak yang ditempuh untuk mendapatkan pendidikan Jarak yang di tempuh untuk mendapatkan pendidikan juga menjadi pertimbangan bagi keluarga-keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Namun untuk keluarga ibu Sumrah hal tersebut tidak menjadi halangan dan rintangan, anaknya yang memiliki keinginan untuk bersekolah tetap memiliki semangat walaupun jarak yang di tempuh sangat jauh. c) Faktor lingkungan Faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam marjinalisasi pendidikan anak keluarga miskin di desa Tanjung Burung. Seorang anak biasanya akan terpengaruh oleh lingkungan atau teman sebayanya dalam hal bersekolah. Seperti halnya
71
keluarga ibu Rohani yang mayoritas tetangganya atau lingkungan sekitarnya tidak bersekolah dan lebih memilih bekerja dan membantu orang tuanya seperti menggembala kerbau. Juga dengan keluarga ibu Kartini, di mana anaknya lebih memilih untuk tidak melanjutkan sekolahnya nanti, karena teman-temannya juga berpikiran yang sama, yaitu pelajaran di sekolah itu nantinya akan bertambah banyak dan sulit. d) Faktor geografis Faktor geografis di sini adalah, faktor letak. Di mana letak desa Tanjung Burung itu sendiri berada di wilayah pesisir pantai. Di mana masyarakat desa tersebut lebih banyak yang bekerja sebagai nelayan dan petambak. Hal inilah yang kadang membuat orang berpikiran bahwa untuk menjadi seorang nelayan atau petambak tidaklah diperlukan pendidikan yang tinggi. Tabel 7.5 Pandangan Keluarga Miskin Tentang Pendidikan dan Faktor-Faktor Penghambatnya Tipologi
Keluarga I
Keluarga II
Keluarga III
Pandangan Faktor terhadap penghambat pendidikan internal Pendidikan Pola pikir dari tidak keluarga miskin penting Penghasilan orang tua Pendidikan orang tua Pendidikan Kemauan anak penting untuk bersekolah Penghasilan orang tua Pendidikan orang tua Pendidikan Penghasilan orang sangat tua penting
Faktor penghambat eksternal Biaya dan keperluan sekolah Faktor lingkungan
Biaya dan keperluan sekolah Faktor lingkungan
Biaya dan keperluan sekolah Jarak yang ditempuh untuk ke sekolah
Sumber: Diolah dari data lapangan 2011.
Sejauh ini menurut penuturan ketiga keluarga miskin tersebut, mereka semua mengaku bahwa tidak ada lagi usaha pemerintah untuk meminimalisasi rendahnya pendidikan yang dialami oleh anak-anak mereka dan keluarga miskin di pesisir Teluk Naga. Sosialisasi pemerintah desa setempat mengenai pentingnya pendidikan terhadap keluarga-keluarga nelayan dan petambak tidak menyentuh masyarakat sasaran utama. Hal ini diperkuat dengan pernyataan ibu Kartini dan Ibu Sumrah sebagai berikut: “Kalo sosialisasi dari pemerintah sini sih gak ada, neng… soalnya kan baru empat taun juga di sini, tapi gak tau sih kalau warga-warga yang lain mah…. (Wawancara dengan Ibu Kartini, 20 April 2012) ” “Nggak, gak ada tuh sosialisasi pendidikan dari pemerintah di sini….(Wawancara dengan Ibu Sumrah, 20 April 2012)”
72
Sementara itu, institusi pendidikan menengah pertama yang terdapat di 3 wilayah penelitian nampak tidak memadai dan jauh dari layak. Gambar 7.3 Potret SMP BKP Tanjung Burung (Salah Satu Wilayah Penelitian)
Dari gambar 1 dan 2, nampak bangunan sekolah yang memprihatinkan. Langit-langit yang rusak dan bangunan jauh dari memadai dari standar sekolah yang ditentukan pemerintah
Potret lain dari persoalan pendidikan di pesisir Teluk Naga adalah tingginya angka kredensialisme (jual-beli ijazah) pendidikan. Dalam konteks ini pendidikan dimaknai instan dan dijadikan sebagai komoditi pasar. Lihat tabel 7.6 di bawah ini.
