KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)
YULMA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul ―Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)‖ adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir Tesis ini.
Bogor, November 2012
Yulma C252100011
ABSTRACT
YULMA. Contribution of Organic Material from White Mangrove (Avicennia marina) as Evaluation of Mangrove Ecosystem Management: Case Study of Labuhan Maringgai, East Lampung. Under direction of ENAN M. ADIWILAGA and YUSLI WARDIATNO. The purpose of this study was to determine the potential contribution of organic matter (C, N and P) of mangrove forest litter production in Labuhan Maringgai to marine environment as well as evaluating the mangrove rehabilitation program conducted by the University of Lampung, Lampung program Mangrove Center. Lampung Mangrove Centre providing litter productivity of 4.53 g/m2/day with the biggest contributor from leaf litter and twigs, while flowers and fruit not found. Dry weight of the remaining mangrove leaf litter on day 56 ranged between 5-2.5 g. Lampung Mangrove Centre has the potential production of organic material that can be used litter amounted to 0.76164 GC/m2/day; 0.00628 GN/m2/day; 0.00331 GP/m2/day. Mangrove rehabilitation that involves three parties including the Government of East Lampung regency, Lampung University and the community is very effective in conservation of mangrove forests in Lampung Mangrove Centre with an area of 1000 ha of mangrove ranges. Keywords:
organic material, Avicennia management, East Lampung
marina,
mangrove
ecosystem
RINGKASAN
YULMA. Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur. Di bimbing oleh ENAN M. ADIWILAGA dan YUSLI WARDIATNO. Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi potensi bahan organik (C, N dan P) dari produksi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke lingkungan perairan serta mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu 1) Analisis vegetasi, 2) Analisis laju dekomposisi serasah, 3) Analisis produksi potensial bahan organik serasah 4) Analisis karakteristik fisika kimia perairan dengan PCA dan 5) Analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove. Data dikumpulkan melalui pengambilan sampel dan pengukuran langsung di lapangan, kemudian dilanjutkan dengan pengukuran di laboratorium. Hasil analisis data principal component analysis (PCA) bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 64.10% dan satu komponen utama sebesar 84.40%. Matriks korelasi data fisika kimia perairan Lampung Mangrove Centre memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Stasiun 3 (3.1 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1 dan 2.2) dikarakteristikkan oleh suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, TSS dan TOM yang cukup tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.1 dan 1.2) dicirikan oleh kandungan DO dan pH. Produksi serasah Lampung Mangrove Centre sebesar 4,53 g/m2/hari dengan penyumbang terbesar berasal dari serasah daun dan ranting, sedangkan komponen dari buah/bunga tidak ditemukan. Produktivitas serasah terbesar berasal dari stasiun 2 sebesar 270 g/m2/56 hari kemudian stasiun 3 sebesar 257 g/m2/56 hari dan yang paling sedikit dihasilkan dari stasiun 1 sebesar 233 g/m2/56 hari. Stasiun 1 memiliki kerapatan pohon paling tinggi tetapi tergolong masih muda sehingga produksi serasah yang dihasilkan sedikit. Sedangkan stasiun 2 memiliki kerapatan pohon paling rendah tetapi memiliki pohon yang lebih tinggi dan tajuk yang lebih rimbun sehingga produksi serasah yang dihasilkan lebih banyak. Pada penelitian ini, waktu pengamatan dekomposisi serasah hanya dilakukan selama 56 hari. Dari semua lokasi penelitian tidak ada stasiun yang serasah daunnya mengalami dekomposisi 100%. Berat kering sisa serasah daun yang paling banyak pada hari ke 56 adalah stasiun 3 yaitu sebesar 5 g dan paling sedikit adalah stasiun 1 sebanyak 2,5 g. Bobot kering dari sisa serasah daun
mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Stasiun 1 yang terletak di Muara Kali Kepinding mengalami proses dekomposisi paling cepat karena adanya asupan air tawar dan lama waktu pasang surut. Sedangkan stasiun 3 mengalami proses dekomposisi paling lama karena waktu terkena pasang surut hanya terjadi pada saat pasang tertinggi yaitu pada musim timur sekitar bulan Mei - Juni. Lampung Mangrove Centre memiliki produksi potensial bahan organik serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,76164 g-C/m2/hari; 0,00628 g-N/m2/hari; 0,00331 g-P/m2/hari. Kandungan bahan organik serasah pada stasiun 1 menunjukkan nilai yang paling tinggi yaitu 1,21890 g-C/m2/hari; 0,00938 g-N/m2/hari; 0,00520 g-P/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh substrat mangrove di stasiun 1 lebih banyak mendapatkan bahan organik dari kolom air melalui mekanisme pasang surut yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga terjadinya guguran serasah. Pengelolaan Lampung Mangrove Centre melibatkan tiga pihak yang terdiri dari masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan Universitas Lampung. Kondisi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan hasil semakin baik dan bertambah luas menjadi 1.000 ha pada tahun 2012. Selain itu, keberhasilan lain yang ditunjukkan yaitu mendapatkan penghargaan pada tahun 2004 dan tahun 2011 dalam kategori pelestarian hutan mangrove tingkat nasional. Estimasi produksi ikan berdasarkan jumlah produksi serasah, diperkirakan Lampung Mangrove Centre dapat menghasilkan produksi ikan sebesar 1.083 kg/th dan dengan luas sekitar 1.000 ha akan mampu menyumbang produksi ikan sebesar 1.083,33 ton/th. Sedangkan berdasarkan luasan, Lampung Mangrove Centre dengan luas 1.000 ha diperkirakan dapat menghasilkan produksi ikan dan udang sebesar 430,46–596,60 ton/th atau 430– 596 kg/ha/th. Kata Kunci: bahan organik, Avicennia marina, pengelolaan ekosistem mangrove, Lampung Timur
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KONTRIBUSI BAHAN ORGANIK DARI MANGROVE API-API (Avicennia marina) SEBAGAI BAHAN EVALUASI PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)
YULMA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji luar komisi: Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis
:
Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)
Nama
: Yulma
NIM
: C252100011
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga Ketua
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc Anggota Diketahui :
Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Tanggal Ujian: 13 November 2012
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Lulus:……………
PRAKATA
Puji Syukur Kehadirat Allah SWT, Penulis ucapkan atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan Tesis ―Kontribusi Bahan Organik dari Mangrove Api-api (Avicennia marina) sebagai Bahan Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove (Studi Kasus Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur)‖ dapat terselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih serta penghargaan yang tinggi kepada: 1.
2. 3.
4.
5.
6. 7.
8.
Bapak Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc selaku anggota komisi pembimbing yang telah mencurahkan waktu dan tenaga untuk membimbing dan mengarahkan selama proses penyusunan dan penulisan tesis. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si, yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis. Bapak dan Ibu staf pengajar PS Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PS-SPL) IPB yang telah banyak memberikan pemikiran-pemikirannya kepada penulis selama menempuh proses pendidikan. Ayahanda Mawardi dan Ibunda Zarni tercinta yang senantiasa mencurahkan kasih sayang, doa, semangat dan keteladanan hingga Ananda dapat menyelesaikan penulisan tesis. Saudara tercinta Aida Marliza, Aktos, Aldes serta keponakan tersayang Okta Ilmawan Mahgenta, Merchytio Larichie, Denendra Kenzie dan Akio Alfan Alfarizki, terima kasih buat dorongan dan semangatnya. Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling) beserta staf yang telah membantu penyelesaian penelitian. Masyarakat Desa Margasari, Universitas Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur serta pihak-pihak yang telah membantu pengambilan data di Lampung Mangrove Centre. Teman-teman SPL 2010 (PS-SPL) atas kebersamaan dan kerjasamanya yang baik.
Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat khususnya kepada penulis sendiri dan kepada semua pihak.
Bogor, November 2012
Yulma C252100011
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Balai Tengah, Kabupaten Tanah Datar – Sumatera Barat pada tanggal 11 Juli tahun 1986, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari ayahanda Mawardi dan ibunda Zarni. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 12 Patar pada tahun 1999, kemudian melanjutkan pendidikan di MTsN Bukit Surungan, Padang Panjang. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Lintau Buo selesai pada tahun 2005. Melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 2005 penulis diterima di Universitas Riau, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Jurusan Ilmu Kelautan dan lulus tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xxi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................
xxv
PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................... Perumusan Masalah ................................................................................... Tujuan Penelitian ....................................................................................... Manfaat Penelitian ....................................................................................
1 3 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove ................................................................................ Produktivitas dan Serasah Mangrove ....................................................... Proses Dekomposisi Serasah ................................................................... Bahan Organik (C, N dan P) .................................................................... Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ............................................
7 9 11 12 14
METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat ..................................................................................... Bahan dan Alat ........................................................................................... Prosedur Penelitian..................................................................................... Penentuan Stasiun Penelitian ................................................................. Pengambilan Sampel dan Data................................................................ Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove .................. Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall) ............................ Pengkuran Laju Dekomposisi Serasah Daun ....................................... Pengambilan Sampel Air...................................................................... Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut ................ Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ........................................ Analisis Data .......................................................................................... Analisis Vegetasi Mangrove ............................................................... Analisis Laju Dekomposisi Serasah ................................................. Produksi Potensial Bahan Organik Serasah......................................... Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel Fisika Kimia Perairan .................................................................... Analisis Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ........................ Hasil dan Pembahasan................................................................................ Gambaran Umum Daerah Penelitian ................................................... Karakteristik Fisika Kimia Perairan ................................................... Sebaran Parameter Fisika Kimia Perairan ........................................... Gambaran Umum Kondisi ekosistem Mangrove ................................ xix
19 19 20 20 20 20 22 23 23 24 24 24 24 25 25 26 28 29 29 30 32 33
xx Produktivitas Serasah Mangrove .............................................. Dekomposisi Serasah Mangrove .............................................. Produksi Potensial Bahan Organik (C, N dan P) ...................... Kandungan Bahan Organik (C, N dan P) Pada Air Laut .......... Keterkaitan antar Parameter...................................................... Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove ............................. Keterkaitan Produksi Perikanan Dengan Ekosistem Mangrove ...................................................................... Kesimpulan dan Saran ......................................................................... Kesimpulan ............................................................................... Saran .........................................................................................
35 41 45 47 48 51
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ LAMPIRAN ..........................................................................................
61 70
56 59 59 59
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Letak geografis lokasi pengamatan ...........................................................
20
2
Nilai rata-rata parameter fisika-kimia perairan Lampung Mangrove Centre ........................................................................................................
31
3
Vegetasi mangrove di setiap stasiun pengamatan .....................................
33
4
Produksi total serasah Avicennia marina di Lampung Mangrove Centre selama 56 hari ...............................................................................
37
5
Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian .................
39
6
Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala..........
43
7
Produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre ...
45
8
Kontribusi produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre dan beberapa kawasan mangrove lain ..........................
46
Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove........................
49
10 Produksi perikanan Lampung Mangrove Centre (kg/hari) .......................
57
9
xxi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1
Kerangka pemikiran penelitian ...............................................................
5
2
Peta stasiun penelitian kawasan hutan Lampung Mangrove Centre .........
19
3
Transek garis dengan plot dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove ......................................................
21
Ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon ...................................................
21
5
Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove ............
22
6
Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove ....................................
23
7
Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut ............................................
24
8
Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air ................
33
9
Jumlah tegakan vegetasi mangrove tiap stasiun .....................................
34
10 Produktivitas serasah tiap stasiun penelitian selama 56 hari ..................
35
11 Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 Stasiun Penelitian setelah 56 hari ...........................................................................................
42
12 Estimasi laju dekomposisi serasah daun 100% ........................................
43
13 Kandungan bahan organik (C, N dan P) air laut tiap stasiun pengamatan ...............................................................................................
47
14 Kandungan bahan organik kontrol air laut hari ke- ..................................
48
4
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1
Hasil pengukuran parameter fisika kimia air tiap sub stasiun...................
72
2
Data hasil principal component analysis (PCA) .......................................
73
3
Jumlah tegakan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m..............................
75
4
Produktifitas serasah selama pengamatan .................................................
76
5
Produktifitas serasah daun dan ranting selama pengamatan .....................
76
6
Bobot kering serasah daun mangrove .......................................................
77
7
Laju dekomposisi serasah daun mangrove ................................................
78
8
Persentase daun mangrove yang terdekomposisi .....................................
78
9
Sumbangan produksi potensial bahan organik serasah di lokasi pengamatan ..............................................................................................
80
10 Sejarah perkembangan Lampung Mangrove Centre .................................
82
xxv
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan mangrove sebagai ekosistem khas daerah pantai tropik, mempunyai fungsi strategis sebagai penyambung dan penyeimbang ekosistem darat dan laut. Tumbuh-tumbuhan, hewan dan berbagai nutrisi ditransferke arah darat atau laut melalui mangrove. Secara ekologis mangrove berperan sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan sebagai daerah mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, kerang serta spesies lainnya (Bengen 2004). Selain itu serasah mangrove berupa daun, ranting dan biomassa lainnya yang jatuh menjadi sumber pakan biota perairan serta bahan organik yang sangat menentukan produktivitas perikanan laut (Mahmudi et al. 2008). Mangrove sebagai ekosistem produktif di pesisir menghasilkan serasah sebagai potensi hara yang mendukung produktivitas primer tinggi di ekosistem ini. Produksi serasah mangrove yang tinggi secara langsung berhubungan dengan struktur komunitas mangrove yang juga didukung oleh faktor-faktor lingkungan antara lain musim dan suhu udara (Soenardjo 1999). Struktur komunitas yang terdiri dari banyak jenis mangrove akan menghasilkan serasah dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan komunitas yang mempunyai jenis mangrove sedikit, hal ini dikarenakan tegakan mangrove yang memiliki kerapatan tinggi akan menghasilkan produksi serasah yang tinggi pula. Demikian juga dengan dekomposisi, hasil dekomposisi yang berupa bahan organik tergantung pada jumlah serasah yang ada. Jumlah serasah yang besar akan menghasilkan dekomposisi yang tinggi dan ini didukung oleh kondisi lingkungan seperti lamanya genangan, salinitas dan temperatur air. Kerapatan mangrove yang tinggi akan menghalangi intensitas cahaya matahari masuk ke dasar hutan karena terhalang oleh rimbunnya tajuk daun mangrove, hal ini menyebabkan kelembaban di permukaan tanah tinggi, sehingga meningkatkan laju dekomposisi oleh bakteri dan jamur. Hutan mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat tinggi, namun hanya sekitar 5% dari total produksi daunnya yang dapat langsung dimakan oleh herbivora, sedangkan sisanya masuk kedalam ekosistem dalam bentuk detritus (Saparinto 2007). Sebagian besar dari produksi tersebut
dimanfaatkan oleh bakteri, algae dan protozoa sebagai detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun dan melalui aktivitas mikroba dekomposer dan hewan-hewan pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel-partikel halus (Odum dan Heald 1975). Selanjutnya detritus tersebut merupakan suatu fraksi penting dari rantai makanan yang terdapat di ekosistem mangrove dan estuaria. Partikel-partikel organik tersebut menjadi tempat hidup bagi bakteri, jamur dan mikroorganisme lainnya yang merupakan sumber makanan utama bagi organisme omnivora seperti udang, kepiting dan sejumlah ikan (Saparinto 2007). Serasah mangrove yang tertimbun di dasar hutan mengalami dekomposisi oleh jasad renik untuk menghasilkan detritus dan mineral bagi kesuburan tanah serta sumber bagi kehidupan fitoplankton yang berkedudukan sebagai produsen primer. Zooplankton, ikan dan krustasea memanfaatkan fitoplankton dan detritus sebagai sumber energi dalam kedudukannya sebagai konsumen primer pada siklus makanan, sebelum manusia sebagai konsumen puncak memanfaatkannya (Soenardjo 1999). Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove antara lain mengandung N (Nitrogen), P (Fosfor) dan C (Karbon) yang tinggi dan akan terlarut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton. Oleh karenanya, diduga terdapat hubungan yang erat antara N dan P serasah dengan N dan P yang terdapat di dalam air, produktivitas perairan dan jumlah individu fitoplankton, zooplankton dan makroorganisme (Mahmudi et al. 2008). Fitoplankton sebagai produsen utama (autotrof) di perairan memfiksasi C (karbon) lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme konsumen (heterotrof). Pada jenjang trofik (trophic level) berikutnya yang lebih tinggi, konsumen primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumen sekunder dan seterusnya sampai pada konsumen puncak. Proses tersebut apabila berjalan dengan baik merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove terhadap perikanan melalui fungsinya sebagai penyedia sumber energi dan habitat nursery. Dengan mengetahui laju dekomposisi serasah (pelepasan bahan organik dan nutrien), dapat digunakan untuk mengestimasi daya dukung ekosistem mangrove bagi perikanan melalui rantai makanan.
Status kawasan hutan mangrove di Pantai Timur Lampung merupakan hutan negara yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh beberapa pihak, yaitu: pemerintah (BKSDA/Taman Nasional Way Kambas), swasta (hutan produksi tetap dan tambak), masyarakat (hutan produksi yang dapat dikonversi dan APL), dan perguruan tinggi negeri (Universitas Lampung). Vegetasi mangrove yang ada di Kabupaten Lampung Timur memiliki ketebalan yang bervariasi antara 50 hingga 400 meter. Hutan mangrove di daerah ini membujur dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga ke utara daerah Kuala Penet (perbatasan kawasan Taman Nasional Way Kambas). Penurunan kualitas mangrove di Pantai Timur Lampung sudah sampai pada tingkat mengkhawatirkan dari luasan 17.000 ha dan sekarang tersisa lebih kurang 3.000 ha dengan presentase penurunan 82% (Kustanti 2011). Hutan mangrove di Lampung Timur salah satunya di Kecamatan Labuhan Maringgai, merupakan hutan mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan Provinsi Lampung pada tahun 1995 dan 1997 dengan luas hutan mangrove 700 ha. Jenis mangrove yang ditanam adalah Avicennia marina, Rhizophora mucronata dan Nypa fruticans. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Kecamatan Labuhan Maringgai sekitar tahun 1987 sampai tahun 1994 disebabkan oleh pembukaan lahan tambak, areal pertanian dan pemukiman penduduk. Pengelolaan terpadu hutan mangrove berbasis masyarakat secara kolaboratif dengan melibatkan peran masyarakat, pemerintah daerah Kabupaten Lampung Timur dan Universitas Lampung di Lampung Mangrove Centre (LMC) telah berjalan selama 5 tahun (2005-2010). Faktor kekuatan dalam pengelolaan terpadu meliputi keberadaan lahan 700 ha, dukungan masyarakat, adanya dasar hukum pengelolaan dan pengelolaan terpadu. Namun, masih ada dijumpai beberapa kelemahan dalam pengelolaan terpadu yaitu tidak keseluruhan program yang disepakati dilaksanakan stakeholder, kurangnya koordinasi dan kurangnya dukungan perkembangan ilmu dan teknologi. Perumusan Masalah Serasah mangrove merupakan bahan penting untuk berlangsungnya siklus bahan organik dan merupakan bahan dasar untuk kehidupan organisme yang terdapat pada ekosistem mangrove. Menurut Noer (2006) ada tujuh subsistem
yang terkait dalam rantai makanan pada ekosistem mangrove yaitu: gugur serasah mangrove, bakteri, kepiting, detritus, fitoplankton, zooplankton dan ikan pelagis. Boonruang (1984) menjelaskan bahwa produktivitas mangrove merupakan sumber bagi produktivitas perikanan di estuari dan penyumbang unsur hara pada perairan pantai terdekat. Hal ini menjadikan mangrove memegang peranan yang unik dan tidak dapat digantikan oleh hutan maupun ekosistem lainnya, yaitu sebagai mata rantai siklus unsur hara yang penting artinya bagi organisme perairan (Amarangsinghe dan Balasubramanian, 1992 in Feliatra 2001). Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial dalam berbagai bentuk bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (Bengen 2004). Bahan organik memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan organisme perairan. Keberadaan mangrove dengan produksi serasahnya setelah mengalami dekomposisi merupakan salah satu sumber masukan bahan organik bagi perairan sekitarnya, baik itu di dalam sedimen maupun pada kolom perairan. Hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai didominasi oleh Avicennia marina, A. alba, Rhizopora mucronata dan Nypa fruticans. Seiring dengan
meningkatnya
pertumbuhan
penduduk
dan
pesatnya
kegiatan
pembangunan di sekitar daerah Labuhan Maringgai bagi berbagai peruntukan seperti pertambakan, areal pertanian dan pemukiman maka tekanan ekologis terhadap ekosistem mangrove di kawasan Labuhan Maringgai juga meningkat. Meningkatnya tekanan ini terlihat dari penurunan produksi perikanan tahun 2004 sebesar 42.159,8 ton menjadi 39.028,5 ton pada tahun 2005 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Lampung Timur 2006). Jumlah total rata-rata produksi serasah mangrove jenis Avicennia marina di hutan mangrove Labuhan Maringgai adalah 1,36 gram/m2/hari, penyumbang terbesar adalah serasah yang berasal dari bunga dan buah yaitu 1,09 gram/m2/hari (Annas 2004). Rehabilitasi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai yang telah dilakukan oleh Dinas Kehutanan akan mempengaruhi produktivitas serasah mangrove. Penelitian untuk mengetahui kontribusi bahan organik ke perairan yang berasal dari serasah hutan
mangrove hasil rehabilitasi Dinas Kehutanan tersebut belum pernah dilakukan, sehingga peneliti mencoba menganalisis hal tersebut. Secara umum kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1. Hutan Mangrove
Pertambakan
Pemukiman
Pertanian
Masalah
Rehabilitasi Hutan Mangrove Dampak
Kesuburan Perairan Produksi Serasah
Kondisi mangrove - Kerapatan Jenis (K)
Laju Dekomposisi Serasah
Kondisi lingkungan
A. Kondisi fisik-kimia air - Salinitas - Suhu - pH
Kondisi iklim - Curah hujan - Suhu udara
B. Bakteri, kepiting, detritus, ikan pelagis dll
Analisis Laju Dekomposisi Serasah
Produksi Potensial Bahan Organik Serasah
Analisis PCA
Analisis Data
Kontribusi Bahan Organik dari Hutan Mangrove ke Perairan
Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian
Output
Tujuan Penelitian Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : a) Menghitung produktivitas, laju dekomposisi dan potensi bahan organik (C, N dan P) dari serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai ke lingkungan perairan. b) Mengevaluasi program rehabilitasi hutan mangrove yang dilakukan oleh Universitas Lampung dalam program Lampung Mangrove Center. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan memberi informasi tentang produktivitas dan dekomposisi serasah hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai serta sebagai salah satu komponen informasi dasar untuk mempelajari siklus bahan organik di lokasi penelitian.
TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Mangrove Ada beberapa definisi tentang mangrove yang disajikan oleh beberapa ahli, diantaranya menurut Bengen (2004) yang mendefinisikan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hogarth (1999) mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan berkayu maupun semak belukar yang menempati habitat antara darat dan laut yang secara periodik tergenangi air pasang. LPP Mangrove (2008) menyatakan bahwa ciri-ciri dari hutan mangrove, terlepas dari habitatnya yang unik adalah: memiliki jenis pohon yang relatif sedikit; memiliki akar yang unik misalnya seperti jangkar melengkung dan menjulang pada bakau Rhizophora spp, serta akar yang mencuat vertikal seperti pensil pada pidada Sonneratia spp dan pada api-api Avicennia spp; memiliki biji (propagul) yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya, khususnya pada Rhizophora; memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon. Sedangkan tempat hidup hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah: tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang pada saat pasang; tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat; daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat; air bersalinitas payau (2-22‰) hingga asin (mencapai 38‰). Spesies Avicennia marina yang sering disebut api-api merupakan tumbuhan mangrove pada substrat berpasir atau berlumpur tipis, dengan salinitas relatif tinggi (salinitas laut) pada kisaran yang sempit. Pohonnya dapat mencapai tinggi 12 m. Daun Avicennia marina dilihat dari sisi sebelah atas berwarna hijau muda, sedangkan pada sisi sebelah bawah berwarna abu-abu keperakan atau putih. Daunnya berbentuk elips, panjang daun berkisar 5-11 cm. Buah berbentuk bulat dan agak berbulu dengan panjang 1,5-2,5 cm dan berwarna hijau. Kulit batang halus, berwarna putih keabu-abuan hingga hijau. Kulit batang halus, berwarna
putih keabu-abuan hingga hijau dan akar berbentuk cakar ayam berpneumatofora untuk pernafasan (Bengen 2001). Arief (2003) membagi zonasi mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang mendominasi, dari arah laut ke daratan berturut-turut sebagai berikut: 1. Zona Avicennia, terletak pada lapisan paling luar dari hutan mangrove. Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dan bergaram tinggi. Jenis Avicennia banyak ditemukan berasosiasi dengan Sonneratia spp. Karena tumbuh di bibir laut, jenis-jenis ini memiliki perakaran yang sangat kuat yang dapat bertahan dari hempasan ombak laut. Zona ini juga merupakan zona perintis atau pioner, karena terjadinya penimbunan sedimen tanah akibat cengkraman perakaran tumbuhan jenis ini. 2. Zona Rhizophora, terletak di belakang Avicennia dan Sonneratia. Pada zona ini, tanah berlumpur lembek dan berkadar garam lebih rendah. Perakaran tanaman tetap terendam selama air laut pasang. 3. Zona Bruguiera, terletak di belakang zona Rhizophora. Pada zona ini, tanah berlumpur agak keras. Perakaran tanaman lebih peka serta hanya terendam pasang naik dua kali sebulan. 4. Zona Nypah, yaitu zona pembatas antara daratan dan lautan, namun zona ini sebenarnya tidak harus ada, kecuali jika terdapat air tawar yang mengalir (sungai) ke laut. Kegunaan daun Avicennia marina yang muda dapat dimakan/disayur, polen dari bunganya dapat untuk menarik koloni-koloni kumbang penghasil madu yang diternakkan dan abu dari kayunya sangat baik untuk bahan baku dalam pembuatan sabun cuci. Selain itu, Jenis Avicennia marina banyak digunakan untuk kayu bakar, bahan bangunan kapal, balok, pancang, kayu untuk ikan asap dan kertas (Saparinto 2007). Ekosistem mangrove berbeda dengan ekosistem lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah dan batang). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae, ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses
fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya (Bengen 2004). Ekosistem mangrove berfungsi sebagai sumber unsur hara untuk kelanjutan proses ekologis dan biologis, dan merupakan penangkap sedimen yang diperlukan untuk kelanjutan proses suksesi, pengendali erosi pantai, tempat pemijahan dan pembesaran berbagai jenis ikan dan udang. Ekosistem mangrove juga merupakan sumber produksi pangan, obat-obatan dan bahan baku industri (Yunasfi 2006). Produktivitas dan Serasah Mangrove Produktivitas mangrove mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa ekosistem lain, yaitu 20 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas laut bebas dan sekitar 5 kali lebih tinggi dari nilai produktivitas perairan pantai. Produktivitas mangrove dapat mencapai 5.000 g-C/m2/th (Lugo dan Snedaker 1974). Mangrove memberikan sumbangan berarti terhadap produktivitas pada ekosistem estuari dan perairan pantai melalui siklus materi yang berdasarkan pada detritus atau serasah. Produktivitas merupakan faktor penting dari ekosistem mangrove dan produksi daun mangrove sebagai serasah dapat digunakan untuk menggambarkan produktivitas (Chapman 1976). Serasah dalam ekologi digunakan untuk dua pengertian yaitu lapisan bahan tumbuhan mati yang terdapat pada permukaan tanah dan bahan-bahan tumbuhan mati yang tidak terikat lagi pada tumbuhan (Yunasfi 2006). Serasah merupakan bahan organik yang mengalami beberapa tahap proses dekomposisi dapat menghasilkan zat yang penting bagi kehidupan dan produktivitas perairan, terutama dalam peristiwa rantai makanan (Arief 2003). Produksi primer potensial hutan mangrove di Indonesia sekitar 40,40 sampai 45,50 kg C/ha/hari dan untuk tanaman Rhizophora mucronata produksi primer bersihnya adalah 20,80 sampai 25,00 ton C/ha/tahun. Selanjutnya Sukardjo (2002) menyatakan hutan mangrove di Indonesia melalui produktivitas serasah sekitar 20,50 ton/ha/tahun sampai 29,35 ton/ha/tahun mensuplai makanan bagi komunitas laut melaui rantai makanan detritus (detritus food chain).
Serasah dari pohon mangrove adalah sebagai sumber bahan organik yang penting. Selanjutnya bahan organik tersebut melalui proses dekomposisi akan dirombak oleh mikroba menjadi energi dan berbagai senyawa sederhana seperti karbon, nitrogen, fosfor, belerang, kalium dan lain-lain (Alrasjid 1988). Serasah adalah bahan organik dari berbagai pohon yang mati yang jatuh di dasar hutan (daun, ranting dan alat reproduksi) sedangkan produksi serasah adalah berat dari seluruh bagian material yang mati yang diendapkan di permukaan tanah tanah pada suatu waktu. Kusmana et al. (2000) menyatakan bahwa besarnya produktivitas serasah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: Besarnya diameter pohon Produksi daun-daun baru sebagai adaptasi dari salinitas yang tinggi akibat fluktuasi pasang surut Keterbukaan dari pasang surut dimana semakin terbuka semakin optimal. Produksi serasah daun untuk setiap kawasan mangrove adalah berbeda. Perbedaan jumlah serasah ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan, musim dan tegakan. Selain faktor-faktor tersebut ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut mempengaruhi besar kecilnya serasah. Semakin tipis penutupan tajuk semakin berkurang produksi serasah (Lugo dan Snedaker 1974). Lebih lanjut berdasarkan penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) ditunjukkan bahwa penimbunan serasah juga dipengaruhi oleh umur dan jenis tumbuhan mangrove. Brown (1984) membedakan antara serasah pada suatu area (litter-layer) dan yang dihasilkan dalam jangka waktu tertentu (litter-fall) sebagai berikut: Litter-layer merupakan serasah yang ada pada suatu wilayah tertentu dan dinyatakan dalam berat atau unit energi per area permukaan (misal g/m 2, Kcal/ha). Litter-fall merupakan tingkat gugurnya serasah dalam jangka waktu tertentu (misal g/m2/hari, Kcal/ha/tahun). Turnover rate (rata-rata perputaran unsur hara) dinyatakan sebagai tingkat total dari sejumlah zat yang dilepas atau dimasukkan dalam suatu bagian untuk satu periode (misal g/hari). Konsep turnover rate berguna untuk membandingkan
tingkat atau nilai pertukaran diantara bagian yang berbeda dari suatu ekosistem. Turnover rate didefenisikan oleh Brown (1984), sebagai rasio dari kandungan yang ada (misal rasio produksi serasah litter-layer). Serasah daun mangrove pada lingkungan estuaria merupakan bahan dasar nutrisi penting. Walaupun miskin nutrisi ketika jatuh dari pohon, daun-daun mangrove menjadi nutrisi yang diperlukan untuk proses-proses pengkayaan mikroba (Odum 1993). Daun-daun mangrove yang gugur dan telah mengalami penguraian akan menjadi makanan bagi organisme perairan. Serasah yang telah terurai merupakan sumber utama unsur karbon, nitrogen dan fosfor baik untuk ekosistem mangrove itu sendiri maupun ekosistem sekitarnya. Dengan demikian mangrove berperan langsung dalam rantai perputaran energi dan zat-zat hara yang penting artinya bagi kelangsungan hidup sumberdaya hayati perairan. Tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove memungkinkan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari beberapa ikan atau hewan air tertentu. Ekosistem mangrove merupakan tempat hidup sejumlah besar hewan-hewan air seperti kepiting, moluska dan invertebrata lainnya. Selain itu ada pula diantara hewan-hewan air tertentu seperti udang-udangan dan ikan yang hidupnya keluar masuk hutan mangrove bersama arus pasang surut (Suprihartono 2000). Proses Dekomposisi Serasah Ekosistem
mangrove
memiliki
komponen-komponen
sebagaimana
ekosistem lain yaitu komponen biotik dan abiotik. Komponen biotik yang berperan di dalam suatu ekosistem adalah tumbuhan hijau sebagai produsen, bermacam-macam kelompok hewan sebagai konsumen dan bakteri serta fungi sebagai dekomposer (Collier et al. 1973). Terdapat tiga proses dasar yang menyusun komponen biotik pada suatu ekosistem yaitu (a) proses produksi (b) proses konsumsi dan (c) proses dekomposisi. Komponen abiotik meliputi unsur hara dan senyawa anorganik, bahan organik dan parameter lingkungan berupa temperatur, oksigen, nutrien dan faktor fisik lain yang membatasi kondisi kehidupan. Proses dekomposisi menempati kedudukan yang sama dengan komponen lain dalam bentuk ekosistem. Agen utama dalam dekomposisi adalah dekomposer yang umumnya berasal dari kelompok bakteri dan fungi.
Dekomposisi merupakan kegiatan atau proses penguraian dan pemisahan bahan-bahan organik menjadi bagian-bagian yang hancur. Dekomposisi bisa berarti mekanisme penghancuran stuktur tanaman mati dari tahap masih melekat pada kehidupan tumbuhan sampai menjadi tahap humus dengan stuktur sel yang kasar menjadi bentuk yang hancur (Satchell 1974). Proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan stuktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Definisi-definsi tersebut menggambarkan bahwa proses dekomposisi bukan saja dilakukan oleh agen biologis seperti bakteri tetapi juga melibatkan agen-agen fisika (Smith 1980). Menurut Anderson dan Swift (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi dekomposisi serasah adalah (1) organisme penghancur (hewan dan jasad renik), (2) kualitas serasah (sifat bahan organik serasah yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi) dan (3) lingkungan, baik fisik maupun kimia. Keadaan lingkungan ekosistem mangrove yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung sangat cepat sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi (Manan 1978). Crawford dan Rosenberg (1984) menyatakan laju dekomposisi tergantung pada proses pencucian dari senyawa yang terdapat dalam subtrat, aktivitas bakteri, fungi dan penghancuran serasah oleh makro invertebrata. Keberadaan bakteri dan fungi dalam perairan mangrove mampu mengubah senyawa karbon dalam serasah daun menjadi nutrisi secara enzimatik (Pascoal dan Cassio 2004). Bahan Organik (C, N dan P) Bahan organik merupakan suatu elemen yang masuk di dalam proses kehidupan organisme. Bahan organik utama yang dibutuhkan dalam jumlah besar adalah Karbon (C), Nitrogen (N), Fosfor (P), Oksigen (O2), Silikat (Si), Magnesium (Mg), Potassium (K) dan Kalsium (Ca). Sedangkan untuk trace element dibutuhkan dalam konsentrasi yang sangat kecil, yakni Besi (Fe), Tembaga (Cu), dan Vanadium (V). Lebih lanjut Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa elemen-elemen C, H, O, N, Si, P, Mg, K dan Ca juga termasuk dalam kategori trace element.
Sebagian besar nitrogen yang terlibat dalam proses berasal dari atmosfir. Nitrogen dari atmosfir yang difiksasi oleh makhluk hidup berada dalam kesetimbangan dengan nitrogen yang dilepaskan oleh mikroba pada proses dekomposisi. Nitrogen anorganik terdiri dari ammonia (NH2) dan nitrat (NH3) sedangkan nitrogen organik terutama dalam bentuk protein, asam amino dan urea. Umumnya senyawa-senyawa N organik dalam bentuk terlarut maupun partikulat adalah hasil metabolisme bahari dan hasil proses pembusukan (Effendi 2003). Serasah tumbuhan yang banyak kandungan nitrogen dan fosfornya akan mengalami pelapukan dengan cepat tanpa penambahan unsur hara, terutama pada keadaan aerobik. Berbeda halnya dengan bahan-bahan rendah kadar nitrogen seperti jerami, tumpukan jerami dan sisa-sisa batang yang mengalami dekomposisi secara lambat dan tidak sempurna dan kemungkinan masih tersisa 50-60% dari bobot awal setelah 3-10 bulan terdekomposisi (Moore-Landecker 1990). Lama dekomposisi serasah daun berhubungan dengan tinggi kandungan fenol dan tinggi nisbah C : N yang cenderung membuat serasah tidak disukai dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai makanan oleh hewan tanah. Berdasarkan hasil percobaan diketahui bahwa, cacing tanah lebih menyukai daun-daun dengan kandungan polifenol rendah dan nisbah C : N rendah (Dix dan Webster 1995). Dekomposisi maksimum akan terjadi selama pasokan nitrogen, karbon dan unsur hara penting lainnya (terutama fosfor) yang terdapat pada substrat atau tanah berlimpah. Serasah yang memiliki kandungan N tinggi cenderung disukai oleh dekomposer karena lebih mudah dicerna (Choong et al. 1992 in Pribadi 1998). Nilai nutrisi serasah juga berperan terhadap laju dekomposisi serasah. Menurut Ashton et al. (1999) nilai nutrisi dapat ditentukan dengan rasio C : N, dimana nilai rasio C : N yang lebih rendah menunjukkan konsentrasi N yang lebih tinggi serta kualitas nutrisi yang juga lebih tinggi. Kualitas nutrisi yang tinggi umumnya akan mengakibatkan proses dekomposisi yang lebih cepat. Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa mangrove dari jenis Avicennia marina menyumbang nutrien lebih tinggi dari pada Rhizophora, yaitu nitrogen sebesar 437,05 kg/ha/th dan fosfor sebesar 90,38 kg/ha/th. Hal ini karena daun
Avicennia marina mempunyai kandungan nutrien lebih tinggi dari pada daun Rhizophora spp yang tinggi kadar taninnya, sehingga hutan mangrove di wilayah pesisir lebih subur dari pada hutan tropis dilihat dari sumbangan nutrien dari serasahnya. Daun mangrove yang berwarna coklat dari jenis R. apiculata, S. caseolaris dan A. alba lebih disukai oleh kepiting Perisesarma spp dan E. singaporense daripada jenis daun berwarna hijau dan kuning. Hal ini menandakan bahwa daun yang disukai oleh kepiting ditandai dengan jumlah kandungan nitrogen dan komposisi kimia yang tinggi (Nordhaus 2011). Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan ekosistem mangrove merupakan salah satu upaya untuk memelihara, melindungi, dan merehabilitasi sehingga pemanfaatan terhadap ekosistem ini dapat berkelanjutan. Saenger et al. (1983) menyatakan pengelolaan hutan mangrove harus mencakup wilayah yang lebih luas dari ekosistem tersebut sehingga secara ideal merupakan bagian dari pengelolaan wilayah pesisir. Aspek sosial dan ekonomi menghendaki setiap bentuk manfaat yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya alam diprioritaskan kepada daerah dan masyarakat lokal tempat sumberdaya alam itu berada. Pengelolaan hutan mangrove dengan demikian tidak boleh mengucilkan masyarakat setempat, namun harus membuka akses kepada masyarakat lokal terhadap distribusi manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukanya akses ini akan membuat masyarakat menyadari arti penting pengelolaan sumberdaya dan pada gilirannya akan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut. Bengen (2001) menyatakan pelestarian hutan mangrove merupakan suatu unit usaha yang kompleks untuk dilaksanakan karena kegiatan tersebut sangat membutuhkan sifat akomodatif terhadap pihak-pihak terkait baik yang berada di sekitar maupun di luar kawasan. Kegiatan pelestarian hutan mangrove pada dasarnya dilakukan demi memenuhi kebutuhan berbagai kepentingan. Sifat akomodatif tersebut akan lebih dirasakan manfaatnya bila keberpihakan pada institusi yang rentan terhadap sumberdaya mangrove, diberikan porsi yang lebih
besar. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah menjadikan masyarakat sebagai komponen penggerak pelestarian mangrove. Kemudian Dahuri et al. (1996) menjelaskan bahwa pengelolaan multiguna mengharuskan sumberdaya dimanfaatkan untuk kepentingan banyak pihak secara seimbang sehingga terhindar dari orientasi tunggal yang sempit dan berjangka pendek. Pengelolaan multiguna juga akan membawa jangkauan kegiatan yang beragam, sehingga membuka pilihan yang lebih luas bagi masyarakat lokal untuk terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove. Kerangka dasar dalam pengelolaan hutan mangrove terdapat dua konsep utama yang diterapkan. Kedua konsep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove. Kedua konsep ini pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa sangat memerlukan pengelolaan dalam perlindungan agar dapat terus lestari (Bengen 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka upaya perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menetapkan suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan konservasi dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Bentuk perlindungan hutan ini cukup efektif dilakukan dan membawa hasil yang baik. 1) Perlindungan Hutan Mangrove Perlindungan terhadap hutan mangrove merupakan salah satu upaya pengelolaan berkelanjutan terhadap ekosistem ini. Wujud nyata perlindungan dimaksud dapat dilakukan melalui penetapan suatu kawasan konservasi sebagai suatu bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai. Konservasi merupakan pemanfaatan biosfir oleh manusia sehingga dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi generasi sekarang, juga menjaga potensinya agar bisa digunakan dan bermanfaat bagi generasi selanjutnya. Konservasi bersifat positif yang mencakup pengawetan, pemeliharaan, pemanfaatan yang lestari, pemulihan dan peningkatan lingkungan alami. Secara fungsional, konservasi merupakan suatu proses dimana spesies dan habitat dikelola guna mendukung eksplotasi lestari dan spesies tertentu tanpa melenyapkan kualitas atau biodiversitas habitat (Carter 1994).
