NEWSLETTER
[email protected]
@infidjkt
Infid Jakarta
no. 01 oktober 2014 | www.infid.org
infid
Nota Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan (PK):
Tren, Permasalahan, dan Rekomendasi Oleh: Sugeng Bahagijo Direktur Eksekutif INFID
Perkembangan dan Data Kemiskinan
I
ndonesia tergolong negara kelas menengah (middle income) yang “kantong” kaum miskinnya terbesar, baik dibandingkan dengan rata-rata negara menengah maupun dibandingkan dengan negara-negara dengan kue
no. 01 oktober 2014
pembangunan (PDB) terbesar di dunia anggota G20. Di samping pertumbuhan ekonomi yang positif selama 10 tahun terakhir dan rata-rata pendapatan per kapita 3.500 USD, disisi lain, pemerintah baru juga diwarisi oleh angka ketimpangan yang meni ngkat drastik dari level 0.35 tahun 2005, menjadi 0.41 (Indeks Gini) pada tahun 2013, yang ter tinggi dalam sejarah Indonesia. Jumlah penduduk atau warga miskin makin menurun tiap tahun,
setidaknya dari data dan klaim pemerintah. Tahun 2014, jumlah penduduk miskin berjumlah 28 juta jiwa. Tetapi, jumlah ini masih sangat besar. Lebih besar dari total penduduk Malaysia (22 juta), lebih dari 2,5 kali penduduk DKI Jakarta (9 juta) dan hampir 10 kali penduduk Propinsi Sulawesi Selat an (3 juta). Jumlah penduduk miskin perlu dilihat dalam dua konteks: jumlah penduduk dan jumlah angkatan kerja dan angka pengangguran
NEWSLETTER INFID
1
Editorial
N
ewsletter edisi Oktober 2014 ini menitikberatkan pada advokasi INFID terkait dengan penurunan kemiskinan dan ketimpangan. Beragam tulisan yang ada mencoba merangkum upaya INFID baik di nasional maupun internasional dalam mendorong penurunan kemiskinan dan ketimpangan. Di tingkat nasional, INFID memberikan masukan kepada Jokowi mengenai kebijakan penanggulangan kemiskinan yang menjadi berita utama dalam newsletter. Sementara di internasional, INFID memaksimalkan ruang-ruang advokasi di forum G20 melalui Civil20 untuk memberikan masukan mengenai pentingnya G20 memperhatian masalah ketimpangan yang kian meningkat. Kemiskinan dan ketimpangan merupakan tantangan yang harus menjadi prioritas pemerintahan mendatang. Berbagai data menunjukkan kemiskinan turun namun pada saat yang sama ketimpangan semakin meningkat. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), rasio gini Indonesia meningkat dari 0,33 menjadi 0,41 antara tahun 1990 an 2013. Ketimpangan ini merupakan tertinggi dalam sejarah Indonesia. Tren yang sama terjadi di seluruh daerah perkotaan dan pedesaan serta di seluruh pulai baik di Jawa maupun di luar Jawa. Dalam rangka mendorong adanya kebijakan yang sanggup dan mampu menurunkan kemiskinan dan ketimpangan, INFID mengumpulkan beragam bukti-bukti lapangan terangkum dalam buku yang diterbitkan INFID dengan judul Ketimpangan Pembangunan Indonesia dari Berbagai Aspek. Di tingkat internasional, INFID mendorong forum G20 memiliki komitmen yang sama. Ada beberapa kebijakan yang INFID usulkan, salah satunya pentingnya G20 merumuskan kebijakan yang adil terkait dengan pajak. Mengingat banyak negara-negara maju yang menjadi surga pajak dan menjadi tujuan penghindaran pajak dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Adanya kebijakan pajak akan memiliki kontribusi yang signifikan dalam menurunkan gap terutama antara negara maju dengan negara berkembang. Semoga newsletter ini memberikan informasi yang memadai mengenai upaya-upaya bersama dalam rangka mendorong negara meningkatkan tanggungjawabnya dalam mengatasi kemiskinan dan ketimpangan. Selamat membaca. n
2
NEWSLETTER INFID
Penyusun Newsletter Penanggungjawab: Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID Dewan Redaksi: Beka Ulung Hapsara, Siti Khoirun Ni’mah, Febrina Andriasari Layout: Galih Gerryaldy, Suwarno
no. 01 oktober 2014
Berita utama
terbuka. Pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia adalah 252,3 juta jiwa (proyeksi), jumlah angkatan kerja berjumlah 1,48 juta orang, dan jumlah pengangguran terbuka berjumlah 6.9 juta orang. Meski secara umum kemiskinan ditandai oleh kurangnya pendapatan, aset dan pekerjaan (jobholder vs jobless), namun sebab-sebab kemiskinan berbeda beda di perkotaan dan pedesaan. Pemulung di kota Jakarta memiliki pendapatan yang tetap, meski hidup di kolong jembatan dan tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya. Sebaliknya, kemiskinan di pedesaan ditandai oleh ketiadaan lahan, modal yang lemah dan kekurangan pendapatan, meski memiliki rumah. Kemiskinan di pedesaan ditandai juga oleh lemahnya kesempatan menikmati barang dan jasa layanan pemerintah seperti pelayanan pendidikan, kesehatan, lapangan kerja. Sebab lain kemiskinan ketiadaan jaminan sosial karena penduduk terpapar resiko hidup (menjadi tua, meninggal) dan resiko sosial (PHK, menganggur, perceraian, sakit) tanpa dilindungi oleh sistem jaminan sosial modern. Karena sistem jaminan sosial publik Indonesia (kesehatan dan ketenagakerjaan) belum berjalan atau melindungi semua warganegara (universal), dan hanya melindungi sebagian kecil lapisan penduduk (PNS, TNI dan kelompok swasta profesional). JKN dan Jaminan Ketenagakerjaan masih sedang dibangun. Pemerintah melalui TNP2K
no. 01 oktober 2014
telah mengembangkan dan memiliki data penduduk miskin yang sama (unified data base), yang digunakan oleh semua kementrian dan lembaga pemerintah, sebagai rujukan agar program diselenggarakan secara tepat sasaran. Data yang tunggal ini akan memudahkan perancangan dan evaluasi programprogram pemerintah. Pemerintah telah mengembangkan berbagai macam program pengurangan kemiskinan mulai dari PKH, PNPM, KUR, BOS dan Raskin, Jampersal dan sebagainya. Cakupan wilayah dan penerima manfaat dari masing-masing program bervariasi. PNPM memiliki cakupan yang luas. Demikian juga dengan Raskin dan Bos dan Jampersal. Sementara PKH memiliki cakupan wilayah dan penerima manfaat lebih sempit dan terbatas. Tidak mengejutkan bila capaian dan hasil dari masing-masing program berbeda-beda. Besaran anggaran untuk seluruh program-program penanggulangan kemiskinan diperkirakan antara 50-80 Triliun. Dalam APBN 2014, terdapat pos Belanja Sosial sebesar Rp.73, 2 Triliun. Sebelumnya, tahun 2013, sebesar Rp. 93 Triliun. Angka persisnya barangkali masih dapat diperdebatkan, namun jelas bahwa secara nominal, dana untuk PK tiap tahun terus meningkat, sejalan dengan membesarnya volume APBN. Namun demikian, dibandingkan dengan volume belanja subsidi BBM dan belanja barang, maka tren yang terlihat nyata dan jelas adalah belanja sosial selalu lebih kecil (lihat tabel 2 dan 3).
