KINERJA BADAN PERWAKILAN LOKAL PADA ERA REFORMASI Siti Aisyah (
[email protected]) Universitas Terbuka
ABSTRACT As local parliament, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) has three functions such as legislation, budgeting, and oversight functions. The research aims to analyse the local parliament’s performance at Bogor and Depok city in the reform era. The reseach uses qualitative method. The data gathering technique used is snowball technique with depth-intervieuw and literature study of documents, books, journals, magazines, and daily newspapers that relate to the research issue. The study concludes that DPRD’s performance in the reform era does not meet the public expectation yet. From the point of view of legislation and budgeting funcions, it tends to orientate itself to executive’s interest rather than public’s. While from the view of oversight function, it has not used questionnaire and interpellation rights. The form of relation between DPRD and mayors of two cities contributes to the DPRD’s performance as a whole. In order to increase the performance of the members of local parliament, it is necessary to increase their ability to identify their region’s condition and needs. And it also needs to increase the quality of legislation, budgeting and oversight functions. Key words: budgeting, legislation, oversight, performance.
Sebagai lembaga perwakilan rakyat di tingkat lokal, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki tiga fungsi utama, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi berkaitan dengan pembuatan kebijakan-kebijakan daerah, yang dikenal dengan Peraturan Daerah (Perda). Dalam melaksanakan fungsi legislasi ini, DPRD seharusnya memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakatnya. Fungsi anggaran atau keuangan berkaitan dengan wewenang DPRD untuk membahas dan memberikan persetujuan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD). Penyusunan APBD pun harus melibatkan masyarakat, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, karena sumber-sumber APBD pada hakikatnya berasal dari rakyat dan selayaknya masyarakat mengetahui alokasi penggunaannya. Sedangkan fungsi pengawasan berangkat dari pemikiran bahwa DPRD adalah pemegang mandat kekuasaan rakyat sehingga DPRD berkewajiban mengawasi implementasi dari keputusan-keputusan yang telah dibuatnya. Sebagai pengawas, DPRD memerlukan data dan keterangan yang memadai. Untuk melaksanakan fungsi pengawasan DPRD telah dibekali dengan sejumlah hak, seperti hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Tugas dan kewenangan DPRD diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, yakni membentuk Perda yang dibahas bersama Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama, membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan Kepala Daerah, dan melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 2, September 2009, 63-72
perundang-undangan lainnya, peraturan Kepala Daerah, APBD, Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional daerah. Sementara itu hak dan kewajiban DPRD diatur dalam Pasal 43-45 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Hak yang dimiliki DPRD adalah hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Kewajiban anggota DPRD diantaranya adalah memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Bila dibandingkan dengan tugas, wewenang, hak, dan kewajiban DPRD pada periode sebelumnya, kekuasaan DPRD pada periode diterapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 cenderung tidak sebesar kekuasaan DPRD pada periode diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Besarnya kekuasaan DPRD pada periode tahun 1999-2004 tercermin dari hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah. Dalam hubungan tersebut, DPRD memiliki kedudukan yang lebih kuat. DPRD memiliki peranan yang besar dalam menentukan Kepala Daerah (KDH) dan memberikan penilaian atas pertanggungjawaban KDH setiap tahunnya. Pola hubungan DPRD dan KDH tersebut ternyata banyak diwarnai oleh money politics. Prasodjo (2007:1.15) menyatakan bahwa penyebab terjadinya money politics dalam tubuh DPRD adalah: Pertama, ada kesadaran kelompok kepentingan bahwa posisi DPRD yang kuat dijadikan momentum untuk berkonspirasi dalam ”menggarap” berbagai sumber untuk memperoleh materi. Kedua, dalam rangka survivalitas politisi bersangkutan beserta partainya. Para politisi yang duduk di legislatif