III. LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Avicennia marina PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS 3.1. Pendahuluan 3.1.1. Latar Belakang Dekomposisi adalah proses penghancuran tumbuhan mati secara bertahap yang menyebabkan terurainya struktur organisme yang semula kompleks menjadi bentuk-bentuk yang sederhana seperti air, karbondioksida dan unsurunsur hara mineral. Penghancuran serasah dapat diartikan sebagai tahapan-tahapan dalam proses dekomposisi, yang menyebabkan terjadi kehilangan bobot materi (organik). Hal tersebut seringkali dapat diukur dalam percobaan dekomposisi serasah (misalnya kehilangan bobot daun) dan umumnya juga terjadi penghancuran bagian-bagian serasah yang berukuran besar menjadi partikelpartikel berukuran kecil (Mason, 1974 ; Mason, 1977) Dekomposisi juga dapat diartikan sebagai pemisahan secara mekanik struktur tumbuhan mati mulai dari tahap masih terikat pada tumbuhan hidup sampai menjadi humus yang struktur selnya tidak berbentuk, karena terjadi pemecahan molekul-molekul organik kompleks menjadi karbondioksida, air dan komponen-komponen mineral (Satchell, 1974). Menurut Dix dan Webster (1995) serasah tumbuhan dapat terdekomposisi menjadi enam kategori, yaitu : (1) selulosa, (2) hemiselulosa, (3) lignin, (4) gula terlarut, asam amino dan asam alifatik, (5) larutan eter dan alkohol, lemak, minyak, lilin, resin dan pigmen-pigmen, serta (6) protein. Dekomposisi serasah dipengaruhi oleh urutan reaksi spesifik dan dengan bantuan sistem enzim -enzim tertentu yang dipunyai oleh jenis-jenis organisme tertentu. Karakteristik penguraian serasah beragam, hal ini dipengaruhi oleh jenis dan bagian organ tumbuhan. Kecepatan penguraian dan pengurangan kandungan bahan organik dan anorganik pada serasah ditentukan oleh kekuatan pencucian (leaching). Dari beberapa hasil penelitian tentang penguraian serasah melalui pencucian antara lain, yang dilakukan secara in-situ dengan menggunakan serasah daun, dapat diketahui bahwa pemecahan gula terjadi pada hari ke-14 dan tanin pada hari ke-24. Hasil penelitian secara mikroskopis
17
dengan menggunakan daun Rhizophora sp. menunjukkan bahwa jenis fungi yang hadir sejak awal berpengaruh besar terhadap proses pencucian dan terhadap kolonisasi oleh jenis mikroorganisme lainnya serta terhadap kehadiran invertebrata pemakan serasah (Mason, 1977). Kecepatan dekomposisi serasah dapat diketahui dengan menempatkan serasah daun mangrove yang massanya diketahui di dalam kantong serasah yang tidak dapat dimasuki oleh makrofauna pemakan serasah daun, seperti Gastropoda dan kepiting. Kantong-kantong berisi serasah daun ini selanjutnya ditempatkan di areal mangrove dan pengamatan dilakukan dengan selang waktu tertentu. Tiap kali pengamatan sisa serasah yang terdapat dalam kantong tersebut ditimbang (Hogarth, 1999). Pada hutan mangrove, pasokan serasah daun yang berasal dari berbagai jenis pohon mangrove tersebut dapat terjadi secara berkelanjutan. Serasah daun merupakan substrat yang baik bagi berbagai jenis fungi, bakteri dan mikroorganisme lainnya. Serasah daun mangrove pada air payau terdekomposisi menjadi potongan-potongan kecil dalam waktu 2 sampai 3 bulan (Nakagiri dkk.,1996) Keadaan lingkungan yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan, 1978). Menurut Sutedjo dkk., (1991) proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara. Faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi menurut Anderson dan Swift (1979) adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia (iklim makro dan tanah). Dengan demikian proses dekomposisi (D) merupakan fungsi organisme penghancur (O), kualitas serasah (Q) dan lingkungan (P) atau D = f (O,Q,P). Menurut
Whitmore
(1984),
peran
makrofauna
sebagai
organisme
penghancur sangat penting. Berbagai jenis hewan tersebut memecah serasah menjadi partikel-partikel kecil sehingga luas permukaan menjadi lebih besar dan akibatnya penguraian serasah tersebut oleh bakteri dan fungi menjadi lebih mudah.