Kebijakan dan Programprogram Kemiskinan Kemiskinan dapat diatasi melalui setidaknya dua jalur utama. (i) Melalui pasar kerja; antara lain melalui ketersediaan lapangan kerja dan upah layak dan luas sempitnya kapasitas industrialisasi dan pertanian dalam menyerap angkatan kerja; (ii) Intervensi pemerintah melalui (a) Kebijakan Fiskal dan Moneter; (b) Sistem Jaminan Sosial; (c) Program-program pemerintah; termasuk didalamnya subsidi pertanian dan penyediaan air bersih dan sanitasi. Pemerintah dapat memengaruhi jalur pertama secara tidak langsung baik melalui kebijakan upah minimum maupun melalui investasi dalam negeri dan FDI. Sebaliknya, pemerintah dapat menenetukan atau mengendalikan secara langsung melalui jalur kedua yaitu melalui kebijakan fiskal, sistim jaminan sosial, dan program-program PK yang diselenggarakannya. Secara skematis, maka kedudukan atau porsi dari program-program PK pemerintah paling jauh akan memiliki bobot separuh dalam menurunkan kemiskinan. Sisanya akan harus dilakukan melalui kebijakan makro ekonomi melalui kebijakan fiskal (pajak, subsidi) dan moneter (suku bungan, inflasi). Keberhasilan programprogram PK dapat diukur dari setidaknya dua kriteria dan dimensi.Yaitu (a) Efisiensi dan efektivitas, dalam arti kebijakan dan program telah mencapai dengan biaya dan
NEWSLETTER INFID
3
Berita utama
Tabel 1. Jumlah Penduduk Miskin (*Proyeksi)
2004
2008
2010
35
31
36.1
juta
juta
2011 29.9
juta
juta
2013
2014
28.6
27*
juta
juta
Tabel 2. Belanja Sosial vs Subsidi BBM (*Proyeksi)
2010 2011 2005 2008
Tahun
2012 2013
2014
Belanja Sosial
24.9
57.7
68.6
71.7
75.6
92.3
73.2
Subsidi BBM
104
223
140
255
306
332
364*
dalam triliun Rupiah
Tabel 3. Dua Jalur Penanggulangan Kemiskinan Jalur Pasar (Pemerintah Mempengaruhi) Pembukaan Lapangan Kerja Upah yang Payak Suku bunga Perbankan Jumlah investasi
Informasi Pasar Kerja
4
NEWSLETTER INFID
Peran Pemerintah (Pemerintah Mengendalikan) Jaminan Kesehatan (Kartu Indonesia Sehat /JKN) Pelayanan Pendidikan (Kartu Indonesia Pintar) Program-Program PK (PNPM, PKH, Raskin, BOS, BLT, BLSM, dll) Pelayanan Perumahan (Rumah Deret), Air Minum dan Sanitasi, Perlindungan Aset warga (Rumah, Tanah, Tabungan) Kebijakan Alokasi APBN dan APBD Kebijakan Pajak (PPh, PPn) Kinerja Kementrian Tenaga Kerja, Pertanian, Kesehatan dan Pendidikan
no. 01 oktober 2014
kelembagaan yang ada. Kriteria ini penting dalam menilai sejauh mana operasi dan teknis kelembagaanya efektif dan efisien dalam menyediakan jasa dan barang layanan itu sampai ke tangan pengguna/warganegara dengan tepat waktu dan dalam mutu yang dapat diterima. Selain itu, kebijakan juga dapat diukur dari sejauh mana (b) dampak program tersebut kepada pemecahan masalah kemiskinan. Hal ini antara lain dapat dilihat dari berbagai indikator yang relevan seperti jumlah penerimanya, jumlah lapangan kerja, angka pengangguran, jumlah penurunan angka putus sekolah, jumlah penurunan angka kematian ibu, dan seterusnya. Selama 10 tahun terakhir, kebijakan dan program-program pemerintah PK dapat digolongkan kepada beberapa upaya, antara lain (i) penyediaan sarana dan prasarana di pedesaan, di wilayah yang
kekurangan sarana dan prasarana seperti jalan, jembatan, pasar dan sebagainya; (ii) penyediaan modal kerja dengan bunga rendah seperti KUR (Kredit untuk rakyat) yang disalurkan melalui perbankan seperti BRI; dan (iii) penyediaan pelayanan kesehatan seperti Jamkesmas dan Jampersal; (iv) penyediaan dana bantuan untuk sekolah seperti Bos.
Kendala dan Permasalahan Dilihat dari “Nawa Cita” dan “Negara Hadir” serta Kemandirian Ekonomi, yang menjadi visimisi Jokowi JK, maka kebijakan dan program-program PK 10 tahun terakhir dapat dikatakan sebagai (i) negara tidak hadir karena pelayanan kebutuhan dasar ditumpukan dan diandalkan pada pendekatan pasar (you get what you pay) ketimbang pendekatan hak (you get what you need).
(ii) Jika negara hadir, dalam bentuk berbagai program-program pemerintah, maka terdapat banyak kelemahan dalam operasi dan kelembagaannya. Sehingga barang dan jasa dari pemerintah tidak sampai, terlambat diterima, dan atau terlalu lemah untuk untuk meringankan dan menolong warga yang sedang membutuhkannya (kematian ibu, balita kurang gizi). Diperiksa dari pendekatan kualitas manusia dan keunggulan ekonomi, maka program kebijakan dan program-program PK terutama pada bidang kesehatan dan pendidikan lebih banyak menundukkan diri pada kebutuhan jangka pendek ketimbang kebutuhan jangka panjang. Kebutuhan jangka panjang artinya memenuhi kekurangan dan defisit yang selama dialami Indonesia, defisit dokter, insinyur, ahli hukum ekonomi, peneliti biotek, dll. Secara teknis operasi dan kelembagaan, kendala dan per-
Tabel 4. Jenis dan Tipe program PK Nama Program
Jenis/Tipe
Cakupan
PNPM
Prasarana pedesaan. Pembangunan Sarana dan Prasarana desa. Jenis proyek ditentukan oleh partisipasi warga, sesuai kebutuhan. Termasuk kelompok simpan pinjam. Didampingi oleh fasilitator.
Seluruh Indonesia
PKH
Pendapatan. Pemberian Dana Tunai Bersyarat kepada warga miskin (Orang tua wajib menyekolahkan anak dan Kaum ibu wajib memeriksakan kesehatan di Posyandu dan Puskesmas setempat).
Khusus untuk keluarga miskin di beberapa propinsi
Raskin
Pangan. Pemberian beras dengan harga dibawah harga pasar (bersubsidi) untuk Gakin (keluarga miskin)
Keluarga Miskin di seluruh Indonesia
Jampersal
Kesehatan. Pelayanan Kesehatan gratis untuk ibu bersalin yang memerlukan (universal, tidak hanya yang miskin)
Untuk semua warga di seluruh Indonesia
BOS
Pendidikan.Bantuan untuk sekolah termasuk untuk pembangunan sarana dan prasarana sekolah
Seluruh Indonesia
no. 01 oktober 2014
NEWSLETTER INFID
5
Berita utama
masalahan dapat diringkas ke dalam satu frasa Kelemahan Teknis dan kelembagaan. Artinya, kelemahan pelaksanaan, pengawasan, pendataan dan sebagainya. Berikut ini, beberapa kendala dan permasalahan yang apabila diatasi akan dapat meningkatkan kualitas dan dampak program-program PK pemerintah di tahun-tahun 20152019 mendatang.
1. Pengukuran dan Data Kemiskinan. Pemerintah belum atau tidak memiliki data angka kemiskinan sebelum dan sesudah intervensi program-program pemerintah dijalankan, yang ada adalah data tahunan angka kemiskinan. Hal ini tentu menyulitkan untuk bisa menilai sejauh mana hasil dan keberhasilan seluruh program-program PK pemerintah.
2. Pendekatan Kebijakan. Kebijakan dan program PK selama ini hanya memusatkan diri pada pengurangan KEMISKINAN, dan tidak sekaligus pengurangan KESENJANGAN. Di RPJM dan RKP serta Nota APBN pemerintah, ukuran keberhasilan pembangunan tidak/belum diukur dengan penurunan kesenjangan/ ketimpangan (penurunan Gini Rasio). Implikasinya, pemerintah hanya menggunakan pendekatan “targeted”, dan melupakan pendekatan “universal” (untuk semua warga).
3. Pendekatan Program. Program-program PK pemerintah masih bertumpu pada pen-
6
NEWSLETTER INFID
dekatan “the needy” (“untuk yang miskin saja”) yaitu pendekatan targeted. Sementara banyak bidang memerlukan pendekatan yang universal (untuk semua), seperti dalam hal jaminan kesehatan, pelayanan pendidikan dan pelayanan ketenagakerjaan.
4 Penganggaran. Program-program PK banyak tetapi kualitas dan dampaknya sangat beragam mulai minimal hingga berdampak penting. Alokasi terbesar untuk program-program PK adalah PNPM dengan dana 11 T. Sementara program lainnya hanya berkisar 1-3 T per tahun.
5. Cakupan dan skala program minimal. Beberapa program pemerintah terlalu kecil dalam hal cakupan wilayah dan penerimanya, dengan dana yang minimal. Yang berakibat besaran manfaat yang diterimanya juga tidak signifikan. Akibatnya, manfaat dan dampak programprogram PK sulit diukur secara nasional dan agregat dalam menurunkan kemiskinan. Misalnya saja PKH. Cakupan PKH tidak bersifat nasional dan dengan alokasi dana program yang kecil.
6. Metode Penyaluran Subsidi yang keliru. Subsidi pupuk, benih (subsidi Pertanian) memainkan peran penting secara konsep. Dengan jumlah dana yang dialokasikan cukup besar. Pada tahun 2013 jumlahnya 17 Triliun. Metode penyaluran subsidi selama lebih berupa subsidi ke-
pada produsen ketimbang subsidi pengguna atau petani. Hal ini yang berakibat salah sasaran dan manfaatnya atau dana subsidi itu dibajak atau dikorupsi melalui kerjasama elit politik dan penerima dana subsidi (Pusri, BUMN Pertanian, dll). Akibatnya manfaatnya tidak dirasakan (“negara tidak hadir”). Padahal pemerintah bisa memberikan subsidi langsung tunai kepada para petani dan nelayan dan membebaskan mereka untuk membelanjakannya
7. Kendala Pusat dan Daerah. Ditinjau dari aspek anggaran, selama ini peran pemerintah daeh (kota dan Kab) sangat minimal. Sebagian besar pemerintah daerah hanya mengalokasikan kurang dari 5 persen APBD untuk kesehatan dan pendidikan, Sementara pemerintah Kota dan Kab mengalokasikan lebih dari 60 persen untuk belanja eksekutif dan DPRD.
