1059
Strategi pengembangan produk indikasi geografis berbasis ... (Hari Eko Irianto)
STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUK INDIKASI GEOGRAFIS BERBASIS KOMODITAS PERIKANAN BUDIDAYA Hari Eko Irianto Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan Jl. K.S. Tubun Petamburan VI, Slip;i, Jakarta 10260 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Produk indikasi geografis belum berkembang dengan baik di Indonesia, termasuk untuk produk perikanan. Perlindungan indikasi geografis terhadap suatu produk dapat memberikan keuntungan secara ekonomi dalam perdagangan baik terhadap produsen maupun konsumen. Perikanan budidaya memiliki potensi yang baik untuk mengembangkan produk indikasi geografis, baik sebagai komoditas maupun produk olahan. Untuk ini pengalaman Skotlandia dalam pengembangan produk indikasi geografis Scottish Farmed Salmon patut untuk dijadikan contoh. Pengembangan produk indikasi geografis memerlukan tiga komponen penting, yaitu produk, organisasi produsen, dan pengakuan resmi. Komoditas perikanan budidaya yang berpotensi untuk didaftarkan agar mendapat perlindungan indikasi geografis adalah ikan mas PuntenMalang, ikan mas Majalaya, ikan siluk merah Pontianak, ikan arwana Papua, dan lain-lain. Sedangkan contoh produk olahan berbasis ikan budidaya sebagai bahan baku yang berpotensi untuk didaftarkan agar mendapat perlindungan indikasi geografis adalah bandeng presto Juwana, pindang bandeng Kudus, bandeng asap Sidoarjo, ikan balita goreng Bogor, otak-otak bandeng Gresik, abon lele Boyolali, mutiara Lombok, dan cukli Lombok.
KATA KUNCI:
indikasi geografis, komoditas perikanan, budidaya
PENDAHULUAN Produk indikasi geografis (Geographycal Indication) belum berkembang di Indonesia dan bahkan pemahaman tentang produk indikasi geografi (IG) sendiri belum banyak diketahui oleh masyarakat. Sehingga sampai saat ini produk indikasi geografis yang telah diberikan sertifikat masih terbatas pada beberapa produk saja, yaitu kopi Kintamani (Bali), kopi Gayo (Nanggroe Aceh Darussalam), meubel ukir Jepara (Jawa Tengah), dan lada putih Muntok (Bangka). Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM sendiri baru mulai menerima permohonan pendaftaran indikasi geografis sejak September 2007 dengan pendaftar pertama dari dalam negeri adalah kopi Kintamani, Bali. Indikasi geografis pertama kali muncul dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bagian dari Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs). Dalam Pasal 22 ayat 1 dijelaskan bahwa, “Geographical indications are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a good as originating in the territory of a Member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to its geo graphical origin” (Sitorus, 2010). Di Indonesia, secara peraturan-perundangan indikasi geografis dimuat dalam UU No 15 Tahun 2001 tentang Merek, kemudian diatur lebih lanjut dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2007 tentang Indikasi Geografis. Menurut UU No. 15 Tahun 2001 pasal 56 ayat (1) dan PP No. 51 Tahun 2007 pasal 1 disebutkan bahwa “Indikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan”.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1060
Secara lebih jelas Anonimous (2010a) menguraikan bahwa Indikasi geografis berarti nama suatu daerah, tempat spesifik, atau dalam kasus tertentu merupakan suatu negara, yang digunakan untuk menggambarkan suatu produk pertanian atau bahan pangan yang berasal dari tempat, wilayah tertentu atau negara, dan yang memiliki kualitas, reputasi atau karakteristik tertentu yang dipengaruhi asal geografis; dan produksi dan/atau pengolahan dan/atau persiapan yang dilakukan di wilayah geografis tertentu. Tetapi pada kenyataan indikasi geoghafis tidak hanya ditujukan untuk produk pertanian atau bahan pangan, tetapi untuk semua barang yang memiliki mutu, reputasi dan karakteristik tertentu. Komoditas atau produk hasil perikanan, termasuk yang berbasis perikanan budidaya sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai produk indikasi geografis atau mendapatkan perlindungan indikasi geografis, mengingat kekayaan sumberdaya perikanan yang dimiliki, luasnya wilayah Indonesia (perairan dan daratan), keberagaman penduduknya (terdiri atas berbagai suku bangsa), serta warisan budaya dan teknologi (tradisional) sacara turun-temurun. Manfaat Perlindungan Indikasi Geografis Perlindungan indikasi geografis telah menarik banyak negara untuk menerapkan terhadap produkproduk yang dihasilkannya karena memiliki keuntungan secara ekonomi di dalam perdagangan. Menurut Moeljopawiro & Mawardi (2010), pada era pasar global, perlindungan indikasi geografis terbukti telah menjadi alat pemasaran yang sangat besar manfaatnya dalam perdagangan barang. Peran indikasi geografis dalam memberikan identifikasi sifat-sifat komersial, nasional, regional, atau lokal suatu produk merupakan aset bagi suatu negara. Dalam hal ini khususnya terhadap nilai tambah yang diberikan terhadap produk yang telah mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Junus (2004) menyampaikan bahwa perlindungan indikasi geografis bermanfaat (1) memberikan perlindungan hukum pada produk indikasi geografis di Indonesia, (2) indikasi-geografis dapat digunakan sebagai strategi pemasaran produk indikasi-geografis pada perdagangan dalam dan luar negeri, (3) memberikan nilai tambah pada produk berpotensi indikasi geografis di daerah dan meningkatkan kemampuan ekonomi daerah, (4) meningkatkan reputasi produk indikasi geografis pada perdagangan global, (5) adanya persamaan perlakuan atas perlindungan indikasi geografis dan promosi indikasi geografis di luar negeri, dan (6) sebagai salah satu alat untuk menghindari persaingan curang. Menurut Setiono (2010), indikasi geografis bagi perdagangan tidak hanya memberikan keuntungan dari segi perlindungan hukum, tetapi juga untuk sistem pengawasannya (controlling system) serta sistem keterunutan (traceability) sehingga konsumen dapat mencari asal dari produk yang dibelinya dan bagi pemilik hak produk yang dihasilkan dapat terhindar dari praktek-praktek yang tidak diinginkan. Potensi Perikanan Budidaya Potensi area perikanan budidaya Indonesia adalah sekitar 11,81 juta ha; yang terdiri atas 2,22 juta ha untuk budidaya air tawar; 1,22 juta hektar untuk budidaya air payau; dan 8,36 juta ha untuk budidaya laut. Dari potensi yang sangat besar tersebut yang sudah dimanfaatkan baru 10,14% untuk budidaya air tawar; 36,99% untuk budidaya air payau; dan 1,01% untuk budidaya laut (Ministry of Marine Affairs and Fisheries, 2009). Dengan demikian dari sisi lahan masih memungkinkan untuk peningkatan produksi perikanan budidaya. Produksi perikanan budidaya pada 2009 sekitar 4,71 juta ton; tahun 2010 mencapai 5,48 juta ton; dan ditargetkan meningkat menjadi 6,85 juta ton pada tahun 2011. Pada tahun 2014 produksi perikanan budidaya ditargetkan meningkat 353% dari produksi tahun 2009. Melihat potensi lahan yang tersedia, peningkatan produksi tersebut sangat memungkinkan tercapai. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya terus mengembangkan program Minapolitan dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Kelautan dan Perikanan, yang pada 2011 melalui Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP). Pada tahun 2011 telah dicanangkan 24 lokasi Minapolitan berbasis perikanan budidaya. Sedangkan PUMP perikanan budidaya pada tahun 2011 diberikan kepada 2.000 kelompok pembudidaya dari 300 kabupaten/
1061
Strategi pengembangan produk indikasi geografis berbasis ... (Hari Eko Irianto)
