Prosiding SNaPP2011: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
ISSN 2089-3590
Pelaporan Investigatif pada Era Reformasi di Indonesia Septiawan Santana Kurnia Fakultas Ilmu Komunikasi, Unisba, Jl. Tamansari No.1 Bandung e-mail:
[email protected]
1.
Pendahuluan
Upaya media menangkap keberadaan persoalan di masyarakat merupakan salah satu bagian dari kerja jurnalisme investigasi. Pemberitaan investigatif di media cetak dan media siaran tersebut memberikan fenomen performa tertentu pada berbagai wacana dan isu di masyarakat. Pemberitaan korupsi, dan “pelanggaran” sosial-politis lainnya, di antaranya, merupakan hal-hal yang diwacanakan di pelaporan investigatif (investigative reporting). Dalam kaitan itu, peliputan investigatif berhubungan dengan independensi media dan kemampuan manajemen keredaksiannya. Kapasitas manajemen media memegang peran. Independensi media menjadi pendorong. Namun, tidak semua media memiliki kemandirian manajemen yang solid. Kepentingan bisnis media sering menghambat redaksi untuk mengembangkan liputan investigasi. Tekanan “politis” (pressure group) kerap menghalangi gerak kerja investigatif media. Ketidakpahaman masyarakat memberi “ketakutan” tersendiri pada wartawan dan kelembagaan media untuk melakukan pencarian fakta “investigatif”. Dalam kaitan itulah, riset ini mencoba melihat satu fokus amatan dari realitas pemberitaan investigatif di media di Indonesia. Fokus amatan penelitian ini terttuju pada fenomena keberadaan wartawan investigatif Indonesia, para Era Reformasi, yang memiliki sedimentasi sosial-kultur kejurnalistikan tertentu. Topik yang diangkat dalam penelitian ini mengenai Fenomena Pelaporan Investigatif di Media di Indonesia, pada Era Reformasi. Topik ini akan diteliti melalui Fenomenologi. Fenomenologi menjadi alat melihat berbagai “pemaknaan” yang “tampak” dan “hadir”. Acuannya merujuk kepada amatan, serta penilaian dan pendapat beberapa tokoh wartawan di Indonesia atas hasil kerja liputan investigatif dan pemaknaannya dalam tubuh pers Indonesia. Dalam kaitan tersebut, maksud penelitian ini ialah hendak mengamati fenomena Peliputan Investigatif di Media di Indonesia, pada Era Reformasi, yang belum terobsevasikan di dalam dokumentasi perjalanan pers di Indonesia. Tujuan penelitian ini ialah mengamati kegiatan Peliputan Investigatif di Media di Indonesia, pada Era Reformasi: ketika membuat Konsep liputan investigasinya dan membuat Perencanaan liputan investigasi serta melakukan Evaluasi pada berbagai liputan yang telah dilaksanakan. Selain itu, untuk memetakan kontur perkembangan Peliputan Investigatif di media di Indonesia, pada Fase Reformasi, dalam ruang sistem sosio kemasyarakatannya. Kegunaan Penelitian ini diharapkan, secara teoretik, dapat mengembangkan pemahaman investigative journalism, melalui sisi praksis, yang belum banyak ditelaah di Indonesia. Secara keilmuan Jurnalistik, hal ini akan memberi masukkan bagi dimensi Investigatif Journalism – yang merupakan varian dari jurnalisme dan komunikasi massa
553
554 |
Septiawan Santana Kurnia
bagi disiplin komunikologi. Secara praktis, kegunaan penelitian bisa mendapatkan gambaran tentang kerja Peliputan Investigatif di Media di Indonesia, pada Era Reformasi, dan diharapkan dapat mendokumentasikan pekembangan pers Indonesia di ranah investigasi, serta mewacanakannya di perbincangan media dan kewartawanan di Indonesia. Kajian Literatur Sarah Ghoneim1 (2003) membuat penelitian dengan tajuk Investigative Journalism As A Safeguard For Democracy. Ghoneim memakai dasar pemikiran bahwa jurnalisme merupakan kekuatan dari masyarakat. Masyarakat memiliki “hak untutk tahu”, dan sebagai bagian dari masyarakat, para jurnalis memiliki kewajiban untuk menginformasikan pelbagai kejadian yang terkait dengan kepentingan