8. Program PK terlalu banyak ragamnya. Dari program PNPM hingga BOS, dari PKH hingga Raskin, secara manajemen dan kelembagaan, pemerintah menjebakkan diri pada rentang tugas yang rumit dan tanpa koordinasi. Pemerintah juga tidak memiliki standar teknis capaian dan akuntabilitas pada tiap program-program karena masingmasing dikerahkan kepada kementrian dan lembaga yang mengelolanya (PNPM di Kemendagri, PKH di Kemensos, Bos di Kementrian Pendidikan, dll).
no. 01 oktober 2014
9. Kualitas kelembagaan yang buruk. Penyaluran berbagai program seringkali juga tidak efektif karena kinerja dan kelemahan birokrasi di kementrian dan lembaga pemerintah pusat: (i) keterlambatan, hingga tahunan bukan saja hari, minggu atau bulan.; misalnya saja penyaluran untuk siswa kelas 2 SMP, yang ternyata hanya diterima ketika dia sudah kelas 2 SMA, (ii) kegiatan yang tidak dilakukan, misalnya penyediaan dan distribusi obat-obat untuk rumah sakit rumah sakit pemerintah daerah oleh kemenkes. UKP4 memiliki data tentang kinerja berbagai program, termasuk keterlibatan dan berbagai kendala lain, sebagai hasil pemantauan langsung ke lapangan melalui uji petik di beberapa kab dan kota.
10. Silo-silo birokrasi dan kelembagaan: Program-program PK dikelola oleh berbagai lembaga, tanpa kordinasi yang baik dan terukut. PNPM oleh Kemendagri, BOS oleh Kementrian Pendidikan, dan PKH oleh Kemensos, Subsidi Pertanian oleh kementrian Pertanian, dan seterusnya, dan masing bergerak dengan egonya masing masing (silo-silo). Upaya memiliki data base keluarga miskin patut dipuji akan tetapi masih banyak hal dan aspek yang belum dapat disatukan atau dikoordinasi.
RekomendasiRekomendasi
Rekomendasi Umum 1. Ujian politik dan teknis bagi pemerintah Jokowi adalah mer-
no. 01 oktober 2014
evisi APBN, bagaimana melakukan perubahan APBN untuk menciptakan ruang fiskal yang memadai untuk mendanai program-program prioritas Jokowi JK sebagaimana dijanjikan 2. Pemerintah Jokowi JK perlu menciptakan ruang fiskal, 2-3% PDB atau sekitar 100300 T, untuk mendanai berbagai intervensi atau programprogram prioritas pemerintah Jokowi JK, dengan 3 cara (i) mengalihkan sebagian dana subsidi BBM dan Energi untuk program-program PK; (ii) penghematan belanja barang birokrasi (honor, perjalanan dinas, dll); (iii) Menaikkan tarif PPH orang pribadi untuk menyasar kelompok superkaya yang berpendapatan diatas 1 milyar dan 5 Milyar per tahun dengan tarif 40-45%. 3. Kebijakan PK harus sekaligus menurunkan ketimpangan. Oleh karena itu, pemerintah juga harus memfokuskan diri pada pelaksanaan jaminan kesehatan (Kartu Indonesia Sehat) dan jaminan ketenagakerjaan. Pemerintah Jokowi JK perlu mengukur keberhasilan pembangunan dengan indikator (a) penurunan Ketimpangan (penurunan Gini Rasio), disamping (b) penurunan angka kemiskinan dan (c) angka pengangguran. 4. Pemerintah menempuh dua jalur PK: Jalur Pasar dan Jalur Pemerintah. Dalam Jalur pemerintah, tiga inter-
vensi yang harus diutamakan: dukungan fiskal (belanja sosial), jaminan sosial dan bantuan sosial. Untuk kebijakan fiskal, pemerintah perlu mengubah kebijakan pajak PPH orang pribadi perlu diubah untuk mencerminkan keadilan. Batas atas pendapatan pajak (PPh p[ribadi superkaya) perlu diubah dari Rp500 juta dengan tarif 35 persen perlu ditambah dengan (a) lapisan pendapatan Rp1 milyar ke atas, (b) pendapatan Rp5 milyar ke atas dan (c) lapisan Rp10 Miliar pertahun ke atas dengan tarif berkisar antara 40-45 persen, sesuai dengan standar Uni Eropa. 5. Pemerintah Jokowi perlu menyelaraskan anggaran pemerintah daerah (kota dan kabupaten) melalui “politik fiskal” yaitu dengan cara : (a) mematok batas atas/maksimum bagi belanja eksekutif, DPRD dan Belanja pegawai tidak lebih dari 50% APBD . (b) mematok batas bawah/minimum untuk belanja pendidikan dan kesehatan tidak kurang dari 30% APBD (untuk pendidikan dan kesehatan. Kemenkeu tidak akan mencairkan dana pusat ke pemerintah kota dan kab (APBD) jika rencana APBD tidak mematuhi kaidah fiskal tersebut diatas.
Rekomendasi Khusus 1. Subsidi Pertanian (Pupuk, Benih dll) diubah dari subsidi produsen kepada subsidi konsumen kepada petani secara
NEWSLETTER INFID
7
Berita utama
langsung. Subsidi dapat diberikan secara tunai kepada kelompok petani dan nelayan untuk membeli bibit, pupuk, modal kerja, kapal nelayan, dan sebagainya. 2. Berbagai program-program PK perlu dimerger ke dalam 4-5 program besar dengan tujuan menciptakan cakupan dan dampak yang lebih besar dan memudahkan pengelolaan, pelaporan dan akuntabilitas, serta didanai secara memadai (well-finance) untuk wilayah yang luas yang menjadi sasaran: • Kartu Indonesia Sehat (Blok Kesehatan: Jampersal, Jamkesmas, dll) • Kartu Indonesia Pintar (Blok Pendidikan: BOS, dll)
•
Jaminan Tunai (Blok Bantuan Sosial: Raskin, PKH, dll) • Kartu Indonesia Mandiri (Blok Jaminan Ketenagekerjaan) • Program Pemberdayaan Masyarakat (Blok Pemberdayaan: PNPM, dll) 3. Pemerintah perlu mengalokasikan dana tambahan APBN untuk premi Jaminan Kesehatan bagi kelompok yang ditanggung pemerintah (PBI) sesuai premi yang dipatok oleh Kemenkes: dari Rp19 T ke Rp30 T pada APBN 2015. 4. Pemerintah perlu meminta BPS dan Bappenas memproduksi dan mengadakan data-data kemiskinan baru untuk memudahkan pemantauan dan pen-
gukuran hasil program-program pemerintah: data sebelum intervensi pemerintah dan sesudah intervensi pemerintah. 5. Perlu dipikirkan badan tersendiri untuk PK yang langsung mengawasi dan mengkoordinasi semua program-program PK, yang didukung oleh unit pemantauan program dan unit teknis analisa kebijakan. 6. UKP4 dan BPKP perlu diperluas wewenang tidak hanya memantau penyerapan anggaran dan realisasi rencana, tetapi juga menilai kinerja dan kualitas implementasinya. Artinya, kedua lembaga itu juga diberi wewenang untuk mengusulkan pendekatan kebijakan dan desain dan metode teknis pelaksanaan. n
Tabel 5. Lampiran Perincian Rencana Aksi Kemiskinan
MENDESAK
100
HARI
l CETAK BIRU KARTU INDONESIA SEHAT (JKN) l ALOKASI DANA UNTUK PREMI PBI JAMINAN KESEHATAN (JKN)
1
tahun
l PENGADAAN DATA KEMISKINAN BARU l STUDI KELAYAKAN DANA 1 JUTA UNTUK KELUARGA MISKIN/JAMINAN TUNAI
l CETAK BIRU KARTU INDONESIA PINTAR
l PERPRES PENYELASARAN APBD SESUAI PRIORITAS JOKOWI JK
l CETAK BIRU PERCEPATAN JAMINAN KETENAGAKERJAAN (KARTU INDONESIA MANDIRI)
l PEMBENTUKAN BADAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
l PEPRES PENYATUAN/MERGER BERBAGAI PROGRAM PK
l STUDI KELAYAKAN TUNJANGAN PENGANGGURAN (UNEMPLOYMENT BENEFITS)
l CETAK BIRU PERBAIKAN PERUMAHAN PERKOTAAN (RUMAH DERET)
l CETAK BIRU JAMINAN TUNAI INDONESIA
8
NEWSLETTER INFID
no. 01 oktober 2014
kegiatan infid
PERS RELEASE
MASALAH KETIMPANGAN HARUS DIPECAHKAN OLEH PEMERINTAHAN BARU Jakarta, 21 Agustus 2014 Tahun 2012, tercatat rasio gini mencapai 0,41, merupakan angka tertinggi sepanjang sejarah Republik Indonesia. Kenyataan tersebut tidak hanya terjadi antar kabupaten atau propinsi tapi terjadi merata di Indonesia. Bahkan INFID mencatat dalam sepuluh tahun terakhir terjadi percepatan ketimpangan di Indonesia. Dalam rangka mengumpulkan bukti-bukti mengenai masalah ketimpangan, INFID menerbitkan buku berjudul Ketimpangan Pembangunan Indonesia dari Berbagai Aspek. Buku ini merupakan buku pertama di Indonesia yang mengulas mengenai ketimpangan di Indonesia dalam dua dekade terakhir disertai dengai berbagai ulasan mengenai bentuk-bentuk ketimpangan di berbagai sektor. Seperti perbankan, perkebunan, perpajakan, pendidikan dan kesehatan, juga mengkaji efektivitas program penanggulangan kemiskinan. Buku juga menampilkan beragam usulan kebijakan terkait dengan penurunan ketimpangan. Menurut Prastowo, salah seorang penulis buku menyebutkan, ketimpangan sungguh menjadi problem serius dan menjadi isu keadilan. Hal ini nampak dalam berbagai aspek yang diulas di dalam buku seperti sulitnya pelaku ekonomi kecil mendapatkan kredit karena perbankan tidak berpihak terhadap mereka. Sementara pemerintah yang berupaya menurunkan ketimpangan dengan fokus pada kemiskinan, terbukti program-programnya belum efektif menjawab masalah tersebut. Demikian halnya dengan kebijakan pajak yang belum mendukung paradigma kesetaraan. Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif INFID menyatakan “saat ini merupakan saat yang tepat
