Pentingnya Studi Multilingual untuk Menyongsong AFTA 2015 Dr. Dra. Rosida Tiurma Manurung, M.Hum. Fakultas Psikologi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung
Abstract The significance of knowing ASEAN cultures, including multilingual languages, is an effort to accommodate the ever-growing needs to welcome AFTA 2015. From the multilingual study, it is known that the uniqueness, varieties, work ethics, and cultural richness of ASEAN countries can be studied and used as refereces by local HRD to enhance the quality of life and become professional HRD to be employed in foreign companies or industries in Indonesia. Multilingual study can be an alternative to supply competent HRD in introducing ASEAN cultures. Multilingual study refers to the study of variuos languages. Multilingualism is a phenomenon that prevails in a community with several languages. The development of monolingualism to bilingualism and eventually to multilingual is caused by several factors. The developmnt of communication technology, globalization, and education has caused a shift in people’s need in languages and indirectly mixed up languages. Keywords: multilingual study, language interaction, AFTA 2015, professional HRD
I.
Pendahuluan
Kita harus siap menyongsong AFTA 2015, yaitu era dimulainya perdagangan bebas yang tidak mengenal batas wilayah dan batas negara. Dewasa ini, terjadi pergeseran minat budaya dari Amerika, Eropa, dan Jepang ke ASEAN sebagai kekuatan baru. Dengan demikian, pengetahuan tentang ASEAN pun sangat dibutuhkan. Masyarakat Indonesia pun harus dapat menangkap peluang yang ada dengan berkiprah dalam bentuk investasi dan penyediaan SDM. Jadi, ketika ASEAN berkiprah di dunia international, kita juga turut ambil bagian atau turut berpartisipasi.Dengan mengetahui dan mengenal budaya ASEAN, posisi kita bisa sebagai partner dalam konteks hubungan akan berada dalam posisi berimbang dan saling menguntungkan. Ditinjau dari konteks wilayah, kita bisa lihat bahwa kawasan ASEAN dan ASEAN semakin penting. Dengan demikian, menyongsong AFTA 2015, komunitas ASEAN 2015 dalam konteks Asia Tenggara perlu diwujudkan. Demikian pula dalam konteks global, bilamana ASEAN menginvestasi dalam bentuk perusahaan-perusahaan atau partner ke depannya akan berkembang sekali. Jika kita sanggup menyediakan SDM yang mengenal ASEAN, semuanya dapat terserap di dunia kerja, khususnya di bidang industri, pariwisata, seni, dan budaya. Pentingnya mengenal budaya ASEAN, termasuk bahasa yang multilingual, merupakan upaya untuk mengakomodasi kebutuhan yang terus berkembang. Dari studi multilingual, dapat diketahui keunikan, kekhasan, keberagaman, etos kerja, perilaku, dan kekayaan budaya Negara anggota ASEAN yang dapat dipelajari dan dijadikan referensi untuk dipraktikkan oleh SDM lokal dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan dan untuk menjadi SDM siap pakai di perusahaan atau industri asing di Indonesia.Studi multilingual melaluidapat menjadi alternatif untuk menyediakan SDM yang yang kompeten dalam pengenalan budaya ASEAN. Studi multilingual yang diupayakan merupakanstudi keanekabahasaan. Keanekabahasaan merupakanfenomena yang muncul dalam masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa. Masyarakat yang demikian terjadi karena beberapa etnik ikut membentuk masyrakat sehingga dari segi etnik bisa dikatakan sebagai masyarakat majemuk (plural society) (Sumarsono dan Paina Partana, 2002: 76). Adanya perkembangan bahasa dari monolingual kemudian menjadi bilingual dan pada akhirnya menjadi multilingual disebabkan beberapa faktor. Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan zaman 165
Zenit Volume 3 Nomor 3 Desember 2014
secara tidak langsung membaurkan antarbahasa. II.
