ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
Daftar Isi / penulis SALAM RIMBA Harga Mati! Selamatkan Ekosistem Kunci di Bioregion DAS Batanghari / Rakhmat Hidayat.........................…..44 INTRODUKSI Menjaga Bujang Raba / Reni - Tim TFCA..............................…………..........................................……………..5 5 LAPORAN UTAMA • Bujang Raba Untuk Kehidupan Kini dan Nanti / Reni - Tim TFCA ……...........................................….........…8 8 • Bujang Raba Bisa Jadi Model Untuk MitigasiPerubahan Iklim / Reni - Tim TFCA….................................…..1414 • Upaya Masyarakat Menjaga Bujang Raba / Reni - Tim TFCA………….....…...........................................…...16 16 • Sawit dan HTI Menyerang Hutan Lindung Desa / Reni - Tim TFCA...............................................................18 18 20 • Hutan Bukit Panjang / Rafiq...............................................................................................................................20 FOKUS 23 • Duka di Ujung Timbangan Kebijakan / Elviza Diana.…....................................................................................23 26 • Kebijakan Kepemilikan Lahan Abaikan Hak Masyarakat Lokal / Elviza Diana…………..............................….26 29 • Mengurangi Tekanan Perambahan TNKS Bersama “Pintu Langit” / Riche Rachma Dewita..............................29 GIS SPOT 30 • Peta Lereng Untuk Menentukan Kawasan yang Dilindungi / Askarinta Adi..………………………….....……….30 DARI HULU KE HILIR...... 32 • Mengembalikan Kejayaan Sungai Batanghari / Elviza Diana ……..................................................................32 34 • Menjaga Hutan Demi Gonzales / Fredi……………………………….................................................................34 WAWANCARA 35 • Pengukuhan Kearifan Lokal Dalam Upaya Penyelamatan Satwa / Elviza Diana………………………............35 SUARA RIMBA 37 • Koperasi Kembang Bungo Layani Kebutuhan Orang Rimba / Reni ……….......................................................37 38 • Perubahan dan Adaptasi Komunitas Bathin IX / Wewen Efendi …………......................................................38 AKTUAL 41 • Stop Hancurkan Hutan Jambi / Reni…….........................................................................................................41 42 • Mengusung Hutan Nagari Dua Kabupaten di Sumatera Barat / Riche Rachma Dewata………………………42 .44 • Harimau TNKS Singgah di Kebun Kentang Warga / Fredi…………………………………................................44 SELINGAN • Sahabat Bukit Duabelas Terbitkan Hijau Muda / Abdul Rachman..... ……………...........................................4545 • Kesepakatan Adat Tentang Tata Ruang Desa Lubuk Sepuh / Fredi...................................….........................5454 KAJIAN • Keterlibatan Masyarakat Adat Dalam Inisiatif Perlindungan Hutan / Wewen Efendi...................…................4646 ‘• Kearifan Lokal, Antara kenyataan dan Angan Angan / Rafiq…………………….............................................4848 MATAHATI • Mempertahankan Kawasan Konservasi, Mungkinkah Meningkatkan Ekonomi / Djoko Sutrisno…................5252 • Pemanfaatan, Permasalahn dan Pemecahan Masalah Ruang Dusun / Djoko Sutrisno………………...........5353 55 Dari Kita...............................................................................................................................................................55
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
Buletin Alam Sumatera dipublikasikan oleh KKI WARSI Susunan Redaksi Penanggung Jawab: Rakhmat Hidayat Editor: Sukmareni Reporter: Staf KKI Warsi Web Master: Askarinta Adi Distribusi: Aswandi Chaniago
Foto Cover : Kearifan masyarakat mengelola hutan / Heriyadi A. / Dok. KKI Warsi. Desain dan Cetak:
[email protected] Komunitas Konservasi Indonesia - WARSI Alamat : Jl. Inu Kertapati No.12 Kel. Pematang Sulur Kecamatan Telanai Pura Kota Jambi. 36124 PO BOX 117 Jbi Tel: (0741) 66695 Fax : (0741) 670509 E-mail :
[email protected] http://www.warsi.or.id http://alamsumatera.org.
Dari Editor Salam Lestari
P
embaca Alam Sumatera yang budiman, terbitan Alam Sumatera kali ini, membahas tentang keberadaan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur atau yang diperkenalkan dengan nama Bujang Raba. Kawasan Hutan Lindung di Barat Kabupaten Bungo ini, memegang peranan penting dalam ekosistem setempat, sekaligus sebagai penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Hutan lindung ini menjadi daerah tangkapan tiga sub das, yaitu sub DAS Batang Bungo, Batang Pelepat dan Batang Senamat, yang ketiganya bergabung ke dalam DAS Batanghari. Selain itu di wilayah ini juga merupakan tempat hidup flora dan fauna endemik yang sebagian statusnya terancam punah, seperti harimau dan berbagai jenis kayu yang mulai langka. Bagi masyarakat setempat kawasan ini memegang peranan penting, tidak hanya sebagai penyedia air, tetapi juga untuk menjamin kelangsungan pasokan energi untuk mereka. Karenanya masyarakat sedari dahulu telah mengelola kawasan ini secara lestari dan berkelanjutan. Hutan adat, hutan lindung desa dan hutan desa merupakan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang diterapkan masyarakat di kawasan ini dan sekitarnya. Kami mengangkat keberadaan Bujang Raba, karena belakangan kawasan ini dan sekitarnya juga diincar sejumlah perusahaan untuk dialihfungsikan jadi areal perkebunan sawit dan HTI. Kepedulian banyak pihak dan dukungan pemerintah tentu akan menjadi modal untuk mempertahankan kawasan hutan yang secara lanskap terhubung dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Serta perlindungannya secara lebih luas untuk kepentingan masyarakat, bagi kehidupan kini dan nanti. Pada edisi ini kami juga mengangkat tentangkeberadaan perusahaan Hutan Tanaman Industri yang terus menggerogoti daerah penyangga TNBT. Teranyar, kita dikejutkan dengan kehadiran PT Lestari Asri Jaya. Baru saja mengibarkan benderanya, perusahaan ini sudah makan ‘korban’. Warga desa yang merasa haknya dilanggar perusahaan malah ditangkap aparat dan dijatuhi hukuman penjara. Masihkan ada keadilan di negeri ini, tentu kini menjadi pertanyaan kita. Simak juga beragam analisis dan cerita-cerita menarik lainnya tentang daerah dampingan dan aktifitas yang dilakukan Warsi bersama masyarakat. Semoga dengan sajian Alam Sumatera kali ini, akan membangkitkan semangat untuk melindungi dan menyelamatkan lingkungan di sekitar kita, juga diharapkan dapat meningkatkan kekritisan kita dalam menyikapi berbagai hal yang saat ini tengah di pertontonkan di republik ini. Kami mohon masukan atas kekurangan dan kelemahan kami di terbitan Alam Sumatera kali.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
4
SALAM RIMBA
HARGA MATI ! Selamatkan Ekosistem Kunci di Bioregion DAS Batang Hari
K
egemilangan dan kecemasan bagaikan dua sisi mata uang yang saling berhubungan. Dimana ada salah satu pihak yang memandang bahwa eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran merupakan landasan utama untuk menuju kegemilangan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Lebih dari 40 tahun eksplotasi sumberdaya alam makin menjadi-jadi, dengan dukungan berbagai produk hukum kebijakan maupun politik. Namun sampai hari ini kesejahteraan yang dijanjikan makin jauh dari kenyataan, jauh panggang dari api. Sedangkan sumberdaya alam makin rusak disana sini. Di sisi lain, upaya perlindungan dan penyelamatan sumberdaya alam hutan yang masih tersisa seakan dimaknai sebagai kegiatan yang anti pembangunan dan anti rakyat. Padahal berbagai bukti sudah terpampang jelas di depan mata kalau dampak dari eksploitasi sumberdaya hutan ternyata tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Bahkan menjadi pemicu utama terjadinya bencana ekologis, konflik dan dehumanisasi masyarakat adat dan lokal yang hidup di dalam dan sekitar sumberdaya hutan . Keberadaan masyarakat adat dan lokal dengan sumberdaya hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan beradad-abad lamanya, bagaikan ikan dan air. Kaitan antara keduanya mampu menciptakan sistim pola hubung yang saling menjaga dan selaras. Jauh berbeda dengan para eksploitator, yang terkadang datang serta berasal dari wilayah antah berantah. Dengan berbekal selembar kertas izin, mereka diberikan hak serta wewenang penuh untuk melakukan apapun terhadap kawasan yang telah dikuasakan oleh negara kepada mereka. Selembar izin yang didapatkan dengan modal yang tidak sedikit membuat mereka untuk segera mengembalikan modal plus keuntungannya. Tanpa pernah mau memahami bahwa di kawasan tersebut telah ada masyarakat yang hidup jauh dari mereka dengan berbagai praktek pengelolaan sumberdaya hutan yang bekelanjutan dan berkeadilan. Benturan antara kepentingan pembangunan yang lebih berorientasi ekonomi sesaat dan keberlanjutan fungsi ekosistem terus saja terjadi dan tidak pernah berhenti. Sebagai salah satu contohnya adalah bagaimana keberadaan kawasan hutan dataran rendah di pulau Sumatera dari waktu ke waktu terus berkurang. Diprediksikan hampir 500.000 Ha hutannya hilang setiap tahun, baik karena konversi menjadi lahan budidaya untuk tanaman monokultur baik perkebunan sawit maupun HTI, pertambangan, transmigrasi, pengambilan kayu secara haram (illegal logging) maupun akibat kebakaran hutan yang sering terjadi. Secara khusus pada skala yang lebih kecil, kita dapat melihat persoalan di kawasan bioegion DAS Batanghari sebagai salah satu potret nyata persoalan pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia. DAS Batanghari merupakan Das terbesar kedua di Sumatera serta mempengaruhi ekosistem di Provinsi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Riau. Sehingga kesalahan pengelolaan akan mengakibatkan terjadinya kerusakan ekosistem DAS Batanghari yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya berbagai bencana ekologis yang menghancurkan hasil-hasil pem-
bangunan. Sepanjang 2010 Warsi mencatat dampak pengelolaan sumber daya, menimbulkan korban jiwa, harta dan kerugian materi akibat bencana alam yang terjadi, yaitu banjir dan longsor. Kejadian ini antara lain menyebabkan korban jiwa satu orang tewas akibat banjir, ribuan rumah terendam, ribuan ha sawah terendam, puluhan kilometer jalan terendam. Di samping itu pengelolaan sumber daya alam ini, juga menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar sebanyak 25 kasus. Ekosistem penting di Bioregion DAS Batanghari merupakan kunci penting bagi harmonisasi keberadaan ekosistem Sumatera, karena selain letaknya berada di jantung Pulau Sumatera juga kelengkapan tipe ekositem, dari mulai ekosistem hutan pegunungan dataran tinggi pada daerah-daerah yang membentang sepanjang bukit barisan juga hutan dataran rendah pada wilayah-wilayah menuju pantai timur yang landai serta hutan rawa. Keberagaman tipe ekosistem ini harusnya menjadi tabungan sosial dan sumberdaya dimasa depan yang harus secara terencana dikelola peruntukannya. Oleh karena itu penyelamatan kawasan ekosistem di bioregion DAS Batanghari sebagai ruang hidup dan kehidupan bagi setiap mahluk hidup menjadi harga mati. Kawasan ini secara khusus telah menjadi perhatian berbagai pihak, sehingga beberapa kawasan penting telah ditetapkan menjadi kawasan taman nasional, kawasan lindung maupun kawasan yang dikelola oleh masyarakat dengan skema hutan adat, hutan desa, hutan kemasyarakatan, kawasan lindung desa, rimbo psako, rimbo parabukalo, rimbo larangan juga lubuk serta lebung larangan. Saat ini sebenarnya masih terdapat berbagai peluang untuk memperkuat dan mengembangkan berbagai bentuk pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat tersebut. Salah satunya adalah Kawasan Ekosistem Bujang Raba (Bukit Panjang Rantau Bayur) merupakan salah satu mozaik penting yang harus dijaga keberlanjutannya di Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Dimana dikawasan ini prektek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat dipraktekan dalam bentuk agroforest kompleks, hutan adat, kawasan lindung desa, rimbo psako, rimbo parabukalo, lubuk larangan dan hutan desa. Kawasan dengan luas 13.000 hektar merupakan benteng terakhir bentuk keotonomian pengelolaan lokal yang mampu menyandingkan antara kepentingan ekonomi, ekologi, sosial dan budaya. Pemerintah pusat dan daerah mulai melihat pentingnya proses pengelolaan bersama masyarakat sebagai alternatif untuk melembagakan pengelolaan yang lebih baik. Bahkan pada beberapa lokasi seperti di Jambi (Kabupaten Bungo, Sarolangun, Kerinci dan Merangin), pengelolaan oleh masyarakat seperti ini telah diakui oleh Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Bupati dan Menteri Kehutanan. Sedangkan di Sumatera Barat sedang dalam proses rekognisi secara formal dan hampir semuanya sudah diakui melalui Peraturan nagari. Selain itu pihak-pihak lainnya seperti kalangan Organisasi Non Pemerintah dan Perguruan Tinggi mulai saling bersatu untuk lebih mendorong konsep-konsep pengelolaan sumberdaya hutan berbasiskan masyarakat yang berkelanjutan. Pada beberapa kasus, kolaborasi antar para stakeholder pendukung CBFM sudah mulai terlembagakan seperti berjalannya kelembagaan Forum DAS di Sumatera Barat dan Jambi, Pokja Monitoring DAS Batanghari, FGLG di kabupaten Bungo dan lainnya. Pelembagaan multi pihak ini penting unuk membangun kerjasama penyelamatan multi pihak ekosistem DAS Batanghari sebagai salah satu kawasan hutan tersisa yang terpenting dijantung Sumatera. Sehingga dengan kerja-kerja kolaborasi diharapkan akan mampu meretas sekat-sekat birokrasi untuk mengamankan amanat anak cucu kita. Semoga. (Rakhmat Hidayat)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
INTRODUKSI
INTRODUKSI Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur, penyangga TNKS yang mempunyai keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Foto Heriyadi/Dok. KKI Warsi
Menjaga Bujang Raba Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) merupakan salah satu Taman Nasional terluas di Indonesia yang luasnya lebih dari 1,3 juta ha. Lanskap kawasan ini membentang memanjang dari Utara ke Selatan mengikuti pegunungan Bukit Barisan. Ekosistem di dalamnya mewakili berbagai tipe ekosistem yang khas dan unik dengan berbagai tipe hutan hingga lahan basah. Ini menyebabkan TNKS mempunyai ekosistem yang kaya dengan keragaman hayati yang sangat tinggi, sebagian diantaranya langka dan endemik.
D
aerah penyangganya, merupakan kawasan hutan produksi bekas konsesi HPH yang sangat luas dan merupakan satu kesatuan dengan lanskap TNKS. Lanskap kawasan hutan produksi ini tersambung dengan areal konsesi HPH PT. Andalas Merapi Timber di Kabupaten Solok Selatan, Sumatra Barat yang kemudian menyambung dengan kawasan hutan Bukit Rimbang Baling di perbatasan Propinsi Riau dan Sumatra Barat. Selanjutnya kawasan hutan ini menyatu dengan eksosistem Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Dengan kondisi seperti itu maka kawasan penyangga TNKS memiliki peran sangat penting tidak hanya bagi kelestarian TNKS sendiri tetapi
juga bagi ekosistem lainnya di Sumatera bagian tengah. Pengelolaan hutan alam tersisa pada daerah penyangga TNKS di sisi Utara-Timur-Selatan akan mendukung kelestarian kehidupan keragaman hayati pada koridor ekosistem TNKS dan ekosistem TNBT. Selain alasan ekologis, pentingnya pengelolaan TNKS dan daerah penyangga secara kolaboratif dan integratif juga disebabkan alasan-alasan sosial dan budaya. Salah satu kawasan penyangga TNKS di bagian barat Kabupaten Bungo adalah Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur seluas 13,529.40 ha yang berada di Kecamatan Bathin III Ulu dan Pelepat Kabupaten Bungo.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
5
6
INTRODUKSI Kawasan ini merupakan salah satu kelompok hutan hujan tropis yang masih tersisa di Pulau Sumatra. Secara umum kawasan ini termasuk ke dalam ekosistem hutan dataran rendah hingga dataran tinggi, dengan altitudinal dalam rentang 200 – 1200 meter diatas permukaan laut, dengan kondisi hutan yang masih bagus. Dalam kondisi fungsi kawasan secara geografis, kawasan ini telah menjadi kawasan hutan yang dikepung (enclaved) oleh Kawasan HP dan APL. Entah dikarenakan kondisi topografinya yang curam dan sebagai hulu DAS Batang Bungo dan Batang Pelepat atau dikarenakan adanya barisan perbukitan yang memiliki vegetasi hutan dataran tinggi, kawasan ini menjadi terpisahkan secara fungsi kawasannya dengan taman nasional. Namun dari sisi keberadaan kawasan ini sebagai sebuah ekosistem hutan hujan tropis yang tersisa di ujung barat Kabupaten Bungo, kawasan ini menjadi penting bagi Bungo sebagai daerah tangkapan air. Apalagi wilayah Bungo secara umum dapat dikatakan sebagai daerah dataran yang terus melebar ke arah timur. Kondisi terkepungnya oleh HTI dan perkebunan dibatasinya oleh HP yang sudah terdegradasi (ex-areal HPH) pada kawasan ini terutama di bagian barat, secara ekosistem juga memberikan dampak kepada kondisi keberadaan biodiversity yang ada khususnya mamalia besar. Ini lebih berpengaruh terhadap daerah jelajah (home range) dari satwa tersebut. Dari tekanan manusia pun, kawasan ini terus terdegradasi secara bertahap yang akan mengurangi kualitas lingkungan kawasan ini. Hal ini belum lagi termasuk semakin berkurangnya populasi dari spesies-spesies flora dan fauna yang ada di kawasan ini. Jika dilihat dari pola tutupan lahan dari tahun ke tahun, tampak terlihat adanya degradasi hutan yang secara bertahap dan terus menerus dari tahun ke tahun yang menuju kawasan ini. Perubahan tutupan lahan khususnya hutan secara berangsur-angsur bergerak dari hilir dan terus menuju hulu. Pergerakan degradasi hutan tersebut lebih terlihat di kawasan yang lebih landai atau datar dan begitu juga di sempadan-sempadan sungai baik di kearah hulu DAS Batang Tebo, DAS Batang Bungo maupun DAS Batang Pelepat. Sedangkan DAS Batang Ule tampak lebih sedikit degradasi hutannya. Hal ini juga dapat dilihat jikalau dibandingkan dengan degradasi hutan di DAS Batang Pelepat yang memiliki kelerangan yang >40%, DAS Batang Ule yang tampak lebih landai dimana kelerangannya 15-40% tersebut lebih rendah tingkat degradasi hutannya. Sedangkan DAS Batang Pelepat terlihat lebih tinggi degradasi hutannya. Begitu juga dengan DAS Batang Bungo yang lebih tinggi degradasi hutannya dari kedua DAS tersebut.
Amorphopalus ssp salah satu spesies yang ditemukan di Hutan Lindung Bujang Raba. Foto: Rakhmat Hidayat, Dok. KKI Warsi
Tingginya degradasi hutan di DAS Batang Bungo bisa saja disebabkan oleh aksesibilitas yang bagus ke arah hulu DAS tersebut. Kondisi tersebut tampak berbeda dengan DAS Batang Tebo dari sisi aksesibilitas, namun kawasan ini tampak lebih tinggi lagi degradasi hutannya dibandingkan semua DAS yang ada di Kabupaten Bungo. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih landainya kelerengan (2-15%) di wilayah ini. Selain itu kawasan ini juga sudah menjadi kawasan perkebunan yang sehamparan dengan Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Solok Selatan di Provinsi Sumatra Barat. Perubahan tutupan lahan dari kawasan yang berhutan menjadi kawasan non-hutan tersebut juga memberikan dampak langsung kepada kawasan Bujang Raba. Kawasan ini yang menjadi hulu DAS dari Batang Bungo
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
INTRODUKSI
Lubuk Beringin (2.356 ha.)
Sungai Mengkuang (1.177 ha.)
7
Senamat Ulu (2.217 ha.)
Kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur penyangga TNKS dengan ekosistem unik dan saling mendukung. Peta GIS KKI Warsi
dan Batang Pelepat yang berdasarkan gambaran perubahan tutupan lahan memiliki kelerangan >40% sepertinya mendapatkan dampak langsung dari perubahan tutupan lahan tersebut. Hal ini wajar secara keruangan, karena kawasan ini telah menjadi enclave dari kawasan HP dan APL. Namun secara ekologis, hal ini jelas memberikan dampak yang tidak bagus bagi wilayah hilir ke depannya.
tanam. Perubahan tersebut salah satunya dapat menyebabkan malam yang sangat dingin dan siang yang sangat panas. Sehingga bagi masyarakat yang hidup sebagai petani secara umum merasakan adanya kekacauan dalam waktu tanam dan waktu panen. Kondisi ini akan memberikan dampak langsung bagi kehidupan masyarakat, dengan menurunnya pendapatan ekonomi sehingga kesejahteraan akan sulit untuk diraih.
Dampak yang diberikan tersebut secara langsung akan berpengaruh terhadap fungsi hidrologis kearah hilir, dimana aliran air permukaan (run-off) akan terjadi secara tidak konsisten. Hal ini akan dapat menyebabkan longsor dan banjir yang akan menuju kearah hilir secara tidak terduga pada musim hujan. Sedangkan pada musim kemarau, ketersediaan air di daerah hilir pun akan semakin berkurang terutama di kawasan sekitar DAS yang ada di daerah ini.
Bagi keberadaan flora dan fauna di kawasan ini, perubahan tutupan lahan tersebut juga memberikan dampak terutama dari kehilangan populasi dan bahkan mungkin kehilangan spesies. Perubahan tutupan lahan ini secara langsung akan menyebabkan berkurangnya habitat bagi spesies-spesies tersebut. Pada spesiesspesies tertentu yang memiliki tipe habitat yang khas juga akan menyebabkan kepunahan spesies tersebut, paling tidak penurunan populasi di dalam kawasan ini. Selain dampak-dampak seperti yang ditulis diatas, dampak dari sisi social, ekonomi dan budaya pun akan bermunculan bila perubahan tutupan lahan terutama degradasi dan konversi hutan yang tersisa di kawasan ini terus berlanjut. (Reni/tim TFCA)
Selain adanya dampak hidrologis tersebut, dampak lain yang juga akan memberikan pengaruh tidak langsung adalah terjadinya perubahan siklus tanam akibat kekacauan dari siklus musim baik musim yang berbentuk iklim mikro dan makro (perubahan iklim) maupun musim
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
8
LAPORAN UTAMA
Aktifitas masyarakat yang memanfaatkan aliran sungai untuk berbagai keperluan berhulu di Hutan Lindung Bujang Raba. Foto Heriyadi/Dok.KKI Warsi
Bujang Raba Untuk Kehidupan Kini dan Nanti Keberadaan Kawasan hutan lindung Bujang Raba, di wilayah hulu penting untuk dilindungi dan dikelola secara lestari. Secara sosial, ekonomi, budaya dan pelestarian sumber daya alam, kawasan Bujang Raba sudah sepatutnya dipertahankan dan dikuatkan keberadaannya sebagai kawasan lindung.
P
osisinya di wilayah hulu menjadikan Bujang Raba sebagai sumber mata air yang membentuk pola aliran dendritik (menyerupai serabut akar pohon), yang mengalir ke sungai utama di hilirnya. Ada 3 sungai yang berhulu di wilayah ini, yaitu Sungai Batang Bungo, Sungai Batang Senamat dan Sungai Batang Pelepat dari Sub DAS Batang Tebo dalam ekosistem DAS Batanghari. Ekosistem Bujang Raba memegang peranan penting dalam sistem hidro-orologi dalam mengatur tata air dan pengendali erosi. Sekaligus sebagai kawasan dengan nilai konservasi tinggi dengan keanekaragaman hayati yang tinggi baik secara nasional maupun global. Ka-
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA wasan ini, menyimpan potensi keanekaragaman hayati bernilai sosial-ekonomi dan sosial budaya tinggi bagi masyarakat setempat. Selain juga yang dimanfaatkan untuk kebutuhan bahan bangunan/papan, tali temali, pangan dan bahan obat-obatan tradisional. Sebagai kawasan hutan yang masih tersisa, kawasan ini secara langsung telah memberikan manfaat sebagai daerah tangkapan air di kabupaten ini dan wilayah hilirnya. Kondisi ini dapat mengurangi banjir dan longsor bagi daerah hilirnya. Namun bila digantungkan kepada kawasan Bujang Raba saja, maka daya dukung yang ada pun tidak mampu menahan laju erosi maupun banjir tersebut. Sehingga secara umum kawasan ekosistem ini yang termasuk di dalamnya kawasan Hutan Produksi juga menjadi penting untuk dipertahankan lebih lanjut, apalagi kawasan Hutan Produksi tersebut langsung berbatasan dengan TNKS. Kedepannya sangat perlu dipertimbangkan pemanfaatan secara sporadik terhadap kawasan Hutan Produksi tersebut sehingga dapat mengurangi dampak ekologisnya terutama dampak dari turunnya nilai jasa lingkungan kawasan ekosistem ini. Selain itu, dalam fungsinya sebagai daerah tangkapan air secara langsung juga akan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat baik bagi pertanian, perkebunan maupun kesehatan masyarakat yang berada di sepanjang DAS yang berhulu dari kawasan ini.
masyarakat tersebut. Dalam pengelolaan ekowisata yang memanfaatkan potensi yang ada tersebut perlu diperhatikan pemahaman masyarakat di lokasi wisata terhadap konsep dan pemikiran dari ekowisata ini sehingga tidak menimbulkan ketimpangan informasi bagi setiap pengunjung yang datang. Sebagai kawasan yang berada di daerah hulu yang memiliki DAS yang bagus dan stabil, merupakan potensi untuk membangkitkan energi alternatif bagi masyarakat sekitarnya, yang pada kenyataannya selama ini juga belum dijangkau sumber energi yang disediakan negara. PLTKA dan PLTMH merupakan bukti nyata yang mengeratkan hubungan masyarakat dengan hutan yang ada disekitar mereka. Keberadaan kawasan juga sangat penting sebagai areal mitigasi perubahan iklim. Belakangan isu perubahan iklim dan dampaknya sudah dirasakan oleh banyak pihak secara global hingga ke pelosok negeri. Di tingkat masyarakat, perubahan iklim dirasakan dengan adanya ketidakpastian musim yang berdampak pada perubahan pola tanam. Kondisi ini dapat ditanggulangi salah satunya dengan mempertahankan kawasan hutan untuk menghasilkan oksigen dan mereduksi karbondioksida.