no. 01 oktober 2014
bagi pemerintah baru untuk merumuskan agenda dan kebijakan yang mampu menurunkan ketimpangan”. Berkaitan dengan hal tersebut, INFID memberi usulan terkait dengan upaya penurunan ketimpangan kepada pemerintahan baru meliputi: Penurunan ketimpangan dari indeks gini 0,41 menjadi 0,35 dalam lima tahun mendatang menjadi indikator keberhasilan pembangunan yang tertuang di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2014 – 2019 Memperbaiki kebijakan dan perolehan pajak antara 19% higga 24%, terutama memacu perolehan pada pajak penghasilan (PPh) kelompok superkaya dengan tarif pajak (PPh) baru hingga 45% untuk memastikan sumbangan kelompok superkaya Realokasi subsidi BBM untuk universalisasi manfaat jaminan sosial, seperti jaminan kesehatan sosial dan jaminan ketenagakerjaan untuk semua warga Reformasi kelembagaan untuk memperkuat pemerintahan yang terbuka dan bersih dari korupsi. Hormat Kami,
Sugeng Bahagijo Direktur Eksekutif
Kontak person: Siti Khoirun Ni’mah Tlp: 08588 1305 213 atau
[email protected]
NEWSLETTER INFID
9
kegiatan infid
DISKUSI
G20 DAN JEBAKAN NEGARA BERPENDAPATAN MENENGAH Jakarta, 23 April 2014
S
ampul muka majalah The Economist edisi Februari 2014 berjudul “The parable of Argentina – what other countries can learn from a century of decline” menggambarkan sebuah negara yaitu Argentina yang memiliki kekuatan ekonomi lebih baik dibanding Amerika Serikat di tahun 1914. Pendapatan perkapitanya di atas Jerman, Perancis dan Italia. Argentina menjadi negara dari sepuluh negara terkaya di dunia setelah Australia, Inggris dan Amerika Serikat. Namun gambaran sebaliknya dan jauh berbeda yang saat ini terjadi atas perekonomian Argentina. The Economist menyebut perekonomian Argentina telah menurun. Bahkan menjadi pusat dari krisis negara-negara emerging. Menurut the Economist, ada tiga sebab yang menjadikan perekonomian Argentina seperti itu yaitu tidak berkembangkan industri, kebijakan perdagangan yang cenderung tertutup, dan lemahnya institusi dalam mendorong kebijakan jangka panjang. Pertanyaannya, bagaimana dengan Indonesia?Indonesia yang telah masuk dalam negara yang sedang tumbuh (emerging country) memiliki masalah yang tidak jauh
10 NEWSLETTER INFID
berbeda. Meskipun saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup tinggi dibanding negara-negara lain, namun industri nasional belum berkembang sebagaimana mestinya. Sebagian besar perekonomian masih disumbang bahan mentah dari komoditas perkebunan dan kehutanan, sementara industri olahan belum seperti yang diharapkan. Belum lagi institusi pemerintahan yang terus digerogoti penyakit korupsi, juga tiadanya strategi jangka panjang untuk menjadikan perekonomian Indonesia lebih tangguh di masa mendatang. Pertanyaan inilah yang coba dibahas di diskusi dengan tema G20 dan Jebakan Negara Berpendapatan Menengah. Diskusi menghadirkan dua
pembicara yaitu Dr. Yulius Purwadi dari Universitas Parahiyangan Bandung dan Prof Erani Yustika dari Universitas Brawijaya Malang. Seyogyanya diskusi menghadirkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, namun pihak dari kementerian tidak hadir. Peserta diskusi dari berbagai organisasi masyarakat sipil, organisasi buruh dan mahasiswa, pemerintah dari kementerian keuangan dan kementerian perdagangan, Komisi Anti Korupsi (KPK), Bank Dunia, dan media massa. Dr. Yulius Purwadi memaparkan perkembangan pembahasan di G20. Menurutnya pendekatan yang digunakan Australia fokus pada pertumbuhan ekonomi melalui
no. 01 oktober 2014
dua prioritas yaitu meningkatkan investasi swasta dan membangun ekonomi global yang tangguh. Dari sepuluh prioritas keketuaan Australia, menurut masyarakat sipil, pemerintah Indonesia memberikan perhatian besar ke agenda investasi untuk infrastruktur. Indonesia yang dikeketuaan Rusia menjadi ketua kelompok studi pembiyaan jangka panjang untuk investasi bersama Jerman, menganggap agenda investasi untuk infrastruktur penting dalam mendukung perekonomian nasional. Menurut Prof Erani Yustika, pembahasan di G20 belum memiliki relevansi dalam menjawab problem perekonomian Indonesia terutama menjawab tantangan Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Menurutnya definisi jebakan negara pendapatan menengah dikeluarkan Bank Dunia dengan dua alasan. Pertama, negara yang tidak mampu keluar dari pendapatan menengah memiliki potensi menjadi negara otoritarian. Kedua, guna menjadi negara yang tangguh terhadap hantaman krisis dibutuhkan tingkat pendapatan berkisar USD 6.000 – USD 7.000. Oleh karena itu, negara-negara emerging seperti Indonesia harus keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan mencapai tingkat pendapatan USD 6.000 – USD 7.000. Alasannya ada potensi tabungan baik ekonomi skala rumah tangga maupun dalam skala yang lebih besar. Sementara pendapatan perkapita penduduk Indonesia saat ini dikisaran USD 4.000, masih jauh dari yang dihara-
no. 01 oktober 2014
Table 1. Agenda G20 di bawah Keketuaan Australia
pkan. Oleh karena itu, masalah terpenting bagi Indonesia bukanlah meningkatkan pendapatan per kapita secara cepat seperti yang ditargetkan G20. Namun perlunya Indonesia menyusun dasar-dasar ekonomi yang kokoh melalui formasi aset yang merata, penciptaan lapangan kerja, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta meningkatkan kemampuan inovasi dan penguasaan tekhnologi. Hal minimal yang perlu dilakukan Pemerintah Indonesia di G20 yaitu menggunakan ruang-ruang perundingan di G20 untuk meningkatkan ruang pelaku ekonomi kecil yang saat ini semakin terpinggirkan melalui berbagai kebijakan yang mendukung penguatan ekonomi kecil. Berbeda dengan Prof Erani Yustika, menurut Maria Mon-
ica Wihardja dari Bank Dunia setidaknya ada tujuh agenda di G20 yang bisa digunakan Indonesia untuk meningkatkan perekonomian nasional yaitu investasi untuk infrastruktur dimana Indonesia saat ini sedang gencar meningkatkan pembangunan infrastruktur namun terkendala dengan pembiayaan. Sehingga pembahasan di G20 diharapkan membantu memecahkan masalah pembiayaan melalui dua skema penerbitan surat utang infrastruktur (infrastructure bond) dan pembentukan kelembagaan pembiayaan infrastruktur (institutional investor). Agenda lainnya meliputi perdagangan dan investasi, reformasi struktural, stabilitas makro-ekonomi, ketenagakerjaan, ketahanan pangan dan energi, dan stabilitas sosial dan politik termasuk mengatasi masalah ketimpangan. n
NEWSLETTER INFID 11
Resensi buku
Ketimpangan Pembangunan Indonesia dari Berbagai Aspek
S
aat ini, Indonesia sedang dalam kondisi kritis. Dimana pembangunan yang dilakukan malah menjadi sebuah panasea, terutama terhadap kemiskinan dan ketertinggalan rakyatnya. Juga terjadi dalam sektor pertanian, disini terdapat sebuah ironi sebuah negara agraris yang petaninya tidak mendapatkan perlindungan negara dan akhirnya petani beralih ke profesi lain. Buku ini mengulas panjang berbagai ketimpangan pembangunan yang terjadi di Indonesia. Banyaknya penulis yang terlibat penulisan buku ini merupakan salah satu keunggulannya. Sehingga pembaca bisa mendapatkan banyak informasi yang objektif dilihat berbagai sisi. Para penulis ini memiliki latar belakang yang berbeda yang Yustinus Prabowo memiliki background perpajakan, Tursia yang adalah seorang aktivis perempuan, Sugeng Bahagijo memahami dunia hukum dan demokrasi, Ah Maftuchan seorang peneliti dan trainer dalam tema pembangunan sosial,Arief Anshory Yusuf berlatarbelakang ekonomi, Firdaus memiliki keahlian memiliki keahlian dibidang pengorganisasian, Herjuno Ndaru Kinasih seorang peneliti sosial untuk isu-isu ekonomi dan pembangunan, Irhash Ahmady penggiat lingkungan, dan terakhir Mike Verawati Tangka yang memi-