kota. Selain PUMP, juga telah dijalin kerja sama dengan kalangan perbankan untuk menumbuhkan semangat kewirausahaan, di antaranya membantu penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2010; 2011a; 2011b; Investor Daily, 2011). Peningkatan produksi budidaya perikanan dengan sasaran pada tahun 2014 mencapai sebesar 16,89 juta ton tersebut diarahkan pada 11 komoditas unggulan utama yaitu udang (vaname dan windu), bandeng, patin, lele, nila, rumput laut, kerapu, kakap, gurame, mas, dan lainnya (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011c). Jenis ikan lainnya yang juga dihasilkan oleh kegiatan budidaya adalah ikan kakap, beronang, kuwe, sidat, belanak, mujair, tawes, gabus, bawal, nilem, sepat siam, tambakan, jelawat, toman, betutu, udang barong, udang galah, udang putih, udang api-api, rajungan, kepiting, kerang mabe, dan teripang (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2010). Potensi peningkatan produksi perikanan budidaya membuka peluang untuk berkembangnya usaha pengolahan berbagai jenis produk dengan menggunakan ikan hasil budidaya sebagai bahan baku. Produk Perikanan Budidaya Secara garis besar produk perikanan budidaya yang ditemukan di pasar dapat dibedakan atas ikan hidup, ikan segar, dan produk olahan. Hasil perikanan budidaya yang biasa dipasarkan dalam keadaan hidup adalah induk, benih, ikan hias, dan ikan konsumsi. Ikan tersebut dipertahankan dalam keadaan hidup selama pemanenan, penanganan, transportasi, dan pemasaran. Transportasi atau pengangkutan dari lokasi budidaya ke pasar memiliki peran penting bagi pemasaran ikan hidup, dan teknik transportasi yang dipilih diharapkan dapat menjamin ikan dalam keadaan hidup sampai di tempat tujuan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan di dalam transportasi di antaranya adalah perbandingan jumlah ikan, air, dan oksigen, serta cara pengemasan dan alat angkut yang digunakan agar ikan sampai di tujuan tepat waktu, tetap hidup, dan sehat (Anonimous, 2011a). Untuk ikan hidup berupa induk dan benih memiliki pasar yang terbatas dan tertentu, yaitu masingmasing pengusaha pembenihan dan budidaya ikan. Pasokan benih yang lancar, berkualitas, dan sehat sangat membantu terhadap keberhasilan usaha budidaya. Ikan hias hasil budidaya yang banyak dipasarkan adalah ikan botia, silver dollar, ikan cupang, ikan gapi, ikan kongo tetra, ikan green tiger, ikan headstander, ikan black ghost, ikan red nose, ikan lou han, corydoras sterbai, ikan platy, ikan red fin, ikan zebra danio, ikan neon tetra, ikan mas koki, ikan diskus (Pramono, 2011). Sedangkan ikan konsumsi hasil budidaya yang sering dijumpai dipasarkan dalam keadaan hidup adalah ikan
Ikan hidup Induk/benih Pasar Ikan hias Segar
Pengolahan
Hasil samping
Ikan konsumsi
Produk
Limbah
Padat Pengolahan Cair Limbah
Gambar 1. Produk dari perikanan budidaya
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1062
mas, ikan nila, ikan gurameh, ikan lele, ikan patin, dan lobster air tawar. Ikan hidup, memiliki tingkat kesegaran yang tinggi dan mendapatkan apresiasi harga yang paling mahal. Bila ikan tersebut gagal dipertahankan dalam keadaan hidup, yaitu menjadi mati akan menyebabkan harganya turun secara mencolok. Ikan konsumsi yang telah mati bila dipasarkan disebut sebagai ikan segar, dan mutu kesegarannya harus dipertahankan mendekati ikan hidup dengan cara pendinginan (refregeration atau peng-es-an) atau pembekuan. Ikan segar hasil budidaya dapat diolah menjadi berbagai jenis produk dan limbah yang dihasilkan diolah menjadi produk olahan baik yang dapat dikonsumsi maupun yang tidak dapat dikonsumsi. Produk olahan dari ikan hasil budidaya, misalnya adalah ikan asap, ikan asin kering, ikan pindang presto, ikan fermentasi, bakso ikan, abon ikan, kerupuk ikan, dan amplang ikan. Contoh produk olahan dari limbah yang dapat dikonsumsi adalah petis dan gelatin, sedangkan yang tidak dapat dikonsumsi adalah kulit ikan samak (dari kulit nila, kulit patin dan kulit kerapu) dan asesoris dari sisik ikan. A Lesson Learned dari Produk Indikasi Geografis Scottish Farmed Salmon Beberapa negara telah mengembangkan produk indikasi geografis perikanan, baik sebagai komoditas maupun produk olahan, yang mencakup hasil dari perikanan tangkap dan hasil perikanan budidaya. United Kingdom (UK) termasuk negara yang memiliki perhatian sangat baik untuk melindungi produk perikanan yang dihasilkan dengan status perlindungan indikasi geografis (Protected Geographycal Indication/PGI). Produk indikasi geografis perikanan yang telah terdaftar di UK adalah Scottish Farmed Salmon, Arbroath Smokie, Whitstable Oysters, Traditional Grimsby Smoked Fish, dan Cornish Sardines (Anonimous, 2009a). Di antara kelima produk di atas hanya Scottish Farmed Salmon yang merupakan produk indikasi geografis ikan hasil budidaya di UK dan adalah ikan salmon dari spesies Salmo salar (Atlantic salmon). Untuk mendapatkan status produk indikasi geografis memerlukan waktu sekitar setahun, tetapi kemudian dilakukan perluasan cakupan Spesifikasi Indikasi Geografis sesuai dengan perkembangan industri salmon di Skotlandia. Pemberian status sebagai produk indikasi geografis untuk Scottish Farmed Salmon dilakukan oleh European Commission pada tahun 2004 (Anonimous, 2004) yang diawali dengan proses pengajuan yang melibatkan Pemerintah Skotlandia dan DEFRA (The United Kingdom’s Department for Environment, Food and Rural Affairs) sebagai otoritas kompeten UK (UK competent authority) serta European Commission. Standar acuan produksi indikasi geografis Scottish Farmed Salmon pada saat pertama didaftarkan dibuat dalam bentuk “Product Specification” (Spesifikasi Produk) yang dipublikasi pada Official Journal of the European Union Regulation (EEC) No. 2081/92 on the protection of geographical indications and designations of origin (2003/C 246/ 03). Persetujuan status indikasi geografis dicatat oleh Commission Regulation (EC) No. 1473/2004. Indikasi geografis ini ditujukan untuk area geografis yang terkait pada pantai barat daratan Skotlandia, Kepulauan Western, Kepulauan Orkney, dan Shetland. Karakteristik dan mutu khas salmon yang dihasilkan pada area tersebut berdasarkan kondisi budidaya yang diterapkan oleh industri salmon Skotlandia, yaitu pada kondisi manajemen dan lingkungan spesifik sesuai dengan Spesifikasi Indikasi Geografis. Salmon yang dihasilkan di Skotlandia yang tidak mengikuti Spesifikasi Indikasi Geografis mungkin tetap diberi label Salmon Farmed in Scotland (UK) atau Farmed Salmon: Scotland, UK atau cara setara lain yang sesuai spesifikasi undang-undang labeling, tetapi tidak dapat diberi label Scottish Farmed Salmon dan tidak dperbolehkan mengenakan logo produk indikasi geografis (Landsburgh & Webster, 2010). Pada tahun 2006 diserahkan permohonan untuk sedikit memperluas cakupan Spesifikasi Indikasi Geografis untuk memasukan produksi salmon secara organik dalam rangka pengembangan pasar, walaupun secara prinsip Spesifikasi Indikasi Geografis tidak berubah dan tetap didasarkan pada budidaya salmon dengan kondisi lingkungan perairan unik pada pantai barat daratan Skotlandia, Kepulauan Western, Kepulauan Orkney dan Shetland. Penerimaan spesifikasi ini dicatat dalam Commission Regulation (EC) No 1195/2008 (Landsburgh & Webster, 2010). Pada tahun 2011 ini Kelompok Pengolah Salmon Asap Skotlandia (The Scottish Smoked Salmon Producers’ Group) mengajukan pendaftaran sebagai produk indikasi geografis ke DEFRA bagi ikan
1063
Strategi pengembangan produk indikasi geografis berbasis ... (Hari Eko Irianto)
salmon asap yang dibudidayakan dan diasap di Skotlandia (Scottish Farmed Salmon Smoked in Scotland) (Anonimous, 2011b). Pengembangan Produk Indikasi Geografis Perikanan Budidaya Bila melihat pengalaman dari perlindungan indikasi geografis ikan salmon di Skotlandia bahwa perlindungan indikasi geografis dapat dilakukan terhadap komoditas dan produk olahan. Oleh karena itu, pengembangan produk indikasi geografis perikanan budidaya di Indonesia dapat diarahkan terhadap komoditas dan produk olahan. Di dalam pengembangan produk indikasi geografis terdapat tiga komponen penting yang harus tersedia, yaitu (Anonimous, 2010b): (1) Produk, produk yang dihasilkan harus bermutu prima, telah terkenal dan memiliki keunikan tersendiri. (2) Organisasi Produsen, organisasi produsen ini harus menentukan batas wilayah dari produk indikasi geografis yang didaftarkan dan juga harus membuat buku spesifikasi atau buku persyaratan sebagai kelengkapan pendaftaran. (3) Pengakuan Resmi, pengakuan resmi produk indikasi geografis didapat dari undang-undang yang memuat tentang indikasi geografis dan juga didapat dari pernyataan atau dukungan resmi dari dinas teknis, lembaga riset, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan lain-lain. Untuk pendaftaran ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM komponen pertama dan kedua harus tersedia. Mengingat produk indikasi geografis pada saat ini belum benarbenar memasyarakat di Indonesia, pengembangan produk indikasi geografis dilihat dari sisi pemerintah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara aktif dan pasif. Pada pengembangan secara aktif, peran pemerintah (pusat dan daerah) sangat menonjol, yaitu pemerintah melakukan identifikasi terhadap produk yang memiliki potensi untuk diberikan perlindungan indikasi geografis, kemudian memfasilitasi pembentukan organisasi atau kelompok produsen yang akan melakukan pendaftaran perlindungan indikasi geografis, serta melakukan pendampingan atau pengawalan sampai perlindungan indikasi geografis terimplementasi dan manfaat perlindungan indikasi geografis dapat dirasakan oleh kelompok produsen dan masyarakat. Pada pengembangan secara pasif, peran pemerintah tidak besar karena terdapat kelompok masyarakat yang telah memahami dan menyadari manfaat dari perlindungan indikasi geografis (penggiat indikasi geografis), seperti Anak Muda Peduli Jepara (Ampera) di Jepara. Ampera bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Jepara mengajukan perlindungan indikasi geografis untuk susu kambing Kali Jesing, ukiran Jepara, kerupuk tenggiri, kacang open, dan blenyek Ngemplak Jepara. Meubel ukir Jepara telah mendapatkan sertifikat perlindungan geografis pada tahun 2010, dan untuk implementasinya Pemerintah Daerah Jepara memfasilitasi dengan membentuk Lembaga Operasional Jepara Indikasi Geografis Produk (JIP) Meubel Ukir Jepara (MUJ). Pengembangan produk indikasi geografis perikanan budidaya dapat pula disinergiskan dengan program Minapolitan berbasis perikanan budidaya. Berdasarkan komoditas unggulan pada lokasi Minapolitan yang telah ditetapkan dapat dikembangkan berdasarkan komoditasnya, bila memang memiliki keunggulan mutu dan keunikan atau juga berdasarkan produk olahan yang dihasilkan dari komoditas tersebut yang memiliki mutu prima. Dengan demikian pengembangan Minapolitan dapat dirancang sejak awal diarahkan untuk menghasillkan produk indikasi geografis, baik berdasarkan komoditas ataupun produk olahan. Berbasiskan Minapolitan, pengembangan produk indikasi geografis dapat dirancang dengan konsep One Village One Product (OVOP), sehingga untuk satu daerah mengembangkan satu produk indikasi geografis perikanan budidaya. Potensi Produk Indikasi Geografis Perikanan Budidaya Seperti yang telah disinggung sebelumnya, produk indikasi geografis perikanan budidaya dapat dibedakan untuk produk berbasis komoditas dan produk berbasis olahan.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 a.
1064
Produk Berbasis Komoditas
Kekayaan sumberdaya hayati perikanan yang dapat dibudidayakan atau yang memiliki peluang untuk dibudidayakan berpotensi untuk dijadikan sebagai produk indikasi geografis sepanjang memenuhi persyaratan. Contohnya: ikan mas Punten-Malang, ikan mas Majalaya, ikan siluk merah Pontianak, ikan arwana Papua, dan lain-lain. b.
Produk Berbasis Olahan
Banyak produk olahan yang dapat dihasilkan dari ikan hasil budidaya dan bahkan banyak di antaranya yang telah dikenal luas, tetapi belum mendapat perlindungan indikasi geografis. Bandeng Presto Juwana Produk ini dikenal sebagai panganan khas dari Kota Semarang, memiliki rasa gurih dan rempahrempah bumbunya merasuk ke dalam ikan bandeng membuat ikan ini nikmat apalagi ditambah dengan duri lunaknya yang langsung bisa dimakan tanpa takut terkena duri. Bandeng presto Juwana dimasak didalam panci bertekanan tinggi (autoclave) yang disebut dengan presto sehingga durinya menjadi sangat lunak dan bumbu yang diberikan bisa merasuk ke dalam ikan bandeng. Bandeng ini kemudian dikemas dalam kemasan kedap udara sehingga bisa tahan berhari-hari tanpa mengurangi rasanya. Bandeng yang digunakan berasal dari Juwana, Kabupaten Pati, yang memiliki kelebihan tidak berasa dan tidak berbau lumpur (Anonimous, 2011c). Pindang Bandeng Kudus Pindang bandeng Kudus merupakan oleh-oleh khas dari kota Kudus yang diolah dengan cara yang berbeda dengan pindang presto Juwana, walaupun produknya sama-sama bandeng duri lunak. Pindang bandeng Kudus diolah secara tradisional, yaitu memasaknya pada tungku selama sembilan jam. Pada suhu kamar pindang bandeng Kudus dapat bertahan selama empat hari, sedangkan pindang yang diolah menggunakan alat presto modern bertahan dua hari (Anonimous, 2009b). Bandeng Asap Sidoarjo Bandeng asap merupakan oleh-oleh khas kota Sidoarjo yang sudah dikenal sejak lama. Ikan bandeng yang biasa digunakan adalah ikan bandeng berukuran sedang, panjangnya sekitar 30-40 cm dengan bobot sekitar 1-2 kg. Ikan bandeng tersebut dibersihkan dari sisik dan isi perutnya. Ikan bandeng kemudian dibersihkan kembali sebelum akhirnya direndam dengan air garam selama kurang lebih 2 jam. Sebelum diasap, ikan bandeng dicuci kembali untuk mengurangi kadar garam, kemudian daging ikan bandeng ditusuk dengan bambu seperti sate untuk memudahkan proses pengasapan. Daging ikan bandeng yang sudah matang berwarna kuning kecoklatan (Wulan, 2011). Jenis bandeng yang digunakan sangat menentukan cita rasa gurihnya dan bandeng yang dipilih adalah hasil budidaya di Sidoarjo yang memiliki kekhasan warna hitam pada sekitar sirip punggung. Ikan Balita Goreng Bogor Ikan balita adalah makanan yang diolah dari ikan mas muda yang disebut balita, digoreng garing setelah sebelumnya diberi bumbu. Ikan balita dapat dikonsumsi sebagai lauk makan nasi dengan cocolan sambal. Produk ikan balita dapat bertahan lama sekitar tiga bulan tanpa bahan pengawet (Anonimous, 2010c). Bahan baku ikan mas dikirim oleh pemasok dalam keadaan masih hidup, dan ditampung di dalam akuarium yang ada di ruang produksi. Otak-Otak Bandeng Gresik Otak-otak bandeng khas Gresik berbeda bila dibandingkan dengan otak-otak yang dikenal di Jakarta, Makassar atau Palembang. Otak-otak bandeng Gresik, lebih mirip dengan sate bandeng Serang, Banten. Pada pembuatannya, mula-mula daging, tulang, dan duri dikeluarkan terlebih dahulu dari bandeng mentah. Setelah itu, dicampur bumbu, mirip dengan bumbu lodeh yang pedas. Kemudian daging dimasukkan ke dalam tubuh bandeng yang telah kosong dengan dibentuk kembali seperti semula bandeng mentah. Selanjutnya, bandeng isi ini dijepit dua bilah bambu, kemudian dibungkus
1065
Strategi pengembangan produk indikasi geografis berbasis ... (Hari Eko Irianto)
dalam daun pisang, dan dibakar. Untuk pembakaran membutuhkan keterampilan tersendiri, karena kalau terlalu matang atau masih mentah, akan mengurangi bahkan menghilangkan rasa otak-otak bandeng yang sebenarnya (Anonimous, 2010d). Abon Lele Boyolali Abon lele Boyolali telah dikenal oleh masyarakat luas dan bahkan telah menjadi oleh-oleh baru dari Kota Boyolali. Abon tersebut dihasilkan oleh pengolah di kampung lele yang terletak di Desa Tegalrejo, Kecamatan Sawit, Boyolali. Desa ini mampu tumbuh dan berkembang dengan lele sebagai komoditas unggulan dan hingga sekarang tidak kurang dari 11 ton lele segar per hari dihasilkan oleh Desa Tegalrejo. Pada awalnya abon lele diproduksi untuk pemanfaatan ikan lele berukuran besar yang tidak laku kalau dijual ke konsumen (Rasa, 2010). Mutiara Lombok Mutiara Indonesia dikenal dengan sebutan Mutiara Laut Selatan (South Sea Pearl) atau disebut The Queen of Pearls oleh para pecinta mutiara. Julukan ini berasal dari ketenaran mutiara Lombok yang dibudidayakan di wilayah perairan Laut Selatan. Mutiara Lombok dikategorikan ke dalam dua kelompok berdasarkan kualitasnya. Kelas A atau mutiara dengan kualitas terbaik bernilai jual hingga Rp 1 juta/g dan mutiara Kelas B yang berharga di bawah Rp 1 juta/g. Bagi peternak lokal serta pembudidaya mutiara Lombok, usaha ini mempunyai potensi besar sebab kemolekan mutiara Lombok sangat memikat hati tidak hanya bagi kolektor domestik tapi juga para importir dari mancanegara. Letak geografis Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan aliran arus samudra yang melintasi wilayah perairannya membuahkan mutiara laut selatan berkualitas Internasional. Arus samudera dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia membawa nutrien cukup tinggi sehingga kondisi perairan di sana tergolong subur. Kadar garam atau salinitas perairan yang stabil yakni di atas 34,5 per mil sangat mendukung bagi produksi mutiara bermutu tinggi. Banyaknya teluk-teluk yang terlindungi di kawasan tersebut turut memudahkan di dalam pembudidayaan mutiara (Anonimous, 2011d). Cukli Lombok Cukli adalah kerajinan yang terbuat dari kayu dan kulit kerang mutiara. Bentuknya bermacam ragam, dari alat-alat rumah tangga, meja, kursi, bufet, bingkai foto, asbak, tempat buah, tempat untuk mengaji Al Qur’an, topeng atau patung primitif dan binatang, cermin, kotak haji, hiasan dinding, dan dinding sketsel pemisah ruangan. Cukli adalah nama dari kerang yang didatangkan dari luar daerah seperti Sulawesi, Flores atau juga dari Jawa. Kulitnya yang keras dan berwarna putih gading dipotong kecil-kecil berbentuk wajik dijadikan penghias kerajinan seperti di atas. Kerajinan cukli memiliki daya tarik yang luar biasa bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara (Anonimous, 2008; Anonimous, 2010e). PENUTUP Pengembangan produk indikasi geografis berbasis perikanan budidaya sudah saatnya untuk dilakukan mengingat potensi perikanan budidaya cukup besar. Perlindungan geografis dapat dilakukan baik terhadap komoditas maupun produk olahannya. Produk olahan berbahan baku hasil budidaya telah banyak berkembang di masyarakat dan berpotensi dapat diajukan untuk memperoleh perlindungan indikasi geografis. Mengingat pemahaman masyarakat terhadap perlindungan indikasi geografis masih sangat kurang, maka sosialisasi perlu dilakukan, khususnya terhadap mereka yang berkecimpung di bidang perikanan budidaya, termasuk para penghusaha pengolahan produk. Pengembangan produk indikasi perlu dilakukan mengingat berdasarkan pengalaman negara lain perlindungan indikasi geografis terhadap suatu produk dapat meningkatkan daya saing produk, nilai tambah, keberlanjutan usaha, memastikan keuntungan pengusaha, dan penyerapan tenaga kerja.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1066
DAFTAR ACUAN Anonimous. 2004. Protected Geographical Indication (PGI) for Scottish Farmed Salmon. http:// www.thefishsite.com/fishnews/212/protected-geographical-indication-pgi-for-scottish-farmedsalmon. diunduh 22 Juli 2011. Anonimous. 2009a. Current Products: UK registered names. Protected Designation of Origin & Protected Geographical Indication. http://www.euprotectedfoodnames.org.uk/Default.aspx?tabid=160. Diunduh 23 Juli 2011. Anonimous. 2009b. Bandeng Presto Pak Kumis Kudus Terus Pertahankan Mutu. http://m.kapanlagi.com/ a/bandeng-presto-pak-kumis-kudus-terus-pertahankan-mutu-3.html. diunduh 2009. Anonimous. 2010a. Intellectual Assets Centre. Scoping Consultation on the Business Case for Protected Food Name (PFN) Development in Scotland. IBP Strategy and Research. Bellshill. Skotlandia Anonimous. 