PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN PELEPASAN HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)
RIFA’ ATUNNISA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2013 Rifa’ Atunnisa NIM 451110111
RINGKASAN RIFA’ ATUNNISA. Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Dibimbing oleh IRDIKA MANSUR dan OMO RUSDIANA. Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman. Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan penting bagi ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input, simpanan dan output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar tegakan (pohon) dikembalikan ke dalam tanah (input hara) oleh serasah yang jatuh, tanaman bawah yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan melalui proses dekomposisi. Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menghitung produktivitas, laju dekomposisi, kandungan hara dan pelepasan hara serasah jabon, dan menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon terhadap pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang batubara. Penelitian dilakukan pada tegakan jabon umur 4 tahun. Metode pengumpulan produktivitas serasah menggunakan litter trap dilakukan setiap satu minggu sekali selama 12 minggu. Metode pengumpulan data laju dekomposisi menggunakan 120 kantung serasah yang diletakkan di atas tanah tegakan jabon yang diambil setiap minggu sekali selama 12 minggu. Pengumpulan data pertumbuhan semai jabon yang diaplikasikan kompos serasah daun jabon dilakukan selama 10 minggu. Hasil penelitian menunjukkan total produktivitas serasah selama 12 minggu sebesar 22.25 g m-2 minggu-1 atau setara dengan 11.57 ton ha-1 tahun-1. Konstanta laju dekomposisi (k) sebesar 0.09 (minggu) dan laju dekomposisi relatif adalah 0.086 g g-1 minggu-1. Waktu yang dibutuhkan serasah jabon untuk terdekomposisi 50 % dari berat kering awal (paruh waktu) adalah 53 hari. Besarnya kandungan hara serasah berturut turut dari yang terbesar adalah Ca, N, Mg, K dan P yaitu sebesar 238 kg ha-1, 230 kg ha-1, 151 kg ha-1, 110 kg ha-1, dan 44 kg ha-1. Persentase pelepasan hara serasah terbesar pada unsur Mg yaitu sebesar 98.11 % selama proses dekomposisi 12 minggu. Pemberian kompos serasah daun jabon pada media tanam tanah bekas tambang batubara berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi dan diameter, laju pertumbuhan relatif tinggi dan diameter, biomassa total, pucuk dan akar, namun tidak berpengaruh nyata pada rasio pucuk akar pada tingkat kepercayaan 95 %. Dosis pemberian kompos 30 % dapat meningkatkan pertambahan tinggi sebesar 69 %, tinggi sebesar 74 %, dan meningkatkan biomassa total sebesar 193 % jika dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci: kadam, serasah, laju dekomposisi, unsur hara, pelepasan hara, tambang batu bara
SUMMARY RIFA’ ATUNNISA. Litterfall Productivity, Decomposition Rate, and Nutrient Release of Anthocephalus cadamba Miq. Supervised by IRDIKA MANSUR and OMO RUSDIANA. Maintaining the nutrient supply in soil is crucial for sustaining productivity. Nutrient cycling in ecosystem provide available nutrient through inputs, storage pools, and outputs. In nutrient cycle, plant nutrient uptake from soil and return to soil from litterfall, coverground species, and remain harvest plant through decomposition process. Jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.) is one of Indonesia native species which has high prospect for plantation forest and revegetation in degraded ecosystem, such caused by mining operations. The soil of overburden dumps in coal mining are physically, nutritionally and biologically poor. This study was conducted to calculate productivity, decomposition rate, nutrient content and nutrient release to 4-year-old jabon plantation, also to test the application of jabon compost that applied to jabon seedling with soil from coal mine as planting media. Research was conducted at 4-year-old jabon plantation. Method of Litterfall productivity use litterfall collection traps every week during 12 weeks. Decomposition rate was used litter bag technique, with 120 of bags which placed above soil floor. Collecting data for use application of jabon compost was held during10 weeks. Total productivity during 12-week is 22.25 g m-2 week-1 or 11.57 ton ha-1 -1 yr . Rate decay constant (k) is 0.09 week-1 and relative decomposition rate was 0.086 g g-1 week-1. Nutrient input from leaf litter, from highest to lowest, in the following order: Ca (238 kg ha-1 )> N (230 kg ha-1)> Mg (151 kg ha-1)> K (110 kg ha-1)> P (44 kg ha-1). Magnesium has the highest percentage of nutrient release that is 98.11 % during 12-week decomposition. Application of jabon compost to soil from coal mine has significant effects on height and diameter growth, total biomass, and shoot and root biomass, but it did not significantly effected on shoot-root ratio. Combination between media and 30 % jabon compost increased plant height by 69 %, diameter by 72 %, and biomass total by 193 % compared with control treatment. Keywords: kadam, litter, decomposition rate, nutrient release, coal mine soil
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
PRODUKTIVITAS, LAJU DEKOMPOSISI, DAN PELEPASAN HARA SERASAH PADA TEGAKAN JABON (Anthocephalus cadamba Miq.)
RIFA’ ATUNNISA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Silvikultur Tropika
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Basuki Wasis, MS
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan November 2012 ini ialah serasah daun jabon, dengan judul Produktivitas, Laju Dekomposisi, dan Pelepasan Hara Serasah pada Tegakan Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Irdika Mansur dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Sukanto Tanoto melalui Tanoto Foundation telah memberikan beasiswa kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik-adik, seluruh keluarga, dan teman-teman seperjuangan atas segala doa, kasih sayang, dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2013 Rifa’ Atunnisa
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Hipotesis
1 1 2 3 3
2 METODE Kondisi Umum Lokasi Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengambilan Data Analisis Data
3 3 4 4 4 7
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Karakteristik Tegakan Jabon Produksi Serasah Efisiensi Penggunaan Hara Dekomposisi Serasah Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon
10 10 13 15 17 18 26
4 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
35 35 36
DAFTAR PUSTAKA
36
LAMPIRAN
40
RIWAYAT HIDUP
41
DAFTAR TABEL 1. Hasil analisis tanah tegakan jabon 2. Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur pengamatan 4 tahun 3. Sumbangan unsur hara dari serasah jabon 4. Laju dekomposisi serasah daun jabon 5. Rata-rata produksi serasah dan laju dekomposisi beberapa jenis tanaman tropis 6. Akumulasi nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium pada beberapa tanaman tropis 7. Kandungan hara serasah daun segar dan kompos jabon 8. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon 9. Uji lanjut Duncan pertambahan tinggi semai jabon 10. Uji lanjut Duncan pertambahan diameter semai jabon 11. Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan tinggi semai jabon 12. Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan diameter semai jabon 13. Uji lanjut Duncan biomassa total semai jabon 14. Uji lanjut Duncan biomassa pucuk semai jabon 15. Uji lanjut Duncan biomassa akar semai jabon 16. Rasio pucuk akar semai jabon
13 16 17 20 24 25 27 28 29 29 30 30 31 31 32 32
DAFTAR GAMBAR 1. Diagram siklus hara 2. Litter trap 3. Kantong serasah 4. Pembuatan kompos alami 5. Diagram alir penelitian 6. Serapan hara dan NUE biomassa serasah daun jabon 7. Persamaan laju dekomposisi serasah tanaman jabon 8. Perubahan serasah daun jabon 9. Persentase pelepasan hara serasah selama proses dekomposisi 10. Bagan analisis hubungan langsung dan tidak langsung dari beberapa faktor yang mempengaruhi nilai konstanta laju dekomposisi (k) 11. Kompos daun jabon selama pengomposan 3 bulan 12. Pertumbuhan diameter semai jabon 13. Pertumbuhan tinggi semai jabon 14. Perlakuan tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos 15. Bibit tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos 16. Perakaran pada media tanpa pemberian kompos dan dengan pemberian kompos
2 5 6 6 9 18 20 21 22 23 27 28 29 32 33 34
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil analisis tanah tambang 2. Data iklim mikro pada tegakan jabon.
40 40
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Usaha mempertahankan ketersediaan hara pada tanah merupakan hal yang sangat penting dalam upaya mempertahankan produktivitas hutan tanaman. Keberadaan hara yang dapat diserap oleh tanaman sangat penting digunakan untuk pertumbuhan, perkembangan dan proses reproduksi tanaman tersebut. Siklus hara atau daur ulang hara dalam ekosistem memegang peranan penting bagi ketersediaan hara di dalam ekosistem hutan yang terdiri dari input, simpanan dan output hara. Pada siklus tersebut, hara yang diserap oleh akar tegakan (pohon) dikembalikan ke dalam tanah (input hara) melalui serasah yang jatuh, tanaman bawah yang mati maupun sisa pemanenan yang ditinggal di lahan. Output hara dapat diakibatkan oleh hasil panen yang dibawa keluar lahan, erosi, aliran permukaan, dan pencucian hara, sedangkan simpanan hara merupakan ketersediaan hara di tanah pada waktu tertentu (Gambar 1). Hilangnya beberapa unsur hara ini, dapat menyebabkan kesuburan tanah menurun sehingga pada tingkat tertentu tanah tidak mampu mendukung pertumbuhan tanaman secara normal. Serasah menjadi sumber bahan organik tanah dimana melalui proses dekomposisi, yaitu saat serasah jatuh ke lantai tanah terjadi proses perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil sehingga menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan mikroorganisme (Thaiutsa dan Granger 1979; Fisher dan Binkley 2000). Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur tanah. Keberadaan serasah selain sebagai sumber bahan organik, juga mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan produktivitas tegakan yaitu mencegah erosi dan peningkatan porositas tanah sehingga proses penyerapan air ke dalam tanah akan berlangsung dengan baik (Fisher dan Binkley 2000). Oleh karena itu, jenis-jenis tanaman yang serasahnya mudah terdekomposisi sangat baik ditanam pada lahan-lahan kritis seperti lahan bekas pertambangan. Jenis pohon jabon putih (Anthocephalus cadamba Miq.), merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk hutan tanaman industri dan tanaman reboisasi (penghijauan) di Indonesia, karena pertumbuhannya yang cepat, kemampuan beradaptasinya pada berbagai kondisi tempat tumbuh, dan perlakuan silvikulturnya yang relatif mudah. Jenis ini juga diharapkan menjadi semakin penting bagi industri perkayuan di masa mendatang, terutama ketika bahan baku pertukangan dari hutan alam diperkirakan akan semakin berkurang. Pada saat ini jabon banyak dibudidayakan oleh petani, terutama di Kalimantan dan Jawa. Beberapa daerah di Jawa, jabon pada umumnya ditanam untuk menggantikan tanaman jati yang miskin riap setelah pemanenan (Nair dan Sumardi 2000). Selain itu, jenis ini banyak dikembangkan sebagai jenis pionir dalam rangka perbaikan lahan-lahan marginal seperti lahan-lahan bekas pertambangan (Mansur dan Tuheteru 2010).
2 Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruhiyat (1989) dalam Folster dan Khanna (1997), implikasi dari penanaman jenis cepat tumbuh, terjadi pengurasan unsur hara yang lebih cepat daripada jenis tanaman dengan rotasi yang lebih panjang. Oleh karena jabon adalah salah satu jenis cepat tumbuh yang sangat potensial bagi pengembangan hutan tanaman dan dapat digunakan untuk keperluan rehabilitasi dan reboisasi, maka diperlukan studi yang mempelajari aliran input dan output neraca hara agar simpanan hara dapat diketahui.
Gambar 1 Diagram siklus hara Ketersediaan unsur hara yang cukup dan seimbang melalui pengembalian unsur hara oleh tanaman ke tanah menjadi kunci penting kesuburan tanah, terutama bagi jenis cepat tumbuh (Ngao et al. 2009). Produktivitas serasah dan kecepatan laju dekomposisi dapat digunakan sebagai penduga masukan hara yang berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam strategi pengelolaan nutrisi hara pada hutan tanaman, agar kelestarian produksi terus terjamin. Perumusan Masalah Serasah sebagai bahan organik merupakan bagian dari organ tumbuhan mati yang terdapat di lapisan atas permukaan tanah, yang berkontribusi sebagai sumber unsur hara dan sangat mempengaruhi kesuburan tanah. Produktivitas serasah diartikan sebagai jumlah serasah yang jatuh pada permukaan tanah pada periode waktu tertentu per satuan luas areal. Produktivitas serasah dan kecepatan laju dekomposisi pada tegakan jabon dapat digunakan sebagai penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah di lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan dalam rangka menjawab beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana produksi serasah daun pada tegakan jabon 2. Bagaimana laju dekomposisi serasah daun jabon
3 3. Bagaimana kandungan hara dan potensi pelepasan hara nutrisi dari serasah daun jabon 4. Apakah kompos serasah daun jabon dapat membantu meningkatkan pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang batubara Tujuan Penelitian 1 2 3 4
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk: Menghitung produktivitas serasah daun pada tegakan jabon Menghitung laju dekomposisi serasah daun jabon Menganalisi kandungan hara serasah dan pelepasan hara serasah daun jabon pada tegakan jabon Menguji pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon terhadap pertumbuhan semai jabon yang ditanam pada media tanah bekas tambang batubara Hipotesis
1. 2. 3. 4.
