KEMUNGKINAN PENERAPAN OBLIGASI DAERAH: STUDI KASUS PEMERINTAH DAERAH DI PROPINSI JAWA TIMUR
MALIK CAHYADIN DORA INDRIANA
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
KEMUNGKINAN PENERAPAN OBLIGASI DAERAH: STUDI KASUS PEMERINTAH DAERAH DI PROPINSI JAWA TIMUR TAHUN 2003
ABSTRACT The implementation of regional autonomy drives a regional to improve many financial sources for development and public service programmes financing. A regional can get development and public service financing from borrowing such as municipal bond. This paper will study fiscal capacity (maximum borrowing) of regional government in East Java Province and their capability to pay of borrowing fund (e.g. with issuing municipal bond). Based on the formula of government regulation no. 107/2000 to calculate cumulative value of regional government borrowing and debt service coverage ratio shows there are fifteen regional government (districts/cities) that can’t use or issue municipal bond as financial source because the value of their DSCR below 2,5 (based on government regulation 107/2000). Key words: municipal bond, East Java, maximum borrowing, government regulation
1. Pendahuluan Pasca krisis ekonomi pertengahan 1997, kemampuan finansial pemerintah daerah masih sangat terbatas akibat sedikitnya sumber-sumber penerimaan. Disisi lain, pemerintah daerah harus tetap menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah harus mampu mencari sumber-sumber pembiayaan pembangunan termasuk melalui pinjaman daerah. Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta peraturan pendukung lainnya merupakan landasan dari pelaksanaan proses desentralisasi di Indonesia. Pasal 51 ayat 1 UU No. 33/2004 menyebutkan bahwa daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari: (a) pemerintah, (b) pemerintah daerah lain, (c) lembaga keuangan bank, (d) lembaga keuangan bukan bank, (e) masyarakat. Pada Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 107/2000 tentang Pinjaman Daerah disebutkan bahwa pinjaman daerah dari dalam negeri bersumber dari: (a) Pemerintah Pusat; (b) Lembaga Keuangan Bank; (c) Lembaga Keuangan Bukan Bank; (d) Masyarakat; dan (e) Sumber lainnya. Ada dua ketentuan yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk dapat melakukan pinjaman berdasarkan Pasal 6 PP No.107/2000 dan Pasal 8 ayat 1 PP No. 23/2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit APBN dan APBD serta Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, yaitu:
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
2
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
a. Jumlah kumulatif pokok pinjaman Daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya. b. Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran Daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5. Sementara itu, pada Pasal 1 ayat 1 KMK No. 579/KMK.07/2003 disebutkan bahwa; Pemerintah Daerah tidak diperbolehkan melakukan perjanjian pinjaman jangka panjang yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri sampai dengan tanggal 31 Desember 2004. Ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: (a) pinjaman Pemerintah Daerah dari Pemerintah Pusat; (b) penerusan pinjaman Pemerintah Pusat yang bersumber dari pinjaman luar negeri kepada Pemerintah Daerah. Sehubungan dengan permasalahan kebutuhan akan pemenuhan pembiayaan pembangunan daerah dan kemampuan daerah dalam melakukan pinjaman, maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahui seberapa besar kemampuan daerah untuk meminjam dan membayar pinjaman tersebut pada waktu jatuh tempo. Bentuk pinjaman daerah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah obligasi daerah. 