Upaya perlindungan ini berkaitan erat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Kehutanan Nomor: KB.550/264/Kpts/1984 dan Nomor: 082/Kpts-II/1984, tanggal 30 April 1964, dimana diantaranya disebutkan lebar sabuk hijau hutan mangrove adalah 200 m. Surat keputusan bersama ini dibuat selain dengan tujuan utama untuk memberikan legitimasi terhadap perlindungan hutan mangrove, juga dibuat menyelaraskan peraturan mengenai areal perlindungan hutan mangrove diantara instansi-instansi terkait. Penentuan sabuk hijau di atas dikuatkan lagi dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang pengelolaan hutan lindung. Dalam Keppres tersebut ditetapkan bahwa perlindungan terhadap sempadan pantai dilakukan untuk melindungi pantai dari kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai yang dimaksud adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 m dari titik pandang ke arah darat. Selanjutnya peraturan mengenai konservasi ini dituangkan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1995 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Dahuri (1998) menyatakan bahwa dalam pengembangan wilayah pantai yang lestari harus diperhatikan aspek daya dukung. Menurut persetujuan internasional terhadap zonasi mangrove, terdapat 3 zona utama yaitu: a) Zona Pemeliharaan (Preservation zone), merupakan zona yang kaya akan hutan mangrove, tidak terganggu oleh aktivitas manusia yang menyediakan sumber makanan dan daerah berbiak bagi biota laut. Zona ini juga melindungi daerah pantai dari angin, badai dan erosi tanah. b) Zona perlindungan (Conservation zone), merupakan zona dengan hutan mangrove yang sedikit. Biasanya ditanam untuk tujuan tertentu dari pemerintah, ditebang dan dibiarkan hutan mangrove tersebut regenerasi. Pada zona ini juga biasa digunakan sebagai tempat pemancingan oleh masyarakat lokal. c) Zona pengembangan (Development zone), merupakan zona dengan penutupan mangrove yang sangat kecil (kerusakan parah) dan dibutuhkan penghijauan kembali atau pengelolaan untuk kepentingan lain. Sebagai layaknya kawasan konservasi di daratan, konservasi di wilayah pesisir dan laut menerapkan prinsip dan kondisi yang sama, perbedaannya adalah
pada kawasan pesisir dan laut ada dua dimensi fisik yang cukup berbeda, yaitu tanah (pantai) dan air (laut) dengan meliputi segenap flora dan fauna ikutannya. 2) Rehabilitasi Hutan Mangrove Rehabilitasi merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil. Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekosistem atau memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian, rehabitasi mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman pada level ekosistem. Selain itu, untuk alasan ekonomi usaha pemulihan kembali ekosistem mangrove sering kali terbatas pada jenis-jenis tertentu dari mangrove (2 atau 3 jenis spesies). Hal ini menyebabkan perubahan terhadap habitat dan penurunan fungsi ekologi ekosistem mangrove tersebut karena sifatnya yang homogen dibandingkan dengan yang alami (heterogen dan banyak spesies), yang merupakan biodiversitas dalam kaitannya dengan kekayaan genetik (Macintosh et al. 2002). Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang mempunyai potensi hutan mangrove di wilayah pesisir. Panjang Pantai Timur Lampung yang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove berkisar antara 7,5–50 km (total 242,5 km) dengan ketebalan jalur hijau bervariasi antara 50–400 m. Vegetasi mangrove memanjang dari daerah Way Sekampung bagian selatan hingga utara sampai perbatasan Taman Nasional Way Kambas (Kustanti 2011). Pantai Timur Lampung secara umum mengalami kerusakan yang sangat parah. Awal kerusakan hutan ini dimulai dari usaha pertambakan secara besarbesaran pada akhir tahun 1980-an. Hasil penelitian dari Universitas Lampung pada tahun 1993 (Kustanti dan Yulia 2010 ) menunjukkan bahwa 90% hutan mangrove di Pantai Timur Lampung sudah beralih fungsi menjadi tambak. Dari 14 desa pada empat kecamatan yang diteliti, ditemukan perkembangan tambak dari puluhan hektar hanya dalam waktu 2-3 tahun bertambah menjadi 3.749 ha lebih. Melihat kondisi yang makin memprihatinkan tersebut, pada tahun 1995 sampai tahun 1997 Pemerintah Daerah Provinsi Lampung melalui Dinas
Kehutanan Provinsi Lampung melakukan rehabilitasi di pesisir Pantai Timur Lampung. Kecamatan Labuhan Maringgai merupakan salah satu kecamatan pesisir yang mendapat perhatian dari institusi pengelolaan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, melalui proyek rehabilitasi pada tahun 1995 dan 1996 oleh Lembaga Pengkajian dan Penelitian (LPP) Mangrove dengan bantuan dari Jepang. Setelah adanya rehabilitasi tahun 1995 sampai dengan tahun 1996 tersebut, kondisi hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai menunjukkan semakin baik dan bertambah luas, hal ini ditunjukkan dengan data luasan mangrove tahun 1999 sampai dengan 2005 sekitar 700 ha (Watala 2005). Luasan mangrove pada tahun 2012 berkisar 1.000 ha, hal ini menunjukkan penambahan luasan setelah dilakukan beberapa kali penanaman dan mangrove yang tumbuh secara alami (Syarief 2012). Jenis mangrove yang ditanam adalah jenis-jenis pionir yang mampu bertahan pada kondisi salin/bergaram, yaitu jenis api-api (Avicennia marina) dan bakau (Rhizophora mucronata). Tahun 1995 dilakukan penanaman mangrove jenis Avicennia marina, Rhizophora spp, Nypa fruticans, Excoecaria agallocha dan Hisbiscus tiliaceus. Sedangkan tahun 1997 dilakukan penanaman kembali dari jenis Ceriops tagal dan Aegiceras comiculata. Jarak tanam bibit mangrove yang dilakukan yaitu 1 x 1 meter. Pada tahun 2004, pertumbuhan jenis-jenis yang ditanam mencapai ketinggian 9 meter. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pertumbuhan sepanjang 1 meter tiap tahunnya (Kustanti 2011).
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Februari – April 2012 di kawasan Lampung Mangrove Center (LMC) Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Penelitian dilakukan dalam dua bagian, yaitu: pengambilan sampel serasah mangrove, air dan pengujian laju dekomposisi serasah. Analisis sampel (C, N dan P) dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan (Proling),
Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.
Gambar 2 Peta stasiun penelitian kawasan hutan Lampung Mangrove Centre
Prosedur Penelitian Penentuan Stasiun Penelitian Jumlah stasiun yang diamati di Lampung Mangrove Centre terdiri dari 3 stasiun dan masing-masing stasiun terdiri dari 2 sub stasiun. Stasiun 1 terletak di mulut teluk dekat muara Kali Kepinding yang dipengaruhi oleh masukkan air tawar sedangkan stasiun 2 terletak di mulut teluk bagian dalam yang masih dipengaruhi oleh masukkan air tawar. Stasiun 3 berbatasan dengan Laut Jawa yang memiliki arus yang kuat. Letak geografis ketiga stasiun pengamatan tersebut disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Letak geografis lokasi pengamatan No.
Lokasi Pengamatan
1. 2. 3.
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Letak Geografis Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS) 1050 50’ 56,29‖ 50 16’ 33,54‖ 1050 51’ 23,87‖ 50 16’ 11,49‖ 1050 51’ 25,79‖ 50 16’ 26,12‖
Pengambilan Sampel dan Data Pengambilan Sampel Untuk Analisis Vegetasi Mangrove Sampel vegetasi mangrove dibagi atas tiga kategori, yakni Semai (seedling), Anakan (sapling) dan Pohon (tree) dengan kriteria sebagai berikut (Bengen 2004): Semai
: Tinggi < 1 m
Anakan
: Diameter < 1 cm dan tinggi > 1 m
Pohon
: Diameter > 4 cm
Pengambilan sampel untuk vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metoda plot transek garis dari arah perairan ke arah darat di daerah intertidal (Bengen 2004). Jarak antar transek garis sekitar 100 meter, sedangkan panjang transek dari pinggir perairan kearah darat bergantung kepada ketebalan mangrove pada tiap-tiap stasiun. Transek garis berada pada posisi dari arah perairan kearah darat dan terdiri atas petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m2 untuk pohon; 5 x 5 m2 untuk anakan dan 1 x 1 m2 untuk semai.
Untuk setiap transek garis ditentukan dua petak contoh, dimana pada setiap petak contoh dilakukan perhitungan jumlah individu dan pengukuran diameter batang pohon. Pengukuran diameter batang dilakukan setinggi dada (DBH = Diameter Breast High) atau sekitar 1,3 m dari permukaan tanah (English et al. 1994). Untuk semai, pengukuran diameter dilakukan di bawah bagian mulai ditemukannya bakal cabang. Rancangan plot transek garis untuk pengamatan vegetasi mangrove disajikan pada Gambar 3 dan ilustrasi petak contoh (plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon disajikan pada Gambar 4. Perairan
Plot 1
Plot 1
Plot / Petak contoh
100 m
Transek Garis
Plot 2
Transek 1
Plot 2
Transek 2
Gambar 3 Transek garis dengan plot / petak contoh dari pinggir perairan ke arah darat untuk pengamatan vegetasi mangrove
10 m Plot 1 5m
Plot 2
10 m
1m 5m 1m
Gambar 4 Ilustrasi petak contoh (Plot) pengambilan sampel vegetasi mangrove untuk tingkat semai, anakan dan pohon
Pengambilan Sampel Guguran Serasah (Litter-fall) Metode umum yang digunakan untuk menangkap guguran serasah di hutan mangrove dalam waktu tertentu (litter-fall) adalah dengan litter-trap (jaring penangkap serasah) (Brown 1984). Litter-trap berupa jaring penampung berukuran 1 x 1 m2, yang terbuat dari nylon dengan ukuran mata jaring (mesh size) sekitar 1 mm dan bagian bawahnya diberi pemberat (Gambar 5). Litter-trap dipasang di tiap sub stasiun masing-masing sebanyak 4 buah yang diletakkan diantara vegetasi mangrove terdekat dengan ketinggian di atas garis pasang tertinggi. Litter-trap dipasang pada setiap plot pengamatan di masing-masing stasiun pengamatan. Pengukuran produktivitas serasah dilakukan bersamaan dengan mulai dilakukannya penelitian laju dekomposisi selama 2 bulan dengan selang waktu pengambilan selama 14 hari.
Gambar 5 Jaring serasah (Litter-trap) untuk menangkap serasah mangrove Serasah yang sudah dikumpulkan dipisahkan berdasarkan setiap bagiannya antara daun, ranting dan buah/bunga. Serasah tersebut ditimbang beratnya kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diberi label, untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium. Di laboratorium dilakukan pengukuran berat kering serasah dengan mengeringkan sampel ke dalam oven pada suhu 105 0C hingga beratnya konstan. Serasah yang sudah dikeringkan ini selanjutnya dilakukan pengukuran total kandungan bahan organiknya yaitu C, N dan P.
Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Daun Pengukuran laju dekomposisi serasah dilakukan secara eksperimental di lapangan, yakni dengan meletakkan serasah daun yang telah dikeringkan sebanyak 10 g ke dalam kantong serasah (Litter-bag) berukuran 30 x 30 cm2 yang terbuat dari nylon dengan mesh size 1 mm seperti yang terlihat pada Gambar 6 (Pribadi 1998; Ashton et al. 1999). Litter-bag dipasang di tiap sub stasiun masing-masing sebanyak 4 buah dan diikatkan pada batang mangrove agar tidak terbawa air. Litter-bag diambil dari masing-masing lokasi pengamatan setelah 14, 28, 42, 56 hari (Ashton et al. 1999). Setiap selesai waktu pengambilan, serasah dari Litter-bag dikeluarkan dan ditiriskan untuk diukur beratnya. Di laboratorium, serasah tersebut dikeringkan pada suhu 105 0C hingga beratnya konstan, kemudian diukur berat keringnya.
Gambar 6 Litter-bag yang diikatkan pada batang mangrove Pengambilan Sampel Air Pengambilan sampel air dilakukan pada saat surut untuk menghindari pengaruh air laut secara dominan. Sampel air diambil dengan menggunakan water sampler lalu dimasukkan ke dalam botol berwarna gelap. Sampel selanjutnya dimasukkan dalam cool box untuk mengurangi aktivitas mikroorganisme dalam sampel (Hutagalung dan Setiapermana 1991). Sampel air selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk dianalisis C, N, P, TSS dan TOM. Pengukuran parameter lingkungan lainnya seperti suhu, salinitas, pH, arus, kecerahan dan DO dilakukan langsung di lapangan.
Pengukuran Bahan Organik Kontrol (C, N dan P) Air Laut Serasah daun sebanyak 10 g diletakkan dalam tempat percobaan yang telah diberi substrat sebanyak 1 liter dan air laut sebanyak 3 liter untuk diukur kandungan bahan organik (C, N dan P) dalam air pada selang waktu pengamatan 14, 28, 42, 56 hari (Gambar 7). Perlakuan tersebut bertujuan untuk meminimalkan pengaruh dari daratan dan pengaruh dari dinamika perairan seperti arus dan pasang surut yang dapat mempengaruhi keberadaan bahan organik di perairan.
Gambar 7 Bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengumpulan data pengelolaan ekosistem mangrove berasal dari hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner yang dilakukan dengan beberapa pihak yang terkait dengan program pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai antara lain: masyarakat, pemerintah Kabupaten Lampung Timur (Pemkab) dan Universitas Lampung (UNILA). Analisis Data Analisis Vegetasi Mangrove Analisis data vegetasi mangrove meliputi Kerapatan Jenis (K) dimana K adalah jumlah individu jenis i dalam suatu area (Bengen 2004).
K
Ni A
Dimana K adalah kerapatan jenis i, sedangkan n adalah jumlah total individu dari jenis i dan A adalah luas total area pengambilan contoh (luas total petak contoh/plot). Analisis Laju Dekomposisi Serasah Laju dekomposisi serasah dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
R
W0 Wt T
Keterangan: R T W0
= Laju dekomposisi (g/hari) = Waktu pengamatan (hari) = Berat kering sampel serasah awal (g)
Wt
= Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g) Persentase penguraian serasah diperoleh dengan menggunakan rumus
(Boonruang 1984) sebagai berikut: Y
W0 Wt 100 0 0 W0
Keterangan: Y W0
= Persentase serasah daun yang mengalami dekomposisi = Berat kering sampel serasah awal (g)
Wt
= Berat kering sampel serasah setelah waktu pengamatan ke-t (g)
Produksi Potensial Bahan Organik Serasah Perhitungan besarnya produksi potensial bahan organik serasah atau potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan (litter-fall Organic materials) dilakukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (Djamaludin 1995):
OM N P Keterangan: OM N
= Organic materials/ bahan organik yang dihasilkan (g/m2/hari) = Kandungan bahan organik (%)
P
= Produktivitas serasah (g/m2/hari)
Analisis Karakteristik Habitat Mangrove Berdasarkan Variabel Fisika Kimia Perairan Pengukuran parameter fisika - kimia perairan dilakukan pada tiap sub stasiun masing-masing dengan 3 kali pengulangan. Ada beberapa parameter fisika - kimia yaitu: suhu, salinitas, kecerahan, arus, DO, pH, TSS dan TOM. Parameter-parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran mangrove, proses dekomposisi serasah dan produktivitas mangrove. Analisis karakteristik variasi variabel fisika kimia perairan antar stasiun pengamatan dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis atau PCA) (Bengen 2004). Analisis Komponen Utama merupakan metoda statistik deskriptif yang dapat digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud terdiri dari stasiun penelitian sebagai individu statistik (baris) dan variabel lingkungan (fisik-kimia lingkungan) yang berbentuk kuantitatif (kolom). Bengen (2000) lebih lanjut menyatakan bahwa analisis ini memungkinkan adanya suatu reduksi terhadap dimensi dari ruang-ruang agar dapat lebih mudah dibaca dengan kehilangan informasi sedikit mungkin. Metode ini bertujuan mendeterminasi sumbu-sumbu optimum tempat diproyeksikannya individuindividu atau variabel-variabel. Data variabel fisika - kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan Analisis Komponen Utama, data tersebut perlu dinormalisasikan terlebih dahulu melalui pemusatan dan pereduksian. Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai variabel dengan nilai rata-rata, yakni:
C Ni x Keterangan: C Ni x
= Nilai pemusatan = Nilai asli variabel = Nilai rata-rata variabel
Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara variabel yang telah dipusatkan dengan nilai simpangan baku variabel, yang dirumuskan sebagai berikut: R
Keterangan: R C S
C S
= Nilai pereduksi = Nilai pemusatan = Nilai simpangan baku variabel Untuk menentukan hubungan antara dua variabel digunakan pendekatan
matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik (Ludwig dan Reynolds 1988) yaitu:
Rsxs Asxn At nxs Keterangan:
Rsxs Asxn
= Matriks korelasi ry
At nxs
= Matriks transpose (pertukaran baris dan kolom) dari matriks A
= Matriks indeks sintesis ry
Korelasi linear antara dua variabel yang dihitung dari indeks sintetiknya merupakan peragam dari dua variabel yang telah dinormalkan. Tahapan ini sebenarnya merupakan suatu usaha untuk mentransformasikan p variabel kuantitatif awal (inisial), yang kurang lebih saling berkorelasi, ke dalam p variabel kuantitatif baru yang disebut komponen utama. Dengan demikian hasil dari analisis ini tidak berasal dari variabel-variabel awal (inisial) tetapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linear variabel-variabel asal. Diantara semua indeks sintetik yang mungkin, analisis ini mencari terlebih dahulu indeks yang menunjukkan ragam individu yang maksimum. Indeks ini disebut komponen utama pertama atau sumbu ke-1 (F1), yaitu suatu proporsi tertentu dari ragam total stasiun yang dijelaskan oleh komponen utama ini. Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil dengan F1 dan memiliki ragam individu terbesar. Komponen utama kedua memberikan informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama.