Desa Tanjung Burung Tanjung Pasir Muara
Tabel 7.6 Kredensialisme Pendidikan Per Tahun Paket B Paket C 5 – 10 10 – 20 15 – 20
15 – 20 50 > 15
Ijasah S1
2 3 3
Sumber: Diolah dari data lapangan, 2010-2012 Keterangan: lembaga paket dibuat oleh elit desa (wawancara dengan U, 2011)
Ikhtisar
Sumberdaya alam pesisir Teluk Naga yang potensial sudah seharusnya dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakatnya. Laut, pantai, hamparan tambak, dan segenap potensi yang dimiliki harus diupayakan agar mendatangkan hasil keuntungan semaksimal mungkin. Tentunya, dibarengi dengan tindakan pencegahan limbah pabrik dan pelarangan penambangan pasir. Namun, realitas kepemimpinan elit desa (kepala desa) yang berkolaborasi dengan pemodal swasta dan mileter berdampak pada marginalisasi masyarakat pesisir. Potret ini merupakan pekerjaan rumah yang harus dicarikan solusinya.
73
Pada sisi ini sebenarnya esensi elit jawara harusnya disegarkan dengan upaya memberikan pemahaman nilai-nilai kewargaan universal. Hal ini hanya bisa dilakukan jika para elit jawara berkolaborasi dengan elit cendikia dan ulama. Ruang civil society dibuka dan pendidikan dijadikan parameter untuk menentukan arah kemajuan masyarakat, bukan sekedar komoditi pasar. Singkatnya, jawara harus melakukan transformasi diri meninggalkan sebagian tradisi buruknya, sehingga tercipta elit jawara yang visioner, terdidik, dan santun. Itulah khittah jawara pada awalnya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari keberadaan ulama dan cendikia di tanah Banten umumnya, dan pesisir Teluk Naga Tangerang pada khususnya.
74
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisa yang telah diketengahkan pada bab satu sampai bab tujuh dapat disimpulkan, bahwa otonomi daerah-desentralisasi membuka ruang baru bagi munculnya elit lokal di panggung demokratisasi nasional. Salah satunya munculnya transformasi elitis entitas jawara. Bila di masa penjajahan dan awal kemerdekaan jawara mengisi peran Negara yang belum hadir dalam masyarakat, sedangkan pada masa Orde Baru jawara mengisi peran civil society yang lemah – jawara sebagai produk struktur Negara otoriterianis, maka di era desentralisasi jawara hadir sebagai elit formal yang massif dari tingkat desa hingga propinsi. Meminjam bahasa Pareto, jawara di era desentralisasi mengalami transformasi dari non governing elite menjadi governing elite – dari the rulled class menjadi the rulling class (Mosca). Kenyataan empiris ini sejalan dengan konteks sosio historis jawara. Secara sosio historis, jawara merupakan entitas sosial khas dari masyarakat Banten. Kehadiran jawara sebagai elit baru (governing elite) merupakan salah satu kenyataan dari pergumulan sosial yang tak terpungkiri. Keberadaan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma, dan pandangan hidup yang khas dari jaman ke jaman, dari satu rejim pemerintahan ke rijem pemerintahan lainnya. Oleh karena itu, dalam konstruksi sosiologis jawara merupakan produk pergumulan sosial masyarakat, dalam hal ini masyarakat pedesaan Teluk Naga, Tangerang. Momentum otonomi-desentralisasi menjadi titik tolak pemosisian jawara Banten di ranah kekuasaan politik. Sehingga, Banten saat ini mutlak dikuasai para jawara, karena mereka masuk ke pemerintahan, mulai pemerintah desa sampai propinsi. Kenyataan ini tak lepas dari luasnya peta hubungan jaringan sosial kejawaraan yang diikat oleh ikatan kekerabatan, seguru-seelmu, nilai budaya, eklektisisme, trust, dan organisasi massa. Di samping itu, otoritas kharismatik tradisional dan pewarisan kekuasaan secara turun-temurun menjadi dasar tipe kepemimpinan mereka. Di sini, jabatan tersebut didasarkan pada prinsip primogenitur patrilineal. Implikasinya bahwa kedudukan pemimpin atau kepala desa di atas bersifat pewarisan, ascribed