DESKRIPSI HISTOLOGIS, KOMPONEN BIOAKTIF DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN PADA DAUN MANGROVE API -API (Avicennia marina)
RINTO C34051036
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
RINGKASAN RINTO. C34051036. Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Daun Mangrove Api-api (Avicennia marina). Dibimbing oleh AGOES MARDIONO JACOEB dan SRI PURWANINGSIH. Daun Api-Api (Avicennia marina) merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang tumbuh subur di pesisir pantai dengan tingkat toleransi terhadap salinitas air yang tinggi. Sejak lama mangrove Api-api telah dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan pangan, obat-obatan, bahan untuk pengasapan ikan dan bahan untuk pembuatan rumah dan perahu. Mengingat pemanfaatan daun Api-api sebagai bahan pangan, maka perlu dilakukan kajian mengenai karakteristik daun Api-api, komponen bioaktif dan aktivitas antioksidannya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari anatomi, komposisi kimiawi (kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, karbohidrat dan serat kasar), rendemen ekstrak dari beberapa pelarut, aktivitas antioksidan, komponen bioaktif dan menentukan konsentrasi terbaik dari ekstrak daun Api-api yang dapat menghambat oksidasi pada emulsi minyak kelapa. Pengujian yang dilakukan meliputi analisis histologi daun, analisis proksimat, uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH, uji fitokimia dan uji bilangan peroksida. Daun Api-api yang diteliti berasal dari Wana Buaya Wisata, Kecamatan Belanakan, Kabupaten Subang Jawa Barat. Struktur Jaringan daun Api-api disusun oleh kutikula, epidermis atas, hipodermis, jaringan palisade, jaringan bunga karang, pembuluh xilem, pembuluh floem, epidermis bawah dan organ modifikasi epidermis berupa kelenjar garam. Komposisi kimiawi daun Api-api adalah air sebesar 68,16%, protein sebesar 3,67%, lemak sebesar 0,72%, abu sebesar 4,45%, karbohidrat sebesar 23,00% dan serat kasar sebesar 4,12%. Rendemen ekstrak daun Api-api tertinggi adalah ekstrak metanol sebesar 9,61%, ekstrak etil asetat hanya sebesar 1,28% dan rendemen terkecil sebesar 0,62% untuk ekstrak heksan. Aktivitas antioksidan daun Api-api diukur dari kemampuan ekstrak dalam menghambat 50% aktivitas radikal bebas (DPPH) atau biasa disebut sebagai IC50. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kasar daun Api-api memiliki aktivitas antioksidan walaupun tergolong lemah, yaitu 257,58 ppm (ekstrak methanol), 182,33 ppm (ekstrak etil asetat) dan 1003,66 ppm (ekstrak heksana). Uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan terbaik mengandung 3 senyawa bioaktif yaitu flavonoid, steroid dan gula pereduksi. Aplikasi ekstrak kasar daun Api-api pada emulsi minyak kelapa dan air menunjukkan bahwa ekstrak kasar dalam berbagai konsentrasi dapat menghambat proses oksidasi lipid yang ditunjukkan dengan menurunnya bilangan peroksida seiring meningkatnya konsentrasi ekstrak kasar yang ditambahkan. Konsentrasi ekstrak 300 ppm merupakan konsentrasi terbaik yang dapat menghambat oksidasi pada emulsi minyak kelapa. Hal ini karena bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa yang ditambahkan ekstrak daun Api-api pada konsentrasi 300 ppm paling rendah sebesar 0,42 Meq/kg dan menunjukkan penghambatan proses oksidasi emulsi minyak kelapa tertinggi.
DESKRIPSI HISTOLOGIS, KOMPONEN BIOAKTIF DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN PADA DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina)
RINTO C34051036
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Judul
: Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktifitas Antioksidan pada Daun Mangrove Api-api (Avicennia marina)
Nama
: Rinto
NRP
: C34051036
Departemen
: Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Agoes M Jacoeb Dipl.-Biol NIP. 1959 1127 1986 01 1 0005
Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si NIP. 1965 0713 1990 02 2 001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 1958 0511 1985 03 1 002
Tanggal Lulus : ……………………….
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul ” Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Daun Mangrove Api–Api (Avicennia marina )” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Rinto C34051036
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 05 April 1986 dan merupakan anak pertama dari 3 bersaudara pasangan bapak Pujiran dan ibu Amperawati. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN VII Bukit Mulyo OKU Timur (tahun 1993-1999), selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikannya
di
SMPN
03
Martapura
OKU
Timur
(tahun 1999-2002) dan SMAN 2 Martapura OKU Timur. Selanjutnya, pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), penulis resmi diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis menempuh perkuliahan di Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis juga aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan antara lain BEM-ETOS (tahun 2006-2008), UKM AIKIDO (tahun 2007-2009) , dan UKM TARUNG DERAJAT (tahun 2009-2011). Penulis menerima Beasiswa ETOS Dompet Dhuafa Republika selama periode tahun 2005-2008. Penulis juga pernah mengikuti kejuaraan beladiri Tarung Derajat antar perguruan tinggi se-Jawa Barat pada tahun 2011 di Universitas Parahyangan Bandung dan berhasil meraih juara I dan mendapatkan medali Emas. Penulis juga berpartisipasi aktif menjadi asisten praktikum beberapa matakuliah, antara lain: matakuliah Penanganan Hasil Perairan (tahun 2007-2008 dan tahun 2009-2010), matakuliah Dasar Teknologi Hasil Perairan tahun 2008-2009, dan matakuliah Bioteknologi Hasil Perairan tahun 2007-2010. Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis telah melakukan penelitian berjudul ”Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Daun Api-api (Avicennia marina)” di bawah bimbingan Dr.Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl.-Biol dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirobil’alamin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT, karena atas rahmat dan kasih sayang-Nya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Deskripsi Histologis, Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan pada Daun Mangrove Api-api (Avicennia marina) ” ini dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Selama menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1) Dr. Ir. Agoes Mardiono Jacoeb Dipl.-Biol. dan Dr. Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan dan dukungan dengan segala ketulusan dan kesabaran. 2) Roni Nugraha, S.Si, M.Sc selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan arahan demi perbaikan skripsi ini. 3) Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S, M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 4) Ir. Dadi Sukarsa selaku dosen pembimbing akademik yang telah mencurahkan perhatian dan waktunya selama penulis menempuh perkuliahan. 5) Seluruh dosen dan staf Departemen Teknologi Hasil Perairan yang telah mendidik dan membantu penulis selama menempuh perkuliahan dan penyelesaian skripsi. 6) Bapak, ibu dan adik-adik serta seluruh keluargaku yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, doa dan dukungan. 7) Tri Utami Ratna Puri atas segala perhatian dan pengertiannya. 8) Bu Emma, mas Ipul dan mbak Astri yang banyak memberikan bantuan selama ini.
9) Teman- teman seperjuangan: Tyas, Nazar, Jamil, Adrian, Singgih, Adho, Veri, Fathu, Sugara, dan seluruh THPers ’42 yang tak dapat disebutkan satu-persatu atas kekompakan, semangat, suka dan duka selama ini. 10) Teman-teman spesial di Wisma Aulia, Reza, Vabi, Anto, Juned, Husein, Navies, Doni, Andri, Husni dan Miko atas kebersamaan dan kesamaan selama ini. 11) Kakak-kakak THP 40 dan 41 serta adik-adik THP 43, 44 dan 45 atas bantuannya. 12) Saudara-saudara di: Satlat Tarung Drajat IPB, Dojo KBAI IPB dan Perguruan Kungfu Naga Mas, yang senantiasa memotivasi penulis. 13) Semua pihak yang telah banyak membantu dan tak dapat penulis sebutkan satu persatu di sini. Penulis menyadari bahwa sebagai manusia biasa pasti terdapat banyak kelamahan dan kekurangan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, dari lubuk hati yang terdalam penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak dalam proses penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihakpihak yang memerlukannya.
Bogor , Februari 2012
Rinto C34051036
v
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................
vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
xi
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................
1
1.2 Tujuan .................................................................................................
2
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tumbuhan Api-api (A. marina) .................
4
2.2 Radikal Bebas ......................................................................................
5
2.3 Antioksidan .........................................................................................
6
2.3.1 Definisi antioksidan, jenis dan sumbernya .................................
6
2.3.2 Mekanisme oksidasi lemak ........................................................
10
2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan .....................................................
11
2.3.4 Metode uji aktivitas antioksidan ................................................
13
2.4 Ekstraksi Senyawa Aktif .....................................................................
15
2.5 Komponen Bioaktif .............................................................................
17
2.5.1 Terpenoid/steroid .......................................................................
17
2.5.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya ....................................
19
2.5.3 Metabolit fenol ...........................................................................
20
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ..............................................................................
23
3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................
23
3.3 Metode Penelitian ................................................................................
24
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel ............................................
25
3.3.2 Analisis proksimat (AOAC 1980) ...............................................
25
3.3.3 Analisis mikroskopis (Johansen 1990) .......................................
28
3.3.4 Analisis aktivitas antioksidan (Quinn 1988 (ekstraksi), Hanani et al.2006 (uji DPPH)) ................................................................... 31 3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1984) ...................................................
32
3.3.6 Evaluasi aktivitas antioksidan ekstrak terpilih dengan penentuan bilangan peroksida (Santoso et al. 2004) .................................... 34 3.4 Rancangan percobaan (Steel dan Torrie 1991) ....................................
35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Daun Api-api (A. marina) ..............................................
37
4.1.1 Karakteristik fisik daun Api-api (A. marina) ............................
37
4.1.2 Morfometrik daun Api-api (A. marina) ....................................
38
4.1.3 Struktur jaringan daun Api-api (A. marina) ...............................
39
4.1.4 Komposisi kimia daun Api-api (A. marina) ..............................
43
4.2 Ekstraksi Senyawa Aktif .....................................................................
47
4.2.1 Ekstrak kasar ..............................................................................
48
4.2.2 Hasil uji aktivitas antioksidan ....................................................
49
4.2.3 Senyawa bioaktif ekstrak kasar daun Api-api terpilih ...............
55
4.3 Evaluasi Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Api-apiTerpilih dengan Pengukuran Bilangan Peroksida .........................................................
60
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan .........................................................................................
65
5.2 Saran ....................................................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ....................................
16
2. Subklasifikasi terpenoid ..................................................................
18
3. Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lain pada tanaman ......
20
4. Klasifikasi bagian-bagian fenolik ....................................................
21
5. Karakteristik fisik daun Api-api ......................................................
38
6. Morfometrik daun Api-api ...............................................................
38
7. Komposisi kimia daun Api-api ........................................................
43
8. Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan ekstrak kasar daun Api-api ....................................................................................
53
9. Hasil uji fitokimia ekstrak daun Api-api terpilih ( ekstrak etil asetat ) ........................................................................
56
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Daun Api-api (A. marina) ..............................................................
4
2. Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida ...............................................................................................
12
3. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi ..............................................................................................
12
4. Contoh mekanisme penghambatan antioksidan (tokoferol) terhadap radikal bebas (DPPH) .....................................................
14
5. Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid ........................................
19
6. Beberapa penggolongan alkaloid ...................................................
20
7. Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana ................................
22
8. Skema penelitian ............................................................................
24
9. Bagian-bagian daun Api-api ...........................................................
29
10. Bentuk daun Api-api ......................................................................
37
11. Anatomi bagian tangkai daun Api-api (A. marina) .......................
39
12. Anatomi bagian pangkal daun Api-api (A. marina) ......................
40
13. Anatomi bagian tengah daun Api-api (A. marina) ........................
40
14. Anatomi bagian tepi daun Api-api (A. marina) .............................
41
15. Anatomi bagian ujung daun Api-api (A. marina) ..........................
41
16. Histogram rendemen ekstrak kasar daun Api-api ..........................
43
17. Grafik hubungan antara konsentrasi BHT dan % inhibisi terhadap DPPH ..............................................................................
50
18. Grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak daun Api-api dengan % inhibisi terhadap DPPH ................................................
51
19. Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daun Api-api terpilih .................
57
20. Histogram hubungan bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa dengan konsentrasi ekstrak daun Api-api ..........................
62
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Pohon mangrove Api-api (A. marina) ............................................
73
2. Perhitungan analisis proksimat daun Api-api (A. marina) .....................................................................................
73
3. Data rendemen ekstrak kasar daun Api-api (A. marina) .....................................................................................
74
4. Perhitungan pembuatan larutan DPPH, BHT, stok ekstrak dan pengencerannya ...................................................
75
5. Perhitungan persen inhibisi dan IC50 ..............................................
77
6. Perhitungan bilangan peroksida ekstrak terpilih .............................
81
7. Analisis ragam pengujian bilangan peroksida ................................
82
8. Uji Lanjut Duncan ...........................................................................
82
9. Analisa struktur anatomi daun ........................................................
82
10. Proses ekstraksi ..............................................................................
83
11. Uji antioksidan ................................................................................
84
12. Uji fitokimia ...................................................................................
84
13. Uji bilangan peroksida ....................................................................
85
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Terbentuk radikal bebas dalam tubuh kita secara terus-menerus melalui peristiwa metabolisme sel normal, peradangan, kekurangan gizi dan akibat respons terhadap pengaruh dari luar tubuh misalnya polusi lingkungan, sinar ultraviolet dan asap rokok. Lingkungan tercemar, kesalahan pola makan dan gaya hidup, mampu merangsang tumbuhnya radikal bebas (free radical) yang dapat merusak tubuh kita (Mega dan Swastini 2010). Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit degeneratif antara lain kangker, aterosklerosis, stroke, rematik dan jantung (Steinberg 2009; Theroux dan Libby 2005). Upaya untuk mencegah atau mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh aktivitas radikal bebas adalah dengan mengkonsumsi makanan atau suplemen yang mengandung antioksidan.
Antioksidan dapat menetralkan radikal bebas
dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas stabil dan tidak reaktif (Lusiana 2010). Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol (Irianti 2008).
Keuntungan
menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti radikalnya yang sangat kuat, namun ternyata terdapat kekurangannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Wichi (1988) dan Thompson & Moldeus (1988), antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran antioksidan sintetik. Irianti (2008) menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya telah lama digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan bioaktifnya. Mangrove (tanaman bakau) adalah tanaman yang tumbuh subur di kawasan pesisir pantai yang memiliki potensi kandungan bioaktif yang sangat tinggi. Indonesia dengan wilayah perairannya yang sangat luas (2/3 dari luas wilayah) dan beriklim tropis merupakan tempat yang ideal bagi pertumbuhan
2
tanaman mangrove. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia, dengan luas hutan mangrove sekitar 3,5 juta hektar (Noor et al. 2006). Sekitar 202 jenis spesies mangrove di Indonesia telah teridentifikasi dan dari sekian banyak tanaman mangrove yang tumbuh subur di Indonesia tersebut, Api-api (Avicennia marina) merupakan jenis mangrove yang sangat berpotensi untuk diteliti kandungan bioaktifnya, terutama kandungan antioksidan. Mangrove Api-api merupakan salah satu jenis mangrove yang tersebar diseluruh Indonesia dengan kondisi yang melimpah (Noor et al. 2006). Api-api (A. marina) telah dikenal sejak dulu oleh masyarakat karena banyaknya manfaat yang dimilikinya. Mahera et al. (2011) mengatakan bahwa Api-api merupakan salah satu spesies mangrove yang sangat
penting.
Miles et al. (1998)
menyebutkan bahwa Api-api menunjukkan aktifitas antimalaria dan aktivitas sitotoksik. Daun Api-api telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional untuk pengobatan penyakit kulit, rematik, cacar, bisul dan pakan hewan di peternakan (Fauvel et al. 1993; Bandaranayake 2002). Di Indonesia, khususnya masyarakat pantai Cilincing Jakarta Utara ada yang memanfaatkan daun tumbuhan Api-api yang masih muda sebagai bahan sayur urap, demikian pula masyarakat pantai di Jawa Timur (Santoso et al. 2005).
Potensi Api-api
(A. marina) yang begitu besar, maka perlu dilakukan penelitian mengenai karakteristiknya meliputi struktur jaringan, komposisi kimiawi, kandungan bioaktif dan aktivitas antioksidannya, serta aplikasi senyawa antioksidan dalam menghambat proses oksidasi pada minyak. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mempelajari karakteristik daun tanaman mangrove Api-api (A. marina) yang meliputi struktur jaringan dan komposisi kimiawi (karbohidrat, kadar lemak, kadar protein, kadar abu, kadar air dan kadar serat kasar). 2) Menentukan aktivitas antioksidan dari ekstrak daun Api-api (A. marina) yang diperoleh dari ekstraksi berbagai pelarut. 3) Menentukan secara kualitatif senyawa bioaktif melalui uji fitokimia ekstrak daun Api-api (A. marina)
3
4) Menentukan
kemampuan ekstrak daun Api-api
(A.
marina)
dalam
menghambat oksidasi pada emulsi minyak kelapa melalui bilangan peroksida yang terbentuk.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tumbuhan Api-Api (A. marina) Ekosistem mangrove merupakan sumber alami tannin dan kayu yang bernilai tinggi. Sebagai contoh, batang kayu rizhopora yang keras digunakan untuk pembuatan kapal tahan rayap dan organisme laut (Rao 1994). Tanaman mangrove dipakai sebagai obat masyarakat untuk mengobati beragam penyakit selama berabad-abad. aktivitasnya,
yaitu
Beberapa tanaman mangrove telah ditapis beberapa antiviral,
antibakteri,
antibisul,
dan
antiinflamasi
(Agoramoorthy et al. 2008) Tumbuhan A. marina merupakan salah satu jenis mangrove yang sudah lama dikenal oleh penduduk di Indonesia, mereka mengenalnya dengan nama yang berbeda-beda tergantung pada daerah masing-masing.
Di Pulau Jawa
tumbuhan ini dikenal dengan nama pohon Api-api, di Pulau Bali dikenal dengan nama pohon Prapat dan di Sumatera Selatan dikenal dengan nama kayu Api-api betina (Yusuf 2010). Bentuk dan morfologi daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi A. marina menurut Duke et al. (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Filum
: Thacheophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Lamiales
Famili
: Avicenniaceae
Genus
: Avicennia
Spesies
: Avicennia marina (Forsk.) Vierh
Gambar 1 Daun Api-api (A. marina) (Sumber: Borkar et al. 2011)
5
Tanaman Api-api (A. marina) termasuk pepohonan semak hingga medium dengan ketinggian 2-5 meter (Peng dan Xin-men 1983). Spesies ini ditemukan dari daerah hilir hingga pertengahan perairan payau di semua kawasan pasang surut (Robertson dan Alongi 1992). Menurut Peng dan Xin-men (1983) A. marina ditemukan di mulut sungai atau di area pasang terendah dan toleran terhadap salinitas maksimum air payau, yaitu 85 ppt (part per thousand). Pertumbuhan optimal terdapat pada salinitas 0-30 ppt (Robertson dan Alongi 1992). Supriharyono (2002) menyatakan bahwa A. marina merupakan salah satu jenis penyusun magrove yang dapat bertahan pada tempat-tempat yang bersalinitas hingga lebih dari 90 ‰. Tanaman Api-api (A. marina) memiliki banyak sekali manfaat dan kegunaan, baik dalam bidang pangan, pakan, perumahan, farmasi dan lain sebagainya. Yusuf (2010) menyebutkan, tumbuhan kayu Api-api (A. marina) dapat digunakan untuk kayu bakar, perabot rumah tangga, mengasapi ikan, juga dapat digunakan untuk membuat lumpang padi.