2. Permasalahan Pinjaman yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah sangat tergantung dari banyak faktor, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal dimaksud antara lain: (a) Pendapatan Asli Daerah (PAD); (b) kemampuan daerah untuk memenuhi semua kewajiban atas pinjamannya; (c) biaya pinjaman; (d) kebijakan perekonomian nasional; dan (e) persetujuan DPRD. Sementara faktorfaktor eksternal yang dapat mempengaruhi pinjaman (terutama pinjaman dari luar negeri) adalah (a) kepercayaan kreditor (terutama kreditur luar negeri); (b) biaya pinjaman luar negeri; dan stok dana pinjaman (dalam hal ini surplus dana masyarakat) baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri (Badan Analisa Fiskal, 2002). Terkait dengan penggunaan obligasi daerah, sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan, terdapat beberapa kelebihan yang akan diperoleh jika dibandingkan dengan sumber pembiayaan atau pinjaman yang lain. Makmun (2000) mengatakan bahwa penerbitan obligasi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan menggunakan sumber pembiayaan lainnya. Hal ini mengingat dari hasil penerbitan obligasi, penggunaan dan pengelolaannya sepenuhnya menjadi wewenang emiten (Pemerintah Daerah). Ini berbeda dengan penggunaan dana pinjaman yang bersumber dari Subsidiary Loan Agreement (SLA), dimana intervensi baik di tingkat perencanaan, penggunaan, bahkan di tingkat pelaksanaan dari Pemerintah Pusat maupun negara atau institusi pemberi pinjaman cukup besar bahkan cenerung rumit. Kelebihan lain dari obligasi adalah kewenangan penggunaan dan pengelolaan atas dana yang diperoleh, proses penerbitan obligasi lebih mudah dan waktu yang relatif pendek.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
3
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Dengan melihat realita bahwa pemerintah daerah memerlukan sumber-sumber pembiayaan termasuk dengan cara menerbitkan obligasi daerah, maka penelitian ini akan memfokuskan pada kajian kemungkinan penerapan obligasi daerah untuk Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan data APBD tahun 2003. 3. Tujuan Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: a. Mengkaji kemampuan meminjam Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur b. Mengkaji kemungkinan penerapan dan kemampuan dalam membayar pinjaman pada waktu jatuh tempo, misal dengan menggunakan obligasi daerah, Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur. 4. Metode Penelitian 4.1 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Departemen Keuangan RI dan data APBD masing-masing Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur. Tahun pengamatan yaitu tahun 2003 (karena ketersedian data). 4.2 Alat Analisis Alat Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio-rasio baku sebagaimana yang ditantukan dalam Pasal 6 PP No. 107/ 2000 dan Pasal 8 ayat (1) PP No. 23/2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah, yaitu: a. Jumlah kumulatif pokok pinjaman daerah yang wajib dibayar tidak melebihi 75% dari jumlah Penerimaan Umum (PU) APBD tahun sebelumnya. Perhitungan PU adalah sebagai berikut: PU = PD – (DAK + DD + DP + PL) Dimana; PU =
PD DAK DD DP PL
= = = = =
Penerimaan Umum APBD adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, Dana Pinjaman Lama, dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu Jumlah Penerimaan Daerah Dana Alokasi Umum Dana Darurat Dana Pinjaman Penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
4
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
b. Berdasarkan proyeksi penerimaan dan pengeluaran daerah tahunan selama jangka waktu pinjaman, Debt Service Coverage Ratio (DSCR) paling sedikit 2,5. Adapun perhitungan DSCR dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
DSCR = Dimana; PAD = BD =
DAU = BW = P = B BL
= =
( PAD + BD + DAU ) − BW ≥ 2.5 P+B+L
