1
KINERJA PENDISTRIBUSIAN AIR IRIGASI PADA LOKASI HULU, TENGAH DAN HILIR
Ahmad Farhan
PENDIDIKAN MIPA PRODI FISIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA Desember 2012
2
3
4
5
6
KATA PENGANTAR Tulisan ini merupakan bahagian dari tesis PPs-IPB yang ditulis ulang. Tujuan dari penusan ini adalah untuk memperkaya publikasi ilmiah staf dosen Unsyiah. Telah disimpan di ruang baca Prodi Pendidikan FKIP Unsyiah untuk menambah koleksi bahan bacaan. Selanjutnya akan disimpan di Perpustakaan Unsyiah. Semoga dapat bermanfaat bagi yang tertarik pada masalah Iklim dan irigasi. Wassalam
Darussalam25 Maret 2015
Drs. Ahmad Farhan, M. Si 196606031991031003
7
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN PENGESAHAN DAFTAR ISI
i
KATA PENGANTAR
ii iii
ABSTRAK 1. PENDAHULUAN 2. METODE PPENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian B. Alat dan Bahan C. Pelaksanaan Percobaan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesuburan Tanah B. Kelompok Tani, Aktifitas dan Hubungannya dengan Pihak berwenang C. Kondisi Fisik Jaringan Irigasi D. Sistem Pendistribusian Air Irigasi E. Curah Hujan di Kawasan DI Macan Hulu F. Kebutuhan Air untuk Tanaman G. Kinerja Pendistribusian Air Irigasi I. Hari Cekaman Air 4. KESIMPULAN
1 3 3 3 4 4 7 7 8 9 10 12 14 18 22 24
DAFTAR PUSTAKA
i
ii 8
KINERJA PENDISTRIBUSIAN AIR IRIGASI PADA LOKASI HULU, TENGAH DAN HILIR Oleh Ahmad Farhan (Dosen FKIP Unsyiah)
Abstrak Kata Kunci: curah Hujan, Pendistribusian, air, irigasi Kinerja pendistribusian air irigasi pada daerah irigasi bendung Macan Hulu belum optimal. Analisis perbandingan suplai air dan kebutuhan air tanaman (RWS), di lokasi hulu, tengan dan hilir daerah irigasi meninjukkan nilai yang tidak seimbang; nilai RWS hulu, tengah dan hilir, berturut-turut 2,3 1,6 dan 0,8. Keadaan ini menunjukkan suplai air di lokasi hulu dan tengah melebihi kebutuhan konsumtif tanaman, sedang kawasan hilir dari areal irigasi bendung Macan mengalami kekurangan suplai air irigasi. Jadi, kinerja pendistribusian air di areal Di bendung Macan belum optimal 1. PENDAHULUAN Keadaan hujan di Indonesia dipengaruhi oleh angin pasat, muson dan angin local. Antara bulan Desember – Februari terjadi angin muson barat yang mengandung banyak uap air, sehingga terjadi musim hujan. Pada saat terjadi peristiwa gejala alam EL-Nino. Sirkulasi muson barat mengalami gangguan, akibat naiknya suhu muka laut di kawasan equator samudera fasifik sebelah timur. Keadaan tersebut mengakibatkan musim kemarau di Indonesia menjadi lebih panjang. Dalam rangka mengatasi kekurangan pangan dan menekan impor beras, Badan Litbang pertanian membuat suatu terobosan baru melalui program IP Padi 300. IP Padi 300 merupakan sistem usaha tani berbasis padi dengan intensitas tanam iga kali setahun. Tahun 1998 IP Padi dilaksanakan dipulau jawa dan Bali, dengan luas tanam 121.181 ha (Badan Litbang Pertanian, 1999). Luas tanam di masing-masing propinsi; Jawa Barat 30.478 ha, Jawa Tengah 33.000 ha, Yogyakarta 5.766 ha, Jawa Timur 45.848 ha dan Bali 6.089 ha. Di Jawa Barat, IP Padi 300 dilaksanakan di Kabupaten Subang dalam areal persawahan dikawasan pengairan POJ. Tanaman padi ketiga, ditanamkan setelah tanaman padi musim kemarau (MK I) dipanen, maka disebut tanaman padi MK II. Air irigasi yang tersedia pada masa tersebut
9
terbatas, sehingga tanaman padi sangat rawan terhadap kemungkinan terjadi kekeringan. Agar tanaman padi pada masa tanam MK II terhindar dari resiko kekeringan, air irigasi perlu diatur penggunaan seefektif dan seefisien mungkin. Untuk mendistribusi air sesuai dengan rancang bangun jaringan irigasi, POJ membuat perencanaan luas tanam, dan pergiliran penyaluran air irigasi. Pada masa tanma musim hujan (MH), luas tanam maksimum mencapai 240.000 ha dan pada musim kemarau (MK) 180.000 ha. Pergiliran air irigasi diakui apabila debit sumber air irigasi (Q) berkurang dari debit normal (1,2 ltr/dtk/ha). POJ secara umum menerapkan pola pergiliran 2-3 hari apabila Q ≥ 60% dari debit normal dan 4-5 bila Q ≤ 40%. Perancanaan luas tanam, pengaturan golongan pengairan dan pergiliran penyaluran air irigasi, ternyata belum membebaska seluruh areal tanam padi MK dalam wilayah pengairan POJ dari cekaman kekeringan. Kehilangan air sepanjang saluran cukup besar, efesiensi pemnanfaatan air masih sekitar 50% dan sistem pengairan antar petak (Hermanto, et al., 1995). Keadaan tersebut menyebabkan distribusi air tidak merata antar satu lokasi dengan lokasi lainnya dalam satu areal saluran tersier (Fagi, 1998); lokasi hulu menyadap air irigasi lebih banyak dari lokasi tengah dan hilir. Kinerja pendistribusian air irigasi yang masih rendah menyababkan terjadinya hari cekaman air terutama dilokasi hilir saluran tersier. Jumlah hari cekaman air yang cukup dialami padi (Selamanya tergantung dari sifat fisik tanah, iklim dan varietas), dapat mengurangi hasil padi (Setiobudi, 1994). Terdapat permasalahan yang berkaitan dengan faktor-faktor apakah yang menyebabkan kinerja pendistribusian air di wilayah pengairan POJ belum optimal sehingga menimbulkan berapa lama hari cekaman yang terjadi pada petakan sawah dilokasi hulu, tengah dan hilir saluran tersier? Pengakajian bertujuan untuk, mempelajari pendistribusian air dipersawahan dalam satuan saluran tersier didaerah irigasi Macan Hulu wilayah pengairan POJ, seksi pengairan Binong Kabupaten Subang Jawa Barat pada MK II. Hasil keluaran dari penelitian ini informasi yang dapat digunakan untuk menentukan teknik budidaya padi yang dapat mempertahankan luas areal tanam/panen pada kondisi persedian air irigasi terbatas, mengurangi dampak kekeringan, menghemat
10
penggunaan air irigasi dalam sistem budidaya padi pada sawah beririgasi sehingga tercipta stabilitas produksi. 2. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di daerah irigasi Macan Hulu, wilayah POJ, seksi Pengairan binong, kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat. Lokasi ini dipilh karena merupakan salah satu daerah pengembangan padi IP 300 pada tahun 1998. Di daerah irigasi ini, terdapat 3 saluran sekunder, 38 saluran tersier untuk melayani areal persawahan seluas 3246 ha. Dari saluran tersier yang ada, saluran tersier BBd 2ki dan BM6ki terpilih sebagai saluran tersier penelitian. Pemilihan tersebut didasarkan pada kondisi fisik saluran; pintu-pintu sadap dan kotak pembagi air yang relative masih baik. Saluran tersier BBd2ki berada dihulu saluran sekunder Ci Bandung dan saluran tersier BM6ki berada di hilir saluran sekunder Ci Macan (Lampiran 4). Penelitian ini mulai Juli dan berakhir Desember 1998. Periode ini sesuai dengan masa tanam musim kemarau II (MK II) tahun 1998, yang diujicobakan melalui program IP padi 300 oleh Badan Litbang Pertanian. B. Alat dan Bahan Peralatan yang diperlukan untuk pengamatan air adalah sebagai berikut:
Lisimeter evaporasi, evaporasi & perkolasi dan evapotranspirasi & perkolasi masing-masing sebanyak 4 buah.