status. Dia legitimate untuk memerintah karena keyakinan-keyakinan lama yang ada dan masih berlaku di masyarakat yang bersangkutan mengharuskan begitu. Anggota masyarakat lainnya yang diperintah menerima keadaan seperti ini sebagai kewajaran yang memang dibenarkan secara moral. Untuk melanggenggkan kekuasaannya, elit jawara melakukan cara-cara: seperti pertama, melakukan kriminalitas dalam apresiasi kekuasannya, contoh: yang dilakukan oleh Kepala desa muara, Spr yang menjual lahan tambak milik tentara. Kepala desa Tanjung Burung yang melegalisasi judi sabung ayam, dan kepala desa Tanjung Pasir yang menjual lahan tanah garapan dan jalan kepada perusahaan Tanjung Pasir Resort. Kedua, penggunaan coersive violence atau
75
kekerasan fisik dalam memerintah, seperti mengancam dan sejenisnya. Ketiga, menciptakan ketergantungan masyarakat dan elit lainnya seperti pengusaha, politisi, dan broker politik dalam relasi patron-client. Selain dengan ketiga cara di atas, dalam usaha melanggengkan kekuasaannya terkadang elit jawara juga berusaha menampilkan sikap-sikap populis, seperti: (a). berusaha menjadi populis – mendekatkan diri kepada masyarakat; (b). hadir takziyah dan tahlilan di masyarakat, dan (c) menghadiri acara hajatan masyarakat. Dalam konteks ini, ideologi para elit pemerintah desa di Pesisir Teluk Naga Tangerang Banten dapat dikategorikan, “neopatrimonialisme”. Neopatrimonialisme adalah personalisasi kekuasaan oleh penguasa tertinggi, dalam hal ini penguasa desa yang menciptakan jalinan pertukaran sumber daya material dengan loyalitas yang memungkinkan penguasa (diktator) pribadi mampu mempertahankan kekuasaannya dalam jangka panjang. Penguasa pribadi selalu menganggap sumber daya negara adalah milik pribadi. Di sisi lain pemimpin rezim neopatrimonial tidak pernah menjanjikan demokrasi dan partisipasi pada rakyatnya, sebaliknya dia malah memberengus elemen-elemen demokrasi yang tumbuh, mengenggam erat lembaga lembaga bentukan masyarakat, mematikan kekuatan oposisi, menyingkirkan pejabat yang tidak loyal, membelenggu kebebasan politik publik, tidak toleran perbedaan, menciptakan konflik antar kelompok dengan cara politik adu domba dan sebagainya. Kokohnya penguasa pribadi dalam rezim neopatrimonial merupakan penghambat utama bagi jalan menuju demokrasi. Sementara itu, dilihat dari gaya kepemimpinannya, kepala desa (jawara) di tiga wilayah penelitian, hasilnya variatif. Rsd, Kepala Desa Tanjung Burung cenderung menampilkan gaya otoritatif. Gnwn, Kepala Desa Tanjung Pasir berada pada persinggungan gaya eksploitatif-otoritatif. Spr memiliki gaya kepemimpinan otoritatif-konsultatif. Implikasi dari kepemimpinan jawara di satu sisi membuka tumbuhnya sikap egaliter dan inkusif dalam menata pemerintahan. Di sisi lain menunjukkan sikap spontan-instan dan pro pemodal yang pada gilirannya memunculkan marginalisasi masyarakat pesisir. Untuk menyegarkannya perlu penanaman nilai kewargaan universal bagi elit jawara. Di samping mengembalikan jawara kepada khittah-nya sebagai jawara yang cendikia dan agamis. Saran Berdasarkan simpulan di atas dapat diberikan beberapa saran, antara lain: 1. Otonomi daerah harus memiliki format utuh dan komprehensif, agar tidak melahirkan tafsir atau interpretasi yang berseberangan. Hal ini penting untuk mewujudkan pembangunan daerah yang baik. 2. Kepemimpinan jawara hendaknya ditransformasikan untuk menyejahterakan masyarakat pedesaan pesisir Tangerang. Oleh karena itu, perlu adanya hubungan kemitraan jawara dan masyarakat. Salah satu upaya penting dan mendesak ialah dengan membuka terlebih dahulu keran partisipasi rakyat. 3. Memperkuat asas hukum dan kewenangan yang jelas tentang penyelenggaraan kepemimpinan di pedesaan pesisir. 4. Jawara perlu memperhatikan kepentingan kesejahteraan masyarakat.
