MENGAWAL SIKLUS LITBANG DARI HULU KE HILIR: POTRET LEMBAGA LITBANG NASIONAL ERA DIGITAL LITBANG DARI INOVASI KE ROYALTI

EDISI III TAHUN 2015 ISSN: 18299059

MENGAWAL SIKLUS LITBANG DARI HULU KE HILIR:

5 65 90

DARI INOVASI KE ROYALTI

POTRET LEMBAGA LITBANG NASIONAL ERA DIGITAL LITBANG

HADIRKAN SOLUSI SEIRING INOVASI

PRODUK UNGGULAN PEGAR

Pemecah Gelombang Ambang Rendah

PEGAR berbentuk karung besar dari bahan geotekstil yang diisi dengan pasir. Menghasilkan proses perubahan garis pantai dan terbentuknya tambolo atau salient yang membentuk daratan baru.

Lokasi uji coba: Pasir Putih Anyer, Kabupaten Serang

Keunggulan

Berperan sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang secara langsung yang mengakibatkan erosi.

• Menggunakan bahan geotekstil yang ramah lingkungan. • Mudah untuk diaplikasikan.

Lokasi uji coba: Pasir Putih Anyer, Kabupaten Serang

SIMBAGAS Sistem Monitoring Kehandalan Struktur Jembatan SIMBAGAS Berfungsi sebagai perangkat pengumpulan data terpadu untuk mengawasi kesehatan struktur Lahan kering memiliki pada jembatan. keterbatasan sumber air, GAS A B dengan menggunakan SIM Keunggulan • Mendeteksi kerusakan atau deteriorasi pada struktur jembatan. • Menyediakan database kondisi jembatan di Indonesia • Menilai kinerja struktur jembatan

Sensor ditanam pada struktur jembatan untuk mengukur data keadaan fisik jembatan (kemiringan, disposisi, ketegangan dan tekanan pada bangunan), keadaan cuaca (temperatur, kelembaban udara, kecepatan serta arah angin), dan data visual (CCTV) untuk memantau kondisi lalu lintas.

Dipasarkan oleh: PT. Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI)

Sistem Pracetak C-Plus Sistem Pracetak C-Plus adalah sebuah sistem struktur pracetak untuk bangunan bertingkat dengan kolom berbentuk plus (+), menggunakan kombinasi sambungan mekanis berupa plat baja dengan mur, baut, serta grouting dengan semen non-shrinkage.

KEUNGGULAN • Efisiensi biaya hingga 20%. • Waktu pengerjaan yang lebih singkat. • Mutu lebih terjamin, telah diuji coba di lab struktur mempunyai keandalan terhadap beban gempa • Bentuk simetris sehingga kapasitas kolom sama pada kedua arah • Optimalisasi ruang pada bangunan.

Penerapan: Sistem C-Plus telah diaplikasikan pada rumah susun Cigugur Tengah Kota Cimahi

Redaksi Dari Ruang Redaksi

P

ada edisi ketiga kali ini redaksi berlari lebih cepat mengejar target penerbitan. Redaksi harus mengerahkan tenaga ekstra agar mampu menerbitkan dua edisi sekaligus dipenghujung tahun 2015. Dengan segala sumber daya yang ada, redaksi tetap berusaha menghadirkan isu aktual di ranah ‘kelitbangan’ Indonesia. Dimulai dari pelaksanaan pertemuan Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) yang dilaksanakan di Pendopo Sapta Taruna Kementerian PUPR. FKK adalah sebuah forum yang beranggotakan lembagalembaga litbang dari seluruh kementerian dan lembaga. Forum ini secara rutin menggelar pertemuan guna membahas isu strategis seputar dunia kelitbangan yang ada di Indonesia. Dunia penelitian dan pengembangan di Indonesia tergolong dinamis. Dari tahun ke tahun semakin banyak inovasi yang dihasilkan dan memberikan peran yang signifikan pada meningkatnya daya saing bangsa. Pada edisi kali ini, redaksi akan mengulas kembali ragam informasi dalam bidang inovasi kelitbangan. Sudah sejauh mana inovasi berkembang serta beberapa sub bahasan lainnya. Tak lupa redaksi juga mengulas seputar isu mengenai paten dan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan bahasan mengenai inovasi. Selain itu, hadir pula hasil pemikiran para peneliti Balitbang PUPR dalam rubrik Litbang Internal. Dalam rubrik Litbang Eksternal kami hadirkan opini dari seorang antropolog muda dalam memandang dunia penelitian murni dan terapan, serta kaitan infrastruktur dalam membentuk pola kultural masyarakat. Redakasi juga menghadirkan beragam informasi lainnya yang sayang untuk dilewatkan. Akhir kata, redaksi mengucapkan selamat berkarya dan mengejar target kinerja di akhir tahun. Salam semangat!! Salam Hangat

Pembina Arie Setiadi Moerwanto Penanggung Jawab Bernaldy William M. Putuhena Herry Vaza Arief Sabaruddin Bobby Prabowo Pemimpin Umum Enny Kusnaty Pemimpin Redaksi Iwan Suprijanto Dewan Redaksi Djamaludin Kuat Pudjianto Redaktur Pelaksana Heny Prasetyawati Mochamad Mulya Permana Nuraini Fasma Handayani Muhamad Syukur Editor Nanda Ika Dewi Kumalasari Fotografer Rizki Akbar Maulana Tata Letak Dodi Kurniadi Sekretariat Ratna Firman Ratri Lady Ivone Ade Alamat Redaksi Dinamika Riset Gedung Heritage Lantai 3 Jl. Pattimura No 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 Tel : (021) 7245083, 7257043, 7226302 Fax : (021) 7395062 E-mail : [email protected] www.litbang.pu.go.id

Redaksi menerima artikel, tulisan akdemis dalam bentuk populer, yang terkait dengan penelitian dan pengembangan pada bidang-bidang sumber daya air, jalan dan jembatan, perumahan dan permukiman serta kebijakan dan penerapan teknologi. Naskah ditulis minimal 1.000 kata dan maksimal 2.000 kata, tanpa foto. Foto dikirimkan terpisah dalam bentuk file JPEG dengan resolusi minimal 300 dpi. Naskah wajib disertai dengan identitas penulis dan dikirimkan melalui ke email redaksi. Redaksi juga menerima saran maupun tanggapan yang dapat dikirimkan ke email redaksi.

EDISI III TAHUN 2015

1

FOKUS

4-11

POTRET LEMBAGA LITBANG NASIONAL

4

Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31 ayat (5) menegaskan bahwa “Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. KOMERSIALISASI 6 TEKNOLOGI HASIL LITBANG PUPR MELALUI PUSLITBANG KEBIJAKAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (PKPT) Inovasi diartikan sebagai kegiatan penelitian, pengembangan, dan/ atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru.

MENDONGKRAK PROFIT PENERAPAN PRODUK LITBANG DENGAN HAK KEKAYAAN Rp INTELEKTUAL

9

%

2

DINAMIKA RISET - DAFTAR ISI

12

LITBANG

18

MANAJEMEN

39

KIPRAH

41

TOKOH

42

PROFIL LITBANG

44

LINGKAR 3D

50

OPINI

52

RESENSI BUKU

56

18 DARI PRODUKSI

12-17

PATEN TEKNOLOGI PUPR: 15 MENUNGGU DILAMAR??? ...Hanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sajalah yang dapat memecahkan masalah-masalah kelaparan dan kemiskinan, insanitasi dan buta aksara, takhayul dan hilangnya adat istiadat, habisnya sumber daya atau sebuah negeri kaya yang didiami penduduk miskin...

LITBANG 12 PERGESERAN PARADIGMA MASYARAKAT DAN KEBERLANJUTAN KONSEP NILAI PEMBAGIAN RUANG TRADISIONAL BALI

4

INFOSTAND

12

HAK PATEN

INFOSTAND MENOPANG PILAR KONSTRUKSI BERKELANJUTAN MELALUI JALAN HIJAU INDONESIA

FOKUS

MENUJU IMPLEMENTASI: SEBUAH TANTANGAN

18-36

20 SURVEI KEKASARAN

Saat ini kinerja lembaga pemerintah dibuktikan dengan sejauh mana pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga negara dapat memberikan dampak (outcome) untuk masyarakat.

JALAN MENGGUNAKAN PONSEL PINTAR

24

CARA PINTAR MENGOLAH AIR GAMBUT

METODA PEMERIKSAAN KERUSAKAN BANGUNAN PASCA GEMPA SECARA DETIL

26

DILEMA PENELITIAN MURNI DAN TERAPAN: INSTANSI PENELITIAN PEMERINTAH MESTI BAGAIMANA?

32

PENELITIAN

MURNI TERAPAN

28

MANAJEMEN

39

STRATEGI TRANSFER TEKNOLOGI BAGI LEMBAGA LITBANG

LITBANG MASYARAKAT DAN INFRASTRUKTUR

36

Infrastruktur sebagai sesuatu yang konkret merupakan garis-depan dari suatu perubahan sosial-budaya. Proses adaptasi terjadi di situ. Namun, terjadi pula kegagapan dalam proses adaptasi itu.

KIPRAH

41

PENGUKUHAN PEJABAT FUNGSIONAL PENELITI DAN PEREKAYASA

TOKOH PROFIL LITBANG

44

MEMPERKAYA VALUE PENELITIAN PROFIL SINGKAT KEPALA PUSLITBANG SDA

PUSLITBANG KEBIJAKAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI

Mendukung Percepatan Pembangunan Bidang PUPR Melalui Kebijakan dan Penerapan Teknologi yang Inovatif, Kreatif dan Berkelanjutan

OPINI

RESENSI BUKU 52

MODEL PERHITUNGAN SHADOW PRICING: DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SUMBER DAYA AIR

42

56

TANTANGAN INOVASI DI SEKTOR PUBLIK Buku “The Entrepreneurial State”, Mariana Mazzucato, ingin mematahkan mitos dengan mengulas beberapa practices yang telah dan perlu dilakukan entitas publik guna mengimbangi dinamika sektor bisnis yang berkembang.


3

Nanda Ika Dewi*

U

ndang-Undang Dasar 1945, pasal 31 ayat (5) menegaskan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Dengan demikian IPTEK menjadi komponen utama untuk mencapai kesejahteraan umat manusia. IPTEK yang dikembangkan diharapkan sesuai dengan kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh manusia, khususnya bangsa Indonesia. Oleh karena itu, potensi lokal, baik sumber daya manusia, maupun sumber daya alam, sebaiknya dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mencapai hasil yang maksimal. Produk IPTEK dapat dihasilkan melalui rangkaian proses penelitian dan pengembangan (litbang). Dalam struktur organisasi pemerintah, baik kementerian ataupun lembaga, sudah memiliki badan yang mempunyai tugas

4

DINAMIKA RISET - FOKUS

dan fungsi litbang. Begitu juga yang terjadi pada level pemerintah daerah. Fungsi litbang biasanya melekat pada Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda). Selain kementerian dan lembaga, perguruan tinggi juga mengemban fungsi litbang, seperti tertuang dalam prinsip Tri Dharma. Melihat kondisi tersebut, sebenarnya Bangsa Indonesia sudah memiliki komponen penggerak litbang. Dilihat dari perspektif struktural, lembaga litbang sudah memiliki posisi yang jelas. Secara fungsi sebenarnya juga sudah memiliki kejelasan, terlepas dari bagaimana kualitas dan kuantitas litbang yang dihasilkan. Permasalahan yang terjadi sekarang adalah munculnya ragam persoalan sebagai bagian dari dinamika yang harus dihadapi oleh masyarakat dan negara. Oleh karena itu, peran litbang mutlak diperlukan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut melalui dukungan IPTEK yang

sesuai dengan kebutuhan dan realita di lapangan. Menteri Pekerjaan Umum dari masa Djoko Kirmanto hingga Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono memiliki kriteria produk litbang, yaitu lebih mudah, lebih cepat, lebih murah, dan lebih baik. Kriteria ini masih harus disesuaikan dengan kebutuhan pengguna, baik dari sektor industri besar, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), masyarakat, dan calon pengguna potensial lainnya. Pengembangan teknologi tersebut harus disesuaikan dengan kebutuhan dari berbagai sektor. Dengan demikian teknologi yang dihasilkan haruslah memiliki sifat yang luwes atau adaptif. Persoalan lain yang timbul berkenaan dengan citra yang dimiliki oleh lembaga litbang nasional, harus diakui hingga saat ini stigma yang tumbuh di mata masyarakat terkait dengan lembaga

litbang pemerintah dan perguruan tinggi belumlah menggembirakan. Hal ini disebabkan karena lembaga litbang dianggap belum memberikan kontribusi yang nyata dan signifikan dalam upaya mengatasi ragam persoalan yang muncul di tengah kehidupan bermasyarakat.

2007 yang sampai sekarang belum dapat sepenuhnya diimplementasikan; dan 3. sangat rendahnya alokasi anggaran litbang dari pemerintah dan sulitnya menggandeng swasta untuk melakukan kolaborasi kegiatan litbang (Lakitan, 2012a).

Kenyataan tersebut terkait dengan isu yang sangat mendasar, yaitu belum optimalnya kemampuan para peneliti memotret kebutuhan riil masyarakat pengguna. Masyarakat pengguna yang dimaksud bisa berasal dari kalangan pemerintah, masyarakat umum, maupun dari dunia usaha. Para peneliti masih berkutat dengan idealisme penelitian. Sehingga tak jarang dijumpai hasil penelitian yang sudah dilakukan dengan upaya keras dan biaya mahal hanya berakhir menjadi dokumen atau buku laporan yang memenuhi rak.

Kondisi tersebut dapat dijadikan sebagai media untuk berkaca bagi para peneliti lembaga litbang, maupun perguruan tinggi, sejauh mana dapat berkontribusi bagi kemaslahatan masyarakat. Beban tersebut semakin terasa mengingat lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi sedikit banyak menggunakan anggaran negara.

Masih rendahnya kontribusi teknologi litbang terhadap pembangunan nasional secara umum dan upaya menyejahterakan rakyat, khususnya terkait dengan beberapa faktor dan kondisi lainnya, disebabkan oleh: 1. pengguna teknologi dalam negeri (terutama industri besar) lebih percaya pada teknologi asing yang kadang juga lebih murah dan sudah tersedia; dibandingkan harus menunggu pengembangan teknologi oleh lembaga litbang domestik; 2. regulasi dan kebijakan belum mendorong terwujudnya ekosistem yang kondusif untuk tumbuh-kembang inovasi di dalam negeri, contohnya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun

Kerjasama antar lembaga litbang sangat diperlukan untuk membangun sinergi antar lembaga litbang. Tujuannya adalah mengembangkan teknologi yang saling terintegrasi Upaya untuk menggenjot kinerja lembaga litbang dapat dilakukan dari berbagai sisi, yaitu pemberian dukungan pembiayaan yang lebih pantas, infrastruktur penunjang yang mencukupi, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) baik dari kuantitas, maupun kualitas, mempermudah proses pengurusan paten, pemberian royalti dan insentif, serta dukungan manajemen SDM yang profesional. Patut diakui bahwa pembinaan SDM peneliti di Indonesia masih belum mencukupi. Program capacity building bagi para peneliti yang menjadi domain

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) masih dirasa kurang. Strategi lain yang mungkin diterapkan adalah menggandeng lembaga litbang internasional untuk memberikan program capacity building bagi para peneliti dalam negeri. Skema kerjasama seperti ini telah beberapa kali diterapkan di lingkungan internal Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Skema kerjasama juga dilakukan antar lembaga litbang dalam negeri dengan lembaga litbang luar negeri, seperti yang dilakukan oleh Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Balitbang PUPR dengan Badan Litbang Kementerian Perhubungan, Kepolisian Republik Indonesia, dinas-dinas terkait, dan The Korea Transport Institute (KOTI). Kolaborasi lembagalembaga tersebut terlihat dalam pembangunan Master Plan dan Pilot System for Indonesian Road Data Center Operation (IRoDCO) yang berlokasi di Kota Bandung. Pengembangan proyek ini bertujuan untuk mendukung penyediaan seluruh kebutuhan analisis pusat kendali data bidang jalan di Indonesia. Di masa mendatang seluruh pemangku kepentingan memiliki sumber dan standar data yang sama dan saling terintegrasi dan disokong oleh teknologi mumpuni. Kerjasama antar lembaga litbang sangat diperlukan untuk membangun sinergi antar lembaga litbang. Tujuannya adalah mengembangkan teknologi yang saling terintegrasi dan dapat mencakup berbagai kebutuhan di lapangan. *Staf Sekretariat Badan Litbang EDISI III TAHUN 2015

5

KOMERSIALISASI TEKNOLOGI HASIL LITBANG PUPR

MELALUI PUSLITBANG KEBIJAKAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI (PKPT) M. Andri Hakim A* & FX Hermawan Kusumartono**

K

omersialisasi dalam Kamus Besar bahasa Indonesia memiliki arti “perbuatan menjadikan sesuatu menjadi barang dagangan”, artinya bagaimana sesuatu yang awalnya orang tidak tahu sama sekali, berubah menjadi penasaran kemudian ia menjadi tertarik dan akhirnya membeli sesuatu yang dimaksud tersebut. Di sisi lain, menurut kamus bisnis dijelaskan bahwa komersialisasi adalah sebuah proses di mana pemasar melakukan 1) produksi skala penuh, 2) menetapkan harga, 3) membangun jaringan distribusi, dan 4) membuat rencana promosi akhir untuk memperkenalkan produk di semua pasar. Jika dikaitkan dengan penelitian dan pengembangan (litbang), maka ke-4 pilar yang dimaksud dalam kamus bisnis merupakan langkah yang seringkali terlupakan pada saat sebuah hasil penelitian dan pengembangan dikatakan “selesai”. Hal ini dikarenakan dari berbagai permasalahan yang kerap terjadi pada lembaga litbang di Indonesia seperti: 1. Belum optimalnya penerapan teknologi litbang; 2. Teknologi hasil litbang yang belum optimal karena belum 100 % layak secara pasar; 3. Minimnya pemahaman calon pengguna teknologi hasil litbang; 4. Belum banyak teknologi yang siap pakai dan layak secara

6


5.

6.

7. 8.

sosial, ekonomi dan lingkungan sehingga sulit melakukan penetrasi pasar; Teknologi yang dihasilkan masih sebatas menjawab permasalahan teknis (teknologi sesaat); Belum mengarah pada persaingan industri (Teknologi yang dihasilkan terkadang ketinggalan jaman dengan teknologi pesaing di negara lain); Nilai investasi masih relatif mahal karena belum banyak diproduksi secara massal; Pola kemitraan dengan Industri masih lemah; dan lain-lain

Sebenarnya inti dari belum optimalnya penerapan hasil litbang terletak pada belum diimplementasikannya “strategi komersialisasi pada produk hasil litbang”. Beberapa hal permasalahan litbang seperti yang telah disebutkan sebelumnya sebenarnya dapat segera tersolusikan jika setiap lembaga litbang mampu menerapkan strategi komersialisasinya. Artinya bagaimana hasil litbang dapat dijadikan barang dagangan dan mampu memiliki daya saing secara optimal. World Economic Forum telah merilis Global Competitiveness Report 2015-2016. Dalam laporan tersebut, indeks daya saing Indonesia tercatat berada di peringkat ke-37 dari 140 negara yang dinilai. Peringkat Indonesia ini patut dibanggakan mengingat Indonesia mengungguli negara-

negara seperti Portugal (peringkat 38), Italia (peringkat 43), Rusia (peringkat 45), Afrika Selatan (peringkat 49), India (peringkat 55), dan Brazil (peringkat 75). Akan tetapi di level ASEAN peringkat Indonesia masih dibawah negara Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 18) dan Thailand (peringkat 32). Adapun penilaian indeks daya saing didasarkan pada 113 indikator yang dikelompokkan dalam 12 pilar daya saing. Kedua belas pilar tersebut adalah: 1. institusi; 2. infrastruktur; 3. kondisi dan situasi ekonomi makro; 4. kesehatan dan pendidikan dasar; 5. pendidikan tingkat atas dan pelatihan; 6. efisiensi pasar; 7. efisiensi tenaga kerja; 8. pengembangan pasar finansial; 9. kesiapan teknologi; 10. ukuran pasar; 11. lingkungan bisnis, dan 12. inovasi. Indeks daya saing memasukkan unsur inovasi sebagai salah satu pilar penilaian. Hal ini mengartikan bahwa inovasi merupakan hal yang harus dipertimbangkan jika suatu negara ingin memiliki daya saing tinggi. Beberapa definisi inovasi menurut beberapa ahli: • Everett M. Rogers “inovasi adalah suatu ide, gagasan, praktek atau objek/benda yang

disadari dan diterima sebagai suatu hal yang baru oleh seseorang atau kelompok untuk diadopsi” • Stephen Robbins “inovasi adalah suatu gagasan baru yang diterapkan untuk memprakarsai atau memperbaiki suatu produk atau proses dan jasa” • Van de Ven, Andrew H “Inovasi adalah pengembangan dan implementasi gagasangagasan baru oleh orang dimana dalam jangka waktu tertentu melakukan transaksitransaksi dengan orang lain dalam suatu tatanan organisasi” • Kuniyoshi Urabe “Inovasi bukan merupakan kegiatan satu kali pukul (one time phenomenon), melainkan suatu proses yang panjang dan kumulatif yang meliputi banyak proses pengambilan keputusan di dan oleh organisasi dari mulai penemuan gagasan sampai implementasinya di pasar” Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Inovasi diartikan sebagai “kegiatan penelitian, pengembangan, dan/ atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi”. Dalam mengkomersialisasikan hasil litbang maka inovasi merupakan hal yang harus dilakukan secara berkelanjutan (Continuous Improvement), hal ini semata-mata agar produk/teknologi yang dihasilkan benar-benar memiliki daya saing dan berguna bagi masyarakat luas.

Oleh karenanya untuk mewujudkan atau memilih teknologi tersebut diperlukan sebuah unit khusus yang mampu menjembatani atau menjadi intermediator antara teknologi hasil litbang dengan keinginan pasar. Hadirnya Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi di Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berdasarkan Peraturan Menteri

Untuk mewujudkan atau memilih teknologi tersebut diperlukan sebuah unit khusus yang mampu menjembatani atau menjadi intermediator antara teknologi hasil litbang dengan keinginan pasar. Pekerjaan Umum Nomor 15/ PRT/M/2015 tanggal 21 April 2015 diharapkan dapat meningkatkan daya saing dan komersialisasi terhadap hasil litbang dari Pusat-Pusat Litbang di Kementerian PUPR seperti Puslitbang Sumber Daya Air, Puslitbang Jalan dan Jembatan serta Puslitbang Perumahan dan Permukiman (Puslitbang ABC). Sebelum teknologi layak dipersiapkan kepada pasar (dikomersialisasikan) maka masing-masing Puslitbang perlu memperhatikan TRL (Technology Readiness Level) atau Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) sebagai ukuran tingkat kesiapan teknologi yang juga diartikan sebagai indikator yang menunjukan seberapa siap atau matang suatu teknologi dapat diterapkan atau diadopsi oleh pengguna atau calon pengguna.

Tingkat Kesiapan Teknologi (TKT) versi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT): üü TKT 1: Prinsip dasar dari teknologi telah diteliti dan tercatat üü TKT 2: Formulasi Konsep teknologi dan aplikasinya üü TKT 3: Pembuktian konsep (proof-of-concept) fungsi dan/atau karakteristik penting secara analitis dan eksperimental üü TKT 4: Validasi kode, komponen dan atau kumpulan komponen dalam lingkungan laboratorium. üü TKT 5: Validasi kode, komponen dan atau kumpulan komponen dalam lingkungan yang relevan üü TKT 6: Demonstrasi Model atau Prototipe Sistem/ Subsistem dalam lingkungan yang relevan üü TKT 7: Demonstrasi prototipe sistem dalam lingkungan/ aplikasi sebenarnya üü TKT 8: Sistem telah lengkap dan memenuhi syarat (qualified) melalui pengujian dan demonstrasi dalam lingkungan/ aplikasi sebenarnya üü TKT 9: Sistem benar-benar teruji/terbukti melalui keberhasilan pengoperasian Pada TKT 1, Puslitbang ABC perlu berkolaborasi dengan PKPT untuk menyamakan prinsip teknologi yang nantinya akan diterapkan. Hal ini sangat dibutuhkan agar teknologi yang dihasilkan benarbenar layak secara teknologi, layak secara sosial ekonomi lingkungan, layak secara pasar dan pastinya berkelanjutan. Pada TKT 6 – 9 PKPT dapat dilibatkan dalam mendampingi penerapan teknologi dalam lingkungan yang relevan. Hak Kekayaan Intelektual mulai dari Hak Cipta dan Hak Kekayaan EDISI III TAHUN 2015

7

Industri juga perlu menjadi perhatian oleh Pusat ABC berikut dengan konsekuensinya seperti royalti yang dapat menambah gairan bagi Inventor dan Institusi untuk selalu berinovasi tanpa henti. Kekurangan dan kelebihan yang ditemui selama TKT 6 – 9 perlu segera disempurnakan sehingga teknologi benar-benar siap untuk dikomersialisasikan. Positioning PKPT sebagai agen Komersialisasi Teknologi Libang PUPR sangat diperlukan. Ke-4 pilar Komersialisasi hasil litbang mulai dari: 1) produksi skala penuh; 2) penetapan harga; 3) jarigan distribusi, serta 4) promosi yang berkelanjutan. Dalam produksi skala penuh, PKPT berperan sebagai “intermediator” antara Pusat ABC dengan industri yang siap menerapkannya. Industri yang dimaksud bisa disebut dengan aplikator untuk teknologi litbang yang dapat direplikasi dan diproduksi secara massal. Untuk itu data base teknologi harus dimiliki guna mengetahui secara jelas peta teknologi yang akan diterapkan berikut teknologi-teknologi sejenis yang telah ditemukan dan terapkan sebelumnya. Dalam penetapan harga, PKPT berperan sebagai “Value Maker” dimana teknologi hasil litbang mampu dihitung nilainya secara objektif dengan mempertimbangkan “Market Value” dan “Nilai-nilai pengembalian investasi” yang telah dikeluarkan sebelumnya. Harga teknologi yang dipasarkan merupakan harga yang telah dihitung berikut profit yang akan diperoleh. Hal ini karena teknologi tersebut harus mampu menggairahkan setiap calon aplikator yang terjun dalam bisnis teknologi. 8


Dalam jaringan distribusi, PKPT berperan sebagai “hub integrator” yang berfungsi sebagai penghubung antara berbagai stakeholders yang mampu menciptakan hubungan saling menguntungkan mulai dari Pelanggan Internal (Direktorat jenderal) dan pelanggan Eksternal (Pemda, kalangan bisnis, Perbankan, perguruan tinggi , dan masyarakat umum). Asosiasi, perkumpulan dan Forum Distribusi hasil litbang perlu digalakkan untuk mempercepat dan mempermudah aliran komersialisasi. Pembiayaan yang seringkali terkendala bagi calon aplikator yang akan memasarkan teknologi hasil litbang perlu segera

PKPT berperan dalam mengenalkan teknologi hasil litbang ke seluruh calon pelanggan. dicarikan solusi konkritnya dengan menghubungkan antara calon aplikator dengan kalangan perbankan. Dalam hal promosi, PKPT berperan dalam mengenalkan teknologi hasil litbang ke seluruh calon pelanggan. Istilah “ Tak Kenal maka Tak Sayang” menjadi landasan bagi teknologi hasil litbang yang selama ini belum bersentuhan langsung oleh masyarakat luas. Oleh karena itu PKPT telah menggagas dua konsep strategi promosi teknologi hasil litbang dengan cara penerapan “E-Marketing teknologi hasil litbang” dan penerapan “Kilometer (KM) Teknologi”. Konsep E-Marketing merupakan strategi penyempurnaan terhadap sistem marketing konvensional. Seperti pemilihan “branding”, “tagline”, serta pengemasan produk yang layak secara pasar dilakukan secara elektronik dengan melakukan

penetrasi pasar di dunia maya namun menghasilkan target yang nyata. Dengan penerapan KM teknologi hasil litbang diharapkan promosi yang diselenggarakan bersifat dialogis, dinamis dan segmentasi. KM Teknologi bukan sekedar promosi teknologi hasil litbang secara konvensional, namun KM Teknologi merupakan penggabungan antara “Rest Area” dan Promosi teknologi hasil litbang yang didesain seefektif mungkin sebagai media pemasyarakatan teknologi hasil litbang PUPR kepada masyarakat luas. Masyarakat dapat berinterksi langsung dengan teknologi litbang PUPR dikarenakan fasilitas penunjang yang ada di rest area tersebut seperti jalan, foodcourt, SPBU, ATM, Masjid dll didesain menggunakan teknologi hasil litbang PUPR. Dengan penerapan E-Marketing dan KM Teknologi tersebut diharapkan terciptanya interaksi antara Inventor dalam hal ini adalah Pusat Litbang ABC dengan Pelanggannya. Oleh karena itu, penerapan komersialisasi yang diemban oleh PKPT menjadi hal yang penting. Dengan penerapan Komersialisasi hasil litbang yang efektif dan efisien maka diharapkan : 1. Litbang mampu menghasilkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan user 2. Teknologi yang dihasilkan oleh Pusat Litbang ABC mampu ditranfer untuk memastikan tidak ada kesalahan dalam penerapan 3. Teknologi yang dihasilkan mampu mengatasi masalah (problem solving/advisory services) yang dihadapi oleh user *Kasubbid Kerjasama **Kepala Bidang Kajian Kebijakan dan Kerjasama

MENDONGKRAK PROFIT PENERAPAN PRODUK LITBANG DENGAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Heny Prasetyawati*

HAK PATEN

I

novasi teknologi produk Litbang yang telah diciptakan perlu diberikan perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Karena kita sudah susah payah untuk menciptakan suatu produk tetapi kalau tidak dilindungi akan dengan mudah diplagiasi oleh pihak lain. Hal ini perlu diperhatikan agar apa yang telah dihasilkan tidak sia-sia karena aspek HKI selama ini jarang dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan strategi penelitian. HKI merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memegang monopoli dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat dari kekayaan intelektual. Saat ini, tercatat HKI di Indonesia baru menyumbang 1 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB), dibandingkan dengan Amerika Serikat telah menyumbang sebesar 40 persen. Sesuai dengan roadmap MP3EI, Pemerintah Indonesia di tahun 2015 rencananya akan

Rp

%


9

mendorong HKI menjadi 3 persen. Dengan demikian, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) perlu memberikan kontribusi kepada pemerintah untuk menciptakan HKI guna mencapai rencana tersebut. Beberapa produk hasil Litbang PUPR telah dimanfaatkan dalam pembangunan infrastruktur, untuk itulah Balitbang PUPR harus segera melakukan perlindungan terhadap produk tersebut karena cukup potensial untuk dimassalkan oleh promotor seperti pengusaha/ investor, asosiasi, dan lain lain. Upaya Perlindungan Hukum atas HKI Hak Kekayaan Intelektual harus didaftarkan untuk memberikan perlindungan hukum. Ada 2 sistem, yang pertama adalah sistem konstitutif, yakni HKI seseorang hanya dapat diakui dan dilindungi oleh hukum apabila didaftarkan. Dan kedua, sistem deklaratif, yaitu perlindungan hukum diberikan kepada pemegang atau pemakai pertama dalam HKI. Apabila ada pihak lain yang mengaku sebagai pihak yang berhak atas suatu HKI, maka pemegang/ pemakai pertama harus dapat membuktikannya dengan buktibukti yang sahih. Pada sistem ini tidak diwajibkan pendaftaran, akan tetapi pendaftaran merupakan bentuk perlindungan yang dapat memberikan kepastian hukum. Penetuan masa perlindungan setiap jenis HKI berbeda satu sama lain. Khusus untuk hak paten, perlindungannya selama 20 tahun dihitung sejak tanggal penerimaan paten. Lamanya masa perlindungan berarti paten yang bersangkutan menjadi milik umum. 10


Upaya lainnya adalah penindakan dan pemulihan, yang merupakan upaya penegakan hak terhadap suatu pelanggaran HKI. Ada beberapa cara seperti melalui jalur perdata berupa gugatan, yaitu dalam bentuk ganti kerugian, penghentian pelanggaran, penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan. Secara pidana berupa penuntutan, seperti hukuman pidana maksimal 7 tahun penjara dan denda maksimal 2,5 milyar rupiah, perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan. Dan secara administratif berupa tindakan seperti pembekuan atau

Khusus untuk hak paten, perlindungannya selama 20 tahun dihitung sejak tanggal penerimaan paten. Lamanya masa perlindungan berarti paten yang bersangkutan menjadi milik umum. pencabutan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP), pembayaran pajak atau bea masuk yang tidak dilunasi, dan re-ekspor barang hasil pelanggaran. Sampai saat ini, implementasi penegakan hukum atas HKI masih banyak kendala, baik di jalur perdata maupun pidana. Namun demikian, seiring berjalannya waktu kita harus bersiap diri untuk segera mendaftarkan produk kita agar terhindar dari klaim pihak lain, sekaligus memberikan sumbangsih kepada negara untuk menaikkan target yang telah dicanangkan pemerintah dalam program MP3EI. Royalti Sebagai Motivator Penggerak

Kebijakan pemerintah dalam hal pemberian royalti kepada inventor atas komersialisasi HKI sudah bisa dinikmati. Dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.02/ 2015 tentang imbalan yang berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) Royalti Paten kepada inventor. Pemerintah telah merealisasikan janjinya kepada inventor dalam memberikan motivasi berkarya guna meningkatkan kontribusi kepada Negara dalam menyumbang PDB. Sudah seharusnya pemerintah memberikan penghargaan kepada penemu yang sudah menciptakan kekayaan intelektualnya untuk membangun bangsa ini lebih maju. PMK Nomor 72 Tahun 2015 ini merupakan inisiasi Balitbang PUPR dalam memahami kebutuhan inventor dan dukungan kepada peneliti menghasilkan karya yang lebih berkualitas dan kreatif dalam berinovasi untuk menghasilkan HKI yang akan dialihkan kepada masyarakat pengguna agar lebih bermanfaat. Saat ini, Balitbang PUPR juga telah menerbitkan Peraturan Menteri tentang Tatacara Penggunaan Paten di Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Peraturan Menteri ini dimaksudkan sebagai acuan dalam penggunaan paten bagi inventor, pemegang paten, pengelola paten, dan mitra pengguna paten. Adapun tujuannya untuk mendayagunakan paten yang berkepastian hukum di Lingkungan Kementerian PUPR. Selain mengatur penggunaan paten dan menciptakan kepastian hukum, juga mengatur imbalan yang menentukan seorang inventor mendapatkan royalti atas hasil ciptaannya. Dalam pasal yang

mengatur tentang imbalan, inventor berhak mendapatkan 40% dari imbalan yang ditetapkan. Sedangkan pemegang dan pengelola paten berhak mendapatkan masing-masing 30% dari PNBP royalti paten yang dibayarkan oleh mitra pengguna paten. Adapun formula perhitungan imbalan atas PNBP royalti paten dihitung berdasarkan hasil perkalian dasar penghitungan imbalan dengan tarif Imbalan tertentu. Formulanya adalah I = DPI x tarif Imbalan tertentu. I adalah Imbalan, DPI (Dasar Perhitungan Imbalan), dan tarif tertentu merupakan lapisan nilai yang ditetapkan. Sedangkan Dasar Perhitungan Imbalan (DPI) menggunakan formula : DPI = PNBP royalti paten x PP. Dalam menghitung PNBP royalti paten diambil dari nilai PNBP royalti paten selama 1 tahun berjalan. Sedangkan PP merupakan Keputusan Menteri Keuangan tentang persetujuan penggunaan PNBP yang saat ini sudah mencapai 98% untuk badan Litbang PUPR.

(seratus juta rupiah) pertama dengan ketentuan berikut: Pembentukan Sentra HKI Salah satu langkah yang cukup strategis dalam membudayakan HKI adalah membentuk sentra HKI. Balitbang PUPR sedang menyiapkan pembentukan sentra HKI, dengan harapan sebagai motivator penggerak dalam melayani keperluan yang berhubungan dengan kekayaan intelektual para peneliti. Tujuannya adalah untuk menjaga agar hasil penelitiannya dapat bermanfaat dan dapat dipertanggung jawabkan baik secara teknologi dan kepastian hukum saat ada klaim dari pihak lain. Proses pembuatan proposal penelitian yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan aspek HKI, sehingga hasil penelitian kurang termanfaatkan secara komersial. Apabila dimanfaatkan kurang mendapatkan keuntungan jika dibandingkan dengan anggaran yang telah dihabiskan. Strategi ini perlu segera dirombak, agar tidak banyak produk litbang yang sudah dipatenkan, tidak laku jual bahkan malah jadi beban negara karena harus melakukan pemeliharaan atas paten yang telah diterimanya.

proses mulai dari merancang usulan penelitian, drafting paten sampai komersialisasi/promosi hasil penelitian yang mempunyai aspek HKI. Selain itu, sentra HKI juga dapat menjaga produk litbang agar bermanfaat dan berdaya guna dalam proses alih teknologi kepada masyarakat pengguna serta melakukan pembagian royalti dari hasil alih teknologi yang dihasilkan. Royalti atau imbalan terhadap penggunaan paten bagi inventor, pemegang paten, dan pengelola paten yang dibayarkan oleh mitra pengguna paten melalui PNBP (yang akan segera digantikan dengan pola pengelolaan BLU), perlu dilakukan oleh sentra HKI. Pasalnya sentra HKI sebagai intermediator antara penghasil paten dan industri cukup penting dalam kemampuan melakukan sosialisasi, interpretasi dan fasilitasi proses inovasi dalam dunia industri. Peran intermediator cukup penting dan strategis dalam memahami hakikat ”needs” atau kebutuhan, aturan main bisnis dan tuntutan dari dunia industri.

LAPISAN NILAI

TARIF IMBALAN TERTENTU

s.d. Rp 100.000.000,00

(40% x Rp 100.000.000,00)

di atas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00

(Imbalan untuk s.d. Rp 100.000.000,00) = 30% x (DPI-Rp 100.000.000,00)

di atas Rp 500.000.000 s.d Rp 1.000.000.000,00

(Imbalan untuk s.d. Rp 500.000.000,00) + 20% x (DPI - Rp 500.000.000,00)

Di sisi lain, industri juga membutuhkan akses atas ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang kredibel, dan berpotensi praktis untuk memenuhi tuntutan pelanggan dan memeperbarui teknologi yang dibutuhkan. Saat ini, Kementerian Riset dan Teknologi telah meluncurkan ”BIC” yakni Business Innovation Center untuk merealisasikan kemajuan inovasi dan memposisikan IPTEK menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di negara tercinta, Indonesia.

di atas s.d Rp 1.000.000.000,00

(Imbalan untuk s.d. Rp l.000.000.000,00) + 10% x (DPI - Rp 1.000.000.000,00)

*Kasubbag Umum dan Rumah Tangga, Sekretariat Badan Litbang PUPR

Adapun tarif imbalan tertentu tertinggi adalah 40% (empat puluh persen) untuk nilai kumulatif dasar perhitungan Imbalan sampai dengan sebesar Rp l00.000.000,00

Sentra HKI dibutuhkan agar dapat terlibat secara langsung dalam


11

MENOPANG PILAR KONSTRUKSI BERKELANJUTAN

MELALUI JALAN HIJAU INDONESIA *Gede Budi Suprayoga, *Hendra Hendrawan

P

enanganan jalan, seberapa kecil pun skalanya mulai dari pembangunan sampai dengan pemeliharaan memberikan dampak lingkungan (dan juga sosial) yang akan dirasakan tidak hanya pada saat ini, tetapi juga pada masa yang mendatang. Dampak lingkungan dan sosial tidak dapat dipungkiri sangat jarang diperhatikan, karena orientasi pembangunan pada umumnya menekankan pada pertumbuhan ekonomi wilayah, kawasan, perkotaan maupun perdesaan. Kondisi yang tidak seimbang ini mendorong para pemangku kepentingan untuk melihat permasalahan lebih komprehensif dengan mendekati dampak ke dalam tiga matra: ekologi, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, manfaat ekonomi tidak selalu menyisihkan dampak-dampak negatif bagi ekologis dan sosial yang mungkin terjadi. Apabila tidak direncanakan dan dirancang dengan baik, konstruksi jalan baru akan memperbesar kerusakan lansekap alamiah yang turut berpengaruh terhadap keseimbangan hidrologis dan ekosistem. Habitat flora dan fauna rentan terhadap gangguan yang tidak hanya ditimbulkan oleh jalan yang usai dibangun, tetapi juga pada masa operasional akibat lalu lintas yang melaluinya. Masyarakat yang terbagi ke dalam komunitaskomunitas sosial dapat kehilangan kohesi dan perubahan sosial yang tidak diinginkan, apabila tidak

12

DINAMIKA RISET - INFOSTAND

mempertimbangkan aspirasi atas peran yang diharapkan atas jalan yang dibangun. Penggunaan energi dan material untuk infrastruktur jalan adalah salah satu yang tergolong masif yang dari perspektif ecological footprint (tapak ekologis) memberikan ukuran kuantitatif dampak potensi kehilangan lahan potensial penopang pangan akibat keberadaan jalan baru (Wackernagel dan Rees, 1996; Chi dan Stone Jr, 2005) Proyeksi pembangunan ke depan perlu memperhatikan batasan bagi pertumbuhan konsumsi dan produksi yang menyokongnya, maka perspektif keberlanjutan dikembangkan. Diawali untuk pertama kalinya oleh Meadows dkk. (1972) melalui publikasi yang berjudul The Limit to Growth. Perhatian akan keberlanjutan berkembang pesat setelah World Commission on Environmental and Development (WCED) menerbitkan publikasi yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987. Istilah pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang tidak hanya memperhatikan pemenuhan kebutuhan saat ini tetapi juga memperhatikan pemenuhan kebutuhan di masa yang akan datang, atau dalam kontek global pembangunan ekonomi dan sosial seharusnya memperbaiki bukan

merusak lingkungan (Newman dan Kenworthy 1999). Banyak bidang, termasuk konstruksi, mulai mengadopsi konsep dan menerjemahkan ke dalam prinsip-prinsip penerapannya. Sebagai ilustrasi, transportasi berkelanjutan adalah transportasi yang tidak membahayakan kesehatan publik dan menganggu ekosistem alamiah tetapi juga memenuhi kebutuhan atas keselamatan dan kesetaraan akses bagi semua kelompok masyarakat (Black, 2010). Dalam konteks konstruksi jalan, berbagai teknologi dikembangkan untuk mengaplikasikan konsep transportasi berkelanjutan, contohnya: pemanfaatan teknologi perkerasan yang rendah emisi dan pemanfaatan kembali material buangan atau sisa. Selain itu, konsep transportasi jalan berkelanjutan mengembangkan perangkat pembiayaan, pendidikan dan kebijakan untuk mendorong keselamatan jalan dan akomodasi akses atas fasilitas jalan yang memadai (Black, 2010). Jalan Hijau Indonesia Sejak tahun 2013 Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Jalan dan Jembangan telah mengembangkan perangkat pemeringkatan untuk mengukur tingkat keberlanjutan suatu proyek jalan. Perangkat ini menguraikan kategori, subkategori dan kriteria penilaian dengan bobot menurut tingkat kepentingannya. Sebagai sebuah sistem, setiap kategori, subkategori dan kriteria mempengaruhi capaian peringkat keberlanjutan. Lima kategori yang dijadikan rujukan untuk menilai pemenuhan prinsip jalan hijau adalah kategori

konservasi lingkungan air, udara, dan alam, kategori transportasi dan masyarakat, kategori aktivitas pelaksanaan konstruksi, kategori material dan sumber daya alam, dan ketegori teknologi perkerasan. Bobot pada kategori dan kriteria mencerminkan tingkat kepentingan penerapannya dalam suatu proyek jalan. Bobot yang tinggi menunjukkan kepentingan yang lebih dibandingkan yang lainnya untuk diterapkan dan secara kuantitatif dapat meningkatkan status keberlanjutan suatu proyek jalan. Bobot diperoleh melalui teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan informan berasal dari pakar transportasi, teknik lalu lintas, perkerasan jalan, dan lingkungan. Pemberian nilai dan peringkat merupakan cara untuk menyampaikan informasi perihal tingkat “keberlanjutan” relatif suatu proyek dengan yang lainnya. Cara ini telah dipakai oleh perangkat pemeringkatan yang sudah mapan, antara lain Greenroads, Green Leadership in Transportation and Environmental Sustainability GreenLITES (Amerika Serikat), serta Integrated VicRoads Environmental Sustainability Tool - INVEST dan Infrastructure Sustainability – IS (Australia). Peringkat suatu proyek didefinisikan apabila seluruh penilaian kriteria dengan bobot dihitung. Sejak awal tahun 2015, aplikasi atas skema pemeringkatan

semakin mantap dengan dibentuknya Tim Jalan Hijau Indonesia oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Tim terdiri dari dari perwakilan asosiasi, akademisi, dan pemerintah. Tim dibentuk sebagai lembaga transisi sebelum lembaga yang lebih permanen muncul. Aspek yang melandasi perbedaan konsep kelembagaan yang melakukan pemeringkatan dengan bidang lainnya adalah pertimbangan bagi peran para pemangku kepentingan dan pengguna atas skema pemeringkatan jalan yang berkelanjutan menjadi penting. Pembelajaran dari skema kelembagaan di negara lain dapat membantu dari perbedaan persepktif dan tujuan, antara lain: pihak yang menjadi inisiator, tujuan pemeringkatan, kredibilitas atas skema yang diharapkan, ketersediaan regulasi dan kesiapan asesor. Kemajuan Implementasi Jalan Hijau Indonesia Jalan Hijau Indonesia telah memasuki tahap implementasi dengan dilakukannya pemeringkatan pada sejumlah proyek jalan. Tidak terbatas pada jalan nasional, pemeringkatan diaplikasikan juga untuk jalan dengan status jalan kota. Penilaian dapat dilakukan secara mandiri

Peringkat Bintang

Uraian

*

Jalan yang telah memenuhi persyaratan teknis, memiliki dokumen studi kelayakan, dokumen lingkungan, dan desain teknis akhir atau as built drawing

**

Jalan dengan pemenuhan total kriteria penilaian mencapai 20

*** ****

Jalan dengan pemenuhan total kriteria penilaian mencapai 30 Jalan dengan pemenuhan total kriteria penilaian mencapai 45

maupun dengan pendampingan oleh Tim Jalan Hijau Indonesia apabila diperlukan. Pada tahun 2015, empat proyek telah diberikan penghargaan dengan mempertimbangkan pemenuhan kelengkapan persyaratan dan jangka waktu penyelesaian proyek antara tahun 2013-2014. Proyek pekerjaan jalan tersebut adalah Pembangunan Jalan Kelok Sembilan, Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara, Pembangunan Fly Over Bukittinggi, dan Pembangunan Underpass Dewaruci. Keempat proyek tersebut memperoleh sertifikat penghargaan yang ditandatangani oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Ketua Tim Jalan Hijau, Agus Bari Sailendra. Pemberian peringkat bintang atas proyek dan penghargaan diberikan kepada para Kepala Satuan Kerja dan Pejabat Pembuat Komitmen, serta direktur utama perusahaan (proyek jalan tol) untuk satu pekerjaan yang telah diselesaikan. Jalan Hijau Indonesia diharapkan menjadi platform yang menggerakkan bidang konstruksi jalan untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip konstruksi berkelanjutan. Tidak hanya itu, platform menciptakan media yang transparan dan akuntabel untuk menilai dan memberikan informasi atas kontribusi bidang dalam pembangunan berkelanjutan. Dengan peran skema yang penting, langkah selanjutnya yang disiapkan oleh Tim Jalan Hijau Indonesia adalah konsep lembaga yang secara proaktif dan kredibel untuk menjalankan pemeringkatan. Disadari bahwa kontribusi skema sebagai mekanisme penghargaan EDISI III TAHUN 2015

13

(reward) bagi para pelaku konstruksi jalan sangat besar. Diharapkan skema pemeringkatan digunakan untuk menjadi bagian dari evaluasi kinerja para pelaku proyek pada satuan kerja pelaksana, serta kontraktor dalam membangun jalan dengan pertimbangan tiga matra (ekologi, ekonomi, dan sosial). Selain itu, perencanaan teknis jalan sejak awal telah mengindahkan kaidah-kaidah keberlanjutan. Masa Depan Jalan Hijau Indonesia Jalan Hijau Indonesia memiliki masa depan yang panjang. Ukuran secara kuantitatif kontribusi bidang ke-PUPR-an dalam pembangunan berkelanjutan mulai berkembang dan mekanisme bagi publik untuk mengetahui peran dan kontribusi bidang jalan yang sangat diharapkan. Sejumlah negara memiliki skema pemeringkatan untuk infrastruktur yang berkelanjutan dan telah memiliki sejarah panjang. Salah satu sistem yang menginspirasi adalah LEED (Leadership in Energy and Environmental Design) yang turut menumbuhkan keberadaan skema yang digerakkan oleh inisiatif masyarakat umum, akademisi, perusahaan jasa konstruksi, organisasi nonprofit, maupun pemerintah (http://www.usgbc.org, akses terakhir: 21 November 2015). No 1 2 3

4

Nama Paket Pekerjaan dan Tahun Rampung Pembangunan Underpass Dewaruci, 2013 Pembangunan Jalan Kelok Sembilan, 2013

Dampak tidak langsung yang turut diharapkan para pemangku kepentingan adalah skema yang mampu memberikan jalan untuk munculnya proses bisnis hijau dengan inti pendekatan, seperti: daur hidup produk (product life cycle), cradle to cradle process, serta sustainable supply chain. Dalam hal ini, produksi material dan energi dilihat dari seluruh umur pelayanan infrastruktur maupun peluang untuk memanfaatkan volume “sampah” materi dan energi yang dihasilkan. Bahkan, skema ini akan mendorong munculnya inovasi dalam delivery system pembangunan jalan

Peringkat Bintang 4 (Empat) 4 (Empat)

Pembangunan Jalan Tol Bali Mandara, 2013

4 (Empat)

Pembangunan Fly Over

3 (Tiga)

Bukittinggi, 2013

14

Melalui skema jalan hijau, Indonesia siap menyambut era Sustainable Development Goals dengan sasaran untuk mengembangkan infrastruktur yang berkualitas, andal, berkelanjutan, dan berdaya tahan untuk mendukung pembangunan ekonomi. Skema yang telah ada ini memberikan inspirasi atas dukungan yang diperlukan dan ranah peran yang dapat diwujudkan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), infrastruktur transportasi telah mengawali dengan memperhatikan dukungan atas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim guna mewujudkan ketahanan infrastruktur.


melalui integrasi antara desain dan konstruksi untuk menjamin implementasi rancangan pekerjaan dalam aplikasinya. Skema juga akan mendorong para pelaku konstruksi untuk mengambil peluang atas daya tawar inovasi teknologi yang ramah lingkungan melalui pelabelan dan sertifikasi. Kondisi ini dapat dipandang positif pada sisi sustainable procurement dengan munculnya material dan proses konstruksi yang lebih ramah lingkungan untuk menjadi lebih kompetitif, selain memberikan arena bagi para pemasok teknologi inovatif untuk muncul. Sebagai skema yang relatif baru sistem pemeringkatan Jalan Hijau Indonesia masih membutuhkan upaya sosialisasi dan pendampingan, sehingga semakin diterima oleh khalayak, terutama pelaksana pembangunan jalan di pusat dan daerah. Dengan program pembangunan jalan yang menerapkan prinsip konstruksi berkelanjutan yang terintegrasi dari proses pemrograman, perencanaan teknis, dan pelaksanaan, akan semakin memudahkan adopsi atas kriteria-kriteria penilaian dan bahkan menjadikan kriteria teknis jalan. * Peneliti Bidang Teknik Transportasi Jalan

Penerima Penghargaan Satker Metropolitan Denpasar dan PPK pembangunan Jalan Underpass Dewa Ruci

Instansi Balai Pelaksana Jalan Nasional VIII

Satker Pembangunan Jalan Nasional Wilayah I

Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional II

Direktur Utama PT. Jasamarga Bali Tol

PT. Jasa Marga Bali Tol

Satker Pembangunan Jalan Nasional Wilayah I, dan PPK 11

Balai Besar Pelaksana Jalan Nasional II

PATEN TEKNOLOGI PUPR MENUNGGU DILAMAR ???

Masalah selalu menghampiri kita di lumbung yang penuh inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) … MENGAPA …..??? R. Pamekas*

“Hanya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sajalah yang dapat memecahkan masalah masalah kelaparan dan kemiskinan, insanitasi dan buta aksara, takhayul dan hilangnya adat istiadat, habisnya sumber daya atau sebuah negeri kaya yang didiami penduduk miskin. Siapakah sesungguhnya yang sanggup mengabaikan IPTEK sekarang ini? Pada setiap kesempatan kita pasti membutuhkan bantuannya……Masa depan ditentukan oleh IPTEK dan orang-orang yang bersahabat dengannya…” Mantan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru

PERAN IPTEK

P

ernyataan Nehru mengingatkan bahwa IPTEK harus menjadi sahabat untuk memecahkan semua masalah yang timbul. Namun, faktanya masih banyak kasus yang diselesaikan tanpa IPTEK atau dengan IPTEK tetapi tidak cocok apalagi bukan oleh ahlinya. Akibatnya, penyelesaian satu masalah menimbulkan masalah baru sehingga masalah bukannya berkurang melainkan bertambah. Fakta tersebut merupakan cerminan bahwa persahabatan kita dengan IPTEK belum berkualitas. PENGGUNA IPTEK DAN PATEN Pengguna IPTEK sangat beragam sesuai masalah yang dihadapinya. Adanya masalah mencerminkan adanya kebutuhan. Pejabat pemerintah menggunakan IPTEK untuk mempercepat pelaksanaan tugas dan fungsinya. Lembaga pemerintah menggunakan IPTEK untuk memecahkan masalah-masalah publik seperti banjir, kekeringan, pencemaran, aksesibilitas, bangunan hunian.

Konsultan, kontraktor, pengembang dan pemasok (suplier) menggunakan IPTEK untuk meningkatkan keuntungan usaha. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada penemu atas hasil penemuannya di bidang IPTEK. Paten merupakan salah satu cara mentransfer temuan IPTEK menjadi semacam remunerasi yang diberikan oleh para pengguna IPTEK. Oleh karena itu, paten itu adalah kekayaan (asset) pemiliknya karena dapat memberi nilai tambah. Tetapi pemegang paten harus mengeluarkan biaya pemeliharaan paten dan hal ini menjadi beban (liability) bagi pemilik paten. Mengelola IPTEK dan paten itu tidak mudah karena pembina maupun pemiliknya harus berjiwa enterpreneur dan harus mampu membedakan antara kekayaan (asset) dengan beban (liability) serta mampu mengelola harta kekayaan tersebut. Diperlukan kompetensi yang memadai untuk memastikan bahwa paten benar benar laku jual. Kemasan (packaging) harus menarik dan pelayanan purna jual (after sales services) kepada pelanggan harus prima.

Selama 2 (dua) tahun terakhir, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah memperkenalkan lebih dari 35 produk IPTEK terbaru dan sebagian telah mendapat sertifikat paten. Pada waktu yang sama, tentunya lembaga penelitian seperti di perguruan tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Pertanian dan kementerian lainnya juga telah menghasilkan sejumlah IPTEK maupun Paten. Pertanyaannya adalah sudah optimalkah pemanfaatannya? Hasil penilaian indeks daya saing global (global competitivenes indeks), khususnya terkait dengan inovasi menyimpulkan bahwa kapasitas inovasi dan pengadaan produk teknologi oleh pemerintah cenderung meningkat. Ironisnya, penggunaan paten cenderung menurun. Fakta ini mencerminkan pemanfaatan IPTEK publik cukup optimal, tetapi pemanfaatan paten oleh pengusaha belum optimal. Sejujurnya, dengan hanya membaca judul IPTEK yang telah dipatenkan, pembaca mungkin EDISI III TAHUN 2015

15

tidak dapat secara langsung memahami apa kemanfaatnya dan apa saja keunggulan serta apa saja unsur unsur kelemahan atau keterbatasannya. Sebagai contoh nama paten “DAM Aerator” untuk perbaikan kualitas air permukaan pada sungai dan saluran irigasi. Paten ini dapat dipakai untuk memperbaiki kualitas air yang mengalir di saluran irigasi. Paten lain misalnya: “Metode pencegahan pencemaran air tanah akibat sumur resapan air hujan dan produknya”. Paten ini menjelaskan cara bagaimana mencegah percemaran air tanah yang berasal dari sumur resapan air hujan yang sudah tercemar. Nama paten yang singkat dan tidak berisi objek kalimat seperti “Box Tersier Ferosemen Pra-Cetak”, “Panel Segmental ortotropik”, “MOFFUKAT” hanya dipahami oleh pemilik paten tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan tambahan terhadap produk Paten yang telah diluncurkan. Hal yang pasti yang diminati para pengguna IPTEK dan paten adalah bahwa IPTEK dan paten harus memenuhi kriteria “lebih baik, lebih mudah memakainya, lebih cepat hasilnya dan tentunya harganya lebih murah”. Mempertimbangkan kondisi tersebut, diperlukan tambahan informasi terhadap produk IPTEK yang belum atau tidak dipatenkan maupun produk yang sudah di patenkan. Informasi yang disajikan harus dapat menjawab apa manfaatnya atau solusi masalah apa yang dapat diselesaikan, apa keunggulan dan kekurangannya, dimana dapat memperoleh IPTEK dan paten yang ditawarkan dan perkiraan harganya. Informasi 16


IPTEK dan paten dikemas sedemikian rupa agar menarik minat untuk membaca dan mengetahui lebih banyak tentang produk tersebut. Bagan alir proses yang disertai foto, peta petunjuk alamat produsen IPTEK maupun paten adalah unsur yang tidak boleh dilupakan dalam menyiapkan informasi.

IPTEK menjadi paham tentang bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menempatkan dokumen IPTEK pada tempat yang mudah dijangkau oleh para calon penggunanya misalnya di perpustakaan, di media maya (website), di pusat-pusat informasi publik lainnya adalah beberapa cara untuk memudahkan para pengguna IPTEK yang diperlukan. IPTEK harus selalu dekat dengan para penggunanya.

MEMASARKAN IPTEK DAN PATEN IPTEK seharusnya selalu hadir untuk menyelesaikan masalahmasalah yang kita hadapi, tetapi kita harus memahami bagaimana cara menggunakannya secara benar dan pada situasi yang tepat. Prasyarat untuk memahami IPTEK adalah harus mengetahui keberadaannya dan mudah mendapatkannya serta belajar dan mencoba serta berlatih menggunakannya secara terus menerus. Ada beberapa cara untuk memenuhi prasyarat tersebut yaitu diseminasi dan sosialisasi serta transfer IPTEK. Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang paling efektif.

Alih pengetahuan dan teknologi (transfer of knowledge and technology) adalah proses awal untuk memahamkan pengguna IPTEK tentang bagaimana menggunakannya secara benar. Tahap ini disebut tahap memberi tambahan pengetahuan lebih banyak (Know More). Namun, mengetahui lebih banyak belum tentu dapat menjamin para pengguna IPTEK menjadi lebih terampil dan hasil penerapannya tepat sasaran. Ada faktor lain yang berpengaruh pada penerapan IPTEK yaitu dinamika perubahan di sekitar atau di luar IPTEK itu sendiri. Perubahan di sekitar IPTEK antara lain sosial demografi, ekonomi, kompetitor, politik, teknologi informasi, industri dan konsumen. Penduduk selalu bertambah setiap waktu, kondisi ekonomi juga

Diseminasi dan sosialisasi adalah cara untuk memberi tahu bahwa ada IPTEK terkini bagi para calon penggunanya. Oleh karena itu, tidak ada jaminan bahwa diseminasi dan sosialisasi mampu membuat pengguna 1.00

A : Kapasitas Inovasi B : Kualitas Lembaga Litbang C : Pengeluaran Litbang D : Kerjasama Litbang E : Pengadaan Produk Teknologi Tinggi Oleh Pemerintah F : Ketersediaan Peneliti dan Perekayasa G : Penggunaan Paten

0.90

C

0.80

A

0.70

F

D

B

0.60

E 0.50 0.40

+

G

+

+

+

0.30 0.5

1.5

2.5

3.5

4.5

Gambar-1 Profil Inovasi IPTEK NASIONAL (2008-2013)

Tabel-1 Produk Paten Balitbang PUPR (2012-2014) Bidang

Nama Paten

SDA-1.

Pintu air berbahan fiberglass dengan tonjolan pada bagian bawahnya untuk meredam aliran turbulensi

SDA-2.

Sprinkler dengan debit kecil yang adapat mengoptimalkan keseragman dan jarak pancaran

SDA-3.

Box Tersier Ferosemen Pra-Cetak

SDA-4 .

Sprinkle yang dapat memancarkan cairan secara merata

SDA-5.

Metode pengolahan limbah cair untuk mengendalikan zat-zat beracun dan berbahaya yang terkandung dalam limbah hasil dari laboratorium pengujian kualitas air

SDA-6.

Metode pencegahan pencemaran air tanah akibat sumur resapan air hujan dan produknya

SDA-7.

DAM Aerator untuk perbaikan kualitas air permukaan pada sungai dan saluran irigasi

SDA-8.

Metode dan Peralatan pengelolaan Air Irigasi untuk menghasilkan air baku yang bersih

SDA-9.

Kincir air yang disempurnakan

SDA-10.

Metode dan peralatan pembuatan akuifer buatan simpanan air hujan untuk penyediaan air baku

SDA-11.

Alat pembuat bunyi tanda peringatan dini banjir yang disempurnakan

SDA-12.

Metode dan peralatan untuk pencegahan terhadap erosi garis pantai

SDA-13.

Revetmen Pengaman Pantai dari Susunan Armor Blok Beton Berkait

SDA-14.

Metode penurunnan zat pencemar organik dengan Bioremediasi oleh bakteri indigeneous

SDA-15.

Bangunan pemecah gelombang ambang rendah dari karung geotekstil untuk pengendalian erosi pantai

SDA-16.

Metode perbaikan kualitas air baku tercemar limbah penduduk meng gunakan taman ekoteknologi (Ekotek Garden) Saringan tetes be rtingkat dan ber aerasi (EGA Sattira) untuk di manfaatkan kembali dan produk yang ter kait dengan invensi ini

Jatan-1.

Perangakat pengukur parameter elemen struktur kabel dan batang penggantung yang terbebani gaya tarik dengan metode Uji getar

Jatan-2.

Sistem pemantauan riwayat perilaku dinamis jembatan dan komunikasi data secara terpadu

Jatan-3.

Panel Segmental ortotropik

Jatan-4.

Bahan tambalan siap pakai dari campuran beraspal panas hampar dingin untuk pemeliharaan perkerasan jalan beraspal dan proses pembuatannya

Jatan-5.

Bahan tambalan siap pakai dari campuran beraspal dingin aspal emulsi untuk pemeliharaan jalan beraspal dan proses pembuatannya

Jatan-6.

Bahan tambalan untuk bahan tambalan siap pakai dari campuran ber aspal panashampar dingin dan dari campuran beraspal dingin aspal emulsi

Jatan-7.

Zeolit Modifikasi dan metoda pembuatan zeolit modifikasi sebagai zat tambah campuran beraspal hangat

Jatan-8.

MOFFUKAT

Kim-1.

Alat pembelah bambu (Paten Sederhana)

Kim-2.

Sistem struktur rangka beton pracetak dengan sambungan box baja

Kim-3.

Reaktor Hibrid Biofiltrasi Pengolahan Air Limbah

Kim-4.

Sistem struktur beton bertulang pracetak N Panel System

Kim-5.

Alat pembelah bambu

KPT-1.

Model Perhitungan cepat dan tepat sewa tarif Rusun

KPT-2.

Aplikasi/program komputer perhitungan tarif sewa Rusun - FAST® 325

KPT-3.

Aplikasi/program komputer perhitungan ekonomi finansial bambu laminasi.

KPT-4.

Aplikasi/program komputer pemetaan kerentanan fungsi jalan : ARVI-tool (Assesment of Road Vulnerability Index)

KPT-5. KPT-6.

berfluktuasi, ada kompetisi di antara para pengguna teknologi, industri konstruksi juga berubah setiap saat, iklim politik juga dinamis, teknologi informasi dan komunikasi juga berkembang cepat, kebutuhan atau tuntutan pengguna atau konsumer IPTEK juga semakin tinggi. Berlatih dan berlatih atau melakukan lebih banyak (Do More) dengan mencoba atau praktek lapangan adalah cara untuk menambah ketrampilan menggunakan IPTEK pada situasi yang selalu berubah. Jam terbang pengguna IPTEK sangat menentukan tepat atau tidaknya penggunaan IPTEK untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, pengguna IPTEK menjadi lebih trampil apabila jam terbangnya semakin tinggi. Peningkatan frekuensi latihan atau praktek penerapan IPTEK hanya dapat meningkat manakala ada motivasi yang datangnya dari dalam diri para penyedia maupun pengguna IPTEK. Motivasi didorong oleh adanya kemauan untuk melakukan praktek lebih banyak (Will Do More) atau ada kemauan berlatih lebih banyak lagi atau kemauan berlatih terus menerus. Unsur kemauan adalah unsur ketiga dari aspek kompetensi. Unsur ini mencerminkan sikap atau komitmen para pembina dan pengkasil IPTEK untuk mewujudkan produk IPTEK dan paten yang berkualitas dan laku jual. Pertanyannya adalah: Siapkah kita bersahabat dengan IPTEK? Siapkah kita berkomitmen untuk mengubah budaya menunggu dilamar menjadi rebutan untuk dilamar????? *Profesor Riset Balitbang PUPR

Aplikasi/program komputer kalkulator Indemniti :Aplikasi perhitungan kerugian Non Fisik dalam pengadaan tanah bagi pembangunan infrastruktur jalan Instrumen gender Impact Assesment (GIA) : Solusi mengukur tingkat responsive gender infrastruktur PU dan Permukiman


17

PERGESERAN PARADIGMA MASYARAKAT DAN KEBERLANJUTAN KONSEP NILAI PEMBAGIAN RUANG TRADISIONAL BALI Ni Made Dwi Sulistia Budhiari*

sumber foto: M. Harsya Pambudi

P

erubahan sistem administratif dalam pembagian wilayah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap konsep nilai pembagian ruang berdasarkan nilai tradisional Bali pada level makro (Luan-Teben’ (Hulu – Hilir), ‘Kaja-Kelod’ (Utara – Selatan) dan konsep nilai Tri Mandala) , hal ini disebabkan

karena terjadinya perubahan batas-batas wilayah. Pada masa sebelumnya, sistem administratif pembagian wilayah, mengenal sistem pembagian wilayah berdasarkan desa adat atau desa pakraman, yang kemudian pemerintah mengatur sistem pembagian wilayah berdasarkan sistem kecamatan, Rukun No

Pemanfaatan Ruang

P

Tahun 2003 (Ha)

Tahun 2010 (Ha)

P

Industri

0

32.09

2

Bandara

9.06

9.06

3

Lindung

87.17

46.06

4

Pariwisata

275.29

228.52

Perdagangan

222.38

226.03

Permukiman

89.76

156.53

Rawa

6.12

50.51

8

Sawah

12.12

0

9

Stegalan

46.94

0

6 7

DINAMIKA RISET - LITBANG

Sistem pembagian wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah berakibat pada kerancuan sistem pembagian ruang di level makro khususnya untuk wilayah Bali

1

5

18

Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) yang merupakan adaptasi dari Tonari Gumi System warisan pemerintah Jepang.

dan Jasa

a) Peta Pemanfaatan Ruang Desa Pakraman Kuta Tahun 2003 Dan Tahun 2010 ; b) Perbandingan Luas Pemanfaatan Ruang Ruang Desa Pakraman Kuta Tahun 2003 Dan Tahun 2010

yang telah memiliki sistem pembagian wilayah berdasarkan Desa Pakraman. Filosofi dari penerapan pembagian ruang di level makro ini memiliki tujuan untuk membagi wilayah sesuai dengan peruntukkannya sehingga keseimbangan dan keberlanjutan alam dapat terjaga. Akan tetapi dalam perkembangannya, terjadi ketidak sesuaian dalam tataran penerapannya, khususnya untuk luasan dan terjadinya keberagaman dalam peruntukkannya. Pemanfaatan ruang yang yang paling tinggi mengalami peningkatan adalah untuk permukiman dan perdagangan jasa. Jika dibandingkan dengan konsep nilai pembagian ruang pada level makro, zona tersebut seharusnya berada pada kawasan tengah. Namun karena perkembangan migrasi penduduk yang tinggi tentu saja memerlukan penambahan jumlah lahan dan berdampak pada perluasan zona untuk kawasan permukiman. Untuk pemanfaatan ruang yang memiliki jumlah terbanyak kedua adalah dimanfaatkan sebagai perdagangan/jasa, pemanfaatan ini muncul sebagai akibat dari berkembangnya sektor pariwisata

sehingga banyak bermunculan pusat-pusat perdagangan dan jasa, seperti artshop, hotel dan mall. Sebagian besar pusat perdagangan dan jasa ini mengambil kawasan yang berada di zona hilir. Dalam peruntukkannya zona hilir ini pada umunya adalah sebagai kawasan pembuangan. Perbedaan antara konsep nilai dengan penerapan di lapangan, khususnya untuk konsep nilai pembagian ruang pada level makro disebabkan karena terjadinya perubahan paradigma masyarakat Bali. Perubahan paradigma masyarakat berkaitan dengan pola hidup konsumtif , dan juga terjadinya perbedaan derajat pemahaman terhadap konsep nilai tradisional Bali yang dalam hal ini konsep nilai pembagian ruang dalam level makro. Pola hidup konsumtif berakibat pada maraknya terjadi penjualan aset pribadi berupa tanah/lahan pertanian kepada pihak investor tanpa memperhatikan peruntukkannya di kemudian hari. Seperti yang telah diketahui oleh masyarakat umum, tingginya penjualan lahan pribadi diakibatkan oleh perkembangan sektor pariwisata. Sedangkan untuk perbedaan derajat pemahaman

sumber foto: istimewa

Pemanfaatan 2 (dua) jenis kegiatan yaitu perdagangan dan permukiman

konsep nilai memiliki pengaruh terhadap eksistensi dari nilai tersebut. Perbedaan pemahaman konsep nilai pembagian ruang pada level makro ini memiliki dampak terhadap semakin berkurangnya luasan untuk zona yang bersifat sakral dan kekhususan peruntukkan pada zona lainnya, sehingga pada satu zona bisa terdapat berbagai fungsi peruntukkan. Konsep nilai pembagian ruang pada level makro merupakan konsep nilai yang sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang mulai dibahas dalam Brutland Commision (1972), yang kemudian dibahas kembali dalam United Nations Enviroment Programme di Rio De Janeiro (1992) yaitu menciptakan keberlanjutan dan keseimbangan alam. Konsep nilai kearifan lokal tersebut adalah landasan yang menjadi dasar dalam aktivitas pemanfaatan ruang demi keberlanjutan alam dan juga manusia yang hidup beraktivitas didalamnya. *Peneliti Pertama, Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar-Puslitbang Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat.


Peruntukkan lahan sebagai perdagangan di wilayah pantai EDISI III TAHUN 2015

19

DARI PRODUKSI MENUJU IMPLEMENTASI: SEBUAH TANTANGAN Handiyana*

K

inerja lembaga pemerintah harus dibuktikan dengan melihat sejauh mana pelaksanaan tugas dan fungsi lembaga negara dapat memberikan dampak (outcome) untuk masyarakat. Perubahan visi dan paradigma institusi yang berorientasi outcome juga terjadi di lingkungan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sejak tahun 2013, visi Balitbang PUPR tidak lagi hanya menjadi pemroduksi teknologi, namun lebih jauh lagi agar seluruh teknologi yang dihasilkan dapat diterapkan. Dalam renstra 2010-2014, visi Balitbang PUPR (saat itu masih bernama Balitbang Pekerjaan Umum) tertulis “Tersedianya IPTEK andal guna mendukung pembangunan infrastruktur pekerjaan umum berkelanjutan menuju Indonesia sejahtera 2025”. Dalam renstra tahun 2015-2019, Visi Balitbang PUPR menjadi “Tersedianya dan termanfaatkannya Teknologi IPTEK andal guna mendukung pembangunan infrastruktur PUPR berkelanjutan menuju Indonesia sejahtera 2025” Dengan perubahan visi dan paradigma di lingkungan Balitbang

20


menuntut seluruh komponen manajemen institusi dan peneliti sendiri untuk mengupayakan sepenuhnya implementasi dari hasil kegiatan penelitian dan pengembangan selama ini. Bagaimanakah Balitbang PUPR harus menyikapi perubahan ini dan apa yang harus disiapkan untuk mendukung terterapkannya teknologi? Bagaimana best practice yang ada terkait proses menuju implementasi ini?

Paradigma yang terjadi selama ini terkait dengan hasil penelitian dan pengembangan yaitu implementasi atau ‘laku’ tidaknya hasil dari kegiatan penelitian bukan merupakan tanggung jawab institusi penelitian dan pengembangan (litbang). Institusi litbang hanya sebatas mempunyai tugas untuk mengantarkan atau membuat teknologi tanpa dibebani apakah hasil litbang tersebut menghasilkan dampak melalui penerapan pada proyek-proyek fisik direktorat jenderal teknis maupun di lingkungan pemerintah daerah.

