KEMISKINAN DAN KETENAGAKERJAAN DI KEPULAUAN RIAU 2014: PERMASALAHAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Faharuddin Fahar BPS Provinsi Kepulauan Riau Email:
[email protected] ABSTRAK Meskipun tingkat kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau cukup kecil di mana pada bulan Maret 2014 tingkat kemiskinan hanya sebesar 6,70 persen dari jumlah penduduk, namun usaha-usaha untuk menurunkan angka kemiskinan harus tetap dilaksanakan hingga kemiskinan dapat ditekan sekecil mungkin. Usaha untuk mengentaskan penduduk miskin dari kemiskinan harus berdasarkan akar permasalahan kemiskinan itu sendiri dan salah satu permasalahan pokok penduduk miskin adalah ketenagakerjaan. Secara makro, tiga indikator tenaga kerja memiliki tren yang cenderung menurun dari waktu ke waktu, yaitu adanya pola yang sejalan antara persentase penduduk miskin dengan TPT yang mewakili ukuran kuantitas tenaga kerja serta persentase pekerja sektor informal dan persentase setengah penganggur yang mewakili ukuran kualitas tenaga kerja. Pada tataran mikro individu, ditemukan bahwa beberapa variabel tenaga kerja mempengaruhi kemiskinan yaitu pendidikan tenaga kerja, upah/pendapatan tenaga kerja serta lapangan usaha. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan, Provinsi Kepulauan Riau masih mengalami beberapa permasalahan ketenagakerjaan yang perlu penanganan serius yaitu kualitas tenaga kerja yang masih relatif rendah, permasalahan upah/pendapatan tenaga kerja yang masih rendah serta masih adanya ketimpangan sektoral tenaga kerja. Kata kunci: kemiskinan, ketenagakerjaan, kualitas tenaga kerja, ketimpangan sektoral ABSTRACT Although the level of poverty in the province of Riau Islands is small enough in March 2014, where the poverty rate is only 6.70 percent of the total population, but efforts to reduce poverty must continue to apply until poverty rate can be as small as possible. Efforts to alleviate the poor out of poverty should be based on the root causes of poverty itself and one of the main problems of the poor is employment. At the macro level, three indicators of labor tend to decline over time. We found similar pattern between the percentage of poor people with unemployment rate which represents the aspcet of quantity of labor as well as the percentage of informal sector workers and percentage of underemployment that represents the aspect of labor quality. At the micro level of individuals, we found that some of the variables affecting poverty labor is labor education, wage or labor income and main industry. In relation to poverty alleviation, Riau Islands province is still facing some employment issues that need serious attention, namely the quality of labor is still relatively low, the problem of wage or labor income is still low and sectoral labor gaps. Keywords: poverty, employment, labor quality, sectoral gap 1. PENDAHULUAN Penanggulangan kemiskinan di Indonesia saat menggunakan beberapa pendekatan yang dikelompokkan dalam empat klaster program (TNP2K, 2012). Klaster pertama adalah program-program penanggulangan kemiskinan yang sasarannya adalah rumahtangga
dengan tujuan untuk memberikan perlindungan sosial bagi penduduk miskin dan rentan. Termasuk dalam kelompok ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Langsung Tunai tanpa syarat, Jaminan Kesehatan Masyarakat, Raskin dan sebagainya. Klaster Kedua adalah program-program penanggulangan kemiskinan dengan sasaran komunitas yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat miskin sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja secara mandiri. Contoh program pada klaster kedua ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Klaster Ketiga adalah kelompok program dengan sasaran usaha mikro dan kecil yang bertujuan untuk memberikan permodalan dan sumber daya lainnya bagi usaha mikro dan kecil. Program yang termasuk dalam kelompok ini misalnya Kredit Usaha Rakyat (KUR). Klaster Keempat adalah kelompok program pro rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap peyananan kebutuhan dasar, misalnya program rumah sangat murah, program air bersih dan sebagainya. Meskipun tingkat kemiskinan di provinsi Kepulauan Riau cukup kecil di mana pada bulan Maret 2014 tingkat kemiskinan hanya sebesar 6,70 persen dari jumlah penduduk, namun usaha-usaha untuk menurunkan angka kemiskinan harus tetap dilaksanakan hingga kemiskinan dapat ditekan sekecil mungkin. Beberapa tahun terakhir, angka kemiskinan di provinsi ini cenderung stagnan, meskipun berbagai program telah dilaksanakan untuk menurunkan angka kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kepulauan Riau periode 2011-2015 terdiri atas tiga program yaitu program pemenuhan hakhak dasar penduduk miskin misalnya pemberian makanan tambahan bagi balita/siswa TK/SD, jamkesda, rehabilitasi posyandu/pustu/puskesdes, serta pemberian beasiswa SLTA; program rumah layak huni melalui rehabilitas rumah, sarana air bersih dan listrik; serta program pembinaan unit usaha penduduk miskin/desa tertinggal melalui kelompok usaha bersama dan koperasi, mengembangkan usaha tani serta usaha nelayan. Usaha untuk mengentaskan penduduk miskin dari kemiskinan harus berdasarkan akar permasalahan kemiskinan itu sendiri. Kemiskinan merupakan masalah yang multidimensi yang mencakup banyak aspek dari kehidupan manusia sebagai akibat berbagai keterbatasan kemampuan manusia termasuk di dalamnya pangan, papan, sandang, kesehatan, pendidikan, hak-hak, keamanan maupun dalam hal pekerjaan. Kemiskinan muncul karena adanya gap antara ketersediaan sumber daya utama (essential resources) dengan kemampuan individu atau rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan dasar. Salah satu permasalahan pokok yang menjadi akar permasahan kemiskinan adalah rendahnya pendapatan penduduk miskin baik karena tidak adanya pekerjaan (menganggur) ataupun memiliki pekerjaan tetapi upah/pendapatan yang diperoleh rendah. Oleh karena itu dalam rangka mendapatkan strategi yang tepat untuk penanggulangan kemiskinan, perlu dipahami keterkaitan antara kemiskinan dan ketenagakerjaan di Provinsi Kepulauan Riau. Makalah ini bertujuan untuk menyelidiki keterkaitan antara kemiskinan dan ketenagakerjaan di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2013. Studi seperti ini masih sangat jarang dilakukan untuk Provinsi Kepulauan Riau. Diharapkan, makalah ini dapat bermanfaat bagi pengambil kebijakan dalam rangka merumuskan kebijakan yang tepat untuk menurunkan angka kemiskinan. 2. KERANGKA ANALISIS Keterkaitan antara kemiskinan dan ketenagakerjaan sudah banyak dikaji oleh para peneliti, misalnya Islam (2001), Osmani (2002), Islam (2002), Spannagel (2012) dan Vijayakumar (2013). Untuk memahami masalah kemiskinan dan ketenagakerjaan, salah satu kerangka analisis yang tepat dikemukakan oleh Osmani (2002). Penduduk miskin dapat dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu penduduk miskin yang berada dalam angkatan kerja dan penduduk miskin yang berada di luar angkatan kerja. Penduduk miskin yang berada di luar angkatan kerja biasanya memiliki ketergantungan secara ekonomi terhadap
penduduk yang berada dalam angkatan kerja. Sedangkan penduduk miskin yang berada dalam angkatan kerja terbagi dua yaitu penduduk miskin yang bekerja dan penduduk miskin yang tidak bekerja. Penduduk miskin yang tidak bekerja, sangat jelas bahwa kemiskinannya disebabkan ketiadaan pekerjaan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang utama dan di negara berkembang seperti Indonesia yang tidak memiliki jaminan asuransi bagi penganggur, jumlah kelompok ini tidak begitu besar. Sebaliknya yang paling menarik adalah penduduk miskin yang bekerja di mana pekerjaan yang dimilikinya tidak mampu memberikan penghasilan yang memadai untuk mencukupi kebutuhan hidupnya secara layak. Kelompok terakhir ini disinyalir memiliki proporsi terbesar dari seluruh penduduk miskin yang ada. Penduduk miskin yang bekerja dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu kelompok setengah penganggur, pekerja paruh waktu dan kelompok yang bekerja penuh. Setengah penganggur adalah pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal yaitu 35 jam dalam seminggu tetapi masih mencari pekerjaan, sedangkan pekerja paruh waktu pekerja yang bekerja di bawah jam kerja normal yaitu 35 jam dalam seminggu dan tidak mencari pekerjaan. Selebihnya adalah pekerja penuh yaitu pekerja dengan jam kerja di atas 35 jam seminggu. Baik penduduk miskin yang setengah menganggur, bekerja paruh waktu maupun yang bekerja penuh, ketiganya memiliki ciri upah/pendapatan yang diterima pekerja cukup rendah, kualitas tenaga kerja yang rendah serta umumnya bekerja di sektor informal. Kondisi inilah yang diduga diantara penyebab mereka terjebak dalam kondisi kemiskinan. Penduduk Miskin
Termasuk Angkatan Kerja
Di Luar Angkatan Kerja
Tidak Bekerja
Bekerja
Setengah Penganggur
-
Pekerja Paruh Waktu
Pekerja Penuh
Upah/Pendapatan Rendah Kualitas Tenaga Kerja Rendah Pekerja Informal
Gambar 1. Kerangka Analisis Kemiskinan dan Ketenagakerjaan
Kualitas tenaga kerja ditentukan oleh pendidikan formal yang dimiliki, pelatihan yang pernah diikuti serta pengalaman yang dimiliki oleh tenaga kerja. Pendidikan merupakan investasi yang sangat berguna dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah. Peningkatan human capital melalui pendidikan akan mendorong peningkatan produktivitas kerja, di mana peningkatan produktivitas tersebut pada gilirannya menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Tidak hanya itu, pendidikan juga diperlukan dalam peningkatan teknologi dalam rangka meningkatan kapasitas produksi dalam perekonomian. Secara mikro individu
maupun rumahtangga, pendidikan (dan juga pelatihan) akan meningkatkan keahlian, kompetensi, kinerja dan daya saing individu dalam dunia kerja yang pada akh irnya akan bermuara pada peningkatan upah dan pendapatan. Secara ekonomis, upah tenaga kerja harus dibayarkan sesuai dengan tingkat produktivitasnya di mana tenaga kerja yang memiliki produktivitas yang lebih tinggi akan dibayar dengan upah yang lebih tinggi, demikian sebaliknya. Di Indonesia, kebijakan upah minimum merujuk pada Undang Undang Repubik Indonesia No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menetapkan bahwa upah minimum harus didasarkan pada beberapa hal diantaranya standar kebutuhan hidup layak (KHL), faktor inflasi/kenaikan harga, kemampuan perusahaan dalam membayar serta pertumbuhan ekonomi. Untuk dapat memenuhi kebutuhan minimum yang menyebabkan pekerja dan keluarganya keluar dari ambang batas kemiskinan, tingkat upah/pendapatan yang diterima pekerja harus lebih tinggi dari standar kebutuhan hidup layak. 3. DATA DAN METODE ANALISIS Data utama yang digunakan dalam makalah ini adalah data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2014 triwulan 1 yang dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan Maret 2014. Susenas triwulan 1 tahun 2014 di Provinsi Kepulauan Riau mencakup 900 rumahtangga sampel dan representatif hingga tingkat provinsi. Selain itu digunakan pula indikator ketenagakerjaan yang bersumber dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) serta indikator ekonomi lainnya. Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskritif dengan tabel-tabel dan grafik serta analisis inferensia sederhana menggunakan uji Chi-Square dan regresi logistik. Regresi logistik dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel status tenaga kerja (bekerja penuh atau setengah penganggur), status pekerjaan (formal/informal), pendidikan tenaga kerja, upah/pendapatan tenaga kerja serta lapangan pekerjaan dengan status kemiskinan. Model regresi yang digunakan adalah: π(π₯) ) π (π₯) = ln ( 1 β π(π₯) = π½0 + π½1 π· + π½2 π½πΎ + π½3 π·πΌπΎ + π½4 πΌππΉ + π½5 πΉππΏπΏ + π½6 πππ΄π» + π½7 πΏπ΄π +π di mana: π(π₯) = fungsi logit dari π(π₯) π(π₯) = probabilitas munculnya variabel respon (y) dalam hal ini peluang miskin D = klasifikasi daerah (perkotaan = 1, pedesaan = 2) JK = jenis kelamin (laki-laki = 1, perempuan = 2) DIK = pendidikan tertinggi (di bawah SLTA = 1 dan SLTA ke atas = 2) INF = status pekerjaan (formal = 1, informal = 2) FULL = status tenaga kerja (setengah penganggur = 1, bekerja penuh = 2) UPAH = upah/pendapatan tenaga kerja (di bawah UMP = 1, di atas UMP = 2) LAP = lapangan pekerjaan (pertanian = 1, industri = 2, jasa-jasa = 3) y = variabel respon (miskin = 1, tidak miskin = 0) π½0 , π½1 , π½2 , π½3 , π½4 , π½5 , π½6 , π½7 = parameter 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 menyajikan beberapa indikator ekonomi triwulan 1 di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2009-2014 yaitu persentase penduduk miskin dan empat indikator lain yang memiliki korelasi yang kuat dengan persentase penduduk miskin yaitu kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB, persentase pekerja sektor informal, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) dan persentase setengah penganggur. Dalam jangka panjang
pesentase penduduk miskin cenderung mengalami penurunan yaitu mulai dari 8,27 persen pada triwulan 1 tahun 2009 menjadi 6,70 persen pada triwulan 1 tahun 2014. Meskipun pada tahun 2014 angka tersebut sudah relatif kecil, khususnya jika dibandingkan dengan provinsiprovinsi lainnya di Indonesia, namun dibandingkan triwulan 1 tahun 2013 persentase penduduk miskin mengalami peningkatan. Sektor industri pengolahan merupakan sektor andalan di Provinsi Kepulauan Riau di mana hampir separuh PDRB ditopang oleh sektor ini. Sektor industri juga menyerap tenaga kerja yang cukup besar, mencakup hampir 15 persen dari seluruh tenaga kerja di Kepulauan Riau. Sangat mungkin jika sektor industri juga memberikan kontribusi yang besar terhadap pengentasan kemiskinan di provinsi ini. Terlihat bahwa penurunan persentase penduduk miskin sejalan dengan menguatnya peranan sektor industri pengolahan dalam perekonomian Provinsi Kepulauan Riau. Secara makro, hubungan ketenagakerjaan dengan kemiskinan di Kepulauan Riau secara umum dapat dilihat dari tiga indikator ketenagakerjaan yang ditampilkan di atas yaitu TPT, persentase pekerja sektor informal dan persentase setengah penganggur. TPT mewakili ukuran kuantitas tenaga kerja yang tidak terserap dalam dunia kerja, sedangkan dua ukuran lainnya merepresentasikan ukuran kualitas tenaga kerja. Sebagaimana persentase penduduk miskin, ketiga indikator tenaga kerja tersebut juga memiliki tren yang cenderung menurun dari waktu ke waktu, artinya ada pola yang sejalan antara TPT, persentase pekerja sektor informal dan persentase setengah penganggur dengan persentase penduduk miskin. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap dalam dunia kerja seyogyanya dapat berkontribusi untuk menurunkan kemiskinan apalagi jika diikuti dengan meningkatnya kualitas tenaga kerja.
9.83
100.00 90.00 80.00
70.00
9.00
8.54 8.27 7.81
8.05 7.21 6.80
60.00 50.00
45.72
46.60
7.40
8.00
7.11
47.13
5.39 47.91 4.00
37.44
35.19
20.00
34.59
6.70
6.46
7.07
40.00
30.00
10.00
35.48
5.88
5.26
6.00
48.04
47.50
5.00
3.61
3.91
4.00
37.31
3.00
32.54
2.00
Kontribusi Sektor Industri Pengolahan Thd PDRB Persentase Pekerja Sektor Informal Persentase Penduduk Miskin
10.00
7.00
1.00
-
-
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Gambar 2. Indikator Ekonomi Triwulan I Provinsi Kepulauan Riau, 2009-2014 Sumber: BPS Provinsi Kepulauan Riau, berbagai publikasi
Pada tataran mikro individu, keterkaitan antara kemiskinan dan ketenagakerjaan dapat ditelusuri menggunakan bagan pada Gambar 1. di atas melalui analisis tabulasi silang dan regresi logistik. Hasil tabulasi silang disajikan pada Tabel 1 di atas sedangkan hasil regresi logistik disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Tabulasi Silang dan Uji Chi-Square beberapa Variabel Tenaga Kerja dengan Status Kemiskinan Status Kemiskinan Variabel/Kategori (1)
Tidak Miskin (2)
Miskin
Pearson Chi-Square Total
(3)
(4)
(5)
Asymp. Sig. (2-sided) (6)
1,121
0,290
10,559
0,001
0,366
0,545
16,298
0,001
11,199
0,004
Value
Formal/Informal: Informal Formal
N
544
29
573
% Thd Total Kolom
40,0%
46,8%
40,3%
N
815
33
848
% Thd Total Kolom
60,0%
53,2%
59,7%
N
788
23
811
% Thd Total Kolom
58,0%
37,1%
57,1%
N
571
39
610
% Thd Total Kolom
42,0%
62,9%
42,9%
N % Thd Total Kolom
1053 77,5%
46 74,2%
1099 77,3%
N
306
16
322
% Thd Total Kolom
22,5%
25,8%
22,7%
N
534
38
572
% Thd Total Kolom
39,3%
61,3%
40,3%
Upah/Pendapatan: Di Atas UMP Di Bawah UMP
Bekerja Penuh/Tidak Penuh: Bekerja Penuh Tidak Bekerja Penuh
Pendidikan Tertinggi: <= SD SLTP SLTA PT
N
159
7
166
% Thd Total Kolom
11,7%
11,3%
11,7%
N
494
17
511
% Thd Total Kolom
36,4%
27,4%
36,0%
N
172
0
172
% Thd Total Kolom
12,7%
0,0%
12,1%
N
263
14
277
% Thd Total Kolom
19,4%