76
DAFTAR PUSTAKA Abrori Ahmad. 2003. Perilaku Politik Jawara Banten dalam Proses Politik di Banten. Tesis Tidak Diterbitkan. Depok: Departemen Sosiologi FISIP, UI. Akhyar, Lubis, 2004. Paradigma Baru dan Persoalan Metodologi Ilmu SosialHumaniora dan Budaya Pada Era Postmodern. Jakarta: PPS UI. Alamsyah, Andi Rahman. 2010. Islam, Jawara, dan Demokrasi: Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru. Jakarta: Dian Rakyat dan Lab Sosio, UI (Tesis Diterbitkan). Albrow, Martin. 1996. Birokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Biaro, Endi “Pilkada Banten, Harga Diri Tangerang” 25 April 2011 dalam http://endibiaro.blogdetik.com/?p=290 Diakses 28 Desember 2011. Brousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup Jakarta. Brown, David. 2004. The State and Ethnic Politics in South East Asia. New York: CRC Press. Buehler, Michael and Paige Tan. 2007. “Party-Candidate Relationships In Indonesian Local Politics: A Case Study Of The 2005 Regional Elections In Gowa, South Sulawesi Province”, in Indonesia 84 (October), pp. 41-69. Choi, N. 2007. ”Local elections and democracy in Indonesia: The Riau Archipelago.” Journal of Contemporary Asia, 37(3), 326-345. Cribb, Robert Bridson. 1990. Gejolak Revolusi di Jakarta (1945-1949). Jakarta: Pustaka Grafiti. Data Monografi Desa Tanjung Burung, Tanjung Pasir, dan Muara, 2011. Denzin, N.K. & Y.S. Lincoln (Eds), 2000. Handbook of Qualitative Research (Second Edition), Thousand Oaks: Sage Publ. Inc. Diamond, Larry. 2003. Developing Democracy Toward Consolidation. Yogyakarta: IRE Press Djajadiningrat, Hosein. 1995. Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, Jakarta: Djambatan. DKP Kab. Tangerang, 2006. Drake, Christine. 2002, in Danilyn Rutherford, Raiding the Land of the Foreigners: The Limits of the Nation on An Indonesian Frontier. New York: Princeton University Press. Eisenstadt, S. N., and L. Roniger. 1984. Patrons, Clients and Friends: Interpersonal Relations and the Structure of Trust in Society. New York: Cambridge University Press. Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya. Ekajati, Edi S. dkk. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang. Tangerang: Pemerintah Kabupaten. Escobar, Arturo. 2005. Encontering Develompent the Making and Making of the Third world. Princeton, New Jersey: Princeton University press. Etzioni, Amitai. 1961. A Comparative Analysis of Complex Organization. New York: Free Press. Fortes, Mayer. 1978. An Anthropologist’s Apprenticeship, Annual Review of Anthropology 7:1-30.
77
Fukuyama, Francis. 1995. Trust: The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: The Free Press. Geertz, Clifford, The Javanese Kijaji: The Changing Role of A Cultural Broker, In: Comparative Studies in Society and History, Vol. 2, No. 2 (Jan., 1960), 228-249. Geertz, Clifford. 2000. Negara Teater: Kerajaan-Kerajaan di Bali Abad Kesembilan Belas. Yogyakarta: Bentang Budaya. Ginkel, Rob van. 2007. Coastal Cultures: An Anthropology of Fishing and Whaling Traditions. Apeldoorn: Het Spinhuis Publishers. Grindle, Merille S. (Ed). 1980. Politics and Policy Implementation in the Third Word. New York: Princenton University Press. Halwany, Michrob dan A. Mudjadid Chudari. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Penerbit Buku Saudara. Haris, Syamsudin. 2002. Akuntabilitas dalam Otonomi Daerah. Jakarta: PolitikLIPI. Haris, Syamsudin. 2005. Desentralisasi & Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: LIPI Press. Harris, John, Kristian Stokke, and Olle Tornquist (eds). 2004. Politizing Democracy, The New Local Politics of Democratization. New York: Palgrave Macmillan. Hay, Colin. 2007. Why We Hate Politics. Cambridge: Polity Press. Hidayat, Syarif. 2000. Refleksi Realitas Otonomi Diaerah dan Tantangan ke Depan. Jakarta: Pustaka Quantum Hidayat, Syarif. 