Hakikat Multilingual
Tidak dapat dimungkiri bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multilingual (Chaer, 2009) karena selain menggunakan bahasa Indonesia,kita juga menggunakan bahasa daerah yang ratusan jumlahnyajuga menggunakan bahasa asing. Dalam perkembangan bahasa dari masa ke masa, kita tentu memerlukan pemahaman bagaimana multilingual itu dipolakan dalam studi dan pendidikan sehingga membawa kemanfaatan baik secara teoritikal maupun secara praktikal dalam kehidupan yang disebut sebagai studi multilingual. Kompetensi multilingual adalah kemampuan untuk dapat dan aktif mempergunakan bahasa lebih dari dua bahasa (Sumarsono dkk. 2002), sedangkan multilingualisme merupakan gejala pada seseorang atau masyarakat yang ditandai oleh kemampuan atau kebiasaan memakai lebih dari satu bahasa (Kridalaksana, 2008). Istilah multilingual juga merupakan pengembangan dan berkaitan dengan monolingual, yaitu orang yang hanya menguasai satu bahasa dan bilingual, yaitu orang menguasai dua bahasa, yang secara teoretis merupakan akaibat dari adanya kontak bahasa (Chaer, 2009). Multilingual merupakan gejala yang muncul sebagai implikasi kontak bahasa pada masyarakat yang terbuka menerima kedatangan masyarakat lain di luar mereka. sehingga mereka melakukan kontak antarbahasa. Kemampuan itu biasanya juga terjadi karena masyarakat yang mempunyai beberapa bahasa membentuk masyarakat baru sehingga terbentuk masyarakat mejemuk dengan multilingual. Secara umum ada beberapa penyebab terjadinya multilingual di antara faktor migrasi, yaitu perpindahan penduduk yang meluas sehingga berbaur dengan kelompok lainnya. Kedua, dalam proses penjajahan yaitu terjadinya kontrol bangsa yang satu kepada suku lainnya dengan menggunakan bahasa mereka. Ketiga, adanya federasi dan keempat, munculnya pengaruh wilayah perbatasan. Dalam masyarakat multilingual yang gerak mobilitasnya tinggi, anggota masyarakatnya akan cenderung menggunakan lebih dari dua bahasa dalam kehidupannya, baik sepenuhnya maupun sebagian, sesuai dengan kebutuhannya. Di seluruh dunia komunitas yang memakai satu bahasa hanya sekitar tiga belas persen. Selebihnya, suatu komunitas paling tidak menggunakan dua bahasa. bangsa Indonesia tidak termasuk dalam kategori tersebut karena bangsa Indonesia pada umumnya menguasai lebih daridua bahasa, yaitu bahasa-bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Anak-anak Indonesia yang sudah mengecap pendidikan sudah bisa disebut sebagai multilingual karena mereka sudah menggunakan beberapa bahasa secara sebagian atau keseluruhan. Kompetensi berbahasa secara multilingual sangat bergantung pada adanya kesempatan untuk menggunakan berbagai bahasa dalam kehidupan. Semakin banyak kesempatan,kompetensipenguasaan berbagai bahasa akan terbangun secara baik. Menurut Thomason (2001:1), kontak bahasa adalah peristiwa penggunaan lebih dari satu bahasa dalam tempat dan waktu yang sama. Penggunaan bahasa ini tidak menuntut penutur untuk berbicara dengan lancar sebagai dwibahasawan atau multilingualwan, namun terjadinya komunikasi antara penutur dua bahasa yang berbeda pun sudah dikategorikan sebagai peristiwa kontak bahasa. Faktor-faktor penyebab terjadinya kontak bahasa menurut Thomason (2001:17-21), yaitu bertemunya dua kelompok yang berpindah ke daerah yang kosong, adanyaperpindahan satu kelompok ke wilayah kelompok lain, adanya praktik pertukaran,adanya hubungan budaya yang dekat antarsesama tetangga lama, adanya pendidikan atau biasa disebut “kontak belajar”. Ditinjau dari faktor terjadinya kontak dua kelompok bahasa, kedua kelompok bukan merupakan kelompok pribumi sehingga satu sama lain tidak menjajah atau merambah wilayah masing-masing. Misalnya Antartika, sebagai tempat dimana tidak ada populasi manusia yang menetap disana, merupakan contoh kontak bahasa. Para ilmuwan dari berbagai belahan dunia saling melakukan kontak bahasa dalam perkemahan selama mereka berada disana.Peristiwa perpindahan dapat terjadi secara damai maupun berperang, misalnya perpindahan kelompok tertentu untuk menaklukan dan menguasai wilayah dari penghuni aslinya. Sebagai contoh, pada awalnya komunitas Indian menerima kedatangan bangsa Eropa dengan ramah, begitu pun sebaliknya. Akan tetapi, bangsa Eropa kemudian berkeinginan untuk memiliki tanah Amerika sehingga ketika jumlah mereka yang datang sudah cukup banyak, mereka mengadakan penaklukan terhadap warga pribumi. Peristiwa 166
Pentingnya Studi Multilingual untuk Menyongsong AFTA 2015 ( Rosida Tiurma Manurung)
kontak bahasa ini tidak semua terjadi melalui proses saling bermusuhan dapat terjadi melalui proses perdagangan, penyebaran misi agama, dan perkawinan campuran warga pribumi dan bangsa Eropa. Faktor adanya pertukaran tenaga kerja dapat mendorong sosiolinguis untuk membuat perbedaan antara yang secara sukarela atau yang dipaksa untuk berpindah. Perbedaan ini tentunya mempengaruhi sikap mereka terhadap negara yang dituju dan pada akhirnya sering terjadi kontak bahasa. Faktor kontak bahasa menjelaskan pada kita bahwa kita tidak mencari mengenai asal-usul adanya kontak, karena hal itu pasti terjadi dahulu kala ketika kelompok-kelompok menjadi tetangga. Kontak bahasa merupakan salah satu hasil dari penggabungan tahunan (untuk tujuan pertahanan) pada sejumlah suku –suku pegunungan di barat laut United States ketika mereka berpindah ke lembah untuk berburu kerbau. Kontak bahasa juga terjadi sebagai hasil dari perkawinan campuran. Lebih jauh lagi, ini juga bisa terjadi sebagai hasil dari perdagangan yang dilakukan antar kelompok-kelompok tetangga. Multilingual banyak digunakan sebagai media dalam berbagai disiplin ilmu, seperti telekomunikasi, sosial, budaya, dan sebagainya. Gejala keanekabahasaan atau multilingual pada saat ini adalah isu penting yang berkembang ke permukaan karena dengan adanya multilingual akan menentukan kelangsungan hidup dalam masyarakat yang multikultural. Dengan sumber daya yang multilingual, peran dalam berbagai bidang lebih mudah untuk diambil dalam berbagai bidang kehidupan. III.
Studi Multilingual
Studi bahasa, termasuk studi multilingual, menekankan pada kemampuan siswa mengekspresikan fungsi-fungsi bahasa sejalan dengan tujuan studi bahasa yang mengembangkan kompetensi komunikatif sebagaimana dikemukakan oleh Hymes. Kompetensi komunikatif penutur bahasa menurut Hymes adalah penguasaan secara naluri yang dipunyai seorang penutur untuk menggunakan dan memahami bahasa secara natural (appropriately) dalam proses berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain, dan dalam hubungannya dengan konteks sosial (Stern, 1983: 229 dalam Chaer).Hymes (dalam Dardjowidjojo, 1993: 80) mengajukan empat parameter untuk mencakup kompetensi komunikatif, yaitu: (1) whether (and to what degre) something is formally possible; (2) whether (and to what degre) something is feasible; (3) whether (and to what degre) something is appropriate; (4) whether (and to what degre) something is in fact done. Efektivitas studi bahasa yang menekankan pada fungsi bahasa tersebut sangat ditentukan oleh pengajar bahasa. Pengajar bahasa dituntut mampu menerapkan pendekatan komunikatif yang menurut Littlewood (1981: 1) dalam Chaer, adalah pendekatan yang mengintegrasikan pengajaran fungsifungsi bahasa dan tata bahasa. Dijelaskannya bahwa studi bahasa yang komunikatif memberikan perhatian yang sistematik pada aspek-aspek fungsional dan struktural dari bahasa untuk kemudian menggabungkannya menjadi suatu pandangan komunikatif yang lengkap. Pandangan struktural dari bahasa memusatkan perhatiannya pada sistem tata bahasa, sedangkan pandangan fungsional memusatkan perhatiannya pada makna yang dikandung oleh bentuk-bentuk linguistik. Selain itu, pengajar bahasa dituntut pula memperhatikan prinsip-prinsip studi bahasa. Lado (1979) dalam Chaer mengemukakan sejumlah prinsip, yang antara lain adalah (1) sebagian besar waktu siswa digunakan untuk berlatih dan praktik menggunakan bahasa dan (2) mengembangkan sikap positif terhadap bahasa yang dipelajari. Kedua prinsip ini dipandang sangat relevan dengan tujuan studi bahasa dan pendekatan komunikatif di atas. Pengajar bahasa juga harus memperhatikan prinsip-prinsip studi bahasa yang langsung berhubungan dengan aspek studi menulis, kosakata, berbicara, membaca, dan kebahasaan (Depdikbud, 1993). Sehubungan dengan studi kebahasaan, dalam Buku Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar dikemukakan beberapa alternatif, yang antara lain ditegaskan bahwa perlatihan keanekabahasaan berlangsung secara berjenjang dengan runtun kegiatan prakomunikasi dan barulah kegiatan komunikasi (Depdikbud, 1993b). Prinsip studi itu selaras dengan pendapat Littlewood (1985: 1). Pentingnya studi multilingual juga terkait dengan hasil penelitian yang menunjukkan efek positif pada anak. Berbagai hasil penelitian seperti yang dinyatakan Hoff (2005) menunjukkan bahwa jika anak-anak yang diajarkan secara benar untuk belajar multilingual pada usia dini secara keseluruhan dapat memacu perkembangan anak. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang belajar multilingual sejak usia dini biasanya lebih sukses dalam kehidupannya karena sudah terbiasa 167
Zenit Volume 3 Nomor 3 Desember 2014
berhubungan dengan bermacam-macam bahasa dan bahasa-bahasa itu menjadi media komunikasi saat anak menjadi dewasa dan memasuki dunia kerja. Kita bersepakat bahwa manfaat belajar multilingual pada usia dini meliputi segala sesuatu dari meningkatnya kemampuan kreativitas dan anak memiliki pemahaman yang lebih luas tentang budaya. Menurut Chaer dan Agustina (2010: 215), dalam masyarakat multilingual tentu akan ada pengajaran bahasa kedua (dan mungkin ketiga). Bahkan, bahasa kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi negara, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk asli pribumi). Berikut ini dapat ditentukan beberapa faktor yang dapat mewujudkan keberhasilan studi multilingual, yaitu faktor motivasi, usia, dan penyajian formal. 3.1
Adanya Motivasi
Tidak dapat dimungkiri bahwa jika kita mau belajar suatu bahasa kedua, maka yang diperlukan adalah adanya dorongan, keinginan, atau tujuan yang hendak dicapai. Ini akan berbeda jika dibandingkan dengan orang yang tanpa lindasi dorongan, keinginan, serta tujuan atau motivasi. Menurut KBBI (2008), motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Jadi, pada dasarnya motivasi dalam studi multilingual berupa dorongan yang datang dari dalam diri pembelajar yang menyebabkan ia memilki keinginan yang kuat untuk mempelajari bahasa kedua.Motivasi dapat diartikan sebagai kekuatan (energi) seseorang yang dapat menimbulkan tingkat persistensi dan entusiasmenya dalam melaksanakan suatu kegiatan, baik yang bersumber dari dalam diri individu itu sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar individu (motivasi ekstrinsik). Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja maupun dalam kehidupan lainnya.. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja (prestasi) seseorang. Makmun (2003) mengemukakan bahwa untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, di antaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau produk (output) yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan. Gardner dan Lambert (dalam Chaer: 2009: 251) mengatakan bahwa motivasi memiliki dua fungsi yaitu, fungsi integratif dan instrumental. Fungsi integratif yaitu jika motivasi tersebut mendorong seseorang untuk mempelajari suatu bahasa karena adanya keinginan untuk berkomunikasi dengan masyarakat penutur bahasa itu atau menjadi anggota masyarakat bahasa tersebut. Sebaliknya, motivasi berfungsi instrumental adalah jika motivasi tersebut mendorong sesorang memilki kemauan untuk mempelajari studi multilingual itu karena tujuan yang bermanfaat atau karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada masyarakat bahasa tersebut. 3.2
Indikator Usia
Terdapat anggapan bahwa dalam mempelajari bahasa kedua, anak-anak lebih baik dan berhasil dari pada orang dewasa (jika dimulai dari sama-sama nol). Ini membuktikan bahwa ternyata selain faktor motivasi, ternyata faktor usia juga ikut andil dalam keberhasilan mempelajari bahasa kedua. Anak-anak sepertinya lebih mudah untuk cepat memahami, sedangkan orang dewasa tampaknya lebih kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli (Chaer, 2009: 253), disimpulkan bahwa faktor umur (usia) yang tidak dipisahkan dengan faktor lain, adalah faktor yang berpengaruh dalam studi multilingual. Perbedaan umur memengaruhi kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi, dan sintaksis, tetapi tidak berpengaruh terhadap pemerolehan urutannya.
168
Pentingnya Studi Multilingual untuk Menyongsong AFTA 2015 ( Rosida Tiurma Manurung)
3.3
Tipe Studi Formal
Seperti dalam pembahasan sebelumnya, bahwa dalam tipe studi multilingual terdapat dua jenis, yaitu secara naturalistik dan formal di dalam kelas. Dalam hal ini, faktor formal dalam studi di sekolah akan sangat berpengaruh dalam hal studi multilingual kedua. Bahasa kedua bisa diorientasikan ke dalam bahasa Indonesia, bisa juga bahasa asing (jika bahasa Indonesia merupakan bahasa pertama). Tipe ini berlangsung secara formal, artinya segala sesuatunya sudah dipersiapkan secara lebih baik. Dengan adanya guru, materi yang terorganisiai, kurikulum, metode, media belajar, dsb. Faktor ini berpengaruh terhadap kecepatan dan keberhasilan dalam memperoleh bahasa kedua karena berbagai faktor dan variabel telah dipersiapkan dan diadakan secara sengaja sehingga tujuan akan cepat terpenuhi. Dalam Chaer (2009: 256), Rofi’udinmenyatakan bahwa interaksi kelas merupakan bagian dari studi multilingual secara formal dapat memberikan pengaruh terhadap kecepatan pemerolehan bahasa kedua yang menghasilkan penyerapan input menjadi intake. IV.