Proses ini berlanjut terus sehingga diperoleh komponen utama ke-p, dimana bagian informasi yang dapat dijelaskan semakin kecil. Prinsip Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang berkoresponden) pada data. Jarak Euclidean dirumuskan sebagai berikut: p
d 2 (i, i 2 ) Xij Xi , j
2
j 1
Keterangan:
d
= Jarak Euclidean
i, i , j X
= Dua baris = Indeks kolom (bervariasi dari 1 hingga p) = Nilai data Semakin kecil jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin mirip
karakteristik fisika kimia air antar kedua stasiun tersebut dan sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara dua stasiun, maka semakin berbeda karakteristik fisika kimia air kedua stasiun tersebut. Analisis Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove dianalisis secara deskriptif kemudian data yang diperoleh ditabulasikan dalam bentuk tabel (Lampiran). Tujuan analisis evaluasi pengelolaan ekosistem mangrove adalah menggambarkan secara rinci perkembangan Lampung Mangrove Centre serta stakeholders yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan mangrove.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Daerah Penelitian Lampung Mangrove Centre (LMC) terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai yang berpusat di Desa Margasari yang meliputi dua desa yaitu Desa Margasari dan Desa Sriminosari. Kawasan LMC ini merupakan hasil rehabilitasi dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Lampung dan mangrove yang tumbuh secara alami. Jenis mangrove yang tumbuh antara lain: Avicennia marina, A. alba, Rhizopora mucronata dan Nypa fruticans tetapi jenis mangrove yang mendominasi adalah Avicennia marina. Secara administratif Kecamatan Labuhan Maringgai berbatasan dengan Lampung Utara di sebelah utara, Laut Jawa di sebelah timur, Lampung Selatan di sebelah selatan dan Kota Metro di sebelah barat. Di daerah ini banyak terdapat tambak air payau yang berupa tambak udang windu, ikan bandeng dan nila. Selain itu juga terdapat industri pengolahan produk perikanan seperti: ikan, kepiting dan kerang-kerangan. Jumlah penduduk Desa Margasari pada tahun 2011 adalah 7.486 jiwa terdiri dari 3.804 jiwa laki-laki dan 3.682 jiwa perempuan. Penduduk Desa Margasari sangat beranekaragam suku bangsa, diantaranya: Suku Jawa, Suku Bugis, Suku Madura, Suku Sunda, Suku Banten dan Suku Padang. Sebagian besar penduduk Desa Margasari bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan, serta sebagian kecil lainnya sebagai karyawan, pedagang, wiraswasta, tukang dan buruh tani. Sedangkan jumlah penduduk Desa Sriminosari pada tahun 2011 adalah 6.068 jiwa yang terdiri dari 3.124 jiwa laki-laki dan 2.945 jiwa perempuan. Mata pencaharian penduduk sebagai petani, nelayan, buruh tani, pegawai negeri dan wiraswasta. Umumnya penduduk akan pergi melaut pada saat musim barat dan pada saat musim timur penduduk akan mengerjakan sawah dan ladang. Pada tahun 1990-an, hutan mangrove yang terdapat di sepanjang Pantai Timur Lampung mengalami kerusakan yang parah. Kerusakan ini disebabkan oleh konversi hutan menjadi lahan pertambakan, pemukiman dan peruntukan lainnya disamping penebangan liar untuk kayu bakar. Melihat kondisi tersebut dinas terkait melakukan rehabilitasi hutan mangrove yang ada di Pantai Timur Lampung
salah satunya di Kecamatan Labuhan Maringgai. Tujuan dari rehabilitasi yang dilakukan yaitu untuk melindungi daerah ini dari ancaman abrasi pantai yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebagai akibat dari semakin meningkatnya aktivitas penduduk sekitar untuk memanfaatkan lahan mangrove guna pembuatan lahan tambak baru. Luas Lampung Mangrove Centre sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Lampung Timur pada tanggal 23 Desember 2005 adalah seluas 700 ha. Pengelolaan mangrove secara kolaboratif dengan melibatkan Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Universitas Lampung dan masyarakat telah menunjukkan keberhasilan dengan meningkatnya luasan mangrove menjadi 1.000 ha (Syarief 2012). Selain itu, keberhasilan lain yang ditunjukkan yaitu mendapatkan penghargaan pada tahun 2004 dan tahun 2011 dalam kategori pelestarian hutan mangrove tingkat nasional. Kondisi dan pola angin di Kecamatan Labuhan Maringgai mengacu pada publikasi tentang kondisi angin di perairan timur Provinsi Lampung yang terdapat pada Peta Cuaca Perairan Indonesia yang diterbitkan DISHIDROS (1992). Pada musim timur (Juni - Agustus) arah angin sangat dominan dari tenggara. Demikian juga sebaliknya, pada musim barat (Desember - Februari) arah angin dominan dari barat dan barat laut. Pada musim peralihan, arah angin relatif bervariasi karena dalam peralihan pergantian arah angin. Penelitian yang dilakukan pada bulan Februari merupakan akhir dari musim barat dan akan memasuki musim peralihan dimana angin menjadi lemah dan arahnya tidak menentu. Karakteristik Fisika - kimia Perairan Pengukuran parameter fisika - kimia perairan pada tiap sub stasiun dilakukan dengan masing-masing 3 kali pengukuran. Parameter fisika - kimia yang diukur adalah: salinitas, pH, TSS, TOM, DO, suhu, kecerahan dan kecepatan arus. Parameter-parameter tersebut diduga berpengaruh besar terhadap pola penyebaran mangrove, produktivitas serasah dan proses dekomposisi serasah. Nilai rata-rata parameter fisika - kimia perairan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap sub stasiun disajikan pada Lampiran 1.
Tabel 2 Nilai rata-rata parameter fisika - kimia Perairan Lampung Mangrove Centre Parameter Suhu (0C) Salinitas (‰) DO (mg/l) pH Arus (m/det) Kecerahan (m) TSS (mg/l) TOM (mg/l)
Stasiun 1 31,90 15,50 6,15 7,52 0,50 0,33 48,00 17,24
Stasiun 2 28,35 15,50 3,05 7,14 0,40 0,33 29,00 21,51
Stasiun 3 32,30 29,00 5,20 7,46 1,10 0,28 35.727,50 612,82
Suhu perairan Lampung Mangrove Centre (LMC) berkisar antara 28,35-32,30 0C, dimana pada stasiun 2 memiliki nilai paling rendah sedangkan suhu tertinggi pada stasiun 3, hal ini disebabkan oleh pengukuran temperatur yang dilakukan pada siang hari. Penyebab lainnya adalah wilayah pengambilan data merupakan daerah yang terbuka, sehingga intensitas cahaya yang diterima tinggi. Menurut Soenardjo (1999) suhu optimum untuk bakteri berkisar 27–36 0C. Kisaran suhu tersebut sangat baik untuk proses penguraian dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme. Berdasarkan hasil penelitian, temperatur yang diperoleh masih berada dalam kisaran yang baik untuk proses dekomposisi. Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove (Aksornkoae 1993). Salinitas terbesar terdapat pada stasiun 3 yaitu 29‰ sedangkan salinitas terkecil terdapat pada stasiun 1 dan 2 yaitu 15,50‰. Kandungan oksigen terlarut (DO) di lokasi penelitian bervariasi berkisar antara 6,15 sampai dengan 3,05 mg/l. Kandungan oksigen ini tidak terlalu tinggi, yang diduga karena adanya pengaruh proses penguraian serasah di daerah mangrove yang membutuhkan oksigen. Derajat keasaman (pH) adalah jumlah ion hidrogen yang terdapat pada larutan. Nilai pH di daerah penelitian berkisar antara 7,14–7,52. Nilai tersebut menunjukkan pH yang normal untuk permukaan perairan Indonesia yang pada umumnya berkisar antara 6,0-8,5 (Aksornkoae 1993). Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 7,52 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada 2 yaitu 7,14. Nilai pH hampir sama dalam tiap stasiun, hal ini diduga karena adanya
kesetimbangan antara proses penguraian serasah mangrove yang cenderung menghasilkan kondisi asam dengan pengaruh kapasitas penyangga (buffer) oleh garam-garam karbonat dan bikarbonat pada air laut yang lebih basa. Keberadaan tegakan mangrove secara signifikan dapat mengurangi kecepatan tiupan angin dan kecepatan arus air laut (Aksornkoae 1993). Kecepatan arus sangat bervariasi di tiap stasiun penelitian karena stasiun 1 dan 2 yang terletak di kawasan teluk, sedangkan untuk stasiun 3 berhadapan dengan Laut Jawa yang memiliki arus yang sangat kuat. Kecepatan arus terbesar di stasiun 3 yaitu 1,10 m/det dan paling rendah pada stasiun 2 yaitu 0,40 m/det. Kecerahan perairan dipengaruhi langsung oleh partikel yang tersuspensi didalamnya, semakin sedikit partikel yang tersuspensi maka kecerahan air akan semakin tinggi. Kecerahan sangat rendah karena dipengaruhi oleh substrat perairan yang berupa lumpur. Kecerahan pada stasiun 1 dan 2 adalah 0,33 m sedangkan yang terendah pada stasiun 3 yaitu 0,28 m. Kandungan total padatan tersuspensi (TSS) dan bahan organik total (TOM) tertinggi pada stasiun 3 dengan masing-masing nilai 35.727,50 mg/l dan 612,82 mg/l. Tingginya kandungan TSS dan TOM di stasiun 3, dimungkinkan karena pada daerah tersebut cenderung terjadi akumulasi sedimen dan bahan organik baik dari daratan maupun lautan, mengingat stasiun ini dekat dengan pemukiman penduduk dan pelabuhan Way Penet. Sebaran Parameter Fisika - kimia Perairan Untuk melihat sebaran karakteristik fisika - kimia perairan secara spesifik dikaji dengan menggunakan analisis komponen utama. Pendekatan PCA tersebut digunakan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi dalam bentuk matriks data. Berdasarkan analisis data principal component analysis diperoleh informasi bahwa kontribusi satu komponen utama terhadap ragam total adalah sebesar 64.10% dan satu komponen utama sebesar 84.40%. Untuk mencapai 100% ragam total maka jumlah komponen utama yang diperlukan adalah sebanyak lima komponen. Akar ciri dari masing-masing sumbu faktorial berhubungan dengan jumlah inersia dari setiap sumbu. Selanjutnya vektor ciri akan berperan untuk
menjelaskan koefisien variabel (pemusatan dan pereduksian) dalam persamaan linear yang mendeterminasikan sumbu-sumbu utama.
4
1
F2 (20.36 %)
0.5
kecerahan
0.25 0
Arus
-0.25
Sal TSS TOM
-0.5
3
Suhu F2 (20.36 %)
pH DO
0.75
2
1.21.1
1 3.2
0 -1
2.2
-0.75
-3
-2
-1
A
-1 -0.75 -0.5 -0.25 0 0.25 0.5 0.75 1 F1 (64.09 %)
3.1
2.1
-2
-1
0
1
2
3
4
F1 (64.09 %)
B
Gambar 8 Grafik analisis komponen utama karakteristik fisika kimia air. A. Korelasi antar variabel dan sumbu faktorial utama 1 dan 2; B. Sebaran stasiun pada sumbu 1 dan 2 (F1 dan F2) Matriks korelasi data fisika kimia perairan Lampung Mangrove Centre memperlihatkan bahwa ragam pada komponen utama adalah tinggi. Stasiun 3 (3.1 dan 3.2) dan stasiun 2 (2.1 dan 2.2) dikarakteristikkan oleh suhu, kecepatan arus, kecerahan, salinitas, TSS dan TOM yang cukup tinggi. Kemudian stasiun 1 (1.1 dan 1.2) dicirikan oleh kandungan DO dan pH. Data hasil principal component analysis (PCA) secara lengkap disajikan pada Lampiran 2. Gambaran Umum Kondisi Ekosistem Mangrove Data mengenai vegetasi mangrove yang tumbuh di lokasi penelitian diperoleh dari pengamatan langsung dengan pemasangan transek/plot yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Vegetasi mangrove di setiap stasiun pengamatan Stasiun Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Kerapatan Pohon (100m2) 32-58 11-15 14-30
Diameter (cm) 0.5-12 15-20 12-15
Tinggi (m) 4-7 12–15 9-12
Stasiun 1 memiliki kerapatan pohon paling tinggi akan tetapi masih tergolong muda sedangkan stasiun 2 memiliki kerapatan pohon paling rendah dengan pohon yang lebih besar dan tinggi. Stasiun 3 merupakan lokasi mangrove yang terkena abrasi sekitar 25 m ke arah darat. Jumlah tegakan mangrove disajikan pada Gambar 9, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap-tiap sub stasiun pada Lampiran 3.
Tegakan mangrove/400 m2
200 180
Pohon
160 140
Anakan
120 100 80 60 40 20 0 Stasiun stasiun 1 1
Stasiun stasiun 2 2
Stasiun stasiun 3 3
Gambar 9 Jumlah tegakan vegetasi mangrove tiap stasiun Kerapatan pohon mangrove di Lampung Mangrove Centre (LMC) memperlihatkan hasil yang berbeda pada tiap stasiun. Stasiun yang mempunyai kerapatan tertinggi adalah stasiun 1 dengan rata-rata kerapatan 46 pohon per 100 m2 dan 7 anakan per 100 m2 sedangkan rata-rata kerapatan terendah dijumpai di stasiun 2 dengan kerapatan 13 pohon per 100 m2. Pada stasiun 3 dengan rata-rata kerapatan 21 per 100 m2 banyak ditemukan pohon mangrove yang tumbang. Hal ini disebabkan oleh ketahanan dari Avicennia marina yang rendah terhadap pengaruh angin, gelombang dan abrasi yang besar sehingga banyak yang tumbang dan akhirnya mati. Annas (2004) melakukan penelitian di lokasi hutan mangrove yang sama mendapatkan hasil kerapatan mangrove lebih sedikit yaitu berkisar antara 4 sampai 9 pohon per 100 m2. Perbedaan ini menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah tegakan mangrove di Lampung Mangrove Centre (LMC). Selain keberhasilan dalam kegiatan penanaman mangrove, hal lain yang
mendukung peningkatan jumlah tegakan adalah ukuran bunga dan propagul dari jenis Avicennia marina yang umumnya lebih kecil tetapi memiliki jumlah yang banyak. Masaknya propagula pada Avicennia marina terjadi secara serentak selanjutnya digugurkan secara serentak juga. Hal ini sangat berpengaruh terhadap jumlah tegakan mangrove yang tumbuh secara alami. Pada setiap stasiun pengamatan jenis pohon lebih banyak mendominasi karena hutan mangrove di Kecamatan Labuhan Maringgai sebagian besar merupakan hasil dari rehabilitasi yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan yang sudah dilakukan sejak tahun 1995. Pada bulan Januari 2012 telah dilakukan juga penanaman mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizopora mucronata seluas 100 Ha. Produktivitas Serasah Mangrove Hasil pengamatan produktivitas serasah mangrove selama 56 hari di tiap stasiun pengamatan menunjukkan produksi serasah yang berbeda. Produktivitas serasah terbesar berasal dari stasiun 2 sebesar 270 g/m2/56 hari kemudian stasiun 3 sebesar 257 g/m2/56 hari dan yang paling sedikit dihasilkan dari stasiun 1 sebesar 233 g/m2/56 hari. Produktivitas serasah tiap stasiun disajikan dalam
Produktivitas Serasah (g/m2/56 hari)
Gambar 10 berikut:
280 270 260 250 240 230 220 210 stasiun 1
stasiun 2
stasiun 3
Gambar 10 Produktivitas serasah tiap stasiun selama 56 hari
Perbedaan produksi serasah yang didapat tiap stasiun diakibatkan adanya perbedaan kerapatan, umur dari tumbuhan dan kesuburan yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moller in Soeroyo (2003) bahwa kerapatan pohon mempengaruhi produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon maka semakin rendah produksi serasahnya. Selanjutnya, Soenardjo (1999) menyatakan bahwa semakin tua tumbuhan maka produksi serasahnya semakin menurun, begitu pula sebaliknya. Selain faktor-faktor tersebut morfologi daun juga mempengaruhi produksi serasah. Daun Avicennia marina berbentuk elips dengan panjang daun berkisar antara 5-11 cm. Produksi serasah Avicennia marina yang memiliki umur 6–10 tahun lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi serasah Avicennia marina yang berumur 5 tahun (Khoirijon 1990). Stasiun 1 memiliki kerapatan pohon paling tinggi tetapi tergolong masih muda sehingga produksi serasah yang dihasilkan sedikit. Sedangkan stasiun 2 memiliki kerapatan pohon paling rendah tetapi memiliki pohon yang lebih tinggi dan tajuk yang lebih rimbun sehingga produksi serasah yang dihasilkan lebih banyak. Selanjutnya, Chen et al. (2009) menyatakan bahwa jumlah serasah berkorelasi positif dengan stuktur hutan mangrove seperti diameter pohon, tinggi pohon dan derajat lintang. Lugo dan Snedaker (1974) menyatakan bahwa produktivitas tertinggi terdapat pada mangrove yang tumbuh di tempat berunsur hara yang cukup, sering terkena air tawar dan salinitas rendah. Hal ini sesuai dengan lokasi penelitian yang dipengaruhi oleh masukan air tawar dari Kali Kepinding dan memiliki salinitas antara 14-17‰. Berdasarkan hasil pengukuran serasah Avicennia marina selama 56 hari yang tertampung dalam litter trap berukuran 1 x 1 m yang dipasang pada tiap sub stasiun, diperoleh serasah mangrove yang terdiri dari serasah daun dan ranting. Produksi serasah yang terbesar adalah serasah daun yang menyumbang sebesar 3,84 g/m2/hari dari rata-rata keseluruhan serasah yang tertampung dalam jaring penampung karena jenis Avicennia marina mempunyai ukuran daun yang lebih kecil yang berbentuk elips dan panjang. Produksi serasah mangrove dari daun dan
ranting disajikan pada Tabel 4, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap-tiap sub stasiun pada Lampiran 4 dan untuk total serasah daun dan ranting tiap-tiap sub stasiun pada Lampiran 5. Tabel 4 Produksi total serasah Avicennia marina di Lampung Mangrove Centre Stasiun Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Rata-rata
Total Produksi Serasah (g/m2/hari) Daun Ranting Total 3,56 0.60 4,16 4,16 0,66 4,82 3,79 0,81 4,60 3,84 0,69 4,53
Produksi serasah yang terbesar adalah serasah daun hal ini disebabkan oleh periode gugur serasah daun yaitu pada musim kering dan suhu tinggi. Curah hujan Provinsi Lampung pada bulan Februari sampai April tahun 2011 berkisar antara 81,9 - 370,3 mm, sedangkan untuk suhu udara berkisar antara 26,1–31,0 0C (BPS 2012). Kisaran suhu ini masih berada pada kisaran suhu udara normal di perairan mangrove yang berkisar antara 28,0–31,0 0C (Sidjabat 1973), sehingga suhu tersebut sesuai bagi kehidupan, pertumbuhan serta produksi daun mangrove. Tingginya kontribusi serasah daun dibandingkan organ lain karena secara biologis pembentukan daun lebih cepat dibandingkan organ reproduksi serta ranting dan cabang. Selain itu, daun juga cendrung lebih mudah digugurkan oleh hembusan angin dan terpaan hujan. Pada lokasi penelitian tidak ditemukan organ buah/bunga dari Avicennia marina karena pada waktu dilakukan penelitian bulan Februari - April tanaman mangrove ini tidak dalam masa reproduksi. Hasil ini berbeda dengan Annas (2004) yang mendapatkan produksi serasah dari organ bunga dan buah paling besar yaitu 1,09 g/m2/hari. Hal ini disebabkan oleh periode biologi yang lebih singkat terutama pada saat-saat musim hujan dan musim tanaman berbunga. Musim berbuah/berbunga terjadi pada bulan November - Desember dimana pada bulan ini kecepatan angin relatif rendah dan angin didominasi dari arah barat sehingga pada musim ini merupakan musim hujan dan bagi sebagian tanaman musim ini adalah musim berbunga dan menggugurkan organ reproduksinya (Soenardjo 1999).
Ellison dan Simmonds (2003) menyatakan bahwa produksi serasah Avicennia marina minimum terjadi pada musim dingin (Juni – September), sedangkan produksi maksimum terjadi pada musim semi (Agustus - Desember). Produksi serasah berkisar 3–4 g/m2/hari dengan penyumbang terbesar berasal dari buah pada awal musim panas (Maret - Juni), sedangkan jumlah minimum berasal dari daun pada musim dingin (Juni - September). Produksi serasah daun maksimum terjadi pada musim semi. Lampung Mangrove Centre menghasilkan rata-rata serasah sebesar 4,53 gram/m2/hari, kondisi tersebut memberikan produktifitas serasah cukup tinggi bila dibandingkan dengan beberapa lokasi mangrove lainnya. Hal ini dikarenakan kondisi mangrove di lokasi penelitian memiliki kerapatan yang tinggi pula, selain itu dari hasil pengamatan diketahui bahwa pohon lebih mendominasi dibanding anakan dan semai sehingga menghasilkan jumlah serasah yang lebih banyak. Soenarjo (1999) melakukan penelitian di Kaliuntu dengan jenis mangrove Rhizopora apiculata, R. mucronata dan Avicennia marina mendapatkan produksi serasah sebesar 2,08 gram/m2/hari. Hutan mangrove yang terdapat di daerah ini merupakan hasil reboisasi dari kelompok tani nelayan setempat pada tahun 1976 dengan luas sekitar 4 ha. Rendahnya produksi serasah yang dihasilkan diduga karena kerapatan mangrove yang rendah yaitu 5–12 pohon per 100 m2. Indriani (2008) melakukan penelitian produksi serasah dari Avicennia marina di Desa Lontar mendapatkan produksi serasah sebesar 4,93 gram/m2/hari. Hasil ini tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan produksi serasah Lampung Mangrove Centre, perbedaan ini disebabkan oleh faktor cuaca antara lain hujan dan kecepatan angin. Hal ini sejalan dengan pendapat Khairijon (1990) menyatakan bahwa produksi serasah tertinggi terjadi pada saat musim hujan atau pada saat curah hujan tinggi. Selanjutnya, Cuevas dan Sajise (1978) menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara kecepatan angin dengan produksi serasah. Bila kecepatan angin tinggi maka produksi yang dihasilkan tinggi pula. Lampung Mangrove Centre menghasilkan rata-rata serasah sebanyak 4,53 g/m2/hari yang berasal dari serasah daun dan ranting. Gambaran produktifitas serasah Lampung Mangrove Centre diantara beberapa kawasan hutan mangrove lain disajikan pada Tabel 5:
Tabel 5 Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian Tabel 5 Produktifitas serasah mangrove di beberapa lokasi penelitian Lokasi Penelitian
Jenis Mangrove
Matang, Malaysia
R. apiculata dan Bruguierra spp A. marina
Tuff Crater, Auckland Segara Anakan, Cilacap Karachi, Pakistan Taman Nasional Ujung Kulon Queensland, Australia Likupang, Minahasa Teluk Benoa, Bali Teluk Bintuni, Papua Corniche Selatan, Jeddah, Saudi Arabia Al-Khor, Qatar Suaka Margasatwa Sembilang, Sumatera Selatan Futian, China Kaliuntu, Rembang Peninsular, Malaysia Telaga Macleod, Australia Barat Labuhan Maringgai, Lampung Kabupaten Berau, Kalimantan Timur
Produksi serasah (g/m2/hari) 2,80
Sumber
Lokasi Penelitian
Jenis Mangrove
Eong et al, 1982
Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu Pulau Gili Sulat, Nusa Tenggara Barat California, Mexico
R. mucronata
Okinawa, Jepang
1,33
Woodroffe, 1982
R. mucronata dan A. marina A. marina
4,12
Khairijon, 1990
1,35
R. apiculata dan S. alba A. marina
3,43
Siddiqui dan Qasim, 1990 Soemodihardjo, 1992
R. apiculata S. caseolaris R. apiculata Rhizopora spp dan Bruguierra spp A. marina
2.96 2,85 3,81 3,04 1,51
Mandura, 1998
A. marina X. granatum; B. apiculata; R. apiculata; R. mucronata A. corniculatum Rhizopora spp dan A. marina R. mucronata dan R. Apiculata A. marina
6,20 4,18
Hegazy, 1998 Kuriandewa, 1998
A. marina Rhizopora spp dan A. marina
3,20
Mackey dan Smail, 1995 Djamaluddin, 1995 Kitamura, 1997 Pribadi, 1998
4,27 2,08
Tam et al. 1998 Soenarjo, 1999
2,79
Asthon et al. 1999
2,34 1,36
Ellison dan Simmonds, 2003 Annas, 2004
1,40
Wibisana, 2004
Natal, Brazil Tanjung Api-api, Sumatera Selatan Desa Lontar, Banten Blanakan, Subang Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat Kecamatan Gending, Probolinggo Shenzhen, China Rio De Janeiro, Brazil Pulau Panjang, Banten
Nguling, Pasuruan Pelabuhan Darwin, Australia Utara LMC, Lampung
Produksi serasah (g/m2/hari) 1,65
Sumber
Handayani, 2004
R. apiculata dan B. gymnorrhiza
5,94
Munir, 2004
A. germinans
0,62
B. gymnorrhiza, K. candel, R. stylosa R. mangle A. marina dan S. caseolaris A. marina
3,65
Arreola-Lizarraga et al. 2004 Mfilinge et al. 2005
4,49 2,99
Ramos et al. 2006 Ulqodry, 2008
4,93
Indriani, 2008
R. apiculata A. marina R. mucronata dan A. lanata R. mucronata
2,38 1,81 2,71
Siarudin dan Rachman, 2008 Zamroni dan Rohyani, 2008 Harahab, 2009
S. caseolaris A. germinans L. racemosa R. mangle S. alba; R. apiculata; R. stylosa; B. gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A. floridum R. mucronata S. alba
5,51 4,56 4,49 5,33 0,35
Chen et al. 2009 Bernini dan Rezende, 2010
2,81 1,82
Mahmudi et al. 2011 Metcalfe et al. 2011
A. marina
4,53
Penelitian ini
1,93
Lestarina, 2011
39
Tabel 5 menunjukkan perbedaan produksi serasah di beberapa kawasan mangrove berbeda, jenis Avicennia spp menghasilkan produksi serasah berkisar 0,35–6,20 g/m2/hari sedangkan jenis Rhizophora spp berkisar 0,35–5,94 g/m2/hari. Perbedaan jumlah produksi serasah yang dihasilkan berbagai jenis mangrove dimungkinkan oleh faktor lingkungan seperti iklim dan derajat lintang. Selain faktor tersebut, ketipisan tajuk dan morfologi daun juga ikut menentukan besar kecilnya jumlah serasah yang dihasilkan, semakin tipis penutupan tajuk maka semakin kurang produksi serasah (Soerojo 1986). Selanjutnya, Bernini dan Rezende (2010) menyatakan bahwa ada korelasi positif antara produksi serasah dengan faktor lingkungan yaitu curah hujan, suhu dan kecepatan angin. Mfilinge et al. (2005) menyatakan bahwa badai atau angin topan juga akan meningkatkan jumlah produksi serasah. Selain itu, jenis mangrove dan masukan bahan organik dari sungai juga akan mempengaruhi kesuburan sehingga akan meningkatkan jumlah jatuhan serasah (Lopez-Portilho dan Ezcurra 1985). Dekomposisi Serasah Mangrove Guguran daun mangrove yang terperangkap di sekitar ekosistem mangrove membutuhkan waktu yang lama untuk terdekomposisi. Lamanya waktu yang dibutuhkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya jenis mangrove, jenis substrat dan parameter kualitas perairan (biologis, fisika dan kimia). Sejalan dengan itu Smith (1980) menyebutkan bahwa proses dekomposisi adalah gabungan dari proses fragmentasi, perubahan struktur fisik dan kegiatan enzim yang dilakukan oleh dekomposer yang merubah bahan organik menjadi senyawa anorganik. Pada penelitian ini, waktu pengamatan terhadap dekomposisi serasah hanya dilakukan selama 56 hari. Dari semua lokasi penelitian tidak ada stasiun yang serasah daunnya mengalami dekomposisi 100%. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sediadi dan Pramudji (1987) bahwa serasah mangrove dari jenis Avicennia marina membutuhkan waktu selama 182 hari untuk terurai secara sempurna. Sedangkan Soerojo (1986) menyatakan bahwa serasah dari jenis mangrove R. apiculata membutuhkan waktu 132 hari untuk terurai secara
sempurna atau 100%. Berat kering dari sisa serasah daun mangrove yang terdekomposisi selama 56 hari disajikan dalam Gambar 11.
Bobot kering sisa serasah daun mangrove (gram)
6 5 4 3 2 1 0 stasiun 1
Gambar 11
stasiun 2
stasiun 3
Bobot kering sisa serasah daun mangrove pada 3 stasiun penelitian setelah 56 hari
Berat kering sisa serasah daun yang paling banyak pada hari ke 56 adalah stasiun 3 yaitu sebesar 5 g dan paling sedikit adalah stasiun 1 sebanyak 2,5 g. Bobot kering dari sisa serasah daun mangrove menjelaskan bahwa proses dekomposisi pada stasiun 3 lebih rendah bila dibandingkan dengan stasiun yang lainnya (Lampiran 6). Stasiun 1 yang terletak di Muara Kali Kepinding mengalami proses dekomposisi paling cepat karena adanya asupan air tawar dan lama waktu pasang surut. Pada saat pengambilan sampel pada bulan Februari, lokasi ini sedang mengalami pasang pada pagi hari hingga menjelang siang dan baru surut sore hari dan pada saat pengambilan sampel pada bulan April mengalami pasang pada sore hari hingga menjelang malam dan baru surut pagi hari. Stasiun 3 mengalami proses dekomposisi paling lama karena waktu terkena pasang surut hanya terjadi pada saat pasang tertinggi yaitu pada musim timur sekitar bulan Mei - Juni. Penguraian erat kaitannya dengan kerapatan, stasiun 1 memiki kerapatan paling tinggi mengakibatkan cahaya yang masuk ke lantai hutan relatif rendah sehingga proses penguraian akan berlangsung cepat. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove secara berkala Stasiun Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Rata-rata laju dekomposisi serasah (g/hari) Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56 0,268 0,196 0,155 0,134 0,179 0,143 0,119 0,107 0,175 0,143 0,103 0,090
Tabel 6 menunjukkan bahwa laju dekomposisi serasah daun tertinggi terjadi pada 14 hari pertama, hal ini terjadi pada semua stasiun penelitian. Laju dekomposisi tertinggi terjadi pada tahap awal, hal ini diduga berhubungan erat dengan kehilangan bahan organik dan organik yang mudah larut (pelindihan) dan juga hadirnya mikroorganisme yang berperan dalam perombakan beberapa zat yang terkandung dalam serasah daun mangrove. Hal ini sejalan dengan Hodgkiss dan Leung (1986) bahwa aktivitas enzim selulotik fungi (fungal cellulytic enzym) yang paling tinggi terjadi di saat awal dekomposisi. Estimasi laju dekomposisi serasah daun mangrove diperkirakan akan terdekomposisi 100% pada hari ke 70 (Gambar 12).
Berat kering serasah daun mangrove (gram)
12 10
stasiun 1 stasiun 2
8 y = 10.905e-0.165x
stasiun 3
6 4 y = 13.593e-0.356x 2 y = 14.49e-0.417x 0 0
14
28
42
56
Hari pengamatan Gambar 12 Estimasi laju dekomposisi serasah daun mangrove 100% Penguraian atau penyederhanaan kandungan organik daun mangrove mudah terjadi ketika serasah gugur dan terperangkap di ekosistem mangrove. Bahan-bahan organik yang terdapat di dalam serasah akan dikonsumsi oleh dekomposer. Aktivitas tertinggi dari enzim selulotik fungi terjadi pada awal
proses dekomposisi. Laju dekomposisi serasah daun pada hari ke-28 sampai hari ke-42 berkisar 0,196–0,103 g/hari. Sedangkan untuk hari ke-56 terjadi penurunan terhadap laju dekomposisi. Hal ini disebabkan oleh menurunnya bahan-bahan organik dan kandungan nitrogen yang terdapat dalam sisa daun. Dekomposisi sempurna membutuhkan waktu beberapa minggu bahkan ada pula yang sampai bertahun-tahun. Ulqodry (2008) mendapatkan rata-rata laju dekomposisi pada 14 hari pertama berkisar 0,563-0,601 g/hari, sedangkan Lestarina (2011) mendapatkan rata-rata laju dekomposisi pada 14 hari pertama berkisar 0,415–0,420 g/hari. Lampung Mangrove Centre memiliki rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove pada 14 hari pertama berkisar antara 0,268-0,175 g/hari, rincian hasil pengamatan laju dekomposisi pada tiap-tiap sub stasiun disajikan pada Lampiran 7 dan persentase daun mangrove yang terdekomposisi pada Lampiran 8. Faktor yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah faktor lingkungan perairan (temperatur, salinitas dan pH) dan faktor lingkungan substrat (fraksi substrat dan mikroorganisme substrat/dekomposer). Di lokasi penelitian kisaran temperatur perairan antara 28-32 0C, hal ini menunjukan bahwa laju dekomposisi disetiap stasiun cukup tinggi. Manan (1978) menyatakan bahwa lingkungan yang selalu basah dan lembab serta suhu yang selalu tinggi sepanjang tahun, menyebabkan proses dekomposisi serasah hutan mangrove berlangsung sangat cepat, sehingga proses humifikasi (pembentukan humus) segera dilanjutkan dengan proses mineralisasi. Batasan temperatur optimum untuk bakteri berkisar 27–36 0C, yang sangat berpengaruh bagi penguraian serasah mangrove dengan asumsi daun mangrove sebagai dasar metabolisme. Faktor lain yang mempengaruhi laju dekomposisi adalah kerapatan dan pengaruh arus pasang (Soenardjo 1999). Laju dekomposisi serasah (litterfall decomposition rate) untuk mangrove lebih tepat dikatakan sebagai laju kehilangan serasah (litterfall loss-rate), karena adanya proses pemindahan komponen serasah oleh arus pasang (Pribadi 1998). Di perairan proses dekomposisinya dibantu oleh mekanisme fisik yakni pergerakan arus pasang dan penggenangan oleh air laut yang lebih lama. Mason (1977) menyatakan bahwa mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari
serasah (leaching) dapat disebabkan adanya hujan atau aliran air tawar. Selain itu penguraian serasah juga dapat disebabkan oleh pengikisan serasah oleh pergerakan gelombang. Lingkungan yang selalu basah dan lembab menyebabkan proses dekomposisi serasah berlangsung cepat (Manan 1978). Waktu pelepasan bahan organik dari ekosistem mangrove tergantung pada laju dekomposisi serasah mangrove yang tergantung pada tingkat dan frekuensi penggenangan pasang surut, ketersediaan oksigen, suhu, spesies mangrove dan keberadaan hewan yang mengkonsumsi serasah di dalam hutan (Nga et al. 2005). Ada 3 tahap dalam proses dekomposisi serasah (Mason 1977) yaitu: 1. Proses pelindihan (leaching), yaitu mekanisme hilangnya bahan-bahan yang terdapat pada serasah atau detritus akibat curah hujan atau aliran air. 2. Penghawaan (wathering), merupakan mekanisme pelapukan oleh faktor-faktor fisik seperti pengikisan oleh angin atau pergerakan molekul air. 3. Aktivitas biologi yang menghasilkan pecahan-pecahan organik oleh makhluk hidup yang melakukan dekomposisi. Produksi Potensial Bahan Organik (C, N dan P) Lampung Mangrove Centre memiliki produksi potensial bahan organik serasah yang dapat dimanfaatkan masing-masing sebesar 0,76164 g-C/m2/hari; 0,00628 g-N/m2/hari; 0,00331 g-P/m2/hari. Besarnya produksi potensial bahan organik serasah atau potensi bahan organik yang dapat dimanfaatkan di Lampung Mangrove Centre disajikan pada Tabel 7, dengan rincian hasil pengamatan pada tiap-tiap stasiun disajikan pada Lampiran 9. Tabel 7 Produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre Stasiun Stasiun 1 Stasiun 2
Produksi potensial bahan organik serasah (g/m2/hari) C 1,21890
N 0,00938
P 0,00520
0,78242
0,00775
0,00386
Stasiun 3
0,28360
0,00169
0,00085
Rata-rata
0,76164
0,00628
0,00331
Kandungan bahan organik serasah pada stasiun 1 menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan stasiun lain yaitu 1,21890 g-C/m2/hari; 0,00938
g-N/m2/hari; 0,00520 g-P/m2/hari, hal ini disebabkan oleh substrat mangrove di stasiun 1 lebih banyak
mendapatkan bahan organik dari kolom air melalui
mekanisme pasang surut yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove hingga terjadinya guguran serasah (Saparinto 2007). Eong et al. (1982) mengemukakan bahwa bahan organik yang ada di dalam kolom air juga dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan mangrove melalui penetrasi air laut yang juga mengandung bahan organik di saat pasang. Gambaran kontribusi potensial bahan organik serasah mangrove di beberapa kawasan mangrove lain pada Tabel 8. Tabel 8 Kontribusi produksi potensial bahan organik serasah Lampung Mangrove Centre dan beberapa kawasan mangrove lain Lokasi
Jenis mangrove
Matang, Malaysia Calatagan, Filipina Likupang, Minahasa Teluk Bintuni, Papua
R. apiculata
R. apiculata dan A. Marina R. apiculata dan S. Caseolaris Rhizopora spp dan Bruguierra spp Potengi, Brazil R. mangle Tanjung Api- A. marina dan S. api, Sumatera Caseolaris Selatan Kecamatan Rhizopora spp Gending, Probolinggo Nguling, R. apiculata Pasuruan Gujarat, India A. marina Pulau Panjang, S. alba; R. Banten apiculata; R. stylosa; B. gymnorhiza; A. alba; L. racemosa; A floridum LMC, A. marina Lampung
Produksi potensial bahan organik serasah (g/m2/hari) C N P 0,0128 0,0013
Sumber
Khoon et al. 1984
1,38
-
-
Fortes, 1982
-
0,0029
0,0004
Djamaluddin, 1995
-
0,0658
0,0017
Pribadi, 1998
0,7880
0,0004 0,0225
0,0001 0,0022
Silva et al. 2007 Ulqodry, 2008
-
0,0061
0,0030
Harahab, 2009
0,0688
0,0014
0,0001
Mahmudi, 2010
0,5280
0,0153 0,0035
0,0034 0,0007
Kumar et al. 2011 Lestarina, 2011
0,7616
0,0063
0,0033
Penelitian ini
Kandungan bahan organik karbon (C) pada serasah mangrove jauh lebih besar dari kandungan nitrogen (N) maupun posfor (P). Arief (2003) menyatakan
bahwa pada daun A. marina mengandung bahan organik karbon 47,93%, nitrogen 0,35%, fosfor 0,083%, kalium 0,81% dan magnesium 0,49% sedangkan daun R. apiculata mengandung bahan organik karbon 50,83%, nitrogen 0,83%, fosfor 0,025%, kalium 0,35%, kalsium 0,75% dan magnesium 0,80%. Kandungan Bahan Organik (C, N dan P) Pada Air Laut Pengambilan sampel air laut bertujuan melihat kandungan bahan organik pada air laut. Kandungan bahan organik pada air laut disajikan pada Gambar 13. Kandungan bahan organik C di perairan Lampung Mangrove Centre (3,600–7,080 mg/l) adalah lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan bahan organik C pada kolom air daerah laut lepas, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan kolom air daerah rawa. Stumm dan Morgan (1970) menyatakan bahwa kandungan karbon air laut berkisar antara 0,5–1,2 mg/l sedangkan di daerah rawa mencapai
Kandungan bahan organik air laut (mg/l)
