BioWallacea Jurnal Ilmiah Ilmu Biologi Januari 2016 Vol. 2 No. 1, p. 48-53 ISSN: 2442-2622
KELAYAKAN BIOEKOLOGI TELUK GERUPUK SEBAGAI KAWASAN BUDIDAYA PERIKANAN BERBASIS MULTITROPIC SEA FARMING Hilman Ahyadi1, Immy Suci Rohyani1, Sukiman1, dan Faturrahman1 1 Program studi Biologi FMIPA Universitas Mataram, Jl. Majapahit No 62 Mataram 83125, Telp/Fax: 0370-646506, email:
[email protected] ABSTRAK Teluk Gerupuk merupakan salah satu kawasan sentra pengembangan minapolitan di Nusa Tenggara Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kelayakan bioekologi teluk Gerupuk untuk pengembangan budidaya perikanan berbasis multi tropic sea farming. Parameter bioekologi yang diamati meliputi kondisi dasar substrat, kualitas fisika, kimia dan biologi perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas kualitas fisika, kimia dan biologi perairan teluk Gerupuk masih layak untuk budidaya beragam jenis kekerangan dan ikan. Berdasarkan kondisi topografi pantai, substrat dasar perairan dan tutupannya maka hanya bagian timur-utara teluk Gerupuk yang layak sebagai lokasi pengembangan budidaya system MTSF. Keyword: teluk Gerupuk, multi tropic sea farming, bioekologi PENDAHULUAN Kawasan Dusun Teluk Gerupuk dihuni oleh 1103 jiwa, 294 kepala keluarga, dengan komposisi 513 laki-laki dan 592 perempuan (pers.com dengan kepala dusun). Kondisi saat ini masyarakat Teluk Gerupuk sebagian besar bermata-pencaharian sebagai nelayan yang memiliki penghasilan rendah, sementara para pemuda lebih cenderung memilih bekerja sebagai pemandu wisata (Faturrahman et al. 2013). Teluk Gerupuk dengan luasan 834 Ha, terletak di pantai selatan pulau Lombok, termasuk kedalam Desa Sengkol Kecamatan Pujut Kabupaten Lombok Tengah. Teluk Gerupuk merupakan satu kawasan minapolitan untuk pengembangan rumput laut. Kawasan ini telah dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas meliputi wisata air (surfing), penangkapan benih lobster alam, budidaya rumput laut dan budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) (Priyambodo et al. 2007). Zonasi pemanfaatan kawasan ini telah terbentuk secara informal dan telah diakui oleh masyarakat setempat. Pola zonasi pemanfaatan perairan di Teluk Gerupuk ini merupakan contoh pemanfaatan lahan yang baik. Pembentukan zonasi secara informal ini telah memadukan antara karakteristik perairan, pengguna lahan dan kepentingan sector (Stead et al. 2002). Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Lombok Tengah Tahun 2005 terdapat sekitar 825 jiwa yang terlibat dalam usaha
budidaya rumput laut di kawasan teluk Gerupuk, dengan nilai produksi sekitar 3,25 milyar per tahun. Belakangan ini jumlah pembudidaya rumput laut tersisa hanya 20 orang saja. Insiden seringnya kejadian gagal panen merupakan penyebab enggannya masyarakat untuk menekuni kembali usaha budidaya rumput laut. Hal ini diduga disebabkan oleh degradasi kawasan hutan mangrove dan dialihfungsikan menjadi pemukiman, wisata dan ruang untuk aktivitas public. Tingginya tekanan terhadap teluk Gerupuk oleh aktivitas ekonomi dan perusakan lingkungan menuntut adanya kajian ulang mengenai kelayakan teluk ini sebagai pusat pengembangan kawasan minapolitan berbasis sistem budidaya multi tropic sea farming (MTSF) di Nusa Tenggara Barat.
METODE PENELITIAN Penentuan lokasi budidaya rumput laut secara longline, budidaya ikan dengan KJA dan wisata air berdasarkan data lapangan. Pengukuran data lapang diambil di perairan Teluk Gerupuk, Lombok Tengah, NTB. Pengumpulan data tersebut dilakukan dengan cara pengukuran parameter kualitas perairan yang menjadi syarat utama kelayakan suatu lokasi untuk dijadikan lokasi budidaya. Parameter yang diukur meliputi topografi dan substrat dasar teluk, suhu, kecepatan arus, salinitas, derajat keasaman (pH), dissolved oxygen (DO)dan
kelimpahan plankton. Metode pengumpulan data lapangan dilakukan sebagai berikut: Substrat dasar teluk diamati secara visual sensus Pengukuran suhu, pH dan DO dilakukan menggunakan water checker HANNA HI 9828, pada kedalaman 10, 50,100, dan 200 cm pada Mei 2013 pukul 09.00–13.30 WITA. Pengukuran salinitas dilakukan menggunakan refraktometer pada kedalaman 10, 50,100, dan 200 cm pada bulan Mei 2013 pukul 09.00–13.30 WITA. Pengukuran kecerahan air dilakukan menggunakan secchi disk pada bulan Mei 2015 pukul 09.00–13.30 WITA.
Pengukuran nitrat, fosfat, dan ammonia dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Budidaya Laut Lombok, Sekotong NTB. Pengukuran kecepatan arus permukaan dilakukan secara langsung di setiap titik pengamatan menggunakan floating dredge yang dibentangkan menggunakan tali sepanjang 2 m dan dicatat waktu tempuhnya dengan menggunakan stop watch.
HASIL DAN PEMBAHASAN Telah terjadi perusakan lebih dari 70% kawasan hutan mangrove didaerah Teluk Gerupuk yang berdampak pada lonjakan peningkatan sedimentasi di daerah sebelah Barat dan Selatan Teluk. Kondisi ini berujung pada berkurang/hilangnya pemanfaatan perairan teluk gerupuk bagian selatan dan timur sebagai kawasan budidaya rumput laut, ikan maupun lobster. Area budidaya semakin bergerak kearah mulut teluk yang memiliki substrat dasar berbatu dan berpasir, meskipun memiliki ombak cukup besar. Kualitas Lingkungan Perairan Teluk Gerupuk Analisis kualitas air laut pada Teluk Gerupuk dilakukan untuk menilai kelayakan perairan ini sebagai kawasan budidaya beberapa komoditas laut seperti rumput laut, abalone, kerapu, kakap, bawal dan lobster. Pada penelitian ini sampling kualitas air dilakukan pada lokasi yang dapat mewakili areal lainnya. Kualitas fisik dan kimia perairan yang diukur meliputi pH, suhu, salinitas, kadar nitrit, dan kadar ammonia. Hasil pengukuran sifat fisik dan kimia perairan disajikan pada Tabel berikut: Tabel 1. Kualitas fisik kimia air teluk Gerupuk
Parameter
Nilai Ho
Nilai H27
Standar *
Suhu
28-29 oC
28-30oC
28-32
Kecerahan
1.82 m
1.82m
3-4m
Salinitas
33-37 ppt
34-36 ppt
30-40ppt
7.8-8.4
7.5-8.4
0.03
0.03-0.05
0.07
0.07-0.08
4.82
4.82
pH NH3 NO3 DO
6-8 <1 0.06 6-8
