ANALISIS EFEKTIVITAS ZERO RUNOFF SYSTEM PADA LAHAN MIRING DI DAS CIDANAU, BANTEN
YANUAR CHANDRA WIRASEMBADA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Efektivitas Zero Runoff System pada Lahan Miring di DAS Cidanau, Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014 Yanuar Chandra W NIM. F451120161
RINGKASAN
YANUAR CHANDRA WIRASEMBADA. Analisis Efektivitas Zero Runoff System pada Lahan Miring di DAS Cidanau, Banten. Dibimbing oleh BUDI INDRA SETIAWAN dan SATYANTO KRIDO SAPTOMO. Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidanau merupakan DAS yang membentang dari Kabupaten Pandeglang sampai Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Rata-rata curah hujan di DAS Cidanau selama 10 tahun terakhir (2004-2013) cukup tinggi, yaitu sebesar 2,564 mm/tahun. Hal tersebut berdampak positif berupa ketersediaan air yang sangat melimpah. Namun, curah hujan yang tinggi juga memiliki dampak negatif yaitu tingginya aliran permukaan yang dalam istilah teknik biasa disebut dengan runoff. Runoff merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau atau laut. Runoff terjadi apabila tanah tidak mampu lagi menginfiltrasikan air di permukaan tanah karena tanah sudah dalam keadaan jenuh. Runoff juga dapat terjadi apabila hujan jatuh di permukaan yang bersifat impermeabel seperti beton, aspal, keramik, dll. Runoff merupakan penyebab utama terjadinya erosi di beberapa wilayah di Indonesia. Perlu dilakukan upaya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh runoff. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu menerapkan zero runoff system. Zero runoff system (ZROS) merupakan konsep pengelolaan sumber daya air dengan cara menahan atau menampung limpasan permukaan yang terjadi di permukaan atau di dalam tanah sehingga debit limpasan permukaan yang bermuara ke sungai dapat dikurangi. Selain mengurangi debit limpasan, konsep ini juga dapat meningkatkan ketersediaan air di dalam tanah. Untuk menahan atau menampung limpasan permukaan, diperlukan alat bantu berupa bangunan resapan. Bangunan resapan tersebut antara lain rorak, sumur resapan, biopori, raingardens, vegetated filter strips (VFS), dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menduga besaran runoff yang terjadi di lokasi penelitian, 2) mengevaluasi efektivitas konsep zero runoff system, dan 3) mengidentifikasi serta validasi hubungan curah hujan dengan cadangan air tanah di lokasi penelitian menggunakan Zorro Model. Zorro Model adalah persamaan yang digunakan untuk menghitung perubahan kadar air tanah setelah diterapkan ZROS. Penelitian dilakukan di lahan terbuka berupa kebun seluas 8 472 m2 di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Banten. Terdapat empat tahapan dalam penelitian ini. Tahapan pertama yaitu melakukan pemetaan lahan untuk memperoleh peta kontur lahan. Kemudian, data sekunder berupa data curah hujan dan suhu harian serta data fisika tanah dikumpulkan dari instansi terkait. Untuk data primer, dilakukan pengukuran kadar air tanah secara harian menggunakan sensor kelembapan tanah. Langkah berikutnya yaitu membuat bangunan resapan berdasarkan potensi runoff di lokasi penelitian. Terakhir, dilakukan analisis dan simulasi kadar air tanah sebelum dan sesudah diterapkan ZROS. Dalam penelitian ini, bangunan resapan yang dibuat berupa rorak dan saluran pengumpul untuk menghilangkan aliran permukaan. Tidak ada irigasi di lokasi penelitian dan pergerakan kapiler dari air bawah tanah dianggap tidak ada
(nol). Untuk mengetahui perubahan kadar air tanah akibat perlakuan teknik panen air dengan rorak yang dilengkapi saluran pengumpul, dikembangkan model analisis kesetimbangan air tanpa dan dengan aliran permukaan. Debit runoff yang terjadi di lokasi penelitian sebesar 0.00063 m3/dtk. Untuk menekan runoff tersebut, diperlukan 2 rorak utama berdimensi 100 x 100 x 40 cm dan 10 rorak pendukung berdimensi 60 x 60 x 40 cm sehingga total volume rorak yang mampu ditampung sebesar 2.44 m3. Rorak tersebut dilengkapi saluran pengumpul yang menghubungkan rorak satu dengan rorak yang lain. Saluran pengumpul ini juga dapat berfungsi untuk mengalirkan runoff dari lahan ke dalam rorak. Rorak utama dibangun di daerah hulu sedangkan rorak pendukung berada di hilir dari rorak utama. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rorak tersebut mampu menekan runoff dengan cukup signifikan. Hal ini terlihat dari banyaknya tumpukan sedimen yang mengendap di dasar rorak. Indikator efektivitas rorak dalam menampung dan meresapkan runoff di lokasi penelitian dilihat dari perubahan kadar air tanah sebelum dan sesudah diterapkan ZROS. Kadar air tanah dihitung secara harian menggunakan model kesetimbangan air di dalam zona perakaran tanaman. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kadar air tanah tanpa ZROS berkisar antara 0.249 – 0.583 m3/m3 dengan rata-rata sebesar 0.527 m3/m3. Untuk kadar air tanah dengan ZROS berkisar antara 0.501 – 0.583 m3/m3 dengan rata-rata sebesar 0.569 m3/m3. Dari segi besar runoff, ZROS mampu menekan laju runoff tahunan rata-rata dari 35.26% per tahun menjadi 2.81% per tahun. Untuk laju runoff bulanan, ZROS mampu menekan 33.6% rata-rata runoff per bulan menjadi 2.43% per bulan. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan nilai curve number (CN) rata-rata dari sebelum penerapan ZROS sebesar 91 setelah penerapan ZROS sebesar 63. Desain rorak juga dirancang dengan periode ulang 5 tahun sehingga dihasilkan rorak dengan dimensi yang besar dan mampu menampung volume runoff yang cukup tinggi. Model analisis kesetimbangan air tanpa aliran permukaan mempunyai nilai tingkat kepercayaan (R2) yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.606. Nilai R2 tersebut menunjukkan bahwa kinerja model relatif valid dalam mensimulasikan kadar air tanah di zona perakaran. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa teknik panen air (rorak dan saluran pengumpul) efektif mengendalikan aliran permukaan yang ditunjukkan oleh lebih tingginya kadar air tanah di lokasi penelitian. Konsep ZROS ini diharapkan menjadi salah satu inovasi teknologi untuk menekan dan mengurangi limpasan permukaan, khususnya pada musim hujan. Selain itu, zorro model ini juga dapat bermanfaat untuk menentukan langkah dan tindakan yang perlu dilakukan setelah mengetahui gambaran kadar air tanah secara keseluruhan. Kata kunci: bangunan peresapan, kadar air tanah, model kesetimbangan air, runoff, zero runoff system
SUMMARY
YANUAR CHANDRA WIRASEMBADA. Analysis of Zero Runoff System Effectiveness on Oblique Land in Cidanau Watershed, Banten. Under direction of BUDI INDRA SETIAWAN and SATYANTO KRIDO SAPTOMO. Cidanau Watershed is located from Pandeglang to Serang regency in Banten Province. The rainfall average in Cidanau Watershed from past 10 years (20042013) is quite high, 2,564 mm/year. This would be positive and negative impacts. The positive impact was having good water availability, and the negative one was having high runoff potential. Runoff is part of rainfall which flow on the ground surface and going to river, lake or sea. Runoff occurred when soil cannot infiltrate water from ground surface because the soil already in saturated condition. Runoff is one of erosion causal factors in Indonesia. An effort is needed to decrease the impact of runoff. One of the efforts to solve this problem is applying zero runoff system (ZROS). ZROS is water conservation concepts which hold and collect runoff down to the soil so that runoff rate can be decreased. Beside to decrease runoff, ZROS also can increase water availability inside the soil. Permeation structures like infiltration well, infiltration canal, vegetated filter strips, are needed to hold and collect runoff. The objectives of the research were: 1) to estimate runoff rate in research field, 2) to evaluate the effectiveness of zero runoff system, and 3) to identify and validate the relationship of rainfall and spare soil water content using Zorro Model. Zorro Model is an equation used to calculate change of soil water content after ZROS had been applied. The research was conducted in Pondok Kahuru village, subdistric of Ciomas, regency of Serang, Banten Province. In this experiment, infiltration canal and collector channel are constructed as permeation structures. No irrigation was used and contributions of water capillarity movement were zero. Water balance model with and without runoff was developed to identify the change of soil water content in the research field. There are four steps in this research. First step was conducting land surveying to get contour map. Next, soil physic data, daily rainfall and temperature data as secondary data were collected from related institution. For primary data, daily soil water content measuring was conducted using soil moisture sensors. The next step was making permeation structures based on runoff potential in research field. Last, soil water content analysis and simulation before and after ZROS applied was conducted. The analysis result shows that runoff rate in the research field is 0.00063 m3/s. In order to reduce runoff rate, 2 main infiltration canals with 100 x 100 x 40 cm and 10 supported infiltration canals with 60 x 60 x 40 cm are needed so that runoff that can be infiltrated was 2.44 m3. The infiltration canal was equipped with collector channel which connected to others infiltration canal. The collector channel also can be used for direct runoff to the infiltration canal. The main infiltration canals were constructed in the upstream and supported infiltration canals was in downstream. The observation result shows that both infiltration
canal and collector channel can be decreased runoff significantly. This was proven based on many sediments are settled at the bottom of infiltration canal. The effectiveness indicators of infiltration canal for holding and infiltrating runoff based on the differences of soil water content before and after ZROS application. Soil water content are calculated daily use water balance model in the rooting zone. The simulation result indicated that soil water content without ZROS ranging from 0.249 – 0.583 m3/m3 with 0.527 m3/m3 average. Soil water content with ZROS ranging from 0.501 – 0.583 m3/m3 with 0.569 m3/m3 average. ZROS was capable to decrease average annual runoff rate from 35.26% per year to 2.81% per year. For monthly runoff rate, ZROS was capable to decrease 33.6% average monthly runoff rate to 2.43% per month. This was caused by changing of average curve number (CN) from CN before ZROS applied (91) to CN after ZROS applied (63). The design of infiltration canal was designed with 5 years return period so the infiltration canal has quite big dimension and can hol or infiltrate runoff volume highly. Water balance model without runoff has quite high coefficient of determination (R2). The value of R2 is 0.606 and it means that model performance was valid relatively for simulate soil water content in rooting zone. This result indicated that water harvest technique was effective to control runoff which proven by higher soil water content in the research field. ZROS concept was expected can be one of innovation to reduce runoff, especially in wet season. Besides that, Zorro Model also can be used to determine preventive action that needed after knowing whole soil water content. Keywords: permeation structure, runoff, soil water content, water balance model, zero runoff system
Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisam kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS EFEKTIVITAS ZERO RUNOFF SYSTEM PADA LAHAN MIRING DI DAS CIDANAU, BANTEN
YANUAR CHANDRA WIRASEMBADA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Yanto Surdianto, MP
Judul Tesis Nama NRP
: Analisis Efektivitas Zero Runoff System pada Lahan Miring di DAS Cidanau, Banten : Yanuar Chandra Wirasembada : F451120161
Disetujui : Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Budi Indra Setiawan, MAgr Ketua
Dr Satyanto K Saptomo, STP, MSi Anggota
Diketahui oleh : Ketua Program Studi Pascasarjana Teknik Sipil dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Satyanto K Saptomo, STP, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2013 – April 2014 adalah limpasan permukaan, dengan judul Analisis Efektivitas Zero Runoff System pada Lahan Miring di DAS Cidanau, Banten. Terima kasih penulis dan rasa hormat penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Satyanto Krido Saptomo, S.TP, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang senantiasa memberikan saran dan masukan yang bermanfaat agar tesis ini menjadi lebih baik lagi. Tesis ini merupakan bagian dari kerjasama Fakultas Teknologi Pertanian IPB dengan PT. Krakatau Tirta Industri, karena itu penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terlibat baik dari pihak dekanat maupun pihak PT. KTI yang telah membantu kelancaran penelitian ini. Selain itu penulis sampaikan terima kasih kepada keluarga Bapak Nana dan Bapak Rohani di Ciomas yang banyak membantu dan terlibat di dalam penelitian ini. Terima kasih yang tak terhingga juga penulis sampaikan untuk orangtua tercinta, adik serta Syari Wulaningsih atas dukungan, semangat dan kasih sayang yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi pascasarjana. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Sekola Pascasarjana Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan angkatan 2012 yang selalu saling mendukung dalam waktu-waktu yang berkesan selama menjalani studi pascasarjana. Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas doa, dukungan dan semangat bagi penulis. Akhir kata, semoga tesis ini bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Agustus 2014 Yanuar Chandra Wirasembada
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang............................................................................................ 1 Perumusan Masalah .................................................................................... 2 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3 Ruang Lingkup Penelitian ........................................................................... 3 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4 Pendugaan Aliran Permukaan di Lapangan ................................................. 4 Sistem Penampungan dan Peresapan Air Hujan .......................................... 5 Konsep Kesetimbangan Air ........................................................................ 7 Kadar Air Tanah ......................................................................................... 8 Evapotranspirasi ......................................................................................... 9 Infiltrasi ...................................................................................................... 9 Perkolasi ................................................................................................... 10 METODE PENELITIAN ................................................................................... 11 Waktu dan Tempat .................................................................................... 11 Alat dan Bahan ......................................................................................... 11 Tahapan dan Metode Penelitian ................................................................ 12 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................................... 18 Letak Geografis dan Kontur Lahan ........................................................... 18 Iklim ......................................................................................................... 19 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 23 Kondisi Iklim Selama Penelitian ............................................................... 23 Sifat Fisik Tanah ....................................................................................... 25 Kalibrasi Sensor Kelembapan Tanah ......................................................... 27 Pendugaan Runoff di lokasi penelitian ....................................................... 28 Analisis Hujan dan Pendugaan Volume Limpasan .................................... 29 Sistem Penampungan dan Peresapan Air Hujan ........................................ 31 Simulasi Kesetimbangan Air pada ZROS .................................................. 34
Validasi Hasil Simulasi ZROS .................................................................. 37 Efektifitas ZROS dalam Mengendalikan Limpasan Permukaan ................. 39 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 42 Kesimpulan............................................................................................... 42 Saran ........................................................................................................ 43 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 43 LAMPIRAN ...................................................................................................... 47 RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... 60
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Klasifikasi hidrologi tanah berdasarkan tekstur tanah .................................... 4 Presentase fraksi dan kelas tekstur tanah lokasi penelitian ........................... 25 Kadar air, air tersedia dan pori drainase ....................................................... 26 Hasil dan kelas permeabilitas tanah ............................................................. 26 Hasil pengukuran infiltrasi di lokasi penelitian ............................................ 27 Curah hujan rencana berdasarkan periode ulang .......................................... 30 Penentuan nilai koefisien rasional C di lokasi penelitian .............................. 32 Penentuan nilai koefisien limpasan CN di lokasi penelitian ......................... 35 Perubahan nilai CN sebelum dan sesudah diterapkan ZROS ........................ 40
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Rorak yang dilengkapi saluran pengumpul .................................................... 5 Skema konsep kesetimbangan air tanah di lapangan ...................................... 7 Jenis instrumen yang digunakan pada penelitian ini (dari kiri ke kanan: 5TE, EC-5, dan Em50) .................................................................................. 9 4 Wilayah administratif Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang dan letak lokasi penelitian .......................................................................................... 12 5 Rorak yang dibuat di lokasi penelitian ......................................................... 13 6 Proses kalibrasi sensor 5TE dan EC-5 di laboratorium ................................ 14 7 Alat penakar curah hujan yang digunakan selama penelitian ....................... 15 8 Pengambilan tanah di lokasi penelitian menggunakan ring sample .............. 15 9 Pengukuran laju infiltrasi di lokasi penelitian menggunakan mini disk infiltrometer ................................................................................................ 16 10 Pengukuran kadar air tanah di lokasi penelitian ........................................... 16
