KELAYAKAN USAHATANI KEDELAI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW UTARA SULAWESI UTARA Bahtiar Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara Jl. Kampus Pertanian Kalasey, Manado E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Analisis usahatani kedelai di lahan kering melalui pendekatan PTT telah dilakukan di Kabupaten Bolmut, Sulawesi Utara pada MT 2013. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui kelayakan usahatani kedelai dan keuntungan yang diperoleh petani jika menerapkan teknologi PTT dengan pendekatan demfarm pada area 3 ha, dibandingkan dengan cara petani sekitarnya. Ada empat varietas unggul baru (VUB) kedelai yang digunakan dengan paket teknologi PTT dibandingkan dengan cara petani yang menggunakan varietas lokal. Aspek yang diamati adalah budidaya, ekonomi, dan respon petani. Hasil kajian menunjukkan bahwa empat VUB yang ditanam dengan paket PTT mengungguli cara petani baik aspek agronomi maupun ekonomi. Pertumbuhan VUB lebih seragam dan hasilnya berkisar 1,9–2,5 t/ha, sementara yang dicapai petani hanya 0,9 t/ha. Dilihat dari rasio pendapatan dengan biaya, semua VUB belum layak diusahakan karena nilai R/C kurang dari angka 2. Analisis MBCR menunjukkan bahwa apabila petani menerapkan teknologi introduksi maka akan mendapatkan keuntungan Rp 2.000–Rp 4.000 pada setiap penggunaan biaya Rp.1000. Cara pengelolaan budidaya kedelai tersebut mendapat respon petani yang sangat baik terutama mengenai VUB dan benih yang bermutu, serta pada cara penggunaan pupuknya. Kata kunci: usahatani kedelai, demfarm PTT, pendapatan petani
ABSTRACT Feasibility of soybean cropping in upland at Bolmut District, North Sulawesi. Analysis of soybean cropping in upland through PTT approach was conducted at Bolmut District, North Sulawesi in 2013 for to know feasibility and return of farmer by adoption of technology introduction. Four hight yielding varieties of soybean compared with local variety. Three variables evaluated namely cropping system, economic, and farmer’s respond. The study showed that hight yielding varieties could increase production from 0.9 to 1.9–2.5 t/ha, although not feasible based on analysis of R/C ratio. The MBCR analysis indicated that adoption of technology introduction gave return Rp 2.000 to Rp 4.000 for each using cost Rp 1.000 and respond by farmer were positive especialy on using hight yielding varieties, hight quality seed, and application fertilizer model. Keywords: Soybean crop, demfarm PTT, return of farmer
PENDAHULUAN Kedelai adalah salah satu tanaman pangan yang mendapat prioritas utama untuk dikembangkan (Badan Litbang Pertanian 2005). Program swasembada kedelai menghadapi tantangan yang tidak ringan, terutama dalam mendapatkan area pertanaman, karena menurut petani lebih menguntungkan mengusahakan palawija lain seperti jagung. Berba-
498
Bahtiar: Kelayakan Usahatani Kedelai pada Lahan Kering di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Sulut
gai upaya telah dilakukan untuk mendapatkan lahan untuk pertanaman kedelai antara lain lahan perkebunan/kehutanan, namun hasilnya belum optimal (Mentan 2014). Pemanfaatan lahan suboptimal juga masih menghadapi tantangan sekalipun berpeluang ditinjau dari luasan yang tidak dikelola (Haryono 2013). Di Sulawesi Utara, lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk kedelai cukup tersedia, terutama lahan perkebunan kelapa yang sudah kurang populasinya, juga lahan di dataran tinggi yang hanya ditanami beberapa tanaman perkebunan seperti cengkeh dan pala. Lahan-lahan tersebut subur tetapi belum optimal dimanfaatkan (Luce 2008, Anonim 2009a). Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) merupakan salah satu sentra produksi kedelai. Daerah ini memiliki luas wilayah 370.397 hektar, 14,8% diantaranya merupakan lahan kering dan potensial untuk pengembangan kedelai (BPS 2009, Anonim 2009b). Luas tanam kedelai di daerah ini berfluktuasi, pada tahun 2011 hanya 83 hektar dengan produktivitas 1,49 t/ha (Anonim 2012). Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai adalah dengan intensifikasi melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang didalamnya memadukan lima komponen teknologi dasar dan enam komponen teknologi pilihan (Marwoto et al. 2009, Departemen Pertanian 2008). Beberapa hasil kajian menunjukkan produktivitas kedelai dengan penerapan PTT lebih baik dibanding dengan cara petani (Tamburian et al. 2010, Sipahutar et al. 2009, Nugrahaeni et al. 2013). Syarat teradopsinya suatu teknologi adalah harus mempunyai keunggulan dari aspek produksi, menguntungkan secara ekonomis, dan diterima secara sosial budaya. Penerapan PTT secara fisik produksi sudah terbukti unggul di beberapa daerah, sehingga perlu dikaji dari aspek sosial ekonominya dengan memperhitungkan seluruh biaya yang digunakan untuk menghasilkan satu satuan produksi, baik untuk sarana produksi maupun tenaga kerja dari seluruh rangkaian proses produksi sampai panen dan pemasaran. Usahatani menguntungkan apabila nilai hasil lebih besar dari nilai input (MBCR > 2). Selain itu, ketersediaan input yang diperlukan, kemampuan petani untuk mengadakannya, mekanisme pemasaran hasil, dan tingkat harga yang berlaku di tingkat petani merupakan faktor yang juga menentukan adopsi teknologi. Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui kelayakan ekonomi penerapan teknologi PTT kedelai di lahan kering dan respon petani terhadap komponen teknologinya.
BAHAN DAN METODE Pengkajian dalam bentuk demfarm empat varietas unggul baru (VUB) kedelai yang mempunyai potensi hasil tinggi yaitu Anjasmoro, Kaba, Sinabung, dan Argomulyo (Balitkabi 2008a), masing-masing ditanam pada area seluas 0,75 ha dengan paket teknologi seperti yang tercantum dalam Pedoman Umum PTT Kedelai (Balitkabi 2008b), kemudian dibandingkan dengan cara petani (Tabel 1). Aspek yang diamati adalah pertumbuhan agronomis tanaman, biaya dan pendapatan, dan tanggapan petani. Pengamatan terhadap pertumbuhan agronomis tanaman dilakukan dengan mengamati daya tumbuh (%), tinggi tanaman (cm), umur berbunga 50% (hari), umur panen (hari), jumlah polong isi per tanaman (polong/tanaman), jumlah polong hampa (%), bobot 100 biji (g), dan produktivitas (t/ha). Tanaman sampel diambil dari tiga
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 20154
499
titik dari area seluas 10 m x 10 m di setiap petak, masing-masing 10 tanaman, sedang untuk mengukur produktivitas (t/ha) diambil dari hasil setiap petakan. Tabel 1. Komponen demfarm PTT dan teknologi petani pada usahatani kedelai lahan kering di Kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Komponen Teknologi Pengolahan tanah
Varietas Kualitas Benih Kebutuhan benih (kg/ha) Cara tanam
Pemupukan (kg/ha)
Pengendalian OPT
Pemeliharaan
Pengendalian gulma