Kulit batangnya dapat
dimanfaatkan sebagai obat-obatan tradisional misalnya obat sakit gigi, dan menurut Yusuf (2010) kulit batangnya mempunyai khasiat terhadap penurunan produksi hormon seksual (afrodisiaka) dan sering digunakan sebagai antifertilitas. Buahnya dapat dimakan dengan merebusnya terlebih dahulu, kemudian direndam semalam lalu dibersihkan dari kotorannya. Api-api (A. marina) secara tradisional telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan untuk rematik, cacar air, borok/bisul dan penyakit ringan lainnya (Bandaranayake 2002). Tariq et al. (2007) menyatakan bahwa A. marina melepaskan senyawa- senyawa yang bersifat toksik terhadap nematoda yaitu phenol, tannin, azadirachtin dan ricinin. 2.2 Radikal Bebas Radikal bebas adalah molekul yang kehilangan elektron, sehingga molekul tersebut menjadi tidak stabil dan selalu berusaha mengambil elektron dari molekul atau sel lain. Beberapa contoh senyawa Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang ditemukan pada organisme hidup adalah superoksida (O2*), hidroksil (OH*), peroksil (RO2*), alkoksil (RO*) dan hidroperoksil (HO2*). Nitrit oksida dan nitrogen oksida (*NO2) adalah dua radikal bebas nitrogen. Radikal bebas oksigen dan nitrogen dapat dikonversi menjadi spesies reaktif non radikal lain, misalnya
6
hidrogen peroksida, asam hipoklorit (HOCl), asam hipobromous (HOBr), dan peroksinitrit (ONOO-).
Reactive Oxygen Spesies (ROS), Reactive Nitrogen
Spesies (RNS) diproduksi di dalam tubuh manusia secara fisiologis dan patologis (Fang et al. 2002). Radikal bebas dapat menyebabkan oksidasi DNA, sehingga DNA termutasi dan menimbulkan kanker (Muchtadi 2000). Radikal bebas merupakan penyebab timbulnya penyakit jantung koroner. Hal ini dikarenakan molekul besar lemak yang disebut LDL atau low density lipoprotein teroksidasi oleh radikal bebas akan mengendap di pembuluh darah jantung sehingga menjadi sempit dan aliran darah terganggu sehingga sebagian sel-sel jantung tidak cukup makanan dan mati. Selain itu, kerusakan protein akibat elektronnya diambil oleh radikal bebas dapat mengakibatkan sel-sel jaringan tempat protein berada menjadi rusak dan banyak terjadi pada lensa mata sehingga menyebabkan penyakit katarak (Kumalaningsih 2006). 2.3 Antioksidan 2.3.1 Definisi antioksidan, jenis dan sumbernya Secara umum, antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda, memperlambat dan mencegah proses oksidasi. Dalam arti khusus, antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Kochar dan Rossell 1990). Sauriasari (2006) menyatakan bahwa antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya radikal bebas atau Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi- reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi di dalam tubuh. Antioksidan merupakan garis depan pertahanan kita untuk melawan kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Kebutuhan antioksidan bahkan menjadi lebih kritis seiring meningkatnya kehadiran radikal bebas (Percival 1998). Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting untuk mempertahankan mutu pangan produk. Berbagai kerusakan misalnya ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan (Trilaksani 2003).
7
Antioksidan
sangat
beragam
jenisnya.
Berdasarkan
sumbernya
antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Trilaksani 2003) 1) Antioksidan sintetik Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar di seluruh dunia, yaitu Butylated Hidroxy Anisol (BHA), Butylated Hidroxy Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial (Buck 1991) Butilated Hidroxy Anisole memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih, bersifat volatil sehingga berguna untuk penambahan ke materi pengemas (Buck 1991; Coppen 1983) Antioksidan BHT memiliki sifat serupa BHA, dan akan memberikan efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah (Sherwin 1990). Antioksidan propil galat mempunyai karakteristik sensitif terhadap panas, terdekomposisi pada titik cairnya 148 oC, dapat membentuk komplek warna dengan ion metal, sehingga kemampuan antioksidannya rendah. Propil galat berbentuk kristal padat putih, sedikit tidak larut lemak tetapi larut air, serta memberi efek sinergis dengan BHA dan BHT (Buck 1991). Rahardjo & Hernani (2006) menyatakan bahwa kedua senyawa antioksidan (BHT dan BHA) tersebut banyak dimanfaatkan dalam industri makanan dan minuman, namun beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan telah membuktikan bahwa antioksidan tersebut mempunyai efek samping yang tidak diinginkan, yaitu berpotensi sebagai karsinogenik terhadap efek reproduksi dan metabolisme, bahkan dalam jangka waktu lama tidak terjamin keamanannya. Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena
8
memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah pada pembakaran. Tert-Butylated Hidroxy Quinone (TBHQ) direkomendasikan dengan BHA yang memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada pemanggangan, maka akan memberikan kegunaan yang lebih luas. Antioksidan TBHQ berbentuk bubuk putih sampai coklat terang, mempunyai kelarutan cukup pada lemak dan minyak, tidak membentuk kompleks warna dengan Fe dan Cu tetapi dapat berubah menjadi warna merah jambu dengan adanya basa (Buck 1991).
Tokoferol merupakan antioksidan alami yang dapat ditemukan pada
hampir di setiap minyak tanaman, tetapi saat ini telah dapat diproduksi secara kimia. Tokoferol memiliki karakteristik berwarna kuning terang, cukup larut dalam lipida karena rantai C panjang.
Pengaruh nutrisi secara lengkap dari
tokoferol belum diketahui, tetapi α-tokoferol dikenal sebagai sumber vitamin E. Di dalam jaringan hidup, aktivitas antioksidan tokoferol cenderung α->β->γ->δtokoferol, tetapi dalam makanan aktivitas tokoferol terbalik δ->γ->β-> α-tokoferol (Belitz et al. 2009). Tetapi menurut Sherwin (1990), urutan tersebut terkadang bervariasi tergantung pada substrat dan kondisi lain. 2) Antioksidan alami Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari (a) senyawa antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, (b) senyawa antioksidan yang terbentuk dari reaksi- reaksi selama proses pengolahan, (c) senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan (Pratt 1992).
Senyawa antioksidan alami
diantaranya adalah asam fenolik, flavonoid, β- karoten, vitamin E (tokoferol), vitamin C, asam urat, bilirubin dan albumin (Gheldof et al. 2002). Zat-zat gizi mineral misalnya mangan, seng, tembaga dan selenium juga berperan sebagai antioksidan (Mega dan Swastini 2010). Antioksidan berdasarkan aktivitasnya dapat dibedakan menjadi antioksidan primer dan antioksidan sekunder. Antioksidan primer adalah suatu zat yang dapat menghentikan reaksi berantai pembentukan radikal yang melepas atom hidrogen. Zat- zat yang termasuk golongan ini dapat berasal dari alam dan dapat pula buatan misalnya tokoferol, lesitin, fosfatida, sesamol, gosipol, asam askorbat, BHA, BHT PG (Propylgalate), dan NDGA (NorDihidro Guaioretic Acid) (Winarno 1980).
9
Antioksidan sekunder adalah suatu zat yang dapat mencegah kerja prooksidan sehingga dapat digolongkan secara sinergik. Beberapa asam organik tertentu, biasanya asam di- atau trikarboksilat, dapat mengikat logam-logam (sequestran). Contoh lain antioksidan sekunder antara lain turunan-turunan asam fosfat, senyawa karoten, sterol, fosfolipid, dan produk-produk reaksi Maillard. Tujuan dasar dari antioksidan sekunder adalah mencegah terjadinya radikal yang paling berbahaya yaitu radikal hidroksil (BlueFame Forums 2008) Ketaren (1986) menyatakan bahwa umumnya antioksidan memiliki struktur inti yang sama, yaitu mengandung cincin benzena tidak jenuh disertai gugus hidroksil atau asam amino.
Antioksidan berdasarkan gugus fungsinya
dibagi atas tiga golongan, yaitu golongan fenol, amin dan aminfenol. Adapun penggolongan antioksidan menurut Ketaren (1986), adalah sebagai berikut: 1) antioksidan golongan fenol Antioksidan yang termasuk golongan ini biasannya memiliki ciri intensitas warna yang rendah atau tidak berwarna sama sekali dan banyak digunakan karena beracun. Antioksidan golongan fenol meliputi sebagian besar antioksidan yang dihasilkan alam dan sejumlah kecil antioksidan sintesis.
Beberapa contoh
antioksidan yang termasuk golongan ini antara lain hidrokuinon, gosipol, katekol, resorsiol, dan eugenol. 2) antioksidan golongan amin Antioksidan yang mengandung gugus amino dan diamino yang terikat pada cincin benzene berpotensi tinggi sebagai antioksidan, namun beracun dan biasanya menghasilkan warna yang intensif jika dioksidasi atau bereaksi dengan ion logam, selain itu umumnya stabil pada suhu panas dan ekstrasi dengan kaustik. Antioksidan yang termasuk dalam golongan ini adalah N,N difenilen diamin, difenilhidrasin, difenil guanidine dan difenil amin. 3) antioksidan golongan aminfenol Antioksidan golongan aminfenol biasanya mengandung gugus fenolat dan amino sebagai gugus fungsional penyebab aktivitas antioksidan.
Golongan
aminfenol banyak digunakan dalam industri petroleum, untuk mencegah terbentuknya gum dalam gasolin, contohnya N-butil-p-amino-fenol dan Nsikloheksil-p-amino-fenol. Adanya gugus hidroksil (-OH) dan amino (-NH2) yang
10
terikat pada cincin aromatis memegang peranan penting dalam aktivitas antioksidan. Potensi antioksidan tersebut diperbesar oleh adanya substitusi gugus lain yang terikat pada cincin aromatis. 2.3.2 Mekanisme Oksidasi Lemak Meyer (1973) dan Hamilton (1983) menyebutkan bahwa autooksidasi lipida berlangsung dalam dua tahap. Selama tahap pertama autooksidasi berjalan lambat dengan laju kecepatan seragam. Tahap pertama ini sering disebut periode induksi. Oksidasi periode induksi ini berlangsung beberapa waktu sampai pada waktu titik tertentu dimana reaksi memasuki tahap kedua yang mempunyai laju oksidasi dipercepat. Laju pada oksidasi tahap kedua beberapa kali lebih cepat dari laju oksidasi tahap pertama. Umumnya lemak dan minyak mulai terasa tengik pada awal tahap kedua. Asam lemak yang memiliki ikatan rangkap lebih banyak (misalnya asam linoleat) bereaksi lebih cepat dibanding yang berikatan rangkap lebih sedikit (asam oleat) sehingga periode induksinya lebih pendek. Mekanisme oksidasi lipida tidak jenuh dimulai dengan tahap inisiasi, yaitu terbentuknya radikal bebas (R*) bila lipida kontak dengan panas, cahaya, ion metal dan oksigen. Reaksi ini terjadi pada group metilen yang berdekatan dengan ikatan rangkap –C=C- (Buck 1991). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Gordon (1990) bahwa tahap inisiasi terjadi karena bantuan sumber energi eksternal misalnya panas, cahaya atau energi tinggi dari radiasi, inisiasi kimia dengan terlarutnya ion logam dan metaloprotein misalnya haem. Tahap selanjutnya adalah tahap propagasi dimana autooksidasi berawal ketika radikal lipida (R*) hasil tahap inisiasi bertemu dengan oksigen membentuk radikal peroksida (ROO*). Reaksi oksigenasi ini terjadi sangat cepat dengan energi aktivitas hampir nol sehingga konsentrasi ROO* yang terbentuk jauh lebih besar dari konsentrasi R* dalam system makanan dimana oksigen berada (Gordon 1990). Radikal peroksida yang terbentuk akan mengekstrak ion hidrogen dari lipida lain (R1H) membentuk hidroperoksida (ROOH) dan molekul radikal lipida baru (R1*).
Selanjutnya reaksi autooksidasi ini akan berulang sehingga
merupakan reaksi berantai. Tahap
terakhir
oksidasi
lipida
adalah
tahap
terminasi,
dimana
hidroperoksida yang sangat tidak stabil terpecah menjadi senyawa organik
11
berantai pendek yaitu aldehid, keton, alkohol dan asam (Trilaksani 2003). Buch (1991) menyebutkan faktor-faktor dan kondisi yang dapat ikut berperan pada oksidasi lipida antara lain (a) panas, setiap peningkatan suhu sebesar 10 oC laju kecepatan meningkat dua kali lipat, (b) cahaya, terutama ultraviolet yang merupakan inisiator dan katalisator kuat, (c) logam berat, logam terlarut misalnya Fe, Cu merupakan katalisator kuat meski dalam jumlah kecil, (d) kondisi alkali, kondisi basa, ion alkali merangsang radikal bebas, (e) tingkat ketidakjenuhan, jumlah dan posisi ikatan rangkap pada molekul lipida berhubungan langsung dengan kerentanan terhadap oksidasi, sebagai contoh asam linoleat lebih rentan dibanding asam oleat, dan (f) ketersediaan oksigen. 2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi.
Fungsi
pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen.
Antioksidan (AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sebagai
antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal lipida (R*, ROO*) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan (A*) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme di luar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon 1990). Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Radikal- radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain membentuk radikal lipida baru. Menurut Hamilton (1983) radikal-radikal antioksidan dapat saling bereaksi membentuk produk non radikal. Gambar 2.
Mekanisme penghambatan antioksidan primer dapat dilihat pada
12
Inisiasi
; R*
+
Radikal lipida
Propagasi
: ROO*
AH --------------------------RH
+ A*
Antioksidan
+
AH ------------------------- ROOH
+ A*
Gambar 2 Reaksi penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon 1990) Besarnya konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap, bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan. Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji.
AH
+
O2
----------------------------- A* +
AH
+
ROOH ----------------------------- RO* +
HOO* H2O
+
A*
Gambar 3 Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon 1990) Trilaksani (2003) berpendapat bahwa penghambatan oksidasi lipida oleh antioksidan melalui lebih dari satu mekanisme tergantung pada kondisi reaksi dan sistem makanan. Ada empat kemungkinan mekanisme penghambatan tersebut yaitu (a) pemberian hidrogen, (b) pemberian elektron, (c) penambahan lipida pada cincin aromatik antioksidan, (d) pembentukan kompleks antara lipida dan cincin aromatik antioksidan.
Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa ketika atom
hidrogen labil pada suatu antioksidan tertentu diganti dengan deuterium, antioksidan tersebut menjadi tidak efektif.
Hal ini menunjukkan bahwa
mekanisme penghambatan dengan pemberian atom hidrogen lebih baik dibanding pemberian elektron. Beberapa peneliti percaya bahwa pemberian hidrogen atau elektron merupakan mekanisme utama. Sementara pembentukan kompleks antara antioksidan dengan rantai lipida adalah reaksi sekunder. Antioksidan sekunder, misalnya asam sitrat, asam askorbat, dan esternya, sering ditambahkan pada lemak dan minyak sebagai kombinasi dengan antioksidan primer. Kombinasi tersebut dapat memberi efek sinergis sehingga
13
menambah keefektifan kerja antioksidan primer. Antioksidan sekunder ini bekerja dengan satu atau lebih mekanisme berikut (a) memberikan suasana asam pada medium (sistem makanan), (b) meregenerasi antioksidan lama, (c) mengkelat atau mendeaktifkan kontaminan logam prooksidan, (d) menangkap oksigen, (e) mengikat singlet osigen dan mengubahnya ke bentuk triplet oksigen (Gordon 1990) Trilaksani (2003) menegaskan bahwa antioksidan sebaiknya ditambahkan ke lipida seawal mungkin untuk menghasilkan efek maksimum. Menurut Coppen (1983), antioksidan hanya akan benar-benar efektif bila ditambahkan seawal mungkin selama periode induksi, yaitu suasana periode awal oksidasi lipida terjadi, dimana oksidasi masih berjalan secara lambat dengan kecepatan seragam. 2.3.4 Metode uji aktifitas antioksidan Pengujian anti radikal bebas senyawa-senyawa bahan alam atau sintesis dapat dilakukan secara reaksi kimia dengan menggunakan 1,1-Di Phenyl-2-Picryl Hydrazyl (DPPH) sebagai senyawa radikal bebas yang stabil dengan melihat proses penghambatan panjang gelombang maksimumnya pada spektrofotometer UV-Vis. Molyneux (2004) mengemukakan bahwa metode uji DPPH merupakan salah satu metode yang paling banyak digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan sebagai antioksidan. Hannani et al. (2005) juga menambahkan bahwa metode DPPH dipilih karena sederhana, murah, cepat dan peka serta hanya memerlukan sedikit sampel. 1,1-Di Phenyl-2-Picryl Hydrazyl ( DPPH ) merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Prinsip dari uji aktivitas antioksidan dengan DPPH adalah DPPH yang menerima elektron atau radikal hidrogen akan membentuk molekul diamagnetik yang stabil. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan karakter radikal bebas dari DPPH. Jika semua elektron radikal bebas pada DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang dan arbsorbansi pada panjang gelombang 517 nm akan hilang (Suratmo 2009).
14
Penghambatan warna ungu merah (absorbansi pada 517 ± 20 nm) dikaitkan dengan kemampuan sebagai anti radikal bebas (free radical scavenger) (Mega dan Swastini 2006). Molyneux (2004) mengatakan bahwa DPPH adalah radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokalisasi elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas lain.
Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan
adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm. Adapun reaksi penghambatan DPPH dengan senyawa anti radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Contoh mekanisme penghambatan antioksidan (tokoferol) terhadap radikal bebas (DPPH) (Mega dan Swastini 2010) Gugus- gugus fungsi yang diduga terlibat pada reaksi antara senyawa antiradikal bebas adalah gugus –OH dan ikatan rangkap dua (-C=C-). Kapasitas aniradikal bebas DPPH diukur dari penghambatan warna ungu merah dari DPPH pada panjang gelombang 517 ± 20 nm (Mega dan Swastini 2010).
