TINJAUAN PUSTAKA Sistem Irigasi Irigasi adalah usaha penyediaan, pengaturan, dan pembuangan air irigasi untuk menunjang pertanian yang jenisnya meliputi irigasi permukaan, irigasi rawa, irigasi air bawah tanah, irigasi pompa, dan irigasi tambak. Irigasi mempunyai ruang lingkup mulai dari, penyaluran air dari sumber ke daerah pertanian, pembagian dan penjatahan air pada areal pertanian, serta penyalur kelebihan air irigasi secara teratur. Sedangkan Jaringan irigasi adalah saluran, bangunan, dan bangunan pelengkapnya yang merupakan satu kesatuan yang diperlukan
untuk
penyediaan,
pembagian,
pemberian,
penggunaan,
dan
pembuangan air irigasi (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, 2006). Dari segi konstruksinya, Pasandaran (1991) mengklasifikasikan sistem irigasi menjadi 4 (empat) jenis yaitu : 1. Irigasi Sederhana adalah sistem irigasi yang sistem konstruksinya dilakukan dengan sederhana, tidak dilengkapi dengan pintu pengatur dan alat pengukur sehingga air irigasinya tidak teratur dan tidak terukur, sehingga efisiensinya rendah. 2. Irigasi Semi Teknis adalah suatu sistem irigasi dengan konstruksi pintu pengatur dan alat pengukur pada bangunan pengambilan (head work) saja, sehingga air hanya teratur dan terukur pada bangunan pengambilan saja dengan demikian efisiensinya sedang. 3. Irigasi Teknis adalah suatu sistem irigasi yang dilengkapi dengan alat pengatur dan pengukur air pada bangunan pengambilan, bangunan bagi
5
6
dan bangunan sadap sehingga air terukur dan teratur sampai bangunan bagi dan sadap, diharapkan efisiensinya tinggi. 4. Irigasi Teknis Maju adalah suatu sistem irigasi yang airnya dapat diatur dan terukur pada seluruh jaringan dan diharapakan efisiensinya tinggi sekali. Pengelolaan air di lahan sawah sangat ditentukan oleh kondisi topografi dan pola curah hujan. Lahan sawah yang berasal dari lahan kering yang diairi umumnya berupa lahan irigasi, baik yang berupa irigasi teknis (dengan bangunan irigasi permanen), setengah teknis (dengan bangunan irigasi semi permanen), maupun irigasi sederhana (tanpa bangunan irigasi). Apabila sumber air berasal langsung dari air hujan maka disebut sawah tadah hujan. Sawah yang dikembangkan di rawa-rawa lebak disebut sawah lebak. Tanah sawah juga dapat berasal dari lahan rawa pasang surut (Subagyono, et all., 2001). Tanaman Padi Padi telah tumbuh sejak lama di negara-negara Asia sebagai negara asal tanaman padi. Ada banyak varietas padi, baik yang tumbuh di lahan basah (sawah) maupun di lahan kering. Namun, sejauh ini sebagian besar tanaman padi di budidayakan di lahan basah dan ada ratusan jenis varietas padi. Di sebagian besar negara-negara beriklim subtropis dan pada lahan dataran rendah pesisir, lahan ini terutama digunakan untuk menanam padi. Di daerah pesisir dan aliran sungai, adanya hujan lebat sering menyebabkan banjir pada waktu tertentu dalam setahun sehingga menjadi hampir tidak memungkinkan tanaman lain untuk tumbuh. Di musim lain banyak daerah yang terlalu kering untuk tanaman padi,
7
oleh karena itu, sangat penting untuk memasok beras untuk kebutuhan penduduk selama musim hujan (Kheong, et al., 1970). Adapun klasifikasi tanaman padi merupakan tanaman semusim, termasuk golongan rumput-rumputan adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monotyledonae Famili : Gramineae (Poaceae) Genus : Oryza Spesies : Oryza sp. Spesies Oryza sp. Ada 25 spesies diantaranya: Oryza sativa L. Oryza glabirena Steund Sedangkan subspesies Oryza sativa L., dua diantaranya: Indica (padi bulu) Sinica (padi cere) atau Japonica (AAK, 1990). Beberapa persyaratan tumbuh tanaman padi, antara lain: 1. Iklim a. Tumbuh di daerah tropis/subtropis pada 45o LU - 45o LS dengan cuaca panas dan kelembaban tinggi dengan musim hujan 4 bulan. b. Rata-rata curah hujan yang baik adalah 200 mm/bulan atau 1500-2000 mm/tahun. Padi dapat ditanam di musim kemarau atau hujan. Pada musim kemarau produksi dapat meningkat dengan syarat air irigasi selalu tersedia. Di musim hujan, walaupun air melimpah produksi dapat menurun karena penyerbukan kurang intensif.
8
c. Di dataran rendah padi memerlukan ketinggian 0-650 m dpl dengan temperatur 22-270C sedangkan di dataran tinggi 650-1.500 m dpl dengan temperatur 19-230C. d. Tanaman padi memerlukan penyinaram matahari penuh tanpa naungan. e. Angin berpengaruh pada penyerbukan dan pembuahan tetapi jika terlalu kencang akan merobohkan tanaman. 2. Media Tanam Padi sawah a. Padi sawah ditanam di tanah berlempung yang berat atau tanah yang memiliki lapisan keras 30 cm di bawah permukaan tanah. b. Menghendaki tanah lumpur yang subur dengan ketebalan 18-22 cm. c. Keasaman tanah antara pH 4,0-7,0. Pada padi sawah, penggenangan akan mengubah pH tanam menjadi netral (7,0). Pada prinsipnya tanah berkapur dengan pH 8,1-8,2 tidak merusak tanaman padi. Karena mengalami penggenangan, tanah sawah memiliki lapisan reduksi yang tidak mengandung oksigen dan pH tanah sawah biasanya mendekati netral. Untuk mendapatkan tanah sawah yang memenuhi syarat diperlukan pengolahan tanah yang khusus. 3. Ketinggian Tempat Tanaman dapat tumbuh pada derah mulai dari daratan rendah sampai daratan tinggi. (BPTP Subang dan Mariam, 2013). Padi dapat tumbuh dengan baik di daerah tropis maupun subtropis. Untuk padi sawah, ketersediaan air yang mampu menggenangi lahan tempat penanaman sangat penting. Oleh karena air menggenang terus-menerus maka tanah sawah harus memiliki kemampuan menahan air yang tinggi, seperti tanah lempung. Untuk kebutuhan air tersebut,
9
diperlukan sumber mata air yang besar kemudian ditampung dalam bentuk waduk (danau). Dari waduk ini kemudian air akan dialirkan selama periode pertumbuhan padisawah (Suprayono dan Setyono, 1997). Penggunaan Air Irigasi Pada Tanaman Padi Kebutuhan air untuk suatu areal pertanian dapat dilihat secara menyeluruh dan secara parsial. Secara parsial, kebutuhan air dibedakan atas kebutuhan air tanaman dan kebutuhan air pada tingkat usaha tani. Dan berdasarkan corak pertaniannya, dibedakan atas kebutuhan air di persawahan dan kebutuhan air di perladangan. Kebutuhan air tanaman (crop water requirement, CWR) adalah jumlah
air
yang
dibutuhkan
tanaman
untuk
pemakaian
konsumtif
(evapotranspirasi) dan air yang hilang melalui perkolasi. Kebutuhan air irigasi (irrigation water requirement, IWR) adalah jumlah air yang harus dimasukkan ke jaringan
irigasi
melalui
pintu
pengambilan
utama,
sesuai
dengan
kebutuhan/permintaan dan dengan memperhitungkan jumlah air yang hilang (Dumairy, 1992). Pengelolaan air pada padi sawah merupakan upaya untuk menekan kehilangan air di petakan sawah guna mempertahankan atau meningkatkan hasil gabah per satuan luas, pengurangan air akibat perkolasi, rembesan, dan aliran permukaan dapat menekan penggunaan air irigasi. Ketersediaan air irigasi untuk budidaya padi sawah makin terbatas karena bertambahnya pengguna air untuk sektor industri dan rumah tangga, durasi curah hujan makin pendek akibat perubahan iklim, cadangan sumber air lokal juga berkurang dan terjadinya pendangkalan waduk (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2009).
10
Di Indonesia terdapat kurang lebih 5 juta Ha sawah beririgasi. Sebagai pengguna air terbesar (85%) sawah beririgasi masih dihadapkan kepada masalah efisiensi, yang disebabkan oleh kehilangan air selama proses penyaluran air irigasi (distribution losses) dan selama proses pemakaian (field aplication losses). Tingkat efisiensi di saluran primer dan sekunder diperkirakan sebesar 70-87%, saluran tersier antara 77-81% dan jika digabungkan dengan kehilangan di tingkat petakan maka efisiensi penggunaan air secara keseluruhan baru berkisar antara 40-60% (Kurnia, 2001). Kebutuhan air di persawahan dihitung berdasarkan dalamnya kebutuhanair dikalikan dengan luas daerah irigasi kemudian ditambah besarnya kehilangan air selama perjalanan maksudnya air yang hilang selama perjalanan dari bangunan induk menuju petak sawah baik karena evaporasi maupun karena rembesan dalam tanah.Sedangkan kebutuhan air di perladangan dihitung berdasarkan luas daerah dikalikan dengan laju evapotranspirasi (Dumairy, 1992). Potensi Produksi Padi Per Satuan Luas Lahan Sinar matahari sangat penting dan memberikan pengaruh besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, kekurangan cahaya matahari akan mengganggu proses fotosintesis dan pertumbuhan. Puspositardjo (1991) menyatakan bahwa energi surya yang dapat sampai kepermukaan bumi merupakan faktor penentu nilai batas produktifitas lahan pada budidaya sawah. Secara kasar produksi maksimum padi yang ditentukan oleh faktor pembatas energi radiasi surya yang sampai dibumi dapat dihitung dengan rumus Yosida (1983) dalam Pusposutardjo (1991) : Eu ×T×Rs
W=
K
× 104 gm/m2........................................................................(1)
11
Dimana: W = pertambahan berat kering tumbuhan (kg/ha) T = lama waktu pengisian bulir padi sampai masak (hari) Rs = rata-rata radiasi matahari yang masuk ke bumi (kal/cm2 hari) K = tetapan (4000 kal/g) Eu = koefisien konversi energi surya (berdasarkan tetapan Yoshida, 1983 sesuai varietas padi, 0,025 untuk varietas unggul) Untuk menentukan nilai Rs dapat diperhitungkan dengan memakai rumus empiris Hargreaves dalam Pusposutarjo (1991) : Rs = 0,10 Rso (S)1/2kal/cm2hari.................................................................(2) Dimana: Rso = energi surya yang diterima dipuncak atmosfir (kal/cm2hari) S
= persen lama penyinaran
Potensi Sistem Irigasi Untuk Mendukung Budidaya Padi Sawah Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa persoalan dalam sistem manajemen irigasi sekarang yaitu dalam penyediaan data sumberdaya air yang berasal dari alat ukur cuaca, seperti hidrometer karena alat sudah banyak yang rusak, maka diakibatkan tidak pernah dikalibrasi ulang atau letak posisi dari alat tersebut secara hidrolika tidak tepat, dan rasa tanggung jawab petugas yang rendah sehingga data sumberdaya air yang digunakan pihak manajemen irigasi sangat lemah dantidak menggambarkan keadaan nyata. Sehingga sistem manajemen irigasi seperti ini tidak akan memberikan jaminan air. Persoalan selanjutnya dalam perencanaan penyediaan air dan pendistribusiannya yang tidak melibatkan petani secara langsung, petani hanya diberi tahu pola tanam yang
12
harus diikuti berikut jadwal tanam dan debit air yang dijatahkan. Untuk dapat memanfaatkan air didalam sistem irigasi secara efektif dan efisien dapat ditinjau berdasarkan kinerja jaringan irigasi dan manajemen irigasi. Sumaryanto (2006) menyatakan bahwa kinerja irigasi tercermin dari kemampuannya untuk mendukung ketersediaan air irigasi pada areal layanan irigasi yang kondusif untuk penerapan pola tanam yang direncanakan, kinerja irigasi ditentukan secara simultan oleh kondisi fisik jaringan dan kinerja O dan P.Pusposutardjo (1991) kinerja jaringan irigasi ditentukan oleh empat faktor utama yang disebut sebagai sistem irigasi, yaitu keadaan fisik jaringan, kemampuan petugas dalam pengoprasian jaringan oleh Dinas Pertanian, petani pengguna air dan ketentuan atau aturan mengenai pengoprasian dan pemanfaatan. a.
Luas dan perkembangan lahan Irigasi Luas lahan irigasi adalah luas lahan yang dirancang untuk dapat diberi air
irigasi dalam suatu daerah irigasi (DI). Dalam luas dan perkembangan lahan irigasi diIndonesia dijumpai tiga hal yang menarik selama empat Pelita, diantaranya adalah : 1.
Wirosoemarto (1983) dalam Pusposutardjo (991) menyatakan bahwa biaya pembangunan jaringan irigasi perkesatuan luas yang cenderung naik. Kecenderungan akan naiknya biaya pembangunan jaringan irigasi ternyata tidak hanya semata-mata disebabkan oleh karena faktor perkembangan moneter, tetapi juga disebabkan oleh faktor kesulitan teknis konstruksi yang terus meningkat sebagai akibat keterbatasan air dan lahan.
2.
Di Jawa pertambahan luas lahan irigasi teknis ternyata diikuti dengan menurunnya luas lahan irigasi semi teknis dan irigasi sederhana. Bila
13
perubahan luas lahan klas irigasi dihubungkan dengan nisbah luas lahan antar klas irigasi maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan jaringan irigasi di Jawa dimaksudkan untuk lebih bersifat peningkatan mutu kemampuan pelayanan (pengelolsaan air) dibandingkan dengan bertambah luasnya kemampuan pelayanan. Keadaan perkembangan lahan irigasi seperti di Jawa berlangsung oleh karena adanya dua kendala utama yaitu keterbatasan lahan untuk dijadikan lahan sawah baru dan keterbatasan sumberdaya air yang dapat dikembangkan. 3.
Di luar Jawa yang masih mempunyai potensi untuk perluasan areal dan sumberdaya air yang dapat dikembangkan relatif masih banyak, dan pengembangan irigasi dapat mengarah pada dua sasaran, yaitu perluasan areal pelayanan dan peningkatan mutu pelayanan irigasi yang diupayakan dengan peningkatan klas irigasi. Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa lahan irigasi adalah luasan lahan
yang dirancang untuk dapat dialiri air irigasi. Sementara, lahan panen adalah luasan lahan yang dipanen sebagai media tanam dalam budidaya tanaman pangan (padi) yang merupakan bagian dari lahan irigasi sawah. Luas lahan irigasi teknis dapat dihitung dengan rumus : Nisbah luas lahan irigasi teknis = Luas b.
Luas Lahan Irigasi Teknis
irigasi semi teknis +luas irigasi sederhana
.........(3)
Nisbah Antara Luas Lahan Panen Dengan Luas Lahan Beririgasi
Pusposutardjo (1991) menyatakan bahwa nisbah antara luas panen dengan luas lahan beririgasi dapat dipakai sebagai petunjuk kemampuan pelayanan jaringan irigasi sebagai sarana budidaya padi dilahan sawah. Apabila nilai nisbah
14
selalu dibawah 2, hal ini berarti bahwa penanaman padi hanya dapat dilakukan 2 x dalam setahun. c.
Keandalan Jaringan Irigasi Untuk Stabilisasi Produksi Padi Sawah Fluktuasi luas panen per satuan luas lahan irigasi merupakan keandalan
fungsional jaringan irigasi terhadap perubahan iklim. Selain itu, keandalan jaringan irigasi ini juga dapat dilihat dari angka kerusakan luas areal panen pada luasan tertentu selama periode tertentu pula. Jika angka kerusakan semakin tahun cenderung meningkat maka dapat dikatakan bahwa keandalan jaringan irigasi untuk menunjang stabilisasi produksi padi sawah masih perlu ditingkatkan (Pusposutardjo, 1991). Pusposutardjo (1991) mengemukakan bahwa keandalan fungsional jaringan irigasi dapat pula ditentukan oleh manajemen irigasinya. Varley (1995) mengemukakan bahwa kemajuan pembangunan fisik jaringan irigasi di Indonesia tidak diimbangi dengan kemajuan manajemen irigasinya. Kenyataan di lapangan banyak jaringan irigasi yang tidak berfungsi dengan baik, terjadi kebocoran dalam penyaluran dan pemberian air, lemahnya perawatan dan pemeliharaan jaringan irigasi, distribusi air yang tidak merata, serta jadwal giliran pemakaian air yang yang tidak tertib. Beberapa kendala dalam meningkatkan keandalan jaringan irigasi dalam stabilisasi produk padi sawah, antara lain: 1.
sumber air irigasi umumnya berasal dari air limpasan yang diambil dengan bendung ( run off on the river system)
15
2.
sistem irigasi yang ada dirancang untuk dioperasikan atas dasar jadwal waktu operasi yang tetap sedangkan pasok air hujan berlangsung secara stokhastik
3.
perubahan lingkungan yang mempengaruhi sifat hubungan hujanlimpasan berlangsung cepat
4.
keterbatasan data dan sarana pengumpulan data klimatologi dan hidrologi yang sangat menentukan berhasilnya pencapaian fungsional jaringan
(Pusposutardjo, 1991). Aras Pencapaian Produksi Padi Dalam meningkatkan aras pencapaian produksi padi perlu dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan produksi, misalnya percepatan dan perluasan areal tanam, penerapan teknologi, pengamanan pertanaman dari dampak fenomena iklim atau serangan organisme pengganggu tumbuhan serta pencatatan statistik sesuai dengan di lapangan. Pupsposutardjo (1991) menyatakan bahwa aras pencapaian produksi padi dapat dibandingkan dengan angka teoritis produksi padi per ha. Apabila aras pencapaian produksi padi >90 % berarti nilai produksi sawah sangat tinggi. Dengan nilai produksi >90 % dari nilai potensial padi akan sulit menaikan produktivitas lahan per satuan luas tanpa merubah set teknologinya.