Keberadaan Bujang Raba dan kawasan sekitarnya juga bisa memberikan manfaat jasa lingkungan bagi masyarakat. Potensi yang terkandung dikawasan ini, diantaranya, aliran sungai dengan air yang jernih dengan berbagai macam spesies ikan, air terjun dan lubuk pada beberapa tempat di sepanjang DAS yang berhulu di kawasan ini sebagai tempat pemandian, hutan belantara bagi wisata alam dengan menikmati panorama dan kondisi alam lainnya baik berupa tracking, hiking maupun camping. Juga bisa ditemukan kawasan agroforestry yang bisa mengajarkan kepada pengunjung bagaimana hidup sebagai petani kebun seperti mengikuti kegiatan menyadap getah karet serta memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk bisa merasakan kehidupan tradisional. Potensi ekowisata ini bila dikembangkan lebih lanjut akan dapat meningkatkan peningkatan masyarakat dan juga semakin dapat meningkatkan kapasitas masyarakat dari pengalaman-pengalamannya selama dikunjungi oleh para pengunjung dari berbagai lapisan Kincir Air yang dimanfaatkan masyarakat untuk pembangkit listrik, memberi jawaban nyata manfaat mempertahankan hutan. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
9
10
LAPORAN UTAMA
Sebagai kawasan yang mampu melakukan penyerapan karbon, kawasan hutan menjadi sangat penting dalam mempengaruhi pengurangan dampak dari perubahan iklim tersebut. Sebagai bagian dari jasa lingkungan dalam mitigasi perubahan iklim, fungsi kawasan hutan sebagai penyerap karbon dan produsen oksigen pun dapat dirancang dan dimodelkan di wilayah ini paling tidak untuk skala wilayah kecil. Disamping manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar dan di hilirnya, Bujang Raba dengan tutupan hutan yang relatif bagus , kawasan ini memiliki berbagai macam spesies flora dan fauna. Spesies-spesies tersebut secara umum merupakan spesies-spesies yang hidup di hutan dataran rendah, sebagian diantara spesies yang berada di kawasan ini berstatus endemik dan dilindungi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan tim kajian Warsi, di dalam kawasan seluas 13 ribu ha ini ditemukan 63 spesies burung dan 19 mamalia besar, beberapa jenis reptil dan puluhan jenis ikan. Spesies burung yang ditemukan di kawasan ini, terdapat spesies yang yang terancam punah, yaitu sempidan biru (Lophura ignita) dengan status rawan. Dikawasan ini juga ditemukan 7 spesies elang yang terdaftar di dalam Appendiks CITES sebagai spesies yang harus dibatasi perdagangannya secara global. Selain fauna asli di kawasan ini juga terdapat beberepa spesies burung migran seperti Baza jerdon (Aviceda jerdoni), Kicuit batu (Motacilla cinerea) dan Cikrak Kutub (Phylloscopus borealis). Di kawasan ini juga ditemukan mamalia besar yang sebagian terancam punah, diantaranya harimau sumatera, siamang, tapir, kijang, beruang dan napu.
Tapir (atas) dan rangkong (bawah) fauna yang dijumpai di Hutan Lindung Bujang Raba. Foto Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA Tabel. Spesies-Spesies Mamalia yang teridentifikasi di kawasan HL Bukit Panjang Rantau Bayur, berdasarkan Status Konservasinya secara Global dan Nasional
Sumber Data: B. Zetra – KKI Warsi (2009, 2010, 2011) Keterangan: a. IUCN Redlist (2001): Genting (CR), Kritis (EN), Rawan (VU), Resiko Rendah, perlu usaha konservasi (LR/cd), Tidak Terancam (NT) b. CITES Appendices (2007): Appendix I (I), Appendix II (II) c. PP7/1999: Peraturan Pemerintah no. 7 tahun 1999 tentang Jenis-Jenis Satwa dan Tumbuhan Indonesia yang Dilindungi
Selain tempat hidup burung dan satwa besar, dikawasan ini juga diperkirakan tak kurang dari 1.000 jenis flora yang didominasi oleh Dipterocarpaceae dan Sapotaceae. Dari penelusuran Warsi di lapangan, ditemukan 4 jenis flora yang masuk kategori endemik dan dilindungi, yaitu: kantung semar (Nephentes spp), bungo matohari dan cendawan muko rimau (Rafflesia spp) dan bunga bangkai (Amorphopalus spp). Selain itu, juga teridentifikasi kayu-kayu yang keberadaannya di alam juga sangat langka, diantaranya Marsawa, Meranti, Tamalun, Marantiah dan Jalak Tungang serta kayu Pauh-pauh. Jenis flora yang terdapat di dalam hutan lindung Bujang Raba ini baik berupa pohon, climber, herba maupun spesies-spesies yang berumpun, yang menandakan kawasan ini sebagai hutan yang bagus berupa hutan klimaks. Yang dibuktikan dengan keberadaan beberapa spesies dari family Dip-
terocarpaceae dan Sapotaceae sebagai indikator kondisi kawasan hutan klimaks. Walau di kawasan ini juga ditemukan spesies-spesies yang hidup di hutan sekunder, sebagai penanda sebagian kawasan juga pernah terdegradasi. Selain itu spesies-spesies tersebut secara umum juga dapat ditemukan pada kawasan kebun campur (agroforestry) masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan lindung. Keberadaan flora dan fauna tersebut secara status konservasinya dapat memperlihatkan keberadaan ekosistem Hutan Lindung Bujang Raba memegang peranan penting dalam biodiversity Provinsi Jambi. Ini juga memperlihatkan bahwa kawasan ini sebagai hutan yang masih tersisa dengan kekayaan sumber daya hutannya.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
11
12
Sumber Data: B. Zetra – KKI Warsi (2009, 2010, 2011) Keterangan: a. IUCN Redlist (2001): Genting (CR), Kritis (EN), Rawan (VU), Resiko Rendah, perlu usaha konservasi (LR/cd), Tidak Terancam (NT) b. CITES Appendices (2007): Appendix I (I), Appendix II (II) c. PP7/1999: Peraturan Pemerintah no. 7 tahun 1999 tentang Jenis-Jenis Satwa dan Tumbuhan Indonesia yang Dilindungi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA Sebagaimana diketahui, keberadaan spesies kunci di hutan lindung Bujang Raba merupakan salah satu indikator terhadap keberadaan suatu kawasan hutan. Juga sebagai salah satu bentuk perlindungan dan pertahanan satwa dari jangkauan manusia. Apalagi di sekitar kawasan ini, terjadi perubahan tutupan lahan yang sangat cepat, menjadikan kawasan ini sebagai tumpuan satwa dan tumbuhan yang ada di wilayah ini.
Sedangkan keberadaan floranya, berdasarkan status konservasinya secara umum terlihat secara keseluruhan merupakan spesies-spesies indikator dari keberadaan hutan klimaks terutama dari family Dipterocarpaceae. Spesies-spesies dari family ini merupakan spesies-spesies yang bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat maupun bagi beberapa pihak yang berkepentingan terutama pihak-pihak yang memanen hasil hutan berupa kayu.
Jika kawasan ini tidak dipertahankan konflik antara satwa dan manusia, akan semakin besar. Hal ini akan mempengaruhi aktivitas masyarakat secara sosial dan ekonomi. Kalau hanya satwa yang bukan pemangsa menjadi salah satu pihak yang berkonflik, hal ini mungkin tidak akan menjadi masalah utama bagi masyarakat. Malahan hal ini akan menguntungkan masyarakat, karena akan dapat menambah pendapatannya secara ekonomi dan secara pemenuhan kebutuhan protein hewaninya.
Namun dari sudut keberadaan spesies secara konservasi, spesies-spesies tersebut malah secara umum berada dalam keadaan terancam populasinya di alam. Sehingga ini berakibat kepada pentingnya perlindungan dan pelestarian dari spesies-spesies tersebut yang jelas-jelas akan memberikan perlindungan bagi kawasan hutan sebagai tempat hidupnya.
Bila satwa yang berkonflik dengan manusia itu adalah satwa pemangsa, tentulah ini menjadi permasalahan khusus bagi masyarakat hingga pihak-pihak terkait. Secara sosial, masyarakat yang hidup sebagai petani/ petani kebun dan yang menggantungkan pendapatan ekonominya dari kawasan hutan tentu saja dapat menjadi korban dalam konflik tersebut. Memang bila diperhatikan untuk kepentingan manusianya, pilihannya adalah membunuh satwa tersebut dengan arti kata ini dapat mengurangi populasi dari spesies satwa tersebut.
Selain pentingnya spesies-spesies bernilai ekonomi tinggi tersebut, juga dapat dilihat adanya spesies-spesies flora yang menjadi ikon dalam kegiatan-kegiatan konservasi alam seperti adanya spesies dari Amorphophallus dan Rafflesia. Kedua genera tersebut telah menjadi ikon konservasi secara nasional dalam dunia tumbuhan. Keberadaan kedua spesies tersebut, terutama Rafflesia sangat erat hubungannya dengan kondisi kawasan hutan yang masih bagus. Hal ini dikarenakan, spesies dari Rafflesia memiliki tempat hidup yang spesifik dan tergantung kepada keberadaan tumbuhan inangnya yaitu dari genus Tetrastigma. (Tim TFCA/Reni)
Secara keseimbangan ekologis, spesies-spesies pemangsa tersebut berada pada posisi tertinggi dalam rantai makanan. Sehingga keberadaan spesies tersebut, dapat menjadi kontrol bagi melimpahnya populasi spesies-spesies dibawahnya yang biasanya menjadi hama bagi para petani/petani kebun. Kondisi ini juga menguntungkan secara sosial bagi petani terutama bagi meningkatkan kesejahteraan mereka. Kesemuanya itu secara ekologis dapat dikembalikan kepada keberadaan kawasan hutan yang menjadi habitat utamanya. Bagi kawasan Hutan Lindung Bujang Raba yang menjadi penyangga TNKS, jelas kondisi ekologis ini menguntungkan bagi masyarakat sekitarnya. Namun yang patut diperhatikan adalah koridor yang menghubungkan antara TNKS dan hutan lindung merupakan sebuah kawasan hutan produksi yang jelas-jelas pada masa lalu sudah terdegradasi, dan masih ada kemungkinan dikonversi lagi. Keberadaan Hutan Produksi yang berfungsi sebagai koridor tersebut, jelas menjadi penting secara ekologis terutama untuk home range dari beberapa spesies tertentu khususnya spesies pemangsa. Dari PLTKA yang digerakkan kincir air, masyarakat dapat menikmati listrik murah dan ramah lingkungan. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
13
14
LAPORAN UTAMA
Bujang Raba Bisa Jadi Model Untuk Mitigasi Perubahan Iklim Mengingat pentingnya keberadaan kawasan Bujang Raba ini, Warsi bersama masyarakat mengupayakan supaya pengelolaan kawasan ini dilakukan berbasiskan masyarakat. Sekaligus mendukung sistem pengelolaan sudah dilakukan, seperti pengelolaan dengan skema hutan adat, hutan lindung desa dan hutan desa.
D
engan pelibatan masyarakat dalam mengelola kawasan ini bisa dijadikan sebagai model untuk pengelolaan hutan bagi mitigasi perubahan iklim yang berdampak secara global. Secara regional kawasan ini sudah diperhatikan banyak pihak, sehingga bagi sebuah contoh dari model kawasan yang telah dikelola oleh masyarakat secara lokal dan turun temurun, kawasan ini dapat dijadikan salah satu dari model tersebut. Penerapan model tersebut secara umum dapat dilihat dari kondisi hutannya yang mempunyai tutupan relatif rapat. Untuk sebuah model skala kecil, kawasan ini tutupan hutan masih relatif rapat. Walaupun secara ekosistem dari kawasan ini terutama di bagian luarnya tampak di beberapa bagiannya mengalami degradasi yang cukup signifikan. Namun dengan dorongan ke depannya dari sektor kebijakan yang konservatif terutama yang berlandaskan kebutuhan ekologis dan ekonomis yang sudah ada, kawasan ini dapat menjadi salah satu model skala kecil. Dukungan terhadap sektor kebijakan tersebut secara formal sudah memiliki landasan yang kuat bagi ekosistem di kawasan ini. Mulai dari adanya beberapa kebijakan terhadap pengakuan hak kelola masyarakat terhadap bagian-bagian dari ekosistem ini, ditambah lagi dengan adanya spesies-spesies kunci yang menjadi ikon dalam usaha-usaha penyelamatan kawasan hutan yang masih hidup di dalam kawasan ini, memberikan peranan penting bagi kawasan ini untuk didorong lebih lanjut sebagai areal model.
Potensi ekosistem Bujang Raba yang bernilai tinggi, bisa dimanfaatkan sebagai model mitigasi perubahan iklim. Foto: Heriyadi/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA
Secara ekosistem kawasan Bujang Raba menjadi fokus usulan areal model belajar mitigasi perubahan iklim dapat diberikan pembagian wilayah berupa zona penting dan penyangga mitigasi. Zona penting mitigasi, yaitu kawasan hutan lindung secara keseluruhan baik kawasan yang berhutan maupun kawasan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat seperti kebun campur serta kawasan pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang telah berada di sekitar kawasan Bujang Raba. Zona penyangga mitigasi, yaitu kawasan di sekitar seperti kawasan hutan produksi yang menjadi penyangga TNKS, kebun campur masyarakat di kawasan area pengguna lain yang berada dalam radius empat kilo meter dari kawasan penting. Keberadaan zona-zona tersebut selain melestarikan potensi yang ada juga dapat menjadi kawasan yang dapat dipersiapkan sebagai daerah Demonstration Activities untuk kegiatan REDD+. Zona-zona tersebut pada prinsipnya merupakan kawasan-kawasan yang sudah diatur sebelumnya oleh beberapa kebijakan yang sudah, sehingga dengan adanya pembagian zona tersebut diatas akan lebih menguatkan dalam kebijakan. Penguatan tersebut akan bermanfaat bagi mempertahankan kondisi tutupan lahan terutama kawasan hutan Kabupaten Bungo yang semakin tinggi perubahannya.
Masyarakat sekitar kawasan hutan bersepakat untuk mengelola kawasan hutan mereka secara lestari dan berkelanjutan. Foto Dokumen KKI Warsi
Intensif yang akan diberikan ini dilakukan jika masyarakat dapat menunjukkan kinerja bahwa telah terjadi pencegahan/ pengurangan deforestasi dibandingkan dengan perhitungan dasar kecenderungan deforestasi berdasarkan periode rujukan awal dan dalam kurun waktu yang disepakati. Dengan adanya skema REDD+, kawasan yang juga berfungsi sebagai gudang karbon juga berpeluang untuk mendapatkan insentif yang bersifat fund-base atau market-base. Terkait dengan potensi, manfaat dan juga kearifan yang telah berkembang, Warsi merekomendasikan supaya kawasan ini tidak dikonversi menjadi areal kebun monokultur (HTI atau sawit) dan pertambangan terbuka. Sebab jika kawasan ini dialih fungsikan akan berdampak merugikan bagi masyarakat: kekeringan, banjir, erosi/longsor, air/sungai tercemar secara kimiawi, meningkatkan serangan hama, konflik dengan satwa liar, gangguan kesehatan akan menyinggahi kehidupan masyarakat sekitar dan hilirnya. (Tim TFCA/Reni)
Dari potensi dan pengelolaan yang dilakukan, masyarakat layak mendapatkan insentif dari pihak lain, terutama atas udara bersih yang diberikan dengan menjaga kawasan ini, atas upaya mereka , mencegah dan mengurangi deforestasi. Ini juga sejalan dengan langkah global untuk mencegah pelepasan karbon ke atmosfir.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
15
LAPORAN UTAMA
16
Sawah yang dikelola masyarakat Lubuk Beringin, sumber airnya berhulu di Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi.
Upaya Masyarakat Menjaga Bujang Raba Bersaing dengan HTI dan Sawit Kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Panjang dan sekitarnya di barat Provinsi Jambi, merupakan kawasan yang sejak dulu sebagian sudah diproteksi masyarakat melalui kearifan lokal yang telah terpelihara secara turun temurun. Desa-desa yang berintegrasi langsung dengan kawasan sudah membuat spot-spot perlindungan berdasarkan wilayah ulayat mereka masing-masing.
S
ebagian spot-spot hutan yang dilindungi masyarakat ini telah mendapatkan legalisasi dari pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pusat. Di dua kecamatan tempat kawasan ini berada, yaitu Kecamatan Pelepat dan Bathin III Ulu, sudah ada 8 kawasan yang diplot sebagai kawasan yang dilindungi. Di kecamatan Pelepat terdapat hutan adat dan hutan lindung desa. Masing-masing hutan Adat Kampung Batu Kerbau Dusun Batu Kerbau seluas 386 hektar, Hutan Adat Kampung Belukar Panjang Dusun Batu Kerbau seluas 472 hektar dan Hutan Adat Kampung Lubuk Tebat Dusun Batu Kerbau seluas 360 hektar. Hutan adat ini di kukuhkan melalui SK Bupati Bungo Nomor 1249 Tahun 2002 tanggal 16 Juli 2002. Juga ada Hutan Adat Dusun Baru Pelepat seluas 780 hektar yang di sahkan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 tanggal 17 Oktober 2006.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA Selain hutan adat di wilayah ini, juga terdapat hutan lindung desa. Masing-masing Hutan Lindung Kampung Batu Kerbau Dusun Batu Kerbau seluas 776 hektar dan Hutan Hutan Lindung Kampung Belukar Panjang Dusun Batu Kerbau seluas 361 hektar, kedua hutan lindung desa ini juga di SK-kan oleh Bupati Bungo Nomor 1249 Tahun 2002. Sementara di Kecamatan Bathin III Ulu, kawasan yang berada di Bujang Raba ada Hutan Desa yang disahkan meteri Kehutanan melalui SK.109/ Menhut-II/2009 tanggal 17 Maret 2009 seluas 2.356 ha. Juga ada Hutan Adat Bukit Bujang Dusun Senamat Ulu seluas 223,69 hektar yang disahkan Bupati Bungo Nomor 48/Hutbun Tahun 2009 tanggal 10 Februari 2009, yang berada agak ke bawah ekosistem Bujang Raba. Di samping yang sudah mendapatkan legalitas sebagaimana di atas, masyarakat masih terus berupaya untuk melakukan pengelolaan di kawasan Bujang Raba. Seperti saat ini, masyarakat dari tiga dusun tengah menunggu kepastian dari Kementrain Kehutanan untuk ikut mengelola kawasan Bujang Raba melalui skema hutan desa. Pengelolaan hutan desa diajukan oleh masyarakat Kampung Sangi-Letung Dusun Buat, seluas 1.254,43 hektar, Kampung Sungai Mengkuang Dusun Laman Panjang, seluas 1.177,26 hektar dan Dusun Senamat Ulu seluas 2.217,42 hektar. Ketiga calon lokasi hutan desa sudah diajukan oleh Bupati Bungo berdasarkan surat Nomor 522/101.03/Hutbun tanggal 19 Januari 2010, kepada Menteri Kehutanan dan sudah sampai pada tahap verifikasi dari kementrian. Semua hutan desa baik yang sudah disahkan mentri maupun dalam tahap verifikasi semuanya berada di dalam kawasan Hutan Lindung Bujang Raba. Dilihat dari kepedulain dan keinginan masyarakat dalam mengelola kawasan hutan Bujang Raba, tentu bukan tanpa sebab. Bagi masyarakat ang berada disekitar kawasan ini, ekositem Bujang Raba memegang peranan penting bagi kehidupan mereka. Faktor utama adalah sebagai penyedia sumber mata air, sumber energi menjaga funsgi hidrologi, serta menjaga kesinambungan ketersediaan pasokan protein dari sumber ikan yang ada di sungai-sungai di daerah ini. Fungsi strategis hutan lindung beserta ekosistemnya inilah yang mendorong masyakat untuk terus berupaya supaya kawasan ini tetap lestari hingga anak cucu nanti. Upaya masyarakat untuk mendapatkan legalitas pengelolaan kawasan ini, juga tidak lepas dari sejumlah pihak yang juga terus berupaya untuk melakukan alih fungsi hutan dikawasan ini dan sekitarnya. Perusahaan HTI dan perkebunan sawit seolah tak mau diam. Ka-
wasan nan elok dan kaya sumber daya hutan, di Kelompok Hutan Merangin Alai ini, juga diincar sejumlah perusahaan untuk dijadikan kebun dan HTI. Masyarakat seolah harus berlomba, jika terlambat maka semua fungsi strategis kawasan ini akan lenyap dan tidak dapat dinikmati lagi oleh masyarakat. Beberapa perusahaan bahkan sudah mendapatkan izin kelola di sekitar kawasan ini, diantaranya Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Harapan Tiga Putra, luas ± 11.095 ha yang mendapat SK Menhut Nomor SK.382/Menhut-II/2005 tanggal 11 November 2005, IUPHHK-HTI PT. Mugitriman International, luas ± 37.500 ha yang mengantongi SK Menhut Nomor SK.419/Menhut-II/2009 tanggal 13 Juli 2009 serta IUPHHK-HTI PT. Malaka Agro Perkasa, luas ± 24.485 ha SK Menhut Nomor SK.570/MenhutII/2009 tanggal 28 September 2009. Perkebunan sawitpun tak mau ketinggalan mereka mengincar kawasan yang sebagian masih hutan alam ini untuk di buka menjadi perkebunan. Diantara yang sudah mendapat Hak Guna Usaha adalah Izin lokasi IUP PT Sawit Harum Makmur, yang di SK-kan Bupati Bungo Nomor 710/Adm SDA Tahun 2009 tanggal 4 April 2009 seluas 165.000 Ha, serta Izin Lokasi IUP PT Citra Sawit Harum. Jika dikalkulasikan perusahaan mendapatkan hak kelola hutan di kawasan ini sekitar 248.580 ha, sedangkan masyarakat yang mengelola hutan dengan skema hutan adat, hutan desa, hutan lindung desa serta hutan lindung Bujang Raba hanya 16.888,09 ha. Rakyat hanya kebagian 7 persen untuk mengelola kawasan hutan. Jika, tidak ada upaya dari pemerintah untuk mendukung keberadaan kawasan ini, serta memberikan peluang bagi masyarakat yang ada disekitarnya, bukan tidak mungkin kawasan yang menjadi tangkapan air ini juga akan lenyap tergerus kepentingan ekonomi dan menyisakan masalah ekologi dan kesengsaraan bagi masyarakat disekitarnya. Saat ini, sudah tiba masanya untuk berfikir lebih maju ke depan. Hutan tidak hanya sekumpulan kayu dengan satwa yang ada di dalamnya, tetapi hutan adalah sumber kehidupan. Untuk kehidupan kini dan nanti. Jangan sampai kita menangisi ketika pohon terakhir ditumbangkan, ketika kicau terakhir burung lenyap dari pendengaran. Karena pada saat itu, uang tidak akan mampu menggantikan kerusakan yang telah ditimbulkan. (Reni/ tim TFCA)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
17
LAPORAN UTAMA
18
Hutan Lindung Desa Batu Kerbau yang telah di land-clearing perusahaan sawit, masyarakat berjuang mengembalikan hutan lindung desa mereka. Foto Youngki/Dok KKI Warsi.
Sawit dan HTI Menyerang Hutan Lindung Desa Rayuan dan bujukan perusahaan akan keuntungan ekonomi dengan mengganti hutan menjadi perkebunan sawit masih terus berlangsung. Perusahaan perkebunan dan HTI semakin gencar mencari celah untuk memanfaatkan kawasan tersisa dan bermaksud untuk menggantinya dengan hutan tanaman industri ataupun sawit.
I
ni juga yang sekarang menjadi dilema masyarakat Dusun Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo. Sebagian besar masyarakat di buat ternganga ketika PT Citra Sawit Harum (CSH) melakukan land clearing di dalam kawasan hutan adat seluas hampir 20 ha. Usut punya usut, perusahaan yang konon bergabung dibawah bendera group Harum Makmur ini, sudah mendapatkan izin lokasa IUP berdasarkan SK Bupati Bungo 282/Perek tahun 2007 tanggal 26 April 2007 seluas 10.500 ha. Sebagian izin PT CSH ini, menyerempet ke hutan lindung desa Dusun Batu Kerbau. Disinyalir, land clearing yang dilakukan PT CSH ini, juga merupakan keikutsertaan oknum masyarakat yang menyerahkan lahan hutan lindung desa ke perusahaan. Sementara itu di pihak lain, masyarakat adat Batu Kerbau tetap pada komitmen awal ketika mengajukan usulan hutan lindung desa dan hutan adat bahwa kawasan tersebut tetap dipertahankan, sebagai penjaga fungsi hidrologi dan juga fungsi ekologis. Dan berusaha untuk menghentikan aktifitas perusahaan di kawasan hutan lindung desa mereka.
