PRODUKTIFITAS SERASAH MANGROVE DAN POTENSI KONTRIBUSI UNSUR HARA DI PERAIRAN MANGROVE PULAU PANJANG BANTEN
PUTRI MUDHLIKA LESTARINA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Produktifitas Serasah Mangrove Dan Kontribusi Unsur Hara Di Perairan mangrove Pulau Panjang Banten adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.
Bogor,
Februari 2011
Putri Mudhlika Lestarina C551080181
ABSTRACT PUTRI MUDHLIKA LESTARINA. Productivity and Nutrients Contribution Potency of Mangroves Litterfall in Panjang Island, Banten. Under direction of NEVIATY P. ZAMANI and I WAYAN NURJAYA. As a transition zone between land and sea, coastal zone is inhabited by various ecosystems, such as mangrove ecosystem. Mangrove ecosystem is considered for its ecological importance. The objective of this research was to investigate the characteristic of mangroves habitat based on water quality parameters, to determine productivity and leaves decomposition rate of litterfall, and to study nutrients (C, N, P) contribution potency of litterfall production in Panjang Island, Banten. This study was carried out in the mangrove forest, Panjang Island, Banten Province, from April to June 2010 using vegetation analysis, litterfall decomposition rate analysis and nutrients production of litterfall analysis. Principal Component Analysis was performed to analyse water chemical physical parameters. Data were collected using direct measurement and sampling in the field then followed by laboratory analyses. Results showed that contribution of one principal component to total diversity was 32.81%, 2 principal components were 55.01% and 3 principal components were 75.74%. Mangrove in Panjang Island produced a litterfall productivity average of 0.346 gram/m2/day. It exhibited the productivity of mangrove in Panjang Island is slightly lower than other mangrove forests due to low density and young plantation. The nutrient contribution potency of litterfall (C, N, and P) respectively were 0.528 gC/m2/day; 0.00353 g-N/m2/day and 0.00076 g-P/m2/day. Key words: litterfall, mangrove, productivity, nutrient, Panjang Island, Banten
RINGKASAN PUTRI MUDHLIKA LESTARINA. Produktivitas Serasah Mangrove dan Potensi Kontribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI dan I WAYAN NURJAYA. Wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara daratan dan laut, ditempati oleh beragam ekosistem utama, salah satunya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove mempunyai arti yang penting karena memiliki fungsi ekologis. Tujuan penelitian ini adalah (1) Menelaah karakteristik habitat mangrove Pulau Panjang berdasarkan parameter kualitas perairan dan substratnya, (2) Mengkaji produktifitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove, dan (3) Mengetahui kontribusi potensi unsur hara (C, N, P) dari produksi serasah mangrove. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga Juni 2010, di kawasan hutan mangrove Pulau Panjang, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yakni 1) Analisis vegetasi, 2) Analisis laju dekomposisi serasah, 3) Analisis produksi potensial unsur hara serasah dan 4) Analisis karakteristik fisika kimia perairan dengan PCA. Data dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium. Hasil penelitian dengan berdasarkan analisis principal component analysis diperoleh informasi bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 32.81%, dua komponen utama sebesar 55.01%, 3 komponen utama sebesar 75.74%. Diperoleh hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan Pulau Panjang memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Karakteristik stasiun menunjukkan bahwa stasiun 3 (3.3 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1) dikarakteristikkan oleh kandungan DO, Salinitas dan DHL yang tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.2) dan stasiun 2 (2.2) dicirikan oleh nilai pH yang cukup tinggi. Sedangkan stasiun 2 (2.3) memiliki ciri dengan kandungan TOM dan suhu tinggi dan secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Bobot kering sisa yang paling banyak pada hari ke-56 adalah pada Stasiun 3, yaitu 0.64 g dan paling sedikit adalah pada Stasiun 1 sebanyak 0.56 g. Bobot
kering dari sisa serasah daun mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada Stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis mangrove dan substrat. Pada Stasiun 3 ada 7 jenis mangrove yang daunnya didekomposisi, perbedaan jenis tersebut akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi secara rata-rata. Perbedaan kandungan komposisi nitrogen masing-masing jenis mangrove lebih berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi. Semakin tinggi kandungan nitrogennya maka laju dekomposisi akan semakin cepat, karena nitrogen lebih mudah terurai oleh decomposer. Faktor lain yang menyebabkan dekomposisi di Stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya adalah karakteristik substrat dan genangan air. Substrat di Stasiun 1 lebih didominasi oleh lumpur, Stasiun 2 lebih didominasi oleh pasir, sedangkan substrat dasar pada Stasiun 3 banyak yang terdiri dari batu kapur/terumbu. Penempatan serasah di Stasiun 1 berada dalam kolom perairan karena habitatnya selalu tergenang air, sehingga pembusukan lebih cepat terjadi. Hal berbeda ditunjukkan oleh Stasiun 2 dan 3, dimana daerah yang menjadi tempat serasah lebih banyak yang tidak tergenang pada saat surut. Produktifitas serasah yang diperoleh menunjukkan bahwa mangrove Pulau Panjang menghasilkan rata-rata serasah sebanyak 0,346 gram/m2/hari. Hasil tersebut
menunjukkan
bahwa
mangrove
Pulau
panjang
menghasilkan
produktifitas yang rendah bila dibandingkan dengan beberapa lokasi mangrove lainnya. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove di lokasi penelitian mempunyai kerapatan yang rendah pula, selain itu dari hasil pengamatan diketahui bahwa mangrovenya masih berumur muda. Potensi konstribusi unsur hara diperoleh bahwa mangrove Pulau Panjang memiliki produksi potensial unsur hara (C,N, dan P) serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,528 g-C/m2/hari; 0,00353 g-N/m2/hari dan 0,00076 g-P/m2/hari.
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKTIFITAS SERASAH MANGROVE DAN POTENSI KONTRIBUSI UNSUR HARA DI PERAIRAN MANGROVE PULAU PANJANG BANTEN
PUTRI MUDHLIKA LESTARINA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi : Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA
Judul Tesis
: Produktifitas Serasah Mangrove Dan Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten
Nama
: Putri Mudhlika Lestarina
NRP
: C551080181
Mayor
: Ilmu Kelautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc Ketua
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc
Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 28 Februari 2011
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, karunia serta kenikmatan-Nya sehingga penulisan tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “Produktifitas Serasah Mangrove Dan Potensi Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamni, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. I. Wayan Nurjaya, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan selama proses penyusunan dan penulisan tesis penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan moril dan materi kepada penulis sehingga bisa melanjutkan studi. Juga tak lupa disampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kelautan dan teman-teman kuliah yang telah banyak membantu dan atas kebersamaannya selama ini. Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada penulis sendiri dan kepada semua pihak.
Bogor,
Februari 2011
Putri Mudhlika Lestarina
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis panjatkan atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan Tesis ”Produktifitas Serasah Mangrove Dan Potensi Kontribusi Unsur Hara Di Perairan Mangrove Pulau Panjang Banten” dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. I. Wayan Nurjaya, M.Sc sebagai komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian dan pikiran dalam penyusunan Tesis ini. 2. Bapak dan Ibu staf pengajar PS. Ilmu Kelautan (PS-IKL) IPB yang telah banyak
memberikan
pemikiran-pemikirannya
kepada
penulis
selama
menempuh proses pendidikan. 3. Ayahanda Salamun Abas dan Ibunda Sariyah Etna Eriyanti serta Adik tercinta Putra Agung Okesa
beserta seluruh keluarga atas dorongan semangat,
motivasi, doa dan kasih sayang yang tak terhingga. 4. Eka Anto Supeni, M.Si terimakasih atas semangat dan semua keikhlasannya. 5. Achis, Sabam, Jais, Kohar dan Maria terimakasih atas bantuannya selama proses pengumpulan data di lokasi penelitian yang dengan setia membantu penulis hingga selesainya penelitian. 6. Martina Harahap dan Widiastuti, M.Si terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya dalam menemani hari-hariku selama kuliah. 7. Rekan-rekan SPs Ilmu Kelautan 2008 Institut Pertanian Bogor atas kebersamaan dan kerjasamanya yang baik. 8. Teman-teman Mba dilla, Mba Indah, Iko, Desrita dan Suri atas kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan koreksi dari pembaca dan penggunanya atas kekurangan penulisan tesis ini.
Bogor,
Februari 2011
Putri Mudhlika Lestarina
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banjarbaru pada tanggal 22 Mei 1985 dari pasangan Salamun Abas dan Sariyah Etna Eriyanti. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2003 penulis lulus dari SMAN 3 Banjarbaru, pada tahun yang sama penulis menempuh pendidikan Sarjana (S1) Jurusan Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan Universitas lambung Mangkurat. Kemudian pada tahun 2008 melanjutkan pendidikan Program Magister (S-2) pada Mayor Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .....................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
ix
1
PENDAHULUAN ............................................................................... 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1.2 Perumusan Masalah dan Kerangka Penelitian ............................ 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................
1 1 3 5 5
2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2.1 Ekosistem Mangrove ................................................................... 2.2 Produktifitas dan Serasah Mangrove .......................................... 2.3 Proses Dekomposisi Serasah ....................................................... 2.4 Unsur Hara (C, N, dan P) ............................................................
6 6 6 9 10
3
METODE PENELITIAN .................................................................. 3.1 Waktu dan Tempat ...................................................................... 3.2 Materi Penelitian ......................................................................... 3.3 Prosedur Penelitian ...................................................................... 3.3.1 Penentuan Stasiun Penelitian .......................................... 3.3.2 Pengambilan Sampel dan Data ....................................... 3.4 Analisis Data ................................................................................ 3.4.1 Analisis Vegetasi Mangrove ........................................... 3.4.2 Analisis laju Dekomposisi Serasah ................................. 3.4.3 Produksi Potensial Unsur Hara Serasah .......................... 3.4.4 Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Varaibel Fisika Kimia Perairan .......................................
12 12 12 13 13 14 18 18 19 20
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ............................................... 4.2 Karakteristik Fisika-Kimia Perairan ........................................... 4.3 Gambaran Umum Kondisi Ekosistem Mangrove ....................... 4.4 Analisa Vegetasi Mangrove ........................................................ 4.5 Dekomposisi Serasah Daun Mangrove ....................................... 4.6 Produktifitas Serasah Mangrove ................................................. 4.7 Produksi Potensial Unsur Hara C, N dan P ................................. 4.8 Bobot Serasah yang Dihasilkan dan yang Terdekomposisi ........ 4.9 Keterkaitan antar Parameter ........................................................
23 23 25 29 30 32 36 39 42 44
4
iv
20
5
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 5.2 Saran .............................................................................................
46 46 46
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
47
LAMPIRAN ...............................................................................................
51
v
DAFTAR TABEL Halaman 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian .........................................
12
2. Letak geografis lokasi pengamatan ......................................................
23
3. Nilai Parameter Fisika-Kimia Perairan Mangrove Pulau Panjang .........
25
4. Jumlah tegakan tumbuhan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m ........
29
5a. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat pohon .............................
31
5b. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat anakan dan semai ..........
31
6. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala ......
34
7.
Konstanta laju dekomposisi serasah daun mangrove ...........................
35
8.
Nilai rata-rata produktifitas serasah mangrove di Pulau Panjang ........
36
9.
Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian ............
37
10. Produksi potensial unsur hara pada guguran serasah 9g/m2/hari) ........
40
11. Kontribusi produksi potensial unsur hara serasah mangrove Pulau Panjang dan beberapa kawasan mangrove lainnya ..............................
41
12. Bobot kering serasah daun mangrove selama penelitian .....................
43
13. Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove ....................
44
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian .............................................................
4
2. Peta Lokasi Penelitian Kawasan Mangrove Pulau Panjang Banten .....
13
3. Pengukuran sampel vegetasi mangrove ...............................................
14
4. Transek garis dengan plot dari pinggir perairan kearah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove ...........................................................
15
5. Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove .......
16
6. Litter-bag yang diikatkan pada akar mangrove (kantong serasah yang digunakan untuk pengamatan laju dekomposisi serasah daun mangrove .............................................................................................
17
7. Keadaan area hutan mangrove pada ketiga stasiun pengamatan, a) hutan mangrove pada stasiun 1 dengan substrat dasar berlumpur, b) hutan mangrove bagian belakang pada stasiun 2 dengan substrat keras dan formasi terumbu yang timbul, c) hutan mangrove pada stasiun 3 yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa ......................
24
8. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia air. A. Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 2; B. Sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) ................................
27
9. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika-kimia air. A. Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 3; B. Sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 3 (F1 dan F3) .................................
28
10. Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada stasiun3 penelitian .....
33
11. Hasil penelitian produksi serasah di beberapa lokasi .........................
37
12. Proporsi komponen serasah tiap stasiun ...............................................
38
13. Perbandingan produktifitas serasah antar stasiun ................................
39
14. Potensi unsur hara serasah antar stasiun pengamatan ..........................
41
15. Sebaran bobot daun yang terurai di ekosistem mangrove ....................
43
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil pengukuran parameter fisika-kimia air tiap stasiun ....................
51
2. Akar ciri dan kontribusi persentase ragam total variabel pada sumbu utama ....................................................................................................
52
3. Matriks korelasi antar variabel .............................................................
52
4. Matriks korelasi antara variabel dan sumbu utama ..............................
53
5. Koordinat stasiun dalam sumbu utama ................................................
53
6. Koordinat stasiun dalam sumbu utama ................................................
54
7. Produktifitas serasah selama pengamatan ............................................
55
8. Kandungan unsur hara serasah di lokasi pengamatan ..........................
56
9. Sumbangan produksi potensial unsur hara serasa di lokasi pengamatan .........................................................................................
