KELEMBAGAAN KEMITRAAN HULU HILIR DAS CIDANAU UNTUK PASOKAN AIR DOMESTIK DAN INDUSTRI DI PROPINSI BANTEN
NUR LAILA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Nur Laila NRP P052110201
RINGKASAN NUR LAILA. Kelembaaan Kemitraan Hulu Hilir DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan BRAMASTO NUGROHO. Kemitraan hulu hilir pengelolaan DAS Cidanau telah dibangun sejak tahun 2005 dengan pendekatan pembayaran jasa lingkungan (PJL). Stakeholder yang terlibat adalah PT Krakatau Tirta Industri (KTI) sebagai pemanfaat air baku dari sungai Cidanau untuk tujuan komersil membayar kepada penyedia jasa lingkungan (komunitas petani hutan) di hulu DAS terhadap perannya melakukan konservasi lahan. Komunitas petani hutan harus mempertahankan tegakan pohon sesuai dengan jumlah dan masa kontrak yang disepakati keduanya. Kemitraan ini difasilitasi oleh Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) yang anggotanya terdiri dari para pihak. Tujuan penelitian ini adalah merumuskan kelembagaan kemitraan untuk pasokan air DAS Cidanau. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus dan analisis data secara umum mengacu pada analisis pengembangan institusi (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom (2008). Informan/responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling ) dan penentuan informan kunci dilakukan dengan teknik snowball sampling. Hasil penelitian menunjukan bahwa status kedudukan kepemilikan lahan masyarakat yang masuk dalam mekanisme PJL mayoritas adalah hak milik pribadi (private property), dengan mata pencaharian pada umumnya merupakan petani yang menjual hasil tanamannya untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Pada periode pertama kontrak (2005-2009) ada 2 kelompok yang terputus kontrak dari 4 kelompok tani yang menjalin kemitraan, yakni Kelompok tani Karya Bersama dan Agung Lestari, sedangkan pada periode ke dua (2010-2014) ada 5 kelompok tani yang menjadi anggota PJL termasuk kelompok tani yang memperpanjang kontrak pada periode pertama yakni Karya Muda II. Untuk mewujudkan kelembagaan kemitraan DAS Cidanau selain pembenahan aturan main, hal penting yang harus dilakukan adalah penguatan kelembagaan FKDC. Dalam rangka agar kinerja pemutusan kontrak pada desa Cibojong dan Kadu Agung tidak terjadi pada kelompok tani lainnya maka diperlukan: a) pendekatan individual untuk kelompok tani yang heterogen, b) pembentukan lembaga keuangan alternatif desa, dan c) Adanya peluang penjarangan dengan jumlah dan diameter pohon tertentu, d) pengkajian jumlah pembayaran yang diberikan pada petani penyedia jasa lingkungan. Kata kunci: pembayaran jasa lingkungan, kelembagaan, kemitraan, Cidanau, kelompok tani
DAS
SUMMARY NUR LAILA. Upstream and Downstream Institutional Partnerships in Cidanau Watershed for Domestic and Industrial Water Supply. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and BRAMASTO NUGROHO. Upstream and downstream institutional partnerships in Cidanau watershed has been built in 2005 using payment for environmental services (PES) approach. Among stakeholders, partners involved in the mechanism are Krakatau Tirta Industri (KTI) Company as a water beneficiary for commercial use and up-stream farmer groups as a service provider, and facilitated by a multi-stakeholder watershed forum namely Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC). The farmers were paid for their role in conserving land and maintainance of tree stand in accordance with number of trees and contract period which is agreed by both parties. The study aims to formulate partnership institution which is intended by both parties for the sustainability of Cidanau water supply. This is a qualitative research with a case study approach. Data analysis in general was referred to Institutional Analysis Development (IAD) developed by Ostrom (2008). This research applied purposive sampling and snowball sampling. The result of the research shows that majority of land ownership of the involved farmer are private property which is cultivated to meet their daily need. In the first period of contract (2005-2009) there were 4 farmer groups involved but 2 groups cease to be a member of PES, and in the second period (2010-2014) there were PES groups signed the contract including extended groups. Improvement is necessary in order to achieve optimum benefit of Cidanau water supply and involving parties in PES. Apart from the mechanism rule, institutionalization of FKDC needs to be improved and strengthened in manifesting partnership institution of Cidanau water supply. The necessary approach to prevent contract discountinuation in other village as has been experienced in Cibojong and Kadu Agung Village are a) individual approach for heterogenous types of farmer communities, b) establishment of village alternative financial institutions, c) due to thinning on number and certain diameter of trees, d) assessment of the incentive to farmer groups as environmental service providers. Keyword : payment for environmental services, institution, partnership, cidanau watershed, farmer group
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KELEMBAGAAN KEMITRAAN HULU HILIR DAS CIDANAU UNTUK PASOKAN AIR DOMESTIK DAN INDUSTRI DI PROPINSI BANTEN
NUR LAILA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi
: Dr Ir Rinekso Soekmadi, M.Sc. F, Trop
Judul Tesis : Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten : Nur Laiia Nama : P052110201 NIM
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MSc Ketua
Dr Ir Bramasto Nugroho, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MSc
Tanggal Ujian: 27 Juli 2013
,--
-
.
.
Tanggal Lulus:
2b AUG ,.;.u I3
Judul Tesis : Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten Nama : Nur Laila NIM : P052110201
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MSc Ketua
Dr Ir Bramasto Nugroho, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 27 Juli 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanallahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan di Propinsi Banten sejak bulan April 2003 ini adalah “Kelembagaan Kemitraan HuluHilir DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten ”. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada : 1. Bapak Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MSc selaku ketua komisi dan Dr Ir Bramasto Nugroho, MS selaku anggota komisi yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, motivasi dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Bapak Dr Ir Rinekso Soekmadi, M.Sc F.Trop yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi dan memberi koreksi kepada penulis terhadap muatan isi tesis. 3. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Lingkungan beserta jajarannya yang telah memberikan layanan perkuliahan kepada penulis. 4. Pusdiklat Kehutanan yang telah memberikan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB Bogor. 5. Dirjen dan Sekditjen BPDASPS Kementerian Kehutanan yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB Bogor. 6. Direktur PEPDAS, Dr Ir Eka W Soegiri, MM yang mendorong dan mengizinkan penulis untuk melanjutkan pendidikan S2 di IPB Bogor. 7. BPDAS Citarum Ciliwung yang telah memnfasilitasi pelaksanaan penelitian dan membantu perolehan data, khususnya ibu Nilda, pak Utang, Heriadi, Heru Ruhendi dan teh Neng Wati. 8. Suhanafi, SSos, MHum suami tercinta atas segala kasih sayang, motivasi, kesabaran dan doa tulus sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan studi ini. 9. Sembah sujud kepada kedua pihak orang tua, ayahnda Salim Gani dan mama tersayang Rosidah, mertuaku Bapak Zainal Arifin (alm) dan ibu Suparmi (alm) atas segala kasih sayang, perhatian serta doa yang tak pernah putus dipanjatkan. 10. Saudaraku tersayang Selvi Handayani, Rafiq Ferdian, Joko Supriyadi, Dewi Kusuma Handayani, ponakan tercinta ku Atin, Tata, Raffa, Aldi, Nisa atas segala motivasi dan sandaran letih berkeluh kesah. 11. NP Rahadian yang telah bersedia menerima penulis melaksanakan penelitian dan banyak membantu penulis dalam memperoleh data, serta segala kerjasama dan diskusinya yang membuka inspirasi penulis dalam menyelesaikan penyusunan tesis ini. Ucapan terimakasih juga disampaikan untuk Saudariku Rahmi Mulyasih yang telah berbaik hati memberikan tempat tinggal gratisnya, seluruh pihak FKDC, Showir dan Nuril atas kerjasamanya dalam kegiatan di lapangan.
12. Sahabat seperjuangan ku seluruh PSL-er 2011 khususnya kepada Yoscarini, Silak, Supomo, Hari Purnomo, Budi Ambong atas segala semangat dan bantuannya selama ini. 13. Seluruh Kasubdit, Kasie, teman-teman Direktorat PEPDAS, khususnya Dr. Ir Syaiful Anwar, MSc, Ir Djonli, MF, Dr Saparis, Ir Yuli Utami, MSi, pak Pur, Imam, Leo dan bu Yayuk. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada Ibu Tyas yang telah memberikan kesempatan penulis untuk memperoleh beasiswa, Dr Ir Silver Hutabarat, Msc, teh Virni , Harteb atas diskusi, semangat dan informasi yang diberikan dalam penyelesaian tesis ini. 14. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Allah subhanallahu wa ta’ala memberikan pahala yang berlipat.
Bogor, Juli 2013 Nur Laila .
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kerangka Pemikiran Penelitian Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Penelitian di DAS Cidanau Terdahulu
1 1 3 5 6 6 7
2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Pengumpulan Data Analisis Data
8 8 8 9
3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak DAS Cidanau Kependudukan dan Mata Pencaharian
11 11 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hak Kepemilikan Lahan, Pola Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Atribut Komunitas Petani Hutan Peraturan Perundangan dan Peraturan Non Formal yang terkait dengan Pengelolaan Jasa Lingkungan Situasi Aksi dan Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir DAS Cidanau Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir untuk Pasokan Air DAS Cidanau
14 14 17 21 24 37
5 SIMPULAN DAN SARAN
44
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
48
RIWAYAT HIDUP
51
DAFTAR TABEL 1 Informan kunci dan jumlah informan kunci yang dipergunakan dalam penelitian 2 Matriks penelitian kelembagan kemitraan hulu hilir untuk pasokan air DAS Cidanau 3 Luas kecamatan, jumlah penduduk dan mayoritas mata pencaharian di area pembayaran jasa lingkungan 4 Kepemilikan lahan kelompok tani penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau 5 Jenis tanaman dominan di lahan komunitas petani hutan penyedia jasa lingkungan 6 Peraturan perundangan dan peraturan non formal yang terkait pembayaran jasa lingkungan 7 Periode dan status kontrak kelompok tani penyedia jasa lingkungan 8 Jumlah pembayaran PT KTI untuk kelompok tani penyedia jasa lingkungan 9 Program Jejaring Kelompok Tani Hutan Tahun 2013 10 Peranan para pihak yang terkait langsung dalam mekanisme PJL
9 12 13 15 18 22 28 28 33 34
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran penelitan 2 Rumusan permasalahan dengan framefork analisis dan pengembangan kelembagaan 3 Matriks stakeholder dan pengaruh tingkat kepentingan 4 Lokasi penelitian 5 Sebaran presentase mata pencaharian di areal pembayaran jasa lingkungan 6 Tegakan vegetasi di lahan salah satu anggota kelompok tani karya muda II desa Citaman 7 Pemanfaatan bawah tegakan dengan penanaman kakao/coklat di Desa Cikumbuen, kelompok tani Alam Lestari 8 Hubungan prinsipal agen antara PT KTI, FKDC dan komunitas petani hutan penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau 9 Penomoran pohon pada tanaman yang menjadi pembayaran jasa lingkungan di desa Citaman 10 Pemetaan stakeholder dalam kemitraan DAS Cidanau 11 Kerangka IAD untuk kelembagaan kemitraan hulu hilir pasokan air DAS Cidanau
4 6 11 13 14 16 17 27 32 36 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil penilaian pengaruh dan kepentingan analisis stakeholder kemitraan DAS Cidanau 2 Contoh lembar nota kesepahaman antara PT KTI dan FKDC, dan Kontrak antara FKDC dan Kelompok tani
48 50
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi punggung-punggung gunung dimana air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung gunung gunung dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan kesatuan ekosistem yang utuh dari hulu sampai hilir terdiri dari unsur-unsur utama atas sumber daya alam yaitu tanah, vegetasi (hutan), air dan sumber daya manusia sebagai pemanfaat sumber daya alam (Asdak 2010). DAS di Indonesia berjumlah 17.088 DAS (Kepmenhut No. SK 511/Menhut-V/2011 tentang Penetepan Daerah Aliran Sungai). Kondisi DAS yang sudah kritis/sangat kritis sehingga tidak bisa berfungsi sebagaimana peruntukannya dan perlu penanganan terbagi menjadi prioritas I sebanyak 394 DAS, prioritas II sebanyak 1.436 DAS dan prioritas III sebanyak 1.500 DAS. Sedangkan yang diutamakan untuk ditangani lebih dulu untuk disusun rencana pengelolaan DAS terpadunya berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas dan ditetapkan dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2010-2014 hanya 108 DAS, sehingga beban pengelolaan DAS yang ditanggung oleh pemerintah memang terbilang cukup tinggi, yang berdampak pada pengelolaan yang tidak optimal dan mengakibatkan kerusakan ekosistem DAS, seperti tanah longsor, sedimentasi, banjir pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Oleh karena itu menurut Asdak (2010) diperlukan pengelolaan DAS yang tepat, untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa dengan meminimalkan terjadinya kerusakan sumber daya yang ada melalui proses formulasi dan implementasi kegiatan yang bersifat manipulatif sumberdaya alam dan manusia, dimana untuk tercapainya pembangunan DAS yang berkelanjutan kegiatan pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan harus diselaraskan, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). DAS Cidanau sebagai daerah tangkapan air berperanan penting dalam penyediaan sumber air baku untuk masyarakat, baik untuk kebutuhan kegiatan domestik maupun komersial terutama bagi industri di Kota Cilegon dan sekitarnya, dengan luas kurang lebih 22.620 ha. Di mana bagian hulu didominasi hutan rakyat dan terdapat rawa Danau1 yang menjadi tempat bermuaranya delapan belas (18) sub DAS sebagai reservoir (Bappeda Propinsi Banten 2008). Hasil pengukuran debit sungai Cidanau beberapa kurun waktu menunjukkan debit air yang fluktuatif, tahun 1922-1936 debit maksimum berkisar 21 - 44 m³/detik dan debit minimum 1,48-5,60 m³/detik, tahun 19801992 debit maksimum berkisar 4,43–38,12 m³/detik dan debit minimum 2,501
Salah satu potensi DAS Cidanau adalah Cagar Alam Rawa Danau yang ditunjuk berdasarkan surat Gubernur Jenderal Belanda Goverment Besluit no. 60 STNL pada tanggal 16 November 1921, seluas 2.500 ha, dan merupakan situs Konservasi rawa pegunungan yang masih tersisa di Pulau Jawa.
2
12,98m³/detik, tahun 1995-2008 debit maksimum berkisar 13,11-36,28 m³/detik dan debit minimum 1,30-3,67 m³/detik (Bappeda Propinsi Banten 2008). Berdasarkan data PT KTI (2005) dalam Bappeda (2008) menyebutkan bahwa sedimentasi tahunan yang terjadi di Sungai Cidanau sebesar 500 m³/km2/tahun sehingga debit minimum yang terjadi bahkan pernah berada pada posisi 1,30 tahun 2007 erat kaitannya dengan sedimentasi yang terjadi di sungai Cidanau. Hal tersebut dapat juga berkaitan erat dengan perambahan kawasan Rawa Danau yang berdasarkan hasil penelitian Irsyad (2011) menunjukkan telah terjadi perubahan kawasan rawa yang pada tahun 2006 masih memiliki luasan 2245 ha kemudian tahun 2010 menjadi 2.193 ha. Disamping itu hasil interpretasi citra tahun 2003 – 2011 oleh Badan Planologi Kementerian Kehutanan tahun 2012 menunjukkan bahwa luas hutan tanaman berkurang 218,74 ha, luas untuk pemukiman meningkat menjadi 25,87 ha, tanah terbuka berkurang 12,96 ha, luasan peruntukan sawah meningkat sebesar 40,78 ha, demikian juga peningkatan luasan untuk pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur yang masing masing meningkat seluas 94,31 ha dan 70,74 ha. Daerah hulu dan hilir dalam suatu DAS mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi (Johnson et.al, 2001; Acreman 2004; Asdak 2010), sehingga apa bila terjadi deforestasi hutan di hulu DAS akan berdampak langsung terhadap keberlanjutan pasokan air di DAS Cidanau, khususnya daerah hilir. Pola pemanfaatan lahan didaerah hulu dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi masyarakat yang pada umumnya berada pada kondisi miskin dan cenderung akan mengorbankan hutannya untuk keberlangsungan hidup. Oleh karena itu hal tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab oleh masyarakat kawasan hulu sebagai penyedia jasa lingkungan yang melakukan konservasi lahan tetapi juga kawasan hilir sebagai pengguna jasa lingkungan, ini lah yang menjadi dasar pemikiran dalam pengembangan kemitraan hulu hilir DAS Cidanau (FKDC, 2009). Sejak tahun 2005 di kawasan DAS Cidanau telah dibangun kemitraan hulu hilir dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan (PJL). Pendekatan ini menjadi insipirasi dalam pengembangan instrumen yang kemudian menjadi salah satu implementasi pendekatan instrumen ekonomi seperti yang diamanatkan dalam Undang Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS, yang salah satunya adalah melalui mekanisme pasar atau pembayaran jasa lingkungan , yang juga merupakan sebagian salah satu dari kebijakan lingkungan dalam mengendalikan dampak lingkungan melalui mekanisme pasar atau pembayaran jasa lingkungan Stakeholder yang terlibat dalam PJL DAS Cidanau adalah PT Krakatau Tirta Industri (KTI)2 sebagai pemanfaat air baku dari sungai Cidanau untuk tujuan komersil membayar kepada penyedia jasa lingkungan (komunitas petani) di hulu DAS terhadap perannya melakukan konservasi lahan dengan mempertahankan tegakan pohon sesuai dengan jumlah dan masa kontrak yang disepakati keduanya. Melalui kemitraan ini diharapkan dapat menumbuhkembangkan sense of belonging petani khususnya komunitas petani 2
PT KTI merupakan perusahaan pemegang izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota serang untuk pengambilan air di DAS Cidanau.