Menuju Era Penerapan Teknologi Litbang PUPR

Goverment

private Sector, VCs Funders

Small Businesses

Resources

Perubahan Paradigma

Large Businesses

High Growth Entrepreneurs Academia

Performers

Govt. Labs Basic Research

1

Applied Research

2

3

4

Tech Prototype and Systems Development Development

5

6

7

Lembah Kematian (Valey ofDeath) produk litbang

8

9

Tidak aneh jika banyak hasil litbang dapat dikatakan hanya berakhir di rak buku. Hasil tersebut dapat dikategorikan sebagai hasil yang terperosok dalam lembah kematian (Valley of Death).

Technology development process Basic Research

Applied Research

Search of available technology

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada institusi Balitbang PUPR. Fenomena lembah kematian juga banyak terjadi di institusi litbang di luar negeri. Seringkali teknologi yang dihasilkan oleh institusi litbang hanya sampai pada level 5 dalam skala Technology Readiness Level (TRL) sedangkan di sisi lain produsen yang mengaplikasikan teknologi tidak mau menyentuh tingkatan teknologi yang lebih rendah dari tingkat 7. Technology Readiness Level merupakan metode penentuan kesiapan (maturity) teknologi yang ditentukan melalui penilaian kesiapan teknologi yang menguji konsep program, kebutuhan dan kemampuan teknologi yang dikembangkan. Rentang Skala dalam TRL yaitu 1 hingga 9 dimana skala 9 merupakan skala teknologi yang paling siap (paling matur). Jurang tersebut terjadi karena seringkali karena litbang yang dilakukan tidak menjawab apa yang dibutuhkan di hilir, demikian pula sebaliknya kebutuhan di hilir tidak terinformasikan dengan baik ke aktor yang memproduksi teknologi di hulu. Apakah yang perlu dilakukan untuk dapat keluar dari jebakan ini? Hal yang dapat ditempuh tentunya kegiatan litbang dilaksanakan melalui skema kolaboratif dengan menyertakan para aktor di hilir (dapat disebut aplikator,

In Vitro Prototyping

In Vitro Prototyping

Search of industrial application

Technology transfer support process

Market need identification

Contacts Developent

New Technology awareness

Selection of new technology

Industrial Replication

Contractual support

Preparation for infusion

Infusion of new technology

Innovation Management

Innovation process Sumber : Baltic Organisation and Network Innovation Transfer Association

Gambar 2 Peran aktor atau agen penghubung

multiplikator, stakeholder atau apapun itu) khususnya dalam menentukan hasil litbang apa yang dibutuhkan. Untuk memfasilitasi kegiatan hal tersebut, ataupun yang menjembatani dua aktor tersebut, idealnya perlu semacam ‘agen’ yang berfungsi untuk menghubungkan dua agen ini. Baltic Organisation and Network Innovation Transfer Assosiation (BONITA) menjelaskan peran penghubung/agen yang menjembatani dua pihak disampaikan sebelumnya, yaitu produsen teknologi dan pemanfaat

teknologi. Peran agen sebagai proses dukungan alih teknologi diharap dapat memberikan informasi kebutuhan ‘pasar’, pemberian informasi terkait ketersediaan teknologi untuk mendukung pengembangan teknologi, pencarian terhadap potensi industri yang akan menerapkan teknologi. Hal lain yang perlu ditekankan untuk mencapai visi dari Balitbang PUPR yang baru adalah mekanisme dari pengalihan teknologi (technology transfer) tersebut ke aktor yang berada di


21

hilir. Untuk menggambarkan kesinambungan proses dari litbang hingga penerapan hasilnya, konseptual model untuk proses tersebut telah diperkenalkan oleh Addiction Technology Transfer Center Network (ATTCN). ATTCN merupakan organisasi yang digagas oleh kantor admintrasi pelayanan penyalahgunaan obat dan kesehatan mental di Amerika serikat. ATTCN mempunyai peran sebagai penghubung semua stakeholder yang terkait dengan penyalahgunaan obat dengan menyediakan. Model konseptual alih teknologi yang diperkenalkan oleh ATTCN terdiri dari 3 tahap utama yaitu penelitian dan pengembangan (development), diseminasi, dan penerapan (implementasi). Di antara pengembangan dan diseminasi terdapat proses penghubung yang disebut sebagai translasi (translation), dan di antara diseminasi dan implementasi terdapat proses penghubung yang disebut sebagai adopsi.

ATTCN mendefinisikan litbang sebagai pembentukan dan evaluasi awal dari sebuah inovasi. Inovasi yang dimaksud dapat berupa ide, metode, dan teknologi. Translasi merupakan proses untuk dapat menjelaskan esensi dan relevansi dari inovasi dan mengemasnya untuk kepentingan diseminasi. Secara fisik, bentuk translasi dapat diterjemahan sebagai pedoman, modul pelatihan, video, booklet, brosur dan lain sebagainya. Tanpa ditunjang translasi maka proses diseminasi tidak dapat dilaksanakan secara optimum atau bahkan tidak dapat terlaksana. Diseminasi merupakan ajang promosi dari sebuah inovasi atau teknologi. Tujuan utama diseminasi adalah memfasilitasi terjadinya proses adopsi dan implementasi. Dengan kata lain diseminasi merupakan ajang ‘jualan’ teknologi dengan target ‘penjualan’ tertentu dengan hasil akhirnya adalah implementasi teknologi. Adopsi yang diterjemahkan oleh ATTCN adalah merupakan proses pengambilan keputusan dari pengguna apakah akan

menggunakan teknologi atau inovasi yang ditawarkan. Dengan kata lain, proses adopsi merupakan proses promosi dari pembuat teknologi agar hasil dari kegiatan pengembangan dapat merubah proses bisnis yang selama ini dilakukan oleh konsumen. Proses adopsi merupakan semacam ajang pengujian yang dilakukan baik oleh konsumen maupun oleh produsen teknologi/inovasi bahwa teknologi yang ditawarkan mempunyai keunggulan yang lebih. Berhasil atau tidaknya proses adopsi ini merupakan kunci apakah teknologi tersebut dapat diimplementasikan atau tidak. Penerapan teknologi (implementasi) merupakan pembauran teknologi ke dalam sebuah proses bisnis rutin. Dengan kata lain, sebuah teknologi dapat diklaim telah terimplementasikan jika teknologi itu dapat menggeser atau dijadikan alternatif utama yang dipakai. Ilustrasi yang dapat digunakan mungkin teknologi e-mail yang berhasil menggeser atau dijadikan

Technology transfer

Development

Dissemination

Translation

Implementation

Adoption

Diffusion

Sumber : Addiction Technology Transfer Center Network

Gambar 3 Konseptual Model

22


teknologi utama untuk pengiriman dokumen menggantikan teknologi faksimili. Sehingga jika sebuah inovasi atau teknologi hanya dipakai dalam 1 atau 2 kali penggunaan, maka teknologi tersebut belum layak dikatakan sudah diterapkan, masih dikatakan proses adopsi. Lalu apa bedanya difusi dan alih teknologi? ATTCN memberikan gambaran bahwa alih teknologi merupakan sebuah proses multidimensional yang mempromosikan penggunakan dari inovasi. Alih teknologi dimulai bahkan pada tahap pengembangan dari teknologi, berlanjut pada proses diseminasi dan berakhir pada tahap awal penerapan. Proses alih teknologi ini membutuhkan sumber maupun stakeholder yang beragam, termasuk proses dari translasi maupun adopsi. Sumber maupun stakeholder beragam yang dimaksud di sini adalah bagaimana dapat mengupayakan partner, maupun kolega, contohnya institusi akademis, asosiasi atau bahkan calon konsumen untuk diikutsertakan dalam upaya mempercepat difusi teknologi. Difusi teknologi didefinisikan sebagai penyebarluasan teknologi/ inovasi baik secara terencana atau secara spontan. Menentukan Arah dan Tujuan Organisasi Dengan perubahan paradigma dan visi balitbang yang telah disepakati dan tertulis dalam renstra kementerian PUPR 2015-2019, peran dari Balitbang PUPR telah mengalami perluasan dengan tidak hanya berorientasi pada keluaran (output), namun juga kepada dampak yang dihasilkan (outcome).

Hal tersebut dapat tercapai jika output dapat dimanfaatkan atau diterapkan. Sudah selaiknya proses kolaboratif untuk kegiatan

Sudah saatnya Balitbang PUPR mulai membuat innovasi yang mengubah segudang karya tulis, laporan penelitian, temuan penelitan, pedoman, dan manual menjadi ‘bahan bangunan’ yang kompetitif untuk membuat jalan, jembatan, bendungan dan permukiman yang andal litbang mulai diterapkan, sehingga kegiatan litbang tidak lagi terjebak dalam lembah kematian. Hal tersebut tentunya dengan melibatkan para aktor di hilir (produsen, stakeholder) pada proses pengembangan teknologi yang letaknya di hulu, sehingga pada akhir pengembangan teknologi sudah jelas pasar dan penggunanya. Penghubung atau agen yang menghubungkan 2 aktor ini merupakan tokoh kunci yang memberikan ‘pelayanan’ agar 2 aktor ini dapat bekolaborasi. Namun, hal penting yang perlu diingat bahwa keberhasilan penerapan teknologi tidak hanya dibebankan pada agen/ penghubung. Peneliti/Perekayasa sebagai ujung tombak penghasil teknologi atau inovasi harus berorientasi bukan hanya produk saja, namun dampak.

proses linear yang bergerak dari satu proses ke proses berikutnya, namun berupa proses iteratif. Fitzgerald menyatakan bahwa bahkan dalam proses litbang, harus dipikirkan mengenai potensi pemanfaatan dan bagaimana usaha kita dalam menjual atau menerapkan hasil litbang dimasa datang. Fitzgerald bahkan berani menyatakan bahwa jika institusi litbang secara konstan memperbaharui faktor tersebut (potensi pemanfaatan, usaha penerapan) akan memberikan kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh dampak. Sudah saatnya Balitbang PUPR mulai membuat inovasi yang mengubah segudang karya tulis, laporan penelitian, temuan penelitan, pedoman, dan manual menjadi ‘bahan bangunan’ yang kompetitif untuk membuat jalan, jembatan, bendungan dan permukiman yang andal. Tentunya hal tersebut dapat tercapai dengan sinergitas dari seluruh komponen mulai dari komitmen pimpinan, manajemen, penyusun program, pembina sumber daya manusia, bidang yang melakukan penyebarluasan teknologi, hingga sampai kepada peneliti, perekayasa dan teknisi. Dan bahkan juga komitmen dari partner kerja, baik dari institusi litbang lainnya, insti akademis dan asosiasi profesional. Sehingga diharapkan hasil dari investasi dari pembayar pajak untuk litbang di Kementerian PUPR dapat dirasakan manfaatnya. Salam perubahan!!!! *Kasubbid Program, Puslitbang Jalan dan Jembatan

Fitzgerald (2015) menyimpulkan bahwa kegiatan litbang untuk menghasilkan teknologi bukan EDISI III TAHUN 2015

23

SURVEI KEKASARAN JALAN MENGGUNAKAN PONSEL PINTAR Dimas Sigit Dewandaru*

D

ata kekasaran jalan atau lebih dikenal dengan IRI (International Roughness Index) sering digunakan sebagai referensi nilai kondisi jalan dalam kegiatan perencanaan pemeliharaan dan pembangunan jalan. Namun untuk melakukan survei IRI, umumnya dibutuhkan perangkat yang kompleks, mahal dan memakan waktu yang lama. Sehingga survei IRI lebih sering digunakan untuk survei jalan nasional dan jalan provinsi. Untuk survei jalan kabupaten/kota yang dengan jumlah ruas yang banyak serta jumlah jarak yang panjang, dibutuhkan solusi survei IRI yang lebih sederhana dan mudah digunakan, salah satunya adalah memanfaatkan aplikasi teknologi informasi. Aplikasi yang dimaksud adalah Roadroid, yang merupakan aplikasi yang dikembangkan oleh perusahaan Swedia, dengan kemampuan untuk melakukan collecting data IRI menggunakan telepon seluler (ponsel) berbasis Android. Aplikasi ini telah dikaji dan dilakukan uji coba oleh Puslitbang Jalan dan Jembatan untuk menemukan metode sebenarnya dalam pengukuran IRI jalan. Didapatkan bahwa nilai IRI yang dihasilkan oleh aplikasi ini adalah nilai Calculative-IRI (cIRI) dan Extensive-IRI (eIRI) yang

24


Tampilan Aplikasi Roadroid Berbasiskan Android

nilainya mendekati 81% dari nilai IRI asli. Roadroid memanfaatkan teknologi accelometer yang tersedia pada umumnya di ponsel berbasiskan Android. Umumnya pengguna ponsel memanfaatkan teknologi ini untuk bermain game yang

membutuhkan gerakan ponsel (moving gesture), seperti pada game balap mobil. Namun di tangan Lars Forslof, teknologi ini dapat dijadikan metode baru dalam pengumpulan data IRI. Dengan memanfaatkan accelometer, Lars mencatat data dari perubahan posisi altitude, longitude, dan 2929 33dl 019AQ

Computer

3. Speed/Distance Measuring System

1. Internal Reference

2. Height Relative to Reference (Laser, infrared, or optical transducer)

Accelerometer: A

Teknologi Accelometer yang biasa dipergunakan dalam mobil survei kini dapat temui hampir di ponsel pintar dan dimanfaatkan pada aplikasi Roadroid.

latitude (x,y,z) menjadi nilai IRI dengan pendekatan cIRI dan eIRI. Roadroid terdiri dari 3 frameworks yang terpisah, yaitu aplikasi yang terinstalasi di ponsel Android yang digunakan untuk pengumpulan data, laman situs Web sebagai media visualisasi data survei, dan dokumentasi yang berwujud data file (misal .xls, .shp, .kml) untuk pengolahan data lebih lanjut. Tidak diperlukan kendaraan khusus saat melakukan survei, kendaraan dari tipe small, medium maupun double cabin dapat dimanfaatkan saat pengumpulan data.

penyesuaian pada pengaturan ponsel. Aplikasi ini dapat mencatat nilai IRI secara otomatis, mengambil foto jalan juga secara otomatis, serta mencatat tracking dan jarak perjalanan sesuai posisi di GPS. Surveyor cukup menekan tombol start di awal ruas dan tombol stop di akhir ruas. Data yang telah terkumpul dapat langsung diunggah ke server saat itu juga, sehingga ketika surveyor sampai di kantor mereka bisa langsung melihat data hasil survei melalui website.

Dengan kemudahan yang dimiliki aplikasi ini Pemerintah Penggunaan aplikasi ini sangatlah Kabupaten/Kota akan sangat mudah, hanya diperlukan beberapa terbantukan dalam mendata

sumber: Pusjatan

Survei IRI Jalan Kabupaten/Kota Menggunakan Aplikasi Roadroid

kondisi jalan di daerahnya. Data tersebut dapat dipergunakan dalam pemrograman dan perencanaan pembangunan maupun pemeliharaan jalan. Saat ini Puslitbang Jalan dan Jembatan bersama dengan Subdit Bimbingan Teknik Jalan Daerah, Ditjen Bina Marga, sedang melaksanakan survei data jalan menggunakan Roadroid di beberapa Kabupaten/ Kota di pulau Jawa, antara lain Sleman, Cilacap, Madiun, Bandung, Subang, Surakarta, Semarang, Lebak, Tegal, Ciamis, dan Tasikmalaya. Sebagai sebuah aplikasi yang cukup sederhana, pastilah memiliki keterbatasan terkait metode, fitur dan data hasil survei. Untuk itu, Pusat Penelitian Jalan dan Jembatan (Pusjatan) berencana untuk mengembangkan Roadroid versi Indonesia yang akan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan survei jalan di Indonesia ke depannya. *Staf Bidang Program dan Evaluasi, Puslitbang Jalan dan Jembatan.

1

Hasil Survei IRI dalam Peta dan Foto Menggunakan Aplikasi Roadroid

2

Hasil Index IRI Menggunakan Aplikasi Roadroid

1 sumber: Pusjatan 2


25

CARA PINTAR MENGOLAH AIR GAMBUT Pemanfaatan Air Gambut Sebagai Sumber Air Bersih Bagi Masyarakat di Permukiman Tradisional Desa Bahu Palawa, Kalimantan Tengah Made Widiadnyana Wardiha*

A

ir gambut merupakan salah satu sumber air permukaan dengan potensi yang besar di Kalimantan, salah satunya di Kalimantan Tengah. Desa Bahu Palawa merupakan salah satu permukiman

tradisional Suku Dayak Ngaju yang terletak di Kalimantan Tengah dan memiliki sumber air gambut dengan debit yang cukup besar dalam bentuk sungai yang diberi nama Sungai Tamba. Sungai Tamba bukan merupakan bat Ber as dengan

Peta Suku-suku Dayak

Murut

sumber air utama masyarakat karena masyarakat Desa Bahu Palawa menggunakan sumber air dari air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Biasanya, Sungai Tamba dimanfaatkan hanya untuk keperluan mandi pada saat musim

ka Kotamad ya Pal a n g

ya Ra

Sun gai K ahayan S ei

Jl. Perahu

Punan Iban Jl. Pelajar

Apu Kayan Klematan

Ka

ra

ya

DESA BAHU PALAWA

J l. A

Ngaju

dji Bah en

Ot Danrum

al a sP J l. L i n t a

Sei Tamba

26


ng

rau Ka

Air Gambut Sungai Tamba Sebelum dan Sesudah Diolah (Kiri-Kanan)

kering di mana volume air tanah yang bisa diperoleh semakin sedikit. Kesulitan penyediaan air bersih masyarakat biasanya dialami saat musim kemarau karena ketinggian air tanah menurun, sementara air sungai di sekitar permukiman terdiri dari air gambut yang berwarna serta air sungai yang keruh dan kecokelatan karena tercemar kegiatan penambangan. Selain itu, kedalaman air tanah yang mencapai 20 meter menyulitkan beberapa warga dengan ekonomi menengah untuk mengebor air tanah. Dalam hal ini, salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah mengolah air gambut untuk menjadi air bersih. Pengolahan air gambut menjadi air bersih dapat dilakukan dengan proses koagulasi dan flokulasi. Koagulasi yaitu penambahan bahan kimia (koagulan) disertai pengadukan cepat sehingga membentuk padatan halus, sedangkan flokulasi adalah pengadukan lambat untuk membentuk flok atau kumpulan padatan yang mengendap dengan cepat (Budiono, 2013). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Balai Pengembangan Teknologi

Perumahan Tradisional Denpasar, pengolahan air gambut dapat dilakukan dengan penambahan bahan kimia tawas (Al2(SO4)3) dan penambahan soda abu yang berguna untuk menetralkan pH dari air gambut. Proses penelitian dilakukan dengan percobaan di laboratorium. Proses penetralan pH dengan penambahan soda abu dilakukan pada tahap awal dan pada saat pH sudah mencapai rentang 6,5 – 9,0 dilakukan penambahan tawas dan diaduk cepat selama 1 menit. Proses dilanjutkan dengan pengadukan lambat selama 15 menit. Pada saat proses pengadukan lambat ini terbentuk gumpalan-gumpalan yang mengikat kandungan warna pada air gambut dan dapat diendapkan. Setelah diendapkan selama kira-kira 30 menit, gumpalan-gumpalan tersebut sudah mengendap dan menghasilkan air yang jernih. Perhitungan yang dilakukan dari hasil percobaan tersebut memperoleh hasil bahwa untuk mengolah 1 liter air gambut di Sungai Tamba memerlukan 120 miligram soda abu dan 140 miligram tawas. Hasil pengujian terhadap air hasil olahan gambut tersebut ternyata memenuhi kualitas air minum berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492/Menkes/Per/ IV/2010 dimana kandungan warna bisa diturunkan dari 120 Pt Co menjadi 0 Pt Co. Selain itu, pH air hasil olahan adalah 7 yang merupakan pH netral dan sudah memenuhi syarat sebagai air minum. Jika dianggap kebutuhan air 1 orang per hari adalah 60 liter, maka untuk mengolah 60 liter air gambut membutuhkan 7,2 gram

soda abu dan 8,4 gram tawas. Harga soda abu di pasaran sekitar Rp 30.000,00/kg dan harga tawas sekitar Rp 15.000,00/kg. Sehingga, untuk mengolah 60 liter air, total hanya mengeluarkan Rp 342,00. Hasil percobaan laboratorium yang dilakukan merupakan tahapan awal dalam mengolah air gambut untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber air bersih ataupun air minum bagi masyarakat. Dalam penerapannya di lapangan, dapat diterapkan teknologi sederhana dengan menggunakan tangki air sebagai unit pengolahan dan proses yang dilakukan adalah proses koagulasi, flokulasi, pengendapan, dan penyaringan. Proses ini memang membutuhkan waktu dan tenaga dan terlihat lebih sulit dibandingkan mengambil air tanah, namun bisa dijadikan alternatif bagi masyarakat pada saat jumlah air tanah yang bisa dimanfaatkan berkurang. Aspek biaya juga perlu diperhitungkan dengan melihat biaya pembuatan alat pengolahan sederhana serta biaya operasional dan pemeliharaan. *Peneliti Muda, Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional Denpasar, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman

sumber foto: Pusperkim

Air Gambut Sungai Tamba


27

METODA PEMERIKSAAN KERUSAKAN BANGUNAN PASCA GEMPA SECARA DETIL Johnny Rakhman*

S

ebelum lebih jauh melihat jenis-jenis kerusakan bangunan pasca gempa perlu dipahami istilah-istilah yang kaitannya dengan kondisi dari bangunan tersebut. Keandalan: adalah tingkat kesempurnaan kondisi bangunan dan perlengkapannya, yang menjamin keselamatan, fungsi dan kenyamanan suatu bangunan gedung dan lingkungannya selama masa pakai gedung tersebut. Keselamatan gedung: adalah kondisi yang menjamin terwujudnya kondisi aman dan tercegahnya kondisi yang dapat menimbulkan bahaya/bencana terhadap gedung dan seluruh isinya/penghuninya beserta perlengkapan dan lingkungannya. Kondisi berbahaya tersebut antara lain disebabkan oleh: a. Kegagalan struktur, yang dapat diikuti oleh runtuhnya sebagian atau seluruh gedung. b. Tidak tersedia/berfungsinya perlengkapan dan/atau sistem penyelamat di luar dan di dalam gedung untuk melancarkan upaya penyelamatan orang dan barang berharga, dalam keadaan darurat. c. Akibat bencana alam, seperti angin kencang, gempa bumi, tanah longsor, dan sebagainya. Struktur bangunan gedung: adalah bagian dari bangunan yang

28


sumber

tersusun dari komponen struktur yang dapat bekerja sama secara satu kesatuan, sehingga mampu berfungsi menjamin kekuatan, kekakuan, stabilitas, keselamatan, dan kenyamanan gedung terhadap segala macam beban (baik beban rencana maupun beban tak terduga), dan terhadap bahaya lain dari kondisi sekitarnya (misalnya: tanah longsor, intrusi air laut, banjir, getaran atau gempa). Struktural: adalah segala aspek yang berkenaan dengan perihal struktur bangunan gedung secara keseluruhan, yang menentukan kekuatan, kekakuan, kestabilan, dan keselamatan bangunan gedung. Komponen struktur: adalah bagian atau anggota dari struktur, yang terikat kuat satu sama lain serta bekerja sama secara satu kesatuan, membentuk dan berfungsi sebagai struktur bangunan, seperti : pondasi, kolom, balok, join kolom-balok, shear wall, slab, rangka atap, dsb. Kondisi andal: adalah kondisi dari bangunan atau bagian bangunan atau utilitas yang menunjukan kinerja yang prima atau berfungsi sesuai rencana atau sesuai persyaratan teknis dan keselamatan gedung. Kondisi kurang: andal adalah kondisi dari bangunan, bagian bangunan atau utilitas, yang mununjukan kinerja atau

penampilan kurang prima atau kurang berfungsi sesuai rencana atau kurang sesuai persyaratan teknis dan persyaratan keselamatan gedung, walaupun masih dapat digunakan. Untuk mengubah menjadi kondisi prima atau berfungsi dengan sempurna, masih diperlukan upaya perawatan, perkuatan, perbaikan, dan penyempurnaannya. Kondisi tidak andal: adalah kondisi bangunan, bagian bangunan, utilitas, yang menunjukan penampilan/kinerja tidak prima atau tidak berfungsi sesuai rencana atau tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan atau persyaratan keselamatan gedung. Untuk mengubah menjadi kondisi prima, diperlukan upaya penggantian secara partial atau lokal. Kondisi tidak berfungsi: adalah suatu keadaan dimana bagian/ komponen dan atau utilitas yang ditinjau tidak berfungsi sesuai dengan persyaratan teknis, atau tidak dapat digunakan/ dimanfaatkan lagi. Keselamatan gedung: adalah kondisi yang menjamin keselamatan dan tercegahnya bencana bagi suatu gedung beserta isinya (manusia, peralatan, dan barang), yang diakibatkan oleh kegagalan atau tidak berfungsinya aspek-aspek arsitektural, struktural, dan utilitas gedung.

PENENTUAN TINGKAT KERUSAKAN Sasaran pemeriksaan dari segi struktur adalah:

r foto: istimewa

Keamanan: adalah kondisi yang menjamin tercegahnya gedung dan isinya dari segala macam gangguan, baik orang maupun gangguan cuaca dan alam di sekitarnya. Kerusakan komponen bangunan: a. Kerusakan ringan struktur, adalah cacat/kerusakan/ kegagalan pada komponen struktur yang tidak akan mengurangi fungsi layan (kekuatan, kekakuan, dan daktilitas) struktur secara keseluruhan, struktur masih dalam keadaan prima atau kondisi andal. b. Kerusakan sedang struktur, adalah cacat/kerusakan/ kegagalan pada komponen struktur yang dapat mengurangi kekuatannya, tetapi kapasitas layan (kekuatan, kekakuan, dan daktilitas) struktur sebagian atau secara keseluruhan tetap dalam kondisi aman, tetapi di bawah kondisi prima, atau disebut kurang andal. c. Kerusakan berat struktur, adalah cacat/kerusakan/ kegagalan pada komponen struktur yang dapat mengurangi kekuatannya, sehingga kapasitas layan (kekuatan, kekakuan, dan daktilitas) struktur sebagian atau secara keseluruhan dalam kondisi tidak aman, atau disebut tidak andal.

sebagai tingkat A, B dan C dimana pada bangunan dengan tingkat C adalah dalam kondisi berbahaya sehingga dilarang masuk kedalam gedung dan dilakukan pengukuran yang teliti.

a. Sistem struktur (ikatan antara kolom dan balok) b. Bahan struktur (material yang digunakan) c. Keselamatan struktur (dihitung secara perencanaan 3. Penyelidikan untuk penentuan terhadap gempa) darurat suatu gedung harus d. Keruntuhan bangunan (pola dilakukan dari mulai tampak retak yang ada, pola runtuh luar (untuk bangunan umum, dari struktur) interior pun harus diselidiki) dengan memperhatikan Kerangka Standar Penentuan tiga hal sebagai tingkatan Tingkat Kerusakan untuk kerusakan sistem struktur Bangunan Beton Bertulang yaitu, kemiringan total, (Damage Degree Decision Standard for penurunan pondasi gedung Reinforced Concrete Building) dan hasil tertulis penyelidikan dari standar yang berlaku. Isi dari Standar Penentuan Tingkat Kerusakan untuk 4. Pada penentuan klasifikasi Bangunan Beton Bertulang adalah tingkat kerusakan harus untuk menentukan tingkat resiko dilakukan penyelidikan darurat, dimana dilakukan dengan mengenai penurunan memeriksa keamanan pada bangunan, kemiringan bangunan yang baru diguncang geometris bangunan, oleh gempa. Sedangkan Metoda kerusakan rangka struktur dan Penentuan Klasifikasi Tingkat kerusakan diklasifikasi dalam Kerusakan dimaksudkan untuk 5 kategori, yaitu Kerusakan menilai kebutuhan Perkuatan yang yang tidak mempengaruhi diperlukan. struktur, Kerusakan ringan, Kerusakan sedang, Kerusakan 1. Dua metoda penentuan ini berat dan Runtuh. Juga untuk dapat diaplikasikan pada perbaikan dan perkuatan atau struktur rangka beton diruntuhkan harus berdasarkan bertulang atau struktur pada pengalaman dan dinding beton bertulang, perkiraan intensitas gempa. bangunan struktur beton prategang, pracetak dan 5. Penyelidikan tingkat kerusakan dinding tembokan bertulang. pada rangka struktur untuk kebutuhan klasifikasi 2. Penentuan tingkat resiko penentuan kerusakan harus darurat di luar kerusakan dilakukan pada lantai dengan struktur dan termasuk kerusakan kolom terbanyak kemungkinan bahaya jatuhnya dan harus ditentukan atau tergulingnya elemen kemungkinan terguling dan bangunan harus di klasifikasi jatuhnya elemen struktur.


29

JENIS KERUSAKAN BANGUNAN Jenis struktur untuk bangunan Rumah Tinggal adalah:

Jenis struktur untuk Bangunan Umum adalah:

1. Rumah dengan konstruksi kayu tipe Panggung. 2. Rumah dengan konstruksi dinding setengah tembokan bata merah dan bilik bambu. 3. Rumah dengan konstruksi tembokan bata merah, tanpa perkuatan kolom dan balok kayu atau beton. 4. Rumah dengan konstruksi tembokan bata merah dengan perkuatan kolom dan balok kayu atau beton.

1. Gedung dengan konstruksi beton, dinding pengisi bata merah dan rangka atap kayu. 2. Gedung dengan konstruksi beton, dinding pengisi bata merah dan rangka atap baja. 3. Gedung dengan konstruksi dinding tembokan bata merah dan rangka atap kayu. Ternyata bila dilihat dari tingkat kerusakannya, masingmasing jenis struktur dan

1. 2. 3. 4.

konstruksi yang ada mengalami tingkat kerusakan yang tipikal sehingga dalam tulisan ini selain jenis dan tingkat kerusakan juga akan diberikan cara pemeriksaan secara praktis dan sederhana menurut penggolongan jenis strukturnya masing-masing, terutama untuk bangunan “engineer dan non engineer”, yang dapat dilihat berikut ini. Contoh-contoh jenis kerusakan yang terjadi pada bangunan rumah tinggal

Pondasi batu kali yang mengalami penurunan mengakibatkan dinding terpisah Dinding yang mengalami retak lentur Akibat pondasi batu kali tunggal hancur Plesteran dinding yang terkelupas

4

3

1

PENENTUAN NILAI DAN TINGKAT KEANDALAN STRUKTUR (NKS) Tingkat keandalan struktur ditentukan oleh besarnya nilai bobot ke-berfungsi-an struktur (NF) yang dihitung berdasarkan data aktual lapangan. Nilai Keandalan Struktur dihitung berdasarkan persamaan berikut ini:

n NKS = Σ (Kk, I) i=1

30


Penentuan nilai NKS (ξ) tingkat keandalan struktur dianggap : • Andal, bila 95% ≤ NKS ≤ 100 % • Kurang Andal, bila 85% ≤ NKS ≤ 95% • Kurang Andal, NKS ≤ 85%

2

= Nilai Keandalan Struktur Suatu Gedung = Jumlah Tingkat dari Gedung = Tingkat yang ditinjau, antara 1 sampai dengan n = Nilai keandalan komponen struktur di tingkat-i = Φr,i x Kk,o x Ri = Faktor reduksi keandalan komponen struktur akibat kegagalan struktur di tingkat-1=1 - (nk,r,i / nk,i ) = Nilai keandalan komponen struktur, pada kondisi awal (sebelum ada kerusakan) disuatu tingkat. = NFk/n = Dari tabel str-i = Faktor reduksi keandalan komponen struktur sesuai posisinya ditingkat-i, ditentukan seperti pada table 1.

Berikut ini adalah table analisa keandalan untuk jenis struktur kolom dan dinding geser : 1) Struktur Kolom Tingkat-i

1

Jumlah Kolom Tegak Nki

Jumlah Kolom Rusak Nkr

Faktor Reduk Rusak Φri

Faktor Reduk Posisi Ri

Nilai Keand Tingkat Kki

Nilai Keand Awal Kko

Kkl

2

3

4

5

6

7

Data Lap

Data Lap

1-(3)/(2)

**)

(4)x(5)

NFK/n

Kategori Nilai Keandalan (%) A

KA

TA

8

9

10

11

(6)x(7)

95-100

85-95

<85

3 2 1

Nilai Keandalan Struktur Komponen Struktur Vertikal (Kolom)

NKS = .../...=.......

2) Struktur Dinding Geser Tingkat-i

1

Jumlah Kolom Tegak Nki

Jumlah Kolom Rusak Nkr

Faktor Reduk Rusak Φri

Faktor Reduk Posisi Ri

Nilai Keand Tingkat Kki

Nilai Keand Awal Kko

Kkl

2

3

4

5

6

7

Data Lap

Data Lap

1-(3)/(2)

**)

(4)x(5)

NFK/n

Kategori Nilai Keandalan (%) A

KA

TA

8

9

10

11

(6)x(7)

95-100

85-95

<85

3 2 1

Nilai Keandalan Struktur Komponen Struktur Vertikal (Kolom)

NKS = .../...=.......

Nilai Bobot Fungsi Komponen Struktur (NF) Nilai bobot fungsi (NF) menyangkut keberfungsian komponen struktur seperti kolom, balok, joint, dan shear wall untuk jenis dan sistem struktur tertentu. Nilai bobot fungsi untuk setiap jenis komponen struktur pada masing-masing jenis sistem struktur yang digunakan telah ditentukan seperti tercantum lampiran 2. Faktor reduksi posisi tergantung jumlah tingkat bangunan dan cara perhitungannya adalah: a. Bila jumlah tingkat n ≤ 10, nilai Ri ditentukan sebagai berikut : Untuk i = n, Ri = 0.9 Untuk 2 ≤ i ≤ (n-1),Ri = 0.5 + [(i-1)/(n-1) x 0.5] Untuk i =1, Ri = 0.5

b.

Bila jumlah tingkat n ≥ 11, nilai Ri ditentukan sebagai berikut : Untuk (n-2) ≤ i ≤ n, Ri = 0.9 Untuk 5 ≤ i ≤ (n-3), Ri = 0.4 + [(i-4)/(n-5) x 0.6] Untuk 1 ≤ i ≤ 4, Ri = 0.4 *Peneliti Puslitbang Perkim EDISI III TAHUN 2015

31

DILEMA PENELITIAN MURNI DAN TERAPAN:

INSTANSI PENELITIAN PEMERINTAH MESTI BAGAIMANA?

PENELITIAN MURNI TERAPAN

Khidir M. Prawirosusanto*

B

agi sebagian orang, ada kecenderungan membedakan antara penelitian murni dan terapan. “Ah, itu hanya teori, bisanya cuma mengkritik, nggak kasih solusi,” kirakira seperti ini contoh komentar tentang penelitian murni. Ada asumsi di balik pembedaan ini: penelitian murni bicara pada wilayah teoritis saja dan mengabaikan adanya kebutuhan akan sodoran rekomendasi praktis tertentu. Sedangkan penelitan terapan dibayangkan mampu secara straight to the point masuk ke jantung masalah dan memberi solusi atas persoalan yang sedang diteliti, tanpa perlu repot-repot berteori dengan ketat. Apakah begitu? Oleh sejumlah ilmuwan sosial, cara melihat seperti itu justru dinilai kontraproduktif, terutama untuk yang sehari-hari berkecimpung di dunia penelitian, baik yang di kampus maupun yang bekerja di lembaga riset seperti badan penelitian dan pengembangan yang ada di setiap kementerian. Sebab, tanpa disadari pikiran ini mengakibatkan banyak orang sekedar mencari penelitian yang dinilai (benar-benar) dapat diaplikasikan, dipetik hasil dan temuannya. Padahal, kalau kita telusuri dengan lebih seksama, secara permukaan penelitian

32


yang tampak aplikatif itu sangat mungkin kurang dapat diandalkan (reliable) temuan-temuannya. Tulisan ini ingin mengajak kita merefleksikan bersama agar kita tidak serta-merta menepis penelitian tanpa label terapan, atau dalam konteks ini ialah penelitian berorientasi kritis atau akademik. Pembicaraan mengenai corak penelitian mana yang lebih penting dan mana yang lebih dapat diandalkan dan bermanfaat, sungguh tidak relevan. Namun, yang lebih strategis ialah mendiskusikan bagaimana menyadari bahwa dalam setiap kerja penelitian terdapat orientasi yang berbeda, yang biasanya melekat pada aktivitas penelitian tersebut dan ini dipengaruhi oleh di lembaga mana peneliti tersebut bernaung. Hal lain yang perlu ditekankan ialah bahwa perbedaan orientasi penelitian itu bukanlah hambatan kita dengan ragam

latar belakang orientasi penelitian yang berbeda. Karena itu, saya akan menawarkan gagasan dalam menyiasati perbedaan tersebut di akhir tulisan ini. Riset Ilmu Sosial-budaya dan Orientasinya Dalam bidang antropologi sosialbudaya yang saya geluti, penelitian bercorak etnografi yang semula bertugas mendeskripsikan secara mendalam realitas serta relasirelasi sosial dan kebudayaan suatu masyarakat di lokasi tertentu, kini telah berubah. Etnografi beralih menjadi kajian-kajian pelontar kritik tertentu: di mana deskripsinya menampilkan gambaran atas hubungan antara masyarakat tineliti dengan isu-isu yang lebih kompleks dan luas. Tineliti merupakan antonim dari kata peneliti, yaitu individu atau masyarakat yang diteliti oleh peneliti. Istilah ini dikenalkan oleh

Prof. Heddy Shri Ahimsa-Putra, seorang guru besar antropologi UGM. Kita tidak mungkin lagi melihat masyarakat tertentu tidak terjalin dengan ingar-bingar perekonomian dan perpolitikan di tingkat nasional sampai global. Juga, kita tidak lagi dapat mengabaikan dampak dari revolusi teknologi-informasi dan transportasi yang mengubah persepsi manusia atas konsep keruangan, kesadaran tentang kewarganegaraan, sampai ke persoalan penyaluran aspirasi politik dan hak asasinya. Itu tidak hanya berlaku di antropologi, melainkan pada disiplin ilmu sosial-humaniora lainnya: sosiologi, geografi manusia, psikologi, dan sebagainya. Lantas kita perlu bertanya: mengapa dan bagaimana kajian-kajian dalam ilmu sosial-humaniora merasa perlu mengetahui adanya gejala-gejala baru pada sejumlah elemen budaya dan sosial umat manusia? Apa artinya ini semua? Mereka percaya bahwa dengan melakukan penelitian murni mereka sanggup memberikan deskripsi yang lebih baik dalam melukiskan situasi sosial terkini. Terlebih, mereka mampu menangkap pola umum dari sejumlah variabel yang muncul dalam fenomena sosial-budaya yang mereka teliti. Penarikan berupa pola umum inilah yang mereka sebut sebagai teori. Barangkali tidak semua orang paham bahwa tugas pokok para ilmuwan sosial-budaya memang meneliti, menggambarkan, menjelaskan, dan menerangkan

suatu fenomena sosial-budaya. Tugas semacam inilah yang disebut “kritik”. Jadi kritik yang berasal dari bahasa Yunani itu bukan suatu celaan atau pencarian kelemahan atas suatu hal, melainkan penjelasan atas fenomena sosial-budaya melalui tata-cara dan cara berpikir tertentu. Siapa yang sebetulnya menafsirkan kajian-kajian itu menjadi kebijakan? Jawabnya pemerintah. Pemerintah yang mewujud dalam badan-badan atau lembagalembaga penelitian milik negara. Jadi, untuk menafsirkan dan mentransformasikannya menjadi rumusan-rumusan kebijakan adalah tugas instansi penelitian pemerintah. Itu job desc (tupoksi) yang saya kira sudah lain dari job desc ilmuwan sosial-budaya.

Tineliti merupakan antonim dari kata peneliti, yaitu individu aditelit oleh peneliti. Sebagai tambahan, kita juga perlu melihat ada dimensi lain dalam aktivitas penelitian, yakni: keberpihakan sebuah penelitian. Di manapun, setidaknya ada dua kutub bila kita hendak membedakan corak penelitian berdasar tujuannya. Pertama, Penelitian sebagai jalan memproduksi ilmu pengetahuan (science for science, and/or for education), seperti yang dikerjakan oleh para peteliti itu. Dan kedua, penelitian sebagai cara untuk mencari jalan keluar dari persoalan sehari-hari, sehingga ia dapat berguna bagi kemaslahatan masyarakat (science for society).

Kalau yang pertama merujuk pada bagaimana ilmu pengetahuan itu dikembangkan, diperkaya, maka yang kedua mengacu pada sejauh mana hasil-hasil (temuan) penelitian tersebut bermanfaat sebagai upaya memecahkan suatu persoalan yang konkret dalam masyarakat dan memberi solusi. Institusi Penelitan Berkiblat ke mana? Kalau sebelumnya bicara tentang individu atau penelitinya, bagaimana dengan institusi penelitian yang mewadahi sejumlah individu tersebut? Lembaga penelitian itu beragam. Selain kampus, terdapat banyak lembaga riset di luar lingkungan kampus, baik yang di bawah naungan pemerintah maupun nonpemerintah. Di bawah payung pemerintah contoh yang paling mudah ialah Balitbang di setiap kementerian dan juga negara memiliki Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sementara yang nonpemerintah lebih banyak lagi: ada di bawah naungan swasta (perusahaan-perusahaan—bisa bank dan perusahaan jasa kredit), partai politik tertentu, sampai institusi penelitian atas nama pribadi. Dari segi kepemilikan, ada lembaga penelitian milik pemerintah, multi pemerintah, kampus, dan swasta. Karenanya, sistem kerja penelitian yang berlaku pada ketiga jenis lembaga tersebut berlainan. Pun pada sumber dana, orientasi penelitian, sampai mengenai siapa yang mesti mengerjakan. Ini semua berimplikasi kepada metode penelitian, model analisis sampai hasilnya.


33

Kalau di lembaga penelitian pemerintah, unit kerjanya bergantung kepada besaran anggaran yang ada sekaligus harus mengacu kepada arah kebijakan pemerintah, yaitu rancangan kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan oleh setiap kementerian dan tertuang dalam Renstra, baik yang bersifat jangka panjang maupun jangka menengah, atau acuan-acuan rencana induk, seperti MP3EI dari Bappenas. Sementara, lembaga multi pemerintah misalnya seperti UNICEF, UNESCO, WHO, dan sebagainya yang bernaung di bawah PBB. Hanya paling membedakan adalah kampus mengemban tritugas: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Di kampus, pertama, penelitian dilakukan sebagai persyaratan kelulusan mahasiswa yang mengenyam pendidikan di situ. Kedua, kegiatan penelitian diwajibkan bila ini berkaitan dengan tugas para dosen—status dosen selain sebagai pengajar, ia wajib melakukan ‘pengembangan keilmuan’, dan ini hanya dapat dilakukan dengan kegiatan penelitian yang serius, ketat, dan kontinyu. Lain lagi dengan lembaga penelitian swasta (private) yang juga beragam wujudnya. Ada yang menginduk kepada industri atau perusahaan tertentu (institusi non-lembaga penelitian, seperti perusahaan rokok, garmen, elektronik, teknologi informasi dan komunikasi, dsb); ada yang memang berdiri sebagai lembaga penelitian (seperti AC Nielsen, LP3ES, CSIS, LSI, dsb, atau kadang disebut konsultan); serta ada pula yang berdiri sebagai LSM di mana salah satu 34


unit kerjanya ialah penelitian. Seperti pada lembaga penelitian milik pemerintah, kegiatan penelitian swasta dikerjakan dalam orientasi khusus: ditujukan untuk mendukung urusan perusahaan, misal salah satunya mengoptimalkan pemasaran suatu produk tertentu. Dengan begitu, tampak jelas bahwa suatu penelitian, dalam arti penelitian di lembaga tertentu, tidak pernah obyektif, lantaran tentu saja ia berpihak dan memperjuangkan kepentingan institusi yang menaunginya, untuk melakukan penelitian baik dalam model ‘murni’ ataupun terapan. Bagaimana dengan Balitbang Kementerian PUPR? Balitbang PUPR sebagai bagian dari institusi pewwmberi rekomendasi sejumlah kebijakan dalam bidang infrastruktur, misalnya, mau tidak mau harus sejalan dengan apa yang digariskan oleh induknya, yakni Kementerian PUPR. Lebih tinggi lagi: Pemerintah. Secara fungsional dan struktural, Balitbang tidak bisa melenceng dari fitrahnya. Ini berlaku juga pada badan atau pusat penelitian dan pengembangan di sejumlah kementerian lainnya. Kendati bekerja di bawah komando induknya, sejumlah penelitian yang dikerjakan oleh Balitbang PUPR sebetulnya tidak selalu dapat berdiri di dalam satu koridor satu disiplin ilmu. Melainkan perlu melihat, misalnya, infrastruktur dari berbagai aspek non-teknik. Namun, realitanya kerja penelitian di banyak Balitbang Kementerian masih terjebak pada cara pandang ekslusif atau monodisiplin. Mungkin persoalannya terletak

pada keterbatasan sumber daya yang bekerja di sana, atau tentang regulasi pada sistem penganggaran yang ditujukan untuk melakukan kerja penelitian. Sejumlah keterbatasan inilah yang kemudian, dalam opini saya, menghambat Balitbang merancang dan mengerjakan penelitian lintas-kementerian. Lebih-lebih lintas-disiplin ilmu. Justru dengan melakukan kolaborasi kerja penelitian antarbidang garap, mempermudah Balitbang dalam menempatkan penelitian yang dikerjakan sebagai langkah memberi rekomendasi kepada pemerintah dalam konteks hubungan antarsektor dan antarpemangku kepentingan. Ini artinya, Balitbang perlu mengembangkan penelitian kolaboratif. Sebagai contoh, Kementerian Pariwisata yang akan mengkaji soal strategi peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara dan domestik pada destinasi wisata di tanah air mestinya dijalankan bersama Kementerian PUPR dan Kemendikbud. Sebab, muncul aspek-aspek yang merujuk pada bidang kerja Kementerian PUPR seperti amenitas, infrastruktur transportasi, air bersih, listrik, dsb. Di situ pula, muncul aspekaspek sosial kemasyarakatan, kebudayaan, hingga warisan budaya sehingga mestinya digarap bersama dengan Puslitbangbud dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jauh lebih afdol bilamana Balitbang merancang penelitiannya dapat dikerjakan bersama dengan lembaga penelitian di lingkungan universitas. Ini sejalan dengan tren hari ini bahwa penelitian kolaboratif banyak diambil oleh ahli-ahli ilmu sosial-budaya untuk

mencapai kesimpulan yang lebih akurat serta mencakup lebih banyak aspek. Dan tentu saja, kita dapat memetik manfaat lebih besar dari skema penelitian kolaborasi. Kolaborasi Kerja Penelitian Mengingat fungsi Balitbang sebagai lembaga riset pemberi nasihat sejumlah kebijakan pemerintah, maka penelitian yang dikerjakan mau tidak mau bersifat terapan, aplikatif. Penelitian yang bisa segera dipetik hasilnya, diambil ‘khasiatnya’, dan dimanfaat untuk merumuskan tindakan-tindakan atau program-program aksi. Atau digunakan untuk merumuskan dan menyempurnakan kebijakan pemerintah yang sudah ada atau yang tengah berjalan agar di kemudian hari kebijakan yang diambil lebih akurat dan sejumlah program turunannya dapat diimplementasikan lebih tepat. Yang kadang kerap menjadi masalah adalah penelitian aplikatif itu memiliki sejumlah kelemahan mendasar, apalagi yang ditujukan untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan. Mengapa? Sebab, umumnya hasil yang didapat dari suatu penelitian model ini kurang bisa diandalkan dalam kaca mata ilmiah. Namun, saya merasa hal ini terjadi karena kendala administratif, yang hanya mengizinkan Balitbang menyelenggarakan penelitian dalam waktu yang relatif sangat singkat. Implikasi dari keterbatasan administrasi itu juga menyebabkan rapuhnya kesimpulan penelitian, di mana ini berakar dari lemahnya metode riset, kualitas (bobot) dan kuantitas (keragaman) data

yang diperoleh, dan ketajaman analisis. Kelemahan lain yang umum terjadi: kita tidak lagi merasa perlu menilik riset-riset yang telah dikerjakan, baik yang pernah digarap Balitbang di sejumlah kementerian, lembaga riset kampus, maupun lembaga penelitian di luar lingkungan kampus.

perlu dibangun sistem kerja penelitian kolaboratif (lintas kementerian dan lembaga penelitian) yang didukung oleh sistem administrasi yang mengerti betul bagaimana seharusnya penelitian dikerjakan. Lantas bagaimana dengan Balitbang di Kementerian PUPR? Posisi seperti apa yang mesti diambil, apakah berjalan sendiri atau bergotong-royong? Di setiap pilihan yang diambil pasti ada konsekuensinya. Tetapi, yang paling pokok adalah soal resources. Pilihan bukan hanya terkait dengan seberapa banyak tenaga peneliti atau pakar yang dimiliki oleh Balitbang, melainkan tentang knowledge resources. Tentang kualitas penelitinya. Keterbatasan akan modal pengetahuan inilah yang perlu dipahami dan dicari solusinya bersama. Untuk mengatasi itu, perlu dibangun sistem kerja penelitian kolaboratif (lintas kementerian dan lembaga penelitian) yang didukung oleh sistem administrasi yang mengerti betul bagaimana seharusnya penelitian dikerjakan. Tanpa itu, kita tidak akan keluar dari lingkar pusar perut sendiri.

Jika sepakat dengan pandangan itu, selanjutnya perlu membangun sistem pembagian kerja penelitian yang jelas, yang memungkinkan diterjemahkan ke dalam beberapa skema. Ada beberapa pilihan yang dapat dipertimbangkan: pemberian hibah ‘penelitian murni’ oleh kementerian agar kampus mengerjakan topik-topik sesuai dengan bidang garap kementerian bersangkutan; hasil penelitian tersebut diinventaris, dibuat database, dan bisa diakses secara penuh oleh Balitbang semua kementerian; serta kementerian menyiapkan tenaga peneliti dan tenaga ahli yang kompeten untuk bekerja serius di belakang meja dan menarik model atau pola-pola dari hasil dan kesimpulan sejumlah ‘penelitian murni’ tersebut, serta menerjemahkanya ke dalam ranah yang lebih bersifat terapan/praktis. Hasil analisis dalam ‘penelitian terapan’ jauh akan lebih optimal bila dikerjakan sebagai kelanjutan dari-, atau berbasis pada analisis ‘penelitian murni’ yang juga digarap dengan baik. Di sinilah ‘penelitian murni’ atau riset akademik baru memungkinkan mendapat tempat untuk berkontribusi dalam perumusan arah kebijakan, strategi, sampai ke indikasi program-program yang sesuai dengan bidang garap Kementerian PUPR. Dengan demikian, baik kampus maupun instansi pemerintah bisa bersama-sama memetik manfaatnya dan saling menopang fungsi dan peran lembaganya satu sama lain. Semoga saja. *Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, UGM


35

perubahan sosial-budaya. Proses adaptasi terjadi di situ. Namun, terjadi pula kegagapan dalam proses adaptasi itu.

B


elum genap tiga tahun sejak penelitian di kampung-pulau sebelah barat Pulau Batam, Kepulauan Riau, masih melekat betul di benak saya bagaimana mengalami hidup bersama komunitas pengembara laut. Mereka menyebut dirinya sebagai Orang Laut atau sebagian orang menamainya Orang Suku Laut. Dari kampus, saya berangkat dengan sebuah kerangka berpikir untuk melukiskan seperti apa perubahan sosial dan kultural mereka. Utamanya, bagaimana kondisi mereka setelah dimukimkan pemerintah di penghujung tahun 1980an— oleh Departemen Sosial kala itu. Hadirnya kampung atau permukiman di satu lokasi tertentu mengubah jalan hidup mereka. Mengubah ‘kebudayaan’ mereka.

baca menunjukkan kultur dan natur mereka ini adalah laut.

Dalam penelitian itu, saya mempersoalkan mengapa mereka mau menerima himbauan pemerintah untuk bermukim di pulau itu, membuat kampung, dan berlaku sebagaimana ‘orang darat’ pada umumnya. Padahal, hampir semua studi etnografi yang saya

Singkat ceritera, perubahan dalam komunitas ini, harus saya akui, secara umum dipantik oleh persentuhan mereka dengan infrastruktur sekaligus pemaknaan mereka atasnya. Infrastruktur sebagai sesuatu yang konkret merupakan garis-depan dari suatu

36


Dulu, dengan sampan keluarga inti mereka beserta rombongan dari beberapa keluarga inti yang lain berkelana di lautan, mencari ikan bersama. Sebentar saja mereka berlabuh dan berteduh, hanya bila cuaca sangat mengancam keselamatan mereka. Bila kayu sampan mereka mulai rapuh dan bocor. Atau, bila hendak memakamkan jenazah salah seorang anggota pengembara yang meninggal dunia. Karenanya, dalam hidup mereka daratan atau tanah tidak terlalu penting bagi mereka. Bahkan, mereka melihatnya sebagai “wilayah yang kotor” sehingga bisa mengakibatkan malapetaka, misal wabah penyakit.

Kurang lebih sepuluh tahun terakhir, sejumlah ilmuwan sosial-budaya di Amerika Utara dan Eropa, utamanya yang berlatarbelakang antropologi, mulai memperhatikan isuisu infrastruktur dalam penelitiannya. Mereka mencoba mencari hubungan manusia dan infrastruktur. sumber foto: istimewa

MASYARAKAT DAN INFRASTRUKTUR Khidir M. Prawirosusanto

Dari ilustrasi pendek di atas, di sini saya ingin berbagi sedikit pengalaman dari sejumlah pengamatan atas beberapa isu sosial-budaya di beberapa tempat, yang terkait langsung dengan bidang kerja Kementerian PUPR, khususnya infrastruktur. Dari amatan ini, banyak soal seputar infrastruktur bermunculan di sejumlah tempat. Hanya, pada satu tempat agaknya dapat mereka atasi secara mandiri-kolektif. Namun, bertolak belakang dari itu, di tempat lain ada yang sama sekali tidak bisa diatasi tanpa uluran tangan negara. ***

Brian Larkin, ahli antropologi asal Columbia University, New York, punya gagasan dalam melihat keberadaan (eksistensi) infrastruktur di sekitar kita. Selama ini, menurutnya, kita masih

terjebak pada aspek fungsi-fungsi teknisnya belaka. Serta, bagaimana ketersediaan infrastruktur dapat berguna secara optimal bagi kemaslahatan masyarakat banyak. Tanpa mencoba melihatnya sebagai bagian dari suatu sistem sosial dan kebudayaan tertentu, yang di dalamnya melibatkan gerak kehidupan manusia itu sendiri. Maka itu, antropologi bersama beberapa disiplin dalam ilmu sosial lain, mesti melihat infrastruktur setidaknya dari dua aspek: fisik (perwujudannya, form) sekaligus maknawi (meaning). Hanya dengan melihat pada dua aspek inilah kita mampu mengungkap dimensi politik, ekonomi, sejarah, bahkan psikologis yang ada di balik infrastruktur. Tujuannya sederhana: agar infrastruktur yang diciptakan itu kemudian lebih manusiawi.

antropologi bersama beberapa disiplin dalam ilmu sosial lain, mesti melihat infrastruktur setidaknya dari dua aspek: fisik (perwujudannya, form) sekaligus maknawi (meaning) Peralihan pemikiran tentang infrastruktur dalam ilmu sosialbudaya tersebut membawa kepekaan tertentu kala kita melakukan penelitian di lapangan. Sebagai misal, para ahli ilmu sosialbudaya (yang sampai kini masih belum bermunculan di Indonesia) mulai memperhatikan pipa air, sistem irigasi, gorong-gorong, jebatan, jalan raya, rel kereta api, bandar udara, permukiman, jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, dan sebagainya. Hal-hal bersifat infrastruktural

inilah yang mereka coba urai, analisis, dan sajikan dalam etnografi mereka. Saya mencoba mengajak kita untuk merefleksikan dari sejumlah penelitian yang pernah saya kerjakan untuk membuktikan bahwa apa yang saya amati di lapangan banyak berhubungan langsung dengan persoalan infrastruktur. Tahun lalu, ketika saya pergi ke Ketapang, Kalimantan Barat saya melihat bahwa dalam proyek pertanian skala luas (food estate) yang dicanangkan oleh Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN, gagal, karena selain masalah kualitas lahan yang tidak mumpuni untuk ditanami oleh bibit tanaman pangan dan persoalan penyediaan sistem irigasi, juga muncul masalah sosial yang cukup pelik. Penduduk desa di sekitar kawasan food estate itu melihat bahwa infrastruktur pertanian skala luas adalah ancaman bagi keberlangsungan mata pencaharian mereka, yang juga adalah petani padi jenis lokal. Lebih dari itu, ancaman juga atas lahan yang mereka miliki meskipun telah disewakan kepada perusahaan pengelola kebun pangan. Sampai kini, food estate yang digadang-gadang pemerintah bisa mengatasi kestabilan stok beras nasional justru tidak pernah terwujud, dan ini meneguhkan pendapat masyarakat desa: mengapa pemerintah justru tidak memanfaatkan pertanian skala kecil yang dikerjakan oleh mereka sendiri untuk mendorong tercapainya surplus beras nasional? Kemudian, dalam satu studi pariwisata untuk merumuskan strategi peningkatan pengunjung

di Candi Borobudur, Magelang misalnya, saya melihat bahwa dari segi infrastruktur fisik sebetulnya telah memadai: dari mulai akses jalan, amenitas, sampai akses informasi. Ini amat cukup mendukung tujuan pemerintah meningkatkan jumlah turis yang akan melancong ke sana. Akan tetapi, selain masalah strategi promosi, persoalannya juga terletak pada kesiapan komunitas di sekitar Candi Borobudur itu sendiri. Di sini, komunitas itu dapat dilihat sebagai ‘human infrastructure, yang menjadi bagian dari sistem infrastruktur fisik industri pariwisata itu sendiri. Masalahnya, bagaimana masyarakat sekitar Candi Borobudur dapat mengoptimalkan infrastruktur fisik yang ada supaya mendukung industri pariwisata yang dikembangkan di sana. Tanpa mereka, physical toursim infrastructure tidak akan ada artinya sama sekali, dan tidak bisa berfungsi maksimal. Bahkan, malah terancam rusak dan menjadi sia-sia. Contoh lainnya berkaitan dengan deskripsi singkat Orang Laut di atas. Yang saya amati di sana, misalnya, adalah persepsi mereka tentang darat dan laut. Sekalipun mereka telah ‘menyatakan diri’ sebagai ‘orang darat’ dan bersedia dimukimkan, apa yang ada dalam sistem sosial dan kultural (pemaknaan) mereka soal darat dan laut tampaknya tidak bisa hilang begitu saja. Oleh pemerintah, mereka dibuatkan permukiman di daratan, dengan rumah berbatubata. Namun, semua itu mereka tinggalkan begitu saja. Sama sekali tidak ada artinya buat mereka. Yang terjadi ialah kemudian mereka membangun permukiman EDISI III TAHUN 2015

37

berupa rumah-rumah apung dari kayu di muka pantai. Bagi mereka, rumah seperti inilah yang dapat mengkompromikan dua kehendak (pemerintah dan masyarakat) dan paling masuk akal-pikiran mereka.

ia baru merasa menjadi warga negara setelah bisa menyaksikan sang presiden Zanzibar dari kaca televisi. Listrik dengan demikian mengubah persepsi masyarakat atas banyak hal.

Oleh pemerintah, mereka dibuatkan permukiman di daratan, dengan rumah berbatubata. Namun, semua itu mereka tinggalkan begitu saja. Sama sekali tidak ada artinya buat mereka. Yang terjadi ialah kemudian mereka membangun permukiman berupa rumah-rumah apung dari kayu di muka pantai. Bagi mereka, rumah seperti inilah yang dapat mengkompromikan dua kehendak (pemerintah dan masyarakat) dan paling masuk akal-pikiran mereka.

Di lain penelitian, satu kali saya mengunjungi kota Sei, kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Di sana, saya menyaksikan bagaimana di bidang kesehatan masalah infrastruktur mengemuka begitu kuat dan dibicarakan sehari-hari oleh masyarakat. Waktu itu, sedang ada penelitian tentang hubungan ibu yang akan melahirkan dengan ‘rumah tunggu’, fasilitas yang disediakan pemerintah yang dibangun dekat puskesmas bagi warga yang rumahnya jauh dari puskesmas. Namun, fasilitas rumah tunggu ini tidak berfungsi optimal, karena banyak ibu yang akan melahirkan justru melahirkan dalam perjalanan saat menuju ke rumah tunggu atau puskesmas. Baik di sepeda motor ataupun di atas bak mobil pick up sewaan. Ini semua akibat jalanan yang bergeronjal sangat parah—jika tidak hendak dikatakan rusak berat.

Di tengah komunitas Orang Laut itu pula, listrik menjadi masalah. Sebab, hampir 30 tahun mereka bermukim pemerintah tidak pernah memenuhi kebutuhan listrik mereka. Mereka terpaksa mengatasinya dengan membeli genset sendiri. Konsumsi bahan bakar pun menjadi keniscayaan. Masalahnya, secara ekonomi tidak semua dari mereka mampu menyediakan genset untuk keperluan keluarganya masingmasing. Untuk ini, mereka menyalurkan genset untuk sejumlah rumah. Dari sini, muncul kecemburuan sosial yang secara tidak mereka sadari mengancam kohesivitas sosial mereka. Ada penelian etnografi yang menarik yang pernah saya baca soal infrastruktur kelistrikan. Ini terjadi di Zanzibar, Afrika. Temuan seorang antropolog asal Amerika Utara itu menarik, karena dengan masuknya listrik ke kampung mereka, seorang pemuka desa mengatakan bahwa 38


sumber foto: Pusjatan

Karena banyak yang khawatir dengan keselamatan sang ibu maupun bayi yang dilahirkan, mereka menganggap dukun bayi yang terlatih sebaiknya diizinkan lagi oleh pemerintah agar secara

nyata dapat membantu proses kelahiran di setiap kampung. Pertimbangan keselamatan itu satu hal, dan yang lain adalah tidak murahnya ongkos menuju ke rumah tunggu yang jaraknya relatif jauh—dengan kondisi jalan seperti itu. Kasus-kasus di atas, saya kira menunjukkan bagaimana problem infrastruktur cukup dekat dengan masyarakat, dan masyarakat menyadari begitu pentingnya kehadiran infrastruktur yang mendukung kehidupan seharihari mereka. Kesadaran ini dapat kita baca dari bagaimana mereka menyikapinya. Tentu saja, sesuai dengan kapasitas mereka sebagai warga negara. Saya berpendirian bahwa tidak setiap masyarakat dapat dilihat memiliki ‘modal sosial’, yang dengan modal sosial ini mereka miliki kapasistas mengatasi persoalan-persoalan infrastruktur. Sebaliknya, saya kira untuk mengatasi persoalan infrastruktur, mau tidak mau kita harus melihat lewat dua sudut pandang atau titik pijak yang berbeda: (1) masalahmasalah infrastruktur yang dapat diatasi oleh ‘kemampuan masyarakat’ itu sendiri dan (2) persoalan-persoalan infrastruktur yang hanya bisa ditangani oleh Kementerian PUPR sebagai bagian dari pemerintah. Jika tidak menyadari pembedaan ini, apalagi memandang infrastruktur hanya dalam kacamata teknis (technical object), saya khawatir kita akan melupakan efek sosial yang muncul dari persoalan-persoalan itu. Juga, jangan sampai melupakan aspek manusiawi lebih penting daripada sekedar infrastruktur fisik modern. Semoga saja.

MANAJEMEN

STRATEGI TRANSFER TEKNOLOGI BAGI LEMBAGA LITBANG Heny Prasetyawati* dan Deden Rukmana**

Dari Kiri: Kepala Balitbang PUPR memberikan arahan dalam acara lokakarya FKK, Para Narasumber dan Moderator pada lokakarya FKK, Para peserta lokakarya FKK dalam diskusi tanya jawab

T

ransfer teknologi bisa disebut juga komersialisasi teknologi adalah proses memindahkan kemampuan, pengetahuan, teknologi, metode manufaktur, sample hasil manufaktur, dan fasilitas, antara pemerintah, universitas, dan institusi lainnya yang menjamin bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diakses oleh banyak pengguna. Hal ini penting demi pengembangan lebih lanjut dan penggunaannya menjadi produk, proses, aplikasi, material, dan produk jasa baru. Transfer teknologi sangat erat kaitannya dengan transfer pengetahuan. Proses dalam transfer teknologi perlu memperhatikan tingkat kesiapan teknologi (technology readiness level), sebagai kriteria kapan sebuah teknologi dapat digunakan secara luas. (Ref. Arwanto dan Prayitno.2013. Jakarta: BPPT). Komersialisasi teknologi yang dibahas adalah tentang kegiatan mengubah hasil riset menjadi

income untuk institusi dan peneliti. Hak Kekayaan Intelektual (HKI) harus bisa mengubah laboratorium menjadi bisnis. Hakikat dari HKI/ Paten dan Alih Teknologi antara lain: 1. Perlindungan HKI untuk melindungi invensi Balitbang Pertanian dari penyalahgunaan, terlepas itu akan didiseminasikan melalui jalur public domain atau komersialisasi. 2. Perlindungan HKI (PATEN dan PVT) menjamin adanya unsur kebaruan dari suatu penelitian. 3. Alih teknologi melibatkan dunia usaha dalam diseminasi inovasi. 4. Hal yang jadi perhatian dalam alih teknologi ini, kemampuan dunia usaha untuk menjangkau lebih banyak end user. (Ref. Eriza Jamal NS Balai Pengelola Alih Teknologi). Sedangkan pada kegiatan manajemen risiko harus dapat mengubah risiko menjadi manfaat. Program utamanya adalah penempatan

teknologi sebagai Aset Tak Berwujud (ATB) yang wajib dikelola secara profesional. Karena hasil penelitian dan pengembangan tergolong dalam kategori ATB, maka harus dikelola dengan baik agar keberadaannya dapat mempunyai nilai dan manfaat bagi kemajuan dunia penelitian. Selain itu, juga merupakan aset yang harus dapat dipertanggungjawabkan oleh penemunya untuk kemajuan penelitian berikutnya. Dalam mengubah riset menjadi bisnis membutuhkan usaha yang tidak sedikit. Banyak tantangan yang harus dihadapi, antara lain risiko kegagalan yang cukup tinggi, kebutuhan investasi yang besar, beratnya persaingan dalam product positioning, dan memerlukan waktu yang tidak sebentar. Oleh sebab itu, Innovation Readiness Level adalah jawaban dari tantangan tersebut dengan beberapa tahapan yang harus dijalani, antara lain ide, proposal riset, hasil riset antara, publikasi ilmiah, hasil riset skala labotarium, paten, contoh produk EDISI III TAHUN 2015

39

sesuai spek komersial, tenant/mitra yang siap memasarkan, captive market/pangsa pasar yang kuat dan tentunya lisensi. Hal ini disampaikan dalam paparan Nurul Taufiqu Rocman narasumber dari LIPI pada Forum Komunikasi Kelitbangan (FKK) yang digelar oleh Balitbang Kementerian PUPR 10 November 2015 yang lalu. Untuk mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah, diperlukan mediator atau intermediator atau inkubator yang mampu menjembatani kebutuhan lembaga litbang dengan kebutuhan pasar. Baik untuk diaplikasikan secara komersial, maupun tidak. Tidak semua hasil litbang memiliki nilai komersial, untuk itu perlu diidentifikasi materi penelitian yang memiliki potensi untuk dikomersialisasikan dengan strategi pendayagunaan untuk tujuan ilmiah, maupun komersial. Peran mentor dalam inkubasi bisnis, yaitu untuk memberikan dukungan dan bimbingan kepada tenant melalui advis/nasihat, motivasi, inspirasi dan berbagi pengalaman sangat dibutuhkan. Badan Litbang Kementerian PUPR sedang mempersiapkan road map untuk itu. Membangun Riset Terpadu FKK adalah media antar Badan Litbang Kementerian/Lembaga dalam rangka melakukan sinergi riset dan wahana tukar-menukar informasi terkait dengan riset yang telah dilakukan. Pada tahun 2012-2013 anggota FKK dari beberapa Kementerian/Lembaga telah bersama-sama melakukan riset tepadu di Kabupaten Sambas, tepatnya di Kecamatan Aruk dan Sajingan Besar. Balitbang PUPR sebagai komandan dari penelitian tersebut telah menerapkan teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan 40

DINAMIKA RISET - MANAJEMEN

masyarakat setempat. Hingga saat ini Balitbang PUPR masih berlanjut mereplikasikan penerapan teknologi di daerah sekitar lokasi penelitian. Untuk mewujudkan komitmen pimpinan agar FKK tidak sekadar menjadi forum pertemuan saja, tetapi yang lebih penting lagi dapat “mengubah wacana menjadi kenyataan”. Kepala Balitbang PUPR, Arie Setiadi Murwanto melayangkan pandangan untuk melakukan riset terpadu di NTB sebagai lokus utama, karena

FKK adalah media antar Badan Litbang Kementerian/ Lembaga dalam rangka melakukan sinergi riset dan wahana tukar-menukar informasi terkait dengan riset yang telah dilakukan. NTB mempunyai lahan kering, tetapi berpotensi untuk ditanami tebu sebagai bahan baku gula pasir. Teknologi irigasi hemat air cocok untuk situasi dan kondisi NTB berdasarkan hasil penelitian Perguruan Tinggi maupun Puslitbang SDA. Persoalannya adalah masyarakat lokal memiliki tingkat resistensi yang cukup tinggi. Selain itu, biaya investasi untuk mengembangkan sistem irigasi termasuk pembangunan pabrik tebu cukup besar. Oleh karena itu, diperlukan kerjasama antar lembaga litbang untuk mewujudkannya, seperti yang telah dilakukan secara bersamasama di Kabupaten Sambas. Strategi yang perlu dilakukan adalah Badan Litbang Kementerian Pertanian menerapkan komoditas tebu unggul, Litbang Kementerian Sosial dan Kementerian UKM terkait melakukan penerapan teknologi seperti koperasi untuk

meminjamkan modal usaha petani, Kementerian PUPR dan IPB terkait dengan penerapan teknologi irigasi hemat air. Intinya untuk memenuhi kebutuhan perangkat teknologi secara lengkap harus ada perangkat teknis, perangkat manusia, perangkat informasi (SOP) dan perangkat organisasi (kelembagaan). Ada 4 rumusan dari kegiatan FKK ini. Pertama, bahwasannya transfer teknologi merupakan proses penting dalam menjembatani lembaga litbang dengan masyarakat agar apa yang menjadi temuan teknologi hasil (lembaga) litbang Indonesia benar-benar dapat berguna serta bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu, para peneliti juga harus mempertimbangkan dari beberapa segi agar teknologi hasil litbangnya tepat guna serta tidak membutuhkan biaya yang besar. Kedua, lembaga litbang perlu mengenali dan menangkap kebutuhan masyarakat, sehingga hasil litbang tersebut dapat termanfaatkan dengan optimal. Ketiga, dalam melaksanakan transfer teknologi, perlu dilakukan dengan dukungan sistem, yaitu : • Sistem pengembangan teknologi: adanya peran aplikator (manufaktur/ industri), peran inventor, peran intermediator dan peran inkubator; • Sistem pembiayaan, dan • Sistem legal (KSB/MOU dan PKS/Perjanjian Kerja Sama) Pada akhirnya, FKK siap berkolaborasi dan bersinergi untuk penelitian dan pengembangan terpadu dalam upaya mewujudkan kebutuhan masyarakat secara nasional. *Kasubbag Umum dan Rumah Tangga, **Staf Bagian Standarisasi, Hukum dan Administrasi Kerjasama

PENGUKUHAN PEJABAT FUNGSIONAL PENELITI DAN PEREKAYASA Lady Ivone

S

ekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dalam hal ini mewakili Kepala Balitbang mengukuhkan 41 orang Pejabat Fungsional Peneliti dan Perekayasa di lingkungan Kementerian PUPR. Acara pengukuhan ini dilaksanakan di Aula Gedung lantai Pusat Litbang Sumber Daya Air, Bandung pada tanggal 12 November 2015

Dalam sambutannya Sekretaris Balitbang, Ir. Bernaldy, C.E.S mengatakan bahwa tugas dan tanggung jawab pejabat fungsional Peneliti dan Perekayasa tidak hanya berorientasi pada pemenuhan Angka Kredit, tetapi harus dapat memberikan karya-karya inovasi teknologi yang dapat diterapkan dan dimanfaatkan oleh para stakeholders kita. Hal ini akan terwujud jika terjadi interaksi yang efektif antara Peneliti dan Perekayasa dengan para stakeholders kita. “Oleh karena itu saya mohon agar para Peneliti dan Perekayasa dapat lebih berperan aktif untuk menjalin komunikasi dan kerjasama yang lebih intent dengan para stakeholders serta dapat mengoptimalkan pemanfaatan

sarana dan prasarana yang tersedia di Balitbang, seperti laboratorium, website, publikasi buku dan jurnal serta lebih mengefektifkan kegiatan-kegiatan advis teknik dan pendampingan agar transfer IPTEK infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat dapat berlangsung lebih efektif ”, terang Sekretaris Balitbang PUPR. Kepala Bagian Kepegawaian dan Ortala, Drs. Kuat Pudjianto, M.Si., mengatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pengukuhan dan pemberian penghargaan kepada para pejabat fungsional peneliti dan perekayasa terbaik 2015 ini adalah untuk memberikan motivasi kepada para pejabat fungsional Peneliti dan Perekayasa, agar senantiasa dapat meningkatkan kompetensi dan prestasi kerjanya. Jabatan Fungsional Peneliti Pertama 22 orang, Jabatan Fungsional Peneliti Muda 11 orang, Jabatan Fungsional Madya 1 orang dan Jabatan Fungsional Peneliti Utama 2 orang jadi keseluruhan menjadi 36 orang Jabatan Fungsional Peneliti yang dikukuhkan. Sedangkan untuk Jabatan Fungsional Perekayasa Pertama 2 orang, Jabatan Fungsional Perekayasa Madya 1 orang dan Perekayasa Utama 5 orang sehingga total untuk Jabatan Fungsional Perekayasa yang dikukuhkan adalah

5 orang. Acara ini dihadiri oleh Sekretaris Balitbang PUPR, Kepala Pusbindiklat BPPT, Pejabat Eselon III Pusbindiklat LIPI, Para Kepala Pusat Litbang, Para Kepala Bidang SDK, Kepala Bagian Kepegawaian dan Ortala Setbalitbang PUPR dan para undangan Jafung. Penilaian dilakukan oleh Tim Penilai yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kepala Balitbang Nomor: 22./KPTS/KL/2015 tentang Pembentukan Tim Penilai Pejabat Fungsional Peneliti dan Perekayasa terbaik yang anggotanya terdiri dari unsur instansi LIPI, unsur instansi BPPT dan para Jafung Peneliti dan Perekayasa senior di lingkungan balitbat. Proses penilaian dilakukan melalui dua tahap; Tahap Pertama penilaian administrasi dilakukan secara internal oleh Pusat-Pusat Litbang, dan Tahap Kedua penilaian substansi dilakukan oleh Tim Penilai. Kriteria yang digunakan dikelompokkan ke dalam 3 kategori (1) persyaratan administrasi; (2) kontribusi terhadap organisasi; dan (3) kontribusi terhadap bidang keilmuan. Masing-masing pemenang akan diberikan hadiah sebesar Rp 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah).


