Jurnal Mina Laut Indonesia
Vol. 03 No. 12 Sep 2013
(132– 146)
ISSN : 2303-3959
Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dengan Kelimpahan Plankton di Perairan Mangrove Teluk Moramo Production and Decomposition Rate of Mangrove Litter and Plankton Abundance in Mangrove Area of Moramo Bay Sa’ban,*) Muh. Ramli, **) dan Wa Nurgaya***) Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi Tridarma Anduonohu Kendari 93232 E-mail: *
[email protected], **
[email protected], ***
[email protected].
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove serta untuk mengetahui kelimpahan plankton. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2010 di Perairan Teluk Moramo, Desa Landipo Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe selatan, Sulawesi Tenggara. Pengambilan sampel untuk analisis vegetasi mangrove menggunakan metode plot transek garis. Hasil penellitian pengukuran parameter lingkungan perairan fisika-kimia diperoleh kisaran yaitu suhu 28-30 0C, salinitas 29-31%0, pH 7-8. hasil penelitian produksi serasah mangrove di dua lokasi yaitu Tanjung Tiram pada stasiun I dengan rata-rata 6,17 g/m2/bln, stasiun II dengan rata-rata 30,385 g/m2/bln, rata-rata serasah berkisar antara 32,48 -37,94 g/m2/bln, di Tanjung Tiram adalah 36,277 g/m2/bln; dan lokasi Muara Beroro stasiun I dengan rata-rata 79,285 g/m2/bln, stasiun II rata-rata 55,495 g/m2/bln, di Muara Beroro adalah 67,37 g/m2/bln; laju dekomposisi di dua lokasi yaitu Muara Beroro hari ke-15 (6,728 g) 32,72%, hari ke-30 (4,148 g) 58,51%, hari ke-45 2,877 g (71,23%), hari ke-60 (1,654 g) 83,46%, hari ke-75 (0,162 g) 98,38% dan lokasi Tanjung Tiram hari ke-15 (7,218 g) 27,82%, hari ke-30 (5,217 g) 47,83%, hari ke-45 (3,503 g) 64,97%, hari ke-60 (1,822 g) 81,78%, hari ke-75 (0,744 g) 92,56%; kelimpahan plankton stasiun I (2219 ind/l) 28%, stasiun II (3201 ind/l) 40%. Kata Kunci : Produksi, serasah mangrove, Teluk Moramo
Abstract Production and decomposition rate of mangrove litter and the abundance of plankton were investigated for 2 months from June to July 2010 in located in Moramo Bay, Landipo, Moramo South Konawe, Southeast Sulawesi. Plot transect line was selected to sample mangrove vegetation. Results showed that several physicochemical water parameters were in tolerable range (temperature: 28-300C, salinity: 29-31 ppt, and pH: 7-8). Mangrove litter production was measured in two different sites, they were Tiram cape and Beroro estuary, and every site was devided into 2 stations. In Tiram cape, the average of litter production in station I and II was 6.17 g/m2/month, and 30.385 g/m2/month respectively, with the range production of 32.48-37.94 g/m2/month. The overall average in the site was 36.277 g/m2/month. Meanwhile, it was recorded in Beroro estuary that the average mangrove litter production in station I and II was 79.285 g/m 2/month and 55.495 g/m2/month with the overall average was 67.37 g/m2/month. Decomposition rate in Beroro estuary in day15 (6.728 g) was 32.72%, day 30 (4.148 g) was 58.51%,day 45 (2.877 g) was 71.23%, day 60 (1.654 g) was 83.46%, and day 75 (0.162 g) was 98.97%, while in Tiram cape in day 15 (7.218 g) was 27.82%, in day 30 (5.217 g) was 47.83%, in day 45 (3.503 g) was 64.97%, in day 60 (1.822 g) was 81.78%, in day 75 (0.74 g) was 92.56%, plankton abudance in station I an in stasion II was (2219 individuals/L) 28%, and 40% respectively. Keyword : Production, mangrove litter, Moramo Bay
Pendahuluan Produksi serasah hutan mangrove di Indonesia diduga sekitar 40,40 sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora mucronata produksi serasah bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Hutan mangrove melalui produktifitas serasah di Indonesia sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun (Sukardjo, 2002). Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Daun mangrove merupakan bagian terbesar dari produksi primer serasah dan menyediakan makanan bagi konsumen serta mempunyai kontribusi penting bagi rantai makanan di wilayah pesisir melalui daun yang mati dan gugur (Ananda et al. 2007; Berg and McClaugherty, 2008) menyatakan guguran daun diartikan sebagai penurunan bobot yang disebabkan oleh beberapa parameter fisika-kimia yang disebabkan oleh kondisi lingkungan seperti 132
suhu, embun/kelembaban, ketersediaan nutrien menurut (Graca et al. 2005) Ada beberapa jenis dari serasah mangrove. Lebih dari setengah jumlah serasah terdiri dari daun dan biasanya daun yang telah tua (berwarna kuning) (Wafar, 1996), menyatakan selama satu tahun mangrove dapat memproduksi 800-1000 g bobot kering serasah per m2 (Nielsen and Andersen, 2003), menyatakan mangrove mempunyai pengembalian serasah yang tinggi. Kurang dari sepersepuluh dari daun mangrove dikonsumsi langsung menurut (Bosire et al, 2004) ini dapat meningkatkan pentingnya pengetahuan aliran energi yang dihasilkan dari serasah daun mangrove. Teluk Moramo memiliki kawasan ekosistem mangrove dan merupakan daerah pengembangan budidaya laut dan tambak yang berada di Kabupaten Konawe Selatan. Total luasan hutan mangrove yang terdapat di Teluk Moramo sekitar 494,475 ha dengan tingkat kesuburan 70% (Halili, 2007). Vegetasi yang dominan di Teluk Moramo adalah Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba merupakan bagian dari pantai Moramo yang menghadap ke arah selatan. Potensi lainnya yang ada di perairan Teluk Moramo berupa rumput laut dari jenis Eucheuma sp. Menyadari pentingnya peranan produksi serasah terhadap ekosistem perairan pantai dan terbatasnya informasi yang ada khususnya di Teluk Moramo, maka perlu dilakukan penaksiran jumlah produksi serasah mangrove di Teluk Moramo, mengingat di sekitar wilayah ekosistem mangrove ini terdapat budidaya tambak dan budidaya laut yang potensial untuk ditingkatkan. Mangrove sebagai salah satu produsen pada kehidupan perairan telah memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap biota perairan, salah satunya sebagai penyuplai unsur hara untuk pertumbuhan plankton. Unsur hara yang dimaksud berupa daun-daun kering, patahan-patahan ranting yang kemudian mengalami dekomposisi serasah yang mengalami mineralisasi dan menghasilkan hara nantinya dimanfaatkan oleh plankton sebagai bahan dalam proses fotosintesis. Teluk Moramo sebagai salah satu daerah pertumbuhan mangrove juga diduga telah memberikan suplay serasah yang cukup banyak bagi kehidupan organisme perairan, terutama bagi plankton. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang produksi serasah yang dihasilkan hutan mangrove di pesisir Teluk Moramo. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui produksi dan laju dekomposisi Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
serasah mangrove serta kelimpahan plankton di Teluk Moramo. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Teluk Moramo, Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Penelitian berlangsung selama 2 bulan, yaitu pada bulan Juni sampai Juli 2010. Alat dan bahan yang digunakan dalam Tali raffia, perangkap serasah modifikasi, Plankton net, thermometer, pH meter, Hand refraktometer, timbangan elektrik, oven listrik. Penelitian ini dimulai dengan melakukan kegiatan survei pendahuluan untuk mengetahui gambaran umum lokasi penelitian baik berupa kondisi fisik lokasi maupun jenis vegetasi mangrove di Teluk Moramo. Hal ini dilakukan agar dalam penentuan stasiun penelitian dapat mewakili kondisi fisik dan jenis vegetasi mangrove di Teluk Moramo. Berdasarkan hasil survei pendahuluan di Teluk Moramo, maka ditetapkan 2 stasiun penelitian yaitu Stasiun I terletak di Tanjung Tiram dimana lokasi ini didominasi oleh vegetasi mangrove jenis Sonneratia Alba, dan Stasiun II terletak di Muara Sungai Beroro dimana lokasi ini didominasi oleh vegetasi mangrove jenis Rhyzopora. Penetapan lokasi berdasarkan perbedaan jenis vegetasi mangrove dimaksudkan agar dapat menelusuri sumber detritusnya, mulai dari produksi serasah mangrove dan kandungan energi yang terkandung pada kedua jenis vegetasi mangrove tersebut. Data yang dikumpulkan selama penelitian di lapangan terdiri dari jenis vegetasi mangrove, serasah mangrove, kualitas air, dan plankton. Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan Transect Line Plots dengan ukuran transek 10x10m untuk kategori pohon (Bengen, 2001). Vegetasi mangrove tiap petak pengamatan diidentifikasi, kemudian dihitung jumlah individunya untuk tiap kategori pohon. Pengambilan data kualitas air diperoleh dengan melakukan sampling dan pengambilan contoh air pada masing-masing stasiun penelitian. Parameter kualitas air yang diukur di lapangan meliputi suhu, pH, dan salinitas. Pengambilan data plankton diambil pada setiap stasiun menggunakan plankton net dengan ukuran mesh size 0,0535µm. Cara pengambilannya adalah dengan menyaring air sebanyak 50 liter dalam plankton net. Hasil penyaringannya dimasukan botol sampel kemudian diberi 3 tetes lugol. Selanjutnya 133
dimasukkan dan disimpan dalam cool box untuk dianalisis di Laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Haluoleo Kendari. Pengumpulan serasah ini menggunakan perangkap serasah yang terbuat dari net dengan mesh size 1,50x1,50mm. sedangkan ukuran perangkap serasah adalah 100x100 cm (Brown, 2003). Perangkap serasah ditempatkan pada petak pengamatan dibawah tegakan pohon mangrove, perangkap serasah diletakkan pada setiap stasiun sebanyak 3 unit. Serasah yang masuk ke dalam perangkap dipisahkan berdasarkan komponen daun, bunga, buah, ranting atau dahan dan bagian lainnya yang tidak dapat dikenal pasti “miscellaneous” (Proctor, 2005), kemudian serasah yang telah dipisahkan menurut komponen dikeringkan dalam oven pada suhu 700C dalam waktu 48 jam atau sampai serasah betul-betul kering, kemudian ditimbang bobotnya dengan ketelitian alat 0,05g. Menghitung laju dekomposisi serasah yakni dengan meletakkan serasah daun sebanyak 10g ke dalam kantong serasah (litter-bag) berukuran 20x30cm yang terbuat dari nilon dengan mesh size 2 mm. Setelah itu kantongkantong diikatkan pada akar atau pangkal batang vegetasi mangrove agar tidak hanyut atau hilang terbawa arus pasang surut. Serasah yang di ambil sebanyak 2 kantong dari masing-masing stasiun setelah 15 hari, 30 hari, 45 hari, 60 hari dan 75 hari. Waktu pengamatan ini didasarkan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan bahwa proses dekomposisi serasah telah terjadi antara 7-15 hari. Adapun dekomposisi total untuk daun, diketahui, yakni 60-75 hari di Tanjung Api-api oleh (Ulqodry, 2008). Serasah yang tersisa dalam kantong dibersihkan dari lumpur yang masih melekat, selanjutnya dikeringkan lagi dalam oven pada suhu 700C selama 4 hari atau sampai beratnya tetap. Berat yang digunakan untuk mengetahui laju dekomposisi adalah bobot rata-rata dari kedua kantong yang diukur. Analisis Data a. Kerapatan jenis menurut Bengen, (2002) k = ni/a dimana: K = Kerapatan jenis-I; ni = Jumlah total individu dari jenis-i; A = Luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). b. Kerapatan Relatif Jenis menurut Bengen, (2002) RDi = (ni/ n) x 100 % Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
dimana: RDi = Kerapatan relative jenis ; ni = Perbandingan antara jumlah individu jenis-i; n = Jumlah total tegakan selurih jenis. c. Penutupan relatif jenis Rci = (ci/ c) x 100 % dimana: RCi = Penutupan relatife jenis; Ci = Perbandingan antara luas area penutupan jenis-I; C = Luas total area penutupan untuk seluruh jenis. Jumlah nilai kerapatan relatife jenis (RD), frekuensi relative jenis (RF), dan penutupan relatife jenis (RC), menunjukkan nilai penting jenis (IV) : IVi = RDi + RFi + RC Menurut Bengen (2002), besarnya nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300, nilai penting memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas. Laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan Rumus dari Olson (2001): Xt = Xo.e-kt ln(Xt/Xo) = -kt Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (resiedence time) di lantai hutan digunakan Rumus: 1/k dimana: Xt = Bobot kering serasah setelah waktu; pengamatan ke -t (g); Xo = Bobot serasah awal (g); e = Bilangan logaritma natural (2,72); k = Laju dekomposisi serasah; t = Waktu pengamatan (hari). Ditentukan kelimpahan plankton dengan rumus yang dikemukakan oleh Lackey (1988)) dalam Dahuri dkk. (1996) sebagai berikut: N (ind/l) = Oi x Vr x 1 x n Op Vo Vs p dimana: N = Kelimpahan plankton; Oi = Luas gelas penutup (mm2); Op = Luas satu lapang pandang (mm2); Vo = Volume satu tetes sampel (ml); Vr = Volume air yang tersaring dalam ; bucket (ml); Vs = Volume air yang tersaring oleh plankton net (ml); N = Jumlah plankton pada seluruh lapang Pandang; p = Jumlah lapang pandang. 134
Hasil pengukuran fisika kimia dan biologi perairan di lokasi pengamatan selanjutnya dibandingkan dengan standar kualitas perairan yang optimal. ditentukan kondisi kualitas perairan di setiap lokasi pengamatan dengan cara skoring indeks kualitas lingkungan (IKL) yang dimodifikasi dari indeks kualitas air mengacu kepada Ramakrishnaiah et. al. (2009). IKL merupakan perhitungan yang digunakan dalam upaya meringkas dan menyederhanakan data parameter kualitas lingkungan sehingga dapat memberikan informasi yang berguna tentang kondisi lingkungan. Hasil pengukuran parameter fisikakimia dan biologi yang diperoleh dibandingkan dengan standar kondisi lingkungan optimum, sedangkan kondisi ideal kerapatan vegetasi berdasarkan Kriteria Baku Dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove (Kepmen Negara LH 201/2004). Tahapan analisis data untuk menentukan indeks kualitas lingkungan dengan cara skoring adalah sebagai berikut: 1. Data hasil pengukuran parameter di seluruh lokasi pengamatan ditentukan nilai rataan minimum dan maksimum yang tercatat selama penelitian dan dibandingkan dengan parameter optimum. Skor yang didapatkan dikalikan dengan bobot skor yang ditentukan berdasarkan ketergantungan plankton dengan parameter yang diuji. 2. Dapat dihitung IKL dengan mengikuti beberapa tahap yaitu: a. Seluruh parameter lingkungan (fisika, kimia dan biologi) diberikan bobot nilai