3
yang menjadi pilot project dalam memanfaatkan lahannya untuk pengelolaan sumber daya hutan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Secara konseptual Pagiola et al. (2004) menyatakan secara sederhana yaitu “beneficiary pays” atau pemanfaat jasa membayar. Keberlanjutan hubungan kemitraan ini akan dipengaruhi oleh sejauhmana para pihak baik PT KTI maupun kelompok tani dapat melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Dari aspek kelembagaan menimbulkan pertanyaan apakah kemitraan yang telah ada (1) mampu menyelesaikan permasalahan deforestasi di lahan – lahan milik masyarakat (hutan rakyat), dan (2) terjamin keberlanjutannya? Pertanyaan tersebut menjadi relevan untuk didiskusikan menggunakan teori kemitraan (agency theory), khususnya tentang hubungan prinsipal-agen (principal-agent relationship), dengan memfokuskan perhatian pada agency problem yang terjadi ketika terdapat hubungan keagenan antara prinsipal dengan agen. Salah satu masalah fundamental dalam hubungan kemitraan (principal-agent relationship) menurut Nugroho (2003) yakni masalah yang berkaitan dengan ketidaksepadanan informasi (asymmetric information) antara yang bermitra, yang mengakibatkan rentan terhadap resiko salah pilih mitra (adverse selection risk) pada ex ante (sebelum kejadian) dan bahaya ingkar janji (moral hazard) pada ex post (setelah kejadian) yaitu munculnya perilaku merugikan salah satu pihak yang bertransaksi. Pemutusan kontrak pada dua kelompok tani yang masuk dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau mengindikasikan terdapat permasalahan hubungan kemitraan kedua belah pihak sehingga terjadi moral hazard di anggota kelompok tani. Satu diantara penyebab pemutusan kontrak tersebut diduga adalah aspek kelembagaan/institusi. Untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik maka diperlukan perubahan institusi. Pembuktian atas dugaan tersebut dapat dilakukan melalui sebuah penelitian yang berjudul Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten. Kerangka Pemikiran Penelitian DAS Cidanau merupakan salah satu DAS penting di wilayah propinsi Banten yang berperan dalam penyediaan sumber air baku untuk kebutuhan domestik ataupun industri kota Cilegon dan sekitarnya. Keberlanjutan sumberdaya air DAS Cidanau dipengaruhi oleh pola pemanfaatan lahan di hulu DAS yang menjadi daerah tangkapan air DAS Cidanau, sehingga apa bila terjadi kerusakan ekosistem di hulu DAS akan mempengaruhi keberlanjutan pasokan air di DAS Cidanau. Permasalahan yang berkembang selama ini di DAS Cidanau adalah perambahan cagar alam rawa danau dan deforestasi di lahan-lahan milik masyarakat yang merupakan tutupan lahan dominan DAS Cidanau. Untuk menahan agar permasalahan tidak semakin meningkat maka dibangunlah kemitraan hulu hilir di DAS Cidanau dengan pendekatan berbasis insentif dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan. Salah satu mitra dari stakeholder yang terlibat adalah PT KTI sebagai buyer dan kelompok tani jasa lingkungan sebagai seller.
4
Kemitraan hulu hilir DAS Cidanau telah dibangun sejak tahun 2005. Keberlanjutan kemitraan akan ditentukan dari kinerja kelembagaan yang ada, yakni sejauhmana kedua belah pihak patuh terhadap pelaksanaan hak dan kewajibannya masing-masing karena Kasper dan Streit (1998) kemitraan didasari atas kepentingan kedua belah pihak. Oleh karena itu suatu kelembagaan kemitraan tidak dapat dipisahkan dari aspek fungsional dan struktural yang mendasari eksistensi kemitraan tersebut, karena mencakup seperangkat peraturan, kesepakatan dan perjanjian yang mendefinisikan hak dan kewajiban kedua belah pihak yang harus dilaksanakan dan ditaati. Kinerja kelembagaan kemitraan saat ini masih perlu diperbaiki karena kemitraan masih dianggap belum efisien yang ditandai dengan pemutusan kontrak pada kelompok tani Agung Lestari di Desa Kadu Agung dan Karya Bersama di Desa Cibojong. Untuk mewujudkan kelembagaan kemitraan DAS Cidanau untuk pasokan air domestik dan industri yang baik maka diperlukan upaya strategis untuk mengatasi permasalahan yang ada. Menurut Bowers (2005) untuk mengubah perilaku agen (petani) maka prinsipal harus berbagi rewards. Disamping itu Rodgers (1994) dalam Nugroho (2003) menyebutkan indikator-indikator yang menunjang hubungan principal – agent menjadi efisien adalah apabila tingkat harapan (reward) kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing dan biaya transaksi yang ditimbulkan minimal, dalam hal ini biaya transaksi yang ditimbulkan dalam pelaksanaan kegiatan. Apa bila terjadi perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak maka akan rentan terjadi perilaku oportunis oleh agen, karena yang memegang peranan penting dalam pengolahan dan akses informasi adalah agen, dan hal tersebut dapat menimbulkan ketidaksepadanan informasi. Secara umum konseptual kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1 : DAS Cidanau : Sumber air baku domestik, komersial dan industri kota Cilegon dan sekitarnya
Pola pemanfaatan lahan di hulu DAS: 1. Deforestasi di lahan-lahan masyarakat 2. Perambahan cagar alam Rawa Danau
Kemitraan Hulu - Hilir
Efisiensi principal-Agen: 1. Biaya transaksi minimal 2. Reward setara korbanan
Kinerja saat ini : Pemutusan kontrak di desa Cibojong dan Kadu Agung
Kelembagaan kemitraan hulu hilir DAS Cidanau untuk pasokan air domestik dan industri yang baik
Gambar 1
Kerangka Pemikiran Penelitian
Insentif : Pembayaran jasa lingkungan
5
Perumusan Masalah Konsep kemitraan yang terjalin dalam mekanisme PJL di DAS Cidanau adalah PT Krakatau Tirta Industri (KTI) yang merupakan salah salah satu mitra dari stakeholder yang terlibat sebagai pemanfaat jasa, membayar kepada petani sebagai produsen jasa lingkungan terhadap peran mereka dalam konservasi lahan. Dalam hal ini kelompok tani di desa model kegiatan yang terikat kontrak memperoleh pembayaran dari pemeliharaan tegakan pohon yang dilakukan sesuai perjanjian dengan masa kontrak selama 5 (lima) tahun. Dengan kemitraan ini diharapkan masyarakat termotivasi melakukan perbaikan pemanfaatan lahan dan pengelolaan sumber daya hutan yang optimal dalam rangka terwujudnya kelestarian DAS dan peningkatan pendapatan masyarakat. Kemitraan hulu-hilir di DAS Cidanau ini juga telah menjadi sumber inspirasi pengelolaan DAS bagi Propinsi-propinsi lain dalam mengembangkan mekanisme PJL ataupun sebagai lesson learned dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya bukan sematamata tanpa masalah. Di awal pelaksanaan, ada dua desa yang terikat kontrak yakni Desa Citaman, Kecamatan Ciomas dan Desa Cibojong, Kecamatan Padarincang yang berada di Kabupaten Serang. Namun tahun 2007 kemitraan dengan Desa Cibojong dihentikan dikarenakan pelanggaran dengan menebang pohon diatas beberapa lahan milik anggota kelompok yang masuk dalam perjanjian PJL. Kemudian ditahun yang sama kawasan PJL diperluas 50 ha dengan lokasi Desa Kadu Agung Kabupaten Serang dan Desa Cikumbueuen Kabupaten Pandenglang, namun terjadi pemutusan kontrak dengan Desa Kadu Agung. Hingga saat ini (kontrak 5 tahun kedua, periode tahun 2010 – 2014) ada 5 (lima) desa dan 6 (enam) kelompok tani yang masuk dalam kawasan PJL, yakni Desa Ramea, Desa Panjangjaya, Desa Ujung Tebu yang mulai tahun 2011, Desa Citaman dengan kelompok tani Karya Muda III tahun 2010 dan Desa Citaman dengan kelompok tani Karya Muda II yang memperpanjang tahun 2010 untuk 5 tahun ke dua. Sehubungan dengan hal itu, maka menarik untuk dikaji bagaimana pola kemitraan (Principal-Agent) antara PT KTI dengan kelompok tani di desa model kegiatan, dalam hal tindakan agent (kelompok tani) memenuhi tujuan prinsipal untuk pembayaran jasa lingkungan. Kelembagaan kemitraan yang seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat sehingga dapat mewujudkan keberlanjutan dari pola kemitraan yang ada dalam rangka kelestarian DAS dan peningkatan kesejahteraan masyarakat? Pertanyaan ini akan dijawab dengan Analisis Pengembangan Institusi (Institutional Analysis Development/IAD) melalui penelusuran faktor eksogen (kondisi biofisik/material, atribut komunitas dan aturan main) yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh situasi aksi dan aktor pada kelembagaan kemitraan hulu – hilir di DAS Cidanau sehingga tercipta performa pengelolaan SDA yang baik (Ostrom 2008), khususnya faktor eksogen yang mempengaruhi perilaku petani (agent) memenuhi tujuan prinsipal terhadap hak dan kewajibannya seperti yang tertuang dalam perjanjian yang telah disepakati (kontrak), seperti yang tertera pada Gambar 2.
6
Gambar 2
Rumusan permasalahan dengan framework analisis dan pengembangan kelembagaan (modifikasi Ostrom (2008) dari Ostrom, Gardner, and Walker(1994:37 ))
Berdasarkan uraian tersebut maka dirumuskan pertanyaan penelitian (research questions) sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kondisi faktor fisik, atribut komunitas dan peraturan yang digunakan dalam kelembagaan kemitraan saat ini? 2. Bagaimanakah situasi aksi dan kelembagaan kemitraan DAS Cidanau saat ini? 3. Bagaimanakah kelembagaan kemitraan hulu hilir DAS untuk pasokan air domestik dan industri di propinsi Banten? Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kelembagaan kemitraan hulu hilir yang mampu memperbaiki kesejahteraan masyarakat serta terwujudnya kelestarian DAS untuk kerberlanjutan pasokan air di DAS Cidanau. Secara khusus, tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Menelaah kondisi faktor fisik, atribut komunitas dan peraturan yang digunakan dalam kelembagaan kemitraan saat ini; 2. Mengkaji situasi aksi dan kelembagaan kemitraan DAS Cidanau saat ini; 3. Merumuskan kelembagaan kemitraan hulu hilir DAS Cidanau.untuk pasokan air domestik dan industri di propinsi Banten. Manfaat Penelitian 1. Pada aspek ilmu pengetahuan, akan berkontribusi pada pengayaan khasanah keilmuan tentang kelembagaan kemitraan pembayaran jasa lingkungan dengan kompleksitas prespektif agency theory khususnya principal - agent yang mempengaruhi terhadap keberlanjutan suatu hubungan kemitraan; 2. Pada aspek praktis, sebagai tambahan informasi dan evaluasi sistem kemitraan yang diterapkan selama ini, untuk peningkatan kinerja kelembagaan kemitraan yang lebih baik.
7
Penelitian di DAS Cidanau Terdahulu Berikut ini beberapa penelitian yang pernah dilakukan di DAS Cidanau dan menjadi studi literatur serta bahan pengkayaan informasi: 1. Hasil penelitian Fadli Irsyad dengan judul Analisis Debit Sungai Cidanau dengan Aplikasi SWAT yang dilaksanakan pada tahun 2011 menyebutkan bahwa kecenderungan air sungai Cidanau hasil proyeksi untuk debit ratarata masih dapat memenuhi kebutuhan air di kota Cilegon pada saat ini. 2. Hasil penelitian Hidayat dengan judul Politik Agraria Transformatif : Studi Peluruhan Kelembagaan Lokal dan Kegagalan Politik Tata Kelola Agraria pada Komunitas Petani di DAS Cidanau Kabupaten Serang Propinsi Banten yang dilaksanakan pada tahun 2011 menyebutkan peluruhan kelembagaan komunitas yang terjadi pada kelembagaan buyut, modal sosial liliuran, etika konsevasi dan kearifan lokal disebabkan karena politik agrarian kurang mempertimbangkan manusia sebagai komponen utama ekosistem hutan dan kepentingan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Kegagalan mewujudkan politik agrarian disebabkan bangunan ideologis dan signifikansi politik agrarian bersifat kapitalistik, ekstraktif dan mengabaikan dimensi manusia dalam pengelolaan sumberdaya hutan. 3. Hasil penelitian Ani Triani dengan judul Analisis Willingnes to Accept Masyarakat terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau (studi Kasus Desa Citaman Kabupaten Serang) yang dilaksanakan pada tahun 2009 menyebutkan bahwa nilai dugaan rataan WTA untuk setiap pohon yang terikat kontrak pembayaran jasa lingkungan pertahun adalah sebesar Rp. 5.056,98. Jika dilakukan penyesuaian nilai pembayaran terkait nilai ratarata WTA masyarakat, dengan jumlah pohon sebanyak 500 pohon per ha, maka nilai pembayaran yang harus diserahkankepada penyedia jasa lingkungan adalah Rp 2.528.490,00 per ha per tahun. Nilai ini merupakan nilai pembayaran yang ingin diterima oleh masyarakat. Total WTAresponden diperoleh nilai sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun. Mengacu pada jumlah pohon yang terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan, maka diperoleh nilai sebesar Rp 2.718.125.000,00. Nilai tersebut merupakan nilai perbaikan kualitaslingkungan hutan terhadap jasa hidrologi di lokasi model pembayaran jasa lingkungan Desa Citaman. 4. Hasil penelitian Agus Suryawan dengan judul Penentuan Dasar Biaya Kompensasi untuk Pembayaran Jasa Lingkungan dengan Memanfaatkan Teknologi Inderaja (Studi kasus : DAS Cidanau, Banten) yang dilaksanakan pada tahun 2005 menyebutkan telah terjadi perubahan penggunaan lahan berdasarkan hasil interpretasi citra pada tahun 1997 sampai 2004 dengan kecenderungan berkurangnya luas lahan rumput yang berubah mejadi areal persawahan sebesar 1.404,54 ha terutama pada kawasan disekitar Rawa Danau, sedangkan untuk hutan untuk vegetasi campuran cenderung tidak berubah, tahun 1997 sebesar 51,77% dan 2004 sebesar 51,37%.
8
2 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa yang terlibat dalam jejaring kelembagaan kemitraan pembayaran jasa lingkungan baik yang masih berjalan ataupun yang telah berhenti. Lokasi desa tersebut meliputi: desa Citaman, Ujung Tebu, Cibojong, desa Kadu Agung yang terletak di Kabupaten Serang, dan desa Cikumbuen, Ramea, Panjang jaya yang terletak di Kabupaten Pandenglang. Penelitian di lapangan dilakukan bulan Maret sampai dengan Mei 2013.
Metode Pengumpulan Data Pendekatan Studi Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang bertujuan menjelaskan atau memahami makna (meaning) di balik realitas dalam mempelajari gejala-gejala sosial yang dapat memberikan gambaran secara detail tentang latar belakang, karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu sehinggga mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya (naturalistik) dilapangan (Nasir 2003; Irawan 2006; Slamet 2006; Idrus 2009). Teknik Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara, observasi dan dokumentasi/studi topik literatur. Untuk validasi data digunakan teknik triangulasi (Sugiyono 2010; Bungin 2011). Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden atau informan kunci melalui pendekatan wawancara secara mendalam dengan pertanyaan-pertanyaan terkait topic data penelitian. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, laporan instansi terkait, gambar-gambar, peta dan dokumen lainnya. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut : a) Wawancara mendalam (in-depth interview), dimaksudkan untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan ide-idenya (Sugiyono 2010). Interviewer membuat garis besar pokok-pokok pembicaraan, namun dalam pelaksanaannya interviewer mengajukan pertanyaan secara bebas, tidak perlu secara berurutan dan pemilihan katanya juga tidak baku tetapi dimodifikasi pada saat wawancara berdasarkan situasinya (Satori dan Komariah 2009). b) Observasi langsung ke lapangan dimaksudkan untuk memperoleh informasi langsung dari hasil pengamatan berbagai gejala dan perilaku stakeholder, serta keberadaan infrastruktur pendukung. Menurut Satori dan Komariah (2009) yang dikutip dari Patton bahwa dengan teknik observasi ini peneliti tidak hanya dapat mengadakan pengamatan, akan tetapi memperoleh kesan-
9
c)
kesan pribadi, misalnya merasakan suasana situasi sosial, dan mempunyai kesempatan mengumpulkan data yang lebih banyak, lebih terinci dan lebih cermat. Dengan teknik ini peneliti juga dapat menemukan hal-hal yang tidak terungkapkan oleh responden dalam teknik lainnya, sehingga dapat sebagai dasar klarifikasi berbagai informasi yang telah diperoleh. Studi dokumentasi, dilakukan untuk melengkapi hasil kajian dari penggunaan pendekatan observasi dan wawancara. Menurut Sugiyono (2010) kedua pendekatan tersebut akan lebih kredibel/dapat dipercaya kalau didukung oleh studi dokumentasi, bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. Mengacu pada Bungin (2011) dokumen dibagi menjadi dua, diantaranya : 1) dokumen pribadi yang merupakan catatan atau karangan seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaannya; 2) dokumen resmi yang terbagi atas dokumen interen berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan lembaga, risalah atau laporan rapat, kovensi dan dokumen eksteren berupa bahanbahan informasi yang dikeluarkan suatu lembaga seperti majalah, bulletin, pengumuman, berita-berita yang disebarkan ke media massa.
Penentuan Informan Informan/responden dalam penelitian ini ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan tetap memperhatikan aspek posisi dan peran mereka dalam organisasinya masing-masing, yaitu FKDC selaku fasilitator dan sumber informasi, kelompok tani selaku agen, PT KTI selaku prinsipal dan dari pihak pemerintah/dinas-dinas yang terkait dengan kebijakan pengelolaan DAS Cidanau. Informan kunci (key informan) ditentukan dengan menggunakan teknik snowball sampling, dimulai dari satu orang yang memiliki pemahaman memadai tentang permasalahan yang diteliti, kemudian orang tersebut memilih informan lain dan begitu seterusnya hingga tidak ditemukan lagi variasi informasi (Slamet 2006). Jumlah informan ditentukan berdasarkan kecukupan dan kejenuhan data dan informasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sumber dan jumlah informan kunci dalam penelitian ini berjumlah 33 orang yang terdiri sebagaimana tercantum dalam Tabel 1. Analisis Data Analisis data dalam rangka pengembangan kelembagaan kemitraan untuk mewujudkan pola kemitraan yang diinginkan secara umum mengacu kepada analisis Pengembangan Institusi (IAD) yang dikembangkan oleh Ostrom (2008) dengan mendeskripsikan kondisi biofisik, karakterstik komunitas, aturan yang digunakan, pemahaman arena aksi dan pola interaksi, dengan menggunakan konsep agency theory khususnya principal – agent dan menjadi dasar pada kriteria evaluasi. Analisis isi peraturan Analisis peraturan dilakukan menggunakan teknik analisis isi kualitatif (qualitative analysis of content yakni mereduksi data kualitatif dan mengambil isi material secara kualitatif yang kemudian mengidentifikasi inti sari dari
10
material tersebut secara konsisten (Patton 2002 dalam Zhang dan Wildemuth, 2009). Analisis ini digunakan untuk memperoleh deskripsi hubungan antara isi peraturan perundangan dengan fokus kajian penelitian. Tabel 1. Informan kunci dan jumlah informan kunci yang dipergunakan dalam penelitian No Informan kunci Jumlah (orang) 1 FKDC 3 2 Petani penyedia jasa lingkungan 17 3 Pejabat PT KTI 1 4 Pejabat Bappeda Prop. Banten 1 5 Pejabat Dinas Kehutanan Prop. Banten 2 6 Pejabat BLHD Prop. Banten 1 7 Pejabat Dinas Pertanian dan Peternakan Prop. 1 Banten 8 Pejabat BLH Kabupaten Serang 2 79 Pejabat BLH Kabupaten Pandenglang 10 Pejabat Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan 1 dan Peternakan kabupaten Serang 11 Pejabat Dinas Kehutanan dan Pertanian 1 Kabupaten Pandenglang 12 Pejabat BPDAS Citarum Ciliwung 1 13 Pejabat KSDA Seksi Wilayah I Serang 1 14 NGO (Rekonvasi Bhumi) 1 . Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan mengumpulkan, merangkum serta menginterpretasikan data-data berbagai kondisi lapangan, yang selanjutnya diolah kembali sehingga dapat menghasilkan gambaran yang jelas, terarah dan menyeluruh mengenai fakta-fakta serta hubungan antar fenomena yang menjadi fokus penelitian (Sugiyono 2010; Slamet 2006) Analisis Stakeholder Analisis stakeholder dilakukan dengan studi dokumentasi, observasi dan wawancara terhadap stakeholder yang berkepentingan dan berpengaruh untuk kelestarian DAS Cidanau, khususnya dengan adanya mekanisme PJL. Menurut Reed et al. (2009), analisis stakeholders dilaksanakan dengan cara: 1) melakukan identifikasi stakeholders, 2) mengelompokkan dan membedakan antar stakeholders, dan 3) menyelidiki hubungan antar stakeholders. Selanjutnya stakeholder diklasifikasikan berdasarkan posisinya sesuai dengan kriteria yang dibangun yaitu : 1) stakeholder subyek yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh rendah; 2) stakeholder key player yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan tinggi dan pengaruh tinggi; 3) stakeholder context setter yaitu stakeholder yang memiliki kepentingan rendah
11
dan pengaruh tinggi, 4) stakeholder crowd yaitu stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan yang rendah dan pengaruh rendah, seperti pada Gambar 3. Analisis dimulai dengan identifikasi stakeholder yang diperoleh dari hasil wawancara dengan metode snowball sampling. Secara rinci data/informasi, sumber data, teknik pengumpulan data, teori yang digunakan, metode analisis, sumber acuan dan output sesuai dengan masing-masing tujuan penelitian tersaji pada Tabel 2.
Gambar 3
3
Matriks stakeholder dan pengaruh tingkat kepentingannya (Reed et al. 2009)
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak DAS Cidanau
Secara geografis Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau terletak diantara 105°49’00’’ - 106°04’00’’ Bujur Timur 06°07’30’’-06°18’00’’ Lintang Selatan, dengan luas 22.620 ha. Dimana batas topografi DAS Cidanau adalah sebelah utara berbatasan dengan Gunung Tukung Gede dan Saragean, di bagian timur berbatasan dengan Gunung Pule dan Karang, Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Aseupan, Sangkur dan Condong, dan di sebelah Barat berbatasan dengan selat Sunda. Secara administratif, DAS Cidanau terletak pada Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandenglang. Kabupaten Serang meliputi 5 kecamatan yaitu Kecamatan Cinangka, Mancak, Padarincang, Ciomas, dan Gunungsari. Sedangkan Kabupaten Pandeglang meliputi satu Kecamatan yaitu Mandalawangi. DAS Cidanau secara garis besar terbagi atas kawasan kaldera dimana di dalamnya terdapat Cagar Alam Rawa Danau seluas 2.500 ha yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 16 November 1921. DAS Cidanau terdiri dari 18 Sub DAS yang mengalir dari Gunung Karang ke arah barat dan bermuara di Selat Sunda. Sungai utama yang mengalir adalah Sungai Cidanau, sementara itu jumlah anak sungai yang terdapat dalam DAS Cidanau sebanyak 18 (delapan belas) anak sungai baik yang bermuara terlebih dahulu ke Rawa Cidanau atau pun langsung mengalir ke Sungai Cidanau. Lokasi penelitian dan letak desa sebagaimana pada Gambar 4.
12
Tabel 2. Matriks penelitian kelembagaan kemitraan hulu hilir untuk pasokan air DAS Cidanau No
Tujuan
Data/informasi
Sumber data
1
Menelaah kondisi faktor fisik, atribut komunitas dan peraturan yang digunakan dalam kelembagaan kemitraan saat ini
- Kepemilikan lahan dan Luas lahan rata-rata petani - Pola pemanfataan dan pengelolaan lahan - Tingkat pemahaman - Pendapatan petani - Peraturan/kebijakan pemerintah pusat/daerah Kontrak dan aturan non formal lainnya
- Laporan teknis/tahunan instansi pemerintah, peraturan/kebijakan pemerintah dan pengelola PJL - Objek pengamatan di lokasi penelitian - Kelompok masyarakat pengelola lahan
2
Mengkaji situasi aksi dan kelembagaan kemitraan DAS Cidanau saat ini
- Tindakan/aksi terkait pengelolaan DAS Cidanau - Struktur informasi dan masalah-masalah ketidak pastian - Peran dan keterlibatan para pihak
- Program kerja/RENSTRA/LAKIP - Responden/ informan kunci
3
Merumuskan kelembagan kemitraan hulu hilir DAS CIdanau untuk pasokan air di DAS Domestik dan Industri di Propinsi Banten
Hasil analisis poin 1 dan 2
Hasil analisis poin 1 dan 2
Teknik Pengumpulan Data - Studi dokumentasi - wawacara mendalam (in-depth interview) - observasi
Teori yang digunakan
- wawacara mendalam (in-depth interview) - wawancara terstruktur - studi dokumen
- Kebijakan - Deskrpitif, publik Nugroho 2003; - Agency Ostrom 2008; theory Kesser dan (principalWillingner 2007 agent) - Analisis stakeholder Reed et al. 2009
- Situasi aksi kelembagaan kemitraan hulu-hilir DAS Cidanau - Peran dan keterlibatan para pihak
Pengemba -ngan institusi
Rumusan kelembagaan kemitraan hulu-hilir hulu hilir DAS CIdanau untuk pasokan air Domestik dan Industri di Propinsi Banten
- Rejim pengelolaan sumberdaya - Hak kepemili kan
Metode Analisis Data dan sumber acuan - Deskriptif - Analisis isi kualitatif (qualitative analysis of content) (Zhang dan Wildemuth 2009)
Analisis pengembangan institusi (Ostrom 2008)
Output
Informasi faktror fisik, atribut komunitas dan peraturan yang digunakan baik formal atau non formal
13
13
Gambar 4 Lokasi penelitian (Sumber : Peta DAS/Sub DAS Cidanau Direktorat PEPDAS 2012)
Kependudukan dan Mata Pencaharian Berdasarkan Kecamatan dalam angka tahun 2011, luas dan jumlah penduduk di Kecamatan yang masuk area PJL seperti tertera pada Tabel 4. Dari tabel tersebut dapat diketahui luas wilayah terkecil kecamatan yang masuk dalam areal PJL adalah Kecamatan mandalawangi yakni 15,41 km² 45851 jiwa sedangkan yang terluas adalah Kecamatan Padrincang dengan luas 99,12 km² dengan jumlah penduduk 61275 jiwa. Tabel 3. Luas kecamatan, jumlah penduduk dan mayoritas mata pencaharian di area PJL No Nama Luas Jumlah Penduduk Mata Laki-laki Kecamatan Wilayah PeremPencaharian puan (km²) (mayoritas) 1 Padarincang 99,12 30761 30514 Petani 2 Mandalawangi 15,41 22513 23338 Petani 3 Ciomas 48,53 17930 19171 Petani Sumber mata pencaharian penduduk di beberapa lokasi penelitian dibedakan atas sektor pertanian dan bukan pertanian. Dan sektor inilah yang menjadi sumber nafkah untuk kebutuhan hidup sehari hari dan kebutuhan lainnya di desa tersebut. Prosentase pekerjaan di desa Cikumbuen adalah 64% sebagai petani pemilik lahan, 12% sebagai buruh tani, pedagang 18%, PNS 4%, dan lain-lain 2%, lain-lain seperti supir, buruh bangunan, wirausaha dari jumlah penduduk 1793 jiwa. Di desa Cibojong jumlah penduduk sebanyak 3931 jiwa dengan prosentase petani pemilik lahan 63%, buruh tani 12%, pedaganng 15%, PNS 5%, dan lain-lain 5%. Dari Jumlah penduduk desa Citaman 2356 jiwa petani pemilik lahan 68,48%, buruh tani 23,35%, pedagang 3,70%, pns 0,58% sisanya pengrajin, buruh bangunan, wiraswasta, supir. Di desa Ujung Tebu
14
petani pemilik lahan 60%, buruh tani 21%, pedagang 8%, PNS 3% dan lain lain 8% dari jumlah penduduk sebanyak 4237 jiwa. Gambaran prosentase mata pencaharian di 4 desa tersebut disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Sebaran persentase mata pencaharian di desa areal pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau (sumber : data diolah dari monografi desa masing- masing tahun 2012)
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Faktor Fisik, Atribut Komunitas Petani dan Peraturan yang Digunakan dalam Kelembagaan Kemitraan Hulu-Hilir untuk Pasokan Air DAS Cidanau Saat Ini Hak Kepemilikan Lahan, Pola Pemanfaatan dan Pengelolaan Lahan Atribut kondisi fisik/material dan sistem sumberdaya mempengaruhi bagaimana aturan ditetapkan, karena menentukan batasan dan kemungkinan dari sumberdaya tertentu yang akan berdampak pada perolehan insentif (Ostrom, 2008). Salah satu syarat yang paling penting untuk pengembangan mekanisme PJL ini adalah status kedudukan kepemilikan lahan, karena kepastian hak milik akan memberikan jaminan pada investor akan keamanan dan keberlangsungan investasi dalam pengelolaan sumberdaya, dalam hal ini vegetasi dilahan masyarakat. Yustika (2008) menyatakan bahwa hal penting untuk dipertegas sehingga setiap pengelola/pemiliknya mempunyai insentif untuk memakai dan melindungi hak kepemilikannya adalah kepastian atas hak kepemilikan. Menurut Bromley (1991) dalam Dick dan Gregorio (2004) hak kepemilikan dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk menyatakan atas kolektif penunjukan atas klaim seseorang pada suatu aliran manfaat. Hak kepemilikan memainkan peranan penting dalam mendefiniskan hak dan kewajiban atas eksternalitas dari praktek-praktek pengelolaan vegetasi (Ostrom 2004).
15
Status kedudukan kepemilikan lahan masyarakat yang masuk dalam mekanisme PJL di DAS Cidanau mayoritas adalah private property (hak milik pribadi) sehingga masyarakat mempunyai hak mutlak atas lahannya, otonom dalam mengambil keputusan, seperti yang dikemukakan oleh Schlager dan Ostrom (1992) bahwa untuk segala tipe hak yakni hak akses dan pemanfaatan, hak pengelolaan, hak esklusi dan hak pengalihan terikat/melekat pada hak milik pribadi atas lahan. Sehingga pemilik memiliki oppurtunity cost memilih yang besar untuk menentukan bekerjasama dengan siapa ataupun tidak, dan lain sebagainya. Nama kelompok tani masing-masing desa yang masuk dalam mekanisme dan hak kepemilikannya diringkas sebagaimana terangkum pada Tabel 4. Tabel 4. Kepemilikan lahan kelompok tani penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau No
A.
Kabupaten/ Desa
Nama Kelompok Tani Hutan
Jml. Anggota (orang)
Total Luas Lahan (ha)
Hak Kepemilikan Lahan
Kabupaten Serang
1
Citaman
Karya Muda II
43
25
100% hak milik dengan kisaran luasan 0,24 s.d 1,71 ha
2
Citaman
Karya Muda III
61
25
100% hak milik dengan kisaran luasan 0,10 s.d 2 ha
3
Cibojong
Karya Bersama
29
25
28 orang dengan hak milik, 1 orang penggarap
4
Ujung Tebu
Karya Bakti
40
25,85
B
100% hak milik dengan kisaran luasan 0,10 s.d 1,25 ha
Kabupaten Pandenglang
5
Cikumbuen
Alam Lestari
60
25
1 orang penggarap dan lainnya hak milik
6
Kadu Agung
Agung Lestari
30
25
29 orang dengan hak milik dan 1 orang penggarap, paling besar kepemilikan 4 ha
7
Panjang jaya
Harapan Maju
77
26,65
100% hak milik dengan kisaran luasan 0,10 s.d 1 ha
8
Ramea
Alam Sejahtera
58
25
100% hak milik dengan kisaran luasan 0,10 s.d 2 ha
Sumber : Diolah dari hasil wawancara dan data kelompok tani DAS Cidanau FKDC, 2004 – 2011
Tabel 4 menunjukkan bahwa lahan yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan sebagian besar merupakan hak milik pribadi (private property),
16
hanya ada beberapa yang merupakan penggarap seperti yang tersebut satu orang di Desa Kadu Agung dan satu orang di Desa Cikumbuen dengan luas garapan 0,204 ha. Dengan hak kepemilikan yang jelas maka memudahkan pihak buyer untuk memutuskan berinvestasi pada pohon dilahan masyarakat dan sebagai jaminan keamanan dari investasi mereka sehingga mengarahkan kepada hasil manajemen yang efisien (Swanso dan Timo 2000; Place et al. 2004). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi pola pemanfaatan lahan komunitas petani penyedia jasa lingkungan mayoritas adalah berupa kebun dengan komoditas yang ditanam oleh para petani dengan kombinasi antara tanaman tahunan dan musiman yang terdiri dari tanaman buah-buahan dan kayukayuan serta sawah. Hal yang menarik dari pola pemanfaatan lahan pada komunitas petani penyedia jasa lingkungan adalah tidak seluruh desa lahannya sebagian dimanfaatkan untuk sawah dan demikian juga dengan desa yang lain yang menjadikan lahannya hanya sebagian kecil untuk kebun dibanding sawah. Lahan di Desa Cikumbuen keseluruhan merupakan kebun, karena padi tidak dapat tumbuh subur seperti di desa Ramea yang rata-rata lahan petaninya didominasi oleh sawah. Bahkan di Desa Citaman sejarah penggunaan lahannya adalah untuk sawah padi gogo namun digantikan dengan tanamana kayukayuanan dan buah-buahan karena dianggap penjualan hasil tanaman tersebut lebih besar dibanding dengan padi gogo. Hal yang sama untuk pemanfaatan lahan di desa Kadu Agung dan Cibojong yang dominan berupa kebun. Teknik pengelolaan pada pola pemanfaatan lahan tersebut masih belum optimal, berdasarkan pengamatan pemanfaatan lahan bawah masih dipenuhi oleh semak belukar dan ilalang. Apabila diterapkan sistem agroforestri sebagai pengelolaan lahan akan menghasilkan manfaat yang lebih besar baik secara ekonomi masyarakat ataupun lingkungan (Place et al. 2004). Contoh tegakan vegetasi di lahan petani dan gambaran pemanfaatan bawah tegakan seperti ditunjuk pada Gambar 6 dan 7.
Gambar 6
Tegakan vegetasi di lahan salah satu anggota Kelompok Tani Karya Muda III di Desa Citaman
17
Gambar 7
Pemanfaatan bawah tegakan dengan penanaman kakao/coklat di Desa Cikumbuen, Kelompok Tani Alam Lestari
Jenis tanaman yang banyak ditanam masyarakat/dominan berupa jenis tanaman kayu-kayuan ataupun buah-buahan yang masuk di dalam ataupun di luar PJL dan yang menjadi komoditas di beberapa lokasi (Tabel 5). Meskipun belum ada penelitian yang menunjukan hubungan pasti antara jenis tanaman campur seperti yang tersebut diatas dengan kapasitas infiltrasi namun secara umum menurut Arsyad (2010) menjelaskan bahwa penggunaan tanah dengan golongan vegetasi permanen (hutan lebat dengan semak dan serasah, kebun tanaman tahunan dengan vegetasi penutup tanah) mempunyai efisiensi relatif besar dalam fungsi pencegahan erosi dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan penahanan air yang langsung mengurangi aliran permukaan. Atribut Komunitas Petani Hutan Atribut dari masyarakat yang mempengaruhi arena aksi, meliputi nilainilai perilaku yang dapat diterima secara umum dalam komunitas, tingkat pemahaman umum dari partisipan tentang tatanan tipe arena aksi tertentu, tingkat homogenitas pilihan dan distribusi sumberdaya antara faktor-faktor yang dipengaruhi tersebut (Ostrom 2008). Masyarakat di Desa yang menjadi lokasi PJL pada umumnya merupakan petani, yaitu menanam tanaman buah-buahan, kayu-kayuan atau menanam padi di ladang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Masyarakat yang masuk sebagai penyedia jasa lingkungan tergabung dalam komunitas petani hutan yang terbagi menjadi kelompok-kelompok tani. Jumlah satu kelompok terdiri dari 29 orang bahkan ada yang terdiri dari 77 orang dengan luasan lahan masing-masing 25 ha (Tabel 4). Keseluruhan jumlah kelompok tani yang masuk dalam PJL (baik masih berjalan ataupun tidak) adalah 8 kelompok, sedangkan yang masih berjalan hingga periode akhir perjanjian kemitraan tahun ke-2 ini hanya 5 kelompok.
