VITALITAS KAWASAN KOTA DKI JAKARTA Amalia Nur Latifah, Antariksa, Fadly Usman Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya JL. Mayjen Haryono 167 Malang 65145; Telp (0341) 567886 Email:
[email protected] ABSTRAK Kawasan Kota merupakan salah satu kawasan bersejarah yang berada dalam wilayah Pemprov DKI Jakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kondisi dan tingkat vitalitas Kawasan Kota, serta penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan tersebut. Pengkajian kondisi dan tingkat vitalitas kawasan menggunakan metode analisis deskriptif-evaluatif. Sementara pengkajian faktor utama penyebab menurunnya vitalitas kawasan menggunakan metode analisis evaluatif (analytic hierarchy process). Vitalitas Kawasan Kota ditinjau melalui aspek fisik dan aspek non fisik dengan menggunakan 12 variabel. Hasil penelitian menunjukkan Kawasan Kota berada pada tingkat vitalitas sedang, atau dalam kondisi hidup tapi kacau. Dari hasil perhitungan Analityc Hierarchy Process, kepedulian pemerintah ditentukan sebagai faktor non fisik utama, dan sistem transportasi ditentukan sebagai faktor fisik utama penyebab menurunnya vitalitas Kawasan Kota DKI Jakarta. Kata kunci: kawasan bersejarah, vitalitas kawasan
ABSTRACT City area is one of the historical sites that exist in the area of DKI Jakarta Province. The aims of this research are to identify the condition and vitality area level, and to identify the main factor of vitality area decreases. The study of condition and vitality area level is used descriptive-evaluative analysis method, while the study of the main factor of vitality area decreases used analysisevaluative method (analytic hierarchy process). The vitality of city area is observed through physical and non-physical aspect using 12 variables. The result shows that Kota area is in the midlevel of vitality or in other word in a condition of screw living. From the Analytic Hierarchy Process calculate, the government attention is pointed as the principal non-physical factor, and transportation system is pointed as the principal physical factor that reason the DKI Jakarta’s area vitality decrease. Key words: historical site, area vitality
Pendahuluan Kawasan Kota merupakan salah satu kawasan bersejarah yang berada dalam wilayah pemerintahan Pemprov DKI Jakarta. Keistimewaan kawasan terletak pada keberadaannya sebagai bagian dari cikal bakal DKI Jakarta, serta banyaknya bangunan kuno dengan langgam arsitektur klasik di kawasan tersebut. Terpeliharanya kawasan dan bangunan bersejarah akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat antara masa kini dan masa lalu, serta ikut menentukan dan memberikan identitas yang khas bagi suatu kawasan perkotaan di masa mendatang (Antariksa 2005:65). Berbagai hal dapat mempengaruhi terpeliharanya kawasan dan bangunan bersejarah tersebut, salah satunya adalah vitalitas kawasan. Vitalitas, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai daya hidup, daya tahan, atau kemampuan untuk bertahan. Kata vita berasal dari bahasa latin yang berarti alive atau hidup, sehingga dalam lingkup kawasan vitalitas dapat diartikan sebagai kemampuan, kekuatan kawasan untuk tetap bertahan hidup (Hadiahwati et. al., 2005:112); dapat pula diartikan sebagai layak huni (livable), mempunyai daya saing pertumbuhan dan stabilitas ekonomi lokal,
100
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
berkeadilan sosial, berwawasan budaya, serta terintegrasi dalam kesatuan sistem kota (Antariksa 2004:98). Kawasan kota tua yang hidup dan vital akan mampu mempertahankan eksistensinya. Kawasan tersebut akan memiliki mekanisme pemeliharaan dan kontrol yang langgeng terhadap kualitas lingkungannya melalui pemanfaatan yang produktif (Danisworo & Martokusumo 2000). Selain menjamin kontinuitas sejarah sebuah kota, keberadaan kawasan kota tua yang vital sangat membantu sistem kota dalam memenuhi tuntutan berbagai kegiatan masyarakat perkotaan (Ichwan 2004). Bagi sebuah kawasan kota tua, vitalitas antara lain ditunjukkan dengan apresiasi budaya yang tinggi dan suksesnya pelestarian kawasan; bangunan yang ada tetap menyajikan ciri khas tradisional dan historis kawasan; besarnya minat berinvestasi baik oleh swasta atau masyarakat; lingkungan terawat dan nyaman; pelayanan infrastruktur baik; serta pembangunan yang kontekstual (Ichwan 2004). Akan tetapi, ironisnya dalam proses perkembangan sebuah kota, berbagai indikasi penurunan kualitas fisik justru dapat dengan mudah diamati pada kawasan bersejarah/kota tua. Karena sejarah keberadaannya sebagai pusat kegiatan perekonomian dan sosial budaya, kawasan tersebut umumnya berada dalam tekanan pembangunan (Serageldin 2000). Sejak Bung Karno dan Ali Sadikin mengembangkan kawasan ”segitiga emas” (Jl. Thamrin, Jl. Sudirman, Jl. Rasuna Said, dan Jl. Gatot Subroto) sebagai pusat bisnis di ibukota, mereka yang dahulu menjalankan aktivitas bisnis di Kawasan Kota ramai-ramai mengalihkan modalnya ke pusat ekonomi baru (Ninik 2004). Beragam permasalahan lingkungan semakin memperburuk kondisi kawasan tersebut, sementara bangunan-bangunan tua bersejarah di dalamnya terlantar tanpa perawatan yang memadai. Dalam kondisi ini, Kawasan Kota tidak lagi dapat berfungsi optimal. Vitalitas kawasan tersebut telah mengalami kemunduran. Kawasan Kota telah kehilangan daya dukungnya terhadap sistem kota. Hal ini mendorong Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (2004) untuk menetapkan Kawasan Kota sebagai salah satu pusaka Indonesia yang keberadaan dan kelestariannya terancam bahaya. Mengingat peran penting dari keberadaan Kawasan Kota dan bangunan-bangunan kuno di dalamnya, serta perlunya tingkat vitalitas yang tinggi bagi keterpeliharaan kawasan dan bangunan-bangunan tersebut, maka diperlukan suatu kajian lebih lanjut terkait kondisi dan tingkat vitalitas Kawasan Kota saat ini, sekaligus penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan tingkat vitalitas Kawasan Kota, serta penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan tersebut.
Metode Penelitian Secara umum, penelitian Vitalisasi Kawasan Kota, DKI Jakarta, dapat dikategorikan sebagai penelitian kuantitatif non-eksperimen. Metode pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam proses penelitian ini dapat dibagi menjadi dua kegiatan, yaitu sebagai berikut: 1. Survei primer, yaitu dengan teknik observasi lapangan; pengisian kuisioner; serta wawancara langsung. 2. Survei sekunder, yaitu dengan teknik studi kepustakaan dan survei instansi. Sampel penelitian 1. Sampel kawasan Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling, dengan sampel kawasan yang diambil adalah Koridor Jalan Pasar Ikan; Koridor Jalan Kakap; Koridor Jalan Kali Besar Barat; Koridor Jalan Kali Besar Timur; dan Koridor Jalan Pintu Besar
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
101
Utara; Koridor Jalan Pos Kota; Koridor Jalan Taman Fatahillah; Koridor Jalan Lada; dan Koridor Jalan Stasiun. 2. Sampel bangunan Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling, dengan sampel bangunan yang diambil adalah seluruh bangunan yang berlokasi di sepanjang sembilan koridor sampel kawasan, terdiri dari 70 bangunan kuno dan 30 bangunan baru. 3. Sampel pakar setempat Teknik sampling yang digunakan adalah teknik purposive sampling, dengan pakar yang dibutuhkan adalah mereka yang dapat mewakili pihak masyarakat, akademisi, dan pemerintah. 4. Sampel masyarakat Teknik sampling yang digunakan adalah quota sample, dengan sampel yang diambil adalah 100 orang warga DKI Jakarta. Metode analisis 1. Tahap I – deskriptif evaluatif Mengidentifikasi kondisi masing-masing variabel vitalitas kawasan, kemudian membobotkannya, sehingga diketahui kondisi dan tingkat vitalitas kawasan tersebut. 2. Tahap II – evaluatif Menentukan penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan dengan menggunakan metode analityc hierarchy process.
Hasil dan Pembahasan Nilai historis kawasan Sejarah perkembangan spasial Kawasan Kota dan sekitarnya, sejak masa sebelum pendudukan kolonial Belanda sampai dengan saat ini, secara garis besar dideskripsikan sebagai berikut (Gambar 1). Penilaian kondisi nilai historis didasarkan pada keaslian bentuk kawasan beserta bangunan-bangunan kuno di dalamnya (Hidayat 1994; Ichwan 2004; dan Papageorgeou dalam Suryasari 2005). Kondisi Kawasan Kota di masa kolonialisme Belanda antara lain dapat diamati pada Gambar 2, sementara bentuk perubahan yang terjadi, yaitu (Gambar 3): - Degradasi kualitas lingkungan dan bangunan; - Perubahan orientasi bangunan kuno; - Renovasi (pembaharuan) bangunan kuno; - Pembangunan bangunan-bangunan baru; - Pedestrianisasi; dan - Pembangunan berbagai fasilitas transportasi. Perubahan signifikan hanya terjadi pada sub kawasan Galangan-Benteng, yaitu berupa pembangunan jaringan rel KA dan jalan tol yang menyebabkan fragmentasi antara Kawasan Kota sisi Utara dan Kawasan Kota sisi Selatan. Kawasan Kota dikategorikan sebagai lingkungan cagar budaya golongan I, keberadaannya sangat penting untuk dilestarikan, dengan teknik pelestarian yang direkomendasikan adalah teknik preservasi. Sementara ditinjau dari keaslian bangunan, 70% dari sampel bangunan merupakan bangunan kuno (Gambar 5). Kawasan Kota memiliki bangunan kuno dari beragam periode sejarah (Gambar 4), yang terdiri dari 24 bangunan cagar budaya golongan A dan 46 bangunan cagar budaya golongan B.
102
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
Gambar 1. Skema historis Kawasan Kota.
Delta Sunda Kelapa
Galangan-Benteng
Kali Besar
Plaza Taman Fatahillah
Plaza Taman Stasiun Kota
Gambar 2. Gambaran kondisi Kawasan Kota di masa kolonialisme Belanda.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
103
1 2
3
4
5
6
10
11 12
7
13
8 JL.
14
KOL TONG
15
9 16
17 18
JL. PETAK ASEM
J L.
TO
E L M
R AK
N - TA
G JU N
PR
IO K
JL.
JL. SEMUT
E KO R
KU
N IN
G
JL .
BE
NG
ND E
N EL
AYA
N TIM
UR
46
RA
EH
T IA
JL. CENGK
JL .
19 20
J L.
B E ND
TIA NG
21
E RA
22
JL. T IANG
ND
ERA
7
UTA RA
48
JL. TEH
JL. CENGK
TIMUR
49
EH
BENDERA
BARAT
JL. TIANG
BE SAR
23
BESAR
MALAKA
JL. KALI
JL. ROA
1
JL. KALI
BE
BENDERA
NG
2
.T IA
47
BENDERA
JL. TIANG
JL
JL .
KU N
IR
MUKA
TERMINAL
KP.
50
BIS
5
24
AN
EN G B
DE
RA
TIMUR
51 52
25 J L .TI
53
6
54
KO
S I BE
AR
TI M
UR
3
29
JL. TIANG
56 57
30
A5 BENDER
JL. TIANG
PI
72
58 JL .
K AL
S I BE
AR
87
84 98
4
73
59
33 KO
97
85 83
PI
31 32
JL .
86
82 70
S
KA L
55 71
JL .
KOTA
J L.
28
JL. POS
27
JL. KEMUKU
26
74 75
34
JL .
KET
UM
BAR
JL. KALI
JL.
60
BESAR
88
US
T IMUR
36
JL .
BENDERA
AR
5
77 78
BESAR
4
38
S I BE KAL
61
JL. KALI
J .l T IANG
37
99 96
62
BARAT
JL. ROA
39
KEMUK
RA 3 BENDE
76 35
79
95
80
42
UTARA
2
BENDERA
AL AKA
BESAR
JL. M
JL. TIANG
SELATAN
64 65
41
JL. PINTU
MALAKA
63
40
94
89
3
43
93
66 90
44 81
91
67 JL . TIANG
45
BENDERA 4
68 92
1 00
TE L
EP
ON
KO T
A
ST.
JL .
P AS
AG AR P
BESAR
I
UTARA
JL.
A
KOTA
T N KO EL EPO
JL. PINTU
KECIL
JL . T
JL. PINTU
69
I P AG AS AR J L. P
Legenda: D e g ra d a s i k u a lita s lin g k u n g a n d a n b a n g u n a n P e ru b a h a n o rie n ta s i b a n g u n a n k u n o P e m b a h a ru a n b a n g u n a n k u n o U T A R A
P e m b a n g u n a n b a n g u n a n b a ru P e d e s tria n is a s i P e m b a n g u n a n fa s ilita s tra n s p o rta s i
0
50
100
200
300
Gambar 3. Evaluasi keaslian Kawasan Kota tahun 2008.
Didirikan tahun 1600-an
Didirikan tahun 1700-an
Didirikan tahun 1800-an
Didirikan tahun 1900-an
Didirikan tahun 1950-an
Gambar 4. Kondisi bangunan kuno di Kawasan Kota.
104
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
1 2
3
4
5
6
10
11 12 7 13
8 JL.
14
GKOL TON
15
9 16
17 18
JL. PETAK ASEM
JL.
TOL
ME
R AK
- TA
N JUN
G PR
IOK
JL. SEMUT
JL
.E
KOR KUNIN G
JL.
E NDE GB
NE LA
YAN
T IMU
R
46
RA
EH
TI AN
JL. CENGK
JL .
19 20
JL . T
B E ND
IA N G
21
E RA
22
JL. TIANG
47
BENDER
JL. KALI
A UTARA
48
L BIS TERMINA
A5
JL.
K UNIR
50
51 52
25
53
6 BEN
KEH
JL. TEH
49
24
IANG J L .T
JL. CENG
BENDER
T R BARA
J L. TIANG
BESA
23
R TIMUR BESA
MALAK
JL. KALI
A1
JL. ROA
BENDER
A2
J L. TIANG
7 BEN DERA IANG JL .T
DERA
54
KALI
BES
AR
TIM
UR
K OP
82 70
29
JL. TIANG
56 57
30
72
58
BENDE
ALI J L. K
BE SAR
87
84 98
4
73
RA 5
59
33 JL. TIANG
K OPI
97
85 83
I
31 32
JL.
86
3
55 71
JL.
KOTA
JL.
28
JL. POS
27
KUS JL. KEMU
26
74 75
34
JL .
K E TUM
BAR
BEND
76 60
BESAR
88 TIMUR
36
AL JL. K
BE NDERA
SAR
77
5
78
BESAR
4
38
I BE
61
JL. KALI
J l. TIANG
37
99 96
62
BARAT
JL. ROA
39
3
AR UTARA
80
42 43
95
BES
2
BENDERA
J L. MALAKA
JL. TIANG
SELATAN
64 65
41
JL. PINTU
MALAKA
79
63
40
U T A R A
KUS JL. KEMU
3
JL. KALI
ERA
35
94
89
93
66 90
44 81
91
67 NG J L. TIA
45
BENDERA 4
68 92
L egenda:
100
B angunan kuno KOTA EPON
TE
LE PON
KOTA
J L.
100
200
JL. PINTU
50
A
KECIL
JL .
0
R UTAR U BESA
69 P A GI P A S AR
JL. PINT
B angunan baru
ST. KOTA
EL J L. T
300 A J L . P AS
GI R PA
Gambar 5. Persebaran bangunan kuno di Kawasan Kota.
Pertumbuhan ekonomi kawasan Besarnya jumlah bangunan yang dikosongkan di suatu kawasan, merupakan ciriciri yang paling mudah diamati dari gejala menurunnya pertumbuhan ekonomi kawasan (Ichwan 2004). Langkah pengosongan Kawasan Kota telah dimulai sejak masa kependudukan Hindia Belanda. Kajian historis menunjukkan perpindahan orang-orang Eropa untuk tinggal di luar tembok kota terjadi secara signifikan setelah terjadinya kerusakan lingkungan dan wabah malaria pada pertengahan abad ke-18. Langkah pengosongan tersebut kemudian berdampak pada penurunan kegiatan ekonomi Kawasan Kota (serta aspek-aspek lain dari vitalitas kawasan) secara simultan dan terus menerus. Saat ini, observasi di lapangan menunjukkan 34% dari keseluruhan sampel bangunan dalam kondisi dikosongkan (Gambar 6). Nilai prosentase tersebut merupakan gambaran kuantitatif dari menurunnya pertumbuhan ekonomi Kawasan Kota saat penelitian berlangsung. Kesadaran masyarakat Evaluasi kondisi kesadaran masyarakat didasarkan pada jawaban quisioner persepsi masyarakat dari 100 orang responden yang diambil sebagai sampel masyarakat. Jawaban quisioner persepsi masyarakat menunjukkan hanya 40% responden yang mengetahui sejarah Kawasan Kota dan peranannya terhadap pembentukan DKI Jakarta. Meskipun 80% responden mengetahui nilai berharga kawasan tersebut sebagai cagar budaya, akan tetapi hanya 36% yang tahu apa yang perlu mereka lakukan melalui pemahaman atas kebijakan-kebijakan DKI Jakarta terkait keberadaan Kawasan Kota. Responden yang berpandangan keberadaan Kawasan Kota dan usaha pelestarian atas kawasan tersebut akan mendatangkan keuntungan ekonomis terutama bagi masyarakat lokal sebesar 86%, sementara mengingat banyaknya pengemis dan gelandangan yang menempati bangunan-bangunan kosong di kawasan tersebut, hanya 15% responden
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
105
yang meyakini Kawasan Kota cukup aman untuk ditinggali ataupun dikunjungi. Kondisi kesadaran masyarakat DKI Jakarta terkait keberadaan Kawasan Kota, dapat digambarkan secara kuantitatif dengan menarik rata-rata dari prosentase jawaban atas quisioner persepsi masyarakat, yaitu sebesar 51,4%.
1 2
3
4
5
6
10
11 12 7 13
8 JL.
14
TON L GKO
15
9 16
17 18
JL. PETAK ASEM
JL.
TOL
M ERA
TAN K-
JUN
OK G PRI
JL. SEMUT
JL
.E
KOR KUNI NG
JL.
BEN
IANG
DER
N ELAY
AN
TIMU
R
KEH JL. CENG
JL. T
46
A
19 20
BEND
JL. TIANG
21
ERA
JL. TIANG
22
JL. TIANG
7
48
49
24
KEH
JL. TEH
JL. CENG
A5 BENDER
T R BARA
JL. TIANG
BESA
R TIMUR
UTARA
23
BESA
MALAKA
JL. KALI
JL. ROA
JL. KALI
DERA
A1 BENDER
G BEN
47
A2 BENDER
JL .TIAN
J L.
K UNIR
TERMINA
L BIS
50
51 52
25 ANG JL . TI
B ENDER
53
A 6
54
KOPI
29
JL. TIANG
56 57
30
BES
AR
TIMU
R3
BENDE
31 32
RA 5
58 JL.
KALI
BE SAR
87
84 98
4
73 74 75
JL. TIANG
KOPI
97
85 83
72
59
33 JL.
86
82 70
KUS
KALI
55 71
JL.
KOTA
JL.
28
JL. POS
27
JL. KEMU
26
34
JL.
KETU
MBAR
JL. KALI
3
60
BESAR
BESAR
NDE NG BE
61
JL. KALI
Jl. TIA
78
BESAR
RA 4
38
77
5 JL. KALI
37
KUS
88
TIMUR
36
99 96
62
BARAT
JL. ROA
39
JL. KEMU
ERA BEND
76 35
2
41
80
A3
42
R UTARA BESA
65
N
LAK A
NG BENDER
JL. MA
JL. TIA
SELATA
64
JL. PINTU
MALAKA
79
63
40
95
94
89
43
U TA RA
93
66 90
44 81
91
67 JL. TI
45
ANG BENDERA 4
68 92
Legenda:
100
Bangunan kosong TEL EPO
N KOTA
ST.
JL.
JL. PINTU
KOTA
69
BESA
TE
LEP
ON
KOT
A
J L. PASAR
PAGI
KECIL
100
200
JL. PINTU
50
A R UTAR
JL.
0
300 JL. P
AS A R
PA GI
Gambar 6. Persebaran bangunan kosong di Kawasan Kota.
Kepedulian pemerintah Ichwan (2004) menyatakan bahwa selama ini ketidakpedulian pemerintah kota merupakan salah satu penyebab menurunnya vitalitas kawasan kota tua. Sejak awal pengembangan kawasan, tercatat beberapa kebijakan pemerintah (baik kolonial Belanda maupun NKRI) yang berpengaruh signifikan terhadap vitalitas kawasan, antara lain kebijakan pembangunan berbagai saluran kanal tanpa mempertimbankan kesesuaian terhadap peil air dan topografi kawasan (tahun 1619-1650); dikeluarkannya ijin pengembangan perkebunan dan industri tebu (1678); dikeluarkannya ijin pembabatan hutan di sekitar Batavia (1680); pengalihan berbagai pusat kegiatan dari Batavia ke Weltevreden (1809); dan juga pengembangan kawasan “segitiga emas” sebagai pusat bisnis baru DKI Jakarta (1970-an). Saat ini kepedulian pemerintah diamati melalui pencantuman Kawasan Kota dalam dokumen tata ruang, disahkannya berbagai produk hukum yang memuat perlindungan dan pengelolaan atas kawasan dan bangunan kuno bersejarah, serta turut dipertimbangkannya keistimewaan karakter Kawasan Kota dalam berbagai kebijakan tersebut. Beberapa pokok rencana tata ruang telah disusun dengan mempertimbangkan keistimewaan Kawasan Kota, antara lain prioritas pengembangan kawasan kota tua dan Sunda Kelapa sebagai pusat cagar budaya; membatasi perubahan fungsi kawasan di kawasan kota tua/bersejarah; pengembangan sebagai pusat wisata budaya-sejarahbahari; serta merelokasi kawasan pergudangan dari kawasan kota tua. Di sisi lain hingga
106
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
saat ini terdapat 12 produk hukum terkait kawasan dan bangunan bersejarah di DKI Jakarta, dan tujuh di antaranya terkait keberadaan Kawasan Kota, yaitu SK. GUB No. Cb. 3/1/1970; SK. GUB No. D.III-b/11/4/56/ 1973; SK. GUB No. D.IV-5492/2/13/ 1974; SK. GUB No. 1070 Tahun 1990; SK. GUB No. 475 Tahun 1993; PERDA No. 9 Tahun 1999; dan Peraturan Gubernur No. 34 tahun 2006. Kualitas lingkungan Pengaruh kualitas lingkungan terhadap vitalitas Kawasan Kota mulai terasa ketika terjadi penurunan kualitas dan kuantitas debit air saluran kanal; banjir; letusan Gunung Salak; serta wabah penyakit Malaria yang menjadi faktor pertama pemicu orang-orang Eropa mulai memilih tinggal di luar tembok kota dan beralih ke pedalaman pada tahun 1731. Hadiahwati et. al. (2005) dan Dinas Tata Kota DKI Jakarta (2005) sepakat menilai degradasi kualitas lingkungan dengan mengamati kerusakan pada ekologi kawasan. Salah satu bentuk kerusakan ekologi yang mudah diamati di Kawasan Kota adalah terjadinya banjir. Koridor Jl. Pasar Ikan dan kawasan di sekitarnya hampir selalu banjir ketika gelombang air laut pasang. Sementara kawasan di sekitar bantaran Kali Opak (koridor Jl. Kakap) dan kawasan Kali Besar sisi Utara (koridor Jl. Kali Besar Barat dan Jl. Kali Besar Timur) pada musim penghujan seringkali tergenangi oleh air luapan Kali Opak dan Kali Besar. Sehingga hanya 56% (atau lima koridor) sampel kawasan yang secara umum bebas banjir. Prosentase tersebut merupakan gambaran nilai kuantitatif dari evaluasi kondisi kualitas lingkungan Kawasan Kota terkait vitalitas kawasan. Tata guna lahan Kawasan Kota sejak awal pembangunan di tahun 1619 sampai dengan tahun 1809 dikembangkan dan difungsikan sebagai pusat berbagai kegiatan kolonialisasi Belanda di Indonesia. Kemudian setelah tahun 1809 kawasan tersebut difungsikan sebagai pusat perdagangan dan pelayaran. Bangunan-bangunan di kawasan tersebut umumnya difungsikan sebagai kantor dagang; bank dagang; kantor ekspedisi (jasa pengiriman lintas pulau); dan sejenisnya. Sejak Ali Sadikin mengembangkan kawasan ”segitiga emas” sebagai pusat bisnis baru bagi DKI Jakarta, dan menentukan Kawasan Kota sebagai objek konservasi, Kawasan Kota mengalami ketidakjelasan pemanfaatan lahan. Tidak adanya spesifikasi arahan peruntukan yang sesuai dengan beragam keistimewaan Kawasan Kota telah menyebabkan kawasan tersebut kehilangan karakter fungsionalnya. Peruntukan Kawasan Kota dan sekitarnya secara umum dapat dikelompokkan pada beberapa kegiatan, yaitu karya bangunan umum; wisma dan bangunan umum; penyempurna hijau binaan; karya pemerintahan; fasilitas umum; industri dan pergudangan; serta bangunan kosong (Gambar 7). Evaluasi kondisi tata guna lahan didasarkan pada kesesuaian eksisting peruntukan masing-masing sampel bangunan dan areal terhadap ketentuan rencana tata ruang (Hariyani, 2000) dan terhadap ketentuan peruntukan bangunan kuno oleh para pakar (Nurmala, 2003:167-168). Hasil studi menunjukkan hanya 59% sampel (58 bangunan dan 2 areal) yang difungsikan sebagaimana ketentuan rencana tata ruang dan rekomendasi pakar. Besarnya ketidaksesuaian didominasi oleh 30 sampel bangunan kuno yang dikosongkan oleh pemiliknya. Kantong-kantong kumuh Penilaian kondisi kantong-kantong kumuh di Kawasan Kota didasarkan pada keberadaan sampel bangunan dengan kondisi fisik terlantar (tampilan visual kotor atau buruk akibat kurangnya perawatan, dan atau mengalami kerusakan serius pada konstruksinya) dan atau dikosongkan sehingga ditinggali oleh gelandangan atau pengemis (Dundu 2004; KBBI, 1234). Dari 100 sampel bangunan, 27 bangunan secara visual tampak kotor atau buruk akibat kurang perawatan; sembilan bangunan mengalami kerusakan serius pada konstruksinya; serta tiga bangunan dalam kondisi fisik tidak
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
107
terlantar akan tetapi ditinggali oleh gelandangan dan pengemis (Gambar 8 dan Gambar 9). Oleh karena itu dapat ditarik gambaran kuantitatif bahwa 39% dari Kawasan Kota merupakan kantong-kantong kumuh. Legenda :
Karya Bangunan Umum Wisma dan Bangunan Umum Penyempurna Hijau Binaan Karya Pemerintahan Fasilitas Umum Industri dan Pergudangan I CILI
G WUN
Bangunan Kosong
L BIS TERMINA
KAL
UTARA
0
50
100
200
300
Gambar 7. Tata guna lahan Kawasan Kota dan sekitarnya.
Bangunan Kondisi bangunan dinilai berdasar tata dan tampilan masing-masing bangunan (Pradoto, 1999), yang dapat diidentikkan sebagai fasade bangunan (Sunarimahingsih, 1995). Sementara Santosa (2005) mengkaji sistem fasade bangunan melalui 11 elemen visual gestalt, yaitu gambar/latar; pusat gaya berat; konfigurasi; kesamaan; kedekatan; simetri; penutup dan kesinambungan; reproduksi bentuk; vinyet; pola dasar; dan pola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 78 % sampel bangunan memiliki penataan dan tampilan mendukung vitalitas Kawasan Kota. JL. Pasar Ikan (Gambar 10) Pola dasar tiga bangunan kuno yang tersisa terletak pada bentuk atap yang limas, kemudian diperkuat oleh bentuk jendela yang persegi-simetris pada Museum Bahari dan Menara Syahbandar. JL. Kakap (Gambar 11) Pola dasar antara sampel bangunan nomor enam dan tujuh terletak pada bentuk jendela dan pintu yang persegi-simetris, juga pada kesamaan warna dinding. Bangunan nomor sembilan, menggunakan pola persegi-simetris yang sama, tetapi berbeda pada proporsi jumlah jendela terhadap luasan dinding. Bangunan nomor sembilan memiliki kedekatan dengan bangunan nomor enam dan tujuh melalui kontak visual. Bangunan nomor delapan mengikuti pola dasar yang ada tetapi dengan jenis langgam yang berbeda.
108
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
Visual tampak kotor atau buruk
Kerusakan konstruksi serius
Fisik tidak terlantar tetapi ditinggali gelandangan
Gambar 8. Foto beberapa bangunan indikator keberadaan kantong kumuh. Legenda :
Bangunan dengan tampilan visual kotor / buruk Bangunan dengan kerusakan serius pada konstruksinya
1
Bangunan dengan kondisi fisik tidak terlantar tetapi ditinggali oleh gelandangan
2
3
4
5
6
10
11 12
7
13
8 JL.
14
TON GKO
15
L
9 16
17 18
JL. PETAK ASEM
JL.
TOL
MER
AK
- TAN
JUN
G PRI
OK
JL. SEMUT
J L.
E KO
R
KU
NING
JL.
BE NDE
NELA
Y AN
TIMUR
46
RA
EH
TIA NG
JL. CENGK
JL.
19 20
21
RA BENDE
JL. TIANG
22
JL. TIANG
JL. KALI
48
JL. TEH
IANG BEN DERA
KEH JL. CENG
JL. T
T R BARA BESA
R TIMUR
UTARA
23
BESA
MALAKA
JL. KALI
JL. ROA
A1 BENDER
BENDERA JL .T IANG
47
A2 BENDER
JL. TIANG
7
49
R JL. KUNI
50 TERMINA
L BIS
5
24
51 52
25
53
6 BENDERA J L . TIANG
54
BESA
R TIMU
R3
86
82 70
97
US
KALI
85
55
83
71 JL. KOP
KOTA
JL.
28
JL. POS
27
JL. KEMUK
26
87
I
29
JL. TIANG
56 57
30
72
58
84 98
BENDE
31 32
JL. KALI
BESA
R4
73
RA 5
59
33 JL. TIANG
JL. KOPI
74 75
34
JL. K
ETUM
BAR
JL. KALI
3
60
BESAR
88 TIMUR
36
JL. KALI
BE NDE
99 96
BARAT
62
JL. ROA
79
95
80
42
UTARA
A2
BEN DERA
ALAK
BESAR
JL. M
JL. TIANG
SELATAN
64 65
41
JL. PINTU
MALAKA
63
40
77
R5
78
BESAR
RA 4
38
B ESA
61
JL. KALI
Jl. TI ANG
37
39
KUS JL. KEMU
ERA BEND
76 35
94
89
3
43
93
66 90
44 81
91
67 JL. T IANG
45
B ENDE RA 4
68 92
100
KOTA
69
0
50
100
200
LEP
ON
KOTA
A R UTAR BESA
J L. TE
JL. PINTU
UTARA
ELEPON
ST. KOTA
JL. T
300
Gambar 9. Persebaran bangunan kumuh di Kawasan Kota.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
109
JL. Pasar Ikan
Gambar 10. Sketsa fasade bangunan di JL. Pasar Ikan.
JL. Kakap
Gambar 11. Sketsa fasade bangunan di JL. Kakap.
JL. Kali Besar Barat (Gambar 12) Fasade dari bangunan-bangunan di sisi Selatan koridor, umumnya membentuk pola dasar yang terdiri dari bentuk lengkung pada pintu, atau jendela, atau kolom di lantai satu; dan bentuk persegi pada jendela di lantai dua, dengan peletakan simetris satu sama lain. Fasade dari bangunan-bangunan di sisi Utara koridor, umumnya membentuk pola dasar yang terdiri dari bentuk persegi pada pintu, atau jendela, atau kolom, baik di lantai satu maupun lantai dua. Tetap dengan peletakan elemen fasade yang simetris satu sama lain.
sisi selatan
Gambar 12. Sketsa fasade bangunan di JL. Kali Besar Barat.
110
sisi utara
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
Fasade bangunan di koridor sisi Selatan, membentuk pola dasar yang terdiri dari bentuk lengkung dan persegi pada elemen pintu, jendela, dan kolom dengan peletakan simetris satu sama lain. Pada sisi Utara pola dasar yang terbentuk tidak jauh berbeda, peletakan simetris dari unsur persegi dan lengkung, tetapi kurang memiliki legibilitas.
sisi Selatan
Sisi Utara
Gambar 13. Sketsa fasade bangunan di JL. Kali Besar Timur.
JL. Pintu Besar Utara (Gambar 14) Bangunan-bangunan kuno di sepanjang koridor JL. Pintu Besar Utara terikat oleh pola dasar berupa pintu dan jendela yang berbentuk persegi-simetris. Sementara bentuk lengkung memperkuat keterkaitan antara bangunan nomor 80, 82, 88, 90, dan 91.
JL. Pintu Besar Utara
Gambar 14. Sketsa fasade bangunan di JL. Pintu Besar Utara.
JL. Taman Fatahillah (Gambar 15) keempat bangunan di sepanjang koridor JL. Taman Fatahillah terikat oleh pola dasar berupa bentuk persegi-simetris di jendela masing-masing bangunan.
JL. Taman Fatahillah
Gambar 15. Sketsa fasade bangunan di JL. Pos Kota dan JL. Lada.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
111
JL. Pos Kota (Gambar 16) Fasade pada ketiga bangunan di koridor JL. Pos Kota terikat oleh pola dasar berupa bentuk segi tiga di atap, serta bentuk persegi-simetris di pintu dan jendela masingmasing bangunan. JL. Lada (Gambar 16) Pola dasar antara empat bangunan kuno yang tersisa, terletak pada bentuk jendela yang persegi-simetris. Bentuk atap yang limas memperkuat keterkaitan antara Museum Fatahillah dan hotel Beverly Hills.
JL. Pos Kota dan Jl. Lada
Gambar 16. Sketsa fasade bangunan di JL. Pos Kota dan JL. Lada.
JL. Stasiun (Gambar 17) Fasade pada Stasiun Jakarta Kota terdiri dari bentuk lengkung berukuran monumental, persegi-simetris pada jendela dan pintu, serta efek garis horizontal yang tampil di dinding dan atap. Halte bus Transjakarta berusaha mengikuti pola dasar tersebut dengan menonjolkan dominasi bentuk garis horizontal pada tampilan bangunannya.
JL. Stasiun
Gambar 17. Sketsa fasade bangunan di JL. Stasiun.
Sarana prasarana Prasarana drainase yang terdapat di Kawasan Kota antara lain Kali Besar, Kali Opak, Kali Ciliwung, Kali Jelangkeng, saluran di sisi kanan-kiri seluruh koridor jalan, dan pintu air. Permasalahan yang terjadi pada sarana prasarana drainase di Kawasan Kota adalah tingginya tingkat endapan; kerusakan pada fisik saluran; dan ketidaksesuaian elevasi jaringan drainase terhadap peil tanah dan peil air. Hal ini berdampak pada terjadinya genangan banjir di sebagian wilayah, baik dari air laut pasang maupun dari air sungai. Kawasan Kota telah terlayani jaringan air bersih PDAM, dan dibeberapa koridor telah pula terlayani oleh hidrant. Penelitian menunjukkan tidak terdapat permasalahan berarti terkait jaringan air bersih di Kawasan Kota. Untuk keperluan sanitasi, masingmasing bangunan umumnya telah dilengkapi oleh septictank, dan di beberapa koridor
112
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
terdapat MCK dan septictank komunal. Permasalahan sanitasi terletak pada belum diterapkannya sistem sewerage (perpipaan tertutup) dan pengolahan off site, serta persebaran MCK umum yang tidak merata. Sarana prasarana persampahan yang terdapat di Kawasan Kota sebatas kontainer sampah dan pasukan kuning. Permasalahan persampahan terletak pada tidak adanya unit incenerator serta pemisahan kontainer antar jenis sampah. Untuk keperluan energi, seluruh kawasan telah terlayani jaringan listrik dari PLN. Sementara untuk kebutuhan energi berupa gas LPG, guna lahan di wilayah penelitian tidak menuntut pemenuhan kebutuhan energi gas secara signifikan. Kawasan Kota telah pula terlayani oleh jaringan telekomunikasi berupa sistem kabel dan gelombang mikro, di masing-masing koridor sampel kawasan juga telah dilengkapi dengan unit telepon umum atau wartel. Sementara fasilitas umum yang terdapat di Kawasan Kota antara lain museum; kantor pajak dan imigrasi; pasar; terminal; dan stasiun. Kondisi sarana prasarana di Kawasan Kota – dikaji berdasar pokok-pokok rekomendasi pengembangan sarana prasarana hasil kajian pustaka atas dokumendokumen tata ruang yang berlaku – dikategorikan berada dalam kondisi “sedang”. Sistem transportasi Kemacetan Kemacetan identik dengan rendahnya tingkat pelayanan suatu segmen jalan, yang dapat dikategorikan berdasar nilai derajat kejenuhan (DS), yaitu rasio nilai arus lalu lintas terhadap kapasitas jalan (Direktorat Jenderal Bina Marga, 1997). Kondisi arus lalu lintas di setiap sampel koridor dapat diamati pada Gambar 18. Kemacetan di Kawasan Kota dikategorikan ”sedang” (Gambar 19). JL. Pintu Besar Utara dan JL. Stasiun memiliki tingkat pelayanan ”E”, sementara rata-rata DS dari ke-7 sampel koridor adalah 0,83 atau berada pada klasifikasi tingkat pelayanan ”D”.
JL. Kakap
JL. Pintu Besar Utara
Jl. Kali Besar Barat
JL. Pos Kota
JL. Kali Besar Timur
JL. Lada
JL. Stasiun
Gambar 18. Arus lalu lintas di Kawasan Kota.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
113
Gambar 19. Kemacetan di Kawasan Kota.
Parkir Permasalahan utama Kawasan Kota terkait parkir terletak pada keberadaan parkir on street (Miranda dalam Dundu 2004; dan Kambali dalam Ridwan, 2005). Khusus di Kawasan Kota, selain parkir pada badan jalan (A), parkir pada pedestrian way (B) juga dikategorikan sebagai parkir on street. Hasil observasi (Gambar 20) menunjukkan terdapat 1384 unit motor (28%); 978 unit mobil (30%); dan tujuh unit bus (2%) yang diparkir secara on street. Prosentase tersebut adalah gambaran kuantitatif dari besaran gangguan yang disebabkan oleh sektor parkir terhadap sistem transportasi di Kawasan Kota dan juga terhadap vitalitas kawasan tersebut.
Gambar 20. Kondisi parkir di Kawasan Kota.
114
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
Pedestrian Way Penilaian kondisi pedestrian way didasarkan pada beragam ketentuan terkait fungsi dan fisik pedestrian way, yang antara lain tercantum pada rencana tata ruang; buku manual terbitan Direktorat Jenderal Bina Marga (1997); dan Direktur Jenderal Perhubungan Darat-Departemen Perhubungan (1997:2); juga dalam penelitian terdahulu oleh Adji (1990:V-15); Megawardana (1998); Djunaedi (2000); dan (Rochadi 1999). Bentuk pedestrian way yang dapat ditemui di Kawasan Kota berupa plaza, trotoar, subway, zebra cross, dan juga koridor badan jalan yang secara khusus difungsikan sebagai pedestrian way (Gambar 21). Hasil studi menunjukkan bahwa secara umum pedestrian way di Kawasan Kota berada dalam kondisi baik.
Gambar 21. Kondisi pedestrian way di Kawasan Kota.
Ruang terbuka dan penghijauan Penilaian ruang terbuka didasarkan pada parameter kualitas ruang terbuka yang dirumuskan Rini (2000), sementara penilaian tata hijau didasarkan pada ketentuan pemilihan jenis dan peletakan tanaman oleh Hakim & Utomo (2004) serta Frick & Mulyani (2006). Ruang terbuka di Kawasan Kota terdiri dari taman kota; taman gedung; badan jalan; dan badan sungai. Sementara untuk tata hijau, di kawasan tersebut terdapat keseluruhan jenis bentuk tanaman, yaitu tanaman dalam pot; semak; tanaman berbentuk kanopi; kerucut dan juga tanaman berbentuk palem. (Gambar 22 dan Gambar 23) Permasalahan yang terjadi antara lain keberadaan bangunan-bangunan baru dengan desain dan ketinggian yang merusak pembentukan kesan meruang dari RTH, serta kurang optimalnya fungsi tata hijau terkait pengendalian iklim – khususnya kontrol sinar matahari. Hasil penelitian menunjukkan ruang terbuka dan tata hijau di Kawasan Kota dapat dikategorikan berada dalam kondisi ”sedang”.
Taman Fatahillah
Taman BNI 46
Taman Stasiun Kota
Taman M. Keramik
Badan Jalan
Badan Sungai
Gambar 22. Kondisi ruang terbuka dan penghijauan di Kawasan Kota.
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
115
Legenda: T a m a n k o ta d a n ta m a n g e d u n g B a d a n ja la n Badan sungai
T a n a m a n b e n tu k k a n o p i T a n a m a n b e n tu k p a le m T a n a m a n b e n tu k k e ru c u t T a n a m a n d a la m p o t T a n a m a n b e n tu k s e m a k
JL. KOL TONG
JL. PETAK ASEM
JL.
TO
E L M
RA
TA K -
N JU
NG
PR
IO K
JL
JL. SEMUT
.E
KO
R
K UNING
JL .
BE N
NG
D ER
T IA
B EN
NG
D ER
NE
LAY
AN
T IM
UR
A
EH
IA J L. T
JL. CENGK
J L.
A
JL. TIANG
ND
E RA
7
UTARA
CENGK
JL. TEH
JL.
TIMUR
EH
BENDERA
BARAT
JL. TIANG
BESAR
BESAR
MALAKA
JL. KALI
JL. ROA
1
JL. KALI
BE
2
NG
BENDERA
.TI A
BENDERA
JL. TIANG
JL
J L.
KUN
IR
5 JL
.T IA
NG
BE
NDE
RA
6
IM R T
JL. TIANG A5 BENDER
ES LI B
AR
4
JL .
JL. TIANG
KO P
3
PI
KA J L.
JL .
UR
US
SA
JL. KEMUK
E LI B
KOTA
KA
JL. POS
J L.
KO
JL .
I
K E TU
MB
AR
TIMUR
US
BESAR
JL. KEMUK
RA 3
JL. KALI
BENDE
J L.
K AL
S I BE
AR
5
4
BESAR
BENDERA
JL. KALI
ANG Jl. TI
BARAT
JL. R OA
JL.
MALAKA
PINTU
ERA
UTARA
2
BEND
BESAR
SELATAN
JL. TIANG
AKA J L. MAL
3
JL . TIANG BENDERA 4
TE L
EPO
N KO
TA
ST.
J L.
KO T
A
S JL . PA
AG AR P
I
JL. PINTU
KECIL
PO N
UTARA
E T EL
BESAR
JL .
KOTA
JL. PINTU
U T A R A
AS AR J L. P
0
50
10 0
20 0
PA G
I
3 00
Gambar 23. Ruang terbuka hijau di Kawasan Kota.
Gambar 24. Lokasi mangkal PKL di Kawasan Kota.
Pedagang kaki lima Penilaian kondisi pedagang kaki lima di Kawasan Kota didasarkan pada kesesuaian pemilihan lokasi tempat mangkal terhadap ketentuan Pemprov DKI Jakarta atau pihak pengelola setempat, hal ini merujuk pada pendapat Mc. Gee & Yeung (dalam Devitasari 2003 : 38), Ubaidi (dalam Dundu 2005) dan Mauboy (2006). Pada kawasan Delta Sunda Kelapa tersedia lahan yang disediakan untuk mangkal PKL (semi dan non permanen), yaitu di dalam areal Pasar Ikan, di sepanjang dinding Museum Bahari (sisi Barat dari koridor JL. Pasar Ikan). Pada kawasan Muara Sungai
116
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
Ciliwung atau Galangan-Benteng tidak terdapat lahan yang secara khusus diperuntukkan bagi lokasi mangkal PKL. Pada kawasan Kali Besar, PKL (semi dan non permanen) diijinkan mangkal di areal belakang terminal angkutan kota (JL. Kali Besar Timur), akan tetapi dengan luasan yang sangat terbatas. Sampel bangunan nomor 70 dan areal sisi Utara kantor Imigrasi Jakarta Barat merupakan lokasi khusus, yang disepakati Satpol PP dan pengelola kawasan setempat, sebagai lokasi mangkal PKL permanen di kawasan Plaza Taman Fatahillah. Tidak berbeda dengan kawasan Muara Sungai Ciliwung, hingga saat ini di kawasan Plaza Taman Stasiun Kota belum terdapat areal yang khusus diperuntukkan bagi PKL (semi dan non permanen) untuk mangkal. (Gambar 24) Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 137 PKL yang beroperasi di Kawasan Kota (23 PKL permanen; 45 PKL semi permanen; dan 69 PKL non permanen), sejumlah 82 PKL (atau sebesar 60%) memilih lokasi mangkal sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga apabila dikaitkan terhadap perkembangan vitalitas kawasan, keberadaan PKL di Kawasan Kota relatif mengganggu kenyamanan dan ketertiban kawasan. Tingkat vitalitas kawasan Berdasar pembobotan terhadap kondisi masing-masing variabel vitalitas, Kawasan Kota saat ini dapat dikategorikan berada pada tingakat vitalitas sedang. Dengan kata lain, kawasan tersebut hidup, akan tetapi dalam keadaan kacau. Penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan Penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan dikaji dengan membobotkan ke-12 variabel vitalitas berdasar persepsi pakar/ahli di bidang-bidang terkait, melalui teknik Analityc Hierarchy Proses (AHP). Hasil studi menunjukkan, dari keempat variabel aspek non fisik, variabel kepedulian pemerintah memperoleh bobot rasio tertinggi. Sementara dari kedelapan variabel aspek fisik, variabel sistem transportasi memperoleh bobot rasio tertinggi. Oleh karena itu, kepedulian pemerintah ditentukan sebagai faktor non fisik utama, dan sistem transportasi ditentukan sebagai faktor fisik utama penyebab menurunnya vitalitas Kawasan Kota DKI Jakarta.
Kesimpulan Struktur tata ruang Kawasan Kota mengalami perubahan signifikan hanya pada sub kawasan Muara Sungai Ciliwung atau Galangan-Benteng. Sementara jumlah bangunan kuno di kawasan tersebut masih mendominasi, yaitu sebesar 70%. Kawasan Kota termasuk dalam kategori lingkungan cagar budaya golongan I, sementara bangunanbangunan kuno di dalamnya terbagi dalam kategori bangunan cagar budaya golongan A dan golongan B. Pertumbuhan ekonomi kawasan menurun sebesar 34%. Kesadaran masyarakat DKI Jakarta terkait keberadaan Kawasan Kota sebesar 51,4%. Sementara Pemprov DKI Jakarta dikategorikan telah memiliki kepedulian terhadap keberadaan Kawasan Kota. Hanya 56% dari Kawasan Kota yang bebas banjir, baik yang disebabkan oleh luapan sungai maupun air laut pasang. Peruntukan Kawasan Kota dan sekitarnya secara umum dapat dikelompokkan pada beberapa kegiatan, yaitu karya bangunan umum; wisma dan bangunan umum; penyempurna hijau binaan; karya pemerintahan; fasilitas umum; industri dan pergudangan; serta bangunan kosong, sementara hasil penelitian menunjukkan hanya 59% sampel (58 bangunan dan 2 areal) yang difungsikan sebagaimana ketentuan rencana tata ruang dan rekomendasi pakar. Penataan dan tampilan 78 % sampel bangunan dikategorikan mendukung vitalitas Kawasan Kota. Kondisi sarana prasarana di Kawasan Kota dikategorikan berada dalam kondisi “sedang”. Kemacetan di Kawasan Kota relatif sedang, karena rata-rata DS dari ke-7 sampel koridor adalah 0,83 atau berada pada klasifikasi tingkat pelayanan ”D”. Secara umum gambaran kuantitatif dari besaran gangguan yang disebabkan oleh sektor parkir terhadap sistem
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
117
transportasi di Kawasan Kota dan juga terhadap vitalitas kawasan tersebut adalah sebesar 20%. Sementara pedestrian way di Kawasan Kota secara umum berada dalam kondisi baik. Ruang terbuka dan tata hijau di Kawasan Kota dapat dikategorikan berada dalam kondisi ”sedang”. Keberadaan PKL di Kawasan Kota, apabila dikaitkan terhadap perkembangan vitalitas kawasan, relatif mengganggu kenyamanan dan ketertiban kawasan. Tingkat vitalitas Kawasan Kota DKI Jakarta saat ini berada pada kategori sedang, atau dengan kata lain kawasan tersebut masih hihup tetapi dalam keadaan kacau. Faktor utama yang menyebabkan penurunan vitalitas Kawasan Kota adalah kepedulian pemerintah dan sistem transportasi.
Daftar Pustaka Adji M. B. U. Q. 1990. Teori Perancangan Urban (Jalur Pejalan Kaki.), Tesis, Tidak diterbitkan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Antariksa, 2004. Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota, Jurnal PlanNIT. 2 (2):98-112. Antariksa, 2005. Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan, Jurnal Sains dan Teknologi EMAS.15 (1): 64-78. Dinas Tata Kota Provinsi DKI Jakarta 2005. Pengkajian Aspek Ketatakotaan pada Kawasan Kota Tua, Jakarta. Direktorat Jenderal Bina Marga 1997. Manual Kapasitas Jalan Indonesia, Jakarta. Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (1997). Perekayasaan Fasilitas Pejalan Kaki di Wilayah Kota Nomor SK/AJ007/DPRD/97, Jakarta. Djunaedi 2000. Perancangan Kota sebagai Perluasan Bidang Arsitektur, http://www.mpkd.ugm.ac.id/ dosen/djunaedi/Support/Materi/Pkota-i/a01-pkota1isi.pdf. (01 Maret 2008) Dundu, P.E. 2004. ’Oud Batavia, Kawasan Mahal yang Terlupakan’, Harian Kompas, 21 Agustus 2004. Dundu, P.E. 2005.’30 tahun Revitalisasi Kota Tua Cuma Sebatas Konsep’, Harian Kompas, 11 April 2005. Frick H. & Mulyani T.H. 2006. Arsitektur Ekologis Seri Eko-Arsitektur 2. Yogyakarta: Kanisius dan Soegijapranata University Press. Hadiahwati A., Antariksa & Dwi Wicaksono A. 2005. Studi Tingkat Vitalitas Kegiatan Perdagangan Lama di Kawasan Segiempat Tunjungan Surabaya, Jurnal RUAS 3 (2): 110-125. Hakim R. & Utomo H. 2004. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap, Jakarta: Bumi Aksara. Hariyani 2000. Preservasi dan Konservasi Kawasan Bersejarah Pusat Kota Lama Padang: Suatu Kajian Awal Menuju Suatu Design Guidelines, Tesis, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. (Tidak dipublikasikan) Hidayat, R. 1994. ‘Direvitalisasi dalam Konteks Kekinian’, Majalah Konstruksi, Februari, hlm 10-14. Ichwan, R. M. 2004. Penataan dan Revitalisasi Sebagai Upaya Meningkatkan Daya Dukung Kawasan Perkotaan, http://tumoutou.net (01 Maret 2008) Mauboy, C. W. 2006. Building Initiative On Heritage Conservation In Jakarta, http://jurnal.bl.ac.id/wp-content/uploads /2007/01/skets-v2-n1-maret2006-artikel4. npdf (01 Maret 2008) Megawardana, 1998. Perancangan Ruang Kota Kawasan Pecinan Glodok Jakarta. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Nurmala, 2003. Panduan Pelestarian Bangunan Tua/Bersejarah di Kawasan Pecinan Pasar Baru. Bandung. Tesis. Tidak diterbitkan. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
118
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
Pradoto, W. 1999. Kajian Penurunan Aktivitas dan Kinerja Suatu Pusat Perdagangan Lama dan Arahan Pengembangannya. Tesis. Tidak dipublikasikan. Bandung: Institut Teknik Bandung. Ridwan, M. 2005. Melestarikan Koata Tua Batavia, dengan Revitalisasi atau Rekonstruksi?, Harian Umum Sore Sinar Harapan, 09 Juli 2005. Dwi Ari, I. R. 2000. Sistem Visual Kawasan Kota Lama di Malang, Jurnal Teknik VII (3): 114. Rochadi, M. T. 1999. Teori Perancangan Urban, Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan. Bandung: Program Pasca Sarjana Intitut Teknologi Bandung. Santosa, H. 2005. Studi Karakteristik Fasade Bangunan Rumah Toko di Kota Malang, Jurnal Ruas 3 (2): 137-146. Sunarimahingsih. 1995. Sistem Visual di Kawasan Pusat Kota Lama Studi Kasus Kawasan Pusat Kota Lama Semarang, Seri Kajian Ilmiah 6: 80-108. Suryasari. 2005. Peran dan Tingkat Kebertahanan Elemen Lingkungan Kota Malang dalam Menciptakan Identitas dan Karakter Kota, Jurnal RUAS 3 (2): 156-166.
Copyright © 2009 by Antariksa
arsitektur e-Journal, Volume 2 Nomor 2, Juli 2009
119