Penakar hujan sebanyak 2 buah
Talang Parshall sebanyak 12 buah
Current Meter sebanyak 1 buah
Piezometer 18 buah
Meter Skala miring sebanyak 18 buah. Pengamatan dilakukan pada 3 lokasi yaitu hulu, tengah dan hilir dari salaran
sekunder Macan Hulu. Pada masing-masing lokasi terpilih, dipasang peralatan di petak tersier milik petani. Pengamatan distribusi air di saluran sekunder, diulur pada pintu-pintu pembagi air yang terdapat pada kotak-kotak pembagi di bahagian hulu, tengah dan hilir. Pintu-
11
pintu bagi yang digunakan sebagai titik pengamatan, dikalibrasikan dengan menggunakan current meter. Disetiap lokasi pengamatan petak tersier, dipasang dua buah talang parshall, tiga buah meter skala miring dengan kemiringan 1:10, dan tiga buah piezo meter. Talang parshall
dipasang pada pintu air masuk dan keluar dari petak percobaan. Talang
parshall yang digunakan diperoleh dar balia penelitian pengairan, bekasi dan telah dikalibrasikan. Pemasangan piezometer ditanam sampai kedalaman 50 cm dipetak percobaan. Meter skala miring dipasang dekat dengan piezometer. Dipetak percobaan pada lokasi hul dan hilir dipasang tiga set lisimeter. Lisimeter pertama memilki alas, digunakan untuk mengukur evaporasi. Lisimeter kedua tanpa alas dan ditanam sedalam 30 cm, digunakan untuk mengukur evaporasi dan perkolasi. Lisimeter ketiga tanpa alas dan ditanamkan sedalam 30 cm, serta didalamnya ditanami padi 4 rumpun, digunakan untuk mengukur pekolasi dan evapotranspirasi. Penakar curah hujan dipasang dilokasi tengah masing-masing satu buah pada saluran tersier BBD2ki dan BM6ki. Alat ini dipasang dengan ketinggian 120 cm dari permukaan tanah. Ilustrasi dari pasangan peralatan yang digunakan diperliahatkan lampiran 5. C. Pelaksanaan Percobaan a. Kebutuhan air konsumtif Kebutuhan air konsumtif (Water demand, WD) tanaman meliputi keprluan untuk evappotranspirasi, perkolasi dan remmbesan dari tanam sampai panen. Pada percobaan ini rembesan diaabaikan dan dianggap nol, karena pematang petak percobaan dilapsisi dengan plastic. Evapotranspirasi dan pekolasi diukur dengan menggunakan lisimeter evapotranspirasi & perkolasi (Watanabe, 1974). Masingmasing komponen kebutuhna air, dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: P = { (h1- h2) Ev + P + CH } – Ev Ev = (h1-h2) Ev + CH ET = { (h1- h2) ET + P + CH } – P Keterangan : (h1- h2) Ev
= perubahan tinggi air dalam lisimeter evaporasi
12
(h1- h2) Ev + P (h1- h2) ET + P CH
= perubahan tinggi air dalam lisimeter evaporasi & perkolasi = perubahan tinggi air dalam lisimeter evapotraspirasi & perkolasi = curah hujan
Perubahan tinggi air dalam lisimeter diukur setiap hari pukul 07.00 WIB. Setelah pengukuran selesai, tinggi air dalm lisimeter dikembalikan pada posisi semula (h1), dengan cara menambah atau mengurangi air dalam lisimeter b. Air Tersedia Air tersedia (Water Supplay, WS) dan digunakan tanaman bersumber dari air irigasi yang tertinggal dipetak sawah ( ∆ I ) ditambah dengan masukan air dari curah hujan (CH), sehingga dapt dinyatkan dengan persamaan (IRRI, 1982): WS = ( ∆ I ) + CH
(8)
∆ I dihitung berdasarkan selisih antara debit air masuk dan kelauar petak percobaan. Debit air irigasi diukur berdasarkan ketinggian air dalam talang parshall, kemudian diuabah dalam satuan liter per detik berpedoman pada table yang telah dibuat sebelumnya. Debit air diukur dua kali sehari yaitu, pagi sekitar jam 07.00 WIB. Dan sore sekitar jam 17.00 WIB. Debit air irigasi harian yang tertinggal dipetak percobaan (∆ Ih) dihitung dengan persamaan: x t p – s} + {
∆ Ih = { Keterangan :
x t s – p + 1}
(ltr/hr)
Qp = debit air tertinggal dipetak percobaan yang diukur di pagi hari Qs = debit air tertinggal dipetak percobaan yang diukur di sore hari Qp + 1 = debit air tertinggal dipetak percobaan yang diukur pada waktu pagi hari, hari berikutnya t p – s = waktu lamanya air mengalir dari pagi sampai sore t s – p + 1= waktu lamanya air mengalir dari sore sampai pagi hari berikutnya. Selanjutnya debit air yang tertinggal dipetak percobaan dirubah dalm satuan tinggi air per hektar per hari (mm/ha/hr) dengan menggunakan rumus: ∆ Ih =
∆
(mm/ha/hari)
c. Kinerja pendistribusian air irigasi
(10)
13
Kinerja pendistribusian air irigasi disaluran tersier ditinjau dari kemerataan distribusi air dipetakas sawah sepanjang saluran padi lokasi hulu, tengah dan hilir. Kemerataan diestimasi melalui perbandingan nilai Relative Water Supplay (RWS) diketiga lokasi. Perbedaan nilai RWS antar lokasi,
menunjukkan rendahnya
kinerja distribusi air sepanjang saluran dan petakan tersier. RWS dihitung dengan persamaan (IRRI, 1985): `RWS = WS/WD d.Hari Cekaman air Hari cekaman air (Stress Day) adalah keadaan tanpa genangan dihitung 2-3 hari setelah sawah dalam keadaan macak-macak; 2 hari untuk tanah bertekstur ringan dengan 3 hari untuk tanah bertekstur berat (Dawan and Sanasai, 1991). Apabila sawah 2-3 hari setelah macak-macak belum memperoleh air irigasi atau curah hujan, diaggap padi telah mengalami 1 hari cekaman air. Kemudian hari berikutnya dianggap 2 hari ckaman air dan seterusnya sampai tanaman memperoleh tambahan air baik dari irigasi maupun dari curah hujan. Untuk penelitian ini, hari ckaman air dihitung 3 hari setalah sawah dalam keadaan macak-macak, karena tanah dilokasi penelitian termasuk bertekstur berat. Dengan demikian, hari keempat sawah dalam keadaan macakmacak dianggap padi telah mengalami satu hari cekaman air. Macak-macak merupakan keadaan sawah tanpa genangan air. Keadaan ini tercapai pada saat tinggi genangan dan muka air tanah sama dengan nol. Genangan air dipetak sawah diukur dengan menggunakan meter skala miring. Muka air tanah diukur dengan piezometer. e. Curah hujan dan Curah hujan efektif Curah hujan harian selama percobaan berlangsung dengan menggunakan dua penakar hujan. Penakar hujan tersebut dipasang masing-masing satu buah pada setiap saluran tersier percobaan. Curah hujan efektif dihitung berdasarkan rasio anatara evapotranspirasi ditambah perkolasi dengan curah hujan dalam satu periode. Lamanya periode untuk padi sawah adalah 4 hari pada tanah berstekstur berat dan 2 hari pada tanah berstekstur ringan (Dastane, 1994). Karena tanah
14
