KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI PROVINSI DKI JAKARTA
AYU TRI MULYANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2013
Ayu Tri Mulyani NRP. H352100031
ABSTRACT AYU TRI MULYANI. The Policy of Economic Development of Sustainable Capture Fisheries in DKI Jakarta Province. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACHMAD FAHRUDIN. Capture fisheries subsector in DKI Jakarta Province has been facing serious problems on various dimensions. Those problems threat its sustainability in the future. Fisheries sustainability is determined by several interacting dimensions such ecology, economic, social. technology and institution. The purpose of this research is to 1) estimate optimum alocation of capture fisheries in DKI Jakarta Province, 2) determine the degradation and depreciation level of capture fisheries in DKI Jakarta, 3) determine the sustainability status of capture fisheries in DKI Jakarta according five sustainability dimensions (ecology, economy, social, technology, and institution), 4) determine dynamic optimation management of capture fisheries in DKI Jakarta Province, and 5) formulate policy direction of economic development of sustainable capture fisheries in DKI Jakarta Province. The fisheries resources on this research seperated as pelagic and demersal. The research used bioeconomic analysis, degradation and depreciation analysis, sustainable analysis with Rapfish techniques and dynamic analysis. Result of the bioeconomic analysis showed that the harvest and effort of pelagic and demersal resources were above than optimal level therefore those resources have been over exploited. Degradation and depreciation analysis showed that pelagis resouce have been degraded dan depreciated meanwhile demersal resource have been not degraded dan depreciated. Sustainable analysis with Rapfish techniques using multi dimension scalling (MDS) and modification of AHP showed that the sustainability index of pelagic was 39,63. Based on categorized, it means was in less sustainable with economic dimension as the most priority dimension that influently to sustainability of pelagis resources. Mean while, the sustainability index of demersal resources was 37,15. It means the resource was less sustainable with ecology dimension as the most priority dimension. The dynamic model of this research was composed of three sub models, such as ecology, economic and social. Those sub models were used to predict of sustainability indicators on each dimension. The indicator of ecology, economic and social model were natural stock of resources, profit and profit to UMR. Result of dynamic analysis showed that limiting number of fishing effort can kept the natural stock of fish on sustainable stock. Based on result of all analysis, one of the best policy to improve sustainability of capture fisheries in DKI Jakarta is synergetic policy which consider ecology, economic, and social indicators. Keywords : capture fisheries, sustainable, Jakarta, policy
RINGKASAN AYU TRI MULYANI. Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACHMAD FAHRUDIN Perairan Jakarta merupakan wilayah pesisir yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan, dan pencemaran oleh manusia. Keberadaan perairan Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut tetapi juga oleh kebijakan pembangunan di darat karena pesisir Jakarta merupakan muara dari 13 sungai sehingga permasalahan lingkungan di Perairan Jakarta tidak hanya bersumber dari wilayah pesisir dan laut namun juga berasal dari daratan. Keberlanjutan perikanan tangkap harus didukung oleh berbagai dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi, ekologi, teknologi, sosial, dan kelembagaan. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menganalisis tingkat alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta, (2) Menilai tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Provinsi DKI Jakarta, (3) Menilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta, (4) Menganalisis optimasi dinamik pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta melalui penggambaran dari interaksi antara indikator kunci dalam subsistem ekologi, subsistem ekonomi, dan subsistem sosial, dan (5) Merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data tersebut mencakup seluruh dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan. Keseluruhan data ini kemudian diolah melalui berbagai metode analisis, yaitu analisis bioekonomi, analisis degradasi dan depresiasi, analisis keberlanjutan dengan teknik Rapfish dan analisis dinamik. Kajian bioekonomi digunakan untuk menilai potensi sumberdaya ikan. Sumberdaya ikan dalam penelitian ini dibagi menjadi sumberdaya perikanan pelagis dan sumberdaya perikanan demersal. Hasil analisis bioekonomi sumberdaya perikanan di perairan Jakarta dijadikan input pada salah satu atribut dalam salah satu dimensi (subsistem) dalam analisis keberlanjutan. Analisis keberlanjutan akan menghasilkan informasi mengenai status keberlanjutan perikanan di Provinsi DKI Jakarta dilihat dari lima dimensi keberlanjutan, dimensi prioritas yang mempengaruhi keberlanjutan dan atribut sensitif. Analisis keberlanjutan dengan metode Rapfish bersifat statis, tidak mempertimbangkan dinamika indikator-indikator keberlanjutan yang berubah dari waktu ke waktu. Untuk memperkirakan keberlanjutan perikanan tangkap Provinsi DKI di masa depan maka dilakukan analisis dinamik yang diharapkan dapat memberikan referensi kebijakan untuk kebutuhan perumusan kebijakan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Dari analisis dinamik diharapkan dapat diketahui langkah yang dapat diambil saat ini dalam rangka pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan di masa depan. Hasil ketiga alat analisis utama ini diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang tepat bagi pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi diketahui bahwa sumberdaya ikan pelagis dan demersal sudah mengalami overfishing. Berdasarkan analisis laju
degradasi dan depresisasi diketahui bahwa sumberdaya ikan pelagis sudah mengalami degradasi dan depresiasi sedangkan sumberdaya ikan demersal belum mengalami degradasi dan depresiasi. Hasil analisis keberlanjutan yang menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan pelagis dan demersal berada dalam status kurang berkelanjutan. Dimensi priortitas yang mempengaruhi kebelanjutan sumberdaya perikanan pelagis adalah ekonomi sedangkan sumberdaya demersal adalah ekologi. dalam penelitian ini juga disajikan atribut sensitif dari seluruh dimensi. Dari 39 atribut ada 12 atribut sensitif yang mempengaruhi kebelanjutan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal. Hasil analisis dinamik menunjukan pembatasan jumlah effort ke effort MEY tidak menambah stok sumberdaya secara signifikan. Berdasarkan seluruh analisis data yang dilakukan disimpulkan bahwa peningkatan keberlanjutan sumberdaya perikanan di DKI Jakarta tidak bisa hanya dilakukan dengan pembatasan jumlah effort tetapi juga diperlukan kebijakan rehabilitasi ekosistem baik ekosistem pesisir dan laut maupun juga ekosistem darat khususnya ekosistem sekitar daerah aliran sungai (DAS). Studi ini juga merekomendasikan peningkatan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap di DKI Jakarta juga dengan memperhatikan keterpaduan aspek-aspek ecologyeconomic-technic-socio-institutional. Kata kunci : keberlanjutan, perikanan tangkap, pelagis, demersal, kebijakan
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN EKONOMI PERIKANAN TANGKAP BERKELANJUTAN DI PROVINSI DKI JAKARTA
AYU TRI MULYANI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Diniah, M.Si
Judul Tesis Nama NRP
: Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta : Ayu Tri Mulyani : H352100031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS. Ketua
Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Tridoyo Kusumastanto, MS.
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr,
Tanggal Ujian : 16 Juli 2013
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya maka tesis ini dapat terselesaikan. Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Master pada Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari bahwa penyelesaian tulisan ini tidak lepas dari bantuan banyak pihak oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada Prof.Dr.H.Ir.Tridoyo Kusumastanto, M.S. dan Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si. selaku Komisi Pembimbing serta Dr.Ir. Diniah, M.Si. selaku dosen penguji luar komisi atas kesediaan dan kesempatan waktu yang diberikan dalam membimbing serta memberikan arahan dalam penyelesaian penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT, Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc., Prof. Dr. Marimin, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, Prof. Dr. Ir. Noer Azzam Achsani, Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. (Alm), Dr. Ir. Luky Ardianto, M.Sc., dan seluruh Dosen Pengajar Program Studi ESK atas segala pengetahuan maupun ilmu yang telah diberikan sehingga penulis dapat memperkaya pengetahuan penulis. Apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Kepala Bagian Kelautan DKP DKI beserta staf, Kepala Bagian Perikanan DKP DKI beserta staf, Kepala UPT Pengelola Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan DKP DKI beserta staf, Kepala Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Administrasi Jakarta Utara beserta staf, Kepala Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kota Administrasi Jakarta Selatan, beserta staf, Kepala Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu beserta staf, serta seluruh petugas di lapangan (Cilincing, Marunda, Kali Baru, Muara Angke, Muara Baru, Kepulauan Seribu utara dan Kepulauan Seribu Selatan). Tak lupa, penulis juga sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khusunya Badan Pendidikan dan Latihan Pegawai Provinsi DKI Jakarta atas dukungan moril dan materil serta kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta Ruly Adhijaya, mama Adiningsih dan Bapak Istra Wijaya (Alm), Ibu liliek dan Pak Moeryoto, kakak dan adik tersayang serta putriku atas segala pengorbanan dan dukungan moril dan semangat sehingga penulis berhasil menyelesaikan kuliah ini dengan baik. Semoga semua doa dan pergorbanannya mendapat ridho dari Allah Tuhan Yang Maha Esa. Penulis juga sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada seluruh responden penelitian dalam penelitian ini (tanpa mereka penelitian ini tidak akan pernah selesai), yaitu masyarakat nelayan di Cilincing, Muara Angke, Kali Baru, Marunda, dan Kepulauan Seribu. Terakhir dan yang tak mungkin terlupakan kepada teman-teman seangkatan dan seperjuangan di PS-ESK 2010, ESK 2011, ESK 2012 dan sekretariat PS ESK, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini. Semoga Allah SWT membalas seluruh doa dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian dalam tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu saran dan koreksi serta pengembangan lebih lanjut sangat diperlukan untuk penelitian-penelitian yang selanjutnya. Akhirnya penulis berharap tesis ini dapat memberikan makna dan manfaat, tidak hanya bagi perkembangan ilmu pengetahuan tetapi juga untuk pembangunan nasional serta kesejahteraan rakyat Indonesia, khususnya untuk masyarakat DKI Jakarta dalam mengelola potensi sumber daya perikanan dan kelautannya secara berkelanjutan. Semoga Allah SWT memberkahi langkah-langkah kita bersama. Amin Ya Robbal Alamin.
Bogor, Juli 2013
Ayu Tri Mulyani
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1982 sebagai anak ketiga dari pasangan Istra Wijaya (Alm) dan R. Adiningsih. Pada tahun 1994, penulis lulus Sekolah Dasar Negeri 04 Meruya Selatan Jakarta Barat, tahun 1997 lulus Sekolah Menengah Pertama Negeri 206 Jakarta dan tahun 2000 lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 65 Jakarta. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis diterima pada Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Perikanan penulis terima pada institusi ini pada Tahun 2004. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan ditugaskan di Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta sampai dengan sekarang. Tahun 2009 penulis mengikuti seleksi internal yang diadakan oleh Badan Kepegawaian Daerah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan hasil seleksi internal Badan Kepegawaian Daerah Provinsi DKI Jakarta maka penulis melanjutkan pendidikan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika (ESK) pada Tahun 2010. Selama perkuliahan, penulis berkesempatan menulis beberapa artikel ilmiah, yaitu (i) The Policy of Economic Development of Sustainable Capture Fisheries in DKI Jakarta Province: Proceeding Bogor Science Club (BSC IPB) Call For Paper 2013 Scientific Meeting, (ii) Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Provinsi DKI Jakarta dan Analisis Dinamik Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta: Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan BBPSEKP KKP RI (Submit).
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................................v DAFTAR GAMBAR .................................................................................................ix DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................................xiii I.
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...........................................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................4 1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................8 1.4 Ruang Lingkup Penelitian .........................................................................9 1.5 Manfaat Penelilitian...................................................................................11
II.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap ..........................................13 2.2 Sumberdaya Perikanan Tangkap dan Alat Penangkapan Ikan ..................19 2.2.1 Sumberdaya Perikanan Tangkap ......................................................19 2.2.2 Alat Tangkap Ikan ............................................................................20 2.3 Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan ...................23 2.4 Analisis Bioekonomi ................................................................................28 2.5 Analisis Degradasi dan Depresiasi ............................................................40 2.6 Analisis Keberlanjutan ..............................................................................41 2.7 Analisis Sistem Dinamik ...........................................................................42 2.8 Penelitian Terdahulu .................................................................................45
III.
KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori ..........................................................................................51 3.2 Kerangka Operasional ...............................................................................53
IV.
METODOLOGI 4.1 Metode Penelitian ......................................................................................57 4.2 Jenis dan Sumber Data ..............................................................................57 4.3 Metode Pengambilan Contoh ....................................................................58 4.4 Metode Analisis Data ................................................................................59 4.4.1 Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan ..................................59 4.4.2 Analisis Degradasi dan Depresiasi ...................................................63 4.4.2.1 Analisis Laju Degradasi .......................................................63 4.4.2.2 Analisis Laju Depresiasi ......................................................64 4.4.3 Analisis Keberlanjutan .....................................................................64 4.4.3.1 Dimensi Keberlanjutan ........................................................64 4.4.3.2 Teknik Rapfish .....................................................................79 4.4.3.3 Skoring Atribut pada Teknik Rapfish ..................................84 4.4.4 Pembobotan Setiap Dimensi Keberlanjutan .....................................91 4.4.5 Analisis Dinamik..............................................................................93 4.5 Batasan Penelitian......................................................................................100
ii
V.
GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA 5.1 Arah Pembangunan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 .............104 5.2 Konsumsi dan Kebutuhan Hasil Perikanan Masyarakat DKI Jakarta .......106 5.3 Keragaan Perikanan Tangkap di Provinsi DKI Jakarta ..............................109
VI.
ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis..................................................................111 6.1.1 Produksi dan Upaya Tangkap ..........................................................111 6.1.2 Standarisasi Upaya Penangkapan ....................................................112 6.1.3 Estimasi Parameter Biologi .............................................................114 6.1.4 Estimasi Parameter Ekonomi...........................................................117 6.1.5 Estimasi Produksi Lestari ................................................................118 6.1.6 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis ........................120 6.1.7 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagis .............................................................................................122 6.2 Sumberdaya Perikanan Demersal ..............................................................123 6.2.1 Produksi dan Upaya Tangkap ..........................................................124 6.2.2 Standarisasi Upaya Penangkapan ....................................................126 6.2.3 Estimasi Parameter Biologi .............................................................127 6.2.4 Estimasi Parameter Ekonomi...........................................................128 6.2.5 Estimasi Produksi Lestari ................................................................129 6.2.6 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal ....................131 6.2.7 Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Demersal ..........................................................................................133
VII. ANALISIS KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN 7.1 Status Keberlanjutan Sumberdaya Ikan Pelagis ........................................135 7.1.1Analisis MDS dengan Teknik Rapfish ..............................................135 7.1.2 Pembobotan Dimensi dengan AHP ..................................................135 7.1.3 Status Keberlanjutan Setiap Dimensi pada Sumberdaya Ikan Pelagis .............................................................................................137 7.1.3.1 D2mensi Ekologi..................................................................138 7.1.3.2 Dimensi Ekonomi ................................................................144 7.1.3.3 Dimensi Sosial .....................................................................150 7.1.3.4 Dimensi Teknologi ...............................................................156 7.1.3.5 Dimensi Kelembagaan .........................................................160 7.1.4 Hasil Analisis Monte Carlo (Selang Kepercayaan 95 persen) .........163 7.2 Status Keberlanjutan Sumberdaya Ikan Demersal ....................................164 7.2.1Analisis MDS dengan Teknik Rapfish ..............................................164 7.2.2 Pembobotan Dimensi dengan AHP ..................................................164 7.2.3 Status Keberlanjutan Setiap Dimensi pada Sumberdaya Ikan Demersal .........................................................................................167 7.2.3.1 Dimensi Ekologi ..................................................................167 7.2.3.2 Dimensi Ekonomi ................................................................171 7.2.3.3 Dimensi Sosial .....................................................................176 7.2.3.4 Dimensi Teknologi ...............................................................181 7.2.3.5 Dimensi Kelembagaan .........................................................185 7.2.4 Hasil Analisis Monte Carlo (Selang Kepercayaan 95 persen) .........188
iii
VIII. ANALISIS DINAMIK 8.1 Analisis Sistem ..........................................................................................191 8.1.1 Analisis Situasi .................................................................................191 8.1.2 Analisis Kebutuhan...........................................................................192 8.1.3 Formulasi Permasalahan ...................................................................193 8.1.4 Identifikasi Sistem ............................................................................194 8.1.5 Indikator Keberlanjutan ....................................................................197 8.2 Pemodelan Sistem .....................................................................................199 8.2.1 Ruang Lingkup dan Asumsi Model ..................................................199 8.2.2 Model Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan ...................199 8.2.3 Perancangan Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap . Berkelanjutan .............................................................................................201 8.2.3.1 Sub Model Ekologi ..............................................................201 8.2.3.2 Sub Model Ekonomi ............................................................203 8.2.3.3 Sub Model Sosial .................................................................204 8.2.4 Pengujian Sistem Model Dinamis ....................................................205 8.2.4.1 Verifikasi Model ..................................................................205 8.2.4.2 Validasi Model .....................................................................205 8.3 Simulasi Model ..........................................................................................206 8.3.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis ........................................................206 8.3.2 Sumberdaya Perikanan Demersal ....................................................208 IX.
IMPLIKASI KEBIJAKAN...............................................................................213
X.
SIMPULAN DAN SARAN 10.1Simpulan ....................................................................................................219 10.2Saran ..........................................................................................................220
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................223 LAMPIRAN ...............................................................................................................229
iv
v
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Klasifikasi alat penangkap ikan berdasarkan statistik perikanan .............. 22 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek ekologi sistem perikanan ................................................................................................... 25 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek sosial ekonomi masyarakat sistem perikanan .................................................................... 26 Kriteria dan indikator keberlanjutran aspek institusional sistem perikanan ................................................................................................... 27 Matriks Penelitian-Penelitian Terdahulu .................................................. 46 Jumlah responden menurut alat tangkap ................................................... 58 Kategori penilaian status keberlanjutan ................................................... 82 Skor atribut pada setiap dimensi ............................................................... 85 Uraian komponen dalam sistem black box ............................................... 97 Volume dan nilai produksi ikan laut lokal di DKI Jakarta Berdasarkan alat tangkap Tahun 2011 ...................................................... 108 Volume dan nilai produksi ikan laut luar daeran berdasarkan asal daerah Tahun 2011 .................................................................................... 108 Produksi dan upaya tangkap sumberdaya ikan pelagis ............................. 111 Tingkat produksi aktual, total effort standar dan CPUE standar Sumberdaya ikan pelagis .......................................................................... 114 Biaya per trip dan harga sumberdaya ikan pelagis .................................. 117 Parameter biologi dan ekonomi dengan menggunakan metode Estimasi CYP ............................................................................................ 118 Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis ............................................................................................... 119 Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rexim pengelolaan Sumberdaya ikan pelagis dengan metode estimasi CYP .......................... 121 Produksi sumberdaya ikan demersal ......................................................... 124 Upaya tangkap sumberdaya ikan demersal ............................................... 125 Total produksi aktual, effort standar dan CPUE standar sumberdaya Ikan demersal ............................................................................................ 127 Biaya per trip dan harga sumberdaya ikan demersal ................................ 129 Parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan demersal dengan menggunakan metode estimasi Schnute ................................................... 130 Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan demersal ............................................................................................ 131 Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan demersal dengan metode estimas Schnute .................... 132 Perbandingan kondisi aktual dengan kondisi MSY dan MEY pada sumberdaya ikan pelagis................................................................... 139 Nilai skor atribut pada dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis ....................................................................................................... 140 Nilai statistik hasil analisis menggunakan MDS pada dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis .................................................... 142
vi
28. Nilai perbandingan tingkat keuntungan pada kondisi aktual, MSY dan MEY pada sumberdaya ikan pelagis ........................................ 144 29. Hasil perhitungan NPV dan IRR usaha penangkapan ikan pelagis .......... 144 30. Proporsi sumberdaya ikan pelagis yang didatangkan dari luar Jakarta dibandingkan dengan total produksi ikan Jakarta ..................................... 146 31. Penyerapan tenaga kerja usaha perikanan tangkap ................................... 147 32. Nilai skor atribut pada dimensi ekonomi untuk sumberdaya ikan pelagis ....................................................................................................... 148 33. Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi ekonomi untuk ikan pelagis ....................................................................................................... 149 34. Laju pertumbuhan nelayan Jakarta Tahun 2001-2011 .............................. 151 35. Keuntungan per upaya tangkap nelayan pelagis ....................................... 151 36. Hasil penilaian atribut dimensi sosial untuk sumberdaya ikan pelagis ....................................................................................................... 153 37. Nilai statistik pada dimensi sosial untuk sumberdaya ikan pelagis .......... 154 38. Hasil penilaian atribut dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis....................................................................................... 157 39. Nilai statistik dari hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis ........................................................ 159 40. Hasil penilaian atribut dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis ...................................................................................... 160 41. Nilai statistik dari hasil analisis Rapfish pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis ....................................................... 162 42. Perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dan Monte Carlo (selang Kepercayaan 95 persen) pada sumberdaya perikanan pelagis .................. 163 43. Perbandingan kondisi aktual dengan kondisi MSY dan MEY pada sumberdaya ikan demersal ........................................................................ 167 44. Nilai skor atribut pada dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan demersal .................................................................................................... 168 45. Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan demersal ........................................................................ 169 46. Perbandingan tingkat keuntungan pada kondisi aktual, MSY dan MEY .......................................................................................................... 171 47. Tabel hasil perhitungan NPV dan IRR alat tangkap ikan demersal .......... 172 48. Proporsi sumberdaya ikan demersal yang didatangkan dari luar Jakarta dibandingan dengan total produksi ............................................... 173 49. Hasil penilaian atribut ekonomi pada sumberdaya ikan demersal ............ 173 50. Nilai statistik hasil analisis Rapfish dimensi ekonomi untuk Sumberdaya ikan demersal ....................................................................... 175 51. Keuntungan per upaya tangkap nelayan nelayan demersal ..................... 177 52. Hasil penilaian atribut dimensi sosial untuk sumberdaya ikan demersal .................................................................................................... 178 53. Nilai statistik pada dimensi sosial untuk sumberdaya ikan demersal ....... 179 54. Hasil penilaian atribut dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal .................................................................................. 182 55. Nilai statistik dari hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal ..................................................... 183
vii
56. Hasil penilaian atribut dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal .................................................................................. 185 57. Nilai statistik dari hasil analisis Rapfish pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal .................................................... 187 58. Perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dan Monte Carlo (selang 59. Kepercayaan 95 persen) pada sumberdaya perikanan demersal ............... 189 60. Analisis kebutuhan sistem pada aktivitas perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta ................................................................................. 192 61. Rangkuman Hasil Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta ..................... 217
viii
ix
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31.
Sistem perikanan yang menggambarkan tiga subsistem utama (alam, manusia dan manajemen), komponen utama subsistem, interaksi antar subsistem dan komponennya dan pengaruh faktor luar terhadap sistem....................................................................................................15 Gambaran lengkap sistem perikanan ynag ditujukan oleh dinamika sumberdaya ikan, modal dan nelayan .................................................17 Segitiga keberlanjutan perikanan ........................................................................24 Hubungan antara biomassa dengan waktu dalam pertumbuhan populasi ikan ......................................................................................................................30 Hubungan antara biomassa dengan pertumbuhan ikan .......................................30 Kurva produksi lestari .........................................................................................31 Model keseimbangan bioekonomi Gordon-Schaefer ..........................................33 Kurva Gordon-Schaefer dalam biomassa ...........................................................34 Elemen proses aplikasi Rapfish untuk data perikanan ........................................42 Tahapan Analisis Sistem .....................................................................................45 Diagram Alir Kerangka Pendekatan Studi ..........................................................55 Posisi titik keberlanjutan .....................................................................................82 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan multidimesi .................................84 Causal Loop Sistem Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta .................................................................................................................96 RPJPD Jakarta Tahun 2005-2015 .......................................................................105 Konsumsi per kapita hasil perikanan masyarakat DKI Jakarta...........................107 Pekembangan CPUE alat tangkap sumberdaya ikan pelagis ..............................112 Hubungan antara CPUE standar dengan Effort standar untuk sumberdaya ikan pelagis .....................................................................................114 Perbandingan tingkat produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis .........................................................................................................120 Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Jakarta menurut metode estimasi CYP ...........................................................................122 Laju degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan pelagis ............................123 Perkembangan CPUE alat tangkap sumberdaya ikan demersal..........................124 Hubungan CPUE standar dengan Effort standar untuk sumberdaya ikan demersal ..................................................................................127 Perbandingan tingkat produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan demersal ......................................................................................................131 Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan demersal di perairan Jakarta menurut metode estimasi Schnute ..........................................................133 Laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal..................................134 Posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis .................................135 Diagram layang untuk sumberdaya perikanan pelagis .......................................136 Hasil pembobotan setiap dimensi keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis ........137 Status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekologi ..................141 Faktor pengungkit dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis ..................143
x
32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69.
Hasil analisis monte carlo dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis......143 Persentase proporsi PDRB sektor perikanan terhadap total PDRB ....................145 Status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekonomi ................148 Faktor pengungkit dimensi ekonomi untuk sumberdaya ikan pelagis ................149 Hasil analisis monte carlo dimensi ekonomi untuk sumberdaya ikan pelagis .................................................................................................................150 Status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi sosial.....................153 Faktor pengungkit dimensi sosial untuk sumberdaya ikan pelagis .....................155 Hasil analisis monte carlo dimensi sosial untuk sumberdaya ikan pelagis.........155 Status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi teknologi...............158 Faktor pengungkit dimensi teknologi untuk sumberdaya ikan pelagis ...............159 Hasil analisis monte carlo dimensi teknologi untuk sumberdaya ikan pelagis .................................................................................................................160 Status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi kelembagaan.........161 Faktor pengungkit dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan pelagis .........162 Hasil analisis monte carlo dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan pelagis .........................................................................................................163 Hasil MDS untuk sumberdaya perikanan demersal ............................................164 Diagram layang untuk sumberdaya ikan demersal .............................................165 Hasil pembobotan setiap dimensi keberlanjutan sumberdaya ikan demersal .....165 Status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi ekologi...............168 Faktor pengungkit dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan demersal ...............170 Hasil analisis monte carlo dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan demersal .............................................................................................................170 Status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi ekonomi.............174 Faktor pengungkit dimensi ekonomi untuk sumberdaya ikan demersal .............175 Hasil analisis monte carlo dimensi ekonomi untuk sumberdaya ikan demersal ..............................................................................................................176 Status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi sosial .................179 Faktor pengungkit dimensi sosial untuk sumberdaya ikan demersal ..................180 Hasil analisis monte carlo dimensi sosial untuk sumberdaya ikan demersal .....180 Status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi teknologi ...........183 Faktor pengungkit dimensi teknologi untuk sumberdaya ikan demersal ............184 Hasil analisis monte carlo dimensi teknologi untuk sumberdaya ikan demersal ..............................................................................................................186 Status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi kelembagaan .....186 Faktor pengungkit dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan demersal ......187 Hasil analisis monte carlo dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan demersal ......................................................................................................188 Diagram causal loop sumberdaya perikanan tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta ...........................................................................................195 Diagram input-output sumberdaya perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta ...........................................................................................196 Diagram stock and flow sumberdaya perikanan tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta ...........................................................................................200 Stock and flow diagram untuk sub model ekologi ..............................................202 Stock and flow diagram untuk sub model ekonomi ............................................204 Stock and flow diagram untuk sub model sosial .................................................204
xi
70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77.
Nilai effort yang digunakan untuk simulasi model .............................................207 Simulasi sub model ekologi pada sumberdaya ikan pelagis ...............................207 Hasil simulasi sub model ekonomi pada sumberdaya ikan pelagis ....................207 Hasil simulasi sub model sosial pada sumberdaya ikan pelagis .........................208 Nilai effort yang digunakan untuk simulasi model .............................................209 Simulasi sub model ekologi pada sumberdaya ikan demersal ............................210 Hasil simulasi sub model ekonomi pada sumberdaya ikan demersal .................211 Hasil simulasi sub model sosial pada sumberdaya ikan pelagis .........................212
xii
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.
Input data untuk metode estimasi Algoritma Fox pada sumberdaya perikanan pelagis.................................................................................................217 Hasil OLS untuk metode estimasi algoritma fox pada sumberdaya perikanan pelagis.................................................................................................218 Perhitungan Solusi bioekonomi algoritma fox dengan ms.excell pada sumberdaya perikanan pelagis ...........................................................................219 Data input untuk metode estimasi CYP untuk sumberdaya perikanan pelagis .................................................................................................................220 Hasil OLS untuk Metode Estimasi CYP untuk sumberdaya perikanan pelagis .................................................................................................................221 Perhitungan solusi bioekonomi CYP dengan MS.Excell untuk sumberdaya Perikanan pelagis ................................................................................................222 Data input untuk metode estimasi W-H pada sumberdaya perikanan pelagis .................................................................................................................223 Hasil OLS metode estimasi W-H untuk sumberdaya perikanan pelagis ............224 Solusi bioekonomi dengan metode estimasi W-H untuk sumberdaya perikanan pelagis.................................................................................................225 Data input untuk metode estimasi Schnute sumberdaya perikanan pelagis........226 Hasil OLS metode estimasi Schnute untuk sumberdaya pelagis ........................227 Solusi bioekonomi metode estimasi Schnute untuk sumberdaya perikanan pelagis .................................................................................................................228 Hasil analisis bioekonomi pada sumberdaya ikan pelagis dengan berbagai metode estimasi ...................................................................................................229 Catch per unit effort untuk sumberdaya ikan pelagis .........................................230 Nilai fishing power indeks untuk alat tangkap ikan pelagis ................................231 Nilai Effort standar alat tangkap ikan pelagis .....................................................232 Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis .................................................................................................................233 Data input metode estimasi Algoritma Fox untuk sumberdaya perikanan demersal ..............................................................................................................234 Hasil OLS untuk metode estimasi Algoritma Fox pada sumberdaya perikanan demersal .............................................................................................235 Perhitungan Solusi bioekonomi Algoritma Fox dengan ms.excell pada sumberdaya perikanan demersal ........................................................................236 Data input untuk metode estimasi CYP untuk sumberdaya perikanan demersal ..............................................................................................................237 Hasil OLS untuk Metode Estimasi CYP untuk sumberdaya perikanan demersal ..............................................................................................................238 Perhitungan solusi bioekonomi CYP dengan MS.Excell untuk sumberdaya perikanan demersal .............................................................................................239 Data input untuk metode estimasi W-H pada sumberdaya perikanan demersal ..............................................................................................................240 Hasil OLS metode estimasi W-H untuk sumberdaya perikanan demersal .........241
xiv
26. Solusi bioekonomi dengan metode estimasi W-H untuk sumberdaya perikanan demersal .............................................................................................242 27. Data input untuk metode estimasi Schnute sumberdaya perikanan demersal ....243 28. Hasil OLS metode estimasi Schnute untuk sumberdaya demersal .....................244 29. Solusi bioekonomi metode estimasi Schnute untuk sumberdaya perikanan demersal ..............................................................................................................245 30. Hasil analisis bioekonomi pada sumberdaya ikan demersal dengan berbagai metode estimasi ...................................................................................................246 31. Catch per unit effort untuk sumberdaya ikan demersal ......................................247 32. Nilai fishing power indeks untuk alat tangkap ikan demersal .............................248 33. Nilai Effort standar alat tangkap ikan demersal ..................................................249 34. Hasil analisis laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan demersal ..............................................................................................................250 35. Rapscore dimensi ekologi untuk sumberdaya perikanan pelagis .......................251 36. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekologi pada sumberdaya perikanan pelagis ............................................................................252 37. Rapscore dimensi ekologi untuk sumberdaya perikanan demersal ....................253 38. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekologi pada sumberdaya perikanan demersal .........................................................................254 39. Rapscore dimensi ekonomi untuk sumberdaya perikanan pelagis .....................255 40. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan pelagis ............................................................................256 41. Rapscore dimensi ekonomi untuk sumberdaya perikanan demersal ..................257 42. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal .........................................................................258 43. Rapscore dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan pelagis ..........................259 44. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi sosial pada sumberdaya perikanan pelagis.................................................................................................260 45. Rapscore dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan demersal .......................261 46. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi sosial pada sumberdaya perikanan demersal .............................................................................................262 47. Rapscore dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis ....................263 48. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi teknologi pada sumberdaya perikanan pelagis ............................................................................264 49. Rapscore dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal .................265 50. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi teknologi pada sumberdaya perikanan demersal .........................................................................266 51. Rapscore dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis ..............267 52. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi kelembagaan pada sumberdaya perikanan pelagis ............................................................................268 53. Rapscore dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal ...........269 54. Hasil analisis Monte Carlo untuk dimensi kelembagaan pada sumberdaya perikanan demersal .........................................................................270 55. Hasil pembobotan setiap dimensi pada sumberdaya perikanan pelagis .............271 56. Hasil pembobotan setiap dimensi pada sumberdaya perikanan demersal ..........272
1
I. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan panjang garis pantai
95.181.000 km (Worlds Resources Institute 2001) dan tiga per empat luas wilayahnya terdiri lautan, perencanaan tata ruang suatu wilayah di Indonesia berperan besar dalam pengelolaan SDA kelautan dan perikanan yang berdampak pada kinerja pembangunan kelautan dan perikanan dalam peranannya mendukung pembangunan nasional, baik dari aspek ekonomi, sosial, keamanan dan ekologis. Sektor perikanan dan kelautan merupakan salah satu prioritas pembangunan di negara-negara kepulauan termasuk Indonesia. Di Indonesia, sektor kelautan dan perikanan belum menunjukan kontribusi yang maksimal dalam rangka mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan untuk mendukung kinerja pembangunan ekonomi nasional, melindungi kelestarian sumberdaya dan meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya. Kontribusi SDA kelautan dalam pembangunan nasional belum seperti yang diharapkan karena selama ini paradigma pembangunan nasional lebih kepada land based development yang memandang laut hanya sebagai sektor pinggiran (perypery). Tidak heran, akibat dianutnya mainstream ini lebih dari setengah abad usia republik ini, sektor kelautan dan perikanan menjadi ‘korban’ pembangunan. Dengan kata lain, laut di Indonesia menghadapi banyak permasalahan, seperti terjadinya overfishing di berbagai daerah tangkapan, tercemarnya daerah pesisir dan laut akibat dari buruknya pengelolaan limbah dan pembangunan di darat, rusaknya ekosistem laut, mulai dari mangrove sampai dengan terumbu karang, kemiskinan nelayan, konflik daerah tangkapan ikan hingga berkurangnya keragaman hayati di pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan lautan umumnya memiliki keragaman ekosistem yang khas yang memerlukan pendekatan kebijakan (policy) pengelolaan yang khas pula (Kusumastanto 2007). Membangun kawasan pesisir dan laut membutuhkan pendekatan holistik dan terintegrasi karena pesisir dan laut merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap berbagai macam bentuk perubahan, pencemaran, dan konflik yang terjadi di darat.
2
Jakarta merupakan salah satu kota pesisir yang ada di Indonesia. Seperti kota pesisir lainnya di Indonesia, sektor perikanan bukan merupakan sektor prioritas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dilihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto Regional (PDRB), sektor perikanan hanya menyumbang sebesar 0,03 persen dari total PDRB yang diterima DKI Jakarta pada Tahun 2011 (BPS Jakarta 2012). Namun demikian, sektor perikanan khususnya perikanan tangkap tidak pernah bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat pesisir ibukota. Dengan luas laut hampir sepuluh kali dari luas daratan, aktivitas perikanan tangkap di ibukota menjadi ‘katup pengaman’ ketika masyarakat pesisir tidak mendapat pekerjaan lain di darat. Dengan demikian aktivitas perikanan tangkap di DKI Jakarta seharusnya tidak diabaikan keberadaannya dalam pembangunan kawasan pesisir dan laut ibukota di masa depan. Sebagai ibukota negara, Jakarta merupakan jendela bagi negara lain untuk melihat Indonesia secara keseluruhan, keberadaan Jakarta yang tidak hanya sebagai pusat pemerintahan melainkan juga pusat kegiatan ekonomi menjadikan Jakarta istimewa dan berstatus sebagai Daerah Khusus Ibukota. DKI Jakarta mempunyai luas daratan 661,52 km2 dan lautan seluas 6.977,5 km2 serta tercatat ±110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu. Secara administrasi, Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima wilayah kota dan satu kabupaten, yaitu Jakarta Pusat dengan luas daratan 47,90km2; Jakarta Utara dengan luas daratan 154,01 km2; Jakarta Barat dengan luas daratan 126,15 km2; Jakarta Selatan dengan luas daratan 145,73 km2; Jakarta Timur dengan luas daratan 187,73 km2 dan Kabupaten Adm. Kepulauan Seribu (Bapeda Jakarta 2012). Wilayah perairan Jakarta merupakan salah satu wilayah perairan yang strategis dan penting sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan, dan pencemaran oleh manusia. Strategis karena perairan Jakarta merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan untuk wilayah bagian barat Indonesia dan daerah paling rentan karena merupakan penyangga bagi ekosistem daratan Jakarta yang demikian tinggi aktivitas manusianya (Kusumastanto 2007). Untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan memenuhi seluruh kepentingan seluruh masyarakat terutama masyarakat Jakarta, pengelolaan
3
SDA pesisir dan laut di ibukota sering kali mengabaikan aspek keberlanjutan karena aktivitas menjaga lingkungan erat kaitannya dengan mengurangi aktivitas ekonomi yang berarti memperlambat laju pertumbuhan. Pembangunan ekonomi yang tidak memperhitungkan terjadinya disinsentif akibat aktivitas ekonomi akan berdampak negatif pada lingkungan dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Hal ini terlihat pada kondisi Perairan Jakarta yang sudah mengarah pada penurunan daya dukung lingkungan, seperti menurunnya hasil tangkapan, berkurangnya keanekaragama hayati, rusaknya lingkungan pesisir dan laut, kemiskinan nelayan yang merajalela, bahkan secara tak langsung menyebabkan turunnya kualitas hidup masyarakat pesisir karena sampah dan bahan beracun yang ada di perairan mengancam kesehatan fisik dan reproduktif. Fenomena ini memerlukan suatu rumusan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan secara komprehensif dan memenuhi kriteria pembangunan terpadu berkelanjutan yaitu secara ekonomi harus efisien dan optimal, secara sosial budaya berkeadilan dan dapat diterima, dan secara ekologi tidak melampaui daya dukung lingkungan (environmentally friendly) (Kusumastanto 2000). Kebijakan pembangunan harus disesuaikan dengan karakteristik wilayah, sumberdaya alam dan pemanfaatan yang diinginkan tidak melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity). Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD seharusnya tidak mengakibatkan tekanan pemanfaatan yang besar terhadap sumberdaya alam. Menurut UU Nomor 31 Tahun 2004 pasal 3 tentang Perikanan, tujuan pengelolaan perikanan diantaranya adalah : (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan; dan (2) menjamin kearifan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruang. Dalam hal pengelolaan perikanan, pemerintah daerah diharapkan sebagai motor penggerak pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Di sisi lain, pembangunan perikanan tangkap di Indonesia secara khusus bertujuan untuk : (1) tercapainya produksi perikanan tangkap sebesar 5,472 juta ton; (2) meningkatnya pendapatan nelayan rata-rata menjadi Rp 1,5 juta/bulan; (3) meningkatnya nilai ekspor hasil perikanan menjadi US$ 5,5 milyar; (4) meningkatnya konsumsi dalam negeri menjadi 30 kg/kapita/tahun; dan (5) penyerapan tenaga kerja perikanan tangkap (termasuk nelayan) sekitar 4 juta orang (SKP 2005). Melihat UU Nomor 31 Tahun 2004
4
pasal 3 dan tujuan pembangunan perikanan yang sangat optimis maka kebijakan pembangunan daerah terutama daerah pesisir diharapkan mampu mengakomodir seluruh kepentingan termasuk kepentingan nelayan dan pembudidaya ikan. Oleh sebab itu, pembangunan wilayah pesisir dan laut Jakarta, khususnya perikanan tangkap dengan karakteristik wilayah perairan padat tangkap dan multifungsi memerlukan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan SDA pesisir dan laut yang terpadu dan berkelanjutan agar mampu meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat Jakarta termasuk masyarakat nelayan. Untuk mewujudkannya diperlukan instrumen pengelolaan sumberdaya yang lebih menitikberatkan kepada kemampuan daya dukung alam tanpa mengabaikan kepentingan ekonomi masyarakat. Wilayah perairan Jakarta memerlukan kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut yang holistik dalam bentuk penataan ruang yang dapat mengakomodir kepentingan seluruh pemanfaatnya dengan tetap memperhatikan apek keadilan (equity), keberlanjutan (sustainability), dan kesejahteraan (prosperity) bagi seluruh masyarakat terutama masyarakat DKI Jakarta. Hal ini dapat tercapai apabila didukung dengan pengelolaan yang holistik yang terintegrasi mulai pusat sampai daerah dan mulai dari hulu sampai hilir dengan daya dukung sebagai faktor pembatasnya. Laut sebagai bagian terbesar dari luas ibukota harus masuk dalam arah perencanaan tata ruang Jakarta yang berarti bahwa arah kebijakan pembangunan Jakarta sebaiknya tidak bias daratan. Pembangunan ekonomi ibukota harus menggabungkan visi laut dan darat agar seluruh potensi yang dimiliki ibukota dapat dikembangkan dan dioptimalkan untuk kepentingan seluruh masyarakat tidak kecuali untuk masyarakat nelayan. Pembangunan ekonomi di kota pesisir seharusnya juga menciptakan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi masyarakat nelayan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu arahan pengembangan ekonomi perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta yang tepat dan aplikatif guna tercapainya tujuan pengelolaan perikanan yang tercantum dalam UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan jo UU No. 45 Tahun 2009 dan misi utama tata ruang wilayah Jakarta yang salah satunya adalah mengembangbiakan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan untuk seluruh warga Jakarta. Kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di
5
perairan Jakarta yang dihasilkan dan direkomendasikan dari penelitian ini diharapkan mampu menjawab tantangan masa depan untuk mengelola perairan Jakarta yang mampu mengakomodir semua kepentingan stakeholder terkait dan berkelanjutan sebab pertumbuhan ekonomi tidak akan sustainable jika ekologi tidak sustainanble karena kelestarian sumberdaya pulih adalah penentu keberlanjutan ekonomi berbasis kepulauan (Kusumastanto 2002). 1.2
Perumusan Masalah Sebagai ibukota negara sekaligus pusat bisnis di Indonesia, Jakarta
memiliki infrastuktur yang lengkap untuk menunjang seluruh aktivitas ekonomi dan merupakan daerah yang potensial bagi berbagai kegiatan usaha termasuk usaha penangkapan ikan, baik sebagai daerah produksi maupun sebagai basis usaha dan basis pemasaran. Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa arahan penataan ruang wilayah akan ditujukan untuk melaksanakan 3 (tiga) misi utama, yaitu : 1. Membangun Jakarta yang berbasis pada masyarakat; 2. Mengembangbiakan lingkungan kehidupan perkotaan yang berkelanjutan; 3. Mengembangkan
Jakarta
sebagai
kota
jasa
skala
nasional
dan
internasional. Wilayah perairan Jakarta meliputi wilayah Kota Adminsitrasi Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Perairan Jakarta merupakan tempat muara 13 sungai, diantaranya Sungai Cisadane di bagian barat, Sungai Ciliwung di bagian tengah dan Sungai Citarum dan Sungai Bekasi masing-masing di bagian timur. Aktivitas perekonomian di sepanjang daerah aliran sungai yang bermuara di Teluk Jakarta dan aktivitas perekonomian di wilayah pesisir dan laut cenderung mengarah pada penurunan kemampuan daya dukung lahan dan lingkungan di wilayah perairan. Perairan Jakarta setiap hari mendapatkan masukan bahan organik maupun anorganik yang bersumber dari daratan maupun dari pesisir dan laut. Kondisi ini tentunya akan berdampak pada kualitas perairan yang akan memberikan pengaruh terhadap kestabilan ekosistem yang ada di wilayah pesisir dan laut yang pada akhirnya akan berdampak luas pada kondisi ibukota secara keseluruhan.
6
Aktivitas penangkapan ikan di Perairan Jakarta sudah berlangsung sejak lama. Berdasarkan data statistik, tingkat pemanfaatan ini dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Jakarta. Peningkatan jumlah penduduk juga berdampak kepada meningkatnya permintaan produk-produk hasil perikanan untuk memenuhi kebutuhan akan protein hewani yang berasal dari ikan. Meningkatnya eksploitasi sumberdaya ikan sebagai akibat meningkatnya permintaan terhadap sumberdaya tersebut akan berdampak pada semakin tingginya tekanan terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan di Perairan Jakarta. Ditambah lagi dengan sifat pemanfaatan sumberdaya laut yang secara umum bersifat open access yang berarti pemanfaatannya terbuka untuk siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum sehingga pemanfaatan sumberdaya ini cenderung bebas tanpa ada batasan selama masih ada manfaat/keuntungan yang diperoleh. Kondisi tersebut di atas jika tidak segera dikendalikan (manage) dengan baik cepat atau lambat dikhawatirkan akan mengancam kelestarian sumberdaya ikan di perairan Jakarta. Menurut FAO diacu dalam Fauzi A (2005), diperkirakan bahwa 47 persen sumberdaya perikanan dunia telah mengalami full exploited, 19 persen dinyatakan overexploted, 9 persen diantaranya sudah depleted (terkuras). Dengan demikian 75 persen sumberdaya ikan sudah mengalami kritis. Sebagai wilayah perairan yang padat tangkap, multifungsi, tercemar, dan dipengaruhi/berpengaruh
terhadap
kondisi
ibukota
secara
keseluruhan,
pengembangan ekonomi di wilayah perairan Jakarta khususnya perikanan tangkap memerlukan konsep pembangunan yang tidak lepas dari pengelolaan berbagai aspek yang berpengaruh dan mempengaruhi perikanan tangkap itu sendiri, baik itu aspek yang mempengaruhi wilayah perairan maupun aspek wilayah daratan. Konsep Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management (IRCOM) diperlukan dalam pengelolaan perikanan tangkap di wilayah Perairan Jakarta karena permasalahan lingkungan di Perairan Jakarta tidak hanya bersumber dari di wilayah pesisir dan laut namun juga berasal dari daratan. Permasalahan yang mempengaruhi kondisi perikanan tangkap di Provinsi Jakarta adalah sebagai berikut : (1)
Pencemaran dan degrasi lingkungan. Pencemaran di perairan Jakarta tidak hanya bersumber dari wilayah pesisir dan laut tetapi juga dari seluruh
7
aktivitas di darat melalui 13 anak sungai yang bermuara di Teluk Jakarta. Berdasarkan data DKI Jakarta (2010), setiap hari Teluk Jakarta menerima masukan sampah sebanyak 161 ton. Bahan cemaran di Teluk Jakarta 80 persen berasal dari daratan melalui tiga belas daerah aliran sungai (DAS) yang bermuara di Teluk Jakarta (BPLHD Jakarta 2010). Pencemaran ini memberikan dampak negatif yang tinggi terhadap keberlanjutan ekosistem dan sumberdaya pesisir dan laut, keberlangsungan hidup nelayan Jakarta dan industri & wisata bahari serta lalu lintas laut. (2)
Produksi perikanan yang semakin menurun. Sejak tahun 2002, produksi perikanan nelayan Jakarta menurun hingga 38 persen (Sonari 2009). Di lain pihak, tingkat konsumsi ikan masyarakat Jakarta semakin meningkat mendekati tingkat konsumsi per kapita yang ditargetkan pemerintah pusat yaitu 24,79 kg/kapita/tahun pada Tahun 2011 (DKP Jakarta 2012).
(3)
Belum dilaksanakannya penegakan hukum secara konsisten bagi pelanggar kerusakan lingkungan.
(4)
Ketidakadanya
pembatasan
effort
pada
usaha
penangkapan
ikan
menyebabkan semakin rendahya tingkat keuntungan yang diperoleh oleh nelayan sehingga mengancam keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Untuk meningkatkan keuntungannya, saat ini nelayan Jakarta berupaya meningkatkan produktivitas alat tangkapnya. Kondisi ini jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya konlik antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang semakin terbatas. (5)
Saat ini, belum ada alternatif kebijakan yang tepat selain terfokus pada upaya untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh nelayan. Kebijakan yang terkait dengan usaha perbaikan lingkungan perairan belum maksimal karena setiap alternatif kebijakan memiliki konsekuensi yang berbenturan dengan kepentingan stakeholder lain.
(6)
Belum adanya pengaturan tata ruang pesisir dan laut yang komperhensif sehingga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antar stakeholders.
(7)
Usaha perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta belum mempunyai instrumen untuk menilai keberlanjutannya pada masa mendatang secara komprehensif. Perikanan tangkap belum mempunyai ukuran untuk menilai
8
aspek mana saja yang perlu untuk diperbaiki dan bagaimana cara perbaikan yang paling tepat agar aktivitas perikanan tangkap dapat berkelanjutan Hal ini menyebabkan keadaan usaha perikanan tangkap di Jakarta selama beberapa tahun terakhir ini terlihat tidak begitu menggembirakan. (8)
Belum adanya pemahaman yang sama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan pemerintah daerah hulu sungai (Pemda Bekasi, Pemda Jabar) maupun dengan pemerintah pusat tentang pembangunan baik yang secara langsung maupun tidak mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi Jakarta. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dapat ditangani masing-masing sektor tetapi harus ada keterpaduan antar sektor/stakeholders. Dari permasalahan-permasalahan yang ada di wilayah Perairan Provinsi
DKI Jakarta, di bawah ini adalah research question yang akan dijawab dalam penelitian ini : (1)
Berapa besar potensi sumberdaya perikanan tangkap di Perairan Jakarta sebagai dasar dalam penilaian status keberlanjutan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap di Perairan Jakarta?
(2)
Apakah sumberdaya perikanan tangkap di perairan Provinsi DKI Jakarta sudah terdegradasi dan terdepresiasi?
(3)
Bagaimana status pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan analisis lima dimensi keberlanjutan perikanan, seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan?
(4)
Bagaimana kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta yang mengakomodir lima dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan)?
1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pemaparan perumusan masalah
tersebut, yaitu : (1)
Menganalisis tingkat alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta.
9
(2)
Menilai tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Provinsi DKI Jakarta.
(3)
Menilai indeks keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan lima dimensi keberlanjutan (ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan).
(4)
Menganalisis optimasi dinamik pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta melalui penggambaran dari interaksi antara indikator kunci dalam subsistem ekologi, subsistem ekonomi, dan subsistem sosial.
(5)
Merumuskan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian Sumberdaya perikanan adalah salah satu sumberdaya alam yang
merupakan aset negara dan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kesejahteraan suatu bangsa. Perikanan merupakan salah satu aktivitas ekonomi manusia yang sangat kompleks. Tantangan untuk memelihara sumberdaya yang sehat menjadi isu yang cukup kompleks dalam pembangunan perikanan. Meskipun sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang dapat pulih namun pada kenyataannya telah terjadi penurunan hasil tangkapan di berbagai laut di Indonesia, berkurangnya keanekaragama hayati, rusaknya lingkungan wilayah pesisir dan laut yang secara tidak langsung menyebabkan terjadinya kemiskinan nelayan. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini untuk merumuskan kebijakan pembangunan berkelanjutan perikanan tangkap menggunakan lima dimensi, yaitu ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan. Hal ini dikaitkan dengan objek penelitian perikanan tangkap yang sangat terkait dengan lima dimensi tersebut. Untuk itu diperlukan upaya mengharmonisasikan tujuan dari kelima dimensi agar tercapai pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Saat ini belum menunjukan adanya upaya-upaya sistematis untuk membangun kesejahteraan masyarakat yang memadukan kepentingan ekonomi,
10
ekologi, sosial budaya, teknologi, dan kelembagaan. Oleh sebab itu diperlukan suatu analisis yang komprehensif tentang kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan dari setiap dimensi keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis kebijakan strategis dalam pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta yang holistik dan komprehensif mencakup lima dimensi keberlanjutan, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Melalui penelitian ini diharapkan pengembangan ekonomi perikanan tangkap di ibukota yang merupakan kota pesisir dapat berkelanjutan dengan kelestarian sumberdaya pulih sebagai tolak ukurnya tanpa mengabaikan kepentingan ekonomi para pelaku usaha perikanan. Oleh sebab titik tolak penelitian ini adalah maximum sustainable yield (MSY) dan maximum economic yield (MEY) pada sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Analisis bioekonomi digunakan untuk mengetahui tingkat pemanfaatan yang optimal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan. Analisis degradasi dan depresiasi digunakan untuk menilai laju degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan yang terjadi di wilayah penelitian. Analisis keberlanjutan digunakan untuk menentukan status keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap dilihat dari dimensi ekonomi, ekologis, sosial, teknologi, dan kelembagaan. Analisis dinamik digunakan untuk menggambarkan dan memodelkan perilaku dari populasi alamiah sumberdaya perikanan untuk mencapai pengelolaan yang optimal. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, analisis degradasi dan depresiasi, analisis keberlanjutan dan analisis dinamik diharapkan
didapat
sebuah
strategi
kebijakan
yang
aplikatif
tentang
pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta secara holistik dan komprehensif .
11
1.5
Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah :
(1)
Meningkatkan pemahaman peneliti terhadap kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta yang dapat mengakomodir keseimbangan berbagai dimensi pengelolaan yang terkait.
(2)
Sebagai bahan masukan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam merumuskan kebijakan pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta.
(3)
Sebagai informasi bagi stakeholder yang terkait dalam menjaga sinkronisasi kegiatan perikanan tangkap dengan daya dukung lingkungan sehingga terjadi keberlanjutan dalam kegiatan pemanfaatn perairan di DKI Jakarta.
(4)
Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam pengelolaan perikanan tangkap yang berorientasi pada perbaikan kesejahteraan nelayan dan masyarakat namun tetap mempertahankan kelestarian sumberdaya perikanan dan ekosistem di kawasan pengelolaan.
12
13
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Undang-undang perikanan tangkap No. 22 Tahun 1999 pasal 3
menyatakan bahwa wilayah provinsi sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat 1 terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah lepas pantai atau ke arah perairan kepulauan. Wilayah pesisir dan pulau dipandang dari segi pembangunan merupakan potensi sumberdaya yang dapat diperbaharui (pulih), terdiri atas : perikanan laut (tangkap, budidaya dan pascapanen), hutan mangrove, terumbu karang, industri bioteknologi kelautan dan pulau-pulau kecil (Dahuri 2001). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan jo. UU no. 45 tahun 2009, pengelolaan perikanan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuat keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan perikanan menyangkut berbagai tugas yang kompleks yang bertujuan untuk menjamin adanya hasil dari sumberdaya alam yang optimal bagi masyarakat setempat, daerah dan negara yang diperoleh dari memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Berdasarkan definisi di atas, terdapat kata-kata kunci seperti proses, elemen-elemen, keterkaitan/ketergantungan dan tujuan. Bila dianalogikan dalam penangkapan ikan maka pengelolaan penangkapan ikan mengandung pengertian suatu proses dalam usaha penangkapan ikan yang terdiri dari elemen-elemen yang saling terkait yang diarahkan untuk mencapai tujuan dari penangkapan ikan. Perikanan tangkap menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2003) adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan atau pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Perikanan tangkap merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berkaitan atau berhubungan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
14
Menurut Charles (2001) sistem perikanan terdiri atas sistem manusia (human system) dan sistem pengelolaan perikanan (fishery management system). Sistem alam terdiri atas subsistem, yaitu ikan (fish), ekosistem biota (ecosystem) dan lingkungan biofisik (biophysical environment). Sistem manusia terdiri atas empat subsistem, yaitu nelayan (fishers), bidang pasca panen dan konsumen (post harvest sector and consumers), rumah tangga dan komunitas masyarakat perikanan (fishing household and communities) dan lingkungan sosial ekonomi budaya
(social
ecomomic/cultural
environment).
Sistem
manajemen
dikelompokan menjadi empat subsistem, yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan (fishery policy and planning), manajemen perikanan (fishery management), pembangunan perikanan (fishery development) dan riset perikanan (fishery research). Ketiga
komponen
sistem
perikanan
tersebut
saling
berinteraksi
membentuk sistem perikanan yang dinamik. Pendekatan sistem perikanan dengan hanya berlandaskan aspek biologi akan menemui kegagalan apabila tidak didukung oleh aspek ekonomi dan politik. Sebaliknya, kebijakan ekonomi dan politik di bidang perikanan akan menemui kegagalan apabila data base aspekaspek biologi yang akurat tidak tersedia. Struktur, variasi komponen, interaksi diantara subsistem dan dinamika sistem perikanan ditujukan pada Gambar 1.
15
Sistem Pengelolaan Perikanan
Sistem Alam Perencanaan dan kebijakan perikanan
Komunitas
Pembangunan perikanan
Spesies Ikan
Pengelolaan perikanan
Riset perikanan
Habitat Lingkungan Perairan
Tekanan eksternal (contoh:perubahan iklim)
Tekanan eksternal (contoh:perubahan pemerintah)
Sistem Manusia Permanen Kelompok Nelayan
1
Teknologi Penangkapan
Komunitas
A F
3 E
Pasca panen 4
Lingkungan Sosioekonomi
B
C D
Rumah tangga
Tekanan luar (contoh : Kebijakan Makroekonomi)
2
A = Pengolahan B = Distribusi C = Pasar D = Pedagang pengumpul E = Pengencer F = Konsumen 1. Konflik pengguna 2. Konflik alat tangkap 3. Komunitas ekonomi dan interaksi sosial 4. Saluran pemasaran
Gambar 1. Sistem perikanan yang menggambarkan tiga subsistem utama (alam, manusia dan manajemen), komponen utama subsistem, interkasi antar subsistem dan komponennya dan pengaruh faktor luar terhadap sistem (Charles 2001).
16
Lebih lanjut dijelaskan bahwa karakteristik sistem perikanan dapat dibedakan dengan berbagai macam cara, yaitu : 1)
Berdasarkan lingkup keruangan, berhubungan dengan ukuran, kondisi geografis dan administrasi misalnya perikanan pantai, perikanan dengan batas provinsi atau negara dan organisasi perikanan regional atau antar negara.
2)
Berdasarkan skala usaha, dibedakan perikanan skala kecil dan skala besar tergantung teknologi, daerah penangkapan dan tujuan berproduksi.
3)
Berdasarkan lokasi geografis, misalnya daerah tropis dan sub tropis.
4)
Berdasarkan tipe ekosistem, misalnya daerah upwelling, estuaria, terumbu karang.
5)
Berdasarkan lingkungan fisisk perairan, misalnya dasar perairan berkarang, teluk, danau.
6)
Berdasarkan kondisi alam dan tingkah laku pengguna sumberdaya, misalnya terorganisir atau tidak terorganisir, multi tujuan atau spesialisasi.
7)
Berdasakan lingkungan sosial ekonomi, misalnya desa atau kota, daerah tertinggal atau maju, miskin atau sejahtera, tingkat keterlibatan masyarakat, dan lain-lain. Dinamika sistem perikanan laut mencakup aspek sumberdaya ikan, armada
perikanan dan komunitas nelayan. Sumberdaya ikan dikendalikan melalui dinamika populasi di alam, yaitu proses reproduksi dan kematian. Armada perikanan bervariasi dalam dinamika modal, misalnya investasi pembelian kapal, dan alat tangkap baru (modal secara fisik) yang mengalami depresiasi sepanjang waktu. Penangkapan secara langsung akan mengurangi jumlah stok ikan, hasil tangkapan ini akan dipasarkan sehingga nelayan akan mendapat keuntungan. Keuntungan dapat digunakan untuk menambah modal (capital dynamic) sebagai variasi keuntungan (tergantung kondisi produk dan pasar). Charles (2001) juga menjelaskan bahwa sumberdaya ikan berinteraksi dengan ekosistem dan lingkungan biofisik, nelayan berinteraksi di rumah tangga, masyarakat dan lingkup sosial ekonomi. Bidang pascapanen berada diantara panen dan pasar. Keuntungan multidimensional didapatkan dari umpan balik perikanan kepada alam dan manusia sebagai komponen sistem (Gambar 2).
17
Lingkungan Biofisik
Lingkungan sosial ekonomi
Rumah tangga dan masyarakat
Ekosistem
Ikan
Armada
Nelayan
Dinamika modal
Dinamika populasi ikan
Dinamika tenaga kerja
Panen
Pascapanen
Pasar
Kondisi Pasar
Keuntungan • Sosial • Budaya • Ekonomi • Biodiversitas
Gambar 2. Gambaran lengkap sistem perikanan yang ditujukan oleh dinamika sumberdaya ikan, modal dan nelayan (Charles 2001) Pengelolaan perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa kewenangan daerah di wilayah laut sebagaimana dimaksud pasal 3, meliputi (1) Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, (2) Pengaturan
18
kepentingan administrasi, (3) Pengaturan tata ruang, (4) Penegakkan hukum terhadap
peraturan
yang
dikeluarkan
oleh
daerah
yang
dilimpahkan
kewenangannya oleh pemerintah, dan (5) Bantuan penegakkan keamanan dan kedaulatan negara. Selanjutnya pasal 10 ayat 3 dijelaskan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan daerah kota di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat 2 adalah sejauh dua per tiga dari batas laut daerah provinsi. Berdasarkan kewenangan yang diberikan dalam pengelolaan sumberdaya tersebut maka setiap orang dapat memanfaatkan dan masuk dalam industri perikanan. Pengelolaan sumberdaya perikanan setidaknya dibagi menjadi dua rejim, yakni rejim akses terbuka (open access regime) dan rejim pengelolaan secara terpusat (centrally planned management). Perbedaan kedua rejim ini terletak pada ada atau tidaknya kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya dan kegiatan ekspansi yang dilakukan nelayan baik secara teknologi, hari menangkap maupun daerah penangkapan. Pengelolaan perikanan menurut pasal 3 UU no.31 tahun 2004 tentang perikanan jo. UU no. 45 tahun 2009 , dilaksanakan dengan tujuan : (1) Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil; (2) Meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) Mendorong perluasan dan kesempatan kerja; (4) Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein ikan; (5) Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan; (6) Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; (7) Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk imdustri pengolahan ikan; (8) Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal; dan (9) Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruang. Menurut Murdiyanto (2004) tujuan umum pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu : (1) Mempertahankan kelestarian sumberdaya ikan dan kelanjutan kegiatan produksi ikan melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan sebagai mata pencaharian masyarakat yang bersangkutan. Tanpa adanya sumberdaya ikan tidak diperlukan adanya pengelolaan karena tersedianya sumberdaya ikan
19
merupakan alasan utama negara membangun perikanannya (resources based development). (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial nelayan. (3) Memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri terhadap sumber makanan dari sektor perikanan. Dalam praktek pelaksanaan pengelolaan, pihak pengelola harus dapat menentukan pilihan terbaik mengenai, tingkat perkembangan perikanan, tingkat pemanfaatan yang diijinkan, ukuran ikan yang boleh ditangkap, lokasi dan waktu penangkapan, pengaturan alokasi keuangan untuk menyusun atau regulasi pengelolaan, penegakkan hukum (law enforcement) serta pengembangan produksi. 2.2
Sumberdaya Perikanan Tangkap dan Alat Penangkapan Ikan
2.2.1 Sumberdaya Perikanan Tangkap Menurut Naamin (1987), sumberdaya perikanan tangkap dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yaitu : 1) Sumberdaya perikanan demersal, yakni jenis ikan yang hidup di dasar perairan. Widodo (1980) mengungkapkan perubahan ikan demersal berdasarkan sifat ekologinya, yaitu reproduksi yang stabil, hal ini disebabkan oleh habitat di lapisan dasar laut yang relatif stabil sehingga mengakibatkan daur hidup ikan demersal juga stabil dan ikan demersal mempunyai daerah ruaya yang sempit, ikan demersal cenderung menempati suatu daerah dengan tidak membentuk kelompok besar. Oleh karena itu, besar kesediaannya sangat dipengaruhi oleh luas daerah yang ditempatinya. Apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan pelagis masih mampu beruaya ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya sedangkan jenis ikan demersal tidak mampu untuk menghindar sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan demersal. Ikan demersal pada umumnya dapat hidup dengan baik pada perairan yang bersubtrat lumpur, lumpur berpasir, karang dan karang berpasir (Fischer dan Whiteahead 1974). 2) Sumberdaya perikanan pelagis kecil, yakni jenis ikan yang hidup di permukaan perairan, mempunyai ukuran 5-50 cm (ukuran dewasa), didominasi oleh enam kelompok besar, yaitu kembung (Rastrelliger sp),
20
layang (Decapterus sp), jenis selar (Selaroides sp dan Atale sp), lemuru (Sardinella sp) dan teri (Stolephorus sp). Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup dilapisan permukaan, sampai kedalaman 30-60 m, tergantung pada kedalaman laut. Bila hidup di perairan yang secara berkala/musiman mengalami up welling (pengadukan) ikan pelagis kecil dapat membentuk biomassa yang besar (Mukhsin 2002). 3) Sumberdaya perikanan pelagis besar, yakni jenis ikan oceanic yang hidup di permukaan dan sangat jauh dari lepas pantai, mempunyai ukuran 100-250 cm (ukuran dewasa). Umumnya ikan pelagis besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari kelompok ini antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), dan tongkol (Euthynnus spp). 4) Sumberdaya udang dan biota laut non ikan lainnya, seperti rajungan, kepiting, cumi-cumi dan sebagainya. 2.2.2 Alat Tangkap Ikan Secara umum perkembangan metode penangkapan ikan yang didasarkan kepada sifat atau tingkah laku ikan antara lain (Brandt 1984) : (1) Menggunakan tangan. (2) Menggunakan bantuan hewan terlatih. (3) Menjepit atau melukai obyek, misalnya alat penjepit ombak dan harpoon. (4) Membuat mabuk atau membius ikan, misalnya pembiusan secdara mekanik, kimiawi dan elektrik. (5) Memikat ikan dengan mangsanya, misalnya golongan pancing (lines). (6) Memikat ikan agar masuk ke dalam alat, misalnya penghalang, perangkap dan net. (7) Merangkap ikan yang bergerak loncat ke permukaan, beberapa jenis-jenis ikan mempunyai kemampuan untuk meloncat melewati permukaan, misalnya untuk menangkap serangga atau mengatasi rintangan maupun usaha mereka dalam menghindari predator, misalnya aerial trap. (8) Menyaring kolom ikan dimana ikan berada dengan menggunakan alat berkerangka, misalnya seser, stow net, dll.
21
(9) Melingkupi gerombolan ikan (schooling) dengan kantong, misalnya payang dan pukat pantai (diseret ke arah pantai) dan trawl (diseret sepanjang kapal bergerak). (10) Melingkari gerombolan ikan dan mengurungnya tidak hanya dari arah tepi tetapi juga dari bawah, misalnya jaring lingkar (purse seine) dan lampara. (11) Menggiring ikan ke arah jaring, misalnya muro ami. (12) Mengkondisikan ikan dengan cahaya atau umpan di atas cakupan jaring untuk selanjutnya diangkat, misalnya bagan perahu dan bagan tancap. (13) Menebar jaring di atas ikan, misalnya jala. (14) Menghadang ikan dengan jaring sehingga terjerat atau terpuntal, misalnya jaring insang (gillnet) dan jaring puntal. (15) Mengeluarkan ikan atau biota air lainnya dari suatu perairan dan memindahkannya ke atas kapal, misalnya fish pump. Statistik perikanan tangkap Indonesia menggelompokkan alat penangkap ikan menjadi sembilan kelompok sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.
22
Tabel 1. Klasifikasi alat penangkap ikan berdasarkan statistik perikanan No
Kelompok
1
Pukat tarik (trawl)
2
Pukat kantong (seine net)
3 4
Pukat cincin (purse seine) Jaring insang (gillnet)
5
Jaring angkat (lift net)
6
Pancing (line)
7
Perangkap (traps)
8
Pengumpul dan penangkap (collector and gears)
9
Alat tangkap lainnya
Sumber : DJPT-KKP (2008)
Jenis 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1.
Pukat udang (shrimp trawl) Pukat ikan (fish net) Pukat tarik lainnya (other trawl) Payang (pelagic danish seine) Dogol (demersal danish seine) Pukat pantai (beach seine) Pukat cincin (purse seine)
1. Jaring insang hanyut (drift gillnet) 2. Jaring insang lingkar (encircling gillnet) 3. Jaring klitik (shrimp entangling gillnet) 4. Jaring insang tetap (set gillnet) 5. Jaring tiga lapis (trammel net) 1. Bagan perahu/rakit (boat lift/raft net) 2. Bagan tancap (stationary lift net) 3. Serok dan songko (scoop net) 4. Jaring angkat lainnya (other lift net) 1. Rawai tuna (tuna long line/drift long line) 2. Rawai dasar/tetap (set bottom long line) 3. Huhate (pole and line) 4. Pancing tonda (troll line) 5. Pancing ulur (handline) 6. Pancing cumi (squid jigging) 1. Sero (guiding barrier) 2. Jermal (stow net) 3. Bubu (portable trap) 4. Perangkap lainnya (other traps) 1. Alat penangkap kerang (shell fish gears) 2. Alat pengumpul rumput laut (seaweed collectors) 3. Alat penangkap teripang (sea cucumber gears) 4. Alat penangkap kepiting (crab gears) 1. Muroami (muro ami) 2. Jala lempar/tebar (cast net) 3. Garpu dan tombak (harpoon)
23
2.3
Daya Dukung Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup
untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lain (UndangUndang nomor 23 Tahun 1997). Menurut Clark (1996), daya dukung merupakan konsep yang tepat dalam memanfaatkan sumberdaya secara terbatas. Daya dukung lingkungan dibagi menjadi dua, yakni; (1) daya dukung ekologis (ecological carrying capacity), dan (2) daya dukung ekonomis (economic carrying capacity) (Scones 1993). Daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum
organisme
pada
suatu
lahan
yang
dapat
didukung
tanpa
mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan dan tanpa terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Daya dukung ekologis ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum secara lestari dalam suatu lahan dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameterparameter kelayakan usaha secara ekonomi. Konsep dasar dari sustainability adalah penggunaan suatu sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Menurut Charles (2001) untuk mendukung keberlanjutan perikanan diperlukan keberlanjutan aspek ekologi, sosio-ekonomi, komunitas dan institusi, yaitu : 1.
Ecological
sustainability
(keberlanjutan
ekologis),
yaitu
memelihara
keberlanjutan stok ikan sehingga tidak melewati daya dukungnya serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem. 2.
Socioeconomic mempertahankan
sustainability keberlanjutan
(keberlanjutan kesejahteraan
sosial baik
ekonomi), individu
yaitu
maupun
masyarakat. 3.
Community sustainability (keberlanjutan komunitas), yaitu mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan dari sisi masyarakat.
4.
Institutional Sustainability (keberlanjutan institusional), yaitu memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat yang merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 3.
24
Ecological Sustainability
Instutional Sustainability Sosio-economic Sustainability
Community Sustainability
Gambar 3. Segitiga keberlanjutan perikanan (Charles 2001).
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sistem perikanan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan dari aspek lingkungan biofisik, lingkungan manusia dan institusi politik dan ekonomi. Lingkungan biofisik dapat ditentukan dengan tiga cara, yaitu : (1) menentapkan batas-batas ekologis dan menyesuaikan dalam hubungan dengan ekosistem; (2) mengenali kebutuhan untuk menggabungkan aktivitas manusia dengan siklus alam; dan (3) aktivitas utama didasarkan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pendekatan aspek manusia dilakukan dengan tiga cara¸ yaitu : (1) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; (2) menerapkan asas kesamaan dan keadilan sosial; dan (3) peraturan yang pasti. Penentuan institusi politik dan ekonomi (kelembagaan) dapat ditentukan dengan enam cara, yaitu : (1) membangun perspektif jangka panjang lebih dominan; (2) menetapakan tujuan ganda (sosial/lingkungan/ekonomi); (3) mengantisipasi perkembangan di masa datang/adaptif (institusi dirancang untuk merespon dan memecahkan masalah); (4) responsif terhadap krisis pada level berbeda; (5) menetapkan orientasi dari sistem yang dibangun (interaksi antar komponen, pertukaran, umpan balik); dan (6) menetapkan prinsip-prinsip manajemen yang kondusif (terbuka/ jujur/ diinformasikan/ pemberdayaan pengambilan keputusan). Pendekatan ketiga aspek tersebut mempunyai kriteria dan indikator yang jelas untuk menilai keberlanjutan sistem perikanan. Menurut Charles (2001),
25
sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek ekologis meliputi tingkat penangkapan, jumlah biomassa, ukuran ikan, kualitas lingkungan, keragaman spesies, luas area rehabilitasi, luas area dilindungi, dan pemahaman ekosistem (Tabel 2).
Tabel 2. Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek ekologi sistem perikanan Kriteria Keberlanjutan minimum, Indikator Keberlanjutan jika : Tingkat penangkapan
(MSY-tangkapan)/MSY
Tangkapan melebihi MSY
Biomassa
Biomassa (relatif ke rata-rata)
Total biomassa atau reproduksi stok biomassa di bawah ambang kritis
Trend biomassa
Persentase perubahan rata-rata tahunan selama beberapa tahun
Biomasssa turun secara cepat (atau kurangnya rekruitmen)
Ukuran ikan
Rata-rata ukuran ikan (relatif ke rata-rata)
Ukuran rata-rata yang tertangkap relatif lebih kecil daru ukuran optimal
Kualitas lingkungan
Kualitas (relatif ke ratarata) + (% perubahan rata-rata)
Kualitas lingkungan rendah dan menurun
Keragaman (spesies tangkapan)
(Jumlah spesies/ ratarata tangkapan) + (diversitas/ rata-rata)
Jumlah spesies tertangkap dan indeks diversitas relatif di bawah tingkat sebelumnya
Keragaman (ekosistem)
(Jumlah spesies/ ratarata tangkapan) + (diversitas/ rata-rata)
Jumlah spesies dan indeks diversitas rendah dan menurun
Area rehabilitasi
Luas area rehabilitasi (% total area)
Peningkatan luas area yang tercemar
Area dilindungi
Luas area dilindungi (% total area)
Pengurangan kawasan lindung karena eksploitasi
Pemahaman ekosistem
Tingkat pengetahuan relatif ke level lebih tinggi
Pemahaman sumberdaya dan ekosistem tidak jelas
Sumber : Charles (2001) Menurut Charles (2001), kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek sosial ekonomi masyarakat meliputi fleksibilitas masyarakat,
26
kemandirian masyarakat, daya dukung manusia, daya dukung lingkungan, kesamaan distribusi, kapasitas armada lestari, investasi, suplai pangan, dan ketahanan pangan jangka panjang (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek sosial ekonomi/masyarakat sistem perikanan Kriteria Keberlanjutan
Indikator
Keberlanjutan minimum, jika :
Fleksibilitas masyarakat
Indeks keragaman tenaga kerja
Kurangnya alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan nelayan
Kemandirian masyarakat
Proposi kegiatan ekonomi berbasis lokal
Ketergantungan tinggi terhadap kekuatan ekonomi luar
Daya dukung manusia (mata pencaharian)
Penggunaan atau potensial kelangsungan tenaga kerja (relatif ke populasi)
Keberlanjutan ekonomi atau lapangan kerja di bawah perkiraan penggunaan atau potensial populasi
Daya dukung manusia (lingkungan)
Kapasitas daya serap lingkungan/produksi limbah manusia
Limbah manusia melebihi kemampuan lingkungan untuk menerimanya
Kesamaan
Rasio koefisien Gini dan pendapatan atau distribusi pangan
Penyebaran pendapatan dan suplai makanan di bawah ketentuan minimum
Kapasitas penangkapan ikan (fishing capacity)
Rasio kapasitas pada tingkat MSY terhadap kapasitas terpasang
Kapasitas terpasang melebihi hasil tangkapan lestari MSY
Investasi tepat
Kapasitas investasi (saat stok < optimal)
Investasi di atas tingkat kapasitas stok maksimum atau > 0 saat stok menurun
Suplai makanan
Suplai pangan per kapita (kebutuhan minimum nutrisi relatif)
Ketersediaan pangan per orang di bawah kebutuhan minimum nutrisi
Ketahanan pangan jangka panjang
Kemungkinan kecukupan pangan 10 tahun ke depan
Stabilitas suplai pangan rendah atau suplai turun dengan cepat
Sumber : Charles (2001)
27
Charles (2001) mengemukakan bahwa kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek institusional meliputi efektivitas manajemen, penggunaan metode tradisional, penggabungan input lokal, kapasitas terpasang, dan keberlangsungan institusi (Tabel 4).
Tabel 4.
Kriteria dan indikator keberlanjutran aspek institusional sistem perikanan
Kriteria Keberlanjutan
Indikator
Keberlanjutan minimum, jika :
Keefektifan menajemen
Tingkat keberhasilan pengelolaan negara dan kebijakan pengaturan
Organisasi pengelolaan (DKP) yang ada tidak mampu mengontrol tingkat eksploitasi dang mengatur pengguna sumberdaya
Penggunaan metode pengelolaan tradisional (local wisdom)
Tingkat penggunaan
Metode pengelolaan lingkungan dan sumberdaya tradisional (local wisdom) tidak digunakan
Pemanfaatan atau pemberdayaan institusi lokal
Tingkat pemberdayaan
Pengelolaan/kegiatan perencanaan tidak mempertimbangkan dan menerapkan faktor sosial kultural lokal (tradisi, pengambilan keputusan masyarakat, pengetahuan ekologi, dll)
Kapasitas terpasang
Tingkat upaya kapasitas terpasang
Kapasitas terpasang dalam organisasi kurang relevan
Keberlanjutan institusi
Tingkat keuangan dan keberlangsungan organisasi
Organisasi pengelola kekurangan dukungan finansial jangka panjang atau politik pendukung struktur
Sumber : Charles (2001) Menurut Fauzi (2006) keberlanjutan (sustainable) adalah suatu keadaan yang berkesinambungan di mana kegunaan yang diperoleh dari suatu obyek atau sumber daya pada masa mendatang tidak berkurang dibandingkan saat ini. Keberlanjutan merupakan permasalahan yang kompleks karena mencakup
28
berbagai aspek atau dimensi keberlanjutan, seperti dimensi sumber daya, sosial, ekonomi dan lingkungan (Hall 2001). Penilaian keberlanjutan yang hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi saja ternyata menyebabkan ketimpangan atau dampak buruk pada dimensi lainnya. 2.4
Analisis Bioekonomi Perikanan sebagai sumberdaya yang dapat pulih atau renewable resource
memerlukan managemen pengelolaan yang tepat agar dapat memberikan rente yang optimal bagi masyarakat namun kelestarian sumberdaya itu tetap terjaga untuk generasi mendatang. Secara implisit pernyataan tersebut mengandung dua makna, yaitu makna ekonomi dan makna biologi. Hal ini berarti, pemanfaatan optimal sumberdaya ikan harus mengakomodasi aspek ekonomi dan biologi. sehingga pendekatan bioekonomi dalam pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan hal yang harus dipahami oleh setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Fauzi 2004). Pada mulanya, pengelolaan sumberdaya ikan hanya didasarkan pada faktor biologi semata, dengan pendekatan yang disebut Maximum Sustainable Yield (tangkapan maksimum yang lestari). Inti pendekatan ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang) maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Para pakar biologi perikanan mencoba menurunkan sustainable yield curve yang didasarkan pada keseimbangan populasi ikan atau biomassa ikan. Populasi ikan diasumsikan akan tumbuh karena terdapat kelahiran dalam populasi itu (recruitment), adanya pertumbuhan ikan dalam populasi tersebut (growth), kemudian populasi ikan tersebut dibatasi oleh kematian alami yang disebabkan oleh predator dan keterbatasan lingkungan perairan. Keterbatasan lingkungan itu terjadi karena : (1) Persediaan makanan dalam perairan. Persediaan makanan bukan hanya diperlukan oleh ikan dalam perairan, tetapi juga oleh organisme lain yang terdapat dalam perairan tersebut; (2) Ketersediaan oksigen. Oksigen diperlukan bukan hanya oleh ikan yang dalam perairan tetapi berbagai organisme dalam kolom air juga memerlukan
29
oksigen. Kolom air memerlukan oksigen untuk menetralisir pencemaran yang ada dalam perairan, dalam ilmu ekologi disebut sebagai daya asimilasi; (3) Keterbatasan ruang karena ada kendala fisik dan kimiawi yang implisit terdapat dalam kolom air, sehingga ikut membatasi ruang hidup populasi ikan (Zulham 2005). Apabila ketiga keterbatasan itu dianggap konstan, dan x didefinisikan sebagai biomassa ikan, t adalah waktu dan F(x) adalah fungsi yang menggambarkan
pertumbuhan
alami
populasi
ikan
sehingga
dinamika
pertumbuhan populasi tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
Perairan memiliki daya dukung lingkungan yang disebut Shcaefer (1957) sebagai carrying capacity (K) yang menunjukkan kemampuan lingkungan untuk menopang kehidupan populasi ikan. Interaksi berbagai pertumbuhan dalam populasi itu oleh Schaefer (1957) disebut sebagai intrinsic growth rate (r). Jumlah populasi akan mencapai K, jika selama priode t pertumbuhan populasi x adalah nol. Dengan demikian pertumbuhan populasi ikan menurut Schaefer (1957) dapat dituliskan sebagai :
Jumlah biomas ikan yang mencapai carrying capacity dapat dilihat pada tampilan Gambar 4. Gambar 4 menjelaskan bahwa pada rentang waktu tertentu tingkat pertumbuhan populasi relatif rendah,namun karena persediaan makanan yang melimpah maka pertumbuhan populasi ikan F(x) akan meningkat. Akibat kendala yang terdapat pada lingkungan maka F(x) akan mencapai maksimum dan kemudian menurun. Pertumbuhan F(x) itu akan mencapai titik nol pada saat biomassa x sama dengan K karena lingkungan tidak mampu lagi mendukung pertambahan populasi ikan. Secara grafik hubungan biomassa dengan daya dukung lingkungan digambarkan seperti tampak pada Gambar 4.
30
Gambar 4. Hubungan antara biomassa dengan waktu dalam pertumbuhan populasi ikan (Fauzi 2004)
Gambar 5 menunjukkan hubungan antara biomassa dengan laju biomassa atau F(x), biomassa ikan akan cepat bertambah sampai x* seiring dengan kemampuan lingkungan mensuplai oksigen, makanan dan ruang untuk kehidupan ikan namun setelah batas itu pertambahan biomassa ikan akan berjalan lambat karena adanya pembatas dari faktor lingkungan.
Gambar 5. Hubungan antara biomas dengan pertumbuhan populasi ikan (Fauzi 2004) Jika pada fungsi pertambahan stok ikan,dimasukkan kemampuan nelayan menangkap ikan h(E) maka persamaan dinamika populasi ikan di perairan dapat dituliskan sebagai berikut :
31
Dalam pengelolaan perikanan, fungsi produksi yang sering digunakan adalah :
Dalam kondisi keseimbangan, besarnya stok sama dengan nol, jika koefisien teknologi (q) diasumsikan 1 maka diperoleh hubungan antara laju pertumbuhan biomassa dengan hasil tangkapam. Hubungan tersebut dapat dinyatakan secara matematis sebagai berikut :
atau
Persamaan hasil tangkapan atau produksi lestari didapat dengan mensubstitusi persamaan diatas ke dalam persamaan
, yaitu :
Persamaan tersebut merupakan persamaan kuadratik dalam E karena parameter lain (q, K dan r) adalah konstan. Kurva produksi lestari atau yang dikenal dengan istilah Yield Effort Curve, seperti tampak pada Gambar 6.
Gambar 6. Kurva produksi lestari (Fauzi 2004)
Gambar 6 menunjukkan bahwa jika tidak ada aktifitas perikanan atau upaya sama dengan nol maka produksi sama dengan nol. Namun ketika upaya terus dinaikkan, pada titik (Emsy) akan diperoleh produksi yang maksimum.
32
Produksi pada titik ini disebut sebagai titik Maximum Sustainable Yield (MSY). Sifat dari kurva Produksi Lestari yang berbentuk kuadratik adalah peningkatan upaya yang terus-menerus setelah melewati titik MSY tidak akan dibarengi dengan peningkatan produksi lestari. Produksi akan turun kembali bahkan mencapai titik nol, yang terjadi pada titik upaya maksimum ( max E ). Hubungan pada kurva produksi lestari belum memiliki arti ekonomi karena tidak ada informasi mengenai besarnya tambahan biaya yang diperlukan setiap penambahan satu unit effort atau besarnya tambahan pendapatan setiap penambahan satu unit hasil tangkapan. Dari konsep sederhana biologi tersebut, Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukkan faktor harga dan biaya. Model bioekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Gordon (1954) dalam artikelnya yang menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak seorang pun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkan (common property). Untuk mengembangkan model Gordon-Schaefer ini beberapa asumsi akan digunakan untuk memudahkan pemahaman. Asumsi-asumsi tersebut antara lain: a) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna; b) Biaya persatuan upaya (c) dianggap konstan; c) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species); d) Struktur pasar bersifat kompetitif; e) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya). Dengan menggunakan kurva sustainable yield effort yang telah diturunkan sebelumnya maka dengan mengalikan harga dan produksi lestari diperoleh kurva penerimaan (TR=ph). Demikian juga, dengan mengalikan biaya per satuan input dengan upaya (effort) diperoleh kurva total biaya (TC=cE) yang linier terhadap upaya. Jika digabungkan fungsi penerimaan dan biaya tersebut dalam suatu gambar akan diperoleh kurva seperti pada Gambar 7. Gambar 7 menunjukkan inti dari model Gordon-Schaefer mengenai pengelolaan perikanan dalam usia rezim pengelolaan yang berbeda.
33
Gambar 7. Model keseimbangan bioekonomi Gordon-Schaefer (Fauzi 2004)
Dalam keadaan open access, tingkat keseimbangan akan tercapai apabila nilai penerimaan total (TR) sama dengan total biaya (TC ) dengan tingkat upaya EOA yang menurut Gordon disebut bioeconomic equilibrium of open access fishery. Dalam hal ini pelaku perikanan hanya menerima biaya oportunitis dan rente ekonomi sumberdaya atau manfaat ekonomi tidak diperoleh.Pada tingkat upaya di bawah EOA, penerimaan total lebih besar dari biaya totalnya. Hal ini menyebabkan nelayan akan meningkatkan upaya penangkapannya. Dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku perikanan (nelayan) masuk (entry) ke industri perikanan. Entry ini akan terus sampai dengan manfaat ekonomi terkuras habis (driven to zero) sehingga tidak ada lagi insentif untuk entry mau pun exit, serta tidak ada perubahan pada tingkat upaya yang sudah ada. Pada tingkat upaya di atas EOA, penerimaan total lebih rendah dibandingkan biaya totalnya sehingga mendorong nelayan untuk mengurangi upaya tangkapnya. Dengan demikian pada tingkat EOA keseimbangan akan tercapai. Kondisi ini identik dengan ketiadaannya hak pemilikan (property rights) pada sumberdaya atau lebih tepatnya adalah ketiadaan hak kepemilikan yang bisa dikuatkan secara hukum (enforceable) (Fauzi 2004). Kondisi open access menimbulkan terjadinya alokasi sumberdaya alam yang tidak tepat karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja, modal) tersebut bisa dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya yang lebih produktif (Fauzi 2004).
34
Keuntungan maksimal akan tercapai pada tingkat upaya EMEY
atau
disebut maximum economic sustainable yield. Tingkat upaya pada keadaan sustainable yield (EMSY) berada diantara EMEY dan EOA . Apabila diperhatikan, tingkat upaya pada keadaan EOA jauh lebih besar dibandingkan EMEY ataupun EMSY . Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi penggunaan sumber daya yang berlebihan yang menurut Gordon disebut sebagai economic over fishing. Cara lain untuk melihat model keseimbangan Gordon-Schaefer adalah dari sisi hubungan penerimaan dan biaya dengan biomassa (x). Hal ini dapat dilakukan karena kurva Gordon-Schaefer dibangun dengan asumsi keseimbangan jangka panjang. Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang maka persamaan produksi lestari dapat ditulis sebagai berikut:
Sehingga total revenue (TR) dan total cost (TC) dapat ditulis sebagai fungsi dari biomassa, yakni sebagai berikut :
Persamaan total revenue merupakan fungsi kuadratik terhadap x sehingga kurva penerimaan akan berbentuk cembung (concave)sedangkan kurva biaya merupakan fungsi yang bersifat linier terhadap x dengan slope yang negatif. Kurva dari kedua fungsi tersebut dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kurva Gordon-Schaefer dalam biomassa (Fauzi 2004)
35
Gambar 7 dan Gambar 8 mempelihatkan konsistensi dari teori Gordon yang menyatakan bahwa keseimbangan open access dicirikan oleh terlalu banyak input dengan sedikit biomas (dikenal istilah “too many boat chasing to few fish”). Hal ini terjadi karena sifat akses yang terbuka sehingga stok sumberdaya (x) akan diekstraksi sampai titik yang terendah. Sebaliknya, pada tingkat MEY, input yang dibutuhkan tidak terlalu banyak namun keseimbangan biomas diperoleh pada tingkat yang lebih tinggi (Fauzi 2004). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena selama ini permasalahan perikanan terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dalam kondisi perikanan tangkap yang multispesies, terdapat tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian biologi perikanan multispesies (Fauzi 1998). Pendekatan pertama adalah menyamaratakan semua spesies. Pendekatan ini menggabungkan atau mencampurkan semua spesies tunggal sebagai stok spesies tunggal dan untuk menganalisisnya digunakan model surplus produksi atau biomassa total model Schaefer. Pendekatan ini sangat populer karena hanya data hasil tangkapan dan upaya tangkap (effort) yang diperlukan, dimana data ini relatif mudah untuk diperoleh (Fauzi 1998). Pendekatan kedua adalah menganalisis faktor-faktor biologi alami setiap spesies ikan dan mengevaluasi interaksi yang terjadi diantara spesies (Fauzi 1998). Pendekatan ketiga menganalisis setiap spesies secara terpisah menggunakan fungsi surplus produksi. Terdapat beberapa tipe model surplus produksi yang menjelaskan hubungan antara stok (biomass) dan produksi. Setiap model memiliki kelebihan dan kekurangan tergantung pada situasi dimana model tersebut digunakan. 1.
Model Suplus Produksi Fox Model surplus produksi ini variasinya dikembangkan oleh Fox (1975) dimana metode estimasi ekuilibrium dilakukan berdasarkan analisis model Schaefer dalam kondisi keseimbangan atau steady state. Metode ekuilibrium ini berdasarkan asumsi bahwa perubahan upaya tangkap (effort) secara berangsur-angsur akan membuat ukuran stok selalu mendekati atau mencapai titik keseimbangan karena adanya kondisi ekologi dan hubungan biologi yang stabil. Dengan asumsi ini maka pertumbuhan populasi (dx/dt)
36
akan sama dengan nol. Estimasi parameter biologi dengan menggunakan Model Fox adalah sebagai berikut :
dimana :
Setelah diperoleh nilai koefisien kemampuan tangkap (catchability coefficient = q) maka dapat diperoleh nilai kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity = K) melalui persamaan matematika berikut ini :
Sedangkan nilai intrinsic growth rate (r) diperoleh dari :
Persamaan di atas menyatakan bahwa di bawah asumsi model Schaefer dalam keseimbangan hubungan antara hasil tangkapan per unit upaya tangkap (CPUE = U t ) dan upaya tangkap maka model surplus produksi Fox adalah non linear (logaritmich) dan lag. 2.
Model Surplus Produksi Walters dan Hilborn Model surplus produksi yang dikembangkan oleh Walters dan Hilborn (1992) dikenal sebagai difference model. Model Walters dan Hilborn juga dikenal sebagai model yang berbeda dari model Schaefer. Model Walters dan Hilborn dapat dijelaskan pada persamaan berikut :
37
Model Walters dan Hilborn menggunakan versi diskrit model biologi sedangkan Schaefer tidak. Estimasi parameter biologi dengan menggunakan metode estimasi dinamis atau dikenal dengan metode regresi relatif lebih mudah karena dapat mengestimasi parameter biologi langsung dari persamaannya (Walters dan Hilborn 1992). Prosedur estimasi parameter biologi dengan menggunakan Walters dan Hilborn adalah :
Dengan memindahkan U t /q ke sebelah kiri tanda sama dengan dan mengalikan semua sisi dengan q/U t maka dihasilkan persamaan sebagai berikut :
Persamaan di atas merupakan persamaan regresi dengan variabel terikat atau tidak bebas (dependent) adalah tingkat perubahan biomassa dan variabel tidak terikat atau bebas (independent) adalah CPUE dan upaya tangkap (effort) (Walters dan Hilborn 1992). Persamaan ini menunjukkan bahwa model surplus produksi Walters dan Hilborn adalah linear, lag dan reciprocal. Secara umum bentuk regresi model surplus produksi Walters dan Hilborn dapat ditulis sebagai berikut :
dimana :
ε t = error – term Persamaan ini dapat digunakan untuk mengestimasi parameter biologi r, K, dan q secara terpisah dari tiga koefisien persamaan regresi. 3.
Model Surplus Produksi Schnute Model ini dikembangkan oleh Schnute tahun 1977 dengan metode regresi relatif.
Schnute
memodifikasi
menggunakan prosedur integrasi.
persamaan
model
Schaefer
dengan
38
Integrasi persamaan di atas melalui langkah one-years time, dapat diperoleh persamaan :
dimana :
Sehingga didapat :
dimana : = rata-rata catch per unit effort (CPUE) = rata rata upaya tangkap (effort) Dengan menggunakan rata-rata geometrik, persamaan di atas melalui modifikasi aljabar dapat ditulis sebagai berikut :
Persamaan ini menunjukkan bahwa model surplus produksi Schnute adalah non-linear, lag dan reciprocal. Persamaan di atas adalah persamaan regresi yang dapat diestimasi menggunakan OLS, dimana :
39
4.
Model Surplus Produksi Clarke, Yoshimoto dan Pooley Model ini dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley (CYP) yang secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :
dimana :
Persamaan di atas menunjukkan bahwa model surplus produksi CYP adalah non-linear dan lag.
2.5
Analisis Degradasi dan Depresiasi Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya
alam dapat diperbaharukan (renewable resource). Dalam hal ini kemampuan alami sumberdaya dapat diperbaharukan untuk bergenerasi sesuai dengan kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya pengaruh aktifitas manusia dan faktor alam sendiri. Degradasi sumberdaya alam pesisir dan laut, kebanyakan terjadi karena perbuatan manusia (anthropogenic), baik akibat aktifitas produksi penangkapan ikan, maupun karena aktifitas nonproduksi, seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi dan Anna 2005). Depresiasi diartikan sebagai pengukuran degradasi yang ditentukan dengan nilai ekonomi atau dirupiahkan. Moneterisasi dalam pengukuran depresiasi harus mengacu pada pengukuran nilai riil, bukan pada nilai nominal. Oleh karena itu untuk menghitungnya harus mengacu pada beberapa indikator perubahan harga, seperti inflasi, indeks harga konsumen (IHK), dan sebagainya, yang berlaku untuk setiap komoditi sumberdaya alam pesisir dan laut (Fauzi dan Anna 2005).
40
Degradasi dan depresiasi sumberdaya pesisir dan laut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor alam dan manusia, faktor endogenous maupun eksogenous, dan kegiatan yang bersifat produktif dan nonproduktif. Degradasi diperparah pula oleh adanya berbagai gejala kerusakan lingkungan. Pada sumberdaya perikanan, degradasi dan depresiasi terjadi sebagai akibat dari tekanan lingkungan dan tangkap lebih (overfishing). Perubahan present value of rent dari sumberdaya secara intertemporal dapat menggambarkan tingkat kerusakan lingkungan dan depresiasi sumberdaya alam. Sumberdaya alam dikatakan terdepresiasi jika present value of rent pada saat ini lebih kecil dari present value of rent pada saat yang lalu (Fauzi dan Anna 2005). Mengetahui tingkat/laju degradasi sangat penting untuk menentukan langkah-langkah pengelolaan sumberdaya perikanan lebih jauh. Terutama dalam mengambil suatu kebijakan pengelolaan, apakah perlu dilakukan pengurangan atau penambahan effort, aktifitas ekstraksi dan bahkan menghentikan ekstraksi terhadap sumberdaya tersebut. Informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi dan Anna 2005).
2.6
Analisis Keberlanjutan Salah satu metode untuk menilai status keberlanjutan suatu perairan adalah
dengan menggunakan metode multi dimension scaling (MDS) yang diadaptasi oleh alat analisis Rapfish. Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) adalah suatu teknik untuk mengukur dan menggambarkan kondisi lestari sumberdaya kelautan dan perikanan di suatu tempat atau wilayah. Teknik ini dikembangkan oleh University of British Columbia, Kanada, yang merupakan analisis untuk mengevaluasi sustainability dari perikanan secara multidisipliner (Fauzi dan Anna 2005). Rapfish digunakan untuk menjelaskan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etika/pengaturan (governance) yang mencakup atribut-atribut kebelanjutan. Dimensi-dimensi beserta atributnya berfungsi sebagai indikator kinerja pembangunan berkelanjutan perikanan tangkap di suatu wilayah.
41
Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan multi-dimensional scalling (MDS). MDS sendiri pada dasarnya merupakan teknik statistik yang mencoba melakukan transformasi multidimensi ke dalam dimensi yang lebih rendah (Fauzi dan Anna, 2005). Keluaran analisis Rapfish, yaitu status keberlanjutan perikanan ditinjau dari berbagai dimensi sebagai dasar untuk menyusun strategi pengelolaan sumberdaya berdasarkan atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi status perikanan pada dimensi yang dianalisis. Kelebihan lain teknik Rapfish adalah teknik ini dapat diaplikasikan pada setiap kondisi perikanan di suatu wilayah tanpa harus melihat kondisi-kondisi atau indikator prasyarat suatu metode analisis. Dengan kata lain, kondisi apa pun obyek penelitiannya, Rapfish dapat diaplikasikan dan bahkan dapat melakukan diagnosis dengan keluaran status perikanan yang dianalisis. Dalam teknik Rapfish, analisis sumberdaya perikanan diperlukan sebagai salah satu analisis penting namum bukan merupakan penentu utama dalam menentukan strategi pengelolaan karena kondisi sumberdaya hanya salah satu atribut yang dalam dimensi ekologi. Dimensi ekologi merupakan salah satu dari lima dimensi keberlanjutan perikanan yang dianalisis sehingga dimensi ekologi sama pentingnya dengan dimensi lainnya, seperti ekonomi, sosial, teknologi dan institusi. Status setiap dimensi dalam penelitian ini akan ditentukan oleh atributnya masing-masing. Prosedur dari Rapfish mengikuti struktur sebagai berikut (Gambar 9).
42
Gambar 9. Elemen proses aplikasi Rapfish untuk data perikanan (Alder, et. al 2000). 2.7
Analisis Sistem Dinamik Sumberdaya perikanan adalah aset yang dapat bertambah dan berkurang
baik secara alami maupun karena intervensi manusia. Seluruh dinamika alam dan intervensi manusia ini mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak
43
langsung terhadap kondisi sumberdaya perikanan tersebut sepanjang waktu oleh sebab itu untuk mencapai hasil yang optimal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan pengelolaan sistem dinamik. Keputusan
pengelolaan/eksploitasi
yang
dilakukan
di
masa
lalu
akan
mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tersebut di masa sekarang dan yang akan datang (Fauzi dan Anna 2005). Holling (1973) menyatakan bahwa hampir semua sistem alam mempunyai karakteristik berubah sepanjang waktu dan bahwa jika manusia mencoba menstabilkan alam untuk kepentingannya akan menyebabkan kondisi stabil pada jangka pendek dan malapetaka pada jangka panjang. Menurut Hilborn dan Walters (1992), beberapa konsep dasar dari analisis dinamik dalam perikanan adalah menyangkut stabilitas, kesiklusan (cyclicity), dan ketahanan (resilience). Sistem dikatakan stabil jika perturbasinya (gangguan terhadap keseimbangan sistem) akan sampai pada ekuilibrium. Sumberdaya perikanan merupakan sumber daya alam yang bersifat dinamis, demikian juga pertubasi yang terjadi pada sumberdaya tersebut baik berupa hubungan antara catch, effort, dan pencemaran. Oleh sebab itu pengelolaan sumberdaya perikanan yang relatif bersifat dinamis dan kompleks memerlukan pendekatan analisis yang dinamis pula. Untuk itu, analisis dinamis perlu dilakukan untuk melihat interaksi antara komponen sumberdaya dan pertubasinya (Fauzi dan Anna 2005). Permodelan merupakan alat bantu dalam pengambilan keputusan. Model didefinisikan sebagai suatu penggambaran dari suatu sistem yang telah dibatasi. Model pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhankebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem umumnya ditandai dengan dua hal, yaitu : (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem sebaiknya memenuhi tiga karakteristik, yaitu : (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut
44
waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukan fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999). Selanjutnya Eriyatno (1999) menyatakan bahwa model dapat dikategorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok kajian, atau derajat keabstrakannya. Pada dasarnya jenis model dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu : (1)
Iconic model (model fisik), merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda.
(2)
Analogy model (model diagramatik), menyajikan transformasi sifat menjadi analoginya kemudian mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model ini bersifat sederhana namun efektif dalam menggambarkan situasi yang khas.
(3)
Symbolic model (model matematik), menyajikan format dalam bentuk angka, simbol, dan rumus. Pada dasarnya ilmu sistem lebih terpusat pada penggunaan model simbolik dengan jenis yang umum dipakai adalah persamaan matematik (equation). Dalam pendekatan sistem, pengembangan model merupakan titik kritis
yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Dalam hubungannya dengan fenomena kompleks yang bersifat multidimensi maka secara hipotetik dapat dikatakan bahwa pemilihan simbolik model akan lebih cepat untuk mengkaji sistem tersebut. Permodelan akan melibatkan tahap-tahap yang meliputi seleksi konsep, rekayasa model, implemantasi komputer, validasi, analisis sensitivitas, analisis stabilitas, dan aplikasi model. Analisis sistem dinamik dilakukan melalui dua tahap, yaitu pembuatan diagram simpal kausal dan diagram alir. Diagram simpal kausal menunjukkan hubungan antar variabel dalam proses sistem yang dikaji. Prinsip dasar pembuatannya adalah suatu proses sebagai sebab yang akan menghasilkan keadaan, atau sebaliknya suatu keadaan sebagai sebab akan menghasilkan proses sedangkan diagram alir dibuat berdasarkan persamaan model dinamik yang mencakup variabel keadaan (level), aliran (rate), auxiliary, dan konstanta (constant). Variabel tersebut berupa lambang-lambang yang digunakan dalam pembuatan model dengan menggunakan piranti lunak (software). Model yang
45
akan dikembangkan selanjutnya digunakan sebagai alat simulasi. Simulasi ini dilakukan setelah uji validitas dan hasil pengujian menunjukkan adanya kesesuaian atau keabsahan antara hasil simulasi dengan data empiris (Muhammadi et.al. 2001). Pada pelaksanaan metode pendekatan sistem diperlukan tahapan kerja yang sistematis. Prosedur analisis sistem meliputi tahapan-tahapan sebagai berikut: analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, permodelan sistem verifikasi model, dan implementasi (Eriyatno 1999) (Gambar 10).
Mulai
A
Analisis Kebutuhan
Permodelan Sistem
No Formulasi Permasalahan
B
Memuaskan Yes Implementasi
Identifikasi Sistem No
A
Memuaskan Yes Selesai
Gambar 10. Tahapan analisis sistem (Eriyatno 1999).
2.8
Penelitian Terdahulu Penelitian ini mengananalisis kegiatan penangkapan ikan di Provinsi DKI
Jakarta. Perairan DKI Jakarta merupakan obyek yang menarik untuk ditelaah lebih lanjut karena perairan DKI Jakarta mempunyai karakteristik yang unik yang tidak ditemui di perairan lain di Indonesia, seperti : (1). Perikanan tangkap di perairan
46
DKI Jakarta bersifat multispesies dan multigears, semua alat tangkap yang beroperasi di perairan DKI Jakarta menangkap ikan yang keseluruhannya merupakan komoditas perikanan yang dijual; (2). Perairan di DKI Jakarta merupakan wilayah perairan yang padat tangkap dan multiusers (penangkapan ikan, pengolahan, budidaya, industri, pertambangan, jasa transportasi, pariwisata, dll); (3). kondisi perairan di DKI Jakarta dipengaruhi oleh kondisi di wilayah hulu sampai dengan hilir melalui tiga belas sungai yang bermuara di Teluk Jakarta; (4). Perairan Jakarta merupakan wilayah perairan dengan tingkat cemaran yang tinggi bahkan pencemarannya sudah mencapai wilayah perairan Kepulauan Seribu; (5). Jakarta merupakan ibukota negara sehingga kebijakan pembangunan di DKI Jakarta menjadi role models bagi kebijakan pembangunan di daerah lain Indonesia. Penelitian-penelitian terdahulu tentang perikanan di perairan Jakarta dan wilayah lain yang masih berhubungan erat dengan penelitian ini, seperti terlihat pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks penelitian-penelitian terdahulu No 1
Peneliti/Tahun/ Judul Saksono/2008/ Kajian Pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan
Hasil Penelitian Beberapa komponen utama yang saling berinteraksi dan berkorelasi secara signifikan positif dalam pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, yaitu : antara implementasi kewenangan bagi pemerintah (KBP) dan kewenangan bagi pemerintah daerah otonom (KBO) dengan lingkup usaha perikanan (LUP) maupun terhadap kegiatan usaha perikanan yang berkembang berupa kegiatan perikanan tangkap (TKP), perikanan budidaya (BDY), dan pengolahan hasil perikanan (PROS). Keadaan ini memberikan efek ganda terhadap tujuan pembangunan perikanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Secara umum, model pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu mencakup dua aksi penting, yaitu : (1) perlu segera mengkaji kembali berbagai kebijakan pembangunannya agar lebih berorientasi pada pemanfaatan potensi laut yang berbasis industri perikanan, terutama pada wilayah yang juga berfungsi sebagai kawasan konservasi sehingga terwujud
47
No
2
Peneliti/Tahun/ Judul
Siti Radarwati/2010/ Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Perairan Jakarta, Provinsi DKI Jakarta
Hasil Penelitian sinkronisasi dan hormonisasi antara kegiatan pembangunan wilayah dengan terjaminnya kelestarian fungsi lindung wilayah; (2) pelaku bisnis perikanan dalam pengembangan kegiatan industri perikanan perlu menggembangkan rencana bisnis yang bertanggung jawab baik dalam penerapan fungsi lindung dan prinsip kehati-hatian dalam pemanfaatannya. Hal ini penting supaya pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dapat bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan dan terjaminnya kelangsungan hidup generasi yang akan datang. Tingkat keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta berada pada tahap pertumbuhan, untuk itu diperlukan strategi koordinasi secara horisontal dengan pihak terkait. Pengelolaan perikanan tangkap di perairan Jakarta mempunyai kategori “kurang baik” yang berarti kurang baik dalam hal merespon faktor-faktro internal dan eksternal yang dominan mempengaruhi pengelolaan. Terjadi pergeseran penggunaan alat tangkap aktif ke alat tangkap pasif. Ruang yang dapat dimanfaatkan untuk perikanan tangkap sebesar 52,89% dari luas perairan 748 ha sedangkan untuk budidaya ikan tidak lebih dari 25%, untuk budidaya rumput laut tidak lebih dari 15%. Secara umum perikanan tangkap masih merupakan aktivitas usaha yang dapat diupayakan dengan prinsip kehati-hatian. Skala usaha perikanan tangkap yang sesuai dengan kondisi perairan adalah perikanan skala kecil. Strategi standarisasi perikanan ukuran kecil (SPUK) menjadi prioritas utama untuk diimplementasikan. Sebagai prioritas utama, SPUK stabil terhadap perubahan internaleksternal dimensi biologi dan cukup stabil terhadap perubahan internal-eksternal dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan teknologi.
48
No 3
4
Peneliti/Tahun/ Judul Maman Hermawan/2006 Keberlanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal)
Gybert E Mamuaya/2008/ Perbaikan Status
Hasil Penelitian Dilihat dari perspektif alat tangkap, perikanan tangkap skala kecil di Kabupaten Serang hanya perikanan jaring udang yang berstatus cukup berkelanjutan dilihat dari lima dimensi sedangkan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal untuk semua alat tangkap yang diteliti statusnya kurang berkelanjutan karena tidak didukung oleh keberlanjutan dimensi ekologi. Berdasarkan penilaian dari kelima dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan serta hukum, dimensi pembangunan perikanan yang dimensi keberlanjutannya paling rendah adalah dimensi ekologi di Kabupaten Tegal. Atribut-atribut penting dan paling sensitif dalam analisis Rapfish dari dimensi ekologi, yaitu discard and by catch dan perubahan ukuran ikan yang tertangkap. Pada dimensi ekonomi yaitu tingkat subsidi, besarnya pemasaran perikanan, sifat kepemilikan sarana penangkapan, serta alternatif pekerjaan dan pendapatan. Pada dimensi sosial yaitu status dan frekuensi konflik, tingkat pendidikan, dan partisipasi keluarga dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. pada dimensi teknologi yaitu penggunaan alat bantu (FADs) dan selektivitas alat tangkap. Sementara pada dimensi hukum dan kelembagaan yaitu demokrasi dalam penentuan kebijakan diikuti oleh ketersediaan dan peran tokoh masyarakat lokal di lokasi. Atribut-atribut penting dan paling sensitif ini pada akhirnya digunakan untuk mengidentifikasi upaya-upaya (rekomendasi) yang dapat dilakukan untuk meningkatkan keberlanjutan perikanan di kedua lokasi penelitian. Dalam penenlitian ini terbukti bahwa teknik Rapfish sangat bermanfaat untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap yang sangat kompleks pada kedua lokasi penelitian. Teknik Rapfish mampu mendiagnosis kondisi suatu perikanan dilihat dari beberapa dimensi keberlanjutan. Status perikanan pukat cincin dapat ditingkatkan melalui tiga skenario, yaitu ordinasi 58,6; ordinasi 68,1 ;ordinasi 78,1.
49
No
Peneliti/Tahun/ Judul Keberlanjutan Perikanan : Studi Kasus Perikanan Pukat Cincin di Daerah Kota Pantai Manado
5
Tjahjo Tri Hartono, Taryono Kodiran, M. Ali Iqbal, dan Sonny Koeshendrajana/ 2005/ Pengembangan Teknik Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) untuk Penentuan Indikator Kinerja Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Indonesia.
6
Jacqueline Alder, Tony J. Pitcher, David Preikshot, Kristin Kaschner and Bridget Ferriss/2002/ How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of The Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic Akhmad Fauzi dan Suzy Anna /2002/ Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta)
7
Hasil Penelitian Untuk mencapai status tersebut atribut-atribut keberlanjutan perikanan dalam dimensi ekonomi, sosial, teknologi dan etika layak ditingkatkan kualifikasinya sambil terus mempertahankan kualifikasi dari atribut-atribut dari dimensi ekologi. Upaya pengembangan atau modifikasi metode Rapid Assessment for Fisheries (RAPFISH) telah mampu mendapatkan lima dimensi beserta atribut-atribut penjelasnya yang sesuai dengan kondisi perikanan tangkap di Indonesia. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi ekologi,ekonomi. sosial, teknologi dan pengaturan (governance). Secara general juga berfungsi sebagai indikator kineja pembangunan berkelanjutan perikanan tangkap di Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa dukungan kegiatan penelitian yang mampu memberikan bahan dan informasi secara cepat, akurat dan aplikatif merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan tercapainya tujuan pembangunan sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Hasil analisis terhadap perikanan Atlantik utara (sisi Barat dan sisi Timur) disimpulkan bahwa Perikanan Teluk Meine (Amerika Serikat) mempunyai indikator kelestarian sosial dan teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan Kanada, Inggris maupun Jerman.
Dari dua belas jenis alat tangkap yang dianalisis disimpulkan bahwa alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing, berdasarkan indikator kelestarian ekologi berada di good tetapi secara sosial dan ekonomi cenderung ke arah bad score. Sebaliknya pada perikanan aktif secara tekonologi dan ekologi mempunyai skor buruk (bad score) tetapi ekonomis dan sosial cenderung ke arah baik.
50
No
Peneliti/Tahun/ Judul
Hasil Penelitian
Dari sisi ekologi, alat tangkap yang beroperasi di luar Teluk Jakarta cenderung memiliki skala keberlanjutan relatif lebih rendah sebab alat tangkap aktif cenderung menimbulkan masalah ekologi seperti by catch, non seletive, dan catch before maturity. Sebaliknya alat tangkap yang beroperasi di dalam Teluk Jakarta cenderung pasif dan lebih selektif serta tradisional sehingga tidak terlalu destruktif. Skor keberlanjutan ekonomi antara perikanan di luar Teluk Jakarta dan di dalam teluk menunjukan bahwa perikanan di dalam teluk cenderung memiliki sustainability rendah. Hasil analisis leverage untuk menguji sensitifitas atribut pada setiap dimensi terhadap skor kelestarian perikanan pesisir Jakarta diperoleh bahwa marketable right, employment sector dan other income mempunyai derajat kepekaan yang tinggi. Dari dimensi sosial maka tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan serta fishing income mempunyai derajat yang penting dalam mempengaruhi tingkat kelestarian sumberdaya perikanan tersebut. Sementara secara teknis, atribut selective gear mendominasi atribut lainnya dalam mempengaruhi tingkat kelestarian. Pada dimensi etika, keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan (just management) sangat nyata mempengaruhi nilai kelestarian. Sumber : Alder J. et.al (2002), Saksono (2008), Radarwati (2010), Mamuaya (2008), Hartono et.al (2005), Fauzi dan Anna (2005).
51
III. 3.1
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran tanpa memperhatikan aspek keberlanjutannya. Ini berdampak pada kondisi sumberdaya perikanan di Indonesia khususnya di wilayah pantai mulai terancam keberlanjutannya. Hasil tangkapan beberapa jenis ikan terus mengalami penurunan. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena semakin banyaknya komunitas pemanfaat sumberdaya atau semakin efektifnya alat tangkap yang digunakan namun daya dukung lingkungan (carrying capacity) sumberdaya perikanan semakin menurun. Kondisi ini selain dapat menurunkan tingkat produktivitas dan pendapatan nelayan juga memicu terjadinya dampak sosial berupa konflik antar nelayan di wilayah pantai. Perairan Jakarta merupakan wilayah pesisir yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan, dan pencemaran oleh manusia. Strategis karena pesisir Jakarta merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan khususnya untuk wilayah bagian barat Indonesia, dan daerah paling rentan karena merupakan penyangga bagi ekosistem daratan Jakarta yang demikian tinggi aktivitas manusianya (Kusumastanto 2007). Pola pembangunan baik tingkat nasional maupun daerah yang bias daratan dan mengabaikan laut secara langsung turut bertanggung jawab terhadap terjadinya degradasi lautan. Pencemaran wilayah laut terutama pesisir merupakan contoh dari pembangunan yang bias daratan dan tidak memperhatikan aspek sustainability. Keberadaan perairan Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut tetapi juga oleh kebijakan pembangunan di darat karena pesisir Jakarta merupakan muara dari 13 sungai sehingga pengelolaan pesisir Jakarta melibatkan banyak pihak terkait. Banyaknya kepentingan dan tantangan dalam mengelola dan mengembangkan kawasan pesisir utara Jakarta berkontribusi langsung terhadap terjadinya degradasi lingkungan di kawasan ini. Konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat dipahami namum kesulitan yang masih dihadapi peneliti dalam menganalisis/mengevaluasi
52
tingkat keberlanjutan pembangunan perikanan adalah ketika dihadapkan pada permasalahan mengintergrasikan informasi/data dari keseluruhan komponen secara holistik dari berbagai aspek, seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etika (Fauzi dan Anna 2002). Hal ini karena evaluasi keberlanjutan eksploitasi perikanan selama ini lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari spesies target dengan referensi biologi dan ekologi (Smith 1993 dalam Fauzi dan Anna 2002). Dengan demikian analisis yang diaplikasikan dalam bebagai studi tersebut masih bersifat parsial. Mengacu pada konsep pengelolaan perikanan tangkap yang lestari sesuai dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) bahwa perikanan tangkap merupakan rangkaian kegiatan penangkapan ikan yang saling berkaitan dengan faktor-faktor kelembagaan, kondisi lingkungan (perairan dan pesisir), stok ikan, teknologi perikanan tangkap, kualitas SDM, ekonomi (produksi, mutu, modal dan pemasaran) dan keselamatan pelaku penangkapan ikan, serta berdasarkan referensi penelitian dan sejumlah penelitian terdahulu yang menyimpukan bahwa keberlanjutan perikanan tangkap harus didukung oleh berbagai aspek/dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan ekonomi, ekologi, teknologi, sosial, dan kelembagaan maka penelitian ini perlu untuk dilakukan. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan dari keberlanjutan dimensi ekologi, sosial, ekonomi, teknologi, dan kelembagaan. Salah satu alternatif pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian untuk menganalisis/mengevaluasi status keberlanjutan perikanan tangkap secara menyeluruh ditinjau dari keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan adalah dengan menggunakan analisis keberlanjutan dengan menggunakan teknik Rapfish. Teknik Rapfish menganalisis semua dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan secara bersamaan atau stimultan sehingga dihasilkan suatu vektor skala. Dengan Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Rapfish merupakan teknik
53
multidisiplin yang berupaya mengevaluasi status keberlanjutan perikanan didasarkan pada skoring yang bersifat transparan dan semi-kuantitatif pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik (Pitcher 1999). Analisis keberlanjutan dengan metode Rapfish bersifat statis, tidak mempertimbangkan dinamika indikator-indikator keberlanjutan yang berubah dari waktu ke waktu. Defra (2006) menjelaskan bahwa keberlanjutan merupakan permasalahan masa depan yang kompleks di mana tingkat pencapaiannya tergantung pada apa yang dilakukan oleh saat ini. Menurut Eriyatno (1999) permasalahan dengan ciri demikian bersifat dinamis dan tidak pasti. Untuk memperkirakan keberlanjutan perikanan tangkap Provinsi DKI di masa depan maka dilakukan analisis dinamik yang diharapkan dapat memberikan referensi kebijakan untuk kebutuhan perumusan kebijakan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Arah kebijakan pembangunan ibukota yang selama ini hanya mengarah pada peningkatan output semata harus berubah menjadi kebijakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan bahari sehingga memberikan kontribusi yang maksimal bagi kemakmuran warga Jakarta.
3.2
Kerangka Operasional Untuk melakukan penelitian ini dilakukan beberapa tahapan yang dimulai
dari penelitian pendahuluan, pengumpulan fakta dan data serta persepsi responden dan data sekunder. Data tersebut mencakup seluruh dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan. Keseluruhan data ini kemudian diolah melalui berbagai metode analisis, yaitu analisis bioekonomi, analisis keberlanjutan dengan teknik Rapfish dan analisis dinamik dengan menggunakan software Vensim. Kajian bioekonomi digunakan untuk menilai potensi sumberdaya ikan, yaitu suatu kajian yang memadukan dinamika biologi perikanan dan faktor ekonomi perikanan tangkap. Kajian bioekonomi akan memberikan informasi yang dibutuhkan untuk mengontrol tingkat eksploitasi agar tidak berlebih sekaligus mendorong melakukan upaya pemanfaatan dengan keuntungan yang optimal yang bisa dilakukan secara terus menerus. Kajian bioekonomi pada penelitian ini
54
diawali dengan observasi lapang, melihat secara langsung kondisi perikanan di Perairan Jakarta. Setelah itu, melakukan identifikasi terhadap data sekunder dan informasi lainnya yang mendukung. Data sekunder ini meliputi, data rumah tangga nelayan, armada, alat tangkap, produksi dan upaya penangkapan. Dari analisis bioekonomi diperoleh data parameter biologi berupa carrying capacity (K), coefficient of catchability (q) dan instrinsic growth rate (r) dari sumberdaya ikan. Kemudian mengolah data primer untuk mendapatkan parameter ekonomi yang meliputi data harga output (p), biaya input (c). Hasil analisis bioekonomi sumberdaya perikanan di perairan Jakarta dijadikan input pada salah satu atribut dalam salah satu dimensi (subsistem) didalam analisis keberlanjutan. Analisis degradasi dan depresiasi digunakan untuk mengetahui laju degradasi dan depresiasi yang terjadi di lokasi penelitian. Analisis keberlanjutan dengan teknik Rapfish dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu (1) tahap penentuan atribut atau kriteria pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan, mencakup dimensi ekonomi, ekologi, sosial, teknologi dan kelembagaan, (2) tahap penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria keberlanjutan setiap dimensi, dan (3) tahap analisis ordinasi nilai indeks keberlanjutan dengan metode MDS. Analisis keberlanjutan akan menghasilkan informasi mengenai status keberlanjutan perikanan di Provinsi DKI Jakarta dilihat dari lima dimensi keberlanjutan dan sedangkan dari analisis dinamik diharapkan dapat diketahui langkah yang dapat diambil saat ini dalam rangka pembangunan perikanan tangkap yang berkelanjutan di masa depan. Hasil ketiga alat analisis utama ini diharapkan mampu menghasilkan kebijakan yang tepat bagi pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Secara grafis kerangka pendekatan studi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.
55
Permasalahan : 1. Pencemaran perairan dan degradasi 2. Produksi perikanan menurun 3. Konflik antar stake holders 4. Tumpang tindih peraturan 5. Koordinasi lemah dan tidak terintegrasi
Ekologi : - Kondisi ekosistem dan lingkungan (pencemaran, dsb) - Potensi sumberdaya - dll
Analisis Bioekonomi Solusi Optimal
Ekonomi : - Tingkat pendapatan nelayan, kesejahteraan - Kontribusi PAD - Modal : alat tangkap & armada - dll
Sosial & Teknologi: - Tingkat tenaga kerja & keterampilan - Kemiskinan nelayan - Teknologi ramah lingkungan - Investasi keuntungan - Pendidikan nelayan - dll
Kelembagaan : - Konflik antar stakeholders (pengusaha, nelayan & pemerintah) - Organisasi - Penyuluhan - Penegakkan hukum - dll
Analisis Degradasi & Depresiasi
Sumberdaya ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta
Analisis Keberlanjutan (Rapfish)
Analisis Dinamik (Vensim)
Informasi status keberlanjutan pengelolaan perikanan tangkap dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan
Kebijakan ekonomi perikanan tangkap berkelanjutan
Perikanan tangkap berkelanjutan Gambar 11. Diagram alir kerangka pendekatan studi
56
57
IV. 4.1
METODOLOGI PENELITIAN
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi kasus. Metode
studi kasus adalah penelitian tentang status subyek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas (Maxfield dalam Nazir 2005). Penelitian ini mengambil kasus di Provinsi DKI Jakarta Jakarta. Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui nilai optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dan melihat status keberlanjutan dari pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta, dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan sekaligus strategi pengembangan pada saat sekarang dan sepuluh tahun mendatang sehingga dihasilkan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang aplikatif dan berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta.
4.2
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kualitatif dan
data kuantitatif. Data kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati (Taylor dan Bogdan 1984 diacu dalam Sitorus MTF 1998). Data kualitatif terbagi dalam tiga kategori yaitu hasil pengamatan, hasil pembicaraan dan bahan tertulis. Data kuantitatif adalah data yang nilainya berbentuk numerik atau angka, bersifat ringkas, sederhana, sistematis, terbakukan dan mudah disajikan (Sitorus MTF 1998). Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini berupa data-data cross section yang diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden terpilih. Data yang dikumpulkan adalah data aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan yang diperoleh melalui wawancara langsung dengan para pelaku (nelayan, pemilik kapal, pengumpul, petugas TPI, dan stakeholders lainnya) dengan menggunakan instrumen terstruktur (kuesioner) dan pengamatan langsung di lokasi terpilih.
58
Data sekunder yang digunakan meliputi data produksi ikan dalam deret waktu tertentu, data karakteristik wilayah dan data pendukung lainnya dari BPS Provinsi DKI Jakarta, Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta dan Bappeda Provinsi DKI Jakarta dan penelusuran bahan tertulis (literature), hasil penelitian, jurnal, surat kabar, majalah, bulletin, dan lain sebagainya yang berhubungan dan menunjang kelengkapan data pada penelitian ini.
4.3
Metode Pengambilan Contoh Pengambilan sampel (sampling) pada penelitian ini menggunakan metode
purposive sampling atau pemilihan responden dengan sengaja dan dengan pertimbangan status nelayan pemilik, perbedaan jenis alat tangkap dan kendala (waktu, tenaga dan biaya) tanpa mengurangi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Responden pada penelitian ini adalah : 1) Kalangan nelayan dibagi berdasarkan jenis alat tangkapnya, yaitu payang, dogol, pancing, bouke ami, jaring insang, bubu dan jaring rampus. Jumlah responden tiap alat tangkap ditentukan berdasarkan kemampuan peneliti dalam melakukan identifikasi dan keberadaan serta kesediaan responden. Pemilihan responden tidak dilakukan secara acak melainkan responden yang diwawancarai ditentukan berdasarkan rekomendasi dari petugas lapangan dan keberadaan serta kesediaan responden. Nelayan yang menjadi responden adalah nelayan Muara Angke, nelayan Marunda, nelayan Cilincing, nelayan Kali Baru, nelayan Pulau Pramuka, nelayan Pulau Panggang, nelayan Pulau Pari dan nelayan Pulau Tidung Besar. Tabel 6. Jumlah responden menurut alat tangkap No Jenis Alat Tangkap 1 Payang 2 Dogol 3 Pancing 4 Gill net 5 Bouke ami (tmk bagan tancap dan sero) 6 Bubu 7 Jaring rampus Total Sumber : Data primer, 2013
Jumlah Responden 12 orang 5 orang 20 orang 14 orang 20 orang 11 orang 17 orang 99 orang
59
2) Institusi terkait dengan perikanan tangkap yaitu Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Administrasi Jakarta Utara terkait, Seksi Kecamatan Peternakan, Perikanan dan Kelautan Cilincing, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan Koperasi Nelayan Pulau Tidung. 3) Pihak swasta yang terkait dengan kegiatan organisasi di wilayah pantai, seperti tengkulak. 4) Tokoh masyarakat setempat, seperti ketua KUB. 5) Key person lainnya yang relevan dengan aktivitas perikanan tangkap di lokasi penelitian. Untuk
kemutahiran
data
dilakukan
pula
konsultasi
ahli
untuk
mengklarifikasi kebenaran informasi. Verifikasi lapang dilakukan melalui berbagai cara diantaranya wawancara dengan pengambil kebijakan lokal (dinas terkait, pengayaan dengan fakta-fakta terbaru dengan perkembangan laporan atau dokumen dinas atau pengalaman lapang pejabat tertentu).
4.4
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan tiga
metode, yakni : analisis bioekonomi, analisis degradasi dan depresiasi, analisis keberlanjutan dan analisis dinamik. 4.4.1
Metode Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Pendugaan potensi sumberdaya ikan diperlukan untuk memberikan
gambaran mengenai tingkatan dan batas maksimal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan berkelanjutan di suatu wilayah sehingga pembangunan perikanan dapat direncanakan sedemikian rupa untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan. Perikanan tangkap DKI Jakarta memiliki karakteristik perikanan yang multigears dan multispecies, yakni alat tangkap yang beroperasi di perairan Jakarta sangat beragan dan hampir semua jenis alat tangkap tersebut dapat menangkap beberapa jenis ikan dan semuanya mempunyai nilai ekonomis. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis bioekonomi, penelitian ini membagi
60
sumberdaya ikan menjadi dua kelompok besar, yaitu sumberdaya ikan pelagis dan sumberdaya ikan demersal. Sumberdaya ikan pelagis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua ikan yang termasuk dalam kelompok ikan pelagis besar dan pelagis kecil menurut Naamin (1987). Adanya keterbatasan data dan kesulitan di daerah penelitian, dimana alat tangkap yang beroperasi tidak hanya menangkap ikan berdasarkan kelompok sumberdaya maka untuk analisis bioekonomi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan alat tangkap. Untuk sumberdaya ikan pelagis maka jumlah produksi ikan yang akan dianalisis adalah jumlah produksi ikan yang ditangkap oleh alat tangkap gill net, pancing dan payang sedangkan untuk sumberdaya ikan demersal adalah jumlah produksi ikan yang ditangkap oleh bouke ami (termasuk bagan tancap dan sero), bubu, rampus dan dogol. Pemilihan alat tangkap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa alat tangkap ini masih dominan digunakan oleh nelayan Jakarta dan sebagian besar hasil tangkapannya bersumber dari perairan Jakarta. Standarisasi pada alat tangkap diperlukan untuk menyeragamkan satuan upaya penangkapan dari berbagai jenis alat tangkap dengan mengunakan salah satu alat tangkap yang dominan dalam menangkap ikan. Pada sumberdaya ikan pelagis, alat tangkap yang dijadikan standar adalah jaring insang sedangkan pada sumberdaya ikan demersal, alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap bouke ami. Pemilihan alat tangkap standar ini dengan pertimbangan bahwa alat tangkap ini memiliki jumlah trip terbanyak dibandingkan dengan alat tangkap lain dan dioperasikan sepanjang tahun Dalam penilaian sumberdaya perikanan, hal terpenting yang perlu diketahui adalah nilai estimasi tangkapan lestari dan stok ikan yang idealnya dilakukan pada setiap spesies ikan. Untuk mengetahui nilai estimasi tangkapan lestari dapat diketahui dengan lebih dahulu mengetahui produktivitas dari stok ikan yang biasanya di estimasi dengan model kualitatif. Produktivitas stok ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologi, iklim maupun aktivitas manusia yang menyebabkan turunnya kualitas perairan (pencemaran), perusakan ekosistem pesisir serta pemutusan mata rantai makanan.
61
Pengkajian bioekonomi dalam penelitian ini dilakukan terhadap seluruh alat tangkap yang digunakan nelayan kemudian melakukan standarisasi alat tangkap. Langkah ini diperlukan karena ada variasi atau keragaman dari kekuatan alat tangkap. Unit penangkapan yang dijadikan standar adalah jenis unit penangkapan yang paling dominan menangkap ikan jenis-jenis tertentu di perairan DKI Jakarta dan memiliki faktor daya tangkap (fishing power indeks) sama dengan satu. Perhitungan fishing power indeks (FPI) adalah sebagai berikut :
Upaya standarisasi diperoleh dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Gulland 1983), yaitu :
dimana : CPUE s = catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya unit penangkapan standar pada tahun ke-i; CPUE i = catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis penangkapan yang akan distandarisasi; HT s = jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i; HT i = jumlah hasil tangkapan (catch) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i; FE s = jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan yang dijadikan standar pada tahun ke-i; FE i = jumlah upaya penangkapan (effort) jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i; FPI s = fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan standar pada tahun ke-i;
62
FPI i = fishing power indeks atau faktor daya tangkap jenis unit penangkapan yang akan distandarisasi pada tahun ke-i; SE = Upaya penangkapan (effort) hasil standarisasi pada tahun ke-i.
Estimasi stok ikan menggunakan model surplus produksi CYP untuk sumberdaya perikanan pelagis dan model surplus produksi Schnute untuk sumberdaya ikan demersal Pemilihan model tersebut berdasarkan hasil evaluasi model yang sesuai dengan apriori teori kemudian didasarkan pada hasil analisis statistiknya. Data sekunder sebagai rujukan analisis data diperoleh dari buku statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012. Data produksi dan jumlah alat tangkap yang diperoleh yakni selama 15 tahun, mulai dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2011. Data effort diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah alat tangkap dengan rata-rata jumlah trip nelayan Jakarta per tahun. Data jumlah trip nelayan diperoleh berdasarkan wawancara langsung dengan nelayan terpilih. Sebelum
melakukan
analisis
optimasi
terlebih
dahulu
dilakukan
perhitungan catch per unit effort (CPUE). Perhitungan CPUE sebagai dasar perhitungan fungsi lestari dan analisis maximum economic yield (MEY). Berdasarkan estimasi parameter-parameter biologi yang dihasilkan dari model yang memenuhi kriteria statistik, ekonomi dan ekonometrika dapat diketahui pula pengelolaan sumberdaya perikanan di Provinsi DKI Jakarta pada kondisi Maximum Sustainable Yield (MSY).
dimana : = hasil tangkapan spesies ke-n maksimum lestari = biomass spesies ke-n maksimum lestari = effort spesies ke-n maksimum lestari
63
Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Biaya per trip penangkapan didapat dari hasil wawacara dengan nelayan terpilih kemudian diambil rata-rata biaya per trip dari setiap unit penangkapan. Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Untuk mendapatkan rata-rata harga ikan per ton digunakan metode ratarata tertimbang, yaitu :
dimana : p
= rata-rata harga ikan per ton
Na,b,c,..,n
= nilai ikan a, b, c, ...n
Va,b,c,...n
= volume produksi ikan a,b,c,...n
4.4.2
Analisis Degradasi dan Depresiasi Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan
nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Jika nilai koefisien degradasi dan depresiasi suatu sumberdaya berada pada kisaran nilai toleransi yaitu 0-0,5 maka sumberdaya tersebut belum mengalami degradasi dan depresiasi. 4.4.2.1 Analisis Laju Degradasi Menurut Fauzi A dan S Anna (2005), degradasi dapat diartikan sebagai tingkat atau laju penurunan kualitas atau kuantitas sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources) atau dengan kata lain, kemampuan alami sumberdaya alam dapat diperbaharukan untuk melakukan regenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alam maupun karena pengaruh aktivitas manusia. Degradasi sumberdaya alam dapat dihitung berdasarkan Anna S (2003) :
64
dimana : = laju degradasi h
= produksi lestari pada periode t
h0
= produksi aktual pada periode t
4.4.4.2 Analisis Laju Depresiasi Analisis depresiasi sumberdaya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam, atau dengan kata lain depresiasi merupakan pengukuran degradasi yang dirupiahkan. Menurut Anna S (2003) formula pengukuran depresiasi sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut :
dimana : = laju degradasi π
= keuntungan lestari pada periode t
π0
= keuntungan aktual pada periode t
4.4.3
Analisis Keberlanjutan
4.4.3.1 Dimensi Keberlanjutan Berbeda dengan sumberdaya daratan (terresterial), sumberdaya perikanan tangkap bersifat migratif, open access dan common property, yaitu sumberdaya tidak menetap pada suatu kawasan saja, pemanfaatannya bersifat terbuka dan kepemilikannya bersifat umum. Oleh sebab itu pembangunan sumberdaya ikan berkelanjutan berarti pembangunan yang tidak hanya mampu menciptakan kegiatan penangkapan sumberdaya perikanan tangkap yang kompetitif dan menguntungkan sehingga menciptakan kehidupan yang baik bagi masyarakat perikanan dan menjamin ketahanan pangan yang bersumber dari protein hewani khususnya ikan tetapi juga mampu menjamin kelangsungan dari lingkungan perairan dan sumberdaya alam didalamnya yang mendukung kegiatan perikanan tangkap. Analisis keberlanjutan untuk sumberdaya perikanan pada penelitian ini terdiri atas lima dimensi keberlanjutan, yaitu keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi ekologi, keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi ekonomi, keberlanjutan
sumberdaya
ikan
pada
dimensi
teknologi,
keberlanjutan
65
sumberdaya ikan pada dimensi sosial dan keberlanjutan sumberdaya ikan pada dimensi kelembagaan. A.
Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Ekologi Beberapa atribut keberlanjutan dari dimensi ekologi yang berkaitan
dengan sumberdaya perikanan tangkap Provinsi DKI Jakarta adalah tingkat eksploitasi, tekanan pemanfaatan perairan, proporsi ikan yang dibuang, tingkatan kolaps, dan perubahan ukuran dan jenis ikan tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir. Penyusunan skor status keberlanjutan pada dimensi ekologi perikanan di Provinsi DKI Jakarta dilakukan berdasarkan acuan dari studi terdahulu. 1) Atribut ekologi tentang tingkat eksploitasi diperoleh berdasarkan kajian dengan menggunakan metode analisis bioekonomi. Analisis bioekonomi akan menghasilkan parameter pendugaan tingkat dan batas maksimal pemanfaatan lestari sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Penilaian atribut tingkat eksploitasi didasarkan pada perbandingan tingkat eksploitasi aktual terhadapt tingkat eksploitasi lestari (MSY) (Pitcher dan Preikshot 2001). Semakin rendah tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan di unit analisis maka risiko/ancaman bagi keberlanjutan perikanan di unit analisis akan semakin kecil (Hartono et.al 2005). 2) Atribut tekanan pemafaatan perairan menggambarkan intensitas pemanfaatan perairan oleh berbagai kegiatan yang secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi aktivitas perikanan tangkap. Tekanan pemanfaatan perairan dapat berupa pemanfaatan wilayah pesisir dan laut sebagai lahan budidaya, jalur transportasi laut, pariwisata, maupun aktivitas di daratan yang secara langsung mempengaruhi kondisi ekologis perairan seperti buangan sampah dan limbah yang berasal dari wilayah pesisir maupun daratan. Semakin tinggi tingkat pemanfaatan perairan maka akan menyebabkan semakin menurunnya kualitas perairan tersebut yang akan berdampak pada semakin menurunnya kondisi ekologi wilayah perairan. Penilaian pada atribut ini didapat berdasarkan hasil pengamatan langsung dan hasil wawancara dengan nelayan terpilih, petugas lapangan, dan para pakar di DKP Provinsi DKI Jakarta. 3) Perubahan ukuran ikan tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir akan menggambarkan dampak akibat terjadinya perubahan ekologi. Ukuran ikan
66
yang semakin mengecil dapat mengindikasikan telah terjadi degradasi pada perairan tersebut. Kondisi tersebut juga dapat mengindikasikan telah terjadinya overfishing karena stok ikan tertangkap rata-rata ukurannya lebih kecil daripada yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat yield per recruit yang maksimum (Fauzi 2005). Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih dan petugas lapangan. Tetapnya ukuran rata-rata ikan yang tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir mengindikasikan bahwa ada cukup waktu bagi ikan tersebut untuk dewasa sebelum tertangkap. Hal ini menunjukkan kecilnya risiko/ancaman bagi keberlanjutan usaha perikanan di unit analisis (Hartono et. al 2005). 4) Perubahan jenis ikan tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir. Rendahnya perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam sepuluh tahun terakhir mengindikasikan bahwa fungsi ekosistem masih berjalan dengan baik, dimana tingkat pemulihan dari jenis-jenis ikan tesebut masih berjalan baik. Semakin baik fungsi ekosistem maka secara tidak langsung risiko/ancaman bagi kebelanjutan semakin kecil (Hartono et. al 2005). Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih. 5) Proporsi ikan yang dibuang menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan sumberdaya perikanan. semakin sedikit ikan non target yang tertangkap dan dibuang
berarti
semakin
efisien
penggunaan/pemanfaatan
sumberdaya
perikanan. yang berimplikasi pada semakin terjaminnya keberlanjutan usaha perikanan di lokasi penelitian (Hartono et al 2005). Proporsi ikan yang dibuang adalah jumlah ikan tangkapan nelayan yang tidak mempunyai nilai ekonomis dan tidak dimanfaatkan nelayan. Pemanfaatan ikan hasil tangkapan nelayan dapat dilakukan dalam bentuk dijual, diolah atau dikonsumsi oleh nelayan sendiri. Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih. 6) Atribut tingkatan kolaps/pengurangan lokasi tangkap mengindikasikan bahwa semakin sedikit atau tidak adanya gejala penurunan jumlah ikan dalam geografis/cakupan area tertentu menunjukkan ekosistem yang baik. Dengan demikian semakin kecil pula risiko/ancaman terhadap keberlanjutan di unit
67
analisis. Penilaian pada atribut ini diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan terpilih. B.
Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Ekonomi Kajian ekonomi sangat penting mengingat berbagai interaksi dalam
kegiatan perikanan tangkap seperti interaksi teknologi dan sosial selalu terkait dengan alasan dan tujuan ekonomi atau keuntungan ekonomi secara maksimal dalam waktu yang relatif lama. Keberlanjutan ekonomi terwujud jika aktivitas perikanan tangkap mempunyai daya saing yang tinggi dan mampu bersaing secara kompetitif di pasaran sehingga akan memberikan manfaat bagi masyarakat nelayan. Penentuan atribut pada dimensi ekonomi dalam penelitian ini menggunakan indikator yang digunakan penelitian terdahulu dan ada satu atribut yang disesuaikan dengan kondisi rill daerah penelitian. Atribut-atribut pada dimensi ekonomi pada penelitian ini adalah keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, kepemilikan, sumberdaya ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta, other income, orientasi pemasaran, dan penyerapan tenaga kerja. 1) Keuntungan Dalam atribut dimensi ekonomi, keuntungan adalah faktor yang paling penting. Faktor keuntungan inilah yang akan menentukan apakah seseorang akan bertahan atau berhenti dari usaha perikanan tangkap. Jika tingkat keuntungan hasil tangkapan per trip dalam volume dan jenis tangkapan yang sama semakin tinggi maka tingkat eksploitasi per trip akan cenderung menurun sehingga berakibat pada semakin kecilnya ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap (Hartono et al 2005). Penilaian skor pada atribut keuntungan didasarkan pada analisis kelayakan investasi pada setiap jenis alat tangkap dan hasil perhitungan keuntungan pada analisis bioekonomi. 2) Kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB Prestasi ekonomi suatu negara atau daerah dapat dinilai dengan berbagai ukuran agregat. Salah satu indikator yang ideal untuk mengukur tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah adalah pendapatan regional. Dalam kaitan prestasi ekonomi suatu daerah alat ukurnya adalah PDRB yang merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah yang mampu diciptakan akibat
68
timbulnya berbagai aktivitas ekonomi dalam suatu daerah. Pendapatan regional pada dasarnya merupakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dikurangi penyusutan pajak tak langsung dan ditambah pendapatan netto yang mengalir dari daerah lain. Aspek yang perlu diperhatikan dalam PDRB adalah struktur (sebaran sektor) ekonominya. Struktur ekonomi dipandang sangat penting karena bisa melihat seberapa besar tiap sektor berperan dalam menghasilkan total nilai tambah, sektor-sektor mana yang tumbuh dan sektor apa saja yang mempunyai peluang untuk dikembangkan. Perkembangan atau dinamika sektor perikanan dapat dilihat dari kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta. Jika dalam wilayah/unit yang dianalisis sektor perikanan relatif memberikan kontribusi terhadap perekonomian yang lebih besar (tampak dari kontribusi terhadap PDRB) maka perhatian stakeholder terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap akan semakin tinggi (Hartono et.al 2005). Sumber data untuk atribut ini adalah Badan Pusat Statistik dan penilaian pada atribut ini didapatkan berdasarkan perbandingan antara PDRB sektor perikanan terhadap PDRB Provinsi DKI Jakarta dalam kurun waktu 1997 sampai 2011. 3) Kepemilikan Sifat kepemilikan sarana penangkapan berhubungan dengan penerimaan keuntungan dari usaha perikanan. Kepemilikan sarana penangkapan ada yang dimiliki pemilik lokal, campuran antara pemilik lokal dan non lokal maupun pemilik non lokal yang menanamkan modalnya di usaha perikanan pada suatu wilayah. Sifat kepemilikan sarana penangkapan ini selain menunjukkan penerimaan keuntungan juga menunjukkan tingkat kemandirian penduduk sekitar terhadap kepemilikan aset usaha perikanan yang tidak tergantung pada pihak luar. Jika keuntungan lebih banyak dinikmati oleh penduduk lokal maka kecenderungan penduduk lokal akan lebih mendukung keberlanjutan usaha perikanan tangkap (risiko/ancaman terhadap kelestarian sumberdaya perikanan tangkap akan semakin kecil) (Hartono et.al 2005). Penilaian untuk atribut kepemilikan didapatkan melaui hasil wawancara dengan responden terpilih.
69
4) Sumber Pendapatan Lain (Other Income) Kebijakan yang mampu menciptakan kebijakan lapangan pekerjaan di luar perikanan serta alternatif pendapatan lain mampu meningkatkan status keberlanjutan kegiatan perikanan tangkap yang mendekati/sudah overfishing. Semakin sedikit masyarakat perikanan yang dianalisis melakukan kegiatan di sektor perikanan sebagai pekerjaan utama maka risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan (terjadinya eksploitasi sumberdaya perikanan yang yang berlebihan akan semakin rendah) (Hartono et. al 2005). Penilaian untuk atribut ini didapatkan melaui hasil wawancara dengan responden terpilih. 5) Orientasi Pasar Pasar atau pengguna lokal cenderung akan lebih peduli/bersahabat terhadap sumberdaya perikanan di wilayahnya sehingga keberlanjutan usaha perikanan di wilayahnya akan semakin tinggi (Hartono et. al 2005). Jakarta merupakan ibu kota negara dan pusat niaga untuk wilayah Indonesia Barat sehingga ikan yang didaratkan di TPI-TPI Jakarta tidak hanya bersumber dari perairan Jakarta tapi juga dari wilayah perairan lain. Kebutuhan ikan untuk daerah Jakarta tidak hanya untuk kebutuhan konsumsi masyarakat |Jakarta yang berjumlah lebih dari sembilan juta orang tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan yang orientasi pasarnya tidak hanyak lokal tetapi juga luar daerah dan internasional.Penilaian untuk atribut ini didapatkan melaui hasil wawancara dengan responden terpilih dan expert meeting. 6) Sumberdaya Ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta Proporsi sumberdaya ikan luar Jakarta yang didaratkan di Jakarta dibandingkan dengan
ikan
lokal
menggambarkan
ketergantungan
daerah
terhadap
sumberdaya ikan luar. Atribut ini merupakan atribut yang muncul karena adanya kekhasan daerah penelitian. Jika propsorsi ikan lokal lebih banyak dibandingkan ikan luar maka kecenderungan untuk menjaga keberlanjutan usaha perikanan tangkap akan semakin tinggi. Penilaian untuk atribut ini didasarkan pada data ikan lokal dan ikan luar daerah yang didaratkan di Jakarta yang terdapat didalam buku statistik perikanan dan kelautan Provinsi DKI Jakarta
70
7) Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja dalam kegiatan perikanan tangkap tergantung dari ukuran perahu atau perahu, jenis alat tangkap dan jumlah waktu penangkapan dalam satu trip penangkapan. Penilaian pada atribut ini didasarkan pada hasil wawancara dengan responden terpilih mengenai rata-rata jumlah tenaga kerja yang digunakan per trip. C.
Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Sosial Keberlanjutan sosial terwujud apabila aktivitas perikanan tangkap mampu
mendistribusikan keuntungan ekonomi yang diterimanya untuk peningkatan sumberdaya dan kesejahteraan tenaga kerja secara terus menerus (Kennedy 2002). Keberlanjutan sosial akan semakin tinggi apabila keberlanjutan ekonomi dapat dicapai. Dimensi sosial merupakan cerminan dari bagaimana sistem sosial manusia (masyarakat perikanan tangkap) yang terjadi dan berlangsung dapat/tidak dapat mendukung berlangsungnya pembangunan perikanan tangkap dalam jangka panjang dan secara berkelanjutan. Kajian keberlanjutan perikanan tangkap pada dimensi sosial dilakukan untuk menggambarkan kehidupan nelayan sebagai manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan sosial dan sumberdaya perikanan sebagai sumber kehidupannya. Pengertian dimensi ini dalam bingkai pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta diterjemahkan dalam sepuluh atribut, yaitu pertumbuhan jumlah RTP dalam sepuluh tahun terakhir, tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan nelayan (formal) dibandingkan dengan rata-rata tingkat pendidikan penduduk Jakarta, status dan frekuensi konflik, partisipasi keluarga dalam pemanfaatan hasil sumberdaya perikanan, socialisation of fishing (tingkat hubungan sosial dalam masyarakat perikanan), frekuensi penyuluhan dan pelatihan untuk nelayan, fishing sector, pengaruh nelayan, dan rata-rata keuntungan per bulan terhadap UMR. 1) Jumlah RTP dibandingkan jumlah penduduk DKI Jakarta Peningkatan jumlah penduduk yang memanfaatkan sumberdaya perikanan menyebabkan
semakin
tingginya
tekanan
pemanfaatan
sumberdaya
perikanan. semakin kecil tingkat pertumbuhan jumlah masyarakat yang bergerak di bidang perikanan maka semakin kecil penambahan tingkat
71
kebutuhan akan sumberdaya perikanan (memperkecil risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan di unti analisis (Hartono et.al). 2) Tingkat pendidikan Pencapaian pendidikan merupakan salah satu ukuran untuk menilai kemajuan suatu masyarakat. Masyarakat berpendidikan tinggi akan lebih mudah menyerap
informasi-informasi
kemajuan
peradaban
sehingga
dapat
meningkatkan kualitas penduduk daerah yang bersangkutan. Pendidikan mempunyai korelasi yang kuat dengan berbagai aspek sosial ekonomi. Berbagai penelitian menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang kuat dengan kualitas hidup dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.
Menurut Hartono et al (2005), semakin tinggi pendidikan
masyarakat perikanan maka cenderung akan semakin meningkatkan kepedulian masyarakat (public awareness) terhadap keberlanjutan usaha perikanan di wilayah/unit analisis. 3) Tingkat pengetahuan Tingkat pengetahuan nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan nelayan mengenai isu-isu lingkungan, seperti ilegal fishing, pencemaran, kerusakan terumbu karang, dsb). Pengetahuan atau pemahaman tentang lingkungan hidup secara tidak langsung mengindikasikan tingkat kepedulian nelayan terhadap keberlanjutan usaha perikanan di walayahnya (Hartono et. al 2005). 4) Status atau frekuensi konflik Umumnya kelestarian usaha perikanan akan lebih terjamin jika tidak pernah terjadi konflik, baik konflik antar stakeholder yang terkait langsung maupun tidak langsung terhadap usaha perikanan maupun konflik antara stakeholder dengan masyarakat diluar usaha perikanan tangkap (Hartono et al 2005). Konflik yang terjadi dapat berupa konflik pemanfaatan ruang/perebutan DPI baik antar nelayan maupun dengan sektor lain, seperti perhubungan laut, budidaya dan lain sebagainya. 5) Partisipasi keluarga dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan Semakin banyak anggota keluarga yang terlibat dalam usaha perikanan maka semakin tinggi perhatian akan diberikan kepada keberlanjutan pengelolaan
72
sumberdaya perikanan (Hartono et. al 2005).
Partisipasi keluarga dalam
mendukung usaha perikanan memang sangat dibutuhkan untuk menunjang pendapatan kepala keluarga. Partisipasi ini dapat berupa peran istri dalam menjual maupun mengolah hasil tangkapan. 6) Frekuensi pertemuan antar warga Pertemuan antar warga nelayan sangat penting dilakukan mengingat sangat kompleksnya penanganan dan pengelolaan sumberdaya perikanan laut. 7) Tingkat hubungan sosial masyarakat perikanan (socialisation of fishing) Socialisation of fishing yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat hubungan sosial yang terjadi dalam masyarakat perikanan. Sosialisasi dapat dilakukan secara individu, kerjasama hanya dalam satu keluarga maupun kerjasama antar kelompok masyarakat nelayan 8) Pengaruh nelayan Pengaruh nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah keterkaitan nelayan dalam proses penyusunan regulasi pengelolaan perikanan. Semakin besar tingkat partisipasi (keterlibatan/pengaruh) masyarakat nelayan/ perikanan dengan pengetahuan tradisionalnya dalam pengambilan keputusan dibidang pengelolaan sumberdaya perikanan maka akan mendukung kelestarian sumberdaya perikanan (risiko/ancaman terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan semakin kecil) (Hartono et.al 2005). 9) Pendapatan hasil perikanan (fishing income) Fishing income yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persentase pendapatan dari sektor perikanan tangkap terhadap total pendalapan keluarga. Semakin besar persentase/bagian pendapatan nelayan dari total pendapatan keluarga berasal dari usaha perikanan maka semakin tinggi tingkat kepedulian terhadap upaya pelestarian/keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan (Hartono et.al 2005). 10) Keuntungan usaha tangkap per bulan (KUT) dibanding UMR Pendapatan nelayan merupakan indikator penting untuk menilai potensi keberlanjutan
usaha
perikanan
tangkap.
Pendapatan
yang
rendah
mengindikasikan bahwa potensi nelayan untuk mendapatkan kehidupan yang layak semakin tidak terpenuhi. Sebagai pembanding untuk mengukur tingkat
73
pendapatan nelayan digunakan nilai UMR sehingga dapat dinilai apakah pendapatan nelayan telah sesuai dengan rata-rata pendapatan pekerja pada industri kecil dan menengah. Pendapatan nelayan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan nelayan tanpa mempertimbangkan statusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan nelayan pemilik kapal dan pekerja di Jakarta ralatif sama. Pendapatan nelayan dipengaruhi oleh keuntungan per upaya tangkap. Menurut model produksi surplus, kegiatan upaya tangkap akan terus meningkat sampai batas tertentu hingga keuntungan tangkap sama dengan nol (Purnomo 2012). Mengacu kepada prinsip tersebut, terjadinya peningkatan upaya tangkap setelah tingkat eksploitasi optimal (MSY) akan mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Kondisi seperti ini saat ini terjadi pada kawasan penelitian sehingga apabila upaya tangkap (effort) meningkat pendapatan nelayan akan terus menurun. Pendapatan nelayan nilainya dipengaruhi oleh keuntungan per upaya tangkap (KUT) dan jumlah upaya tangkap per bulan. Keuntungan per upaya tangkap (KUT) didapatkan melalui persamaan sebagai berikut (Purnomo 2012) :
dimana : C t = biaya produksi riil P t = harga rill E t = effort Perhitungan UMR didasarkan pada kebutuhan hidup minimal (KHM) daerah oleh sebab itu perhitungan rata-rata keuntungan per bulan nelayan dibandingkan UMR dapat menggambarkan kemampuan nelayan dalam mendistribusikan keuntungan ekonomi yang diterimanya untuk peningkatan sumberdaya dan kesejahteraan keluarganya. Keberlanjutan sosial akan semakin tinggi apabila keberlanjutan ekonomi dapat dicapai. D.
Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Teknologi Keberlanjutan teknologi terkait erat dengan keberlanjutan ekonomi dan
kelembangaan. Menurut Dunlop et al. (2004) teknologi merupakan faktor pendorong (driver of change) bagi tercapainya efisiensi produksi sehingga
74
mengurangi
tingkat
kebahayaannya
terhadap
lingkungan.
Porter
(1993)
menyatakan bahwa pembaharuan teknologi diperlukan apabila secara nyata mampu menekan biaya produksi. Dengan demikian teknologi yang berkelanjutan dapat diartikan sebagai teknologi yang mampu meningkatkan keuntungan menyeluruh bagi usaha perikanan baik dari segi peningkatan efisiensi dan produktivitas produksi maupun penurunan limbah dan dampak buruknya terhadap lingkungan. Pada umumnya, pengembangan teknologi dibidang penangkapan ikan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas penangkapan untuk memenuhi permintaan konsumsi yang semakin meningkat dan/atau untuk meningkatkan daya saing
sesama
nelayan
karena
semakin
terbatasnya
sumberdaya
ikan.
Perkembangan teknologi yang semakin efektif seperti memperkecil ukuran mata jaring dan menambah kedalaman jaring bisa berdampak pada menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan sehingga persaingan dalam memperebukan sumberdaya ikan yang terbatas akan terjadi. Persaingan dalam teknologi penangkapan biasanya ditandai dengan dioperasikannya alat penangkpan ikan yang makin produktif namun kurang ramah lingkungan bahkan bersifat destruktif. Dimensi teknologi merupakan cerminan dari pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dengan menggunakan suatu teknologi. Teknologi yang baik adalah teknologi yang dapat mendukung keberlanjutan setiap aktivitas ekonomi dalam sektor perikanan tangkap. Kajian dimensi teknologi ini sangat penting karena aplikasi teknologi dapat menggambarkan tingkat serapan teknologi oleh masyarakat penggunanya. Pada aktivitas perikanan tangkap, penggunaan teknologi dapat menggambarkan skala usahanya. Interaksi dimensi teknologi dengan dimensi lainnya, seperti dimensi ekonomi dan sosial dapat berdampak langsung maupun jangka panjang terhadap kondisi dimensi ekologi. Dalam
perikanan
tangkap,
penggunaan
teknologi
juga
dapat
mengindikasikan etika pengelola perikanan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Penggunaan teknologi yang tidak tepat dapat memicu terjadinya kerusakan lingkungan atau dapat menimbulkan konflik sosial antar pemanfaat sumberdaya ikan. Beberapa kriteria untuk teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yaitu selektifitas tinggi, tidak destruktif terhadap habitat, tidak membahayakan nelayan,
75
menghasilkan ikan bermutu baik, produk tidak membahayakan kesehatan konsumen, hasil tangkapan ikan yang dibuang minimum, mempunyai dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi atau terancam punah, dan diterima secara sosial (Monintja dalam Bengen 2000). Pengertian dimensi ini dalam bingkai pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan di perairan Jakarta diterjemahkan ke dalam sembilan atribut yang secara operasional dapat menggambarkan status keberlanjutan perikanan tangkap yang dianalisis menurut dimensi teknologi. Atribut dalam dimensi teknologi dalam penelitian ini antara lain, pilihan terhadap tempat pendaratan ikan, lama trip penangkapan, jenis/sifat alat tangkap, selektifitas alat tangkap, penanganan di kapal sebelum didaratkan, ukuran kapal penangkapan, penanganan pasca panen, penggunaan alat bantu destruktif dan perubahan daya tangkap. 1) Pilihan terhadap Tempat Pendaratan Ikan Tempat pendaratan ikan yang menyebar atau berjumlah banyak secara langsung mempercepat waktu penurunan ikan sehingga meningkatkan keuntungan nelayan (Hartono et.al 2005). Provinsi DKI Jakarta mempunyai tiga belas tempat pendaratan ikan, yaitu enam berada di wilayah pesisir Jakarta dan tujuh berada di wilayah Kepulauan Seribu. 2) Lama Trip Penangkapan Atribut lama trip penangkapan menggambarkan jarak fishing ground keberadaan sumberdaya perikanan. Kemampuan lama melaut secara tidak langsung menunjukkan kemampuan mengeksploitasi sumberdaya perikanan. Semakin singkat waktu melaut makan semakin kecil kemampuan mengeksploitasi sumberdaya perikanan. 3) Jenis/Sifat Alat Tangkap Alat tangkap ikan pelagis seperti gill net dan payang dikategorikan sebagai alat tangkap yang aktif sedangkan alat tangkap pancing dikategorikan alat tangkap pasif. Alat tangkap ikan demersal seperti bubu dan rampus dikategorikan sebagai alat tangkap yang pasif sedangkan bouke ami dan dogol dapar dikategorikan sebagai alat tangkap yang aktif.
76
4) Selektifitas Alat Tangkap Peningkatan selektifitas penangkapan sangat terkait dengan efisiensi penggunaan sumberdaya perikanan. Semakin selektif maka sumberdaya perikanan akan semakin berkelanjutan. Nelayan Jakarta umumnya dapat menyiapkan alat tangkap yang digunakan secara mandiri. Kemampuan pengadaan alat tangkap secara mandiri memberi keuntungan bagi nelayan untuk menekan biaya produksi. Selama ini nelayan tersebut hanya tinggal membeli bahan yang diperlukan (meskipun tidak semua) dan bila ada waktu tidak melaut, beberapa nelayan terkadang menyibukan diri dengan membuat alat tangkap baik untuk kepentingan sendiri maunpun untuk nelayan lainnya. Selain kemampuan pengadaan alat tangkap secara mandiri, para nelayan di perairan Jakarta telah mampu memodifikasi alat tangkapnya untuk disesuaikan dengan fishing ground dan sebagian sudah mulai memperbesar mata jaringnnya untuk kepentingan kelestarian SDI. 5) Penanganan di kapal sebelum didaratkan Semakin baik penanganan ikan di atas kapal maka semakin memperkecil terjadinya penurunan kualitas ikan pada saat didaratkan/dijual sehingga meningkatkan keuntungan nelayan. Semakin baik penanganan ikan di atas kapal maka semakin memperkecil risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usahan perikanan tangkap. 6) Ukuran kapal penangkapan Semakin besar ukuran kapal maka semakin tinggi kemampuan nelayan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan, yang berarti semakin tinggi ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap. 7) Penanganan pasca panen Atribut penanganan pasca panen untuk melihat kemampuan nelayan memperoleh nilai tambah (value added) dari perikanan. Semakin baik penanganan ikan sebelum dijual maka secara tidak langsung semakin meningkatkan keuntungan nelayan dan memperkecil risiko terhadap keberlanjutan usaha perikanan tangkap.
77
8) Penggunaan alat bantu yang destruktif Alat bantu perikanan yang destruktif dapat dideskripsikan sebagai alat yang dapat menimbulkan kerusakan sumberdaya perikanan, misalnya penangkapan ikan dengan bom, bius atau tenaga listrik. Dengan penggunaan alat bantu yang destruktif ini ikan akan lebih mudah tertangkap tetapi dapat berampak negatif seperti rusaknya mata rantai kehidupan yang ada di sekitar wilayah penangkapan tersebut. 9) Perubahan daya tangkap Semakin meningkatnya kemampuan alat tangkap yang digunakan nelayan untuk menangkap ikan (peningkatan upaya tangkap) maka semakin tinggi ancaman/risiko terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. E.
Keberlanjutan Sumberdaya Ikan pada Dimensi Kelembagaan Kelembagaan adalah salah satu kriteria dan indikator sistem perikanan
berkelanjutan (Charles 2004). Dimensi ini merupakan cerminan dari derajat pengaturan kegiatan ekonomi manusia terhadap lingkungan perairan laut dan sumberdaya perikanan tangkap yang terkandung didalamnya. Semakin baik derajat pengaturan yang dilakukan maka semakin dapat menjamin setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan dalam sektor perikanan tangkap dapat berjalan dalam jangka panjang dan berkesinambungan. Untuk mewujudkan, pengaturan kegiatan ekonomi tersebut harus berlandaskan etika lingkungan. Maksud kalimat tesebut adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia harus disertai dengan pertimbangan terhadap terciptanya keberlangsungan fungsi lingkungan beserta keberadaan sumberdaya lama (dapat pulih) didalamnya (Hartono et.al 2005). Pada tingkat provinsi, kelembagaan formal yang berwenang untuk mengelola perikanan di Provinsi DKI Jakarta adalah Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta yang secara langsung membawahi kelembagaan formal tingkat kota/kabupaten yang juga berwenang mengelola perikanan yaitu Suku Dinas Kelautan dan Pertanian Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dan Suku Dinas Peternakan, Perikanan dan Kelautan Kota Adminstrasi Jakarta Utara. Dalam bingkai pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan, dimensi ini diterjemahkan dalam tujuh atribut yang diharapkan dapat menggambarkan kondisi
78
perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Ketujuh atribut tersebut, yaitu ketersediaan peraturan formal, just management, ilegal fishing, adjacency and reliance, equity in entry to fishery,alternatives, dan peran lembaga formal. Definisi ketujuh atribut tersebut adalah menurut Hartono et.al (2005) adalah sebagai berikut : 1) Ketersediaan peraturan formal Semakin banyak peraturan perundangan yang telah dibuat maka pengelolaan sumberdaya perikanan akan lebih mudah diatur/dikelola. 2) Posisi nelayan (just management) Proses pengambilan keputusan serta pelaksanaan peraturan yang semakin melibatkan seluruh stakeholders termasuk nelayan dalam posisi yang seimbang akan lebih dapat menghasilkan mekanisme pengaturan sumberdaya perikanan yang baik. 3) Ilegal fishing Pemanfaat sumberdaya perikanan akan lebih patuh pada aturan pengelolaan sumberdaya perikanan pada saat kepedulaian masyrakat terhadap segala kegiatan penangkapan ikan tinggi (adanya tekanan publik). 4) Kedekatan nelayan secara geografis/sejarah dalam pengelolaan perikanan (adjacency and reliance) Nelayan yang hidup berdekatan dengan area penangkapannya (dan telah dilakukan selama beberapa generasi) serta sangat tergantung kehidupannya pada usaha perikanan maka cenderung akan mempertahankan kelestarian area penangkapan tersebut. 5) Kedekatan hubungan tradisional (equity in entry to fishery) Semakin dibatasi akses ke usaha perikanan serta pengaturan tersebut berdasarkan pada sejarah/tradisi yang telah berlangsung turun temurun maka umumnya keputusan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin bijak. Disamping itu juga akan mengurangi potensi terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan tersebut. 6) Pekerjaan di luar perikanan tangkap (alternatives) Semakin banyak pekerjaan di luar perikanan secara tidak langsung menurunkan tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan.
79
7) Peranan lembaga formal Lembaga formal yang paling berwenang dalam kebijakan pengelolaan aktivitas perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta adalah Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Semakin besar peranan lembaga ini dalam mengelola perikanan tangkap maupun aktivitas lain di kawasan pesisir dan laut yang secara langsung mempengaruhi kondisi sumberdaya perikanan tangkap maka keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap akan semakin tinggi. 4.4.3.2 Teknik Rapfish Penelitian ini menggunakan perangkat lunak (software) RAPFISH untuk menganalisis keberlanjutan sumberdaya perikanan yang diteliti. Analisis keberlanjutan dengan menggunakan Teknik Rapfish dimulai dengan me-review atribut
dan
mendefinisikan
atribut
perikanan
yang
akan
dianalisis,
mengidentifikasi dan melakukan penilaian (scoring) perikanan yang akan dianalisis (Pitcher 1999). Prosedur analisis dengan teknik Rapfish pada penelitian ini akan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 1)
Mengevaluasi dan menetapkan atribut dari kelima dimensi (review atribut). Atribut merupakan parameter dari dimensi yang mewakili kondisi sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. Atribut yang telah disusun kemudian dilakukan evaluasi untuk dilihat hubungan antar atribut, apakah memiliki hubungan linier atau tidak. Jika terdapat hubungan linier maka disatukan menjadi satu atribut. Evaluasi dan penetapan atribut dilakukan dengan pendekatan scientific judgement berdasarkan pendekatan keilmuan yang sesuai baik berdasarkan hasil kajian maupun penelitian maupun sumber pustaka lainnya. Penetapan atribut juga dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan data dari atribut tersebut. Atribut yang dipilih dalam penelitian ini diharapkan dapat mencerminkan tingkat keberlanjutan di setiap dimensi dan dan disesuaikan dengan ketersediaan informasi yang dapat diperoleh dari karakter sumberdaya yang dikaji (Pitcher dan preikshot 2001).
2)
Analisis terhadap data perikanan lokasi studi melalui data statistik.
3)
Analisis data pengamatan lapangan dan studi literatur.
80
4)
Melakukan skoring aspek keberlanjutan perikanan. Penilaian terhadap keseluruhan atribut dari masing-masing dimensi keberlanjutan dalam pengelolaan perikanan tangkap Provinsi DKI Jakarta dikategorikan ke dalam baik, cukup baik, kurang baik, dan buruk. Seluruh atribut yang diperoleh dari hasil pengamatan akan dianalisis dengan teknik Rapfish. Pengolahan data dengan menggunakan teknik Rapfish terjadi dalam tiap
modul VBA (Visual Basic Applications) yang masing-masing terhubung pada “g77ALSCAL.dll” untuk operasi multi-dimensional scalling (MDS), analisis leverage (JackKnife), dan analisis Monte Carlo. A.
Analisis MDS (multi-dimensional scalling) Analisis multidimensi ini digunakan untuk menentukan titik-titik dalam
Rapfish yang dikaji relatif terhadap dua titik yang menjadi acuan. Titik yang menjadi acuan tersebut adalah baik (good) dan buruk (bad). Posisi titik-titik dalam Rapfish sangat banyak dan sangat sulit untuk digambarkan sehingga diperlukan suatu teknik dalam penentuan posisi titik-titik tersebut secara visual yang dikenal dengan metode multidimensional scalling (MDS) (Fauzi dan Anna 2005). Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut :
Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan dengan meregresikan jarak Euclidian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δ ij ) sebagaimana persamaan berikut : (d ij ) = α + βδ ij + ε Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (squared distance = d ijk ) terhadap data kuadrat (titik asal = O ijk ) yang dalam tiga dimensi (i, j, k) ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut :
81
Di mana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot, atau ditulis:
Pada setiap pengukuran yang bersifat mengukur (metric) seberapa fit (goodness of fit), jarak titik pendugaan dengan titik asal, menjadi sangat penting. Goodness of fit dalam MDS tidak lain mengukur seberapa tepat (how well) konfigurasi dari suatu titik dapat mencerminkan data aslinya. Goodness of fit ini dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S di atas. Nilai stress yang rendah menunjukan good fit sementara nilai S yang tinggi sebaliknya. Di dalam Rapfish, model yang baik ditunjukan dengan nilai stress yang lebih kecil dari 0,25 (S < 0,25) (Fauzi dan Anna 2005). Microsoft Excell digunakan untuk melakukan analisis MDS berikut dengan algoritma ALSCAL. Metode MDS merupakan salah satu metode ordinasi pada ruang (dimensi) yang diperkecil. Ordinasi suatu obyek pengamatan yang diukur dengan menggunakan banyak variable sulit dilihat secara visual mengingat bahwa posisi obyek di dalam ruang berdimensi lebih dari tiga yang tidak mungkin digambarkan. Analisis multidimensional diterapkan untuk mentrasnformasikan skor dari keseluruhan atribut keberlanjutan perikanan menurut dimensinya pada ordinasi antara 0 (buruk) dan 100 (baik) (Kavanagh dan Pitcher 2004). Ketepatan tranformasi tersebut dikontrol oleh statistik stress dan koefisien determinasi. Asumsi bahwa kinerja pengelolaan terletak antara 0 sampai 100 persen atau buruk sampai ke baik sekali. Diantara nilai buruk sampai baik maka ada interval nilai kinerja yaitu cukup dan kurang, sehingga diperoleh empat tingkatan kinerja yaitu buruk, kurang, sedang dan baik. Tingkatan kinerja dibagi menjadi 4 tingkat sehingga diperoleh interval 0, 25 persen, 50 persen, 75 persen, dan 100 persen. Hasil penilaian kinerja atribut dari masing-masing dimensi dipetakan ke dalam dua titik acuan yang merupakan titik buruk (bad) dan titik baik (good). Kategori hasil penilaian atribut disajikan pada Tabel 7.
82
Tabel 7. Kategori penilaian status keberlanjutan No
Nilai Indeks Dimensi
Kategori
Keterangan
1
0,00 – 24,99
Buruk
Tidak berkelanjutan
2
25,00 – 49,99
Kurang
Kurang berkelanjutan
3
50,00 – 74,99
Cukup
Cukup berkelanjutan
4
75,00 – 100,00
Baik
Berkelanjutan
Sumber : Nurmalina, 2008 Posisi titik keberlanjutan dapat digambarkan dalam bentuk garis sumbu vertikal ataupun sumbu horisontal. Nilai indeks keberlanjutan berada pada nilai 0 persen (buruk) sampai 100 persen (baik). Jika dimensi yang dinilai dengan nilai indeksnya berada di bawah 50 persen maka mempunyai nilai yang kurang atau kurang berkeberlanjutan (unsustainable), dan jika dimensi yang dinilai berada di atas nilai 50 persen maka dimensi dari sistem yang dinilai dapat dikatakan berkelanjutan (sustainable). Penilaian ini dapat diilustrasikan pada Gambar 12. 0%
50%
100% Baik (sustainable)
Buruk (unsustainable)
Gambar 12. Posisi titik keberlanjutan B.
Analisis leverage/Jacknife Setelah nilai ordinasi (indeks) keberlanjutan ditemukan melalui ordinasi
RAPFISH (Hasil MDS), maka analisis leverage dilakukan untuk melihat atribut apa yang paling sensitif berpengaruh dalam memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan. Selain itu, analisis ini dilakukan untuk memperhitungkan sensitivitas setiap atribut dalam menentukan ordinasi status keberlanjutan perikanan. Pengolahan datanya dilakukan secara berulang yaitu direduksi satu per satu atribut dari dimensi keberlanjutan perikanan yang ditelaah. Untuk setiap dimensi keberlanjutan perikanan, setiap reduksi satu atributnya diproses dalam 'g77ALSCAL.dll' untuk menghasilkan ordinasi status keberlanjutan, dan selanjutnya diterima sebagai masukan oleh modul 'levereging'. Dalam analisis ini ini, pengaruh setiap reduksi atribut diperhitungkan melalui akar kuadrat nilai tengah (RMS) ordinasi status keberlanjutan perikanan mengikuti persamaan umum:
83
Faktor pengungkit adalah atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan. Semakin besar nilai RMS maka semakin besar peranan atribut tersebut terhadap sensitivitas status keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher 2004). C.
Analisis Monte Carlo Di dalam Rapfish juga memperhitungkan aspek ketidakpastian dan
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo merupakan metode simulasi untuk mengevaluasi dampak kesalahan acak/galat (random error) dalam analisis statistik yang dilakukan terhadap seluruh dimensi (Kavanagh dan Pitcher 2004). Dalam analisis 'Monte Carlo' yang terhubung dengan 'g77ALSCAL.dll', serangkaian proses simulasi berlangsung untuk menguji pengaruh dari beragam kekeliruan (ketidak-pastian), baik yang berkenaan dengan scoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan perikanan. Menurut Kavanagh dan Pitcher (2004), pembangkit bilangan acak dalam analisis ini didasarkan pada sebaran normal galat angka skor dengan nilai tengah 0 dan simpangan baku (σ) terseleksi (noise) berselang kepercayaan (confidence interval) 95 persen dalam proporsi 20 persen dari selang skor setiap atribut (skor antara ‘baik’ dan ‘buruk’). Untuk setiap atribut keberlanjutan perikanan yang ditelaah, peubah acak normal tersebut (G) difungsikan sebagai 'gangguan' yang kemudian direkam pengaruhnya dalam ordinasi status keberlanjutan perikanan. Ketidakpastian dalam analisis Monte Carlo disebabkan oleh (Fauzi dan Anna 2005) : (1) Dampak kesalahan dalam skoring akibat minimnya informasi, (2) Dampak dari keragaman dalam skoring akibat perbedaan penilaian, (3) Kesalahan dalam entry data, dan (4) Tingginya nilai stress yang diperoleh dari algoritma ALSCAL. Dalam penelitian ini, analisis Monte Carlo dilakukan dengan metode “scatter plot” yang menunjukkan ordinasi dari setiap dimensi dan analisis monte carlo pada selang kepercayaan 95 persen dibandingkan dengan hasil MDS.
84
Terakhir, hasil penilaian atas masing-masing dimensi keberlanjutan (lima dimensi) disajikan dengan diagram layang-layang (kite diagram) pada Gambar 13.
Gambar 13. Diagram layang-layang indeks keberlanjutan multidimensi
4.4.3.3 Skoring Atribut pada Teknik Rapfish Pembuatan skor setiap dalam atribut setiap dimensi harus mempunyai dasar atau acuan ilmiah yang jelas sumbernya namun jika penentuan skor tidak ditemukan acuannya maka dapat ditentukan berdasarkan perhitungan-perhitungan atau analisis yang jelas mencerminkan dari dimensi yang bersangkutan (Susilo 2003). Skor yang diberikan berdasarkan nilai terburuk dan nilai terbaik secara kualitatif dan kuantitatif dari atribut yang mencerminkan persepsi dari dimensinya dan jelas secara definisi dalam penentuan skornya. Oleh karena itu, penentuan skor sangat bergantung dari persepsi dimensi yang dianalisis, sebagai contoh semakin tinggi tingkat eksploitasi perikanan maka secara ekonomi akan semakin baik tetapi secara ekologi akan mengancam keberlanjutan sumberdaya perikanan tersebut. Dalam penelitian ini, skor setiap atribut dalam setiap dimensi mengacu pada Pitcher dan Preiskhot (2001) dan Susilo (2003). Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 8.
85
Tabel 8. Skor atribut pada setiap dimensi No Atribut Pilihan Baik Skor 1 Dimensi Ekologi 1.1 Tingkat/status 0;1;2;3 0 eksploitasi perikanan
Buruk
3
1.2
Tingkatan kolaps/ pengurangan lokasi area tangkap
0;1;2
0
2
1.3
Perubahan ukuran ikan tertangkap dalam 5 tahun terakhir
0;1;2
0
2
1.4
Perubahan jenis ikan yang tertangkap dalam 10 tahun terakhir
0;1;2
0
2
1.5
Proporsi ikan yang dibuang
0,1,2
0
2
1.6
Tekanan pemanfaatan perairan
0,1,2
0
2
Keterangan
Relatif terhadap MSY (0) kurang (1)sama atau seimbang (2)berat (3)over exploited (Pitcher dan Preikshot 2001) (0) tidak ada (1) sedikit (2)banyak & cepat (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak berubah (1)sedikit menurun (2)menurun banyak (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)rendah (1-10 jenis) (1)sedang (10-100 jenis) (2)tinggi (>100 jenis) (Pitcher dan Preikshot 2001) 0 = rendah (0-10%) 1 = sedang (10-40%) 2 = tinggi (>40%) (Pitcher dan Preikshot 2001) 0 = kurang 1 = sedang 2 = tinggi (Susilo 2003)
86
No
Atribut
2 2.1
Dimensi Ekonomi Keuntungan
2.2
Baik
Buruk
Keterangan
0;1;2;3
3
0
Kontribusi perikanan terhadap PDRB
0;1;2
2
0
2.3
Kepemilikan (penerima keuntungan dari kepemilikan)
0;1;2
0
2
2.4
Sumberdaya ikan luar Jakarta yang didaratkan di DKI Jakarta Other income (penangkapan merupakan pekerjaan utama atau tidak)
0;1;2
0
2
0;1;2;3
0
3
0
2
(4)sangat menguntungkan (3) sedikit menguntungkan (2) impas atau kembali modal (1) merugi (0)sangat merugi (Susilo 2003) (0)rendah (1)sedang (2)tinggi (Pitcher dan Preikshot 2001) Profit perikanan teritama untuk : (0)pemilik lokal (1)pemilik lokal dan non lokal (2)pemilik non lokal (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)>50% ikan lokal (1)seimbang (2)>50% ikan luar (Spesifikasi wilayah) (0)bukan sumber penghasilan (1)pekerjaan paruh waktu (part-time) (2)seasonal (3)full-time (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)pasar lokal (1)pasar nasional (2)pasar internasional (Pitcher dan Preikshot 2001)
2.5
2.6
Pilihan Skor
Lokasi tujuan atau 0;1;2 orientasi pemasaran perikanan
87
No
Atribut
2.7
Penyerapan tenaga kerja
3 3.1
Dimensi sosial Laju pertumbuhan jumlah nelayan wilayah tersebut dalam 10 tahun
3.2
Pengetahuan (tingkat pengetahuan nelayan mengenai isu-isu lingkungan, seperti ilegal fishing, pencemaran, kerusakan terumbu karang, dsb ) Tingkat pendidikan nelayan (formal) dibandingkan dengan rata-rata tingkat pendidikan penduduk daerah tsb Status dan frekuensi konflik (ada atau tidaknya konflik pemanfaatan ruang/perebutan DPI baik antar nelayan maupun dengan sektor lain, misal : perhubungan laut) Partisipasi keluarga dalam pemanfaatan hasil sumberdaya perikanan (memproses/ menjual)
3.3
3.4
3.5
Pilihan Skor 0;1;2
Baik
Buruk
Keterangan
0
2
(0)rendah(≤10%) (1)sedang(<1020%) (2)tinggi(>20%) (Pitcher dan Preikshot 2001)
0;1;2
0
2
0;1;2
2
0
(0)<10% (1)10-20% (2)>20% (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)sangat minim (1)cukup (2)sangat luas (Pitcher dan Preikshot 2001)
0;1;2
2
0
(0)rendah (1)sedang (2)tinggi (Pitcher dan Preikshot 2001)
0;1;2
0
2
(0)tidak ada (1)jarang (2)sering (Pitcher dan Preikshot 2001)
0;1
1
0
(0)tidak ada (1)ada (Pitcher dan Preikshot 2001)
88
No
Atribut
Pilihan Skor 0;1;2
Baik
Buruk
2
0
0;1;2;3
3
0
Pengaruh nelayan (keterkaitan nelayan dalam proses penyusunan regulasi pengelolaan perikanan) 3.9 Fishing Income (persentase pendapatan dari sektor perikanan tangkap terhadap total pendalapan keluarga) 3.10 Keuntungan upaya tangkap (KUT) per bulan dibanding UMR 4 Dimensi Teknologi 4.1 Pilihan terhadap tempat pendaratan ikan
0;1;2
2
0
0;1;2
2
0
0<50% 150%-80% 2>80% (Pitcher dan Preikshot 2001)
0;1;2
2
0
0kurang dari UMR 1setara UMR 2lebih dari UMR (Purnomo 2012)
0;1;2
0
2
4.2
Lama trip penangkapan
0;1;2
0
2
4.3
Jenis/sifat alat tangkap
0;1;2
0
2
(0)sangat tersebar (1)agak terpusat (2)terpusat (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)< 1 hari (1)2 – 4 hari (2)5 – 7 hari (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)mayoritas pasif (1)seimbang (2)mayoritas aktif (Susilo 2003)
3.6
Socialisation of fishing (tingkat hubungan sosial dalam masyarakat perikanan)
3.7
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan untuk nelayan
3.8
Keterangan (0)individual (1) keluarga (2)kelompok masyarakat (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak pernah ada (1)sekali dalam 5 tahun (2)1-5 kali dalam setahun (3)>5 kali dalam setahun (Susilo 2003) (0)tidak ada (1)sedikit (2)banyak (Pitcher dan Preikshot 2001)
89
No
Atribut
Pilihan Skor 0;1;2
Baik
Buruk
2
0
4.4
Selektivitas alat tangkap
4.5
Penanganan di kapal sebelum didaratkan
0;1;2;3
3
0
4.6
Ukuran kapal penangkapan
0;1;2
0
2
4.7
Penanganan pacapanen
0;1;2
2
0
4.8
Penggunaan alat bantu perikanan yang destruktif
0;1;2
0
2
4.9
Perubahan daya 0;1;2 tangkap (besaran kemampuan menangkap ikan dilihat dari banyaknya pertambahan kapal/jumlah trip dalam lima tahun) Dimensi hukum/kelembagaan Ketersediaan 0;1;2 peraturan formal dalam pengelolaan perikanan
0
2
2
0
5 5.1
Keterangan (0)kurang selektif (1)agak selektif (2)sangat selektif (Pitcher dan Preikshot 2001) (0) tidak ada (1)sedikit (2)beberapa (flash freezing,champagne ice) (3) canggih (tangkap hidup) (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)2-5 m (1)5-10 m (2)>10 m (Susilo 2003) (0)tidak ada (1)sedikit (2)banyak (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak ada (1)sedikit (2)banyak dan dominan (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak ada (1)sedikit (2)banyak/cepat (Pitcher dan Preikshot 2001)
(0)kurang (1)cukup (2)banyak (Susilo 2003)
90
No
Atribut
Pilihan Skor 0;1;2;3;4
Baik
Buruk
5.2
Just management (posisi nelayan dalam pengelolaan perikanan tangkap)
4
0
5.3
Illegal fishing
0;1;2
0
2
5.4
Adjacency and reliance (kedekatan nelayan secara geografis atau mempunyai hubungan sejarah dalam pengelolaan perikanan)
0;1;2;3
3
0
5.5
Equity in entry to fishery (kedekatan hubungan tradisional dalam pengelolaan perikanan tangkap)
0;1;2
2
0
5.6
Alternatives (pekerjaan lain di luar sektor penangkapan)
0;1;2
2
0
Keterangan (0)none (1)consultations (konsultan) (2)co-management/ goverment leading (3)co-management/ community leading (4)genuine comanagement with all parties equal (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak pernah terjadi (1)kadang-kadang terjadi (2)sering terjadi (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)no adjacent/no reliance (1)not adjacent/some reliance (2)adjancent/some reliance (3)adjacent/strong reliance (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak tersedia (1)tersedia (2)perikanan yang berbasiskan kelembagaan tradisional (Pitcher dan Preikshot 2001) (0)tidak ada (1)ada, sedikit (2)ada, banyak (Pitcher dan Preikshot 2001)
91
No 5.7
Atribut
Pilihan Skor 0;1;2;3
Baik
Buruk
Peranan 3 0 kelembagaan formal yang mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan Sumber : Pitcher dan Preiskhot (2001) dan Susilo (2003).
Keterangan (0)tidak ada (1)ada tapi tidak berpengaruh (2)cukup berperan (3)sangat berperan (Susilo 2003)
4.4.4 Pembobotan Setiap Dimensi Keberlanjutan Hasil analisis keberlanjutan dengan menggunakan teknik Rapfish hanya menentukan status atau kondisi dari masing-masing dimensi keberlanjutan tetapi tidak dapat menentukan status keberlanjutan secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan bobot dari masing-masing dimensi dianggap sama. Padahal dalam kenyataannya, bobot masing-masing dimensi berbeda. Untuk menentukan bobot dari masing-masing dimensi keberlanjutan digunakan program penentuan bobot dimensi yang merupakan modifikasi dari Analytical Hierarchy Process (AHP) (Budiharsono 2001). Prinsip kerja untuk pembobotan pada kelima dimensi sama dengan prinsip kerja AHP, yaitu penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hierarki kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tersebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Prinsip dasarnya adalah decomposition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. Pada analisis ini, kriteria dan alternatif dinilai melalui perbandingan berpasangan. Menurut Saaty (1983), untuk berbagai persoalan skala 1 sampai 9 adalah skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Consistency ratio digunakan untuk memeriksa apakah perbandingan berpasangan yang dilakukan telah sesuai dan konsekuen (Marimin 2004). Pembobotan dimensi dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. Responden merupakan pihak yang secara langsung terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Responden dalam penelitian ini adalah
92
pakar dalam bidang pengembangan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta yang berjumlah sepuluh orang. Penilaian kriteria dan alternatif yang dilakukan oleh beberapa ahli multidisiplioner perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat yang konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan rata-rata geometrik Marimin (2004). Rumus perhitungan rata-rata geometrik adalah:
dimana : = rata-rata geometrik n
= jumlah responden
X i = penilaian oleh reponden ke-i Dalam rangka memeriksa apakah perbandingan berpasangan (pada metode pairwise comparisions) telah dilakukan dengan konsisten atau tidak digunakan parameter
consistency
ratio
(CR).
Langkah-langkah
dalam
perhitungan
consistency ratio adalah : 1) Membuat matriks yang berisi kriteria dan alternatif sehingga diperoleh nilai faktor (nilai eigen) pada tiap kriteria; 2) Menghitung nilai Weighted Sum Vector dengan jalan mengalikan kedua matriks tersebut; 3)
Menghitung Consistency Vector dengan jalan menentukan nilai rata-rata dari Weighted Sum Vector;
4)
Menghitung nilai rata Consistency Vector (P) disebut juga λ maks;
5) Menghitung nilai Consistency Index (CI) dengan menggunakan rumus: CI=(p-n)/(n-1) n = banyaknya alternatif 6) Menghitung nilai Consistency Ratio (CR) yaitu dengan rumus: 7) CR=CI/RI. Nilai RI yaitu indeks random yang didapat dari tabel Oarkidge. Penentuan bobot pada setiap dimensi keberlanjutan dilakukan untuk mengetahui status keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta dilihat dari kelima dimensi keberlanjutan tersebut.
93
4.4.5 Analisis Model Dinamik Struktur model dinamik yang dikembangkan merupakan gambaran dari interaksi antara elemen-elemen dalam sistem. Model dinamik mampu menelusuri jalur waktu antar peubah-peubah model dan dapat memberikan kekuatan yang lebih tinggi pada analisis dunia nyata. Tahapan dalam melakukan analisis dinamik adalah (1) Analisis kebutuhan (2) Formulasi permasalahan (3) Identifikasi dan pemodelan sistem (4) Simulasi model, dan (5) Validasi model dan verifikasi model (Eriyatno 1999). 1.
Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan dalam pengkajian suatu sistem
(Eriyatno 1999). Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respon yang timbul dari seseorang pengambil keputusan (decision maker) terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat meliputi hasil suatu survey, pendapat seorang ahli, diskusi, observasi lapangan dan sebagainya (Eriyatno 1999). Pendekatan yang digunakan untuk melakukan analisis kebutuhan sistem adalah metode bottom up, dimana keberlanjutan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta dimulai dengan menganalisis kebutuhan pihak-pihak utama yang terlibat secara langsung dalam sistem keberlanjutan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. 2.
Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang
saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahan. Munculnya pertentangan dapat disebabkan oleh adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem. 3.
Identifikasi dan Pemodelan Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan
dari kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan. Identifikasi sistem ini bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Guna memahami struktur perilaku pada sistem dan subsistem digunakan diagram sebab-akibat (causal loop) dan diagram
94
alir (flow chart). Diagram lingkar sebab-akibat dibuat dengan cara menentukan peubah penyebab yang signifikan dalam sistem dan menghubungkannya dengan menggunakan garis panah ke peubah akibat. Garis panah tersebut dapat berlaku dua arah jika kedua peubah saling mempengaruhi. Pada sistem dinamis, diagram lingkar sebab–akibat ini akan digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan program model sistem dinamik. Pembuatan diagram lingkar sebab-akibat adalah proses perumusan mekanisme peubah-peubah yang bekerja dalam suatu sistem ke dalam bahasa gambar sekaligus merupakan langkah awal dari identifikasi sistem yang digunakan untuk menyederhanakan kerumitan dalam rangka menciptakan sebuah konsep model. Dua terminologi penting dalam pembuatan diagram lingkar sebabakibat adalah keadaan (level) dan proses (rate). Prinsip dasar pembuatan diagram sebab-akibat dalam penerapan berpikir sistem adalah dengan logika, yaitu proses sebagai sebab yang menghasilan keadaan (proses keadaan) atau sebaliknya keadaan sebagai sebab yang menghasilkan proses (keadaan proses). Informasi tentang hal ini menghasilkan pengaruh sebab-akibat yang dapat secara searah (+) maupun berlawanan (-). a.
Level Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagrma alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Dalam konsep sistem, level dikenal sebagai state variabel. Level dapat dibayangkan sebagai suatu tangki air yang mengakumulasi perbedaan air masuk dengan air keluar. Dalam diagram alir sistem dinamik, level dilukiskan dengan simbol persegi panjang (Hartrisari 2007).
b.
Rate Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level. Oleh sebab itu rate terdiri atas dua jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan dilambangkan dengan simbol katup dan panah yang menuju level sedangkan rate keluar dilambangkan dengan katup yang dihubungkan dengan panah yang menuju pada sink.
95
c.
Source dan Sink Simbol awan menunjukkan source dan sink suatu material yang mengalir ke dalam dan ke luar suatu level.
d.
Information Link Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel di dalam suatu sistem jika suatu aliran informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level.
e.
Variabel Auxiliary Variabel Auxiliary adalah penambahan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variabel rate. Dapat pula dikatakan bahwa Variabel
Auxiliary
adalah
variabel
yang
membantu
untuk
memformulasikan variabel rate. Variabel Auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh. f.
Parameter (konstanta) Konstanta adalah suatu besaran yang nilainya tetap selama proses stimulasi.
g.
Delay Dalam menggambarkan delay dibutuhkan penghubung panah bergaris yang menunjukkan delay dan panah sebagai aliran informasi jika nilai awal delay sama dengan variabel input tetapi jika nilai awal ditetapkan terlepas dari variabel input maka hanya dibutuhkan satu panah delay sebagai penghubung. Causal loop pada penelitian ini akan menggambarkan sistem keberlanjutan
pengembangan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta serta berbagai komponen yang terkait berikut interaksinya yang menjelaskan perilaku hubungan sebab akibat antar komponen sistem dalam mencapai tujuan. Causal loop sistem keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta pada penelitian ini secara makro disajikan pada Gambar 13. Causal loop sistem keberlanjutan pengembangan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta secara makro terdiri atas keterkaitan subsistem ekologi, subsistem ekonomi, subsistem sosial, subsistem teknologi dan subsistem kelembagaan. Pola hubungan yang terjadi antara subsistem dengan pencapaian keberlanjutan perikanan tangkap di DKI
96
Jakarta adalah hubungan positif, yang berarti apabila kebelanjutan pada subsistem ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan kelembagaan meningkat maka peningkatan
tersebut
akan
berdampak
pada
peningkatan
keberlanjutan
pengembangan perikanan tangkap di DKI Jakarta. Keberlanjutan ekologi + Keberlanjut an ekonomi
+
+
Perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta +
Keberlanjutan kelembagaan
+ Keberlanjutan sosial
Keberlanjutan teknologi
Gambar 14. Causal loop makro sistem perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya, sistem perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta dibangun dengan cara mengakomodir berbagai komponen sistem yang terkait. Hubungan antar komponen sistem, input maupun output dalam model dinyatakan diagram input-output. Diagram input-output menggambarkan proses transformasi masukan model menjadi keluaran model. Pada langkah identifikasi sistem terdapat konsep black box yang tidak diketahui apa yang terjadi di dalamnya tetapi hanya diketahui dari input yang masuk dan output yang keluar dari black box tersebut. Dalam menyusun black box harus diketahui tiga informasi, yaitu peubah input, peubah output dan parameter yang membatasi sistem (Eriyatno 1999). Komponen black box terdiri atas input lingkungan, input terkendali dan tidak terkendali, output dikehendaki dan tidak dikehendaki, parameter dan manajemen pengendalian (Eriyatno 2003). Uraian komponen black box tersaji dalam Tabel 9.
97
Tabel 9. Uraian komponen dalam sistem black box No A
Komponen Sistem
Uraian
Input Sistem
1
Input Lingkungan (Eksogenous)
2.
Input yang endogen (yang terkendali dan tidak terkendali)
1. Mempengaruhi sistem tetapi tidak dipengaruhi sistem 2. Tergantung pada jenis sistem yang ditelaah 1. Merupakan peubah yang sangat perlu bagi sistem untuk melaksanakan fungsi yang dikehendaki 2. Sebagai peubah untuk mengubah kinerja sistem dalam pengoperasiannya
a. Input yang terkendali
1. Dapat bervariasi selama pengoperasian sistem untuk mencapai kinerja yang dikehendaki atau untuk menghasilkan output yang dikehendaki 2. Perannya sangat penting untuk mengubah kinerja sistem selama pengoperasian 3. Dapat meliputi aspek manusia, bahan, energi, modal, dan informasi
b. Input yang tidak terkendali
1. Tidak cukup penting perannya dalam mengubah kinerja sistem 2. Tidak diperlukan agar sistem dapat berfungsi 3. Bukan merupakan input lingkungan (eksogenous) karena disiapkan oleh perancang
B 1.
Output Sistem Output yang dikehendaki
2
Output yang tidak dikehendaki
1. Merupakan respon sistem terhadap kebutuhan yang telah ditetapkan (dalam analisis kebutuhan) 2. Merupakan peubah yang harus dihasilkan oleh sistem untuk memuaskan kebutuhan yang telah diidentifikasi 1. Merupakan hasil sampingan yang tidak dapat dihindari dari sistem yang berfungsi dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki 2. Selalu diidentifikasikan dalam tahap identifikasi sistem terutam semua pengaruh negatif yang potensial dapat dihasilkan oleh sistem yang diuji 3. Sering merupakan kebalikan dari keluaran yang dikehendaki
98
No
Komponen Sistem
C
Parameter
D
Manajemen Pengendali
Uraian 1. Digunakan untuk menetapkan struktur sistem 2. Merupakan peubah keputusan penting bagi kemampuan sistem menghasilkan keluaran yang dikehendaki secara efisien dalam memenuhi kepuasan bagi kebutuhan yang ditetapkan 3. Dalam beberapa kasus kadang-kadang perlu mengubah peubah ini selama pengoperasian sistem untuk membuat kemampuan sistem bekerja lebih baik dalam keadaan lingkungan yang selalu berubah 4. Tiap sistem memiliki parameter rancangan khas tersendiri untuk identifikasi Merupakan faktor pengendalian (kontrol) terhadap pengoperasian sistem dalam menghasilkan keluaran yang dikehendaki
Sumber : Eriyatno (2003) 4.
Simulasi Model Simulasi model adalah peniruan perilaku suatu gajala atau proses. Simulasi
bertujuan untuk memahami gajala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses di masa depan. Guna membuat simulasi diperlukan tahapan berikut, yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, dan simulasi dan validasi hasil simulasi. Untuk melakukan simulasi pada model diperlukan perangkat lunak (software) yang secara cepat dapat melihat perilaku dari model yang telah dibuat. Ada beberapa software yang dapat digunakan untuk keperluan ini, yaitu Vensim, Dynamo, Ithink, Stella dan Power Simulation. Penelitian ini menggunakan software Vensim. 5.
Validasi Model dan Verifikasi Model Aspek yang penting dalam pembuatan model adalah pemilihan kriteria
kecocokan validasi yang mencapai kesesuaian pertukaran atau timbal balik (tradeoff) antara tingkat kesesuaian sistem dan daya dukung serta kompleksitas model. Oleh karena itu diperlukan verifikasi dan validasi model. Verifikasi adalah memeriksa sintesa sistem dengan logika atau analisis secara teoritik. Verifikasi dapat dibedakan berdasarkan tahapan pemodelannya, yaitu verifikasi model konseptual dan verifikasi logis. Verifikasi model konseptual adalah pengujian relevansi asumsi-asumsi dan teori-teori yang dipegang oleh pengambil keputusan
99
dan analisis dalam melakukan cara pandang situasi masalah. Verifikasi logis adalah tahap memeriksa dilibatkannya atau diabaikannya suatu variabel atau hubungan sehingga aspek yang perlu diperhatikan dalam formulasi model adalah ukuran performansi sistem. Validasi merupakan tahap akhir dalam pengembangan pemodelan untuk memeriksa model dengan meninjau apakah output model sesuai dengan sistem nyata dengan memperhatikan konsistensi internal, korespondensi dan representasi. Tahap validasi model dilakukan untuk menjawab dua hal, yaitu (1) apakah model konsisten terhadap realitas yang digambarkannya; dan (2) apakah model konsisten dengan tujuan kegunaan dan hal yang dipermasalahkannya. Proses verifikasi dan validasi yang dilakukan pada pemodelan sistem ini terdiri atas verifikasi struktur dan validasi perilaku model. o
Verifikasi struktur model Proses verifikasi pada pemodelan ini adalah verifikasi struktur dan uji konsistensi. Verifikasi struktur model diperlukan batasan-batasan baik batasan sistem, variabel maupun asumsi yang digunakan. Dalam mengkaji dan justifikasi pemodelan dalam penelitian ini akan lebih baik jika peneliti memiliki sejumlah pengalaman serta jumlah informasi yang memadai tentang prinsip-prinsip pengembangan ekonomi perikanan tangkap sehingga dapat menguasai permasalahan aktual di lapangan serta memahami mekanisme bekerjanya sistem kawasan. Informasi dan pengalaman dapat berupa pendapat/informasi dari responden/pakar maupun dari sejumlah referensi yang tersedia.
o
Validasi perilaku model Mengingat kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap yang berkelanjutan di DKI Jakarta belum ada maka yang dilakukan adalah uji prediksi perilaku model. Validasi model pada penelitian ini lebih difokuskan pada uji prediksi perilaku model di masa depan. Uji prediksi dilakukan dengan mengamati suatu kecenderungan model atas perubahan-perubahan variabel. Dalam validasi model dilakukan dua pengujian, yaitu uji validasi struktur dan uji validasi kinerja. Uji validasi struktur lebih menekankan pada keyakinan pada pemeriksaan kebenaran logika pemikiran sedangkan uji
100
validasi kinerja lebih menekankan pemeriksaan kebenaran yang taat data empiris. Model dapat dikatakan baik jika mudah dikomunikasikan, dapat memberikan pemahaman terhadap perilaku model, dan masih terbuka untuk perbaikan sistem. 4.5
Batasan Penelitian
a) Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran. b) Lingkungan sumberdaya ikan adalah perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan, termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya. c) Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. d) Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. e) Effort adalah upaya untuk menangkap ikan dengan menggunakan teknologi penangkapan tertentu yang dinyatakan dalam satuan trip. f)
Laju pertumbuhan stok ikan (natural growth) adalah pertambahan jumlah stok karena terjadinya perkembangbiakan ikan maupun pertumbuhan massa tubuh.
g) Lebih tangkap (overfishing) diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah yang diperbolehkan untuk mempertahankan stok ikan lestari dalam suatu wilayah laut tertentu. h) Produksi adalah hasil tangkapan ikan yang dinyatakan dalam satuan berat. i)
Perikanan open access adalah kondisi dimana setiap nelayan dapat ikut terlibat dalam memanfaatkan atau mengeksploitasi ikan tanpa adanya kontrol atau pembatasan.
j)
Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah tingkat pemanfaatan yang maksimum dengan tetap menjaga kelestarian dari sumberdaya ikan.
101
k) Maximum Economic Yield (MEY) adalah tingkat pemanfaatan maksimum yang memberikan rente ekonomi yang tetap menjaga kelestarian sumberdaya ikan. l)
Over exploited : Kondisi sumberdaya perikanan dimana produksi tahun terakhir sudah melebihi hasil tangkapan maksimum lestari.
m) Over Fishing : Lebih tangkap, yaitu jumlah upaya penangkapan yang melebihi upaya maksimum. n) Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebih (over fishing) secara biologi adalah kondisi dimana pemanfaatan ikan telah melebihi potensi maksimum lestari (MSY). o) Pemanfaatan sumberdaya ikan berlebih (over fishing) secara ekonomi adalah kondisi dimana penerimaan total dari hasil penangkapan sama dengan biaya penangkapan sehingga keuntungan yang diperoleh sama dengan nol (π = 0) . p) Kapal/armada perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. q) Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. r)
Nelayan Jakarta adalah nelayan yang daerah penangkapan ikannya (fishing ground) hanya di sekitar wilayah perairan Jakarta.
s)
Biaya penangkapan ikan (cost per unit effort) adalah biaya operasional yang dikeluarkan untuk melakukan penangkapan ikan per tahun per unit effort.
t)
Nilai rente adalah selisih antara harga produk sumberdaya ikan dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi sumberdaya ikan tersebut.
u) Pemanfaatan sumberdaya ikan dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor internal (kestabilan ekosistem perairan dan faktor eksternal (pencemaran lingkungan).
102
103
V. GAMBARAN UMUM PROVINSI DKI JAKARTA
Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata tujuh meter di atas permukaan laut. Terletak pada posisi 6˚12’ LS dan 106˚48’ BT. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta terdiri dari luas daratan 662,23 km2 termasuk 110 pulau yang tersebar di Kepulauan Seribu dan dan lautan seluas 6.977,5 km2 (BPS Provinsi DKI Jakarta 2012). Lebih dari 40 persen (24.000 Ha) daratan di DKI Jakarta berada dibawah permukaan air laut (Bappeda Jakarta 2010). Secara administrasi, Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima wilayah kota dan satu kabupaten. Provinsi DKI Jakarta terletak disebelah Selatan Laut Jawa; sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten/Kota Bekasi; sebelah Selatan dengan Kabupaten/Kota Bogor dan Depok serta sebelah Barat dengan Kabupaten/Kota Tangerang. Lokasi Provinsi DKI Jakarta yang strategis di Kepulauan Indonesia menjadikan Jakarta pintu gerbang utama dalam perdagangan antar pulau dan hubungan Internasional dengan pelabuhan utamanya Tanjung Priok dan Bandara Soekarno Hatta. (Bappeda Jakarta 2010). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus sehingga seluruh kebijakan mengenai pemerintahan maupun anggaran ditentukan pada tingkat provinsi. Wilayah perairan Jakarta terletak di Kota Adminsitrasi Jakarta Utara dan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Perairan Jakarta dipengaruhi oleh dua wilayah yang memiliki karakterisik berbeda, yaitu wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Keseluruhan wilayah perairan Jakarta terbentang dari 106ᵒ10’LS dan 107ᵒ03’BT hingga 5ᵒ10’ sampai 6ᵒ10’LS. Wilayah pesisir Teluk Jakarta membentang dari Tanjung Pasir pada sebelah barat hingga ke Tanjung Karawang di sebelah timur, mempunyai rentang mulai sepanjang kurang lebih 40 km dan luas kira-kira 490 km2 (Nontji 1984). Sebanyak 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta adalah Angke, Bekasi, Cakung, Cidurian, Ciliwung, Cikarang, Cimandiri, Ciranjang, Cisadane, Citarum, Karawang, Krukut, dan Sunter. Wilayah Perairan Jakarta yaitu Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu
104
merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Jawa (WPP-RI 712) sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.Per.01/MEN/2008. Perkembangan kota Jakarta dalam kurun waktu 20 tahun terakhir sangat mempengaruhi ekosistem perairan Jakarta, seperti terjadinya perubahan fungsi alamiah ekosistem pesisir dan laut. Hal ini merupakan dampak dari perubahan alam (iklim) maupun dampak aktivitas manusia seperti eksploitasi sumberdaya perikanan yang berlebihan.
5.1
Arah Pembangunan Ekonomi Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013 Perekonomian DKI Jakarta mencerminkan perekonomian nasional
sehingga pergerakan yang terjadi pada perekonomian DKI Jakarta akan mempengaruhi perekonomian global. Perekonomian DKI Jakarta tahun 2013 diproyeksikan akan tumbuh lebih baik dibandingkan tahun 2012 (Asumsi Makro Ekonomi Provinsi DKI Jakarta 2013). Oleh sebab itu PAD Provinsi DKI Jakarta tahun 2013 diperkirakan akan meningkat imbas dari pertumbuhan ekonomi yang meningkat serta stabilitas harga yang akan mendorong meningkatnya daya beli masyarakat. Dampak dari peningkatan PAD ini diharapkan dapat menjadikan Jakarta kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik (Bappeda Jakarta 2013). Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2005-2025 adalah menjadi ibukota NKRI yang aman, nyaman, sejahtera, produktif, berkelanjutan dan berdaya saing global dengan sasaran strategis peningkatan daya saing daerah, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pelayanan umum. Secara lengkap seperti disajikan pada Gambar 15.
105
Ibukota NKRI Yang Aman, Nyaman, Sejahteraan, Produktif, Berkelanjutan, Dan Berdaya Saing Global
Pembangunan pilar-pilar dasar daya saing Prov. DKI
Penguatan kapasitas pilarpilar dasar daya saing
Peningkatan pilar daya saing Prov. DKI
Pengembangan pilar daya saing
pemantapan daya saing global
2005-2007
2007-2012
2012-2017
2017-2022
2022-2025
Fokus : - penataan institusi - pembagunan stabilitas makro ekonomi - pembangunan sarana dan prasarana -pembangunan modal sosial - pembangunan stabilitas politik dan kemananan -pembangunan daya dukung lingkungan
Fokus : - penguatan kapasitas institusi - penguatan stabilitas makro ekonomi -penguatan kapasitas sarana dan prasarana - penguatan kualitas pelayanan sosial dasar -penguatan pengendalian lingkungan
Fokus : - peningkatan kapasitas pilar daya saing -peningkatan efisiensi -peningkatan kualitas pendidikan tinggi dan kesehatan -peningkatan efisiensi pasar -peningkatan efisiensi bisnis
Fokus : -pengembangan kapasitas pilar daya saing -pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif -pengembangan pasar modal -pengembangan kapasitasn inovatif darrah -pengambangan klaster industri inovatif
Fokus : -pemantapan pilar daya saing -pemantapan lingkungan bisnis global -pemantapan klaster unggulan inovatif -pemantapan jaringan global -pemantapan ketahanan global
NASIONAL
TRANSISI
GLOBAL
Gambar 15. RPJPD Jakarta Tahun 2005-2025 Sumber : Bappeda Provinsi DKI Jakarta, 2013 Di bidang perikanan dan kelautan, penyelenggaraan urusan perikanan dan kelautan Provinsi DKI Jakarta diarahkan untuk : (1)
Memperkuat kapasitas regulator tingkat provinsi dan memisahkan fungsi operasi dari regulator serta mendorong satuan kerja yang berfungsi operator untuk lebih mandiri;
(2)
Memfasilitasi pihak swasta untuk menanamkan investasi dan berusaha dibidang budidaya perikanan darat, laut dan penangkapan ikan laut dengan teknologi modern;
106
(3)
Regulasi dan fasilitasi agar akses nelayan terhadap modal, pasar, teknologi, dan manajemen menjadi lebih mudah dalam upaya menjadi nelayan modern;
(4)
Regulasi dan fasilitasi pengembangan tempat pendaratan dan pasar ikan yang modern;
(5)
Meningkatkan konsumsi ikan dan produk ikan lainnya oleh masyarakat;
(6)
Memfasilitasi produksi dan keanekaragaman ikan hias untuk ekspor;
(7)
Membangun tempat pelatihan yang modern bagi nelayan, pembudidaya ikan, dan peternak;
(8)
Mengembangkan pelabuhan perikanan yang memudahkan bagi nelayan;
(9)
Mendorong berkembangnya keanekaragaman usaha ekonomi kelautan non perikanan;
(10) Memfasilitasi pembangunan diklat peningkatan kualitas dan kuantitas produk ekspor; (11) Melakukan relokasi industri yang tidak ramah lingkungan; (12) Mendorong industri yang ramah lingkungan, padat teknologi, dan padat modal; (13) Meningkatkan peran komunitas profesional dalam urusan pengembangan industri; (14) Memfasilitasi usaha industri yang saling mendukung antara hulu dan hilir; (15) Melakukan pembinaan industri kerajinan rakyat; (16) Membangun iklim yang kondusif untuk pengembangan industri.
5.2
Konsumsi dan Kebutuhan Hasil Perikanan Masyarakat DKI Jakarta Berdasarkan ulasan di atas diketahui bahwa salah satu urusan perikanan
dan kelautan Provinsi DKI Jakarta adalah meningkatkan konsumsi masyarakat Jakarta terhadap ikan dan produk perikanan lainnya. Hal ini sejalan dengan tujuan pengelolaan perikanan menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 pasal 3 tentang Perikanan yang berupaya meningkatkan konsumsi ikan hingga mencapai 30 kg/kapita/tahun. Gambar 16 menunjukkan perkembangan tingkat konsumsi hasil perikanan per kapita masyarakat DKI Jakarta dari Tahun 1997 sampai Tahun 2011.
107
30 25 20 15 10
Konsumsi per kapita (kg/tahun)
5 0
Gambar 16. Konsumsi per kapita hasil perikanan masyarakat DKI Jakarta Sumber : DKP Jakarta, 2012 Dari Gambar 16 diketahui bahwa tingkat konsumsi ikan masyarakat DKI Jakarta meningkat setiap tahunnya. Tahun 2011 tingkat konsumsi ikan per kapita sebesar 24,79 kg/tahun. Bila dibandingkan dengan standar FAO (30 kg/kapita/tahun), jumlah ini masih berada dibawah tetapi berada di atas rata-rata dunia yang hanya 16,6 kg/tahun/kapita (Sonari 2009). Salah satu komponen untuk meningkatkan indeks konsumsi ikan per kapita adalah tingkat produksi perikanan. Tingkat konsumsi ikan per kapita merupakan indikator kecenderungan perimintaan ikan yang kemungkinan akan terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Peningkatkan konsumsi ikan harus diimbangi dengan meningkatnya tingkat produksi ikan daerah agar kebutuhan masyarakat DKI Jakarta terhadap produk hasil perikanan terpenuhi. Kebutuhan ikan Provinsi DKI Jakarta dipenuhi oleh produksi lokal dan produksi luar daerah. Produksi lokal adalah produksi ikan yang didapat dari perairan Jakarta sedangkan luar daerah adalah produksi ikan yang didapat dari luar perairan Jakarta yang didaratkan di wilayah DKI Jakarta. Volume dan nilai produksi ikan lokal berdasarkan alat tangkap ditunjukkan pada Tabel 10 sedangkan volume dan nilai produksi ikan luar daerah ditunjukkan pada Tabel 11.
108
Tabel 10. Volume dan nilai produksi ikan laut lokal di DKI Jakarta berdasarkan alat tangkap Tahun 2011 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Alat Tangkap
Payang Dogol Pukat cincin/purse seine Jaring insang Bagan perahu/bouke ami Rawai tuna/long line Pancing ulur/hand line Pancing cumi Pancing Bubu Lain-lain Total Sumber : DKP Jakarta, 2012
Volume (kg)
Nilai (kg)
98.481 194.730.250 126.725 213.441.400 51.175.862 794.721.359.348 3.404.828 44.771.014.331 20.526.226 275.191.068.655 19.536.231 472.287.462.117 188.345 4.382.885.000 506.675 11.168.019.000 12.570 31.550.000 194.650 1.760.219.653 25.257.888 366.004.786.197 121.028.481 1.970.726.535.951
Tabel 11. Volume dan nilai produksi ikan laut luar daerah berdasarkan asal daerah Tahun 2011 No Asal Daerah Volume (kg) Nilai (kg) 1 Cirebon 5.747.870 124.362.853.900 2 Eretan 634.919 5.845.164.400 3 Indramayu 4.148.216 54.108.949.225 4 Labuhan 1.410.551 6.828.624.750 5 Losari 539.309 5.330.205.100 6 Pamanukan 367.478 3.227.694.100 7 Cilacap 1.263.573 10.661.696.275 8 Jepara 1.332.974 16.877.756.500 9 Pekalongan 1.456.650 6.518.026.675 10 Tegal 1.140.462 5.595.343.375 11 Banyuwangi 1.333.218 14.562.922.700 12 Surabaya 6.102.567 93.762.756.800 13 Tuban 749.025 1.271.781.375 14 Lampung 8.144.105 151.421.568.375 15 Denpasar 2.963.429 52.629.240.100 16 Bitung 9.085.432 96.400.112.500 17 Ambon 2.209.170 24.347.990.000 18 Lain-lain 34.348.633 448.278.731.650 Total 82.977.581 1.122.031.417.800 Sumber : DKP Jakarta, 2012
109
Berdasarkan Tabel 10 dan Tabel 11 diketahui bahwa kebutuhan ikan untuk konsumsi masyarakat DKI Jakarta masih didominasi oleh pasokan ikan lokal. Semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sumberdaya perikanan maka akan meningkatkan input produksi usaha perikanan. Peningkatan input produksi ternyata tidak selalu diimbangi dengan meningkatnya produksi dan rente ekonomi namun juga berakibat pada penurunan baik kualitas maupun kuantitas stok sumberdaya dan rente ekonomi dalam jangka panjang. Oleh sebab itu, dibutuhkan upaya untuk mengontrol tingkat eksploitasi agar tidak berlebih sekaligus mendorong melakukan upaya pemanfaatan dengan keuntungan yang optimal yang bisa dilakukan secara terus-menerus dan meningkatkan aktivitas perdagangan antar pulau untuk memenuhi kebutuhan ikan yang terus meningkat.
5.3
Keragaan Perikanan Tangkap di Provinsi DKI Jakarta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki tiga belas tempat pendaratan
ikan, yaitu di Muara Angke, Muara Baru, Cilincing, Pasar Ikan, Kalibaru, dan Kamal Muara, Pulau Sebira, Pulau Harapan, Pulau Karya, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Tidung Besar dan Pulau Untung Jawa. Dari enam tempat pendaratan ikan di pesisir Jakarta dan tujuh di Kepulauan Seribu hanya satu yang melaksanakan kegiatan lelang, yakni di Muara Angke. Dalam rangka menunjang berkembangnya usaha perikanan tangkap, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberntuk UPT Balai Teknologi Penangkapan Ikan (UPT BTPI) dan UPT Pengelolaan Kawasan Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan Muara Angke (UPT PKPI dan PPI). UPT BTPI dan UPT PKPI dan PPI merupakan balai dibawah Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta yang dibentuk untuk mendukung dan mengkoordinasikan kegiatan perikanan tangkap di wilayah DKI Jakarta. Arah kebijakan UPT PKPI dan PPI adalah sebagai berikut : (1)
Mendorong pengembangan sistem distribusi hasil perikanan yang dapat menjamin gizi bagi masyarakat Jakarta dengan harga terjangkau sesuai standar mutu dan keamanan hasil perikanan
110
(2)
Mendorong perkembangan usaha perikanan yang efisien, produktif, dan bernilai tambah tinggi serta mengurangi berbagai hambatan dan kendala yang dihadapi nelayan.
Adapun arah kebijakan UPT BTPI adalah sebagai berikut : (1)
Mendorong perkembangan teknologi permesinan dan kapal ikan serta perkembangan teknologi alat tangkap, penyediaan sarana penunjang yang berfungsi sebagai tempat pelatihan dan pembinaan berupa sarana perbengkelan.
(2)
Mendorong penciptaan sumberdaya manusia perikanan yang mampu menjawab tantangan terhadap pengaruh globalisasi antara lain mampu mengoperasikan kapal penangkap ikan yang modern yang dapat menjangkau wilayah perairan ZEE yang selama ini dikuasai kapal-kapal asing.
(3)
Mengkoordinasikan penataan lingkungan di kawasan pesisir Teluk Jakarta sebagai kawasan yang asri yang dapat menjadi modal peningkatan pelayanan dan peningkatan produksi serta untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia perikanan.
(4)
Mengembangkan kerja sama dengan pihak-pihak yang bergerak dibidang perikanan, seperti pengusaha dibidang perikanan, lembaga pendidikan dibidang perikanan dan kelautan, dan organisasi yang bergerak dibidang kebaharian.
(5)
Mengembangkan pelayanan keliling dibidang teknologi penangkapan ikan, permesinan dan perbaikan kapal.
111
VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1
Sumberdaya Perikanan Pelagis
6.1.1
Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi
adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap oleh alat tangkap yang diteliti. Data upaya penangkapan untuk perhitungan analisis bioekonomi diperoleh dengan cara mengumpulkan data rata-rata jumlah trip per alat tangkap per tahun kemudian dikalikan dengan jumlah alat tangkap yang beroperasi. Data produksi dan jumlah trip untuk sumberdaya ikan pelagis seperti terlihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Produksi dan upaya tangkap sumberdaya ikan pelagis Produksi (ton) Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Upaya tangkap (trip)
Payang
Gill Net
Pancing
Total Produksi
Payang
Gill Net
Pancing
720,66 654,2 555,958 183,662 102,036 91,416 107,845 112,422 117,424 118,084 169,365 168,676 156,999 161,393 98,481
11810,79 9986,055 14250,05 10985,61 5502,604 5948,234 8211,672 9741,318 10457,22 12393,16 8714,135 6934,789 7095,819 4005,424 3404,828
43,382 197,01 207,976 66,961 155,135 147,145 111,939 81,299 65,515 51,034 27,58 23,6 20,38 511,301 12,67
12574,83 10837,27 15013,99 11236,23 5759,775 6186,795 8431,456 9935,039 10640,16 12562,27 8911,08 7127,065 7273,198 4678,118 3515,979
13.000 13.000 13.000 13.000 13.000 13.500 13.500 13.500 12.200 10.500 16.500 10.200 8.600 7.800 4.800
99.200 165.400 135.400 62.000 62.000 57.400 79.200 79.200 79.200 79.200 79.200 192.000 192.000 192.000 195.000
115.200 117.400 159.200 149.800 149.800 189.000 260.800 230.400 230.400 146.200 153.200 137.000 160.800 160.800 163.200
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Perhitungan CPUE dapat dilakukan jika data hasil tangkapan dan jumlah upaya tangkap (trip) tiap alat tangkap diketahui. Nilai CPUE didapat dari hasil pembagian antara jumlah produksi per alat tangkap dengan satuan upayanya. Hasil perhitungan CPUE untuk kelompok sumberdaya ikan pelagis dapat dilihat
112
pada Lampiran 14 sedangkan perkembangan CPUE dari setiap alat tangkap yang
CPUE (Ton/trip)
diteliti dapat dilihat pada Gambar 17. 0,20 0,18 0,16 0,14 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00
Payang Gill net Pancing
Gambar 17. Perkembangan CPUE alat tangkap sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Dari hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) untuk sumberdaya ikan pelagis dapat dilihat bahwa penambahan effort pada setiap alat tangkap tidak menambah produksi secara signifikan. Gambar 17 menunjukan bahwa nilai CPUE pada setiap alat tangkap cukup rendah. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indeks kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa stok sumberdaya ikan pelagis di perairan Jakarta dapat dikatakan sudah mulai terancam keberlanjutannya sehingga upaya meningkatkan produksi bukanlah rekomendasi kebijakan yang tepat. 6.1.2
Standarisasi Upaya Penangkapan Perhitungan Fishing power indeks (FPI) diperlukan jika alat tangkap yang
mengeksploitasi sumberdaya ikan atau suatu jenis ikan tertentu jumlahnya lebih dari satu. FPI adalah tingkat kemampuan suatu alat tangkap dalam menangkap ikan atau suatu jenis ikan tertentu dalam waktu dan daerah penangkapan tertentu. Dalam perhitungan FPI perlu dipilih salah satu alat tangkap yang paling dominan dalam operasi penangkapan untuk dijadikan rujukan dalam menyeragamkan jumlah upaya penangkapan (effort) yang terjadi terhadap sumberdaya ikan tersebut. Dalam penelitian ini, alat tangkap yang dijadikan standar adalah jaring
113
insang sehingga jaring insang memiliki nilai FPI sama dengan satu. Nilai FPI dari alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 15. Standarisasi upaya penangkapan adalah menyeragamkan besarnya nilai upaya penangkapan (effort) dari beberapa jenis alat tangkap yang berbeda ke satuan jenis alat tangkap yang menjadi standar. Nilai effort standar didapat dari hasil perkalian effort dengan nilai FPI dari setiap alat tangkap yang diteliti. Nilai effort standar dari setiap alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 16. Alat tangkap jaring insang adalah alat tangkap yang dijadikan standar sehingga nilai effort standarnya adalah nilai effort aktualnya. Setelah didapat nilai standar dari effort pada setiap alat tangkap maka langkah selanjutnya adalah menjumlahkan nilai effort standar semua alat tangkap sehingga didapat nilai total effort standar yang diperlukan untuk perhitungan analisis bioekonomi selanjutnya. Hubungan antara effort standar (trip) dengan CPUE standar pada sumberdaya ikan pelagis digambarkan dalam persamaan y=-0,000000702x+0,179, secara grafis ditunjukkan pada Gambar 18. Hal ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Kondisi ini mengindikasikan sumberdaya ikan pelagis telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Hal ini karena peningkatan jumlah effort tidak diikuti dengan peningkatan jumlah produksi sehingga terjadi inefisiensi ekonomi dalam usaha penangkapan ikan. Nilai CPUE ini berbeda setiap tahunnya tergantung pada jumlah produksi dan jumlah effort yang digunakan.
114
Tabel 13. Tingkat produksi aktual, total effort standar dan CPUE standar sumberdaya ikan pelagis Tahun Produksi (ton) Effort SDT CPUE SDT 1997 12.574,827 105.617,267 0,119060 1998 10.837,265 179.498,674 0,060375 1999 15.013,985 142.658,687 0,105244 2000 11.236,229 63.414,453 0,177187 2001 5.759,775 64.897,647 0,088752 2002 6.186,795 59.702,095 0,103628 2003 8.431,456 81.319,774 0,103683 2004 9.935,039 80.775,013 0,122996 2005 10.640,162 80.585,527 0,132036 2006 12.562,273 80.280,770 0,156479 2007 8.911,080 80.989,970 0,110027 2008 7.127,065 197.323,448 0,036119 2009 7.273,198 196.799,554 0,036957 2010 4.678,118 224.245,587 0,020862 2011 3.515,979 201.365,797 0,017461 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
0,200
CPUE SDT(ton/trip)
0,150
y = -0,000000702x+0,179
0,100 0,050 0,000
CPUE SDT
Effort (trip)
Gambar 18. Hubungan antara CPUE standar dan Effort standar untuk sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 6.1.3 Estimasi Parameter Biologi Pendugaan parameter biologi dilakukan dengan menggunakan model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walters dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute. Adapun
115
parameter yang diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Selain itu juga dilakukan uji statistik untuk validitas data serta membandingkan biomas (x), produksi (h) dan Effort (E) pemanfaatan aktual dan optimal sumberdaya ikan dari tiap-tiap model. Analisis surplus produksi dengan menggunakan motode estimasi Algoritma Fox menggunakan data produksi aktual dan effort standar dalam kurun waktu Tahun 1997 sampai 2011 (Lampiran 1). Dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) pada Microsoft Excell didapatkan nilai koefisien α = 0,1789 dan koefisien β = -000000702 (Lampiran 2). Nilai α dan β yang yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya (r) sebesar -2,85 koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,0000112, dan daya dukung perairan sebesar 15.962,85 ton (Lampiran 3). Pendugaan parameter biologi dengan metode CYP memerlukan nilai logaritma CPUE pada waktu t dan t+1 serta jumlah effort pada waktu t dan t+1 (Lampiran 4). Dari hasil OLS dengan menggunakan microsoft excell maka diperoleh nilai dari koefisien α = 1,064, koefisien β =0,1487 dan koefisien γ = -0,00000487 (Lampiran 5). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya (r) sebesar 1,4821, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,00001696, dan daya dukung perairan sebesar 16.888,41 ton (Lampiran 6). Metode estimasi Walters dan Hilborn (W-H) memerlukan nilai perbandingan CPUE antara pada waktu t+1 dengan t serta jumlah effort pada waktu t (Lampiran 7). Nilai tersebut kemudian diregresikan dengan metode OLS menggunakan microsoft excell sehingga diperoleh nilai koefisien α = 0,1781, koefisien β = 2,0567 dan koefisien γ = -0,000000101 (Lampiran 8). Dari nilainilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya ikan pelagis (r) sebesar 0,1781, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar -0,000000101, dan daya dukung perairan sebesar 857.383,36 ton (Lampiran 9). Metode estimasi Schnute memerlukan nilai logaritma perbandingan antara CPUE t+1 dengan CPUE t, nilai rata-rata CPUE t+1 dengan CPUE t, serta nilai rata-rata effort t dan effort t+1 (Lampiran 10). Nilai tersebut kemudian
116
diregresikan dengan metode OLS menggunakan microsoft excell sehingga diperoleh nilai koefisien α = 0,991, koefisien β = 5,888 dan koefisien γ = 00000247 (Lampiran 11). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya ikan pelagis (r) sebesar 0,9907, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,000002469, dan daya dukung perairan (K) sebesar -68,152,05 ton (Lampiran 12). Perbandingan hasil analisis data dan hasil uji statistik dengan menggunakan model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clark, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walter dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute pada sumberdaya ikan pelagis seperti disajikan pada Lampiran 13. Pemilihan metode estimasi yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual daerah penelitian yang pertama adalah harus logis secara apriori teori kemudian baru didasarkan pada hasil uji statistik. Berdasarkan kelogisan apriori teori dan hasil uji statistik maka metode yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual sumberdaya ikan pelagis adalah model estimasi CYP. Pemilihan metode estimasi CYP sebagai metode yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi Jakarta juga didukung dengan hasil uji statistiknya. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan empat metode estimasi maka didapat bahwa hasil analisis model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP) mempunyai nilai Rsquare yang paling besar dibandingkan dengan yang lain. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau Rsquare lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Nilai signifikan F digunakan untuk melihat apakah variabel-variabel yang digunakan berpengaruh terhadap model. Nilai sig F harus berada dibawah 0,05 (α=95%) yang berarti bahwa variabel-variabel yang digunakan berpengaruh terhadap model. Nilai sif F pada metode estimasi CYP adalah 0,001 sehingga memenuhi kententuan bahwa variabel yang digunakan berpengaruh nyata terhadap model. Nilai adjusted R2 digunakan untuk memilih model terbaik dari keempat model yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai adj R2 maka semakin baik.
117
Model estimasi menggunakan metode CYP adalah model terbaik mempunyai nilai adj R2 terbesar dibandingkan ketiga model lainnya. 6.1.4 Estimasi Parameter Ekonomi Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Harga yang digunakan untuk mengestimasi parameter ekonomi adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2007. Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan IHK sehingga diperoleh nilai biaya per trip dan harga per ton seperti yang disajikan dalam Tabel 14.
Tabel 14. Biaya per trip dan harga sumberdaya ikan pelagis Biaya Trip Tahun IHK IHK 2007 (Rp/trip) 1997 58,87 41,75 0,04580 1998 60,00 42,56 0,04668 1999 73,22 51,93 0,05697 2000 77,46 54,93 0,06026 2001 88,30 62,62 0,06869 2002 100,00 70,92 0,07780 2003 108,22 76,76 0,08420 2004 113,16 80,26 0,08804 2005 123,05 87,27 0,09573 2006 135,36 96,00 0,10531 2007 141,00 100,00 0,10970 2008 109,81 109,81 0,12046 2009 118,62 118,62 0,13012 2010 132,42 132,42 0,14526 2011 138,57 138,57 0,15201 2012 144,45 144,45 0,09247 Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 6.1.5
Harga (Juta Rp/ton) 3,55548 3,62388 4,42223 4,67798 5,33272 6,03954 6,53627 6,83434 7,43165 8,17512 8,51575 9,35114 10,10138 11,27656 11,80027 12,301 7,17829
Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya
penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi
118
lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K, sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price). Tabel 15. Parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan pelagis dengan menggunakan metode estimasi CYP Nilai No Variabel Kendali Simbol Pelagis 1 Tingkat pertumbuhan 1,4820975 r 2 Koefisien kemampuan tangkap 0,0000170 q 3 Daya dukung lingkungan perairan 16.888 K 4 Harga per ton (juta Rp) 7,17829 p 5 Biaya per trip (juta Rp) 0,09247 c Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 MSY atau maximum sustainable yield merupakan hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan yang berada dalam batas kelestarian. MSY dalam hal ini dihitung menggunakan fungsi pertumbuhan logistik. Fungsi pertumbuhan perikanan yang umum digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik dan fungsi produksi h = qXE. Dengan menggunakan fungsi pertumbuhan dan fungsi produksi tersebut dapat diketahui tingkat produksi lestari (h) sumberdaya perikanan yang merupakan fungsi dari tingkat upaya aktual yang dilakukan setiap tahun. Semakin tinggi upaya yang diusahakan (melebihi kondisi optimal) akan mengakibatkan terkurasnya sumberdaya perikanan sehingga tidak ada lagi yang dapat dimanfaatkan. Sebelum mengestimasi MSY, terlebih dahulu dilakukan estimasi parameter biologi. Selanjutnya hasil estimasi ini digunakan untuk mengestimasi tingkat upaya (effort) pada kondisi MSY. Fungsi produksi lestari (h msy ) dipengaruhi oleh tingkat effort (E) dengan adanya parameter biologi r, q, dan K secara kuadratik. Dengan memasukan nilai effort (E) tersebut maka akan diketahui tingkat produksi lestari dan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan Jakarta. Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis seperti disajikan pada Tabel 16.
119
Tabel 16.Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis Tahun Effort (Et) Produksi Aktual (Ton) Produksi Lestari (Ton) 1997 105.617,27 12.574,83 -6.324,63 1998 179.498,67 10.837,27 -54.244,31 1999 142.658,69 15.013,99 -25.874,16 2000 63.414,45 11.236,23 4.980,21 2001 64.897,65 5.759,78 4.780,99 2002 59.702,10 6.186,80 5.415,58 2003 81.319,77 8.431,46 1.610,81 2004 80.775,01 9.935,04 1.744,34 2005 80.585,53 10.640,16 1.790,33 2006 80.280,77 12.562,27 1.863,81 2007 80.989,97 8.911,08 1.691,89 2008 197.323,45 7.127,07 -71.166,80 2009 196.799,55 7.273,20 -70.639,70 2010 224.245,59 4.678,12 -100.677,3 2011 201.365,80 3.515,98 -75.294,45 Rata-rata 8.978,88 -25.356,22 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan Tabel 16 dapat disimpulkan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi. Tingkat effort yang tinggi diikuti dengan menurunnya nilai produksi lestari yang sangat signifikan. Berkurangnya nilai produksi lestari mengindikasikan bahwa pengurasan sumberdaya ikan yang terbatas telah terjadi di perairan Jakarta seiring dengan peningkatan effort karena peningkatan effort tidak seirama dengan rekruitmen atau daya pulih sumberdaya ikan yang dalam jangka panjang akan menimbulkan biological over fishing. Dari Gambar 19 diketahui, adanya ekspansi yang sangat tinggi dengan peningkatan effort yang menyebabkan produksi lestari berada di bawah titik nol. Hal ini berarti keseimbangan sudah berada di sebelah kanan MSY dan di luar kurva produksi lestari yang menunjukkan pola pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis menuju open access.
120
40.000,00 20.000,00 -
Produksi (Ton)
(20.000,00) (40.000,00)
Produksi Lestari
(60.000,00)
Produksi Aktual
(80.000,00) (100.000,00) (120.000,00)
Effort (Trip)
Gambar 19. Perbandingan jumlah produksi aktual dengan produksi lestari sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data (2013) 6.1.6
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilihat dari
rezim maximum economic yield (MEY), maximum sustainable yield (MSY) dan open access. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Parameter ekonomi dimasukkan dalam analisis ini agar diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan mampu
mencapai
tujuan
akhirnya
yaitu
peningkatan
pendapatan
dan
kesejahteraan masyarakat nelayan. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan pelagis secara ringkas disajikan dalam Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat tingkat produksi yang berbeda dari masing-masing rezim pengelolaan. Rata-rata produksi aktual lebih rendah dibandingkan kondisi pengelolaan pada rezim OA dan MSY sehingga dapat dikatakan bahwa di perairan Provinsi DKI Jakarta telah terjadi over harvested dari sisi produksi. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner (MEY) adalah nilai yang tertinggi dibandingkan dengan kondisi lainnya.
121
Selain itu, pada kondisi MEY, jumlah stok ikan di perairan menghasilkan jumlah yang paling banyak sehingga pengelolaan sumberdaya ikan secara statik di perairan Jakarta sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Tabel 17. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim sumberdaya ikan pelagis dengan metode estimasi CYP Rezim Pengelolaan x (ton) h (ton) E (trip) 8.823,85 6.244,92 41.715,85 Sole Owner (MEY) 759,28 1.074,74 83.431,70 Open Acces (OAY) 8.444,21 6.257,57 43.679,64 MSY 3.515,88 201.360,07 Aktual Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
pengelolaan π (juta Rp) 40.970,44 40.879,65 6.618,56
Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok ikan pelagis adalah 8.823,85 ton dengan hasil tangkapan sebesar 6.244,92 ton, jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 41.716 trip agar mendapatkan nilai rente yang sebesar Rp40.970,44 juta. Rezim Open Access hanya menghasilkan biomassa optimal pada sumberdaya ikan pelagis sebanyak 759,28 ton dengan tingkat produksi optimal yang bisa didapat adalah sebesar 1.074,74 ton, jumlah upaya tangkap pada rezim open access sebanyak 83.431,70 trip tetapi rente ekonomi yang diperoleh jika menerapkan rezim ini adalah Rp 0,-. Pada kondisi MSY, stok ikan pelagis adalah 8.444,21 ton dengan hasil tangkapan optimal sebesar 6.257,57 ton dan jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 43.680 trip dengan rente ekonomi optimal yang didapat sebesar Rp 40.879,65 juta. Pada Gambar 20, terlihat effort pada kondisi aktual berada di atas kondisi MEY, MSY dan open access. Rata-rata effort aktual sudah melebihi dua kali lipat dari kondisi optimal MEY. Berdasarkan Gambar 20 juga terlihat bahwa peningkatan jumlah effort tidak diikuti dengan penambahan jumlah produksi bahkan jumlah produksi semakin berkurang. Padahal penambahan effort akan meningkatkan biaya operasional yang berdampak pada penurunan tingkat keuntungan yang diperoleh. Berdasarkan perbadingan kondisi aktual dengan kondisi optimal maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas penangkapan sumberdaya ikan pelagis di Provinsi DKI Jakarta telah mengalami biological dan economic overfishing.
122
catch (ton), effort (trip)
40.000,00
200.000,00
35.000,00 30.000,00
150.000,00
25.000,00 20.000,00
100.000,00
15.000,00
rente ekonomi (juta Rp)
45.000,00
250.000,00
Produksi Effort Rente Ekonomi
10.000,00
50.000,00
5.000,00 -
MEY
OAY
MSY
Aktual
Gambar 20. Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Jakarta menurut metode estimasi CYP Sumber : Hasil Analisis Data (2013) 6.1.7
Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Pelagis Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi untuk sumberdaya ikan pelagis
dapat dilihat pada Lampiran 17. Pada sumberdaya ikan pelagis, koefisien rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun secara berturut-turut mencapai 0,65 dan 0,67. Nilai rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis berada di atas batas toleransinya. Hal ini menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di Perairan Jakarta telah terdegradasi dan terdepresiasi. Secara grafis ditunjukkan Gambar 21. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis berfluktuatif, Tahun 1997 sampai dengan Tahun 1999, laju degradasi dan depresiasi berada di atas batas toleransinya. Pada tahun 2000 sampai dengan Tahun 2007, laju degradasi dan depresiasi berada di bawah batas angka toleransinya tetapi kemudian meningkat tajam pada Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2011.
123
Laju Degradasi, Laju Depresiasi
1,20 1,00 0,80 0,60
Laju Degradasi Laju Depresiasi
0,40
Bench Marking
0,20 0,00
Gambar 21. Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Pada Gambar 21 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis yang hampir sama karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan pelagis akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan.
6.2
Sumberdaya Ikan Demersal Sumberdaya ikan demersal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
semua ikan yang termasuk dalam kelompok ikan demersal dan kelompok udang, cumi dan rajungan menurut Naamin (1987). Untuk sumberdaya ikan demersal maka jumlah produksi ikan yang akan dianalisis adalah jumlah produksi ikan yang ditangkap oleh muroami (termasuk bagan dan sero), bubu, rampus dan dogol. Pemilihan alat tangkap ini didasarkan pada pertimbangan bahwa alat tangkap ini masih dominan digunakan oleh nelayan Jakarta dan sebagian besar hasil tangkapannya bersumber dari perairan Jakarta. Muroami dimasukkan dalam perhitungan bioekonomi dengan pertimbangan bahwa (1) muroami masih banyak digunakan oleh nelayan Jakarta walaupun jumlah dan produksinya pada Tahun 2012 tidak dicantumkan dalam buku statistik perikanan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012, (2) hingga Tahun 2010, data produksi dan jumlah trip muroami
124
cukup besar. Pada sumberdaya ikan demersal, alat tangkap yang dijadikan standar adalah muroami. Pemilihan alat tangkap standar ini dengan pertimbangan bahwa muroami memiliki jumlah trip terbanyak dibandingkan dengan alat tangkap lain dan dioperasikan sepanjang tahun. 6.2.1
Produksi dan Upaya penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi
adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap oleh alat tangkap yang diteliti. Data upaya penangkapan untuk perhitungan analisis bioekonomi diperoleh dengan cara mengumpulkan data rata-rata jumlah trip per alat tangkap per tahun kemudian dikalikan dengan jumlah alat tangkap yang beroperasi. Data produksi dan jumlah trip untuk sumberdaya ikan demersal seperti terlihat pada Tabel 18 dan Tabel 19.
Tabel 18. Produksi sumberdaya ikan demersal Tahun
Muroami Dogol 1997 1.833,585 1998 772,307 1999 912,304 2000 481,698 2001 547,994 2002 732,234 2003 651,028 2004 703,252 350,518 2005 454,754 324,157 2006 1.286,268 335,857 2007 4.305,419 259,998 2008 3.763,104 245,881 2009 9.196,365 251,978 2010 15.157,291 239,059 2011 20.526,226 126,725 Sumber : Hasil Analisis Data (2013)
Produksi (ton) Bubu Rampus 125,041 431,779 211,093 851,716 493,147 1.045,742 588,513 1.157,243 662,628 912,614 984,601 1.280,685 1.074,719 224,542 921,016 99,680 556,222 141,419 436,592 264,963 516,235 22,987 274,045 312,872 219,956 194,650 -
Total 1.958,626 983,400 1.405,451 1.070,211 1.210,622 1.716,835 1.725,747 1.974,786 1.335,133 2.058,717 5.081,652 4.283,030 9.761,215 15.616,306 20.847,601
125
Tabel 19. Upaya tangkap sumberdaya ikan demersal Tahun
Muroami 1997 42.600 1998 43.500 1999 49.500 2000 20.200 2001 22.700 2002 23.600 2003 32.700 2004 28.600 2005 28.600 2006 28.400 2007 29.400 2008 32.000 2009 52.000 2010 99.200 2011 113.400 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Upaya Tangkap (trip) Dogol Bubu 135.250 155.750 134.350 137.900 140.400 136.950 188.900 18.050 172.300 22.850 168.750 22.850 135.500 22.850 135.500 24.850 123.150 24.850 46.200 24.850 46.200 24.850 46.200
Rampus 26.400 25.600 26.645 32.098 26.500 35.678 39.600 22.300 22.400 21.400 21.400 -
Hasil perhitungan CPUE untuk kelompok sumberdaya ikan demersal dapat dilihat pada Lampiran 18 sedangkan perkembangan CPUE dari setiap alat tangkap
CPUE (ton/trip)
yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 22.
0,200 0,180 0,160 0,140 0,120 0,100 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000
Muroami Bouke Ami Dogol Bubu Rampus
Gambar 22. Perkembangan CPUE alat tangkap sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
126
Dari hasil tangkapan per upaya tangkap (CPUE) untuk sumberdaya ikan demersal dapat dilihat bahwa penambahan effort pada setiap alat tangkap tidak menambah produksi secara signifikan. Gambar 22 menunjukan bahwa nilai CPUE pada setiap alat tangkap cukup rendah. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indeks kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa stok sumberaya ikan demersal di perairan Jakarta dapat dikatakan sudah mulai terancam keberlanjutannya. 6.1.2
Standarisasi Upaya Penangkapan Dalam perhitungan FPI perlu dipilih salah satu alat tangkap yang paling
dominan
dalam
operasi
penangkapan
untuk
dijadikan
rujukan
dalam
menyeragamkan jumlah upaya penangkapan (effort) yang terjadi terhadap sumberdaya ikan tersebut. Dalam penelitian ini, alat tangkap yang dijadikan standar adalah muroami sehingga muroami memiliki nilai FPI sama dengan satu. Nilai FPI dari alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 19. Standarisasi upaya penangkapan adalah menyeragamkan besarnya nilai upaya penangkapan (effort) dari beberapa jenis alat tangkap yang berbeda ke satuan jenis alat tangkap yang menjadi standar. Nilai effort standar didapat dari hasil perkalian effort dengan nilai FPI dari setiap alat tangkap yang diteliti. Hasil perhitungan effort standar pada setiap alat tangkap yang diteliti dapat dilihat pada Lampiran 20. Nilai CPUE ini berbeda setiap tahunnya tergantung pada jumlah produksi dan jumlah effort yang digunakan. Dari Gambar 23 diketahui bahwa hubungan antara CPUE dan effort sumberdaya ikan demersal digambarkan dalam persamaan y=-0,00000078+0,1384x. Kondisi ini dapat diartikan bahwa peningkatan aktivitas penangkapan (effort) terhadap sumberdaya ikan demersal akan menurunkan produktivitas hasil tangkapan (CPUE). Hal ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan demersal telah mengalami overfishing secara biologi (biological overfishing). Gambar 23 juga menunjukkan bahwa CPUE sumberdaya ikan demersal juga mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya effort.
127
Tabel 20.Total produksi aktual, total effort standar dan CPUE standar sumberdaya ikan demersal Tahun Produksi (ton) Effort SDT CPUE SDT 1997 2.390,405 55.536,696 0,04304 1998 1.835,116 103.362,453 0,01775 1999 2.451,193 132.997,393 0,01843 2000 2.227,454 93.408,257 0,02385 2001 2.035,586 100.376,680 0,02028 2002 2.750,731 133.727,305 0,02057 2003 1.715,635 134.737,675 0,01273 2004 1.598,627 150.768,114 0,01060 2005 1.358,355 85.428,502 0,01590 2006 2.084,621 46.027,139 0,04529 2007 5.104,639 34.857,557 0,14644 2008 4.283,030 36.421,252 0,11760 2009 9.620,188 55.243,634 0,17414 2010 15.963,101 102.136,922 0,15629 2011 20.847,601 115.175,481 0,18101 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
CPUE Standar (ton/trip)
0,20000 0,15000 0,10000
y=-0,00000078+0,1384x 0,05000 CPUE SDT Linear (CPUE SDT)
Effort standar (trip)
Gambar 23. Hubungan CPUE standar dengan Effort standar sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analsiss Data, 2013
6.1.3 Estimasi Parameter Biologi Analisis surplus produksi dengan menggunakan motode estimasi Algoritma Fox didapatkan nilai koefisien α = 0,1384 dan koefisien β=-,00000078 untuk sumberdaya ikan demersal (Lampiran 19). Nilai α dan β yang yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya
128
(r) sebesar -1,927 koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,0000108, dan daya dukung perairan sebesar 12.797,55,67 ton (Lampiran 20). Pendugaan parameter biologi dengan metode CYP menghasilkan nilai koefisien α = 0,1481, koefisien β =0,716 dan koefisien γ = -0,00000534 (Lampiran 22). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya (r) 0,3309, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,00001245, dan daya dukung perairan sebesar 135.237,04 ton (Lampiran 23). Metode estimasi Walters dan Hilborn (W-H) menghasilkan nilai koefisien α = 1,438, koefisien β = 5,588 dan koefisien γ = -0,00000913 (Lampiran 25). Dari nilai-nilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik sumberdaya ikan (r) sebesar 1,438, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar -0,00000913, dan daya dukung perairan (K) sebesar 28.179,47 ton (Lampiran 26). Metode estimasi Schnute menghasilkan nilai koefisien α = 0,8186, koefisien β = 1,1469 dan koefisien γ = -0,00000695 (Lampiran 28). Dari nilainilai tersebut diduga tingkat pertumbuhan intriksik (r) sebesar 0,8186, koefisien kemampuan tangkap (q) sebesar 0,00000695, dan daya dukung perairan sebesar 102.677,51 ton (Lampiran 29). Perbandingan hasil analisis data dan hasil uji statistik dengan menggunakan model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walters dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute dapat dilihat pada Lampiran 30. Pemilihan metode estimasi yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual daerah penelitian yang pertama adalah harus logis secara apriori teori kemudian baru didasarkan pada hasil uji statistik. Berdasarkan kelogisan apriori teori maka metode yang paling tepat menggambarkan kondisi aktual sumberdaya ikan demersal adalah model estimasi Schnute. 6.2.4 Estimasi Parameter Ekonomi Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi adalah rata-rata harga ikan per ton dan rata-rata biaya per trip penangkapan. Untuk mendapatkan rata-rata harga ikan per ton digunakan metode rata-rata tertimbang. Biaya per trip penangkapan didapat dari hasil wawacara dengan nelayan terpilih kemudian diambil rata-rata biaya per trip dari setiap unit penangkapan.
129
Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Harga yang digunakan untuk mengestimasi parameter ekonomi adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar 2007. Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan IHK sehingga diperoleh nilai biaya per trip dan harga per ton seperti yang disajikan dalam Tabel 21. Tabel 21. Biaya per trip dan harga sumberdaya ikan demersal Biaya Trip Tahun IHK IHK 2007 (Rp/trip) 1997 58,87 41,75 0,0419 1998 60,00 42,56 0,0427 1999 73,22 51,93 0,0521 2000 77,46 54,93 0,0551 2001 88,30 62,62 0,0628 2002 100,00 70,92 0,0711 2003 108,22 76,76 0,0770 2004 113,16 80,26 0,0805 2005 123,05 87,27 0,0875 2006 135,36 96,00 0,0962 2007 141,00 100,00 0,1003 2008 109,81 109,81 0,1101 2009 118,62 118,62 0,1189 2010 132,42 132,42 0,1328 2011 138,57 138,57 0,1389 2012 144,45 Rata-rata 0,0845 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
6.2.5
Harga (Juta Rp/ton) 2,9060 2,9619 3,6144 3,8235 4,3586 4,9363 5,3423 5,5859 6,0741 6,6818 6,9602 7,6430 8,2562 9,2167 9,6447 10,0540 5,8670
Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi
lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K,
130
sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price).
Tabel 22.Parameter biologi dan ekonomi sumberdaya ikan demersal dengan menggunakan metode estimasi Schnute No
Variabel Kendali
1 Tingkat pertumbuhan 2 Koefisien kemampuan tangkap 3 Daya dukung lingkungan perairan 4 Harga per ton (juta Rp) 5 Biaya per trip (juta Rp) Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Simbol
Nilai
r q K p c
0,819 0,0000067 102.677,51 5,87 0.085
Berdasarkan Tabel 23 dapat disimpulkan bahwa perubahan atau penambahan effort tidak selalu diikuti penambahan produksi. Tingkat effort yang tinggi diikuti dengan menurunnya nilai produksi lestari yang sangat signifikan. Berkurangnya nilai produksi lestari mengindikasikan bahwa pengurasan sumberdaya ikan yang terbatas telah terjadi seiring dengan peningkatan effort karena peningkatan effort tidak seirama dengan rekruitmen atau daya pulih sumberdaya ikan yang dalam jangka panjang akan menimbulkan biological overfishing. Secara grafis ditunjukkan oleh Gambar 24.
131
Tabel 23. Nilai effort, produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan demersal Tahun Effort Produksi Aktual Produksi Lestari (Et) 1997 55.537 2.390,41 20.946,33 1998 103.362 1.835,12 9.019,01 1999 132.997 2.451,19 (12.286,60) 2000 93.408 2.227,45 13.786,65 2001 100.377 2.123,24 10.575,19 2002 133.727 2.997,52 (12.945,71) 2003 134.738 1.950,29 (13.868,73) 2004 150.768 2.074,47 (30.169,18) 2005 85.429 1.476,55 16.741,13 2006 46.027 2.323,68 20.012,88 2007 34.858 5.104,64 17.516,37 2008 36.421 4.283,03 17.956,93 2009 55.244 9.761,22 20.933,94 2010 102.137 15.616,31 9.670,83 2011 115.175 20.847,60 1.802,38 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 30.000,00 20.000,00 10.000,00 (10.000,00)
Produksi Lestari Produksi Aktual
(20.000,00) (30.000,00) (40.000,00)
Gambar 24. Perbandingan tingkat produksi aktual dan produksi lestari sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 6.2.6
Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Demersal Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim
pengelolaan sumberdaya ikan demersal di Provinsi DKI Jakarta secara ringkas disajikan dalam Tabel 24.
132
Tabel 24. Hasil Analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan demersal dengan metode estimasi Schnute Rezim Pengelolaan x (ton) h (ton) E (trip) π (juta Rp) Sole Owner (MEY) 52.374,74 21.005,47 57.690 118.364,59 Open Acces (OAY) 2.071,97 1.661,97 115.381 0,00 MSY 51.338,76 21.014,03 58.879 118.314,38 Aktual 20.847,60 115.175 112.580,27 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok ikan demersal di perairan Jakarta adalah sebanyak 52.374,74 ton dengan hasil tangkapan sebesar 21.005,47 ton untuk jumlah upaya tangkap sebanyak 57.690 trip sehingga nilai rente yang didapatkan adalah sebesar Rp118.364,59 juta. Rezim Open Access hanya menghasilkan biomassa optimal sebanyak 2.071,97 ton dengan tingkat produksi optimal yang bisa didapat adalah sebesar 1.661,97 ton dengan jumlah upaya tangkap sebanyak 115.381trip. Rente ekonomi yang diperoleh jika menerapkan rezim open access adalah Rp 0,-. Pada kondisi MSY, stok ikan demersal adalah 51.338,76 ton dengan hasil tangkapan optimal sebesar 21.014,03 ton dan jumlah upaya tangkap yang diperbolehkan sebanyak 58.879 trip dengan rente ekonomi optimal yang didapat sebesar Rp118.314,38 juta. Dengan membandingkan kondisi aktual dan kondisi optimal maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas penangkapan ikan demersal di DKI Jakarta sudah mengalami biological overfishing. Tingkat effort aktual sudah melebihi tingkat effort optimal tetapi kenaikan tingkat effort (input) tidak diimbangi dengan kenaikan tingkat produksi. Hal ini dapat dilihat dari tingkat produksi aktual yang lebih rendah dari tingkat produksi optimal sehingga keuntungan aktual lebih rendah dari keuntungan optimal. Dengan demikian aktivitas penangkapan ikan demersal di perairan Jakarta dapat dikatakan sudah mengalami economic overfishing (Gambar 25).
140.000,00
140.000,00
120.000,00
120.000,00
100.000,00
100.000,00
80.000,00
80.000,00
60.000,00
60.000,00
40.000,00
40.000,00
20.000,00
20.000,00
Produksi Effort Rente Ekonomi
-
MEY
Gambar 25.
rente ekonomi (juta Rp)
catch (ton), effort (trip)
133
OAY
MSY
Aktual
Rezim pengelolaan sumberdaya perikanan demersal di perairan Jakarta menggunakan metode estimasi Schnure Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
6.2.7Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Perikanan Demersal Sumberdaya perikanan demersal di Perairan Jakarta diperkirakan sudah mengalami degradasi dan depresiasi. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya hasil tangkapan nelayan per upaya tangkap. Penurunan tersebut disebabkan input yang semakin meningkat (over capacity) juga karena semakin tingginya tingkat pencemaran di Perairan Jakara yang secara tidak langsung berdampak pada penurunan hasil tangkapan. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba menganalisis laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta. Hasil analisis laju degradasi dan depresiasi untuk sumberdaya ikan demersal dapat dilihat pada Lampiran 34. Pada sumberdaya ikan demersal, koefisien rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi tiap tahun adalah 0,33. Nilai dari laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan demersal yang berada di bawah batas toleransinya menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta belum terdegradasi dan terdepresiasi. Hasil analisis ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa Teluk Jakarta adalah perairan yang subur karena banyak menerima masukan bahan organik dari tiga belas sungai yang bermuara sehingga Teluk Jakarta merupakan habitat yang sesuai untuk sumberdaya perikanan terutama sumberdaya ikan demersal. Laju
134
degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal secara grafis ditunjukkan Gambar 26. 1,200 1,000 0,800 0,600 0,400
Laju Degradasi Laju Depresiasi Bench Marking
0,200 0,000
Gambar 26. Laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Pada Gambar 26 terlihat pola grafik laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya perikanan demersal yang hampir sama karena besaran nilai keduanya yang tidak jauh berbeda. Menurun atau meningkatnya nilai koefisien laju degardasi akan diikuti oleh menurunnya atau meningkatnya nilai koefisien laju depresiasi, ini artinya, kondisi biologi sumberdaya ikan demersal akan sangat berpengaruh pada tingkat ekonomi yang akan diperoleh oleh para nelayan.
135
VII. ANALISIS KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA PERIKANAN 7.1
Status Keberlanjutan Sumberdaya Ikan Pelagis
7.1.1
Analisis MDS dengan Teknik Rapfish Prediksi status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis digambarkan
melalui 39 atribut. Seluruh atribut ini terdiri atas enam atribut dalam dimensi ekologi, tujuh atribut dalam dimensi ekonomi, sepuluh atribut dalam dimensi sosial, sembilan atribut dalam dimensi teknologi, dan tujuh atribut dalam dimensi kelembagaan. Dengan melakukan analisis MDS maka diketahui posisi/status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada ordinasi good atau bad. Gambar 27 menunjukkan posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis. RAPFISH Ordination 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 0
46,21
BAD 0
20
40
60
GOOD 80
100
120
-20
Real Fisheries References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 27. Posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Skor keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis sebesar 46,21. Berdasarkan kriteria yang telah dibuat maka dapat disimpulkan bahwa status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis berada pada status kurang berkelanjutan. 7.1.2
Pembobotan Dimensi dengan AHP Pitcher dan Preikshot (2001) memperkenalkan teknik evaluasi Rapfish
untuk menentukan status keberlanjutan perikanan dilihat dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Hasil dari analisis dengan
136
menggunakan teknik Rafish diharapkan dapat menjadi acuan umum dalam mengajukan usulan perbaikan status keberlanjutan perikanan (Gambar 28) . Hasil analisis
menggunakan
Rapfish
hanya
menentukan
status
atau
kondisi
keberlanjutan dari masing-masing dimensi. Hasil analisis Rapfish tidak dapat menentukan status keberlanjutan secara keseluruhan karena bobot dari masingmasing dimensi dianggap sama. Padahal dalam kenyataannya, bobot masingmasing dimensi berbeda. DIAGRAM LAYANG-LAYANG Ekologi
Kelembagaan
100 80 60 4023,46 42,21 20 0
54,94
Ekonomi
PELAGIS
32,06 48,84 Sosial
Teknologi
Gambar 28. Diagram Layang untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Tahapan analisis berikutnya adalah pembobotan pada setiap dimensi keberlanjutan. Metode pengkajian ini digunakan untuk mengetahui status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal secara keseluruhan. Kelima dimensi ini perlu dibobot untuk diketahui urutan prioritas dimensi yang paling mempengaruhi status keberlanjutan sumberdaya perikanan secara keseluruhan agar kebijakan yang dihasilkan mampu memberikan pengaruh nyata terhadap pembangunan perikanan Provinsi DKI Jakarta. Analisis ini dilakukan guna memperoleh kesimpulan komprehensif dari hasil penentuan status keberlanjutan dengan menggunakan Rapfish. Pada tahapan ini akan dikaji pemilihan dimensi prioritas yang mempengaruhi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal secara keseluruhan.
137
Melalui metode analisis ini akan diperoleh dimensi prioritas yang paling mempengaruhi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal di Provinsi DKI Jakarta. Hasil analisis ini didasarkan data primer melalui wawancara mendalam dengan pakar. Pakar dalam pembobotan dimensi ini adalah sepuluh stakeholders kunci yang berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan di Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan hasil pembobotan pada kelima dimensi keberlanjutan pada sumberdaya perikanan pelagis melalui judgement pakar didapatkan hasil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 29. Kelembagaan
6,82
Sosial
6,30
Teknologi
9,78
Ekonomi
12,29
Ekologi 0,000
8,66 2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
Gambar 29. Hasil pembobotan pada dimensi keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan urutan prioritas dimensi diketahui bahwa dimensi ekonomi merupakan dimensi yang paling mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis di Provinsi DKI Jakarta sehingga kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis di Provinsi DKI Jakarta adalah mengutamakan pembangunan ekonomi sumberdaya perikanan pelagis. Berdasarkan Gambar 29 juga diketahui bahwa demi tercapainya pembangunan perikanan tangkap berkelanjutan maka tidak hanya keberlanjutan dimensi ekonomi yang perlu mendapat perhatian dari pemerintah tetapi juga keberlanjutan dari dimensi teknologi dan ekologi. Teknologi ramah lingkungan dan penggunaan teknologi yang efisien, dalam hal jumlah effort perlu
138
dikembangkan untuk meningkatkan keberlanjutan ekonomi, ekologi dan sosial. Jika ditelaah lebih lanjut, dimensi teknologi, ekonomi dan ekologi mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Penggunaan teknologi yang efisien (pembatasan jumlah effort) akan meningkatkan keberlanjutan ekologi karena ikan mempunyai waktu lebih lama untuk pulih sehingga ketersediaan stok ikan di perairan meningkat. Peningkatan stok ikan akan mempengaruhi jumlah hasil tangkapan nelayan yang berdampak langsung pada peningkatan keuntungan yang diperoleh sehingga nelayan mendapatkan pendapatan yang lebih layak. Pendapatan yang layak akan meningkatkan kesejahteraan nelayan karena nelayan mempunyai cukup sumberdaya untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Untuk menentukan status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis secara keseluruhan mencakup lima dimensi, dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai yang didapat dari hasil pembobotan (Lampiran 55). Berdasarkan hasil penjumlahan maka indeks keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis adalah 39,63 sehingga menurut kriteria status keberlajutan disimpulkan bahwa status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis adalah kurang berkelanjutan. Hasil analisis MDS untuk seluruh dimensi konsisten dengan analisis AHP untuk indeks keberlanjutan per dimensi, yaitu kurang berkelanjutan. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis di Provinsi DKI Jakarta harus diketahui atribut-atribut apa yang memeliki pengaruh besar dalam memperngaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis di Provinsi DKI Jakarta. 7.1.3
Status Keberlanjutan Setiap Dimensi pada Sumberdaya Ikan Pelagis
7.1.3.1 Dimensi Ekologi Sebagai wilayah pesisir yang strategis karena merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan khususnya untuk wilayah Indonesia Barat, tekanan pemanfaatan perairan Jakarta sangat tinggi, tidak hanya disebabkan oleh sektor kelautan tetapi juga oleh aktivitas ekonomi yang sangat tinggi yang bersumber dari daratan Jakarta. Perairan Jakarta, baik wilayah pesisir maupun Kepulauan Seribu sangat padat dengan segala aktivitas sektor ekonomi, mulai dari perikanan, pariwisata, transportasi, industri sampai dengan sebagai tempat pembuangan limbah yang berasal dari daratan. Kondisi tersebut berimplikasi
139
terhadap aktivitas perikanan tangkap, wilayah tangkapan semakin berkurang atau bergeser ke wilayah yang lebih jauh. Kondisi perairan juga dapat dilihat dari perhitungan analisis bioekonomi yang menunjukkan bahwa tingkat pemanfaat sumberdaya perikanan tangkap sangat tinggi melebihi tingkat effort lestari. Kondisi ini menyebabkan nelayan memerlukan input yang lebih banyak untuk mendapatkan output yang diinginkan. Berdasarkan perhitungan analisis bioekonomi pada sumberdaya perikan pelagis didapatkan persentase tingkat effort aktual dibandingkan tingkat effort pada kondisi MSY adalah sebesar 482,69 persen. Nilai persentase di atas seratus persen menunjukkan bahwa nilai aktual lebih besar dibandingkan dengan nilai optimal sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kelebihan input (trip) yang digunakan sehingga berdampak pada penurunan output (produksi) yang dihasilkan. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis telah melebihi potensi maksimum lestari (MSY) secara biologi atau yang dikenal dengan sebutan biological overfishing dan terlihat pula bahwa penambahan input tidak sebanding dengan peningkatan output yang dihasilkan, atau dapat dikatakan telah terjadi inefisiensi dalam aktivitas penangkapan ikan pelagis. Dengan demikian skor tingkat eksploitasi untuk sumberdaya ikan pelagis adalah telah mengalami overexploited.
Tabel 25. Perbandingan kondisi aktual dengan kondisi MSY dan MEY pada sumberdaya ikan pelagis dengan metode estimasi CYP % aktual % aktual Pemanfaatan Aktual MSY terhadap MEY terhadap MSY MEY CYP Biomass (x) (ton) 8.444,21 Produksi (h) (ton) 3.515,88 6.257,57 Effort (E)(trip) 201.360,07 43.679,64 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
56,19 460,99
8.823,85 6.244,92 41.715,85
56,30 482,69
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih, didapatkan fakta bahwa pada umumnya nelayan menjual seluruh hasil tangkapannya berapa pun nilainya. Dibandingkan dengan kondisi sepuluh tahun terakhir, ukuran ikan pelagis saat ini tertangkap menurun banyak dan jenis ikan yang tertangkap berkurang 1-2 jenis serta terjadi pengurangan lokasi area tangkap yang sangat
140
signifikan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambahnya buangan limbah yang mengalir dari daratan ke wilayah pesisir Jakarta sehingga memaksa nelayan Jakarta untuk menangkap ikan ke wilayah yang lebih jauh atau beristirahat dari kegiatan penagkapan menunggu efek racun yang dibawa limbah berkurang. Berdasarkan kriteria yang telah dibuat maka skor untuk masing-masing atribut ini dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 menunjukkan realitas data berupa skor-skor pada masing-masing atribut dalam dimensi ekologi. Tabel 26. Nilai skor setiap atribut pada dimensi keberlanjutan ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis No
Indikator
Baik
Buruk
Skor
1
Tingkat eksploitasi
0
3
3
2
0
2
2
Nilai modus dan expert meeting
2 2
2 1
Nilai modus Nilai modus
2
1
Nilai modus
2
Proporsi ikan yang 0 dibuang 3 Tekanan 0 pemanfaatan perairan 4 Tingkatan kolaps 0 5 Ukuran ikan 0 tertangkap 6 Jumlah jenis ikan 0 tertangkap Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Penilaian Analisis bioekonomi Nilai modus
Nilai skor pada dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis kemudian dianalisis menggunakan alat analisis Rapfish. Hasil yang diperoleh dengan metode MDS akan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekologi. Gambar 30 menunjukkan hasil analisis Rapfish yang menunjukkan kondisi atau status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekologi.
141
RAPFISH Ordination 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 BAD
0 0
20
23,46 40
GOOD 60
80
100
-20
120
Real Fisheries References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 30. Posisi status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis pada dimensi ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai skor keberlanjutan pada dimensi ekologi yang diperoleh adalah 23,46. Berdasarkan klasifikasi kondisi atau status keberlanjutan menurut Nurmalina (2008) maka kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekologi berada pada status tidak berkelanjutan. Dari hasil analisis Rapfish juga diperoleh nilai stress dan nilai R2. Nilai stress yang diperoleh untuk dimensi ekologi adalah 14,3%. Menurut Kavanagh, nilai stress yang diperbolehkan adalah apabila dibawah nilai 0,25. Nilai stress atau yang dilambangkan dengan S yang semakin rendah menunjukkan good of fit begitu pula sebaliknya (Fauzi dan Anna 2004). Nilai stress yang didapat sudah memenuhi kondisi fit atau hasil analisis yang didapat cukup baik karena S < 25 persen. Nilai koefisien determinasi (selang kepercayaan) yang diperoleh (R2) sebesar 94,38 persen yang berarti model dengan menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 94,38 persen dari model yang ada. Tabel 27 menunjukkan beberapa nilai statistik yang diperoleh dengan menggunakan metode MDS.
142
Tabel 27. Nilai statistik hasil analisis menggunakan metode MDS pada dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan pelagis No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1430 14,3 2 2 R 0,9438 94,38 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Rapfish
selain
digunakan
untuk
mengetahui
indeks
dan
status
keberlanjutan sumberdaya perikanan dengan menggunakan MDS juga
dapat
digunakan untuk mengetahui atribut-atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keberlanjutan dari sumberdaya tersebut melalui leverage analysis. Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), apabila nilai faktor (atribut) pengaruh secara merata berada pada rentang dua persen dan enam persen serta tidak ada faktor pengaruh yang bernilai lebih dari delapan persen maka tidak ada atribut yang dominan dalam dimensi tersebut. Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) pada dimensi ekologi pada sumberdaya perikanan pelagis ditunjukkan pada Gambar 31. Berdasarkan Gambar 31 diketahui bahwa dari enam atribut yang dianalisis ada satu atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta, yaitu tingkat eksploitasi. Tingkat eksploitasi mempunyai pengaruh dominan dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis karena ikan termasuk sumberdaya yang dapat diperbaharui sehingga ketika tingkat eksploitasi ikan sudah melebihi potensi lestarinya maka akan menpengaruhi kemapuan ikan untuk pulih secara alami Hal ini dapat terlihat dari ukuran ikan yang semakin kecil karena ikan tidak mempunyai waktu untuk tumbuh maksimal ataupun jenis ikan yang semakin berkurang karena ikan kesempatan ikan untuk bereproduksi untuk memulihkan daya dukungnya semakin berkurang. Atribut tingkat eskploitasi perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi pada sumberdaya ikan pelagis dapat meningkat di masa depan.
143
Leverage of Attributes proporsi ikan yang dibuang
2,4
Attribute
range collapse
4,7
exploitation status
8,0
Tekanan pemanfaatan perairan
6,7
species caught
7,8
size of fish caught
2,4 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31. Faktor pengungkit pada dimensi ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan analisis monte carlo diketahui bahwa kondisi ekologis sumberdaya perikanan pelagis banyak mengalami pertubasi (gangguan) dilihat dari plot yang menyebar, seperti disajikan pada Gambar 32. RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 32. Hasil analisis Monte Carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
144
7.1.3.2 Dimensi Ekonomi Berdasarkan hasil perhitungan analisis bioekonomi didapatkan tingkat keuntungan optimal yang diperoleh pada kondisi aktual dan MSY. Pada kondisi aktual, keuntungan usaha perikanan pelagis adalah sebesar Rp6.618,56 juta sedangkan keuntungan pada saat kondisi MSY adalah sebesar RP40.879,65 juta. Secara ringkas perbandingan perhitungan keuntungan aktual dan optimal disajikan pada Tabel 28.
Tabel 28. Perbandingan tingkat keuntungan pada kondisi aktual, MSY dan MEY Kondisi Pengelolaan
Effort
Produksi
Harga (juta/ton)
Biaya (juta/tri)
Total cost
Total Revenue
Profit
Aktual
201.360
3.515,88
7,1783
0,0925
18.619,43
25.237,99
6.618,56
MSY
43.680
6.257,57
7,1783
0,0925
4.038,98
44.918,63
40.879,65
MEY
41.716
6.244,92
7,1783
0,0925
3.857,40
44.827,84
40.970,44
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Tabel 28 menunjukkan terlihat bahwa penambahan input tidak sebanding dengan output yang dikeluarkan. Hal ini berarti telah tejadi inefisiensi ekonomi dalam usaha penangkapan ikan pelagis. Keuntungan aktual yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan pelagis hanya bersifat sementara karena tingkat effort yang digunakan telah melebihi effort lestari. Perhitungan analisis kelayakan investasi pada alat tangkap ikan pelagis, yaitu payang, jarung insang dan pancing didapatkan hasil seperti disajikan pada Tabel 29.
Tabel 29. Hasil perhitungan NPV dan IRR pada usaha penangkapan ikan pelagis Keterangan Umur Teknis Gill net NPV 10 tahun 27.732.866 IRR (6%) 10 tahun 1,61 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Pancing 5.183.036 1,34
Payang Rata-Rata 12.959.187 15.291.697 1,46 1,47
Berdasarkan hasil perhitungan analisis kelayakan investasi untuk usaha perikanan pelagis dapat disimpulkan bahwa usaha perikanan pelagis dengan menggunakan alat tangkap jaring insang, pancing dan payang adalah usaha yang layak (NPV >0 dan IRR>6%). NPV adalah keuntungan yang dapat diperoleh selama sepuluh tahun jika dinilai pada saat sekarang. Nilai IRR rata-rata adalah 1,47%, yang berarti bahwa usaha penangkapan ikan pelagis mampu memberikan
145
tingkat pengembalian atau keuntungan 1,47% per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur usaha sepuluh tahun. Berdasarkan kritria pada atribut keuntungan dilihat dari perolehan keuntungan dengan analisis bioekonomi dan analisis kelayakan investasi disimpulkan bahwa usaha ini hanya mendapat sedikit keuntungan. Gambar 33 menyajikan persentase kontribusi sektor perikanan terhadap total F Provinsi DKI Jakarta. Dari tahun 1997 sampai tahun 1999, kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB meningkat namun setelah tahun 1999 kontribusi sektor perikanan terus menurun. Dilihat dari besarnya persentase kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB ibukota yang sangat kecil dengan kecenderungan yang semakin menurun setiap tahun maka sektor kelautan dan perikanan di Provinsi DKI Jakarta tidak menjadi prioritas dalam pembangunan ibukota secara keseluruhan. 0,08 0,07 0,06 0,05 0,04 % Kontribusi
0,03 0,02 0,01 0
Gambar 33. Persentase kontribusi PDRB sektor perikanan terhadap total PDRB Provinsi DKI Jakarta Sumber : BPS, 2012 Berdasarkan Buku Statistik Perikanan Provinsi DKI Jakarta, proporsi sumberdaya ikan pelagis yang didatangkan dari luar Jakarta dibandingkan dengan total produksi ikan pelagis Jakarta ditunjukkan pada Tabel 30.
146
Tabel 30. Proporsi sumberdaya ikan pelagis yang didatangkan dari luar Jakarta dibandingkan dengan total produksi ikan Jakarta Persentase Ikan Volume Produksi (ton) Tahun Total Luar thd Total Ikan Lokal Ikan Luar Produksi 1997 12.574,827 18.713,980 31.288,807 59,81 1998 10.837,265 20.727,806 31.565,071 65,67 1999 15.013,985 22.874,901 37.888,886 60,37 2000 11.236,229 21.962,990 33.199,219 66,16 2001 5.759,775 22.570,057 28.329,832 79,67 2002 6.186,795 17.329,263 23.516,058 73,69 2003 8.431,456 5.347,823 13.779,279 38,81 2004 9.935,039 4.914,808 14.849,847 33,10 2005 10.640,162 5.996,255 16.636,417 36,04 2006 12.562,273 48.997,851 61.560,124 79,59 2007 8.911,080 71.776,844 80.687,924 88,96 2008 7.127,065 44.341,114 51.468,179 86,15 2009 7.273,198 37.811,765 45.084,963 83,87 2010 4.678,118 84.381,801 89.059,919 94,75 2011 3.515,979 82.966,578 86.482,557 95,93 69,505 Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan Tabel 30 diketahui banwa rata-rata kontribusi ikan pelagis luar yang didaratkan di Jakarta adalah sebesar 69,505 persen. Penilaian untuk atribut penyerapan tenaga kerja didasarkan pada persentase jumlah tenaga kerja dibidang usaha tangkap dibandingkan dengan jumlah penduduk, seperti yang tersaji dalam Tabel 31.
147
Tabel 31. Penyerapan tenaga kerja usaha perikanan tangkap Jumlah Tahun Jumlah Nelayan Penduduk 1997 7.610.067 19.177 1998 7.818.573 19.425 1999 7.831.520 20.491 2000 7.578.701 21.012 2001 7.418.390 23.941 2002 7.443.030 26.353 2003 7.456.931 26.601 2004 7.471.866 24.095 2005 7.521.520 24.036 2006 7.505.505 24.990 2007 7.554.761 22.690 2008 7.005.180 30.091 2009 8.523.157 23.827 2010 8.556.713 23.796 2011 9.229.523 20.550 Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Persentase 0,25 0,25 0,26 0,28 0,32 0,35 0,36 0,32 0,32 0,33 0,30 0,43 0,28 0,28 0,22 0,30
Penilaian untuk atribut lainnya, seperti kepemilikan, other income, dan orientasi pasar didasarkan pada hasil wawancara dengan responden terpilih. Sifat kepemilikan sarana penangkapan nelayan penangkap ikan pelagis semuanya dimiliki pemilik lokal dan pada umumnya nelayan merupakan pekerjaan utama. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih dan expert meeting, hasil tangkapan nelayan Jakarta seluruhnya diserap oleh pasar lokal untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Jakarta. Tabel 32 menunjukkan hasil penilaian pada setiap atribut dalam dimensi ekonomi untuk sumberdaya perikanan pelagis.
148
Tabel 32. Nilai skor setiap atribut pada dimensi keberlanjutan ekonomi untuk sumberdaya ikan pelagis No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Keuntungan 4 0 3 Analisis bioekonomi,NPV dan IRR 2 Kontribusi 2 0 0 Persentase PDRB perikanan perikanan dibanding total terhadap PDRB PDRB (BPS) 3 4
Kepemilikan Sumberdaya ikan luar Jakarta
0 0
2 2
0 2
Nilai modus Buku statistik perikanan dan kelautan Prov.DKI Jakarta, 2012
0 3 Other income Orientasi 0 2 pemasaran 7 Penyerapan 0 2 tenaga kerja Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
3 0
Nilai modus Nilai modus, expert meeting BPS dan DKP DKI Jakarta, 2012
5 6
0
Skoring pada dimensi ekonomi untuk sumberdaya perikanan pelagis kemudian dianalisis dengan metode MDS menggunakan teknik Rapfish. Hasil yang diperoleh akan menunjukkan nilai indeks keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis dari dimensi ekonomi. Hasil analisis dengan menggunakan teknik Rapfish dapat dilihat pada Gambar 34. RAPFISH Ordination Other Distingishing Features
60 UP
40 20 0 -20 -40 -60
GOOD
BAD 0
20
40
60
80
54,94
100
120
Real Fisheries References Anchors
DOWN Fisheries Sustainability
Gambar 34. Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
149
Nilai indeks keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekonomi adalah sebesar 54,94 (Gambar 34). Berdasarkan klasifikasi kondisi atau status keberlanjutan maka kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis dari dimensi ekonomi berada pada status cukup bekelanjutan. Nilai stress yang diperoleh untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya ikan pelagis adalah 14,7 persen. Nilai stress yang didapat sudah memenuhi kondisi fit atau hasil analisis yang didapat cukup baik karena S < 25 persen. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh (R2) sebesar 91,62 persen yang berarti model dengan menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 91,62 persen dari model yang ada. Tabel 33 menunjukkan beberapa nilai statistik yang diperoleh dengan menggunakan metode MDS.
Tabel 33. Nilai statistik dari hasil analisis menggunakan Rapfish pada dimensi ekonomi No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1470 14,7 2 R2 0,9162 91,62 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan pelagis ditunjukkan pada Gambar 35. Gambar 35 menunjukkan bahwa ada lima faktor pengungkit utama aspek keberlanjutan dimensi ekonomi pada sumberaya perikanan pelagis, yaitu adalah penyerapan tenaga kerja, keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, sumberdaya ikan luar, dan tujuan pemasaran. Leverage of Attributes Kepemilikan Usaha
5,31
Attribute
Penyerapan tenaga kerja
14,15
Keuntungan
10,74
Kontribusi terhadap PDRB
20,19
Sumberdaya ikan luar
18,09
Tujuan pemasaran
8,43
Sumber Pendapatan lain
0,77 0
5
10
15
20
25
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 35. Faktor pengungkit dimensi ekonomi pada sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
150
Munculnya faktor pengungkit utama berupa penyerapan tenaga kerja, keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, sumberdaya ikan luar, dan tujuan pemasaran menjelaskan bahwa atribut-atribut tersebut sangat sensitif terhadap status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis dari dimensi ekonomi. Berdasarkan hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya perikanan pelagis mengalami banyak gangguan (pertubation) dari dimensi ekonomi, hal ini ditunjukkan dengan plot biru yang menyebar (Gambar 36). RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 36. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi ekonomi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 7.1.3.3 Dimensi Sosial Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta rata-rata laju pertumbuhan nelayan selama sepuluh tahun terakhir adalah -0,0962 (Tabel 34). Semakin kecil tingkat pertumbuhan jumlah masyarakat yang bergerak dibidang perikanan maka semakin kecil penambahan tingkat kebutuhan akan sumberdaya perikanan (memperkecil risiko/ancaman terhadap keberlanjutan usaha perikanan di wilayahnya (Hartono et.al 2005).
151
Tabel 34. Laju pertumbuhan nelayan Jakarta Tahun 2001-2011 Tahun
Jumlah Nelayan
Laju Pertumbuhan Nelayan
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
23.941 26.353 26.601 24.095 24.036 24.990 22.690 30.091 23.827 23.796 20.550
0,1007 0,0094 -0,0942 -0,0024 0,0397 -0,0920 0,3262 -0,2082 -0,0013 -0,1364 -1,0000 -0,0962
Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Tabel 35. Keuntungan per upaya tangkap yang diperoleh nelayan ikan pelagis Tahun
Effort
Volume Produksi
Harga (juta/ton)
Biaya (juta Rp)
KUT (juta Rp)
Keuntungan per bulan (juta Rp)
1997
105.617,27
12.574,83
3,56
0,046
0,38
6,29
1998
179.498,67
10.837,27
3,62
0,047
0,17
2,87
1999
142.658,69
15.013,99
4,42
0,057
0,41
6,81
2000
63.414,45
11.236,23
4,68
0,060
0,77
12,81
2001
64.897,65
5.759,78
5,33
0,069
0,40
6,74
2002
59.702,10
6.186,80
6,04
0,078
0,55
9,13
2003
81.319,77
8.431,46
6,54
0,084
0,59
9,89
2004
80.775,01
9.935,04
6,83
0,088
0,75
12,54
2005
80.585,53
10.640,16
7,43
0,096
0,89
14,76
2006
80.280,77
12.562,27
8,18
0,105
1,17
19,57
2007
80.989,97
8.911,08
8,52
0,110
0,83
13,79
2008
197.323,45
7.127,07
9,35
0,120
0,22
3,62
2009
196.799,55
7.273,20
10,10
0,130
0,24
4,05
2010
224.245,59
4.678,12
11,28
0,145
0,09
1,50
2011
201.360,07
3.515,88
11,80
0,152
0,05
0,90
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Rata-rata effort nelayan dalam satu tahun adalah 200 trip maka keuntungan yang diperoleh nelayan per bulan pada tahun 2011 adalah Rp90.000,- . UMR pada
152
tahun 2011 adalah Rp1.529.150,-. Hal ini berarti pendapatan yang diperoleh nelayan ikan pelagis pada tahun 2011 jauh berada di bawah UMR. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih, diketahui bahwa sebagian besar nelayan yang menangkap ikan pelagis berpendidikan setingkat SD. Tingkat pendidikan yang rendah pada masyarakat nelayan Jakarta juga berdampak pada tingkat pengetahun nelayan terhadap isu-isu lingkungan yang sangat terbatas. Berdasarkan hasil wawancara pula diketahui bahwa konflik antar nelayan, baik antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang maupun antara nelayan lokal jarang terjadi wilayah perairan Jakarta. Namun, konflik antar stakeholders yang berkepentingan secara langsung maupun tidak langsung dengan aktivitas penangkapan ikan sering terjadi. Seperti diketahui sebelumnya, wilayah perairan Jakarta merupakan wilayah perairan yang paling strategis untuk wilayah Indonesia bagian barat sehingga banyak kepentingan, baik kepentingan pemerintah DKI Jakarta, pemerintah pusat maupun investor untuk memanfaatkan wilayah perairan Jakarta. Di dalam lingkup Provinsi DKI Jakarta saja terjadi perbedaan kepentingan dalam mengelola wilayah perairan DKI Jakarta dan sering kali pembangunan wilayah perairan Jakarta tidak memasukan kesejahteraan nelayan sebagai salah satu indikator keberhasilannya. Hasil wawancara dengan responden juga memberikan informasi bahwa tingkat keterlibatan anggota keluarga dalam usaha perikanan tangkap dengan menggunakan jaring insang, pancing dan payang hampir tidak ada. Sebagian besar nelayan tidak menginginkan anaknya mengikuti usaha yang sama di masa depan. Frekuensi pertemuan antar warga nelayan penangkap ikan pelagis jarang dilakukan karena nelayan payang, gill net dan pancing belum banyak yang membentuk kelompok (KUB).
153
Tabel 36. Hasil penilaian untuk atribut pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan pelagis No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Laju pertumbuhan 0 2 0 Buku statistik kelautan dan jumlah nelayan perikanan Prov. DKI dalam 10 tahun Jakarta 2 Pendidikan 2 0 0 Nilai modus 3 2 0 1 Nilai modus Environmental knowledge 4 Status dan 0 2 2 Nilai modus, expert frekuensi konflik meeting 5 Partisipasi 1 0 0 Nilai modus keluarga 6 2 0 1 Nilai modus Socialisation of fishing 7 Frekuensi 3 0 2 Nilai modus penyuluhan dan pelatihan 8 Pengaruh nelayan 2 0 0 Nilai modus 9 2 0 1 Nilai modus Fishing Income 10 KUT per bulan 2 0 0 Analisis Bioekonomi, dibanding UMR perhitungan KUT Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai skor ini kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik Rapfish. Hasil ordinasi pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan pelagis dapat dilihat pada Gambar 37. RAPFISH Ordination
Other Distingishing Features
60 UP 40 20 0 -20
32,06
BAD 0
20
40
GOOD 60
80
100
120
Real Fisheries References Anchors
-40 -60
DOWN Fisheries Sustainability
Gambar 37. Status keberlanjutan dimensi sosial pada sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
154
Nilai indeks keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis pada dimensi sosial yang diperoleh dengan teknik Rapfish adalah 32,06. Berdasarkan kriteria keberlanjutan maka status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis pada dimensi sosial berada pada status kurang berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh pada dimensi sosial untuk sumberdaya ikan pelagis adalah 0,1345 (13,45 persen) atau masih dibawah 25 persen sehingga analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi good of fit. Nilai R2 yang diperoleh adalah 94,95 persen yang berarti model dengan menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 94,95 persen dari model yang ada. Beberapa nilai statistik yang diperoleh dengan menggunakan teknik Rapfish dapat dilihat pada Tabel 37.
Tabel 37. Nilai statistik pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan pelagis No Atribut Statistik 1 Stress 2 R2 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Nilai Statistik 0,1345 0,9495
Persentase 13,45 94,95
Hasil analisis Rapfish masih bersifat umum sehingga atribut-atribut sosial yang digunakan perlu dianalisis lagi agar diketahui atribut sosial mana yang paling sensitif mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis di Provinsi DKI Jakarta, yaitu melalui analisis leverage. Analisis leverage digunakan untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap skor keberlanjutan jika salah satu atribut dikeluarkan dari analisis. Perhitungan analisis leverage dilakukan dengan metode stepwise yaitu membuang setiap atribut secara berurutan satu per satu kemudian menghitung berapa nilai error atau root mean square (RMS) tersebut dibandingkan dengan RMS yang dihasilkan pada saat seluruh atribut dimasukkan. Dalam statistik metode ini dikenal dengna metode Jacknife (Kavanagh 2001). Hasil analisis leverage dapat dilihat pada Gambar 38. Berdasarkan Gambar 38 diketahui bahwa tidak ada atribut pada dimensi sosial yang dominan. Menurut Pitcher dan Preikshot (2001), apabila nilai faktor (atribut) pengaruh secara merata berada pada rentang dua persen dan enam persen serta tidak ada faktor pengaruh yang bernilai lebih dari delapan persen maka tidak ada atribut yang dominan dalam dimensi tersebut.
155
Attribute
Leverage of Attributes Partisipasi keluarga Pengaruh nelayan Frekuensi penyuluhan/pelatiha Sosialization of fishing Fishing income KUT per bulan thd UMR Status/Frekuensi konflik Tingkat pendidikan Pengetahuan Laju pertumbuhan nelayan
2,09 3,03 4,17 4,54 4,92 5,02 4,89 3,52 3,67 0,53
0 2 4 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
6
Gambar 38. Analisis distribusi leverage pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 39 adalah hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi sosial. Gambar 39 menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis pada dimensi sosial telah mengalami banyak ‘gangguan’ yang diketahui dari plot biru yang menyebar. RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot Other Distingishing Features
60 40 20 0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 39. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi sosial Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
156
7.1.3.4 Dimensi Teknologi Penentuan indeks status keberlanjutan teknologi perikanan tangkap dimulai dengan penentuan skor pada setiap atribut dalam dimensi teknologi berdasarkan realitas data di lapangan baik dengan wawancara dan pengamatan (data primer) maupun dengan menggunakan data sekunder. Alat tangkap untuk sumberdaya perikanan pelagis yang dianalisis adalah gill net, payang dan pancing. Payang dan gill net adalah alat tangkap yang aktif sedangkan pancing adalah alat tangkap pasif sehingga berdasarkan jumlah trip (effort) tiap pada alat tangkap tersebut maka dapat disimpulkan sebagian besar nelayan penangkap ikan pelagis menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif. Dari jumlah effort juga diketahui bahwa pada alat tangkap gill net, pancing dan payang tidak terjadi pernambahan effort yang besar. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih didapatkan fakta bahwa : 1) Lama trip nelayan mengoperasikan alat tangkapnya adalah satu hari karena aktivitas perikanan tangkap nelayan Jakarta didominasi oleh usaha penangkapan ikan skala kecil; 2) Sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapannya sesaat setelah tiba di PPI atau TPI, dan ikan yang dijual adalah ikan segar tanpa melalui perlakuan apapun; 3) Aktivitas penangkapan sumberdaya ikan pelagis sebagian besar menggunakan kapal berukuran 1-5 GT dengan ukuran kapal 2-5 meter. 4) Penggunaan alat tangkap bantu yang bersifat destruktif sudah sangat jarang ditemui. Secara ringkas penilaian untuk setiap atribut teknologi pada sumberdaya pelagis disajikan pada Tabel 38.
157
Tabel 39. Hasil penilaian setiap atribut dimensi keberlanjutan teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Pilihan terhadap tempat 0 2 0 Pengamatan pendaratan ikan langsung, expert meeting 2 Lama trip penangkapan 0 2 0 Nilai modus 3 Jenis/sifat alat tangkap 0 2 0 Nilai modus, pengamatan langsung 4 Selektivitas alat tangkap 2 0 0 Nilai modus 5 Penanganan di kapal 3 0 0 Nilai modus sebelum didaratkan 6 Ukuran kapal 0 2 0 Nilai modus penangkapan 7 Penanganan pasca 2 0 0 Nilai modus panen 8 Penggunaan alat bantu 0 2 0 Nilai modus perikanan yang destruktif 9 Perubahan daya tangkap 0 2 2 Data sekunder Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Analisis Rapfish pada dimensi teknologi berjumlah sembilan atribut. Nilai skor pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis kemudian dianalisis dengan teknik Rapfish. Hasil yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan teknik Rapfish adalah nilai indeks keberlanjutan pada dimensi teknologi untuk sumberdaya ikan pelagis (Gambar 40).
158
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 48,84
20 0
BAD 0
Real Fisheries
GOOD 20
40
60
80
-20
100
120
References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 40. Posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi teknologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Indeks keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi teknologi adalah 48,84. Berdasarkan kriteria status keberlanjutan maka sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi teknologi berada pada kondisi kurang berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh dari dimensi teknologi adalah 13,91 persen atau masih kurang dari 25 persen yang berarti hasil analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi good of fit. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah 92,84 persen yang berarti peubah-peubah yang digunakan dapat menjelaskan model sebesar 92,84 persen. Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish untuk dimensi teknologi pada sumberdaya perikana pelagis dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39. Nilai statistik dari hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1391 13,91 2 R2 0,9284 92,84 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil analisis sensitifitas atau leverage menggambarkan kondisi atributatribut teknologi yang sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis. Berdasarkan analisis leverage, atribut-atribut yang perlu
159
mendapat perhatian adalah perubahan daya tangkap, penggunaan alat bantu destruktif, penanganan pasca panen, selektivitas alat tangkap, jenis/sifat alat tangkap, dan lama trip. Leverage of Attributes Penanganan di kapal
5,34
ukuran kapal penangkapan
3,12
Attribute
Penanganan pasca panen
9,47
penggunaan alat bantu destruktif
13,52
perubahan daya tangkap
17,87
Selektivitas alat tangkap
15,99
Jenis/ sifat alat tangkap
11,85
Lama trip
9,11
Pilihan thd tempat pendaratan ikan
5,48 0
5
10
15
20
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 41. Hasil analisis distribusi leverage pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 42 menunjukkan hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi teknologi. Berdasarkan hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya ikan pelagis pada dimensi tekonologi telah mengalami banyak pertubasi. Hal ini ditunjukkan oleh plot biru yang menyebar.
160
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 41. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi teknologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 7.1.3.5 Dimensi Kelembagaan Penilaian atribut pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya pelagis secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 40.
Tabel 40. Hasil penilaian setiap atribut keberlanjutan dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Ketersediaan 2 0 1 Data sekunder, expert peraturan formal meeting, nilai modus dari dalam hasil wawancara dengan pengelolaan responden perikanan 2 4 0 0 Nilai modus, expert Just management meeting 3 0 2 1 Nilai modus Illegal fishing 4 3 0 2 Pengamatan langsung Adjacency and Nilai modus reliance 5 2 0 0 Nilai modus Equity in entry to fishery 6 2 0 2 Nilai modus Alternatives 7 Peranan lembaga 3 0 1 Pengamatan langsung, formal (DKP) expert meeting Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
161
Nilai skor pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis kemudian dianalisis dengan teknik Rapfish. Hasil yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan teknik Rapfish adalah nilai indeks keberlanjutan pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan pelagis (Gambar 43). RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 20 0 0
Real Fisheries
GOOD
BAD 20
-20
40
42,21
60
80
100
120
References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 43. Posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi kelembagaan Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Indeks keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi kelembagaan adalah 42,21. Berdasarkan kriteria status keberlanjutan maka sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi kelembagaan berada pada kondisi kurang berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh dari dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis adalah 14,36 persen atau masih kurang dari 25 persen yang berarti hasil analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi good of fit. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah 94,79 persen yang berarti peubah-peubah yang digunakan dapat menjelaskan model sebesar 94,79 persen. Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish untuk dimensi kelembagaan pada sumberdaya perikanan pelagis dapat dilihat pada Tabel 41.
162
Tabel 41. Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1436 14,36 2 2 R 0,9479 94,79 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan analisis leverage diketahui bahwa tidak ada atribut-atribut yang dominan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi kelembagaan (Gambar 44). Leverage of Attributes ilegal fishing
4,70
Attribute
alternatives
5,63
adjacency and reliance
6,15
equity in entry to fishery Peranan lembaga formal
7,68 1,21
just management ketersediaan peraatutan formal
5,52 2,92
0 2 4 6 8 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
10
Gambar 44. Hasil analisis distribusi leverage pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 45 menunjukkan hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya ikan pelagis pada dimensi kelembagaan telah mengalami banyak pertubasi. Hal ini ditunjukkan oleh plot biru yang menyebar.
163
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 45. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan pelagis pada dimensi kelembagaan Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 7.1.4
Hasil Analisis Monte Carlo (Selang Kepercayaan 95 persen) Analisis monte carlo merupakan serangkaian proses simulasi yang
berlangsung untuk menguji pengaruh dari beragam kekeliruan (ketidak-pastian), baik yang berkenaan dengan scoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan perikanan. Menurut Law dan Kelton (2000), simulasi Monte Carlo yang umumnya statik, digunakan untuk memecahkan permasalahan stokastik atau deterministik tertentu. Tabel 42 menyajikan perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dengan hasil analsis monte carlo. Tabel 42. Perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dan Monte Carlo (selang kepercayaan 95%) pada sumberdaya ikan pelagis Dimensi MDS Monte Carlo Perbedaan Ekologi 23,46 24,33 0,80 Ekonomi 54,94 54,25 0,69 Sosial 32,05 32,84 0,71 Teknologi 48,84 49,22 0,38 Kelembagaan 42,21 42,03 0,18 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Hasil perbadingan antara analisis monte carlo dengan selang kepercayaan 95 persen dan analisis MDS (Tabel 42) menunjukkan bahwa nilai indeks keberlajutan yang didapat pada setiap dimensi tidak banyak mengalami perbedaan
164
(< 1). Kecilnya perbedaan ini mengindikasikan bahwa (1) kesalahan dalam pembuatan skor pada setiap atribut relatif kecil, (2) ragam pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil, (3) proses analisis yang dilakukan secara berulang stabil, dan (4) kesalahan pemasukkan data dan data yang hilang dapat dihindari. Dengan demikian diketahui bahwa hasil analisis keberlanjutan yang dilakukan dengan teknik Rapfish untuk sumberdaya perikanan pelagis memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
7.2. Status Keberlanjutan Sumberdaya Ikan Demersal 7.2.1
Analisis MDS dengan Teknik Rapfish Dengan menggunakan analisi MDS untuk menentukkan status sumberdaya
ikan demersal secara keseluruhan didapat bahwa indeks keberlanjutan sumberdaya demersal adalah sebesar 49,44.
Berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan maka diketahui bahwa sumberdaya ikan demersal berada pada status kurang berkelanjutan (Gambar 46). RAPFISH Ordination
60 Other Distingishing Features
UP 40 20 0 -20
49,44
BAD 0
20
40
60
GOOD 80
100
120
Real Fisheries References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 46 . Hasil MDS untuk sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 7.2.2
Pembobotan Dimensi dengan AHP Hasil analisis MDS dengan menggunakan teknik Rapfish pada setiap
dimensi untuk sumberdaya ikan demersal disajikan pada Gambar 47. Gambar 47 menunjukkan hasil yang hampir sama dengan sumberdaya ikan pelagis, perbedaan indeks keberlanjutan antara sumberdaya ikan pelagis dan demersal hanya terletak
165
pada dimensi sosial. Indeks keberlanjutan dimensi sosial untuk sumberdaya ikan demersal lebih tinggi sedikit daripada ikan pelagis tetapi status keberlanjutan keduanya berada pada status kurang berkelanjutan. DIAGRAM LAYANG-LAYANG Ekologi
100 80 60 4023,46 Kelembagaan 42,2120 0 44,43
54,94
Ekonomi
DEMERSAL
48,84
Sosial
Teknologi
Gambar 47. Diagram layang untuk sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Indeks keberlanjutan pada setiap dimensi kemudian diberikan bobot untuk menilai status keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal secara keseluruhan. Berdasarkan hasil pembobotan pada kelima dimensi keberlanjutan pada sumberdaya perikanan demersal melalui judgement pakar didapatkan hasil seperti yang ditunjukkan pada Gambar 48. Kelembagaan
5,70
Sosial
5,92
Teknologi
5,64
Ekonomi
9,79
Ekologi 0,000
10,10 2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
Gambar 48. Hasil pembobotan pada dimensi keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
166
Berdasarkan hasil analisis urutan prioritas diketahui bahwa dimensi ekologi
merupakan
dimensi
yang
paling
mempengaruhi
keberlanjutan
sumberdaya perikanan demersal di Provinsi DKI Jakarta sehingga kebijakan yang paling tepat untuk meningkatkan keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal di Provinsi DKI Jakarta adalah mengutamakan perbaikan ekologi perairan. Berbeda dengan sumberdaya ikan pelagis dimana dimensi ekonomi mendapatkan urutan tertinggi pada sumberdaya ikan demersal dimensi ekologi adalah yang terpenting. Hal tersebut dikarenakan perbedaan karakteristik sumberdaya antara ikan pelagis dan demersal. Widodo (1980) mengungkapkan perubahan ikan demersal berdasarkan sifat ekologinya, yaitu reproduksi yang stabil, hal ini disebabkan oleh habitat di lapisan dasar laut yang relatif stabil sehingga mengakibatkan daur hidup ikan demersal juga stabil dan ikan demersal mempunyai daerah ruaya yang sempit, ikan demersal cenderung menempati suatu daerah dengan tidak membentuk kelompok besar. Oleh karena itu, besar kesediaannya sangat dipengaruhi oleh luas dan kondisi daerah yang ditempatinya. Apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan pelagis masih mampu beruaya ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya sedangkan jenis ikan demersal tidak mampu untuk menghindar sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan demersal. Berdasarkan Gambar 48 juga diketahui bahwa setelah dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan teknologi juga berpengaruh kuat terhadap meningkatnya keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal. Ketiga dimensi ini memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keberlanjutan pada sumberdaya ikan demersal bertolak pada dimensi ekologi. Keberlanjutan pada dimensi ekologi terutama dipengaruhi oleh ketersediaan stok sumberdaya ikan diperairan yang sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan. Jika ketersediaan stok meningkat akibat adanya perbaikan pada kondisi perairan maka secara langsung akan mempengaruhi tingkat keuntungan yang diperoleh nelayan. Keuntungan yang meningkat akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan nelayan melalui pendapat yang layak sehingga nelayan mempunyai lebih banyak sumberdaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
167
Untuk menentukan status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal secara keseluruhan mencakup lima dimensi, dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai yang didapat dari hasil pembobotan. Berdasarkan hasil penjumlahan maka indeks keberlanjutan sumberdaya ikan deemersal adalah 37,15 sehingga menurut kriteria status keberlajutan maka status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal adalah kurang berkelanjutan (Lampiran 56). 7.2.3 Status Keberlanjutan Setiap Dimensi pada Sumberdaya Perikanan Demersal 7.2.3.1 Dimensi Ekologi Berdasarkan hasil analisis bioekonomi (Tabel 43) pada sumberdaya ikan demersal didapatkan bahwa persentase tingkat produksi dan tingkat effort aktual terhadap tingkat produksi dan tingkat effort pada kondisi MSY berturut-turut sebesar 99,2 persen dan 195,6 persen. Nilai persentase di atas seratus persen menunjukkan bahwa nilai aktual lebih besar dibandingkan dengan nilai optimal sehingga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi kelebihan input (trip) yang digunakan namun demikian kenaikan input tidak dibarengi dengan kenaikan output yang dihasilkan sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas penangkapan sumberdaya perikanan demersal telah mengalami overexploited.
Tabel 43. Perbandingan kondisi aktual terhadap kondisi MSY dan MEY pada sumberdaya perikanan demersal % aktual % aktual Pemanfaatan Aktual MSY MEY thd MEY thd MSY Schnute Biomass (x) (ton) 51.338,8 52.374,7 Produksi (h) 20.847,6 21.014,0 99,2 21.005,5 99,2 (ton) Effort (E)(trip) 115.176 58.876 195,6 57.690 199,6 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Selain hasil analisis bioekonomi, penilaian skor atibut dalam dimensi ekologi juga didasarkan pada hasil wawancara dengan responden terpilih. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu sebagian besar nelayan menjual seluruh hasil tangkapannya berapa pun harganya, telah terjadi sedikit penurunan ukuran ikan demersal tertangkap dan jumlah jenis ikan demersal yang tertangkap berkurang 1-10 jenis
168
dalam kurun waktu lima tahun, juga telah terjadi pengurangan lokasi area tangkap yang sangat banyak dan cepat. Selain itu, berdasarkan pengamatan langsung, expert meeting, dan hasil wawancara dengan responden juga diketahui bahwa tekanan pemanfaatan perairan di Jakarta sudah sangat tinggi. Tabel
44
menunjukkan realitas berupa skor pada setiap atribut dalam dimensi ekologi untuk sumberdaya ikan demersal. Tabel 44. Nilai skor pada dimensi ekonomi untuk sumberdaya ikan demersal No
Indikator
Baik
Buruk
Skor
Penilaian Analisis bioekonomi Nilai modus
1
Tingkat eksploitasi
0
3
3
2
Proporsi ikan yang dibuang Tekanan pemanfaatan perairan
0
2
0
0
2
2
Nilai modus dan expert meeting
Tingkatan kolaps 0 Ukuran ikan 0 tertangkap 6 Jumlah jenis ikan 0 tertangkap Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
2 2
2 1
Nilai modus Nilai modus
2
1
Nilai modus
3 4 5
Nilai skor tersebut kemudian dianalisis menggunakan alat analisis Rapfish. Gambar 49 menunjukkan hasil Rapfish yang menunjukkan kondisi atau status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi ekologi. Nilai skor keberlanjutan pada dimensi ekologi yang diperoleh adalah 23,46 maka berdasarkan klasifikasi kondisi atau status keberlanjutan, kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan demersal berada pada status tidak berkelanjutan.
169
RAPFISH Ordination 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 BAD
0 0
20
23,46 40
GOOD 60
80
-20
100
120
Real Fisheries References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 49. Posisi status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal pada dimensi ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Nilai stress yang diperoleh untuk dimensi ekologi adalah 14,3 persen. Menurut Nilai stress yang didapat sudah memenuhi kondisi fit atau hasil analisis yang didapat cukup baik karena S < 25%. Nilai koefisien determinasi (selang kepercayaan) yang diperoleh (R2) sebesar 94,38 persen yang berarti model dengan menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 94,38 persen dari model yang ada. Tabel 45 menunjukkan beberapa nilai statistik yang diperoleh dengan menggunakan teknik Rapfish. Tabel 45. Nilai statistik dari hasil analisis menggunakan metode MDS pada dimensi ekologi No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1430 14,3 2 R2 0,9438 94,38 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Berdasarkan leverage analysis diketahui bahwa dari enam atribut yang dianalisis ada satu atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan perikanan demersal, yaitu tingkat eksploitasi. Berbeda dengan ikan pelagis, ikan demersal merupakan jenis ikan dengan wilayah migrasi yang relatif sempit oleh sebab itu kondisi perairan akan sangat mempengarui keberlanjutan sumberdaya ini. Atribut
170
tekanan pemanfaatan perairan menggambarkan kondisi perairan sedangkan atribut tingkatan kolaps dan tingkatan ekslpoitasi menggabarkan kondisi eksploitasi sumberdaya ikan demersal. Atribut ini perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik agar nilai indeks dimensi ekologi pada sumberdaya ikan demersal dapat meningkat di masa depan. Leverage of Attributes proporsi ikan yang dibuang
2,4
Attribute
range collapse
4,7
exploitation status
8,0
Tekanan pemanfaatan perairan
6,7
species caught
7,8
size of fish caught
2,4 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 50. Faktor pengungkit pada dimensi ekologi untuk sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Dari hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya ikan demersal dari dimensi ekologi sudah mengalami banyak pertubasi yang ditunjukkan pada gambar plot yang menyebar (Gambar 51).
171
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 51. Hasil analisis monte carlo pada sumberdaya ikan demersal pada dimensi ekologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
7.2.3.2 Dimensi Ekonomi Skoring pada atribut kontribusi sektor perikanan dan penyerapan tenaga kerja pada sumberdaya ikan pelagis dan demersal bersumber dari data yang sama karena keterbatasan data dan informasi. Skoring untuk atribut keuntungan didasarkan pada hasil analisis bioekonomi dan analisis kelayakan investasi. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi untuk sumberdaya perikanan demersal didapatkan hasil bahwa keuntungan yang diperoleh pada kondisi aktual adalah sebesar Rp22.522,36 juta sedangkan pada kondisi MSY keuntungan optimal yang dapat diperoleh adalah sebesar Rp64.523,24 juta (Tabel 46). Tabel 46. Perbandingan tingkat keuntungan pada kondisi aktual, MSY dan MEY Kondisi Pengelolaan
Harga (juta/ton)
Biaya (juta/trip)
20.847,6
5,87
58.879
21.014
57.690
21.005,5
Effort
Produksi
Aktual
115.175
MSY MEY
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Total cost
Total Revenue
Profit
0,08
9.733,52
122.313,78
112.580,3
5,87
0,08
4.975,85
123.290,2
118.314,4
5,87
0,08
4.875,44
123.240
118.364,6
172
Perhitungan analisis kelayakan investasi pada alat tangkap ikan demersal didapatkan hasil seperti disajikan pada Tabel 47.
Tabel 47. Hasil perhitungan NPVdan IRR pada alat tangkap ikan demersal Keterangan NPV IRR (6%)
Umur 10 tahun 10 tahun
Muroami Dogol Bubu Rampus Rata-rata 46.729.340 25.953.572 6.164.502 7.737.588 21.646.250 27% 28% 18% 19% 23%
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan hasil perhitungan analisis kelayakan investasi untuk usaha perikanan demersal dapat disimpulkan bahwa usaha perikanan demersal dengan menggunakan alat tangkap yang diteliti adalah usaha yang layak (NPV >0 dan IRR>6%). Nilai IRR rata-rata adalah 1,23 persen, yang berarti bahwa usaha penangkapan ikan demersal mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan 23 persen per tahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur usaha sepuluh tahun. Berdasarkan kriteria pada atribut keuntungan dilihat dari perolehan keuntungan dengan analisis bioekonomi yang kemudian disesuaikan dengan hasil analisis kelayakan investasi maka disimpulkan bahwa usaha penangkapan ikan dmersal hanya mendapat sedikit keuntungan. Tabel 48 menunjukkan persentase sumberdaya ikan demersal yang berasal dari luar Jakarta dibandingkan total sumberdaya ikan demersal yang didaratkan di Jakarta.
173
Tabel 48. Proporsi sumberdaya ikan demersal yang didatangkan dari luar Jakarta dibandingkan dengan total produksi Jakarta Persentase Ikan Volume Produksi (ton) Tahun Total Luar thd Total Ikan Lokal Ikan Luar Produksi 1997 1.958,626 6.237,993 8.196,619 76,10 1998 983,400 6.909,269 7.892,669 87,54 1999 1.405,451 7.624,967 9.030,418 84,44 2000 1.070,211 7.320,997 8.391,208 87,25 2001 1.210,622 7.523,352 8.733,974 86,14 2002 1.716,835 5.776,421 7.493,256 77,09 2003 1.725,747 1.782,608 3.508,355 50,81 2004 1.974,786 1.638,269 3.613,055 45,34 2005 1.335,133 1.998,752 3.333,885 59,95 2006 2.058,717 16.332,617 18.391,334 88,81 2007 5.081,652 14.649,362 19.731,014 74,25 2008 4.283,030 11.839,914 16.122,944 73,44 2009 9.761,215 18.388,552 28.149,767 65,32 2010 15.616,306 9.693,560 25.309,866 38,30 2011 20.847,601 11.003,029 31.850,630 34,55 68,62 Rata-rata Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Skoring untuk atribut kepemilikan, other income, orientasi pasar didasarkan pada hasil wawancara dengan responden terpilih. Tabel 49 menunjukkan hasil skoring untuk atribut ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal. Tabel 49. Hasil penilaian atribut ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal No 1 2
3 4
Indikator Keuntungan Kontribusi perikanan terhadap PDRB
Baik 4
Buruk 0
Skor 3
2
0
0
2 2
0 2
Nilai modus DKP, 2012
3 2
3 0
2
0
Nilai modus Nilai modus, expert meeting BPS dan DKP Jakarta, 2012
Kepemilikan 0 Sumberdaya ikan 0 luar Jakarta 5 0 Other income 6 Orientasi 0 pemasaran 7 Penyerapan 0 tenaga kerja Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Dasar Penilaian Analisis bioekonomi,NPV dan IRR Persentase PDRB perikanan dibanding total PDRB (BPS)
174
Nilai skor yang diperoleh untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal kemudian dianalisis dengan teknik Rapfsh. Hasil analisis Rapfish ditunjukkan pada Gambar 52. RAPFISH Ordination 60 Other Distingishing Features
UP 40 20 0 -20
GOOD
BAD 0
20
40
60 54,94
80
100
120
Real Fisheries References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 52. Status keberlanjutan dimensi ekonomi pada sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil yang diperoleh dengan menggunakan Rapfish menunjukkan nilaiindeks keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi ekonomi adalah sebesar 54,94. Berdasarkan klasifikasi kondisi atau status keberlanjutan maka kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dari dimensi ekonomi berada pada status cukup berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal adalah 14,7 persen. Nilai stress yang didapat sudah memenuhi kondisi fit atau hasil analisis yang didapat cukup baik karena S kurang dari 25 persen. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh sebesar 91,62 persen yang berarti model dengan menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 91,62 persen dari model yang ada. Tabel 50 menunjukkan beberapa nilai statistik yang diperoleh dengan menggunakan teknik Rapfish.
175
Tabel 50. Nilai statistik dari hasil analisis menggunakan teknik rapfish pada dimensi ekonomi untuk sumberdaya perikanan demersal No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1470 14,7 2 2 R 0,9162 91,62 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil analisis atribut pengungkit (leverage attributes) untuk dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal ditunjukkan pada Gambar 53. Gambar 53 menunjukkan bahwa yang ada lima faktor pengungkit utama aspek keberlanjutan dimensi ekonomi pada sumberdaya perikanan demersal, yaitu penyerapan tenaga kerja, keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, sumberdaya ikan luar, dan tujuan pemasaran. Leverage of Attributes Kepemilikan Usaha
5,31
Attribute
Penyerapan tenaga kerja
14,15
Keuntungan
10,74
Kontribusi terhadap PDRB
20,19
Sumberdaya ikan luar
18,09
Tujuan pemasaran Sumber Pendapatan lain
8,43 0,77
0 5 10 15 20 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
25
Gambar 53. Faktor pengungkit dimensi ekonomi pada sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Munculnya faktor pengungkit utama berupa penyerapan tenaga kerja, keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, sumberdaya ikan luar, dan tujuan pemasaran menjelaskan bahwa atribut-atribut tersebut sangat sensitif terhadap status keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal dari dimensi ekonomi. Berdasarkan hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya perikanan demersal mengalami banyak gangguan (pertubation) dari dimensi ekonomi, hal ini ditunjukkan dengan plot biru yang menyebar (Gambar 54).
176
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 54. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi ekonomi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
7.2.3.3 Dimensi Sosial Skoring untuk atribut laju pertumbuhan nelayan selama sepuluh tahun terakhir dan frekuensi konflik untuk sumberdaya perikanan demersal sama dengan skor atribut ini untuk sumberdaya perikanan pelagis. Untuk atribut keuntungan per upaya tangkap dalam satu bulan seperti disajikan pada Tabel 51. Dari Tabel 51 diketahui bahwa KUT dalam satu bulan pada untuk sumberdaya ikan demersal Tahun 2011 berada di atas UMR. Hasil ini mendukung hasil analisis degradasi dan depresiasi untuk sumberdaya ikan demersal yang menunjukkan bahwa aktivitas penangkapan sumberdaya ikan demersal belum mengalami degradasi dan depresiasi. Dengan demikian aktivitas penangkapan sumberdaya ikan demersal walaupun sudah mengalami biological dan economic overfishing (berdasarkan hasil analisis bioekonomi) namun masih memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingan dengan UMR.
177
Tabel 51. Keuntungan per upaya tangkap nelayan demersal Tahun 1997-2011 Tahun
Effort
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Volume Produksi
55.537 2.390,41 103.362 1.835,12 132.997 2.451,19 93.408 2.227,45 100.377 2.123,24 133.727 2.997,52 134.738 1.950,29 150.768 2.074,47 85.429 1.476,55 46.027 2.323,68 34.858 5.104,64 36.421 4.283,03 55.244 9.761,22 102.137 15.616,31 115.175 20.847,60
Harga (juta Rp) 2,906 2,962 3,614 3,823 4,359 4,936 5,342 5,586 6,074 6,682 6,960 7,643 8,256 9,217 9,645
Biaya (juta Rp) 0,04 0,04 0,05 0,06 0,06 0,07 0,08 0,08 0,09 0,10 0,10 0,11 0,12 0,13 0,14
KUT (juta Rp) 0,08 0,01 0,01 0,04 0,03 0,04 0,00 0,00 0,02 0,24 0,92 0,79 1,34 1,28 1,61
Keuntungan per bulan (juta Rp) 1,39 0,17 0,24 0,60 0,49 0,66 0,01 -0,06 0,29 4,02 15,32 13,15 22,33 21,27 26,78
Sumber : Hasil Analisis Data,2013 Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih, diketahui bahwa sebagian besar nelayan penangkap ikan demersal berpendidikan setingkat SD. Tingkat pendidikan yang rendah pada masyarakat nelayan Jakarta juga berdampak pada tingkat pengetahuan nelayan terhadap isu-isu lingkungan yang sangat terbatas. Hasil wawancara dengan responden juga memberikan informasi bahwa tingkat keterlibatan anggota keluarga dalam usaha penangkapan ikan demersal hampir tidak ada. Sebagian besar nelayan tidak menginginkan anaknya mengikuti usaha yang sama di masa depan. Frekuensi pertemuan antar nelayan penangkap ikan demersal cukup sering dilakukan terutama untuk nelayan yang telah bergabung dalan satu kelompok. Sosialisasi pekerjaan pada nelayan penangkap ikan pelagis dilakukan pada kelompok-kelompok usaha (KUB). Pada umumnya, nelayan sudah mempunyai kesadaran untuk berkelompok. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, penyuluhan atau pelatihan untuk nelayan paling tidak dilaksanakan 1-5 kali dalam setahun. Pelatihan atau penyuluhan diselengarakan oleh Pemprov DKI Jakarta maupun pemerintah pusat. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan terpilih dan para pakar, keterlibatan nelayan dalam penyusunan regulasi pengelolaan perikanan tidak ada. Secara lengkap, penilaian
178
untuk kesembilan atribut pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan demersal ditunjukkan pada Tabel 52. Tabel 52. Hasil penilaian setiap atribut dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan demersal No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Laju pertumbuhan 0 2 0 Buku statistik kelautan dan jumlah nelayan perikanan Prov. DKI dalam 10 tahun Jakarta 2 Pendidikan 2 0 0 Nilai modus 3 2 0 1 Nilai modus Environmental knowledge 4 Status dan 0 2 2 Nilai modus, expert frekuensi konflik meeting 5 Partisipasi 1 0 0 Nilai modus keluarga dalam pemanfaatan hasil sumberdaya perikanan 6 2 0 1 Nilai modus Socialisation of fishing 7 Frekuensi 3 0 2 Nilai modus penyuluhan dan pelatihan untuk nelayan 8 Pengaruh nelayan 2 0 0 Nilai modus 9 2 0 1 Nilai modus Fishing Income 10 KUT per bulan 2 0 2 Analisis Bionomi, dibanding UMR perhitungan KUT Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai skor ini kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik Rapfish. Hasil ordinasi pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan demersal dapat dilihat pada Gambar 55.
179
RAPFISH Ordination
60 Other Distingishing Features
UP 40 20 44,43 0
GOOD
BAD 0
Real Fisheries
20
40
60
80
-20
100
120
References
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 55. Status keberlanjutan dimensi sosial pada sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai indeks keberlanjutan sumberdaya ikan demersal pada dimensi sosial yang diperoleh dengan teknik Rapfish adalah 44,27. Berdasarkan kriteria keberlanjutan maka status keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis pada dimensi sosial berada pada status kurang berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh pada dimensi sosial untuk sumberdaya ikan pelagis adalah 0,134 (13,4 persen) atau masih dibawah 25 persen sehingga analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi good of fit. Nilai R2 yang diperoleh adalah 94,78 persen yang berarti model dengan menggunakan peubah-peubah saat ini sudah menjelaskan 94,78 persen dari model yang ada. Beberapa nilai statistik yang diperoleh dengan menggunakan teknik Rapfish dapat dilihat pada Tabel 53.
Tabel 53. Nilai statistik pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan demersal No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1340 13,4 2 R2 0,9478 94,78 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil analisis leverage untuk dimensi sosial pada sumberdaya perikanan demersal dapat dilihat pada Gambar 56. Berdasarkan Gambar 56 diketahui bahwa tidak ada atribut yang dominan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal dari dimensi sosial.
180
Leverage of Attributes Partisipasi keluarga
1,96
Pengaruh nelayan
3,57
Frekuensi penyuluhan/pelatiha
2,43
Attribute
Sosialization of fishing
2,05
Fishing income
2,41
KUT per bulan thd UMR
7,35
Status/Frekuensi konflik
5,98
Tingkat pendidikan
4,29
Pengetahuan Laju pertumbuhan nelayan
1,97 1,45
0 2 4 6 8 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 56. Analisis distribusi leverage pada dimensi sosial untuk sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 57 adalah hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi sosial. Gambar 57 menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal pada dimensi sosial telah mengalami banyak gangguan yang diketahui dari plot biru yag menyebar. RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 -20
0
20
40
60
80
100
120
-40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 57. Hasil analisis Monte Carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi sosial
181
7.2.3.4 Dimensi Teknologi Alat tangkap untuk sumberdaya perikanan demersal pelagis yang dianalisis adalah muroami (termasuk didalamnya sero dan bagan), dogol, bubu, dan jaring rampus. Berdasarkan jumlah trip (effort) tiap pada alat tangkap tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar nelayan penangkap ikan demersal menggunakan alat tangkap yang bersifat pasif. Dari jumlah effort juga diketahui bahwa pada alat tangkap tersebut tidak tejadi pernambahan effort yang besar. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden terpilih didapatkan fakta bahwa : 1) Lama trip nelayan mengoperasikan alat tangkapnya adalah satu hari. 2) Sebagian besar nelayan menjual hasil tangkapannya sesaat setelah tiba di PPI atau TPI, dan ikan yang dijual adalah ikan segar tanpa melalui perlakuan apapun; 3) Aktivitas
penangkapan
sumberdaya
ikan
demersal
sebagian
besar
menggunakan kapal berukuran 1-5 GT dengan ukuran kapal 2-5 meter. 4) Penggunaan alat tangkap bantu yang bersifat destruktif sudah sangat jarang ditemui. Secara ringkas penilaian untuk setiap atribut teknologi pada sumberdaya perikanan demersal disajikan pada Tabel 51.
182
Tabel 54. Hasil penilaian setiap atribut keberlanjutan dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Pilihan terhadap 0 2 0 Pengamatan langsung, tempat pendaratan expert meeting ikan 2 Lama trip 0 2 0 Nilai modus penangkapan 3 Jenis/sifat alat 0 2 0 Nilai modus tangkap 4 Selektivitas alat 2 0 0 Nilai modus tangkap 5 Penanganan di 3 0 0 Nilai modus kapal sebelum didaratkan 6 Ukuran kapal 0 2 0 Nilai modus penangkapan 7 Penanganan pasca 2 0 0 Nilai modus panen 8 Penggunaan alat 0 2 0 Nilai modus bantu perikanan yang destruktif 9 Perubahan daya 0 2 2 Data sekunder tangkap Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai skor pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal kemudian dianalisis dengan teknik Rapfish. Hasil yang diperoleh dari analisis dengan menggunakan teknik Rapfish adalah nilai indeks keberlanjutan pada dimensi teknologi untuk sumberdaya ikan demersal (Gambar 58).
183
RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 48,84
20 0
BAD 0
Real Fisheries
GOOD 20
40
60
80
-20
100
120
References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 58. Posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal pada dimensi teknologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Indeks keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal pada dimensi teknologi adalah 48,84. Berdasarkan kriteria status keberlanjutan maka sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi teknologi berada pada kondisi kurang berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh dari dimensi teknologi adalah 13,91 persen atau masih kurang dari 25 persen yang berarti hasil analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi good of fit. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah 92,84 persen yang berarti peubah-peubah yang digunakan dapat menjelaskan model sebesar 92,84 persen. Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish untuk dimensi teknologi pada sumberdaya perikanan demersal dapat dilihat pada Tabel 55.
Tabel 55. Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1391 13,91 2 R2 0,9284 92,84 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Hasil analisis sensitifitas atau leverage menggambarkan kondisi atributatribut teknologi yang sensitif mempengaruhi tingkat keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal (Gambar 57). Berdasarkan analisis leverage, atribut-atribut
184
yang perlu mendapat perhatian adalah perubahan daya tangkap, penggunaan alat bantu destruktif, penanganan pasca panen, selektivitas alat tangkap, jenis/sifat alat tangkap, dan lama trip. Leverage of Attributes Penanganan di kapal
5,34
ukuran kapal penangkapan
3,12
Attribute
Penanganan pasca panen
9,47
penggunaan alat bantu destruktif
13,52
perubahan daya tangkap
17,87
Selektivitas alat tangkap
15,99
Jenis/ sifat alat tangkap
11,85
Lama trip
9,11
Pilihan thd tempat pendaratan ikan
5,48 0
5
10
15
20
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 59. Hasil analisis distribusi leverage pada dimensi teknologi untuk sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 59 menunjukkan hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi teknologi. Berdasarkan hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya ikan demersal pada dimensi tekonologi telah mengalami banyak pertubasi. Hal ini ditunjukkan oleh plot biru yang menyebar.
185
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 60. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi tekonologi Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 7.2.3.5 Dimensi Kelembagaan Penilaian atribut pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya demersal secara ringkas ditunjukkan pada Tabel 56.
Tabel 56. Hasil penilaian setiap atribut keberlanjutan dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal No Indikator Baik Buruk Skor Dasar Penilaian 1 Ketersediaan 2 0 1 Data sekunder, expert peraturan formal meeting, nilai modus 2 4 0 0 Nilai modus, expert Just management meeting 3 0 2 1 Nilai modus Illegal fishing 4 3 0 2 Pengamatan langsung Adjacency and Nilai modus reliance 5 2 0 0 Nilai modus Equity in entry to fishery 6 2 0 2 Nilai modus Alternatives 7 Peranan lembaga 3 0 1 Pengamatan langsung, formal expert meeting Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Nilai skor pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal kemudian dianalisis dengan teknik Rapfish. Hasil yang diperoleh dari
186
dengan menggunakan teknik Rapfish adalah nilai indeks keberlanjutan pada dimensi
kelembagaan
untuk
sumberdaya
ikan
demersal.
Nilai
indeks
keberlanjutan pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan demersal sama dengan nilai indeks keberlanjutan pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya ikan pelagis (Gambar 61). RAPFISH Ordination 60
Other Distingishing Features
UP 40 20 0
BAD 0
-20
Real Fisheries
GOOD 20
40
42,21
60
80
100
120
References Anchors
-40 DOWN -60
Fisheries Sustainability
Gambar 61. Posisi status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis pada dimensi kelembagaan Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Indeks keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal pada dimensi kelembagaan adalah 42,21. Berdasarkan kriteria status keberlanjutan maka sumberdaya perikanan demersal pada dimensi kelembaagn berada pada kondisi kurang berkelanjutan. Nilai stress yang diperoleh dari dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal adalah 14,36 persen atau masih kurang dari 25 yang berarti hasil analisis Rapfish sudah memenuhi kondisi good of fit. Nilai koefisien determinasi yang diperoleh adalah 94,79 persen yang berarti peubahpeubah yang digunakan dapat menjelaskan model sebesar 94,79 persen. Nilai statistik yang diperoleh dari hasil analisis Rapfish untuk dimensi kelembagaan pada sumberdaya perikanan demersal dapat dilihat pada Tabel 57.
187
Tabel 57. Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal No Atribut Statistik Nilai Statistik Persentase 1 Stress 0,1436 14,36 2 2 R 0,9479 94,79 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan analisis leverage diketahui bahwa tidak ada atribut-atribut yang dominan mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal pada dimensi kelembagaan (Gambar 62). Leverage of Attributes ilegal fishing
4,70
Attribute
alternatives
5,63
adjacency and reliance
6,15
equity in entry to fishery Peranan lembaga formal
7,68 1,21
just management ketersediaan peraatutan formal
5,52 2,92
0 2 4 6 8 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
10
Gambar 62. Hasil analisis distribusi leverage pada dimensi kelembagaan untuk sumberdaya perikanan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Gambar 63 menunjukkan hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis monte carlo diketahui bahwa sumberdaya ikan demersal pada dimensi kelembagaan telah mengalami banyak pertubasi. Hal ini ditunjukkan oleh plot biru yang menyebar.
188
RAPFISH Ordination - Monte Carlo Scatter Plot
Other Distingishing Features
60 40 20 0 0
20
40
60
80
100
120
-20 -40 -60
Fisheries Sustainability
Gambar 63. Hasil analisis monte carlo untuk sumberdaya ikan demersal pada dimensi kelembagaan Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 7.2.4
Hasil Analisis Monte Carlo (Selang Kepercayaan 95 persen) Analisis monte carlo merupakan serangkaian proses simulasi yang
berlangsung untuk menguji pengaruh dari beragam kekeliruan (ketidak-pastian), baik yang berkenaan dengan scoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan perikanan. Menurut Law dan Kelton (2000), simulasi Monte Carlo yang umumnya statik, digunakan untuk memecahkan permasalahan stokastik atau deterministik tertentu. Tabel 58 menyajikan perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dengan hasil analsis monte carlo.
Tabel 58. Perbandingan indeks keberlanjutan hasil MDS dan Monte Carlo (selang kepercayaan 95%) pada sumberdaya ikan demersal Dimensi MDS Ekologi 23,46 Ekonomi 54,94 Sosial 44,42 Teknologi 48,84 Kelembagaan 42,21 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Monte Carlo 24,33 54,25 44,68 49,22 42,03
Perbedaan 0,80 0,69 0,26 0,38 0,18
189
Hasil perbadingan antara analisis monte carlo dengan selang kepercayaan 95 persen dan analisis MDS (Tabel 58) menunjukkan bahwa nilai indeks keberlajutan yang didapat pada setiap dimensi tidak banyak mengalami perbedaan (< 1). Kecilnya perbedaan ini mengindikasikan bahwa (1) kesalahan dalam pembuatan skor pada setiap atribut relatif kecil, (2) ragam pemberian skor akibat perbedaan opini ralatif kecil, (3) proses analisis yang dilakukan secara berulang stabil, dan (4) kesalahan pemasukkan data dan data yang hilang dapat dihindari. Dengan demikian diketahui bahwa hasil analisis keberlanjutan yang dilakukan dengan teknik Rapfish untuk sumberdaya perikanan demersal memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.
190
191
VIII. ANALISIS DINAMIK
8.1
Analisis Sistem Analisis sistem bertujuan untuk mengkaji sistem keberlanjutan perikanan
tangkap sehingga diperoleh gambaran dan pemahaman sistem secara mendalam. Pada analisis sistem dihasilkan spesifikasi sistem secara rinci yang mencakup batasan sistem (system boundary), tujuan sistem, elemen-elemen sistem dan mekanisme sistem. Analisis sistem diawali dengan melakukan analisis situasi terhadap sistem keberlanjutan perikanan tangkap untuk mendapatkan gambaran sistem secara umum. Pada analisis sistem tercakup pula tahapan-tahapan pendekatan sistem, seperti analisis kebutuhan sistem, formulasi permasalahan dan identifikasi sistem sehingga diperoleh pemahaman sistem secara rinci. Pemahaman yang diperoleh digunakan sebagai masukan untuk menentukan indikator-indikator keberlanjutan perikanan tangkap serta sebagai dasar dalam membangun model dinamik keberlanjutan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta. 8.1.1
Analisis Situasi Provinsi DKI Jakarta merupakan salah satu wilayah strategis di Indonesia.
Sebagai ibukota negara sekaligus pusat bisnis nasional, Jakarta mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian Indonesia. Perairan Jakarta merupakan wilayah pesisir yang strategis sekaligus paling rentan terhadap perubahan, gangguan, dan pencemaran oleh manusia. Strategis karena pesisir Jakarta merupakan pintu gerbang utama aktivitas ekonomi kelautan khususnya untuk wilayah bagian barat Indonesia, dan daerah paling rentan karena merupakan penyangga bagi ekosistem daratan Jakarta yang demikian tinggi aktivitas manusianya (Kusumastanto 2007). Keberadaan perairan Jakarta tidak hanya dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut tetapi juga oleh kebijakan pembangunan di darat karena pesisir Jakarta merupakan muara dari 13 sungai sehingga pengelolaan pesisir Jakarta melibatkan banyak pihak terkait. Banyaknya kepentingan dan tantangan dalam mengelola dan mengembangkan kawasan pesisir utara Jakarta berkontribusi langsung terhadap terjadinya degradasi lingkungan di kawasan ini.
192
8.1.2 Analisis Kebutuhan Analisis kebutuhan adalah langkah awal dalam menentukan kebutuhan dari komponen-komponen sistem yang ada. Hal ini dapat dipergunakan untuk merancang model sistem seperti diagram sebab akibat dan lain-lain. Banyaknya pelaku sistem pada perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta menjadikan aspek analisis menjadi terlalu luas sehingga analisis kebutuhan pelaku sistem dalam perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta hanya dibagi menjadi empat pelaku utama, yaitu nelayan, pemerintah, pengempul, dan masyarakat/konsumen.
Tabel 59. Analisis kebutuhan sistem pada aktivitas perikanan tangkap di DKI Jakarta No Pelaku Sistem Kebutuhan Pelaku Sistem 1
Nelayan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Informasi DPI Informasi stok ikan Informasi fasilitas dan akses pemasaran Perizinan usaha Keberlangsungan usaha Perlindungan hukum Asuransi Pelatihan dan penyuluhan 2 Pemerintah daerah Informasi jumlah nelayan (DKP) Informasi jumlah armada Informasi jenis/jumlah alat tangkap Informasi fishing ground nelayan Informasi hasil tangkapan Perapihan sistem penangkapan/ pemberian izin dll 7. Pendapatan daerah meningkat 8. Keterpaduan sektoral 9. Informasi/data usaha di wilayah pesisir dan laut 3 Pedagang pengumpul 1. Terciptanya profit untuk keberlangsungan usaha 2. Ketersediaan ikan didistribusikan dan di pasarkan 3. Akses terhadap lembaga keuangan mudah 4. Harga beli bahan baku terjangkau 5. Fasilitas untuk memudahan pemasaran dan distribusi 4 Masyarakat/konsumen 1. Harga produk perikanan terjangkau 2. Kualitas produk ikan yang baik dan aman dikonsumsi 3. Kemudahan mendapatkan produk perikanan yang berkualitas Sumber : Hasil Analsis Data, 2013
193
8.1.3
Formulasi Permasalahan Formulasi permasalahan adalah pernyataan mengenai kesenjangan antara
pemenuhan kebutuhan pelaku sistem berdasarkan analisis kebutuhan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dalam sistem pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta, permasalahan yang dihadapi dapat diformulasikan sebagai berikut: 1) Sumberdaya perikanan adalah sumberdaya yang migratif dan open access sehingga konflik antar pemanfaat sumberdaya rentan terjadi. Selain itu, kondisi perairan Jakarta adalah perairan yang padat dan multiusers sehingga seringkali menghadapi masalah konflik kepentingan antar stakeholders. 2) Stok sumberdaya perikanan tangkap bersifat terbatas namun upaya penangkapan sumberdaya ikan tidak terbatas. Apabila kondisi ini dibiarkan maka dapat menimbulkan inefisiensi dalam usaha penangkapan ikan karena jumlah input yang dikeluarkan tidak sebanding dengan jumlah output yang didapat. 3) Ketidakadanya
pembatasan
effort
pada
usaha
penangkapan
ikan
menyebabkan semakin rendahya tingkat keuntungan yang diperoleh oleh nelayan sehingga mengancam keberlanjutan usaha perikanan tangkap. 4) Untuk meningkatkan keuntungannya, saat ini nelayan Jakarta berupaya meningkatkan produktivitas alat tangkapnya. Kondisi ini jika dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya konlik antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya ikan yang semakin terbatas. 5) Saat ini, belum ada alternatif kebijakan yang tepat selain terfokus pada upaya untuk memaksimalkan keuntungan yang diperoleh nelayan. Kebijakan yang terkait dengan usaha perbaikan lingkungan perairan belum maksimal karena setiap alternatif kebijakan memiliki konsekuensi yang berbenturan dengan kepentingan stakeholder lain. 6) Aktivitas perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta belum mempunyai instrumen untuk menilai keberlanjutannya pada masa mendatang secara komprehensif. Perikanan tangkap belum mempunyai ukuran dan prioritas untuk menilai aspek mana saja yang perlu untuk diperbaiki dan bagaimana
194
cara perbaikan yang paling tepat agar aktivitas perikanan tangkap dapat berkelanjutan.
8.1.4
Identifikasi Sistem Identifikasi sistem adalah tahapan yang bertujuan mengenali sistem,
menetapkan batasannya, menganalisis perilaku sistem dan hubungan antar pelaku sistem dan komponen lainnya dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. Identifikasi sistem juga bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap sistem keberlanjutan perikanan tangkap dalam bentuk diagram. Diagram yang digunakan adalah diagram kausal (causal loop diagram) yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk diagram input-output. Diagram kausal merupakan penggambaran sistem keberlanjutan perikanan tangkap serta berbagai komponennya yang terkait, berikut interaksinya yang menjelaskan perilaku hubungan sebab akibat antar komponen sistem dalam mencapai tujuan (Eriyatno 1999). Diagram kausal sumberdaya perikanan tangkap berkelanjutan disajikan pada Gambar 64. Keberlanjutan ekologi akan tercapai apabila terdapat kesinambungan stok sumberdaya. Kesinambungan akan tercapai apabila sumber daya ikan yang ditangkap tidak melebihi jumlah tangkapan lestari. Keberlanjutan ekonomi akan tercapai apabila nelayan memperoleh keuntungan dari kegiatan penangkapan ikan. Volume produksi yang dihasilkan dipengaruhi oleh stok ikan. Apabila stok ikan di perairan menurun maka volume produksi juga menurun, sebaliknya apabila stok sumberdaya ikan meningkat maka volume produksinya juga akan meningkat. Peningkatan effort juga berpengaruh terhadap berkurangnya keuntungan usaha perikanan tangkap. Apabila effort untuk menangkap sumberdaya ikan semakin tinggi maka beban biaya produksi yang ditanggung oleh nelayan akan semakin besar sehingga dapat mengakibatkan kerugian, demikian juga sebaliknya.
195
total effort
natural growth stok ikan -
+
keberlanjutan ekologi +
CPUE
-
+
fixed cost
+ + produksi ikan lokal jakarta + pendapatan
+ produksi total ikan jakarta +
+ keuntungan penangkapan
penangkapan + harga ikan standar
+ total cost +
fishing income
produksi ikan luar jakarta
variabel cost keberlanjutan sosial
+ keberlanjutan ekonomi
Gambar 61. Diagram causal loop sumberdaya perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi Jakarta Sumber : Hasil Analsisi Data, 2013 Keberlanjutan
sosial
akan
tercapai
apabila
nelayan
memperoleh
pendapatan yang layak untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya. Pendapatan nelayan akan meningkat apabila keuntungan yang diperoleh meningkat. Selanjutnya, model dinamik perikanan tangkap berkelanjutan dibangun dengan cara mengakomodasikan berbagai komponen sistem yang terkait. Hubungan antar komponen sistem, input maupun output dalam model dinyatakan dalam diagram input-output (Gambar 65). Diagram input-ouput menggambarkan proses transformasi masukan model menjadi keluaran model. Model menggunakan dua jenis masukan, yaitu masukan dari luar sistem dan masukan dari dalam sistem. Masukan yang berasal dari dalam sistem (endogenous) terdiri atas masukan terkendali dan masukan tidak terkendali. Masukan terkendali merupakan peubah yang sangat diperlukan sistem yang berpengaruh dalam menentukan perilaku sistem yang dikehendaki dan dapat ditetapkan di dalam perancangan sistem. Masukan terkendali dapat digunakan sarana perekayasaan model dapat mencapai tujuan atau keluaran yang dikehendaki. Dalam penelitian ini masukan terkendali yang direkayasa adalah membatasi jumlah upaya tangkap (effort).
196
Masukan tak terkendali : - Sumberdaya ikan - Harga produk - Kondisi sosial budaya - Kuantitas produksi
Input lingkungan : - Kondisi perairan - Kebijakan pemerintah - Perubahan iklim global - Rencana tata ruang
Keluaran dikehendaki : - Meningkatnya stok - Meningkatnya keuntungan - Meningkatnya KUT per bulan
Perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta
Keluaran tidak dikehendaki : - Peningkatan biaya produksi - Potensi konflik antar nelayan - Pengurangan volume tangkap
Masukan terkendali : - Peningkatan keterampilan SDM - Pembatasan effort - Sarana dan prasarana - Kelembagaan - Kualitas produksi Manajemen Pengendali
Gambar 65. Diagram input-output sumberdaya perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta Sementara itu, masukan tak terkendali adalah masukan yang secara langsung mempengaruhi keluaran model namun tidak dapat dikendalikan sepenuhnya dalam mengubah perilaku sistem. Yang termasuk ke dalam masukan tak terkendali adalah sumber daya ikan, harga ikan, kondisi sosial budaya dan kuantitas produksi. Keluaran sistem terdiri dari dua, yaitu keluaran yang dikehendaki dan keluaran yang tidak dikehendaki. Keluaran yang dikehendaki diperoleh dari pemenuhan kebutuhan yang ditentukan pada saat identifikasi kebutuhan komponen sistem. Dalam hal ini keluaran yang dikehendaki adalah meningkatnya indikator kunci keberlanjutan pada setiap dimensi. Keluaran yang tidak dikehendaki merupakan dampak yang ditimbulkan akibat berjalannya sistem yang telah dirancang. 8.1.5 Indikator Keberlanjutan Kompleksitas yang terdapat dalam sistem perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta memerlukan pengkajian yang mendalam khususnya dalam menetapkan indikator keberlanjutan yang sesuai, sederhana, mudah diukur dan dapat mewakili sistem secara keseluruhan. Berdasarkan hasil analisis leverage
197
dan hasil wawancara mendalam dengan narasumber ahli indikator keberlanjutan yang relevan dapat ditentukan. Dari proses tersebut dihasilkan tiga jenis indikator kunci keberlanjutan, yaitu indikator stok sumberdaya, keuntungan dan keuntungan per upaya tangkap per bulan (KUT). A.
Indikator Stok Sumberdaya Tercapainya keberlanjutan pada dimensi ekologi bertujuan agar sumber
daya bahan perikanan pelagis maupun demersal dapat tersedia secara terusmenerus. Biomassa sumberdaya merupakan salah satu aspek penting dalam keberlanjutan ekologi. Potensi sumber daya ikan dipengaruhi oleh sifat sumber daya yang open acces, bermigrasi dan relatif sulit dikelola sebagaimana sumber daya yang dapat dibudidayakan (Sparee dan Venema 1999). Tingkat eksploitasi yang berlebihan dapat menyebabkan sumber daya mengalami degradasi stok dan overfishing dan apabila hal tersebut terjadi maka ancaman keberlanjutan pada dimensi ekologi akan terancam. Ketersediaan stok sumberdaya di perairan muncul sebagai indikator untuk mengukur keberlanjutan pada dimensi ekologi karena indikator ini dapat mengindikasikan apakah aktivitas penangkapan ikan masih dapat memberikan hasil produksi yang menguntungkan. Dengan demikian, keberlanjutan pada dimensi ini akan sangat berpengaruh pada keberlanjutan dimensi ekonomi dan sosial. B.
Indikator Keuntungan Terwujudnya keberlanjutan pada dimensi ekonomi bertujuan agar aktivitas
perikanan tangkap dapat memberikan keuntungan. Tingkat keuntungan aktivitas perikanan tangkap menjadi tolak ukur penting karena dapat mengukur kinerja ekonomi
usaha
perikanan
tangkap
sehingga
dapat
menggambarkan
keberlangsungan usaha perikanan tangkap dari dimensi ekonomi. C.
Indikator Keuntungan per Upaya Tangkap dalam satu bulan (KUT) Indikator pada dimensi sosial bertujuan untuk mengukur manfaat sosial
yang ditimbulkan karena aktivitas perikanan tangkap. Indikator dimensi sosial mencakup manfaat langsung yang dapat diterima oleh nelayan. Manfaat yang diterima langsung oleh nelayan direpresentasikan dengan indikator pendapatan nelayan. Pendapatan nelayan akan berdampak terhadap kegiatan upaya
198
penangkapan (Seijo et al. 1998). Pendapatan nelayan merupakan indikator penting untuk menilai potensi keberlanjutan usaha perikanan tangkap. Pendapatan yang rendah mengindikasikan bahwa potensi nelayan untuk mendapatkan kehidupan yang layak semakin rendah. Untuk mengukur tingkat pendapatan nelayan digunakan nilai UMR sehingga dapat dinilai apakah pendapatan nelayan telah sesuai dengan rata-rata pendapatan pekerja pada industri kecil dan menengah. Pendapatan nelayan yang dimaksud dalam penelirtian ini adalah pendapatan nelayan tanpa mempertimbangkan statusnya. Hal ini dikarenakan pendapatan nelayan pemilik kapal dan pekerja di Jakarta ralatif sama. Pendapatan nelayan dipengaruhi oleh keuntungan per upaya tangkap. Menurut model produksi surplus, kegiatan upaya tangkap akan terus meningkat sampai batas tertentu hingga keuntungan tangkap sama dengan nol (Purnomo 2012). Mengacu kepada prinsip tersebut, terjadinya peningkatan upaya tangkap setelah tingkat eksploitasi optimal (MSY) akan mengakibatkan penurunan pendapatan nelayan. Kondisi seperti ini saat ini terjadi pada kawasan penelitian sehingga apabila upaya tangkap (effort) meningkat pendapatan nelayan akan terus menurun. Pendapatan nelayan nilainya dipengaruhi oleh keuntungan per upaya tangkap (KUT) dan jumlah upaya tangkap per bulan. 8.2
Pemodelan sistem Pemodelan sistem adalah tahapan untuk merancang model pengelolaan
sumberdaya perikanan berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Pemodelan sistem terdiri atas tiga aktivitas, yaitu konseptualisasi sistem, formulasi model dan pengujian model. Tahapan di awali dengan penentuan ruang lingkup dan asumsiasumsi model sebagai bagian dari konseptualisasi model. Proses dilanjutkan dengan membangun model konseptual dalam bentuk diagram kausal loop (Eriyatno 1999). Formulasi model dilakukan dengan menuangkan model konseptual ke dalam model komputer dalam bentuk stock and flow diagram (SFD) dan model matematik yang didasarkan dari analisis bioekonomi. Tahapan terakhir adalah melakukan pengujian model yaitu melalui verifikasi dan validasi model.
199
8.2.1
Ruang Lingkup dan Asumsi Model Ruang lingkup model pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan
dalam penelitian ini adalah : a)
Model dibangun hanya berdasarkan pendekatan produksi.
b)
Indikator keuntungan dalam model hanya mempertimbangan keuntungan yang diterima nelayan berdasarkan hasil analisis bioekonomi.
c)
Model tidak mencakup prediksi variabel-variabel ekonomi makro, seperti suku bunga, nilai tukar rupiah atau harga bahan bakar. Model diasumsikan berlaku apabila keadaan ekonomi makro berlangsung stabil.
d)
Model hanya mempertimbangkan pelaku utama yang terkait dengan aktivitas perikanan tangkap, yaitu nelayan.
8.2.2
Model Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan
a) Diagram stock and flow model Diagram kausal sistem perikanan tangkap berkelanjutan menggambarkan hubungan keterkaitan antara indikator keberlanjutan, seperti ditunjukkan pada Gambar 63. Hubungan yang terjadi antara variabel sistem dapat berupa pola hubungan positif maupun negatif. Pola hubungan positif mempunyai arti bahwa peningkatan nilai suatu variabel atau indikator akan berpengaruh terhadap peningkatan variabel atau indikator lainnya. Sebaliknya, apabila peningkatan nilai suatu variabel atau indikator menyebabkan penurunan nilai variabel atau indikator lainnya disebut pola hubungan negatif (Purnomo 2012) Jumlah stok sumberdaya mempunyai peranan penting dalam menentukan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap, bukan hanya pada dimensi ekologi akan tetapi pada model secara umum. Hasil tangkapan dan ketersediaan stok sumber daya ikan mempunyai pola hubungan yang negatif, artinya peningkatan hasil tangkapan sampai melebihi batas lestari justru berpotensi menurunkan ketersediaan sumber daya ikan sehingga tangkapan selanjutnya akan berpotensi menurun. Pada dimensi ekonomi, keuntungan usaha penangkapan mempunyai peranan kunci dalam menentukan nilai indikator keberlanjutan pada dimensi ekonomi maupun dimensi lainnya. Pola hubungan yang terjadi adalah pola hubungan yang positif, artinya peningkatan keuntungan akan berpotensi untuk
200
meningkatkan keuntungan per upaya tangkap. Pada dimensi sosial, indikator keuntungan dari dimensi ekonomi mempunyai pengaruh besar terhadap nilai indikator keuntungan per bulan dibandingkan UMR.
Gambar 66. Diagram Stock and Flow pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan
b) Mekanisme keterkaitan dan umpan balik pada model Pada model pengelolaan sumberdaya perikanan berkelanjutan, variabel atau indikator dari sub model satu dengan lainnya mempunyai hubungan yang saling terkait. Adanya hubungan tersebut menyebabkan terjadinya dinamika model. Jika nilai suatu variabel pada suatu sub model berubah maka akan berpengaruh terhadap nilai variabel pada sub model lainnya. Keputusan untuk melakukan intervensi model dilakukan setelah diperoleh nilai dari parameter-parameter yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya berkelanjutan. Dalam penelitian ini nilai-nilai parameter dalam model didapat berdasarkan hasil analisis bioekonomi. Selanjutnya, agar upaya peningkatan keberlanjutan sumberdaya perikanan dapat berjalan efektif maka terlebih dahulu dikembangkan alternatif skenario kebijakan. Dalam penelitian ini, skenario kebijakan yang digunakan untuk memprediksi keberlanjutan sumberdaya perikanan adalah skenario pembatasan upaya tangkap sampai pada kondisi MEY dan MSY.
201
8.2.3 Perancangan Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Berkelanjutan Pada bagian ini dijelaskan secara rinci formulasi yang digunakan dalam sistem Penjelasan diawali dengan menyajikan model konseptual dalam bentuk diagram kausal loop dari setiap sub model. Penjabaran model konseptual dalam bentuk model sistem dinamis direpresentasikan dalam bentuk diagram stock and flow (SFD). Pada diagram ini telah tercakup variabel-variabel penting model yang menentukan perilaku dari masing-masing dimensi. Simbol-simbol yang terdapat pada SFD telah mengandung persamaan matematik dalam bentuk persamaan sistem dinamis. Persamaan sistem dinamis yang sangat penting dalam menentukan kinerja model disajikan pada bagian ini. 8.2.3.1 Sub model ekologi Keberlanjutan pada dimensi ekologi dalam penelitian ini direpresentasikan melalui keberlanjutan stok sumberdaya. Gambar 67 menyajikan diagram stock and flow pada sub model ekologi.
Gambar 67. Stok and flow diagram untuk sub model ekologi Untuk memprediksi ketersediaan stok digunakan pendekatan model surplus produksi. Pendekatan tersebut mendasarkan kepada asumsi bahwa sumber daya ikan bersifat dinamis, dipengaruhi oleh faktor jumlah tangkapan dan karakteristik biologi ikan, yaitu laju pertumbuhan dan kematian ikan. Faktor tersebut dicerminkan dalam bentuk nilai parameter, yaitu pertumbuhan intrinsik ikan (r), koefisien penangkapan (q) dan daya dukung lingkungan (K). Berdasarkan
202
hasil analisi bioeknomi yang telah dilakukan, untuk sumberdaya ikan pelagis menggunakan model surplus produksi CYP sedangkan untuk sumberdaya ikan demersal menggunakan model surplus produksi Schnute. Ketersediaan stok sumberdaya ikan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kegiatan upaya penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dan laju pertumbuhan stok. Nilai-nilai tersebut digunakan untuk menentukan hasil tangkapan dan kondisi stok ikan pada waktu t. Hasil tangkapan (HTt) merupakan fungsi dari koefisien penangkapan (q), upaya penangkapan (E) dan stok ikan. Sementara itu, variabel stok ikan dipengaruhi oleh pertumbuhan dan kematian ikan (r) serta jumlah tangkapan (HTt). Prediksi hasil tangkapan ditunjukkan dengan persamaan di bawah ini:
Hasil tangkapan direpresentasikan sebagai ‘laju penangkapan’ yang nilainya mempengaruhi tingkat stok ikan. Variabel ‘stok ikan’ nilainya dipengaruhi oleh ‘laju pertumbuhan stok ikan’ dikurangi ‘laju kematian’ dan ‘laju penangkapan’. Mekanisme tersebut dijelaskan dengan persamaan di bawah ini : Stok ikan t =stok ikan t-1 +laju pertumbuhan stok ikan t -(laju penangkapan t +laju kematian t ) Laju pertumbuhan stok t = Stok ikan t *laju pertumbuhan intrinsik t Laju kematian t = rasio daya tangkap t *Stok ikan t *laju kematian intrinsik t Rasio daya dukung t =Stok t /daya dukung Nilai awal stok ikan = stok pada kondisi MEY Laju pertumbuhan intrinsik = r Laju kematian intrinsik = r Daya dukung = K Volume hasil tangkapan ikan dinyatakan dengan variabel ‘laju penangkapan’ yang nilainya dipengaruhi oleh variabel ‘fraksi tangkapan’ dan ‘stok ikan’. ‘Fraksi tangkapan’ menunjukkan produktivitas tangkap setiap upaya penangkapan. Persamaan ‘laju penangkapan’ adalah sebagai berikut: Laju penangkapan t = Stok ikan t *fraksi tangkapan t
203
Fraksi tangkapan = Upaya penangkapan t *koefisien penangkapan Koefisien penangkapan = q 8.2.3.2 Sub model ekonomi Sub model ekonomi digunakan untuk memprediksi keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap pada dimensi ekonomi. Indikator keberlanjutan pada dimensi ekonomi adalah tingkat keuntungan. Tinggi rendahnya keuntungan penangkapan dipengaruhi oleh biaya penangkapan dan harga ikan (Gambar 68). Biaya penangkapan (c) dan harga ikan (p) didasarkan pada hasil analisis bioekonomi.
Gambar 68. Stok and flow diagram untuk sub model ekonomi
Diagram stok and flow sub model ekonomi (Gambar 68) menjelaskan bahwa keuntungan usaha penangkapan mempunyai pengaruh besar terhadap tercapainya keberlanjutan pada dimensi ekonomi. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap keuntungan adalah total pendapatan (TR) dan total biaya (TC). 8.2.3.3 Sub model sosial Sub model sosial digunakan untuk memprediksi keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap dari dimensi sosial. Keberlanjutan pada dimensi sosial sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan pada dimensi ekologi dan ekonomi. Diagram stok and flow sub model sosial (Gambar 69) menunjukkan bahwa variabel yang menjadi pendorong pada dimensi sosial adalah keuntungan usaha penangkapan (KUT).
204
Gambar 69. Stok and flow diagram untuk sub model sosial
Peningkatan volume tangkapan ikan akan meningkatkan pendapatan tangkap. Peningkatan pendapatan berpengaruh terhadap tingkat keuntungan Keuntungan akan menurun jika terjadi peningkatan biaya penangkapan. Meningkatnya keuntungan penangkapan berpengaruh terhadap meningkatnya keuntungan per upaya tangkap. Apabila keuntungannya berada di atas nilai UMR maka nelayan diasumsikan dapat meningkatkan kesejahteraannya. 8.2.4
Pengujian Model Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan
8.2.4.1 Verifikasi model Verifikasi model dilakukan untuk memastikan bahwa model yang dihasilkan telah sesuai dengan kerangka logis sehingga dapat berfungsi sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Setiap sub model yang terdapat pada model sistem dinamis diverifikasi dengan cara menguji apakah model telah dapat berjalan dengan baik dan benar. Verifikasi dengan cara menelisik alur kerja model dan persamaan matematik yang terdapat pada model untuk mengurangi kesalahan yang bersifat logika (logical errors). Hasil verifikasi terhadap seluruh sub model menunjukkan bahwa model telah dapat diimplementasikan dengan baik dan menghasilkan keluaran sesuai dengan output yang diharapkan. Hasil-hasil implementasi tersebut mengindikasikan bahwa model telah terverifikasi dengan baik dan menunjukkan bahwa tidak terdapat masalah dalam menerjemahkan model konsepsional ke dalam model matematik. Hal ini menunjukkan bahwa model telah sesuai dengan
205
kerangka logika dan mampu melakukan simulasi dengan menggunakan program komputer. 8.2.4.2 Validasi model Validasi model adalah proses membandingkan apakah model yang dihasilkan telah dapat mewakili sistem nyata secara sah dan meyakinkan (Eriyatno 1999). Validasi model dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan cara face validity, yaitu meminta bantuan ahli untuk menilai apakah logika model dan hasil yang dicapai telah dianggap mewakili sistem nyata (Sargent 2010). Model divalidasi oleh beberapa narasumber ahli (expert) yang berasal dari Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. Validasi dilakukan dengan memberikan penjelasan mengenai model yang telah dihasilkan mencakup komponen model, logika, asumsi, mekanisme dan keluaran model melalui brainstorming dengan narasumber ahli. Hasil wawancara dengan beberapa narasumber menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh model menunjukkan adanya kesesuaian dengan kondisi perikanan tangkap. Sejumlah responden yang dimintai pendapatnya tentang prospek usaha perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta selama sepuluh tahun mendatang pesimis bahwa keadaan akan lebih baik dari saat ini, bahkan meyakini bahwa kondisi yang akan terjadi akan lebih berat. Hasil tersebut semakin mengindikasikan bahwa model yang dihasilkan mempunyai tingkat keyakinan yang cukup baik.
8.3
Simulasi Model
8.3.1
Sumberdaya Perikanan Pelagis Pada sumberdaya ikan pelagis nilai parameter yang dimasukkan ke dalam
sistem adalah : Nilai awal stok ikan (x MEY) = 8.823,85 ton Laju pertumbuhan intrinsik (r) = 1,482 per tahun Laju kematian intrinsik (r) = 1,482 per tahun Daya dukung (K) = 16.888,41 ton Koefisien penangkapan (q) = 0,0000170 Untuk melihat kebelanjutan dari sumberdaya ikan pelagis maka parameter yang akan diubah adalah parameter total effort. Total effort akan disimulasi
206
menjadi total effort pada kondisi aktual, kondisi MSY dan kondisi MEY. Simulasi total effort secara grafis ditunjukkan pada Gambar 70.
total effort 400,000 300,000 200,000 100,000 0 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Time (Year) total effort : vensim tesisi\Pelagis MEY total effort : vensim tesisi\Pelagis MSY total effort : vensim tesisi\Pelagis aktual
Gambar 70. Nilai effort sumberdaya pelagis yang digunakan untuk simulasi model
STOK 10,000
ton
7,500 5,000 2,500 0 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Time (Year) STOK : vensim tesisi\Pelagis MEY STOK : vensim tesisi\Pelagis MSY STOK : vensim tesisi\Pelagis aktual
Gambar 71. Hasil simulasi sub model ekologi pada sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa tanpa adanya pembatasan tingkat upaya tangkap (effort) maka stok sumberdaya ikan pelagis akan habis pada pertengahan tahun 2014 tetapi jika ada pembatasan effort sesuai effort pada
207
kondisi MSY dan kondisi MEY maka stok sumberdaya ikan pelagis akan terjaga kelestariannya.
keuntungan 600,000
juta Rp
425,000 250,000 75,000 -100,000 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Time (Year) keuntungan : vensim tesisi\Pelagis MEY keuntungan : vensim tesisi\Pelagis MSY keuntungan : vensim tesisi\Pelagis aktual
Gambar 72. Hasil simulasi sub model ekonomi pada sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Dilihat dari indikator keuntungan, maka skenario pembatasan upaya tangkap terbukti mampu meningkatkan keuntungan. Keuntungan akan terus meningkat sampai dengan batas optimalnya. Tanpa adanya pembatasan upaya tangkap maka keuntungan yang diperoleh nelayan akan semakin berkurang dan pada akhirnya merugi.
208
keuntungan trip dalam 1 bulan 200
juta Rp
148
96
44
-8 2012 2013 2014
2015 2016 2017 2018 2019 Time (Year)
2020 2021
2022
keuntungan trip dalam 1 bulan : vensim tesisi\Pelagis MEY keuntungan trip dalam 1 bulan : vensim tesisi\Pelagis MSY keuntungan trip dalam 1 bulan : vensim tesisi\Pelagis aktual
Gambar 73. Hasil simulasi sub model sosial pada sumberdaya ikan pelagis Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Dilihat dari indikator keuntungan per upaya tangka dalam satu bulan maka pendapatan nelayan tanpa adanya pembatasan effort akan semakin berkurang dan semakin tidak layak bahkan merugi. Dengan adanya pembatasan effort, keuntungan yang didapat nelayan per bulan akan meningkat sampai dengan batas optimalnya sehingga akan semakin layak. 8.3.2
Sumberdaya Ikan Demersal Pada sumberdaya ikan demersal nilai parameter yang dimasukkan ke
dalam sistem adalah : Nilai awal stok ikan (x MEY) = 52.374,74 ton Laju pertumbuhan intrinsik (r) = 0,819 per tahun Laju kematian intrinsik (r) = 0,819 per tahun Daya dukung (K) = 102.677,51 ton Koefisien penangkapan (q) = 0,0000067 Biaya (c) = 0.08 juta/trip Harga (p) = 5,87 juta/ton Sama seperti halnya sumberdaya ikan pelagis, untuk melihat kebelanjutan dari sumberdaya ikan demersal maka parameter yang akan diubah adalah
209
parameter total effort. Tingkat effort akan diubah menjadi tingkat effort pada kondisi aktual, MSY dan MEY. Segara grafis ditunjukkan pada Gambar 74.
total effort 200,000 160,000 120,000 80,000 40,000 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Time (Year) total effort : Demersal Sc MEY total effort : Demersal Sc MSY total effort : Demersal Sc Aktual
Gambar 74. Nilai total effort yang dimasukkan dalam simulasi
Perubahan tingkat effort akan mempengaruhi biaya per trip dan volume tangkapan. Dinamika pada volume ikan yang tertangkap akan berimplikasi ketersediaan stok dan pendapatan yang secara langsung akan mempengaruhi jumlah keuntungan yang didapat. Hasil simulasi dengan skenario pembatasan jumlah effort dibandingkan effort aktual pada indikator keberlanjutan dimensi ekologi seperti disajikan pada Gambar 75.
210
STOK 60,000
ton
45,000 30,000 15,000 0 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Time (Year) STOK : Demersal Sc MEY STOK : Demersal Sc MSY STOK : Demersal Sc Aktual
Gambar 75. Hasil simulasi sub model ekologi pada sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Dari hasil simulasi diketahui bawa stok sumberdaya ikan demersal akan terus menurun pada tingkat effort aktual sedangkan jika dilakukan pembatasan effort maka stok sumberdaya ikan demersal akan tetap terjaga kelestariannya. Hasil simulasi untuk dimensi ekonomi seperti disajikan pada Gambar 76.
211
keuntungan 2M
juta Rp
1.5 M 1M 500,000 0 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 Time (Year) keuntungan : Demersal Sc MEY keuntungan : Demersal Sc MSY keuntungan : Demersal Sc Aktual
Gambar 76. Hasil simulasi sub model ekonomi pada sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa pada kondisi aktual tingkat keuntungan usaha perikanan tangkap ikan demersal sampai dengan tahun 2018 berada di atas keuntungan optimal. Namun demikian setelah tahun 2018 tingkat keuntungan aktual akan berada dibawah tingkat keuntungan optimal. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa adanya pembatasan tingkat upaya penangkapan maka keuntungan yang diterima nelayan akan semakin berkurang karena usahanya akan mengalamai inefisiensi sebagai dampak kenaikan jumlah input yang tidak diimbangi dengan kenaikan output yang signifikan. Hasil simulasi juga memperkuat hasil analisis keberlanjutan, dimana tingkat keuntungan (dimensi ekonomi) bukan merupakan dimensi yang paling mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya perikanan demersal. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan penurunan stok lebih curam dibandingan keuntungan pada kondisi aktual. Untuk sumberdaya ikan demersal, dimensi ekologi adalah dimensi yang paling mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya ini. Gambar 77 memperlihatkan hasil simulasi pada indikator keberlanjutan dimensi sosial.
212
keuntungan trip dalam 1 bulan 400
juta Rp
300
200
100
0 2012 2013 2014
2015 2016 2017 2018 2019 Time (Year)
2020 2021
2022
keuntungan trip dalam 1 bulan : Demersal Sc MEY keuntungan trip dalam 1 bulan : Demersal Sc MSY keuntungan trip dalam 1 bulan : Demersal Sc Aktual
Gambar 77. Hasil simulasi sub model sosial pada sumberdaya ikan demersal Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa KUT per bulan pada kondisi aktual berada di bawah KUT per bulan pada kondisi optimal. Indikator pada dimensi sosial sangat dipengaruhi oleh keberlanjutan pada dimensi ekonomi dan ekologi.
213
IX. IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dari beberapa hasil analisis yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya maka dapat ditarik beberapa implikasi kebijakan terkait dengan konteks pengembangan ekonomi perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta. Landasan strategi untuk memperoleh rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tangkap berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta adalah hasil dari serangkaian analisis yang telah dilakukan. Secara ringkas hasil analisis dari studi ini disajikan pada Tabel 60. Hasil analisis bioekonomi mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan pelagis dan demersal sudah mengalami biological dan economic overfishing. Hasil analisis degradasi dan depresiasi menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di DKI Jakarta telah mengalami degradasi dan depresiasi sedangkan sumberdaya ikan demersal belum mengalami degradasi dan depresiasi. Dari
hasil
analisis
keberlanjutan
pada
masing-masing
dimensi
keberlanjutan pada sumberdaya ikan pelagis dan demersal diketahui bahwa hanya dimensi ekonomi yang berada pada status cukup berkelanjutan sedangkan dimensi ekologi berada pada status tidak berkelanjutan dan dimensi sosial, teknologi, dan kelembagaan berada pada status kurang berkelanjutan. Hasil simulasi pada model pengelolaan perikanan pelagis dan demersal diketahui dengan adanya pembatasan upaya tangkap akan meningkatkan stok, volume produksi dan keuntungan tangkap sedangkan tanpa adanya pembatasan upaya tangkap akan menyebabkan stok sumberdaya terkuras sehingga mengakibatkan turunnya volume tangkap dan keuntungan. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan maka kebijakan yang dapat diambil untuk meningkatkan status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis dan demersal adalah sebagai berikut : (1)
Dari perspektif ekologi perlu dilakukan implementasi kebijakan untuk mengatasi eksploitasi sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta yang sudah mengalami overfishing. Dalam kondisi sumber daya ikan yang telah sangat terbatas maka diperlukan pengelolaan upaya penangkapan secara tepat. Untuk menangani hal tersebut, kebijakan yang dapat ditempuh oleh pemerintah adalah melakukan pengaturan upaya
214
penangkapan pada tingkat lestari yaitu pada tingkat 41.716 trip per tahun untuk ikan pelagis dan 57.690 trip per tahun untuk ikan demersal. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan stok sumberdaya, volume tangkapan dan memberikan pengaruh peningkatan nilai keuntungan. Kebijakan pengaturan upaya penangkapan menyangkut pengelolaan sumber daya ikan dan perilaku nelayan. Agar kebijakan ini dapat berlaku efektif, tindakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah : Menyusun perangkat legislasi atau aturan hukum dalam bentuk Perda (Peraturan Daerah) mengenai pembatasan upaya penangkapan melalui pemberian izin. Instrumen ini merupakan perangkat utama yang diperlukan agar pembatasan upaya tangkap dapat berlangsung secara efektif dan bijaksana (Lutchman et al. 2009). Dalam penyusunan Perda maupun implementasi diperlukan kerjasama dan koordinasi antar stakeholders terkait termasuk nelayan. Pengaturan izin upaya tangkap sebaiknya didasarkan atas kepentingan nelayan. Meningkatkan
efektifitas
pengawasan
aturan
hukum,
melalui
optimalisasi peran dan fungsi kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas). Sebagaimana ditunjukkan oleh hasil bioekonomi dan analisis sistem dinamis, keberlanjutan perikanan tangkap akan sangat tergantung pada ketersediaan stok sumberdaya. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan kebijakan yang ditujukan untuk pengkayaan stok (stock enhancement) melalui kegiatan konservasi dan rehabilitasi. (2)
Pada dimensi ekonomi diperlukan kebijakan yang dapat meningkatkan efisiensi, misalnya perbaikan struktur harga jual ikan melalui mekanisme lelang yang dilakukan pada setiap TPI yang berada di wilayah DKI Jakarta. Pengembangan skill nelayan termasuk dalam penanganan produk perikanan untuk memperoleh nilai tambah, perlu dilakukan. Selain itu, pemerintah perlu membuat lapangan kerja alternatif agar nelayan tidak hanya bertumpu pada sektor penangkapan tetapi tetap sesuai dengan ‘jiwa bahari’ seperti mengembangkan sektor wisata berbasis perikanan.
215
(3)
Pada dimensi sosial rekomendasi yang diberikan adalah peningkatan pendidikan para nelayan diperlukan agar dapat dengan cepat mengadopsi/ menyerap
informasi
untuk
meningkatkan
kualitas
hidup
dan
kesejahteraannya serta peningkatan partisipasi keluarga agar para nelayan tidak hanya mengandalkan sumber pendapatan keluarga dari penangkapan ikan tapi dari bentuk lainnya, misalnya peningkatan nilai tambah (value added) dari produk perikanan atau usaha lainnya. (4)
Pada dimensi kelembagaan, rekomendasi yang diberikan adalah diperlukan kesamaan misi antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola wilayah perairan DKI Jakarta. Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan keterlibatan nelayan sebagai salah satu stakeholders agar kebijakan yang dibuat lebih bermanfaat jangka panjang dan tepat guna.
(5)
Guna meningkatkan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta diperlukan kebijakan yang sifatnya integratif (terpadu), yaitu kebijakan yang secara komprehensif mampu meningkatkan keberlanjutan pada masing-masing dimensi, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan kelembagaan. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka kebijakan tidak hanya dilakukan oleh salah satu pihak, akan tetapi memerlukan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta stakeholders terkait lainnya termasuk nelayan. Kebijakan yang diambil untuk meningkatkan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap bertumpu pada setiap dimensi keberlanjutan dan berdasarkan community based oriented. Kurang tepat dan terpadunya kebijakan dalam aspek pengelolaan perikanan tangkap berimplikasi pada pemanfaatan sumberdaya yang mengalami overfishing dan overcapacity.
(6)
Dalam kondisi rill diperlukan prioritas dalam mengambil kebijakan yang secara cepat dapat meningkatkan keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap di DKI Jakarta. Oleh sebab itu, berdasarkan hasil AHP dan analisis leverage diketahui bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis pada aktivitas penangkapan ikan pelagis, dimensi ekonomi mempunyai urutan proiritas terpenting yang paling mempengaruhi keberlanjutan usaha ini sedangkan hasil analisis leverage mengindikasikan pada dimensi dimensi
216
ekonomi, atibut penyerapan tenaga kerja, keuntungan, kontribusi sektor perikanan terhadap total PDRB, proporsi sumberdaya ikan luar yang didaratkan di DKI Jakarta, dan tujuan pemasaran merupakan atribut sensitif yang mempengaruhi keberlanjutan dimensi ini. Oleh sebab itu peningkatan keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis di DKI Jakarta dapat dimulai dengan peningkatan keberlanjutan pada atribut-atribut tersebut, terutama atribut keuntungan dan proporsi sumberdaya ikan luar yang didaratkan di Jakarta. (7)
Untuk sumberdaya ikan demersal, hasil AHP dan analisis leverage mengindikasikan bahwa dari kelima dimensi keberlanjutan yang dianalisis diketahui bahwa pada aktivitas penangkapan ikan demersal, dimensi ekologi mempunyai prioritas terpenting dalam mempengaruhi keberlanjutan usaha ini sedangkan hasil analisis leverage mengindikasikan pada dimensi ekologi, atibut tingkat eksplotasi adalah atribut yang paling mempengaruhi kebelanjutan dimensi ini. Oleh sebab itu, peningkatan status keberlanjutan sumberdaya ikan demersal dapat dimulai dengan peningkatan status keberlanjutan pada dimensi ekologi, yaitu dengan cara membuat kebijakan yang mengatur tingkat eksploitasi dan mendorong pemanfaat sumberdaya ikan demersal untuk menangkap ikan di perairan teluk bagian luar (off shore).
(8)
Aktivitas perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta adalah ‘katup pengaman’ sehingga keberdaaannya tidak bisa diabaikan/dihilangkan dari kebijakan pengelolaan kawasan pesisir dan laut ibukota di masa depan. Usaha perikanan tangkap harus tetap dipertahankan eksistensinya walaupun hanya usaha skala kecil. Sebagai kota pesisir dengan luas laut hampir sepuluh kali dari luas daratan, kehidupan masyarakat pesisir ibukota tidak bisa dipisahkan dari usaha penangkapan ikan. Usaha penangkapan ikan merupakan usaha yang dilakukan masyarakat pesisir ketika tidak bisa memperoleh penghidupan dari usaha di darat.
217
Tabel 60. Rangkuman Hasil Analisis Kebijakan Pengembangan Ekonomi Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Provinsi DKI Jakarta Analisis Bioekonomi Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi Analisis Keberlanjutan - Pemanfaatan - Besaran rata-rata laju deradasi dan - Status keberlanjutan sumberdaya pelagis sumberdaya depresiasi sumberdaya ikan pelagis dan demersal berada dalam status kurang perikanan pelagis dan secara berturut-turut adalah 0,65 dan berkelanjutan - Dimensi yang paling mempengaruhi demersal di Provinsi 0.67, yang berarti berada di atas batas kebelanjutan sumberdaya perikanan DKI Jakarta sudah toleransinya. Dengan demikian, pelagis adalah dimensi ekonomi melewati batas sumberdaya ikan pelagis di perairan sedangkan dimensi yang paling optimalnya sehingga Jakarta dapat dikatakan telah mengalami mempengaruhi kebelanjutan sumberdaya diperlukan degradasi dan depresiasi. - Besaran rata-rata laju deradasi dan perikanan demersal adalah dimensi pengelolaan upaya depresiasi sumberdaya ikan demersal ekologi penangkapan secara adalah 0,33 yang berarti berada di bawah - Berdasarkan analisis leverange, atribut tepat. batas toleransinya. Dengan demikian, sensitif yang mempengaruhi keberlan sumberdaya ikan demersal di perairan jutan sumberdaya perikanan pelagis dan Jakarta dapat dikatakan belum mengalami demersal adalah tingkat eksploitasi, degradasi dan depresiasi. tingkat keuntungan, penyerapan tenaga kerja, kontribusi terhadap PDRB, sumberdaya ikan luar, tujuan pemasaran, penanganan pasca panen, penggunaan alat bantu destruktif, perubahan daya tangkap, selektivitas alat tangkap, jenis/sifat alat tangkap, dan lama trip,
Analisis Dinamik - Berdasarkan hasil simulasi diketahui bahwa pada kondisi aktual (tanpa pemabatasan upaya tangkap) stok sumberdaya akan semakin berkurang sehinggan akan mempengaruhi volume tangkap yang akan berimplikasi pada menutunnya keuntungan tangkap. - Berdasarkan hasil simulasi pada sumberdaya perikanan pelagis dan demersal diketahui bahwa pembatasan effort pada tingkat MSY dan MEY akan mempertahankan stok sumberdaya, dan meningkatkan keuntungan tangkap
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
217
218
219
X. SIMPULAN DAN SARAN 10.1
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa. (1) Tingkat produksi, upaya tangkap, dan keuntungan optimal secara ekonomi untuk sumberdaya ikan pelagis di Perairan Jakarta secara berturut-turut adalah 6.244,92 ton/tahun, 41.716 trip/tahun, dan Rp40.970,44 juta/tahun. (2) Berdasarkan perbandingan kondisi aktual dan lestari maka pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis di Perairan Jakarta dapat disimpulkan telah terjadi biological dan economic overfishing. Hal ini terlihat dari jumlah effort yang telah melebihi jumlah effort optimal sehingga jumlah produksi dan keuntungan yang diperoleh berada di bawah kondisi optimal. (3) Tingkat produksi, upaya tangkap, dan keuntungan optimal secara ekonomi untuk sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta secara berturut-turut adalah 21.005,47 ton/tahun, 57.690 trip/tahun, dan Rp118.364,59 juta/tahun. (4) Pemanfaatan sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta telah mengalami biological overfishing dan economic overfishing. Hal ini terlihat dari jumlah effort yang telah melebihi jumlah effort optimal sehingga jumlah produksi dan keuntungan yang diperoleh berada di bawah kondisi optimal. (5) Berdasarkan hasil analisis degradasi dan depresiasi menunjukkan bahwa sumberdaya ikan pelagis di Perairan Jakarta sudah terdegradasi dan terdepresiasi. Ini dilihat dari rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan pelagis yang sudah berada di atas batas toleransinya. (6) Berdasarkan hasil analisis degradasi dan depresiasi menunjukkan bahwa sumberdaya ikan demersal di Perairan Jakarta belum terdegradasi dan terdepresiasi. Ini dilihat dari rata-rata laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya ikan demersal yang masih berada di bawah batas toleransinya. (7) Indeks keberlanjutan sumberdaya pelagis secara ditinjau dari lima dimensi keberlanjutan adalah 39,63, yang berarti kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan pelagis berada dalam status kurang berkelanjutan (<50) sedangkan dimensi yang paling mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya pelagis adalah dimensi ekonomi.
220
(8) Indeks keberlanjutan sumberdaya ikan demersal ditinjau dari lima dimensi keberlanjutan adalah 37,15, yang berarti kondisi keberlanjutan sumberdaya ikan demersal berada dalam status kurang berkelanjutan (<50) sedangkan dimensi yang paling mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya pelagis adalah dimensi ekologi. (9) Berdasarkan hasil simulasi untuk sumberdaya ikan pelagis dan demersal pada berbagai kondisi effort dapat disimpukan bahwa kebijakan pembatasan effort akan menjaga stok sumberdaya. Pembatasan effort juga berdampak pada peningkatan keuntungan dalam satu bulan.
10.2
Saran
(1) Analisis bioekonomi dalam penelitian ini hanya memisahkan sumberdaya perikanan tangkap menjadi dua kelompok besar, yaitu sumberdaya ikan pelagis dan sumberdaya ikan demersal. Diperlukan analisis bioekonomi multispesies sebagai analisis lanjutan mengingat karakteristik perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta yang bersifat multispesies-multigears. (2) Analisis bioekonomi memerlukan data time series hasil produksi dan jumlah upaya tangkap minimal tujuh tahun terakhir sehingga keakuratan data time series akan sangat mempengaruhi hasil analisis bioekonomi. Diperlukan sistem pengambilan dan verifikasi data perikanan yang lebih tepat dan sesuai dengan karakteristik sumberdaya perikanan oleh instansi terkait sehingga dikemudian hari dapat dilakukan penelitian sejenis dengan hasil yang lebih mendekati kondisi aktual. (3) Penggunaan analisis Rapfish sebagai metode dalam penelitian ini dapat menjawab
persoalan yang terjadi dalam penelitian saat penelitian
dilaksanakan sehingga agar lebih sempurna, dalam penelitian sejenis dikemudian hari atribut dari masing-masing dimensi dapat lebih diperkaya atau ditambahkan. (4) Analisis Rapfish dapat mengadopsi perubahan-perubahan dari atribut-atribut dengan sangat cepat yang terjadi dan bukan hanya pada kondisi sesaat maka perlu dilakukan kajian-kajian sejenis dalam kurun waktu tertentu.
221
(5) Perlu segera ada instrumen kebijakan untuk mengatasi keadaan sumberdaya perikanan yang sudah mencapai tangkap lebih (overexploited, dan overharvested) agar tidak habis dalam jangka pendek dan tetap berkelanjutan dalam jangka panjang. (6) Upaya-upaya konservasi dan rehabilitasi lingkungan perairan Jakarta perlu ditingkatkan. Upaya-upaya ini seharusnya tidak hanya dari pemerintah saja tetapi perlu digalakkan upaya konservasi yang melibatkan masyarakat lokal sehingga timbul kesadaran masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungannya. (7) Pemerintah perlu untuk merumuskan kebijakan pengembangan perikanan tangkap yang berorientasi kepada daya dukung sumber daya perikanan. Melihat telah terjadi degradasi lingkungan dengan laju yang cukup tinggi di perairan Jakarta maka kebijakan pembatasan effort tidak terlalu signifikan dalam menjaga jumlah stok sumberdaya. Diperlukan kebijakan yang bersifat makro untuk menjaga kelestarian sumberdaya di perairan Jakarta. (8) Model yang dikembangkan masih mempunyai keterbatasan dari segi penggunaan metode yang hanya berbasis dari sisi produksi. Diperlukan model dinamik keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap yang lebih bersifat makro yang dapat mengakomodir perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap dimensi keberlanjutan sehingga dihasilkan model yang lebih mendekati kondisi aktual. Dengan demikian dapat dihasilkan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap di Provinsi DKI Jakarta yang lebih akurat dan berdasarkan scientific judgement.
222
223
DAFTAR PUSTAKA Alder J .et.al. 2000. How Good is Good? A Rapid Appraisal Techniques for Evaluation of The Sustainability Status of Fisheries of The North Atlantic. In Paul amd Pitcher (eds). Metohds for Evaluation The Impact of Fisheries on The North Atlantic Ecosystem. Fisheries Center Research Report,200 Vol (8) No.2. Anna S. 2003. Model Emmbedded Dinamik Ekonomi Interaksi-Perikanan : kasus di Teluk Jakarta, DKI Jakarta [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [BAPEDA Jakarta] Badan Perencanaan Daerah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Luas Wilayah DKI Jakarta. 2011. http://www.bapedajakarta.go.id [2 Januari 2011]. Barani HM. 2005. Model Pengelolaan Perikanan di Wilayah Padat Tangkap Kasus Perairan Laut Sulawesi Selatan Bagian Selatan [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.92 hal. Bengen D.G. 2000. Pemanfaatan Pesisir dan Laut untuk Kegiatan Perikianan Tangkap. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Bogor, 21-26 Februari 2000. (45-57). Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB dan Proyek Pesisir-CRMP. Coastal Resources-University of Rhode Island. [BPLHD Jakarta] Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. Data Pencemaran. 2010. http://www.bplhdljakarta.go.id [2 Januari 2011]. [BPS Jakarta] Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta. 2012. Data PDRB Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012. Jakarta. Brant VA.1984. Fish Catching Methods of The World. Fishing News Book Ltd. Farnham. Survey. England. 418 p. Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta : Pradya Paramita. 159 hal. Clark JR. 1996. Coastal Zone Management Hand Book. Lewis Publishers. 673 p. Charles AT. 2001. Sustainable Fishery Systems. United Kingdom: Blackwell Science Ltd. 370 p.
224
Dahuri R. 2001. Menggali Potensi Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Menuju Bangsa Indonesia yang Maju, Makmur dan Berkeadilan. Prosiding Acara Temu Akrab CIVA-FPIK; Bogor, 25 Agustus 2001. Defra. 2006. Food Industry Sustainability Strategy. London: Department for Environment, Food and Rural Affairs. [DJPT-KKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2008. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2001-2006. Jakarta. [DJPT-KKP] Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman Jakarta. Laporan Statistik2008. Jakarta [DKP Provinsi DKI Jakarta] Dinas Kelautan dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta. 2012. Buku Statistik Perikanan dan Kelautan Provinsi DKI Jakarta Tahun 2012. Jakarta. Dunlop. et. al. 2004. Future Sustainability of The Australian Grains Industry: A Consultancy Report Prepared for The Grains Council of Australia and Grains Research and Development Corporation. Canberra: CSIRO Sustainable Ecosystems. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem : Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. Bogor : IPB Press Fauzi A. 2006. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ______. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan: Isu, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 185 hal. Fauzi A dan S Anna. 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan : Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan Indonesia Vil 4 (2) pp: 36-49. Fauzi A dan S Anna. 2005. Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis Kebijakan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. 343 hal. Fischer W and PJP. Whiteahead (eds), 1974. FAO Species Identification Sheet for Fishery Purpose, Eastern Indian Ocean (Fishing Area 57) and Western Central Pacific (Fishing Area 71) Rome. FAO, Volume 1. (unpaged). Gordon HS. 1954. The Economic Theory of a Common Property Resources. The Fishery Journal of Political Economy 62:124-142.
225
Gulland JA. 1983. Fish Stock Assesment : A Manual of Basic Methods. Chichester: John Wiley & Sons Inc. Hall JP. 2001. Criteria and Indicator of Sustainable Forest Management Environmental. Monitoring and Assessment (67), pp : 109-119. Hartono. et al. Pengembangan Teknik Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) untuk Penentuan Indikator Kinerja Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Indonesia. Buletin EkonomiPerikanan Vol. VI Nomor 1 Tahun 2005. Hilborn R and CJ Walters. 1992. Quantitative Fisheries Stock Asessment, Choice, Dynamic and Uncertainty. Holing CS. 1973. Resilience and Stability of Ecological System. Ann. Rev. Ecol. Syst 4:1-23. Kavanagh P.2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. University of British Columbia, Fisheries Centre. Kavanagh P and Pitcher TJ. 2004. Implementing Microsoft Excel Software for Rapfish: A Technique for The Rapid Appraisal ff Fisheries Status. [Fisheries Centre Research Reports 12 (2)]. Vancouver, Canada: The Fisheries Centre, University of British Columbia. Kennedy CA. 2002. A Comparison of the Sustainability of Public and Private Transportation Systems: Study of the Greater Toronto Area. Transportation (29): 459–493. Kusumastanto. 2002. Reposisi Ocean Policy dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Bidang Kebijakan Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kusumastanto. 2006. Ekonomi Kelautan (Ocean Economics–Oceanomics). Bogor: PKSPL-IPB.
Kusumastanto. 2003. Ocean Policy dalam Membangun Negeri Bahari di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kusumastanto. 2007. Pendekatan Integrated River Basin, Coastal and Ocean Management (IRCOM) Menuju Pembangunan Berkelanjutan : Studi Kasus Pengelolaan Ekosistem Pesisir dan Laut Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Bogor. PKSPL-IPB http:// tridoyo.blogspot.com /2007/09/pendekatan-integrated-river-basin.html [2 Januari 2011] Hermawan M. 2006. Kebelanjutan Perikanan Tangkap Skala Kecil (Kasus Perikanan Pantai di Serang dan Tegal) [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 297 hal.
226
Mamuaya GE. 2008. Perbaikan Status Keberlanjutan Perikanan : Studi Kasus Perikanan Pukat Cincin di Daerah Kota Pantai Manado. Pasific Journal Vol. 2(2) 85-90. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Muhammadi. et. al. 2001. Analisis Sistem Dinamis : Lingkungan Hidup, sosial, Ekonomi dan Manajemen. Jakarta :UMJ Press. Murdiyanto B. 2004. Dasar dan Kebijakan dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Prosiding Workshop-II RPP Layur; 6-9Oktober, Kendiri. Nazir. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia Nurmalina R. 2008. Analisis Indeks dan Status Keberlanjutan Sistem Ketersediaan Beras di Beberapa Wilayah Indonesia. Jurnal Argo Ekonomi Vol. 26 (1): 47-79. Pitcher TJ. 1999. Rapfish, A Rapid Appraisal Technique for Fisheries, and Its Application to the Code of Conduct for Responsible Fisheries. Rome: Food and Agriculture Organization of the United Nations. Pitcher TJ. and DB Preikshot. 2001. Rapfish : A Rapid Appraisal Technique to Evaluate The Sustainability Status of Fisheries. Fisheries Research 49(3):255-270. Porter ME. 1993. Keunggulan Bersaing. Penerbit Erlangga: Jakarta Purnomo BH. 2012. Rancang Bangun Model Prediksi Keberlanjutan Agroindustri Perikanan Tangkap [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 434 hal. Rapfish Group UBC. 2005. Attributes of Rapfish Analysis for Ecological, Technological, Economic, Social Sustainability, and Ethical Status Evaluation Fields (revised Dec, May 2000, Feb 2002, Jan 2003) www. Fisheries.ubc.co/punlicationreport/(9Mei 2005). Radarwati S. 2010. Pengelolaan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Perairan Jakarta, Provinsi DKI Jakarta [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 183 hal. Saksono H. 2008. Kajian pembangunan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Berbasis Industri Perikanan. [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 223 hal.
227
Seijo JC. et. al. 1998. Fisheries Bioeconomics; Theory, Modelling and Management [Fisheries Technical Paper]. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Sitorus. 1998. Penelitian Kualitatif : Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial untuk Laboratorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan Jurusan Ilmu-ilmu Sosial dan Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. 73 hal. Susilo SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil : Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta [disertasi]. Bogor. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia. No.22. Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia. No.31. Tahun 2004 tentang Perikanan. Widodo J. 1980. Nilai Hasil Tangkapan Ikan Demersal, Hubungannya dengan Beberapa Faktor Abiotik di Laut Jawa. Buletin Penelitian Perikanan. Jakarta. Hal 7-26. World Resources Institute. 2001. Coastline Length. World Vector Shoreline, United State Defense Mapping Agency. Zulham A. 2005. Implikasi Kebijakan Subsidi Perikanan Pada Pengembangan Perikanan Tangkap : Kasus Pantai Utara (Pantura), Jawa Tengah [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
228
229
LAMPIRAN
229
Lampiran 1. Input Data untuk Metode Estimasi Algoritma Fox untuk ikan pelagis Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (ton) 12.574,827 10.837,265 15.013,985 11.236,229 5.759,775 6.186,795 8.431,456 9.935,039 10.640,162 12.562,273 8.911,080 7.127,065 7.273,198 4.678,118 3.515,979 8978,883067 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Effort SDT 105617,267 179498,674 142658,687 63414,453 64897,647 59702,095 81319,774 80775,013 80585,527 80280,770 80989,970 197323,448 196799,554 224245,587 201365,797 122631,617728
CPUE SDT 0,119060 0,060375 0,105244 0,177187 0,088752 0,103628 0,103683 0,122996 0,132036 0,156479 0,110027 0,036119 0,036957 0,020862 0,017461 0,092724
230
230
Lampiran 2. Hasil OLS untuk Metode Estimasi Algoritma Fox SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R R Square Adjusted R Square Standard Error Observations
0,870564204 0,757882034 0,739257575 0,024886647 15
ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 13 14
SS 0,025202911 0,008051487 0,033254399
MS 0,025202911 0,000619345
Coefficients 0,178861512 -0,000000702
Standard Error 0,014953986 1,10111E-07
t Stat 11,96079157 -6,379093587
Upper 95% 0,211167635 -4,64526E-07
Lower 95,0% 0,146555389 -9,40285E-07
Upper 95,0% 0,211167635 -4,64526E-07
231
Lampiran 3. Perhitungan Solusi Bioekonomi Algoritma Fox dengan MS.Excell Solusi Bioekonomi dengan Algoritma Fox Parameter Statik i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2
r= q= K= Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
-2,8531824479 0,0000112047 15.963,06 (127.320,67)
Ton Trip
7.981,53
Ton
(11.386,38) 3.515,88
Ton
201.360,07 226,81 7,178288 0,092468
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
Ton
3.516
Trip
363.000
Sole Owner / MEY 8.556,36 (11.327,32) (118.151) (70.385,56)
Open Access/OAY 1.149,67 (3.043,96) (236.302) 0,0000000
MSY 7.981,53 (11.386,38) (127.321) (69.961,61)
% juta Rp/ton juta Rp/trip
231
232
Lampiran 4. Data Input untuk Metode Estimasi CYP Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
LnCPUEt+1 -2,807177163 -2,251472875 -1,730548515 -2,42191295 -2,266949935 -2,266419742 -2,095599872 -2,024683363 -1,854831995 -2,207029879 -3,320944744 -3,297989635 -3,869845929 -4,047805134
LnCPUEt -2,128124917 -2,807177163 -2,251472875 -1,730548515 -2,42191295 -2,266949935 -2,266419742 -2,095599872 -2,024683363 -1,854831995 -2,207029879 -3,320944744 -3,297989635 -3,869845929
Et+Et+1 285115,9415 322157,3613 206073,1405 128312,0999 124599,7419 141021,8698 162094,7876 161360,5405 160866,297 161270,7401 278313,4189 394123,0027 421045,1412 425611,3843
Y
X1
X2
233
Lampiran 5. Hasil OLS dengan Metode Estimasi CYP untuk Sumberdaya Ikan Pelagis SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,843800672 R Square 0,711999574 Adjusted R Square 0,65963586 Standard Error 0,433714375 Observations 14 ANOVA df Regression Residual Total
SS 2 5,115486235 11 2,069189747 13 7,184675982
Coefficients
Standard Error
MS 2,557743118 0,188108159
t Stat
Intercept
1,064035475 0,578874099
-1,838112083
X Variable 1
0,148732924 0,387791816
0,383538069
X Variable 2
-0,00000487
2,1639E-06
-2,251596215
Significance F F 13,59719395 0,001063316
P-value
Lower 95%
0,093179657 2,338128775 0,708630093 0,704791107 -9,63492E0,045761649 06
Upper 95%
Lower 95,0%
Upper 95,0%
0,210057825
-2,338128775
0,210057825
1,002256955
-0,704791107
1,002256955
-1,09517E-07
-9,63492E-06
-1,09517E-07
233
234
234
Lampiran 6. Perhitungan Solusi Bioekonomi CYP dengan MS.Excell Parameter Statik
a=
-1,0640355
b=
0,1487329
c=
-0,0000049
r = 2(1-b)/(1+b)
1,48209746169
q = -c*(2+r)
0,00001696554
K = (EXP((a*(2+r))/(2*r)))/q
Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
16.888,41
43.679,64 8.444,21 6.257,57 3.515,88 201.360,07 -77,98 7,17829 0,09247
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % juta Rp/ton juta Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
3.516 363.000
Sole Owner / MEY 8.823,85 6.244,92 41.716 40.970,44
Open Access/OAY 759,284 1.074,740 83.431,700 -
MSY 8.444,21 6.257,57 43.680 40.879,65
235
Lampiran 7. Data Input untuk Metode Estimasi W-H Sumberdaya Ikan Pelagis Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
(Ut+1/Ut)-1 -0,49290263 0,74316825 0,68358317 -0,49910783 0,16761478 0,00053033 0,18627705 0,07349160 0,18512869 -0,29685903 -0,67172870 0,02322061 -0,43552337 -0,16302343 Y
Ut 0,11906 0,06038 0,10524 0,17719 0,08875 0,10363 0,10368 0,12300 0,13204 0,15648 0,11003 0,03612 0,03696 0,02086 X1
Et 105617,27 179498,67 142658,69 63414,45 64897,65 59702,10 81319,77 80775,01 80585,53 80280,77 80989,97 197323,45 196799,55 224245,59 X2
235
236
236
Lampiran 8. Hasil OLS Metode Estimasi W-H untuk Sumberdaya Ikan Pelagis SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,209417692 R Square 0,04385577 Adjusted R Square -0,129988636 Standard Error 0,452216303 Observations 14 ANOVA Df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
SS MS 2 0,103178318 0,05158916 11 2,249495427 0,20449958 13 2,352673745
Standard Coefficients Error t Stat 0,178148897 0,956051274 0,18633822 -2,056731044 5,200701601 -0,3954718 -0,000000101 4,06758E-06 -0,0248367
F 0,252270239
Significance F 0,78140961
P-value 0,855571499 0,700056457 0,980630034
Lower 95% -1,92610577 -13,5033981 -9,0537E-06
Upper 95% 2,282403563 9,389935995 8,85166E-06
Lower 95,0% -1,926105768 -13,50339808 -9,05371E-06
Upper 95,0% 2,282403563 9,389935995 8,85166E-06
237
Lampiran 9. Solusi Bioekonomi dengan Metode Estimasi W-H untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Parameter Statik
a=
0,1781489
b=
2,0567310
c=
-0,00000010103
r=a
0,17814889738
q = -c
0,00000010103
K =r/bq
Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
857.383,36
881.703,48 428.691,68 38.185,47 3.515,88 201.360,07 -325,28 7,18 0,09247
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % juta Rp/ton juta Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
Sole Owner / MEY 492.446,30 37.340,91 750.577 198.639,18
Open Access/OAY 127.509,24 19.337,38 1.501.155 -
MSY 428.691,68 38.185,47 881.703 192.576,67
237
238
Lampiran 10. Data Input untuk Metode Estimasi Schnute Sumberdaya Ikan Pelagis Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
ln(Ut+1/Ut) (0,67905) 0,55570 0,52092 (0,69136) 0,15496 0,00053 0,17082 0,07092 0,16985 (0,35220) (1,11391) 0,02296 (0,57186) (0,17796) Y
(Ut+Ut+1)/2 0,09 0,08 0,14 0,13 0,10 0,10 0,11 0,13 0,14 0,13 0,07 0,04 0,03 0,02 X1
(Et+Et+1)/2 142557,9707 161078,6806 103036,5702 64156,04994 62299,87096 70510,93488 81047,39378 80680,27023 80433,14851 80635,37003 139156,7095 197061,5014 210522,5706 212805,6922 X2
239
Lampiran 11. Hasil OLS Metode Estimasi Schnute untuk Sumberdaya Ikan Pelagis SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,287113662 R Square 0,082434255 Adjusted R Square -0,08439588 Standard Error 0,50581498 Observations 14 ANOVA Df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
2 11 13
SS 0,252840467 2,814336729 3,067177197
Coefficients -0,990715348 5,888529637 0,00000247
Standard Error 1,343973894 7,416217136 5,59261E-06
MS 0,126420234 0,255848794
F 0,49412089
Significance F 0,62302368
t Stat -0,737153715 0,794007178 0,441416691
P-value 0,476458415 0,44398321 0,667462534
Lower 95% -3,94878194 -10,4344542 -9,8406E-06
Upper 95% 1,967351246 22,21151349 1,47779E-05
Lower 95,0% -3,948781943 -10,43445421 -9,84058E-06
Upper 95,0% 1,967351246 22,21151349 1,47779E-05
239
240
240
Lampiran 12. Solusi Bioekonomi Metode Estimasi Schnute untuk Sumberdaya Ikan Pelagis Parameter Statik
a=
-0,9907153
b=
-5,8885296
c=
0,00000246867
r=a
-0,99071534838
q = -c
-0,00000246867
K =r/bq
Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
(68.152,05)
200.657,69 (34.076,03) 16.879,82 3.515,88 201.360,07 -87,99 7,18 0,09
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % juta Rp/ton juta Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
Sole Owner / MEY (36.685,06) 16.780,87 185.294 103.324,05
Open Access/OAY (5.218,06) 4.773,80 370.589 -
MSY (34.076,03) 16.879,82 200.658 102.613,73
241
Lampiran 13. Hasil Analisis Bioekonomi pada Sumberdaya Ikan Pelagis dengan Berbagai Metode Estimasi Parameter Biologi Pemanfaatan
Aktual
2,853
Algoritma Fox Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E)(trip)
r
q 0,0000112
K
MSY
% aktual terhadap MSY
MEY
% aktual terhadap MEY
7.981,53 -11.386,38 127.320,67
-30,88 -158,15
8.556,36 -11.327,32 118.150,99
Sig F
R square
Adj R2
40,69283
0,00002
0,75788
0,73926
13,59719
0,001063
0,71200
0,65964
0,252270
0,781410
0,04386
-0,12999
0,49412
0,62302
0,08243
-0,08440
-31,04 -170,43
1,482 0,0000170
Uji F
15.963,06
3.515,88 201.360,07
CYP
Uji Statistik
16.888,41
Biomass (x) (ton) 8.444,21 Produksi (h) (ton)
8.823,85 56,19
3.515,88
6.257,57
201.360,07
43.679,64
Effort (E)(trip)
56,30 6.244,92
460,99 0,178
Walter-Hilbron Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton)
0,00000010
482,69 41.715,85
857.383,4 428.691,68 38.185,47
9,21
492.446,30 37.340,91
9,42
881.703,48
22,84
750.577,37
26,83
3.515,88 Effort (E)(trip) 201.360,07 -0,99
Schnute Biomass (x) (ton)
-0,0000025
-68.152,1 (34.076,03)
(36.685,06)
Produksi (h) (ton) 3.515,88
16.879,82
201.360,07
200.657,69
20,82889
16.780,87
20,95
185.294,34
108,67
Effort (E)(trip) 100,35
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013 241
242
Lampiran 14. Catch per unit effort untuk sumberdaya ikan pelagis Tahun
Payang 1997 0,05544 1998 0,05032 1999 0,04277 2000 0,01413 2001 0,00785 2002 0,00677 2003 0,00799 2004 0,00833 2005 0,00962 2006 0,01125 2007 0,01026 2008 0,01654 2009 0,01826 2010 0,02069 2011 0,02052 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
CPUE Gill net 0,11906 0,06038 0,10524 0,17719 0,08875 0,10363 0,10368 0,123 0,13204 0,15648 0,11003 0,03612 0,03696 0,02086 0,01746
Pancing 0,0003766 0,0016781 0,0013064 0,0004470 0,0010356 0,0007785 0,0004292 0,0003529 0,0002844 0,0003491 0,0001800 0,0001723 0,0001267 0,0031797 0,0000776
243
Lampiran 15. Nilai fishing power indeks untuk alat tangkap ikan pelagis Tahun
Payang 1997 0,46561 1998 0,83351 1999 0,40635 2000 0,07973 2001 0,08844 2002 0,06534 2003 0,07705 2004 0,06771 2005 0,07290 2006 0,07187 2007 0,09329 2008 0,45785 2009 0,49397 2010 0,99184 2011 1,17503 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
FPI Pancing 0,003163 0,027795 0,012413 0,002523 0,011669 0,007513 0,00414 0,002869 0,002154 0,002231 0,001636 0,004769 0,003429 0,15242 0,004446
Jaring insang 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00 1,00
244
Lampiran 16. Nilai Effort standar alat tangkap ikan pelagis Tahun
Payang 1997 6.052,898 1998 10.835,578 1999 5.282,557 2000 1.036,542 2001 1.149,680 2002 882,157 2003 1.040,144 2004 914,026 2005 889,336 2006 754,631 2007 1.539,305 2008 4.670,047 2009 4.248,108 2010 7.736,373 2011 5.640,166 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Effort SDT Pancing 364,370 3.263,096 1.976,130 377,911 1.747,967 1.419,938 1.079,630 660,987 496,192 326,139 250,666 653,401 551,446 24.509,2 725,631
Gill net 99.200 165.400 135.400 62.000 62.000 57.400 79.200 79.200 79.200 79.200 79.200 192.000 192.000 192.000 195.000
Total Effort SDT 105.617 179.499 142.659 63.414 64.898 59.702 81.320 80.775 80.586 80.281 80.990 197.323 196.800 224.246 201.366
245
Lampiran 17. Hasil Analisis Laju Degradasi dan Laju Depresiasi Sumberdaya Ikan Pelagis Tahun
Laju Degradasi
1997 0,62 1998 0,99 1999 0,85 2000 0,39 2001 0,30 2002 0,29 2003 0,45 2004 0,46 2005 0,46 2006 0,46 2007 0,45 2008 1,00 2009 1,00 2010 1,00 2011 1,00 Rataan 0,65 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Standart
Laju Depresiasi
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,50
0,68 1,00 0,90 0,40 0,31 0,30 0,49 0,49 0,49 0,49 0,49 1,00 1,00 1,00 1,00 0,67
246
Lampiran 18. Data Input pada Metode Estimasi Algoritma Fox untuk Sumberdaya Ikan Demersal Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Produksi (ton) 2.390,405 1.835,116 2.451,193 2.227,454 2.123,236 2.997,520 1.950,289 2.074,466 1.476,552 2.323,680 5.104,639 4.283,030 9.761,215 15.616,306 20.847,601
Effort SDT 55.536,696 103.362,453 132.997,393 93.408,257 100.376,680 133.727,305 134.737,675 150.768,114 85.428,502 46.027,139 34.857,557 36.421,252 55.243,634 102.136,922 115.175,481
CPUE SDT 0,04304 0,01775 0,01843 0,02385 0,02115 0,02242 0,01447 0,01376 0,01728 0,05048 0,14644 0,11760 0,17669 0,15290 0,18101
247
Lampiran 19. Hasil OLS Metode Estimasi Algoritma Fox untuk Sumberdaya Ikan Demersal SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,448966604 R Square 0,201571012 Adjusted R Square 0,140153397 Standard Error 0,061751808 Observations 15 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1
1 13 14 Coefficients 0,138414386 -0,00000078
SS 0,012515105 0,049572716 0,06208782
Standard Error 0,042559062 4,28844E-07
MS 0,012515105 0,003813286
t Stat 3,252289378 -1,811621916
Significance F F 3,281973967 0,093200214
P-value Lower 95% 0,00630041 0,046471122 0,093200214 -1,70337E-06
Upper 95% 0,23035765 1,49558E-07
Lower 95,0% 0,046471122 -1,70337E-06
Upper 95,0% 0,23035765 1,49558E-07
247
248
248
Lampiran 20. Solusi Bioekonomi Metode Algoritma Fox untuk Sumberdaya Ikan Demersal Solusi Bioekonomi dengan Algoritma Fox Parameter Statik
Sole Owner / MEY r= q= K= Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
-1,9266164351 0,0000108139 12.799,71 (89.080,80) 6.399,85 (6.165,03) 20.847,60 115.175,48 219,38 5,867044 0,0845
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % juta Rp/ton juta Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
Open Access/OAY 7.065,86 (6.098,27) (79.811) (29.033,98)
1.332,02 (2.299,22) (159.621) 0,0000000
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2 MSY 6.399,85 (6.165,03) (89.081) (28.642,26)
249
Lampiran 21. Data Input untuk Metode Estimasi CYP pada Sumberdaya Ikan Demersal Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
LnCPUEt+1 -4,031134078 -3,993754682 -3,736120517 -3,855988569 -3,798017409 -4,235352173 -4,286039216 -4,057970152 -2,986079065 -1,921120223 -2,140491747 -1,733336232 -1,877998661 -1,709218005
LnCPUEt -3,145581184 -4,031134078 -3,993754682 -3,736120517 -3,855988569 -3,798017409 -4,235352173 -4,286039216 -4,057970152 -2,986079065 -1,921120223 -2,140491747 -1,733336232 -1,877998661
Et+Et+1 158899,149 236359,846 226405,65 193784,937 234103,985 268464,98 285505,789 236196,616 131455,641 80884,696 71278,809 91664,886 157380,556 217312,403
Y
X1
X2
250
250
Lampiran 22. Hasil OLS Metode Estimasi CYP untuk Sumberdaya Ikan Demersal SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,909783466 R Square 0,827705955 Adjusted R Square 0,796379765 Standard Error 0,493016679 Observations 14 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
SS 2 12,84463369 11 2,673719908 13 15,5183536
Standard Coefficients Error 0,148133348 0,482846173 0,716044814 0,172000707 -0,00000534 2,45349E-06
MS 6,422316845 0,243065446
F 26,42217125
Significance F 6,30212E-05
t Stat 0,306792011 4,163034129 -2,178465241
P-value 0,764731105 0,001581219 0,05200414
Lower 95% -0,914603912 0,33747381 -1,07449E-05
Upper 95% 1,210870609 1,094615817 5,52524E-08
Lower 95,0% -0,914603912 0,33747381 -1,07449E-05
Upper 95,0% 1,210870609 1,094615817 5,52524E-08
251
Lampiran 23. Solusi Bioekonomi Metode Estimasi CYP untuk Sumberdaya Ikan Demersal Parameter Statik
a=
0,1481333
b=
0,7160448
c=
-0,0000053
r = 2(1-b)/(1+b)
0,33094145818
q = -c*(2+r)
0,00001245852
K = (EXP((a*(2+r))/(2*r)))/q
Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2 MSY
135.237,04
13.281,73 67.618,52 11.188,89 20.847,60 115.175,48 -116,66 5,86704 0,08451
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % Rp/ton Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
Sole Owner / MEY 68.196,61 11.188,07 13.168 64.528,04
Open Access/OAY 1.156,18 379,36 26.336 (0,00)
67.618,52 11.188,89 13.282 64.523,24
251
252
Lampiran 24. Data Input untuk Metode Estimasi W-H pada Sumberdaya Ikan Demersal Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
(Ut+1/Ut)-1 -0,58751395 0,03808679 0,29386539 -0,11296253 0,05968443 -0,35424478 -0,04942389 0,25617208 1,92089795 1,90071959 -0,19697668 0,50253776 -0,13468565 0,18386044 Y
Ut 0,04304 0,01775 0,01843 0,02385 0,02115 0,02242 0,01447 0,01376 0,01728 0,05048 0,14644 0,11760 0,17669 0,15290 X1
Et 55536,70 103362,45 132997,39 93408,26 100376,68 133727,31 134737,68 150768,11 85428,50 46027,14 34857,56 36421,25 55243,63 102136,92 X2
253
Lampiran 25. Hasil OLS Metode Estimasi W-H untuk Sumberdaya Ikan Demersal SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,384728301 R Square 0,148015866 Adjusted R Square -0,00689034 Standard Error 0,809279381 Observations 14 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
SS MS 2 1,251602434 0,62580122 11 7,204264281 0,65493312 13 8,455866715
Standard Coefficients Error t Stat 1,438048705 0,870313803 1,65233356 -5,588263266 4,645311973 -1,2029899 -0,00000913 7,17863E-06 -1,2721024
Significance F F 0,955519275 0,414355674
P-value 0,126694667 0,25423348 0,229571256
Lower 95% -0,47749906 -15,812526 -2,4932E-05
Upper 95% 3,353596469 4,635999444 6,66811E-06
Lower 95,0% -0,477499059 -15,81252598 -2,4932E-05
Upper 95,0% 3,353596469 4,635999444 6,66811E-06
253
254
254
Lampiran 26. Solusi Bioekonomi Metode Estimasi W-H untuk Sumberdaya Ikan Demersal Parameter Statik
a=
1,4380487
b=
5,5882633
c=
-0,00000913196
r=a
1,43804870532
q = -c
0,00000913196
K =r/bq
28179,47
Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
78.737,15 14.089,74 10.130,86 20.847,60 115.175,48 51,41 5,87 0,08
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2 Sole Owner / MEY
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % juta Rp/ton juta Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
14.878,41 10.099,12 74.330 52.970,35
Open Access/OAY 1.577,35 2.141,33 148.660
MSY
-
14.089,74 10.130,86 78.737 52.784,11 59.438,22
255
Lampiran 27. Data Input untuk Metode Estimasi Schnute untuk Sumberdaya Ikan Demersal Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
ln(Ut+1/Ut) (0,88555) 0,03738 0,25763 (0,11987) 0,05797 (0,43733) (0,05069) 0,22807 1,07189 1,06496 (0,21937) 0,40716 (0,14466) 0,16878 Y
(Ut+Ut+1)/2 0,03040 0,01809 0,02114 0,02250 0,02178 0,01844 0,01412 0,01552 0,03388 0,09846 0,13202 0,14715 0,16479 0,16695 X1
(Et+Et+1)/2 79449,5745 118179,923 113202,825 96892,4685 117051,9925 134232,49 142752,8945 118098,308 65727,8205 40442,348 35639,4045 45832,443 78690,278 108656,2015 X2
256
256
Lampiran 28. Hasil OLS Metode Estimasi Schnute untuk Sumberdaya Ikan Demersal SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0,385434649 R Square 0,148559868 Adjusted R Square -0,006247428 Standard Error 0,547112482 Observations 14 ANOVA df Regression Residual Total
Intercept X Variable 1 X Variable 2
Coefficients 0,818641911 -1,146863582 -0,00000695
SS 2 0,57450435 11 3,292652749 13 3,867157099
MS 0,287252175 0,299332068
F 0,959643838
Significance F 0,41290262
Standard Error 0,644399742 3,007375072 5,35083E-06
t Stat 1,270394536 -0,381350365 -1,2992285
P-value 0,230156511 0,710206441 0,220436657
Lower 95% -0,59967236 -7,76605148 -1,8729E-05
Upper 95% 2,23695618 5,472324318 4,82515E-06
Lower 95,0% -0,599672358 -7,766051483 -1,87291E-05
Upper 95,0% 2,23695618 5,472324318 4,82515E-06
257
Lampiran 29. Solusi Bioekonomi Metode Estimasi Schnute untuk Sumberdaya Ikan Demersal Parameter Statik
a=
0,8186419
b=
1,1468636
c=
-0,00000695195
r=a
0,81864191099
q = -c
0,00000695195
K =r/bq
102677,51
Effort Opt (Emsy) = r/2q Biomass MSY (xopt) = K/2 hMSY (h opt) = rK/4 Rata2 Produksi Aktual = Rata2 Effort Aktual = % Overfishing = Price = Cost =
58.878,55 51.338,76 21.014,03 20.847,60 115.175,48 -306,92 5,87 0,08
i= δ=ln(1+r) φ1=Cost/Price*q*K φ2=δ/r ß=φ1+1-φ2 Sole Owner / MEY
Ton Trip Ton Ton Ton Trip % juta Rp/ton juta Rp/trip
x (ton) h* (ton) E* (trip) π (juta Rp)
52.374,74 21.005,47 57.690 118.364,59
Open Access/OAY 2.071,97 1.661,97 115.381
MSY
-
51.338,76 21.014,03 58.879 118.314,38
257
258
258
Lampiran 30. Perbandingan Hasil Analisis Bioekonomi pada Sumberdaya Ikan Demersal pada Berbagai Metode Estimasi Parameter Biologi Pemanfaatan Algoritma Fox Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E)(trip) CYP Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E)(trip) W-H Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E)(trip) Schnute Biomass (x) (ton) Produksi (h) (ton) Effort (E)(trip)
Aktual
r
q -1,9
0,0000108
K
MSY
% aktual thd MSY
MEY
% aktual thd MEY
12.799,7 6.399,9 -6.165,0 -89.080,8
-338,2 -129,3
7.065,9 -6.098,3 -79.810,5
20.847,6
67.618,5 11.188,9
186,3
68.196,6 11.188,1
186,3
115.175,5
13.281,7
867,2
13.168,2
874,6
205,8 146,3
14.878,4 10.099,1 74.330
99,2 195,6
52.374,7 21.005,5 57.690,4
20.847,6 115.175,5 0,3
1,4
0,0000125
0,0000091
28.179,5
20.847,6 115.175 0,8 20.847,6 115.175,5
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
0,0000070
Sig F
R square
Adj R2
3,281974
0,0932002
0,201571
0,1401534
26,422171
0,00006
0,827706
0,7963798
0,9555193
0,4143557
0,1480159
-0,00689
0,9596438
0,4129026
0,1485599
-0,006247
206,4 155,0
102.677,5 51.338,8 21.014,0 58.878,5
Uji F
-341,9 -144,3
135.237,0
14.089,7 10.130,9 78.737
Uji Statistik
99,2 199,6
259
Lampiran 31. Catch per unit effort untuk sumberdaya ikan demersal CPUE Tahun
Bouke Ami
1997 0,043042 1998 0,017754 1999 0,018430 2000 0,023846 2001 0,024141 2002 0,031027 2003 0,019909 2004 0,024589 2005 0,015900 2006 0,045291 2007 0,146443 2008 0,117597 2009 0,176853 2010 0,152795 2011 0,181007 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Dogol
Bubu
Rampus
0,0194193 0,0141863 0,0146983 0,0113785 0,0098946 0,0101400 0,0096201 0,0050996
0,00092 0,00136 0,00367 0,00427 0,00472 0,00719 0,00569 0,00535 0,00330 0,00322 0,00381 0,00223 0,00677 0,00476 0,00421
0,0164 0,0333 0,0392 0,0361 0,0344 0,0359 0,0057 0,0045 0,0063 0,0124 0,0011 -
260
Lampiran 32. Nilai fishing power indeks dari alat tangkap ikan demersal Tahun
FPI Bouke Ami
1997 1,00 1998 1,00 1999 1,00 2000 1,00 2001 1,00 2002 1,00 2003 1,00 2004 1,00 2005 1,00 2006 1,00 2007 1,00 2008 1,00 2009 1,00 2010 1,00 2011 1,00 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Dogol 1,8315 0,8922 0,3245 0,0777 0,0841 0,0582 0,0616 0,0282
Bubu 0,0215 0,0763 0,1992 0,1790 0,2327 0,3495 0,4468 0,5041 0,2073 0,0711 0,0260 0,0189 0,0389 0,0305 0,0233
Rampus 0,37998 1,87393 2,12948 1,51190 1,69818 1,74507 0,44531 0,10083 0,06520 0,02673 0,00734 0,00000 0,00000 0,00000 0,00000
261
Lampiran 33. Nilai effort standar alat tangkap ikan demersal Effort SDT Tahun
Dogol
Bubu
1997 2.905,099 1998 11.889,761 1999 26.757,283 2000 24.679,286 2001 32.674,816 2002 47.866,563 2003 84.403,232 2004 33057,704 86.861,942 2005 20386,605 34.981,439 2006 7415,514 9.639,681 2007 1775,423 3.525,164 2008 2090,878 2.330,374 2009 1446,976 1.796,658 2010 1529,574 1.407,347 2011 700,110 1.075,371 Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
.
Rampus
Bouke ami
Effort SDT Total
10.031,597 47.972,692 56.740,110 48.528,972 45.001,863 62.260,742 17.634,443 2.248,469 1.460,458 571,944 156,969 -
42.600 43.500 49.500 20.200 22.700 23.600 32.700 28.600 28.600 28.400 29.400 32.000 52.000 99.200 113.400
55.536,696 103.362,453 132.997,393 93.408,257 100.376,680 133.727,305 134.737,675 150.768,114 85.428,502 46.027,139 34.857,557 36.421,252 55.243,634 102.136,922 115.175,481
262
Lampiran 34. Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi Sumberdaya Ikan Demersal Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Laju Degradasi 0,000 0,007 0,993 0,002 0,007 0,987 0,999 1,000 0,000 0,000 0,031 0,015 0,105 0,350 0,478 0,332
Standart
Laju Depresiasi
0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
0,000 0,000 1,000 0,000 0,000 1,000 1,000 1,000 0,000 0,000 0,024 0,010 0,096 0,359 0,498 0,332
263
range collapse
Tekanan pemanfaatan perairan
exploitation status
size of fish caught
proporsi ikan yang dibuang
2
2
3
1
0
GOOD - best attribute values
0
0
0
0
0
0
BAD - worst attribute values
2
2
2
3
2
2
UP - half good, half bad
0
0
0
2
2
2
DOWN - opposite to UP
3
2
2
0
0
0
1
0
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
2
2
3
0
0
2
3
2
2
4
0
2
2
3
2
2
5 6 7 8
2 2 2 2
2 2 2 0
2 2 0 0
3 3 0 0
2 0 0 0
0 0 0 0
>
Pelagis
EKOLOGI
0
Attributes Fisheries V
Abbreviation
species caught
Lampiran 35. Rapscore Dimensi Ekologi untuk Sumberdaya Ikan Pelagis
Reference fisheries:
Anchor Fisheries:
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
264
Lampiran 36. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi ekologi pada Sumberdaya Perikanan Pelagis
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 27,18
58,06
76,46
40
Other Distingishing Features
8,63
95,37
20
0,00
0 0
-20
-40
20
24,33
100,00 40
60
80
6,70
100
91,66
23,48
73,51 48,45
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Fisheries Sustainability
120
265
range collapse
Tekanan pemanfaatan perairan
exploitation status
size of fish caught
proporsi ikan yang dibuang
2
2
3
1
0
GOOD - best attribute values
0
0
0
0
0
0
BAD - worst attribute values
2
2
2
3
2
2
UP - half good, half bad
0
0
0
2
2
2
DOWN - opposite to UP
3
2
2
0
0
0
1
0
0
0
0
0
2
2
0
0
0
0
2
2
3
0
0
2
3
2
2
4
0
2
2
3
2
2
5 6 7 8
2 2 2 2
2 2 2 0
2 2 0 0
3 3 0 0
2 0 0 0
0 0 0 0
>
Demersal
EKOLOGI
0
Attributes Fisheries V
Abbreviation
species caught
Lampiran 37. Rapscore Dimensi Ekologi untuk Sumberdaya Ikan Demersal
Reference fisheries:
Anchor Fisheries:
266
Lampiran 38. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi ekologi pada Sumberdaya Perikanan Demersal
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 27,18
58,06
76,46
40
Other Distingishing Features
8,63
95,37
20
0,00
0 0
-20
-40
20
24,33
100,00 40
60
80
6,70
100
91,66
23,48
73,51 48,45
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Fisheries Sustainability
120
267
Tujuan pemasaran
Sumberdaya ikan luar
Kontribusi terhadap PDRB
Keuntungan
Penyerapan tenaga kerja
Kepemilikan Usaha
0
2
0
3
0
0
GOOD - best attribute values
0
0
0
2
4
0
0
BAD - worst attribute values
3
2
2
0
0
2
2
UP - half good, half bad
0
0
0
2
0
2
2
DOWN - opposite to UP
3
2
2
0
4
0
0
1
0
0
0
2
4
0
2
2
0
0
0
2
4
2
2
3
0
0
0
2
0
2
2
4
0
0
0
0
0
2
2
5
0
0
2
0
0
2
2
6 7 8 9 10 11 12
0
2
2
0
0
2
2
3
2
2
0
0
2
0
3
2
2
0
0
0
0
3
2
2
0
4
0
0
3
2
2
2
4
0
0
3
2
0
2
4
0
0
3
0
0
2
4
0
0
>
Pelagis
EKONOMI
0
Attributes Fisheries V
Abbreviation
Sumber Pendapatan lain
Lampiran 39. Rapscore Dimensi Ekonomi untuk Sumberdaya Ikan Pelagis
Reference fisheries:
Anchor Fisheries:
268
Lampiran 40. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Ekonomi pada Sumberdaya Perikanan Pelagis
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 60,70 60,72
38,40 40
81,60
Other Distingishing Features
19,29
20
95,14
6,30
0
100,00
0,00 0
20
40
60
80
100
54,25 -20
-40
95,10
5,88
83,27
19,71 40,36 40,41
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
62,85
Fisheries Sustainability
120
269
Tujuan pemasaran
Sumberdaya ikan luar
Kontribusi terhadap PDRB
Keuntungan
Penyerapan tenaga kerja
Kepemilikan Usaha
0
2
0
3
0
0
GOOD - best attribute values
0
0
0
2
4
0
0
BAD - worst attribute values
3
2
2
0
0
2
2
UP - half good, half bad
0
0
0
2
0
2
2
DOWN - opposite to UP
3
2
2
0
4
0
0
1
0
0
0
2
4
0
2
2
0
0
0
2
4
2
2
3
0
0
0
2
0
2
2
4
0
0
0
0
0
2
2
5
0
0
2
0
0
2
2
6 7 8 9 10 11 12
0
2
2
0
0
2
2
3
2
2
0
0
2
0
3
2
2
0
0
0
0
3
2
2
0
4
0
0
3
2
2
2
4
0
0
3
2
0
2
4
0
0
3
0
0
2
4
0
0
Demersal
EKONOMI
0
Attributes > Fisheries V
Abbreviation
Sumber Pendapatan lain
Lampiran 41. Rapscore Dimensi Ekonomi untuk Sumberdaya Ikan Demersal
Reference fisheries:
Anchor Fisheries:
270
Lampiran 42. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Ekonomi pada Sumberdaya Perikanan Demersal
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 60,70 60,72
38,40 40
81,60
Other Distingishing Features
19,29
20
95,14
6,30
0
100,00
0,00 0
20
40
60
100
54,25 -20
-40
95,10
5,88
83,27
19,71 40,36 40,41
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
.
80
62,85
Fisheries Sustainability
120
271
2
0
0 2 0 2
2 0 2 0
2 0 2 0
0 2 0 2
2 0 2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2
2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2
0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0
2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
1
Partisipasi keluarga
0
Pengaruh nelayan
1
Sosialization of fishing Frekuensi penyuluhan/pelatiha
0
Fishing income
Tingkat pendidikan
Status/Frekuensi konflik KUT per bulan thd UMR
Pengetahuan
Pelagis
Laju pertumbuhan nelayan
SOSIAL
Attributes > Fisheries V
Abbreviation
Lampiran 43. Rapscore Dimensi Sosial untuk Sumberdaya Ikan Pelagis
1
2
0
0
2 0 0 2
2 0 0 2
3 0 0 3
2 0 0 2
1 0 0 1
2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2
3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3
2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
Reference fisheries: GOOD - best attribute values BAD - worst attribute values UP - half good, half bad DOWN - opposite to UP
Anchor Fisheries:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
272
Lampiran 44. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Sosial pada Sumberdaya Perikanan Pelagis
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 34,57
49,32
65,00
21,17
40
78,89
Other Distingishing Features
10,52
89,64
20 3,26
96,83 32,84
0
100,00
0,00 0
20
40
60
80
2,86
96,89
-20 9,52 -40
100
89,60 20,53
78,38 34,42
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
50,12
64,68
Fisheries Sustainability
120
273
2
2
0 2 0 2
2 0 2 0
2 0 2 0
0 2 0 2
2 0 2 0
0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2
2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2
2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2
0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0
2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
1
Partisipasi keluarga
0
Pengaruh nelayan
1
Sosialization of fishing Frekuensi penyuluhan/pelatiha
0
Fishing income
Tingkat pendidikan
Status/Frekuensi konflik KUT per bulan thd UMR
Pengetahuan
Demersal
Laju pertumbuhan nelayan
SOSIAL
Attributes > Fisheries V
Abbreviation
Lampiran 45. Rapscore Dimensi Sosial untuk Sumberdaya Ikan Demersal
1
2
0
0
2 0 0 2
2 0 0 2
3 0 0 3
2 0 0 2
1 0 0 1
2 2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2
2 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2
3 3 0 0 0 0 0 0 0 0 3 3 3 3 3 3
2 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 2
0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
Reference fisheries: GOOD - best attribute values BAD - worst attribute values UP - half good, half bad DOWN - opposite to UP
Anchor Fisheries:
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
274
Lampiran 46.Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Sosial pada Sumberdaya Perikanan Demersal
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 49,08676147 34,45104218 64,88090515 21,10410118
40
78,96647644
Other Distingishing Features
10,58530712 20
89,93571472
3,390779495
97,00373077 44,67821121
0
100
0 0
20
40
60
80
100
2,765396118
96,69128418
-20 9,309581757 -40
120
89,30071259
20,44596672
78,26828766
64,74736786 34,5307045 50,53583145 -60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
Fisheries Sustainability
275
Lama trip
Jenis/ sifat alat tangkap
Selektivitas alat tangkap
Penanganan di kapal ukuran kapal penangkapan
Penanganan pasca panen penggunaan alat bantu destruktif
perubahan daya tangkap
0
0
0
0
0
0
0
1
GOOD - best attribute values
0
0
0
2
3
0
2
0
0
BAD - worst attribute values
2
2
2
0
0
2
0
2
2
UP - half good, half bad
0
0
0
2
3
2
0
2
2
DOWN - opposite to UP
2
2
2
0
0
0
2
0
0
0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
2 2 2 2 2
3 3 3 3
0 0 0
2 2
0
2
2
2
0
2
2
2
0
2
2
0
2
0
2
2
0
0
2
0
2
2
2
0
0
2
0
2
2
2
2
0
0
2
0
2
2
2
2
2
0
0
2
0
2
0
2
2
2
0
0
2
0
0
0
2
2
2
0
0
2
2
0
0
2
2
2
0
0
0
2
0
0
2
2
2
0
3
0
2
0
0
2
2
2
2
3
0
2
0
0
2
2
0
2
3
0
2
0
0
2
0
0
2
3
0
2
0
0
> V
Pelagis
TEKNOLOGI
0
Attributes Fisheries
Abbreviation
Pilihan thd tempat pendaratan ikan
Lampiran 47. Rapscore Dimensi Teknologi untuk Sumberdaya Ikan Pelagis
Reference fisheries:
Anchor Fisheries:
1 2 3 4 5 6 7 8
User-entere error limits p: (score is expected to be in interval score score+Emax) Emin
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6
276
Lampiran 48.Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Teknologi pada Sumberdaya Perikanan Pelagis
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 59,61 59,73
41,75
75,87
25,53
40
Other Distingishing Features
12,55 49,22
20
4,17
0
96,92
100,00
0,00 0
-20
89,43
20
40
60
80
3,18
95,98 11,58
-40
100
87,96 24,51
75,09 40,58 40,95
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
58,37
Fisheries Sustainability
120
277
Lama trip
Jenis/ sifat alat tangkap
Selektivitas alat tangkap
perubahan daya tangkap penggunaan alat bantu destruktif
Penanganan pasca panen ukuran kapal penangkapan
Penanganan di kapal
0
0
0
2
0
0
0
0
GOOD - best attribute values
0
0
0
2
0
0
2
0
3
BAD - worst attribute values
2
2
2
0
2
2
0
2
0
UP - half good, half bad
0
0
0
2
0
2
0
2
0
DOWN - opposite to UP
2
2
2
0
2
0
2
0
3
0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
2 2 2 2 2
0 0 0 0
0 0 0
2 2
0
0
2
0
0
2
0
2
0
2
0
2
2
0
2
0
0
2
2
0
2
0
2
0
2
2
0
2
0
8
0 0 0 0 0 0 0 0
2
2
0
2
2
0
2
0
>
Demersal
TEKNOLOGI
0
Attributes Fisheries V
Abbreviation
Pilihan thd tempat pendaratan ikan
Lampiran 49. Rapscore Dimensi Teknologi untuk Sumberdaya Ikan Demersal
Reference fisheries:
Anchor Fisheries:
1 2 3 4 5 6 7 9
2
2
2
0
2
2
0
2
10
2
2
2
0
2
2
0
11 12 13
2 2 2
2 2 2
2 2 2
0 0 0
2 2
2
0
0 0
2 2 2
0 0 0 0
3 3 3 3 3
User- attribute:
14
2
2
2
2
0
0
2
0
3
(sce is expected to be in erval score-Emin to score+Emax)
15
2
2
Emin
16
2
0
0 0
2 2
0 0
0 0
2 2
0 0
3 3
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
278
Lampiran 50. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Teknologi pada Sumberdaya Perikanan Demersal
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 59,61 59,73
41,75
75,87
25,53
40
Other Distingishing Features
12,55 49,22
20
4,17
0
96,92
100,00
0,00 0
-20
89,43
20
40
60
80
3,18
95,98 11,58
-40
100
87,96 24,51
75,09 40,58 40,95
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
58,37
Fisheries Sustainability
120
279
0
2
ilegal fishing
adjacency and reliance
1
alternatives
equity in entry to fishery
0
Peranan lembaga formal
1
Pelagis
just management
ketersediaan peraatutan formal
>
KELEMBAGAAN
Attributes Fisheries V
Abbreviation
Lampiran 51. Rapscore Dimensi Kelembagaan untuk Sumberdaya Ikan Pelagis
2
1
Reference fisheries: GOOD - best attribute values
2
4
3
2
3
2
0
BAD - worst attribute values
0
0
0
0
0
0
2
UP - half good, half bad
2
4
3
2
0
0
2
DOWN - opposite to UP
0
0
0
0
3
2
0
4 4 4 4 4
3 3 3 3
2 2 2
3 3
2
2
0
2
0
0
2
0
0
0
2
0
0
0
0
2
6
2 2 2 2 2 2
0
0
0
0
0
2
7
0
0
0
0
0
0
2 2 2 2 2
0 0 0 0 0 0
Anchor Fisheries:
1 2 3 4 5
8
0
0
0
0
0
9
0
0
0
0
10
0
0
0
11
0
0
12
0
4
3 3
2 2 2
3 3 3 3
280
Lampiran 52.Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Kelembagaan pada Sumberdaya Perikanan Pelagis
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 61,33 61,28
38,68
Other Distingishing Features
40
81,80
18,24
20
94,71
5,88
0
100,00
0,00 0
20
40
60
80
100
42,03 -20
-40
94,53
5,21
81,71
18,48 38,85 38,75
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
61,32
Fisheries Sustainability
120
281
0
2
ilegal fishing
adjacency and reliance
1
alternatives
equity in entry to fishery
0
Peranan lembaga formal
1
Demersal
just management
ketersediaan peraatutan formal
>
KELEMBAGAAN
Attributes Fisheries V
Abbreviation
Lampiran 53. Rapscore Dimensi Kelembagaan untuk Sumberdaya Ikan Demersal
2
1
Reference fisheries: GOOD - best attribute values
2
4
3
2
3
2
0
BAD - worst attribute values
0
0
0
0
0
0
2
UP - half good, half bad
2
4
3
2
0
0
2
DOWN - opposite to UP
0
0
0
0
3
2
0
4 4 4 4 4
3 3 3 3
2 2 2
3 3
2
2
0
2
0
0
2
0
0
0
2
0
0
0
0
2
6
2 2 2 2 2 2
0
0
0
0
0
2
7
0
0
0
0
0
0
2 2 2 2 2
0 0 0 0 0 0
Anchor Fisheries:
1 2 3 4 5
8
0
0
0
0
0
9
0
0
0
0
10
0
0
0
11
0
0
12
0
4
3 3
2 2 2
3 3 3 3
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
282
Lampiran 54. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Dimensi Kelembagaan pada Sumberdaya Perikanan Demersal
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 61,33 61,28
38,68
Other Distingishing Features
40
81,80
18,24
20
94,71
5,88
0
100,00
0,00 0
20
40
60
80
100
42,03 -20
-40
94,53
5,21
81,71
18,48 38,85 38,75
-60
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
61,32
Fisheries Sustainability
120
283
Lampiran 55. Hasil Pembobotan Setiap Dimensi pada Sumberdaya Ikan Pelagis RES KE-1
RES KE-2
RES KE-3
RES KE-4
RES KE-5
RES KE-6
RES KE-7
RES KE-8
RES KE-9
RES KE10
Ekologi
0,3843
0,1373
0,1108
0,4093
0,5429
0,1324
0,0508
0,0950
0,3851
0,3234
Ekonomi
0,1302
0,3939
0,4329
0,2665
0,2006
0,0494
0,0928
0,0566
0,1860
Teknologi
0,0413
0,0658
0,0501
0,1634
0,0399
0,5535
0,1595
0,5239
Sosial
0,2020
0,1170
0,2534
0,1073
0,0720
0,1960
0,2950
Kelembagaan
0,2422
0,2859
0,1528
0,0533
0,1447
0,0687
JUMLAH
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
DIMENSI
BOBOT GABUN GAN
BOBOT TERTIM BANG
PELAGIS
0,2002
0,2653
23,46
6,223
0,0710
0,1449
0,1919
54,94
10,544
0,1728
0,4951
0,1427
0,1891
51,70
9,777
0,2813
0,0815
0,0694
0,1455
0,1928
32,67
6,298
0,4018
0,0432
0,1746
0,0411
0,1215
0,1609
42,21
6,793
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
0,7548
1,0000
204,98
39,63
STATUS KEBERLANJUTAN PELAGIS
JUMLAH NILAI
KURANG BERKELANJ UTAN
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013
283
284 284
Lampiran 56. Hasil Pembobotan Setiap Dimensi pada Sumberdaya Ikan Demersal PENENTUAN BOBOT DIMENSI BOBOT GABUNG AN
BOBOT TERTIMBA NG
DEME RSAL
JUMLA H NILAI
0,2898
0,3468
0,4306
23,46
10,103
0,1205
0,4866
0,1435
0,1781
54,94
9,787
0,2912
0,0665
0,0501
0,0878
0,1090
51,7
5,636
0,2561
0,0523
0,2375
0,1295
0,1185
0,1472
40,23
5,920
0,1201
0,4975
0,1428
0,0379
0,0440
0,1088
0,1351
42,21
5,701
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
0,8053
1,0000
212,54
37,15
DIMENSI
RES KE-1
RES KE-2
RES KE-3
RES KE-4
RES KE-5
RES KE-6
RES KE-7
RES KE-8
RES KE-9
Ekologi
0,3843
0,4426
0,3157
0,4093
0,5429
0,2248
0,1314
0,4583
0,5375
Ekonomi
0,1302
0,0603
0,0615
0,2665
0,2006
0,5443
0,0808
0,0554
Teknologi
0,0413
0,1645
0,4636
0,1634
0,0399
0,0399
0,0342
Sosial
0,2020
0,2549
0,0470
0,1073
0,0720
0,0709
Kelembagaan
0,2422
0,0777
0,1123
0,0533
0,1447
JUMLAH
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
1,0000
RES KE-10
KURA NG STATUS BERKE KEBERLANJUTAN LANJU PELAGIS TAN STATUS KURANG KEBERLANJUTAN BERKELANJUT DEMERSAL AN
Sumber : Hasil Analisis Data, 2013