biasanya diwajibkan untuk menyetorkan sebagian pendapatannya kepada partai asalnya. Kebiasaan tersebut cenderung terus berlanjut, termasuk saat UU No. 32 Tahun 2004 menjadi acuan dalam implementasi pemerintahan daerah di Indonesia. Di samping itu para politisi memiliki jaringan pendukung partainya dari kalangan pengusaha. Kondisi tersebut tentunya sangat memrihatinkan, karena pada akhirnya tugas dan kewajiban sebagai wakil rakyat, khususnya sebagai penyalur aspirasi rakyat menjadi terbengkalai. Berita-berita miring yang menyudutkan wakil rakyat banyak menghiasi media massa. Beberapa diantaranya bahkan sampai dimejahijaukan, karena terseret kasus korupsi di DPRD. Korupsi berjamaah sempat dituduhkan kepada lembaga tersebut. Tulisan di Kompas dalam artikel “ Memanggul Kuasa Menyandang Nista”, 24 September 2004 mencatat setidaknya terdapat 11 kasus korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPRD pada tahun 2003-2004, termasuk kasus yang terjadi di DPRD Kota Bogor dan Depok. Di Kota Depok, pada bulan Agustus 2004 terungkap kasus penyalahgunaan dana rutin APBD tahun 2002 sebesar Rp. 9 Milyar. Sedangkan di Kota Bogor, pada September 2004 terungkap pula kasus dugaan korupsi biaya penunjang kegiatan DPRD Kota Bogor tahun anggaran 2002 sebesar Rp. 5,5 milyar dan Anggaran Belanja Tambahan sebesar Rp. 1,3 milyar. Sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPRD seharusnya memahami kebutuhan rakyat yakni, secara proaktif memotret kondisi riil daerahnya untuk dipelajari dan dianalisa dalam rangka membuat berbagai kebijakan daerah. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi masyarakat, DPRD dapat menjalankan berbagai cara, baik secara aktif maupun pasif. Peran aktif dapat dilakukan dengan upaya menjaring aspirasi masyarakat daerah, misalnya melalui mekanisme pooling (jajak pendapat) yang sekarang populer dilakukan oleh banyak lembaga kajian guna menjaring aspirasi publik mengenai sesuatu isu, atau cara-cara lain yang menuntut keaktifan anggota DPRD. Sedangkan peran pasif dapat dilakukan dengan menyerap aspirasi masyarakat, misalnya menyediakan kotak pos, kotak pengaduan, surat pembaca pada media massa lokal, saluran telpon bebas pulsa, website atau cara-cara lain di mana DPRD senantiasa siap melayani aspirasi yang datang dari masyarakat, baik yang datang secara langsung atau melalui media lain.
64
Aisyah, Kinerja Badan Perwakilan Lokal pada Era Reformasi
Banyak cara bisa ditempuh oleh DPRD untuk menjadi lebih dekat dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat, yang mana aktivitas dan perilaku wakil rakyat mencerminkan kehendak dan kebutuhan masyarakat. Kinerja DPRD selaku wakil rakyat nampaknya masih dipertanyakan. Kinerja badan perwakilan rakyat tersebut sangat penting untuk diketahui oleh konstituennya, apakah wakil rakyat yang mewakilinya tersebut melaksanakan tugasnya sesuai harapan masyarakat. Dalam pasal 45 (huruf g) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dikatakan bahwa anggota DPRD mempunyai kewajiban memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Artikel ini merupakan hasil penelitian dengan tujuan menganalisis kinerja DPRD sebagai badan perwakilan di tingkat lokal dengan mengambil kasus di DPRD Kota Bogor dan Depok. Fungsi Badan Perwakilan Rakyat Menurut Sanit (1985:42), fungsi lembaga perwakilan berkembang dalam dua tahap. Kedua fungsi itu adalah sebagai pembuat hukum dan legislasi. Fungsi sebagai badan pembuat hukum, sudah ditumbuhkan secara berangsur-angsur selama 20 abad, mulai dari abad ke-5 SM di Yunani Kuno dan Romawi sampai akhir abad ke14 di Inggris. Namun fungsi legislasi badan tersebut secara penuh baru berlangsung dalam 5 abad terakhir ini. Fungsi lembaga ini sebagai himpunan wakil rakyat, yang membuatnya dikenal sebagai badan perwakilan (representative), tampaknya berkembang lebih lamban dari fungsinya yang terdahulu. Sampai pertengahan abad ke-17 berbagai cara untuk memperoleh status selaku wakil rakyat atau memperoleh hak untuk bertindak selaku wakil rakyat bergantung kepada kekuasaan raja atau pimpinan negara yang tertinggi. Pada saat itu, para raja atau pimpinan negara berusaha memperoleh legitimasi kekuasaannya dengan cara menyatakan dirinya sebagai wakil rakyat. Baru pada pertengahan abad ke-17, di Inggris berkembang lembaga perwakilan modern, yang anggotanya mulai berasal dari berbagai unsur yang ada di masyarakat. Parlemen dalam bentuknya sekarang, bermula di Inggris di penghujung abad ke-12 di mana Magnum Councilium sebagai dewan kaum feodal dinamakan Parlemen, sebagai wadah para baron atau tuan tanah untuk membahas segala sesuatu termasuk mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kontribusinya bagi kerajaan. Parlemen baru dimanfaatkan oleh raja Inggris sebagai badan konsultasi dalam pembuatan undang-undang di penghujung abad ke-14. Baru pada abad ke15, Parlemen berfungsi sebagai badan pembuat hukum, tetapi keanggotaannya belum mencerminkan perwakilan rakyat. Parlemen yang sekaligus sebagai badan pembuat hukum dan badan perwakilan melalui pemilihan baru terjadi dalam abad ke-18 di Inggris. Dalam tulisannya mengenai Teori Perwakilan Politik, Alfred de Gracia seperti dikutip oleh Sanit (1985:82) dikemukakan bahwa perwakilan politik diartikan sebagai hubungan di antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakil di mana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakil. Pola hubungan antara anggota badan legislatif dengan masyarakat dapat dilihat dari orientasi wakil, yang dikategorikan menjadi 4 (empat) tipe hubungan antara si wakil dengan wakilnya, yaitu: 1) si wakil sebagai wali (trustee); 2) si wakil sebagai utusan (delegate); 3) si wakil sebagai politico; dan 4) si wakil sebagai partisan. Pada tipe wali (trustee), anggota DPRD cenderung bertindak bebas atas nama kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, pada tipe wali dalam proses memutuskan kebijaksanaan
65
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 2, September 2009, 63-72
memperkenankan anggota DPRD untuk mempergunakan pertimbangan sendiri dalam memberikan persetujuan terhadap pilihan-pilihan yang ada. Pada tipe utusan atau delegasi, mengharuskan anggota DPRD mengadakan konsultasi secara kontinu kepada pihak yang diwakilinya. Dalam tipe ini, wakil bertindak sebagai penyalur dari tuntutan atau kehendak pihak yang diwakili. Dengan kata lain, orientasi anggota DPRD ialah kepada anggota masyarakat yang diwakili. Pada tipe politico merupakan gabungan dari tipe wali dan tipe utusan. Orientasi wakil disesuaikan dengan isu atau masalah yang dihadapi. Sekiranya isu tersebut langsung menyangkut kepentingan pihak yang diwakili, maka anggota DPRD bertindak selaku utusan. Sebaliknya jika isu langsung menyangkut kepentingan diri sendiri maka wakil bertindak sebagai wali. Sedangkan pada tipe partisan, wakil cenderung berorientasi kepada organisasi politik yang menggerakkan dukungannya. Di samping keempat orientasi tersebut di atas, Sanit (1985:83) melihat kecenderungan anggota DPRD tidak berorientasi kepada empat tipe tersebut, melainkan kemungkinan wakil berorientasi kepada pemerintah (eksekutif). Analisis Sanit tersebut boleh dikatakan sebagai pengalaman masa Orde Baru. Pengembangan lembaga perwakilan politik terjadi melalui pelaksanaan fungsi-fungsi lembaga tersebut. Menurut Sanit (1985:229) fungsi badan perwakilan yang dianut di berbagai negara adalah: a. Fungsi membuat peraturan perundang-undangan. Fungsi badan perwakilan rakyat yang menyirikan demokrasi modern ini memperkenalkan nama badan legislatif atau badan pembuat undang-undang. Melalui fungsi ini Parlemen menunjukkan bahwa dirinya sebagai wakil rakyat dengan memasukkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang diwakilinya ke dalam pasalpasal undang-undang yang dihasilkan. b. Fungsi keuangan. Fungsi ini terkait dengan kewenangan badan perwakilan dalam menentukan pemasukan dan pengeluaran uang negara yang pada hakikatnya adalah uang rakyat. Baik pembelanjaan negara yang diambil dari pajak sebagai sumbernya, maupun yang berasal dari bantuan atau pinjaman dari luar negeri, semuanya tentunya menjadi beban rakyat. Fungsi pemasukkan dan pengeluaran tidak dapat dipisahkan. Keduanya harus dilihat sebagai kembaran. c. Fungsi pengawasan. Sesungguhnya pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan pertama kali berkenaan dengan keputusan yang telah dikeluarkannya dalam bentuk undang-undang. Eksekutif dan yudikatif yang bertindak sebagai pelaksana perlu dinilai apakah cukup tepat melaksanakan keputusan tersebut. Kedua pengawasan itu merupakan konsekuensi dari kekuasaan rakyat yang dioperasikannya. Sebagai pemegang mandat kekuasaan badan perwakilan bertanggung jawab atas pemanfaatan mandat tersebut kepada pemberinya. Pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan adalah pengawasan politis. Walaupun begitu, sebagai pengawas lembaga ini memerlukan data dan keterangan yang memadai. Bahan itu didapatnya melalui kerjasama dengan berbagai fihak, seperti lembaga pengawas keuangan, politisi, kalangan media massa di samping sumber yang dimiliki sendiri seperti staf ahli. Pengawasan politis dapat dilakukan dengan memanfaatkan hak-hak yang dimiliki oleh anggota dewan. Hak anggota parlemen meliputi hak bertanya, interpelasi, angket dan mosi. Hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakanya di sesuatu bidang. Dalam hal ini badan ekskutif wajib memberikan penjelasan dalam sidang pleno, di mana penjelasan tersebut kemudian dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara, apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Hak angket adalah hak
66
Aisyah, Kinerja Badan Perwakilan Lokal pada Era Reformasi
anggota badan legislatif untuk mengadakan penyelidikan sendiri. Untuk keperluan ini dapat dibentuk suatu panitia angket yang melaporkan hasil penyelidikannya kepada anggota badan legislatif lainnya, yang selanjutnya merumuskan pendapatnya mengenai soal ini, dengan harapan agar diperhatikan oleh pemerintah. Sedang mosi pada hakikatnya merupakan pernyataan lembaga ini akan ketidakpercayaan atau kepercayaannya terhadap kebijaksanaan pejabat eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi badan perwakilan tersebut dapat dijadikan ukuran kinerja keberhasilan badan perwakilan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Sedangkan untuk menjamin hubungan yang diharapkan antara wakil rakyat dan rakyat diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pada padal 45 (g), yang berbunyi: anggota DPRD mempunyai kewajiban memberikan pertanggungjawaban atas tugas dan kinerjanya selaku anggota DPRD sebagai wujud tanggung jawab moral dan politis terhadap daerah pemilihannya. Komunikasi antara anggota DPRD dengan konstituennya tersebut diharapkan terjadi pada kegiatan masa reses. Kegiatan masa reses bertujuan untuk menjaring aspirasi masyarakat melalui komunikasi yang intensif serta mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang diwakilinya. Kinerja badan perwakilan dapat dilihat berdasarkan pelaksanaan fungsi-fungsi badan perwakilan itu sendiri, yakni dengan menganalisis bagaimana implementasi dari pelaksanaan fungsifungsi DPRD dengan melihat apakah produk-produk yang dihasilkan berpihak kepada rakyat, serta pola hubungan antara DPRD dan eksekutif. Bentuk Hubungan Antara DPRD dan KDH Bentuk hubungan antara DPRD dan Kepala Daerah (KDH) memengaruhi implementasi fungsi-fungsi DPRD. Menurut Prasodjo (2007:2.15), untuk mengawali bangunan teoritik hubungan DPRD (council) dan KDH (local executive), sangat baik digambarkan terlebih dahulu apa yang dikembangkan di Amerika Serikat, karena di Amerika Serikat terdapat variasi yang cukup kompleks. Menurut Pinch, sebagaimana dikutip oleh Prasodjo (2007:2.16) terdapat empat sistem bentuk hubungan DPRD dan KDH, yaitu: 1. Commisioners system, di mana komisioner hasil pemilihan langsung masyarakat menentukan dan mengelola dinas-dinas/lembaga birokrasi daerah; 2. Council-manager system, di mana manajer hasil pilihan dewan bersama major-nya menentukan dan mengelola dinas-dinas/lembaga birokrasi daerah; 3. Weak Major, jika dinas/lembaga birokrasi daerah diisi melalui pemilihan langsung dari warga, sedangkan KDH-nya oleh DPRD yang terpilih; 4. Strong Majors, di mana KDH dipilih oleh publik, kemudian menentukan dan mengelola dinas/lembaga birokrasi di daerahnya. Muthalib dan Khan (1981:53) mengatakan bahwa bentuk alamiah dewan lokal di dunia saat ini adalah satu kamar (one chamber), yang pengisiannya dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum yang di Indonesia dikenal sebagai pemilihan anggota legislatif (Pilcaleg). Salah satu variabel yang digunakan oleh Muthalib dan Khan (1981:53), untuk melihat kinerja badan legislatif adalah hubungan antara legislatif dan Kepala Daerah (KDH). Hubungan antara legislatif dan KDH dapat diklasifikasi menjadi dua kelompok: Pertama, kelompok yang menempatkan DPRD sebagai sumber otoritas birokrasi lokal, yang dalam hal ini dapat bersama-sama dengan KDH atau tanpa KDH, seperti yang diterapkan di Inggris; Kedua, kelompok yang menempatkan DPRD sebagai lembaga yang tidak berperan sebagai sumber otoritas birokrasi, karena dipegang oleh KDH. Pola tersebut memengaruhi hubungan kerja antara DPRD dan KDH, hak dan kewajiban DPRD dalam pemerintahan.
67
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 2, September 2009, 63-72
Untuk menganalisis kinerja DPRD penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Variabel yang diteliti adalah pelaksanaan kinerja di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan. Teknik pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan cara: a). wawancara mendalam dengan key informant yang dianggap mampu menjawab permasalahan dengan menggunakan teknik snowball; b). Studi kepustakaan dengan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari dokumen, buku, jurnal, majalah dan koran yang berkaitan dengan penelitian. Semua data yang relevan akan dikumpulkan dan dianalisis dengan berpedoman pada metode penulisan ilmiah. Berikut disajikan alur pemikiran penelitian.
Gambar Alur Pikir Penelitian Pelaksanaan fungsi di bidang legislasi
Pola hubungan DPRD dan rakyat
Pelaksanaan fungsi di bidang penyusunan anggaran Pola Hubungan DPRD - Eksekutif
Pelaksanaan fungsi di bidang pengawasan
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis kinerja DPRD meliputi analisis pelaksanaan fungsi di bidang legislasi, anggaran, dan pengawasan, yakni dengan melihat apakah produk-produk yang dihasilkan DPRD sudah sesuai dengan kepentingan rakyat, serta bentuk hubungan DPRD dan KDH. Kinerja DPRD dilihat dari apa yang dicapai pada 3 (tiga) bidang, yaitu bidang legislasi, penyusunan anggaran dan pengawasan. Berikut diuraikan kinerja DPRD pada 3 (tiga) bidang dimaksud. Kinerja di Bidang Legislasi Menurut teori, DPRD membuat kebijakan atas nama anggota masyarakat yang secara keseluruhan terwakili di dalam lembaga tersebut. Dalam hal ini, DPRD bertindak sebagai pelindung kepentingan dan penyalur aspirasi masyarakat yang diwakilinya. Pada kenyataannya Perda-perda yang dihasilkan, seperti yang terjadi di DPRD Kota Bogor periode 1999-2004, sebagian besar mengatur retribusi dan pajak daerah, organisasi tata kelembagaan pemerintahan Kota Bogor, dan Perda-perda tentang APBD. Perda-perda yang menyangkut pelayanan publik bisa dihitung dengan jari, sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Hal ini tidak berbeda dengan yang terjadi di DPRD Kota Depok. Dari Perda-perda yang ada separuh lebih Perda yang dihasilkan adalah tentang pajak dan retribusi, Organisasi Tata Kelembagaan (OTK) dan Perda yang dikategorikan lain-lain, yang antara lain meliputi Perda tentang
68
Aisyah, Kinerja Badan Perwakilan Lokal pada Era Reformasi
pengesahan APBD dan revisinya, serta perijinan. Uraian tentang produk legislasi di DPRD Kota Bogor dan Depok dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Produk Legislasi DPRD Kota Bogor dan Depok Periode 1999-2006 Produk Perda Bogor Jumlah Perda 86 Perda Rata-rata/tahun 17 Perda Perda retribusi/pajak daerah 33 Perda/38 % Perda OTK 15 Perda/17 % Perda Publik 3 Perda/4 % Perda lainnya 35 Perda /41 % Sumber: Buku Memori DPRD Kota Bogor dan Depok 1999-2006
Depok 68 Perda 13 Perda 26 Perda/38% 9 Perda/13 % 2 Perda/3 % 31 Perda /45 %
Hal ini menjadi indikasi bahwa peran dan fungsi pemerintahan daerah cenderung didominasi oleh eksekutif (KDH). Pola tersebut memperkuat teori yang dikemukakan oleh Muthalib dan Khan (1981:53), yakni bahwa DPRD sebagai lembaga yang tidak berperan sebagai sumber otoritas birokrasi karena dipegang oleh KDH. Pola strong major menjadi lebih kentara ketika kemudian KDH dipilih secara langsung oleh rakyat. Pola strong major tersebut setidaknya memengaruhi kinerja DPRD dalam melaksanakan fungsi legislasi. Produk-produk legislasi tersebut menunjukkan bahwa orientasi anggota DPRD tidak termasuk dalam salah satu kategori de Gracia. Namun demikian, orientasi anggota DPRD lebih tepat dikategorikan sebagai berorientasi pada eksekutif, seperti yang dikemukakan oleh Sanit (1985:85), karena dalam mengambil keputusan anggota DPRD cenderung mengikuti skenario eksekutif, di mana DPRD tinggal mengesahkannya saja. Kinerja di Bidang Penyusunan Anggaran Pada masa berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 di mana DPRD memiliki kewenangan yang besar dalam pemerintahan daerah. Hal ini terlihat dari adanya kewajiban KDH untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Dalam hal pertanggung jawaban KDH kepada DPRD, undang-undang mengenal 3 (tiga) macam pertanggungjawaban, yakni: 1) pertanggungjawaban pada setiap tahun anggaran, 2) Pertanggungjawaban mengenai hal tertentu atas permintaan DPRD, dan 3) Pertanggungjawaban dalam memasuki berakhirnya masa akhir jabatan. Dalam pasal 46 UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dikatakan bahwa apabila pertanggungjawaban yang pertama dan kedua ditolak oleh DPRD maka KDH yang bersangkutan harus melengkapi dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari untuk disampaikan kembali kepada DPRD. Bagi KDH yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden. Kewajiban untuk menyempurnakan pertanggungjawaban KDH hanya berlaku untuk pertanggungjawaban pertama dan kedua. Tidak ada kewajiban bagi KDH untuk menyempurnakan pertanggungjawaban yang ketiga. Namun dalam pasal 54 UU No. 22 tahun 1999 dinyatakan bahwa KDH yang ditolak pertanggungjawaban akhir oleh DPRD tidak dapat dicalonkan kembali sebagai KDH dalam masa jabatan berikutnya. Pola petanggungjawaban KDH kepada DPRD seperti yang diterapkan dalam UU No. 22 tahun 1999 ternyata kemudian berubah ketika undang-undang tersebut diganti oleh UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Dalam pasal 27 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 dikenal istilah
69
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 2, September 2009, 63-72
Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) kepada DPRD. Hasil pembahasan LKPJ oleh DPRD berupa catatan-catatan strategis, saran, masukan, dan lain-lain yang berhubungan dengan penyempurnaan dan perlu ditindaklanjuti oleh KDH dalam menyelenggarakan pemerintahan ke depan. Hasil pembahasan tersebut ditetapkan dengan Keputusan DPRD yang sifatnya tidak untuk menolak atau menerima LKPJ. Pola pertanggungjawaban KDH kepada DPRD seperti diterapkan pada masa UU No. 22 Tahun 1999 banyak mewarnai terjadinya money politics dalam tubuh DPRD. DPRD disinyalir sering memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya dalam memberhentikan KDH jika ditolak pertanggungjawabannya. Jika ditinjau dari teori orientasi Wakil, orientasi anggota DPRD pada masa diberlakukan UU No. 22 Tahun 1999 dikategorikan sebagai tipe wali (trustee), di mana anggota DPRD cenderung bertindak bebas atas nama kepentingan mereka sendiri. Anggota DPRD berhak mempergunakan pertimbangannya sendiri dalam memberikan persetujuan terhadap pilihan-pilihan yang ada, misalnya dalam hal menerima atau menolak LKPJ KDH kepada DPRD ketika dilakukan voting. Namun demikian, orientasi anggota DPRD juga bisa dikategorikan sebagai politico yang merupakan gabungan dari tipe wali dan utusan. Sekiranya isu tersebut langsung menyangkut kepentingan pihak yang diwakili, misalnya dukungan terhadap demonstran yang menyerukan penolakan terhadap kenaikan BBM, maka anggota DPRD cenderung bertindak selaku utusan. Sebaliknya, jika isu langsung menyangkut kepentingan diri sendiri maka anggota DPRD cenderung bertindak sebagai wali. Jika ditinjau dari pelaksanaan fungsi penyusunan anggaran, orientasi anggota DPRD cenderung pada eksekutif. Hal ini terlihat ketika eksekutif mengajukan APBD, di mana salah satunya adalah adanya target-target penerimaan pendapatan, yang dibebankan kepada masyarakat melalui peningkatan penerimaan retribusi dan pajak daerah dari tahun ke tahun. Upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut memang tidak ada yang salah, asalkan diikuti pula dengan peningkatan kualitas sarana dan prasarana yang akan dinikmati oleh masyarakat. Sebagai contoh, peningkatan kualitas sarana dan prasarana di Kota Bogor dan Depok tidak lebih dari hanya 21,5 % dari keseluruhan APBD yang disahkan. Sebagian besar dana APBD habis terpakai untuk operasional penyelenggaraan pemerintah kota itu sendiri. Berikut komposisi PAD dibandingkan keseluruhan penerimaan dalam APBD. Tabel 2. Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor dan Depok KOTA BOGOR Prosentase PAD dari Total Total PAD Pendapatan APBD 2003 302.700.540 33.470.340 11,06 2004 380.532.282 49.163.187 12,92 2005 413.750.977 73.371.081 17,73 Sumber: APBD Kota Bogor dan Depok tahun 2003-2005 TH
Total Pendapatan
Total Pendapatan 322.957.555,00 461.858.455,59 502.337.703,93
Dalam ribuan rupiah KOTA DEPOK Prosentase PAD dari Total Total PAD Pendapatan APBD 28.854.261,00 8,93 54.467.014,00 11,80 62.962,583,59 12,53
Kenyataan tersebut kembali memperkuat teori yang dikemukakan oleh Mutthalib dan Khan, terjadinya strong major pada pemerintahan daerah, di mana KDH memiliki otoritas yang kuat dalam
70
Aisyah, Kinerja Badan Perwakilan Lokal pada Era Reformasi
menyelenggarakan pemerintahan lokal, termasuk dalam menentukan besarnya anggaran yang berimbas langsung kepada publik. Kinerja di Bidang Pengawasan Pengawasan yang dilakukan oleh badan perwakilan adalah pengawasan politis. Walaupun begitu, sebagai pengawas lembaga ini memerlukan data dan keterangan yang memadai. Bahan itu didapatnya melalui kerjasama dengan berbagai fihak, seperti lembaga pengawas keuangan, politisi, kalangan media massa di samping sumber yang dimiliki sendiri seperti staf ahli. Pengawasan politis dapat dilakukan dengan memanfaatkan hak-hak yang dimiliki oleh anggota dewan. Hak anggota parlemen meliputi hak bertanya, interplasi, angket dan mosi. Anggota dewan dapat mengajukkan pertanyaan kepada pemerintah mengenai sesuatu hal yang dianggap kurang wajar dalam bentuk pertanyaan parlementer. Hak interplasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijaksanaanya di sesuatu bidang. Dalam hal ini , badan ekskutif wajib memberikan penjelasan dalam sidang pleno, di mana penjelasan tersebut kemudian dibahas oleh anggota-anggota dan diakhiri dengan pemungutan suara, apakah keterangan pemerintah memuaskan atau tidak. Dalam prakteknya untuk melaksanakan fungsi pengawasan DPRD dibekali dengan sejumlah hak, yakni hak interpelasi, angket dan menyatakan pendapat. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 43 ayat (2) dijelaskan bahwa hak angket dilakukan setelah diajukan hak interpelasi dan mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 (tiga perempat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurangkurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota yang hadir. Dalam prakteknya, hak interpelasi dan hak angket jarang digunakan, bahkan kemungkinan menggunakannya sangat kecil. Pada tataran tingkat pusat pun, hak angket dan interpelasi sering kandas di tengah jalan. Sejak Republik ini berdiri, tercatat setidaknya pernah ada 8 (delapan) usulan hak angket. Separuh berhasil diselesaikan, dan separuhnya lagi kandas. Usulan hak angket yang berhasil adalah Angket Pemogikan dan Keadaan Badan Tekstil Negara di Delanggu, Solo, oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1948, Angket Untung Rugi Mempertahankan Rezim Devisa, oleh DPRS tahun 1954, Angket Aparatur Perekonomian Negara oleh DPR-GR tahun 19651966, dan Angket Yanatera Bulog, oleh DPR-RI tahun 1999-2004. Sepertinya penggunaan hak angket dan interpelasi oleh badan perwakilan masih sulit dilaksanakan. Pengawasan yang sering dilaksanakan oleh badan perwakilan di Indonesia umumnya masih pada tataran memanggil sejumlah pihak yang terkait, misalnya dinas pendidikan, kepala pasar, dan lain sebagainya, tergantung kasus yang sedang ditangani. Umumnya pihak DPRD menunggu laporan atau pengaduan masyarakat mengenai suatu kasus. Oleh karena itu, pengawasan yang dilaksanakan oleh DPRD, baik di DPRD Kota Bogor dan Depok bersifat reaktif, artinya pihak DPRD baru melaksanakan fungsinya atau bereaksi setelah ada pengaduan masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan di DPRD Kota Bogor dan Depok baru sebatas pada pengawasan pasif. Rendahnya pengetahuan sebagian besar anggota DPRD tentang materi Perda dan implementasi Perda yang dilaksanakan oleh eksekutif menyebabkan sulitnya DPRD melakukan fungsi pengawasan. Fungsi pengawasan yang paling banyak dilakukan adalah dalam bentuk memanggil pihak eksekutif atau pengusaha dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat yang dianggap bermasalah, misalnya mengunjungi peternakan ayam yang menimbulkan pencemaran lingkungan, atau
71
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Volume 5, Nomor 2, September 2009, 63-72
mengunjungi kompleks perumahan untuk meninjau sarana fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) yang harus dipenuhi oleh pengambang perumahan. PENUTUP Kinerja DPRD diukur dengan melakukan analisis pelaksanaan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh DPRD dan pola hubungan DPRD dengan kepala daerah (eksekutif). Secara teoritis, DPRD merupakan lembaga perwakilan yang mewakili rakyat dalam mengambil keputusan. Di samping itu, DPRD adalah mitra dari eksekutif. Oleh karena itu, hubungan antara DPRD dengan masyarakat, serta hubungan DPRD dengan eksekutif menjadi fokus utama dalam melakukan analisis performance DPRD. Ditinjau dari keseluruhan produk yang dihasilkan, orientasi DPRD cenderung pada eksekutif. Namun pada kasus-kasus yang lain, orientasi DPRD menunjukkan pada tipe wali, utusan dan politico. Klasifikasi tipe orientasi wakil cenderung kurang bisa diterapkan dalam menentukan orientasi wakil secara keseluruhan, namun klasifikasi tersebut masih relevan untuk digunakan untuk menganalisis kasus per kasus. Sedangkan untuk menganalisis kinerja DPRD, teori yang dikemukakan oleh Muthalib dan Khan mengenai bentuk hubungan DPRD dan KDH lebih dapat menjelaskan bagaimana kinerja DPRD, yang ternyata masih jauh dari harapan rakyat. Berdasarkan hasil analisis data dan informasi yang terkumpul maka dapat disimpulkan bahwa pada era reformasi, penyebab produk-produk yang dihasilkan DPRD lebih berorientasi pada kepentingan eksekutif adalah karena DPRD merupakan lembaga yang tidak memiliki peran pada otoritas birokrasi, karena otoritas birokrasi sepenuhnya berada di tangan Kepala Daerah (KDH). Pelaksanaan Pilkada semakin memperkuat posisi KDH. Oleh karena itu, sebagai lembaga yang mewakili rakyat di tingkat lokal, peran dan fungsi DPRD perlu ditingkatkan, di samping juga perlunya peningkatan kualitas anggota DPRD, sehingga diharapkan lembaga tersebut mampu menunjukkan taringnya ketika kebijakan yang dikeluarkan oleh eksekutif tidak lagi berpihak kepada rakyat. REFERENSI Muttalib, & Khan, M.A.A. (1981). Theory of local government. New Delhi: Sterling Publishers Private Limited. Prasodjo, E. (2007). Pemerintahan daerah. Jakarta: Universitas Terbuka. Sanit, A. (1985). Perwakilan politik di Indonesia. Jakarta: CV Rajawali. Peraturan Perundangan-undangan : Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
72