12 NEWSLETTER INFID
liki pemahaman yang dalam untuk isu kebijakan konstitusional dan keadilan gender. Buku ini berusaha memberikan usulan melalui satu pendekatan yang dapat menjadi penawar kelelahan rivalitas negara dan pasar : penciptaan kapabilitas yang ditopang partisipasi luas civil society. Pembangunan harus ditanam kembali ke tata nilai dan gugus kebutuhan manusia sebagai subjek. Melalui penetapan capaian-capaian yang berkualitas dan terukur, strategi yang tepat, dan ruang partisipasi publik yang luas, isu ketimpangan dan kemiskinan dapat dijadikan ti-
tik awal untuk menafsirkan ulang dan menata visi pembangunan yang ada. Pembangunan harus memberikan ruang kebebasan, kesetaraan kesempatan, dan keberpihakan pada mereka yang telah dirugikan dan dipinggirkan. Buku ini juga bisa dijadikan rujukan, acuan dalam perumusan ulang kebijakan publik. Decomposing dan melakukan recomposing pada kebijakan dan strategi pembangunan. Meluputkan inti gagasan buku ini sama artinya dengan mengabaikan ikhtiar memperbaiki dan memajukan Indonesia. n
no. 01 oktober 2014
Analisis Utama
KERTAS POSISI MASYARAKAT SIPIL INDONESIA G20 dan Menjawab Masalah Ketimpangan, Pengangguran dan Pendanaan: Rangkuman dari Berbagai Usulan Masyarakat Sipil Indonesia
T
ahun 2014 merupakan tahun ke-6 pertemuan G20 digelar setelah G20 menjadi pertemuan tingkat tinggi yang dihadiri para kepala negara dari 20 anggota. Pertemuan tingkat tinggi pertama berlangsung di Washington DC tahun 2008 yang diprakarsai oleh Presiden George W. Bush dengan agenda memperkuat konsolidasi global untuk mengatasi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Pertemuan tersebut berhasil meng-
no. 01 oktober 2014
galang dana dengan adanya kesepakatan pemberian stimulus fiskal untuk bersama-sama mengatasi krisis di AS. Pertemuan tersebut sekaligus menjadikan G20 sebagai the primier forum for international economic cooperation atau sebagai forum utama yang membahas kerjasama ekonomi internasional, menggantikan G8 yang sebelumnya menjadi penentu kebijakan ekonomi global. Namun seiring berjalannya waktu, harapan untuk menjadikan
G20 sebagai forum utama kian redup. G20 tidak mengambil banyak peran ketika krisis keuangan mulai melanda Uni Eropa di tahun 2009. Pertemuan G20 di Meksiko tahun 2012 tidak menghasilkan kesepakatan mengenai penyelesaian krisis di Uni Eropa karena Uni Eropa memutuskan untuk menyelesaikan sendiri krisis yang sedang mereka alami. Berikutnya adalah tidak terjadinya koordinasi kebijakan antar anggota G20 seperti yang diharapkan ketika AS secara
NEWSLETTER INFID 13
Analisis Utama
unilateral mengeluarkan kebijakan pengurangan stimulus, yang mengakibatkan negara-negara emerging termasuk Indonesia menghadapi pelarian modal dan menjadikan nilai rupiah terhadap dollar turun tajam. Ketika beberapa negara seperti Turki dan India menyerukan pentingnya koordinasi terkait dengan kebijakan tersebut sebelum berlangsungnya pertemuan G20 di St Petersburg, Rusia, namun dalam pertemuan puncak, koordinasi kebijkaan tidak dibahas. Belum lagi sikap AS yang tidak mendukung reformasi International Monetary Fund (IMF) yang telah menjadi komitmen G20. Di tengah-tengah kegamangan akan efektivitas dan juga soliditas G20, pemerintah Australia telah menetapkan pertumbuhan yang kuat sebagai prioritas pembahasan di G20. Merujuk pada komunike pertemuan para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral di Sydney yang berlangsung pada tanggal 22-23 Februari 2014, ditargetkan perekonomian akan tumbuh 2% dalam lima tahun. Pertumbuhan diharapkan akan ditopang oleh peningkatan investasi swasta khususnya infrastruktur agar dapat menyerap tenaga kerja dan mendorong perdagangan. Pertumbuhan juga diharapkan tangguh terhadap goncangan sehingga perlu diperkuat aspek pembiayaan khususnya yang bersumber dari pajak. Diharapkan prioritas tersebut menjawab masalah keuangan dan ekonomi global dan juga menjawab efektivitas G20 sebagai forum kerjasama ekonomi global.
14 NEWSLETTER INFID
Pertanyaannya, apakah capaian tersebut sesuai yang diharapkan masyarakat sipil?Apa usulan masyarakat sipil terhadap delegasi pemerintah Indonesia yang hadir dalam pertemuan-pertemuan G20? Masyarakat sipil Indonesia mencatat tiga tantangan pembangunan yang dihadapi baik oleh Indonesia maupun negara lain, meliputi tingginya angka ketimpangan, tingginya angka pengangguran, dan juga rendahnya mobilisasi sumber daya domestik. Tiga tantangan inilah yang diharapkan dapat dibahas dipertemuan G20.
1. Pertumbuhan versus ketimpangan Salah satu sasaran utama Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019
yang sedang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) adalah pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% sampai 8% per tahun. Diharapkan dengan angka pertumbuhan tersebut, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai USD 7.000 pada tahun 2019. Pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan utama G20 melalui kerangka strong, sustainable and balance growth. Bahkan tahun ini di bawah kepemimpinan Australia, G20 menetapkan target pertumbuhan 2% dalam kurun lima tahun ke depan dan fokus pada pertumbuhan yang kuat. Pada saat yang sama, Indonesia tengah menghadapi problem ketimpangan yang kian meningkat. Rasio gini koefisien mencapai 0,42 ditahun 2013, sebuah angka tert-
Tabel 1. Gini Koefisien di Indonesia berdasarkan desa dan kota
Sumber: Arief Anshory Yusuf, diolah dari Susenas (2013)
no. 01 oktober 2014
Tabel 2. Gini koefisien berdasarkan Jawa dan Luar Jawa
Sumber: Arief Anshory Yusuf, diolah dari Susenas (2013)
inggi sepanjang sejarah Indonesia. Kajian INFID juga menunjukkan, terjadi percepatan ketimpangan selama dekade terakhir. Hampir semua wilayah seperti desa dengan kota, Jawa dengan luar Jawa, nasional maupun propinsi mengalami percepatan ketimpangan. Berbagai kebijakan di tingkat nasional yang mendorong melebarnya ketimpangan telah diidentifikasi masyarakat sipil seperti kebijakan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit yang memberikan dukungan yang minim bagi petani skala kecil dibandingkan petani skala besar atau bahkan korporasi telah mendorong ketimpangan semakin lebar. Demikian
no. 01 oktober 2014
halnya dengan kebijakan perbankan yang menerapkan penjaminan bagi pemberian kredit, sementara pemerintah tidak memberikan dukungan yang cukup bagi pelaku usaha kecil mengakibatkan sektor mikro kesulitan mendapatkan akses kredit. Menurut catatan OXFAM (2014), dalam tiga dekade terakhir ketimpangan global juga kian lebar. Jumlah kekayaan 1% penduduk dunia paling kaya sebesar USD 110 triliun atau 65 kali total kekayaan setengah dari jumlah penduduk dunia. Sementara setengah dari jumlah penduduk dunia memiliki kekayaan sama dengan 85 orang paling kaya di dunia.
2. Investasi dan Penyediaan Lapangan Kerja G20 menetapkan investasi swasta terutama untuk pembangunan infrastruktur sebagai salah satu penggerak pertumbuhan. Investasi swasta diharapkan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja melalui kerjasama pemerintah dengan swasta (Public Private Partnership). Indonesia yang saat ini menjadi Ketua Kelompok Kerja untuk Investasi dan Infrastruktur di G20, telah menjadi pengagas utama mengenai pentingnya infrastruktur menjadi agenda G20.