11 Diagram alir model analisis kesetimbangan air dengan dan tanpa aliran permukaan .................................................................................................. 17 12 Diagram alir penelitian ................................................................................ 18 13 Peta Kontur Lokasi Penelitian ..................................................................... 19 14 Grafik curah hujan rerata tahunan di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang ................................................................................................ 20 15 Pola curah hujan bulanan tahun 2004-2013 di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang ................................................................ 20 16 Distribusi curah hujan dan evapotranspirasi rerata mingguan di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang ...................................... 21 17 Selisih laju hujan dengan evapotranspirasi di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang ................................................................ 21 18 Suhu udara bulanan rata-rata dari tahun 2004-2013 di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang ............................................................. 22 19 Suhu udara bulanan rata-rata dari tahun 2004-2013 di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang ............................................................. 22 20 Pola curah hujan bulanan selama penelitian di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang ................................................................................... 23 21 Distribusi curah hujan dan evapotranspirasi rerata mingguan selama penelitian di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang.......... 24 22 Pola suhu bulanan rata-rata selama penelitian di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang ........................................................................... 24 23 Validasi kadar air tanah hasil pengukuran sensor 5TE (kiri) dan EC-5 (kanan) dengan kadar air aktual ................................................................... 28 24 Distribusi runoff tahunan yang terjadi dari tahun 2004-2013........................ 29 25 Distribusi runoff bulanan yang terjadi dari tahun 2004-2013 ....................... 29 26 Hubungan antara curah hujan dan volume aliran permukaan pada durasi hujan yang berbeda ..................................................................................... 31 27 Gambar rancangan 3D rorak dan saluran pengumpul ................................... 32 28 Gambar rancangan 3D saluran pengumpul .................................................. 33 29 Layout rorak dan saluran pengumpul di lokasi penelitian............................. 34 30 Rorak dan saluran pengumpul hasil rancangan (kiri) dan sedimen yang terkumpul di dasar rorak (kanan) ................................................................. 34 31 Kadar air tanah tanpa sistem peresapan hasil simulasi selama periode penelitian .................................................................................................... 36 32 Kadar air tanah dengan sistem peresapan hasil simulasi selama periode penelitian .................................................................................................... 37 33 Kurva perbandingan kadar air tanah hasil pengukuran dan hasil simulasi .... 38 34 Validasi kadar air tanah hasil pengukuran dan hasil simulasi ....................... 38 35 Perbandingan kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS selama penelitian ... 39 36 Perbandingan kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS pada tahun 2012 ..... 40 37 Pola penurunan runoff tahunan setelah diterapkan ZROS ............................ 41
38 Pola penurunan runoff bulanan setelah diterapkan ZROS ............................ 41 39 Hubungan antara volume runoff yang dapat ditampung rorak terhadap hari hujan ........................................................................................................... 42
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Angka curve number (CN) untuk kondisi AMC II ....................................... 48 Nilai koefisien C pada persamaan rasional .................................................. 50 Nilai variabel p dalam perhitungan evapotranspirasi Blaney-Criddle ........... 50 Nilai variabel A dalam perhitungan infiltrasi mini disk infiltrometer ............ 51 Validasi data suhu global terhadap data suhu milik BMKG Taktakan, Kab. Serang ................................................................................................ 52 Desain rorak dan saluran pengumpul yang digunakan di lokasi penelitian ... 53 Tampilan program penghitung dimensi dan jumlah rorak ............................ 54 Tampilan program simulasi kadar air tanah harian....................................... 55 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2004 ............ 56 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2005 ............ 56 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2006 ............ 56 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2007 ............ 57 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2008 ............ 57 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2009 ............ 57 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2010 ............ 58 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2011 ............ 58 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2012 ............ 58 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2013 ............ 59
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai curah hujan yang tinggi. Salah satu daerah yang mempunyai curah hujan tinggi adalah DAS Cidanau yang membentang dari Kabupaten Pandeglang sampai Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Rata-rata curah hujan di DAS Cidanau selama 10 tahun terakhir (2004-2013) sebesar 2 564 mm/tahun. Hal tersebut berdampak positif berupa ketersediaan air yang sangat melimpah. Hampir sebagian besar sumber air di DAS Cidanau seperti mata air, sungai dan danau terus mengalir sepanjang tahun. Namun, curah hujan yang tinggi juga memiliki dampak negatif apabila tidak dilakukan pencegahan. Salah satu dampak negatif tersebut adalah tingginya aliran permukaan yang dalam istilah teknik biasa disebut dengan runoff. Runoff merupakan sebagian dari air hujan yang mengalir di atas permukaan tanah menuju sungai, danau atau laut (Arsyad 2000). Runoff terjadi apabila tanah tidak mampu lagi menginfiltrasikan air di permukaan tanah karena tanah sudah dalam keadaan jenuh. Runoff juga dapat terjadi apabila hujan jatuh di permukaan yang bersifat impermeabel seperti beton, aspal, keramik, dan lain-lain. Runoff merupakan penyebab utama terjadinya erosi di beberapa wilayah di Indonesia. Runoff yang tinggi mempunyai daya gerus yang tinggi sehingga menyebabkan partikel tanah yang dilaluinya ikut terbawa. Runoff juga mempunyai dampak langsung terhadap kualitas air sungai. Daerah yang memiliki runoff yang tinggi umumnya mempunyai kualitas air sungai yang buruk. Parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap besarnya runoff adalah kekeruhan atau turbiditas. Runoff merupakan salah satu penyebab utama sungai-sungai di Indonesia mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi. Limpasan permukaan ini dapat dengan mudah ditemui pada lahan gundul dan lahan miring. Pada lahan gundul, tidak terdapat penghalang sama sekali sehingga air hujan langsung menuju permukaan lahan. Energi air hujan yang jatuh tidak dapat diredam oleh tajuk tanaman sehingga tetesan air dapat merusak struktur tanah dan berubah menjadi runoff apabila tanah sudah jenuh. Pada lahan miring, air hujan yang jatuh mempunyai kecepatan aliran yang tinggi sehingga air hanya mempunyai sedikit waktu untuk berinfiltrasi. Akibatnya, proses terbentuknya runoff menjadi lebih cepat dan mudah terakumulasi. Peranan pengelolaan sumber daya air harus dapat mengatasi permasalahan yang ditimbulkan oleh limpasan permukaan. Jika permasalahan tersebut tidak dapat diatasi, maka perlu dilakukan upaya untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh runoff. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu menerapkan zero runoff system. Zero runoff system merupakan konsep pengelolaan sumber daya air dengan cara menahan atau menampung limpasan permukaan yang terjadi di permukaan atau di dalam tanah sehingga debit limpasan permukaan yang bermuara ke sungai dapat dikurangi. Selain mengurangi debit limpasan, konsep ini juga dapat meningkatkan ketersediaan air di dalam tanah. Untuk menahan atau menampung limpasan permukaan, diperlukan alat bantu berupa bangunan resapan. Bangunan
2
resapan tersebut antara lain rorak, sumur resapan, biopori, raingardens, vegetated filter strips (VFS), dan lain-lain. Pengelolaan lahan dan sumberdaya air yang kurang tepat menyebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dengan kebutuhan air yang terus meningkat. Perlu adanya upaya pemenuhan kebutuhan air dengan melakukan pengelolaan terpadu terhadap sumberdaya air. Konsep zero runoff system berupaya mengoptimalkan ketersediaan air dengan cara menahan dan meningkatkan kemampuan penyimpanan air pada daerah tersebut sehingga air hujan yang turun tidak mengalir langsung ke laut dalam bentuk runoff. DAS Cidanau merupakan salah satu DAS penting di wilayah Provinsi Banten dengan luas ± 22 620 ha. Secara administrasi, DAS Cidanau berada di Kabupaten Serang dan Kabupaten Pandeglang (Irsyad et. al, 2011). Air yang berasal dari DAS Cidanau sebagian besar digunakan untuk kebutuhan industri dan pemukiman di hilir DAS. Semakin meningkatnya perkembangan wilayah di hilir, terutama di Kota Cilegon menyebabkan semakin meningkatnya pula kebutuhan air. Pada tahun 1990 kebutuhan air wilayah Cilegon untuk industri dan pemukiman hanya 0.87 m3/dtk, kemudian tahun 2000 meningkat menjadi 3.3 m3/dtk dan pada tahun 2010 sebesar 5.7 m3/dtk (IETC, 1999). Diperkirakan, pada tahun 2015 kebutuhan air menjadi 6.9 m3/dtk. Berdasarkan data tersebut, diperlukan upaya untuk meningkatkan ketersediaan air di DAS Cidanau agar kebutuhan air di hilir dapat terpenuhi. Namun, ketersediaan air yang melimpah pada musim hujan belum dimanfaatkan secara optimal. Dengan curah hujan tahunan rata-rata DAS Cidanau sebesar 2 500 mm/tahun, seharusnya masalah mengenai kurangnya ketersediaan air ini dapat teratasi. Hal inilah yang menjadi pusat perhatian pada penelitian ini. Berdasarkan permasalahan yang terjadi di DAS Cidanau, maka dilakukan penelitian untuk mengatasi debit runoff yang tinggi dengan menerapkan konsep zero runoff system. Konsep ini menganalisis dan mendesain bangunan hidrolika yang mudah, murah dan ramah lingkungan untuk mengurangi limpasan permukaan dan mengkonversinya menjadi cadangan air tanah. Implikasi dari reduksi runoff ini yaitu penurunan laju erosi dan peningkatan cadangan air tanah sehingga jumlah air yang tersedia akan cukup memenuhi kebutuhan. Konsep zero runoff system merupakan salah satu alternatif solusi yang mudah diterapkan dalam mengatasi permasalahan limpasan permukaan, terutama di lahan miring.
Perumusan Masalah Penelitian ini dilakukan untuk membuat konsep zero runoff system yang mampu mengurangi aliran permukaan yang ditimbulkan oleh air hujan. Konsep ini berupaya menahan runoff di lahan dengan cara memasukkan aliran permukaan tersebut ke dalam tanah. Kemudian, dilakukan simulasi Zorro Model untuk mengindentifikasi perbedaan kadar air tanah lahan sebelum dan sesudah diterapkan konsep zero runoff system. Oleh karena itu, dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut. 1. Air hujan dan aliran permukaan belum dimanfaatkan secara optimal 2. Simulasi efektifitas zero runoff system menggunakan Zorro Model
3
3. 4.
Validasi hasil simulasi kadar air tanah dengan Zorro Model terhadap data primer yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung di lapangan Belum ada penelitian mengenai upaya mengurangi runoff di lahan miring
Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mengurangi terjadinya genangan air dan aliran permukaan (runoff) pada saat hujan dengan penerapan konsep zero runoff system di lokasi penelitian. Secara rinci, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menduga besaran runoff yang terjadi di lokasi penelitian 2. Mengevaluasi efektifitas konsep zero runoff system 3. Mengidentifikasi dan validasi hubungan curah hujan dengan cadangan air tanah di lokasi penelitian menggunakan Zorro Model
Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian aplikasi zero runoff system adalah sebagai berikut. 1. Dihasilkan inovasi teknologi baru untuk mengelola dan memanfaatkan air hujan baik di lahan pertanian maupun lahan non pertanian 2. Mengurangi potensi terjadinya erosi atau pengikisan lahan yang disebabkan oleh aliran permukaan 3. Sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut terutama di bidang sumberdaya air
Ruang Lingkup Penelitian 1. 2. 3.
4.
Ruang lingkup dari penelitian ini antara lain sebagai berikut. Lahan yang diterapkan konsep zero runoff system terbatas dengan luas kurang dari satu hektar Parameter yang ditinjau yaitu kadar air tanah sesudah penerapan zero runoff system Data primer yakni data kadar air tanah harus mencakup kondisi tanah pada kondisi kering dan basah saling berganti. Maka, pengambilan data primer dilakukan minimal selama satu bulan Simulasi dilakukan selama sepuluh tahun terakhir, yaitu dari tahun 2004 sampai dengan 2013 menggunakan data sekunder
4
TINJAUAN PUSTAKA Pendugaan Aliran Permukaan di Lapangan Prosedur penentuan aliran permukaan yang sudah umum digunakan yaitu Soil Conservation Service Curve Number (SCS-CN). Metode ini dikembangkan oleh United States Department of Agriculture (USDA) pada tahun 1973 dan masih terus dikembangkan hingga saat ini. Metode ini sudah digunakan oleh beberapa peneliti (Steenhuis et.al 1995; Reshma et.al 2010; Kumar et.al 2010; Tejaswini et al. 2011; Luxon & Pius 2013) tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di negara lain karena memberikan hasil yang valid dan konsisten (Kumar & Rishi 2013). Pada metode SCS, runoff (RO) dianggap nol apabila curah hujan (P) 0.2S. S adalah perbedaan kondisi tanah dan tutupan lahan terhadap nilai curve number (CN). Jika curah hujan > 20% dari S, RO dihitung menggunakan persamaan berikut (USDA 1986). 𝑅𝑂 = 𝑆=(
(𝑃 − 0.2𝑆)2 𝑃 + 0.8𝑆
1000 − 10) × 25.4 𝐶𝑁
dimana, 𝑅𝑂 = aliran permukaan (mm) 𝑃 = curah hujan (mm) 𝑆 = kondisi tanah tutupan lahan terhadap CN 𝐶𝑁 = curve number Nilai CN dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi hidrologi tanah antecedent moisture content (AMC), tutupan lahan dan perlakuan tanah (USDA 1986). Angka CN dan kondisi hidrologi tanah tersebut disajikan pada Lampiran 1. Untuk kondisi hidrologi tanah, USDA (1986) mengelompokkan beberapa tekstur tanah ke dalam empat jenis kondisi hidrologi tanah berdasarkan laju infiltrasi minimum (Tabel 1). Tabel 1 Klasifikasi hidrologi tanah berdasarkan tekstur tanah Kondisi Hidrologi A B C D
Tekstur Tanah Pasir, lempung berpasir Lempung, lempung berdebu Lempung liat berpasir Liat, lempung liat, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berdebu
Sumber: USDA (1986)
5
Sistem Penampungan dan Peresapan Air Hujan Sistem penampungan dan peresapan air hujan merupakan sistem drainase untuk mengurangi aliran permukaan akibat curah hujan. Penelitian ini berupaya melakukan konservasi air dengan cara meningkatkan cadangan air pada zona perakaran tanaman melalui pengendalian aliran permukaan (runoff) dengan cara pemanenan hujan (rainfall harvesting) menggunakan rorak dan biopori. Upaya ini merupakan cara yang paling mudah untuk mengkonservasi air. Beberapa penelitian yang sudah dilakukan di beberapa negara (Oni et al. 2008 ; Kumar et al. 2011; Afolayan et al. 2012; Otti & Ezenwaji 2013; Yeasmin & Rahman 2013) menyebutkan bahwa konservasi air memanfaatkan air hujan sangat efektif dan efisien baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Rorak adalah tempat untuk menampung dan meresapkan air yang dibuat di bidang olah atau untuk memperbesar resapan air ke dalam tanah dan menampung tanah tererosi (Surdianto 2012). Faktor terpenting apabila ingin membuat rorak yaitu air hanya boleh tergenang beberapa saat (Balittanah 2011). Umumnya, rorak berukuran panjang 50-100 cm, lebar 25-50 cm dan kedalaman 25-50 cm (Gambar 1). Ukuran rorak dapat disesuaikan dengan kondisi lahan dan curah hujan setempat.
Gambar 1 Rorak yang dilengkapi saluran pengumpul
Pada penelitian ini, dimensi rorak disesuaikan dengan potensi aliran permukaan di lapangan. Aliran permukaan di lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan Metode Rasional, persamaannya adalah sebagai berikut (Chow et al. 1988). Q r = 0.278 𝐶 𝐼 𝐴 dimana, Q r = debit aliran permukaan (m3/dtk) 𝐶 = koefisien limpasan 𝐴 = luas tangkapan hujan (km2) 𝐼 = rerata intensitas hujan (mm/jam) Nilai C merupakan koefisien yang besarnya ditentukan berdasarkan tutupan lahan. Nilai C secara detail disajikan pada Lampiran 2. Untuk nilai I dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Chow et al. 1988).
6
𝐼=
𝑅24 24 2/3 ( ) 24 𝑡
dimana, I = intensitas curah hujan (mm/jam) t = durasi curah hujan (jam) R24 = curah hujan rencana (mm) Curah hujan rencana (R24) pada penelitian ini diperoleh menggunakan analisis frekuensi curah hujan harian maksimum. Periode ulang yang digunakan untuk merancang dimensi saluran pengumpul dan rorak yaitu 5 tahun. Periode ulang tersebut dipilih berdasarkan kondisi di lapangan. Kemudian, metode distribusi yang digunakan yaitu Distribusi Gumbel dengan persamaannya adalah sebagai berikut. 𝑋 = 𝑋̅ + 𝑠𝐾 𝐾=
𝑌𝑡𝑟 − 𝑌𝑛 𝑆𝑛
dimana, 𝑋̅ = nilai rata-rata s = standar deviasi K = faktor probabilitas Ytr = reduced variate Yn = reduced mean yang tergantung pada jumlah sampel n Sn = reduced standard deviation yang tergantung pada jumlah sampel n Aliran permukaan yang timbul di lokasi penelitian dialirkan ke dalam rorak menggunakan saluran pengumpul. Saluran pengumpul ini menyerupai garis-garis air yang mengumpulkan seluruh runoff dan mengalirkannya ke dalam rorak. Penentuan dimensi saluran pengumpul ini berdasarkan potensi runoff yang terjadi di lapangan. Penentuan dimensi tersebut menggunakan persamaan berikut (Chow et al. 1988). 1 𝑄 = 𝐴𝑅2/3 𝑆 1/2 𝑛 dimana, R = jari-jari hidrolik (m) 𝑄 = debit saluran (m3/dtk) 2 S = kemiringan lahan 𝐴 = luas penampang saluran (m ) n = koefisien manning Bentuk penampang saluran pengumpul adalah saluran persegi dengan mempertimbangkan penampang hidrolika terbaik. Persamaan yang digunakan untuk mendesain saluran persegi dengan penampang hidrolik terbaik adalah sebagai berikut (Chow et al. 1988). 𝐴 = 2𝑦 2 𝑙 = 2𝑦 𝑃 = 4𝑦 𝑅 = 0.5𝑦
(8) (9) (10) (11)
7
dimana, A = luas penampang saluran (m2) P = perimeter terbasahkan (m) l = lebar saluran
R = jari-jari hidrolik (m) y = kedalaman aliran
Konsep Kesetimbangan Air Proses kesetimbangan air di dalam zona perakaran tanaman ditunjukkan pada Gambar 2. Irigasi (I) dan curah hujan (P) merupakan air yang masuk ke dalam zona perakaran. Sebagian (I) dan (P) tersebut akan hilang melalui aliran permukaan (Qr) dan perkolasi (DP) yang secara bertahap akan mengisi muka air tanah. Sebagian air tersebut juga akan bergerak ke atas karena gaya kapiler (GW). Evaporasi yang terjadi di permukaan tanah dan tanaman akan mengurangi air di zona perakaran.
Gambar 2 Skema konsep kesetimbangan air tanah di lapangan Berdasarkan skema diatas, kesetimbangan air tanah pada zona perakaran oleh Pereira & Allen (1999) dinyatakan dalam bentuk sebagai berikut. 𝜃𝑖 = 𝜃𝑖−1 +
[(𝑃𝑖 − 𝑄𝑟.𝑖 ) + 𝐼𝑛,𝑖 − 𝐸𝑇𝑐𝑖 − 𝐷𝑃𝑖 + 𝐺𝑊𝑖 ] 1000𝑍𝑟𝑖
dimana, 𝜃𝑖 = kadar air tanah volumetrik di zona perakaran pada hari ke-i (m3/m3) 𝜃𝑖−1 = kadar air tanah volumetrik pada hari sebelumnya (m3/m3) 𝑃𝑖 = curah hujan pada hari ke-i (mm) 𝑄𝑟.𝑖 = runoff pada hari ke-i (mm) 𝐼𝑛,𝑖 = kedalaman irigasi pada hari ke-i (mm) 𝐸𝑇𝑐𝑖 = evapotranspirasi tanaman pada hari ke-i (mm)
8
𝐷𝑃𝑖 𝐺𝑊𝑖 𝑍𝑟𝑖
= perkolasi ke bawah zona perakaran pada hari ke-i (mm) = kontribusi pergerakan kapiler dari air bawah tanah pada hari ke-i (mm) = kedalaman zona perakaran (m)
Pada penelitian ini, upaya untuk mengurangi Qr yaitu dengan membuat lubang resapan atau rorak yang disertai saluran pengumpul untuk menghilangkan runoff. Tidak ada irigasi yang dilakukan di lahan perkebunan ini. Apabila rorak tersebut diasumsikan mampu menahan runoff secara keseluruhan, maka nilai Qr dan GW menjadi tidak ada (nol) sehingga Persamaan (12) menjadi (Surdianto 2012): 𝜃𝑖 = 𝜃𝑖−1 +
[𝑃𝑖 − 𝐸𝑇𝑐𝑖 − 𝐷𝑃𝑖 ] 1000𝑍𝑟𝑖
Persamaan (13) disebut juga zorro model. Persamaan ini digunakan untuk menghitung perubahan kadar air tanah harian setelah penerapan ZROS.
Kadar Air Tanah Kadar air tanah adalah rasio antara massa air pada tanah dengan massa tanah kering tersebut yang diekspresikan dalam bentuk persen (Gong et al. 2003). Air tanah bersifat dinamis, artinya air bergerak secara tetap dari suatu lokasi ke lokasi lain melalui perkolasi, evaporasi, evapotranspirasi, irigasi, presipitasi, limpasan (runoff) dan drainase (Suharto 2006). Aliran permukaan yang ditampung dan diresapkan ke dalam tanah secara langsung akan mempengaruhi kadar air tanah di lahan tersebut. Oleh karena itu, data kadar air tanah sangat diperlukan untuk menilai efektifitas sistem penampungan dan peresapan air hujan yang telah dibuat. Dalam penelitian ini, parameter kunci sebagai indikator berhasil atau tidaknya zero runoff system ini adalah kadar air tanah. Untuk mendapatkan nilai kadar air tanah secara cepat dan mudah, digunakan metode pengukuran tidak langsung dengan memanfaatkan sifat-sifat dielektrik tanah seperti konduktivitas, kapasitansi dan impedansi listrik pada suatu media berpori. Salah satu caranya yaitu menggunakan tensiometer keramik. Tensiometer keramik pertama kali digunakan untuk mengukur kadar air tanah pada tahun 1932 oleh Gardner (Bowo et al. 2008). Seiring berjalannya waktu, prinsip pengukuran kadar air tanah memanfaatkan sifat dielektrik terus berkembang. Salah satunya adalah penggunaan sensor kadar air tanah. Pada penelitian ini, pengukuran kadar air tanah di lapangan menggunakan metode tidak langsung. Metode ini menggunakan sensor dan data logger untuk menyimpan hasil pengukuran sensor. Sensor yang digunakan yaitu sensor kelembapan tanah dengan nomor seri Decagon 5TE dan EC-5. Untuk data logger, jenis yang digunakan yaitu Em50 (Gambar 3). Nilai pengukuran yang dihasilkan dari kedua sensor tersebut tidak dapat ditampilkan secara langsung di data logger, tetapi harus disambungkan dengan perangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak ECH2O Utility. Perangkat lunak ini berfungsi sebagai kontrol sistem. Interval pembacaan data dan penetapan
9
jenis sensor dilakukan melalui perangkat lunak ini. Namun, hasil tersebut masih dianggap tidak representatif sehingga perlu dilakukan kalibrasi sensor.
Gambar 3 Jenis instrumen yang digunakan pada penelitian ini (dari kiri ke kanan: 5TE, EC-5, dan Em50)
Evapotranspirasi Evapotranspirasi adalah peristiwa menguapnya air dari tanaman dan tanah atau permukaan air yang menggenang. Dengan kata lain, besarnya evapotranspirasi adalah jumlah antara evaporasi dan transpirasi (Ahaneku 2011). Pada penelitian ini, metode perhitungan evapotranspirasi menggunakan metode Blaney-Criddle. Metode Blaney-Criddle digunakan untuk menghitung evapotranspirasi potensial berdasarkan data temperatur dan lama penyinaran matahari. Kelebihan dari metode ini yaitu data penyinaran matahari dapat ditentukan berdasarkan lokasi garis lintang sehingga metode ini cocok digunakan apabila data penyinaran matahari sulit diperoleh. Metode ini juga banyak digunakan untuk memperkirakan kebutuhan air tanaman (Triatmodjo 2010). Persamaan Blaney-Criddle mempunyai bentuk sebagai berikut. 𝐸𝑇 = 𝑝(0.457𝑡 + 8.13) dimana, 𝐸𝑇 = Evapotranspirasi Blaney-Cridle (mm/hari) 𝑝 = persentase rerata jumlah jam siang bulanan dalam setahun (Lampiran 4) 𝑡 = temperatur udara harian rata-rata
Infiltrasi Pada penelitian ini, laju infiltrasi diukur menggunakan Mini Disk Infiltrometer (MDI). Alat ini cukup praktis digunakan karena dapat mengukur laju infiltrasi tanah secara langsung di lapangan (on-site). Prinsip kerja MDI sama dengan prinsip tabung mariot (mariotte tube). Air diberikan pada dasar kolom sambil mempertahankan tekanan di atas atau di dasar kolom. Volume air yang keluar dari tabung mariot dan masuk ke dalam tanah diukur berdasarkan perubahan ketinggian muka air pada tabung periot per satuan waktu. Salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam pengukuran infiltrasi menggunakan MDI yaitu penentuan nilai laju penghisapan (suction rate). Kisaran
10
suction rate pada alat MDI yaitu -0.5 – 7 cm (Robichaud et al. 2008). Untuk sebagian besar tanah, suction rate yang direkomendasikan adalah 2 cm. Untuk jenis tanah tertentu, seperti pasir, suction rate yang direkomendasikan adalah 6 cm. Untuk jenis tanah yang padat dan laju infiltrasi sangat lambat, suction rate yang direkomendasikan adalah 0.5 cm (Decagon 2012). Pada alat ini, terdapat beberapa persamaan yang digunakan untuk mengkonversi volume air yang keluar dari tabung mariot menjadi konduktivitas hidrolika. Persamaan yang diutarakan oleh Zhang (1997) memberikan metode yang dapat menentukan nilai konduktivitas hidrolika dari pengukuran infiltrasi kumulatif terhadap waktu. Persamaan tersebut dapat bekerja dengan baik pada infiltrasi di lahan kering. Persamaan tersebut yaitu: 𝐼 = 𝐶1 𝑡 + 𝐶2 √𝑡
(15)
Koefisien 𝐶1 (m/dt) dan 𝐶2 (𝑚/√𝑡) adalah parameter. 𝐶1 merupakan parameter konduktivitas hidrolika, dan 𝐶2 merupakan daya serap tanah (soil sorptivity). Kemudian, nilai konduktivitas hidrolika (k) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut. 𝑘=
𝐶1 𝐴
Koefisien 𝐶1 adalah kemiringan (slope) kurva infiltrasi kumulatif terhadap akar kuadrat waktu, A yaitu nilai yang berkaitan dengan parameter van Genuchten untuk jenis tanah tertentu berdasarkan suction rate dan jari-jari cakram infiltrometer (Lampiran 5).
Perkolasi Secara umum, perkolasi didefinisikan sebagai laju pergerakan aliran air ke dalam lapisan jenuh pada profil tanah yang disebabkan oleh gravitasi (Sarmadian & Mehrjardi 2013). Biasanya, perkolasi terjadi pada saat zona tidak jenuh telah mencapai kapasitas lapang (Arsyad 2000). Pada penelitian ini, istilah perkolasi yang digunakan yaitu deep percolation (DP). Doorenbos dan Pruitt (1977) menyatakan bahwa DP dapat dihitung dengan pendekatan yang lebih sederhana. Pada penelitian ini, perhitungan DP menggunakan pendekatan Doorenbos dan Pruitt. Perhitungan DP diasumsikan bahwa perkolasi terjadi pada saat pemberian air melebihi batas kapasitas lapang (W – WFC) dimana W > WFC. Penghitungan Pendekatan tersebut dinyatakan sebagai berikut. 0 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑊 < 𝑊𝐹𝐶 𝐷𝑃 = { 𝑊 − 𝑊𝐹𝐶 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑊 > 𝑊𝐹𝐶 dimana, 𝐷𝑃 = perkolasi dalam (mm per hari) 𝑊 = simpanan air tanah aktual di zona perakaran 𝑊𝐹𝐶 = simpanan air tanah pada kapasitas lapang (mm)
11
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakuan pada kebun campuran milik warga di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Areal kebun campuran cukup produktif namun tidak terlalu luas yaitu kurang dari satu hektar (8472 m2), dengan tanaman yang ditanam antara lain melinjo, pisang, durian, menteng, rambutan, kelapa dan beberapa jenis tanaman rempah. 2. Lahan di kecamatan Ciomas merupakan bagian hulu dari DAS Cidanau dan berjarak kurang lebih 3 km dari Rawa Danau. Rawa Danau merupakan hulu dari Sungai Cidanau yang merupakan sumber air utama bagi kawasan di hilir DAS Cidanau, terutama daerah industri di Kota Cilegon. 3. Areal kebun ini memiliki kemiringan yang cukup landai dengan kemiringan 13% atau 7.5. Lahan yang miring lebih mudah untuk dilakukan pengamatan dan pemberian perlakuan pada limpasan permukaan. Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, dari bulan November 2013 sampai dengan Mei 2014. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten yang terletak pada koordinat 6°13’03.50” LS dan 10602’44.04” BT. Kecamatan Ciomas terletak di sebelah barat daya dan berjarak kurang lebih 16 km dari pusat kota Serang (Gambar 4). Alat dan Bahan Selama penelitian, alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain sebagai berikut. 1. Peralatan yang digunakan untuk mengambil contoh tanah dan membuat bangunan resapan, antara lain cangkul, satu set ring sample, meteran, sekop, dan pisau 2. Peralatan dokumentasi dan pengambilan data, antara lain kamera digital, Global Positioning System (GPS), dan penakar curah hujan manual 3. Peralatan pemetaan lahan, antara lain theodolit, unting-unting, tapping, target rod, dan kompas 4. Peralatan kalibrasi sensor, antara lain ring sample 6 buah, gelas ukur, sarung tangan, dan wadah berukuran sedang dengan volume 3-5 liter 5. Peralatan untuk mengukur kadar air tanah antara lain sensor 5TE, sensor EC5 dan data logger EM50 untuk menyimpan data hasil pengukuran 6. Seperangkat komputer berbasis Windows yang dilengkapi dengan perangkat lunak Visual Basic Application (VBA), Surfer 10.4, AutoCAD 2013, ECH20 Utility dan Corel Draw X4
12
Gambar 4 Wilayah administratif Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang dan letak lokasi penelitian Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain data curah hujan harian dan suhu rata-rata harian Kecamatan Ciomas selama 10 tahun, peta DAS Cidanau atau peta Kecamatan Ciomas dan data sifat fisik tanah hasil analisis laboratorium. Analisis tanah dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu di laboratorium tanah milik Badan Penelitian Tanah (Balittanah) Bogor.
Tahapan dan Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam beberapa tahapan. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut. Pembuatan Bangunan Peresapan (rorak dan saluran pengumpul) Optimalisasi pemanfaatan air hujan dan pengurangan limpasan permukaan dilakukan dengan cara membuat bangunan peresapan. Teknis pembuatan bangunan peresapan adalah sebagai berikut: 1. Sebelum dilakukan pembuatan bangunan peresapan, langkah pertama yang harus dilakulan adalah melakukan pemetaan lahan. Pemetaan lahan dilakukan menggunakan theodolit untuk mendapatkan peta kontur lokasi penelitian 2. Setelah diperoleh peta kontur, rorak kemudian dibangun dekat titik terjadinya runoff atau limpasan permukaan. Rorak utama dibuat sebanyak 2 buah dengan ukuran 100 x 100 x 40 cm dan rorak pendukung sebanyak 10 buah dengan ukuran 100 cm x 0.6 xm x 0.4 cm. Rorak utama adalah rorak yang diletakkan di sebelah hulu dengan dimensi yang lebih besar sedangkan rorak pendukung adalah rorak yang dibuat dihilir dari rorak utama dengan dimensi yang lebih kecil.
13
3.
4.
5. 6.
Jumlah dan dimensi tersebut ditentukan berdasarkan potensi runoff di lokasi penelitian. Jarak antar rorak disesuaikan dengan jarak tanaman di sekitarnya (Gambar 5) Untuk mengalirkan runoff ke dalam rorak, dibuat saluran pengumpul dari titik terjadinya limpasan permukaan ke dalam rorak. Saluran ini dibuat tidak terlalu dalam dengan ukuran panjang dan lebar 10 x 20 cm. Dimensi saluran pengumpul juga dibuat berdasarkan potensi runoff di lokasi penelitian dan menggunakan prinsip saluran hidrolika penampang terbaik Rorak tidak dibuat dengan jarak teratur, tetapi dibuat mengikuti alur terjadinya limpasan permukaan di lapangan Terakhir, posisi rorak dan saluran pengumpul dipetakan ke dalam peta kontur menggunakan program Surfer 1.10
Gambar 5 Rorak yang dibuat di lokasi penelitian
Kalibrasi Sensor Kadar Air Tanah Prosedur kalibrasi sensor kadar air tanah adalah sebagai berikut. 1. Enam buah ring sample disiapkan, kemudian ring sample beserta tutupnya ditimbang dalam keadaan kosong. 2. Tanah dari lokasi penelitian diambil sebanyak 5 sampai 8 kg kemudian dijemur dibawah terik matahari sampai kering. Selama proses penjemuran, tanah dihaluskan menjadi butiran-butiran tanah yang lebih kecil. 3. Tanah yang sudah kering kemudian dimasukkan ke dalam wadah secara perlahan lahan. Tanah tersebut dipadatkan kemudian diukur menggunakan kedua sensor tanah. Angka hasil pengukuran kemudian dicatat. Setelah diukur, tanah tersebut dimasukkan ke dalam ring sample untuk diukur kadar air tanahnya. Ring sample harus dalam keadaan tertutup rapat dan diberi lakban. 4. Kemudian, tambahkan volume air secara teratur. Pada penelitian ini, penambahan air dilakukan sebanyak 200 ml per perlakuan. Tanah diaduk sampai rata kemudian dipadatkan, setelah itu diukur kembali. Hasilnya dicatat kemudian tanah tersebut dimasukkan ke dalam ring sample. 5. Prosedur nomor 3 diulang kembali sampai tanah menjadi jenuh. Seluruh ring sample yang sudah berisi tanah kemudian ditimbang. Setelah itu, lakban dan
14
6.
salah satu tutupnya dibuka kemudian dimasukkan ke dalam oven pada suhu 100°C selama 24 jam. Tanah yang sudah dioven kemudian ditimbang kembali untuk mengetahui kadar airnya.