22,6%
19,5%
N
341
26
367
% Thd Total Kolom
25,1%
41,9%
25,8%
N
755
22
777
% Thd Total Kolom
55,6%
35,5%
54,7%
1.359
62
1.421
Lapangan Usaha Utama: Pertanian (A) Manufaktur (M) Jasa-jasa (S) Total Sumber: hasil pengolahan
Secara individual, variabel yang berpengaruh terhadap status kemiskinan adalah upah/pendapatan tenaga kerja, lapangan usaha utama dan pendidikan. Lebih dari 62 persen penduduk miskin mempunyai upah/pendapatan di bawah upah minimum provinsi (UMP) pada tahun 2014 (Rp. 1.665.000,-) per bulan, sedangkan untuk penduduk tidak miskin hanya
sekitar 42 persen yang memiliki penghasilan di bawah UMP. Dengan uji Chi-Square hubungan antara status kemiskinan dengan upah/pendapatan terlihat sangat signifikan pada taraf uji 1%. Penduduk miskin di Kepulauan Riau lebih banyak bekerja di sektor manufaktur (M) yang merupakan gabungan dari 4 sektor yaitu sektor pertambangan, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air serta sektor kontruksi. Proporsi penduduk miskin yang bekerja di sektor manufaktur ini mencapai 41 persen, sedangkan penduduk tidak miskin hanya 25 persen yang bekerja di sektor ini. Penduduk tidak miskin umumnya bekerja di sektor jasa-jasa (S). Dengan uji Chi-Square juga diperoleh hubungan yang kuat antara status kemiskinan dengan lapangan usaha utama penduduk pada taraf uji 1%. Variabel tenaga kerja lainnya yang kuat pengaruhnya dengan status kemiskinan penduduk adalah pendidikan tenaga kerja. Tabel 1 di atas memperlihatkan bahwa proporsi penduduk miskin yang berpendidikan SD ke bawah cukup tinggi, mencapai 61 persen, sedangkan proporsi penduduk tidak miskin dengan pendidikan yang sama kurang dari 40 persen. Penduduk tidak miskin lebih banyak berpendidikan SLTA ke atas yaitu sebanyak 49 persen (36 persen SLTA dan 13 persen berpendidikan PT), sebaliknya penduduk miskin yang berpendidikan SLTA ke atas hanya 27 persen. Dengan demikian, uji Chi-Square hubungan antara pendidikan dan status kemiskinan penduduk sangat signifikan. Analisis regresi logistik menunjukkan hasil yang senada. Ketiga variabel yang disebutkan di atas signifikan dalam model regresi logistik (Tabel 2.). Variabel pendidikan tertinggi signifikan pada taraf uji 5%, sedangkan variabel upah/pendapatan dan lapangan usaha utama signifikan pada taraf uji 1%. Pendidikan tenaga kerja memiliki pengaruh yang positif dalam hal ini semakin tinggi tingkat pendidikan maka peluang miskin menjadi lebih kecil. Artinya meningkatkan pendidikan akan mengurangi resiko seseorang berada dalam kemiskinan. Tabel 2 juga menunjukkan odd ratio sebesar 2,197 yang bermakna resiko miskin seseorang yang berpendidikan kurang dari SLTA 2 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang berpendidikan SLTA atau lebih tinggi. Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Logistik Variabel
B
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Daerah
0.810
0.353
5.267
1
0.022
2.248
JK
0.960
0.367
6.860
1
0.009
2.612
Pendidikan Tertinggi
0.787
0.323
5.927
1
0.015
2.197
Formal/Informal
-0.098
0.320
.094
1
0.759
.907
Bekerja Penuh/Tidak Penuh
0.031
0.341
.008
1
0.929
1.031
Upah/Pendapatan
1.037
0.306
11.502
1
0.001
2.821
10.542
2
0.005
Lapangan Usaha Utama lapangan(1)
0.788
0.408
3.723
1
0.054
2.199
lapangan(2)
-0.196
0.415
.223
1
0.637
.822
-5.578
0.657
72.009
1
0.000
.004
Constant Sumber: hasil pengolahan
Variabel upah/pendapatan tenaga kerja juga memberikan pengaruh yang positif, di mana semakin tinggi upah/pendapatan yang diperoleh, semakin kecil resiko penduduk berada dalam kondisi miskin. Odd ratio yang dihasilkan sebesar 2,821 artinya seseorang yang berpendapatan di bawah UMP memiliki resiko berada dalam kemiskinan hampir 3 kali lebih tinggi dibandingkan seseorang yang memiliki upah/pendapatan di atas UMP. Secara keseluruhan variabel lapangan usaha utama memiliki pengaruh yang signifikan, meskipun tidak semua kategorinya signifikan. Hanya sektor manufaktur (lapangan(1)) yang signifikan berbeda dari sektor pertanian (sebagai referensi dalam model), sedangkan sektor jasa-jasa tidak signifikan. Odd ratio sebesar 2.199 artinya resiko miskin seseorang yang bekerja di sektor manufaktur 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja di sektor industri. Hasil ini juga konsisten dengan pola yang ditampilkan pada Gambar 2, di mana sektor industri memiliki peranan yang penting dalam penurunan angka kemiskinan. Permasalahan Ketenagakerjaan Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan, Provinsi Kepulauan Riau masih mengalami beberapa permasalahan ketenagakerjaan yang perlu penanganan serius. Pertama, kualitas tenaga kerja yang masih relatif rendah. Sebagaimana ditunjukkan di atas, lebih dari 50 persen tenaga kerja berpendidikan SLTP ke bawah dan hanya 12 persen yang berpendidikan perguruan tinggi baik diploma maupun sarjana. Data ini sejalan dengan hasil Sakernas Agustus 2014, di mana persentase angkatan kerja berpendidikan sarjana hanya 12 persen atau sebanyak 109 ribu orang. Bahkan di kalangan penduduk miskin, lebih dari 70 persen tenaga kerja berpendidikan SLTP ke bawah. Padahal, menghadapi pasar bebas ASEAN, peningkatan kualitas tenaga kerja mutlak diperlukan agar bursa kerja di Kepulauan Riau tidak diisi oleh tenaga kerja dari luar negeri karena rendahnya kompetensi dan keahlian yang dimiliki tenaga kerja lokal. Kedua, permasalahan upah/pendapatan tenaga kerja yang masih rendah. Sebagaimana terlihat pada Tabel 1 di atas, masih banyak tenaga kerja di Kepulauan Riau (lebih dari 40%) yang memperoleh upah/pendapatan di bawah UMP, sehingga relatif sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi keluarganya. Meskipun secara teori, upah merupakan balas jasa bagi tenaga kerja sesuai dengan jenis pekerjaan, kompetensi, keahlian dan produktivitas yang dimilikinya, namun faktor kebutuhan minimum bagi pekerja dan keluarganya harus diperhatikan dalam menentukan upah. Tabel 3. menunjukkan masih banyaknya tenaga kerja yang mendapatkan upah/pendapatan yang lebih rendah dari UMP yang di tetapkan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau. Secara total 42,9 persen penduduk yang bekerja memperoleh upah/pendapatan di bawah UMP. Kelompok pekerja yang paling banyak berpenghasilan kurang dari UMP adalah pekerja keluarga (97,0 persen), pekerja bebas (56,7 persen) dan berusaha sendiri (56,5 persen). Sementara itu meskipun telah diterapkan UMP, kelompok pekerja dengan status sebagai buruh/karyawan/pegawai masih banyak yang menerima upah di bawah UMP (31,6 persen). Salah satu upaya untuk mengeluarkan penduduk dari kemiskinan adalah dengan menaikan upah/pendapatan pekerja, diantaranya dengan kebijakan penetapan upah minimum bagi pekerja. Meskipun, pengaruh upah minimum terhadap kemiskinan ternyata tidak serta merta dapat menurunkan kemiskinan, karena sangat bergantung pada karakteristik pasar kerja (Gindling, 2014). Agar kenaikan upah minimum berdampak pada penurunaan angka kemiskinan, maka kenaikan upah minimum harus mencakup sektor informal, dan di lain pihak kenaikan upah minimum jangan sampai menyebabkan hilangnya kesempatan kerja di sektor formal. Dengan demikian, perlu kehati-hatian dalam menetapkan upah minimum, karena jika upah minimum menyebabkan menurunnya pertumbuhan
ekonomi, maka dalam jangka panjang tidak menguntungkan penduduk miskin karena akan mengurangi kesempatan kerja (Lustig dan McLeod, 1997) Tabel 3. Upah/Pendapatan Tenaga Kerja Menurut Status Pekerjaan
Status Pekerjaan
Berusaha sendiri
Berusaha dibantu buruh tdk tetap/tdk bayar
(1) Di Atas UMP Di Bawah UMP
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
43.5
55.8
87.5
68.4
26.7
3.0
57.1
56.5
44.2
12.5
31.6
56.7
97.0
42.9
Berusaha dibantu buruh tetap/ dibayar
Buruh/ karyawan /pegawai
Pekerja bebas
Pekerja keluarga
Total
Sumber: hasil pengolahan
Ketiga, masih adanya ketimpangan sektoral tenaga kerja. Di Provinsi Kepulauan Riau daya serap tenaga kerja tertinggi adalah pada sektor perdagangan, hotel dan restoran (28,23 persen) dan sektor industri pengolahan (27,00 persen). Sektor jasa dan sektor pertanian hanya menyerap tenaga kerja berturut 14,68 persen dan 10,15 persen. Padahal sebagai daerah maritim, potensi pertanian khususnya subsektor perikanan di provinsi ini sangat besar, tetapi belum termanfaatkan dengan baik. Tabel 4. Beberapa Indikator Tenaga Kerja Sektoral di Provinsi Kepulauan Riau
(2)
Produktivitas Pekerja (Juta Per Tahun)*) (3)
10,15
22,53
89.82
63.64
2,19
125,72
51.85
37.04
27,00
108,40
31.73
20.19
Listrik, Gas, & Air
0,44
73,86
40.00
26.67
Bangunan Perdagangan, Hotel, & Restoran Angkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan, & Jasa Perusahaan Jasa-jasa
8,07
38,06
64.10
37.61
28,23
49,98
59.43
48.04
6,83
38,96
59.76
40.24
2,41
113,53
12.50
18.75
14,68
9,01
28.00
41.00
100
58,52
51.94
42.93
Lapangan Usaha
Daya Serap Tenaga Kerja *)
(1) Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan
Total
Persentase Pendidikan < SLTA **)
Persentase Upah/Pendapatan < UMP **)
(4)
(5)
Catatan: *) angka tahun 2013, diambil dari BPS Provinsi Kepulauan Riau (2014) **) diolah dari data mentah Susenas TW I 2014
Ketimpangan sektoral ini juga nampak dari produktivitas tenaga kerja, pendidikan tenaga kerja maupun upah. Sektor perdagangan dengan daya serap tertinggi ternyata memiliki produktivitas pekerja yang cukup rendah, di bawah rata -rata produktivitas keseluruhan pekerja. Bahkan sektor jasa-jasa dan sektor pertanian memiliki produktivitas yang paling rendah, sedangkan produktivitas tertinggi adalah pada sektor pertambangan dan
industri pengolahan. Sektor pertanian, bangunan, angkutan serta sektor perdagangan merupakan sektor-sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi rendah, sebaliknya sektor keuangan, jasa dan sektor industri lebih banyak menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi. Ketimpangan upah nampak dari lebih dari 60 persen tenaga kerja sektor pertanian yang mendapat upah/pendapatan di bawah UMP, sedangkan sektor keuangan dan sektor industri kurang dari 25 persen yang mendapat upah di bawah UMP. 5. IMPLIKASI KEBIJAKAN Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat fundamental dalam strategi penanggulangan kemiskinan. Untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami penduduk, intervensi di bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu langkah yang tepat untuk mengurangi angka kemiskinan. Dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan, Provinsi Kepulauan Riau masih mengalami beberapa permasalahan ketenagakerjaan yang perlu penanganan serius yaitu masih rendahnya kualitas tenaga kerja, upah/pendapatan tenaga kerja yang rendah serta masih adanya ketimpangan sektoral tenaga kerja. Peningkatan kualitas tenaga kerja menjadi prioritas dalam rangka meningkatkan daya saing, produktivitas serta upah/pendapatan tenaga kerja. Kualitas tenaga kerja ditentukan oleh tiga hal yaitu pendidikan tenaga kerja, keterampilan yang dimiliki dan pengalaman kerja. Dua poin yang menjadi wilayah intervensi pemerintah a dalah bagaimana meningkatkan pendidikan maupun keterampilan tenaga kerja. Data pendidikan tenaga kerja yang diungkapkan di atas sudah cukup sebagai bukti rendahnya tingkat pendidikan formal yang dimiliki tenaga kerja di Provinsi Kepulauan Riau. Untuk itu, perlu langkah-langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan partisipasi sekolah dengan memberikan subsidi pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, memberikan beasiswa bagi peserta didik yang berprestasi ke jenjang perguruan tinggi, serta mendorong didirikannya lembaga-lembaga pendidikan formal setingkat perguruan tinggi yang bermutu yang memiliki keterkaitan yang erat dengan dunia kerja. Poin berikutnya terkait dengan kualitas tenaga kerja adalah masih rendahnya keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja. Untuk itu, perlu perhatian yang lebih serius dari pemerintah terhadap pelatihan tenaga kerja melalui Balai Latihan Kerja (BLK). Perlu pembenahan yang serius terhadap BLK yang dimiliki melalui peningkatan kapasitas BLK baik kelembagaan, sarana dan prasarana maupun kurikulum yang dimiliki BLK sehingga BLK mampu memberikan keterampilan bagi tenaga kerja sebelum terjun ke dunia kerja. Selain orientasi pada kualitas pelatihan yang diberikan, BLK juga harus mampu meningkatkan frekuensi serta memberikan variasi pelatihan yang lebih banyak sesuai dengan tuntutan variasi pekerjaan yang semakin banyak. Permasalahan kedua yang dihadapi di bidang ketenagakerjaan adalah rendahnya upah/pendapatan yang dimiliki tenaga kerja khususnya bagi penduduk miskin. Di samping upah/pendapatan berhubungan erat dengan kualitas dan produktivitas tenaga kerja, sebagaimana disebutkan di atas, perlu pengawasan yang ketat terhadap implementasi kebijakan upah minimum. Ketentuan dan mekanisme penetapan upah minimum yang diatur dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans No. 7 tahun 2013 sudah berjalan cukup baik sehingga yang perlu ditingkatkan adalah pengawasan terhadap implementasi pelaksanaan upah minimum di lapangan. Kebijakan upah minimum ini sangat tepat dalam kerangka pengentasan kemiskinan untuk memberikan perlindungan bagi pekerja, meskipun kenyataannya seperti ditunjukkan di atas, masih banyak pekerja yang mendapatkan upah di bawah upah minimum tersebut. Terkait permasalahan ketiga yaitu masih tingginya ketimpangan sektoral tenaga kerja, perlu perubahan mendasar terhadap arah kebijakan pembangunan ekonomi di Kepulauan Riau. Sektor industri saat ini menjadi sektor primadona di Kepulauan Riau dengan
kontribusi yang sangat tinggi terhadap PDRB Kepulauan Riau yang mencapai hampir separuh dari total PDRB Kepulauan Riau dengan daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi di mana lebih dari seperempat tenaga kerja terserap di sektor ini. Namun realitas bahwa 92 persen wilayah Kepulauan Riau merupakan lautan, jelas menunjukkan potensi yang besar dari sektor maritim untuk dikembangkan dalam rangka mendukung perekonomian Kepulauan Riau. Untuk perlu mendorong tumbuhnya ekonomi di bidang maritim dengan mendorong adanya investasi yang besar di bidang maritim. Di samping itu, untuk mendukung pengentasan kemiskinan, perlu dukungan kuat terhadap usaha-usaha mikro dan kecil melalui kemudahan akses permodalan maupun pembinaan usaha. Usaha mikro dan kecil memiliki keterkaitan yang erat dengan kemiskinan karena dilakukan dengan modal yang kecil dan dikelola dengan pengetahuan dan keterampilan yang minim. Seperti disebutkan di atas, ada keterkaitan antara persentase penduduk yang bekerja di sektor informal (yang banyak diantaranya adalah pengusaha kecil) dengan tingkat kemiskinan di Kepulauan Riau. Apa yang dilakukan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau melalui program pembinaan usaha penduduk miskin/desa tertinggal termasuk usaha tani dan nelayan perlu dilanjutkan dan ditingkatkan volumenya. Namun pelaksanaan program ini perlu diawasi secara ketat agar bermanfaat secara nyata untuk perbaikan usaha penduduk miskin. DAFTAR PUSTAKA BPS Provinsi Kepulauan Riau. 2014. Profil Ketenagakerjaan Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Riau. Tanjungpinang. Gindling, T.H. 2014. Does increasing the minimum wage reduce poverty in development countries? IZA World of Labor 2014: 30. Islam, Inayatul. 2002. Poverty, Employment and Wages: An Indonesian Perspective. Makalah dipresentasikan pada ILO - JMHLW - Government of Indonesia Seminar on Strengthening Employment and Labour Market Policies for Poverty Alleviation and Economic Recovery in East and Southeast Asia. International Labour Organization. Islam, Rizwanul. 2001. Poverty Alleviation, Employment and Labour Market: Lessons from the Asian Experience and Policies. Makalah dipresentasikan pada Asia and Pasific Forum on Poverty. Asian Development Bank. Manila. Lustig, N. Dan D. McLeod. 1997. Minimum Wages and Poverty in Developing Countries: Some Empirical Evidence. Dalam: Edwards, S dan Lustig (eds.). Labor Market in Latin America: Combining Social Protection with Marker Flexibility. Brookings Institution, Washington DC. Osmani, S.R. 2002. Exploring The Employment Nexus: Topics in Employment and Poverty. A Report prepared for the Task Force on the Joint ILO-UNDP Programme on Employment and Poverty. Spannagel, Dorothee. 2012. In-work Poverty in Europe β Extent, Structure and Causal Mechanisms. Carl von Ossietzky Universitat. Oldenburg. TNP2K. 2012. Panduan Pemantauan Program Penanggulangan Kemiskinan. Buku Pegangan Resmi TKPK Daerah. Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Vijayakumar, Sinnathurai. 2013. An Empirical Study on the Nexus of Poverty, GDP Growth, Dependency Ratio and Employment in Development Countries. Journal of Competitiveness, Vol. 5, Issue 2, hal. 67-82.