2009. “Shadow State …? Bisnis dan Politik di Propinsi Banten”, dalam Nordholt, Shulte Henk, Gerry van Klinken, Ireen KarangHoogenboom. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta. Horikoshi, Hiroko. 1987. Kiyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M. Hudaeri, Mohamad. 2002. “Tasbih dan Golok: Studi tentang Kedudukan, Peran, dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten”, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif PTAI Tahun Anggaran 2002. Serang: STAIN Serang Banten. http://bataviase.co.id/node/201643 Pengikut Kaisar Qing di Tepi Cisadane, 07 May 2010. Ife, Jim. 2002. Community Development: Cummunity-based Alternatives in an Age Globalization, 2nd Edition. Australia: Longman. Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 18. Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Pemerintahan Daerah, No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004, TLN No. 4437, pasal 1. Ishii, Yoneo. 1998. The Junk Ttrade from Southeast Asia: Translations from the Tôsen Fusetsu-gaki 1674-1723. Institute of Southeast Asian Studies. Kaplan, David dan Albert A. Manners, 1999. Teori Budaya: Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya. Komarudin. 2011. Memahami Sosiologi Politik. Jakarta: Ghalia Indonesia.
78
Kurtz, Donald V. 2001. Political Anthropology: Paradigms and Power. Cambridge: Westview Press, Locke, E. A. 1997. Esensi Kepemimpinan (terjemahan). Jakarta: Penerbit Mitra Utama. Mansur, Khatib dan Martin Moenthadim (eds.). 2000. Profile Haji Chasan Sochib Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten. Jakarta: Pustaka Antara Utama. McCann, Philip and Frank van Oort, “Theories of agglomeration and regional economic growth a historical review”, in Roberta Capello and Peter Nijkamp (Ed). 2009. Handbook of Regional Growth and Development Theories. Cheltenham, UK; Northampton, MA, USA: Edward Elgar Publishing. Migdal, J.S. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in The Thirld World. Princeton: Princeton University Press. Migdal, J.S.. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform and Constitute One Another. Cambridge: Cambridge University Press. Moenir, AS. 1988. Kepemimpinan Kerja, Peranan Teknik dan Keberhasilannya. Jakarta: PT. Bina Aksara. Mubyarto, Loekman Soetrisno, Michael Dove. 1984. Nelayan dan Kemiskinan: Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. Jakarta: CV. Rajawali. Newman, Lawrence. 2001. Qualitative Researchs Throught Case Studies. London: Sage Publications. Niel, Robert Van. 1984. Munculnya Elite Modern Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya. O‟ong Maryono. 1998. Pencak Silat Merentang Waktu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Onghokham, “Bromocorah dalam Sejarah Kita” dalam tempo 7 Maret 1981. Onghokham. 2002. Dari Soal Priyayi sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara. Jakarta: Kompas. PDPT Kec. Teluk Naga, 2010. Peet, Rhicard and Elaine Hartwick. 2009. Theories of Development: Contentions, Argument, Alternative. New York, London: The Guilford Press. Pike, Andy., Andrés Rodríguez-Pose and John Tomaney. 2006. Local and Regional Development. New York, USA and Canada: Routledge. Pos Kota, 25 November 2010. Rozaki, Abdur. 2004. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura. Yogyakarta: Pustaka Marwa. Ruchiyat, Rachmat, Singgih Wibisono, dan Rachmat Syamsudin. 2003. Ikhtisar Kesenian Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta. Saidi, Ridwan. 2007. Glosari Betawi. Jakarta: Betawi Ngeriung. Saputra, Yahya dan Irwan Sjafi‟ie. 2002. Beksi, Maen Pukulan Khas Betawi. Jakarta: Gunung Jati. Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. Sosiologi Pedesaan. 2002. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Scharf, Betti R. 1995. Kajian Sosiologi Agama, terj. Machnun Husein, Yogyakarta: Tiara Wacana.