Tuntutan adatpun dilayangkan oleh masyarakat kepada perusahaan yang telah melakukan land clearing di kawasan hutan lindung desa yang pada 2004 lalu mendapatkan penghargaan kalpataru tingkat nasional dengan kategori penyelamat Lingkungan hidup. “Kami masyarakat Batu Kerbau meminta perusahaan mengembalikan kawasan hutan lindung desa kami, atas pembukaan (land clearing, red) yang sudah dilakukan kami meminta perusahaan untuk membayar denda adat,”sebut Datuk Rasyid tokoh adat masyarakat Batu Kerbau. Denda adat yang dijatuhkan masyarakat Batu Kerbau adalah kerbau satu ekor, selemak semanis, kain 8 kayu, lahan yang sudah di land clearing dikembalikan ke masyarakat dan direboisasi, serta denda Rp 500 juta atas kayu yang sudah ditebang di kawasan itu. “Hingga kini tuntutan kami belum ada tanggapan dari pihak perusahaan,”ujar Datuk yang dalam hal ini juga sempat menemui Bupati Bungo, supaya menggagalkan aktifitas perusahaan di Dusun Batu Kerbau.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA Tidak hanya sawit yang mengincar Hutan Lindung Desa Batu Kerbau, perusahaan HTI atas nama PT Malaka Agro Perkasa juga masih satu group dengan CSH, juga bermaksud mengganti menjadikan hutan lindung desa ke tanaman sejenis. Kehadiran perusahaan HTI dan juga perkebunan sawit di Dusun Batu Kerbau kini menjadikan masyarakat resah dan meminta pemerintah untuk turun tangan dalam mengeluarkan perusahaan dari dusun mereka.
wasan perlindungan. Masyarakat meyakini fungsi hutan sebagai sumber kekayaan plasma nutfah dan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dan air, menghasilkan produk hutan non kayu seperti getah, rotan, damar, buah-buahan, tanaman obat-obatan, madu, kayu bangunan, protein hewani, tempat rekreasi, sumber mata air, bagian dari sistim budaya khususnya masyarakat adat dan mengatur iklim. Sehingga masyarakat sangat berkompeten untuk menjaga dan mengawetkannya.
Persoalan lainnya juga muncul di kampung Belukar Panjang Dusun Batu Kerbau. Di wilayah ini hutan lindung desa dimintakan kepada Bupati untuk di bubarkan dan diganti menjadi tanah kas desa (TKD) beberapa bulan lalu. Dengan status TKD disinyalir, akan memudahkan perkebunan sawit untuk menjalin kerjasama dalam mengantikan kawasan hutan lindung menjadi perkebunan sawit.
Sejak tahun 1995 melalui pertemuan formal ditingkat desa dengan melibatkan Pemerintahan Desa, Ninik Mamak, Tokoh Agama, Kaum Adat dan pemuda pada tahun disepakati untuk melindungi daerah-daerah khusus. Dalam menetapkan kawasan yang dilindungi juga telah diputuskan fungsi dan sangsi bagi setiap pelanggaran yang terjadi, yang berlandaskan hukum adat. Masyarakat juga membagi kawasan lindung ini, Hutan Adat Desa yang merupakan kawasan hutan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat secara terbatas, dan didalam pemanfaatannya harus mendapat izin kelompok adat serta pemerintahan desa. Sedangkan Hutan Lindung Desa merupakan kawasan yang tidak dimanfaatkan karena merupakan sumber air. Kedua wilayah hutan tersebut juga menyimpan potensi wisata seperti air terjun tiga tingkat, air terjun Sei Seketan I dan Sei Seketan II, gua-gua alam, panorama yang indah, dan olah raga arung sungai serta memancing.
Bupati Bungo waktu itu Zulfikar Ahmad dengan tegas menolak usulan masyarakat. Bupati beralasan pengukuhan hutan adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat adalah kekayaan masyarakat Dusun Batu Kerbau khususnya dan masyarakat Kabupaten Bungo pada umumnya yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga harus dijaga kelestariannya untuk kesejahteraan masyarakat. “Permohonan pembubaran hutan lindung Dusun Belukar Panjang untuk saat ini tidak dapat dipenuhi,”demikian petikan surat Bupati Bungo Nomor 522/618/SDA tanggal 6 Mei 2011. Ancaman dan godaan perusahaan di wilayah ini tentu sangat disayangkan. Mengingat masyarakat Batu Kerbau sudah sejak awal era 90-an berjuang untuk mendapatkan legalitas hutan adat dan lindung desa. Perjuangan ini, membuahkan hasil pada 16 Juli 2002, dengan keluarnya Surat Keputusan No.1249/2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo. Keputusan tentang penetapan hutan adat dan hutan lindung desa tersebut meliputi 5 lokasi yang terdiri atas 2 kawasan hutan lindung desa dan 3 kawasan hutan adat desa, yaitu hutan lindung Batu Kerbau, hutan lindung Belukar Panjang, Hutan Adat Batu Kerbau, Hutan Adat Belukar Panjang dan Hutan Adat Lubuk Tebat. Keluarnya SK Bupati yang mengukuhkan hutan adat dan hutan lindung desa di Dusun Batu Kerbau, bukanlah perkara murah. Sejak tahun 80-an dusun penyangga TNKS itu harus berjuang menghadapi gencarnya HPH yang masuk ke wilayah ini, dan menyebabkan Batu Kerbau kehilangan banyak kawasan ulayatnya. Sebelum adanya izin-izin HPH di sekitar Batu Kerbau, masyarakat dengan kearifannya telah berupaya untuk mempertahankan spot-spot kawasan sebagai ka-
Musyawarah desa pada 2001 juga bersepakat untuk mengelola kawasan hutannya dengan menggunakan sistem pengelolaan yang berkelanjutan, berkeadilan untuk kawasan hutan adat dan lindung desa serta lubuk larangan. Namun kini, upaya masyarakat dalam mengelola kawasan hutan mereka coba digoyahkan oleh perusahaan, dan sekali lagi masyarakat harus berjuang, supaya hutan adat dan hutan lindung desa mereka terbebas dari aktifitas perkebunan. “Kami tetap akan menuntut denda adat atas apa yang telah perusahaan lakukan, sebab selama ini kita sudah sering kena banjir, longsor, air sungai yang keruh dan sulitnya mendapatkan ikan di sungai, akibat rusaknya lingkungan kita, apalagi jika sampai dibabat demikian,”sebut Datuk Rasyid. Warsi juga berharap masyarakat tidak goyah hanya dengan kehadiran perusahaan sawit. Secara ekonomi, dan keuntungan sesaat tentu sawit memang lebih me-nguntungkan, namun dilihat skala luas dan juga ke depan, ada banyak harapan yang bisa diberikan dengan tetap mempertahankan kawasan hutan plus keuntungan finansial serta kehidupan yang lebih baik dengan lingkungan yang ramah buat anak cucu ke depan. Skema perdagangan karbon yang saat ini sedang di gagas, merupakan salah satu peluang yang akan di dapatkan masyarakat yang tetap mempertahankan hutannya. (Reni/Tim TFCA)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
19
LAPORAN UTAMA 20
Hutan Bukik Panjang,
Rimbo Larangan di Alam Surambi Sungai Pagu, Ikua Darek Kapalo Rantau, Kapak Randai Luhak Nan Tigo Hutan Bukik Panjang di Jorong Simancuang, Kanagarian Alam Pauh Duo, Solok Selatan, telah di jaga masyarakat dengan ketat sebagai rimbo larangan sejak jorong Simancuang mulai di taruko (di buka sebagai tempat bersawah dan pemukiman) pada tahun 1974, dan diajukan menjadi hutan nagari pada tahun 2010. Menjadi suatu hal yang menarik, mengapa masyarakat begitu arif menjadikan hutan di pinggiran pemukimannya sebagai rimba larangan. Tidak mungkin rimba larangan sebagai sebuah muara kearifan lahir dalam satu malam! Pasti ada hulu dari muara itu. Pertanyaannya, seperti apakah hulu kearifan itu? dan apa saja yang dialirkanya?
N
un, pada abad ke 16, ketika Indonesia masih belum bernama, ketika Belanda belum menjejakkan kaki ke Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu, satu dari enam puluh enam negara kerajaan persemakmuran (commonwealth) yang bergabung dalam Negara yang mempunyai cap (stempel) resmi: Pagaruyung Dārul Qadār Johan Berdaulat Zillullāh fīl ‘Ālam ini telah mempunyai kalarasan (mazhab ketatanegaraan) sendiri dalam bentuk tetralogi kepemimpinan raja-raja dan dewan kerapatan para pangulu (primus interpares), yang berakhir kedaulatannya saat Belanda menaklukkan Pagaruyung dan persemakmurannya pada perang Paderi. Berbeda dengan pemerintahahan tiga raja (triumvirat) Pagaruyung, pemerintahan Alam Surambi Sungai Pagu bersifat tetralogi. Ada empat raja yang mewakili empat kabilah di negara commonwealth itu; (1) Daulat Yang Dipertuan Bagindo Sultan Besar Tuanku Rajo Disambah, mewakili Suku Melayu Empat Niniak, sebagai Raja Alam (2) Yang Dipertuan Tuanku Rajo Batuah, mewakili Suku Panai Tigo Ibu, sebagai Raja Ibadat. (3) Yang Dipertuan Tuanku Rajo Malenggang, mewakili suku Lareh Tigo Bakapanjangan sebagai Panglima Raja (4) Yang Dipertuan Tuanku Rajo Bagindo, mewakili Suku Kampai Duo Puluah Ampek, sebagai Raja Adat. Namun, Raja Alam Tuanku Rajo Disambah, dapat dikatakan sebagai pucuk pimpinan dari tiga raja lainnya. Karena dalam struktur yang hirarkis kepemimpinan tradisional di Minangkabau, posisi Raja Alam di akui sebagai pucuk pimpinan. Muncul sebuah pertanyaan, apa hubungan Adat Alam Surambi Sungai Pagu, Rajo Nan Barampek, serta kerapatan dewan para pangulu di masa kegemilangannya, dengan isu konservasi di wilayah Kabupaten Solok Selatan pada saat sekarang?
Seperti kayu bakar, ketika cahaya api telah redup, panas bara tidaklah hilang walau ditimpa kayu baru. Begitulah ibarat untuk Alam Surambi Sungai Pagu. Masa penjajahan Belanda dan Jepang tidak menghilangkan identitas budaya mereka, Indonesia sebagai sebuah kayu baru di atas bara tadi tidak bisa memadamkan api budaya masyarakat dan menggantinya dengan api baru dari Jakarta. Analoginya, negara dengan sistem pemerintahannya adalah tubuh Solok Selatan secara administratif, sedangkan ruh-nya, adalah identitas budaya alam Surambi Sungai Pagu yang hidup di dalam jiwa masyarakat, yang dipakukan oleh Inyiak Samsudin Sadewano sebagai Raja Alam pertama yang didampingi oleh tiga raja lain beserta jajaran pangulunya. Walau kalarasan Adat Alam Sungai Pagu tidak lagi berdaulat, panasnya masih terasa dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat Solok Selatan. Inilah hulu dari kearifan yang kita pertanyakan pada awal tulisan tadi. Sebagai sebuah kerajaan Agraris (hidup dari pertanian), dan mayoritas sejak dahulu hingga saat ini adalah petani sawah, maka menjaga kelangsungan areal persawahan menjadi sebuah kewajiban komunal. Tidak ada sawah yang tidak berair, karena itu, menjaga daerah tangkapan air dan hulu-hulu sungai serta hutan-hutan larangan menjadi tanggung jawab pemerintah (Rajo nan ampek serta jajaran penghulunya) dan masyarakat Alam Surambi Sungai Pagu keseluruhannya. Setelah membantai Kabau Nan Gadang (kerbau besar) yang di sebut bantai Rajo-Rajo untuk memulai turun ke sawah (musim tanam: di Simancuang, tradisi inilah yang di sebut Mandarahi Kapalo Banda). Masyarakat Batang Marinteh Mudiak (Alam Pauah Duo nan Batigo), melakukan bantai amad’, yaitu kembali membantai kerbau sebagai acara penutup. Pelaksanaannya dilakukan di lapangan, berdinding bukit, beratap langit dan berlan-
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
LAPORAN UTAMA
Masyarakat Siancung menjaga kearifan mereka dalam mengelola sumber daya hutan. Foto Pitra Akhriadi/Dok KKI Warsi
tai tanah. Di sinilah tempatnya utusan Raja manyampaikan titah berupa larang dan pantangan (palakat turun ke sawah) supaya seluruh masyarakat daerah Batang Marinteh Mudiak mematuhi isinya: “Ka rimbo, kayu tak buliah ditabang, rotan tak buliah dirangguik, manau tak buliah di pancuang. Kabatang Aie, Aie tak buliah di karuah, batu tak buliah di baliak, tabiang tak buliah diruntuah. Ka Samak baluka, buah manih, buah masam tak buliah diambiak, dipanjek mudo jo lain lain. Kok Pantang dilampaui, Ka bawah indak baurek, Ka ateh indak bapucuak, Di tangah tangah digiriak kumbang. Iduik sagan mati tak namuah, bak karakok tumbuah di batu” (Ke hutan, kayu tak boleh ditebang, rotan tak boleh di renggut, manau tak boleh dipancung. Kesungai, air tak boleh di keruh, batu tak boleh di balik, tebing tak boleh di runtuh. Kesemak belukar, buah manis buah masam tak boleh di ambil, di panjat muda dan lainnya. Kalau pantangan di langgar, ke bawah tidak berurat, keatas tidak berpucuk, ditengah digirik kumbang, hidup segan mati tak mau).
Saat padi yang ditanam selesai disiangi dan sawah mulai dikeringkan, maka orang Pauah Duo bersama orang bano Ka Ampek Suku dan Rajo Mulia akan bermufakat untuk mengakhiri berlakunya titah dan pantangan yang berlaku, yang di sebut ”Mambubuih Amad’. Mambubuih Amad tidak di lakukan begitu saja, tapi di atur dengan tata cara hukum adat yang berlaku di Alam Surambi Sungai Pagu: “Kok maampang jan sampai kasubarang, kok mandindiang jan sampai kalangik, kok bubuih jan maruntuah tabiang, kok ungkai jan maurak bingkai” (kalau menghambat jangan sampai keseberang, kalau mendinding jangan sampai ke langit, kalau menghapus aturan jangan sampai meruntuh tebing, kalau menanggalkan, jangan sampai menghancurkan bingkai). Artinya, walaupun peraturan di hapus, seluruh tindakan yang membahayakan dan merugikan kepentingan masyarakat atau merusak alam tetap tidak di perbolehkan. Saat musim tanam pada periode ke depan, larangan dan pantangan dalam pelakat turun ke sawah
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
21
22
LAPORAN UTAMA ini berlaku kembali. Inilah salah satu bentuk kearifan ekologi yang ada sejak zaman lawas, yang masih di pertahankan masyarakat Alam Pauh Duo sampai saat ini. Kabupaten Solok Selatan (Alam Surambi Sungai Pagu) memiliki daerah yang bervariasi antara dataran dan berbukit-bukit dengan ketinggian 350 - 800 meter dari permukaan laut. Daerah ini berada pada jajaran Bukit Barisan yang bergelombang, berbukit dan berlembah dengan kelerengan yang cukup tajam. Dengan daerah datar 0-2%, bergelombang 3-12%, curam 16-40% dan sangat curam 40% keatasnya. (Sumber: Profil Solok Selatan KKI-Warsi). Kondisi topografi seperti inilah yang membuat Alam Surambi Sungai Pagu atau Solok Selatan, mau tidak mau harus berdamai dengan alam. Di tempat seperti ini, bermain-main dengan alam, sama halnya dengan menari di atas gunting atau bercanda dengan maut. Kondisi bukit barisan, lembah dan batu-batu gunung, serta kayu-kayu rimbun adalah pemandangan seharihari di Solok Selatan. Jika bukit dan lembah adalah rumah, maka pohon-pohon yang tumbuh berfungsi sebagai paku. Ketika paku itu mulai tanggal atau di tanggalkan, maka terbanglah atapnya di hembus langkisau (angin topan), dinding dan isinya akan berhamburan meninggalkan pondasinya; itulah bencana yang di Sumatera Barat, di sebut Galodo (banjir bandang), sebuah bencana alam yang akrab di daerah dataran tinggi, hampir di setiap daerah yang berbukit di dunia telah pernah merasakannya. Tahun 1974, ketika empat orang perintis Simancuang, mulai mengapak kayu pertama untuk membuka daerah baru, mereka telah berfikir untuk mengendalikan keliaran mata kapak itu agar tidak sembarangan mencabut paku alam (pohon). Maka mereka buatlah kesepakatan dengan lisan hanya menghalalkan mengapak kayu di tanah yang datar, memakruhkannya di kelerengan, dan mengharamkannya di kecuraman. Kesepakatan yang mereka buat berlaku bagi mereka dan seluruh anak cucunya. Tapi setiap generasi menurunkan penjahat, maka seperti halnya cerita silat Kho Ping Ho dalam serial ke-4 dari 12 serial Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam); Cia Sin Liong, si Pendekar Sakti Lembah Naga, tanpa alasan yang jelas, sangat di musuhi oleh saudara angkatnya Pangeran Ceng Han How, putra Raja Sabutai dari Mongolia. Segala tipu muslihat, diupayakan untuk menghancurkan ketentraman Lembah Naga dan membakarnya. Begitupun di Simancuang, tempat di mana mata kapak telah diharamkan, yaitu dari pinggang sam-
pai puncak bukit panjang Simancuang, pernah meraung mata Chain Saw, kapak mesin bergerigi dari manusiamanusia antagonis yang telah dirasuki roh jahat Pangeran Ceng Han How anak Raja Sabutai. Akibatnya, tahun 1990, longsor melanda bukit panjang, menghancurkan beberapa rumah dan petak sawah di Lembah Simancuang. Peristiwa longsor ini, menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat. Aturan negeri di perketat, tidak boleh lagi berladang di Bukit Panjang, apalagi menumbang kayu di dalamnya. Bagi yang telah terlanjur silahkan menikmati hasil, tapi tidak boleh melakukan revitalisasi. Tahun 2010, di dampingi oleh Komunitas Konservasi Indonesia-WARSI, masyarakat Simancuang, mengajukan hutan Bukik Panjang di naikkan statusnya sebagai Hutan Nagari atau Hutan Desa pada Menteri Kehutanan. Saat ini surat pengusulannya masih dalam proses di pihak Pemerintah kabupaten Solok Selatan. Sebagai masyarakat yang berbasis budaya Minang, maka raso pareso atau budi masih menjadi ukuran nilai moral dalam aktifitas bermasyarakat di Simancuang. Kearifan lokal ini bagaikan sebuah kitab alam yang ayat-ayatnya adalah ungkapan sastra berirama berisi petuah-petuah: “Barek samo di pikua, ringan samo di jinjiang. Tatatungkuik samo makan tanah, tatilantang samo minum ambun,” (Berat sama di pikul, ringan sama di jinjing. Tertelungkup sama makan tanah, menelentang samo minum embun). Karena itu, kearifan lokal seperti lembay hari, lelong atau manunggal, arisan kerja kata orang di Jawa, menjadi aktifitas bahu membahu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari musim tanam ke musim tanam. “Ingek sabalum kanai, maminteh sabalum hanyuik, manyalami sabalum karam,” (Ingat sebelum kena, memintas sebelum hanyut, menyelami sebelum karam). “Waspadalah,” itulah makna ayat dari kitab alam di atas yang sering di ulang-ulang oleh Bang Napi. Tentu masyarakat Simancuang telah sangat paham dengan pesan itu, bahkan sebelum Bang Napi mengenal televisi. Dengan membaca salah ayat pamungkas dari hamparan kitab alam, dalam agama (baca: islam) di sebut sunnatullah, yang menjadi Filosofi puncak dari Adat Alam Minangkabau, yang di turunkan petuahnya sejak zaman lawas oleh nenek moyang mereka, yaitu: “Alam Takambang Jadi Guru,”. (Rafiq)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
fokus Duka di Ujung Timbangan Kebijakan
Setelah lebih dari sembilan jam perjalanan, aliran Sungai Batang Sumay beriak kecil menyambut ketika ponton siap melaju untuk menyeberanginya. Untuk mencapai lokasi Desa Pemayungan memang cukup sulit,berada di kawasan hutan produksi dikarenakan itu dikelilingi beberapa hutan tanam industri (HTI) diantaranya HTI Tebo Multi Agro (Sinar Mas Group –BUMD Kabupaten Tebo), HTI Arangan Hutan Lestari, HTI Lestari Asri Jaya, HTI Malaka
Agro Perkasa. Tatapan penuh kecurigaan terpancar, saat mobil yang kami tumpangi bergerak menuju bibir Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay ,Kabupaten Tebo. Para perempuan dan anak-anak, bergegas masuk ke dalam rumah masing-masing. Sejak kasus penangkapan Ahmad Baki(56) salah seorang tokoh masyarakat Desa Pemayungan yang dituntut pihak perusahaan dalam perjuangannya mempertahankan tanah ulayatnya . Tak ada lagi keramahan yang biasanya akrab tumbuh di tengah-tengah masyarakat melayu tua ini. Syaharudin(28), Kepala Desa Pemayungan menyebutkan kini masyarakatnya mengalami trauma yang mendalam dan enggan menerima kedatangan pihak luar.”Setelah peristiwa pengambilan mobil dan penangkapan salah seorang tokoh masyarakat kami,warga lebih mencurigai kalau ada orang orang dari luar desa datang ke sini. Perempuan dan anak-anaknya yang dulunya berani untuk pergi ke kota kabupaten, sekarang tidak lagi berani karena takut ditanya-tanyai aparat,” ungkapnya.
Pembukaan hutan alam untuk HTI dan pembukaan jalan koridor, tidak hanya menyebabkan Orang Rimba kehilangan sumber daya, tetapi juga menimbulkan konflik dengan masyarakat desa sekitar. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
K
fokus
asus diatas merupakan contoh kecil dari maraknya konflik yang terjadi di Jambi yang semakin meningkat sepanjang tahun 2010. Menurut catatan Warsi, ada 18 kasus konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Berbagai motif yang menjadi pemicu, namun sebagian besar terkait dengan penyerobotan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Saat masyarakat di sekitar hutan telah dirugikan hak-haknya sebagai warga negara, mereka menuntut itu dalam berbagai bentuk perjuangan. Namun yang terjadi, satu-persatu korban berjatuhan. Bahkan seorang petani di Senyerang harus meregang nyawa di moncong senapan aparat juga demi memperjuangkan sekitar 7 ribu hektar lahan masyarakat yang dikuasai PT WKS (Wira Karya Sakti, Sinar Mas Group). Bentuk penguasaan perusahaan terhadap pengelolaan hutan dengan cara menjaga kawasan tersebut sebaik mungkin. Membuat masyarakat kehilangan rasa nyaman dengan lalu lalang nya pasukan patroli perusahaan di pemukiman dan kebun mereka. Dilatari rasa ketidaknyaman inilah yang akhirnya mengantarkan salah seorang warga Desa Pemayungan Ahmad Baki harus menjalani hukuman atas dasar tuduhan pembakaran pos satpam pihak PT Tebo Multi Agro.Perusahaan TMA yang merupakan milik BUMD Kabupaten Tebo melakukan Joint Venture dalam pengolahan produksinya dengan PT. Wira Karya Sakti (WKS) Saat ditemui di Lembaga Pemasyarakatan Kabupaten Tebo, lakilaki yang divonis dengan tahanan kurungan selama 10 bulan ini menyebutkan bahwa dia akan tetap meperjuang hak nya atas kepemilikan tanah ulayat nya, meski pihak perusahaan telah menjebloskannya ke buih.” Tanah yang sayo jadikan kebun itu milik
kami, dan disitu ado kuburan-kuburan orang-orang tuo terdahulu kami. Di situ jugo ado kebun durian kami. Dan sampai titik darah penghabisan saya akan tetap memperjuangkan hak sayo. Kareno di kebun itulah tempat kami cari makan”, ungkapnya Ketika dikomfimasi kepada pihak perusahaan, Edi Yanto selaku Humas PT Wira Karya Sakti (Sinar Mas Group) menyebutkan mereka enggan berkomentar terkait permasalah tersebut.” Kami sudah menyerahkan persoalan hukumnya kepada pihak kepolisian, jadi biarkan bagaimana pihak kepolisian menyelesaikannya”,ujarnya. Berawal dari penggusuran 4 pondok diladang, 1 warung, serta kebun karet masyarakat , Rabu 13/10/09 membuat masyarakat tidak bisa menerima hal itu. Keesokan harinya masyarakat mencegat mobil perusahaan yang melakukan penggusuran dan meminta keterangan terkait surat ijin penggusuran dan peta konsesi perusahaan. Tapi pihak perusahaan tidak ada yang bisa memberikan keterangan untuk itu dan dijanjikan akan ada pertemuan kembali besok. Tepatnya,Jum’at 15/10/09 kembali masyarakat menemui kekecewaan, pasalnya tidak satu pun pihak perusahaan yang datang menemui mereka. Merasa tidak dihargai dan dibohongi oleh Keempat instansi pemerintah dan pihak perusahaan karena tidak hadir pada jadwal yang telah disepakati bersama, maka emosi masyarakat tersulut dengan dibakarnya pos satpam milik PT TMA di jalan koridor dekat simpang SP 7. Pembakaran yang dilakukan masyarakat tersebut ternyata tidak juga membuat pihak perusahaan menemui dan memberi penjelasan kepada mereka. Yang terjadi hanya peretemuan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Tebo, masyarakat diberi penyuluhan dan nasehat karena dianggap bersalah.
Antrian truk yang membawa kayu dari areal TMA. Kehadiran HTI telah menimbulkan banyak konflik dengan masyarakat dan satwa sekitar. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
KEPEMILIKAN LAHAN Dalam pertemuan tersebut sama sekali tidak dibicarakan masalah penggusuran yang telah dilakukan. Masyarakat pulang tanpa membawa keputusan terhadap penyelesaian masalah. Selanjutnya, selama 8 bulan setelah kejadian tersebut tidak ada konflik masyarakat dengan perusahaan. Hingga pertengahan 2010, tepatnya 11/7 2010, Security PT Wira Karya Sakti mendatangi masyarakat yang sedang mengerjakan lahan yang sudah pernah dimusyawarahkan di desa, tepatnya di sungai rambutan dengan mobil patroli membunyikan sirene. Aksi ini dilakukan 7 orang satpam perusahaan, mereka mendatangi satu per satu masyarakat yang sedang mengerjakan lahannya, dan menanyakan atas izin siapa masyarakat bisa membuka lahan di sana. Sontak saja ini memancing emosi masyarakat, dikatakan Ibrahim, selaku ninik mamak di Desa Pemayungan bahwa daerah Sungai Rambutan dijadikan masyarakat sebagai lahan pertanian dan perkebunan desa atas dasar tambo sejarah dari zaman Belanda yang sudah terbakar.”Kita ada peta sketsa atas tambo adat yang dibuat pemuka masyarakat sejak zaman Belanda. Dan ini diketahui oleh salah seorang warga kita yang bernama Taksiah “ jelasnya.
yang dilakukan pemerintah bukanlah upaya penyelesaian konflik. Pemerintah juga harus bertanggungjawab atas kebijakan yang telah dibuat nya sehingga konflik-konflik tersebut terjadi.” Kalau mau diadili, pemerintah juga harus diadili karena kooperatif dalam memberikan ijin-ijin kepada perusahaan tanpa memperhatikan perlindungan terhadap hak kelola masyarakat. Sedangkan perusahaan, ketika melakukan pengrusakan terhadap pondok warga itu melanggar undang-undang perlindungan kepemilikan properti pribadi”, paparnya Posisi masyarakat dinilainya lemah , karena dukungan yang memang lemah dari pemerintah sendiri. Penerapan hukum pidana tidak tepat diterapkan dalam upaya penyelesaian konflik. Pemerintah yang diharapkan dapat memediasi konflik yang terjadi sepertinya tak mampu berbuat apa-apa. Pengeluaran ijin-ijin yang tidak diawasi dengan baik membuat pemerintah dilema dalam menghadapi konflik tersebut. Bahkan Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jambi Fauzie Ansori pada pertemuan penyelesaian konflik menyebutkan semua konflik yang terjadi di wilayah administratif tingkat Kabupaten, sepenuhnya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah bersangkutan. (Elvi)
Masyarakat kembali menuntut agar pihak perusahaan datang ke desa dan memberi penjelasan tentang aksi satpam yang dikirim untuk mencegah mereka membuka kebun.Karena ketidakpercayaan tuntutan akan diberikan masyarakat menyita satu unit mobil patrroli BM 8464 TA yang dikendarai satpam dan ini disetujui pihak perusahaan.Bukan pihak perusahaan yang datang untuk menjemput jaminan tersebut, pihak kepolisian resort Tebo bersama pasukannya yang berjumlah lebih dari 200 personil dengan bersenjata api lengkap menjemput mobil perusahaan. Kondisi ini benar-benar membuat masyarakat terutama perempuan dan anak-anak tertekan. Teror militer yang dibangun aparat tidak akan dapat membantu menyelesaikan masalah, kondisi yang terjadi salah seorang warga, Emilia (35) mengalami pingsan pada saat kejadian. Anak-anak yang pada saat itu sedang belajar agama di madrasah ketakutan dan sebagian ada yang menangis.Dua hari kemudian, Ahmad Baki ditangkap oleh pihak kepolisian atas dasar tuduhan pengrusakan, pemukulan dan pembakaran pos satpam perusahaan. Belum hilang ketakutan pasca kedatangan rombongan aparat, penangkapan salah seorang warga nya membuat masyarakat sempat membuat sistem pemeriksaan portal ketika memasuki desa mereka selama hampir dua minggu. Nusi (52), salah seorang warga menyebutkan sampai saat ini mereka masih mencurigai kalau ada pihak luar berkunjung ke desa nya.”Kito pasang portal selamo setengah bulan untuk memeriksa pihak luar yang mau datang ke sini. Kemarin jugo ado orang bermobil yang datang, dan kami semuanyo dak mau keluar. Kami tahu lah itu pasti intel yang nyamar jadi tukang jual obat padahal nak nyari-nyari kesalahan warga kami biak biso ditangkap lagi” imbuhnya. Menanggapi hal itu, Nurcholis Komisioner Komnas HAM bidang eksternal menyebutkan penerapan hukum pidana pada tokoh masyarakat dan masyarakat pada kasus-kasus konflik kehutanan
Land Clearing di TMA, telah menghilangkan sumber penghidupan sekaligus memancing konflik dengan masyarakat sekitar dan satwa. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
fokus
Orang Rimba yang kehilangan sumber daya semakin marginal dengan kehadiran HTI dan sawit disekitar mereka. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi.
Kebijakan Kepemilikan Lahan Abaikan Hak Masyarakat Lokal
S
etelah banyak izin yang dikeluarkan, pemerintah lemah dalam mengawasi pengelolaan hutan yang telah diberikan.Pemerintah seakan lupa bahwa dalam izin yang dikeluarkan kepada perusahaan, ada masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam di tempat itu. Masyarakat lokal yang telah berdiam puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu merasa mendapat kejutan dari pemerintah dengan kehadiran perusahaan-perusahaan di tanah ulayat mereka. Berbagai aktifitas yang dilakukan perusahaan tersebut mengancam sumber hidup dan berpenghidupan masyarakat lokal. Tindakan pemerintah dalam pemberian izin dengan tidak mempertimbangkan hak kelola masyarakat lokal memicu timbulnya konflik pengelolaan sumber daya alam antara masyarakat lokal dan perusahaan yang marak terjadi bebe-
rapa waktu terakhir di Provinsi Jambi. Berbekal izin tersebut, perusahaan merasa mengantongi kekuasaan atas kawasan yang juga dikelola masyarakat lokal. Di lain pihak, masyarakat menyatakan wilayah itu merupakan wilayah adat yang sangat wajar mereka kelola.Selain itu meningkatknya pertumbuhan jumlah penduduk, menyebabkan kebutuhan akan lahanpun meningkat. Konflik yang terjadi semakin membuat masyarakat terpuruk. Hal ini ditunjang oleh lemahnya dukungan pemerintah terhadap hak-hak kelola masyarakat.Sementera itu, perusahaan laksana penguasa kawasan hutan bertindak sewenangwenang melakukan penggusuran bahkan tak jarang perusahaan menjadikan oknum aparat sebagai pion untuk mengamankan lahan yang mereka kelola. Langkah yang diambil oleh perusahaan tersebut tampaknya berhasil, masyarakat lokal merasa takut mempertahankan hak kelola mereka sendiri.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
KEPEMILIKAN LAHAN Pemerintah yang diharapkan dapat memediasi konflik yang terjadi, sepertinya tak mampu berbuat apa-apa. Pengeluaran ijin yang tidak diawasi dengan baik membuat pemerintah dilema dalam mengahadapi konflik tersebut. Acap kali berbagai mediasi yang dilakukan menemukan jalan buntu.Seperti yang terjadi di Desa Pemayungan, salah seorang warganya terpaksa menjalani proses hukum dikarenakan terlibatbentrok dengan perusahaan. Tanpa mengkaji faktor pemicunya. Di sisi lain,hutan alam di kawasan landskap Bukit Tigapuluh kini mulai terfragmentasi,banyak aktifitas yang mengancam di kawasan ini diantaranya pembukaan koridor yang menghubungkan satu konsesi dengan konsesi lainnya. Ketidak adilan pemanfaatan sumber daya alam ini harus segera diatasi, agar hak kelola masyarakat pun diakui. Tingginya konflik yang terjdi disebabkan eksploitasi kawasan hutan untuk berbagai pengelolaan seperti Hutan Tanam Industri, perkebunan, transmigrasi dan pertambangan. Berdasarkan Peta Paduserasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jambi sebagaimana yang dituangkan dalam SK Gubernur Nomor 108 Tahun 199 seluas 2.179.440 hektar atau 42 persen dari total luas Provinsi Jambi yang terdiri atas: Hutan Produksi Terbatas (0,59%), Hutan Produksi Tetap (18,39%), Hutan Lindung (3,75%), Hutan Suaka Alam (0,59%), Hutan Pelestarian Alam (12,72%) dan Hutan Produksi Pola Partisipasi Masyarakat/ HP3M (0,60%). Namun berbadarkan data KKI Warsi kondisi kawasan hutan yang memiliki tutupan bagus diperkirakan tidak lebih dari 800 ribu hektar. Dengan jumlah tersebut, konflik yang terjadi tidak hanya terjadi pada masyarakat tetapi juga berlaku untuk satwa. Mengingat satwa juga memiliki akses kepentingan hutan sebagai
tempat hidup dan berlindung. Bahkan dijelaskan Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam, Tri Siswo angka konflik satwa liar meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun. “Pada tahun 2008 ada 8 data konflik satwa yang berhasil kita tangani, dan jumlah ini meningkat drastis pada tahun 2009 dan 2010 mencapai 31 data konflik yang tersebar di 6 Kabupaten dan yang paling rawan di Dua kabupaten yaitu Kabupaten Tebo dan Tanjungjabung Barat”, jelasnya. Ditambahkan Rudi Syaf, Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi bahwa kasus-kasus konflik tersebut harus segera diatasi.”Jika konflik-konflik tersebut tidak dapat segera diantisipasi, ini akan menjadi bom waktu yang akan meledak lima atau delapan tahun lagi ketika lahan dan sumber daya alam tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan bisnis besar, individual pemilik modal, dan bahkan para petani lokal sendiri. Pergesekan akan semakin keras dan akhirnya yang akan dirugikan adalah rakyat yang paling marginal, karena mereka cenderung diabaikan dalam proses pengambilan keputusan” tegasnya. Pemerintah adalah aktor utama yang dapat memperlambat ledakan yang akan timbul karena kewenangan mengatur regulasi dan penindakan pelanggaran terhadap regulasi yang dibuat. Langkah yang harus diambil pemerintah adalah memberikan ruang kepada masyarakat yang paling dekat berintegrasi dengan sumber daya alam. Meskipun saat ini sudah ada peluang untuk itu melalui skema hutan desa, hutan tanam rakyat. Sampai sat ini di Jambi hutan desa yang telah mendapatkan izin menteri kehutanan seluas 27.776 ha, dan masih ada usulan seluas 30.253 ha dalam proses pengajuan. Jumlah ini sungguh jauh jika dibandingkan lahan yang diajukan untuk HTI seluas 715.809 hektar dan HPH aktif seluas 72.095 hektar. (Elvi)
Hutan Desa di Provinsi Jambi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
Perkembangan HTI di Provinsi Jambi
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
fokus Mengurangi Tekanan Perambahan TNKS Bersama “Pintu Langit”
Salah satu kegiatan kelompok Pengelola Kebun Pintu Langit, mendistribusikan bibit karet ke masyarakat Sungai Aro. Foto. Riche Rahma Dewita/Dok KKI Warsi
J
orong Sungai Aro, Kenagarian Pakan Raba’ah, Kecamatan Sungai Taguh,Solok Selatan, sebagai salah satu daerah penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat . Sebagian besar masyarakatnya memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Kebun-kebun yang mereka miliki ini berada di pinggir kawasan, bahkan dari pemetaan dan survey yang dilakukan bersama masyarakat menghasilkan data bahwa separuh lahan kebun mereka sudah berada di dalam kawasan. Sejak tahun 1998, masyarakat di daerah ini memiliki kesepakatan konservasi desa dengan pihak Taman Nasional Kerinci Seblat untuk tidak menambah luasan lahan kelola kebun. Selama ini yang terlihat, lahan kebun yang telah ada tidak diolah secara maksimal. Mereka membuka lahan tersebut sebatas pada klaim kepemilikan saja. Lahan-lahan yang sudah dibuka masyarakat ini, lazim dikenal dengan sebuatan “kerapuhan”. Umumnya “kerapuhan” ini berisi dengan tanaman-tanaman tua, atau bahkan belukar karena kurangnya pengelolaan. Dengan adanya gejala klaim kepemilikan tersebut dan kurangnya pemahaman masyarakat mengenai batas lahan yang dapat diolah (milik masyarakat) dengan lahan yang tidak diizinkan untuk diolah, menimbulkan kekhawatiran terhadap kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat sendiri. KKI Warsi bersama masyarakat Sungai Aro mendiskusikan upaya memaksimal hasil kebun masyarakat untuk pengembangan ekonomi dan mendukung pengelolaan berkelanjutan. Kegiatan ini fokus pada penngkayaan tanaman-tanaman tua. Rainal Daus, Koordinator project KKI Warsi menyebutkan kegiatan pengkayaan tanaman ini, sebagai upaya mengurangi tekanan perambahan terhadap kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. “Kita sudah melakukan diskusi kegiatan pada Oktober yang lalu, dan untuk pelaksanaannya perlu dibentuk kelompok yang mengkoordinir kegiatan. Ini terkait dengan mekanisme pembagian bibit,
baik proses pembibitan dan penanaman,”terang alumni Universitas Andalas ini. Dalam sosialisasi yang dilakukan, masyarakat sepakat untuk berkegiatan bersama KKI-Warsi dan sepakat untuk membentuk kelompok pengelola kebun “Pintu Langit”. Kelompok ini diharapkan mampu membuat rencana kegiatan terkait dengan pengkayaan tanaman yang dilakukan yang memiliki kewenangan dalam mengawal semua kegiatan yang akan dilakukan. Semenatara itu, semua lahan yang akan menerima bantuan bibit disyaratkan adalah lahan yang siap tanam. Dan semua masyarakat diberikan waktu selama satu bulan, untuk menyiapkan lahan mereka masing-masing. Selain itu, disebutkan Ketua Kelompok “Pintu Langit”, Ramli, pembagian bibit masing-masing ladang disesuaikan dengan luas dan ketersediaan lahan yang dimiliki. ”Masing-masing pemilik ladang maksimal akan mendapatkan sebanyak 300 batang jenis bibit yang terdiri dari karet unggul, dan sebanyak 20% nya lagi terdiri tanaman kayu dan buah-buahan seperti, durian, mahoni, surian,dan mahoni”, jelasnya. Sebanyak 10.600 bibit karet unggul dan 2.000 bibit kayu dan buah yang diberikan KKI Warsi.Semua bibit yang akan ditanam, dalam jangka waktu sebulan setelah diserahkan kepada pemilik kebun akan dilakukan pengawasan oleh kelompok “Pintu Langit”. Tak hanya dalam hal pengawasan, Kelompok “Pintu Langit”, juga akan melakukan survey luas dan isi kebun yang melibatkan pemilik kebun dalam menentukan jumlah bibit yang akan diterima masingmasing. Semua aturan yang ditetapkan ini, terlebih dahulu disosialisasikan kepada para pemilik kebun.(Riche Rachma Dewita)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
GIS SPOT
30
Peta Lereng Untuk Menentukan Kawasan yang Dilindungi
B
encana longsor yang sering terjadi beberapa waktu lalu, terutama pada musim penghujan, mengindikasikan bahwa alam bisa bergerak atau bertindak sesuai kemampuannya. Longsor, biasanya terjadi pada suatu wilayah yang tidak datar atau memiliki kemiringan. Kemiringan suatu wilayah atau biasa disebut lereng bisa menjadi indikator dari kondisi tanah di wilayah tersebut. Sehingga terjadinya longsor sebenarnya dapat diduga sebelumnya apabila telah di ketahui derajat kemiringan-nya terlebih dahulu.
Perlu dipahami bahwa peta lereng yang ditampilkan sangatlah tergantung pada skala peta konturnya. Semakin detail peta maka akan memunculkan informasi yang lebih detail. Gambar 2 adalah Ilustrasi yang menggambarkan adanya beberapa lereng curam yang tidak ditampilkan pada peta, hal ini disebabkan karena informasi garis kontur hanya melalui titik A dan B sesuai interval konturnya (Ci). Gambar 1. Konversi nilai kemiringan lereng
Apa itu Peta Lereng ? Dalam ilmu geografi dikenal berbagai macam peta berdasarkan jenisnya, salah satunya adalah peta lereng. Peta lereng digunakan untuk memperkirakan tingkat kemiringan atau kecuraman suatu wilayah. Mengapa faktor kemiringan lereng penting diperhitungkan? Hal ini disebabkan karena proses-proses geomorfologi seperti pelapukan, pengangkutan, dan pengendapan sangat dipengaruhi oleh kelerengan. Semakin besar kemiringan dan panjang lereng maka semakin rentan terhadap proses erosi dan pergerakan massa tanah (longsoran). Sehingga dalam setiap analisis dan perencanaan tata ruang di suatu wilayah, kemiringan lereng selalu menjadi salah satu faktor fisik lahan yang harus diperhatikan, terutama kaitannya dengan evaluasi kemampuan lahan dan potensi rawan bencana. Yang dimaksud dengan lereng (‘slope’) yaitu perbedaan tinggi antara 2 titik yang dapat dinyatakan dalam derajat, persen, m/km, atau feet/mill, sedangkan Peta lereng menggambarkan luasan, panjang dan sebaran dari masing-masing kemiringan lereng rata-rata berdasarkan interval tertentu sesuai skala peta. Misalkan antara dua titik dilapangan (A dan B) mempunyai beda tinggi 40 meter dan panjang lerengnya setelah diukur adalah 107.7 meter, untuk mengetahui berapa jarak datarnya gunakan rumus pitagoras b=akar(c²-a²), hasilnya adalah 100m. Artinya lereng lapangan antara titik A dan B adalah (40/100)*100% = 40%, atau ATAN(40/100) = 21.8˚ (Gambar 1.) Peta lereng merupakan klasifikasi (pengelompokan) dari sebaran lereng-lereng yang nilainya sama atau mendekati sama. Peta lereng dapat diperoleh dengan interpolasi garis kontur. Pekerjaan ini akan sedikit sulit apabila dilakukan secara manual. Namun dengan adanya kemajuan teknologi komputer saat ini, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan hasilnya tentunya lebih baik.
Gambar 2. Lereng dengan beda tinggi kurang dari 50m tidak di tampilkan
Membuat peta lereng Dengan mengunakan software ArcMap, layer kontur yang sudah memiliki id ketinggian dikonversi menjadi Triangulated Irregular Network (TIN) Klik 3D Analyst > Create/Modify TIN > Create TIN From Features. Selanjutnya kita konversi TIN ke format raster (Grid), data ini disebut juga Digital Elevation Model yaitu sel sel dengan ukuran tertentu dan setiap nilai sel menunjukan angka ketinggian, caranya klik menu 3D Analyst > Convert > TIN to Raster. Langkah selanjutnya adalah membuat slope, klik menu 3D Analyst > Surface Analyst > Slope. Lakukan Majority Filter untuk menghilangkan poligon2 kecil. Langkah terakhir adalah melakukan reklasifikasi, klik menu 3D Analyst > Reclassify. (Gambar 3). Bagi yang biasa berselancar di internet dapat mengunduh data Aster GDEM 30m di http://www.gdem.aster. ersdac.or.jp/search.jsp (menghasilkan peta lereng skala 1:50.000) dan data SRTM 90m di http://srtm.csi.cgiar. org/SELECTION/inputCoord.asp (menghasilkan peta lereng skala 1:100.000) sehingga proses pembuatan TIN dan DEM tidak perlu dilakukan lagi.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
31
Hutan Lindung Tampak pada gambar 4a dan 4b adalah perbandingan peta lereng yang berasal dari data SRTM 90m dan data Aster GDEM 30m. Gambar ini menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan mengenai kecuraman lereng, ditandai dengan persebaran warna merah yang lebih dominan pada data yang lebih detail. Mengapa bisa demikian? Penggunaan skala yang berbedabeda sering menimbulkan asumsi berbeda pada penggunanya. Apabila suatu peta lereng menggunakan skala besar, maka detail suatu wilayah akan semakin jelas dengan banyaknya lereng curam yang ditampilkan. Berbeda apabila suatu peta lereng menggunakan skala kecil, jumlah lereng yang ditampilkan cenderung tidak detail dan tentu saja lereng-lereng curam tidak ditampilkan. Karena perbedaan penggunaan skala tersebut, seringkali menimbulkan perbedaan pendapat terutama oleh pemangku kebijakan dalam menentukan layak atau tidaknya suatu wilayah untuk dijadikan kawasan konservasi atau kawasan lindung. Pemerintah melalui SK Menteri Pertanian nomor 837/Kpts/ Um/11/1980 tanggal 24 Nopember 1980 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung menyatakan bahwa, faktor-faktor yang diperhatikan dan diperhitungkan di dalam penetapan perlunya hutan lindung di dalam kawasan adalah lereng lapangan, jenis tanah menurut kepekaannya terhadap erosi dan intensitas hujan dari wilayah yang bersangkutan. SK Menteri tersebut dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia, nomor 32 tahun 1990 tentang, Pengelolaan Kawasan Lindung menyatakan bahwa, kriteria kawasan hutan lindung adalah: a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/atau b. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 % atau lebih, dan/atau c. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2.000 meter atau lebih. Peraturan perundang-undangan tersebut menekankan pentingnya faktor lereng dalam penetapan hutan lindung dengan memberi timbangan (skor) 20 untuk faktor lereng. Ini lebih besar dibandingkan faktor-faktor lain seperti jenis tanah (15) dan intensitas hujan (10), namun dalam peraturan ini tidak di sebutkan secara jelas berapa skala peta yang harus dipergunakan. Dalam teknis pelaksanaannya selama ini Departemen Kehutanan mempergunakan skala peta 1:100.000 sebagai peta kerja guna menentukan kriteria layak lindung. Artinya lereng dengan beda tinggi kurang dari 50 meter tidak ditampilkan dalam peta atau dengan kata lain, lereng dengan kemiringan 41% sepanjang 131.8 meter dan atau lereng dengan kemiringan 100% sepanjang 70 meter tidak ditampilkan. Sebagai akibatnya banyak terbit izin HTI di kawasan hutan yang seharusnya layak menjadi hutan lindung, seperti contohnya di areal eks PT. Dalek dan PT. Hatma Hutani (A dan B pada gambar 4b) yang menerapkan pola TPTJ (Tebang Pilih Tanam Jalur), sungguh ironis. (Askarinta Adi) ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
DARI HULU KE HILIR
32
Mengembalikan Kejayaan Sungai Batanghari
K
eberadaan Kerajaan Melayu Tua tidak bisa dilepaskan dari Sungai Batanghari. Pembesar kerajaan menilai tepi Sungai Batanghari ini layak sebagai pusat kerajaan yang mengandalkan perdagangan sebagai penghidupan. Sungai Batanghari berlekuk-lekuk sehingga panjang sungai ini diperkirakan hampir 500 kilometer. Kini, Sungai Batanghari terbentang mulai dari hulu di Provinsi Sumatra Barat hingga Provinsi Jambi di hilir. Di hilir sungai, di pantai timur Sumatera, Kerajaan Melayu pertama berdiri, tepatnya di daerah Jambi. Di situlah, kerajaan ini berjaya selama berabad-abad. Kejayaan Sungai Batanghari pada abad ke-13 itu jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Pelabuhan Muara Sabak yang dibangun di Kabupaten Tanjungjabung Timur, Jambi diharapkan dapat menjadi pintu gerbang ekonomi Jambi ke kawasan Segitiga pertumbuhan Singapura-Batam dan Johor (Sibajo), daerah kerjasama Indonesia-Malaysia - Singapura Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Traingle (IMT-GT) serta pasar APEC tidak dapat berjalan sesuai rencana dikarenakan tingginya laju sidementasi. Data BPDAS menyebutkan laju sedimentasi Sungai Batanghari meningkat ratusan persen. Dalam kurun 20 tahun terakhir, sedimentasi sungai terpanjang di Sumatera tersebut lajunya hampir 100 kali dari normal.Pada angka normal, laju sedimentasi yang terjadi batasnya 9-15 ton per hektare tiap tahunnya. Namun di 2011 angka tersebut diperkirakan lebih dari 100 kalinya. Tinggi-nya sedimentasi tersebut membuat pendangkalan sungai dan naiknya ketinggian permukaan air kemudian berakibat banjir. Ini disampaikan Kepala BPDAS Batanghari, Grendel Siboro, Selasa (21/6), “ Data ini diperkirakan mengingat tingginya konversi lahan di sepanjang aliran sungai sampai ke hilir, ditambah lagi dengan tingginya curah hujan yang menyebabkan ledakan lapisan permukaan tanah yang terbawa aliran sungai menyebabkan tingginya laju sedimentasi”, jelasnya.
Laju kerusakan, ditambahkan Grendel, meningkat pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Dan ternyata penyebab utama sedimentasi akibat kerusakan lahan di bagian hulu sungai, konversi lahan dan hutan di daerah tersebut. Gerusan tanah terbawa ke sepanjang aliran sungai sampai ke hilir. Dampak dari tingginya laju sedimentasi dapat dilihat jelas ketika musim hujan tiba. Banjir sering terjadi di daerah-daerah sepanjang sungai karena volume air tidak tertampung dalam badan sungai. Ini dikarenakan berkurangnya kedalaman badan sungai. Kondisi tersebut berarti harus dilakukan perbaikan dikarenakan kerusakan yang terjadi sudah sangat tinggi,jika tidak mengakibatkan dampak sangat besar bagi kelangsungan hidup manusia dan segala ekosistem yang ada di dalamnya. Disamping itu, terus menurunnya daya dukungnya DAS ini dari tahun ke tahun juga disebabkan oleh makin berkurangnya luas tutupan hutan pada DAS. Luas tutupan lahan yang berupa hutan pada DAS Batanghari berdasarkan analisis citra Lansat TM7 tahun 2002, kawasan yang berupa hutan hanya tinggal 26 persen atau hanya 32.683,74 km persegi dari total 12 kabupaten terkait (di Sumbar dan Jambi) dari luas total 63,732,00 km persegi. Kondisi ini jelas memperlihatkan bahwa DAS Batanghari bisa dikategorikan sebagai DAS kritis, karena hutan yang merupakan pendukung utama sistim hidrologi suatu DAS juga sudah berkurang sangat drastis. Dari tahun ke tahun semakin terasa bahwa daya dukung DAS menurun. Senada dengan itu, Rudi Syaf Manajer Komunikasi KKI Warsi mengatakan penyusutan hutan di DAS Batanghari terus terjadi hingga tahun 2005 menyisakan 700 ribu ha tutupan hutan. “Jika tidak serius dari semua pihak maka sedimentasi, turunnya kualitas air bersih, musibah banjir akan semakin parah melanda DAS ini. Kanyataannya saat ini hampir semua daerah memang telah mengeluhkan berbagai dampak ini,”katanya. Tingginya laju sedimentasi ini, menggiring pemerintah Provinsi Jambi mengupayakan rencana pengerukan. Proyek pengerukan Sungai Batanghari diharapkan
Sungai Batanghari, sejak zaman dahulu sudah dimanfaatkan masyarakat disekitarnya. Foto Dok KKI Warsi.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
DARI HULU KE HILIR
Aktivitas penambangan emas liar, salah satu sumber pencemaran Sungai Batanghari. Foto: Heriyadi/Dok KKI Warsi
dapat memperlancar transportasi sungai. Angkutan sungai selama ini kurang dimanfaatkan akibat kurang memadainya dermaga serta mendanggkalnya sungai. Pengerukan sungai Batanghari oleh PT Sinco Global diperkirakan memakan waktu delapan bulan dengan biaya investasi Rp 4,5 triliun. Gubernur Jambi, H Hasan Basri Agus mengatakan, saat ini PT Sinco Global akan melakukan awal pengerukan Sungai Batanghari dari Kota Jambi hingga ke Tembesi, Batanghari. Dengan stok faile awalnya di Mandiangin Kabupaten Sarolangun, untuk mengangkut batu bara yang ada di Sarolangun yang memiliki potensi cukup besar. Pengerukan ini merupakan tahap awal. Kemudian akan dikaji lagi hingga ke Bungo dan daerah lain. Bahkan sudah ada rencana dari PT Sinco Global akan mengeruk sungai hingga ke Ujung Jabung. Dengan jangka waktu pengerukan yang dijanjikan adalah selama delapan bulan. Dan sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah daerah PT Sinco Global akan mengelola hingga 20 tahun, dan setelah itu akan dikembalikan kepada Pemerintah Daerah. Ditambahkannya, dengan adanya pengerukan sungai Batanghari ini, maka pengangkutan batubara yang selama ini diangkut dengan menggunakan jalur darat akan dialihkan ke sungai. Sehingga kondisi jalan dapat terpelihara. Meski keinginan ini dirasakan dapat berbuah baik bagi masyarakat Jambi, namun demikian banyak masyarakat mengkhawatirkan akan terjadi permasalahan baru setelah dilakukannya pengerukan. Mengingat selama ini sungai batanghari dimanfaatkan lebih dari 3,2 juta penduduk di Provinsi Jambi dan Sumatera Barat untuk memenuhi kebutuhan pasokan air bagi irigasi puluhan ribu ha lahan persawahan, perikanan, hingga sumber kebutuhan air minum. Selain manfaat universal tersebut, lebih dari ratusan buruh pasir dan kerikil yang menggantungkan hidup juga pada Sungai Batanghari.Seperti yang dikeluhkan Saman (56) selama lebih dari 25 tahun ini menggantungkan hidup dengan menjadi buruh pasir
dan kerikil di pinggir sungai batanghari. Dengan upah sebesar Rp 8 ribu untuk setiap 0,1 ton nya, sehari bekerja Saman mampu mengumpulkan uang bekisar 24 ribu rupiah. Terkait dengan rencana pengerukan yang akan dilakukan, Saman mengaku mengetahui isu tersebut. Meski belum ada edaran resmi dari pemerintah, dia mengkhawatirkan jika terjadi penurunan terhadap penghasilannya.”Kalau Sungai Batanghari dikeruk, apa tempat ngambil pasir kami juga jadi nambah dalam. Dan ini menyulitkan kami, karena selama ini kami mengambil pasir secara tradisional. Kalau yang pakai alat, mugkin tidak bermasalah”, ungkapnya. Disebutkan Saman, di sepanjang Sungai Batanghari ada 7 sentra pengambilan pasir dan kerikil yang rata-rata mengambil pasir dengan cara tradisional. Usaha pengerukan sungai yang dilakukan pemerintah provinsi, diinilai banyak pihak tidak begitu membawa perubahan lama. Seperti yang disebutkan Grendel Siboro ,sedimentasi tidak akan berkurang apabila tidak ada perbaikan di bagian hulu sungai. Daerah Solok, Dharmasraya (Sumatera Barat), menjadi daerah penting yang saat ini dikatakan telah rusak. “Sebagai langkah cepat mengurangi laju sedimentasi solusi pengerukan Sungai Batanghari dirasakan bisa mengatasi, tapi ini tidak berlangsung lama. Namun yang perlu diperhatikan juga adalah perbaikan di hulu” paparnya.Usaha perbaikan sebenarnya telah ada semisal program kebun bibit rakyat (KBR) untuk masyarakat. Namun saat ini program tersebut belum berjalan dengan baik. Program tersebut didanai dari APBN, APBD dan dana alokasi khusus. Untuk pemerintah daerah, Grendel membuka wacana baru bagaimana setiap pendapatan yang didapat dari jalur sungai diberikan untuk ada alokasi untuk perbaikan hulu. Komitmen pemerintah dibutuhkan untuk mencapai maksud ini, semisal ada insentif untuk masyarakat yang menjaga atau alokasi hasil retribusi penggunaan sungai. Solusi yang pernah ditawarkan oleh KKI Warsi adalah perlunya pengelolaan sumberdaya alam di daerah aliran sungai dengan pendekatan bioregion. Yaitu pengelolaan wilayah/teritori tanah dan air yang cakupannya tidak ditentukan oleh batasan administrasi, politik, tetapi oleh batasan geografi komunitas manusia dan sistim ekologinya. Dengan pendekatan bioregion diharapkan sumberdaya alam, terutama kawasan hutan tersisa DAS Batanghari, perlu dilihat secara holistrik dan komprehensif serta masyarakat dapat terlibat penuh dalam semua level pengelolaannya. Melihat betapa potensial dan starategisnya sungai batanghari, sudah seharusnya ditumbuhkan kesadaran untuk menjaga sungai yang memiliki sejarah tinggi ini. Sehingga tingginya laju sedimentasi dapat teratasi dan pemerintah tidak harus mengeluarkan biaya besar untuk rencana pengerukan. (Elviza Diana)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
33
34
DARI HULU KE HILIR
Masyarakat mempertahankan hutan sebagai perlindungan sumber air yang menjadi sumber energi buat mereka. Foto: Heriyadi/Dok KKI Warsi
Menjaga Hutan Demi “Gonzales”
“
Bagi saya menjaga hutan itu adalah supaya kita bisa nonton terus Christian Gonzales,”ujar seorang warga Desa Jangkat Kecamatan Sungai Tenang Kebupaten Merangin kala diskusi dan sosialisasi tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM), bersama Warsi beberapa waktu lalu. Kontan saja, jawaban ini menarik perhatian warga desa lainnya. Ketika ditanya lebih lanjut maksudnya, sang bapak dengan santai berujar, ”Jadi macam ini Pak, sumber listrik disini menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Energi untuk menggerakan PLTMH itu sendiri adalah aliran air sungai, sedangkan sumber air sungai sendiri berasal dari hutan di hulu sana. Jadi kalau hutan di hulu sana hancur bagaimana mungkin kita punya sumber air, bagaimana mungkin punya listrik, dan bagaimana mungkin pula kita bisa nonton TV dan menyaksikan aksi-aksi brilliant Chistian Gonzales (pemain tim nasional sepak bola Indonesia yang belakangan menjadi terkenal terutama setelah piala AFF di gelar tahun lalu, red),” terang si bapak dengan logat khas melayu, sambil menghisap dan mengepulkan asap rokoknya ke udara. Tepuk tangan riuhpun menyambut jawaban si Bapak. Hubungan erat antara hutan dan masyarakat terjalin sedemikian rupa yang manfaatnya juga dirasakan langsung oleh masyarakat. Hutan tidak hanya pencegah longsor dan banjir serta mempertahankan sumber mata air dan sejumlah alasan lainnya. Tetapi hutan memiliki kaitan histori, sosial, ekonomi dan budaya yang sangat kuat dengan masyarakat yang hidup disekitarnya.
Untuk saat ini di Desa Jangkat ada tiga PLTMH yang beroperasi. Masing-masing memiliki daya 40.000 hingga 60.000 watt. Ketiga pembangkit ini mampu menghasilkan arus listrik ke lebih dari 200 rumah warga, dan masing-masing warga memperoleh daya sebesar 450 watt. Masing-masing PLTMH ini dikelola oleh kelompok pengelola yang dibentuk oleh masyarakat. Dari pasokan listrik yang diterima, setiap rumah warga berkewajiban membayar biaya perawatan sebesar Rp. 20.000,- perbulannya. Dana ini jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan listrik negara (PLN) untuk daya yang sama. Dana ini digunakan sebagai biaya perawatan untuk ketiga pembangkit tersebut. Dengan adanya hubungan khusus ini, telah merekatkan hubungan masyarakat dengan hutan. Ini pula yang memudahkan untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat dalam mengelola hutan berbasiskan masyarakat. Pada saat ini, jangkat merupakan salah satu desa yang tengah mengajukan hak kelola hutan desa di eks HPH Serestra II dan Nursalease. Bersama 17 desa lainnya di Kabupaten Merangin, masyarakat berupaya untuk mendapatkan hak kelola kawasan hutan dengan skema hutan desa. Ini dilakukan masyarakat setelah sebelumnya di kawasan yang sama, perusahaan HTI atas nama PT Duta Alam Makmur (DAM) juga mengajukan hak kelola untuk dijadikan hutan tanaman industri. Namun masyarakat yang berada di sekitar ini berjuang menolak kehadiran PT DAM, mengingat fungsi strategis kawasan hutan tersebut. (Fredi)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
WAWANCARA
Pengukuhan Kearifan Lokal Dalam Upaya Penyelamatan Satwa untuk berbagai kepentingan terutama terkait dengan penguasaan lahan dan perambahan. Kasus ini yang dinamakan eksploitasi manusia diatas manusia, di Papua juga banyak terjadi tapi kesemua itu karena ketidaktahuan dari masyarakat . Berbeda dengan di sini, semua peraturan dan hukum yang berlaku terkait dengan penguasaan lahan dan perambahan dilanggar dengan dasar pengetahuan yang dampaknya tentu saja pada konflik satwa dengan manusia karena keterbatasan lahan sebagai sumber hidup dan beraktifitas bagi satwa.
Tri Siswo Raharjo
K
onflik antara manusia dengan satwa liar sering terjadi di Provinsi Jambi. Menurut catatan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), sepanjang dua tahun terakhir ada 38 konflik antara manusia dan satwa liar yang terjadi. Tingginya alih fungsi lahan, menyebabkan satwa-satwa tersebut kehilangan tempat tinggal dan hidup merupakan penyebab utama terjadinya konflik.Untuk itu, perlu adanya penanganan yang sesuai agar masalah yang sering memakan korban di dua belah pihak tersebut bisa teratasi. Salah satu solusi yang ditawarkan Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Jambi, Ir Tri Siswo Rahardjo M Si melalui penguatan aturan-aturan lokal yang berbentuk kearifan-kearifan pada masyarakat adat dalam upaya penyelamatan kawasan dan satwa yang ada di dalamnya. Lelaki yang dibesarkan di Madura ini telah menggeluti pekerjaan selama lebih dari 25 tahun di bidang konservasi dan penyelamatan satwa melihat cara tersebut efektif untuk mengatasi penunggangan masyarakat adat yang marak dilakukan dengan mengusung isu konflik satwa yang diakibatkan keterbatasan lahan hidup bagi satwa itu sendiri. Kajian penguatan kearifan lokal itu telah dilakukannya selama empat tahun dia bertugas di Merauke, Papua. Berikut petikan wawancara KKI Warsi bersama alumni IPB tersebut. Apa perbedaan tantangan yang dirasakan setelah satu tahun bertugas di Jambi, dibandingkan dengan daerah sebelumnya? Kalau menurut saya, tantangan di Jambi malah jauh lebih berat 4 kali lipat dibandingkan dengan di Papua. Ini terjadi karena banyaknya oknum-oknum yang mengatasnamakan kaum-kaum marginal atau terpinggirkan
Bisa dijelaskan salah satu contoh kasus yang melibatkan masyarakat termarginalkan dalam penguasaan lahan terkait upaya penyelamatan satwa itu sendiri? Misalkan saja terjadi pada serangan gajah di Dusun tiga, Desa Sepintun, Kabupaten Sarolangun satu bulan yang lalu.Setelah mendengar informasi dari masyarakat, tim kami segera melakukan investigasi dan yang terjadi adalah memang benar ada serangan gajah yang diperkirakan jumlah seluruhnya tersebar di sana ada 17 ekor, tapi yang dirusak bukan kebun yang berada di kawasan desa masyarakat. Tapi kebun-kebun perambah yang berada di kawasan hutan produksi. Dengan adanya kejadian ini mereka mengatasnamakan Suku Anak Dalam menuntut pencabutan ijin PT ALN, sebuah perusahaan HTI yang beroperasi di sekitar kawasan. Saya melihat ada 2 isu yaitu, isu pelegalan kegiatan perambahan dan isu dalam pelindungan gajah. Kemudian kita melakukan diskusi dengan masyarakat yang ada dan bersama juga dengan PT ALN untuk mencari solusi atas kejadian tersebut. Dan sebelum diskusi saya juga menekankan, semua pihak yang berkumpul di sini sama-sama berkomitmen dalam upaya penegakan hukum, dimana yang benar itu benar dan yang salah memang harus dikatakan salah. Terkait dengan pencabutan ijin, bukan menjadi kewenangan saya itu juga saya jelaskan dengan masyarakat. Dan kepada PT ALN sebagaimana sesuai dengan aturan yang ada mereka harus menyiapakan kawasan untuk konservasi satwa liar tempat hidup dan beraktifitasnya satwa-satwa yang ada di dalamnya. Selain itu, kita juga mengingatkan kepada pihak PT ALN bahwa jika mereka tidak segera melakukan upaya konservasi satwa ini maka satu ekor gajah dapat menghancurkan 2 ha kebun mereka dalam periode semalam. Melihat kasus diatas, bagaimana solusi yang sebaiknya dilakukan? Pada saat itu, semua peserta diskusi yang terdiri dengan masyarakat dusun 3, dan pihak perusahaan menyetujui upaya penanggulangan konflik dengan penye-
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
35
36
WAWANCARA diaan kawasan satwa liar dan juga dengan penggiringan gajah ke daerah yang juga berbatasan langsung PT REKI, sebagai salah satu perusahaan yang memiliki ijin konsesi terhadap pemulihan ekosistem hutan kembali. Namun yang terjadi, seminggu kemudian, masyarakat menggelar unjuk rasa ke kantor, dan mereka terus mendesak pencabutan ijin PT ALN. Saya merasa yakin, ada oknum-oknum yang menunggangi masyarakat adat tersebut, dengan pengatasnamaan suku anak dalam. Dan untuk masalah ini, akan dgelar lagi diskusi yang melibatkan multi pihak di lokasi. Mudah-mudahan masalahnya dapat diselesaikan, dan konflik gajah bisa diatasi dengan solusi kawasan konservasi serta menyiapkan parit-parit agar gajah tidak memasuki kawasan perkampungan maupun lahan perusahaan. Terkait pengatasnamaan masyarakat adat yang Anda sebutkan tadi, bagaimana upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat adat itu sendiri agar tidak dapat terksploitasi dengan oknum? Berdasarkan pengalaman yang saya lakukan di Papua dalam upaya pengukuhan hukum-hukum adat maupun kearifan lokal masyarakat di sana. Dengan adanya pengukuhan tersebut, masyarakat adat bisa menjaga pihak oportunis yang bisa mengeksploitasi mereka untuk kepentingan-kepentingan kapitalis dengan hukum adat yang sudah dikukuhkan. Saya pikir di Jambi pun bisa dilakukan seperti itu, sehingga masyarakat adat yang ada bisa melindungi diri dengan aturan-aturan adat yang dikukuhkan sehingga pihak luar tidak dapat lagi mengeksploitasi mereka. Terutama terkait dengan penguasaan lahan, karena seperti yang saya ketahui bahwa setiap masyarakat adat, sebenarnya memiliki kearifan sendiri untuk hidup berdampingan dengan alam. Dan jika perambahan-perambahan yang mereka lakukan itu bukan merupakan bagian dari adat dan kebiasaan mereka. Namun diupah oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab. Dengan melihat data konflik yang terjadi sepanjang dua tahun terakhir ini,bisa disebutkan satwa yang dikategorikan dalam keadaan sangat terancam dan seperti apa bentuk intensif penyelamatannya? Jumlah satwa yang sangat kritis saat ini adalah Harimau, seperti yang terjadi di awal tahun lalu ada 2 Harimau yang mati dalam waktu berdekatan di Kawasan Taman Nasional Berbak. Ini membuktikan bahwa pengetahuan masyarakat mengenai satwa yang dilindungi masih kurang. Dan untuk itu, kita sudah melakukan upaya penyelamatan melalui penyuluhan setiap bulannya di daerah-daerah yang merupakankawasan konservasi harimau, seperti Taman Nasional Berbak, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dan desa-desa sekitarnya.
satwa dengan manusia yang marak terjadi? Ke depan dalam upaya pengamanan konflik satwa liar dengan manusia, akan dilakukan inventarisasi kantungkantung satwa dan pembangunan koridor satwa. Diusahakan hutan alam yang masih ada tetap dijaga dan jangan dibuka lagi izin pertambangan dan perkebunan. Selain itu, yang juga penting dilakukan adalah menghentikan perusakan kuantitas dan kualitas kawasan hutan yang menjadi rumah satwa liar Penghentian alih fungsi hutan juga menjadi kata penting untuk pemerintah daerah agar benar-benar memerhatikan habitat satwa liar. Selama ini alih fungsi hutan justru merugikan habitat satwa liar. Aturan yang ada menurutnya juga harus secara konsisten ditegakkan, bukan hanya sekedar tren saja, tetapi harus secara konsisten dan tegas dijalankan.Peran serta dan sosialisasi masyarakat menjadi hal paling penting, karena masyarakat lah yang seharusnya menjadi tokoh sentral penanganan konflik satwa liar dan manusia. Pelibatan masyarakat sekitar kawasan hutan dan masyarakat lainnya sangat penting agar tidak seenaknya menggangu lintasan satwa liar. (Elviza Diana)
Harimau sebagai satwa yang terancam punah, masih saja diburu banyak pihak, apalagi jika dianggap harimau sudah mengganggu manusia, walau sebenarnya habitat harimau terus dihabisi manusia. Foto: Dok. Buletin TessoNilo / WWF Riau - PHKA
Apa harapan anda terhadap upaya penyelamatan satwa sebagai bentuk tindakan menimalisir konflik
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
SUARA RIMBA Dengan jumlah kepala keluarga yang mencapai 30 kk (di wilayah selatan TNBD), biasanya setiap Senin sore Orang Rimba akan keluar untuk berbelanja di pasar SPI pada Selasa pagi. Barang yang mereka butuhkan biasanya beras, rokok, gula, kopi, kain dan lainnya, yang mereka beli untuk kebutuhan selama seminggu ke depan. Perputaran yang yang cukup besar ini, menjadikan salah satu celah untuk membuka koperasi Orang Rimba. Dengan ketua pengurus Mangku Basemen dan Njalo sebagai wakil, koperasi ini menyediakan berbagai kebutuhan Orang Rimba. Semua kebutuhan yang biasanya dibeli di pasar-pasar desa sekitar, kini dapat dilayani koperasi Kembang Bungo.
Tembuku (kanan), petugas koperasi Kembang Bungo. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Koperasi Kembang Bungo, Layani Kebutuhan Orang Rimba
O
rang Rimba kini punya koperasi. Di beri nama Kembang Bungo, koperasi ini menjadi salah satu bentuk kegiatan yang didorong Warsi untuk pengembangan ekonomi Orang Rimba. Koperasi yang terbentuk sejak Oktober 2010 ini, dengan anggota aktif sebanyak 23 orang, dapat memberikan tambahan penghasilan bagi Orang Rimba. Sebagai modal awal, koperasi ini menghimpun dana dari anggotanya, sumbangan pokok yang dikenakan Rp 50.000 per anggota, serta simpanan wajib Rp 30.000/bulan, serta simpanan sukarela. Dana yang terhimpun dari anggota ini hingga kini sudah mencapai Rp 10 juta lebih. Selain sebagai tempat penyimpanan uang bagi anggotanya, Koperasi Kembang Bungo juga menyediakan berbagai kebutuhan Orang Rimba. Dilatari berkembangnya hompongon karet Orang Rimba yang berimplikasi pada peningkatan hasil sadap. Penghasilan Orang Rimba pun semakin meningkat, khususnya yang di selatan Bukit Dua Belas. Ditambah penghasilan rutin mereka dari memanfaatkan hasil hutan seperti manau dan hewan buruan. Seiring dengan ini, keinginan orang rimba untuk membelanjakan uangnya juga semakin tinggi. Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Warsi, Orang Rimba di selatan Bukit Duabelas bisa membelanjakan uangnya mencapai Rp 30 juta perbulan.
Dengan harga yang ditawarkan sama dengan harga pasar, maka akan ada keuntungan yang diterima Orang Rimba, yaitu keuntungan dari penjualan barang, dikembalikan kepada Orang Rimba sebagai bentuk bagi hasil usaha. “Setiap Orang Rimba yang berbelanja akan mendapatkan point untuk angka belanja tertentu, nanti point ini bisa diuangkan Orang Rimba,”kata Kurniawan Asisten Koordinator Projek Warsi. Untuk sebulan belanja, orang rimba ada yang membelanjakan uangnya sampai Rp 3 juta/kk. Dari belanja ini, dia dapat menukarkan pointnya hingga Rp 250.000. “Ini sebagai bentuk bagi hasil usaha koperasi dari keuntungan yang didapatkan koperasi dari penjualan barang,”kata Kurniawan. Untuk mengelola koperasi yang saat ini berlokasi di kantor lapangan Warsi ini, pengurus mengkaryakan anakanak rimba yang punya kemampuan baca tulis dan hitung. Tembuku dan Sergi merupakan anak-anak rimba yang dipercaya pengurus untuk mengelola koperasi ini. “Atas jerih mereka ini, koperasi menggaji mereka masing-masing Rp 500.000 sebulan,”sebut Kurniawan. Namun sejak menikah Sergi mengundurkan diri sebagai petugas koperasi, dan tugasnya diserahkan kepada Beteduh. “Anak-anak yang bekerja untuk koperasi ini merupakan kader pendidikan Warsi, mengkaryakan mereka di koperasi, juga sebagai salah satu bentuk manfaat bagi Orang rimba atas anak-anak mereka yang telah difasilitasi Warsi untuk pendidikan baca tulis dan hitung,”sebutnya. Menurut Kur, koperasi Kembang Bungo ini akan terus dikembangkan. Jika sekarang hanya melayani penyimpanan uang dan kebutuhan orang rimba, ke depan koperasi ini rencananya juga akan dikembangkan untuk menapung hasil karet Orang Rimba. “Cita-citanya nanti orang rimba bisa langsung menjual karetnya ke pabrik, sehingga harga yang didapatkan Orang Rimba bisa lebih tinggi, dengan demikian pendapatan Orang Rimba juga bisa lebih meningkat,”sebutnya. (Reni)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
37
SUARA RIMBA
38
Perubahan dan Adaptasi Komunitas Bathin IX
M
anusia adalah makhluk yang tidak bebas. Dalam setiap tindakannya, ia dipengaruhi oleh faktor atau fakta-fakta diluar dirinya. Begitu juga dengan Komunitas Bathin IX yang tinggal di kawasan restorasi ekosistem. Ia terdorong untuk masuk ke dalam hutan karena berkurangnya ruang-ruang hidup mereka yang salah satu penyebab utamanya adalah ekspansi perusahaan perkebunan skala besar. Keinginan untuk masuk ke dalam hutan menjadi suatu pilihan yang terpaksa dilakoni oleh komunitas ini. Pola kehidupan masyarakat bersifat dinamis. Kedinamisan ini menuntut suatu perubahan, semuanya menjadi berubah, atau dengan kata lain tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Masyarakat adat yang berada di dalam dan sekitar hutan (yang pada umumnya marginal) juga tak terlepas dari apa yang disebut dengan perubahan. Perubahan kondisi alam (ekologis) mempunyai efek domino terhadap sistim ekonomi, sosial, dan budaya. Masyarakat Bathin IX selaku salah satu komunitas adat yang ada di propinsi Jambi yang sangat nyata merasakan dampak dari perubahan kondisi alam terebut, dalam hal ini adalah perubahan tutupan hutan dan lahan. Berdasarkan sejarahnya, masyarakat Bathin IX merupakan keturunan raja Jambi. Raja jambi yang bernama Meruhum menikah dengan nenek moyang masyarakat Bathin IX yang bernama Bayan Lais. Perkawinan ini melahirkan anak bernama Raden Nago Sari. Kemudian Raden Nago Sari memiliki keturunan yaitu Raden Ontar. Anak Raden Ontar yang berjumlah 9 orang kemudian menyebar pada 9 aliran sungai, yaitu Sungai Bahar, Bulian, Jebak, Jangga, Singoan, Pemusiran, Telisak, Sikamis, dan Burung Hantu. Sebagian besar sungai ini terdapat di kabupaten Batanghari dan Sarolangun.
Sebelum dekade 1980, masyarakat Bathin IX dapat tinggal dengan bebas hidup di hutan, berkebun, berburu, dan memanfaatkan hasil hutan. Hasil hutan yang mempunyai nilai ekonomis seperti jernang, rotan, damar, dan lai sebagainya dapat dengan mudah didapat pada waktu itu. Potret buram pengelolaan hutan selama tiga dasawarsa belakangan telah ikut mempengaruhi ruang-ruang hidup masyarakat Bathin IX menjadi semakin sempit. Dengan kebijakan pemerintah pusat pada saat itu telah memudahkan akses perusahaan-perusahaan besar swasta untuk mengelola hutan, yang parahnya tanpa memperhatikan peran masyarakat, khususnya masyarakat asli. Secara berturut-turut perusahaan yang masuk dan membuat ruang hidup masyarakat Bathin IX menjadi semakin sempit adalah PTP IV Sungai Bahar seluas 50.000 Ha, PTP IV Durian Luncuk seluas 24.666 Ha, PT Bangun Desa Utama seluas 40.000 Ha. Ini belum termasuk lahan hutan yang masih tersisa yang juga masih sulit untuk diakses oleh masyarakat Bathin IX seperti eks HPH Asialog (sekarang dimanfaatkan untuk pengelolaan hutan secara restorasi ekosistem), Hutan Lindung Senami, serta kepemilikan-kepemilikan pribadi lainnya oleh pendatang. Telah ada beberapa program yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi permasalahan seperti ini. Pemerintah melalui Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan telah mencoba untuk melakukan resettlement untuk menertibkan dan “mengadabkan” masyarakat Bathin IX yang selama ini dipandang terbelakang karena masih bersifat tradisonal melalui program PKMT pada tahun 1970an hingga 1980an. Namun program ini bisa dibilang gagal, karena sebagian masyarakat Bathin IX merasa program ini tidak cocok karena tidak diberikan lahan yang cukup untuk dikelola. Terbukti bahwa bantuan yang diberikan dalam bentuk rumah dan perlengkapan rumah tangga justru dijual kepada pendatang dan mereka kem-
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
39
Komunitas Bathin IX yang hidup di dalam kawasan Restorasi Ekosistem tetap mengandalkan sumberdaya alam untuk sumber kehidupan mereka. Foto Heriyadi/Dok. KKI Warsi
bali masuk kedalam hutan yang masih tersisa. Mereka masuk ke dalam hutan karena merasa lebih nyaman dan bebas untuk berkebun dan mencari penghidupan. Untuk daerah kabupaten Batanghari, saat ini salah satu blok hutan alam yang masih tersisa adalah eks HPH Asialog yang saat ini dikelola oleh Unit Manajemen Harapan Rainforest melalui PT. REKI yang akan dikelola secara restorasi ekosistem. Areal konsensi ini adalah seluas 98.555 Ha yang meliputi 2 provinsi, yaitu Jambi dan Sumatera Selatan. Seluas 46.385 Ha area konsensi ini berada di provinsi Jambi yang meliputi 2 Kabupaten, yaitu Batanghari dan Sarolangun. Sisanya berada di Provinsi Sumatera Selatan seluas 52.170 Ha. Area konsensi ini, pada dahulunya merupakan “areal jelajah” masyarakat Bathin IX dalam mengumpulkan hasil hutan. Pada area ini mereka juga melakukan kegiatan menanam padi ladang (behumo) dan berkebun karet. Pada masa itu mereka masih menggunakan pola pertanian ladang berpindah dan pembudidayaan secara tradisional dengan menggunakan bibit alam untuk tanaman karet. Biasanya setelah melakukan penanaman padi (menugal) mereka melakukan penanaman karet lantas berpindah ke wilayah baru dan balik kembali ketika tanaman mereka sudah menghasilkan begitu seterusnya secara berulang-ulang. Pada waktu itu, pola ladang berpindah masing dimungkinkan mengingat luasan hutan yang masih banyak, namun sekarang pola tersebut sudah jarang (jika boleh disebut tidak ada) ditemukan. Hal ini disebabkan wilayah kelola mereka yang sudah semakin menyempit. Selain itu, prilaku masyarakat yang suka menjual lahan tersisa telah ikut memperburuk kondisi ini. Desa Bungku yang berada di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari merupakan salah satu desa yang mempunyai sebaran masyarakat Bathin IX. Pada awal-
nya, masyarakat Bathin IX disini berasal dari hulu Sungai Bahar. Karena keterdesakan ruang seiring dengan masuknya perusahaan dan prilaku menjual lahan serta dikepung oleh keberadaan perkebunan sawit skala besar seperti Asiatik Persada, maka salah satu tempat strategis untuk dijadikan area perkebunan adalah kawasan restorasi ekosistem, khususnya pada areal tutup botol dari peta kawasan restorasi ekosistem. Periode masuknya dan menetapnya masyarakat Bathin IX ini ke kawasan restorasi ekositem terbilang baru. Artinya tanaman yang ditanam (dalam hal ini karet) sebagian besar belum ada yang menghasilkan. Tentu timbul pertanyaan, bagaimana masyarakat Bathin IX bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan pokok? Darimana sumber pendapatan tunai mereka? Pada dasarnya, masyarakat Bathin IX adalah masyarakat petani atau masyarakat agraris. Dalam mendukung kebutuhan hidup mereka, pendapatan non tunai lebih signifikan pengaruhnya dibanding pendapatan tunai (uang). Dalam mencukupi kebutuhan hidup, mereka bertanam padi, menangkap ikan dan mencari buruan untuk kebutuhan pangan, sedangkan untuk kebutuhan papan (perumahan) mereka bisa langsung dapat mengambilnya di hutan, seperti kayu untuk tiang, papan, dan rotan untuk mengikat, serta daun (misal daun lipai) untuk atap. Pendapatan tunai dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhan yang tidak bisa didapatkan di dalam hutan, seperti gula, kopi, garam, minyak sayur, minyak lampu, senter, batrai dan lainnya. Konstruksi dan transformasi ekonomi global telah masuk ke setiap sendi kehidupan masyarakat Bathin IX. Kebutuhan primer dan perkembangan alat teknologi informasi telah dirasakan juga sebagai suatu kebutuhan pokok. Hal
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
40
SUARA RIMBA ini juga merupakan proses identifikasi dari masyarakat Bathin IX terhadap masyarakat pendatang yanng dianggap lebih baik dari kelompok mereka sendiri. Sepeda motor, televisi, handphone dan peralatan elektronik lainnya merupakan hal yang wajib juga dimilki oleh mereka. Tentunya ini menuntut pendapatan tunai yang lebih tinggi. Sesuatu yang asing sesungguhnya bagi nenek moyang mereka dahulu. Perubahan demikian serta merta telah memaksa masyarakat Bathin IX untuk beradaptasi dengan pola tersebut. Maka usaha-usaha peningkatan pendapatan dari sektor tunai menjadi lebih penting untuk diprioritaskan. Sebagian masyarakat Bathin IX yang tinggal di dalam kawasan restorasi ekosistem mempunyai lahan yang ada di luar kawasan restorasi. Biasanya, pengelolaannya dilakukan oleh anggota keluarga yang ada di luar tersebut. Biaya dan modal untuk kebutuhan hidup sehari-hari dalam mengeloah kebun yang ada di dalam kawasan restorasi didukung dan disubsidi dari pihak keluarga yang ada di luar kawasan. Sedangkan untuk kelompok masyarakat Bathin IX yang tidak mempunyai lahan di luar, kebutuhan tunai biasanya didapat dari bekerja upahan dalam membuka lahan yang ada di kawasan restorasi tersebut. Kerja upahan tersebut meliputi, upah menumbang dan upah menebas. Upahan untuk menebas biasanya berkisar Rp 60-70 ribu perharinya, begitu juga dengan upah menumbang. Biasanya seorang pekerja dapat menyelesaikan tebasan atau tumbangan 1 Ha lahan selama 3 hingga 4 hari. Hal ini sudah jarang didapati, biasanya hanya ketika ada pesanan. Selain itu terdapat juga masyarakat Bathin IX yang mencukupi kebutuhan tunainya sebagai pengumpul buah sawit yang telah jatuh (brondol) di perkebunan Asiatik Persada. Sawit hasil brondolan dihargai sekitar Rp 300 perkilonya. Biasanya seorang pembrondol dapat mengumpulkan hingga 100 kilo perhari-nya. Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa pendapatan masyarakat Bathin IX bisa dibilang rendah, artinya pendapatan tersebut hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jika demikian, dari mana mereka bisa mendapatkan uang yang cukup besar untuk membeli sepeda motor dan peralatan elektronik lainnya yang harganya cenderung lebih mahal?. Berbeda dengan dahulu, fungsi tanah atau lahan hanyalah sebagai tempat berkebun untuk mencukupi kebutuhan pokok dari masyarakat Bathin IX. Seiring dengan masuknya perusahaan perkebunan dan masyarakat pendatang, keberadaan lahan telah dipandang menjadi suatu komoditi “seksi” yang dimiliki oleh masyarakat Bathin IX. Penjualan lahan menjadi semakin marak pasca perubahan pandangan akan lahan tersebut. Tidak hanya masyarakat yang mempunyai lahan yang luas yang mempunyai perilaku menjual lahan, namun masyarakat yang hanya memiliki sedikit telah ikut pula dalam kegiatan penjualan lahan ini. Hal ini didorong oleh keterde-
sakan dalam mencukupi kebutuhan hidup memuaskan dan memenuhi perilaku konsumtif mereka. Mengingat perilaku menjual lahan ini bukanlah suatu budaya dari nenek moyang dahulu, maka dalam konteks tersebut perilaku ini tergolong sebagai suatu perilaku menyimpang sekaligus strategi adaptasi dan survival dari masyarakat Bathin IX. Perilaku menyimpang terjadi dimana terdapat jarak yang yang besar antara keinginan/ tujuan yang hendak dicapai dengan sarana apa yang dimiliki dalam pencapaian tujuan tersebut. Dapat pula dikatakan masyarakat Bathin IX tidak siap dengan perubahan yang terjadi. Perubahan terjadi begitu cepat dalam hal pembangunan ekonomi yang menuntut proses penyesuaian yang cepat pula dari masyarakatnya. Perkembangan ekonomi dan teknologi melalui “gempuran” alat-alat produksi dan konsumsi turut serta menimpa masyarakat Bathin IX hingga ke dalam dalam hutan. Sementara itu, hal ini tidak dibarengi dengan pondasi dan sistim ekonomi yang kuat dari masyarakat Bathin IX itu sendiri. Hal ini tidak dapat ditanggulangi oleh masyarakat Bathin IX jika hanya dengan menerapkan sistim pertanian subsistem dengan pola budidaya yang masih tradisional. Seiring juga dengan menguatnya nilai lahan sebagai komoditas ekonomi yang menarik, maka perilaku menjual lahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan menjadi suatu pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan. Terlalu dini mungkin menganggap permasalahan ekonomi merupakan akar permasalahan dari masyarakat Bathin IX yang tinggal di dalam hutan (kawasan restorasi), disamping permasalahan karakter sosial budaya juga mempengaruhi hal ini. Namun, paling tidak ini menjadi gambaran awal dari sebuah permasalahan yang mesti dibenahi dalam rangka peningkatan kualitas hidup dari masyarakat Bathin IX tersebut. Seperti digambarkan, masyarakat Bathin IX mempunyai pola pertanian yang cenderung ekstensif. Artinya mereka membutuhkan lahan yang luas untuk kegiatan berkebun mereka, sementara hasil yang didapat cenderung lebih sedikit jika dibandingkan dengan pola pertanian yang intensif. Mungkin hal ini juga dipengaruhi kultur atau budaya dari masyarakat Bathin IX itu sendiri. Walaupun tidak mudah, pola pembinaan dalam bentuk intensifikasi pertanian merupakan salah satu pilihan yang menuntut untuk diupayakan. Dengan pola pertanian yang intensif, walaupun dengan lahan yang terbatas diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bathin IX. Kegiatan ini akan menjadi lebih baik jika dilakukan pendampingan yang efektif dan berkelanjutan. Selain dengan melakukan penguatan dari sisi internal masyarakat Bathin IX, kegiatan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat Bathin IX akan lebih baik jika didukung oleh kebijakan-kebijakan yang dapat mengakomodir kebutuhan dan kepentingan dari masyarakat Bathin IX ini. (Wewen Efendi)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
AKTUAL
Stop Hancurkan Hutan Jambi Sinar Mas boleh disebut penguasa hutan Jambi, exploitasi yang dilakukan perusahaan ini dinilai telah merugikan masyarakat. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Warsi-Walhi Gelar Aksi di Sungai Batanghari
B
ertepatan dengan puncak peringatan Hari Ulang Tahun Kota Jambi ke 65, Warsi dan Walhi Jambi melakukan kampanye lingkungan dengan Tema Stop Sinar Mas Hancurkan Hutan dan Sengsarakan Rakyat Jambi. Aksi digelar Sungai Batanghari dengan membentangkan spanduk diatas kapal pompong dan sejumlah perahu. Aksi ini cukup menarik perhatian masyarakat Kota Jambi yang kala itu tengah menyaksikan lomba parahu yang diselenggarakan Pemerintah Kota Jambi. Aksi yang dilakukan bersama antara Warsi dan Walhi ini, merupakan wujud keprihatinan atas semakin rusaknya lingkungan akibat keberadaan Sinar Mas yang terus menggerus hutan Jambi. Dalam aksi ini, juga dikeluarkan tuntutan kepada pemerintah untuk segera menghentikan konversi hutan alam tersisa di Jambi. Juga meminta pemerintah untuk menyelidiki pelaku kasuskasus kejahatan kehutanan yang terindikasi melakukan korupsi. “Selain itu, Warsi dan Walhi juga meminta pemerintah untuk menghentikan aksi Sinar Mas yang melakukan
penggusuran dan pencaplokan lahan masyarakat, serta segera mengembalikan lahan masyarakat yang sudah diambil,”sebut Diki Kurniawan, Koordinator Program KKI Warsi. Selain itu, juga dikeluarkan tuntutan supaya adanya jaminan bagi petani korban kekerasaan perusahaan seperti kasus Senyerang yang menewaskan seorang petani. “Kita meminta supaya perusahaan di hukum berserta aparat yang melakukan penembakan sehingga mengakibatkan adanya petani yang tewas dalam mempertahankan lahannya yang di rampas Sinar Mas,”lanjut Diki. Menurut catatan Warsi dan Walhi, Sinar Mas merupakan perusahaan HTI dan sawit raksasa di Provinsi Jambi. Diawali dengan kehadiran PT Wira Karya Sakti pada tahun 1996, yang kemudian disusul dengan munculnya Rimba Hutani Mas (RHM) anak-anak perusahaan Sinar Mas ini telah menguasai 357.461 Ha hutan Jambi. Saat ini anak perusahaan Sinar Mas lainnya terus mengincar dan berupaya mendapatkan izin perluasan areal Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) di
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
41
AKTUAL
42 432.677 Ha pada hutan ek HPH yang masih tersisa di Provinsi Jambi. Dari 2,2 juta kawasan hutan Jambi, seluas 871.776 Ha atau sekitar 40 persen telah mengalami kerusakan. Diantara penyebab utamanya adalah ekploitasi oleh perusahaan HPHTI dan pembangunan perkebunan kelapa sawit. Dalam kegiatannya Sinar Mas telah menghancurkan kawasan hutan alam tersisa, mengakibatkan punahnya puluhan bahkan ratusan ribu satwa dan spesies endemik lainnya. Ribuan hektar lahan gambut bernilai konservasi tinggi juga telah disulap menjadi hutan monokultur. Sementara kawasan hutan yang masih tersisa pada ek HPH --tak terkecuali kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh-- terus diincar dan dibabat untuk memenuhi bahan baku pabrik kertas dan tissu yang juga milik mereka. Kepemilikan lahan yang sangat luas oleh Sinar Mas, tidak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, namun juga telah menimbulkan konflik dengan masyarakat se-tempat. Tercatat 41.000 ha kawasan yang di klaim Sinar Mas tumpang tindih dengan kepemilikan masyarakat, yang terdapat di Kabupaten Tanjab Barat, Tanjab Timur, Muaro Jambi, Batanghari dan Tebo. Kala masyarakat memperjuangkan lahan mereka, malah aksi kekerasan yang mereka terima. Teror, ditangkap hingga di penjarakan bahkan sampai ada yang meninggal dunia merupakan nestapa yang dijalani petani yang berjuang untuk tanahnya. “Kami menilai upaya “pencitraan” yang dilakukan anak perusahaan Sinar Mas melalui Sertifikasi Hutan Produksi Lestari (PHPL), hanyalah sebuah tindakan membohongi pasar, konsumen dan publik. Beragam upaya pencitraan/nama baik tersebut hanya untuk menutupi dosa-dosa yang telah dilakukan,”kata Arif Munandar Direktur Walhi Jambi. Menurut Arif, tumpukan konflik dan masalah sosial, ekonomi dan lingkungan yang mengancam masa depan Jambi yang hingga kini belum terselesaikan, menjadi dasar bagi kami untuk mengatakan bahwa Sinarmas tak pantas menyandang predikat Sertifikasi Hutan Lestari. “Kami meminta supaya sertifikat ini di cabut, karena tidak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan,”sebutnya. Sekarang saatnya kita mejaga hutan hujan tropis Jambi yang masih tersisa, karena merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Keaneka ragaman hayati ini sebagai jaminan atas keberlangsungan hidup rakyat Jambi di masa depan. “Jika terus di rusak, maka rusak jugalah kehidupan Jambi di masa depan,”pungkas Diki. (Reni)
Mengusung Hutan Nagari Dua Kabupaten di Sumatera Barat
S
etiap menit pergantian waktu, tampaknya menjadi sangat berarti bagi dua nagari di dua Kabupaten dalam lingkup Provinsi Sumatera Barat. Dua kenagarian tersebut, yaitu Kenagarian Simanau, Kecamatan Tigo Lurah, Kabuapaten Solok dan Jorong Simancuang, Kenagarian Alam Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan. Harapan dan kecamasan berbaur menjadi satu, ini disebabkan dalam waktu tiga bulan ke depan merupakan akhir penantian terbitnya izin pengelolaan hutan nagari yang mereka impikan. Melalui ritme yang cukup panjang, proses pengusulan hutan nagari tersebut berjalan hingga pada (7 – 10) Juni 2011 telah dilakukan verifikasi kawasan yang diusulkan sebagai hutan nagari. Tim verifikasi yang terdiri dari Kementerian kehutanan, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Indragiri Rokan,BPDAS Batanghari, BPDAS Agam Kuantan dan Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Barat, didampingi Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Solok dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Solok Selatan melakukan pengecekan langsung terhadap dua kawasan hutan nagari yang diusulkan. Turunnya tim verifikasi ini, melalui usaha dan keinginan yang kuat dari masyarakat. Seperti yang terjadi di Kangarian Simanau, masyarakat Simanau sepakat untuk mengajukan usulan areal kerja hutan nagari di kawasan hutan lindung yang lazim disebut hutan “bukik karang putiah”. Inisiatif usulan hutan nagari dibangun melalui diskusi – diskusi bersama tokoh – tokoh adat, pemerintahan nagari dan tokoh masyarakat yang diinisiasi KKI Warsi. Secara adat masyarakat simanau telah membagi peruntukkan kawasan disekitar mereka menjadi hutan cadangan, hutan olahan, pemukiman dan hutan larangan. Peruntukkan kawasan ini telah di sahkan dalam peraturan nagari simanau No. 3 tahun 2006 tentang rencana tata ruang kampung. Kawasan yang saat ini diusulkan menjadi areal kerja hutan nagari berada dalam kawasan hutan lindung yang sekaligus secara adat diakui sebagai hutan cadangan/hutan larangan. Proses pengusulan areal kerja hutan nagari bukik karang putiah telah dilakukan sejak tahun 2010 dengan luasan yang diusulkan 1.090 ha. Untuk memastikan areal yang diusulkan telah dilakukan pemetaan parsipatif bersama masyarakat simanau. Untuk mengelola kawasan tersebut, maka dibentuk kelompok pengelola hutan nagari melalui diskusi yang melibatkan seluruh masyarakat. Berdasarkan hasil musyawarah tersebut,wali nagari juga mengajukan surat permohonan usulan areal kerja
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
AKTUAL
Memproteksi sumber daya alam sudah dilakukan berdasarkan kearifan lokal sejak dulu, kini masyarakat Simanau dan Simancung menanti legalitas pengelolaan sumber daya hutan dengan skema hutan desa. Foto Pitra Akhriadi/Dok KKI Warsi.
hutan nagari ke bupati. April 2011 bupati mengajukan usulan kepada menteri kehutanan dengan melampirkan dokumen profil nagari simanau, peta administratif yang menunjukkan kawasan bukik karang putiah berada dalam wilayah administratif Nagari Simanau dan rekomendasi teknis dari dishutbun solok. Tidak jauh berbeda dengan proses yang dilakukan di Nagari Simanau, Jorong Simancuang juga melakukan upaya yang sama. Inisiatif usulan areal kerja hutan nagari bukit panjang karang hitam telah dilakukan sejak 2 tahun yang lalu, Warsi bersama masyarakat Simancuang telah melakukan kegiatan bersama untuk mengusulkan hutan adat bukit panjang sebagai areal kerja hutan nagari seluas 580 ha. Pada awalnya dengan dilandasi kekhawatiran dan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan yang selama ini menjadi sumber pengairan bagi masyarakat yang mayoritas memiliki mata pencaharian sebagai petani. Selama ini masyarakat simancuang menggunakan hukum adat untuk menjaga hutan adat Bukit Panjang Karang Hitam. Namun hukum adat itu tidak mampu mencegah terjadinya perambahan yang dilakukan masyarakat yang berada di luar kawasan. Bahkan perambahan yang terjadi dilegalkan melalui izin Surat Keterangan Asal Usul sebagai surat
keterangan sahnya hasil hutan yang digunakan untuk dokumen pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Kekhawatiran masyarakat bahwa hutan bukit panjang mulai diakses masyarakat luar dan ini pastinya berakibat pada pengairan sawah-sawah dan bencana yang ditimbulkan, sementara mereka tidak memiliki wewenang dalam memberikan sanksi hukum. Hal ini membuat beberapa tokoh masyarakat mulai berpikir untuk mendapatkan izin pengelolaan yang diakui dalam hukum formil. Keinginan kuat dari masyarakat dalam upaya penyelamatan hutan ini sesuai dengan pernyataan Ketua Lembaga Pengelolahan Hutan Nagari Simancuang, Edison “bagi kami masyarakat Simancuang, ada atau tidak insentif yang didapatkan dari menjaga kawasan hutan kami akan tetap menjaga hutan bukit panjang. Karena itu yang sangat penting bagi sawah dan kehidupan kami, jadi penting untuk kami mendapatkan kepastian hukum untuk mempertahankan hutan bukit panjang, kami sangat berharap hutan bukit panjang segera dikukuhkan menjadi hutan nagari jorong simancuang nagari alam pauh duo oleh menteri kehutanan”, tegasnya dalam diskusi verifikasi hutan nagari yang dilakukan barubaru ini.(Riche Rachma Dewita)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
43
AKTUAL
44
Hamparan perkebunan kentang masyarakat di kaki Gunung Masurai, belakangan disinggahi harimau. Foto (kiri) Heriyadi/Dok KKI Warsi (kanan) Alain Compost
Harimau TNKS Singgah di Kebun Kentang Warga
M
asyarakat Desa Ranah Alai Kecamatan Jangkat, Kabupaten Merangin belakangan menjadi cemas. Pasalnya di kebun kentang warga, ditemukan jejak-jejak harimau si raja hutan. Di tenggarai raja hutan yang tengah plesiran ini berasal dari kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Meski sejauh ini, harimau hanya lewat saja di kebun kentang dan belum menimbulkan konflik dengan manusia tetap saja kehadiran harimau ini meresahkan masyarakat. “Kalau mengganggu apalagi sampai memangsa hewan ternak atau merusak tanaman saat ini belum, tapi kalau si belang tersebut melewati kebun kami setiap hari, kamipun bisa mati ketakutan dibuatnya,”ujar seorang warga yang kebunnya dilintasi harimau. Harimau TNKS yang keluar dari habitatnya, beberapa tahun belakangan memang sudah sering diberitakan. Pada pertengahan Juni dilaporkan seekor harimau TNKS memangsa ternak warga Desa Talang Kemuning, Kecamatan Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Sebelumnya warga di gegerkan dengan ‘bermainnya’ harimau di kawasan Muara Emat yang membuat warga takut keluar rumah. Berdasarkan penelitian, kawasan perbukitan di sekitar Gunung Raya Kerinci hingga ke Jangkat di Gunung Masurai, Merangin merupakan kawasan teritorial harimau Sumatera. Ketika kawasan ini masih terjaga dengan baik, jarang sekali di dengar berita harimau berkonflik dengan manusia disekitarnya. Pun demikian dengan warga Renah Alai yang berbatasan langsung dengan
TNKS selama ini tidak merasakan gangguan harimau, meski desa mereka berada di kaki Gunung Masurai yang merupakan salah satu habitat harimau sumatera. Namun pemberitaan belakangan yang menyebutkan harimau sering keluar hutan bahkan sampai memangsa ternak, sebagai pertanda adanya kerusakan di habitat satwa yang terancam punah ini. Seperti diketahui, sejak 1997 di kawasan Lembah Masurai ramai terjadi perambahan, tidak hanya di kawasan penyangga tetapi juga sudah masuk ke dalam kawasan TNKS. Selain itu belakangan pemerintah juga mulai melakukan pembukaan jalan yang membelah TNKS dengan alasan sebagai jalur evakuasi dari Kerinci dan Bengkulu jika terjadi bencana. Warsi berpandangan pemerintah harusnya menyikapi persoalan ini secara cermat. Harimau menjadi penting sebagai penjaga keseimbangan ekosistem. Jangan sampai konflik manusia dengan harimau malah akan semakin menyudutkan harimau dengan memburunya, sehingga pada akhirnya harimau sumatera akan ikut punah. Menurut penelitian, kini keberadaan harimau Sumatera diperkirakan hanya tinggal 250-350 ekor saja, dari Aceh sampai Lampung. Jika tidak diambil langkah kongkrit untuk penyelamatannya, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan, nasib harimau Sumatera akan menyusul nasib Harimau Jawa dan Harimau Bali yang kini hanya tinggal cerita. (Fredi)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
SELINGAN
Sahabat Bukit Duabelas Terbitkan Hijau Muda
S
ejak terbentuk tahun lalu, Sahabat Bukit Duabelas telah melakukan banyak kegiatan untuk menumbuhkan semangat dan kepedulian kaum remaja pada lingkungan sekitarnya. Untuk mendukung kegiatannya, Sahabat Bukit Dua Belas juga menerbitkan buletin yang diberi nama Hijau Muda. Hijau Muda, merupakan buletin yang merepresentasikan remaja dan kecintaannya pada lingkungan. Sebuah media belajar bersama, berbagi ilmu berbagi pengetahuan, ajang apresiasi diri, dan semangat muda dalam kaitannya dengan apresiasi terhadap lingkungan alam sekeliling. “Buletin ini berisikan berbagai informasi tentang kegiatan Sahabat Bukit Duabelas itu sendiri, info-info tentang lingkungan dan alam serta tentu saja persoalan-persoalan seputar dunia remaja,”sebut Dwi Susilowati, Koordinator Sahabat Bukit Duabelas. Disebutkan Dwi, tujuan lain diterbitkannya Hijau Muda ini adalah untuk menjembatani remaja-remaja yang terpisah secara geografis, terpisah secara waktu, yang tidak memiliki banyak kesempatan bersama dalam satu waktu dan tempat, namun tetap ingin berbagi dan berkomunikasi satu sama lain. Hingga sekarang sudah diterbitkan sebanyak 3 edisi Buletin Hijau Muda yang disebarkan di banyak sekolah di sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas. Kegiatan yang disukung penuh Warsi ini, diharapkan mampu memenuhi kehausan informasi tentang lingkungan, dan melibatkan banyak pihak khususnya kaum muda sebagai salah satu bentuk Pendidikan Lingkungan. “Kita merasa bangga atas keinginan remajaremaja ini untuk mau melakukan kegiatan dan mengambil tanggung jawab dalam mendukung dan melestarikan lingkungan, ini kegiatan positif yang harus di dukung dan di support,”sebut Robert Aritonang Koordinator Program Warsi. Sebelumnya, berangkat dari kepedulian atas kondisi alam dan lingkungan yang semakin hari semakin rusak oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, 20 orang remaja sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas ingin berperan serta dalam upaya penyelamatan dan pelestarian lingkungan, terutama pada lingkungan mereka sendiri Taman Nasional Bukit Duabelas. Kelompok ini mendeklarasikan diri dengan memberi nama “Sahabat Bukit Duabelas”.
Sahabat Bukit Duabelas, melakukan berbagai kegiatan termasuk menelusuri TNBD yang melibatkan anak-anak muda yang berada disekitarnya. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Keanggotaan kelompok ini, siswa sekolah menengah yang berada di sekitar bukit duabelas juga pemuda rimba yang aktif tergabung dalam kegiatan belajar mengajar alternatif yang diberikan Warsi. Berbagai kegiatan telah dilakukan kelompok ini, diantaranya tracking ke dalam hutan hingga, pertemuan-pertemuan dan diskusi tentang lingkungan. Sahabat Bukit Duabelas juga melakukan penanaman pohon di sekitar Taman Nasional sebagai bentuk upaya mereka terlibat dalam perlindungan kawasan hutan. Diharapkan kehadiran Sahabat Bukit Duabelas, ini bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya dalam ikut mengambil peran dalam pelestarian hutan, dimanapun mereka berada. (Abdul Rahman)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
45
46
KAJIAN
Keterlibatan Masyarakat Adat Dalam Inisiatif Perlindungan Hutan Catatan Kecil Fasilitasi Pada Kelompok Masyarakat Bathin IX Jambi Majelis Umum PBB dalam resolusinya No. 45/164 pada 18 Desember 1990, mengakui bahwa dibutuhkan suatu pendekatan baru dalam masalah masyarakat adat. Resolusi ini menyatakan bahwa 1993 adalah Tahun Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Selama bertahun-tahun masyarakat adat mengharapkan suatu tahun internasional untuk meningkatkan kesadaran internasional akan situasi yang mereka hadapi. Pada upacara pembukaan di New York, untuk pertama kalinya dalam sejarah PBB, pemimpin-pemimpin masyarakat adat berbicara secara langsung dari podium PBB.
D
alam resolusi 49/214 pada 23 Desember 1994 (alinea 8), Majelis Umum menetapkan bahwa setiap tahun selama dekade internasional, 9 Agustus merupakan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia. Peristiwa ini digunakan oleh PBB untuk memberikan perhatian terhadap masalah-masalah masyarakat adat. Pada hari tersebut, pemerintah, ornop, dan kelompok-kelompok lain yang peduli mempunyai kesempatan untuk mengadakan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran akan keberadaan dan kebudayaan masyarakat adat. Di Indonesia, perjuangan masyarakat adat menampakkan diri dalam ruang publik seiring dengan tumpangnya rezim sentralisme Orde Baru. Selama Orde Baru, adat digerus secara sistematis melalui kebijakan-kebijakan pusat yang mementingkan stabilitas dan keseragaman. UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan pukulan telak yang merombak seluruh unit pemerintahan lokal yang dipaksa menjadi desa. Seiring otonomi daerah, komunitas masyarakat adat mendapatkan tempat yang agak leluasa untuk mewujudkan identitasnya. Tidak hanya sebagai suatu komunitas yang memiliki atribut sosial khas, tetapi juga memiliki hak-hak untuk memperjuangkan tanah dan sumberdaya alam lainnya yang selama ini “dirampas” atas nama pembangunan dan kepentingan investasi. Dalam catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), diperkirakan jumlah masyarakat adat di Indonesia berkisar sekitar 80 jutaan jiwa.
Masyarakat Bathin IX sangat bergantung dengan sumber daya hutan. Foto Heriyadi.Dok KKI Warsi
Seperti dengan negara-negara lain di dunia, di Indonesia sendiri sering terjadi konflik antara masyarakat adat dengan negara atau perusahaan-perusahaan besar swasta, khususnya menyangkut sumber daya alam dan ruang-ruang hidup mereka. Sebut saja konflik masyarakat adat dengan PT. Freeport di Papua, Konflik masyarakat adat dengan Taman Nasional, Konflik masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan skala besar, dan lain sebagainya. Di Indonesia, salah satu kelompok masyarakat adat yang masih ada sampai sekarang adalah masyarakat Bathin IX yang menempati sebagian wilayah di selatan Provinsi Jambi. Hingga saat ini, konsentrasi yang cukup besar dari masyarakat Bathin IX ini adalah di Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi (awalnya ini merupakan satu kabupaten, yaitu Kabupaten Batanghari. Sebelum dekade 80an, kelompok masyarakat ini dapat dengan bebas memanfaatkan sumber daya alam dan hutan yang ada di Kabupaten Batanghari. Seiring dengan pertambahan penduduk, masuknya perusahaan perkebunan skala besar, transmigrasi, serta penunjukan kawasan lindung telah membuat ruang hidup komunitas ini menjadi lebih sempit. Masyarakat Bathin IX merupakan tipe masyarakat yang sangat bergantung akan keberadaan hutan dengan memanfaatkan lahan dan hasil hutan tersebut. Layaknya
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
KAJIAN komunitas adat di daerah lain, khususnya di Indonesia, sering terjadi marginalisasi terhadap masyarakat Bathin IX terhadap upaya-upaya dan inisisatif-inisiatif program serta pembangunan yang ada. Artinya, masyarakat ini jarang dilibatkan dalam proses perencanaan, proses, bahakan evaluasi dari suatu program pembangunan. Sebut saja perumahan transosial yang pernah diadakan pemerintah. Program pemerintah ini berbentuk memindahkan (resettlement) masyarakat Bathin IX yang biasanya hidup di hutan untuk “dirumahkan”. Karena mungkin dalam pandangan pemerintah waktu itu, kebiasaan tinggal di hutan merupakan suatu yang tidak baik, kotor, serta terbelakang. Namun, dalam prakteknya inisiatif ini menjadi tidak berhasil, terbukti program ini tidak mendapat di hati masyarakat Bathin IX. Perumahan-perumahan yang telah dibangun tersebut ditinggalkan dan dijual oleh masyarakat ini. Menurut mereka perumahan ini tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka karena tidak tersedianya kebutuhan lahan untuk mereka kelola. Hal ini berbeda dengan apa yang mereka dapatkan ketika berada di hutan. Maka, masuk ke hutan merupakan pilihan yang kembali dilakukan oleh masyarakat ini. Saat ini, salah satu kawasan hutan alam yang masih tersisa di Kabupaten Batanghari adalah area eks HPH Asialog (yang sekarang dikelola dengan model restorasi ekosistem), selain itu terdapat pula Tahura Senami. Model pengelolaan restorasi ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai keseimbangan hayati. Adapun tujuan dari pengelolaan hutan secara restorasi ekosistem ini adalah pemulihan dan pemanfaatan ekosistem sumberdaya hutan secara lestari dan memiliki daya dukung ekonomi berkelanjutan. Salah satu sasaran strategis dari pengelolaan model ini adalah adanya manfaat sosial dan ekonomis yang dapat diperoleh oleh masyarakat sekitar, khususnya masyarakat asli (masyarakat adat) Mengingat semakin sempitnya ruang hidup dari masyarakat Bathin IX ini dan pola ketergantungan akan sumberdaya lahan dan hutan, maka area kawasan restorasi ini menjadi tujuan dari masyarakat Bathin IX untuk dimanfaatkan. Area restorasi ekosistem ini dapat dikatakan “benteng terkahir” hutan tersisa dari masyarakat Bathin IX yang ada di Kabupaten Batanghari. Dahulunya kawasan ini merupakan “area jelajah” dari masyarakat Bathin IX. Di sini mereka mengumpulkan hasil hutan, seperti jernang, rotan, madu, dan lain sebagainya. Disamping mereka juga melakukan budi daya tanaman, seperti karet dan tanaman padi ladang (berhumo). Hingga sekarang mereka masih dapat membuktikan bahwa disana adalah bekas-bekas area kelola mereka dahulunya, seperti tanaman karet, padang durian, bahkan kuburan (makam/pusara)
Tak dapat dipungkiri kebutuhan masyarakat akan kebutuhan sumber daya alam dan proses perlindungan akan sumber daya alam itu sendiri ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu sama lainnya. Begitu pula dengan upaya penyelamatan kawasan hutan dengan tingkat kebutuhan lahan dari masyarakat itu sendiri. Disamping sebagai kawasan penyelamatan hutan, pada beberapa titik di kawasan ini juga telah ditempati oleh masyarakat, khususnya masyarakat bathin ix. Beberapa titik sebaran masyarakat bathin ix yang ada di area ini adalah, camp 35, simpang macan, durian dangkal, sungai kandang (bangunan), serta lelak tajamblat. Sebaran masyarakat Bathin IX ini tepatnya berada pada area tutup botol dari peta kawasan restorasi ekosistem dan pada batas-batas (buffer zone) dari peta tersebut. Sejarah masuk dan menetapnya kelompok ini terbilang baru, kurang lebih ketika masa tidak aktifnya eks HPH Asialog. Namun kedatangan mereka untuk masuk area ini dapat dikatakan seperti “pulang kampung”. Hal ini dikarenakan area ini hanya merupakan area jelajah dahulunya yang sudah lama ditinggal. Tentunya perlu dilakukan upaya-upaya resolusi konflik dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan restorasi ekosistem ini. Pelibatan masyarakat secara langsung dapat menciptakan dukungan dari masyarakat itu sendiri terhadap inisiatif pengelolaan restorasi ekosistem. Pelarangan masyarakat untuk mengakses kawasan hutan tentunya bukan sebuah keputusan yang baik, namun kegiatan mengeksploitasi sumber daya hutan secara berlebihan apalagi hanya untuk pemuasan kebutuhan pribadi tentunya juga bukan suatu pilihan yang bijak dari masyarakat Bathin IX itu sendiri. Artinya perlu dibangun sebuah pemahaman yang dapat mengakomodir kebutuhan berbagai pihak, apakah masyarakat Bathin IX sendiri, pengelola restorasi ekosistem, maupun pemirintah sendiri. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun mestinya dapat berupa kesepakatan konservasi dan kesepakatan ekonomi, dimana masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dari pengelolaan ini sekaligus berperan dalam upaya inisiatif konservasi seperti ini. Tindakan-tindakan teknis dari inisiatif ini dapat berupa penataan batas dengan wilayah kelola yang ada di dalam area restorasi ekosistem, kesepakatan komoditi yang ditanam, serta memenberlakukan aturan-aturan lokal yang ada di masyarakat ini terkait dengan pengelolaan sumber daya alam itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan juga untuk dilakukan upaya pendampingan dalam rangka peningkatan kapasitas sehingga nantinya masyarakat ini dapat berdaya dan mandiri. Semoga dengan mekanisme pengelolaan kawasan restorasi ekosistem yang baik, masyarakat Bathin IX selaku masyarakat asli (indigenous people) dapat menjadi pahlawan di tanah kelahirannya sendiri. (Wewen Efendi)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
47
KAJIAN
48
Kearifan Lokal, Antara Kenyataan & Angan-Angan
B
anyak orang mempertanyakan apakah kearifan lokal itu? Apakah dia (baca; kearifan lokal) itu memang nyata atau sekadar angan-angan dari pihak yang mempunyai kepentingan tertentu? dan untuk desa-desa di sekitar wilayah restorasi ekosistem, bagaimana perkembangan kearifan lokal itu pada saat ini? Alam dan manusia serta kesaling hubungannya Kearifan lokal, kata itu terasa dekat di telinga kita. Tapi ketika mendefenisikannya secara bahasa, kita harus menuju tempat yang jauh; ke dunia timur di tanah Hijaz, tempat di mana kawasan konservasi (hima) di buat masa awal agama Islam, hima al-Syaraf dan Hima al-Rabdah di Dariyah dekat Madinah, di tetapkan oleh Khalifah Umar bin Khatab (500 M) berdasarkan perintah Nabi Muhammad dan bertahan sampai saat ini, dan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), di anggap sebagai contoh wilayah konservasi yang paling lama bertahan dalam pengelolaan padang rumput secara bijaksana di dunia. Selanjutnya kita terbang ke dunia barat, negeri Inggris, tempat Raja Wiliam 1 (1904 M) menyiapkan The Domesday Book, kitab undang-undang yang berisi aturan pengelolaan inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian, taman buru dan sumberdaya produktif lain milik kerajaannya. Mengapa kita harus merujuk kepada kedua tempat ini ketika mendefenisikan kearifan lokal secara bahasa? Jawabnya adalah karena kata kearifan dan lokal berasal dari bahasa ke dua negara itu. Akar kata kearifan, “Arif,” berasal dari bahasa Arab yang berarti kebijaksanaan. Sedangkan Lokal berasal dari Bahasa Inggris, “Local,” yang telah di EYD kan dan mempunyai arti setempat. Jadi kearifan lokal mempunyai arti kebijaksanaan setempat. Secara terminologi, kearifan lokal dapat kita pahami sebagai usaha manusia dalam menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap suatu objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Kerifan lokal merupakan gagasan konseptual yang hidup, tumbuh dan berkembang terus dalam kesadaran masyarakat, mulai dari hal yang sakral sampai yang profan. Kearifan lokal dapat kita bagi menjadi tiga: Pertama, berhubungan dengan sistem keagamaan (teologi dan metafisika). Kedua, berhubungan dengan sistem budaya (sosial, ekonomi dan politik). Ketiga, adalah sikap terhadap alam. Dalam tulisan ini, sikap terhadap alamlah yang menjadi sorotan kita.
Kearifan lokal tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Di dunia ini kearifan lokal dapat ditemukan dalam mantramantra, jampi-jampi, nyayian, pepatah, petuah, kitab-kitab kuno, dll. Lao Tse (Lo Cu: 6 SM), filsuf besar Tao di Cina, melukiskan kearifan lokal masyarakat Cina semasa dia hidup tentang kesalinghubungan antara alam semesta (makrokosmos) dan alam kesadaran manusia (mikrokosmos). Tidak ada sesuatu benda dan kejadian di jagat raya ini yang bisa berdiri sendiri, semuanya saling membutuhkan dan saling mempengaruhi. Menurutnya, selarasnya alam dan manusia adalah syarat utama terjadinya harmoni semesta. Juga di Cina, Kong Fu Tse (Kong Hu Cu: 551- 479 SM) menekankan, langit dan bumi adalah orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup pada manusia, karena itu bersikap santun dengan tidak merusak alam adalah sikap anak yang berbakti. Kepak halus sayap kecil kupu-kupu di antara dedaunan, Berpengaruh besar terhadap pembakaran di Matahari. (Lao Tse, dalam Tao Teh Ching). Di Sumatera, kearifan lokal juga tercipta, masyarakat Sumatera Barat (baca Minangkabau) yang hidup di dataran tinggi pulau Sumatera, mempunyai kearifan tentang hubungan alam dan manusia. Dalam petuah adatnya di sebutkan: ”ka lauik babungo karang, ka sungai babungo pasia, ka darek babungo kayu.” (Ke laut berbunga karang, ke sungai berbunga pasir, ke darat berbunga kayu). Tapi, biarpun laut berbunga karang dan darat berbunga kayu mereka tidak boleh semena-mena dalam memanfaatkannya, ada aturannya dan itu di sebut ”alur dan patut,”. Mereka harus menjaga karena manusia dan alam mempunyai saling keterikatan untuk menjaga, seperti ”aur dengan tebing.” Di Jambi juga ada seloka adat yang sama, yaitu ”ke air babungo pasir, ke darat babungo kayu.” Hutan Desa Lubuk Beringin, adalah salah satu bukti kearifan lokal masyarakat Jambi masa kini, yang nilai-nilainya adalah warisan masa lampau. Hutan ini tidak hanya bermanfaat untuk wilayah itu saja, melainkan adalah sumbangan besar dari Jambi untuk kesehatan paru-paru dunia. Dari uraian di atas, pertanyaan kedua telah terjawab, bahwa kearifan lokal bukanlah sebuah angan-angan, tapi memang kenyataan. Kearifan lokal dan dinamikanya di wilayah dampingan Warsi di sekitar areal restorasi ekosistem Salah kalau ada yang mengatakan, bahwa kearifan lokal cuma di produksi pada masa lampau, yang benarnya kearifan lokal diproduksi di setiap masa; masa lalu, kini dan depan. Syaratnya adalah masyarakat yang berada dalam lingkungan atau wilayah tempat kearifan itu diproduksi (lokal) peduli terhadap nilai-nilai dan sadar akan manfaatnya, serta bersedia menerima sangsi kalau melanggar nilai-nilainya.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
KAJIAN Sesuai dengan apa yang kita katakan pada awal tulisan ini, bahwa kearifan lokal adalah usaha manusia menggunakan akal budinya untuk bertindak dan bersikap terhadap suatu objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu, maka kita berani mengatakan bahwa peraturanperaturan desa yang di buat secara partisipatif pada rentang waktu tiga tahun ini di wilayah dampingan restorasi adalah wujud kearifan lokal masyarakat desa masa kini yang berhubungan dengan poin ke tiga; sikap terhadap alam. Peraturan Desa Lubuk Napal tentang perlindungan sialang dan wilayah aliran sungai serta ekosistem yang berada dalam sungai. Peraturan Desa Pagar Desa tentang perlindungan sialang dan bakal sialang. Peraturan Desa Butang Baru dan Desa Sungai Butang tentang perlindungan sungai adalah bukti adanya kearifan lokal di sekitar wilayah dampingan restorasi. Dulu masyarakat Lubuk Napal telah mempunyai kearifan dalam pengelolaan sumber daya alam tentang pengelolaan daerah pinggiran sungai dan masih bertahan sampai saat ini, yaitu mereka membuat hutan duku atau hamparan padang duku di sepanjang aliran sungai Sikamis dan saat ini kearifan itu di perkuat oleh perdes yang melarang penebangan pohon di sekitar wilayah aliran sungai. Masih di Desa Lubuk Napal, kearifan lokal masyarakat tentang pengelolaan sungai pernah mendapatkan ujian di penghujung tahun 2009. Dua belas orang karyawan perusahaan sawit APN (Anugerah Pola Nusa) melakukan peracunan terhadap sungai untuk menangkap ikan. Masyarakat menetapkan denda sebanyak Rp 12 juta terhadap dua belas orang peracun itu dalam tempo waktu lebih kurang dua bulan, dan uang denda itu diharapkan masyarakat bisa dimanfaatkan oleh desa untuk pembangunan. Tapi apa daya, harapan tidak sesuai dengan kenyataan, tangan-tangan jahil dari oknum penegak hukum melindungi para pesalah dari APN ini, kearifan lokal ini di jatuhkan oleh ketidakarifan dari luar lokal, tidak ada penegakan hukum sama sekali karena masyarakat tidak mampu menembus sistem kekebalan hukum perusahaan dan oknum penegak hukum, maka tangan siapa lagi yang bisa menegakkannya? Untuk komunitas batin IX, dari tiga kearifan lokal yang kita sebutkan tadi, kearifan lokal tentang sikap terhadap alam mulai mengalami kelunturan. Saat musim buah-buahan atau musim petai dan tampuih, kalau buah itu sulit mereka dapatkan karena batangnya tinggi, maka batangnya itu akan mereka tebang untuk mengambil buahnya, dan ini tidak dilakukan sekali dua kali, tapi cukup sering. Perilaku mereka ini menjadi pertanyaan, apakah sikap ini merupakan warisan nenek moyang atau karena lunturnya kearifan lokal?
49
Bila kita menengok ke belakang, akibat masuknya banyak perusahaan kayu dan perkebunan sawit yang beroperasi di kawasan hunian mereka, juga ditambah masuknya 22 unit transmigrasi ke Sungai Bahar, suku ini terpecahpecah dan kehilangan adat istiadat warisan nenek moyang mereka. Generasi mudanya tidak lagi paham selukbeluk sukunya itu. Dalam hal kearifan lokal, yang masih bertahan tinggal hanyalah acara-acara seremonial seperti besalih (kearifan metafisik) dan ritual lamaran sebelum menikah (kearifan budaya). Identitas suku Batin IX ini hampir-hampir hilang. Generasi yang lahir setelah tahun 1970-an, banyak yang tidak paham bahwa mereka keturunan Batin IX. Sebagian hanya tahu mereka adalah Suku Anak Dalam, sebutan yang dilekatkan pemerintah kepada komunitas yang hidup di pedalaman. Logikanya, kearifan lokal hanya terjadi dalam suatu wilayah yang disebut lokasi tempat hidup orang yang mempunyai pandangan yang sama terhadap nilai-nilai, salah satunya penilaian terhadap fungsi alam. Pandangan orang Batin, perusahan dan masyarakat transmigrasi terhadap alam (hutan) tidak sama. Orang Batin berpandangan hutan adalah wilayah tumpah darah tempat mereka hidup dan tempat mereka mati. Perusahaan berpandangan hutan adalah ladang uang dan harus segera di eksploitasi. Sedangkan masyarakat transmigrasi dan masyarakat melayu di sekitar ruang hidup orang batin berpandangan hutan adalah lahan terlantar dan harus segera di olah menjadi kebun karet atau sawit. Karena perbedaan nilai inilah maka kelompok batin sembilan mengalami kelunturan kearifan lokal tentang bersikap terhadap alam. Malah ada dari mereka yang terkontamidasi dengan nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan dan masyarakat transmigrasi. Untuk menutup tulisan ini, sekaligus merefleksi keberadaan masyarakat Batin Sembilan yang wilayah desanya banyak yang telah diperuntukkan oleh pemerintah untuk perusahaan, mari kita baca puisi WS. Rendra di bawah ini dan menangkap isinya dengan ”rasa.” Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. Kemudian hatinya pilu melihat jejak-jejak sedih para petani - buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. Para tani - buruh bekerja, berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. (WS. Rendra
Sajak Burung-burung Kondor) (Rafiq) ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
dalam;
MATAHATI
50
Mempertahankan Kawasan Konservasi Mungkinkah Meningkatkan Ekonomi?
L
ubuk Beringin mempunyai sejarah panjang tentang konservasi. Masa demi masa telah dilewati masyarakat Lubuk beringin yang mempengaruhi cara pandang mereka tentang sebuah arti pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. KKD (Kesepakatan Konservasi Desa), sebuah dokumen yang dihasilkan oleh masyarakat tentang arti pentingnya nilai konservasi di wilayah mereka. Dokumen ini merupakan bukti betapa nilai-nilai adat yang dianut merupakan pilihan yang baik bagi masyarakat pada saat dokumen ini dikeluarkan. Walaupun tidak bisa dijaminkan seluruh masyarakat tahu tentang arti konservasi, tetapi, aturan seperti dilarang mempermudo durian (mengambil buah durian ketika belum masak), menjaga ketersediaan ikan dengan lubuk larangan (bagian wilayah sungai yang dilindungi dari pengambilan ikan dengan cara apapun), menjaga hulu sungai sebagai tangkapan air adalah sebuah nilai konservasi yang memang sejak lama diterapkan masyarakat. Dalam perjalanannya, Lubuk Beringin mencatatkan sejarah dengan disahkannya sebuah areal kerja Hutan Desa bagi masyarakat Lubuk Beringin seluas 2.356 Ha di hamparan kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur, melalui SK 109/Menhut-II/2009, bobot areal kerja ini ditambah lagi dengan sebuah izin pengelolaan melalui Surat keputusan Gubernur Jambi Nomor: 124/2009. Izin ini bukanlah akhir, tetapi rangkaian perjuangan yang harus dilalui untuk mencapai tahap selanjutnya. Berbicara Hutan Desa tentunya tidak harus berbicara tentang pengelolaan kawasan Hutan Desa saja, ada keterkaitan yang kuat antara ruang dan masyarakatnya serta berhubungan erat dengan kawasan lain yang ada disekitarnya. Kebun, persawahan, sumber pengairan, pola pemanfaatan ruang akan saling memberikan kontribusi dengan kawasan Hutan Desa. Aturan-aturan adat juga berkontribusi untuk pengelolaan kawasan dan sosial budaya yang selama ini berkembang di tengah masyarakat. Aturan-aturan yang ditetapkan adat, walalupun tidak tertulis tetapi mampu menyuarakan sebuah nilai sebuah pengelolaan yang berkelanjutan. Adat mempunyai nilai, nilai tentunya digali dan disepakati agar bisa dijalankan secara bersama, ini yang menjadi syarat mutlak. Penen-
tuan nilai yang akan diterapkan tentunya didasari oleh faktor-faktor yang mendukung sehingga mampu menjaga nilai ini dijalankan. Walau kini berbagai perubahan juga mulai mempengaruhi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, seperti perubahan pemanfaatan lahan, pertambahan penduduk, penyempitan wilayah administratif dan sebagainya. Semua perubahan berjalan, berproses dan menemukan bentuknya sendiri, untuk tetap bisa bertahan! Tetap bertahan, dengan melakukan perubahan, apakah perubahan itu didasari kepentingan sesaat atau memang melakukan perubahan untuk melihat jauh kedepan kearah yang lebih baik dan seimbang. Lahan semakin sempit sementara kita tetap mengatakan bahwa kita masyarakat yang agraris, memang kenyataannya seperti itu. Lahan dan sektor pertanian menjadi tumpuan hidup bagi mayoritas masyarakat Indonesia, tak terkecuali Lubuk Beringin. Aturan adat dan nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat suatu waktu nanti, sangat mungkin luntur jika tidak dilakukan penguatan nilai juga adanya perubahan ke arah yang lebih baik dari apa yang dilakukan masyarakat dalam mempertahankan sumber daya alamnya.
Konservasi VS Ekonomi Penerapan nilai dan aturan adat untuk konservasi kalau dilihat secara gamblang belum memperlihatkan sebuah keuntungan yang riil terhadap ekonomi masyarakat dengan keberadaan sebuah wilayah konservasi. Kalimat ini bukan bermaksud pesimis, bukan bermaksud untuk memilih konservasi saja, bukan juga untuk meninggalkan konservasi untuk kepentingan ekonomi, tetapi bagaimana ini menjadi sebuah pemikiran, sebuah pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh pihak yang terkait dalam masalah ini, agar dengan keberadaan konservasi, sisi ekonomi masyarkat juga terbangun . Konservasi dan ekonomi, dua kata yang sulit disatukan, suatu contoh kasus, perambahan yang marak terjadi di wilayah-wilayah yang selama ini dilindungi, atau diwilayah-wilayah peruntukan khusus, hutan produksi misalnya. Dilema ini membuktikan bahwa terjadi persaingan yang kuat antara kepentingan konservasi di satu sisi dan kepentingan ekonomi disatu sisi lainnya. Jalan aman tentunya memilih salah satunya, namun ini adalah pilihan yang bisa dibilang tidak ideal. Bila memilih konservasi, bagiamana dengan masyarkat yang memang sudah lama hidup di sekitar kawasan hutan? Sebaliknya bila memilih ekonomi murni, tentunya akan bertolak belakang dengan persoalan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Jalan ideal tentunya bagaimana memadukan dua kepentingan ini, walaupun ideal, tapi pilihan ini akan banyak menemui tantangantantangan yang membutuhkan energy besar. Kalau diibaratkan, kepentingan ekonomi adalah ombak besar
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
MATAHATI yang menghantam tepian pantai, dermaga yang dibangun untuk memecah ombak besar ini adalah peyeimbang untuk sedikit mencegah kerusakan yang lebih besar dari kekuatan ombak, ekonomi murni. Semuanya tentu dimulai dengan sebuah langkah pemahaman, kalaupun langkah pemahaman yang dibangun adalah ditingkat tokoh desa, maka harus diusahkaan juga bagaimana pemahaman ini sampai kepada tingkat masyarkat dibawah, initinya adalah kalaupun tidak semua masyarkat tetapi sebagian besar masyarkat sudah paham akan apa yang dilakukan, untuk menghindari pandangan-pandangan yang negative tentang keberadaan hutan desa. Akses informasi berkembang dengan cepat, transportasi yang semakin lancar membuat hubungan semakin terbuka. Keadaan ini merupakan kondisi yang tidak bisa dicegah. Misalnya saja, poltik sekarang tidak hanya di bincangkan di kalangan-kalangan tertentu, di warung pinggir jalan pun bisa di temui pembicaraan-pembicaraan politik, semakin memanas bila akan ada pemilihan kepala daerah. Ini sekaligus membuktikan bahwa masyarkat sudah bertransformasi menjadi masyarakat yang kritis, yang bisa memberikan opini sendiri, mempunyai sikap sendiri atas pilihan-pilihan hidup. Informasi tekhnologi terbaru juga semakin mudah di dapatkan. Semua kondisi ini tentunya mempengaruhi pola pikir masyarakat, pertanyaannya adalah mampu atau tidak masyarkat menyaring semua informasi ini, sehingga ada sebuah keputusan ditingkat individu untuk menerima, menolak dengan melewati sebuah proses penyaringan terlebih dahulu. Berbicara proses penyaringan tentunya menggunakan sebuah alat yang dinamakan dengan pemahaman. Begitu juga dengan persoalan hutan desa, pemahaman perlu dibangun tidak hanya pada tingkat pengambil keputusan (yang tidak hanya seberapa orang), tapi bagaimana membangun pemahaman di tingkat masyarkat yang lebih luas, kalaupun pilihan untuk membangun pemahaman hanya ditingkat stakeholder, tentunya diharapkan stakeholder ini mampu meneruskan pemahaman yang didapatkan kepada orang dibawahnya. Derasnya arus informasi yang masuk tentunya menimbulkan pengaruh terhadap standard hidup dari masyarakat yang bersentuhan dengan informasi ini. Kepemilikan motor misalnya, terkadang masyarkat yang “tidak punya uang” pun lebih mementingkan motor daripada sebuah pilihan bijak untuk mengelola uang yang ada untuk investasi atau mengunakan uang untuk kepentingan yang lebih diutamakan. Memang untuk memberikan pemahaman banyak hal yang harus di pertimbangkan, daya terima masyarakat adalah salah satunya, bukan berarti mengatakan bahwa pemahaman bukan jalan, tetapi bagiamana tekhnis
memberikan pemahaman yang lebih baik, ini yang perlu untuk dirumuskan. Jika pemahaman sudah dilakukan tentunya masyarakat akan bisa melihat persoalan apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan untuk menyikapi perubahan yang terus terjadi. Tindakan terkait dengan pemahaman yang didapatkan, akan membagi masyarakat kedalam dua kelompok, memilih tindakan yang nantinya sesuai dengan pemahaman atau melakukan tindakan yang nantinya bertolak belakang dengan pemahaman. Lubuk Beringin pun tidak lepas dari kondisi ini, di satu sisi masyarakat dihadapkan pada kebutuhan lahan, disatu sisi diwilayah mereka sudah terzonasi wilayahwilayah yang difungsikan untuk perlindungan. Tekanan kebutuhan (atau keinginan?) hasil dari informasi yang masuk ke masyarakat akan membuat satu pilihan tindakan dari masyarakat. ketika pemahaman masyarakat tidak kuat akan arti pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, maka hal ini akan menjadi ancaman bagi eksistensi hutan desa. Sebaliknya ketika masyarakat paham akan arti pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, maka masyarkat pun akan berpikir dua kali untuk melepaskan sisi konservasi desa. Tidak hanya langkah pemahaman, peluang-peluang untuk menciptakan sebuah alternative ekonomi karena konsekuensi wilayah konservasi harus dibangun. Pondasi-pondasi ekonomi yang kokoh ini diharapkan menjadi sebuah strategi untuk memecah serangan terhadap wilayah konservasi, yang dalam keruangan lubuk beringin adalah hutan desa. Langkah yang dimulai bisa dari apa yang telah dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan wilayah mereka yang sudah terzonasi, dan salah satu zonasi tersebut adalah perlindungan, tidak hanya mengandalkan peningkatan ekonomi dari hutan desa, tetapi berbicara sebuah adminsitratif lubuk beringin. Wilayah-wilayah diluar hutan desa mempunyai potensi-potensi yang layak untuk dikembangkan dalam kaitannya untuk menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat. Ketika tingkat ekonomi yang mencukupi sudah tercapai maka, ekonomi masyarkat akan bersanding dengan konservasi. Apapun dinamika yang terjadi, satu hal yang sudah pasti, lubuk beringin sudah mempunyai hutan desa yang izinnya adalah yang pertama di Indonesia. Lubuk beringin juga mempunyai KPHD, lembaga yang mengelola hutan desa. berbicara hutan desa, adalah berbicara masyarakat banyak, berbicara ruang adminsitratif, berbicara pihak yang terlibat dalam insiatif ini, dinas kehutanan, masyarakat dan LSM pendamping. Semuanya harus menjalankan peran-peran untuk melakukan sebuah langkah yang sinergis, mengelola hutan desa, mengamankan ekonomi masyarakat. (Djoko Sutrisno)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
51
MATAHATI
52
Pemanfaatan, Permasalahan dan Pemecahan Masalah Ruang Dusun Catatan Fasilitasi Landscape Mozaic di Dusun Tebing Tinggi Persoalan bagaimana menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat, adalah persoalan yang jamak terjadi di institusi pemerintahan. Perspektif kesejahteraan tentunya mempunyai tingkat yang berbeda-beda di masing-masing masyarakat. Perspektif kesejahteraan antara masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan tentu akan berbeda dengan cara pandang masyarakat yang tinggal di sekitar hutan tentang arti kesejahteraan itu sendiri. Persepektif kesejahteraan pun akan berbeda dari waktu ke waktu, faktor teknologi dan informasi yang berkembang akan mempengaruhi hal ini.
B
agaimana menciptakan sebuah kesejahteraan, tentunya peran yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah melalui sebuah pembangunan yang menyeluruh, aspiratif dan bottom-up. Pembangunan harus dimulai dari apa yang dibutuhkan masyarakat terhadap ruang-ruang kehidupan mereka, apa yang dibutuhkan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dari pembangunan yang dilakukan. Kedepannya tentu diharapkan pembangunan yang dilakukan akan memberikan manfaat untuk masyarakat, dana pemerintah untuk melakukan pembangunan pun tidak terbuang percuma Pembangunan tentunya akan mengisi ruang-ruang adminsitratif ini. Secara tidak sadar dan dipicu oleh perubahan yang terjadi masyarakat telah membagi ruangruang adminsitratif desa menjadi ruang-ruang yang mempunyai pemanfaatan masing-masing. Adminsitratif sebuah desa biasanya terkelompok-kelompok ke dalam bagian-bagian tersendiri. Peruntukan di masing-masing ruang ini yang selama ini dikelola masyarakat untuk mendatangkan hasil bagi mereka. Terkadang dengan keterbatasan yang ada pemanfaatan ruang tidak maksimal, sehingga apa yang diharapkan dari ruang ini tidak tercapai. Intinya bagaimana pembangunan di mulai dari ruang-ruang dalam adminsitratif desa, menggali permasalahan, potensi dan apa yang solusi yang ditawarkan oleh masyarakat untuk memecahkan permasalahan dalam ruang-ruang desa mereka.
Penataan ruang yang dilakukan masyarakat mulai mengalami pergeseran. Foto Heriyadi/Dok KKI Warsi
Landscape mozaic dalam kegiatannya mengakomodir persoalan ini, bagaimana permasalahan-permasalahan dalam ruang kehidupan masyarakat bisa diidentifikasi dan dilihat peluang untuk memecahkannya, salah satu desa dampingan untuk kegiatan ini adalah Tebing Tinggi Kecamatan Muko-Muko Bathin VII, kabupaten Bungo. Pemanfaatan Ruang, Permasalahan dan Pemecahan Untuk mengetahui bagaimana pemanfaatan ruang yang ada didusun tebing tinggi, alat yang digunakan adalah sketsa partisipatif dengan menggunakan peta dasar topografi, sehingga diharapkan akan memudahkan dan tingkat akurasi akan leibh tinggi, karena peta topografi sendiri sudah ada beberapa informasi mengenai dusun tebing tinggi, seperti sungai, jalan dan titik pemukiman. Dalam prosesnya masyarakat tinggal memperkaya informasi-informasi dalam peta topografi ini, seperti penggunaan lahan dan batas adminsitratif.
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
MATAHATI Pemanfaatan ruang di desa Tebing Tinggi, diantaranya digunakan untuk kebun karet, sawah, kebun buah dan pemukiman. Karet merupakan pemanfaatan ruang yang paling luas di dusun ini. Luasnya kebun karet ini memperlihatkan ketergantungan masyarakat terhadap ruang ini, sekaligus sebagai unsur pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Pemanfaatan ruang lainnya, digunakan untuk sawah. Karet sebagai “aktor utama” juga ditunjang dengan keberadaan sawah sebagai sumber pangan masyarakat. Selain itu juga ada kebun buah dengan komuditi utama durian. Mencermati pemukiman masyarakat di Tebing Tinggi, terjadi tipe rumah yang dibangun penduduk. Jika dahulunya berbentuk rumah panggung, sekarang mulai bergeser kearah permanen, atau semi permanen, tidak menggunakan bahan baku kayu lagi. Tidak hanya di Tebing tinggi, mungkin disepanjang jalan menuju Kecamatan Bathin III Ulu mulai banyak ditemui rumah yang permanen atau semi permanen. Rumah dengan arsitektur panggung memang masih banyak dijumpai, kalau di tebing tinggi rumah tipe panggung ini bisa dijumpai di kampung seberang, kampunjg awal dari masyarakat Tebing TInggi. Perubahan tipe rumah dari panggung ke semi permanen atau pemanen ini memang dipengaruhi oleh banyak hal. Seperti budaya atau tingkat keamanan wilayah. Rumah panggung pada dasarnya dibangun untuk keamanan penghuninya dari binatang atau banjir dari sungai, oleh sebab ini rumah dibuat tinggi. Sekarang, wilayah pemukiman relative aman dari gangguan bintang buas atau dari banjir, karena debit air sungai sudah turun, bisa saja karena hal ini masyarakat mulai membangun rumah bawah (tidak panggung) yang dipengaruhi oleh gaya rumah yang lagi trend, maka jadilah rumah permanen seperti yang dilihat dipinggir jalan menuju Bathin III Ulu tersebut. Apapun alasan yang dikemukakan perwakilan masyarakat, tapi untuk satu hal mereka sepakat bahwa kayu untuk membangun rumah semakin langka, hutan sudah habis, wilayah eks hutan ini telah berganti dengan pemukiman, sawah atau yang terbesar adalah kebun karet masyarakat, sebagian lagi wilayah hutan yang telah dibuka masyarakat ini sekarang telah dimiliki oleh perusahaan melalui proses jual beli. Beberapa masyarakat mensiasatinya dengan membiarkan tanaman kayu yang dianggap bisa untuk menjadi bahan bangunan tumbuh di kebun. Tanaman kayu yang dibiarkan tumbuh seperti jenis meranti, diharapkan bisa tumbuh dengan baik dan dapat dimanfaatkan untuk bahan bangunan nantinya. Pilihan lain kayu ini bisa menjadi sumber pendapatan nantinya bila dijual. Untuk mendukung upaya ini perwakilan masyarakat dalam pertemuan penggalian
masalah ruang ini mengharapkan adanya semacam kebun percontohan yang berisi tanaman campuran antara karet dengan tanaman kayu agar bisa menjadi contoh bagi masyarkat yang lain untuk mengembangkan tanaman kayu ini. Bantuan pihak Dishutbun dan lembaga penelitian sangat dibutuhkan dalam hal ini. Hutan tidak ada lagi, ruang dusun Tebing Tinggi sudah terisi dan terbagi habis ke dalam kepemilikan pribadi. Dengan terbatasnya ruang pengelolaan masyarakat Tebing Tinggi, maka diperlukan sebuah pengawalan terhadap ruang-ruang yang tersedia, artinya, bagaimana upaya-upaya yang dilakukan lebih kepada mendukung ruang yang ada, yang dampaknya paling tidak dapat meningkatkan posisi tawar masyarakat terhadap sumber daya yang dimiliki, yang berujung kepada peningkatan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan dari ruang-ruang yang dimiliki tersebut. Pengawalan yang lebih fokus diarahkan kepada memaksimalkan potensi yang ada di kebun karet, sebagai sumber utama pendapatan masyarakat dan ruang yang terbesar dari dusun Tebing Tinggi. Potensi kebun karet tidak harus diisi dengan karet sistem monokultur, tapi diupayakan juga untuk melakukan sistem penanaman campuran dengan tanaman kayu yang bernilai ekonomis tinggi untuk menjaga ketersediaan kayu di wilayah ini, mungkin saja kedepannya kayu yang ada dalam kebun karet masyarakat bisa meningkatkan pendapatan masyarkat dengan dijual. Peran-peran penyadaran tentang pentingnya kebun campuran ini, tentunya harus dilakukan oleh lembaga terkait. Keberadaan sawah dan kebun buah sebagai penunjang juga tetap didukung sebagai sumber pangan masyarakat, tentunya dengan memberikan perhatian kepada sarana penunjang untuk kegiatan diruang ini, apakah irigasi atau sarana transportasi. Walaupun sebagai pendukung, dua ruang ini sebenarnya mempunyai potensi yang menjanjikan bila dikelola dengan maksimal, sebagai contoh durian, produksinya sekali setahun, pemasaran dilakukan hanya ditingkat dusun atau agen yang datang langsung ke dusun, masyarkat belum tahu bagaimana pemasaran yang lebih baik atau bagaimana pengelolaan durian dengan tekhnologi pasca panen misalnya, tentunya upaya-upaya ini diharapkan mampu memberikan dampak peningkatan ekonomi bagi masyarkat. Penggalian aspirasi masyarakat sudah dilakukan. Permasalahan dan solusi yang diharapkan dalam ruangruang yang selama ini dimanfaatkan masyarakat sudah tergali. Bagaimana ini menjadi sebuah kerangka dalam pembangunan tentunya membutuhkan pihak pemerintah yang nantinya didelegasikan kepada instansiinstansi terkait untuk menjawab persoalan-persoalan yang ada dalam ruang kehidupan masyarakat dusun tebing tinggi. (Djoko Sutrisno)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
53
SELINGAN
54
Kesepakatan Adat tentang Tata Ruang Desa Lubuk Sepuh
S
eloko adat yang mengatakan ke darat berbunga pasir, ke rimba berbunga kayu, yang keras tempat bersawah, yang keras untuk bermukim, yang lapang untuk pasar dan yang tinggi untuk ladang, nampaknya masih di praktekkan masyarakat Lubuk Sepuh. DI desa yang terletak di Kecamatan Pelawan Kabupaten Sarolangun. Berjarak hanya sekitar 8 km ke pusat kabupaten. Desa ini dibelah jalan lintas tengah Sumatera, yang menghubungkan antara Kota Sarolangun (jambi) dengan Kota Lubuk Linggau (Sumatera Selatan). Selain itu desa ini dilintas oleh sungai besar yakni Sungai Batang Asai, yang merupakan anak Sungai Batanghari. Mengacu ke seloko adat di atas, masyarakat Lubuk Sepuh mempraktekkannya dalam kehidupan mereka hingga kini. Dilihat dari penggunaan lahannya, ada empat tipe penggunaan lahan yang terdapat di desa ini, yaitu pemukiman, sawah, tanaman semusim dan perkebunan. Walaupun tidak tersusun dengan baik seperti layaknya komplek perumahan. Namun pemukiman masyarakat Desa Lubuk Sepuh sudah mengelompok, dan terkonsentrasi disepanjang jalan lintas tengah Sumatera. Sementara lokasi persawahan terletak tidak jauh dari pemukiman, yakni berada di pinggir sungai (kiri mudik) Batang Asai. Selanjutnya diseberang sungai Batang Asai atau seberang desa, penggunaan lahannya dipe-
runtukan untuk budidaya tanaman semusim. Sedangkan untuk budaya perkebunan mengarah jauh ke aliran Sungai Singkut dan Sungai Pingai (anak Sungai Batang Asai) atau daerah yang lebih tinggi. Menurut Ikhsan kepala Desa Lubuk Sepuh, penggunaan lahan tersebut sudah diatur berdasarkan kesepakatan adat secara turun temurun sejak dari jaman nenek moyang. Sedangkan dasar penetapan fungsi lahan tersebut disesuaikan dengan daya dukung lahan tersebut, terhadap budidaya apa yang kan dikembangkan. “Lahan persawahan misalnya, yang terletak dipinggir Sungai Batang Asai. Terletak disana karena ada banyak sumber air disekitarnya, yang mendukung budidaya persawahan tersebut. Sementara diseberang sungai digunakan untuk budidaya tanaman semusim, karena daerah itu merupakan dataran yang lebih tinggi. Selain itu letaknyapun tidak terlalu jauh dari pemukiman warga, sehingga lebih mudah untuk dikontrol,”lanjut Ikhsan. Sekalipun kesepakatan ini dibuat sejak jaman nenek moyang, namun sampai saat ini peraturan tersebut belum berubah dan masih ditaati oleh warga. Ini dibuktikan dengan tidak ada konversi atas lahan yang sudah disepakati penggunaannya. “Peraturan ini dibuat agar pengelolaan sumberdaya alam bisa dilakukan secara berkesinambungan dan dapat berfungsi secara lestari”, tegas Ikhsan. (Fredi)
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
P
kan banyak pihak. Betapa tidak dari Inpres moratorium yang dikeluarkan pemerintah, jika dilihat dari peta yang dilampirkan yang di moratorium hanya kawasan yang sesungguhnya sudah dikonservasi, sehingga tanpa inpres inipun kawasan tersebut tidak akan di konversi. Inpres yang dikeluarkan presiden hanya sebagai syarat ke Norwegia, bahwa Indonesia sudah melakukan moratorium, padahal yang kita harapkan dari inpres ini, juga dilakukan moratoriumnya kawasan hutan produksi. Dengan moratorium yang dikeluarkan pemerintah dikhawatirkan tidak akan berdampak optimal bagi lingkungan dan hutan. Pemerintah masih setengah hati, dari peta yang dikeluarkan, alih fungsi hutan untuk sawit dan HTI masih mungkin dilakukan, terutama di kawasan hutan produksi.
Sedangkan dampaknya untuk menurunkan emisi karbon dari deforestasi sebanyak mana pernyataan presiden sebelumnya hingga 26 persen pada 2020 diragu-
Moratorium ini sungguh unik, di Jambi, hanya kawasan taman nasional, bahkan sebagian Taman Nasional Bukit Tigapuluh, tidak tercantum di peta moratorium. Sementara eks HPH di Jambi yang berada di hutan produksi, jika mengacu ke Inpres ini masih memungkinkan untuk diperebutkan perusahaan HTI dan sawit. Jika pemerintah tidak melakukan perbaikan, bukan tidak mungkin, harapan SBY untuk menurunkan emisi dari deforestasi hanya tinggal mimpi. (Rudi Syaf)
DARI KITA /
Moratorium Setengah Hati residen sudah menandatangani Instruksi Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Inpres yang sudah ditunggu sejak awal tahun ini, ternyata tidak seperti yang di harapkan banyak pihak. Banyak kalangan menilai, inpres yang dikeluarkan presiden ini, hanya sebagai bentuk kompromi politik-ekonomi berbagai pihak.
Formulir Anggota Warsi Club Yang bertandatangan di bawah ini, Nama: Tempat, Tanggal lahir: Jenis Kelamin: Pendidikan Terakhir: Alamat Lengkap: Telpon: HP: Email: Pekerjaan/ Asal Sekolah/Perguruan Tinggi: Alamat Kantor : Darimana anda tahu Warsi Club a. Teman b. Alam Sumatera c. Internet d. Lainnya Demikian formulir ini saya isi dengan sebenarnya dan dengan ini saya menyatakan bahwa saya tertarik dengan kegiatan konservasi dan memiliki kecintaan terhadap kelangsungan ekosistem alam. Jika kemudian hari saya terbukti atau diketahui melakukan kegiatan eksploitasi lingkungan ataupun merusak kelangsungan ekosistem alam, maka saya bersedia dikeluarkan dengan tidak hormat dari keanggotaan Warsi Club.
.........................................................
(foto copy formulir ini lalu kirimkan ke) KKI Warsi Jl. Inu Kertapati No. 12 Kel. Pematang Sulur, Kec. Telanaipura Kota Jambi, Kode Pos 36124 PO BOX 117 Jbi Telp: +62741 66695,66678 - Fax. +62741 670509 http://www.warsi.or.id - email:
[email protected]
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011
55
ALAM SUMATERA, edisi AGUSTUS 2011