Pendapatan Asli Daerah Bagian Daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, penerimaan sumber daya alam, dan bagian daerah lainnya seperti Pajak Penghasilan perseorangan Dana Alokasi Umum Belanja Wajib Angsuran pokok yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan Bunga yang jatuh tempo pada tahun anggaran yang bersangkutan Biaya lainnya
5. Pembahasan 5.1 Batas Maksimum Pinjaman Batas maksimum pinjaman digunakan untuk menentukan nilai dana maksimum yang bisa digunakan oleh Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pemda di Jawa Timur) untuk menerbitkan obligasi sebagai salah satu sumber pinjaman daerah untuk pembiayaan program-program pembangunan dan pelayanan publik. Nilai Batas maksimum pinjaman ini ditentukan tidak melebihi 75% dari Penerimaan Umum APBD tahun sebelumnya. Dalam penelitian ini batas maksimum pinjaman didasarkan pada APBD tahun 2003 (lihat table 1). Tabel 1. Batas Maksimum Pinjaman Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur (dalam jutaan rupiah berdasarkan APBD tahun 2003) No. Nama Daerah PU APBD Batas Maks. BMPK 1 Prov. Jawa Timur 3697115,98 0,75 2772836,985 2 Kab. Blitar 393344,11 0,75 295008,0825 3 Kab. Bojonegoro 413621,32 0,75 310215,99 4 Kab. Jombang 438139,31 0,75 328604,4825 5 Kab. Kediri 504315,3 0,75 378236,475 6 Kab. Lumajang 350890,44 0,75 263167,83 7 Kab. Magetan 350205,98 0,75 262654,485 8 Kab. Nganjuk 421287,91 0,75 315965,9325 9 Kab. Pacitan 281728,99 0,75 211296,7425 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
5
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
10 Kab. Pamekasan 320532,92 11 Kab. Ponorogo 381234,39 12 Kab. Probolinggo 369481,06 13 Kab. Sampang 340473,16 14 Kab. Trenggalek 338896,37 15 Kab. Tulungagung 386033,71 16 Kota Kediri 219887,1 17 Kota Madiun 386769,01 18 Kota Mojokerto 154452,25 19 Kota Probolinggo 170639,63 20 Kota Surabaya 1319949,37 21 Kota Batu 119803,92 22 Kota Bangkalan 306336,49 23 Kota Banyuwangi 482345,51 24 Kota Bondowoso 312589,48 25 Kab. Gresik 383397,84 26 Kab. Jember 550942,66 27 Kab. Lamongan 392509,99 28 Kab. Madiun 294521,5 29 Kab. Malang 602430,66 30 Kab. Mojokerto 351361,27 31 Kab. Pasuruan 511538,45 32 Kab. Ngawi 332130,65 33 Kab. Sidoarjo 598103,58 34 Kab. Situbondo 260186,19 35 Kab. Sumenep 400287,13 36 Kab. Tuban 401873,3 37 Kota Blitar 157505,33 38 Kota Malang 328600,87 39 Kota Pasuruan 169416,84 Sumber: Data diolah
0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75 0,75
240399,69 285925,7925 277110,795 255354,87 254172,2775 289525,2825 164915,325 290076,7575 115839,1875 127979,7225 989962,0275 89852,94 229752,3675 361759,1325 234442,11 287548,38 413206,995 294382,4925 220891,125 451822,995 263520,9525 383653,8375 249097,9875 448577,685 195139,6425 300215,3475 301404,975 118128,9975 246450,6525 127062,63
5.2 Perhitungan DSCR Nilai DSCR digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam membayar cicilan pokok dan bunga atas pinjaman yang telah dilakukan termasuk atas penerbitan obligasi daerah. Nilai minimum DSCR berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 107/2000 sebesar 2,5. Dari hasil perhitungan DSCR untuk Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur menunjukkan ada sekitar lima belas Pemerintah Kabupaten/Kota yang tidak layak untuk menerbitkan obligasi daerah (lihat table 2). Hal ini karena nilai DSCR minimum yang telah disyaratkan oleh PP No. 107/2000 tidak dapat terpenuhi. Asumsi yang digunakan untuk menghitung nilai DSCR atas Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
6
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