50 mg/l. 8 7 6
C
5
N
4
P
3 2 1 0
1 Stasiun 1
2
Stasiun 2
3
Stasiun 3
Gambar 13 Kandungan bahan organik (C, N dan P) air laut tiap stasiun pengamatan Kandungan bahan organik N di perairan Lampung Mangrove Centre berkisar 0,340–0,951 mengidentifikasi bahwa perairan ini termasuk kategori perairan dengan kesuburan sedang. Klasifikasi kesuburan perairan ditinjau dari nilai total nitrogen menurut EPA (2002) adalah 0,00-0,50 mg/l tergolong rendah, 0,50-1,00 mg/l tergolong sedang dan di atas 1,00 mg/l tergolong tinggi. Kesuburan perairan Lampung Mangrove Centre dapat dilihat dari kandungan bahan organik P yang tinggi berkisar antara 0,108-0,816 mg/l. EPA
(2002) membagi kategori kesuburan perairan berdasarkan total fosfor yakni kurang dari 0,05 mg/l tergolong rendah, 0,05-0,1 mg/l tergolong sedang dan di atas 0,1 mg/l tergolong tinggi. Kesuburan perairan Lampung Mangrove Centre tidak terlepas dari peranan hutan mangrove melalui jumlah produksi serasahnya. Serasah mangrove yang mengandung bahan organik C, N dan P yang tinggi setelah mengalami dekomposisi oleh bakteri dan jamur akan meningkatkan kesuburan perairan. Hal ini menjadikan hutan mangrove sebagai mata rantai siklus bahan organik yang sangat penting artinya bagi organisme perairan. Hal ini sejalan dengan Saparinto (2007) menyatakan bahwa tingginya bahan organik di perairan hutan mangrove, memungkinkan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pembesaran atau mencari makan dari beberapa ikan atau hewan-hewan air tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah besar hewan-hewan air seperti: kepiting,
Kandungan bahan organik kontrol (mg/l)
moluska dan invertebrata yang hidupnya menetap di kawasan hutan mangrove. 4.0 C
3.5 3.0
N
2.5
P
2.0 1.5 1.0 0.5 00
14
28
42
56
Hari pengamatan Gambar 14 Kandungan bahan organik kontrol (C, N dan P) air laut Pada Gambar 14 terlihat bahwa sampel bahan organik kontrol dengan penambahan waktu pengamatan menunjukkan peningkatan nilai N dan P, sebaliknya terjadi penurunan kadar C. Kandungan bahan organik C pada awal pengamatan atau hari ke-0 yaitu 3,600 mg/l akan tetapi pada hari ke-56 turun menjadi 0,004 mg/l. Sedangkan kandungan bahan organik N mengalami peningkatan, pada hari ke-0 yaitu 0,195 mg/l dan pada hari ke-56 sebesar 1,338 mg/l. Selanjutnya, kandungan bahan organik P juga mengalami peningkatan hari ke-0 yaitu 0,108 mg/l dan pada hari ke-56 sebesar 1,218 mg/l. Greenway (1994)
menjelaskan bahwa kandungan bahan organik karbon pada serasah daun mangrove menurun seiring dengan penurunan ukuran partikel-partikel serasah, sedangkan kandungan nitrogen dan fosfor meningkat. Kandungan bahan organik C berkurang karena dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk proses metabolisme sedangkan kandungan N dan P meningkat karena hasil dekomposisi serasah. Keterkaitan antar Parameter Produktivitas serasah dan laju dekomposisi serasah daun mangrove serta produksi potensial unsur hara (C, N dan P) di perairan Lampung Mangrove Centre selain dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti angin, hujan, pemangsaan serasah oleh organisme laut disekitar mangrove juga sangat dipegaruhi oleh karakteristik lingkungan dalam hal ini kondisi fisika kimia perairan dan juga adanya faktor biologi dari mangrove itu sendiri seperti kerapatan, umur, diameter dan tinggi pohon. Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Keterkaitan produksi dan laju dekomposisi serasah dengan karakteristik fisika kimia perairan dan biologi mangrove Parameter
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
31,90 15,50 6,15 7,52 0,50 0,33 48,00 17,24
28,35 15,50 3,05 7,14 0,40 0,33 29,00 21,51
32,30 29,00 5,20 7,46 1,10 0,28 35.727,50 612,82
32-58 0,5-12 4-7 4,16 0,134 2,5
11-15 15-20 12-15 4,82 0,107 4
14-30 12-15 9-12 4,60 0,090 5
1,21890 0,78242 0,28360
0,00938 0,00775 0,00169
0,00520 0,00386 0,00085
Fisika – kimia - Suhu (0C) - Salinitas (‰) - DO (mg/l) - pH - Arus (m/det) - Kecerahan (m) - TSS (mg/l) - TOM (mg/l) Vegetasi mangrove - Kerapatan (phn/100 m2) - Diameter (cm) - Tinggi (m) Produksi serasah (g/m2/hari) Laju dekomposisi (g/hari) Sisa bobot kering serasah (gram) Bahan organik (C, N dan P) - Karbon (C) - Nitrogen (N) - Fosfor (P)
Stasiun 1 memiliki kerapatan, laju dekomposisi serta kandungan bahan organik paling besar, akan tetapi menghasilkan produksi serasah mangrove paling sedikit. Hal ini disebabkan tumbuhan mangrove di stasiun 1 memiliki umur yang masih muda dengan tinggi 4-7 m dengan diameter 0,5-12 cm. Jenis mangrove yang sama dengan umur berbeda akan memiliki laju produksi serasah yang berbeda pula. Menurut Bunyavejchewin dan Nuyim (2001), mangrove jenis R. apiculata memiliki serasah daun yang lebih banyak pada jenis mangrove yang lebih tua atau optimum. Apabila umur mangrove melebihi titik optimum, maka serasah yang jatuh akan berkurang, karena pada batang mangrove tua, bagian dalamnya mulai keropos sehingga tajuk pohon mulai menyempit, dan produksi serasah berkurang. Penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) pada tegakan Rhizophora spp menunjukkan jumlah jatuhan serasah meningkat secara nyata sesuai dengan pertambahan umur dan jumlah maksimum akan didapat pada usia 10 tahun, dikatakan bahwa tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata. Stasiun 1 terletak di Muara Kali Kepinding banyak mendapatkan masukkan bahan organik dari kolom perairan melalui mekanisme pasang surut. Selain itu, akar mangrove A. marina berfungsi sebagai perangkap sedimen sehingga pada stasiun ini banyak terbentuk delta dan akhirnya menjadi substrat untuk tumbuhnya mangrove. Tingginya pengendapan lumpur di stasiun ini menyebabkan stasiun ini memiliki kerapatan mangrove yang tinggi pula. Selanjutnya Bengen (2004) menyatakan bahwa mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya. Rata-rata laju dekomposisi serasah daun mangrove terendah diperoleh dari stasiun 3 yaitu 0,090 g/hari, indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat laju dekomposisi adalah bobot kering sisa daun mangrove, dimana pada stasiun 3 diperoleh bobot kering sisa yang paling banyak yaitu seberat 5 g. Kondisi tersebut karena pada stasiun 3 waktu terkena pasang surut hanya pada pasang tertinggi
yaitu pada musim timur sekitar bulan Mei – Juni. Kemudian kondisi stasiun ini juga memiliki karakteristik perairan dengan nilai salinitas dan arus yang lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya. Wijiyono (2009) menyatakan bahwa terdapat perbedaan dalam proses laju dekomposisi pada tingkat salinitas yang berbeda, dimana ditemukan jenis dan jumlah bakteri yang berbeda pada tingkat salinitas berbeda. Jumlah koloni bakteri rata-rata pada serasah daun A. marina yang mengalami proses dekomposisi pada tingkat salintas 10-20‰ merupakan jumlah tertinggi dibanding dengan kontrol dan 0-10‰, 20-30‰ dan >30‰. Banyaknya jumlah bakteri pada salinitas tingkat 10–20‰ menunjukkan bahwa tiap mikroorganisme memiliki toleransi terhadap salinitas. Pada serasah daun A. marina yang ditempatkan pada tingkat salinitas 10-20‰ merupakan lingkungan yang mendukung bakteri untuk tumbuh dan berkembang menghadapi fluktuasi pasang surut air laut. Bakteri pada tingkat salinitas ini mampu beradaptasi dengan cara memberikan efek tekanan osmotik dalam sel yang cenderung mendekati kandungan garam lingkungan. Menurut Stanley dan Morita (1968) adanya tekanan osmotik sel berhubungan dengan salinitas yang selanjutnya mempengaruhi terhadap suhu pertumbuhan bakteri. Produksi potensial bahan organik paling tinggi berasal dari stasiun 1, meskipun jumlah produksi serasahnya lebih sedikit akan tetapi produksinya tidak jauh berbeda dibandingkan stasiun lain. Selain itu, laju dekomposisi serasah pada stasiun 1 paling cepat sehingga menyumbang bahan organik lebih tinggi. Tingginya bahan organik di stasiun 1 diduga menunjang pertumbuhan mangrove, selain itu didukung juga oleh letak stasiun 1 yang berada di Muara Kali Kepinding yang banyak mendapatkan masukkan bahan organik serta berfungsinya akar mangrove sebagai perangkap sedimen yang akhirnya menjadi substrat untuk tumbuhnya mangrove. Evaluasi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Pengelolaan Lampung Mangrove Centre bersifat kolaboratif dengan melibatkan tiga pihak yaitu Universitas Lampung, pemerintah Kabupaten Lampung Timur dan masyarakat. Universitas Lampung bekerjasama dengan masyarakat serta pemerintah kabupaten Lampung Timur dalam mengatasi
kerusakan hutan mangrove dengan mendirikan suatu pusat kegiatan pengelolaan hutan mangrove yang disebut Lampung Mangrove Center (LMC) yang berpusat di Desa Margasari. Pengelolaan terpadu LMC ini berawal dari kehendak masyarakat untuk menyerahkan hutan mangrove di desanya menjadi hutan pendidikan kepada Universitas Lampung. Selain itu, dipilihnya Desa Margasari sebagai lokasi LMC karena dinamika perubahan tutupan mangrove yang cukup panjang di daerah ini, mulai sejak keberadaan hutan mangrove alami setebal 700 meter ke arah laut pada era tahun 1970-an, hilangnya tutupan mangrove karena usaha pertambakan dan abrasi sekitar tahun 1987-1994, dan meluasnya lagi areal hutan mangrove yang sudah mencapai lebih dari 300 ha pada tahun 2009 hasil upaya rehabilitasi mangrove yang dimulai sejak tahun 1995 (Kustanti dan Yulia 2010). Secara legal, upaya rehabilitasi ini dikuatkan dengan Surat Keputusan Bupati Lampung Timur pada tanggal 23 Desember 2005 tentang ‖Penetapan Lokasi untuk Pengelolaan Hutan Mangrove dalam rangka Pendidikan, Pelestarian Lingkungan, dan Pemberdayaan Masyarakat seluas 700 ha di Desa Margasari, Kecamatan Labuhan Maringgai‖. Program-program pengelolaan hutan mangrove disusun oleh pihak pengelola dengan melibatkan stakeholder dan LSM pemerhati lingkungan. Beberapa program dituangkan dengan kesepakatan bersama. Program ini bukanlah program yang dapat diselesaikan dalam waktu satu atau dua tahun, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama dan berkesinambungan. Ada 6 program yang dikembangkan dalam pengelolaan terpadu, antara lain: (1) legalitas hutan mangrove, (2) pendataan biofisik, sosial ekonomi masyarakat pesisir, (3) pemberdayaan masyarakat pesisir, (4) research center, (5) kerjasama dan (6) kesekretariatan. Tujuan didirikannya LMC adalah untuk mewujudkan suatu sistem tata kelola wilayah pesisir secara terpadu untuk keberlanjutan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta menjadi permodelan pengelolaan mangrove berskala nasional. Untuk mewujudkan tujuan ini beberapa kegiatan sudah, sedang dan akan dilaksanakan yang meliputi aspek legalitas, aspek tata ruang dan aspek pengembangan program.
Aspek legalitas meliputi kegiatan penataan batas kawasan serta regulasi pengelolaan hutan mangrove. Beberapa kegiatan telah selesai dilakukan seperti membuat
kesepakatan
Tripartite
antara
UNILA-Pemdakab-Masyarakat,
melakukan pengukuran dan pemetaan lahan, diterbitkannya sertifikat kelola areal hutan pendidikan sebagai pilot project pengelolaan terpadu di wilayah pesisir dan penyusunan Perdes Pengelolaan Mangrove. Dalam aspek tata ruang, kegiatan dilakukan untuk mendapatkan tata ruang pemanfaatan kawasan berdasarkan potensi biofisik dan sosekbud masyarakat. Sampai saat ini kegiatan yang masih berjalan antara lain pendataan potensi komponen ekosistem pesisir meliputi luasan dan vegetasi hutan mangrove, tanah timbul (tetap atau labil), kondisi pasang surut air laut, potensi satwa dan biota lainnya; pendataan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang meliputi aspek kelembagaan,
pendapatan,
pendidikan,
pemberdayaan
masyarakat
dan
peningkatan perekonomian; pemantauan fisik lahan (keteknikan lahan); dan penataan ruang kawasan dilakukan setelah potensi bioekologi, sosial ekonomi dan fisiografi dipetakan. LMC mengembangkan berbagai macam program untuk menunjang pengelolaan terpadu wilayah pesisir antara lain kelestarian ekosistem mangrove, pemberdayaan masyarakat pesisir, pembangunan infrastruktur penunjang dan pengembangan pusat penelitian mangrove. Program kelestarian ekosistem mangrove meliputi pembuatan kebun bibit, penanamaan dan pemeliharaan tanaman rehabilitasi. Saat ini hutan mangrove di lahan LMC sedang mengalami pertumbuhan sekunder hasil dari usaha rehabilitasi yang telah dilakukan oleh para pihak terkait sejak tahun 1995. Terjaganya pertumbuhan hutan mangrove tersebut tidak lepas dari dukungan dan rasa tanggung jawab yang besar dari masyarakat Desa Margasari untuk tetap mempertahankan keberadaan hutan mangrove tersebut untuk masa yang akan datang. LMC memfasilitasi pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan mengenai ekosistem mangrove, fasilitasi Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH), pembuatan trek wisata mangrove, pemanfaatan dan pengolahan bahan-bahan baku dari mangrove yang dapat menghasilkan nilai ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lewat pengembangan UMKM. Untuk
membantu kegiatan pemberdayaan dan pengelolaan mangrove secara umum, LMC membangun infrastruktur penunjang seperti pembuatan peta trek wisata mangrove, membuat brosur-brosur dan buletin untuk publikasi kegiatan di LMC, merencanakan gedung Mangrove Center, memperbaiki jalan akses dan merencanakan papan penunjuk (interpretasi) untuk wisata alam. LMC tetap melakukan penelitian rutin melalui dosen dan mahasiswa UNILA serta membuka hubungan kerjasama dengan beberapa universitas di Jepang (Kyoei University, Saga University dan Yokohama National University) dalam rangka kegiatan pengembangan pusat penelitian. Selain itu, LMC juga aktif bekerjasama dengan para pengusaha tambak (baik yang tergabung dalam Shrimp Club Lampung atau tidak) dalam memfasilitasi pengusaha tambak untuk merestorasi keberadaan green belt hutan mangrove di sekeliling tambak. Kesadaran para pengusaha ini disebabkan karena penurunan hasil tambak mereka yang ditengarai disebabkan oleh kerusakan ekosistem mangrove akibat pembukaan tambak yang tidak mengindahkan kaidah lingkungan. Pengembangan jejaring kerjasama secara nasional dan internasional telah diawali pada tahun 2007. Sebagai hasilnya, pada bulan Januari 2009 telah ditandatangani kerjasama antara Balai Pengelola Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II dan Sub-Sector Program on Mangrove Japan International Cooperation Agency (JICA) berdasarkan Nota Kesepahaman antara BPHM Wilayah II dengan Universitas Lampung tentang Model Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Margasari dengan dukungan dari Proyek Sub-Sectoral Program on Mangrove-Japan International Cooperation Agency (JICA). Bentuk kerjasama yang telah disepakati sesuai dengan karakteristik hutan mangrove di LMC adalah mengenai pendidikan lingkungan (Environmental Education). Kegiatan-kegiatan yang telah difasilitasi antara lain adalah: 1) Pembentukan kelompok Pendidikan Lingkungan Hidup dan Ekowisata, 2) Pelatihan Dasar Ekosistem Mangrove, 3) Pelatihan Fasilitasi Pendidikan Lingkungan (PLH), 4) Penetapan Jalur PLH, 5) Pembangunan Menara Bird Watching Tower, dan 6) Uji Coba (trial) PLH bagi 100 siswa/i SD Se-Kecamatan Labuhan Maringgai Lampung Timur.
Masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan Lampung Mangrove Centre terdiri dari 2 kelompok dari masing-masing desa yaitu Margajaya Utama dan Margajaya I dari Desa Margasari dan Harapan Jaya I dan Harapan Jaya II dari Desa Sriminosari. Masing-masing kelompok memiliki anggota 20 orang dan setiap kegiatan penanaman bibit mangrove akan mengelola sekitar 25 Ha untuk masing-masing kelompok. Selain itu, Desa Margasari telah memiliki kelompok fasilitator PLH (Pendidikan Lingkungan Hidup) yang anggotanya merupakan guru-guru SD dan SMP, karang taruna dan para tokoh masyarakat yang telah siap memfasilitasi masyarakat umum berwisata ke hutan mangrove, secara rinci sejarah perkembangan Lampung Mangrove Centre disajikan pada Lampiran 10. Pada tahun 2005 masyarakat Desa Margasari merancang pembuatan Peraturan Desa (PERDES) mengenai Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang didalamnya menyangkut pengelolaan hutan mangrove secara lestari dan berkelanjutan. Kemauan masyarakat disekitar hutan untuk menjaga dan mengelola hutan mangrove harus dilandasi kesadaran terhadap fungsi dan nilai keberadaan hutan mangrove. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat yang ada disekitar kawasan hutan akan pentingnya hutan mangrove, maka perlu dilakukan sosialisasi fungsi dan manfaat hutan mangrove baik secara ekologi dan fisik maupun ekonomi. Lampung Mangrove Centre pada tahun 2005 memiliki luas sekitar 700 ha telah mengalami penambahan luasan menjadi 1.000 ha pada tahun 2012, hal ini akan mempengaruhi jumlah produktivitas serasah. Besarnya produksi serasah yang dihasilkan oleh Lampung Mangrove Centre yaitu sebesar 4,53 gram/ m2/hari dipengaruhi oleh tingginya kerapatan pohon mangrove di daerah tersebut yang berkisar antara 11–58 pohon per 100 m2 selain itu, jenis pohon lebih mendominasi dibandingkan jenis anakan dan semai. Kerapatan pohon akan mempengaruhi jumlah produksi serasah. Semakin tinggi kerapatan pohon, maka semakin tinggi pula produksi serasahnya, begitu juga sebaliknya semakin rendah kerapatan pohon maka semakin rendah produksi serasahnya.
