Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
POLICY PAPER No. 16 APRIL 2013
KEBIJAKAN INDUSTRI DALAM MENYONGSONG ME-ASEAN 2015
Daftar Isi Team
○
○
○
○
○
○
○
i
Latar Belakang
○
○
○
○
○
○
○
1
Perkembangan Terakhir Industri Pengolahan Non-Migas
○
○
○
○
○
○
○
3
Perkiraan Dampak Dari ME-ASEAN 2015
○
○
○
○
○
○
○
5
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
○
Kebijakan Industri Nasional Kebijakan Industri Nasional Untuk Menyongsong ME-ASEAN 2015 Daftar Pustaka
○
○
○
○
○
○
7
○
15 24
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Team
Penulis : Tulus T.H. Tambunan
Steering Commitee 1. Hariyadi B. Sukamdani 2. Emirsyah Satar 3. Maxi Gunawan 4. Rahardjo Jamtomo Active Team 1. Didik J. Rachbini - Executive Director 2. Tulus Tambunan - Senior Economist and Project Team Leader 3. Rasidin Sitepu - Junior Economist 4. M. Hakim - Legal Councel 5. Yohanna M.L Gultom - Social Scientist 6. Aslim Nurhasan - PR Professional/Expert
Tulisan ini merupakan hasil pemikiran Tim Advokasi Program ACTIVE. Pertanyaan yang berkaitan dengan tulisan ini dapat diajukan kepada Tim ACTIVE Kadin Indonesia di
[email protected]
i
Programme
Sudah banyak diskusi di sejumlah televisi dan radio maupun tulisan-tulisan yang mengatakan bahwa industri nasional semakin terpuruk. Kemampuan industri nasional meningkatkan produksi maupun daya saingnya semakin lemah, dan ini semua disebabkan oleh banyak faktor, termasuk kebijakan industri hingga saat ini yang tidak mendukung sepenuhnya. Fahmi Idris juga pernah menyatakan pendapatnya mengenai kondisi industri nasional selaku Menteri Perindustrian Republik Indonesia pada waktu itu. Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional (saat itu) adalah kecenderungan penurunan tingkat daya saing industri Indonesia di pasar internasional. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan barang-barang yang mana industri Indonesia juga (bisa) memproduksinya, serta belum memadainya layanan birokrasi. Tantangan berikutnya menurutnya adalah kelemahan struktur sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara usaha besar (UB) dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di sektor industri, belum terbangunnya struktur klaster yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen di dalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi tertentu (rendahnya tingkat diversifikasi ekspor manufaktur nasional). Sementara itu, tingkat utilisasi kapasitas produksi industri di dalam negeri menurutnya masih rata-rata di bawah 70 persen, dan ditambah dengan masih tingginya impor bahan baku. Di sisi lain, UMKM di sektor
industri (umum disebut industri kecil dan menengah atau IKM) yang memiliki potensi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja ternyata masih memiliki berbagai keterbatasan yang masih belum dapat diatasi dengan tuntas sampai saat ini. Permasalahan utama yang dihadapi oleh IKM adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan, keterbatasan sumber daya manusia yang siap, kurang dalam kemampuan manajemen dan bisnis, serta terbatasnya kemampuan akses informasi untuk membaca peluang pasar serta mensiasati perubahan pasar yang cepat (2007).
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
1. Latar Belakang
Salah satu sumber yang menunjukkan kondisi dari sejumlah faktor penentu daya saing Indonesia adalah laporan tahunan dari World Economic Forum. Dalam menganalisis daya saing global dari sebuah negara/ ekonomi, WEF mengelompokkan sejumlah faktor ke dalam tiga kolompok (tiga subindeks). Pertama, persyaratan-persyaratan dasar seperti kelembagaan, infrastruktur, kondisi (stabilitas) ekonomi makro dan tingkat pendidikan serta kesehatan masyarakat. Faktor-faktor ini dianggap sebagai motor utama penggerak proses/pertumbuhan ekonomi. Secara empiris, faktor-faktor ini sudah terbukti berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Kelompok kedua adalah faktor-faktor yang bisa meningkatkan efisiensi (atau produktivitas) ekonomi seperti pendidikan tinggi dan pelatihan (kualitas sumber daya manusia), kinerja pasar yang efisien, dan kesiapan teknologi di tingkat nasional maupun perusahaan secara individu, dan luas pasar domestik. Kelompok ketiga adalah faktor-faktor inovasi dan kecanggihan proses produksi di dalam perusahaan yang secara bersama menentukan tingkat inovasi suatu negara.
1
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Laporan mengenai daya saing global dari negara-negara di dunia dari World Economic Forum (WEF) untuk periode 2012-2013 mendukung pendapat tersebut di atas mengenai kondisi industri di Indonesia. Dengan memakai sebuah indeks, yakni Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI), laporan tersebut menunjukkan
posisi Indonesia berada di peringkat 50 (dari 144 negara), dan posisi ini relatif memburuk dibandingkan posisinya pada periode sebelumnya (2011-2012) yakni di peringkat 46 (dari 142 negara), atau untuk periode 20102011 di peringkat 44 (dari 139 negara). Peringkat Indonesia untuk masing-masing faktor penentu daya saing dapat diihat di Tabel 1.
Tabel 1: GCI versi WEF dari Indonesia, 2012-2013 CI Persyaratan dasar (40%) 1.Kelembagaan 2.Infrastruktur 3.Stabilitas ekonomi makro 4.Kesehatan dan pendidikan dasar Pendorong efisiensi (50%) 5.Pendidikan tinggi dan pelatihan 6.Efisiensi pasar barang dan jasa 7.Efisiensi pasar tenaga kerja 8.Kecanggihan pasar keuangan 9.Kesiapan teknologi 10.Luas pasar domestik Faktor-faktor inovasi dan kecanggihan (10%) 11.Kecanggihan bisnis 12.Inovasi
Peringkat (dari 144 negara) 50 58 72 78 25 70 58 73 63 120 70 85 16 40 42 39
Sumber: WEF (2012)
Selain itu, di dalam survei, para responnden yakni pimpinan perusahaan/ceo dari semua skala usaha dan di sektor-sektor besar (berdasarkan pangsa PDB) seperti industri, pertanian, pertambangan dan perdagangan ditanya mengenai kendala-kendala utama yang mereka hadapi dalam menjalankan usaha di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa masalah paling serius adalah birokrasi pemerintah yang tidak efisien, disusul di peringkat kedua dan ketiga oleh, masingmasing, masalah korupsi dan kurangnya infrastruktur. Salah satu yang menyolot dari Tabel 1 di atas tersebut adalah buruknya posisi Indonesia dalam hal infrastruktur. Memang faktor ini hingga saat ini masih merupakan salah
2
satu penghambat serius bagi peningkatan daya saing global Indonesia, baik dalam perdagangan (khususnya ekspor) maupun dalam menarik investasi asing, khususnya penanaman modal asing (PMA). Berikut, beberapa gambar dan tabel di bawah ini bisa memberikan fakta yang leibih jelas mengenai kondisi infrastruktur di tanah air. Selain laporan dari WEF, laporan tahunan dari Bank Dunia/IFC juga mendukung pandangan di atas tersebut. Dalam menganalisis tingkat kondusifitas dari linkungan usaha di suatu ekonomi, Bank Dunia menggunakan 11 indikator, yaitu: (1) memulai suatu usaha (prosedur, modal
Belakangan ini, perdebatan terutama di kalangan akademis dan pembuat kebijakan mengenai kesiapan atau kemampuan industri
Programme
nasional, khususnya usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), bersaing di pasar dalam negeri pada saat nanti berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (ME-ASEAN) pada tahun 2015 semakin sengit. Dengan diberlakukannya MEASEAN 2015, paling tidak sesuai tujuannya, ASEAN akan menjadi pasar tunggal, yang artinya semua barang dan jasa dari negara-negara anggota ASEAN lainnya akan mendapatkan kebebasan 100 persen masuk ke pasar dalam negeri. Demikian juga, barang dan jasa Indonesia akan sepenuhnya bebas masuk ke negara-negara tersebut. Yang menjadi persoalan serius saat ini dan di masa akan datang adalah apakah industri nasional mampu membuat barang-barang yang tidak hanya mampu menyaingi barang-barang yang sama buatan negara-negara ASEAN lainnya yang masuk ke pasar domestik, tetapi juga apakah mampu menembus pasar di negara-negara anggota lainnya?
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
minimum yang wajib, waktu dan biaya); (2) registrasi properti (prosedur, waktu dan biaya); (3) mendapatkan kredit (sistem informasi kredit; undang-undang kolateral yang bergerak); (4) perlindungan terhadap investor (penyikapan dan pertanggung jawaban semua pihak yang terlibat dalam transaksi bisnis), (5) pelaksanaan kontrak dan penyelesaian insolvabilitas (prosedur, waktu dan biaya untuk penyelesaian sebuah pertikaian komersial); (6) mendapatkan ijin konstruksi (prosedur, waktu dan biaya); (7) mendapatkan listrik (prosedur, waktu dan biaya); (8) pembayaran pajak-pajak (cara pembayaran, waktu, dan jumlah); (9) perdagangan lintas perbatasan (dokumendokumen, waktu dan biaya); (10) memperkerjakan pekerja; dan (11) penyelesaian insolvabilitas (waktu, biaya dan tingkat pemulihan). Dalam laporan tahun 2011 dengan mensurvei 183 negara, Indonesia mengalami penurunan berturut-turut yaitu pada posisi 121 tahun 2011 ke posisi 129 di tahun 2012. Adapun Negara lainnya di ASEAN, Singapura berada pada posisi nomor 1, Malaysia yang pada tahun sebelumnya berada pada posisi 23 meningkat ke posisi 18, Thailand 17, Viet Nam 98, sedangkan Filipina paling rendah peringkatnya yakni 136. Berdasarkan laporan tersebut, memulai bisnis di Indonesia berada pada rangking 155 dari 183 negara. Meskipun masih pada posisi yang sama dengan tahun lalu yaitu pada posisi 155, tetapi sudah ada perbaikan dari jumlah prosedur yang harus dijalani di tahun 2011 sebanyak 9 tahap dengan waktu selama 47 hari, ditahun 2012 turun menjadi 8 tahap dalam waktu 45 hari dan biaya turun dari 22,3 % menjadi 17,9% dari pendapatan per kapita (WB/ IFC,2012).
2. Perkembangan Terakhir Industri Pengolahan NonMigas Menurut data BPS (dikutip dari Harian Kompas, Ekonomi, Kamis, 30 Mei 2013), setelah sekian lama di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional, kini laju pertumbuhan nilai output dari sektor industri pengolahan nonmigas di atas laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada tahun 2012 nilai output dari sektor ini tercatat tumbuh sekitar 6,40 persen, lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan PDB sebesar 6,04 persen. Kondisi positif ini berlanjut hingga triwulan I2013, di mana laju pertumbuhan nilai output industri pengolahan non-migas 6,69 persen, sedangkan laju pertumbuhan PDB Indonesia untuk periode yang sama tercatat sebesar 6,02 persen. Menurut sumber yang sama,
3
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
pencapaian ini disokong oleh tingkat pertumbuhan yang tinggi di beberapa cabang industri, seperti industri logam dasar, besi dan baja yang laju pertumbuhan nilai outputnya tercatat mencapai 13,14 persen; industri pupuk, kimia, dan barang dari karet sebesar 11,41 persen; industri alat angkut, mesin, dan peralatan sebanyak 10,51 persen, serta industri barang kayu dan hasil hutan lainnya yang tercatat sebesar 7,67 persen pada periode yang sama. Dalam hal ekspor, pada tahun 2012 sektor ini menyumbang sekitar 60,04 persen terhadap total ekspor nasional dengan nilai 116,14 miliar dollar AS. Namun angka ini lebih rendah dibandingkan, misalnya, pada tahun 2000 yang tercatat sebanyak 76 persen (Kompas, Senin, 23 Juli 2012, halaman 1). Hingga saat ini, berdasarkan nilai (juta) dollar AS, 10 komoditas industri (baik hulu, tengah maupun hilir) tertinggi ekspor Indonesia adalah sebagai berikut: bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan nabati, mesin dan peralatan listrik, karet dan barang dari karet, mesin-mesin/pesawat mekanik, bijih, kerak dan abu logam, pakaian jadi bukan rajutan, berbagai produk kimia, barang-barang rajutan, dan bahan kimiah organik (Kompas, Ekonomi, Kamis, 29 November 2012, halaman 19). Namun secara neraca perdagangan, Indonesia mengalami defisit sebanyak 23,57 miliar dollar AS karena nilai impor Indonesia untuk produk-produk industri non-migas (yang didominasi oleh bahan baku dan barang modal) selama tahun tersebut lebih tinggi, yakni 139,71 miliar dollar AS. Kondisi ini terus berlangsung. Pada periode Januari-Maret tahun ini defisit perdagangan tercatat sebanyak 3,89 miliar dollar AS, yang disebabkan oleh lebih besarnya nilai impor yakni mencapai 32,15 miliar dollar AS
4
dibandingkan nilai ekspor sebanyak 28,26 miliar dollar AS (Kompas, 29 November 2012). Misalnya untuk industri makanan, impor bahan tambahan makanan masih tinggi, yang sekarang ini sekitar 30 persen dari total kebutuhan Indonesia. Menurut Kementerian Perindustrian, impor bahan tambahan makanan, yang terutama berasal dari AS, Eropa, dan China, adalah antara lain pewarna, pemanis buatan, pengawet, penyedap dan pengawet rasa serta aroma, antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemutih, pematang tepung, pengemulsi, dan pengental. Selain itu untuk bahan baku makanan, Indonesia juga cenderung semakin tergantung pada impor, misalnya gandum 5,6 juta ton, gula 2,7 juta ton, dan kedelai 2 juta ton (Kompas, Ekonomi, Kamis, 4 Oktober 2012, halaman 17). Namun ada perkembangan yang perlu diperhatikan, yakni impor barang-barang modal cenderung menurun. Berdasarkan data BPS terakhir, nilai impor Indonesia untuk kategori barang tersebut tercatat berkurang sebesar 1,59 persen pada Februari 2013 dibandingkan angka pada satu bulan sebelumnya. Apabila nilai impor selama Januari-Februari 2013 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2012, penurunannya malah lebih besar yakni tercatat sebanyak 12,82 persen. Karena barang modal adalah untuk kepentingan produksi, maka dapat dikatakan adanya sebuah hubungan positif antara besarnya permintaan (atau impor) terhadap barang modal dengan besarnya investasi atau produksi di sektor industri. Jadi artinya bahwa penurunan impor barang modal tersebut mencerminkan adanya penurunan investasi atau volume produksi di sektor industri. Selanjutnya, karena pada umumnya usaha besar dan menengah UBM , bukan usaha mikro dan kecil (UMK), yang paling banyak memakai barang modal, atau yang paling
Data BPS terakhir menunjukkan bahwa laju pertumbuhan nilai output dari kelompok UBM pada triwulan I-2013 mencapai 8,94 persen dibandingkan triwulan I-2012; jadi ada penambahan produksi. Namun laju pertumbuhan nilai output dari kelompok ini pada triwulan I-2012 dibandingkan periode yang sama tahun 2011 lebih besar, yakni tercatat sebanyak 11,10 persen. Jadi ini artinya memang ada perlambatan pertumbuhan produksi industri, khususnya dari kelompok UBM. Perlambatan pertumbuhan itu tentu tidak tanpa alasan. Sudah banyak dikatakan di media masa mengenai berbagai kendala yang dihadapi pelaku-pelaku bisnis di sektor industri, mulai dari harga energi yang tidak kondusif, sulitnya mendapatkan dana pinjaman atau terlalu tingginya tingkat suku bunga (terlalu mahal meminjam), hingga buruknya kondisi infrastruktur dan tidak efisiennya logistik. Masalah-masalah ini yang juga membuat Kementerian Perindustrian mengoreksi target laju pertumbuhan output di sektor industri tahun 2013, dari sebelumnya dipatok 7,14 persen menjadi 6,5 persen. Selain masih banyaknya kendala yang memperlambat laju pertumbuhan ouput industri, dari uraian di atas tersebut, dapat disimpulkan bahwa industri nasional masih lemah, terutama dalam tiga hal berikut ini: 1) perkembangan industri ‘tengah’ yang memproduksi barang-barang modal dan berbagai peralatan produksi masih lemah sehingga membuat industri nasional hingga
Programme
saat ini masih sangat tergantung pada impor produk-produk tersebut; 2) perkembangan industri ‘hulu’ yang mengolah bahan baku menjadi bahan siap pakai untuk keperluan produksi industri juga masih lemah yang membuat Indonesia selama ini tergantung pada impor untuk berbagai macam bahan baku keperluan industri; dan
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
banyak membutuhkan barang modal diimpor, maka dapat juga diduga bahwa menurunnya impor barang modal tersebut memberi suatu indikasi menurunnya investasi atau laju pertumbuhan volume produksi di kelompok UBM.
3) industri nasional masih lemah dalam hal ekspor, yang hingga saat ini masih tetap didominasi oleh barang-barang ‘tradisional’ seperti tekstil dan produkproduknya (termasuk pakaian jadi), alas kaki, dan barang-barang dari kayu, bamboo dan rotan (termasuk meubel).
3. Perkiraan Dampak Dari MEASEAN 2015 Secara teori, liberalisasi perdagangan atau dalam kasus ini ME-ASEAN 2015 bisa mempengaruhi secara negatif atau positif perusahaan-perusahaan di Indonesia secara individu melalui empat (4) cara. Pertama, melalui peningkatan persaingan di pasar domestik. Dengan tidak adanya hambatan-hambatan terhadap impor barang dan jasa, maka persaingan di pasar dalam negeri antara perusahaan-perusahaan lokal dengan barang dan jasa impor akan sangat ketat. Kondisi pasar seperti ini akan memaksa perusahaan-perusahaan lokal yang tidak efisien/produktif untuk memperbaiki atau meningkatkan daya saingnya dengan berbagai cara antara lain melakukan secara terus menerus inovasi produk atau/dan proses produksi, meningkatkan efisiensi (menghilangkan pemborosan-pemborosan) atau produktivitas dengan cara antara lain
5
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
menggunakan teknologi terkini, memberikan pelatihan bagi pekerja, lebih agresif dalam melakukan promosi, mengeksploitasi skala ekonomis eksternal, mengembangkan skop, dan lain-lain; atau sebalinya, kalah bersaing dan akhirnya terpaksa menutup usaha. Keterbukaan sepenuhnya suatu ekonomi terhadap perdagangan luar negeri seperti di dalam konteks ME-ASEAN 2015 nanti, juga dapat dilihat sebagai pemicuh atau ‘pemaksaan’ peningkatan skala usaha/pabrik hingga mencapai efisiensi skala dari perusahaan-perusahaan lokal dengan cara mengadopsi teknologi-teknologi, manajemen, organisasi dan metode-metode
produksi yang lebih efisien. Kedua, melalui penurunan biaya produksi. Karena tidak ada lagi tarif impor dan hambatan-hambatan impor lainnya maka harga-harga dari bahan-bahan baku dan input lainnya yang diimpor menjadi murah, sehingga memperkuat posisi dari perusahaan-perusahaan domestik dalam persaingan di pasar domestik dengan barangbarang jadi impor dan/atau di pasar ekspor. Ketiga, melalui peningkatan ekspor. Penerapan ME-ASEAN 2015 dengan sendirinya memberikan peluang ekspor bagi perusahaan-perusahaan Indonesia (seperti juga bagi perusahaanperusahaan di negara-negara anggota ASEAN lainnya). Keempat, melalui pengurangan
Tabel 2: Pangsa UMKM dalam Ekspor Barang (% dari ekspor total) di sejumlah negara/ ekonomi berkembang di Asia antara tahun 1990—2010 Negara/Ekonomi Cina Sri Lanka Taiwan India Thailand Filipina Vietnam Indonesia Singapura Malaysia Bangladesh Pakistan
Pangsa rata-rata (%) 40-64 59 56-60 33-50 10-40 20-25 20 20* 16 10-15 11.3 25
Keterangan: * hanya di industri manufaktur. Sumber: Battat, dkk. (1996), Kuwayama (2001), Tambunan (2009, 2012), UNESCAP (1997, 2010), ISED (2012).
ketersediaan bahan-bahan baku atau input lainnya di pasar dalam negeri. Dengan menghilangnya hambatan-hambatan terhadap ekspor bahan-bahan baku (seperti pajak atau kuota ekspor), maka ekspor dari bahan-bahan baku akan meningkat, dan ini berarti perusahaan-perusahaan di dalam negeri akan
6
mengalami kelangkaan atas bahan-bahan baku. Ini memang merupakan suatu efek negatif dari liberalisasi perdagangan luar negeri terhadap perusahaan-perusahaan domestik. Melihat kondisi industri nasional yang tidak memuaskan, khususnya daya saingnya yang
4. Kebijakan Industri Nasional
Kecilnya peran UMKM Indonesia di dalam total ekspor non-migas Indonesia tersebut mencerminkan dua kemungkinan, yakni kapasitas produksi UMKM berorientasi ekspor terbatas hingga mereka tidak selalu mampu memenuhi permintaan ekspor, dan/atau tingkat daya saing mereka rendah.
Seperti di Gambar 1, peningkatan produksi dari sebuah industri sepenuhnya tergantung pada dua hal, yakni kemampuan atau kapasitas produksi di semua perusahaan di industri tersebut, dan peluang pasar. Dua syarat ini harus terpenuhi secara bersamaan. Dalam hal peluang pasar, baik itu pasar dalam negeri
Programme
relatif rendah, maka tidak heran jika ekspektasi umum selama ini adalah bahwa penerapan MEASEAN 2015 yang pasti akan meningkatkan persaingan ketat di pasar domestik akan berdampak buruk terhadap industri nasional, terutama UMKM yang kebanyakan tidak efisien atau berdaya saing rendah. Berdasarkan data statististik dan beberapa literature mengenai ekspor UMKM dari sejumlah negara berkembang di Asia menunjukkan bahwa Indonesia termasuk kecil dalam ekspor UMKM. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 2, di industri manufaktur UMKM Indonesia hanya mencatat sekitar 20 persen dari total ekspor manufaktur Indonesia, dibandingkan misalnya China yang mancapai maksimum 64 persen, atau Taiwan yang tercatat antara 56 hingga 60 persen dari total ekspor dari ekonomi tersebut. Posisi Indonesia sama seperti Vietnam yang UMKMnya juga tercatat hanya menyumbang sekitar 20 persen terhadap total ekspor negara tersebut.
4.1 Tujuan Utama
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Tujuan paling utama dari kebijakan industri nasional adalah: (a) meningkatkan volume produksi, dan (b) meningkatkan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan. Di dalam tujuan utama ini, sudah termasuk upaya diversifikasi produksi industri (jadi tidak hanya fokus pada barang-barang tradisional yang sama seperti misalnya pakaian jadi dan alas kaki, namun juga pendalaman industri, yang artinya pengembangan industri hulu dan industri hilir atau rantai pasokan dalam negeri di sektor industri (yang artinya mengurangi ketergantugan industri nasional selama ini pada impor bahan baku siap pakai dan komponen-komponen.
4.1.1 Peningkatan Produksi
Gambar 1: Kebijakan Industri dan Peningkatan Volume Produksi
Peluang Pasar ↑
Volume produksi ↑
Ketersediaan faktor produksi dan input lainya ↑
Kapasitas Produksi di semua perusahaan di sektor industri ↑
Faktor-faktor penentu lainnya
7
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
maupun pasar luar negeri, tentu kementerian perindustrian tidak punya pengaruh sama sekali. Dalam kata lain, peluang pasar bukanlah merupakan sasaran dari sebuah kebijakan industri. Dalam hal kapasitas produksi, kebijakan industri sangat berpengaruh lewat berbagai instrument, diantaranya adalah berbagai peraturan baik mengenai teknis produksi yang terkait dengan misalnya penanganan limbah produksi dan standarisasi (dalam kasus Indonesia, Standar Nasional Indonesia atau SNI), maupun yang non-teknis seperti misalnya peraturan yang mengharuskan perusahaan-perusahaan asing bermitra dengan pemasok-pemasok lokal, pengembangan sentra-sentra industri atau penentuan lokasilokasi industri, pendanaan, dan peraturan yang meningkatkan atau membuat terjadinya peralihan teknologi dari perusahaanperusahaan besar ke UMKM. Dari uraian di atas jelas bahwa kebijakan industri sangat penting namun bukan penentu satu-satunya peningkatan volume produksi. Banyak faktor-faktor penentu lainnya yang dipengaruhi secara langsung oleh kebijakankebijakan lainnya. Misalnya penambahan volume produksi industri makanan dan minuman juga sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan bakunya, yang dalam hal
ini adalah peningkatan volume produksi pertanian. Ini artinya penambahan volume produksi industri makanan dan minuman juga sangat dipengaruhi oleh kebijakan pertanian, atau oleh kebijakan perdagangan luar negeri karena industri makanan dan minuman di Indonesia juga menggunakan bahan baku impor (ada substitusi antara produksi pertanian dalam negeri dengan impor pertanian). Jadi jelas bahwa harmonisasi atau saling mendukung antara tiga kebijakan tersebut merupakan suatu keharusan.
4.1.2 Peningkatan Daya Saing Produk Seperti yang diilustrasikan di Gambar 2, pelaku utama yang paling menentukan tinggirendahnya tingkat daya saing industri nasional memang adalah perusahaan-perusahaan di dalam industri secara individu. Jadi kemampuan setiap perusahaan di dalam sebuah industri, misalnya industri pakaian jadi, sangat menentukan tingkat daya saing industri tersebut. Pada gilirannya, kemampuan sebuah perusahaan meningkatkan daya saing produk yang dibuatnya sangat ditentukan oleh tiga faktor besar yakni ketersediaan atau aksesnya ke teknologi terkini, ketersediaan modal dan kualitas dari sumber daya manusianya. Faktor-
Gambar 2: Kebijakan Industri dan Peningkatan Daya Saing Produk Daya Saing produk ↑
Ketersediaan teknologi terkini ↑
Kemampuan Perusahaan meningkatkan daya saing produk
Ketersediaan modal ↑
8
Kualitas SDM ↑
Faktor-faktor penentu internal lainnya
Namun kemampuan sebuah perusahaan meningkatkan daya saingnya tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor internal, tetapi juga oleh faktor-faktor eksternal seperti infrastruktur dan logsitik, geografi, dan lainnya, seperti yang ditunjukkan di Gambar 3, dan pentingnya faktor-faktor tersebut secara individu maupun bersama dalam mempengaruhi daya saing sebuah perusahaan akan berbeda untuk produk yang berbeda. Dari uraian ini dapat dipahami secara jelas bahwa kebijakan industri bukan satu-satunya yang menentukan tinggi-rendahnya daya saing industri nasional karena banyak juga faktor penentu lainnya. Namun, pengaruh dari sebuah kebijakan industri terhadap kinerja perusahaanperusahaan di sebuah industri yang menjadi
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa
Programme
sasaran dari kebijakan tersebut bisa sangat signifikan.
kebijakan industri punya dua tujuan utama yakni meningkatkan volume produksi dan daya saing dari produk-produk yang dihasilkan oleh industri nasional/dalam negeri. Dan seperti juga yang diilustrasikan sebelumnya di Gambar 1 dan Gambar 2, kemampuan industri nasional meningkatkan volume produksi dan daya saingnya sangat tergantung pada kemampuan dari semua perusahaan, termasuk UMKM, di sektor industri. Dalam kata lain, masalah-masalah yang dihadapi oleh industri nasional saat ini adalah kendala-kendala yang dihadapi oleh (jika tidak semua) sebagian besar perusahaan industri di dalam negeri.
Gambar 3: Faktor-faktor Utama Penentu Daya Saing Sebuah Perusahaan Faktor-faktor Utama Internal: - sifat pengusaha/manajer - sifat pekerja - sistem manajemen & organisasi - strategi yang diterapkan - budaya & visi perusahaan - ketersediaan input-input penting termasuk modal & kemampuan perusahaan mengakses
Daya Saing Perusahaan
Faktor-faktor Utama eksternal: - infrastruktur & logistik - lokasi geografi & sifatnya - kebijakan pemerintah (misalnya regulasi) - retribusi/pungutan - kondisi pasar input (termasuk aksesnya) - kondisi pasar output - sistem pemasaran/distribusi - kelembagaan
4.2. Perlunya Harmonisasi Dengan Kebijakankebijakan Lainnya
Gambar 4. Arinya, sebagus apapun sebuah
Namun, masalah tersebut di atas tidak bisa diselesaikan hanya oleh Kementerian Perindustrian. Dalam perkatan lain, efektivitas dari sebuah kebijakan industri sangat ditentukan oleh harmonisasinya dengan kebijakankebijakan lainnya, seperti yang diilustrasikan di
tidak akan signifikan (misalnya peningkatan
kebijakan industri, hasilnya tidak akan ada atau volume produksi) apabila kebijakan-kebijakan sektoral lainnya terutama sektor ekonomi lainnya yang terkait dengan sektor industri (misalnya pertanian) tidak mendukung atau bertolak belakang. Misalnya, pemerintah
9
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
faktor ini disebut sebagai faktor-faktor internal, yakni yang bisa dipengaruhi oleh perusahaan.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
Gambar 4: Integrasi antara Kebijakan Industri dan Kebijakan-kebijakan Lainnya
Gambar 1 & Gambar 2
Kebijakan Industri
Kebijakan-kebijakan lainnya
Sektor industri: - Peningkatan volume produksi - Peningkatan kualitas produk
Sektor-sektor ekonomi lainnya: -Infrastruktur & logistik -Energi -Pertanian -Pertambangan -Keuangan -Perdagangan DN & LN -Sektor-sektor lainnya Faktor-faktor lainnya: - Keamanan -Kepastian hukum -Stabilitas -Pendidikan -Teknologi -Kelembagaan & public good -Struktur pasar -Investasi termasuk PMA
mengeluarkan sebuah kebijakan untuk meningkatkan daya saing produk-produk makanan dan minuman Indonesia agar bisa menembus pasar internasional. Namun hasilnya bisa tidak ada sama sekali karena tidak adanya kebijakan pertanian yang memberikan insentif bagi peningkatan volume produksi dan daya saing komoditas pertanian yang merupakan bahan baku utama industri makanan dan minuman. Menurut Pardede (2011), yang pernah menjabat cukup lama sebagai salah satu pengurus Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan setelah itu menjadi salah satu anggota Dewan Penasehat Kadin Indonesia dan juga seorang pengusaha, dan juga ketua Pembina ASEAN Competition Insitute (ACI), tingkat daya saing perusahan-perusahaan di dalam negeri khususnya korporasi masih terpasung oleh berbagai kebijakan pemerintah yang tidak menunjang, jadi bukan hanya masalah satu kebijakan saja, seperti tidak cukup tersedianya tenaga listrik, jalan, dan
10
prasarana transportasi dan pelabuhan. Pernyataan ini mau mengindikasikan bahwa kurangnya energi dan infrastruktur merupakan dua kendala utama yang dihadapi oleh industri Indonesia, dan ini berurusan langsung dengan kebijakan energi (Kementerian energy) dan kebijakan infrastruktur (Kementerian PU). Masih menurut pendapatnya, ketidaktersediaan sarana penunjang untuk perusahaanperusahaan industri tersebut telah mengakibatkan sulitnya modal mengalir ke industri, khususnya dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Padahal keberadaan PMA di Indonesia (seperti di negara-negara berkembang pada umumnya), khususnya dari perusahaan-perusahaan global sangat penting bagi pembangunan industri nasional pada khususnya dan pembangunan ekonomi Indonesia pada umumnya, terutama karena PMA membawa teknologi-teknologi terkini, peluang pasar ekspor karena pada umumnya perusahaan-perusahaan global sudah memiliki jaringan perdagangan global yang sangat besar, dan pengetahuan mengenai manajemen dll.
Sebuah berita di Harian Kompas (Ekonomi, Kamis, 23 Mei 2013, halaman 18) mengenai laju pertumbuhan industri di Indonesia dengan judul “Laju Industri Dikoreksi” bisa memberikan suatu gambaran yang sangat jelas mengenai perlunya kebijakan-kebijakan non-industri sejalan atau mendukung kebijakan industri. Di harian tersebut dikatakan bahwa pemerintah mengoreksi laju pertumbuhan sektor industri pengolahan tahun 2013 dari yang sebelumnya ditargetkan sebesar 7,14 persen menjadi 6,5 persen (versi Kementerian Perindustrian). Koreksi ini karena ada berbagai kendala yang tidak semuanya menjadi tanggung jawab Menteri Perindustrian, yakni mulai dari persoalan berbagai regulasi (yang bisa regulasi industri atau regulasi PMA, atau regulasi perdagangan luar negeri) yang menciptaka distorsi-distorsi, tingkat efisiensi yang rendah dalam proses pengolahan, tingkat suku bunga yang tidak kondusif, hingga nilai tukar rupiah yang melemah belakangan ini. Lebih lanjut menurut berita tersebut, akibat masalahmasalah tersebut, banyak pelaku industri menunda realisasi kegiatan usahanya (investasi atau perluasan produksi). Berita itu juga mengatakan bahwa Kementerian Perindustrian telah mengusulkan adanya peninjauan soal
Untuk memberikan gambaran yang lebih spesifik, berikut ini adalah kasus industri agro, yang dipilih sebagai sebuah ilustrasi karena industri ini merupakan atau harus sebagai industri utama unggulan Indonesia karena Indonesia adalah sebuah negara agraris yang besar dalam hal luas tanah yang subur, jumlah pekerja yang sangat banyak, dan komoditas pertanian yang sangat bervariasi. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 5, untuk meningkatkan volume maupun kualitas produksi industri agro, ada tiga kebijakan yang harus harmonis, yakni kebijakan industri dengan sasaran industri agro, kebijakan pertanian dengan sasaran sektor pertanian dan kebijakan perdagangan dengan sasaran ekspor dan impor komoditas pertanian. Sebagai kasus nyata adalah masalah yang dihadapi oleh industri susu seperti yang dijelaskan secara garis besar di Box 1 dan Box 2. Kasus pertama tidak hanya berurusan dengan kebijakan industri, tetapi juga dengan kebijakan perdagangan dan kebijakan pertanian yang tidak mendukung perkembangan industri susu, yang merupakan bagian dari industri agro. Dari sisi kebijakan industri, industri susu perlu dukungan untuk bisa meningkatkan volume produksinya dengan daya saing tinggi. Dari sisi kebijakan pertanian, peternak sapi perlu dibantu agar bisa meningkatkan volume produksinya untuk memenuhi kebutuhan industri susu. Sedangkan dari sisi kebijakan
11
Programme
fasilitas pemberian keringanan pajak (umum disebut tax holida ) dengan tujuan mendorong pertumbuhan industri permesinan. Fasilitas tersebut selama ini diberikan kepada industri pionir dengan jumlah minimal investasi sebanyak Rp 1 triliun, dan nilai investasi di kelompok industri tersebut tidak sebesar itu sehingga selama ini kelompok industri tersebut tidak mendapatkan fasilitas keringanan pajak tersebut.
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Kurangnya kehadiran PMA pada gilirannya mengakibatkan daya saing industri nasional menjadi lemah, dan hal ini yang telah menghambat ekspor produk manufaktur Indonesia selama ini. Karena itu, menurut Pardede, untuk meningkatkan daya saing industri Indonesia perlu terciptanya lingkungan bagi tumbuh dan berkembangnya industri yang dimulai dengan program pemerintah untuk lebih berani membiayai walaupun dalam kondisi anggaran defisit untuk pembangunan listrik, jalan-jalan, pelabuhan, dan sarana infrastruktur lainnya (2011).
produk-produk kayu impor maupun di pasar regional atau global. Sedangkan dari kebijakan kehutanan, perlu dukungan atau insentif agar hutan rakyat yang ada bisa tetap memasok kayu ke industri kayu sesuai kebutuhan. Bahkan sebenarnya di dalam kasus ini, kebijakan perdagangan internasional juga bisa sangat berperan: apabila kesediaan bahan baku kayu di dalam negeri habis atau kurang, impor bahan baku kayu menjadi satu-satunya pilihan tersisa untuk paling tidak mempertahankan volume produksi kayu Indonesia, dan opsi ini bisa menjadi sangat menarik apabila biaya impor atau harga kayu dari luar negeri relatif murah dengan kualitas yang lebih baik dari kayu-kayu di dalam negeri.
Programme
memberi kesempatan kepada industri susu
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
perdagangan, impor susu perlu dibatasi agar
perdagangan bebas baik dalam konteks ASEAN
dalam negeri berkembang, tentu selama masih ada waktu mengingat bahwa Indonesia ikut menandatangani
banyak
kesepakatan
maupun APEC, atau bilateral. Kasus kedua mengenai industri kayu yang kekurangan bahan baku kayu, yang berarti berurusan dengan kebijakan industri dan kebijakan
pertanian
(atau
khususnya
kehutanan). Dari kebijakan industri, industri kayu perlu didukung agar bisa meningkatkan volume produksinya dengan daya saing tinggi agar bisa unggul dalam persaingan dengan
Gambar 5: Sistem Kerja Industri Agro
Produksi produk jadi di LN*
Panen (sumber bahan baku) Mesin & peralatan
Pupuk
Distribusi
Produksi produk jadi di DN*
Pestisida
Promosi, pemasaran, distribusi Pasar
LN*
Pesaing-pesaing dari negara-negara lain
Keterangan: * DN: dalam negeri; LN: luar negeri
12
DN*
Impor
Programme
Box 1: Pengusaha Minta Pemerintah Susun Kebijakan Industri Susu. Kerek Daya Saing Produk Lokal
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Ketua Dewan Persusuan Nasional, Teguh Budiana, meminta pemerintah menyususn kebijakan industri susu nasional. Alasannya, peternak sapi kini mengahadapi tantangan yang sangat berat terkait dengan pasar bebas yang niscaya membuat mereka keberatan kala bersaing dengan produk impor karena minim perlindungan. Lebih jauh lagi Teguh mengungkapkan, saat ini harga susu yang dihasilkan oleh peternak lokal masih dianggap rendah. Para produsen industri susu masih membeli dengan harga yang tak menguntungkan peternak, sementara harga pakan terus naik. Teguh menuturkan saat ini harga susu peternak lokal hanya dihargai Rp 4.000/liter. Padahal harga itu jauh di bawah rata-rata, sementara harga pakan ternak naik yang harus ditanggung peternak. Ia meminta kenaikan harga susu di kalangan peternak lokal naik hingga 11,3 persen.”Kita menuntut harga susu dinaikan 11,3 persen, yaitu menjadi Rp 4300/liter untuk IPS (Industri Pengolahan Susu) dari total solid. Kita saat ini hanya Rp 4000/liter. Harga harus distandarisasi oleh masing-masing pabrik agar mempunyai harga yang sama. Menteri memberikan komitmen untuk mediasi ini,” tuturnya. Dalam kesempatan yang sama,Teguh juga mengungkapkan saat ini banyak peternak sapi perah berpikiran pragmatis. Mereka rela untuk menjual dan memotong sapinya karena tergiur harga daging sapi yang tinggi di tingkat konsumen mencapai Rp 95.000/Kg. “Harga daging sapi naik berdampak pada sapi perah peternak yang dijual untuk dipotong,” cetus Teguh. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolah Susu (AIPS) Syahlan Siregar mengatakan, selama ini enam perusahaan anggota AIPS konsisten menyerap susu produksi lokal meski harganya lebih tinggi dari susu impor. Produsen susu olahan dalam negeri membeli susu produksi lokal pada kisaran harga Rp3.800—4.100 per liter, sementara harga susu impor sudah mencapai Rp3.700 per liter. “Harga pembelian susu produk dalam negeri tersebut belum termasuk biaya pemrosesan seperti pasteurisasi yang diperkirakan mencapai Rp300—400 per liter,” kata dia. Menurut Syahlan, kebutuhan susu untuk industri dan perusahan besar mencapai sekitar 1.600 1.700 ton per hari sehingga susu dari peternak lokal terserap semuanya. “Namun yang menjadi kendala sampai saat ini adalah peternak susu lokal tidak mampu memenuhi permintaan industri dan perusahaan susu besar,” kata dia. Senada dengan Syahlan, Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Enny Ratnaningtyas mengatakan bahwa sebagian besar bahan baku susu olahan diimpor dari Selandia Baru dan Australia dengan presentase impor sekitar 75% dari total kebutuhan industri per tahun. Dari enam perusahaan besar anggota AIPS, imbuh dia, hanya lima yang mampu menyerap susu lokal. Kelima anggota tersebut adalah PT Nestle Indonesia, PT Frisian Flag Indonesia (FFI), PT Sari Husada Tbk, PT Indolakto, dan PT Ultra Jaya Milk Industry Tbk. Masalah lain dalam proses produksi susu lokal adalah kandungan bakteri yang masih sangat tinggi. Kondisi ini terjadi karena minimnya fasilitas infrastruktur untuk produksi susu yang ideal di kalangan peternak. “Masih banyak kandungan bakteri yang membuat produksi susu peternak tak layak diproses industri. Kita harus cari cara untuk turunkan jumlah bakteri produksi susu agar bisa diolah,” kata Direktur Pengolahan, Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP), Kementerian Pertanian Nazarudin. Di sisi lain, Nazarudin mengutarakan, untuk menggenjot produksi susu diperlukan pembinaan pada sentrasentra produksi susu. “Pasalnya, pemeliharaan ternak sapi, khususnya sapi perah, membutuhkan keahlian khusus yang berbeda dengan perlakuan ternak yang lain,” terang dia. Menurut Nazarudin, jumlah produksi susu sapi di Indonesia rata-rata hanya 10-12 liter per ekor per hari. Padahal, potensi produksi susu sapi jika dikelola maksimal bisa mencapai 40 liter per ekor per hari. “Sapi perah itu lebih sensitif, perlakuan harus lebih baik, termasuk penyediaan pakan. Penyediaan pakan sangat penting. Sebanyak 70 persen biaya produksi usaha sapi perah adalah untuk pemenuhan pakan,” ujar Nazarudin Jumat, 22/02/2013 http://www.neraca.co.id/harian/article/25376/Pengusaha.Minta.Pemerintah.Susun.Kebijakan.Industri.Susu
13
Programme
Box 2: Industri Kayu Bangkrut
Akibat sulitnya memperoleh bahan baku kayu menyusul susutnya areal hutan rakyat di
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Jambi, industri perkayuan di provinsi tersebut banyak yang bangkrut. Dari 104 perusahaan yang mendapat izin pengolahan kayu, saat ini tinggal 43 perusahaan. Itu pun yang sebagian yang masih aktif berproduksi. Sedangkan sebagian lainnya hampir mati karena pasokan kayunya tidak memcukupi. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Seksi Penatausahaan Hasil Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Desneri Didirianti. Menurutnya, masalah kekurangan bahan baku kayu tersebut disebabkan karena banyak perusahaan kayu tidak memiliki areal tanaman kayu. Akibatnya kegiatan pembuatan kayu mereka sangat tergantung sepenuhnya pada pasokan kayu dari hutan rakyat. Padahal, luas hutan rakyat di Provinsi Jambi semakin menyusut karena banyak pemilik lahan yang hanya ingin menebang pohon, tanpa melakukan penanaman kembali. Selain itu, masih menurut Kepala Seksi itu, banyak pula dari areal tersebut yang telah berubah fungsi menjadi kebun sawit dan karet. Dalam perkataan lain, penyebab utama kelangkahan bahan baku kayu yang sedang dialami industri kayu di Provinsi Jambi adalah pasokan bahan baku yang tak berkelanjutan karena tidak ada peremajaan, dan tentu jika hal seperti ini terus berlangsung, dapat dipastikan industri kayu di provinsi tersebut akan punah karena tidak ada lagi bahan baku; terkecuali menggantungkan pada impor kayu baik dari luar Jambi maupun dari luar negeri. Akan sangat mungkin dikemudian hari industri kayu di Provinsi Jambi akan tergantung pada impor bahan baku kayu melihat kenyataan bahwa kualitas kayu-kayu dari hutan rakyat umumnya juga rendah. Ini karena petani memanen kayu yang berusia muda sehingga nilai jual kayu pun rendah dan tidak layak ekspor. Sejauh ini, baru delapan perusahaan kayu di provinsi tersebut yang sudah memiliki sertifikat sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), dan pemilikan sertifikat semacam ini sekarang ini, dan terutama di masa depan, dalam era perdagangan bebas dan globalisasi akan menjadi sangat krusial. Akan banyak negara menolak ekspor produk-produk kayu dari luar taanpa bisa menunjukkan kepemilikan SVLK. Sedikitnya perusahaan kayu yang memiliki sertifikat tersebut karena informasi yang terbatas. Banyak perusahaan kayu di wilayah itu belum mengetahui urgensi mengurus SVLK. Padahal, jika memanfaatkan kayu secara lestari dan berkelanjutan, serta mengurus legalitas kayu, pemilik kayu bisa mendapatkan keuntungan karena nilai jual lebih tinggi, Salah satu perusahaan yang menyediakan kayu sebagai bahan baku bagi industri kayu di Provinsi Jambi adalah PT Wira Karya Sakti, yang mengelola hutan tanaman industri seluas 293.000 hektar di lima (5) kabupaten di provinsi tersebut. Perusahaan ini menyisihkan hampir 300 hektar untuk pembibitan tanaman dengan tujuan agar pascapanen bibit akasia dan eukaliptus dapat ditanam kembali, yang artinya pemanfaatan kayu berkelanjutan. Hasil panenan kayu dipasok ke PT Lontar Papyrus Pulp and Paper, salah satu perusahaan pembuat kayu di Jambi yang hingga saat ini masih aktif beroperasi, yang berlokasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Sumber: Kompas, Nusantara, Jumat, 24 Mei 2013, halaman 22.
14
Sesuai Perpres 28 Tahun 2008 tentang kebijakan industri nasional, pemerintah telah menentukan visi 2025, yaitu Indonesia menjadi negara industri tangguh di dunia. V isi ini memiliki implikasi yang tidak mudah dicapai, karena industri dikatakan tangguh di dunia apabila bisa memenangkan persaingan global (di pasar dalam negeri maupun luar negeri), dan ini terefleksi oleh pangsa pasarnya yang tidak kecil. Dan, seperti yang telah dibahas sebelumnya, untuk bisa menjadi sebuah industri tangguh, perlu kemampuan produksi dan daya saing.
Dalam menghadapi pasar tunggal di ASEAN tahun 2015 nanti, orientasi kebijakan industri nasional harus berubah: tidak lagi berorietasi jangka pendek seperti memberikan subsidi dan intensif pajak (yang sekedar untuk menarik minat investor, khususnya asing), namun berorientasi jangka panjang yakni meningkatkan daya saing industri nasional, dengan atau tanpa investor asing.
5.2 Beberapa Kebijakan Penting yang Berorientasi Daya Saing
4.3.2 Misi Adapun misi dari kebijakan industri nasional adalah sebagai berikut: - Wahana pemenuhan kebutuhan masyarakat; - Dinamisator pertumbuhan ekonomi; - Pengganda kegiatan usaha produktif; - Wahana memajukan teknologi nasional; - Wahana modernisasi kehidupan; - Pilar penopang pertahanan dan keamanan negara; dan - Andalan pembangunan industri yang berkelanjutan;
4.3.3 Sasaran Kebijakan industri nasional menentukan tiga sasaran, yakni:
5.1 Berorientasi Daya Saing
juga
- Industri manufaktur telah mencapai taraf Industri Kelas Dunia; - Seimbangnya sumbangan UMKM dan UB di dalam sektor industri terhadap PDB; dan - Kuatnya jaringan kerjasama (networking) antara UMKM dan UB, serta industri di dunia.
5.2.1 Pengembangan Kawasan Industri Kebijakan industri yang mendukung/ mempercepat pengembangan kawasan industri sangat diperlukan, karena kawasan industri atau dalam sebutan lainnya, sentra atau klaster, merupakan, paling tidak secara teori, faktor pertumbuhan industri paling efektif yang antara lain disebabkan oleh adanya ‘efisiensi aglomerasi’. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang kawasan industri, pembangunan kawasan industri ditujukan untuk, diantaranya, mengendalikan pemanfaatan ruang seraya meningkatkan daya saing industri dan investasi serta memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur yang terkoordinasi antar sektor (Kompas, Opini, Selasa, 24 Juli 2012, halaman 6 ). Menurut Colliers International yang dikutip dari Harian Kompas (Senin, 23 Juli 2012, halaman 1), jenis-jenis industri di kawasan industri di Indonesia pada tahun 2012 didominasi oleh industri otomotif sekitar 58,6 persen, disusul
15
Programme
4.3.1 Visi
5. Kebijakan Industri Nasional untuk Menyongsong MEASEAN 2015
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
4.3. Visi, Misi dan Sasaran 2025
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
kemudian berturut-turut oleh industri minyak dan gas 5,9 persen, industri baja 3,1 persen, industri bahan bangunan 2,9 persen, industri makanan dan minuman 2,4 persen, Industri tekstil 2,3 persen, industri plastik 1,5 persen, industri farmasi 1 persen, industri logam 0,3 persen, dan lainnya. Menurut wilayah, kawasan industri di pulau Jawa jauh lebih maju dibandingkan di luar Jawa. Ada kecenderungan pembangunan kawasan industri di pulau Jawa lebih pesat dibandingkan di wilayah lain di tanah air, terutama di kawasan timur. Menurut harian Kompas (Rabu, 25 Juli 2012, halaman 1), di pulau Jawa banyak kawasan industri baru, termasuk rencana pemerintah membangun satu kawasan industri di Karawang dengan luas lahan mencapai 3.000-5.000 hektar. Sudah ada sejumlah industri dari Jepang yang ingin masuk, yang, antara lain, akan menggarap industri elektronik, permesinan, dan otomotif. Untuk kawasan industri di luar Jawa, kendalanya terutama adalah infrastruktur pendukung yang penyediaannya masih membutuhkan waktu antara 1 hingga 2 tahun, dan khususnya wilayah Sumatera yang bertetangga dengan Malaysia dan Singapura harus mempercepat pembangunan kawasan industri mengingat bahwa kedua negara tetangga tersebut membangun kawasan industri di Johor, yang akan menjadi pesaing Indonesia khususnya Sumatera. Jika Sumatera terlambat, bisa jadi banyak industri dengan pasar Indonesia sebagai tujuan utama mereka namun berlokasi/berproduksi di kawasan industri di Johor (Kompas, Rabu, 25 Juli 2012, halaman 1). Di kawasan timur Indonesia (KTI), kondisinya lebih parah lagi: daerah-daerah di KTI sejak awal tidak memiliki platform pengembangan industri maupun kawasan industri yang fokus mengembangkan rantai
16
pasokan regional atau global dengan industri di banyak negara lain, khususnya di negaranegara tetangga seperti Malaysia, China, Jepang, Singapura dan Korea Selatan. Selama ini KTI lebih fokus pada eksploitasi sumber daya alam dan mengekspornya mentah-mentah tanpa upaya pengolahan terlebih dahulu di dalam negeri. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Rauf (2012) menunjukkan bahwa kawasan industri yang ada di KTI tidak sepenuhnya kegiatan industri. Misalnya di kawasan industri Makassar (Kima), yang 60 persen sahamnya dimiliki oleh BUMN, yang diorientasikan menjadi kawasan industri terintegrasi terbesar di KTI hanya diisi oleh kegiatan perdagangan. Kegiatan manufaktur di Kima hanya sebatas menghasilkan berbagai macam barang setengah jadi dengan rantai nilai yang pendek. Di dalam kawasan industri itu belum ada (atau kalau ada hanya sedikit sekali) perusahaanperusahaan yang menghasilkan barang-barang jadi untuk konsumen. Yang lebih disayangkan lagi adalah bahwa Kimia selama ini tidak fokus pada pengembangan industri-industri berbasis SDA (yang mana KTI sangat kaya akan SDA) maupun teknologi tinggi. Jadi, kebijakan industri yang mendukung pengembangan kawasan industri harus merupakan salah satu bagian sangat penting dari kebijakan atau upaya percepatan industrialisasi di KTI, yang juga merupakan salah satu bagian sangat penting dari kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI), yang tujuan utamanya adalah untuk mengakselerasi proses transformasi ekonomi nasional kea rah industri berbasis SDA untuk daerah di luar pulau Jawa dan industri berteknologi tinggi untuk daerahdaerah di pulau Jawa. Bentuk-bentuk kebijakan industri yang diperlukan untuk mendukung atau
KWI-2011
KWII- 2011
KWIII-2011
KWIV-2011
KWI-2012
KWII-2012
BOGOR TANGERANG KARAWANG BEKASI SERANG
96,84 95,29 62,64 98,17 74,71
112,21 113,16 68,95 102,88 78,49
110,23 117,68 91,05 142,32 76,70
108,33 117,56 108,22 150,33 83,33
107,42 116,4 116,96 164,75 85,16
105,65 114,15 127,51 175,14 107,53
RATA-RATA
85,53
95,14
107,60
113,55
118,14
126,00
PERTUMBUHAN (%) KWARTALAN TAHUNAN -1,0 -5,6 -1,9 0,9 9,0 84,9 6,3 70,2 26,3 37,0 6,6
32,4
Sumber: Colliers International (Kompas, Senin, 23 Juli 2012, Halaman 1)
mempercepat pengembangan kawasan industri bukan saja insentif, bantuan modal, atau lainnya yang bisa mengurangi biaya pembentukannya, tetapi juga dalam bentuk kemudahan perizinan. Menurut sebuah berita di harian Kompas (Rabu, 25 Juli 2012, halaman 1), investor-investor industri menginginkan kawasan industri yang bukan hanya lengkap dengan infrastruktur dan sarana penunjang, tetapi juga kemudahan perizinan. Namun, seperti yang diberitakan di harian Kompas lainnya (Senin, 23 Juli 2012), perizinan kawasan industri masih sangat rumit dan membutuhkan biaya tinggi. Hal ini disebabkan antara lain oleh masih rumit dan mahalnya proses pembebasan lahan (Tabel 3), dan masalah ini memang hingga saat ini masih merupakan salah satu kendala serius pengembangan kawasan indusri di banyak daerah di tanah air. Memang hingga berita ini dilaporkan oleh harian Kompas sejumlah daerah sudah menerapkan pelayanan terpadu satu pintu seperti layaknya di luar negeri. Namun perizinan di banyak daerah masih perlu pembenahan karena menyangkut aturan rencana umum tata ruang dan wilayah. Selain itu, perlu aturan penyeragaman tentang standar perizinan bagi perusahaan-perusahaan industri di kawasan industri. Walaupun Peraturan Pemerintah No.24/ 2009 tersebut mengharuskan perusahaan-perusahaan industri masuk ke kawasan industri, namun
masih banyak pemerintah daerah yang masih saja memberikan izin pendirian industri di luar kawasan industri yang sudah ditetapkan. Jadi, penyeragaman tentang standar perizinan yang dimaksud di atas itu bisa dianggap sebagai salah satu tindakan konkrit dari kebijakan industri nasional yang terkait dengan pengembangan kawasan industri. Karena perkembangan suatu kawasan industri juga sangat tergatung pada ketersediaan infrastruktur dasar seperti jalan, listrik (pasokan energy), fasilitas transportasi (laut, darat atau udara), lembaga riset, jasa penyedia tenaga kerja, berbagai lembaga termasuk pelatihan, pembiayaan, pemasaran, dan penyediaan sarana dan prasarana industri lainnya, maka jelas bahwa kebijakan industri dalam kaitan ini harus harmonis dengan terutama kebijakan infrastruktur, kebijakan tata ruang dan wilayah, dan kebijakan energi selain tentu dengan kebijakan-kebijakan dari departemendepartemen terkait lainnya.
5.2.2 Peningkatan Kemampuan Teknologi dan Inovasi Sudah umum dikatakan bahwa untuk bisa unggul di dalam persaingan global sekarang ini dan terutama di masa depan, kemampuan teknologi dan inovasi (dalam produk maupun produksi) merupakan suatu keharusan.
17
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
WILAYAH
Programme
Tabel 3: Perkembangan Harga Lahan Industri (dollar AS/M2)
LIPI, Serpong dan perguruan tinggi ke
karena itu kebijakan industri nasional harus
perusahaan.
Programme
penelitian dan pengembangan seperti BPPT,
peringkat rendah di dalam aspek ini. Oleh terfokus pada peningkatan kemampuan setiap
Dalam hal ini, kementerian perindustrian
perusahaan, tidak saja UB tetapi juga UMKM,
tentu harus bekerjasama dengan Kementerian
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Sayangnya selama ini Indonesia termasuk
di setiap kelompok industri, dalam teknologi
Ristek, Kementerian Koperasi dan UKM,
dan inovasi. Berbagai cara bisa ditempuh,
Kementerian
diantarnya adalah memberikan insentif pajak
Keuangan, dan departemen-departemen
atau lainnya pada tingkat perusahaan agar
lainnya yang terkait.
Pendidikan,
Kementerian
mempunyai niat besar untuk terus menerus melakukan inovasi, bantuan atau kemudahan pendanaan, perlindungan hak cipta, program
5.2.3 Hilirisasi Industri
pelatihan terhadap pekerja (dan pemilik
Diperlukan kebijakan industri yang
dalam kasus UMKM), sistem penghargaan yang
mendukung hilirisasi industri di dalam negeri,
menarik (seperti misalnya memberikan bonus
baik hilirisasi industri ekspor maupun hilirisasi
atau piagam penghargaan) bagi pekerja di
industri impor. Yang pertama itu diperlukan agar
dalam perusahaan yang menghasilkan sebuah
Indonesia dapat menikmati lebih besar nilai
inovasi, kemudahan akses ke informasi,
tambah dari ekspor, atau agar dapat
bantuan teknis, pendampingan, dan peraturan
memberikan lebih besar nilai tambah bagi
yang menciptakan terjadinya peralihan
ekspor Indonesia, mengingat masih besarnya
teknologi dari UB ke UMKM, dari perusahaan-
porsi ekspor bahan mentah yang memiliki nilai
perusahaan asing (PMA) ke perusahaan-
tambah rendah dalam struktur ekspor nasional.
perusahan lokal, dan dari lembaga-lembaga
Seperti telah dijabarkan sebelunya di Bab 2, dari
Gambar 6: Exspor CPO Indonesia 2012 dalam Volume (juta ton) dan Nilai (miliar dollar AS)
Sumber Kementerian Pertanian (Kompas, Sabtu, 10 November 2012)
18
sebagian besar adalah dari kategori industri
Sumatera dan Jawa industri hilir CPO kelihatan
hulu, atau bahan baku yang tidak diolah lebih
mulai meningkat. Gabungan Industri Minyak
lanjut seperti bahan bakar mineral, dan lemak
Nabati Indonesia (GIMNI) memperkirakan
dan minyak hewan nabati, bijih, kerak dan abu
bahwa aksi korporasi investor asing dan
logam.
domestik
di kelompok industri ini bisa
Sedangkan hilirisasi industri impor
menembus Rp 20 triliun pada tahun 2015 nanti.
diperlukan agar Indonesia dapat mengurangi
Masih menurut GIMNI, industri pengolahan
ketergantungan impor bahan baku dan barang
CPO di Malaysia kalah bersaing dengan pabrik-
modal yang hingga detik ini masih sangat
pabrik CPO di Indonesia yang lebih modern dan
besar. Kebijakan industri untuk mendukung
efisien (Kompas, Sabtu, 10 November 2012,
hilirisasi industri impor sama seperti kebijakan
halaman 18). Jadi Indonesia punya sebuah
substitusi impor pada era Orde Baru, yang
peluang besar untuk mengembangkan industri
tujuannya memang untuk menyubstitusi
hilir CPO. Data ekspor CPO menunjukkan
barang impor dengan barang serupa buatan
bahwa ekspor CPO Indonesia baik dalam
dalam negeri. Menurut data BPS, 10 komoditas
volume maupun nilai cenderung mendurun
tertinggi impor Indonesia adalah sebagai
(Gambar 6). Walaupun ada faktor-faktor
berikut: mesin dan peralatan mekanik, mesin
penyebab lainnya seperti harga harga CPO
dan peralatan listrik, besi dan baja, kendaraan bermotor dan bagiannya, plastik dan barang dari plastik, bahan kimia organik, barang dari besi dan baja, kapal terbang dan bagiannya, serealia, dan pupuk (Kompas, Ekonomi, Kamis, 29 November 2012, halaman 19). Kebijakan ini (umum juga disebut kebijakan penguatan rantai nilai, atau
(berikut ongkos kapal dan asuransi) di Rotterdam, Belanda, merosot dari 1.182 dollar AS (Rp 11,3 juta) per ton pada April 2012 menjadi 837 dollar AS (Rp 8 juta) per ton pada Oktober 2012 (Kompas, 10 November 2012), besar kemungkinan meningkatnya kegiatan industri hilir CPO di dalam negeri turut serta berperan.
kebijakan pendalaman struktur industri) harus dengan pendekatan klaster, dan agar berhasil harus ada harmonisasi antara
Sedangkan krusialnya harmonisasi antara kebijakan
industri
dengan
kebijakan
kebijakan industri dengan terutama kebijakan
infrastruktur karena fakta selama ini
perdagangan luar negeri, kebijakan pertanian,
menunjukkan bahwa keterbatasan atau
kebijakan infrastruktur, dan kebijakan
buruknya kondisi infrastruktur dan logistik
keuangan/fiskal sangat krusial. Misalnya
perdagangan
dalam kasus ekspor minyak kelapa sawit
industrialisasi pada umumnya dan upaya
(CPO). Penggunaan instrumen fiskal bea
mengintegrasikan pabrik-pabrik di Indonesia
keluar untuk mengendalikan ekspor CPO
dengan mata rantai pasokan regional atau
dalam beberapa tahun belakangan ini mampu
global. Kendala ini lebih terasa di luar Jawa
menarik investor (asing maupun dalam
terutama di Indonesia kawasan timur
mempersulit
proses
19
Programme
negeri) industri hilir CPO; terutama di
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
10 komoditas tertinggi ekspor indonesia,
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
5.2.4. Peningkatan Standarisasi Produk
perindustrian dengan sejumlah kebijakan terkait lainnya termasuk kebijakan pertanian, kebijakan
Industri Bukan lagi rahasia umum bahwa dalam era perdagangan bebas sekarang ini dan
ristek, kebijakan pendidikan dan kebijakan perdagangan luar negeri, kebijakan fiskal.
dikemudian hari, standardisasi produk menjadi salah satu keharusan. Akan semakin
5.2.5 Modernisasi Pabrik-pabrik
sulit barang Indonesia masuk ke negaranegara lain jika tidak memenuhi standarstandar regional/global yang berlaku. Misalnya dalam kasus industri pangan, dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 nanti akan diterapkan standardisasi pangan akan diterapkan. Implikasinya adalah bahwa semua perusahaan-perusahaan di industri makanan dan minuman di tanah air sudah harus mempersiapkan diri untuk mengikuti persyaratan tersebut, dan disini sangat diperlukan
sokongan
dari
terutama
Kementerian Perindustrian. Yang paling
Banyak komoditi atau barang industri yang mana sebenarnya Indonesia mempunyai keunggulan atas negara-negara lain karena antara lain bahan baku berlimpah dan potensi sumber daya manusia (SDM) sangat banyak, seperti misalnya industri gula, industri alas kaki dan industri tekstil dan pakaian jadi. Namun dalam beberapa dekade terakhir ini Indonesia cenderung semakin merosot daya saingnya untuk tiga kelompok industri tersebut yang dapat dilihat jelas dengan semakin besar impor Indonesia untuk ketiga produk itu.
dikuatirkan adalah belum siapnya UMKM,
Salah satu penyebabnya adalah sebagian
padahal di Indonesia saat ini ada sekitar 1 juta
besar pabrik-pabrik yang ada di dalam negeri
UMKM di industri makanan dan minuman
sudah sangat tua dengan mesin-mesin yang
(Kompas, Ekonomi, Kamis, 4 Oktober 2012,
sudah seharusnya diganti dengan mesin-mesin
halaman 17).
baru. Misalnya industri sepatu: menurut berita di harian Kompas (Ekonomi, Jumat, 31 Mei 2013,
Langkah-langkah praktis yang diperlukan dari Kementerian Perindustrian untuk meningkatkan produk Indonesia yang memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah antara lain: pendampingan, bantuan
halaman 20), sepatu impor saat ini menguasai sekitar separuh dari total pasar domestik, yang nilainya rata-rata per bulan mencapai sekitar Rp 2,7 triliun. Alasan semakin besarnya pangsa sepatu impor di pasar Indonesia adalah karena
teknis, akses ke informasi, pelatihan, bantuan
perusahaan-perusahaan sepatu luar negeri
pendanaan, dan upaya-upaya lainnya agar
memiliki sejumlah keunggulan, termasuk
mempermudah
UMKM
menggunakan mesin-mesin moderan dengan
mendapatkan sertifikasi yang berkaitan
kandungan teknologi terkini, selain memiliki
dengan standardisasi, termasuk akses ke
desain produk dan bahan baku yang lebih baik,
lanoratorium standardisasi dengan biaya yang
dan
terjangkau.
pemerintah-pemerintah mereka dan suku bunga
khususnya
Dalam kasus industri pangan, tentu harus ada
20
harmonisasi
antara
kebijakan
mendapatkan
subsidi
ekspor
dari
pinjaman yang rendah (sehingga mereka bisa menjual dengan harga relatif rendah).
pabrik alas kaki di dalam negeri masih
sejak berlakunya otonomi daerah), juga karena
menggunakan mesin-mesin di atas 20
mesin-mesin yang sudah tua (rata-rata di atas
tahun, yang jelas tidak memungkinkan
20 tahun). Penggunaan mesin-mesin berusia
Indonesia bersaing dengan negara-negara
tua mengakibatkan tingginya konsumsi energi
kompetitor yang mengadopsi teknologi
dan menurunkan produktivitas karena
baru.
rendahnya kecepatan mesin dan kualitas
Menurut Kementerian Perindustrian
produk yang dihasilkan. Menurut data dari
(Kompas, 31 Mei 2013), impor produk alas
Jetro, yang dikutip di harian Kompas (Ekonomi,
kaki selama tahun 2012 tercatat mencapai
Senin, 25 Maret 2013, halaman 18), persentase
387 juta dollar AS. Jumlah ini naik sekitar
jumlah mesin berumur lebih dari 20 tahun di
8,5 persen dibandingkan dengan tahun
jenis industri pemintalan sebanyak 82,1 persen
sebelumnya yang mencapai 357 juta dollar
dari keseluruhan mesin yang digunakan oleh
AS. Diperkirakan impor alas kaki, khususnya
industri itu. Sementara mesin berumur lebih
sepatu, akan terus meningkat setiap
dari 20 tahun di jenis industri perajutan
tahunnya mengingat bahwa modernisasi
tercatat sebesar 84,1 persen; di industri tahap
industri memerlukan waktu yang cukup
penyelesaian produk sebanyak 93,2 persen;
lama.
dan di industri pakaian jadi 78 persen.
Industri gula nasional merupakan
Sama seperti untuk industri gula,
contoh konkrit lainnya. Fakta menunjukkan
pemerintah
bahwa Indonesia sangat tergantung pada
restrukturisasi meremajakan mesin dan
impor gula, dengan alasan yang sama seperti
peralatan produksi (umum juga disebut
yang dialami oleh industri sepatu yang
program modernisasi atau revitalisasi) untuk
dibahas sebelumnya di atas, yakni sebagian
industri TPT yang diluncurkan sejak tahun 2007.
besar dari pabrik-pabrik gula di Indonesia
Pada tahun 2012 tercatat ada 142 perusahaan
yang didirikan pada masa penjajahan
TPT yang memanfaatkan dana program itu
Belanda
belum
dengan nilai mencapai Rp 127,73 miliar. Tahun
menggantikan mesin-mesin mereka dengan
ini hingga 21 Maret 2013, Kementerian
mesin-mesin yang lebih efisien dan
Perindustrian sudah menerima pendaftaran 64
produktif dan yang menghasilkan gula
perusahaan TPT dengan perkiraan nilai bantuan
dengan kualitas lebih baik.
Rp 80,45 miliar.
sampai
sekarang
juga
memiliki
program
Contoh lainnya adalah industri tekstil
Kebijakan ini bukan saja harus diteruskan,
dan produk tekstil (TPT) yang juga
namun juga harus terus disosialisasikan
menghadapi berbagai kendala serius yang
khususnya ke perusahaan-perusahaan TPT dari
bisa mengancam keberlangsungan produksi
kategori UMKM di seluruh pelosok tanah air
dan ekspor TPT Indonesia ke depan.
agar mereka juga mendapatkan kesempatan
Hambatan-hambatan tersebut selain
untuk
mahalnya dana pinjaman dan mahalnya dan
mereka.
memodernisasikan
mesin-mesin
21
Programme
sulitnya mendapatkan izin usaha (terutama
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Sementara itu, sebagian besar pabrik-
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme
5.2.6 Mendorong Ekspor Produk Unggulan Indonesia
tidak
perlu
berpindah
specialisasi ke produk-produk lain hanya
selama ini) mencapai 54 persen, disusul Eropa sebesar 18 persen dan 15 persen Jepang. Akibat musibah pabrik TPT di Bangladesh baru-baru
semata-mata karena ingin mengikuti tren
ini yang membuat terpuruknya industri TPT di
yang sedang berkembang. Indonesia harus
negara tersebut, secara potensial ini peluang
mempertahankan spesialisasi tradisionalnya
bagi ekspor TPT Indonesia karena beberapa
yang mana Indonesia memiliki keunggulan
pembeli asing sudah mulai mengalihkan
komparatif;
mengembangkan
sebagian impor TPT dari Bangladesh ke
keunggulan kompetitifnya. Produk-produk
sejumlah negara alternatif, diantaranya Viet
spesialisasi tradisional Indonesia adalah
Nam dan Indonesia.
tinggal
antara lain TPT, dan produk ini merupakan
Oleh karena kebijakan industri dan
salah satu ekspor non-migas (manufaktur)
didukung oleh kebijakan perdagangan luar
tradisional Indonesia (Gambar 7).
negeri harus mendukung agar ekspor TPT
Menurut Asosiasi Pertekstilan Indonesia
Indonesia bisa menggarap peluang ini,
(API), yang dikutip dari harian Kompas (Sabtu,
misalnya dengan memberikan lagi fasilitas
18 Mei 2013, halaman 19), saat ini porsi ekspor
kemudahaan impor untuk keperluan/tujuan
TPT Indonesia ke AS (negara tujuan utama
ekspor (KITE). Sebelumnya, pencabutan KITE
Gambar 7: Perkembangan Ekspor dan Impor TPT Indonesia, 2007-2012 (miliar dollar AS)
Sumber: Litbang Kompas (data diolah dari Kementerian Perindustrian)(Kompas, Ekonomi, Sabtu, 18 Mei 2013, halaman 19).
22
sebanyak 5 persen, yakni dari 13,3 miliar dollar
terakhir ini membuat daya saing TPT Indonesia
AS di tahun 2011 menjadi 12,4 miliar dollar AS
selama ini kalah dari TPT V iet Nam dan
di tahun 2012 (Kompas, Sabtu, 18 Mei 2013).
Kamboja karena upah buruh di dua negara anggota ASEAN itu hanya sekitar 80 dollar AS
Tentu pemberian kembali KITE tidak
per bulan. Sementara upah buruh Indonesia
memastikan ekspor TPT Indonesia akan
antara 100 hingga 200 dollar AS. Di industri TPT
dengan sendirinya meningkat, karena industri
Indonesia,
TPT Indonesia memiliki sejumlah kendala,
menyumbang sekitar 20 persen terhadap total
selain banyak pabrik yang masih memakai
biaya produksi (Kompas, Sabtu, 18 Mei 2013).
komponen
upah
buruh
23
Programme
mesin-mesin tua dan upah buruh. Yang
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
telah menurunkan ekspor TPT Indonesia
Programme
Advancing Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Daftar Pustaka Battat, Joseph, Isaiah Frank and Xiaofang Shen (1996), “Suppliers to Multinationals: Linkage Programs to Strengthen Local Companies in Developing Countries”, Foreign Investment Advisory Service Occasional Paper, N° 6, International Finance Idris, Fahmi (2007), “Peningkatan Nilai Tambah Industri Berbasis Sumberdaya Alam”, Jumat, 23 Maret, Setneg, http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content& task=view&id=215&Itemid=76. ISED (2012), India Micro, Small & Medium Enterprises Report 2012, Cochin: Institute of Small Enterprises and Development. Kuwayama, Mikio (2001), “E-commerce and export promotion policies for small-and medium sized enterprises: East Asia and Latin American Experiences”, Comercio Internacional Serie No.13, October, International Trade and Integration Division, Santiago: UN Publication Pardede, Soy Martua (2011), “Kebijakan Strategis Meningkatkan Daya Saing”, Investor Daily, Selasa, 4 Januari, http://www.investor.co.id/home/ Rauf, Muhammad Syarkawi (2012), “Industrialisasi Tanpa Kawasan Industri”, Kompas, Opini, Senin, 3 Desember 2012, halaman 7. Tambunan, Tulus (2009), Development of Small and Medium Enterprises in ASEAN Countries, New Delhi: Readworthy Publications, Ltd. UN-ESCAP (1997), Assistance to Small and Medium-sized Enterprises for Enhancing Their Capacities for Export Marketing, Studies in Trade and Investment 28, New York: UN Publication UN-ESCAP (2010), The Development Impact of Information Technology in Trade Facilitation. A Study by the Asia-Pacific Research and Training Network on Trade, Studies in Trade and Investment 69, New York: United Nations Publication. WB&IFC (2012), Doing Business in Indonesia 2011, Washington, D.C.: The World Bank and International Financial Cooperation. WEF (2012), The Global Competitiveness Report 2012-2013, Geneva: World Economic Forum.
24