Demfarm PTT Olah Tanah Minimum (OTM) dibajak 1 kali, satu minggu kemudian disemprot herbisida KillUp 1 ltr/ha, dan disisir 1 kali Anjasmoro, Kaba, Sinabung, dan Argomulyo 0,75 ha/VUB Bersertifikat dari Balitkabi (FS) Masing-masing 40 Larik dengan bajak sapi terampil, jarak tanam 40 cm x 15 cm, 2–3 biji/lubang, ditutup dengan pupuk kandang 100 kg Phonska + 50 kg Superfosfat diberikan pada umur 7– 10 hst sebagai pupuk dasar, kemudian 100 kg Phonska + urea 10 kg diberikan pada umur 30 hst (menggunakan BWD). Pemupukan dilakukan secara tugal di samping tanaman Menerapkan kaidah PHT: 10 kg/ha Furadan diberikan bersamaan pemupukan dasar 1 kg Gandasil B dilarutkan kemudian disemprotkan pada saat menjelang pembungaan 1 ltr Extratin/ha diberikan pada saat pembungaan Disemprot herbisida CBA 2 ltr/ha pada umur 21 hst dan 42 hst
Teknologi Petani Olah Tanah Sempurna (OTS) dengan menggunakan bajak 2 kali, sisir 1 kali Lokal Kripik 1 ha Hasil produksi dari musim tanam sebelumnya 50 Larik, jarak tanam 30 x 30 cm, 3– 5 biji/lubang
100 kg phonska + 50 kg Superfosfat diberikan pada saat tanam (10–20 hst)
Tanpa acuan
Menggunakan Powder Grow 3 ltr/ha dan Herbafarm 1 ltr/ha disemprotkan pada saat ada serangan hama/penyakit Disiangi dengan menggunakan cangkul berdasarkan partumbuhan rumpu
Pengamatan ekonomi diarahkan kepada input output untuk mengetahui keuntungan usahatani kedelai dengan perhitungan R/C rasio dengan rumus total nilai hasil dibagi dengan total biaya. R/C >2 menunjukkan usahatani tersebut dikatakan layak. Seterusnya untuk membandingkan keunggulan antara teknologi yang diterapkan melalui PTT dengan teknologi yang diterapkan petani dilakukan analisis Marginal Benefit Cost Ratio dengan rumus sebagai berikut (Malian et al. 1989):
500
Bahtiar: Kelayakan Usahatani Kedelai pada Lahan Kering di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Sulut
Nilai Hasil Teknologi PTT – Nilai Hasil Teknologi Petani MBCR =
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Total biaya teknologi PTT – Total biaya teknologi Petani Peralihan penerapan teknologi petani ke teknologi PTT dikatakan unggul apabila nilai MBCR > 2 (Adnyana dan Kariyasa 2006). Seterusnya, untuk mengetahui respon petani, dilakukan diskusi dan tanya jawab dengan petani untuk setiap penerapan komponen teknologi. Ada lima komponen yang diterapkan dalam PTT yang diminta tanggapan petani, yaitu benih VUB, mutu benih, pengaturan jarak tanam, pemupukan, penggunaan bagan warna daun (BWD) yang sesungguhnya hanya lazim digunakan pada tanaman padi dan jagung. Tanggapan dan persepsi diberi skor 1–5. Semakin tinggi skornya semakin baik responnya. Hasil skoring dilanjutkan dengan analisis Likert (1932) dengan rumus sebagai berikut: ∑n x bn Skor = -------------------N Skor : Skor nilai minimal 1 dan maksimal 5 ∑n : Jumlah Responden yang memberi pernyataan pada skor tertentu bn : Bobot Skor : 1 = Tidak setuju, 2 = kurang setuju, 3 = Agak setuju, 4 = Setuju, dan 5 = Sangat setuju N : Jumlah Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Agronomi/Budidaya Penanaman dilakukan pada musim hujan, keadaan tanah berada pada kapasitas lapang. Pertumbuhan awal (4 HST) keempat varietas kedelai sudah terlihat pada hari keempat dengan keserempakan tumbuh 95%. Keadaan ini mencerminkan vigor VUB yang ditanam dalam keadaan baik. Pertumbuhan varietas lokal baru terlihat pada hari ke 7–10 dan tidak seragam (hanya 82%). Hal ini menunjukkan kualitas benih relatif rendah. Pada saat tanaman berumur 10 hari, pertumbuhan keempat varietas sangat baik. Pertumbuhan vegetatifnya sangat cepat, tanaman tegak, batang kekar dan kuat (vigor). Pada umur 30 HST setelah pemupukan susulan, terjadi percepatan proses pembungaan, daun berwarna hijau gelap, kanopi daun menutup permukaan tanah sehingga menekan pertumbuhan gulma. Hal ini berkaitan dengan pemberian pupuk berimbang. Menurut Abdulrachman (2000), pemupukan berimbang/spesifik lokasi adalah pemberian pupuk yang tepat takaran, waktu, dan jenis yang berdampak positif terhadap efisiensi penggunaan input, hasil yang dicapai, dan kesuburan tanah. Pertumbuhan tanaman kedelai petani kelihatan tertekan dan tidak subur. Populasi jarang dan tidak rimbun memberi peluang bagi gulma untuk tumbuh dan bersaing dengan tanaman, sehingga penyiangan dilakukan dua kali pada umur 21 dan 42 HST, sehingga biaya penyiangan meningkat. Pengendalian hama dilakukan tanpa melihat ada serangan atau tidak, penyemprotan insektisida dilakukan sejak tanaman berumur 14 HST sampai 21 hari sebelum panen dengan interval 7 hari (rata-rata 6–7 kali penyemprotan). Cara Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 20154
501
tersebut selain dapat membunuh serangga pemangsa atau predator, juga dapat mencemar lingkungan (Kartaatmadja et al. 2000). Hama utama yang menyerang tanaman kedelai cara petani sama dengan perlakuan PTT yaitu ulat daun dan penghisap polong. Teknologi PTT yang menggunakan keempat VUB memiliki tinggi tanaman rata-rata 95,0 cm, tertinggi pada varietas Anjasmoro yaitu 97,0 cm menyusul Kaba dan Sinabung masing-masing 95,0 cm dan 90,0 cm, sedangkan pada Argomulyo 86,0 cm. Fase berbunga 50% VUB terjadi pada umur 32–35 hari, cenderung lebih cepat dibandingkan dengan varietas lokal pada 38 HST. Umur panen keempat VUB beragam, berkisar 85–90 hari sehingga termasuk kelompok umur sedang (80–95 hari) (Balitkabi 2008a). Varietas Argomulyo memiliki umur 85 hari sedangkan tiga varietas lainnya (Anjasmoro, Kaba dan Sinabung) 90 hari. Varietas lokal yang ditanam petani umur 88 HST (Tabel 2). Tabel 2. Keragaan agronomis kedelai pada demfarm PTT dan teknologi petani pada lahan kering di Kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Perlakuan demfarm (varietas) Demfarm PTT 1. Anjasmoro 2. Kaba 3. Sinabung 4. Argomulyo Teknologi Petani Varietas lokal
Daya tumbuh (%)
Tinggi tanaman (cm)
Umur berbunga 50% (hari)
Umur panen (hari)
95,0 95,0 95,0 95,0
97,0 95,0 90,0 86,0
35,0 35,0 35,0 32,0
90,0 90,0 90,0 85,0
82,0
68,0
38,0
88,0
Hasil kedelai yang dicapai oleh kedua model budidaya yang dikaji berbeda. Teknologi PTT dengan menggunakan empat VUB memberikan hasil antara 1,9–2,5 t/ha. Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan teknologi petani, dalam hal ini varietas lokal hanya memberikan hasil rata-rata 0,90 t/ha. Berarti penerapan teknologi PTT meningkatkan hasil dua kali lipat dari teknologi petani. Hasil tertinggi dicapai oleh varietas Anjasmoro yaitu 2,5 t/ha, menyusul Kaba 2,4 t/ha, Sinabung 2,2 t/ha, dan Argomulyo 1,9 t/ha. Tingginya hasil tersebut ditunjang oleh komponen hasil yang tinggi, yaitu jumlah polong rata-rata 203,8 polong/tanaman, jumlah polong hampa 5,9%, dan bobot 100 butir 13,0 g (Tabel 3). Tabel 3. Keragaan komponen hasil dan hasil kedelai pada demfarm PTT dan teknologi petani pada lahan kering di Kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Perlakuan Demfarm (Varietas) Demfarm PTT Anjasmoro Kaba Sinabung Argomulyo Teknologi petani varietas lokal
502
Jumlah polong isi/tan
Jumlah polong hampa (%)
Bobot 100 butir (g)
Hasil pipilan kering (t/ha)
222,70 202,60 192,20 197,70
5,20 5,70 5,00 7,80
13,60 12,90 12,70 12,71
2,55 2,40 2,25 1,90
117,00
8,00
10,8
0,90
Bahtiar: Kelayakan Usahatani Kedelai pada Lahan Kering di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Sulut
Analisis Usahatani Biaya sarana produksi dan tenaga kerja yang digunakan nampak berbeda antara perlakuan PTT dengan cara petani. Penggunaan biaya produksi pada demfarm PTT ratarata Rp8.568.425, lebih tinggi 37,5% dibanding teknologi petani (Rp6.231.250). Biaya tertinggi terjadi pada varietas Anjasmoro sebesar Rp8.813.425, menyusul Kaba Rp8.673.425, Sinabung Rp8.573.425, dan Argomulyo Rp8.213.425. Hal ini disebabkan pada demfarm PTT terdapat pengeluaran sarana produksi untuk komponen pupuk kandang, pupuk Phonska dan Superfosfat (Tabel 4). Penggunaan tenaga kerja pada demfarm PTT juga lebih tinggi karena penambahan sarana produksi dan perbaikan budidaya tanaman. Tabel 4 menunjukkan penggunaan tenaga kerja pada demfarm PTT, khususnya penanaman, pemupukan, dan panen/prosesing lebih banyak dari teknologi petani. Pada demfarm PTT, tenaga penanaman dan pemupukan dilakukan pada barisan/larikan secara teratur dan lubang benih ditutup dengan pupuk kandang. Dengan cara petani, penanaman tidak teratur, lubang benih tidak ditutup, dan pemupukan dilakukan dengan cara disebarkan, sehingga tenaga kerja yang digunakan tidak banyak. Tabel 4. Analisis biaya penggunaan saprodi dan tenaga kerja pada demfarm PTT kedelai vs teknologi petani di Kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Uraian penggunaan saprodi dan tenaga kerja A. Sarana produksi Benih Phonska Urea Power Grow Herbafarm Gandasil B Kandang Furadan Extratin Herbisida Kill-Up Herbisda CBA B.Tenaga kerja (HOK) Penyiapan lahan (borongan) Penanaman Pemupukan Pengendalian gulma Pengendalian OPT Panen &prosesing - Varietas Anjasmoro - Varietas Kaba - Varietas Sinabung - Varietas Argomulyo - Varietas Lokal (Kripik) C. Jumlah A+B Anjasmoro Kaba Sinabug Argomulyo Lokal (Kripik)
Demfarm PTT Fisik (kg,ltr, Biaya HOK/ha) (Rp/ha)
Teknologi petani Fisik (kg,ltr, Biaya HOK/ha) (Rp/ha)
40 200 25 1 1500 10 4 3 2
300.000 500.000 50.000 50.175 1.500.000 300.000 267.600 167.250 178.400
50 100 50 3 1 1 5 5 2 1
275.000 250.000 100.000 167.250 83.625 50.175 150.000 334.500 111.500 89.200
16 10 14 5
1.000.000 960.000 600.000 840.000 300.000
14 7 14 7
1.200.000 840.000 420.000 840.000 420.000
30 28 26 20 -
1.800.000 1.660.000 1.560.000 1.200.000 -
15
900.000
-
8.813.425 8.673.425 8.573.425 8.213.425 -
-
6.231.250
Keterangan: Upah Rp 60.000/hari Pupuk Phonska Rp 2.500/kg; Harga Benih Tek.PTT Rp 7.500 Pupuk Urea Rp 2.000/kg; Pukan Rp 1.000/kg; Harga Benih Tek Petani Rp 5.500 Pupuk organik Power Grow Rp 55.750/ltr; Insektisida Padat (Furadan) Rp30.000/kg Pupuk organik Herbafarm Rp 83.625/ltr; Insektisda cair (Extratin) Rp 66.900/ltr Pupuk Gandasil B Rp 50.175/kg; Herbisida Kill-Up Rp 55.750/ltr Herbisida CBA Rp 89.200/ltr.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 20154
503
Walaupun teknologi PTT membutuhkan biaya dan tenaga kerja yang lebih besar, tetapi dapat dikompensasikan oleh penambahan nilai hasil yang lebih tinggi daripada tambahan biaya yang dikeluarkan dalam menerapkan teknologi tersebut. Pendapatan usahatani dari masing-masing teknologi yang diterapkan berbeda. Penerapan komponen teknologi PTT meningkatkan pendapatan rata-rata Rp6.219.075, sedang cara petani mengalami kerugian sebesar (Rp381.250). Pendapatan tertinggi diberikan oleh varietas Anjasmoro yaitu Rp7.761.575, menyusul Kaba Rp6.926.575, Sinabung Rp6.051.575, dan Argomulyo Rp4.136.575 (Tabel 5). Pendapatan tersebut dinilai belum layak secara ekonomi karena dibidang usahatani standar R/C 2 baru dapat dikatakan layak, mengingat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani sangat banyak (Kaliky dan Widodo 2006). Tabel 5. Analisis biaya dan pendapatan demfarm PTT kedelai vs teknologi petani di Kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Perlakuan Demfarm PTT Varietas Anjasmoro Vararietas Kaba Varietas Sinabung Vararietas Argomulyo Teknologi Petani Varietas Lokal
Hasil (kg/ha)
Penerimaan (Rp/ha)
Biaya (Rp/ha)
Pendapatan (Rp/ha)
R/C
2.550 2.400 2.250 1.900
16.575.000 15.600.000 14.625.000 12.350.000
8.813.425 8.673.425 8.573.425 8.213.425
7.761.575 6.926.575 6.051.575 4.136.575
1,9 1,8 1,7 1,5
900
5.850.000
6.231.250
-381.250
0,9
Keterangan: Harga jual kedelai biji kering di lokasi Rp 6.500/kg.
Analisis MBCR menunjukkan bahwa jika petani beralih dari cara mereka dan menerapkan teknologi PTT dengan menggunakan salah satu VUB kedelai, mereka dapat meningkatkan pendapatannya dengan nilai MBCR rata-rata 3–4 (Tabel 6), yang berarti setiap penggunaan biaya Rp1.000 maka akan mendapatkan pendapatan sebesar Rp3.000 – Rp4.000. Tabel 6. Analisis perbandingan antara teknologi PTT kedelai dengan teknologi petani di kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Peralihan teknologi Dari cara petani var. Lokal ke PTT Var.Anjasmoro Dari cara petani var. Lokal ke PTT Var. Kaba Dari cara petani var. Lokal ke PTT Var. Sinabung Dari cara petani var. Lokal ke PTT Var. Argomulyo
Penerimaan (Rp/ha) 16.575.000 15.600.000 14.625.000 12.350.000
Biaya (Rp/ha)
MBCR
8.813.425 8.673.425 8.573.425 8.213.425
4,15 3,99 3,75 3,28
Tanggapan dan Persepsi Petani Petani tanggap terhadap keragaan teknologi PTT. Sebagai gambaran respon petani, sebelum panen sudah banyak yang menunggu hasilnya untuk ditanam kembali di lahannya, baik petani di sekitar pertanaman maupun bagi mereka yang sempat melewati pertanaman tersebut. Permasalahan utama yang mereka hadapi adalah pemasaran. Mereka 504
Bahtiar: Kelayakan Usahatani Kedelai pada Lahan Kering di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Sulut
siap mengembangkan secara luas apabila ada jaminan pasar. Harga kedelai pada tingkat petani berfluktuasi dan pemasarannya pun relatif sulit, karena daerah ini jauh dari pusat perkotaan, sehingga pemasaran hanya kepada pengelola usaha tempe yang juga tidak banyak kebutuhannya. Daya beli mereka berkisar Rp4.500–6.500/kg, sementara petani menghendaki Rp7.500/kg. Jadi untuk mengembangkan kedelai tidak hanya aspek budidayanya yang perlu dibenahi, tetapi juga aspek pemasaran yang memberi jaminan kepada petani bahwa usaha tersebut memberi keuntungan dan bersaing dengan tanaman lainnya (Rozi 2013). Tanggapan dan penilaian petani terhadap komponen demfarm PTT kedelai dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 . Tanggapan petani terhadap demfarm PTT kedelai di Kabupaten Bolmut, Sulut, MT 2013. Komponen teknologi yang dinilai Varietas unggul Benih bermutu tinggi Jarak tanam Penggunaan pupuk kandang Pupuk Phonska sebagai sumber NPK Penggunaan BWD Cara pemberian pupuk
Tanggapan dan Persepsi Responden (org) SSt St ASt KSt TSt 20 30 35 5 0 75 15 0 0 0 3 15 42 30 0 5 23 45 17 0 80 10 0 0 0 5 20 50 15 0 50 40 0 0 0
Skor 3,7 4,8 2,9 3,2 4,9 3,2 4,6
Keterangan : SSt = Sangat setuju; St = Setuju; ASt = Agak Setuju; KSt = Kurang Setuju; TSt = Tidak Setuju.
VUB kedelai yang didemfarmkan dengan teknologi PTT diterima petani, karena menghasilkan tanaman sehat, perakaran lebih banyak sehingga akan tumbuh lebih cepat, merata dan tidak dilakukan penyulaman. Benih berlabel lebih bersih dan lebih seragam dengan daya kecambah paling rendah 95%. Keempat varietas unggul baru (VUB) yang di introduksi (Anjasmoro, Kaba, Sinabung, dan Argomulyo) semuanya disenangi petani karena penampilan tanaman sangat baik, jumlah polong tinggi, biji berukuran besar sehingga dapat meningkatkan hasil, populasi tanaman optimal akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik, berpolong optimal, hasil tinggi. Jumlah biji /lubang 2 butir akan menghemat penggunaan benih. Kendalanya adalah tenaga kerja belum terampil, sehingga biaya tanam lebih tinggi (20%). Pemupukan harus diberikan agar tanaman lebih sehat dan tahan rebah (100%), hasil tinggi. Cara pemupukan tidak efisien dan efektif, pupuk diberikan dekat batang tanaman tanpa ditutup dengan tanah, pupuk tidak merata, sehingga dampak perubahan warna kurang nyata (100%).
KESIMPULAN Dari kajian demfarm kedelai ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Varietas kedelai yang digunakan pada demfarm PTT memberikan hasil yang lebih tinggi dibanding varietas lokal yang ditanam petani. Hasil VUB berkisar antara 1,9–2,5 t/ha sementara varietas lokal hanya 0,9 t/ha. 2. Penggunaan VUB kedelai dan dikelola dengan pendekatan PTT menguntungkan namun belum dianggap layak secara ekonomi untuk dikembangkan. 3. Analisis MBCR menunjukkan bahwa jika petani beralih dari kebiasaannya dan menerapkan budidaya yang diperagakan dalam demfarm PTT akan meningkatkan
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 20154
505
efisiensi penggunaan input sampai 3 kali lipat lebih dibanding dengan cara yang sekarang. 4. Tanggapan petani terhadap komponen teknologi yang diterapkan pada demfarm PTT kedelai sangat baik, namun untuk menerapkannya masih perlu dukungan kebijakan harga yang layak bagi petani. Mereka bersedia mengembangkan teknlogi PTT lebih luas apabila ada jaminan harga Rp7.500/kg yang selama ini hanya berkisar Rp4.5006.500/kg.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa, 2006. Dampak dan persepsi petani terhadap penerapan sistem pengelolaan tanaman terpadu padi sawah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(1), 2006 Anonim, 2009a. Laporan Tahunan. Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Sulawesi Utara, 2009. Anonim, 2009b. Programa Penyuluhan Pertanian. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Anonim, 2012. Laporan Tahunan Dinas Pertanian, Peternakan dan Kehutanan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Badan Litbang Pertanian, 2005. Rencana Strategis Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. Balitkabi, 2008a. Deskripsi Varietas Unggul Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Malang Balitkabi, 2008b. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau, Ubi Kayu, dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. BPS. 2009. Sulawesi Utara dalam Angka. Biro Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara. BPS. 2011. Kabupaten Bolmut dalam Angka. Biro Pusat Statistik Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Departemen Pertanian, 2008. Panduan Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Kedelai. Haryono, 2013. Manajemen Litkajibangdiklatluhrap mendukung program pengkajian dan diseminasi inovasi pertanian. Rapat Kerja BBP2TP dengan Tema “Konsolidasi Manajemen Litkajibangdiklatluhrap mendukung Penuntasan Program Pengkajian dan Diseminasi Pertanian Spesifik Lokasi 2014”. Kudus 20–24 Maret 2013. Kartaatmadja. S., A.K. Makarim, and A.M. Fagi. 2000. Integrated Crop Management and Approach For Sustainable Rice Production AARD, Jakata 14 p. (unpublished). Kaliky, R dan S. Widodo, 2006. Analisis kelayakan finansial dan ekonomi dalam penelitian dan pengkajian teknologi pertanian. BPTP Yogyakarta. Luce A.Taulu, 2008. Perkembangan pertanian propvinsi Sulawesi Utara menyoroti dinamika pembangunan pertanian kawasan timur Indonesia. Prosiding Lokakarya. Badan Litbang Pertanian. Hal. 160–179. Malian, A.H., A. Djauhari, dan M.G. Van Der Veen, 1989. Economic Analysis in Farming Systems Research. Bahan Pelatihan Analisis Ekonomi Sistem Usahatani. Maros, 11 Pebruari – 3 Maret 1989. Marwoto, Subandi, T.Adisarwanto, Sudaryono, A. Kasno, S. Hardaningsi, D. Setyorini, dan M Adie. 2009. Pedoman Umum PTT Kedelai. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Mentan, 2014. Sambutan dan Arahan dalam Workshop Kordinasi Pemantapan Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) dalam Rangka Evaluasi MT.2013/2014 dan Pemantapan
506
Bahtiar: Kelayakan Usahatani Kedelai pada Lahan Kering di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara Sulut
MT.2014 Hotel Atria Serpong, 23–24 April 2014. Nugrahaeni, A. Krisnawati, dan Purwantoro, 2013. Keragaan Galur Kedelai Potensi Hasil Tinggi, Umur Genja Hingga Sedang, Dan Berukuran Biji. Sedang Hingga Besar. Prosiding Seminar Nasional Balitkabi, Malang. Rozi F. 2013. Perubahan perilaku berproduksi petani dengan program SL-PTT dalam upaya percepatan swasembada kedelai. Prosiding Seminar Nasional Balitkabi. Malang Sipahutar D., E.Sari, A. Jamil, dan Nurhayati, 2009. Keragaan beberapa varietas unggul baru kedelai di kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Prosiding Seminar Balitkabi. Penyediaan Tamburian, Y., W. Rembang dan Bahtiar, 2010 Pengkajian Sistem Kebutuhan Benih Unggul Bermutu Kedelai Yang Lebih Murah Secara Berkelanjutan Untuk Mendukung Program Strategis Peningkatan Produksi kedelai Di Sulawesi Utara. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional B2PTP. Cisarua, 17–19 Desember 2010.
DISKUSI Pertanyaan 1. Prof. Dr. Nasir Saleh (Balitkabi). Apa kendala utama pengembangan kedelai di Sulawesi Utara, karena hasil pengkajian menunjukkan angka yang signifikan dan menguntungkan. 2. Dr. Yusuf (BPTP NTT). Bagaimana respon petani terhadap teknologi PTT dan bagaimana keberlanjutannya. 3. Saran : Ir. Heryanto, MS (Balitkabi). Sebaiknya analisis yang digunakan dalam membandingkan antara teknologi baru dengan teknologi petani adalah MBCR. Kemudian perlu disepakati standar kelayakan R/C rasio dibidang usahatani dari 1 menjadi 2 mengingat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan usahatani. Jawaban 1. Kendala utama yang dihadapi petani untuk mengembangkan kedelai di provinsi Sulawesi Utara adalah jaminan harga yang memadai dan kelangkaan varietas unggul baru. Petani bersedia mengembangkan kedelai secara luas apabila ada jaminan harga. Harga yang diterima petani hanya berkisar Rp 4.500/kg itu pun sangat terbatas pemasarannya. Harga yang layak bagi petani adalah Rp 7.500/kg. 2. Respon petani sangat baik, terutama pada penggunaan varietas unggul dan kualitas benihnya, juga pemupukannya yang dapat menampilkan pertumbuhan tanaman yang subur. 3. Semua saran diterima dan dipedomani dalam memperbaiki makalah ini.
Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi 20154
507