Keterkaitan Produksi Perikanan dengan Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove memberikan manfaat dan potensi yang besar bagi perikanan pesisir. Produksi sumberdaya ikan pesisir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan budidaya dan nonbudidaya. Produksi ini akan saling berhubungan dalam produksi perikanan di suatu kawasan. Produksi sumberdaya ikan kawasan pesisir tidak terlepas dari pengaruh produktivitas perairan. Produktivitas perairan yang tinggi tentunya akan menghasilkan produksi yang tinggi pula. Produktivitas perairan dapat dilihat dari beberapa parameter kondisi lingkungan (kualitas perairan), sedangkan keberadaan mangrove diindikasikan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di suatu kawasan. Martosubroto dan Naamin (1977) menyatakan adanya hubungan antara banyaknya mangrove dengan produksi perikanan (termasuk udang dan kerang-kerangan). Produksi perikanan di daerah mangrove akan turun dengan menurunnya area mangrove. Selanjutnya, Kawaroe et al. (2001) menjelaskan bahwa keberadaan mangrove dengan baik memberikan kontribusi yang besar terhadap keberadaan juvenil ikan, sehingga menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Tunner (1977) menyatakan bahwa pembuatan 1 ha tambak pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya. Di dalam ekosistem mangrove, setidaknya terdapat satu siklus kehidupan berbagai spesies ikan dan invertebrata dalam memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai tempat mencari makan, yaitu melimpahnya makanan yang dihasilkan melalui produksi serasah (Ronnback 1999). Berdasarkan hal tersebut, maka pengertian daya dukung ekosistem mangrove sebagai daerah tempat mencari makan dan tempat pembesaran dalam mendukung jumlah atau biomassa ikan melalui transfer energi yang berawal dari bahan organik yang berasal dari serasah mangrove dalam bentuk detritus. Hasil tangkapan nelayan yang dominan dari perairan Lampung Mangrove Centre adalah kerang, kepiting, udang, ikan belanak, ikan sembilang, ikan bandeng, rajungan dan ikan nila (Tabel 10). Berdasarkan hasil wawancara dari 25
orang nelayan, telah terjadi peningkatan hasil tangkapan dari tahun 2000. Hal ini sangat berkaitan dengan keberhasilan pengelolaan hutan mangrove di Lampung Mangrove Centre yang dimulai sejak tahun 1995. Rata-rata hasil tangkapan kerang dan kepiting adalah 30 kg/hari dan 15 kg/hari, namun pada musim timur mengalami peningkatan mencapai 100 kg/hari dan 50 kg/hari. Peningkatan ini terjadi karena terbatasnya aktivitas nelayan dalam menangkap ikan oleh faktor cuaca kemudian mereka beralih menangkap kerang dan kepiting. Tabel 10 Produksi perikanan Lampung Mangrove Centre (kg/hari) Jenis Tangkapan Kerang Kepiting Ikan belanak Ikan bandeng Ikan nila Ikan sembilang Udang Rajungan Sumber: Data Primer
Jumlah Tangkapan (kg/hari) 30-100 15-50 10-30 10-30 10-20 5-15 5-10 2-5
Kajian pustaka dilakukan untuk mengestimasi produksi perikanan di Lampung Mangrove Centre berdasarkan produksi serasah dan luasan hutan mangrove. Mahmudi (2010) menyatakan bahwa luasan mangrove 1 ha mampu menyumbang produksi ikan sebesar 672 kg/th dengan produksi serasah sebesar 2,81 g/m2/hari dari hutan mangrove reboisasi di Nguling, Pasuruan. Berdasarkan hal tersebut, Lampung Mangrove Centre diperkirakan dapat menghasilkan produksi ikan sebesar 1.083 kg/th dan dengan luas sekitar 1.000 ha akan mampu menyumbang produksi ikan sebesar 1.083,33 ton/th. Hasil ini lebih besar karena produksi serasah dari Lampung Mangrove Centre lebih tinggi dibandingkan hutan mangrove reboisasi di Nguling dengan produksi serasah sebesar 4,53 g/m2/hari. Pendugaan produksi ikan dan udang menurut Paw dan Chua (1991) in Manson et al. (2005) dengan persamaan Y= 0,4304 log10MA + 0,0575 dan Y= 0,5948 log10MA + 1,8045 dimana: MA adalah luas area mangrove, maka Lampung Mangrove Centre dengan luas 1.000 ha diperkirakan kawasan ini dapat menghasilkan produksi ikan dan udang sebesar 430,46–596,60 ton/th atau 430–596 kg/ha/th.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Parameter fisika - kimia perairan dari 3 stasiun pengamatan dari masingmasing parameter yang diamati terlihat masih berada pada taraf yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove, serta tidak terlihat pola penyebaran karakteristik berdasarkan stasiun (sub stasiun), pada hasil analisis komponen utama yang dilakukan. Kawasan Lampung Mangrove Centre memberikan produktifitas serasah sebesar 4,53 gram/m2/hari dengan penyumbang terbesar berasal dari serasah daun dan ranting. Produktivitas serasah yang paling banyak adalah daun dan ranting, sedangkan untuk bunga dan buah tidak ditemukan. Produksi serasah mangrove terbesar berasal dari stasiun 2 dan paling sedikit berasal dari stasiun 1. Laju dekomposisi
serasah
daun
mangrove
selama
penelitian
berlangsung
memperlihatkan bahwa stasiun 1 mengalami dekomposisi paling cepat, disusul stasiun 2 dan terakhir stasiun 3, hal tersebut dapat dilihat dari bobot kering sisa serasah. Rehabilitasi hutan mangrove yang melibatkan tiga pihak antara lain Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Universitas Lampung dan masyarakat sangat efektif dalam upaya pelestarian hutan mangrove di Lampung Mangrove Centre dengan luas mangrove berkisar 1.000 ha serta mendapatkan penghargaan dalam kategori pelestarian hutan mangrove tingkat nasional pada tahun 2004 dan tahun 2011. Kegiatan rehabilitasi ini telah dilakukan sejak tahun 1995 dengan melakukan penanaman mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Saran Perlu adanya penelitian tentang produksi serasah di lokasi yang sama dengan musim yang berbeda serta mencakup satu siklus fase reproduksi. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pola produksi serasah yang lebih lengkap dan menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Aksornkoae S. 1993. Ecology and Management of Mangrove. IUCN. Bangkok. Thailand. Alrasjid H. 1988. Jalur hijau untuk pengelolaan hutan mangrove Pamanukan, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan. 475:29-65. Anderson JM, Swift MJ. 1983. Decomposition in tropical forest. In L. Sutton, T.C. Whitmore and A.C. Chadwick. 1983. Tropical rain forest: Ecology and management. Special Publication No.2. The British Ecological Society. Blackwell Scientific Publication. Oxford. Page 287-309. Annas S. 2004. Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove jenis Avicennia marina (api-api) di hutan mangrove Way Penet, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, Lampung. [skripsi]. Bogor: IPB. Arief A. 2003. Hutan Mangrove. Penerbit Kanisius: Yogyakarta. Arreola-Lizarraga JA, Flores-Verdugo FJ, Ortega-Rubio A. 2004. Structure and litterfall of an arid mangrove stand on the Gulf of California, Mexico. J Aquatic Botany. 79:137-143. Ashton EC, Hogarth PJ, Ormond R. 1999. Breakdown of mangrove leaf litter in a managed mangrove forest in Pennisular Malaysia. J Hydrobiologia. 413:77-88. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Lampung dalam Angka. Bengen DG. 2001. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB, Bogor. Bengen DG. 2004. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Laut IPB, Bogor. Bernini E, Rezende CE. 2010. Litterfall in a mangrove in Southeast Brazil. Pan-American Journal of Aquatic Sciences. 5(4):508-519. Brown SM. Mangrove litter production and dynamics In Snedaker, C.S. and Snedaker, G.J. 1984. the mangrove ecosystem: Research Methods. On Behalf of the Unseco/SCOR, Working Group 60 on Mangrove Ecology. Page 231-238.
Boonruang P. 1984. The rate of degradation of mangrove leaves, Rhizophora apiculata BL and Avicennia marina (FORSK) VIERH at Phuket Island, Western Peninsula of Thailand. In Soepadmo, E., A.N. Rao and D.J. Macintosh. 1984. Proceeding of the asian symposium on mangrove environment research and management. University of Malaya and UNESCO. Kuala Lumpur. Page 200-208. Bunyavejchewin S, Nuyim T. 2001. Litterfall production in a primary mangrove Rhizophora apiculata forest in Southern Thailand. Thai Journal of Forestry. 17 (1):28-38. Carter J. 1994. Konsep Dasar Konservasi Laut dan Relevansinya dengan Sumatera Bagian Timur. Modul Training (Terjemahan). Kajian Lavalin International Inc dengan International Development Program of Australian University and Colages. PT. Husfarm Dian Konsultan. Chapman VJ. 1976. Mangrove Vegetation. J. Cramer. Valduz. Chen L, Zan Q, Li M, Shen J, Liao W. 2009. Litter dynamics and Forest structure of the introduced Sonneratia caseolaris mangrove forest in Shenzhen, China. J Estuarine, Coastal and Shelf Science. 85:241–246. Collier BD, Cox GW, Johnson AW, Miller. 1973. Dynamic ecology. Prentice Hall Inc. New Jersey. 563 p. Crawford PJ, Rosenberg DM. 1984. Breakdown of conifer needle debris in a New Northern Reservoir. Southern Indian Lake. Manitoba. Canadian J Fisheries and Aquatic Sciences. 41:649 - 658. Cuevas VC, PE Sajise. 1978. Litterfall and leaflitter decomposition in a Philippine secondary forest. Kalikasan, the Philippine Journal of Biology. Philippine: University of the Philippine at Los Banos College, Lagunan. Dahuri R, Rais J, Ginting MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cet. III. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri R. 1998. The application of carring capacity concept for susteinable coastal resources development in Indonesia. J Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 1:13-20. Dix NJ, Webster J. 1995. Fungal Ecology. Chapman and Hall. London. [DISHIDROS] Dinas Hidro-Oseanografi. 1992. Peta Cuaca Perairan Indonesia. Mabes TNI-AL. Jakarta. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur. 2006. Profil Kelautan dan Perikanan Lampung Timur. DKP Kabupaten Lampung Timur.
Djamaludin R. 1995. Kontribusi hutan mangrove dalam penyediaan nitrogen dan fosfor potensial di perairan sekitar Likuupang, Minahasa, Sulawesi Utara. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta Ellison JC, Simmonds S. 2003. Structure and productivity of inland mangrove stands at Lake MacLeod, Western Australia. J Royal Society of Western Australia 86:25-30. [EPA] Environmental Protection Agency. 2002. Mid-Atlantic Integrated Assessment (MAIA) Estuaries. United States. English S, Wilkinson C, Baker V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project. Australian Institute of Marine Science. Townsville. Eong OJ, Khoon GW, Hoong WC. 1982. Productivity and nutrien status of Litter in a managed mangrove forest in Malaysia. In Kostermans, A.Y and S.S. Sastroutomo. 1982. Proceedings Symposium on Mangrove Forest Ecosystem Productivity in South East Asia. Page 33-41. Feliatra. 2001. Isolasi dan identifikasi bakteri heterotrof yang Terdapat pada daun mangrove (Avicennia sp dan Senneratia sp) dari Kawasan stasiun kelautan Dumai. J Natur Indonesia. III (2):104-112. Fortes MD. 1982. Productivity studies on mangrove, seagrasses and algae at Calatagan, Batangas, Philippines. In Kostermans AY and SS Sastroutomo. 1982. Proceedings Symposiun on Mangrove Forest Ecosystem Productivity in South East Asia. Page 17-23. Greenway M. 1994. Litter accesion and acumulation in a Melaleuca Quinquenervia (Cav) S. T. Blake Wetland in South-Eastern Queensland Aust. J Marine Environmental Research. 45:1509-1519. Handayani T. 2004. Laju dekomposisi serasah mangrove Rhizophora mucronata Lamk di Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Jakarta. [skripsi]. Bogor: IPB. Harahab N, Harsuko R, Mohammad M, Abu BS. 2009. Analisis ekonomi-ekologi sumberdaya hutan mangrove sebagai dasar perencanaan wilayah pesisir (Tahun 1). Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Universitas Brawijaya. Hegazy AK. 1998. Perspectives on survival, phenology, litterfall and decomposition and caloric content of Avicennia marina in the Arabian Gulf region. J of Arid Environment 40:417-429.
Hogarth PJ. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press, Oxford, pp 33-34. Hodgkiss IJ, Leung HC. 1986. Cellulose associated with mangrove leaf decomposition. J Botanica Marina. 29:467-469. Hutagalung HP, Septiapermana D. 1991. Metoda Analisa Air Laut, Sedimen, dan Biota. Pustlitbang LIPI, Jakarta. hal 12-31. Khairijon. 1990. Produksi dan laju dekomposisi serasah di hutan bakau hasil reboisasi yang berbeda kelas umurnya. In Soemodihardjo S, Hardjowigeno S, Sudomo M, Ongkosongo OSR, Naamin N. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Hal 145-154. Khoon GW, Eong OJ, Hoong WC. 1984. Productivity of mangrove tree and its significance in A managed mangrove ecosystem in Malaysia. In Soepadmo E, AN Rao and DJ Macintosh. 1984. Proceeding of the Asian Symposium on Mangrove Environment Research and Management. University of Malaya and UNESCO. Kuala Lumpur. Page 216-225. Kitamura S, Anwar C. Chaniago A, Baba S. 1997. Handbook of Mangrove in Indonesia; Bali and Lombok. Denpasar: The Development of Sustainable Mangrove Management Project, ministry of Forest Indonesia and Japan International Cooperation Agency. Kumar IJN, Sajish PR, Kumar RN, Basil G, Shailendra V. 2011. Nutrien dynamics in an Avicennia marina (FORSK.) VIERH, mangrove forest in Vamleshwar, Gujarat-India. Global Journal of Environmental Research. 5 (1):32-38. Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan Mangrove. PT. IPB Press. Bogor. Kustanti A, Yulia RF. 2010. Laporan pengelolaan terpadu hutan mangrove kerjasama: masyarakat, Universitas Lampung dan Kabupaten Lampung Timur. Universitas Lampung. Lampung. Tidak dipublikasikan. Kusmana C, Pradyatmika P, Husin YA, Shea G, Martindale D. 2000. Mangrove litter-fall studies at the Ajkwa Estuary, Irian Jaya, Indonesia. J of the Indonesian Tropical Animal Agriculture. 9 (3):39-47. Kuriandewa TE. 1998. Produksi serasah hutan mangrove di Kawasan Suaka Margasatwa Sembilang, Sumatera Selatan. In Soemodihardjo S, Hardjowigeno S, Sudomo M, Ongkosongo OSR, Naamin N. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Hal 105-119. [LPP Mangrove] Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove. 2008. http://imred.org [ 20 Juni 2012 ].
Lestarina PM. 2011. Produktifitas serasah mangrove dan potensi kontribusi unsur hara di perairan mangrove Pulau Panjang Banten. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Lopez-Portilho J, Ezcurra E. 1985. Litterfall of Avicennia germinans L. in a oneyear cycle in a Mudflat at the Laguna de Mecoacan, Tabasco, Mexico. J Biotropica. 17:186-190. Ludwig JA, Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology: A Primer on Methods and Computing. John Willey and Sons. Singapore. 338 p. Mackey AP, Smail G. 1995. Spatial and temporal variation in litterfall of Avicennia marina (Forsk.) Vierh. in the Brisbane River, Queensland, Austrália. J Aquatic Botany. 52:133-142. Macintosh DJ, Ashton EC, Havanon S. 2002. Mangrove rehabilitation and intertidal biodiversity: A Study in Ranong Mangrove Ecosystem, Thailand. J Estuarine, Coastal and Shelf Science. 55:331-345. Mahmudi M, Soewardi K, Kusmana C, Hardjomidjojo H, Damar A. 2008. Laju dekomposisi serasah mangrove dan kontribusinya terhadap nutrien di hutan mangrove reboisasi. J Penelitian Perikanan. II (1):19-25. Mahmudi M. 2010. Estimasi produksi ikan melalui nutrien serasah daun mangrove di kawasan reboisasi rhizophora, Nguling, Pasuruan, Jawa Timur. J Ilmu Kelautan. 15 (4):231-235. Mahmudi M, Soemarno, Marsoedi, Diana A. 2011. Produksi dan dekomposisi serasah Rhizophora mucronata serta kontribusinya terhadap nutrien di mangrove Reboisasi Nguling, Pasuruan. J Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus: 6C:(19-24). Mandura AS. 1998. Litter fall and leaf decomposition in a sewage polluted mangrove stand at the Red Sea. J Marine Science, King Abdulaziz University. 9:101-112. Manson FJ, Loneragan NR, Skilleter GA, Phinn SR. 2005. An evaluation of the evidence for linkages between mangroves and fisheries: A synthesis of the literature and identification of research directions. J Oceanography and Marine Biology (43):485-515. Manan S. 1978. Masalah Pembinaan Kelestarian Ekosistem Hutan. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martosubroto P, Naamin. 1977. Relationship between tidal forests (Mangrove) and commercial shrimp production in Indonesia. J Marine Research in Indonesia. 18:81-86.
Mason CF. 1977. Decomposition. The Institute of Biology’s Studies in Biology, No. 74. Edward Arnold, London. Metcalfe KN, Franklin DC, McGuinness KA. 2011. Mangrove litter fall: extrapolation from traps to a large tropical macrotidal harbour. J Estuarine, Coastal and Shelf Science. 95:245-252. Mfilinge PL, Meziane T, Bachok Z, Tsuchiya M. 2005. Litter dynamics and particulate organic matter outwelling from a subtropical mangrove in Okinawa Island, South Japan. J Estuarine, Coastal and Shelf Science. 63:301–313. Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the Fungi. Fourth Edition. Prentice Hall, Englewood. New Jersey. Munir MA. 2004. Pendugaan Produktivitas Serasah Hutan Mangrove di Pulau Gili Sulat, Nusa Tenggara Barat. [skripsi]. Bogor:IPB. Nga BT, Tinh HQ, Tam DT, Schaffer M, Roijackers R. 2005. Young mangrove stands produce a large and high quality litter input to aquatic systems. J Wetlands Ecology and Management. 13(5): 569-576. Noer AH. 2006. Dinamika Produktivitas Ekosistem Mangrove pada Laguna Tasilaha di Sulawesi Tengah. [disertasi in www.http://tl.lib.itb.ac.id: Department of Environmental Engeneering-ITB Bandung]. [ 11 Juli 2011]. Nordhaus I, Salewski T, Jennerjahn TC. Food preference of mangrove crabs related to leaf nitrogen compounds in the Segara Anakan Lagoon, Jawa, Indonesia. J of Sea Research. 65:414-426. Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Samingan T dan Sri Gandono, Penerjemah; Edisi Ketiga. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : The Fundamentals of Ecology. Parsons TR, Takashi M, Hargrave B. 1984. Biological Oceanography Process. Thirth Edition. Pergamon Press, New York. Pascoal C, Cassio F. 2004. Contribution of Fungi and bacteria to leaf litter decomposition in polluted river. J Applied and Environmental Microbiology. 70:5266-5273. Pribadi R. 1998. The Ecology of Mangrove Vegetation in Bintuni Bay, Irian Jaya, Indonesia. [tesis]. Scotland:University of Stirling. Ramos E, Silva CA, Silva AP, Oliveira SR. 2006. Concentration, stock and transport rate of heavy metals in a tropical red mangrove, Natal, Brazil. J Marine Chemistry. 99:2–11.
