KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT (ANALISIS KASUS PEMBEBASAN TANAH DALAM PANDANGAN FIQH) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
ABDUL RAHMAN NIM. 104043101306
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
1
2
KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT (ANALISIS KASUS PEMBEBASAN TANAH DALAM PANDANGAN FIQH) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh
ABDUL RAHMAN NIM. 104043101306
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP: 150 275 509
Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP: 150 290 159
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H / 2009 M
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul Orisinalitas Konsep Dalǎlat al-Ahkǎm al-Ghazǎlǐ Dalam Perspektif Adonis telah diujikan dalam sidang Munaqosah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 16 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (Perbandingan Mazhab Fiqih) Jakarta, 19 Februari 2009 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422
Panitia Ujian 1. Ketua
: Dr. KH. Ahmad Mukri Adji, MA, MM NIP. 150 220 554
(……..…………..)
2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 150 290 159
(……..…………..)
3. Pembimbing I
: Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag NIP: 150 275 509
(……..…………..)
4. Pembimbing II
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP. 150 290 159
(……..…………..)
5. Penguji I
: Dr. KH. Ahmad Mukri Adji, MA NIP. 150 220 554
(……..…………..)
6. Penguji II
: H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc, MA (……..…………..) NIP. 150 238 774
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta:
28 April 2009 M 9 Jumadil Awal 1430 H
Abdul Rahman
5
ﺑﺴﻢ ﺍﷲ ﺍﻟﺮﲪﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ KATA PENGANTAR Penulis bersyukur ke hadirat Allah Ta’ala yang memberi hidup dan penghidupan, pengetahuan dan kemauan untuk menulis serta kekuatan hingga penulisan skripsi ini selesai. Shalawat dan salam penulis kirimkan untuk orang yang terpilih, Nabi Muhammad saw, yang atas kelahirannya Allah ciptakan semesta alam. Semoga karunia iman dan berkah juga mengalir kepada para sahabat dan semua pengikutnya hingga akhir zaman. Menulis merupakan pengalaman unik sekaligus menegangkan namun cukup menarik dijalani. Menulis tidak pernah memberi pengalaman yang sama dengan yang dialami oleh generasi sebelumnya, ataupun penulis lainnya: menulis adalah pengalaman individual. Walau begitu menulis adalah meta-dialog yang mengijinkan seseorang memperoleh spirit pengetahuan dari banyak pihak sekaligus bertanggung jawab kepada mereka. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, M.A, Ketua Prodi PMH Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta , dan Dr. H. Muhammad Taufiqi, M.Ag., Sekertaris Prodi PMH Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
6
Jakarta yang telah memberikan arahan, bimbingan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. H. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag dan Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang rela meluangkan waktunya dan selalu memberikan masukan, arahan, dan kritikan yang konstruktif pada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 4. Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku ataupun literatur lainnya sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan. 5. Semua Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas semua pengetahuan yang diberikan pada penulis selama masa pendidikan berlangsung. 6. Kedua orang tua yang tercinta Ayahanda Ahmad Sani (Alm) dan Ibunda Lasinah, yang senantiasa mendoakan penulis dan menberikan motifasi, baik moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan studi serta menyelesaikan penulisan skripsi ini. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat, kasih sayang dan taufik-Nya serta melimpahkan kebahagiaan kepada keduanya di dunia maupun di akhirat. Amin.
7
7. Kakak-kakakku yang tercinta Maryam, Lukman Hakim, Astri Suryani, Mushtofa dan tak lupa adikku yang kusayangi Suryanti. Kalian adalah hidup, semangat dan doaku. 8. Guru-guruku, para Kiyai dan dewan asatidz sejakku “Nyantri” di Al-Hamidiyah (Depok-Jawa Barat), Bahrul Ulum (Jombang-Jawa Timur) hingga Darul Falah (Jepara-Jawa Tengah) yang telah menancapkan keimanan dan keilmuan dalam jiwaku dengan penuh keikhlasan. Semoga mereka selalu dalam naungan dan keridhoan-Nya 9. Terima Kasih kepada seluruh Mahasiswa PF-B angkatan 2004, khususnya Anas Shafwan Khalid SHI, Abdurrahman SHI, Abdul Halim Mahmudi SHI, Musthofa Zahri, Madinah, SHI, Jannatul Firdaus, SHI, Jeffy Efrianti, SHI, Sinarembulan SHI, Latifah, SHI dan teman-teman di semua periode hidupku, kalian adalah wacana yang membentuk kepribadianku. 10. Terima kasih untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan dorongan, motifasi, bantuan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan studi penulis terutama penyelesaian penulisan skripsi ini. Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya ganjaran pahala yang berlipat ganda.
8
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu masukan dan saran selalu penulis harapkan untuk kesempurnaanya. semoga pula skripsi ini berguna bagi para pembaca. Amin
Jakarta:
28 April 2009 M 9 Jumadil Awal 1430 H
Penulis
9
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN .....................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ....................................................................... iv KATA PENGANTAR ...................................................................................
v
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .........................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................
7
D. Review Studi Terdahulu ..........................................................
8
E. Metode Penelitian ................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ............................................................ 12
BAB II : SISTEM PERTANAHAN DALAM HUKUM ISLAM A. Sejarah Pertanahan dalam Islam ............................................. 14 B. Hukum Pertanahan Islam ......................................................... 16 C. Ihyâ’ al-Mawât ........................................................................ 22 D. Al-Iqtâ’ .................................................................................... 29
10
BAB III : KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH BERDASARKAN HUKUM POSITIF A. Tanah dan Pembangunan ........................................................ 35 B. Latar Belakang Pembebasan Tanah di Indonesia..................... 39 C. Pengertian dan Macam-macam Pembebasan Tanah ............... 45 D. Pelaksanaan Pembebasan Tanah dan Ganti Rugi yang diberikan Pemerintah ............................................................................... 46
BAB IV : ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERILAKU PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH A. Efektifitas Kebijakan Pemerintah Tentang Pertanahan .......... 53 B. Dampak Pembebasan Tanah terhadap Kehidupan Rakyat ...... 58 C. Prinsip Musyawarah dan Ganti Rugi Pembebasan Tanah dalam Perspektif Fiqh ........................................................................ 62 D. Otoritas Pemerintah Demi Kemaslahatan di bidang Pertanahan dalam Sorotan Fiqh ........................................................................... 65 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................ 73 B. Saran-Saran ............................................................................ 74
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 76 LAMPIRAN ................................................................................................... 81
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Persoalan hukum pertanahan yang kelihatannya tidak pernah selesai diperbincangkan dan dikaji orang adalah persoalan pengambilan tanah kepunyaan penduduk mayarakat untuk keperluan proyek pembangunan yang biasa dikenal dengan istilah pembebasan tanah. Hal ini memang menyangkut persoalan paling kontroversial dalam masalah pertanahan. Pada satu sisi tuntutan pembangunan akan tanah ternyata sudah sedemikian mendesak, dan pada sisi lain persediaan tanah semakin langka dan terbatas. Perkembangan proses pembangunan yang terus berkembang pesat di Negara kita bukan saja memaksa harga tanah pada berbagai tempat semakin melambung, akan tetapi juga telah menciptakan suasana dimana tanah sudah menjadi komoditi ekonomi yang mempunyai nilai yang sangat tinggi, sehingga besar kemungkinan pembangunan selanjutnya akan mengalami kesulitan dalam mengejar laju perkembangan harga tanah dimaksud.1 Tanah memang mempunyai arti yang sangat strategis bagi kehidupan manusia di muka bumi dan hampir seluruh sektor kehidupan manusia bergantung
1
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1991), cet.III, h.2
12
dan bersumber pada tanah, baik itu sebagai tanah pertanian, tempat pemukiman, tempat usaha, tempat peribadatan, sarana perhubungan dan lain sebagainya.2 Persoalan pembebasan tanah, pengadaan tanah atau apapun namanya selalu menyangkut dua dimensi yang harus di tempatkan secara seimbang yaitu kepentingan pemerintah dan kepentingan warga masyarakat. Dua pihak yang terlibat yaitu penguasa dan rakyat harus sama-sama memperhatikan dan mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku mengenai hal tersebut. Jika hal tersebut tidak diindahkan akan timbul persoalan-persoalan seperti yang kita baca dalam publikasi media masa dimana pihak penguasa dengan keterpaksaanya melakukan tindakan yang dinilai bertentangan dengan hak azasi dan sebagainya. Sedangkan rakyat mau tidak mau melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang diyakininya sebagai hak yang harus dipertahankannya. Konflik kepentingan atas hak tanah akan terus meningkat dimasa akan datang antara lain disebabkan oleh mekanisme pembebasan tanah yang tidak memberikan akses pada warga masyarakat untuk
turut serta di dalam
pengambilan keputusan dan terutama yang berkenaan dengan penentuan penggunaan tanah dan bentuk serta ganti rugi yang kurang wajar diterima oleh mereka warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk keperluan pembangunan. Sedangkan menurut pengamat politik Dr. Affan Gaffar persoalan tanah akan terus menerus muncul disebabkan oleh beberapa hal:
2
Abdul Muis, Pembangunan dan Problematika Pertanahan, dalam Masdar F. Mas’udi (ed.), Teologi Tanah, cet.I, (Jakarta : P3M, 1994), cet.I, h.55
13
1. Prosedur pelepasan atas tanah yang tidak didasarkan atas prinsip musyawarah dengan masyarakat yang terkena pembebasan tanah. 2. Rendahnya nilai ganti rugi tanah yang diberikan oleh Pemerintah ataupun pelaksana pembangunan sebuah proyek.3 Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha pembangunan baik yang dilakukan oleh instansi Pemerintah maupun pihak swasta dirasakan perlu adanya kesatuan mengenai pembebasan tanah dan sekaligus penentuan ganti rugi atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib dan seragam. Masalah ganti rugi pembebasan tanah meskipun tata caranya menganut prinsip musyawarah, tetapi seperti diberitakan media masa terkadang masih juga timbul persoalan-persoalan akibat ketidakpuasan bekas pemilik tanah dengan ganti rugi yang diterimanya. Ciri-ciri permasalahan yang pada umumnya menjadi konflik di dalam proses pembebasan tanah yaitu: 1. Pelaksanaan keharusan musyawarah antara panitia pembebasan tanah dengan para pihak pemilik tanah. 2. Penetapan ganti rugi yang sering dirasakan jauh dari memadai. Pembayaran ganti rugi ada kalanya mengalami keterlambatan. Prosedur pembayaran ganti rugi yang sering tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut penulis permasalahan ganti rugi atas pembebasan tanah itu karena dalam peraturan perundang-undangan hukum positif ada unsur-unsur 3
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah, h.2
14
bentuk ganti rugi yang perlu dipertimbangkan untuk ganti rugi di dalamnya. Karena di dalamnya tidak ada keseimbangan antara penguasa pembebasan tanah dengan rakyat yang tanahnya akan dibebaskan yaitu adanya susunan panitia yang terdiri dari unsur-unsur birokrasi. Beranjak dari permasalahan-permasalahan tersebut di atas maka penulis memandang perlu untuk mengkaji ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam dan hukum positif untuk mencari alternatif pemecahan permasalahan dalam masalah ganti rugi pembebasan tanah. Islam adalah agama yang way of life dan oleh karenanya Islam sudah tentu mempunyai konsepsi tentang segala segi hajat hidup. Persoalan tanah adalah satu di antara hajat hidup, dan sudah tentu Islam mempunyai konsepsi tentang hal tersebut. Melihat persoalan-persoalan yang terjadi pada saat ini khususnya pada masalah pertanahan Islam mengadakan perubahan-perubahan yang diperlukan. Hal tersebut telah di cetuskan dan dipelopori oleh Nabi Muhammad saw dan dilanjutkan oleh para al- Khulafa’ al-Rasyidun.4 Islam mengajarkan agar hidup dalam bermasyarakat keadilan dan ihsan dapat ditegakkan. Adil dan ihsan dalam kalangan muslim dan umat manusia pada umumnya. Keadilan yang harus ditegakkan mencakup keadilan diri sendiri, keadilan hukum dan keadilan sosial.5
4
Marsekan, Hak Milik Tanah dalam Islam, (Yogyakarta : t.n.p., t.th.), h.27 Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta : Fak. Hukum UII, 1990), h.28 5
15
Dalam hidup ini tiap-tiap orang mempunyai kepentingan terhadap orang lain. Dan setiap orang memiliki hak yang diperhatikan oleh orang lain serta dalam waktu yang sama juga memikul kewajiban yang harus ditunaikan terhadap orang lain. Hubungan antara hak dan kewajiban itu diatur dengan batasan-batasan yang telah ditentukan guna menghindari terjadinya bentrokan-bentrokan berbagai kepentingan. Dalam pola fiqih ada ketentuan-ketentuan tentang kewajibankewajiban kemasyarakatan yang dikenal dengan istilah fardu al-Kifâyah. Dan jika hal itu diabaikan maka seluruh masyarakat yang menanggung dosanya. Dalam ruang lingkup
pelaksanaan fardu al-Kifâyah terdapat
ketentuan-ketentuan pembatasan hak milik dan pencabutan hak milik untuk suatu kepentingan umum seperti perluasan jalan raya, penggalian saluran air, pembangunan masjid, rumah sakit dan sekolah dengan jalan mengganti kerugian pemilik yang dibatasi atau dicabut haknya untuk kepentingan bersama dalam bermasyarakat. Begitu pentingnya tanah bagi manusia dapat dilihat dari kenyataan bahwa manusia tidak mungkin hidup terlepas dari tanah. Tanah menjadi suatu kebutuhan di mana setiap individu membutuhkannya. Sebagai benda yang penting bagi manusia, tanah menjadi lebih bernilai karena ia dapat beralih dari pemiliknya kepada pihak lain yang menginginkannya. Peralihan kepemilikan tanah hubungannya sangat erat dengan
16
ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi seseorang yang memperoleh tanah. Islam pun mengakui bahwa manusia memerlukan tanah untuk membangun sebuah atau lebih bangunan, guna mewujudkan barang-barang yang dibutuhkan dan dapat digunakan pada saat-saat tertentu ataupun kebutuhan komersial. Rasulullah saw sendiri menyimpan persediaan untuk memenuhi kelangsungan hidup selama setahun setelah musim memetik tanaman kurma tahunan.6 Pada tataran kondisi ini peranan penting dari tanah dalam aspek konsumtif dalam mewujudkan keinginan manusia untuk mendirikan tempat tinggal terlihat nyata. Aspek tersebut dapat dilihat dari target atas penggunaan tanah. Berdasarkan pemaparan di atas, membuat penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh tentang permasalahan tersebut dari berbagai sudut pandang, sehingga penulis berkeinginan untuk meneliti tentang
KEBIJAKAN PEMERINTAH
TERHADAP RAKYAT (Analisis Kasus Pembebasan Tanah Dalam Tinjauan Fiqh).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Kajian ini ingin memfokuskan diri pada pandangan Fiqh terhadap praktek penyimpangan Pemerintah pada persoalan pembebasan tanah. Dalam hal
6
Ahmad M. Saefuddin, Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 19687), h.1
17
ini penulis mencoba membandingkan antara konsep ulama mazhab secara realitas melalui fatwa Fatwa MUI No. 8/Munas VII/MUI /12/ 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006 untuk mengetahui efektifitas peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah ini. Ringkasnya, beberapa pertanyaan berikut dapat menggambarkan rumusan masalah skripsi ini: 1. Bagaimana
kebijakan
Pemerintah
dalam
menangani
praktek
kasus
pembebasan tanah? 2. Bagaimana efektifitas Perpres No. 65 Tahun 2006 dalam mengatur persoalan pembebasan tanah? 3. Bagaimana dampak kebijakan Pemerintah dalam pembebasan tanah terhadap kesejahteraan rakyat? 4. Bagaimana perspektif fiqih dalam menyikapi kebijakan Pemerintah tentang pembebasan tanah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan di atas, maka tujuan penelitian adalah : 1. Mengetahui kebijakan Pemerintah dalam menangani kasus pembebasan tanah. 2. Mengetahui efektifitas Perpres No. 65 Tahun 2006 dalam mengatur pembebasan tanah. 3. Mengetahui dampak kebijakan Pemerintah dalam pembebasan tanah terhadap kesejahteraan rakyat.
18
4. Mengetahui pandangan fiqih terhadap praktek Pemerintah dalam menangani kasus pembebasan tanah. Manfaat penelitian adalah: 1. Bagi Penulis. Kegiatan penelitian ini merupakan kesempatan bagi penulis untuk menambah pengetahuan teoretis dan memperluas wawasan untuk mempelajari secara lansung dan menganalisis fiqh berikut Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang pembebasan tanah. 2. Bagi Akademisi Guna memberikan pertimbangan kepada para pembuat Undang-Undang untuk memperhatikan kondisi masyarakat dalam membuat Undang-Undang, sehingga hukum yang dilahirkan tidak hanya sebatas wacana belaka tapi dapat diterapkan sesuai tujuan melahirkan hukum tersebut, dan menguntungkan masyrakat.
D. Review Studi Terdahulu Dalam penulisan skripsi terdahulu, terdapat dua penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yakni: 1. Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pepres No. 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan umum, oleh: Siti Faizah, SJPMH, 2005.
19
Penulis menguraiakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dapat dilakukan jika benar-benar untuk kepentingan umum, dan pemilik tanah harus rela melepaskan tanah miliknya demi kepentingan umum. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum menurut hukukm positif dan hukum Islam dilakukan dengan cara penyerahan dan pencabutan hak atas tanah. Islam juga mengakui adanya pencabutan hak milik demi kepentingan umum, karena tanah memiliki fungsi sosial yang dapat digunakan untuk kemashlahatan umat. Kepentingan umum merupakan kepentingan yang manfaatnya dinikmati masyarakat umum tanpa adanya diskriminasi. 2. Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kritis Terhadap Perpres No. 65 Tahun 2006), oleh: Jalaluddin Noor, SJPMH, 2007. Penulis mengurai tentang kepentingan umum dalam Perpres No. 65 Tahun 2006, sesuai pasal 2 butir 5 adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Tindakan Pemerintah sesuai pasal 18 Perpres No. 65 Tahun 2006 merupakan ketentuan yang tidak mengandung unsur pembatasan, setiap hak atas tanah baik yang telah memiliki surat-surat resmi/sertifikat maupun belum dapat dicabut atas dalih pembangunan bagi kepentingan umum. Hukum Islam memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mencabut hak milik demi kepentingan umum, tetapi hal tersebut di lakukan berdasarkan persetujuan DPR dan DPRD.
20
Dalam skripsi ini penulis akan menguraikan tentang perilaku pemerintah di dalam menentukan suatu kebijakan dalam pertanahan. Dalam hali ini tentunya pemerintah menggunakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang kasus pembebasan tanah antara lain Perpres No.65 Tahun 2006. Namun Penulis memiliki sorotan yang berbeda dalam skripsi ini, untuk membedakannya dengan dua skripsi terdahulu yang telah disebutkan di atas. Dalam skripsi ini akan dibahas secara fokus tentang legalitas peraturan yang dibuat pemerintah dalam perspektif fiqih dan Fatwa MUI No. 8/ Munas VII/MUI/12/2005 . Selain itu penulis juga menyoroti tentang otoritas Pemerintah sebagai pengatur kekuasaan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat dan dampak yang ditimbulkan dari pembebasan tanah terhadap kesejahteraan hidup rakyat.
E. Metode penelitian Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan pendekatan normatif sosiologis yaitu dengan mengkaji hukum terlebih dahulu kemudian dampak dari hukum yang diterapkan dalam masyarakat. Sehingga dalam perolehan data penelitian penulis memilih penelitian kepustakaan (library research),7 berkenaan
7
Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan materi yang berupa buku, majalah, dokumen dan yang lainnya. Lihat: Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), h.28
21
dengan perundang-undangan mengenai persoalan pertanahan dan aspek sosiologis masyarakat terkait dengan persoalan yang dimaksud. Selain itu penulis juga menyajikan penelitian lapangan (field research), dengan cara, penulis langsung terjun kelapangan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Untuk data primer penulis mengacu pada Perpres No. 65 Tahun 2006, Fatwa MUI No. 8/Munas VII/MUI/12/2005, Fatwa MUI No. 6/Munas VII/MUI/10/2005, Al-Qur’an, al-Hadis dan juga kaidah-kaidah ushul fiqh, seperti kitab Al-asybah Wa al-Nazâ`ir Fi al-Furu’ karya Jalâluddin al-Suyûti dan Al-fiqh al-Islâmi Wa Adillatuh karya Wahbah Zuhayli. Sedang pada data sekunder penulis mengutip berbagai literatur seperti buku, artikel, majalah, internet dan lainnya yang terkait dengan tema skripsi. Dalam metode analisis data untuk penulisan skripsi ini yang digunakan oleh penulis adalah analisis isi (content analysis), yaitu penguraian data melalui kategorisasi,
perbandingan
dan
pencarian
sebab
akibat,
baik
dengan
menggunakan analisis induktif (usaha penemuan jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan), maupun metode analisa deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian dihubungkan dengan pertanyaan yang lebih sempit) Adapun tehnik penulisan ini, penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Tahun 2007.
22
F. Sistematika Penulisan Bab I
Pendahuluan Terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penulisan.
Bab II
Sistem Pertanahan Dalam Hukum Islam Berisi ulasan teoretis berkenaan dengan pertanahan dalam Islam. Meliputi Sejarah Pertanahan, Hukum Pertanahan, Ihya’ al-Mawât, dan Al-Iqta’.
Bab III Kebijakan Pemerintah Dalam Pembebasan Tanah Berdasarkan Hukum Positif Mengenai perspektif hukum positif tentang pembebasan tanah. Pada bab ini, penulis akan menguraikan hubungan tanah dan pembangunan, latar belakang pembebasan tanah di Indonesia, pengertian dan macam-macam pembebasan tanah, pelaksanaan pembebasan tanah dan ganti rugi yang diberikan pemerintah. Bab IV Analisis Hukum Islam Terhadap Perilaku Pemerintah Dalam Pembebasan Tanah Berupa analisis penulis tentang beberapa poin sentral mengenai praktik pembebasan tanah, seperti: efektifitas kebijakan pemerintah tentang pertanahan, dampak pembebasan tanah terhadap kehidupan rakyat, Prinsip Musyawarah dan Ganti Rugi Pembebasan Tanah dalam
23
Perspektif Fiqih serta otoritas Pemerintah demi kemaslahatan dibidang pertanahan dalam sorotan fiqih. Bab V
Penutup, Berupa kesimpulan penelitian
24
BAB II SISTEM PERTANAHAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Sejarah Pertanahan Dalam Islam Syariah Islam tidak mempunyai satu teori yang lengkap yang berhubungan dengan sistem pertanahan atau Undang-undang pertanahan, tetapi melalui gabungan beberapa Undang-undang seperti kontrak, peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pengambilan balik harta, peraturan pajak tanah dan hasil tanah, peraturan penaklukan, pembagian harta rampasan perang dan lainlain.8 Perkembangan Undang-undang pertanahan Islam secara ringkas dapat dilihat pada praktek-praktek yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW serta para sahabat dalam pemerintahan mereka masing-masing. Pada zaman Rasulullah SAW tidak banyak timbul persoalan-persoalan yang berhubungan dengan harta dan tanah, kecuali yang berkaitan dengan harta-harta rampasan perang (ghanimah)9 yaitu tanah-tanah orang Yahudi di sekitar Madinah. Hal ini disebabkan lahan-lahan pertanian di Semenanjung Tanah Arab yang terlalu sedikit.10
8
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, Tesis Universitas Muhammadiyah Jakarta, 2002, h. 48-49 9 Ghanimah adalah harta kekayaan yang diperoleh orang-orang muslim dari non muslim melalui peperangan. Ghanimah ini tidak hanya berupa harta (baik bergerak ataupun tidak), tetapi juga orang-orangnya dapat berupa tawanan perang ataupun perempuan dan anak-anak. Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan kenyataan, (Yogyakarta: FH. UII Press, 2007), h. 297. 10 Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam., h. 49-50
25
Dalam perkembangan sejarah, penaklukan pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan orang-orang Islam ialah kepada Bani Nadhir (4 H/623 M). Rasulullah SAW telah mengambil tanah-tanah Bani Nadhir di Madinah dan ini merupakan perluasan wilayah taklukan yang mula-mula dilakukan oleh negara Islam.11 Sedang pada masa kekhalifahan pada pemerintahan khalifah pertama yaitu Abu Bakar Siddiq r.a tidak banyak mengalami perubahan tentang sistem pemilikan tanah, bahkan sistem yang sama dengan zaman Rasulullah SAW telah dilaksanakan. Tetapi setelah khalifah Umar bin Khattab r.a dilantik menjadi khalifah kedua, sistem pemilikan tanah telah banyak berubah, dan banyak pembaharuan Undang-undang tanah telah diperkenalkan. Zaman Umar r.a boleh digambarkan sebagai zaman perluasan wilayah-wilayah yang berdekatan dengan semenanjung Arab, disebelah timur negeri Persia, sebelah barat Syam dan Mesir, dan di sebelah selatan ialah Afrika. Sedangkan negeri-negeri ini mempunyai bentuk muka bumi dan kesuburan tanah yang berbeda-beda untuk pertanian.12 Kesan utama yang timbul dari penaklukan wilayah-wilayah yang baru itu ialah masalah pembagian tanah-tanah di wilayah tersebut. Hal ini dapat diperhatikan melalui tindakan Umar r.a atas tanah Sawad di Irak. Umar enggan membagikan tanah Sawad kepada tentara-tentara Islam yang menaklukinya melalui peperangan. Menurut Umar r.a tanah Sawad tidak boleh dibagikan seperti
11 12
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam, h. 53 Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam, h. 55
26
pembagian yang dibuat pada harta rampasan perang. Bahkan harta itu hendaklah diletakkan dibawah hak milik baitul mal orang-orang Islam dan hendaklah dibelanjakan bagi kepentingan mereka.13 Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa hukum pertanahan Islam telah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya, tetapi ketentuan pertanahan itu hanya sebatas praktek-praktek yang dilakukan pada masa pemerintahannya masing-masing, dan belum dikodifikasikan secara lengkap.
B. Hukum Pertanahan Islam Dalam hukum Islam ada beberapa macam tanah yang masuk ke dalam wilayah kekuasaan umat Islam yaitu berupa tanah baru yang diperoleh melalui penguasaan atau penaklukan dan berupa wilayah lama, yaitu yang mereka tempati sendiri.14 Kedua jenis tanah tersebut akan dibahas sebagai berikut: 1. Tanah yang dimiliki karena penaklukan Tanah yang dikuasai dalam jenis ini ada 3 macam, yaitu tanah yang dimiliki secara paksa, tanah yang diserahkan oleh pemiliknya karena takut, dan tanah yang dimiliki karena kesepakatan. a) Tanah yang diperoleh secara paksa Menurut mayoritas ulama Malikiyah, kepemilikan atas tanah dapat berpindah kepada para penakluk dengan cara penaklukan, begitupun 13
Abdul Gani, Tinjauan Hukum Islam, h. 56 Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi Wa Adillatuhu, (Beirut : Dâr-al Fikr, 2004), h. 4595 14
27
menurut Hanabilah, Syi’ah Imamiyah dan Zaidiyah. Sebab tanah merupakan harta yang bisa lepas dari penguasaan para penakluk jika tanah itu masih bisa dipertahankan, sehingga sama dengan barang mubah yang dapat dimiliki oleh orang yang memperoleh dan menjaganya. Menurut ulama Syafi’iyah, kepemilkan atas tanah dan benda-benda bergerak lainnya adalah dengan penguasaan dan pembagian yang disepakati atau dengan upaya memilikinya. Sedang menurut Hanafiyah, kepemilikan itu tidak dapat berpindah kecuali dengan memasukkannya sebagai wilayah kekuasaan Islam.15 b) Tanah yang diberikan oleh pemiliknya karena takut Jenis tanah yang kedua adalah tanah yang dikenal dengan fay', yaitu harta kekayaan yang diperoleh kaum muslimin dari para kafir harbi dengan tanpa melalui peperang atau mengerahkan pasukan kuda dan unta,16 seperti halnya jizyah17 yang pajaknya 1/10 dalam perdagangan. Ketentuannya kepemilikan atas tanah ini beralih pada baitul mal, dan menjadi milik negara. Para fukaha menilainya sebagai wakaf milik umat Islam,
dan
Pemerintah
mengenakan
pajak
kepada
orang
yang
memanfaatkannya, perorangan ataupun persekutuan. Perihal wakaf itu 15
Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmi, h. 4595-4596 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), cet.II, h.278 17 Jizyah adalah pajak yang dipungut oleh Negara Islam dari rakyat non muslim yang membuat perjanjian dengan penguasa Islam, yang dengan membayar pajak itu mereka mendapat jaminan perlindungan dari Negara yang bersangkutan. ‘Jizyah’ dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol. 2 (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 824 16
28
dikarenakan harta ini bukanlah ghanimah, sehingga ini menjadi hak seluruh umat Islam. Para fuqaha sepakat hal itu sebanding dengan harta. Hanya saja Syafi'iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa mewakafkan tanah itu mengharuskan keterangan dari Pemerintah, agar tanah itu menjadi tanah wakaf. Sementara itu benda-benda bergerak dalam harta fay'18, menurut Jumhur Ulama juga dapat diwakafkan dan dikelola untuk kepentingan umat, dan pemerintah yang berhak untuk mengelolanya. Jika pemerintah ingin membagi-bagikan harta fay' kepada masyarakat Islam, maka harus membuat panitia yang menjaga, mengaturnya, dan membagikannya sesuai kebutuhan bulanan.19
c) Tanah yang diperoleh melalui kesepakatan Ketentuan hukum tanah ini terbatas pada akad damai, baik tanah itu menjadi tanah milik umat Islam atau tetap menjadi tanah pemiliknya, seperti tanah Yaman dan Hairah. Pada kategori pertama, tanah menjadi
18
Menurut Imam Syafi'i dalam qaul qadim, fay' atau harta yang diambil dari orangorang kafir tanpa melalui perang tidak diambil 1/5 seperti dalam pembagian ghanimah, karena harta fay' sepadan dengan harta yang diperoleh melalui perniagaan. Sedang dalam qaul jadid, Imam Syafl'I berpendapat bahwa harta fay' diambil 1/5 seperti dalam pembagian ghanimah. Jaih Mubarok, Modifikasi Hukum Islam: Studi tentang Qaul Qadim Qaul Jadid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), h. 295 19 Pemerintah, diwakili oleh lembaga peradilan dapat menentukan kepemilikan atas tanah kepada orang lain yang dianggap lebih mampu dan mengandung maslahat. Baik dalam bentuk hak pakai ataupun hak milik, dengan catatan bahwa tanah itu bukan tanah fay'. Selain itu, pemerintah tidak boleh mengalihkan hak itu untuk kepentingannya sendiri. AI-Khatib Al-Syarbiniy, Mughnî al-Muhtaj, Jilid 2, (Beirut : Dâr al-Fikr, 2003), h. 497-499
29
wakaf untuk umat Islam, seperti tanah taklukan, dan dianggap sebagai bagian dari Negara Islam, seperti tanah yang telah diserahkan oleh pemiliknya. Sebab Nabi Saw menaklukkan Khaibar dan berdamai dengan penduduknya untuk mengurus tanahnya, dan mereka berhak atas separuh hasil buminya, dan sisanya untuk umat Islam. Ibnu Umar pernah berkata: Nabi memperlakukan Khaibar separuh dari hasil tanahnya, buah dan tanaman. Dan Nabi pun berdamai dengan Bani Nadhir, bahwa para lelakinya tetap sebagai penduduk Madinah dan mereka berhak atas unta dan harta benda, selain senjata yang menjadi harta yang diberikan Allah untuk rasul-Nya. Tanah seperti ini dikenai pajak dan hal itu menjadi kemestian, artinya ketika seorang muslim membeli sebagiannya, ia juga dikenai pajak. Sebab hal itu dianggap sebagai upah dari pemakaian tanah. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para fuqaha.20 Sementara pada kategori kedua, tanah tetap menjadi hak pemiliknya berdasarkan kesepakatan, dan orang Islam pun wajib memenuhi persyaratan perdamaian secara total, selagi mereka tetap konsisten dengan perdamaian. Akan tetapi mereka dikenai pajak atas tanah yang mereka miliki, dan pemasukan pajak ini milik baitul mal. Pajak ini diperhitungkan sebagai jizyah, yang mana ketika mereka masuk Islam kewajiban itu gugur, ini menurut jumhur ulama dan Syi'ah Imamiyah yaitu berdasarkan
20
Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmi, h. 4605-4606
30
surat Umar bin Abdul Aziz kepada para pegawainya: "Tak ada kewajiban pajak atas tanah bagi orang yang telah memeluk Islam. "21 Ulama Hanafiyah dan Syi'ah Zaidiyah berpendapat bahwa kewajiban pajak itu tidak gugur, dikarenakan ada makna biaya dan balasan dalam pajak, sehingga tetap wajib atas orang yang masuk Islam, dan tidak terkecuali.22 Wilayah para penandatangan kesepakatan itu dianggap oleh Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah sebagai wilayah perdamaian atau perjanjian. Tapi menurut Jumhur wilayah itu adalah wilayah Islam yang penduduknya diposisikan sebagai ahl dzimmah yang wajib dikenai pajak.
2. Tanah yang berada dalam wilayah kekuasaan Ada dua jenis tanah dalam kategori ini, yaitu tanah yang berpemilik dan tanah mubah. Tanah yang berpemilik dibagi menjadi dua kategori, tanah yang dipakai dan tanah yang dibiarkan (bero). Begitupun tanah mubah ada yang dipakai untuk kepentingan mencari kayu dan mengembala binatang, ada juga tanah kosong yang kini disebut sebagai tanah milik Negara. Jadi yang dimaksud sebagai tanah yang dipakai adalah tanah yang digunakan sebagai pemukiman, wilayah pertanian atau yang lainnya.23 Sedang tanah bero adalah
21
Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmi, h. 4605-4606. Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islâmi, h. 4607 23 Al-Khâtib As-Syarbîniy, Mughnî Al-Muhtâj, h. 490-491 22
31
tanah yang kering tak berair, tidak ditempati sebagai pemukiman atau untuk kepentingan apapun. Adapun ketentuan hukum yang berlaku pada tanah milik yang dipakai adalah tak seorang pun berhak menggunakannya tanpa izin pemiliknya. Sedangkan tanah bero yang sudah kering, tanah ini masih menjadi hak pemiliknya, sekalipun periode keberoannya lama, bahkan bisa dijual, digadaikan, dihibahkan atau disewakan dan diwariskan. Ketentuan ini berlaku jika pemilik tanah itu diketahui, jika tidak diketahui maka tanah itu berstatus luqathah.24 Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun.Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan. Dapat disimpulkan bahwa secara umum, dalam pandangan Islam prinsip dasar kepemilikan tanah adalah karena pemanfaatan tanah itu sendiri. Artinya,
kepemilikan
terhadap
tanah
menimbulkan
konsekuensi
pemanfaatannya dan sebaliknya aktivitas pemanfaatan dapat menimbulkan konsekuensi pemilikan. Cara-cara yang sah untuk memiliki tanah adalah melalui pewarisan, akad pemindahan hak milik yang sah, dan kerja.
24
Al-Zuhaily, Al-Flqh Al-Islami, h. 4607
32
Prinsip dasar ekonomi Islam adalah bahwa tidak ada sesuatu yang boleh diperoleh secara gratis. Bahkan, seseorang juga tidak berhak hidup di atas kerja orang lain. Allah membenci sumber daya yang ditelantarkan, dan juga orang pemalas. Orang yang telah bekerja keras untuk hidup, di mata Islam sama baiknya dengan jihad berjuang di jalan Allah. C. Ihya' Al-Mawăt 1. Pengertian Secara etimologis, kata ihya' berarti upaya menjadikan sesuatu menjadi hidup, aktif dan memiliki kepekaan serta daya tumbuh. Kata al-mawat dapat diartikan sebagai tanah yang tak bertuan atau tanah bero, tanah yang tak terpakai. Ringkasnya, tanah yang tidak digunakan. Sehingga ihya’ al-mawât berarti menggunakannya.25 Secara terminologis ihya’ al-mawât berarti memperbaiki tanah dengan cara membangun, menanami atau membalik tanah yang tanah kosong, tak berair dan belum dimiliki atau dimanfaatkan oleh siapapun. Dan ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama tentang ihya' al-mawât, yaitu sebagai berikut:
25
AI-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami, h. 4614-4615 bandingkan dengan Ibn Qudamah alMuqaddasi, Al-Mughni Wa l--Syarh al-Kabir, h. 147
33
a. Menurut ulama Hanafiyah ihya' al-mawât adalah penggarapan lahan yang belum dimiliki dan digarap oleh orang lain karena ketiadaan irigasi serta jauh dari pemukiman.26 b. Menurut Imam Rafi'i ihya’ al-mawât adalah mengusahakan sebidang tanah yang tidak ada atau tidak diketahui pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang.27 c. Menurut Imam Syafi’I dalam kitab al-umm, ihya’ al-mawât adalah sebidang tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada seorangpun yang memanfaatkannya.28 Dengan demikian definisi ihya’ al-mawât dapat dikatakan memperbaiki tanah pertanian atau membuatnya bisa dijadikan lahan pertanian, dengan membuang semua pantangannya (bebatuan, rerumputan), membuat saluran air, menimbuni dengan tanah yang cocok untuk pertanian serta memagarinya. Cara ihya' al-mawât pada umumnya meliputi salah satu dari beberapa tindakan berikut, yaitu menyuburkan tanah, membersihkan tanah, menanaminya dengan tumbuh-tumbuhan, membangun dinding atau memagarinya, dan menggali parit yang di sekelilingnya. Namun semua itu tergantung pada adat kebiasaan dalam membangun tanah tersebut.29
26
Al-Imâm Abi al-Qâsim Abd al-Karîm bin Muhammad al-Rafi’I, Al-‘Azîz Syarh alWajîz, Juz. VI, (Beirut : Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), h. 205 27 al-Rafi’i, Al-‘Azîz h. 205. 28 Al-Imam Muhammad bin Idrîs al-Syafi’I, Al-Umm, Juz. V, (Beirut : Dâr al-Wafa`, 2005), h. 77-78 29 Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi'i, Edisi Lengkap: Muamalah, Munakahat, Jinayah, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2000), cet.I, h. 143
34
Keberlakuan syari'at tentang hal ini diatur dalam beberapa hadits berikut:
ﺎﺿ ﺍﹶﺭﻲ ﺍﹶﺣﻦ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻣﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨ ﺍﷲِ ﻋﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑ ﺟﻦﻋ 30
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻟﹶﻪﺔﹰ ﻓﹶﻬﹺﻲﺘﻴﻣ
Artinya: Dari Jâbir bin ‘Abdillâh R.a. dari Nabi SAW beliau bersabda : “Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia berhak terhadap tanah tersebut." (HR. Al-Tirmidzi)
ﺮﻤ ﺍﹶﻋﻦ ﻣ: ﻗﹶﺎﻝﹶﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨﺎ ﻋﻬﻨ ﺍﷲُ ﻋﻲﺿﺔﹶ ﺭﺸﺎﺋ ﻋﻦﻋ 31
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱﻖ ﺍﹶﺣﻮ ﻓﹶﻬﺪ ِﻻﹶﺣﺖﺴﺎ ﻟﹶﻴﺿﺍﹶﺭ
Artinya: Dari ‘Aisyah R.a. dari Nabi SAW. Bersabda : “Barang siapa yang menyuburkan sebidang tanah yang tak ada pemiliknya, maka dia lebih berhak terhadap tanah tersebut.” (HR. Bukhari)
Hadis-hadis tersebut menunjukkan bolehnya membuka lahan yang belum dimiliki dan digunakan oleh siapapun, yaitu dengan menanami, membajak tanahnya, membangun atau memagarinya. Selain itu, hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa membenarkan pembukaan lahan kosong, untuk kepentingan manusia, seperti kepentingan pertanian, memakmurkan alam yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomis dan bisa memenuhi kebutuhan masyarakat luas.
30
Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, Juz 3, (Beirut : Dâr alFikr, 1994), h. 90 31 Al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ismâîl al-Bukhâri, Sahih al-Bukhâri, Juz 3, (Beirut : Dâr al-Fikr, t.th), h. 139
35
Dalam hal ini tidak semua tanah dapat dibuka atau dijadikan sebagai lahan miliknya. Para fukaha sepakat tanah ini terbatas pada tanah yang belum dimiliki dan tak ada tanda pemakaian dan pemanfaatnnya. Namun mereka berselisih pendapat berkenaan dengan jenis-jenis tanah, seperti uraian berikut32 1) Tanah atau lahan yang sebelumya telah digarap seseorang tapi kemudian ditingalkan sehingga menjadi lahan kosong. Terhadap tanah seperti ini Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menyatakan tidak boleh digarap orang lain, karena tanah itu sebelumnya telah digarap oleh seseorang, sekalipun setelah itu ia tinggalkan kosong. Tanah seperti ini termasuk kedalam kategori yang telah menjadi milik orang lain. Akan tetapi Imam Abu Yusuf, pakar fiqh Hanafi menyatakan bahwa tanah seperti itu boleh digarap orang lain, selama penggarap sebelumnya tidak diketahui, dan lahan itu berada jauh dari pemukiman penduduk. Ulama Malikiyah menyatakan tanah yang telah berubah menjadi tanah kosong, sekalipun sebelumnya telah digarap orang lain, lalu ia tinggalkan sehingga tidak terurus boleh digarap oleh orang lain.33 Alasannya adalah keumuman hadis yang menyatakan :
ﻲ ﺍﹶﺣﻦ ﻗﺎﹶﻝﹶ ﻣﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺻﺒﹺﻲﻦﹺ ﺍﻟﻨ ﺍﷲِ ﻋﺪﺒﻦﹺ ﻋﺎﺑﹺﺮﹺ ﺑﻦ ﺟﻋ 34
( )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻟﹶﻪﺔﹰ ﻓﹶﻬﹺﻲﺘﻴﺎ ﻣﺿﺍﹶﺭ
Artinya: Dari Jâbir bin ‘Abdillâh R.a. dari Nabi SAW beliau bersabda : “Barang siapa yang menghidupkan tanah yang mati, maka ia berhak terhadap tanah tersebut." (HR. At-Tirmidzi) 32
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), h. 47-48 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, h. 47 34 Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, h. 90 33
36
2) Tanah atau lahan yang di dalamnya ada bekas-bekas pemerintahan kuno, seperti pemerintah Bizantium dan peninggalan kaum Samud. Lahan seperti ini, menurut kesepakatan mazhab yang empat, boleh dijadikan obyek ihya' almawât. Akan tetapi, di kalangan ulama Syafi'iyah ada pendapat lain yang menyatakan bahwa lahan seperti itu tidak termasuk obyek ihya' al-mawât. 3) Tanah atau lahan yang sebelumnya dimiliki oleh orang Islam atau kaum dzimmi (orang kafir yang tinggal dan tunduk kepada perturan Negara Islam), namun tidak diketahui secara pasti siapa pemiliknya. Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa lahan seperti ini boleh dijadikan ihya' al-mawât. Adapun ulama Syafi'iyah menyatakan bahwa lahan seperti itu adalah sama dengan harta yang hilang. Tanggung jawab untuk memelihara lahan seperti itu berada di pundak pemerintah, sampai diketahui pemiliknya, dan tidak bolah dijadikan obyek ihya' al-mawât oleh seseorang. Pendapat terkuat dikalangan Hanabilah menyatakan bahwa lahan seperti itu tidak boleh dijadikan obyek ihya' almawât, tetapi lahan itu berstatus al-fai' (harta yang diperoleh umat Islam melalui suatu penaklukan daerah kafir, tanpa peperangan dan digunakan untuk kemaslahatan umat Islam). Harta seperti ini menurut ulama Hanabilah, boleh dipergunakan untuk kepentingan umum.
37
2. Syarat-syarat Membuka Lahan35 1. Syarat pelaku (al muhyi) Muhyi adalah orang yang melakukan pembukaan lahan yang menjadi sebab kepemilikan, menurut Jumhur (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah) tidak disyaratkan beragama Islam. Hal ini berdasarkan redaksi hadits yang umum "orang yang membuka lahan, dia pemiliknya "; dan juga karena membuka lahan adalah salah satu sebab kepemilikan. Dalam hal ini muslim dan non-muslim sama.36 Ulama Syafi’iyah mensyaratkan si pembuka lahan adalah muslim, seorang dzimmi tidak berhak melakukannya, sekalipun mendapat izin dari Pemerintah. Sebab membuka lahan berarti menguasainya. Jika seorang dzimmi membuka lahan, maka ia bebas dari kewajiban pajak. 2. Syarat lahan yang hendak dibuka (al muhyat) a. Bukan lahan yang telah miliki seseorang (baik muslim ataupun dzimmi) dan bukan hak perorangan. b. Tidak dimanfaatkan oleh penduduk perkampungan, baik jauh ataupun dekat. c. Menurut ulama Syafi'iyah lahan itu berada di wilayah Islam. Jika berada di wilayah non-muslim, seorang muslim berhak membukanya 35
AI-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, h. 4625-4627 Akan tetapi, penulis Al Mughni Wa as Syarh al Kabir mencatat, Imam Malik membatasi ketentuan ini pada wilayah taklukan, tidak pada wilayah islam. Dalam wilayah islam, seorang dzimmi tidak berhak membuka lahan kosong. Lih. Ibn Qudamah al-Mukadasiy, Al Mughni Wa as Syarh al kabir, h. 150 36
38
jika pemiliknya tidak mencegahnya. Sedang ulama Jumhur selain Syafi’iyah tidak menysaratkan ketentuan ini, tidak ada beda antara wilayah Islam ataupun non-muslim.37 3. Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan a. Menurut Abu Hanifah, harus memperoleh izin dari pemerintah. Apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu. Menurut ulama Malikiyah jika lahan itu dekat dengan pemukiman, untuk menggarapnya harus mendapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah. Sementara ulama Syafi'iyah, Hanabilah, Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi obyek ihya' al-mawât jika ingin digarap oleh seseorang tidak perlu mendapat izin dari pemerintah karena harta seperti itu adalah harta yang boleh dimiliki oleh setiap orang, namun dianjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari. b. Menurut ulama Hanafiyah, lahan itu sudah harus digarap dalam waktu tiga tahun jika selama tiga tahun lahan itu tidak digarap secara intensif,
37
Di antara argumen yang dapat disebutkan adalah bahwa wilayah non-muslim dapat diperoleh dengan cara penaklukan secara paksa atau perdamaian. Di sinilah relevansi ghanimah dan fay', seperti dalam ulasan tentang tanah. Ibn Qudamah alMukadasiy, Al mughni Wa as Syarh al Kabir, h. 150
39
maka pihak
pemerintah
berhak
mengambil
lahan
itu,
serta
memberikannya kepada orang lain.38 D. Al-Iqta' 1. Pengertian Secara etimologi, al-Iqta'39 berarti memotong. Persoalan al-Iqta' di dalam fiqih Islam dibahasa dalam persoalan yang menyangkut pemilikan lahan oleh pribadi maupun pemerintah. Secara terminologi para ulama fiqh mendefinisikan al-Iqta' sebagai ketetapan pemerintah tentang penentuan lahan kepada seseorang yang dianggap cakap menggarap lahan itu, baik penetapan itu sebagai hak milik, maupun hak pemanfaatan lahan.40 Selain itu iqta’ juga dapat didefinisikan sebagai harta yang diberi Pemerintah dalam bentuk tanah. Pemberian tersebut dapat menjadi hak atupun hanya sebagai bentuk pemanfaatan terhadap tanah tersebut.41 Menurut Qadhi lyadh yang dimaksud dengan al-Iqta' (membagi-bagi tanah) adalah pembolehan atau izin kepala Negara untuk memanfaatkan sesuatu dari kekayaan Allah kepada orang yang beliau pandang ahli dalam bidang itu.42
38
Haroen, Fiqh Muamalah, h, 49-50 Kâmil Musâ, Ahkâm al-Mu’âmalât, (Beirut : al-Risâlah, 1998), h. 40 40 Haroen, Fiqh Muamalah, h. 51 -52 41 Muhammad Rawwâs Qal`aji, Mausû`ah Fiqh `Umar ibn al-Khatâb, (Beirut : Dâr al-Nafâis, 1986), h. 81 42 Al-Imâm Muhammad ‘Ali al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Juz.V, (Mishr: al-Halabî, t.th), h. 351 39
40
Jadi al-Iqta' adalah ketetapan pemerintah tetang penentuan tanah kepada seseorang yang dianggap cakap menggarap tanah tersebut, baik penetapan itu sebagai hak milik maupun hak pemanfaatannya saja, dengan syarat tanah tersebut belum dimiliki orang lain.
2. Dasar hukum al-Iqta' Para ulama fiqih menyatakan bahwa pihak penguasa dibolehkan menyerahkan penggarapan lahan kosong yang dimiliki seeorang kepada seorang yang dianggap cakap untuk menggarap lahan itu, baik penyerahan lahan itu berupa pemilikan, maupun merupakan hak memanfaatkan lahan itu selama waktu tertentu. Alasan mereka membolehkan hal ini adalah sebuah riwayat yang menyatakan bahwa :
ﻠﱠﻢﺳ ﻭﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺻﺒﹺﻲ ﺍﹶﻥﱠ ﺍﻟﻨ،ﻪ ﺍﹶﺑﹺﻴﻦﺙﹸ ﻋﺪﺤﻞﹴ ﻳﺍﺋﻦﹺ ﻭﺔﹶ ﺑﻠﹾﻘﹶﻤ ﻋﻦﻋ 43
( )ﺭﻭﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱﺎﻩﻳﺎ ﺍﻬﻌﻘﹾﻄﻴ ﻟﺚﹶ ﻟﹶﻪﻌﺑ ﻭ،ﺕﻮﻣﺮﻀﺿﺎﹰ ﺑﹺﺤ ﺍﹶﺭﻪﺍﹶﻗﹾﻄﹶﻌ
Artinya: "Dari ‘Alqamah bin wa`il diceritakan dari ayahnya (Wa`il bin Hajar) Bahwasanya Nabi SAW. Telah menetapkan sebidang tanah di Hadramaut (Yaman) dan mengirim Mu'awiyah untuk menentukannya. " (HR. At-Tirmidzi) Hal yang sama dilakukan pula oleh Rasulullah untuk Jubair bin Awwam seperti yang dijelaskan dalam hadis yang lain yang berkaitan dengan masalah al-Iqta'.
43
Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, h. 91
41
3. Macam-macam al-Iqta' Ada beberapa macam al-Iqta' yang dikemukan oleh para ulama fiqh yaitu:44 a. Hukum Iqta' al-Mawât (lahan kosong yang digarap seseorang). Para ulama fiqih menetapkan bahwa Pemerintah dibolehkan untuk menetukan dan menyerahkan sebidang lahan untuk digarap oleh orang tertentu yang dianggap cakap dalam menggarap lahan itu. Tujuannya adalah agar lahan itu menjadi lahan yang produktif dan masyarakat terbantu. Alasannya adalah hadis-hadis Rasulullah di atas, ulama Malikiyah menyatakan bahwa jika Pemerintah menentukan sebidang lahan untuk digarap seseorang, maka lahan itu berstatus hak milik penggarap, sekalipun belum ia garap. Alasannya adalah karena ketetapan pemerintah itu mengacu kepada pemilikan. Sedangkan Jumhur ulama menyatakan bahwa lahan yang diserahkan Pemerintah untuk seseorang itu tidak berstatus hak milik, tetapi menjadi hak pemanfaatan lahan dalam jangka waktu tertentu yang oleh ulama Hanafiyah dibatasi selama tiga tahun, sehingga apabila Pemerintah meminta kembali lahan
itu,
penggarap
harus
mengembalikannya.
Ulama
Hanabilah
menyatakan bahwa Pemerintah boleh saja menjanjikan lahan itu menjadi hak milik seseorang atau hak pemanfaatan oleh seseorang, baik lahan itu lahan kosong yang belum dimiliki orang maupun lahan Negara, jika Pemerintah dalam penentuan itu ada kemaslahatan yang lebih besar.45
44 45
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 733 Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 733.
42
b. Hukum Iqta' al-irfaq (lahan-lahan yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum). Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah berpendirian bahwa Pemerintah boleh menetapkan lahan tertentu untuk pekarangan masjid, tempat-tempat istirahat di pasar, dan jalan yang luas, dengan status hak pemanfaatan saja bukan hak milik, selama penetapan lahan itu tidak merugikan kepentingan orang banyak. Apabila Pemerintah memerlukan lahan itu, mereka dapat memintanya kembali, dan berakhirlah hak pemanfaatan lahan itu oleh penggarap. Iqta' al-irfaq contohnya adalah seperti apa yang terjadi di wilayah Indonesia yaitu lahan-lahan yang digarap oleh para transmigran di berbagai wilayah Indonesia.46 c. Hukum Iqta' al-ma'âdin (harta terpendam). Kata al-ma'âdin berarti tambang atau sumber barang-barang tambang. Terdapat perbedaan ulama fiqh dalam mendefinisikan al-ma'âdin. Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa al-ma'âdin adalah seluruh harta yang terpendam dalam tanah, baik atas kehendak Allah Swt, seperti bijih besi, emas dan perak, maupun harta yang disimpan manusia zaman dahulu (harta karun). Selain itu juga ulama ini menyamakan status al-ma'adin dengan harta karun yang tersimpan di dalam tanah (rikaz).47 Akan tetapi, Jumhur ulama membedakan antara rikaz dan al-ma'adin. Rikaz adalah harta terpendam yang disimpan orang terdahulu sebelum adanya
46 47
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 734. Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h. 735
43
Islam. Sedangkan al-ma'âdin adalah harta terpendam yang disimpan oleh orang yang telah memeluk Islam. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah membagi al-ma'adin kepada dua bagian, yaitu al-ma'âdin zâhirah dan al-ma'âdin bâtinah, al-ma'âdin zâhirah seperti minyak bumi, gas dan belerang. Sedang al-ma'adin bathinah seperti emas, perak, besi dan tembaga. Selain definisi, ulama juga berbeda pendapat dalam hal pemilikan harta tersebut. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa seluruh harta al-ma'âdin dan rikaz tidak bisa dimiliki seseorang, ia menjadi milik dan dikuasai oleh Negara untuk kepentingan bersama. Menurut ulama Hanafiyah harta terpendam itu dapat dimiliki seseorang jika tanah tersebut adalah miliknya. Jika barang yang ditemukan itu seperti emas dan perak, maka diwajibkan zakat 20%. Jika barang itu seperti minyak bumi dan batu berharga, maka seluruhnya milik penemu dan tidak dikenakan pajak. Sedangkan ulama Syafi'iyah dan Hanabilah membedakan antara alma'âdin dan rikaz. Jika al-ma'adin zahirah ditemukan maka seluruhnya menjadi milik Negara dan dipergunakan untuk kepentingan umum. Jika alma'âdin bâtinah ditemukan seseorang di dalam tanah kosong, maka harta itu menjadi miliknya dan dikenakan zakat 2,5%. Jika itu berbentuk rikaz dan ditemukan oleh seseorang di tanah kosong maka harta itu menjadi miliknya
44
dan dikenakan pajak sebesar 20%. Apabila tanah itu ditemukan di tanah milik seseorang, maka penemunya tidak mendapatkan apapun.48
48
Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, h.735.
45
BAB III KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH BERDASARKAN HUKUM POSITIF
A. Tanah dan Pembangunan 1. Tanah Sebagai Modal Dasar Pembangunan Ekonomi Menurut Jhingan49 pembangunan ekonomi membutuhkan dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi tergantung pada sumber alam, akumulasi, modal, teknologi, organisasi dan pembagian kerja serta skala produksi. Sedangkan faktor non ekonomi terdiri dari : faktor sosial, manusia dan politik, administratif. Peranan sumber daya tanah diperlukan dalam pembangunan ekonomi. Menurut Prof. Soemitro50, tanah dan air termasuk kedalam sumber alam yang utama. Tanah bersifat lestari (Renewable Resources), artinya sumber alam yang dapat diperbaharui. Inti pokok permasalahan pertanahan dalam pembangunan ekonomi berkisar pada penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah. a.
Penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang perorang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah. Atas dasar
49
Jhingan. M.L., Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Terj., (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), cet.VII, h. 32 50 Sumitro Djoyohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi : Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet.I, h. 24.
46
penguasaan tanah, muncul kewenangan bagi subjek hukum untuk berbuat sesuatu terhadap tanah sebagai subjek hukum.Penggunaan tanah b.
adalah wujud tutupan permukaan bumi yang merupakan bentukan alami maupun kegiatan manusia. Menurut UUPA, bagi subjek hukum diwajibkan menggunakan tanahnya sesuai sifat dan tujuan pemberian haknya.
c.
Pemilikan tanah adalah tanah yang dilekati dengan hak milik atas tanah. Menurut UUPA, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dipunyai orang atas tanah. Hak milik atas tanah memiliki fungsi sosial ini menunjukan bahwa tanah tidak sekedar milik pribadi tetapi juga milik bersama.
2. Fungsi Tanah Menurut Sistem Kapitalisme dan Sistem Sosialisme Dalam sistem kapitalisme, tanah beralih ketangan para pemodal yang akan memanfaatkan tanah untuk kepentingannya. Tanah bukan lagi alat produksi untuk konsumsi penggarapnya melainkan alat produksi untuk meraih laba sebesar-besarnya bagi pemiliknya. Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi secara kolektif. Tanah merupakan alat produksi, tetapi semua yang dihasilkannya menjadi milik bersama yang akan dibagi secara adil, dengan demikian eksploitasi tanah tidak terjadi.
47
Berdasarkan dua sistem di atas jika diperbandingkan akan memperoleh kesimpulan yang berbeda, sebagai berikut: a. Dalam sistem kapitalisme, tanah dimiliki secara pribadi yang melakukan eksploitasi tinggi, demi meraih keuntungan pribadi. b. Dalam sistem sosialisme, tanah dimiliki secara kolektif. Konsep tanah menurut UUPA tidak dapat dimasukkan kedalam sistem kapitalisme maupun sistem sosialisme. UUPA menentang eksploitasi tanah seperti yang dilakukan oleh kaum kapitalisme. Memang benar, bahwa kekuasaan tertinggi terhadap tanah dipegang oleh Negara, tetapi anggota masyarakat dibolehkan mempunyai hak atas tanah dan dibolehkannya tanah untuk diperjual belikan sekedar sebagai usah pengalihan hak. Dan itu berbeda dengan sistem sosilaisme yang melarang penguasaan tanah oleh anggota masyarakat. Menurut Wiradi51 UUPA lebih mendekati visi neo populis52 ketimbang kubu kapitalis atau sosialis. Sayangnya visi neo-populis tersebut didengungkannya dengan slogan sosialisme ala Indonesia. Ini mengandung prasangka bahwa UUPA mengandung stigma PKI.
51
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria, Perjalanan yang belum berakhir, (Yogyakarta : Insist Press, 2000), h. 71 52 Dalam sistem Neo-populis, satuan usaha merupakan usaha keluarga (unit usaha kecil). Karena itu penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar kapada sejumlah besar keluarga (tani). Tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga (tani). Dengan demikian, produksi secara Agregat merupakan fungsi dari keputusan keluarga-keluarga (tani) itu. Namun tanggung jawab atau akumulasi biasanya terletak ditangan Negara. Lihat Gunawan Wiradi, “Reformasi Agraria dalam Perspektif Transisi Agraris”, Jurnal Ilmiah PuslitBang BPN, No. 9 (Februari 1998), h. 25
48
3. Permintaan dan Penawaran Atas Tanah Dalam sumber daya tanah dikenal istilah land rent. Land Rent adalah sewa atas tanah. Land rent ditentukan oleh interaksi antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) atas tanah. Menurut Barlowe53 terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi penawaran atas tanah untuk berbagai penggunaan, yaitu : 1. Faktor pembatas alamiah, adanya variasi yang beraneka ragam dari keadaan tanah, seperti: sinar matahari, curah hujan, topografi, dan lainlainnya, menyebabkan tanah hanya sesuai digunakan untuk kegiatan tertentu dan menjadi pembatas untuk kegiatan lainnya. 2. Faktor ekonomi, manusia memanfaatkan tanah untuk suatu aktifitas ekonomi, maka fungsi tanah menjadi barang ekonomi (tanah sebagai faktor produksi). 3. Faktor intitusi, seperti: budaya, opini publik, pemerintah, hukum, dan konsep kepemilikan tanah sangat berdampak terhadap penawaran tanah. 4. Faktor
teknologi,
adanya
kemajuan
teknologi
menyebabkan
ketergantungan manusia pada tanah dapat dikurangi.54
53
Releigh Barlowe, Land Resorce Economics: The Economics of Real Estate, third edition, (New Jersey : Printice-Hall, 1978), h. 84 54 Chaizi Nasucha, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah, (Jakarta : Megapoin, 1995), cet. I, h. 82
49
B. Latar Belakang Pembebasan Tanah di Indonesia Pembebasan tanah di Indonesia, yang coba diuraikan kembali oleh Zaman,55 bahwa pembebasan tanah berawal tahun 1970-an dan 1980-an, ketika Pemerintah Indonesia hendak membangun proyek Bendungan Kedung Ombo, yang didanai oleh Bank Dunia. Untuk merelokasi lokasi tersebut Pemerintah melakukan suatu opsi yakni dengan transmigrasi. Ada sekitar 5.200 keluarga (diestimasi 23.000 orang), dimana sekitar 3.500 keluarga (35%) memilih untuk transmigrasi, dan sekitar 700 keluarga tetap memilih tinggal di sekitar lokasi proyek. Hal ini mengundang banyak protes tentang pelanggaran hak azasi manusia serta kurangnya perhatian dari Pemerintah dalam pengembangan kembali bendungan tersebut, sehingga membuat Bank Dunia melakukan tinjauan ulang akan “krisis” tersebut. Pengadaan
tanah
untuk
kepentingan
umum
mulai
dilaksanakan
berdasarkan Permendagri Nomor 15/1975 dan kemudian diganti menjadi Permendagri Nomor 2/1985. Dalam peraturan itu menyatakan, pembebasan tanah dilaksanakan melalui panitia Pembebasan Tanah dengan asas musyawarah. Maksudnya, agar pemilik tanah dilindungi dan tidak dirugikan. Sementara pemerintah memperoleh tanah dengan harga yang benar.
55
Zaman, Mohammad, “Resettlement and Development in Indonesia” Journal of Contemporary Asia 2. No.5 (Mei 2002), h. 255
50
Deregulasi dilakukan terhadap peraturan tersebut dengan diberlakukan Keppres
Nomor
55/1993
tentang
pengadaan
tanah
bagi
pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum, yang peraturan pelaksanaannya diatur dalam Permenag/ kepala BPN Nomor 1/1994. Panitia pembebesan tanah yang semula seperti penentu keputusan, dalam Keppres ini hanya bertugas sebagai pengarah, penengah dan pemimpin musyawarah antara instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dan para pemilik tanah yang tanahnya akan dibebaskan. Khusus perolehan tanah untuk kepentingan pihak swasta, sebelumnya dikeluarkan Permendagri Nomor 2/1976, ada dua cara pembebasan tanah. Sedangkan berdasarkan keppres Nomor 55/1993 ini, hanya dikenal satu cara, yaitu pembebasan langsung berdasarkan musyawarah untuk mufakat seperti proses jual beli biasa berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Pemerintah hanya mengawasi dan mengendalikan. Pengawasan dan pengendalian tersebut dimaksudkan agar pembebasan tanah dapat memuaskan kedua belah pihak. Berbeda dengan perolehan tanah untuk kepentingan swasta pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bila tidak tercapai kata mufakat, selanjutnya secara berjenjang dapat naik banding. Bila tetap tidak tercapai kata mufakat juga maka dilakukan pencabutan hak yang menjadi wewenang presiden. Masalah yang sering terjadi sehubungan dengan perdebatan hak atas tanah adalah mengenai besarnya penetapan ganti rugi tanah. Berkaitan dengan hal ini,
51
Maria Sumardjono56 mengatakan bahwa ganti kerugian pada Keppres dan permen ini hanya diberikan semata-mata untuk hal-hal yang bersifat fisik, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat non fisik, seperti, hilangnya pekerjaan dan pendapatan, tidak diperhitungkan. Padahal ganti kerugian dapat disebut adil, apabila keadaan setelah pengambilalihan tanah paling tidak setara dengan keadaan sebelumnya, disamping itu ada jaminan terhadap kelangsungan hidup bagi mereka yang tergusur Namun tidak berarti kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat), satu dan yang lainnya harus saling mengimbangi, hingga tercapai tujuan pokok yaitu kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya57. Berkaitan dengan pembebasan tanah, persaingan ekonomi naiknya harga tanah di kota, makin dekat dengan fasilias kota, maka makin mahal harganya, hal tersebut yang pada akhirnya menjdi sumber konflik dalam penentuan ganti rugi dalam pembebasan tanah.58 Undang-Undang pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) sebagai landasan umum dan politik pertanahan Indonesia tidak mengatur secara tegas mengenai pembebasan tanah, namun pada pasal 18 dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah yang dicabut untuk kepentingan umum akan diberikan ganti rugi yang layak. 56
Maria Sumardjono. SW, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta : Kompas, 2001), h. 54 57 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana, 2006), cet.II, h. 60 58 Ibid., h. 175-176
52
Selanjutnya dalam pengaturan mengenai Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan akan hapus apabila dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) sehingga dapat ditafsirkan bahwa pembebasan tanah merupakan suatu pelaksanaan lebih lanjut dari adanya sifat fungsi social pada semua hak atas tanah.59 Pembangunan yang meuntut pengadaan tanah yang cepat diharapkan menghormati dan menghargai hak-hak warga masyarakat atas tanah dan tidak merugikan masyarakat.60 Pada dasarnya tanah yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia adalah hak bangsa Indonesia, yaitu hak seluruh rakyat Indonesia sepanjang masa yang bersatu sebagai bansga Indonesia.61 Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria yang berbunyi: Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi seluruh rakyat. Kemudian pada ayat (2) berbunyi: Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk: a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; 59
Arie S. Hutagalung, “Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Khususnya Menyangkut Pengertian Kepentingan Umum”, (Makalah pada Loka karya Penegadaan Tanah, Jakarta, 24 Agustus 2005), h. 5 60 Abdurrahman, Tebaran Pemikiran Mengenai Hukum Agraria, (Bandung : Alumni, 1985), h. 175-176 61 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), (Jakarta : Djambatan, 2003), cet. IX, h. 270
53
c.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.62 Dari uraian tersebut di atas tampaklah bahwa hak dari seluruh rakyat
Indonesia tersebut diatur dalam Undang-Undang dengan adanya hak menguasai dari Negara, yang memberi wewenang pada Negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) dari Undang-Undang Pokok Agraria. Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa: Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini, digunakan untuk mencapai sebesarsebesar kemakmuran rakyat, dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil63. Dengan demikian, Negara harus memperhatikan bahwa peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, jangan sampai wewenang yang dilakukan tersebut justeru akan menyengsarakan rakyat dan menimbulkan pertentangan dari masyarakat. Setelah reformasi, Keppres 55/99 diganti; dan Pemerintah mengeluarkan Perpres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Perpres 36/2005 ini mengundang kritikan dari berbagai pihak terkait dengan kecurigaan pelanggaran hak yang sah atas tanah khususnya dalam klausul yang mengatur tentang cara pengadaan tanah (pasal 2), lingkup definisi mengenai kepentingan umum (pasal 5), dan tenggat 62 63
Ibid., Pasal 2 ayat (2) Ibid., ayat (3)
54
waktu pelaksanaan musyawarah (pasal 10). Menanggapi kontroversi ini maka dikeluarkan Perpres No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dengan berlakunya Perpres Nomor 36 Tahun 2005, timbul berbagai tanggapan dalam masyarakat terhadap isi dan berlakunya Perpres tersebut, yang dalam hal ini banyak terjadi pada pembebasan tanah yang dilakukan oleh pihak swasta dalam rangka menjalankan proyek pemerintahan yang dikelola oleh pihak swasta tersebut dengan dasar demi pembangunan untuk kepentingan umum. Masing-masing pendapat sesuai dengan sudut pandang dan posisinya. Kalangan
birokrasi
pemerintah
umumnya
berpendapat
pro
terhadap
diberlakukannya Peraturan Presiden ini, hal ini dapat dipahami karena pihak pemerintah merupakan pihak yang melaksanakan proyek pembangunan untuk kepentingan umum, sedangkan pihak masyarakat berpendapat kontra karena sebagai pihak yang diharapkan “rela” melepaskan hak atas tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum64. Suatu peraturan akan lebih jelas dan tepat apabila kita mampu membacanya secara keseluruhan, tidak hanya dalam konteks in book, tapi juga dalam konteks in action.65 Oleh Karena banyaknya penolakan dari masyarakat
64
Arie S. Hutagalung, “Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dalam Hukum Pertanahan Indonesia”, (Makalah pada Seminar Nasonal “ Perpres No 36 Tahun 2006 Untuk Apa dan Siapa ?, Jakarta, 10 Agustus 2005), h. 3 65 Ibid., h. 3
55
terhadap Perpres Nomor 36 Tahun 2005, maka dengan pertimbangan untuk lebih meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentinagan umum, maka Pemerintah menganggap perlu merubah Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tersebut pada beberapa pasalnya dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
C. Pengertian dan Macam-Macam Pembebasan Tanah 1. Pengertian Pembebasan Tanah Istilah pembebasan tanah, memang tidak terdapat dalam Undangundang Pokok Agraria. Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 menyatakan tentang istilah pembebasan tanah yang diganti dengan pengadaan tanah. Yang dimaksud dengan pengadaan tanah adalah setiap keadaan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas tanah tersebut. Sedangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2006 lebih menegaskan lagi bahwa istilah Pembebasan Tanah diganti dengan pengadaan tanah. Yang dimaksud dengan pengadaan tanah disini adalah setiap kegiatan untuk mendapakan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
56
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaiatan dengan tanah.66 2. Macam-macam Pembebasan Tanah. a. Pembebasan tanah untuk kepentingan Perindustrian Kawasan industri adalah tempat pemusatan kegiatan industri pengolahan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta fasilitas penunjang lainnya yang disediakan dan dikelola oleh Perusahaan kawasan Industri dan harus suatu perusahaan Badan Hukum didirikan menurut hukum Indonesia dan tunduk pada hukum Indonesia yang khusus untuk mengelola kawasan industri.67 b. Pembebasan Tanah untuk Kepentingan Pemukiman68 c. Pembebasan Tanah untuk Masa Depan
D. Pelaksanaan Pembebasan Tanah & Ganti Rugi Yang Diberikan Pemerintah Pada hakikatnya, pembebasan tanah bila dilihat dari sudut pemegang haknya adalah sebagai suatu pelepasan hak, namun dari sudut pemerintah dapat dikatakan sebagai pembebasan tanah.69 Pelaksanaan pengadaan tanah pada prinsipnya dapat dilaksanakan oleh pemerintah, BUMN maupun oleh swasta. Pelaksanaan pengadaan tanah oleh 66
Perpres Nomor 65 Tahun 2006 Pasal 1 angka 3 Harsono, Hukum Agraria Indonesia, h. 895 68 Ibid., h. 688 69 Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, (Bandung : Alumni, 1978), h.15-16 67
57
pemerintah untuk kepentingan umum diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005 dan Perpres No 65 Tahun 2006. Pembangunan
untuk
kepentingan
umum
tersebut
dilakukan
dan
selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak untuk mencari keuntungan. Pelaksanaan pengadaan tanah oleh pemerintah tersebut dapat pula dipakai oleh Badan Umum Milik Negara (BUMN) dengan: a.) Kegiatan pembangunan tersebut dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah (BUMN) yang bersangkutan; b.) Tidak digunakan untuk mencari keuntungan; dan c.) bidang-bidang kegiatan tersebut terbatas pada apa yang telah ditentukan dalam pasal 5. Dalam pembebasan tanah demi pembangunan untuk kepentingan umum, ganti rugi diberikan atas dasar musyawarah. Secara umum ganti rugi adalah penggantian yang diterima seseorang karena adanya kehilangan atas hak yang dimilikinya dalam pengadaan tanah. Untuk kepentingan umum. Ganti rugi menurut pasal 1 angka 11 Perpres No. 36 Tahun 2005 : Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan / atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman dan/ atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Dengan terus meningkatnya pertumbuhan penduduk otomatis kebutuhan akan tanah akan terus meningkat, namun kebutuhan akan tanah tersebut tidak mampu diimbangi oleh suplai tanah, membawa konsekuensi serius baik terhadap
58
pola hubungan antara manusia dengan tanah maupun terhadap hubungan antara manusia dengan manusia yang berobyek tanah.70 Menurut penulis Interpretasi fungsi sosial hak atas tanah mengandung makna bahwa antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum harus terdapat keseimbangan dan dalam rangka pelaksanaan kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka kepentingan perorangan itu harus diakui dan dihormati, di samping makna bahwa hak atas tanah harus digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan haknya. Misalnya menemukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum. Dalam ganti kerugian tanah yang dibebaskan, menemukan keseimbangan tersebut tidaklah mudah. Sebagai wujud upaya penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum, ganti kerugian tersebut dikatakan adil jika tidak membuat seseorang menjadi lebih kaya atau lebih miskin dari keadaan semula.71
1. Faktor-Faktor Yang Harus Dipertimbangkan Dalam Pemberian Ganti Rugi Dalam pemberian ganti rugi harus dipertimbangkan beberapa hak yang diperkirakan justru akan memperburuk keadaan dan taraf kehidupan
70
Ali Sofyan Husein, Konflik Pertanahan, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997),
h. 40 71
Maria SW. Somardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Implementasi, (Jakarta : PT. Kompasa Media Nusantara, 2006), h. 79-80
Regulasidan
59
orang-orang yang tanahnya dibebaskan tersebut. Hendaknya dipikirkan agar kualitas kehidupan mereka meningkat dan diupayakan agar ganti rugi diberikan dalam bentuk yang tidak mengolah pola kehidupan masyarakat dengan alih pemukiman ke lokasi yang sesuai. Pemukiman dapat dilihat sebagai dunia tersendiri tempat dimana warga-warganya menentukan identitas mereka, merasa sebagai makhluk sosial dan aman.72 Selain hal-hal yang sunguh-sunguh diderita, dalam pemberian ganti rugi harus dipertimbangkan juga faktor-faktor non fisik atau imateriil. Faktor yang bersifat non fisik atau imateriil yang dapat memperburuk keadan jika tidak dipertimbangkan dalam menentukan besarnya ganti rugi misalnya biaya pindah tempat atau pindah pekerjaan, turunnya penghasilan pemegang hak karena proses pengambil alihan yang lama dan kerugian dala hal tanah yang dibebaskan hanya sebagian sehingga tanah tersisa sulit dijual.73 Ada beberapa faktor yang dapat memadai bahan pertimbangan dalam menentukan ganti rugi selain NJOP Bumi dan Bangunan tahun terakhir, faktor-faktor trsebut adalah : 1.) lokasi/letak tanah, 2.) Status pemegang hak atas tanah, 3.) Status hak atas tanah, 4.) Kelengkapan sarana/prasarana, 5.) Keadaan penggunaan tanahnya, 6.) Kerugian sebagai akibat
dipecahnya
72
hak
atas
tanah
seseorang,
7.)
Biaya
pindah
Zarida Hermanto, Perubahan Pemanfaatan Lahan di Wilayah Jabotabek (Studi Kasus Mengeanai Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat yang Mengalami Penggusuran, (Jakarta : Puslitbang Ekonomi dan Pembangnan LIPPi, 1995), h. 11 73 Maria, Kebijakan Pertanahan, h. 86
60
tempat/pekerjaan, dan 8.) Kerugian terhadap turunnya penghasilan pemegang hak, dan penentuan akhirnya tetap melalui musyawarah para pihak yang bersangkutan.74
2. Pelaksanaan Ganti Rugi Mengenai ganti rugi tanah sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 11 Perpres Nomor 36 tahun 2005 diatas juga diatur dalam UU No.24 Tahun 1992 pasal 4 ayat (2) mengenai hak sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Penggantian yang layak menurut pasal 4 ayat (2) huruf C undangundang tersebut adalah bahwa nilai dari penggantian itu tidak mengurangi tingkat kesejahteraan orang yang bersangkutan. Dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, menurut pasal 12 Perpres 36 Tahun 2005, ganti rugi hanya diberikan untuk hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda yang berkaitan dengan tanah. Sedangkan mengenai bentuk ganti rugi tersebut diatur selanjutnya dalam pasal 3 yang telah mengalami. Perubahan dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006 yang mengatakan bahwa ganti rugi kerugian sebagaimana dimaksud dalam huruf A, huruf B, huruf C, atau bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
74
Maria, Kebijakan Pertanahan,, h. 81
61
Mengenai pembebasan tanah ini penulis mengambil satu kasus yaitu Proyek pembangunan Banjir Kanal Timur di wilayah kelurahan Pondok Kopi Jakarta Timur. Penulis mewawancarai salah seorang warga yang menjadi korban pembebasan tanah ini ketika ditanya nengenai ganti rugi yang diberikan Pemerintah, “..........Ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah menurut kami tidak layak karena harga NJOP yang diberikan oleh Pemerintah di bawah harga pasaran. Kemudian harga tanah yang berada di gang dan di pinggir jalan raya sama. Mestinya kan berbeda. Karena rata-rata kami yang tinggal di pinggir jalan besar ini memiliki usaha, dan saat ini harga tanah di sini mencapai 2,5 juta rupiah per meternya. Jadi, kalau kami dikasih ganti rugi berdasar NJOP sebesar 1.722.000 rupiah per meter, jelas kami keberatan”75
Pada dasarnya cara memperoleh tanah harus melalui musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah hingga tecapai kata sepakat antara kedua belah pihak, namun masyarakat sering merasakan dalam kesepakatan untuk menentukan besarnya ganti rugi tanah yang dibebaskan dihadapkan pada suatu ultimatum menerima ganti rugi yang telah ditetapkan oleh penguasa atau merelakan tempat tinggalnya. Jika musyawarah mengenai ganti rugi telah tercapai, maka Panitia Pengadaan Tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai kesepakatan tersebut pasal 11 perpres tahun 2005. Namun jika kesepakatan mengenai ganti rugi tidak tercapai sedangkan keperluan akan
75
Wawancara bersama H. Musa (Ketua Rt. 008 Rw. 03, Kel. Pondok Kopi Jakarta Timur), Jakarta, 14 Mei 2009.
62
tanah tersebut sangat mendesak bagi instansi yang memerlukan tanah, maka dilaksanakan penitipan uang ganti rugi ke Pengadilan Negeri setempat (konsinyasi) pasal 10 Ayat (2) Perpres No.36 Tahun 2005.
63
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERILAKU PEMERINTAH DALAM PEMBEBASAN TANAH
A. Efektifitas Kebijakan Pemerintah Tentang Pertanahan Peranan Pemerintah atas tanah dalam rangka pembangunan sangat penting sekali sehingga dalam hal ini Pemerintah harus dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Pemerintah dalam memecahkan berbagai masalah yang berkenaan dengan tanah, bukan saja harus mengindahkan prinsipprinsip hukum akan tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan sosial, azas ketertiban dan azas kemanusiaan agar masalah pertanahan tersebut tidak berkembang menjadi keresahan yang mengganggu stabilitas masyarakat. Dalam upaya mengatasi masalah tersebut Pemerintah perlu untuk membangun suatu kerangka kebijakan pertanahan nasional untuk dipergunakan sebagai pedoman oleh semua pihak, baik Pemerintah, masyarakat maupun sektor swasta, dalam menangani masalah-masalah pertanahan sesuai dengan bidang tugas dan kepentingannya masing-masing. Tujuan akhir dari kebijakan pertanahan nasional ini adalah terwujudnya kondisi kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD RI, UUPA dan TAP MPR IX/2001 sebagai akibat pengelolaan pertanahan dan sumberdaya alam lainnya secara berkeadilan, transparan, partisipatif dan akuntabel.
64
UUPA No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada rakyat kecil atau petani) dibandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini76. Akan tetapi dalam kenyataannya telah terjadi ketidaksinkronan antara UUPA yang dianggap sebagai Undang-Undang payung (umbrella act) dengan Undang-Undang sektoral yang berkaitan pula dengan agraria dan pertanahan. Banyak ketentuan-ketentuan dari berberapa Undang-Undang sektoral tersebut yang tidak sesuai dengan apa yang telah digariskan di dalam UUPA. Munculnya Undang-Undang sektoral tersebut lebih menitikberatkan pada arah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil dan hanya berpihak pada para pemilik modal saja (baik investor asing maupun domestik). Yang paling diperdebatkan pada pertengahan tahun 2005 ialah munculnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang kemudian beberapa pasalnya dirubah dengan berlakunya Perpres No. 65 Tahun 2006. Dengan adanya peraturan tersebut akan lebih mempermudah masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia. Sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan bermain dalam penguasaan tanah di Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi
76
Irvan Surya Hartadi, SH, “Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria”, artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari http://unisys.uii.ac.id/index.Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang PokokPokok Agraria
65
rusaknya kemakmuran rakyat terutama rakyat tani, khususnya pencabutan hak atas tanah. Dalam pengertian pengadaan tanah untuk kepentingan umumpun juga belum ada penjelasan secara detail siapa yang akan mengelola negara, swasta atau rakyat. Ketidaksinkronan materi muatan yang terkandung di dalam UndangUndang sektoral dengan materi muatan UUPA sebagaimana telah dijelaskan di atas, dapat menyebabkan terjadinya konflik hukum (Conflict of Law). Hal tersebut tidak hanya terjadi antara Undang-Undang sektoral dan UUPA, akan tetapi konflik hukum (Conflict of Law) juga terjadi antara Undang-Undang sektoral itu sendiri. Salah satu penyebab utama kegagalan UUPA sebagai undang-undang payung (umbrella act) ataupun sebagai pohon peraturan perundang-undangan disebabkan karena materi muatan UUPA lebih dominan mengatur masalah pertanahan, sehingga menimbulkan kesan bahwa UUPA lebih tepat disebut sebagai Undang-Undang Pertanahan daripada Undang-Undang yang mengatur secara komprehensif dan proporsional tentang agraria. Selain hal tersebut, UUPA dirasakan belum dapat mengikuti perkembangan yang ada serta mengandung beberapa kekurangan, diantaranya adalah: 1. UUPA belum memuat aspek perlindungan HAM bagi masyarakat, khususnya petani dan pemilik tanah serta masyarakat adat; 2. UUPA
tidak
mampu
merespon
perkembangan
global,
khususnya
perkembangan yang menuju ke arah industrialisasi yang menghendaki perubahan dalam pengaturan pertanahan;
66
3. UUPA belum menjelaskan secara tegas institusi mana yang harus mengkoordinir pengelolaan dan pengurusan tanah, dan lain sebagainya Sebenarnya apa yang telah dipaparkan di atas hanya merupakan sebagian kecil masalah yang dihadapi dalam upaya penegakan UUPA, masih banyak permasalahan-permasalahan lain yang timbul di dalam bidang agraria khususnya bidang pertanahan.77 Dari beberapa uraian permasalahan di atas, maka perlu dilakukan suatu penataan kembali kebijakan-kebijakan untuk mengatasi segala permasalahan mengenai agraria maupun pertanahan dalam upaya untuk meneruskan cita-cita Reformasi Agraria (Agrarian Reform) maupun Reformasi dalam bidang pertanahan (Land Reform).
Beberapa alternatif penyelesaian permasalahan
tersebut diantaranya penyempurnaan aturan-aturan mengenai agraria maupun pertanahan sehingga terjadi keselarasan antara UUPA dengan beberapa UndangUndang sektoral, perbaikan kinerja departemen/instansi yang bergerak di bidang agraria khususnya di bidang pertanahan. Salah satu upaya penting guna
77
Permasalahan yang timbul dari konflik pertanahan di tanah air dapat disebabkan karena beberapa hal sebagai berikut: a. Peraturan Perundang-undangan yang tidak kondusif. b. Terbatasnya akses masyarakat terhadap pemilikan dan penguasaan tanah secara adil. c. Belum terwujudnya kelembagaan pertanahan yang efektif dan efisien. d. Pelaksanaan pendaftaran tanah belum optimal. e. Belum optimalnya penatagunaan tanah. f. Lemahnya informasi berbasis tanah. g. Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan belum memadai. h. Lemahnya sistem perpajakan tanah. i. Pemecahan konflik dan sengketa pertanahan.
67
mewujudkan hal tersebut adalah dilakukannya penyempurnaan (perubahan maupun amandemen) UUPA. Pada dasarnya upaya untuk melakukan penyempurnaan, baik berupa perubahan maupun amandemen terhadap ketentuan-ketentuan UUPA sudah menjadi pembahasan sejak dulu. Amandemen maupun perubahan terhadap UUPA telah diamanatkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam serta dalam Keputusan Presiden No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa dalam pengelolaan pertanahan pada setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di seluruh
tanah
air
yang
dilakukan
oleh
Pemerintah
harus
dapat
menginternalisasikan jiwa dan semangat 4 (empat) prinsip utama yaitu: 1.
Pertanahan harus berperan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber kemakmuran baru,
2.
Pertanahan mampu meningkatkan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah,
3.
Pertanahan harus berkontribusi secara nyata dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat; dan
4.
Pertanahan dapat menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah.
68
B. Dampak Pembebasan Tanah Terhadap Kehidupan Rakyat Istilah dampak dapat didefnisikan sebagai setiap perubahan yang terjadi dalam lingkungan akibat adanya aktivitas manusia78. Dampak yang akan timbul dari proses pembebasan tanah dan pembangunan proyek disekitarnya antara lain akan muncul dari segi sosial budaya dan ekonomi.79 1. Dampak Sosial Budaya Dampak sosial budaya ini mempengaruhi sistem sosial budaya pada daerah sekitar proyek konstruksi yang sedang dikerjakan. Menurut Tjondronegoro seorang pakar sosiolog dari IPB menyebutkan bahwa sistem sosial budaya mempunyai dua segi, yaitu segi yang lebih abstrak dan yang lebih nyata. Sedangkan yang dimaksud sistem sosial budaya yang lebih abstrak antara lain ialah nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat, norma-norma sosial, dan kelembagaan sosialnya yang mengarahkan dan mengatur perilaku manusia.80 Pada pelaksanaan proyek konstruksi, dampak sosial budaya yang timbul dapat berupa:
78
F Gunarwan Suratmo, Analisis mengenai dampak lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1995), h.2 79 Menurut Otto Soemarwoto, seorang pakar lingkungan, setiap kegiatan akan mengakibatkan dampak terhadap lingkungan, demikian pula kegiatan manusia dalam melaksanakan pembangunan proyek konstruksi juga akan menimbulkan dampak terhadap lingkungannya, baik dampak yang bersifat positif maupun negatif. Otto Soemarwoto, “Analisis dampak lingkungan”, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989), h. 15 80 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 16
69
a. Ketegangan sosial81 Sebagai contoh: timbulnya perkelahian akibat perebutan pacar atau salah pengertian akibat perbedaan adat istiadat. b. Pergeseran nilai sosial82 c. Timbulnya pemukiman yang tidak higenis, seperti perjudian dan pelacuran d. Berubahnya struktur kependudukan e. Perubahan adat istiadat setempat f. Terganggunya gaya hidup, kebebasan, dan budaya masyarakat sekitar yang dapat menimbulkan kesenjangan83 g. Terganggunya mobilitas masyarakat, seperti terjadinya kemacetan lalu lintas terutama di sekitar proyek konstruksi akibat pergerakan kendaraan proyek Dapat juga sebagai akibat langsung dari aktivitas konstruksi dan operasi dari proyek seperti bau, debu, kebisingan, serta kemacetan lalu lintas.
2. Dampak Sosial Ekonomi Di samping adanya dampak sosial budaya pada saat pembangunan proyek konstruksi pembebasan tanah, juga terjadi dampak sosial ekonomi 81
Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup, dan Pembangunan, (Jakarta : Djambatan, 1994), h. 165 82 Otto Soemarwoto, Analisis Dampak Lingkungan, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 1989), h. 33 83 Istimawan Dipohusodo, Manajemen Proyek & Konstruksi, Jilid 2, (Jakarta : Kanisius, 1996), h. 311
70
terhadap masyarakat sekitar proyek. Dampak sosial ekonomi tersebut dapat dilihat dari aspek:84 a. Mata Pencaharian Penduduk Pada waktu pembebasan tanah untuk lokasi membangun proyek konstruksi, terjadi pemindahan penduduk yang semula tinggal di lokasi proyek tersebut termasuk pengalihan mata pencaharian mereka ke tempat lain. b. Kesehatan Pelaksanaan proyek bangunan membawa dampak yang bersifat fisik, kimia, dan biologis yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat disekitar lingkungan proyek. Timbulnya gangguan kesehatan pada masyarakat mengakibatkan masyarakat harus mengeluarkan biaya ekstra untuk menyembuhkan gangguan kesehatan yang diderita akibat dampak pembangunan proyek konstruksi tersebut. c. Tingkat Pendapatan Penduduk Pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan proyek konstruksi dapat menyebabkan berkurangnya tingkat pendapatan penduduk yang semula memiliki lahan pada proyek konstruksi tersebut, walaupun tidak sampai menghilangkan mata pencaharian yang dimiliki.
84
Soemarwoto, Analisis dampak, h. 15
71
d. Proses Pemiskinan Penggusuran juga menciptakan proses pemiskinan dimana warga miskin menjadi semakin miskin akibat kehilangan berbagai sumber daya yang sebenarnya hanya bisa digunakan untuk sekedar dapat bertahan hidup.85 e. Meningkatnya Pengangguran Angka penggusuran
pengangguran
semakin
meningkat,
karena
korban
kehilangan tempat tinggal mereka yang juga dijadikan
sebagai tempat usaha mereka. Padahal angka pengangguran di Indonesia telah mencapai angka yang memprihatinkan.86 f. Anak-anak putus sekolah Penggusuran telah mengakibtkan tidak sedikit anak-anak di pemukiman miskin menjadi putus sekolah akibat kondisi ekonomi orang tua yang tidak memungkinkan lagi karena tidak menyisakan sedikitpun harta milik mereka. Hancurnya buku-buku dan perlengkapan sekolah (termasuk seragam) juga mendorong anak-anak warga miskin untuk berhenti sekolah87 Dari uraian diatas dapat kita ketahui bahwa pengabaian terhadap hak atas tanah melahirkan pola penyingkiran rakyat kecil dari akses atas tanah. 85
Yayasan Kemala, Ford Foundation, Konsorsium Pembaruan Agraria, Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, (Bandung : Yayasan Kemala, 2005), h. 877-878 86 Ibid., h. 878 87 Ibid., h. 877-878
72
Dalam hal akses rakyat atas tanah negara, penguasa selama ini lebih banyak mengedepankan kepentingan modal ketimbang kepentingan komunitas rakyat kecil yang hanya butuh sedikit lahan untuk sekedar bertahan hidup. Sementara rakyat konglomerat yang lapar tanah, lebih sering menjadikan tanah sebagai obyek spekulasi.
C. Prinsip Musyawarah dan Ganti Rugi Pembebasan Tanah dalam Perspektif Fiqh Dalam suatu musyawarah setiap peserta saling mengemukakan pikiran, pendapat atau pertimbangan kemudian lahir kesimpulan bersama. Apabila suatu musyawarah menghasilkan kesimpulan bersama maka masing-masing peserta terikat dengan kesimpulan tersebut dan bertanggung jawab terhadap putusan tersebut baik moril dan formil.88 Musyawarah tersebut dilakukan harus sejalan dengan tujuan syari'at yaitu terpe1iharanya hak atau jaminan dasar manusia yang meliputi kehormatan, keyakinan agama, jiwa, akal, keluarga, keturunan dan keselamatan hak milik. Masalah yang diselesaikan harus sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam fiqih Islam yaitu: 1. Penentuan ganti rugi tersebut tidak menyalahi hukum syari’at Islam
88
h. 26
M. Yunan Nasution, Keadilan dan Musyawarah, (Semarang : Ramadhani, 1993),
73
2. Harus sama ridha dan ada pilihan antara kedua belah pihak tanpa ada unsur paksaan dan tipuan dari pihak lain. 3. Harus jelas tujuannya agar tidak ada kesalah pahaman diantara para pihak tentang apa yang telah dikerjakan dikemudian hari.89 Dalam penentuan ganti rugi pembebasan tanah seharusnya dilaksanakan dan diatur dengan sebaik-baiknya. Mengenai masalah ini penulis memaparkan beberapa point alternatif untuk pnyelesaian masalah ganti rugi sebagai mana yang telah dikaji dalam hukum Islam. 1. Menjaga kehormatan manusia Nilai kehormatan manusia telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat AIsraa’ (17) ayat 70 : ( ٧٠ : )ﺍﻹﺳﺮﺍﺀ. Artinya : “Dan Sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam” .(QS. A-Israa’ (17) ayat 70) Dalam menetapkan bentuk dan besar ganti rugi, manusia (pemilik tanah) harus dihormati apalagi mereka sudah mengorbankan hak miliknya demi kepentingan umum. Oleh karena itu pemilik tanah perlu diberi jasa tersendiri yang dapat meningkatkan tarap hidupnya, bukan sebaliknya rakyat akan semakin lebih sengsara.
89
Chairuman P., Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1994), h. 3
74
2. Keadilan Keadilan berarti memberikan kepada seseorang sesuatu haknya secara seimbang (proporsional) antara jasa yang diberikan dengan imbalan yang diterimanya. Dalam penetapan bentuk dan besarnya ganti rugi pembebasan tanah ini pemerintah
(investor)
selayaknya
memperhatikan
asas
keadilan
ini
dikarenakan jasa yang telah dikorbankan pemilik tanah sudah begitu besar, tidak hanya mengorbankan tanahnya saja, tapi juga kehilangan mata pencaharian. 3. Menarik Manfaat dan Menghindarkan Madarat Pembangunan adalah untuk rakyat atau dengan kata lain untuk kemaslahatan umum jangan sampai
rakyat justru menjadi korban
pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan Kaidah Fiqhiyyah : 90
ﺰﺍﹶﻝﹸ ﻳﺭﺮﺍﹶﻟﻀ
Artinya : “Kemudaratan itu harus dihilangkan” 4. Kesukarelaan Fiqih Islam memandang bahwa pada dasarnya pembebasan tanah rakyat untuk kepentingan apapun hanya bisa dilaksanakan atas dasar prinsip kesukarelan dari pihak pemilik baik dalam bentuk jual beli atau hibah, wakaf atau sedekah lainnya. Dalam bentuk jual beli prinsip sukarela kedua belah
90
Jalâluddîn Abd al-Rahmân al-Suyûthi, al-Asybâh wa al-Nazâir fi al-Furû’, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1995), cet.I, h. 60
75
pihak baik dalam penentuan harga, penyerahan barang maupun hal-hal lain yang menjadi keperluan kedua pihak tetap berlaku. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah :
ﺮﹺﻩ ﻏﹶﻴﻠﹾﻚ ﻣﻲ ﻓﻑﺮﺼَﺘ ﺃ َﻥﹾ ﻳﺪﺄ َﺣ ﻟﺯﻮﺠﻻﹶ ﻳ
91
Artinya : “Tiada seorangpun yang boleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta”
D. Otoritas Pemerintah Demi Kemaslahatan dibidang Pertanahan dalam Sorotan Fiqh 1. Penguasa Pemelihara Kemaslahatan Rakyat Keberadaan
penguasa/pemerintah
tidak
lain
adalah
untuk
memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya, betapapun kepentingan dan kemaslahatan ini berubah-ubah sesuai dengan perubahan pandangan manusia terhadap suatu perbuatan atau sesuatu materi, yaitu apakah suatu perbuatan atau materi itu termasuk kemaslahatan atau kemadaratan. Islam telah menetapkan dalam banyak nash bahwa penguasa berkewajiban memelihara kemaslahatan masyarakat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim yang berasal dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah saw. pernah bersabda:
( )ﺭﻭﺍﻩ ﻣﺴﻠﻢﻪﺘﻴﻋ ﺭﻦﻝﹲ ﻋﻭﺆﺴ ﻣﻛﹸﻠﱡﻜﹸﻢ ﺭﺍﹶﻉﹴ ﻭﺍﹶﻟﹶﺎ ﻛﹸﻠﱡﻜﹸﻢ
92
91
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih : Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta : Kencana, 2007), cet. II, h. 131 92 Al-Imam Abî al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj al-Naysâburi, Sahîh Muslim (AlRiyâd : Dâr al-Salâm, 1998), h. 280
76
Artinya: “Ingatlah Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan ditanya (bertanggung jawab) atas kepemimpinannya.” (HR. Muslim). Kaitanya dengan tema yang penulis angkat, dalam masalah pembebasan tanah ini perlu adanya campur tangan pemerintah secara positif untuk menentukan kebijakan yang baik untuk rakyat. Sesuai denga kaidah fiqhiyyah:
ﺔﻠﹶﺤﺼﻁﹲ ﺑﹺﺎﻟﹾﻤﻮﻨ ﻣﺔﻴﻋ ﺍﻟﺮﻠﻰﺎﻡﹺ ﻋ ﺍﹾﻹِﻣﻑﺮﺼﺗ
93
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada kemaslahatan” Kaidah diatas memberikan pengertian bahwa setiap tindakan atau kebijaksanaan para pemimpin yang menyangkut dan mengenai hak-hak rakyat dikaitkan dengan kemaslahatan rakyat banyak dan ditujukan untuk mendatangkan suatu kebaikan. Sebab pemimpin adalah pengemban amanat penderitaan rakyat (umat) dan untuk itulah ia sebagai petunjuk dalam kehidupan mereka serta harus memperhatikan kemaslahatannya.94 Kemaslahatan
membawa
manfaat
bagi
kehidupan
manusia,
sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudharatan bagi kehidupan manusia. Para ulama telah menentukan kriteia kemaslahatan sebagai berikut:
93
al-Suyûthi, al-Asybâh wa al-Nazâir, h. 84 Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), h. 124 94
77
1. Kemaslahatan itu harus diukur kesesuaiannya dengan maqâsid alsyarî’ah, dalil-dalil kulli (general dari Al-Qur’an dan As-Sunnah), semangat ajaran, dan kaidah kulliyah hukum Islam. 2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, dalm arti harus berdasarkan penelitian yang akurat, hingga tidak meragukan lagi. 3. Kemaslahatan itu harus memberi manfaat pada sebagian besar masyarakat, bukan pada sebagian kecil masyrakat. 4. Kemaslahatan itu memberikan kemudahan, bukan mendatangkan kesulitan dalam arti dapat dilaksanakan.95 Setelah
penulis
cermati
kriteria
kemaslahatan
diatas
yang
disimpulkan para Ulama’ memiliki persamaan dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh MUI dalam keputusannya No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 tentang kritria maslahat. Persamaan itu dapat kita lihat dari segi tujuannya.96 Hal senada juga di ungkapkan oleh ketua komisi fatwa MUI Pusat, M. Anwar Ibrahim ketika diwawancarai mengenai sumber hukum maslahat, “…..maslahah yang digunakan bukanlah menurut pertimbangan kita ataupun pandangan para mujtahid, karena maslahah itu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Maslahat itu ibarat pisau bermata dua, sehingga sering disalah gunakan oleh orang. Banyak orang yang menilai maslahah sesuai dengan pandangan mereka sendiri tanpa melihat terlebih dahulu apakah telah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunah atau belum dan mengandung maslahat atau tidak.97 95
Imam Musbikin, Qawaid al-Fiqhiyah, h. 53 Mengenai isi dari Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 No. 6/MUNAS/VII/MUI/10/2005 tentang kritria maslahat penulis cantumkan dalam lembaran lampiran 1 97 Wawancara Pribadi dengan DR. KH. M. Anwar Ibrahim (Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat). Jakarta, 30 Mei 2009. 96
78
Kemaslahatan yang ingin diwujudkan hukum Islam bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin, material dan spiritual, maslahat individu dan maslahat umum, maslahat hari ini dan esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan baik, tanpa membedakan jenis dan golongan, status sosial, daerah dan asal keturunan, orang lemah atau kuat, penguasa atau rakyat jelata.98 Dengan demikian, peranan maslahat yang di lakukan oleh pemerintah sebagai kontrol sosial untuk mewujudkan kesejateraan rakyat dalam hukum Islam sangat dominan dan menentukan. Karena tujuan pokok hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat.99
2. Pengutamaan Kemaslahatan Umum di atas Kemaslahatan Pribadi Berkaitan dengan kasus pembebasan tanah yang didalamnya menyangkut dua kepentingan antara rakyat (pemegang tanah) dengan Pemerintah yang saling berbenturan dapat kita lihat sebagaimana yang disebutkan dalam kaidah fiqhiyyah sbb :
.ﺔﺎﺻ ﺍﻟﹾﺨﺔﻠﹶﺤﺼﻠﹶﻰ ﺍﻟﹾﻤﺔﹲ ﻋﻣﻘﹶﺪﺔﹸ ﻣـﺎﻣﺔﹸ ﺍﻟﹾﻌﻠﹶﺤﺼﺍﹶﻟﹾﻤ
100
Artinya: “Kemaslahatan yang umum lebih didahulukan daripada kemaslahatan yang khusus” 98
Yusuf Qardawi, al-Ijtihad al-Mu’âsir, (Misr : Dâr at-Tauzi’ wa al-Nasy alIslâmiyah, 1994), h. 68 99 Al-Syâtibi, Abu Ishâq, al-Muwâfaqât fî Usul al-Syarîah, juz II (Misr : Maktabah al-Tijâriyah al-Kubrâ, tt.), h. 6 100 Ibid., 302 dan 369
79
Kaidah di atas menegasakan bahwa apabila berbenturan antara kemaslahatan umum dengan kemaslahatan yang khusus, maka kemaslahatan yang bersifat umum harus lebih di dahulukan, karena dalam kemaslahatan yang umum itu terkandung pula kemaslahatan yang khusus, namun tidak sebaliknya. Mengenai kemaslahatan umat, hukum Islam tetap memberikan kelonggaran dan keringanan dengan mengacu pada tujuan syari’at. Dalam keadaan tertentu yang mendesak
baik dari sudut waktu maupun tempat
Pemerintah dapat melakukan pemindahan hak/pembebasan tanah oleh pihak pemilik dengan ketentuan-ketentuan sbb : a. Pembebasan tanah itu harus benar-benar karena kondisi keterpaksaan baik secara waktu mupun tempat dan tidak ada jalan lain yang tersedia, artinya jika tidak dilakukan, proses pembangunan sarana umum yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas tidak mungkin terlaksana. Sebagaimana yang disebutkan dalam kaidah Fiqhiyyah : 101
ﺭﺍﹶﺕﻈﹸﻮﺤ ﺍﻟﹾﻤﺢﺒﹺﻴ ﺗﺭﺍﹶَﺕﻭﺮﺍﹶﻟﻀ
Artinya : “Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang” Kaidah diatas didasarkan kepada Firman Allah SWT:
: )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ. (١٧٣ 101
Al-Suyûti, al-Asybâh h. 61
80
Artinya : “Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah : 173) Selain kaidah yang telah disebutkan diatas juga terdapat kaidah fikhiyyah lain yang berbunyi :
ﺔﹰﺎﺻﺧ ﺍﹶﻭﺖﺔﹰ ﻛﹶﺎﻧﺎﻣ ﻋﺓﺭﻭﺮﺰﹺﻟﹶﺔﹶ ﺍﻟﻀﻨﻝﹸ ﻣﺰﻨﺔﹸ ﺗﺎﺟﺍﹶﻟﹾﺤ
102
Artinya : “Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baikumum maupun khusus” b. Pembebasan tanah itu untuk kepentingan umum bukan tujuan komersil terlebih lagi perorangan/pribadi. Dalam kaidah Fiqhiyyah di sebutkan : 103
ﺔﹶﺍﺟﹺﺤﺔﹶ ﺍﹶﻟﺮﻠﹶﺤﺼ ﺍﹶﻟﹾﻤﻊﺒﺘ ﻳﻜﹾﻢﺍﹶﻟﹾﺤ
Artinya : “Hukum itu mengikuti maslahah yang kuat” Ketentuan diatas nampaknya selaras dengan Fatwa MUI Dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 No. 8/MUNAS VII/MUI/12/2005 yang merumuskan dan menetapkan fatwa tentang perubahan hak milik pribadi untuk kepentingan umum.104 Hal senada juga di ungkapkan oleh ketua komisi fatwa MUI Pusat, M. Anwar Ibrahim ketika diwawancarai mengenai pembebasan tanah untuk kepentingan umum. 102
Ibid,. h. 63 T.M. Hasbi ash-Shiddiqie, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h.463 104 Mengenai isi dari Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 No. 8/MUNAS VII/MUI/12/2005 yang merumuskan dan menetapkan fatwa tentang perubahan hak milik pribadi untuk kepentingan umum penulis cantumkan dalam lembaran lampiran. 103
81
Pembangunan harus bertujuan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai warga masyarakat dalam negara hukum Indonesia. Pembangunan adalah untuk rakyat atau dengan kata lain untuk kemaslahatan umum jangan sampai rakyat justru menjadi korban pembangunan. Masalah kepentingan umum dalam pembebasan tanah harus lebih kuat daripada mafsadatnya. Hal tersebut juga pernah dilakukan oleh sahabat Umar Ibn al-Khatab dalam membagi-bagikan tanah di negeri Syam untuk kepentingan umum yang lebih penting, sebagaimana yang dikatakan oleh alMaududi.
ﺍﺧﺘﺎﺭﻩ ﻋﻤﺮﺑﻦ ﺍﳋﻄﺎﺏ ﻻﻭﻝ ﻣﺮﺓ ﺑﺎﻟﺸﺎﻡ ﻭﺳﻮﺍﺩ ﺍﻟﻌﺮﺍﻕ ﺟﺮﻯ ﻧﻈﺎﻡ ﺍﻟﺒﻼﺩ ﺍﳌﻔﺘﻮﺣﺔ ﻣﻦ ﺑﻌﺪﻩ ﻭﻫﻮ ﺍﻧﻪ ﱂ ﻳﻘﺴﻢ ﺑﲔ ﺍﳌﺴﻠﻤﲔ ﻣﺎﺍﻓﺘﺘﺤﻮﻩ ﻣﻦ 105
ﺍﻻﺭﺽ ﺑﻞ ﺟﻌﻠﻬﺎ ﻣﻠﻜﻴﺔ ﲨﺎﻋﻴﺔ ﻟﻠﻤﺴﻠﻤﲔ ﲨﻴﻌـﺎ
Artinya: “Sahabat Umar mengambil kebijaksanaan pada waktu membagi tanah di Syam Dan Irak dalam melaksanakan peraturan Negara yang dimerdekakannya untuk generasi sesudahnya, maka beliau tidak akan membagikan tanah kepada orang-orang muslim yang mereka telah (memerdekakan) tetapi Beliau menjadikan (tanah tersebut) menjadi milik kepentingan umum.” Adapun
masalah
syarat-syarat
kemaslahatan
sebagian
Fuqâhâ’
berpendapat a. Dalam pengambilan kemaslahatan memandang kesempitan yang umum
105
Abul A’la al-Maududi, Milkiyyah al-Ardi Fî al-Islâm, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1969), h.
43-44
82
b. Kemaslahatan-kemaslahatan itu berupa kemaslahatan umum.106 Dalam kaidah syariah masalah tanah Abul A’la al-Maududi berpendapat:
ﺍﻥﹼ ﺍﳊﻜﻮﻣﺔ ﻻ ﺗﻘﻄﻊ ﺍﻷﺭﺍﺿﻰ ﺍﻻﹼ ﻣﻦ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﰲ ﺣﻘﻴﻘﺔ ﺍﻷَﻣﺮ ﻗﺪ ﻗﺎﻣﻮﺍ ﲞﺪﻣﺔ ﻣﺸﻜﻮﺭﺓ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ ﺍﳉﻤﺎﻋﻴﺔ ﺍﻭﻣﻦ ﻛﺎﻧﺖ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﺑـﻬﻢ ﺍﻻﻥ ﺧﺪﻣﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻨﻮﻉ ﺍﻭ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﺍﻗﻄﺎﻋﻬﻢ ﺍﺭﺿﺎ ﻣﻦ ﺍﻷَﺭﺍﺿﻰ ﻳﻸﻡ 107
ﺍﳌﺼﻠﺤﺔ ﺍﳉﻤﺎﻋﻴﺔ ﺑﻮﺟﻪ ﺍﻟﻮﺟﻮﻩ
Artinya: “Pemerintah tidak mempunyai wewenang memberikan tanah, melainkan kepada orang-orang yang telah sanggup mengabdikan diri untuk kesejahteraan masyrakat atau dengan kata lain pemberian tanah tersebut sesuai dengan maksud untuk kesejahteraan umat dari segala segi.” Dari kaidah-kaidah dan pendapat para ulama di atas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah dalam menyerahkan pelaksanaan pembebasan tanah (kepada panitia atau investor) harus betul-betul telah sanggup mengabdikan untuk kepentingan bangsa dan Negara serta kesejahteraan umat dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum yang diantara fungsinya untuk melaksanakan secara konsisten dan komitmen persoalan pembebasan tanah dengan segenap implikasinya.
106
Muhammad Abd al-Jawâd, Milkiyyah al-Ardi, (Misr : Iskandâriyyah Mansya`ah alMa’ârif, t.th), h. 345 107 Al-Maududi, Milkiyyah al-Ardi, h. 43-44
83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah memperhatikan pembahasan-pembahasan sebelumnya maka penulis dapat menarik beberapa kesimpulan : 1.
Perilaku Pemerintah dalam kasus pembebasan tanah tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Karena selalu terjadi konflik pembebasan tanah. Hal ini pada dasarnya, bukan karena rakyat menolak kepentingan pembangunan, kepentingan bisnis, kepentingan investasi atau kepentingan umum lainnya, tetapi karena prosedur hukum yang tidak terpenuhi seperti musyawarah dalam penentuan ganti rugi yang cenderung sepihak..
2.
Salah satu efektifitas Perpres No. 65 Tahun 2006 yaitu lebih mempermudah masuknya investasi pemodal asing ke Indonesia. Akan tetapi, karena pemilik modal yang lebih dominan, sehingga kekuatan-kekuatan modallah yang akan bermain dalam penguasaan tanah di Indonesia, hal ini tentunya akan berimplikasi pada rusaknya kemakmuran rakyat terutama petani, karena terjadi pencabutan hak atas tanah mereka.
3.
Dampak
perilaku
Pemerintah
tidak
relevan
untuk
meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Sebab yang terjadi justru hilangnya mata pencaharian penduduk, terganggunya kesehatan masyarakat, berkurangnya tingkat pendapatan penduduk, meningkatnya angka kemiskinan di masyarakat,
84
menambahnya jumlah pengangguran, dan yang terakhir adalah yang menyangkut tentang masa depan, yaitu membuat anak-anak korban penggusuran putus sekolah karena tidak adanya biaya yang mencukupi. 4.
Dalam perspektif fiqih pemerintah boleh mendesak/memaksakan terjadinya pemindahan hak oleh pihak pemilik atau pembebasan tanah. Namun dalam penbebasan tanah ini Pemerintah harus selalu memperhatikan aspek kemaslahatan untuk para warga yang tanahnya diambil alih, agar tidak terjadi kesenjangan dan ketimpangan sosial di kemudian hari nanti.
B. Saran-saran 1.
Pemerintah dalam melaksanaan musyawarah untuk menentukan ganti rugi yang dalam hal ini dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah yang terdiri dari unsur-unsur birokrasi, sudah saatnya mereka merubah sikap dari abdi negara yang berorientasi kepada penguasa, menjadi abdi rakyat yang lebih berorientasi kepada masyarakat dan sekaligus menjaga kepentingan masyarakat. Selain itu warga masyarakat dalam bermusyawarah harus berperan serta dalam proses pengambilan keputusan berkenaan dengan alokasi penggunan tanah dan penentuan bentuk dan besarnya ganti rugiyang akan diberikan.
2.
Pemerintah dalam menentukan kebijakan pertanahan ini, selain menyertakan panitia
pengadaan
tanah
dan
pemilik
tanah,
seharusnya
juga
mengikutsertakan para ahli atau pakar-pakar ilmu seperti psikologi sosial,
85
sosiologi, hukum, ekonomi dan tokoh-tokoh agama serta tokoh LSM dalam musyawarah penentuan ganti rugi. Karena hukum pada dasarnya harus berlaku secara filsafati yang merupakan pengejawantahan dari kewibawaan dan keadilan secara yuridis yaitu sesuai dengan hukum positif dan fiqh atau hukum Islam serta secara sosiologis yaitu dapat diterima oleh masyarakat dengan baik dan bijaksana. 3.
Pemerintah dalam hal ini panitia pengadaan tanah, dalam menentukan ganti rugi tidak hanya sekedar mengganti nilai tanah, tanaman atau bangunan yang berbentuk uang, pemukiman, atau tanah pengganti. Tetapi perlu juga memperhatikan kelangsungan hidup mereka seperti kehilangan mata pencaharian, kehilangan keahliannya dan diupayakan agar kemaslahatan umum yang menjadi prinsip pembebasan tanah tidak menimbulkan kerugian orang lain atau minimal memperkecil kerugian yang timbul sehinnga tidak sampai mengorbankan kepentingan umum lainnya.
86
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim Abd al-Jawâd, Muhammad, Milkiyyah al-Ardi, Misr: Iskandâriyyah Mansya`ah alMa’ârif, t.th Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991, cet. III ____________, Tebaran Pemikiran Mengenai Hukum Agraria, Bandung: Alumni, 1985 Abî Îsâ Muhammad Bin Îsâ Bin Sauri, Sunan al-Tirmidzî, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994, Juz 3 Barlowe, Releigh, Land Resorce Economics: The Economics of Real Estate, third edition, New Jersey: Printice-Hall, 1978 Basyir, Ahmad Azhar, Pokok-pokok Filsafat Hukum Islam, Yogyakarta: Fak. Hukum UII, 1990 Bukhâri, al-, Al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad Ibn Ismâîl, Sahih al-Bukhâri, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th, juz. 3 Dahlan, Abdul Azis, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, vol. 2 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Al-Hidayah, 2002 Dipohusodo, Istimawan, Manajemen Proyek & Konstruksi, Jakarta: Kanisius, 1996, jilid 2 Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang praktis, Jakarta: Kencana, 2007, cet. II Djoyohadikusumo, Sumitro, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1994, cet. I
87
F Gunarwan Suratmo, Analisis mengenai dampak lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1995 Gani, Abdul, Tesis: Tinjauan Hukum Islam terhadap Pendayagunaan Lahan Kosong, Jakarta: UMJ, 2002 Haroen, Nasrun, Dr., H., Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, cet. II Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia; Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria dan Pelaksanaanya, Jakarta: Djambatan, 2003, cet.IX Hartadi, Irvan Surya Hartadi, SH, “Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria”, artikel diakses pada 25 Februari 2009 dari http://unisys.uii.ac.id/index.Pentingnya Penyempurnaan UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Hasbullah, Frieda Husni, Hukum Kebendaan Perdata, Hak-hak Yang Memberi Kenikamatan, Jakarta: Ind Hill Co, 2005, cet. III Hermanto, Zarida, Perubahan Pemanfaatan Lahan di Wilayah Jabotabek (Studi Kasus Mengeanai Kondisi SosialEkonomi Masyarakart yang Mengalami Penggusuran, Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangnan LIPPi, 1995 Husein, Ali Sofyan, Konflik Pertanahan, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997 Hutagalung, Arie S., “Tinjauan Kritis Terhadap Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Khususnya Menyangkut Pengertian Kepentingan Umum”, Makalah pada Loka karya Penegadaan Tanah, Jakarta, 24 Agustus 2005 ______________, “Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dalam Hukum Pertanahan Indoneseia”, Makalah pada Seminar Nasonal “Perpres No 36 Tahun 2006 Untuk Apa dan Siapa?, Jakarta, 10 Agustus 2005 Ibnu Mas'ud dan Zainal Abidin, Fiqih Mazhab Syafi'l, Edisi Lengkap: Muamalah, Munakahat, Jinayah, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, cet. I Iqbal, Muhammad , Fiqh Siyasah: Kontektualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, cet. II Kemala, Yayasan, Ford Foundation, Konsorsium Pembaruan Agraria, Tanah masih di langit: penyelesaian masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam di
88
Indonesia yang tak kunjung tuntas di era reformasi, Bandung: Yayasan Kemala, 2005 Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004 M.L, Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. terj, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, cet. VII Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta: Bumi Aksara, 2006 Maududi, al-, Abul A’la, Milkiyyah al-Ardi Fî al-Islâm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1969 Mubarok, Jaih, Modifikasi Hukum Islam: Studi Tentang Qaul Qadim Qaul Jadid, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002 Muis, Abdul, “Pembangunan dan Problematika Pertanahan”, dalam Masdar F. Mas’udi (ed.), Teologi Tanah, Jakarta, P3M, 1994, cet. I Mulyadi, Kartini, Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group, 2004 Musâ, Kâmil, Ahkâm al-Mu’âmalât, Beirut: al-Risâlah, 1998 Musbikin, Imam, Qawaid al-Fiqhiyah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Nasucha, Chaizi, Politik Ekonomi Pertanahan dan Struktur Perpajakan atas Tanah, Jakarta: Megapoin, 1995, cet. I Nasution, M. Yunan, Keadilan dan Musyawarah, Semarang: Ramadhani, 1993 Naysâburi, al-, Al-Imam Abî al-Husain Muslim Ibn al-Hajjâj, Sahih Muslim, AlRiyâd: Dâr al-Salâm, 1998, juz.V P., Chairuman, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994 Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia; suatu Telaah dari Sudut Pandang Politik Hukum, Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1991, cet. III Qal`aji, Muhammad Rawwâs, Mausû`ah Fiqh `Umar ibn al-Khatâb, Beirut: Dâr alNafâis, 1986
89
Qardawi, Yusuf, al-Ijtihâd al-Mu’asir, Misr: Dâr at-Tauzi’ wa l-Nasy al-Islâmiyah, 1994 Rafi’i, al, Al-Imâm Abi al-Qâsim Abd al-Karîm bin Muhammad, Al-‘Azîz Syarh alWajîz, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997, juz. VI Ridwan, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan dan kenyataan, Yogyakarta: FH. UII Press, 2007 Saefuddin, Ahmad M., Ekonomi dan Masyarakat dalam Perspektif Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1987 Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2006, cet. II Shiddieqy, Ash-, Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Soemarwoto, Otto, Ekologi, lingkungan hidup, dan pembangunan, Jakarta: Djambatan, 1994 ______________, Analisis dampak lingkungan, Yogyakarta: University Press, 1989
Gadjah Mada
Soimin, Soedhryo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, cet. II Somardjono Maria SW., Kebijakan Pertanahan : Antara Regulasi dan Implementasi, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2006 Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 Suyûthi, al-, Jalâluddîn Abd al-Rahmân, al-Asybâh wa al-Nazhâir fi al-Furû’, Beirut: Dâr al-Fikr, 1415H/1995, cet.I Syafi’i, al-, Al-Imam Muhammad bin Idrîs, Al-Umm, Beirut: Dâr al-Wafa`, 2005, juz. V Syaibânî, al-, Al-Imâm Ahmad Ibn Hanbal, Fath al-Rabbânî, Qâhirah: Dâr alSyihâb, t.th, juz 15 Syarbiniy, al-, AI-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, Jilid 2, Beirut: Dar al-Fikr, 2003, jilid 2
90
Syatibi, al-, Abu Ishâq, al-Muwâfaqat fî Usul al-Syarîah, Mesir: Maktabah alTijâriyah al-Kubrâ, t.th, juz II Syaukânî, al-, Al-Imâm Muhammad ‘Ali, Nail al-Autâr, Misr: al-Halabî, t.th Syukur, Ellyana, Hak Milik Atas Tanah; Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum, Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 1999, cet. II Wiradi, Gunawan, Reforma Agraria, Perjalanan yang belum berakhir, Yogyakarta: Insist Press, 2000 ______________, “Reformasi Agraria dalam Perspektif Transasi Agraris”, dalam Jurnal Ilmiah Puslit Bang BPN, Nomor 9, Februari 1998 Zaman, Mohammad. “Resettlement and Development in Indonesia”, dalam Journal of Contemporary Asia, No.5, Mei 2002, vol. 2 Zuhaili, al-, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmi Wa Adillatuhu, Beirut: Dar-al Fikr, 2004
91
Surat Keterangan Nomor : Yang bertanda tangan di bawah ini Ketua Rt. 08 / 03 Kelurahan Pondok Kopi menerangkan bahwa : Nama
: Abdul Rahman
Nomor Pokok
: 104043101306
Konsentrasi / Jurusan : PF / PMH Fakultas
: Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Telah mengadakan penelitian, wawancara, dan pengumpulan data di tempat kami, guna memenuhi penyelesaian tugas akhir (skripsi) yang berjudul :
“KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP RAKYAT (Analisis Kasus Pembebasan Tanah Dalam Pandangan Fiqh)”
Demikian surat keterangan ini kami buat agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Pondok Kopi, 14 Mei 2009 An. Ketua Rt 08 / 03
(
H. Musa
)
92
Daftar Wawancara
1. Apakah seluruh warga yang tempat tinggalnya terkena pembebasan tanah setuju dengan pembangunan proyek Banjir Kanal Timur yang dilakukan oleh Pemerintah? Jawab : “Pada dasarnya seluruh warga setuju dengan proyek pembangunan Banjir Kanal Timur yang dilakukan oleh Pemerintah. Akan tetapi warga menginginkan Ganti rugi dari harga tanah yang diberikan oleh Pemerintah itu NJOP, karena, harga tanah pasaran di daerah saja jauh lebih tinggi dari NJOP” 2. Apakah ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah kepada warga sudah sesuai dengan harga yang diinginkan warga? Jawab : “Ganti rugi yang diberikan oleh Pemerintah menurut kami tidak layak karena harga NJOP yang diberikan oleh Pemerintah di bawah harga pasaran. Kemudian harga tanah yang berada di gang dan di pinggir jalan raya sama. Mestinya kan berbeda. Karena rata-rata kami yang tinggal di pinggir jalan besar ini memiliki usaha, dan saat ini harga tanah di sini mencapai 2,5 juta rupiah per meternya. Jadi, kalau kami dikasih ganti rugi berdasar NJOP sebesar 1.722.000 rupiah per meter, jelas kami keberatan” 3. Dalam hal bermusyawarah. Apakah setiap warga yang memiliki hak atas tanah tersebut sudah di undang untuk bermusyawarah? Jawab : “Mengenai harga NJOP yang telah di tetapkan oleh Pemerintah warga tidak diajak bermusyawarah, karena katanya penentuan harga itu harus
93
dari Pemerintah. Warga hanya diajak bermusyawarah di kelurahan, mengenai proses pemberian ganti rugi itu saja, yang diambil melalui Bank DKI. 4. Bagaimana dampak pembebasan tanah yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap tingkat kesejahteraan rakyat? Jawab : “Mengenai hal itu kita kembalikan kepada masing-masing warga. Bagi mereka yang mampu mengelola uang ganti rugi untuk melanjutkan kehidupannya tentu itu tidak terlalu berpengaruh. Tapi disini perlu kita ketahui bahwa banyak warga yang tempat tinggalnya juga dijadikan sebagai tempat usaha, tentunya hal ini sangat merugikan mereka. Karena selain mereka mendapatkan ganti rugi yang tidak layak mereka juga harus kehilangan mata pencaharian. Sekalipun mereka membuka usaha di tempat yang baru, tentunya mereka harus memulainya dari nol lagi, dan itu bukan lah perkara yang mudah. 5. Bagaimana menurut pandangan Bapak apakah kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah mengenai pembebasan tanah ini sudah berpihak kepada rakyat? Jawab : “Menurut saya kebijakan Pemerintah dalam hal ini belum berpihak kepada rakyat. Karena masih banyak warga yang merasa di rugikan dengan kebijakan tersebut. pemerintah seharusnya juga memberikan solusi atas masalah kami. Kami ingin ada keadilan bagi warga korban BKT ini. Jangan hanya berdalih untuk kepentingan umum saja, akan tetapi nasib kami tidak diperhatikan dengan baik.”
94
Nama Responden
: DR. KH. M. Anwar Ibrahim
Jabatan
: Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat
Alamat
: Jl. Kenari II Blok L 5 No. 13 Bintaro Jaya Jakarta Selatan
Waktu / Tempat
: Sabtu, 30 Mei 2009 / Jl. Kenari II Blok L 5 No. 13 Bintaro Jaya Jakarta Selatan
1. Apa yang melatarbelakangi MUI mengeluarkan Fatwa tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ? 2. Apakah MUI menggunakan maslahah sebagai salah satu dasar Penetapan Fatwa tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ? 3. Seperti Fatwa pada umumnya, apakah fatwa ini dikeluarkan karena adanya permintaan dari pihak tertentu ? 4. Bagaimana pandangan Bapak tentang Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum? 5. Apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ini, juga dijadikan sebagai tolak ukur oleh Pemerintah untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan pembebasan tanah untuk kepentingan umum? 6. Apakah pencabutan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini memang benar-benar digunakan untuk kepentingan umum ? 7. Bagaimanakah Aplikasi fatwa ini di Masyarakat ? 8. Terkait dengan masalah pembebasan tanah, Bagaimana menurut pandangan MUI dengan banyaknya konflik yang terjadi di masyarakat tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ? 9. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa ini mampu untuk mengurangi terjadinya konflik pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum di Masyarakat ? 10. Bagaimana menurut MUI, Apakah kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah selama ini berpihak kepada Rakyat atau sebaliknya ?
95
Jakarta,
30
Mei 2009 Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat
DR.
KH.
M.
Anwar Ibrahim
Daftar Wawancara
11. Apa yang melatarbelakangi MUI mengeluarkan Fatwa tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ? Jawab : Mengenai latar belakangnya dapat kita lihat dalam konsideran fatwa tersebut. 12. Apakah MUI menggunakan maslahah sebagai salah satu dasar Penetapan Fatwa tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ? Jawab : Itu sudah jelas, dalam menetapkan fatwa ini MUI menggunakan konsep maslahah. Akan tetapi maslahah yang digunakan bukanlah menurut pertimbangan
kita ataupun pandangan para mujtahid, karena
maslahah itu harus kita kembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Maslahat itu ibarat pisau bermata dua, sehingga sering disalah gunakan oleh orang. Banyak orang yang menilai maslahah sesuai dengan pandangan mereka
sendiri
tanpa melihat terlebih dahulu
apakah telah sesuai dengan Al-Qur’an dan Al-Sunah atau belum dan mengandung maslahat atau tidak.
96
13. Seperti Fatwa pada umumnya, apakah fatwa ini dikeluarkan karena adanya permintaan dari pihak tertentu ? Jawab : Secara umum masyarakat banyak yang mengeluh karena hak tanah mereka banyak yang diambil dengan alasan untuk pembangunan fasilitas umum. Berangkat dari keresahan itulah timbul pertanyaan dan pemintaan kepada MUI. Untuk merespon aspirasi masyarakat tersebut maka kami mengeluarkan fatwa tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum. Selain itu MUI juga bisa mengeluarkan fatwa tanpa ada permintaan dari masyarakat dalam penetapan hukumnya, walaupun hanya dengan melihat keresahan yang ada dimasyarakat. 14. Bagaimana pandangan Bapak tentang Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum? Jawab : Pembebasan tanah boleh dilakukan selama tidak menganggu ekosistem yang ada dimasyarakat, jika mengganggu maka harus diselesaikan dengan baik. Pemerintah harus mendata terlebih dahulu mengenai status tanah yang dimiliki oleh masyarakat. Jika masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan tanah yang sah, maka Pemrintah berhak memindahkan mereka, karena tanah itu bukan hak mereka. 15. Apakah fatwa yang dikeluarkan oleh MUI tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ini, juga dijadikan sebagai tolak ukur oleh Pemerintah untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan pembebasan tanah untuk kepentingan umum? Jawab : Saya tidak tahu mengenai hal itu, kita lihat saja di dalam konsideran perpres No. 65 Tahun 2006 itu, apakah di sebutkan atau tidak. Mestinya dicantumkan di dalam konsideran karena Pemerintah itu terdiri dari orang-orang Islam, seharusnya mereka membuat peraturan yang sesuai dengan syari’at Islam.
97
16. Apakah pencabutan hak milik atas tanah yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini memang benar-benar digunakan untuk kepentingan umum ? Jawab : Kita lihat saja bagaimana faktanya secara ilmiah yang terjadi. Berapa jumlah warga yang tanahnya dibebaskan, berapa jumlah ganti rugi yang diberikan, Pemerintah. Untuk berbicara mengenai hal ini saya tidak memiliki data. 17. Bagaimanakah Aplikasi fatwa ini di Masyarakat ? Jawab : Dalam mengaplikasikan fatwa kemasyarakat MUI menggunakan berbagai cara, baik secara lisan yaitu melalui seminar, diskusi dan majelis-majelis ta’lim maupun secara tulisan yaitu melalui media cetak dan yang lainnya. 18. Terkait dengan masalah pembebasan tanah, Bagaimana menurut pandangan MUI dengan banyaknya konflik yang terjadi di masyarakat tentang Pencabutan Hak Milik Pribadi Untuk Kepentingan Umum ? Jawab : Konflik itu terjadi mungkin karena kurangnya pengetahuan masyarkat mengenai kesadaran hukum. Atau juga mungkin kurang adilnya Pemerintah di dalam menerapkan kebijakn yang ada. Seharusnya Pemerintah dapat menerapkan kebijakan yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan masyarakat juga seharusnya mengerti dan sadar akan kebijakan yang telah diterapkan. 19. Apakah dengan dikeluarkannya fatwa ini mampu untuk mengurangi terjadinya konflik pencabutan hak milik pribadi untuk kepentingan umum di Masyarakat ? Jawab : MUI tidak pernah melakukan pendataan mengenai konflik pertanahan yang terjadi di Masyarakat. Sehinngga kami tidak mengetahui secara jelas apakah fatwa ini dapat mengurangi benturan di masyarakat atau tidak. 20. Bagaimana menurut MUI, Apakah kebijakan yang diberlakukan oleh Pemerintah selama ini berpihak kepada Rakyat atau sebaliknya ?
98
Jawab : Saya tidak tahu mengenai hal itu, karena kita harus memiliki data yang akurat untuk mengetahuinya. Mungkin dapat dikatakan selama Pemerintah dapat melaksanakan kebijakannya sesuai dengan ketetapan yang diberlakukan dan masyarkat pun tidak merasa dirugikan, berarti Pemerintah telah bertindak adil kepada masyarakat.