57
10. Bobot kering serasah daun mangrove ..................................................
58
11. Laju dekomposisi serasah daun mangrove ...........................................
59
12. Persentase daun mangrove yang terdekomposisi .................................
60
13. Kosntanta laju dekomposisi daun serasah mangrove ...........................
61
viii
1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Wilayah pesisir sebagai wilayah peralihan antara daratan dan laut,
ditempati oleh beragam ekosistem utama, salah satunya ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove mempunyai arti yang penting karena memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis ditinjau dari aspek fisika adalah pertama terjadinya mekanisme hubungan komponen-komponen dalam ekosistem mangrove serta hubungan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain seperti padang lamun dan terumbu karang. Kedua, dengan sistem perakaran yang kuat dan kokoh, ekosistem mangrove mempunyai kemampuan meredam gelombang, gelombang pasang dan angin taufan, menahan lumpur dan melindungi pantai dari erosi; dan ketiga sebagai pengendali banjir, mangrove yang banyak tumbuh di daerah estuaria juga dapat berfungsi sebagai pengendali banjir. Fungsi ini akan hilang jika hutan mangrove ditebang atau mengalami degradasi (Aksornkoae, 1993). Fungsi ekosistem mangrove dari aspek kimia yaitu memiliki kemampuan dalam proses kimia dan pemulihan (self purification) dan secara rinci memiliki beberapa fungsi, yaitu sebagai penyerap bahan pencemar (environmental service), khususnya bahan-bahan organik : kemudian sebagai sumber energi bagi lingkungan sekitarnya. Ketersediaan berbagai jenis makanan yang terdapat pada ekosistem mangrove telah menjadikannya sebagai sumber energi pada berbagai jenis biota yang berasosiasi didalamnya, seperti udang, kepiting, burung, berbagai jenis molluska dan sebagainya yang membentuk suatu rantai makanan yang kompleks dimana terjadi transfer energi dari tingkatan trofik yang lebih rendah ke tingkat trofik yang lebih tinggi dan yang terakhir sebagai pensuplai bahan organik bagi lingkungan perairan (Aksornkoae, 1993). Fungsi mangrove sebagai habitat dari berbagai biota laut tidak terlepas dari peran mangrove sebagai pengekspor bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi biota akuatik. Sumbangan yang paling penting dari ekosistem mangrove dalam kaitannya dengan produktifitas ekosistem pesisir adalah masukan unsur hara melalui serasahnya (guguran daun, bunga, buah, ranting dan sejumlah bagian pohon lain yang jatuh ke lantai hutan). Unsur hara
2
tersebut dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove itu sendiri dan sebagian menjadi masukan unsur hara yang dimanfaatkan oleh subsistem perairan di sekitarnya (Cotto et al., 1986). Produktifitas serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Apabila serasah di hutan mangrove ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa lainnya, akan diperoleh informasi penting dalam produksi, dekomposisi, dan siklus nutrisi ekosistem hutan mangrove (Kavvadias et al., 2001; Moran et al., 2000). Analisis dari komposisi hara dalam produksi serasah dapat menunjukkan hara yang membatasi dan efisiensi dari nutrisi yang digunakan, sehingga siklus nutrisi dalam ekosistem hutan mangrove akan terpelihara (Vitousek, 1982; Rahajoe et al., 2004). Daun
mangrove
yang
gugur
melalui
proses
penguraian
oleh
mikroorganisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Partikel-partikel detritus ini menjadi sumber makanan bagi berbagai macam filter feeder (organisme yang makanannya dengan menyaring) dan jenis hewan yang hidup di ekosistem mangrove. Konsentrasi unsur hara di kolom air dapat berfluktuasi dalam skala waktu yang singkat, karena adanya dinamika sumbangan unsur hara potensial secara terus menerus ke dalam kolom air. Sumbangan unsur hara dapat diestimasi dengan adanya monitoring secara intensif dan periodik. Sumbangan unsur hara di daerah perairan mangrove akan berfluktuasi seiring dengan dinamika produktifitas dan dekomposisi serasah mangrove di suatu perairan. Usaha pemanfaatan dan pengelolaan mangrove harus direncanakan secara seksama agar kelestariannya tetap terjaga, serta memerlukan data mengenai jenis, dinamika populasi dan komunitas, disertai dengan indikator yang mencerminkan peranannya terhadap suatu kawasan, termasuk diantaranya peranannya terhadap produktifitas dan kelangsungan hidup organisme di perairan sekitarnya.
3
1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus unsur hara dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Menurut Noer (2006) ada tujuh subsistem yang terkait bakteri, kepiting, detritus, fitoplankton, zooplankton dan ikan pelagis. Kawasan mangrove Pulau Panjang merupakan bagian dari ekosistem mangrove yang terdapat di Teluk Banten. Seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan di sekitar daerah Pulau Panjang bagi berbagai peruntukan seperti pertambakan, permukiman serta pabrik, maka tekanan ekologis terhadap ekosistem mangrove di kawasan Pulau Panjang juga meningkat. Meningkatnya tekanan ini telah mulai menimbulkan dampak dan mengancam kelestarian ekosistem mangrove di kawasan ini. Boonruang (1984) menjelaskan bahwa produktifitas mangrove merupakan sumber bagi produktifitas perikanan di estuari dan penyumbang unsur hara pada perairan pantai terdekat. Hal ini menjadikan mangrove memegang peranan yang unik dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lain, yaitu sebagai mata rantai siklus unsur hara yang penting artinya bagi organisme perairan (Amarangsinghe dan Balasubramanian, 1992 dalam Feliata, 2001). Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (Bengen, 2004). Unsur hara memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan unsur hara bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam maupun pada kolom air. Penelitian untuk mengetahui tingkat produktifitas dan dekomposisi serasah mangrove pada struktur vegetasi yang berbeda serta sumbangannya terhadap ketersediaan unsur hara potensial di daerah Pulau Panjang Banten belum pernah dilakukan, sehingga penelitian ini mencoba untuk menganalisa hal tersebut. Secara umum kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1.
4
Ekosisitem pesisir Ekosisitem mangrove
Peranan fisik
Peranan ekologis
Peranan sosial-ekonomis
Spawning grounds
Feeding
Nursery grounds
Tekanan antropogenis
Fungsi habitat
Tekanan alami
Produktivitas
Kondisi mangrove − Kerapatan − Penutupan − Pasang surut
Produksi serasah
Dekomposisi serasah
Kondisi iklim − Curah hujan − Suhu udara
Sumber unsur hara di perairan
Kesuburan perairan Batasan penelitian
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Kondisi lingkungan terjadinya dekomposisi: A. Kondisi fisika-kimia air − Salinitas − Suhu − pH − B. Bakteri, kepiting, detritus, ikan pelagis dll
5
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menelaah karakteristik habitat mangrove Pulau Panjang berdasarkan parameter kualitas perairan dan substratnya. 2. Mengkaji produktifitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove Pulau Panjang. 3. Mengetahui kontribusi potensi unsur hara (C, N, P) dari produksi serasah mangrove Pulau Panjang. 1.4. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1. Melengkapi informasi produktifitas dan dekomposisi serasah di kawasan mangrove Pulau Panjang serta sebagai salah satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus unsur hara pada ekosistem mangrove di lokasi penelitian. 2. Sebagai landasan pengelolaan sumberdaya ekosistem mangrove di Pulau Panjang, mengingat ekosistem mangrove memiliki nilai ekologi, sosial ekonomi, dan sosial-budaya yang sangat tinggi.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang. Karekteristik habitat mangrove secara umum adalah sebagai berikut (Bengen, 2004) : -
Umumnya tubuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
-
Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi penggenangan menentukan komposisi vegetasi mangrove.
-
Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
-
Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2 – 22 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰). Mangrove memegang peranan penting bagi perikanan pantai, yakni
berperan dalam siklus hidup berbagai jenis ikan, udang dan moluska karena lingkungan mangrove menyediakan perlindungan serta berperan sebagai pemasok bahan organik yang masuk ke dalam rantai makanan sehingga dapat menyediakan makanan untuk organisme yang hidup pada perairan sekitarnya (Noor dkk., 1999). 2.2. Produktifitas dan Serasah Mangrove Produktifitas mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dan nilai produktifitas laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktifitas perairan pantai. Produktifitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/th (Lugo dan Snedaker, 1974).
7
Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktifitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalaui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah. Produktifitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktifitas (Chapman, 1976). Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove. Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara terlarut yang dapat dimanfaatkan oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting. Proses makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota ini akhirnya membentuk suatu jala makanan (Bengen, 2004). Serasah dari pohon mangrove merupakan sumber bahan organik yang penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid, 1988). Serasah adalah bahan organik dari bagian pohon yang mati yang jatuh di lantai hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah pada suatu waktu. Besarnya produktifitas serasah dipengaruhi oleh : -
Besarnya diameter pohon
-
Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut air laut
-
Keterbukaan dari pasang surut dimana makin terbuka makin optimal (Kusmana et al, 2000). Produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda.
Perbedaan jumlah serasah ini dapat disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktifitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk
8
dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker, 1974). Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan pamudji (1987) ditunjukkan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area (litterlayer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai berikut : -
Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m2, Kcal/ha).
-
Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu (misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun). Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat
total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk satu periode (misal g/hari). Konsep turnover rate berguna membandingkan tingkat/nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem. Turnover rate didefinisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan yang ada (misal rasio produksi serasah terhadap litter-layer). Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan suatu bahan dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan mikroba (Odum, 1993). Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami penguraian akan menjadi makanan organisme perairan. Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang penting artinya bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan. Tingginya unsur hara di perairan hutan mangrove memungkinkan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari beberapa ikan atau hewan air tertentu. Ekosistem mangrove merupakan tempat hidup sejumlah besar hewan-hewan air, seperti kepiting, moluska dan invertebrate
9
lainnya. Selain itu ada pula di antara hewan-hewan air tertentu seperti udangudangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang surut (Supriharyono, 2000). 2.3. Proses Dekomposisi Serasah Ekosistem
mangrove
memiliki
komponen-komponen
sebagaimana
ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang berperan didalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produser, bermacam-macam kelompok hewan sebagai consumer dan bakteri serta fungi sebagai decomposer (Collier et al, 1973). Terdapat tiga proses dasar yang menyusun komponen biotic pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi, (b) proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa temperature, oksigen, nutrient dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam proses dekomposisi adalah decomposer yang umumnya berasal dari kelompok bakteri dan fungi. Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian hancur. Dekomposisi bisa berarti mekanisme penghancuran struktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan struktur sel yang kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell, 1974 dalam Yunasfi, 2006). Proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh decomposer yang merubah bahan organik
menjadi
bahan
senyawa
anorganik.
Definisi-definisi
tersebut
menggambarkan bahwa proses dekomposisi bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen-egen fisika (Smith, 1980). Menurut Anderson dan swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi antara lain (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia. Keadaan lingkungan ekosistem mangrove yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi
10
sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978). 2.4. Unsur Hara (C, N dan P) Unsur hara atau nutrient merupakan suatu elemen yang berfungsi masuk di dalam proses kehidupan organisme. Unsur hara utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah Karbon ©, Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O 2 ), Silikon (S), Magnesium (M), Potassium (K) dan kalsium (Ca). sedangkan nutrient trace element dibutuhkan dalam konsentrasi sangat kecil, yakni besi (Fe), tembaga (Cu) dan vanadium (V). lebih lanjut Parsons et al (1984) menyatakan bahwa elemenelemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca yang dibutuhkan dalam jumlah besar disebut makronutrien sedangkan elemen-elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit dan biasanya disebut mikronutrien atau trace element. Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir. Nitrogen dari atmosfir yang difikasai oleh mahkluk hidup berada dalam kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH 3 ), Ammonium (NH 4 ), Nitrit (No 2 ) dan Nitrat (NO 3 ) sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea. Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut ataupun partikulat adalah hasil metabolism organisme bahari dan hasil proses pembusukan. Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa 50 – 60 % dari bobot awal setelah 3 sampai 10 bulan terdekomposisi (MooreLandecker, 1990). Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan tinggi kandungan fenol dan tinggi nisbah C : N yang cenderung membuat serasah tidak disukai dan tidak diketahui bahwa cacing tanah lebih menyukai daun-daun dengan kandungan
11
maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen dan karbon dan unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrata tau tanah berlimpah. Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh decomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al, 1992 dalam Pribadi, 1998). Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Menurut Ashton et al (1999) nilai nutrisi dapat ditentukan dari rasio C : N, dimana nilai rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi. Kualitas nutrisi yang tinggi umumnya akan mengakibatkan proses dekomposisi yang lebih cepat.
3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Pulau Panjang, Kecamatan Bojonegara, Kabupaten Serang, Propinsi Banten. Pulau Panjang secara geografis berada pada koordinat 6’25’18’’ – 6’28’12’’ lintang selatan dan 106’22’9’’ – 106’25’36’’ bujur timur (Gambar 2). Waktu penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April - Juni 2010, dilakukan dalam dua bagian, yaitu pengambilan sampel serasah mangrove, air dan pengujian laju dekomposisi di kawasan hutan mangrove Pulau Panjang, Banten. Analisa sampel (C, N dan P) yang dilakukan di Laboratorium Produktifitas dan Lingkungan (Proling) Fakultas Perikanan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. 3.2. Materi Penelitian Materi penelitian yang digunakan adalah serasah mangrove yang gugur di lokasi penelitian. Peralatan yang digunakan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Peralatan yang digunakan dalam penelitian Alat Jaring/Litter-trap Kantong serasah/Litter-bag Hand Refraktometer Termometer pH meter DO meter Meteran dan jangka sorong Botol gelap Cool box Timbangan/Neraca analitik Kantong plastic Kertas label Tali
Kegunaan Menangkap serasah Wadah dekomposisi serasah Mengukur salinitas Mengukur Suhu Mengukur pH Mengukur DO Mengukur diameter mangrove Tempat sampel air Pendingin sampel Menimbang sampel Tempat sampel serasah Menandai sampel Menandai jarak
Satuan 1 x 1 m2 30 x 30 cm2 %o °C mg/1 cm g m
13
106°6'09"
106°8'12"
106°10'15"
106°12'18"
PETALOKASI PENELITIAN PULAUPANJANG KAB. SERANG
106°14'21"
5°54'24"
5°54'24"
N
0.8 0 0.81.6 Kilometers
5°56'27"
5°56'27"
Skala : 1 : 85.031
St 3
LEGENDA: #
St 2
St 1
P.Pamuyan Bsr
Teluk Banten
5°58'30"
5°58'30"
P. Tarahan
P.Pamuyan Kcl
Nama : Putri Mudhlila Lestarina NRP : C551080181 Mayor : Ilmu Kelautan (IKL)
I ns er t : 6°00'33"
6°00'33"
P.Kubur
P. Limajambu P.P. Lima
106°6'09"
106°8'12"
Kali Stasiun Pulau
106°10'15"
106°12'18"
106°14'21"
Kep.Seribu
Sumber Peta : Dishidros TNI-AL Jakarta
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian kawasan Mangrove Pulau Panjang, Banten.
3.3. Prosedur Penelitian 3.3.1. Penentuan Stasiun Penelitian Lokasi penelitian dibagi atas tiga stasiun pengamatan yang dibedakan karakteristiknya berdasarkan interaksinya. Daerah hutan mangrove Pulau Panjang berinteraksi dengan Perairan Laut Jawa. Tiap-tiap stasiun terdiri atas 3 sub stasiun pengamatan. Stasiun 1 berada di sisi barat pulau gosong merupakan pelabuhan alternative kampung Peres dan berbatasan dengan Teluk Banten. Stasiun 2 terletak di bagian timur pulau yang merupakan daerah yang berkarang. Stasiun 3 terletak di pantai bagian utara pulau berbatasan dengan Laut Jawa.
14
3.3.2. Pengambilan Sampel dan Data A. Pengambilan Sampel untuk Analisis Vegetasi Mangrove Sampel vegetasi mangrove dibagi atas tiga kategori, yakni Semai (seedling), Anakan (sapling) dan Pohon (tree) (Gambar 3), dengan kriteria sebagai berikut (Gambar 3).
a
b
c
a
Gambar 3. Pengukuran sampel vegetasi mangrove (a. semai, b. anakan, c. pohon)
Pengambilan sampel untuk analisis vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah intertidal (Bengen, 2004). Jarak antar transek garis sekitar 100 meter, sedangkan panjang transek dari pinggir perairan ke arah darat bergantung kepada ketebalan mangrove pada tiap-tiap stasiun pengamatan. Transek garis berada pada posisi dari arah perairan ke arah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m2 untuk pohon; 5 x 5 m2 untuk anakan; dan 1x1 m2 untuk semai. Rancangan plot transek garis untuk pengamatan vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 4.
15
Transek 3
Plot 1
Plot 2
Plot 3
Perairan
Transek 2
Plot 1
Plot 2
Plot 3
100 m
Pulau Panjang
100 m
Transek 1
Plot 1
Plot 2
Plot 3
Gambar 4. Transek garis dengan plot dari pinggir perairan kearah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove. Untuk setiap transek garis ditentukan tiga petak contoh, di mana pada setiap petak contoh dilakukan penghitungan jumlah individu setiap jenis dan pengukuran diameter batang pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada (DBH = Diameter Breast High) atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah (English et al, 1994). Untuk semai, pengukuran diameter dilakukan di bawah bagian mulai ditemukannya bakal cabang. B. Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall) Metode umum yang digunakan untuk menangkap guguran serasah di hutan mangrove dalam waktu tertentu (liner-fall) adalah dengan litter-trap (jaring penangkap serasah) (Brown, 1984). Litter-trap berupa jaring penampung berukuran 1 x 1 meter persegi, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring (mesh size) sekitar 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat (Gambar 5).
16
Gambar 5. Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove Litter-trap diletakkan diantara vegetasi mangrove terdekat dengan ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Litter-trap dipasang pada setiap plot pengamatan di masing-masing stasiun pengamatan. Serasah pertama yang diperoleh pada penempatan Litter-trap (sekitar 3 hari setelah dipasang) khususnya organ daun disimpan untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan penelitian laju dekomposisi serasah. Pengukuran produktifltas serasah dilaksanakan berbarengan dengan mulai dilakukannya penelitian laju dekomposisi selama 2 bulan dengan selang waktu pengambilan selama 14 hari. Serasah yang sudah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya antara daun, ranting, dan bunga/buah. Serasah tersebut ditimbang beratnya lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium. Di laboratorium dilakukan pengukuran berat kering serasah dengan mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 105°C hingga beratnya konstan (Ashton et al, 1999). Serasah yang sudah dikeringkan ini selanjutnya akan dilakukan pengukuran bendungan unsur haranya (Total C, N dan P). C. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Daun Pengukuran laju dekomposisi serasah dilakukan secara eksperimental di lapangan, yakni dengan meletakkan serasah daun yang telah dikeringkan
17
sebanyak 10 g ke dalam kantong serasah (liner-bag) berukuran 30 x 30 cm2 yang terbuat dari nilon dengan mesh size 1 mm (Pribadi, 1998; Ashton et al, 1999). Litter-bag diikatkan pada akar atau batang mangrove agar tidak terbawa air pasang. Litter-bag diambil dari masing-masing lokasi pengamatan setelah 14, 28, 42 dan 56 hari (Ashton et al, 1 999) (Gambar 6).
Gambar 6. Litter-bag yang diikatkan pada akar daun mangrove (kantong serasah yang digunakan untuk pengamatan laju dekomposisi serasah daun mangrove), pengambilan foto dilakukan pada saat surut. Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari litter-bag dikeluarkan dan ditiriskan, untuk selanjutnya diukur beratnya. Di laboratorium, serasah tersebut selanjutnya dikeringkan pada suhu 105°C hingga beratnya konstan (Ashton et al, 1999), lalu diukur berat keringnya. Laju dekomposisi serasah dihitung dari penyusutan bobot serasah yang didekomposisikan dalam satu satuan waktu. D. Pengambilan Sampel Air Sampel air diambil dengan menggunakan water sampler lalu dimasukkan kedalam botol warna gelap (sebelumnya telah dicuci dengan larutan asam lemah). Sampel selanjutnya dimasukkan dalam cool box untuk mengurangi aktivitas mikroorganisme dalam sampel (Hutagalung dan Setiapermana, 1991).
18
Sampel air selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisa Total padatan tersuspensi (TSS) dan bahan organik total (TOM). Pengukuran parameter lingkungan lainnya seperti suhu, salinitas, pH, dan DO dilakukan langsung di lapangan. Data harian pasang surut, curah hujan, kelembaban nisbi dan kecepatan angin menggunakan data sekunder. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Vegetasi Mangrove Analisis data vegetasi mangrove meliputi (Bengen, 2004): Kerapatan Jenis (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Jenis (F), Frekuensi Relatif (FR), Basal Area (BA), Penutupan Jenis atau Dominasi (Di), Dominasi Relatif (DR) dan Nilai Penting (NP): 1. Kerapatan Jenis (K) adalah jumlah individu jenis i dalam suatu unit area K = n i /A di mana K adalah kerapatan jenis i, n, adalah jumlah total individu dari jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). 2. Kerapatan Relatif (KR) adalah perbandingan antara jumlah individu jenis i (n i ) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Σn) (KR) : = (n i / Σn)x100 3. Frekuensi Jenis (F) adalah peluang ditemukannya jenis I dalam petak contoh/plot yang diamati: F = p i / Σp di mana F adalah frekuensi jenis i, p i adalah jumlah petak contoh/plot di mana ditemukan jenis i, dan p adalah jumlah total petak contoh/plot yang diamati. 4. Frekuensi Relatif (FR) adalah perbandingan antara frekuensi jenis I (F) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (SF) ; 5. Basal Area (BA) BA = (πDBH2) / 4 di mana BA adalah basal area, π (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohon dari jenis i. 6. Penutupan Jenis atau Dominasi Jenis (D) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit area:
19
Di = Σ BA/A di mana BA adalah Basal Area dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak ontoh/plot) 7. Penutupan Relatif Jenis atau Dominasi Relatif (DR) adalah perbandingan antara luas area penutupan jenis i dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis, atau perbandingan antara dominasi individu jenis I (Di) dan jumlah total dominasi seluruh individu (ΣD). DR = (Di/ΣDi)x100 8. Nilai Penting (NP) adalah jumlah nilai Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi Relatif (DR) : NP = KR + FR + DR 3.4.2. Analisis laju dekomposisi serasah Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan persamaan : 𝑅𝑅 =
Dimana:
𝑊𝑊𝑜𝑜 − 𝑊𝑊𝑡𝑡 𝑇𝑇
R
= Laju dekomposisi (g/hari)
T
= Waktu pengamatan (hari)
Wo
= Berat kering sampel serasah awal (g)
Wt
= Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g) Persentase
penguraian
serasah
diperoleh
dengan
menggunakan
rumus (Boonruang, 1984) : 𝑌𝑌 =
Dimana :
𝑊𝑊𝑜𝑜 − 𝑊𝑊𝑡𝑡 𝑥𝑥100% 𝑊𝑊𝑡𝑡
Y = Persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi Wo = Berat kering serasah awal (g) Wt = Berat kering serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g) Pendugaan nilai konstanta
laju
dengan menggunakaii rumus (Ashton, 1999):
Xt
= X o .e-kt
dekomposisi
serasah diperoleh
20
ln(X t /X o ) = -kt Dimana : Xt
= berat kering serasah setelah waktu pengamatan ke -t (g)
Xo
= berat kering serasah awal (g)
e
= bilangan logaritma natural (2,72)
k
= konstanta laju dekomposisi serasah
t
= waktu pengamatan (hari)
3.4.3. Produksi potensial unsur hara serasah Perhitungan besarnya produksi potensial unsur hara serasah atau potensi unsur hara yang dapat dimanfaatkan (litter/all nutrient accession) dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Djamaludin, 1995): NA= N x T Dimana: NA = Nutrient accession I Unsur Hara yang dihasilkan (g/m2/hari) N
= Kandungan Unsur Hara %
T
= Produktifitas serasah (g/m2/hari)
3.4.4. Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Bcrdasarkan Variabel Fisika Kimia Perairan Analisis karaktersitik variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun pengamatan dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis atau PCA) (Bengen, 2000). Analisis Komponen Utama merupakan metoda statistik deskriptif yang dapat digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (fisik-kimia perairan) yang berbentuk kuantitatif (kolom). Bengen (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa analisis ini memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang agar dapat lebih mudah tea dengan kehilangan informasi sesedikit mungkin. Metode ini bertujuan mendeterminasi sumbu-sumbu optimum tempat diproyeksikannya individuindividu dan / atau variabel-variabel.
21
Data variabel fisika-kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan nilai rata-rata,yakni: C = Ni – x Dimana: C = Nilai pemusatan N i = Nilai asli variabel x = Nilai rata-rata variabel Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai berikut: 𝑅𝑅 =
Dimana:
𝐶𝐶 𝑆𝑆
R = Nilai pereduksian C = Nilai pemusatan S = Nilai simpangan baku variabel Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds, 1988), yaitu: R s x s = A s x n At nxs Dimana: R s x s = Matriks korelasi ry A sxn = Matriks indeks sintetis ry At nxs = Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari
22
analisis ini tidak berasal dari variable- variabel awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier variabel- variabel asal. Di antara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (Fl), yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan Fl dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, di mana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut:
Dimana:
𝑑𝑑
2 (𝑖𝑖, 2 )
𝑖𝑖
𝑝𝑝
= ��𝑋𝑋𝑖𝑖𝑖𝑖 − 𝑋𝑋𝑖𝑖 ′ 𝑗𝑗 � 𝑗𝑗 =1
2
i,i' = dua baris j
= indeks kolom (bervariasi dari 1 hingga p) Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip
karakteristik fisika kimia air dan substrat antar kedua stasiun teresebut dan sebaliknya semakin besar jarak Eclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik karaktersitik fisika kimia air dan substrat kedua stasiun tersebut.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan mangrove Pulau Panjang secara geografis masih terletak pada daerah tropis yang mengalami dua musim, yaitu musim penghujan dan musim kemarau. Perairan relatif terlindung dengan pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove, sedikit rataan karang dengan tubir yang tidak jelas. Pemanfaatan lahan antara lain sebagai pemukiman nelayan, pelabuhan lokal dengan dermaga tipe jeti tanpa tiang pancang.
Budidaya rumput laut dan perikanan tangkap bagan
ditemukan banyak disekitar perairan dangkal rataan terumbu. Pulau Panjang mempunyai lokasi yang sangat strategis, karena terletak di dekat Pelabuhan Bojonegara, yaitu pada jalur laut yang melewati pelabuhan Bojonegara, sehingga akan menimbulkan dampak baik secara ekonomi, fisik, maupun sosial budaya. Adapun batas-batas wilayah yang melingkupinya adalah : −
Sebelah utara
:
Laut Jawa
−
Sebelah barat
:
Kecamatan Bojonegara
−
Sebelah selatan
:
Teluk Banten
−
Sebelah timur
:
Pulau Pamujan besar dan Pamujan kecil
Jumlah stasiun penelitian yang dilakukan di pulau Panjang terdiri dari 3 stasiun (Stasiun 1, 2 dan 3) dan masing-masing stasiun terdiri dari 3 subtasiun. Letak geografis ketiga stasiun pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Letak geografis lokasi pengamatan No.
Lokasi Pengamatan
1.
Letak Geografis Bujur Timur (BT)
Lintang Selatan (LS)
Stasiun 1
106009’29.113”
5056’32.55”
2.
Stasiun 2
106009’42.45”
5056’23.15”
3.
Stasiun 3
106008’41.73”
5062’27.61”
Dengan luas wilayah sekitar ± 820 Ha, pulau panjang merupakan pulau terbesar di peraiaran Teluk Banten. Bila dibandingkan dengan pulau-pulau kecil lainnya, seperti Pulau Semut, gugusan Pulau Lima, Pulau Gedang, Pulau Kubur,
24
Pulau Pamujan Besar dan Pamujan Kecil, Pulau Dua, Pulau Tarahan dan Pulau Kali yang rata-rata tidak berpenduduk. Ekosistem mangrove pada lokasi pengamatan cukup bervariasi yaitu dengan ketebalan berkisar antara 100-250 meter. Hutan mangrove yang dekat dengan pemukiman relatif lebih tipis yaitu berkisar antara 100-150 meter dengan vegetasi cenderung homogen. Sedangkan pada area yang jauh dari pemukiman, hutan mangrove mencapai ketebalan 200-300 meter dan terdiri dari beberapa jenis vegetasi.
Kondisi mangrove ketiga stasiun penelitian tersebut disajikan pada
Gambar 7.
c
a b
Gambar 7. Keadaan area hutan mangrove pada ketiga stasiun pengamatan, a) hutan mangrove pada stasiun 1 dengan substrat dasar berlumpur, b) hutan mangrove bagian belakang pada stasiun 2 dengan substrat keras dari formasi terumbu yang timbul, c) hutan mangrove pada stasiun 3 yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Substrat dasar perairan juga menunjukan kondisi yang berbeda dimana yang lebih dekat dengan pemukiman didominasi oleh lumpur dan sedikit patahan karang mati. Substrat keras berupa formasi terumbu yang masih utuh dan patahan karang mati mendominasi pada bagian belakang hutan mangrove yang jauh dari pemukiman dan tidak terendam saat surut terendah. Hasil informasi masyarakat formasi terumbu tersebut sebelumnya tidak ada dan muncul sekitar tahun 1950 an menghasilkan daratan yang cukup luas. Sedangkan pada area mangrove bagian
25
depannya yang berhadapan langsung dengan laut terdiri dari substrat lunak berupa lumpur. Zonasi dengan karakter spesifik terlihat jelas pada ketiga stasiun. 4.2 Karakteristik Fisik-Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika-kimia perairan pada tiap substasiun dilakukan dengan masing-masing 3 kali pengulangan. Ada 7 parameter fisikakimia yang nilainya diukur, yaitu suhu, salinitas, DO, pH, DHL, TSS dan TOM. Ketujuh parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran mangrove, proses dekomposisi serasah dan produktifitas mangrove. Sebaran nilai parameter fisika-kimia perairan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap sub-stasiun disajikan pada Lampiran 1. Tabel 3. Nilai Parameter Fisika-Kimia Perairan Mangrove Pulau Panjang Parameter
min
Stasiun 1 rerata ± max std
Suhu (0 C)
30.00
32.10
Salinitas (‰)
27.00
31.00
DO (mg/l)
0.41
0.48
pH
4.96
7.91
DHL (µS/cm)
min
Stasiun 2 rerata ± max std
31.42 ± 0.70 29.00 ± 1.41 0.45 ± 0.02
30.30
32.40
28.00
32.00
5.11
5.22
6.76 ± 1.02
5.07
54600
57666.67 ± 28240
min
Stasiun 3 rerata ± max std
31.68 ± 0.77 29.78 ± 1.30 5.18 ± 0.04
31.90
34.30
29.00
32.00
0.43
0.49
7.53
6.69 ± 0.86
6.76
7.80
58600.0 0
56844.44 ± 1357.72
55200
64150
35.00
620.00
94.80
237.00
55300
62550
TSS (mg/l)
<4
2956.0 0
446.63 ± 1016.95
16.00
330.00
86.56 ± 103.83
TOM (mg/l)
47.40
328.64
170.99 ± 86.88
41.08
227.52
126.05 ± 72.96
33.08 ± 0.81 30.56 ± 1.13 0.46 ± 0.02 7.25 ± 0.40 57850.00 ± 2852.52 124.56 ± 190.43 158.00 ± 50.16
Suhu perairan mangrove Pulau Panjang berkisar antara 30 sampai 34.30 0C, dimana di stasiun 1 memiliki suhu rata-rata 31.42 0C dan stasiun 2 mempunyai suhu rata-rata 31.68 0C. Sedangkan pada stasiun 3 suhu rata-ratanya mencapai 33.08 0C. Hal ini disebabkan oleh pengukuran suhu yang dilakukan
26
pada siang hari. Penyebab lainnya adalah wilayah pengambilan data merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya yang diterima tinggi. Salinitas merupakan
faktor lingkungan
yang sangat menentukan
perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksornkoe, 1993). Hasil dari pengukuran yang dilakukan diperoleh salinitas rata-rata tertinggi pada stasiun 3 dengan 30.56 ‰ dan terendah pada stasiun 1 sebesar 29 ‰. Bengen (2004) menyatakan bahwa salah satu karakteristik habitat hutan mangrove adalah air bersalinitas payau (2-2 ‰) hingga asin (mencapai 38 ‰). Kandungan oksigen terlarut (DO) rata-rata lokasi penelitian berkisar antara 0.41 sampai dengan 5.22 mg/l. Kandungan oksigen ini tidak terlalu tinggi, yang diduga karena adanya pengaruh proses penguraian serasah di daerah mangrove yang membutuhkan oksigen. Dari hasil pengukuran diperoleh derajat keasaman (pH) yang berbeda-beda untuk setiap stasiun, bahkan juga berbeda tiap substasiunnya. Bila dibandingkan diantara ketiga stasiun penelitian maka kisaran pH yang diperoleh tidak terlalu jauh berbeda. Dimana untuk stasiun 1 rata-rata pHnya 6.76; kemudian untuk stasiun 2 diperoleh rata-rata pH 6.69; sedangkan untuk stasiun 3 nilai rata pHnya sebesar 7.25. Hal ini diduga karena adanya kesetimbangan antara proses penguraian serasah mangrove yang cenderung menghasilkan kondisi asam dengan pengaruh kapasitas penyangga (buffer) oleh garam-garam karbonat dan bikarbonat pada air laut yang lebih basa. Sedangkan untuk Kandungan Total Padatan Tersuspensi (TSS) dan bahan organik total (TOM) tertinggi pada stasiun 1 dengan masing-masing nilai 2956.00 mg/l dan 328.64 mg/l Tingginya TSS dan TOM di stasiun 1, karena pada daerah tersebut cenderung terjadi akumulasi sedimen dan bahan organik baik dari daratan maupun dari lautan, mengingat stasiun ini terletak dekat dengan pemukiman dan dermaga pelabuhan. Sebaran Karakteristik Fisika-Kimia Air Untuk melihat sebaran karakteristik fisika-kimia perairan secara spesifik dikaji dengan menggunakan analisis komponen utama. Pendekatan PCA tersebut
27
digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi dalam bentuk matriks data. Berdasarkan analisis data principal component analysis diperoleh informasi bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 32.81%, dua komponen utama sebesar 55.01%, 3 komponen utama sebesar 75.74%. Untuk mencapai 100% ragam total maka jumlah komponen utama yang diperlukan adalah sebanyak tujuh komponen (sesuai dengan jumlah parameter yang dianalisis). Akar ciri dari masing-masing sumbu faktorial berhubungan dengan jumlah inersia dari setiap sumbu. Selanjutnya vektor ciri akan berperan untuk menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan pereduksian) dalam persamaan linear yang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama. Akar ciri dan persentase ragam total dapat dilihat pada Lampiran 2.
B
A Gambar 8. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air. A. korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 2; B. sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2)
28
B
A Gambar 9. Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air. A. korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 3; B. sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 3 (F1 dan F3)
Berdasarkan hasil analisis distribusi variabel fisika kimia perairan terhadap stasiun penelitian di lokasi Pulau Panjang menggunakan Analisis Komponen Utama (PCA). Diperoleh hasil dari analisis matriks korelasi data fisika kimia perairan Pulau Panjang memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Gambar 8 dan 9 di atas menjelaskan bahwa stasiun 3 (3.3 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1) dikarakteristikkan oleh kandungan DO, Salinitas dan DHL yang tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.2) dan stasiun 2 (2.2) dicirikan oleh nilai pH yang cukup tinggi. Sedangkan stasiun 2 (2.3) memiliki ciri dengan kandungan TOM dan suhu tinggi dan secara tidak langsung akan mempengaruhi pertumbuhan mangrove.
29
Stasiun penelitian dikelompokkan dalam tiga kelompok, dengan masingmasing stasiun terdiri atas 3 sub stasiun. Dimana stasiun 1 (terdiri atas sub stasiun 1.1, 1.2, dan 1.3) yang terletak disisi sebelah barat pulau, lokasi stasiun ini dekat dengan pemukiman dan dermaga. Kemudian stasiun 2 (terdiri atas sub stasiun 2.1, 2.2 dan 2.3) merupakan stasiun yang berada di sebelah timur pulau, stasiun ini berada pada daerah yang berkarang. Sedangkan untuk stasiun 3 (terdiri atas sub stasiun 3.1, 3.2 dan 3.3) merupakan stasiun yang berada tepat disebelah utara pulau, dimana stasiun berhadapan langsung dengan Laut Jawa. Data lengkap nilai akar ciri, persentase ragam, korelasi antar variabel, korelasi antara variabel terhadap sumbu utama serta grafik PCA secara lengkap disajikan di Lampiran 3 - 6. 4.3 Gambaran Umum Kondisi Ekosistem Mangrove Data mengenai jenis vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian diperoleh dari pengamatan langsung dengan pemasangan transet/plot. Komposisi kekayaan jenis dan jumlah tegakan masing-masing vegatasi mangrove disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah tegakan tumbuhan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m Stasiun
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Jenis Mangrove Sonneratia alba Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhiza Total Tegakan Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Total Tegakan Sonneratia alba Rhizophora apiculata Rhizophora stylosa Bruguiera gymnorhiza Avicennia alba Lumnitzera racemosa Aegiceras floridum Total Tegakan
Pohon 6 121 9 18 154 116 49 165 4 126 51 6 4 4 10 205
Jumlah Tegakan Anakan Semai 2 3 70 37 2 1 5 4 79 45 36 26 21 8 57 34 2 2 30 26 21 5 6 1 1 1 1 4 65 35
Jenis mangrove yang paling banyak ditemukan di pulau Panjang adalah Rhizophora apiculata, hal ini terlihat melalui jumlah tegakan vegetasi mangrove.
30
Jumlah tegakan Rhizophora apiculata pada tingkat pohon yang ditemukan di Stasiun 1 adalah sebanyak 121 tegakan, yang paling sedikit adalah Sonneratia alba dengan 6 tegakan. Dari 165 total tegakan pohon mangrove yang terdapat di Stasiun 2, 116 tegakan diantarnya adalah jenis Rhizophora apiculata dan sisanya 49 tegakan adalah jenis Rhizophora stylosa. Stasiun 3 merupakan lokasi yang paling tinggi jumlah tegakan vegetasi pohon mangrove, yaitu sebanyak 205 tegakan. 165 diantaranya berasal dari jenis Rhizophora apiculata. 4.4 Analisa Vegetasi Mangrove Kondisi mangrove di pulau Panjang digambarkan oleh beberapa indeks vegetasi mangrove, antara lain kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi relatif, penutupan jenis, penutupan relatif dan indeks nilai penting. Masing-masing indeks
tersebut memiliki peranan
yang berbeda untuk
menggambarkan kondisi vegetasi mangrove. Nilai indeks vegetasi mangrove di pulau Panjang disajikan dalam Tabel 5a. Indeks nilai penting (IVi) merupakan akumulasi dari kerapatan relative jenis (RDi), frekuensi relative jenis (RFi) dan penutupan relative jenis (RCi). Indeks nilai penting berkisar antara 0-300. Indeks nilai penting memberikan gambaran mengenai pengaruh jenis atau peranan suatu jenis mangrove dalam suatu komunitas. Berdasarkan analisis data, indeks nilai penting pada 3 lokasi penelitian berkisar antara 7.96-230%. Hasil perhitungan IVi menunjukkan bahwa genera Rhizophora memiliki nilai IVi tertinggi di tiap stasiun, khususnya jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa. Jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa memiliki peranan penting dan paling mempengaruhi ekosistem mangrove di pulau Panjang, Banten. Hal ini terlihat dari nilai kerapatan jenisnya yang jauh lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa tumbuh subur dan memiliki penyebaran yang luas. Kualitas perairan dan substrat pesisir pulau Panjang sangat cocok untuk tumbuh dan berkembangnya jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora stylosa.
31
Tabel 5a. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat pohon Stasiun
Spesies
RDi (%)
RFi (%)
RCi (%)
IVi (%)
Sonneratia alba
3.90
7.69
0.98
12.57
Rhizophora apiculata
78.57
61.54
90.46
230.57
Rhizophora stylosa
5.84
23.08
2.43
31.35
Bruguira gymnorhiza
11.69
7.69
6.13
25.51
Rhizophora apiculata
70.30
58.72
76.50
205.52
Rhizophora stylosa
29.70
41.28
23.50
94.48
Sonneratia alba
1.95
8.33
2.18
12.46
Rhizophora apiculata
61.46
37.50
63.42
162.38
Rhizophora stylosa
24.88
29.17
24.83
78.87
Bruguira gymnorhiza
2.93
8.33
2.52
13.78
Avicennia alba
1.95
4.17
1.85
7.96
Lumnitzera racemosa
1.95
4.17
1.94
8.05
Aegiceras floridum
4.88
8.33
3.27
16.48
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Keterangan: RDi
= Kerapatan Relatif Jenis
RCi
= Penutupan Relatif Jenis
RFi
= Frekuensi Relatif Jenis
IVi
= Nilai Penting
Tabel 5b. Nilai indeks vegetasi mangrove pada tingkat anakan dan semai Anakan Stasiun
Semai
Spesies RDi (%)
RFi (%)
RDi (%)
RFi (%)
Sonneratia alba
2.53
9.09
6.67
10.00
Rhizophora apiculata
88.61
72.73
82.22
70.00
Rhizophora stylosa
2.53
9.09
2.22
10.00
Bruguira gymnorhiza
6.33
9.09
8.89
10.00
Rhizophora apiculata
63.16
66.67
76.47
70.00
Rhizophora stylosa
36.84
33.33
23.53
30.00
Sonneratia alba
3.08
9.52
5.71
6.25
Rhizophora apiculata
46.15
33.33
74.29
50.00
Rhizophora stylosa
32.31
28.57
14.29
31.25
Bruguira gymnorhiza
9.23
9.52
2.86
6.25
Avicennia alba
1.54
4.76
2.86
6.25
Lumnitzera racemosa
1.54
4.76
5.71
6.25
Aegiceras floridum
6.15
9.52
74.29
50.00
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
32
Berdasarkan perhitungan tegakan mangrove pada 3 stasiun lokasi penelitian diperoleh hasil bahwa Stasiun 3 merupakan daerah yang memiliki jumlah tegakan pohon paling banyak, kerapatan total adalah 22.778 individu/ha. Lokasi yang memiliki kerapatan pohon terendah adalah Stasiun 1 dengan nilai k sebesar 17.111 individu/ha. Komposisi nilai kerapatan jenis mangrove pada tingkat pohon berbeda bila dibandingkan dengan tingkat anakan dan semai. Kerapatan jenis mangrove pada tingkat anakan dan semai paling tinggi terdapat pada Stasiun 1 dan terendah adalah pada Stasiun 2. Kondisi daerah penelitian yang merupakan wilayah kepulauan sehingga berbatasan langsung dengan lautan mengakibatkan daerah ini sering mendapat masukan pasang dimana hanya tumbuhan mangrove yang mempunyai toleransi yang tinggi terhadap pasang yang dapat berkembang dengan baik. Bengen (2004) menyatakan bahwa salah satu tipe zonasi mangrove yang umum di Indonesia yakni untuk daerah yang dekat dengan laut sering ditumbuhi oleh Avicennia spp dan berasosiasi dengan Sonneratia spp. 4.5 Dekomposisi Serasah Daun Mangrove Guguran daun mangrove yang terperangkap di sekitar ekosistem mangrove membutuhkan waktu yang lama untuk terdekomposisi. Lamanya waktu yang dibutuhkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jenis mangrove, jenis substrat dan parameter kualitas perairan (biologis, fisika dan kimia). Sejalan dengan itu Smith (1980) menyatakan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Dalam penelitian ini, waktu pengamatan terhadap dekomposisi serasah hanya dilakukan selama 56 hari. Dari semua lokasi penelitian tidak ada stasiun yang serasah daunnya terdekomposisi 100%. Berat kering dari sisa daun mangrove yang terdekomposisi selama 56 hari disajikan pada Gambar 10. Terdapat perbedaan lamanya proses penghancuran serasah mangrove berdasarkan jenis mangrovenya sendiri. Hasil penelitian Pamudji (1986) bahwa serasah mangrove dari jenis A. marina membutuhkan waktu 182 hari untuk terurai secara
33
sempurna. Sedangkan menurut Soerojo (1984) menyatakan serasah dari jenis mangrove R. Apiculata membutuhkan waktu 132 hari untuk terurai secara sempurna atau 100%.
Gambar 10. Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 stasiun penelitian
Bobot kering sisa yang paling banyak pada hari ke-56 adalah pada Stasiun 3, yaitu 0.64 g dan paling sedikit adalah pada Stasiun 1 sebanyak 0.56 g. Bobot kering dari sisa serasah daun mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada Stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh jenis mangrove dan substrat. Pada Stasiun 3 ada 7 jenis mangrove yang daunnya didekomposisi, perbedaan jenis tersebut akan mempengaruhi kecepatan dekomposisi secara rata-rata. Perbedaan kandungan komposisi nitrogen masing-masing jenis mangrove lebih berpengaruh terhadap kecepatan dekomposisi. Semakin tinggi kandungan nitrogennya maka laju dekomposisi akan semakin cepat, karena nitrogen lebih mudah terurai oleh decomposer. Faktor lain yang menyebabkan dekomposisi di Stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya adalah karakteristik substrat dan genangan air. Substrat di Stasiun 1 lebih didominasi oleh lumpur, Stasiun 2 lebih didominasi
34
oleh pasir, sedangkan substrat dasar pada Stasiun 3 banyak yang terdiri dari batu kapur/terumbu. Penempatan serasah di Stasiun 1 berada dalam kolom perairan karena habitatnya selalu tergenang air, sehingga pembusukan lebih cepat terjadi. Hal berbeda ditunjukkan oleh Stasiun 2 dan 3, dimana daerah yang menjadi tempat serasah lebih banyak yang tidak tergenang pada saat surut. Tabel 6. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala Rata-rata laju dekomposisi serasah (g/hari) Stasiun Hari ke-14
Hari ke-28
Hari ke-42
Hari ke-56
Stasiun 1
0.420
0.279
0.210
0.168
Stasiun 2
0.415
0.280
0.209
0.168
Stasiun 3
0.419
0.277
0.207
0.167
Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa laju dekomposisi serasah daun tertinggi terjadi pada 14 hari pertama, hal ini terjadi pada semua stasiun penelitian. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa apapun jenis mangrovenya atau bagaimanapun karakteristik substrat dan kondisi perairannya, persentase serasah yang terurai lebih besar pada 14 hari pertama. Hal senada dikemukakan oleh Hodgkiss dan Leung (1986) menjelaskan bahwa aktifitas enzim selulotik fungi (fangal cellulolic enzym) yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi. Penguraian atau penyederhanaan kandungan organik daun mangrove yang mudah terjadi ketika serasah gugur dan terperangkap di ekosistem mangrove. Bahan-bahan organik yang terdapat di dalam serasah akan dikonsumsi oleh decomposer. Aktivitas tertinggi dari enzim selulotik fungi terjadi pada awal proses dekomposisi. Laju dekomposisi serasah daun pada hari ke-28 sampai hari ke-42 relatif konstan, dengan kisaran 0.207 – 0.280 g/hari. Sedangkan untuk hari ke-56 terjadi penurunan yang signifikan terhadap laju dekomposisi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya bahan-bahan organik dan kandungan nitrogen yang terdapat dalam sisa daun. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove pada 14 hari pertama berkisar antara 0.415 – 0.420 g/hari.
35
Tabel 7. Konstanta laju dekomposisi serasah daun mangrove Nilai konstanta laju dekomposisi (k) pada hari keStasiun
Sub Stasiun
Stasiun 1
Hari ke-14
Hari ke-28
Hari ke-42
Hari ke-56
1.1
0.064
0.055
0.050
0.051
1.2
0.066
0.056
0.054
0.050
1.3
0.059
0.052
0.049
0.053
0.063
0.054
0.051
0.051
2.1
0.066
0.059
0.055
0.056
2.2
0.055
0.049
0.045
0.045
2.3
0.065
0.056
0.052
0.053
0.062
0.055
0.050
0.051
3.1
0.066
0.058
0.054
0.053
3.2
0.059
0.050
0.045
0.046
3.3
0.063
0.053
0.049
0.047
0.063
0.053
0.049
0.049
Rata-rata
Stasiun 2
Rata-rata
Stasiun 3
Rata-rata
Tabel 7 di atas juga menunjukkan bahwa nilai k di stasiun I lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun II dan stasiun III. Tingginya dekomposisi serasah di perairan disebabkan karena adanya penguraian secara biologis. Di perairan proses dekomposisinya juga dibantu oleh mekanisme fisik yakni pergerakan arus pasang dan penggenangan oleh air laut yang lebih lama. Mason (1977) menyatakan bahwa mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah (leaching) dapat disebabkan adanya hujan atau aliran air. Selain itu juga penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pengikisan serasah oleh pergerakan gelombang. Lingkungan yang selalu basah dan lembab menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung cepat (Manan, 1978). Menurut Mason (1977) menyetakan bahwa terdapat 3 tahap proses dekomposisi serasah, yaitu : 1. Proses pelindihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air. 2. Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air. 3. Aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan dekomposisi.
36
4.6 Produktifitas Serasah Mangrove Berdasarkan dari hasil pengukuran produktifitas serasah mangrove selaman 56 hari di lokasi penelitian diperoleh komposisi serasah yang terapung pada tiap-tiap jaring atau litter-trap yang terdiri dari serasah daun, ranting dan bunga-buah. Produktifitas serasah tiap jenis mangrove untuk masing-masing komponen serasah disajikan pada Tabel 8. Secara rinci produktifitas serasah selama pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 8. Nilai rata-rata produktifitas serasah mangrove di Pulau Panjang. Produktifitas serasah (g/m2/hari) Stasiun
Sub Stasiun Daun
Ranting & Cabang
Bunga & Buah
Total
1.1
0.293 ± 0.043
0.035 ± 0.122
0.000 ± 0.000
0.328 ± 0.165
1.2
0.315 ± 0.087
0.000 ± 0.000
0.045 ± 0.083
0.360 ± 0.170
1.3
0.304 ± 0.077
0.000 ± 0.000
0.021 ± 0.072
0.325 ± 0.150
0.304 ± 0.070
0.012 ± 0.070
0.022 ± 0.064
0.338 ± 0.205
2.1
0.297 ± 0.067
0.000 ± 0.000
0.000 ± 0.000
0.297 ± 0.067
2.2
0.366 ± 0.144
0.132 ± 0.210
0.011 ± 0.039
0.510 ± 0.393
2.3
0.317 ± 0.055
0.000 ± 0.000
0.000 ± 0.000
0.317 ± 0.055
0.327 ± 0.099
0.044 ± 0.133
0.004 ± 0.023
0.375 ± 0.255
3.1
0.327 ± 0.059
0.000 ± 0.000
0.000 ± 0.000
0.327 ± 0.059
3.2
0.311 ± 0.064
0.000 ± 0.000
0.006 ± 0.021
0.317 ± 0.085
3.3
0.317 ± 0.130
0.000 ± 0.000
0.015 ± 0.052
0.332 ± 0.181
Rata-rata substasiun
0.318 ± 0.088
0.000 ± 0.000
0.007 ± 0.032
0.325 ± 0.120
Rata-rata
0.316 ± 0.086
0.019 ± 0.068
0.011 ± 0.040
0.346 ± 0.193
Stasiun 1
Rata-rata substasiun
Stasiun 2
Rata-rata substasiun
Stasiun 3
Berdasarkan Tabel 8 di atas menunjukkan bahwa mangrove Pulau Panjang menghasilkan rata-rata serasah sebanyak 0.346 gram/m2/hari. Gambaran produktifitas serasah mangrove Pulau Panjang diantara beberapa produktifitas serasah mangrove di beberapa daerah yang berbeda disajikan pada Tabel berikut.
37
Tabel 9. Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian No
Sumber
3 4 5 6
7
Jenis mangrove
R. apiculata dan Bruguierra spp R. mucronata dan R. Asthon et al, 1999 Peninsular, Malaysia apiculata Rhizopora spp dan A. Soenarjo, 1999 Kaliuntu, Rembang marina Rhizopora spp dan Pribadi, 1998 Teluk Bintuni, Papua Bruguierra spp Kitamura, 1997 Teluk Benoa, Bali R. apiculata Tanjung Api-api, Sumatera A. marina dan S. Ulqodry, 2008 Selatan caseolaris S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. Gymnorhiza; Penelitian ini Pulau Panjang, Banten A. alba; L. racemosa; A. floridum
1 Eong et al, 1882 2
Lokasi Penelitian Matang, Malaysia
Produksi serasah (g/m2/hari) 2.09 – 3.51 2.79 2.08 3.04 3.81 2.99
0.346
Tabel 9 menunjukkan bahwa mangrove Pulau panjang menghasilkan ratarata serasah sebesar 0.346 gram/m2/hari, kondisi tersebut memberikan produktifitas yang rendah bila dibandingkan dengan beberapa lokasi mangrove lainnya. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove di lokasi penelitian mempunyai kerapatan yang rendah pula, selain itu dari hasil pengamatan diketahui bahwa mangrovenya masih berumur mudah.
Gambar 11. Hasil penelitian produksi serasah di beberapa lokasi
38
Dari keseluruhan total serasah yang dihasilkan, komponen serasah daun merupakan komponen terbesar, diikuti ranting dan bunga. Kondisi ini dijumpai pada semua stasiun pengamatan, lebih rinci disajikan pada Gambar 12 berikut.
Ranting & Cabang; 3,47%
Stasiun 1
Bunga & Buah; 6,47%
Ranting & Cabang; 11,76%
Daun; 90,06%
Ranting & Cabang; 0,00%
Stasiun 3
Bunga & Buah; 1,01%
Stasiun 2
Daun; 87,24%
Bunga & Buah; 2,14%
Daun; 97,86%
Gambar 12. Proporsi komponen serasah tiap stasiun
Tingginya kontribusi serasah daun dibandingkan organ lain karena secara biologis pembentukan daun lebih cepat dibandingkan organ reproduksi serta ranting dan cabang. Pembentukannya juga lebih kontiniu. Selain itu daun juga cenderung lebih mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan hujan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Affandi (1996), persentase guguran serasah daun mangrove sebesar 57% di kawasan sungai, 65% di kawasan tambak, dan 81% dikawasan rawa hutan payau RPH Tritih Cilacap. Dalam kaitannya dengan salinitas, daun mangrove juga memegang peranan penting di dalam adaptasi mangrove terhadap kadar salinitas yang tinggi yakni dengan adanya sel-sel khusus dalam daun yang berfungsi untuk menyimpan garam, untuk selanjutnya digugurkan (Hogarth, 1999).
39
Dilihat dari karakteristik stasiun pengamatan yang berbeda, yakni pada daerah dekat laut menunjukkan nilai produktifitas serasah yang bervariasi seperti disajikan pada Gambar 13 di bawah ini. 0,375 0,375
0,380
produktifitas serasah (g/m2/hari)
produktifitas serasah (g/m2/hari)
0,380
0,360
0,360
0,338 0,340
`
0,325
0,338 0,320
0,340
`
0,325
0,300 Stas iun 1
Stas iun 1
Stas iun 1
0,320
0,300 Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 13. Perbandingan produktifitas serasah antar stasiun
Berdasarkan Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan produktifitas di stasiun 2 lebih besar dibandingkan dengan stasiun 1 dan 3. Hal ini dapat terjadi karena pada stasiun 2 tersebut mendapat pengaruh angin yang lebih besar dan penetrasi pasang yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Brown (1984) menyatakan bahwa salah satu faktor mekanik yang mempengaruhi produktifitas serasah adalah angin bersama-sama dengan hujan. Penetrasi pasang yang lebih baik di stasiun 2 juga menghasilkan pertumbuhan mangrove yang lebih baik sehingga jumlah serasah yang dihasilkan juga lebih banyak. 4.7 Produksi Potensial Unsur Hara (C, N dan P) Besarnya produksi potensial unsur hara serasah atau potensi unsur hara yang dapat dimanfaatkan (litterfall nutrient accession) di perairan mangrove Pulau Panjang disajikan pada Tabel 10. Kandungan unsur hara serasah dari tiap
40
stasiun di lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 8 serta rincian sumbangan produksi potensial unsur hara serasah disajikan pada Lampiran 9. Tabel 10. Produksi potensial unsur hara pada gugur serasah (g/m2/hari) Stasiun
Daun
Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari C N P 0.462 ± 0.049 0.003 ± 0.002 0.00068 ± 0.00019
Ranting & Cabang
0.016 ± 0.032
0.0003 ± 0.0005
0.00002 ± 0.00004
Bunga & Buah
0.025 ± 0.020
0.0002 ± 0.0001
0.00010 ± 0.00013
0.503 ± 0.101
0.004 ± 0.003
0.00080 ± 0.00036
Daun
0.508 ± 0.069
0.004 ± 0.003
0.00062 ± 0.00026
Ranting & Cabang
0.066 ± 0.061
0.0006 ± 0.0008
0.00009 ± 0.00007
Bunga & Buah
0.002 ± 0.004
0.00006 ± 0.0001
0.00001 ± 0.00003
0.576 ± 0.134
0.004 ± 0.003
0.00073 ± 0.00036
Daun
0.496 ± 0.090
0.003 ± 0.002
0.00071 ± 0.00035
Ranting & Cabang
0.000 ± 0.000
0.000 ± 0.000
0.00000 ± 0.00000
Bunga & Buah
0.010 ± 0.012
0.0001 ± 0.0002
0.00002 ± 0.00003
Total
0.506 ± 0.103
0.003 ± 0.002
0.00073 ± 0.00038
Rata-rata
0.528 ± 0.112
0.004 ± 0.003
0.00076 ± 0.00037
Komponen serasah
St 1
Total
St 2
Total
St 3
Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa mangrove Pulau Panjang memiliki produksi potensial unsur hara serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0.528 g-C/m2/hari; 0.00353 g-N/m2/hari dan 0.00076 g-P/m2/hari. Terlihat bahwa kandungan unsur hara karbon (C) pada serasah mangrove jauh lebih besar dari kandungan nitrogen (N) maupun posfor (P). Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa pada daun A. marina mengandung unsur hara karbon 47.93, nitrogen 0.35, fosfor 0.083, kalium 0.81 dan magnesium 0.49 (Arief, 2003). Gambaran kontribusi produktifitas potensial unsur hara serasah mangrove Pulau Panjang diantara beberapa kawasan mangrove lainnya disajikan pada Tabel berikut.
41
Tabel 11. Kontribusi produksi potensial unsir hara serasah mangrove Pulau Panjang dan beberapa kawasan mangrove lainnya. Sumber
Lokasi Penelitian
Jenis mangrove
Djamaluddin, 1995 Likupang, Minahasa Pribadi, 1998
Teluk Bintuni, Papua
Foster, 1982
Catalangan, Filipina
Khoon et al, 1984 Matang Malaysia Tanjung Api-api, Ulqodry, 2008 Sumatera Selatan
Penelitian ini
Pulau Panjang, Banten
R. apiculata dan S. Caseolaris Rhizopora spp dan Bruguierra spp R. apiculata dan A. Marina R. apiculata A. marina dan S. caseolaris S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. Gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A. floridum
Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari C N P -
0.0029
0.00038
-
0.0658
0.0017
1.38
-
-
-
0.0128
0.0013
0.788
0.0225
0.0022
0.528
0.0035
0.0007
Perbandingan produksi potensial unsur hara serasah untuk masing-masing stasiun di lingkungan mangrove Pulau Panjang disajikan pada Gambar berikut.
produksi unsur hara serasah (g/m2/hari)
0,6
0,576 0,503
0,506
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1 0,003 0,0008
0,0 1
0,0007
2 Stas iun
0,004
0,003
C
0,0007
N 3
P
Gambar 14. Potensi unsur hara serasah antar stasiun pengamatan
Gambar tersebut di atas menunjukkan bahwa serasah mangrove di stasiun 2 memiliki kontribusi potensi unsur hara C, N dan P yang lebih besar bila dibandingkan dengan stasiun pengamatan lainnya (stasiun 1 dan stasiun 2). Hal ini
42
disebabkan oleh tingginya produktifitas serasah pada stasiun 1 dibandingkan dengan stasiun lainnya serta diduga karena substrat mangrove di stasiun tersebut lebih banyak mendapat unsur hara dari air melalui mekanisme pasang yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga menyebabkan terjadinya guguran serasah. Eong et al, 1982 mengemukakan bahwa unsur-unsur hara yang ada di dalam kolom air juga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove melalui penetrasi air laut yang juga mengandung unsur hara di saat pasang. 4.8 Bobot Serasah yang Dihasilkan dan yang Terdekomposisi Banyaknya guguran daun mangrove yang diamati selama 56 hari pengamatan bervariasi secara spasial dan temporal. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi gugurnya daun dari pohon mangrove, antara lain usia pohon, musim dan kesehatan pohon. Moller dalam Soeroyo (2003) menyatakan bahwa kerapatan pohon mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon maka semakin rendah produksi serasahnya. Selain tingkat kerapatan, laju produksi serasah juga dipengaruhi oleh jenis mangrove dan umurnya. Jenis mangrove yang sama dengan umur berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001), R. apiculata memiliki serasah daun yang lebih banyak pada jenis mangrove yang lebih tua atau optimum. Apabila umur mangrove melebihi titik optimum, maka serasah yang jatuh akan berkurang, karena pada batang mangrove tua, bagian dalamnya mulai keropos sehingga tajuk pohon mulai menyempit, dan produksi serasah berkurang. Penelitian Sediadi (1991) pada tegakan Rhizophora menunjukkan jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum akan didapat pada usia 10 tahun, dikatakan bahwa tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata. Berat kering serasah daun mangrove yang gugur di ekosistem mangrove pulau Panjang, Banten disajikan pada Tabel 12.
43
Tabel 12. Bobot kering serasah daun mangrove selama penelitian Bobot kering serasah daun mangrove yang diperoleh (gram) Stasiun Stasiun 1
Hari ke-14 136.60
Hari ke-28 125.00
Hari ke-42 128.80
Hari ke-56 122.80
Total 513.20
Stasiun 2
134.90
134.10
125.00
130.70
524.70
Stasiun 3
140.30
124.00
129.70
126.40
520.40
Bobot total kering serasah daun mangrove yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 513.20-524.70 gram/56 hari atau 9.16-9.37 g/hari. Stasiun 2 merupakan wilayah penghasil serasah daun paling tinggi dan yang terendah adalah Stasiun 1. Persentase daun yang terdekomposisi pada hari ke-56 pada Stasiun 1 adalah 94.44%, maka bobot daun yang terurai di akhir penelitian adalah sebesar 484.67 gram. Dengan persentase dekomposisi sebesar 94.33% pada Stasiun 2, bobot daun yang terurai adalah sebesar 494.95 gram. Sedangkan sumbangsih daun yang terdekomposisi pada Stasiun 3 adalah sebesar 486.89 gram. Penyebaran bobot serasah daun yang terdekomposisi berdasarkan hari pengamatan disajikan pada Gambar 17.
3
1 2
Gambar 17. Sebaran bobot daun yang terurai di ekosistem mangrove pulau Panjang, Banten
44
4.9 Keterkaitan antar Parameter Produksifitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove serta produksi potensial unsur hara (C,N dan P) di perairan pulau panjang selain dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti angin, hujan, pemangsaan serasah oleh organisme laut disekitar mangrove juga sangat dipegaruhi oleh karakteristik lingkungan dalam hal ini kondisi fisika kimia perairan dan juga adanya faktor biologi dari mangrove itu sendiri seperti jenis, kerapatan, kelimpahan, penutupan dan indeks nilai pentingnya. Untuk melihat keterkaitan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 13. Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove. Parameter Fisika-Kimia - Suhu (0C) - Salinitas (0/ 00 ) - DO (mg/l) - pH - DHL (µS/cm) - TSS (mg/l) - TOM (mg/l) Biologi - Jumlah jenis - Kerapatan relatif (%)
- Frekuensi relatif (%)
- Penutupan relatif (%) - Indeks nilai penting (%) Produksi serasah (g/m2/hari) Laju dekomposisi (g/hari) Bobot kering sisa (gram) Unsur hara (C,N,P) - Karbon (C) - Nitrat (N) - Posfor (P)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
30.0 – 32.1 27.0 – 31.0 0.41 – 0.45 5–8 55300 – 62550 <4 – 2956 47.4 – 328.7
30.3 – 32.4 28.0 – 32.0 5.11 – 5.22 5–8 54600 – 58600 16 – 330 41.1 – 227.5
31.9 – 34.3 29.0 – 32.0 0.43 – 0.49 7–8 55200 – 64150 35 – 620 94.8 – 237.0
4 R. apiculata (78.57) S. alba (3.90) R. apiculata (61.54) S. alba, B. gymnorhiza (7.69) R. apiculata (90.46) S. alba (0.98) R. apiculata (230.57) S. alba (12.57) 0.338 0.168 0.56 0.503 0.003 0.0008
2 R. apiculata (70.30) R. stylosa (29.70)
7 R. apiculata (61.46) S. alba, A. alba, L.racemosa (1.95) R. apiculata (58.72) R. apiculata (37.50) R. stylosa (41.28) A. alba, L.racemosa (4.17) R. apiculata (76.50) R. apiculata (63.42) R. stylosa (23.40) A. alba (1.85) R. apiculata (205.52) R. apiculata (162.38) R. stylosa (94.48) A. alba (7.96) 0.375 0.325 0.168 0.167 0.57 0.64 0.576 0.004 0.0007
0.506 0.003 0.0007
Berdasarkan Tabel 13 di atas menunjukkan bahwa pada Stasiun 2 diperoleh produktifitas serasah tertinggi yaitu sebesar 0.375 g/m2/hari, dimana produksi juga memberikan konstribusi yang besar terhadap produksi potensial unsur hara (C,N dan P) pada stasiun tersebut, diperoleh produksi potensial unsur hara tertinggi juga pada stasiun 2. Kondisi pada stasiun tersebut mempelihatkan jenis mangrove yang
45
ditemukan lebih sedikit yaitu hanya 2 jenis mangrove antara lain R. apiculata dan R. stylosa, hal tersebut yang diduga menyebabkan tingginya tingkat produktifitas serasah pada stasiun ini. Sehingga nilai kisaran dari kerapatan, frekuensi, penutupan relatif dan indeks nilai penting dari kedua jenis mangrove yang ditemukan pada Stasiun 2 ini memiliki kisaran yang sempit. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa magrove pada Stasiun 2 lebih seragam dan lebih didominasi oleh jenis R. apiculata. Kemudian kondisi stasiun ini juga memiliki karakteristik perairan dengan nilai DO yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, namun diperoleh nilai TSS dan TOM yang lebih kecil. Laju dekomposisi serasah daun mangrove terendah diperoleh pada Stasiun 3 yaitu sebesar 0.167 gram/hari, indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat laju dekomposisi adalah bobot kering sisa daun mangrove, dimana pada Stasiun 3 diperoleh bobot kering sisa yang paling banyak yaitu seberat 0,64 gram. Kondisi tersebut diduga karena pada Stasiun 3 ini ditemukan jenis mangrove yang paling banyak yaitu terdapat 7 jenis mangrove, sehingga tingkat keragaman yang tinggi menyebabkan proses dekomposisi menjadi lebih lambat. Dimana diketahui bahwa masing-masing jenis mangrove memiliki laju dekomposisi serasah yang berbeda. Kemudian kondisi stasiun ini juga memiliki karakteristik perairan dengan nilai salinitas dan pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Hasil penelitian yang dilakukan Wijiyono (2009) menemukan bahwa terdapat perbedaan dalam proses laju dekomposisi pada tingkat salinitas yang berbeda, dimana ditemukan jenis dan jumlah bakteri yang berbeda pada tingkat salinitas berbeda.
45
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Parameter fisik kimia perairan dari 3 stasiun pengamatan dari masing-
masing parameter yang diamati terlihat masih berada pada taraf yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove, serta tidak terlihat pola penyebaran karakteristik berdasarkan stasiun (sub stasiun), pada hasil analisis komponen utama yang dilakukan. Kawasan mangrove pulau panjang memberikan produktifitas serasah sebesar 0.346 gram/m2/hari, dimana organ daun memberikan konstribusi yang paling banyak. Laju
dekomposisi
serasah
daun
mangrove
selama
penelitian
memperlihatkan bahwa stasiun 1 mengalami dekomposisi paling cepat, disusul stasiun 2 dan terakhir stasiun 3. Hal tersebut dapat dilihat dari bobot kering sisa serasah. Produksi potensial unsur hara serasah mangrove diperoleh unsur hara terbesar berturut-turut C, N dan P. 5.2
Saran Penelitian lebih lanjut diharapkan adanya pembedaan antar jenis mangrove
sehingga data ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap laju dekomposisi dan produktifitas serasah masing-masing jenis mangrove yang ada di Pulau Panjang.
47
DAFTAR PUSTAKA Affandi MM. 1996. Produksi dan Laju Penghancuran Serasah Mangrove di Hutan Alami dan Binaan Cilacap, Jawa Tengah. Tesis Pascasarjana Institut Teknologi Bandung. Aksornkoae, S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN, Bangkok. Thailand. Alrasjid H. 1988. Jalur Hijau untuk Pengelolaan Hutan Mangrove Pamanukan, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan No. 475. Hal 30. Anderson JM, Swift MJ. 1983. Decomposition in Tropical Forest. In L. Sutton, T.C. Whitmore and A.C. Chadwick. 1983. Tropical Rain Forest : Ecology and Management. Special Publication No.2. The British Ecological Society. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Page 287-309. Ashton EC, Hogarth PJ, Ormond R. 1999. Breakdown of Mangrove Leaf litter in a Managed Mangrove Forest in Pennisular Malaysia. In Hydrobiologia 413: 77-88. Bengen DG. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB. Bogor. 56 hlm. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB, Bogor, 88 hlm. Boonruang P. 1984. The Rate of Degradation of Mangrove Leaves, Rhizhophora apiculata BL and Avicennia marina (FORSK) VIERH at Phuket Island, Western Peninsula of Thailand. In Soepadmo, E., A.N. Rao and D.J. Macintosh. 1984. Proceedings of The Asian Symposium on Mangrove Environment Research and Management. University of Malaya and UNESCO. Kuala Lumpur. Page 200-208. Brown SM. 1984. Mangrove Litter Production and Dynamics in Snedaker, C.S. and Snedaker, G.J. 1984. The Mangrove Ecosystem: Research Methods. On behalf of The Unseco/SCOR, Working Group 60 on Mangrove Ecology. Page 231-238. Bunyavejchewin, S. dan T. Nuyim. 2001. Litterfall production in a primary mangrove Rhizophora apiculata forest in Southern Thailand. Silvicultural Research Report: 28-38. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer (Ed), Auckland University, New Zealand. Collier BD, Cox GW, Johnson AW, Miller. 1973. Dynamic Ecology. Prentice Hall Inc. New Jersey. 563 p.
48
Cotto Z, Susilo, Rahardjo TB, Purwanto S, Adiwilaga S, Nainggolan PS. 1986. Interaksi Ekosistem Hutan Mangrove dan Perairan di Daerah Estuari. Diskusi Panel Daya Guna dan Batas Jalur Hijau Mangrove, MAB-LIPI, Ciloto, hlm 27-43. Djamaludin R. 1995. Kontribusi Hutan Mangrove dalam Penyediaan Nitrogen dan Fosfor Potensial di Perairan Sekitar Likuupang, Minahasa, Sulawesi Utara. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 101 hlm. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Eong OJ, Khoon GW, Hoong WC. 1982. Productivity and Nutrient Status of Litter in A Managed Mangrove Forest in malaysia. In Kostermans, A.Y and S.S. Sastroutomo. 1982. Proceedings Symposium on Mangrove Forest Ecosystem Productivity in South East Asia. Page 33-41. Feliatra. 2001. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Heterotrof yang Terdapat pada Daun Mangrove (Avicennia sp dan Sonneratia sp) dari Kawasan Stasiun Kelautan Dumai. Jurnal Natur Indonesia III (2. Hal : 104-112. Fortes MD. 1982. Produktivity Studies on Mangrove, Seagrasses and Algae at Calatagan, Batangas, Philippines. Hodgkiss IJ, Leung HC. 1986. Cellulose Associated with Mangrove Leaf Decomposition. Botanica Marina 29. Page : 467-469 Hogarth PJ. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press, Oxford, pp 33-34. Hutagalung HP, Septiapermana D. 1991. Metoda Analisa Air Laut, Sedimen dan Biota. Pustlitbang LIPI, Jakarta, hlm 12-31. Kavvadias, V.A., D. Alifragis, A. Tsiontsis, G. Brofas, and G. Stamatelos. 2001. Litterfall, litter accumulation and litter decompotion rates in four forest ecosystem in Notern Greece. Forest Ecology and Management. Oxford: Blackwell Scientific. Khoon GW, Eong OJ, Hoong WC. 1984. Productivity of Mangrove Tree and Its Significance in A Managed Mangrove Ecosystem in Malaysia. Kusmana C, Takeda S, Watanabe H. 1997. Litter Production of a Mangrove Forest in East Sumatera, Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture. 8 (3): 52-59. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology : A Primer on Methods and Computing. John Willey and Sons. Singapore. 338 p. Lugo AE, Snedaker SC. 1974. The Ecology of Mangroves. Annual Review of Ecology and Systematics, Vol. 5: 39-64.
49
Manan S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mason CF. 1977. Decomposition. Studies in Biology no. 74. The Edward Arnold (Publ) Ltd. Southmpton. London. Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of The Fungi. Fourth edition. Prentice hall, Englewood. New Jersey. Moran, J.A., M.G. Barker, and P. Becker. 2000. A Comparison of the soil water, nutrien status, and litterfall characteristics of tropical heath and mixeddopterocarp forest sites in Brunei. Biotropica 32: 2-13 Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor. 220 hal. Noer AH. 2006. Dinamika Produktifitas Ekosistem Mangrove pada Laguna Tasilaha di Sulawesi Tengah. Departement of Environmental EngineeringITB. Bandung. Disertasi dalam www. http:/tl.lib.itb.ac.id. Tanggal browsing : 2 Januari 2010 Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Samingan T dan Sri Gandono, penerjama; Edisi ketiga. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : The Fundamentals of Ecology. Parsons TR, Takashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanography Process. Thirh Edition. Pergamon Press, New York. Pribadi R. 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation in Bintuni Bay, Irian Jaya, Indonesia. Departement of Biological and Molecular Sciences University of Stirling. Scotland. Page 53-54. Rahajoe, J.S., H. Simbolon., dan T. Kohyama. 2004. Variasi musiman produksi serasah jenis-jenis dominan hutan pegunungan rendah di Taman Nasional Gunung Halimun. Berita Biologi 7 (1): 65-71. Sediadi A, Pamudji. 1987. Penelitian Kecepatan Gugur Mangrove dan Penguraiannya dalam Hutan Bakau di Teluk Ambon. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. LON LIPI. Jakarta. Hal 8-9. Smith RL. 1980. Ecology and Field Biology. Harper and Row Publishers New York. 835 p. Soenardjo N. 1999. Produksi dan Laju Dekomposisi Serasah Mangrove dan Hubungannya dengan Struktur Komunitas Mangrove di Kaliuntu Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. 85 hlm. Soerojo. 1986. Struktur dan Guguran Serasah Hutan Mangrove di Kembang Kuning Cilacap. Prosiding Seminar III Ekosistem Hutan Mangrove. LONLIPI. Jakarta. Hal. 110-114 Soeroyo. 2003. Pengamatan gugur serasah di hutan mangrove Sembilang Sumatra Selatan. P3O-LIPI: 38-44
50
Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 245 hal. Ulqodry TZ. 2008. Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Konstribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Tanjung Api-Api Sumatera Selatan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tesis. 87 hlm. Yunasfi. 2006. Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina oleh Bakteri dan Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Disertasi. 204 hlm. Vitousek, P.M. 1982. Nutrient cycling and nutrient use efficiency. American Naturalist 119: 53-72. Wijiyono (2009). Keanekaragaman Bakteri Serasah Daun Avicennia marina yang Mengalami Dekomposisi pada Berbagai Tingkat Salinitas di Teluk Tapian Nauli. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. Tesis. 77 hlm.
51
Lampiran 1. Hasil pengukuran parameter fisika kimia air tiap substasiun No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27
KODE SAMPEL St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.1.3 St. 1.2.1 St. 1.2.2 St. 1.2.3 St. 1.3.1 St. 1.3.2 St. 1.3.3 St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.1.3 St. 2.2.1 St. 2.2.2 St. 2.2.3 St. 2.3.1 St. 2.3.2 St. 2.3.3 St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.1.3 St. 3.2.1 St. 3.2.2 St. 3.2.3 St. 3.3.1 St. 3.3.2 St. 3.3.3 DL
pH (-) 7,91 6,29 6,14 4,96 5,84 6,80 7,57 7,66 7,69 5,94 5,07 6,01 6,87 6,64 7,45 7,53 7,53 7,14 6,82 6,76 7,42 6,96 7,01 7,15 7,65 7,80 7,72
DHL µS/cm 54500 55600 58700 61200 57450 55250 62550 58450 55300 54600 56350 57700 58600 57150 55350 55950 58150 57750 55750 58750 56050 64150 59650 56150 55200 56150 58800
PARAMETER TSS mg/L 250 72 12 147 78 2956 26 32 <4 16 23 18 87 59 33 40 330 173 35 41 37 620 156 106 36 53 37 4
TOM mg/L 246,48 47,40 328,64 202,24 202,24 189,60 104,28 101,12 116,92 60,04 101,12 126,40 41,08 60,04 94,80 205,4 218,04 227,52 158,00 101,12 211,72 205,40 151,68 237,00 135,88 126,40 94,80 2,80
DO ppm 0,41 0,44 0,43 0,43 0,45 0,48 0,47 0,46 0,46 5,21 5,20 5,22 5,19 5,21 5,16 5,15 5,11 5,21 0,43 0,45 0,46 0,48 0,46 0,45 0,49 0,48 0,45
52
Lampiran 2. Akar cirri dan kontribusi persentase ragam total variabel pada sumbu utama Variabel
Akar Ciri
% Ragam Total
Akar Ciri Komulatif
% Komulatif
Sumbu 1
2.30
32.81
2.30
32.81
Sumbu 2
1.55
22.20
3.85
55.01
Sumbu 3
1.45
20.73
5.30
75.74
Lampiran 3. Matriks korelasi antar variabel Variabel
Suhu
Sal
Do
pH
DHL
TSS
Suhu
1.0000
Sal
0.0356
1.0000
Do
-0.2137
0.3759
1.0000
pH
-0.1850
0.1711
0.0524
1.0000
DHL
-0.1958
-0.1021
0.1789
0.5157
1.0000
TSS
0.1791
0.4486
0.0913
-0.1143
0.2543
1.0000
TOM
0.5140
-0.3783
-0.7109
-0.1841
-0.0253
0.2718
TOM
1.0000
53
Lampiran 4. Matriks korelasi antara variabel dan sumbu utama Variabel
Sumbu 1
Sumbu 2
Sumbu 3
Suhu
-0.5816
-0.4639
-0.0462
Sal
0.4969
-0.6884
-0.2192
Do
0.7871
-0.1866
-0.2550
pH
0.4448
0.1297
0.6694
DHL
0.3498
-0.0437
0.8437
TSS
-0.0077
-0.8798
0.2296
TOM
-0.8785
-0.1935
0.3509
Lampiran 5. Koordinat stasiun dalam sumbu utama Stasiun 1.1 1.2 1.3 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3
Sumbu 1 -1.7203 -0.3404 1.3093 0.9839 2.6433 -1.9501 -1.3037 0.0214 0.3564
Sumbu 2 2.0555 -1.9365 1.7158 0.0431 -0.0207 -0.5055 -0.0409 -0.2110 -1.0998
Sumbu 3 -0.8023 -0.1668 0.5809 -1.3141 0.4670 1.4253 -0.8328 2.0130 -1.3702
Sumbu 4 0.0616 -0.1155 -0.9226 1.9201 -0.0346 0.2675 -0.3286 0.3809 -1.2288
Sumbu 5 0.7857 -0.1657 -1.2989 -0.6983 1.4423 -0.2208 0.3649 0.0289 -0.2383
Sumbu 6 -0.0170 -0.4238 -0.2345 0.0519 -0.2852 -0.4553 0.1637 0.7930 0.4071
Sumbu 7 -0.3609 -0.4757 0.0005 0.0776 0.1209 0.3052 0.4560 -0.1620 0.0384
54
Lampiran 6. Koordinat stasiun dalam sumbu utama Stasiun
Sumbu 1
Sumbu 2
Sumbu 3
Sumbu 4
Sumbu 5
Sumbu 6
Sumbu 7
1.1
0.3449
0.4924
0.0750
0.0004
0.0719
0.0000
0.0152
1.2
0.0267
0.8640
0.0064
0.0031
0.0063
0.0414
0.0521
1.3
0.2259
0.3879
0.0445
0.1122
0.2223
0.0072
0.0000
2.1
0.1407
0.0003
0.2510
0.5359
0.0709
0.0004
0.0009
2.2
0.7447
0.0000
0.0232
0.0001
0.2217
0.0087
0.0016
2.3
0.5841
0.0393
0.3120
0.0110
0.0075
0.0318
0.0143
3.1
0.5920
0.0006
0.2416
0.0376
0.0464
0.0093
0.0724
3.2
0.0001
0.0091
0.8273
0.0296
0.0002
0.1284
0.0054
3.3
0.0257
0.2445
0.3794
0.3052
0.0115
0.0335
0.0003
55
Lampiran 7. Produktifitas serasah selama pengamatan Kode Sampel St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.1.3 St. 1.2.1 St. 1.2.2 St. 1.2.3 St. 1.3.1 St. 1.3.2 St. 1.3.3 St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.1.3 St. 2.2.1 St. 2.2.2 St. 2.2.3 St. 2.3.1 St. 2.3.2 St. 2.3.3 St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.1.3 St. 3.2.1 St. 3.2.2 St. 3.2.3 St. 3.3.1 St. 3.3.2 St. 3.3.3
daun 4,8 4,8 4,7 4,7 7,0 4,3 5,9 5,4 5,0 4,2 3,8 5,8 4,7 5,6 5,1 5,1 5,0 5,6 5,3 6,3 5,3 5,4 3,2 6,5 5,8 6,1 6,4
14 hari ranting
bunga
2,7 3,5
4,2
1,9
2,5
daun 3,6 3,5 3,8 5,8 3,5 4,0 2,5 3,1 5,2 2,6 4,1 3,8 5,3 5,5 11,1 4,5 3,7 3,5 4,0 3,0 4,7 4,6 4,0 3,8 3,6 2,8 3,5
Produksi serasah (gram) 28 hari 42 hari ranting bunga daun ranting 5,9 4,1 4,5 4,8 3,5 1,8 5,9 3,9 3,7 4,0 4,4 4,1 4,0 3,8 7,9 3,7 3,5 3,7 6,6 3,6 5,0 3,7 3,4 4,7 4,3 4,6 4,0 4,1 4,6 8,3 3,0 2,1
bunga
3,0
daun 3,1 3,5 4,0 3,0 3,8 3,5 3,6 5,2 3,1 3,8 3,8 6,1 4,4 4,8 4,0 5,3 4,6 3,9 4,2 3,9 4,6 4,2 3,3 4,5 4,3 3,7 3,7
56 hari ranting
bunga
1,0
56
Lampiran 8. Kandungan unsur hara serasah di lokasi pengamatan Kode Sampel St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.1.3 St. 1.2.1 St. 1.2.2 St. 1.2.3 St. 1.3.1 St. 1.3.2 St. 1.3.3 St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.1.3 St. 2.2.1 St. 2.2.2 St. 2.2.3 St. 2.3.1 St. 2.3.2 St. 2.3.3 St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.1.3 St. 3.2.1 St. 3.2.2 St. 3.2.3 St. 3.3.1 St. 3.3.2 St. 3.3.3
C (%) 21,13 19,6 19,12 21,36 13,2 16,83 21,1 20,31 21,65 21,57 18,65 19,36 20,31 19,76 14,78 18,41 19,91 21,81 19,6 21,65 18,1 20,78 17,15 18,41 19,76 18,57 21,34
14 hari N (%) 0,052 0,046 0,088 0,094 0,052 0,062 0,090 0,086 0,078 0,029 0,066 0,174 0,174 0,019 0,065 0,071 0,173 0,069 0,055 0,034 0,090 0,042 0,138 0,061 0,097 0,172 0,070
P (%) 0,038 0,050 0,036 0,045 0,032 0,033 0,030 0,028 0,017 0,030 0,034 0,034 0,063 0,039 0,035 0,039 0,039 0,041 0,020 0,025 0,040 0,054 0,030 0,055 0,042 0,046 0,059
C (%) 22,13 16,59 18,57 17,78 21,36 21,73 20,55 17,78 21,73 19,36 16,2 17,78 22,13 19,78 14,62 16,99 21,36 15,8 17,38 18,17 18,17 23,31 20,15 17,78 17,78 22,13 21,73
28 hari N (%) 0,243 0,411 0,300 0,418 0,382 0,379 0,312 0,276 0,200 0,242 0,321 0,256 0,234 0,222 0,395 0,332 0,280 0,271 0,153 0,298 0,312 0,332 0,373 0,169 0,366 0,305 0,295
P (%) 0,030 0,024 0,026 0,022 0,021 0,028 0,031 0,017 0,024 0,030 0,022 0,014 0,014 0,015 0,014 0,015 0,021 0,035 0,020 0,022 0,018 0,021 0,025 0,022 0,015 0,021 0,024
C (%) 17,38 25,29 18,57 23,31 16,2 22,52 27,26 25,68 18,57 26,87 24,5 22,92 27,66 20,94 23,31 21,73 24,1 30,03 18,96 21,33 25,29 23,71 28,84 14,62 18,96 14,62 27,26
42 hari N (%) 0,009 0,005 0,007 0,039 0,173 0,093 0,083 0,128 0,085 0,093 0,009 0,005 0,007 0,005 0,008 0,005 0,084 0,013 0,014 0,003 0,003 0,006 0,057 0,013 0,081 0,066 0,018
P (%) 0,047 0,021 0,024 0,014 0,043 0,017 0,020 0,016 0,019 0,012 0,021 0,022 0,033 0,010 0,012 0,020 0,032 0,032 0,015 0,010 0,013 0,013 0,017 0,063 0,055 0,012 0,015
C (%) 22,91 25,09 18,77 21,93 27,46 29,43 31,81 28,64 25,48 24,69 29,04 26,67 25,48 23,5 27,06 23,11 29,83 27,85 28,64 29,83 29,43 25,88 26,67 29,83 27,85 26,67 24,3
56 hari N (%) 0,013 0,086 0,095 0,157 0,148 0,172 0,120 0,124 0,167 0,149 0,147 0,178 0,151 0,153 0,132 0,132 0,150 0,143 0,165 0,115 0,119 0,148 0,151 0,137 0,158 0,161 0,147
P (%) 0,026 0,030 0,076 0,073 0,040 0,035 0,037 0,031 0,030 0,056 0,033 0,032 0,023 0,022 0,019 0,021 0,015 0,024 0,016 0,022 0,023 0,029 0,025 0,023 0,021 0,027 0,083
57
Lampiran 9. Sumbangan produksi potensial unsur hara serasah di lokasi pengamatan Stasiun
St 1
St 2
St 3
Komponen serasah
Produksi potensial unsur hara serasah (g/m2/hari) Hari ke-14
Hari ke-28
Hari ke-42
Hari ke-56
C
N
P
C
N
P
C
N
P
C
N
P
Daun
0,5062
0,0019
0,0009
0,3926
0,0065
0,0005
0,4674
0,0016
0,0006
0,4816
0,0022
0,0008
Ranting & Cabang
0,0000
0,0000
0,0000
0,0648
0,0011
0,0001
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
Bunga & Buah Total
0,0370
0,0002
0,0003
0,0193
0,0004
0,0000
0,0450
0,0001
0,0001
0,0000
0,0000
0,0000
0,5432
0,0020
0,0012
0,4767
0,0079
0,0006
0,5124
0,0017
0,0006
0,4816
0,0022
0,0008
Daun
0,4937
0,0024
0,0010
0,4441
0,0075
0,0005
0,4869
0,0005
0,0004
0,6056
0,0034
0,0006
Ranting & Cabang
0,0355
0,0005
0,0001
0,0920
0,0018
0,0001
0,1378
0,0001
0,0002
0,0000
0,0000
0,0000
Bunga & Buah Total
0,0075
0,0002
0,0001
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,5367
0,0031
0,0011
0,5362
0,0093
0,0006
0,6247
0,0006
0,0006
0,6056
0,0034
0,0006
Daun
0,5598
0,0023
0,0012
0,3780
0,0056
0,0004
0,4739
0,0007
0,0006
0,5733
0,0030
0,0006
Ranting & Cabang
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
Bunga & Buah Total
0,0253
0,0003
0,0001
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0000
0,0133
0,0001
0,0000
0,5851
0,0027
0,0013
0,3780
0,0056
0,0004
0,4739
0,0007
0,0006
0,5866
0,0031
0,0006
58
Lampiran 10. Bobot kering serasah daun mangrove Stasiun
Sub Stasiun
Berat Awal (g)
Hari ke-14 (g)
Hari ke-28 (g)
Hari ke-42 (g)
Hari ke-56 (g)
1
1.1
10
4.03
2.13
1.20
0.57
1.2
10
3.97
2.03
1.03
0.60
1.3
10
4.33
2.33
1.23
0.50
10
4.11
2.17
1.16
0.56
2.1
10
3.93
1.87
0.97
0.43
2.2
10
4.63
2.50
1.50
0.77
2.3
10
4.00
2.07
1.10
0.50
10
4.19
2.14
1.19
0.57
3.1
10
3.93
1.93
1.03
0.50
3.2
10
4.37
2.47
1.50
0.73
3.3
10
4.10
2.27
1.27
0.70
10
4.13
2.22
1.27
0.64
Karakteristik Substrat
Rata-rata 2
Rata-rata 3
Rata-rata
59
Lampiran 11. Laju dekomposisi serasah daun mangrove Laju dekomposisi serasah daun mangrove (g/hari) Stasiun
Sub Stasiun
1
Hari ke-14
Hari ke-28
Hari ke-42
Hari ke-56
1.1
0.426
0.281
0.210
0.169
1.2
0.431
0.285
0.214
0.168
1.3
0.405
0.274
0.209
0.170
0.421
0.280
0.211
0.169
2.1
0.433
0.291
0.215
0.171
2.2
0.383
0.268
0.202
0.165
2.3
0.429
0.283
0.212
0.170
0.415
0.281
0.210
0.169
3.1
0.433
0.288
0.214
0.170
3.2
0.402
0.269
0.202
0.166
3.3
0.421
0.276
0.208
0.166
0.419
0.278
0.208
0.167
Rata-rata 2
Rata-rata 3
Rata-rata
60
Lampiran 12. Persentase daun mangrove yang terdekomposisi
Stasiun
Sub Stasiun
1
Persentase daun mangrove yang terdekomposisi pada hari keKarakteristik Substrat
Komposisi Awal (%)
Hari ke-14 (%)
Hari ke-28 (%)
Hari ke-42 (%)
Hari ke-56 (%)
1.1
100
59.67%
78.67%
88.00%
94.33%
1.2
100
60.33%
79.67%
88.00%
94.00%
1.3
100
56.67%
76.67%
89.00%
95.00%
58.89%
78.33%
88.44%
94.44%
Rata-rata 2
2.1
100
60.67%
81.33%
90.33%
95.67%
2.2
100
53.67%
81.33%
90.33%
92.33%
2.3
100
60.00%
78.00%
87.00%
95.00%
58.11%
78.56%
88.11%
94.33%
Rata-rata 3
3.1
100
60.67%
80.67%
89.67%
95.00%
3.2
100
56.33%
80.67%
89.67%
92.67%
3.3
100
59.00%
78.00%
86.00%
93.00%
58.67%
77.78%
87.33%
93.56%
Rata-rata
61
Lampiran 13. Konstanta laju dekomposisi daun serasah mangrove Nilai konstanta laju dekomposisi (k) pada hari keStasiun
Sub Stasiun
1
Hari ke-14
Hari ke-28
Hari ke-42
Hari ke-56
1.1
0.065
0.055
0.051
0.051
1.2
0.065
0.057
0.054
0.050
1.3
0.056
0.052
0.050
0.054
0.064
0.055
0.051
0.052
2.1
0.067
0.060
0.056
0.056
2.2
0.056
0.050
0.045
0.046
2.3
0.066
0.056
0.053
0.054
0.062
0.055
0.051
0.051
3.1
0.067
0.059
0.054
0.054
3.2
0.060
0.050
0.045
0.047
3.3
0.064
0.053
0.049
0.048
0.063
0.054
0.049
0.049
Rata-rata 2
Rata-rata 3
Rata-rata