18
Kecepatan dekomposisi bahan-bahan organik secara umum bergantung pada kualitas dan umur bahan organik itu sendiri (Godshalk dan Wetzel 1978; Westrich dan Berner, 1984). Kebanyakan bahan-bahan organik yang dihasilkan di daerah estuarin dan kawasan pesisir didekomposisi oleh mikrorganisme yang hudup secara aerobik dan anaeobik (Smith 1974). Laju dekomposisi serasah dipengaruhi oleh jenis serasah, jenis pohon, dan penggenangan lantai hutan mangrove oleh air laut (Day, 1982 diacu oleh Alrasjid, 1986). Dekomposisi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada pula yang sampai bertahun-tahun (Spurr dan Barnes, 1980) Selama 10 sampai 14 hari, hampir semua kehilangan bobot serasah daun terjadi oleh proses fisik yang menyebabkan karbon organik terlarut (Dissolved Organic Carbon) tercuci. Diketahui bahwa sekitar 30 sampai 50 persen bahanbahan organik serasah daun hilang dengan cara seperti ini dan sisanya yaitu karbohidrat seperti selulosa yang tidak larut. Bahan-bahan ini selanjutnya diuraikan dengan bantuan enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri atau fungi. Satu di antara berbagai macam substrat yang banyak terurai di awal proses dekomposisi adalah tanin. Keberadaan tanin pada serasah daun dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil enzim ekstraseluler. Diperkirakan invasi oleh bakteri pada serasah daun yang mengalami dekomposisi, terjadi setelah kandungan taninnya berkurang (Gonzales-Farias dan Mee, 1988). Daun-daun senescence jatuh di permukaan tanah, dan selanjutnya mengalami pembusukan, melepaskan unsur hara dan secara perlahan menyatu ke dalam struktur tanah. Fungi berperan penting pada saat ini, tetapi relatif masih sedikit jenis-jenis fungi yang berperan. Dekomposisi berbagai macam tipe serasah suatu tumbuhan setelah dikolonisasi fungi sekunder, biasanya berlangsung satu tahun. Pada tahap ini juga berlangsung sejumlah proses fisika dan kimia. Serasah tumbuhan berada di permukaan tanah selama beberapa bulan sampai beberapa tahun sebelum terdekomposisi sempurna dan akhirnya menyatu ke dalam tanah mineral (Dix dan Webster, 1995). Menurut Fisher dan Binkley (2000), proses dekomposisi sudah dimulai sebelum serasah lepas dari pohon. Pada saat melekat, daun menghasilkan eksudat yang dapat menarik dan memungkinkan diinvasi oleh patogen. Selanjutnya serasah yang sudah jatuh, pada minggu-minggu awal diinvasi oleh fungi. Serasah daun yang mulai hancur ini banyak mengandung larutan gula, asam organik dan polifenol yang tercuci selama priode ini. Setelah cairan fenol
19
tercuci, serasah ini dapat dimanfaatkan oleh Arthropoda dan cacing. Selanjutnya serasah dihancurkan oleh mikroorganisme dengan populasi yang besar. Tanpa adanya fragmentasi yang dilakukan oleh hewan tanah tersebut terlebih dahulu, maka proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme akan berlangsung lambat. Kecepatan dekomposisi berbagai macam serasah, terutama yang berasal dari pohon bergantung pada kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah (fragmented). Proses penghancuran ini sebagian besar dilakukan oleh banyak hewan tanah kecil yang memakan serasah di antaranya siput, cacing kecil (millipedes) beberapa kutu (mites), Collembola, larva serangga, serangga dan hewan-hewan tanah yang lebih besar seperti Lumbricus terrestris
dan
Allolobophora longa. Berbagai jenis serangga penting pemakan daun meliputi ordo Hymenoptera, Coleoptera, Lepidoptera, Orthoptera, Diptera dan Hemiptera (Franklin, 1970 diacu oleh Jensen, 1974). Pemecahan daun-daun menjadi komponen-komponen serasah yang lebih kecil ukurannya mempercepat terjadi dekomposisi serasah karena peningkatan pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme yang disebabkan oleh dua cara. Pertama, pecahan serasah yang kompak menyebabkan kemudahan dalam kapasitas pemegangan air serasah. Kedua, fragmentasi atau pemecahan serasah oleh hewan pemakan serasah dapat meningkatkan luas permukaan untuk penyerangan oleh mikroorganisme. Hal ini terutama penting untuk dekomposisi yang dilakukan oleh bakteri yang tidak mempunyai hifa seperti fungi yang dapat mempenetrasi jaringan. Pertumbuhan bakteri sebagian besar terbatas pada permukaan serasah dan sangat bergantung pada luas jaringan yang terbuka. Pada pecahan serasah daun ini fungi berperan kecil. Ketika hewan tanah tidak mungkin masuk (exclude) untuk menyerang serasah, maka pada saat ini proses fisika akan lebih banyak berperan (Dix dan Webster, 1995). Menurut Wagener dan Davidson (1954, diacu oleh Manion dan Zabel, 1979), tiga faktor yang mempengaruhi keberadaan mikroorganisme pionir dan fungi pelapuk pada bahan tumbuhan yaitu : 1.
