Indikator Kinerja Lembaga Litbang di Era Informasi Terbuka1 Benyamin Lakitan Kementerian Riset dan Teknologi
Citra lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) di Indonesia masih belum positif, terutama karena dianggap belum mampu memberikan kontribusi yang nyata dan signifikan terhadap upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memajukan peradaban bangsa, sebagaimana yang diamanahkan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31 ayat (5): “Pemerintah memajukan iptek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”. Kenyataan ini terkait dengan isu yang sangat fundamental, yakni orientasi riset yang dilakukan di sebagian besar lembaga litbang pemerintah (baik di lingkungan perguruan tinggi maupun pada kementerian atau lembaga pemerintah non-kementerian) belum terfokus pada upaya memberikan kontribusi nyata terhadap upaya memenuhi kebutuhan atau menyediakan solusi bagi persoalan yang dihadapi masyarakat, pemerintah, atau dunia usaha. Disinyalir, banyak kegiatan riset yang dilakukan masih berupa ‘academic exercise’ dan belum secara sensitif merespon realita yang dihadapi.
Dalam konteks kekinian, dimana lembaga litbang merupakan salah satu unsur utama Sistem Inovasi Nasional (SINas), yakni sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), maka lembaga litbang selain perlu meningkatkan kapasitas pengembangan iptek, juga harus mampu mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan yang dihadapi para pengguna iptek. Pengguna iptek berdasarkan karakteristiknya dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yakni industri, masyarakat, dan pemerintah.
Posisi Lembaga Riset dan Pengembangan Lembaga litbang tidak boleh menjadi suatu entitas yang terisolir dari realita kebutuhan dan persoalan umat dan negara. Sesuai definisi litbang yang digunakan OECD (2002): “Research and experimental development (R&D) comprise creative work undertaken on a systematic basis in order to increase the stock of knowledge, including knowledge of man, culture and society, and the use of 1
2
Makalah pengarahan pada Temu Peneliti Badan Litbang dan Diklat VIII Kementerian Agama RI di Makassar tanggal 1215 April 2011. Dikutip dari Indikator ekonomi berbasis pengetahuan Indonesia 2010 yang dikompilasi oleh Kementerian Riset dan Teknologi.
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Menjadi lebih ironis jika dicermati secara mendalam bahwa berdasarkan indikator akademis-pun ternyata lembaga litbang Indonesia relatif belum unjuk kinerja secara optimal dibandingkan dengan lembaga sejenis di beberapa negara-negara ASEAN, masih jauh kurang produktif dibandingan Singapura, Malaysia, dan Thailand. Laporan World Bank (2009) menunjukkan bahwa Knowledge Index (KI) dan Knowledge Economy Index (KEI) Indonesia saat ini telah berada di bawah Filipina dan Vietnam, selain ketiga negara ASEAN yang disebut sebelumnya.2
1
this stock of knowledge to devise new applications”. Jelas bahwa kegiatan litbang tidak hanya mencakup upaya untuk menambah stok pengetahuan semata, tetapi juga perlu menyiapkan agar stok pengetahuan tersebut dapat diaplikasikan, sehingga memberikan kemanfaatan nyata. Sejalan dengan definisi OECD tersebut, maka setiap kegiatan riset perlu berorientasi pada kebutuhan atau persoalan nyata yang dihadapi oleh para (calon) pengguna potensialnya, atau dengan kata lain bersifat demand-driven. Prinsip ini merupakan esensi dasar dari Sistem Inovasi Nasional (Gambar 1), dimana lembaga litbang berperan sebagai unsur pengembang iptek.
Keterkaitan fungsional antara kegiatan litbang dengan inovasi merupakan justifikasi kuat untuk menempatkan lembaga litbang sebagai salah satu aktor utama yang esensial dalam SINas. Sebagai lembaga yang fungsi utamanya adalah mengembangkan iptek dan sebagai salah satu aktor penting dalam membangun SINas, maka lembaga litbang perlu ditata agar postur dan fungsinya pas dalam SINas. Aktor SINas lainnya yang menjadi mitra lembaga litbang adalah komunitas dan lembaga pengguna iptek. Komunikasi dan interaksi antara pengembang dan pengguna iptek perlu intensif dan positif agar SINas dapat produktif mengalirkan kontribusinya terhadap pembangunan nasional, tidak hanya di bidang perekonomian dalam rangka menyejahterakan umat, tetapi juga dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang paripurna, yakni cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual sehingga mampu menyelenggarakan pemerintahan sesuai dengan prinsip good governance. Sebagai sebuah sistem, maka SINas tidak dapat dipandang hanya sebagai kumpulan dari lembaga, tetapi yang lebih penting adalah terjadinya aliran informasi dan produk iptek yang lancar antarlembaga. Dalam konteks SINas, maka mutlak perlu terjadi aliran informasi kebutuhan iptek dan persoalan nyata yang membutuhkan solusi iptek dari pihak pengguna ke pihak pengembang iptek. Prasyarat agar aliran ini terjadi adalah [1] keterbukaan atau keinginan dari pihak pengguna untuk
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Gambar 1. Unsur esensial Sistem Inovasi Nasional (Lakitan, 2010)
2
berbagi informasi dan [2] sensitivitas pihak pengembang iptek dalam menangkap sinyal kebutuhan teknologi dan persoalan nyata yang dihadapi pihak pengguna iptek. Keyakinan pihak pengguna atas kapasitas lembaga pengembang iptek dalam menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang sesuai kebutuhan, handal secara teknis, dan kompetitif secara ekonomi akan menjadi pemicu terjadinya aliran informasi dimaksud. Jika saat ini aliran tersebut masih tersendat, maka adalah bijak jika kedua belah pihak melakukan swa-evaluasi, mencermati tentang apa yang perlu dibenahi di wilayah peran masing-masing. Lembaga litbang juga perlu melakukan pembenahan. Lembaga litbang sebagai pengembang iptek perlu: [1] mengevaluasi kembali tentang kesesuaian orientasi pengembangan iptek dengan kebutuhan umat dan negara (isu relevansi riset); dan [2] meningkatkan pemaham tentang kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi umat dan negara (isu sensitivitas pelaku pengembang iptek). Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa iptek hanya akan berkontribusi terhadap pembangunan nasional, jika dan hanya jika iptek tersebut digunakan dan nyata bermanfaat, baik manfaat ekonomi maupun non-ekonomi. Prasyarat agar aliran teknologi ini terjadi adalah: [1] teknologi yang dikembangkan dan ditawarkan oleh lembaga litbang relevan dengan kebutuhan pengguna; [2] teknologi yang ditawarkan sepadan dengan kapasitas adopsi (calon) pengguna potensialnya; dan [3] penggunaan iptek tersebut mempunyai prospek keuntungan yang lebih baik dibandingkan dengan iptek serupa yang sudah tersedia. Pada fase awal (seperti kondisi saat ini), menggerakkan aliran dua-arah ini akan membutuhkan daya yang besar dan upaya yang intensif. Oleh sebab itu, butuh peran dan komitmen yang sungguhsungguh dari aktor ketiga dalam SINas, yakni Pemerintah. Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran sebagai fasilitator, intermediator, dan regulator agar suasana yang kondusif dapat diwujudkan, agar pengguna dan pengembang iptek terangsang untuk mengintensifkan komunikasi dan interaksinya.
Pada saat ini, ada tiga kapasitas yang sangat mendasar yang perlu dimiliki oleh setiap lembaga litbang, yakni: [1] kapasitas untuk menyerap iptek yang berasal dari luar (sourcing capacity); [2] kapasitas untuk melakukan riset dan pengembangan iptek (R&D capacity); dan [3] kapasitas untuk mendiseminasikan pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan (disseminating capacity)(Gambar 2). Kapasitas ‘outsourcing’ lembaga litbang terindikasi antara lain dari aksesibilitas ke berbagai sumber informasi iptek, tidak terjadi tumpang tindih riset yang dilakukan dengan riset yang (telah) dilakukan di tempat lain, dan efisiensi penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan iptek yang bermanfaat. Kapasitas litbang tercermin dari kualitas riset dan iptek yang dihasilkan, relevansi teknologi yang dihasilkan dengan kebutuhan nyata para pengguna, dan produktivitas teknologi yang dihasilkan lembaga per satuan sumberdaya dan/atau biaya yang dikelola. Sedangkan kapasitas diseminasi terlihat dari intensitas dan jangkauan publikasi kegiatan riset yang dilakukan dan iptek yang dihasilkan baik melalui media cetak maupun elektronik, kuantitas dan kualitas iptek yang diadopsi oleh pihak pengguna, dan royalti yang diterima oleh lembaga atas
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Indikator Kinerja Lembaga Litbang.
3
produk teknologinya yang berhasil dikomersialisasikan. Contoh indikator kinerja lembaga litbang berbasis pada tiga kapasitas pokoknya, disajikan pada Tabel 1.
Gambar 2. Diagram orientasi dan kapasitas lembaga litbang
Tabel 1. Tiga kapasitas lembaga litbang dan contoh indikator kinerjanya
Kapasitas Outsourcing
Kapasitas Litbang
Kapasitas Diseminasi
Contoh Indikator Kinerja
Akses ke sumber informasi iptek Tidak terjadi tumpang tindih dan replikasi riset Efisiensi pemanfaatan sumberdaya Jaringan kemitraan
Kualitas hasil litbang Relevansi dengan kebutuhan/persoalan nyata Produktivitas kelembagaan
Situs dan frekuensi pemutakhiran informasi Publikasi ilmiah Hasil riset yang dimanfaatkan pengguna Royalti yang diterima
Pada era inovasi terbuka, ketiga jenis kapasitas ini perlu secara paralel dikembangkan dalam sebuah sistem yang terintegrasi. Strategi revitalisasi lembaga litbang perlu dikemas secara komprehensif dan integratif, tidak secara partial maupun tersegmentasi. Ukuran keberhasilan dan pilihan indikator yang digunakan dalam melakukan evaluasi kinerja lembaga litbang perlu dikonstruksi secara cermat. Peringatan dari Loikkanen et al. (2009) perlu mendapat perhatian: “Although useful in benchmarking of country performances, S&T indicators, if poorly constructed, can convey misleading policy messages”.
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Kapasitas Pokok
4
Indikator kinerja yang dikembangkan dan telah digunakan oleh lembaga internasional dengan reputasi baik serta telah diadopsi oleh berbagai negara, dapat dijadikan sebagai referensi, tetapi tetap perlu dicermati karena tidak secara otomatis menjamin bahwa indikator tersebut merupakan indikator yang paling pas untuk kondisi dan kepentingan Indonesia saat ini. Terkait dengan penggunaan indikator ini, sangat bijaksana nasehat yang dikemukakan oleh seorang tokoh inovasi dunia yang berkerja puluhan tahun untuk lembaga internasional ternama dalam mengembangkan indikator ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi (STI) berikut ini: “On the basis of 40 years of indicators work, we argue that frontiers and characteristics of STI indicators that were important last century may no longer be so relevant today and indeed may even be positively misleading” (Freeman and Soete, 2009). Peringatan dan nasehat seperti ini perlu secara serius diperhatikan oleh para pengelola lembaga litbang di Indonesia, karena kasus ‘abuse’ indikator STI (dan data statistik lainnya) bukan merupakan kejadian langka di Indonesia. Cara yang bijak adalah pahami secara komprehensif dan mendalam tentang lembaga litbang Indonesia saat ini dan ekspektasi peran lembaga litbang ini yang ideal di masa yang akan datang, baru kemudian memilih indikator yang pas untuk mengevaluasi kemajuan yang dicapai secara berkala dengan interval waktu yang rasional, sepanjang kurun waktu yang dibutuhkan untuk proses transformasi dari kondisi saat ini menjadi lembaga litbang ideal yang diharapkan. Revitalisasi lembaga litbang diyakini akan menempuh tiga langkah penting, yakni: [1] merumuskan kembali tujuan dan menetapkan sasaran yang ingin dicapai; [2] melakukan reformasi struktural agar organisasi lembaga litbang dapat menjadi kendaraan yang efektif untuk mencapai tujuan; dan [3] mengubah mindset dan budaya kerja komunitas litbang.
Boardman (2009) mengirimkan sinyal tentang tantangan yang sulit ini: [There is] a fundamental management task of aligning individual behaviors with [research] center goals and objectives. Apalagi individu-individu dalam komunitas litbang selama ini terbiasa dan lebih nyaman berkerja secara individual dibandingkan sebagai bagian dari kelompok atau komunitas yang lebih besar. Lembaga litbang saat ini sudah menjadi bagian integral dari sistem yang lebih besar, yakni SINas. Oleh sebab itu, visi dan misi, serta tujuan dan sasarannya perlu disesuaikan. Rencana strategis dan rencana aksi lembaga litbang perlu ditinjau ulang. Kegiatan riset yang hanya untuk pemuasan hasrat akademik semata, atau yang hanya bersifat sebagai academic exercise, perlu digeser prioritasnya untuk mendahulukan kegiatan riset untuk menghasilkan iptek yang sesuai kebutuhan nyata. Pembiayaan kegiatan litbang sudah saatnya diperlakukan sebagai investasi. Maknanya kegiatan litbang dalam jangka panjang harus memberikan keuntungan yang sebanding dengan pembiayaannya. Keuntungan yang dimaksud tidak selalu dalam bentuk keuntungan ekonomi, tetapi dapat dalam bentuk non-ekonomi, misalnya penyelenggaraan pemerintahan yang lebih bersih, turunnya tingkat kriminalitas, kerukunan umat beragama, dan bentuk keuntungan sosial dan
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Lembaga litbang di Indonesia juga perlu melakukan reformasi, agar transfer/difusi iptek dapat berjalan lebih lancar. Jika langkah pertama dan kedua di atas diyakini relatif tidak sulit untuk dilakukan, maka langkah ketiga, yakni mengubah mindset dan budaya kerja individu peneliti dan komunitas litbang, akan menjadi tantangan dan ujian yang paling sulit tetapi mutlak harus dilakukan. Keberhasilan pada dua langkah pertama akan sia-sia jika langkah ketiga ini tidak berhasil dilaksanakan.
5
spiritual lainnya . Namun demikian, sejak awal kegiatan litbang harus punya orientasi yang jelas, yakni untuk menghasilkan iptek yang bermanfaat bagi umat maupun negara.
Era Informasi Terbuka Walaupun saat ini Indonesia sedang gencar mendorong tumbuh kembang SINas, namun perlu dipahami bahwa saat ini juga aliran informasi sudah secara cepat mengalir ke seluruh penjuru dunia. Hal ini terjadi berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Keterbukaan arus informasi lintas negara merupakan suatu realita yang tak mungkin diabaikan. Suka atau tidak suka, saat ini dunia sudah memasuki era inovasi terbuka (open innovation). Sebagai antisipasi, bagus jika disimak petuah dari Freeman dan Soete (2009) berikut ini: “In the current global world economy, it seems obvious that increasing R&D investment is unlikely to benefit only the domestic economy”. Tersurat dalam petuah ini bahwa kalaupun suatu negara meningkatkan invenstasinya untuk mendukung kegiatan litbang, maka tidak ada jaminan bahwa yang akan menimba keuntungannya hanya negara yang bersangkutan itu sendiri. Oleh sebab itu perlu siasat yang tepat. Anjuran agar lembaga litbang Indonesia lebih fokus untuk mengembangkan teknologi sesuai kebutuhan dan persoalan domestik diyakini tepat dalam konteks inovasi terbuka ini. Lembaga litbang Indonesia tak perlu selalu melakukan semua hal mulai dari nol atau bahkan tidak perlu mengembangkan sendiri semua teknologi yang dibutuhkan. Selain meningkatkan kapasitas pengembangan teknologi, lembaga litbang di era informasi terbuka ini perlu mengembangkan kapasitas serapnya (populer disebut ‘absorptive capacity’). Cohen dan Levinthal (1990) mendefinisikan kapasitas serap sebagai: “the ability [of a firm] to recognise the value of new, external information, assimilate it, and apply it to commercial ends”.
Secara teoritis, inovasi terbuka dibedakan sesuai arah alirannya menjadi ‘inbound innovation’ (menyerap teknologi dari luar) dan ‘outbound innovation’ (mengaliran teknologi ke luar). Selanjutnya Dahlander and Gann (2010) juga membedakan inovasi terbuka berdasarkan apakah aliran teknologi tersebut terkait dengan kompensasi finansial atau gratis, menjadi bersifat pecuniary atau nonpecuniary. Pada era informasi terbuka dan memahami realita lembaga litbang Indonesia saat ini, maka yang realistis untuk diasah adalah kemampuan dalam melakukan sourcing, yakni mendapatkan informasi atau sumberdaya dari luar. Hanya jika diperhitungkan akan betul-betul memberikan keuntungan atau ada kebutuhan mendesak yang tak dapat segera dipenuhi, maka baru patut mempertimbangkan untuk acquiring, yakni membeli teknologi atau informasi dari luar. Sebaliknya, aliran teknologi keluar hanya akan menjadi penting untuk diwaspadai jika kualitas teknologi domestik yang dihasilkan sudah mencapai tingkat yang kompetitif. Terkait inovasi terbuka ini, nasihat Spithoven et al. (2010) untuk dunia usaha perlu dipertimbangkan dan diadopsi untuk lembaga litbang di Indonesia, yakni mengasah dan meningkatkan kemampuan menyaring dan mencari iptek dari luar yang sesuai dengan kebutuhan nasional sehingga tidak harus
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Kapasitas serap lembaga litbang perlu dimaknai sebagai kemampuannya untuk mengenali nilai kebaruan suatu iptek, sumber-sumber eksternal untuk informasi tentang iptek tertentu, memahami dan mencerna iptek eksternal, serta mengadaptasikannya agar sesuai dengan kebutuhan nasional.
6
sepenuhnya tergantung pada teknologi yang dihasilkan sendiri (in-house R&D). Secara ringkas, yang perlu dilakukan di era informasi terbuka ini adalah memanfaatkan iptek asing yang sesuai dengan kebutuhan domestik dan mengembangkan iptek nasional dengan fokus pada kebutuhan dan persoalan domestik. Revitalisasi lembaga litbang perlu dilakukan, tetapi perlu dilakukan dengan cerdas sesuai dengan posisinya saat ini sebagai salah satu unsur esensial SINas. Kinerja lembaga litbang perlu ditingkatkan, tetapi perlu disiapkan indikator kinerja yang pas, sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai, yakni peningkatan kontribusi iptek terhadap pembangunan nasional, yakni untuk menyejahterakan rakyat dan memajukan peradaban dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa.
Riset Terapan Bidang Agama Berdasarkan Rencana Strategis Kementerian Agama 2010-2014 dipahami bahwa tujuan utama program litbang bidang agama adalah menyediakan data dan informasi keagamaan sebagai landasan bagi perumusan kebijakan pembangunan bidang agama. Sedangkan hasil (outcomes) yang hendak dicapai adalah meningkatnya pemanfaatan hasil penelitian dalam perumusan kebijakan pembangunan agama atau pemanfaatannya oleh masyarakat.
Target yang ditetapkan tersebut menjadi acuan untuk memfokuskan kegiatan riset di lingkungan Kementerian Agama. Mendorong kegiatan riset terapan merupakan langkah yang positif dalam konteks menyediakan vehicle untuk mencapai target tersebut, tetapi vehicle tersebut harus dimuati dengan content yang tepat. Untuk memperbesar probabilitas hasil riset digunakan oleh pengguna (pemerintah dan masyarakat), maka substansi riset tersebut harus sesuai dengan kebutuhan dan/atau persoalan yang secara nyata dihadapi oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Dengan demikian, maka riset terapan tersebut hendaknya bersifat sebagai goal-oriented research, bukan hanya merupakan academic exercise. Persoalannya adalah para peneliti sering tidak punya sensitivitas untuk memahami kebutuhan dan/atau persoalan yang dihadapi pemerintah dan/atau masyarakat, atau enggan untuk bergeser keluar dari wilayah nyamannya, yakni dunia akademik yang terisolir dari realita.
Referensi. Boardman, P.C. 2009. Government centrality to university–industry interactions: University research centers and the industry involvement of academic researchers. Research Policy 38:1505–1516 Cohen, W.M. and D.A. Levinthal. 1990. Absorptive capacity: a new perspective on learning and innovation. Administrative Science Quarterly 35:128–152 Dahlander, L and D. M. Gann. 2010. How open is innovation? Research Policy 39:699–709
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Indikator yang digunakan untuk mengukur keberhasilan tersebut adalah persentase hasil penelitian yang digunakan sebagai landasan perumusan kebijakan atau program di unit kerja masing-masing atau digunakan oleh masyarakat. Target capaian yang ditetapkan adalah meningkatnya pemanfaatan hasil-hasil penelitian oleh pemerintah dan masyarakat, sebesar 20% pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 60% pada tahun 2014.
7
Freeman, C. And L. Soete. 2009. Developing science, technology and innovation indicators: What we can learn from the past. Research Policy 38:583–589 Kementerian Agama. 2010. Rencana Strategis 2010-2014. Kementerian Agama, Jakarta Kementerian Riset dan Teknologi. 2010. Indikator ekonomi berbasis pengetahuan Indonesia. Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Lakitan, B. 2010. Revitalisasi kelembagaan riset dan pengembangan untuk mendukung Sistem Inovasi Nasional. Seminar Revitalisasi Kelembagaan Litbang, Universitas Sahid, Jakarta 23 November 2010 Loikkanen, T., T. Ahlqvist and, P. Pellinen. 2009. The role of the technology barometer in assessing the performance of the national innovation system. Technological Forecasting & Social Change 76:1177– 1186 OECD. 2002. Frascati Manual: Proposed Standard Practice for Surveys on Research and Experimental Development. The Organisation for Economic Co-operation and Development, Paris
Benyamin Lakitan: Lembaga litbang di Era Informasi Terbuka
Spithoven,A., B. Clarysse, and M. Knockaert. 2010. Building absorptive capacity to organise inbound open innovation in traditional industries. Technovation 30:130–141
8