41

MEMPERKAYA VALUE PENELITIAN

PROFIL SINGKAT KEPALA PUSLITBANG SDA Nanda Ika Dewi Bermula di awal tahun 1980-an. Saat itu saya masih belum menyelesaikan studi S1. Untuk melengkapi kebutuhan data guna menyelesaikan tugas akhir, saya konsultasi dengan pakar di sini untuk menulis dengan tema bidang air. Saat itu Puslitbang SDA masih disebut sebagai DPMA (Dewan Penyelidikan Masalah Air) yang merupakan bagian dari Ditjen SDA. Oleh seorang kasubdit kala itu, saya diminta untuk ikut mengerjakan proyek di Danau Toba.

Apakah Puslitbang SDA sudah menjadi pilihan sejak pertama kali memutuskan terjun dalam dunia kerja?

sumber foto: Namda Ika Dewi

W

illiam Marcus Putuhena adalah nama lengkapnya. Pak Will, sapaannya, adalah pemimpin baru di Pusat Litbang SDA. Rekam jejaknya di bidang sumber daya air patut disimak mengingat Puslitbang SDA adalah satusatunya tempatnya mengabdi di sepanjang umurnya. Persinggungan awalnya dengan Puslitbang SDA adalah pada circa 1980. Cerita lengkap mengenai karir dan cita-citanya dalam memimpin Puslitbang SDA dapat disimak dalam petikan wawancara berikut ini.

Apakah yang melatarbelakangi pilihan Bapak ketika mendaftar menjadi PNS di Kementerian PUPR?

42

DINAMIKA RISET - TOKOH

Jujur saja, di sepanjang umur, saya hanya bekerja di satu institusi, yaitu Puslitbang SDA. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, saya pertama kali magang di sini (Puslitbang SDA-red) untuk kebutuhan melengkapi data tugas akhir kuliah. Saat itu saya masih dalam proses menyelesaikan studi S1 Teknik Sipil di ITB. Setelah lulus, saya langsung bekerja di sini hingga akhirnya resmi diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Disitulah karir saya dimulai dan berlanjut hingga sekarang. Salah satu alasan yang mendasari pilihan saya bekerja di sini adalah peluang yang cukup besar untuk melanjutkan studi. Di masa itu, bisa melanjutkan jenjang pendidikan ke jalur S2, bahkan S3 adalah sebuah kemewahan. Karena saya merasa tidak mungkin bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri dengan biaya sendiri. Pada tahun 1988 saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2. Lalu kembali ke kantor selama dua tahun dan kemudian melanjutkan kuliah S3 pada tahun 1991 hingga 1996.

Apakah menjadi seorang peneliti sudah ada dalam peta karir Bapak sedari awal? Ya, dari awal permintaan saya adalah menjadi seorang peneliti. Namun, baru mulai aktif sejak kembali ke kantor pasca menyelesaikan studi S3, yaitu pada tahun 1997. Lalu kemudian saya menjalankan tugas baru sebagai eselon IV dan jabatan peneliti saya terpaksa berhenti sejenak. Saya dahulu mengalami

perpindahan tugas beberapa kali. Pertama kali saya ditugaskan di Balai Hidrologi dan Tata Air (HITA) dan berpindah ke Bidang Standar dan Diseminasi (Standis). Saat itu Bidang Standis mengalami perubahan nama berkali-kali hingga akhirnya saya kembali lagi bertugas sebagai Kepala Balai HITA sampai pensiun. Setelah pensiun, saya aktif kembali sebagai peneliti di balai yang sama. Sampai akhirnya mendapat tugas baru yang lebih berat sebagai Kepala Puslitbang SDA.

Menurut Bapak, apa tantangan terbesar yang dihadapi oleh para peneliti di Puslitbang SDA agar menjadi lebih profesional? Kita menghadapi perubahan era dari pergantian kepemimpinan yang terjadi di Badan Litbang PUPR. Dengan demikian tantangan yang dihadapi juga berbeda. Dahulu para peneliti terdikotomi dalam dua macam riset, yaitu riset murni dan terapan. Kondisi ini agak sulit mengingat Puslitbang SDA berada di bawah naungan kementerian teknis yang membutuhkan hasil riset terapan. Namun demikian, riset terapan tersebut seharusnya dilakukan secara bersama-sama dari berbagai latar belakang keilmuan, sehingga riset yang dihasilkan bersifat integratif. Ketika saya masuk sebagai Kepala Puslitbang SDA, saya merasakan perubahan ke arah riset terintegrasi inilah yang paling terasa.

Apakah visi dan misi pribadi Bapak sebagai Kepala Puslitbang SDA? Sederhana saja, saya ingin Puslitbang SDA memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengguna, terutama masyarakat. Saya juga ingin agar para peneliti menjadi lebih berprestasi dengan menghasilkan inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Karena di sinilah letak value sebenarnya dari kegiatan penelitian. Selain itu, saya memiliki cita-cita agar Puslitbang SDA dapat terlibat langsung dalam berbagai permasalahan (bidang keairanred) yang terjadi di masyarakat. Kami merasa sangat terbantu oleh kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Balitbang PUPR Bapak Arie Setiadi Moerwanto. Beliau menerapkan target-target yang jelas untuk Pusat-Pusat Litbang, sehingga kami lebih mudah menentukan arah kerja. Sederhananya Pak Arie (sebutan untuk Kepala Balitbang PUPRred) sudah menyediakan shopping list untuk kami belanjakan

Contohnya seperti yang terjadi sekarang, kami dilibatkan secara aktif dalam kegiatan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Itu adalah rencana jangka panjang pemerintah untuk membangun wilayah pantai di Jakarta. Semua bidang keilmuan yang ada di Puslitbang SDA dapat terlibat aktif dalam kegiatan tersebut. Bahkan Puslitbang SDA sudah ditetapkan sebagai data centre dan centre for knowledge transfer dalam kegiatan NCICD.

Dahulu para peneliti terdikotomi dalam dua macam riset, yaitu riset murni dan terapan. Kondisi ini agak sulit mengingat Puslitbang SDA berada di bawah naungan kementerian teknis yang membutuhkan hasil riset terapan. Namun demikian, riset terapan tersebut seharusnya dilakukan secara bersama-sama dari berbagai latar belakang keilmuan, sehingga riset yang dihasilkan bersifat integratif. Nantinya, pola penanganan wilayah pantai di Jakarta ini diharapkan dapat direplikasi untuk menangani permasalahan yang sama di kota-kota pesisir, seperti Semarang, Surabaya, dan lain sebagainya. Di Indonesia, NCICD masih merupakan hal baru, sehingga kami masih membutuhkan banyak belajar dari Belanda dan Korea. Hal seperti inilah yang menantang bagi para peneliti, dimana hasil dari penelitian memang sangat ditunggu kedatangannya. Ada dua value yang sangat penting untuk saya sampaikan. Pertama, termanfaatkannya hasil penelitian dari para peneliti. Kedua, para peneliti dapat memanfaatkan kegiatan penelitian untuk meningkatkan angka kredit dan kepakaran. Dengan demikian, ada dua hal yang dapat dilaksanakan secara bersamaan.


43

Andri Hakim

S

esuai dengan kebijakan Kabinet Kerja yang mengusung Nawa Cita sebagai visi Pemerintah RI selama 5 (lima) tahun ke depan (2015 - 2019), fokus pembangunan lebih ditekankan pada dimensi manusia, kesejahteraan ekonomi masyarakat, serta kewilayahan. Hal ini disebabkan karena semakin tingginya ekspektasi masyarakat terhadap kualitas layanan pembangunan yang lebih inklusif. Untuk itu, Kementerian Pekerjaan Umum yang mengalami penggabungan dengan Kementerian Perumahan Rakyat menjadi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) segera merespon amanat tersebut dengan kebijakan, strategi, program, dan kegiatan yang dilaksanakan oleh masing-masing Unit Kerja di lingkungan Kementerian PUPR. Mulai dari hadirnya Badan Pengembangan Infrastruktur

44

DINAMIKA RISET - PROFIL BALITBANG

Wilayah (BPIW) yang akan “mengawal” pemanfaatan ruang dan menjamin keterpaduan pembangunan infrastruktur PUPR lintas sektoral, Direktorat Jenderal (Ditjen) Penyediaan Perumahan dan Pembiayaan Perumahan yang akan mendukung Program Sejuta Rumah demi tertanganinya backlog 13,5 juta rumah terintegrasi dengan penanganan kawasan kumuh, serta program strategis lain milik Ditjen SDA, Bina Marga, Cipta Karya, Bina Konstruksi. Dalam rangka merespon dinamika isu strategis serta tingginya tuntutan pengguna (dalam hal ini BPIW dan Ditjen teknis terkait) yang menginginkan rekomendasi kebijakan yang cepat menghasilkan (quick yield) guna mendukung pembangunan infrastruktur PUPR, dibutuhkan

pendekatan berbasis wilayah yang sesuai rencana tata ruang sehingga layanan infrastruktur dapat lebih efisien. Selain itu, peran Balitbang Kementerian PUPR juga dituntut untuk mampu menjadi “pencerah” dalam mendukung pembangunan pekerjaan umum dan perumahan rakyat. Hal ini dikarenakan kemajuan sebuah bangsa dibanding dengan bangsa lain sangat ditentukan oleh kemampuan bangsa tersebut dalam mengembangkan gagasan, mencari solusi, dan menghasilkan produk-produk yang lebih unggul. Oleh karena itu, kemajuan tersebut dapat diraih jika negara memberikan perhatian serius pada kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang). Pengalaman beberapa negara membuktikan bahwa semakin

TRANSFORMASI PUSLITBANG SOSEKLING MENJADI PUSLITBANG KPT Lingkatan dalam Dinamis, modern, tidak kaku, friendly berdasarkan teamwork dan terlihat simple. Bulat di dalam: satu kesatuan yang kompak, Berkerjasama, satu suara

Inner Gear Mampu berkerja dengan Dinamis, modern, performa optimal, unbent and unbroken, kuat dan mudah untuk difungksikan, gear/baut/ mur juga dikenal untuk mempersatukan beberapa bagian atau unit yang berbeda menadi satu kesatuan.

besar perhatian dan tingkat keaktifan melakukan litbang (Research and Development) semakin besar pula dampak yang diterima terutama pertumbuhan ekonomi, intellectual property, dan peningkatan daya saing. Oleh karena itu, berdasarkan pasal 33 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2015 Tentang Kementerian Pekerjaan Umum Dan Perumahan Rakyat dijelaskan bahwa Badan Penelitian dan Pengembangan mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang pekerjaan umum dan

Lingkaran luar Berarti pertumbuhan dan memberi kesan yang dalam (depth) memiliki “terapan” atau langkah dalam penerapan kebijakan, kedalaman dalam bertindak/berpikir untuk menyusun strategi keep the iner circle safe so they can work in optimum performance

Seperti Cara PKPT Berkomunikasi. Jelas, Lugas, tidak aku, mampu berkomunikasi berbagai pihak/bagian, departemen atau semua lapisan masyarakat, tanpa terkesan menyinggung atau terlihat memaksakan. Pemilihan, mampu berdiri dengan kuat, mandiri, tegap dan bisa dihandalkan.

perumahan rakyat. Adapun dalam Pasal 34 dijelaskan bahwa Badan Penelitian dan Pengembangan menyelenggarakan fungsi: a. penyusunan kebijakan teknis, program, dan anggaran penelitian dan pengembangan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat; b. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat; c. pelaksanaan pengkajian kebijakan, strategi pengembangan infrastruktur, dan penerapan teknologi hasil

penelitian dan pengembangan; d. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat; e. pelaksanaan administrasi Badan Penelitian dan Pengembangan; dan f. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri. Oleh karenanya, untuk menjalankan fungsi pelaksanaan pengkajian kebijakan, strategi pengembangan infrastruktur, dan penerapan teknologi hasil penelitian dan pengembangan,


45

sesuai amanat pasal 34, Perpres Nomor 15 tahun 2015 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 15/PRT/M/2015 tanggal 21 April 2015 maka dibentuklah Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan dan Penerapan Teknologi (PKPT) yang merupakan transformasi dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Lingkungan (Puslitbang Sosekling) yang dibentuk sejak tanggal 8 Juli 2010 berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 08/PRT/M/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pekerjaan Umum. PKPT mempunyai tugas melaksanakan penelitian dan pengembangan, pengkajian kebijakan dan strategi pengembangan infrastruktur serta penerapan teknologi hasil penelitian dan pengembangan bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Adapun Fungsi PKPT sebagai berikut : 1. penyusunan kebijakan teknis, program dan anggaran penelitian dan pengembangan kebijakan dan penerapan teknologi; 2. pelaksanaan penelitian dan pengembangan kebijakan dan penerapan teknologi; 3. pemantauan, evaluasi dan pelaporan hasil penelitian dan pengembangan kebijakan dan penerapan teknologi; 4. pelaksanaan urusan peningkatan kapasitas sumber daya manusia penelitian dan pengembangan kebijakan dan penerapan teknologi; 5. pelaksanaan pengelolaan sarana kelitbangan; 6. pelaksanaan urusan

46

DINAMIKA RISET - PROFIL BALITBANG

ketatausahaan, keuangan, dan umum; 7. pelaksanaan kerja sama hasil penelitian dan pengembangan kebijakan dan penerapan teknologi; 8. pelaksanaan kajian kebijakan penyelenggaraan infrastruktur di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; dan 9. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Kepala Badan. Dengan hadirnya PKPT diharapkan mampu menjawab tantangan pembangunan infrastruktur PUPR ke depan secara komprehensif dan terintegrasi dengan sektor-sektor di lingkungan Kementerian PUPR. Kompleksitas permasalahan pembangunan infrastruktur PUPR harus mampu ditemukan solusinya melalui tema-tema penelitian dan pengembangan yang lebih utuh, terpadu dan mengarah pada rekomendasi kebijakan penyelenggaraan infrastruktur PUPR yang scientifically proven, economically feasible, socially acceptable, dan environmentally sustainable. Lebih lanjut, sesuai dengan arahan Menteri PUPR, hadirnya PKPT diharapkan dapat mendukung optimalisasi penerapan teknologi hasil litbang. Dalam konteks transfer teknologi, peran Puslitbang KPT sangat penting dalam menyebarkan penggunaan produk-produk teknologi hasil litbang dari ketiga Puslitbang. Saat ini, di lingkungan Badan Litbang PUPR sudah digagas mekanisme Gate Screening

dengan 5 (lima) gate/tahap: • Gate I adalah tahap seleksi gagasan yang dilakukan oleh Puslitbang ABC (Puslitbang SDA, Jalan dan Jembatan serta Perumahan dan Permukiman) berkonsultasi dengan PKPT. • Gate II adalah tahap uji laboratorium yang dilakukan oleh Puslitbang ABC. • Gate III adalah tahap uji lapangan kerja sama Puslitbang ABC dan PKPT. • Gate IV adalah tahap peluncuran juga kerja sama Puslitbang ABC dan PKPT. • Gate V adalah tahap pascapeluncuran dilakukan oleh PKPT. Dalam rangka melaksanakan strategi pasca-peluncuran, maka PKPT perlu memperhatikan 4 (empat) komponen teknologi yang saling terintegrasi satu sama lain, yakni (a) technoware (benda fisik), (b) humanware (keterampilan manusia), (c) infoware (informasi), dan (d) organware (manajemen/kebijakan). Selain itu, juga penting melihat aspek kelayakan sosial, kelayakan ekonomi, dan kelayakan lingkungan agar teknologi dapat diterapkan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, untuk mengakselerasi pemanfaatan teknologi hasil litbang, arahan Menteri PUPR perlu ditindaklanjuti dengan menyusun berbagai strategi terutama pemasaran teknologi hasil litbang PUPR agar hasil-hasil litbang PUPR dapat diterapkan dan dimanfaatkan secara optimal oleh para pengguna.

ERA DIGITAL LITBANG Dimas Sigit Dewandaru

A

bad 20 adalah era digitalisasi, dimana gaya hidup seseorang dapat merubah “social time” menjadi “me time”, di mana pun dan kapan pun. Ternyata, di balik transformasi itu ada peranan teknologi informasi yang membuat segala hal ini menjadi lebih mudah. Bahkan ada anggapan ekstrem yang muncul, yang menyebutkan bahwa suatu

produk tanpa dukungan teknologi informasi akan terkesan kuno, tidak praktis, lamban dan menyusahkan. Hal ini dibuktikan salah satunya dalam kasus maraknya aplikasi Ticketing Online yang menggerus eksistensi biro perjalanan, di mana pelanggan dapat dengan mudah memesan tiket pesawat atau hotel langsung melalui gadget mereka masing-masing.

Data Warehouse & Data Mart

End User Presentation Tools Monitoring Infrastruktur SDA

Monitoring Audit dan LHP

Monitoring Pembiayaan Perumahan

Monitoring Realisasi Anggaran dan Fisik

Monitoring Kawasan Strategis

Monitoring Penelitian

Monitoring Infrastruktur Jalan dan Jembatan

Monitoring Adminstrasi Perkantoran

Monitoring Pengadaan Monitoring Penyediaan Perumahan

Monitoring Sumber Daya Manusia Monitoring Perencenaan

Stigma infrastruktur pekerjaan umum dan perumahan rakyat umumnya jauh dari sentuhan teknologi informasi. Namun siapa sangka bahwa kini pemantauan jembatan dapat dilakukan secara real time melalui sebuah aplikasi, sehingga dapat menghindari bencana kegagalan infrastuktur lebih awal. Contoh lainnya adalah aplikasi pemantauan kondisi

SDA

BINA MARGA

Monitoring Pasar Konstruksi, Jasa Konstruksi

SETJEN

BALITBANG

ITJEN

BPIW

DATA WAREHOUSE KEMENTRIAN PUPR /BIG DATA

Monitoring Pemukiman Kumuh, Penyehatan Lingkungan

PENYEDIAAN PERUMAHAN

Executive Information System

PEMBIAYAAN PERUMAHAN

BINA KONSTRUKSI

Source Data system: Data yang dikelolah masing-masing Unit Eselon I (SIMKD)

BPSDM

CIPTA KARYA

Transformasi Serta Intergrasi data dan Data Mining (Unstructured Data) Data Hasil Monitoring Teknis Data Hasil Monitoring Teknis

Data Staging

Eks t r a k Arsitektur Data Warehouse KemenPUPR (Sumber : Draft Cetak Biru TIK KemenPUPR) EDISI III TAHUN 2015

47

jalan yang melibatkan masyarakat pengguna jalan. Masyarakat dapat melaporkan kondisi jalan yang rusak langsung menggunakan smartphone mereka. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memandang kondisi ini sebagai peluang dalam meningkatkan kualitas dan layanan infrastuktur. Melalui Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), KemenPUPR berinisiatif untuk menyusun Cetak Biru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) KemenPUPR. Hal ini bertujuan untuk menjadikan TIK sebagai bagian utama dalam mendukung terwujudnya infrastuktur yang handal. Tercantum dalam misi Cetak Biru TIK KemenPUPR, dengan memanfaatkan teknologi informasi KemenPUPR akan menuju SUSTAIN-able Infrastructure Development (Simplify, Unify, Service, Transparency, Agile, Innovation, Network). Sasaran TIK yang ingin dicapai dalam Cetak Biru tersebut meliputi peningkatan penyediaan infrastruktur, penyediaan data dan

informasi, data spasial dan statistik, serta aplikasi sistem informasi. Hal lainnya adalah peningkatkan kapabilitas Tata Kelola TIK, SDM yang kompeten, dan kebijakan TIK. Untuk mencapai sasaran tersebut, Pusdatin telah merancang beberapa program seperti pembangunan Sistem Otomasi Administrasi Penyelenggaraan Manajemen Kementerian untuk mendukung proses bisnis pemerintahan dan pembangunan yang efisien, efektif, transparan, dan terintegrasi. Program lainnya adalah penetapan quick wins inisiatif TIK untuk mendukung penerapan e-Government (G2G, G2C, G2B). Berkaca dari Cetak Biru TIK yang disusun Pusdatin, Balitbang sebagai bagian dari agen inovasi di KemenPUPR harus menyelaraskan pengembangan teknologi Litbang dengan perkembangan teknologi TIK. Perpaduan teknologi tepat guna dan teknologi TIK diharapkan dapat menambahkan nilai hasil Litbang dibandingkan dengan teknologi konvensional. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah pemanfaatan data center dan sistem informasi dalam menciptakan

produk Litbang yang lebih inovatif. Mengacu pada konsep arsitektur TIK yang disusun oleh Pusdatin, nantinya seluruh data Libang yang dimiliki oleh Pusat-Pusat Litbang akan dijadikan satu di WAREHOUSE Kementerian PUPR. Hal ini akan memudahkan Balitbang untuk mengintegrasikan data produk Litbang yang meliputi bidang Sumber Daya Air, Permukiman, Jalan dan Jembatan serta Teknologi dan Kebijakan. Dengan kebijakan satu lokasi penyimpanan data, proses pengolahan data Litbang akan lebih efisien dan efektif, sehingga dapat menghasilkan kualitas informasi yang baik untuk stakeholder. Selain kemudahan terhadap pengolahan data, rencana Cetak Biru TIK KemenPUPR juga akan mengakomodasi pemanfaatan teknologi terkini yang didukung dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas. Penggunaan teknologi TIK, khususnya di Balitbang sudah dapat dikatakan cukup baik, hal ini dapat dilihat terhadap

Value Chain TIK KemenPUPR (Sumber : Draft Cetak Biru TIK KemenPUPR) 48

DINAMIKA RISET - OPINI

Data Mart 1 Keterangan

SIM RISET DAN PENGEMBANGAN SIM PNPB SIM LABORATORIUM

SIM MONITORING DAN EVALUASI TEKNIS BALITBANG SIM KERJASAMA

ENTERPRISE SERVICE BUS (ESB) APLIKASI UMUM

DATAWAREHOUSE Data Mart 2 Aplikasi umum

Data Mart 3

Data Mart 4

Data Mart 5

IT SERVICE MANAGEMENT

DEVELOPMENT SERVICES

DISTRIBUTION CHANNEL PORTAL PUBLIK PORTAL INTERNET

Data Mart ..N

Aplikasi Khusus

Arsitektur TIK Balitbang PUPR (Sumber : Draft Cetak Biru TIK KemenPUPR)

infrastruktur TIK di Pusat-Pusat Litbang. Puslitbang Jalan dan Jembatan sejak 2010 telah merintis pemanfaatan TIK dalam inovasi litbang jalan dan jembatan, yang diawali dengan pembangunan infratruktur data center. Sedangkan Puslitbang SDA dan Puslitbang Permukiman mengembangkan infrastuktur yang hampir sama untuk mendukung kegiatan Litbang masing-masing. Peningkatan kualitas SDM adalah juga termasuk hal yang sangat krusial dalam pengembangan TIK di Balitbang. Ketersediaan SDM yang memiliki latar belakang IT secara kuantitas masih jauh dari ideal, walaupun secara kualitas masih dapat bersaing. Dalam

Cetak Biru TIK Kementerian PUPR disebutkan bahwa pola pengembangan SDM TIK akan mengarah kepada fungsional dan profesionalitas, artinya akan terdapat program-program pelatihan dan sertifikasi spesifik untuk meningkatkan kemampuan SDM IT di Balitbang. Merangkum seluruh rencana dan program yang terdapat pada Cetak Biru TIK KemenPUPR, dapat dilihat sebagai angin keberuntungan bagi Balitbang untuk dapat menggenjot inovasiinovasi Litbang berbasiskan TIK. Beberapa produk Litbang yang telah berbasiskan TIK diharapkan mampu menjawab permintaan masyarakat terkait kemudahan

Aplikasi Jalan Kita – Solusi Pelaporan Kondisi Jalan Berbasiskan Smartphone

dan kecepatan akses informasi. Contohnya adalah beberapa produk Litbang di Puslitbang Jalan dan Jembatan yang berbasiskan TIK, seperti RCMS (Remote Construction Monitoring System), Hawkeye (Kendaraan Survei Kondisi Jalan), JAKI (Aplikasi Jalan Kita untuk Pelaporan Kerusakan Jalan), Sindila (Sistem Informasi Dini Lalu Lintas), Simbagas (Sistem Informasi Pemantauan Kondisi Jembatan), Aplikasi Pengujian Laboratorium Jalan dan Jembatan, dan yang terbaru adalah IRODCO (Indonesia Road Data Center Cooperation) yang dikerjakan melalui skema kerjasama dengan Korea International Cooperation Agency (KOICA). Perlahan tapi pasti, kebutuhan produk litbang infrastruktur dan perumahan yang memanfaatkan TIK semakin dibutuhkan. Keberadaan produk manual saat ini semakin menghilang, tergantikan oleh produk yang canggih dan serba otomatis. Begitupun dalam bidang Litbang, produk-produk hasil inovasi dituntut lebih praktis, sederhana, mudah dan cepat. Produk litbang infrastuktur berbasiskan teknologi informasi adalah jawaban dari tantangan era saat ini, untuk itu marilah kita sambut dan dukung hadirnya Era Litbang Digital.


49

LINGKAR 3D

Seminar Sehari Kerjasama Puslitbang Jalan dan Jembatan dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT)

Seminar sehari yang menghadirkan pembicara mumpuni dari MIT Prof. Michael Schrage ini dilaksanakan di Kampus Kementerian PUPR pada tanggal 16 November 2015. Sebagai pakar dalam bidang inovasi, Prof. Schrage berhasil menyampaikan paparan yang komprehensif mengenai perkembangan dunia riset dan inovasi yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Diskusi Teknis Penguatan Konektivitas dalam Mendukung Pengembangan Wilayah

“Isu konektivitas menjadi salah satu isu strategis pemerintah khususnya Kementerian PUPR yang tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Ditjen Bina Marga. Isu konektivitas turut pula menjadi kunci dalam pengembangan wilayah. Oleh karena itu perlu diteliti dan dikembangkan secara mendalam untuk menghasilkan instrumen pemetaan yang valid secara metodologi dan user friendly,” ujar Bobby Prabowo, Kepala Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi dalam sambutannya pada pembukaan “Diskusi Teknis Penelitian Penguatan Konektivitas dalam Mendukung Pengembangan Wilayah” sekaligus penandatanganan kerjasama antara Puslitbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi dengan Fakultas Teknik Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Diskusi teknis yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan bekerjasama dengan Jurusan Teknik Sipil UNG, dihadiri oleh 60 peserta undangan dari berbagai instansi diantaranya Satker Perencanaan dan Pengawasan Jalan Nasional Propinsi Gorontalo, Satker Pelaksanaan Jalan Nasional Propinsi Gorontalo, jajaran Pemerintah Propinsi Gorontalo, jajaran Pemerintah Kota Gorontalo, serta akademisi. Diskusi ini merupakan media untuk menggali masukan dari berbagai pemangku kepentingan dalam rangka mengkonfirmasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam pengukuran konektivitas, khususnya pada studi kasus Gorontalo. Rumusan dari diskusi ini sekaligus digunakan sebagai masukan substantif bagi penelitian bertema konektivitas yang dilaksanakan oleh Balai Litbang Sosekling Bidang Jalan dan Jembatan. Kesimpulan diskusi menitikberatkan pada perlunya tinjauan lebih lanjut terhadap variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian.

50

DINAMIKA RISET - LINGKAR 3D

SOSIALISASI TERPADU BATAM

Balitbang PUPR menggandeng Direktorat Jenderal dan Badan lain di lingkungan Kementerian PUPR untuk berpartisipasi dalam kegiatan Sosialisasi Terpadu Perumahan dan Teknologi Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Acara yang dilaksanakan pada tanggal 25-26 November 2015 ini digelar di Kota Batam dengan melibatkan SKPD setempat, Developer, Kontraktor, dan Konsultan. Digelarnya acara ini adalah untuk lebih mempopulerkan produk litbang kepada Direktorat Jenderal, sehingga potensi penerapan dan pemanfaatannya semakin meningkat. Acara yang dibuka oleh Sekretaris Badan Litbang PUPR ini menghadirkan narasumber yang berkompeten dari Badan Litbang, maupun Direktorat Jenderal.

KEGIATAN HARI BAKTI KEMENTERIAN PUPR

Dalam rangka memperingati Hari Bakti PU ke-70, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengadakan serangkaian acara. Pada kesempatan ini Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) berhasil menjadi Juara 1 (Putra) dan Juara 3 (DWP) pada lomba Getball. Selain itu Balitbang PUPR pada hari minggu 29 November 2015 menjadi tuan rumah penyelenggaraan Pameran Infrastruktur PUPR di Parkir Timur Senayan. Pameran ini dihadiri oleh Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang sebelumnya bersama-sama melakukan Fun Walk dan Fun Bike yang dimulai dari Kampus Kementerian PUPR hingga Bundaran Hotel Indonesia.


51

MODEL PERHITUNGAN SHADOW PRICING DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SUMBER DAYA AIR Bastin Yungga Angguniko dan Elias Wijaya Panggabean

I

nvestasi infrastruktur pekerjaan umum merupakan salah satu prasyarat utama tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Ketersediaan infrastruktur mencerminkan adanya investasi, dan investasi yang merata mencerminkan adanya pembangunan infrastruktur yang memadai dan mampu melayani pergerakan ekonomi. Penilaian secara ekonomi memerlukan perhitungan harga bayangan (shadow price) karena dalam praktiknya terjadi perubahan nilai-nilai input dan pekerjaan yang didorong oleh kondisi pasar

maupun dinamika kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang berkembang. Untuk dapat menilai pembangunan infrastruktur SDA yang telah memperhitungkan harga bayangan diperlukan faktor penyesuai atau faktor konversi. Saat ini pedoman untuk menilai rangkaian pembangunan infrastruktur sumber daya air terutama waduk, bendung dan jaringan irigasi yang telah memasukkan faktor konversi dirasakan masih terbatas Model perhitungan shadow pricing juga memberi manfaat

Leuwi Goong

penilaian secara menyeluruh dari keseluruhan tahapan pembangunan dimulai dari Survey, Investigation, Design, Land Acquisition, Construction, hingga Operational and Maintenance (SIDLACOM) dan bukan sekedar penilaian pada tahapan pembangunan fisik saja. Uji perhitungan Shadow Pricing ini dilakukan di tiga lokasi Pembangunan Infrastruktur SDA dengan sampel Bendungan (DAM) dan Bendung (Weir) serta jaringan irigasinya yaitu di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Bendungan Jatibarang

Bendungan Gonggang Komponen Shadow Price pada tahapan pembangunan infrastruktur SDA

Model Perhitungan Shadow Pricing Model Perhitungan Shadow Pricing dalam Pembangunan Infrastruktur SDA ini meliputi: 1. Komponen Shadow Price pada tahapan pembangunan infrastruktur SDA. 2. Jenis Biaya pada setiap Tahapan Pembangunan (SIDLACOM) yang memungkinkan munculnya Shadow Price. 3. Dekomposisi setiap jenis biaya (Biaya Lahan, Biaya Tenaga Kerja, Biaya Bahan, Biaya Alat) 4. Faktor konversi harga bayangan dari setiap jenis biaya.

52

DINAMIKA RISET - INTERMEZZO

Faktor Konversi harga bayangan tiap jenis biaya

MODEL PERHITUNGAN SHADOW PRICING

Dokomposisi jenis Biaya

Jenis Biaya tiap Tahapan yang memungkinkan munculnya Shadow Price

Desain

Identifikasi Kebutuhan Pengembangan Model

Penyiapan Pengujian

Memilih Pakar dan Melakukan Kontak

Daftar Kebutuhan, Spesifikasi, Fungsi, dll

Mengembangkan Pertanyaan Delphi

Telaah Data Biaya dan Penyebab Perubahan Biaya

Menyusun Kuesioner Isian Data Perhitungan Shadow Pricing

Faktor Ekonomi Faktor Sosial

Obyek Perhitungan di Lokasi Kajian

Faktor Lingkungan Pengumpulan Data dan Observasi

Analisa Respons Kuesioner Apa Sudah Konsensus Lengkap

• Laporan Keuangan Proyek • Wawancara dengan Informan • Observasi Lapangan

Ya Penyempurnaan Model Shadow Pricing

Model Shadow Pricing [M1]

Penyiapan Pengujian

Distribusi Kuesioner Belum

Pengembangan Model Shadow Pricing yang Relevan dengan kebutuhan

Model

Uji Lapangan

Uji Pakar & Uji Terbatas

Model Shadow Pricing 2011 [Mo]

Perhitungan Shadow Price Obyek Terpilih

Faktor Konversi Nilai Shadow Price dari Pakar & Praktisi

Faktor Konversi, Nilai Shadow Price Rill & Penyebab Perubahan Biaya

Model Shadow Pricing Verified dan Valid

Rumusan: Faktor Konversi & Harga Bayangan pada setiap Komponen Biaya Pembangunan Infrastruktur SDA Penyusunan Manual Perhitungan Harga Bayangan Pembangunan Infrastruktur SDA Nilai Investasi Infrastruktur SDA yang sudah memasukkan Shadow Price

Uji Model Uji model perhitungan shadow pricing terdiri dari : A. Model Shadow Pricing B. Manual Model Perhitungan Shadow Pricing C. Model Shadow Price mencakup komponen biaya dalam proyek pembangunan infrastruktur SDA meliputi biaya-biaya lahan, tenaga kerja, bahan dan alat.

Komponen Biaya Proyek Infrastruktur SDA Biaya Lahan

Biaya Bahan

Biaya Tenaga Kerja

Biaya Alat

A. Jenis biaya pada tahapan SIDLACOM yang memungkinkan munculnya Shadow Price. Identifikasi jenis biaya yang memungkinkan munculnya Shadow Price dalam siklus proyek pembangunan infrastruktur SDA sebgaimana skema dalam SIDLACOM berikut:

I

S KOMPONEN BIAYA DAN SHADOW PRICE YANG MUNCUL

sumber foto-foto: istimewa

Model Uji Perhitungan Shadow Pricing

Biaya Langsung Personil

SP TK

Biaya SP Langsung Biaya Non Sosialisasi Personil SP ALAT


D SP TK

Biaya SP Langsung Biaya Non Sosialisasi Personil SP ALAT


SP TK

Biaya SP Langsung ALAT Non Personil

Biaya Lahan

Biaya Bangunan

O

C

LA SP LAHAN


SP TK

Biaya SP Bahan/ Bahan Material Biaya Alat

SP ALat

Biaya Langsung Personil Biaya Alat

M SP TK

SP ALat


SP TK

Biaya SP Bahan/ Bahan Material Biaya Alat

SP ALat

Keterangan: SP = Shadow Price; TK = Tenaga Kerja


53

B. Dekomposisi Jenis Biaya Kerangka model perhitungan shadow price untuk masing-masing komponen biaya yang ada di dalam proyek pembangunan infrastruktur SDA didasarkan Nilai Opportunitas di pekerjaan yang lama dan Asumsi Expenditure Approach (diperhitungkan sebesar konsumsi dasar yang dikeluarkan), dengan keterangan sebagai berikut : Koefisien Konversi Standar = [M+X] / [M + X + BM – PE + SE] dengan M = Impor ; X = Ekspor; BM = Bea Masuk; PE = Pajak Ekspor; SE = Subsidi Ekspor C. Faktor Konversi Harga Banyangan Dari Setiap Jenis Biaya Faktor konversi (Conversion factors) adalah suatu nilai yang memungkinkan analis untuk menghitung harga bayangan dari harga barang atau jasa dengan mengalikan harga pasar. Faktor konversi juga disebut sebagai pengganda yang digunakan untuk mengkonversi dari nilai pasar menjadi harga bayangan untuk kategori barang dan jasa non-traded.

Model Perhitungan Shadow Pricing Manual Perhitungan Shadow Pricing mencakup: contoh kuesioner; sistem pengumpulan dan klasifikasi data; dan bagaimana cara memasukkan data ke dalam perhitungan. Secara skematis digambarkan sebagai berikut: A. Pengumpulan Data Pembangunan Infrastruktur SDA Data untuk perhitungan shadow price dapat menggunakan nilai kontrak dengan variasi pada cara pembayaran maupun tata cara perhitungan kemajuan pekerjaan sebagaimana Tabel 1. Tabel 1. Data Nilai Kontrak untuk Perhitungan Shadow Price

Berdasarkan nilai kontrak pembangunan infrastruktur SDA selanjutnya dikumpulkan data komponen biaya pada setiap tahapan kegaitan dalam siklus SIDLACOM. B. Perhitungan Shadow Price Perhitungan Shadow Price bertujuan untuk memasukkan nilai shadow price ke dalam perhitungan biaya pembangunan infrastruktur SDA. Model Input-Output Perhitungan Shadow Pricing ini terdiri dari tiga

54

DINAMIKA RISET - INTERMEZZO

bagian utama, yaitu: INPUT yang hasil perhitungan shadow pricing. terdiri dari Basis Pengetahuan Secara skematis dapat digambarkan dan Basis Data; PROSES yang sebagai berikut: terdiri dari Pengumpulan dan Pengorganisasian Data dan Analisis; OUTPUT berupa interpretasi

PROSES PERHITUNGAN SHADOW PRICING

INPUT BASIS PENGENTAHUAN

OUTPUT

Pengumpulan dan pengorganisasian Data

• Jenis Infrastruktur: • Bendungan • Bendung & Jaring Irigasi • Dekomposisi Biaya • Angka Konversi Shadow Price.

NILAI INVESTASI YANG TELAH MEMPERHITUNGKAN SHADOW PRICE

ANALISIS: Perhitungan Shadow Price

BASIS DATA

• Data nilai kontrak setiap jenis infrastruktur • Data Harga Satuan setiap komponen biaya • Data Harga Pasar setiap komponen biaya

KOMPONEN DIALOG Skema Model Perhitungan Shadow Pricing

USER

C. Manual Tata Cara Perhitungan Shadow Pricing Model Perhitungan Shadow Pricing ini terdiri dari 2 (dua) tahap, pertama Pembuatan Template dengan input data kontrak awal dan realisasi hingga dihasilkan angka konversi perubahan. Kedua, penggunaan template, yaitu memasukkan data kontrak awal proyek untuk mendapatkan Nilai prakiraan Realisasi biaya proyek yang sudah memasukkan shadow price.

Tahapan dalam Perhitungan Shadow Price

Struktur manual perhitungan shadow price sebagai berikut:

. Skema Struktur Manual Tata Cara Perhitungan Shadow Price

Model perhitungan shadow pricing ini dapat dimanfaatkan pihak pemangku kepentingan untuk menilai, memonitor, dan mengevaluasi pekerjaan pembangunan infrastruktur SDA. Secara khusus model ini akan sangat berguna bagi pihak yang

merencanakan dan melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur SDA, yaitu Balai Besar Wilayah Sungai. Perhitungan shadow pricing pembangunan infrastruktur dapat digunakan untuk menilai,

memonitor, dan mengevaluasi tiap tahapan pembangunan infrastruktur secara berkelanjutan, mulai dari tahapan persiapan, konstruksi, hingga operasional dan pemeliharaan. Perhitungan ini dapat digunakan pada awal, selama, dan akhir tiap tahapan.


55

TANTANGAN INOVASI DI SEKTOR PUBLIK Adji Krisbandono*

I

Judul The Entrepreneurial State : Debunking Public vs. Private Sector Myths Penerbit Anthem Press, Wimbledon Publishing Company Tahun 2013

novasi dan entrepreneurship merupakan dua hal yang akan selalu beriringan jika kita mendiskusikan inovasi dan perkembangan teknologi. Dua hal tersebut pulalah yang kerap diidentikkan pada entitas swasta, karena hanya dengan bermodal inovasi dan entrepreneurship mereka dapat lebih kompetitif. Jarang sekali sektor publik diekspos karena “prestasi” mereka mengembangkan kedua hal ini. Dalam buku “The Entrepreneurial State”, Mariana Mazzucato, profesor bidang Ekonomi dan Inovasi dari University of Sussex ingin mematahkan mitos tersebut dengan mengulas beberapa practices yang telah dan perlu dilakukan entitas publik guna mengimbangi dinamika sektor bisnis yang berkembang. Wanita yang telah banyak membantu policy maker mengembangkan kebijakan inovasi untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi ini akan mengajak Pembaca menyelami setiap Bab buku ini dengan argumen-argumen yang mengesankan. Mulai dari analisis tentang aktor yang sangat mendukung ekosistem inovasi (berfungsi simbiosis), hingga keberadaan segelintir aktor yang menempel bak parasit, kebijakan inovasi yang kurang efektif karena tidak disertai dengan complimentary asset serta dukungan kebijakan operasional lainnya, risiko dan 56

DINAMIKA RISET - RISENSI BUKU

ketidakpastian yang mungkin akan dihadapi sektor publik serta upaya yang perlu diambil, beberapa inisiatif program dukungan terhadap inovasi yang telah diluncurkan Pemerintah AS, cerita seluk-beluk iPhone dan Apple, hingga dukungan terhadap “green technology”. Dalam pandangannya, sektor publik tidak cukup hanya berperan sebagai “market fixer”; atau yang lebih parah lagi, hanya sekedar menggelontorkan dana untuk R&D. Dari beberapa contoh yang diilustrasikan, seperti bagaimana Pemerintah Jepang di tahun 1980an memegang peranan penting dalam memajukan teknologi, bagaimana Pemerintah Korea pada tahun 1990an memberikan pijakan yang kuat bagi berkembangnya inovasi hingga Negara Ginseng tersebut mampu menjadi salah satu trendsetter teknologi komunikasi di dunia, hingga bagaimana Pemerintah Amerika Serikat menginvestasikan dana yang ia nilai cukup berisiko (kala itu) dibungkus dalam skema “Small Business Innovation Research” kepada beberapa perusahaan (yang dulunya) hanya “startup company” dan kini telah menjadi raksasa global, seperti Google, Apple, Intel, Compaq, dll. Argumen yang diajukannya dalam konteks “industry dynamics” juga mampu meyakinkan Pembaca

bahwa demi terwujudnya “knowledge society” dan “knowledge economy”, pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada teknologi, inovasi, serta entrepreneurship. Dan jika mendiskusikan hal tersebut, maka yang segera terlintas di benak kita adalah bagaimana paten-paten yang ada bisa didayagunakan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi, bagaimana memfasilitasi UMKM dan perusahaanperusahaan besar untuk turut ambil bagian sebagai inovator, dsb. Campur tangan Pemerintah Amerika Serikat dalam hal ini sangat kentara pada Silicon Valley di California, bahwa tidak hanya sekedar fasilitasi yang diberikan ketika itu, tetapi peran nyata dalam menciptakan visi “knowlegde economy” serta menetapkan sasaran target dan besaran investasi yang jelas. Dari argumen ini, serta meminjam istilah Frank H. Knight (1921) dan Peter Drucker (1970) sebagaimana tertulis pada Bab 3, Pemerintah AS telah memainkan peran “entrepreneurship” yang tepat dan strategis dengan mengambil risiko di tengah-tengah kondisi yang sangat tidak pasti (highly uncertain) kala itu. Terakhir, mengutip pernyataan JM Keynes (1926) bahwa “….. the important thing for government is not to do things which individuals are doing already, and to do them a little better or a little worse; but to do things which at present are not done at all …..”, Penulis semakin meyakini bahwa buku ini sangat layak dibaca, khususnya bagi para pengambil kebijakan di sektor publik, agar mampu merespon dengan cepat dinamika yang berkembang melalui inovasi dan semangat entrepreneurship. *Peneliti Studi Perkotaan dan Regional, Pusat Litbang Kebijakan dan Penerapan Teknologi

TAHUKAH ANDA?

Deposit aspal alam di Pulau Buton cukup untuk memenuhi kebutuhan aspal hingga *KEBUTUHAN ASPAL TAHUN 2013 1,3 Juta ton

330 tahun*

Total deposit Asbuton

662.960.267,00 ton Luas area penyebaran

376.537.850 m2

Dengan masing-masing ketebalan

Lawele

99.786.080,00 ton 130.906.500 m2 78 m

Rota

19.596.780,00 ton 4.530.000 m2 78 m

Epe 2.011.157,00 ton 1.720.000 m2 78 m

78 m

Madullah

2.682.120,00 ton 620.000 m2 78 m

Kabungka 312.718.080,00 ton 181.004.200 m2 78 m

Rongi 226.165.670,00 ton 57.755.000 m2 78 m

TIPIKAL KARAKTERISTIK RAW MATRIAL ASBUTON Si2O3 + Fe2O3

H20 CaS

Kabungka CaCO3

H20

MgCO3

CaSO4 Residu

Lawele Kadar bitumen dari Asbuton kering Penetrasi bitumen pada 25 C, 100g, 5 detik Dukilitas bitumen pada 25 C, 5cm/menit Titik lembek bitumen Penurunan berat (TFOT) dari Asbuton kering pada 163 C, 5 jam Penetrasi bitumen setelah TFOT Berat jenis Asbuton kering Nitrogen Acidafins (A1) Acidafins (A2) Parafin Parameter Maltene Nitrogen/Parafin Kandungan Asphaltene

27.01 % 9.33 % 12.98 % 11.23 % 1.50 2.41 N/P 39.45 %

SIFAT KIMIA

: 31.5 % : 156 dmm : >140 cm : 37.2 C : 4.7 % : 47 dmm : 1.735

Kadar bitumen dari Asbuton kering Penetrasi bitumen pada 25 C, 100g, 5 detik Dukilitas bitumen pada 25 C, 5cm/menit Titik lembek bitumen Penurunan berat (TFOT) dari Asbuton kering pada 163 C, 5 jam Penetrasi bitumen setelah TFOT Berat jenis Asbuton kering Nitrogen Acidafins (A1) Acidafins (A2) Parafin Parameter Maltene Nitrogen/Parafin Kandungan Asphaltene

29.04% 6.60% 8.43% 8.86% 2.06 3.28N/P 46.92%

SIFAT KIMIA

: 19.8% : 6 dmm : 5.3 cm : 81.5 C : 0.024 % : 5 dmm : 1.923

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DAN PERUMAHAN RAKYATUMUM KEMENTERIAN PEKERJAAN DAN PERUMAHAN RAKYAT

SELAMAT

SELAMAT

MENGAWAL SIKLUS LITBANG DARI HULU KE HILIR: POTRET LEMBAGA LITBANG NASIONAL ERA DIGITAL LITBANG DARI INOVASI KE ROYALTI

Recommend Documents