Faktor vital yang berhubungan dengan respons sel parenkim, pada bahan tumbuhan yang berperan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme pionir dan fungi pelapuk.
2.
Faktor preservatif yang disebabkan oleh kandungan fenol pada jaringan yang terdiskolorasi. Pembentukan bahan-bahan preservatif
20
secara alami dapat mengurangi kecepatan hancurnya bagian tumbuhan yang mati. 3.
Faktor solubilitas, yang berperan untuk peningkatan penghancuran dinding sel ; bila penghancuran berlangsung terus, dinding sel menjadi berkurang. Dalam hal ini fungi pelapuk mempunyai keamampuan besar untuk menghancurkan dinding sel.
Kecepatan dekomposisi serasah daun dan proses menyatu ke dalam tanah mineral bergantung pada kondisi fisik dan jenis tumbuhan. Pada komunitas tumbuhan tertentu produksi serasah tinggi dan kecepatan pelapukan lambat. Dalam hal ini serasah dapat terakumulasi pada permukaan tanah sampai kedalaman beberapa sentimeter (Dix dan Webster, 1995). Hasil penelitian Sediadi dan Pramudji (1986) di Teluk Ambon menunjukkan bahwa serasah jenis A. marina dalam 65 hari telah mengalami dekomposisi sebesar 35.63 % dan untuk terurai sempurna (100 %) membutuhkan waktu 182 hari. Adapun Brotonegoro dan Abdulkadir (1978) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa selama 75 hari, daun A. marina telah mengalami dekomposisi
77,64 %.
Untuk jenis R. apiculata dalam 54 hari daun telah
terdekomposisi 47,68 % dan terdekomposisi sempurna selama 132 hari (Soerojo, 1986). Hasil penelitian yang dilakukan Boonruang (1984) di pulau Phuket Thailand menunjukkan bahwa serasah A. marina lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan serasah Rhizophora apiculata.
Serasah daun A. marina
separoh bobot keringnya hilang dalam 20 hari,
sedang serasah daun
R. mucronata hilang dalam 40 hari. Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan kandungan fenol yang besar dan nisbah C : N yang besar sehingga membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Pada percobaan bahan makanan, cacing tanah (earthworm) ternyata lebih menyukai daun-daun dengan tingkat polifenol kecil dan nisbah C : N kecil. Pada daun ini tekstur lebih halus dan lebih kuat (Dix dan Webster, 1995) Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah berlimpah (Waksman, 1952 diacu Moore-Landecker, 1990). Produk akhir yang dihasilkan oleh mikroorganisme pelapuk (microbial decay) daun adalah “ humus “ yang secara perlahan menyatu dengan tanah mineral pada horizon A di bawah lapisan fermentasi. Humus adalah campuran kompleks sisa-sisa polimer
21
fenol yang berasal dari tumbuhan berkombinasi dengan karbohidrat dan bahanbahan nitrogen tumbuhan, hewan dan mikroba (microbial origin). Kandungan nitrogen adalah sekitar 5 % dan sekitar 30 % kandungan karbohidrat yang dapat diuraikan menjadi gula C6 dan C5. Humus yang stabil mempunyai kandungan fenol yang besar, yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba (Dix dan Webster, 1995) Dekomposisi
menjadi
sempurna
ketika
campuran
bahan
organik
dikembalikan ke lingkungan dalam bentuk anorganik atau bentuk mineral, yaitu karbon dalam bentuk karbondioksida, nitrogen dalam bentuk amonia dan fosfor dalam bentuk fosfat (Moore-Landecker, 1990). Garrett (1963 diacu oleh Frankland, 1974) menjelaskan tahap suksesi fungi pada Pteridium aquilinum seperti yang diuraikan pada Tabel 2. Adapun Bell (1974) mengemukakan bahwa jaringan tua (senescence) dan jaringan mati berpengaruh terhadap keberadaan jenis parasit, saprofit primer dan sekunder yang menggunakan karbohidrat sederhana terutama selulosa dan lignin sebagai makanan. Organisme yang aktif dalam proses dekomposisi berdasarkan taksonomi dan ekologinya dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok atau komponen. Di dalamya termasuk bakteri, fungi, protozoa, nematoda, oligochaeta, makro dan mikro arthropoda serta jenis-jenis hewan lainnya. Kitazawa (1971) membagi fauna tanah ke dalam (1) Mesofauna yang terdiri atas Nematoda, Enchytraeidae, Acari dan Collembola, dan (2) Makrofauna yang terdiri atas organismeorganisme lebih besar. Aktivitas mikroorganisme dalam dekomposisi serasah sangat dipengaruhi oleh (1) transpor spora, (2) eliminasi mikostasis dan bakteriostasis, (3) pengkayaan unsur hara dengan pemisahan bahan-bahan serasah dan (4) koloni pada daun yang tua (senescence) (Satchell, 1974). Bagi mikroorganisme proses-proses penguraian semata-mata untuk memperoleh unsur hara dengan cara mencernanya. Bakteri, Actinomycetes dan fungi mengeluarkan enzim ke dalam lingkungan untuk membantu penguraian molekul-molekul senyawa kompleks menjadi komponen-komponen sederhana yang lebih kecil. Bahan yang diuraikan selanjutnya digunakan dalam proses metabolisme atau dilepaskan sebagai metabolit (Moore-Landecker, 1990).
22
Tabel 2. Suksesi beberapa jenis fungi pada Pteridium aquilinum (Garrett, 1963 diacu oleh Frankland, 1974)
HIDUP -TUA (SENESCENCE)
MATI (TAHUN)
1
2
3
4
5–6
pH 5.2
pH 6.1
- C : N 200 - Larutan mineral dan karbohidrat hilang dengan cepat - Penyerangan oleh fungi parasit lemah - Lesio oleh fungi pada bagian luar korteks dipenetrasi oleh hifa hialin
PARASIT
- Holoselulosa hilang < 50%
- Floem hancur - Sel yang mengandung lignin diserang oleh Basidiomycota
SAPROFIT PRIMER
- Epidermis hancur
- Lignin hilang < 50%
- Kolonisasi fungi ekstensif pada bahanbahan xilem dan serat
SAPROFIT SEKUNDER
- C : N 30 - sisa bahan organik kering> 20%
- Aktivitas fungi berkurang, hewan tanah dominan
FUNGI TANAH DAN PREDACIOUS SPP.
Rhopographus pteridis Aurebasidium pullulans Sphaeropsidales Cladosporium herbarum Cylindricarpon destructans Epicoccum nigrum Basidiomycota Trichoderma spp. Pestalotiopsis neglecta Chloridium sp. Lemalis sp.
Volutella ciliata Penicilium spp. Gliomastix murorum Dactylella megalospora Phycomycota
23
Kelembaban tanah berperan penting dalam proses dekomposisi serasah karena dapat meningkatkan kecepatan dekomposisi serasah. Kemampuan serasah untuk menyimpan air dan mengurangi evaporasi dapat meningkatkan keberadaan mikrorganisme dan aktivitasnya (Van Der Drift dan Witkamp,1959 diacu oleh Satchell, 1974). Proses dekomposisi sebagian besar adalah proses biologi yang dilakukan oleh organisme dan mikroorganisme, sehingga kecepatan dekomposisi sangat dipengaruhi oleh aktivitas organisme dan mikroorganisme tersebut (Fisher dan Binkley, 2000). Aspergillus dan Penicillium berperan penting dalam menguraikan selulosa dan hemiselulosa. Hal ini dibuktikan oleh Lindberg (1947 diacu oleh Bell, 1974) pada percobaan dekomposisi daun Glyceria maxima. Jenis Clytocybe berperan dalam menguraikan serasah yang dapat menyebabkan bahan kering hilang 30 % dan 75% lignin, karena terdekomposisi. Empat jenis lain dari marga ini juga dapat menguraikan selulosa hingga 50% dari yang ada dalam serasah. Perkembangan bakteri pada serasah dimulai dengan terjadi peningkatan populasi bakteri. Ini terjadi pada bakteri yang sudah ada pada saat daun mengalami senescence. Hal ini disebabkan oleh peningkatan kadar air serasah tanpa disertai perubahan komposisi kimia. Pada serasah yang mudah terdekomposisi populasi bakteri menjadi besar dalam waktu yang pendek, tetapi pada tahap selanjutnya jumlah bakteri makin berkurang. Pada serasah yang sulit terdekomposisi perkembangan populasi bakteri pada tahap awal berlangsung lambat, tetapi populasi makin meningkat pada tahap-tahap berikutnya. Selanjutnya serasah diserang oleh jenis-jenis bakteri tanah yang umumnya tidak terdapat pada permukaan daun (phylloplane), terutama Actinomycetes dan jenisjenis bakteri pembentuk spora lainnya. Bakteri permukaan daun (phylloplane) tidak menyerang jaringan tumbuhan yang sehat tetapi dapat hidup karena tersedia eksudat daun, kotoran hewan (faecal) dan produk metabolit fungi daun (Jensen, 1974). 3.1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina.
24
3.1.3. Hipotesis Tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun A. marina.
3.2. Bahan dan Metode 3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan mangrove Perum Perhutani Desa Blanakan Kec. Blanakan BKPH Pamanukan KPH Purwakarta, serta di Laboratorium Mikrobiologi dan Biokimia Pusat Studi Ilmu Hayati Institut Pertanian Bogor, Bogor. Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2003 sampai bulan Desember 2003. 3.2.2. Pengumpulan Serasah Daun A . marina Serasah daun dikumpulkan dengan menggunakan 5 sampai 10 kain kasa/nilon berukuran 3 x 4 m, yang diletakkan dengan cara mengikatkannya di antara dua pohon pada ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Serasah daun A. marina yang dikumpulkan sekitar 6600 g. 3.2.3. Penempatan Serasah Daun A. marina di Lapangan Serasah daun A. marina sebanyak 50 g dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter-bag) yang berukuran 40 x 30 cm terbuat dari nilon dengan mesh 1 x 1 mm seperti pada Gambar 2. Jumlah kantong serasah yang diperlukan sebanyak 132 buah (11kali pengamatan x 3 ulangan x 4 tingkat salinitas). Penempatan kantong serasah yang sudah berisi serasah daun di lapangan dilakukan berdasarkan tingkat salinitas yang telah diukur dengan hand refractometer. Pada lokasi dengan tingkat salinitas yang telah ditentukan di atas dibuat satu petak berukuran 440 cm x 40 cm, dengan jumlah petak keseluruhan sebanyak empat petak (Gambar 3). Kantong serasah yang berisi serasah daun A. marina ditempatkan secara acak pada petak-petak ini (Gambar 4). Agar tidak dihanyutkan oleh pasang air laut keempat ujung kantong serasah ini diikatkan pada potongan pancang yang dibuat dari bambu dengan panjang 50 cm
dan diameter 1,5 cm.
Keempat
potogan bambu yang sudah diikatkan dengan kantong serasah, selanjutnya ditancapkan di tanah sampai pada kedalaman 40 cm. Adapun cara lain yang
25
digunakan adalah pengikatan ke-empat sudut kantong serasah, bila ada, pada akar atau pangkal batang pohon terdekat. Sebanyak 3 kantong berisi serasah diambil dari tiap tingkat salinitas sekali lima belas hari dan pengambilan kantong berisi serasah dilakukan sampai hari ke-165 (11 kali pengambilan) setelah serasah diletakkan di lapangan. Pada hari ke-165 tersebut diperkirakan semua serasah telah mengalami dekomposisi dengan sempurna.
Nilon 40 cm
30 cm Gambar 2. Bentuk dan ukuran kantong serasah yang terbuat dari nilon yang digunakan untuk penempatan serasah di beberapa lokasi di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas
26
L a u t
J a w a
Jalur pasang surut 0m
Salinitas
100 m >30 ppt
20 – 30 ppt
U Lokasi Plot 150 m
300 m
600 m
1600 m
10 – 20 ppt
1000 m
0 – 10 ppt
1600 m
Kali Malang
Gambar 3. Lokasi petak untuk penempatan kantong berisi serasah di lapangan berdasarkan tingkat salinitas
27
A
B
C
D
Gambar 4. Petak-petak penempatan kantong berisi serasah daun A. marina dengan tingkat salinitas < 10 ppt (A), 10 – 20 ppt (B), 20 – 30 ppt (C) dan > 30 ppt (D) 3.2.4. Pendugaan Laju Dekomposisi Serasah Laju dekomposisi serasah diperoleh dengan menggunakan Rumus (1) (Olson, 1963) : Xt
= Xo . e –k t
(1)
ln (Xt /X0) = -k t Adapun penentuan lama masa serasah terdapat (resiedence time) di lantai hutan digunakan Rumus (2) :
1/k
(2)
dengan pengertian : Xt
= bobot kering serasah setelah waktu pengamatan ke – t (g)
X0
= bobot serasah awal (g)
e
= bilangan logaritma natural (2,72)
k
= laju dekomposisi serasah
t
= waktu pengamatan (hari)
28
3.3. Hasil Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami beberapa lama masa dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas dapat dilihat pada Gambar 5. Data dasar tiap 15 hari bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mangalami proses dekomposisi selama 165 hari dapat dilihat pada
Bobot kering sisa serasah (Gram)
Lampiran 1.
8.44
9 8 7 6
5.33
5 3.53
4
2.34
3 2 1 0 <10 ppt
10-20 ppt
20-30 ppt
>30 ppt
Tingkat Salinitas
Gambar 5. Bobot kering sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Berdasarkan data pada Gambar 5 dapat diketahui bahwa sisa serasah daun A. marina terbanyak terdapat pada salinitas > 30 ppt yaitu sebesar 8,44 g bobot kering. Antar bobot kering sisa serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas yang lebih kecil dari 30 ppt tidak menunjukkan perbedaan yang besar. Adapun sisa bobot kering serasah daun A. marina
terkecil (hilangnya terbesar), yaitu sebesar 2.34 g didapatkan pada
serasah daun yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas 20 – 30 ppt. Persentase sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai dengan 165 hari pada berbagai tingkat salinitas dapat dilihat pada Gambar 6. Adapun persentase sisa serasah daun A. marina tiap ulangan pada berbagai tingkat salinitas dan lama masa dekomposisi disajikan pada Lampiran 2.
29
<10ppt
10-20 ppt
20-30 ppt
>30 ppt
80
Sisa serasah (%)
70 60 50 40 30 20 10 0 15
30
45
60
75
90
105
120
135
150
165
Lama masa dekomposisi (hari)
Gambar 6. Persentase sisa serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi 15 sampai 165 hari di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas Dari Gambar 6 dapat dijelaskan bahwa kehilangan bobot kering serasah yang besar terjadi setelah serasah mengalami proses dekomposisi selama 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 hari. Kehilangan bobot kering serasah yang mengalami proses dekomposisi dari 105, 120 sampai dengan 135 hari adalah konstan. Selanjutnya setelah serasah terdekomposisi selama 150 dan 165 hari terjadi kehilangan bobot kering yang relatif besar. Kehilangan bobot kering serasah tersebut lebih besar dibandingkan dengan sisa bobot kering serasah daun yang mengalami dekomposisi selama 105, 120 dan 135 hari. Penyusutan bobot kering serasah daun A. marina
yang mengalami dekomposisi pada semua tingkat salinitas
menunjukkan pola yang sama. Perubahan bentuk serasah daun A. marina dari yang belum mengalami proses dekomposisi di lapangan, dan perubahan bentuk yang telah mengalami proses dekomposisi selama 15 hari sampai 165 hari pada tingkat salinitas 10 – 20 ppt disajikan pada Gambar 7. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah daun A. marina terdapat di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas disajikan pada Tabel 3. Dapat dijelaskan bahwa laju dekomposisi terbesar terjadi pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salinitas 20 – 30 ppt dengan nilai k sebesar 6.8/ tahun. Hal ini juga ditunjukkan oleh lama masa serasah terdapat di lingkungan dengan tingkat salinitas 20 – 30 ppt, yaitu 0.15 tahun.
30
Tabel 3. Rata-rata laju dekomposisi dan lama masa serasah terdapat di lingkungan dengan berbagai tingkat salinitas No.
Tingkat Salinitas
k (tahun-1) 4.98
Lama masa serasah terdapat (tahun) 0.20
1.
< 10 ppt
2.
10 – 20 ppt
5.89
0.16
3.
20 – 30 ppt
6.80
0.15
4.
> 30 ppt
3.95
0.25
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
Gambar 7. Bentuk serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi selama 15 sampai dengan 165 hari pada tingkat salinitas 10 – 20 ppt. Kontrol (A), 15 hari (B), 30 hari (C), 45 hari (D), 60 hari (E), 75 hari (F), 90 hari (G), 105 hari (H), 120 hari (I), 135 hari (J), 150 hari (K) dan 165 hari (L)
31
3.4. Pembahasan Pada tingkat salinitas > 30 ppt didapatkan sisa serasah daun A. marina terbesar dibanding dengan sisa serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt, 10 – 20 ppt dan 20 – 30 ppt. Hal ini dapat disebabkan oleh populasi bakteri pada serasah daun A. marina yang terdapat pada tingkat salinitas > 30 ppt yang lebih kecil (8,22 x 107 cfu/ ml) dibanding dengan populasi bakteri pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt (51,08 x 107 cfu/ml), 10 – 20 ppt (77,90 x 10 7 cfu/ml) dan 20 – 30 (8.23 x 107 cfu/ ml). Karena populasi bakteri yang kecil pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada salinitas > 30 maka kemampuan bakteri untuk manguraikan serasah daun A. marina juga lebih kecil. Akibatnya sisa serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas > 30 ppt lebih banyak dibanding sisa serasah yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas yang lebih kecil. Populasi bakteri yang kecil pada tingkat salinitas > 30 ppt diduga karena tingkat salinitas ini bukanlah merupakan kondisi optimal yang dapat mendukung bakteri untuk dapat tumbuh dan berkembang. Diperkirakan jenisjenis bakteri tertentu saja yang dapat hidup pada kondisi seperti ini. Jenis bakteri yang kecil diduga juga berpengaruh terhadap populasi bakteri yang terdapat pada tingkat salinitas > 30 ppt. Diasumsikan bahwa dengan makin kecil jumlah jenis bakteri yang ada pada tingkat salinitas > 30 ppt maka populasi bakteri juga akan makin kecil. Laju dekomposisi serasah dapat dilihat berdasarkan kecepatan penyusutan bobot kering serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi selama 15 sampai dengan 165 hari pada semua tingkat salinitas, ini disebabkan oleh proses-proses fisik berupa kehancuran serasah yang besar. Selain itu faktor yang menyebabkan terjadi penurunan bobot kering serasah yang besar diperkirakan juga disebabkan oleh jenis organisme lain yang hidup pada lokasi tempat serasah mengalami dekomposisi. Jenis organisme yang ditemui dan yang diperkirakan ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina adalah cacing (Nereis sp.) (Gambar 8), yang dijumpai pada serasah daun A. marina yang telah mengalami dekomposisi selama 45 hari pada semua lokasi dengan berbagai tingkat salinitas yang dipelajari. Pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt terdapat rata-rata
32
15 cacing, pada 10 – 20 ppt terdapat rata-rata 4 cacing, pada 20 – 30 ppt ratarata 18 cacing, dan pada tingkat salinitas > 30 ppt terdapat rata-rata 9 cacing. Diperkirakan cacing-cacing ini sudah ada sejak serasah daun A. marina mengalami dekomposisi selama 15 – 30 hari, karena cacing-cacing yang ditemukan relatif besar yaitu panjangnya 5 sampai 6 cm dengan diameter badan 3 sampai 4 mm. Cacing-cacing ini diperkirakan untuk hidupnya memerlukan serasah daun A. marina sebagai bahan makanannya. Adapun pada serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi selama 60 hari pada semua tingkat salinitas tidak ditemukan lagi cacing. Menurut Dix dan Webster (1995) kecepatan dekomposisi serasah dipengaruhi oleh kecepatan serasah tersebut terpecah-pecah (fragmented). Pemecahan ini sebagain besar dilakukan oleh banyak hewan tanah seperti siput, cacing, larva serangga dan lain-lain. Selanjutnya Kuter (1986) mengemukakan bahwa keberadaan cacing pada serasah daun menyebabkan pemecahan (fragmented) serasah daun tersebut lebih cepat berlangsung. Selain itu Benner dkk., (1986 diacu oleh Twiley dkk., 1997), menyatakan bahwa kecepatan dekomposisi serasah daun pada perairan mangrove berhubungan dengan kualitas kimia serasah daun. Selain cacing, jenis organisme lain yang ditemukan pada serasah daun A. marina adalah siput (Gambar 9). Jenis siput besar (Gambar 9A) ditemukan hanya pada serasah yang mengalami dekomposisi selama 75 sampai 165 hari