dilokasi penelitian berstektur berat, lamanya satu periode perhitungan curah hujan efektif ditetapkan 4 hari.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kesuburan tanah Berdasarkan hasil analisis laboratorium (lampiran 6), tanah dilokasi penlitian memiliki pH 5,70 (H2O) dan 4,70 (KCL) untuk areal sawah di saluran tersier BBd2ki dan pH 6,10 (H20) dan 5,20 (KCL) untuk saluran tersier BM6ki. Menurut Harjowigeno (1995), Bila kandungan H+ sama dengan OH-, maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH sama dengan 7. Lebih lanjut dinyatakan, di Indonesia umumnya tanah bereaksi masam dengan pH 4,0 – 5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0 – 6,5 sering telah dikategorikan cukup netral. Berdasarkan criteria tersebut, maka tanah persawahan dalam areal tersier BBd2ki termasuk masam, sedangkan tanah diareal tersier BM6ki tergolong netral, walaupun sedikit masam. Reaksi tanah (pH tanah) mempengaruhi penyerapan unsure hhara oleh tanamann. Unsure hara mudah diserap tanaman pada tanah yang mmeliki pH netral, karena unsure hara mudah larut di dalam air. Oleh sebab itu tanman yang ditanam pada perswahan areal tersier BM6ki akan lebih mudah menyerap unsure P dan K dari pada tanaman yang ditanam dipersawahan areal tersier BBd2ki. Tekstur tanah termasuk liat berdebu dengan jumlah susunan pasir, debu dan liat 8,61 %, 42,64 % dan 48,75% untuk saluran BBd2ki serta 5,66 %, 43,08 % dan 51,26 % untuk saluran BM6ki. Tanah dikedua areal tersier tersebut termasuk dalam kelompok tekstur halus, dengan demikian memiliki permukaan yang luas, sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsure hara tinggi. Unsure C, N, P dan K dalam tanah masing-masing 1,52 %, 0,12 %, 1 ppm dan 0,15 me/100 g untuk areal persawahan disaluran tersier BBd2ki, seta 1,47 %, 0,08 %, 0,5 ppm dan 0,23 me/100 g untuk areal perswahan di saluran tersier BM6ki. Berdasarkan criteria penilaian sifat kimia tanah, kandungan keempat unsure hara tanah di lokasi penelitian dikategorikan rendah (Hardjowigeno, 1995). B. Kelompok tani, aktivitas dan hubungannya dengan pihak berwenang
15
Didaerah irigasi Macan Hulu telah terbentuk 36 kelompok tani tersebar dalam 4. Desa Gambar sari, Sumber sari dan Mekar Wangi masing-masing memiliki 8 kelompok tani. Desa Nangerang dan Cicadas masing-masing memiliki 6 kelompok tani. Kegiatan kelompok tani- kelompok tani tersebut umumnya kurang aktif. Selama penelitian berlangsung tidak ada pertemuan rutin baik mingguan atau bulanan dalam rangka saling membagi informasi, penglaman, pengetahuan, atau membahas masalah-masalah yang sedang dihadapi ataupun menerima penyuluhan-penyuluhan dari pihak berwenang. Diskusi- diskusi antara sesame petani sering dilakukan di warung-warung pada sore hari atau malam hari dalam kelompok-kelompok kecil, sehingga informasi yang diperoleh dan penyebarannya kurang efektif. Sebagai gambaran, kelompok tani suka Maju II dan Suka Maju III yang berda didesa Mekar Wangi, relative lebih aktif dari kelompok tani lainnya. Aktifnya kelompok tani tersebut disebabkan adanya kerjasama dengan PT. Pertani Sentral Produksi Benih Binong, dalam rangka pengadaan benih. Akan tetapi selama penelitian berlangsung kelompok tani hanya bertemu dua kali. Pertemuan pertama, untuk mengorganisasikan petani-petani dalmm kegiatan pengumpunan tikus dan yang kedua pada saat menjelang panen/awal masa tanam berikutnya, dalam rangka membahas kredit usaha tani (KUT) ynag akan dikucurkan pemerintah untuk masa tanam berikutnya. Kurang aktifnya kelompok tani mengakibatkan kurang serentaknya jadwal tanam dan kebersamaan petani dalam menghadapi segala permasalahan yang timbul selama masa tanam berllangsung. Lemahnya koordinasi antara sesame petani merupakan salah satu penyebab kurang baiknya perawatan tanaman, terutama, dalam pemupukan, penganan hama dan penyakit. Disamping factor tersebut, juga sikap petani itu sendiri yang kurang menghargai pekerjaannya. Umumnya petani-petani, terutama yang berumur relative muda menganggap bertani sebagai pekerjaan sambilan atau pelarian. Keseriusan bekerja di sawah hanya terlihat pada awal dan akhir masa tanam. C.Kondisi Fisik Jaringan Irigasi Wilayah irigasi Macan dibagi atas dua bagian yaitu daerah irigasi Macan Hulu dan Macan Hilir. Areal persawahan yang termasuk dalam daerah irigasi Macan Hulu seluas 3246 ha. Daerah irigasi Macan Hilir memiliki luas areal persawahan 7200 ha.
16
Di daerah irigasi Macan Hulu, terdapat tiga saluran sekunder, yaitu Ci Bandung, Ci Macan dan kihiyang. Saluran sekunder Ci Bandung memiliki 15 saluran tersier dengan luas areal persawahan 1096 ha. Areal persawahan di saluran sekunder Ci Macan seluas 1790 ha, tersebar dalam 16 saluran tersier. Saluran sekunder Kihiyang memiliki 7 saluran tersier, dengan luas areal persawahan 360 ha. Bentuk fisik saluran irigasi terbuat dari tanah baik untuk saluran
sekunder
maupun saluran tersier. Kondisi fisik saluran sekunder relative baik, tebing saluran cukup tinggi kecuali sebagian saluran sekunder Ci Bandung yang sedikit rendah, sehingga terjadi luapan air ke jalan saat debit saluran cukup banyak, atau pada saat ada penyumbatan samapah di gorong-gorong (siphon) lintasan rel kereta api. Kondisi fisik saluran tersier, sebahagian baik dan sebahagian lagi kurang baik, disebabkan terdapat dinding saluran yang relative kecil, rusak dan rendah serta box tersier- box tersier yang ada telah rusak. Keadaan ini terutama dijumpai di saluran tersier - saluran tersier dalam areal sekunder Kihiyang. Kerusakan box tersier- box tersier disebabkan usia ynag telah lama dan kesengajaan sebagian petani untuk merusaknya, karena menganggap kehadiran box tersier - box tersier tersebut dapat menghambat penyaluran air. Umumnya box tersier - box tersier tersebut tidak berfungsi walaupun masih dalam keadaan utuh. Hal ini disebabkan secara umum box tersier tersebut tidak dilengkapi dengan saluran kuarter. Kekurangan saluran kuarter menyebabkan air didistribusikan antar petak. D. Sistem pendistribusian air irigasi Sumber air untuk daerah irigasi Macan Hulu berasal dari sungai Ciasem yang disadap melalui bendung Macan. Sedangkan daerah irigasi Macan Hilir selain memperoleh air dari bendung juga mendapat tambahan air dari waduk jati Luhur melalui saluran utama Tarum Timur. Air tersebut ditambahkan pada saat debit air dibendung Macan tidak mencukupi kebutuhan air untuk daerah irigasi tersebut. Sebaliknya apabila air yang disadap dari bendung Macan melebihi kebutuhan air untuk kedua daerah tersebut, sebahagian air akan disalurkan ke saluran utama Tarum Timur melalui saluran supplesi (Kepala Seksi POJ Seksi Binong). Selain sistem pembagian air, juga diterapkan sistem pergiliran air berdasarkan debit air tersedia (Kepala pengairan POJ Seksi Binong). Pergiliran air dilaksanakn pada
17
saat debit air tersedia kurang dari 80 % debit normal (Q). alternative pergiliran yang direncanakan adalah sebagai berikut: 1.
60 % ≤ Q ≥ 80 % dari debit normal, dilakukan gilir glontor; tiga hari air didistribusikan untuk daerah irigasi macan Hulu, empat hari untuk daerah irigasi Macan Hilir.
2.
40 % ≤ Q ≥ 60 % dari debit normal, dilaksanakan gilir glontor berselang; tiga hari air didistribusikan untuk daerah irigasi Macan Hulu, empat hari untuk daerah irigasi Macan Hilir. Pada masing-masing daerah irigasi, pengglontoran diutamakan untuk lokasi-lokasi yang tidak diperoleh air lebih dari lima hari.
3.
Q ≤ 40 % dari debit normal, dilakukan gilir giring antara saluran tersier; separuh dari saluran tersier pada satu saluran sekunder mendapat air siang hari dan sisanya memperoleh air malam hari. Pada saat debit normal atau lebih besar, teknik pengairan biasanya dilakukan
secara terus menerus dan genangan air di petak – petak sawah melebihi 5 cm. Sistem pengairan seperti ini terjadi karena penggunaan air belum diatur secra baik oleh petugas irigasi, Ulu-ulu maupun P3A. keadaan tersebut juga disebabkan oleh sikap petani di hulu yang tidak memperdulikan keaadaan petani yang di hilir, yang mengalami kekurangan air pada waktu – waktu tertentu. E. Curah Hujan di Kawasan Irigasi Macan Hulu Rata-rata curah hujan di daerah irigasi Macan Hulu yang dihitung secara ratarata aritmatik dari empat stasiun penakar hujan terdekat dalam kurun waktu delapan tahun (1991 – 1998) dicantumkan dalam table 1. Rata-rata curah hujan tahunan didaerah tersebut tidak jauh berbeda dengan rata-rata curah hujan tahunan didaerah Pusakanegara (lebih kurang 20 km arah timur utara) yaitu 1561 mm. Dibandingkan dengan curah hujan tahunan yang dicatat stasiun penakar hujan di Kalijati (lebih kurang 12 km arah barat daya), curah hujan tahunan dilokasi penelitian termasuk rendah. Tinggi curah hujan tahunaan di Kalijati mencapai 2589 mm. perbedaan curah hujan tersebut antara lain disebabkan adanya perbedaan topografi. Daerah irigasi Macan Hulu berada di dataran relative rata dan jauh dari pegunungan. Sedangkan daerah Kalijati berada didataran lebih tinggi serta dekat dengan gunung Kujang yang terletak di selatan kota Subang dan kalijati, sehingga berpeluang besar terjadinya hujan orografik.
18
Tabel 1. Rata-rata curah hujan bulanan periode 1991 – 1998 dan rata-rata curah hujan pada tahun 1998 di daerah irigasi macan Hulu, Seksi pengairan Binong, Subang, Jawa Barat. Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Rata-rata tahunan
Curah Hujan bulanan (mm) Periode 1991 – 1998 1998 309 192 164 165 81 49 12 5 34 56 175 211
106 201 138 135 214 87 30 9 47 94 230 184
1453
145
Berdasarkan table klasifikasi Oldeman iklim di daerah irigasi Macan Hulu tersebut termasuk tipe E 3, dengan cirri lama bulan basah (>200 mm perbulan) berurutan 2 bulan dan lama bulan kering (< 100 mm per bulan) berutan 6 bulan. Bulan basah terjadi pada januari dan Pebruari. Bulan kering terjadi mulai Mei sampai Oktober. Air untuk daerah irigasi Macan Hulu bersumber dari bendung Macan. Air tersebut disadap dari sungai Ciasem. Sungai Ciasem berhulu di kaki gunung Tengkuban Perahu (± 30 km arah selatan bendung Macan). Air sungai Ciasem telah disadap sebelumnya di bendung Cinangka, bendung Curug Agung dan Bendung Leuwi Nangka. Setelaha penyadapan di bendung Leuwi Nangka, debit sungai Ciasem telah mengecil. Akan tetapi sebelum mencapai bendung Macan, terjadi penambahan air ke sungai Ciasem dari waduk Bodas yang berada di Kalijati. Keadaan tersebut meningkatkan kembali debit sungai Ciasem, sehingga air yang disadap bendung Macan juga ikut meningkat. Debit rendah andalan daerah irigasi macan, dieprlihatkan pada Gambar 1. Pola tanam baku didaerah irigasi Macan hulu yang ditetapkan oleh POJ seperti diperlihatkan dalam gambar 1. Mulai masa tanam tahun 1994/1995, 1995/1996, dan 1996/1997, pola tanam didaerah tersebut mengalami perubahan. Areal tersier BBd2ki dan BBd3ki di desa Mekar Wangi pada masa tanam MK. II, ditanami padi dengan
19
sistem TOT. kegiatan ini memungkinkan dilakukan karena luas areal tanam kecil (± 80 ha), serta sistem TOT menghemat air penggunaan 15 % tanpa mengurangi hasil (Kartaatmadja et al., 1999). Penanaman padi yang ketiga kali terjadi atas insiatif masyarakat, tanpa mendapat rekomendasi dari pihak yang berwenang baik dari instansi pertanian maupun dari instansi pengairan setempat, sehingga dinamakan tanam padi gadu tanpa izin. Inisiatif tersebut timbul pada permulaannya dari kegiatan coba-coba beberapa masyarakat dan ternyata berhasil , kemudian di ikuti oleh masyarakat lainnya. Daya tarik masyarakat untuk menanam padi pada MK. II karena nilai ekonomisnya relative tinggi; selain tanpa biaya olah tanah, juga harga jual gabah pada saat dipanen lebih tinggi dibandingkan dengan harga gabah saat panen MH dan MK. I (Yusuf, 1998). Pada masa tanam 1997/1998, didaerah irigasi Macan Hulu dilaksanakan uji coba tanam padi tiga kali (IP Padi 300) oleh Badan Litbang Pertanian Pada MK. II. Keigiatan ini dilaksanakan dengan asumsi terjadinya curah hujan lebih tinggi dari normal karena adanya peristiwa El Nino tahun 1998/1998, sehingga persedian air baik berasal dari curah hujan maupun irigasi dapat mencukupi kebutuhan konsumtif tanaman. Areal penanaman meliputi seluruh persawahan yang ada di daerah irigasi tersebut. F. Kebutuhan Air untuk Tanaman Secara umum air dibutuhkan oleh tanaman untuk kegiatan evapotranspirasi. Kegiatan budidaya padi sawah memerlukan air yang banyak untuk pengolaahan sawah dan penggenangan. Khusus untuk padi sawah, kehilangan air melalui evapotranspirasi dan perkolasi dianggap sebagai kebutuhan air konsumtif untuk tanaman (Patil et al., 1989). Evapotranspirasi maksimum merupakan dasar untuk perhitungan kebutuhan padi sawah. Pada kondisi air tidak terbatas evapotranspirasi aktual
sama dengan
evapotranspirasi potensial untuk tanaman padi sawah (Soewarno, 1998). Kebutuhan air tanam sampai panen pada MK II di petakan percobaan sepanjang saluran tersier BBd 2ki kurang dibandingkan di petakn percobaan sepanjang saluran tersier BM6ki (tabel 2). Perbedaan
tersebut
disebabkan
perbedaan
evapotranspirasi
dan
perkolasi.