berdasarkan tingkatan kepentingan terhadap habitat plankton. b. Tahap selanjutnya, bobot relatif dihitung mengikuti persamaan berikut: 𝑤𝑖 𝑊𝑖 = ∑𝑤𝑖 dimana: Wi = Bobot relative. wi = bobot masing-masing parameter. ∑wi = jumlah bobot seluruh parameter. c. Pada tahap tiga, skala penilaian kualitas (qi) terhadap seluruh parameter dibandingkan dengan standar kualitas optimum mengikuti persamaan berikut: 𝐶𝑖 𝑞𝑖 = 𝑥 100 𝑆𝑖 dimana: qi = skala kualitas ; Ci = nilai parameter; Si = standar nilai parameter optimum . Dapat dihitung IKL, perlu menentukan subindek masing-masing parameter terlebih dahulu mengikuti persamaan berikut: 𝑆𝐼𝑖 = 𝑊𝑖 𝑥 𝑞𝑖 𝐼𝐾𝐿 = ∑𝑆𝐼 dimana: SIi = Subindeks ; IKL = indeks kualitas lingkungan. Indeks kualitas lingkungan yang didapat, kemudian dibandingkan dengan skala indeks kualitas lingkungan (Ramakrishnaiah et. al., 2009). Klasifikasi indeks kualitas lingkungan tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi indeks kualitas lingkungan Nilai IKL <50 50-100 100-200 200-300 >300
Hasil Teluk Moramo merupakan wilayah administratif Kecamatan Moramo, Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara. Secara geografis Teluk Moramo membentang antara 04o02’20,1”-04o02’39,4” LS dan 122o40’15,8”122o40’16,2” BT dengan batasan wilayah: - Sebelah Utara berbatasan dengan desa Lakomea (Kecamatan Moramo) - Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Kualitas Habitat Sangat baik Baik Kurang baik Buruk Sangat buruk
-
Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Lapuko (Moramo) - Sebelah barat berbatasan dengan desa Landipo (Moramo) Masyarakat setempat memanfaatkan perairan Teluk Moramo sebagai daerah penangkapan ikan dan budidaya laut, serta jalur transportasi laut bagi masyarakat setempat. Jenis alat tangkap yang dioperasikan di sekitar perairan TelukStasiun MoramoII yaitu berupa pancing, bubu, bagan apung, keramba, dan jaring insang (gill net). Hasil tangkapan utama yang 135
didapatkan oleh nelayan yaitu ikan belanak yang tergolong ikan pelagis. Perairan Teluk Moramo memiliki topografi yang landai dengan dasar perairan yang terdiri dari tipe substrat lumpur berpasir, lumpur dan pasir. Vegetasi pantai terdiri dari cemara laut dan beberapa jenis mangrove diantaranya Sonneratia alba, Rhizophora apiculata, dan Avicennia sp. Di perairan Teluk ini banyak di jumpai jenis ikan yang berinteraksi dengan vegetasi mangrove diantaranya plankton.
Vegetasi Mangrove yang ditemukan di Perairan Teluk Moramo terdiri dari 5 jenis mangrove yang termasuk kedalam 4 Family yaitu Rhyzophora stylosa Family Rhyzophoraceae, Avicennia sp. family Avicenniaceae, Brugaira sp. Brugairaceae, dan Soneratia alba, family Soneratiaceae. Untuk lebih jelasnya, jenis-jenis vegetasi mangrove yang ditemukan dan teridentifikasi jenisnya pada kawasan vegetasi mangrove di Perairan Teluk Moramo Konawe Selatan disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kerapatan jenis mangrove di perairan Teluk Moramo Stasiun
Jenis mangrove
Stasiun I Tanjung Tiram
Stasiun II Beroro
Individu (w/%)
Kerapatan jenis
Kerapatan relatif jenis (%)
Rhyzophora stylosa Avicennia sp. Brugaira sp. Soneratia alba
3 4 2 13
100,00 133,33 66,67 433,33
13,64 181,82 9,91 59,09
Rhyzophora apiculata Avicennia sp. Sonneratia alba
25 4 17
833,33 133,33 566,67
86,21 13,79 100,00
68
100
100
Jumlah Total
Secara umum vegetasi mangrove di perairan Teluk Moramo didominasi oleh jenis Mangrove S. alba dan R. apiculata. Hal ini dikarenakan di perairan Teluk Moramo memiliki tipe substratnya sesuai dengan habitat dari kedua jenis mangrove tersebut yaitu berlumpur dan berpasir sehingga kedua jenis mangrove ini dapat tumbuh dan berkembang. Stasiun I ditemukan 4 jenis mangrove yaitu R. stylosa, Avicennia sp., Brugaira sp., dan S. alba. R. stylosa terdiri dari 3 individu dengan kerapatan jenis 100,00 ind/ha, kerapatan relatif jenis 13,64%, frekuensi jenis 0,66, frekuensi relatif jenis 25,3123%, penutupan jenis 0,1048, penutupan relatif jenis 13,7814 %, sedangkan indeks nilai pentingnya 52,7300 (Lampiran I). Jenis Avicennia terdiri dari 4 individu dengan kerapatan jenis 133,33 ind/ha, kerapatan relatif jenis 18,1818 %, frekuensi jenis 0,66, frekuensi relatif jenis 38,5714 %, penutupan jenis 0,6117, penutupan relatif jenis 15,9483 %, sedangkan indeks nilai pentingnya 115,7016. Mangrove jenis Brugaira terdiri dari 2 individu dengan kerapatan jenis 66,66 ind/ha kerapatan relatif jenis 12,0909 %, frekuensi jenis 0,33, frekuensi relatif jenis 23,2857 %, penutupan jenis 0,3248, penutupan relatif jenis 11,5756 %, sedangkan indeks nilai pentingnya 46,9522, dan vegetasi jenis Soneratia alba terdiri dari 13 individu jenis dengan kerapatan jenis 433,33 ind/ha kerapatan relatif jenis 59,0909 %, Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
frekuensi jenis 0,66, frekuensi relatif jenis 28,5714 %, penutupan jenis mangrove yaitu 0,7465, penutupan relatif jenis 19,7854 %, sedangkan indeks nilai pentingnya 107,4477. Indeks nilai penting keseluruhan adalah 274,8314, besarnya indeks nilai penting ini menunjukkan bahwa mangrove pada Stasiun I masih dalam keadaan baik, yang didominasi jenis mangrove Soneratia alba. Jenis mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian di perairan Teluk Moramo di Stasiun II terdiri dari 3 jenis mangrove yaitu Rhyzophora apiculata, Avicennia dan soneratian alba. Vegetasi mangrove jenis Rhyzophora apiculata terdiri dari 25 individu dengan kerapatan jenis 833,33 ind/ha kerapatan relatif jenis 86,2068 %, frekuensi jenis 1, frekuensi relatif jenis 60 %, penutupan jenis mangrove 2,6229, penutupan relatif jenis 80,6691 %, sedangkan indeks nilai pentingnya 226,8759. Jenis mangrove Avicennia terdiri dari 4 jenis dengan kerapatan jenis 133,33 ind/ha kerapatan relatif jenis 13,7931 %, frekuensi jenis 0,6666, frekuensi relatif jenis 40 %, penutupan jenis 0,6285, penutupan relatif jenis 15,3308 %, Jenis Soneratia alba terdiri dari 17 individu dengan kerapatan jenis 566,66 ind/ha kerapatan relatif jenis 100 %, frekuensi jenis 1, frekuensi relatif jenis 100 %, penutupan jenis mangrove 1,9841 penutupan relatif jenis 50 %, sedangkan indeks nilai pentingnya 69,1239. Indeks nilai penting 136
keseluruhan adalah 295,99 besarnya indeks nilai penting ini menunjukkan bahwa mangrove pada Stasiun II didominasi jenis mangrove Rhyzophora apiculata. Menurut Bengen (2002), besarnya indeks nilai penting jenis mangrove berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove. Kerapatan mangrove pada Stasiun II ini dan keterkaitan nilai produksi serasah mangrove akan semakin tinggi, dengan adanya kerapatan mangrove yang tinggi pula di perairan Teluk Moramo pada umunya.