10 mm Gambar 8. Cacing yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang telah mengalami dekomposisi selama 45 hari pada tingkat salinitas < 10 ppt, 10 – 20 ppt, 20 – 30 ppt dan > 30 ppt pada salinitas 20 – 30 ppt. Diperkirakan siput-siput ini juga ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina. Hal ini dapat dilihat dari hasil
33
penelitian yang menunjukkan bahwa sisa serasah daun yang berada pada salinitas 20 – 30 ppt lebih sedikit dibanding dengan sisa serasah yang mengalami dekomposisi pada tingkat salinitas < 10 ppt, 10 – 20 ppt dan > 30 ppt. Pada tingkat salinitas 20 – 30 ppt ditemukan siput besar pada serasah daun yang telah mengalami dekomposisi selama 75, 90, 105, 120, 135, 150 dan 165 hari berturut-turut dengan jumlah rata-rata 7, 29, 52, 92, 65, 81 dan 162 siput. Pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada salinitas < 10 ppt, 10 – 20 dan > 30 ppt juga ditemukan siput yang tubuhnya lebih kecil (Gambar 9 B), dibanding tubuh siput yang didapatkan pada serasah yang mengalami dekomposisi pada salinitas 20 – 30 ppt. Dalam hal ini jumlah tiap jenis siput tersebut tidak dicatat. Diperkirakan siput ini juga ikut berperan dalam proses dekomposisi serasah daun A. marina. Dengan makin berkurangnya ukuran-ukuran partikel serasah atau bahan tumbuhan maka kehilangan bobot kering makin cepat karena diikuti penyerangan oleh fungi (Asiedu dan Smith, 1973). Makin luas lingkungan daerah pasang surut makin besar keheterogenan faktor-faktor seperti salinitas, cahaya (celah kanopi) dan sedimen (unsur hara dan ruang), yang semuanya akan berpengaruh terhadap keberadaan dan ketahanan organisme (Clarke dan Allaway, 1993).
A
B
Gambar 9. Siput yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi. Siput yang besar ditemukan pada serasah yang mengalami dekomposisi selama 75 hari sampai 165 hari (A) pada salinitas 20 – 30 ppt dan siput kecil yang ditemukan pada serasah daun A. marina yang mengalami dekomposisi pada salinitas < 10 ppt, 10 – 20 ppt dan > 30 ppt (B)
34
Peningkatan salinitas dapat menyebabkan terjadi penghambatan aktivitas mikroorganisme tanah yang direfleksikan dalam bentuk perubahan kandungan CO2, aktivitas selulase dan humifikasi residu tumbuhan (Malik dkk., 1979). Kecepatan dekomposisi dipengaruhi oleh tipe daun, aktivitas mikroorganisme, kecepatan air (water velocity) dan lama masa terendam di bawah permukaan air (Eichem dkk., 1993). Kecepatan degradasi serasah daun berhubungan dengan frekuensi pasang surut air laut dan kualitas bahan kimia serasah daun tersebut (Benner dkk., 1986 diacu Twiley dkk., 1997). Selain itu menurut Jensen (1974), konsentrasi unsur-unsur hara yang terdapat pada serasah berpengaruh terhadap kecepatan proses dekomposisi serasah dan jumlah unsur hara yang terlepas selama proses dekomposisi.
3.5. Kesimpulan Laju proses dekomposisi serasah daun A. marina terbesar didapatkan pada serasah daun A. marina yang berada pada tingkat salinitas 20 – 30 ppt. Hal ini dapat diketahui dari bobot kering sisa serasah daun yang tertinggal pada kantong serasah yaitu rata-rata 2,34 g.
Adapun bobot kering sisa serasah
terbesar didapatkan pada lingkungan dengan tingkat salinitas > 30 ppt, yaitu rata-rata 8.44 g. Nilai laju dekomposisi serasah daun A. marina yang telah mengalami proses dekomposisi dalam lingkungan dengan tingkat salinitas > 30 ppt, adalah 3.95/th (residence time = 0.25 th). Nilai laju dekomposisi ini lebih kecil dibanding dengan nilai laju dekomposisi serasah yang ditempatkan pada tingkat salinitas < 10 ppt, 10 – 20 ppt dan 20 – 30 ppt, yang berturut turut adalah, 4.98, 5.89, dan 6.80 dengan residence time berturut-turut 0.20 th, 0,16 th dan 0.15 th. Dengan demikian dapat diketahui bahwa proses dekomposisi serasah berlangsung lebih lambat pada tingkat salinitas > 30 ppt dibanding dengan pada tingkat salinitas yang lebih kecil.