79
Setiawan, Irwan “Silat Betawi Tempo Dulu dan Sekarang” dalam Jurnal Penelitian, Vol. 40 No. 1 April 2008. Shahab, Alwi. 2002. Robinhood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe. Jakarta: Republika. Shahab, Alwi “Pemberontakan Tangerang 1924” dalam http://alwishahab. wordpress.com/2008/04/21/pemberontakan-tangerang-1924/ Shahab, Yasmine. 2000. Aristocratic Betawi: A Challenge to Outsiders’ Perception. Dalam Kees Grijns dan Peter J.M. Nas. Jakarta-Batavia: Socio-Cultural Essays. Leiden: KITLV Press. Soekanto, Soejono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar Edisi Baru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sudiarto, “Demokrasi untuk si Miskin” dalam http://interseksi.org/blog/files/ demokrasi_untuk_simiskin.php, Diakses Tanggal 21 Januari 2011. Suhartono. 1995. Bandit-Bandit Pedesaan: Studi Historis 1850-1942 di Jawa. Yogyakarta: Aditya Media. Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sunatra. 1997. “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal,” dalam Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Suryana, Nana dkk. 1992. Sejarah Kabupaten Banten. Tangerang: Pemda Tk II Tangerang dan LPPM UNIS Tangerang. Untoro, Heriyanti Ongkodharma. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten: Kajian Arkeologi-Ekonomi. Depok: FIB UI. Varma, S.P. 2007. Teori Politik Modern. Jakarta: Rajawali Press. Widodo, Sutejo Kuwat, “Dinamika Kebijakan Terhadap Nelayan: Tinjauan Historis Pada Nelayan Pantai Utara Jawa 1900-2000”, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Sejarah. Semarang, 17 Maret 2007: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Williams, Michael Charle, Communism, Religion, and Revolt in Banten, Center for International Studies, Ohio University, 2003. Wrong, Dennis (Ed.). 2003. Max Waber Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Yin. 2002. Metode Studi Kasus. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Yusoff, Mohamad Agus, “Pilkada dan Pemekaran Daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandits” Malaysian Journal of History, Politics, & Strategic Studies, Vol. 37 (2010): 86 – 104. Zuhairini, dkk. 2004. Filsafat Pendidikan Islam, Cetakan Ketiga. Jakarta: Bumi Aksara.
80
Lampiran 1
LIMA KONSTRUKSI SOSIAL JAWARA KONTEMPORER MENURUT MASYARAKAT PESISIR TELUK NAGA TANGERANG
(1) Konstruksi Jawara Struktural/Bentukan Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena diciptakan untuk menjaga stabilitas wilayah Centeng, Keamanan atau security informal, bodigard lurah/kepala desa Kelas Bawah Pragmatis Mengikut kepada Boss/Tuan Negatif-Positif Negara dan corporate
(2) Konstruksi Jawara Kultural/Status Asli Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena equel dari sistem sosial budaya masyarakat Juara kampung/jago, jaro atau kepala dusun Kelas Menengah Transformatif Memihak rakyat Positif Civil society
(3) Konstruksi Jawara Persepsi Subyektif Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya atribut subyektif yang disematkan kepada seorang jawara Orang yang ingin kesohor, berwatak sompral, gengsi sosial tinggi, pandai bergaul dengan komunitas jawara. Kelas Bawah-Menengah Pragmatis Memihak kepentingan Negatif Negara
(4) Konstruksi jawara atribut/simbol Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya atribut/simbol yang menunjukkan nilai kejawaraan Banyak istri, suka main judi dan sawer, bisa berantem/silat, memiliki magic Kelas Bawah-Menengah Pragmatis Memihak kepentingan Negatif Negara-Korporate
81
(5) Konstruksi jawara psikologi mitos Konsep Posisi sosial Kedudukan Ideologi Keberpihakan Citra diri Institusi yang melembagakan
Ada, karena hadirnya mitos kejawaraan yang diturunkan melalui kharisma kekuatan dari orangtua dan guru. Keturunan elite jawara, orang kuat lokal yang memiliki status, Kelas Menengah-Atas Pragmatis-Populis Memihak kepentingan, elitis Positif Negara-Korporate
Sumber: Diolah dari Data Lapangan, 2010-2012.
82
Lampiran 2
Persepsi Masyarakat Pesisir Terhadap Kepemimpinan Jawara (Kepala Desa) Table 1. Program kebijakan kepala desa (elit jawara) belum berimbas pada kesejahteraan masyarakat pesisir No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Setuju 113 88.98 2 Tidak Setuju 14 11.02 Jumlah 127 100 Tabel 2. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir belum dirasakan secara merata oleh masyarakat No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Setuju 117 92.13 2 Tidak Setuju 10 7.87 Jumlah 127 100 Table 3. Pembangunan Inprastruktur desa belum optimal No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Setuju 108 85.04 2 Tidak Setuju 19 14.96 Jumlah 127 100
No Kategori 1 Setuju 2 Tidak Setuju Jumlah
Table 4. Pelayanan administrasi publik lemah Jumlah (jiwa) 96 31 127
Persentase (%) 75.59 24.41 100
Table 5. Partisipasi dan pelibatan warga dalam pembangunan masih minim No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Setuju 115 90.55 2 Tidak Setuju 12 9.45 Jumlah 127 100
83
Table 6. Prioritas kebutuhan nelayan dan petambak belum diperhatikan No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Setuju 104 81.89 2 Tidak Setuju 23 18.11 Jumlah 127 100 Table 7. Sarana dan prasarana pendidikan masih terbatas No Kategori Jumlah (jiwa) Persentase (%) Setuju 109 85.83 Tidak Setuju 18 14.17 Jumlah 127 100 Table 8. Partisipasi perempuan dalam kegiatan PKK minim No Etnis Majikan Jumlah (jiwa) Persentase (%) 1 Setuju 107 84.25 2 Tidak Setuju 20 15.75 Jumlah 127 100
84
Lampiran 3 Gambar 1 dan 2 Perahu Nelayan Pesisir Teluk Naga (Desa Tanjung Burung)
Gambar 3 dan 4 Aktifitas Nelayan Pesisir Teluk Naga (Kp. Garapan, Desa Tanjung Pasir)
Gambar 5 dan 6 Lahan Tambak dan Potret Masyarakat Pesisir Teluk Naga
85
RIWAYAT HIDUP AHMAD TARMIJI ALKHUDRI, lahir di Tangerang, 11 Oktober 1986. Perjalanan pendidikan, diawali pada jenjang Pendidikan Dasar di SDN Kp. Melayu IV, Teluk Naga (1994-1999). Setelah tamat SD, melanjutkan ke jenjang Pendidikan Menengah Pertama di SMPN 1 Teluknaga, Tangerang (1999-2002) dan Pendidikan Menengah Atas di SMAN 1 Kosambi, Tangerang (2002-2005). Tahun 2009, menyelesaikan pendidikan sarjana bidang Pendidikan Sosiologi di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial-UNJ. Tahun 2013 memperoleh Master Sosiologi Pedesaan di Institut Pertanian Bogor. Saat ini aktif mengajar di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, UNJ pada mata kuliah Sosiologi Pendidikan dan Sosiologi Pedesaan. Minat Kajiannya mengenai Pendidikan, Budaya, dan Politik Lokal di pedesaan. Publikasinya antara lain: Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun: Menggapai Transformasi SosioEdukasi dan Kesadaran Humanis (Bogor: Edukati Press, 2011); Menghidupkan Ruang Sosial Pendidikan, Editor (Bogor: Edukati Press, 2011); dan Sosiologi Pesisir: Catatan Kecil dari Pedesaan Banten (Bogor: Edukati Press, 2013). Beberapa kegiatan penelitian: Upacara Pesta Laut Antara Tradisi dan Komersialisasi Budaya (Studi Kasus Pada Masyarakat Tanjung Pasir, Kec. Teluknaga), 2005; Sejarah Kabupaten Tangerang (bersama Tim Peneliti Pasundan), 2005; Tangerang dalam Persimpangan: Membaca Arah Transformasi Pendidikan dari Masyarakat Agraris Menuju Masyarakat Industri, 2006; Dinamika Sosial-Politik PGRI dalam Gerakan Guru Indonesia, 2009 – FIS, UNJ; Pengukuran dan Pengembangan Toleransi Sosial pada Masyarakat Multikultural, 2010 – FIS, UNJ; Sejarah Sosial Masyarat Pesisir Tangerang, tahun 2010-2011 bersama Persada Nusantara Institute; dan Pembangunan Pertanian Di Banten Era Desentralisasi, tahun 2011 bersama Labsosio, FISIP UI. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected].