Kesiapan Lembaga Penyiaran Menyongsong Penerapan Kebijakan Penyiaran Digital
Suhariyanto
Abstract : The phenomenon of digital broadcasting can no longer dammed, more and more institutions are asking permission for the organization of broadcasting, but because of the limited television channels resulted in the government can not issue new licenses for television broadcasting. The solution to it all is to use digital technology, compared to analog technology that one can only use one frequency channel, so with this digital technology, a frequency can be used six to eight channels. Keywords : Digital Broadcasting, Analog, Frequency, Television .
PENDAHULUAN Kebutuhan implementasi model digital dalam dunia penyiaran merupakan keniscayaan untuk memenuhi tuntutan perkembangan globalisasi teknologi. Perkembangan dunia penyiaran di Indonesia terlihat sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran dengan munculnya paradigma baru “Desentralisasi dan Demokratisasi” mengubah paradigma lama “Sentralisasi”. Implementasi dari amanat Undang-undang penyiaran tersebut lebih mengedepankan tumbuhnya program lokal (diversity of content) dan tumbunya kepemilikan lembaga penyiaran di berbagai daerah (diversity ownership). Peluang untuk berkembangnya lembaga penyiaran radio maupun televisi diberbagai daerah semakin terbuka luas. Minat masyarakat untuk mendirikan stasiun penyiaran radio dan televisi semakin banyak. Tidak hanya di kota-kota besar namun juga dipelosok-pelosok daerah kini bermunculan lembaga penyiaran radio dan televisi termasuk jenis lembaga penyiaran komunitas. Tahun 2008 tercatat 11 stasiun penyiaran televisi berizin siaran nasional, 97 televisi berizin siaran lokal (regional), 30 televisi berlangganan. Selain itu masih terdapat sekitar 300 izin baru tak tertampung karena tidak tersedia kanal TV (kompas 23 oktober 2008). Spektrum frekuensi merupakan sumber daya yang sangat terbatas terutama kondisi saat ini masih menggunakan teknologi analog yang sangat memboroskan spektrum frekuensi. Sudah selayaknya digantikan dengan teknologi
Suharyanto adalah Dosen Fakultas Ilmu Komputer UDINUS Semarang 53
54
Techno.Com, Vol. 7 No. 3, Nop 2008
digital yang sudah terbukti bisa meningkatkan efesiensi. Dengan teknologi digital problematika kekurangan kanal dalam penyiaran akan dapat teratasi atau tertampung. Keunggulan Teknologi Digital Keunggulan utama dari sistem digital adalah pengguanaan spektrum frekuensi yang efisien. Jika dengan teknologi analog 1 frekuensi hanya dapat digunakan untuk 1 kanal transmisi. Dengan sisitem digital untuk penyiaran TV, 1 frekuensi dapat digunakan untuk memancarkan sebanyak 6 hingga 8 kanal transmisi sekaligus dengan program yang berbeda. Sedangkan untuk penyiaran radio, 1 kanal frekuensi digital dapat dipakai untuk 28 program siaran. Kualitas gambar dan suara lebih prima tidak noise dan tidak terjadi gambar bayangan (ghost) serta kebutuhan daya pemancar yang relatif lebih hemat. Efisiensi dari sistim digital juga berupa penggunaan satu tower yang dapat dipakai secara bersama sehingga lebih hemat biaya pembangunan tower. Yang menjadi permasalahan bagi stasiun penyiaran yang sudah eksis bersiaran masing-masing mendirikan tower sehingga jika harus dilakukan penggabungan maka akan terjadi pemusnahan tower. Pada hal aset untuk mendirikan tower nilainya tidak sedikit. Teknis Operasional Penyiaran Digital Sistim penyiaran TV digital bukanlah teknologi baru. Pada pertengahan tahun 90 an, siaran televisi lewat satelit (DVB-S) dan siaran kabel (DVB-C) telah menggunakan teknologi digital. Penyiaran tersebut dianggap sukses maka pada awal tahun 2000 an mulai dicoba penyiaran digital pada pita VHF dan UHF yang selama ini menggunakan sistem analog. Pada awal pengoperasian sistem digital dapat dilakukan bersamaan dengan siaran analog atau secara simulcast. Negara Belanda dan Italia yang lebih dulu melakukan uji coba siaran TV Digital dan saat ini sudah berada pada era digitalisasi. Di Jerman migrasi ke digital tahun 2003 (Berlin) dan tahun 2005 (Munich). Inggris uji coba mematikan beberapa siaran analog tahun 2005, dan secara total akan mematikan analog (cut off analog) tahun 2012. Amerika akan menyatakan hari selamat tinggal TV analog tahun 2009 dan Perancis pada tahun 2010 cut off analog. Jepang era digitalisasi penyiaran (cut off analog) pada tahun 2011 dan saat itu pula pabrik analog ditutup. Sementara di Indonesia pertama kali melakukan uji coba siara TV digital pada 13 Agustus 2008 yaitu TVRI pusat Jakarta. Sedang untuk penyiaran radio telah dilakukan uji coba siaran digital yaitu Radio Delta Insani Jakarta (99.1 MHz) dan Radio Suara Sangkakala Surabaya (1.06 MHz). Teknis operasional penyiaran radio akan dilakukan pada band III dengan lebar pita 7 MHz. 1 kanal frekuensi digital penyiaran radio dapat dipakai 28 program siaran. Rencana pemerintah akan akan memberikan 2 kanal frekuensi pada setiap wilayah siaran. Berarti setiap wilayah bisa dipakai untuk 56 program siaran. Penyiaran radio digital menurut rencana juga akan dikembangkan pada band II yang saat ini diapakai TV VHF. Sedangkan TV VHF yang kini masih ditempati oleh TVRI nantinya seluruhnya akan dipindahkan ke kanal UHF. Untuk penyiaran TV digital akan dilakukan pada band IV dan V dengan lebar pita 8 MHz. 1 kanal frekuensi digital penyiaran TV dapat dipakai 6 program siaran. Setiap wilayah siaran akan diberikan 6 kanal frekuensi. Berarti nantinya setiap wilayah siaran bisa mendapatkan 36 program siaran. Dengan demikian problematika yang saat ini
Kesiapan Lembaga Penyiaran (Suharyanto)
55
banyak lembaga penyiaran yang tidak mendapatkan kanal analog, pada era digital nanti dapat teratasi atau tertampung pada kanal frekuensi digital. Kebijakan Pemerintah dan Standarisasi Digital Sistim penyiaran digital yang dipakai oleh berbagai negara terdiri dari DVB-T (Digital Video BroadcastingTerresterial, standar Eropa), ATSC (Advanced Television Systems Committee, standar Amerika Utara), ISDB-T (Integrated Srevices Digital Broadcasting, standar Jepang), DMB-T/H (Digital Multimedia Broadcast-Terresterail, standar China). Kini sebagian besar negara maju dan berkembang telah memilih sistemnya sendiri dan mulai melakukan siaran secara rutin. Indonesia telah memilih sistem DVB-T seperti yang btelah ditetapkan pada Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No.07/P/M.Kominfo/3/2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang standar penyiaran digital teresterial untuk televisi tidak bergerak. Untuk penyiaran Radio akan menggunakan standar T-DAB (Terresterial Digital Audio Broadcast) yang saat ini masih dalam pengkajian.
Migrasi dari analog ke digital di Indonesia akan dilakukan dalam 3 tahap yang kini telah ditetapkan oleh pemerintah. Tahap I tahun 2008-20012 meliputi akan dilakukan moratorium perizinan penyiaran analog, Pengenalan televisi digital, Pereode simulcast atau lembaga penyiaran menyiarkan analog bersamaan dengan digital, Migrasi secara selektif di kota-kota besar. TahapII tahun 2013-2017 yaitu Seluruh penyiaran analog pindah ke digital khusus di kota besar dan beberapa daerah pilihan, Memulai izin baru dalam kontek pe nyiaran digital. Tahap III tahun 2017, Seluruh penyiaran telah migrasi ke digital (cut off analog), “Selamat Tinggal Penyiaran Analog menuju Era Digital” Dalam siaran digital di Indonesia mengharuskan adanya pemisahan antara stasiun telvisi sebagai content provider dan penyedia jaringan sebagai network provider. Selama ini dalam sistim analog stasiun penyiaran yang mengelola sendiri program dan jaringan karena satu kanal frekuensi ditempati satu stasiun televisi. Dalam sistem digital satu kanal frekuensi ditempati lebih dari satu stasiun televisi bisa mencapai enam stasiun televisi, sementara pemilik kanal adalah pihak lain. Untuk itu pemerintah akan membentuk 2 kelembagaan yaitu Penyedia Infrastruktur (Network Provider) dan Penyedia Program (Content Provider). Network Provider adalah Lembaga atau Perusahaan yang diberikan izin untuk menyediakan infrastruktur/ hard ware/ jaringan penyiaran digital. Content Provider adalah Lembaga yang dberikan izin untuk menyiarkan siarannya melalui kanal program yang disediakan oleh penyelenggara infrastruktur. Menyikapi Regulasi Kebijakan pemerintah untuk membentuk Network Provider dan Content Provider dalam penyiaran digital diperlukan kearifan dan keadlian. Siapakah yang berhak menjadi network provider dan content provider ? akan terkait de ngan kewenangan yang diharapkan tidak merugikan pihak lain. Jangan sampai terjadi penyalah gunaan kewenangan atau mengekploitasi untuk kepentingan keuntungan bisnis golongan tertentu.
56
Techno.Com, Vol. 7 No. 3, Nop 2008
Regulasi hendaknya lebih mengedapankan semangat amanat undang-undang No.32 tahun 2002 tentang penyiaran yang mengarah pada “Desentralisai dan Demokratisasi”. Untuk itu “Diversity of content dan Diversity ownership” menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan regulasi bukan lagi semangat “sentralisasi” yang memilki kekuatan untuk memonopoli. Akan lebih baik jika dibentuk konsorsium televisi lokal untuk membentuk network provider untuk menghindarkan adanya ekploitasi terhadap content provider. Dengan adanya konsorsium dalam mengelola sebuah kanal akan lebih efektif dan efesien karena semua anggota dari kanal tersebut sama-sama merasa memiliki kanal sehingga dapat meminimalkan konflik. Pembahasan regulasi yang kini sedang diproses oleh pemerintah perlu melibatkan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah, KPID dan Badan Pengkajian dan Penarapan Teknologi, BPPT serta masukan dari kalangan lembaga penyiaran. Diharapkan regulasi dapat menjamin keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Kesiapan Lembaga Penyiaran dan Problematika Digital Secara teknis dalam penyiaran digital diperlukan pengadaan perangkat penunjang untuk penyiaran televisi digital berupa “Set Top Box” (STB) yang ditambahkan pada penerima televisi analog agar dapat menerima siaran digital. Pada penyiaran radio antara lain dikenal “IBOC” (in band on channel) yaitu sistem ganda analog dan digital. Permasalahan yang timbul akankah semua pendengar atau pemirsa mampu membeli peralatan tambahan agar bisa menikmati siaran digital. Bagaimana dengan masyarakat yang tergolong miskin akankah berhak menikmati siaran digital karena ketidak mampuannya secara ekonomis membeli peralatan tambahan. Berapa harga peralatan tambahan tersebut juga belum diketahui, ada yang menyebutkan untuk sebuah set top box seharga sekitar dua ratus ribu rupiah. Bagi rakyat miskin kiranya perlu adanya subsidi dari pemerintah sehingga dapat menikmati siaran digital. Bagi lembaga penyiaran tentunya akan ada perubahan transmisi yang dulunya analog diganti dengan peralatan transmisi digital yang memerlukan tambahan investasi. Jika ada kebijakan penggabungan tower, bagi stasiun penyiaran yang sudah eksis mengalami problem akan dikemanakan investasi mahal tower yang sudah berdiri, akankah dirobohkan yang memerlukan biaya lagi. Untuk stasiun penyiaran yang akan berdiri tidak mengalami permasalahan, justru akan lebih hemat biaya karena bisa bergabung tower dengan pihak lain. Berkembangnya teknologi yang sangat cepat berisiko terhadap seringnya penggantian peralatan yang mengakibatkan biaya tinggi. Sumber daya manusia dari segi kuantitas dan kualitas masih terbatas terutama dalam menyambut era digital diperlukan pelatihan secara berkelanjutan. Diperkirakan saat ini lembaga penyiaran lokal belum siap karena banyak yang belum memahami penyiaran digital ditambah regulasi yang belum jelas sehingga masih banyak yang bertanya langkah apa yang akan ditempuh. Oleh karena pemerintah maupun KPID sebagai lembaga yang juga memiliki fungsi dan tugas ikut serta membina lembaga penyiaran perlu melakukan sosialisai dan diseminasi secara intensif. Penyiaran digital juga perlu disosialisasikan kepada masyarakat (pendengar dan pemirsa) sehingga road map migrasi ke digital yang direncanakan pemerintah dapat terwujud sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Lembaga penyiaran yang tidak mendapatkan kanal kini memilki peluang untuk mempersiapkan diri mengambil kanal baru digital lewat perizinan penyiaran digital. Mengingat saat ini masih banyak dijumpai penyiaran radio
Kesiapan Lembaga Penyiaran (Suharyanto)
57
yang tidak sesuai kanal, radio ilegal serta masih banyak masyarakat yang ingin mendirikan lembaga penyiaran televisi baru. Disisi lain akan terbuka peluang bisnis baru yaitu terbentuknya Penyedia Isi Program (Content Provider), Penyedia Jaringan (Network Provider), Pelayanan Pemasangan Peralatan (Service Provider), Perusahaan Penyedia Perangakat Digital (Electronic Manucfactures) dan sebagainya. Berdirnya lembaga penyiaran dan terbukanya peluang bisnis baru dapat membuka lapangan pekerjaan atau menyerap tenaga kerja lebih banyak yang berarti dapat mengurangi pengangguran.
PENUTUP Menyongsong penerapan kebijakan penyiaran digital menuntut lembaga penyiaran radio dan televisi untuk mempersiapkan diri baik secara teknis maupun non teknis. Sikap aktif dari lembaga penyiaran diperlukan dalam maintenance management, kemampuan skil sumberdaya manusia, serta kesiapan dalam mengemas program. Dalam era digital nanti satu kanal dapat diisi dengan berbagai program serta berbagai ragam fiture diantaranya terdapat sinyal data yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan masyarakat. Misalnya data multi bahasa (multi lingual), subtitling, data streaming untuk teletex (digital) dan jenis informasi lainnya. Bahkan Penyiaran Radio bisa terlihat gambar tidak bergerak serta data informasi sehingga pendengar dan pemirsa dimanjakan dengan model dan fiture dari penyiaran digital. Bagi lembaga penyiaran yang tidak siap bersaing dalam sistem penyiaran digital akan ditinggalkan oleh penggemarnya yang akhirnya akan mati secara alamiah. Kita sambut penyiaran digital semoga lembaga penyiaran terutama di Jawa Tengah sukses dan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA 1. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2002 2. Donow, K.R. & Miles, P.(1999). “A Web of Sound: The Fruitful Convergence of Radio, Audio, and the Internet”, Media Studies Journal, vol.13, no. 2, Spring/Summer 1999.
3. Feldman, T. (1997). An Introduction to Digital Media, London: Routledge.