penerbitan obligasi daerah ini yaitu; nilai nominal obligasi daerah didasarkan pada nilai batas maksimum pinjaman, suku bunga sebesar 11,5% (melihat pergerakan yield SUN selama bulan Juli tahun 2005), dan jangka waktu jatuh tempo obligasi daerah selama 25 tahun. Tabel 2. Perhitungan DSCR Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur (untuk perhitungan obligasi daerah) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Nama Daerah Prov. Jawa Timur Kab. Blitar Kab. Bojonegoro Kab. Jombang Kab. Kediri Kab. Lumajang Kab. Magetan Kab. Nganjuk Kab. Pacitan Kab. Pamekasan Kab. Ponorogo Kab. Probolinggo Kab. Sampang Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kota Kediri Kota Madiun Kota Mojokerto Kota Probolinggo Kota Surabaya Kota Batu Kota Bangkalan Kota Banyuwangi Kota Bondowoso Kab. Gresik Kab. Jember Kab. Lamongan Kab. Madiun Kab. Malang Kab. Mojokerto Kab. Pasuruan Kab. Ngawi
Nominal Obligasi 2,77284E+12 2,95008E+11 3,10215E+11 3,28604E+11 3,78236E+11 2,63167E+11 2,62654E+11 3,15965E+11 2,11296E+11 2,40399E+11 2,85925E+11 2,7711E+11 2,55354E+11 2,54172E+11 2,89525E+11 1,64915E+11 2,90076E+11 1,15839E+11 1,27979E+11 9,89962E+11 89852000000 2,29752E+11 3,61759E+11 2,34442E+11 2,87542E+11 4,13206E+11 2,94382E+11 2,20891E+11 4,51822E+11 2,6352E+11 3,83653E+11 2,49097E+11
Suku Bunga 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50%
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
Jatuh Tempo 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun
DSCR 5,6014695 2,2238347 3,6274846 3,8643933 2,5473185 3,2719172 2,3455664 2,4101248 2,5451625 2,9066389 2,4987117 3,0209119 3,3448733 2,6738358 2,2188232 2,40354 0,4330732 4,4475015 3,9873507 3,5170145 5,3497371 3,0915015 1,9144388 2,5416832 3,0772593 2,6657501 2,2343258 2,1981062 2,3429809 2,2964187 3,545192 1,8490776 7
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
33 Kab. Sidoarjo 34 Kab. Situbondo 35 Kab. Sumenep 36 Kab. Tuban 37 Kota Blitar 38 Kota Malang 39 Kota Pasuruan Sumber: Data diolah
4,48577E+11 1,95139E+11 3,00215E+11 3,01404E+11 1,18128E+11 2,4645E+11 1,27062E+11
11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50% 11,50%
25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun 25 tahun
7,0265319 2,4704389 4,1519326 3,1355549 3,6951492 1,760255 4,0447351
5.3 Contoh Perhitungan DSCR Provinsi Jawa Timur a. Tingkat Solvabilitas Tingkat solvabilitas adalah indikator yang menunjukkan kemampuan pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman tambahan. Tingkatan solvabilitas keuangan daerah dapat dihitung dengan menggunakan rumusan sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 107 Tahun 2000 yaitu dengan membandingkan antara jumlah kumulatif pinjaman dengan penerimaan umum untuk periode sebelumnya dengan nilai perbandingan tidak lebih dari 75%. Penerimaan Umum tahun anggaran 2003 dan jumlah Batas Maksimal Pinjaman Kumulatif (BMPK) tahun anggaran berikutnya Pemerintah Provinsi Jawa Timur masing–masing sebesar Rp. 3.697.115.980.000 dan Rp. 2.772.836.985.000 Angka tersebut diperoleh dengan menggunakan perhitungan sebagai berikut: PU = PD – (DAK + DD + DP + PL) = 3.976.399.380.000 – (0 + 278.560.840.000 + 722.560.000 + 0) = 3.697.115.980.000 BMPK = 75% x 3.697.115.980.000 = 2.772.836.985.000 Berdasarkan perhitungan BMPK, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat melakukan pinjaman melalui penerbitan obligasi daerah maksimum sebesar Rp. 2.772.836.985.000 (dalam contoh perhitungan diasumsikan nilai nominal obligasi sebesar Rp 2.772.836.000.000). b. Tingkat Likuiditas Tingkat likuiditas merupakan indikator yang menunjukkan tingkat kemampuan suatu pemerintah daerah untuk membayar hutangnya yang telah jatuh tempo. Pengukuran tingkat likuiditas dapat menggunakan Debt Service Coverage Ratio (DSCR) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 107/2000 dimana nilai DSCR yang diwajibkan minimal 2.5. Asumsi yang digunakan untuk menghitung nilai DSCR Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai berikut: • Nilai nominal Rp. 2.772.836.000.000 • Jatuh tempo 25 tahun • Tingkat suku bunga tetap sebesar 11,5 % per tahun.
