ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI PINGGIRAN METROPOLITAN DKI JAKARTA (Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten)
NANANG SOFWAN SANTOSA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Metropolitan DKI Jakarta (Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Februari 2012
Nanang Sofwan Santosa P 062054734
ABSTRACT Nanang Sofwan Santosa. 2012. A Direction of Policy for Sustainable Human Settlement Area Development in the Fringe of the DKI Metropolitan (Case Study: Settlement area at Cisauk – Banten Province). Supervised by Santun R.P. Sitorus, Machfud, and Ramalis Sobandi. Urbanization has increased the urban population significantly, especially at metro and large cities in Indonesia and about 20% of those lived at Jabodetabek metropolitan area. As a result, there were land issues and human settlement inadequate development. Many people moved to the fringe area and contributed to land use changes. The study was conducted in Cisauk settlement areas, Banten province. This research aims mainly to indicate alternatives of sustainable policy directions to the development of urban settlement area in the fringe of the DKI Jakarta metropolitan. The study consisted of four objectives: (1) to understand dynamic of urban settlement area development in the DKI Jakarta metropolitan systems, (2) to perceive sustainable index in Cisauk based on ecological, social, and economic aspects, (3) to identify key factors that fulfill the sustainability requirements, (4) to build policy direction for the development of urban settlements area in the DKI Metropolitan fringe area. The development of metropolitan area is affected by people growth and distribution, social-economypolitic activities, infrastructures, transportation network systems, land policy, and space planning. Urban areas are designed according to the hierarchy based on functions and magnitudes. The characteristics of sub river basin middle areas, in large part, consist of cultivation areas and likely not to produce negative impacts to the downstream areas. Ecology approach is needed since there is indication that the settlement development areas at Cisauk put more attention to the economy aspects than ecology aspects. Systemic approach is needed to analyse complex environmental problems. The study indicates some results. First, there has been a dynamic development of settlement in the DKI Jakarta metropolitan area between 1990 – 2010 related to migration of population, regional infrastructure development, private investment on large scale development as well as the new municipality in relation to the new autonomy-decentralization policy of Indonesia in 2000. Second, at present, the sustainable level of Cisauk urban settlement is in moderate sustainable level (55.93%). However, in terms of ecological aspect, it has a low sustainable level (45.35%). Third, the most influencing factors in Cisauk urban settlement development are land use change, infrastructure development, social cohesions, and population growth and distribution. Beside of those four factors, Cisadane river basin condition is a factor that has strong influences although it has high dependences. The implication is that Cisadane river basin condition is a critical factor influencing the Cisauk settlement sustainability. Policy directions for the development of Cisauk urban settlement area were directed through moderate scenario concerning of ecological, social, and economic dimensions in order to achieve a higher sustainability level. Keywords : urban settlements development, sustainability, scenario, policy direction.
RINGKASAN Nanang Sofwan Santosa. 2012. Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Metropolitan DKI Jakarta (Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten). Dibimbing oleh Santun R.P. Sitorus, Machfud, dan Ramalis Sobandi. Urbanisasi telah memacu pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia dengan pesat. Pada tahun 1980 jumlah penduduk perkotaan 32,8 juta jiwa atau 22.3% dari total penduduk nasional, tahun 2000 menjadi 85 juta jiwa atau 42% dari total penduduk nasional, dan diperkirakan tahun 2015, akan mencapai 150 juta jiwa atau sekitar 60% dari total penduduk nasional (BPS 2003). Penyebaran penduduk perkotaan tersebut terkonsentrasi di kota-kota besar dan metropolitan, dan diperkirakan sebesar 20% berada di Jabodetabek (Firman, 2002). Pertambahan penduduk perkotaan yang pesat tersebut mengakibatkan melonjaknya harga lahan di kota besar dan metropolitan sehingga menyebabkan terjadinya kelangkaan lahan. Di kawasan strategis perkotaan terjadi perubahan fungsi kawasan permukiman menjadi perdagangan dan jasa dan di pinggiran kota terjadi alih guna lahan pertanian produktif dan konservasi menjadi kawasan permukiman, industri dan lainnya. Kota Jakarta merupakan kota metropolitan terbesar di Indonesia, dengan luas 60,000 ha, jumlah penduduk sekitar 8.5 juta jiwa (BPS DKI Jakarta, Maret 2009), dan aglomerasinya berupa Metropolitan Jakarta yang mencakup sebagian wilayah provinsi Jawa Barat dan Banten. Perkembangan intensif Jakarta ke arah barat daya berlangsung sejak tahun 1990an terutama setelah berlangsungnya pembangunan jalan tol Jakarta–Serpong dan kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD City). Aglomerasi perkotaan terbentuk di kawasan ini dengan pusat kedua setelah Jakarta adalah Tangerang dan kemudian Serpong dan Ciputat. Kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan penduduk 105,307 jiwa pada tahun 2009 menjadi hinterland dari kota Serpong dengan aksesibilitas yang baik berupa jalan tol, jalur KA, dan jaringan jalan arteri. Dari tinjauan pustaka didapatkan gambaran bahwa kawasan perkotaan metropolitan berkembang dipengaruhi oleh perkembangan penduduk dan penyebarannya, kegiatan sosial-ekonomi-politik, infrastruktur, sistem jaringan transportasi, kebijakan lahan, manajemen perkotaan, dan penataan ruang. Pusat perkotaan disusun secara berhirarki menurut fungsi dan besarannya. Permukiman dalam wilayah sub DAS berkontribusi pada keberlanjutan sub DAS tersebut sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan sub DAS tersebut. Karakteristik sub DAS wilayah tengah umumnya merupakan kawasan budidaya dan hendaknya tidak menimbulkan dampak negatif ke wilayah sub DAS hilir. Pendekatan ekologis diperlukan karena pengembangan kawasan
permukiman di Cisauk terindikasi lebih memprioritaskan aspek pertumbuhan dan kurang memperhatikan keberlanjutan aspek ekologis. Sementara pendekatan kesisteman diperlukan untuk menganalisis masalah lingkungan yang kompleks sehingga diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Kawasan permukiman di Cisauk berada di bagian tengah dari kawasan sub DAS (Daerah Aliran Sungai) Cisadane yang subur namun dengan kondisi teknis yang buruk disebabkan oleh aktivitas domestik dan industri. Kondisi sub DAS Cisadane dipengaruhi oleh kondisi bagian hulu khususnya kondisi biofisik daerah tangkapan dan sistem resapan air yang rawan terhadap pemanfaatan secara sosial dan ekonomi yang dapat mengganggu kelestariannya. Pentingnya asas keterpaduan dalam pengelolaan DAS erat kaitannya dengan pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan DAS, yaitu pendekatan ekosistem. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks karena melibatkan berbagai komponen biogeofisik dan sosial ekonomi dan budaya yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Keberlanjutan ekosistem DAS memerlukan pendekatan perencanaan dan pengelolaan yang bersifat multi-sektor, lintas daerah, dan kelembagaan. Prinsip satu sungai, satu perencanaan, dan satu pengelola memerlukan koordinasi yang intensif dari seluruh stakeholders. Isu dan permasalahan di kawasan permukiman Cisauk diantaranya kawasan yang terbagi dua oleh Sungai Cisadane mengakibatkan perkembangan yang terjadi tidak seimbang dimana kawasan sebelah timur sungai lebih berkembang dibandingkan kawasan sebelah barat. Di kawasan permukiman Cisauk terdapat lahan-lahan tempat penambangan pasir untuk mensuplai kebutuhan material pembangunan permukiman di sekitar maupun di luar Cisauk. Patut disayangkan bahwa penambangan ini dilaksanakan dengan kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan seperti penggunaan alat berat, lubang bekas galian dibiarkan begitu saja sehingga menjadi situ yang dalam. Truk-truk besar pengangkut pasir menyebabkan kerusakan jalan akses yang parah dan polusi udara karena debu. Aksesibilitas yang tinggi berupa jalan tol, jaringan KA, dan jalan arteri ke beberapa simpul pelayanan utama, seperti Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor, dapat mendorong percepatan pembangunan namun berpotensi terjadinya perkembangan kota yang tidak terkendali. Konsentrasi penduduk dan arus komuter yang tinggi dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas. Terjadi alih fungsi lahan pertanian dan konservasi menjadi kawasan permukiman atau industri. Kawasan permukiman formal, yang dibangun pengembang, umumnya berupa cluster-cluster permukiman termasuk sarana dan prasarananya akan tetapi antar cluster tersebut belum terjadi sinkronisasi prasarana, misalnya drainase, sehingga menyebabkan terjadinya banjir. Tujuan penelitian ini adalah menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta,
dengan studi kasus kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan tujuan antaranya, adalah: (1) mengetahui dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta, (2) mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk pada saat ini, (3) mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta, dan (4) menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta khususnya kawasan permukiman di Cisauk. Data yang dianalisis berupa data sekunder dari laporan instansi-instansi terkait atau penelitian terdahulu dan data primer yang didapatkan dari wawancara dengan responden di kawasan penelitian yang disampling secara purposive sedemikian rupa sehingga dapat mewakili karakterisitik populasi dengan tingkat kesalahan sesuai persyaratan. Dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta dianalisis secara deskriptif. Perkembangan kawasan permukiman di DKI Jakarta antara tahun 1990-2010 ditandai dengan perkembangan yang dinamis terkait fungsi yang berkembang karena urbanisasi, investasi swasta dan bangkitan aktivitas dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada. Sistem metropolitan DKI Jakarta dapat dilihat dari hirarki dan jaringan kota dimana pada pengamatan tahun 2010 terdapat PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) baru yaitu kota mandiri BSD yang merupakan pengembangan kawasan permukiman berskala kota dengan luas sekitar 6,000 ha. Kawasan permukiman Cisauk yang dikenal sebagai kawasan perdesaan pada tahun 1990 berkembang menjadi kawasan perdesaan menuju perkotaan pada tahun 2010. Analisis data dengan metode MDS (Multidimension Scaling)– Rapsettlement menghasilkan kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat sekarang secara multi dimensi tergolong berkelanjutan (55.93%) dan untuk masing-masing dimensi adalah ekologi tergolong kurang berkelanjutan (45.35%), sosial tergolong berkelanjutan (57.61%), dan ekonomi tergolong berkelanjutan (64.82%). Terdapat 11 (sebelas) atribut-atribut yang sensitif (lihat Gambar 29, 30, dan 31) mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman Cisauk saat ini. Metode analisis prospektif menghasilkan 4 (empat) faktor paling berpengaruh (berada di kuadran I) dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk di masa mendatang (lihat Gambar 32). Selain ke empat faktor tersebut, faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor yang kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dilakukan untuk menyusun struktur hirarki pengambilan keputusan skala prioritas terkait dengan tujuan, aktor, faktor, dan alternatif skenario kebijakan dalam rangka pengembangan kawasan pemukiman berkelanjutan.
Skenario pengembangan kawasan permukiman disusun berdasarkan kemungkinan yang terjadi dari masing-masing faktor yang paling berpengaruh dalam 3 (tiga) alternatif skenario yaitu pesimis, moderat, dan optimis. Skenario pengembangan kawasan permukiman yang terpilih adalah skenario moderat yang secara operasional terdiri dari: pemanfaatan lahan yang terkendali, pengembangan sarana dan prasarana dasar yang meningkat, mempertahankan kohesi sosial, perkembangan penduduk yang terkendali, dan kondisi Sub DAS Cisadane yang meningkat. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman diformulasikan dengan memperhatikan dinamika dan sistem metropolitan DKI Jakarta, faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman, isu dan permasalahan, dan skenario moderat pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan. Pelaksanaan skenario pengembangan kawasan permukiman tersebut diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk secara multi dimensi menjadi 61.31% dan keberlanjutan untuk masing-masing dimensi yaitu ekologi menjadi 57.07%, sosial 58.96%, dan ekonomi 67.91%. Perkembangan pembangunan tidak selamanya berjalan linier seperti yang direncanakan. Dinamika masyarakat, perubahan kebijakan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menuntut adanya penyesuaian dan perubahan. Oleh sebab itu, pemantauan secara berkala dan kaji ulang diperlukan untuk menguji kembali kesahihan data, informasi, dan asumsi yang mendasari kebijakan dan perencanaan yang disusun. Kata-kata kunci : kawasan permukiman, berkelanjutan, faktor-faktor paling berpengaruh, skenario, arahan kebijakan
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ARAHAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN BERKELANJUTAN DI PINGGIRAN METROPOLITAN DKI JAKARTA (Studi Kasus: Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten)
NANANG SOFWAN SANTOSA
DISERTASI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :
1. Dr. Ir. Setia Hadi 2. Dr. Ir. Widiatmaka, DEA.
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka :
1. Dr. Ir. Ruchyat Deni Djakapermana 2. Dr. Ir. Oswar M. Mungkasa, MURP.
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi berjudul Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Pinggiran Metropolitan DKI Jakarta, dengan studi kasus kawasan permukiman di Cisauk, Provinsi Banten dapat diselesaikan. Diharapkan disertasi ini dapat melengkapi teori perencanaan perkotaan khususnya pengembangan kawasan permukiman yang menunjang keberlanjutan lingkungan perkotaan dan konstribusi kepada para pemangku kepentingan di bidang pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulusnya disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus, Dr. Ir. Machfud, MS., dan Dr. Ir. Ramalis Sobandi P., MT. berturut-turut sebagai Ketua dan Anggota komisi pembimbing yang telah secara nyata memberikan bimbingan, arahan, saran, wawasan, dan semangat. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan dan Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr, sebagai Dekan Sekolah Pascasarja IPB, atas perhatian dan dukungannya, Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, mantan Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Dr. Ir. Etty Riani, mantan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya alam dan Lingkungan yang selalu mendorong untuk segera menyelesaikan studi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada penguji luar komisi yaitu Prof. Dr. Bambang Pramoedya (ujian kualifikasi), Dr. Ir. Setia Hadi dan Dr. Ir. Widiatmaka, DEA (ujian tertutup), Dr. Ir. Ruchyat Deni Djakapermana dan Dr. Ir. Oswar Muadzin Mungkasa, MURP (ujian terbuka). Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada rekan diskusi studio S3 yaitu Dr. Ir. Rachman Kurniawan, Dr. Ir. Hermanus Rumayomi, Dr. Ir. Budiyono, Dr. Ir. Hairul Sitepu, Dr. Ir. Henri Perangin-angin, teman-teman angkatan VI Penyelenggaraan Program Khusus Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberikan dorongan semangat dan menunjukkan rasa kebersamaan yang tinggi, pendukung survei Fajar K. Purnawijaya, ST dan Neneng Dwi Haryantin, ST, para responden, nara sumber, pakar atas kesediaannya memberikan informasi yang bermanfaat. Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan perhatian dan bantuannya dalam penyelesaian disertasi ini. Terima kasih secara khusus kepada istri saya Ngesti Rahara Yudaningati, anak-anak saya Nadia Ratna Afifah dan Bagas Amri Wicaksono yang telah memberikan motivasi dan pengorbanan serta selalu mendampingi setiap saat. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2012 Nanang Sofwan Santosa
RIWAYAT HIDUP Nanang Sofwan Santosa lahir di Tulungagung, Jawa Timur pada tanggal 28 Juni 1958, sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Sjakban dan Ibu Roesmi Komariah. Pendidikan formal penulis yaitu pendidikan dasar di SD Negeri I Tulungagung pada tahun 1965 – 1971, kemudian dilanjutkan di SMP Negeri I Tulungagung pada tahun 1972 – 1974 dan SMPP Negeri Tulungagung pada tahun 1975 – 1977. Penulis melanjutkan pendidikan S1 di Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya, jurusan Teknik Arsitektur pada tahun 1978 – 1984 dan S2 jurusan Planning di University of Southern California, USA pada tahun 1996 – 1998. Sejak tahun 2006 penulis menempuh pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB), program studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pendidikan non formal yang pernah ditempuh penulis antara lain Perencanaan dan Tata Laksana Pembangunan Perumahan di Puslitbangkim Bandung (1987); Urban Infrastructure Management Workshop at Seoul-South Korea and Tokyo-Japan (1988); Pelatihan Manajemen Proyek di Denpasar (1989); English for Academic Purpose Course, ALT di Jakarta (1994); Training Program on Solid Waste Management at AIT Bangkok (2002); Diklat Administrasi Umum (ADUM) di Bandung (1999); Diklat Staf dan Pimpinan Administrasi Tingkat Pertama (SPAMA) di Jakarta (2001). Riwayat penugasan dan jabatan penulis sebagai PNS dimulai dari staf Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum pada 1985 – 1990. Selanjutnya penulis ditugaskan sebagai Pimpro Manajemen P3KT antara tahun 1991–1996. Pada tahun 1999 – 2000 menjadi Kepala Seksi Program Wilayah Timur II di Direktorat Bina Program dan tahun 2001 – 2004 menjabat Kepala Seksi Wilayah Banten di Direktorat Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Tengah. Sejak tahun 2005 bekerja sebagai Kepala Bagian Perencanaan di Biro Perencanaan, Kementerian Perumahan Rakyat dan mulai 2006 bekerja di Pusat Pengembangan Perumahan dan pangkatnya saat ini adalah Pembina Tingkat I (Golongan IV/b). Penghargaan dan Tanda Jasa yang pernah diterima penulis adalah Satya Lencana Karya Satya X Tahun dan Satya Lencana Karya Satya XX Tahun. Pengalaman organisasi penulis adalah sebagai anggota Ikatan Ahli Arsitek sejak tahun 1985 dan sebagai anggota KORPRI sejak tahun 1985. Pada tahun 1994 penulis menikah dengan Ngesti R. Yudaningati dan dikaruniai 2 orang anak (Nadia Ratna Afifah dan Bagas Amri Wicaksono). Saat ini penulis bertempat tinggal di Rawalumbu, Bekasi. Bogor, Februari 2012 Nanang Sofwan Santosa
xiv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN ……………….……………………………………… xix I.
PENDAHULUAN ......................................................................................
1
1.1
Latar Belakang ............................................................................ .......
1
1.2
Perumusan Masalah ………………………………………..….......... 3
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………… .....
5
1.4
Kerangka Pemikiran ...........................................................................
6
1.5
Kebaruan (Novelty) …………………………………………………. 7
1.6
Ruang Lingkup Penelitian ..................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... ......
9
2.1 Perkotaan dan Lingkungan ……………………………………........
9
2.2
Penataan Ruang .................................................................................. 11
2.3
Perumahan dan Permukiman .............................................................. 14
2.4
Metropolitan ...................................................................................... 17
2.5
Ekosistem DAS ……………………..........………………….. .......... 18
2.6
Pendekatan Pembangunan Ekologis ...........………………… ........ … 21
2.7
Pembangunan Berkelanjutan ....................................................... ...... 23
2.8
Kebijakan Publik ................................................................... ....... ..... 25
2.9
Pendekatan Sistem ................................................................ ....... ...... 28
2.10 Matrik dan Ringkasan Tinjauan Pustaka ……………................ …… 30 III. METODE PENELITIAN .............................................................. ....... ..... 35 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian ..……...................................... ..... ..... 35
3.2
Jenis Data, Teknik Analisis Data , dan Keluaran …….……. ....... ..... 35
3.3
Dinamika dan Sistem Metropolitan DKI Jakarta …..….…… ....... … 36
3.4
Tingkat Keberlanjutan Kawasan Permukiman di Cisauk ...…... ....... .. 42
3.5
Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk Kabupaten Tangerang …..………...... ...... 50
IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ..................... ....... ............ 59 4.1 Kondisi Kabupaten Tangerang .............................................. ....... ..... 59
xiv
4.2 Kondisi Kota Tangeang Selatan ........................................... ....... ....... 60 4.3 Kondisi Lokasi Kawasan Cisauk ................................................ 61 4.4 Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman …..
72
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ….…………………………...….……
79
5.1. Dinamika Perkembangan kawasan pemukiman dalam Sistem Metropolitan DKI Jakarta ………………………...………......... 79 5.2 Status Keberlanjutan Kawasan……………………………..….. 90 5.3. Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholder..…………………… 102 5.4. Faktor-faktor yang Paling Berpengaruh dalam Pengembangan Kawasan Permukiman ………………………………………… 108 5.5. Skenario Pengembangan Kawasan Permukiman ……………… 108 5 6. Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman …… 115 VI. KESIMPULAN DAN SARAN …………...………………………….. 135 6.1. Kesimpulan ……………………………………………………. 135 6.2. Saran …………………………………………………………… 138 DAFTAR PUSTAKA.........…………………………………………….. .. 139 LAMPIRAN ………………………………………………….…….… .... 145
xvi
DAFTAR TABEL 1 Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman ............. 30 2 Jenis data, teknik analisis, dan keluaran untuk keempat tujuan penelitian .... 37 3 Jenis-jenis peta dan sumber datanya ..…………………..………………...... 42 4 Jenis data dan sumber data fisik lingkungan ................................................. 42 5 Jenis data dan sumber data sosial ekonomi ................................................... 43 6 Atribut-atribut Dimensi Ekologi dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman ................................................................................................... 45 7 Atribut-atribut Dimensi Sosial dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman .................................................................................................... 45 8 Atribut-atribut Dimensi Ekonomi dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman ..................................................................................................... 46 9 Kategori status keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk .................... 48 10 Tingkat kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan .......................... 51 11 Konflik kepentingan antara pemangku kepentingan daerah penelitian ....... 51 12 Pedoman penilaian prospektif pengembangan kawasan permukiman ......... 55 13 Pengaruh antar faktor dalam pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan ..........………………………………………………………. 56 14 Keadaan yang mungkin terjadi pada pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk, Provinsi Banten …….................... 57 15 Luas Wilayah Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu ..………............... 62 16 Jumlah Penduduk Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu Tahun 2009 .... 64 17 Jumlah dan kondisi rumah di Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu Tahun 2009 .................................................................................................. 65 18 Penggunaan Lahan di Cisauk ........................................................................ 67 19 Perkembangan perumahan di Metropolitan DKI Jakarta ….......................... 80 20 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan DKI Jakarta ...………........ 81 21 Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta periode 1990 – 2010 …….………………………………………..
84
22 Luas Kawasan Permukiman Skala Besar di Bodetabek Tahun 2010 .……
85
23 Hasil analisis dua parameter statistik MDS ................................................
93
24 Hasil Anilisis Keberlanjutan kawasan permukiman saat ini …………...… 94 25 Perhatian Pemangku Kpentingan Pengembangan Kawasan Permukiman …………………………………………………………….. 103
xvi
26 Peran Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman …... 104 27 Kebutuhan stakeholders dalam pengembangan kawasan permukiman ....... 105 28 Konflik kepentingan antara stakeholders di daerah penelitian ….............. 106 29 Prospektif faktor paling berpengaruh pengembangan kawasan ................. 106 30 Definisi dari masing-masing skenario pengembangan kawasan permukiman ................................................................................................ 107 31 Perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil scenario ........................................................ 114 32 Masukan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman ……… 127 33 Pengaruh faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan …………… 134
xviii
DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran Penelitian .....................................................................
7
2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu ................................................ 20 3 Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota.................................................................................................. 25 4 Tahapan Kebijakan Publik............................................................................. 26 5 Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan.................................................... 27 6 Diagram sistem terbuka................................................................................. 30 7 Diagram sistem tertutup ................................................................................ 30 8 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dalam skala ordinasi ……………………........... 49 9 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten ……………………………………………........ 49 10 Struktur hirarki pengambilan keputusan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di. Cisauk ……................................................. 53 11 Penentuan faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman ......... 55 12 Metodologi Penelitian Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Pemukiman Bekelanjutan di Cisauk .......................................................... 58 13 Letak Kabupaten Tangerang dan Kota Tangsel .......................................... 59 14 Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, Provinsi Banten .................. 63 15 Kawasan Pemukiman di Cisauk dan sekitarnya ........................................... 64 16 Peta penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu Tahun 2010 ................................................................................................. 68 17 Peta sub DAS Cisadane ............................................................................... 72 18 Distribusi aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane tengah ............. 72 19 Grafik perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta ........................ 82 20 Hirarki metropolitan DKI Jakarta menurut NUDS Tahun 2000 .................. 83 21 Grafik Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta Tahun 1990 - 2010 ................................................................... 84 22 Rencana Pengembangan BSD ........................................................................ 86 23 Hirarki metropolitan DKI Jakarta sesuai Perpres 54/Th 2008 tentang penataan ruang Jabodetabek Punjur …………………………...........……. 87 24 Hirarki faktual metropolitan DKI Jakarta Tahun 2010 ................................ 88 25 Indikasi hirarki metropolitan DKI Jakarta Tahun 2020 ................................ 88
xviii
26 Pengembanan Fungsional Kawasan Pemukiman di Cisauk ......................... 90 27 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi pengembangan aktual pengembangan kawasan permukiman di Cisauk ......................................... 92 28 Diagram layang-layang nilai Kawasan Permukiman ................................... 95 29 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi ekologi .................................. 96 30 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi sosial .................................... 97 31 Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi .......................................... 100 32 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk ......................................... 101 33 Diagram Pemangku Kepentingan Pengembangan Permukiman di metropolitan DKI Jakarta ……………………………………………...... 102 34 Struktur hirarki pengambilan keputusan skenario kebijakan dalam rangka pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan ...................... 109 35 Nilai indeks keberlanjutan multi dimensi pengembangan kawasan permukiman menurut skenario moderat .................................................. 113 36 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan prospektif menurut skenario moderat …………………………………………………………. 113 37 Grafik perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil skenario ………………..…….... 114 38 Tahapan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman ……………………………………………............................ 121
xx
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kualitas air dan udara kawasan pemukiman di Cisauk dan sekitarnya ….. 145 2 Hasil analisa MDS aktual dan prospektif ………………………..……… 147 3 Consistency Ratio - AHP (preferensi gabungan) ……………………….... 151 4 Pesepsi Responden (penduduk, pemeintah, dan swasta) terhadap Pengembangan Kawasan Permukiman di Cisauk, provinsi Banten …… 153 5 Tabulasi data-data hasil pengisian kuesioner …………………………… 155 6a. Kuesioner penduduk ………………………………..……………..……... 157 6b. Kuesioner pengembang …………………………………………………. 163 6c. Kuesioner pemerintah dan pakar ………………………………………... 169 7 Foto-foto lokasi penelitian ………………………………………..……… 175
xx
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kawasan perkotaan dalam pembangunan nasional dan daerah sangat penting. Kawasan perkotaan umumnya merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur dan jasa yang menawarkan peluang bagi peningkatan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan. Perbandingan antar negara menunjukkan bahwa kemajuan pembangunan suatu negara senantiasa diiringi dengan bertambahnya penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri manufaktur dan jasa. Pertambahan penduduk perkotaan di Indonesia sangat cepat pada dua dekade akhir abad ke dua puluh dan awal abad ke dua puluh satu yang disebabkan oleh pertumbuhan alami dan urbanisasi. Urbanisasi tidak hanya diartikan sebagai proses perpindahan penduduk desa ke kota, melainkan juga mencakup proses “pengkotaan” kawasan perdesaan. Sebagian urbanisasi (30-40%) terjadi karena reklasifikasi. Pada 1980, jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32.8 juta jiwa atau 22.3% dari keseluruhan penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55.4 juta jiwa atau 30.9%, dan berdasarkan sensus penduduk 2000, jumlah penduduk perkotaan telah mencapai lebih dari 85 juta jiwa atau 42% dari jumlah keseluruhan penduduk dengan laju kenaikan sebesar 4.40% per tahun selama kurun 1990-2000. Jumlah tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60% dari keseluruhan penduduk nasional pada tahun 2015 (BPS, 2003). Tantangan yang dihadapi dalam pembangunan perkotaan adalah tingginya tingkat urbanisasi dan distribusi penduduk yang tidak merata (Napitupulu, 2005). Penyebaran penduduk perkotaan di Indonesia tersebut banyak terkonsentrasi di kota-kota besar dan metropolitan sehingga terbentuk aglomerasi perkotaan, khususnya di Pulau Jawa. Aglomerasi merupakan pengelompokan beberapa kota sehingga membentuk kawasan perkotaan yang luas. Deglomerasi kondisi sebaliknya yaitu terjadinya kota yang terpisah dari kawasan perkotaan yang luas tersebut. Pada tahun 2000, pulau Jawa yang luasnya hanya 6.7% dari luas daratan nasional dihuni oleh 58.9% penduduk. Diperkirakan 20% penduduk perkotaan di Indonesia berada di Jabodetabek (Firman, 2002).
2
Meningkatnya penduduk di kota-kota besar dan metropolitan tersebut menyebabkan terjadinya kelangkaan sumber daya, misalkan lahan. Lahan menjadi mahal dan tidak terjangkau sehingga menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan permukiman menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Terkonsentrasinya penduduk tersebut menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan permukiman seperti terjadinya kemacetan, polusi udara dan kebisingan akibat banyaknya kendaraan bermotor, dan konflik sosial-ekonomi. Dalam perkembangannya, banyak penduduk yang semula bermukim di kota-kota besar kemudian pindah ke kawasan pinggiran kota dengan pertimbangan mencari lahan yang terjangkau atau lingkungan permukiman yang sehat dan aman. Dalam kurun waktu mulai tahun 1995 sampai tahun 2000 diperkirakan setengah juta penduduk yang semula tinggal di DKI Jakarta pindah ke Bekasi, Bogor, dan Tangerang (Firman, 2005). Kecenderungan yang kemudian terjadi adalah tingkat pertumbuhan penduduk di kota inti di kawasan metropolitan menurun, sedangkan di daerah sekitarnya meningkat. Laju pertambahan penduduk di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Semarang relatif rendah, berkisar antara 0.16 sampai dengan 0.90% per tahun dalam kurun waktu 1990-2000. Sementara, laju pertambahan penduduk di daerah di sekitar kota-kota besar tersebut relatif tinggi. Kabupaten Bekasi dan Tangerang, misalnya, mempunyai laju kenaikan penduduk sebesar 4.13% per tahun pada periode yang sama yaitu dari tahun 1990 sampai tahun 2000. Dalam perkembangannya, di kawasan pinggiran kota besar, terjadi alih fungsi lahan pertanian produktif, resapan air menjadi kawasan permukiman atau industri secara signifikan yaitu sekitar 100,000 ha per tahun. Pada gilirannya hal ini dapat mengancam ketahanan pangan nasional apabila tidak mendapatkan perhatian dan solusi yang tepat. Perpindahan penduduk kota metropolitan ke kawasan di pinggiran kota telah menyebabkan munculnya fenomena deglomerasi yaitu terjadinya pemisahan kota dari kawasan perkotaan induknya. Kawasan tersebut menjadi kota-kota kecil dan bahkan ada yang berkembang menjadi kota mandiri. Sebagai contoh, di pinggiran metropolitan DKI Jakarta yaitu di kecamatan Serpong, kabupaten Tangerang pada tahun 1989 telah berkembang kawasan permukiman skala besar berskala kota yaitu kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD). Perkembangan kota mandiri BSD yang
3
sangat pesat berdampak pada perkembangan kawasan-kawasan di sekitarnya diantaranya kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. Penelitian arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten merupakan suatu hal yang sangat penting, karena dapat memberi kontribusi pada upaya pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di kota-kota kecil di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.
1.2 Perumusan Masalah Pertambahan penduduk perkotaan yang cepat menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan di pusat kota untuk hunian dan aktivitas lainnya, sementara lahan yang tersedia tidak bertambah sehingga menyebabkan lahan menjadi langka dan mahal. Hal tersebut menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan. Kawasan yang tadinya merupakan permukiman berubah menjadi kawasan perdagangan dan jasa. Lahan-lahan yang semula berupa ruang terbuka hijau atau resapan air berubah menjadi daerah permukiman atau niaga. Perkembangan dan terkonsentrasinya penduduk di kota besar dan metropolitan tersebut menyebabkan kualitas lingkungan hidup menurun seperti terjadinya kemacetan, polusi, dan banjir sehingga tidak nyaman sebagai tempat tinggal. Mahalnya harga lahan dan menurunnya kualitas lingkungan hidup di kota besar dan metropolitan tersebut mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk ke pinggiran kota karena harga lahan yang relatif masih murah dan kualitas lingkungan yang sehat. Kegiatan industri yang berkembang juga memilih lokasi di pinggiran kota dengan pertimbangan lahan yang murah dan dekat dengan pasar. Berbagai kondisi tersebut diatas mengakibatkan kawasan-kawasan di pinggiran kota berkembang dengan cepat. Banyak terjadi pengembangan permukiman dan industri baik dalam skala kecil maupun besar di kawasan pinggiran kota tersebut. Namun perkembangan yang cepat ini pada umumnya tidak diikuti dengan perencanaan, pengendalian, pengawasan dan stimulasi prasarana yang memadai sehingga terjadi alih fungsi lahan pertanian produktif dan kawasan konservasi menjadi kawasan permukiman, perdagangan atau industri secara terus menerus dan dalam skala yang signifikan. Pada gilirannya hal ini akan mengancam ketahanan pangan dan penurunan daya dukung lingkungan. Belum terjadi
4
keterkaitan sistem perkotaan (konurbasi) yang baik dengan kawasan-kawasan di sekitar maupun sistem perkotaan yang lebih besar yang selanjutnya dapat mengancam keberlanjutan sistem perkotaan. Dalam mendorong dan mengatur pengembangan kawasan permukiman, pemerintah menerbitkan kebijakan pembangunan perumahan skala besar yang lebih dikenal dengan kawasan siap bangun dan lingkungan siap bangun (Kasiba, Lisiba). Hal ini juga sejalan dengan diluncurkannya kebijakan usaha yang dikenal dengan Paket Oktober (Pakto) tahun 1993 yang isinya memberikan kemudahan pada kegiatan usaha termasuk pengembang dalam pemberian izin lokasi dan pembebasan tanah. Kebijakan tersebut mendapatkan respon positif para pengembang terlihat dari banyaknya permohonan izin lokasi untuk membangun perumahan skala kecil maupun besar. Sayangnya lokasi yang diajukan sepertinya kurang mendapatkan telaahan dengan cermat. Meskipun dilakukan analisis mengenai dampak lingkungan tetapi dampak terhadap perkembangan kota, kondisi sosial ekonomi lokal, dan lingkungan pada umumnya dilakukan untuk memenuhi persyaratan formal. Penilaian terhadap kapasitas finansial, manajerial dan teknikal pengembang serta kemungkinan keberhasilan mewujudkan perumahan skala besar tersebut kurang diperhatikan (Kuswartojo et al., 2005). Kawasan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta khususnya kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten berkembang cepat karena mempunyai beberapa keunggulan. Pertama, lokasi yang strategis karena akses berupa jalan arteri regional Tangerang-Bogor, jalan tol Jakarta-Serpong, dan jaringan rel ganda kereta api. Kedua, berada dekat dengan pusat pertumbuhan dan kegiatan seperti kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD), perumahan LIPPO Karawaci, Alam Sutera, ITI, BATAN. Ketiga, berada di kawasan Sub DAS Cisadane sehingga kebutuhan air baku cukup tersedia. Keempat, perannya yang strategis dalam mendukung keberlangsungan lingkungan yang lebih besar, antara lain kota mandiri BSD, kota Tangerang Selatan, Kabupaten Tangerang, dan metropolitan DKI Jakarta. Namun perkembangan yang cepat tersebut jangan sampai menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan antara lain terganggunya kelestarian Sub DAS Cisadane, keseimbangan kehidupan sosial, dan lain-lain.
5
Menurut
pengamatan
sementara
penulis
perkembangan
kawasan
permukiman di Cisauk, provinsi Banten tersebut masih belum optimal. Hal ini diduga karena (1) kurang terencana dan didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai, (2) kerusakan lingkungan yang antara lain terlihat dari adanya kegiatan penggalian pasir dan batu yang kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan, (3) perumahan-perumahan yang dibangun banyak dalam keadaan kosong, (4) rusaknya prasarana jalan, dan lain-lain. Selanjutnya apabila pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten ini dibiarkan tumbuh berdasarkan mekanisme pasar, besar kemungkinan tidak akan berkelanjutan, merusak konservasi dan mengancam ketahanan pangan, serta berdampak menurunnya upaya optimalisasi enclave permukiman di pinggiran kota.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta, dengan studi kasus kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka beberapa kegiatan yang akan dilakukan sebagai tujuan antara, adalah: 1.
Mengetahui dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta.
2.
Mengetahui tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini.
3.
Mengetahui faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.
4.
Menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.
1.3.2 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Secara teoritis, arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan diharapkan dapat melengkapi teori perencanaan perkotaan khususnya
pengembangan
kawasan
keberlanjutan lingkungan perkotaan.
permukiman
yang
menunjang
6
2.
Secara praktis, penelitian ini ditujukan untuk para pemangku kepentingan yang terkait dengan keberlanjutan kota – kota kecil sebagai bagian dari sistem metropolitan di Indonesia, khususnya Cisauk sebagai bagian dari metropolitan DKI Jakarta.
1.4 Kerangka Pemikiran Pengembangan kawasan permukiman di pinggiran kota metropolitan ini dilaksanakan dengan mengacu pada rencana tata ruang daerah yang tertuang dalam Perda (Peraturan Daerah). Pengaturan ruang mengarahkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan lahan untuk mengakomodasi dinamika kehidupan masyarakat. Kawasan permukiman adalah bagian dari kawasan budidaya yang keberlangsungannya bergantung pada dukungan kawasan konservasi/ lindung. Berdasarkan kebijakan, rencana, pengaturan dan dinamika pembangunan yang didorong oleh pengembangan pasar maupun kebijakan publik, kota metropolitan DKI Jakarta tumbuh dengan hirarki dan karakter yang spesifik. Sejak tahun 1980an Jakarta berkembang kearah barat daya, diantaranya terkait dengan eksistensi kecamatan-kecamatan di kabupaten Tangerang bagian selatan yang didukung dengan dibangunnya jalan Tol Jakarta - Serpong. Sejalan dengan booming ekonomi, terjadi peningkatan kapasitas investasi swasta, daya beli masyarakat dan stimulasi pemerintah. Perkembangan kota metropolitan ini diwarnai juga oleh dinamika politik dengan azas desentralisasi dan otonomi daerah dengan dilaksanakannya pemilihan langsung kepala daerah dan perubahan tata administrasi pemerintahan. Kemajuan teknologi dan komunikasi menghilangkan batas-batas antar kota maupun negara sehingga terjadi kota dengan sistem yang mengglobal. Merujuk pada prasyarat keberlanjutan, penelitian ini difokuskan pada telaahan tentang keberlanjutan ekologi Sub DAS Cisadane yang dirinci dalam elemen penggunaan lahan, tata air, dan sistem infrastruktur. Disisi lain, keberlanjutan penghidupan stakehoders diukur dari kelayakan ekonomi dan akseptasi sosial. Sinkronisasi dan keseimbangan kedua aspek tersebut diaktualkan kedalam
arahan
kebijakan
pengembangan
kawasan
permukiman
yang
berkelanjutan di lokasi penelitian yang berada di pinggiran metropolitan DKI Jakarta. Secara diagramatis, kerangka pemikiran penelitian tertera pada Gambar 1.
7
Urbanisasi
Sistem Metropolitan DKI Jakarta
Kawasan Permukiman di Cisauk
Sistem Sub DAS Cisadane
Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan
Keberlanjutan Sosial - ekonomi
Akseptasi Sosial
Kelayakan Ekonomi
Keberlanjutan Ekologi
Tata Air
Skenario Stakeholders
Guna Lahan
Infrastruktur
Skenario Daya Dukung Lahan
Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman di Cisauk
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
1.5 Kebaruan (Novelty) Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah: 1. Ditemukan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam rangka meningkatkan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, yaitu: alih fungsi lahan pertanian, pengembangan prasarana dan sarana, kohesi sosial, perkembangan penduduk dan penyebarannya, dan kondisi sub DAS Cisadane. 2. Terumuskannya arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk berdasarkan dinamika perkembangan metropolitan di DKI Jakarta dan kondisi sub DAS Cisadane dengan mempertimbangkan faktor kependudukan, lingkungan, dan sosial, secara terintegrasi. 3. Tahapan untuk menyusun arahan kebijakan kawasan permukiman dapat memberikan kontribusi kepada pengambil keputusan untuk peningkatan keberlanjutan kawasan permukiman di pinggiran DKI Jakarta.
8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian Untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilaksanakan dengan batasan-batasan sebagai berikut : 1.
Lokasi penelitian kawasan permukiman di Cisauk provinsi Banten yang merupakan kawasan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta.
2.
Fokus analisis adalah kebijakan pengembangan permukiman yang bertumpu pada tiga pilar keberlanjutan yaitu aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
3.
Analisis dilakukan terhadap variabel-variabel kunci pengembangan kawasan permukiman seperti dinamika kependudukan, sebaran permukiman, infrastruktur, lahan. Analisis juga dilakukan terhadap variabel-variabel Sub DAS Cisadane seperti tata air, guna lahan dan manajemen.
4.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini berupa soft system methodology seperti Multidimensional Scaling (MDS), Analisis Prospektif, dan Analytical Hierarchy Process (AHP).
5.
Metropolitan DKI Jakarta adalah kawasan perkotaan dimana beberapa kota atau kabupaten saling terkait satu sama lain yang membentuk kawasan metropolitan dengan Jakarta sebagai kota inti dikelilingi beberapa kota satelit yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Kawasan metropolitan ini juga dikenal sebagai kawasan Jabodetabek yang merupakan singkatan nama kota inti dan kota-kota satelitnya (Ditjen Penataan Ruang, 2006).
6.
Sub DAS Cisadane adalah bagian dari wilayah sungai Ciliwung-Cisadane mencakup 6 kab/kota, seluas 4,496 m2 terdiri dari 4 aliran sungai DAS Ciliwung, Sub DAS Cisadane, DAS Kali Buaran dan DAS kali Bekasi. Terdiri dari kawasan lindung 22.45%, budidaya pertanian terbatas 26.96%, budidaya pertanian intensif 50.58%.
7.
Permukiman diartikan sebagai perumahan atau kumpulan tempat tinggal dengan segala unsur serta kegiatan yang berkaitan dan yang ada di dalam permukiman (Kuswartojo et al., 2005).
8.
Arahan kebijakan adalah arahan peraturan yang dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi kehidupan masyarakat (Sanim, 2005).
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkotaan dan Lingkungan Richardson (1978) menyatakan kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah, kepadatan penduduknya tinggi, sebagian besar wilayahnya merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi, merupakan kegiatan perekonomian non–pertanian. Budihardjo dan Hardjohubodjo (1993) menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek. Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida et al. (2003) melakukan penelitian mengenai permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”. Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen (melekat dalam sistem transformasi tata guna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan. Djayadiningrat (2001) mengungkapkan bahwa pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap sebagai awal krisis lingkungan akibat manusia sebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, yang dapat dilihat mulai dari aras (level). Sebagai contoh, buruknya fasilitas transportasi, kurang lancarnya telekomunikasi, serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya.
10
Rahardjo (2003) dalam penelitian mengenai upaya pengendalian lahan di perkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah kurang baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Untuk mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan, diperlukan suatu penanganan terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif tersebut adalah melalui manajemen lahan. Kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, dan tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, serta rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara
lain,
cepatnya
pertambahan
populasi,
kebijakan
ekonomi
yang
mengeksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan, terbatasnya pasokan lahan mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ dan lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Perpindahan penduduk secara besar – besaran dari pedesaan ke perkotaan telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia. Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang terbuka hijau akibat kurang jelasnya pengaturan dan pemanfaatan ruang. Dampak yang ditimbulkan sangat menyedihkan, mulai dari ketidaknyamanan penduduk akibat kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan
berbagai
kepentingan
pemanfaatan
lahan.
Richardson
(1978)
mengungkapkan di lokasi yang dekat dengan pusat kota, penggunaan lahan yang paling cocok adalah untuk tujuan komersial dan industri ringan. Hal ini
11
disebabkan adanya akses besar yang dimiliki oleh lahan terhadap berbagai pelayanan kota, disamping nilai lahannya sendiri. Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya – upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda.
2.2 Penataan Ruang Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lain hidup melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Anonim, 2007a). Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah. Dalam proses penataan ruang wilayah harus dipahami terlebih dahulu konsep mengenai wilayah. Ada beberapa pengertian wilayah yang terkait aspek keruangan yang harus dipahami terlebih dahulu. Konsep wilayah dalam proses penataan ruang harus meliputi konsep ruang sebagai ruang wilayah ekonomi, ruang wilayah sosial budaya, ruang wilayah ekologi, dan ruang wilayah politik. Wilayah itu sendiri adalah batasan geografis (definisi yang dibatasi oleh koordinat geografis) yang mempunyai pengertian tertentu sesuai fungsi pengamatan tertentu. Pengertian ini menurut Rustiadi et al. (2004) akan selalu terkait dengan aspek kepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupun pertahanan.
12
Secara umum beberapa pengertian wilayah ini dapat dikelompokkan sebagai berikut (Rustiadi et al. 2004): (1) ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yang membentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yang hirarkis antar ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS) dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan struktur bagian hutan tropisnya, (2) ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yang berorientasi menggambarkan maksud fungsi ekonomi, seperti wilayah konsumsi, perdagangan, serta aliran barang dan jasa, (3) ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yang terkait dengan budaya adat dan berbagai perilaku masyarakatnya, misalnya wilayah adat/ marga, suku, maupun wilayah pengaruh kerajaan, (4) wilayah politik, yaitu deliniasi wilayah yang terkait dengan batasan administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala
pemerintahan
yang
mengatur dan mengelola berbagai sumberdaya alam dan pemanfaatannya untuk kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi kewenangan politik selaku penguasa wilayah. Dalam konteks pemanfaatan ruang, pemahaman terhadap konsep ruang wilayah yang disusun berdasarkan kluster ini menjadi penting untuk dapat secara rinci dan mudah menetapkan variabel-variabel dominan yang mempengaruhi dalam proses pengembangan wilayah. Penataan ruang adalah suatu proses yang melibatkan berbagai komponen kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan buatan yang saling berkaitan secara sistem. Faktor pendukung kegiatan utama proses penataan ruang perkotaan saling berkaitan dan mempengaruhi secara terus menerus membentuk sistem yang dinamis. Rustiadi et al. (2004) mengatakan bahwa perlu ada koordinasi yang sifatnya lintas wilayah yang baik di era otonomi ini dan penyesuaian dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan rencana tata ruang. Pernyataan ini memberikan gambaran perlu ada kebijakan atau langkah penyesuaian terlebih dahulu untuk dapat melaksanakan rencana tata ruang yang telah disusun. Kebijakan untuk melaksanakan suatu rencana tata ruang harus disusun dalam suatu langkah dengan urutan prioritasnya. Di beberapa negara, kebijakan pemanfaatan ruang dibuat melalui penyusunan serangkaian langkah kebijakan untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang. Rencana tata ruang sebagai acuan makro, sedangkan langkah
13
operasionalisasinya sering disebut sebagai kebijakan strategis pembangunan (master plan) atau rencana induk pembangunan yang berisi langkah kebijakan strategis sektor yang mengacu pada rencana tata ruang. Beberapa negara seperti Australia, Kanada, Amerika, dan Jepang telah menerapkan prinsip pengaturan ruang wilayah dengan membuat kebijakan-kebijakan operasional masing-masing sektor yang mengacu pada rencana tata ruang dan ini sering disebut dengan perencanaan penataan ruang strategis (strategic spatial planning) (Djunaedi, 2001). Perencanaan kebijakan dan strategi dalam penataan ruang lebih untuk menunjukkan sebuah alat untuk dapat mengoperasionalkan rencana tata ruang. Pertimbangan perlunya arahan kebijakan dan strategi dalam operasionalisasi rencana tata ruang antara lain: adanya persoalan koordinasi kebijakan publik khususnya dengan pemerintah lokal, mencari cara bagaimana membuat wilayah perkotaan lebih ekonomis dan kompetitif dengan mengembangkan asset base-nya, perlu menetapkan bentuk kebutuhan ruang sumberdaya alam yang optimal untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta bagaimana mengatasi ketidakseimbangan distribusi akses penduduk lokal untuk berhubungan dengan wilayah perkotaan. Untuk itu Healy (2004) menetapkan kriteria dalam kebijakan strategisnya, yaitu (1) skala pengelolaan, (2) skala posisi kota dan wilayahnya, (3) regionalisasi, (4) kelayakan material dan identitas, (5) konsep pengembangannya, (6) bentuk-bentuk representasi hubungan integrasi fungsional. Dalam penyusunan rencana strategis keruangan kota, Djunaedi (2001) telah melakukan penelitian di Kanada, Amerika, Australia, dan Zimbabwe, serta penerapannya di Indonesia. Studi tersebut menguraikan konsep pentingnya membuat kebijakan dan strategi dengan membuat: visi, misi, isu strategi, dan strategi (makro atau kebijakan) yang dapat dijabarkan dalam rencana tata ruang. Ada 2 konsep dari hasil kajian ini yaitu (1) kebijakan dan strategi disusun bersamaan dalam satu proses untuk dijabarkan dan masuk dalam rencana tata ruang kota, (2) disusun terlebih dahulu rencana strategis yang berisi visi, misi, isu strategis dan kebijakannya, setelah itu baru disusun rencana tata ruang kotanya. Kedua konsep strategi tersebut dibuat dengan menggunakan model SWOT dan selanjutnya rencana tata ruang tersebut diharapkan dapat dioperasionalkan oleh
14
eksekutif (Dinas, Bappeda). Persoalannya adalah pada langkah membuat rencana tindak untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang sebagai strategi lanjutan yang perlu disusun (Djakapermana dan Djumantri, 2002). Di Indonesia, pada awal tahun 90-an telah dimulai diperkenalkan alat untuk mengoperasionalkan rencana tata ruang (kota) dalam bentuk rencana induk sistem (RIS) sebagai bagian dari konsep rencana tata ruang kota yang dinamis oleh Ditjen Cipta Karya – Departemen Pekerjaan Umum (Djakapermana dan Djumantri, 2002). RIS diperlukan dengan pertimbangan rencana tata ruang seringkali
sulit diimplementasikan
secara
langsung oleh
para
manajer
pembangunan kota. RIS ini adalah sebagai alat kebijakan bagi pengambil keputusan/ manajer kota (walikota) untuk menjabarkan rencana tata ruang dalam langkah-langkah rencana tindaknya. Dalam hal ini RIS hanya mengatur arahan operasionalisasi pembangunan prasarana perkotaan saja dan analisisnya tidak holistik serta tidak mempertimbangkan faktor dominan pembangunan perkotaan secara keseluruhan. Dalam perspektif holistik, penyusunan kebijakan dalam operasionalisasi rencana tata ruang harus difokuskan pada tiga hal (Bastian, 2001), yaitu (1) struktur, proses dan kesempatan, (2) aspek alokasi ruang dan hirarkinya, (3) aspek kompleksitas dari berbagai faktor perbedaan dari suatu lansekap. 2.3 Perumahan dan Permukiman Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian plus prasarana dan sarana lingkungan (Anonim, 1992). Permukiman
merupakan
wadah
kehidupan
manusia,
bukan
hanya
menyangkut aspek fisik dan teknis saja, tetapi juga aspek sosial, ekonomi, dan budaya dari penghuninya. Permukiman tidak hanya menyangkut tempat hunian, tetapi juga tempat kerja, berbelanja, bersantai, dan wahana untuk bepergian (Budihardjo, 1983). Oleh karenanya permukiman tidak dapat dipisahkan dari
15
kehidupan manusia itu sendiri. Pada tahun 1988 badan dunia PBB, Habitat, mencetuskan strategi global permukiman sampai tahun 2000, yaitu Atap bagi Semua (Shelter for All). Doxiadis (1971) menyatakan, permukiman mempunyai lima faktor, yaitu : alam, manusia, masyarakat, rumah dan jaringan prasarana. Hal ini menjelaskan urutan proses pembentukan permukiman. Selanjutnya konsep pembentukan permukiman tersebut dapat disederhanakan menjadi tiga komponen utama, yaitu alam (tanah, air, udara), lindungan (shells) dan jaringan (networks), sedangkan isinya adalah manusia. Alam merupakan faktor dasar, dan di alam itulah dibangun rumah dan fasilitasnya untuk tempat tinggal manusia serta melakukan kegiatan. Jaringan seperti jalan dan utilitas, merupakan faktor yang memfasilitasi hubungan antar sesama manusia, yang berarti terjadi interaksi antara manusia sebagai penghuni dengan lingkungan sebagai huniannya. Kebijakan perumahan dan permukiman Indonesia tahun 2000 – 2020 antara lain adalah lokasi perumahan dikembangkan dengan memperhatikan jumlah penduduk dan penyebarannya, tata guna tanah, kesehatan lingkungan, tersedianya fasilitas sosial, serta keserasian dengan lingkungan (Anonim, 1999). Kuswara (2004) dalam kajiannya mengungkapkan bahwa perumahan dan permukiman merupakan tempat aktivitas yang memanfaatkan ruang terbesar dari kawasan budidaya. Pengelolaan pembangunan perumahan harus memperhatikan ketersediaan sumberdaya pendukung serta keterpaduannya dengan aktivitas lain. Dalam kenyataannya hal tersebut sering terabaikan, sehingga tidak berfungsi secara optimal dalam mendukung suksesnya perkembangan kota. Oleh karena itu, diperlukan
upaya
pengembangan
perencanaan
dan
perancangan,
serta
pembangunan perumahan yang kontributif terhadap tujuan penataan ruang. Dari pengertian-pengertian dasar tersebut, tampak bahwa batasan aspek perumahan dan permukiman terkait erat dengan konsep lingkungan hidup dan penataan ruang. Lingkungan permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang terstruktur. Prasarana lingkungan adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan permukiman dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
16
Permasalahan perumahan saat ini menurut Kirmanto (2005) antara lain adalah (i) alokasi tanah dan tata ruang yang kurang tepat, (ii) ketimpangan pelayanan infrastruktur, pelayanan perkotaan dan perumahan, (iii) konflik kepentingan dalam penentuan lokasi perumahan, (iv) masalah lingkungan dan eksploitasi sumberdaya alam, dan (v) komunitas lokal tersisih, dimana orientasi pembangunan terfokus pada kelompok masyarakat mampu. Tantangan perkembangan pembangunan perumahan dan permukiman yang akan datang antara lain adalah: (i) urbanisasi yang tumbuh cepat merupakan tantangan bagi pemerintah untuk berupaya agar pertumbuhan lebih merata, (ii) perkembangan tak terkendali di daerah yang memiliki potensi untuk tumbuh, (iii) marjinalisasi sektor lokal oleh sektor nasional dan global; dan (iv) kegagalan kebijakan dan implementasi penentuan lokasi perumahan. Kesesuaian lokasi kawasan permukiman dapat didasarkan pada persyaratan umum lokasi perumahan dan permukiman yang dikeluarkan Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2005. Lokasi kawasan harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah setempat atau dokumen perencanaan tata ruang lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (PERDA) setempat, atau memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut : 1.
Tidak berada pada kawasan lindung;
2.
Bebas dari pencemaran air, udara, dan gangguan suara atau gangguan lainnya, baik yang ditimbulkan sumberdaya buatan manusia maupun sumberdaya alam seperti banjir, tanah longsor dan tsunami;
3.
Ketinggian lahan kurang dari 1000 meter di atas permukaan air laut (MDPL);
4.
Kemiringan lahan tidak melebihi 15 % dengan ketentuan : (i) tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar-landai dengan kemiringan 0-8 %, (ii) diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15 %;
5.
Pada kota-kota yang mempunyai bandar udara, tidak mengganggu jalur penerbangan pesawat;
6.
Kondisi sarana dan prasarana memadai;
7.
Dekat dengan pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota.
17
2.4
Metropolitan Metropolitan didefinisikan sebagai suatu pusat permukiman yang besar yang
terdiri dari satu kota besar dan beberapa kawasan yang berada di sekitarnya dengan satu atau lebih kota besar melayani sebagai titik hubung (hub) dengan kota-kota sekitarnya tersebut (Ditjen Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum, 2006). Suatu kawasan metropolitan merupakan aglomerasi dari beberapa kawasan permukiman, tidak harus kawasan permukiman bersifat kota, namun secara keseluruhan membentuk suatu kesatuan dalam aktivitas bersifat kota dan bermuara pada pusat yang dapat dilihat dari aliran tenaga kerja dan aktivitas komersial. Secara umum, kawasan metropolitan dapat didefinisikan sebagai ”satu kawasan dengan konsentrasi penduduk yang besar, dengan kesatuan ekonomi dan sosial yang terpadu dan mencirikan aktivitas kota.” Pada tahap awal, kota-kota yang berdekatan atau secara administratif bersebelahan, membentuk konurbasi, yaitu suatu kawasan tempat bergabungnya beberapa kota. Fenomena ini sering disebut Metropolitan (Doxiadis, 1971). Kota atau kawasan metropolitan merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang sangat besar dengan karakteristik dan persoalan yang spesifik. NUDS (1985) menetapkan bahwa sebuah metropolitan berpenduduk minimal satu juta jiwa. Ciri-ciri metropolitan dapat dilihat dari aspek kependudukan dan aspek lain. Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu karakteristik suatu metropolis. Ciri lain adalah aktivitas sosial ekonomi yang menunjukkan adanya spesialisasi fungsi. Biasanya merupakan industri-industri (manufaktur) dan jasa. Integrasi antara kawasan permukiman dan tempat kerja adalah persoalan nyata di metropolitan saat ini dan merupakan karakter khas metropolitan. Karakter lain adalah kemudahan mobilitas yang menurut Angotti (1993) terlihat dalam 3 bentuk mobilitas: pekerjaan, perumahan dan perjalanan. Angotti (1993) membedakan metropolis di dunia menjadi tiga jenis, yaitu metropolitan di Amerika (US metropolis), metropolitan yang tidak mandiri (Dependent metropolis); dan metropolitan di Uni Soviet (Soviet metropolis). Pembagian ini lebih didasarkan pada pendekatan ekonomi politik. Metropolitan di
18
Amerika (dan juga Eropa) adalah cerminan ekonomi kapitalis, sedangkan metropolitan di bekas Uni Soviet adalah gambaran dari ekonomi sosialis, sementara Dependent Metropolis adalah gambaran dari ekonomi campuran (mixed economy). Metropolitan di Amerika mencerminkan inequality dan mobility; Dependent Metropolis menunjukkan adanya development dan inequality, sementara metropolitan di Uni Soviet menunjukkan integrasi sosial dan struktur politik yang lebih terbatas dan mobilitas yang rendah. Tumbuhnya titik-titik pertumbuhan baru berupa kota-kota baru merupakan salah satu tahap dalam perkembangan suatu metropolitan. Seiring dengan munculnya sub-sub pusat baru yang menawarkan berbagai kelengkapan fasilitas dan utilitas, terjadi arus migrasi penduduk ke tempat tumbuhnya kota-kota baru tersebut yang umumnya berada di daerah pinggiran (suburban). 2.5
Ekosistem DAS Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri atas suatu komunitas
mahluk hidup (dari berbagai jenis) dengan berbagai benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Menurut pengertian, suatu sistem terdiri atas komponenkomponen yang bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan (Soemarwoto, 2004). Ekosistem dicirikan dengan berlangsungnya pertukaran materi dan transformasi energi yang sepenuhnya berlangsung di antara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri atau dengan sistem lain di luarnya. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpun yang berdiri sendiri, melainkan mempunyai keterkaitan dengan komponen lain, baik langsung maupun tidak langsung. Manusia adalah salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktifitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan sehingga mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Untuk itu ekosistem harus dilihat secara holistik, yaitu dengan cara mengidentifikasi komponen-komponen kunci penyusun ekosistem serta menelaah interaksi antar komponen-komponen tersebut. Pendekatan holistik dilakukan agar pemanfaatan dan konservasi sumberdaya alam dapat dilakukan secara efisien dan efektif, syarat yang diperlukan bagi
19
terwujudnya
pemanfaatan
sumberdaya
alam
untuk
pembangunan
yang
berkelanjutan (Djayadiningrat, 2001). Daerah aliran sungai merupakan suatu ekosistem. Ekosistem DAS terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan (Asdak, 2010). Komponen-komponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah terdapat komponen lain seperti perkebunan. Gambar 2 menunjukkan bahwa oleh adanya hubungan timbal balik antar komponen ekosistem DAS, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu komponen lingkungan, ia akan mempengaruhi komponen-komponen yang lain dan pada gilirannya akan mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi di daerah tersebut. Sebagai contoh meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah hulu karena pengusahaan lahan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidahkaidah konservasi tanah akan meningkatkan muatan sedimen di daerah hilir. Perambahan hutan dalam skala besar yang menyebabkan hilangnya seresah dan humus yang dapat menyerap air hujan akan mempengaruhi perilaku aliran sungai dimana pada musim hujan debit air meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air sangat rendah. Dengan demikian, resiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat. DAS merupakan salah satu aspek penting berkaitan dengan terjadinya banjir di satu kota. DAS didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan atau mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas daratan (PP no.26/2008). Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/ atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2,000 km2. Batas DAS adalah punggung perbukitan yang membagi satu DAS dengan DAS lainnya. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. Sebuah DAS bisa berada pada
20
lebih dari satu wilayah administrasi. Sebuah DAS yang menjadi bagian dari DAS yang lebih besar dinamakan sub DAS. DAS dapat dibagi ke dalam tiga wilayah yaitu bagian hulu, tengah dan hilir. Ekosistem bagian hulu merupakan daerah konservasi, kemiringan lereng yang besar, bukan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya merupakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah pemanfaatan, daerah dengan kemiringan lereng kecil, pada beberapa tempat merupakan daerah genangan, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau. Daerah tengah DAS merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofifik DAS yang berbeda tersebut di atas.
Hutan
Sawah
Desa
Tumbuhan
Tanah
Manusia
Hewan
Air
Sungai
Debit/ lumpur/unsur hara Gambar 2 Komponen-komponen ekosistem DAS hulu Sumber : Asdak (2010)
Pemahaman prinsip-prinsip hidrologi DAS dalam pemanfaatan dan pencagaran DAS penting untuk pemangku kepentingan terkait DAS. Hidrologi mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam, dan di atas permukaan tanah. Sementara, hidrologi DAS adalah cabang dari hidrologi yang mempelajari pengaruh pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu tehadap daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas
21
air, banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. Pemahaman proses-proses hidrologi menjadi penting dalam perencanaan konservasi tanah dan air, sebagai kegiatan utama dalam pengelolaan DAS, untuk menentukan: (1) perilaku hujan terkait terjadinya erosi dan sedimentasi, (2) hubungan curah hujan dan aliran permukaan (runoff), (3) debit puncak (peakflow) untuk keperluan merancang bangunanbangunan banjir, (4) hubungan karakteristik suatu DAS dengan debit puncak yang terjadi di daerah tersebut. Terkait dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dan terkait erat dengan unsur utamanya, yaitu tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng (Asdak, 2010). Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia. Dengan demikian, dalam merencanakan pengeloloaan DAS, faktor perubahan tataguna lahan serta pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi salah satu fokus aktivitas perencanaan pengelolaan DAS. Menurut Sulasdi, dalam Anna (2001), DAS mempunyai potensi seimbang yang ditunjukkan oleh daya guna sungai antara lain untuk kebutuhan air baku, pertanian, energi dan lain-lain akan tetapi mampu mengakibatkan banjir, pembawa sedimentasi, serta pembawa limbah (polutan dari industri, pertanian, pemukiman dan lain-lain ). Oleh karena itu, upaya pengelolaan DAS ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Kawasan hulu sungai mempunyai peran penting yaitu selain sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke daerah hilirnya bagi kepentingan pertanian, industri dan pemukiman juga berperan sebagai pemelihara keseimbangan ekologis untuk sistem penunjang kehidupan (Supriadi dalam Anna, 2001)
2.6
Pendekatan pembangunan ekologis Istilah ekologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Oikos yang berarti rumah
atau tempat tinggal dan logos yang berarti ilmu/ telaah. Jadi ekologi berarti ilmu tentang rumah (tempat tinggal) mahluk hidup. Haeckel (1969) mendefinisikan ekologi sebagai ilmu tentang hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotik. Fenomena hubungan antara mahluk hidup dan lingkungan dapat dijelaskan dengan beberapa sudut pandang pendekatan yaitu deskriptif, fungsional, dan evolusi (Krebs, 2001). Pendekatan deskriptif
22
merupakan pendekatan yang mencoba menjelaskan ekologi dengan menekankan faktor alamiah (kebiasaan, perilaku, dan interaksi-interaksi antar organisme) dan dikaitkan dengan kumpulan vegetasi yang ada di bumi. Pendekatan fungsional (pendekatan proximate) berusaha menjelaskan ekologi dengan penekanan pada dinamika dan hubungan sebab akibat untuk mengidentifikasi permasalahan umum yang biasa terdapat pada ekosistem yang berbeda. Di sisi lain, pendekatan evolusi (pendekatan ultimate) menjelaskan organisme dan hubungan timbal baliknya sebagai produk sejarah evolusi. Ada beberapa bidang ilmu yang terkait erat dengan ekologi, yaitu ilmu lingkungan, biologi konservasi, dan manajemen sumber daya hayati. Ilmu lingkungan adalah kajian mengenai pengaruh ekologis aktivitas manusia terhadap lingkungan. Ekologi lebih fokus pada fenomena alamiah dari organisme, termasuk manusia sebagai bagian integral dari alam. Di sisi lain, kajian ilmu lingkungan lebih luas karena melibatkan ilmu-ilmu lain seperti geologi, klimatologi, sosiologi, antropologi, ekonomi, dan sebagainya. Ilmu lingkungan merupakan kajian ”deep ecology” (Krebs, 2001) dari suatu gerakan masyarakat yang memiliki agenda utama perubahan sosial politik yang mengarah pada usaha meminimalisasi pengaruh manusia terhadap lingkungan. Pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sadar dan melembaga dalam mewujudkan model masyarakat yang lebih baik dalam citra bangsa atau ”a conscious and institutionalized attempt at societal development” (Misra, 1981). Citra atau image masyarakat yang ingin diwujudkan bersifat culture-specific dan time-spesific, berbeda dari satu kultur atau negara ke kultur atau negara yang lain, dari satu waktu ke waktu yang lain, dipengaruhi oleh pengalaman historis dan konteks pembangunan. Karena pembangunan berkaitan dengan nilai, maka pembangunan seringkali bersifat transcendental, suatu gejala meta-disiplin, atau bahkan suatu ideologi. Karenanya para perumus kebijakan pembangunan selalu dihadapkan pada pilihan nilai dengan dilema-dilema dan tantangan mulai dari jenjang filsafat sampai pada derivasinya pada tingkat strategi, program atau proyek. Dilema aktual yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang membangun, yaitu antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Paradigma pertumbuhan atau paradigma ekonomi nampaknya masih tetap
23
menjadi paradigma yang dominan di banyak negara. Paradigma ini memandang pembangunan nasional sebagai identik dengan pembangunan ekonomi. Tujuan pembangunan nasional adalah mencapai pertumbuhan yang setinggi-tingginya. Paradigma ini sangat berorientasi pada produksi, fokus utamanya adalah pada growth-generating sectors. Mekanisme pasar menjadi tumpuan dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Ada berbagai pandangan menyikapi masalah ini mulai yang pesimis yang mengantisipasi kehancuran planet bumi sebagai suatu sistem dalam abad mendatang kalau pembangunan mengalami over shooting dan karenanya mengusulkan pengendalian growth-generator yang ada pada diri manusia sendiri. Pandangan yang bersifat optimis yang melihat daya adaptasi manusia yang tumbuh secara eksponensial akan dapat menyelesaikan persoalan tersebut. Pandangan yang pragmatis melihat pertumbuhan sebagai suatu keharusan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan karenanya yang harus dilakukan adalah mendorong pertumbuhan batas (growth of limits) melalui teknologi dan mengintegrasikan
environmental
cost
dalam
memperhitungkan
biaya
pertumbuhan. 2.7
Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan
berkelanjutan
adalah
pembangunan
yang
memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup (Djayadiningrat, 2001). Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal menurut Djayadiningrat (2001) membutuhkan pencapaian terhadap hal-hal sebagai berikut (i) keberkelanjutan ekologis, (ii) keberkelanjutan
ekonomi,
(iii)
keberkelanjutan
sosial
budaya,
(iv)
keberkelanjutan politik, dan (v) keberkelanjutan pertahanan keamanan. Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi (Urban and Regional Development Institute, URDI, 2002). International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat
24
semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen – elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan, sandang, permukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Karakteristik kota berkelanjutan adalah (i) tata guna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi, (ii) ) pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air, (iii) kontrol penggunaan lahan untuk setiap orang, (iv) ) kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian, (v) mendukung kota lebih kompak. Perkembangan pada sebuah kota harus aspiratif terhadap kebutuhan dan eksitensi masa depan yang pada prinsipnya termanifestasi dalam kata kunci seperti: efisiensi, intensifikasi, konservasi, revitalisasi di dalam upaya menyelaraskan pembangunan kembali kota terwujud dalam skenario ”Kota Kompak” (Roychansyah, 2006) seperti terlihat dalam Gambar 3. Pembangunan
berkelanjutan
sektor
perumahan
diartikan
sebagai
pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005). Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang. Untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu (i) pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung–jawabkan (socially and culturally suitable and accountable), (ii) pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable), (iii) pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible), dan (iv) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable). Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004). Untuk mencapai keberkelanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan
25
sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Dimasa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (modal sosial) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu: menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korupsi; menurunkan sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander et al., 2006).
Gambar 3 Tujuan pembangunan berkelanjutan dan implementasinya dalam konteks kota. (Sumber: Roychansyah, 2006) 2.8 Kebijakan Publik Kebijakan publik menurut Dye (1981) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Studi kebijakan publik memiliki tiga manfaat penting, yakni untuk pengembangan ilmu pengetahuan, meningkatkan profesionalisme, dan untuk tujuan politik (Dye, 1981). Dalam studi kebijakan publik terdapat dua pendekatan, yakni: pertama analisis kebijakan (policy analysis), dan kedua kebijakan publik politik (political public policy) (Hughes, 1994). Pada pendekatan
26
pertama, studi analisis kebijakan lebih terfokus pada studi pembuatan keputusan (decision making) dan penetapan kebijakan (policy formation) dengan menggunakan model-model statistik dan matematika yang canggih. Sementara pada pendekatan kedua, lebih menekankan pada hasil dan outcome dari kebijakan publik menggunakan metode statistik dengan melihat interaksi politik sebagai faktor penentu dalam berbagai bidang. Proses analisis kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis. Aktivitas intelektual terdiri dari perumusan masalah, forecasting, rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan. Aktivitas politis nampak dari kegiatan penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Diagram proses analisis kebijakan publik tertera pada Gambar 4.
Perumusan Masalah
Forecasting
Penyusunan Agenda Formulasi Kebijakan
Rekomendasi Kebijakan
Adopsi Kebijakan
Masyarakat
Implementasi
Kebijakan Evaluasi Kebijakan
Penilaian
Kebijakan
Gambar 4 Tahapan Kebijakan Publik (Sumber: Dunn 1994) Lingkungan kebijakan akan mempengaruhi pelaku kebijakan untuk meresponnya, yakni dengan memasukkannya ke dalam agenda pemerintah dan selanjutnya melahirkan kebijakan publik untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Hubungan timbal balik antara tiga elemen yang terlibat dalam sebuah proses kebijakan tertera dalam Gambar 5.
27
Pelaku
Lingkungan
Kebijakan
Gambar 5 Hubungan Tiga Elemen Sistem Kebijakan. (Sumber: Dunn 1994)
Salah satu bagian yang penting dari analisis kebijakan adalah perumusan masalah kebijakan. Suatu masalah dikatakan sebagai masalah privat apabila masalah tersebut dapat diatasi tanpa mempengaruhi orang lain atau pemerintah. Suatu gejala menjadi masalah publik ketika gejala tersebut dirasakan sebagai kesulitan bersama oleh sekelompok masyarakat dan hanya dapat diatasi melalui intervensi pemerintah (Jones, 1991). Menurut Dunn (1994), sifat-sifat masalah publik sangat kompeks dan mempunyai karakteristik antara lain (1) saling bergantung (interdependent) antara berbagai masalah dan mengharuskan analisis kebijakan menggunakan pendekatan holistik dalam memecahkan masalah dan mengetahui akar permasalahannya, (2) subyektifitas, karena merupakan hasil pemikiran dalam konteks lingkungan tertentu, (3) artificial yakni suatu fenomena dianggap sebagai masalah karena adanya keinginan untuk mengubah situasi, (4) dinamis karena solusi terhadap masalah selalu berubah. Dalam perumusan masalah, dibutuhkan data dan informasi. Data dan informasi tersebut bersifat time series (kurun waktu) atau cross sectional (antar lokasi yang berbeda). Data dan informasi time series membantu memahami perubahan gejala dari waktu ke waktu, sementara data dan informasi cross sectional membantu memberikan gambaran tentang suatu gejala antar lokasi yang berbeda. Beberapa metode untuk merumuskan masalah, adalah (1) analisis batas, yaitu usaha memetakan masalah melalui snowball sampling dari stakeholders, (2) analisis klasifikasi, yaitu mengklasifikasikan masalah kedalam kategorikategori tertentu, (3) analisis hirarki, untuk menyusun masalah berdasarkan sebabsebab dari situasi masalah, (4) brainstorming, yakni metode merumuskan masalah
28
melalui curah pendapat, (5) analisis perspektif ganda, yaitu metode untuk memperoleh pandangan yang bervariasi dari perspektif yang berbeda. Forecasting atau peramalan terdiri dari (1) proyeksi, (2) prediksi, dan (3) perkiraan. Proyeksi didasarkan pada ekstrapolasi kecenderungan masa lalu, dengan asumsi bahwa masa yang akan datang memiliki pola yang sama dengan masa lalu. Proyeksi dapat menggunakan model matematika dan regresi. Prediksi, yaitu ramalan yang didasarkan pada asumsi teoritik. Misalnya, berdasarkan teori supply dan demand, harga normal akan terjadi pada titik temu antara supply dan demand. Perkiraan, yakni ramalan yang didasarkan pada penilaian para pakar tentang situasi yang akan datang. Rekomendasi kebijakan adalah proses untuk melakukan pilihan terhadap berbagai alternatif kebijakan berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Metode-metode yang dapat digunakan untuk proses seleksi kebijakan antara lain (1) metode perbandingan, semua alternatif kebijakan dievaluasi berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan, kemudian dipilih alternatif yang memperoleh nilai tertinggi, (2) metode memuaskan (satisfying method), pemilihan alternatif dilakukan atas dasar kemampuan alternatif memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan, (3) analisa biaya dan manfaat (cost and benefit analysis), digunakan untuk mengidentifikasi besarnya biaya dan manfaat dari setiap alternatif kebijakan, (4) pohon keputusan (decision tree). Analisis pohon keputusan digunakan dengan menghitung nilai yang diharapkan, yang merupakan hasil dari perkalian antara probabilitas dari setiap alternatif dengan perkiraan hasil. 2.9
Pendekatan Sistem Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang
menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis. Pada dasarnya pendekatan sistem adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Dengan cara ini hendak diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Metode ilmiah dapat menghindarkan manajemen mengambil kesimpulan-kesimpulan yang sederhana dan simplisistis searah oleh suatu masalah disebabkan oleh penyebab tunggal.
29
Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Perubahan yang bersifat kompleks membuat kita tidak hanya mempelajari sebagian dari perubahan tersebut, tetapi harus mempelajarinya secara menyeluruh, karena keterkaitan antara komponen yang satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu, dalam menangani suatu masalah yang cukup kompleks, kita harus menyelesaikannya tidak hanya pada tempat kejadian tersebut dan waktu tertentu, namun pada skala yang lebih luas, baik secara spasial maupun temporal. Eriyatno (1999) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan metode yang bersifat rasional sampai intuitif sehingga dapat memecahkan masalah guna mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa jika kita menggunakan pendekatan sistem, maka persyaratan yang harus dipenuhi bersifat kompleks, yakni interaksi antar elemen-elemennya cukup rumit. Bersifat dinamis, yaitu dua faktor yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan untuk masa yang akan datang. Bersifat probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam membuat kesimpulan maupun rekomendasi. Pada dasarnya pendekatan sistem mempunyai tiga sifat yaitu sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, holistik, yakni cara pandang yang utuh, serta efektif yang artinya lebih mementingkan hasil yang bersifat operasional dan dapat dilaksanakan dari pendalaman teoritis sehingga dapat mencapai keputusan yang efisien. Manetch dan Park (1977) menyatakan bahwa suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi (1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan (3) memungkinkan untuk dilakukan dalam perencanaan jangka panjang. Sistem adalah gugus atau komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Sistem dapat digolongkan menjadi sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sistem terbuka tidak menyediakan
30
sarana koreksi dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi membutuhkan faktor dari luar. Diagram sistem terbuka tertera pada Gambar 6.
Input
Proses
Output
Gambar 6 Diagram sistem terbuka. Pada sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input. Pada sistem tertutup sarana koreksi berada dalam sistem, sehingga perlakuan koreksi dapat dilakukan secara internal. Diagram sistem tertutup dengan umpan balik tertera pada Gambar 7.
Input
Output
Proses
Umpan balik Gambar 7 Diagram sistem tertutup. 2.10 Matrik dan Ringkasan Tinjauan Pustaka Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 1. Tabel 1 Matrik faktor-faktor penting pengembangan kawasan permukiman No 1.
Teori Perkotaan & lingkungan, metropolitan, tata ruang
Sumber & Tahun
Faktor-faktor penting
Doxiadis (1971)
Richardson (1978)
Angotti (1993)
Almeida (1998) Djunaedi (2001) Rahardjo (2003)
Aglomerasi, konurbasi, konsentrasi penduduk yg besar, kawasan permukiman, tenaga kerja, aktivitas kota.
Lokasi dekat pusat kota, komersial, industri ringan, akses, lahan, pelayanan kota, nilai lahan. Penduduk yang besar, aktivitas sosioekonomi, manufaktur dan jasa, mobilitas, ekonomi politik. Legislasi, prasarana, topografi, kawasan lindung, pasar real estate, kesempatan kerja, pusat-pusat kegiatan. Master plan/ Rencana Induk Sistem
Manajemen lahan, populasi, kebijakan ekonomi, manajemen pembangunan.
31 Tabel 1 (lanjutan) No
Teori
Sumber & Tahun Healy (2004)
RossiHausberg (2004) Rustiadi et al. (2004) UU 26/2007
2.
3.
4.
Faktor-faktor penting
Pengelolaan, skala kota/wilayah, regionalisasi, material, pengembangan, fungsional. Urbanisasi, ruang kegiatan ekonomi, populasi, output, pendapatan, ruang tebuka hijau. Sosial, ekonomi, budaya, politik, ekologis, keamanan. Perencanaan, pemanfaatan, pengendalian pemanfaatan ruang.
Perumahan dan Permukiman
Doxiadis (1971) Dep. PU (2005) Kirmanto (2005)
Alam, manusia, masyarakat, rumah, jaringan prasarana. Kawasan, pencemaran, lahan, saranaprasarana, akses. Alokasi tanah, pelayanan, lokasi, lingkungan, komunitas. Urbanisasi, perkembangan tak terkendali, marjinalisasi pelaku lokal, kegagalan lokasi.
Keberlanjutan lingkungan, pendekatan ekologis unt DAS dan Kota Metropolitan
Djayadinigrat (2001) Krebs (2001)
Pendekatan Sistem untk kebijakan publik
Saroso (2002)
URDI (2002) Soenarno (2004) Dep. PU (2005)
Manetch dan Park (1977) Dunn (1994)
Eriyatno (1999) Alexander et al. (2006)
Ekologis, ekonomi, sosial-budaya, politik, keamanan. Deskriptif, fungsional, evolusi. Lingkungan, biologi konservasi, sumberdaya hayati. Tata guna lahan, transportasi, sumberdaya air, manusiawi, kompak. Sosial, kultural, ekonomi. Sosial-kultural, politik, ekonomis, lingkungan Kawasan, pencemaran, lahan, saranaprasarana, akses Tujuan, prosedur, dapat dilaksanakan. Interdependent, subyektifitas, artificial, dinamis. Perumusan masalah, forecasting, rekomendasi, monitoring, evaluasi. Penyusunan agenda, formulasi, adopsi, implementasi, penilaian. Pelaku, lingkungan, kebijakan publik. Kompleks, dinamis, probabilistik. Sibernetik, holistik, efektif. Pemerintah, konflik, pelaku non pemerintah
Dari tinjauan pustaka beberapa aspek diatas didapat beberapa poin penting sebagai berikut:
32
1. Struktur metropolitan berkembang dipengaruhi oleh perkembangan penduduk dan penyebarannya, kegiatan sosial-ekonomi-politik, infrastruktur, kebijakan lahan, manajemen perkotaan, dan penataan ruang. 2. Kawasan permukiman (di Cisauk) bisa berkelanjutan apabila terjadi kohesi sosial dengan baik, prasarana dan sarana (jalan akses, air minum, persampahan, drainase, sanitasi) yang memadai, pemanfaatan lahan sesuai ketentuan (peruntukan, vegetasi, ruang terbuka hijau), sub DAS (Cisadan) berkelanjutan, dan tersedia lapangan pekerjaan. 3. Permukiman dalam wilayah sub DAS berkontribusi pada keberlanjutan sub DAS tersebut sehingga perlu diperhatikan hal-hal yang dapat mengganggu keberlanjutan sub DAS tersebut seperti pembuangan limbah/sampah yang berdampak terhadap penurunan kualitas air dan penyumbatan yang dapat menyebabkan banjir, aliran permukaan yang besar dan mengandung sedimentasi serta pengambilan air baku berlebih. Karakteristik sub DAS wilayah tengah umumnya terdapat kawasan budi daya yang merupakan daerah pemanfaatan, kemiringan lereng kecil, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh saluran irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian. Kegiatan kawasan permukiman di sub DAS wilayah tengah hendaknya tidak menimbulkan dampak negatif ke wilayah sub DAS hilir seperti pendangkalan karena sedimentasi, kekeringan dan/ atau banjir, kualitas air yang buruk. 4. Pendekatan ekologis dipergunakan apabila dalam pembangunan dalam hal ini pengembangan memprioritaskan
kawasan aspek
permukiman ekonomi
atau
di
Cisauk
terindikasi
pertumbuhan
dan
lebih kurang
memperhatikan keberlanjutan aspek ekologis atau lingkungan. 5. Pendekatan sistem diperlukan untuk menganalisis masalah lingkungan yang kompleks sehingga diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Pendekatan sistem mempunyai tiga sifat yaitu sibernetik, artinya berorientasi pada tujuan, holistik, yakni cara pandang yang utuh, serta efektif yang artinya lebih mementingkan hasil yang bersifat operasional dan dapat dilaksanakan dari pendalaman teoritis sehingga dapat mencapai keputusan yang efisien.
33
6. Kawasan permukiman di Cisauk dilalui jaringan transmisi tenaga listrik Sutet (saluran udara tegangan tinggi dengan tegangan nominal >35,000 volt) sehingga terdapat koridor yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan aman selebar 64 m yang diukur dari tengah jaringan transmisi tenaga listrik seluas kurang lebih 3.2 km2.
35
III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan pertimbangan sebagai berikut (1) kawasan tersebut mewakili karakteristik kota-kota kecil di pinggiran kota metropolitan DKI Jakarta, (2) lokasinya strategis karena berada di sekitar sentra ekonomi, sosial dan terhubung dengan sistem prasarana yang berkembang, (3) kawasan tersebut berkembang dengan indikasi pengembangan kawasan permukiman oleh swasta di wilayah ini, yaitu Perumahan Korpri Griya Suradita Indah, Perumahan Griya Bumi Serpong Asri, PERUMNAS Suradita, Perumahan Bermis Serpong Asri, (4) infrastruktur yang tersedia sudah cukup lengkap antara lain jaringan jalan akses regional, jaringan KA dengan stasiun, jaringan listrik, air bersih, dan telepon, (5) kawasan tersebut terletak di sub daerah aliran sungai (DAS) Cisadane wilayah tengah sehingga kebutuhan air baku tersedia namun terdapat sempadan yang harus diperhatikan, (6) kawasan ini dilintasi oleh jaringan Sutet sehingga terdapat koridor yang tidak boleh dibangun. Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2009 sampai dengan bulan Juni 2011.
3.2 Jenis Data, Teknik Analisis Data , dan Keluaran Jenis data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer didasarkan pada hasil observasi lapangan dan pendapat stakeholders. Data sekunder didapatkan dari laporan instansi terkait, hasil kajian, atau hasil penelitian orang lain. Observasi di lapangan dilaksanakan dalam 3 tahap, yaitu (1) pengumpulan data sekunder, (2) penyebaran kuesioner dan wawancara, dan (3) uji lapangan atas hasil analisis sementara. Metodologi penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap pertama dengan menggunakan analisis situasional dan deskriptif untuk mengidentifikasi pola dinamika kawasan permukiman dan sistem metropolitan DKI Jakarta. Tahap kedua dengan menggunakan metode MDS-Rapsettlement untuk menganalisis kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk yang menghasilkan nilai indeks keberlanjutan kawasan permukiman secara multi dimensi maupun untuk
36
masing-masing dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Aspek ekologi mencakup keterpaduan ekosistem, sumberdaya alam, dan daya dukung lingkungan. Aspek ekonomi mencakup pertumbuhan yang berkelanjutan dan efisiensi, sedangkan aspek sosial meliputi keadilan, kohesi sosial atau keterpaduan kehidupan sosial, partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Tahap ketiga melakukan analisis prospektif terhadap atribut keberlanjutan dan kebutuhan stakeholders yang menghasilkan faktor-faktor pengungkit dan faktor-faktor kunci keberlanjutan kawasan permukiman. Tahap terakhir adalah merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berdasarkan faktor-faktor yang paling berpengaruh, skenario pengembangan kawasan permukiman, dan hasil analisis AHP serta evaluasi kebijakan yang ada. Keterkaitan jenis data, teknik analisis data, sumber data, dan keluaran untuk keempat tujuan penelitian tertera pada Tabel 2.
3.3 Dinamika dan Sistem Metropolitan DKI Jakarta Perkembangan kawasan permukiman di Cisauk tak dapat dipisahkan dari perkembangan kawasan-kawasan disekitarnya dan pengaruh yang cukup dominan adalah kawasan metropolitan DKI Jakarta. Untuk itu perlu dikumpulkan data-data dinamika dan sistem metropolitan DKI Jakarta dan dianalisis lebih jauh agar dapat dijadikan acuan dan diantisipasi pengaruhnya ke kawasan permukiman di Cisauk. 3.3.1 Sistem Metropolitan DKI Jakarta Untuk mengetahui sistem metropolitan DKI Jakarta perlu dianalisis hirarki dan hubungan DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan dengan kota-kota dan daerah penyangga sebagai sub pusat kegiatan. Dalam hal ini perlu diketahui hirarki berdasarkan perencanaan kota yang telah disusun serta membandingkannya dengan kondisi riil di lapangan. Empat periode waktu penting diambil dalam proses penggambaran diagram struktur permukiman perkotaan, yaitu (1) struktur perkotaan berdasarkan studi NUDS 2, tahun 2000, (2) struktur perkotaan berdasarkan Perpres no.54/Th 2008 tentang penataan ruang Jabodetabek Punjur, (3) penyusunan struktur perkotaan berdasarkan analisis, pengamatan lapangan dan wawancara pada tahun 2010, dan (4) penyusunan struktur perkotaan DKI Jakarta tahun 2020.
37
Tabel 2 Jenis data, teknik analisis data, dan keluaran untuk keempat tujuan penelitian Tujuan/ Sub Tujuan 1. Mengetahui dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta
Jenis Data Penduduk Permukiman
Sumber Data
Teknik Analisis Data
Keluaran
Jumlah, aglomerasi Jumlah, luas, arah perkembangan Jalan, jumlah kendaraan, pengaturan traffic Area cakupan, jaringan Air baku, jaringan Tataguna lahan
Data sekunder dari NUDS 89 – 99; Jabodetabek UDP; RTRW Jabodetabek
Analisis situasional Analisis kuantitatif dan deskriptif
Dinamika perkembangan kawasan permukiman dalam sistem metropolitan DKI Jakarta
Perumahan
Jumlah, luas, arah perkembangan
Lahan
Luas, penggunaan, kondisi
Analisis keberlanjutan dg metode MDS
Kondisi tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini
Infrastruktur
Drainase/ pengendalian banjir, air minum, jalan akses, persampahan
Ruang terbuka hijau, batasan alam
Jumlah, luasan, sub DAS Cisadane, penambangan pasir
Data primer : persepsi stakeholders, pengamatan lapangan Data sekuder dari Kab Tangerang dlm angka, RTRW Kab. Tangerang dan Jabodetabek (Jumlah penduduk, pertumbuhan, pendapatan)
Sub sistem transportasi Drainase Air minum Pemanfaatan lahan
2. Mengetahui kondisi tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini
Uraian Data
37
38 38
Tabel 2 (lanjutan) Tujuan/ Sub Tujuan
Jenis Data
Uraian Data
Sumber Data
Teknik Analisis Data
Keluaran
3. Mengetahui faktorfaktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di pinggiran Metropolitan DKI Jakarta khususnya di Cisauk
• Long list faktorfaktor yang berpengaruh (dari studi literatur) thd keberlanjutan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta
Data terkait aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi baik yang berasal dari internal maupun dari eksternal Cisauk
Data primer: persepsi stakeholders, pengamatan lapangan Data sekunder: al. dokumentasi, laporan, studi
Analisis prospektif
Faktor- faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di pinggiran metropolitan DKI Jakarta khususnya di Cisauk
4. Menyusun arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta khususnya di Cisauk
Tingkat keberlanjutan Cisauk saat ini Faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan Cisauk, pola dinamika sistim metropolitan DKI Jakarta
Kependudukan, permukiman, sub sistem transportasi, drainase, air minum, batasan alam Perumahan, lahan, infrastruktur, RTH, batasan alam. Aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi baik yang berasal dari internal maupun dari eksternal Cisauk
Data primer: persepsi stakeholders, pengamatan lapangan Data Sekunder: dokumentasi, laporan, studi
Pemilihan skenario berdasarkan analisis AHP
Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di pinggiran metropolitan DKI Jakarta, khususnya di Cisauk
39
Menurut Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, sistem perkotaan nasional terdiri atas PKN (Pusat Kegiatan Nasional), PKW (Pusat Kegiatan Wilayah), dan PKL (Pusat Kegiatan Lokal) (Anonim, 2008). PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota dan PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan. Penetapan ini terkait dengan besaran dan pola permukiman, kependudukan, kelengkapan dan jangkauan layanan termasuk wilayah pengaruh. Penetapan status PKN dan , PKW dilakukan oleh pemerintah dan penetapan PKL oleh pemerintah provinsi berdasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008. Konsultasi dengan Pemerintah (Menteri) dalam proses penentapan PKL oleh pemerintah provinsi diperlukan karena penetapan tersebut memiliki konsekuensi dalam pengembangan jaringan prasarana yang menjadi tugas dan tanggung jawab Pemerintah. Adanya kesepakatan antara pemerintah provinsi dengan Pemerintah dalam penetapan PKL akan menjamin dukungan sistem jaringan prasarana yang dikembangkan oleh Pemerintah. PKN ditetapkan dengan kriteria (a) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional, (b) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi, (c) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi. PKW ditetapkan dengan kriteria (a) kawasan perkotaan yaang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN, kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten, dan/atau (c) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten. PKL ditetapkan dengan kriteria (a) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kabupaten atau
40
beberapa kecamatan, dan/atau (b) kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan. Pusat perkotaan disusun secara berhirarki menurut fungsi, jangkauan layanan, kelengkapan, wilayah pengaruh dan besarannya sehingga pengembangan sistem perkotaan nasional yang meliputi penetapan fungsi kota dan hubungan hirarkisnya berdasarkan penilaian kondisi sekarang dan antisipasi perkembangan di masa yang akan datang sehingga terwujud pelayanan prasarana dan sarana yang efektif dan efisien, yang persebarannya disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhan yang ada. Pengembangan pusat perkotaan dilakukan secara selaras, saling memperkuat, dan serasi dalam ruang wilayah sehingga membentuk satu sistem yang menunjang pertumbuhan dan penyebaran berbagai usaha dan atau kegiatan dalam ruang wilayah. Pengembangan pusat perkotaan diserasikan dengan sistem jaringan transportasi, sistem jaringan prasarana dan sarana, dan memperhatikan peruntukan ruang kawasan budi daya di wilayah sekitarnya, baik yang ada sekarang maupun yang direncanakan sehingga pengembangannya dapat meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang yang ada. Dalam pusat perkotaan dikembangkan kawasan untuk peningkatan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan pelestarian lingkungan hidup secara harmonis, serta jaringan prasarana dan sarana pelayanan penduduk yang sesuai dengan kebutuhan dan menunjang fungsi pusat perkotaan dalam wilayah. Agar pelayanan prasarana dan sarana dapat menjangkau seluruh masyarakat termasuk yang tinggal di kawasan perdesaan, ketentuan tentang pengembangan kawasan perkotaan perlu ditindak lanjuti dengan pengembangan kawasan perdesaan. Kawasan perdesaan juga memiliki fungsi yang sama sebagai pusat pelayanan perkembangan kegiatan budi daya meskipun dalam skala kegiatan yang lebih kecil dan terbatas. Kawasan perdesaan merupakan desa yang mempunyai potensi cepat berkembang dan dapat meningkatkan perkembangan desa di sekitarnya. Pengembangan kawasan perdesaan diselaraskan dengan pusat perkotaan yang melayaninya sehingga secara keseluruhan pusat perkotaan nasional saling terkait dan berjenjang, serta saling sinergis dan saling menguatkan perkembangan kota dan desa.
41
3.3.2 Peta pemangku kepentingan perkembangan kawasan Peta pemangku kepentingan disiapkan untuk memahami pola hubungan dan ketergantungan guna menjamin operasionalisasi arahan kebijakan yang menjadi out akhir dari peneliitian ini. Pemangku kepentingan yang terkait dengan pengembangan
kawasan
metropolitan
tersebut
pada
dasarnya
dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok yaitu masyarakat (termasuk LSM), pemerintah (Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat), akademisi/ ahli, dan swasta (pemilik atau pengelola lahan, pengembang, jasa dan produsen terkait pengembangan
permukiman).
Pengelompokkan
tersebut
dipilih
dengan
mempertimbangkan aspek sistim metropolitan DKI Jakarta yang diwakili aspek sosial-ekonomi dan sistem Sub DAS Cisadane yang diwakili oleh aspek ekologis. Selanjutnya dianalisis pola hubungan antar pemangku kepentingan tersebut dan aspek yang menjadi perhatiannya yaitu ekologis, sosial, dan ekonomi serta kemungkinan konflik kepentingan yang terjadi antar stakeholders tersebut. Disamping itu, perlu dilihat peran dari masing-masing pemangku kepentingan tersebut seperti regulator, operator, user, dan researcher. 3.3.3 Ekosistem DAS Cisadane Komponen ekosistem DAS hulu menurut Asdak (1995) terdiri atas empat komponen utama, yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan. Komponenkomponen yang menyusun DAS berbeda tergantung pada keadaan daerah setempat. Misalnya, di DAS tengah terdapat komponen lain seperti perkebunan. Untuk kasus kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten, komponen utamanya disesuaikan menjadi desa/kota, sawah/ladang, sungai, dan hutan. Terkait dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik dan terkait erat dengan unsur utamanya, yaitu tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Diantara faktor-faktor yang berperan dalam menentukan sistem hidrologi tersebut, faktor tataguna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa oleh manusia. Faktor-faktor yang lain bersifat alamiah. Dengan demikian, dalam merencanakan pengelolaan DAS, faktor perubahan tataguna lahan serta pengaturan kemiringan dan panjang lereng menjadi
salah
satu
fokus
aktivitas
perencanaan
pengelolaan
DAS.
42
3.4 Tingkat Keberlanjutan Kawasan Permukiman di Cisauk Jenis data yang diperlukan dalam analisis keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk adalah data sekunderdandata primer. Data sekunder berasal dari instansi terkait dan penelitian terdahulu, yaitu data spasial, fisik lingkungan, dan sosial ekonomi. Data primer berasal dari responden dan pakar terpilih, dilengkapi dengan pengamatan lapangan. 3.4.1 Jenis data dan sumber data Untuk menganalisis keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk diperlukan data dan sumbernya yang secara berturut-turut tertera pada Tabel 3, 4, dan 5. Tabel 3 Jenis-jenis peta dan sumber datanya Nomor
Jenis Data
Skala
Sumber
Tahun
1
Peta dasar
1 : 4,000
Dinas Tata Kota
2009
2
Peta topografi
1 : 4,000
Dinas Tata Kota
2009
3
Peta drainase
1 : 4,000
Dinas Tata Kota
2009
4
Peta banjir
1 : 10,000
Dinas Pengairan
2009
Tabel 4 Jenis data dan sumber data fisik lingkungan No 1 2
Jenis Data Air minum, air tanah Udara
Uraian Data Kualitas, kuantitas, waktu Kualitas, polusi
Sumber BPLH, PDAM, Dinkes Kab. Tangerang BPLH Kab. Tangerang
3
Iklim Drainase
5
Pengendalian banjir
6
Persampahan
7
Penambangan
BMG Dinas Pengairan Kab. Tangerang Dinas Pengairan Kab. Tangerang Dinas Kebersihan Kab. Tangerang Dinas Pertambangan Kab.Tangerang
2009
4
Curah hujan, Jaringan, cakupan, kondisi
Dinas PU Kab. Tangerang
2009
Wawancara
2010
8 9
Sub DAS Cisadane Persepsi stakeholders
Intensitas, besaran Manajemen, kendala Jumlah, metode, perkembangan, dampak Run-off, manajemn Isu, masalah, solusi
Tahun 2009 2009
2009 2009 2009 2009
43
Tabel 5 Jenis data dan sumber data sosial ekonomi No
Jenis Data
1
Kependudukan
2
Fasilitas pendidikan, kesehatan.
3
Perekonomian
4
Penggunaan lahan
5
Perumahan Prasarana dan sarana Persepsi stakeholders
6 7
Uraian Data Jumlah, struktur, perkembangan,
Sumber
Tahun
BPS Kab. Tangerang
2009
Jumlah, kualitas, keterjangkauan
Data potensi kelurahan
2009
Kontribusi, lapangan pekerjaan, Jenis penggunaan lahan, harga Jumlah, luas, harga, perkembangan Jalan akses, transportasi, amenities Pilihan lokasi, kebutuhan, prmasalahn
Dinas Perdagangan Kab.Tangerang
2009
BPN Kab. Tangerang
2009
Asosiasi perumahan Kab. Tangerang Dinas PU, Perhub Kab. Tangerang Wawancara
2009 2009 2010
3.4.2 Teknik Penarikan Sampel dan Analisis Data Teknik penarikan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling atau pemilihan secara sengaja dengan pertimbangan tertentu. Persyaratan penarikan sampel dengan purposive sampling menurut Arikunto (1996) adalah (1) penarikan sampel harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu, yang merupakan ciri-ciri pokok populasi, (2) subyek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi (key subject), dan (3) penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat. Pakar merupakan pihak yang berkompeten sebagai pemangku kepentingan dan ahli dalam bidang perkotaan, sumberdaya air, transportasi, lingkungan, pemerintahan, dan akademisi. Dasar pertimbangan dalam penentuan atau pemilihan pakar untuk dijadikan sebagai responden menggunakan kriteria sebagai berikut: 1.
Keberadaan responden dan kesediaannya untuk dijadikan responden;
2.
Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dan telah menunjukan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti;
3.
Memiliki latar belakang pendidikan tinggi yang dikaji dan atau telah memiliki pengalaman dalam bidangnya minimal 2 tahun. Stakeholders dalam pengembangan permukiman adalah
masyarakat
(setempat, usia produktif, LSM) sebanyak 200 responden, swasta (pengusaha)
44
sebanyak 10 orang, pemerintah (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi) sebanyak 21 orang, dan ahli (pemerhati, akademisi) sebanyak 24 orang. Analisis keberlanjutan kawasan permukiman dilakukan dengan metode Multidimensional Scaling (MDS). Analisis ini dinyatakan dalam indeks keberlanjutan dengan tahapan sebagai berikut: (1) penentuan atribut kawasan permukiman dalam 3 (tiga) dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi, (2) penilaian setiap atribut dalam skala ordinal dari kriteria keberlanjutan setiap dimensi, dan (3) penyusunan indeks keberlanjutan kawasan untuk existing condition yang dikaji secara umum dan tiap dimensi (Fauzi dan Anna, 2002). Atribut masing-masing dimensi ekologi, sosial dan ekonomi berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 6, 7 dan 8. Keberlanjutan dimensi ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi (Perrings, 1991). Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan permukiman, keberlanjutan ekologi adalah menjaga keanekaragaman hayati, konservasi lahan dan air, tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam dan tidak terjadi pembuangan limbah atau polusi yang melebihi kapasitas asimilasi lingkungan. Atribut dimensi ekologi keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah drainase pengendali banjir, penyediaan air minum, kualitas jalan akses, pengelolaan persampahan, penambangan pasir, alih fungsi lahan pertanian produktif, kondisi sub DAS Cisadane, ketersediaan ruang terbuka hijau. Keberlanjutan sosial adalah terjaganya stabilitas sistem sosial dan budaya, termasuk reduksi konflik yang merusak (UNEP et al., 1991). Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan permukiman, keberlanjutan sosial adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan), mencegah terjadinya berbagai konflik, menciptakan keadilan dalam kehidupan masyarakat, terjadinya pemerataan pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha, dan partisipasi masyarakat. Atribut dimensi sosial keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah mencegah konflik sosial, mendorong
terjadinya
kohesi
sosial,
mencegah
terjadinya
kriminalitas,
memfasilitasi pengembangan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan, mendorong pengembangan fasilitas umum dan sosial, dan pemberdayaan masyarakat.
45
Tabel 6 Atribut-atribut Dimensi Ekologi dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman Nomor
Atribut
Skor
Baik
Buruk
1
Drainase (pengendalian banjir)
0,1,2
2
0
2
Air minum (kualitas, kuantitas, waktu)
0,1,2
2
0
3
Jalan akses (kualitas)
0,1,2
2
0
4
Persampahan (pengelolaan)
0,1,2
2
0
5
Penambangan pasir dan batu (metode)
0,1,2
2
0
6
Alih fungsi lahan pertanian produktif (luasan, waktu)
0,1,2
2
0
7
Sub DAS Cisadane (runoff, manajemen)
0,1,2
2
0
8
Ruang Terbuka Hijau/RTH (luasan)
0,1,2
2
0
Keterangan (0) sering banjir, (1) jarang banjir, (2) tidak banjir. (0) kurang, (1) sedang, (2) baik. (0) rusak, (1) sedang, (2) baik. (0) buruk, (1) sedang, (2) baik. (0) buruk, (1) sedang, (2) baik. (0) cepat, (1) sedang, (2) lambat. (0) buruk, (1) sedang, (2) baik. (0) kurang, (1) sedang, (2) cukup.
Tabel 7 Atribut-atribut Dimensi Sosial dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman Nomor
Atribut
Skor
Baik
Buruk
1
Konflik sosial
0,1,2
2
0
2
Kohesi sosial
0,1,2
2
0
3
Kriminalitas
0,1,2
2
0
4
Prasarana kesehatan, pendidikan
0,1,2
2
0
5
Fasilitas umum dan sosial
0,1,2
2
0
6
Pemberdayaan masyarakat
0,1,2
2
0
Keterangan (0) banyak, (1) sedikit, (2) tidak ada. (0) buruk, (1) sedang, (2) baik. (0) banyak, (1) sedang, (2) aman. (0) kurang, (1) sedang, (2) baik. (0) kurang, (1) sedang, (2) baik. (0) buruk, (1) sedang, (2) baik.
46
Tabel 8 Atribut-atribut Dimensi Ekonomi dan Skor Keberlanjutan Kawasan Permukiman Nomor
Atribut
Skor
Baik
Buruk
Keterangan
1
Penyerapan tenaga kerja
0,1,2
2
0
(0) sedikit, (1) sedang, (2) banyak.
2
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
0,1,2
2
0
(0) sedikit, (1) sedang, (2) banyak.
3
Peningkatan pendapatan asli daerah
0,1,2
2
0
(0) sedikit, (1) sedang, (2) banyak.
4
Nilai ekonomi lahan
0,1,2
2
0
(0) rendah, (1) sedang, (2) tinggi.
5
Keuntungan/ profit
0,1,2
2
0
(0) sedikit, (1) sedang, (2) banyak,
6
Perkembangan sarana ekonomi (10 thn terakhir)
0,1,2
2
0
(0) lambat, (1) sedang, (2) cepat,
Keberlanjutan ekonomi adalah arus maksimum pendapatan yang dapat diciptakan dari aset (modal) yang minimal dengan manfaat yang optimal (Maler, 1990). Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan permukiman, keberlanjutan ekonomi adalah meningkatkan pendapatan masyarakat, menghasilkan produksi secara berkesinambungan, peningkatan ekonomi daerah, penyerapan tenaga kerja, dan meningkatkan peluang investasi. Atribut dimensi ekonomi keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahtraan masyarakat, peningkatan pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan, keuntungan berusaha, pengembangan sarana dan prasarana dasar (10 tahun terakhir). Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan Scientific Judgement dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0 – 2 atau bergantung pada keadaan masing-masing atribut yang diartikan mulai dari yang buruk (0) sampai baik (2). Selanjutnya nilai skor dari masing-masing atribut dianalisis secara multi dimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik ”baik” (good) dan titik
47
”buruk” (bad). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi (Alder et al., 2000). Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan software Rapsettlement (Rapid Appraisal for Settlements) yang merupakan penyesuaian dari Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapsettlement adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan permukiman berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapsettlement setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi Rapsettlement dibentuk oleh aspek
ekologi,
sosial,
dan
ekonomi.
Hasil
statusnya
menggambarkan
keberlanjutan di setiap aspek yang dilaporkan dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Manfaat dari teknik Rapsettlement ini adalah dapat menggabungkan berbagai aspek untuk dievaluasi komponen keberlanjutannya dan dampaknya terhadap permukiman dalam ekosistem (Alder et al. 2000). Rapsettlement didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MDS. Prosedur analisis Rapsettlement dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Analisis terhadap data kawasan permukiman di Cisauk melalui data statistik, studi literatur, pengamatan dan wawancara dengan responden. 2. Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur dan judgement ahli. 3. Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma. Teknik ordinasi (penentuan jarak) di dalam MDS didasarkan pada jarak Euclidian yang dalam ruang berdimensi n dapat ditulis sebagai berikut: d= Konfigurasi atau ordinasi dari suatu objek atau titik di dalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Euclidian (dij) dari titik i ke titik j dengan titik asal (δij) sebagaimana persamaan berikut: dij = α + βδij + ε Metode ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (dijk) terhadap kuadrat titik asal (Oijk), yang dalam tiga dimensi (i,j,k) untuk m atribut, ditulis dalam formula yang disebut S-Stress sebagai berikut:
48
S= Jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot (w), dengan banyaknya responden (r), atau ditulis: d 4. Melakukan ”rotasi” untuk menentukan posisi permukiman pada ordinasi ”bad” dan ”good” dengan Excel dan Visual Basic. Goodnes of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S. Nilai Stress yang rendah menunjukkan good fit dan nilai S yang tinggi menunjukkan bad fit. Di dalam Rapsettlement, model yang baik ditunjukkan jika nilai stress lebih kecil dari 0.25 (S < 0.25). 5. Melakukan
sensitivity
analysis
dan
Monte
Carlo
Analysis
untuk
memperhitungkan aspek ketidak pastian. Proses ordinasi menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapsettlement (Kavanagh, 2001). Perangkat lunak Rapsettlement merupakan pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrim ”buruk” diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim ”baik” diberi nilai skor 100%. Posisi keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada diantara dua titik ekstrim tersebut. Nilai ini merupakan nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman (IKKP) yang dilakukan saat ini. Pada penelitian ini digunakan empat kategori status keberlanjutan berdasarkan skala dasar tersebut seperti yang tertera pada Tabel 9. Tabel 9 Kategori status keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk Nilai indeks
Kategori
0 – < 25 25 – < 50 50 – < 75 75 – 100
Tidak berkelanjutan Kurang berkelanjutan Cukup berkelanjutan Berkelanjutan
Sumber : Kavanagh (1999)
49
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% (buruk) dan 100% (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50% (> 50%), maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable) dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50% (< 50%). Ilustrasi hasil ordinasi nilai indeks keberlanjutan dapat dilihat pada Gambar 8.
Buruk
Baik
0%
50 %
100 %
Gambar 8 Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dalam skala ordinasi. Sumber : Kavanagh (1999)
Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud. Hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti terlihat pada Gambar 9.
EKOLOGI 100 80 60 40 20 0
EKONOMI SOSIAL
Gambar 9 Ilustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten ( Sumber : Kavanagh, 1999)
50
Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan permukiman di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan ”root mean square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas (Alder et al. 2000). Semakin besar nilai perubahan RMS dimensi akibat hilangnya suatu atribut dimensi tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan kawasan permukiman pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di lokasi penelitian. Untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengembangan kawasan permukiman digunakan analisis ”Monte Carlo”. Menurut Kavanagh (2001) dan Fauzi dan Anna (2002) analisis ”Monte Carlo” juga berguna untuk mempelajari: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut; 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda; 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi); 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data); 5. Tingginya nilai ”stress” hasil analisis keberlanjutan, (nilai ”stress” dapat diterima jika < 25%).
3.5 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Berkelanjutan di Cisauk, provinsi Banten
Permukiman
3.5.1 Analisis Kebutuhan. Analisis kebutuhan bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pemangku kepentingan yang terlibat dalam pemanfaatan kawasan permukiman. Berdasarkan kajian pustaka, dapat diidentifikasi bahwa stakeholders yang terlibat dalam pengembangan kawasan permukiman ini adalah birokrat yang mewakili kepentingan pemerintah, pengusaha yang mewakili swasta, masyarakat yang mewakili pihak penerima pelayanan, akademisi dari perguruan tinggi, ahli dan
51
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mewakili kelompok pakar, seperti tertera pada Tabel 10. Formulasi masalah dibuat karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) diantara para stakeholders terhadap ketersediaan suatu sumberdaya dalam mencapai tujuan sistem (Eriyatno, 2003). Beberapa formulasi masalah yang dapat disusun dalam rangka pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan tertera pada Tabel 11. Tabel 10 Tingkat kebutuhan masing-masing pemangku kepentingan No 1. 2. 3. 4.
PEMANGKU KEPENTINGAN Pemerintah Masyarakat Akademisi, ahli dan LSM Swasta
KEBUTUHAN
Tabel 11 Konflik kepentingan antara pemangku kepentingan daerah penelitian Pemangku Kepentingan Pemerintah Masyarakat Akademisi/ Pakar Swasta
Pemerintah
Masyarakat
Akademisi/ Pakar
Swasta
Keterangan x = terjadi konflik kepentingan
3.5.2 Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik adalah metode yang dikembangkan oleh Dr. Thomas Saaty dari Wharton School of Business pada tahun 1970 yang digunakan untuk mengorganisasikan informasi dan judgment dalam memilih alternatif yang paling disukai dalam pengambilan keputusan (Saaty, 1983). Dengan menggunakan AHP, suatu persoalan yang akan dipecahkan disusun dalam suatu kerangka berfikir yang terorganisir, sehingga memungkinkan dapat diekspresikan untuk mengambil keputusan yang efektif atas persoalan tersebut. Persoalan yang kompleks dapat disederhanakan dan dipercepat proses pengambilan keputusannya. AHP pada dasarnya didisain untuk menangkap persepsi orang yang sangat paham betul dengan permasalahan tertentu dan dianggap sebagai model multi objective multi criteria.
52
Hirarki merupakan basis cara berpikir otak manusia dalam menganalisis suatu realita menjadi kluster dan sub-kluster,merupakan salah satu metode klasifikasi dalam mengurutkan entitas, informasi dan pengetahuan. Hirarki adalah suatu tipe khusus dari suatu sistem, yang didasarkan atas asumsi bahwa entitas sistem yang telah diidentifikasi dapat dikelompokkan menjadi himpunan yang terpisah, dimana entitas dari satu kelompok mempengaruhi dan dipengaruhi hanya oleh satu entitas dari kelompok lain. Elemen-elemen pada setiap kelompok hirarki (disebut sebagai Level, Cluster atau Stratum) diasumsikan bersifat independent. Hirarki menggambarkan suatu sistem yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan prioritas pada level yang lebih tinggi mempengaruhi prioritas dari elemen dibawahnya. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik, dan dinamik menjadi bagian-bagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subyektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan tesebut kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut.
Secara
grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat, yang dimulai dengan goal/sasaran, lalu kriteria level pertama, subkriteria dan akhirnya alternatif. AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk (atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria) secara intuitif,
yaitu
dengan
melakukan
perbandingan
berpasangan
(pairwise
comparisons). AHP kemudian menentukan cara yang konsisten untuk mengubah perbandingan berpasangan tersebut menjadi suatu himpunan bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif. AHP memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu
53
diperbaiki, atau hirarki harus distruktur ulang. Beberapa keuntungan yang diperoleh bila memecahkan persoalan dan pengambilan keputusan dengan menggunakan AHP adalah kesatuan, kompleksitas, saling ketergantungan, penyusunan hirarki, pengukuran, konsistensi, sisntesis, tawar-menawar, penilaian dan konsensus. Dalam penyusunan konsep arahan kebijakan pengembangan permukiman yang berkelanjutan di Cisauk Provinsi Banten terdapat 3 faktor yang perlu diperhatikan, yaitu : faktor lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi. Setiap faktor akan mempunyai beberapa faktor yang sama penting, sedikit lebih penting, jelas lebih penting, sangat jelas penting, mutlak lebih penting, dan lainnya dalam perbandingan beberapa parameter yang ada. Skema hirarki untuk analisis pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk, provinsi Banten Tangerang dapat dilihat pada Gambar 10. Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Kec. Cisauk
FOKUS
TUJUAN
FAKTOR
AKTOR
ALTERNATIF
KELESTARIAN LINGKUNGAN
PERLUASAN LAPANGAN PEKERJAAN
LINGKUNGAN
PEMERINTAH
PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH
EKONOMI
SOSIAL
MASYARAKAT
Optimis
PENGEMBANGAN WILAYAH
PENGEMBANG
Moderat
PAKAR/AKADEMISI
Pesimis
Gambar 10 Struktur hirarki pengambilan keputusan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di. Cisauk
54
3.5.3 Analisis Prospektif Untuk merumuskan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan digunakan analisis prospektif. Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan pengetahuan kebutuhan dari para stakeholders yang terlibat dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk. Hasil analisis prospektif adalah faktor-faktor
kunci
yang
harus
diperhatikan
untuk
mencapai
tujuan
pengembangan kawasan yang telah disepakati bersama stakeholders di masa mendatang. Selanjutnya faktor-faktor tersebut digunakan untuk mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan dari pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dan tujuan pengembangan tersebut penting dan sepenuhnya merupakan pendapat dari pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli dalam bidang pengembangan kawasan permukiman yang berkelanjutan. Pendapat tersebut didapatkan dari bantuan kuesioner dan wawancara langsung di wilayah penelitian. Tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah: 1. Menentukan faktor kunci untuk masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi seluruh faktor penting, menganalisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan
menggunakan
matriks,
dan
menggambarkan
pengaruh
dan
ketergantungan dari masing-masing faktor kedalam 4 (empat) kuadran utama (Gambar 11). Hasil analisis berbagai faktor atau variabel di atas menunjukkan bahwa faktor-faktor atau variabel-variabel yang berada pada : a. Kuadran I (INPUT), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kuat dengan tingkat ketergantungan yang kurang kuat. Faktor pada kuadran ini merupakan faktor penentu atau penggerak (driving variables) yang paling kuat dalam sistem. b. Kuadran II (STAKES), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh dan ketergantungan yang kuat (leverage variables). Faktor pada kuadran ini dianggap sebagai peubah yang kuat.
55
c. Kuadran III (OUTPUT), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh kecil, namun ketergantungannya tinggi. d. Kuadran IV (UNUSED), memuat faktor-faktor yang mempunyai pengaruh
Pengaruh
dan ketergantungan rendah.
I
IV
Faktor Penentu INPUT
Faktor Penghubung STAKES
Faktor Bebas UNUSED
Faktor Terkait OUTPUT
II
III
Ketergantungan Gambar 11 Penentuan faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman (Bourgeous, 2004; Hardjomidjojo, 2006).
Selanjutnya pengaruh antar faktor diberikan skor oleh pakar dengan menggunakan pedoman penilaian analisis prospektif seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Pedoman penilaian prospektif pengembangan kawasan permukiman Skor
Keterangan
Skor
Keterangan
0
Tidak berpengaruh
2
Berpengaruh sedang
1
Berpengaruh kecil
3
Berpengaruh sangat kuat
Sumber : Hardjomidjojo (2006)
Pedoman pengisian pengaruh langsung antar faktor berdasarkan pedoman penilaian dalam analisis prospektif adalah 1) apakah faktor tersebut tidak ada pengaruhnya terhadap faktor lain, jika ya, nilainya 0; 2) jika tidak, apakah pengaruhnya sangat kuat, jika ya, nilainya 3; 3) jika tidak, apakah berpengaruh kecil = 1, atau berpengaruh sedang = 2. Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem, yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif dengan menggunakan matriks pengaruh langsung antar faktor dalam pengembangan kawasan permukiman sebagaimana disajikan dalam Tabel 13. Kemungkinan-kemungkinan masa depan yang terbaik dapat ditentukan berdasarkan hasil penentuan elemen kunci masa depan dari beberapa faktor-faktor
atau
elemen-elemen
yang
sangat
berpengaruh
terhadap
56
pengembangan kawasan permukiman yang menuntut untuk segera dilaksanakan tindakan. 2. Menentukan tujuan strategis dan kepentingan stakeholders utama. 3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor, memeriksa perubahan mana yang dapat tejadi bersamaan, dan menggambarkan skenario dengan memasangkan perubahan yang akan terjadi dengan cara mendiskusikan skenario dan implikasinya terhadap sistem. Tabel 13 Pengaruh antar faktor dalam pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan Dari Terhadap A B C D E ……. n
A
B
C
D
E
F
G
Sumber : Bourgeous (2004)
4. Menentukan keadaan (state) suatu faktor. Ketentuan-ketentuan yang harus diikuti pada tahap ini adalah (a) keadaan harus memiliki peluang yang sangat besar untuk terjadi (bukan khayalan) dalam suatu waktu dimasa mendatang, (b) keadaan bukan merupakan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor tetapi merupakan deskripsi tentang situasi dari sebuah faktor, (c) setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas, (d) bila keadaan dalam suatu faktor lebih dari satu maka keadaan-keadaan tersebut harus dibuat secara kontras, dan (e) mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk terjadi atau berjalan bersamaan (mutual compatible). 5. Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor-faktor yang mungkin terjadi adalah (a) skenario yang memiliki peluang besar untuk terjadi di masa depan disusun lebih dahulu, (b) skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor. Oleh sebab itu, sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk
57
setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual compatible, (c) setiap skenario (mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis) diberi nama, dan (d) memilih skenario yang paling mungkin terjadi. 6. Implikasi skenario. Merupakan kegiatan terakhir dalam analisis prospektif yang meliputi (a) skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas kontribusinya terhadap tujuan studi, (b) skenario tesebut didiskusikan implikasinya, dan (c) tahap selanjutnya menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang sudah disusun (Hardjomidjojo, 2004). Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan dari faktor-faktor dominan pada pengelolaan kawasan permukiman seperti tertera pada Tabel 14. Selanjutnya dibangun beberapa alternatif skenario pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan yang mungkin bisa dilaksanakan. Dari wawancara dan diskusi dengan stakeholders, maka terdapat 3 (tiga) skenario yang mungkin terjadi di masa depan yaitu skenario pesimis, moderat, dan optimis. Skenario pesimis dibangun berdasarkan pada rencana tindakan yang normatif. Skenario moderat disusun berdasarkan pada kondisi penggunaan sumberdaya yang optimal yang bisa dilaksanakan oleh stakeholders. Skenario optimis dilaksanakan dengan mengerahkan penggunaan sumberdaya yang ideal. Tabel 14 Keadaan yang mungkin terjadi pada pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk Provinsi Banten Faktor
Keadaan
Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor n
1A
1B
1C
2A
2B
2C
3A
3B
3C
nA
nB
nC
Sumber : Bourgeous (2004)
3.5.4
Penyusunan Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Penyusunan
arahan
kebijakan
pengembangan
permukiman
yang
berkelanjutan di pinggiran kota metropolitan DKI Jakarta dilaksanakan dengan
58
memperhatikan berbagai masukan dari stakeholders, kondisi lapangan dan hasil analisis. Kondisi keberlanjutan saat ini merupakan salah satu pertimbangan yang sangat penting untuk diperhatikan. Hasil analisis prospektif merekomendasikan faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap kondisi masa depan keberlanjutan kawasan permukiman. Sementara hasil analisis dengan metode AHP memberikan masukan pilihan-pilihan yang merupakan prioritas dari stakeholders terkait seperti tujuan, faktor, aktor, dan alternatif skenario. Penyusunan arahan kebijakan juga memperhatikan skenario kebijakan terpilih yang diformulasikan berdasarkan faktor-faktor
yang
paling
berpengaruh
terhadap
kebelanjutan
kawasan
permukiman. Secara diagramatis bagan alir metodologi penelitian seperti tertera pada Gambar 12. Identifikasi Pola Dinamika dan Sistem Metropolitan
Tahap I
Analisis Situasional
Kondisi dan Potensi kawasan Permukiman di Cisauk
Tahap II
Analisis Deskriptif Identifikasi Indikator Keberlanjutan
Kondisi Keberlanjutan
Identifikasi Kebutuhan Stakeholders
MDS
Analisis Prospektif
Faktor pengungkit
Faktor kunci
Analisis Prospektif
Tahap III
Analisis Prospektif
Skenario Pengembangan
Tahap IV AHP
Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan
Gambar 12 Metodologi Penelitian Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk
IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Kabupaten Tangerang Kabupaten Tangerang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Banten dengan ibukotanya adalah Tigaraksa. Kabupaten ini terletak tepat di sebelah barat Jakarta, berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Provinsi DKI Jakarta di timur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di selatan, serta kabupaten Serang di timur (Gambar 13). Cisauk
Kabupaten Tangerang
Selat Sunda
Provinsi Banten
Kota Tangsel
Provinsi Jabar
Gambar 13 Letak Kabupaten Tangerang dan Kota Tangsel Kabupaten Tangerang memiliki topografi yang relatif datar, terdiri dari 2 bagian, yaitu: dataran rendah di bagian utara dengan ketinggian berkisar antara 0 – 25 meter di atas permukaan laut, yaitu kecamatan Teluk Naga, Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pasarkemis, dan Sepatan dan Dataran Tinggi dari bagian tengah ke arah selatan dengan ketinggian lebih dari 25 meter di atas permukaan laut. Kemiringan lereng rata-rata 3 – 8 % menurun ke utara. Ketinggian wilayah berkisar antara 24 – 62 m di atas permukaan laut. Wilayah bagian utara merupakan daerah pesisir pantai sepanjang kurang lebih 50 km. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tangerang merupakan dataran rendah. Sungai Cisadane, sungai terpanjang di Tangerang, mengalir dari selatan dan bermuara di Laut Jawa.
60
Kabupaten Tangerang merupakan wilayah perkembangan Jakarta. Secara umum, Kabupaten Tangerang dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah pertumbuhan, yakni: 1. Pusat Pertumbuhan Wilayah Serpong, berada di bagian timur (berbatasan dengan Jakarta), difokuskan sebagai wilayah permukiman dan komersial. 2. Pusat Pertumbuhan Balaraja dan Tigaraksa, berada di bagian barat, difokuskan sebagai daerah sentra industri, permukiman, dan pusat pemerintahan. 3. Pusat Pertumbuhan Teluk Naga, berada di wilayah pesisir, untuk industri pariwisata alam dan bahari, industri maritim, perikanan, pertambakan, dan pelabuhan. Sebagian penduduk Kabupaten Tangerang kebanyakan mereka bekerja di Jakarta. Beberapa perumahan memiliki fasilitas yang lengkap, sehingga menjadi kota mandiri; diantaranya adalah: Bumi Serpong Damai, dan Lippo Karawaci. Wilayah terbangun di Kabupaten Tangerang, sebagian besar terdapat di wilayah Selatan, terutama di bagian timur yang berbatasan dengan kota Tangerang dan DKI Jakarta. Wilayah di utara merupakan wilayah pesisir pantai yang masih berupa lahan hijau (sawah). Selain itu, juga terdapat beberapa daerah pengembangan kota, yaitu kawasan Pusat Pemerintahan Tigaraksa dan Kawasan Kota Baru Bumi Serpong Damai di bagian selatan Kabupaten Tangerang.
4.2 Kondisi Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan adalah salah satu kota dari 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten. Kota Tangerang Selatan merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, diresmikan sebagai daerah otonom pada tanggal 28 Oktober 2008 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah strategis karena berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, berjarak + 20 kilometer ke ibukota negara dan + 20 menit dari Bandara Internasional Soekarno Hatta. Batas-batas administrasi KotaTangerang Selatan menurut Undang-Undang 51 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pinang, Kecamatan Larangan, Kecamatan Ciledug Kota Tangerang. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan sebelah barat berbatasan
61
dengan Kecamatan Cisauk, Kecamatan Pagedangan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Secara administratif Kota Tangerang Selatan terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan, yaitu (1) Serpong dengan luas 2,404 ha, (2) Serpong Utara dengan luas 1,784 ha, (3) Ciputat dengan luas 1,838 ha, (4) Ciputat Timur dengan luas 1,543 ha, (5) Pondok Aren dengan luas 2,988 ha, (6) Pamulang dengan luas 2,682 ha, (7) Setu dengan luas 1,480 ha dan total luas Kota Tangerang Selatan adalah 14,719 ha. Penduduk kota Tangerang Selatan, provinsi Banten pada tahun 2010 sebanyak 1,290,322 jiwa. Secara umum Kota Tangerang Selatan merupakan dataran rendah dengan letak ketinggian dari permukaan laut +44 m. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah beriklim tropis, temperatur ratarata berkisar antara 23.5 – 32.6 °C dan temperatur minimum terendah yaitu 22.8°C. Rata-rata kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 78.3% dan 59.3%. Keadaan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 486 mm, sedangkan rata-rata curah hujan dalam setahun adalah 177.3 mm. Rata-rata kecepatan angin dalam setahun adalah 3.8m/detik dan kecepatan maksimum 12.6 m/detik. Penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan sebagian besar adalah untuk perumahan dan permukiman yaitu seluas 9,941.41 ha atau 67.54% dari 14,719 ha. Sawah ladang dan kebun menempati posisi kedua terluas dengan 2,794.41 ha atau18.99 %. Penggunaan lahan paling kecil adalah untuk pasir dan galian yaitu seluas 15.27 ha atau 0.1%. Jenis komoditas pertanian yang diproduksi antara lain padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang panjang, cabe rawit, bayam, terung, kangkung, petsai/sawi, dan cabe besar. Bebagai jenis ternak terdapat di Kota Tangerang Selatan. Untuk ternak besar terdiri dari sapi potong, kerbau dan kuda dengan dominasi sapi potong sebanyak 5,073 ekor. Untuk ternak kecil terdiri dari domba, babi, dan kambing dengan dominasi populasi terbesar adalah kambing sebanyak 14,279 ekor. Unggas yang paling besar populasinya adalah ayam ras petelur sebanyak 1,244,888 ekor.
4.3 Kondisi Lokasi Kecamatan Cisauk 4.3.1
Umum Luas wilayah kecamatan Cisauk yaitu 2,831.5 ha, terdiri dari 6 (enam) desa,
sementara luas wilayah kecamatan Setu adalah 1,480 ha dan luas masing-masing
62
desa tertera pada Tabel 15 dan Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu dan sekitarnya tertera pada Gambar 14 dan 15. Tabel 15 Luas Wilayah di kecamatan Cisauk dan Setu Kec. Cisauk, Kab. Tangerang No Nama Desa Luas (ha) 1.
Cisauk
2. 3. 4. 5. 6.
Sampora Cibogo Suradita Mekarwangi Dangdang Jumlah
No
Kec.Setu, Kota Tangsel Nama Desa Luas (ha)
484.7
1.
Muncul
325.0 411.0 664.3 434.5 512.0 2,831.5
2. 3. 4. 5. 6.
Setu Bakti Jaya Keranggan Kademangan Babakan Jumlah
372.0 204.4 226.0 217.0 322.4 138.2 1,480.0
(Sumber : Laporan Bulanan kec. Cisauk, Mei 2009 dan kec. Setu, Des 2010)
Batas-batas wilayah Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu: - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Pagedangan dan Serpong - Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Serpong - Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pagedangan dan Legok - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor Berdasarkan data Laporan Bulanan kecamatan Cisauk bulan Mei 2009 dan Kecamatan Setu bulan Desember 2010 mempunyai: - Jumlah desa = 12 Desa - Jumlah RW/RT= 93 / 491 - Jumlah penduduk= 105,307 jiwa Jumlah rumah yang terdapat di kawasan permukiman di Cisauk pada tahun 2009 adalah sebanyak 23,9495 unit yang dapat dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan kondisi rumahnya yaitu rumah permanen sebanyak 14,665 unit atau 61.23 %, semi permanen sebanyak 7,553 unit atau 21.54 %, dan temporer sebanyak 1,731 unit atau 7.23%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17. Jumlah rumah terbanyak adalah desa Kademangan yaitu sebanyak 6,136 unit dan yang paling sedikit adalah desa Sampora yaitu sebanyak 717 unit.
63
Kec. Setu
Kec. Cisauk
Gambar 14 Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, provinsi Banten 63
64
Cisauk Setu
Gambar 15 Kawasan Permukiman di Cisauk dan sekitarnya Tabel 16 Jumlah Penduduk Kec. Cisauk dan Kec. Setu Tahun 2009 Kec.
Cisauk
Setu
Luas Wilayah (ha)
Jumlah Pendudk (jiwa)
434.05
5,358
Dandang
512
3
Suradita
4
Cibogo
5 6
Perempuan
Jumlah KK
Kepadatan
2,716
2,642
1,223
12.34
4,892
2,406
2,486
1,067
9.55
664
12,632
6,594
6,038
2,171
19.02
411
9,270
4,447
4,823
1,744
22.55
Cisauk Sampora
484.7 325.0
10,305 4,158
5,097 2,223
5,208 1,935
2,127 1,066
21.26 12.79
7
Muncul
372.0
7,987
4,108
3,879
2,143
21.47
8
Setu
264.2
9,197
4,583
4,614
2,263
34.81
BSD
9
Bakti Jaya
226.0
15,200
7,900
7,300
3,800
67.25
BSD
10
Keranggan
217.0
5,313
2,610
2,703
1,224
24.48
11
Kademangan
322.4
12,742
6,420
6,261
3,321
39.52
12
Babakan
138.2
8,253
4,140
4,113
1,423
59.71
4370.55
105,307
53,244
52,002
23,572
28.73
No
Desa
1
Mekarwangi
2
Jumlah
Lakilaki
(Keterangan : Monogram Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2009), BSD artinya masuk wilayah pengembangan BSD.
Ket
BSD
BSD
65
Kondisi sosial masyarakat di Cisauk sepertinya mewakili potret umum kawasan di Tangerang yang terdesak oleh industri dan pertumbuhan yang cepat. Masyarakat, secara umum, tidak siap menghadapi perubahan. Mereka yang dulunya hidup dari bertani, tidak lagi memiliki tanah. Anak-anak muda nyaris tanpa ketrampilan yang memadai, tergiring ke pabrik-pabrik yang tersebar di Kabupaten Tangerang. Di kanan kiri, terbentang komplek perumahan,bahkan sebuah komplek perumahan terhampar 'memotong’' desa. Misalnya, jarak dengan tetangga atau saudara yang awalnya dekat, tidak lagi bisa ditempuh dalam waktu singkat karena umumnya perumahan dikelilingi pagar. Jalan harus berputar jauh, butuh waktu dan ongkos. Perubahan-perubahan ini, membawa dampak yang tidak sederhana terhadap kultur dan psikologi masyarakat. Tabel 17 Jumlah dan kondisi rumah di Kec. Cisauk dan Kec. Setu Tahun 2009 Kec
No.
Desa
Temporer
Mekarwangi Dangdang Suradita Cisauk Cibogo Cisauk Sampora Jumlah 1 Kranggan 2 Muncul 3 Setu 4 Babakan Setu 5 BaktiJaya . 6 Kademangan Jumlah Jumlah Keseluruhan Persentase (%)
500 97 490 312 210 17 1,626 26 20 17 25 10 7 105 1.731 7,23
1 2 3 4 5 6
Semi Permanen 200 485 1,500 420 258 25 2,888 150 60 950 1,400 95 2,010 4,665 7.553 21,54
Permanen 180 346 700 155 1,755 675 3,811 961 1,020 932 810 3,012 4,119 10,854 14.665 61,23
Jumlah 880 928 2,690 887 2,223 717 8,325 1,137 1,100 1,899 2,235 3,117 6,136 15624 23.949 100,00
(Sumber: Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu, tahun 2009)
Dalam skala regional kawasan permukiman di Cisauk memiliki potensi yang dapat mempengaruhi perkembangan kota yaitu: 1. Kecamatan Cisauk memiliki akses yang tinggi ke beberapa simpul pelayanan utama, yaitu ke Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor. Hal tersebut terlihat dengan adanya jaringan jalan Kabupaten, akses ke jalan tol Serpong yang menghubungkan Serpong dengan Jakarta (Bintaro).
66
2. Kecamatan Cisauk merupakan hinterland (daerah belakang) bagi pengembangan Serpong, sehingga segala perkembangan yang terjadi di Serpong akan berpengaruh pada perkembangan di kecamatan Cisauk. 3. Berdasarkan RTRW Kabupaten Tangerang tahun 2006, kecamatan Cisauk berfungsi sebagai kegiatan permukiman dan perkotaan. 4. Adanya Puspiptek sebagai pusat pengembangan teknologi. 5. Adanya sarana pendidikan tinggi (ITI), sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. 6. Adanya kawasan industri Tekno Park yang dapat menyerap tenaga kerja. Disamping itu dalam skala regional kawasan permukiman di Cisauk memiliki permasalahan diantaranya adalah: 1. Adanya akses yang tinggi ke beberapa simpul pelayanan utama, yaitu ke Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor, dapat mendorong percepatan pembangunan dan perkembangan kota yang tidak terkendali. 2. Terjadi arus commuter yang tinggi dimana hal ini
dapat menimbulkan
kemacetan lalu lintas. 4.3.2 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk pada tahun 2009 terdiri dari penggunaan lahan terbangun sebesar ± 2,045.92 ha atau 47.74% dan tidak terbangun ± 2,239.93 ha atau 52.26%. Penggunaan lahan untuk permukiman sebesar ± 1,978.50 ha atau 46.16 %, pertanian lahan basah sebesar ± 931.12 ha atau 21.73% dan lahan kering ± 668,00 ha atau 15,59%. Masih tersedianya lahan bagi pengembangan kegiatan perkotaan yang cukup apabila hal ini dilihat dari masih luasnya lahan yang belum terbangun. Permasalahan dan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Cisauk saat ini antara lain pola penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk belum terkendali dan belum terstruktur dengan baik. Permasalahan lain adalah belum adanya kejelasan beberapa fungsi ruang kawasan seperti antara fungsi kawasan lindung (konservasi) dan kawasan budidaya. Penyebaran permukiman penduduk yang tidak teratur cukup menyulitkan pelayanan sarana dan prasarana lingkungannya. Penggunaan lahan di Cisauk secara lebih terinci seperti tertera pada Tabel 18.
67
Tabel 18 Penggunaan Lahan di Cisauk No
Penggunaan Lahan
I Lahan Terbangun 1. Pemukiman & Pekarangan 2. Bangunan Pemerintah, Sekolah. 3. Perdagangan 4. Industri Subtotal II Lahan tidak terbangun 1. Sarana olah raga 2. Pertanianlahanbasah 3. Pertanian lahan kering/ladang/tegalan 4. Perkebunan 5. Empang/kolam 6 Danau/rawa 7 Pekuburan 8. Lain-lain Sub total Jumlah Keseluruhan
Luas (ha)
Prosentase (%)
1,978.50 21.32 36.10 10.00 2,04.,92
46.16 0.50 0.84 0.23 47.74
26.00 931.12 668.00 342.86 63.79 55.70 31.00 121.46 2,239.93
0.61 21.73 15.59 8.00 1.49 1.30 0.72 2.83 52.26
4,285.85
100.00
Sumber: Laporan Bulanan Umum, Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2009
4.3.3 Potensi dan Permasalahan Fisik Potensi fisik dasar yang dimiliki oleh kawasan permukiman di Cisauk antara lain luas wilayah kawasan permukiman di Cisauk ± 4,285.85 ha yang terletak di ketinggian 24 - 62 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang relatif datar dan
kemiringan 3 - 8%, memiliki kesesuaian lahan untuk kegiatan perkotaan.
Potensi air tanah rata-rata 5.70 liter/detik/km2 (0.057 liter/detik/ha) dengan kedalaman air tanah antara 1-150 meter. Potensi air permukaan yang tersedia: Sungai Cisadane, Sungai Angke, Sungai Jaletreng dan Sungai Cimanceuri dengan debit air total sebesar 6,130 liter/detik. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Jl. Raya Puspiptek, Desa Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan cukup mengganggu lingkungan karena lokasinya di tanah milik pribadi dan beroperasi tanpa izin dan setiap hari bau tak sedap menyengat akibat kegiatan tersebut. Tempat pembuangan sampah yang dioperasikan secara liar berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan membahayakan masyarakat di sekitarnya karena tidak dikelola sesuai kaidah-kaidah teknis maupun manajemen pengelolaan sampah.
68 68
Gambar 16 Peta penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2010
69
Permasalahan fisik dasar yang dimiliki oleh kawasan permukiman Cisauk diantaranya wilayah kawasan permukiman di Cisauk yang terbagi dua oleh Sungai Cisadane mengakibatkan perkembangan yang terjadi antara daerah barat sungai dengan daerah sebelah timur tidak seimbang dengan kata lain daerah timur sungai sudah lebih berkembang. Di kecamatan Cisauk saat ini masih terdapat lahan-lahan kosong yang menjadi tempat penambangan pasir dan batu. Hal ini mengakibatkan terbentuknya lubang-lubang bekas galian yang menjadi danau/situ yang dalam, sehingga sulit untuk diurug kembali. Akibat adanya galian pasir dan batu di kecamatan Cisauk, maka setiap hari truk-truk pengangkut pasir dan batu dengan beban melebihi perencanaan selalu mondar mandir melalui jalan raya yang berdampak pada kerusakan jalan sebelum waktunya. Saluran drainase primer kawasan permukiman di Cisauk berupa sungai yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Jaletreng yang melintasi kawasan permukiman di Cisauk, serta Sungai Cimanceuri dan Sungai Angke di perbatasan sebelah Barat dan Timur kawasan permukiman di Cisauk. Saluran drainase sekundernya adalah kalikali kecil dan saluran irigasi yang terdapat di areal persawahan. Saluran drainase tersiernya adalah berupa saluran buatan di pinggir-pinggir jalan. Jaringan drainase kawasan permukiman di Cisauk, secara umum masih menggunakan saluran drainase alami atau saluran irigasi. Sistem drainase buatan terdiri dan selokan-selokan yang terdapat disisi jalan dan saluran irigasi. Saluran alamiah memanfaatkan aliran sungai-sungai yang ada. Sebagian besar masih bersifat alamiah (konstruksi dari tanah) dan hanya sebagian kecil yang sudah permanen. Saluran drainase yang sudah cukup baik dan permanen terdapat di beberapa ruas jalan yang terdapat di bagian timur kawasan permukiman di Cisauk, sedangkan saluran drainase di luar ruas jalan tersebut pada umumnya bersifat alamiah dan tidak berfungsi dengan baik sehingga apabila terjadi turun hujan tidak dapat menampung limpasan air hujan tersebut, dan sebagai akibatnya akan menimbulkan genangan air. Penyaluran air dari drainasedrainase tersebut tersebar ke persawahan, danau bekas galian pasir, dan sungai. Untuk pembuangan air kotor, pada umumnya penduduk masih banyak menggunakan saluran terbuka dimana air kotor buangan rumah tangga dibuang ke saluran drainase dan saluran irigasi. Namun untuk sebagian penduduk lainnya, pembuangan air limbah sudah dilakukan dengan baik, dimana pembuangan air kotor dilakukan ke septick tank atau saluran tertutup.
70
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih kawasan permukiman di Cisauk, sumber air baku yang dimanfaatkan adalah air tanah dangkal dengan kedalaman 715 m. Fluktuasi muka air tanah sangat tergantung oleh musim. Sumber air tanah dangkal hanya dipergunakan sebagai sumber penunjang dan untuk kebutuhan jangka pendek. PDAM Kabupaten Tangerang mengambil air baku sungai Cisadane di wilayah Cisauk yang diolah menjadi air bersih tetapi pelayanannya masih terbatas. Sistem transportasi di kawasan permukiman di Cisauk terdiri dari pola jaringan jalan, sarana terminal dan stasiun kereta api, dan moda angkutan kota. Jaringan jalan tersebut menghubungkan desa dengan desa yang ada kawasan permukiman di Cisauk, kawasan permukiman di Cisauk dengan kecamatan lain yang ada di kabupaten Tangerang dan kota Tangsel, dan menghubungkan kawasan permukiman di Cisauk dengan Kabupaten Bogor yang ada di Propinsi Jawa Barat. Kawasan permukiman di Cisauk terdapat sarana perhubungan lain, yaitu sebuah stasiun kereta api yang melayani jalur kereta Bogor — Serpong atau Serpong — Jakarta. Sampai saat ini masalah transportasi yang ada di kawasan permukiman di Cisauk adalah sebagai berikut: 1.
Belum adanya terminal untuk kegiatan angkutan umum, baik untuk melayani dalam kawasan permukiman maupun untuk angkutan yang melayani dari kawasan permukiman Cisauk ke luar wilayah kawasan.
2.
Belum dilalui sarana angkutan umum yang melewati kawasan permukiman di Cisauk sebelah barat.
3.
Masih banyaknya jalan yang perlu peningkatan, yaitu jalan perkerasan ± 30 km, dan jalan tanah ± 75 km.
4.3.4
Ekosistem Sub DAS Cisadane Kawasan Sub DAS Cisadane dengan beberapa anak sungainya merupakan
kawasan dengan fungsi utama untuk konservasi air dan tanah. Dengan daerah tangkapan seluas 1,500 km2, Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik. Berdasarkan pemantauan di stasiun Pengamat Serpong, aliran sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2.93 m³/detik di
71 tahun 2001 dan tertinggi 973.35 m3/detik pada tahun 2007. Sub DAS Cisadane dengan luas 140,046 ha wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%, sedangkan bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten berada di bagian tengah sub DAS Cisadane yang subur namun kondisi teknisnya kurang bagus karena aktivitas domestik dan industri. Sub DAS Cisadane yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan luasnya 140,046 ha merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek sebagaimana terlihat pada Gambar 17. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke laut Jawa. Panjang sungai ini kurang lebih 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Bagian tengah sampai bagian hilir merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi antara lain Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7% dari total luas DAS ini adalah merupakan lahan terbangun dan seluas ± 15.45% merupakan daerah pemukiman. Kecenderungan yang terjadi sejalan dengan pertambahan penduduk yang terus terjadi adalah lahan terbangun terus meningkat sedangkan lahan pertanian dan lahan konservasi cenderung menurun. Gambar 18 memperlihatkan aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane bagian tengah. Distribusi aliran permukaan terbesar berasal dari Rumpin sebesar 100 m3/ detik dan aliraqn distribusi terkecil berasal dari Parung Panjang sekitar 1.5 m3/ detik. Aliran distribusi dari Kecamatan Cisauk sebesar lebih dari 40 m3/ detik dan Kecamatan Serpong sekitar 5 m3/ detik.
72
Cisauk
DAS Cisadane
Gambar 17 Peta Sub DAS Cisadane
Gambar 18 Distribusi aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane tengah (Sumber : BPDAS Citarum-Ciliwung- Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabekjur, 2009)
4.4 Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan permukiman telah menjadi dasar dalam pengembangan kawasan permukiman di
73
Cisauk, provinsi Banten. UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman mengatur bagaimana mengadakan rumah dan meningkatkan kualitas permukiman. Pengembangan permukiman akan dilakukan melalui pengelolaan tanah untuk permukiman skala besar yang dikenal dengan nama Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan dengan memepertimbangkan rencana tata ruang (Anonim, 1992). Menurut UU ini permukiman ditempatkan dalam kerangka pikir tata ruang yang mencakup metropolitan, kota dan desa. Sebagai tindak lanjut dari UU tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.80/1999 tentang Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri. Secara implisit UU dan PP tersebut bertujuan untuk mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman yang terkotak-kotak dan terfragmentasikan dalam kelompok kecil (kurang dari 1000 unit) sehingga menimbulkan ketidakefisienan. Berubahnya lingkungan strategis yang ditandai dengan berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan seperti otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan keterbukaan, maka UU No.4 Tahun 1992 dirasakan kurang sesuai sehingga terbit UU Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011 yang sasarannya antara lain memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya alam bagi pembangunan perumahan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau (Anonim, 2011). Persoalan yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai tempat berlangsungnya interaksi sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistemnya, seperti sumberdaya alam dan sumberdaya buatan berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. UU Penataan Ruang no.26/ Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa pengembangan kawasan permukiman harus dimulai dengan penyusunan rencana tata ruang yang dilanjutkan
74
dengan perumusan kebijakan strategis tata ruang, program sektoral, dan pelaksanaan pembangunan secara terpadu (Anonim, 2007). Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, serta yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah. UU No.32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (Anonim, 2004). Dampak dari pelaksanaan UU ini adalah perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan permukiman disesuaikan dengan prioritas dan kepentingan masing-masing pemerintah daerah. tuntutan otonomisasi mengehendaki penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumberdaya dan teknologi yang kurang terkendali. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat tentang Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) merupakan kebijakan Pemerintah Daerah mengenai penanganan perumahan dan permukiman yang merupakan turunan dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Sebagai wilayah kabupaten yang termasuk salah satu penyangga ibukota Jakarta, permasalahan perumahan dan permukiman di Kabupaten Tangerang merupakan masalah yang cukup mendesak. Sebagian warga Jakarta yang tergusur mencari lahan tempat tinggal di Kabupaten Tangerang, sehingga keterjangkauan adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.04/KPTS/BKP4N/1995 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang antara lain untuk (1) mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur, (2) mewujudkan
75
kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang terdiri dari rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana, (3) mewujudkan kesetiakawanan sosial, kekeluargaan dan kebersamaan, dan (4) menjamin tercapainya target pembangunan perumahan dan permukiman terutama rumah sederhana. UU RI No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan perhatian khusus terhadap peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Lingkungan diartikan sebagai satuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya. Intinya, lingkungan adalah suatu satuan ruang dengan berbagai unsur dan proses yang terjadi didalamnya. Pengelolaan lingkungan hidup, menurut undangundang ini merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi perumusan kebijakan, penataan, pemanfaatan, pengembangan pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Anonim, 1997). Dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dikenal istilah AMDAL dan ANDAL. AMDAL adalah keseluruhan tata cara untuk menghasilkan sarana pengendalian dampak oleh adanya suatu kegiatan sedangkan ANDAL adalah suatu kegiatan pengkajian untuk menghasilkan suatu informasi bagi pengambilan keputusan suatu proyek. Dengan demikian ANDAL merupakan bagian dari AMDAL.Tahapan yang perlu dilakukan untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan adalah : − Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) adalah suatu studi yang hasilnya digunakan untuk memutuskan perlu tidaknya suatu proyek disertai ANDAL. − Kerangka Acuan ANDAL (KAA) merupakan penuangan hasil PIL kedalam petunjuk pelaksanaan ANDAL. − Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yaitu studi tentang dampak lingkungan oleh kegiatan yang direncanakan yang hasilnya digunakan untuk memutuskan dapat tidaknya kegiatan yang direncanakan dilanjutkan dan syarat yang harus dipenuhi bila kegiatan tersebut dilanjutkan. − Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan petunjuk tentang bagaimana mencegah atau mengatasi dampak-dampak yang tidak diinginkan.
76 − Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) merupakan petunjuk untuk mengikuti dan mengamati segala perubahan lingkungan setelah kegiatan dilaksanakan. Beberapa lahan penambangan bahan galian golongan C seperti penambangan pasirterdapatdi kecamatan Cisauk. Bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang dikategorikan sebagai bahan galian non strategis. Bahan galian golongan C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Jenis bahan galian industri antara lain asbes, batu gamping, feldspar, pasir kwarsa, lempung, trass, oker, batu tulis/slate, dan zeolit. Bahan galian bangunan meliputi andesit, diorit, pasir dan batu, serta marmer. Kesuburan tanah pada lokasi bekas tambang sangat rendah karena rendahnya kandungan bahan organik dan nitrogen di dalamnya. Dengan kondisi tanah seperti ini akan terus mengalami degradasi apabila tidak dikelola secara benar dengan segera. Luas areal pertambangan semakin lama semakin bertambah. Pada umumnya pengusaha memperluas kawasan yang ditambangnya dengan cara membeli lahan pertanian penduduk setempat. Berhubung keadaan lahan yang kritis, tidak produktif, dan hanya cocok ditanami dengan tanaman tahunan yang produksinya juga tidak memadai, maka sangat wajar jika masyarakat terdorong untuk menjual tanahnya. Masyarakat yang telah kehilangan lahan pertaniannya pada umumnya bekerja sebagai pekerja tambang atau merantau ke luar daerah. Status tanah yang diusahakan untuk pertambangan kemudian menjadi tanah milik pengusaha tambang. Karena status tanah bekas tambang yang telah beralih menjadi tanah milik tersebut maka akan sangat sulit untuk memaksa pengusaha melakukan reklamasi pada lahan bekas tambangnya. Setelah tanah mencapai lapisan terakhir yang berbatu dan mengeluarkan air, penambangan dihentikan dan beralih ke daerah lain. Lahan bekas tambang umumnya dibiarkan dan tidak dilakukan perlakuan apapun untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Pengaturan landasan hukum bagi perangkat pemerintah untuk melakukan pengendalian dan penertiban kegiatan penambangan bahan galian golongan C dilakukan dengan Peraturan Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Undang– Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan
sumberdaya
air
secara
terpadu
(integrated
water
resources
management/ IWRM). Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air,
77
termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: (1) memberikan manfaat kepada publik secara efektif dan efisien, (2) mempertemukan keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, (3) keberlanjutan, keadilan, dan otonomi, serta (4) transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air (Anonim, 2004). Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002 – 2011, Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial. Kecamatan Cisauk dengan luas 4,285.85 ha dibagi atas 3 Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu: a.
BWK A: meliputi Desa Sampora, sebagian Desa Cisauk, Desa Cibogo, dan Desa Suradita, luas BWK A sebesar 1,470.35 ha, dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kawasan perdagangan regional (CBD), dan pengembangan permukian dan industri terbatas (non polutan) serta areal cadangan kota, dengan pusat BWK di Desa Sampora.
b.
BWK B: meliputi Desa Setu, Kademangan, Muncul, Kranggan, Babakan dan Desa Baktijaya, dengan luas 1,510.91 ha. BWK B memiliki fungsi sebagai kawasan perdagangan, perindustrian, pendidikan tinggi, puspitek dan pengembangan perumahan dengan pusat BWK di Desa Setu
c.
BWK C meliputi Desa Cisauk, Dangdang, dan Desa Mekarwangi dengan luas 1,304.59 ha. BWK C memiliki fungsi sebagai areal cadangan pengembangan kota dan permukiman dengan kepadatan rendah, dengan pusat BWK di Desa Cisauk
78
Sebagaimana hirarkinya yang termasuk pusat pertumbuhan Orde I, Kecamatan Cisauk memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut: (1) pusat administrasi pemerintahan, (2) pusat pelayanan sosial, (3) pusat pelayanan kegiatan ekonomi skala lokal, (4) merupakan hinterland bagi Kota Serpong.
V HASIL DAN PEMBAHASAN Kegiatan analisis dilaksanakan sesuai dengan metodologi penelitian, dilakukan dalam 4 tahap sesuai dengan tujuan penelitian. Tahap pertama menguraikan hasil identifikasi dinamika kawasan permukiman dan sistem metropolitan DKI Jakarta. Tahap kedua menjabarkan kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dengan metode MDS-Rapsettlement. Tahap ketiga menjelaskan hasil analisis berupa faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman. Pada tahap keempat menguraikan pemilihan skenario dan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman.
5.1 Dinamika Perkembangan Kawasan Permukiman dalam Sistem Metropolitan DKI Jakarta dan DAS Cisadane Dalam Bab Pendahuluan telah disebutkan bahwa banyak penduduk yang semula bermukim di kota-kota besar kemudian pindah ke kawasan di pinggiran kota karena kelangkaan lahan, urbanisasi, peningkatan biaya akomodasi, investasi ekonomi dan tawaran permukiman baru yang terintegrasi dengan infrastruktur dan lapangan pekerjaan alternatif di luar kota inti. Misalnya, dalam kurun 1995-2000 diperkirakan setengah juta penduduk yang semula tinggal di DKI Jakarta pindah ke daerah-daerah penyangga seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang. Pembangunan prasarana wilayah khususnya transportasi seperti jalan tol akan mempercepat pengembangan daerah-daerah di pinggiran Jakarta. Dalam hal ini di kawasan kabupaten Tangerang bagian selatan berkembang pesat setelah dibangunnya jalan tol Jakarta-Serpong pada tahun 1990-1995. Pertambahan penduduk di daerah penyangga tersebut akan meningkatkan pengembangan kawasan permukiman. Sebagai contoh, pengembangan kawasan permukiman skala besar yang dikenal sebagai kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD) di kecamatan Serpong berkembang pesat sejak dibangun pada tahun 1989. Perkembangan di BSD ini berdampak pada pengembangan kawasan permukiman di kota-kota kecil di sekitarnya seperti kawasan permukiman di Cisauk. Jadi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta. Perkembangan kawasan metropolitan DKI Jakarta dapat dijabarkan dalam dinamika dan sistem metropolitan yang antara lain berupa
80
perkembangan penduduk, hirarki sistem perkotaan, dan peta pemangku kepentingan pengembangan kawasan. Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum tahun 2006 dalam laporan perihal Metropolitan di Indonesia Bab V halaman 131 dengan referensi Mamas-Komalasari membagi kawasan metropolitan DKI Jakarta dalam 3 wilayah yaitu Core untuk DKI Jakarta yang meliputi 5 wilayah (Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur), outer zone yang meliputi wilayah Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Bekasi, dan inner zone yang mencakup Kota Tangerang, Kota Bogor, Kota Depok, dan Kota Bekasi (Ditjen. Penataan Ruang, Dep. PU, 2006). Perkembangan perumahan di metropolitan DKI Jakarta dari tahun 2000 sampai tahun 2010, dengan data-data dari Sensus Penduduk tahun 2000 dan 2010 dan SUPAS (Survei Penduduk Antar Sensus) tahun 2005, menunjukkan kecenderungan yang meningkat secara bervariasi seperti tertera pada Tabel 19. Secara wilayah terjadi perkembangan perumahan dari tahun 2000 ke tahun 2005 yang relatif kecil dan terjadi perkembangan perumahan yang cukup besar dari tahun 2005 ke 2010. Tabel 19 Perkembangan Perumahan di Metropolitan DKI Jakarta Kawasan
Th 2000 (Unit)
Th 2005 (Unit)
% perbedaan
Th 2010 (Unit)
% perbedaan
JABODETABEK
5,458,428
5,844,013
7.06
6,648,576
13.77
Core Jakarta Pusat
2,116,199 204,786
2,206,582 226,062
4.27 10.39
2,503,476 234,979
13.45 3.94
Jakarta Timur
588,762
610,438
3.68
690,598
13.13
Jakarta Selatan
450,386
497,658
10.50
532,886
7.08
Jakarta Barat
494,234
516,568
4.52
608,342
17.77
Jakarta Utara Outer zone
378,031
355,856
-5.87
436,671
22.71
Kab. Bogor
2,111,981 838,854
2,215,584 913,648
4.91 8.92
2,532,670 955,694
14.31 4.60
Kab. Bekasi
531,416
508,400
-4.33
566,469
11.42
Kab. Tangerang
741,711
793,536
6.99
1,010,507
27.34
1,230,248
1,421,847
15.57
1,612,430
13.40
Kota Bogor
170,748
221,720
29.85
233,975
5.53
Kota Bekasi
439,540
485,776
10.52
599,029
23.31
Kota Tangerang
339,542
367,055
8.10
475,277
29.48
Kota Depok
280,418
347,296
23.85
304,149
-12.42
Inner zone
Sumber : Sensus Penduduk 2000, 2010, SUPAS 2005
81
5.1.1
Perkembangan Penduduk Metropolitan DKI Jakarta Perkembangan
jumlah
penduduk
masih
dapat
digunakan
untuk
mengindikasikan perkembangan kawasan permukiman (Kuswartojo et al., 2005). Sensus dan Survei penduduk oleh BPS menggambarkan perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta dari tahun 1990 s/d 2010 dimana jumlah penduduk DKI Jakarta sempat menurun sementara jumlah penduduk daerah penyangga seperti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi cenderung naik secara signifikan seperti terlihat pada Tabel 20. Kepadatan penduduk secara umum cenderung meningkat baik untuk Jabodetabek, Inner Zone maupun Outer Zone. Tabel 20 Perkembangan Jumlah Penduduk Metropolitan DKI Jakarta Kawasan
Jumlah Penduduk (juta jiwa)
Luas (Km2)
1990
4,129.2
17.09 20.15 22.08 23.55 27.89
1995
2000
2005
2010
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2) 1990
1995
2000
2005
2010
4,139
4,880
5,347
5,703
6,754
Core
662.0
8.22
9.11
8.34
8.80
9.57 12,417
13,761
12,598
13,293
14,456
Jakarta Selatan
145.7
2.03
2.04
1.78
2.00
2.06 13,933
14,001
12,217
13,727
14,139
JABO DETABEK
Jakarta T imur
187.7
2.01
2.38
2.35
2.39
2.69 10,709
12,680
12,520
12,733
14,331
Jakarta Pusat
48.3
1.16
0.98
0.87
0.88
0.90 24,017
20,290
18,012
18,219
18,634
Jakarta Barat
126.2
1.67
2.15
1.90
2.09
2.28 13,233
17,036
15,055
16,561
18,067
Jakarta Utara
154.1
1.35
1.56
1.44
1.44
1.64
8,761
10,123
9,345
9,345
10,642
O ute r Zone
2,173.8
5.43
7.27
9.44
9.05 11.52
2,498
3,344
4,343
4,163
5,299
Kab. Bogor
820.3
2.28
2.48
3.58
3.82
4.77
2,779
3,023
4,364
4,657
5,815
Kab. Bekasi
606.1
1.42
2.14
2.71
1.98
2.63
2,343
3,531
4,471
3,267
4,339
747.4
1.73
2.65
3.15
3.25
4.12
Kab. T angerang Inne r Zone
1,293.4
3.44
3.77
4.30
5.70
6.80
2,315
3,546
4,215
4,348
5,512
2,660
2,915
3,325
4,407
5,257
Kota Bogor
118.5
1.73
2.22
1.83
0.89
0.95
14,599
18,734
15,443
7,511
8,017
Kota Bekasi
437.9
0.68
0.62
0.62
1.99
2.33
1,553
1,416
1,416
4,544
5,321
Kota T angerang
536.8
1.03
0.93
0.96
1.45
1.79
1,919
1,732
1,788
2,701
3,335
Kota Depok
200.2
0.89
1.37
1.73
-
-
4,446
6,843
8,641
-
-
Sumber: Sensus penduduk 1990, 2000, 2010 dan survei penduduk 1995, 2005
Kondisi yang spesifik terjadi antara tahun 1995–2000 dan antara tahun 2000–2005 seperti terlihat pada Gambar 19. Pada kurun waktu 1995–2000 pertambahan penduduk di outer zone meningkat pesat yang disebabkan al. karena
maraknya
pembangunan
perumahan
skala
besar
di
kawasan
metropolitan DKI Jakarta seperti perumahan kota mandiri BSD (Bumi Serpong Damai), perumahan Lippo Karawaci, perumahan Citra Raya dan perumahan Alam Sutera di Tangerang, perumahan Lippo Cikarang di Bekasi, perumahan Kota Wisata di Cibubur, dan lain-lain. Banyak penduduk dari kota-kota besar
82
yang pindah meningalkan kota asalnya menuju ke komplek perumahanperumahan tersebut yang lokasinya berada di pinggiran metropolitan DKI Jakarta. Sementara itu antara tahun 2000 – 2005 penduduk outer zone menunjukkan penurunan. Setelah dicermati, hal ini disebabkan oleh terbentuknya kota Bekasi pada tahun 1998 sehingga pencatatan penduduknya masuk dalam klasifikasi inner zone. Pada tahun 2010 perkembangan penduduk di ketiga wilayah tersebut menunjukkan trend yang menaik dengan perincian wilayah core naik sedikit, wilayah inner zone naik sedang, dan wilayah outer zone naik cukup tajam. Jumlah (juta)
Cisauk
Gambar 19 Grafik perkembangan penduduk metropolitan DKI Jakarta 5.1.2
Cisauk dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta Dokumen arah perkembangan Jawa Barat 1991 – 1994 menyebutkan Jakarta
sebagai Pusat Wilayah. Kota Bogor, Tangerang dan Bekasi sebagai Pusat Utama, LeuwiLiang, Jonggol, Rumpin, Serpong, Balaraja, Teluk Naga, Sukatani, Setu dan Cikarang sebagai pusat kota kedua. Dalam setting ini, Cisauk karena tidak diterakan sebagai perkotaan kemungkinan diidentifikasikan sebagai perdesaan. Hirarki dalam sistem perkotaan ditunjukkan dengan adanya pusat kegiatan yang dikelilingi oleh beberapa sub pusat kegiatan. Sementara sub pusat kegiatan tersebut juga dikelilingi oleh beberapa pusat kegiatan lokal. Hirarki perkotaan menurut dokumen NUDS (National Urban Development Strategy) Tahun 2000
83
menunjukkan bahwa DKI Jakarta sebagai PKN (Pusat Kegiatan Nasional) dengan Tangerang, Bogor, dan Bekasi sebagai PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) yang juga merupakan kota penyangga DKI Jakarta. Disamping itu terdapat Depok dan Ciputat sebagai PKL (Pusat Kegiatan Lokal) akan tetapi mempunyai akses ke DKI Jakarta. Serpong sebagai PKL dengan akses ke Tangerang akan tetapi mempunyai akses langsung ke DKI Jakarta berupa jalan Tol (Jakarta-Serpong). Cisauk berinduk ke Serpong dan merupakan kawasan perdesaan (Gambar 20). DKI Jakarta Tangerang
PKL
PKN
PKW
PKW Bekasi
Serpong
Tiga Raksa
PKL
PKL
Bogor
PKL Ciputat
Depok
PKW
Cisauk (Perdesaan)
Gambar 20 Hirarki metropolitan DKI Jakarta menurut NUDS Th. 2000 Diluar penetapan, pengaturan dan stimulasi yang dilakukan pemerintah, perkembangan kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta sebagian besar didorong oleh inisiatif dan investasi pemangku kepentingan swasta. Tabel 21 dan Grafik 21 menggambarkan perkembangan jumlah kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta periode 1990 sampai dengan 2010. Pada periode 19902000, perkembangan yang terjadi belum pesat. Perkembangan yang sangat pesat terjadi pada tahun 2005 yang disebabkan oleh demand yang tinggi dan didukung oleh pembangunan infrastruktur transportasi seperti jalan di Jabodetabek. Pada tahun 2010 perkembangannya menurun disebabkan oleh mulai terbatasnya lahan permukiman yang tersedia dan ramainya pembangunan rumah susun sehubungan dengan program pembangunan 1000 tower rumah susun yang dicanangkan oleh pemerintah. Tabel 22 menunjukan luas kawasan permukiman skala besar di Bodetabek pada 2010.
84
Tabel 21 Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta periode 1990 – 2010 Kawasan
1990 27 8 12
1995 90 23 43
2000 192 49 100
2005 489 106 276
2010 613 127 348
Kab. Bogor
2
10
31
109
137
Kab. Bekasi
3
14
36
106
138
JABODETABEK
Core Outer Zone
Kab. Tangerang
7
19
33
61
73
Inner Zone
7
24
43
107
138
Kota Bogor
1
4
9
23
29
Kota Bekasi
2
8
16
36
48
Kota Tangerang
2
6
8
13
16
Kota Depok
2
6
10
35
45
Sumber : Direktori REI dan APERSI Tahun 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010.
700 600 500 JABODETABEK
400
Core 300
Outer Zone Inner Zone
200 100 0 1990
1995
2000
2005
2010
Gambar 21 Grafik Perkembangan Jumlah Kawasan Permukiman di Metropolitan DKI Jakarta Tahun 1990 - 2010 Penelitian ini perlu membahas keberadaan kota mandiri BSD (Bumi Serpong Damai) mengingat kedekatan fisik, keterkaitan sistem fungsi – hirarki terhadap obyek studi Cisauk dan indikasi perkembangan dimasa yang akan datang. Dibangun sejak 1989, BSD dengan luas total sekitar 6,000 Ha, dan populasi antara 600,000 – 800,000 orang, terdiri dari sekitar 135,000 unit hunian berlokasi di kecamatan Serpong, pada saat ini tengah direncanakan BSD tahap ke II dan ke III, yang mencakup wilayah perkotaan Cisauk. Pembangunan BSD
85
dilatar belakangi antara lain oleh permasalahan urbanisasi yang tinggi di Jabodetabek, tuntutan akan permukiman, sarana dan prasarana yang memadai, masalah pembangunan perumahan secara sporadis, kebijakan pemerintah dalam pengembangan wilayah dan kota, dan pembangunan skala besar. Salah satu alternatif untuk mengatasi masalah2 perkotaan yg semakin kompleks khususnya di kota2 besar /metropolitan menuju permukiman ideal adalah dengan cara mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru dalam skala kota sesuai dengan amanat UU NO.4 Th.1992 tentang Perumahan dan Permukiman khususnya mengenai arahan pembangunan perumahan dan permukiman. Dasar pemilihan lokasi BSD adalah memperhatikan arahan pengembangan Jabodetabek, Serpong sebagai wilayah pengembangan, lokasi yang strategis dan jarak yang ideal (7 km ke Tol Jakarta-Merak dan 13.1 km ke Tol Jakarta Serpong), jaringan infrastruktur eksisting (sungai, jalan regional, kereta api, gas, jalur tegangan tinggi) sebagai modal eksisting kawasan, kepadatan penduduk rendah (10 jiwa/ha), daya dukung lahan (nonproduktif/ex.perkebunan karet, sawah tadah hujan/ nonirigasi teknis). Tabel 22 Luas Kawasan Permukiman Skala Besar di Bodetabek tahun 2010 NO
PERMUKIMAN
LOKASI
LUAS (ha)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BSD City Lippo Cikarang Delta Mas Citra Raya Bintaro Raya Grand Wisata Bukit Sentul Lippo Karawaci Citra Indah Gading Serpong Kota Modern Alam Sutera
Tangerang Bekasi Bekasi Tangerang Tangerang Bekasi Bogor Tangerang Bogor Tangerang Tangerang Tangerang
6,000 5,500 3,000 2,500 2,320 2,000 2,000 1,500 1,200 800 770 700
KETERANGAN
Sumber : Direktori REI Tahun 2010
Secara lebih spesifik pembangunan kota mandiri BSD bertujuan (1) menciptakan
pusat
pertumbuhan
baru
di
Jabodetabek/
Tangerang,
(2) mengurangi beban kota Jakarta, (3) lingkungan kota baru yang hidup dan berkembang, tertata, terkendali, berorientasi lingkungan, lengkap, dan modern. Pembangunan permukiman di BSD ini juga sesuai dengan kebijakan pemerintah mengenai pola pengembangan hunian berimbang (standar-medium-exelent) 6:3:1
86
yang terdiri dari hunian standart (21
250) sebanyak 1,911 unit (7.69%). Sampai dengan saat sekarang pengembangan hunian BSD City telah terbangun 24,852 unit dan terhuni 23,689 unit (95.32%). Pada saat ini sedang dilaksanakan pengembangan BSD tahap ke II yang mencakup wilayah perkotaan Cisauk bagian utara (lihat Gambar 22).
Cisauk
Setu
Gambar 22 Rencana pengembangan BSD Terkait dengan pengeloloaan kawasan, khususnya kawasan permukiman di BSD, peran Pemerintah Daerah sebagai regulator, pengawas, dan seharusnya juga sebagai pengelola fasos dan fasum yang sudah diserahterimakan. Dengan BSD mengelola kawasan, terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik kepentingan khususnya pada area dan prasarana BSD. Sebagai contoh, untuk standar lingkungan yang ditetapkan untuk kelompok sasaran tertentu, penanganan oleh Pemda dianggap masih belum memadai dengan keterbatasan yang ada. Untuk itu pengembang
cenderung
untuk
mengelola
sendiri
dengan
memperoloeh
pendapatan dari Iuran Pengelolaan Kawasan Lingkungan (IPKL). Kemungkinan konflik kepentingan lain adalah jika lahan yang diserahkan sebagai fasos dan
87
fasum kemudian dibangun oleh Pemda atau oleh Pemda diserahkan ke pihak lain, masalah implementasi kualitas dan standar pembangunan yang akan dilakukan menjadi tidak sinkron. Hal lain adalah perlunya keseimbangan kepentingan umum yang non eksklusif oleh Pemda, sementara pengembang lebih berorientasi dan bermotif pada keuntungan. Hirarki perkotaan metropolitan DKI Jakarta berdasarkan dokumen NUDS (National Urban Development Strategy) Tahun 2000 disebutkan bahwa Serpong, Ciputat, Depok sebagai PKL dan Cisauk sebagai daerah pedesaan (NUDS, 2000). Berdasarkan Perpres No.54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Metropolitan DKI Jakarta/Jabodetabek Punjur dapat diilustrasikan dalam Gambar 23 dimana terdapat 1 (satu) PKN yaitu DKI Jakarta, dikelilingi oleh 4 (empat) PKW yaitu kota Tangerang, kota Depok, kota Bogor, dan kota Bekasi. Kota Tangerang sebagai PKW dikelilingi beberapa PKL seperti Tigaraksa, Balaraja dan Serpong. Kawasan permukiman di Cisauk dalam hal ini merupakan kawasan perdesaan.
Tangerang
PKN PKW
PKW
Serpong
Bekasi
PKL PKL
PKW
Tiga Raksa Cisauk (Perdesaan)
DKI Jakarta
Tangsel
PKW Depok
Bogor PKW
Gambar 23 Hirarki metropolitan DKI Jakarta sesuai Perpres 54/Th 2008 tentang penataan ruang Jabodetabek Punjur Kondisi fungsional di lapangan pada pengamatan tahun 2010 (lihat Gambar 24) menunjukkan bahwa dalam hirarki sistem metropolitan DKI Jakarta terdapat PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) baru berupa kawasan permukiman skala besar yaitu kota mandiri BSD (Bumi Serpong Damai) tahap I yang didukung oleh akses langsung ke Jakarta berupa jalan TOL Jakarta-Serpong dan jaringan kereta api Rangkasbitung - Jakarta. PKL (Pusat Kegiatan Lokal) Serpong dan Cisauk keduanya berinduk ke PKW baru tersebut melalui jalan akses baru ke Tangerang atau ke Jakarta. Kecamatan Cisauk yang semula berkondisi perdesaan berubah
88
menuju ke perkotaan. Kondisi ini akan menjadi lebih eksis mengingat jalur kereta api tersebut menjadi rel ganda (double track) dan pengembangan jalan TOL tersebut ke Balaraja dan selanjutnya menuju ke bandara International Soekarno – Hatta. Tangerang
PKL
DKI Jakarta
PKN
PKW
PKW
BSD (tahap I) PKW
Tiga Raksa
Bekasi PKW
PKL Cisauk (perdesaan menuju perkotaan)
Tangsel
PKW Depok
Bogor PKW
Serpong
Gambar 24 Hirarki fungsional metropolitan DKI Jakarta Tahun 2010 Dengan asumsi bahwa BSD tahap II akan dilaksanakan antara kurun waktu 10 sampai dengan 20 tahun, maka dapat diindikasikan keberadaan Cisauk dalam hirarki sistem perkotaan Jakarta dimasa 10 tahun yang akan datang adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 25.
Tangerang
PKL
PKN PKW
PKW
BSD (tahap I-II)
Bekasi
PKW
Tiga Raksa
PKW PKL Cisauk (perdesaan menuju perkotaan)
DKI Jakarta
PKW
Tangsel Depok
Bogor PKW
Serpong
Gambar 25 Indikasi hirarki metropolitan DKI Jakarta Tahun 2020 Memperhatikan arah dan besaran rencana pengembangan BSD, maka diperkirakan kedepan peran dan posisi Cisauk masih akan tetap eksis karena sebagian besar wilayahnya tidak termasuk dalam rencana pengembangan tersebut.
89
Agar kawasan permukiman di Cisauk tersebut dapat berkembang secara berkelanjutan, maka perlu dilakukan kerjasama yang sinergis antara pemerintah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan permukiman fungsional di Cisauk (lihat Gambar 26). 5.1.3 Cisauk dalam ekosistem DAS Cisadane Hal yang lazim dalam pengelolaan DAS di Indonesia adalah adanya fragmentasi kegiatan pengeloloaan DAS antar Kementerian Utama dan lembaga bukan Kementerian. Konsekuensinya adalah adanya pembagian wewenang. Kecenderungan fragmentasi pengelolaan DAS semakin menguat dalam kerangka otonomi daerah dimana Pemda ingin mendapatkan kendali yang lebih besar dalam pengelolaan sumberdaya air yang berada dalam jurisdiksi wilayah administrasinya dengan motivasi untuk mendapatkan kendali pemanfaatan sumberdaya air yang lebih besar disamping sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan DAS seringkali dibatasi oleh batas-batas yang bersifat administratif dan kurang memperhatikan batas-batas ekosistem alamiah. Kejadian banjir, tanah longsor, erosi, dan pencemaran air berlangsung menurut batas-batas ekosistem alamiah tersebut. Pada suatu daerah aliran sungai (DAS) banyak institusi yang terlibat secara langsung atau tidak langsung. Masing-masing institusi merasa berhak melakukan pengelolaan, menggunakan atau melakukan eksploitasi sesuai dengan tujuan masing-masing. Akibatnya terjadi tumpang tindih dalam tugas pokok, fungsi dan kewenangan pengelolaannya. Sebagai contoh, pengelolaan di daerah hulu melibatkan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri. Sementara di daerah tengah dan hilir melibatkan Kementerian Pekerjaan Umum terkait dengan irigasi. Beberapa Kementerian juga mempunyai kewenangan terhadap pengelolaan DAS antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. Upaya pengelolaan DAS pada dasarnya ditujukan untuk memperbesar pemanfaatannya dan sekaligus memperkecil dampak negatifnya. Dalam kaitan hubungan kawasan permukiman di Cisauk dengan DAS Cisadane, perlu diusahakan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam di Cisauk tidak mengganggu keberlanjutan DAS Cisadane karena akan berdampak pada bagian hilir DAS tersebut.
90
Gambar 26 Pengembangan Fungsional Kawasan Permukiman di Cisauk
5.2
Status Keberlanjutan Kawasan Untuk mendapatkan data-data primer yang diperlukan, penelitian ini
melibatkan sejumlah responden dan nara sumber di Cisauk dan di luar Cisauk melalui wawancara dan pengisian kuesioner. Memperhatikan karakteristik yang ada, responden dibagi dalam empat kategori, yaitu: penduduk, pengusaha, pemerintah, dan akademisi/ ahli. Responden penduduk berasal dari komplek perumahan dan perkampungan dan dipilih yang berusia produktif (17 tahun – 55 tahun) sejumlah 190 orang. Responden pengusaha diwakili oleh pengembang sebanyak 10 orang dan responden pemerintah berasal dari aparat desa, Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, dan provinsi Banten sejumlah 16 orang. Responden akademisi atau ahli di bidang perkotaan, sumberdaya alam, pemerintahan, transportasi, dan lingkungan sebanyak 24 orang. Sebagaian dari para ahli ini, sebanyak 10 orang, dianalisis persepsinya dengan menggunakan metode AHP untuk mendapatkan struktur hirarki pengambilan keputusan dalam pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan. Tabulasi data-data hasil kuesioner responden tertera pada Lampiran 5.
91
Keberlanjutan pembangunan di suatu wilayah dapat diketahui dari indikator pembangunan berkelanjutan yang mencakup berbagai dimensi. Pada penelitian ini indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan oleh Munasinghe (1993). Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan indikator keberlanjutan kawasan dari berbagai referensi dan preferensi pakar. Keberlanjutan dimensi ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi (Perrings, 1991). Keberlanjutan dimensi sosial adalah terjaganya stabilitas sosial dan budaya, termasuk reduksi konflik yang merusak (UNEP et al., 1991). Keberlanjutan dimensi ekonomi adalah pendapatan yang dapat diciptakan secara maksimum dari modal yang minimal dengan manfaat yang optimal (Maler, 1990). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan software Rapsettlement (Rapid Appraisal for Settlement). Teknik Rapsettlement adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan permukiman berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Dalam analisis Rapsettlement setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi Rapsettlement dibentuk oleh dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Rapsettlement didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MDS. Analisis terhadap status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten dengan metode MDS (Multidimensional Scalling) menghasilkan nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman. Secara multidimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 55.93% pada skala keberlanjutan 0 − 100% (lihat Gambar 27). Status keberlanjutan kawasan permukiman tersebut diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 26 atribut yang tercakup dalam tiga dimensi (ekologi, sosial, dan ekonomi) seperti tersebut dalam Tabel 6, 7 dan 8, termasuk kedalam kategori cukup berkelanjutan.
92
Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di kawasan permukiman
di Cisauk
selama ini cukup
memperhatikan aspek-aspek sosial, dan ekonomi akan tetapi masih kurang memperhatikan aspek ekologi secara terpadu. Untuk mengetahui dimensi pengembangan yang masih lemah dan memerlukan perhatian maka dilakukan analisis MDS pada setiap dimensi. Analisis dilakukan untuk menentukan indeks keberlanjutan dan atribut yang paling sensitif dalam pengembangan kawasan permukiman. 55.93% Buruk
Baik
0%
50 %
100 %
Gambar 27 Nilai indeks keberlanjutan multidimensi aktual pengembangan Kawasan Permukiman di Cisauk Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan bukan berarti semua nilai indeks dari setiap dimensi harus memiliki nilai yang sama besar akan tetapi dalam berbagai kondisi daerah/ wilayah tentu memiliki prioritas dimensi apa yang menjadi perhatian, namun prinsipnya adalah bagaimana agar supaya setiap dimensi tersebut berada dalam kategori ”baik” status keberlanjutannya. Parameter statistik yang diperoleh dari analisis MDS yang berfungsi sebagai standar untuk menentukan kelayakan terhadap hasil kajian yang dilakukan di wilayah studi adalah nilai stress dan r2 (koefisien determinasi) untuk setiap dimensi
maupun
multidimensi.
Stress
adalah
skor
yang
menyatakan
ketidaktepatan pengukuran (lack-of-fit measurement). Semakin tinggi ’stress’ semakin tinggi ketidaktepatan (fit). R kuadrat (R square) adalah indeks korelasi pangkat dua yang menyatakan proporsi varians data asli yang dapat dijelaskan oleh MDS. Nilai tersebut berfungsi untuk menentukan perlu tidaknya penambahan atribut untuk mencerminkan dimensi yang dikaji secara akurat (mendekati kondisi yang sebenarnya). Hasil analisis dua parameter statistik MDS pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 23.
93
Tabel 23 Hasil analisis dua parameter statistik MDS Nilai Statistik
Multi Dimensi
Stress 2
r
Jumlah iterasi
Ekologi
Sosial
Ekonomi
0.14
0.14
0.14
0.14
0.95
0.95
0.95
0.95
2
2
2
2
Dari Tabel 23 tersebut, terlihat bahwa untuk kondisi multidimensi dan setiap dimensi memiliki nilai stress 0.14 (<0.25). Hal ini menunjukkan bahwa nilai stress pada analisis dengan metode MDS sudah cukup memadai. Semakin kecil nilai stress yang diperoleh berarti semakin baik kualitas hasil analisis yang dilakukan. Nilai koefisien determinasi (r2) menunjukkan hasil 0.95 (mendekati 1). Berbeda dengan stress, nilai koefisien determinasi (r2) menunjukkan hasil analisis semakin baik jika nilai koefisien determinasi tersebut semakin besar (mendekati 1). Dengan demikian kedua parameter (nilai stress dan r2) menunjukkan bahwa seluruh atribut yang digunakan pada analisis keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk sudah cukup baik dalam menerangkan ketiga dimensi yang dianalisis. Tingkat kepercayaan nilai indeks total maupun masing-masing dimensi diuji dengan menggunakan analisis Monte Carlo. Analisis ini merupakan analisis yang berbasis komputer yang dikembangkan pada tahun 1994 dengan menggunakan teknik random number berdasarkan teori statistika untuk mendapatkan dugaan peluang suatu solusi atau model matematis. Proses untuk mendapatkan solusi tersebut telah melalui perhitungan yang berulang-ulang. Analisis ini sangat berguna dalam menganalisis kawasan permukiman guna melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masing-masing dimensi yang disebabkan oleh kesalahan pemahaman terhadap atribut, variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda, stabilitas proses analisis MDS, kesalahan memasukkan data atau data yang hilang, dan nilai ’stress’ yang terlalu tinggi. Analisis Monte Carlo yang dilakukan beberapa kali ternyata mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total (multi dimensi) maupun nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 24 dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk
94
pada tingkat kepercayaan 95% memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan hasil analisis MDS. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan (< 5%) antara hasil analisis dengan metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan bahwa: 1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; 2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; 3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang dalam keadaan stabil; 4) kesalahan pemasukan data dan data yang hilang dapat dihindari. Hal ini menunjukkan bahwa analisis dengan menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman yang dikaji memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Tabel 24 Hasil analisis keberlanjutan kawasan permukiman saat ini Hasil MDS (%)
Monte Carlo (%)
Perbedaan (%)
Kawasan Permukiman
55.93
55.65
0.28
Status Indeks Dimensi Ekologi
45.35
45.01
0.34
Dimensi Sosial
57.61
57.29
0.32
Dimensi Ekonomi
64.82
64.65
0.17
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) seperti tertera pada Gambar 28. Dengan menggunakan metode analisis prospektif
dapat
diketahui
atribut-atribut
yang
sangat
sensitif
dalam
mempengaruhi nilai keberlanjutan kawasan dari masing-masing dimensi. Untuk dimensi ekologi, hasil analisis menunjukkan nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 45.35% pada skala keberlanjutan 0 −100%. Jika dibandingkan dengan nilai kawasan permukiman yang bersifat multidimensi maka nilai indeks aspek ekologi berada dibawah nilai kawasan permukiman dan termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan. Terdapat empat atribut yang sangat sensitif dalam mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: alih fungsi lahan pertanian produktif, penambangan pasir dan batu, drainase sebagai pengendali genangan atau banjir, dan kondisi Sub DAS Cisadane (lihat Gambar 29). Agar nilai indeks dimensi ini dapat meningkat pada masa mendatang perlu diperhatikan keempat atribut tersebut.
95
Tingkat alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan permukiman dan perdagangan cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan peralihan fungsi lahan cukup tinggi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kawasan permukiman, perdagangan yang dibangun di kawasan tersebut. Perkembangan kawasan permukiman tersebut cenderung terpusat di jalur utama (Serpong dengan Rumpin-Bogor) sehingga beban jaringan jalan utama tersebut cukup tinggi.
EKOLOGI 100 80
45,35
60 40
57,61
20 0
EKONOMI 64,82
SOSIAL
Gambar 28 Diagram layang-layang nilai Kawasan Permukiman Kegiatan penambangan pasir dan batu (bahan galian C) di kawasan tersebut dilaksanakan dengan menggunakan alat berat sehingga lebih eksploitatif dan kurang memperhatikan kelestarian lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa penambangan pasir dan batu yang
dilaksanakan
di
kawasan
tersebut
dilaksanakan
dengan
kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini menggambarkan bahwa kegiatan ini dari aspek ekologi kurang berkelanjutan yang terlihat dari kondisi jalan-jalan yang dilewati truk-truk pengangkut pasir dalam kondisi rusak cukup parah. Sementara itu, polusi debu di sepanjang jalan tersebut juga cukup tinggi sehingga dapat mengganggu pernafasan dan mengurangi jarak pandang yang dapat mengganggu keselamatan lalu lintas. Kebijakan pemerintah daerah terkait dengan kegiatan penambangan pasir dan batu ini (galian C) adalah untuk memenuhi kebutuhan material galian C sehingga kegiatan ini tetap dipertahankan dengan pengaturan sebagai berikut: 1) tidak memperluas wilayah eksploitasi, 2) ijin-ijin
96
lokasi pertambangan tidak diperpanjang dengan alternatif kebutuhan material bahan galian C dapat dipenuhi dari luar kabupaten Tangerang, 3) segera dilakukan reklamasi bagi kawasan eks pertambangan, 4) untuk kawasan eks pertambangan, jika memungkinkan dapat dilakukan pembebasan lahan oleh pemkab Tangerang. Kondisi jaringan drainase di kawasan tersebut walaupun kondisi teknisnya kurang baik yang kebanyakan berupa saluran alami dari tanah dengan dimensi relatif kecil, tetapi karena didukung oleh tanah yang berkontur dan banyaknya resapan air yang berupa ruang terbuka dan situ-situ bekas galian pasir, maka tidak terjadi genangan atau banjir. Sebagian besar responden menyatakan bahwa kondisi drainase cukup baik karena kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa daerah tersebut jarang terjadi banjir. Namun sebenarnya jika diamati lebih lanjut misalnya drainase di cluster perumahan, maka akan diketahui bahwa belum terjadi sinkronisaasi prasarana antar cluster permukiman.
Leverage of Attributes DIMENSI EKOLOGI
1.59
Drainase (pengendalian banjir)
Air minum (kualitas, kuantitas, w aktu)
1.10
Jalan akses (kualitas)
1.31 1.05
Attribute
Persampahan (pengelolaan)
1.67
Penambangan pasir dan batu
Alih f ungsi lahan pertanian produktif (luasan, w aktu)
1.83
DAS Cisadane (run-of f , manajemen
1.72 1.27
Sanitasi Lingkungan
Ruang Terbuka Hijau/RTH (luasan)
1.31 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi ekologi Kondisi Sub DAS Cisadane saat ini menurut instansi terkait seperti BLH (Badan Lingkungan Hidup) Kab.Bogor, berada dalam kondisi yang kritis dimana kerusakan mencapai 34% pada 9 Nov 2010. Hal ini disebabkan antara lain oleh penebangan liar hutan (khususnya di daerah hulu), limbah domestik dan industri.
97
Pencemaran yang terjadi juga telah melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air, dimana pada kondisi normal kadar COD pada air sungai sebesar 10 mg/L dan BOD 2 mg/L (Anonim, 2001). Namun sebagian besar responden menganggap kondisi DAS tersebut berada dalam kondisi cukup baik karena jarang sekali terjadi banjir, tanah longsor, dan cadangan air juga cukup tersedia. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial adalah sebesar 57.61% pada skala keberlanjutan 0 − 100% dan tergolong cukup berkelanjutan. Terdapat empat atribut yang sangat sensitif (>1.5) dalam mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: kohesi sosial, perkembangan penduduk, pemberdayaan masyarakat, dan tingkat pendidikan penghuni (lihat Gambar 30).
Leverage of Attributes DIMENSI SOSIAL
1.512
Tingkat pendidikan penghuni 1.104
Konflik sosial
1.805
Kohesi sosial 0,687
Attribute
Kriminalitas
0.976
Prasarana pendidikan
1.556
Prasarana kesehatan
1.723
Perkembangan penduduk 1.115
Fasilitas umum
1.609
Pemberdayaan masyarakat 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30 Nilai masing-masing atribut dalam dimensi sosial Agar nilai indeks dimensi ini dapat meningkat pada masa mendatang perlu diperhatikan kempat atribut tersebut. Frekuensi konflik yang terjadi di kawasan permukiman baik antar sesama warga atau dengan warga sekitar kawasan relatif rendah. Hal ini menunjukkan bahwa cukup terjadi kohesi sosial di masyarakat. Dalam ekosistem DAS, faktor penduduk merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan adalah mengenai perkembangan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang banyak di suatu daerah
98
mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk kelestarian sumberdaya lahan. Asumsinya adalah bahwa suatu daerah yang mempunyai jumlah penduduk banyak cenderung akan mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan dibandingkan dengan daerah yang mempunyai jumlah penduduk sedikit. Hal ini disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi untuk daerah yang penduduknya lebih banyak. Disamping jumlah penduduk, kepadatan penduduk juga penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan Sub DAS Cisadane. Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan
penduduk
terhadap
lahan
yang
akhirnya
akan
mempengaruhi
keberlanjutan kawasan permukimannya. Perkembangan penduduk di Cisauk yang rata-rata sebesar 4.13 % tahun menunjukkan
pertumbuhan
yang
pesat.
Namun
perkembangan
tersebut
terkonsentrasi di 3 desa yaitu Suradita, Cisauk, dan Cibogo dengan pola searah dengan jalan raya Cisauk.
Hal ini akan menambah kepadatan penduduk di
kawasan tersebut yang akan meningkatkan aliran permukaan (run-off), timbulan sampah dan tekanan terhadap lahan. Sementara itu, di kawasan tersebut juga terdapat beberapa industri seperti kulit, kain, kertas, dan logam yang mempunyai potensi resiko kerusakan lingkungan lebih besar apabila limbahnya tidak diolah dengan benar. Oleh karena itu, wilayah-wilayah tersebut perlu diperhatikan perkembangannya Pemberdayaan
masyarakat
juga
merupakan
faktor
yang
sensitif
mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman. Pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menekan angka kemiskinan. Penduduk yang miskin mempunyai potensi sebagai pelaku kerusakan lingkungan. Sebagai contoh rusaknya hutan karena pohon-pohonnya yang ditebangi oleh warga untuk dijadikan kayu bakar dan lahan pertanian. Oleh karena itu, untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk miskinnya besar perlu diwaspadai karena potensial merusak lingkungan. Tingginya rumah tangga yang tergolong miskin di disebabkan sebagian masyarakatnya hanya mengandalkan penghasilannya dari pertanian subsisten atau sebagai buruh kasar. Keterbatasan ekonomi masyarakat tersebut bila tidak mendapatkan perhatian yang memadai akan dapat menyebabkan
99
terjadinya kerusakan lingkungan. Pada wilayah yang penduduknya banyak yang miskin,
untuk
memenuhi
kebutuhan
hidup,
masyarakatnya
cenderung
memanfaatkan sumberdaya yang ada secara berlebihan sehingga bila tidak dibatasi akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dengan demikian perlu adanya program peningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama pada desa-desa yang proporsi rumah tangga miskin tergolong tinggi. Suatu kawasan dengan proporsi penduduk miskin tinggi akan mempunyai resiko kerusakan lingkungan yang lebih tinggi dibandingkan kawasan dengan penduduk miskin lebih rendah. Program pengentasan kemiskinan tersebut secara tidak langsung akan dapat membantu mengendalikan/membatasi pemanfaatan lahan secara berlebihan. Dengan demikian kerusakan lingkungan akan dapat dikurangi. Tingkat pendidikan penghuni akan berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan permukiman. Penduduk putus sekolah baik SD maupun SLTP mengindikasikan
kondisi
perekonomian
yang
kurang
bagus.
Kondisi
perekonomian yang kurang bagus disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor alam yang dalam hal ini faktor lahan. Faktor lahan yang dimaksudkan adalah kondisi fisik lahan yang tidak menguntungkan untuk kegiatan pertanian, padahal sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Dengan kondisi fisik lahan yang demikian menyebabkan masyarakat petani terpuruk dalam kemiskinan. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan sebagian daerah berupa lahan kritis dan kekurangan air. Pada musim penghujan memang ada sawah yang dapat ditanami padi namun hanya sekali dalam setahun. Pada musim kemarau lahan ditanami jagung dengan hasil yang kurang menguntungkan. Di bagian wilayah yang proporsi lahan terbangunnya tergolong tinggi, menunjukkan bahwa tekanan terhadap lahan pertanian pada wilayah tersebut juga tinggi. Kondisi tersebut perlu segera dibenahi dengan melakukan pembatasan yang sangat ketat terhadap alih fungsi lahan pertanian ke lahan yang terbangun. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah sebesar 64.82% pada skala keberlanjutan 0 − 100%. Jika dibandingkan dengan nilai dimensi ekologi dan sosial, nilai indeks dimensi ekonomi berada diatas nilai indeks kedua dimensi tersebut dan termasuk ke dalam kategori cukup berkelanjutan. Ada tiga
100
atribut yang sangat sensitif (nilai >1.5) mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu: perkembangan sarana dan prasarana ekonomi, peningkatan nilai ekonomi lahan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat (lihat Gambar 31). Agar nilai indeks dimensi ini dapat meningkat pada masa mendatang perlu diperhatikan ketiga atribut tersebut. Perkembangan prasarana ekonomi seperti jalan akses, pasar, terminal, dan lain-lain akan mempengaruhi kegiatan ekonomi, investasi dan lapangan kerja di kawasan tersebut dan pada gilirannya diharapkan akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang akan meningkatkan daya belinya. Dengan meningkatnya daya beli akan meningkatkan perputaran roda ekonomi di daerah tersebut. Perkembangan prasarana ekonomi dan meningkatnya kegiatan ekonomi akan menyebabkan daerah tersebut menjadi berkembang dan pada saatnya akan meningkatkan nilai lahan di kawasan tersebut.
Leverage of Attributes DIMENSI EKONOMI Penyerapan tenaga kerja
0.77
Peningkatan kesejahteraan masyarakat
1.53
Attribute
Peningkatan pendapatan asli daerah
0.96
Tingkat penghasilan penghuni
1.09
Nilai ekonomi perumahan
1.08 1.69
Nilai ekonomi lahan
1.26
Keuntungan/profit Perkembangan sarana ekonomi (10 thn terakhir)
1.82 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
2
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 31 Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi Dari hasil analisis didapatkan sebelas atribut yang sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk, yaitu: 1. Alih fungsi lahan pertanian produktif 2. Penambangan pasir dan batu 3. Drainase sebagai pengendali banjir
101
4. Kondisi Sub DAS Cisadane 5. Kohesi sosial masyarakat 6. Pemberdayaan masyarakat 7. Tingkat pendidikan masyarakat 8. Perkembangan penduduk dan penyebarannya 9. Perkembangan sarana dan prasarana 10. Peningkatan nilai ekonomi lahan 11. Peningkatan kesejahteraan masyarakat Atribut-atribut menentukan
faktor
yang
sensitif
kunci
tersebut
selanjutnya
pengembangan
kawasan
dianalisis
untuk
permukiman
yang
berkelanjutan. Penentuan faktor kunci ini dilakukan dengan melibatkan stakeholders dan pakar. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat empat faktor pengungkit yang sensitif mempengaruhi pengembangan kawasan permukiman yang
berkelanjutan
yaitu:
1)
alih
fungsi
lahan
pertanian
produktif,
2) perkembangan penduduk, 3) kohesi sosial, dan 4) perkembangan sarana dan prasarana. Selain ke empat faktor tersebut, faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor
yang
mempunyai
pengaruh
yang
kuat
walaupun
mempunyai
ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor yang kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. (lihat Gambar 32). Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh Pada Sistem yang Dikaji 2.00 1.80
DAS Cisa da ne (runoff)
Perkem ba nga n penduduk 1.60 1.40
Alih fungsi la ha n perta nia n
Pengaruh
1.20
Perkem ba nga n sa ra na ekonomi
Kohesi sosia l
1.00 0.80
Pena m ba ngan pa sir & Ba tu
Dra ina se
0.60
Pem berda ya an m a sya rakat
0.40 Tingka t pendidika n penghuni
0.20
Nila i ekonom i la ha n Peningka ta n keseja htera an m a sya rakat
0.00 0.00
.
0.20
0.40
0.60
0.80
1.00
1.20
1.40
1.60
1.80
2.00
Ketergantungan
Gambar 32 Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk
102
5.3 Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholders 5.3.1
Peta pemangku kepentingan perkembangan kawasan permukiman Pemangku kepentingan yang terkait dalam pengembangan kawasan
permukiman tersebut pada dasarnya dapat dibagi dalam 4 (empat) kelompok yaitu: masyarakat (setempat), pemerintah (Daerah dan Pusat), perguruan tinggi/ ahli/ LSM, dan swasta (antara lain pengembang). Pola hubungan antar pemangku kepentingan tersebut dalam sistem metropolitan DKI Jakarta baik di tingkat pusat, provinsi, dan lokal untuk aspek ekologis, sosial, dan ekonomi dapat digambarkan seperti pada Gambar 33. Mekanisme dan norma pengembangan kawasan metropolitan dilakukan berdasarkan kebijakan pemerintah berupa produk-produk hukum seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, sedangkan perhatian stakeholders terhadap aspek ekologis, sosial, dan ekonomi tertera pada Tabel 25. Pemerintah Pusat
Masyarakat Perg Tinggi & Pakar
Pemerintah Daerah
LSM
Pemerintah Daerah
Sosial Sistem Metropolitan Jkt
Ekologi
Swasta/ CSR
LSM Masyarakat
Pemerintah Pusat
Ekonomi
Masyarakat
BUMN KLH
Pemerintah Pusat
PU
Swasta BPJT
Investor Tol
PU Pemerintah Daerah
Keterangan: Pengembang LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat KLH = Kementerian Lingkungan Hidup PU = Kementerian Pekerjaan Umum BPJT = Badan Pengatur Jalan Tol; Perhub = Kementerian Perhubungan
Perhubungan
Gambar 33 Diagram Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman di metropolitan DKI Jakarta Diagram keterkaitan pemangku kepentingan dari dimensi keberlanjutan dalam sistem metropolitan DKI Jakarta dapat dikelompokkan dalam 3 (aspek) aspek, yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Dalam aspek ekologi melibatkan pemangku kepentingan dari masyarakat, pemerintah pusat (antara lain KLH,
103
Kementerian PU, Kementerian BUMN) dan pemerintah daerah (antara lain BPLHD, Dinas PU, PDAM), perguruan tinggi/pakar/LSM. Dalam aspek sosial, pelaku-pelaku yang terkait adalah masyarakat, pemerintah (daerah dan pusat), dan pihak swasta melalui program CSR (Corporate Social Responsibility). Sementara dari aspek ekonomi pemangku kepentingan yang terkait adalah masyarakat (lokal, provinsi dan nasional)dan LSM, pemerintah daerah dan pemerintah pusat (antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian PU, BPJT), dan swasta (investor dan pengelola tol). Jadi secara keseluruhan pemangku kepentingan yang terkait dengan sistem metropolitan DKI Jakarta merupakan penjabaran dari 4 (empat) kelompok yaitu masyarakat, pemerintah, swasta, dan akademisi/pakar/LSM. Dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, perhatian stakeholders terhadap aspek ekologi, sosial, dan ekonomi cukup bervariasi. Pemerintah (pusat, provinsi, dan kabupaten/kota) mempunyai perhatian yang hampir sama terhadap ke tiga aspek tersebut. Masyarakat mempunyai perhatian yang cukup besar ke aspek sosial dan ekonomi sementara untuk aspek ekologi sedang. Swasta mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap masalah ekonomi dalam hal ini untuk mendapatkan profit yang sebesar-besarnya dan perhatiannya dalam aspek sosial dan ekologi masuk kategori sedang. Perguruan tinggi/ pakar/ LSM mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap aspek ekologi dan sosial dan kepedulian yang sedang terhadap aspek ekonomi. Peran pemangku kepentingan pengembangan kawasan permukiman tertera pada Tabel 26. Pemerintah dalam hal ini mempunyai peran banyak karena bisa sebagai regulator dan researcher. Sementara masyarakat perannya sebagai penerima manfaat dan dampak. Swasta banyak berperan sebagai operator dan akademisi, pakar, LSM berperan sebagai pengamat dan pemberi masukan. Tabel 25 Perhatian Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman No
Pemangku Kepentingan
Ekologi
Aspek Sosial
Ekonomi
1
Pemerintah (Nas, Prov, Kab)
v
v
v
2
Masyarakat/ LSM
v
vv
vv
3 4
Swasta Perguruan Tinggi/ Pakar
v vv
v vv
vv v
Keterangan : v =perhatian sedang; vv = perhatian besar.
104
Tabel 26 Peran Pemangku Kepentingan Pengembangan Kawasan Permukiman Aspek No
Pemangku kepentingan
Regulator
Operator
User
Research & Development
1
Pemerintah
v
-
-
v
2 3 4
Masyarakat /LSM Swasta Perguruan Tinggi/ Pakar
-
v -
v v -
v
5.3.2
Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholders Permasalahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman saat ini antara
lain: (1) kebijakan pengembangan kawasan permukiman yang ditetapkan sebenarnya sudah cukup memadai dengan adanya kebijakan mulai dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal, namun kondisi politik, sosial saat ini seperti otonomi, desentralisasi, transparansi, reformasi menyebabkan koordinasi dan pengendalian harus dilakukan dengan ekstra intensif, (2) kekuatan mekanisme pasar masih cukup mempengaruhi perkembangan permukiman di pinggiran kota, (3) perlunya keterpaduan program secara kontinu berdasarkan perencanaan pembangunan yang telah disepakati bersama, (4) kurang melibatkan stakeholders secara substansial. Wawancara dengan stakeholders menghasilkan informasi bahwa dalam rangka pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang, faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan pada perumusan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah: (1) perlunya pelibatan semua stakeholders (pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, dan akademisi) secara substansial dalam proses pembangunan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi, (2) perlunya keterpaduan program secara kontinu berdasarkan perencanaan pembangunan yang telah disepakati bersama, dan (3) perlunya menganalisis keunggulan atau karakteristik kawasan. Penentuan faktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman di Cisauk juga memperhatikan kebutuhan para stakeholders terhadap kondisi masa depan yang diinginkan. Dalam mengidentifikasi kebutuhan para stakeholders dimulai dengan mengenali permasalahan pengembangan kawasan permukiman
105
saat ini. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui permasalahan dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk adalah: 1.
Prasarana dan sarana dasar yang terbatas;
2.
Kondisi jalan yang rusak;
3.
Lapangan pekerjaan yang terbatas;
4.
Ketersediaan air yang tidak stabil;
5.
Akses masyarakat terhadap lembaga keuangan rendah;
6.
Pengetahuan dan ketrampilan masyarakat tidak sesuai kebutuhan
7.
Penambangan pasir yang kurang ramah lingkungan;
8.
Jaringan prasarana dan sarana belum terintegrasi dengan baik;
9.
Pengembangan wilayah yang tidak merata;
10.
Pengolahan sampah yang belum optimal;
11.
Pembuangan limbah yang tidak sesuai ketentuan;
12.
Alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi non pertanian;
13.
Kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat;
14.
Kondisi Sub DAS Cisadane yang kritis;
15.
Pendidikan masyarakat yang rendah;
16.
Kurangnya persepsi masyarakat dan aparat terhadap lingkungan;
17. Banyaknya masyarakat yang menganggur. Selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan masing-masing stakeholders di masa mendatang. Stakeholders dikelompokkan kedalam empat kategori yakni pemerintah, masyarakat/LSM, pengusaha, akademisi/ pakar. Hasil identifikasi kebutuhan stakeholders tertera pada Tabel 27 dan potensi konflik kepentingan tertera pada Tabel 28. Tabel 27 Kebutuhan stakeholders dalam pengembangan kawasan permukiman No
Stakeholders
Kebutuhan
1.
Pemerintah
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pertumbuhan ekonomi kawasan Peningkatan kesejahteraan masyarakat Pemanfaatan sumberdaya alam secara optimal Peningkatan pendapatan asli daerah Peningkatan produktivitas masyarakat Pelestarian lingkungan
2.
Masyarakat
1. Kemudahan administratif atau birokratif
106 Tabel 27 (lanjutan) No
Kebutuhan
Stakeholders 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Sarana dan prasarana lingkungan yang memadai Peningkatan pendapatan dan lapangan kerja Lingkungan yang aman dan nyaman Kemudahan aksesibilitas Peningkatan kualitas SDM Ketersediaan pasar yang terjangkau Pelayanan sosial dan ekonomi yang terjangkau
3.
Pengusaha
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kemudahan adminitratif Sarana dan prasarana usaha yang memadai Penegakan regulasi Keamanan investasi Ketersediaan bahan baku produksi Ketersediaan pasar Ketersediaan tenaga kerja terampil Perpajakan yang jelas Ketersediaan teknologi yang memadai
4.
LSM, akademisi dan pakar
1. 2. 3. 4.
Kelestarian lingkungan Peningkatan kesejahteraan masyarakat Peningkatan kualitas SDM Pengembangan ilmu pengetahuan
Tabel 28 Konflik kepentingan antara stakeholders di daerah penelitian Stakeholders
Pemerintah Masyarakat
Akademisi
Swasta
Keterangan
Pemerintah Masyarakat/LSM
x
Akademisi/Pakar
-
-
Swasta
x
x
x = terjadi konflik kepentingan -
Dari permasalahan pengembangan kawasan permukiman dan kebutuhan stakeholders dimasa mendatang dapat diformulasikan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholders yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kawasan permukiman secara berkelanjutan. Dalam hal ini terdapat 13 (tiga belas) faktor yang teridentifikasi yaitu: (1) ketersediaan sarana dan prasarana, (2) kemudahan akses ke lembaga keuangan, (3) peningkatan kesejahteraan masyarakat, (4) pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan, (5) pendapatan asli daerah, (6) pelestarian
lingkungan,
(7) lingkungan
yang
aman
dan
nyaman,
107
(8) peningkatan kualitas SDM, (9) pelayanan sosial dan ekonomi yang terjangkau, (10) peningkaan teknologi dan ilmu pengetahuan, (11) penegakan regulasi, (12) ketersediaan bahan baku, dan (13) perkembangan penduduk. Beberapa konflik kepentingan terjadi di daerah penelitian antar pemangku kepentingan. Pertama, perihal kegiatan penambangan pasir. Pemerintah daerah menginginkan kegiatan tersebut dihentikan karena mengganggu keberlanjutan lingkungan, seperti sering rusaknya jalan-jalan akses, polusi debu, dan lubang bekas galian yang tidak direklamasi atau direvegetasi.
Pihak swasta dan
masyarakat keberatan kegiatan tersebut dihentikan karena dapat menggerakkan roda perekonomian dan penciptaan lapangan pekerjaan. Solusi yang terjadi adalah tidak
dikeluarkan
ijin
penambangan
baru
atau
memperluas
kawasan
penambangan. Untuk kebutuhan material pasir diharapkan dapat dipenuhi dari daerah lain. Rusaknya jalan dan polusi debu oleh aktivitas swasta dalam penambangan pasir mengganggu aktivitas dan kesehatan masyarakat sekitar. Isu mendasar yang terjadi di Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu yang merupakan daerah pinggiran metropolitan DKI Jakarta salah satunya adalah besarnya tekanan aktifitas non pertanian terhadap lahan pertanian. Alih fungsi lahan yang terjadi selama ini adalah dari lahan pertanian menjadi non pertanian dan bukan sebaliknya. Hal ini tentu dapat mengancam kelangsungan hidup masyarakat yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dan pada gilirannya dapat mengancam ketahanan pangan. Hal yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan ini adalah margin yang didapatkan dari usaha pertanian relatif kecil dibandingkan usaha dari sektor lain (non pertanian) dan terlihat bahwa masyarakat petani tingkat kesejahteraanya masih rendah, sehingga jika ada kebutuhan mendesak maka ia akan menjual barang miliknya termasuk lahan. Faktor lain yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi ini adalah pengaruh hedonisme budaya metropolitan yang terlihat dari gaya hidup yang cenderung konsumtif, seperti mobil, televisi, handphone, komputer. Karena keinginan untuk memiliki mobil, misalnya, si petani akan melepas aset miliknya termasuk lahan yang luasnya tidak seberapa. Setelah itu tidak begitu tahu bagaimana kelangsungan hidup selanjutnya. Misalnya si petani masih bisa
108
bertahan terhadap godaan barang-barang konsumtif, akan tetapi bagaimana dengan anak-anaknya, cucu-cucunya.
5.4 Faktor-faktor Kunci Pengembangan Kawasan Permukiman Skenario pengembangan kawasan permukiman diformulasikan berdasarkan faktor-faktor
kunci
keberlanjutan
pengembangan
kawasan
permukiman.
Sementara faktor-faktor paling berpengaruh ini dihasilkan dari analisis faktorfaktor pengungkit pengembangan kawasan permukiman. Faktor-faktor ini didapatkan dari hasil analisis MDS-Rapsettlement yang menggambarkan kondisi keberlanjutan saat ini dan hasil analisis prospektif kebutuhan stakeholders yang merupakan gambaran kondisi yang diinginkan dimasa mendatang. Faktor-faktor yang paling berpengaruh tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam menyusun skenario pengembangan kawasan permukiman berkelanjutan di Cisauk. Dari analisis diperoleh 5 (lima) faktor-faktor kunci pengembangan kawasan permukiman, yaitu: (1) alih fungsi lahan, (2) sarana dan prasarana dasar, (3) kohesi sosial, (4) perkembangan penduduk, dan (5) kondisi sub DAS Cisadane.
5.5 Skenario Pengembangan Kawasan Permukiman Uraian kemungkinan perubahan kondisi dari masing-masing faktor paling berpengaruh dalam pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang memiliki jumlah kemungkinan yang berbeda. Faktor alih fungsi lahan memiliki tiga kemungkinan kondisi, yaitu: 1) menurun karena menurunnya daya beli, 2) tetap seperti kapasitas yang ada saat ini, dan 3) bertambah karena naiknya daya beli. Faktor sarana dan prasarana dasar memiliki empat kemungkinan kondisi di masa mendatang, yaitu: 1) menurun karena lesunya pasar properti, 2) tetap seperti kondisi saat ini, 3) meningkat tetapi tidak signifikan, dan 4) naik secara signifikan karena didukung investor atau pemerintah. Pada faktor kohesi sosial terdapat tiga kemungkinan perubahan kondisi di masa mendatang, yaitu: 1) menurun karena makin besarnya gap sosial, 2) tetap seperti kondisi saat ini dengan penyuluhan yang cukup, dan 3) meningkat karena intensifnya penyuluhan. Untuk faktor kondisi Sub DAS Cisadane terdapat empat kemungkinan perubahan kondisi di masa mendatang, yaitu: 1) menurun karena kurangnya program pemeliharaan, 2)
109
tetap karena adanya program pemeliharaan yang cukup, 3) meningkat karena meningkatnya program pemeliharaan DAS, dan 4) meningkat optimal karena meningkatnya program pemeliharaan DAS dan persepsi stakeholders. Faktor perkembangan penduduk mempunyai tiga kemungkinan perubahan di masa mendatang, yakni: 1) menurun terutama karena karena adanya penduduk yang pindah lebih besar dari pada yang datang dan kelahiran, 2) tetap karena penduduk yang pindah jumlahnya relatif sama dengan yang datang dan kelahiran, 3) meningkat karena penduduk yang pindah lebih kecil dari penduduk yang datang dan kelahiran. Uraian dari kemungkinan perubahan kondisi dari masingmasing faktor tertera pada Tabel 29. Tabel 29 Prospektif faktor paling berpengaruh pengembangan kawasan No
Faktor Kunci Utama
Keadaan (state) masa depan faktor A 1A Meningkat
B 1B Tetap
C 1C Menurun
2A Menurun
2B Tetap
2C Meningkat
1.
Alih fungsi lahan
2.
Sarana dan prasarana dasar
3.
Kohesi sosial
3A Memburuk
3B Tetap
3C Meningkat
4.
Kondisi Sub DAS Cisadane
4A Menurun
4B Tetap
4C Meningkat
5.
Perkembangan penduduk dan penyebarannya
5A Menurun
5B Tetap
5C Meningkat
D
2D Meningkat optimal
4D Meningkat optimal
Berdasarkan hasil identifikasi bagaimana faktor-faktor paling berpengaruh dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor dan memeriksa perubahan yang tidak dapat terjadi bersamaan (incompatible), maka perubahan faktor yang dapat terjadi bersamaan merupakan skenario-skenario pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. Dengan mempertimbangkan kemungkinan ketersediaan sumberdaya yang bisa dikerahkan, maka didapat tiga skenario strategi pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten yaitu: pesimis, moderat, dan optimis. Skenario pesimis mengandung pengertian bahwa kegiatan pengembangan kawasan permukiman
110
dilakukan apa adanya sambil mengadakan perbaikan ala kadarnya. Skenario moderat dimaksudkan bahwa pelaksanaan kegiatan pengembangan permukiman dilakukan perbaikan-perbaikan tetapi belum maksimum. Skenario optimis adalah bahwa kegiatan pengembangan kawasan permukiman dilakukan perbaikan secara menyeluruh dan terpadu dengan mengerahkan seluruh sumberdaya secara optimal. Dalam operasionalnya, skenario ini disusun dengan memasangkan berbagai kondisi (state) setiap faktor yang mungkin terjadi dimasa mendatang dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk. Definisi dari masing-masing strategi tersebut tertera pada Tabel 30. Tabel 30 Definisi dari masing-masing skenario pengembangan kawasan permukiman No
Skenario
Definisi
1.
Pesimis (1A), (2B),( 3B), (4B), (5B)
a. b. c. d. e.
Alih fungsi lahan meningkat Sarana dan prasarana dasar tetap Kohesi sosial tetap Kondisi Sub DAS Cisadane tetap Jumlah penduduk tetap
2.
Moderat (1B),( 2C), (3B), (4C), (5C)
a. b. c. d. e.
Alih fungsi lahan tetap tetapi terarah Sarana dan prasarana dasar meningkat Kohesi sosial tetap Kondisi Sub DAS Cisadane meningkat Jumlah penduduk meningkat
3.
Optimis (1C), (2D), ( 3C), (4D), (5C)
a. Alih fungsi lahan menurun b. Sarana dan prasarana dasar meningkat optimal c. Kohesi sosial membaik d. Kondisi Sub DAS Cisadane meningkat e. Jumlah penduduk meningkat
Untuk mendukung pengambilan keputusan dalam masalah pengembangan kawasan permukiman yang kompleks, dilakukan analisis dengan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) dengan nara sumber para ahli atau pejabat bidang perkotaan, permukiman, pemerintahan, dan lingkungan. Dengan menggunakan AHP, masalah pengembangan kawasan permukiman disusun dalam suatu kerangka berpikir yang terorganisir, sehingga dapat segera dilakukan pengambilan keputusan. Menurut Saaty (1993), hirarki disusun dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, diikuti dengan level faktor, kriteria, sub kriteria dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir berupa alternatif.
111
Dari pendapat para nara sumber dan ahli diketahui bahwa prioritas tujuan yang perlu dicapai adalah tujuan menjaga kelestarian lingkungan dengan nilai hasil analisis sebesar 0.356. Kemudian prioritas faktor atau aspek pengembangan kawasan permukiman dari hasil analisis adalah faktor lingkungan dengan nilai 0.427. Untuk aktor yang paling bepengaruh dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk pada saat ini adalah pihak swasta yang dalam hal ini pengembang dengan nilai 0.432. Selanjutnya, untuk alternatif skenario terpilih atau prioritas adalah skenario moderat dengan nilai 0.483. Hasil analisis dengan metode AHP terlihat pada Gambar 34.
FOKUS
TUJUAN
Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Berkelanjutan di Cisauk
PERLUASAN LAPANGAN PEKERJAAN
KELESTARIAN LINGKUNGAN (0.356)
PENGEMBANGAN WILAYAH (0.283)
(0.136)
FAKTOR
AKTOR
ALTERNATIF
LINGKUNGAN (0.427)
PEMERINTAH (0.244)
OPTIMIS (0.379)
SOSIAL (0.211)
MASYARAKAT (0.216)
PENINGKATAN PENDAPATAN DAERAH (0.225)
EKONOMI (0.362)
PENGEMBANG (0.432)
MODERAT (0.483)
AKADEMISI (0.108)
PESIMIS (0.138)
Gambar 34 Struktur hirarki pengambilan keputusan skenario kebijakan dalam rangka pengembangan pemukiman berkelanjutan Dalam hal ini, AHP juga menguji konsistensi penilaian yang ditunjukkan dengan parameter Consistency Ratio (CR), sehingga bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan
112
bahwa penilaian perlu diperbaiki atau hirarki harus distruktur ulang. Dari hasil analisis AHP dalam Lampiran 3, didapatkan nilai CR untuk preferensi gabungan dengan nilai rata-rata sebesar 0.010583. Sesuai dengan standard, nilai CR tidak boleh lebih dari 0.10. Dengan demikian nilai CR yang didapat karena masih dibawah 0.10 maka penilaian kriteria telah dilakukan dengan konsisten. Kondisi dari skenario tersebut kemudian dilakukan analisis prospektif untuk mengetahui status keberlanjutannya di masa mendatang. Dari kondisi ke 5 (lima) faktor paling berpengaruh pada skenario, diperoleh beberapa atribut dimensi yang juga meningkat sejalan dengan perubahan di setiap faktor. Peningkatan faktor alih fungsi lahan akan mempengaruhi keadaan atribut tingkat pemanfaatan lahan, kondisi Sub DAS Cisadane, pengendalian banjir, pengelolaan persampahan, luas ruang terbuka, fasilitas umum, fasilitas pendidikan dan kesehatan, peningkatan pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan, dan perkembangan sarana ekonomi. Peningkatan faktor sarana dan prasarana dasar akan mempengaruhi keadaan atribut peningkatan jalan akses, air minum, drainase, persampahan, air limbah, alih fungsi lahan, kondisi Sub DAS Cisadane, penambangan pasir, ruang terbuka hijau, kohesi sosial, prasarana kesehatan, pendidikan, fasilitas umum dan sosial, tenaga kerja, pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan. Peningkatan faktor kohesi sosial akan mempengaruhi keadaan atribut konflik sosial, kriminalitas, dan pemberdayaan masyarakat. Peningkatan faktor kondisi Sub DAS Cisadane akan mempengaruhi keadaan atribut kualitas dan kuantitas air minum, pengendalian banjir, nilai ekonomi lahan, peningkatan pendapatan asli daerah, perkembangan sarana dan prasarana dasar. Peningkatan faktor jumlah penduduk akan mempengaruhi keadaan hampir semua atribut seperti, pengendalian banjir, kualitas dan kuantitas air minum, jalan akses, persampahan, penambangan pasir, alih fungsi lahan, kondisi Sub DAS Cisadane, ruang terbuka hijau, konflik sosial, kohesi sosial, kriminalitas, prasarana kesehatan dan pendidikan, fasilitas umum dan sosial, pemberdayaan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, kesejahteraan masyarakat, pendapatan asli daerah, nilai ekonomi lahan, perkembangan sarana dan prasarana dasar. Hasil analisis dengan menggunakan MDS-Rapsettlement menunjukkan bahwa nilai keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk di masa mendatang
113
pada skenario moderat mencapai 61.31%. Nilai ini telah meningkatkan indeks keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk sebesar 5.36% dari indeks keberlanjutan sekarang seperti terlihat pada Gambar 35.
Buruk
61.31%
0%
Baik
50 %
100 %
Gambar 35 Nilai indeks keberlanjutan multi dimensi pengembangan kawasan permukiman menurut skenario moderat Nilai Indeks keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten setiap dimensi menurut skenario moderat dapat divisualisasikan seperti terlihat pada Gambar 36. Grafik tersebut menunjukkan bahwa semua dimensi mencapai nilai cukup berkelanjutan. Dimensi ekologi mengalami peningkatan yang cukup signifikan dibandingkan kondisi aktual. Dimensi sosial juga meningkat indeks keberlanjutannnya. Demikian juga dimensi ekonomi juga mengalami peningkatan indeks kebelanjutan.
MDS PROSPEKTIF Ekologi 100 80
57.07
60 40 20
0
59.7
Sosial
67.91
Ekonomi
Gambar 36 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan prospektif menurut skenario moderat Perbandingan indeks keberlanjutan masing-masing dimensi untuk kondisi saat ini dibandingkan dengan kondisi prospektif hasil skenario moderat adalah
114
seperti tertera pada Tabel 31 dan Gambar 37. Dalam hal ini terlihat bahwa indeks keberlanjutan untuk kawasan secara multi dimensi maupun masing-masing dimensi berdasarkan skenario moderat pengembangan kawasan permukiman menunjukkan kenaikan. Kenaikan terbesar terjadi pada dimensi ekologi sebesar 11.72% dan kenaikan terkecil terjadi pada dimensi sosial sebesar 1.35%. Kondisi ini dirasa cocok mengingat kondisi aktual saat sekarang tingkat keberlanjutan dimensi ekologi kurang berkelanjutan sementara kondisi dimensi sosial sudah cukup berkelanjutan. Dimensi ekonomi juga mengalami kenaikan keberlanjutan sebesar 3.09%. Tabel 31 Perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil skenario Saat ini (%)
Skenario Moderat (%)
No
Dimensi
Selisih (%)
1.
Kawasan Permukiman
55.93
61.31
5.38
2.
Ekologi
45.35
57.07
11.72
3.
Sosial
57.61
58.96
1.35
4.
Ekonomi
64.82
67.91
3.09
MDS AKTUAL & PROSPEKTIF Ekologi 100 80 57.07 60 45.35 40 20 0
Sosial
59.7
67.91
57.61
64.82
Ekonomi
Gambar 37 Grafik perbandingan status keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini dan hasil skenario
115
5.6 Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dirumuskan dengan memperhatikan kondisi eksternal dan internal yang mempengaruhi kondisi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Arahan kebijakan ini pada dasarnya
dilaksanakan dengan mekanisme insentif dan
disinsentif. Insentif diberikan terhadap kegiatan yang dilaksanakan sesuai ketentuan, ingin dipertahankan dan atau didorong keberadaannya sementara disinsentif dikenakan terhadap kegiatan yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi keberadaannya. Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif ini dilakukan secara berjenjang oleh instansi yang berwenang sesuai dengan kewenangannya. Berbagai peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan permukiman menjadi dasar pengembangan kawasan permukiman seperti UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan, UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, PP No.80 Tahun 1999 tentang Kasiba dan Lisiba, Peraturan Menteri Dalam Negeri no.1 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau. Sementara kebijakan yang terkait langsung dengan kawasan permukiman di Cisauk diantaranya adalah: Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang, RP4D (Rencana Pembangunan dan Pengembangan Permukiman di Daerah), Perda No.4/1997 tentang RDTR Kota Serpong, Rencana Rinci Kasiba Cisauk, Rencana Master Plan Pengembang, Perda tentang Penambangan Bahan Galian C. Berdasarkan berbagai kondisi dan kebijakan yang ada dapat dikatakan bahwa kebijakan yang melandasi pelaksanaan pengembangan kawasan permukiman termasuk di Cisauk cukup komprehensif mulai dari skala nasional kewilayahan, sektoral dan tingkat lokal. Dalam pelaksanaan memerlukan koordinasi dan pelibatan stakeholders secara intensif.
116
Berubahnya lingkungan strategis yang ditandai dengan berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan seperti otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan keterbukaan, maka UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman dirasakan kurang sesuai sehingga terbit UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman yang sasarannya antara lain memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumber daya alam bagi pembangunan perumahan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau. UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dampak dari pelaksanaan UU ini adalah perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan permukiman disesuaikan dengan prioritas dan kepentingan
masing-masing
pemerintah
daerah.
Tuntutan
otonomisasi
mengehendaki penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumber daya dan teknologi yang kurang terkendali. UU RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan sumberdaya air secara terpadu (integrated water resources management/IWRM). Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air, termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: (1) memberikan
manfaat
kepada
publik
secara
efektif
dan
efisien,
(2)
mempertemukan keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, (3) keberlanjutan, keadilan, dan otonomi, serta (4) transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin
117
terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air. Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air. RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002–2011 merupakan acuan operasional kebijakan lokal. Walaupun skalanya lokal, akan tetapi sebenarnya kebijakan ini sudah memperhatikan kebijakan-kebijakan diatasnya, antara lain Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten, Kebijakan Pengembangan Kawasan Jabodetabekjur, dan Rencana Pembangunan Sektoral yang dituangkan dalam Rencana Strategis (Renstra). Untuk mengadopsi
dinamika
perkembangan
masyarakat,
perubahan
kebijakan,
perkembangan ilmu pengetahuan, dan lain-lain dilakukan revisi RTRW tersebut pada tahun 2006 sehingga diharapkan RTRW tersebut akan dapat bersinergi dengan perkembangan di tiap wilayah dalam berbagai aspek. Hasil dari revisi ini berupa
prioritas
pembangunan
dan
indikasi
program
yang
telah
mempertimbangkan perkembangan lingkungan strategis terkini, ketersediaan dana, kesiapan SDM, tingkat kepentingan, dan ketersediaan waktu. Kawasan strategis merupakan kawasan yang perlu mendapatkan prioritas pengembangan karena realisasi program pada kawasan ini akan berimplikasi kuat dalam pembentukan struktur tata ruang dan rencana pemanfaatan ruang wilayah. Diantara kawasan strategis tersebut adalah terdapat 3 (tiga) pusat wilayah pengembangan (WP), salah satunya Serpong yang berkembang menjadi pusat permukiman. Selanjutnya Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial.
118
Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman dilakukan dengan pendekatan integrasi antara analisis retrospektif dengan analisis prospektif. Analisis
kebijakan
retrospektif
dilakukan
terhadap
hasil
pelaksanaan
pengembangan kebijakan di masa lalu yakni hasil pelaksanaan perda, pengembangan kawasan siap bangun, lingkungan hunian berimbang, penentuan subsidi dan batas minimal tipe rumah yang dibangun, dan hasil kebijakan ditingkat lokal. Analisis prospektif dilakukan untuk memberi masukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan saat ini dan akan dilaksanakan antara lain kebijakan pengembangan kawasan siap bangun, dan revisi rencana tata ruang wilayah Kabupaten Tengerang. Untuk
menilai
keberlanjutan
dari
sistem
pengembangan
kawasan
permukiman saat ini yang merupakan hasil pelaksanaan kebijakan di masa lalu, dilakukan dengan cara menghitung Indeks Keberlanjutan kawasan permukiman dengan menggunakan metode multidimensional scalling (MDS). Indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, sosial, dan ekonomi. Ketiga dimensi
tersebut
secara
simultan
akan
mempengaruhi
keberlanjutan
pengembangan kawasan permukiman. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria sendiri yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan dimensi yang bersangkutan. Berbagai atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil kajian pustaka dan preferensi pakar. Pengisian kondisi kawasan pada setiap atribut dilakukan oleh stakeholders. Hasil analisis MDS adalah status keberlanjutan pengembangan kawasan untuk setiap dimensi dan faktor-faktor pengungkit keberlanjjutan pengembangan kawasan permukiman. Faktor-faktor pengungkit ini kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman menggunakan metode prospektif. Faktor kunci hasil analisis prospektif ini akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap pencapaian tujuan pengembangan kawasan permukiman. Dalam kerangka pengembangan kawasan permukiman, kebutuhan yang didasarkan
atas
preferensi
stakeholders
dalam
pengembangan
kawasan
permukiman di masa mendatang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan pengembangan kawasan permukiman. Dengan menggunakan metode analisis
119
prospektif dirumuskan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholders serta faktor dominan atau faktor kunci yang akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem pengembangan kawasan permukiman. Penggabungan antara faktor kunci keberhasilan pengembangan kawasan permukiman dengan faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholders merupakan gambaran faktor kunci pengembangan kawasan permukiman berdasarkan kondisi masa lalu dan kebutuhan masa depan. Untuk menemukan faktor kunci utama pengembangan kawasan dalam rangka menemukan skenario pengembangan kawasan dilakukan dengan analisis prospektif. Skenario ini merupakan gambaran alternatif kondisi masa depan dari setiap faktor kunci utama. Penyusunan skenario pengembangan kawasan permukiman melibatkan semua pihak terutama stakeholders utama dan pakar. Kemudian dilakukan pembobotan terhadap setiap skenario sehingga diperoleh urutan prioritas skenario. Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang akan diwujudkan oleh sistem pengembangan kawasan permukiman. Skenario terpilih kemudian disimulasikan untuk menilai prospek keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di masa mendatang dengan menggunakan analisis MDS. Hasil simulasi ini memberikan informasi bahwa faktor
kunci
yang
diperoleh
dapat
memberikan
kondisi
keberlanjutan
pengembangan kawasan yang lebih baik. Intervensi yang dapat memberikan kinerja paling optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan memperhatikan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh sistem tersebut. Hasil ini merupakan masukan untuk pelaksanaan kebijakan yang saat ini telah ditetapkan dalam kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk. Masukan-masukan kebijakan pengembangan kawasan merupakan gambaran hal-hal mendasar yang terjadi dan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan arahan kebijakan. Secara skematis, masukan dan tahapan dalam penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman dapat dilihat pada Tabel 32 dan Gambar 38.
120
Tabel 32 Masukan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman NO
1
FAKTOR
ISU dan PERMASALAHAN
- Demand kawasan permukiman meningkat - Perlindungan pemanfaatan ruang: lahan pertanian Alih fungsi lahan produktif, RTH pertanian produktif - Margin pertanian lebih kecil dibanding sektor lain - Transportasi berupa dukungan infrastruktur
2
Sarana dan prasarana dasar
3
Kohesi sosial
4
Kondisi Sub DAS Cisadane
5
Perkembangan penduduk dan penyebarannya
- Keseimbangan demand – supply - Kondisi prasarana yang kurang sinkron, rusak
ASPEK-ASPEK ARAHAN KEBIJAKAN - Disinsentif perpajakan untuk lahan non pertanian, perijinan (prinsip, lokasi, IMB,dll), - Insentif lahan pertanian: benih, pupuk, teknologi, peralatan
- Insentif peningkatan land rent, pendampingan inovasi pertanian perkotaan (urban farming) - Disinsentif AMDAL, perpajakan
- Disinsentif dengan AMDAL
- Koordinasi dan program sinkronisasi. Disinsentif kepada pelaku penyebab kerusakan, seperti retribusi, tidak ada ijin baru atau perluasan penambangan pasir - Potensi konflik - Mengurangi potensi konflik: penduduk asli penciptaan lap pekerjaan, (umumnya pertanian, pemberdayaan masyarakat, event-event informal) dengan kebersamaan pendatang (jasa, formal) - Kondisi dan fungsi - Insentif penanaman pohon, sumur (air baku, media resapan limbah, pengendalian - Disinsentif terhadap limbah domestik banjir) DAS dan industri cenderung menurun - Perencanaan terpadu dari hulu sampai hilir - Jumlah penduduk - Disinsentif perijinan yang ketat meningkat - Penyebaran tidak - Insentif dengan program merata pengembangan prasarana, disinsentif perpajakan
Kawasan permukiman di Cisauk sejak ditetapkan adanya Kawasan Siap Bangun (Kasiba) pada tahun 2006 sampai dengan tahun 2010, kondisinya secara keseluruhan tidak banyak berbeda. Kondisi prasarana seperti jalan akses regional masih dalam keadaan rusak parah dengan udara yang berdebu karena dilewati truk-truk pengangkut pasir dan batu. Prasarana lingkungan antar kawasan permukiman seperti drainase penyalur genangan, jalan akses lingkungan masih belum terjadi sinkronisasi. Pengelolaan persampahan masih belum dilakukan
121
dengan manajemen yang baik. DAS dan sungai Cisadane berada dalam kondisi yang cukup kritis akibat aktifitas domestik dan industri. Perkembangan kawasan tidak merata dari desa-desa di Cisauk dan penambangan pasir dilakukan secara kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman
Anggaran - APBN/D - Investasi swasta,CSR - Partisipasi masyarakat
-UU No.1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman -UU No.26/ 2007 tentang Penataan Ruang -UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah -UU No. 32/ 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup -UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air -UU No.41/ 2009 Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan -UU No.5/1960 tentang Peraturan Pokok Agraria -UU No.38/2004 tentang Jalan -UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
Dinamika dan sistem metropolitan DKI Jakarta
Sistem Sub DAS Cisadane
Status Kebelanjutan Kawasan Permukiman Kawasan Ekologi Sosial Ekonomi (55.93%) (45.35%) (57.61%) (64.82%) Prospektif Faktor Pengungkit Keberlanjutan (5 faktor)
Faktor-faktor Paling Berpengaruh: Alih fungsi lahan, pengembangan sarana dan prasarana, kohesi sosial, perkembangan penduduk, dan kondisi sub DAS Cisadane
Simulasi Skenario Pengembangan Kawasan (61.31%)
Ekologi (57.07%)
Sosial (58.96%)
Ekonomi (67.91%)
Arahan Kebijakan (Terwujudnya kawasan permukiman yang lebih berkelanjutan melalui skenario moderat)
Gambar 38 Tahapan penyusunan arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman
Kelembagaan - Pemerintah - Swasta - Masyarakat - Akademisi
122
Analisis terhadap keberlanjutan kawasan permukiman secara multi dimensi menunjukkan bahwa saat ini kondisinya cukup berkelanjutan. Analisis untuk masing-masing dimensi menunjukkan bahwa untuk dimensi sosial dan ekonomi kondisinya cukup berkelanjutan tetapi dari dimensi ekologi tergolong kurang berkelanjutan. Untuk itu, arahan kebijakan perlu lebih memperhatikan peningkatan keberlanjutan dimensi ekologi tersebut. Faktor-faktor paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk saat ini adalah tingkat alih fungsi lahan, ketersediaan sarana dan prasarana dasar, kohesi sosial, dan perkembangan penduduk. Faktor sub DAS Cisadane merupakan
faktor
dengan
pengaruh
yang
kuat
walaupun
mempunyai
ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor yang kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Skenario pengembangan kawasan permukiman yang terpilih adalah skenario moderat. Berdasarkan hasil tersebut arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilakukan menurut skenario moderat yang secara operasional kebijakan ini dilaksanakan dengan mengendalikan alih fungsi lahan yang optimal, menyediakan sarana dan prasarana dasar yang memadai, menjaga kohesi sosial yang kondusif, menjaga kondisi Sub DAS Cisadane, mengendalikan perkembangan penduduk dan penyebarannya. Guna mewujudkan kondisi tersebut maka kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dilakukan melalui tahapan pencapaian kondisi setiap faktor paling berpengaruh. Isu, permasalahan, dan arahan kebijakan untuk masing-masing faktor yang paling berpengaruh tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Alih fungsi lahan pertanian produktif Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian merupakan salah satu isu mendasar di kawasan permukiman di Cisauk. Peralihan fungsi lahan pertanian ini cukup besar kemungkinannya sebagaimana dikemukakan oleh Irawan (2005) bahwa konversi lahan lebih besar terjadi pada lahan sawah dibandingkan dengan lahan kering karena dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama, pembangunan kegiatan non pertanian seperti permukiman dan industri lebih mudah dilakukan pada tanah sawah yang lebih datar dibandingkan dengan lahan
123
kering. Kedua, akibat pembangunan masa lalu yang terfokus pada upaya peningkatan produk padi maka infrastruktur ekonomi lebih tersedia di daerah persawahan daripada daerah tanah kering. Ketiga, daerah persawahan secara umum lebih mendekati daerah konsumen atau daerah perkotaan yang relatif padat penduduk dibandingkan daerah tanah kering yanag sebagian besar terdapat di wilayah perbukitan atau pegunungan. Sebagai konsekuensi dari pertambahan penduduk dan pembangunan ekonomi, maka perubahan alokasi sumber daya, khususnya sumber daya lahan sulit dihindari Memperhatikan alih fungsi lahan yang terjadi dan mempertimbangkan kondisi sebagian besar masyarakat yang mata pencahariannya sebagai petani dengan taraf kehidupan yang masih rendah, maka perlu dilakukan perlindungan dan keberpihakan terhadap petani yang termarjinalkan oleh sistem kebijakan publik yang ada. Hal ini dilakukan antara lain dengan jalan memberikan insentif untuk meningkatkan land rent pertanian, seperti subsidi input, stimulan prasarana, dan pendampingan. Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumber daya lahan atau dengan kata lain sebagai hasil bersih (output) dikurangi dengan biaya (input) dan pajak lahan. Kebijakan insentif ini diharapkan dapat menekan biaya produksi sehingga petani mendapatkan margin yang mencukupi untuk menunjang kehidupan dan pada akhirnya tidak gampang melepas lahannya untuk pemanfaatan non pertanian. Mengingat perkembangan pemanfaatan lahan untuk kegiatan non pertanian yang kurang terkendali ini dapat memberikan dampak negatif ke masyarakat petani dan lingkungan, seperti berkurangnya lapangan pekerjaan, terancamnya kemandirian pangan, dan keberlanjutan sub DAS Cisadane, maka kegiatan alih fungsi lahan ini perlu dikendalikan dan dibatasi dengan pengenaan disinsentif. Lahan merupakan faktor yang penting dalam pengembangan kawasan permukiman. Ketersediaan lahan di kedua kecamatan tersebut masih mencukupi untuk pengembangan kawasan permukiman kedepan dilihat dari ruang terbuka yang masih tersedia yang luasnya lebih dari 50 persen dari total luas wilayah. Yang perlu diperhatikan adalah jenis lahan yang akan dimanfaatkan dan kesesuaian peruntukan yang ditetapkan didalam rencana tata ruang. Pola pengembangan lahan tidak semata-mata mengikuti pola jaringan prasarana yang
124
ada akan tetapi seyogyanya juga memperhatikan struktur, efisiensi dan keseimbangan
perkembangan
kawasan.
Jangan
sampai
suatu
kawasan
berkembang pesat tetapi kawasan yang lain masih belum berkembang. Pemanfaatan lain yang perlu diperhatikan adalah pemanfaatan lahan untuk bahan galian C berupa material pasir di beberapa tempat di Cisauk. Material ini dibutuhkan untuk pengembangan kawasan permukiman di Cisauk maupun daerah sekitarnya. Sayangnya pelaksanaan penambangan pasir ini dilakukan dengan kurang
memperhatikan keberlanjutan lingkungan
misalnya penambangan
dilakukan dengan alat berat dan bekas penambangan dibiarkan begitu saja berupa situ yang dalam tanpa dilakukan reklamasi atau revegetasi. Sementara jalan-jalan yang dilewati truk-truk pengangkut pasir tersebut menjadi rusak parah dan berdebu.
Kebijakan
pemerintah
daerah
yang
tidak
mengeluarkan
ijin
penambangan baru dinilai sudah tepat. Selanjutnya yang perlu dicari pemecahannya adalah bagaimana menciptakan mekanisme insentif dan disinsentif yang tepat bagi pihak-pihak yang memanfaatkan jalan-jalan tersebut yang mengakibatkan kerusakan jalan tersebut dan jalan keluar terhadap lahan bekas galian pasir yang ditinggalkan begitu saja. Pemanfaatan lahan yang juga perlu mendapatkan perhatian adalah pemanfaatan lahan untuk siapa. Jika pemanfaatan tersebut diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar, maka aspek ekonomi dalam hal ini faktor permintaan (demand) dan pasokan (supply) akan mendominasi perkembangan tersebut. Kemungkinan lahan tersebut akan dikembangkan untuk kawasan permukiman untuk golongan masyarakat menengah atas yang mampu menyerap pasar sementara masyarakat golongan menengah kebawah akan semakin termarjinalkan jika tidak ada intervensi pemerintah. Kemungkinan lain adalah pemanfaatan lahan untuk industri manufaktur atau perdagangan. Mengacu pada skenario moderat, maka kegiatan pemanfaatan lahan ini masih akan berlangsung akan tetapi lebih terkendali. Arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan adalah pengembangan kawasan permukiman kedepan tidak dilakukan di area pertanian produktif, sempadan sungai, jaringan rel KA, dan jaringan transmisi listrik tegangan tinggi. Agar lahan pertanian tidak mudah dialih fungsikan, perlu diberikan insentif untuk menaikkan land rent pertanian antara
125
lain dengan subsidi input seperti pengenaan pajak yang lebih ringan terhadap lahan
pertanian,
bantuan
benih,
pupuk,
peralatan,
teknologi,
kegiatan
pendampingan termasuk kemungkinan adaptasi dari pertanian perdesaan ke pertanian perkotaan (urban farming) sesuai dengan permintaan pasar terdekat misalnya BSD. Untuk lahan-lahan non pertanian perlu dikenakan kebijakan disinsentif, antara lain dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi, biaya perijinan yang maksimal, persyaratan penyediaan ruang terbuka yang maksimal (30%) oleh swasta. Untuk meningkatkan ketersediaan lahan permukiman, pemerintah daerah perlu membebaskan lahan-lahan bekas galian pasir milik swasta untuk kemudian dilakukan reklamasi dan penataan lain sesuai dengan perencanaan. 2. Pengembangan prasarana dan sarana dasar Faktor pengembangan prasarana dan sarana dasar merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi perkembangan kawasan permukiman di Cisauk. Prasarana dan sarana dasar di Cisauk tersebut adalah jalan tol, jalan akses, jaringan kereta api, jaringan listrik, jaringan telpon, jaringan air minum, drainase, persampahan, ruang terbuka hijau, fasos dan fasum. Dengan dibukanya jalan tol ruas Jakarta–Serpong pada tahun 2005 maka perkembangan kawasan permukiman di Serpong dan sekitarnya menjadi pesat terlihat dengan adanya pengembangan kawasan permukiman skala besar seperti kota mandiri BSD, Citra Raya, Alam Sutera, dan lain-lain. Rencananya jalan Tol tersebut akan dilanjutkan pembangunannya untuk ruas Serpong–Balaraja melewati Cisauk bagian utara dan selanjutnya menuju ke Bandara International Soekarno-Hatta. Hal ini akan meningkatkan aksesibilitas arus orang dan barang dan diperkirakan akan menambah kecepatan perkembangan kawasan permukiman di Cisauk dan di sekitarnya. Yang perlu diantisipasi antara lain terjadinya konsentrasi atau bottle neck lalu lintas yang akan menyebabkan kemacetan dan akan mengakibatkan inefisiensi dan kerugian lain. Jalan arteri di Cisauk saat sekarang sepanjang kurang lebih 18 km, dirasa masih belum mencukupi kebutuhan. Saat sekarang kondisi jalan arteri utama berada dalam keadaan rusak parah dan berdebu akibat sering dilewati truk-truk yang mengangkut pasir. Jaringan jalan tersebut lebih banyak terkonsentrasi di jalur Serpong–Rumpin Bogor dan sekitarnya sementara di kawasan yang agak
126
jauh dari jalan utama tersebut ketersediaan dan kondisi jalan masih belum memadai. Sudah ada rencana pengembangan jalan berdasarkan Rencana Rinci Kasiba di desa Suradita dan sebagian Dangdang termasuk jaringan jalannya tetapi hal ini belum mencakup daerah Cisauk yang lain dan implementasinya perlu dimonitor agar sesuai dengan rencana yang telah disusun. Perhatian juga perlu dilakukan terhadap sinkronisasi jalan-jalan termasuk salurannya antar cluster permukiman. Kawasan Cisauk dilewati sungai Cisadane yang membagi kawasan sebelah timur dan sebelah barat sungai Cisadane. Terdapat perbedaan perkembangan permukiman dimana kawasan sebelah timur berkembang pesat sementara kawasan sebelah barat kurang berkembang. Pada tahun 2009 telah dibangun jembatan yang cukup lebar berikut jalan aksesnya yang menghubungkan desa Suradita dan desa Muncul sehingga diperkirakan perkembangan kawasan di sekitar jalan tersebut dan kawasan sebelah barat sungai Cisadane akan berkembang lebih cepat. Dengan berkembangnya kawasan tersebut perlu diantisipasi dampak yang kemungkinan terjadi seperti meningkatnya volume dan konsentrasi lalu lintas yang dapat menyebabkan kemacetan. Kereta api merupakan salah satu moda transportasi andalan masyarakat Cisauk untuk ke Jakarta dan sebaliknya. Pada saat sekarang sarana tersebut sudah mempunyai jaringan rel ganda akan tetapi intensitas perjalanan masih terbatas dan gerbong yang ada masih kurang representatif. Demikian juga kondisi sarana stasiun kereta api di Cisauk masih kurang representatif dengan kapasitas dan sarana pendukung yang terbatas. Prasarana dan sarana lain yang penting adalah air minum, drainase, pengelolaan persampahan, terminal, pasar, sarana budaya dan olah raga. Saat sekarang masyarakat di Cisauk umumnya memanfaatkan air tanah untuk keperluan air bersih dan beli air mineral untuk air minum. PDAM kabupaten Tangerang mempunyai sarana intake pengambilan air baku Sungai Cisadane di Cisauk akan tetapi belum berproduksi melayani masyarakat Cisauk. Berdasakan baku mutu menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, kondisi air tanah di kawasan permukiman di Cisauk (lihat Lampiran 1) memperlihatkan bahwa BOD
127
dan COD yang berada di perumahan, pertokoan dan industri semuanya sudah berada di bawah ambang batas nilai yang dipersyaratkan, sedangkan parameter lainnya yakni nitrat-NO3-N, total fosfat (PO4-P), kadmium-Cd, deterjen, timah hitam-Pb, air raksa (Hg), arsen-As dan fenol yang ada dalam perairan sekitar lokasi penelitian semuanya berada di bawah baku mutu yang ditetapkan. Sudah terdapat sarana pemilahan dan pengolahan persampahan di desa Cisauk yang menghasilkan barang untuk dipakai lagi (reuse) dan diolah lagi (recycle) serta menghasilkan pupuk organik. Akan tetapi kapasitas fasilitas ini masih terbatas sehingga belum bisa melayani seluruh wilayah Cisauk. Jadi masih diperlukan tempat pembuangan akhir yang masih terkendala dengan penyediaan lokasi. Prasarana lain yang diperlukan di Cisauk adalah terminal dan pasar. Sementara ini untuk kedua prasarana itu masih bergabung dengan yang ada di Serpong, sehingga apabila masyarakat di Cisauk mau belanja kebutuhan seharihari harus menempuh jarak yang relatif cukup jauh. Agar lebih efisien dan mendukung perkembangan kawasan perlu dibangun terminal dan pasar di wilayah Cisauk. Pada saat sekarang di Cisauk masih belum tersedia prasarana sosial budaya seperti stadion atau lapangan olah raga dan gedung pertemuan. Kedua prasarana tersebut diperlukan untuk mendukung aktifitas warga disamping juga untuk meningkatkan kesehatan dan komunikasi antar warga. Dari uraian-uraian isu dan permasalahan prasarana dan sarana diatas, arahan kebijakan yang perlu ditempuh oleh pemerintah daerah adalah membatasi kegiatan penambangan pasir dan
memfasilitasi perbaikan lahan bekas
penambangannya, memperbaiki kondisi jalan-jalan yang rusak, mengarahkan pengembangan jalan baru atau peningkatan kualitas ke daerah-daerah yang masih belum berkembang seperti di desa Dangdang dan Mekarsari, sinkronisasi prasarana lingkungan antar cluster perumahan, peningkatan kapasitas pengolahan sampah yang ada dan atau penyediaan tempat pembuangan akhir persampahan, koordinasi dengan PDAM Kabupaten Tangerang peningkatan pelayanan air minum, koordinasi dengan PT. KAI untuk peningkatan pelayanan jasa kereta api, membangun koneksi antar moda, mengupayakan pembangunan lapangan olah raga, gedung pertemuan, pasar dan terminal kendaraan angkutan umum.
128
3. Kohesi sosial Perkembangan kawasan permukiman yang cukup pesat di Cisauk menyebabkan banyaknya penduduk dari daerah lain yang pindah dan bermukim di Cisauk. Meskipun tidak terekspose, di Cisauk terdapat golongan penduduk asli (lahir atau turun temurun di Cisauk) dan penduduk pendatang. Kedua golongan ini mempunyai karakteristik yang cukup berbeda. Penduduk asli pada umumnya mata pencahariannya bertani dan sektor informal dengan kondisi sosial ekonominya terbatas, sedangkan penduduk pendatang kebanyakan bergerak di sektor sektor formal dan non pertanian seperti jasa, perdagangan, atau industri dengan keadaan sosial-ekonominya lebih baik. Kondisi toleransi di Cisauk cukup baik sehingga sampai sekarang tidak pernah terjadi konflik antar kedua golongan penduduk tersebut. Untuk dapat mempertahankan kondisi yang cukup baik ini, perlu diketahui potensi konflik yang sehingga bisa diambil langkah-langkah yang tepat. Dari pengamatan, potensi konflik tersebut antara lain terputusnya koneksi sistem prasarana yang merugikan kluster atau kampung tertentu, perbedaan nilai dan norma dalam gaya hidup sehari-hari antara penduduk asli dengan pendatang, dan kemiskinan dan pengangguran. Potensi konflik juga dapat berasal dari sisi lokal dan eksternal. Dari sisi lokal, potensi konflik dapat muncul antara kawasan kampung penduduk asli, kawasan kumuh buruh, dan permukiman formal menengah, sementara dari sisi eksternal bisa berasal dari kota mandiri BSD seperti kehilangan identitas, marginalisasi pelayanan, dan lain-lain. Kejadian kriminalitas juga relatif jarang terjadi di Cisauk. Namun sikap hatihati dan terus waspada harus tetap dijaga agar tidak terjadi keadaan yang tidak diinginkan.
Keamanan
merupakan
aspek yang sering
ditawarkan oleh
pengembang kawasan permukiman antara lain dengan sistem cluster. Namun perlu diusahakan adalah tercipta keamanan namun masih terjadi komunikasi yang intensif diantara masyarakat tersebut sehingga kriminalitas dapat dieliminir. Pemberdayaan
masyarakat
juga
merupakan
faktor
yang
sensitif
mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman. Pemberdayaan masyarakat diharapkan dapat menekan angka kemiskinan. Penduduk yang miskin berpotensi sebagai pelaku kerusakan lingkungan. Sebagai contoh, rusaknya hutan karena pohon-pohonnya ditebangi oleh warga untuk dijadikan kayu bakar dan lahan
129
pertanian. Oleh karena itu, untuk kawasan-kawasan yang proporsi penduduk miskinnya besar perlu diwaspadai karena berpotensi merusak lingkungan. Tingginya
rumah
tangga
yang
tergolong
miskin
disebabkan
sebagian
masyarakatnya hanya mengandalkan penghasilannya dari pertanian subsisten atau sebagai buruh kasar. Faktor lain yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian dari aspek sosial adalah pengaruh gaya hidup metropolitan. Adanya masyarakat pendatang dari masyarakat perkotaan dengan gaya hidup modern yang cenderung konsumtif, maka hal ini akan mempengaruhi gaya hidup penduduk asli yang belum tentu sesuai dengan budaya setempat. Adanya keinginan untuk memiliki barang elektronik, misalnya, mengakibatkan si petani akan melepas aset miliknya termasuk lahan yang luasnya tidak seberapa. Masyarakat yang dulunya hidup bertani tidak lagi memiliki tanah sehingga menjadi buruh tani atau berganti mata pencaharian. Si petani masih bisa bertahan terhadap godaan barang-barang konsumtif tersebut, akan tetapi bagaimana dengan anak-anaknya. Anak-anak muda dengan ketrampilan yang kurang memadai tergiring bekerja di pabrikpabrik dengan pendapatan yang minim. Komplek perumahan terbentang di sekeliling kampung. Perubahan-perubahan ini membawa dampak yang tidak sederhana terhadap kultur dan psikologi masyarakat. Berada di tengah kemegahan kawasan permukiman akan menyebabkan warga pada umumnya akan diliputi perasaan inferioritas. Identitas diri dan budaya mereka dari hari kehari semakin tidak jelas. Arahan kebijakan untuk aspek sosial adalah perlunya peningkatan kegiatan sosialisasi dan komunikasi, kesehatan, jenjang pendidikan, penciptaan lapangan pekerjaan, pemberdayaan masyarakat, penyediaan prasarana yang secara seimbang dapat menjangkau kawasan permukiman yang ada dan sinkronisasi prasarana lingkungan antar kluster perumahan. 4. Perkembangan penduduk Pertumbuhan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan prasarana dan sarana. Kekurangan ketersediaan prasarana dan sarana akan menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan. Sementara itu, terjadinya konsentrasi penduduk akan meningkatkan volume lalu lintas yang jika tidak
130
diantisipasi dengan baik berpotensi menimbulkan kemacetan lalulintas. Perlu dilakukan pengendalian perkembangan penduduk dan pengaturan penyebarannya secara berimbang. Dengan
berkembangnya
kawasan
permukiman
di
Cisauk
akan
mengakibatkan pertambahan penduduk baik karena pertumbuhan alami maupun urbanisasi. Penduduk pendatang umumnya bekerja di sektor non pertanian dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif lebih baik. Hal ini akan dapat menyebabkan terbentuknya komunitas dan budaya baru yang belum tentu cocok dengan budaya lokal. Selama ini memang tidak terjadi masalah kerawanan sosial. Namun perlu terus dimonitor dan diusahakan agar kedepan jika perkembangan sudah semakin meningkat kohesi sosial tetap bisa dipertahankan. Dalam ekosistem DAS, faktor penduduk merupakan bagian yang sangat penting. Salah satu aspek kependudukan yang perlu diperhatikan adalah mengenai jumlah penduduk. Jumlah penduduk disuatu daerah mempunyai pengaruh terhadap potensi kerusakan lingkungan termasuk kelestarian sumberdaya lahan. Asumsinya adalah bahwa suatu daerah yang mempunyai jumlah penduduk banyak cenderung akan mempunyai resiko terjadinya kerusakan lingkungan dibandingkan dengan daerah yang mempunyai jumlah penduduk sedikit. Hal ini disebabkan intensitas pemanfaatan lahan dan air akan lebih tinggi untuk daerah yang penduduknya lebih banyak. Kepadatan penduduk merupakan cerminan dari besarnya tekanan penduduk terhadap lahan. Semakin tinggi kepadatan penduduk semakin besar pula tekanan penduduk terhadap lahan. Perkembangan penduduk di kecamatan Cisauk yang rata-rata sebesar 4.13 % per tahun menunjukkan pertumbuhan yang pesat. Namun perkembangan tersebut terkonsentrasi di 3 desa yaitu Suradita, Cisauk, dan Cibogo dengan pola searah dengan jalan raya Cisauk.
Hal ini akan menambah kepadatan penduduk di
kawasan tersebut yang akan meningkatkan aliran permukaan (run-off), sedimentasi, timbulan sampah dan tekanan terhadap lahan. Sementara itu, di kawasan tersebut juga terdapat beberapa industri seperti kulit, kain, kertas, dan logam yang mempunyai potensi resiko kerusakan lingkungan lebih besar apabila limbahnya tidak diolah dengan benar. Oleh karena itu, wilayah-wilayah tersebut perlu diwaspadai dan dikendalikan.
131
Arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh pemerintah adalah mengendalikan perkembangan penduduk dan mengatur penyebarannya agar terjadi keseimbangan perkembangan kawasan sesuai potensi yang ada dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungannya. 5. Kondisi Sub DAS Cisadane Faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. Untuk itu perlu diidentifikasi kondisi, permasalahan dan hal-hal terkait sub DAS Cisadane yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk dan sebaliknya. Kawasan Sub DAS Cisadane dengan beberapa anak sungainya merupakan kawasan dengan fungsi utama untuk konservasi air dan tanah. Dengan daerah tangkapan seluas 1,500 km2, sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik. Sub DAS Cisadane dengan luas 140,046 ha wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu Sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun termasuk ± 15.45% pemukiman. Memperhatikan kondisi tersebut, konsep perencanaan dan pengelolaan kawasan Cisauk yang masuk kedalam DAS Sungai Cisadane wilayah tengah harus menyeluruh dan terpadu serta berwawasan lingkungan. Pengelolaan DAS Sungai Cisadane seperti halnya sungai-sungai yang lain saat ini terkendala
132
sulitnya koordinasi dalam mengelola DAS tersebut. Pengelolaan DAS dilakukan oleh beberapa instansi antara lain Kementerian Kehutanan, Pemerintah Kabupaten/Kota, Kementerian Pertanian, Kementerian Pekerjaan Umum, sehingga walaupun sering dikemukakan bahwa pengelolaan DAS harus berdasarkan prinsip one river, one plan, one management tetapi pada kenyataannya koordinasi tersebut sangat sulit dilakukan. Hal lain adalah diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 tentang otonomi daerah secara penuh. Dikhawatirkan karena alasan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pendapatan dari sumber daya alam maka akan terjadi eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan keseimbangan dan daya dukung lingkungan. Kerusakan lingkungan tidak hanya terjadi dimana sumberdaya tersebut dieksploitasi namun juga akan berimbas ke daerah lain, contohnya penebangan hutan akan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir. Aspek Sub DAS Cisadane yang terkait dengan air adalah menyangkut kualitas dan kuantitas. Masalah pencemaran terkait dengan kualitas air sedangkan banjir, kekeringan terkait dengan kuantitas air. Sumber pencemaran Sungai Cisadane berasal dari berbagai limbah rumah tangga, limbah pertanian terutama limbah pestisida dan limbah organik dan sisa pupuk kimia. Semua jenis limbah tersebut menyebabkan pencemaran air sungai yang mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas air sungai. Hubungan permukiman di Cisauk dengan sungai Cisadane cukup signifikan. Kawasan permukiman menggunakan sungai Cisadane sebagai tempat penyaluran (sebagian) drainase, air limbah, dan sampah. Disamping itu permukiman mengambil air baku, penambangan pasir dari sungai Cisadane. Sampai dengan tahun 2010, kawasan permukiman di Cisauk belum pernah mengalami banjir karena topografi lahan yang cukup tinggi dan banyak kawasan resapan air berupa sawah dan situ-situ bekas penggalian pasir. Menurut pengamatan, yang perlu mendapatkan perhatian adalah limbah yang dibuang ke sungai baik domestik maupun industri harus sesuai dengan ketentuan. Untuk mengurangi aliran permukaan (run-off) termasuk kandungan sedimentasinya, perlu dilakukan perbaikan drainase yang masih alami dan pembuatan sumur-sumur resapan
133
terutama di kawasan permukiman yang padat. Monitoring dan sosialisasi ke masyarakat dan aparat terkait perlu lebih diintensifkan. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang disebutkan bahwa sub DAS Cisadane merupakan sumber air baku bagi Kabupaten Tangerang dan Kota/Kabupaten disekitarnya, sebagai media buangan air limbah, dan sistem drainase dan penanganan banjir di Kabupaten Tangerang dan sekitarnya sehingga DAS ini perlu diprioritaskan dalam pembangunannya. Dari berbagai permasalahan dan pertimbangan diatas, maka arahan kebijakan yang seyogyanya dilakukan oleh pemegang otoritas kebijakan terkait sub DAS Cisadane adalah: (1) pemberian insentif terhadap kegitan-kegiatan untuk mengurangi volume aliran permukaan yang mengandung sedimentasi seperti penerapan tindakan konservasi tanah, perbaikan drainase, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, dan mempertahankan hutan yang ada, (2) pengenaan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan domestik dan industri yang mencemari air sungai Cisadane. Sesuai dengan perjalanan waktu, perkembangan pembangunan tidak selamanya berjalan linier seperti yang direncanakan. Dinamika masyarakat, perubahan kebijakan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan berbagai faktor lain seringkali menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian dan perubahan, Perencanaan membutuhkan pemantauan dan evaluasi sehingga mampu menjawab perubahan-perubahan yang terjadi. Oleh sebab itu kaji ulang atau revisi perencanaan diperlukan yang dimaksudkan untuk menguji kembali kesahihan data, informasi, serta asumsi-asumsi yang mendasari penyusunan perencanaan. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tangerang yang disusun dengan perspektif ke masa depan untuk jangka waktu 10 tahun, maka arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman ini juga perlu ditinjau kembali secara periodik maksimal dalam jangka waktu 10 tahun. Tabel 33 menunjukkan pengaruh dari faktor-faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan permukiman dilihat dalam dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi yang ditunjukkan oleh atribut masing-masing dimensi yang terpengaruh maupun yang tidak terpengaruh oleh arahan kebijakan dari masing-masing faktor pengungkit tersebut.
134
Tabel 33 Pengaruh faktor pengungkit terhadap keberlanjutan kawasan Dimensi Faktor
Alih fungsi lahan
Prasarana dan sarana
Kohesi sosial
Dimensi Ekologi
- Meningkatnya - Meningkatnya keberlanjutan sub DAS pemberdayaan masyarakat Cisadane - Meningkatnya pendidikan - Meningkatnya ketersediaan penghuni RTH - Terkendalinya alih fungsi lahan pertanian - Terkendalinya keg. penambangan pasir - Tercukupi dan terpeliharanya prasarana dan sarana -
-
Perkembangan - Terkendalinya alih fungsi lahan penduduk
Sub DAS Cisadane
Dimensi Sosial
- Meningkatnya keberlanjutan sub DAS Cisadane - Terjaganya lahan-lahan bervegetasi - Terkendalinya banjir
Dimensi Ekonomi - Meningkatnya keuntungan petani - Meningkatnya kesejahteraan masyarakat - Terserapnya tenaga kerja
Meningkatnya - Meningkatnya nilai pemberdayaan masyarakat ekonomi rumah dan lahan Meningkatnya kohesi sosial - Meningkatnya kesejahteraan masyarakat Tercukupi dan terpeliharanya sarana lingkungan
- Meningkatnya kohesi sosial dan pemberdayaan masyarakat - Menurunnya potensi konflik, kriminalitas
-
- Terjaganya kohesi sosial
- Berkembangnya kawasan secara berimbang
-
-
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan perkembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten cukup berkelanjutan namun belum sepenuhnya memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Selengkapnya kesimpulan
penelitian adalah sebagai berikut: 1. Dinamika perkembangan kawasan permukiman di metropolitan DKI Jakarta periode 1990-2010 diawali dengan peningkatan jumlah kawasan yang lambat pada kurun 1990-2000, kemudian terjadi perkembangan yang sangat pesat pada periode 2000-2005, dan selanjutnya perkembangannya menurun pada periode 2005-2010. Sejalan dengan peningkatan jumlah kawasan permukiman karena urbanisasi, investasi swasta dan bangkitan aktivitas dengan memanfaatkan infrastruktur yang ada, sistem metropolitan DKI Jakarta, dilihat dari hirarki dan jaringan kota, berkembang dan pada pengamatan tahun 2010 terdapat PKW (Pusat Kegiatan Wilayah) baru yaitu kota mandiri Bumi Serpong Damai (BSD). 2. Tingkat keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk saat ini secara multi dimensi menunjukkan kondisi yang cukup berkelanjutan dengan nilai 55.93%. Demikian juga kondisi keberlanjutan kawasan untuk dimensi sosial dengan nilai 57.61% dan dimensi ekonomi dengan nilai 64.82% tergolong cukup berkelanjutan. Namun dimensi ekologi kurang berkelanjutan dengan nilai 45.35%. Faktor-faktor pengungkit untuk masing-masing dimensi berturutturut untuk dimensi ekologi adalah drainase, penambangan pasir, alih fungsi lahan pertanian produktif, dan kondisi sub DAS Cisadane. Untuk dimensi ekonomi adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat, nilai ekonomi lahan, dan perkembangan sarana ekonomi. Untuk dimensi sosial adalah tingkat pendidikan
penghuni,
kohesi
sosial,
perkembangan
penduduk,
dan
pemberdayaan masyarakat. 3. Faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap keberlanjutan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk dimasa mendatang adalah alih guna lahan pertanian, pengembangan prasarana dan sarana dasar, kohesi sosial,
dan
136
perkembangan penduduk serta penyebarannya. Selain ke empat faktor tersebut, faktor sub DAS Cisadane merupakan faktor yang mempunyai pengaruh yang kuat walaupun mempunyai ketergantungan yang tinggi. Implikasi dari hal ini adalah bahwa sub DAS Cisadane merupakan faktor kritis yang menentukan keberlanjutan kawasan permukiman di Cisauk. 4. Pilihan skenario kebijakan pengembangan kawasan permukiman adalah skenario moderat yang secara operasional berupa alih fungsi lahan yang lebih terarah dan terkendali, ketersediaan prasarana dan sarana dasar yang meningkat, kohesi sosial tetap bisa dipertahankan, kondisi sub DAS Cisadane yang meningkat, dan perkembangan penduduk serta penyebarannya yang terkendali. 5. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman berdasarkan skenario terpilih adalah: a. Terhadap kegiatan alih fungsi lahan pertanian produktif: arahan kebijakannya adalah pengembangan kawasan permukiman kedepan tidak dilakukan di lahan pertanian produktif, sempadan sungai, jaringan rel KA, dan jaringan transmisi listrik tegangan tinggi. Agar lahan pertanian tidak mudah dialih fungsikan, perlu diberikan insentif untuk meningkatkan land rent antara lain dengan subsidi input seperti pengenaan pajak yang lebih ringan terhadap lahan pertanian, bantuan benih, pupuk, peralatan, teknologi, kegiatan pendampingan termasuk kemungkinan adaptasi dari pertanian perdesaan ke pertanian perkotaan (urban farming) sesuai dengan permintaan
pasar
terdekat
misalnya
BSD.
Untuk
lahan-lahan
non-pertanian perlu dikenakan kebijakan disinsentif, antara lain dengan pengenaan pajak yang lebih tinggi, biaya perijinan yang maksimal, persyaratan penyediaan ruang terbuka yang maksimal (30%) oleh swasta. Untuk meningkatkan ketersediaan lahan permukiman, pemerintah daerah perlu memfasilitasi pembebasan lahan-lahan bekas galian pasir milik swasta untuk kemudian dilakukan reklamasi untuk berbagai penggunaan sesuai keperluannya. b. Terhadap pengembangan prasarana dan sarana: arahan kebijakannya adalah membatasi kegiatan penambangan pasir dan memfasilitasi
137
perbaikan lahan bekas penambangan pasir, memperbaiki kondisi jalanjalan yang rusak, mengarahkan pengembangan jalan ke daerah-daerah yang masih belum berkembang seperti di desa Dangdang dan Mekarsari, sinkronisasi prasarana lingkungan antar cluster perumahan, peningkatan kapasitas pengolahan sampah yang ada dan atau
penyediaan tempat
pembuangan akhir persampahan, koordinasi dengan PDAM Kabupaten Tangerang dalam upaya peningkatan pelayanan air minum, koordinasi dengan PT. KAI untuk peningkatan pelayanan jasa kereta api, membangun koneksi antar moda, mengupayakan pembangunan lapangan olah raga, gedung pertemuan, pasar dan terminal kendaraan angkutan umum. c. Untuk kohesi sosial: arahan kebijakannya adalah peningkatan kegiatan sosialisasi dan komunikasi, jenjang pendidikan, penciptaan lapangan pekerjaan, dan pemberdayaan masyarakat, penyediaan prasarana yang secara seimbang dapat menjangkau kawasan permukiman yang ada dan sinkronisasi prasarana lingkungan antar kluster perumahan. d. Terhadap
perkembangan
mengendalikan
penduduk:
perkembangan
arahan
penduduk
kebijakannya
yang
masuk
adalah
(incoming
migration) dan keluar (outgoing migration) dan mengatur penyebarannya agar terjadi perkembangan kawasan dan ekonomi yang seimbang sesuai potensi
yang
ada
dengan
tetap
memperhatikan
daya
dukung
lingkungannya. e. Terhadap kondisi Sub DAS Cisadane: dengan mengacu pada perencanaan dan pengelolaan sub DAS tersebut secara terpadu yang telah ditetapkan oleh instansi yang berwenang, maka arahan kebijakannya adalah: (1) pemberian insentif terhadap kegitan-kegiatan yang dapat mengurangi volume aliran permukaan dan sedimentasi seperti penerapan tindakan konservasi tanah, perbaikan drainase, penanaman pohon, pembuatan sumur resapan, dan mempertahankan hutan yang ada, (2) pengenaan disinsentif terhadap kegiatan-kegiatan domestik dan industri yang mencemari air sungai Cisadane, (3) konversi lahan-lahan bervegetasi dikendalikan dan tidak dialih fungsikan untuk kawasan terbangun.
138
6.2 Saran Berdasarkan hasil analisis, pembahasan
dan kesimpulan penelitian,
beberapa saran dapat disampaikan sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk restrukturisasi program dan skala prioritas pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten. 2. Perlu dilakukan kerja sama yang sinergis antara pemerintah Kabupaten Tangerang dan pemerintah Kota Tangerang Selatan difasilitasi oleh pemerintah provinsi Banten dan pelibatan stakeholders terkait dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan permukiman fungsional (diluar kawasan pengembangan BSD) yang berkelanjutan di Cisauk agar dapat berkembang secara berkelanjutan. 3. Arahan kebijakan pengembangan kawasan permukiman di Cisauk yang berkelanjutan ini dapat digunakan di kawasan lain yang mempunyai tipologi sejenis yaitu di pinggiran kota metropolitan dengan memodifikasi faktorfaktor sesuai dengan karakteristik kawasan dan kebutuhan stakeholders setempat. 4. Hasil penelitian ini disarankan untuk dikembangkan lebih lanjut terutama dengan pendalaman pada aspek kelembagaan dan anggaran/investasi pengembangan kawasan permukiman.
139
DAFTAR PUSTAKA Alexander D., Nola K.S., Babicki D., and Ferguson J. 2006. The Capable City. Paper presented at The World Urban Forum. Canada, 10-12 March 2006. Almeida C. M., Batty M., Monteiro A.M.V. 2003. Stochastic Cellular Automata Modeling of Urban Land Use Dynamics: Empirical Development and Estimation. Computers, Environment and Urban Systems. 27(5), 481-509. Anna S., 2001, Model Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu, Makalah Falsafah Sains, Program Pasca Sarjana / S3, Institut Pertanian Bogor, Bogor Angotti T. 1993. Metropolis 2000, Planning, Poverty and Politics. New York, Routledge. Anonim. 1945. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. _ ________. 1990. Peraturan Daerah No.4 Tahun 1990. 1997. RDTR Kota Serpong. ________. 1992. Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1992. Perumahan dan Permukiman. ________. 1997. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1997. Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. ________. 1999. Peraturan Pemerintah RI No.80 Tahun 1999. Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Berdiri Sendiri. ________. 2001. Peraturan Pemerintah RI No.82 Tahun 2001. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. ________. 2002. Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2002. Bangunan Gedung. ________. 2004. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun2004. Pengelolaan Sumber Daya Air. ________. 2007a. Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2007. Penataan Ruang. ________. 2007b. Peraturan Menteri Dalam Negeri no.1 Tahun 2007. Ruang Terbuka Hijau. ________. 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. ________. 2011. Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2011. Perumahan dan Kawasan Permukiman. Arikunto S. 1996. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Jakarta. Rineka Cipta.. ________. 2005. Manajemen Penelitian. Cetakan ketujuh. Jakarta: PT.Rineka Cipta..
140
Asdak C. 2010. Hidrologi dan Pengeloloaan Daerah Aliran Sungai. Cetakan ke lima. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. [BPS] Badan Pusat Statistik. 1991. Sensus Penduduk 1990. Jakarta. ________. 1996. Survei Penduduk 1995. Jakarta. ________ . 2001. Sensus Penduduk 2000. Jakarta. ________ . 2004. Statistik Indonesia 2003. Jakarta. ________. 2006. Survei Penduduk 2005. Jakarta. ________ . 2011. Sensus Penduduk 2010. Jakarta. Bourgeous R. and Jesus F. 2004. Participatory Prospective Analysis Exploring and Anticipating Challenges with Stakeholders. French Agricultural Research Centre for International Development. Budihardjo E. dan Hardjohubodjo B. 2003. Kota Berwawasan Lingkungan. Bandung. Alumni. Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2004. Rencana Aksi Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah. Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Metropolitan di Indonesia. Kenyataan dan Tantangan dalam Penataan Ruang. Jakarta: Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum. Djakapermana R.D. dan Djumantri M. 2002. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam Era Transformasi di Indonesia: Pergeseran Pendekatan dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah/Kawasan di Indoensia. Bandung. Penerbit Departemen Teknik Planologi ITB dan Yayasan Sugijanto Soegijoko. Djayadiningrat S.T. 2001. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta: Universitas Terbuka. Djunaedi A. 2001. Alternatif Model Penerapan Perencanaan Strategis Dalam Penataan Ruang Kota di Indonesia. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota 12 (1): 16-28. Doxiadis C.A. 1971. Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settlement. London: Hutchinson. Dunn W.N. 1994. Public Policy Analysis: An Introduction. New Jersey: Prentice Hall, International, Englewood Cliffs. Dye T.R. 1981. Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice-Hall. Eriyatno 2003. Ilmu sistem: meningkatkan mutu dan efektifitas manajemen. Jilid I Edisi Ketiga. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
141
Eriyatno dan Sofyar F. 2007. Riset Kebijakan. Metode Penelitian untuk Pascasarjana. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Fauzi A. dan Anna S. 2005. Permodelan sumber daya perikanan dan kelautan untuk analisis kebijakan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Firman T. 2005. Seratus Juta Penduduk Perkotaan. Harian Suara Pembaruan 30/03/2005. Freeman L. 2004. Siting affordable housing: location and neighbourhood trends of low income housing tax credits development in the 1990s. Washington DC: The Brookings Institution. Hardjomidjojo H. 2004. Strategi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hartrisari. 2007. Sistem Dinamik. Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hilman M. 2008. Model Penentuan Lokasi Perumahan Berkelanjutan di Wilayah Gedebage Kota Bandung. [Disertasi] Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Hughes O.E. 1994. Public Management and Administration: An Introduction. New York: St. Martin’s Press. Ionnides Y.M. and Rossi E.H. 2004. Urban structure and growth. Working paper of Economic Stanford University. Stanford. 3 March 2004. Irawan B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi 23 (1): 1-18. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Jones C.O. 1991. Pengantar Kebijakan Publik. Terjemahan. Jakarta: Rajawali Press, Kavanagh P. 1999. Rapfish SPSS Automation and Analysis of Technique. UBC Fisheries Center, Unpublished report. Kemalawarta I. 2008 Pengembangan Kota/ Kawasan Hijau untuk Masa Depan yang Berkelanjutan. Seminar Nasional Standardisasi. Jakarta. 24 November 2008. Kementerian Negara Perumahan Rakyat. 2007. Rencana Rinci Tata Ruang di Cisauk, Kab. Tangerang - Banten. Keputusan Menteri Negara Perumahan dan Permukiman No.09/KPTS/M/IX/1999. Pedoman Penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D). Kirmanto D. 2005. Pengembangan Perumahan dan Permukiman yang berwawasan lingkungan strategis dalam pencegahan banjir di perkotaan. [serial online] http://www.pu.gp.id/Ditjen_mukim/ensiklopedia/perumahan/ cegah/ cegah banjir. html [30 Nopember 2005].
142
Krebs C.J. 2001. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. 5th Ed. California: Benjamin Cummings, Menlo Park. Kuswara. 2004. Penataan Sistem Perumahan dan Permukiman dalam Rangka Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah. Jurnal Penelitian Permukiman. 20:23-29. Kuswartojo T. dan Salim S.A. 1997. Perumahan dan Permukiman yang Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kuswartojo T., Rosnarti D., Effendi V., Eko R., dan Sidi P. 2005. Perumahan dan Permukiman di Indonesia. Bandung: ITB. Leksono A.S. 2007. EKOLOGI. Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif. Malang: Bayumedia Publishing. Maler K.G. 1991. Environmental Economics and the Developing World. Ambio. 20 (2): 68-74. Environmental Economics, Allen Press. Manetch T. and Park G.L. 1977. System analysis and simulation with aplication to economic and social system. Michigan. Michigan State University Press. Marimin 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. ______. 2005. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial. Bogor. Penerbit IPB Press. Marimin, Tanjung H., dan Prabowo H. 2006. Sistem Informasi Manajemen. Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Masri R.M. 2009. Kajian Perubahan Lingkungan di Zona Buruk Untuk Perumahan. [Disertasi] Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. Misra R.P. 1981. The Changing Perception of Development. Nagoya, Japan: Maruzen Asia. Mitchell B., Setiawan B., dan Rahmi D.H. 2003. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Muhammadi, Aminullah E. dan Soesilo B. 2001. Analisis Sistem Dinamis, Lingkungan Hidup Sosial Manajemen. Jakarta: UMJ Press. Munasinghe M. 1993. Environmental Economic and Sustainable Development. The International Bank for Recostruction and Development/ The World Bank. Washington D.C. 20443, USA. Nasoetion A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
143
National Urban Development Strategy (NUDS ). 2000. A Policy Review and Improvement of the IUIDP Concept. Final Report. Jakarta. Ditjen Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Napitupulu G.C. 2005. Isu Strategis dan Tantangan dalam Pembangunan Perkotaan. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. URDI-YSS-Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Nurzaman S.S. 2002. Perencanaan Wilayah di Indonesia pada masa Sekitar Krisis. Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung. Panudju B. 1999. Pengadaan Perumahan Kota dengan peran serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Bandung: Alumni. Partowidagdo W. 2010. Mengenal Pembangunan dan Analisis Kebijakan. Bandung: Program Pasca Sarjana Studi Pembangunan ITB. Perrings C. 1991. Ecological Sustainability and Environmental Control. Structural Change and Economic Dynamics. Purwanto E.A. dan Sulistyastuti D.R. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Administrasi Publik Dan Masalah-masalah Sosial.Yogyakarta: Gava Media. Rahardjo P. 2003. Upaya pengendalian lahan perkotaan. Jurnal Real Esta. 8:1220 Richardson H.W. 1978. Growth centers, rural development and national urban policy. New Jersey: Englewood Cliftfs. Roberts S.D. 1983. Simulation modeling with insight. NJ. USA: IEEE Press Piscataway. Rustiadi E., Saefulhakim S. dan Panuju D.R. 2004. Perencanaan Pengembangan Wilayah. Konsep dan Teori. Bogor. Fakultas Pertanian-IPB. Sadyohutomo M. 2009. Manajemen Kota dan Wilayah. Realita dan Tantangan. Bandung: Bumi Aksara. Sastra S dan Marlina E. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, Sebuah Konsep, Pedoman, dan Strategi Perencanaan dan Pengembangan Perumahan. Yogyakarta: Andi offset. Siregar D.D. 2004. Manajemen Aset, Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: PT. Gramedia. Sitorus S.R.P. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito. __________. 2007. Kualitas Degradasi dan Rehabilitasi Lahan. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana-IPB.
144
Soegijoko B.T.S. 2005. Keterkaitan Antar Kota dalam Suatu Sistem Perkotaan. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 21. URDI-YSSJakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Jambatan. Soenarno. 2004. Pembangunan Perumahan: Menuju Terbentuknya Pemenuhan Kebutuhan Papan Guna Meningkatkan Kualitas Hidup dan Jatidiri Bangsa Melalui Pengembangan Satu Juta Rumah. Jurnal Penelitian Permukiman. 20:2-7. Soeriaatmadja. R.E. 1997. Ilmu Lingkungan. Bandung: ITB. Soerjani M., Ahmad R., dan Munir R. 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam dan Kependudukan dalam Pembangunan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Subarsono A.G. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Konsep, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Cetakan ke-7. Bandung: Alfabeta. ________. 2010. Statistika untuk Penelitian. Cetakan ke-16. Bandung: Alfabeta. Tjokrowinoto M. 1996. PEMBANGUNAN. Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Urban and Regional Development Institute (URDI) dan Yayasan Sugiyanto Soegiyoko. 2005. Bunga Rampai Pembangunan Kota Indonesia dalam Abad 2. Konsep dan Pendekatan Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Jakarta: Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Winarso H. 1995. Tarif izin perubahan tata guna lahan perkotaan sebagai bentuk kontrol pelaksanaan penataan ruang kota. Jurnal PWK. 17: 8-12.
143
Lampiran 1: Data kualitas air dan udara Kawasan Pemukiman di Cisauk dan sekitarnya. Pengambilan data Agustus 2011 No I II
Parameter Fisika - Suhu Kimia 1. pH 2.BOD5 3.COD+ 4.Nitrat-NO3-N 5.Total Fosfat (PO4-P) 6.Kadmium-Cd 7.Deterjen 8.Timah HitamPb 9.Air Raksa (Hg) 10.Arsen-As 11.Fenol
Satuan o
Perumahan Luar
Lokasi Perumahan Pertokoan BSD
Industri
Baku Mutu II*
C
26
26
27
28
Dev.3
mg/l
6.0 5.13 20.68 0.076
6.5 4.94 92.26 0.170
6.5 5.22 93.84 0.111
6.5 11.71 98.71 1.903
6-9 3 25
0.034
0.90
0.052
0.140
0.2
< 0.001 0.010
< 0.001 0.008
< 0.001 0.007
< 0.001 0.009
0.01 0.2
< 0.005
< 0.005
< 0.005
< 0.005
0.03
0.0005
0.0005
0.0006
0.0006
0.0003 0.0009
0.0003 0.0009
0.0004 <0.0001
0.0004 0.0009
0.002 1 0.001
10
BM II*= Baku Mutu Air kelas II menurut Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001 tentang
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
147
Lampiran 2 : Hasil analisis MDS Ordination DIMENSI EKOLOGI 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
45.35 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 National Resilience Sustainability
Nilai indeks keberlanjutan aktual dimensi ekologi pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, Kabupaten Tangerang sebesar 45,35%.
Ordination DIMENSI EKONOMI 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
64.82 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 National Resilience Sustainability
Nilai indeks keberlanjutan aktual dimensi ekonomi pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, Kabupaten Tangerang sebesar 64,82%.
148
Ordination DIMENSI SOSIAL 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
57.61 0
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100
120
-20
-40 DOWN -60 National Resilience Sustainability
Nilai indeks keberlanjutan aktual dimensi sosial pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, Kabupaten Tangerang sebesar 57,61%.
Real Settlements
Nilai indeks keberlanjutan prospektif dimensi Ekologi pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, Kabupaten Tangerang sebesar 57,07%.
149
RAPFISH Ordination RAPSETTLEMENT 600
Other Distingishing Features
400
Bad 200 Up Real Real Fisheries Settlements
Good 67.91
0 0
20
40
60 Down
80
Reference anchors 100
120
Anchors
-200
-400
-600 Fisheries Status Settlements
Nilai indeks keberlanjutan prospektif dimensi Ekonomi pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, Kabupaten Tangerang sebesar 67,91%.
ο Real Settlements
Nilai indeks keberlanjutan prospektif dimensi sosial pengembangan kawasan permukiman di Cisauk, Kabupaten Tangerang sebesar 59,70%.
151
153
Lampiran 4: Persepsi Responden (Penduduk, Aparat Pemerintah, dan Swasta) terhadap Pengembangan Kawasan Permukiman di Cisauk, Provinsi Banten.
154
Sanitary landfill
incinerator
Lainnya
155
Lampiran 4b: Persepsi Responden Penduduk
156
Lampiran 5: Tabulasi data-data hasil pengisian responden No
I
Responden
Penduduk
Pilihan
1
A.Pertanyaan dan jawaban data pribadi 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12
1
2
3
4
5
6
B. Pertanyaan dan jawaban data fisik, sosial, dan ekonomi 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
a b c d
9 60 0 4 52 4 82 9 0 13 78 0 181 138 30 125 0 99 4 0 0 52 0 121 35 4 0 138 0 4 130 4 0 4 4 9 56 13 143 112 173 164 86 134 39 99 13 0 95 0 9 30 160 4 17 13 151 13 0 69 173 30 108 4 30 52 147 121 13 60 173 173 78 117 108 22 30 0 13 13 26 9 48 73 173 168 4 168 0 22 0 60 173 78 35 177 190 69 9 39 48 181 160 0 43 65 0 125 17 13 108 60 26 155 9 17 4 9 22 17 13 9 0 4 9 17 Kosong 0 0 0 0 4 26 9 0 4 4 4 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 48 0 0 0 0 4 0 0 Jumlah 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190 190
a 0 4 b 4 0 c 6 6 II Pengembang d 0 0 Kosong 0 0 Jumlah 10 10 a 5 6 b 14 14 Pemerintah c 11 7 III dan ahli d 0 3 Kosong 0 0 Jumlah 30 30
0 8 2 0 0 10 0 1 29 0 0 30
0 0 8 2 0 10 4 2 15 9 0 30
0 4 2 4 0 10 13 12 1 4 0 30
8 2 0 0 0 10 9 7 13 1 0 30
2 0 8 0 0 10 24 3 3 0 0 30
4 6 0 0 0 10 9 21 0 0 0 30
3 1 26 0 0 30
-
-
-
10 4 10 6 0 0 6 0 4 2 0 0 0 0 8 0 0 0 0 0 10 10 10 10 10 27 21 23 9 5 3 9 7 8 10 0 0 0 13 15 0 0 0 0 0 30 30 30 30 30
2 8 0 0 10 14 13 2 1 30
2 8 0 0 10 19 10 1 0 30
0 4 6 0 10 20 10 0 0 30
0 0 0 0 2 8 6 0 0 2 6 4 8 8 2 4 8 10 8 4 6 2 0 0 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10 10 10 10 10 10 10 10 10 3 6 4 5 11 21 27 8 10 10 22 23 13 18 9 3 21 20 17 2 3 11 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30 30 30 30 30 30 30 30 30
0 8 0 0 0 8 2 8 10 10 2 0 2 0 0 0 0 0 0 0 10 10 10 10 10 6 22 15 11 9 14 8 14 16 16 10 0 1 3 5 0 0 0 0 0 30 30 30 30 30
0 10 0 0 10 10 18 2 0 30
0 10 0 0 10 11 17 2 0 30
4 0 4 8 2 2 0 0 10 10 17 0 13 0 0 0 0 0 30 0
155
157
Lampiran 6a : Kuesioner Penduduk Kode responden
: Pd................
KUESIONER PENDAPAT RESPONDEN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN DI KEC. CISAUK – KAB. TANGERANG
Reponden
: Penduduk
Hari/Tanggal
: ..................................
Jam
: .................
Nama
: .............................................................................
Alamat
: ............................................................................. ..............................................................................
Jenis Kelamin
: Laki-laki/ Perempuan*
Daerah Asal
: .............................................................................
Keterangan : * = coret yang tidak perlu
158
I.A Pilih alternatif jawaban yang paling sesuai dengan memberikan tanda (x) pada pilihan yang tersedia 1. Umur : a. Antara 17 – 25 tahun; b. Antara 25 – 40 tahun; c. Antara 40 – 55 tahun; d. Lebih dari 55 tahun. 2. Pekerjaan : a. PNS/TNI/Polri; b. Karyawan swasta; c. Pengusaha; d. Lainnya, sebutkan ...................................................... 3. Status rumah : a. Milik negara; b. Milik sendiri; c. Sewa; d. Lainnya, sebutkan ...................................................... 4. Status lahan : a. Milik Negara; b. Milik sendiri; c. Milik orang lain; d. Lainnya, sebutkan ....................................................... 5. Faktor apa yang menyebabkan anda datang dan menetap di Cisauk? a. Pekerjaan; b. Lingkungan; c. Keterjangkauan; d. Lainnya, sebutkan ........................................................ 6. Sudah berapa lama anda menetap di Cisauk? a. Kurang dari 5 tahun; b. Antara 5 – 10 tahun; c. Antara 10 – 20 tahun; d. Lebih dari 20 tahun. 7. Apakah akan menetap di Cisauk? a. Ya, karena ....................................................... b. Tidak, karena ................................................... c. Tergantung pekerjaan; d. Tidak tahu. 8. Menurut anda siapa yang paling berperan dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Masyarakat; b. Swasta; c. Pemerintah; d. Pelaku lain, sebutkan ...........................................................
159
9. Menurut anda faktor apa yang paling menentukan dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Pembebasan Lahan; b. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berkelanjutan; c. Ketersediaan jalan akses (mis, jalan arteri, TOL) yang memadai; d. Lokasi strategis. 10. Menurut anda faktor apa yang paling menghambat dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Pengurusan ijin; b. Pembebasan lahan; c. Ketersediaan material; d. Lainnya, sebutkan ................................................................ 11. Menurut anda metoda pengelolaan persampahan yang cocok untuk diterapkan di kawasan permukiman di Cisauk? a. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) /Sanitary landfill; b. Kompos/ pupuk organik; c. Pembakaran/ incinerator; d. Lainnya, sebutkan ................................................................... 12. Menurut anda prasarana air minum yang paling cocok untuk dikembangkan di kawasan permukiman di Cisauk? a. Air tanah; b. Air PDAM; c. Air hujan; d. Lainnya, sebutkan ........................................................... I.B Pilih salah satu jawaban yang paling sesuai dengan memberikan tanda (x) pada pilihan yang tersedia Komponen Fisik/ prasarana
No
Pertanyaan
Alternatif jawaban
1
Apakah sering terjadi banjir di lokasi permukiman yg anda tempati?
a. Tidak b. Jarang (1x/thn) c. Sering (>1x/thn)
2
Bagaimana kondisi aliran air hujan
a. Baik/terserap ke tanah b. Sedang/ menggenang c. Kurang
3
Bagaimana kondisi drainase lingkungan permukiman yang anda tempati?
a. Lancar b. Kurang lancar c. Tidak lancar
4
Bagaimana ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)?
a. Baik (>20%) b. Sedang c. Kurang
160
Komponen
Sosial
No
Pertanyaan
Alternatif jawaban
5
Bagaimana ketersediaan MCK untuk mengolah limbah domistik di permukiman anda
a. Banyak (>10bh/RW) b. Sedang c. Kurang
6
Bagaimana ketersediaan (jumlah dan waktu) air minum?
a. Baik (ada setiap saat) b. Sedang c. Kurang
7
Bagaimana kualitas air minum?
a. Baik (jernih, tak bau, tak ada logam) b. Sedang c. Kurang
8
Bagaimana kondisi pengelolaan persampahan?
a. Baik (sering diangkut, >3kl/minggu) b. Sedang c. Kurang
9
Bagaimana ketersediaan dan kualitas jalan akses menuju lokasi permukiman anda?
a. Baik (ada dan tdk rusak) b. Sedang c. Kurang
10
Bagaiman ketersediaan sarana transportasi umum
a. Baik (ada, cukup jmlh) b. Sedang c. Kurang
11
Apakah penambangan pasir dan batu a. Ramah lingkungan dilaksanakan dengan ramah lingkungan? (direhab, tak ada dampak negatif) b. Kurang ramah lingkungn c. Tidak ramah
12
Bagaimana alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi non pertanian di sekitar permukiman anda?
a. Lambat b. Sedang c. Cepat
13
Bagaimana kondisi DAS (Daerah aliran sungai) Cisadane?
a. Bagus (run off lancar, tdk tjd pendangkalan, longsor,) b. Kurang c. Buruk
14
Bagaimana hubungan kekerabatan antar penduduk?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
15
Apakah sering terjadi konflik sosial?
a. Tidak ada b. Jarang c. Sering
161
Komponen
No 16
Bagaiman ketersediaan sarana kesehatan yang terjangkau?
17
Bagaiman ketersediaan sarana pendidikan yang terjangkau?
18
Bagaimana ketersediaan fasos dan fasum? (mis, tempat bermain, pasar, tempat ibadah) Apakah sering terjadi tindak kriminal pada lokasi permukiman anda?
19
Ekonomi
Pertanyaan
Alternatif jawaban a. Baik b. Cukup c. Kurang a. Baik b. Cukup c. Kurang a. Baik b. Cukup c. Kurang a. Tidak pernah b. Jarang c. Sering a. Baik b. Cukup c. Kurang
20
Bagaimana kondisi pemberdayaan masyarakat? (mis, penyuluhan masy, posyandu, dll)
21
Bagaimana peningkatan nilai jual tanah?
a. Cepat b. Sedang c. Lambat
22
Bagaimana kondisi penciptaan lapangan pekerjaan?
a. Baik b. Cukup c. Kurang
23
Bagaimana peningkatan kondisi kesejahteraan masyarakat?
24
Bagaimana keuntungan memiliki rumah di permukiman yang anda tempati?
a. Baik b. Cukup c. Kurang a. Baik b. Sedang c. Kurang
25
Menurut anda bagaimana perkembangan a. Baik b. Sedang permukiman/ perkotaan di Cisauk c. Kurang
26
Menurut anda bagaimana perkembangan a. Baik b. Cukup sarana sosial ekonomi dalam 10 tahun c. Kurang terakhir?
163
Lampiran 6b : Kuesioner pengembang
Kode responden
: Pg................
KUESIONER PENDAPAT RESPONDEN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN DI KEC. CISAUK – KAB. TANGERANG
Reponden
: Pengembang
Hari/Tanggal
: ..................................
Jam
: .....................
Nama
: .............................................................................
Nama Perusahaan
: .............................................................................
Jabatan
: ..............................................................................
Alamat
: ..............................................................................
Jenis Kelamin
: Laki-laki/ Perempuan *
Daerah Asal
: ..............................................................................
Keterangan : * = coret yang tidak perlu
164
IIA Pilih alternatif jawaban yang paling sesuai dengan memberikan tanda (x) pada pilihan yang tersedia 1. Umur : a. Antara 17 – 25 tahun; b. Antara 25 – 40 tahun; c. Antara 40 – 55 tahun; d. Lebih dari 55 tahun. 2
Status perusahaan : a. Milik sendiri; b. BUMN; c. Konsosrsium; d. Lainnya, sebutkan .............................................................
3. Menurut anda siapa yang paling berperan dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Masyarakat; b. Swasta; c. Pemerintah; d. Pelaku lainnya, sebutkan ........................................................... 4. Menurut anda faktor apa yang paling menentukan dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Pembebasan Lahan; b. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berkelanjutan; c. Ketersediaan jalan akses (mis, jalan arteri, TOL) yang memadai; d. Lainnya, sebutkan ....................................................................... 5. Menurut anda faktor apa yang paling menghambat dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Pengurusan ijin; b. Pembebasan lahan; c. Pengadaan material; d. Lainnya, sebutkan ................................................................. 6. Bagaimana sistem pengelolaan sampah di permukiman yang anda kembangkan? a. TPS; b. Gerobak; c. Diangkut truk; d. Lainnya, sebutkan ................................................................. 7. Menurut anda faktor yang mempengaruhi kecepatan perkembangan kota Cisauk adalah : a. Pembebasan lahan; b. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berkelanjutan; c. Ketersediaan jalan akses (mis, jalan arteri, TOL) yang memadai; d. Lainnya, sebutkan .......................................................................
165
8. Menurut anda prasarana air minum yang paling cocok untuk dikembangkan di kawasan permukiman di Cisauk? a. Air tanah; b. Air PDAM; c. Air hujan; d. Lainnya, sebutkan ...........................................................
IIB Pilih salah satu jawaban yang paling sesuai dengan memberikan tanda (x) pada pilihan yang tersedia Komponen Fisik/ prasarana
No
Pertanyaan
1
Apakah sering terjadi banjir di lokasi permukiman yg anda kembangkan?
2
Bagaimana kondisi run-off DAS Cisadane?
3
Bagaimana kondisi drainase lingkungan permukiman yang anda kembangkan? Bagaimana ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)?
4
5
Bagaimana ketersediaan MCK sbg pengolah limbah domestik?
6
Bagaimana ketersediaan (jumlah dan waktu) air minum?
7
Bagaimana kualitas air minum di permukiman yang anda kembangkan?
8
Bagaimana kondisi pengelolaan persampahan di permukiman yang anda kembangkan?
9
Bagaimana ketersediaan dan kualitas jalan akses menuju lokasi permukiman yang anda kembangkan?
Alternatif jawaban a. Tidak b. Jarang c. Sering (>1/thn) a. Baik/Terserap ke tanah b. Sedang c. Kurang a. Lancar b. Kurang c. Tidak lancar a. Baik (>20%) b. Sedang c. Kurang a. Banyak (>10bh/RW) b. Sedang c. Kurang a. Baik (ada tiap saat) b. Sedang c. Kurang a. Baik (jernih, tak bau, tak ada logam) b. Sedang c. Kurang a. Baik (sering diangkut, >3kl/minggu) b. Sedang c. Kurang a. Baik (ada dan tdk rusak) b. Sedang c. Kurang
166
Komponen
No 10
11
12
13
Sosial
Ekonomi
Pertanyaan
Alternatif jawaban
a. Baik (ada, cukup jmlh) b. Sedang c. Kurang Apakah penambangan pasir dan batu a. Ramah lingkungan dilaksanakan dengan ramah lingkungan? (direhab, tak ada dampak negatif) b. Kurang ramah lingkungn c. Sangat tdk ramah Bagaimana alih fungsi lahan pertanian a. Lambat produktif menjadi non pertanian b. Sedang c. Cepat Bagaimana kondisi DAS (Daerah aliran a. Bagus (run off sungai) Cisadane lancar, tdk tjd pendangkalan, longsor,dll) b. Kurang c. Buruk Bagaiman ketersediaan sarana transportasi umum?
14
Bagaimana hubungan kekerabatan antara pengembang dengan penduduk?
a. Baik b. Sedang c. Kurang a. Tidak ada b. Jarang c. Sering
15
Apakah sering terjadi konflik sosial?
16
Bagaiman ketersediaan sarana kesehatan yang terjangkau?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
17
Bagaiman ketersediaan sarana pendidikan yang terjangkau?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
18
Bagaimana ketersediaan fasos dan fasum? (mis, tempat bermain, tempat ibadah, pasar)
a. Baik b. Sedang c. Kurang
19
Apakah sering terjadi tindak kriminal pada lokasi permukiman yang anda kembangkan?
a. Jarang b. Sedang c. Sering
20
Bagaimana kondisi pemberdayaan masyarakat?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
21
Bagaimana peningkatan nilai jual tanah?
a. Tinggi b. Sedang c. Rendah
167
Komponen
No 22
23
24
Pertanyaan Bagaimana kondisi penciptaan lapangan pekerjaan dari kegiatan pengembangan permukiman? Bagaimana peningkatan kondisi kesejahteraan masyarakat dari kegiatan pengembangan permukiman? Bagaimana keuntungan mengembangkan permukiman di Cisauk?
Alternatif jawaban a. Banyak b. Sedang c. Sedikit a. Baik b. Sedang c. Sedikit a. Banyak b. Sedang c. Kurang
25
Menurut anda bagaimana perkembangan a. Baik permukiman/ perkotaan di Cisauk? b. Sedang c. Kurang
26
Bagaimana perkembangan sarana sosek a. Baik dalam 10 tahun terakhir? b. Sedang c. Kurang
169
Lampiran 6c: Kuesioner pemerintah dan pakar Kode responden
: Pm/Pkr................
KUESIONER PENDAPAT RESPONDEN PENGEMBANGAN KAWASAN PERMUKIMAN YANG BERKELANJUTAN DI KEC. CISAUK – KAB. TANGERANG
Reponden
: Pemerintah dan Pakar
Hari/Tanggal
: ..................................
Jam
: .....................
Nama
: .............................................................................
Nama Instansi
: .............................................................................
Jabatan
: ..............................................................................
Alamat Instansi
: ..............................................................................
Jenis Kelamin
: Laki-laki/ Perempuan*
Keterangan : * = coret yang tidak perlu
170
IIIA Pilih alternatif jawaban yang paling sesuai dengan memberikan tanda (x) pada pilihan yang tersedia 1. Umur : a. Antara 17 – 25 tahun; b. Antara 25 – 40 tahun; c. Antara 40 – 55 tahun; d. Lebih dari 55 tahun. 2. Sudah berapa lama dalam jabatan yang sekarang? a. Sampai dengan 1 tahun; b. Antara 1 – 2 tahun; c. Antara 2 – 4 tahun; d. Lebih dari 4 tahun. 3. Menurut anda siapa yang paling berperan dalam pengembangan kawasan permukiman di Cisauk? a. Masyarakat; b. Swasta; c. Pemerintah; d. Pelaku lainnya, sebutkan ............................................................ 4. Menurut anda faktor apa yang paling menentukan dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Lahan; b. Sungai; c. Ijin; d. Lokasi; 5. Menurut anda faktor apa yang paling menghambat dalam pengembangan permukiman di Cisauk? a. Ijin; b. Pembebasan lahan; c. Ketersediaan Material; d. Lainnya, sebutkan ....................................................................... 6. Apa saja bantuan program Pemda untuk pengembangan permukiman di Cisauk? a. Full pemerintah; b. Pemberdayaan masyarakat; c. Kerjasama swasta; d. Belum ada 7. Menurut anda metoda pengelolaan persampahan yang cocok untuk diterapkan di kawasan permukiman di Cisauk? a. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) /Sanitary landfill; b. Kompos/ pupuk organik; c. Pembakaran/ incinerator; d. Lainnya, sebutkan ...................................................................
171
8. Menurut anda prasarana air minum yang paling cocok untuk dikembangkan di kawasan permukiman di Cisauk? a. Air tanah; b. Air PDAM; c. Air hujan; d. Lainnya, sebutkan ........................................................... 9. Menurut anda faktor yang mempengaruhi kecepatan perkembangan kota Cisauk adalah : a. Pembebasan lahan; b. Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berkelanjutan; c. Ketersediaan jalan akses (mis, jalan arteri, TOL) yang memadai; d. Lainnya, sebutkan ....................................................................... III.B. Pilih salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai. Komponen Fisik/ prasarana
No
Pertanyaan/ pernyataan
Alternatif jawaban
1
Apakah sering terjadi banjir di lokasi permukiman yg ada di Cisauk?
a. Tidak b. Jarang c. Sering (>1/thn)
2
Bagaimana kondisi run-off DAS Cisadane?
a. Baik/Terserap ke tanah b. Sedang c. Kurang
3
Bagaimana kondisi drainase lingkungan permukiman yang ada di Cisauk?
a. Lancar b. Sedang c. Kurang
4
Bagaimana ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)?
a. Baik (>20%) b. Sedang c. Kurang
5
Bagaimana ketersediaan MCK/ pengolah limbah domestik?
a. Banyak (>10bh/RW) b. Sedang c. Kurang
6
Bagaimana ketersediaan (jumlah dan waktu) air minum?
a. Baik (ada tiap saat) b. Sedang c. Kurang
7
Bagaimana kualitas air minum di permukiman yang ada di Cisauk?
a. Baik (jernih, tak bau, tak ada logam) b. Sedang c. Kurang
8
Bagaimana kondisi pengelolaan persampahan di permukiman yang ada di Cisauk?
a. Baik (sering diangkut, >3kl/minggu) b. Sedang c. Kurang
172
Komponen
No
Pertanyaan/ pernyataan
9
Bagaimana ketersediaan dan kualitas jalan akses menuju lokasi permukiman yang adadi Cisauk?
10
11
12
13
Sosial
14
15
16
17
18
19
20
Ekonomi
21
Alternatif jawaban
a. Baik (ada dan tdk rusak) b. Sedang c. Kurang Bagaiman ketersediaan sarana a. Baik (ada, cukup jmlh) transportasi umum? b. Sedang c. Kurang Apakah penambangan pasir dan batu a. Ramah lingkungan dilaksanakan dengan ramah lingkungan? (direhab, tak ada dampak negatif) b. Kurang ramah lingkungn c. Sangat tdk ramah Bagaimana alih fungsi lahan pertanian a. Lambat produktif menjadi non pertanian b. Sedang c. Cepat Bagaimana kondisi DAS (Daerah aliran a. Bagus (run off lancar, sungai) Cisadane? tdk tjd pendangkalan, longsor,) b. Kurang c. Buruk Bagaimana hubungan kekerabatan a. Baik antar stake holders permukiman? b. Sedang c. Kurang Apakah sering terjadi konflik sosial? a. Tidak ada b. Jarang c. Sering Bagaiman ketersediaan sarana a. Baik kesehatan yang terjangkau? b. Sedang c. Kurang Bagaiman ketersediaan sarana a. Baik pendidikan yang terjangkau? b. Sedang c. Kurang Bagaimana ketersediaan fasos dan a. Baik fasum? (tempat ibadah, tempat bermain, b. Sedang RTH) c. Kurang Apakah sering terjadi tindak kriminal a. Jarang pada lokasi permukiman yang ada di b. Sedang Cisauk? c. Sering Bagaimana kondisi pemberdayaan a. Baik masyarakat? b. Sedang c. Kurang Bagaimana peningkatan nilai jual tanah?
a. Cepat b. Sedang c. Lambat
173
Komponen
No
Pertanyaan/ pernyataan
Alternatif jawaban
22
Bagaimana kondisi penciptaan lapangan pekerjaan?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
23
Bagaimana peningkatan kondisi kesejahteraan masyarakat?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
24
Bagaimana perkembangan sarana sosial ekonomi dalam 10 tahun terakhir?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
25
Menurut anda bagaimana perkembangan permukiman/ perkotaan di Cisauk?
a. Baik b. Sedang c. Kurang
175
Lampiran 7
:
Foto-foto lokasi penelitian
Foto 1 Rumah tradisional penduduk di dekat cluster perumahan
Foto 3 Perumahan di cluster perumahan yang dibangun pengembang
Foto 2 Perumahan warga didekat situ bekas penambangan pasir
Foto 4 Perumahan di pinggir sungai CIsadane
176
Foto 5 Kondisi jalan akses yang rusak parah akibat dilalui truk-truk pengangkut pasir dan material lain.
Foto 6 Intake pengambilan air baku PDAM Kab. Tangerang di Sungai Cisadane
Foto7 Stasiun Cisauk yang kurang representatif
Foto 8 Kondisi tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang kurang terkelola dengan baik
Foto 9 Pembuangan air drainase sodetan dari perumahan Perumnas dan Griya Suradita
177
Foto 10 Kegiatan penambangan pasir yang menggunakan alat berat di lahan DAS
Foto 12 Kegiatan bercocok tanam dan beternak di pinggir sungai Cisadane
Foto 11 Kegiatan penambangan pasir di sungai Cisadane
Foto 13 Kantor pemerintahan desa Suradita