Ronnback P. 1999. The ecological basis for economic value of seafood production supported by mangrove ecosystems. J Ecological Economics. 29:235-252. Saengar P, Heger EJ, Davie JDS. 1983. Global Status Of Mangrove Ecosystems. IUCN. Bangkok. Saparinto C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. PT. Dahara Prize. Semarang. Satchell JE. 1974. Litter-interface of animate/inanimate matter. In Biology of Plant Litter Decomposition (C.H. Dickinson, GJF Pugh (eds). Academic Press. New York. (1): xiii-xliv. Siarudin M, Rachman E. 2008. Biomassa lantai hutan dan jatuhan serasah di kawasan mangrove Blanakan, Subang, Jawa Barat. J Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 5(4):329-335. Siddiqui JA, Qasim R. 1990. Litter production and physico-chemical conditions in mangrove, Avicennia marina (FORSK.) VIERH, swamps at Karachi Back Waters and Bakran Creek. J of Islamic Academy of Sciences 3(1):15−21. Sidjabat MM. 1973. Pengantar Oseanografi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sediadi A, Pramudji. 1987. Penelitian kecepatan gugur mangrove dan penguraiannya dalam hutan bakau di Teluk Ambon. In Soerianegara I, Adisoemarto S, Soemodihardjo S, Hardjowigeno S, Sudomo M, Ongkosongo OSR. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Hal 115-120. Silva CAR, Oliveira SR, Rego RDP, Mozeto AA. 2007. Dynamics of phosphorus and nitrogen through litter fall and decomposition in a Tropical mangrove forest. J Marine Environmental Research. 64:524–534. Smith RL. 1980. Ecology and Field Biology. Harper and Row Publishers New York. 835 p. Soenardjo N. 1999. Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove dan hubungannya dengan struktur komunitas mangrove di Kaliuntu Kabupaten Rembang Jawa Tengah. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Soerojo. 1986. Struktur dan gugur serasah hutan mangrove di Kembang Kuning, Cilacap. In Soerianegara I, Adisoemarto S, Soemodihardjo S, Hardjowigeno S, Sudomo M, Ongkosongo OSR. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Hal 110-114.
Soeroyo. 2003. Pengamatan gugur serasah di hutan mangrove Sembilang Sumatra Selatan. In Soemodihardjo S, Hardjowigeno S, Sudomo M, Ongkosongo OSR, Naamin N. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Panitia Program MAB Indonesia-LIPI. Hal 38-44. Soemodihardjo S. 1992. Studi gugur serasah di hutan mangrove Taman Nasional Ujung Kulon. J Oseanologi di Indonesia. 25:1-25. Stanley SO, Morita RY. 1968. Salinity effect on the maximal growth temperature of some bacteria isolated from marine environments. J of Bacteriology. 95: 169 - 173. Stumm W, Morgan JJ. 1970. Aquatic Chemistry an Introduction Emphasizing Chemical Equilibria in Natural Waters. John Wiley and Sons Inc. New York, London, Sidney, Toronto. Page 347. Sukardjo S. 2002. Integrated coastal zone management (ICZM) in Indonesia: A view from mangrove ecopologist. J Southeast Asian Studies. 40(2):200218. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 245 hal. Syarief A. 2012. Hutan Mangrove Meningkat 300 Ha. Radar Lampung, 21 Februari 2012. www.radarlampung.co.id. [9 Juni 2012]. Tam NFY, Wong YS, Lan CY, Wang LN. 1998. Litter production and decomposition in a subtropical mangrove swamp receiving wastewater. J of Experimental Marine Biology and Ecology. 226:1–18. Turner RE. 1977. Intertidal vegetation and commercial yields of penaeid shrimp. J Transactions of the American Fisheries Society. 106:411-416. Ulqodry TZ. 2008. Produktifitas Serasah Mangrove dan Potensi Konstribusi Unsur Hara di Perairan Mangrove Tanjung Api-api Sumatera Selatan. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. [WATALA]. 2005. Laporan perkembangan program mendukung peran desa dalam pengelolaan sumberdaya alam di Lampung, Indonesia. Sub-program pengelolaan ekosistem mangrove melalui fasilitas peningkatan ekonomi lokal mandiri di Pesisir Timur Lampung. Bandar Lampung. Tidak dipublikasikan. Wibisana BT. 2004. Produksi dan laju dekomposisi serasah mangrove di Wilayah Pesisir Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. [skripsi]. Bogor:IPB.
Wijiyono. 2009. Keanekaragaman bakteri serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas di Teluk Tapian Nauli. [tesis]. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Woodroffe CD. 1982. Litter production and decomposition in the New Zealand Mangrove, Avicennia marina var. resinifera. New Zealand Journal of Marine and Freshwater Research. 16:179-188. Yunasfi 2006. Dekomposisi serasah daun Avicennia marina oleh bakteri dan fungi pada berbagai tingkat salinitas. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB. Zamroni Y, Rohyani IM. 2008. Produksi serasah hutan mangrove di Perairan Pantai Teluk Sepi, Lombok Barat. J Biodiversitas. 9(4):284-287.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil pengukuran parameter fisika kimia air tiap sub stasiun Stasiun 1 2 3
Sub Stasiun 1 2 1 2 1 2
Suhu
Sal
32.00 14 31.80 17 28.00 17 28.70 14 32.20 28.00 32.40 30.00
DO
pH
Arus
Kecerahan
5.50 6.80 3.80 2.30 4.60 5.80
7.66 7.38 6.85 7.43 7.12 7.80
0.60 0.40 0.50 0.30 1.00 1.20
0.30 0.35 0.30 0.35 0.30 0.25
TSS
TOM
44.00 15.38 52.00 19.09 31.00 23.90 27.00 19.12 69480 638 64507 587.64
Lampiran 2 Data hasil principal component analysis (PCA) Akar ciri dan kontribusi persentase ragam total variabel pada sumbu Variabel
Akar ciri
Sumbu 1 Sumbu 2
5.13 1.63
% ragam total 64.10 20.40
Akar ciri komulatif 5.13 6.76
% komulatif 64.10 84.40
Matriks korelasi antar variabel Variabel Suhu Sal DO pH Arus Kecerahan TSS TOM
Suhu 1.000 0.544 0.780 0.594 0.634 -0.373 0.571 0.565
Sal
DO
pH
Kec.Arus
Kecerahan
TSS
TOM
1.000 0.284 0.139 0.938 -0.708 0.973 0.973
1.000 0.386 0.341 -0.249 0.183 0.178
1.000 0.305 -0.277 0.165 0.154
1.000 -0.871 0.934 0.932
1.000 -0.666 -0.664
1.000 1.000
1.000
Matriks korelasi antara variabel dan sumbu utama Variabel Suhu Salinitas DO pH Kecepatan Arus Kecerahan TSS TOM
Sumbu 1 0.744 0.942 0.452 0.379 0.983 -0.790 0.936 0.934
Sumbu 2 0.590 -0.260 0.737 0.679 -0.128 0.144 -0.287 -0.295
Koordinat variabel dalam sumbu utama Variabel Suhu Salinitas Do pH Kecepatan Arus Kecerahan TSS TOM
Sumbu 1
Sumbu 2
0.553 0.887 0.204 0.144 0.966 0.625 0.877 0.871
0.348 0.068 0.544 0.462 0.016 0.021 0.082 0.087
Koordinat stasiun dalam sumbu utama Stasiun 1.1 1.2 2.1 2.2 3.1 3.2
Sumbu 1 0.079 0.221 0.469 0.743 0.671 0.938
Sumbu 2 0.712 0.515 0.342 0.053 0.178 0.004
Sumbu 3 0.093 0.241 0.012 0.099 0.091 0.045
Sumbu 4 0.045 0.008 0.176 0.104 0.048 0.006
Sumbu 5 0.071 0.016 0.001 0.001 0.011 0.007
Lampiran 3 Jumlah tegakan mangrove dalam luasan 10 m x 10 m Kode Sampel St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.2.1 St. 1.2.2 Total Tegakan St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.2.1 St. 2.2.2 Total Tegakan St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.2.1 St. 3.2.2 Total Tegakan
Pohon 32 41 56 58 187 12 14 15 11 52 18 30 20 14 82
Jumlah tegakan Anakan 3 12 6 5 26 -
Semai 1 1 -
Lampiran 4 Produktifitas serasah selama pengamatan Kode Sampel St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.2.1 St. 1.2.2 St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.2.1 St. 2.2.2 St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.2.1 St. 3.2.2
14 hari Daun Ranting 56 9 58 8 70 10 63 20 78 9 68 17 76 6 86 9 92 8 71 8 68 9 54 7
Produksi Serasah (gram) 28 hari 42 hari 56 hari Daun Ranting Daun Ranting Daun Ranting 100 19 122 17 142 27 97 27 149 10 178 25 81 15 151 14 138 28 118 26 139 15 203 23 126 29 162 22 202 28 123 26 178 36 134 17 91 18 175 26 191 26 93 24 174 22 186 20 82 29 187 27 210 32 100 44 155 26 149 25 90 21 139 59 204 30 89 51 153 36 124 21
Lampiran 5 Produktifitas serasah daun dan ranting selama pengamatan Kode Sampel St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.2.1 St. 1.2.2 Rata-rata St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.2.1 St. 2.2.2 Rata-rata St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.2.1 St. 3.2.2 Rata-rata
Produksi Serasah (gram/m2/hari) Daun Ranting 3.25 0.55 3.58 0.56 3.49 0.52 3.91 0.78 3.56 0.60 4.38 0.68 3.97 0.83 4.06 0.54 4.23 0.60 4.16 0.66 4.43 0.71 3.75 0.80 3.76 0.83 3.22 0.89 3.79 0.81
Total 3.81 4.14 4.01 4.69 4.16 5.06 4.80 4.60 4.83 4.82 5.13 4.55 4.59 4.11 4.60
Lampiran 6 Bobot kering serasah daun mangrove Kode Sampel St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.2.1 St. 1.2.2 Rata-rata St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.2.1 St. 2.2.2 Rata-rata St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.2.1 St. 3.2.2 Rata-rata
Berat Awal (g) 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Hari ke-14 (g) 6 7 7 5 6.25 7 7 8 8 7.5 8 7 8 7 7.5
Hari ke-28 (g) 4 5 5 4 4.5 5 6 7 6 6 7 6 6 5 6
Hari ke-42 (g) 3 4 4 3 3.5 4 5 6 5 5 7 5 6 5 5.75
Hari ke-56 (g) 2 2 3 3 2.5 3 4 5 4 4 6 5 5 4 5
Lampiran 7 Laju dekomposisi serasah daun mangrove Sub stasiun St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.2.1 St. 1.2.2 Rata-rata St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.2.1 St. 2.2.2 Rata-rata St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.2.1 St. 3.2.2 Rata-rata
Laju dekomposisi serasah daun mangrove (g/hari) Hari ke-14 Hari ke-28 Hari ke-42 Hari ke-56 0.29 0.21 0.17 0.14 0.21 0.18 0.14 0.14 0.21 0.18 0.14 0.13 0.36 0.21 0.17 0.13 0.268 0.196 0.155 0.134 0.21 0.21 0.14 0.14 0.179 0.14 0.21 0.14 0.21 0.175
0.18 0.14 0.11 0.14 0.143 0.11 0.14 0.14 0.18 0.143
0.14 0.12 0.10 0.12 0.119 0.07 0.12 0.10 0.12 0.103
0.13 0.11 0.09 0.11 0.107 0.07 0.09 0.09 0.11 0.090
Lampiran 8 Persentase daun mangrove yang terdekomposisi Sub stasiun
St. 1.1.1 St. 1.1.2 St. 1.2.1 St. 1.2.2 Rata-rata St. 2.1.1 St. 2.1.2 St. 2.2.1 St. 2.2.2 Rata-rata St. 3.1.1 St. 3.1.2 St. 3.2.1 St. 3.2.2 Rata-rata
Persentase daun mangrove yang terdekomposisi pada hari keKomposisi Hari ke- Hari ke- Hari keHari ke-56 Awal (%) 14 (%) 28 (%) 42 (%) (%) 100 40 60 70 80 100 30 50 60 80 100 30 50 60 70 100 50 60 70 70 100 38 55 65 75 100 30 50 60 70 100 30 40 50 60 100 20 30 40 50 100 20 40 50 60 100 25 40 50 60 100 20 30 30 40 100 30 40 50 50 100 20 40 40 50 100 30 50 50 60 100 25 40 43 50
Lampiran 9 Sumbangan produksi potensial bahan organik serasah di lokasi pengamatan Stasiun
Stasiun 1
Hari ke- 28
Hari ke- 42
Hari ke- 56
C
N
P
C
N
P
C
N
P
C
N
P
0.13938
0.00111
0.00150
0.07708
0.00050
0.00013
0.10552
0.00144
0.00099
0.08912
0.00058
0.00041
Ranting
0.32285
0.00218
0.00124
0.12835
0.00085
0.00007
0.24074
0.00212
0.00065
0.11586
0.00060
0.00021
0.23111
0.00165
0.00137
0.10272
0.00067
0.00010
0.17313
0.00178
0.00082
0.10249
0.00059
0.00031
Daun
0.21273
0.00267
0.00166
0.13957
0.00075
0.00005
0.15775
0.00140
0.00145
0.14905
0.00227
0.00022
Ranting
0.05329
0.00026
0.00016
0.03534
0.00014
0.00002
0.02117
0.00013
0.00023
0.01352
0.00014
0.00007
Daun
0.13301 0.03609
0.00147 0.00020
0.00091 0.00025
0.08745 0.03248
0.00044 0.00019
0.00003 0.00002
0.08946 0.03111
0.00077 0.00022
0.00084 0.00027
0.08129 0.01897
0.00120 0.00011
0.00015 0.00004
Ranting
0.03531
0.00015
0.00009
0.05696
0.00021
0.00002
0.05444
0.00055
0.00011
0.01823
0.00006
0.00006
0.03570
0.00018
0.00017
0.04472
0.00020
0.00002
0.04277
0.00039
0.00019
0.01860
0.00009
0.00005
Rata-rata Stasiun 3
Hari ke-14
Daun
Rata-rata Stasiun 2
Produksi potensial bahan organik serasah (g/m2/hari)
Komponen Serasah
Rata-rata
80
Lampiran 10 Sejarah perkembangan Lampung Mangrove Centre No. Waktu 1. Tahun 1970
2.
Tahun 1976
1.
Tahun 1983
2.
Tahun 19831987
3.
Tahun 19871990
4.
1994
5.
1995—2001
Uraian/Sejarah Sudah terdapat hutan mangrove yang tumbuh secara alami dengan panjang 700 meter kearah laut. Jenis-jenis yang tumbuh adalah : 1. Api-api (Avicennia marina) 2. Bakau (Rhizophora sp.) 3. Waru laut (Hibiscus tiliaceus) 4. Buta-buta Pembukaan hutan mangrove untuk kolam pemancingan alami seluas 300 x 800 meter persegi (± 5 meter kearah laut). Upah yang diberikan dalam penebangan hutan mangrove untuk kolam pemancingan alami adalah Rp. 12.500 per hektar. Terjadi penebangan hutan mangrove untuk pertambakan udang tradisional ± 300 meter ke arah laut. Penebangan ini dilakukan oleh perorangan ataupun kelompok masyarakat. Pertambakan udang yang diusahakan masyarakat Desa Margasari dengan menebang hutan mangrove mengalami keberhasilan. Hasil udang melimpah dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Usaha pertambakan tradisonal masyarakat mengalami kemunduran hasil karena adanya serangan penyakit pada udang. Mulai terjadi abrasi laut dari tahun 1987-1990. Terjadi abrasi besar-besaran sampai 500 meter ke arah daratan. Hal ini mengakibatkan tambak-tambak yang telah ada sebelumnya dan telah bersertifikat hilang dan menjadi lautan. Hak milik pemilik tambak udang telah hilang secara otomatis dengan terabrasinya lahan tambak mereka. a. Th 1995 : Dilakukan rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kehutanan Provinsi seluas 100 ha. Jenis yang ditanam adalah: api-api dan bakau. b. Th 1997 : Rehabilitasi hutan oleh Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Provinsi Lampung. Jenis yang ditanam nipah seluas 25 ha. c. Th 2001 : 1. Rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Timur seluas 25 ha. Jenis yang ditanam bakau. 2. Pembangunan sarana wisata mangrove berupa 350 trail wisata, 7 shelter dan 2 menara pengamatan burung.
Lampiran 4 (Lanjutan) 6.
Tahun 2004 Inisiatif Masyarakat oleh Kepala Desa Sukimin (Alm) untuk menyerahkan hutan mangrove kepada Universitas Lampung untuk hutan pendidikan. Acara ini bersamaan dengan praktikum mahasiswa Jurusan Manajemen Hutan UNILA. 7. Tahun 2005 Permohonan Masyarakat Desa Margasari untuk menyerahkan hutan mangrove 700 ha kepada Universitas Lampung. Surat ditujukan kepada Bupati Lampung Timur. Lokakarya Penyamaan Persepsi Pengelolaan Terpadu Hutan Mangrove. Menghasilkan Program-program yang disepakati oleh masyarakat, Pemdakab dan Propinsi sebanyak 75 stakeholder. Program-program tersebut yang kemudian diadopsi sampai sekarang oleh JICA dan BPHM. 8. Tahun 2006 1. Serah Terima Ijin Lokasi kepada Universitas Lampung dari Bupati Lampung Timur dengan SK Bupati Lamtim No. Surat Keputusan Bupati No. B.303/22/SK/2005 pada tanggal 23 Desember 2005 tentang ”Penetapan Lokasi untuk Pengelolaan Hutan Mangrove dalam Rangka Pendidikan, Pelestarian Lingkungan, dan Pemberdayaan Masyarakat seluas 700 ha di Desa Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai” a. Unila melakukan berbagai kegiatan pengelolaan berbasis masyarakat. Sylvofishery, polychaeta, pembinaan masyarakat dan UMKM, rehabilitasi mangrove, pembangunan fasilitas trek ekowisata 300 meter di Kuala Penet. b. Pembuatan demplot rehabilitasi hutan mangrove oleh Tim Mangrove Universitas Lampung seluas 2 Ha. Jenis yang ditanam bakau. c. Rehabilitasi hutan mangrove oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Timur seluas 75 Ha. Jenis yang ditanam bakau. 9. Tahun 2007 Kunjungan Lapangan ke Mangrove Margasari oleh BPHM II, JICA, BPDAS dan Unila 10. Tahun 2008 Penanaman bakau dan api-api seluas 1 ha oleh mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata). Penetapan Model Pengelolaan JICA dalam Pengelolaan Hutan Mangrove se-Indonesia. Pembahasan Peran Stakeholder dalam pengelolaan Terpadu Hutan Mangrove. 11. Tahun 2009 Penandatangan MOU antara BPHM II dan UNILA dengan dukungan JICA dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Margasari Lampung Timur - LMC. Nomor MOU No.SKB.42/BPHM.II/2/2009 dan 392/H26/KL/2009 tanggal 29 Januari 2009.
Lampiran 4 (Lanjutan) 12. Tahun 2010 Perpanjangan ijin pengelolaan hutan mangrove di Desa Margasari antara Unila dan Pemda Kab. Lamtim 13. Tahun 2011 Penanaman mangrove seluas 50 ha. Jenis yang di tanam adalah apiapi dan Rhizopora. 14. Tahun 2012 Penanaman mangrove seluas 100 ha. Jenis yang di tanam adalah api-api dan Rhizopora Pembangunan gedung LMC di Desa Margasari Pembentukan Kebun Bibit Rakyat (KBR) dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Lampung