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
8
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
•
Penerimaan PAD, BD, DAU dan Belanja Wajib selama 25 tahun yang akan datang tidak mengalami perubahan atau sama seperti realisasi APBD 2003. • Tidak terjadi perubahan peraturan perundangan khususnya yang berkaitan dengan keuangan daerah. • Penerbitan obligasi melalui pasar modal, maka : = (PAD + BD + DAU) – BW =(2.196.865.640.000+366.243.190.000+414.318.000.000)– 569.973.620.000 = 2.407.453.210.000 Jumlah utang dan bunga ketika jatuh tempo pada 25 tahun mendatang atau cicilan pokok dan bunga per tahun adalah sebagai berikut : = ((2.772.836.000.000x 0,115 x 25) +2.772.836.000.000) / 25 = 429.789.580.000 per tahun Debt Service Coverage Ratio = 2.407.453.210.000/429.789.580.000 = 5,6 Berdasarkan perhitungan di atas, Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat menerbitkan obligasi daerah dengan nilai nominal Rp. 2.772.836.000.000 dengan tingkat suku bunga tetap 11,5 % per tahun, dan jangka waktu jatuh tempo 25 tahun. 5.4 Penerapan Obligasi Daerah di Argentina 5.4.a Argentina1 Di Argentina tidak ada peraturan pemerintah tentang kemampuan seluruh kekuasaan daerah untuk meningkatkan hutang. Berdasarkan convertible plan 1991, propinsi dilarang untuk meminjam dari bank-bank lokal dan pembatasan akses ke bank-bank propinsi, sumber pembiayaan tradisionalnya. Untuk pinjaman kabupaten/kota, kewenangan berada pada/dari Dewan Kabupaten/Kota, beberapa kasus, dari otoritas keuangan propinsi. Hutang dalam mata uang asing memerlukan persetujuan dari Menteri Ekonomi berdasarkan Resolusi 1075/93. Hutang provinsi di Argentina mencapai US$ 29.4 milyar (100 persen dari penerimaan provinsi yang disahkan) pada akhir 2001, meskipun defisit fiskal provinsi meningkatkan US$ 6.5 milyar (2.4 persen dari GDP). Beberapa provinsi mengusahakan untuk memotong pengeluaran, dengan 60 persen dari pengeluaran pada tahun 2001 untuk gaji dan membayar bunga. Provinsi-provinsi menerapkan strategi hutang yang berbeda-beda. Provinsi Buenos Aires mengakses pasar obligasi pada tahun 2001, menerbitkan obligasi dengan total US$ 737 juta. Pada pertengahan tahun kedua pasar obligasi ditutup dan provinsi harus menerbitkan kewajiban uang obligasi untuk membayar gaji, kontraktor, dan supplier. Cordoba mencoba memprivatisasi bank provinsi dan perusahaan listriknya untuk membayar pinjamann bank komersial jangka pendek. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
9
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Karena risiko negara yang tinggi, privatisasi tidak terlaksana. Beberapa propinsi, seperti La Pampa, San Luis, dan Kota Buenos Aires yang mempunyai surplus fiskal beberapa tahun, nampak turun tajam dalam pendapatan dan harus mendanai defisit fiskalnya dalam lingkungan keuangan yang kurang menguntungkan. Situasi ini bertambah rumit, terutama sejak devaluasi peso pada Januari 2002. 