Kajian kondisi kualitas perairan Teluk Moramo meliputi parameter fisika dan kimia perairan. Parameter fisik yang diukur adalah suhu, salinitas, dan pH. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi perairan diperoleh beberapa parameter yang menunjukkan variabilitas kondisi lingkungan yang relatif kecil. Kondisi parameter fisik dan kimia perairan demikian menunjukkan bahwa perairan tersebut tergolong masih layak untuk mendukung kehidupan dan perkembangan biota pada Tabel 3.
Tabel 3. Indeks kualitas lingkungan (IKL), parameter fisika dan kimia perairan Variabel
satuan
Bobot
Si
Wi=wi/∑wi
Data
qi=(Ci/Si)*100
SIi=Wi*qi
Suhu air
°C
5
29 )
0,05
29,5
102
5,09
Salinitas
Ppt
10
28 *)
0,1
30,7
106
10,586
pH
-
10
7 *)
0,1
7,5
25,9
2,6
IKL =∑SI
18,276
Jumlah
100
*) Keputusan menteri negara lingkungan hidup. No. 51 tahun 2004. tentang : baku mutu air laut. Pembahasan
Suhu
Mengacu pada tabel klasifikasi IKL Ramakrishnaiah et al (2009), maka kualitas lingkungan perairan dilokasi penelitian (18,276) tergolong dengan kualitas habitat yang sangat baik.
Berdasarkan hasil pengukuran suhu selama penelitian, maka ditemukan perbedaan suhu pada setiap stasiun dan tidak memperlihatkan variasi yang berbeda. Kisaran suhu perairan Teluk Moramo Konawe Selatan disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil pengukuran suhu di perairan Teluk Moramo pada setiap stasiun pengamatan. Berdasarkan Gambar 1, maka suhu tertinggi pada Stasiun II dengan suhu 30 oC sedangkan terendah pada Stasiun I yaitu 29 oC. Tingginya suhu pada Stasiun II disebabkan karena stasiun tersebut memiliki kedalaman yang rendah sehingga penetrasi cahaya matahari masih dapat menembus dasar perairan. Sedangkan Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
rendahnya suhu pada Stasiun I selama pengukuran diduga karena pada saat pengukuran suhu bertepatan dengan hujan turun, sehingga kondisi suhu pada stasiun tersebut menjadi rendah yaitu 290C bila dibandingkan dengan Stasiun II. Kisaran suhu yang diperoleh secara keseluruhan yaitu 29-300C. Kisaran suhu 137
tersebut masih menunjukkan kisaran suhu optimal bagi kehidupan plankton hal ini didukung dengan pernyataan Soesanto (1994), bahwa suhu adalah salah satu faktor pembatas dalam aktivitas dan sebaran yang mempengaruhi pertumbuhan plankton. Salinitas Salinitas dapat mempegaruhi proses osmoregulasi setiap organisme, Kinne (1994)
menunjukkan bahwa keanekaragaman dan jumlah setiap organisme perairan mencapai maksimal pada samudera dengan salinitas berkisar 30-40 ppt. Nontji (1993) menyatakan bahwa salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam garam) yang terlarut dalam satu liter air yang dinyatakan dengan satuan (ppt). Hasil pengukuran Salinitas di perairan Teluk Moramo di sajikan pada Gambar 2.
31.5
Salinitas (ppt)
31 30.5 30 St. I
29.5
St. II
29
28.5 28 1
2
3
4
Pengamatan
Gambar 2. Hasil pengukuran salinitas di perairan Teluk Moramo pada setiap stasiun pengamatan Salinitas di perairan Teluk Moramo berkisar antara 29-31 ppt. Rendahnya salinitas pada stasiun ini karena disebabkan oleh adanya masukan air tawar dari sungai yang bermuara di Perairan Teluk Moramo. Melihat sebaran salinitas, maka dapat dikemukakan bahwa semakin kearah sungai letak stasiun, salinitasnya semakin rendah. Menurut Nybakken (1992), salinitas lebih bervariasi, khususnya pada perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan terbuka atau laut dalam, kecuali di daerah dekat sungai besar yang mengeluarkan sejumlah besar air tawar, salinitas tidak banyak berubah sehingga dapat menimbulkan perbedaan ekologis. Dimana kisaran salinitas ini masih berada dalam kisaran normal yang mendukung kehidupan organisme plankton. Hal ini didukung oleh Nontji (1993) yang menyatakan bahwa kisaran salinitas pada perairan Indonesia antara 30 – 35 ppt.
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
pH Prescott (2005) menyatakan bahwa pH suatu perairan merupakan salah satu parameter yang penting dalam pemantauan kualitas perairan. Organisme perairan memiliki kemampuan yang berbeda dalam mentoleransi pH perairan. Kematian lebih sering diakibatkan oleh pH yang rendah daripada disebabkan pH yang tinggi. Batas toleransi organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta jenis stadia organisme. Setiap perairan mempunyai pH yang tidak sama tergantung pada lingkungan perairannya dan setiap organisme mempunyai batas toleransi terhadap pH yang berbeda. pH air berpengaruh terhadap proses penguraian bahan makanan, jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan ketersediaan unsur hara. Hasil pengukuran pH di Teluk Moramo pada setiap stasiun disajikan pada Gambar 3.
138
Gambar 3.
Hasil pengukuran pH di perairan Teluk Moramo pada setiap stasiun pengamatan.
pH yang tertinggi pada pengamatan pertama dan keempat yaitu pada Stasiun II dengan pH 8 sedangkan Stasiun I adalah 7. Tingginya pH karena disebabkan oleh air laut yang mengandung ion-ion yang bersifat basa seperti ion natrium, kalium, dan kalsium. Selain itu air laut juga mempunyai kapasitas penyangga yang mampu mempertahankan pH air yaitu sistem karbondioksida asam karbonat-bikarbonat yang berfungsi sebagai penyangga (buffer), sehingga pH air laut tetap berada dalam kisaran yang sempit atau dalam keseimbangan, sehingga kisaran pH yang didapatkan dari setiap stasiun dengan kisaran pH 7-8. Kisaran ini masih cukup baik untuk kehidupan ikan seperti yang dinyatakan oleh Muhmudi, dkk (2010), bahwa di lingkungan perairan laut, pH biasanya akan relatif stabil dan berada pada kisaran antara 7,58,4. Karena air laut memiliki kemampuan yang besar untuk mencegah perubahan pH. Jika terjadi perubahan pH air laut dari nilai alaminya menandakan sistem penyangga perairan tersebut terganggu. Menurut Susana (2005), keadaan pH yang dapat mengganggu kehidupan organisme air khususnya plankton adalah pH yang terlalu rendah (sangat asam) atau sebaliknya terlalu tinggi (sangat basa). Setiap jenis plankton akan memperlihatkan respon yang berbeda terhadap perubahan pH dan dampak yang ditimbulkannya akan berbeda-beda. Serasah mangrove merupakan sumber utama nutrisi dan bahan organik ke sistem perairan pesisir (Nga et. al., 2006). Serasah pada suatu ekosistem mangrove setelah mengalami dekomposisi sangat penting artinya untuk perikanan pantai karena ekosistem mangrove menyediakan bahan makanan bagi spesies ikan nantinya dijadikan tempat berlindung larva ikanikan lokal (Acosta et. al., 1999). Hasil perhitungan guguran serasah hutan mangrove Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
selama penelitian produksi serasah mangrove di perairan mangrove di Muara Sungai Beroro sebesar 6,7 ton/ha dimana pada daerah tersebut didominasi oleh jenis Rhizophora apiculata. Sedang pada daerah perairan Tanjung Tiram produksi serasah sebesar 3,45 ton/ha, jenis yang dominan adalah Sonneratia alba. Total produksi serasah pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan produksi serasah di kawasan rawa hutan payau RPH Tritih Cilacap sebesar 8,62 ton/ha/tahun (Affandi, 1996), di ekosistem mangrove pantai utara Kabupaten Subang sebesar 7-8 ton/ha/tahun (Kawaroe, 2001) dan di Teluk Kayeli, Pulau Buru, Maluku Tengah sebesar 9 ton/ha/tahun (Pulumahuny, 1997) serta Produksi serasah hutan mangrove di Teluk Sepi, Lombok sebesar 9,9 ton/ha/tahun, (Zamroni and Rohyani, 2008). Di kawasan sungai dan tambak di hutan payau RPH Tritih Cilacap sebesar 16,44 ton/ha/tahun dan 13,37 ton/ha/tahun (Affandi, 1996), hutan mangrove primer Thailand selatan sebesar 13,76 ton/ha/tahun (Bunyavejchewin dan Nuyim, 2001), Teluk Kotania, Seram Barat sebesar 12,75 ton/ha/tahun (Supriadi dan Wouthuyzen, 2005), dan Kawasan Suaka Marga Satwa Sembilang, Sumatera Selatan sebesar 13,76 ton/ha/tahun (Soeroyo, 2003). Perbedaan jumlah produksi serasah setiap daerah dapat dipengaruhi oleh lokasi geografi, variasi kondisi vegetasi dan struktur penyusun hutan serta tinggi rendahnya tingkat kerapatan hutan. Tingginya produksi serasah Rhizophora dan Soneratia alba karena kerapatannya lebih tinggi, hal ini sesuai dengan pernyataan Moller dalam Soeroyo (2003). Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon maka semakin rendah produksi serasahnya. Selain tingkat kerapatan, 139
produksi serasah juga dipengaruhi oleh jenis mangrove dan umurnya. Jenis mangrove yang berbeda akan memiliki produksi serasah yang
berbeda pula. Produksi serasah setiap lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Produksi serasah mangrove setiap lokasi penelitian Pengamatan
Stasiun 1 2 Rata rata
Rata rata produksi
I
II
30,22
42,12
29,34
31,43
29,78
36,775
Tabel 4 memperlihatkan produksi serasah mangrove, secara umum rata-rata produksi serasah tertinggi pada stasiun I yaitu sebasar 36,17 g/m2/bln dan terrendah pada stasiun II sebesar 30,385 g/m2/bln dan total rata-rata produksi serasah yang ada di stasiun I sebesar 36,277 grm2/bln. Sedangkan produksi serasah tertinggi berada pada Stasiun I sebesar 3,6 (ton/ha/thn), dan stasiun II yaitu 3,3 ton/ha/thn, produksi serasah mangrove di lokasi penelitian
rata rata
g/m2/bln
ton/ha/thn
36,17
36,17
3,6
30,385 36,277
30,385 36,277
3,3 3,45
stasiun I diperoleh nilai rata-rata 3,45 ton/ha/tahunnya. Rata-rata guguran serasah di lantai hutan mangrove, tingkat laju dekomposisi dan laju perputaran unsur hara pada stasiun I dan stasiun II di Teluk Moramo dapat dibandingkan rata-rata produksi serasah mangrove distasiun I sebesar 36,775 g/m2/bulan dan di stasiun II sebesar 67,39 g/m2/bulan.
gr/m2/bulan
Rata-rata Produksi Serasah
80 70 60 50 40 30 20 10 0
67,39
36,277
1
2
Stasiun Gambar 4.
Hasil rata-rata produksi serasah di perairan Teluk Moramo pada stasiun pengamatan
Rata-rata total produksi serasah yang diperoleh selama penelitian di Teluk Moramo pada dua lokasi penelitian sebesar 36,277-67,39 g/m2/bln (Tabel 5 dan 6 Gambar 5), serasah daun merupakan penyumbang terbanyak. Sharil (2008), menyatakan bahwa jumlah rata-rata produksi mangrove yang ada di Pulau Bungkutoko sebesar 1,21 ton/ha. Secara umum produksi serasah daun merupakan penyumbang
Terbesar produksi serasah mangrove pada lokasi penelitian stasiun I dan stasiun II. Ratarata total produksi serasah stasiun I sebesar 36,277 g/m2/bln dimana serasah daun sebagai penyumbang terbanyak disusul stasiun II memiliki rata-rata produksi serasah mangrove sebesar 67,39 g/m2/bln, hasil selengkapnya dapat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Produksi serasah mangrove setiap lokasi penelitian muara Sungai Beroro di perairan Teluk Moramo Stasiun 1 2 Rata rata
I 61,25 49,86 55,555
Pengamatan II 97,32 61,13 79,225
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
rata rata 79,285 55,495 67,39
Rata rata produksi g/m2/bln ton/ha/thn 79,285 7,9 55,495 5,5 67,39 6,7
140
Rata-rata total produksi serasah dapat dilihat pada Tabel 5. Secara umum rata-rata produksi serasah paling tinggi pada stasiun I yaitu sebasar 79,29 grm2/bln dan rendah sebesar 55,50 g/m2/bln dan total rata-rata produksi serasah yang ada di stasiun II sebesar 67,39 g/m2/bln. Dengan produksi serasah tertinggi berada pada stasiun I sebesar 7,9 (ton/ha/thn), sedangkan pada stasiun II sebesar 5,5 ton/ha/thn, produksi serasah mangrove distasiun II diperoleh nilai rata-rata 6,7 ton/ha/tahun. Produksi guguran serasah dimana penurunan rata-rata produksi serasah daun 36,277 gr/m2/bln pada stasiun I (Gambar 5). Pada stasiun II mengalami peningkatan rata-rata produksi serasah daun mangrove sebesar 67,39 g/m2/bln semetara produksi serasah tertinggi terjadi pada stasiun II produksi guguran serasah daun meningkat dan diikuti rata-rata produksi serasah manrove di dua stasiun penelitian tersebut. Perbedaan rata-rata total produksi serasah antar dua stasiun diduga karena terdapat perbedaan tingkat kerapatan jenis vegetasi mangrove yang ada setiap stasiun. Dan di dominasi oleh jenis S. alba dan R. apiculatas
pada saat penelitian di lapangan menujukkan musim belum berbuah. Laju dekomposisi serasah daun lebih tinggi pada awal dekomposisi, terjadi perbedaan bobot kering serasah setiap pengambilan data 15 hari menunjukkan laju dekomposisi terendah. Sisa serasah Dengan penelitian ke-15-75 hari mengalami penurunan bobot basah dan secara penampakan fisiknya menunjukkan cerahan daun semakin menunju ke-75 hari berubah menjadi partikel yang lebih kecil dan semakin menurun bobot keringnya. Untuk lebih jelasnya dari awal bahwa yang diukur adalah jenis mangrove Soneratia dan Rhyzophora. Mangrove dapat dianggap sebagai ekosistem terbuka yang penting dalam penyediaan energi melalui guguran daun mangrove. Dekomposisi serasah daun mangrove memberikan sumbangan terbesar untuk kesuburan perairan yaitu nutrisi, nitrogen dan fosfor, suhu, salinitas, pH (Tam et. al., 1990, Nga et. al, 2005 dalam Nga et. al 2006). Dari hasil penelitian laju dekomposisi serasah (%) yang di sajikan pada Tabel 6
Tabel 6. Laju dekomposisi serasah pada dua lokasi penelitian di Teluk Moramo Stasiun
1 2
Hari Ke 0
15
30
45
60
75
10 (g)
6,728
4,149
2,877
1,654
0,162
100%
32,72
58,51
71,23
83,46
98,38
10 (g)
7,218
5,217
3,503
1,822
0,744
100%
27,82
47,83
64,97
81,78
92,56
Laju dekomposisi serasah daun yang terdekomposisi dan sisa serasah daun dan spesies S. alba dan R. apiculata, terdekomposisi sangat cepat pada 15 hari dibandingkan setelah hari ke30 hari, kemudian melambat sampai ke-45 hari dan cepat kembali sampai akhir penelitian pada hari ke-60 hari, R. apiculata juga terdekomposisi dengan cepat sampai akhir ke-75 hari. Secara
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
umum jenis S. alba, lebih cepat terdekomposisi dengan 0,162 g/m2/bln berat yang tersisa dalam kantong dekomposisi setelah hari ke-75 Hari dibandingkan R. apiculata yang terdekomposisi lebih lambat dan sebanyak 0,744 g/m2/bln berat serasah yang tersisa dalam kantong dekomposisi setelah hari ke-75.
141
Gambar 5. Hasil presentase serasah yang tertinggal dalam katong pada saat dekomposisidi perairan Teluk Moramo pada stasiun pengamatan. Dekomposisi memberikan sumbangan unsur hara yang berperan dalam pembentukan pertumbuhan dan perkembangan di hutan mangrove Arief (2003), menyatakan bahwa unsur hara yang dikandung oleh daun-daun mangrove adalah karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan magnesium. Bobot kering sisa daun mangrove R. Stylosa dan S. Alba yang mengalami proses dekomposisi pada akhir pengamatan hari ke-75 disajikan pada Gambar 10. Berdasarkan data pada Gambar 9 dapat diketahui bahwa sisa serasah akhir daun R. apiculata lebih banyak dibandingkan sisa daun S. alba, dimana hal ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi daun Rhyzopora, dimana hal ini dibandingkan daun S. alba. Laju dekomposisi serasah daun dari kedua jenis ini disajikan pada Tabel 7, dimana laju dekomposisi rata-rata daun S. alba 0,162 grm/hari sedangakan laju dekomposisi serasah daun R. apiculata 0,744 gr/hari. Tingginya laju dekomposisi daun S. alba daun diduga berkaitan dengan kandungan nitrogennya yang lebih tinggi dibandingkan Rhyzopora. Serasah yang memiliki kandungan N yang tinggi cenderung disukai oleh mikroorganime perairan. (Choong et. al 1992 dalam pribadi 1998), menyatakan tingginya persentase serasah yang terurai pada hari pertama (Tabel 6) diduga karena kehilangan bahan-bahan organik serasah yang larut akibat penguraian dekomposer biasanya terjadi diwaktu awal setelah serasah gugur (Hodgkiss leung 2004). Tingginya laju dekomposisi serasah di daerah perairan dibandingkan daerah daratan Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
disebabkan karena selain adanya penguraian secara biologis, di daerah perairan proses dekomposisinya juga dibantu oleh mekanisme fisik yakni pergerakan arus pasang dan penggenangan oleh air laut yang lebih lama. Mason (2004), menyatakan bahwa mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah yang disebabkan oleh hujan atau aliran air. Selain itu penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pengikisan serasah oleh pergerakan gelombang. Kondisi substrat perairan yang lebih lembab dibandingkan daratan juga berperan dalam menguraian serasah, nilai pH 7-8 menunjukan lingkungan yang selalu basa dan lembab nilai menyebabkan proses dekomposisi serasah cepat. Penelitian ini didapatkan kelompok Bacillariophyceae hanya terdiri dari 4 marga dengan kelimpahan relatif tinggi. Protoperidinium, marga-marga yang ditemukan jenis fitoplankton yang umum di perairan pesisir. Dua marga dominan lainnya tercatat relatif rendah Ceratium dan Dinophysis. Kelimpahan total makroplankton tinggi dengan nilai berkisar antara 1249-5448 ind/l. Struktur komunitas makroplankton didominasi oleh Syendra (Tabel 7), yang mencapai 88% dari jumlah total makroplankton, kelompok-kelompok lainnya memiliki kelimpahan relatif sangat rendah. Kelimpahan jenis plankton disajikan pada Tabel 8, kelimpahan plankton yang tinggi di lokasi ini diduga terkait dengan keberadaan hutan mangrove di perairan Teluk Moramo. Kondisinya relatif baik dan didominasi oleh Soneratia alba dan Rhizophora apiculata oleh karenanya harus dipertahankan menjadi areal yang dikonservasi.
142
Gambar 6. Kelimpahan plankton (ind/l) berdasarkan stasiun. Hasil penelitian stasiun I dan stasiun II memperlihatkan kandungan plankton antara 2219-3201 ind/l, kedua perairan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan selain Coscinodiscus, kelompok diatom selalu dominan di setiap kelompok lokasi, kandungan yang padat ini tepatnya beberapa kilometer ke arah laut terbuka. Hal ini dapat dimengerti karena perairan tersebut merupakan perairan Teluk Moramo sehingga mendapatkan zat hara dari sungai-sungai disekitar lingkungan tersebut seperti Sungai Beroro. Faktor lain yang juga berpengaruh adalah sistem sirkulasi air dari arus laut Teluk Moramo pada umumya dan juga dekat dengan pemukiman warga. Dari pola plankton dari marga Syendra dan Navicula di setiap stasiun baik Stasiun I maupun Stasiun II. Plankton yang
umumnya berasal dari kelompok syendra ditemukan cukup besar di lokasi ini. Meskipun demikian kelimpahannya belum mencapai tingkat yang membahayakan kehidupan organpisme lainnya, seperti yang dilaporkan di berbagai perairan di dunia. Hasil pengamatan memperlihatkan Stasiun I dan Stasiun II mempunyai kehidupan plankton yang tinggi yaitu masing-masing 3201 dan 2219 ind/l. Struktur komunitas plankton didominasi oleh Syendra. Tingginya kelimpahan Syendra, diikuti oleh kelimpahan Navicula yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan Navicula sebagai predator terhadap Syendra masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkembangan biomassa Syendra yang didukung oleh plankton yang berperan sebagai makanannya.
Tabel 7. Kelimpahan jenis plankton yang ada di Teluk Moramo (ind/l)
1 2 3 4
Jenis Plankton Syendra sp. Eunotia sp. Navicula sp. Protoperidinium sp.
I 8039 9044 3014 2009
II 8039 1205 2009 1105
5 6 7 8 9 10 11
Oscillatoria sp. Coccneis sp. Ceratium sp. Nitzshia sp. Amphora sp Coscinodiscus sp. Eutreptia viridis sp.
3014 2009 3014 4019 1004 1004
1004 1004 1004 5024 -
12 13 14 15
Dinophysis ratundatus sp. Pseudo-nitzcha delicatissima sp. Cyclotella striata sp. Cymatopleura sp.
2009 2009 4019 2009
-
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Stasiun
143
17 18 19
Anabaena sp. Jenis Plankton Daphnia sp. Thalassiosira sp. Scrippsiella trochoidea sp.
3014 Stasiun I 2009 -
2009 1004
20 21 22 23
Cymbella sp. Ghamspphonema sp. Gyrodium sp. Thalassionema sp.
-
1004 -
24 25 26
Surirella sp. Chaetoceros lorenzianus sp. Manguine sp.
-
-
27 28
Pinnularia sp Tortanus sp. Total Kelimpan Plankton
3201
2219
Plankton (Ind/L)
16
II
4000 3000 2000 1000 0 1
2 Stasiun
Gambar 7. Kelimpahan plankton berdasarkan pengamatan. Kelimpahan plankton diperoleh dengan layak untuk mendukung pertumbuhan dan nilai tertinggi pada Stasiun I (3.201 ind/l), perkembangan plankton pada saat itu. sedangkan yang terendah pada stasiun II (2.219 Tingginya kelimpahan yang diperoleh ind/l) disajikan pada (Gambar 12). Tingginya pada Stasiun I diduga disebabkan oleh nilai kelimpahan yang diperoleh pada stasiun I kandungan unsur hara, bahan organik, dan fisika disebabkan oleh parameter-parameter lingkungan kimia air lainnya cukup tinggi dan cocok untuk yang mempengaruhi kehidupan dan kehidupan plankton dibandingkan dengan stasiun perkembangan plankton. yang lain, sehingga memungkinkan terjadinya Pada stasiun ini, suhu, pH, salinitas pertumbuhan dan perkembangan sel plankton perairan berada pada nilai yang optimal untuk yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan pendapat mendukung kehidupan plankton, sedangkan dari Thornton et. al (1990) bahwa ketersediaan kandungan nitrat dan fosfat bukan merupakan unsur hara dan cahaya yang cukup dapat nilai yang optimum dan belum menjadi faktor digunakan oleh plankton untuk pembatas bagi plankton Menurut Mackentum perkembangannya. (2006), pertumbuhan optimal plankton Nilai kelimpahan plankton yang memerlukan kandungan nitrat pada kisaran 0,9didapatkan selama penelitian ini relatif sedang 3,5 mg/l dan fosfat adalah 0,09-1,80 mg/l. Lebih bila dibandingkan dengan hasil penelitian Umar lanjut dijelaskan Mahmudi, dkk (2010) bahwa (2003) di Waduk Jatiluhur Purwakarta yang kandungan fosfat yang optimal bagi memperoleh kelimpahan sebesar 290.1025 ind/l pertumbuhan plankton adalah 0,27-5,51 mg/l, dan penelitian Baksir (1999) di Waduk Cirata jika kandungannya kurang dari 0,02 mg/l maka Jawa Barat dengan kelimpahan 1.735x105 ind/l, akan menjadi faktor pembatas. Demikian pula tetapi lebih tinggi dari penelitian Yuliana dan intensitas cahaya yang masuk ke dalam perairan Tamrin (2005) dengan nilai 93.937 ind/l. diduga cukup untuk aktivitas fotosintesis Simpulan sehingga pertumbuhan plankton lebih pesat dibandingkan dengan stasiun yang lain Berdasarkan hasil dan pembahasan, disebabkan oleh parameter fisika kimia perairan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
144
Produksi serasah yang lebih cepat terurai berada pada stasiun I yaitu 0,162 g/m2/bulan dibandingkan stasiun II yaitu 0,744 g/m2/bulan. Besarnya Produksi serasah mangrove yang ada diperairan Teluk Moramo berkisar rata-rata antara 36,277-67,39 g/m2/bln atau 3,45-6,7 ton/ha/tahun. Laju dekomposisi serasah mangrove dari hari ke-15-75 berat awal 10 gram mengalami penurunan bobot berkisar antara 0,162 g/m2/bln berada pada Stasiun I dan Stasiun II berkisar antara 0, 744 gr/m2/bln. Kelimpahan plankton yang ada di perairan Moramo pada stasiun I berkisar 3.201 ind/l, kelimpahan terendah pada stasiun II berkisar antara 2.219 ind/l. Persantunan Penulis menyampaikan ucapan terima kasi kepada Agus atas bantuan dalam pengambilan sampel di lapangan, dan kakak Ichal terima kasih bantuan materi sehingga penelitian ini berjalan dengan baik. Daftar Pustaka Acosta, G.; De La Cruz Agu¨ero, G.; De La Cruz Agu¨ero, J.; Ruiz Campos, G., 1999: Ictiofauna asociada al manglar del Estero El Conchalito, Ensenada La Paz, B.C.S., Mexico. Oceánides (14): 121– 131. Affandi, M. 1996. Produksi dan Laju Penghancuran Serasah Mangrove di Hutan Alami dan Binaan Cilacap, Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana (Magister) Institut Teknologi Bandung (tidak dipublikaskan). 54-75. Ananda K, Sridhar KR, Raviraja NS, Baerlocher F, 2007. Breakdown of fresh and dried Rhizopora mucronata leaves in a mangrove of Sothwest India. Original Paper. Wetlands Ecol Manage. 112:73-81 Arief, A. 2003. Hutan Mangrove. Penerbit Kanisius. Jakarta. 67 hal Baksir, A. 1999. Hubungan antara Produktivitas Primer Fitoplankton dan Intensitas Cahaya di Waduk Cirata, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 45-60. Bengen D.G., 2001. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan. Institut Pertanian Bogor. 75-82. Bengen D.G, 2002. Sinopsis Teknik pengambilam contoh dan analisis data biofisik sumberdaya pesisir.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Bogor. 69-78. Bosire J.O., Dahdouh-Guebas F., Kairo J.G., kazungu J., Dehairs F., Koedam N., 2004. Litter degradation and CN dynamics in reforested mangrove plantations at Gazi Bay, Kenya, Biological conservation Vol.126 pp.187-195. Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Bunyavejchewin, S., T. Nuyim. 2001. Litterfall production in a primary mangrove Rhizophora apiculata forest in Southern Thailand. Silvicultural Research Report: 2838. Choong, V.C., A. Sesakumar, M.U.C. Leh, R. D. Cruz. 1992. The fish and prawn communities of a Malaysian coastal mangrove system, with comparisons to adjacent mud flats and inshore waters. Estuarine, Coastal and Shelf Science, (31): 703−722. Dahuri, R., J.Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. 76-84. Grac¸a M.A.S. 2001 The role of invertebrates on leaf litter decomposition in streams – a review. International Review of Hydrobiology, 86, 383–393. Halili, 2007. Data Citra Satelit. Kabupaten Konawe Selatan. Kendari. Hodgkiss IJ, Leung H.C. 2004. Cellulose Assosiated With Magrove Leaf Decomposition. Botanica Marina (29): 467-469. Kawaroe, M. 2001. Kontribusi ekosistem mangrove terhadap struktur komunitas ikan di pantai utara Kabupaten Subang, Jawa Barat. Jurnal Pesisir dan Laut 3 (3): 13-26. Kinne, M.J. 1994. Ecology of Estuaries. Volume 2, Biological Aspects. Florida: CRC Press, Inc. 72-83. Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup, 2004. Keputusan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 51Tahun 2004. Tentang Baku Mutu Air Laut. Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, Jakarta 32-40. Mackentum, K.M. 2006. The Practice of Water Pollution Biology. United States Departement of Interior, Federal Water Pollution Control Administration, Division of Technical Support. p. 411 Mahmudi, M., Soewardi, K., Kusmana, C., Hardjomidjojo, H, Damar, A. 2008. Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Kontribusinya terhadap Nutrien di Hutan Mangrove Reboisasi. Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Brawijaya. Jurnal Penelitian Perikanan. 2(1) : 19-25. Mason CF. 2004. Decomposition. Sties in Biology no. 74. The Edward Arnold (publ) Ltd. Southmpton. London. 86-90. Nielsen T., Andersen F.O., 2003. Phosporus dynamics during Decomposition of Mangrove (Rhizopora apiculata) leaves in Sediments, journal of Experimental Marine Biology and Ecology Vol. 293 pp.73-88. Nga B. T , R. Roijackers, M. Scheffer. 2006. Effects of Decomposition and Nutrient Release of Rhizophora apiculata Leaves on The Mangrove-Shrimp Systems In The Camau Province Vietnam. International Symposium 145
on Southeast Asian Water Environment. 4: 6772. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta: 67-72 Olson, M. 2001. The role of bacteria in nutrient Recycling in tropical mangrove and other Coastal Benthic ecosystem. Hydrobiology (285) : 19 – 32. Pribadi, R. 1998. The Ecology of mangrove vegetation in Bintuni Bay, Irian jaya, Indonesia. A Theiss Submitted For the Degree of Doctor of Philosophy at Universsity of Stirling. Departement of Biological and Moleculler Scence. Universitas of stiling (unpublished). pp. 108 Prescostt, C.E. 2004 Do Rates of Litter Dekomposition tell us anything we really need toknow for. Ecol. Mgt. 220:66-77. Proctor, J. 2005. Tropical Forest Litter Fall: 2. The Data Set. Tropical Rain Forest : Ecology and Management (S. L. Sutto, T. C. Whitmore & A. C. Chadwick eds.), pp.83-113. Blackwell Scientific Publication, Oxfoord. Pulumahuny, S. 1997. Studi produktivitas Mangrove Teluk Ambon, dalam Teluk Ambon II. Biologi Perikanan Oseanografi dan Geologi; S. Soemadihargo, S. Birowa dan K. Rominohtarto (Eds) Balilbang Sumberdaya laut, Pusbang Oseanografi- LIPI. 53-62. Thornton, K.W., B.L Kimmel F.E Payne. 1990. Reservoir Limnology : Ecology Perspective. John Wiley & Sons. Inc, New York. 246. Ramakrishnaiah, C.R, C. Sadashivaiah, G. Ranggana. 2009. Assesment of water quality indekx for the groundwater in Tumkur Taluk, karnata state , India. E-Journal of chemistry, 6(2): 113 – 118. Ulqodry, Z.T., 2008. Produktivitas Serasah Mangrove dan Kontribusi Potensi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Tanjung Api-api Sumatra Selatan. Thesis Program Pascasarjana Intitur Pertanian Bogor, Bogor. 55-68. Umar, C. 2003. Struktur Komunitas dan Kelimpahan Fitoplankton dalam Kaitannya dengan Kandungan Unsur Hara (Nitrogen dan Fosfor) dari Budidaya Ikan dalam Keramba Jaring Apung di Waduk Ir. H. Juanda Jatiluhur Jawa Barat. Tesis. Program Production in Lakes
Jurnal Mina Laut Indonesia, 2013 @FPIK UHO
Reservoir : A Perspective. EPA, Washington DC. P. 227-281 Sahril, I, 2008. Produktivitas Serasah Daun dan Dekomposisi Serasah Daun Mangrove pada Komunitas mangrove Pulau Bungkutoko. Kec. Abeli Kota Kendari Sultra. Skripsi. Jurusan Perikanan Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Haluoleo. Kendari. Sultra. 65-74. Soesanto, S. S., M. Sudomo. 1994. Ekosistem Mangrove dan Pembangunan Lingkungan Hidup. Hlm. 49 – 55. dalam Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove. S. Soemodihardjo, P. Wiroatmodjo, S. Bandijono, M.Sudono dan Suhardjono (Peny.). Panitia Program MAB Indonesia-LIPI, Universitas Jember, Perum Perhutani, Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove, P.T. Chipdeco. Jember. 78-85 Soeroyo, 2003. Pengamatan Gugur Serasah di Hutan Mangrove Sembilang Sumatra Selatan. P3OLIPI. 38-44 Sukardjo, S. 2002. Integrated eoastal Zone Mangrove (ICZM) in Indonesia A View from a Mangrove Ecopologist. Southeast Asia Studies. 40 (2) 200-218 Supriadi, I.H., S. Wouthuyzen. 2005. Penilaian ekonomi sumberdaya mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Maluku. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia (38): 1-21 Susana, T. 2005. Kualitas Zat Hara Perairan Teluk Lada Banten. Jurnal Oseanologi dan Limnologi. No. 37 P2O-LIPI. Jakarta. 59-67. Wada, 1999. Mangrove and its’ conflict paper submitting to The Australian National university , Canberra. 67-79 Wafar, Untawale A.G., Wafar M. 1996. Litter fall and energy flux in a mangrove ecosystem, estuarine, coastal and shelf science Vol. 44.111-124 Yuliana, T. 2005. Fluktuasi dan Kelimpahan Fitoplankton di Danau Laguna Ternate, Maluku Utara. 11 p (belum dipublikasikan). 34-54. Zamroni, R., 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove Di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. BIODIVERSITAS Vol. 9, No. 4. 284-287.
146