PENDUGAAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Shorea balangeran (Korth.)Burck dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT
FARA LEO DITA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PENDUGAAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Shorea balangeran (Korth.)Burck dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
FARA LEO DITA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
Judul Skripsi
: Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga Bogor Jawa Barat
Nama Mahasiswa
: Fara Leo Dita
NRP
: E14202047
Menyetujui Ketua
Anggota
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Nip 131 430 799
Ir. Iwan Hilwan, MS. Nip 131 578 802
Mengetahui Dekan Fakultas Kehutanan
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr. Nip 131 578 788
Tanggal Lulus :
Judul Skripsi
: Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga Bogor Jawa Barat
Nama Mahasiswa
: Fara Leo Dita
NRP
: E14202047
Menyetujui Ketua
Anggota
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Nip 131 430 799
Ir. Iwan Hilwan, MS. Nip 131 578 802
Mengetahui a.n. Dekan Fakultas Kehutanan Ketua Departemen Silvikultur
Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc. Nip 131 878 499
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala curahan rahmat dan kasih sayangNya, shalawat dan salam bagi junjungan dan tauladan utama Nabi Besar Muhammmad SAW, sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Febuari sampai dengan bulan April 2007 adalah dekomposisi serasah daun, dengan judul Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga Bogor. Terimakasih penulis ucapkan kepada: (a) Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. dan Bapak Ir. Iwan Hilwan, MS. selaku Dosen pembimbing yang telah banyak mengarahkan dalam penyelesaian karya ilmiah ini, (b) Bapak Prof. Dr. Ir. Iding M Padlinurjaji MS. dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat MScf. selaku dosen penguji, (c) Bapak Ir. Fahmi Idris beserta Paleik dan Buleik Suroso yang telah memberikan bantuan dana pendidikan bagi penulis, dan (d) keluarga penulis (ibu, dan kakak-kakak) yang telah banyak memberikan dorongan dan bantuannya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu dibutuhkan banyak kritik dan saran demi perbaikannya. Penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Desember 2007
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 02 Agustus 1985, yang merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Djoko Imam Santoso alm. dan Ibu Tusiarti. Penulis bertempat tinggal di Jalan Kesadaran No. 100 RT 05 RW 03 Pondok Benda Pamulang, Tangerang. Pada tahun 2002 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI (Ujian Saringan Masuk IPB) pada Departemen Silvikultur program studi Budi Daya Hutan. Selama di IPB penulis mengikuti kegiatan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Ciherang dan mengikuti kegiatan P3H (Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan) di Cilacap dan Baturaden Jawa Tengah dan Desa Getas Jawa Timur. Pengalaman organisasi selama di IPB adalah menjadi sekertaris dalam acara pemilihan ketua FMSC (Forest Management Students Club) tahun 2004, menjadi sie kesehatan dalam acara Temu Manajer tahun 2004, menjadi sie dana usaha dalam acara BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) ”Diskusi Dunia Kehutanan Pertambangan Hutan Lindung” tahun 2004, menjadi sie dekorasi dalam acara Ekspresi Muslimah tahun 2004, sebagai anggota DKM (Dewan Keluarga Mushola) Ibadurrahman, sebagai anggota IFSA (International Forestry Students Association) tahun 2004, sebagai peserta Temu Manager Fakultas Kehutanan IPB tahun 2003, peserta Pelatihan dan Pertolongan Pertama serta Imunisasi terhadap Gigitan Ular Berbisa tahun 2002.
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya berjudul Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga Bogor Jawa Barat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Desember 2007
Fara Leo Dita E 14202047
RINGKASAN FARA LEO DITA. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga Bogor Jawa Barat. Di bawah bimbingan CECEP KUSMANA dan IWAN HILWAN. Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu untuk mendukung pertumbuhan tanaman secara normal. Informasi mengenai kecepatan laju dekomposisi merupakan hal yang penting untuk mengetahui besarnya pengurangan jumlah bahan organik yang terkandung dalam serasah serta kecepatan pengembalian hara mineral ke dalam tanah. Ketersediaan unsur hara di dalam tanah hutan sangat dipengaruhi oleh jumlah bahan organik, seperti akar, ranting, daun, batang dan alat reproduksi yang terdapat di permukaan tanah. Pengembalian unsur hara ke dalam tanah melalui proses dekomposisi menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas siklus hara sehingga keseimbangan ekosistem hutan dapat terjaga. Penelitian ini bertujuan untuk menduga besarnya laju dekomposisi serasah daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian lapangan dilakukan selama tiga bulan antara bulan Febuari sampai dengan April 2007. Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Penelitian Dramaga yang berada di Desa Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, dengan objek penelitian tegakan S. balangeran dan H. bancana yang masing-masing berumur 48 tahun dengan jarak tanam 6 m x 6 m. Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun dari tegakan S. balangeran dan H. bancana yang berumur 48 tahun. Peralatan penunjang yang digunakan meliputi pita ukur 100 m dan 10 m, litter bag (kantung serasah) yang terbuat dari kain kasa atau nylon memiliki mata jala 1 mm berukuran 15 cm x 30 cm, tali plastik, patok bambu, oven, timbangan dan kantung plastik. Penelitian dilakukan di dua tegakan yaitu tegakan S. balangeran dan H. bancana dengan masing-masing luas 0,20 ha dan 0,23 ha. Pada setiap tegakan diletakkan sebanyak 108 buah kantung serasah secara sistematik (12 baris dan 9 kolom). Dalam Penelitian ini variabel yang diamati dan diukur antara lain: bobot kering awal serasah (50 gram), berat kering akhir serasah (gram), penurunan bobot (%), laju dekomposisi (%) per minggu, dan curah hujan selama waktu penelitian (mm) per minggu. Serasah daun S. balangeran setelah terdekomposisi selama 12 minggu mengalami kehilangan bobot sebesar 47,64 % dari bobot kering awal sebesar 50 gram dengan rata-rata laju dekomposisi 7,18 % perminggunya. Laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu ke satu yaitu 21,44 % perminggu. Untuk serasah daun H. bancana setelah terdekomposisi selama 12 minggu mengalami kehilangan bobot sebesar 46,86 % dari bobot kering awal sebesar 50 gram dengan rata-rata laju dekomposisi 7,14 % perminggunya. Laju dekomposisi tertinggi pada terjadi minggu ke satu yaitu 21,72 % perminggu.
Hasil analisis keragaman dekomposisi serasah menunjukkan bahwa faktor jenis tegakan atau pohon tidak berpengaruh signifikan terhadap laju dekomposisi serasah. Hal ini disebabkan karena kedua jenis tegakan berasal dari famili yang sama yaitu Dipterocarpaceae, tegakan ditanam pada tahun dan jarak tanam yang sama yaitu tahun 1959 dengan jarak tanam 6 m x 6 m, dan ditanam pada kondisi tanah serta iklim yang relatif sama. Penguraian serasah daun di setiap minggunya berbeda di mana pada awalnya nilai laju dekomposisi akan tinggi dan kemudian terus menurun, yang berarti pada awalnya serasah terurai dengan cepat dan kemudian semakin lambat dengan semakin lamanya peroide waktu serasah terdekomposisi. Hal ini dikarenakan pada serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur. Unsur tersebut semakin berkurang yang berarti penghancurannya juga lambat sampai hanya tinggal unsur yang tidak diperlukan oleh dekomposer. Selain itu kadar air yang terdapat pada serasah yang masih baru akan mudah menguap sehingga bobot serasah pada awal minggu mengalami penurunan yang tinggi yang juga membuat laju dekomposisinya cepat. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa faktor waktu (minggu) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap laju dekomposisi. Hubungan antara laju dekomposisi serasah daun S. balangeran dan H. Bancana dengan periode waktu dekomposisi mengikuti persamaan Y=15,81-1,11X dan Y=15,871,13X dimana Y adalah laju dekomposisi dan X adalah periode waktu (minggu). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin lama periode waktu dekomposisi, maka semakin rendah laju dekomposisi serasah perperiodenya. Antara curah hujan dengan laju dekomposisi untuk serasah daun S. balangeran dan H. bancana masing-masing memperlihatkan hubungan mengikuti persamaan Y=0,25+0,06X dan Y=0,03+0,06X, dimana Y adalah laju dekomposisi dan X adalah curah hujan. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi curah hujan, maka laju dekomposisi akan semakin cepat. Disimpulkan bahwa laju dekomposisi serasah daun S. balangeran dan H. bancana berkisar antara 3,91 % sampai 21,72 % perminggunya yang memperlihatkan besarnya nilai laju dekomposisi serasah yang relatif sama antara keduanya.
UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih yang teramat sangat penulis ucapkan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana MS. dan Bapak Ir. Iwan Hilwan MS. selaku Dosen Pembimbing satu dan dua, serta Bapak Prof. Dr. Ir. Iding M Padlinurjaji MS dan Bapak Dr. Ir. Agus Hikmat MScf. selaku Dosen Penguji. 2. Keluarga penulis (ibu, Kak Fani, Bang Zul, Bang Akbar, Mba Tuti dan ponakanku
Maulana)
yang
telah
banyak
memfasilitasi
penulis,
memberikan dorongan, bantuan moril dan materil. 3. Para donatur dana pendidikan penulis: Bapak ir. Fahmi Idris berserta ibu, Bapak Suroso beserta ibu (Paleik dan Buleik), Om Ade beserta istri, Bapak Wardono Saleh (Pakde Wang), serta pihak-pihak lain yang telah memberikan bantuan finansialnya. 4. Ari Yusnida Pradani, teman seperjuangan antara UNY dan IPB sama-sama berjuang menuju jejang pendidikan S1. 5. Acep K, atas bantuan selama di lapangan serta pinjaman labtobnya selama skripsi. 6. Bagus H, atas pinjaman CD minitab, buku perancob, kesediaan mengajarinya serta kesedian untuk ditumapangi mobilnya. 7. Anna, Arul, Hani atas sms tausiah dan semangatnya serta bantuan-bantuan lainnya. 8. Nur, Veni, Dedek, atas bantuan menjadi seksi konsumsinya serta semangat-semangatnya. 9. Yosi, atas bantuannya selama di lapangan dan Yofi, atas bantuan tambahan materi untuk ujian Komprehensif serta sms semangatnya. 10. All Nida’s Crew dan Teman-teman BDHers khususnya serta 39 umumnya atas moment-moment kebersamaannya.
i
DAFTAR ISI halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 2 Manfaat Penelitian ........................................................................................... .2 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................... 3 Pengertian Serasah .......................................................................................... 3 Pengertian Dekomposisi .................................................................................. 3 Faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi ....................................................... 5 Proses Dekomposisi Serasah ............................................................................ 6 Keterangan Jenis Tegakan ............................................................................... 9 Shorea balangeran (Korth.) Burck. ..................................................... 9 Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten ............................................... 10 KEADAAN UMUM ............................................................................................11 Letak, Luas dan Status Hukum ........................................................................11 Iklim.................................................................................................................11 Tanah ..............................................................................................................11 Topografi dan Ketinggian ...............................................................................12 Flora ................................................................................................................12 Fauna ...............................................................................................................13 BAHAN DAN METODE ................................................................................... 14 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................................... 14 Bahan dan Alat Penelitian .............................................................................. 14 Metode Penelitian ............................................................................................14 Peletakan Kantung Serasah .................................................................14 Variabel yang Diamati ....................................................................... 14
ii
Prosedur Kerja .................................................................................... 15 Pengolahan Data ................................................................................ 15 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 16 Hasil ................................................................................................................ 16 Pembahasan .................................................................................................... 20 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 23 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 24 LAMPIRAN ........................................................................................................ 26
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Teks
halaman
1. Bobot Kering dan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten yang Terdekomposisi Selama 12 Minggu....................................................... 16 2. Analisis Keragaman Faktor Jenis Pohon terhadap Laju Dekomposisi Serasah .............................................................. 18 3. Analisis Keragaman Faktor Periode Waktu terhadap Laju Dekomposisi Serasah .............................................................. 18
iv
DAFTAR GAMBAR Nomor Teks halaman 1. Perubahan Bobot Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl) Van Slooten (a), dan Laju Dekomposisi Serasahnya (b) yang Terdekomposisi Selama 12 Minggu...................................................... 17 2. Hubungan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten dengan Waktu (minggu).................................................................................. 19 3. Hubungan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten dengan Curah Hujan (mm).............................................................................. 19
v
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
halaman
1. Hasil Pengukuran Bobot Serasah Shorea balangeran (Korth.) Burck..................................................................27 2. Hasil Pengukuran Bobot Serasah Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten..............................................................28 3. Analisis Keragaman Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten..............................................................29 4. Analisis Regresi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten..............................................................30 5. Data Curah Hujan Mingguan di Hutan Penelitian Dramaga .......................... 31 6. Gambar Daun S. balangeran dan H. bancana.................................................32
1
I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Ekosistem mempunyai tiga komponen biologi yaitu: produsen (jasad
autrotrof) atau tumbuhan hijau yang mampu menambat energi cahaya, hewan (jasad heterotrof) atau konsumen makro yang menggunakan bahan organik, dan pengurai, yang terdiri dari jasad renik yang menguraikan bahan organik yang mati, dan membebaskan zat hara terlarut. Hutan memiliki kemampuan untuk mengakumulasi unsur hara dalam biomassanya yang kelak akan merupakan serasah apabila vegetasi yang menyusun hutan tersebut suatu saat mati. Lapisan serasah mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan produktifitas ekosistem hutan. Serasah terurai menjadi unsur hara yang tersedia di dalam tanah untuk menjamin kelangsungan pertumbuhan pohon. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh kesuburan tanah. Kesuburan tanah sendiri banyak dipengaruhi oleh flora dan fauna sebagai komponen biotik, iklim mikro, bahan induk dan sebagainya. Ketersediaan unsur hara penting bagi pertumbuhan tanaman secara normal. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberapa unsur hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga tanah tidak mampu untuk mendukung pertumbuhan tanaman normal. Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang diindikasikan oleh perbedaan produksi serasah, dekomposisi serasah dan kehilangan air tanah melalui perkolasi. Pengembalian unsur hara oleh tanaman ke tanah pada dasarnya berhubungan dengan produktifitas serasah dan proses dekomposisi sehingga tercipta siklus unsur hara yang stabil. Proses dekomposisi serasah merupakan proses perubahan bahan organik yang berasal dari hewan atau tumbuhan, baik secara fisik maupun kimia menjadi senyawa anorganik (mineral) sederhana oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan proses dekomposisi tergantung pada kondisi lingkungan, jenis tanaman, komposisi bahan kimia tanaman dan umur tegakan. Manfaat yang dapat dihasilkan berupa nutrisi untuk pertumbuhan tanaman secara normal. Informasi mengenai kecepatan laju dekomposisi serasah merupakan hal yang penting untuk mengetahui besarnya pengurangan jumlah bahan organik yang
2
terkandung dalam serasah serta kecepatan pengembalian hara mineral ke dalam tanah. Ketersediaan unsur hara di dalam tanah hutan sangat dipengaruhi oleh jumlah bahan organik, seperti akar, ranting, daun, batang dan alat reproduksi yang terdapat di permukaan tanah. Pengembalian unsur hara ke dalam tanah melalui proses dekomposisi menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas siklus hara sehingga keseimbangan ekosistem hutan dapat terjaga.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk menduga besarnya laju dekomposisi serasah
daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor, Jawa Barat.
1.3
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pengetahuan dalam
mempelajari siklus hara dan perpindahan energi antara tumbuhan dan tanah di dalam tegakan hutan dan dapat menjadi masukan atau arahan dalam rangka pengelolaan hutan.