1 Diterjemahkan dari Rodrigo Trelles Zabala, Argentina, Asian Develoment Bank Sejumlah tindakan ekonomi dilakukan oleh pemerintah baru untuk mendevaluasi peso Argentina dan menerapkan prioritas baru untuk menukarkan hutang yang didominasi dollar untuk hutang yang didominasi-peso. Beberapa hutang propinsi dikeluarkan dari prioritas pertukaran karena dikenai hukum/peraturan asing (memasukkan seluruh pinjaman multilateral dan beberapa obligasi propinsi). Obligasi provinsi di Argentina ada dua tipe; yang dikenal dengan compulsary bond, dimana investor harus menerima syarat dan kondisi yng ditawarkan, diterbitkan oleh pasar modal secara konvensional. Pada akhir tahun 2001 lebih dari 135 obligasi propinsi yang terbit beredar dengan nilai total US$ 11.4 milyar dan menerbitkan obligasi di pasar modal internasional dan domestik tercatat sekitar 40 persen dari hutang obligasi. Beberapa pemerintah daerah mengambangkan obligasi yang terbit di pasar modal, sebagian besar obligasi daerah diterbitkan dalam bentuk compulsory bond. Pada akhir tahun 2001 hutang obligasi daerah yang beredar mencapai US$ 110.5 juta dan tidak ada daerah yang ikut serta dalam pasar internasional. Untuk memperjelas penerapan obligasi daerah di Argentina akan diberikan contoh obligasi daerah di Propinsi Salta dan Propinsi Buenos Aires. Propinsi Salta Propinsi Salta merupakan daerah yang menerbitkan hutang publik pertama kali pada Februari 2001. Obligasi daerah tersebut diterbitkan oleh the Salta Hydrocarbon Royalty Trust dengan target jatuh tempo 12 tahun tetapi jatuh tempo aktualnya 15 tahun. Ini merupakan struktur yang dijamin-aset pertama kali untuk penerbit pemerintah daerah di Argentina dengan tingkat yang lebih tinggi daripada pemerintah federal. Struktur tersebut termasuk keamanan yang kuat pada obligasi untuk mencapai derajat investasi internasional. Transaksi dipertimbangkan sangat sukses/berhati-hati tidak hanya terkait lama jatuh temponya tetapi juga secara relatif biaya murah untuk propinsi pada waktu itu. Pada saat penerbitan obligasi, daerah ditunjang oleh pendapatan berjalan dari tiga sumber utama; gross coparticipation transfer, pajak propinsi, dan pendapatan non pajak propinsi. Ada empat inovasi struktur dalam penerbitan obligasi; 1. Propinsi menjual royalti hydrokarbonnya untuk sebuah kepercayaan dalam menjual kebenaran berdasarkan hukum Argentina 2. Kepercayaan dalam menerbitkan wesel/obligasi 3. Target amortisasi dijadwal menjadi tahun 2015, tetapi kegagalan membuat pembayaran nominal yang ditargetkan tidak terkait dengan gagal bayar. 4. Salta menggunakan kebijakan risiko politik untuk obligasinya, penerbit obligasi daerah pertama di Argentina yang melakukan hal ini. Propinsi Buenos Aires Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
10