*Menteri KLH 1988 Pada awal penelitian pH berkisar 7.8-8.4, suhu 28-29 oC, salinitas 35 ppt, kadar ammonia 0.03 mg/L dan kadar nitrit 0.07 mg/L. Setelah penelitian berlangsung selama sebulan, data-data tersebut tidak terlalu berbeda dengan data pada awal penelitian maupun kualitas air antar bak atau antar perlakuan, yaitu pH 7.8-8.4, suhu 28-30 oC, salinitas 33-35 ppt, ammonia 0.03-0.05 mg/L dan nitrit 0.07-0.08 mg/L. Menurut Fallu (1991) kualitas air pemeliharaan merupakan faktor penentu kesuksesan budidaya abalon, kualitas air harus tetap konstan berada pada kisaran pH 7.57.9, suhu 28-32 oC, salinitas 33-35 ppt, kadar ammonia maksimal 0.03 mg/L. Data penelitian menunjukkan bahwa parameter kualitas air selama penelitian berada pada kisaran sangat layak untuk budidaya abalone dan ikan, sehingga faktor ini tidak berpengaruh terhadap perlakuan. Parameter fisika dan kimia yang harus dipertimbangkan antara lain adalah arus, suhu, kecerahan, pH, salinitas, oksigen terlarut dan senyawa nitrogen. Ahmad et al. (1991) menyatakan, kecepatan arus yang baik untuk budidaya ikan laut dalam kejapung adalah 5-15 cm/detik, suhu air 27-32 °C (Gunarso, 1985), pH 6,5-9,0 (Boyd & Licht- Koppler 1979) dan kecerahan > 3 m (KLH 1988). Selanjutnya Anonym (1986) dan Ahmad et al. (1991) menyatakan bahwa oksigen yang baik adalah 5-8 ppm, sedangkan konsentrasi amonia kecil dari 0,1 ppm. Analisis Kelayakan Bioekologi Teluk Gerupuk Perairan teluk adalah salah satu wilayah ekosistem pesisir yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan masih menerima masukan air tawar dari daratan. Perairan ini
memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga perlu dijaga keberlanjutannya. Namun demikian permasalahan utama yang terjadi adalah karena pemanfaatan yang berlebihan (over exploitation) terhadap sumberdaya perikanan dan degradasi biofisik lingkungan perairan akibat pencemaran, sehingga diperlukan upaya pengelolaan yang efektif dan bertanggung jawab. Kondisi lingkungan biofisik perairan yang sesuai akan berpengaruh terhadap populasi ikan yang ada. Perairan Teluk Gerupuk adalah perairan semi terbuka/tertutup yang berhubungan langsung dengan Samudra Hindia memberi konsekuensi terjadinya sirkulasi massa air di antara perairan di dalam teluk dengan perairan disekitarnya sehingga berdampak terhadap sifat biofisik lingkungan, sifat ekologis, dinamika sumberdaya, serta pola distribusi dan kelimpahan ikan. Adanya perubahan musiman akan menghasilkan variasi pola arus yang mampu menimbulkan penaikan massa air sehingga berpengaruh terhadap parameter lingkungan dan kesuburan perairan Teluk Gerupuk. Parameter lingkungan dan biologis yang diperkirakan berpengaruh terhadap penyebaran kekerangan, krustase, ikan demersal dan ikan pelagis adalahsubstrat dasar perairan, microflorafauna dan makroflora-fauna.
a.
mempertimbangkan faktor lingkungan, resiko dan hidrografi perairan. Lokasi budidaya ikan laut harus memenuhi persyaratan dan memperhatikan keadaan pasang, kondisi dasar perairan, arus dan konstniksi. Perairan tempat KJA sebaiknya bertofografi landai, kedalaman 6-10 m, substrat dasar pasir berlumpur atau lumpur berpasir, airnya jernih serta terhindar dari pencemaran dan pelumpuran (Mayunar, 1995). Selain itu juga harus terhindar dari gelombang kuat dan badai, sedangkan perbedaan pasang sebaiknya kurang dari 100 cm. Selanjutnya dinyatakan bahwa perairan tempat kejapung harus terhindar dari stratifikasi suhu dan oksigen. Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat dari berbagai macam biota baik itu makro-mikrofauna maupun makro-mikroflora. Mikroflora dan mikrofauna berperan sebagai pengurai bahanbahan anorganik menjadi mineral yang banyak dimanfaatkan oleh biota lain. Laevastu dan Hela (1981) menjelaskan bahwa mikrofauna sebagai awal terbentuknya rantai makanan bagi biota-biota lainnya. Kesuburan suatu perairan juga ditentukan oleh mikrofauna/flora yang terdapat dalam dasar perairan. Tabel 2 dan Gambar 1 berikut ini menggambarkan tipe karakteristik pantai dan substrat dasar perairan teluk Gerupuk:
Topografi dan Substrat Dasar Teluk Gerupuk
Salah satu faktor penentu keberhasilan usaha budidaya ikan dalam kejapung adalah pemilihan lokasi yang tepat dan benar dengan
Tabel 2. Karakteristik pantai dan substrat dasar perairan teluk Gerupuk Posisi
Pantai
Dasar Perairan
Tutupan
Timur
Berpasir
Berpasir
Lamun
Utara
Berbatu terekspose pasang surut
Berbatu
Teritip, kerang,alga
Barat
Lumpur berpasir
Lumpur berpasir
Bakau
Selatan
Lumpur
Berlumpur
Bakau
Data diatas menunjukkan bahwa Teluk Gerupuk memiliki kondisi lingkungan fisik yang
sangat beragam dan dimungkinkan untuk mengembangkan jenis komoditas budidaya yang
berbeda-beda sesuai dengan jenis substrat dasar perairan. Sebagai contoh bagian Utara Teluk Gerupuk dulunya merupakan zona yang kaya akan jenis kekerangan seperti abalone, akan tetapi
A
C
overfishing atau penangkapan berlebih telah menyebabkan penurunan populasi abalone secara drastis.
B
D
Gambar 1. Karakteristik pantai Teluk Gerupuk. A bagian utara, B bagian timur, C bagian selatan dan D bagian barat
Berdasarkan kondisi topografi pantai, substrat dasar perairan dan tutupannya maka dipilih bagian utara teluk Gerupuk sebagai lokasi penelitian budidaya system MTSF. Kondisi geografi seperti ini cocok sekali untuk budidaya abalone, rumput, laut, ikan demersal maupun lobster. Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat dengan memperhatikan kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya tersebut. Hal ini tentu berlaku juga untuk sumberdaya perikanan, seperti ikan, udang, lobster, teripang, dan kerang-kerangan seperti kima dan kerang mutiara. Meskipun sumberdaya tersebut secara umum disebut sumberdaya dapat pulih, namun kemampuan alam untuk memperbaharui sumberdaya alam tersebut bersifat terbatas. Jika manusia mengeksploitasi sumberdaya melebihi batas kemampuannya untuk melakukan pemulihan, maka sumberdaya akan mengalami penurunan, terkuras dan bahkan menyebabkan kepunahan.
Aspek Biologis Fitoplankton, zooplankton dan perifiton merupakan makanan hidup (live feed) bagi larva dan benih ikan dan berperan sebagai sumber karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan protein dengan komposisi asam amino yang lengkap. Kehidupan nabati/hewan air tersebut sangat berkaitan erat dengan produktivitas ikan, moluska ataupun krustase. Hasil analisa jenis-jenis plankton pada bulan Agustus 2013 di kawasan teluk Gerupuk tempat lokasi keramba MTSF dilakukan sebagai berikut:
Tabel 3. Komposisi jenis-jenis plankton di Teluk Gerupuk Jenis plankton
Jumlah spesies
Jumlah individu/ltr
per liter Fitoplankton : Chlorophycea
3 spesies
1048
Bacillaripophycea
6 spesies
1525
3 spesies
3079
1 spesies
1548
Zooplankton : Rotifera Crustacea
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa struktur komunitas fitoplankton yang terdapat dilokasi perairan Teluk Gerupuk terdiri dari kelas Chrorophycea dan Bacillaripophycea, sedangkan zooplankton terdiri atas Rotifera dan Crustacea. Berdasarkan kemelimpahan dan jumlah spesiesnya, mikroalgae dari kelompok Bacilariopyceae mendominasi perairan teluk Gerupuk. Menurut Nontji (2008), kelas Bacilariophyceae merupakan fitoplankton yang paling dominan ditemukan di perairan. Bacilariophyceae atau lebih populer sebagai diatom mudah dikenali dari bentuk koloni, stuktur spesifiknya seperti satae pada Chaetoceros dan Bacteriastrum dan bersel tunggal dengan dinding sel yang mengandung silikat yang dikenal sebagai frustule (Sediadi dan Sutomo, 1990). Berdasarkan kemelimpahan masing-masing spesies, Nitzschia sp merupakan jenis yang paling tinggi kemelimpahannya, sedangkan Cosmarium sp. paling sedikit ditemukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa perairan dalam keadaan subur dan dapat mendukung usaha budidaya berbagai
komoditas perikanan laut. Keberhasilan usaha budidaya perikanan sangat didukung oleh ketersediaan sumber air yang baik, yang ditandai dengan melimpahnya pakan alami pada perairan.
Basmi, J. 2000. Planktonologi :Plankton Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Berdasarkan parameter komunitas plankton, kelayakan teluk gerupuk sebagai kawasan budidaya kelautan termasuk kategori cukup sesuai (kelimpahan plankton 5878 sel / liter) Menurut kriteria kesesuaian kualitas air untuk budidaya kelautan menurut Basmi (2000) dan Rimper (2002), kelimpahan plankton berada pada kisaran 2000-15.000 sel/liter termasuk kategori cukup sesuai. Mengacu pada petunjuk DKP (2002), kesesuaian lokasi berdasarkan kemelimpahan plankton di teluk Gerupuk mempunyai skor 3 (kategori sedang).
Boarder, S.J., Shpigel, M., 2001. Comparative performances of juvenile Haliotis roei fed on enriched Ulva rigida and various artificial diets. J. Shellfish Res., 20 (2), pp. 653– 657.
KESIMPULAN Berdasarkan analisis kondisi fisik, kimia, dan biologi perairan teluk Gerupuk disimpulkan bahwa wilayah yang layak untuk pengembangan budidaya berbasis MTSF adalah wilayah utara kawasan teluk. DAFTAR PUSTAKA AHMAD, T. et al. 1991. Operasional pembesaran ikan terapu dalam keramba jaring apung. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros, Badan Litbang Pertanian : 59 pp. Anonymous 1999, Kebijakan pengembangan perikanan budidaya pesisir pendukung gema PROTEKAN 2003. Direktorat Bina Sumber Hayati- Direktorat Jendral Perikanan. Makalah Rakernis Balai Penelitian Perikanan Pantai di Bpgor, 17 Maret 1999 :22 pp.
Boyd, C.E. and L. Licthkoppler 1979. Water quality management in pond fish culture. Series No.22, Aubum University, Alabama: 30 pp. Fallu R. 1991. Abalone Farming. News Pubslishing. Singapore Faturrahman, I.S Rohyani, Sukiman dan H. Ahyadi, 2013.Penerapan Sistem Multitropic Seafarming Pada Budidaya Abalon-Rumput Laut Untuk Pemberdayaan Ekonomi Nelayan Dan Kelestarian Ekosistem Kawasan Gerupuk. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Mataram. GUNARSO, W. 1985. Tingkah laku ikan dalam hubungannya dengan alat, metode dan taktik penangkapan. Fakultas Perikanan IPB : 150 pp KLH 1988. Surat Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/Men KLH/1988, tanggal 19 Januari 1988. Laevastu T, and Hela I. 1981. Fisheries Oceanography. New Ocean Environmental services. Fishing News Book. London. Mayunar 1995. Budidaya ikan laut dalam keramba jaring apung dan prospeknya. Oseana, XX (2) : 1-12. Rimper, J. 2002. Kelimpahan Fitoplankton dan Kondisi Hidrooseanografi Perairan Teluk Manado. Makalah
Pengantar Falsafah Sains (PPS702). Program Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor.