KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH DAN PERANNYA TERHADAP LAJU DEKOMPOSISI SERASAH Hevea brasiliensis Di KEBUN PERCOBAAN CIBODAS – CIAMPEA BOGOR
WIDIA ASTI
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
KEANEKARAGAMAN FAUNA TANAH DAN PERANNYA TERHADAP LAJU DEKOMPOSISI SERASAH Hevea brasiliensis Di KEBUN PERCOBAAN CIBODAS – CIAMPEA BOGOR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
WIDIA ASTI E44060647
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN WIDIA ASTI. Keanekaragaman Fauna Tanah dan Perannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Hevea Brasiliensis di Kebun Percobaan Cibodas – Ciampea Bogor. Di bawah bimbingan NOOR FARIKHAH HANEDA. Indonesia sebagai salah satu negara tropis yang mempunyai hutan luas merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati merupakan asosiasi antara faktor abiotik dan biotik. Hutan merupakan habitat alami bagi fauna tanah untuk mempertahankan kesinambungan hidupnya. Akan tetapi masih terdapat keterbatasan informasi mengenai fauna tanah terutama di Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi fauna tanah dan perannya terhadap proses yang terjadi di dalam tanah. Pengalihgunaan hutan menjadi perkebunan merupakan salah satu gangguan ekosistem hutan yang dapat berdampak pada keberadaan fauna tanah. Dipilihnya ekosistem karet karena ekosistem tersebut merupakan perwakilan dari pengalihgunaan hutan menjadi perkebunan karet. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 – Februari 2010 di Kebun Percobaan Cibodas-Ciampea Bogor dan Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu pengambilan sampel di lapangan, inventarisasi keanekaragaman fauna tanah, pembuatan perangkap dan pembenaman, identifikasi, dan pendugaan laju dekomposisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa fauna tanah yang ditemukan di lokasi penelitian pada periode 12 minggu pengamatan terdiri dari : 1 filum (Arthropoda), 4 kelas (Hexapoda, Hexapoda Entognatus, Arachnida, dan Chilopoda), 18 ordo, 34 famili, dan 42 genus. Pengukuran bobot serasah Hevea brasiliensis setiap periode 2 minggu pada masing- masing wilayah tegakan karet yaitu, bagian tepi, tengah, dan dalam yang didekomposisi selama 12 minggu mengalami penurunan bobot sebesar 98.92% (tepi), 99% (tengah), dan 99.12% (dalam). Rata-rata laju dekomposisi serasah per 2 minggu yaitu 35.07% (tepi), 33.02% (tengah), dan 32.07% (dalam). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa laju dekomposisi serasah pada tiga lokasi tegakan karet selama kurun waktu 12 minggu atau 6 periode pengamatan memiliki nilai yang berbeda. Laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu awal dekomposisi yaitu minggu ke-2. Hubungan antara keanekaragaman total fauna tanah dengan laju dekomposisi adalah berbanding lurus. Hubungan antara laju dekomposisi serasah dengan bobot serasah terhadap waktu dekomposisi ialah berkorelasi kuat dan berlawanan (Pearson correlation = -0,846). Lokasi plot dan waktu pemanenan serasah berpengaruh nyata terhadap penurunan bobot dan laju dekomposisi. Kata kunci : identifikasi, keanekaragaman, fauna tanah, serasah, dan laju dekomposisi
SUMMARY WIDIA ASTI. Diversity of Soil Fauna and Their Roles to Decomposition Rate Hevea brasiliensis Litters at Kebun Percobaan Cibodas – Ciampea Bogor. Under Supervision of NOOR FARIKHAH HANEDA. Indonesia is one of the tropical countries that have a rich biodiversity. Biodiversity is an association between abiotic and biotic factor. Forest is natural habitat for soil fauna to maintain the continuity of their life. But there is limitation of information about soil fauna, especially in Indonesia, therefore we need to do the research on identification of soil fauna and their roles towards the process that occurs in the soil. This research was conducted in October 2009 - February 2010 at Kebun Percobaan Cibodas - Ciampea Bogor and Forest Entomology Laboratory of the Faculty of Forestry IPB. The steps undertaken in this study were Arthropods samplings, identify, and analysed decomposition rate. Results showed that soil fauna found in research sites for 12 weeks observation period consists of: a phylum (Arthropoda), four classes (Hexapoda, Hexapoda Entognatus, Arachnida and Chilopoda), 18 orders, 34 families and 42 genus. Decomposition litter of Hevea brasiliensis for every two-week period during 12 weeks in each area of rubber stand (edge, middle, and interior) have weight decreased of 98.92% (edge), 99% (middle), and 99.12% (interior). Average litter decomposition rate per 2 weeks are 35.07% (edge), 33.02% (middle), and 32.07% (interior). Based on research concluded that rate of leaf litter decomposition in three locations of rubber stands during 12 weeks periods have different values. The highest decomposition rate occurred in early weeks of decomposition time which happen on the second week. Relationship between total soil fauna biodiversity with decomposition rate is straight line. The corelation between rate of litter decomposition with litter weight towards decomposition time is strongly negative (Pearson correlation = - 0.846). Plot location and harvesting time significantly affected towards weight litter decrease and rate of decomposition. Key words: identification, diversity, soil fauna, litter, and decomposition rates
PERNYATAAN Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
yang
berjudul
Keanekaragaman Fauna Tanah dan Perannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Hevea brasiliensis di Kebun Percobaan Cibodas -Ciampea Bogor adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2010
Widia Asti NIM. E44060647
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Keanekaragaman Fauna Tanah dan Perannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Hevea brasiliensis di Kebun Percobaan Cibodas - Ciampea Bogor
Nama
: Widia Asti
NIM
: E44060647
Menyetujui : Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS NIP. 19660921 199003 2 001
Mengetahui : Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,
Prof. Dr.Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr NIP. 19641110 199002 1 001
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 10 Februari 1989 di Bogor, Jawa Barat sebagai anak keenam dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Muhamad Effendi dan Ibu Endang Herawati. Pendidikan formal penulis dimulai di Sekolah Dasar Negeri Panaragan I Bogor pada tahun 1994 – 2000. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 4 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2006 – 2007 penulis melanjutkan Pendidikan Program Sarjana di Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Masuk Seleksi IPB). Pada tahun 2007 penulis melanjutkan semester berikutnya di Fakultas Kehutanan, Departemen Silvikultur, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah di IPB penulis pernah bergabung dalam keanggotan Organisasi Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2006-2007, BEM E IPB tahun 20072008, dan Tree Grower Community (TGC) tahun 2008-2009. Penulis telah mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Cilacap-Baturaden, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Keanekaragaman Fauna Tanah dan Perannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Karet (Hevea brasiliensis) di Kebun Percobaan Cibodas -Ciampea Bogor dibimbing oleh Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, MS.
UCAPAN TERIMA KASIH 1. Penulis mengucapkan syukur Alhamdulillah, sehingga karya tulis yang berjudul “Keanekaragaman Fauna Tanah dan Perannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Karet (Hevea brasiliensis) di Kebun Percobaan Cibodas - Ciampea Bogor” dapat terwujud. 2. Orangtua dan Segenap Saudara yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, do‟a dan perhatian selama ini. 3. Ibu Dr.Ir. Noor Farikhah Haneda, MS sebagai dosen pembimbing skripsi yang selalu mendukung dan membimbing dalam penyelesaian karya tulis ini. 4. Bapak Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS sebagai dosen penguji wakil Departemen Manajemen Hutan. 5. Bapak Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc sebagai dosen penguji wakil Departemen Hasil Hutan 6. Bapak Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS sebagai dosen penguji wakil Departemen Konsevasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata. 7. Rizal Jaelani S.Hut yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang, dan bantuan tanpa pamrih selama pembuatan karya tulis ini. 8. Seluruh sahabat svk 43 (dessy, thea, ibel, lika, fafa, dwita), teman lab hama (ayu, beti, furqon, ega) maupun teman-teman Silvikultur yang sangat membantu dan memberi dukungan selama ini. 9. Staff dan Laboran Departemen Silvikultur. 10. Serta pihak-pihak lain yang tidak bisa disebutkan satu-persatu disini.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala
rahmat
dan
hidayahNya
sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian ini penulis mengambil judul Keanekaragaman Fauna Tanah Dan Perannya Terhadap Laju Dekomposisi Serasah Hevea brasiliensis di Kebun Percobaan Cibodas - Ciampea Bogor. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keanekaragaman jenis fauna tanah dengan metode identifikasi serta memberikan gambaran mengenai peranannya terhadap laju dekomposisi serasah. Penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan kepada penulis dalam proses penyelesaian tulisan ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan kritik sangat penulis butuhkan bagi perbaikan tulisan ini sehingga dapat lebih bermanfaat terutama bagi penulis dalam menyelesaikan penelitian dengan lancar sehingga dapat memberikan hasil terbaik.
Bogor, Agustus 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..........................................................................................
i
DAFTAR TABEL .................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
v
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ...........................................................................
1
1.2 Tujuan ........................................................................................
2
1.3 Manfaat ......................................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................
3
2.1 Identifikasi .................................................................................
3
2.2 Definisi Keanekaragaman..........................................................
3
2.3 Fauna Tanah ..............................................................................
5
2.4 Serasah dan Laju Dekomposisi..................................................
6
2.5 Kayu Karet (Hevea brasiliensis) ...............................................
8
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................
10
3.1 Waktu dan Tempat.....................................................................
10
3.2 Bahan dan Alat ..........................................................................
10
3.3 Metode Penelitian ......................................................................
10
3.3.1 Kegiatan di Lapangan .......................................................
10
3.3.2 Kegiatan di Laboratorium .................................................
12
3.4 Analisis Data..............................................................................
13
3.4.1 Kekayaan Jenis (Spesies Richness)...................................
13
3.4.2 Keragaman Jenis ...............................................................
13
3.4.3 Kemerataan Jenis ..............................................................
13
3.4.4 Kesamaan Jenis.................................................................
13
3.4.5 Pendugaan Laju Dekomposisi ..........................................
14
3.4.6 Rancangan Penelitian .......................................................
14
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................
15
4.1 Hasil Penelitian ..........................................................................
15
4.1.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian.....................................
15
4.1.2 Kondisi Lingkungan Tegakan Hevea brasiliensis ............
15
4.1.3 Kelimpahan Fauna Tanah .................................................
16
4.1.4 Indeks Keanekaragaman Jenis ..........................................
19
4.1.5 Laju Dekomposisi Serasah ...............................................
22
4.2 Pembahasan ...............................................................................
25
4.2.1 Komposisi Fauna Tanah ...................................................
25
4.2.2 Kelimpahan dan Keanekaragaman Fauna Tanah .............
27
4.2.3 Laju Dekomposisi Serasah ...............................................
30
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................
32
5.1 Kesimpulan ................................................................................
32
5.2 Saran ..........................................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................
34
LAMPIRAN ...........................................................................................
37
DAFTAR TABEL No
Teks
Halaman
1. Kondisi fisik tegakan hutan karet Hevea brasiliensis .......................... 16 2. Koefisien kesamaan jenis fauna tanah antar tipe lokasi ....................... 21 3. Indeks keanekaragaman total fauna tanah............................................ 21 4. Perbandingan indeks keanekaragaman fauna tanah pada berbagai tipe penutupan lahan .............................................................. 22
DAFTAR GAMBAR No
Teks
Halaman
1. Corong Barlese-Tullgren .................................................................... 12 2. Grafik histogram kelimpahan total fauna tanah .................................. 17 3. Kelimpahan Total Fauna Tanah Pada Periode Pengamatan .............. 18 4. Grafik Hubungan Antara Bobot Serasah Hevea brasiliensis Dengan Waktu Dekomposisi Pada Tiga Lokasi Pengamatan ............. 23 5. Grafik Hubungan Antara Laju Dekomposisi Dengan Waktu Dekomposisi Pada Tiga Lokasi Pengamatan....................................... 24
DAFTAR LAMPIRAN No
Teks
Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ....................................................................... 38 2. Laju dekomposisi serasah ................................................................. 39 3. Hasil pengolahan analisis data dengan rancangan acak kelompok ................................................................. 41 4. Fauna tanah yang ditemukan dengan metode Hand-Colllection .................................................................. 44 5. Fauna tanah yang ditemukan dengan metode corong Barlese-Tullgren....................................................... 45 6. Fauna tanah yang ditemukan di lokasi penelitian ............................. 52 7. Tabel – tabel indeks keanekaragaman pada masing-masing waktu pengamatan pada tiga lokasi................................................... 55
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara tropis yang mempunyai hutan luas merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati. Diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia berada di Indonesia, yang dari setiap jenis memuat ribuan plasma nutfah dalam kombinasi yang unik sehingga terdapat aneka gen dalam individu. Secara total, keanekaragaman hayati di Indonesia sebesar 325.350 jenis flora dan fauna sehingga disebut sebagai negara Mega Biodiversity. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Mittermeier dan Mittermeier (1997) disebutkan bahwa Indonesia memiliki 515 jenis mamalia, 1.531 jenis burung, 511 jenis reptilia, 270 jenis amfibia, 1.400 jenis ikan air tawar, dan sekitar 37.000 jenis tumbuhan tinggi. Menurut Suin (1997), Keanekaragaman hayati merupakan asosiasi antara faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik terdiri dari suhu, kadar air, porositas, tekstur tanah, salinitas, pH, kadar organik tanah, dan unsur mineral. Faktor biotik bagi fauna tanah adalah organisme lain yang terdapat di habitatnya. Selain itu, fauna tanah juga bergantung pada keadaan tegakan atau pohon di areal tersebut. Faktor-faktor tersebut sangat menentukan bagi struktur komunitas fauna yang terdapat dalam suatu habitat. Pengetahuan keanekaragaman jenis dan perubahan komposisi fauna tanah sangat penting diketahui untuk pendugaan terhadap pengaturan proses dekomposisi dan produktivitas tanah. Akan tetapi masih terdapat keterbatasan informasi mengenai fauna tanah terutama di Indonesia, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang identifikasi fauna tanah dan peranannya terhadap proses yang terjadi di dalam tanah seperti dekomposisi serasah. Hutan merupakan habitat alami bagi fauna tanah untuk mempertahankan kesinambungan hidupnya. Fauna tanah sangat berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Kelangsungan hidup fauna tanah bergantung pada kelestarian ekosistemnya. Pengalihgunaan hutan menjadi perkebunan merupakan salah satu gangguan ekosistem hutan yang dapat mengakibatkan dampak terhadap
keberadaan fauna tanah. Dipilihnya ekosistem karet karena ekosistem tersebut merupakan perwakilan dari pengalihgunaan hutan menjadi perkebunan karet. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman fauna tanah skala makrofauna dan mesofauna di Kebun Percobaan Cibodas - Ciampea Bogor serta mengetahui perannya terhadap laju dekomposisi serasah Hevea brasiliensis. 1.3 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai keanekaragaman fauna tanah dan peranannya terhadap laju dekomposisi serasah sehingga keberadaan fauna tanah dapat terjaga dengan mempertimbangkan aspek kesinambungan kelestarian ekosistem hutan serta dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan hutan yang berkesinambungan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi Identifikasi merupakan salah satu tugas seorang ahli sistematika untuk mengetahui taksonomi serangga. Identifikasi serangga diperlukan untuk menentukan jenis serangga apa pada spesimen yang dipelajari itu. Alasan-alasan untuk mengetahui spesies serangga tergantung pada keperluan seseorang. Bagi ahli sistematika, identifikasi digunakan untuk memperoleh informasi pustaka suatu penyimpanan data dan meyakinkan bahwa organisme itu sebelumnya belum dideskripsikan. (Husaeni et al., 2006) Menurut Borror et al. (1996), terdapat lima cara dalam mengidentifikasi serangga, yaitu : 1. Serangga diidentifikasi oleh seorang ahli untuk keperluannya. 2. Membandingkan serangga dengan spesimen yang berlabel dalam suatu koleksi. 3. Membandingkan serangga dengan gambar-gambar. 4. Membandingkan serangga dengan uraian-uraian atau deskripsi singkat. 5. Menggunakan sebuah kunci analitik atau dengan satu kombinasi dari dua atau lebih prosedur-prosedur. Terdapat empat kesulitan dalam mengidentifikasi serangga, yaitu (1) terlalu banyak jenis yang berbeda-beda dari serangga, (2) kebanyakan jenis serangga berukuran kecil dan ciri-ciri identifikasinya seringkali sulit dilihat, (3) banyak serangga yang kurang sekali dikenal sehingga sedikit informasi biologinya, dan (4) banyak serangga yang mengalami tahapan-tahapan yang sangat berbeda dalam siklus hidupnya dan seseorang mungkin hanya mengetahui serangga dalam satu tahapan dari siklus hidup mereka. (Borror et al., 1996)
2.2 Definisi Keanekaragaman Keanekaragaman
hayati
(biodiversity)
menyatakan
keseluruhan
sumberdaya alam hayati mencakup gen, spesies, dan ekosistem yang terdapat
pada suatu tempat tertentu. Fungsi hutan dalam menghasilkan barang dan jasa untuk
penyangga
kehidupan
di
muka
bumi
sangat
tergantung
pada
keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. (Suhendang, 2002) Menurut Soil Water and Conservation Society (SWCS, 1996) dalam Hardini (1999), Keanekaragaman hayati jika dilihat dari kekayaan jenis merupakan suatu indikator kemantapan suatu komunitas khusus atau ekosistem. Keanekaragaman hayati dapat dirumuskan sebagai fungsi dari banyaknya spesies di dalam suatu ruang tertentu dan diferensiasi relung ekologi di dalam suatu ekosistem. Keanekaragaman hayati dalam suatu bentang lahan dapat diamati dari banyaknya spesies satwa, kehadiran fauna tanah berukuran mikro, meso, atau makro, dan kehadiran spesies di suatu jaringan makanan. Keanekaragaman hayati tanah memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan dan fungsi suatu ekosistem. Ada tiga alasan utama untuk melindungi keanekaragaman hayati tanah, yaitu: (a) secara ekologi; dekomposisi dan tanah merupakan proses dan kunci di alam yang dilakukan oleh organisme tanah dan organisme tanah berperan sebagai „pelayan ekologi‟ bagi eksistensi suatu ekosistem, (b) secara aplikatif; berbagai jenis organisme tanah telah dimanfaatkan dalam berbagai bidang misalnya pertanian,kedokteran dan sebagainya, dan (c) secara etika; semua bentuk kehidupan , termasuk biota tanah memiliki nilai keunikan yang tidak dapat digantikan. (Hagvar, 1998) Menurut McNaughton dan Wolf (1990), keanekaragaman dalam ekologi umumnya mengarah pada keanekaragaman jenis yang terdiri dari dua komponen, yaitu jumlah jenis yang mengarah kepada kekayaan jenis (richness spesies) dan kelimpahan jenis yang mengarah kepada kesamaan jenis (eveness spesies). Odum (1993) mengarahkan keanekaragaman jenis dengan indeks keragaman jenis, yaitu suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Odum (1993) menyatakan bahwa penilaian keanekaragaman jenis dengan menggunakan indeks kekayaan jenis adalah untuk mengetahui jumlah jenis yang ditemukan pada suatu komunitas. Indeks kekayaan jenis yang dipakai adalah indeks kekayaan jenis Margalef, sedangkan untuk indeks keragaman jenis yang dipergunakan adalah indeks keragaman jenis Shannon-Wiener.
2.3 Fauna Tanah Tanah merupakan bahan mineral yang tidak padat terletak di permukaan bumi yang telah dan akan tetap mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktorfaktor genetik dan lingkungan yang meliputi bahan induk, iklim, organisme tanah, dan topografi pada suatu periode waktu tertentu. (Hanafiah, 2005) Fauna tanah merupakan salah satu kelompok heterotrof utama dalam tanah. Walwork (1970) mengklasifikasikan fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh yaitu : a) Mikrofauna tanah berukuran tubuh 20 µm – 200 µm, misalnya Acari. b) Mesofauna tanah berukuran 200 µm – 1 cm seperti Collembola, Acari, larva serangga, dan sebagainya. c) Makrofauna tanah berukuran lebih dari 1 cm seperti Hexapoda, cacing tanah Molusca, dan sebagainya. Hole (1981) memilah binatang tanah menjadi dua golongan berdasarkan caranya mempengaruhi penampilan tanah, yaitu : a) Binatang
eksopedonik,
yaitu
mencakup
binatang-binatang
yang
mempengaruhi penampilan tanah dari sisi luar, umumnya berukuran besar dan tidak menjadi penghuni sistem tanah secara tetap. Binatang eksopedonik meliputi Mamalia, Aves, Reptilia, Amphibia. b) Binatang endopedonik, yaitu mencakup binatang-binatang yang lazim menghuni sistem tanah dan mempengaruhi aneka gatra penampilan tanah dari sisi dalam. Binatang endopedonik ini mempunyai peranan besar dalam mendaur ulang unsur hara melalui pengkonsumsian bahan organik. Binatang endopedonik meliputi kelas Hexapoda, Myriapoda, Arachnida, Crustacea, Onycophora, Oligochaeta, Hirudinae, dan Gastropoda. Menurut Hanafiah et al. (2005) Populasi dan biodiversitas jasad hayati tanah tergantung pada aktivitas masing-masing golongannya, yang terutama dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu : 1. Cuaca, terutama curah hujan dan kelembaban 2. Kondisi atau sifat tanah terutama kemasaman, kelembaban, suhu, dan ketersediaan hara, dan 3. Tipe vegetasi penutup lahan, misalnya hutan, belukar, dan padang rumput.
Perilaku tinggal dan makan bagi fauna tanah merupakan aspek dinamis sebagai akibat terjadinya perubahan keadaan lingkungannya. Gangguan pada aspek tersebut dapat berpengaruh pada intensitas kehadiran fauna tanah dan perannya dalam mendaur hara di suatu tempat. (Hardini, 1999) Menurut Adianto (1993), fauna tanah menempati kategori hunian tertentu dalam tubuh tanah sesuai ciri anatomis dan fisiologis yang dimilikinya, yaitu : fauna penghuni lapisan serasah segar atau melapuk sedikit (epipedaphon), fauna penghuni lapisan serasah yang membusuk (hemiedaphon), dan fauna penghuni lapisan anorganik/mineral tanah (ephedaphon). Menurut Tate III (1987) dalam Hardini (1999), Fauna tanah dipilah berdasarkan perilaku makannya menjadi : a) Kelompok karnivora yang mencakup fauna pemangsa dan fauna parasit. b) Kelompok fitofag yang mencakup fauna pemakan tumbuhan segar di permukaan tanah, fauna pemakan akar, dan fauna pemakan kayu c) Kelompok safrofag yang mencakup fauna pemakan serasah segar dan membusuk, fauna koprofaga (pemakan kotoran), fauna silofaga (pemakan kayu), fauna scavenger, dan fauna detritus (pemakan serpihan). d) Kelompok mikrofilik (pemakan spora, bakteri, lumut kerak, hifa cendawan, ganggang). e) Kelompok miseolanis (pemakan aneka keadaan pakan)
2.4 Serasah dan Laju Dekomposisi Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang terdapat di atas permukaan tanah dan tersusun oleh bahan-bahan yang telah mati. Bahan-bahan mati yang masih berdiri seperti pohon, cabang yang belum jatuh, tidak termasuk ke dalam pengertian ini. (Spurr dan Burton, 1980) Proctor (1983) dalam Hilwan (1993) mengemukakan bahwa komponen yang dianggap penting dari serasah yaitu daun, ranting dengan diameter maksimal 1 cm, cabang kecil dengan diameter maksimal 2 cm, kulit batang dan alat-alat reproduksi sperti bunga dan buah. Sekitar 70% dari total serasah diatas permukaan tanah berupa serasah daun.
Menurut Waring dan Schleinger (1985) dalam Hilwan (1993) , istilah ‟dekomposisi‟ digunakan untuk menerangkan sejumlah besar proses yang dialami bahan organik, yaitu proses perombakan bahan organik menjadi partikel-partikel yang lebih kecil kemudian menjadi unsur-unsur hara yang terlarut, tersedia bagi tanaman dan dapat diserap tanaman kembali. Whitmore (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga parameter yang secara luas digunakan untuk mengukur laju dekomposisi serasah. Ketiga parameter tersebut adalah respirasi tanah, nilai K (rasio antara produksi rata-rata tahunan serasah dengan produksi rata-rata tahunan serasah diseluruh lantai hutan), dan laju kehilangan bobot serasah. Menurut Anderson dan Swift (1983), proses dekomposisi sangat ditentukan oleh tiga variabel yaitu (1) organisme pengurai (terdiri dari hewan dan mikroorganisme), (2) kualitas serasah (karakter bahan organik yang menentukan untuk dilapukan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (terdiri dari iklim makro dan tanah). Menurut Suin (1997), suhu tanah merupakan salah satu faktor fisik tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah dan menentukan tingkat dekomposisi material bahan organik. Menurut Hanafiah (2005) berdasarkan produk yang dihasilkan, proses dekomposisi bahan organik digolongkan menjadi : (1) Mineralisasi senyawa-senyawa tidak resisten seperti selulosa, pati, gula, dan protein, yang mnghasilkan ion-ion hara tersedia, dan (2) Humifikasi senyawa-senyawa resisten seperti lignin, resin, minyak, dan lemak yang menghasilkan humus. Humus merupakan senyawa kompleks asal jaringan organik tanaman atau hewan yang telah dimodifikasi atau disintesis oleh mikroba tanah. Borror et al. (1996) menerangkan bahwa serangga pemakan bahan organik sisa tumbuhan dan hewan, membantu merubah zat-zat yang lebih sederhana yang dikembalikan ke tanah, dimana mereka juga menyingkirkan zat-zat yang tidak sehat dan berbahaya dari lingkungan. Komposisi kimia serasah sangat menentukan kualitas serasah sebagai sumber makanan dan substrat bagi organisme pengurai (dekomposer). Serasah daun mengandung unsur-unsur N, P, dan karbohidrat terlarut yang lebih rendah dibandingkan dengan daun segar,
sebagai akibat dari penyerapan unsur hara sebelum daun gugur. Pada saat yang sama, konsentrasi Ca, tannin, selulosa, dan lignin meningkat. (Waring et al., 1985 dalam Hilwan, 1993) Thaiutsa et al. (1979) dalam Hilwan (1993) mengemukakan bahwa faktor iklim menentukan laju dekomposisi bahan organik sehingga mempengaruhi kelimpahan bahan organik di permukaan tanah. Kelembaban dan temperatur adalah
variabel
iklim
yang terpenting sebab
keduanya
mempengaruhi
perkembangan tumbuhan dan aktivitas mikroorganisme tanah. Pada tingkat suhu sedang (300) dan kelembaban antara 60-80%, laju dekomposisi bahan organik mencapai tingkat tertinggi. Peningkatan maupun penurunan suhu secara bersamaan akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik.
2.5 Kayu Karet (Hevea brasiliensis) Kayu karet (Hevea brasiliensis Muell, Arg.) termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae (Steenis, 1981). Tanaman karet dapat tumbuh baik di daerah khatulistiwa tersebar antara 500 LS – 600 LU dengan suhu rata-rata 280C pada ketinggian 1-1000 mdpl. Tanaman ini dapat berjumlah 175-200 pohon/Ha dengan diameter rata-rata 30 cm. Batang bebas cabang berdiameter sekitar 3-4 cm dengan bentuk silindris, terdapat bekas sadapan dan banyak benjolan khususnya pada tanaman karet yang berasal dari tanaman rakyat. (Barly, 1988). Menurut Penerbit Swadaya (1992), di dalam dunia tumbuhan, tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Hevea
Spesies
: Hevea brasiliensis
Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang pohon biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi di atas. Akar tanaman karet
merupakan akar tunggang yang dapat menopang batang pohon yang tumbuh tinggi dan besar. Daun karet berwarna hijau dan apabila rontok berubah warna menjadi kuning atau merah. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun antara 310 cm dan pada ujungnya terdapat kelenjar. Anak daun berbentuk eliptis, memenjang dengan ujung meruncing, bertepi rata dan gundul, tidak tajam. Menurut Steenis (1981) pada musim kering terjadi rontok daun karet yang khas. Sebagian besar daun rontok memperlihatkan warna kuning dan merah yang indah, warna musim rontok. Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan betina. Bunga betina berambut vilt dan berukuran lebih besar dari jantan serta mengandung bakal buah yang beruang tiga. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun menjadi suatu tiang. Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Masingmasing ruang berbentuk setengah bola. Jumlah ruang biasanya tiga dengan garis tengah buah 3-5 cm. Bila buah sudah masak maka akan pecah dengan sendirinya. Pemecahan biji berhubungan dengan perkembangbiakan karet secara alami. Biji karet terdapat dalam setiap ruang buah. Ukuran biji besar dengan kulit yang keras dan berwarna cokelat kehitaman dengan bercak-bercak berpola khas. Biji karet berbahaya karena mengandung racun. Manfaat karet alam yaitu sebagai penghasil getah (lateks) untuk bahan baku pembuatan aneka barang keperluan manusia. Manfaat lainnya yaitu penghasil kayu dari batang pohon karet. Karet memiliki pengaruh besar terhadap bidang transportasi, pendidikan, kesehatan, hiburan, komunikasi, dan bidang kehidupan lain yang vital bagi manusia. Manfaat secara tak langsung pun banyak yang diperoleh dari barang yang terbuat dari bahan karet.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober 2009 - Februari 2010, dimana pengambilan sampel serasah dan pemasangan jebakan pertama dilakukan pada bulan Oktober 2009, sedangkan pembenaman dan pemanenan serasah dilakukan pada bulan November 2009 sampai Januari 2010 di Tegakan Karet (H. brasiliensis) Ciampea Bogor dan pada bulan Februari 2010 dilakukan identifikasi jenis fauna tanah di Laboratorium Entomologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% dan serasah daun H. brasiliensis. Peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah alat tulis, botol koleksi, buku identifikasi Borror et al. (1996), cangkul, cawan petri, corong Barlese-Tullgren, kamera digital, Litterbag sebanyak 54 buah dengan ukuran 0,25 mm mesh yang berbahan
dasar kain
kelambu,
mikroskop/kaca pembesar, patok bambu berukuran 1 meter sebanyak 12 buah, pinset, pita meter, tali rafia, Termometer tanah, Termometer Dry-Wet, timbangan, dan Trashbag sebanyak 3 buah.
3.3 Metode Penelitian Prosedur penelitian yang dilaksanakan yaitu dimulai dari kegiatan di lapangan kemudian dilanjutkan dengan mengidentifikasi fauna tanah yang diperoleh menggunakan buku identifikasi Borror et al. (1996). Setelah itu menganalisis data identifikasi menggunakan indeks keanekaragaman.
3.3.1 Kegiatan di Lapangan A. Inventarisasi keanekaragaman makro dan meso fauna tanah 1.
Pembuatan plot ukuran 1 x 1 m di atas permukaan tanah yang berserasah
2.
Pengukuran suhu dan kelembaban permukaan tanah
3.
Pengambilan serasah pada plot pengukuran dan menempatkannya pada bak plastik
4.
Fauna tanah yang terlihat ditangkap dan dimasukkan ke dalam botol koleksi berisi alkohol 70 % dengan menggunakan pinset. Teknik koleksi yang digunakan dinamakan Hand Collection
5.
Serasah yang telah ditempatkan dalam bak plastik selanjutnya diekstraksi dengan corong Barlese- Tullgren di laboratorium.
B. Pembuatan perangkap serasah 1.
Pembuatan perangkap menggunakan trashbag yang diletakkan pada tiga titik yaitu bagian luar, tengah, dan dalam dengan jarak antara titik yaitu 150 meter di bawah tegakan H. brasiliensis
2.
Pendiaman trashbag di bawah tegakan masing-masing selama 2 minggu
3.
Pengeringanginan dan penimbangan serasah sebanyak 50 gram per litterbag yang diperoleh di dalam tangkapan trashbag
4.
Pemasukan serasah kedalam litterbag berukuran 0,25 mm mesh kemudian litterbag direkat dengan menggunakan lem
5.
Kantung-kantung litterbag tersebut kemudian ditanam kedalam tanah dengan kedalaman 5-7 cm pada 3 titik yaitu bagian luar, tengah, dan dalam dengan 3 kali ulangan pada masing-masing titik.
B. Pemanenan Serasah 1.
Pengambilan satu set litterbag pada minggu ke-2, 4, 6, 8, 10, dan 12. Satu set litterbag terdiri dari 9 litterbag yang berasal dari 3 kali ulangan pada masing-masing titik bagian luar, tengah, dan dalam
2.
Satu set litterbag dimasukkan dalam bak plastik dan disimpan untuk diekstraksi dengan corong Barlese-Tullgren di laboratorium.
3.3.2
Kegiatan di Laboratorium
Identifikasi dengan teknik corong Barlese-Tullgren 1.
Satu set litterbag berisi serasah yang berasal dari lapangan kemudian dilakukan ekstraksi dengan teknik corong Barlese-Tullgren. Teknik dengan menggunakan corong Barlese-Tullgren dilakukan dengan cara mengumpulkan massa serasah yang telah diambil di plot pengukuran dan
memasukkannya ke dalam corong Barlese-Tullgren, setelah itu didiamkan selama 1 hari dengan kondisi tutup corong diberi lampu 40 watt dengan tujuan untuk menimbulkan panas di dalam corong sehingga di asumsikan bahwa fauna tanah yang berada di dalam isi corong akan mencari tempat yang lebih dingin, yaitu dengan cara turun ke bibir corong dan terperangkap di botol koleksi yang telah disiapkan
Gambar 1 corong Barlese-Tullgren 2.
Botol koleksi berisi alkohol 70% diletakkan dibawah bibir corong selama 24 jam.
3.
Jenis-jenis fauna tanah yang diperoleh, disortir dan diidentifikasi sampai ordo, famili, dan morfospesies dengan bantuan buku identifikasi Borror et al. (1996) dan mikroskop/kaca pembesar.
3. 4 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menghitung nilai kekayaan jenis, keragaman jenis, dan kemerataan jenis dengan Program Spesies Richness Biodiversity serta perhitungan pendugaan laju dekomposisi. Berikut persamaanpersamaan yang digunakan dalam analisis data (Ludwig dan Reynolds, 1988) :
3.4.1 Kekayaan Jenis (Spesies Richness) dengan Indeks Kekayaan Margalef: DMg = (S-1)/ln N
Keterangan : DMg = indeks kekayaan jenis Margalef S
= jumlah jenis yang ditemukan
N
= jumlah individu seluruh jenis yang ditemukan
3.4.2
Keragaman Jenis dengan Indeks Shannon-Wiener : H’ = - ∑ pi ln pi
dengan pi = ni/N
keterangan : H‟ = indeks keanekaragaman pi
= proporsi nilai penting (n/N)
ni
= jumlah individu jenis ke-i
N
= jumlah individu seluruh jenis yang ditemukan
ln
= logaritma natural
3.4.3 Kemerataan Jenis (Eveness) dengan persamaan : E
= H’/ln S
keterangan : E
= indeks kemerataan jenis
S
= jumlah jenis
H‟ = indeks keanekaragaman Shanon-Wiener
3.4.4 Kesamaan Jenis dengan Koefisien Kesamaan Jaccard : Sj = a/(a + b + c) keterangan : Sj = Koefisien Kesamaan Jaccard a = Jumlah jenis yang ditemukan pada tipe habitat A dan B b = Jumlah jenis yang hanya ditemukan pada tipe habitat B c = Jumlah jenis yang hanya ditemukan pada tipe habitat A
3.4.5
Pendugaan Laju Dekomposisi Menurut Hilwan (1993) perhitungan laju dekomposisi dilakukan dengan
pendekatan : Wo - Wt
W =
Wo
W
, dimana D =
x 100%
minggu/hari
Wo = Berat awal serasah (gr) Wt = Berat kering akhir serasah (gr) W = Penurunan bobot D
= Dekomposisi
3.4.6 Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan waktu sebagai perlakuan dan tempat sebagai kelompok.
Model rancangannya adalah : Yij = µ + τ i + βj + Єij dimana : Yij
=Pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ
= Rataan umum
τi
= Pengaruh faktor A taraf ke-i
βj
= Pengaruh faktor B taraf ke-j
Єij
= Pengaruh acak pada perlakuan ke-I dan kelompok ke-j Analisis data dengan menggunakan sistem SAS 9.1 for windows.
Hipotesis yang diuji yaitu pengaruh perlakuan dan pengaruh pengelompokkan. Berikut hipotesis dapat ditulis sebagai berikut : 1. Pengaruh perlakuan H0 : τ1 =…= 0 (perlakuan tidak berpengaruh) H1: min ada satu i dimana τi ≠ 0 , 2. Pengaruh pengelompokkan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tegakan kebun karet berlokasi di Kebun Percobaan Cibodas Desa Ciaruteun Hilir Ciampea Bogor dengan luas 26.1035 Ha. Tegakan kebun karet tersebut merupakan tegakan milik Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Nusantara yang berlokasi di Bogor dan ditanam untuk tujuan penelitian dan pemenuhan produksi hasil non kayu berupa lateks (getah), sedangkan kayunya tidak digunakan untuk produksi. Kebun percobaaan Cibodas memiliki jenisjenis karet unggul dengan bermacam-macam tipe berdasarkan daerah asal sumber benih. Kebun percobaan memiliki 5 petak yang dibagi menjadi beberapa anak petak berdasarkan tahun tanam dan daerah asal sumber benih. Peta Kebun Percobaan Cibodas tersaji pada Lampiran 1.
4.1.2 Kondisi Lingkungan Tegakan Hevea brasiliensis Penelitian dibagi menjadi tiga lokasi, yaitu bagian tepi, tengah, dan dalam. Bagian tepi kebun merupakan bagian yang berdekatan dengan akses jalan dan memiliki kondisi tegakan dengan pohon berdiameter kecil (6-15 cm) dan biasanya hanya digunakan sebagai bahan tanaman (entres), bagian tengah kebun berada pada jarak 150 meter dari bagian tepi, dan bagian dalam kebun berada pada jarak 300 meter dari bagian tepi. Bagian tengah dan dalam memiliki pohon dengan diameter antara 22-45 cm. Berdasarkan pengamatan dan pengukuran kondisi lingkungan tegakan karet, diperoleh nilai suhu udara, suhu tanah, kelembaban, serta tebal serasah rata-rata yang tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kondisi fisik tegakan hutan karet Hevea brasiliensis Lokasi
Jarak Tanam (m)
Suhu Udara (0C)
Suhu Tanah (0C)
RH (%)
Tepi Tengah Dalam
1X1 4x6 4x6
27 28 28
26 28 28
76 73 72
Tebal Serasah RataRata (cm) 5.2 4.5 3.9
Berdasarkan hasil pengamatan kondisi fisik tegakan karet, dapat diketahui bahwa nilai parameter fisik masing-masing lokasi berbeda. Bagian tepi memiliki jarak tanam yang rapat dibandingkan bagian tengah maupun dalam serta memiliki kelembaban relatif yang paling besar, yaitu 76%. Hasil pengukuran terhadap tebal serasah, diperoleh bahwa bagian tepi memiliki ketebalan serasah yang cukup tinggi dibandingkan kedua lokasi lainnya. Hal ini berarti bahwa kondisi ketebalan serasah yang tinggi memiliki persentase kelembaban relatif yang tinggi pula.
4.1.3 Kelimpahan Fauna Tanah Jumlah taksa fauna tanah yang ditemukan dengan metode Hand-Collection pada tiap-tiap bagian hutan dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan Lampiran 4, bagian dalam memiliki jumlah individu yang cenderung lebih sedikit dibandingkan bagian tepi dan tengah. Sedikitnya jumlah individu lebih dikarenakan ketersediaan makanan yang dibutuhkan oleh fauna tanah. Jumlah taksa fauna tanah dengan metode corong Barlese-Tullgren pada masingmasing waktu pengamatan tersaji pada Lampiran 5. Fauna tanah yang ditemukan di lokasi penelitian pada periode 12 minggu pengamatan terdiri dari : 1 filum (Arthropoda), 4 kelas (Hexapoda, Hexapoda Entognatus, Arachnida, dan Chilopoda), 18 ordo (Acari, Blattaria, Coleoptera, Collembolla, Diplura, Diptera, Dermaptera, Geophilomorpha, Hymenoptera, Isoptera,
Lithobiomorpha,
Opiliones,
Psocoptera,
Siphonaptera,
Scolopendromorpha, Scorpionida, Solifugae, dan Thysanoptera), 34 famili, dan 42 genus. Beberapa gambar fauna tanah yang ditemukan di lokasi penelitian tersaji pada Lampiran 6. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa fauna tanah yang diperoleh dengan menggunakan metode corong Barlese-Tullgren pada setiap waktu pengamatan yaitu sebanyak 770 individu (0 minggu), 98 individu (2 minggu), 112 individu (4 minggu), 354 individu (6 minggu), 177 individu (8 minggu), 174 individu (10 minggu), dan 65 individu (12 minggu).
Gambar 2. Grafik Histogram Kelimpahan Total Fauna Tanah Kelimpahan total fauna tanah pada masing-masing waktu pengamatan dengan metode corong Barlese-Tullgren dapat dilihat pada Gambar 3.(terpisah) Gambar 3 memperlihatkan bahwa kelimpahan fauna tanah pada minggu ke-0 sampai minggu ke-12 adalah berbeda. Pada minggu ke-0 kelimpahan tertinggi didominasi oleh ordo Acari dengan jumlah 499 individu dari 5 famili dan ordo terendah yaitu Blattaria dan Opiliones dengan jumlah masing-masing ialah 1 individu. Pada minggu ke-2, kelimpahan tertinggi didominasi oleh ordo Acari dengan jumlah 53 individu. Pada minggu ke-4 kelimpahan tertinggi didominasi oleh ordo Colembolla dengan jumlah individu sebanyak 65 individu dan ordo terendah yaitu Diplura dengan jumlah satu individu. Pada minggu ke-6 kelimpahan tertinggi didominasi oleh ordo Colembolla dengan jumlah 288 individu. Pada minggu ke-8 kelimpahan tertinggi didominasi oleh Acari sebanyak
72 individu dan pada peringkat kedua didominasi ordo Colembolla sebanyak 49 individu. Pada minggu ke-10, Colembolla memiliki kelimpahan tertinggi sebanyak 143 individu dan 40 individu pada minggu ke-12. Dapat disimpulkan bahwa ordo yang mendominasi pada setiap waktu pengamatan dengan nilai kelimpahan tertinggi ialah ordo Acari dan Colembolla. Berdasarkan Gambar 3, dapat digambarkan pula bahwa pada tahap awal dekomposisi, ordo Acari mendominasi dengan kelimpahan yang tertinggi sampai pada minggu ke-2. Kemudian terjadi pergeseran dominansi pada minggu ke-4 oleh ordo Colembolla sampai pada minggu ke-6 dan ordo Acari muncul lagi pada minggu ke-8. Pada minggu ke-10 dan tahap akhir dekomposisi, ordo Colembolla mendominasi kembali kelimpahan tertinggi.
4.1.4 Indeks Keanekaragaman Jenis a. Indeks Kekayaan Jenis (Richness) Berdasarkan hasil analisis tabel yang tersaji pada Lampiran 7, untuk minggu ke-0 diperoleh nilai indeks kekayaan (Dmg) tertinggi sebesar 3.315 di bagian tepi. Pada minggu ke-2 diperoleh nilai keanekaragaman tertinggi sebesar 3.607 di bagian dalam. Pada minggu ke-4 diperoleh nilai indeks keanekaragaman tertinggi sebesar 2.588 di bagian tengah. Pada minggu ke-6 diperoleh nilai Dmg tertinggi sebesar 2.868 di bagian tepi. Pada minggu ke-8 diperoleh nilai indeks keanekaragaman tertinggi sebesar 3.687 di bagian tepi. Pada minggu ke-10 diperoleh nilai Dmg tertinggi sebesar 2.660 di bagian tepi. Pada minggu ke-12 diperoleh nilai indeks keanekaragaman tertinggi dengan nilai Dmg sebesar 2.956 di bagian tengah. b. Indeks Keragaman Jenis (Shanon-Wiener) Hasil analisis tabel yang tersaji pada Lampiran 7, untuk minggu ke-0 diperoleh indeks keragaman tertinggi sebesar 2.233 (tepi). Pada minggu ke-2 diperoleh nilai keragaman tertinggi sebesar 2.339 (dalam). Pada minggu ke-4 diperoleh nilai indeks keragaman tertinggi sebesar 2.114 (tengah). Pada minggu ke-6 diperoleh nilai indeks keragaman tertinggi sebesar 1.886 (tepi). Pada minggu ke-8 diperoleh nilai indeks keragaman tertinggi sebesar 2.463 (tepi). Pada minggu
ke-10 diperoleh nilai indeks keragaman tertinggi sebesar 1.708 (tengah). Pada minggu ke-12 diperoleh nilai indeks keragaman sebesar 2.087 (tengah). c. Indeks Kemerataan Jenis (Eveness) Hasil analisis tabel pada minggu ke-0, diperoleh indeks kemerataan tertinggi dengan nilai sebesar 0.734 (dalam). Pada minggu ke-2 diperoleh nilai indeks kemerataan tertinggi sebesar 0.781 (dalam). Pada minggu ke-4 diperoleh nilai indeks kemerataan tertinggi dengan nilai 0.762 (tengah). Pada minggu ke-6 diperoleh nilai indeks kemerataan tertinggi sebesar 0.619 (tepi). Pada minggu ke-8 diperoleh nilai indeks kemerataan tertinggi sebesar 0.822 (tepi). Pada minggu ke10 diperoleh nilai indeks kemerataan tertinggi sebesar 0.570 (tengah). Pada minggu ke-12 diperoleh nilai indeks kemerataan tertinggi dengan nilai 0.814 (tengah). d. Indeks Kesamaan Jenis Fauna Tanah Koefisien kesamaan jenis Jaccard merupakan analisis data untuk mengetahui kesamaan jenis fauna tanah antara tiga lokasi yaitu bagian tepi, tengah, dan dalam. Hasil analisis mengenai koefisien kesamaan jenis fauna tanah di Kebun Percobaan Cibodas –Ciampea Bogor tersaji pada Tabel 2.
Tabel 2. Koefisien kesamaan jenis fauna tanah antar tipe lokasi Lokasi
Tepi
Tengah
Dalam
1
0.77
0.64
Tengah
0.77
1
0.62
Dalam
0.64
0.62
1
Tepi
Berdasarkan hasil koefisien kesamaan jenis pada Tabel 2, bagian yang memiliki koefisien kesamaan tertinggi yaitu antara bagian tepi dan tengah sebesar 77 %, sedangkan antara bagian tengah dan dalam memiliki koefisien kesamaan jenis terendah yaitu sebesar 62%.
Tabel 3. Indeks keanekaragaman total fauna tanah Indeks Biodiversity
Waktu Pengamatan 0 Minggu 3.761
2 Minggu 4.144
4 Minggu 3.179
6 Minggu
H‟
2.412
2.329
E
0.626
0.605
Dmg
3.408
8 Minggu 3.671
10 Minggu 3.683
12 Minggu 2.825
2.319
1.853
2.406
1.649
2.030
0.603
0.481
0.625
0.428
0.527
Hasil analisis Tabel 3 pada keanekaragaman total pada seluruh waktu pengamatan diperoleh hasil bahwa yang memiliki nilai indeks kekayaan jenis (Dmg) terbesar yaitu pada minggu ke-2 dengan nilai sebesar 4.144. Indeks Shanon-Wiener terbesar yaitu pada minggu ke-8 dengan nilai 2.406, sedangkan nilai kemerataan jenis tertinggi yaitu terdapat pada minggu ke-0 dengan nilai sebesar 0.626. Tabel 4. Perbandingan indeks keanekaragaman fauna tanah pada berbagai tipe penutupan lahan Indeks Keanekaragaman
Habitat Hutan Alam*
Hutan
Tegakan
Tanaman**
Karet***
Dmg
6.37
5.09
3.76
Shanon-Wiener
2.77
1.93
2.41
Evenness
0.52
0.53
0.63
Keterangan :* Bersumber dari penelitian Marfuah pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (2008) ** Bersumber dari penelitian Saptono pada hutan tanaman pinus (2005) *** Bersumber dari tabel hasil analisis indeks keanekaragaman total pada minggu ke-0
Berdasarkan perbandingan pada tabel antar penutupan lahan, dapat dilihat bahwa indeks kekayaan jenis tertinggi terdapat pada hutan alam (Dmg = 6.37) > hutan tanaman (Dmg = 5.09) > tegakan karet (Dmg = 3.76). Pada indeks keragaman diperoleh nilai tertinggi pada hutan alam (H‟ = 2.77) dan terendah pada hutan tanaman (H‟ = 1.93), sedangkan indeks kemerataan tertinggi terdapat
pada tegakan karet dengan nilai E = 0.63 > hutan tanaman (E = 0.53) > hutan alam (E = 0.52). 4.1.5 Laju dekomposisi serasah Pengukuran bobot serasah Hevea brasiliensis setiap periode 2 minggu pada masing- masing wilayah tegakan hutan karet yaitu, bagian tepi hutan, tengah hutan, dan dalam hutan yang didekomposisi selama 12 minggu atau 6 periode tersaji pada Lampiran 2. Berdasarkan Lampiran 2 dapat dilihat bahwa setelah didekomposisi selama 12 minggu, serasah Hevea mengalami penurunan bobot sebesar 98.92% (tepi), 99% (tengah), dan 99.12% (dalam). Rata-rata laju dekomposisi serasah per 2 minggu yaitu 35.07% (tepi), 33.02% (tengah), dan 32.07% (dalam). Laju penghancuran serasah tertinggi per dua minggu yaitu terjadi pada minggu ke- 2 yaitu 79.60% (tepi), 70.88% (tengah), dan 71.82% (dalam). Berdasarkan analisis uji F dengan menggunakan rancangan acak kelompok pada taraf 5% memberikan hasil bahwa respon waktu dan tempat berpengaruh nyata terhadap penurunan bobot dan laju dekomposisi (P-value= (<.0001)). Hasil uji lanjut Duncan menyatakan bahwa bagian tepi merupakan tempat yang menghasilkan penurunan bobot dan laju dekomposisi tertinggi dilihat dari nilai Mean tertinggi dan pengamatan pada minggu ke-2 merupakan waktu yang memiliki laju dekomposisi tertinggi dan penurunan bobot terendah dilihat dari nilai rataan totalnya. Antara laju dekomposisi dan penurunan bobot memiliki korelasi yang kuat dan berlawanan (Pearson correlation = - 0,846). Data tersaji pada Lampiran 3. H. brasiliensis merupakan salah satu jenis pohon berdaun lebar yang memiliki respon terhadap waktu dekomposisi. Semakin lama waktu dekomposisi maka semakin besar kehilangan bobot serasah dan semakin rendah laju dekomposisi serasah setiap periodenya (Hilwan, 1993). Berikut ini adalah grafik hubungan antara bobot serasah serta laju dekomposisi dengan waktu dekomposisi.
Gambar 4. Grafik Hubungan Antara Bobot Serasah Hevea brasiliensis Dengan Waktu Dekomposisi Pada Tiga Lokasi Pengamatan
Gambar 5. Grafik Hubungan Antara Laju Dekomposisi Dengan Waktu Dekomposisi Pada Tiga Lokasi Pengamatan
4.2 Pembahasan 4.2.1 Komposisi Fauna Tanah Komposisi fauna tanah merupakan semua jenis fauna tanah yang ditemukan pada lokasi penelitian, yaitu tegakan karet pada Kebun Percobaan Cibodas Ciampea Bogor. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi fauna tanah pada tegakan karet berbeda dibandingkan hutan alam maupun hutan tanaman. Pada tegakan karet, jumlah jenis makanan yang ada sangat rendah karena hanya ditemukan 1 jenis pohon (Hevea brasiliensis) dan 3 jenis tumbuhan bawah yaitu Curculigo villosa (malay), Urena lobata (pulut-pulut), dan Eragrostis atrovirens (rumput dawai). Hal ini mengakibatkan fauna tanah yang ada pada habitat tersebut tidak memiliki pilihan jenis makanan sehingga hanya fauna tanah tertentu yang dapat bertahan hidup. Pada ekosistem karet, kelimpahan fauna tanah tertinggi didominasi oleh Acari. Ordo ini dapat ditemukan pada setiap waktu pengamatan dan tiga tipe lokasi. Acari termasuk dalam kelas Arachnida dan merupakan salah satu kelompok yang sangat besar, berukuran kecil, dan lunak serta biasanya terdapat pada semua habitat hidup. Acari banyak terdapat di dalam tanah dan reruntuhan organik dengan jumlah yang mendominasi (Borror et al., 1996). Menurut Yang dan Chen (2009), dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa Acari merupakan salah satu fauna tanah yang banyak terdapat di alam dan memiliki peran penting dalam proses dekomposisi serasah. Ordo lain yang mendominasi ekosistem karet yaitu ordo Collembola dan Coleoptera. Collembola atau serangga ekor pegas berukuran kecil (0.25 - 6 mm) memiliki kebiasaan hidup pada tempat-tempat yang tersembunyi dan kebanyakan hidup di dalam tanah, reruntuhan daun, di bawah kulit kayu, daun yang membusuk (dekomposisi), dan pada jamur. Besarnya populasi fauna tanah tergantung pada kontribusi kelompok Collembola dan Acarina. Disamping itu, beberapa kelompok Acarina merupakan predator bagi Collembola, sehingga terdapat korelasi antara jumlah Collembola dan Acarina. Menurut Husaeni et al. (2006), hubungan antara Acari dan Collembola digambarkan sebagai hubungan kompetisi interspesifik yang mengacu pada pendugaan lotka-voltera. Kompetisi interspesifik merupakan persaingan antar spesies yang berbeda yang memiliki
kebutuhan yang sama. Kompetisi ini akan menghambat pertumbuhan, mengurangi daya reproduksi, menyebabkan kematian karena kelaparan, dan mungkin menyebabkan perubahan genetik melalui seleksi pada gudang gen (gene pool). Pendugaan Lotka-Voltera menganggap bahwa persaingan antar spesies yang berbeda dapat menghambat populasi pada salah satu spesies. Hal ini terlihat dari populasi Acari dan Collembola yang mengalami fluktuasi kenaikan dan penurunan jumlah individu. Selain dari kompetisi, hal lain yang berpengaruh dalam fluktuasi populasi Acari dan Collembola ialah keadaan lingkungan habitatnya. Ordo Coleoptera atau kumbang-kumbang merupakan ordo terbesar dari serangga-serangga dan memiliki sekitar 40% dari jenis terkenal dalam kelas Hexapoda. Kumbang sangat bervariasi dan dapat ditemukan pada hampir seluruh tipe habitat dan memakan segala macam tumbuhan dan hewan. Banyak jenis Coleoptera sebagai pemakan tumbuh-tumbuhan (memakan sisa dedaunan, pengebor kayu dan buah, serta pemakan bagian bunga yang sedang mekar), bersifat pemangsa, dan pemakan zat-zat organik yang membusuk. Ordo Coleoptera hidup pada habitat akuatik atau semiakuatik, di bawah tanah dan sedikit yang hidup di sarang-sarang serangga sosial (Borror et al., 1996). Fauna tanah merupakan penghuni lingkungan tanah yang memberikan sumbangan energi dari suatu ekosistem. Hal ini disebabkan karena kelompok fauna tanah dapat melakukan penghancuran terhadap materi tumbuhan dan fauna yang telah mati. Serangga tanah berfungsi sebagai perombak material tanaman dan penghancur kayu. Arief (2001), menyebutkan keberadaan fauna dalam tanah sangat tergantung pada ketersediaan energi dan sumber makanan untuk kelangsungan hidupnya. Tersedianya energi dan hara bagi fauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas fauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah.
4.2.2 Kelimpahan dan Keanekaragaman Fauna Tanah Kelimpahan merupakan jumlah total dari fauna tanah. Hasil yang tersaji dalam gambar 2 merupakan grafik histogram untuk kelimpahan total fauna tanah, sedangkan Gambar 3 dapat digambarkan dengan menggunakan nilai total individu
dari masing-masing ordo fauna tanah yang ditemukan pada masing-masing waktu pengamatan. Kelimpahan dari fauna tanah untuk masing-masing waktu pengamatan akan berpengaruh pada penyebaran jenis tersebut pada tiap lokasi. Hasil analisis diketahui bahwa fauna tanah yang ditemukan pada tegakan karet mempunyai penyebaran yang merata. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya nilai kemerataan jenis yang tidak bernilai nol. Kemerataan jenis ini didukung oleh kondisi habitat dan kondisi fauna tanah (perilaku tinggal dan makan). Indeks kemerataan jenis semakin mendekati nol berarti fauna tanah tersebut didominasi oleh satu atau beberapa kelompok jenis fauna tanah, sedangkan jika indeks kemerataan jenis semakin mendekati 1 (satu) berarti seluruh jenis fauna tanah berada pada tingkat kelimpahan yang sama. Tegakan karet memiliki nilai indeks kemerataan jenis yang lebih tinggi (E=0.63) dibandingkan hutan tanaman, sedangkan hutan tanaman (E=0.52) memiliki indeks kemerataan lebih tinggi dibandingkan hutan alam (0.38). Hal ini terjadi karena adanya gangguan hutan (seperti aktifitas manusia) yang menyebabkan salah satu jenis dari fauna tanah menjadi lebih dominan di suatu lokasi. Kekayaan jenis fauna tanah mengacu pada banyaknya spesies yang ditemukan pada suatu ekosistem. Indeks kekayaan yang digunakan dalam menganalisa kekayaan jenis fauna tanah pada penelitian ini adalah Margalef index. Hasil analisis pada masing-masing waktu pengamatan memiliki nilai kekayaan jenis yang bervariasi. Hasil analisis indeks keanekaragaman total menunjukkan bahwa pada minggu ke-2 mempunyai jumlah jenis fauna tanah tertinggi (Dmg = 4.144). Kondisi ini didukung oleh masih banyaknya ketersediaan makan diikuti dengan tahap awal dekomposisi sehingga jumlah spesies fauna tanah semakin meningkat. Indeks keragaman merupakan gabungan dari indeks kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis menjadi satu nilai. Indeks yang dipakai pada penelitian ini adalah indeks Shanon-Wiener (H‟). Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaman jenis memiliki nilai yang berbeda. Nilai yang berbeda dipengaruhi oleh banyaknya jumlah individu dari masing-masing jenis fauna tanah yang
ditemukan, dimana jumlah individu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor lingkungan. Indeks kesamaan jenis merupakan indeks untuk mengetahui ada tidaknya hubungan kesamaan jenis antar lokasi pengamatan. Koefisien kesamaan jenis yang digunakan yaitu koefisien kesamaan jenis Jaccard. Perbandingan jumlah spesies fauna tanah antar lokasi yaitu tepi dengan tengah, tepi dengan dalam, maupun tengah dengan dalam, memiliki hubungan kesamaan jenis fauna tanah yang cukup erat. Hal tersebut dapat diketahui pada Tabel 2, yaitu persentase indeks kesamaan jenis antar lokasi memiliki nilai yang tidak berbeda jauh. Hal ini diduga disebabkan karena kondisi keseragaman vegetasi yang merupakan sumber makanan sehingga memicu terjadinya kesamaan jenis fauna tanah. Berdasarkan tabel-tabel indeks keanekaragaman pada masing-masing waktu pengamatan, diketahui bahwa pada tiga lokasi memiliki nilai indeks yang berbeda-beda. Nilai – nilai indeks keanekaragaman tertinggi biasanya didominasi oleh satu lokasi. Akan tetapi, pada minggu ke-10 terdapat perbedaan lokasi pada nilai indeks kekayaan dan keragaman tertinggi yaitu Dmg sebesar 2.660 pada bagian tepi dan nilai keragaman sebesar 1.708 pada bagian tengah. Hal ini diperkuat oleh Barbour et al. (1987) dalam Djufri (2003) yang menyatakan bahwa indeks kekayaan jenis berkorelasi positif dengan keragaman jenis, tetapi kondisi lingkungan di sepanjang areal kajian sangat heterogen sehingga dapat menurunkan kekayaan jenis disertai peningkatan keragaman. Hal tersebut disebabkan karena setiap lokasi memiliki jumlah individu yang bervariasi. Hasil analisis indeks keanekaragaman, bagian tepi merupakan bagian yang memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi dan mendominasi pada setiap waktu pengamatan. Hal ini dapat diasumsikan bahwa kondisi lingkungan yang lebih lembab (RH= 76%) dan serasah yang lebih tebal dibandingkan kedua lokasi lainnya dapat menyebabkan nilai indeks keanekaragaman yang tinggi dan mendominasi pada lokasi tersebut. Hal ini diperkuat oleh Saptono (2005) yang mengatakan bahwa kondisi lingkungan yang lembab serta ketersediaan makanan yang cukup banyak dari serasah yang cukup tebal dapat menarik perhatian fauna tanah untuk hidup dan berinteraksi antar fauna tanah dan fauna tanah dengan lingkungannya. Kondisi ini berarti bahwa faktor makanan merupakan faktor
penentu kelimpahan fauna tanah, yang mana serasah sebagai sumber makanan. Walwork (1970) juga menyatakan bahwa serasah semakin tebal maka ketersediaan bahan makanan yang dibutuhkan oleh fauna tanah semakin banyak. Berdasarkan perbandingan penelitian indeks keanekaragaman yang telah dilakukan sebelumnya yang terdapat pada Tabel 4, hutan alam memiliki nilai indeks kekayaan jenis lebih besar dan hutan tanaman berada pada peringkat kedua sebelum perkebunan. Nilai indeks kekayaan jenis yang berbeda antar berbagai penutupan lahan menunjukkan adanya perbedaan kekayaan jenis untuk masingmasing tipe penutupan lahan. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor yaitu perilaku fauna tanah (seperti perilaku tinggal, berkembang biak, dan makan) serta faktor lingkungan dari masing – masing habitat. Perbedaan keanekaragaman fauna tanah pada berbagai penutupan lahan diduga karena kemampuan adaptasi suatu jenis fauna tanah terhadap lingkungan dan kondisi lingkungan yang mendukung keberadaan suatu jenis di suatu wilayah, misalnya ketersediaan jumlah dan jenis makanan, penutupan tajuk, kehadiran serasah, dan jenis tanah. Hal ini dipertegas oleh Wallwork (1970) yang menyatakan bahwa kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya. Gangguan pada penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap kekayaan jenis fauna tanah. Perubahan hutan menjadi perkebunan akan berdampak mengurangi komunitas fauna tanah sehingga pada masing-masing penutupan lahan mempunyai nilai indeks keanekaragaman yang berbeda-beda. Perkebunan karet memiliki nilai indeks kekayaan terendah karena merupakan salah satu gangguan hutan, dan gangguan hutan akan berdampak pada penurunan keberadaan fauna tanah dan perannya dalam mendaur hara di suatu tempat seperti perannya terhadap proses dekomposisi serasah. 4.2.3 Laju Dekomposisi Serasah Proses pembusukan sisa-sisa tumbuhan (dekomposisi) dipengaruhi oleh kualitas substrat tumbuhan, populasi dekomposer, dan faktor lingkungan. Proses dekomposisi merupakan fungsi yang sangat penting karena jika proses tersebut tidak terjadi maka semua makanan akan terikat pada tumbuhan yang mati dan dunia ini akan penuh dengan sisa-sisa dan bangkai. Menurut Nair (1992) dalam Nugraha (2003), serasah yang terdapat di permukaan tanah merupakan bagian bahan-bahan yang telah jatuh. Serasah tersebut tidak mengalami pertumbuhan lagi
dan akhirnya mengalami dekomposisi dan mineralisasi dimana laju dari proses dekomposisi tersebut dapat ditentukan dari penyusutan bobot serasah yang terdekomposisi. Keseragaman kondisi vegetasi seperti pada tegakan karet mendukung cepatnya laju dekomposisi, tingginya populasi fauna tanah dan mengakibatkan rendahnya keragaman fauna tanah yang berperan dalam proses dekomposisi. Apabila serasah cocok terhadap fauna tanah dan kaya akan nutrisi serta didukung oleh kondisi lingkungan yang cukup baik, maka bahan organik akan terdekomposisi secara cepat dan tidak akan terakumulasi dalam tanah. Hal ini diperkuat oleh Hansen dan Coleman (1998) dalam Yang dan Chen (2009), yang mengatakan bahwa serasah pada kondisi hutan yang beragam (hutan alam) memiliki beberapa langkah-langkah dekomposisi yang lebih kompleks dan laju dekomposisi yang lambat dibandingkan pada kondisi hutan dengan vegetasi yang homogen sehingga keragaman fauna tanah semakin tinggi karena tidak ada persaingan dalam mendekomposisi serasah. Menurut Sayer et al. (2006), rasio C/N merupakan indikator terbaik dalam mengetahui dekomposisi serasah oleh fauna tanah dan rasio C/N yang rendah pada serasah tanaman mengakibatkan cepatnya laju dekomposisi serasah. Laju dekomposisi serasah tertinggi pada masing-masing lokasi terjadi pada minggu ke-2 dan pada minggu berikutnya terjadi penurunan laju dekomposisi. Penguraian serasah daun di setiap minggunya berbeda dimana pada awal minggu, laju dekomposisi akan tinggi dan kemudian terus menerus menurun, yang berarti pada awalnya serasah terurai dengan cepat dan kemudian semakin lambat dengan semakin lamanya periode waktu serasah terdekomposisi. Menurut Hilwan (1993), hal tersebut disebabkan karena semakin lama waktu dalam mendekomposisi maka semakin besar kehilangan bobot serasah dan semakin rendah laju dekomposisi serasah setiap periodenya. Laju dekomposisi serasah apabila dikaitkan dengan indeks keanekaragaman total fauna tanah, pada periode awal terdekomposisi yaitu minggu ke-2 ialah berbanding lurus. Hal ini terbukti dari nilai laju dekomposisi tertinggi pada minggu ke-2 diikuti dengan nilai indeks kekayaan jenis tertinggi (Dmg = 4.144). Menurut Soepardi (1983), hal tersebut disebabkan karena pada saat daun-daun gugur sebagai serasah baru yang kaya akan nutrisi dan berinteraksi
dengan tanah maka dekomposer dengan segera menyerangnya. Tahap pertama yaitu dekomposer menyerang senyawa yang mudah lapuk serta melipatgandakan jumlahnya sehingga laju dekomposisi pada periode awal berlangsung lebih cepat. Setelah senyawa yang mudah dilapuk habis, maka populasi dekomposer menurun drastis. Berdasarkan penelitian Jin Joo et al. (2006) mengenai kontribusi mikrofauna tanah terhadap dekomposisi serasah kayu daun jarum, diperoleh hasil bahwa 36.54% ordo Collembola dan 40.27% ordo Acari memiliki kelimpahan individu tertinggi dalam kurun waktu pengamatan selama 24 bulan. Terdapat pula korelasi yang sangat nyata pada taraf 1% antara kedua ordo tersebut terhadap penurunan bobot serasah yang terbukti dari nilai Pearson correlation sebesar 0.93. Hasil tersebut menyimpulkan bahwa fauna tanah khususnya Acari dan Collembola memiliki peran penting dalam mendekomposisi serasah. Terdapat pula hubungan antara penurunan bobot serasah dengan penurunan kelimpahan fauna tanah
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah 1. Komposisi fauna tanah yang ditemukan selama 12 minggu periode pengamatan terdiri dari 4 kelas, 18 ordo, 34 famili, dan 42 genus. Kelimpahan fauna tanah tertinggi terdapat pada minggu ke-0 dengan jumlah 770 individu. Ordo yang mendominasi pada kelimpahan total fauna tanah pada periode pengamatan yaitu ordo Acari pada minggu ke-0, minggu ke-2, dan minggu ke-8 serta ordo Collembola pada minggu ke-4,minggu ke-6, minggu ke-10, dan minggu ke-12. Kedua ordo tersebut memiliki peran penting dalam proses dekomposisi. 2. Indeks keanekaragaman jenis total fauna tanah memiliki nilai yang bervariasi selama periode pengamatan. Indeks kekayaan jenis tertinggi terdapat pada minggu ke-2 dengan nilai sebesar 4.144. Berdasarkan hasil perbandingan indeks keanekaragaman jenis pada berbagai penutupan lahan, perkebunan karet memiliki nilai kekayaan jenis dan nilai keragaman jenis terendah, tetapi nilai kemerataan jenisnya tertinggi. Hal ini disebabkan karena rendahnya keragaman fauna tanah dan adanya gangguan aktifitas manusia yang berpengaruh pada penyebaran kemerataan jenis. 3. Laju Dekomposisi serasah pada tiga lokasi tegakan karet selama kurun waktu 12 minggu atau 6 periode memiliki nilai yang berbeda. Laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu awal dekomposisi yaitu minggu ke-2. Hal ini disebabkan karena pada saat daun gugur sebagai serasah baru yang kaya akan nutrisi dan berinteraksi dengan tanah maka dekomposer segera menyerang senyawa - senyawa yang mudah lapuk dengan melipatgandakan populasinya sehingga laju dekomposisi tahap awal berlangsung lebih cepat. 4. Hubungan antara laju dekomposisi serasah dengan bobot serasah terhadap waktu dekomposisi ialah berkorelasi kuat dan berlawanan (Pearson correlation = - 0,846). Semakin lama waktu dekomposisi maka semakin besar kehilangan bobot serasah dan semakin rendah laju dekomposisi serasah setiap periode. 5. Lokasi plot dan waktu pemanenan serasah berpengaruh nyata terhadap penurunan bobot dan laju dekomposisi.
5.2 Saran 1. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai penambahan periode waktu pengamatan untuk pendugaan laju dekomposisi serasah karet. 2. Perlu diadakan penelitian tentang hubungan antara keanekaragaman fauna tanah dengan laju dekomposisi pada tipe ekosistem lain.
DAFTAR PUSTAKA Adianto. 1993. Biologi Pertanian (Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati, dan Insektisida). Bandung : Penerbit Alumni. Anderson JM, Swift JM. 1983. Decomposition in Tropical Forest. Di dalam Tropical Rain Forest : Ecology and Management. Oxford: Blackwell Scientific Publication. Arief A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Jakarta : Penerbit Kanisius. Barly L. 1988. Beberapa masalah dalam pengelolaan kayu karet. Duta Rimba 9798/XIV/1988. Hlm: 27-31. Borror DJ, Charles AT, Norman FJ. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Partosoedjono S, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect. Djufri. 2003. Spermatophyta di taman hutan rakyat Aceh. Biodiversitas. Vol 4(1):30-31. Hagvar S. 1998. The relevance of the Rio-Convention on Biodiversity to conserving biodiversity of soils. Applied Soil Ecology 9: 1-7. Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hanafiah KA, Anas I, Napoleon A, Ghoffar N. 2005. Biologi Tanah Ekologi dan Makrobiologi Tanah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Hardini Y. 1999. Identifikasi Binatang Tanah Indikator Untuk Suatu Kategori Mutu Tanah Di Lahan Produksi Hutan Hujan Tropika (Studi Kasus Di HPHTI PT. Erna Djuliawati, Propinsi Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Hilwan I. 1993. Produksi, Laju Dekomposisi, dan Pengaruh Alelopati Serasah Pinus merkusii Jungh. Et De Vriese dan Acacia mangium Willd. Di Hutan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hole FD. 1981. Effects of animals on soil. Geoderma 25:75-112. Husaeni EA, Kasno, Haneda NF, Rachmatsjah O. 2006. Pengantar Hama Hutan di Indonesia : Bio-Ekologi dan Teknik Pengendalian. Bogor : Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Jin Joo S, Hui Yim M, Nakane K. 2006. Contribution of microarthropods to the decomposition of needle litter in a japanese cedar (Cryptomeria japonica d. don) plantation. Forest Ecology an Management 234:192-198. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. New York-ChicesterBrisbane-Toronto-Singapore : John Wiley and Sons, Inc. Marfuah NT. 2008. Keanekaragaman Fauna Tanah Pada Hutan Alam dan Hutan Tanaman [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. McNaughton SJ, Wolf LL. 1990. Ekologi Umum. Pringgoseputro S, B Srigandono, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: General Ecology. Mittermeier RA, Mittermeier EB. 1997. Megadiversity. Dalam : Noerdjito M, editor. Kriteria Jenis Hayati yang harus Dilindungi oleh atau dan untuk Masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan ICRAF. Bogor. Hlm : 3. Nugraha IE. 2003. Produktivitas Serasah Pada Lahan Agroforestri Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Odum EP. 1993. Dasar-Dasar Ekologi (Edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Sayer EJ, Tanner EVJ, Lacey AL. 2006. Effects of litter manipulation on earlystage decomposition and meso-arthropod abundance in a tropical moist forest. Plant Soil 281:1-9. Saptono H. 2005. Keanekaragaman binatang tanah makro di serasah antar macam penutupan lahan dan ketinggian tempat [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. . Spurr HS, Burton. 1980. Forest Ecology (Third Edition). Toronto : John Wiley and Sons, Inc. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor : Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Suhendang E. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor : Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Suin NM. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara. Steenis CGGJ. 1981. Flora untuk Sekolah Indonesia. Jakarta : PT. Pradnya Paramita.
Tim Penulis Penebar Swadaya. 1992. Karet Strategi Pemasaran Tahun 2000 Budidaya dan Pengolahan. Jakarta : Penebar Swadaya. Wallwork JA. 1970. Ecology of Soil Animals. London : McGraw Hill Whitmore TC. 1985. Tropical Rain Forest of The Far East (Second Edition). Oxford: Clarendon Press. Yang X, Chen J. 2009. Plant litter quality influences the contribution of soil fauna to litter decomposition in humid tropical forests, Southern China. Soil Biology and Biochemistry. 41:910-918.
LAMPIRAN
39
40
Lampiran 2. Laju dekomposisi serasah A. Bobot Serasah Hevea brasiliensis dan Laju Dekomposisi Serasah Setiap periode 2 Minggu pada Bagian Tepi Waktu Dekomposisi (2 minggu)
Serasah Hevea brasiliensis Bobot (gram)
Penurunan Bobot (%)
Laju
Dekomposisi
(%/2 minggu) 2
10.20
79.60
79.60
4
8.59
82.82
41.41
6
5.67
88.66
29.55
8
2.22
95.56
23.89
10
1.24
97.52
19.50
12
0.54
98.92
16.49
Rata-rata
35.07
B. Bobot Serasah Hevea brasiliensis dan Laju Dekomposisi Serasah Setiap periode 2 Minggu pada Bagian Tengah Waktu Dekomposisi
Serasah Hevea brasiliensis
(2 minggu)
Bobot (gram)
Penurunan Bobot (%)
Laju Dekomposisi (%/2 minggu)
Rata-rata
2
14.56
70.88
70.88
4
9.49
81.02
40.51
6
6.09
87.82
29.27
8
3.97
92.06
23.02
10
0.72
98.56
19.71
12
0.50
99
16.50 33.32
41
C. Bobot Serasah Hevea brasiliensis dan Laju Dekomposisi Serasah Setiap periode 2 Minggu pada Bagian Dalam Waktu Dekomposisi
Serasah Hevea brasiliensis
(2 minggu)
Bobot (gram)
Penurunan Bobot (%)
Laju Dekomposisi (%/2 minggu)
Rata-rata
2
14.09
71.82
71.82
4
12.18
75.64
37.82
6
9.18
81.64
27.21
8
5.38
89.24
22.31
10
3.62
92.76
18.55
12
0.44
99.12
16.52 32.37
42
Lampiran 3. Hasil pengolahan analisis data dengan rancangan acak kelompok The GLM Procedure
Class tempat waktu
Class Level Information Levels Values 3 Dalam Tengah Tepi 6 W10 W12 W2 W4 W6 W8
A. Laju Dekomposisi Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
R-Square 0.994925
Source Tempat Waktu
DF 2 5
Sum of Squares 6962.400900 35.516500 6997.917400
Coeff Var 5.611102
Mean Square 994.628700 3.551650
Root MSE 1.884582
Type I SS 22.561233 6939.839667
Pr > F <.0001
Dekomposisi Mean 33.58667
Mean Square 11.280617 1387.967933
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
F Value 280.05
2 2.424
F Value 3.18 390.80
Pr > F 0.0855 <.0001
0.05 10 3.55165 3 2.533
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N tempat A 35.073 6 Tepi A B A 33.315 6 Tengah B B 32.372 6 Dalam
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 3.429
0.05 10 3.55165 3 4 3.583 3.674
5 3.732
6 3.770
43
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N waktu A 74.100 3 W2 B
39.913
3
W4
C
28.677
3
W6
D
23.073
3
W8
E E E
19.253
3
W10
16.503
3
W12
B. Penurunan Bobot Source Model Error Corrected Total
DF 7 10 17
R-Square 0.966935
Source tempat waktu
DF 2 5
Sum of Squares 1506.930089 51.531156 1558.461244
Coeff Var 2.581816
Type I SS 90.785644 1416.144444
Mean Square 215.275727 5.153116
Root MSE 2.270047
bobot Mean 87.92444
Mean Square 45.392822 283.228889
F Value 8.81 54.96
Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Number of Means Critical Range
2 2.920
0.05 10 5.153116 3 3.052
Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N tempat A 90.513 6 Tepi A A 88.223 6 Tengah B
F Value 41.78
85.037
6
Dalam
Pr > F <.0001
Pr > F 0.0062 <.0001
44
Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 10 Error Mean Square 5.153116 Number of 2 3 4 Means Critical Range 4.130 4.316 4.425 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N waktu A 99.013 3 W12 A B A 96.280 3 W10 B B 92.287 3 W8 C
86.040
3
W6
D
79.827
3
W4
E
74.100
3
W2
5
6
4.495
4.542
Lampiran 4. Fauna Tanah yang Ditemukan Dengan Metode Hand-Colllection No 1 2 3 4
A. Bagian Tepi Kelas Ordo Hexapoda Hymenoptera Hexapoda Orthoptera Hexapoda Diplura Hexapoda Blattaria
No 1 2 3 4 5
B. Bagian Tengah Kelas Ordo Hexapoda Blattaria Hexapoda Hymenoptera Chilopoda Lithobiomorpha Hexapoda Coleoptera Hexapoda Isoptera
No 1 2 3 4
C. Bagian Dalam Kelas Ordo Hexapoda Blattaria Hexapoda Blattaria Hexapoda Coleoptera Hexapoda Hymenoptera
Famili Formicidae Gryllacrididae Japygidae Blaberidae
Genus Myrmica
Spesies Myrmica sp.
Jumlah Populasi 4 1 1 1 7
Holojapyx Leucophaea
Holojapyx diversiungis Leuchopaea sp. Total
Famili Blaberidae Formicidae
Genus Leucophaea Myrmica Lithobius
Spesies Leuchopaea sp. Myrmica sp. Lithobius erytrocephalus
Carabidae Rhinotermitidae
Reticulilitermes
Reticulilitermes sp. Total
Jumlah Populasi 3 1 1 1 1 7
Famili Blaberidae Blattidae Alleculidae Formicidae
Genus Leucophaea Periplaneta capnochroa Formica
Spesies Leuchopaea sp. Periplaneta sp. Capnochroa fulliginosa Formica sp. Total
Jumlah Populasi 1 1 1 1 4
45
Lampiran 5. Fauna tanah yang ditemukan dengan metode corong Barlese-Tullgren Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-0 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
1
Arachnida
Acari
Argasidae
Argas
Argas persicus
109
2
Arachnida
Acari
Eupthiracaridae
Eutrombicula
Eutrombicula alfreddugesi
217
3
Arachnida
Acari
4
Arachnida
Acari
Tetranychidae
5
Hexapoda
Coleoptera
Chrysomelidae
6
Hexapoda
Coleoptera
Rhysodidae
7
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Creophilus
Creophilus maxillosus
15
8
Hexapoda
Coleoptera
Dermistidae
Attagenus
Attagenus megatoma
1
9
Hexapoda
Psocoptera
Ectopsocidae
Ectopsocopsis
Ectopsocopsis cryptomeriae
12
10
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Formica
Formica sp.
11
11
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Myrmica
Myrmica sp.
14
12
Hexapoda
Dermaptera
Labiidae
Vostox
Vostox sp.
4
13
Hexapoda
Thysanoptera
Thripidae
Thrips
Thrips sp.
30
14
Hexapoda
Siphonaptera
Pulicidae
Xenopsylla
15
Hexapoda
Isoptera
Rhinotermitidae
Coptotermes
Coptotermes curvignatus
16
Hexapoda entognathus
Collembolla
Entomobryidae
Entomobrya
Entomobrya socia
17
Chilopoda
Lithobiomorpha
Lithobius
Lithobius erytrocephalus
3
18
Chilopoda
Scolopendromorpha
Scolopendrella
Scolopendrella sp.
4
19
Hexapoda entognathus
Collembolla
Isotomidae
Isotormus
Isotormus tricolor
48
20
Arachnida
Araneae
Lycosidae
Dermacentor variabilis Tetranychus
Tetranychus sp.
Jumlah Populasi
60 113 6 23
7 2 32
3
46
21
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus ramosus
22
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Ponera
Ponera sp.
2
23
Chilopoda
Geophilomorpha
kelabang batu
8
24
Hexapoda
Diptera
25
Arachnida
Opiliones
26
Hexapoda
Blattaria
Culicidae Blattidae
Aedes Periplaneta
Aedes stimulans
22
22
laba tungau
1
Periplaneta americana
1
Total
770
47
Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-2 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
1
Arachnida
Acari
Argasidae
Argas
Argas persicus
18
2
Arachnida
Acari
Tetranychidae
Tetranychus
Tetranychus sp.
23
3
Arachnida
Acari
Eupthiracaridae
Eutrombicula
Eutrombicula alfreddugesi
10
4
Arachnida
Acari
5
Hexapoda entognathus
Collembolla
6
Arachnida
Opiliones
7
Chilopoda
Scolopendromorpha
8
Hexapoda
Psocoptera
9
Hexapoda
10
Dermacentor variabilis Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus ramosus
Jumlah Populasi
2 17
laba tungau
1
Scolopendrella
Scolopendrella sp.
1
Ectopsocidae
Ectopsocopsis
Ectopsocopsis cryptomeriae
1
Coleoptera
Staphylinidae
Staphylinus
Staphylinus sp.
1
Hexapoda
Diplura
Japygidae
Holojapyx
Holojapyx diversiungis
1
11
Hexapoda
Coleoptera
Epicauta sp.
6
12
Hexapoda
Isoptera
Rhinotermitidae
Coptotermes
Coptotermes curvignatus
2
13
Hexapoda
Diptera
Culicidae
Aedes
Aedes stimulans
1
14
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Creophilus
Creophilus maxillosus
1
15
Hexapoda
Coleoptera
Rhysodidae
16
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Formica
Formica sp.
1
17
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Myrmica
Myrmica sp.
2
18
Hexapoda
Isoptera
Rhinotermitidae
Reticulilitermes
Reticulilitermes sp.
2
19
Hexapoda
Dermaptera
Labiidae
Vostox
Vostox sp.
1
20
Hexapoda entognathus
Collembolla
Entomobryidae
Entomobrya
Entomobrya socia
2
5
Total
98
48
Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-4 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
Jumlah Populasi
1
Hexapoda entognathus
Collembolla
Entomobryidae
Entomobrya
Entomobrya socia
12
2
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus ramosus
22
3
Hexapoda entognathus
Collembolla
Hypogastruridae
Pseudachorutes
Pseudachorutes aurefasciatus
1
4
Arachnida
Acari
Eupthiracaridae
Eutrombicula
Eutrombicula alfreddugesi
1
5
Arachnida
Acari
Dermacentor variabilis
14
6
Arachnida
Acari
Argasidae
Argas
Argas persicus
16
8
Hexapoda
Diplura
Japygidae
Holojapyx
Holojapyx diversiungis
1
9
Hexapoda
Coleoptera
Rhysodidae
10
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Creophilus
Creophilus maxillosus
1
11
Hexapoda
Isoptera
Rhinotermitidae
Coptotermes
Coptotermes curvignatus
5
12
Arachnida
Acari
Tetranychidae
Tetranychus
Tetranychus sp.
2
13
Hexapoda
Psocoptera
Ectopsocidae
Ectopsocopsis
Ectopsocopsis cryptomeriae
3
14
Arachnida
Opiliones
15
Hexapoda entognathus
Collembolla
Hypogastruridae
Hypogastrura
Hypogastrura sp.
3
16
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus sp.
11
17
Hexapoda entognathus
Collembolla
Isotomidae
Isotormus
Isotormus tricolor
16
Total
112
2
2
49
Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-6 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
1
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus sp.
2
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus ramosus
52
3
Hexapoda entognathus
Collembolla
Isotormus tricolor
90
4
Hexapoda entognathus
Collembolla
Poduridae
Podura
Podura aquatica
2
5
Hexapoda entognathus
Collembolla
Entomobryidae
Entomobrya
Entomobrya socia
1
6
Hexapoda entognathus
Collembolla
Hypogastruridae
Hypogastrura
Hypogastrura sp.
6
7
Arachnida
Acari
Argasidae
Argas
Argas persicus
13
8
Arachnida
Acari
Tetranychidae
Tetranychus
Tetranychus sp.
13
9
Arachnida
Acari
Eupthiracaridae
Eutrombicula
Eutrombicula alfreddugesi
10
Arachnida
Acari
11
Hexapoda
Isoptera
Rhinotermitidae
Coptotermes
Coptotermes curvignatus
4
12
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Creophilus
Creophilus maxillosus
3
13
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Myrmica
Myrmica sp.
3
14
Chilopoda
Lithobiomorpha
Lithobius
Lithobius erytrocephalus
3
15
Hexapoda
Coleoptera
Lyctidae
Trogoxylon
Trogoxylon parallelapipedum
1
16
Hexapoda
Psocoptera
Ectopsocidae
Ectopsocopsis
Ectopsocopsis cryptomeriae
2
17
Hexapoda
Coleoptera
Rhysodidae
18
Hexapoda
Dermaptera
Labiidae
Vostox
Vostox sp.
2
19
Arachnida
Scorpionida
Ophistopthalmus
Scorpio
Scorpio sp.
1
20
Arachnida
Solifugae
21
Chilopoda
Scolopendromorpha
Dermacentor variabilis
Jumlah Populasi 137
4 13
2
1 Scolopendra
Scolopendra obscura Total
1 354
50
Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-8 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
Jumlah Populasi
1
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Lathrobium
Lathrobium angulare
1
2
Hexapoda
Thysanoptera
Phlaeothripidae
Idolothrips
Idolothrips sp.
7
3
Hexapoda
Coleoptera
Lyctidae
Trogoxylon
Trogoxylon parallelapipedum
9
4
Hexapoda
Coleoptera
Rhysodidae
5
Hexapoda
Diplura
Japygidae
Holojapyx
Holojapyx diversiungis
6
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus ramosus
33
7
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus sp.
14
8
Arachnida
Acari
Eupthiracaridae
Eutrombicula
Eutrombicula alfreddugesi
10
9
Arachnida
Acari
Argasidae
Argas
Argas persicus
6
10
Arachnida
Acari
Tetranychidae
Tetranychus
Tetranychus sp.
28
11
Arachnida
Araneae
Lycosidae
12
Arachnida
Acari
Xylobatidae
13
Hexapoda entognathus
Collembola
Brachystomellidae
14
Hexapoda
Coleoptera
15
Hexapoda
Coleoptera
Salpingidae
16
Hexapoda
Diptera
17
Hexapoda
18
1 4
1 23 Brachystomella
Brachystomella sp.
2
Epicauta sp.
27
Phyto
Phyto niger
1
Culicidae
Aedes
Aedes stimulans
1
Thysanoptera
Thripidae
Heliothrips
Heliothrips haemorrhoidalis
1
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Myrmica
Myrmica sp.
1
19
Arachnida
Acari
Dermacentor variabilis
5
20
Chilopoda
Lithobiomorpha
Lithobius erytrocephalus
2
Lithobius
Total
177
51
Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-10 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
1
Hexapoda entognathus
Collembolla
Entomobryidae
Entomobrya
Entomobrya socia
2
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus sp.
3
Hexapoda entognathus
Collembolla
4
Hexapoda entognathus
Collembolla
Hypogastruridae
Pseudachorutes
Pseudachorutes aurefasciatus
7
5
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus ramosus
2
6
Hexapoda entognathus
Collembolla
Poduridae
Podura
Podura aquatica
5
7
Arachnida
Acari
Tetranychidae
Tetranychus
Tetranychus sp.
6
8
Arachnida
Acari
Eupthiracaridae
Eutrombicula
Eutrombicula alfreddugesi
1
9
Arachnida
Acari
Xylobatidae
10
Arachnida
Acari
Argasidae
11
Chilopoda
Lithobiomorpha
12
Hexapoda
Coleoptera
13
Hexapoda
Dermaptera
Labiidae
14
Hexapoda
Psocoptera
15
Hexapoda
16
Isotormus
Jumlah Populasi 5 105 19
2 Argas
Argas persicus
6
Lithobius
Lithobius erytrocephalus
2
Epicauta sp.
6
Vostox
Vostox sp.
1
Lachesillidae
Anomopsocus
Anomopsocus amabilis
1
Isoptera
Rhinotermitidae
Reticulilitermes
Reticulilitermes sp.
1
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Creophilus
Creophilus maxillosus
1
17
Hexapoda
Siphonaptera
Pulicidae
Xenopsylla
Xenopsylla sp.
1
18
Hexapoda
Coleoptera
Staphylinidae
Lathrobium
Lathrobium angulare
1
19
Hexapoda
Psocoptera
Ectopsocidae
Ectopsocopsis
Ectopsocopsis cryptomeriae
1
20
Arachnida
Acari
Dermacentor variabilis
1
Total
174
52
Fauna Tanah Total Pada Minggu ke-12 No
Kelas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
1
Hexapoda entognathus
Collembolla
Onychiuridae
Onychiurus
Onychiurus sp.
18
2
Hexapoda entognathus
Collembolla
Isotormus
19
3
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Myrmica
Myrmica sp.
3
4
Hexapoda
Isoptera
Rhinotermitidae
Coptotermes
Coptotermes curvignatus
1
5
Hexapoda
Coleoptera
Lyctidae
Trogoxylon
Trogoxylon parallelapipedum
4
6
Arachnida
Acari
7
Arachnida
Acari
Tetranychidae
Tetranychus
Tetranychus sp.
6
8
Hexapoda entognathus
Collembolla
Hypogastruridae
Pseudachorutes
Pseudachorutes aurefasciatus
3
9
Arachnida
Acari
Argasidae
Argas
Argas persicus
1
10
Arachnida
Acari
Xylobatidae
11
Hexapoda
Coleoptera
Lathrididae
Melanophthalma
Melanophthalma americana
1
12
Hexapoda
Hymenoptera
Formicidae
Formica
Formica sp.
1
13
Arachnida
Palpigradi
Dermacentor variabilis
Jumlah Populasi
10
2
1 Total
70
53
52
Lampiran 6. Fauna tanah yang ditemukan di lokasi penelitian
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
53
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
54
31
32
Keterangan : 1. Acari : Tetranychus sp. (30x)
21. Collembola : Entomobrya sp. (20x)
2. Acari : Xylobatidae (20x)
22. Coleoptera : Staphylinidae (20x)
3. Coleoptera : larva Rhysodidae (30x)
23. Arachnida : Lycosidae (30x)
4. Acari : Argas persicus (20x)
24. Siphonaptera : Xenopsylla sp.(30x)
5. Isoptera : Rhinotermitidae (30x)
25. Dermaptera : Vostox sp. (30x)
6. Coleoptera : larva Chrysomelidae (30x)
26. Coleoptera : Capnochroa sp. (30x)
7. Diplura : Holojapyx sp. (30x)
27. Hymenoptera : Formica sp. (30x)
8. Collembola : Isotormus sp. (20x)
28. Blattaria : Periplaneta sp. (30x)
9. Collembola : Onychiurus sp. (20x)
29. Blattaria : Leuchopaea sp. (30x)
10. Hymenoptera : Myrmica sp. (30x)
30. Scorpionida : Scorpio sp. (30x)
11. Coleoptera : Trogoxylon sp. (20x)
31. Orthoptera : Gryllacrididae (30x)
12. Thysanoptera : Thrips sp. (20x)
32. Chilopoda : Lithobius sp. (30x)
13. Acari : Tungau oribatid (20x) 14. Thysanoptera : Heliothrips sp. (30x) 15. Coleoptera : larva Epicauta sp. (30x) 16. Chilopoda : Scolopendrella sp. (30x) 17. Hymenoptera : Ponera sp. (20x) 18. Diptera : Aedes stimulans (30x) 19. Psocoptera (20x) 20. Isoptera : Coptotermes sp. (20x)
57
Lampiran 7. Tabel – tabel indeks keanekaragaman pada masing-masing waktu pengamatan pada tiga lokasi. A. Indeks keanekaragaman pada minggu ke-0 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
3.315
2.704
3.112
Shanon-Wiener
2.233
1.930
2.390
Variance H
0.005
0.003
0.004
Eveness
0.685
0.592
0.734
B. Indeks keanekaragaman pada minggu ke-2 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
2.885
2.045
3.607
Shanon-Wiener
1.868
1.858
2.339
Variance H
0.036
0.012
0.027
Eveness
0.623
0.620
0.781
C. Indeks keanekaragaman pada minggu ke-4 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
2.198
2.588
1.470
Shanon-Wiener
1.853
2.114
1.276
Variance H
0.011
0.015
0.029
Eveness
0.668
0.762
0.460
58
D. Indeks keanekaragaman pada minggu ke-6 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
2.868
2.038
2.368
Shanon-Wiener
1.886
1.735
1.461
Variance H
0.017
0.030
0.005
Eveness
0.619
0.569
0.479
E. Tabel keanekaragaman pada minggu ke-8 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
3.687
2.854
3.002
Shanon-Wiener
2.463
2.106
2.247
Variance H
0.015
0.012
0.009
Eveness
0.822
0.703
0.750
F. Indeks keanekaragaman pada minggu ke-10 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
2.660
2.569
1.985
Shanon-Wiener
1.416
1.708
1.292
Variance H
0.022
0.028
0.045
Eveness
0.473
0.570
0.431
59
G. Indeks keanekaragaman pada minggu ke-12 Lokasi Indeks Biodiversity
Tepi
Tengah
Dalam
Dmg
1.821
2.956
1.618
Shanon-Wiener
1.639
2.087
1.562
Variance H
0.027
0.031
0.024
Eveness
0.639
0.814
0.609