Gambar 6 Proses kalibrasi sensor 5TE dan EC-5 di laboratorium Untuk mengetahui kadar air tanah pada tanah tersebut, tanah tersebut harus dihitung volume airnya terlebih dahulu. Untuk menghitung volume air, perlu diketahui massa air pada tanah tersebut. Massa air merupakan selisih dari massa tanah basah dengan massa tanah kering. Selanjutnya, volume air dihitung menggunakan persamaan berikut. 𝑉𝑤 =
𝑚𝑤 𝜌𝑤
dimana, 𝑉𝑤 = volume air (cm3) 𝑚𝑤 = massa air (g) 𝜌𝑤 = massa jenis air, 1 gr/cm3 Maka, kadar air tanah dapat dihitung menggunakan persamaan berikut. 𝜃=
𝑉𝑤 𝑉𝑡
dimana, 𝜃 = kadar air volumetrik (cm3/cm3) 𝑉𝑡 = volume tanah total (cm3) Selanjutnya, kadar air tanah aktual dan kadar air tanah hasil simulasi dibandingkan dan dicari hubungan keduanya menggunakan regresi linear untuk mendapatkan persamaan kalibrasi. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh secara tidak langsung berupa catatan maupun hasil penelitian dari pihak lain. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini yaitu data iklim berupa data curah hujan harian dan data temperatur harian selama 10 tahun terakhir. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan pengukuran langsung di lapangan. Data primer yang digunakan adalah sebagai berikut.
15
1.
Curah hujan harian Curah hujan selama penelitian diukur menggunakan penakar hujan manual (Gambar 7). Alat ini milik Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pertanian Kecamatan Ciomas. Alat ini mengukur curah hujan harian di lokasi penelitian dan pengambilan data dilakukan setiap hari pada pukul 07.00 pagi.
Gambar 7 Alat penakar curah hujan yang digunakan selama penelitian 2.
Sifat fisik tanah Data sifat fisik tanah seperti tekstur tanah, berat jenis, kadar air tanah, konduktifitas hidraulik, dan laju perkolasi diperoleh melalui pengambilan contoh tanah di lapangan. Pengambilan contoh untuk analisis sifat fisik tanah menggunakan ring sample untuk setiap 25 cm lapisan tanah sampai kedalaman 75 cm dari permukaan tanah. Proses pengambilan sampel tanah disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Pengambilan tanah di lokasi penelitian menggunakan ring sample 3.
Laju infiltrasi Pengukuran infiltrasi dilakukan menggunakan Mini Disk Infiltrometer (Gambar 9). Data yang diperoleh menggunakan alat ini berupa data penurunan tinggi muka air terhadap waktu. Data tersebut selanjutnya dikonversi ke dalam laju infiltrasi menggunakan persamaan dan program penghitung yang telah disertakan pada alat tersebut. Program penghitung tersebut dilakukan pada Microsoft Excel 2007.
16
Gambar 9 Pengukuran laju infiltrasi di lokasi penelitian menggunakan mini disk infiltrometer 4. Kadar air tanah Pengukuran kadar air tanah menggunakan sensor kadar air tanah 5TE, EC-5 dan data logger (Gambar 10). Alat ini diatur untuk melakukan pengukuran tiap jam selama minimal satu bulan. Hasil pengukuran kadar air tanah ini digunakan untuk validasi antara hasil perhitungan dan hasil pengukuran aktual di lapangan.
Gambar 10 Pengukuran kadar air tanah di lokasi penelitian Analisis Data Prosedur analisis dan pengolahan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Perhitungan kadar air tanah aktual untuk kalibrasi sensor menggunakan Persamaan (13) b. Perhitungan infiltrasi menggunakan Persamaan (15) dan (16) c. Perhitungan perkolasi menggunakan Persamaan (17) d. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan (14) e. Pembuatan program simulasi kesetimbangan air. Data curah hujan merupakan data curah hujan harian yang terukur dalam penakar curah hujan manual, sedangkan evapotranspirasi merupakan hasil perhitungan. Agar analisis hasil simulasi mendekati kondisi ideal dengan data hasil pengukuran di lapangan maka ditambahkan faktor koreksi untuk parameter hujan a dan evapotranspirasi b maka Persamaan (13) menjadi (Surdianto 2012): 𝜃𝑖 = 𝜃𝑖−1 +
[𝑎𝑃𝑖 − 𝑏𝐸𝑇𝑐𝑖 − 𝐷𝑃𝑖 ] 1000𝑍𝑟𝑖
Faktor koreksi hujan a dan evapotranspirasi b diperoleh dengan membandingkan data hasil simulasi dengan data observasi pada waktu yang sama. Minimalisasi terhadap deviasi dari model (error) dilakukan dengan menggunakan
17
solver pada Microsoft Excel 2007. Perhitungan neraca air disimulasikan dengan menggunakan pemrograman komputer menggunakan Visual Basic Application (VBA) pada Microsoft Excel 2007. Validasi dilakukan dengan menggunakan data hasil pengukuran langsung di lapangan. Hubungan antara hasil model dengan hasil pengukuran digunakan tolak ukur koefisien korelasi (r2) Pearson dengan persamaan sebagai berikut. ∑𝑛𝑖=1(𝐾𝐴𝑢𝑘𝑢𝑟 − ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝐾𝐴𝑢𝑘𝑢𝑟 )(𝐾𝐴𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 − ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝐾𝐴𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 )
𝑟2 =
√∑𝑛𝑖=1(𝐾𝐴𝑢𝑘𝑢𝑟 − ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝐾𝐴𝑢𝑘𝑢𝑟 )2 (𝐾𝐴𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 − ̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅̅ 𝐾𝐴𝑚𝑜𝑑𝑒𝑙 )2 Model analisis kesetimbangan air dan prosedur penelitian dalam bentuk diagram alir masing-masing disajikan pada Gambar 11 dan Gambar 12.
Mulai
Input data iklim dan tanah
Baca data P, ETc, Zr dan RO
Kesetimbangan air: [𝑃𝑖 − 𝐸𝑇𝑐𝑖 − 𝐷𝑃𝑖 ] 𝜃𝑖 = 𝜃𝑖−1 + 1000𝑍𝑟𝑖
Ya
Tanpa RO?
Parameter P, ETc (a,b)
Kalibrasi
Tidak
Error < toleransi?
Tidak
Kesetimbangan air: 𝜃𝑖 = 𝜃𝑖−1 +
[(𝑃𝑖 − 𝑅𝑂) − 𝐸𝑇𝑐𝑖 − 𝐷𝑃𝑖 ] 1000𝑍𝑟𝑖
Data pengamatan (i)
Ya Model: 𝜃𝑖 = 𝜃𝑖−1 +
[𝑎𝑃 − 𝑏𝐸𝑇𝑐 − 𝐷𝑃] 1000𝑍𝑟
Selesai
Gambar 11 Diagram alir model analisis kesetimbangan air dengan dan tanpa aliran permukaan
18
Mulai
Studi literatur dan pemetaan lahan
Pengambilan sampel tanah
Pengumpulan data iklim (CH, T)
Analisis tanah di laboratorium (tekstur, adar air, Ks, BD, ruang pori, permeabilitas)
Analisis Iklim
Hitung Etc, DP, Qr Sistem penampungan dan peresapan aliran permukaan
Simulasi neraca air
Uji validasi model
Tidak Model valid? Ya Selesai
Gambar 12 Diagram alir penelitian
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Kontur Lahan Penelitian dilakukan di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Secara geografis, daerah penelitian terletak pada koordinat antara 10601’43.70” - 106°01’46.93” BT dan 6°13’47.22” - 6°13’45.30” LS. Kecamatan Ciomas merupakan kecamatan terluar di Kabupaten Serang karena berbatasan langsung dengan Kabupaten Pandeglang (BPS Serang 2013).
19
Lokasi berada pada ketinggian 355-375 m dari permukaan laut (dpl) dan termasuk dataran rendah (< 700 m dpl). Jenis tutupan lahan yang dominan yaitu tumbuhan berkayu tinggi diselingi semak belukar. Kemiringan di lokasi penelitian yaitu 13% atau 7.5°. Kemiringan dan perbedaan elevasi di lahan disajikan pada peta kontur berikut.
Gambar 13 Peta Kontur Lokasi Penelitian Lahan yang digunakan sebagai lokasi penelitian merupakan kebun campuran milik warga. Definisi kebun campuran yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu kebun yang ditanami berbagai macam tanaman buah-buahan, palawija maupun sayuran. Total luas kebun di Desa Pondok Kahuru sebesar 44.5% dari seluruh luas desa.
Iklim Lokasi penelitian berupa perkebunan campuran tanpa irigasi di dataran rendah beriklim basah. Ketersediaan data iklim sangat bermanfaat untuk memberikan informasi mengenai potensi suatu daerah, khususnya pengelolaan kawasan yang berkaitan dengan kebutuhan air. Data iklim juga bermanfaat untuk memprediksi pola musim dan penentuan waktu untuk mulai bercocok tanam. Curah Hujan Hasil analisis curah hujan selama 10 tahun (Gambar 14) menunjukkan bahwa lokasi penelitian mempunyai curah hujan tahunan relatif tinggi. Curah hujan di Kecamatan Ciomas berkisar antara 2 120 – 3 678 mm/ tahun dengan rerata curah hujan tahunan sebesar 2 564 mm/tahun. Berdasarkan angka tersebut, dapat diketahui bahwa lokasi penelitian berada pada wilayah beriklim basah.
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
2001
Curah Hujan (mm)
20
Tahun
Gambar 14 Grafik curah hujan rerata tahunan di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang
Des.
Nop.
Okt.
Sept.
Agus.
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Febr.
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Jan.
Curah Hujan (mm)
Pola curah hujan bulanan selama 10 tahun terakhir di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang disajikan pada Gambar 15. Gambar 15 memperlihatkan bahwa rerata curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus, yaitu sebesar 73.7 mm/bulan dan tertinggi pada bulan Januari sebesar 364 mm/bulan. Berdasarkan petazona agroklimat (Oldeman 1975), termasuk ke dalam tipe iklim B2, yaitu 7-9 bulan basah dan 2-4 bulan kering.
Tahun
Gambar 15 Pola curah hujan bulanan tahun 2004-2013 di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang Faktor iklim yang paling berpengaruh terhadap ketersediaan air yaitu curah hujan dan evapotranspirasi. Tinggi hujan dibawah evapotranspirasi merupakan periode kering. Pada periode ini ada kemungkinan terjadinya kelangkaan atau defisit air. Periode defisit air yaitu kondisi ketika besaran curah hujan berada dibawah evapotranspirasi (Surdiyanto 2012). Pada penelitian ini, penetapan kondisi defisit air yaitu curah hujan yang tidak lebih besar dari 20 mm atau kurang lebih 15 mm dari nilai evapotranspirasi. Dari Gambar 16, terlihat bahwa Desa Pondok Kahuru mempunyai curah hujan secara temporal yang tidak merata. Gambar 17 menunjukkan dengan jelas batas antara periode defisit dengan surplus air. Periode defisit terjadi pada minggu ke-29 sampai dengan minggu ke36 (Agustus-September). Pada minggu-minggu tersebut, nilai curah hujan
21
Curah Hujan dan ETp (m)
mendekati nilai ETp. Tingginya evapotranspirasi pada bulan Juli-September dipengaruhi oleh tingginya suhu dan radiasi matahari. 100 80 60 40 20 0 1
6
11
16
21
26
31
36
41
46
51
Minggu KeCH (mm)
ETp (mm)
Gambar 16 Distribusi curah hujan dan evapotranspirasi rerata mingguan di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang
Gambar 17 Selisih laju hujan dengan evapotranspirasi di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang Perhitungan evapotranspirasi (ETp) yang digunakan adalah evapotranspirasi metode Blaney-Criddle. Model evapotranspirasi Blaney-Criddle digunakan apabila data radiasi matahari sulit diperoleh atau tidak tersedia. Evapotranspirasi pada penelitian ini dihitung secara harian dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013. ETp menggambarkan laju maksimum kehilangan air yang ditentukan oleh kondisi iklim. ETp merupakan gambaran kebutuhan atmosfer untuk penguapan (atmospheric demand for evaporation). Secara potensial, evapotranspirasi ditentukan hanya oleh parameter iklim, sedangkan secara aktual evapotranspirasi ditentukan oleh parameter iklim, kondisi tanah dan sifat tanaman. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai ETp bulanan berkisar antara 160 -179 mm/bulan. ETp terbesar terjadi pada bulan Oktober sedangkan ETp terendah terjadi pada bulan Februari.
22
Suhu Hasil analisis suhu selama 10 tahun (Gambar 18) menunjukkan bahwa lokasi penelitian mempunyai suhu yang relatif hangat. Suhu di Kecamatan Ciomas berkisar antara 17.6 – 36.2 °C dengan suhu rata-rata sebesar 27.02 °C. Suhu rata-rata bulanan selama 10 tahun terakhir disajikan pada Gambar 19. Suhu (°C)
27.30 27.10 26.90 26.70
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
26.50
Tahun Rerata Suhu Tahunan
Rata-rata
Gambar 18 Suhu udara bulanan rata-rata dari tahun 2004-2013 di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang
Des.
Nop.
Okt.
Sept.
Agus.
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Febr.
27.40 27.20 27.00 26.80 26.60 26.40
Jan.
Suhu (°C)
Gambar 18 menggambarkan kondisi suhu di lokasi penelitian sangat sesuai untuk kegiatan pertanian dengan kisaran suhu berkisar antara 20-30 °C. Hal ini terlihat dari sebagian besar masyarakat Desa Pondok Kahuru bermatapencaharian sebagai petani. Komoditas utama yang dihasilkan berupa padi, palawija dan melinjo. Gambar 19 memperlihatkan pola suhu udara bulanan rata-rata dari tahun 2004 sampai 2013. Dari gambar tersebut, terlihat bahwa suhu di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas relatif fluktuatif. Suhu tertinggi justru terjadi pada musim hujan, yaitu pada bulan Oktober, sedangkan suhu terendah terjadi pada musim kemarau, yaitu pada bulan Juli.
Tahun Rerata Suhu Bulanan
Rata-rata
Gambar 19 Suhu udara bulanan rata-rata dari tahun 2004-2013 di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang
23
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Iklim Selama Penelitian Pada penelitian ini, data iklim yang diukur secara langsung yaitu curah hujan. Data iklim suhu merupakan data sekunder yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Taktakan, Kabupaten Serang dari tahun 2004 sampai dengan 2010, sedangkan tahun 2011 sampai dengan 2013 diambil dari data global yang disediakan oleh National Climate Data Center (NCDC). NCDC merupakan lembaga non profit milik pemerintah Amerika Serikat yang menyediakan data iklim dari berbagai belahan dunia. Curah Hujan Pengukuran curah hujan di lapangan dilakukan dari bulan November 2013 hingga Mei 2014. Gambar 20 memperlihatkan bahwa selama penelitian, curah hujan relatif cukup tinggi. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari 2014 yang mencapai 634 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan April 2014 yaitu 147 mm.
Curah Hujan (mm)
800 600
Rata-rata
400 200
May-14
Apr-14
Mar-14
Feb-14
Jan-14
Dec-13
Nov-13
0
Bulan
Gambar 20 Pola curah hujan bulanan selama penelitian di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang Gambar 21 dibawah ini menunjukkan periode curah hujan lebih kecil dari evapotranspirasi potensial tidak terjadi selama penelitian. Kondisi ini berarti selama penelitian tidak pernah terjadi kondisi defisit air. Hal ini disebabkan oleh curah hujan selama periode penelitian cukup tinggi. Curah hujan yang tinggi berbanding lurus dengan ketersediaan air, terutama air di dalam tanah. Evapotranspirasi potensial yang terjadi di lokasi penelitian kurang lebih sebesar 5 mm per hari.
24
300 CH
Curah hujan (mm)
250
Etp
200 150 100
50 0 1
3
5
7
9
11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 Minggu Ke-
Gambar 21 Distribusi curah hujan dan evapotranspirasi rerata mingguan selama penelitian di Desa Pondok Kahuru, Kecamatan Ciomas, Kab. Serang Suhu Data suhu yang diperoleh merupakan data sekunder dari dua sumber yang berbeda. Data suhu tahnun 2004 sampai 2010 menggunakan data dari BMKG Serang, sedangkan 2011 sampai 2014 dari website penyedia data iklim secara global. Maka, diperlukan validasi untuk mengetahui kecocokan dua data tersebut. Hasil validasi menunjukkan nilai korelas R2 relatif tinggi. Pada tahun 2004-2005, R2 sangat rendah yaitu kurang dari 0.6, tetapi pada tahun 2006-2010 nilai R2 sangat tinggi, yaitu diatas 0.7. Hal tersebut menunjukkan data suhu global dapat digunakan pada penelitian ini. Hasil validasi tersebut disajikan pada Lampiran 5. Berdasarkan data, suhu harian rata-rata selama penelitian berkisar antara 26.6 °C – 27.4 °C, suhu maksimum berkisar antara 28.5 °C – 31.3 °C dan suhu minimum berkisar antara 23.4 °C – 24.8 °C. Distribusi suhu selama penelitian tersebut disajikan pada Gambar 22. 28.50
Suhu (°C)
28.00 27.50 27.00 26.50 26.00
Suhu bulanan rata-rata
25.50
Rata-rata
May-14
Apr-14
Mar-14
Feb-14
Jan-14
Dec-13
Nov-13
25.00
Bulan
Gambar 22
Pola suhu bulanan rata-rata selama penelitian di Desa Pondok Kahuru, Kec. Ciomas, Kab. Serang
25
Sifat Fisik Tanah Sifat fisik tanah diperlukan untuk mengetahui karakteristik tanah di lapangan. Karakteristik suatu tanah berkaitan erat dengan penyediaan udara dan air untuk tanaman, perkembangan akar dan daya menahan air (Surdianto 2012). Sifat fisik tanah diperoleh melalui analisis laboratorium di Balai Penelitian Tanah (Balittanah) Bogor. Sifat fisik tanah yang dianalisis antara lain kadar air tanah, bulk density, ruang pori total, tekstur tanah dan permeabilitas. Untuk sifat fisik tanah yang diukur secara langsung yaitu laju infiltrasi. Ruang Pori Total dan Tekstur Tanah Ruang pori total di lokasi penelitian relatif tinggi. Ruang pori total berkisar dari 56.5 sampai 61.4, dengan ruang pori tertinggi berada pada lapisan tanah dengan kedalaman 0-25 cm (top soil). Ruang pori total semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman lapisan tanah. Hasil pengukuran ruang pori dan tekstur tanah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Presentase fraksi dan kelas tekstur tanah lokasi penelitian Parameter Ruang pori total (% vol) Tekstur (%): - Pasir - Debu - Liat Kelas Tekstur
Kedalaman (cm) 0-25
25-50
50-75
61.4
58.0
56.5
12 59 29 Lempung liat berdebu
8 54 38 Lempung liat berdebu
6 52 42 Liat Berdebu
Untuk tekstur tanah, jenis tanah yang ada di lokasi penelitian berjenis lempung liat berdebu (silty clay loam). Persentase liat meningkat dengan meningkatnya kedalaman tanah, sedangkan persentase pasir semakin menurun. Artinya, jenis tanah berubah mengikuti kedalaman tanah. Semakin dalam, jenis tanah di lokasi penelitian semakin liat. Kadar liat merupakan kriteria penting sebab liat mempunyai kemampuan menahan air yang tinggi. Tanah yang mengandung liat dalam jumlah tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh. Oleh karena itu, tanah di lokasi penelitian sangat cocok dijadikan sebagai resapan air karena mampu menahan air dengan baik. Kadar Air Tanah Kemampuan tanah menahan atau menyediakan air ditunjukkan dengan persen volume air tersedia, yaitu air yang berada dalam pori pemegang air berada antara titik layu (pF 4.2 dan kapasitas lapang (pF 2.54). Kadar air tanah dan pori drainase pada berbagai kedalaman tanah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan kadar air tersedia tertinggi ditunjukkan oleh lapisan tanah pada kedalaman 0-25 cm dan semakin menurun dengan bertambahnya
26
kedalaman tanah. Untuk pori drainase, lapisan topsoil merupakan lapisan yang paling mudah dalam meresapkan air ke dalam tanah. Lapisan tanah dengan kedalaman 25-50 justru mempunyai pori yang paling kecil dibandingkan lapisan tanah diatasnya maupun dibawahnya. Tabel 3 Kadar air, air tersedia dan pori drainase Kedalaman (cm)
Parameter Kadar air (% vol) - pF 1 - pF 2 - pF 2.54 - pF 4.2 Air Tersedia (% vol) Pori drainase (% vol): - Cepat - Lambat
0-25
25-50
50-75
58.3 41.1 35.9 24.1 11.8
55.7 47.1 43.7 33.4 10.3
54.7 41.1 35.4 25.7 9.7
20.3 5.2
10.9 3.4
15.4 5.7
Permeabilitas Tanah Permeabilitas tanah merupakan kemampuan tanah untuk meloloskan air secara vertikal maupun horizontal (Lokendra et. al 2006). Secara umum, semakin kecil ukuran partikel, semakin kecil juga ukuran pori-pori tanah. Maka, semakin rendah nilai permeabilitasnya, begitu juga sebaliknya. Pada penelitian ini, nilai permeabilitas dilakukan melalui analisis laboratorium di Balittanah Bogor. Hasil pengukuran permeabilitas tersebut disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil dan kelas permeabilitas tanah Kedalaman (cm) 0 - 25 25 - 50 50 - 75 Rata-rata
Parameter Permeabilitas (cm/jam)
Kelas Permeabilitas
12.76 4.9 16.47 11.38
Cepat Sedang Cepat Cepat
Tabel 4 menunjukkan bahwa tanah di lokasi penelitian mempunyai nilai permeabilitas yang berbeda di tiap lapisan kedalaman tanah. Lapisan tanah paling atas (0-25 cm) menunjukkan nilai permeabilitas tanah yang cukup tinggi yaitu sebesar 12.76 cm/jam. Pada kedalaman 25-50, nilai permeabilitas turun menjadi 4.9 cm/jam. Hal ini disebabkan pada lapisan tersebut banyak mengandung liat. Infiltrasi Pengukuran infiltrasi dilakukan secara langsung di lapangan menggunakan mini disk infiltrometer. Prinsip kerja alat ini menyerupai tabung mariot. Laju
27
penurunan elevasi muka air tanah per satuan waktu dicatat kemudian diplot pada kurva untuk memperoleh persamaan garisnya. Pada penelitan ini, pengukuran dilakukan sebanyak dua kali pengulangan. Tabel 5 berikut menampilkan hasil pengukuran infiltrasi di lapangan. Tabel 5 Hasil pengukuran infiltrasi di lokasi penelitian Ulangan 1 Waktu, t (dt) 0 180 360 540 720 900 1080 1260 1440 1620 1800 1980 2160 2340 2520 2700 2880 3060
t 0.00 13.42 18.97 23.24 26.83 30.00 32.86 35.50 37.95 40.25 42.43 44.50 46.48 48.37 50.20 51.96 53.67 55.32
Volume (mL) 90 84 81 78 76 73 71 69 66 64 61 59 57 54 51 49 47 44
Ulangan 2 Infiltrasi (cm) 0.00 0.38 0.57 0.75 0.88 1.07 1.19 1.32 1.51 1.64 1.82 1.95 2.08 2.26 2.45 2.58 2.70 2.89
Waktu, t (dt) 0 180 360 540 720 900 1080 1260 1440 1620 1800 1980 2160 2340 2520 2700 2880 3060
t 0.00 13.42 18.97 23.24 26.83 30.00 32.86 35.50 37.95 40.25 42.43 44.50 46.48 48.37 50.20 51.96 53.67 55.32
Volume (mL) 90 81 78 75 72 70 68 65 63 61 59 57 55 52 50 48 46 44
Infiltrasi (cm) 0.00 0.57 0.75 0.94 1.13 1.26 1.38 1.57 1.70 1.82 1.95 2.08 2.20 2.39 2.52 2.64 2.77 2.89
Hasil tersebut diplot ke dalam grafik kemudian persamaan garis tersebut diatur dalam bentuk polinomial berderajat 2 (y = ax2+bx+c). Nilai a pada persamaan garis tersebut merepresentasikan nilai C1 pada Persamaan (15). Dari grafik tersebut, diperoleh koefisien a pada ulangan 1 dan ulangan 2 berturut-turut sebesar 0.000683 dan 0.000412. Dengan menggunakan Persamaan (16), diperoleh nilai infiltrasi rata-rata di lokasi penelitian sebesar 2.22 mm/jam dengan jenis kondisi hidrologi tanah masuk dalam kategori kelas hidrologi D.
Kalibrasi Sensor Kelembapan Tanah Pada penelitian ini, dibutuhkan data kadar air tanah aktual per hari. Metode yang digunakan untuk mengukur kadar air tanah ini adalah metode tidak langsung. Pemilihan metode ini lebih mudah, cepat dan efisien dibandingkan dengan metode gravimetri. Metode tidak langsung ini memanfaatkan sifat dielektrik tanah sehingga pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan menggunakan sensor yang dilengkapi dengan data logger. Data logger ini berfungsi untuk menyimpan data hasil pengukuran kadar air tanah. Setiap sensor umumnya mempunyai kapasitas pembacaan yang berbedabeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain resistansi pada
28
kabel, kondisi alat, kondisi lingkungan, dan lain-lain. Maka, perlu dilakukan kalibrasi sensor agar hasil pembacaan sama dengan kondisi aktual di lapangan. Kalibrasi sensor dilakukan sebelum sensor tersebut digunakan di lapangan. Penentuan kadar air aktual dilakukan dengan metode gravimetri agar diperoleh nilai kadar air aktual yang lebih akurat. Pada penelitian ini, digunakan ring sample berdiameter 4.98 cm dan tinggi 5.2 cm, sehingga volume sampel tanah yang bisa ditampung sebesar 101.33 cm3. Volume tanah yang digunakan untuk kalibrasi sebanyak 2 000 ml. Pengeringan tanah menggunakan oven dilakukan selama 24 jam pada suhu 100°C di Laboratorium Mekanika Tanah, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Data hasil pengukuran sensor dan kadar air aktual dibandingkan dan diplot pada grafik Gambar 23.
Kadar Air Aktual
0.600
0.600 y = 0.8548x + 0.077 R² = 0.924
y = 1.2104x + 0.0213 0.400 R² = 0.8223
0.400
0.200
0.200
0.000 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400
0.000 0.000
Kadar Air Hasil Pengukuran 5TE
0.200
0.400
0.600
Kadar Air Hasil Pengukuran EC-5
Gambar 23 Validasi kadar air tanah hasil pengukuran sensor 5TE (kiri) dan EC-5 (kanan) dengan kadar air aktual Gambar 23 menunjukkan bahwa sensor EC-5 mempunyai nilai korelasi R2 (0.92) lebih besar dibandingkan dengan sensor 5TE (0.82). Hal ini disebabkan sensor EC-5 merupakan sensor yang keluarannya hanya berupa kadar air tanah, sedangkan sensor 5TE selain mengukur kadar air tanah juga mengukur suhu dan konduktifitas listrik tanah. Perbedaan fungsi ini menyebabkan kapasitas dan kualitas kedua sensor ini berbeda.
Pendugaan Runoff di lokasi penelitian Curah hujan yang jatuh di lapangan tidak seluruhnya dapat terinfiltrasi ke dalam tanah. Sebagian dari curah hujan tersebut mengalir di permukaan tanah dalam bentuk runoff. Limpasan permukaan yang terjadi di lapangan terbilang cukup tinggi. Limpasan permukaan dihitung menggunakan Persamaan (1) secara harian dari tahun 2004 dan 2013. Hasil perhitungan runoff tersebut disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 24. Gambar 24 menunjukkan bahwa runoff yang terjadi di lokasi penelitian berkisar antara 700 - 1 500 mm/tahun. Angka tersebut cukup besar sehingga perlu penangangan agar runoff tersebut dapat ditekan. Rata-rata, 35.26% dari curah hujan per tahun di lapangan tidak dapat dimanfaatkan dan menjadi runoff. Angka tersebut apabila ditekan dan diresapkan ke dalam tanah, maka manfaat yang diperoleh akan sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Gambar 25 menunjukkan distribusi runoff bulanan dari tahun 2004-2013.
RO
CH
2006
Besaran (mm)
4000
2005
29
3000 2000 1000
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2004
0
Tahun
Gambar 24 Distribusi runoff tahunan yang terjadi dari tahun 2004-2013
Besaran (mm)
400
RO
CH
300 200 100
Des.
Nop.
Okt.
Sept.
Agus.
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Febr.
Jan.
0
Bulan
Gambar 25 Distribusi runoff bulanan yang terjadi dari tahun 2004-2013 Gambar 25 memperlihatkan bahwa jumlah runoff yang terjadi berbanding lurus dengan curah hujan. Rata-rata, 33.6% dari curah hujan bulanan di lapangan tidak dapat dimanfaatkan dan menjadi runoff. Pada musim hujan antara bulan November sampai Maret, potensi runoff sangat tinggi. Apabila runoff ini dapat ditekan dan diresapkan ke dalam tanah, maka cadangan air pada musim kemarau (Mei sampai Oktober) akan meningkat dan kemungkinan masalah ketersediaan air dapat teratasi.
Analisis Hujan dan Pendugaan Volume Limpasan Analisis hujan dan pendugaan volume limpasan sangat diperlukan untuk menentukan jumlah dan dimensi bangunan peresapan (rorak dan saluran pengumpul). Prediksi jumlah dan laju runoff secara tepat sangat sulit untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya faktor yang sulit ditentukan. Pendekatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menetapkan debit maksimum runoff agar dapat merencanakan saluran air, rorak, bendung, teras, dan saluran penyalur air lainnya. Untuk dimensi saluran tersebut, diperlukan curah hujan rencana (R24) dengan periode ulang tertentu. Oleh sebab itu, perlu diketahui besarnya hujan maksimum harian yang mungkin terjadi untuk memprediksi
30
volume aliran permukaan yang harus ditampung sehingga dapat direncanakan jumlah dan dimensi rorak yang perlu dibuat. Pada penelitian ini, analisis frekuensi curah hujan untuk menentukan curah hujan rencana menggunakan distribusi Gumbel dengan periode ulang 5 tahun. Periode ulang ini memiliki peluang kejadian (P) sebesar 21.37%. Umumnya periode ulang 5 tahun digunakan untuk mendesain saluran drainase mikro. Curah hujan rencana atau curah hujan maksimum harian dengan periode ulang 5 tahun diperoleh dari hasil perhitungan sebesar 111.08 mm dengan peluang kejadian 21.37%. Curah hujan rencana yang diharapkan akan terjadi (R Tr), peluang kejadian (P) dan periode ulang (Tr) dari data hujan selama 10 tahun (2004-2013) disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Curah hujan rencana berdasarkan periode ulang Tr (tahun)
YTr
RTr (mm/hari)
Peluang (P)
1 2 3 4 5 10 25
-1.93 0.37 0.90 1.25 1.50 2.25 3.20
37.42 86.76 98.26 105.63 111.08 127.18 147.52
142.98% 49.72% 34.86% 26.72% 21.37% 9.01% 0.67%
Tabel 6 menunjukkan bahwa semakin besar curah hujan rencana atau semakin besar periode ulang, semakin kecil peluang terjadinya dan semakin lama interval kejadiannya. Dalam penelitian ini, digunakan curah hujan rencana sebesar 111.08 mm/hari dengan periode ulang 5 tahun. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir hingga saat ini (2004-2014), curah hujan yang melebihi 111.08 mm/hari terjadi selama 4 kali, yaitu pada tahun 2003, 2004, 2009 dan 2014. Kemungkinan terjadinya curah hujan lebih besar dari 111.08 mm/hari yaitu akan terjadi 5 tahun kemudian dengan peluang kejadian sebesar 21.37%. Data curah hujan di lokasi penelitian diperoleh dari data hasil pengamatan menggunakan penangkar hujan manual. Maka, prediksi volume aliran permukaan dapat dilakukan dengan membuat skenario kejadian hujan dengan durasi 2, 3, 4 dan 5 jam. Berdasarkan penelitian Van Breen di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, lamanya durasi hujan terkonsentrasi selama 4 jam dengan curah hujan sebesar 90% dari jumlah hujan selama 24 jam (Susilowati & Kusumastuti 2010). Hubungan antara curah hujan dan volume aliran permukaan pada berbagai durasi hujan dalam bentuk grafik disajikan pada Gambar 26. Volume aliran permukaan dipengaruhi oleh volume curah hujan harian dan durasi hujan. Aliran permukaan atau runoff merupakan selisih antara curah hujan dengan laju infiltrasi dikalikan dengan luas lahan. Laju infiltrasi menggunakan data hasil pengukuran di lapangan seperti disajikan pada Tabel 5 sebelumnya. Gambar 26 terlihat bahwa semakin lama durasi hujan yang terjadi, volume aliran permukaan semakin menurun. Volume maksimum aliran permukaan terjadi pada durasi hujan 2 jam. Semakin besar curah hujan, maka volume aliran permukaan juga semakin besar. Apabila terjadi hujan sebesar 100 mm selama 2 jam, maka volume aliran permukaan yang dihasilkan sebesar 1.93 m3. Dengan curah hujan yang sama, pada durasi hujan 3 jam diperoleh volume aliran permukaan sebesar
31
0.49 m3. Dengan menggunakan durasi 2 jam, maka nilai aliran permukaan merupakan nilai yang terbesar sehingga peluang terjadinya banjir atau overflow menjadi lebih kecil. 5.0
Volume Limpasan (m3)
4.0 3.0 2.0
Durasi hujan 2 jam, I = 4.44 mm/jam
1.0
Durasi hujan 3 jam, I = 6.66 mm/jam
0.0 -1.0
0
50
100
150
200
Durasi hujan 4 jam, I = 8.88 mm/jam Durasi hujan 5 jam, I = 11.10 mm/jam
-2.0 -3.0 -4.0
Curah hujan (mm)
Gambar 26 Hubungan antara curah hujan dan volume aliran permukaan pada durasi hujan yang berbeda
Sistem Penampungan dan Peresapan Air Hujan Pada penelitian ini, sistem penampungan dan peresapan air hujan yang dibuat adalah rorak yang disertai saluran pengumpul. Dimensi dan jumlah rorak dibuat berdasarkan potensi limpasan permukaan yang terjadi di lapangan. Faktorfaktor yang perlu diperhatikan dalam pembuatan rorak dan saluran pengumpul antara lain nilai koefisien rasional (C), intensitas hujan maksimum (I), luas lahan berpotensi runoff (A) dan laju infiltrasi lahan. Penentuan nilai koefisien rasional C dihitung menggunakan sistem komposit. Lokasi penelitian memiliki lima jenis tutupan lahan yang berbeda dengan luas lahan yang berbeda pula. Dengan sistem komposit, nilai C yang diperoleh lebih akurat dan representatif. Tabel 7 menunjukan penentuan nilai C di lokasi penelitian berdasarkan jenis dan luas tutupan lahan. Tabel 7 menunjukkan luas lahan dan nilai koefisien C yang digunakan. Kondisi lokasi penelitian di beberapa titik mampu menekan limpasan permukaan, sedangkan beberapa titik lainnya tidak mampu. Tutupan lahan penyumbang limpasan permukaan terbesar yaitu lahan yang tertutup paving block dan jalan setapak. Nilai koefisien C terpilih berdasarkan pengamatan dan perhitungan di lapang yaitu 0.5. Desain rorak dan saluran pengumpul menggunakan curah hujan rencana (R24) periode ulang 5 tahun dengan distribusi Gumbel. Distribusi Gumbel merupakan distribusi yang representatif dan mampu mewakili distribusi curah hujan di Indonesia. Beberapa penelitian menggunakan distribusi Gumbel dalam penentuan curah hujan rencana di Indonesia (Rinaldi 2010; Hamdani 2013).
32
Dengan menggunakan Persamaan (5) dan (6) diperoleh nilai R24 sebesar 111.08 mm/hari. Tabel 7 Penentuan nilai koefisien rasional C di lokasi penelitian No
Jenis Tutupan Lahan
Nilai C
Luas Lahan (m2)
Persentase
C*%
1
Pepohonan diselingi semak belukar
0.15
2 862
33.78%
0.051
2 3 4 5
Rerumputan diselingi semak belukar Lahan paving block Lahan terbuka Jalan setapak (tanah yang dipadatkan)
0.22 0.9 0.5 0.8
1 080 3 035 1 198 298
12.74% 35.82% 14.14% 3.51%
0.028 0.322 0.071 0.028
2.57
8 472
100%
0.500
TOTAL NILAI C YANG DIGUNAKAN
0.500
Pada perencanaan desain saluran, digunakan durasi hujan (tc) sebesar 2 jam sehingga diperoleh nilai intensitas hujan (I) menggunakan Persamaan (4) sebesar 24.26 mm/jam. Durasi hujan 2 jam dipilih karena pada durasi hujan tersebut, aliran permukaan berada pada kondisi maksimum. Susilowati dan Kusumastuti (2010) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa rata-rata durasi hujan di Indonesia sebesar 4 jam dengan curah hujan 90% terkonsentrasi dari jumlah hujan selama 24 jam. Namun, untuk keperluan desain sistem penampungan dan peresapan air hujan dipilih kemungkinan durasi hujan 2 jam untuk memperkecil resiko terlampauinya peluang terjadi banjir. Untuk pendugaan limpasan permukaan, dengan menggunakan Persamaan (3) diperoleh nilai limpasan permukaan sebesar 0.00064 m3/dt. Angka tersebut sudah dikurangi laju infiltrasi di lapang sebesar 2.22 mm/jam atau 0.00018 m3/dt. Untuk menghilangkan runoff sebesar 0.00063 m3/dt di lokasi penelitian, dibangun dua buah rorak utama berdimensi 100 x 100 x 40 cm. Kedua buah rorak utama ini diletakkan di hulu lokasi penelitian. Kemudian, untuk menopang kinerja rorak utama, diperlukan rorak tambahan sebanyak 10 buah dengan dimensi 60 x 60 x 40 cm. Rancangan dari rorak dan saluran penampung dalam bentuk tiga dimensi disajikan pada Gambar 27, sedangkan rancangan lengkap dalam bentuk proyeksi majemuk disajikan pada Lampiran 6.
Gambar 27 Gambar rancangan 3D rorak dan saluran pengumpul
33
Untuk mengalirkan limpasan permukaan yang mengalami overflow pada rorak, diperlukan saluran pengumpul. Saluran ini berfungsi menampung dan mengalirkan runoff ke dalam rorak. Dimensi atau ukuran saluran ini berdasarkan potensi runoff yang terjadi di lapangan. Hasil perhitungan runoff menggunakan Persamaan (3), diperoleh laju runoff di lapangan sebesar 0.001 m3/dtk. Dengan menggunakan Persamaan (7) sampai (11), diperoleh dimensi saluran pengumpul sesuai dengan kriteria penampang hidrolik persegi terbaik yaitu 3 cm untuk kedalaman dan 6 cm untuk lebar saluran. Dimensi saluran hasil perhitungan tersebut merupakan dimensi saluran minimum. Artinya, untuk mengalirkan runoff sebesar 0.001 m3/dtk, diperlukan saluran dengan lebar 6 cm dan kedalaman 3 cm. Runoff yang mengalir akan memenuhi seluruh kedalaman saluran. Oleh karena itu, untuk keamanan dan memperkecil peluang terjadinya banjir, dimensi saluran pengumpul perlu ditambahkan. Dimensi saluran pengumpul yang ditetapkan yaitu kedalaman 10 cm (termasuk freeboard 3 cm) dan lebar 20 cm. Rancangan dari saluran pengumpul dalam bentuk tiga dimensi disajikan pada Gambar 28.
Gambar 28 Gambar rancangan 3D saluran pengumpul Rorak dan saluran pengumpul diletakkan secara menyebar di lokasi penelitian dan tidak tergantung oleh jarak antar rorak. Rorak utama diletakkan di bagian hulu sedangkan rorak tambahan diletakkan di bagian tengah sampai hilir. Seluruh badan rorak terbuat dari tanah agar dapat meresapkan air ke dalam tanah. Pada dasar rorak, boleh ditambahkan serasah agar dapat menambah daya serap tanah. Untuk saluran pengumpul, dibuat searah kontur dan menghubungkan rorak satu dengan rorak lainnya. Pemetaan rorak dan saluran pengumpul disajikan pada Gambar 29. Hasil rancangan atau desain tersebut kemudian diterapkan di lokasi penelitian (Gambar 30). Rorak utama yang mempunyai dimensi lebih besar dibandingkan rorak tambahan diletakkan di hulu lokasi penelitian agar dapat menampung dan mengurangi energi kinetik runoff secara signifikan. Pengurangan energi kinetik ini dimaksudkan agar runoff tidak bersifat erosif dan sedimen yang terbawa sebagian besar dapat ditampung. Hasil pengamatan menunjukan bahwa rorak yang dibuat mampu mengurangi runoff yang terjadi di lapangan dengan signifikan. Namun, akibat dari upaya pengurangan runoff, kedalaman rorak menjadi semakin dangkal akibat adanya sedimen yang menumpuk di dasar rorak (Gambar 30). Oleh karena itu, diperlukan upaya perawatan yang kontinyu agar rorak dapat digunakan secara optimal. Dari segi keandalan, dimensi rorak dibuat berdasarkan periode ulang 5
34
tahun sehingga peluang terjadinya banjir overflow hanya terjadi sekali dalam 5 tahun.
Gambar 29 Layout rorak dan saluran pengumpul di lokasi penelitian
. Gambar 30 Rorak dan saluran pengumpul hasil rancangan (kiri) dan sedimen yang terkumpul di dasar rorak (kanan)
Simulasi Kesetimbangan Air pada ZROS Model simulasi zero runoff system dibuat berdasarkan analisis kesetimbangan air. Simulasi ZROS perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan kadar air tanah di lokasi penelitian tanpa perlakuan penampungan dan peresapan air hujan (rorak dan saluran pengumpul). Parameter yang digunakan sebagai input yaitu aliran permukaan (Qr), curah hujan (P) dan evapotranspirasi (ETc). Perhitungan aliran permukaan menggunakan metode SCS Curve Number. Pada simulasi ini, penentuan nilai koefisien limpasan CN dihitung menggunakan sistem komposit. Lokasi penelitian memiliki lima jenis tutupan lahan yang berbeda dengan luas lahan yang berbeda pula. Dengan sistem komposit, nilai CN yang diperoleh lebih akurat dan representatif. Tabel 8
35
menunjukan penentuan nilai CN di lokasi penelitian berdasarkan jenis dan luas tutupan lahan dengan nilai CN terpilih sebesar 91. Tabel 8 Penentuan nilai koefisien limpasan CN di lokasi penelitian No
Jenis Tutupan Lahan
Nilai C
Luas Lahan (m2)
Persentase
C*%
1
Pepohonan diselingi semak belukar
86
2 739
32.33%
28
2 3 4 5
Rerumputan diselingi semak belukar Lahan paving block Lahan terbuka Jalan setapak (tanah yang dipadatkan)
84 98 89 89
1 080 3 035 964 654
12.74% 35.82% 11.38% 7.72%
11 35 10 7
446
8 472
100%
91
TOTAL NILAI C YANG DIGUNAKAN
91
Perhitungan runoff pada simulasi ini menggunakan Persamaan (1) dan (2). Runoff dihitung secara harian dengan input berupa CN dan curah hujan (P). Syarat terjadinya runoff menurut metode SCS-CN yaitu curah hujan melebihi 20% dari nilai S (kondisi tutupan lahan berdasarkan nilai CN). Pada kasus ini, runoff akan terjadi di lapangan apabila curah hujan diatas 5.26 mm. Perhitungan runoff dilakukan secara harian menggunakan pemrograman bahasa Basic pada Microsoft Excel. Tampilan program penghitung runoff harian dari tahun 2004 sampai 2013 disajikan pada Lampiran 7 dan 8. Simulasi kesetimbangan air pada ZROS menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007 yang dilengkapi fasilitas Visual Basic Application (VBA). Data kadar air tanah pada kondisi awal ditentukan berdasarkan data kadar air tanah di kedalaman 0-25 cm pada pF 2.54 hasil pengukuran laboratorium. Terdapat dua simulasi kesetimbangan air pada ZROS, yaitu simulasi dengan aliran permukaan dan tanpa aliran permukaan. Simulasi dilakukan dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2013 dan simulasi selama periode penelitian berlangsung (1 November 2013 sampai 31 Mei 2014). Pada sub bab ini, pembahasan difokuskan pada simulasi kesetimbangan air pada ZROS selama periode penelitian.
Simulasi ZROS dengan Aliran Permukaan Simulasi ini merupakan simulasi kesetimbangan air pada ZROS sebelum dibangun sistem penampungan dan peresapan air hujan. Artinya, pada kondisi ini, curah hujan yang jatuh di lapangan tidak dapat diresapkan sehingga sebagian besar dari curah hujan tidak dapat dimanfaatkan dan terbuang dalam bentuk runoff. Pada simulasi ZROS, terdapat lima parameter utama antara lain curah hujan CH), kadar air (KA), titik layu permanen (WP), kapasitas lapang (FC) dan kondisi stres (SC). Titik layu permanan (wilting point) adalah kondisi kadar air tanah terendah yang dapat diserap oleh akar tanaman. Apabila tanaman dalam kondisi ini, tanaman akan layu kemudian mati. Kapasitas lapang (field capacity) yaitu jumlah air terbanyak yang dapat ditahan oleh tanah terhadap gaya gravitasi (Arsyad 2000). Kondisi stres (stress condition) merupakan kondisi kadar air yang
36
berada pada level rendah (kurang 50% dari kapasitas lapang). Pada kondisi SC, tanaman menjadi layu namun masih dapat segar kembali apabila diberikan irigasi (Abdurrachman et al. 2006). Nilai kadar air tanah harian pada kedalaman 25-50 cm hasil simulasi disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 31. Gambar 31 menunjukkan bahwa nilai kadar air tanah hasil pengukuran dan model secara grafis menunjukkan pola yang serupa. Pola kadar air tanah mengikuti pola curah hujan. Pada periode tidak terjadi hujan, kadar air tanah menurun secara bertahap. Demikian pula, pada saat terjadi hujan maka kadar air tanah kembali meningkat. 0 20
0.5
40 0.4
60
0.3
80 100
0.2
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
120 0.1
0.0 01-Nov-13
140
160 11-Dec-13 CH
20-Jan-14 KA
01-Mar-14 WP
10-Apr-14 FC
20-May-14
SC
Gambar 31 Kadar air tanah tanpa sistem peresapan hasil simulasi selama periode penelitian Kadar air tanah berada pada kondisi stres terjadi pada minggu pertama bulan November. Hujan yang terjadi pada minggu kedua bulan November mampu menaikkan kadar air tanah hingga diatas kapasitas lapang. Secara umum, kadar air tanah tanpa penerapan ZROS terlihat cukup baik dan memiliki tingkat fluktuasi yang tidak signifikan. Hal tersebut disebabkan penelitian dilakukan pada musim hujan sehingga penurunan kadar air tanah tidak terlihat secara nyata. Melalui simulasi ini, kadar air tanah dapat dikontrol dan diketahui secara harian. Prediksi kadar air tanah yang mencapai batas titik layu permanen juga dapat diketahui. Simulasi ini sangat bermanfaat dan cocok untuk mengetahui perubahan kadar air tanah khususnya di bidang pertanian. Melalui simulasi ini, tindakan preventif dapat dilakukan agar kondisi tanah tetap menyediakan kadar air tanah yang cukup. Simulasi kesetimbangan air pada ZROS dengan aliran permukaan atau tanpa sistem peresapan secara lengkap dari tahun 2004 sampai 2013 disajikan pada Lampiran 9 sampai Lampiran 18.
Simulasi ZROS Tanpa Aliran Permukaan Simulasi ini merupakan simulasi kesetimbangan air pada ZROS setelah dibangun sistem penampungan dan peresapan air hujan. Artinya, pada kondisi ini, curah hujan yang jatuh di lapangan diasumsikan seluruhnya dapat diresapkan sehingga runoff menjadi tidak ada atau nol. Nilai kadar air tanah harian pada
37
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 20 40 60 80 100 120 140 160
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 01-Nov-13
11-Dec-13 CH
Gambar 32
20-Jan-14 KA
01-Mar-14 WP
10-Apr-14 FC
CH (mm)
kedalaman 25-50 cm hasil simulasi disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 32. Gambar 32 juga menunjukkan bahwa nilai kadar air tanah hasil pengukuran dan model secara grafis juga menunjukkan pola yang serupa dengan curah hujan. Perbedaan yang terlihat yaitu pada simulasi tanpa aliran permukaan, kadar air tanah berada pada level yang cukup. Hal tersebut terlihat dari kurva kadar air tanah hampir seluruhnya berada di atas kapasitas lapang. Hal ini disebabkan runoff yang terjadi di lokasi penelitian dapat diresapkan ke dalam tanah sehingga dapat menambah cadangan air tanah.
20-May-14
SC
Kadar air tanah dengan sistem peresapan hasil simulasi selama periode penelitian
Pada tanggal 21 Januari 2014 curah hujan yang terjadi sebesar 134 mm/hari sedangkan curah hujan rencana sebesar 111 mm/hari. Pada kondisi ini, terjadi kondisi dimana curah hujan melampaui curah hujan rencana. Kondisi ini mengakibatkan rorak dan saluran pengumpul tidak mampu menampung dan meresapkan air hujan sehingga terjadi banjir. Pada kondisi ini, terjadi runoff sebesar 2.5 mm atau setara dengan 750 m3 air yang tidak mampu diresapkan oleh rorak. Simulasi kesetimbangan air pada ZROS tanpa aliran permukaan atau dengan sistem peresapan secara lengkap dari tahun 2004 sampai 2013 juga disajikan pada Lampiran 9 sampai Lampiran 18.
Validasi Hasil Simulasi ZROS Validasi model dilakukan dengan cara membandingkan kadar air tanah hasil pengukuran dengan kadar air tanah hasil simulasi. Pengukuran kadar air tanah dilakukan selama satu bulan (30 Mei sampai 30 Juni 2014). Perbandingan kedua data tersebut disajikan pada Gambar 33. Validasi ini menghasilkan nilai tingkat kepercayaan (R2) sebesar 0.606 (Gambar 34). Angka tersebut cukup tinggi karena kalibrasi dilakukan hanya dalam periode satu bulan. Sebaiknya, untuk mencapai nilai R2 yang optimal, pengukuran kadar air tanah dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama.
Kadar Air, KA (m3/m3)
38
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 30-May
6-Jun
13-Jun
KA Ukur EC-5 (m3/m3)
27-Jun
KA Simulasi Tanpa RO
Kurva perbandingan kadar air tanah hasil pengukuran dan hasil simulasi
Kadar Air Tanah Ukur EC-5 (m3/m3)
Gambar 33
20-Jun
0.5 0.5 0.4
y = 0.9987x R² = 0.6061
0.4 0.3 0.300
0.350
0.400
Kadar Air Tanah Simulasi Tanpa RO
0.450 (m3/m3)
Gambar 34 Validasi kadar air tanah hasil pengukuran dan hasil simulasi Kondisi kekeringan merupakan kondisi tanah yang kadar air tanahnya mendekati nilai titik layu permanen. Kondisi ini mengakibatkan tanaman stres dan sulit berproduksi. Apabila hal ini dibiarkan, maka tanaman akan layu kemudian mati. Abdurrachman et. al (2006) mengungkapkan bahwa tanaman akan stress pada kondisi kadar air tanah < 50% dari kapasitas lapang sehingga menurunkan produksi. Pada peneltian ini, batas kekeringan tersebut sebesar 0.386 m3/m3. Simulasi menunjukkan, kadar air tanah dengan ZROS pada kondisi kekeringan mempunyai hari kekeringan sebanyak 22 hari, sedangkan tanpa ZROS sebesar 57 hari. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ZROS mampu dan efektif dalam menampung dan meresapkan runoff di lokasi penelitian sehingga dapat meningkatkan ketersediaan air tanah dibandingkan dengan tanpa ZROS. ZROS diharapkan menjadi salah satu inovasi teknologi untuk mengurangi limpasan permukaan yang terjadi pada musim hujan dan mengurangi masalah kekeringan di musim kemarau. Namun, diperlukan penelitian lebih lanjut terutama dalam teknik pengukuran kadar air tanah. Dalam penelitian ini, pengukuran kadar air anah menggunakan sensor yang ditempatkan hanya pada satu kedalaman perakaran. Idealnya, sensor dipasang pada kedalaman yang berbeda sehingga diperoleh gambaran kadar air tanah pada berbagai keadaan.
39
Efektifitas ZROS dalam Mengendalikan Limpasan Permukaan
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 20 40 60 80 100 120 140 160
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1-Nov-13
11-Dec-13
CH
Gambar 35
WP
20-Jan-14 FC
1-Mar-14 SC
10-Apr-14
KA ZROS
CH (mm)
Efektifitas zero runoff system (rorak dan saluran pengumpul) dalam mengendalikan aliran permukaan dapat dilihat dari nilai kadar air tanah di zona perakaran tanaman dibandingkan dengan tanpa zero runoff system. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai kadar air tanah tanpa ZROS maupun dengan ZROS relatif tinggi bahkan diatas nilai kapasitas lapang. Untuk kadar air tanah tanpa ZROS, kadar air tanah berkisar antara 0.249-0.583 m3/m3 dengan rata-rata 0.527 m3/m3. Untuk kadar air tanah dengan ZROS, kadar air tanah berkisar antara 0.5010.583 m3/m3 dengan rata-rata sebesar 0.569 m3/m3. Kondisi tersebut terjadi karena selama penelitian curah hujan relatif tinggi dan tidak terjadi kemarau yang berkepanjangan. Namun, hasil simulasi dari tahun 2004 sampai 2013 menunjukkan bahwa kadar air tanah dengan ZROS relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa ZROS (Gambar 35). Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan ZROS, nilai kadar air tanah di lokasi penelitian berada pada kondisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Walaupun lokasi penelitian bukan merupakan lahan pertanian khusus, tanaman yang ditanam di areal tersebut antara lain pisang, melinjo, menteng dan durian tetap dapat bertahan hidup dan berproduksi sepanjang tahun.
20-May-14 KA Tanpa ZROS
Perbandingan kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS selama penelitian
Hasil simulasi juga menunjukkan tren yang serupa pada tahun 2008. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai kadar air tanah dengan ZROS lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kadar air tanah tanpa ZROS. Hasil simulasi tersebut disajikan pada Gambar 36. Kadar air tanah dengan ZROS selama bulan Januari sampai dengan akhir bulan Juni relatif tinggi yakni di atas nilai kadar air kapasitas lapang (0.359 m3/m3). Setelah itu kadar air tanah turun hingga dibawah kapasitas lapang dan menyentuh batas titik layu permanen dari tanggal 7 – 11 Agustus 2008. Kondisi kekurangan air tanah ini terus terjadi sampai pertengahan bulan Oktober karena memasuki musim kemarau. Setelah itu, kadar air tanah meningkat kembali seiring dengan datangnya musim hujan.
0.6
0
0.5
20
0.4
40
0.3
60
0.2
80
0.1
100
0.0 1-Jan-08
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
40
120 1-Mar-08 30-Apr-08 29-Jun-08 28-Aug-08 27-Oct-08 26-Dec-08
CH
WP
FC
SC
KA ZROS
KA Tanpa ZROS
Gambar 36 Perbandingan kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS pada tahun 2012 Kadar air tanah tanpa ZROS relatif tinggi terjadi dari bulan Januari sampai awal bulan Juli. Selanjutnya, kadar air turun hingga mencapai titik layu permanen. Hal ini disebabkan hujan yang terjadi pada akhir Juni tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal menjadi cadangan air tanah. Setelah itu, kadar air tanah mengalami fluktuatif yang relatif tinggi. Kondisi kekurangan terjadi kembali pada tanggal dari akhir bulan September sampai pertengahan bulan Oktober. Setelah itu kadar air tanah meningkat kembali seiring dengan datangnya musim hujan. Selain mampu meningkatkan kadar air tanah, ZROS juga mampu mengurangi laju runoff dengan signifikan. Hal tersebut disebabkan adanya perubahan nilai curve number CN setelah diterapkan ZROS. Nilai CN berpengaruh secara langsung terhadap nilai runoff di lokasi penelitian. Semakin besar nilai CN maka semakin besar potensi runoff dan juga sebaliknya. Perubahan nilai CN setelah diterapkan ZROS disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Perubahan nilai CN sebelum dan sesudah diterapkan ZROS Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 Rata-rata
Nilai CN sebelum ZROS 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91 91
Nilai CN setelah ZROS 58 65 68 67 60 66 62 66 61 61 54
Penurunan nilai CN setelah diterapkan ZROS berdampak langsung terhadap besar runoff. Gambar 37 menunjukkan pola penurunan runoff tahunan dari tahun 2004-2013. Sebelum ZROS diterapkan, rata-rata sebanyak 35.26% dari curah hujan tahunan tidak dapat dimanfaatkan dan mengalir dalam bentuk runoff.
41
2013
2012
2011
RO Sebelum ZROS
2010
CH
2008
2007
2005
2006
RO Sesudah ZROS
2009
4000 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
2004
Besaran (mm)
Setelah penerapan ZROS, runoff dapat ditekan hingga mencapai 2.81% atau 32.45% runoff mampu diresapkan ke dalam tanah.
Tahun
Gambar 37 Pola penurunan runoff tahunan setelah diterapkan ZROS
Des.
Nop.
Okt.
RO Sebelum ZROS
Sept.
CH
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Febr.
RO Sesudah ZROS
Agus.
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan.
Besaran (mm)
Pola yang sama juga terlihat pada penurunan runoff bulanan selama 10 tahun terakhir (Gambar 38). Sebelum ZROS diterapkan, rata-rata sebanyak 33.6% dari curah hujan bulanan tidak dapat dimanfaatkan dan mengalir dalam bentuk runoff. Setelah penerapan ZROS, runoff dapat ditekan hingga mencapai 2.43% atau 31.17% runoff mampu diresapkan ke dalam tanah.
Bulan
Gambar 38 Pola penurunan runoff bulanan setelah diterapkan ZROS Kemampuan ZROS menekan laju runoff tidak terlepas dari hasil desain bangunan resapan yang digunakan. Pada penelitian ini, rorak didesain menggunakan curah hujan rencana dengan sebesar 111.08 mm/hari dengan periode ulang sebesar 5 tahun. Curah hujan tersebut cukup besar sehingga dibutuhkan rorak dengan ukuran yang besar agar jumlah rorak dapat ditekan. Akibatnya, volume rorak menjadi lebih besar sehingga runoff yang mampu diresapkan oleh rorak per hari hujan menjadi lebih banyak.
42
Volume Limpasan (liter)
3500
0 20 40 60 80 100 120 140 160
3000
2500 2000 1500 1000 500 0 01-Nov-13
11-Dec-13
CH
20-Jan-14
01-Mar-14
Volume Runoff
10-Apr-14
CH (mm)
Gambar 39 menunjukkan volume runoff yang mampu ditampung dan diresapkan oleh rorak. Dengan rorak sebanyak 12 buah, 2 buah berdimensi 1 m x 1 m x 0.4 m dan sisanya berdimensi 0.6 m x 0.6 m x 0.4 m, volume runoff yang mampu ditampung sebesar 2 240 liter. Selama periode penelitian, hanya terjadi satu kali kejadian hujan yang melebihi curah hujan rencana, yaitu pada tanggal 21 Januari 2014 dengan curah hujan sebesar 134 mm/hari. Pada kondisi tersebut, rorak tidak mampu menampung seluruh runoff sehingga sebagian besar runoff melimpas (overflow) ke luar rorak.
20-May-14
Volume Rorak Maksimum
Gambar 39 Hubungan antara volume runoff yang dapat ditampung rorak terhadap hari hujan Pada Gambar 39 juga terdapat hari hujan yang tidak berpengaruh sama sekali terhadap volume limpasan. Kurva volume limpasan berada pada level nol liter walaupun di hari tersebut terjadi hujan. Hal tersebut disebabkan hujan yang turun mampu diresap seluruhnya oleh tanah dan tidak menimbulkan runoff.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Estimasi limpasan permukaan atau runoff yang terjadi di lokasi penelitian telah selesai dilakukan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa curah hujan yang jatuh di lokasi penelitian tidak dapat diresapkan seluruhnya ke dalam tanah. Rata-rata sebanyak 35.26% dari curah hujan tahunan di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, Provinsi Banten tidak mampu meresap ke dalam tanah dan mengalir di permukaan tanah dalam bentuk runoff. Apabila dilihat dari pola distribusi curah hujan bulanan, rata-rata sebanyak 33.6% dari curah hujan bulanan tidak mampu meresap ke dalam tanah dan mengalir di permukaan tanah dalam bentuk runoff
43
2.
3.
Konsep Zero Runoff System (ZROS) telah berhasil diterapkan di lokasi penelitian dan efektif dalam mengurangi limpasan permukaan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari perubahan kadar air tanah di lokasi penelitian sebelum dan sesudah diterapkan ZROS. Hasil simulasi kadar air tanah selama periode penelitian (1 November 2013 sampai 31 Mei 2014) menunjukkan bahwa kadar air tanah tanpa ZROS berkisar antara 0.249-0.583 m3/m3 dengan ratarata 0.527 m3/m3. Sedangkan untuk kadar air tanah dengan ZROS, kadar air tanah berkisar antara 0.464-0.583 m3/m3 dengan rata-rata sebesar 0.569 m3/m3. ZROS juga mampu menekan laju runoff tahunan rata-rata dari 35.26% menjadi 2.81% atau laju runoff bulanan rata-rata dari 33.6% menjadi 2.43%. Hasil validasi antara model dengan pengukuran di lapangan memiliki nilai tingkat kepercayaan (R2) sebesar 0.606. Nilai R2 tersebut cukup tinggi dan relatif valid dalam mensimulasikan perubahan kadar air tanah harian di lokasi penelitian
Saran Saran yang dapat diberikan untuk penelitian lebih lanjut mengenai konsep zero runoff system adalah sebagai berikut. 1. Parameter validasi model dan pengukuran di lapangan sebaiknya tidak hanya perubahan kadar air tanah di lapangan, tetapi juga perubahan debit runoff sebelum dan sesudah diterapkan ZROS. Hal tersebut dimaksudkan agar tingkat efektivitas ZROS menjadi lebih nyata dan valid dalam mengurangi limpasan permukaan 2. Periode validasi model dan pengukuran di lapangan sebaiknya dilakukan dengan jangka waktu yang lebih lama. Pengukuran kadar air tanah untuk validasi sebaiknya dilakukan pada saat penelitian dimulai. Validasi juga sebaiknya dilakukan pada kondisi tanpa ZROS 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menempatkan alat ukur kadar air tanah di beberapa titik pada berbagai kedalaman sehingga diperoleh nilai kadar air tanah aktual yang lebih representatif
DAFTAR PUSTAKA Abdurachman A, Haryati U, Juarsah I. 2006. Penetapan Kadar Air Tanah dengan Metode Gravimetri. Jakarta (ID): Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Afolayan SO, Makinde AA, Shuaib M, Idris BA, Yaduma JJ, Yau MG. 2012. Rainfall harvesting, A sustainable water management alternative for food security in Nigeria. Journal of Agricultural Research & Management. 2012(136):1-8.
44
Ahaneku IE. 2011. Comparisons of Measured and Empirical Potential Evapotranspiration in Ilorin, Nigeria. International Journal of Science and Technology. 1(3):115-120. Arsyad S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu Tanah. Bogor (ID). IPB Pr. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang (ID). 2013. Kecamatan Ciomas dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang. [Balittanah] Balai Penelitian Tanah (ID). 2011. Teknologi panen hujan dan konservasi air. Bowo C, Hasan M, Marhaenanto B. 2008. Penentuan kurva retensi air tanah laboratorium dengan sensor resistensi dan kapasitansi. J. Tanah Trop. 14(1):57-64 Chow VT, Maidment DR, Mays LW. 1988. Applied Hydrology. New York (US): McGraw-Hill. Decagon. 2010. Mini disk infiltrometer, user’s manual. Decagon Devices, United States. Doorenbos J, Pruit WO. 1977. Guidelines for Predicting Crop Water Requirements. FAO, Rome, FAO Irrig. Drain. Paper 24, p. 144 Gong Y, Cao Q, Sun Z. 2003. The effects of soil bulk density, clay content and temperature on soil water content measurement using time-domain reflectometry. Journal of Hydrological Processes. 17:3601-3614 Hamdani Adang. 2013. Analisis wilayah rawan banjir dan genangan DAS Citarum Hulu berdasarkan aplikasi model hidrodinamika dan Sistem Informasi Geografis. [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [IETC] International Environmental Technology Centre (JP). 1999. Technology needs for lake management in Indonesia. Case studies: Lakes Rawa Danau and Rawa Pening, Java. IETC-UNEP. Osaka/Shiga Irsyad F, Saptomo SK, Setiawan BI. 2011. Analisis perubahan iklim lokal dan debit sungai di DAS Cidanau. J. Agromet 25(1):17-23. Kumar PS, Babu RK, Praveen TV, Vagolu VK. 2010. Analysis of the Runoff for Watershed Using SCS-CN Method and Geographic Information Systems. International Journal of Engineering Science and Technology. 2(8):39473654 Kumar PS, Rishi Hanuma. 2013. Simulation of rainfall runoff using SCS and RRL (Case Study Tadepalli Mandal). International Journal of Engineering Research and General Science. 1(1):1-11 Kumar R, Thaman S, Agrawal G, Poonam S. 2011. Rain water harvesting and ground water recharging in North Western Himalayan Region for Sustainable Agricultural Productivity. Journal of Environmental Research and Technology. 1(4):539-544 Lili M, Bralts VF, Yinghua P, Han L, Tingwu L. 2008. Methods for measuring soil infiltration: State of the art. Int. J. Agric & Biol Eng. 1(1):22-30
45
Lokendra PAL, Joyce MK, Fleming PD. 2006. A simple method for calculation of the permeability coefficient of porous media. Technical Association of Pulp and Paper Industry (TAPPI) Journal. 5(9):10-16 Luxon N, Pius C. 2013. Validation of the rainfall-runoff SCS-CN model in a catchment with limited measured data in Zimbabwe. International Journal of Water Resources and Environmental Engineering. 5(6):295-303 Oldeman LR. 1975. An Agroclimate Map of Java. Central Research Institute. Oni SI, Ege E, Asenime C, Oke SA. 2008. Rainwater Harvesting Potential for Domestic Water Supply in Edo State. Journal of Management & Social Sciences. 2(2):87-98 Otti VI, Ezenwaji EE. 2013. Enhancing community-driven initiative in Rainwater Harvesting in Nigeria. International Journal of Engineering and Technology. 3(1):73-79 Pereira LS, Allen RG. 1999. Irrigation and Drainage. In: van Lier HN, Pereira LS, Steiner FR. (Editors). CIGR Handbook of Agricultural Engineering Vol. I Land & Water Engineering. American Society of Agricultural Engineering. Chapter 5. Reshma T, Kumar PS, Babu RK, Kumar KS. 2010. Simulation of Runoff in Watershed Using SCS-CN and Muskingum-Cunge Methods Using Remote Sensing and Geographical Information Systems. International Journal of Advanced Science and Technology. 25:3-42 Rinaldi Andi. 2010. Pemodelan hidrograf satuan universal (H2U) pada berbagai skala peta dasar berbasis Sistem Informasi Geografis. [thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Robichaud PR, Lewis SA, Ashmun LE. 2008. New procedure for sampling infiltration to Assess Post-fire Soil Water Repellency. United States Department of Agriculture Research, United States. Sarmadian F, Mehrjardi R. 2013. Estimation of infiltration rate and deep percolation water using feed-forward neural networks in Gorgan Province. Journal of Environmental Science and Toxicology. 1(6):119-125 Steenhuis TS, Winchell M, Rossing J, Zollweg J, Walter MF. 1995. SCS Runoff Equation Revisited for Variable-Source Runoff Areas. Journal of Irrigation and Drainage Engineering. 234-238 Surdianto Yanto. 2012. Analisis Kecukupan Air di Kebun Belimbing Manis. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Susilowati, Kusumastuti DI. 2010. Analisa karakteristik curah hujan dan kurva Intensitas Durasi Frekuensi (IDF) di Provinsi Lampung. Jurnal Rekayasa 14(1):47-52 Tejaswini NB, Shetty A, Hegde VS. 2011. Land use scenarion analysis and prediction of runoff using SCS-CN Method: A case study from the Gudgudi Tank, Haveri District, Karnataka, India. International Journal of Earth Sciences and Engineering. 4(5):845-853
46
Triatmodjo B. 2010. Hidrologi Terapan.Yogyakarta (ID): Beta offset [USDA] United States Departement of Agriculture (US). 1986. Urban Hydrology for Small Watersheds. Department of Agriculture, United States. Yeasmin S, Rahman KF. 2013. Potential of rainwater harvesting in Dhaka CityL Am Empirical Study. ASA University Review. 7(1):143-150 Zhang, R. 1997. Determination of soil sorptivity and hydraulic conductivity from te disk infiltrometer. Soil Sci. Soc. Am. J. 61:1024-1030
47
LAMPIRAN
48
Lampiran 1 Angka curve number (CN) untuk kondisi AMC II ------------------------------- Deskripsi Tutupan Lahan ------------------------------Penggunaan
Jenis Tutupan
Perlakuan
Lahan kosong
Lahan terbuka Tutupan lahan dari sisa panen (SP)
Lahan beralur
Beralur lurus (AL) AL + SP
Lahan pertanian yang diolah
Bergelombang (G) G + SP Bergelombang dan berteras (G&T) G&T + SP Sawah kecil
SP AL + SP G G + SP G&T G&T + SP
Lahan pertanian lainnya
Tanaman biji AL tertutup atau kacangG kacangan atau ada rotasi G&T lahan Padang rumput, dipotong berkala untuk ternak
Kondisi Hidrologi Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Baik Buruk Sedang Baik
Padang rumput, tidak dipotong untuk membuat jerami
Angka CN berdasarkan kelas hidrologi tanah A
B
C
D
77 76 74 72 67 71 64 70 65 69 64 66 62 65 61 65 63 64 60 63 61 62 60 61 59 60 58 66 58 64 55 63 51 68 49 39
86 85 83 81 78 80 75 79 75 78 74 74 71 73 70 76 75 75 72 74 73 73 72 72 70 71 69 77 72 75 69 73 67 79 69 61
91 90 88 88 85 87 82 84 82 83 81 80 78 79 77 84 83 83 80 82 81 81 80 79 78 78 77 85 81 83 78 80 76 86 79 74
94 93 90 91 89 90 85 88 86 87 85 82 81 81 80 88 87 86 84 85 84 84 83 82 81 81 80 89 85 85 83 83 80 89 84 80
30
58
71
78
Semak berumput dengan semak yang dominan
Buruk Sedang Baik
48 35 30
67 56 48
77 70 65
83 77 73
Kombinasi rumput dan pohon berkayu
Buruk Sedang Baik
57 43 32
73 65 58
82 76 72
86 82 79
Pepohonan berkayu
Buruk Sedang Baik
45 36 30
66 60 55
77 73 70
83 79 77
59
74
82
86
Komplek pertanian (jalan, blok sawah, rumah, dll)
Sumber: (USDA 1986)
49
Lampiran 1 (lanjutan) ------------------------------- Deskripsi Tutupan Lahan -------------------------------
Lahan gersang atau semi-gersang
Penggunaan
Jenis Tutupan Rerumputan - campuran rumput, ilalang dan semak kecil, dengan semak bagian paling kecil
A
B
C
D
80 71 62
87 81 74
93 89 85
Pepohonan oak - campuran semak belukar, mahoni, rumput liar, mapel dan semak lain
Buruk Sedang Baik
66 48 30
74 57 41
79 63 48
Pepohonan jintan - campuran rumput dan pohon jintan
Buruk Sedang Baik
75 58 41
85 73 61
89 80 71
Semak-semak bercampur dengan rumput ilalang
Buruk Sedang Baik
67 51 35
80 63 47
85 70 55
Gurun bersemak dan didominasi tumbuhan tumbuhan kering seperti kaktus
Buruk Sedang Baik
63 55 49
77 72 68
85 81 79
88 86 84
68 49 39
79 69 61
86 79 74
89 84 80
98
98
98
98
98 83 76 72
98 89 85 82
98 92 89 87
98 93 91 89
Area perkotaan kering, gersang dan bergurun Terbentuk secara alami (kedap air) Dibangun oleh manusia (tidak kedap air)
63 96
77 96
85 96
88 96
Wilayah perkotaan Area bisnis dan perdagangan Kawasan industri
89 81
92 88
94 91
95 93
Perumahan dengan ukuran kavling rata-rata: 500 m2 1 000 m2 1 350 m2 2 000 m2 4 000 m2 8 000 m2
77 62 57 54 51 46
85 75 72 70 68 65
90 83 81 80 79 77
92 87 86 85 84 82
Wilayah perkotaan yang sedang berkembang Hanya area yang kedap air, tanpa vegetasi
77
86
91
94
Lahan terbuka (halaman, lahan parkir, padang golf, makam, dll) Buruk (tutupan rumput < 50%) Sedang (tutupan rumput 50-75%) Baik (tutupan rumput > 75%)
Lahan perkotaan
Kondisi Hidrologi Buruk Sedang Baik
Angka CN berdasarkan kelas hidrologi tanah
Lahan kedap air Lahan parkir beraspal, atap, dll Jalanan dan jalan raya: Beraspal, begorong-gorong Beraspal, berparit terbuka Berkerikil Tanah
Sumber: (USDA 1986)
50
Lampiran 2 Nilai koefisien C pada persamaan rasional Deskripsi Tutupan Lahan
Datar
Bergelombang
Berbukit
Lahan beraspal dan atap bangunan
0.90
0.90
0.90
Jalan kecil, gang Lahan berkerikil
0.75 0.85
0.80 0.85
0.85 0.85
Area perdagangan Area apartemen tempat tinggal
0.80 0.50
0.85 0.60
0.85 0.70
Perumahan kecil : 1 - 3 unit per acre Perumahan normal : 3 - 6 unit per acre Perumahan padat: 6 - 15 unit per acre Halaman berumput Lahan miring, tanah Lahan miring, berumput Lahan yang diolah, liat berlempung Lahan yang diolah, pasir dan kerikil Kawasan industri kecil Kawasan industri besar Lahan parkir dan pemakaman Lahan bermain anak-anak
0.35 0.50 0.70 0.17 0.60 0.30 0.50 0.25 0.50 0.60 0.10 0.20
0.40 0.55 0.75 0.22 0.60 0.30 0.55 0.30 0.70 0.80 0.15 0.25
0.45 0.60 0.80 0.35 0.60 0.30 0.60 0.35 0.80 0.90 0.25 0.30
Hutan Ladang berumput dan bersemak
0.10 0.25
0.15 0.3
0.20 0.35
Sumber : (Chow et al. 1988)
Keterangan: Bergelombang Berbukit
: kemiringan lahan 2 – 10% : kemiringan lahan > 10%
Lampiran 3 Nilai variabel p dalam perhitungan evapotranspirasi Blaney-Criddle Garis Lintang (°)
Utara
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Selatan
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
60 55 50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
0.15 0.18 0.19 0.21 0.22 0.23 0.24 0.24 0.25 0.26 0.26 0.27 0.27
0.2 0.22 0.23 0.24 0.24 0.25 0.25 0.26 0.26 0.26 0.27 0.27 0.27
0.26 0.26 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27 0.27
0.32 0.31 0.31 0.3 0.3 0.29 0.29 0.29 0.28 0.28 0.28 0.28 0.27
0.32 0.31 0.31 0.3 0.3 0.29 0.29 0.29 0.28 0.28 0.28 0.28 0.27
0.38 0.36 0.34 0.33 0.32 0.31 0.31 0.3 0.29 0.29 0.28 0.28 0.27
0.41 0.38 0.36 0.35 0.34 0.32 0.32 0.31 0.3 0.29 0.29 0.28 0.27
0.4 0.37 0.35 0.34 0.33 0.32 0.31 0.31 0.3 0.29 0.29 0.28 0.27
0.34 0.33 0.32 0.31 0.31 0.3 0.3 0.29 0.29 0.28 0.28 0.28 0.27
0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.28 0.27
0.22 0.23 0.24 0.25 0.25 0.25 0.26 0.26 0.26 0.27 0.27 0.27 0.27
0.17 0.19 0.2 0.22 0.22 0.23 0.24 0.25 0.25 0.26 0.26 0.27 0.27
0.13 0.17 0.18 0.2 0.21 0.22 0.23 0.24 0.25 0.26 0.27 0.27 0.27
Sumber : (Triatmodjo 2010)
51
Lampiran 4 Nilai variabel A dalam perhitungan infiltrasi mini disk infiltrometer
Jenis tanah sand loamy sand sandy loam loam silt silt loam sandy clay loam clay loam silty clay loam sandy clay silty clay clay Sumber : (Decagon 2010)
Jari-jari = 2.25 cm
n
0.15 0.12 0.08 0.04 0.02 0.02 0.06 0.02 0.01 0.03 0.01 0.01
2.68 2.28 1.89 1.56 1.37 1.41 1.48 1.31 1.23 1.23 1.09 1.09
A h0 = -0.5 2.84 2.99 3.88 5.46 7.92 7.10 3.21 5.86 7.89 3.34 6.08 4.00
h0 = -1 2.40 2.79 3.89 5.72 8.18 7.37 3.52 6.11 8.09 3.57 6.17 4.10
h0 = -2 1.73 2.43 3.91 6.27 8.71 7.93 4.24 6.64 8.51 4.09 6.36 4.30
h0 = -3 1.24 2.12 3.93 6.87 9.29 8.53 5.11 7.23 8.95 4.68 6.56 4.51
h0 = -4 0.89 1.84 3.95 7.53 9.90 9.19 6.15 7.86 9.41 5.36 6.76 4.74
h0 = -5 0.64 1.61 3.98 8.25 10.55 9.89 7.41 8.55 9.90 6.14 6.97 4.98
h0= -6 0.46 1.40 4.00 9.05 11.24 10.64 8.92 9.30 10.41 7.04 7.18 5.22
h0 = -7 0.33 1.22 4.02 9.92 11.98 11.45 10.75 10.12 10.94 8.06 7.40 5.48
52
2004
2005
28.00 27.50
R² = 0.5874
27.00 26.50 26.00 26.00
27.00
28.00
29.00
Data T BMKG Serang (°C)
Data T BMKG Serang (°C)
Lampiran 5 Validasi data suhu global terhadap data suhu milik BMKG Taktakan, Kab. Serang
30.00 29.00
28.00 27.00 26.00 26.00
Data T Global (°C)
Data T BMKG Serang (°C)
Data T BMKG Serang (°C)
29.00
27.00 26.60
26.40 26.20 26.50
26.00 27.00
28.00
Data T Global (°C)
28.50 R² = 0.9656
27.50 27.00 26.50 28.00
Data T Global (°C)
29.00
Data T BMKG Serang (°C)
Data T BMKG Serang (°C)
26.50
2010 Data T BMKG Serang (°C)
27.50
28.00
2009
R² = 0.7677
27.00
27.00
Data T Global (°C)
27.50
26.00 26.00
R² = 0.876
26.80
2008
28.00
29.00
27.20
Data T Global (°C)
26.00
28.00
2007
28.50 R² = 0.9412 28.00 27.50 27.00 26.50 26.00 25.50 26.00 27.00 28.00
25.50 25.00
27.00
Data T Global (°C)
2006
27.00
R² = -0.032
28.50 28.00
R² = 0.934
27.50 27.00 26.50
26.00 26.00
27.00
28.00
Data T Global (°C)
29.00
53
Lampiran 6 Desain rorak dan saluran pengumpul yang digunakan di lokasi penelitian
54
Lampiran 7 Tampilan program penghitung dimensi dan jumlah rorak
55
Lampiran 8 Tampilan program simulasi kadar air tanah harian
56
0.6
0
0.5
20 40
0.4
60
0.3
80
0.2
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
Lampiran 9 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2004
100
0.1
120
0.0 1-Jan CH
140 21-Mar KA Dengan ZROS
9-Jun
28-Aug
KA Tanpa ZROS
16-Nov WP
FC
SC
Lampiran 10 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2005 0 10
0.5
20 0.4
30
0.3
40 50
0.2
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
60 0.1
70
0.0 1-Jan CH
80
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
17-Nov WP
FC
SC
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1-Jan CH
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
17-Nov WP
FC
SC
CH (mm)
Lampiran 11 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2006
57
0.6
0
0.5
10 20
0.4
30
0.3
40
0.2
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
Lampiran 12 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2007
50
0.1
60
0.0 1-Jan
70
CH
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
17-Nov WP
FC
SC
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1-Jan CH
21-Mar KA Dengan ZROS
9-Jun
28-Aug
KA Tanpa ZROS
CH (mm)
Lampiran 13 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2008
16-Nov WP
FC
SC
0.6
0
0.5
20 40
0.4
60
0.3
80
0.2
100
0.1
120
0.0 1-Jan
140
CH
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
17-Nov WP
FC
SC
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
Lampiran 14 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2009
58
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1-Jan CH
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
CH (mm)
Lampiran 15 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2010
17-Nov WP
FC
SC
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1-Jan CH
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
CH (mm)
Lampiran 16 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2011
17-Nov WP
FC
SC
Kadar Air Tanah (m3/m3)
0.6
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1-Jan CH
21-Mar KA Dengan ZROS
9-Jun
28-Aug
KA Tanpa ZROS
16-Nov WP
FC
SC
CH (mm)
Lampiran 17 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2012
59
0.6
0
0.5
20
0.4
40
0.3
60
0.2
80
0.1
100
0.0 1-Jan
120
CH
22-Mar KA Dengan ZROS
10-Jun
29-Aug
KA Tanpa ZROS
17-Nov WP
FC
SC
CH (mm)
Kadar Air Tanah (m3/m3)
Lampiran 18 Hasil simulasi kadar air tanah dengan dan tanpa ZROS tahun 2013
60
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 31 Januari 1990 dari ayah Ir. Dian Faturrahman dan ibu Ina Maryam. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Cilegon dan pada tahun yang sama penulis diterima di Program Sarjana Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Tahun 2012, penulis lulus program sarjana dan melanjutkan program pascasarjana pada tahun dan program studi yang sama. Selama mengikuti program S2, penulis bekerja sebagai asisten peneliti pada Laboratorium Teknik Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. Penulis ikut terlibat dalam penelitian-penelitian dosen di laboratorium. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah bidang sumberdaya air, hidrologi dan lingkungan. Selain bekerja, penulis juga aktif mengajar pada Program Sarjana Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB sebagai asisten dosen. Selain itu, penulis juga mengajar pada Program Diploma, Program Keahlian Teknik dan Manajemen Lingkungan IPB sebagai dosen tamu. Pada tahun 2013, penulis membuat artikel berjudul “Hubungan Koefisien Biokinetik pada Proses Lumpur Aktif Completely Mixed Menggunakan atau Tanpa Resirkulasi” dan diterbitkan pada Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pada tahun 2014, penelitian ini telah diterima dan akan diterbitkan di Jurnal Sumber Daya Air dengan judul “Penerapan Zero Runoff System (ZROS) dan Efektivitasnya terhadap Penurunan Limpasan Permukaan di DAS Cidanau, Banten” yang terindeks Lembaga Ilmu Pengetahunan Indonesia (LIPI). Selain itu, penelitian ini juga dibuat dalam bentuk jurnal yang berbeda substansi dan akan diterbitkan di Jurnal Teknik Pertanian dengan judul “Pengembangan Konsep Zero Runoff System (ZROS) untuk Optimalisasi Kadar Air Tanah pada Lahan Non Irigasi”.