NEWSLETTER INFID 15
Analisis Utama
Tabel 3: Perbandingan perkembangan investasi dengan penyerapan tenaga kerja
Sumber: Erani Yustika, diolah dari BI 2014 Indonesia berharap dengan masuknya agenda infrastruktur dapat menjawab problem pembangunan infrastruktur di dalam negeri. Sementara itu, data di bawah ini menunjukkan investasi belum maksimal dalam menyerap angkatan kerja. Hal ini bisa dilihat dari tabel di bawah ini di mana perkembangan investasi terhadap PDB Indonesia yang berkisar 30% dalam tiga tahun terakhir belum menjamin meningkatnya lapangan kerja. Penyerapan lapangan kerja hanya sebesar 1,14 juta orang ditahun 2012, terus menurun dari tahun sebelumnya dan berbanding terbalik dengan investasi yang kian meningkat. Khusus untuk investasi asing langsung (foreign direct investment), selain kontribusinya terhadap penyediaan lapangan kerja yang tidak sesuai harapan, investasi asing malah memberi keuntungan yang tinggi bagi investor. Data yang diambil dari Eurodad, sebuah lembaga masyarakat sipil di Eropa yang membidani isu pembiayaan untuk pembangunan, mencatat investasi
16 NEWSLETTER INFID
asing langsung di negara-negara berkembang yang keluar dalam bentuk selisih keuntungan lebih besar dibanding investasi yang masuk.
3. Mobilisasi Sumber Daya Domestik Pembiayaan pembangunan merupakan salah satu tantangan yang perlu mendapat perhatian baik G20 maupun pemerintah. Krisis yang melanda Uni Eropa mendorong pengetatan fiskal, meskipun langkah sebaliknya dilakukan AS dan Jepang dengan melakukan pelonggaran moneter. Namun bagi emerging countries termasuk Indonesia, pembiayaan pembangunan terutama untuk program-program sosial dan belanja infrastruktur merupakan salah satu persoalan yang perlu dipecahkan. Salah satu usulan G20 dalam meningkatkan kapasitas fiskal anggota G20 adalah melalui kerjasama mendukung realisasi agenda aksi Base Erosian and Profit Shifting (BEPS) yang dirintis. Ini merupa-
kan agenda aksi berupa kerjasama multilateral yang lebih luas untuk menangkal upaya-upaya penghindaran pajak melalui pengalihan keuntungan yang masif. Pencegahan hanya bisa dilakukan melalui kerjasama perpajakan yang konkret, mengikat, dan terukur. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dan tujuan investasi utama juga mengalami persoalan dengan penerimaan pajak. Jika diukur dengan tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap PDB, tax ratio Indonesia adalah 13,3%. Angka ini jauh di bawah rata-rata tax ratio lower middle-income countries yang mencapai 17.7%. Artinya, secara teoretik defisit penerimaan pajak Indonesia adalah 4.4% dari PDB atau sekitar Rp 375 trilyun. Rendahnya tax ratio Indonesia dipengaruhi beberapa hal, antara lain (i) masih rendahnya kapasitas otoritas pajak memungut pajak, (ii) tingginya pengaruh sektor informal economy yang belum terintegrasi dalam sistem perpajakan nasional,
no. 01 oktober 2014
PERBANDINGAN TAX RATIO INDONESIA DENGAN NEGARA – NEGARA LAIN
Perbandingan TAX Ratio Indonesia dengan negara-negara lain
Keterangan: *Hasil kalkulasi Perkumpulan Prakarsa dengan Pendekatan Tax Ratio dalam arti luas Sumber: IMF 2011 (diolah)
Grafik Struktur Penerimaan Pajak 2006 – 2012 Grafik struktur penerimaan pajak 2006-2012 1,200.00 1,000.00 800.00
Penerimaan Pajak
600.00
PPh 21
PPh PPh 25/ 29 OP
400.00
PPh Badan PPN
200.00 0.00 2006
2007
2008
(iii) tingginya tax avoidance (penghindaran pajak). Struktur penerimaan pajak Indonesia juga masih memprihatinkan. Sebagaimana tampak dalam tabel, penerimaan pajak masih didominasi oleh penerimaan PPh dan PPN. PPh Badan masih mendominasi dan jauh di atas penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Orang Pribadi. Ini menunjukkan belum terpenuhinya keadilan pajak yang didasarkan pada prinsip kemampuan membayar (ability to pay). Indone-
no. 01 oktober 2014
2009
2010
2011
2012
sia masih bergantung pada pajak tidak langsung (PPN) dan belum optimalnya kontribusi wajib pajak badan dan orang pribadi dalam membayar pajak. Struktur penerimaan pajak yang adil seharusnya terdiri dari penerimaan PPh Orang Pribadi yang paling besar, lalu PPN, dan PPh Badan. Indikasi ini dapat dilihat pada tax ratio sektoral di bawah, yang menunjukkan tax ratio sektor perkebunan/kehutanan adalah yang terendah, lalu konstruksi dan
pertambangan. Tidak dimungkiri, tiga sektor ini merupakan sektor yang kompleks dan umumnya melibatkan struktur bisnis lintas-batas (multinasional). Dengan demikian mobilisasi sumber pendanaan domestik yang bertumpu pada penerimaan pajak membutuhkan dukungan yang besar dan konkret dari berbagai pihak. Selain peningkatan kapasitas otoritas pemungut pajak, kerjasama internasional yang lebih konkret dan efektif dibutuhkan untuk menang-
NEWSLETTER INFID 17
Analisis Utama
kal praktik penghindaran pajak lintas-batas melalui skema transfer pricing, hybrid mismatch arrangement, dan digital economy. Forum G20 adalah forum yang tepat dan strategis untuk mendorong realisasi kerjasama perpajakan internasional yang lebih baik.
4. Usulan Masyarakat Sipil Tiga tantangan tersebut diharapkan menjadi prioritas G20. Sebab bagi masyarakat sipil, pertumbuhan yang kuat tidak akan berarti apa-apa jika menyisahkan masalah ketimpangan, pengangguran, dan juga keterbatasan pendanaan. Pertumbuhan yang kuat membutuhkan syarat yaitu menjawab tiga tantangan tersebut. Oleh karena itu, menurut masyarakat sipil tiga tantangan tersebut harus dijawab den-
gan kebijakan sebagai berikut:
•
1. Mendorong pembangunan yang inklusif melalui: •
•
•
•
Memberi prioritas kebijakan ekonomi bagi pelaku usaha kecil terutama perempuan dan anak muda yang bergerak di sektor informal (UMKM) dan juga petani skala kecil agar berdaya secara ekonomi. Meningkatkan peran sektor keuangan pada penguatan ekonomi riil. Meningkatkan investasi pada pembangunan sosial dengan meningkatkan belanja untuk pendidikan dan kesehatan. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan ekonomi.
•
•
Memastikan investasi memberi nilai tambah bagi penguatan industri di dalam negeri dan penciptaan lapangan kerja yang layak. Investasi tidak hanya didasarkan pada value for money tapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Memberi prioritas pembangunan infrastruktur dasar seperti fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sanitasi.
3. Mendorong peningkatan kerjasama perpajakan •
•
2. Investasi yang menyerap angkatan kerja
Pertukaran informasi (exchange of information) tanpa syarat. Pembentukan forum perpajakan multinasional dan regional. Revisi terhadap Panduan Transfer Pricing dan Tax Treaty Model. n
Table 9. Tax Ratio Sektoral 2008-2012 Klasifikasi Lapangan Usaha
Tahun 2008
2009
2010
2011
2012
Pertanian, Perkebunan, Kehutanan
1.8
1.7
1.4
1.3
1.2
Pertambangan dan Penggalian
12.6
5.7
8.1
8.1
6.3
Industri Pengolahan
9.7
10.8
11.2
12.5
12.6
Listrik, Gas dan Air Bersih
15.5
14.0
19.1
20.0
13.5
Konstruksi
4.3
3.6
3.5
3.8
3.2
Perdagangan, Hotel dan Restoran
9.7
9.5
9.6
10.4
10.3
Pengangkutan dan Komunikasi
10.6
8.4
7.9
7.5
7.1
Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan
19.4
19.7
19.8
18.3
18.0
Jasa-jasa
5.4
5.3
4.5
4.5
4.2
Sumber: Ditjen Pajak dan BKF Kemenkeu (diolah)
18 NEWSLETTER INFID
no. 01 oktober 2014
Background Paper PEMBIAYAAN UNTUK PEMBANGUNAN
B
akground Paper adalah informasi awal untuk memberikan gambaran mengenai posisi diskursus pembiayaan pembangunan saat ini. Dalam agenda pembangunan paska-2015 dan rencana konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pembiayaan pembangunan yang akan digelar di tahun 2015 atau 2016, terdapat dua area hal yang diulas dalam paper ini yaitu sumber-sumber pembiayaan di luar Official Development Assitance (ODA) dan peran lembaga keuangan yang berkaitan dengan sumber-sumber pembiayaan tersebut. Terjadi perdebatan mengenai bagaimana agenda pembangunan setelah berakhirnya Millenium Development Goals (MDGs) telah dimulai sejak tahun 2012 saat PBB mengadakan Konferensi Pembangunan yang Berkelanjutan di Brazil atau dikenal dengan Rio+20 Summit. Sejak saat itu, berbagai forum diselenggarakan dengan melibatkan beragam multi-stakeholder global dengan tujuan untuk mendapatkan masukan mengenai agenda pembangunan ke depan. Pada saat yang sama, terjadi pergeseran peta politik dan ekonomi global akibat krisis berkepanjangan yang dialami negara-negara maju dan juga tumbuhnya negara-
no. 01 oktober 2014
negara emerging seperti China, India, Rusia, Brazil dan juga Indonesia. Pergeseran ini juga membawa perubahan terhadap komitmen negara-negara maju untuk memberikan bantuan berupa pinjaman luar negeri ke negara-negara miskin dan berkembang. ODA yang selama ini diandalkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan terutama untuk tercapaianya MDGs kian berkurang dan tidak signifikan dibanding sumber-sumber pembiayaan lainnya.
ODA dan Perjalanan panjang pembiayaan pembangunan MDGs menetapkan pembiayaan untuk pembangunan menjadi agenda bersama yang tertuang dalam tujuan kedelapan yaitu kerjasama global. Di dalam goal delapan tersebut, terdapat empat indikator kerjasama global yaitu bantuan dari negara-negara maju ke negara-negara miskin dan berkembang dalam bentuk ODA atau pinjaman luar negeri, perdagangan terutama terkait dengan akses pasar, keberlanjutan pinjaman luar negeri, dan kerjasama farmasi untuk pemenuhan obat dasar bagi negara miskin dan berkembang. Dua tahun setelah MDGs disepakati menjadi komitmen global (2002), diadakan konferensi yang
berlangsung di Monterrey, Meksiko, dengan agenda membahas pembiayaan untuk pembangunan. Tujuan utama dari konferensi tersebut yaitu untuk mobilisasi pendanaan untuk mencapai target MDGs. Konferensi tersebut kemudian menghasilkan konsensus di antara negara-negara maju berupa komitmen bantuan dalam bentuk ODA kepada negara-negara miskin sebesar 0,7% dari produk domestik bruto. Komitmen ini kemudian dikenal dengan Monterrey Concencus. Tiga tahun berikutnya (2005), OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) mengadakan pertemuan di Paris yang bertujuan untuk melakukan harmonisasi di antara negara-negara maju dalam rangka meningkatkan efektivitas bantuan. Pertemuan Paris menghasilkan lima poin kerjasama terdiri atas ownership (kepemilikan), alignment (keterpaduan), harmonisation (harmonisasi), result-based oriented (berdasarkan pada hasil), dan mutual accountability (akuntabilitas timbal balik). Lima pilar ini kemudian dikenal dengan Deklarasi Paris yang hingga saat ini digunakan sebagai acuan dalam kerjasama bantuan berupa pinjaman luar negeri. Beragam pertemuan yang diadakan tersebut untuk memastikan efektivitas bantuan agar dapat
NEWSLETTER INFID 19
Analisis Utama
Tabel 1. Gap komitmen ODA dan implementasinya
Sumber: OECD
mendukung tujuan pembangunan millenium. Namun berdasarkan laporan PBB di tahun 2012 (tiga tahun sebelum berakhirnya MDGs), hanya lima negara yang menjalankan komitmennya yaitu Swedia, Norwegia, Luxemburg, Denmark, dan Belanda. Sementara sebagian besar tidak mencapai target yang diharapkan. Secara total, ODA ditahun 2011 sebesar 0,31% dari GDP, jauh di bawah konsensus Monterrey. Meskipun ODA dianggap tidak mampu memenuhi harapan global terkait dengan pembiayaan pembangunan, namun bagi negara-negara miskin (least developed countries/LDCs) menganggap ODA masih diperlukan guna mendukung pembangunan di negara mereka.
Potensi Sumber Pembiayaan untuk Pembangunan High level Panel of Eminent Person on Post-2015 Development Agenda (HLPEP) yang dibentuk Sekjend PBB, Ban Ki Moon, dengan mandat menyusun agenda pemban-
20 NEWSLETTER INFID
ternasional seperti G20, APEC, dan PBB mengenai pembiayaan pembangunan, mulai dari kerjasama perpajakan, meningkatkan investasi khususnya FDI (Foreign Direct Investment), transparansi industri ekstraktif, hingga meningkatkan public private partnership (PPP).
gunan paska-2015 menekankan dua sumber pembiayaan yaitu pertama, ODA dengan komitmen yang sama 0,7% dari GDP dan 0,15% sampai 0,20% dari total GDP negara-negara maju untuk LDCs, dan kedua, mengurangi pelarian modal dan pajak termasuk mengembalikan aset yang dicuri. Dua sumber tersebut menggambarkan sumber pembiayaan diharapkan selain dari bantuan luar negeri, juga didapat dari mobilisasi sumber daya domestik. Dokumen HLPEP menggambarkan pergeseran kekuatan ekonomi global akibat krisis yang terjadi di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Krisis yang mulai terjadi di tahun 2008 dan hingga kini masih belum pulih menyebabkan negaranegara maju mengurangi ODA dan mendorong pencarian sumber-sumber pembiayaan baru. Dua sumber pembiayaan baru yang diharapkan yaitu partisipasi sektor swasta dan sumber pembiayaan dari negaranegara emerging. Terdapat beberapa usulan yang mengemuka di berbagai forum in-
Pembiayaan Pembangunan Sektor Swasta Hal lainnya yang menarik diamati akibat krisis ekonomi di AS dan Uni Eropa tahun 2008 adalah meningkatnya peran swasta dalam pembiayaan pembangunan baik sebagai sumber pembiayaan terutama PPP juga sebagai penerima ODA. Konferensi mengenai efektivitas bantuan yang berlangsung di Busan tahun 2012 menetapkan swasta sebagai aktor pembangunan. Hal ini berimplikasi terhadap sektor swasta dimana swasta memiliki hak untuk menerima ODA di luar pemerintah dan masyarakat sipil. Sebagai sumber pembiayaan, Bank Dunia dalam dokumen Financing for Development Post-2015 (2013) mengidentifikasi beberapa sumber pembiayaan dari sektor swasta meliputi FDI, pinjaman dari perbankan (bank loans), surat utang berharga (bond issues), institutional investor, dan remitansi (private transfer). Secara keseluruhan tabel di bawah ini menggambarkan besarnya dana yang mengalir ke negara-negara berkembang dimana paling besar dana dari FDI sebesar 60%.
no. 01 oktober 2014
Tabel 2. Aliran dana ke negara-negara berkembang, 2012 (Dalam USD miliar, dan % dari total)
bonds
143.3, 14%
short-term debt flows
126.7, 13%
banks
71.5, 7%
portfolio equity inflows
44.4, 4%
other private
7.1 , 1%
FDI inflows
600.1 60%
oda & oof
14.1, 1%
Sumber: Bank Dunia, 2013
Tabel di atas juga menggambarkan besarnya potensi pendanaan dari sektor swasta dibandingkan ODA yang hanya 14% dari total pendanaan yang ada.
Peran Lembaga Keuangan Internasional Mulai tahun 2000-an, bantuan Bank Dunia ditujukan pada perubahan kebijakan pembangunan yang tertuang dalam pinjaman De-
no. 01 oktober 2014
velopment Policy Loan (DPL). DPL inilah yang mengarahkan kebijakan di Indonesia termasuk juga dalam hal pembiayaan pembangunan seperti pajak, PPP, inklusi keuangan, juga remitansi. Selain kebijakan, DPL juga mendorong pembentukan kelembagaan seperti pembentukan Indonesia Infrastructure Fund dan lain sebagainya. Ditingkat regional, Asia Development Bank (ADB) lebih mendorong regional integrity khu-
susnya di kawasan Asia termasuk ASEAN melalui paket-paket pinjamannya. ADB juga melalui DPL, sama dengan Bank Dunia, mendorong perubahan kebijakan dan juga pembentukan kelembagaan terkait dengan area-area pembiyaan pembangunan seperti PPP. Jadi dapat dikatakan, lembaga keuangan internasional khususnya Bank Dunia dan ADB masih memiliki peranan besar terkait dengan pembiayaan pembangunan. n
NEWSLETTER INFID 21
Analisis Utama
G20 dan Advokasi Masyarakat Sipil Oleh: Siti Khoirun Ni’mah
G
20 dibentuk di tahun 1999, setelah krisis ekonomi dan keuangan yang terjadi di Asia di tahun 1997. Agenda utama G20 pada saat itu yaitu mencegah krisis ekonomi dan keuangan kembali berulang dan mengurangi resiko sistemik jika terjadi krisis di kemudian hari. Pertemuan pertama diadakan di Berlin pada Desember 1999 yang dihadiri Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral dari 20 negara anggota. Pertemuan pertama menghasilkan kesepakatan meliputi G20 akan bekerja dalam kerangka institusi Bretton Woods seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO). Ini menegaskan keberadaan G20 tidak bermaksud menggantikan peran dari lembaga Bretton Woods tetapi menjadi forum yang akan mencari kesepakatan bersama jika tidak bisa dicapai di tiga lembaga tersebut; dan G20 akan bekerja sama di tiga bidang yaitu investasi, keuangan dan perdagangan. Sampai pada tahun 2008, G20 masih sebagai forum tingkat men-
22 NEWSLETTER INFID
teri dan gubernur bank sentral. Namun saat Amerika Serikat (AS) mengalami krisis keuangan di awal tahun 2007, Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, mengusulkan pertemuan G20 menjadi pertemuan kepala negara. Ini dimaksudkan agar pertemuan menghasilkan keputusan politik yang langsung diambil dari kepala negara. Maka pada bulan November 2008, berlangsung pertemuan pertama G20 di Washington, AS yang dihadiri para kepala negara dari 20 negara anggota. Pertemuan menghasilkan kesepakatan mengenai peng-
gelontoran stimulus fiskal dari 20 negara dalam upaya membantu AS agar tidak terjebak ke dalam krisis yang lebih dalam. Indonesia sendiri mengeluarkan paket stimulus fiskal sebesar Rp 74 triliun yang sebagian besar untuk keringanan pajak dan pembangunan infrastruktur. Pertemuan di AS tersebut menjadi awal pergeseran kekuatan ekonomi dan politik global dari sebelumnya dikuasai G8 menjadi G20 yang di dalamnya negara-negara emerging seperti India, China, Brazil, dan Indonesia. Pergeseran ini juga menandai perubahan peran
no. 01 oktober 2014
G20 yang sebelumnya hanya forum setingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral menjadi pertemuan Kepala Negara dan menegaskan perannya sebagai forum kerjasama ekonomi dunia (the primier forum for international economic cooperation).
Tanggapan Masyarakat Sipil Global Menanggapi situasi tersebut, masyarakat sipil global dihadapkan pada dua pilihan. Pertama, menolak G20 karena tidak selayaknya
no. 01 oktober 2014
agenda global ditentukan hanya oleh 20 negara. Forum yang tepat untuk membahas krisis keuangan dan ekonomi global adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sikap ini menguat terutama di dua tahun pertama G20 menjadi forum kepala negara. Dalam berbagai pertemuan puncak G20, pada masa itu, selalu diwarnai dengan aksi demonstrasi menolak G20. Masyarakat sipil dari berbagai negara bekumpul untuk menyerukan pembubaran G20 dan mendorong kekuatan alternatif untuk mengurangi dominasi negaranegara maju yang ada di G20. Namun seiring dengan masuknya agenda pembangunan yang dimulai tahun 2010, di masa keketuaan Presiden Korea Selatan, dan juga realitas politik global di mana kesepakatan G20 memiliki dampak global dan tidak bisa dibiarkan begitu saja, maka masyarakat sipil mulai mengusulkan agenda yang dimasukkan di pertemuanpertemuan pendahuluan. Hal inilah yang mendorong adanya sikap kedua yaitu masuk dalam perundingan G20 untuk mengusulkan agenda-agenda yang menjadi perhatian masyarakat sipil global. Agenda-agenda tersebut meliputi reformasi lembaga keuangan internasional yaitu IMF, regulasi di sektor keuangan sehingga sektor keuangan dapat mendukung sektor riil, komitmen G20 untuk mengurangi kesenjangan baik di dalam negeri anggota G20 maupun antara kesenjangan di tingkat global antara negara-negara yang tergabung di G20 dengan negara-negara miskin dan berkembang, juga ker-
jasama perpajakan untuk mengatasi pelarian modal terutama dari negara-negara miskin ke negaranegara maju. Berangkat dari situasi tersebut, masyarakat sipil global mulai melakukan koordinasi terutama dengan masyarakat sipil di 20 negara untuk masuk dalam perundingan formal. Dimulai pada tahun 2010, ketika Pemerintah Korea Selatan mengundang masyarakat sipil untuk berdialog langsung dengan Sherpa dari 20 negara. Berikutnya di Meksiko, secara resmi Pemerintah Meksiko menyusun mekanisme outreach dengan masyarakat sipil. Mekanisme ini dilakukan dengan mengadakan beberapa kali pertemuan antara Pemerintah Meksiko dengan masyarakat sipil dari berbagai negara untuk mendapatkan masukan dari masyarakat sipil. Pada tahun 2012, ketika Rusia menjadi ketua G20 dibentuk sekretariat masyarakat sipil yang dikenal dengan Civil20 (C20). C20 mengadakan pertemuan pendahuluan (C20 Summit) sebelum G20 Summit digelar. Usulan yang dihasilkan dari C20 Summit disampaikan langsung ke Presiden Rusia selaku Ketua G20. Pada tahun ini, Pemerintah Australia menjadi Ketua G20. Mengikuti mekanisme yang telah dibuat Pemerintah Rusia sebelumnya, dalam keketuaan G20 saat ini dibuatlah C20 yang telah mengadakan pertemuan (C20 Summit) di Melbourne pada bulan Juni 2014, sebelum diadakan G20 Summit di bulan November di tahun yang sama. Mengikuti mekanisme G20
NEWSLETTER INFID 23
Analisis Utama
Summit di mana agenda prioritas G20 ditentukan oleh Ketua G20 pada saat itu, demikian halnya dengan masyarakat sipil global. Prioritas agenda masyarakat sipil juga mengikuti prioritas keketuaan G20. Seperti ketika di tahun 2012, salah satu prioritas Rusia yaitu kerjasama energi, maka pada kesempatan tersebut masyarakat sipil juga memasukkan agenda keberlanjutan energi. Termasuk tahun ini di mana salah satu prioritas Australia yaitu pertumbuhan yang kuat melalui peningkatan investasi swasta terutama untuk infrastruktur. Maka pada tahun ini salah satu usulan yaitu investasi dan infrastruktur.
Relevansi Advokasi G20 dengan Pembangunan Nasional Indonesia sejak awal terbentuknya G20 telah menjadi anggota G20. Indonesia juga secara aktif terlibat di berbagai agenda strategis seperti reformasi IMF dengan mendorong adanya kuota yang lebih besar untuk negara-negara miskin dan berkembang. Indonesia juga aktif di Kelompok Kerja Pembangunan. Bahkan di tahun 2013, Indonesia menjadi Ketua Kelompok Kerja Pembangunan. Sebelum itu, Indonesia juga menjadi Ketua Kelompok Kerja Anti Korupsi. Selain aktif di berbagai kelompok kerja, Indonesia termasuk yang mengusulkan pembentukan FSB (Financial Stability Board) yang sebelumnya berbentuk FSF (Financial Stabillity Forum) yang bertujuan untuk menyusun kerangka
24 NEWSLETTER INFID
regulasi bagi sistem keuangan global agar tahan terhadap krisis. Terakhir, Indonesia aktif mendorong masuknya infrastruktur di dalam pembahasan tersendiri dari sebelumnya ada di agenda pembangunan. Melihat kiprah Indonesia di G20, Indonesia bisa dikatakan cukup aktif dan berada di agendaagenda yang strategis. Namun ini belum cukup bagi negara sebesar Indonesia. Ada beberapa agenda yang bisa dilakukan Indonesia agar kehadiran Indonesia di G20 memberi manfaat bagi pembangunan di dalam negeri dan bagi negara-negara miskin dan berkembang lainnya, antara lain melalui: Pertama, Indonesia dapat mendorong G20 merumuskan agenda-agenda yang bertujuan pada pengurangan kesenjangan baik antara negara maju dengan negara miskin, maupun penurunan kesenjangan di dalam negeri. Salah satu sebab krisis adalah terlalu dominannya sektor keuangan terhadap sektor riil. Sementara negara-negara miskin dan berkembang menghadapi hambatan dalam pengembangan industri manufaktur. Indonesia bisa mendorong G20 untuk meningkatkan kerjasama di sektor manufaktur sehingga pembangunan tidak lagi bertumpu pada sektor keuangan. Seumber-sumber keuangan yang berada di negara maju, dapat diarahkan untuk mendukung pembangunan di negara-negara miskin dan berkembang melalui penguatan industri manufaktur. Keberhasilan dalam mengembangkan sektor riil dapat mendorong terciptanya lapa-
ngan kerja yang itu berarti mengurangi kesenjangan akibat pengangguran. Kedua, Indonesia dapat mendorong peningkatan kerjasama perpajakan terutama terkait dengan penghindaran pajak. Selama ini Indonesia menghadapi kesulitan ketika berhadapan dengan Singapura yang menjadi tujuan penghindaran pajak. Melalui kerjasama perpajakan, Indonesia dapat menarik kembali uang yang ada di luar negeri untuk pembangunan di dalam negeri. Pengalaman yang sama juga terjadi di negara-negara miskin lainnya yang mengalami pelarian pajak. Ketiga, Indonesia bisa memanfaatkan G20 untuk mengatasi korupsi berkaitan dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Adanya kesepakatan bersama terkait dengan suap dari korporasi akan membantu upaya penindakan korupsi di dalam negeri. Ketiga hal tersebut adalah contoh pada area mana Indonesia bisa mengambil manfaat dari kehadirannya di G20. Megingat pada dasarnya ada banyak agenda yang bisa didesakkan di G20 terkait dengan kepentingan nasional dan juga bagi negara-negara miskin dan berkembang. Maka, meskipun kekuatan alternatif tetap diperlukan untuk mengurangi dominasi negara-negara maju terhadap tatanan ekonomi dan politik global, advokasi masyarakat sipil terhadap G20 tetaplah relevan untuk memastikan G20 tidak merugikan kepentingan nasional termasuk kepentingan negara-negara miskin dan berkembang. n
no. 01 oktober 2014