Kompetensi Multilingual untuk SDM Siap Pakai
Tuntutan era modern merupakan dasar motivasi kita untuk belajar berbagai bahasa. Di samping itu, bahasa asing merupakan investasi serta bekal masa depan seseorang dan juga untuk kariernya. Hal itu juga menjadikan banyak orang tua yang mengenalkan bahasa asing sejak dini. Dengan harapan anak dapat bersaing di pasar global dan dapat mengisi lapangan pekerjaan nantinya. Studi mulitilingual ialah studi untuk memfasilitasi dan mengakomodasi kebutuhan orangorang yang ingin bisa berbahasa lebih dari dua bahasa dan ingin mengenal budaya ASEAN. Oleh karena itu, penguasaan atau kompetensi multilingual dapat memfasilitasi SDM yang berminat mengenal dan mengerti budaya berbagai negara, khususnya negara anggota ASEAN. Dari Kompetensi multilingual, dapat diketahui keunikan, kekhasan, keberagaman, etos kerja, perilaku, dan kekayaan budaya ASEAN yang dapat dipelajari dan dijadikan referensi untuk dipraktikkan oleh SDM lokal dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan dan untuk menjadi SDM siap pakai di perusahaan atau industri dalam kerja sama AFTA 2015. Bidang pekerjaan lulusan studi multilingual selain di industri asing di Indonesia, dapat pula menjadi pengajar bahasa, peneliti bahasa dan kebudayaan, staf di kedutaan besar negara anggota ASEAN di Jakarta, staf Kedutaan Besar Indonesia di Korea, staf Kementerian Luar Negeri. Dengan sedikit tambahan pendidikan dan pelatihan, lulusan studi multilingual bahkan dapat direkrut menjadi diplomat muda yang menguasasi bahasa Negara-negara ASEAN, ataustaf di perusahaan atau lembaga negara anggota ASEAN di Indonesia, atau di agen perusahaan Indonesia yang tersebar di seluruh ASEAN, juru bahasa, pramuwisata, atau staf di biro-biro perjalanan, serta penerjemah di perusahaan atau instansi pemerintah.Kompetensi multilingual melaluidapat menjadi alternatif untuk menyediakan SDM yang mengenal budaya ASEAN sekaligus merupakan salah satu langkah yang sangat baik untuk mempersiapkan diri, menyongsong AFTA 2015. V.
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan di atas, diperoleh simpulan sebagai berikut. 1) Perkembangan teknologi komunikasi, adanya globalisasi, pesatnya dunia pendidikan menyebabkan kebutuhan masyarakat mengenai bahasa mengalami pergeseran serta kemajuan zaman secara tidak langsung membaurkan antarbahasa. 2) Dengan sumber daya yang multilingual, peran dalam berbagai bidang lebih mudah untuk diambil dalam berbagai bidang kehidupan. 3) Studi multilingual pada usia dini meliputi segala sesuatu dari meningkatnya kemampuan kreativitas dan anak memiliki pemahaman yang lebih luas tentang budaya. 4) Studi multilingual itu dipelajari karena dorongan ingin memperoleh suatu pekerjaan atau mobilitas sosial pada masyarakat bahasa tersebut. 5) Keberhasilan studi multilingual, yaitu faktor motivasi, usia, dan penyajian formal. 6) Kompetensi multilingual dapat memfasilitasi SDM yang berminat mengenal dan mengerti budaya berbagai negara, khususnya negara anggota ASEAN, agar dapat berkiprah di dunia 169
Zenit Volume 3 Nomor 3 Desember 2014
kerja dalam konteks AFTA 2015. VI.
Daftar Pustaka
Alwasilah, Chaedar.1985. Sosiologi Bahasa. Bandung : Angkasa. Brown, H. Douglas. 2007. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. San Fancisco: Pearson Longman. Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: kajian teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul dan Loenie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik, Jakarta: Yayasan obor Indonesia, . Depdikbud, 1993. Buku Pedoman Kegiatan Belajar Mengajar. Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Littlewood, William. 1985. Communicative Language Teaching; An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Makmun, Abin Syamsudin.2001. Psikologi Kependidikan. Jakarta: Remaja Rosda Karya. Pusat Bahasa Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa. Paulston and Tucker.2003. Sociolinguistic the Essential Readings. USA: Blackwell Publishing Ltd. Sumarsono dan Partana, Paina.2002.Sosiolinguistik.Yogyakarta:Sabda. Thomason, Sarah G. 2001. Language contact. Edinburg: Edinburg University Press Ltd. Wijana, I Dewa Putu dan Rohmadi, Muhammad.2010.Sosiolingustik Kajian Teori dan Analisis.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
170