Jenis jabon memiliki nilai produktivitas serasah daun yang tinggi Jenis jabon memiliki nilai laju dekomposisi serasah daun yang tinggi Sejumlah hara dilepaskan serasah jabon melalui proses dekomposisi Kompos serasah daun jabon dapat meningkatkan pertumbuhan semai jabon
2 METODE PENELITIAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48 BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya dekat dengan Ibu Kota Negara. Bappeda (2012) luas wilayah Kota Bogor adalah 11 850 ha yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Secara administrasi kota Bogor terdiri 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 32 desa, 210 dusun, 623 RW, 2712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi penelitian terletak di Jalan Cifor, Dusun Tawakal RT 01/RW 05, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat. Iklim dan Topografi Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian tempat minimum 190 m dpl dan maksimum 330 m dpl. Kondisi iklim di Kota Bogor suhu rata-rata tiap bulan 26 ºC dengan suhu terendah 21.8 ºC dan suhu tertinggi 30.4 ºC. Kelembaban udara 70%, Curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3500-4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari sekitar 346 mm. Jenis tanah hampir di seluruh wilayah Bogor adalah Latosol coklat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dan tekstur tanah yang halus dan bersifat agak peka terhadap erosi (Bappeda 2012).
4
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan November 2012 sampai dengan Mei 2013. Penelitian ini dilakukan pada tegakan jabon yang merupakan tanah milik masyarakat dengan luas lahan 1000 m2 dan umur tegakan empat tahun sejak tanam, berlokasi di Dusun Tawakal RT 01/RW 05, Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat. Pada pengamatan respon pertumbuhan semai jabon terhadap kompos serasah daun jabon dilakukan di rumah kaca Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Analisis tanah, media tanam, dan kompos dilakukan di Laboratorium Tanah dan Tanaman SEAMEO BIOTROP. Analisis sifat biologi tanah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian, IPB. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah daun dari tegakan jabon dan media tanam bekas pertambangan batubara dari tanah timbunan PT. Bukit Asam. Tanaman yang digunakan dalam pengukuran respon pertumbuhan terhadap kompos daun jabon adalah bibit jabon yang berumur dua bulan . Alat yang digunakan pada penelitian ini pita meter, litter trap (alat penampung serasah) yang terbuat dari nylon berukuran 1 m x 1 m, litter bag (kantong serasah) dari nylon berukuran 30 cm x 30 cm, timbangan digital, oven, polibag (20 cm x 20 cm), penggaris, haga hypsometer, kaliper, kamera, dan alat tulis. Metode Pengambilan Data Pengumpulan Data Sekunder Data-data penunjang seperti curah hujan harian, suhu dan kelembaban harian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Gofisika (Stasiun Klimatologi Dramaga) sebagai penunjang analisis data produktivitas serasah dan laju dekomposisi serasah. Pengumpulan Data Primer a. Pengambilan Data Pohon Pengambilan data pohon dilakukan dengan metode sensus pada seluruh areal penelitian yaitu dengan luasan 1000 m2 dan jarak tanam 3 m x 2.5 m. Data yang diukur adalah tinggi total, tinggi bebas cabang, dan diameter setinggi dada (1.3 m). Data tersebut diolah kemudian dihitung rata-rata tinggi dan diameter. b. Pengambilan Contoh Tanah Untuk Analisis Kandungan Hara dan Biologi Tanah Untuk menentukan kandungan hara tanah mineral dan analisis biologi tanah, diambil contoh tanah terganggu pada lapisan tanah atas, yaitu pada kedalaman 0-20 cm. Pertimbangan menggunakan kedalaman tersebut karena lebih
5 mudah dilakukan dan dapat dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain yang sudah dilakukan. Untuk mendapatkan contoh yang dapat mewakili dari seluruh area, contoh tanah yang diambil merupakan hasil komposit yang diambil secara acak. Jumlah contoh komposit yang diambil berasal dari 5 titik secara acak. Contoh tanah diambil sebanyak 2 kg berat basah (kondisi tanah segar) dan kemudian dibawa ke Laboratorium Tanah dan Tanaman untuk analisis biologi tanah. Pengambilan contoh tanah disimpan dalam wadah plastik yang tidak ditutup rapat agar tidak terjadi perubahan karakteristik tanah yang cukup signifikan, khususnya yang berhubungan dengan aktivitas jasad renik tanah. Untuk analisis kandungan hara, contoh tanah yang diambil kemudian dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan terlebih dahulu dan diproses pada Laboratorium Tanah. c. Pengukuran Produktivitas Serasah Kegiatan pengukuran produktivitas serasah dilakukan dengan menggunakan alat bantu litter trap sebagai alat penangkap serasah. Alat ini berupa kain kasa nylon yang berukuran 1 m x 1 m persegi yang ditopang dengan kayu di keempat sudutnya dan berjarak 0.5 m dari atas tanah. Langkah-langkah pelaksanaannya (Hilwan 1993), adalah: a. Pada tegakan jabon dibuat plot yang berukuran 20 m x 10 m persegi secara sistematik, sehingga didapatkan 5 plot b. Litter trap ditempatkan pada setiap plot c. Serasah yang tertampung litter trap dikumpulkan setiap minggu untuk ditimbang d. Serasah dikeringkan dalam oven dengan suhu 65 °C hingga beratnya konstan ± 48 jam yang dinyatakan dalam satuan g/m2/periode. Pengambilan serasah daun dilakukan selama 12 minggu.
Gambar 2 Litter trap d. Pengamatan Laju Dekomposisi Serasah Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam pengamatan dekomposisi serasah (Hilwan 1993), yaitu meliputi: a. Kantung serasah dengan pori ukuran diameter 1.5 mm, diisi dengan serasah segar sebanyak 40 g b. Kantung serasah yang telah diisi serasah diletakkan di lantai tanah, sehingga kantung serasah dapat langsung menyentuh tanah
6 c. Jumlah kantong serasah yang ditempatkan dalam lokasi penelitian sebanyak 24 kantong serasah pada setiap plot. Sebagai data untuk berat kering awal serasah, dalan satu kantong seberat 40 g dikeringkan pada suhu 65 °C hingga beratnya konstan kemudian ditimbang. Pada perhitungan laju dekomposisi, diambil 15 kantong serasah, masing-masing 40 g setiap seminggu sekali selama satu bulan pertama, sedangkan untuk bulan kedua hingga akhir pengamatan, pengambilan kantong serasah dilakukan setiap dua minggu sekali. Pengambilan kantong serasah dilakukan lebih sering pada saat awal pengamatan karena diasumsikan bahwa kecepatan dekomposisi akan terjadi lebih cepat saat proses dekomposisi tersebut dimulai. Serasah yang diambil kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 65 °C hingga beratnya konstan dan ditimbang.
Gambar 3 Kantong serasah e. Pengujian Kandungan Hara Serasah Analisa ini dilakukan pada serasah daun segar, serasah yang telah terdekomposisi selama 12 minggu dan kompos daun jabon. Unsur hara yang dianalisa yaitu N, P, K, Ca, dan Mg. f. Percobaan Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon Pembuatan kompos dilakukan secara alami di bawah tegakan jabon. Metode yang digunakan adalah modifikasi dari metode pengomposan Djamaludin dan Wahyono (2008) yaitu serasah jabon segar dipotong kecil-kecil kemudian dicampur dengan top soil (5:1) pada tegakan tersebut sebagai aktivator dan dimasukkan ke dalam kantong nylon. Pembuatan kompos dilakukan ± selama 4 bulan, hingga daun jabon menyerupai bentuk tanah baik warna maupun bentuknya.
Gambar 4 Pembuatan kompos alami
7 Penanaman menggunakan bibit jabon hasil persemaian dua bulan (tinggi ± 20 cm), selanjutnya dipindahkan ke dalam polibag berukuran 20 cm x 20 cm yang sudah diisi media tanam tanah bekas tambang batubara yang dicampur kompos serasah daun jabon, dengan perbandingan komposisi kompos sebagai perlakuan yaitu 0% sebagai kontrol, 10%, 20%, dan 30%. Masing-masing perlakuan dilakukan 5 kali ulangan, setiap ulangan terdiri dari 3 unit tanaman. Parameter yang diukur adalah tinggi tanaman, diameter tanaman, jumlah ruas daun, perhitungan biomassa kering tanaman, kekompakan media, dan perhitungan nisbah pucuk akar pada setiap tanaman. Pengukuran tinggi, diameter, dan jumlah ruas tanaman dilakukan setiap minggu selama 10 minggu. Pada pengukuran pengaruh kompos digunakan rancangan percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Adapun model rancangan yang digunakan menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) adalah sebagai berikut :
Yij = μ + αi + εij Dimana: i : 1,2,3,4 j : 1,2,3,4,5 Keterangan : Yij : Pertumbuhan semai jabon pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ : Nilai rata-rata umum αi : Nilai pengaruh perlakuan ke-i εij : Nilai galat dari unit percobaan yang diberikan perlakuan ke-i pada ulangan ke-j Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan program Statistik SAS . Bila perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan. Analisis Data Analisis Data Produktivitas Serasah Nilai tengah (rata-rata) produktivitas serasah per plot setiap pengamatan dengan rumus :
X
∑
gr/m2/periode
Dimana: X : rata-rata produksi serasah per plot setiap periode Xi : produksi serasah per plot setiap periode N : 10 Analisis Data Efisiensi Penggunaan Nutrisi / Nutrient Use Efficiency (NUE) NUE merupakan konsep yang secara umum mendiskripsikan seberapa baik tanaman menggunakan hara yang ada di dalam tanah untuk menghasilkan
8 biomassanya. Adapun penghitungannya didapatkan dari perhitungan rumus (Binkley dan Vitousek 1996): NUE =
g/m2/tahun
g/m2/tahun
Analisis Data Laju Dekomposisi a. Penurunan bobot didapat dengan rumus (Guo dan Sim 2001): × 100
L(%) =
Dimana: W : penurunan bobot Wo : bobot kering awal serasah (40 g) Wt : bobot kering akhir serasah (g) per periode waktu b. Laju dekomposisi relatif / relative decomposition rate (RDR) (Dutta dan Agrawal 2001) Ln W0 Ln Wt interval pengamatan
RDR =
Dimana: RDR : nilai dekomposisi relatif (g g-1 minggu-1) W0 : bobot pada awal pengamatan Wt : bobot pada akhir pengamatan c. Pendugaan Nilai Konstanta Laju Dekomposisi Serasah Kecepatan dekomposisi serasah daun jabon dapat diduga dengan menggunakan persamaan Olson (1963) sebagai berikut: Wt = Wo e-kt Sesuai dengan rumus tersebut pendugaan nilai konstanta laju dekomposisi serasah dapat diturunkan melalui rumus sebagai berikut: Ln (Wt/Wo) = -kt Dimana: Wt : berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g) Wo : berat kering serasah awal (g) e : bilangan logaritma natural (2.72) k : konstanta laju dekomposisi serasah t : waktu pengamatan
9 d. Pelepasan Hara dari serasah Berkurangnya berat serasah dan pelepasan hara dihitung dengan persamaan sebagai berikut (Guo dan Sim 2001):
x 100
R(%) =
Dimana: R : hara yang terlepas Wt : berat kering serasah pada waktu t pengamatan (g) Wo : berat kering serasah awal (g) Co : konsentrasi hara pada serasah awal Ct : konsentrasi hara pada waktu t pengamatan Analisis Data Laju Pertumbuhan Relatif Bibit / Relative Growth Rates (RGR) Kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan menghitung pertambahan tinggi dan diameter tanaman. Pertumbuhan relatif tanaman didapatkan dengan formula (Hunt 1990): Ln X1 Ln X0 interval pengamatan
RGR =
Dimana: RGR : nilai pertumbuhan relatif (cm cm-1 minggu-1) X1 : tinggi atau diameter pada akhir pengamatan X0 : tinggi atau diameter pada awal pengamatan Diagram Alir Penelitian Secara ringkas, alur dari penelitian yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Diagram alir penelitian
10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) Jabon merupakan jenis pohon cepat tumbuh dengan nama dagang Kadam. Nama ilmiah A. cadamba Miq. ini bersinonim dengan Anthocephalus chinensis (Lamk.) A. Rich. Ex. Walp., Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil., Nauclea cadamba (Roxb.), Neolamarkcia cadamba (Roxb.) Bosser, Sarcocephalus cadamba (Roxb.) Kurz., Anthocephalus indicus A. Rich., Anthocephalus morindaefolius Korth.. Nama lokal di Indonesia: galupai, galupai bengkal, harapean, johan, kalampain, kelampai, kelempi, kiuna, lampaian, pelapaian, selapaian, serebunaik (Sumatera); jabon, jabun, hanja, kelampeyan, kelampaian (Jawa); ilan, kelampayan, taloh, tawa telan, tuak, tuneh, tuwak (Kalimantan); bance, pute, loeraa, pontua, suge manai, sugi manai, pekaung, toa (Sulawesi); gumpayan, kelapan, mugawe, sencari (Nusa Tenggara); aparabire, masarambi (Papua) (Martawijaya et al. 1989). Nama lokal di negara lain: bangkal, kaatoan bangkal (Brunei); mau-lettan-she, maukadon, yemau (Birma); thkoow (Kamboja); kadam, cadamba, common burr-flower tree (Inggris); koo-somz, sako (Laos); kelempayan, laran, selimpoh (Malaysia); labula (Papua Nugini); kaatoan bangkal (Filipina); krathum, krathum-bok, taku (Thailand); c[aa]y g[as]o, c[af] tom, g[as]o tr[aws]ng (Vietnam) (Soerianegara dan Lemmen 1993). Taksonomi jabon digolongkan sebagai berikut (Martawijaya et al. 1989): Kingdom : Plantae (tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua/dikotil) Sub-kelas : Asteridae Ordo : Rubiales Familia : Rubiaceae (suku kopi-kopian) Genus : Anthocephalus Spesies : Anthocephalus cadamba Miq. Sifat Botani Jabon merupakan pohon yang dapat mencapai tinggi sampai 45 meter, mempunyai batang yang lurus dan silindris dengan tinggi bebas cabang lebih dari 25 meter. Diameter batang dapat mencapai 100-160 cm. Tegakan jabon umur 5 tahun memiliki riap diameter rata-rata 1.2-11.6 cm/tahun dan riap tinggi rata-rata 0.8-7.9 m/tahun (Krisnawati et al. 2011). Jabon termasuk ke dalam jenis intoleran yang menghendaki adanya cahaya penuh selama periode hidupnya. Batang jabon berbentuk silindris, bertajuk tinggi, dengan cabang mendatar, berbanir sampai ketinggian 1.5 m, kulit luar berwarna kelabu-coklat sampai coklat, sedikit beralur dangkal. Tajuk pohon jabon meninggi, tidak lebat dan agak gepeng dengan sistem percabangan melingkar yang mengambil ruang secara teratur, sehingga baik sekali pada pelingkarannya, cabang-cabang primernya biasanya agak mendatar dan gugur daun di dalam hutan musim (Direktorat Jenderal Kehutanan 1980).
11 Tanaman jabon sudah dikenal masyarakat sejak lama, namun popularitasnya semakin menanjak karena serangan penyakit yang terjadi pada tanaman sengon (Falcataria moluccana). Adanya kasus ini menyebabkan petani mencari alternatif tanaman lain yang pertumbuhannya cepat dengan kualitas kayu yang bagus dan tahan terdapat serangan hama penyakit. Tanaman jabon berasal dari daerah beriklim muson tropika. Tanaman ini lebih menyukai tempat yang lembab, misalnya di tepi sungai dan rawa (Mansur dan Tuheteru 2010). Daun jabon merupakan daun tunggal, bertangkai panjang 1.5-4 cm dengan helaian daun agak besar (panjang 15-30 cm dan lebar 7-8 cm). Di awal pertumbuhannya, yakni 2-3 bulan setelah tanam, pada tanah yang subur dan cukup air daun jabon dapat berkembang hingga berukuran panjang 68 cm dan lebar 38 cm. Permukaan daun jabon tidak berbulu atau kadang-kadang di sebelah bawah pada tulang daun terdapat rambut halus yang mudah lepas dan bertulang daun sekunder jelas (10-12 pasang). Secara fisiologi, daun tanaman jabon umur 12 hari mulai memiliki kemampuan untuk melakukan fotosintesis, yakni melalui perluasan daun secara penuh (full leaf expansion=FLE), 15% FLE daun yang masih muda berwarna merah, 56% FLE daun berwarna hijau kemerahan, 100% FLE berwarna hijau cerah dan pada daun tua berwarna hijau. Pada daun jabon mengandung total klorofil 7.92 mg/g berat kering daun (Mansur dan Tuheteru 2010). Jabon memiliki daun yang saling berhadapan, tumpul, kira-kira duduk hingga bertangkai. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan ukuran panjang 15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk agak menyerupai jantung, bagian ujung lancip di ujungnya. Penumpu antar tangkai berbentuk segitiga sempit dan mudah rontok. Perkembangbiakan jabon dimungkinkan dengan regenerasi alam dari biji, dengan semai yang ditumbuhkan di tempat pembibitan, dengan tunggul dan stek batang. Diperlukan teknik-teknik khusus untuk memperoleh biji jabon yang sangat kecil (Soerianegara dan Lemmens 1993). Perbungaan jabon terdiri atas kepala-kepala bulat, menyendiri di ujung tanpa daun gagang. Bunga agak duduk pada penyangga lokus, berkelamin dua, aktinomorf, terbagi menjadi 5 bagian. Tabung kelopak berbentuk corong, mahkota gamopetal, jumlah benang sari 5 yang menipis pada tabung mahkota, tangkai sari pendek dan kepala sari melekat di pangkal (Soerianegara dan Lemmens 1993). Produksi benih tanaman jabon biasanya dimulai pada umur 5 tahun. Pohon mulai berbunga pada umur 4 tahun. Periode berbunga biasanya sekitar 2-5 bulan. Di Indonesia, musim berbunga umumnya terjadi pada bulan April-Agustus, kadangkadang Maret-November dan musim berbuah terjadi pada bulan Juni-Agustus (Martawijaya et al. 1989). Jabon memiliki bakal buah inferior, beruang 2 dan terkadang 4 di bagian atas, tangkai putik terjulur, kepala putik berbentuk gelondong. Buah kecil, banyak sekali, agak berdaging bagian atas memuat 4 struktur yang berlubang atau padat (Soerianegara dan Lemmens 1993). Panjang biji 0.5 mm, biji berbentuk trigonal atau tidak teratur dan tidak bersayap (Sutisna et al. 1998). Buah jabon mengandung biji yang sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging yang berkelompok rapat bersama untuk membentuk daging buah yang berisi sekitar 8 x 103 biji, dan jumlah benih kering 2.7 x 107 butir per kilogram (Soerianegara dan Lemmens 1993).
12 Penyebaran Alami dan Syarat Tumbuh Pohon jabon tumbuh secara alami di India, Nepal dan Bangladesh ke arah timur melalui Malaysia hingga Papua Nugini. Jenis ini telah ditanam sebagai pohon hias dan pohon perkebunan dan telah berhasil diperkenalkan ke Afrika Selatan, Puerto Rico, suriname, Taiwan, dan Negara-negara lainnya di kawasan tropika dan subtropika. Sebaran tumbuh di Indonesia sebagaian besar di Jawa Barat dan jawa Timur, seluruh Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, NTB, dan Irian Jaya. Jabon dapat tumbuh pada kondisi lahan marginal dengan drainase yang cukup baik. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan banyak terdapat di hutan sekunder (Soerianegara dan Lemmens 1993). Habitat alami jabon memiliki karakteristik, antara lain: ketinggian tempat tumbuh 300-800 m dpl, dengan suhu optimum 23 ºC, curah hujan rata-rata 15005000 mm/tahun, dan dapat hidup pada berbagai tipe tanah. Produktivitas jabon optimal pada ketinggian tempat kurang dari 500 m dpl. Kondisi lingkungan tumbuh yang baik untuk jabon ialah: tanah lempung, podsolik cokelat, dan alluvial lembab yang biasanya terdapat di daerah pinggir sungai, daerah peralihan antara tanah dan rawa, dan tanah kering yang terkadang tergenang air. Umumnya, jabon ditemukan di hutan sekunder dataran rendah, dasar lembah, sepanjang sungai dan punggung-punggung bukit (Mansur dan Tuheteru 2010). Kegunaan Jabon merupakan jenis tumbuhan lokal yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Jabon merupakan jenis kayu yang mempunyai berat jenis rata-rata 0.42 (0.29-0.56), kelas kuat III-IV dan kelas awet V. Kayu jabon banyak digunakan untuk korek api, kayu lapis, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp dan kertas, kelompen dan konstruksi darurat yang ringan. Kayunya mudah dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan dengan sudut kupas 92º untuk tebal 1.5 mm. Perekatan venir kayu jabon dengan urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standar Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya et al. 1989). Jabon memiliki riap yang besar dengan daur pendek. Di Indonesia daur maksimal jabon adalah 30 tahun yang menghasilkan riap kayu pertukangan ratarata 24 m3ha-1tahun-1. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1980) untuk menghasilkan venir dan kayu lapis diperkirakan daur pada umur 20 tahun. Sedangkan untuk keperluan pulp dan kertas hanya diperlukan daur 10 tahun. Jika dikeringkan dengan baik, kayu jabon dapat digunakan untuk membuat sampan atau perabot. Kayu jabon baik digunakan sebagai lapisan permukaan maupun lapisan ini dalam industri kayu lapis dan sesuai untuk membuat papan partikel, papan bersemen, dan papan kertas. Kegunaan kayu jabon terpenting ialah untuk membuat kertas bermutu rendah hingga sedang. Jabon juga berfungsi sebagai pohon peneduh yang digunakan untuk reboisasi dan rehabilitasi lahan. Papagan (kulit batang) yang sudah dikeringkan digunakan untuk mengurangi demam dan sebagai tonik (Soerianegara dan Lemmens 1993). Daun tanaman jabon dapat dijadikan sebagai obat kumur dan makanan ternak sedangkan buahnya dapat dikonsumsi (Lembaga Biologi Nasional 1980). Di India, jenis jabon mulai dari bunga, buah, daun kulit kayu, dan akarnya ternyata sudah dimanfaatkan secara komersial. Daun jabon dapat digunakan
13 sebagai obat pelangsing dan obat kumur. Ekstrak daun jabon dipercaya mengandung senyawa yang bersifat antimikroba. Selain itu daun jabon digunakan juga sebagai alas makanan dan pakan tenak. Bunga jabon dapat digunakan sebagai sumber bahan parfum khas India yang disebut ‘attar’. Selain itu, pohon jabon juga menjadi salah satu jenis yang bunganya dikembangkan untuk mendukung usaha lebah madu. Getah kuning dan kulit akar dapat digunakan sebagai bahan celupan pewarna kuning yang dapat dimanfaatkan dalam usaha kerajinan tangan. Kulit kayu yang telah kering dapat dimanfaatkan untuk mengobati demam dan sebagai obat kuat. Campuran bubuk kulit kayu jabon dengan kulit mangga (Mangifera indica) dan tanaman meranti (Shorea robusta) dimanfaatkan untuk mengobati penyakit kolera dan sroke, sedangkan seduhan kulit batangnya dipercaya dapat menyembuhkan penyakit disentri (Mansur dan Tuheteru 2010). Karakteristik Tegakan Jabon Tegakan jabon yang digunakan dalam penelitian ini ditanam dengan pola monokultur yaitu tidak mencampurkan dengan jenis lain. Pada lokasi tegakan seluas 1000 m2 yang ditanam dengan jarak 3 m x 2.5 m terdapat 92 pohon. Diameter rata-rata tegakan jabon umur 4 tahun adalah 18.60 cm dengan nilai dimater terbesar 34.10 cm. Sedangkan untuk rata-rata tinggi total pohon adalah 15.50 m dengan tinggi total terbesar adalah 20.25 m. Rata-rata tinggi bebas cabang adalah 10.50 m dengan tinggi bebas cabang terbesar 14.25 m. Menurut penelitian Seo (2013) dimana dalam penelitian tersebut membandingkan 20 lokasi tegakan jabon, termasuk salah satunya adalah lokasi penelitian ini, pada beberapa lokasi penanaman di Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Sumedang dan Purwakarta) dikelompokan dalam tiga katagori baik, sedang dan buruk. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa lokasi penelitian ini termasuk dalam katagori baik. Menurut Seo (2013), hasil dari perbandingan antara lokasi baik dan buruk, tampak kondisi lokasi dan kesuburan tanah lebih memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan jabon, dibandingkan dengan praktek silvikultur seperti pemupukan dan pemeliharaan. Hasil analisis tanah tegakan jabon di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Hasil analisis tanah tegakan jabon No 1 2 3 5 6 7
Parameter Pengujian pH C-org N Total P Tersedia K Tekstur
Satuan
Nilai
% % ppm ppm
5.2 1.06 0.14 2.7 198.9 liat
Katagori (Sulaeman et al. 2005) Masam Rendah Rendah Sangat Rendah Sangat Tinggi
Selain dilakukan analisis terhadap sifat fisik dan kimia tanah, dilakukan pula analisis terhadap sifat biologi tanah yaitu makrofauna dan mikroorganisme tanah. Fauna tanah merupakan salah satu komponen hayati di dalam tanah. Di kalangan fauna tanah, makrofauna berpotensi besar mempengaruhi langsung sifatsifat fungsional tanah. Golongan tertentu makrofauna tanah yaitu cacing tanah
14 dapat mengubah struktur tanah sehingga dapat mempengaruhi infiltrasi, aerasi dan yang paling utama mempengaruhi kesuburan tanah. Diantara fauna tanah di daerah humid sedang, cacing tanah merupakan penyumbang bahan organik tanah yang besar, yaitu berkisar 100 kg/ha (0.005 %) dengan populasi 7000 ekor hingga 1000 kg/ha dengan populasi 1 juta ekor (Foth 1984 dalam Hanafiah 2005). Menurut Tian et al. (1995) peranan cacing tanah, baik secara langsung maupun tak langsung dalam meningkatkan kesuburan tanah dalam kaitannya terhadap perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah yaitu menguraikan bahan organik dan meningkatkan laju siklus nutrisi, memindahkan bahan organik dan mikroorganisme ke dalam tanah, membentuk struktur tanah dan mengurangi kepadatan tanah, meningkatkan porositas tanah sehingga dapat meningkatkan infiltrasi air dan mengurangi run off serta dapat meningkatkan respirasi tanah, meningkatkan aktivitas mikroorganisme, dan membuka lapisan subsoil sehingga memudahkan pertumbuhan akar tanaman. Pada lokasi penelitian rata-rata bobot basah cacing tanah adalah 82.4 g m2 . Dalam hal ini bobot basah cacing tanah yang diperoleh lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Fragoso dan Lavelle (1992) di hutan-hutan hujan tropik di Meksiko, Amerika Tengah dan Selatan, Afrika Tengah dan Barat serta Asia Tenggara yang hanya mencapai 12.9 g m-2. Besarnya bobot basah cacing dapat diduga berhubungan dengan besarnya bahan organik tanah dan iklim mikro kondisi tegakan tersebut. Tingginya bahan organik tanah dapat diduga dari jatuhan serasah daun jabon yang melimpah. Hal ini didukung oleh pendapat Lavelle (1988) bahwa serasah daun-daunan dianggap sebagai sumber yang baik bagi cacing tanah karena relatif tinggi kandungan karbohidrat yang dapat diasimilasi dan rendah kandungan lignoselulosanya. Selain itu besarnya bobot basah dapat pula diduga karena aktivitas, pertumbuhan, respirasi dan reproduksi cacing tanah sangat dipengaruhi oleh suhu. Hasil penelitian Sihombing et al. (1982) juga menyatakan bahwa perkembangan cacing tanah lokal lebih baik pada suhu 26.5 ºC dibandingkan pada suhu 29 ºC pada kisaran pH 6.0-7.5 dan tanah tempat hidupnya tidak terkena sinar matahari langsung. Pernyataan ini sesuai dengan kondisi lokasi penelitian dimana suhu rata-rata berkisar antara 24.7 ºC 26.8 ºC dan pH berkisar 5.5 sehingga kondisi ini sesuai bagi perkembangan cacing tanah hingga didapatkan bobot cacing yang besar. Aspek biologi tanah yang juga dianalisis adalah mikroorganisme tanah. Mikroorganisme tanah merupakan jasad hayati tanah yang keberadannya bisa menguntungkan maupun merugikan. Jasad hayati yang menguntungkan ini, berperan dalam proses dekomposisi bahan organik dan pengikatan atau penyediaan unsur hara yang keduanya bermuara pada penyediaan hara tersedia bagi tanaman. Indikator yang dapat digunakan untuk mencerminkan populasi dan aktivitas mikroorganisme tanah secara umum adalah dengan mengetahui jumlah total mikroorganisme dan laju respirasi. Jumlah total mikroorganisme dalam tanah dapat digunakan sebagai indeks kesuburan tanah, karena pada tanah yang subur jumlah mikroorganismenya tinggi. Populasi yang tinggi menggambarkan adanya suplai makanan atau energi yang cukup ditambah temperatur yang sesuai, ketersediaan air yang cukup, dan kondisi ekologi lain yang mendukung (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analisis laboratorium diketahui pada lokasi tegakan jabon umur 4 tahun jumlah mikroorganisme tanah sebesar 49 x 106 SPK/g. Nilai ini lebih besar jika
15 dibandingkan dengan tegakan Acacia crassicarpa umur 4 tahun yaitu jumlah mikroorganisme tanahnya hanya 4.9 x 106 SPK/g (Aprianis 2011). Pengukuran respirasi (mikroorganisme tanah) merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas miroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah didasarkan pada dua penetapan yaitu jumlah CO2 yang dihasilkan, dan jumlah O2 yang digunakan oleh mikroorganisme tanah. Kecepatan respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik daripada jumlah, tipe atau perkembangan mikroorganisme tanah (Hanafiah 2005). Berdasarkan hasil analilis laboratorium pada tanah tegakan jabon umur 4 tahun memiliki kecepatan respirasi 14.7 mg C-CO2/kg tanah/hari. Produksi Serasah Serasah merupakan lapisan tanah bagian atas yang terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran daun, ranting dan cabang, bunga dan buah, kulit kayu serta bagian lainnya, yang menyebar di permukaan tanah di bawah hutan sebelum bahan tersebut mengalami dekomposisi (Departemen Kehutanan 1997). Menurut Nasoetion (1990), serasah dapat diartikan berasal dari lapisan teratas dari permukaan tanah yang mungkin terdiri atas lapisan tipis sisa tumbuhan. Spurr dan Burton (1980) mengemukakan bahwa serasah merupakan bahan organik yang berasal dari tumbuhan atau hewan yang terdapat di atas permukaan tanah yang tersusun oleh bahan-bahan yang sudah mati. Soerianegara (1964), menjelaskan bahwa serasah yang jatuh di permukaan tanah merupakan bagian dari tumbuhan yang telah mati dan belum mengalami dekomposisi dan meneralisasi. Bahan organik yang hilang melalui jatuhan serasah dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat dipakai untuk mengetahui nilai produktivitas primer netto. Serasah berfungsi sebagai penyimpan air sementara dimana secara berangsur-angsur akan melepaskan ke tanah bersama dengan bahan organik berbentuk zarah yang larut, memperbaiki struktur tanah, dan menaikkan kapasitas penyerapan (Arief 1994). Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan 1997). Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan dalam ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1. Soerianegara (1964) mengemukakan bahwa pengukuran produktivitas serasah dapat dinyatakan dalam berbagai satuan. Dalam kehutanan, produksi hutan dinyatakan dalam m3 atau m3ha-1, sedangkan dalam ekologi, produktivitas diukur pada suatu waktu dan disebut biomassa dinyatakan dalam satuan bobot per satuan luas, misalnya g m-2 atau kg ha-1 tahun-1atau g m-2 hari-1. Daun merupakan katagori serasah terbesar, diikuti ranting, buah, dan bunga (Strojan et al. 1979). Sekitar 70% dari total serasah di permukaan tanah berupa serasah daun. Komposisi dan besarnya produksi serasah sangat bervariasi dari tahun ke tahun. Deshmukh (1992), menyatakan bahwa dari waktu ke waktu produktivitas serasah tidak seragam. Komponen pembentuk lapisan serasah tumbuhan tidak homogen, tersusun atas campuran organ tumbuhan seperti 72% daun, 16% kayu, dan 7 % bunga dan buah. Produksi rata-rata serasah pertahun tertinggi dalam hutan tropis dan berangsur menurun menurut garis lintangnya,
16 hingga hutan boreal di daerah kutub dimana produksi serasah tahunannya paling rendah (Bray dan Gorham 1964). Produktivitas serasah pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan sebagai penduga sumbangan bahan organik yang berguna bagi kesuburan tanah lingkungan sekitarnya (Odum 1971). Studi mengenai produktivitas digunakan untuk membandingkan suatu ekosistem hutan yang berbeda melalui ukuran produksi serasah. Tujuan utamanya untuk menyediakan informasi dasar dalam memahami serasah, karbon, dan siklus nutrisi dalam ekosistem hutan sesuai dengan fungsinya. Produktivitas tidak hanya menyediakan informasi tentang bagaimana ekosistem hutan beraksi terhadap berbagai perlakuan, tetapi juga memahami perilaku adaptasi dan integrasi komunitas terhadap lingkungannya (Spurr dan Burton 1980). Dalam penelitian ini yang dimaksudkan serasah hanya berfokus pada sesasah daun saja. Produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh ke lantai hutan pada periode tertentu per satuan luas tertentu (Departemen Kehutanan 1997). Hilwan (1993), menambahkan bahwa produktivitas serasah adalah jumlah serasah yang jatuh di atas permukaan tanah dalam periode tertentu dan dinyatakan dalam ton ha-1 tahun-1 atau g m-2 tahun-1 atau kg ha-1 tahun-1. Hasil pengamatan produksi serasah pada umur tegakan 4 tahun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rata-rata produksi serasah daun di lantai hutan jabon pada umur pengamatan 4 tahun Berat kering serasah daun A.cadamba selama 12 minggu Parameter
Ratarata
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Produksi (g m-2)
21.1
14.2
29.5
15.9
27.7
15.7
20.5
18.4
26.4
22.6
31.0
24.0
22.25
Curah hujan (mm)
92.3
156.8
121.4
63.8
74.7
105.4
15.8
129.1
259.6
95.3
21.1
122.8
104.84
25.6
25.6
25.6
26.3
26.8
25.3
26
24.7
24.8
25.1
25.8
25.5
25.59
80
86
83
84
85
88
85
91
89
90
85
87
86.08
Temperatur (ºC) Kelembaban Relatif (%)
Faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas serasah suatu ekosistem adalah iklim, topografi, sifat tanah, letak geografis, air, dan ketinggian dari permukaan laut (Odum 1971). Selain itu produktivitas serasah juga dipengaruhi oleh umur pohon, kualitas tempat tumbuh serta kerapatan tegakan dan tumbuhan bawah (Spurr dan Burton 1980). Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa rata-rata produktivitas serasah daun jabon pada umur tegakan 4 tahun , selama 12 minggu pengamatan adalah 22.25 g m-2 minggu-1. Nilai ini lebih besar jika dibandingkan dengan tegakan A. crassicarpa umur 4 tahun yang hanya memiliki nilai produktivitas serasah sebesar 10.86 g m-2 minggu-1 (Aprianis 2011). Produksi serasah yang terbesar terdapat pada pengukuran minggu ke-11. Pada saat produksi serasah yang besar diketahui
17 pada saat curah hujan sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa produksi serasah diduga ada kaitannya dengan ketersedian air. Menurut Sallata et al. (1990) produktivitas serasah akan meningkat dan mencapai maksimum pada musim kemarau dan menurun pada musim hujan. Hal ini terjadi karena pada musim kemarau persaingan diantara tanaman dan antar organ dalam satu tanaman untuk mendapat air sehingga akan menyababkan terjadinya efisiensi dalam proses fotosintesis dan tanaman akan cepat melakukan regenerasi. Selain itu, jenis penyusunan, tingkat kerapatan pohon, dan luas bidang dasar suatu tegakan diketahui akan berpengaruh terhadap produktivitas serasah suatu tegakan (Departemen Kehutanan 1997). Faktor lain yang mempengaruhi produktivitas serasah menurut Bray dan Gorham (1964), adalah: 1. Tipe hutan, dimana hutan gymnospermae lebih banyak menggugurkan serasah dibandingkan hutan angiospermae walaupun hutan angiospermae cenderung menduduki lahan yang lebih subur. 2. Kondisi linkungan seperti iklim, derajat lintang, ketinggian, kesuburan tanah dan kelembabab tanah. 3. Sistem pengelolaan hutan seperti hutan alam, hutan tanaman, pengaruh kerapatan pohon dan luas bidang dasar serta penjarangan. 4. Faktor waktu seperti variasi musim dan umur tegakan. Untuk mengetahui besarnya sumbangan hara dari serasah jabon dilakukan analisis kandungan hara serasah. Besarnya sumbangan unsur hara serasah jabon dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Sumbangan unsur hara dari serasah jabon
Umur
4 th
Berat kering (ton ha-1 th-1) 11.57
Jumlah unsur hara (kg ha-1 th-1)
Kadar hara (%) N
P
K
Ca
Mg
N
P
K
Ca
Mg
2.01
0.38
0.95
2.06
1.31
230
44
110
238
151
Jumlah unsur hara ini akan mensubsidi ke dalam tanah apabila serasah tersebut telah terdekomposisi seluruhnya. Berdasarkan data dari Tabel 3 diketahui bahwa unsur Ca memberikan hara terbanyak bila dibandingkan dengan unsur hara lain kemudian diikuti oleh unsur N, Mg, K, dan P. Hal ini berbeda dengan sumbangan hara oleh jenis A. crassicarpa dimana secara berturut-turut besar sumbangan hara yang diberikan mulai dari yang terbesar adalah unsur K, N,Ca, P, dan Mg (Aprianis 2011). Efisiensi Penggunaan Hara / Nutrient Use Efficiency (NUE) NUE merupakan konsep yang secara umum mendiskripsikan seberapa baik tanaman menggunakan hara yang ada di dalam tanah untuk menghasilkan biomassanya (Binkley dan Vitousek 1996). NUE merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan. Nilai NUE yang tinggi mengindikasikan
18
30
300
25
250
Serapa n Hara
20
200
NUE
15
150
10
100
5
50
0
0 N
P
K Unsur hara
Ca
NUE
Serapan hara (g/m2/th)
jumlah biomassa yang diproduksi per unit hara menunjukkan nilai yang tinggi pula. Penggunaan kompos atau slow release fertilizer dapat meningkatkan NUE. Menurut Ma et al. (1999) salah satu cara untuk meningkatkan efisiensi penggunaan hara N yaitu dengan pemakaian slow release fertilizer. Selain itu ditambahkan pula bahwa proses mineralisasi akibat penambahan bahan organik akan meningkatkan ketersediaan N, meningkatkan N NUE serta mengurangi hilangnya N dari tanah. Pada Gambar 6 disajikan data mengenai NUE terhadap biomassa serasah daun jabon.
Mg
Gambar 6 Serapan hara dan NUE biomassa serasah daun jabon Dalam penelitian ini diketahui NUE unsur P menunjukkan nilai yang paling tinggi jika dibandingkan dengan unsur-unsur yang lain. Aplikasi kompos yang secara alami dengan terdekomposisinya serasah daun jabon diduga memberikan kontribusi terhadap peningkatan NUE. Dekomposisi Serasah Dekomposisi merupakan suatu proses yang dialami oleh bahan organik, yaitu proses perombakan dan penghancuran bahan organik menjadi partikel yang lebih kecil sehingga menjadi unsur hara terlarut yang dimediasi oleh organisme dan mikroorganisme (Satchell 1974; Thaiutsa dan Granger 1979; Fisher dan Binkley 2000). Dekomposisi adalah istilah untuk menjelaskan perubahan yang terjadi dalam biokimia, wujud fisik, dan bobot bahan organik. Para ahli ekologi sangat menaruh perhatian yang besar terhadap proses dekomposisi serasah dalam hubungannya dengan daur hara dan kesuburan tanah. Hal ini disebabkan perombakan serasah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan unsur hara, dan ketersediaan unsur hara lain sangat menentukan pertumbuhan pohon dan produksi kayu (Thaiutsa dan Granger 1979). Dekomposisi terbentuk melalui proses fisika dan kimia yang mereduksi secara kimia bahan organic mati pada vegetasi dan binatang. Dekomposisi bahan organik hutan mempunyai dua tahap proses. Pertama, ukuran partikel dari bagian bunga ke batang dari pohon yang besar dipecah menjadi bagian yang lebih kecil
19 dan dapat direduksi secara kimia. Kedua, bagian hasil pecahan kecil dari bahan organik direduksi dan dimineralisasi untuk melepaskan unsur dasar dari protein, karbohidrat, lipid, dan mineral yang dapat dikonsumsi, diserap oleh organisme atau dihanyutkan oleh sistem (Golley 1983). Mason (1977), membagi proses dekomposisi menjadi tiga, yaitu pelindian (leaching), pelapukan (weathering) dan aktivitas biologi. Ketiga proses tersebut berlangsung secara stimulan. Leaching adalah mekanisme hilangnya bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus organic oleh hujan atau aliran air. Weathering adalah mekanisme pelapukan oleh faktor fisik, seperti pengikisan oleh angin, es atau pergerakan gelombang. Aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan pecahan bahan organik (detritus) secara bertahap oleh makhluk hidup. Makhluk hidup yang melakukan dekomposisi dikenal sebagai decomposer, pengurai atau saprobe. Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi yang dilakukan oleh organisme dan mikroorganisme, sehingga kecepatan dekomposisi sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme dan mikroorganisme tersebut (Fisher dan Binkley 2000). Mason (1977) memberikan batasan berbeda antara dekomposisi dan penghancuran serasah. Penghancuran serasah diartikan sebagai tahapan dalam proses dekomposisi, berupa kehilangan berat dari materi (organik) yang sering kali terukur dalam percobaan (misalnya kehilangan berat daun) dan umumnya berupa penghancuran jaringan berukuran besar menjadi partikel-partikel kecil. Kecepatan dekomposisi bahan organik secara umum bergantung pada kualitas dan umur organik itu sendiri (Westrich dan Berner 1984). Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah mineral bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Pada komunitas tumbuhan tertentu produksi serasah tinggi dan kecepatan pelapukan lambat. Dalam hal ini serasah terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix dan Webster 1995). Dekomposisi menjadi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada yang sampai bertahun-tahun (Spur dan Burton 1980). Dix dan Webster (1995), mengatakan lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan kandungan fenol besar, dan nisbah C : N yang tinggi sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dimanfaatkan sebagai makanan oleh fauna tanah. Dekomposisi maksimum terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur hara penting lainnya (terutana fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah berlimpah (Moor 1990). Produk akhir dihasilkan oleh mikroorganisme pelapuk (microbial decay) daun adalah “humus” secara perlahan menyatu dengan tanah mineral pada horizon A di bawah lapisan fermentasi. Humus adalah campuran kompleks sisa polimer fenol yang berasal dari tumbuhan berkombinasi dengan karbohidrat dan bahan nitrogen tumbuhan, hewan dan mikroba (microbial origin). Laju dekomposisi serasah jabon dapat dihitung dari perubahan bobot kering serasah selama proses dekomposisi. Dari Tabel 4 terlihat bahwa setelah terdekomposisi selama 12 minggu serasah daun kehilangan bobot sebesar 64.72% dengan rata-rata laju dekomposisi perminggu 8.93%. Jika dibandingkan dengan laju dekomposisi tanaman A. crassicarpa, jenis jabon lebih cepat terdekomposisi karena diketahui selama 7 bulan proses dekomposisi serasah A. crassicarpa umur
20 4 tahun hanya kehilangan bobot sebesar 40.86% dengan rata-rata laju dekomposisi perbulan 4.16% (Aprianis 2011). Tabel 4 Laju dekomposisi serasah daun jabon Pengamatan dekomposisi berat kering minggu keParameter Rata-rata (g)
0
1
2
3
4
6
8
10
12
19.63
16.39
12.864
12.86
11.75
11.21
7.55
7.10
6.93
0
3.24
6.77
7.35
7.89
8.42
12.08
12.53
12.71
0
16.52
34.48
37.44
40.19
42.91
61.55
63.83
64.72
0
0.182
0.210
0.154
0.126
0.091
0.119
0.105
0.084
Bobot yang hilang (g) Bobot yang hilang (%) Laju dekomposisi/ minggu, k
Berdasarkan nilai laju dekomposisi, maka serasah yang tersisa atau waktu untuk mendekomposisi serasah jabon umur tegakan 4 tahun dapat dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut, dimana Xt adalah jumlah serasah pada waktu t dan t adalah waktu yang dibutuhkan: Xt = 18.83 e -0.09 t Persamaan laju dekomposisi A.cadamba pada umur tegakan 4 tahun disajikan pada Gambar 7.
Bobot serasah (g)
25 20
Xt = 18.83 e -0.09 t R-sq = 92 %
19.63 16.39
15 10
12.86
12.28 11.20 11.74
7.09
5
6.92
7.55
0 0
2
4
6
8
10
12
14
Minggu
Gambar 7 Persamaan laju dekomposisi serasah tanaman jabon umur tegakan 4 tahun Berdasarkan dari persamaan tersebut maka dapat diketahui besarnya konstanta laju dekomposisi (k) per minggu adalah 0.09. Sedangkan pada perhitungan laju dekomposisi relatif yang dihitung berdasarkan persamaan dari Dutta dan Agrawal (2001), besarnya laju dekomposisi relatif serasah daun jabon adalah 0.086 g g-1 minggu-1. Berdasarkan konstanta laju dekomposisi dapat digunakan untuk mencari waktu paruh yaitu waktu yang diperlukan biomassa serasah untuk mereduksi bobotnya hinggi 50%. Menurut perhitungan Olson
21 (1963) t 50% = 0.693/k, maka diketahui waktu paruh serasah daun jabon adalah 53 hari. Berdasarkan katagori yang dibuat oleh Petersen dan Cummins (1974), jenis daun yang terkatagori “cepat” terdekomposisi memiliki nilai konstanta laju dekomposisi per minggu lebih dari 0.07 , sedangkan untuk katagori “sedang” memiliki konstanta laju dekomposisi 0.035-0.07, dan “lambat” terdekomposisi memiliki konstanta laju dekomposisi kurang dari 0.035, sehingga daun jabon termasuk dalam katagori cepat terdekomposisi. Perubahan kondisi serasah yang mengalami dekomposisi setiap minggunya dapat dilihat melalui Gambar 8, dimana dalam waktu 12 minggu terlihat serasah jabon sudah menjadi remahan yang halus.
Gambar 8 Perubahan serasah daun jabon selama minggu ke-0 (a), minggu ke-2 (b), minggu ke-4 (c), minggu ke-6 (d), minggu ke-8 (e), minggu ke-10 (f), minggu ke-12 (g) Faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Manan (1978) adalah keadaan lingkungan selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun. Keadaan tersebut menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan mineralisasi. Menurut Anderson dan Swift (1983), proses dekomposisi (D) sangat ditentukan oleh tiga variable yaitu (1) organisme pengurai (O, terdiri dari hewan dan mikroorganisme), (2) kualitas serasah (Q, karakter bahan organik yang menentukan kemampuan untuk dilapukkan), dan (3) lingkungan fisik-kimia (P, terdiri dari iklim makro dan tanah). Jadi proses dekomposisi merupakan fungsi dari organisme pengurai, kualitas serasah, dan lingkungan fisik kimia. D = f (O, Q, P).
22
Pelepasan Hara serasah (%)
Dari analisis laboratorium pada tegakan jabon umur 4 tahun menunjukkan jumlah mikroorganisme tanah sebesar 49 x 106 SPK/g, dengan respirasi 14.7 mg C-CO2/kg tanah/hari. Nilai ini lebih besar bila dibandingkan dengan tegakan A. crassicarpa yaitu jumlah mikroorganisme tanahnya hanya 4.9 x 106 SPK/g (Aprianis 2011). Dari data ini dapat diketahui bahwa jabon yang memiliki konstanta laju dekomposisi lebih besar dari jenis A. crassicarpa ternyata berhubungan dengan jumlah mikroorganisme yang lebih besar pula jika dibandingkan dengan jumlah mikroorganisme pada tegakan A. crassicarpa. Whitmore (1984) mengemukakan peran makrofauna sebagai organisme penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah menjadi partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan akibatnya penguraian serasah oleh bakteri dan fungi menjadi lebih mudah. Dari data yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai bobot basah cacing tanah pada tegakan jabon diketahui bahwa bobot basah cacing yang besar diduga pula mempengaruhi kecepatan dekomposisi serasah jabon. Faktor dominan yang mempengaruhi aktivitas mikroorganisme dalam perombakan dan penguraian serasah adalah jenis tanaman dan iklim. Efek terhadap jenis tanaman terhadap mikroflora ditentukan ditentukan oleh sifat fisik dan kimia daun, yang keduanya tercermin dalam C/N rasio (Thaiutsa dan Granger 1979). Menurut Sutedjo et al. (1991), proses dekomposisi bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara. Kondisi iklim kota bogor dimana tegakan jabon berada dimana rata-rata suhu mingguan berkisar antara 24.7 ºC-26.8 ºC, memiliki curah hujan mingguan yang tinggi pula yaitu mencapai 259.6 mm, serta kelembaban relatif hingga 91% turut mendukung kondisi yang baik dalam proses dekomposisi serasah jabon. Jumlah hara yang dilepaskan selama proses dekomposisi dihitung berdasarkan rasio dari konsentrasi hara saat pengambilan contoh yang dikoreksi dengan berat kering (pada waktu t) dibanding dengan konsentrasi serasah saat mulai penelitian dan dinyatakan dalam persen. Berdasarkan hasil penelitian diketahui unsur Mg memiliki persentase pelepasan hara serasah terbesar. Magnesium diketahui merupakan material organik yang termasuk kation mudah bergerak di dalam cairan sel, sehingga mudah tercuci (Zaharah dan Bah 1999). Adapun jumlah hara yang dilepaskan selama proses dekomposisi selama 12 minggu disajikan dalam Gambar 9 . 100
98.11
96.5
95
95.91 91.64
90
86.81
85 80 N
P
K Unsur Hara
Ca
Mg
23 Gambar 9 Persentase pelepasan hara serasah selama proses dekomposisi (12 minggu)
Gambar 10 Bagan analisis hubungan langsung dan tidak langsung dari beberapa faktor yang mempengaruhi nilai konstanta laju dekomposisi (k). Garis tebal menunjukkan pengaruh positif, dan garis putus-putus menunjukkan pengaruh negatif (Zhang 2008) Zhang et al. (2008) membandingkan dengan berbagai studi mengenai dekomposisi serasah pada lokasi yang berskala besar sehingga membuat suatu analisis mengenai hubungan langsung dan tidak langsung terhadap lima variabel penting yaitu ketinggian, rata-rata temperatur tahunan, rata-rata curah hujan tahunan, rasio C : N, dan kandungan hara serasah. Hubungan antara berbagai faktor ini disajikan dalam Gambar 10. Dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa nilai konstanta laju dekomposisi (k) akan cenderung menurun akibat ketinggian dan kandungan lignin, namun akan meningkat dengan suhu atau temperatur, curah hujan, dan kandungan hara. Disebutkan pula bahwa faktor ikilm dan kualitas serasah merupakan komponen penting yang berpengaruh secara langsung dalam dekomposisi serasah pada area dengan skala yang besar. Berdasarkan kumpulan literatur mengenai akumulai produksi serasah, konstansa laju dekomposisi, dan akumulasi unsur makro pada berbagai jenis tanaman tropis (Tabel 5 dan 6), dapat diketahui posisi serasah daun jabon, dimana pada semua aspek serasah daun jabon memiliki kualitas yang unggul. Meski demikian perlu untuk diperhatikan mengenai kondisi tapak masing-masing daerah, menejemen pengelolaan tegakan tersebut, umur tegakan, faktor lingkungan, serta besarnya luasan objek studi karena akan berpengaruh pada hasil studi.
24
Tabel 5 Rata-rata produksi serasah dan laju dekomposisi beberapa jenis tanaman tropis (O’Connell dan Sankaran 1997; De Costa & Atapattu 2001) Jenis
Umur
Lokasi
Produksi Serasah (ton ha-1) Rata-rata
Selang
Umur
Lokasi
Konstanta Dekomposisi k (yr-1) Rata-Rata
Selang
Waktu Paruh t 50% (hari)
Eucalyptus sp.
2-27
India,Congo,Puerto Rico, New South Wales (Australia)
8.2
0.8-21.6
2-40
Congo,Ethiopia, New South Wales (Australia), India
0.90
0.38-1.5
260
Pinus sp.
7-31
Nigeria, Puerto Rico, Indonesia, Louisiana Utara (USA), India
14.5
10.5-21
7-57
Poerto Rico, North Lousiana (USA), India
0.88
0.38-1.5
266
Tectona grandis
15-56
India
7.7
5.5-12.1
25-57
India
1.62
1.21-2.0
144
Acacia sp.
4-11
India, Congo
7.7
3.0-14.8
4-11
India, Congo
1.04
0.72-1.4
225
Leucaena leucocephala
4-8
Puerto Rico, India
8.1
6.5-12.3
2-8
India
6.24
0.11-0.89
38
4
Bogor
4.68
Anthocephalus cadamba
4
Bogor
Malaysia,
11.57
Malaysia,
53
25
Tabel 6 Akumulasi nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, dan magnesium dari serasah pada beberapa tanaman tropis (O’Connell dan Sankaran 1997) Jenis
Umur
Lokasi
P (kg ha-1)
N (kg ha-1)
K (kg ha-1)
Ca (kg ha-1)
Mg (kg ha-1)
Rata-rata
Selang
Rata-rata
Selang
Rata-rata
Selang
Rata-rata
Selang
Rata-rata
Selang
Eucalyptus sp.
4-75
Australia, India, Puerto Rico
81.6
22-222.5
5.5
2-18.7
18.6
4-34.6
91
18-206.6
16.3
1-42.3
Pinus sp.
7-26
Nigeria, Puerto Rico, Indonesia, Louisiana Utara (USA), India
154.9
59.9276.9
18.5
2.3-38.3
36.4
3.5-55.4
82.2
66.6113.7
29.4
4.1-40.7
Leucaena leucocephala
4-8
India
227.7
147.5297.9
17.7
11.6-23.7
40.3
25.1-55.4
80.7
57-104.4
12.2
7.8-16.6
Acacia nilotica
4-8
India
96.8
85-108.6
5.7
4.8-6.5
14.1
11.4-16.8
31.6
27.2-35.9
5.9
5.0-6.7
Casuarina equisetifolia
6-34
Senegal
661.2
245-1567
4.1
1.7-9.5
11.4
5.5-12.9
120.5
56-276
31.6
13.1-63.8
4
Bogor
230
Anthocephalus cadamba
44
110
238
151
26 Pengaruh Kompos Daun Jabon Terhadap Semai Jabon Kompos Daun Jabon Kematangan suatu kompos ditunjukan dengan penurunan volume adonan kompos, perubahan warna menjadi kehitaman, berbentuk remah, bentuk awal sudah melapuk, tumpukan adonan kompos mendekati suhu ruangan bila diraba, dan tidak berbau (Murbandono 1994). Kompos jabon yang telah matang ditunjukan pada Gambar 11. Setelah kondisi kompos daun jabon menunjukan tanta-tanda kematangan, maka kompos tersebut dianalisa kandungan haranya. Adapun kandungan hara dari kompos daun jabon disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Kandungan hara serasah daun segar dan kompos jabon Parameter N (%)
Daun Segar 2.01
Kompos 0.86
P (%)
0.38
0.24
K (%)
0.95
0.21
Ca (%)
2.06
0.65
Mg (%)
1.31
0.29
C-organik (%)
40
10.86
Rasio C/N
20
13
Bahan organik tidak dapat digunakan secara langsung oleh tanaman karena perbandingan kandungan C/N dalam bahan tersebut tidak sesuai C/N tanah. Rasio C/N tanah berkisar antara 10-12. Rasio C/N merupakan perbandingan antara karbohidrat (C) dan nitrogen (N). Pada dasarnya prinsip pengomposan adalah untuk menurunkan rasio C/N bahan organik hingga sama dengan rasio C/N tanah (<20). Semakin tinggi rasio C/N bahan organik, maka proses pengomposan atau perombakan bahan semakin lama. Waktu yang dibutuhkan bervariasi dari satu bulan hingga beberpa tahun tergantung bahan dasar. Apabila bahan organik mempunyai rasio C/N mendekati atau sama dengan rasio tanah, maka bahan tersebut dapat digunakan oleh tanaman (Setyorini et al. 2006; Hanafiah 2005).
Gambar 11 Kompos daun jabon selama pengomposan 3 bulan Hasil analisis rasio C/N bahan organik dari serasah segar daun jabon diketahui memiliki nilai 20. Pada rasio C/N yang berkisar 20-30 maka
27 mineralisasi dan immobilisasi N akan seimbang. Pada awal dekomposisi, N tersedia yang ada segera diimmobilisasikan ke dalam sel-sel mikroba untuk memperbanyak diri, kemudian dengan meningkatnya aktivitas mikroba mineralisasi N juga meningkat tetapi selaras dengan kebutuhan N untuk perbanyakan mikroba tersebut. Pada tahap akhir, selaras dengan menipisnya cadangan bahan organik yang mudah dirombak, sebagian mikroba mati dan N penyusun sel-sel mikroba tersebut segera mengalami mineralisasi melepaskan N dan hara-hara lain, sehingga ketersediaan N meningkat apabila rasio C/N di bawah 30 (Hanafiah 2005). Uji kandungan hara yang dilakukan pada serasah daun jabon segar dan kompos daun jabon, nampak bahwa selama proses pengomposan terjadi pelepasan unsur hara dan penurunan C/N rasio. C/N rasio pada kompos daun jabon mencapai 13, dimana nilai ini mendekati C/N rasio tanah, sehingga ketika kompos ini diaplikasikan ke tanaman dapat digunakan sebagai sumber hara bagi tanaman. Adanya penurunan rasio C/N dan pelepasan hara, dikarenakan proses pengomposan bahan segar yang dikomposkan mengalami beberapa penguraian seperti: (1) penguraian hidrat arang, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air; (2) terjadinya penguraian amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak; (3) adanya pengikatan beberapa jenis unsur hara di dalam tubuh jasad-jasad renik, terutama N disamping P, K dan lain-lain yang akan terlepas kembali bila jasad renik itu mati; dan (4) adanya pembebasan unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang tersedia bagi tumbuh-tumbuhan (Murbandono 1994). Menurut Hanafiah (2005) C/N rasio dapat mengendalikan nitrifikasi dan nitrat dalam tanah melalui pengaruh selektifnya terhadap jasad renik. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik yang rendah sampai stabil umumnya mempunyai nilai C/N sekitar 10. Berdasarkan hasil uji kompos, kandungan unsur N pada kompos daun jabon memiliki nilai terbesar dibandingkan dengan unsur P, K, Ca, dan Mg. Unsur N berperan sebagai penyususn semua protein, klorofil dan asam-asam nukleat, serta berperan penting dalam pembentukan koenzim (Hanafiah 2005), sehingga semai jabon yang ditumbuhkan pada media dengan penambahan kompos daun jabon menunjukkan pertumbuhan yang baik. Pertumbuhan Semai Jabon Beberapa parameter yang diamati dalam pertumbuhan semai jabon yang telah diberi perlakuan kompos diantaranya adalah pertumbuhan tinggi tanaman, pertumbuhan diameter tanaman, dan pengukuran berat kering. Pada Tabel 8 disajikan data rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon. Semai jabon yang ditumbuhkan pada media tanam tanah bekas pertambangan batu bara menunjukan beda nyata pada selang kepercayaan 95% untuk beberapa parameter pengamatan seperti pertambahan tinggi dan diameter, biomassa total, akar, dan pucuk selama 10 minggu pengamatan, serta laju pertumbuhan diameter dan tinggi setiap minggunya.
28 Tabel 8 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan semai jabon Anova
Parameter
F Hitung
P
14.31
0.0001
11.94
0.0002
4.29
0.0219
Laju pertumbuhan tinggi (cm cm minggu )
6.15
0.0055
Biomassa total (g)
24.29
< 0.0001
Biomassa pucuk (g)
20.16
< 0.0001
Biomassa akar
9.20
0.0009
Rasio pucuk akar
2.04
0.159
Pertambahan tinggi (cm) Pertambahan diameter (cm) -1
-1
Laju pertumbuhan diameter (cm cm minggu ) -1
-1
Keterangan: p>0,05: tidak nyata; p<0,05: nyata, pada selang kepercayaan 95%
a. Tinggi dan Diameter Pertumbuhan diameter dan tinggi semai jabon selama 10 minggu dapat dilihat melalui Gambar 12 dan Gambar 13. Dari tren penambahan diameter dan tinggi setiap minggunya terlihat perlakuan kompos 30% lebih unggul dibandingkan dengan perlakuan yang lain. 1.00 0.90 Tanpa Kompos Kompos 10% Kompos 20% Kompos 30%
Diameter (cm)
0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20 0.10 0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minggu ke‐
Gambar 12 Pertumbuhan diameter semai jabon
29 30.00
Tinggi (cm)
25.00
Tanpa Kompos Kompos 10% Kompos 20% Kompos 30%
20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Minggu ke‐
Gambar 13 Pertumbuhan tinggi semai jabon Adapun uji lanjut Duncan untuk parameter tinggi dan diameter disajikan dalam Tabel 9 dan 10. Tabel 9 Uji lanjut Duncan pertambahan tinggi semai jabon Perlakuan Kompos 30%
Rata-rata (cm) 7.40 a
Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 69
5.89
b
34
Kompos 10%
5.31
bc
21
Tanpa Kompos
4.38
c
0
Kompos 20%
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Tabel 10 Uji lanjut Duncan pertambahan diameter semai jabon Perlakuan
Rata-rata (cm)
Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 72
Kompos 30%
0.43 a
Kompos 20%
0.35
b
40
Kompos 10%
0.28
c
12
0.25
c
0
Tanpa Kompos
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
30 b. Laju Pertumbuhan Relatif Diameter dan Tinggi Tanaman Melalui formula Hunt (1990), kecepatan pertumbuhan dapat diketahui dengan menghitung pertambahan tinggi dan diameter tanaman. Percobaan yang dilakukan selama 10 minggu menunjukan bahwa setiap minggunya, laju pertumbuhan relatif diameter tanaman pada perlakuan yang diberikan kompos 30% lebih baik jika dibandingkan dengan perlakuan pemberian tanpa kompos, yaitu sebesar 0.068 cm cm-1 minggu-1 (Tabel 11 ). Laju pertumbuhan relatif tinggi tanaman, menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan yang diberikan kompos dan tanpa diberikan kompos, yaitu pada pemberian kompos sebanyak 30% besarnya laju pertumbuhan relatif tinggi tanaman adalah 0.033 cm cm-1 minggu-1. Tabel 11 Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan tinggi semai jabon Perlakuan Kompos 30% Kompos 20% Kompos 10% Tanpa Kompos
Rata-rata (cm cm-1 minggu-1) 0.033 a
Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 50
0.029
a
31.82
0.028
a
27.27
0.022
b
0
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Kecepatan pertumbuhan relatif tinggi tanaman merupakan akibat pertumbuhan tunas muda, umumnya dipusatkan pada bagian apeks (ujung) yang terdapat tunas terminal (terminal bud). Pertumbuhan yang lebih tinggi pada dominansi apikal merupakan suatu adaptasi evolusioner untuk meningkatkan pemaparan terhadap cahaya matahari utamanya pada habitat yang sesuai atau lokasi yang padat (Campbell et al. 2003). Tabel 12 Uji lanjut Duncan laju pertumbuhan diameter semai jabon Perlakuan Kompos 30%
Rata-rata (cm cm-1 minggu-1) 0.068 a
Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 44.68
0.064
a
36.17
Kompos 10%
0.051
bc
23.08
Tanpa Kompos
0.047
c
0
Kompos 20%
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
31 Pada pertumbuhan relatif diameter batang tanaman nampak lebih besar daripada laju pertumbuhan relatif tinggi. Hal ini menunjukkan adanya upaya adaptasi pada kondisi lingkungan yang ekstrim. Salah satu strategi yang dilakukan dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungannya, dalam hal ini media tanam yang miskin hara dan sangat liat adalah dengan memperbesar diameter batang. Perluasan sel meristem pada batang tanaman dikendalikan oleh sifat plastis dan elastis dari dinding sel. Pemecahan material dinding sel terjadi setelah sel sudah mencapai ukuran tertentu sehingga dinding sel menjadi lebih tebal. Penebalan dinding sel berdampak pada proses peningkatan ukuran diameter batang (Campbell et al . 2003). c. Biomassa Semai Jabon Uji lanjut Duncan pada parameter biomassa total dan pucuk ditunjukkan pada Tabel 13 dan Tabel 14. Tabel 13 Uji lanjut Duncan biomassa total semai jabon Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 193
Perlakuan
Rata-rata (g)
Kompos 30%
16.23 a
Kompos 20%
11.86
b
114
10.56
b
91
5.53
c
0
Kompos 10% Tanpa Kompos
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Tabel 14 Uji lanjut Duncan biomassa pucuk semai jabon Perlakuan
Rata-rata (g)
Kompos 30%
8.58 a
Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 283
Kompos 20%
5.89 b
163
Kompos 10%
4.83
b
116
Tanpa Kompos
2.24 c
0
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Pemberian kompos sebesar 30% diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter, serta biomassa semai jabon. Dosis 30% dapat juga dibuat perhitungan konversi pemberian kompos sebesar 0.05 g cm-3. Berdasarkan nilai konversi ini, aplikasi pemberian kompos jabon pada lubang tanam yang dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm memerlukan kompos jabon sebesar 3.2 kg.
32
a
b
c
d
Gambar 14 Perlakuan tanpa pemberian kompos (a), kompos 10% (b), kompos 20% (c), kompos 30% (d) Tabel 15 Uji lanjut Duncan biomassa akar semai jabon Perlakuan
Rata-rata (g)
Peningkatan terhadap Perlakuan tanpa kompos (%) 133
Kompos 30%
7.66 a
Kompos 20%
5.97
ab
81
Kompos 10%
5.73
b
74
Tanpa Kompos
3.29 c
0
Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%.
Pada uji lanjut biomassa akar (Tabel 15) nampak perlakuan yang diberikan kompos memiliki pengaruh nyata dengan perlakuan yang tidak diberi kompos. Tabel 16 Rasio pucuk akar semai jabon Perlakuan Kompos 30%
Rata-rata (g) 1.13
Kompos 20%
1.03
Kompos 10%
0.89
Tanpa Kompos
0.71
Pada perhitungan rasio pucuk akar (Tabel 16) diketahui tidak menunjukkan nilai beda nyata pada selang kepercayaan 95%. Namun dari perhitungan rata-rata maka dapat diketahui nilai yang menunjukkan perlakuan pemberian kompos sebanyak 30% dan 20% memiliki nilai rasio pucuk akar yang seimbang. Tanaman yang memiliki nilai nisbah pucuk akar tinggi dengan biomassa total yang besar secara tidak langsung menunjukkan bahwa akar relatif sedikit, cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman yang relatif besar dalam penyediaan air dan unsur hara. Jika tanaman berada pada kondisi kekurangan unsur hara dan air, tanaman membentuk akar lebih banyak yang ditujukan untuk
33 meningkatkan serapan, agar menghasilkan nisbah pucuk akar rendah (Sitompul dan Guritno 1995). Nisbah pucuk akar yang seimbang merupakan ciri pertumbuhan yang normal. Informasi mengenai nisbah pucuk akar diperlukan untuk mengetahui keseimbangan antara pertumbuhan pucuk tanaman sebagai tempat terjadinya proses fotosintesis dengan pertumbuhan akar sebagai bidang serapan unsur hara dan air.
Gambar 15 Bibit tanpa pemberian kompos (a), kompos 10% (b), kompos 20% (c), kompos 30% (d) Pada Tabel 9, 10, 13, dan 14 hasil uji lanjut menunjukkan adanya kecenderungan yang sama untuk pertambahan tinggi dan diameter serta biomassa total dan biomassa pucuk. Perlakuan penambahan kompos sebesar 30% menunjukkan respon pertumbuhan semai jabon terbaik yang ditanam pada media tanam tanah bekas tambang batubara. Setyorini et al. (2006) menjelaskan pengertian kompos adalah bahan organik, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi tanaman. Berdasarkan analisis tanah bekas tambang batubara seperti yang disajikan pada Lampiran 1 nampak bahwa tanah tersebut masam dengan nilai pH 5,3. Selain itu, karakteristik yang paling mencolok adalah tanah tersebut memiliki tekstur yang liat hingga mencapai 78% untuk kadar liatnya. Pada kondisi yang sangat liat ini membuat pori-pori baik udara dan air sedikit. Hal ini mengakibatkan terganggunya pasukan oksigen dan air sehingga akan menggangu kinerja akar untuk menyerap nutrisi dan pada akhirnya pertumbuhan semai menjadi tidak optimal. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah atau soil conditioner dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga dapat menambah kualitas kesuburan tanah baik sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Adanya kompos yang diaplikasikan pada tanah yang liat ini dapat memperbaiki struktur
34 tanah padat atau liat menjadi gembur. Seperti pada Gambar 16 nampak perbedaan pergerakan akar pada perlakuan yang tidak diberikan kompos dengan perlakuan yang diberikan kompos. Media tanpa penambahan kompos terlihat tidak nampak akar yang dapat menembus liatnya tanah. Dengan bertambahnya konsentrasi kompos nampak semakin banyak akar-akar yang dapat menembus liatnya tanah sehingga memberikan respon pertumbuhan yang positif terhadap penambahan tinggi dan diameter.
Gambar 16 Perakaran pada media tanpa pemberian kompos (a), kompos 10% (b), kompos 20% (c), kompos 30% (d) Ketika tanah tersebut dikoyak maka terlihat bahwa media tanah yang tidak diberikan kompos akan sangat kompak dan liat. Dengan bertambahnya konsentrasi kompos maka tanah terlihat kompak dan gembur. Penyebab dari kompak dan gemburnya tanah ini adalah senyawa-senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium atau hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah (Setyorini et al. 2006). Dengan struktur tanah yang baik, aerasi atau difusi O2 akan lebih banyak sehingga proses fisiologis di akar akan lancar. Melalui perbaikan agregat tanah yang menjadi lebih remah akan memudahkan penyerapan air sehingga tidak terjadi genangan karena air sulit meresap masuk ke dalam tanah. Kandungan bahan organik yang tinggi di dalam tanah memberikan warna tanah yang lebih gelap karena warna humus coklat kehitanam, sehingga penyerapat energi sinar matahari lebih banyak dan fluktuasi suhu di dalam tanah dapat dihindarkan. Seperti nampak pada Gambar 16 aplikasi kompos 30% (d) memberikan warna tanah yang lebih gelap jika dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kompos merupakan penyedia sumber hara makro dan mikro secara lengkap meskipun dalam jumlah yang relatif kecil (Setyorini et al. 2006). Pada tanah yang masam seperti yang digunakan dalam penelitian ini nampak kandungan C-organik yang sangat rendah, N total yang sangat rendah dan P tersedia yang rendah (Lampiran 1). Katagori ini berdasarkan Sulaeman et al. (2005) yang menyatakan bahwa tanah dengan kandungan C-organik kurang dari 1% dikatakan sangat rendah, N total kurang dari 0.1% dikatakan sangat rendah dan P tersedia antara 5-7 ppm dikatakan rendah. Pada tanah-tanah yang kandungan P tersedianya rendah, bentuk fosfat organik mempunyai peranan penting dalam penyedia hara tanaman. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar P yang diperlukan tanaman terdapat pada senyawa P-organik. Sebagaian besar P-
35 organik dalam organ tanaman terdapat sebagai fitin, fosfolipid, dan asam nukleat. Fosfolipid dan asam nukleat hanya terdapat sedikit dalam bahan organik tanah karena senyawa tersebut mudah digunakan oleh jasad renik tanah. Turunanturunan senyawa tersebut sangat penting dalam tanah (karena kemampuannya membentuk senyawa dengan kation polivalen), terdapat dalam jumlah relatif tinggi, tetapi yang dekompisisinya lambat adalah inositol. Pada tanah masam terbentuk inositol fosfat dengan Al atau Fe. P-anorganik dalam bentuk Al-Fe; CaP yang tidak tersedia bagi tanaman, akan dirombak oleh mikroorganisme pelarut P menjadi P-anorganik yang larut atau tersedia bagi tanaman (Setyorini et al. 2006). Peranan bahan organik yang juga penting pada tanah ialah kemampuan bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompleks. Dengan demikian ion logam yang bersifat meracuni tanaman serta merugikan penyediaan hara pada tanah seperti Al, Fe dan Mn dapat diperkecil dengan adanya khelat dengan bahan organik. Perbaikan kesuburan tanah oleh kompos pada sifat biologi tanah dikatakan dalam Setyorini et al. (2006) bahwa kompos banyak mengandung mikroorganisme seperti fungi, aktinomiseters, bakteri, dan alga. Dengan ditambahkannya kompos ke dalam tanah tidak hanya jutaan mikroorganisme yang ditambahkan, akan tetapi mikroorganisme yang ada di dalam tanah juga terpacu untuk berkembang. Proses dekomposisi lanjut oleh mikroorganisme akan tetap terus berlangsung tetapi tidak mengganggu tanaman. Gas CO2 yang dihasilkan mikroorganisme tanah akan dipergunakan untuk fotosintesis tanaman, sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih cepat. Amofisikasi, nitrifikasi, dan fiksasi nitrogen juga meningkat karena pemberian bahan organik sebagai sumber karbon yang terkandung di dalam kompos. Selain itu, aktivitas berbagai mikroorganisme di dalam kompos menghasilkan hormon-hormon pertumbuhan, misalnya auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu pertumbuhan dan perkembangan akar-akar rambut sehingga daerah pencarian makanan lebih luas.
SIMPULAN DAN SARAN
1. 2. 3.
4.
Simpulan Jabon umur 4 tahun memiliki produktivitas serasah yang tinggi yaitu sebesar 22.25 g m-2 minggu-1 Daun jabon termasuk jenis daun yang cepat terdekomposisi dengan nilai konstanta laju dekomposisi mencapai 0.09 minggu-1 Serasah daun jabon memberikan kontribusi hara ke tanah secara berturutturut sebagai berikut Ca (238 kg ha-1 )>N (230 kg ha-1)>Mg (151 kg ha-1)> K (110 kg ha-1)>P (44 kg ha-1) Pengaruh pemberian kompos serasah daun jabon sebesar 30% atau 0.05 g cm-3 terhadap semai jabon dengan media tanam tanah bekas tambang batubara memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan tinggi dan diameter serta biomassa semai jabon
36 Saran Perlunya dilakukan pengukuran langsung di lapangan terhadap faktorfaktor iklim seperti temperatur udara, temperatur tanah, curah hujan, dan kelembaban udara, agar diperoleh data dengan sedikit bias. DAFTAR PUSTAKA Anderson JM, Swift MJ. 1983. Decomposition in Tropical Forest. dalam Tropical Rain Forest: Ecology and Management. Oxford: The British Ecological Society. Blackwell Scientific Publication. p 287-309 Aprianis Y. 2011. Produksi dan laju dekomposisi serasah Acacia crassicarpa A. Cunn. Di PT. Arara Abadi. Tekno Hutan Tanaman. 4(1):41-47. Arief A. 1994. Hutan Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bappeda. 2012. Kondisi Umum Fisik Kota Bogor. http://www.kotabogor.go.id/sekilas-bogor/letak-geografis. [15 Oktober 2012]. Binkley D, Vitousek P.1996. Soil nutrient availability. Di dalam: Pearcy RW, Heringer JRE, Mooney HA, Rundel PW, editor. Plant Physiologycal Ecology. London: Chapman & Hall. Bray JR, Gorham E. 1964. Litter Production in Forest of The World. Dalam Cragg JB (Ed) Advances in Ecological Research, Vol 2 London: Academic Press. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Edisi Kelima Jilid 2. Jakarta: Erlangga. De Costa WAJM, Atapattu AMLK. 2001. Decomposition and nutrient loss from pruning of different contour hedgerow species in tea plantations in the sloping highland of Sri Lanka. Agroforestry System. 51: 201-211. Departemen Kehutanan. 1997. Ensiklopedia Kehutanan Indonesia. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Deshmusk I. 1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Direktorat Jendral Kehutanan. 1980. Pedoman Pembuatan Tanaman. Jakarta: Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Dix NJ, Webster J. 1995. Fungal Ecology. London: Chapman and Hall. Djamaludin SM, Wahyono S. 2008. Pengomposan Sampah Skala Rumah Tangga. Jakarta: Kementrian Lingkungan Hidup. Dutta RK, Agrawal M. 2001. Litterfall,litter decomposition and nutrient release in five exotic plant species planted on coal mine spoils. Pedobiologia. 45: 298-312. Folster H, Khanna PK. 1997. Dynamics of Nutrient Supply in Plantation Soil. Di dalam: Nambiar EKS, Brown AG, editor. Management of Soil, Nutrients and Water in Tropical Plantation Forest. Australia: ACIAR. p 339-378. Fisher RF, Binkley D. 2000. Ecology and Management of Forest Soil. Edisi ke-3. New York: John Willey and Sons. Fragoso C, Lavelle P. 1992. Earthworm communities of tropical rain forest. Soil Biology dan Biochemistry. 24(12) : 1397-1408.
37 Golley FB. 1983. Tropical Rain Forest Ecosystem. Structure and Function. New York: Elseviere Scientific Publishing Company. Guo LB, Sims REH. 2001. Eucalypt litter decomposition and nutrient release under a short rotation forest regime and effluent irrigation treatments in New Zealand I. External effects. Soil Biology dan Biochemistry. 33:13811388. Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hilwan I. 1993. Produksi, laju dekomposisi dan pengaruh allelopati serasah Pinus merkusii Jungh, et De Vriese dan Acacia mangium Wild di hutan gunung walat, Sukabumi, Jawa Barat [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hunt R. 1990. Basic Growth Analysis. London, United Kingdom: Unwin-Hyman Ltd. Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Anthochephalus cadamba Miq.:Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. Bogor: CIFOR. Lembaga Biologi Nasional LIPI. 1980. Kayu Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Levelle P. 1988. Earthworm activities and the soil system. Biol. Fertil. Soils. 6 : 237-251. Ma BL, Dwyer LM, Gregorich EG. 1999. Soil nitrogen amendment effects on seasonal nitrogen mineralization and nitrogen cycling in maize production. Agron J. 91 : 1003-1009. Manan S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Bogor: IPB. Mansur I, Tuheteru FD. 2010. Kayu Jabon. Jakarta: Penebar Swadaya. Martawidjaya A, Kartasujana, Kadir K, dan Prawira SA. 1989. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Bogor: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan. Dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Mason CF. 1977. Decomposition Studies in Biologi no 74. London: The Edward Arnold (pulb) Ltd. Moor LE. 1990. Fundamentals of The Fungi. Edisi ke-4. New Jersey: Prentice Hall. Murbandono HIS. 2005. Membuat Kompos. edisi revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Nair KSS, Sumardi. 2000. Insect pest and disease of major plantation spesies. dalam:Nair KSS (ed) Insect pets and disease in Indonesia forest: an assessment of the major treats, research efforts and literature. Bogor: CIFOR. Nasoetion AH. 1990. Pengantar ke Ilmu-Ilmu Pertanian. Bogor: LiteraAntarNusa Ngao J, Bernhard-Reversat F, Loumeto JJ. 2009. Changes in eucalypt litter quality during the first three months of field decomposition in a Congolese plantation. Applied soil ecology. 42: 191-199. doi.org/10.1016/j.apsoil.2009.03.008. O’Connell AM, Sankaran KV. 1997. Organic Matter Accretion, Decomposition and Mineralisation. Di dalam: Nambiar EKS, Brown AG, editor. Management of Soil, Nutrients and Water in Tropical Plantation Forest. Australia: ACIAR. p 443-480.
38 Odum EP. 1971. Fundamental of Ecology. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company. 440 p Olson SJ. 1963. Energy and the balance of producers and decomposers in ecological system. Ecology. 44: 322-331. Petersen RC, Cummins KW. 1974. Leaf processing in a woodland stream. Freshwater Biology. 4: 343-368. Sallata M, Kudeng, Halidah. 1990. Produksi dan Penghancuran Serasah di bawah Hutan Alam Sekunder di Tabo-Tabo Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan. 3:19-25. Satcell JE. 1974. Litter Interface of Animate/Inanimate Matter dalam Biologi of Plant Litter Decomposition. Vol 1. London: London Academic Press. Seo J. 2013. Silvicultural practices and growth of jabon tree (Anthocephalus cadamba Miq.) in community forest, West Java, Indonesia [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Setyorini D, Saraswati R, Kosman Ea. 2006. Kompos dalam Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Sihombing, Simandjuntak, Partoatmodjo, Sitompul, Djokowaluyo, Simamora S, Sudiatso S, Djamar, Sugihen. 1981. Pemusnahan dan pendayagunaan sampah dengan pengembangbiakan cacing tanah. Bogor: Lembaga Penelitian IPB. Sitompul SM, Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soerianegara I. 1964. Pengertian produktivitas dalam ekologi dankemungkinannya dalam penyelidikan tumbuh-tumbuhan di Indonesia. Warta Penelitian Pertanian. 2:25-27. Soerianegara I, Lemmens. 1993. Plant Resources of South-East Asia. Bogor: Prosea. Spur HS, Burton VB. 1980. Forest Ecology. Third Edition. Toronto: John Willey and Sons.Inc. Strojan CL. Turner FB, Castetter R. 1979. Litter Fall From Shurbs in The Norhtern Majoce Desert. J Aricl Ecol. 60:1-5. Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah,Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian,Bogor. Sutedjo MM, Kartosapoetra, Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta: PT Rinekacipta. Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja. 1998. Training Manual Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Bogor: Prosea. Thaiutsa B, Granger O. 1979. Climate and Docomposition Rate of Tropical Forest Litter. UNASYLVA. 31:28-35. Tian, Brussaard L, Kang BT, 1995. Breakdown of plant residues with contrasting chemical compositions under humid tropical condition:Effects of earthworms and millipedes. Soil Biol. Biochem. 27(3) : 277-280. Westrich JT, Berner RA. 1984. The Role of Sedimentary Organic Matter in Bacterial Sulfate Reduction The G-Model Tested. Ocenog. 29:236-249. Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forest of The Far East. Oxford: Clarendon Press.
39 Zaharah AR, Bah AR. 1999. Pattern of decomposition and nutrient release by fresh Gliricidia (Gliricidia sepium) leaves in an ultisol. Nutrient cycling in Agroecosystems. 55: 269-277. Zhang D, Hui D, Luo Y, Zhou G. 2008. Rates of litter decomposition in terrestrial ecosystems:global patterns and controlling factors. Journal of Palnt Ecology. 1(2) : 85-93. doi: 10.1093/jpe/rtn002.
40 Lampiran 1 Hasil analisis tanah tambang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Parameter Pengujian pH H2O CaCl2 C-org N Total C:N P Tersedia Kation-kation dapat ditukar Ca Mg K Na Total KTK KB Al-Hdd Al 3+ H+ Sebaran butir (Tekstur 3 Fraksi) Pasir Debu Liat Sulfat (SO42-) Terlarut Fe2O3 Total
Satuan
ppm
Nilai 5.4 5.3 0.84 0.04 21.0 4.5
cmol/kg cmol/kg cmol/kg cmol/kg cmol/kg cmol/kg %
13.26 19.85 1.44 6.92 41.47 54.61 75.94
me/100g me/100g
0.11 0.01
% % % % %
2.1 19.2 78.7 0.52 3.71
% %
Keterangan: - Contoh uji dihitung terhadap contoh kering 105ºC - cmol/kg setara dengan me/100g Lampiran 2 Data iklim mikro pada tegakan jabon Bulan
Curah Hujan
Temperatur
15 Nov 2012 - 21 Nov 2012 22 Nov 2012 - 28 Nov 2012 29 Nov 2012 - 05 Des 2012 06 Des 2012 - 12 Des 2012 13 Des 2012 - 19 Des 2012 20 Des 2012 - 26 Des 2012 27 Des 2012 - 02 Jan 2012 03 Jan 2013 - 09 Jan 2013 10 Jan 2013 - 16 Jan 2013 17 Jan 2012 - 23 Jan 2013 24 jan 2013 - 30 jan 2013 31 jan 2013 - 06 Feb 2013
(mm) 92.3 156.8 121.4 63.8 74.7 105.4 15.8 129.1 259.6 95.3 21.1 122.8
(ºC) 25.6 25.6 25.6 26.3 26.8 25.3 26.0 24.7 24.8 25.1 25.8 25.5
Sumber data: Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor
Kelembaban Udara (%) 80 86 83 84 85 88 85 91 89 90 85 87
41
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Semarang, 21 Maret 1987 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Drs H Nurtajudin dan Hj Andri Widiyanti, AMD. Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat menengah di SMA Negeri 1 Semarang selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di IPB pada mayor Silvikultur dan minor Arsitektur Lanskap. Selama menyelesaikan studi master, penulis mendapatkan kesempatan untuk memperoleh beasiswa dari Tanoto Foundation. Pada tahun 2011-2012, penulis bekerja sebagai staf divisi training PT. Performa Qualita Mandiri. Selama mengikuti perkuliahan di IPB sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Pemanfaatan Bakteri Rhizoplane dan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Semai Jelutung (Dyera polyphylla Miq. Steenis.) pada jurnal Silvikultur Tropika pada tahun 2010. Artikel lain berjudul Aplikasi Kompos Daun Jabon Terhadap Pertumbuhan Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) pada Media Tanah Bekas Tambang Batubara akan diterbitkan pada jurnal Penelitian Hutan Tanaman.