Evapotranspirasi dan perkolasi di petakan sawah pada penelitian ini, lebih rendah dari hasil penelitian di India (1.650 mm) pada musim panas (Patil et al., 1989). Di lokasi penelitian, hujan turun selamaEvapotranspirasi rendah saat pertama setelah tanam
20
kemudian meningkat sampai maksimum pada akhir fase vegetative/awal fase reproduktif dan selanjutnya kembali mengecil pada fase pematangan. Pada awal masa pertumbuhan, tanaman belum membutuhkan banyak air, karena masih dalam proses pertumbuhan akar dan pembentukan tunas (anakan). Mulai fase vegetative aktif sampai akhir fase reproduktif, kegiatan pengangkutan hara dan photosintesis meningkat untuk pertumbuhan batang, daun, bunga dan pati. Selain itu jumlah anakan padi per rumpun dan luas daun juga mengalami peningkatan, sehingga meningkatkan evapotranspirasi. Memasuki fase pematangan, tanaman mengurangi pengambilan air dalam rangka pemaskan pati serta daun-daun tanaman mulai menguning sehingga mengurangi terjadinya evapotranspirasi. Pertengahan periode tumbuh tanaman, sehingga menenkan laju evapotranspirasi. Tekstur tanah juga menentukan kehilangan air melalui perkolasi.
Tabel 2. Evapotranspirasi (ET), Perkolasi (P) dan ET + P pada masa tanam MK II (1998) dipetak tersier-petak tersier daerah irigase daerah irigasi Macan Hulu, Seksi Pengairan Binong, Subang, Jawa Barat. Fase Tanaman
Evapotranspirasi (mm)
Perkolasi (mm)
Evapotranspirasi dan Perkolasi (mm) ------------------ Petak Tersier BBd2ki -------------------------
Vegetatif 269 ( 6,1 ) 79 ( 1,8 ) 348 Reproduktif 181 ( 7,5 ) 26 ( 1,1 ) 207 Pematangan 107 ( 5,4 ) 17 ( 0,9 ) 124 Total 557 ( 6,3 ) 122 ( 1,3 ) 679 ------------------ Petak Tersier BM6ki ------------------------Vegetatif 280 ( 6,4 ) 122 ( 2,8 ) 399 Reproduktif 162 ( 6,8 ) 59 ( 2,5 ) 211 Pematangan 160 ( 5,7 ) 54 ( 1,9 ) 213 Total 602 ( 6,3 ) 235 ( 2,4 ) 823 Keterangan : Angka dalam kurung adalah nilai rata-rata per hari
( 7,8 ) ( 8,5 ) ( 6,1 ) ( 7,5 ) ( 9,1 ) ( 8,8 ) ( 7,6 ) ( 8,5 )
Rata-rata evapotansporasi harian di petak tersier BBd2 ki dan BM6ki 6,3 mm; lebih rendah dari hasil penilitian di pilot proyek irigasi tajum, Indonesia dan di filiphina yang mencapai 8 mm(watanabe,1974; Bhuniyan et al., 1977). Perbedaan nilai tersebut erat kaitan nya dengan perbedaan intesitas mata hari (Handoko,1994). selama setengah musim tanam(pasi reproduktif-panel), secara umum dilokasi penilitian turun hujan dan
21
langit berawan, sehingga intensitas mata hari relati rendah. Rendah nya masukan energi mata hari menyebab kan kecilnya evapotansporasi. Kehilangan melalui perkolasi pada petak tersier BM6ki lebih tinggi dibandingkan dengan petak tersier BBd2ki. Perbedaan nilai perkolasi antara lain di sebabkan persentase kandungan pasir dalam tanah di petak tersier BM6ki lebih besar, sedangkan persentase kandungan liat lebih kecil di bandingkan dengan petak tersier BBd2ki. Oleh sebab itu tanah di petak tersier BM6ki memiliki porositas lebih besar di bandingkan dengan tanah di petak tersier BBd2ki. Porositas tanah yang lebih besar menyebabkan pergerakan air kebawah menjadi lebih banyak. Rata-rata perkolasi harian dalam satu masa pada petak tersier BBd2ki 1,3 mm dengan kisaran 0,3-4,66 mm, sedangkan dipetak tersier BM6ki 2,4 mm kisarannya adalah 1,6-4,1 mm. pola perkolasi dipetakan kedua tersier sama, yaitu tinggi pada awal masa vegetative dan turun sedikit demisedikit mulai dari awal vegetative aktif sampai panen. Pola tersebut sama dengan hasil penilitian di pilot proyek irigasi Tajum (Watanabe 1974) dan dikebun percobaan Wawatobe,Sulawesi selatan(Sabaruddin et al.,1995). Tingginya perkolasi yang terjadi pada fase vegetative lambat, disebabkan akar belumterbetuk secara sempurna dan penyerapan air belum intensif. H. Kinerja pendistribusian air irigasi Kinerja pendistribusian air irigasi di petak-petak sawah sepanjang saluran tersier BBd2ki belum oktimal. Keadaan tersebut ditunjukkan oleh nilai suplai air relative (RWS) pada lokasi hulu, tengah dan hilir dalam periode empat harian. Secara umum terdapat perbedaan yang cukup besar dari RWS pada lokasi hulu tengah dan hilir terutama mulai dari tanam sampai 56 hari setelah tanam (HST) (fase vegetative/ awal reproduktif). Lokasi hulu memiliki nilai RWS jauh lebih besar dari satu yang berarti cenderung suplai air irigasi lebih banyak dibandingkan lokasi hilir yang mengalami kekurangan air. Kondisi dibagian tengah relative moderat, meskipun terdapat kecendrungan penggunaan air irigasi yang melebihi dari kebutuhan, namun dmasih dalam batas kewajaran. Rata-rata nilai RWS dalam fase vegetative dilokasi hulu sangat tinggi(table 3, dibadingkan dengan yang terjadi pada petak tersier di saluran Cilamaya, yang rata-rata nilai RWS nya hanya mencapai 1,60, sedangkan dilokasi tengah dan hilir lebih kecil
22
(Fagi et al., 1998). Di bandingkan dengan nilai RWS dipetak tersier percotohan pada musim kemarau 1980 yang dilaksana IRRI dan petak tersier non-percontohan, masingmasing nilai RWS nya 1,06 dan 1,13 (IRRI, 1982), maka nilai RWS dilokasi hulu saluran tersier BBd2ki termasuk cukup tinggi, sedangkan lokasi tengah nilai RWS nya hamper sama dan dilokasi hilir nilai RWS lebih kecil. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka penggunaan air irigasi di lokasi hulu saluran tersier BBd2ki tergolongn boros, lokasi tengah mendekati nilai ideal dan lokasi hili mengalami kekurangan air. Kekurangan pendistribusian air kepetak-petak sawah di lokasi hilir merupakan masalah utama yang terjadi di banyak tempat, terutama di musim kering (IRRI,1981) Table 3. Rata-rata dan suplai air relative (RWS) dilokasi hulu,tengah dan hilir pada petak tersier BBd2ki masa tanam MK II (1998) daerah irigasi Macan Hulu, Seksi Pengairan Binong, Subang Jawa barat Fase Pertumbuhan Vegetatif
Rata-rata nilai RWS pada lokasi Hulu Tengah Hilir 2,40 (0,00 - 5,90) 1,30 (0,00 - 4,19) 0,90 (0,00 - 5,21)
Reproduktif
0,96 (0,00 - 2,40)
0,77 (0,15 - 1,17)
1,03 (0,15 - 1,76)
Pematangan
1,68 (0,28 - 4,33)
1,42 (0,51 - 2,74)
1,26 (0,51 – 2,99)
Keterangan: Nilai dalam kurung adalah kisaran RWS dalam periode empat harian.
Perbedaan RWS yang cukup besar antara ketiga lokasi berkaitan erat dengan kondisi air disaluran tersier (Tabel 4). Penyadapan air oleh petani di masing-masing lokasi tergantung dari ketersedian air disaluran. Lokasi hulu merupakan daerah awal masuknya air ke saluran tersier, sehingga debit air irigasi yang tersedia disaluran cukup besar dan memicu petani untuk menydap air secara berlebihan. Sampai ke lokasi tengah jumlah air telah berkurang, sehingga air masuk ke petakan juga tidak sebanyak dilokasi hulu. Sedangkan areal persawahan dilokasi hilir memperoleh sisa air yang sering kali tidak mencukupi kebutuhan air konsumtif tanaman.
Tabel 4. Rata-rata debit disaluran BBd2ki dalam beberapa fase pertumbuhan pada masa tanam MK II (1998) dilokasi Hulu, tengah dan hilir petak tersier BBd 2ki, daerah irigasi Macan Hulu, Seksi Pengairan Binong, Subang, Jawa Barat.
23
Fase pertumbuhan Vegetatif
Debit Saluran (l/det.) 42,5
15.9
3.6
Reproduktif
7.8
3.8
0.6
Pematangan
0
0
0
Beberapa faktor lain yang dapat menjelaskan perbedaan nilai RWS antara lokasi hulu, tengah dan hilir sepanjang saluran Tersier, yaitu: (a) kondisi fisik jaringan dan kebiasaan petani menggunakan sistem pengairan mengalir dengan genangan yang cukup tinggi. Keadaan yang sama juga telah dikemukakan Fagi et al., (1988), yaitu kehilangan air yang cukuo besar terjadi akibat kurang berfungsinya pintu-pintu air dan petani memasukkan air ke petak tersier secara berlebihan, (b) petugas pengatur pintu air, Uluulu dan P3A belum efektif dan mengatur pembagian air. Menurut Pasandaran dan Taylor (1984), pada daerah-daerah yang relatif basah pengaturan penggunaan air belum ketaat dilakukan dan peranan lembaga pengatur/penggunaan air belum aktif. Mulai 41 HST sampai panen tidak terjadi perbedaan nilai RWS yang cukup besar antara ketiga lokasi. Dalam periode tersebut umumnya petani tidak menggunakan air irigasi. Sawah-sawah sengaja dikeringkan untuk menenkan serangan tikus. Kebutuhan air untuk tanaman padi dipenuhi dari curah hujan (Gambar 4). Berdasarkan pernyataan tersebut, terjadinya perbedaan nilai RWS sangat dipengaruhi oleh Fluktuasi pengambilan air irigasi. Fluktuasi nilai RWS dalam periode 4 hari pada petak-petak sawah sepanjang saluran tersier BM6ki memiliki karakteristik yang sama dengan petak tersier BBd2ki. Secara umum mulai tanam sampai 12 HST, suplai air relative kecil terutama dipetak sawah lokasi hilir. Kecilnya suplai dilokasi hilir disebabkan air yang tersedia disaluran telah banyak disadap dilokasi hulu dan tengah. Mulai 26 HST sampai pane, umumnya nilai RWS di ketiga lokasi lebih besar dari satu. Keadaan tersebut disebabkan dalam periode ini curah hujan mulai tinggi, sehingga suplai air dari curah hujan mulai menjadi besar. Rata-rata nilai RWS di petakan tersier BM6ki pada ketiga lokasi melebihi kebutuhan tanaman, terejadi dalam semua fase pertumbuhan tanaman (Tabel 5). Penggunaan air irigasi pada petak tersier BM6ki terus berlangsung selama air disalauran
24
tersedia, walaupun pada saat curah hujan mencukupi kebutuhan tanaman (gambar 6).penyadapan air irigasi pada saat curah hujan efektif mencukupi kebutuhan tanaman dengan tujuan untuk mendapatkan genangan air yang cukup tinggi dalam rangka menekan serangan tikus (berlawanan dengan kebiasaan petani-petani di areal tersier BBd2ki). Tabel 5. Rata-rata dan kisaran suplai air relative (RWS) di lokasi Hulu, Tengah dan Hilir pada petak tersier BM6ki, masa tanam MK II (1998) di daerah irigasi Macan Hulu Seksi Pengairan Binong, Subang Jawa Barat. Fase Pertumbuhan
Hulu
Rata-rata nilai RWS pada lokasi Tengah Hilir
Vegetatif
1,67
(0,05 – 5,45)
1,78 (0,00 – 4,89)
1,28 (0,14 – 4,93)
Reproduktif
2,86
(0,73 – 9,16)
1.59 (1,11 – 2,84)
1,36 (0,3 – 2,18)
Pematangan
1,05
(0,44 – 2,67)
1,72 (0,42 – 3,90)
1,57
(0,36 – 3,15)
Keterangan: Nilai dalam kurang adalah kisaran RWS. Berdasarkan keyakinan petani-petani di daerah penilitian, kondisi air di dalam petak sawah mempengaruhi keadaan serangan tikus. Serangan tikus dapat di tekan dengan cara mengeringkan sawa (keyakinan petani-petani di areal tersier BM6ki). Tikus merasa takut atau merasa kurang leluasa untuk masuk ke areal sawah yang dikering. Hal ini disebabkan dalam keadan kering, musuh alami tikus (kucing,anjing, barang-baran dan hewan sejenis musang) sering di dapat di areal tanaman padi. Sebalik nya genangan yang cukup tinggi juga akan mengurangi keluluasaan tikus dalam menyerang tanaman . secara ilmiah, keyakainan tersebut belum dapat dibuktikan. Dari penelaahan literature yang dilakukan, belum ditemukan hasil-hasil yang relevan. Akan tetapi dari pengamatan selama penilitian, keyakinan pertama tampak nyamemiliki kebenaran yang lebih tinggi dari pada keyakinan yang kedua. Tingginya perbedaan nilai RWS dari lokasi hilu,tengah dan hilir pada petak tersier BBd6ki dan suplai air relative yang melebihi kebutuhan tanaman pada petakpetak tersier BM6 merupakan indicator belum oktimalnya kinerja pendistribusian air irigasi pada petakan- petakan sepanjang saluran tersier di kawasan irigasi Macan Hulu wilayah pengairan POJ Seksi Binong Subang Jawa Barat. I. Curah Hujan Efektif
25
Selama fase vegetatif ( bulan agustus sampai bulan September), curah hujan dan jamlah hari hujan di lokasi penilitian masih rendah. Keadan cuaca masih di pengaruhi oleh El-Nino 1997/1998. Curah hujan dan hari hujan mulai meningkat sejak tanggal 24 September 1998 sampai akhir penelitian. Tanaman padi dipetak tersier BBd2ki telah memasuki masa reproduktif dan masih dalam fase Vegetatif aktif di petak tersier BM 6ki. Curah hujan efektif dalam setiap kejadian hujan umumnya mencukupi kebutuhan tanaman. Total curah hujan efektif di petak tersier BBd2ki selama masa pertumbuhan tanaman masuk air sebanyak 286 mm (hulu), 360 mm (tengah dan hilir). Tanaman dipetak tersier BM 6ki menerima air curah hujan efektif sebanyak 406 mm untuk ketiga lokasi. Kontribusi curah hujan efektif sangat besar dalam memasuk air untuk tanaman dan mengurangi jumlah hari cekaman air terutama pada lokasi hilir saluran tersier. Secara umum curah hujan efektif dapat digunakan untuk menghemat penggunaan air irigasi. Apabila curah hujan efektif diperhitungkan dalam penyaluran air, maka penggunaan air irigasi dari waduk Jatiluhur dapat dihemat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak menyalurkan air ke saluran-saluran sekunder/tersier pada saat curah hujan efektif mencukupi kebutuhan tanaman. Air yang berlebihan dapat disalurkan ke saluran induk Tarum Timur sehingga dengan demikian penyaluran air sari waduk Jati Luhur dapat dikurangi. Penghematan penyaluran air dari Waduk Jati Luhur akan memperluas areal tanam pada musim kemarau, member kemungkinan penanaman padi tiga kali setahun atau dapat mengurangi dampak kekeringan pada saat kemarau panjang di daerah pengairan POJ (Fagi, 1998). Akan tetapi selama penelitian berlangsung di kawasan irigasi Macan Hulu seksi pengairan Binong tidak dilaksanakan penyaluran air seperti yang telah diutarakan. Air tetap disalurkan ke saluran-saluran sekunder/tersier pada saat curah hujan efektif mencukupi kebutuhan tanaman, sehingga air terbuang percuma ke saluran-saluran pembuang. J. Hari Cekaman Air
26
Pendistribusian air sepanjang saluran tersier yang belum merata menyebabkan timbulnya hari cekaman air (Stress Day) yang bervariasi antara lokasi hulu, tengah dan hilir (Tabel 6). Tanaman padi pada umur 52 – 54 HST di petak percobaan lokasi hulu saluran tersier BBd2ki, mengalami 3 hari cekaman air. Hari cekaman air terjadi akibat pengeringan saluran sekunder Ci Bandung dalam rangka perbaikan. Muka air tanah pada saat tersebut berada pada kisaran -113 - -227 mm. Tabel 6. Jumlah dan waktu kejadian hari cekaman air dan hari tanpa genangan pada petak tersier BBd2ki dan BM6ki dilokasi Hulu, Tengah dan Hilir pada masa tanam MK II (1998) daerah irigasi Macan Hulu, Seksi Pengairan Binong, Subang, Jawa Barat. Lokasi
Jumlah hari Jumlah hari cekaman tanpa genangan ---------- Tersier BBd2ki------------
Hulu
0 3 0
2 12 21
Tengah
1 3 0
8 6 8
Hilir
6 4 0
21 19 9
Periode
Fase vegetative Fase Reproduktif Fase Pematangan Fase vegetative Fase Reproduktif Fase Pematangan Fase vegetative Fase Reproduktif Fase Pematangan
---------- Tersier BM6ki------------
Hulu
0 0 0
1 0 0
Tengah
0 0 0
3 0 0
Hilir
4
29
Fase vegetative Fase Reproduktif Fase Pematangan Fase vegetative Fase Reproduktif Fase Pematangan Fase vegetative
27
0 0
10 16
Fase Reproduktif Fase Pematangan Keterangan : Fase vegetative dari tanam sampai 44 HST, fase reproduktif 45 – 69 HST dan fase pematangan 70 HST sampai panen. Peneringan saluran sekunder Ci Bandung juga mengakibatkan padi fi lokasi tengah mengalami hari cekaman air. Suatu hari cekaman air terjadi pada saat tanaman berumur 44 HST (akhir fase vegetative) dan 3 hari cekaman air pada umur 45 -47 HST (awal fase reproduktif). Muka air tanah berada dalam kisaran -135 - -274 mm. Padi yang ditanaman di lokasi hilir pada petakan saluran tersier BBd2ki, mengalami 6 hari cekaman air pada fase vegetative, dalam dua periode. Hari cekaman air pertama terjadi selama 5 hari pada saat tanaman berumur 13 – 17 HST. Pada saat masukan air irigasi tidak mencukupi kebutuhan tanaman, karena air di saluran disadap secara berlebihan di lokasi hulu dan tengah. Nilai RWS di lokasi hilir saat tersebut kurang dari satu, sementara d lokasi hulu dan tengah lebih besar dari satu. Periode hari cekaman air yang kedua terjadi akibat pengeringan saluran sekunder Ci Bandung. Satu hari cekaman air pada saat tanaman berumur 44 HST (akhir fase vegetative) dan 4 hari cekaman air pada saat tanaman berumur 45 – 48 HST (awal fase reproduktif). Sawah di sepanjang saluran tersier BM6ki, lokasi hulu dan tengah tidak mengalami hari cekaman air. Tanaman padi pada lokasi hilir mengalai 4 cekaman air pada umur 9 -12 HST. Muka air tanah selama terjadi hari cekaman air di lokasi hilir berkisar antara -90 - -196 mm. Hari cekaman air yang terjadi di lokasi hilir, disebabkan pengeringan saluran sekunder Ci Macan tanggal 8 -11 September 1998 dalam rangka perbaikan. Tidak terjadi hari cekaman air pada lokasi hulu dan hilir, selama masa pengeringan saluran sekunder Ci Macan, disebabkan kedua lokasi tersebut telah mendapatkan air yang mencukupi sebelumnya. Sebaliknya lokasi hilir tidak memperoleh air irigasi yang mencukupi sebelum masa pengeringan, karena air yang ada di saluran telah habis disadap untuk lokasi hulu dan tengah.
28
Penyadapan air yang berlebihan dilokasi hulu saluran, sehingga lokasi hilir mengalami kekurangan air merupakan masalah umum dalam pendistribusian air di jaringan irigasi POJ (IRRi, 1982). Keadaan tersebut terjadi akibat masih rendahnya kesadaran petani terhadap budidaya hemat air, serta kurangnya kepedulian petani di lokasi hulu terhadap nasib petani dilokasi hilir.
4. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Kinerja pendistribusian air irigasi sepanjang saluran tersier di daerah irigasi Macan Hulu, Wilayah Pengairan POJ Seksi Pengairan Binong Subang Jawa Barat, belum optimal. Air irigasi tidak terbagi secara proposional dalam suatu areal tersier. Penyadapan air irigasi di lokasi hulu dan tengah lebih besar dari kebutuhan konsumtif tanaman sehingga lokasi hilir sering mengalami kekurangan air. Factor dominan disebabkan rendahnya kesadaran petani dalam menggunakan air, kurang berfungsinya Ulu-ulu, belum aktifnya P3A dan rendahnya disiplin petugas irigasi dalam mengatur penyaluran dan penggunaan air. Rendahnya kinerja pendistribusian air irigasi mengakibatkan air terbagi secara tidak merata dalam suatu areal tersier, sehingga menimbulkan jumlah hari cekaman air yang berbeda pada petakan sepanjang saluran tersier. Pada petak tersier BBd 2ki, lokasi hilir mengalami 6 hari cekaman dalam fase vegetative dan 4 hari cekaman air dalam fase reproduktif dan lokasi tengah mengalami hari cekaman air dalam fase vegetative dan reproduktif masing-masing 1 dan 3 hari. Lokasi hulu dan tengah di petak tersier BM6ki tidak mengalami hari cekaman air, sedangkan lokasi hilir mengalami 4 hari cekaman air pada fase vegetataif. Curah hujan efektif selama penelitian berlangsung dapat mengurangi penggunaan air irigasi dan menekan terjadinya jumlah hari cekaman air, terutama pada loaksi hilir dari saluran tersier. Peranan curah hujan efektif untuk menghemat penggunaan air irigasi belum diperhatikan. Penyaluran air irigasi terus dilakukan meskipun pada saat curah hujan efektif mencukupi kebutuhan tanaman. B. Saran
29
Untuk mengoptimalkan kinerja pendistribusian air irigasi di daerah irigasi Macan Hulu, Seksi pengairan Binong, Subang, Jawa Barat, perlu diaktifkan lembaga P3A-P3A yang telah ada, menambah tenaga pembagi air disaluran sekunder, meningkatkan dsiplin kerja petugas pengairan dan Ulu-ulu, serta meningkatkan kesadaran dan kepedulian petani untuk menerapkan teknik budidaya padi sawah yang hemat air. Oleh karena itu perlu dibuat suatu peraturan bersama secara musyawarah, baik menyangkut cara penggunaan dan pembagian air maupun sangsi-sangsi yang dikenakan apabila ada pelanggaran, sehingga dapat diterima oleh semua pihak yang terkait dan dijalankan dengan benar. Petugas penyalur air irigasi perlu memperhatikan pemanfaatan curah hujan efektif dalam mendistribusikan air, supaya air irigasi dimanfaatkan secara efektif dan efesien. Apabila curah hujan efektif mencukupi kebutuhan konsumtif tanaman, penyaluran air irigasi ke saluran-saluran tersier dihentikan sementara. Pada saat tersebut air disalurkan ke saluran induk Tarum Timur. Pengaturan penyaluran air seperti ini diharapkan dapat mengurangi suplai air dari waduk Jati Luhur, sehingga penghematan air waduk dapat digunakan untuk kebutuhan pada masa tanam berikutnya. 5. DAFTAR PUSTAKA Chandra, K., C. Das and N. L. Meena. 1988. Influence in Planting Methods and Irrigation Practices on Rice Water Requrement. IRRN, Manila, 12 (2) : 25. Dastane, N. G. 1974. Efective Rainfall in Irrigated Agricalture, FAO Irrigation and Drainage Paper Vol. 25, Rome. Doorenbos, J. and A. H. Kassam. 1979. Yield Response to Water. FAO Irrigation and Drainase Paper. Roma Second edition, 33 : 193. Dawan, B. D. and K. J. S. Sanasai. 1991. ECONOMIC LINKEGESAMONG IRRIGATION SAUCES; A stady of the benafical role of canal seepage. Internasional Food Policy Reasearch Institute, Wasington DC. Fagi, M. A., I. Syamsyiah dan D. S. Budi. 1998. Efesiensi Penggunaan Air pada Tanaman Pangan. Penelitian Tanaman Pangan, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Fagi, M. A. 1998. Hasil Utama penelitian Untuk mendukung pengembangan Lahan Sawah Beririgasi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Gomesta, A. R. dan M. Z. Haque 1995. Leaf rolling and Deciccation Tolerance in Rabition to Rooting Depth and Leaf Area in Rice. IRRI Report 20:4 (Desember 1995), Manila.
30
Handoko, (edt). 1993. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya, Jakarta. Harjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta. Hermanto, Sumaryanto dan E. Pasandaran. 1995. Pengelolaan Sumberdaya dalam rangka menunjang pemantapan Swasembada Pangan. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian IV di Yogyakarta 26-28 Januari 1995, PP: 48-54. IRRI. 1981. IRRIGATION WATER MANAGEMENT; Irigation water management and Agriculture Economic Departement. IRRI Report 1980, Manila. ____. 1982. IRRIGATION WATER MANAGEMENT; Irigation water management and Agriculture Economic Departement. IRRI Report 1981, Manila. ____. 1983. IRRIGATION WATER MANAGEMENT; Irigation water management and Agriculture Economic Departement. IRRI Report 1982, Manila. ____. 1983. Drought Tolerance at shallow Rooting Depth. IRRI Report 1982, Manila. ____. 1985. Water Manajemen for Improving Cropping Schedules. IRRI Report 1984, Manila. Kartaadmaaja S, A. Farhan, D. Setiobudi, A. S. Wityanara dan T.S. Kadir. 1999. Keterkaitan Antara Cara pengolahan Tanah, Pemupukan, dan Pengendalian Penyakit tanaman dengan Pengelolaan Air irigasi. BALITPA Sukamandi bekerja sama dengan proyek Pembinaan Kelembaagaan Penelitian dan pengembangan pertanian. Badan penelitian dan pengembangan pertanian, Bogor. Miranda, S. M. 1989. IRRIGATION SYSTEM PRINCIPLES AND PRACTICES FOR REALIABLE FARM. In: Progress in Irrigated Rice Reasearch, IRRI, Manila. P: 195. Marimuthu, R. and R. Kulandaivelu. 1987. Irrigation Management for Lawland Rice Under Water Constraint. IRRN, Manila, 12 (1) : 26. Pasandaran, E dan D. C. Taylor (etd). 1984. IRIGASI: Perencanaan dan Pengelolaan. Gramedia, Jakarta. Patil, B. P., A. S. Bal and S. S. Prabhudesai. 1989. Evapotranspiration and Deep Percolation Loss af water in summer Rice on Lateric Soil. IRRN, Manila. P:42. Pawitan, H., I. Las, H. Suharsono, R. Boor, Handoko, dan J. S. Baharsjah. 1996. Implementasi pendekatan strategis dan taktis Gerakan Hemat Air. Prosiding Seminar Nasional Gerakan heat Air. Kerjasama LEMHANAS, PERHIMPI, PERAGI, dan PERHEPI, Jakarta. P:17. Pusposutarjo, S. 1996. Rancang Bangun dan sitem Jejaring Irigasi Serta Agihan Air dalam Kaitannya Dengan Gerakan Hemat Air. Prosiding Seminar Nasional Gerakan heat Air. Kerjasama LEMHANAS, PERHIMPI, PERAGI, dan PERHEPI, Jakarta. P:85. Rochyadi, D. (1998). (Wawancara). Kepla Pengairan POJ Seksi Binog, Subang.
31
Setiobudi, D. 1994. Hari Tekanan Pada Padi Sawah. Prosiding Diskusi Panel Ansipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang, Sukamandi. PP: 160 – 170. __________. 1996. Pengaruh tingkat pupuk nitrogen Terhadap petumbuhan dan hasil padi kultivar ciliwung pada berbagai jangka waktu penggenangan Air. Prosiding Simposium Meteorologi Pertanian, Yogyakarta. P.524. Sjamsudin, E. dan Karama A. S. 1996. Budidaya Hemat Air dan panen hujan dalam pertanian. Prosiding seminar Nasional Hemat Air. Kerjasama LEMHANAS, PERHIMPI, PERAGI dan PERHEPI, Jakarta. Subari dan D. Baskoro. 1998. Perencanaan dan penagturan Air Irigasi dengan bantuan sistem computer dan komunikasi di daerah irigasi Way sekampung. Informasi Teknik: Balai Penelitian Irigasi Departemen Pekerjaan Umum, Bekasi. 2 : 53. Willy, L. 1998. (wawancara). Kepala Penyuluah Pertanian Lapangan kecamatan Pegaden, Subang. Yusuf, M. 1998. (wawancara) ketua kelompok tani Suka Maju III Desa Mekar Wangi Kecamatan Pegaden, Subang. Zaman, A., Mallick, s., Bandhopadhaya, P. and Mukhopadhaya. 1992. Phosphorus Effects on rice Yield Under Different Moisture Regimes During Wet season in West Bengal, India. IRRI Report, Manila.