3
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Serasah Serasah adalah lapisan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuh-tumbuhan
yang telah mati seperti daun, ranting, cabang dan buah bahkan kulit kayu serta bagian lainnya, yang tersebar di permukaan tanah di bawah hutan sebelum bagianbagian tersebut mengalami dekomposisi (Departemen Kehutanan, 1997). Serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang terdapat di atas permukaan tanah dan tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati. Bahan-bahan yang masih berdiri seperti pohon, cabang tidak dimasukkan ke dalam istilah ini (Madweka dan Kornas, 1970 dalam Agusril, 1985). Komponen-komponen yang penting dari serasah adalah daun, ranting dengan ukuran diameter < 1 cm dan cabang kecil dengan ukuran diameter ≤ 2 cm, alat-alat reproduksi (bunga dan buah) dan kulit pohon (Proctor, 1983 dalam Hilwan, 1993). Menurut Desmukh (1993), komponen yang membentuk lapisan serasah tumbuhan tidak homogen, tetapi tersusun atas campuran organ-organ tumbuhan seperti daun 72 %, kayu 16 %, serta bunga dan buah 2 %. Kehilangan tahunan dari daun, ranting, bunga, buah dan serpihan kulit kayu merupakan bagian utama dari jatuhan serasah pada ekosistem hutan. Sekitar 70 % dari total serasah di permukaan tanah berupa serasah daun. Serasah yang jatuh ke permukaan tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati, yang tidak mengalami proses pertumbuhan lagi dan akhirnya mengalami proses dekomposisi dan mineralisasi (Soerianegara, 1964 dalam Hilwan, 1993).
2.2
Pengertian Dekomposisi Dekomposisi adalah proses penguraian bahan organik yang berasal dari
binatang dan tumbuhan secara fisik dan kimia, menjadi senyawa-senyawa anorganik sederhana yang dilakukan oleh berbagai mikroorganisme tanah (bakteri, fungi, actinomycetes, dll), yang memberikan hasil berupa hara mineral
4
yang dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan sebagai sumber nutrisi. (Sutedjo, Kartasapoetra dan Sastroajmodjo, 1991; Departemen Kehutanan, 1989) Istilah dekomposisi sering digunakan untuk menerangkan sejumlah besar proses yang dialami oleh bahan-bahan organik, yaitu proses sejak dari perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel-partikel kecil sehingga menjadi unsur-unsur hara, yang tersedia dan dapat diserap oleh tanaman kembali. Istilah dekomposisi adalah istilah yang telah digunakan secara luas untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam biokimia, wujud fisik dan bobot bahan organik (Waring and Schlesingan, 1985). Menurut Indriani (2000), dekomposisi bahan organik atau pengomposan merupakan penguraian dan pemanfaatan bahan-bahan organik secara biologi dalam temperatur termofilik (450 C-600 C) dengan hasil akhir bahan yang cukup bagus untuk digunakan ke tanah tanpa merugikan lingkungan. Ada beberapa definisi yang dikemukakan tentang dekomposisi, antara lain dekomposisi didefinisikan sebagai penghancuran bahan organik mati secara gradual yang dilakukan oleh agen biologi maupun fisika. Definisi yang lain mengatakan bahwa dekomposisi adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan dipengaruhi oleh keberadaan dekomposer, baik dalam jumlah maupun diversitasnya. Sedangkan keberadaan dekomposer sendiri sangat ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap dekomposisi antara lain oksigen, bahan organik dan bakteri sebagai agen utama dekomposisi (Sunarto, 2004).
2.3
Faktor- faktor yang Mempengaruhi Dekomposisi Dekomposisi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor suhu tanah dan
faktor kadar air tanah (Notohadiprawiro, 1999). Suhu
tanah
merupakan
sifat
fisik
tanah
yang
penting
karena
mempengaruhi langsung pertumbuhan tumbuhan bersama dengan air, udara dan hara. Suhu tanah mempengaruhi lengas tanah, aerasi, struktur, kegiatan mikroba dan enzim, perombakan sisa jaringan tumbuhan dan hewan serta ketersediaan hara tumbuhan (Notohadiprawiro, 1999).
5
Setiadi (1987) menyatakan bahwa peningkatan suhu tanah dapat merangsang kegiatan metabolisme dari flora mikro untuk mempercepat lajunya proses mineralisasi (perombakan menjadi CO2 dari bahan organiknya), dengan demikian akan terdapat suatu peningkatan di dalam laju arus energi dalam sistemnya. Hakim, Yusuf, dan Sutopo, (1986) menyatakan bahwa jika temperatur tanah turun secara drastis, maka kehidupan jasad di dalam tanah turun aktifitasnya sehingga akhirnya proses kehidupan jasad-jasad renik yang dapat merombak harahara tanaman menjadi bentuk yang tersedia juga sangat ditentukan oleh tanah. Suhu tanah di wilayah tropika sebagaimana ditetapkan dalam Sistem Taksonomi Tanah Amerika Serikat, termasuk dalam kategori pola suhu sama, yaitu perbedaan kurang dari 50C antara rataan suhu musim dingin, pada ke dalaman 50 cm atau jika lebih dangkal pada sentuhan batu, rataan suhu udara tahunan hampir sama dengan rataan suhu tanah tahunan (Sanchez, 1992). Air merupakan unsur tanah yang dinamis. Dikenal tiga macam pergerakan air dalam tanah, yaitu pergerakan tidak jenuh (gerakan-gerakan kapiler), pergerakan jenuh dan pergerakan uap (Hakim et al., 1986). Hardjowigeno, (1995) menyatakan bahwa air terdapat di dalam tanah, tertahan oleh lapisan kedap air, atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Air dapat meresap atau ditahan oleh tanah karena adanya gaya-gaya adhesi, kohesi dan gravitasi. Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh
tekstur tanah. Tanah-tanah
bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil dibandingkan tanah bertekstur halus. Persediaan air dalam tanah tergantung dari: banyaknya curah hujan atau air irigasi, kemampuan tanah menahan air, besarnya evapotranspirasi (penguapan langsung melalui tanah dan vegetasi), dan tingginya muka air tanah. Keadaan iklim yang basah karena curah hujan yang tinggi, diikuti suhu panas, sepanjang tahun menyebabkan kegiatan jasad renik seperti fungi (jamur) dan bakteria sangat aktif. Akibatnya proses pembusukan serasah hutan berlangsung sangat cepat, proses humifikasi segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978 dalam Hilwan, 1993). Faktor iklim menentukan laju dekomposisi bahan organik sehingga mempengaruhi kelimpahan bahan organik di permukaan tanah. Kelembaban dan temperatur adalah variabel iklim yang terpenting sebab keduanya mempengaruhi
6
perkembangan tumbuhan dan mikroorganisme tanah (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993). Pada tingkat suhu tanah sedang (300 C) dan kelembaban tanah antara 6080 %, laju dekomposisi bahan organik mencapai tingkat tertinggi. Peningkatan suhu dan kelembaban secara serentak, akan memperlambat laju dekomposisi bahan organik (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).
2.4
Proses Dekomposisi Serasah Dekomposisi terbentuk melalui suatu proses fisika dan kimia yang
mereduksi secara kimia bahan organik yang telah mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Yang pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar, dipecah ke dalam spesies yang lebih kecil yang dapat direduksi secara kimia. Yang kedua, biasanya sampai aktifitas organisme spesies kecil ini dari bahan organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrad, lipid dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme atau dihanyutkan dari sistem (Anderson and Swift, 1983 dalam Hilwan, 1993). Proses dekomposisi (D) sangat ditentukan oleh tiga variabel yaitu (1) organisme pengurai (O, terdiri dari hewan dan mikroorganisme), (2) kualitas serasah (Q, karakter bahan organik yang menentukan kemampuan untuk dilapukkan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P, terdiri dari iklim makro dan tanah). Jadi laju atau proses dekomposisi merupakan fungsi dari organisme pengurai, kualitas serasah, lingkungan fisik-kimia. Fungsi tersebut dapat dituliskan, D = f
(O, Q, P). Di sebagian besar tanah peranan makrofauna
sebagai organisme pengurai atau perombak sangat penting. Hewan-hewan ini memecah serasah menjadi partikel-partikel yang sangat kecil, sehingga memperbesar luas permukaan dan mempermudah bakteri dan jamur untuk menguraikannya (Waring and Schlesingan, 1985). Faktor dominan yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim efek terhadap jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan oleh sifat fisik dan kimia daun yang tercermin dalam C/N ratio (Thaiutsa et al., 1979 dalam Hilwan, 1993).
7
Sifat fisik dan kimia daun serta kualitas serasah yang beragam, mengakibatkan adanya variasi kemampuan serasah untuk didekomposisi (Decomposibility), yang sangat dipengaruhi oleh faktor interinsik atau sifat-sifat fisik dan kimia daun, seperti tingkat kerusakan daun, kandungan lignin, unsur hara, senyawa-senyawa sekunder serta ukuran masa dan partikel (Anderson and Swift, 1983 dalam Hilwan, 1993). Dekomposisi terjadi akibat dari kegiatan jasad renik memperoleh energi untuk keperluan hidupnya. Proses ini disebut oksidasi enzimatik karena jasad renik menghasilkan berbagai enzim yang diperlukan untuk kelangsungan proses kimia yang spesifik (Soepardi, 1983 dalam Hilwan, 1993). Dari keterangan ini jelaslah bahwa yang berperanan sangat besar dalam dekomposisi serasah adalah mikroorganisme tanah atau jasad renik, seperti bakteri, aktinomisetes, cendawan tanah, ganggang dan protozoa. Dengan demikian curah hujan sebenarnya berperan dalam penciptaan lingkungan yang mendukung kehidupan mikroorganisme tanah. Proses dekomposisi bahan organik merupakan reaksi enzimatik yang menghasilkan tiga macam keluaran, yaitu: (1) energi yang dibebaskan oleh jasad mikro, (2) hasil akhir sederhana (unsur-unsur organik) dan (3) humus (Soepardi, 1983 dalam Hilwan, 1993). Manusia dapat mempercepat dekomposisi dengan jalan: perubahan bahan organik dengan penambahan CO2 udara. CO2 dapat ditembus oleh cahaya matahari akan tetapi menghisap energi infra merah sehingga dapat menyebabkan efek rumah kaca dan menyebabkan naiknya temperatur dan jika ini terjadi akan mencairkan es di kutub dan menaikan permukaan air laut. Usaha pertanian yang akan mempercepat dekomposisi (Heddy, 1994). Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran atau fragmentasi atau pemecahan struktur fisik yang mungkin dilakukan oleh hewan pemakan bangkai (scavenger) terhadap hewan-hewan mati atau oleh hewan-hewan herbivora terhadap tumbuhan dan menyisakannya sebagai bahan organik mati yang selanjutnya menjadi serasah, debris atau detritus dengan ukuran yang lebih kecil. Proses fisika dilanjutkan dengan proses biologi dengan bekerjanya bakteri yang melakukan penghancuran secara enzimatik terhadap partikel-partikel organik
8
hasil proses fragmentasi. Proses dekomposisi oleh bakteri dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh bakteri yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Dekomposer mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan dan hewan yang telah mati. Beberapa dari senyawa sederhana yang dihasilkan digunakan oleh dekomposer (Sunarto, 2004). Keefektifan
bakteri
fungi
dan
hewan
tanah
lainnya
dalam
pendekomposisian serasah ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah hutan secepat jatuhnya serasah dari tanaman dekomposisi yang lengkap membutuhkan waktu yang bertahun-tahun. Serasah yang kaya nutrisi cenderung lebih cepat terdekomposisi dari pada serasah yang miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama. Nisbah C/N sering digunakan sebagai petunjuk laju dekomposisi yang baik. Percobaan perombakan N dan P dapat meningkatkan laju dekomposisi serasah. Residu tanaman yang mempunyai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman yang mempunyai kandungan dinding sel yang tinggi umumnya memiliki konsentrasi nutrisi yang rendah. Pengetahuan mengenai kandungan bahan organik maupun nutrisi tanaman baik untuk menduga laju dekomposisi (Waring and Schlesingan, 1985). Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktorfaktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Perlu diingat pula bahwa faktor lingkungan yang mendukung proses dekomposisi dalam kondisi yang terbatas dan bukan hanya dimanfaatkan oleh bakteri tetapi juga organisme lainnya. Persaingan atas carrying capacity baik berupa oksigen maupun bahan organik, menjadi faktor kendali dalam proses dekomposisi. Ketersediaan bahan organik yang berlimpah mungkin tidak berarti banyak dalam mendukung dekomposisi bila faktor lain seperti oksigen tersedia dalam kondisi terbatas. Kedua faktor ini terutama oksigen merupakan faktor kritis bagi dekomposisi aerobik (Sunarto, 2004). Penumpukan bahan organik dapat terjadi bila tidak ada kesetimbangan antara suplai bahan organik dengan kecepatan dekomposisi. Beban bahan organik semakin berat seiring dengan terhambatnya kecepatan dekomposisi (Irawan, 2003).
9
2.5
Keterangan Jenis Tegakan
2.5.1
Shorea balangeran (Korth.) Burck. Nama daerah: balangeran, kahoi, tomi (Kalimantan). Merupakan salah
satu jenis anggota famili Dipterocarpaceae yang sering hidup berkelompok di hutan rawa gambut di Brunei Darussalam, Serawak, dan Kalimantan (Borneo). Tinggi pohon dapat mencapai 30 m dan batang tinggi, bila tidak terjadi eksploitasi berlebihan. Memiliki banir yang mencapai tinggi 1,2 m dengan bentuk tipis hingga tebal dan lurus hingga cekung. Tajuk tipis dan terbuka hijau atau hijau pupus. Permukaan pepagan putih kemerah-merahan hingga hitam kemerahmerahan, memiliki lekah penampang V yang dalam dan teratur. Takikkan batang pepagan luar terang atau merah karat, pepagan dalam coklat merah dengan pasakpasak jaringan penembang yang lebih terang di bawah lekah-lekah. Kayu gubalnya berwarna kuning jerami hingga coklat, kayu terasnya berwarna merah tua. Tipe pepagannya berlekah dangkal. Ranting bundar, penumpu 7 mm x 4 mm, lekas gugur, bundar telur, dan lancip. Tangkai daun 1,3-2,3 cm dengan indumetum pendek, rapat dan berwarna coklat kuning. Daun berbentuk jorong atau bulat telur, berukuran 7-12,8 cm x 3,16,8 cm, dengan ujung yang lancip dan pendek, pangkal membundar, ramping agak berbentuk jantung. Permukaan bawah bila mengering berwarna coklat kekuningkuningan pudar dengan indumetum pendek berupa sisik yang rapat, coklat kuning pada permukaan dan pertulangan daun. Pertulangan daun sekunder 8-10, mulamula lurus, melengkung hanya dekat tepi daun atau melengkung di seluruh panjangnya, hampir tidak terangkat, bila mengering warnanya sama seperti permukaan daun, pertulangan tersier hampir tidak kelihatan, tegak lurus atau diagonal, domatia tidak ada. Bunga benang sari berjumlah 15, kelopak bunga dengan tiga sayap panjang dan dua sayap pendek. Sayap panjang panjangnya 2,6-3,6 cm x 0,7-0,8 cm, sayap pendek berukuran 1,2-1,5 cm x 0,2-0,3 cm, buah geluknya berukuran 5,6 cm x 3,5 cm. Kayu dari jenis ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan bangunan (konstruksi) karena kayunya keras, berukuran besar dan mempunyai keawetan alam yang tinggi. Selain itu juga biasa digunakan sebagai
10
lantai karena karena kayunya keras, daya abrasi tinggi, tahan asam, mudah dipaku dan cukup kuat, serta dapat digunakan sebagai bantalan rel kereta api karena kayu ini keras, kuat, kaku, dan awet (Newman, 1999).
2.5.2
Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten. Pohon ini berukuran sedang dengan kulit kayu berlapis-lapis. Memiliki
kayu keras dan ranting kelopak bunga yang keluar berwarna kekuning-kuningan, menempel di daun muda dan di dalam bagian daun bunga, yang keluar dalam pucuk daun. Pucuknya kecil, daun penunjangnya tidak kelihatan. Panjang daunnya 3,5-7,5 cm, bentuknya bulat telur dan berkulit semu, ujungnya runcing sampai 1,5 cm panjangnya. Tulang daunnya enam sampai delapan pasang dan tipis. Tangkai daun panjangnya 11-14 mm dan tipis. Sedangkan panjang malainya sampai 8 cm. berdahan tunggal panjangnya sampai 2 cm dan berbentuk bulat panjang (oval), dua kelopak bunganya yang keluar berbentuk oval, runcing, pucuk bunganya tiga dengan panjang 2 mm, serta benangsari 15. Buah panjangnya 2 mm dan keras, berbentuk bulat telur dan bergetah. Bijinya sampai sembilan yang masing-masing 6 mm. pohon ini biasanya tumbuh di dataran rendah, dengan penyebaran ke Malesiana, dipusatkan di pulau Sumatera (Newman, 1999).
11
III KEADAAN UMUM 3.1
Letak, Luas dan Status Hukum Hutan Penelitian Dramaga menurut administrasi pemerintahan termasuk
ke dalam wilayah Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kotamadya Bogor. Lokasi penelitian ini terletak pada ketinggian 244 meter dari permukaan laut dan secara geografis terletak pada 6033’8” sampai dengan 6033’38” LS dan 106044’50” sampai dengan 1060105’19” BT. Jarak lokasi ini dari Bogor sekitar 9 km ke arah Barat. Luas Hutan Penelitian Dramaga secara keseluruhan adalah 57,75 ha, dimana seluas 10 ha digunakan oleh CIFOR (Center for International Forestry Research). Status hutan penelitian ini merupakan milik Departemen Kehutanan RI c.q. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (Departemen Kehutanan, 1994).
3.2
Iklim Berdasarkan data iklim selama 10 tahun (1989-1998) yang direkam oleh
Stasiun Klimatologi Dramaga, suhu rata-rata tertinggi dari kawasan ini terjadi pada bulan Mei, sekitar 26,10 0C dan terendah terjadi pada bulan Januari, sebesar 25 0C. Kelembaban relatif rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Agustus, sebesar 79,80 %. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari, sebesar 444 mm dan terendah terjadi pada bulan Juli, sebesar 163 mm. Menurut klasifikasi Smith dan Ferguson, kawasan ini beriklim basah (tipe hujan A), dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.940 mm (Departemen Kehutanan, 1994).
3.3
Tanah Tanah di areal Hutan Penelitian Dramaga adalah jenis latosol coklat
kemerahan. Bahan induknya berupa tuf volkan intermedier yang dicirikan dengan lapisan setebal ± 17 cm, berwarna kuning kemerahan (7,5 YR 6/8, lembab) pada kedalaman 150-167 cm, di bawah lapisan ini terdapat lapisan lain yang warna dan teksturnya dapat dikatakan sama dengan tanah di atas lapisan bahan induk.
12
Tanah latosol pada lapisan atas berwarna coklat tua kemerahan (5 YR 3/3, lembab) dan berangsur-angsur lebih cerah pada lapisan dalam (5 YR, ¾ lembab). Tekstur tanahnya berupa liat sampai liat berdebu (halus), struktur gumpal sampai remah, konsistensi gembur, liat plastis, solum sangat dalam, batas lapisan baur, drainase sedang sampai baik dan air tanahnya dalam (8-12 meter). Reaksi tanah masam sampai sedang (pH 5,0-6,0), kadar C organik dan N sedang pada lapisan atas, rendah sampai sedang pada lapisan bawah, kadar P2O5 sangat tinggi, sedangkan K2O sangat rendah di semua lapisan. Kejenuhan basa rendah dan permeabilitas sedang, yaitu 4,31 cm/jam pada lapisan atas dan 0,22 cm/jam pada lapisan bawah (Departemen Kehutanan, 1994).
3.4
Topografi dan Ketinggian Bentuk wilayah Hutan Penelitian Dramaga adalah datar sampai agak
berombak dengan kelerengan 0-6 % dan berada pada ketinggian 244 meter dari permukaan laut (Departemen Kehutanan, 1994).
3.5
Flora Sejak tahun 1956 sampai dengan 1998 di Hutan Penelitian Dramaga telah
diintroduksi sebanyak 130 jenis tumbuhan, terdiri dari 127 jenis pohon, satu jenis bambu, satu jenis rotan dan satu jenis palme. Jenis tumbuhan tersebut meliputi 88 marga dan 43 famili. Berdasarkan daerah penyebaran alaminya, jenis tumbuhan tersebut dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis asing (penyebaran alaminya di luar Indonesia) sebanyak 42 jenis meliputi 35 marga dan 19 famili dan jenis asli (penyebaran alaminya di Indonesia) sebanyak 88 jenis, terdiri dari 85 jenis pohon, satu jenis bambu, satu jenis rotan dan satu jenis palme. Jenis tanaman asing terdiri dari jenis-jenis pohon yang termasuk: 1. Kelompok daun jarum (Gymnospermae) sebanyak tiga jenis, semuanya dari marga Pinus, famili Pinaceae. 2. Kelompok daun lebar (Angiospermae) sebanyak 39 jenis yang mencakup 34 marga dan 18 famili dimana jenis yang paling banyak adalah jenis dari Khaya dan Terminalia, masing-masing tiga jenis.
13
Berdasarkan asal benihnya, jenis pohon asing tersebut berasal dari negara yang beriklim tropis dan sub-tropis. Jenis pohon asli Indonesia terdiri dari jenis-jenis pohon yang termasuk: 1. Kelompok daun jarum (Gymnospermae) sebanyak tiga jenis yaitu dari marga Agathis (famili Araucariaceae), Pinus (famili Pinaceae) dan Podocarpus (famili Podocarpaceae). 2. Kelompok daun lebar (Angiospermae) sebanyak 82 jenis, mencakup 56 marga dan 34 famili dimana jenis yang paling banyak adalah jenis dari marga Shorea (10 jenis), Eugenia (lima jenis), Dipterocaroaceae (94 jenis) dan Hopea (empat jenis). Berdasarkan asal benihnya, jenis pohon asli Indonesia berasal dari hampir seluruh pulau besar yang ada di Indonesia, mencakup Indonesia bagian barat, tengah dan timur (Departemen Kehutanan, 1994).
3.6
Fauna Jenis-jenis fauna yang hidup di kawasan Hutan Penelitian Dramaga tidak
begitu banyak. Hal ini disebabkan oleh luasannya yang tidak begitu besar dan dekat dengan perkampungan penduduk. Fauna tersebut antara lain berbagai jenis burung (Aves), ular tanah (Agkistrodon rhodostoma), tupai atau bajing (Lariscus sp.), Musang (Paradoxurus hermaproditus), dan berbagai jenis serangga (Departemen Kehutanan, 1994).
14
IV BAHAN DAN METODE 4.1
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan antara bulan Febuari sampai
dengan April 2007. Penelitian ini dilaksanakan di Hutan Penelitian Dramaga yang berada di Desa Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat, dengan objek penelitian tegakan Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten yang masing-masing berumur 48 tahun dengan jarak tanam 6 m x 6 m.
4.2
Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun dari
tegakan Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten yang berumur 48 tahun. Peralatan penunjang yang digunakan meliputi pita ukur 100 m dan 10 m, litter bag (kantung serasah) yang terbuat dari kain kasa atau nylon memiliki mata jala 1 mm berukuran 15 cm x 30 cm, tali plastik, patok bambu,oven, timbangan dan kantung plastik.
4.3
Metode Penelitian
4.3.1 Peletakan Kantung Serasah Penelitian dilakukan di dua tegakan yaitu tegakan S. balangeran dan H. bancana dengan luas masing-masing 0,20 ha dan 0,23 ha. Pada setiap tegakan diletakan sebanyak 108 buah kantung serasah secara sistematik (12 baris dan 9 kolom).
4.3.2
Variabel yang Diamati Dalam Penelitian ini variabel yang diamati dan diukur antara lain: bobot
kering awal serasah (50 gram), berat kering akhir serasah (gram), penurunan bobot (%), laju dekomposisi (%) per minggu, dan curah hujan selama waktu penelitian (mm) per minggu.
15
4.3.3
Perancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap. Jumlah
unit percobaan pada penelitian ini adalah 108 unit (kantung serasah) untuk masing-masing tegakan.
4.3.4
Prosedur Kerja Langkah-langkah pengukuran pendugaan laju dekomposisi serasah adalah
sebagai berikut: 1. Kantung serasah diisi dengan serasah sebanyak 50 gram berat kering. 2. Kantung serasah yang telah diisi serasah lalu diletakkan di lantai hutan, sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah. Untuk menjaga agar kantung serasah tidak berpindah maka diikatkan pada patok bambu. 3. Setiap satu minggu sekali diambil sembilan kantung serasah dalam satu baris dari tiap tegakan. 4. Serasah yang telah diambil lalu dioven selama 24 jam pada suhu 1050C. 5. Serasah yang telah dioven kemudian ditimbang untuk diukur berat keringnya.
4.3.5
Pengolahan Data Penurunan bobot didapat dengan rumus: W = W0 – Wt x 100% W0 Dimana : W0 = berat kering awal serasah (50 gram) Wt = berat kering akhir serasah (gram) per periode waktu t W = Penurunan bobot Laju dekomposisi diduga dengan rumus: D = Penurunan bobot minggu Dimana : D = pendugaan laju dekomposisi
16
V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil Serasah daun S. balangeran setelah terdekomposisi selama 12 minggu
mengalami kehilangan bobot sebesar 47,64 % dari bobot kering awal sebesar 50 gram dengan rata-rata laju dekomposisi 7,18 % perminggunya dan laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu ke satu yaitu 21,44 %. Untuk serasah daun H. bancana setelah terdekomposisi selama 12 minggu mengalami kehilangan bobot sebesar 46,86 % dari bobot kering awal sebesar 50 gram dengan rata-rata laju dekomposisi 7,14 % perminggunya dan laju dekomposisi tertinggi terjadi pada minggu ke satu yaitu 21,72 %, seperti tersaji pada Tabel 1. Tabel 1 Bobot Kering dan Laju Dekomposisi Serasah daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten yang Terdekomposisi Selama 12 Minggu Waktu (minggu)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Serasah daun Shorea balangeran Serasah daun Hopea bancana (Korth.) Burck. (Boerl.) Van Slooten Bobot Penurunan Laju Bobot Penurunan Laju (gram) bobot dekomposisi (gram) bobot dekomposisi (%) (%perminggu) (%) (%perminggu) 39,28 21,44 21,44 39,14 21,72 21,72 38,41 23,18 11,59 38,25 23,50 11,75 37,29 25,42 8,47 37,61 24,78 8,26 36,39 27,22 6,81 36,75 26,50 6,63 35,57 28,86 5,77 35,88 28,24 5,65 34,62 30,76 5,13 34,93 30,14 5,02 31,19 37,62 5,37 31,46 37,08 5,29 30,58 38,84 4,85 30,79 38,42 4,80 29,66 40,68 4,52 29,90 40,20 4,46 28,73 42,54 4,25 29,14 41,72 4,17 27,78 44,44 4,04 28,15 43,70 3,97 26,18 47,64 3,97 26,57 46,86 3,91 Rata-rata 7,18 Rata-rata 7,14
Data pada Tabel 1 digambarkan dalam bentuk grafik seperti tersaji pada Gambar 1.
17
Bobot Serasah (gram / minggu)
45 40 35 30 25
Shorea
20
Hopea
15 10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Waktu (minggu)
Laju Dekomposisi Serasah (% / minggu)
(a)
25 20 15
Shorea Hopea
10 5 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Waktu (minggu) (b) Gambar 1 Perubahan Bobot Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl) Van Slooten (a), dan Laju Dekomposisi Serasahnya (b) yang Terdekomposisi Selama 12 Minggu.
18
Berdasarkan hasil analisis keragaman pada jenis pohon (Tabel 2) dan faktor periode waktu (Tabel 3) terlihat bahwa faktor jenis pohon tidak berpengaruh signifikan, sebaliknya faktor periode waktu berpengaruh signifikan terhadap laju dekomposisi serasah.
Tabel 2
Analisis Keragaman Faktor Jenis Pohon terhadap Laju Dekomposisi Serasah Sumber DB JK KT F hit P value keragaman 0,00 0,00 0,97 0,0 1 Jenis 30 659,90 22 Galat 659,90 23 Total
Tabel 3
Analisis Keragaman Faktor Periode Waktu terhadap Laju Dekomposisi Serasah Sumber DB JK KT F hit P value keragaman Minggu
11
659,71
59,97
Galat
11
0,18
0,016
Total
23
659,93
3671,01
0,00
Hubungan antara laju dekomposisi serasah daun S. balangeran dan H. bancana dengan periode waktu dekomposisi masing-masing mengikuti persamaan Y=15,81-1,11X dan Y=15,87-1,13X, sedangkan dengan curah hujan mengikuti persamaan Y=0,25+0,06X dan Y=0,03+0,06X, seperti tersaji pada Gambar 2 dan 3. Hal ini berarti semakin lama periode waktu dekomposisi, maka semakin rendah laju dekomposisi serasah perperiodenya, sedangkan semakin tinggi curah hujan, maka laju dekomposisi akan semakin cepat.
19
laju dekomposisi
20
Y = 15,8712 - 1,13461 x 10 Y = 15,8131 - 1,11322 x
0 0
keterangan Gambar 2
2
4
6
minggu
8
10
12
Shorea Hopea Hubungan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten terhadap Waktu (minggu).
25
laju deomposisi
15 Y = 0,0027418 + 0,0590824 x
Y = 0,248450 + 0,0579064 x 5
100
200
300
Curah Hujan
keterangan Gambar 3
Shorea Hopea Hubungan Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran (Korth.) Burck. dan Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten terhadap Curah Hujan.
20
5.2
Pembahasan Dari hasil pengukuran bobot seperti disajikan dalam Tabel 1, terlihat
bahwa laju dekomposisi serasah daun S. balangeran dan H. bancana tidaklah berbeda jauh. Seperti halnya tersaji pada Gambar 1. Dekomposisi berlangsung melalui transformasi energi di dalam dan di antara organisme-organisme. Proses dekomposisi merupakan fungsi yang sangat penting, sebab jika proses dekomposisi tidak terjadi, maka semua makanan akan terikat pada tumbuhan yang mati, dan dunia ini akan penuh dengan sisa-sisa dan bangkai. Penghancuran untuk setiap tumbuhan dan binatang yang mati tidak sama. Lemak, gula dan protein dapat segera dibusukkan akan tetapi selulosa dan lignin kayu lama sekali dihancurkannya. Demikian juga chitin, rambut dan tulangtulang binatang sangat sukar dihancurkan (Irawan, 2003). Menurut Subkhan (1991), serasah yang terdapat di permukaan tanah merupakan bagian bahan-bahan yang telah jatuh. Serasah tersebut tidak mengalami pertumbuhan lagi dan akhirnya mengalami dekomposisi dan mineralisasi dimana laju dari proses dekomposisi tersebut dapat ditentukan dari penyusutan bobot serasah yang terdekomposisi. Proses humifikasi di alam tergantung pada kondisi tanah, tumbuhan penutup, aktifitas mikroorganisme dan fauna tanah, pengaruh iklim, sifat fisika kimia tanah, serta aktifitas manusia. Kecepatan dekomposisi sisa tanaman juga tergantung pada susunan kimianya. Sebagai hasil dari serangan berbagai mikroorganisme, jaringan-jaringan sisa tanaman terlepas satu sama lain, dan sisa tanaman akan menjadi tidak stabil sehingga terjadi penurunan bobot dan volume (Kononova, 1961 dalam Hilwan, 1993). Apabila proses dekomposisi berjalan lambat seperti dalam hutan, maka bahan organik akan menumpuk di lantai hutan dan produktifitas hutan mungkin akan rendah. Adapun penumpukan bahan organik dapat terjadi bila tidak ada kesetimbangan antara suplai bahan organik dengan kecepatan dekomposisi. Keefektifan bakteri fungi dan hewan tanah lainnya dalam pendekomposisian serasah ditunjukkan oleh cepat atau lambatnya serasah hilang dari permukaan tanah hutan secepat jatuhnya serasah dari tanaman dekomposisi yang lengkap membutuhkan waktu yang bertahun-tahun. Serasah yang kaya nutrisi cenderung
21
lebih cepat terdekomposisi dibanding serasah yang miskin nutrisi pada lantai hutan yang sama (Waring and Schlesingan, 1985). Proses dekomposisi bahan organik secara alami akan berhenti bila faktorfaktor pembatasnya tidak tersedia atau telah dihabiskan dalam proses dekomposisi itu sendiri. Degradasi zat organik mengendalikan sejumlah fungsi dalam ekosistem misalnya peredaran kembali nutrien melalui mineralisasi, dan pembentukan makanan dari rantai makanan detritus (Heddy, 1994). Proses dekomposisi berlangsung secara berkelanjutan sampai bahan organik yang komplek secara berangsur-angsur diubah menjadi elemen yang sederhana. Hasil analisis keragaman dekomposisi serasah seperti tertera dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa faktor jenis pohon tidak berpengaruh signifikan terhadap laju dekomposisi serasah. Hal ini dapat dikarenakan kedua jenis pohon berasal dari famili yang sama yaitu Dipterocarpaceae, tegakan ditanam pada tahun dan jarak tanam yang sama yaitu tahun 1959 dengan jarak tanam 6 x 6 m, dan ditanam pada kondisi tanah serta iklim yang relatif sama. Hasil analisis keragaman pada Tabel 3 menunjukkan bahwa faktor periode waktu (minggu) memberikan pengaruh yang singnifikan terhadap laju dekomposisi serasah. Tersaji pada Gambar 2, hubungan antara laju dekomposisi serasah daun S. balangeran dan H. Bancana dengan faktor periode waktu dekomposisi masing-masing mengikuti persamaan Y=15,81-1,11X dan Y=15,871,13X, dimana Y adalah laju dekomposisi dan X adalah periode waktu (minggu). Hal ini dapat diartikan bahwa semakin lama periode waktu dekomposisi, maka akan semakin rendah laju dekomposisi serasah perperiodenya. Kondisi vegetasi yang seragam mendukung lambatnya laju dekomposisi karena mengakibatkan rendahnya keragaman mikroorganisme yang berperan dalam proses dekomposisi. Jika serasah cocok tehadap mikroorganisme tanah apalagi jika kaya akan nutrisi dan mengandung sedikit kayu atau kulit, dan kondisi kelembaban, drainase serta aerasi tanah cukup baik, maka bahan organik akan terdekomposisi secara cepat dan tidak akan terakumulasi dalam tanah. Penguraian serasah daun di setiap minggunya berbeda dimana pada awalnya nilai laju dekomposisi akan tinggi dan kemudian terus menurun, yang berarti pada awalnya serasah terurai dengan cepat dan kemudian semakin lambat
22
dengan semakin lamanya periode waktu serasah terdekomposisi.
Hal ini
dikarenakan pada serasah yang masih baru masih banyak persediaan unsur-unsur yang merupakan makanan bagi mikroba tanah atau bagi organisme pengurai, sehingga serasah cepat hancur. Unsur tersebut semakin berkurang yang berarti penghancurannya juga lambat sampai hanya tinggal unsur yang tidak diperlukan oleh dekomposer. Selain itu kadar air yang terdapat pada serasah yang masih baru akan mudah menguap sehingga bobot serasah pada awal minggu mengalami penurunan yang tinggi yang juga membuat laju dekomposisinya menjadi cepat. Sebagai suatu proses yang dinamis, dekomposisi memiliki dimensi kecepatan yang mungkin berbeda dari waktu ke waktu tergantung faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dekomposer disamping faktor bahan yang akan didekomposisi (Saunder, 1980 dalam Sunarto, 2004). Sebagai salah satu komponen lingkungan di atas permukaan tanah yang tersedia datanya, curah hujan memiliki peranan dalam proses dekomposisi serasah. Hubungan antara curah hujan dengan laju dekomposisi untuk serasah daun S. balangeran dan H. bancana (Gambar
3)
masing-masing
mengikuti
persamaan
Y=0,25+0,06X
dan
Y=0,03+0,06X, dimana Y adalah laju dekomposisi dan X adalah curah hujan, yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi curah hujan, maka laju dekomposisi akan semakin cepat. Curah hujan berperan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kehidupan ataupun aktivitas mikroorganisme tanah. Dimana mikroorganisme tanah ataupun jasad renik memperoleh energi untuk keperluan hidupnya dengan cara mengambil dari unsur-unsur yang terdapat dalam daun sehingga dengan aktifitasnya tersebut terjadi penguraian dan mengurangi bobot serasah.
23
VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan Serasah daun S. balangeran dan H. bancana selama 12 minggu mengalami
penyusutan bobot kering masing-masing sebesar 47,64 % dan 46,86 % dari berat awal, dengan rata-rata laju dekomposisi masing-masing sebesar 7,18 % dan 7,14 % perminggunya. Laju dekomposisi serasah, baik pada jenis S. balangeran maupun jenis H. bancana tertinggi terjadi pada minggu kesatu yaitu masingmasing sebesar 21,44 % dan 21,72 %.
6.2
Saran Dalam rangka kepentingan praktek pengelolaan Hutan Penelitian Dramaga
sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai pola siklus hara pada ekosistem hutan tersebut agar diketahui dengan tepat perlakuan pemeliharaan produktifitas hutan yang bersangkutan.
24
DAFTAR PUSTAKA Agusril. 1985. Pengukuran Produktivitas Serasah Zona Montana di Hutan Pegunungan, Gunung Gede, Jawa Barat. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Kehutanan. 1989. Kamus Kehutanan Indonesia. Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. ------------------------------. 1994. Kebun Percobaan Dramaga . Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. ------------------------------. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Edisi Pertama. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta. Desmukh, I. 1993. Ekologi dan Biologi Tropika. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Hakim, N.M., N.A. Yusuf, dan G.N. Sutopo. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung. Hardjowigeno. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Presindo, Jakarta. Heddy, S. 1994. Prinsip-prinsip dalam Ekologi. Persada, Jakarta. Hilwan, I. 1993. Produksi, Laju Dekomposisi dan Pengaruh Alelopati Serasah Pinus merkusii Jungh, et de Vriese dan Acacia mangium wild di Hutan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa barat. [Tesis]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Indriani, H. Y. 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya Jakarta, Jakarta. Irawan, Z.D. 2003. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan. Bumi Aksara, Jakarta. Newman, M.F. 1999. Pedoman Identifikasi Pohon-pohon Dipterocarpceae Pulau Kalimantan. Porsea Indonesia, Bogor. Notohadiprawiro, T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Balai Pustaka, Jakarta. Sanchez. 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Setiadi, Y. 1987. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam kehutanan.Pusat Antar Fakultas, Biotek Institut Pertanian Bogor, Bogor.
25
Subkhan. 1991. Produksi dan Penguraian Serasah Hutan Mangrove di Sungai Talidenan Besar. HPH PT. Bina lestari, Riau. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sunarto. 2004. Peranan Dekomposisi Produksi pada Ekosistem Laut. http: // rudyct top cities. Com/ pps 702-71034/ sunarto. html. [20 Maret 2007]. Sutedjo, MM., A.G. Kartasapoetra dan Sastroajmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Rineksa Cipta, Jakarta. Waring and Schlesingan. 1985. Forest Ecology Concept and Management. Akademic Press. Inc, Orlando.
26
LAMPIRAN
27 Lampiran 1 Hasil Pengukuran Bobot Serasah Shorea balangeran (Korth.) Burck Mgg
ulangan
bobot
rata2 bobot/ mgg
Mgg
ulangan
bobot
1
W
38,96
39,28
6
C
34,65
1
W
39,48
6
C
34,54
1
W
39,36
6
E
1
C
39,77
6
1
C
39,61
6
1
C
39,49
7
W
32,65
1
E
38,94
7
W
31,33
1
E
38,77
7
W
1
E
39,13
7
2
W
38,57
38,41
ulangan
bobot
11
E
27,76
12
W
26,86
34,55
12
W
27,13
E
34,56
12
W
26,87
E
34,45
12
C
26,16
12
C
25,84
12
C
25,68
31,59
12
E
25,43
C
30,95
12
E
26,24
7
C
30,82
12
E
25,41
2
W
38,16
7
C
30,9
2
W
38,37
7
E
30,95
2
C
38,63
7
E
30,72
2
C
38,35
7
E
30,85
2
C
38,54
8
W
31,76
2
E
38,36
8
W
30,74
2
E
38,21
8
W
30,66
2
E
38,54
8
C
30,44
3
W
37,17
8
C
30,46
3
W
37,31
8
C
30,36
3
W
37,11
8
E
30,27
3
C
37,48
8
E
30,16
3
C
37,21
8
E
30,34
3
C
37,52
9
W
29,43
3
E
37,48
9
W
29,59
3
E
37,12
9
W
29,89
3
E
37,25
9
C
29,91
4
W
36,32
9
C
29,75
4
W
36,95
9
C
29,7
4
W
36,35
9
E
29,82
4
C
36,25
9
E
29,44
4
C
36,27
9
E
29,43
4
C
36,59
10
W
28,88
4
E
36,35
10
W
28,73
4
E
36,27
10
W
28,76
4
E
36,22
10
C
28,79
5
W
35,6
5
W
35,55
5
W
35,52
10
E
28,91
5
C
35,55
10
E
28,75
5
C
35,51
10
E
28,62
5
C
35,62
11
W
27,28
5
E
35,65
11
W
28,37
5
E
35,52
11
W
28,01
5
E
35,6
11
C
27,91
6
W
34,25
11
C
27,75
6
W
34,7
11
C
27,61
6
W
35,23
11
E
27,8
6
C
34,63
11
E
27,57
37,29
36,39
35,57
34,62
10
C
28,52
10
C
28,58
rata2 bobot/ mgg
31,19
30,58
29,66
28,73
27,78
Mgg
rata2 bobot/ mgg
26,18
28 Lampiran 2 Hasil Pengukuran Bobot Serasah Hopea bancana (Boerl.) Van Slooten mgg
ualngan
bobot
rata2 bobot/ mgg
1 1
W
39,3
39,14
6
C
34,7
11
E
28,34
W
39,28
6
C
35,55
12
W
26,45
1
W
39,06
6
E
34,63
12
W
26,14
1
C
38,92
6
E
34,65
12
W
27,06
1
C
39,36
6
E
34,85
12
C
27,52
1
C
39,48
7
W
31,89
12
C
26,28
1
E
38,77
7
W
30,24
12
C
26,54
1
E
39,61
7
W
30,79
12
E
26,08
1
E
38,49
7
C
32,51
12
E
26,37
2
W
38,55
7
C
31,76
12
E
26,66
30,89
38,25
mgg
ulangan
bobot
2
W
37,62
7
C
2
W
38,48
7
E
31,95
2
C
38,23
7
E
31,72
2
C
37,72
7
E
31,43
2
C
38,17
8
W
31,18
2
E
38,63
8
W
30,14
2
E
38,35
8
W
30,43
2
E
38,54
8
C
31,38
3
W
38,44
8
C
30,43
3
W
37,46
8
C
30,59
3
W
38,17
8
E
30,52
3
C
37,75
8
E
31,66
3
C
37,17
8
E
30,79
3
C
37,31
9
W
30,4
3
E
37,48
9
W
29,95
3
E
37,21
9
W
29,72
3
E
37,52
9
C
30,7
4
W
37,42
9
C
30,23
37,61
36,73
4
W
36,61
9
C
29,25
4
W
36,26
9
E
29,82
4
C
36,98
9
E
29,44
4
C
37,03
9
E
29,62
4
C
37,01
10
W
29,65
4
E
36,25
10
W
28,92
4
E
36,27
10
W
28,8
4
E
36,9
10
C
29,66
5
W
35,77
10
C
29,68
5
W
36,41
10
C
28,76
5
W
36,01
10
E
28,95
5
C
35,59
10
E
29,12
5
C
35,6
10
E
28,7
5
C
35,95
11
W
28,29
5
E
35,55
11
W
27,8
5
E
35,51
11
W
28,18
5
E
36,56
11
C
29,15
6
W
34,2
6
W
35,59
6
W
35,6
11
E
27,91
6
C
34,62
11
E
27,75
35,88
34,93
11
C
27,73
11
C
28,17
rata2 bobot/ mgg
31,46
30,79
29,90
29,14
28,15
mgg
Ulangan
bobot
rata2 bobot/ mgg
26,57
29
Lampiran 3. Analisis Keragaman Serasah Daun Shorea balangeran dan Hopea bancana Two-way ANOVA: laju dekomposisi versus jenis; minggu
Analysis of Variance for laju dek Source DF SS MS jenis 1 0,0393 0,0393 minggu 11 659,7097 59,9736 Error 11 0,1797 0,0163 Total 23 659,9287
F 2,41 3671,01
P 0,149 0,000
One-way ANOVA: laju dekomposisi versus jenis Analysis of Variance for laju dek Source DF SS MS jenis 1 0,0 0,0 Error 22 659,9 30,0 Total 23 659,9
Level hopea shorea
N 12 12
Pooled StDev =
Mean 8,496 8,577
StDev 5,551 5,402
5,477
F 0,00
P 0,971
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ----+---------+---------+---------+-(---------------*----------------) (----------------*---------------) ----+---------+---------+---------+-6,0 8,0 10,0 12,0
One-way ANOVA: laju dekomposisi versus minggu Analysis of Variance for laju dek Source DF SS MS minggu 11 659,7097 59,9736 Error 12 0,2190 0,0183 Total 23 659,9287
Level 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Pooled StDev =
Mean 24,309 13,284 9,631 7,819 6,723 6,052 6,678 6,104 5,757 5,471 5,282 5,331 0,135
StDev 0,248 0,148 0,200 0,170 0,124 0,107 0,087 0,062 0,064 0,100 0,083 0,086
F 3285,79
P 0,000
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev --+---------+---------+---------+---(* * * * *) * * *) (* * (* * --+---------+---------+---------+---6,0 12,0 18,0 24,0
30
Lampiran 4 Analisis Regresi Laju Dekomposisi Serasah Daun Shorea balangeran dan Hopea bancana
laju dekomposisi
20
Y = 15,8712 - 1,13461 x 10 Y = 15,8131 - 1,11322 x
0 0
2
4
6
minggu
8
10
12
Regression Analysis: sh_laj dek versus mgg The regression equation is sh_laj dek = 15,8131 - 1,11322 mgg S = 3,79133
R-Sq = 55,2 %
R-Sq(adj) = 50,7 %
Analysis of Variance Source Regression Error Total
DF 1 10 11
SS 177,214 143,741 320,955
MS 177,214 14,374
F 12,3286
P 0,006
Regression Analysis: hop_laj dek versus mgg The regression equation is hop_laj dek = 15,8712 - 1,13461 mgg S = 3,93505 R-Sq = 54,3 % Analysis of Variance Source DF SS Regression 1 184,090 Error 10 154,846 Total 11 338,936
R-Sq(adj) = 49,7 % MS 184,090 15,485
F 11,8886
P 0,006
31
Lampiran 5
Data Curah Hujan Mingguan di Hutan Penelitian Dramaga
Minggu
Curah hujan
1
320
2
135
3
163
4
106
5
198
6
201
7
149
8
66
9
58
10
103
11
115
12
111
Total
1725
Rata-rata
143,75
Lampiran 6 Gambar Daun S. balangeran dan H. bancana
32
Gambar Daun Shorea balangeran
Gambar Daun Hopea bancana