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Propinsi Buenos Aires meluncurkan program wesel euro jangka menengah pada tahun 1994 dengan total US$ 3.2 miliar. Ditujukan untuk membiayai kebutuhan propinsi tetapi juga untuk keuntungan kredibilitas dan reputasi di pasar global. Wesel disusun dengan rentang jatuh tempo 30 hari asmpai 30 tahun dan diterbitkan dalam mata uang meliputi peso Argentina, dollar US, euro, yen, deutsche mark, swiss franc, dan Lira Itali. Semua yang diterbitkan berdasarkan program wesel (kecuali untuk 30 tahun) dijual pada tingkat tetap dan seluruh obligasi mempunyai bullet maturities. Pada tahun terakhir ini propinsi menjaga stabilitas pengeluaran dengan memotong pengeluaran, tetapi turun dalam pendapatan yang diperkuatnya untuk membiayai defisit fiskal yang penting. Otoritas propinsi memutuskan untuk ikut serta dalam pengalihan hutang propinsi yang dikenalkan oleh pemerintah federal pada tahun 2001. Biasanya Buenos Aires merupakan pembayar terbesar, memasukkan pengalihan hutang dengan jumlah yang ditargetkan lebih dari US$ 6.4 milyar. Pada tanggal 29 Januari 2002 propinsi mengumumkan gagal bayar pada beberapa pembayaran obligasi uang untuk membiayai defisit fiskal. 5.4.b Amerika 6. Kesimpulan Pemenuhan akan ketersediaan dana untuk pembiayaan pembangunan dan sumber-sumbernya menjadi hal penting yang perlu dipertimbangkan dan dikaji secara seksama oleh pemerintah daerah di era otonomi saat ini terutama Pemerintah Daerah di Provinsi Jawa Timur. Salah satu sumber pembiayaan daerah adalah dengan menerbitkan obligasi daerah. Berdasarkan perhitungan obligasi dengan menggunakan formula yang terdapat pada PP No. 107/2000 terdapat lima belas Pemerintah Daerah (kabupaten/kota) di Provinsi Jawa Timur yang tidak layak untuk menerbitkan obligasi daerah. Karena nilai DSCR yang disyaratkan oleh PP No. 107/2000 minimal 2,5 tidak dapat terpenuhi. Dalam upaya penerapan obligasi daerah di Indonesia masih memerlukan peraturan pendukung seperti pengembangan pasar obligasi daerah di masa depan, jaminan pada saat default, dan lembaga pengawas pasar obligasi daerah. Penerapan obligasi daerah di Indonesia mungkin saja mengambil keberhasilan atas penerapan obligasi daerah di negara lain, misal di Argentina. Daftar Pustaka Badan Analisa Fiskal, 2002, Pinjaman Daerah, Departemen Keuangan RI Departemen Keuangan RI, Laporan APBD Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur KMK No. 579/KMK.07/2003 tentang Penundaan Pelaksanaan Pinjaman Daerah Makmun, 2000, ‘Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Sumber Pendanaan Daerah Dalam Era Desentralisasi”, Jakarta; BPEK Depkeu RI PP No.107/2000 tentang Pinjaman Daerah Rodrigo Trelles Zabala, Argentina, Asian Develoment Bank Undang-undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
11
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
RIWAYAT HIDUP Malik Cahyadin Banjarejo, Rejotangan, Tulungagung, Jawa Timur, 66293 Indonesia Telp./Fax. Yogya: (0274) 798342 HP: 081578855662 Email:
[email protected] [email protected] Pendidikan Formal 1987 – 1994
: MI Roudlatut Thalibin Banjarejo
1994 – 1997
: MTs. Negeri Aryojeding
1997 – 2000
: MAN 1 Tulungagung
2000 – 2004
: IESP Fakultas Ekonomi UGM, GPA 3,5 skala 4 Beasiswa
2004
: PT SUN LIFE FINANCIAL INDONESIA Penghargaan
1995
: Lomba Kaligrafi Tingkat Kecamatan, Juara I
1996
: Lomba Kaligrafi Tingkat Kecamatan, Juara I
2004
: Accounting Fair 2004 FE UNIBRAW, Juara I Penelitian dan Pengalaman Kerja
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
12
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
2003
: Tes Eksperimental Kemauan Konsumen Muslim Membayar Barang Halal. (Penelitian)
2003 – 2004
: KNKEI SEF FE UGM. (Pengajar)
2004
: Pemberdayaan Ekonomi Regional (Wilayah) Selatan
Provinsi 2004 – Sekarang
DIY : Peneliti dan Koordinator Divisi Keuangan-Kesekretariatan INSPECT Yogya Seminar dan Pelatihan
2002
: “One Day Seminar on Islamic Economics”, diselenggarakan oleh SEF FE UGM dan FOSSEI Region Yogya. (Moderator)
2004
: SIMPONAS Ekonomi Islami II “Sinergi Sektor Riil dan Sektor Keuangan Untuk Kebangkitan Sistem Ekonomi Islami di Indonesia”, oleh PPBEI FE UNIBRAW Malang. (Pemakalah)
2004
: ForSEI Basic Education II “Membentuk Kader Profesional Menuju Kredibilitas ForSEI”, oleh ForSEI UIN Sunan Kalijaga Yogya. (Pembicara)
2004
: Seminar Akademik Tahunan Ekonomi I “Perubahan Struktural Dalam Rangka Penyehatan Ekonomi: Penguatan Kebijakan Publik Dalam Perspektif Nasional dan Global”, oleh Pascasarjana FE UI dan ISEI tanggal 8 – 9 Desember. (Pemakalah)
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
13
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
Makalah dan Karya Tulis
2002
: ”Arah Amandemen Pasal-pasal Ekonomi Undang-undang Dasar
1945;
menuju
tatanan
perekonomian
yang
berkeadilan”,
LEM FE UNPAD dan ISMEI, Bandung
2002
: ”Urgensi Pembentukan OJK; menuju sistem pengawasan
yang
lebih proaktif terhadap lembaga keuangan”, Jurnal Pangsa HIMIESPA
FE
UGM
edisi
8/VII/September
2002,
Yogyakarta 2002
: ”Ilmu Ekonomi Islam Di masa Depan; bagaimana seharusnya?”, Balkon UGM edisi 27, 4 Maret 2002, Yogyakarta
2002
: ”Amandemen Pasal-pasal Ekonomi UUD 1945; untuk kepentingan rakyat atau segelintir konglomerat”, Selembar DEM FE UGM edisi II/Tahun III/2002/EXT., Yogyakarta
2002
: ”Poverty Alleviation; problem and solution”, QUE Project DEDS FE UGM, Yogyakarta
2004
: ”Kemungkinan Dinar Menjadi Mata Uang Bersama Negaranegara Anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam)”, PPBEI FE UNIBRAW Malang
2004
: ”Model Perdagangan Internasional Menggunakan Analisis Two Gap Approach; Bukti Perdagangan Bilateral Antara Indonesia
dengan
Negara
Mitra
Dagang
Utama”,
Pascasarjana
FE UI dan ISEI
2005
: ”Public Hearing and Partipatory Budgeting; Kebijakan Penyusunan APBD”, Koran Kedaulatan Rakyat, 27 April, Yogyakarta
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
14
Simposium Riset Ekonomi II Surabaya, 23-24 November 2005
2005
: ”Sister City Taman Pintar Yogya dan Gangbuk-Gu Korea” Koran Kedaulatan Rakyat, 03 Juni, Yogyakarta
2005
: ”Yogyakarta Berpotensi Krisis Air”, Koran Kedaulatan Rakyat, 31 Agustus, Yogyakarta Pengalaman Organisasi
1995 – 1996
: OSIS MTs N. Aryojeding, Kepramukaan
1997 – 1998
: OSIS MAN 1 Tulungagung, Kepramukaan
1998
: OSIS MAN 1 Tulungagung, Ketua PMR
2002
: KNKEI SEF FE UGM, Koordinator Program
2002 – 2003
: DEM FE UGM, Wakil Ketua
2003 – 2004
: SEF FE UGM, Sekjend Bahasa
1.
Inggris
2.
Jerman, Perancis, Jepang (Tingkat Dasar)
Referensi
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Surabaya Koordinator Jawa Timur
15