18
Tabel 5. Jenis Tanaman Dominan di Lahan Komunitas Petani Hutan Penyedia Jasa Lingkungan DAS Cidanau No 1
Nama Kelompok Tani Karya Muda II
2
Karya Muda III
3
Karya Bersama
4
Karya Bakti
5
Harapan Maju
6
Alam Sejahtera
7
Agung Lestari
8
Alam Lestari
Jenis Tanaman Dominan Meranti (Shorea spp), Sobsi (Maesobsis eminii), Sengon (Paraserianthes falcataria), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus), Pete (Parkia speciosa), Cengkeh (Eugenia aromatica), Kelapa (Cocos nucifera), Kopi (Coffea robusta) dan Pisang (Musa paradisiaca). Meranti (Shorea spp), Sobsi (Maesobsis eminii), Sengon (Paraserianthes falcataria), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus), Pete (Parkia speciosa), Cengkeh (Eugenia aromatica), Kelapa (Cocos nucifera), Kopi (Coffea robusta) dan Pisang (Musa paradisiaca). Sengon (Paraserianthes falcataria), Mindi (Melia Azedarach), Pete (Parkia speciosa), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus) dan Kelapa (Cocos nucifera). Meranti (Shorea spp), Sobsi (Maesobsis eminii), Sengon (Paraserianthes falcataria), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus), Pete (Parkia speciosa), Cengkeh (Eugenia aromatica), Kelapa (Cocos nucifera), Kopi (Coffea robusta) dan Pisang (Musa paradisiaca). Meranti (Shorea spp), Sobsi (Maesobsis eminii), Sengon (Paraserianthes falcataria), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus), Pete (Parkia speciosa), Cengkeh (Eugenia aromatica), Kopi (Coffea robusta), Pisang (Musa paradisiaca) dan Kakao/Coklat (Theobroma Cacao) Pisitan (Dysoxylum caulostachyum Miq), Sobsi (Maesobsis eminii), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus), Rambutan (Nephelium lappaceum), Pete (Parkia speciosa), Cengkeh (Eugenia aromatica), Kopi (Coffea robusta), dan Pisang (Musa paradisiacal). Sengon (Paraserianthes falcataria), Pete (Parkia speciosa), Melinjo (Gnetum gnemon), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Pisang (Musa paradisiacal) dan Kelapa Meranti (Shorea spp), Sobsi (Maesobsis eminii), Sengon (Paraserianthes falcataria), Melinjo (Gnetum gnemon), Durian (Durio zibethinus), Pete (Parkia speciosa), Manggis (Gabcinia mangostana L) Cengkeh (Eugenia aromatica), Kopi (Coffea robusta), Pisang (Musa paradisiacal) dan Coklat (Theobroma Cacao)
Sumber : Hasil wawancara dan data kelompok tani DAS Cidanau 2004 – 2011
19
Berdasarkan hasil wawancara diketahui sebagian besar para petani menjadikan hasil kebun dan sawahnya sebagai sumber kehidupan. Buah-buahan hasil panen dapat menambah pendapatan masyarakat yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari, menyekolahkan anak ataupun untuk ditabung. Jumlah pendapatan tiap-tiap petani bervariasi yang tergantung dari luasan lahan yang mereka miliki dan jumlah pohon penghasil buah-buahan yang ada. Semakin banyak pohon penghasil buahnya maka semakin besar penghasilan yang diperoleh. Contoh hasil pernyataan beberapa informan yang menggambarkan kondisi lahan dan jumlah pendapatan yang diperoleh dari hasil kebun atau sawah yang dimiliki sebagai berikut : Petani yang lahannya keseluruhan berupa kebun dan luasan kurang dari 2 ha rata-rata penghasilan yang diperoleh dengan 500 pohon melinjo/tangkil setahun dapat menghasilkan 5 kwintal buah yang dihargai Rp 2.500/kg, pucuk daun melinjo seminggu bisa dua kali panen 10 sampai 15 kg yang dihargai Rp 2.500/kg. Pohon Pete sekali musim menghasilkan 5 ikat yang dihargai seikat Rp 80.000, sehingga dari Pete memperoleh penghasilan Rp 450.000. Selain itu dari hasil panen 400 buah Durian memperoleh pendapatan Rp 3000.000 sampai Rp 4000.000. Sumber pendapatan selain hasil penjualan buah-buahan yakni dari hasil pemanfaatan lahan bawah tegakan seperti Kapulaga yang dapat dipanen sebulan 3 sampai 4 kali, sekali panen 10 Kg Kapulaga basah dihargai Rp 3.000 per kilo. Panen Kapulaga biasanya dilakukan petani saat menyiangi rumput, membersihkan lahan mereka. Sedangkan hasil Nangka dan Pisang hanya untuk dimakan sehari-hari. Seluruh penghasilan tersebut diatas digunakan untuk biaya kebutuhan sehari-hari, untuk bayar anak sekolah, bayar listrik dan selebihnya ditabung. Penjualan kayu jarang dilakukan karena petani berpedapat bahwa tanaman buahbuahan adalah sumber penghidupan, dengan asumsi bila 1 pohon Pete yang berdiameter besar hanya di beli Rp 200.000, apabila pohon tersebut panen akan menghasilkan 5 ikat, dan apa bila seikat Rp 80.000 maka penghasilan yang diperoleh lebih besar dan terus menerus. Jumlah penghasilan akan berbeda dengan petani yang lahannya dominan sawah, karena pemanfaatan lebih banyak untuk sawah sehingga jumlah pohon penghasil buah-buahan akan lebih sedikit. Seperti halnya informasi dari salah satu informan yang berada di desa Ramea bahwa penghasilan dari menjual buahbuahan berupa rambutan yang setahun 2 kali panen, 100 ganting diperoleh setiap panen yang dihargai Rp 600.000, dari hasil kelapa petani dapat menjual 100 sampai 300 butir yang diperoleh dari 2 kali panen dalam sebulan yang dihargai perbutirnya Rp 3.000 per butir. Uang dari hasil penjualan buah-buahan tersebut digunakan untuk mengasapi dapur, membeli rokok, membayar keperluan anak sekolah dan lainlain. Sementara beras yang mereka peroleh dari hasil panen sawah rata-rata tidak dijual melainkan disimpan dilumbung dan dikonsumsi sendiri. Biasanya hasil panen sawah saat musim hujan dan bila pupuknya bagus 1 tahun bisa 2 sampai 3 kali panen. Dari 1 ha lahan sawah rata-rata menghasilkan 8 kwintal hingga 1 ton padi, yang bila jadi beras dari 1 ton padi menjadi 7 kwintal beras. Para petani ini berpendapat bahwa tanaman buah-buahan sebagai sumber penghidupan, maka mereka lebih bertahan untuk tidak menjual kayunya kecuali untuk tanaman
20
Sengon yang bukan merupakan tanaman penghasil buah dan tidak termasuk dalam aturan PJL. Kondisi tersebut diatas akan berbeda bagi petani yang mempunyai lahan lebih dari 4 ha dan mempunyai pekerjaan bulanan tetap. Bagi pemilik lahan tanaman tahunan atau musiman yang ada dilahan mereka untuk meningkatkan pendapatan jangka panjang dan menambah kekayaan. Kondisi tersebut terungkap dari hasil pernyataan salah satu informan yang berada di Desa Cibojong yang telah terhenti kontraknya. Gaji tetap yang diperoleh setiap bulannya adalah sebesar Rp 2.500.000, hasil penjualan buah sebesar 4 juta rupiah dari dari 8 pohon duren yang menghasilkan 100 buah per pohon setiap musim. Pendapatan tersebut digunakan untuk biaya anak sekolah, untuk membeli motor, memperbaiki dan mencicil mobil. Apabila membutuhkan uang maka petani tersebut akan menebang dan menjual tanaman kayu yang ada dilahan seperti Mahoni, Sengon dan Sobsi pada tengkulak. Penjualan kayu dianggap memberikan penghasilan yang lebih besar dan cepat, seperti yang pernah diperolehnya dari hasil penjualan tersebut yakni sebesar Rp 80.000.000, bahkan tak jarang tanah atau lahan mereka dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Berdasarkan gambaran beberapa kasus diatas dapat diketahui bahwa jika petani sangat tergantung dari hasil sumber daya hutannya maka akan cenderung memilih mempertahankan pohon-pohon dilahannya karena merupakan sarana penting sebagai sumber penghidupan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Sebaliknya bagi petani yang kehidupannya tidak mutlak tergantung dari sumber daya hutannya maka mereka cenderung akan mengorbankan tegakan yang ada dilahan mereka sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan dan menambah kekayaan. Sehingga keduanya mempunyai opportunity cost memilih yang berbeda, sebagai sebuah hakikat pemilikan pribadi (private property) yang memiliki kebebasan otonom dalam mengambil keputusan/tindakan terhadap lahan mereka baik untuk hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan ataupun hak untuk eksklusi dan hak untuk menjual/hak pengalihan (Schlager dan Ostrom 1992). Hal lain yang merupakan salah satu atribut komunitas masyarakat seperti yang disebutkan Ostrom (2008) adalah tingkat pemahaman dari partisipan, dalam hal ini adalah komunitas petani hutan yang menjadi penyedia jasa lingkungan. Tingkat pemahaman komunitas petani terhadap PJL ini relatif berbeda, hal ini didasarkan pada hasil wawacara 17 petani yang tersebar di beberapa desa yang masuk dalam mekanisme PJL, baik yang masih berjalan atau telah putus kontrak. Meskipun kesimpulan ini tidak didukung oleh data kuantitatif, namun secara kualitatif fakta-fakta yang diperoleh dari kelompok masyarakat yang mengemukakan pendapat dan menjawab beberapa persoalan dalam diskusi dan wawancara menunjukkan kondisi tersebut. Secara ringkas ada tiga pemahaman masyarakat tentang kemitraan PJL dan manfaat yang mereka terima yakni sebagai berikuti : 1. Pembayaran jasa lingkungan sebagai cara untuk menjaga lingkungan terhadap peran vegetasi terhadap konservasi tanah dan air, agar tidak longsor, banjir atau kekurangan air, dengan asumsi air mengalir dari hulu
21
sampai hilir, dan berdasarkan pengalaman bahwa saat musim kemarau mereka tidak kekurangan air lagi, malah bisa memberi desa lain yang kekurangan air, tidak ada banjir dan longsor karena tidak ada lahan yang gundul. Disamping itu petani merasa bersyukur karena terbantu dengan adanya pembayaran tersebut bahwa menanam dilahan sendiri tapi memperoleh pembayaran yang bisa digunakan untuk tambahan biaya anak sekolah, ditabung dan mengasapi dapur. 2. Pembayaran jasa lingkungan merupakan cara untuk berbagi rasa, saling mengontrol satu sama lainnya untuk menjaga pohon yang masuk dalam perjanjian tidak ditebang, selain mereka memperoleh penghasilan dari tanaman di lahan mereka sendiri. 3. Pembayaran jasa lingkungan merupakan cara untuk memperoleh tambahan pendapatan karena manfaatnya adalah uang yang diterima untuk tanaman yang berada dilahan mereka sendiri. Tingkat pemahaman beragam ini lah yang akan melahirkan perbedaan motivasi dalam melanjutkan kemitraan. Dengan tingkat pendidikan yang sama namun terdapat kesenjangan pengetahuan diantara keduanya. Hal ini dimungkinkan karena pembinaan atau penyuluhan tentang pentingnya pengelolaan lingkungan, pengelolaan vegetasi terhadap keberlanjutan sumber daya air pada kelompok tani tidak sama intensifnya antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Hal tersebut tergambar jelas pada informan petani di desa Citaman dengan informan petani di desa lainnya. Usaha- usaha pembinaan, penyuluhan dan pendidikan non formal lainnya secara intensif akan meningkatkan kualitas manusia untuk mengoptimalkan potensi SDM, melalui kelompok tani (Soekartawi 1995). Disamping itu Hariadi (2005) menyatakan bahwa dengan penyuluhan dan pembinaan yang intensif dapat mendorong peningkatan self efficacy yang nantinya akan mendorong perubahan prinsip petani dari usaha tani yang “meminimalkan resiko” menjadi prinsip usaha tani yang ” memaksimalkan keuntungan”, sehingga akan meningkatkan produktivitas hasil taninya dan dapat meningkatkan pendapatan anggota kelompok tani, karena keberhasilan suatu kegiatan disebabkan oleh keberhasilan belajar dalam kelompok, salah satunya lewat penyuluhan dengan kuantitas serta kualitas yang cukup. Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Non Formal yang Terkait dengan Pengelolaan Jasa Lingkungan Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah yang di dalamnya terdapat indikasi perlunya keterlibatan berbagai pihak dalam pengelolaan DAS atau pengelolaan lingkungan dan instrumen ekonomi yang diperlukan untuk mendukung upaya pengelolaan lingkungan dan dan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau., serta peraturan non formal lainnya, dirangkum dalam Tabel 6. Kontrak yang menjadi dasar untuk mengikat kedua belah pihak dalam kemitraan mekanisme PJL ini, didasarkan pada dua perjanjian yaitu:
22
Tabel 6. Peraturan perundangan-undangan dan peraturan non formal yang terkait pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau Kaitan
Peraturan Perundangan dan Peraturan Non formal lainnya
UU No 7 tahun 2004 tentang Keterpaduan dalam pengelolaan sumber Sumber Daya Air daya dan instrumen biaya (pasal 77 ayat 3 butir c, pasal 80 ayat 3) UU No 41 tahun 1999 tentang Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan Kehutanan jo UU No. 19 tahun lindung dan produksi (pasal 30) 2004 UU No 26 tahun 2007 Penataan Ruang
tentang
Pemberian insentif/disentif pada pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana dengan tata ruang wilayah (ps 38 ayat 1), berupa insentif penghargaan pada masyarakat, swasta, atau pemda (ps 38 ayat 2,4,5)
PP No 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan jo PP No 3 tahun 2008
Pemanfaatan hutan dapat berupa pemanfaatan jasa lingkungan (ps 17 ayat 2 butir b), dapat dilakukan pada hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi (ps 18), kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan (ps 23, 25, 31 (2) butir b, 33 (1((2)
UU No 32 tahun 2009 tentang Pengembangan intrumen ekonomi dan PPLH pengakuan terhadap mekanisme pasar (ps42 (1), ayat 2 butir c, ps 43 (1) PP No 37 tahun 2012 tentang Peran para pihak, pengembangan Pengelolaan DAS kelembagaan dan sumber dana dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS (Pasal 39 (a)(d), ps 40(1), ps 67(1)(2) Perda prop. Banten no 41 tahun Peran serta masyarakat dalam pengelolaan 2002 tentang Pengurusan Hutan hutan yang didukung oleh Gubernur dan pemangku kepentingan BAB X ayat 1,2,34,5 Perda Prop Banten no 8 tahun Pengembangan pemanfaatan dilaksanakan 2003 tentang Pengembangan berbagai pihak (ps 3, ps 10 ayat 1 dan ayat Pemanfaatan air 3) Kep Kepala Bapedal Prop banten Pengaturan mekanisme pembayaran jasa No.01/SK-FKDC/II/2007 tentang lingkungan dan tugas koordinator jasa revisi juknis pengelolaan jasa lingkungan yang disebut LPJL lingkungan di DAS Cidanau Kontrak Indogenous knowledge
1.
FKDC dan PT KTI
2.
FKDC dan Kelompok tani
Pengetahuan mendukung kelestarian hutan
23
1. Perjanjian antara Forum Komunikasi DAS Cidanau3 dengan PT KTI selaku buyer yang berisi tentang ketentuan umum, dasar, maksud dan objek perjanjian, lingkup kesepakatan, jumlah pembayaran jangka waktu perjanjian, hak dan kewajiban, yang didasarkan pada Naskah Kesepahaman antara FKDC no:001/FKDC/NK-PJL/X/2004 dengan PT KTI no: 28/HK.00/KONTR./DU- KTI/XI/2004 tanggal 1 Oktober 2004. Mekanisme ini telah berjalan untuk lima tahun kedua (2010 – 2014) pada azas kesukarelaan (voluntary agreement). 2. Perjanjian antara FKDC dan Kelompok Tani, yang berisi tentang ruang lingkup kontrak, syarat penyedia jasa lingkungan, masa berlaku perjanjian, tata cara pembayaran, persyaratan pembayaran jasa lingkungan dan konsekuensi. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa komunitas bersedia membangun, memelihara dan mempertahankan tanaman jenis kayu-kayuan dan buah-buahan kecuali jenis polong-polongan dan kriteria tanaman lainnya. Salah satunya adalah ketentuan tentang jumlah tanaman tidak kurang dari 500 batang per hektar selama masa kontrak. Apabila jumlah pohon yang terdapat dalam areal dinyatakan kurang oleh Tim verifikasi maka secara tanggung renteng kelompok tani tersebut tidak akan menerima pembayaran jasa lingkungan untuk periode yang sudah jatuh tempo. Walau demikian sebenarya ada ketentuan penjarangan yang boleh dilakukan, yaitu tahun ke 3 minimal pohon yang ada diareal sebanyak 200 pohon, tapi ketentuan dan persyaratan hal tersebut belum tertuang dalam juknis ataupun dalam surat perjanjian Berdasarkan kontrak tersebut maka terdapat hubungan prinsipal agen yang bertingkat, yakni yang pertama PT KTI selaku prinsipal dan FKDC selaku agen; kedua FKDC selaku prinsipal dan kelompok tani hutan sebagai agen. Selain peraturan perundang-undangan, juknis dan kontrak yang tersebut diatas, sebenarnya terdapat pengetahuan yang merupakan turun temurun dari buyut/kokolot 4 (indigenous knowledge) tentang melestarikan hutan atau menjaga lingkungan, seperti yang diperoleh dari beberapa informan yang menyatakan bahwa sebenarnya melestarikan hutan sudah dilakukan dari buyut atau para kokolot dengan cara yakni : 1.
2. 3.
3
Apa bila menebang pohon maka pucuknya harus ditanam lagi ditempat tersebut, hal tersebut mengisyaratkan bahwa setelah menebang harus ditanam lagi. Menanam bambu dipinggir-pinggir tebing dengan maksud agar tidak longsor. Sebelum ada program tebing di demplot (terasering), petani sudah melakukannya (teras sendiri dikebun) berdasarkan pemahaman orang tua supaya tidak erosi, meskipun bedanya kalau dari pemerintah tanamannya diatas tapi kalau para petani di tanaman penguat dibawah sehingga bila tanaman diatasnya diurug dibawah bisa menahan agar tidak longsor.
FKDC adalah lembaga yang dibentuk oleh para pihak yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan Sumberdaya Alam DAS Cidanau dengan SK Gubernur Banten No. 124.3/Kep.64-Huk/2002 tanggal 24 Mei 2002 4 kokolot adalah sebutan untuk sesepuh atau tokoh masyararakat, buyut adalah nenek moyang
24
4.
Adanya ajaran bahwa 12 meter dari parit/selokan tidak boleh digarap, karena kayu atau gege itu punya pemerintah.
Ke 4 ajaran para kokolot yang mengisyaratkan untuk menjaga kelestarian hutan dan lingkungan diatas perlahan mulai bergeser, seiring laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan. Seperti ketentuan no 4 diatas tidak lagi dilaksanakan karena masyarakat beranggapan tanah yang kosong dari pada menganggur lebih baik ditanamin pohon buah-buahan sehingga bisa menghasilkan uang untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal tersebut merupakan salah satu contoh pernyataan O’Donoghue et al. (1999) yang dikutip dalam Maila dan Loubser (2003) yang meyatakan bahwa masalah dan isu lingkungan yang menjadi tantangan masa sekarang adalah hasil dari penurunan sistem pemanfaatan indogenous5, karena masyarakat tradisional hidup dalam harmoni alam “nature” yang memiliki pengetahuan tradisional, mengandung kemurnian nilai-nilai alam, yang kemudian secara bertahap terkikis dan hilang. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan instrumen kebijakan/intervensi dari pemerintah untuk pengelolaan lahan milik pribadi sehingga deforestasi di lahan masyarakat tidak semakin besar. Misalnya penggunaan pendekatan pasar melalui perbandingan antara social cost dan private cost antara principal (penentu instrumen) dan agen (pelaksana instrument, dalam hal ini petani), sehingga dengan jaminan/reward yang setara maka dapat mengurangi moral hazard, first mover dan adverser selection yang merupakan kegagalan dari sebuah instrumen (Bowers, 2005). Selaras dengan pendapat Gneezy dan Rustichni (2000) yang dikutip oleh Keser dan Willingner (2007) bahwa insentif yang rendah dapat mempengaruhi partisipan dalam bentuk kontradiktif karena terdapat peluang konflik antara motivasi internal dengan perolehan finansial. Situasi Aksi dan Kelembagaan Kemitraan Hulu-Hilir DAS Cidanau Proses Penerapan Inisiatif Mekanisme PJL di DAS Cidanau Dalam rangka mengoptimalkan penyelenggaraaan pemerintah dalam pengelolaan DAS Cidanau, maka di Propinsi Banten Khususnya untuk DAS Cidanau dibentuk forum koordinasi untuk menyamakan persepsi dalam memprioritaskan pemanfaatan dan peningkatan SDA di DAS Cidanau. Forum koordinasi ini dinamakan Forum Komunikasi DAS Cidanau, yang pertama kali dibentuk tanggal 24 Mei 2002 dengan SK Gubernur Banten No. 124.3/Kep.64Huk/2002 yang anggotanya terdiri dari para pihak, baik instansi pemerintah, swasta, NGO/LSM, Perguruan Tinggi dan masyarakat. Kemudian SK ini terakhir diperbaharui karena perubahan struktrur organisasi dan sistem kerja dengan SK Gubernur No. 660.05/Kep.317-HUK/2008 dengan tugas pokok diantaranya sebagai berikut : a. 5
Menampung aspirasi dan kepentingan pemeritnah, masyarakat dan dunia usaha;
stakeholder
yang
meliputi
Indegenous knowledge merupakan pengertian yang mencakup kebiasaan, pengetahuan, persepsi, norma, kebudayaan yang dipatuhi bersama suatu masyarakat (lokal) dan hidup turun-temurun.
25
b. c. d.
e.
Merumuskan berbagai aspek kebijakan yang perlu dikembangkan untuk pengelolaan DAS Cidanau; Menentukan arah, strategi dan prioritas dalam hal pengelolaan DAS Cidanau; Mendorong stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam DAS Cidanau untuk melaksanakan model pembayaran jasa lingkungan; Melaksanakan pemantauan dan mengevaluasi aktivitas pengelolaan DAS Cidanau;
Dengan uraian tugas tersebut maka FKDC dibentuk bukan sebagai lembaga jasa lingkungan tetapi lembaga untuk pengelolaan terpadu DAS Cidanau, berdasarkan konsep one river, one plan, one management. Selanjutnya untuk mendukung pembangunan berkelanjutan DAS Cidanau, maka dibangunlah kemitraan hubungan hulu hilir kawasan DAS Cidanau melalui mekanisme6 PJL sebagai salah satu upaya untuk menahan laju deforestasi lahan masyarakat di hulu DAS dan perambahan cagar alam rawa danau yang merupakan permasalahan yang dihadapi, dan akan berdampak pada kerusakan DAS. Pada awal inisiasi dari hasil penyusunan rencana dan strategi dengan Rekonvasi Bhumi, PSDAL-LP3S dan IIED maka ditetapkan pemilihan 2 lokasi model kegiatan yakni Desa Citaman dan desa Cibojong Kabupaten Serang dengan lahan yang diproyeksikan mendapat transaksi jasa lingkungan masingmasing seluas 25 ha. Pemilihan lokasi didasarkan pada pengaruh aktivitas lokasi terhadap fungsi hutan dan kondisi tata air DAS Cidanau. Sedangkan pemanfaat jasa (buyer) adalah PT KTI yang merupakan satu-satunya pemanfaat air di DAS Cidanau yang diberi izin oleh PEMDA untuk pengambilan air di sungai Cidanau untuk tujuan komersil, sebagai bahan baku air yang akan disuplainya ke berbagai macam industri. Jenis jasa lingkungan yang dijadikan dasar kemitraan antara seller dan buyer adalah sumberdaya air. Sehingga berdasarkan konsep pembayaran jasa lingkungan oleh Wunder (2006) maka persyaratan untuk pembayaran jasa lingkungan telah optimal, karena merupakan suatu transaksi sukarela, telah terdefinisikan dengan baik, melibatkan minimum satu pembeli jasa lingkungan dari satu minimum penyedia jasa lingkungan untuk suatu jasa yang perlu dilestarikan. Pengelola jasa lingkungan sebelum FKDC membentuk Koordinator Pengelolaan Jasa Lingkungan di dalam struktrur tahun 2006 adalah tim Adhoc. Setelah terbentuknya Koordinator PJL yang selanjutnya disebut Lembaga Pengelola Jasa Lingkugan maka pengelola jasa lingkungan diserahkan sepenuhnya pada bidang ini dengan ketentuan maksimal 5 orang yang terdiri dari keterwakilan dari pemerintah, swasata dan, beranggotakan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan DAS. Segala penggunaan dan pengembangan biaya adalah tugas dan tanggung jawab LPJL, termasuk juga membangun dan mengembangkan skema pembiayaan lain untuk mendukung PJL dan memfasilitasi proses pembangunan dan pengembangan kemitraan hulu 6
Fasilitasi dalam pembangunan dan pengembangan mekanisme ini pada awalnya dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Rekonvasi Bhumi bekerjasama dengan PSDAL-LP3ES dan International Institut for Environment and Development (IIED).
26
hilir yang berkaitan dengan pemanfaat maupun penyedia jasa lingkungan. Namun berdasarkan observasi penelitian bahwa Koordinator PJL belum dapat disebut sebagai lembaga tersendiri, karena kedudukannya masih didalam struktur dan dibawak Sekretaris Jenderal FKDC. Pengembangan potensi PJL juga dapat dikatakan belum mandiri karena pendekatan masih dilakukan oleh Setjen FKDC nya. Sehingga yang terlihat bahwa LPJL hanya terbatas mengurus keadaan keuangan saja. Biaya operasional, pengawasan dan honor anggota LPJL diperoleh dari 15% jumlah total anggaran yang dibayarkan oleh PT KTI untuk PJL. Jumlah tersebut dipergunakan untuk operasional LPJL termasuk untuk biaya verifikasi tim pada lahan masyarakat. Menurut North (1991) biaya ini dapat diukur sebagai biaya transaksi (transaction cost) yang salah satunya adalah biaya pengawasan dan pelaksanaan (policing cost). Kontrak dan Nilai Pembayaran Kemitraan yang terjalin antara PT KTI dan komunitas petani hutan di DAS Cidanau hingga saat ini telah masuk tahap 5 tahun kedua yang difasilitasi oleh FKDC. Kemitraan berdasarkan atas konsep keberlanjutan pasokan air. Bila DAS Cidanau rusak akan mempengaruhi terhadap pasokan air dan akan berdampak pada produksi PT KTI dan juga produksi industri lainnya. Sedangkan PT KTI membutuhkan debit sebesar 33 juta m³ per tahun untuk disuplaikan ke 91 atau 85% industri yang berada di Kota Cilegon dengan nilai investasi sebesar U$ 11 milyar7. Kemitraan tersebut didasarkan atas kontrak yang memuat peraturan dan persyaratan bagi keberlanjutan kemitraan yang ada. Ada dua kontrak yang mendasari kemitraan pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau yakni : 1) PT KTI dengan FKDC tentang ketentuan lingkup kesepakatan dan jumlah pembayaran yang diberikan PT KTI untuk pembayaran jasa lingkungan; 2) FKDC dengan kelompok tani tentang jumlah pembayaran per pohon per satuan waktu dan peraturan-peraturan yang mempengaruhi keberlanjutan kemitraan. Berdasarkan hal tersebut maka hubungan prinsipal agen pada mekanisme pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau dapat dikatakan sebagai hubungan prinsipal agen yang bertingkat. Hubungan PT KTI dan FKDC, dimana PT KTI menjadi prinsipal dan FKDC menjadi agen (Gambar 8). Hal ini dikarenakan PT KTI mendelegasikan sebagian kewenangannya pada FKDC untuk memfasilitasi masyarakat mempertahankan tegakan pohon di lahan mereka yang selaras dengan tujuan mereka untuk keberlanjutan ketersediaan sumberdaya air DAS Cidanau. Hubungan FKDC dan komunitas petani hutan, dimana FKDC menjadi prinsipal dan komunitas petani hutan menjadi agen, yang harus mempertahankan tegakan pohon di lahan mereka sesuai dengan peraturan dan persyaratan yang telah dimuat dalam kontak antara FKDC dan komunitas petani hutan. Di awal Kemitraan tahun 2004 PT KTI bersedia menjadi buyer secara sukarela yang berdasarkan hasil negoisasi sebesar Rp. 175.000.000 per tahun selama 2 tahun untuk 50 ha pada FKDC sebagai perantara antara PT KTI dan komunitas petani hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Sedangkan untuk 3 7
Data hasil wawancara dengan narasumber Bapak Saritomo Kepala Divisi Operasi PT KTI
27
tahun berikutnya akan dinegoisasi ulang. Sementara untuk nilai yang akan dibayarkan pada petani masih belum dapat ditentukan oleh FKDC, sehingga negoisasi juga dilakukan dengan petani. Walaupun akhirnya FKDC mengadopsi dasar pembayaran dari nilai Pembangunan dan Pengembangan Hutan Rakyat (P2HR) dan GERHAN yang ditetapkan oleh Kemenhut untuk menentukan jumlah pembayaran per hektar yaitu sebesar Rp 1.200.000 per tahun. Dari Rp 350.000.000 untuk 2 tahun tersebut, harusnya petani memperoleh pembayaran sekitar Rp 3.000.000 per hektar per tahun. Tetapi karena kekhawatiran tim FKDC apabila PT KTI tidak memperpanjang kemitraan tahun ke 3 sampai ke 5 akhirnya mengambil inisiatif dengan menekan jumlah pembayaran yang semula untuk 2 tahun menjadi 5 tahun. Dengan insiatif tersebut diputuskan jumlah pembayaran yang diberikan pada petani sebesar Rp 1.200.000 per hektar per tahun. Pada tahun berikutnya FKDC dan PT KTI melakukan negoisasi ulang, dan ternyata pihak KTI bersedia membayar lagi Rp 200.000.000 per tahun selama 3 tahun. Karena jumlah pembayaran sebelumnya sudah ditetapkan, maka kelebihan dari pembayaran terakhir PT KTI membuat FKDC menambah kawasan PJL dari 50 ha menjadi 100 ha. Walaupun akhirnya dari 4 kelompok tani yang menjadi penyedia jasa lingkungan, 2 diantaranya harus putus kontrak sebelum masa kontrak.
PT . KTI KONTRAK
KONTRAK FKDC
KONTRAK
KOMUNITAS PETANI HUTAN PENYEDI JASA LINGKUNGAN
Gambar 8 Hubungan prinsipal agen antara PT KTI, FKDC dan komunitas pentani hutan penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau
Pada kontrak 5 tahun ke 2 berjalannya kemitraan, dari hasil negoisasi ulang PT KTI bersedia meningkatkan lagi jumlah pembayarannya menjadi Rp 250.000.000 selama 5 tahun (2010 – 2014). Dan dengan jumlah tersebut FKDC melakukan perluasan kawasan PJL seluas 150 ha lebih di 4 desa dan diikuti 5 kelompok tani. Jumlah pembayaran yang diberikan sama seperti di 5 tahun pertama kemitraan, kecuali untuk Kelompok Tani Karya Muda II yang mendapat pembayaran lebih besar karena merupakan kelompok tani yang memperpanjang kemitraan yakni sebesar Rp 1.750.000. Data periode kontrak kelompok tani dan jumlah dana/uang yang telah dibayarkan oleh PT KTI dapat dilihat pada Tabel 7 dan 8.
28
Tabel 7 Periode dan status kontrak kelompok tani penyedia jasa lingkungan di DAS Cidanau Nama Kelompok Tani Karya Muda II
Periode kontrak (tahun) Periode pertama : tahun 2005 – 2009 Periode kedua : Tahun 2010 - 2014
Status Kontrak Periode pertama sampai masa kontrak dan memperpanjang kontrak, 3 tahun berjalan
Karya Muda III Karya Bersama
Tahun 2010 - 2014 Tahun 2005 - 2009
3 tahun berjalan Putus kontrak tahun 2007
Karya Bakti Alam Lestari
Tahun 2012 - 2016 Tahun 2008 - 2013
Agung Lestari Harapan Maju Alam Sejahtera
Tahun 2007 - 2011 Tahun 2011 - 2015 Tahun 2011 - 2015
1 tahun berjalan Berakhir kontrak Januari 2013 dan tidak melanjutkan Putus kontrak tahun 2008 2 tahun berjalan 2 tahun berjalan
Tabel 8. Jumlah pembayaran PT KTI untuk kelompok tani penyedia jasa lingkungan Uraian Jumlah pembayaran
2005 - 2006 175 juta
Tahun Pembayaran Per tahun 2007 - 2009 2010 - 2014 200 juta 250 juta
Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa pada 5 tahun pertama kemitraan ada 2 kelompok komunitas petani penyedia jasa lingkungan yang terputus kontraknya yakni kelompok tani Karya Bersama dan Agung Lestari. Sebaliknya kelompok tani Karya Muda II memperpanjang kemitraan untuk 5 tahun kedua. Hingga saat ini ada 5 kelompok tani yang masuk dalam mekanisme PJL yakni kelompok tani Karya Muda II, Karya Muda III, Karya Bakti, Harapan Maju dan Alam Lestari. Jumlah pembayaran yang telah dibayarkan oleh PT KTI setiap periode meningkat (Tabel 8). Diawal kemitraan sebesar Rp 175.000.000 pertahun untuk 2 tahun, kemudian naik 25 juta menjadi Rp 200.000.000 per tahun selama 3 tahun. Kemudian untuk periode tahun 2010 – 2014 naik sebesar Rp 50.000.000 menjadi Rp 250.000.000 setiap tahunnya. Peningkatan tersebut seharusnya juga relevan dengan pembayaran pada petani penyedia jasa lingkungan, yang seyogyanya mengikuti laju inflasi. Sedangkan besarnya pembayaran yang diberikan LPJL pada petani masih sebesar Rp 1.200.000 per ha per tahun, jumlah tersebut ditetapkan pada tahun 2005. Para petani berpendapat bahwa jumlah tersebut relatif kecil untuk sekarang, dalam arti ukuran tersebut dinilai kurang tepat karena tidak mengikuti laju inflasi. Hal ini tergambar dari beberapa
29
pernyataan informan dengan membandingkan harga beras pada tahun 2005 seliter masih Rp 3.000, sedangkan sekarang harga beras se-liter Rp 6.000 sampai Rp 7.000. Menurut Kesser dan Willingner (2007) insentif yang rendah menyebabkan perilaku anomali, karena pelaku membutuhkan tingkat minimum keuntungan minimal setara dari biaya yang dikeluarkan. Persyaratan, Aturan dan Tata Cara Pembayaran Lahan milik masyarakat yang menjadi produsen jasa lingkungan diharuskan memiliki jumlah tanaman tidak kurang dari 500 (lima ratus) batang per hektar, meskipun dari hasil wawancara rata-rata jumlah pohon di lahan masyarakat dengan luasan 1 ha bisa mencapai 600 pohon, bahkan lebih. Namun pada tahun kedua tanaman diperbolehkan minimal 200 pohon per hektar. Kriteria jenis tanaman yang tertera dan harus dipenuhi dalam surat perjanjian diantaranya : a. Bukan jenis tanaman polong-polongan (Leguminaceae) kecuali petai; b. Bukan jenis tanaman yang mempunyai akar serabut kecuali bamboo, dihitung berdasarkan rumpun; c. Semua jenis buah-buahan kecuali kopi, jeruk dan jambut batu; d. Mempunya diameter batang minimal 15 cm bagi tanaman yang sudah ada dan minimal 5 cm bagi tanaman baru; e. Batang tanaman sehat dan terawat Komposisi tanaman disyaratkan 30% tanaman kayu-kayuan kehutanan dan 70% tanaman buah-buahan. Dengan persentase tanaman buah-buahan lebih besar diharapkan petani dapat memanfaatkan hasil buahnya untuk dimakan atau dijual sebagai pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, jadi tidak hanya tergantung pada nilai pembayaran jasa lingkungan saja. Namun demikian aturan penjarangan dan komposisi tanaman tidak terdapat di surat perjanjian/kontrak ataupun Juknis Pengelolaan Jasa Lingkungan. Ketentuan lain pada surat perjanjian disebutkan bila tanaman mati karena hama penyakit atau akibat unsur alam maka tanaman tersebut harus diganti dan dibuat berita acara di kelompok dengan diketahui oleh Ketua Koordinator Jasa Lingkungan FKDC. Sama halnya bila tanaman hilang dicuri maka petani harus membuat laporan pencurian kepada pihak berwajib dan memberikan bukti laporan tersebut pada Koordinator Jasa Lingkungan. Mekanisme pembayaran pada petani oleh LPJL diatur dalam Juknis yakni kelompok tani memberikan surat tagihan pembayaran (30 hari kalender sebelum tanggal jatuh tempo) kepada KPJL, kemudian ditindaklanjuti dengan meminta Ketua FKDC melalui Setjen FKDC untuk menugaskan Tim melakukan verifikasi dengan mengambil 10% dari luas total areal yang dikelola, dari hasil verifikasi maka Ketua FKDC mengeluarkan surat rekomendasi untuk merealisasikan, menolak atau menunda pembayaran pada produsen jasa lingkungan. Apabila persyaratan telah dipenuhi, maka pembayaran dilakukan dengan tahapan. Untuk tahun pertama pembayaran dilaksanakan 3 kali dengan presentase dan waktu sebagai berikut :
30
1. 2.