publik.Pada perkembangannya kemudian, Ghoneim menemukan jurnalisme. telah menjadi “more and more a victim of the corporate world.” Jurnalisme ialah ranah komunikasi yang telah terdiferensiasi. Pelbagai bidang kehidupan sosial, dan disiplin keilmuan sosial, telah ikut mengembangkannya. Brian McNair (dalam Burgh, ed., 2005: 42), menyatakan, jurnalisme telah menjadi “as a cultural commodity, an art form, an entertainment medium and a mode of political action.” Hal ini, secara akademis, dapat dipahami bila melihat ranah riset jurnalistik ketika menyentuh pelbagai sosio kehidupan masyarakat di berbagai seting sosial di banyak tempat. Asal usul penelitian jurnalistik, menurut Craig dalam The Handbook Of Journalism Studies (dalam Wahl-Jorgensen and Hanitzsch, 2009: ix–x), dapat ditelusuri sampai ke pertengahan abas Ke-19, di Eropa. Melalui beberapa disiplin, selama beberapa dekade terakhir Abad 20, penelitian jurnalistik dikembangkan khususnya di beberapa sekolah jurnalisme dan komunikasi massa, Amerika. Namun, dalam on the international scene of communication research, kini beberapa perspektif jurnalisme hadir sebagai sebuah bidang interdisipliner yang baru. Pada dasarnya, beberapa prinsip liputan kegiawan wartawan itu mengindikasikan penggalian infromasi. Pekerjaan wartawan mengumpulkan informasi untuk membantu masyarakat memahami kejadian yang mempengaruhi kehidupan mereka. Penggalian membawa para reporter untuk melakukan tiga kegiatan (Mencher, 1997: 245): Surface facts, Reportorial enterprise, nterpretation and analysis. Pada titik tertentu, peliputan investigatif berbeda dibanding peliputan harian atau beat reporter (Atmakusumah, 2001). Inisiatif investigatif tidak menunggu masalah atau peristiwa diberitakan: tapi, justru memunculkan rmasalah, sesuatu, atau berita baru. Peliputan investigatif membutuhkan waktu lebih lama lagi saat mengungkapkan isu. Peliputan investigatif selektif, skeptis, dan kritis pada berita resmi, mengkritisi tiap pendapat, catatan, dan bocoran informasi resmi, tidak segera percaya. Peliputan investigatif mengungkap alasan sesuatu yang terjadi, diumumkan, atau mengapa terjadi lagi. Rivers dan Mathews (1994: 164-165) memberi beberapa indikasi ciri-ciri wartawan investigatif. Wartawan investigatif memiliki agresifitas yang tinggi terhadap data dan keterangan yang muncul di permukaan, yang tersedia begitu saja di hadapannya, akan tetapi memiliki kepekaan terhadap adanya persekongkolan, para penghasut rakyat, atau keculasan yang terjadi di masyarakat. Wartawan investigatif 1
Sarah Ghoneim (2003, hlm1), 10200127, Dissertation Title: Investigative Journalism As A Safeguard For Democracy. Course: Dissertation, New Media Journalism. Faculty: London College Of Music And Media. Thames Valley University. (http://zappa.tvu.ac.uk/00GhoneimS/)
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Pelaporan Investigatif pada Era Reformasi di Indonesia
| 555
memiliki kemampuan untuk marah, menderita semacam rasa kegusaran moral yang sungguh-sungguh terhadap keculasan. Dalam sebuah paparan, unsur per unsur yang mendukung bentukan Good Investigative Reporter, menurut Pete S.Steffens (dalam Atmakusumah, 2001), itu diantaranya adalah: Selalu ingin tahu (Wants to know), Mampu mendapatkannya (Able to find out), Mampu memahaminya (Able to understand), Mampu menyampaikannya (Able to tell the public), Menimbulkan keinginan beraksi (Wants action), Peduli terhadap (permasslahan) orang (Cares about people also). Untuk mencapai kesemua kemampuan itu, wartawan investigatif memerlukan kecukupan pemilikan: pengetahuan fakta-fakta (facts knowledge), rasa iba terhadap pembaca (private conscience /readers), aksi publik (public action), hukum -- melawan ketamakan (laws /against greeds), perbaikan sosial (reform).
II. Pembahasan Fenomena pelaporan investigasi di Indonesia Di Indonesia, pelaporan investigasi yang dilakukan pers Indonesia memiliki dimensi tertentu. Di dalam pelaksanaan kerja peliputannya, investigasi bisa dikatakan belum dilakukan secara intens. Pada masa Orde Baru (Orba), misalnya, dimensi sosial politik Indonesia telah menskema kebebasan pers berada di dalam tatanan sistem pers yang diatur oleh pemerintah, melalui Departemen Penerangan. Hal itu mengakibatkan kinerja investigasi pers belum dilaksanakan dengan semestinya. Di fase Reformasi, tatanan sosial politik memang membuka ruang investigasi. Pengamat pers Indonesia, Ashadi Siregar2, misalnya, menegaskan hal itu: “Terbuka peluang untuk investigasi.” Hal yang sama dinyatakan oleh berbagai pihak, seperti praktisi dan pengamat pers Indonesia Ignatius Haryanto3, dan penulis buku “Jurnalisme Investigasi” Dandhy Dwi Laksono4, dan Produser Siaran Trans TV Satrio Arismunandar5. Akan tetapi, di fase Reformasi, teknik peliputan investigatif ini memberi stigma tertentu bagi Indonesia. Banyak peliputan investigasi membutuhkan beberapa perangkat khusus. Perangkat itu meliputi kesiapan media dan wartawannya untuk mengeluarkan biaya dan waktu peliputan yang cukup tinggi. Selain itu, ialah kesiapan tatanan masyarakat di soal hukum dan demokrasi. Dalam habasa mantan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo, Toriq Hadad6. “Investigasi memang butuh skill tinggi, semangat juang, dan dukungan perusahaan media, sebab biasanya rawan gugatan. Itulah yang kami alami di Tempo,” ujarnya. Persaingan antar-media, misalnya, di Indonesia memberi dampak. Di samping persaingan merangsang kompetisi liputan-liputan investigatif untuk meraih prestise, eksklusifitas, dan reputasi, namun ada pula kecenderungan, menurut Dandhy, “media secara ironis bergerak ke arah komodifikasi informasi dan komersialisasi.” Contohnya, menurut Haryanto, “investigasi yang diklaim beberapa media televisi.” Haryanto menilai siaran investigatif televisi harus banyak dikritisi. Menurut amatan Pemimpin 2
Wawancara, 20 September jam 11:57: http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=2&sk=messages&tid=438255281767 Email: Tuesday, September 21, 2010 4: 23 PM; to:
[email protected] Wawancara, September 26, 2010 at 7:57am; http://www.facebook.com/?tid=471406505578&sk=messages 5 Wawancara, 20 September jam 18:56; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=3&sk=messages&tid=433773376602 6 http://www.facebook.com/n/?inbox%2Freadmessage.php&t=1193304012571&mid=31472e4G2b04e95aG5b9cfcaG0&n_m=santa nakurnia%40hotmail.com; October 5, 2010 at 9:47pm
3 4
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011
556 |
Septiawan Santana Kurnia
Redaksi Warta Kota Hendry Ch Bangun7. meski hampir semua televisi di Indonesia memiliki program siaran investigasi (seperti, Metro, TvOne, Anteve, Trans, Trans7), “tapi saya cenderung menyebutkan liputan mendalam (indepth reporting), tidak investigatif seperti yang diharapkan dalam liputan penyelidikan (investigative reporting).” Tokoh pers Indonesia Masmimar Mangiang8 menilai, “karena yang dilakukan hanyalah indepth reporting, tanpa ada rahasia yang diungkapkan.” Hal ini, dalam penjelasan wartawan Tempo Metta Dharmasaputra9, diakibatkan orang masih banyak rancu membedakan investigative dengan indepth reporting, atau bahkan dengan peliputan sensasional berbau skandal. Sementara yang dimaksud investigative report itu ialah laporan yang “membongkar segala rahasia” yang telah ditutup-tutupi dengan sengaja. Fenomen siaran investigatif televisi macam itu disangkal Produser Siaran Trans TV, Satrio Arismunandar. Ia menilai ruang sosial politik Reformasi telah membuat berbagai media mengembangkan investigasi dalam pola liputann yang berbeda-beda. “Tergantung medianya juga,” jelasnya. “Kalau di Majalah Tempo, menurutnya, pernah ada tim investigasi yang kuat yang disusun secara khusus. Ada ketua, anggota, dan sebagainya. “Jika di televisi, di Trans TV, ada program tetap yang namanya ‘Reportase Investigasi’ (tayang weekly). Ini juga punya tim tetap (ada produser, asisten produser, camera person, reporter/researcher), yang dirotasi tiap 6 bulan.” Selain itu, ada juga investigative journalist yang bergerak sendirian. “Mereka memilih topik sendiri, meriset sendiri, meliput sendiri. Hasilnya bisa dibikin buku atau dimuat di media online, atau dijual ke media yang berminat.”
III.
Penutup Dalam skematik kesimpulan tertentu, berbagai amatan para praktisi dan pengamat pers Indonesia tersebut, dapatlah menjelaskan fenomena Peliputan Investigatif sebagai berikut: Media cetak dan elektronik yang serius dihalangi biaya peliputan investigasi yang mahal, dan memerlukan ketekunan wartawan yang sangat menyita waktu. Selain itu, banyak media khawatir laporan investigatifnya “diseret ke pengadilan dengan tuntutan pidana dan gugatan perdata ratusan juta”. Maka itu, dalam amatan Haryanto, selain Majalah Tempo, ia tidak yakin media lain, “mau, berani, terampil dan punya komitmen untuk melaksanakan investigasi.” Hal ini disepakati Hendry Ch Bangun10. Ia menyatakan media yang konsisten melakukan investigasi itu “cuma Tempo di cetak.” Kompas hanya sesekali dan memilih cara lain untuk menyoroti satu hal, “yakni liputan mendalam, komprehensif yang kita temui tiap hari Senin,” jelasnya. Maka itu, dalam penilaian Prof.Dr.Alwi Dahlan11, Guru Besar Komunikasi, Universitas Indonesia, jarang terlihat adanya liputan investigasi yang benar-benar profesional, dalam mencari, menelusuri, menguji bahan dan membongkar dan mengungkap masalah dengan lengkap. Pada sisi ini, wartawan investigasi yang beberapa beritanya sempat menghangat isu publik, Metta Dharmasaputra12, melihat beberapa hal praksis tentang 7
Wawancara, 20 September jam 9:01; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=3&sk=messages&tid=1474030582520 Wawancara, 20 September jam 2:38; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=3&sk=messages&tid=1420217310000 9 Wawancara, 23 September jam 8:50; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=2&sk=messages&tid=1187180697655 10 Wawancara, 20 September jam 9:01; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=3&sk=messages&tid=1474030582520 11 Wawancara, 29 September 2010; jam 12:23; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=1&sk=messages&tid=1474225349779 12 Wawancara, 23 September jam 8:50; http://www.facebook.com/home.php?#!/?page=2&sk=messages&tid=1187180697655 8
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM: Sosial, Ekonomi, dan Humaniora
Pelaporan Investigatif pada Era Reformasi di Indonesia
| 557
mengapa peliputan investigasi di era reformasi belum terlalu berkembang. “Yang marak baru sebatas gairah untuk melakukan investigasi.” Padahal upaya investigasi media ini diperlukan sekali, menurut Alamudi, bagi Indonesia. Khususnya, dalam kaitan pemberatasan korupsi. Dalam konteks tertentu, bahkan, investigasi media dapat menjadi bagian dari jualan media, dalam arti yang bukan bersifat negatif, menurut Haryanto, tapi sebagai upaya media “berjualan” kredibilitas. Akan tetapi, selain di soal kompetensi media, laporan investigatif, menurut Masmiar Mangiang, memang memerlukan persyaratan tertentu. Masyarakat Indonesia harus sudah berada di dalam tatanan open society, masyarakat yang sadar “informasi”. Hukum ditegakkan secara sempurna. Dan, demokrasi dilaksanakan secara sehat. Investigative reporting berkorelasi dengan semua itu. Maka itu, banyak media di Indonesia belum banyak mampu melakukan investigasi, contoh Mangiang, “untuk kasus-kasus besar dan bersifat penting seperti, ‘siapa pembunuh Munir’; ‘dari mana asal dana Partai Demokrat, dan ke mana saja dana itu mengalir’.” Daftar Pustaka Atmakusumah (2001). Laporan Penyidikan (Investigative Reporting), makalah.. Burgh, Hugo de ed. (2005), Making Journalists, Routledge, 2 Park Square, Milton Park, Abingdon, Oxon OX14 4RN Craig, Robert T. (2009). “Series Editor’s Foreword”, The Handbook Of Journalism Studies, [edited], by Karin Wahl-Jorgensen and Thomas Hanitzsch, 2009 New York: Routledge Ghoneim, Sarah (2003), 10200127, Dissertation Title: Investigative Journalism As A Safeguard For Democracy. Course: Dissertation, New Media Journalism. Faculty: London College Of Music And Media. Thames Valley University. (http://zappa.tvu.ac.uk/00GhoneimS/) Karin Wahl-Jorgensen dan Thomas Hanitzsch (2009), [edited]. The Handbook Of Journalism Studies, New York: Routledge Kuswarno, Engkus (2009). Metodologi Penelitian Komunikasi Fenomenologi: Konsepsi, Pedoman, dan Contoh Penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran) McNair, Brian (1998). The Sociology of Journalism. London, Great Britain: by Arnold, a member of the Hodder Headline Group. Mencher, Melvin (1997). News Reporting and Writting, seventh edition, Madison, WI : Brown & Brench Publisher Pete S.Steffens, dari Journalism Departement, Western Washington University, dikutip Atmakusumah (2001). Laporan Penyidikan (Investigative Reporting), makalah. Rivers, William L., & Mathews, Cleve (1994). Etika Media Massa dan Kecenderungan untuk Melanggarnya. Jakarta :PT Gramedia Pustaka Utama Weinberg, Steve (1996). The Reporter’s handbook: an investigator’s guide to documents and techniques – 3rd ed., New York: under the sponsorship of Investigative Reporters & Editors, Inc.(IRE); Edisi revisi dari The reporter’s handbook/under the editorship of John Ullman and Jan Colbert (Investigative Reportes & Editors, Inc) 2nd ed. C,1991.
ISSN 2089-3590 | Vol 2, No.1, Th, 2011