PENGGUNAAN SLUDGE PABRIK KOPI DALAM PRODUKSI SEMAI JABON (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)
HILDALITA
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PENGGUNAAN SLUDGE PABRIK KOPI DALAM PRODUKSI SEMAI JABON (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)
Oleh : Hildalita
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRAK HILDALITA. Penggunaan Sludge Pabrik Kopi dalam Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) Dibimbing oleh Dr. Ir. IRDIKA MANSUR, M. For. Sc.
Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) merupakan jenis tanaman lokal Indonesia yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Pohon jabon memiliki prospek yang cukup baik karena tergolong pohon yang cepat tumbuh, dapat tumbuh di berbagai tipe tanah, prospek pemasarannya cukup tinggi dengan teknik silvikultur yang mudah dan telah diketahui. Jabon akan memiliki peran yang cukup penting pada masa yang akan datang, terutama jika pasokan kayu untuk pertukangan dan industri pulp dari hutan alam menurun (Pratiwi 2003). Perbanyakan jabon umumnya secara generatif, namun perbanyakan secara vegetatif telah dilakukan tetapi masih memerlukan uji coba dalam skala besar. Dengan alasan ini perlu dilakukan tindakan silvikultur yang tepat agar ketersediaan pasokan kayu jabon tetap stabil (Anonim 2008). Dalam penelitian ini digunakan pupuk organik yang berbahan dasar sludge pabrik kopi yang masih mengandung unsur nitrogen (N) dan C organik. Pemberian sludge pabrik kopi di tingkat semai dengan dosis yang tepat diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan jabon dan dapat meningkatkan pertumbuhan mikoriza alami. Sludge pabrik kopi diharapkan dapat menjadi sumber pupuk yang murah untuk produksi bibit jabon. Penelitian dilakukan di Rumah Kaca dan Laboratorium Silvukultur Fakultas Kehutanan, IPB. Pelaksanaan penelitian diawali dengan pengunduhan, ekstraksi dan perkecambahan benih jabon. Perlakuan sludge kopi diberikan saat penyapihan jabon ke dalam polybag ukuran 10x15 cm dengan media tanah, pasir dan bokashi (7:2:1). Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola linear, yaitu sludge kopi 1 gram; sludge kopi 2 gram; sludge kopi 3 gram; tanpa sludge kopi. Pengulangan dilakukan sebanyak 10 kali dan setiap perlakuan terdiri dari 5 semai. Dengan demikian terdapat 200 semai yang ditanam. Parameter yang diamati adalah tinggi semai, diameter semai, berat kering tanaman, nisbah pucuk akar, indeks kualitas semai, persen infeksi akar, jumlah daun, luas permukaan daun, jumlah ruas dan panjang ruas. Analisis ragam dari data yang diperoleh dalam tiap pengujian diolah dengan menggunakan program SPSS 15.1 dan perbedaan nilai tengah dianalisis dengan Uji Berganda Duncan pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan pemberian sludge kopi memberikan pengaruh yang signifikan terhadap parameter tinggi, diameter, nisbah pucuk akar dan panjang ruas semai jabon. Secara umum pemberian sludge kopi dapat meningkatkan pertumbuhan semai jabon di persemaian sehingga diharapkan dapat menjadi bekal kepada semai jabon untuk ditanam di lapangan. Pemberian sludge pabrik kopi cenderung meningkatkan kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada akar semai jabon. Kata kunci: Anthocephalus cadamba, mikoriza, sludge kopi
ABSTRACT HILDALITA. The Use of Sludge Coffee in The Seedling Production of Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) Led by Dr. Ir. IRDIKA MANSUR, M. For. Sc.
Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) is an Indonesian local plant species that can be recommended to be developed in aged forest. Jabon tree has good prospects because of relatively fast growing tree, can grow in different soil types, high marketing prospects with silvicultural techniques are easy and already known. Jabon will have a significant role in the future, especially if the supply of wood for woodworking and pulp industry from natural forests decline (Pratiwi 2003). Reproduction of generative Jabon generally, but the vegetative propagation has been done but still needs testing on a large scale. With this reason should be appropriate silvicultural measures for wood supply remains stable of Jabon (Anonim 2008). In this research used an organic fertilizer based coffee mill sludge still contains elements of nitrogen (N) and C organic. Giving coffee mill sludge at the level of seedlings with the right dose is expected to increase growth the seedling and increase natural growth of mychorriza. Research was done at the Greenhouse and Silvuculture Laboratory, Faculty of Forestry, IPB. The research begins with the taken fruit from tree, extraction and seed germination of Jabon. Coffee sludge treatment is given at weaning into polybags size 10x15 cm with soil, sand and bokashi medium (7:2:1). The design of experiments is Complete Random Design (RAL) with linear pattern,whish is 1 gram of coffee sludge; 2 grams of coffee sludge; 3 grams of coffee sludge; without sludge coffee. Repetition performed 10 times and each treatment consisted of 5 seedlings. Thus there are 200 seedlings planted. The observed parameters was high for seedlings, seedling diameter, plant dry weight, ratio of root shoots, seedling quality index, percent infection of roots, number of leaves, leaf area index, the number of segments and segment length. Diversity analysis of the data obtained in each test is processed by using SPSS 15.1 and the median differences were analyzed by Duncan Multiple Test on a real level of 5%. The results showed given sludge coffee have a significant influence on higher parameters, diameter, ratio of root shoots and segment length of Jabon’s seedlings. In general, the provision of coffee sludge can increase the growth of seedlings in the nursery so Jabon expected to be equipped to Jabon seedlings for planting in the field. Providing coffee mill sludge tends to increase the colonization of Fungi Mycorrhiza Arbuscula (FMA) on seedling roots Jabon.
Key words: Anthocephalus cadamba, mycorrhiza, sludge coffee
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Penggunaan Sludge Pabrik Kopi Dalam Penggunaan Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)” adalah benar-benar karya saya sendiri di bawah bimbingan Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2009
Hildalita E44053138
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Penggunaan Sludge Pabrik Kopi Dalam Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)
Nama Mahasiswa
: Hildalita
NRP
: E44053138
Menyetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc NIP. 1966 0523 199002 1001
Mengetahui : Dekan Fakultas Kehutanan IPB
Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 19611126 198601 1 001
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 7 Februari 1987 di Jakarta sebagai anak pertama dari pasangan Hariadi dan Aminah. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMU Negeri 7 Surabaya. Pada tahun itu pula penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis pada tahun 2006 masuk Mayor Silvikultur Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis pernah aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai staf Departemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (PSDM) Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Silvikultur, Tree Grower Community (TGC) tahun 2007-2008, panitia Masa Pengenalan Fakultas Kehutanan (RIMBA-E), panitia Masa Perkenalan Himpunan Profesi Mahasiswa Departemen Silvikultur, Belantara (Bersama Dalam Orientasi Anak Rimba) Departemen Silvikultur tahun 2007, ketua Public Relation Dept. ASEAN Forest Student Association (AFSA) tahun 2007, panitia Pekan Mahasiswa Kehutanan Indonesia (PMKI) tahun 2007, panitia Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional (PIKNAS) tahun 2008, staf PSDM Ikatan Mahasiswa Kehutanan Sylva IPB tahun 2008-2009. Penulis juga melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di KPH Banyumas Timur dan KPH Banyumas Barat tahun 2007, Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2008 dan Praktek Kerja Profesi (PKP) di PT. Newmont Minahasa Raya, Sulawesi Utara tahun 2009. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi berjudul “Penggunaan Sludge Pabrik Kopi Dalam Penggunaan Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.)”, di bawah bimbing oleh Dr. Ir. Irdika Mansur, M. For. Sc.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Penggunaan Sludge Pabrik Kopi dalam Produksi Semai Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.). Salawat serta salam selalu dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Irdika Mansur, M.For.Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan saran dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini. 2. Rasa hormat yang sangat besar penulis sampaikan pada Ayahanda Hariadi, Ibunda Aminah dan Heldy Oktavia atas perhatian dan doa restu yang selalu diberikan. 3. Hendry Ramadani S. Hut, Melya Riniarti S.P, M.Si, Ir. Julius Dwi Nugroho M.Sc dan Heru Satrio Wibisono S. Hut atas ilmu dan masukannya. 4. Tatik Hidayati, Fidryaningsih, Maretha, Muzi Anggraeni S. Hut, Yuli, Nur Hikmah S. Hut, Atu Badariah S. Hut, , Chandra, Rifa, Ajeng dan keluarga besar SVK 42 atas semangat yang selalu diberikan. 5. Anggota Radar 507: Aurelia Karomah, Eva Puspitasari S. E, dan Eka Puspitasari S. Tp atas bantuan dan masukannya. 6. Rahmat Abdiansyah, Farah Amanda S. Hut dan Dewi Lamtiar. 7. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang memerlukan.
Bogor, Oktober 2009
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii DAFTAR TABEL
........................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN
............................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Tujuan ............................................................................................. 2 1.3 Hipotesisi ......................................................................................... 2 1.4 Manfaat ............................................................................................ 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jabon ............................................................................................... 3 2.1.1 Deskripsi Pohon ..................................................................... 3 2.1.2 Ekstraksi dan Perkecambahan ................................................ 4 2.1.3 Klasifikasi Jabon .................................................................... 5 2.1.4 Penyebaran Alami dan Syarat Tumbuh Jabon ........................ 6 2.1.5 Hama dan Penyakit ................................................................. 6 2.1.6 Manfaat Kayu Jabon ............................................................... 7 2.2 Ampas Kopi ..................................................................................... 7 2.2.1 Nitrogen (N) ............................................................................. 8 2.2.2 Nisbah C/N ............................................................................... 9 2.2.3 N-total, Bahan Organik dan C-organik .................................... 10 2.2.4 Fosfor (P) ................................................................................. 10 2.2.5 Kalium (K) ............................................................................... 12 2.2.6 Besi (F) ..................................................................................... 13 2.2.7 Mangan (Mn) ........................................................................... 13 2.2.8 Tembaga (Cu)........................................................................... 14 2.2.9 Seng (Zn) .................................................................................. 14 2.3 Persemaian ....................................................................................... 15 2.4 Kualitas Bibit ................................................................................... 16
2.5 Pemupukan ....................................................................................... 18 2.6 Mikoriza ........................................................................................... 19 2.7 Industri ............................................................................................. 20 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 23 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................. 23 3.3 Pelaksanaan Penelitian ..................................................................... 23 3.3.1 Perkecambahan Benih Jabon .................................................. 23 3.3.2 Penyapihan .............................................................................. 24 3.3.3 Pemberian sludge pabrik kopi ................................................. 25 3.3.4 Pemeliharaan ........................................................................... 25 3.4 Pengamatan dan Pengambilan Data ................................................. 25 3.4.1 Tinggi Semai ........................................................................... 26 3.4.2 Diameter Semai ....................................................................... 26 3.4.3 Bobot Kering Tanaman ........................................................... 26 3.4.4 Nisbah Pucuk Akar ................................................................. 26 3.4.5 Indeks Kualitas Bibit ............................................................... 26 3.4.6 Persen Infeksi FMA ................................................................ 27 3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ......................................... 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ................................................................................................. 29 4.1.1 Hasil Perkecambahan ............................................................... 29 4.1.2 Pertambahan Tinggi ................................................................. 30 4.1.3 Pertambahan Diameter ............................................................. 31 4.1.4 Berat Kering ............................................................................. 32 4.1.5 Nisbah Pucuk Akar .................................................................. 32 4.1.6 Indeks Kualitas Semai .............................................................. 33 4.1.7 Persentase Infeksi Akar ............................................................ 33 4.1.8 Jumlah Daun dan Luas Permukaan Daun ................................ 34 4.1.9 Jumlah Ruas ............................................................................. 35 4.1.10 Panjang Ruas .......................................................................... 35 4.1.11 Analisis Jaringan .................................................................... 36
4.2 Pembahasan ....................................................................................... 36 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 43 5.2 Saran .................................................................................................. 43 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 44 LAMPIRAN ...................................................................................................... 49
DAFTAR TABEL No.
Halaman
1. Jenis-jenis limbah dan metode penanganannya ........................................... 22 2. Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh pemberian sludge pabrik kopi terhadap parameter semai jabon ................. 29 3. Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap pertumbuhan tinggi semai jabon ................................ 30 4. Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap pertumbuhan diameter semai jabon ........................... 31 5. Hasil perhitungan rata-rata pada parameter berat kering akar, berat kering pucuk dan berat kering total .................................................... 32 6. Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap nilai NPA semai jabon ............................................... 32 7. Perhitungan rata-rata pada parameter indeks kualitas semai ....................... 33 8. Perhitungan rata-rata pada parameter jumlah daun dan luas permukaan daun .................................................................................... 35 9. Perhitungan rata-rata pada parameter jumlah ruas ...................................... 35 10. Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap panjang ruas semai jabon ......................................... 35 11. Hasil analisis sludge kopi oleh Balai Penelitian Tanah .............................. 36
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Sketsa pemberian sludge pabrik kopi ............................................................ 25 2. Semai jabon umur 13 MST ........................................................................... 30 3. Grafik pertumbuhan tinggi semai jabon berdasarkan MST .......................... 31 4. Grafik persen infeksi akar pada 13 MST ...................................................... 34 5. Hasil pengamatan infeksi akar ...................................................................... 34
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1. Hasil pengukuran tinggi semai jabon ........................................................... 49 2. Hasil pengukuran pertumbuhan diameter .................................................... 50 3. Hasil pengamatan berat kering akar ............................................................. 51 4. Hasil pengamatan berat kering pucuk .......................................................... 51 5. Hasil pengamatan berat kering tanaman ...................................................... 51 6. Hasil pengamatan nisbah pucuk akar .......................................................... 52 7. Hasil pengamatan indeks kualitas semai ...................................................... 52 8. Hasil pengamatan persen ifeksi akar ........................................................... 52 9. Hasil pengamatan jumlah daun .................................................................... 53 10. Hasil pengamatan luas permukaan daun ...................................................... 53 11. Hasil pengamatan jumlah ruas ..................................................................... 53 12. Hasil pengamatan panjang ruas .................................................................... 54 13. Denah rancangan acak percobaan ................................................................ 54 14. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi .......... 55 15. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan diameter ..... 55 16. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap berat kering akar .............. 55 17. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap berat kering pucuk ........... 55 18. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap berat kering tanaman........ 55 19. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap nisbah pucuk akar ............ 55 20. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap indeks kualitas semai ....... 55 21. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap persen infeksi akar ........... 55 22. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap jumlah daun ..................... 56 23. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap luas permukaan daun ....... 56 24. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap jumlah ruas....................... 56 25. Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap panjang ruas ..................... 56
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Guna menjamin kesinambungan penyediaan bahan baku industri hasil hutan, pemerintah menetapkan pembangunan hutan tanaman seluas 10,37 juta hektar dengan harapan dapat menyumbang pasokan kayu yang cukup untuk industri
kehutanan.
Untuk
mengantisipasi
masalah
tersebut
diperlukan
pengetahuan tentang pemilihan jenis-jenis pohon yang akan dikembangkan (Pratiwi 2003). Jabon (Anthocephalus cadamba Roxb Miq.) merupakan jenis tanaman lokal Indonesia yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman. Pohon jabon memiliki prospek yang cukup baik karena tergolong pohon yang cepat tumbuh, dapat tumbuh di berbagai tipe tanah, prospek pemasarannya cukup tinggi dengan teknik silvikultur yang mudah dan telah diketahui. Jabon akan memiliki peran yang cukup penting pada masa yang akan datang, terutama jika pasokan kayu untuk pertukangan dan industri kehutanan dari hutan alam mulai menurun (Pratiwi 2003). Dengan menurunnya pasokan kayu jabon dari hutan alam, usaha budidaya perlu dilakukan. Perbanyakan jabon umumnya secara generatif, namun perbanyakan secara vegetatif telah dilakukan tetapi masih memerlukan uji coba dalam skala besar. Dewasa ini, pengadaan bibit jabon untuk penanaman skala besar dapat dilakukan dari bibit ataupun pengumpulan anakan alami di hutan. Dengan alasan ini perlu dilakukan tindakan silvikultur yang tepat agar ketersediaan pasokan kayu jabon tetap stabil (Anonim 2008). Agroindustri telah mengalami perkembangan yang pesat yang akan diikuti dengan peningkatan limbah. Pendayagunaan limbah menjadi salah satu alternative yang berguna untuk menanggulangi dampak negatif limbah, juga memberikan hasil samping yang bernilai ekonomis (Sahirman et al. 1993). Dalam penelitian ini digunakan pupuk organik yang berbahan dasar sludge pabrik kopi. Di pabrik pengolahan kopi bubuk instan, sludge kopi yang ada tidak banyak dimanfaatkan padahal sludge kopi ini masih banyak mengandung unsur-unsur penting yang
dibutuhkan tanaman seperti nitrogen (N) dan C organik. Dengan pemberian sludge pabrik kopi di tingkat semai dengan dosis yang tepat diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan jabon dan meningkatkan pertumbuhan mikoriza alami. Mikoriza adalah suatu hubungan simbiosis mutualisme antara fungi dengan akar tanaman inang. Mikoriza memberikan keuntungan-keuntungan bagi tanaman yaitu dalam menyerap unsur hara dari tanah yang tidak subur daripada tanaman yang akarnya tidak terinfeksi (Hapsari 2001), menahan serangan patogen akar dan meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan (Kuswanto 1990).
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah 1. Mengkaji pengaruh pemberian sludge pabrik kopi terhadap pertumbuhan semai jabon. 2. Mengetahui pengaruh sludge kopi terhadap pertumbuhan mikoriza alami pada bibit jabon.
1.3 Hipotesis Pemberian formulasi sludge pabrik kopi yang tepat dapat meningkatkan pertumbuhan dan kualitas semai jabon serta meningkatkan kolonisasi fungi mikoriza arbuskula (FMA).
1.4 Manfaat Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi alternatif pupuk organik baru yang ramah lingkungan, murah, dan mudah didapat dalam peningkatan kualitas semai jabon.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) 2.1.1 Deskripsi Pohon Jabon (Anthocephalus cadamba Miq.) merupakan pohon yang berukuran sedang hingga besar yang tingginya dapat mencapai 45 m dengan diameter 100160 cm dan tinggi bebas cabang lebih dari 25 m (Soerianegara dan Lemmens 1994). Jabon tergolong spesies yang cepat tumbuh dengan pertumbuhan rata-rata tahunan adalah 2,2 m untuk tinggi dan 3,65 cm untuk diameter. Pertumbuhan jabon sangat cepat mulai dari umur 2 tahun sampai 20 tahun dan untuk selanjutnya pertumbuhannya lambat. Di hutan tanaman, kecepatan tumbuh diameter jabon adalah 2-3 cm/tahun dan tinggi 2-3 m/tahun (Lembaga Biologi Nasional 1980). Riap volume jabon dari kebun percobaan di Jawa berkisar antara 10 sampai 28 m3/tahun. Pohon jabon kadang berbanir sampai ketinggian 1,5 m dengan kulit luar berwarna kelabu coklat sampai coklat, sedikit beralur dipangkal (Pratiwi 2003). Menurut Sutisna et al. (1998), permukaan pepagan luar pada pohon muda licin dan berwarna sangat terang, pada pohon tua berwarna kelabu hingga cokelat kelabu, berlekah dangkal, kadang kala dengan punggungpunggung kecil, sering retak dan menyerpih agak kasar. Tajuk berbentuk payung yang khas dan kecil, cabang-cabang mendatar dengan ujung menjuntai, cabang yang gugur tampak jelas pada batang muda. Perbungaan jabon terdiri atas kepala-kepala bulat, menyendiri di ujung tanpa daun gagang. Bunga agak duduk pada penyangga yang lokus, berkelamin dua, aktinomorf, terbagi menjadi 5 bagian. Tabung kelopak berbentuk corong, mahkota gamopetal, jumlah benang sari 5 yang menisip pada tabung mahkota, tangkai sari pendek dan kepala sari melekat di pangkal (Soerianegara dan Lemmens 1994). Pohon jabon mulai berbunga dan berbuah pada umur 5-7 tahun, terutama tampak berbunga dalam bulan Januari-Februari dengan bunga yang warnanya kuning. Bunga menjadi buah dan masak antar bulan Juni-September (Team Fakultas Kehutanan 1975). Susunan pembuluh jabon hampir seluruhnya berganda radial (Mandang dan Pandit 2002). Kayu Anthocephalus cadamba
mengandung 47-52% selulosa; 25,5% lignin; 16-24% pentosan; 0,8-1,9% abu dan sangat sedikit mengandung silika atau bahkan tidak mengandung silika sedikitpun. Daya larutnya 4,7% dalam benzena-alkohol; 1,6% dalam air dingin; 3,1% dalam air panas dan 18,4% dalam NaOH 1% (Martawijaya 1981). Jabon memiliki daun yang saling berhadapan, tumpul, kira-kira duduk hingga bertangkai. Bentuk daun bulat telur hingga lonjong dengan ukuran panjang 15-50 cm dan lebar 8-25 cm. Bagian pangkal berbentuk agak menyerupai jantung, bagian ujung lancip (Sutisna et al. 1998). Pada pohon muda yang diberi pupuk kadang-kadang sangat lebih besar ukurannya, di bagian pangkal agak berbentuk jantung dan lancip di ujungnya. Penumpu antar tangkai berbentuk segitiga sempit dan mudah rontok. Perkembangbiakan jabon dimungkinkan dengan regenerasi alam dari biji, dengan semai yang ditumbuhkan di tempat pembibitan, dengan tunggul dan stek batang. Diperlukan teknik-teknik khusus untuk memperoleh bijibiji jabon yang sangat kecil (Soerianegara dan Lemmens 1994). Jabon memiliki bakal buah inferior, beruang 2 dan terkadang beruang 4 di bagian atas, tangkai putik terjulur, kepala putik berbentuk gelendong. Buah kecil, banyak sekali, agak berdaging, bagian atas memuat 4 struktur yang berlubang atau padat (Soerianegara dan Lemmens 1994). Panjang biji 0,5 mm, biji agak segitiga atau berbentuk tidak teratur dan tidak bersayap (Sutisna et al. 1998). Satu buah berisi 30-40 butir benih yang sangat halus. Benih dapat diambil dari buah dengan membuka bagian yang lunak. Jumlah benih kering 26.800.000 butir per kilogram atau 23.700 butir per liternya atau bisa dikatakan dalam 1 kilogram benih jabon kering setara dengan 1130 liter benih jabon kering. Daya berkecambah benih segar rata-rata 25%, benih mulai berkecambah setelah 3-4 minggu (Team Fakultas Kehutanan 1975).
2.1.2 Ekstraksi dan Perkecambahan Ekstraksi benih dilakukan dengan metoda basah. Buah yang sudah masak dimasukkan ke dalam karung dan diperam selama 1 minggu. Pemberian air terhadap benih yang diperam dilakukan setiap hari sehingga terjadi fermentasi atau pembusukan. Setelah diperam, buah diremas-remas hingga menjadi lapislapis kecil lalu dimasukan ke dalam bak berisi air. Benih yang masih bercampur
lendir yang terdapat di dalam bak disaring sebanyak 3 kali lalu diremas-remas. Kemudian dimasukkan ke dalam kain blacu dan diperas. Sebelum disaring, dilakukan penjemuran disertai dengan terus menggaru untuk melepaskan lendirnya. Apabila sudah kering lendir akan menjadi debu. Benih dan kotorannya kemudian disaring dengan cara lolos saringan 420 mikron (35 mesh) tertahan pada ukuran saringan 250 mikron (60 mesh) untuk mendapatkan benih yang memiliki sifat fisik dan fisiologik yang baik Media perkecambahan jabon adalah campuran pasir dan tanah halus (1:1), disterilisasi dengan cara digoreng selama 2 jam. Sebelum benih ditabur, media disiram sampai jenuh. Bak tabur ditutup
dengan plastik transparan. Setelah
penyimpanan pertama, penyiraman selanjutnya dilakukan pada hari ke-7 minggu ke-10. Setelah periode tersebut, plastik dibuka dan dilanjutkan dengan penyiraman setiap hari sekali dengan sprayer yang halus selama kurang lebih 1 bulan (Ismed 2000). Biji jabon mempunyai masa istirahat yang panjang dan dalam penyimpanan bisa tahan hingga 12 bulan. Daya perkecambahannya 70% bila disimpan dalam keadaan baik. Daya perkecambahan biji baru yang berasal dari buah yang matang adalah 50-57%. Perkecambahan biji yang lebih rendah ini disebabkan oleh masa istirahat yang dialami (Lembaga Biologi Nasional 1980).
2.1.3 Klasifikasi Jabon Menurut Pratiwi (2003), di beberapa Negara, jabon memiliki banyak nama antara lain Jabon (Indonesia), Common Bur-Flower (Inggris), Kadam (Perancis), Bangkal Kaatoan Bangkal (Brunei), Laran (Sabah), Labula (Papua New Guinea), dan Thkoow (Kamboja). Menurut Heyne (1987) dalam sistem klasifikasi, tanaman jabon memiliki penggolongan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Sub Kingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Asteridae
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Anthocephalus
Spesies
: Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.
2.1.4 Penyebaran Alami dan Syarat Tumbuh Jabon Anthocephalus terdiri atas dua jenis yaitu Anthocephalus cadamba atau bisa juga disebut Anthocephalus chinensis dan Anthocephalus macrophylla. Pohon jabon terdapat secara alami dari Sri Lanka, India, Nepal dan Bangladesh ke arah timur melalui Malaysia hingga Papua Nugini. Jenis ini telah ditanam sebagai pohon hias dan pohon perkebunan dan telah berhasil diperkenalkan ke Afrika Selatan, Puerto Rico, Suriname, Taiwan dan negara-negara lainnya di kawasan tropika dan subtropika (Soerianegara dan Lemmens 1994). Sebaran tumbuh di Indonesia sebagian besar di Jawa Barat dan Jawa Timur, seluruh Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, NTB dan Irian Jaya. Jenis ini dapat tumbuh pada kondisi lahan marginal, namun dengan drainase yang cukup baik. Jenis ini tumbuh di hutan primer dan banyak terdapat di hutan sekunder. Anakan berasal dari biji, banyak dijumpai di tanah-tanah terbuka seperti tanah bekas traktor. Jenis ini menyukai tanah liat atau tanah berpasir yang kering atau selalu basah, selain itu jenis ini juga tahan terhadap kekeringan (Lembaga Biologi Nasional 1980). Pertumbuhan optimal dapat dicapai pada tanah lempung, tanah Podsolik coklat dan tanah alluvial di sepanjang aliran sungai atau di daerah peralihan antara rawa dan tanah kering (Martawijaya 1989). Kondisi curah hujan tempat tumbuh jabon berkisar antara 400-2500 mm/tahun dengan altitude mulai dari permukaan laut sampai 1000 m di atas permukaan laut (Martawijaya 1981). Toleran terhadap tanah asam dan berdrainase jelek tetapi bukan pada tanah tererosi (Balai Teknologi Perbenihan 2001).
2.1.5 Hama dan Penyakit Menurut Soerianegara dan Lemmens (1994) tidak terdapat penyakit atau hama yang serius. Jamur Gloesporium anthocephali dapat mengakibatkan rontoknya daun sebagian atau seluruhnya dan mati pucuk. Sering daun dimakan oleh aneka serangga sedangkan bibit dimakan oleh binatang buruan. Pohon
dengan daun yang berlubang-lubang serius sangat lazim tetapi biasanya akan pulih dengan baik. Hama yang dilaporkan di Filipina antara lain ulat pembuat terowong daun Pyralis sp., penggerek Pterodepleryx sp. dan ulat bertanduk.
2.1.6 Manfaat Kayu Jabon Jabon merupakan jenis tumbuhan lokal yang dapat direkomendasikan untuk dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman karena pemanfaatan kayunya sudah dikenal luas oleh masyarakat. Jabon merupakan jenis kayu yang mempunyai berat jenis 0,42 (0,29-0,56), kelas kuat III-IV dan kelas awet V. Kayu jabon banyak digunakan untuk korek api, peti pembungkus, cetakan beton, mainan anak-anak, pulp, kelom dan konstruksi darurat yang ringan. Kayunya mudah dibuat venir tanpa perlakuan pendahuluan dengan sudut kupas 92° untuk tebal venir 1,5 mm. Perekatan venir kayu jabon dengan urea-formaldehida menghasilkan kayu lapis yang memenuhi persyaratan standard Indonesia, Jepang, dan Jerman (Martawijaya 1989). Jika dikeringkan dengan baik, kayu ini dapat digunakan untuk sampan atau perabot. Kayu jabon digunakan, baik sebagai lapisan permukaan maupun lapisan inti dalam kayu lapis dan sesuai untuk membuat papan partikel, papan bersemen, dan papan keras. Kegunaan kayu jabon yang terpenting ialah untuk membuat kertas bermutu rendah hingga sedang. Pohon ini juga berfungsi sebagai pohon peneduh dan digunakan dalam reboisasi dan kehutanan. Pepagan (kulit batang) yang sudah dikeringkan digunakan untuk mengurangi demam dan sebagai tonik (Soerianegara dan Lemmens 1994). Daunnya dapat dijadikan sebagai obat kumur dan makanan ternak sedangkan buahnya dapat dikonsumsi (Lembaga Biologi Nasional 1980).
2.2 Ampas Kopi Berdasarkan hasil analisis di Balai Penelitian Tanah (Eviati 2008), sludge kopi yang dijadikan sebagai pupuk mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
2.2.1 Nitrogen (N) Unsur ini penting bagi tanaman dan dapat disediakan oleh manusia melalui pemupukan. Nitrogen umumnya diserap oleh tanaman dalam bentuk NO3- dan NH4+ walaupun urea (H2NCONH2) dapat juga dimanfaatkan oleh tanaman karena urea secara cepat dapat diserap melalui epidermis daun (Leiwakabessy 2003). Menurut Hardjowigeno (2003), nitrogen di dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein (bahan organik), senyawa-senyawa amino, amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-) Bentuk N yang diabsorpsi oleh tanaman berbeda-beda. Ada tanaman yg lebih baik tumbuh bila diberi NH4+ ada pula tanaman yang lebih baik diberi NO3- dan ada pula tanaman yang tidak terpengaruh oleh bentuk-bentuk N ini (Leiwakabessy 2003). Penyediaan nitrogen berhubungan dengan penggunaan karbohidrat. Apabila persediaan N sedikit maka hanya sebagian kecil hasil fotosintesa yang dirubah menjadi protein dan sisanya diendapkan. Apabila persediaan N cukup banyak maka sedikit sekali yang mengendap karena sebagian besar dijadikan protein, jadi banyak protoplasma yang terbentuk. Karena protoplasma banyak mengikat air, maka tanaman yang dipupuk banyak N biasanya mempunyai kadar air tinggi di dalam sel vegetatif. Sebagai akibatnya tanaman ini tidak resisten terhadap serangan hama ataupun penyakit (Leiwakabessy 2003). Fungsi N adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanah yang cukup N akan berwarna lebih hijau) dan membantu proses pembentukan protein (Hardjowigeno 2003). Menurut Leiwakabessy (2003), pemberian N yang banyak akan menyebabkan pertumbuhan vegetatif berlangsung hebat sekali dan warna daun menjadi hiijau tua. Kelebihan N dapat memperpanjang umur tanaman dan memperlambat proses pematangan karena tidak seimbang dengan unsur lainnya seperti P, K dan S. Kemudian gejala-gejala kebanyakan N lainnya yaitu batang menjadi lemah, mudah roboh (Hardjowigeno 2003) dan dapat mengurangi daya tahan tanaman terhadap penyakit dan hama (Soepardi 1983). Kekurangan N biasanya menyebabkan pertumbuhan tanaman tertekan, daun-daun menjadi kering, pertumbuhan akar terbatas dan daun cenderung mudah rontok/senesens (Soepardi 1983). Kenyataan ini membuktikan mobilitas N di
dalam tanaman. Apabila akar tanaman tidak dapat mengambil N yang cukup untuk pertumbuhannya maka senyawa N di dalam daun-daun tua mengalami proses autolisis (Leiwakabessy 2003). 2.2.2 Nisbah C/N Menurut Notohadiprawiro (1999), nisbah C/N berguna sebagai penanda kemudahan perombakan bahan organik dan kegiatan jasad renik tanah. Kebanyakan energi yang diperlukan untuk mempertahankan populasi tanah berfungsi dan mendukung kelangsungan proses tanah yang begitu banyak berasal dari konversi karbon organik menjadi karbon dioksida. Rasio C/N merupakan perbandingan antara kadar C dan N. Nilai C/N dari tanaman, humus ataupun tanah memberikan gambaran tentang mudah tidaknya bahan tersebut dilapuk, tingkat kematangan dari bahan organik tersebut ataupun tentang immobilisasi dari Ntanah. Nisbah C/N merupakan perbandingan unsur karbon dan nitrogen yang terdapat dalam suatu bahan organik. Kedua unsur tersebut digunakan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan bahan sintesis sel-sel baru. Nisbah C/N sangat penting untuk diperhatikan karena berpengaruh langsung terhadap kehidupan mikroorganisme yang berperan dalam proses pengomposan. Nisbah C/N dalam bahan komposan yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menghambat laju pertumbuhan mikroorganisme, akibatnya proses pengomposan menjadi terganggu dan berjalan lambat sehingga akan berpengaruh terhadap produksi dan penyusutan bahan komposan (Sinaga 2009). Tanah-tanah dengan bahan organik yang rendah stabil umumnya mempunyai harga C/N sekitar 10. Bahan organik yang akan dihancurkan mempunyai C/N lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi nitrogen tanah. Untuk harga 20-30 tidak terjadi immobilisasi N maupun pelepasan N dari bahan organik. Sedangkan bila dibandingkan C/N lebih kecil dari 20 maka cepat terjadi pelepasan N dari bahan organik ke dalam tanah (Leiwakabessy 2003). Akan tetapi bila nisbah C/N terlalu lebar, berarti ketersediaan C sebagai sumber energi menjadi berlebihan menurut bandingannya dengan ketersediaan N bagi pembentukan mikroba dan kegiatan jasad renik dalam tanah akan terhambat. Nisbah C/N dipengaruhi oleh bahan tanaman, pH lingkungan tanah dan curah hujan tahunan (Notohadiprawiro 1999). Menurut Soepardi (1983), nisbah C/N
dapat mengendalikan nitrifikasi dan adanya nitrat dalam tanah melalui pengaruh selektifnya terhadap jazad tanah.
2.2.3 N-total, Bahan Organik dan C-organik Pengujian terhadap N-total, bahan organik dan C-organik sebenarnya sama saja sebab kadar N dalam bahan organik tanah relatif tetap. Dari hasil-hasil penelitian telah dibuat kesimpulan bahwa terdapat hubungan umum antara N-total atau bahan organik tanah dengan ketersediaan N bagi tanaman walaupun sering juga tidak teratur. Lewat proses mineralisasi, bahan organik mampu menyediakan unsur-unsur hara bagi tanaman terutama N, P, S dan unsur-unsur hara makro. Menurut Habibi dan Suwardji (2005), rasio C/N yang semakin baik mampu menjadi sumber nutrisi utama bagi biota tanah dalam melakukan aktifitasnya memperbaiki siklus hara dalam tanah. Namun nilai N-total, bahan organik dan Corganik dapat dipakai untuk meramalkan kebutuhan pupuk N setelah diperhitungkan dengan sejarah pertanaman sebelumnya dan kadar NO3-N dari daerah perakaran.
2.2.4 Fosfor (P) Fosfor bersama-sama dengan nitrogen dan kalium, digolongkan sebagai unsur-unsur utama walaupun diabsorpsi dalam jumlah yang lebih kecil dari kedua unsur tersebut. Tanaman biasanya mengabsorpsi P dalam bentuk H2PO4- dan sebagian kecil dalam bentuk sekunder HPO42-. Absorpsi kedua ion itu oleh tanaman dipengaruhi oleh pH tanah sekitar akar. Pada pH tanah yang rendah, absorpsi bentuk H2PO4- akan meningkat (Leiwakabessy 2003). Sedangkan menurut Hardjowigeno (2003), fosfat paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar netral (pH 6-7). Menurut Hardjowigeno (2003), unsur-unsur P di dalam tanah berasal dari bahan organik (pupuk kandang dan sisa-sisa tanaman), pupuk buatan (TSP dan DS) dan mineral-mineral di dalam tanah (apatit). Tanaman dapat juga mengabsorpsi fosfat dalam bentuk P-organik seperti asam nukleik dan phytin. Bentuk-bentuk ini berasal dari dekomposisi bahan organik dan dapat langsung dipakai oleh tanaman. Tetapi karena tidak stabil dalam suasana dimana aktifitas
mikroba tinggi, maka peranan mereka sebagai sumber fosfat bagi tanaman di lapangan menjadi kecil (Leiwakabessy 2003). Fosfor merupakan unsur yang mobil di dalam tanaman. Apabila terjadi kekurangan fosfat maka fosfat di dalam jaringan yang tua diangkat ke bagianbagian meristem yang sedang aktif. Tetapi oleh karena kekurangan unsur ini dapat menghambat seluruh pertumbuhan tanaman, maka gejala yang jelas pada daun seperti halnya kekurangan unsur-unsur N dan K jarang terlihat. Peranan fosfat adalah sangat khusus dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Fosfat atau radikal fosforil di dalam sel-sel tanaman diangkat ke golongan aseptor melalui suatu reaksi yang disebut fosforilasi sehingga reaktivitas dari suatu zat bertambah. Fosforilasi akan mengurangi energi aktivasi dari penghalang (barrier) di dalam sel tanaman sehingga memungkinkan semua reaksi-reaksi kimia di dalam proses biologi berlangsung sempurna dan dipercepat (Soepardi 1983). Beberapa peranan fosfat yang penting ialah dalam proses fotosintesa, perubahan-perubahan karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan dengannya,
glikolisis,
metabolisme
asam
amino,
metabolisme
lemak,
metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup (Leiwakabessy 2003). Selain itu, fosfor adalah penyusun fosfolid, nucleoprotein dan fitin, yang selanjutnya akan menjadi banyak tersimpan di dalam biji. Fosfor sangat berperan aktif dalam mentransfer energi dalam sel dan dapat meningkatkan efisiensin kerja kloroplas (Hakim et al. 1986). Fosfor betul-betul merupakan unsur yang sangat penting dalam proses transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy 2003). Sering terjadi kekurangan P di dalam tanah yang disebabkan oleh jumlah P yang sedikit di tanah, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis. Gejala-gejala kekurangan P yaitu pertumbuhan terhambat (kerdil) karena pembelahan sel terganggu, daun-daun menjadi ungu atau coklat mulai dari ujung daun, terlihat jelas pada tanaman yang masih muda (Hardjowigeno 2003).
2.2.5 Kalium (K) Menurut Hardjowigeno (2003), unsur K dalam tanah berasal dari mineralmineral primer tanah (feldspar dan mika) dan pupuk buatan (ZK). Bentuk mineral ini kurang tahan terhadap pengaruh air, terutama air yang mengandung CO2 (Hakim et al. 1986). Kalium merupakan unsur ketiga yang penting setelah nitrogen dan fosfor. Kalium diserap oleh tanaman dalam jumlah yang cukup besar, kadang-kadang lebih besar dari nitrogen seperti halnya pada tanaman ubiubian (Ismunadji et al. 1976). Kalium diabsorpsi oleh tanaman dalam bentuk K+, dan dijumlahkan dalam berbagai kadar di dalam tanah. Bentuk dapat ditukar atau bentuk yang tersedia bagi tanaman biasanya dalam bentuk pupuk K yang larut dalam air seperti KCl, K2SO4, KNO3, K-Mg-Sulfat-dan pupuk-pupuk majemuk. Kebutuhan tanaman akan K cukup tinggi dan akan menunjukkan gejala kekurangan apabila kebutuhannya tidak tercukupi. Dalam keadaan demikian maka terjadi translokasi K dari bagian-bagian yang tua ke bagian-bagian yang muda. Dengan demikian gejalanya mulai terlihat pada bagian bawah dan bergerak ke ujung tanaman. Gejala ini muncul karena kalium adalah unsur yang mobil dan mudah bergerak dari satu tempat ke tempat lain di dalam tanaman (Ismunadji et al. 1976). Kalium mempunyai peranan yang penting dalam proses-proses fisiologis seperti : (1) Metabolisme karbohidrat, pembentukan, pemecahan dan translokasi pati, (2) Metabolisme nitrogen dan sintesa protein, (3) Mengawasi dan mengatur aktivitas beragam unsur mineral, (4) Netralisasi asam-asam organik yang penting bagi proses fisiologis, (5) Mengaktifkan berbagai enzim, (6) Mempercepat pertumbuhan jaringan meristematik, dan (7) Mengatur pergerakan stomata dan hal-hal yang berhubungan dengan air. Kalium disini tidak terlibat sebagai komponen penyusun tetapi hanya sebagai bentuk anorganik saja (Hakim et al. 1986). Ismunadji et al. (1976) mengatakan bahwa kalium berperan dalam metabolisme air dalam tanaman, mempertahankan turgor, membentuk batang yang lebih kuat dan sangat berpengaruh terhadap hasil. Pengaruh
kekurangan
kalium
secara
keseluruhan
baik
terhadap
pertumbuhan maupun terhadap kualitasnya merupakan akibat pengaruhnya terhadap proses-proses fisiologis. Proses fotosintesis dapat berkurang bila
kandungan kaliumnya rendah dan pada saat respirasi bertambah besar. Hal ini akan menekan persediaan karbohidrat yang tentu akan mengurangi pertumbuhan tanaman. Peranan kalium dan hubungannya dengan kandungan air dalam tanaman adalah penting dalam mempertahankan turgor tanaman itu yang sangat diperlukan agar proses-proses fotosintesa dan proses-proses metabolisme lainnya dapat berkurang dengan baik (Leiwakabessy 2003).
2.2.6 Besi (Fe) Besi diambil oleh tanaman dalam bentuk ion ataupun dalam bentuk garamgaram komplek dan dapat juga diabsorpsi oleh daun apabila besi sulfat atau kompleks Fe-organik diberikan melalui daun. Walaupun Fe3+ dapat diabsorpsi oleh tanaman, tetapi dalam proses metabolisme ion Fe2+ yang aktif. Oleh sebab itu dapat terjadi bahwa walaupun kadar ion ferri banyak di dalam jaringan tanaman, gejala kekurangan besi dapat juga timbul. Fungsi khusus dari besi adalah mengaktifkan berbagai sistem enzim. Tetapi besi jarang sekali mempunyai kekhususan tertentu (Soepardi 1983).
Kekurangan besi akan melemahkan
mekanisme dari sistem produksi klorofil. Menurut Soepardi (1983), sebagian besar kloroplas dan besi sangat esensial dalam pembentukan klrofil. Kekurangan besi sering terjadi di tanah-tanah berkapur atau tanah alkali, tetapi juga dapat timbul di tanah-tanah asam apabila dilakukan pemupukan fosfat yang terlalu banyak. Gejala kekurangan mula-mula terlihat pada daun yang muda, karena tidak dapat ditranslokasikan dari bagian yang tua ke bagian meristem. Sebagai akibatnya pertumbuhan terhenti. Gejala ini mula-mula timbul sebagai khlorosis diantara tulang daun yang muda. Dalam keadaan yang lebih lanjut, gejala ini tersebar cepat ke seluruh helai daun sehingga warnanya menjadi putih (Leiwakabbessy 2003).
2.2.7 Mangan (Mn) Kadar normal mangan dalam tanaman berkisar antara 20 - 500 ppm. Kekurangan Mn biasanya terjadi bila kadarnya dalam bagian atas menjadi 15 - 25 ppm. Mangan diabsorpsi tanaman dalam bentuk ion mangan (Mn2+) dan juga dalam bentuk molekul senyawa kompleks organik. Bentuk-bentuk ini dapat juga
diserap melalui daun. Mangan merupakan bagian penting dari kloroplas dan turut dalam reaksi yang menghasilkan oksigen. Kekurangan unsur ini akan mempengaruhi susunan kloroplas. Kepekatan mangan dalam media tumbuh yang tinggi dapat menimbulkan kekurangan besi dalam tanaman (Soepardi 1983). Menurut Notohadiprawiro (1999), mangan tidak mobil dalam tanaman sehingga gejala defisiensinya muncul mula-mula pada bagian yang muda. Pada tahap pendahuluan, gejalanya berupa khlorosis diantara tulang-tulang daun. Pada tanah-tanah yang masam dimana biasanya kadar Mn-nya tinggi, tanaman akan keracunan. Daun-daun akan mengkerut ataupun timbul bercak-bercak karatan pada daun. Mn seperti halnya dengan unsur-unsur mikro yang lain dibutuhkan dalam jumlah yang kecil sedangkan dalam jumlah yang besar dapat menjadi racun. Cara mengatasinya biasanya dengan jalan pengapuran sampai pH 5,5.
2.2.8 Tembaga (Cu) Menurut Hakim et al. (1986), kadar normal Cu dalam jaringan berkisar antara 5-20 ppm. Defisiensi muncul bila kadarnya menjadi lebih kecil dari 4 ppm dalam bahan kering. Tembaga diambil tanaman dalam bentuk ion kupri (Cu2+) dan juga dalam bentuk molekul kompleks organik. Bentuk-bentuk ini dapat juga diambil melalui daun, sehingga untuk mengatasi kekurangan Cu biasanya dilakukan penyemprotan pada daun. Kekurangan Cu biasanya dijumpai di tanahtanah organosol, tetapi juga pada tanah-tanah berkapur dan berpasir kwarsa. Cu berfungsi sebagai aktifator untuk berbagai enzim dan membantu pembentukan nodule (tidak langsung). Sama halnya dengan Fe dan Mn, jumlah Cu yang harus ada di dalam tanaman harus dihubungkan dengan jumlah logamlogam berat yang lain. Hal ini mungkin lebih penting daripada jumlah absolutnya agar tanaman dapat berfungsi dengan baik (Leiwakabessy 2003).
2.2.9 Seng (Zn) Menurut Islami (1995), kadar normal dalam bahan kering berkisar antara 25-150 ppm. Kurang dari 25 ppm tanaman akan kekurangan Zn dan lebih dari 400 ppm akan keracunan. Seng diambil tanaman dalam bentuk Zn2+ tetapi juga dapat diambil dalam bentuk molekuler garam komplek organik. Pemberian garam-
garam Zn yang larut maupun Zn kompleks melalui daun merupakan cara yang sering ditempuh untuk mengatasi kekurangan Zn. Gejala pertama terlihat pada daun yang muda dimulai dengan khlorosis diantara tulang-tulang daun diikuti dengan berkurangnya laju pertumbuhan tunas dan dapat memberikan gejala roset untuk beberapa tanaman. Gejala-gejala yang umum yang terjadi pada tanaman antara lain (1) timbulnya daerah-daerah berwarna hijau muda diantara tulang-tulang daun terutama daun tua di bagian bawah, (2) ruas-ruas tanaman atau batang memendek sehingga daun-daunnya memberikan bentuk roset, (3) daun-daun menjadi kecil, sempit dan agak tebal, (4) Daun-daun lebih cepat gugur dan (5) pertumbuhan tertekan (Soepardi 1983) .
2.3 Persemaian Menurut Sutarno et al. (1997), persemaian adalah suatu tempat yang dipakai untuk menumbuhkan tumbuhan atau tanaman baik secara generatif (benih) maupun vegetatif (stek dan kultur jaringan) sehingga menjadi kecambah atau semai yang siap untuk dikembangkan menjadi bibit sebagai bahan perkembangbiakan. Bentuk fisik persemaian dapat berupa bangunan khusus yaitu laboratorium yang dilengkapi dengan rumah kaca, bangunan semi permanen dengan atap plastik atau rumbia, sampai pada hamparan lahan sederhana yang diatur sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan minimal untuk dipakai sebagai persemaian. Tujuan dari pembangunan persemaian adalah untuk memproduksi bibit yang nantinya akan digunakan untuk penanaman. Dengan demikian persemaian adalah bagian dari proses pembangunan hutan tanaman dan itu bukanlah bagian akhir proses. Oleh karena itu keberhasilan di persemaian belum merupakan jaminan untuk keberhasilan tanaman secara keseluruhan karena masih diperlukan tahapan-tahapan selanjutnya. Seperti halnya untuk semua jenis persemaian, maka aspek standar persyaratan teknis seperti ketersediaan air, ketepatan pemilihan lokasi, bedeng-bedeng dan sebagainya harus dipenuhi untuk mencapai hasil yang baik. Namun persyaratan teknis saja tidak cukup dan masih diperlukan pengetahuan dan pengalaman pengelola persemaian (Yasman dan Hernawan 2002).
Menurut Delvian (2008), keberhasilan pekerjaan pembibitan atau persemaian sangat tergantung pada banyak faktor, antara lain pemilihan lokasi persemaian, perencanaan dalam pengoperasiannya, pelaksanaan yang efisien, pengetahuan yang mendalam dalam pemupukan, dan pencegahan hama dan penyakit. Dalam praktek pengoperasian persemaian ternyata tidak ada lokasi yang sempurna, oleh karena itu perlu dicari pendekatan agar diperoleh lokasi persemaian yang dapat meminimalkan kekurangan-kekurangan tersebut. Lokasi persemaian yang berpengaruh terhadap efisiensi operasional juga akan menentukan sukses tidaknya seluruh simpul kegiatan penanaman dalam rehabilitasi. Oleh sebab itu persemaian yang dibangun untuk melayani kebutuhan bibit minimal memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) jenis yang akan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan, (2) jenis yang diusahakan tersebut pada saat permulaan musim penghujan baik jumlah maupun kualitasnya harus sudah siap dan (3) penyelengaraan persemaian dan pembibitan harus efisien (Delvian 2008). Menurut Yasman dan Hernawan (2002), lokasi persemaian sebaiknya ditetapkan menurut beberapa pertimbangan, diantaranya (a) lokasi, (b) sumber air, dimana air harus tersedia sepanjang tahun dengan kualitas yang baik (tidak tercemar bahan berbahaya) dan sumber air bisa berasal dari sungai, danau, rawa atau air tanah yang dipompa, (c) topografi, persemaian sebaiknya dibangun pada lahan datar, namun jika lahan yang tersedia miring, maka kemiringannya tidak lebih dari 5% sedangkan jika persemaian dibangun pada lahan dengan kemiringan lebih dari 5% maka harus dibuat teras bangku dan memerlukan biaya lebih mahal, (d) iklim dan ketinggian tempat, hal ini penting diperhatikan karena setiap jenis yang akan ditanam memerlukan persyaratan tumbuh tertentu sehubungan dengan iklim dan ketinggian tempat, dan (e) fasilitas listrik dan komunikasi, sarana ini diperlukan dalam produksi bibit maupun kegiatan administrasi, khususnya di persemaian permanen.
2.4 Kualitas Bibit Penyediaan bibit yang tepat waktu serta jumlah yang cukup merupakan salah satu faktor penentu dalam menunjang keberhasilan penanaman. Dalam
melaksanakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dengan menggunakan bibit yang bermutu sangat dianjurkan untuk memperoleh hasil tegakan yang optimal dan berkualitas. Mutu bibit yang dimaksudkan adalah bibit yang berasal dari benih atau materi yang bermutu genetik unggul, dan memenuhi standar mutu fisikfisiologi bibit yang terdiri dari tinggi, diameter batang, kekompakan media, dan jumlah daun. Selama ini mutu fisik-fisiologi bibit yang digunakan untuk rehabilitasi hutan dan lahan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan sangat bervariasi, sehingga dipandang perlu menetapkan standar mutu bibit untuk setiap jenis tanaman hutan (Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2007). Menurut Delvian (2008), bibit berkualitas dengan ketahanan hidup yang tinggi di lapangan dan pertumbuhan yang baik sangat penting dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Penggunaan bibit yang tidak lolos seleksi hanya akan menurunkan tingkat keberhasilan rehabilitasi mengingat kondisi hutan dan lahan yang direhabilitasi umumnya kurang mendukung bagi pertumbuhan tanaman. Banyak cara dapat dilakukan dalam upaya menghasilkan bibit berkualitas, mulai dari pemilihan benih, teknik pemeliharaan sampai dengan pemanfaatan mikroba tanah bermanfaat. Benih yang berkualitas tinggi akan mempengaruhi semai yang sehat dan memiliki kondisi pertumbuhan yang diharapkan. Pertumbuhan tersebut sangat dipengaruhi oleh materi genetik dasar semai (benih). Pertumbuhan dan kemampuan beradaptasi memang dipengaruhi oleh sumber benih alami yang sering dikenal dengan provenans. Pada dasarnya benih yang berasal dari sumber benih yang pernyebaran geografiknya cukup luas memiliki daya adaptasi yang lebih baik dan toleransinya terhadap fluktuasi lingkungan juga lebih besar. Adapun syarat umum kualitas bibit yaitu (a) bibit normal adalah bibit yang berbatang tunggal dan lurus, sehat dan pada pangkal batangnya sudah berkayu, (b) bibit abnormal yaitu bibit berbatang ganda atau berbatang lebih dari satu dan bibit yang tidak sehat yang terindikasi serangan hama dan penyakit dan atau terdapat gejala kekurangan nutrisi dan mati pucuk. Umur merupakan informasi penting pada saat pemeriksaan bibit, karena bibit yang akan disertifikasi harus memenuhi umur bibit minimal sesuai dengan jenis tanaman (Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2007).
2.5 Pemupukan Pohon memerlukan unsur hara dalam proses pertumbuhannya. Unsur hara yang diperlukan dalam jumlah banyak disebut hara makro yaitu Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Sulfur (S). Unsur hara yang diperlukan dalam jumlah sedikit disebut hara mikro yaitu Besi (Fe), Tembaga (Cu), Klorin (Cl), Mangan (Mn), Boron (B), Seng (Zn), dan Molibdenum (Mo). Pemupukan dilakukan apabila terjadi defisiensi hara pada pohon karena tumbuh pada tanah yang kritis, siklus nutrisi kurang baik, adanya pencucian oleh air hujan, dan tidak adanya cendawan mikoriza atau rhizobium. Waktu pemberian pupuk sebaiknya disesuaikan dengan perkembangan pohon seperti pupuk diberikan beberapa saat setelah penanaman, setelah penanaman sampai penutupan kanopi dan menunjukkan tanda-tanda defisiensi, saat awal penjarangan, dan 3-10 tahun sebelum rotasi tebang (Mansur et al. 2004). Pengertian klasifikasi pupuk dapat dilihat dari beberapa segi yaitu atas dasar pembentukannya yang terdiri dari pupuk alam dan pupuk buatan, atas dasar kandungan unsur hara yang dikandungnya yang terdiri dari pupuk tunggal dan pupuk majemuk, dan atas susunan kimiawi yang mempunyai hubungan penting dengan perubahan-perubahan di dalam tanah. Pupuk alam diantaranya terdiri dari pupuk kandang pupuk hijau, kompos dan guano (Marsono dan Sigit 2002). Sedangkan menurut Soepardi (1983), yang dimaksud dengan pupuk buatan adalah pupuk yang dibuat di pabrik-pabrik yang mengandung unsur hara tertentu, yang pada umumnya mempunyai kadar unsur hara tinggi. Pada umumnya terdapat tiga cara penggunaan pupuk, baik pupuk padat atau pupuk cair, yaitu ditaburkan secara merata di atas permukaan tanah, ditempatkan di dalam lubang atau secara larikan, dan diberikan melalui daun (dalam hal ini caranya dengan menyemprotkan larutan hara melalui daun). Metode mana yang lebih sesuai digunakan sangat tergantung pada jenis pupuk, jenis tanaman, dan tujuan penanaman. Penanaman tanaman pertanian atau kehutanan dapat menyebabkan hilangnya unsur hara esensial melalui panen, apalagi kalau diusahakan secara terus menerus. Oleh karena itu untuk mempertahankan keadaan tanah agar tetap mampu menyediakan unsur hara untuk pertumbuhan tanaman, penambahan unsur hara melalui pupuk menjadi bahan pertimbangan. Di dalam mempelajari masalah
kebutuhan pupuk untuk tanaman dapat dicapai dengan berbagai cara/pendekatan yaitu salah satu faktor yang membatasi produksi tanaman adalah hara yang terdapat relatif kurang di dalam tanah dan pupuk dapat digunakan untuk mendapatkan hara tanaman yang seimbang dalam keperluan tumbuh tanaman sehingga dicapai produksi yang optimal (Hakim et al. 1986).
2.6 Mikoriza Mikoriza pertama kali dikenal dan dinamai sebagai kombinasi simbiose fungi dengan akar pohon pada Fagus oleh ahli botani Jerman bernama Frank pada tahun 1885 (Marsono dan Soeseno 1987). Beberapa fungi menempati akar dan hidup di dalam ataupun di luar akar, mengambil tanaman dalam bentuk karbohidrat dari tanaman inang dan juga memperoleh hara mineral dari dalam tanah. Asosiasi fungi dengan akar tanaman ini disebut mikoriza (Islami dan Utomo 1995). Kemudian mikoriza diartikan sebagai asosiasi hifa fungi dengan organ-organ tanaman tingkat tinggi yang diperlukan untuk menyerap berbagai substrat dari dalam tanah (Harley dan Smith 1983). Secara fisiologi, asosiasi mikoriza merupakan salah satu contoh terbaik dalam keseimbangan alam (Islami dan Utomo 1995). Menurut Brundrett (2004), mikoriza adalah asosiasi simbiotik yang esensial untuk satu atau dua mitra, antara fungi (khususnya yang hidup dalam tanah dan tanaman) dan akar atau organ lain yang bersentuhan dengan substrat dari tanaman hidup, terutama bertugas untuk memindahkan hara. Mikoriza terdapat dalam organ tanaman spesifik dimana hubungan intimnya tercipta sebagai akibat perkembangan tanaman-fungi secara bersamaan. Kebanyakan mikoriza terdapat di dalam akar, yang kemudian berubah menjadi rumah bagi fungi (Brundrett 2004), namun
mikoriza juga dijumpai pada batang-batang
tanaman subterranean tertentu dan thallus dari briofita (Smith dan Read 1997). Fungsi dan perilaku mikoriza tergolong komplek. Asosiasi antara perakaran tumbuhan dan fungi biasanya meningkatkan pertumbuhan dan vigor tanaman inang. Hal ini karena gabungan faktor-faktor termasuk penambahan penyerapan hara, penyerapan air, kelarutan mineral, proteksi akar tanaman melawan patogen, produksi hormon pertumbuhan tanaman (Hacskaylo 1972).
Mikoriza
telah
diklasifikasikan
menjadi
tiga
kelompok
yaitu
Endomikoriza, Ektomikoriza dan Ektendomikoriza. Endomikoriza mempunyai infeksi hifa intraseluler. Jenis ini merupakan yang paling umum, terdapat pada banyak famili tumbuhan herba dan berkayu, termasuk seluruh anggota angiosperma. Kelompok terbesar Endomikoriza memiliki badan buah yang dibentuk pada akarnya yang disebut Vesikular Arbuskular (Islami dan Utomo 1995) dan sekarang mikoriza jenis ini disebut Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA). Arbuskula Ektomikoriza mempunyai infeksi hifa interseluler. Hifa jamur membentuk sarung atau mantel jaringan sempurna yang menutupi ujung anak akar (Marsono dan Soeseno 1987). Ektomikoriza tidak hanya memperoleh makanan yang diperlukan dari inang untuk pertumbuhannya tetapi juga mendapat perlindungan dan melepaskan diri dari persaingan mikroba dalam tanah (Islami dan Utomo 1995). Menurut Setiadi (1989), Ektendomikoriza mempunyai ciri-ciri antara ekto dan endo mikoriza, tetapi kepentingan ekologisnya lebih sedikit dibandingkan dengan kelas lain. Ektendomikoriza mempunyai penyebaran terbatas pada tanah-tanah hutan dan ditemukan pada pohon hutan yang secara normal membentuk ektomikoriza. Sangat sedikit cendawan yang diketahui dalam asosiasi ini karena terbatasnya hasil penelitian dan observasi. Pada dasarnya asosiasi mikoriza terbentuk sebagai hasil hubungan simbiosis mutualisme antara fungi pembentuk mikoriza dengan perakaran tanaman. Akar tanaman mengeluarkan cairan karbohidrat dan dimanfaatkan oleh fungi pembentuk mikoriza sebagai sumber energi. Fungi pembentuk mikoriza membantu penyerapan berbagai unsur hara dan air kepada akar yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Fakuara 1986).
2.7 Limbah Industri Agroindustri telah mengalami perkembangan yang pesat sehingga mampu berperan dalam perkembangan industri nasional. Peningkatan agroindustri akan diikuti dengan peningkatan limbah, sehingga upaya pengolahan limbah agar layak buang patut mendapat perhatian. Pendayagunaan limbah menjadi salah satu alternatif. Proses alternatif ini selain berguna untuk menanggulangi dampak negatif limbah, juga memberikan hasil samping bernilai ekonomis. Limbah hasil
proses industri terdiri atas dua jenis yaitu limbah cair dan limbah padat. Buangan proses penanganan limbah cair juga dapat langsung digunakan sebagai pupuk (Suhirman et al. 1993). Air limbah didefinisikan sebagai buangan cair yang berasal dari suatu lingkungan masyarakat dan lingkungan industri dimana komponen utamanya adalah air yang telah digunakan dan mengandung benda-benda padat yang terdiri dari zat-zat organik dan anorganik. Pencegahan pencemaran lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh air limbah dapat dilakukan dengan mengolah air limbah tersebut sehingga kandungan bahan pencemarnya masih dapat diterima lingkungan. Pengolahan air limbah secara biologis yang umum dikenal adalah pelumpuran aktif (activated sludge). Prinsip pengolahannya adalah dengan memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang dapat mendegradasi bahan-bahan pencemar tertentu yang terdapat dalam air limbah (Lolotan 1989). Industri pangan merupakan industri yang bersifat mengolah dan mengawetkan makanan dan minuman yang berasal dari hasil-hasil sektor pertanian dalam arti yang luas. Limbah industri pangan dapat menimbulkan masalah dalam penanganannya karena mengandung sejumlah besar karbohidrat, protein, lemak, garam-garam mineral dan sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan dan pembersihan. Pada umumnya limbah industri pangan tidak membahayakan kesehatan masyarakat, karena tidak terlibat langsung dalam perpindahan penyakit. Pengetahuan akan sifat-sifat limbah industri pangan sangat penting untuk mengembangkan suatu sistem pengolahan limbah yang telah berhasil diterapkan pada limbah pertanian, kecuali bila dimodifikasi terlebih dahulu. Pengetahuan mengenai sifat-sifat limbah akan sangat membantu dalam penetapan metode penanganan dan atau pembuangan limbah yang efektif. Limbah padat dengan kadar organik tinggi cocok untuk pembakaran atau pemupukan (Jenie dan Rahayu 1993).
Tabel 1 Jenis-jenis limbah dan metode penanganannya Limbah Metode penanganan dan pembuangan Cairan Limbah organik terlarut penganan biologik, penimbunan lahan Bahan anorganik terlarut penimbunan lahan, perlakuan fisik atau kimia Limbah organik sedimentasi penanganan biologik, presipitasi tersuspensi kimia, penimbunan lahan Bahan anorganik sedimentasi, penimbunan lahan, tersuspensi perlakuan kimia Padatan Limbah organik insinerasi, pupuk, penimbunan lahan, dehidrasi, organik kondisi tanah, pakan ternak Limbah anorganik penimbunan tanah Sumber: Loehr (1977) dalam Jenie dan Rahayu (1993)
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Desember 2008, bertempat di Rumah Kaca dan Laboratorium Silvukultur Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Alat dan Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih tanaman jabon yang diunduh dari pohon yang berlokasi di Fakultas Kehutanan IPB, media tanam (tanah, pasir dan kompos), polybag, gelas plastik, object glass, cover glass, aquades, KOH 2,5 % (teknis), asam cuka dapur, tinta tulis warna biru, aquades, sludge pabrik kopi, dan tissue. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pinset, pisau, bak plastik, oven, gelas ukur, mikroskop binokuler, mikroskop stereo, sprayer, saringan, timbangan, ember plastik, alat penyiram, neraca analitik, tabung film, pengaduk, mistar, kaliper, alat tulis, alat hitung, kamera dan tally sheet.
3.3 Pelaksanaan Penelitian 3.3.1 Perkecambahan Benih Jabon Pengunduhan buah jabon Proses pengunduhan dilakukan di lingkungan kampus Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor tepatnya pada pohon jabon yang terletak di belakang Ruang Auditorium Fakultas Kehutanan IPB. Pengunduhan buah jabon dilakukan pada bulan Juni dengan teknik pengambilan buah dari lantai hutan. Buah jabon yang diunduh adalah buah yang sudah masak atau yang telah berwarna kuning kecoklatan.
Ekstraksi biji jabon Proses ekstraksi dilakukan dengan dua cara yaitu teknik basah dan teknik kering. Teknik basah dilakukan dengan cara merendam buah yang telah masak di
dalam air selama ± 15 menit lalu dihancurkan sampai terpisah antara biji dan daging buahnya. Setelah itu air rendaman disaring dengan saringan santan kelapa dan hasil saringan dijemur sampai yang tersisa hanya biji jabon saja. Proses ekstraksi dengan teknik kering dilakukan dengan menjemur buah jabon yang telah masak di bawah sinar matahari langsung selama kurang lebih empat hari. Buah yang sudah kering akan berwarna hitam yang kemudian dipukul-pukul dengan kayu sampai biji dan daging buahnya terpisah. Setelah itu disaring dengan menggunakan saringan santan kelapa sampai didapatkan bijinya saja.
Penyiapan media perkecambahan Media perkecambahan biji jabon yang digunakan dalam penelitian ini hanya pasir. Pasir tidak disterilisasi tetapi dibersihkan dari kotoran-kotoran kemudian diayak dengan ayakan ukuran 4 x 4 mm. Media tersebut dimasukkan ke dalam bak kecambah dan disiram dengan air untuk meningkatkan kelembaban media perkecambahan.
Penaburan benih jabon Benih jabon yang telah diekstraksi ditaburkan ke dalam bak kecambah yang berupa bak plastik. Dalam penaburan benih jabon tidak terlalu diperhatikan jarak tanamnya dan dalam penaburan di atasnya dilapisi dengan pasir halus karena mengingat benih jabon yang terlalu kecil atau halus. Penyiraman benih jabon dilakukan 2 kali sehari yaitu di pagi dan sore hari menggunakan sprayer agar media tetap lembab. Untuk mengendalikan penyakit pada benih jabon seperti dumping off, diberikan larutan pestisida jenis Benstar dengan konsentrasi 20% setiap 1 minggu sekali dengan cara disemprotkan dengan sprayer. Selain itu juga dilakukan pembersihan dari gulma dan perbaikan posisi polybag.
3.3.2 Penyapihan Penyiapan media sapih Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah, pasir dan kompos bokashi dengan perbandingan 7:2:1. Tanah tersebut tidak disterilkan
tetapi cukup dibersihkan dari kotoran-kotoran seperti daun, akar, dan ranting kering kemudian dikering udarakan dan diayak dengan ayakan. Pasir juga tidak disterilkan tetapi cukup diayak dengan ayakan saja. Tanah dan pasir yang digunakan berasal dari Cangkurawok. Tanah, pasir dan kompos bokashi kemudian dicampur dan dimasukkan dalam polybag ukuran 10x15 cm.
Penyapihan Kecambah yang disapih adalah kecambah yang telah memiliki dua daun pertama dan tingginya mencapai 2 cm. Kecambah dimasukkan ke dalam polybag yang telah berisi media sapih.
3.3.3 Pemberian sludge pabrik kopi Sludge pabrik kopi sebanyak 1, 2 dan 3 gram dimasukkan ke dalam polybag pada saat penyapihan. Sludge kopi
Gambar 1 Sketsa pemberian sludge pabrik kopi 3.3.4 Pemeliharaan Seluruh semai jabon diletakkan di dalam rumah kaca selama tiga bulan. Penyiraman benih jabon dilakukan 2 kali sehari yaitu di pagi dan sore hari menggunakan sprayer agar media tetap lembab. Untuk mengendalikan penyakit pada benih jabon seperti dumping off, diberikan larutan pestisida jenis Benstar dengan konsentrasi 20% setiap 1 minggu sekali dengan cara disemprotkan menggunakan sprayer. Selain itu juga dilakukan pembersihan dari gulma dan perbaikan posisi polybag.
3.4 Pengamatan dan Pengambilan Data Parameter yang diukur adalah tinggi semai, diameter semai, berat kering tanaman, nisbah pucuk akar, indeks kualitas semai, persen infeksi akar, jumlah daun, luas permukaan daun, jumlah ruas dan panjang ruas.
3.4.1
Tinggi Semai Pengukuran tinggi semai dilakukan setelah penyapihan, selanjutnya tiap dua
minggu hingga semai jabon berumur 3 bulan setelah tanam. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar mulai dari pangkal batang hingga titik tumbuh pucuk semai.
3.4.2
Diameter Semai Pengukuran diameter semai dilakukan dengan menggunakan kaliper,
diukur pada ketinggian 1 cm di atas pangkal batang. Pengukuran dilakukan dua kali, yaitu setelah penyapihan dan semai jabon berumur 3 bulan setelah tanam.
3.4.3
Bobot Kering Tanaman Pengukuran dilakukan pada akhir pengamatan. Sampel tanaman dipotong,
bagian pucuk dan akarnya dibungkus kertas secara terpisah, kemudian dioven pada suhu 70 C selama 72 jam. Setelah tercapai bobot kering yang konstan dilakukan
penimbangan
dengan
timbangan
elektrik
Ohaus.
Dari
hasil
penimbangan didapat data bobot kering pucuk dan bobot kering akar.
3.4.4
Nisbah Pucuk Akar Nisbah pucuk akar ditentukan dengan membandingkan bobot kering pucuk
semai dengan bobot kering akar semai.
3.4.5
Indeks Kualitas Semai Semai hasil uji coba dihitung kualitas semainya dengan menggunakan
formulasi Soller (Santoso 2006), dengan rumus: Bobot Kering Total Semai (g) Indeks Kualitas semai = Tinggi Semai (cm) + Bobot Kering Pucuk (g) Diameter Semai(cm) Bobot Kering Akar (g)
3.4.6
Persen Infeksi Akar Persen Infeksi FMA merupakan parameter untuk melihat efektivitas
mikoriza tanah dalam menginfeksi akar. Persen infeksi akar diukur dengan metoda Vierheilig et al. (1998) yang dimodifikasi, yaitu dengan cara sebagai berikut : 1. Contoh akar dicuci dengan air bersih untuk menghilangkan semua kotoran yang menempel dan melepaskan semua miselium eksternal cendawan. 2. Bagian akar muda (serabut) diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan direndam dalam larutan KOH 2,5% (teknis), dibiarkan selama semalam atau sampai akar berwarna kuning bersih. 3. Setelah akar berwarna kuning bersih kemudian larutan KOH 2,5% dibuang dan akar dibilas dengan air sampai bersih. 4. Akar bersih kemudian direndam dalam larutan tinta asam atau larutan staining 5 % (400 ml cuka dicampur dengan aquadest 2000 ml dan ditambahkan 120 ml tinta Parker warna biru) selama semalam. 5. Larutan staining dibuang dan diganti dengan larutan destaining (larutan staining tanpa tinta Parker biru sebanyak ± 5 tetes) dan dibiarkan semalam. 6. Akar kemudian dipotong-potong sepanjang ± 1 cm, lalu disusun pada gelas objek (1 gelas objek untuk 10 potong akar), setiap 5 potong akar ditutup dengan cover slip, selanjutnya diamati dengan mikroskop. 7. Jumlah akar yang terinfeksi FMA dari 10 potong akar tersebut dicatat. Penampakan struktur hifa internal, spora, vesikula, dan arbuskula merupakan suatu indikasi bahwa contoh akar tersebut telah terinfeksi oleh FMA. 8. Persen akar terinfeksi dihitung berdasarkan rumus : Akar Terinfeksi (%) =
Bidang Pandang Akar Terinfeksi Bidang Pandang Akar yang Diamati
x 100%
3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 4 perlakuan yang diulang sebanyak 10 kali dan setiap ulangan perlakuan terdiri dari 5 semai. Dengan demikian terdapat 200 semai yang ditanam. Kompos yang digunakan adalah pupuk bokashi yang dibuat dari kotoran sapi dan rumput-rumputan. Tanah dan pasir yang digunakan berasal dari daerah Cangkurawok. Kombinasi perlakuan yang diujicobakan ialah : K = Tanah + pasir + bokashi (kontrol) A = Tanah + pasir + bokashi + 1 gram sludge pabrik kopi B = Tanah + pasir + bokashi + 2 gram sludge pabrik kopi C = Tanah + pasir + bokashi + 3 gram sludge pabrik kopi Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap peubah yang diamati, dilakukan analisis keragaman yang diperoleh dari pengolahan data dengan menggunakan program SPSS. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang berbeda dalam masing-masing perlakuan dilakukan Uji Berganda Duncan pada taraf kepercayaan 95 %. Yij == µµ ++ ττii ++ εεijij Yij Dimana : i
= 1, 2, 3, ..., t dan j = 1, 2, 3,..., r
Yij = Pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j µ = Rataan umum τi = Pengaruh perlakuan ke-i εij = Pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pertambahan tinggi, pertambahan diameter, jumlah daun, luas daun, berat kering akar (BKA), berat kering pucuk (BKP), berat kering total (BKT), nisbah pucuk akar (NPA), indeks kualitas semai, persen infeksi akar, jumlah ruas dan panjang ruas. Untuk mengetahui respon pengaruh pemberian ampas kopi terhadap parameter tanaman, maka dilakukan analisis sidik ragam. Untuk mengetahui adanya pengaruh yang berbeda dalam masing-masing perlakuan maka dilakukan Uji Berganda Duncan. Hasil analisa sidik ragam untuk parameter yang diukur disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pengaruh pemberian sludge pabrik kopi terhadap parameter semai jabon Parameter F hitung Pertambahan Tinggi 3.18 * Pertambahan Diameter 7.97 * Berat Kering Tanaman 1.23 ns Berat Kering Pucuk 1.23 ns Berat Kering Akar 0.12 ns Nisbah Pucuk Akar 4.41 * Indeks Kualitas Semai 0.29 ns Persen Infeksi Akar 0.42 ns Jumlah Daun 1.35 ns Luas Permukaan Daun 1.31 ns Jumlah Ruas 2.87 ns Panjang Ruas 3.48 * Keterangan : ns = berpengaruh tidak nyata, * = berpengaruh nyata (p<0,05)
4.1.1 Hasil Perkecambahan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, biji jabon mulai berkecambah kurang lebih 2 minggu setelah penaburan di bak kecambah. Kecambah jabon dipelihara sampai berumur 2 bulan atau sampai kecambah memiliki 4 daun dengan tinggi yang mencapai 2 cm. Jika kecambah jabon sudah memiliki kriteria ini maka sudah siap untuk dilakukan penyapihan. Penyapihan dilakukan dalam satu hari agar waktu pengamatannya dapat diseragamkan. Selama masa pengamatan dilakukan tindakan pemeliharaan seperti penyemprotan
kecambah dengan Benstar setiap satu minggu sekali, pembersihan dari gulma dan melakukan perbaikan posisi polybag. 4.1.2 Pertambahan Tinggi Dari hasil analisis sidik ragam (Tabel 2), dapat diketahui bahwa perlakuan pemberian sludge kopi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi semai jabon. Untuk mengetahui jenis perlakuan yang berbeda nyata pada perlakuan pemberian sludge kopi maka dilakukan Uji Berganda Duncan (Tabel 3). Tabel 3 Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap pertumbuhan tinggi semai jabon Rata-rata tinggi semai Peningkatan Terhadap Perlakuan jabon Kontrol(%) b Sludge kopi 1 gram 20,39 12,96 Sludge kopi 2 gram 20,22b 12,02 b Sludge kopi 3 gram 20,77 15,06 Kontrol 18,05a 0,00 Keterangan : huruf sama di belakang angka menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Hasil Uji Berganda Duncan pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian sludge pabrik kopi 1 gram, 2 gram dan 3 gram berpengaruh nyata terhadap kontrol. Jika dilihat secara statistik, pemberian sludge pabrik kopi dalam berbagai dosis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada setiap perlakuannya. Namun jika dilihat berdasarkan perhitungan rata-rata, pemberian sludge kopi dengan berbagai dosis dapat meningkatkan tinggi rata-rata semai. Riap tinggi menunjukan perubahan tinggi semai yang didapat dari perhitungan selisih tinggi semai akhir pengamatan dengan tinggi semai awal pengamatan.
Gambar 2 Semai jabon umur 13 minggu setelah tanam (MST), berturut-turut dari kiri ke kanan a (sludge kopi 1 gram), b (sludge kopi 2 gram), c (sludge kopi 3 gram), k (kontrol).
Dari Gambar 2 dapat dilihat, perbedaan tinggi antara semai yang diberikan sludge kopi 1 gram, sludge kopi 2 gram, dan sludge kopi 3 gram tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kontrol. 25
tinggi (cm)
20
A
15
B C 10
K
5
0 h0
mst1
mst3
mst5
mst7
mst9
mst11
mst13
Gambar 3 Grafik pertumbuhan tinggi semai jabon berdasarkan minggu setelah tanam (MST), a (sludge kopi 1 gram), b (sludge kopi 2 gram), c c c (sludge kopi 3 gram), k (kontrol). Berdasarkan parameter pertambahan tinggi di atas, peningkatan yang signifikan terjadi pada saat minggu ke-3 sampai minggu ke-7 (Gambar 3). Di duga pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7 pengaruh pemberian sludge kopi berada pada titik maksimal. 4.1.3 Pertambahan Diameter Dari hasil pengamatan pada minggu ke-13, pemberian sludge pabrik kopi pada media tanam dengan dosis yang berbeda dapat memberikan pengaruh yang nyata pada pertambahan diameter semai. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 2) diketahui Fhit sebesar 7,97 pada selang kepercayaan 95% sehingga perlu dilakukan Uji Berganda Duncan (Tabel 4). Tabel 4 Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap pertumbuhan diameter semai jabon Rata-rata diameter Peningkatan Terhadap Perlakuan semai jabon Kontrol (%) Sludge kopi 1 gram 0,36b 5,88 a Sludge kopi 2 gram 0,30 -11,76 Sludge kopi 3 gram 0,35b 2,94 Kontrol 0,34b 0,00 Keterangan : huruf sama di belakang angka menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Hasil Uji Berganda Duncan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa pemberian sludge kopi pada media tanam dengan dosis 1 gram dan 3 gram memperlihatkan pengaruh yang tidak nyata terhadap kontrol walaupun dengan pemberian pada dosis 3 gram mampu meningkatkan riap diameter semai. Sedangkan pada pemberian sludge kopi 2 gram memberikan respon yang tidak lebih baik dari kontrol yaitu sebesar 11,76%.
4.1.4 Berat Kering Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2, pemberian sludge kopi dengan dosis yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata pada berat kering akar, berat kering pucuk dan berat kering total semai jabon. Pengukuran berat kering total dilakukan pada semai jabon dengan memisahkan antara bagian pucuk dan akar tanaman. Bagian pucuk dan akar kemudian dioven pada suhu 70oC selama 72 jam. Hasil pengukuran berat kering akar, berat kering pucuk dan berat kering total disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil perhitungan rata-rata pada parameter berat kering akar, berat kering pucuk dan berat kering total Perlakuan BKA BKP BKT Sludge kopi 1 gram 1.52 2.25 3.77 Sludge kopi 2 gram 2.01 2.18 4.19 Sludge kopi 3 gram 1.17 2.39 3.56 Kontrol 1.54 2.29 3.83 Keterangan : BKA=Berat Kering Akar, BKP=Berat Kering Pucuk, BKT=Berat kering Total
4.1.5 Nisbah Pucuk Akar Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 2) dapat diketahui bahwa pemberian sludge kopi dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai Nisbah Pucuk Akar (NPA) semai jabon. Untuk melihat jenis perlakuan yang berbeda nyata pada pemberian sludge kopi maka dilakukan Uji Berganda Duncan (Tabel 6). Tabel 6 Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap nilai NPA semai jabon Perlakuan Rata-rata nilai NPA semai jabon Sludge kopi 1 gram 1,5 a Sludge kopi 2 gram 1,5a Sludge kopi 3 gram 2,2b Kontrol 1,6a
Keterangan : huruf sama di belakang angka menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Nisbah pucuk akar (NPA) menggambarkan perbandingan antara kemampuan penyerapan air dan mineral dengan proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari suatu tanaman. Nilai NPA tertinggi sebesar 2,2 pada perlakuan pemberian sludge kopi 3 gram. Pemberian sludge kopi 2 gram menghasilkan nilai NPA minimum sebesar 1,5. Nilai NPA dapat menunjukan bahwa perbandingan antara penyerapan air dan mineral dengan proses transpirasi dan luasan fotosintesis memberikan hasil yang positif pada pertumuhan semai jabon.
4.1.6 Indeks Kualitas Semai Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 2), pemberian sludge kopi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kontrol pada parameter indeks kualitas semai. Rata-rata indeks kualitas semai untuk semua perlakuan adalah 0,078. Tabel 7 Perhitungan rata-rata pada parameter indeks kualitas semai Perlakuan Indeks Kualitas Semai (IKS) Sludge kopi 1 gram 0.078 Sludge kopi 2 gram 0.075 Sludge kopi 3 gram 0.072 Kontrol 0.086 4.1.7 Persen Infeksi Akar Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 2), pemberian sludge pabrik kopi pada media tanam tidak berbeda nyata dibandingkan kontrol pada parameter persen infeksi akar. Akar yang terinfeksi mikoriza ditandai dengan adanya struktur hifa, vesikula, arbuskula atau salah satu diantaranya (Gambar 5). Ratarata infeksi spora untuk semua perlakuan adalah 42%. Dari gambar 4 terlihat adanya kecenderungan peningkatan persentase infeksi pada akar akibat pemberian sludge pabrik kopi 2 gram dan 3 gram.
Dddf
fffff fffffffff
48 46
Infeksi Akar (%)
46
44
44 42 40
39
39
K
A
38 36 34 B
C
Perlakuan
Gambar 4 Grafik persen infeksi akar pada 13 MST, a (sludge kopi 1 gram), b (sludge kopi 2 gram), c (sludge kopi 3 gram), k (kontrol).
Vesikel
Hifa
Gambar 5 Hasil Pengamatan Infeksi Akar.
4.1.8 Jumlah Daun dan Luas Permukaan Daun Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Tabel 2), pemberian sludge kopi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kontrol baik pada parameter jumlah daun maupun parameter luas permukaan daun. Jumlah daun dihitung pada akhir pengamatan dan dianalisis berdasarkan rata-rata jumlah daun setiap perlakuan. Luas permukaan daun juga dihitung pada akhir pengamatan dan dianalisis berdasarkan luas permukaan daun dari setiap perlakuan yang dilakukan bersamaan dengan perhitungan jumlah daun. Rata-rata jumlah daun untuk semua perlakuan adalah 9 helai daun sedangkan rata-rata luas permukaan daun untuk semua perlakuan adalah 461 cm2.
Tabel 8 Perhitungan rata-rata pada parameter jumlah daun dan luas permukaan daun Perlakuan Jumlah Daun Luas Permukaan Daun (cm2) Sludge kopi 1 gram 9 430 Sludge kopi 2 gram 9 423 Sludge kopi 3 gram 8 473 Kontrol 10 519 4.1.9 Jumlah Ruas Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2, perlakuan pemberian sludge kopi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada parameter jumlah ruas untuk semua perlakuan. Jumlah ruas dihitung pada akhir pengamatan dan dianalisis berdasarkan rata-rata jumlah ruas pada setiap perlakuan. Rata-rata jumlah ruas untuk semua perlakuan adalah 5,25 atau sebanyak 5 ruas. Tabel 9 Perhitungan rata-rata pada parameter jumlah ruas Perlakuan Jumlah Ruas Sludge kopi 1 gram 5 Sludge kopi 2 gram 5 Sludge kopi 3 gram 5 Kontrol 6 4.1.10 Panjang Ruas Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2 dapat diketahui bahwa pemberian sludge kopi dapat memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang ruas semai jabon. Untuk mengetahui jenis perlakuan yang berbeda nyata pada pemberian sludge kopi maka dilakukan Uji Berganda Duncan (Tabel 10). Tabel 10 Hasil Uji Berganda Duncan pada pengaruh pemberian sludge kopi terhadap panjang ruas semai jabon Rata-rata panjang ruas Peningkatan Terhadap Perlakuan semai jabon Kontrol(%) Sludge kopi 1 gram 19,43ab 7,65 b Sludge kopi 2 gram 20,15 11,63 b Sludge kopi 3 gram 19,89 10,19 Kontrol 18,05a 0,00 Keterangan : huruf sama di belakang angka menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%
Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa pemberian sludge kopi secara umum dapat meningkatkan panjang ruas semai jabon dibanding kontrol. Pemberian sludge kopi 2 gram dapat meningkatkan rerata panjang ruas sebesar 20,15 cm atau
selisih 11,63% terhadap kontrol. Panjang ruas terendah terjadi pada pemberian sludge kopi 1 gram yaitu 19,43 cm dengan peningkatan sebesar 7,65% dari kontrol.
4.1.11 Analisis Sludge kopi Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanah, sludge kopi memiliki kandungan C-organik sebesar 11,79 dan kandungan C/N sebesar 16. Kedua unsur ini membantu dalam perombakan bahan organik dan sangat penting bagi mikroorganisme dalam tanah untuk menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Darliana 2009)dsadkiakikdaiksiaksiaskiakaiasaisisi. Tabel 11 Hasil analisis sludge kopi oleh Balai Penelitian Tanah pH
Kadar
Pengabuan
H2O
Air
C-Organik
(1:5)
6,0
76,45
11,79
N
Total C/N
Organik
NH4
NO3
Total
0,74
0,09
0,01
0,84
16
P2O5
K2O
Fe
Mn
Cu
Zn
0,05
0,03
463
6
8
21
4.2 Pembahasan Berdasarkan analisis sidik ragam pada Tabel 2, pemberian sludge kopi memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap pengaruh pertumbuhan semai jabon. Secara umum semua perlakuan dapat memberikan pengaruh pertumbuhan dan kualitas bibit jabon menjadi lebih baik hanya saja pengaruh dari pertumbuhannya berbeda-beda dari setiap perlakuan yang diberikan. Pupuk adalah semua bahan yang diberikan kepada tanah dengan maksud memperbaiki sifat-sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Dari hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian sludge kopi memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan parameter tinggi, diameter, nisbah pucuk akar dan panjang ruas. Peningkatan parameter pertumbuhan tanaman tersebut dapat disebabkan oleh peranan bokashi dan sludge kopi dalam membantu penyediaan hara. Berdasarkan hasil analisa Balai Penelitian tanah, sludge kopi memiliki kandungan C-organik sebesar 11,79 dan kandungan C/N sebesar 16. Kedua unsur ini membantu dalam perombakan bahan organik dan sangat penting bagi mikroorganisme dalam tanah untuk menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman (Darliana 2009). Selain
itu, tingginya nilai unsur mikro besi (Fe) dapat berperan dalam pembentukan klorofil sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung lebih optimal. Faktor pemberian sludge kopi 3 gram memberikan respon yang secara signifikan lebih baik dibandingkan dengan kontrol untuk pertumbuhan tinggi semai jabon dengan rata-rata tinggi 20,77 cm dan peningkatan terhadap kontrol sebesar 15,06% (Tabel 3). Data tersebut menunjukkan bahwa pemberian sludge kopi sebanyak 3 gram efektif untuk dapat meningkatkan rata-rata pertumbuhan tinggi semai jabon. Pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman yang paling sederhana untuk dilakukan adalah pada parameter tinggi karena tinggi merupakan indikator pertumbuhan atau parameter yang digunakan untuk mengetahui pengaruh lingkungan atau pun perlakuan yang diberikan. Pertambahan tinggi tanaman mulai meningkat tajam pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7 (Gambar 3). Hal ini dapat terjadi karena pengaruh pemberian sludge kopi berada pada titik maksimal di minggu ke-3 sampai minggu ke-7. Setelah minggu ke-7, pertumbuhan tinggi semai mulai berjalan lambat. Hal ini diduga karena pada minggu tersebut, penyediaan hara atau makanan oleh sludge kopi sudah terbatas karena telah banyak diserap oleh tanaman atau mengalami proses pencucian melalui kegiatan penyiraman sehingga respon pertumbuhannya tidak signifikan lagi. Hal lain yang menyebabkan meningkatnya tinggi tanaman pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7 yaitu karena pada minggu ke-3 sampai minggu ke-7, tajuk semai mulai tumbuh rimbun sehingga terjadi proses etiolasi yang merupakan respon tanaman untuk mendapatkan cahaya matahari karena sebagian semai tertutup oleh tajuk semai lainnya. Peristiwa ini didukung oleh pernyataan Sitompul dan Guritno (1995) yang menyatakan bahwa sebagai parameter pengukur pengaruh lingkungan, tinggi tanaman sensitif terhadap faktor cahaya. Rata-rata tinggi semai jabon pada minggu ke-13, dari yang paling rendah adalah pemberian sludge kopi 2 gram, pemberian sludge kopi 1 gram dan pemberian sludge kopi 3 gram. Semai jabon yang diberi sludge kopi 1 gram mengalami rata-rata pertambahan diameter sebesar 0,36 cm dan mengalami peningkatan terhadap kontrol sebesar 5,88%. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sludge kopi
dengan dosis terendah dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan radial. Menurut Latifah (2004), diameter merupakan salah satu dimensi pohon yang paling sering digunakan sebagai parameter pertumbuhan. Pertumbuhan diameter dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi fotosintesis. Pertumbuhan diameter berlangsung apabila keperluan hasil fotosintesis untuk respirasi, penggantian daun, pertumbuhan akar dan tinggi telah terpenuhi. Selain itu, pertambahan diameter dapat dipengaruhi juga oleh jarak tanam atau pengaturan peletakan posisi polybag. Pemberian jarak antar polybag yang sesuai dapat memberi ruang tumbuh yang lebih besar dan pengambilan cahaya matahari dapat berlangsung optimal sehingga pertambahan diameter dapat terjadi maksimal. Pada pemberian sludge kopi 2 gram, analisis sidik ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata hanya saja pertambahan diameternya tidak lebih baik jika dibandingkan kontrol. Pemberian sludge kopi 2 gram hanya memberikan rata-rata diameter semai sebesar 0,30 cm dengan selisih 11,76% terhadap kontrol. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan semai yang tidak diberi perlakuan (kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sludge kopi 1 gram sudah dapat memenuhi kebutuhan unsur hara yang diperlukan tanaman untuk meningkatkan pertambahan diameter di akhir pengamatan. Pada pemberian sludge kopi 2 gram yang nilai rata-rata diameter semainya tidak lebih baik dari kontrol diduga terjadi karena pemberian yang berlebihan. Menurut Marsono dan Sigit (2002), dosis pemupukan yang berlebihan dapat memberi dampak negatif pada tanah dan lingkungan dan akan menjadi tidak menguntungkan bagi tanaman. Konsentrasi unsur-unsur hara dalam media tanam haruslah optimum agar pertumbuhan tanaman mencapai maksimum. Dalam penelitian ini, pemberian sludge kopi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap berat kering tanaman (Tabel 2). Berat kering total tanaman (BKT) merupakan suatu indikator untuk menentukan baik tidaknya suatu tanaman. BKT diperoleh dari jumlah bobot kering pucuk dan bobot kering akar. Menurut Ningsih (2007), BKT yang besar berarti menunjukkan adanya perkembangan sel-sel jaringan yang berhubungan dengan proses fotosintesis. Proses fotosintesis yang berjalan baik dan menghasilkan karbohidrat yang lebih banyak, dapat meningkatkan berat kering total tanamannya. Dari penelitian ini,
perlakuan yang diberikan tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap parameter berat kering akar, berat kering pucuk dan berat kering tanaman. Nisbah Pucuk Akar (NPA) merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman karena menggambarkan perbandingan antara kemampuan tanaman dalam menyerap air dan mineral melalui proses transpirasi dan luasan fotosintesis dari tanaman (Mestika 2007). NPA yang seimbang merupakan ciri pertumbuhan yang normal. NPA yang tinggi dengan biomassa total yang besar menunjukkan bahwa akar sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman akan air dan unsur hara. Dalam penelitian ini, pemberian sludge kopi memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai NPA. Pemberian sludge kopi 3 gram dapat meningkatkan rata-rata nilai NPA semai jabon sebesar 2,2. Nilai ini menunjukkan bahwa dengan dosis 3 gram, lebih banyak hasil fotosintesis yang dikirim ke bagian pucuk untuk pertumbuhan. Sedangkan pemberian sludge kopi 2 gram meningkatkan rerata nilai NPA sebesar 1,5. NPA dapat juga dijadikan sebagai indikator kesuburan tanah sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian sludge kopi 3 gram dapat menyuburkan media tanam dan meningkatkan penyerapan air dan hara oleh semai tetapi untuk hasil fotosintesis yang dihasilkan belum berpengaruh nyata. NPA berbeda dengan berat kering tanaman yang merupakan indikator seberapa besar pertambahan yang nyata dari hasil fotosintesis yang dilakukan. Menurut Bedah dan Yenni (2005), Hasil perhitungan NPA pada tanaman yang bermikoriza akan memiliki NPA yang tidak terlalu kecil atau terlalu besar jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukkan adanya keseimbangan antara proses transpirasi dengan proses penyerapan air pada tanaman. Hasil tersebut menunjukkan kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mestika (2007) dan Ramadani (2008), dimana nilai NPA pada tanaman yang bermikoriza tidak terlalu besar atau terlalu kecil jika dibandingkan kontrol. Menurut Duryea dan Brown (1984) dalam Uyun (2006), nilai NPA yang baik berkisar antara 1-3 dengan nilai yang terbaik adalah nilai yang mendekati minimum. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian sludge kopi 2 gram dapat memberikan nilai NPA yang lebih baik bagi pertumbuhan semai jabon. Pemberian sludge kopi ternyata belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter Indeks Kualitas Semai (IKS). IKS merupakan salah satu
indikator dalam menentukan pertumbuhan dan kualitas bibit di lapangan. Agar semai dapat bertahan hidup di lapangan, maka semai harus memiliki tinggi, diameter dan perakaran yang kuat. Berdasarkan Roller dalam Soedarmono yang dikutip oleh Santoso (2006), semai yang tumbuh baik untuk ditanam di lapangan adalah semai yang memiliki indeks kualitas semai 0,09. Dari penelitian ini, nilai indeks kualitas semai yang paling tinggi adalah pada kontrol sebesar 0,086. Jika dilihat dari baku standar kualitas semai, bibit jabon yang dihasilkan dari penelitian ini dengan umur 3 bulan masih belum memenuhi syarat untuk dapat tumbuh baik di lapangan. Hal ini di duga karena ukuran polybag yang digunakan terlalu kecil sehingga jumlah media tanam tidak mampu memberikan hara yang cukup untuk pertumbuhan semai jabon. Selain itu, faktor umur semai yang masih 3 bulan juga mempengaruhi kekokohan tanaman untuk hidup di lapangan. Respon perlakuan yang diberikan terhadap parameter pertumbuhan berkaitan dengan adanya infeksi mikoriza pada akar tanaman secara alami. Pengamatan terhadap infeksi mikoriza ditentukan berdasarkan persentase infeksi mikoriza pada akar semai jabon. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam pada Tabel 2, pemberian sludge kopi tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap persentase infeksi mikoriza yang tumbuh secara alami pada akar semai. Namun secara umum, semai yang diberi sludge kopi memiliki persen infeksi oleh mikoriza yang tumbuh alami yang lebih baik jika dibandingkan kontrol. Tetapi dalam penelitian ini, pernyataan tersebut tidak dapat dibuktikan secara statistik. Dalam penelitian ini, mikoriza yang menginfeksi akar semai jabon tidak diketahui jenisnya karena mikoriza yang menginfeksi adalah mikoriza yang berkembang secara alami tanpa adanya penambahan inokulum. Menurut Schmidt (2002), FMA membentuk vesikula dan arbuskula dalam sel akar. Vesikula merupakan organ penyimpan dan juga sebagai struktur reproduktif dengan struktur menggelembung sedangkan arbuskula berfungsi dalam pertukaran hara. Pengamatan daun dapat didasarkan atas fungsinya sebagai penerima cahaya dan alat fotosintesis. Atas dasar ini, luas daun akan menjadi pilihan parameter utama karena laju fotosintesis per satuan tanaman pada kebanyakan kasus ditentukan sebagian besar oleh luas daun sehingga kemampuan fotosintesis tanaman dapat diketahui (Sitompul dan Guritno 1995). Pada parameter jumlah
daun, pemberian sludge kopi dengan berbagai dosis tidak memberikan pengaruh yang nyata. Jumlah daun pada kontrol lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah daun yang diberi perlakuan (Tabel 8). Rata-rata jumlah daun di 13 MST untuk semua perlakuan dan kontrol adalah 9 helai daun. Penelitian Mashudi et al. (2009) pada tanaman pulai dengan perlakuan dosis pupuk NPK juga tidak memberikan hasil yang berpengaruh nyata pada parameter jumah daun dan tanaman kontrol memiliki jumlah daun terbanyak. Pemberian sludge kopi juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter luas permukaan daun. Luas permukaan daun pada kontrol lebih luas jika dibandingkan dengan luas permukaan daun yang diberi perlakuan (Tabel 8). Parameter jumlah daun dan luas permukaan tidak berpengaruh nyata pada semai diduga karena dalam perhitungan jumlah daun tidak disertai daun yang telah gugur mulai dari awal pengamatan sampai akhir pengamatan. Parameter jumlah daun berkaitan dengan parameter luas permukaan daun dan berat kering tanaman yang juga menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata pada semai. Jumlah daun yang relatif sedikit dan luas daun yang tidak terlalu besar berpengaruh pada terbatasnya jumlah klorofil sehingga intensitas fotosintesis menjadi lebih rendah. Dalam penelitian ini, perhitungan jumlah daun dan luas permukaan daun dilakukan pada akhir pengamatan yaitu pada minggu ke 13 setelah tanam. Respon perlakuan yang diberikan terhadap parameter jumlah ruas ternyata tidak memberikan hasil yang berpengaruh nyata terhadap kontrol (Tabel 2). Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah ruas pada kontrol lebih banyak jika dibandingkan semai yang diberi perlakuan. Hal ini diduga diakibatkan oleh tata letak semai pada perlakuan kontrol tidak mendapatkan cahaya yang cukup akibat penutupan tajuk yang mulai rimbun sehingga terjadi proses etiolasi yang mengakibatkan perbanyakan pembentukan ruas pada batang. Dalam penelitian ini, semai kontrol memiliki jumlah ruas paling banyak yang juga diikuti oleh parameter luas permukaan daun pada kontrol. Menurut Sitompul dan Guritno (1995), tanaman yang kurang mendapatkan cahaya, dalam jangka panjang akan menambah luas daun atau tebal daun untuk meningkatkan intersepsi cahaya. Pada parameter panjang ruas batang, pemberian sludge kopi ternyata mampu memberikan pengaruh yang nyata. Pemberian sludge kopi sebanyak 2 gram mampu
meningkatkan rata-rata panjang ruas batang sebesar 20,15 cm atau lebih panjang 11,63% dari kontrol. Peningkatan panjang ruas batang berkaitan dengan tinggi dan nilai Nisbah Pucuk Akar (NPA) tanaman yang juga menunjukkan hasil yang signifikan pada perlakuan dengan pemberian sludge kopi 2 gram dan 3 gram. Jika dilihat dari parameter tinggi, perlakuan dengan pemberian sludge kopi 3 gram menunjukkan hasil yang cenderung meningkat hanya saja belum signifikan jika dibandingkan dengan perlakuan pemberian sludge kopi 1 gram dan 2 gram. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis sludge kopi masih perlu ditingkatkan untuk mendapatkan dosis yang terbaik sehingga respon tanaman juga dapat meningkat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pengamatan, hasil analisa dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara umum pemberian sludge pabrik kopi dapat meningkatkan pertumbuhan semai jabon di persemaian sehingga diharapkan dapat menjadi bekal kepada semai jabon untuk ditanam di lapangan. 2. Pemberian sludge
kopi cenderung meningkatkan persen infeksi akar
semai jabon oleh Fungi Mikoriza Arbuskula yang tumbuh secara alami. 5.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati pengaruh perlakuan terhadap jabon setelah ditanam di lapangan. 2. Perlu optimasi dosis sludge kopi untuk memperoleh hasil yang lebih baik dan mengkombinasikannya dengan FMA.
DAFTAR PUSTAKA Anonim.h2008.dAnthocephalusfcadamba.fhttp://www.plantamor.com/spcdetail. php?recid=109. [22 Oktober 2008]. Balai Teknologi Perbenihan. 2001. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia. Jilid II. Bogor: Balai Penelitian Kehutanan, Departemen Kehutanan. Bedah R, Yenni B. 2005. Kolonisasi dan efektivitas sejumlah galur cendawan mikoriza arbuskular terhadap berbagai tanaman pangan dengan pola tanam tumpang sari. Malang: Perhimpunan Bioteknologi Pertanian Indonesia. Brundrett M. 2004. Diversity and clasification of mycorrhizal association. Jurnal of Biology. Rev. 79:473-495. Darliana. 2009. Pengaruh Jenis Bokashi Terhadap Bobot Isi, C-Organik, Dan KTK Tanah, Serta Hasil Daun Teh Pada Andosols Asal Gambung.http://www.t4tkipa.org/penelitian%20jabonku/literatur%20pene litian/corganik.htm. [11 Juli 2009]. Delvian. 2008. Upaya peningkatan kualitas bibit dalam kegiatan rehabilitasi lahan kritis. http://www. bpk-aeknauli.org/ %20semai%202.htm. [3 Maret 2009]. [Dirjen Rehabilitasi dan Reboisasi Lahan]. Petunjuk Teknis Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan. Jakarta: Departemen Kehutanan. Eviati. 2008. Laporan Hasil Analisis Contoh Pupuk. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Fakuara Y. 1986. Mikoriza, Teori dan Kegunaan Dalam Praktek. Bogor: Pusat Antar Universitas dan LSI IPB. Habibi P, Suwardji. 2005. Mencari indikator cepat untuk menilai perubahan kualitas lahan di bawah tegakan wanatani (agroforestry) lahan kering marjinal. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Mataram: Universitas Mataram. Hacskaylo E. 1972. Mycorrhizae, The Ultimate In Reciprocal Parasitism. Bio. Science. 22: 577-583. Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Diha MA, Hong GB, Bailey HH. 1986. Diktat Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Hapsari JS. 2001. Pemanfaatan kompos daun jati (Tectona grandis Linn f.) dan mikorhiza untuk pembibitan jati (Tectona grandis Linn f.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Bogor: Akademika Pressindo. Harley JL, Smith SE. 1983. Mycorrhizal symbiosis. London: Academic Press Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I. Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya. Ismed. 2000. Pengaruh jenis wadah simpan dan ruang simpan terhadap viabilitas benih jabon (Anthocephalus cadamba Roxb. Miq) dalam penyimpanan. [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Jakarta:Universitas Nasional. Islami T, Utomo WH. 1995. Hubungan Tanah, Air dan Tanaman. Semarang: IKIP Semarang Press. Ismunadji M, Partohardjono S, Satsijati. 1976. Peranan kalium dalam peningkatan produksi tanaman pangan. Buletin Lembaga Pusat Penelitian Pertanian. Edisi Khusus No 2, Th. 1976:1-9. Jenie BSL, Rahayu WP. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Yogyakarta: Kanisius. Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: ANDI OFFSET. Kuswanto. 1990. Teknologi produksi inokulan ektomikoriza dan peranan miokoriza di kehutanan. Di dalam: Hardiyanto EB, editor. Prosiding Seminar Bioteknologi Hutan. Yogyakarta, 12-13 Februari 1990. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. hlm 128-146. Latifah S. 2004. Pertumbuhan dan hasil tegakan Eucalyptus grandis di hutan tanaman industri. http://library.usu.ac.id/download/fp/hutan-siti9.pdf. [14 Juli 2009]. Leiwakabessy FM, Wahjudin UM, Suwarno. 2003. Diktat Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Bogor: IPB. Lembaga Biologi Nasional LIPI. 1980. Kayu Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Lolotan AR. 1989. Sistem pengendalian limbah cair pada kawasan industri. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Bogor: IPB. Mandang YI, Pandit IKN. 2002. Training Manual Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Bogor: Yayasan PROSEA. Mansur I, Budi SW, Siregar IZ. 2004. Diktat Silvikultur. Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB: Bogor.
Marsono dan Sigit P. 2002. Pupuk Akar Jenis & Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Marsono D, Soesono OH. 1987. Prinsip-prinsip Silvikultur. Edisi kedua. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Martawijaya A., Kartasujana, Kadir K. dan Prawira SA. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid II. Bogor: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan.. Marwan. 2006. Produksi spora CMA Glomus etunicatum dengan menggunakan bahan alami sumber fosfat dan pengaturan kadar air. [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor: IPB. Mashudi, Adinugraha HA, Setiadi D, Ariani AF. 2009. Pertumbuhan tunas tanaman pulai pada beberapa tinggi pangkasan dan dosis pupuk NPK. http://www.biotifor.or.id/index.php?action=publikasi.gendown&akt [15 Juli 2009]. Mestika R. 2007. Penggunaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) dan vermikompos untuk meningkatkan pertumbuhan stek pucuk jati muna (Tectona grandis Linn f.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor: IPB. Ningsih EW. 2007. Penggunaan fungi mikoriza arbuskula (FMA) Glomus etunicatum dan vermikompos untuk meningkatkan pertumbuhan semai jati muna (Tectona grandis Linn.f). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor: IPB. Notohadiprawiro T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pratiwi. 2003. Prospek pohon jabon untuk pengembangan hutan tanaman. Buletin Badan Litbang Kehutanan. Vol.4 No.1, Th. 2003:61-66. Ramadani H. 2008. Formulasi inokulum mikoriza arbuskula (FMA) dan vermikompos dalam meningkatkan kualitas bibit jati muna (Tectona grandis Linn f.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor: IPB. Sahirman S, Sa’id EG, Tjiptadi W, Basith A. 1993. Potensi limbah cair agroindustri untuk produksi bio gas. Di dalam: Bintoro HMH dan Lumbanbatu DF, editor. Seminar Nasional Penanganan Limbah Industri Tekstil dan Limbah Organik. Bogor, 17 November 1993. Bogor: Persada Cabang Bogor. Santoso B. 2006. Produktivitas dan kualitas benih jati Muna. Di dalam: Mahfudz, Nirsatmanto A, Fauzi MA, editor. Prosiding Pertemuan Forum Komunikasi Jati V. Yogyakarta, 12 April 2006. Yogyakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Hlm 49-53. Schmidt L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis 2000. Penerjemah : Jakarta: Direktorat Jendral RLPS, Departemen Kehutanan; 2002. Terjemahan dari : Guide to Handling of Tropical and subTropical Forest Seed. Setiadi Y. 1989. Pemanfaatan Mikroorganisme dalam Kehutanan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Setiadi Y, Mansur I, Budi SW, Achmad. 1992. Mikrobiologi Tanah Hutan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Sinaga
S. 2009. Kelinci dan produksi unggulannya.. http://blogs.unpad.ac.id/SaulandSinaga/?p=64. [13 Juli 2009].
Sitompul SM dan Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Smith SE, Read DJ. 1997. Mycorrhizal Symbiosis. 2nd. San Diego: Academic Press. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Bogor: IPB Press. Soerianegara I dan Lemmens. 1994. Plant Resources of South-East Asia 5. Bogor: Prosea. Suhirman S, Sa’id EG, Tjiptadi W. Basith A. 1993. Potensi Limbah Cair Agroindustri untuk Produksi Gas Bio. Di dalam: Bintoro HMH, Lumbanbatu DF, editor. Seminar Nasional Penanganan Limbah Industri Tekstil dan Limbah Organik. Bogor: Program Studi Teknologi Industri Pertanian, FPS. Institut Pertanian Bogor. Sutarno H, Hidayati N, Roemantyo, Purba SS, Utami NW, Suwarya N. 1997. Training Manual Teknik Produksi Bibit Pohon Hutan. Bogor: Prosea. Sutisna U, Kalima T, Purnadjaja. 1998. Training Manual Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Bogor: Prosea. [Team Fakultas Kehutanan]. 1975. Potensi Produksi benih Berbagai Jenis Pohon Untuk Reboisasi di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jendral Kehutanan. Uyun YS. 2006. Penggunaan Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) untuk meningkatkan pertumbuhan semai jati (Tectona grandis Linn. F) pada
limbah media tumbuh jamur tiram (Pleurotus sp.). [Skripsi]. Fakultas Kehutanan. Bogor: IPB. Yasman I dan Hernawan. 2002. Manual Persemaian Dipterocarpaceae. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Vierheilig H, Coughlan AP, Wyss U, Piche Y. 1998. Ink and Vinegar, a simple staining technique for arbuscular-mycorrhizal fungi. Apllied and Environmental Microbiology 64:5004-5007.
Lampiran 1 Hasil pengukuran tinggi semai jabon Perlakuan Ulangan Kontrol 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata Sludge kopi 1 gram
Rata-rata Sludge kopi 2 gram
Rata-rata Sludge kopi 3 gram
Rata-rata
h0 1.48 1.12 1.36 1.32 1.66 1.16 1.58 1.38 1.48
h13 19.26 17.16 22.46 21.08 20.94 19.48 15.4 21.24 18.74
Riap 17.78 16.04 21.1 19.76 19.28 18.32 13.82 19.86 17.26
10
1.58
18.74
17.16
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1.12 1.64 1.36 1.22 1.46 1.66 1.36 1.66 1.34 1.5
21.6 21.22 26.66 22.58 20.68 22.9 22 18.72 21.16 20.74
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 1.16 1.56 1.16 1.54 1.46 1.06 1.12 1.08 1.08
25.84 19.08 21.28 19.54 20.52 22.82 24.28 23.08 19.54 18.48
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1.04 1.4 1.22 1.32 1.62 1.26 1.06 1.54 1.48 1.42
21.78 23.34 20.22 26.02 19.1 22.8 22.44 21.9 21.94 21.36
18.04 20.48 19.58 25.3 21.36 19.22 21.24 20.64 17.06 19.82 19.24 20.39 24.84 17.92 19.72 18.38 18.98 21.36 23.22 21.96 18.46 17.4 20.22 20.74 21.94 19 24.7 17.48 21.54 21.38 20.36 20.46 19.94 20.75
Lampiran 2 Hasil pengukuran pertumbuhan diameter semai jabon Perlakuan Ulangan h0 Kontrol 1 0.18 2 0.03 3 0.02 4 0.06 5 0.15 6 0.15 7 0.02 8 0.03 9 0.04 10 0.04 Rata-rata Sludge kopi 1 gram 1 0.04 2 0.05 3 0.03 4 0.17 5 0.02 6 0.01 7 0.04 8 0.01 9 0.17 10 0.04 Rata-rata Sludge kopi 2 gram 1 0.05 2 0.16 3 0.16 4 0.07 5 0.17 6 0.05 7 0.03 8 0.18 9 0.03 10 0.19 Rata-rata Sludge kopi 3 gram 1 0.01 2 0.04 3 0.03 4 0.01 5 0.18 6 0.03 7 0.03 8 0.01 9 0.02 10 0.15 Rata-rata
h13 0.50 0.33 0.30 0.38 0.41 0.41 0.38 0.44 0.37 0.40 0.46 0.40 0.42 0.44 0.40 0.40 0.52 0.36 0.34 0.38 0.50 0.35 0.35 0.40 0.35 0.45 0.42 0.37 0.33 0.30 0.37 0.40 0.34 0.50 0.44 0.46 0.37 0.30 0.50 0.49
Riap 0.32 0.3 0.28 0.32 0.26 0.26 0.36 0.41 0.33 0.36 0.32 0.42 0.35 0.39 0.27 0.38 0.39 0.48 0.35 0.17 0.34 0.354 0.45 0.19 0.19 0.33 0.18 0.4 0.39 0.19 0.3 0.11 0.273 0.36 0.36 0.31 0.49 0.26 0.43 0.34 0.29 0.48 0.34 0.366
Lampiran 3 Hasil pengamatan berat kering akar Perlakuan a b 1 2.29 0.63 2 1.56 1.12 3 1.00 2.11 4 1.99 0.74 5 1.39 5.16 6 1.08 1.68 7 1.63 5.16 8 1.75 1.70 9 0.74 1.19 10 1.76 0.63 Rata-rata 1.52 2.01
c 1.14 0.97 0.98 1.47 1.19 2.11 0.53 0.34 1.00 2.01 1.17
k 1.66 0.78 1.16 1.47 0.90 1.93 2.01 0.99 2.13 2.35 1.54
Lampiran 4 Hasil pengamatan berat kering pucuk Perlakuan a b 1 2.65 1.48 2 2.12 1.91 3 1.13 1.62 4 2.56 1.59 5 2.17 3.34 6 1.90 2.90 7 3.68 3.34 8 2.60 2.72 9 1.39 2.00 10 2.32 0.91 Rata-rata 2.25 2.18
c 1.93 2.09 2.52 3.03 3.11 2.93 1.18 1.24 2.35 3.47 2.39
k 3.85 1.27 1.67 2.10 2.01 2.72 2.27 2.36 2.79 1.87 2.29
Lampiran 5 Hasil pengamatan berat kering tanaman Perlakuan a b c 1 4.94 2.11 3.07 2 3.68 3.03 3.06 3 2.13 3.73 3.50 4 4.55 2.33 4.50 5 3.56 8.50 4.30 6 2.97 4.58 5.04 7 5.31 8.50 1.71 8 4.35 4.42 1.58 9 2.12 3.19 3.35 10 4.08 1.54 5.48 Rata-rata 3.77 4.19 3.56
k 5.51 2.05 2.83 3.57 2.91 4.65 4.28 3.35 4.92 4.22 3.83
Lampiran 6 Hasil pengamatan nisbah pucuk akar Perlakuan a b 1 0.55 0.68 2 1.15 1.24 3 2.17 0.84 4 0.50 1.00 5 4.36 1.32 6 0.80 1.09 7 9.68 0.27 8 4.94 0.35 9 1.19 0.47 10 0.32 0.86 Rata-rata 2.57 0.81
c 1.70 2.15 2.59 2.07 2.63 1.39 2.21 3.59 2.35 1.73 2.24
k 2.32 1.63 1.44 1.43 2.24 1.41 1.13 2.39 1.31 0.80 1.61
Lampiran 7 Hasil pengamatan indeks kualitas semai Perlakuan a b c 1 0.10 0.03 0.05 2 0.07 0.05 0.06 3 0.04 0.07 0.07 4 0.09 0.06 0.09 5 0.06 0.15 0.09 6 0.06 0.09 0.12 7 0.12 0.16 0.02 8 0.09 0.05 0.02 9 0.04 0.07 0.08 10 0.11 0.02 0.12 Rata-rata 0.08 0.08 0.07
k 0.14 0.04 0.05 0.07 0.05 0.11 0.13 0.07 0.11 0.09 0.09
Lampiran 8 Hasil pengamatan persen infeksi akar Perlakuan a b c 1 28 48 24 2 56 60 52 3 26 12 54 4 64 10 32 5 56 58 48 6 14 44 50 7 28 40 44 8 34 32 58 9 34 76 54 10 52 62 42 Rata-rata 39.20 44.20 45.80
k 40 40 50 66 18 30 22 52 12 58 38.80
Lampiran 9 Hasil pengamatan jumlah daun Perlakuan a b 1 7 6 2 12 11 3 8 7 4 9 7 5 10 10 6 8 13 7 9 12 8 11 8 9 9 10 10 10 8 Rata-rata 9 9
c 10 8 9 9 8 8 6 11 5 10 8
k 11 11 11 9 8 10 8 10 11 11 10
Lampiran 10 Hasil pengamatan luas permukaan daun Perlakuan a b c 1 317 325 398 2 540 446 393 3 261 282 477 4 492 386 580 5 441 346 568 6 405 613 531 7 631 597 301 8 536 511 342 9 275 496 454 10 400 224 686 Rata-rata 430 423 473
k 773 329 432 469 547 590 510 559 520 456 519
Lampiran 11 Hasil pengamatan jumlah ruas Perlakuan a b 1 4 5 2 5 5 3 5 5 4 6 5 5 5 6 6 5 6 7 5 5 8 5 6 9 5 5 10 6 6 Rata-rata 5 5
c 5 4 5 6 4 5 5 5 6 6 5
k 6 6 5 6 6 5 7 6 5 6 6
Lampiran 12 Hasil pengamatan panjang ruas Perlakuan a b 1 20 20.7 2 16.8 18.5 3 19.3 17.6 4 20.4 20.2 5 20.5 18.8 6 18.5 20.8 7 20.6 24.4 8 17.4 19.4 9 19.7 19.3 10 21.1 21.8 Rata-rata 19 20 Lampiran 13 Denah rancangan acak percobaan K1a K1a C10e A5a K8e K5d A9d C2e B5d K2c A4c B3b C9b C9c B8c A6d A10a A6e A4d B1d A10b A8e K5a C3c K4b A8c A10e B6b C8b K5c A1a C10d A3d A3c C5d K1b K7c C1a A2b K5b K7e C7d C4d K9e C9a A1c C1b B1c A9a A1e K10b A10c A7b C3a A3a C4b K9d B9a A6a K5e K9a C1c C4a K8b A3e K9c B2a A2d C2c B5e K7d C4e C6d K3e B3e C8a K3c A7c A3b K7b K6b A5e B5b B5a K8a K9b C5c A4a B4e B9c B8b B3c K10d B3a K1e K10e B3d B7c C6c B6c A10d B8a B10b C8c C9d A8b C5b C8d K1d B6d K2b B10c B4d K6e B2e K4a B2c C10b C9e B9e Keterangan : A = Sludge kopi 1 gram B = Sludge kopi 2 gram C = Sludge kopi 3 gram K = Kontrol
c 21.4 20.4 19.2 22 19.4 17.6 18.8 18.9 19.6 21.6 20
K7a B10e C10c A8d K2d K10c K2e A1b C1e A5b K6a A9c A9b C7c A9e B10d
k 17.8 17.8 19.2 19.7 20.9 16.4 17.2 18.1 16.2 17.2 18
K4c K8c K4d B7a C5a A2a B4c A7d A4e A7a B7e C2d K6c C6a B4b A5d
K3a B2d A8a B5c K6d A2c B1e C3d A6c B8e A1d B8d A2e A4b K1c K3d
K4e K10a B1a C8e K3b K2a C7b B4a K8d C10a B7b A7e B6e B2b B1b C5e
C1d C6e A5c B10a A6b C3e B9b C3b C7a C6b C2b C2a B7d C7e C4c B9d
Lampiran 14 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan tinggi Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 45.038 15.013 3.18 Galat 36 170.022 4.723 Total 39 215.059 Lampiran 15 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap pertumbuhan diameter Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 0.0193475 0.0064492 7.97 Galat 36 0.0291300 0.0008092 Total 39 0.0484775 Lampiran 16 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap berat kering akar Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 3.5681 1.1894 1.23 Galat 36 34.6903 0.9636 Total 39 38.2584 Lampiran 17 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap berat kering pucuk Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 0.2182 0.0727 0.12 Galat 36 21.0698 0.5853 Total 39 21.2880 Lampiran 18 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap berat kering tanaman Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 3.5681 1.1894 1.23 Galat 36 34.6903 0.9636 Total 39 38.2584 Lampiran 19 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap nisbah pucuk akara Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 3.8457 1.2819 4.41 Galat 36 10.4530 0.2904 Total 39 14.2987 Lampiran 20 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap indeks kualitas semaia Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 0.001163 0.000388 0.29 Galat 36 0.047586 0.001322 Total 39 0.048749 Lampiran 21 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap persen infeksi akar Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 373.6 124.5 0.42 Galat 36 10562.4 293.4 Total 39 10936.0
P-value 0.036
P-value 0.000
P-value 0.311
P-value 0.945
P-value 0.311
P-value 0.010
P-value 0.830
P-value 0.737
Lampiran 22 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap jumlah daun Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Perlakuan 3 12.875 4.292 Galat 36 114.100 3.169 Total 39 126.975
Fhit 1.35
Lampiran 23 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap luas permukaan daun Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Fhit Perlakuan 3 58982 19661 1.31 Galat 36 541455 15040 Total 39 600437 Lampiran 24 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap jumlah ruas a Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Perlakuan 3 3.3000 1.1000 Galat 36 13.8000 0.3833 Total 39 17.1000 Lampiran 25 Sidik ragam pada pengaruh perlakuan terhadap panjang ruas Sumber Db Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Perlakuan 3 26.244 8.748 Galat 36 90.420 2.512 Total 39 116.664
P-value 0.272
P-value 0.287
Fhit 2.87
P-value 0.050
Fhit 3.48
P-value 0.026