15
2.4 Ekstraksi Senyawa Aktif Khopkar (2003) menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Faktor- faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fase air dan fase organik. Fase air dilakukan dengan menggunakan pelarut air dan fase organik merupakan ekstraksi yang dilakukan dengan menggunakan pelarut organik (Winarno et al. 1973). Hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis pelarut yang digunakan adalah daya melarutkan, titik didih, sifat toksik, mudah tidaknya terbakar, dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi. Menurut Harborne (1984) hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk diuapkan, dan harga pelarut. Jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses ekstraksi, pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik dan tidak mudah terbakar (Ketaren 1986). Nur dan Adijuwana (1989) menyatakan bahwa sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (misal gugus OH, COOH). Derajat polaritas tergantung pada konstanta dielektrik, makin besar konstanta dielektrik semakin polar pelarut tersebut. Beberapa pelarut organik dan sifat-sifat fisiknya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya
Heksana
Rumus molekul C6H14
Titik didih (oC) 69
Titik beku (oC) -94
Konstanta dielektrik (Debye) 1,8
Masa molar (g/mol) 32,0
Etil asetat
C4H8O2
77
-84
6,0
86,2
CH4O
65
-98
32,6
88,1
H2O
100
0
80,2
18,0
Pelarut
Metanol Air
Sumber: Pramadhany (2006)
16
Pelarut non polar merupakan salah satu pelarut yang dikenal efektif terhadap alkaloid dalam bentuk basa dan terpenoid dari bahan. Pelarut nonpolar juga mengekstrak senyawa kimia misalnya lilin, lemak, dan minyak yang mudah menguap.
Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid,
alkaloid, aglikon dan glikosida. Pelarut yang bersifat polar, mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tanin, gula, asam amino dan glikosida (Harbone 1987). Metode ekstraksi dikelompokkan menjadi dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus (Harborne 1984). Ekstraksi sederhana antara lain terdiri atas maserasi, perkolasi, reperkolasi, evakolasi dan diakolasi.
Ekstraksi sederhana
menurut Harbone (1984) adalah sebagai berikut: a) maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan; b) perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan; c) reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk melarutkan sampel di dalam perkolator sampai senyawa kimianya terlarutkan; d) evakolasi, yaitu perkolasi dengan pengurangan tekanan udara; e) diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara. Metode ekstraksi khusus antara lain soxhletasi, arus balik, dan ultrasonik. Ekstraksi khusus menurut Harbone (1984) antara lain: a) soxhletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi; b) arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan; c) ultrasonik, yaitu ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz. Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu tahap penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan, dan pemisahan. Penghancuran bertujuan untuk mempermudah pengadukan dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses pelarutan. Bahan ditimbang untuk mengetahui berat awal bahan sehingga dapat dihitung rendemen yang dihasilkan. Bahan yang telah ditimbang kemudian direndam dalam pelarut yang sesuai.
Proses
17
perendaman yang dilakukan disebut maserasi. Tahap selanjutnya adalah tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan residu bahan dan pelarut yang telah mengandung senyawa bioaktif.
Pemisahan pelarut dengan senyawa bioaktif yang terikat dilakukan
dengan evaporasi sehingga pelarut akan menguap dan diperoleh senyawa hasil ekstraksi. Hasil ekstrak yang diperoleh akan tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995) 2.5 Komponen Bioaktif Bentuk metabolit sekunder menunjukkan sejumlah molekul yang sedikit penting terhadap tanaman dan memiliki peranan utama dalam perlindungan tanaman dari tekanan lingkungan atau dalam pengontrolan pertumbuhan tanaman (Harborne 1999). 2.5.1 Terpenoid/steroid Terpenoid atau isoprenoid dicirikan dengan biosintesis dari isopentenil dan dimetilalil pirofosfat dan sifatnya yang secara umum lipofilik. Terpenoid adanya di kelenjar trikoma daun, di pucuk exudates dan kayu damar. Secara kimia, terpenoid pada dasarnya hidrokarbon tidak jenuh siklik, dengan derajat keragaman oksigenasi dalam kelompok pengganti yang dilekatkan terhadap kerangka karbon utama.
Terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah 5-atom karbon (C5)
(Harborne 1999).
Monomer aktif dari isoprenoid adalah isopentenilpirofosfat
(IPP) yang digunakan untuk membangun monoterpen (C 10), sesquiterpen (C15), dan diterpen (C20) (Edwards dan Gatehouse 1999). Terpenoid memiliki potensi anti-inflamasi tidak hanya in-vivo pada sel hewan, tetapi juga ex-vivo.
Beberapa terpenoid bertindak sebagai hormon
tanaman yang mengatur fungsi fisiologis yang berbeda dan metabolit sekunder lainnya berperan dalam pertahanan dan perlindungan tumbuhan/hewan dari patogen (Heras et al. 2003). Subklasifikasi terpenoid dapat dilihat pada Tabel 2.
18
Tabel 2 Subklasifikasi terpenoid Kelas terpenoid
Deskripsi
Monoterpenoid
Volatil, unsur minyak esensial
Iridoid
Lakton yang berasa pahit, biasanya dalam bentuk glikosidik
Sesquiterpenoid
Unsur minyak esensial yang tinggi titik didihnya
Sesquiterpen lakton
Karakteristik dari famili Compositae
Diterpenoid
Asam dammar dan giberelin
Triterpenoid saponin
Glikosida hemolitik
Steroid saponin
Glikosida hemolitik
Kardenolid dan bufadienolid
Racun bagi jantung dan toxin
Fitosterol
Unsur-unsur membran
Cucurbitacin
Pahit, terutama Cucurbitaceae
Nortriterpenoid
Limonoid dan Quassinoid
Triterpenoid lainnya
Lupanes, hapanes, ursanes, dsb
Karotenoid
Pigmen kuning hingga merah
Sumber : Harborne (1999)
Komponen terpenoid yang menunjukkan aktivitas insektisidal adalah steroid. Bentuk steroid dapat berupa komponen kardenolid dan saponin yang dapat melawan herbivora mamalia. Kardenolid berasa pahit dan sangat beracun serta dapat menyebabkan penyakit jantung. Saponin merupakan komponen yang dapat larut di dalam air dan lemak, serta memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008). Struktur beberapa terpenoida dapat dilihat pada Gambar 5.
19
Gambar 5 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid (Robinson 1995)
2.5.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya Alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom nitrogen sebagai bagian dari srukturnya, biasanya terkait ke dalam suatu sistem siklik lima atau enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20 % dari spesies angiospermae. Metabolit-nitrogen juga terbatas di alam. Keterbatasan distribusi metabolit ini disebabkan oleh ketersediaan unsur dari metabolit ini juga terbatas. Metabolit-nitrogen merupakan turunan dari satu atau lebih asam amino protein (Harborne 1999). Metabolit-nitrogen lainnya yang berperan penting adalah glukosinolat, cianogenik glikosida, dan asam amino non-protein.
Bentuk lebih lanjut dari
metabolit-nitrogen adalah betalain, pigmen tanaman. Asam amino lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin, triptofan, dan histidin merupakan sumber N dari mayoritas alkaloid pada tanaman (Edwards dan Gatehouse 1999). Alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCl 1M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan dengan amoniak pekat. Pemurnian selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi pelarut (ekstraksi cair-cair). Adanya alkaloid pada ekstrak nisbi kasar dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid (Harborne 1987). Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya dapat dilihat Tabel 3.
20
Tabel 3 Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman Metabolit
Metabolit
Alkaloid:
11. Pirolizidin
1) Amaryllidaceae
12. Quinolin
2) Betalain
13. Quinolizidin
3) Diterpenoid (kadang beracun)
14. Steroidal
4) Indol
15. Tropana
5) Isoquinolin (kelompok terbesar alkaloid)
Asam amino non-protein
6) Likopodium
Amina
7) Monoterpen
Cianogenik glikosida
8) Sesquiterpen
Glukosinolat
9) Peptida
Purin dan Pirimidin (termasuk kafein pada kopi dan teh)
10) Pirolidin dan piperidin Sumber : Harborne (1999)
Struktur beberapa senyawa alkaloid (Robinson 1995) dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.
Gambar 6. Beberapa penggolongan alkaloid (Robinson 1995)
2.5.3 Metabolit fenol Komponen fenol merupakan metabolit sekunder dengan molekul dasar dari beragam jenis senyawa adalah struktur fenol yang merupakan kelompok hidroksil pada sebuah cincin aromatik. Komponen fenol menunjukkan beragam fungsi bagi
21
tanaman termasuk pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan cahaya, penarik pollinator, penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing, dan simbiosis dengan bakteri penyedia nitrogen (Wildman 2001). Fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu dari tiga asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur shikimate. Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi dan p-hidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam kelas dari fenol tanaman (Harborne 1999). Flavonoid merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki rangka karbon yang sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari 4000 struktur. Flavonoid dapat ditemukan di sebagian besar tanaman dan sama dengan struktur fenilpropanoid dan asam hidroksibenzoat (Harborne 1999). Flavonoid adalah turunan dari chalcones yang dibentuk dari shikimate dan prekursor asetat (Edwards dan Gatehouse 1999). Sebagian besar karakteristik dari fenolik adalah kemampuan untuk mengionisasi. Beberapa polifenol memiliki kelompok catechol dan karena itu memiliki kemampuan untuk mengkelat ion logam divalen atau trivalen. Beberapa antosianin menjadi pengkelat terhadap magnesium atau besi.
Fenol dengan
substitusi o- atau p-dihidroksi dapat teroksidasi sesuai dengan quinon dan beberapa p-quinon (Harborne 1999).
Klasifikasi bagian-bagian fenolik dapat
dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi bagian-bagian fenolik Subkelas
Deskripsi
Subkelas
Antosianin
Pigmen merah hingga biru pada bunga
Lignan
Pigmen kuning pada bunga: chalcones dan aurones
Fenol dan asam fenolik
Antoklors
Benzofuran
Ada pada tumbuhan tingkat tinggi
Fenolik keton
Deskripsi Umumnya ada pada kayu dan kulit kayu Beberapa asam yang umum pada tanaman Ada pada buah hop dan pakis
22
Tabel 4 lanjutan Chromones
Kelompok kecil dari zat pengobatan
Fenilpropanoid
Strukturnya banyak, tersebar luas
Kumarin
Lebih dari 700 struktur, tersebar luas pada tanaman
Quinonoid
Benzoquinon, naphthoquinon dan anthraquinon
Minoritas flavonoid
Flavanon dan dihidroflavonol
Stilbenoid
Termasuk dihidrofenantrin
Flavon dan flavonol
Struktur banyak, terutama dalam kombinasi glikosidik
Tanin
Kental dan dapat dihidrolisis
Sumber : Harborne (1999)
Struktur dari beberapa metabolit fenolik di tanaman (Robinson 1995) dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana (Robinson 1995)
3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011-Juni 2011. Sampel berupa daun tanaman mangrove Api-api (A. marina) diambil dari daerah Belanakan Kabupaten Subang, Jawa Barat. Penelitian bertempat di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 1, Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan 2, Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan
Departemen
Teknologi
Hasil
Perairan,
Laboratorium
Proling
Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Mikroteknik Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Mikrobiologi Terpadu Fakultas Kedokteran Hewan.
3.2 Bahan dan Alat Bahan utama yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah daun tanaman mangrove Api-api (A. marina). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat meliputi akuades, kjeltab jenis selenium, larutan H2SO4 p.a. pekat, asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green-methyl red (1:2) berwarna merah muda, larutan HCl 0,0947 N, pelarut lemak (n-heksana p.a.), larutan HCl 10% dan larutan AgNO3 0,10 N.
Bahan-bahan yang
dibutuhkan untuk analisis histologi daun meliputi daun Api-api, larutan FAA (Formaldehida, Asam asetat glasial dan Alkohol), etanol absolut, TBA (Tertier Butil Alkohol), minyak parafin, parafin, xilol, larutan Gifford, etanol 95%, etanol 70%, etanol 50%, etanol 30%, akuades, safranin 2%, dan fast green 0,5%, aniline blue, entellan.
Bahan-bahan yang diperlukan dalam proses ekstraksi dan
evaporasi sampel meliputi pelarut methanol (p.a), etil asetat (p.a) dan heksana (p.a). Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak kasar daun Api-api dari 3 jenis pelarut, kristal 1,1-Diphenil-2-picryl hydrazil (DPPH), metanol p.a., BHT (butylated hydroxytoluena) sebagai kontrol positif. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff, kloroform, anhidrat asetat, asam sulfat pekat, serbuk magnesium, amil alkohol, air panas, larutan HCl 2 N, etanol 70%,
24
larutan FeCl3 5%, peraksi Molisch, asam sulfat pekat, pereaksi Benedict, pereaksi Biuret dan larutan Ninhidrin 0,10%. Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pengujian bilangan peroksida yaitu asam asetat glasial, kloroform, minyak kelapa, kalium iodida, natrium tiosulfat dan indikator pati. Alat-alat yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi jangka sorong, pisau, sudip, cawan porselen, timbangan digital, botol film dan botol kaca kecil, holder, kotak blok, pinset, kuas, oven, mikrotom Yamato RV-240, hot plate, gelas obyek, rak pewarna, mikroskop cahaya Olympus tipe CH20 dan kamera mikroskop Olympus DP12, alumunium foil, gegep, desikator, oven, kompor listrik, tanur pengabuan, kertas saring Whatman 42 bebas abu, kapas bebas lemak, labu lemak, kondensator, tabung Soxhlet, penangas air, labu Kjeldahl, destilator, labu Erlenmeyer, buret, pipet volumetrik, pipet mikro, pipet tetes, gelas ukur, grindmill, orbital shaker, rotary vacuum evaporator, corong kaca, botol gelas, gelas piala, tabung reaksi, spektrofotometer UV-VIS, inkubator dan vortex. 3.3 Metode Penelitian Rangkaian penelitian ini mengikuti skema yang tertera pada Gambar 8 di bawah ini. Daun Api-api (A. marina)
1. Pengambilan dan preparasi sampel, pengukuran morfometrik 2. Analisis Histologi daun (ujung, tengah, tepi dan pangkal daun)
3. Analisis kimia a. kadar air b. protein c. lemak d. kadar abu e. kadar serat f. karbohidrat
4. ekstraksi tunggal 3 pelarut: Methanol, etil asetat dan heksan
5. uji antioksidan (DPPH scavenging activity)
6. uji fitokimia
Gambar 8 Skema penelitian
7. uji bilangan peroksida
25
3.3.1 Pengambilan dan preparasi sampel Sampel daun mangrove api-api diambil di daerah Belanakan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dengan mengumpulkan daun mangrove api-api dari beberapa titik pada lokasi tersebut. Daun dimasukkan ke dalam wadah plastik berwarna gelap dan dilakukan identifikasi dan pengukuran morfometrik yang meliputi panjang, lebar dan tebal daun. Sejumlah sampel disimpan dalam wadah tertutup yang berisi larutan etanol 70%, sampel ini akan digunakan untuk analisis histologis. Daun mangrove api-api kemudian dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama untuk uji kadar air, protein, lemak, abu dan abu tidak larut asam. Bagian kedua dikeringkan dan dipergunakan untuk uji aktivitas antioksidan, bilangan peroksida dan fitokimia. 3.3.2 Analisis proksimat Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk mengetahui komposisi kimia yang terkandung dalam suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar air, protein, lemak, abu dan abu tidak larut asam. 1) Analisis kadar air (AOAC, 2005) Prinsip dari analisis kadar air yaitu untuk mengetahui kandungan atau jumlah kadar air yang terdapat dalam suatu bahan.
Tahap pertama untuk
menganalisis kadar air yaitu mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 oC selama 1 jam. Cawan kemudian diletakkan ke dalam desikator selama kurang lebih 15 menit dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam cawan setelah terlebih dahulu dipotong kecil-kecil. Cawan tersebut lalu dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150 oC selama 8 jam atau hingga beratnya konstan. Cawan kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang.
Kadar air dihitung dengan
menggunakan rumus berikut: Kehilangan berat (g) = berat sampel awal (g) – berat setelah dikeringkan (g) Kehilangan berat (gram) % Kadar air (berat basah) =
Berat sampel awal (gram)
X 100 %
26
2) Analisis kadar lemak (AOAC 2005) Daun mangrove api-api seberat 2 gram (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring yang telah dibuat menjadi bentuk selongsong (thimble) dan kedua ujungnya ditutup dengan kapas. Sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W2). Pelarut lemak (nheksan) dituangkan ke dalam labu lemak kemudian labu lemak dihubungkan dengan soxhlet dan direfluks selama 6 jam. Sampel dikeluarkan, labu lemak dan soxhlet dipasang kembali lalu didestilasi hingga pelarut lemak yang ada dalam labu lemak menguap. Setelah itu, labu lemak dan soxhlet diangkat dan pelarut dikeluarkan. Labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama satu jam. Labu kemudian didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W 3). Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus berikut: W3 – W2 % Kadar lemak =
Keterangan:
W1
X 100 %
W1 = Berat sampel (gram) W2 = Berat labu lemak kosong (gram) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (gram)
3) Analisis kadar protein (AOAC 2005) Prinsip dari analisis protein yaitu untuk mengetahui kandungan protein kasar (crude protein) pada suatu bahan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu dekstruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. (a) Tahap destruksi Daun mangrove api-api ditimbang sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl. Selenium 0,25 gram dimasukkan ke dalam tabung tersebut dan ditambahkan 3 mL H2SO4 p.a 98%. Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas dengan suhu 400 oC selama 1 jam. Proses destruksi dilakukan sampai larutan menjadi /jernih/ bening. (b) Tahap destilasi Hasil destruksi yang telah dingin selanjutnya diencerkan dengan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40% lalu didestilasi. Hasil detilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 mL H3BO3 2% dan 2 tetes indikator
27
Brom Cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda. Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 mL dan berwarna hijau kebiruan, proses destilasi dihentikan dan selanjutnya destilat ditritasi. (c) Tahap titrasi Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah (warna asam borat semula). Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: (mL HCL A. marina – mL blanko) x N HCl x 14, 007 %N =
x 100 %
mg contoh x faktor koreksi alat
Keterangan : % Kadar Protein = %N x faktor konversi (6,25)
4) Analisis kadar abu (AOAC 2005) Prinsip dari analisis kadar abu yaitu untuk mengetahui jumlah abu yang terdapat pada suatu bahan terkait dengan mineral dari bahan yang dianalisis. Cawan pengabuan dikeringkan dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 oC, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel daun sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api hingga tidak berasap lagi. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 oC selama 2 jam. Cawan didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus berikut: Berat abu (gram) % Kadar abu (berat basah) =
Berat sampel awal (gram)
X 100 %
Keterangan: Berat abu (g) = berat sampel dan cawan akhir (g) – berat cawan kosong (g)
5) Kadar serat kasar (AOAC 2005) Serat kasar diukur dengan menguji sebanyak 1 gram sampel dilarutkan dengan 100 H2SO4 1,25%, kemudian dipanaskan hingga mendidih dan selanjutnya dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit. Hasil destruksi selanjutnya disaring dengan kertas saring dan dengan bantuan corong Buchner.
28
Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 mL air mendidih dan dengan 24 mL air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan NaOH 1,25 % selama 30 menit, lalu disaring dengan cara yang sama seperti sebelumnya dan dibilas berturut-turut dengan 25 mL H2SO4 1,25% mendidih dan 25 mL air sebanyak tiga kali dan 25 mL alkhohol. Residu dan kertas saring dipindahkan ke cawan porselen dan dikeringkan dalam oven pada suhu 130 oC selama 2 jam. Residu yang sudah dingin bersama cawan porselen ditimbang (A), kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 30 menit, didinginkan dan ditimbang kembali (B). Bobot serat kasar dihitung dengan persamaan berikut: Bobot serat kasar (gram) % Kadar serat kasar =
Bobot sampel (gram)
X 100%
Keterangan: Bobot serat kasar = W – Wo W = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur = A - (bobot kertas saring+cawan) : A : bobot residu + kertas saring + cawan Wo = bobot residu setelah dibakar dalam tanur = B – (bobot cawan): B : (bobot residu + cawan)
3.3.3 Analisis mikroskopis (Johansen 1940) Pengamatan jaringan tanaman diawali dengan pembuatan preparat daun mangrove Api-api (A. marina) kemudian pengambilan gambar objek pada mikroskop. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode paraffin. Tahapannya terdiri atas fiksasi, pencucian, dehidrasi dan penjernihan, infiltrasi, penanaman dalam blok, penyayatan, perekatan, dan pewarnaan. Bagian daun mangrove Apiapi yang diambil adalah ujung daun, tengah daun, tepi daun, pangkal daun dan tangkai daun (dapat dilihat pada Gambar 9).
29
TPD
PKD TKD
TGD
UD
D TPD
Gambar 9 Bagian-bagian daun ( keterangan: TKD = tangkai daun, PKD = pangkal daun, TPD = tepi daun, TGD = tengah daun, UD= ujung daun ) Fiksasi dilakukan selama 5 hari dalam larutan FAA, setelah itu larutan fiksasi dibuang dan sampel dicuci dengan etanol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan dehidrasi dan penjernihan secara bertahap melalui perendaman dalam larutan seri Johansen I-VII pada suhu ruang dengan perincian : 1. Johansen I selama 2 jam 2. Johansen II selama 24 jam 3. Johansen III selama 2 jam 4. Johansen IV selama 2 jam 5. Johansen V selama 2 jam 6. Johansen VI (TBA murni) selama 24 jam 7. Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam 8. Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam 9. Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam 10. Johansen VII selama 4 jam Proses infiltrasi dimulai dari perendaman sampel dalam Johansen VII (TBA : minyak paraffin 1:1) dan 1/3 parafin beku dan disimpan pada suhu kamar selama 4 jam yang dilanjutkan pengovenan pada suhu 58 ˚C selama 18 jam. Kemudian pergantian paraffin dilakukan setiap 5 jam sekali sebanyak 4 kali pergantian. Proses penanaman dilakukan dengan cara sampel dari tahap infilrasi dimasukkan ke dalam blok kotak yang berisi paraffin cair dan disimpan pada suhu ruang hingga benar-benar membeku. Proses penyayatan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar setebal 10 μm.
Blok paraffin terlebih dahulu
dipotong dan dirapihkan kemudian ditempelkan pada holder lalu disayat. Hasil
30
sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan ditetesi air. Gelas berisi pita parafin kemudian dipanaskan pada hot plate dengan suhu 45 ºC selama 3-5 jam. Proses pewarnaan dilakukan dengan safranin 2% dalam air dan fast green 0,5% dalam etanol 95% serta safranin 2% dan aniline blue dalam alkohol 88%. Pewarnaan diawali dengan perendaman gelas obyek ke dalam larutan xilol 1 dan 2 masing-masing selama 15 menit, dilanjutkan perendaman dalam etanol absolut (100%), 95%, 70%, 50%, dan 30% masing-masing selama 3 menit. Setelah itu, obyek dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam safranin 2% selama 2 hari. Selanjutnya, gelas obyek dibilas ke dalam akuades dan dimasukkan ke dalam etanol 30%, 50%, 70%, 95%, dan absolut masing-masing selama 3 menit. Kemudian obyek dimasukkan ke dalam pewarna fast green 0,5% selama 10 menit lalu etanol absolut 1 dan 2 selama 3 menit. Gelas obyek kemudian direndam dalam xilol 1 dan xilol 2 selama 10 menit. Pewarnaan dengan aniline blue dilakukan sebagai pengganti fast green.
Gelas obyek dimasukkan ke dalam
aniline blue + alkohol 88% selama 10 menit, setelah etanol 70%. Kemudian obyek dimasukkan ke dalam etanol 95% + HCl 2 tetes selama beberapa detik dan dilanjutkan ke dalam etanol 95% selama 3 menit, seterusnya. Proses selanjutnya adalah penutupan dengan pemberian entellan atau Canada balsam pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup. Proses pengambilan gambar dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus CH20 dan kamera digital merek Olympus DP12. 3.3.4 Analisis aktivitas antioksidan 1) Ekstraksi bahan aktif daun mangrove Api-api (Quinn 1988 dalam Darusman et al. 1995, yang telah dimodifikasi) Tahap ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu persiapan sampel dan ekstraksi bahan aktif. Pada tahap persiapan sampel, daun mangrove Api-api yang telah diambil dari daerah Belanakan, Subang segera dikeringkan dengan panas matahari. Daun mangrove api-api yang telah dikeringkan tersebut kemudian dihancurkan dengan Grindmill sehingga didapat serbuk yang halus. Tujuan penghancuran sampel adalah untuk memperluas permukaan sampel yang bersentuhan dengan pelarut, sehingga rendemen ekstrak akan lebih besar.
31
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi. Metode ekstraksi yang digunakan adalah metode ekstraksi tunggal (Quinn 1988 dalam Darusman et al. 1995) yang telah dimodifikasi. Ekstraksi dilakukan dengan 3 jenis pelarut dengan tingkat kepolaran yang berbeda, yaitu methanol p.a (polar), etil asetat p.a (semi polar) dan heksana p.a (non polar). Sampel daun mangrove Api-api yang telah dihancurkan ditimbang sebanyak 25 gram dan dimaserasi dengan masing-masing pelarut sebanyak 150 mL selama 24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan kemudian disaring dengan kertas saring Whattman 42 sehingga didapat filtrat dan residu. Filtrat yang diperoleh dievaporasi hingga pelarut memisah dengan ekstrak menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu ± 50 oC. Berdasarkan proses ini maka akan diperoleh ekstrak metanol (EM), ekstrak etil asetat (EEA) dan ekstrak heksana (EH). Ekstrak yang diperoleh selanjutnya dihitung persentase rendemennya dengan rumus: Berat ekstrak (g) Rendemen (%) =
Berat sampel awal (g)
X 100%
2) Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 dalam Hanani et al. 2005, yang dimodifikasi) Ekstrak kasar daun mangrove Api-api dari hasil ekstraksi tunggal dengan menggunakan 3 jenis pelarut selanjutnya dilarutkan dalam methanol p.a dengan konsentrasi 50, 100, 150, 200 dan 300 ppm. Larutan DPPH yang akan digunakan dibuat dengan menggunakan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan konsentrasi 1 mM.
Hal ini karena metanol dapat melarutkan kristal DPPH
(Molyneux 2004) dan lebih bersifat fleksibel, yakni ekstrak yang bersifat semi polar dan non polar pun dapat larut. Menurut Molyneux (2004) mengenai pelarut yang dipakai dalam metode DPPH, uji berkerja dengan baik jika menggunakan metanol atau etanol yang tidak mengganggu jalannya reaksi. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari.
32
Kontrol positif antioksidan yang digunakan dalam uji ini adalah antioksidan sintetik yaitu Butylated Hydroxy Toluene (BHT).
Herawati dan
Akhlus (2006) menyatakan bahwa selain memiliki aktifitas yang baik terhadap radikal , BHT juga cukup tahan terhadap proses pemanasan. Konsentrasi BHT yang digunakan dalam uji ini adalah 2 ppm, 4 ppm, 6 ppm dan 8 ppm. Larutan ekstrak dan larutan antioksidan pembanding BHT yang telah dibuat, masing-masing diambil 4,5 mL dan direaksikan dengan 500 µL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi yang berbeda yang telah diberi label. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 30 menit dan diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517 nm.
Absorbansi larutan blanko juga diukur untuk
menghitung persen inhibisi. Larutan blanko dibuat dengan mereaksikan 4,5 mL pelarut metanol dengan 500 µL larutan DPPH 1 mM dalam tabung reaksi. Larutan blanko dibuat hanya satu kali ulangan saja.
Setelah itu, aktivitas
antioksidan dari masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan persen inhibisi yang dihitung dengan rumus berikut: Absorbansi blanko – absorbansi sampel % Inhibisi =
Absorbansi blanko
X 100 %
Nilai konsentrasi sampel (ekstrak maupun antioksidan pembanding BHT) dan persen inhibisinya diplot masing-masing pada sumbu x dan y pada persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk persamaan y = a + bx digunakan untuk mencari nilai IC 50 (inhibitor concentration 50%) dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan besarnya konsentrasi larutan sampel (ekstrak maupun antioksidan pembanding BHT) yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%. 3.3.5 Uji fitokimia (Harborne 1984) Pengujian fitokimia dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya komponenkomponen bioaktif yang terdapat pada ekstrak kasar daun mangrove Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan terbaik. Uji fitokimia meliputi uji alkaloid, uji
33
steroid/triterpenoid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, Molisch, Benedict, Biuret dan Ninhidrin. Metode uji ini berdasarkan Harborne (1984). a) Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat (H2SO4) 2 N. Pengujian menggunakan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer dan pereaksi Wagner. Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara 0,8 gram bismutsubnitrat ditambahkan dengan 10 mL asam asetat dan 40 mL air. Larutan ini dicampur dengan larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 mL air. Sebelum dihunakan, 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume asam asetat glasial dan 100 mL air. Pereaksi ini berwarna jingga. Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 gram HgCl 2 dengan 0,5 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 100 mL dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna. Pereaksi Wagner dibuat dengan cara 10 mL akuades ditambahkan 2,5 gram iodine dan 2 gram KI lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi 200 mL dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Dragendorff terbentuk endapan merah hingga jingga, endapan putih kekuningan dengan pereaksi Meyer dan endapan coklat dengan pereaksi Wagner. b) Steroid / triterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 mL kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Setelah itu ditambahkan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau. c) Flavonoid Sejumlah sampel ditambahkan 0,1 mg serbuk magnesium dan 0,4 mL amil alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan 4 mL alkohol kemudian campuran dikocok.
Adanya flavonoid
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol.
34
d) Saponin (uji busa) Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan adanya saponin. e) Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3) Sampel sebanyak 1 gram diekstrak dengan 20 mL etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 mL kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5%. Adanya senyawa fenol dalam bahan ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau atau hijau biru. f) Uji Molisch Larutan sampel sebanyak 1 mL diberi 2 tetes pereaksi Molisch dan 1 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai dengan terbentuknya kompleks warna ungu diantara 2 lapisan cairan. g) Uji Benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 mL pereaksi Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Adanya gula pereduksi ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau, kuning atau endapan merah bata. h) Uji Biuret Sebanyak 1 mL larutan sampel ditambahkan 4 mL pereaksi Biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif adanya peptida ditunjukkan dengan terbentuknya larutan berwarna ungu. i) Uji Ninhidrin Larutan sampel sebanyak 2 mL ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Reaksi positif terhadap adanya asam amino ditunjukkan dengan larutan berwarna biru. 3.3.6 Evaluasi aktivitas antioksidan (penentuan bilangan peroksida) (Santoso et al. 2004) Penentuan aktivitas antioksidan dari ekstrak daun mangrove Api-api (ekstrak yang terbaik) diterapkan pada emulsi minyak. Antioksidan berfungsi untuk menghambat pembentukan peroksida pada minyak. Pengujian ini dilakukan
35
melalui pembuatan minyak kelapa dan sistem emulsinya yang dilanjutkan dengan evaluasi aktivitas antioksidan dengan penentuan bilangan peroksida. 1) Pembuatan minyak kelapa dan sistem emulsinya Minyak yang digunakan dalam penelitian dibuat dari parutan kelapa yang diperas untuk diambil santan kentalnya.
Santan kental tersebut dipanaskan
dengan cara direbus untuk memisahkan komponen minyak yang terkandung di dalamnya, kemudian dilakukan penyaringan untuk memisahkan minyak dan ampas parutan kelapa. Filtrat yang dihasilkan kemudian disaring lagi dengan kertas Whatman agar diperoleh minyak kelapa yang bening. Sistem emulsi minyak dibuat dengan mengacu pada metode Santoso et al. (2004) yang dimodifikasi, yaitu dengan menghomogenkan 3% minyak kelapa dan 97% air yang mengandung 0,3% Tween 20. 2) Penentuan bilangan peroksida Sistem emulsi lemak ditambahkan ekstrak daun mangrove Api-api terbaik dari tahap sebelumnya sebanyak 0 ppm (tanpa penambahan ekstrak), 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm yang selanjutnya disebut sampel minyak. Sampel minyak selanjutnya disimpan selama tujuh hari dalam inkubator bersuhu 37 oC untuk mempercepat oksidasi. Sampel minyak kemudian ditimbang sebanyak 5 gram di dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 30 mL pelarut yang terdiri dari 60% asam asetat glasial dan 40% kloroform. Minyak yang telah larut ditambahkan 0,5 mL larutan KI jenuh dan didiamkan 15 menit dalam ruang gelap sambil dikocok. Iod yang terbentuk dititrasi dengan larutan Na 2S2O3 0,01 N dengan indikator pati 1%. Titrasi dihentikan saat larutan sampel menjadi tidak berwarna.
Hasil pengurangan volume akhir terhadap volume awal larutan
Na2S2O3 0,01 N yang ditunjukkan oleh skala pada buret merupakan volume total larutan Na2S2O3 0,01 N yang digunakan untuk titrasi sampel. Cara yang sama dibuat juga untuk penerapan blanko. Nilai bilangan peroksida dinyatakan dengan miliequivalen per 1 kg minyak atau lemak yaitu dengan rumus:
(a-b) x N x 1000 Miliequivalen/Kg bahan =
g
x 100%
36
Keterangan: a
= jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi sampel
b
= jumlah ml larutan Na2S2O3 untuk titrasi blanko
N
= normalitas larutan Na2S2O3
g
= berat sampel (gram)
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel dan Torrie 1991) Analisis data dilakukan terhadap hasil pada tahap aplikasi terhadap emulsi minyak. Tahapan aplikasi terhadap emulsi minyak bertujuan untuk menentukan seberapa besar konsentrasi ekstrak terpilih yang mampu menghambat pembentukan peroksida dalam emulsi minyak. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi ekstrak dengan lima taraf yaitu 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan model: Yij = µ + αi + Ɛij Keterangan: Yij
= respon pengaruh konsentrasi pada taraf i ulangan ke-j
µ
= pengaruh rata-rata umum
αi
= pengaruh konsentrasi pada taraf i
Ɛij
= pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j
i
= 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm ( penentuan konsentrasi ekstrak terpilih )
Hipotesis untuk penentuan konsentrasi ekstrak terpilih: Ho = Konsentrasi ekstrak tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan ekstrak daun mangrove api-api H1 = Konsentrasi ekstrak mempengaruhi aktivitas antioksidan ekstrak daun mangrove api-api. Jika hasil dari pengujian menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata pada selang 95% (α=0,05) maka dilakukan uji lanjut Duncan. Rumus uji Duncan adalah:
37
Keterangan: Rp
= Nilai kritikal untuk perlakuan yang dibandingkan
p
= Perlakuan
dbs
= Derajat bebas
kts
= Jumlah kuadrat tengah
r
= Ulangan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Daun Api-api (A. marina) Sampel daun Api-api yang diambil dari daerah Belanakan, kabupaten Subang, Jawa Barat dipreparasi untuk mempermudah proses penelitian. Sampel daun yang diambil selanjutnya dipilih yang baik dan dibersihkan dari kotorankotoran yang menempel. Sampel daun selanjutnya dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: bagian segar, bagian yang diawetkan dan bagian yang dikeringkan. Bagian segar digunakan untuk analisa proksimat, bagian
yang diawetkan digunakan
untuk analisa struktur jaringan dan bagian yang dikeringkan untuk pengujian aktivitas antioksidan. 4.1.1 Karakteristik Fisik daun Api-api (A. marina) Tahap pertama yang dilakukan setelah mempreparasi sampel daun adalah karakterisasi secara fisik (meliputi morfologi luar, morfometrik dan struktur jaringan daun) dan secara kimiawi. Bentuk morfologi luar daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil pengamatan karakteristik fisik daun Api-api disajikan pada Tabel 5.
A
Gambar 10 Bentuk daun Api-api, A = tampak atas, B = tampak bawah
B
39
Tabel 5 Karakteristik fisik daun Api-api No Karakteristik fisik
Keterangan
1
Warna daun
Bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan dengan beberapa bagian terlihat putih
2
Bentuk daun
Daun berbentuk oval dengan membundar, tepi daun rata
3
Permukaan daun
Daun memiliki tekstur halus pada bagian atas dan agak kasar pada bagian bawah
ujung
runcing
Sampel daun yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik fisik antara lain warna daun yang berbeda antara bagian permukaan atas dengan bagian bawah, dimana bagian permukaan daun berwarna hijau, semakin tua daun maka warnanya semakin hijau, sedangkan bagian bawah daun berwarna hijau kekuningan dan semakin tua berberapa bagian memutih. Ciri fisik lainnya adalah bentuk daun oval/bulat telur panjang dengan ujung yang membulat runcing. Daun Api-api memiliki permukaan daun yang berbeda antara bagian atas dengan bagian bawah, permukaan atas daun memiliki tekstur licin halus, sedangkan permukaan bawah memiliki tekstur yang lebih kasar. 4.1.2 Morfometrik daun Api-api (A. marina) Morfometrik daun Api-api meliputi panjang, lebar dan tebal daun. Hasil pengukuran morfometrik daun Api-api sebanyak 30 sampel dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Morfometrik daun Api-api Parameter
Rata – rata (mm)
Panjang daun
69,36 ± 5,12
Lebar daun
36,29 ± 3,39
Tebal daun
0,77 ± 0,11
Keterangan: Data diperoleh dari 30 sampel daun Api-api (A. marina)
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel daun Api-api yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang daun rata-rata sebesar 69,36 mm, lebar daun rata-
40
rata sebesar 36,29 mm dan tebal daun rata-rata sebesar 0,77 mm. Ukuran tersebut tidak jauh berbeda dengan ukuran daun Api-api yang diteliti oleh Noor et al. (2006), daun Api-api memiliki panjang 90 mm dan lebar 45 mm. Metusalach (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan suatu biota dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yaitu habitat, musim, suhu perairan, jenis makanan yang tersedia dan faktor lingkungan lainnya, sedangkan faktor internalnya yaitu umur, ukuran, jenis kelamin, kebiasaan makan dan faktor biologis lainnya. 4.1.2 Struktur jaringan daun Api-api (A. marina ) Daun merupakan suatu bagian tumbuhan yang penting dan umumnya tiap tumbuhan mempunyai sejumlah besar daun (Tjitrosoepomo 2007). Pernyataan lain menerangkan bahwa daun termasuk organ pokok pada tubuh tumbuhan. Umumnya berbentuk pipih bilateral, berwarna hijau dan merupakan tempat terjadinya proses fotosintesis. Secara umum jaringan daun tersusun atas jaringan epidermis, palisade, bunga karang dan jaringan pengangkut (Nugroho et al. 2006). Berdasarkan jumlah daun yang ada di setiap aksis/tangkai daun, daun Apiapi termasuk daun tunggal. Hal ini karena pada tanaman mangrove Api-api, setiap aksis/tangkai daun hanya menyokong satu helai daun saja.
Menurut
Nugroho et al. (2006) daun tunggal adalah daun yang pada satu aksisnya (tangkai daunnya) hanya mendukung satu helaian daun dengan ciri khasnya adalah daun tidak terbentuk bersamaan dan gugur dari urutan tua ke muda. Daun Api-api juga tergolong daun tak lengkap, karena daun Api-api hanya memiliki tangkai dan helai daun (lamina) saja. Daun dikatakan lengkap jika daun memiliki pelepah daun (sheat), tangkai daun (petiole) dan helain daun (lamina), sedangkan daun tak lengkap adalah daun yang tidak memiliki salah satu atau bagian utama tersebut (Nugroho et al. 2006) Tjitrosoepomo (2007) menyatakan daun yang hanya terdiri atas tangkai dan helaian saja; lazimnya disebut sebagai daun bertangkai. ditemukan.
Susunan daun yang demikian itulah yang paling banyak
41
A. Tangkai daun Api-api (petiole) Tangkai daun adalah bagian daun yang berbentuk silindris sebagai perantara antara upih atau batang dengan helaian daun. Tangkai daun memiliki sejumlah berkas pengangkut. Struktur anatomi tangkai daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 11. f
c a b
d h g
e
A
B
Gambar 11 Anatomi bagian tangkai daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 4 x 10), B (perbesaran 10 x 10), a = kutikula dan epidermis atas, b = parenkim, c = sklerenkim, d = xilem, e = floem, f = parenkim sentral, g = epidermis bawah, h = kelenjar garam Potongan melintang tangkai daun Api-api memperlihatkan adanya jaringan epidermis, korteks, floem, xilem dan parenkim sentral. Tampak pada Gambar 11, sel sel epidermis pada sisi atas tangkai daun Api-api saling berhubungan dan secara keseluruhan terlihat lebih rata dibandingkan dengan rangkaian sel-sel epidermis bagian bawah tangkai daun. Sel epidermis atas tangkai daun Api-api terlihat lebih kecil dibandingkan dengan sel-sel di bawahnya, dinding tangensial atas relatif lebih tebal dibandingkan dinding tangensial bawahnya. Berbeda dengan sel epidermis atas, sel-sel epidermis bawah tangkai daun Api-api lebih memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda, dan sebagian terdiferensiasi menjadi trikoma dan kelenjar garam (extrude salt gland). Jaringan parenkim ditemukan setelah jaringan epidermis dan menuju ke arah pusat, sel parenkim terlihat semakin besar ukurannya dan semakin tidak beraturan bentuknya. Pada jaringan ini belum bisa dibedakan antara jaringan
42
hipodermis dan parenkim korteks. Tampak pada Gambar 11d beberapa sel pada jaringan parenkim korteks mengalami penebalan dinding sekunder dan berubah bentuk menjadi sel-sel sklerenkim yang terlihat berwarna lebih terang jika dilihat menggunakan mikroskop. Dinding sel sklerenkim terlihat berwarna merah bila diwarnai dengan larutan Safranin. Jaringan pengangkut dijumpai pada pusat jaringan dan pada kedua tepi jaringan tangkai daun Api-api. Jaringan pengangkut terdiri dari parenkim xilem dan sklerenkim floem. Sel sklerenkim xilem tersusun berdampingan mengarah ke parenkim sentral dan terlihat berdinding lebih tebal bila dibandingkan dinding sel di sekitarnya. Sel – sel parenkim xilem terlihat lebih besar dibandingkan sel-sel floem.
Terdapat dua berkas jaringan pengangkut pada bagian tepi jaringan
tangkai daun Api-api yang secara keseluruhan lebih kecil daripada jaringan pengangkut utama. B. Helaian daun Api-api (lamina) Helaian daun (lamina atau blade) merupakan bagian daun yang berbentuk pipih dorsoventral, berwarna hijau, berupa daging daun (interfenium) dan urat daun serta berguna untuk fotosintesis. Daun memiliki bentuk helaian, pangkal, tepi, ujung dan pertulangan yang beragam. Bentuk helaian daun sangat menentukan bentuk daun, sedangkan tangkai dan upih daun tidak ikut menentukan bentuk daun. Bentuk helaian daun dibagi menjadi empat seri atau pola pokok yaitu seri elips, seri bulat telur, seri bulat telur terbalik, dan seri garis (Nugroho et al. 2006). Berdasarkan perbandingan antara panjang dan lebar daun yang ada pada Tabel 6, helaian daun Api-api termasuk seri elips dengan bentuk jorong (ovalis; elipticus), hal ini karena perbandingan panjang dan lebar daun Api-api adalah 1,9 : 1. Helaian daun dikatakan berbentuk jorong jika perbandingan panjang dan lebar adalah 1,5 - 2 : 1 (Tjitrosoepomo 2007). Struktur anatomi helaian daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 12-15. Berdasarkan Gambar 12 hingga Gambar 15 diketahui bahwa helaian daun Api-api (A. marina) tersusun atas kutikula, jaringan epidermis atas, parenkim korteks, jaringan palisade, jaringan bunga karang, sklerenkim, jaringan pengangkut, epidermis bawah dan trikoma berupa kelenjar garam.
43
d
a
b
j
e g
f
h
c
A
B
Gambar 12 Anatomi bagian pangkal daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 10 x 10), B (perbesaran 20 x 10), a = kutikula, dan epidermis, b = palisade, c = bunga karang, d = sklerenkim, e = xilem, f = floem, g = epidermis bawah, h = kelenjar garam. h = hipodermis
a
b
h
i
c
g
A
d
f
e
B
Gambar 13 Anatomi bagian tengah daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula dan epidermis atas, b = hipodermis, c = palisade, d = sklerenkim, e = xilem, f = floem, g= bunga karang, h= kelenjar garam, i = epidermis bawah.
44
a b c
d e f
A
B
Gambar 14 Anatomi bagian tepi daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula, dan epidermis atas, b = hipodermis, c = palisade, d = bunga karang, e = epidermis bawah, f = kelenjar garam
b a
e d c
f A
g
B
Gambar 15 Anatomi bagian ujung daun Api-api (A. marina), A (perbesaran 20 x 10), B (perbesaran 40 x 10), a = kutikula dan epidermis atas, b = hipodermis, c = palisade, d = bunga karang, e = korteks, f = epidermis bawah, g = kelenjar garam Daun Api-api bertipe dorsiventral, mengingat daun Api-api hanya memiliki jaringan palisade (tiang) pada sisi bagian atas daun saja.
Daun
dikatakan mempunyai tipe dorsiventral apabila jaringan palisade hanya terdapat pada sisi atas daun (Nugroho et al. 2006).
Daun yang bertipe dorsiventral
45
biasanya memiliki permukaan atas yang lebih berwarna (biasanya lebih berwarna hijau) dibandingkan bagian bawah, karena kandungan kloroplas lebih banyak pada jaringan palisade sehingga warna hijau lebih terlihat pada permukaan atas daun dibandingkan permukaan bawah daun.
Hal ini terbukti, daun Api-api
memiliki perbedaan penampakan bagian atas dan bawah, bagian atas berwarna hijau cerah sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan. Helaian daun Api-api memiliki dua lapis jaringan epidermis, yaitu epidermis atas dan epidermis bawah. Jaringan epidermis atas daun Api-api tersusun atas 1 lapis sel tipis yang dilapisi kutikula. Jaringan epidermis bawah disusun oleh 1 lapis sel tipis yang terdiferensiasi membentuk organ tambahan berupa kelenjar garam (salt extruding gland). Hipodermis daun Api-api disusun atas sel-sel yang lebih besar daripada sel penyusun, jaringan epidermis atas. Borkar et al. (2011) menyatakan hipodermis pada helaian daun Api-api berfungsi sebagai tempat penyimpan air Jaringan mesofil helaian daun Api-api yang terlihat pada Gambar 12 sampai Gambar 15 terdiri dari jaringan palisade dan jaringan bunga karang. Umumnya pada tumbuhan Dicotyledoneae, jaringan mesofil berdiferensiasi menjadi jaringan palisade dan bunga karang (Nugroho et al. 2006). Palisade pada daun Api-api disusun atas 2 sampai 3 lapis sel yang memanjang vertikal dibawah hipodermis. Jaringan bunga karang pada daun Api-api disusun oleh 2 sampai 3 sel tipis di bawah jaringan palisade dan tersusun secara tidak beraturan, sehingga membentuk rongga udara. Jaringan berkas pengangkut pada helaian daun Api-api dapat dilihat pada semua gambar anatomi bagian-bagian daun Api-api. Gambar 12 menunjukkan bahwa berkas pengangkut daun Api-api terdiri atas pembuluh xilem pada bagian dalam dan floem pada bagian luar.
Berkas
pengangkut pada daun Api-api termasuk dalam tipe kolateral terbuka, karena xilem dan floem terletak berdampingan dan dibatasi oleh kambium. Struktur yang membedakan anatomi daun Api-api dengan daun pada tanaman yang lain adalah adanya kelenjar garam.
Berdasarkan Gambar 12
sampai Gambar 15 dapat dilihat adanya struktur tambahan yang berada di bawah epidermis bawah yaitu kelenjar garam (salt extruding gland). Kelenjar garam merupakan organ yang berasal dari modifikasi sel epidermis bawah yang terjadi
46
akibat adaptasi terhadap kelebihan garam pada daun. Setiap kelenjar garam pada daun Api-api terdiri atas 2 sampai 4 kumpulan sel, 1 sel batang dan 8-12 sel ekskresi. Kelenjar garam yang ada pada daun Api-api juga mengalami adaptasi sesuai dengan habitatnya. Menurut Borkar et al. (2011) pada salinitas yang lebih rendah kelenjar garam akan lebih pendek sedangkan pada salinitas yang lebih tinggi kelenjar garam akan lebih panjang. Adanya kelenjar garam dan kemampuan kelenjar garam beradaptasi terhadap lingkungan yang memiliki salinitas berbeda membuat mangrove Api-api dapat hidup di habitat yang salinitasnya rendah maupun ekstrim. 4.1.3 Komposisi kimia daun Api-api (A. marina) Daun Api-api (A. marina) yang masih muda oleh sebagian masyarakat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dalam bentuk sayur urap. Sangatlah penting untuk diketahui kandungan gizi atau komposisi kimia yang terdapat di dalamnya agar lebih jelas. Komposisi kimia daun Api-api dapat diketahui melalui analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan cara untuk melihat kandungan atau komposisi kimia suatu bahan pangan secara kasar. Komposisi kimia daun Apiapi dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi kimia daun Api-api (% berat basah) Komposisi kimia
Api-api (A. marina)
Kadar air
68,16
Ceriops decandra (Griff)* 52,51
Kadar protein
3,67
2,00
2,08
1,96
Kadar lemak
0,72
0,35
0,12
0,41
Kadar abu
4,45
1,82
1,38
1,25
Karbohidrat
23,00
19,06
22,14
22,29
Serat kasar
4,12
-
-
-
Keterangan: n = 2 (*) = Bunyapraphatsara et.al (2002)
Bruguiera parviflora (Roxb.)* 51,75
Rhizopora mucronata (Poir)* 46,63
47
1) Kadar air Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan fungsinya tidak pernah dapat digantikan oleh senyawa lain. Air juga merupakan komponen penting dalam bahan makanan (Winarno 2008) Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan pangan. Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan, karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan. Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan terjadi perubahan pada bahan pangan yang dapat mempercepat pembusukkan (Winarno 2008). Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan daun Api-api mengandung kadar air sebesar 68,16%. Kadar air daun Api-api lebih besar jika dibandingkan dengan kadar air daun mangrove lainnya. Secara umum nilai kadar air pada daun mangrove relatif kecil.
Hal ini mungkin disebabkan habitat
mangrove yang bersalinitas tinggi dan suhu habitat yang tinggi karena pengaruh transfer panas dari laut, sebagaimana yang dikemukakan oleh Krzynowek dan Murphy (1987) bahwa kadar lemak dan kadar air untuk beberapa spesies berfluktuasi tergantung dengan musim dan lokasi pengambilan. 2) Kadar protein Potein berperan penting dalam proses metabolisme tanaman, hewan dan manusia. Protein berfungsi sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf dan pengendalian pertumbuhan (Winarno 2008). Berdasarkan hasil analisa proksimat pada Tabel 7 kadar protein kasar daun Api-api sebesar 3,67%. Kandungan protein daun Api-api lebih besar jika dibandingkan dengan kadar protein daun mangrove lainnya. Hasil penelitian Wibowo et al. (2009) menunjukkan bahwa daun Api-api (Avicennia sp.) mengandung asam amino esensial yang cukup lengkap, yaitu sebanyak 9 asam amino esensial.
48
3) Kadar lemak Beberapa lemak berkerja sebagai bahan pembangun dalam pembentukan membran biologis yang ada di sekitar sel dan partikel subseluler. Lemak terdapat pada semua bahan pangan, namun jumlahnya seringkali kurang dari 2% (Belitz et al. 2009). Lemak dapat digolongkan sebagai sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein, karena 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 kkal.
Nilai tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan energi yang
dihasilkan oleh 1 gram protein dan karbohidrat, yaitu sebesar 4 kkal (Winarno 2008). Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api memiliki kandungan lemak sebesar 0,72%. Kandungan lemak ini sangat rendah jika dibandingkan dengan senyawa yang lain, namun lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar lemak daun mangrove lainnya. Menurut Yunizal et al. (1998) bahwa kadar air berbanding terbalik dengan kadar lemak. Semakin tinggi jumlah kadar air dalam bahan maka kadar lemaknya akan semakin rendah. 4) Kadar abu Kadar abu menunjukkan estimasi kadar total mineral bahan pangan. Metode pengukuran kadar abu pada bahan pangan tertentu atau kelompok bahan pangan diterangkan dalam panduan resmi. Mineral-mineral yang terdapat dalam abu berbentuk metal oksida, sulfat, fosfat, nitrat, klorida, dan kelompok halida lainnya ( Fennema 1996 ). Kadar abu merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Dalam proses pembakaran, bahanbahan
organik
akan
terbakar,
tetapi
komponen
anorganiknya
tidak
(Winarno 2008) Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api memiliki kadar abu sebesar 4,45%. Kadar abu yang dimiliki daun Api-api jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar abu yang ada pada daun tanaman mangrove lainnya.
Perbedaan kadar abu/mineral pada tanaman dipengaruhi
banyak faktor, antara lain kesuburan tanah, genetika tanaman, dan lingkungan dimana tanaman itu tumbuh (Fennema 1996).
49
5) Kadar serat kasar Serat pada bahan pangan merupakan komponen jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Secara kimia, dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat misalnya polimer lignin, beberapa gum dan mucilage ( Winarno 2008 ). Sumber serat terpenting adalah sereal dan legum, sedangkan pada sayur dan buah kandungan seratnya relatif lebih kecil (Belitz et al. 2009). Hasil analisa proksimat pada Tabel 7 menunjukkan daun Api-api memiliki kadar serat kasar yang cukup tinggi, yaitu 4,12%. Nilai ini jauh berbeda jika dibandingkan dengan kadar serat kasar pada daun mangrove Canavalia maritima dan Canavalia catharthica. Hasil penelitian yang dilakukan Seena & Sridhar (2005)
menunjukkan
bahwa
kedua
daun
tanaman
mangrove
tersebut
mengandung kadar serat yang lebih rendah sebesar 2,23% dan 2,83%. 6) Karbohidrat Karbohidrat menyusun lebih dari 90% bahan kering dari tanaman. Jumlahnya sangat banyak, mudah didapat dan tidak mahal.
Karbohidrat
merupakan komponen umum dari bahan pangan, baik sebagai komponen alami atau sebagai bahan yang ditambahkan dalam pangan (Fennema 1996). Karbohidrat daun Api-api dihitung dengan metode by different, artinya kadar karbohidrat didapatkan dengan mengurangi total bahan dengan persentase setiap kandungan bahan selain karbohidrat. Hasil perhitungan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa daun Api-api mengandung karbohidrat sebesar 23,00%. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat yang ada pada daun tanaman terseterial yang lain, misalnya selada air.
Kandungan
karbohidrat pada daun selada air sebesar 1,90% (Permatasari 2011).
Kadar
karbohidrat daun Api-api jika dibandingkan dengan kadar karbohidrat pada daun tanaman mangrove lainnya, kadar karbohidrat daun Api-api tidak jauh berbeda. Tingginya karbohidrat terlihat dari tingginya nilai kadar serat yang terukur, kadar serat daun Api-api lebih besar dibandingkan kadar serat pada daun tanaman mangrove lainnya. Hasil analisis struktur anatomi jaringan juga menunjukkan
50
bahwa pada jaringan daun banyak terdapat senyawa polisakarida yang tampak berwarna merah saat diberi pewarna Safranin.
4.2 Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi adalah suatu proses penarikan komponen yang diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari suatu bahan yang merupakan sumber komponennya (Khopkar 2003).
Pendapat lainnya
menyatakan bahwa ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat menjadi komponen-komponen terpisah. Ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari suatu bahan yang mengandung komponen-komponen aktif (Winarno et al. 1973). Proses
ekstraksi
daun
Api-api
meliputi
pengeringan
sampel,
penghancuran/ penggilingan, maserasi, filtrasi dan evaporasi. Hasil akhir dari proses ekstraksi adalah ekstrak kasar berupa pasta kental dengan tingkat kepolaran dan warna yang berbeda- beda. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ekstraksi tunggal dengan berbagai jenis pelarut yang berbeda kepolarannya. 4.2.1 Ekstrak kasar Hasil ekstraksi yang diperoleh memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan jenis pelarut yang digunakan. Ekstrak metanol berbentuk cairan berwarna hijau pekat, ekstrak etil asetat berbentuk pasta agak kental berwarna hijau kecoklatan, sedangkan ekstrak heksana berbentuk pasta pekat berwarna kuning tua. Perbedaaan hasil ekstraksi tidak hanya dari sisi warna dan bentuk, namun dari segi persentase rendemen juga terdapat perbedaan. Perbedaan persentase rendemen ekstrak daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 16.
51
Gambar 16 Rendemen ekstrak kasar daun Api-api Ekstraksi dengan metanol menghasilkan rendemen sebesar 9,61%, ekstraksi dengan etil asetat sebesar 1,28% dan ekstraksi dengan heksan menghasilkan rendemen 0,62%. Kepolaran senyawa aktif dari berbagai bahan berbeda-beda dan komponen aktif
hanya akan terekstrak oleh pelarut yang
tingkat kepolarannya sama dengan kepolaran komponen aktif tersebut. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Salamah et al. (2008), rendemen ekstrak hasil maserasi dengan pelarut yang berbeda menghasilkan persentase rendemen yang berbeda pula.
Secara umum senyawa aktif yang
terkandung di dalam daun Api-api bersifat polar. Persentase rendemen ekstrak terbesar adalah rendemen ekstrak metanol yang merupakan pelarut polar. Metanol yang merupakan pelarut polar mampu mengekstrak banyak sekali komponen aktif suatu bahan, menurut Harborne (1987) pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino dan glikosida. Besarnya rendemen ekstrak metanol diduga dipengaruhi oleh keberadaan klorofil yang ikut terekstrak, klorofil merupakan komponen yang keberadaanya cukup besar pada daun, sedangkan metanol merupakan salah satu pelarut terbaik yang dapat mengekstrak klorofil. Wasmund et.al (2006) menyatakan bahwa klorofil merupakan zat warna hijau yang banyak terdapat pada daun. Klorofil dapat diekstrak dengan pelarut polar, seperti metanol, aseton, dan etanol.
52
4.2.2 Hasil uji aktivitas antioksidan Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya radikal bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik yang terjadi di dalam tubuh (Saurisari 2006). Percival (1998) menyatakan bahwa antioksidan merupakan garis depan pertahanan kita untuk melawan kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Kebutuhan antioksidan menjadi lebih penting seiring dengan meningkatnya kehadiran radikal bebas. Aktivitas antioksidan suatu bahan dapat diketahui dengan berbagai cara antara lain, metode Nitro Blue Tetrazolium (NBT), metode Tiosianat, metode carotene bleaching, dan metode DPPH. Umumnya dari sekian banyak metode uji aktivitas antioksidan, metode DPPH yang dipilih. Hal ini dikarenakan selain lebih mudah dan murah, efektivitas dan efisiensi waktu untuk mengetahui besarnya aktivitas antioksidan suatu bahan lebih cepat. Indikasi umum secara kualitatif suatu bahan dinyatakan memiliki aktivitas antioksidan adalah kemampuan ekstrak bahan mengubah warna larutan DPPH yang berwarna ungu tua menjadi warna kuning yang dapat dilihat secara kasat mata.
Perubahan intensitas warna DPPH sebelum dan setelah ditambahkan
ekstrak bahan dapat diketahui dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Apabila telah didapatkan nilai absorbansi setiap sampel yang diukur, maka akan didapatkan persen (%) inhibisi dan IC50 (Inhibitor Concentration 50). Semakin kecil nilai IC50 yang dimiliki suatu bahan maka dapat dikatakan bahan tersebut memiliki aktivitas antioksidan yang semakin kuat dan berlaku sebaliknya.
Semakin kecil nilai IC50 berarti semakin kecil konsentrasi yang
dibutuhkan untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas dan semakin sedikit bahan yang dibutuhkan.
Pendapat ini diperkuat oleh pernyataan Molyneux
(2004) yang menyatakan bahwa semakin kecil nilai IC 50 berarti aktivitas antioksidannya semakin tinggi. Kontrol positif antioksidan yang digunakan dalam uji ini adalah antioksidan sintetik yaitu Butylated Hydroxy Toluene (BHT). Herawati & Akhlus (2006) menyatakan bahwa selain memiliki aktifitas yang baik terhadap radikal, BHT juga cukup tahan terhadap proses pemanasan. Perhitungan persen inhibisi
53
dan IC50 dapat dilihat pada Lampiran 5. Hubungan antara konsentrasi BHT, konsentrasi ekstrak daun Api-api dan persen inhibisi terhadap DPPH dapat dilihat pada Gambar 17 dan Gambar 18.
Gambar 17 Grafik hubungan antara konsentrasi BHT dan % inhibisi terhadap DPPH
Gambar 18 Grafik hubungan antara konsentrasi ekstrak daun Api-api dengan % inhibisi terhadap DPPH. Keterangan:
= Etil asetat
= Metanol
= Heksan
Hasil uji aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa semua ekstrak daun Api-api dan BHT memiliki aktivitas antioksidan. Indikasi yang menunjukkan
54
kuat dan lemahnya aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak daun Api-api dan BHT tergantung dari besarnya persen inhibisi dan nilai IC50 yang diperoleh. Persen inhibisi merupakan persentase daya hambat suatu bahan terhadap aktivitas radikal berdasarkan besar konsentrasi bahan yang ditambahkan. Berdasarkan Gambar 17 dan 18 di atas aktivitas penghambatan radikal DPPH yang dimiliki BHT (kontrol positif) dan masing-masing ekstrak daun Api-api meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi yang diuji. Semakin besar konsentrasi BHT dan ekstrak daun Api-api yang ditambahkan ke dalam larutan DPPH, persen inhibisi (penghambatan) semakin besar, mengingat semakin tinggi konsentrasi sampel yang ditambahkan, maka semakin banyak senyawa antioksidan yang mendonorkan elektron pada radikal bebas, sehingga semakin banyak molekul radikal bebas yang tidak reaktif dan stabil, sehingga aktivitas oksidasinya menurun. Kerja senyawa antioksidan adalah mendonorkan atom hidrogennya kepada radikal bebas yang kehilangan elektron.
Pendapat ini
diperkuat oleh Andayani et al. (2008) yang menyatakan bahwa pengujian aktivitas antioksidan pada berbagai konsentrasi, ternyata pada konsentrasi yang tertinggi menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi Berdasarkan grafik persen inhibisi pada Gambar 17 dan Gambar 18 terlihat perbedaan antara konsentrasi BHT dan ekstrak daun Api-api yang diujikan. Konsentrasi BHT jauh lebih kecil dibandingkan konsentrasi ekstrak daun Api-api. Hal ini karena BHT merupakan senyawa antioksidan sintetik yang telah dimurnikan sedangkan ekstrak daun Api-api masih berbentuk ekstrak kasar. Antioksidan sintetik BHT bekerja dengan cara mendeaktivasi senyawa radikal. Butilated Hidroxy Toluene (BHT) memiliki aktivitas yang kuat terhadap radikal, BHT memiliki potensi yang sangat besar sebagai salah satu antioksidan alternatif (Herawati & Akhlus 2006).
Sangat disayangkan penggunaan
antioksidan sintetik BHT secara terus menerus dalam produk makanan dapat menyebabkan kanker dan mutasi gen; penggunaanya mulai dilarang di Jepang dan negara-negara Eropa misalnya Rumania, Swedia dan Australia (Rita et al. 2009).
Hal inilah yang menjadi dasar acuan untuk mendorong para peneliti
menemukan bahan -bahan alami yang memiliki aktivitas antioksidan yang sama
55
atau hampir mendekati kemampuan BHT agar dapat menjadi senyawa antioksidan alternatif yang lebih aman. Mengukur besarnya aktivitas antioksidan dari BHT dan ekstrak kasar daun Api-api tidak cukup hanya dengan melihat persen inhibisinya saja, oleh karena itu setelah didapatkan persen inhibisi maka tahap selanjutnya adalah menghitung besarnya Inhibition Concentration 50 (IC50) dari larutan BHT dan ekstrak kasar daun Api-api. Hasil perhitungan Inhibition Concentration 50 dari BHT dan ekstrak kasar daun Api-api dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Hasil uji aktivitas antioksidan BHT dan ekstrak kasar daun Api-api Jenis sampel
Persamaan Regresi
Nilai R2
Larutan BHT
y = 8,839x - 1,755
0,944
5,85
Ekstrak methanol
y = 0,153x + 10,59
0,992
257,58
Ekstrak etil asetat
y = 0,206x + 12,44
0,976
182,33
Ekstrak heksan
y = 0,050x - 0,183
0,967
1003,66
IC50 (ppm)
Molyneux (2004) menyatakan bahwa Inhibitor Concentration 50 (IC50) merupakan parameter kuantitatif yang dipakai untuk menunjukkan besarnya aktivitas antioksidan suatu bahan. IC 50 didefinisikan sebagai konsentrasi substrat yang dapat menyebabkan hilangnya 50 % aktivitas DPPH. Berdasarkan hasil perhitungan IC50 yang ditampilkan pada Tabel 8 larutan BHT memiliki IC50 5,85 ppm, IC50 ekstrak metanol sebesar 257,58 ppm, ekstrak etil asetat sebesar 182,33 ppm dan ekstrak heksan sebesar 1003,66 ppm. Berdasarkan data IC50 pada Tabel 8 diketahui bahwa larutan BHT memiliki nilai IC50 terkecil dibandingkan ketiga jenis ekstrak kasar daun Api-api. Nilai IC50 BHT sebesar 5,85 ppm, hal ini berarti hanya dibutuhkan larutan BHT sebanyak 5,85 ppm untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas (DPPH). Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Apriandi (2011), nilai IC50 BHT yang diuji sebesar 4,91 ppm. Data tersebut menunjukkan
56
bahwa BHT merupakan antioksidan sangat kuat, karena nilai IC50 kurang dari 50 ppm. Penelitian yang dilakukan Herawati & Akhlus (2006) juga memperkuat pendapat bahwa BHT adalah senyawa antioksidan yang sangat kuat, karena BHT merupakan senyawa penangkap radikal yang lebih efektif dibandingkan dengan antioksidan yang digunakan dalam penelitian tersebut, karena lebih mampu menghambat peningkatan bilangan peroksida minyak sawit lebih baik dibandingkan β-karoten dan β-tokoferol. Tabel 8 juga menunjukkan kemampuan penghambatan yang dimiliki ekstrak daun Api-api berdasarkan jenis pelarut yang digunakan. Besarnya nilai IC50 yang dimiliki masing-masing ekstrak berbeda antara satu sama lain. Berdasarkan data pada Tabel 8 dan Gambar 18 diketahui ekstrak kasar daun Api-api
yang diekstrak dengan pelarut
etil
asetat
memiliki
aktivitas
penghambatan tertinggi dengan nilai IC50 terendah di antara yang lain yaitu sebesar 182,33 ppm. Ekstrak kasar daun Api-api yang diekstrak dengan metanol dan heksana berturut-turut memiliki nilai IC50 sebesar 257,58 ppm dan 1003,66 ppm. Tingginya aktivitas penghambatan radikal bebas ekstrak etil asetat yang ditandai dengan rendahnya nilai IC50 dikarenakan sifat etil asetat yang semi polar sehingga menyebabkan etil asetat dapat mengekstrak senyawa antioksidan yang bersifat polar maupun senyawa antioksidan yang bersifat nonpolar, sehingga terdapat beragam jenis senyawa antoksidan yang terekstrak walaupun rendemen ekstrak yang dihasilkan etil asetat lebih kecil. Menurut Tensiska et al. (2007) pelarut etil asetat bersifat semi polar, sehingga hasil ekstraksi mungkin mengandung lebih banyak komponen isoflavon baik nonpolar (aglikon) maupun polar (glikon).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tensiska et al. (2007)
menunjukkan bahwa dari dua parameter yang digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan ekstrak kasar isoflavon ampas tahu yaitu bilangan peroksida dan kadar diene terkonjugasi, ekstrak etil asetat memberikan hasil terbaik dibandingkan dengan ekstrak etanol dan ekstrak heksan. Ekstrak kasar metanol memiliki rendemen ekstrak yang paling tinggi, namun hal ini tidak diimbangi dengan aktivitas antioksidannya. Berdasarkan data pada Tabel 8, nilai IC50 ekstrak metanol sebesar 257,58 ppm. Hal ini mungkin
57
disebabkan oleh banyaknya komponen senyawa yang tidak memiliki aktivitas antioksidan yang ikut terekstrak sehingga hanya menambah jumlah ekstrak tetapi tidak meningkatkan aktivitas antioksidannya. Nilai IC50 ekstrak metanol masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan IC50 ekstrak kasar daun Api-api yang diekstrak dengan heksan yang hanya memiliki IC50 sebesar 1003,66 ppm. Aktivitas antioksidan ekstrak heksan sangat kecil mungkin dikarenakan komponen yang terekstrak bukanlah senyawa antioksidan yang kuat. Penelitian yang dilakukan Suratmo (2009) pada ekstrak daun sirih menunjukkan bahwa pada fraksi ekstrak n-heksana tidak menunjukkan aktivitas antioksidan, karena dimungkinkan hanya mengandung senyawa non-polar, misalnya minyak atsiri, lemak dan minyak Tabel 8 menunjukkan ketiga ekstrak kasar daun Api-api memiliki aktivitas antioksidan, namun jika dibandingkan dengan besarnya aktivitas antioksidan BHT, nilai tersebut sangat jauh berbeda. Aktivitas antioksidan ekstrak etil asetat tergolong antioksidan lemah karena IC50 ekstrak etil asetat sebesar 182,33 ppm masuk dalam kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu 150 ppm-200 ppm. Aktivitas antioksidan ekstrak metanol tergolong antioksidan sangat lemah karena IC50 ekstrak methanol 257,58 ppm lebih besar dari kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu lebih besar dari selang 150 -200 ppm. Ekstrak heksan juga tergolong ke dalam kelompok antioksidan yang sangat lemah, karena nilai IC 50 sebesar 1003,66 ppm jauh melebihi kisaran kelompok antioksidan lemah (150-200 ppm). Menurut Blois (1958) suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 < 0.05 mg/L (50 ppm), kuat apabila nilai IC50 antara 0,05 mg/L0,10 mg/L (50 ppm-100 ppm), sedang apabila nilai IC50 berkisar antara 0,10mg/L-0,15 mg/L (100 ppm -150 ppm) dan lemah apabila nilai IC50 berkisar antara 0,15mg/L-0,20 mg/L (150 ppm-200 ppm). Kecilnya aktivitas antioksidan ketiga ekstrak daun Api-api karena ekstrak masih berbentuk ekstrak kasar, sehingga kemungkinan ada senyawa-senyawa non antioksidan yang ikut terekstrak yang tidak memiliki atau bahkan bersifat menghambat aktivitas antioksidan senyawa yang di dalam ekstrak. Tahap uji yang lebih mendalam yaitu proses purifikasi ekstrak diperlukan, sehingga yang
58
didapatkan adalah ekstrak yang benar-benar hanya mengandung senyawa antioksidan. 4.2.3 Senyawa bioaktif ekstrak kasar daun Api-api terpilih Ekstrak kasar daun Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi selanjutnya diuji kandungan senyawa bioaktifnya, dalam hal ini ekstrak etil asetat yang diuji. Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu mengenai struktur kimia, biosintesa, perubahan metabolisme, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harbone 1987).
Uji fitokimia dipilih karena dapat
mendeteksi komponen bioaktif yang tidak terbatas hanya pada metabolit sekunder saja, tetapi juga terhadap metabolit primer yang memberikan aktivitas biologis fungsional, seperti protein dan peptid (Kannan et al. 2009). Uji fitokimia ekstrak etil asetat meliputi uji alkaloid (Dragendorf, Meyer dan Wegner), uji steroid, uji flavonoid, uji saponin, uji fenol hidrokuinon, uji Molisch, uji Benedict, uji Biuret dan uji Ninhidrin. Hasil uji fitokimia ekstrak etil asetat dapat dilihat pada Tabel 9 dan Gambar 19 Tabel 9 Hasil uji fitokimia ekstrak daun Api-api terpilih (ekstrak etil asetat) Uji
Hasil uji
Standar acuan ( perubahan warna atau endapan)
Alkaloid: a. Dragendorf b. Meyer c. Wegner
-
Endapan merah atau jingga Endapan putih kekuningan Endapan coklat
Steroid
+
Perubahan dari merah menjadi biru/hijau
Flavonoid
+
Lapisan amil alkohol berwarna merah/kuning/hijau
Saponin
-
Terbentuk busa
Fenol hidroquinon
-
Warna hijau atau hijau biru
Molisch
-
Warna ungu antara 2 lapisan
59
Tabel 9 lanjutan Benedict
+
Warna hijau/kuning/endapan merah bata
Biuret
-
Warna ungu
-
Warna biru
Ninhidrin Keterangan: Tanda (+) Tanda (-)
= terdeteksi = tidak terdeteksi
Prinsip uji fitokimia cukup sederhana, uji dilakukan dengan mereaksikan ekstrak etil asetat yang akan diuji dengan pereaksi-pereaksi yang sesuai untuk masing – masing komponen bioaktif yang ingin diketahui dan hasilnya akan segera diketahui.
Parameter umum yang biasanya menjadi acuan adalah
perubahan warna larutan dan terbentuknya endapan tertentu selama proses uji berlangsung. Hasil uji fitokimia pada menunjukkan ekstrak kasar daun Api-api yang telah diekstrak dengan etil asetat mengandung komponen bioaktif berupa flavonoid, steroid dan gula pereduksi. Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kasar daun Api-api terpilih dapat dilihat pada Gambar 19.
a
b
c
d
e
f
g
h
i
j
k
Gambar 19 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar daun Api-api terpilih Keterangan:
a = Uji Dragendorf b = Uji Meyer c = Uji Wagner d = Uji Steroid e = Uji Flavonoid
f = Uji Fenol hidroquinon g = Uji Molisch h = Uji Benedict i = Uji Saponin j = Uji Ninhidrin
k = Uji Biuret
Berdasarkan hasil uji fitokimia yang ada pada Tabel 9 ekstrak etil asetat terdeteksi mengandung flavonoid, hal ini terlihat dengan adanya lapisan amil
60
alkohol berwarna merah jingga. Waji dan Sugrani (2009) menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae) adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C- dan O-glikosida, khalkon dengan Cdan O-glikosida dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan antosianin, auron Oglikosida dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon, flavonol, flavanon, isoflavon dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya. Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Belitz et al. (2009) menambahkan bahwa pada tanaman pangan, ratusan polifenol telah diidentifikasi dengan mengklasifikasikannya menurut jumlah cincin fenol dan jenis ikatannya. Dari semua jenis senyawa fenol, flavonoid menunjukkan keragaman yang paling besar. Besarnya aktivitas antioksidan yang dimiliki ekstrak etil asetat dibandingkan dengan ekstrak daun Api-api yang lain kemungkin disebabkan oleh adanya komponen flavonoid di dalamnya. Menurut Percival (1998), senyawa fenolik seperti flavonoid dapat ditemukan hampir pada semua jenis tanaman, sekitar 3000 jenis flavonoid telah dijelaskan.
Dalam tanaman, flavonoid
bertindak sebagai pelindung terhadap tekanan yang berasal dari lingkungan, sedangkan pada manusia, flavonoid berfungsi sebagai pengatur respon biologis (biological response modifier).
Flavonoid telah menunjukkan aktivitas
antiinflamasi, anti alergenik, antiviral, anti penuaan, dan anti karsinogenik. Efek farmakologis flavonoid yang lebih luas dapat dikaitkan dengan karakter flavonoid sebagai antioksidan. Sebagai tambahan dari efek antioksidan, senyawa flavonoid dapat melindungi manusia dari serangan jantung melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase dan lipoksigenase pada sel platelet dan makrofag. Menurut Waji & Sugrani (2009) mekanisme penghambatan radikal bebas oleh flavonoid adalah ketika flavonoid bereaksi dengan radikal bebas, flavonoid mendonorkan protonnya dan menjadi senyawa radikal, tapi elektron tidak berpasangan yang dihasilkan didelokalisasi oleh resonansi, hal ini membuat
61
senyawa flavonoid radikal memiliki energi yang sangat rendah untuk menjadi radikal yang reaktif. Menurut Prasad et al. (2009) flavonoid sebagai salah satu kelompok senyawa alami yang paling beragam dan tersebar luas merupakan senyawa fenol paling penting. Senyawa ini memiliki spektrum aktivitas kimiawi dan biologi yang luas termasuk aktivitas penangkapan radikal bebas. Meenakshi dan Gnanambigai (2009) menambahkan bahwa kapasitas flavonoid sebagai antioksidan bergantung pada struktur molekulnya. Posisi grup hidroksil dan ciriciri struktur kimia lainnya pada flavonoid sangat berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dan penangkapan radikal bebas Komponen bioaktif lainnya yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat adalah steroid dan gula pereduksi. Steroid dianalisa dengan reaksi Liebermann-Buchard. Adanya steroid pada ekstrak ditandai dengan perubahan warna larutan yang semula berwarna merah kemudian menjadi biru dan hijau. Steroid adalah bagian dari lemak yang dapat dimakan (edible fat) yang berisi sekumpulan triterpen siklik yang memiliki struktur yang saling berhubungan. Rangka steroid terbuat dari 4 cincin padat yaitu; A, B, C dan D. Tiga cincin pertama konformasinya dalam bentuk kursi sedangkan cincin D biasanya berbentuk planar (Belitz et al. 2009). Steroid merupakan golongan triterpena yang tersusun atas sistem cincin cyclopetana perhydrophenanthrene. Steroid pada mulanya dipertimbangkan hanya sebagai komponen pada substansi hewan saja (sebagai hormon seks, hormon adrenal, asam empedu dan lain sebagainya), akan tetapi ternyata steroid juga ditemukan pada substansi tumbuhan (Harborne 1984). Sterol dan stanol (produk hidrogenasi sterol) yang terdapat pada tanaman dikenal sebagai fitosterol. Fitosterol menarik perhatian dari sudut pandang nutrisi dan fisiologis karena dapat menurunkan konsentrasi kolesterol dan low density lipoprotein (LDL) dalam plasma darah. Efek penghambatan absorbsi kolesterol yang signifikan dalam tubuh dapat diperoleh dengan mengkonsumsi fitosterol 1 gr/hari. Steroid yang mengandung gugus etiliden misalnya avenasterol, terbukti memiliki aktivitas oksidatif pada temperatur yang digunakan untuk deep frying karena pada kondisi ini radikal peroksil dapat memisahkan atom H dari gugusnya (Belitz et al. 2009). Penelitian lain membuktikan sejumlah produk triterpenoid/
62
steroid alami telah menunjukkan aktivitas antitumor yang potensial dengan menghambat enzim topoisomerase II.
Molekul inhibitor enzim ini tidak
berbentuk planar dan secara nyata tidak ikut menginterkalasi topoisomerase II dalam membentuk kompleks stabil yang dapat dipotong (Setzer 2008). Hasil penelitian Kurniawati et al. (2005) menunjukkan senyawa triterpenoid/ steroid terdapat dalam jumlah yang tinggi (sekitar 9 jenis triterpenoid ) pada tanaman pegagan sebagai bahan obat. Gula pereduksi diuji keberadaannya dengan menggunakan uji Benedict. Adanya gula pereduksi pada ekstrak etil asetat ditandai dengan terbentuknya endapan merah nbata pada larutan. Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksidasi (senyawa penerima elektron). Gula pereduksi akan dioksidasi pada gugus karbonilnya, dan senyawa pengoksidasi menjadi tereduksi (Lehninger 1982).
Sifat pereduksi dari suatu
molekul gula ditentukan oleh ada tidaknya gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor 1 pada gugus glukosanya (Winarno 2008). Gula pereduksi juga menunjukkan aktivitas antioksidan yaitu dengan mereduksi tembaga (II) ( yang mengoksidasi aldosa menjadi aldonat) menjadi tembaga (I). Saat proses oksidasi kelompok aldehid dari aldosa menjadi garam kelompok asam karboksilat, agen oksidasi direduksi, oleh karena itu aldosa disebut gula pereduksi. Ketosa juga dikatakan sebagai gula pereduksi karena dibawah kondisi alkali uji Fehling, ketosa diisomerasi menjadi aldosa. Gula pereduksi yang terdeteksi pada ekstrak etil asetat kemungkinan besar adalah gula aldosa, karena dengan pereaksi Benedict yang tidak alkali, pereaksi akan bereaksi dengan aldosa tetapi tidak dengan ketosa (Fennema 1996) Semua komponen bioaktif yang terdeteksi masih merupakan senyawa yang masih bercampur dengan senyawa-senyawa lain dan uji fitokimia yang dilakukan pada penelitan ini hanya secara kualitatif. Perlu dilakukan proses purifikasi dan uji secara kuantitatif, sehingga diketahui dengan jelas seberapa besar aktifitas dan jumlah kandungan senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak.
63
4.3 Aktivitas Antioksidan Ekstrak Terpilih Ekstrak kasar daun Api-api yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi diuji dengan mengaplikasikan ekstrak tersebut ke dalam emulsi minyak kelapa. Uji ini bertujuan untuk mengukur tingkat penghambatan ekstrak dalam menghambat atau memperlambat terbentuknya bilangan peroksida (peroxide value) yang terbentuk akibat proses oksidasi yang terjadi pada minyak selama masa inkubasi. Terbentuknya peroksida berkaitan dengan peristiwa oksidasi yang terjadi pada lemak atau minyak. Oksidasi minyak/lemak merupakan salah satu penyebab utama kerusakan pada makanan. Hal ini menjadi perhatian bagi industri makanan dari sisi ekonomis, karena oksidasi lemak memicu rusaknya citarasa dan bau pada makanan yang mengandung lemak dan biasa disebut sebagai ketengikan. Ketengikan membuat penerimaan terhadap makanan menurun, selain itu reaksi oksidasi menurunkan kualitas nutrisi makanan dan oksidasi pada produk tertentu dapat berpotensi menghasilkan racun. Proses oksidasi lipid pada kondisi tertentu dengan derajat yang dibatasi justru diharapkan terjadi, seperti pada penyimpanan keju dan beberapa makanan yang digoreng (Fennema 1996) Peroksida merupakan produk awal utama dari proses autooksidasi. Peroksida dapat diukur dengan teknik yang berdasarkan pada kemampuannya untuk membebaskan iodin dari potasium iodida (iodimetri) atau mengoksidasi ferrous menjadi ion ferric (metode tiosianat).
Bilangan peroksida biasanya
dinyatakan dalam miliequivalen oksigen/kilogram (Meq/Kg) lemak (Fennema 1996). Santoso et al. (2004) menyatakan penambahan zat antioksidan dalam emulsi minyak akan menghambat pembentukan peroksida. Hasil uji bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa yang ditambah dengan ekstrak kasar daun Api-api terpilih (ekstrak etil asetat) menunjukkan bahwa ekstrak dapat menghambat proses oksidasi yang terjadi pada emulsi minyak kelapa. Emulsi minyak kelapa (sampel 0 ppm) memiliki bilangan peroksida sebesar 2,72 Meq/ Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar daun Api-api terpilih pada konsentrasi 50 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 1,33 Meq/Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 100 ppm memiliki bilangan
64
peroksida sebesar 0,84 Meq/Kg. Emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 200 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 0,64 Meq/Kg dan emulsi yang ditambahkan ekstrak kasar pada konsentrasi 300 ppm memiliki bilangan peroksida sebesar 0,42 Meq/Kg. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang ditambahkan, semakin rendah bilangan peroksida yang terbentuk, dan hal ini berarti semakin besar aktivitas antioksidannya. Rendahnya nilai bilangan peroksida yang terbentuk seiring tingginya konsentrasi ekstrak yang ditambahkan karena semakin tinggi konsentrasi yang ditambahkan menyebabkan semakin banyak senyawa antioksidan yang menghambat aktivitas agen oksidasi. Hasil uji bilangan peroksida emulsi minyak kelapa dengan penambahan ekstrak kasar daun Api-api dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Diagram hubungan bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa dengan konsentrasi ekstrak daun Api-api Keterangan: Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf berbeda pada konsentrasi ekstrak yang digunakan menunjukkan beda nyata (p < 0,05)
Nilai bilangan peroksida pada emulsi minyak menunjukkan telah terjadi proses oksidasi selama emulsi minyak diinkubasi. Berdasarkan besarnya nilai bilangan peroksida yang diperoleh, dapat dinyatakan bahwa walaupun minyak telah teroksidasi, mutu minyak masih bagus. Menurut Syah (2005) bilangan peroksida maksimum 2 disarankan bagi minyak kelapa mentah berkualitas tinggi, sedangkan Codex memberi batas maksimum sampai nilai 10. Herawati &Akhlus (2006) juga menyebutkan bahwa batasan mutu bilangan peroksida pada minyak
65
RBD (refining, bleaching and deodorizing) adalah 2 Meq/kg. Nilai bilangan peroksida pada emulsi minyak kelapa (sampel) rendah meskipun telah diinkubasi selama 7 hari karena minyak kelapa mengandung asam lemak jenuh yang tinggi, berupa asam lemak jenuh rantai sedang misalnya asam laurat (lauric acid) dan asam kaprat (capric acid).
Asam laurat di dalam minyak kelapa murni cukup
tinggi, mencapai 53%, selain itu, juga diketahui bahwa minyak kelapa murni juga mengandung capric acid
yang berantai sedang dengan jumlah karbon 10
(Rindengan & Novarianto 2005). Tingginya kadar asam lemak jenuh dalam minyak kelapa, membuat minyak kelapa memiliki kestabilan yang tinggi terhadap oksidasi atau bentuk-bentuk degradasi lainnya.
Lemak takjenuh atau
polyunsaturated yang mempunyai ikatan rangkap pada atom C-nya mudah sekali dioksidasi atau terserang peroksidasi lipid membentuk peroksida lipid. Makanan yang banyak mengandung lemak tak jenuh antara lain salad dan mayones akan mudah sekali terserang radikal bebas (Kumalaningsih 2007) Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan konsentrasi ekstrak etil asetat yang ditambahkan
ke dalam emulsi minyak kelapa memberikan
pengaruh nyata (α=0,05) terhadap jumlah bilangan peroksida yang terbentuk dalam emulsi minyak. Uji Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa konsentrasi sebesar 0 ppm berbeda nyata dengan semua sampel yang ditambahkan ekstrak daun Api-api. Emulsi minyak dengan konsentrasi ekstrak 300 ppm juga berbeda nyata dengan sampel yang lain.
Sampel emulsi dengan konsentrasi ekstrak
200 ppm tidak berbeda nyata dengan konsentrasi ekstrak 100 ppm dan 300 ppm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penambahan ekstrak daun selada air sebesar 200 ppm tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan dengan konsentrasi 100 ppm dan 300 ppm. Konsentrasi ekstrak 300 ppm merupakan konsentrasi yang memiliki aktivitas penghambatan terbaik terhadap pembentukan peroksida, karena mampu menghasilkan bilangan peroksida terkecil sebesar 0,42 Meq/Kg.
5 KESIMPULAN DAN SARAN 5. 1 Kesimpulan Daun mangrove Api-api (A. marina) yang diambil dari daerah Belanakan Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat memiliki ciri fisik berdaun agak keras, berwarna hijau pada bagian atas, berwarna hijau kekuningan dan cenderung pucat pada bagian bawah, dan memiliki tekstur permukaan yang halus. Daun Api –api yang digunakan dalam penelitian ini memiliki panjang rata-rata 69,36 ± 5,12 mm, lebar rata-rata 36,29 ± 3,39 mm dan tebal rata-rata 0,77 ± 0,11 mm. Struktur anatomi daun mangrove Api-api (A. marina) relatif sama dengan struktur anatomi daun dikotil lainnya, yang membedakannya adalah adanya organ tambahan berupa kelenjar garam. Daun Api-api bertipe dorsiventral dan termasuk golongan daun tak lengkap. Daun Api-api (A. marina) mengandung kadar air sebanyak 68,16%, kadar protein 3,67%, kadar lemak 0,72%, kadar abu 4,45% , karbohidrat (by difference) 23,00% dan serat kasar sebesar 4,12%. Ekstrak kasar daun Api-api memiliki kemampuan menangkal radikal bebas.
Ekstrak Etil asetat memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi
dibandingkan yang lain, namun masih tergolong lemah karena nilai IC50-nya sebesar 182,33 ppm berada pada kisaran kelompok antioksidan lemah yaitu 150 ppm-200 ppm. Hasil uji fitokimia menunjukkan di dalam ekstrak etil asetat terkandung komponen bioaktif berupa flavonoid, steroid/ triterpenoid dan gula pereduksi. Konsentrasi ekstrak yang memiliki daya hambat terbaik terhadap pembentukan peroksida pada minyak adalah pada konsentrasi 300 ppm yang memiliki bilangan peroksida sebesar 0,42 Meq/Kg. 5. 2 Saran Perlu dilakukan pemurnian senyawa antioksidan dari ekstrak daun Api-api. Pengujian secara in vivo juga perlu dilakukan untuk melihat bioavailibilitas ekstrak murni daun Api-api (A. marina) menjadi sumber senyawa antioksidan alami yang baru.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Agoramoorthy G, Chen F, Venkatesalu V, Kuo DH, Shea, PC. 2008. Evaluation of antioxidant polyphenols from selected mangrove plants of India. Asian Journal of Chemistry 20(2):1311-1322. Andayani R, Lisawati Y, Maimunah. 2008. Penentuan aktivitas antioksidan, kadar fenolat total dan likopen pada buah tomat (Solanum lycopersium L.). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi 13(1):1-9. Apriandi A. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif Keong Ipongipong (Fasciolaria salmo). [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bandaranayake. 2002. Bioactivities, bioactive compounds and chemical constituents of mangrove plants. Wetlands Ecology Management 10:421452. Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry, 4th revised and extended edition. Berlin: Springer-Verlag, Heidelberg. BlueFame Forums. 2008. Anodonta. http://www.bluefame.com/t85130.html. [20 Agustus 2011]. Borkar MU, Athalye RP, Goldin Q. 2011. Salinity induced changes in the leaf anatomy of the mangrove Avicennia marina along the anthropogenically stressed tropical creek. Journal of Coastal Development 14(3):191-201. Buck DF. 1991. Antioxidants. Didalam: J. Smith, editor. Food Additive User’s Handbook. UK: Blackie Academic & Profesional, Glasgow. Bunyapraphatsara N, Srisukh V, Jutiviboonsuk A, Sornlek P, Thongbainoi W, Chuakut W, Fong HHS, Pezzuto JM, Kosmeder J. 2002. Vegetables from the mangrove areas. Thai Journal of Phytopharmacy 9(1):1-12. Burkill IH. 1935. A Dictionary of the Economic Product of The Malaya Peninsula. London : Mill Bank . Coppen PP 1983. The use of antioxidant. Di dalam: J.C. Allen dan R.J Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied Science Publishers. Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Naskah Seminar: Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga karang dan ganggang laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu.
68
Buletin Kimia. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Duke N, Kathiresan K, Salmo III SG, Fernando ES, Peras JR, Sukardjo S, Miyagi T, Ellison J, Koedam NE, Wang Y, Primavera J, Jin Eong O, Wan-Hong Yong J, Ngoc Nam V. 2008. Avicennia marina. Di dalam: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Versi 2010.4. (www.iucnredlist.org). [28 March 2011]. Edwards R, Gatehouse JA. 1999. Secondary metabolism. Di dalam: Lea PJ dan Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology. England: John Wiley & Sons Ltd. Hlm. 193-218. Fauvel MT, Bousquet M, Moulis A, Gleye CJ, Jensen SR. 1993. Iridoid glycosydes from Avicennia germinans. Journal of Phytochemistry 23:9397. Fennema OR, editor. 1996. Food Chemistry. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker, Inc. Gheldof N, Hong WX, Engeseth NJ. 2002. Identification and quantification of antioxidant components of honeys from various floral sources. Journal of Agricultural and Food Chemistry 50:5870-5877. Gordon MH. 1990. The mechanism of antioxidants action in vitro. Di dalam: Hudson BJF, editor. Food Antioxidants. London: Elsevier Applied Science. Hamilton RJ. 1983. The chemistry of rancidity in foods. Di dalam: J.C. Allen dan R.J. Hamilton, editor. Rancidity in Foods. London: Applied science Publishers. Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi senyawa antioksidan dalam spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah Ilmu Kefarmasian 2(3):127-133. Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Padmawinata K, penerjemah. Edisi kedua. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Harborne JB. 1999. Classes and function of secondary products from plants. Di dalam: Walton NJ dan Brown DE, editor. Chemicals from Plants: perspectives on plant secondary products. London: Imperial College Press. Hlm.1-26. Harborne JB. 1984. Phytochemical Methods. Ed ke-2. New York: Chapman and Hall.
69
Heras BDL, Rodriguez B, Bosca L, Villar AM. 2003. Terpenoids: source, structure elucidation and therapeutic potential in inflammation. Journal of Medicinal Chemistry 3(2):171-185. Herawati, Akhlus S. 2006. Kinerja BHT Sebagai Antioksidan Minyak Sawit pada Perlindungan Terhadap Oksidasi Oksigen Singlet. Akta Kimindo 2(1):1-8. Hernani, Rahardjo M. 2006. Tanaman Berkhasiat Antioksidan: berbagai jenis tanaman penangkal racun. Jakarta: Penebar Swadaya. Irianti A. 2008. Aplikasi ekstrak daun sirih dalam menghambat oksidasi lemak jambal patin. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York: McGraw-Hill Book Company Inc. Kannan A, Hettiarachchy N, Narayan S. 2009. Colon and breast anti-cancer effects of peptide hydrolysates derived from rice bran. The Open Bioactive Coumpounds Journal 2:17-20. Ketaren. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Khopkar. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI-Press. Kochar SP, Rossell B. 1990. Detection estimation and evaluation of antioxidants in food system. Di dalam : B.J.F. Hudson, editor. Food Antioxidants. Elvisier Applied Science. London. Krzynowek J, Murphy J. 1987. Proximate Composition, Energy, Fatty Acid, Sodium, and Cholesterol Content of Finfish, Shellfish, and their Products. NOAA Technical Report NMFS 55. United of State: Departement of Commerce. Kumalaningsih S. 2007. Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana. Kurniawati A, Darusman LK, Rachmawaty RY. 2005. Pertumbuhan, produksi dan kandungan triterpenoid dua jenis pegagan (Centella asiatica L (Urban)) sebagai bahan obat pada berbagai tingkat naungan. Buletin Agronomi 33(3):62-67. Lehninger AL. 1988. Dasar-dasar Biokimia Jilid 1. Thenawidjaja M, penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Lusiana. 2010. Kemampuan antioksidan asal tanaman obat dalam modulasi apoptosis sel khamir (Saccharomyces cerevisiae). [tesis]. Bogor:Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
70
Mahera SA, Ahmad VU, Saifullah SM, Mohammad FV, Ambreen K. 2011. Steroids and triterpenoids from grey mangrove Avicennia marina. Pakistan Journal of Botany 43(2):1417-1422 Meenakshi S, Gnanambigai DM, Mozhi ST, Arumugam M, Balasubramanian T. 2009. Total flavanoid and in-vitro antioxidant activity of two seaweeds of rameshwaram coast. Global Journal of Pharmacology 3(2):59-62. Mega IM, Swastini DA. 2010. Skrining fitokimia dan aktivitas antiradikal bebas ekstrak metanol daun gaharu (Gyrinops versteegii). Jurnal Kimia 4(2): 187-192. Meyer LH. 1973. Food Chemistry. New Delhi: Affiliated East-West Press PVT Ltd. Miles DH, Kokpol U, Chittawong V, Tip-Pyang S, Tunsuwan K, Nguyen C. 1999. Mangrove forest: The importance of conservation as a bioresource for ecosystem diversity and utilization as a source of chemical constituents with potential medicinal and agricultural value. 1999 IUPAC 70(11):1-9. Molyneux P. 2004. The use of stable free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin Journal Science of Technology 26(2):211-219. Muchtadi D. 2000. Sayur-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan: Mencegah penyakit Degeneratif. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme. Bogor: Ditjen PHKA. Nugroho LH, Purnomo, Sumardi I. 2006. Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Struktur dan Perkembangan
Nur MA, Adijuwana HA. 1989. Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor. Peng L, Xin-men W. 1983. Ecological notes on the mangroves of Fujian, China: Biology and ecology of mangroves. Boston: Dr W. Junk Publishers. Percival M. 1998. Antioxidants. Clinical Nutrition Insights 31(10):1-4. Permatasari E. 2011. Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif pada Selada air (Nasturtium officinale L. R. Br). [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pramadhany WW. 2006. Penapisan Komponen Antibakteri dari Spons asal Pulau Bonerate Sulawesi Selatan. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi
71
Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Prasad KN, Yang B, Dong X, Jiang G, Zhang H, Xie H, Jiang Y. 2009. Flavonoid contents and antioxidant activities from Cinnamomum species. Innovative Food Science and Emerging Technologies 10:627–632. Pratt DE. 1992. Natural Antioxidants From Plant Material. Di dalam : M.T. Huang, C.T. Ho, dan C.Y. Lee, editor. Phenolic Compounds in Food and Their Effects on Health H. Washington DC: American Society. Rao AN. 1994. Economic Importance of Mangrove, Conservation of Mangrove Forest Genetic Resources: A Training Manual. ITTO-CRSARD Project. Madras: M.S. Swaminathan Research Foundation, India. Rindengan B, Novarianto H. 2005. Minyak Kelapa Murni; Pembuatan dan Pemanfaatan. Jakarta: Penebar Swadaya. Rita A, Tania SU, Heri H, Albana AM, Rini R. 2009. Produksi antioksidan dari daun simpur (Dillenia indica) menggunakan metode ekstraksi tekanan tinggi dengan sirkulasi pelarut. Di dalam: SNTKI 2009. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia; Bandung, 19-20 Oktober 2009. Bandung: Perhimpunan Teknik Kimia Indonesia. hlm 1-8. Robertson AI, Alongi DM. 1992. Tropical mangrove ecosystems, coastal and estuarine series. Bowman MJ, Barber RT, Mooers CNK dan Raven JA, 329 Washington : American Geophysical Union. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Kosasih Padmawinata: penerjemah. Bandung : Penerbit ITB. Terjemahan dari: The Organic Constituens of Higher Plant 6th edition. Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing Taiwan (Anadonta woodiana Lea.) sebagai senyawa antioksidan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 11(2):119-132. Santoso J, Yoshie Y, Suzuki T. 2004. Antioxidant activity of methanol extract from Indonesian seaweeds in an oil emulsion model. Journal of Fish Science 70:183-188. Santoso N, Nurcahya BC, Siregar AF, Farida I. 2005. Resep Makanan Berbahan Baku Magrove dan Pemanfaatan Nipah. Jakarta: LPP Mangrove. Sauriasari R. 2006. Mengenal dan menangkal http://www.beritaiptek.com [16 Mei 2011].
radikal
bebas.
Scott P. 2008. Physiology and Behavior of Plants. England: John Wiley & Sons Ltd.
72
Seena S, Sridhar KR. 2005. Physicochemical, functional and cooking properties of under explored legumes, Canavalia of the southwest coast of India. Food Research International 38:803-804. Setzer WN. 2008. Non-intercalative triterpenoid inhibitors of topoisomerase II: a molecular docking study. The Open Bioactive Compounds Journal 1:1317. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik Edisi ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Steinberg D. 2009. The LDL modification hypothesis of atherogenesis. Journal of Lipid Research 50:376-381. Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Suratmo. 2009. Potensi ekstrak daun sirih merah (Piper crocatum) sebagai antioksidan. Jurnal Penelitian 205(1):1-5. Syah. 2005. Virgin Coconut Oil: Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Tariq M, Dawar S, Mehdi FS, Zaki MJ. 2007. Use of Avicennia marina (Forsk.) Vierh in the control of root knot nematode Meloidogyne javanica (Treub) chitwood on okra and mash bean. Turkish Journal Biology 31:225-230. Tensiska, Marsetio, Yudiastuti SON. 2007. Pengaruh jenis pelarut terhadap aktivitas antioksidan ekstrak kasar isoflavon dari ampas tahu. [hasil penelitian]. Bandung: Jurusan Teknologi Industri Pangan, Universitas Padjajaran. Theroux P, Libby P. 2005. Pathophysiology of coronary artery disease. Circulation 111: 3481-3488. Thompson D, Moldeus P. 1988. Cytotoxicity of butylated hydroxyanisole and butylated hydroxytoluene in isolated rat hepatocytes. Biochemistry and Pharmacology 37:2201-2207. Tjitrosoepomo G. 2007. University Press.
Morfologi Tumbuhan.
Yoyakarta: Gadjah Mada
Trilaksani W. 2003. Antioksidan: jenis, sumber, mekanisme kerja dan peran terhadap kesehatan [makalah]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Waji RA, Sugrani A. 2009. Makalah kimia organik bahan alam: Flavonoid (Quercetin). [makalah]. Makasar: Program Pascasarjana Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Hasanuddin
73
Wasmund N, Topp I, Schories D. 2006. Optimising the storage and extraction of chlorophyll samples. Oceanologia 48(1):125–144. Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan pohon mangrove api-api (Avicennia spp.) sebagai bahan pangan dan obat. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009 Buku 1: bidang pangan dan energi. Bogor: LPPM-IPB. Wildman REC. 2001. Classifying nutraceuticals. Di dalam: Wildman REC,editor. Handbook of Neutraceuticals and Functional Foods. New York: CRC press. Hlm 13-30. Winarno F.G, Fardiaz D, Fardiaz S. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan Elektroforesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT Gramedia. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press. Wichi HP. 1988. Enhanced tumour development by butylated hydroxytoluene (BHT) from the properties of effect on fure stomach and esophageal aquamoua epithelium. Food Chemical Toxicology 26:723-727. Yunizal, Murtini JT, Dolaria N, Purdiwoto B, Abdulrokhim, Carkipan. 1998. Prosedur Analisis Kimiawi Ikan dan Produk Olahan Hasil-hasil Perikanan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Yusuf S. 2010. Isolasi dan penentuan struktur molekul senyawa triterpenoid dari kulit batang kayu api-api betina (Avicennia marina Neesh). Jurnal Penelitian Sains 13(2):23-27.
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Pohon mangrove Api-api (Avicennia marina)
Lampiran 2 Perhitungan analisis proksimat daun Api-api (Avicennia marina) a. Kadar air
% Kadar air U1
=
% Kadar air U2
=
Kadar air rata-rata
=
b. Kadar lemak % Kadar lemak U1
=
% Kadar lemak U2
=
Kadar lemak rata-rata = c. Kadar protein % Kadar protein U1 = % Kadar protein U2
=
Kadar protein rata-rata =
75
d. Kadar abu % Kadar abu U1
=
% Kadar abu U2
=
Kadar abu rata-rata = e. Kadar serat kasar % Kadar serat kasar U1
=
% Kadar serat kasar U2
=
Kadar serat kasar rata-rata = Lampiran 3 Data rendemen ekstrak kasar daun Api-api (Avicennia marina) Jenis pelarut Metanol Etil asetat Heksan
Ulangan 1 2 1 2 1 2
Berat Sampel Berat Ekstrak Rendemen Kering (g) (g) (%) 25,01 2,7108 10,8389 25,02 2,0978 8,3845 25,01 0,3466 1,3858 25,01 0,2914 1,1651 25,02 0,1335 0,5336 25,02 0,1759 0,7030
a. Ekstrak Metanol % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
Rendemen rata-rata
=
b. Ekstrak Etil asetat % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
Rendemen rata-rata
=
Rata-rata (%) 9,6116 1,2755 0,6183
76
c. Ekstrak Heksan % Rendemen ekstrak U1
=
% Rendemen ekstrak U2
=
Rendemen rata-rata
=
Lampiran 4 Perhitungan pembuatan larutan DPPH, BHT, stok ekstrak dan pengencerannya a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol) Konsentrasi
=
0,001 M
=
berat DPPH
=
DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml. b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml Stok BHT 250 ppm
= = 12,5 mg = 0,0125 g
BHT sebanyak 0,0125 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
BHT 2 ppm
= = =
0,08 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 4 ppm
= = =
0,16 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
77
BHT 6 ppm
= = =
0,24 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
BHT 8 ppm
= = =
0,32 ml BHT 250 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml. c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml Stok ekstrak 1000 ppm
= = 50 mg = 0,05 g
Ekstrak sebanyak 0,05 g dilarutkan dalam metanol p.a. hingga 50 ml.
Ekstrak 50 ppm
= = =
0,5 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 100 ppm
= = =
1 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 150 ppm
= = =
1,5 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Ekstrak 200 ppm
=
78
= = 2 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml
Ekstrak 300 ppm
= = =
3 ml ekstrak 1000 ppm ditambah metanol p.a. hingga 10 ml.
Lampiran 5 Perhitungan persen inhibisi dan IC50 a. Persen inhibisi dan IC50 pada BHT Sampel Blanko1 Blanko2 BHT
Konsentrasi (ppm)
Abs 1
0 0 2 4 6 8
0,905 0,917 0,709 0,551 0,425 0,397
Abs 2
0,819 0,531 0,431 0,323
2 ppm = 4 ppm = 6 ppm = 8 ppm = Persamaan regresi linear : y = 8,839x - 1,755
y = 8,839x - 1,755 50 = 8,839x - 1,755 51,755 = 8,839x x = 5,8553 ppm IC50 untuk BHT adalah 5,8553 ppm.
% inhibisi
0, 911
Persen inhibisi
IC50
Rata- rata absorbansi
0,814 0,541 0,419 0,315
10,65 40,61 54,06 65,42
79
b. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daun Api-api (Avicennia marina)
Sampel
Konsentrasi (ppm)
Abs 1
0 0 50 100 150 200 300
0,905 0,917 0,760 0,668 0,591 0,515 0,410
Blanko1 Blanko2 Metanol
Abs 2
Rataan absorbansi 0,911
0,761 0,661 0,596 0,543 0,397
0,761 0,664 0,594 0,529 0,400
Persen inhibisi
50 ppm
=
200 ppm
=
150 ppm
=
200 ppm
=
300 ppm
=
Persamaan regresi linear : y = 0,153x + 10,59 IC50 y 50 39,41 x
% inhibisi
= 0,153x + 10,59 = 0,153x + 10,59 = 0,153x = 257,5817 ppm
IC50 untuk ekstrak metanol daun Api-api adalah 257,5817 ppm
16,47 27,10 37,48 41,93 56,09
80
c. Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daun Api-api (Avicennia marina) Sampel
Konsentrasi (ppm)
Abs 1
0 0 50 100 150 200 300
0,905 0,917 0,741 0,602 0,491 0,398 0,257
Blanko1 Blanko2 Etil asetat
Abs 2
Rataan absorbansi 0,911
0,728 0,600 0,497 0,385 0,264
0,734 0,601 0,494 0,392 0,261
Persen inhibisi
50 ppm
=
200 ppm
=
150 ppm
=
200 ppm
=
300 ppm
=
Persamaan regresi linear : y = 0,206x + 12,44 IC50 y 50 37,56 x
% inhibisi
= 0,206x + 12,44 = 0,206x + 12,44 = 0,206x = 182,3301 ppm
IC50 untuk ekstrak etil asetat daun Api-api adalah 182,3301 ppm
19,43 34,03 45,77 56,97 71,35
81
d Persen inhibisi dan IC50 pada ekstrak daun Api-api (Avicennia marina)
Sampel
Konsentrasi (ppm)
Abs 1
0 0 50 100 150 200 300
0,968 0,962 0,942 0,910 0,904 0,860 0,808
Blanko1 Blanko2 Heksan
Abs 2
Rataan absorbansi 0,965
0,928 0,923 0,907 0,874 0,827
0,935 0,917 0,911 0,867 0,818
Persen inhibisi
50 ppm
=
200 ppm
=
150 ppm
=
200 ppm
=
300 ppm
=
% inhibisi
Persamaan regresi linear : y = 0,050x - 0,183 IC50 y = 0,050x - 0,183 50 = 0,050x - 0,183 50,183 = 0,050x x = 1003,6600 ppm IC50 untuk ekstrak heksan daun Api-api adalah 1003,6600 ppm
3,1088 4,8186 5,8549 10,1554 15,2849
82
Lampiran 6 Perhitungan bilangan peroksida ekstrak terpilih Sampel
kons
Blanko Emulsi minyak
Ulanga n
Berat bahan (gram)
Vol tio (ml)
Bil perox
Rata-rata
0,20 0
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
50
100
200
300
5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00 5,00
1,40 1,63 1,65 0,85 1,00 0,75 0,63 0,63 0,60 0,53 0,50 0,53 0,40 0,43 0,40
2,40 2,86 2,90 1,30 1,60 1,10 0,86 0,86 0,80 0,66 0,60 0,66 0,4 0,46 0,4
2,72
1.33
0,84
0,64
0,42
Contoh perhitungan: Emulsi minyak Konsentrasi ekstrak
= 0 ppm
Ulangan
=1
Bilangan peoksida
=
Rata-rata pada tabel merupakan rata-rata dari masing-masing bilangan peroksida Contoh: Konsentrasi ekstrak
= 0 ppm
Ulangan
= 1, 2 dan 3
Rata-rata =
83
Lampiran 7 Analisis ragam pengujian bilangan peroksida emulsi minyak
Bilangan peroksida
Jumlah kuadrat Perlakuan 10,138
Derajat bebas 4
Kuadrat F hitung rata - rata 2,535 87,922
Galat
,288
10
,029
Total
10,426
14
signifikan ,000
Lampiran 8 Uji Lanjut Duncan A 300 ppm
,4200
200 ppm
,6400
100 ppm
B
C
D
,6400 ,8400
50 ppm
1,3333
0 ppm
2,7200
Lampiran 9 Analisa struktur anatomi daun
Pemotretan preparat awetan
84
Lampiran 10 Gambar-gambar selama proses ekstraksi
Daun Api-api (Avicennia marina)
Bubuk daun Api-api
Hasil maserasi 24 jam
Preparasi sampel
Maserasi sampel dengan orbital shaker
Hasil Filtrasi
85
Lampiran 11 Uji antioksidan
Larutan DPPH + Ekstrak Lampiran 12 Uji fitokimia
Hasil uji fitokimia (kiri-kanan: uji Dragendorf, uji Meyer, uji Wagner, uji steroid, uji flavonoid, uji fenol hidrokuinon)
Hasil uji fitokimia (kiri-kanan: uji Molisch, uji Benedict, uji saponin, uji ninhidrin, uji Biuret)
86
Lampiran 13 Uji bilangan peroksida
Emulsi minyak kelapa dan ekstrak daun Api-api dengan berbagai konsentrasi