2010b. Persyaratan membangun indikasi geografis. http://www.myspace.com/igjepara/ blog/541243908 diunduh 11 Juli 2011. Anonimous, 2010c. Sukses bersama resto ikan balita goreng. http://www.surabayapost.co.id/ ?mnu=berita&act=view&id=605b13b91f1271a73913fa299a4bf932&jenis=d41d8cd98f00b204e9800998ecf8427e. diunduh 25 Juli 2011 Anonimous, 2010d. Otak-otak bandeng, oleh-oleh khas Gresik. http://www.poskota.co.id/headline/ 2010/09/14/otak-otak-bandeng-oleh-oleh-khas-gresik. diunduh 25 Juli 2011. Anonimous. 2010e. Dari sampah mutiara munculah cukli. http://tokomutiara77.blogspot.com/ diunduh 25 Juli 2011. Anonimous. 2011a. Cara pengangkutan ikan hias. http://nirwanaaquarium.blogspot.com/2011/04/carapengangkutan-ikan-hias.html. diunduh 24 Juli 2011. Anonimous. 2011b. Scottish group to distinguish smoked salmon. http://www.seafoodsource.com/ newsarticledetail.aspx?id=10428. Diunduh 22 Juli 2011. Anonimous. 2011c. Bandeng Presto Juwana oleh-oleh dari “Semarang”. http://myone1way.blogspot.com/2011/05/bandeng-prestojuwana-oleh-oleh-dari.html. diunduh 24 Juli 2011. Anonimous, 2011d. Mengapa mutiara Lombok begitu memikat hati? http:// ciputraentrepreneurship.com/kembangkan-uang-anda/9773.html. diunduh 25 Juli 2011. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Statistik perikanan budidaya Indonesia. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2011a. Genjot Produksi Perikanan Budidaya. http:// w w w . p e r i k a n a n - b u d i d a y a . k k p . g o . i d / index.php?option=com_content&view=article&id=398:genjot-produksi-perikananbudidaya&catid=112:berita&Itemid=123. Diunduh 25 Juli 2011 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2011b. Statistik Menakar 353. http://www.perikananbudidaya.kkp.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=437:statistik-menakar353&catid=117:berita&Itemid=126. Diunduh 25 Juyli 2011 Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2011c. Strategi utama pencapaian sasaran produksi 353% perikanan budidaya.http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id/ index.php?option=com_content&view=article&id=455:strategi-utama-pencapaian-sasaranproduksi-353-perikanan-budidaya&catid=144:produksi-budidaya&Itemid=145. Diunduh 25 Juli 2011. Investor Daily. 2011. Produksi Perikanan Ditargetkan Naik 27%. http://www.investor.co.id/agribusiness/ produksi-perikanan-ditargetkan-naik-27/2479. diunduh 25 Juli 2011 Khafid, S. 2008. Mengenal kerajinan cukli Rungkang Jangkuk. http://lomboknews.com/2008/08/29/ mengenal-kerajinan-cukli-rungkang-jangkuk/ diunduh 25 Juli 2011. Junus, E. 2004. Pentingnya perlindungan Indikasi geografis sebagai bagian HKI dan pelaksanaannya di Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Perlindungan Indikasi Geografis di Indonbesia. Jakarta, 6-7 Desember 2004.
1067
Strategi pengembangan produk indikasi geografis berbasis ... (Hari Eko Irianto)
Landsburgh, S. & Webster, J. 2010. Scottish Salmon Producers’ Organisation: Briefing Note on Fish Labelling and Protected Geographical Indication. www.scottishsalmon.co.uk/userFiles/765/PGI__SSPO_Briefing_Note.pdf. diunduh 23 Juli 2011. Ministry of Marine Affairs and Fisheries. 2009. Indonesia fisheries book 2009. MOMAF-JICA. Jakarta. Moeljopawiro, S. & Mawardi, S. 2010. Perlindungan indikasi geografis. Media HKI, VII (5): 1-8. Pramono, T.B., 2011. Teknologi budidaya ikan hias 3. http://taufikbudhipramono.blog.unsoed.ac.id/ 2011/05/12/teknologi-budidaya-ikan-hias-3/ diunduh 24 Juli 2011. Rasa, T.M. 2010. Boyolali angkat citra lele. http://www.agrina-online.com/ redesign2.php?rid=7&aid=2274. Diunduh 25 Juli 2011. Septiono, S. 2010. Pentingnya perlindungan indikasi geografis bagi kopi spesial Indonesia. Media HKI Vol.VII (5): 17-18 Sitorus, L.E. 2010. Menggagas indikasi geografis keluar dari Merek. Media HKI, VII (5): 19-21. Wulan, E.S. 2011. Bandeng Asap, Oleh-Oleh Khas Sidoarjo. http://www.detikfood.com/read/2011/07/ 04/164510/1674193/482/bandeng-asap-oleh-oleh-khas-sidoarjo. diunduh 25 Juli 2011
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
1068