3.
Pada saat penanda-tangan, petani memperoleh pembayaran sebesar 40% dari jumlah yang akan diterima untuk 1 tahun; Pembayaran dilakukan pada akhir 6 bulan berdasarkan tagihan pembayaran yakni setelah 14 hari tim verifikasi selesai melaksanakan verifikasi dilapangan dengan besar 30%; Sisa pembayaran sebesar 30% akan dibayarkan pada akhir bulan ke 12 berdasarkan tagihan pembayaran yakni setelah 14 hari tim verifikasi selesai melaksanakan verifikasi dilapangan.
Untuk tahun kedua dan seterusnya pembayaran dilaksanakan sebanyak 2 kali per tahun, yakni sebagai berikut : 1. Pembayaran dilakukan sebesar 40% dari jumlah yang akan diterima dalam satu tahun, pada akhir bulan ke 5 atau paling lambat 14 hari setelah tim verifikasi selesai melaksanakan verifikasi dilapangan berdasarkan tagihan pembayaran dari petani; 2. Sisa pembayaran sebesar 60% akan diterima berdasarkan tagihan pembayaran dari petani pada akhir bulan ke 11 atau paling 14 hari setelah tim verifikasi selesai melaksanakan verifikasi dilapangan. Apabila saat verifikasi terdapat tanaman yang hilang maka pembayaran akan ditunda dan diberi waktu untuk mengganti tanaman tersebut, bila sampai waktu yang ditetapkan tanaman tersebut belum diganti maka secara tanggung renteng kelompok tersebut akan terputus kontraknya. Sistem tanggung renteng ini lah yang terjadi pada kelompok tani Karya Bersama di Desa Cibojong dan kelompok tani Agung Lestari di Desa Kadu Agung. Pada kasus kelompok tani Karya Bersama ada anggota yang menebang pohon durian untuk membeli motor anaknya. Hilangnya tanaman tersebut saat verifikasi mengakibatkan penundaan pembayaran. Berdasarkan hasil wawancara pada petani di Desa Cibojong karena penundaan tersebut menimbulkan kekecewaan dan rasa ketidakadilan dikelompok tani terlebih lagi informasi penggantian tanaman tidak disampaikan oleh ketua kelompok taninya, sehingga anggota kelompok yang lain secara bersama-sama menebang pohon-pohon yang ada dilahan mereka, bahkan ada yang menebang habis di lahan 2 ha. Berdasarkan kasus yang terjadi di Desa Cibojong maka kebijakan tanggung renteng pun perlu dikaji lebih lanjut, karena mungkin maksud kita menyelamatkan lingkungan sebaliknya yang terjadi malah mendorong petani merusak lingkungan. Meskipun kebijakan ini dimaksudkan agar para anggota kelompok bisa saling mengawasi dan mengingatkan, namun banyak faktorfaktor yang mempengaruhi aturan ini dapat berjalan, yaitu salah satunya adalah kekompakan. Dimana kekompakan membutuhkan syarat saling percaya antar anggota ataupun kepercayaan anggota pada pengurus kelompoknya (Hermanto dan Swastika 2011). Kekompakan di desa Citaman tergambar, dimana terdapat situasi para anggota kelompok tani bersama-sama menyepakati untuk menyisihkan sebagian penghasilan dari uang pembayaran jasa lingkungan untuk menyatuni 22 anak yatim dan 30 janda yang ada di Desa. Selain itu disisihkan juga untuk musholla misalnya beli sajadah. Sedangkan untuk petani yang tidak masuk dalam PJL dan berada didekat dengan lahan yang masuk kontrak diberi juga meski sedikit yang
31
dianggap untuk uang jaga. Sehingga ada kebijakan yang mereka buat sendiri untuk kesejahteraan bersama dan hal seperti itu yang tidak dimiliki kelompok lain yang bisa membangun kedekatan pribadi. Ini tidak terlepas dari peran kepemimpinan ketua kelompok taninya yang mempunyai figur yang kuat untuk diikuti oleh anggotan lainnya. Karena seorang pemimpin dapat memainkan peran kunci dalam mengatur, memberi pengaruh, serta memperoleh komitmen dari sebuah kelompok terhadap sasaran kerjanya (Laksmidewi 2010). Hal lain yang dilakukan Ketua Kelompok Tani di Desa Citaman untuk mendorong anggota kelompok saling berkomunikasi dan saling membantu untuk mencapai tujuan yang telah disepakati, maka setiap malam jumat diadakan pengajian rutin untuk seluruh anggota kelompok. Sarana pengajian ini dijadikan para anggota untuk saling bertukar informasi dan mendekatkan ikatan emosional antar anggota tentang adanya pemahaman bersama terhadap kemitraan yang telah terjalin kelompok. Komunikasi yang rutin, keterbukaan dan kejelasan administrasi dalam kemitraan akan mendorong terciptanya kekompakann kelompok serta dapat mengubah pandangan dan pengetahuan seseorang (Kalu 2008; Laksmidewi 2010) Pemantauan Pemantauan di lokasi pembayaran jasa lingkungan dilakukan oleh Tim Verifikasi yang ditunjuk oleh Ketua FKDC yang anggotanya merupakan keterwakilan dari unsur pemerintah, pemanfaat jasa lingkungan dan masyarakat, dengan jumlah sekurang-kurangnya 3 orang dan menjadi bagian dari struktur organisasi FKDC. Pelaksanaan pemantauan dilakukan dengan cara menghitung jumlah tegakan tanaman untuk jenis yang sesuai dengan persyaratan, dan telah diberi nomor. Jumlah tegakan ditentukan dengan sampling tidak kurang dari 10% pada luas kawasan yang mendapat pembayaran jasa lingkungan, dan ditentukan secara acak untuk satu hamparan terterntu. Hasil pemantauan oleh tim verifikasi ini yang nantinya menjadi dasar untuk menolak, menunda atau merealisasikan pembayaran pada petani penyedia jasa lingkungan. Contoh tegakan pohon yang telah di beri nomor dan menjadi bahan m Pemantauan pembayaran jasa lingkungan yang dilakukan oleh tim verifikasi masih terbatas pada perubahan penggunaan lahan sesuai butir-butir perjanjian yang telah disepakati, bahwa pada tahun pertama 1 ha harus terdiri dari 500 pohon, namun tahun ke dua minimal harus ada 300 pohon dalam 1 ha.onitoring dan evaluasi tim verifikasi seperti tertera pada (Gambar 9). Sedangkan monitoring terhadap hubungan perubahan lahan dengan besarnya jasa lingkungan yang dihasilkan belum dilakukan, karena luasan 150 ha dianggap terlalu kecil untuk memberikan kontribusi nyata pada DAS Cidanau yang mempunyai luasan 22.620 ha, meskipun menurut Pagiola dan Platais (2007) dalam Engel et al. (2008) bahwa ada dua hal yang harus dimonitoring pada pembayaran jasa lingkungan yakni pertama perubahan penggunaan lahan yang telah dilakukan oleh penyedia jasa lingkungan, kedua apakah perubahan penggunaan lahan yang telah dilakukan dapat memenuhi jasa lingkungan yang diinginkan.
32
Gambar 9 Penomoran pohon pada tanaman yang menjadi pembayaran jasa lingkungan, di Desa Citaman Kabupaten Serang
Pengembangan Kelembagaan Kelompok Tani Untuk membangun kelembagaan antara kelompok tani penyedia jasa lingkungan serta saling bertukar informasi, maka di bentuk Forum Jejaring Kelompok Tani Hutan tahun 2012 untuk mengkoordinasikan seluruh kelompok tani yang mengikuti mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Tugas forum jejaring ini adalah : a. Mencari dan menyampaikan informasi peluang pasar dari komoditas yang dihasilkan oleh anggota kelompok, dan aplikasi teknologi terapan; b. Membangun hubungan antar kelompok tani hutan; c. Memfasilitasi kebutuhan program Kelompok Tani Hutan; d. Menyampaikan laporan kegiatan sesuai dengan sumber kegiatannya dengan memberikan tembusan pada FKDC serta sebagai b. Penguatan Sumber Daya Manusia dan Kelembagaan Contoh kegiatan/program jejaring kelompok tani hutan sebagaimana tertera pada Tabel 9. Kepengurusan forum jejaring ini terdiri atas perwakilan dari setiap kelompok tani penyedia jasa lingkungan yang ada di DAS Cidanau. Pembentukan forum jejaring ini merupakan pengembangan kelembagaan diantara kelompok tani yang telah ada. Menurut Syahyuti (2007) pengembangan kelembagaan petani merupakan salah satu bentuk pemberdayaan petani, dan harus terdapat dua prinisip yakni Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang dipilihnya sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.
33
Tabel 9 Program Jejaring Kelompok Tani Hutan di DAS Cidanau tahun 2013 Uraian Kegiatan
Lokasi
Kesekretariatan (ATK, komputer, Ujung Tebu printer) Sosialisasi organisasi dan program Ujung Tebu dan Panjang Jaya Pembuatan Persemaian : Panjang Jaya,Ramea, Cikumbueun, Coklat: 1000 batang Citaman, Ujung Tebu Cengkeh: 30.000 batang Panjang Jaya,Ramea, Akasia: 5000 batang Cikumbueun, Citaman, Ujung Tebu Ternak Domba Garut: 180 ekor Semua lokasi Lebah madu : 30 kulung Semua lokasi Budidaya jamur merang: 6 unit Semua lokasi Budidaya ikan air tawar: 5 paket Semua lokasi Alat semprotan hama : 6 set Semua lokasi Pelatihan – pelatihan Pertemuan rutin setiap 2 bulan sekali Ujung Tebu bulan Januari 2013 Keterlibatan Para Pihak (stakeholder) Mayers (2005) menyebutkan bahwa stakeholder adalah mereka yang memiliki hak atau kepentingan dalam suatu sistem. Mereka disini dapat berupa individu, masyarakat, kelompok sosial ataupun organisasi. Analisis stakeholder mempelajari hubungan antara manusia dalam pemanfaatan sumber daya alam dengan cara menilai peran stakeholder ke dalam rights (hak), responsibilities (tanggung jawab), revenues (pendapatan) serta relationship (Mayers 2005; Reed et al. 2009). Setiap pihak mempunyai peranan masing-masing dalam mendukung terhadap keberlanjutan kemitraan pada pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau. Peranan para pihak yang terkait langsung dalam pelaksanaan mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau sebagaimana yang tercantum pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 peranan masing-masing pihak telah terdefinisi dengan jelas. Seperti yang disebutkan oleh Pagiola dan Platais (2002) bahwa pengembangan mekanisme PJL mensyaratkan adanya mekanisme pembiayaan dan pembayaran dari penerima pemanfaat kepada penyedia jasa lingkungan. Dari tabel tersebut telah mendefinisikan peran masing-masing dalam mekanisme PJL, yakni pemanfaat jasa lingkungan yang menjadi buyer adalah PT KTI, sedangkan komunitas petani adalah yang menerima pembayaran dari penerima manfaat sebagai penyedia jasa lingkungan (pengguna lahan). Dan untuk menjembatani antar pihak pemanfaat jasa dan penyedia jasa dilakukan oleh FKDC yang berperan sebagai fasilitator/perantara yang bersifat independen dan berfungsi menghubungkan kepentingan pemanfaat dan penyedia jasa dalam melaksanakan transaksi jasa lingkungan.
34
Tabel 10 Peranan para pihak yang terkait langsung dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau No 1
Stakeholder/Para Pihak Komunitas Petani Hutan Kelompok tani Karya Muda II
Peranan Penyedia jasa lingkungan (seller)
Kelompok tani Karya Muda III Kelompok tani Karya Bakti Kelompok tani Harapan Maju Kelompok tani Harapan Alam Sejahtera 2
PT Krakatau Tirta Industri
Pembeli jasa lingkungan (buyer)
3
Forum Komunikasi DAS Cidanau Fasilitator antara penyedia (FKDC) jasa dan pembayar jasa lingkungan
Peranan stakeholder pemerintah terhadap implementasi PJL ini tidak berperan secara langsung tetapi lebih berperan pada lembaga FKDC nya sebagai forum pengelolaan terpadu DAS Cidanau. FKDC membuat usulan kegiatan prioritas dari hasil rembug warga yang akan menjadi program FKDC pada mekanisme pendanaan yang berlaku dimasing-masing para pihak. Sistem pendanaan dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Dalam arti langsung bahwa dana langsung diberikan pada FKDC baik berupa hibah seperti yang dilakukan oleh Bappeda Propinsi Banten dan DIPA satker BPDAS untuk Fasilitasi rapat triwulaan forum DAS. Selebihnya kegiatan dikelola instansi masing-masing/share kegiatan baik dengan sistem anggaran (tertera di DIPA) ataupun tidak. Secara umum program FKDC didukung oleh para pihak. Seperti yang diketahui bahwa Bappeda Propinsi telah 3 tahun memberikan dana hibah sebanyak Rp 350.000.000 pada tahun 2011 dan 2012, kemudian tahun 2013 sebesar Rp 500.000.000 untuk digunakan operasional FKCD dalam memfasilitasi kegiatan pengelolaan terpadu. Pada daftar kegiatan FKDC dana tersebut digunakan untuk operasinal kesekretariatan, penguatan jejaring kelompok tani, pendampingan masyarakat dan operasional kegiatan. Kegiatan lainnya adalah berupa fasilitasi untuk koordinasi dan evaluasi forum dengan anggaran yang diberikan sebesar Rp 16.000.000 oleh Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung. Selebihnya pada instansi lain berupa share kegiatan yang tidak rutin dianggarkan setiap tahun dan lebih bersifat pembinaan, seperti yang dilakukan oleh Kantor LH, BLHD, Dinas Pertanian, Dinas bidang Kehutanan dan dinas lainnya dengan mengupayakan daerah binaannya salah satunya adalah desa yang
35
masuk dalam PJl. Hal lainnya adalah apa bila ada program dari Pemerintah Pusat maka dinas yang bersangkutan mengajukan prioritas untuk desa yang menjadi penyedia jasa lingkungan, seperti lokasi kegiatan Bansos, KBR dari Kementerian Kehutanan. Penganggaran yang tidak rutin ini disebabkan fokus kegiatan instansi tidak hanya terbatas pada desa yang masuk dalam mekanisme PJL tetapi desa desa lain yang menjadi binaan wilayah kerjanya. Namun yang menarik adalah permasalahan dalam internal FKDC dan sebagian besar program yang dilakukan oleh para pihak di daerah tersebut yang terkait dengan PJL ini sangat tergantung oleh figur-figur tertentu. Berdasarkan hasil wawancara pada beberapa pejabat pemerintahan dan pihak KTI maka terdapat kekhawatiran terhadap keberlanjutan kemitraan di masa yang akan datang bila regenerasi dari figur tersebut belum ada penggantinya. Bahkan sebagian besar dari pendapat yang dikemukakan oleh para petani yang menganggap bahwa lembaga FKDC hanyalah terdiri dari segelintir orang saja. Beberapa kasus diatas maka yang menjadi tugas besar bagi FKDC dan pihak lainnya adalah penguatan kelembagaan organisasi FKDC, sehingga kemitraan akan dipercaya terus berjalan meski terjadi penggantian figur. Hal lainnya yang menjadi permasalahan dari pihak pemerintah yakni kebijakan yang selalu berubah bila terjadi pergantian pimpinan, dan hal tersebut dapat menjadi hambatan untuk kemitraan yang sudah dibangun sekian lama. Selain hal tersebut untuk mempertahankan keberlanjutan implementasi kemitraan hubungan hulu hilir dengan mekanisme transaksi jasa lingkungan dimasa yang akan datang, tentu diperlukan modal besar untuk membiayai transaksi tersebut, dan tentunya tidak tergantung hanya pada KTI saja. Berdasarkan hasil wawancara dengan Setjen FKDC diketahui telah dilakukan pendekatan dan sosialisasi oleh FKDC pada pihak swasta lain yang menjadi anak perusahaan KTI. Pada prinsipnya mereka (perusahaan lain) bersedia berkontribusi untuk menjadi salah satu buyer pada transaksi jasa lingkungan namun mereka membutuhkan payung hukum untuk keperluan audit internal mereka sendiri, karena selama ini kemitraan yang terjalin dengan KTI hanya berdasarkan Mou dengan dasar Nota Kesepahaman dan SK pembentukan FKDC saja, dan lebih bersifat sukarela yang merupakan cost produksi, dalam arti bila produksi berhenti maka pembayaran juga berhenti. Oleh karena itu untuk menfasilitasi agar ada payung hukum yang dapat mewadahi program tersebut, maka diajukanlah peraturan untuk ditetapkan sebagai Peraturan Gubernur. Draft Pergub ini telah dikoordinasikan selama 3 tahun dan sampai sekarang belum diajukan karena masih terus membahas tentang butir-butir pasal yang terlalu dianggap teknis. Proses pembahasan ini sempat terhenti karena Dinas Kehutanan Propinsi selaku penanggungjawab bidang terkait, sedang memproses legalisasi dokumen pengelolaan DAS terpadu untuk DAS Ciujung dan Cisadane. Selain itu terjadinya rotasi personal biro hukum sehingga pembahasan harus dimulai dari awal lagi. Berdasarkah hasil wawancara pada pihak pemerintah tentang wacana Pergub sebagai payung hukum untuk mendorong volunteer sehingga memperkuat kelembagaan kemitraan hulu hilir, terdapat dua pendapat, pertama pihak yang menganggap bahwa wacana pembentukan Pergub ini kurang tepat karena berpendapat bahwa seharusnya peraturan gubernur itu berlaku menyeluruh untuk seluruh DAS bukan hanya DAS Cidanau saja, dikhawatirkan
36
adanya penyelewengan dana yang mengutip perusahaan dengan alasan adanya Pergub, dikarenakan jaminan tidak ada, sementara orang yang di percaya dan dianggap figur di FKDC tidak ada regenerasinya. Disamping itu terdapat kekhawatiran bila Pergub tidak efektif maka akan berdampak pada Gubernur. Kedua pihak yang setuju terhadap wacana ini berpendapat bahwa Pergub diperlukan untuk mendorong volunteer agar terlibat dalam transaksi tersebut untuk memperkuat kelembagaan pengelolaan DAS Cidanau sehingga dapat memberikan nilai tambah pada sumberdaya alam yang dimiliki dan menjadi potensi pengelolaan masyarakat yang menyebabkan masyarakat tidak tergantung pada lahan dan tidakan pengelolaan yang tidak ramah lingkungan. Berkenaan dengan hal tersebut perlu kiranya disosialisasikan kembali tentang mekanisem PJL yang telah berjalan pada seluruh para pihak yang berada di DAS Cidanau, baik yang terkait langsung ataupun tidak langsung. Sehingga dapat ditemukan solusi yang mengakomodir pendapat seluruh para pihak baik yang bertentangan ataupun tidak. Hasil pemetaan stakeholder berdasarkan derajat kepentingan dan pengaruhnya di dalam pengelolaan DAS Cidanau khususnya dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan posisi sesuai kriteria yang dibangun oleh Reed et al. (2009), stakeholder di DAS Cidanau diklasifikasikan sebagai stakeholder key player, stakeholder context setter dan stakeholder crowd. Stakeholder yang mempunyai pengaruh dan kepentingan tinggi (stakeholder key player) pada keberlanjutan kemitraan PJL di DAS Cidanau adalah Komunitas petani hutan, PT KTI dan FKDC. Stakeholder yang mempunyai pengaruh tinggi tetapi kepentingan rendah (stakeholder context setter) adalah Bappeda Propinsi Banten, Dinas Kehutanan Propinsi Banten, Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Serang, Dinas Kehutanan Kabupaten Pandenglang. Dan stakeholder yang mempunyai pengaruh dan kepentingan rendah (stakeholder crowd ) adalah BLHD Propinsi Banten, Kantor LH Kabupaten Pandenglang, BLH Kabupaten Serang KSDA seksi wilayah I Serang, BPDAS Citarum Ciliwung dan Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi Banten. Keterangan : 1) Komunitas petani hutan, 2) PT KTI, 3) FKDC, 4) Bappeda Prop Banten, 5) Dishut Prop Banten, 6) Distanhutbuntanak Kab. Serang, 7)Dishut Kab. Pandenglang, 8) Distan & peternakan prop Banten, 9) BLHD Prop Banten, 10) Kantor LH Kab Pandenglang, 11) . BLH Kab. Serang, 12) KSDA seksi wil I Serang, 13) BPDAS Citarum Ciliwung
Gambar 10 Pemetaan stakeholder dalam kemitraan DAS Cidanau
37
Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir untuk DAS Cidanau untuk Pasokan Air Domestik dan Industri di Propinsi Banten Secara konsep skema PJL DAS Cidanau telah sesuai dengan standar internasional yang didasarkan atas Assesement criteria the regional forum on payment schemes for environmental service in watershed (2003) dalam FAO 2004, yang terdiri dari 5 kategori yakni konteks, aktor/pelaku, pembayaran dan sistem pembiayaan, pelaksanaan dan perencanaan skema, monitoring dan follow-up, yang diuraikan sebagai berikut : 1. a) i. ii.
Konteks : Skema PES DAS Cidanau bertujuan : Mengontrol dan mengatasi pengelolaan hutan yang tidak lestari Tersedianya jasa lingkungan guna mendukung keberlanjutan pembangunan dengan pembiayaan alternatif pengelolaan DAS terpadu.
b) Status PES dalam kebijakan pengolaan DAS merupakan skema penyelenggaraan pengelolaan DAS yang pendanaannya bersumber dari biaya alternatif lain yakni dalam bentuk pembayaran jasa lingkungan seperti yang tersebut dalam PP no 32 tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS dengan tujuan untuk untuk mewujudkan kesadaran, kemampuan dan partisipasi aktif instansi terkait danm asyarakat dalam Pengelolaan DAS yang lebih baik, mewujudkan kondisi lahan yang produktif sesuai dengan Daya Dukung dan daya tampung lingkungan DAS secara berkelanjutan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas menurut ruang dan waktu serta mewujudkan peningkatan kesejahteraan masyarakat. c) Pandangan keberadaaan air bagi PT KTI merupakan hal yang sangat penting untuk keberlanjutan industri. Aktivitas pengelolaan lahan di hulu DAS disadari KTI akan mempengaruhi keberlanjutan sumber daya air yang ada. Oleh karena itu KTI bersedia membayar kepada petani hulu DAS untuk melakukan konservasi lahan dengan mempertahankan tegakan pohon. 2. Aktor/pelaku : Para aktor / pelaku dalam kelembagaan kemitraan PJL di DAS Cidanau terdiri dari : a)
Penyedia jasa lingkungan Penyedia jasa lingkungan adalah para pengelola lahan yang berada di hulu DAS Cidanau dan merupakan daerah tangkapan air yang aktivitas pengelolaan lahannya akan berdampak pada kondisi tata air di DAS Cidanau. Penyedia jasa dalam skema PJL ini adalah petani hutan yang ada dihulu DAS dengan bentuk kelembagaan penyedia jasa berupa kelompok tani. Hingga saat ini (periode ke-2, 2011 – 2015) terdapat 5 kelompok tani yang beranggotakan masing-masing kelompok 40 petani bahkan sampai 77 petani. Kelompok tersebut adalah Karya Muda II dan Karya Muda II yang berada di Desa Citaman, Karya Bakti yang berada di Desa Ujung Tebu, Harapan Maju di Desa Panjang Jaya dan kelompok tani Alam Sejahtera di Desa Ramea. Sebagian besar status kepemilikan lahan petani merupakan
38
hak milik pribadi (private property) selebihnya adalah penggarap. Untuk memudahkan koordinasi dan pengembangan kapasitas kelompok tani, maka dibentuk Forum Jejaring Kelompok Tani Hutan tahun 2012 yang beranggotakan seluruh kelompok tani yang masuk dalam mekanisme PJL DAS Cidanau. b) Pemanfaat jasa lingkungan Pemanfaat jasa lingkungan adalah PT Krakatau Tirta Industri yang merupakan perusahaan pemanfaat sungai Cidanau yang diberi izin oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Serang. Sehingga keberlangsungan sumber daya air akan mempengaruhi pada keberlangsungan produksi dan kegiatan perusahaan. Pemantauan dan pengawasan dilakukan oleh PT KTI pada FKDC yang diberi wewenang terhadap penggunaan dana PJL yang akan dibayarkan pada petani penyedia jasa. c) Fasilitator Fasilitator adalah lembaga yang memfasilitasi proses untuk terjadinya pertukaran jasa antara penyedia jasa dan pemanfaat jasa lingkungan. Fasilitator mekanisme PJL DAS Cidanau adalah FKDC yang merupakan lembaga multipihak yang dibentuk dengan SK Gubernur untuk pengelolaan terpadu DAS Cidanau. FKDC ini menjadi mediator pada semua proses membangun kesepakatan dalam PJL DAS Cidanau. d) Regulasi penjamin hak – hak para pihak yang menjalin kontrak Pelaksanaan mekanisme PJL antara PT KTI dan komunitas petani hanya bersifat sukarela (voluntary agreement) yang didasarkan pada naskah kesepahaman antara PT KTI dan FKDC. Sehingga aturan/ regulasi penjamin hak – hak para pihak yang menjalin kontrak payung hukumnya belum ada. Hal tersebut juga yang menjadi pertimbangan perusahaan lain untuk melakukan transaksi jasa lingkungan di DAS Cidanau. Selama ini regulasi yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan PJL di DAS Cidanau adalah Peraturan Gubernur, meskipun proses pembahasan Pergub telah berjalan selama 5 tahun namun sampai saat ini masih belum terealisasikan. e) Organisasi pengelola PJL Pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau dibentuk tahun 2006 oleh FKDC yang bernama Koordinator PJL yang beranggotakan 5 orang, terdiri dari keterwakilan pemerintah, swasta dan masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaat DAS. Sebelum dibentuk, pengelola jasa lingkungan adalah tim ad hoc. Biaya operasional LPJL diperoleh dari 15% jumlah total anggaran yang dibayarkan PT KTI pada FKDC. 3.
Pembayaran dan sistem pembiayaan Penetapan pembayaran berdasarkan negoisasi antara FKDC dan PT KTI. Sementara nilai yang dibayarkan pada petani ditetapkan dengan dasar pembayaran dari nilai Pembangunan dan Pengembangan Hutan Rakyat (P2HR) dan GERHAN yang ditetapkan oleh Kemenhut yakni sebesar Rp1 200 000 per tahun per ha. Penetapan jumlah tersebut telah dilakukan melalui negoisasi antara FKDC dan petani, meskipun jumlah yang ditetapkan belum mengakomodir keinginan para petani. Jumlah Rp 1.200.000 tersebut
39
diperuntukkan 500 pohon dalam 1 hektar pada kelompok tani yang baru menjadi bagian mekanisme. Untuk kelompok tani yang lama jumlah pembayaran sebesar Rp 1.750.000 per hektar per tahun. Tidak adanya perubahan jumlah pembayaran dari Rp 1.200.000 per hektar per tahun yang ditetapkan pada tahun 2005 tersebut dinilai kurang tepat oleh petani. Hal tersebut tergambar dari pernyataan beberapa petani dengan membandingkan harga beras se-liter pada tahun 2005 masih Rp 3.000, sedangkan sekarang Rp 6.000 sampai Rp 7 .000. Apabila dibandingkan dengan kenaikan harga beras tersebut maka terdapat kenaikan kurang lebih 2 kali lipat, yang bila disesuaikan dengan jumlah pembayaran yang ada maka FKDC harus menetapkan jumlah pembayaran sekitar Rp 2.400.000 per hektar per tahun. Nilai tersebut hampir sebanding dengan hasil penelitian Ariani (2009) berdasarkan willinges to accept masyarakat terhadap dari nilai pembayaran jasa lingkungan di salah satu desa DAS Cidanau yakni desa Citaman adalah sebesar Rp 2.528.490 per ha per tahun. 4.
Pelaksanaan dan skema perencanaan Pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau hingga saat ini telah masuk tahap 5 tahun ke dua. Pada kontrak 5 tahun pertama ada 4 kelompok tani di 4 desa yang masuk dalam mekanisme yakni kelompok tani karya muda II di Desa Citaman, kelompok tani Karya bersama di Desa Cibojong, Kelompok tani Agung Lestari di Desa Kadu Agung dan kelompok tani Alam Lestari di Desa Cikumbuen. Dalam proses pelaksanaannya 2 kelompok tani terputus kontrak yakni Karya Bersama dan Agung Lestari. Kelompok tani Alam Lestari menyelesaikan masa kontraknya namun tidak memperpanjang kontrak. Pada kontrak 5 tahun ke dua terdapat 5 kelompok tani yang masuk dalam mekanisme, salah satunya adalah kelompok tani Karya Muda yang memperpanjang kontrak.
5.
Menetapkan mekanisme aturan dan monitoring Mekanisme aturan yang ditetapkan dalam PJL DAS Cidanau adalah sistem tanggung renteng bagi kelompok tani yang melakukan pelanggaran atas perjanjian yang telah disepakati dalam kontrak. Aturan ini yang menyebabkan putusnya semua anggota kelompok tani di Desa Cibojong dan Kadu Agung. Monitoring dilakukan oleh tim verifikasi yang ditunjuk FKDC untuk pemantauan terhadap perubahan penggunaan lahan, dalam hal ini jumlah tegakan pohon yang telah masuk dalam kontrak. Hasil verifikasi akan menjadi dasar untuk menolak, menunda dan merealisasikan pembayaran.
Kelembagaan atau institusi mempunyai dua pengertian yaitu : pertama kelembagaan sebagai aturan main (rule of the game) berupa norma-norma, larangan, kontrak, kebijakan dan peraturan yang mengatur perilaku individu, kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi (player of the game) (Mernard dan Shirley 2008). Pengelolaan DAS sering mengalami kegagalan karena program – program yang diciptakan seringkali fokus pada aspek teknis, regulasi dan prosedur administrasinya tanpa mengkaji akar permasalahan dari pengelolaan tersebut sehingga menghasilkan formulasi pengelolaan yang tidak tepat.
40
Berdasarkan hasil telaah dan kajian dalam suatu kerangka analisis pengembangan institusi (IAD) pada faktor eksogen (kondisi fisik/material, atribut komunitas dan aturan main) yang mempengaruhi situasi aksi dan aktor yang ada di DAS Cidanau sehingga terputusnya kontrak kemitraan di Desa Cibojong dan Kadu Agung (Gambar 11), dengan ikhtisar sebagai berikut : 1.
Karakteristik fisik sumber daya (hutan rakyat, lahan) pada kelompok tani sebagian besar merupakan hak milik pribadi (private property). Hak yang melekat pada private property meliputi hak akses, hak pemanfaatan, hak pengelolaan, hak ekslusi dan hak untuk menjual/pengalihan (Schlager dan Ostrom 1992). Hakikat kepemilikan pribadi adalah petani otonom dalam mengambil keputusan karena mempunyai kesempatan memilih manfaat terbesar dari lahan yang mereka miliki (opportunity cost principal). Sementara menurut Asdak (2010) menyatakan bahwa daerah hulu merupakan bagian yang penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS, antara lain dari segi fungsi tata air yang akitivitas pola pemanfaatan lahannya akan berdampak pada daerah hilir. Deforestasi hutan di hulu DAS akan berdampak langsung terhadap keberlanjutan pasokan air di DAS Cidanau, khususnya daerah hilir Sehingga kondisi ekosistem di hulu DAS Cidanau sangat berperan penting dalam menunjang keberlanjutan fungsi hidrologis terhadap keberlanjutan sumber daya air sebagai produk jasa lingkungan yang dihasilkan. Berdasarkan hakikat kepemilikan dan fungsi hidrologis yang dihasilkan maka diperlukan instrumen untuk pengelolaan pada lahan pribadi sehingga deforestasi di lahan masyarakat tidak semakin meningkat. Instrumen yang dimaksud adalah insentif yang diberikan pada petani pengelola lahan untuk turut melindungi daerah hulu dengan mempertahankan tegakan/vegetasi (hutan rakyat) untuk jasa yang dihasilkan atau yang disebut dengan pembayaran jasa lingkungan.
2.
Hasil telaah tribut komunitas petani penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau diantaranya adalah pemahaman pembayaran jasa lingkungan di Desa Cibojong cenderung heterogen dibanding desa lainnya. Petani di Desa Cibojong memahami dengan menjadi anggota PJL akan memberikan tambahan pendapatan, sedangkan di Desa Citaman pengetahuan tentang PJL relatif lebih tinggi karena mereka memahami PJL selain menambah pendapatan juga sebagai cara untuk menjaga lingkungan terhadap peran vegetasi terhadap konservasi tanah dan air, sehingga mereka berpendapat meskipun insentif dihentikan maka mereka tetap akan menjaga htuan mereka yang merupakan sumber penghidupan. Rancangan skema PJL juga harus memperhitungkan biaya yang dikeluarkan oleh petani minimal setara korbanan dalam menjaga tegakan hutan selama periode waktu tertentu. Hal ini dikarenakan petani adalah pengontrol penggunaan lahan, yang keputusannnya dapat dipengaruhi oleh besarnya pembayaran dan pilihan pembayaran yang akan diterimanya apabila melakukan perubahan penggunaan lahan.
3.
Peraturan yang digunakan sebagai dasar dalam mekanisme PJL DAS Cidanau terdiri dari undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan
41
daerah, kontrak, juknis dan peraturan non formal lainnya seperti aturan aturan yang terdapat di dalam kelompok tani itu sendiri. Aturan kontrak dan juknis yang merupakan panduan dalam pelaksanaan mekanisme PJL DAS Cidanau akan mempengaruhi situasi aksi yang ada, karena aturan tersebut mengikat anggota kelompok tani yang menentukan keberlanjutan dari kemitraan yang ada, misalnya penetapan sanksi oleh FKDC berupa sistem tanggung renteng. Sistem tanggung renteng ini lah yang terjadi pada kelompok tani Karya Bersama di Desa Cibojong dan kelompok tani Agung Lestari di Desa Kadu Agung. Pada kasus kelompok tani Karya Bersama ada anggota yang menebang beberapa pohon. Hilangnya tanaman tersebut saat verifikasi mengakibatkan penundaan pembayaran. Berdasarkan hasil wawancara pada petani di Desa Cibojong karena penundaan tersebut menimbulkan kekecewaan dan rasa ketidakadilan di kelompok tani terlebih lagi informasi penggantian tanaman tidak disampaikan oleh ketua kelompok taninya, sehingga anggota kelompok yang lain secara bersama-sama menebang pohon-pohon yang ada di lahan mereka, bahkan ada yang menebang habis di lahan 2 ha. 4.
Berdasarkan telaah dan kajian dari faktor eksogen tersebut maka situasi aksi yang terjadi dan harus dicermati pada mekanisme PJL DAS Cidanau diantaranya adalah aturan sanksi sistem tanggung renteng, kemitraan yang berbasis kelompok tani, pembayaran jasa lingkungan dapat dikatakan sebagai „sewa pohon‟ yakni pembayaran yang dilakukan untuk mempertahankan tegakan pohon selama 5 tahun, jumlah pembayaran Rp 1.200.000 per hektar per tahun yang ditetapkan tahun 2005.
5.
Aktor dalam mekanisme PJL DAS Cidanau adalah komunitas petani hutan sebagai penyedia jasa lingkungan (seller), PT KTI sebagai pemanfaat jasa/pembayar jasa (buyer), FKDC sebagai fasilitator, evaluator dan pengawas, Pihak Pemerintah sebagai regulator.
Hasil telaah dan kajian tersebut menunjukkan bahwa hakikat kepemilikan pribadi pada petani penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau tidak berimplikasi pada semua petani akan tetap menjaga tegakan pohonnya meskipun insentif tidak diberikan lagi. Untuk kelompok tani yang heterogen maka penetapan sanksi tanggung renteng dan pendekatan berbasis kelompok tidak tepat, sehingga suatu peraturan tidak dapat diterapkan untuk seluruh kelompok (one size fit for all). Kelembagaan kemitraan yang diperlukan adalah kemitraan dengan memperhatikan seluruh aspek kelembagaan yang akan mempengaruhi arena aksi dan perilaku aktor dan dapat menghasilkan performa kelembagaan kemitraan yang baik. Berdasarkan pemetaan terhadap permasalahan dan kendala kelembagaan kemitraan dengan kerangka analisis pengembangan institusi tersebut di atas, maka agar kinerja pemutusan kontrak pada desa Cibojong dan desa Kadu Agung tidak terjadi pada kelompok tani yang lain, diperlukan :
42
FAKTOR EKSOGEN
ARENA AKSI CIDANAU
Karakteristik sumber daya : Hutan rakyat hak milik pribadi (private property) Hutan rakyat sebagai penghasil jasa lingkungan
Atribut komunitas : Desa Cibojong dan Kadu Agung cenderung heterogen dibanding desa Citaman Orientasi Kelompok tani Karya bersama (Desa Cibojong) adalah PES sebagai tambahan income Tingkat ketergantungan terhadap sumber daya hutan pada desa Cibojong dan Kadu Agung rendah Pengetahuan tentang hutan dan lingkungan rendah Pengontrol pengguna lahan
Rule in use : Formal : Kontrak, juknis, regulasi pusat dan peraturan daerah Informal : Aturan kelompok
SITUASI AKSI PES : insentif untuk melindungi daerah hulu Sanksi : sistem tanggung renteng Basis kelompok tani Pembayaran jasa persatuan waktu Pembayaran 1,2 juta/ha/tahun
AKTOR Petani : penyedia jasa PT KTI : pemanfaat jasa/buyer FKDC : fasilitator, evaluator, pengawas Pemerintah : regulator
PERFORMA KELEMBAGAAN KEMITRAAN
Putus kontrak kemitraan Desa Cibojong dan Desa kadu Agung
Perlu perbaikan
Lesson Learn 1. Pendekatan One size fits all bukan pilihan yang tepat dalam menentukan strategi kemitraan PES 2. Untuk membangun kemitraan PES, kerangka IAD dapat digunakan dalam pemetaan permasalahan dasar dan strategi kemitraan PES
Gambar 11 Kerangka IAD untuk Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir untuk Pasokan Air DAS Cidanau
43
1.
2.
3.
4.
Pendekatan yang dilakukan pada kelompok tani heterogen adalah pendekatan individual, namun pendekatan ini akan berdampak pada mahalnya biaya transaksi. Untuk menfasilitasi kebutuhan yang mendesak pada anggota kelompok tani sehingga tidak melakukan penebangan pohon maka diperlukan lembaga keuangan alternatif di tingkat desa, dengan sumber dana difasilitasi oleh FKDC yang memanfaatkan dana dari PT KTI sebagai revolving fund (dana bergulir). Adanya peluang untuk melakukan penjarangan pada jumlah dan diameter tertentu pada 500 pohon per hektar per tahun yang telah ditetapkan dalam kontrak. Disamping kepentingan PT KTI terhadap terpeliharanya tegakan pohon, masyarakat juga membutuhkan hasil tanaman sebagai sumber penghidupan, sehingga tergantung dengan pertumbunan pohon yang maksimal. Dengan peluang penjarangan tersebut maka ruang tumbuh tegakan tidak terbatas, yang akan berdampak pada volume pohon tersebut dan pertumbuhan pohon yang maksimal, sehingga dapat memperoleh hasill tanaman sesuai yang diinginkan masyarakat. Pengkajian jumlah dana yang ditetapkan oleh FKDC untuk petani penyedia jasa lingkungan dengan mempertimbangkan nilai korbanan petani atau laju inflasi sekarang, karena menurut Keser dan Willinger (2007) , Silver (2009) bahwa pelaku (agen) cenderung berkepentingan dalam memaksimumkan keuntungan. Adanya manfaat dalam kemitraan dapat menjadi motivasi dan dorongan bagi para anggotanya untuk terus meningkatkan partisipasinya. Sebaliknya jika kemitraan tidak memberikan manfaat/keuntungan yang besar atau setara korbanan kemungkinan para anggotanya tidak bersedia melanjutkan kemitraan karena permasalahan yang sering muncul adalah ketidakseimbangan antara pihak - pihak yang bermitra dan perbedaan motivasi yang mempengaruhi kedua belah pihak melakukan kemitraan.
Dalam luasnya kompleksitas permasalahan kelembagaan kemitraan, penelitian ini dilakukan untuk penguatan kapasitas kelembagaan kemitraan hulu hili, khususnya kemitraan hulu hilir DAS Cidanau melalui penelusuran karakteristik sumber daya, aturan main yang digunakan yang akan mempengaruhi arena aksi dan perilaku aktor untuk menghasilkan performa kelembagaan kemitraan yang baik. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat menyempurnakan pemahaman dan pengetahuan yang dibutuhkan sebagai referensi pengambilan kebijakan untuk perbaikan aturan main dan situasi aksi kemitraan di DAS Cidanau ke depannya, dan dapat diaplikasikan untuk kelembagaan di DAS yang lain dengan menyesuaikan karakteristik sumber daya, situasi aksi dan kondisi DAS bersangkutan.
44
5. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1.
2.
3.
Kepemilikan lahan petani penyedia jasa lingkungan DAS Cidanau mayoritas adalah hak milik pribadi (private property) sehingga otonom dalam mengambil keputusan dengan opportunity cost memilih yang berbeda, tingkat pemahaman yang beragam melahirkan perbedaan motivasi dalam menjaga dan melanjutkan kemitraan. Regulasi yang sudah berjalan : peraturan perundangan, kontrak yang berlaku dan indogenous knowledge mendorong berbagai pihak untuk berjalan sesuai dengan ketentuan sehingga sangat mendukung dan menjaga kelestarian hutan. Stakeholder utama kemitraan hulu hilir DAS Cidanau yang merupakan key player adalah PT KTI, komunitas petani dan FKDC. Stakeholder pendukung adalah Instansi pemerintahan merupakan dan diklasifikasikan sebagai stakeholder context setter dan stakeholder crowd. Kelembagaan kemitraan saat ini sebagai rule of the game dan player of the game belum optimal. Pendekatan yang diperlukan agar kinerja pemutusan kontrak pada desa Cibojong dan Kaduagung tidak terjadi pada kelompok tani yakni meliputi : a) pendekatan individual untuk kelompok tani yang heterogen; b) pembentukan lembaga keuangan alternatif desa; c) Adanya peluang penjarangan; d) pengkajian jumlah pembayaran yang diberikan pada petani penyedia jasa lingkungan. Saran
1.
2.
Untuk mewujudkan kelembagaan kemitraan hulu hilir yang optimal maka FKDC harus memperbaiki isi dan muatan kontrak berdasarkan hasil kajian terhadap penerapan sistem tanggung renteng, besarnya jumlah pembayaran pada komunitas petani penyedia jasa lingkungan serta penguatan kelembagaan organisasi FKDC. Perlu pendekatan yang intensif terhadap perusahaan lain untuk menambah volunteer yang terlibat dalam transaksi jasa lingkungan sehingga cost sharing tidak hanya terbatas PT KTI. Peran pemerintah dan FKDC sangat sentral dalam hal ini.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air “2th ed”. Bogor (ID) : IPB Press. Asdak C. 2010. Hidrologi Dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai “5th ed”. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Ayu Laksmidewi TP AA. 2010. Pengaruh Faktor Kekompakan, Motivasi, dan Peran Kepemimpinan Ketua Kelompok Terhadap Keberhasilan Usaha Perikanan. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. 4(2): 71-160.
45
Bappeda Propinsi Banten. 2008. Laporan Final Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Pengelolaan DAS Cidanau. Banten. Bowers J. 2005. Instrument choice for sustainable development: an application to the forestry sector. Forest Policy and Economic. 7(2005):97-107. Bungin B. 2011. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya “2th ed”. Jakarta (ID) : Kencana Prenada Media Group. Dick RM, Gregorio MD. 2004. Undrstanding Property Rights. Di dalam : Dick RM and Greogrio MD, [Editor]. Collective Action and Property Rights for Sustainable Development. USA : IFPRI and CAPRI. Engel S, Pagiola S, Wunder S. 2008. Designing payments for environmental services in theory and practice – an overview of the issues. Ecological Economic. 65(2008):663-674. doi:10.1016/j.ecolecon.2008.03.011 FAO (Food and Agriculture Organizatioan of The United Nations). 2004. Payment Schemes for Enviromental Service in Watersheds. Roma : Land and Water Dicussion Paper. Hariadi SS. 2005. Revitalisasi Kelompok Tani sebagai Media Penyuluhan Pertanian Era Globalisasi. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian. 1(2):83–93. Hermanto, Swastika DKS. 2011. Penguatan kelompok tani : Langkah awal peningkatan kesejahteraan petani. Analisisis Kebijakan Pertanian. 9(4):371-390. Hidayat. 2011. Politik agrarian transformatif: studi peluruhan kelembagaan lokal dan kegagalan politik tata kelola agrarian pada komunitas petani di DAS Cidanau Kabupaten Serang Propinsi Banten [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Idrus M. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Yogyakarta (ID) : Erlangga. Irawan P. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta (ID) : DIA FISIP UI. Irsyad F. 2011. Analisis debit sungai Cidanau dengan aplikasi SWAT [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Johnson N, White A, Maitre DP. 2001. Developing Markets for Water Services from Forests : Issues and Lessons for Innovators. Washington DC. Forest Trends. Kalu A R. 2008. Dinamika kelompok tani pada kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di desa Bulue Kabupaten Soppeng. Jurnal Hutan dan Masyarakat. 3(1):001-110. Keser C, Wilingner M. 2007. Theories of behavior in principal-agent relationships with hidden action. European Economic Review. 51(6):15141533. Kasper W, Streit ME. 1998. Institutional Economics : Social Order and Public Policy. Massachussetts. USA (US): The Locke Institute, Edward Elgar Publishing, Inc Northampton. Maila MW, Loubser CP. 2003. Emancipatory Indigenous Knowledge Systems : implications for environmental education in South Africa. South African Journal of Education. 23(4):276-280.
46
Menard C, Shirley MM. 2008. What is new institutional economics. Di dalam: Menard C., Shirley MM, editor. Handbook of New Institutional Economics. Heidelberg: Springer-Verlag. Mayers J. 2005. Stakeholder power analysis. IIED (International Institute for Environment and Development). Nasir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta (ID). Ghalia Indonesia. Nugroho B. 2003. Kajian institusi pelibatan usaha kecil-menengah industri pemanenan hutan untuk mendukung pengelolaan hutan produksi lestari [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. North DC. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives. 5(1): 97-112. Ostrom E. 2008. Doing Institutional Analysis: Digging Deeper than Market and Hierarchies. Di Dalam Menard C dan Shirley MM. editor. Handbook of New Institutional Economics. Berlin (DE): Springer Publishing. Pagiola S, Arcenas A, Platais G. 2004. Can payments for environmental services help reduce property? An exploration of the issues and the evidence to date from latin America. World Develoment. 33(2):237-235. doi: 10.1016/ j.worlddev.2004.07.011 Place F, Otsuka K, Scherr S. 2004. Property Right, Collective Action and Agroforestry. Di dalam : Dick RM and Greogrio MD, [Editor]. Collective Action and Property Rights for Sustainable Development. USA : IFPRI and CAPRI. Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C,. Quinn CH, Stringer LC. 2009. Who’s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for natural resource management. Journal of Environmental Management. 90 (2009) :1933–1949. doi:10.1016/j.jenvman. 2009.01.001. Satori D, Komariah A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Schlager E, Ostrom E. 1992. Property-right regimes and natural resources: A conceptual analyasis. Land Economics. 68(3):249-262. Silver R. 2012. The value of Information in a principal-agent model with moral hazard and ex ante contracting. Games and Economic Behavior. 74(2012):352-365. Slamet Y. 2006. Metode Penelitian Sosial. Surakarta (ID): LPP UNS dan UNS Press. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. Jakarta (ID): PT Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Alfabeta. Suryawan A. 2005. Penentuan dasar biaya kompensasi untuk pembayaran jasa lingkungan dengan memanfaatkan teknologi inderaja (studi kasus : DAS Cidanau, Banten) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Syahyuti. 2007. Kebijakan pengembangan gabungan kelompok tani (GAPOKTAN) sebagai kelembagaan ekonomi di pedesaan. Analisis Kebijakan Pertanian. 5 (1):15-35. Swanson T, Timo G. 2000. Analysis propery rights issues involving plant genetic resources: implication of ownership for economic efficiency. Ecological Economics. 32 (2000) :75-92.
47
Triani A. 2009. Analisis willingness to accept masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau (studi kasus Desa Citaman Kabupaten Serang) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Wunder S. 2006. Are direct payments for environmental services spelling doom for sustainable forest management in tropics?. Ecology and Society. 11(2): 23 [online] URL : http://www.ecologyandsociety.org/vol11/iss2/art23. Yustika AE. 2008. Ekonomi Kelembagaan : Definisi, Teori dan Strategi “2th ed”. Malang (ID): Bayumedia Publishing. Zhang Y, Wildemuth BM. 2009. Qualitative analysis of content. www.ischool.uxexas.edu/~yanz/Content_analysis.pdf[22 januari 2013].
Lampiran 1 Hasil penilaian pengaruh dan kepentingan analisis stakeholder kemitraan DAS Cidanau Instansi PT Krakatau Tirta Industri Komunitas petani hutan Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC) Bappeda Propinsi Banten Dinas Kehutanan Propinsi Banten Dinas Pertanian, Kehutanan, Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Serang Dinas Kehutanan Kabupaten Pandenglang Dinas Pertanian dan Peternakan Propinsi Banten BLHD Propinsi Banten Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Pandenglang Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Serang KSDA Sie wil I serang BPDAS Citarum Ciliwung
P1
P2
Pengaruh P3 P4 5 4 4 5 5 4
5 2 4
5 4 4
4 4 4
4 3 3
5 5 2
4
3
1
P5
K1
K2
Kepentingan K3 K4 5 3 4 5 4 3
4 3 4
23 18 21
5 4 5
4 4 2
4 4 4
3 3 3
20 19 17
3 3 3
4 3 3
4 4 3
2
4
3
17
3
3
2
2
1
2
8
1
2 2
3 3
2 2
2 2
3 3
12 12
2
3
2
2
3
2 2
2 3
2 3
1 2
3 3
K5 4 4 1
21 21 15
2 2 2
1 1 1
12 12 11
3
2
1
11
2
2
1
1
4
3 3
3 3
3 3
1 1
1 1
11 11
12
3
3
3
1
1
11
12 13
2 2
3 3
3 3
1 1
1 1
10 10
Keterangan : P1 = Apabila terlibat dalam menetapkan aturan dan kebijakan, melaksnaakan aturan dan kebijakan, penegakan hukum, pemantauan/pengawasan dalam kemitraan, nilai 5 apa bila menyebutkan seluruhnya, 4 : menyebutkan tiga saja; 2: menyebutan satu saja; 1: tidak melakukan apapun.
48
P2 = P3 =
P4 =
P5 = K1 = K2 =
K3 = K4 =
K5 =
Peran dan partisipasi dalam perencanaan dan pengambilan keputusan dalam kemitraan pembayaran jasa lingkungan; nilai 5 apa bila memberikan kontribusi berupa dana, SDM, fasilitas dan dalam pelaksanaannya. fasilitasi mengadakan forum untuk membahas rencana pengelolaan, mengadakan kerjasama, saling mempengaruhi antara stakeholder dan merubah arah pengelolaan; nilai kan 4 apabila menyebutkan 3; nilai 3 hanya menyebutkan 2; nilai 2 hanya menyebutkan salah satu saja dan jika tidak melakukan apa pun diberi nilai 1. Kewenan an stakeholder terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan, pembangunan sarana dan prasarana, pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan lahan; nila 4 apa bila menyebutkan 3 pint, nilai 3 kewenangan dalam 2 poin; nilai 2 apa bila kewenangan dalam 1 poin saja; apa bila tidak memiliki kewenangan diberi nilai 1. Kondisi sumber daya yang disediakan; nilai 5: sangat baik jika menyebutkan lebih dari 10 poin, nilai 4: jika menyebutkan 7-9 poin, nilai 3: cukup jika menyebut 4 – 6 poin; nilai 2: kurang jika menyebutkan 1-3 poin; jika tidak menyediakan sumber daya diberi nilai 1. Keterlibatan dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasa/evaluasi; nilai 4: keterlibatan dalam 3 poin saja; nilai 3: keterlibatan dalam 2 poin; nilai 2: keterlibatan 1 poin dan apa bila tidak terlibat diberi nilai 1 Manfaat kemitraan PJL; nilai 5 apabila manfaat adalah sebagai mata pencaharian, tugas pokok dan fungsi, konservasi dan dapat berinteraksi dengan orang lain; apabila mendapat 3 manfaat diberi nilai 4; nilai 3 apabila mendapat 2 manfaat; nilai 2 mendapat 1 manfaat dan apabila tidak mendapatkan manfaat diberi nilai 1. Apa bila menyediakan sumber daya manusia, dana, informasi dan fasilitas diberi nilai 5, nilai 4 apabila menyediakan 3 sumber daya, nilai 3: apabila menyediakan 2 sumber daya; nilai 2 apabila menyediakan 1 sumber daya; dan nilai 1 apabila tidak menyediakan sumber daya. Prioritas lokasi desa model pembayaran jasa lingkungan untuk program kegiatan; nilai 5 apabila desa model menjadi prioritas, yakni jika seluruh kegiatannya hanya fokus diberikan pada desa model; prioritas: jika 80% dari kegiatannya di alokasikan untuk desa model; nilai 3 cukup prioritas, jika 60%; nilai 2 kurang menjadi prioritas apabila 40% dan nilai 1 jika tidak menjadi prioritas: kurang dari 20% seluruh alokasi kegiatan konservasi dialokasikan untuk desa model kemitraan Apa bila 100% tergantung terhadap keberadaan sumber daya hutan (hasil hutan, budidaya, konservasi); 80% ketergantungan diberi nilai 80%; nilai 3 ketergantungan 60%; nilai 2 ketergantungan 40% dan jika kurang dari 20% maka diberi nilai 1.
\
49
Lampiran 2 Contoh lembar nota kesepahaman antara PT KTI dan FKDC, dan Kontrak antara FKDC dan Kelompok tani
50
51
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara pada tanggal 5 Nopember 1981 sebagai anak bungsu dari Bapak Salim Gani dan Ibu Rosidah. Pendidikan Sarjana ditempuh di Program Studi Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, lulus pada tahun 2003. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Pascasarjana pada program studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2011 dengan beasiswa dari Kementerian Kehutanan. Penulis saat ini bekerja sebagai fungsional PEH Muda di Kementerian Kehutanan sejak tahun 2003. Sebelumnya magang CPNS di Balai Taman Nasional Alas Purwo Jawa Timur (2004), kemudian ditahun yang sama ditempatkan di BPDAS Saddang Sulawesi Selatan. Tahun 2006 hingga sekarang di Direktorat Perencanaan dan Evaluasi Pengelolaan DAS, Direktorat Jenderal Bina Perencanaan DAS dan Perhutanan Sosial. Karya ilmiah berjudul “Kelembagaan Kemitraan Hulu Hilir untuk Pasokan Air DAS Cidanau” telah diajukan untuk diterbitkan pada Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan